Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 03
MELIHAT
keluarga itu berduka dan berkabung, Menteri Kam Liong pun berpamit. Di
sepanjang jalan ia menyesali nasib keluarganya.
Setibanya di
rumah, Suma Hoat jatuh sakit. Dia diserang demam tinggi, setiap hari mengigau
dan menyebut-nyebut nama Kim Hwa, kadang-kadang memaki-maki semua perempuan
yang disebutnya tidak setia, bercinta palsu dan lain-lain. Sampai sebulan lebih
Suma Hoat jatuh sakit, tidak sadar akan keadaan sekelilingnya. Ayahnya,
Panglima Suma Kiat yang amat menyayang putera tunggalnya tentu saja menjadi
bingung dan mengundang semua tabib yang ahli untuk mengobati puteranya.
Pada suatu
malam, Suma Hoat sadar dari tidurnya. Dia sudah mulai sembuh dan mulai sadar.
Tanpa membuka matanya ia mengenang semua peristiwa yang menimpanya, terkenang
kembali kepada Kim Hwa. Dia mengeluh panjang dan berkata lirih, “Semua
perempuan palsu cintanya, yang murni pun tidak setia, malah meninggal pergi!”
Tiba-tiba
terdengar suara halus di dekat pembaringan. “Tidak semua perempuan palsu
cintanya, Suma Hoat. Betapa mudahnya mencinta seorang pemuda seperti engkau.
Aku pun... kalau diberi kesempatan...!” Jari tangan yang halus menyentuh dahinya
dengan mesra, dan sapu tangan yang harum dipergunakan oleh jari-jari itu
mengusap peluh di dadanya.
Suma Hoat
membuka mata, terbelalak menandang wajah seorang wanita yang amat cantik,
wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, akan tetapi yang luar biasa
cantiknya! Cantik melebihi Kim Hwa! Muka yang halus itu kemerahan, matanya
bergerak-gerak lincah penuh pengertian, mulutnya seolah-olah selalu menantang
cium!
WANITA yang
matang, menggairahkan, dan gerak-geriknya menunjukkan seorang ahli silat!
Wanita cantik jelita yang tidak dikenalnya, namun yang jelas kini merayunya
dengan sikap dan kata-katanya, terutama sekali dengan sinar matanya yang penuh
nafsu, yang seolah-olah hendak menelanjanginya!
“Kau...
siapakah...?” Suma Hoat bertanya, diam-diam kagum melihat wajah itu.
“Aku? Namaku
Bu Ci Goat, aku... baru setengah bulan di sini. Aku selir ayahmu yang paling
baru.”
“Oohhh...!”
Tanpa disadari seruan ini mengandung kekecewaan.
“Mengapa?
Tidak girangkah engkau mempunyai seorang ibu muda baru seperti aku?” Bu Ci Goat
mendekatkan mukanya hingga hampir menyentuh hidung Suma Hoat yang mencium bau
harun sekali.
Jantung Suma
Hoat berdebar dan ia menegur. “Kalau engkau selir Ayah, mengapa di sini? Mau
apa?”
Wanita itu
tersenyum dan memegang tangan Suma Hoat. “Engkau sakit, dan sudah sepatutnya
aku menengok dan menjaga. Aku pun seorang ahli mengobati penyakit, dan melihat
penyakitmu, mudah saja obatnya!”
“Apa?”
“Ini...!”
Berkata demikian, wanita itu menarik tangan Suma Hoat dan merapatkan tangan
pemuda itu ke dadanya, sehingga terasalah oleh pemuda itu gumpalan daging yang
hangat.
“Ahh...
jangan...!” Suma Hoat menarik tangannya akan tetapi terkejut karena ternyata
tangan yang memegangnya itu amat kuat! Tahulah dia bahwa biar pun belum tentu
wanita ini memiliki kepandaian silat tinggi, namun yang jelas memiliki tenaga
yang kuat!
“Mengapa
tidak? Engkau menderita pukulan batin akibat sakit asmara, dan penyakit rindu
obatnya hanya satu! Dan aku... percayalah, cintaku tidak palsu, Suma Hoat.
Boleh kau buktikan sendiri!” Setelah berkata demikian, wanita itu lalu
merangkul leher Suma Hoat, menciumi dan membelainya.
Jari-jari
tangannya yang ahli dan cekatan itu telah membukai pakaian Suma Hoat, juga
pakaiannya sendiri seperti telah terbuka sendiri sehingga tampak bagian
tubuhnya yang menggairahkan. Karena kesadarannya belum pulih benar, tanpa
diketahuinya bagaimana mula-mulanya, Suma Hoat mendapatkan dirinya dipeluk dan
ditindih oleh Bu Ci Goat yang menyerangnya dengan hebat, serangan ciuman dan
belaian yang benar-benar membangkitkan semangat pemuda itu!
Ketika itu
Suma Hoat mulai terangsang dan lupa diri. Ia seolah-olah menemukan pegangan
baru setelah dirinya hanyut dalam kegagalan cinta, setelah merasa betapa wanita
ini benar-benar menggairahkan, berbeda dengan para pelacur, bahkan hampir
menandingi kemesraan Kim Hwa. Tiba-tiba daun pintu terbuka dan muncullah Suma
Kiat, ayahnya!
“Bocah
setan! Mengganggu selir ayahmu sendiri? Benar-benar kurang ajar, tak tahu malu!
Engkau benar-benar mencemarkan nama baik keluarga Suma. Pergi! Hayo minggat
dari sini! Engkau tidak patut menjadi puteraku!”
Wajah Suma
Hoat menjadi pucat sekali dan ia meloncat turun dari pembaringan, membereskan
pakaiannya yang ‘dilucuti’ oleh Bu Ci Goat tadi.
Bu Ci Goat
dengan tersenyum-senyum juga membereskan pakaiannya kemudian menghampiri
suaminya, memegang lengan Suma Kiat dengan sikap manja, mengelus pipi Suma Kiat
sambil berkata, suaranya merayu, “Mengapa kau marah-marah? Aku hanya berusaha
untuk mengobati sakitnya, dia menderita sakit rindu yang hebat...”
Wajah Suma
Kiat yang tadinya marah dan kemerahan dengan matanya yang beringas itu menjadi
lunak ketika ia menunduk dan memandang wajah selirnya yang termuda, selir baru
yang amat dikasihinya. Ia lalu berkata, “Maksudmu baik Ci Goat, akan tetapi
tidak tepat. Kau tahu betapa aku amat mencintaimu, dan aku tidak suka melihat
cintamu kepadaku terbagi, biar pun dengan puteraku!”
Menyaksikan
semua ini, kemarahan Suma Hoat tak dapat tertahan lagi. Ia lalu berkata
nyaring, “Baik! Aku pergi! Aku muak melihat semua ini! Muak hidup di neraka
ini!” Pemuda itu lalu melompat ke luar dari kamarnya dan pergi. Semenjak saat
itu, Suma Hoat tidak pernah kembali ke rumah ayahnya!
Dan mulai
saat itu pula, di dunia kang-ouw muncul seorang pendekar yang selalu menentang
kejahatan, dengan kepandaiannya yang hebat, dengan keberaniannya yang
mendirikan bulu roma para penjahat. Akan tetapi di samping sepak terjangnya
yang hebat, pendekar muda ini memiliki kebiasaan yang keji sekali yaitu dia
selalu mengganggu wanita!
Dia sering
kali terdapat dalam kamar-kamar wanita cantik, isteri orang-orang, gadis
remaja, siapa saja asal dia wanita cantik dan sukar didapat. Dan hebatnya,
sebagian besar wanita-wanita itu tidak menolak kedatangan penjahat pemetik
bunga yang tampan, gagah dan memiliki kepandaian merayu wanita secara istimewa
sekali ini!
Dialah Suma
Hoat yang menganggap bahwa wanita tidak dapat dipercaya, bahwa wanita hanya
lebih pantas dijadikan benda permainan belaka, bahwa wanita hanyalah sekedar
alat pemuas nafsunya! Kebenciannya terhadap wanita yang dimulai dengan
kepatahan hatinya karena kematian Kim Hwa, disusul sikap Bu Ci Goat dan
ayahnya, membentuk watak yang seperti iblis terhadap wanita dalam dirinya!
Seorang pendekar pembela kaum tertindas menentang kejahatan, namun juga seorang
pemerkosa nomor satu di dunia sehingga beberapa tahun kemudian, terkenallah
nama penjahat pemetik bunga (pemerkosa) Jai-hwa-sian atau Dewa Pemerkosa!
Keadaan
keluarga Suma inilah yang membuat hati Menteri Kam Liong selalu prihatin
sekali. Apa lagi ketika ia melakukan peninjauan ke Khitan, ia mendengar berita
bahwa diam-diam Suma Kiat dan anak buahnya adalah tokoh-tokoh penting yang
membujuk para panglima di utara yang membujuk Kaisar untuk memusuhi Khitan!
Sering kali
menteri yang bijaksana ini termenung, memikirkan percampuran darah nenek
moyangnya yang sebagian memiliki darah keturunan pendekar-pendekar hebat dan
disegani di dunia kang-ouw seperti pendekar sakti Suling Emas, pendekar wanita
Ratu Yalina, pendekar wanita Mutiara Hitam dan yang lain-lain. Akan tetapi,
juga terkenal sekali darah keturunan orang-orang jahat yang mengalir ke tubuh
mereka seperti keturunan keluarga Suma itu.
Dia pun tahu
mengapa Suma Kiat membenci Khitan. Hal ini adalah karena dahulu di waktu
mudanya, Suma Kiat jatuh cinta kepada puteri Suling Emas, atau adik tirinya,
pendekar wanita Mutiara Hitam. Karena cinta tidak dibalas, maka dia mempunyai
perasaan benci kepada Kerajaan Khitan atau sesungguhnya kepada keturunan Suling
Emas. Hanya karena keturunan Suling Emas semua memliki kepandaian yang amat
tinggi, maka dia tidak berani menyatakan kebenciannya secara berterang. Karena
kebenciannya kepada Raja Khitan yang juga merupakan putera Suling Emas, maka
dia berusaha keras untuk menghancurkan Khitan.
***************
Sepasang
orang laki-laki dan wanita berusia empat puluh tahunan berlari seperti terbang
cepatnya, melalui padang-padang rumput di daerah Khitan. Yang laki-laki bertubuh
tinggi kurus, berwajah tampan gagah dengan jenggot pendek meruncing dan kumis
menggantung di kanan kiri bibirnya. Pakaiannya sederhana dan rambutnya diikat
sehelai sapu tangan kuning. Wajah laki-laki ini selalu tersenyum-senyum dan
sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan dan kejenakanaan. Ada pun
yang wanita berwajah cantik dan gagah perkasa, pandang matanya membayangkan
kekerasan hati sehingga membuat orang yang pertama kali bertemu tentu akan
merasa tunduk dan jeri.
Mereka
berdua tidak membawa senjata, namun melihat gerak-gerik mereka, tak dapat
disangsikan lagi bahwa mereka tentulah orang-orang yang berilmu tinggi. Memang
tepat sekali dugaan ini, karena mereka itu adalah sepasang suami isteri yang
apa bila disebut namanya akan membuat tokoh-tokoh kang-ouw terbelalak, dan
membuat tokoh-tokoh dunia hitam gemetar. Laki-laki itu adalah pendekar yang
dijuluki Pek-kong-to (Si Golok Sinar Putih) Tang Hauw Lam, sedangkan wanita itu
adalah isterinya yang lebih terkenal lagi dan lebih ditakuti karena dia bukan
lain adalah Kam Kwi Lan, Si Mutiara Hitam, puteri dari Suling Emas!
Semenjak
menikah dengan Tang Hauw Lam, pemuda jenaka yang dipilihnya di antara banyak
calon suami, Mutiara Hitam bersama suaminya lalu pergi merantau. Tepat seperti
yang diduga oleh kakak tiri Mutiara Hitam, yaitu Menteri Kam Liong, suami
isteri yang paling suka merantau ini telah menjelajah ke pelbagai negeri, jauh
di utara dan barat.
Mereka
melewati Pegunungan Himalaya yang amat berbahaya, mengunjungi dunia barat dan
hidup di antara bangsa-bangsa aneh yang berkulit hitam seperti arang,
kecoklat-coklatan dan ada yang kulitnya putih seperti salju dengan manik mata
berwarna biru, coklat atau hijau, rambut kepala berwarna merah darah, kuning
emas atau putih kebiruan! Tentu saja perantauan suami isteri pendekar selama
belasan tahun ini selain menambah pengalaman mereka, juga memperdalam ilmu
kepandaian mereka.
Suami isteri
yang saling mencinta dan rukun ini hidup bahagia, akan tetapi hanya satu hal
yang membuat mereka kadang-kadang melamun dan menghela napas panjang, yaitu
bahwa selama belasan tahun menikah, mereka belum juga mempunyai keturunan! Hal
ini merupakan kekecewaan yang kadang-kadang membuat Mutiara Hitam, si pendekar
wanita yang gagah perkasa dan yang pantang mundur menghadapi lawan yang betapa
ganas pun, kalau malam suka mencucurkan air mata!
Betapa indah
pun keadaan dunia barat di sebelah sana Pegunungan Himalaya, akhirnya suami
isteri itu rindu juga kepada tanah air sendiri. Maka pulanglah mereka ke timur
melalui Pegunungan Himalaya yang aneh, penuh bahaya, dan amat sukar dilalui
itu. Perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan dan biar pun suami isteri ini
merupakan orang-orang gemblengan yang ulet dan kuat, namun perjalanan itu
sungguh amat sukar ditempuh, penuh bahaya maut yang aneh-aneh.
Banyak
mereka temui binatang liar yang aneh dan besar, ada orang hutan yang hidup di
salju Pegunungan Himalaya, amat besar, dua kali bahkan tiga kali manusia.
Banyak pula burung-burung raksasa yang tidak terdapat di tempat lain, kelompok
manusia-manusia yang masih telanjang, belum mengenal peradaban sehingga kalau
saja Mutiara Hitam dan suaminya tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu
mereka itu sudah menjadi korban bahaya-bahaya maut yang mengerikan.
Setelah
kembali ke tanah air, suami isteri ini melanjutkan kesukaan mereka merantau
sampai jauh ke selatan, bahkan pada suatu hari mereka menyewa perahu dan
menjelajah pulau-pulau di laut selatan! Dalam pelayaran inilah mereka melihat
sebuah perahu besar yang dibajak oleh bajak-bajak laut bangsa Jepang. Mereka
datang terlambat dan hanya berhasil menolong dua orang anak-anak laki dan
perempuan yang dilempar ke laut oleh bajak-bajak itu.
Anak-anak
itu baru berusia kurang lebih enam tahun ketika mereka menolongnya dan suami
isteri yang tidak mempunyai keturunan ini lalu mengambil mereka sebagai murid.
Anak laki-laki bernama Can Ji Kun, sedangkan yang perempuan bernama Ok Yan Hwa.
Semenjak saat itu, kedua orang anak tadi selalu diajak merantau, hanya kadang-kadang
saja mereka berempat tinggal di atas puncak sebuah gunung untuk selama satu
atau dua tahun, lalu tempat itu ditinggalkan lagi karena suami isteri yang
berdarah perantau itu tidak pernah merasa betah tinggal di suatu tempat untuk
waktu yang terlalu lama.
Demikianlah,
ketika mereka mendengar pergolakan yang terjadi di utara, Mutiara Hitam merasa
khawatir akan nasib kerajaan kakak kembarnya, yaitu Raja Talibu di Khitan, lalu
mereka berempat berangkat ke daerah utara. Pada pagi hari itu, Mutiara Hitam
dan suaminya berlari-larian cepat sekali di daerah Khitan. Ketika tiba di
pinggir hutan, mereka berhenti. Pek-kong-to Tang Hauw Lam menoleh ke belakang
lalu berseru dengan suara nyaring bergema karena ia mengerahkan khikang-nya.
“Ji Kun... !
Yan Hwa...! Hayo cepat kalian menyusul ke sini!”
Mutiara
Hitam berkata sambil menghela napas panjang. “Dua orang muda kita itu tiada
hentinya bersaing dan berlomba, seperti anjing dengan kucing saja! Mengapa
mereka tidak pernah kelihatan akur?”
Suaminya
tertawa dan kalau sudah tertawa, Tang Hauw Lam ini nampak masih seperti seorang
pemuda! “Ha-ha-ha, mengapa disusahkan? Hal itu malah baik sekali, karena
persaingan menimbulkan kemajuan! Maka sebaiknya kalau mereka itu kita latih
secara terpisah pula, biar aku melatih Ji Kun dan engkau melatih Yan Hwa.
Dengan demikian, persaingan di antara mereka akan makin menghebat dan mereka
akan berlomba saling mengalahkan sehingga memperoleh kemajuan pesat.”
Mutiara
Hitam mengerutkan keningnya. Hemm, aku sangsi apakah cara itu akan membawa
kebaikan. Jangan-jangan mereka akan menyeret kita dalam persaingan dan
percekcokan di antara mereka!”
“He-heh-heh!
Kita terbawa dan saling cekcok? Jangan khawatir, isteriku, sampai bagaimana pun
juga, mana bisa aku menangkan engkau?”
Mutiara Hitam
memandang suaminya dan mau tidak mau ia tertawa juga. Hidup di samping suaminya
yang selalu berwatak jenaka itu mana bisa ia merasa bosan dan susah?
“Sesukamulah, akan tetapi engkau pun harus menurunkan ilmu-ilmu yang kau miliki
kepada Ji Kun.”
“Tentu
saja... tentu... Jangan khawatir, mereka berdua kelak akan terkenal sebagai
murid Mutiara Hitam! Ilmu keturunan keluarga Suling Emas tidak boleh terhenti
begitu saja!”
Pada saat
itu tampak dua titik hitam dan kiranya mereka adalah dua orang anak laki-laki
dan perempuan yang berlari secepatnya ke tempat itu. Tepat seperti dugaan suami
isteri pendekar ini, kedua orang anak itu bukan sembarangan berlari, melainkan
berlomba lari, berdulu-duluan sampai ke tempat guru mereka! Ketika tiba di
situ, Ji Kun menang beberapa meter dan hal ini diterima oleh Yan Hwa dengan
muka cemberut, sungguh pun seperti juga Ji Kun, napasnya sudah senin kemis
tinggal satu-satu!
“Kita sudah
memasuki daerah Khitan, perang terjadi di mana-mana. Jangan kalian terlalu jauh
terpisah dari kami!” Mutiara Hitam menegur kedua orang muridnya.
Mereka lalu
melanjutkan perjalanan memasuki daerah Khitan dan dapat dibayangkan betapa
sedih hati Mutiara Hitam menyaksikan keadaan Khitan yang rusak. Apa lagi ketika
ia mendengar bahwa Kerajaan Khitan sudah hancur, dan terutama sekali ketika
mendengar bahwa Raja dan Ratu Khitan telah gugur dalam perang, Mutiara Hitam
tak dapat menahan kesedihannya dan lari ke tempat sunyi untuk menangis! Dua
orang muridnya hendak lari menyusul namun mereka ditahan oleh suhu mereka yang
maklum bahwa pada saat seperti itu, isterinya tidak mau diganggu oleh siapa pun
juga. Pula, merupakan pantangan bagi isterinya untuk terlihat orang lain bahwa
dia menangis.
Setelah
beberapa lama membiarkan isterinya menangis di tempat sunyi seorang diri dan
memesan kedua orang muridnya agar jangan pergi dari situ, Tang Hauw Lam lalu
menghampiri isterinya, perlahan-lahan ia duduk di dekat isterinya yang masih
sesenggukan, lalu berkata halus.
“Kwi Lan,
hentikanlah tangismu. Menurut kepercayaan lama, roh-roh orang yang meninggal
akan menjadi gelisah kalau ditangisi oleh keluarga dekat yang dicintanya! Raja
Talibu dan isterinya gugur sebagai raja dan ratu yang gagah perkasa. Lupakah
kau akan cerita orang-orang Khitan tadi itu? Mereka tewas dengan senjata di
tangan, mempertahankan kerajaan hingga titik darah terakhir! Betapa hebat dan
perkasa kakak kembarmu itu! Aku benar-benar kagum bukan main dan aku pun ingin
sekali kelak dapat mengakhiri hidup seperti itu! Roh mereka itu tentu mendapat
tempat yang layak bagi orang-orang gagah seperti mereka, apakah kini engkau
hendak mengusik dan membikin gelisah mereka dengan tangismu?”
Mendengar
ucapan suaminya ini, Mutiara Hitam menghentikan tangisnya. Akan tetapi, ketika
menoleh memandang wajah suaminya yang biasanya berseri itu kini muram, pandang
mata yang biasanya berseri itu kini sayu dan penuh iba kepadanya, dia terisak
dan menjatuhkan diri di atas dada suaminya sambil menangis lagi.
Tang Hauw
Lam memeluk tubuh isterinya, mengelus-elus rambutnya dan menepuk- nepuk
pundaknya. “Hemm, tenanglah... tenang, isteriku. Lihat... kau membikin aku ikut
menitikkan air mata! Ah, betapa memalukan kalau pendekar yang berjuluk
Pek-kong-to berubah menjadi seorang laki-laki cengeng!”
Mutiara
Hitam menghentikan tangisnya, berpegang tangan dengan suaminya seolah-olah
dalam keadaan hati menderita itu dia minta bantuan kekuatan suaminya, kemudian
sambil merenung jauh ia mengepal tinju kiri dan berkata, “Aku harus membalaskan
kematian mereka! Si keparat bangsa Yucen!”
“Wah-wah-wah,
sabarkan hatimu, isteriku. Pergunakanlah akal budi dan pertimbangan pikiranmu,
jangan dikeruhkan oleh nafsu mendendam. Kakakmu dan isterinya gugur dalam
perang, tentu saja tidak dapat diketahui siapa yang menewaskan mereka. Gugur
dalam perang berbeda dengan dibunuh perorangan, maka tidak mungkin bicara
tentang sakit hati dan balas dendam. Apakah kita harus memusuhi seluruh bangsa
Yucen dan berusaha membunuhi mereka? Betapa piciknya kalau begitu, sungguh
tidak sesuai dengan jiwa kependekaran kita! Pendirian kita adalah menentang
kejahatan manusia. Di dalam perang bagaimana bicara tentang kejahatan bangsa?
Mereka yang berperang itu hanya memenuhi tugas, seperti juga kakakmu dan
isterinya. Dan sejak dahulu, engkau sudah menyatakan tidak suka mengikatkan
diri dengan urusan kerajaan dan pemerintah, bukan?”
Teringatlah
Mutiara Hitam dan kemarahannya mereda. “Heran sekali, mengapa Ayah dan Ibu diam
saja dan tidak muncul membantu Kakak Talibu?” katanya perlahan.
“Agaknya aku
dapat meraba pendirian Gak-hu dan Gak-bo (Ayah dan Ibu Mertua). Beliau berdua
adalah orang-orang yang telah mengasingkan diri, tidak mencampuri urusan dunia,
apa lagi urusan kerajaan. Kalau mereka itu kini mencampuri, bukankah akan sia-sia
saja mereka menyucikan diri? Pula, kerajaan telah diserahkan kepada mendiang
kakakmu, Raja Talibu, maka menjadi tanggung-jawabnyalah semua urusan kerajaan,
maju mundurnya, jatuh bangunnya. Dan harus diingat bahwa segala sesuatu telah
dikehendaki oleh Thian. Kerajaan seperti juga manusia, ada waktunya lahir ada
waktunya mati. Yang penting harus kita selidiki, bagaimana dengan nasib puteri
kakakmu? Bukankah menurut cerita orang-orang Khitan itu mereka mempunyai
seorang puteri?”
“Benar!”
Mutiara Hitam kelihatan bersemangat. “Namanya Puteri Maya yang kabarnya lenyap
bersama pasukan pengawal. Agaknya Kakak Talibu sudah membuat persiapan dan
tentu saja anak itu disuruh antar para pengawal mencari Ayah dan Ibu di Puncak
Gobi-san!”
Tang Hauw
Lam mengangguk-angguk. “Tidak ada dugaan lain lagi, tentu begitulah. Agaknya
sudah pasti bahwa keponakan kita itu diantar oleh pasukan ke puncak Gobi-san.
Kalau benar demikian, selamatlah keponakan kita itu dan dia bahkan akan
mewarisi kepandaian Gak-hu dan Gak-bo yang sakti.”
Akan tetapi
Mutiara Hitam mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Aku masih khawatir.
Ayah dan Ibu tidak pernah memberitahukan siapa juga di mana tempat mereka
bertapa. Aku sangsi apakah pasukan pengawal itu akan berhasil menemukan tempat
pertapaan mereka. Sebaiknya kalau kita susul, syukur kalau Maya sudah tiba di
sana, sekalian kita menghadap Ayah Bunda yang sudah belasan tahun tidak kita
temui. Aku sudah rindu kepada mereka.”
“Baiklah,
sebaiknya begitu. Juga akan berguna bagi pengalaman murid-murid kita.”
Suami isteri
pendekar itu bersama dua orang murid mereka lalu berangkat meninggalkan daerah
Khitan menuju ke barat, ke arah Pegunungan Gobi-san yang mempunyai daerah luas
sekali. Di sepanjang perjalanan menuju ke Gobi-san, mereka bertemu dengan
daerah-daerah di mana perang terjadi. Mereka selalu menghindarkan diri dari
perang antar suku itu, di mana bangsa Yucen makin lama makin berkembang menjadi
kuat di samping bangsa Mongol yang juga sudah memperkembangkan sayapnya di
daerah utara dan timur.
***************
Telah lama
kita meninggalkan Puteri Maya yang berhasil melarikan diri dari cengkeraman
sepasang manusia iblis dari India ketika Nila Dewi masih dalam keadaan tertotok
dan Mahendra sedang bertanding mati-matian melawan Menteri Kam Liong. Gadis
cilik ini cepat melarikan diri dengan kedua tangan masih terikat menuju ke
barat, memasuki sebuah hutan yang luas dan liar. Setelah kedua kakinya tidak
kuat lagi dipakai lari dan napasnya hampir putus, barulah ia menjatuhkan diri
berguling di atas rumput, terengah-engah.
Kemudian
dihampirinya sebuah batu besar, dicarinya pinggiran batu yang tajam dan
mulailah ia menggosok-gosokkan tali pergikat kedua tangannya pada pinggiran
batu yang tajam itu. Sampai panas rasanya kedua pergelangan tangannya, akan
tetapi akhirnya tali pengikat tangannya itu putus dan ia bebas! Karena khawatir
kalau-kalau dua orang manusia iblis itu mengejarnya, Maya lalu meloncat bangun
dan berlari lagi, terus ke barat memasuki hutan makin dalam.
Hutan itu
luas dan liar, penuh dengan pohon-pohon raksasa dan batu-batu besar. Maya hanya
berani berhenti sebentar untuk minum jika dia melewati sebuah anak sungai,
kemudian lari terus tanpa tujuan, pokoknya asal sejauh mungkin dari kedua orang
manusia iblis yang mengerikan itu.
Hampir
sehari ia berlari-larian terus di dalam hutan itu sampai akhirnya ia keluar
dari hutan, tiba di daerah padang rumput yang luas. Ia berlari terus sampai
tiba di bagian yang berbatu-batu di kaki gunung. Tiba-tiba ia mendengar suara
banyak orang tertawa-tawa. Maya terkejut sekali dan berdiri termangu-mangu,
mencari tempat sembunyi, kemudian lari hendak bersembunyi di balik pegunungan
batu. Akan tetapi mendadak berkelebat bayangan banyak orang dan terasa olehnya
angin menyambar-nyambar ketika bayangan itu berkelebat, disusul suara ketawa-tawa
dan tahu-tahu dia telah dikurung oleh beberapa orang aneh!
Maya
memandang terbelalak, penuh rasa takut karena orang-orang ini keadaannya lebih
aneh dan menyeramkan dari pada sepasang manusia iblis India! Mereka terdiri
dari laki-laki dan perempuan, ada yang masih muda yang sudah tua, bahkan ada
pula beberapa orang anak-anak, akan tetapi muka mereka rata-rata buruk dan
menyeramkan!
Yang pria
banyak gundul tidak rata, atau kalau ada yang berambut pun rambutnya gimbal
menjadi satu seperti sapu serat terkena lumpur! Muka mereka selalu menyeringai
seperti sekumpulan bocah nakal, tubuh atas tak berbaju dan perut mereka
rata-rata gendut biar pun tubuh mereka ada yang kurus kering, seperti tubuh
anak cacingan!
Celana
mereka dari kulit, tidak karuan bentuknya, dan bagian bawahnya yang sepanjang
lutut itu robek-robek. Para perempuannya lebih mengerikan lagi. Ada yang
menutupi tubuh atas, akan tetapi banyak tubuh atasannya dibiarkan telanjang
begitu saja sehingga buah dada mereka yang panjang-panjang itu bergantungan
seperti buah pepaya.
Rambut
mereka riap-riapan, juga kelihatan kotor sekali. Tubuh bawah ditutup kain
sampai ke lutut, juga terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang. Ada pula yang
memakai hiasan kalung terbuat dari... batu kerikil biasa! Yang kanak-kanak
hanya memakai cawat, sukar dibedakan mana anak laki-laki mana anak perempuan
karena rambut mereka dikelabang dan melintang di kanan kiri, lucu sekali, lucu
namun mengerikan seperti kalau orang berada di dalam rumah sakit gila!
Mereka itu
mengurung Maya sambil berloncat-loncatan, menari-nari dan berlari-lari
memutarinya, mengeluarkan suara aneh, akan tetapi ada sebagian kata-kata bahasa
Khitan yang dapat ia tangkap. “Kejar...! Tangkap...!”
Mereka
tertawa-tawa dan ada yang menuding-nuding ke arah Maya sambil mengitari gadis
cilik ini. Maya menjadi bingung sekali, tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Pada saat itu, anak-anak kecil yang berada di luar lingkaran juga
bersorak-sorak dan kembali Maya mendengar suara, “Kejar dan tangkap!”
Malah ada beberapa
orang kakek dan nenek aneh yang berlarian mendatangi seperti anak-anak kecil,
tertawa-tawa gembira. “Ikut... Ikut...!”
Mereka ini
juga ikut mengelilinginya dan bersorak-sorak. “Kejar! Tangkap!”
Akhirnya,
dari gerak-gerik mereka dan dari beberapa kata-kata bahasa Khitan itu,
mengertilah Maya bahwa dia diajak main ‘kucing-tikus’, yaitu dia menjadi
kucingnya dan harus menangkap seorang di antara mereka. Kalau ada yang
tertangkap, maka yang tertangkap itulah yang akan menggantikan kedudukannya
menjadi kucing.
Permainan
anak kecil! Biar pun ia merasa heran sekali mengapa kakek-kakek dan
nenek-nenek, paman-paman dan bibi-bibi setua itu masih suka bermain seperti
ini, namun dia segera berusaha menangkap seorang di antara mereka, seorang
wanita terdekat. Ia menubruk dengan menggunakan ginkang-nya.
“Wusss!”
Luput! Maya
hampir tidak dapat percaya. Wanita itu memiliki gerakan yang luar biasa cepat
dan ringannya sehingga biar pun dalam jarak begitu dekat, dia tidak berhasil
menangkapnya karena wanita itu telah meloncat ke kiri dan sambil tertawa-tawa
terus berlari mengelilinginya seperti yang lain! Aihh, sungguh tidak kira di
antara rombongan orang gila ini ada yang memiliki kelincahan begitu hebat!
Ia lalu
menubruk ke arah seorang laki-laki gundul, akan tetapi kembali ia terkejut
karena laki-laki ini pun dengan gerakan secepat kilat telah dapat meloncat dan
mengelak! Maya menjadi penasaran dan dicobanya semua orang yang mengelilingi,
namun sampai nenek-nenek pun memiliki gerakan yang bukan main cepatnya sehingga
dia kagum dan terheran-heran! Kiranya dia berada di antara gerombolan orang
gila yang memiliki ginkang istimewa!
Karena
disoraki dan ditertawai, timbul kemarahan di hati Maya. Akan tetapi betapa pun
ia mencoba menangkap, tangannya selalu menangkap angin. Celaka, pikirnya, kalau
aku tidak dapat menangkap, apakah selamanya dia akan menjadi kucing kelaparan?
Timbullah akalnya. Dia melihat bahwa orang-orang tua ini berwatak seperti anak
kecil, dan agaknya kecerdikannya pun tidak akan lebih dari pada seorang
anak-anak biasa, anak-anak yang lebih kecil dari padanya karena dia sendiri
sudah tidak suka akan permainan seperti itu, yang pantasnya dimainkan anak-anak
berusia enam tujuh tahun!
“Lihat ular
besar...!” Tiba-tiba Maya berteriak dalam bahasa Khitan sambil menudingkan
telunjuknya ke arah pohon di depan. Semua orang kaget dan menoleh. Pada saat
itulah Maya lalu menubruk wanita yang buah dadanya panjang di dekatnya sambil
tertawa, memegangi lengannya dan berkata, “Tangkap...!”
Orang-orang
itu terbelalak heran, kemudian tertawa-tawa dan wanita itu memeluk Maya, juga
orang-orang itu memeluk dan menepuk-nepuk pundak Maya, memuji-muji dalam bahasa
Khitan campuran. Kini wanita itu yang menjadi kucing dan Maya harus menjadi
seorang di antara tikus-tikus yang dikejar. Maya berlari mengitari wanita itu
seperti yang lain. Wanita itu lalu bergerak cepat, menubruk ke sana sini dan
gerakan mereka yang berkejaran itu sedemikian cepatnya sehingga pandang mata Maya
menjadi berkunang-kunang dan tahu-tahu lengannya telah ditangkap oleh wanita
itu yang tertawa-tawa.
“Tertangkap!
Tertangkap!” mereka berteriak-teriak dan mentertawakan Maya.
Celaka,
pikir Maya. Kalau permainan ini diteruskan, tentu dia yang akan selalu menjadi
kucing karena gerakannya jauh kalah cepat oleh orang-orang aneh ini. Maka dia
lalu mencari akal. Dia berdiri di tengah lingkaran dan mengangkat tangan kanan
ke atas, yang kiri bertolak pinggang, kemudian berkata nyaring. “Dengarlah
kalian! Aku adalah puteri Maya, puteri dari Raja Khitan!”
Akan tetapi
orang-orang itu hanya saling pandang dan menggerakkan pundak, bengong dan
lengang-lengong menggemaskan hati Maya. Seorang di antara mereka, wanita tua
yang memakai kalung dari kerikil-kerikil besar diuntai, menjawab, “Raja Khitan?
Kami tidak kenal. Namamu Maya?”
“Benar!”
jawab Maya kesal.
Orang-orang
itu sudah berlarian lagi mengitarinya sambil berteriak-teriak, “Kejar!
Tangkap!”
Maya merasa
mendongkol sekali dan kembali ia mengangkat tangan menyuruh mereka berhenti.
“Dengar. Aku mempunyai permainan yang lebih bagus dari ini.”
Orang-orang
itu memandangnya, ada yang melongo bodoh ada yang kecewa karena permainan
dihentikan. Akan tetapi, nenek yang agaknya menjadi pemimpin mereka dan yang
agaknya lebih ‘cerdik’ dari pada mereka atau lebih tepat tidak begitu goblok,
berkata, “Permainan apa?”
“Yang
jenderal berada di tengah dan....”
“Apa
jenderal?” semua bertanya, termasuk nenek-nenek berkalung.
“Jenderal...
ya jenderal! Goblok kamu!” Maya membentak dan orang-orang itu menyeringai,
tertawa-tawa dan agaknya bangga dan senang dikatakan goblok!
Melihat ini
Maya menjadi kasihan sendiri dan melanjutkan, “Yang jadi jenderal mengeluarkan
perintah yang harus cepat-cepat kalian turut. Siapa yang paling lambat menurut
perintah, dialah yang harus menggantikan aku jadi jenderal. Kalau aku bilang
tertawa kalian harus cepat tertawa, kalau bilang menangis kalian cepat
menangis. Mengerti?”
Ada di
antara mereka yang belum mengerti, sehingga ramailah mereka saling
bertanya-tanya. Akhirnya mereka tertawa-tawa dan bersorak tanda bahwa mereka
telah mengerti dan suka akan permainan baru itu. Melihat ini lega hati Maya dan
dia pun ikut pula merasa gembira, lupa akan kemengkalan dan kemuakan karena
orang-orang itu baunya... ledis dan apek sekali, tanda tak pernah mengenal air
rupanya!
“Nah,
bersiaplah!” kata Maya sambil bertolak pinggang. Tiba-tiba ia membentak.
“Berjongkok...!”
Semua orang
terperanjat, ada yang tertawa ada yang menangis, karena mengira bahwa Maya akan
memerintahkan itu. Kemudian berturut-turut mereka menjatuhkan diri berjongkok
sampai ada yang terjengkang dan terbukalah penutup tubuh mereka. Maya tertawa
terpingkal-pingkal dan dalam keadaan kacau-balau itu sukar dilihat siapa yang
paling terlambat melakukan perintah. Mereka juga tertawa-tawa gembira sekali.
“Wah, tidak
beres!” kata Maya. “Kalian jangan tergesa-gesa, harus mendengarkan perintahku
baik-baik, baru berlomba mentaati perintah. Yang paling lambat menjadi
jenderal. Mengerti?” Mereka semua mengangguk sambil terkekeh-kekeh.
“Awas, ya
sekarang?” Maya bertolak pinggang lagi, kemudian tiba-tiba ia membentak,
sengaja menghentikan perintahnya atau menahannya di tengah-tengah. “Ber....”
Baru saja
bilang “ber...” semua orang sudah terpelanting karena berlomba untuk
berjongkok.
“...lari...!”
Maya melanjutkan perintahnya.
Tentu saja
orang-orang yang tadinya berlomba jongkok itu kini menjadi kacau-balau,
meloncat dan lari saling bertubrukan sambil tertawa-tawa. Maya sendiri
terpingkal-pingkal menyaksikan tingkah-polah mereka itu.
Maya
mengajarkan bermacam permainan kanak-kanak kepada mereka sehingga orang-orang
itu menjadi amat girang dan menganggap Maya sebagai anggota keluarga mereka
sendiri. Mereka bermain-main di tempat itu sampai malam tiba, kemudian mereka
itu mengajak Maya untuk pulang.
“Pulang?
Pulang ke mana?” Maya bertanya.
Wanita tua
berkalung menggandeng tangannya, “Mari, ikutlah. Kita pulang dan makan!”
Setelah
berkata demikian, nenek ini lalu menggerakkan kedua kakinya berlari, diikuti
oleh semua anak buahnya.
Maya hampir
menjerit saking kagetnya ketika tubuhnya seperti dibawa terbang saja. Luar
biasa sekali cepatnya lari mereka itu. Mereka membawanya ke lereng sebuah bukit
yang berbatu-batu, kemudian mereka memasuki goa yang amat dalam, merupakan
terowongan batu. Kiranya di sebelah dalam amat luas dan orang-orang aneh ini
tinggal di dalam perut gunung!
Jumlah
mereka ada tiga puluh orang lebih dan pemimpinnya adalah nenek itulah.
Sederhana sekali kehidupan mereka, namun mereka itu setiap saat selalu
bergembira dan bermain-main. Ketika tiba di depan goa, serombongan anjing
serigala menyambut dengan liar dan menggonggong berisik. Tadinya Maya sudah
siap-siap untuk menjaga diri karena gerombolan binatang itu bukanlah
anjing-anjing jinak, melainkan serigala-serigala yang liar dan buas. Akan
tetapi, sekali saja nenek itu mengeluarkan suara menggereng dan menyalak
seperti anjing, gerombolan serigala itu mendekam ketakutan, kemudian seorang
anak-anak berusia sepuluh tahun menggiring mereka dengan cambuk ranting pohon.
Gerombolan serigala itu pergi dengan patuhnya, seperti sekumpulan anjing yang
terlatih baik!
Di dalam
ruangan yang luas di perut gunung itu. Maya diajak makan minum oleh mereka.
Yang mereka makan adalah buah-buahan dan daging dipanggang begitu saja, entah
daging apa, akan tetapi rasanya enak. Minumnya air biasa. Karena perutnya amat
lapar dan tubuhnya lelah, Maya makan dengan lahap dan nikmatnya sehingga
perutnya menjadi penuh dan dia tertidur di tempat makan itu.
Demikianlah,
puteri Raja Khitan yang biasanya hidup penuh kemuliaan dan kemewahan itu kini
diterima menjadi anggota keluarga atau teman segerombolan manusia liar yang
belum mengenal peradaban! Mereka merupakan sekumpulan anak-anak yang sudah tua,
karena hanya tubuhnya saja yang sudah dewasa dan tua, namun watak dan jalan
pikiran mereka masih seperti kanak-kanak di bawah sepuluh tahun! Maya terpaksa
tinggal bersama mereka karena di tempat itulah yang ia anggap paling aman,
karena dia masih khawatir kalau-kalau dua orang manusia iblis India itu masih
mencarinya,
Selama
beberapa hari tinggal dan bermain-main dengan mereka, Maya memperhatikan mereka
itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu rata-rata, dari yang kecil sampai
yang tua sekali memiliki keringanan tubuh dan kecepatan gerak yang amat luar
biasa, tidak lumrah manusia biasa. Akan tetapi, biar pun tenaga mereka
kuat-kuat berkat cara hidup yang liar itu, namun mereka tidak pandai ilmu
silat!
Dia
benar-benar merasa heran sekali. Pada suatu pagi, ketika anak-anak berloncatan
mengambil buah-buah yang tergantung tinggi di pohon dengan cara meloncat dan
menyambar buah-buah itu dengan tangan, ia bertanya kepada seorang anak-anak,
anak perempuan yang sebaya dengannya.
“Dari mana
kalian mempelajari gerakan yang demikian ringan dan cepat?”
Mula-mula
anak perempuan itu tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Maya, akan tetapi
ketika Maya mengajaknya meloncat-loncat dan ternyata loncatan Maya jauh kalah
tinggi, anak perempuan itu kelihatan takut-takut. Maya mendesak dan anak itu
menoleh ke kanan kiri, kemudian menggandeng tangan Maya dan ditariknya Maya
lari pergi dari dalam perut gunung.
“Eh-eh,
perlahan dulu... wah, bisa jatuh aku...!” Maya terengah-engah karena temannya
itu berlari cepat sekali melalui terowongan yang amat curam, tebing yang berada
di punggung goa itu dan yang agaknya tidak bisa didatangi manusia kecuali dari
jalan terowongan dalam tubuh gunung itu.
“Makan itu!”
Anak itu berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebatang pohon yang
tumbuh di lereng tebing yang curam tadi. Setelah berkata demikian, anak itu
lari meninggalkan Maya sambil berkata, “Aku takut! Takut!” dan sebentar saja
dia sudah lenyap, lari pergi melalui terowongan tadi, agaknya hendak kembali.
Jantung Maya
berdebar tegang. Takut apakah? Apa ada bahaya di situ? Ia memandang dan
ternyata sunyi saja di situ, sunyi yang aneh sekali karena agaknya tidak terdapat
mahluk hidup di tebing itu. Bahkan tidak tampak burung terbang seekor pun.
Tempat apakah ini? Ia memandang ke arah pohon yang ditunjuk oleh anak tadi.
Pohon apakah itu? Daunnya lebat hijau kebiruan, batangnya tinggi sekali seperti
pohon raksasa. Disuruh makan itu? Apa maksudnya anak tadi? Apanya yang dimakan?
Maya
termenung dan memutar otaknya, berusaha menyelami kata-kata dan pikiran anak
yang ia tahu amat sederhana jalan pikirannya itu. Tadi ia bertanya tentang
ginkang mereka, kemudian anak itu kelihatan takut-takut, menoleh ke sana-sini.
Hal ini tentu berarti bahwa anak itu takut untuk bicara tentang ginkang mereka,
atau mungkin sekali bahwa kepandaian mereka yang khas itu merupakan rahasia
mereka. Agaknya mereka mengerti bahwa keringanan tubuh dan kecepatan gerakan
mereka itu amat berguna dan penting bagi mereka, untuk mengejar binatang
buruan, atau untuk melarikan diri dari bahaya.
Kemudian
anak itu mengajaknya ke tempat aneh ini yang belum pernah ia kunjungi, menunjuk
ke arah pohon dan menyuruh dia makan itu lalu melarikan diri karena takut!
Hemm, kiranya tidak salah lagi. Gerakan ginkang mereka tidak mengandung dasar
ilmu silat, melainkan keringanan tubuh sewajarnya yang timbul dalam tubuh
mereka. Tentu pohon itulah yang menjadi rahasianya. Makan apanya? Tentu buahnya
ataukah daunnya? Dan anak itu lari ketakutan karena mungkin pohon itu merupakan
rahasia besar keluarganya. Karena telah membawa Maya ke situ, tentu saja dia
takut kalau mendapat hukuman.
Maya mulai
mempelajari keadaan tebing. Pohon itu jauh di bawah, sedikitnya ada lima ratus
kaki jauhnya dari pinggir tebing. Dia mencari-cari jalan turun, akan tetapi
tidak ada sama sekali. Kalau dia hendak pergi ke pohon itu, dia harus merayap
turun! Padahal tebing itu curam bukan main, dasarnya tidak tampak, jauh di
bawah pohon itu. Dindingnya curam dan licin, rata, hanya ada lubang-lubang di
permukaan batu yang menjadi dinding tebing, mana mungkin memanjat turun? Sekali
terpeleset dan terpelanting ke bawah, sama halnya jatuh dari langit!
Maya bergidik
ngeri. Betapa mengerikan! Mengerikan? Masa menghadapi yang begini saja
mengerikan? Setelah semua yang pernah ia alami, dipaksa mengikuti gerombolan
manusia iblis yang dipimpin Bhutan, menyaksikan perkosaan dan pembunuhan sambil
menghadapi bahaya maut berkali-kali, setelah terkubur di bawah tumpukan
mayat-mayat manusia, mandi darah mereka, setelah ia terancam maut secara
mengerikan dalam tangan sepasang manusia iblis dari India, apa artinya menuruni
tebing macam itu? Tidak seberapa!
Kenangan
akan segala bahaya yang pernah ia alami, semua kengerian yang telah
dihadapinya, hati Maya mengeras dan ketika ia kembali memandang ke bawah
tebing, dia tidak merasa ngeri lagi! Keberaniannya timbul kembali, semangatnya
bangkit. Kalau benar pohon itu mendatangkan ginkang sehebat yang dimiliki
orang-orang itu, dia harus mendatanginya. Bahaya terpeleset yang dihadapinya
akan sepadan dengan pahala yang akan diperolehnya kalau dia berhasil! Soalnya
hanya mati atau hidup! Dan mati atau hidup bukan dia yang menentukan! Asal dia
berhati-hati, kalau sampai gagal dan mati pun tidak akan penasaran lagi!
Dengan
hati-hati sekali mulailah Maya menuruni tebing itu. Ia merayap seperti seekor
kera, sedikit demi sedikit turun ke bawah. Kakinya meraba-raba mencari injakan,
disusul tangannya yang mencari pegangan. Memang sukar dan amat berbahaya. Di
sana-sini terdapat akar-akar atau batu menonjol yang dapat dipergunakan sebagai
injakan kaki dan pegangan tangan, akan tetapi ia harus berhati-hati dan menguji
lebih dulu kekuatan akar atau batu itu sebelum dipergunakan untuk menahan
tubuhnya. Sekali akar putus atau terlepas, dia akan melayang ke bawah, hancur
lebur di dasar yang tak tampak dari situ saking dalamnya! Begitu hati-hati dan
lambat Maya merangkak menuruni tebing itu sehingga jarak yang hanya lima ratus
kaki itu ditempuhnya dalam waktu lebih dari dua jam!
Akan tetapi
akhirnya ia dapat sampai juga ke pohon besar dengan napas terengah-engah dan
tubuh penuh keringat. Kaki tangannya menggigil gemetar saking lelahnya. Namun
wajahnya berseri-seri ketika memandang ke atas pohon karena tampak olehnya
buah-buah berbentuk bulat lonjong yang berwarna merah!
Setelah
mengatur napasnya dan kaki tangannya tidak gemetaran lagi, Maya lalu memanjat
pohon itu. Jantungnya berdebar ketika tangannya meraba buah-buah merah.
Dipetiknya lima butir buah yang paling besar dan paling merah, lalu ia membawa
buah-buah itu turun ke bawah pohon. Tanah di bawah pohon itu terjepit batu-batu
dan luasnya ada tiga empat meter sehingga tempat ini merupakan tempat yang
paling aman.
Tanpa
mempedulikan lagi akibatnya, dia lalu mulai makan sebutir buah. Bukankah anak
perempuan itu mengatakan “makan itu”? Rasa buah itu manis-manis masam dan
mengandung rasa keras seperti arak. Akan tetapi amat lezat bagi Maya yang sudah
haus dan lapar itu, apa lagi disertai harapan bahwa buah ini mengandung khasiat
yang luar biasa untuk meningkatkan ginkangnya. Habislah lima butir buah itu dan
Maya merasa kenyang sekali.
Tiba-tiba ia
mengerutkan alisnya, menekan-nekan perutnya karena perutnya terasa mulas
sekali, makin lama makin hebat, melilit-lilit seperti diremas-remas. Maya
merintih-rintih ketika perutnya mengeluarkan bunyi. Tak tertahan lagi rasa
nyeri perutnya. Cepat Maya menggunakan kedua lengannya yang gemetar untuk
membukai pakaiannya. Sambil merintih-rintih dan setengah sadar, dia menguras
perutnya sampai tubuhnya terasa lemas dan habis kekuatannya.
Setelah isi
perutnya terkuras ke luar semua, agak reda rasa nyeri di perutnya, akan tetapi
kini tulang-tulang di tubuhnya mulai terasa nyeri dan kuku-kuku jari,
sambungan-sambungan tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Sakitnya bukan
main dan akhirnya, dalam keadaan setengah telanjang. Maya roboh pingsan di
bawah pohon!
Dia tidak
tahu berapa lamanya ia pingsan. Ketika sadar, ia segera mencuci tubuh dan
pakaiannya yang kotor dengan air yang mengucur ke luar dari celah-celah batu
dekat pohon. Tubuhnya terasa sehat akan tetapi lemas sekali, dan perutnya
berbunyi terus minta diisi, lapar bukan main. Setelah tubuh dan pakaiannya
tercuci bersih, Maya kembali memanjat pohon.
Dia berlaku
nekat. Kalau buah pohon itu benar-benar mempunyai khasiat dan mendatangkan
keuntungan bagi dirinya, syukurlah. Kalau sebaliknya akan meracuni tubuhnya,
biarlah! Apa pun akibatnya dia harus makan buah pohon itu karena di situ tidak
ada benda lain yang boleh dimakan, sedangkan perutnya amat lapar, tenaganya
habis sehingga tanpa dipulihkan tenaganya, tidak mungkin ia kembali memanjat ke
atas. Baru turunnya saja sudah begitu sukar, apa lagi kakinya dan tubuhnya
begitu lemah pula.
Kenekatan
hati Maya ini ternyata amat menguntungkannya. Kalau dia jeri setelah menderita
hebat akibat makan buah itu sehingga tidak berani makan lagi, tentu dia akan
kehabisan tenaga di tempat itu dan tidak dapat naik lagi. Setelah kini ia makan
buah itu lagi dengan hati-hati, hanya menghabiskan sebutir, perutnya kenyang
dan tubuhnya terasa enak sekali, nyaman dan ringan, ringan! Ia mencoba
berloncatan. Benar-benar ringan! Bukan main! Dia dapat meloncat dua kali lebih
tinggi dari pada biasa!
Bukan main
girangnya hati Maya. Selama tiga malam dia berada di bawah pohon itu, setiap
hari hanya makan buah merah dan minum air pancuran. Pada hari ke empat, ia
mulai merasa khawatir. Betapa pun bodoh orang-orang itu, kalau akhirnya mereka
melihatnya di pohon yang mereka rahasiakan, dia bisa celaka. Dia harus naik dan
kembali kepada mereka. Maya mengambil lima butir buah merah, mengantunginya dan
kemudian mencoba untuk memanjat naik. Hampir ia berteriak saking girangnya
karena sekarang pekerjaan ini dapat ia lakukan dengan amat mudahnya!
Bahkan ia
dapat setengah berlari memanjat naik, berpegang kepada lubang-lubang dan
akar-akar di permukaan dinding tebing. Hal ini adalah karena beberapa sebab.
Pertama memang khasiat buah-buah yang dimakannya selama tiga hari itu membuat
gerakannya ringan dan gesit, dan kedua, kakinya di dalam pendakian, naik lebih
mudah dari pada turun. Kalau turun, selain harus melihat ke bawah yang
menimbulkan rasa ngeri, juga yang mencari jalan adalah kaki, maka tentu saja
amat sukar. Sebaliknya, kalau naik, mata kita mudah saja mencari pegangan batu
dan kita tidak terganggu oleh pemandangan yang mengerikan di bawah.
Kini dalam
waktu beberapa menit saja Maya telah tiba di atas! Ia membalik dan
tersenyum-senyum memandang pohon yang tumbuh jauh di bawah itu. Ingin ia
menari-nari saking girangnya, akan tetapi begitu teringat kepada orang-orang
aneh yang berada di dalam perut bukit, lenyap kegembiraannya, terganti
kekhawatiran. Bagaimana sikap mereka nanti kalau melihat dia kembali setelah
menghilang selama tiga hari?
Maya
memasuki terowongan dan berlari cepat sekali. Setelah tiba di ruangan luas
dalam bukit, di situ sunyi sekali, tidak tampak seorang pun. Tentu mereka
sedang bermain-main di luar, pikirnya. Karena perutnya lapar sekali, makan buah
merah terus-menerus selama tiga hari tidak dapat mengenyangkan perutnya lagi,
maka dia lalu menyerbu sisa makanan yang berada di ruangan itu, daging panggang
yang masih hangat dan buah-buahan lain yang mengenyangkan perut. Setelah
kenyang, barulah ia berlari melalui terowongan yang menuju ke luar.
Benar saja
seperti dugaannya, tiga puluh lima orang itu semua berkumpul di depan goa dan
bermain-main, bahkan kini rombongan serigala yang dua puluh ekor lebih
jumlahnya ikut pula bermain-main di situ, ‘dipimpin’ oleh seorang anak
laki-laki yang memegang ranting pohon. Masih heran hati Maya menyaksikan betapa
binatang-binatang serigala yang buas dan yang di dunia ramai merupakan binatang
paling sukar dijinakkan kini lebih jinak dari pada anjing-anjing pilihan di
bawah ancaman sebatang ranting di tangan seorang kanak-kanak!
Akan tetapi
ia terkejut bukan main, memandang terbelalak dan menahan napas ketika ia
memandang ke arah orang-orang tua yang berkumpul di sebelah kanan. Di antara
mereka itu ada yang sedang menari-nari berjingkrakan seperti biasa, akan tetapi
ada pula yang sibuk menyayat-nyayat daging dan memanggang daging itu. Kalau
yang disayat-sayat dagingnya itu bangkai seekor binatang buruan, tentu Maya
tidak akan melongo. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa yang disayat-sayat
dan diambil dagingnya yang dipanggang itu adalah... mayat manusia! Dan tak jauh
dari situ tampak seekor kuda yang dicancang. Celaka! Mereka agaknya membunuh
manusia dan kini memanggang dagingnya! Maya bergidik dan perutnya terasa mual
hendak muntah. Cepat ia berlari ke arah mereka dan bertanya kepada nenek
pemimpin mereka.
“Apa ini?
Mengapa kalian membunuh orang?”
Nenek itu
memandang kepadanya, berteriak girang. “Heeiii, Maya telah kembali!”
Semua orang
bersorak-sorak girang dan menari-nari mengelilingi Maya, akan tetapi gadis
cilik ini membanting kaki dan membentak.
“Kenapa
kalian membunuh orang ini?” Dia menuding ke arah mayat yang sudah tak karuan
macamnya karena daging pada lengan, dada, pinggul, paha dan betis telah diambil
dan dipanggang!
“Dia
membunuh, kami pun membunuh. Sama!” Nenek itu menerangkan sambil menunjuk ke
arah bangkai seekor serigala. Mengertilah kini Maya. Kiranya orang asing yang
datang menunggang kuda ini telah membunuh seekor di antara serigala-serigala
peliharaan mereka, maka orang-orang aneh itu lalu mengeroyok dan membunuhnya,
bahkan mulai memanggang dagingnya!
“Wah, tidak
boleh! Tidak boleh makan dagingnya...!”
Tiba-tiba
sebutir buah merah meloncat ke luar dari kantungnya ketika ia membanting kaki.
Buah itu menggelinding ke dekat kaki nenek pemimpin yang seketika berteriak
kaget, mengambil buah itu, mengangkatnya tinggi-tinggi dan ia menjerit-jerit
penuh kemarahan, jeritan yang tidak dimengerti artinya oleh Maya.
Semua orang
lari berdatangan, cepat sekali dan makin ramailah mereka berteriak-teriak,
bahkan ada yang seperti menangis sehingga Maya menjadi bingung sekali.
Tiba-tiba nenek itu mengeluarkan suara menggereng dan menggonggong yang aneh
sekali. Dan segerombolan serigala itu membalas dengan gonggongan meraung-raung,
kemudian lari mendatangi. Nenek itu menuding ke arah Maya dan...
serigala-serigala itu langsung saja menyerang Maya!
Maya
terkejut, cepat melompat menghindar. Orang-orang itu sejenak memandangnya,
kemudian berserabutan mereka lari memasuki goa, meninggalkan Maya yang diserbu
oleh gerombolan serigala buas. Agaknya semua orang itu berlomba memasuki goa
dan sikap mereka cemas dan marah. Maya yang kembali diserbu serigala-serigala
buas itu cepat menendang seekor serigala terdepan, kemudian ia membalikkan
tubuh dan lari.
Sambil
menyalak-nyalak, dua puluh ekor serigala mengejarnya. Maya teringat akan kuda
yang berada tak jauh dari situ, maka cepat ia lari menghampiri, meloncat ke
punggung kuda, merenggut kendali yang dicancang, lalu membalapkan kuda itu.
Akan tetapi rombongan serigala itu tetap mengejar dengan kecepatan luar biasa.
Kuda meringkik-ringkik ketakutan, berusaha lari cepat, akan tetapi sebentar
saja dapat disusul dan diserang kedua kaki belakangnya. Kuda terpekik dan
terguling.
Maya cepat
mendahului meloncat dan ia bergidik ngeri ketika melihat betapa gerombolan
serigala itu kini menerkam tubuh kuda seperti serombongan semut mengeroyok
seekor jangkerik. Memperoleh kesempatan selagi gerombolan serigala itu berpesta
memperebutkan bangkai kuda, Maya lalu lari lagi, bukan lari menjauh melainkan,
kembali ke bukit karena lari ke depan yang merupakan padang rumput amatlah
berbahaya, tidak ada tempat sembunyi.
Ia berlari
cepat, akan tetapi tiba-tiba dari samping bukit muncul serombongan serigala
lain, dan dari belakang pun serigala-serigala yang tadi sudah mengejar lagi.
Celaka, pikirnya. Mengapa aku begini bodoh? Kalau tadi meloncat ke atas pohon,
tentu selamat. Kini ia telah terjepit dari depan dan belakang, tidak ada pohon
di situ, yang ada hanyalah batu-batu karang bertumpuk-tumpuk. Tiba-tiba ia
melihat celah-celah di antara batu karang yang merupakan sebuah goa kecil.
Hanya itulah tempat ia dapat sembunyi, maka tanpa berpikir panjang lagi Maya
lalu berlutut dan merangkak hendak memasuki goa yang amat kecil.
“Brett!”
Ujung bajunya robek digigit seekor serigala dari belakang!
“Wekkk!”
Celana di lutut kanan juga robek.
“Setan!!”
Maya menjadi marah. Segera ia membalikkan tubuh, menendang serigala yang
menggigit celananya sehingga binatang itu terlempar, kemudian tangannya yang
sudah menyambar batu itu bergerak.
“Prakk!
Kainggg... kainggg...!” Serigala kedua memekik-mekik dan berkelojotan dengan
kepala hampir remuk.
Segera dia
diserbu kawan-kawannya sendiri yang haus darah itu. Kesempatan ini dipergunakan
oleh Maya untuk menyusupkan tubuhnya ke dalam goa kecil, kemudian tumit kakinya
menendang-nendang batu yang menonjol di atas sehingga batu akhirnya terlepas
dan jatuh menutup goa kecil!
Maya terus
merangkak maju, makin lama makin gelap dan sempit, akan tetapi ia tidak mau
berhenti. Siapa tahu serigala-serigala itu dapat membuka penutup goa dan tentu
saja mereka dapat merangkak lebih cepat. Kalau sampai dia tersusul di tempat
sempit ini, apa yang dapat ia lakukan? Membalikkan tubuh tidak bisa, bagaimana
mungkin melawan binatang-binatang itu dengan dua tumit kaki? Tentu kakinya akan
habis digerogoti, lalu sepasang daging pinggulnya! Bulu tengkuknya meremang dan
ia bergidik membayangkan semua itu.
Akan tetapi
tidak ada serigala yang mengejarnya. Maya tidak tahu bahwa sebangsa serigala
paling takut memasuki lubang yang tidak dikenalnya, hanya menyalak-nyalak dari
luar menantang dan memancing penghuni lubang untuk keluar. Mungkin binatang ini
takut kalau-kalau ada bahaya, misalnya serangan ular yang akan menyambut mereka
di dalam lubang yang gelap.
Akhirnya
terowongan kecil itu membawa Maya ke dalam terowongan besar yang menuju ke
ruangan tempat tinggal orang-orang aneh. Akan tetapi keadaan di situ sunyi
sekali. Maya terheran-heran dan cepat ia berdiri melalui terowongan itu ke
dalam ruangan besar. Tak seorang pun nampak di situ. Ke manakah mereka?
Tiba-tiba Maya mendapat pikiran bahwa mungkin sekali mereka itu beramai-ramai
menuju ke pohon rahasia mereka untuk melihat bagaimana keadaan pohon itu
setelah diketemukan Maya.
Karena di
luar menanti bahaya berupa anjing-anjing serigala, Maya lalu mengambil
keputusan untuk menyusul orang-orang itu. Setelah mereka melihat bahwa dia
tidak mengganggu pohon, tentu mereka tidak akan marah lagi, pikirnya. Dia tidak
suka kepada mereka, apa lagi setelah melihat mereka membunuh dan makan daging
manusia. Akan tetapi pada saat itu, tidak ada jalan lain kecuali berbaik dengan
mereka dan kelak mencari kesempatan untuk meninggalkan mereka.
Maya
mendengar sorak-sorai mereka, maka ia mempercepat larinya dan akhirnya ia tiba
di tebing yang curam. Tak tampak seorang pun di situ, akan tetapi suara mereka
datang dari bawah tebing! Ia terheran-heran dan cepat menghamplrl tebing dan
memandang ke bawah. Kiranya tiga puluh lima orang itu semua berada di sana, di
pohon itu! Dan hebatnya, besar kecil tua muda semua memanjat pohon dan
beramai-ramai mengambil buah sambil bersorak-sorak!
“Kraaaakkkk...!”
Seketika
wajah Maya menjadi pucat. “Celaka!” serunya ketika melihat dari atas betapa
pohon itu tumbang berikut akar-akarnya, kemudian melayang kebawah membawa tiga
puluh lima orang yang masih bersorak-sorak, agaknya tidak sadar bahwa maut
mengerikan menanti mereka jauh di bawah, di dasar yang tidak tampak!
Maya
memandang dengan wajah pucat sampai pohon yang melayang-layang turun itu tidak
kelihatan lagi. Ia memejamkan matanya, napasnya memburu. Pemandangan tadi
terlampau hebat, terlalu mengerikan. Kemudian ia termenung di pinggir tebing
dan mengenangkan semua peristiwa itu. Dia kini mengerti bahwa agaknya, setelah
pohon yang mempunyai khasiat luar biasa itu dia ketahui, orang-orang itu merasa
khawatir kalau-kalau ia akan ‘menghabiskan’ buah itu! Betapa bodohnya! Karena
kekhawatiran itulah agaknya maka mereka semua, tanpa kecuali, lalu mendatangi
pohon untuk mengambil semua buahnya, baik yang merah mau pun yang masih hijau,
yang besar mau pun yang masih pentil.
Karena tidak
kuat menahan tubuh tiga puluh orang yang semua memanjat dan mengenjot-ngenjot
dahan sambil bersorak-sorak, akhirnya pohon itu tumbang, jebol berikut
akar-akarnya yang tidak dapat mencengkeram tanah terlalu kuat karena terhalang
batu-batu karang! Maka habislah riwayat orang-orang aneh itu, dan habis pula
riwayat pohon yang mempunyai khasiat begitu luar biasa. Teringat ini, Maya
meraba kantungnya. Ia merasa menyesal sekali bahwa dari lima butir buah yang
dibawanya, kini tinggal sebutir lagi, yang empat entah lenyap di mana. Tentu
terjatuh ketika dia dikejar-kejar gerombolan serigala...
Berpikir
demikian teringatlah ia akan serigala-serigala yang masih menantinya di luar!
Akan tetapi dia harus keluar! Dia tidak sudi lagi tinggal lebih lama di dalam
perut bukit ini, apa lagi setelah sekarang penghuninya mati semua. Dia harus
pergi meninggalkan daerah yang menyeramkan itu. Sudah lama dia berada di situ,
tentu sepasang iblis India itu tidak lagi mencarinya, sudah melupakannya. Akan
tetapi bagaimana ia harus melewati gerombolan serigala yang menanti di luar
goa?
Maya adalah
seorang anak yang pada dasarnya amat cerdik dan memiliki keberanian luar biasa.
Apa lagi semenjak keluar dari kota raja Khitan ia berkali-kali menghadapi maut
dan mengalami hal-hal yang amat menderita, keberaniannya makin menebal, dan
tidak mudah dia berputus asa menghadapi rintangan apa pun juga. Setelah
memikir-mikir, ia mendapatkan akal. Selama tinggal di situ, ia teringat bahwa
serigala-serigala itu paling takut berdekatan dengan api. Hemm, inilah,
pikirnya. Aku harus minta bantuan api! Mulailah dia mengumpulkan kulit-kulit
binatang yang kering, dipasang pada ujung sebuah tongkat dahan pohon, diikatnya
kuat-kuat, kemudian ia membuat api dan membakar ujung tongkat yang sudah
dibelit-belit kulit itu sampai bernyala.
Dengan
tongkat berapi inilah Maya lalu berlari ke luar, menjaga jangan sampai apinya
padam. Kulit binatang itu mengandung lemak kering, maka tentu saja nyala apinya
dapat bertahan lama. Ketika ia tiba di pintu goa depan, sudah terdengarlah
gerengan-gerengan serigala. Namun Maya tidak menjadi gentar. Ia terus melangkah
ke luar dan begitu serigala-serigala itu lari menyerbu, ia memutar-mutar
tongkatnya yang ujungnya bernyala. Tepat seperti yang diharapkan dan diduganya.
Serigala-serigala itu melengking-lengking ketakutan melihat api dan dengan
memutar-mutar tongkat yang baginya menjadi tongkat wasiat keramat ini, dengan
enak saja Maya meninggalkan tempat itu.
Rombongan
serigala hanya dapat mengikutinya dari jauh sambil melolong-lolong kecewa,
akhirnya mereka pun berhenti mengejar. Maya lalu melarikan diri secepatnya
menuju ke selatan setelah membuang tongkatnya karena apinya pun sudah padam.
Lega hatinya dan kini ia dapat mencurahkan perhatiannya kepada kemajuan
ginkang-nya. Ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga dan berlari secepat mungkin.
Tubuhnya
melesat seperti sebatang anak panah dan Maya kembali mencela kebodohan dirinya
sendiri. Setelah ia memiliki kecepatan seperti itu, perlu apa dia melarikan
diri menunggang kuda dan perlu apa dia minta bantuan api? Kalau dia lari
seperti sekarang ini, gerombolan serigala buas itu pasti takkan mampu
menyusulnya! Dengan dada lapang Maya berlari, rambutnya berkibar-kibar,
wajahnya berseri, larinya cepat sekali seperti seekor kijang muda.
Karena di
utara bangsa Yucen terdesak oleh bangsa Nomad lain, yaitu terutama sekali bangsa
Mongol yang dibantu bangsa-bangsa Naiman dan Kerait, maka suku bangsa Yucen
yang makin kuat kedudukannya itu terus mendesak ke selatan. Bangsa Yucen ini
asal mulanya adalah sebuah suku bangsa yang tinggal di sebelah utara Shan-si
dan pernah ditundukkan oleh bangsa Khitan. Akan tetapi kini bangsa Yucen
menjadi kuat sekali sehingga setelah memenangkan perang terhadap Khitan, mereka
mendirikan kerajaan yang mereka sebut Kerajaan Wangsa Cin!
Dengan
terjalinnya persahabatan dan persekutuan antara kerajaan baru Cin dan Kerajaan
Sung yang terus terdesak makin ke selatan, maka untuk sementara bangsa Mongol
yang dibantu bangsa Naiman dan Kerait hanya memusatkan diri di utara, menguasai
daerah yang luas sekali, dari Danau Baikal sampai ke tapal batas Mongolia luar,
Siberia dan Mancuria!
Perang antar
suku-suku kecil masih terus terjadi, bukan lagi perang antara kerajaan yang
memperebutkan wilayah, melainkan antar suku-suku kecil yang memperebutkan tanah
subur. Karena itu perjalanan yang ditempuh Puteri Maya amatlah berbahaya dan
beberapa kali dia harus bersembunyi di atas pohon-pohon besar, dari mana dia
menyaksikan perang-perangan kecil sampai perang berakhir dan hutan itu penuh
mayat bergelimpangan. Kalau sudah selesai perang dan keadaan sunyi barulah Maya
berani turun dari pohon itu, dan ada kalanya dia harus bersembunyi di dalam goa
yang lembab dan dingin kotor sampai berhari-hari.
Pada suatu
senja, Maya yang kini dalam perjalanannya tanpa tujuan telah tiba di daerah
Pegunungan Gobi yang penuh dengan selingan padang pasir luas. Ia merasa bingung
ketika melihat dari sebuah lereng bukit ke arah padang pasir yang membentang
luas di kaki bukit. Entah berapa luasnya padang pasir itu karena tidak tampak
tepinya dan angin senja menggerak-gerakkan permukaan padang pasir sehingga
berombak seperti laut!
Ia merasa
takut dan bingung harus mengambil jalan mana. Kalau dia harus menyeberangi
padang pasir itu, dia tidak berani. Sudah banyak dongeng didengarnya dahulu
dari ayah bundanya akan bahaya padang pasir yang kadang-kadang mengamuk atau
diamuk badai dan sudah banyak manusia ditelan lenyap oleh padang pasir itu.
Bahkan pernah ia mendengar betapa orang-orang yang kehabisan air dan persediaan
makan yang kelaparan dan terutama sekali kehausan, tiba-tiba melihat air
melimpah-limpah akan tetapi apa bila didekati, air itu akan lenyap! Benar-benar
banyak siluman tinggal di tempat itu dan setiap saat siluman-siluman itu
mengganggu manusia!
Maka Maya
tidak berani ke selatan melalui padang pasir itu, melainkan membelok ke barat
melalui pegunungan yang biar pun amat sukar ditempuh, namun setidaknya sudah
dikenalnya. Sejak kecil ia sudah biasa berkeliaran di hutan-hutan dan
gunung-gunung, maka daerah seperti ini dikenalnya, tidak seperti padang pasir
yang gundul dan mengerikan itu.
Malam itu ia
bermalam di sebuah hutan di puncak bukit dan dari tempat yang tinggi ini
tampaklah olehnya di kaki bukit sebelah barat terdapat sinar-sinar api yang
berarti bahwa di sana tentulah terdapat tempat tinggal manusia. Maka hatinya
menjadi girang dan pada keesokan harinya berangkatlah ia ke barat. Siapa kira,
perjalanan menuruni bukit ini amat sukarnya, melalui jurang-jurang dan
anak-anak bukit sehingga sampai matahari naik tinggi belum juga ia sampai ke
tempat yang diduganya tentu sebuah dusun yang semalam tampak penerangannya dari
puncak bukit.
Ia menjadi
girang ketika melihat sebuah bangunan tak jauh di depan. Biar pun dia sudah
lelah sekali dan peluhnya membasahi muka dan leher, namun melihat bangunan itu,
Maya melupakan kelelahannya dan berjalan lagi menuruni lereng. Tentu di situlah
dusun yang dilihatnya semalam dari puncak. Akan tetapi betapa kecewa hatinya
ketika ia mendapat kenyataan bahwa kuil yang dahulunya tentu besar, akan tetapi
kini sudah rusak akibat perang lalu ditinggal terlantar. Sebagian atapnya sudah
runtuh, lantainya berlumut dan dindingnya menjamur. Biar pun demikian, lumayan
untuk tempat mengaso di terik panas membakar seperti itu.
Tiba-tiba
Maya cepat memasuki bangunan, menyelinap dan bersembunyi di bawah sebuah meja
batu bobrok yang depannya tertutup oleh hancuran bekas arca. Jantungnya
berdebar tegang karena hampir saja ia kurang cepat bersembunyi karena
berkelebatnya bayangan yang datang itu cepat bukan main. Ternyata mereka adalah
dua orang laki-laki, dan salah seorang berpakaian sebagai seorang perwira
bangsa Yucen.
Ada pun yang
seorang lagi adalah seorang Han yang usianya dua puluh lebih, berpakaian
seperti pembesar, seorang pemuda yang mempunyai sepasang mata aneh dan liar
gerakannya, akan tetapi yang bicaranya halus dan mukanya berbentuk lonjong menjulur
ke muka seperti muka kuda. Muka yang buruk dan tidak menyenangkan! Maya tidak
berani bergerak bahkan mengatur napasnya karena ia dapat menduga bahwa kedua
orang itu, terutama Si Pemuda muka kuda, tentu memiliki kepandaian tinggi.
Terdengar mereka berbisik-bisik.
“Benarkah
dia sedang mendatangi ke sini?”
“Tidak
salah,” jawab yang berpakaian perwira Yucen. “Seperti biasa, dia naik kuda
seorang diri. Sudah dua kali aku dan kawan-kawan dahulu menyergapnya, namun dia
lihai dan selalu berhasil lolos.”
“Akan tetapi
yakin benarkah engkau bahwa dia itulah kurir (utusan) yang menghubungkan
Panglima Khu dengan gurunya?” Pemuda muka kuda kembali bertanya, mendesak
menuntut keyakinan.
“Betul dia!
Memang dia pandai menyamar dan selalu dapat menghubungi Panglima Khu dengan
cara yang cerdik sehingga tidak pernah meninggalkan bekas, akan tetapi aku
yakin bahwa dialah orangnya.”
“Stt, itu
dia datang. Serahkan saja kepadaku. Akulah yang akan menangkapnya,” pemuda muka
kuda berbisik. Si Perwira Yucen mengangguk dan bersembunyi di belakang dinding,
sedangkan pemuda muka kuda dengan gerakan yang ringan seperti burung terbang
telah melesat ke atas atap yang masih ada, di atas dinding yang tidak berapa
tinggi dan menjulur ke jalan depan kuil.
Biar pun
Maya hanya dapat mengintai melalui lubang atau celah-celah kecil di antara
reruntuhan arca dan tidak dapat melihat jelas ke jalan, namun ia juga mendengar
datangnya seekor kuda dari derap kakinya yang makin lama makin nyata. Jantung
gadis cilik ini berdebar tegang. Ia maklum bahwa tentu akan terjadi sesuatu
yang hebat, sungguh pun ia sama sekali tidak tahu siapakah dua orang itu dan
siapa pula pendatang yang mereka anggap sebagai utusan yang menghubungkan
Panglima Khu dengan gurunya! Apakah artinya semua itu?
Setelah
derap kaki kuda dekat benar dan tiba di depan kuil, tiba-tiba terdengar suara
kuda meringkik keras dan terdengar suara hiruk-pikuk beradunya senjata, suara
orang bertanding.
Maya
menggunakan keringanan tubuhnya, menyelinap ke luar dan mencari tempat
persembunyian di sebelah luar, yaitu di belakang segerombolan pohon kembang dan
mengintai. Tampak olehnya seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian
sederhana dan bersikap gagah, agaknya tentu orang berkuda itu, sedang
bertanding melawan pemuda muka kuda. Laki-laki yang memakai topi lebar itu
gagah dan gerakannya lihai sekali, akan tetapi dengan heran Maya mendapat
kenyataan bahwa Si Pemuda muka kuda itu lebih hebat lagi sehingga laki-laki
bertopi lebar terdesak dan hanya menangkis sambil mundur-mundur, memutar
pedangnya yang selalu menangkis sebatang golok melengkung di tangan pemuda itu.
“Bukankah
engkau ini Siangkoan-sicu yang membantu di gedung Suma-kongcu? mengapa engkau
menyerangku?”
Namun pemuda
muka kuda itu tidak menjawab dan menyerang lebih hebat lagi sehingga laki-laki
bertopi lebar itu makin terdesak.
“Engkau...
engkau mengkhianati kerajaan...?” Laki-laki bertopi lebar berseru, mencoba
untuk menangkis golok yang menyambar kepalanya. Akan tetapi pada saat itu
tangan kanan pemuda bermuka kuda yang bertangan kosong karena goloknya dipegang
di tangan kiri, sudah memukul dengan telapak tangan ke depan.
“Blukk!
Aiihhhh...!” Laki-laki bertopi lebar itu terpukul dadanya dan muntahkan darah
segar, akan tetapi masih berusaha membacokkan pedangnya ke arah lawan. Si Muka
Kuda miringkan tubuh, goloknya menyambar ke depan dari samping.
“Crokk!”
terdengar jerit mengerikan karena lengan kanan laki-laki bertopi lebar itu
terbabat putus sebatas siku!
Maya
menyaksikan semua itu tanpa berkedip. Kalau hanya pemandangan seperti itu saja,
dahulu setiap hari dilihatnya ketika ia menjadi tawanan gerombolan Bhutan,
bahkan yang lebih dari itu pun sudah ia anggap biasa! Akan tetapi yang
mengherankan hati Maya, laki-laki bertopi lebar itu masih hidup, menggunakan lengan
kirinya mengeluarkan sebuah amplop dan hendak memasukkan amplop ke mulutnya.
“Crass!”
Kembali golok menyambar dan lengan kiri ini pun buntung sampai surat itu
melayang dan disambar oleh tangan kanan Si Muka Kuda.
Laki-laki
bertopi lebar itu mengeluh dan masih dapat mengeluarkan kata-kata terakhir
sambil terengah-engah, “Siangkoan Lee... bunuh aku tapi... jangan ganggu...
Khu-ciangkun...!”
Terpaksa
Maya membuang muka ketika melihat laki-laki bermuka kuda itu melangkah maju,
mengayun golok dan... memenggal leher laki-laki bertopi lebar. Ia menoleh ke
arah perwira Yucen yang sudah muncul sambil berkata, “Bawa kepalanya!”
Perwira
Yucen ini dengan muka berseri girang menyambar rambut kepala yang sudah
terpisah dari tubuhnya, kemudian memuji. “Sungguh hebat bukan main
kepandaianmu, Siangkoan-taihiap! Masih begini muda sudah memiliki kepandaian
yang luar biasa! Raja kami tentu akan senang sekali mendengar pembongkaran
rahasia Panglima Khu yang palsu ini!”
“Aku hanya
menjalankan tugas. Marilah!” kata pemuda muka kuda yang bukan lain adalah
Siangkoan Lee, bekas pelayan, murid, dan juga pembantu Panglima Suma Kiat. Dua
orang itu lalu berjalan pergi, Siangkoan Lee membawa sampul surat yang
dirampasnya, sedangkan perwira Yucen itu membawa kepala yang masih meneteskan
darah itu.
Entah
mengapa, hati Maya tertarik sekali dan perasaannya condong untuk membantu orang
yang disebut Panglima Khu. Dia tidak tahu urusannya, hanya tahu bahwa laki-laki
bertopi lebar tadi adalah utusan yang menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya.
Ia tahu pula bahwa Si Muka Kuda itu disebut pengkhianat dan bernama Siangkoan
Lee. Dan alangkah kagum ia menyaksikan betapa laki-laki bertopi lebar itu dalam
saat terakhir masih hendak melindungi Khu-ciangkun, dan bahkan hendak
memusnahkan sampul suratnya!
Dia tidak
mengerti apa artinya semua itu, namun sekali pandang saja dia merasa tidak suka
bahkan membenci pemuda muka kuda dan bersimpati kepada Panglima Khu yang belum
pernah dilihatnya. Karena itu, melihat dua orang itu melangkah pergi, diam-diam
Maya mengikuti mereka dari jauh. Dia dapat menduga bahwa Panglima Khu terancam
bahaya, entah bahaya apa, maka dia ingin melihat perkembangannya dan kalau
mungkin dia akan memperingatkan Panglima Khu itu agar terlepas dari bahaya.
Mengapa
Siangkoan Lee berada di tempat itu? Seperti kita ketahui, Siangkoan Lee adalah
bekas pelayan yang menjadi murid Panglima Suma Kiat. Setelah putera tunggal
Panglima itu, Suma Hoat, meninggalkan kota raja dan minggat karena patah hati,
maka Siangkoan Lee merupakan satu-satunya murid yang amat dipercaya oleh Suma
Kiat. Bahkan Siangkoan Lee ternyata memiliki kecerdikan luar biasa dan kini
tanpa ragu-ragu lagi Suma Kiat menarik murid ini sebagai pembantunya dan diajak
berunding dan mengatur siasat dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Peristiwa
yang terjadi mengenai keluarga Thio di mana Menteri Kam Liong ikut campur
menambah rasa dendam dan tidak suka di hati Suma Kiat, apa lagi karena urusan
itu mengakibatkan puteranya patah hati dan pergi. Dia bersama sekutu-sekutunya
dan dengan bantuan bangsa Yucen telah berhasil menghancurkan musuhnya yang
nomor satu, yaitu keluarga Raja Khitan! Kini dia mulai mengintai dan ingin
sekali menjungkalkan orang yang paling dibencinya akan tetapi juga paling
ditakuti, yaitu Menteri Kam Liong!
Akhirnya
berkat kelicinannya dan penyelidikan mata-matanya yang berani main sogok untuk
membongkar rahasia, Suma Kiat dapat mendengar bahwa kepergian seorang panglima
pembantu Menteri Kam Liong yang bernama Panglima Khu Tek San bukanlah ditugaskan
menjaga tapal batas sebagaimana dikabarkan, melainkan diselundupkan memasuki
istana Yucen dan memegang jabatan di sana sebagai orang yang dipercaya oleh
Pemerintah Yucen. Padahal Khu-ciangkun ini melakukan pekerjaan mata-mata di
Yucen, bekerja demi kepentingan Kerajaan Sung atau lebih tepat lagi, dia
bekerja atas perintah gurunya, Menteri Kam Liong yang selalu menaruh kecurigaan
atas pergerakan bangsa Yucen!
Demikianlah,
Suma Kiat lalu menugaskan muridnya untuk menyelidiki hal itu dan mengusahakan
agar supaya murid Menteri Kam Liong itu ketahuan dan dihukum mati! Terjadinya
hal itu tentu akan memperuncing hubungan antara Yucen dan Sung, dan memang
inilah yang dikehendaki Suma Kiat dan sekutunya, yaitu para bangsawan dan
panglima yang tidak senang kepada kaisar dan sudah siap-siap untuk memberontak
jika ada kesempatan.
Biar pun
usianya masih muda, namun Siangkoan Lee ternyata dapat bekerja dengan baik
sekali. Dia tidak mau begitu saja secara kasar menuduh Panglima Khu yang di
Yucen amat dihormati sebagai seorang panglima gagah perkasa yang selalu ikut
berperang membela Yucen. Dia harus dapat memperlihatkan bukti kepada Raja
Yucen. Dia tahu bahwa kalau Panglima Khu bekerja sebagai mata-mata di Yucen,
tentu ada satu cara dari panglima itu untuk mengirim berita tentang
penyelidikannya itu kepada gurunya, Menteri Kam Liong.
Akhirnya,
setelah melakukan penyelidikan secara tekun, dapatlah ia mengetahui bahwa
memang ada seorang kurir yang menghubungkan guru dan murid itu. Dengan petunjuk
seorang perwira Yucen, akhirnya Siangkoan Lee berhasil membunuh kurir,
memenggal kepalanya dan merampas suratnya, kemudian dengan bekal dua tanda
bukti ini berangkatlah dia ke perkemahan Raja Yucen yang kebetulan berada di
tempat itu dalam operasi pembersihan. Ketika itu Raja Yucen disertai para
panglima, di antaranya Panglima Khu yang dipercaya!
Akan tetapi,
sungguh Siangkoan Lee tidak pernah mengira bahwa rencananya yang sudah diatur
dengan masak dan dilakukan dengan sempurna itu terbentur karang berupa seorang
anak perempuan berusia sepuluh tahun yang sama sekali tak diketahuinya telah
menyaksikan semua perbuatannya! Bahkan dia tidak tahu ketika mereka sudah tiba
di perkemahan di waktu malam gelap itu, Maya telah menyelinap melalui
perkemahan.
Maya menjadi
bingung. Bagaimana dia harus menyampaikan bahaya itu kepada Panglima Khu? Yang
manakah Panglima itu dan di mana kemahnya? Apa boleh buat, dia harus berani
menanggung bahayanya. Dengan langkah lebar ia menghampiri beberapa orang
tentara yang menjaga. Tiga orang tentara itu tercengang keheranan ketika
tiba-tiba dari tempat gelap muncul seorang anak perempuan yang begitu cantik
dan bersikap begitu tabah dan berani.
“Eh, kau
siapakah?”
“Aku adalah
keponakan dari Khu-ciangkun. Harap kalian sudi mengantar aku kepada Khu-ciangkun,
nanti kumintakan hadiah dari Paman Khu untuk kalian.”
Tiga orang
anggota tentara Yucen itu saling pandang. Mereka terheran-heran dan ragu-ragu.
Panglima Khu adalah seorang di antara para panglima Yucen yang gagah perkasa
dan dipercaya oleh Raja. Memang semua orang tahu bahwa panglima itu berdarah
Han, akan tetapi sepak terjangnya sudah membuktikan kesetiaannya terhadap
Kerajaan Yucen.
Kini
tiba-tiba muncul seorang anak perempuan mengaku keponakannya! Kalau mereka
menolak dan mengusir bocah ini, bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa anak
ini betul keponakan panglima gagah itiu? Tentu mereka akan celaka! Akan tetapi,
kalau membawa anak ini menghadap Panglima Khu, andai kata anak itu membohong,
tentu anak ini yang akan dicambuk! Mereka tidak percaya bahwa di dalam hutan
pegunungan itu tiba-tiba saja muncul seorang keponakan dari Panglima Khu.
Akan tetapi
segera mereka berkata, “Baiklah, Nona kecil. Akan tetapi kalau engkau
membohong, jangan bertanya tentang dosa lagi. Engkau akan dihukum mati!”
Apa boleh
buat, pikir Maya. Dia beriktikad baik, menolong Panglima Khu. Tidak mungkin
kalau pamrih baik dibalas hukuman mati. “Baik, antar aku kepada Khu-ciangkun!”
Tiga orang
tentara itu membawa Maya ke sebuah kemah yang besar di mana terdapat dua orang
penjaga. Mereka menceritakan bahwa anak ini mengaku keponakan Khu-ciangkun dan
minta diantar menghadap.
“Hemm,
kalian mencari penyakit,” kata dua orang penjaga. “Akan tetapi, masuklah.
Ciangkun sedang duduk sendiri, kalau kalian dimaki jangan bersambat kepada
kami.”
Maya diajak
masuk dan ketika Maya melihat seorang laki-laki berpakaian panglima yang
berusia empat puluhan tahun, bersikap gagah sekali, dia tidak meragu lagi pasti
itulah Panglima Khu. Maka ia lalu berlari ke depan menjatuhkan diri dan
berlutut dan berkata, “Paman Khu... saya mohon bicara empat mata dengan Paman
mengenai surat bersampul kuning dan laki-laki bertopi lebar!”
Mula-mula
panglima itu terkejut dan mengerutkan alis melihat tiga orang prajurit memasuki
kemahnya membawa seorang dara kecil yang cantik, akan tetapi ketika ia
mendengar ucapan gadis itu, berubahlah sikapnya. “Pergilah!” katanya kepada
tiga orang prajurit sambil melempar beberapa mata uang ke arah mereka. “Dan
terima kasih sudah mengantar keponakanku ke sini!”
Diam-diam
Maya kagum sekali atas kecepatan jalan pikiran panglima itu. Setelah tiga orang
prajurit yang kegirangan tadi menerima hadiah dan pergi, Maya lalu bangkit
berdiri dan menghampiri panglima itu sambil bertanya, “Engkau tentu
Khu-ciangkun, bukan?”
“Anak baik,
engkau siapakah dan apa artinya kata-katamu tadi? Duduklah. Aku memang benar
Khu-ciangkun.” Perwira itu memegang tangan Maya dan menariknya duduk di atas
bangku di dekatnya sambil memandang wajah jelita itu penuh selidik. Bukan anak
sembarangan, pikirnya.
“Ketahuilah,
kalau engkau seorang Panglima Yucen benar-benar, aku tidak akan sudi
menolongmu, malah lebih senang melihat engkau mampus! Akan tetapi karena engkau
panglima palsu dan tentu engkau memusuhi Yucen, aku bersedia menolongmu.”
Terbelalak
mata panglima itu. “Apa maksudmu?” Ia berbisik dan menoleh ke luar kemah.
“Bicara perlahan.”
Maya juga
cerdik dan tahu bahwa percakapan mereka ini sama sekali tidak boleh didengar
orang lain, maka ia lalu berkata, “Aku adalah Puteri Maya, puteri Raja dan Ratu
Khitan yang sudah hancur oleh bangsa Yucen! Dan engkau adalah panglima palsu,
utusanmu orang bertopi lebar yang membawa sampul kuning itu telah terbunuh,
kepalanya dan sampul suratnya dibawa oleh seorang yang bernama Siangkoan Lee.
Kau akan dilaporkan....”
“Cepat! Kita
harus pergi dari sini, sekarang juga!” Panglima itu dengan gerakan cepat dan
kuat telah menyambar tubuh Maya dan dipondongnya.
“Engkau
pergilah, aku... biar aku lari sendiri!”
“Tidak.
Paduka harus saya selamatkan! Harus!” Panglima itu berkata dengan hati penuh
keharuan dan ketegangan.
Sungguh
mimpi pun tidak dia akan bertemu dengan puteri Raja Khitan seperti itu! Raja
Khitan adalah adik tiri gurunya, jadi anak perempuan ini adalah keponakan
gurunya sendiri yang harus dia selamatkan! Rahasianya sudah diketahui orang,
entah secara bagaimana karena dia tidak mengenal siapa yang bernama Siangkoan
Lee itu. Akan tetapi, lebih hebat lagi kalau mereka tahu bahwa anak perempuan
ini adalah puteri Kerajaan Khitan! Tentu akan celaka sekali.
Pada saat
itu, tiba-tiba terdengar bunyi terompet tanduk ditiup gencar. Mendengar ini,
wajah panglima itu berubah. “Terlambat...! Paduka... jangan mengaku sebagai
Puteri Khitan, tetap mengaku keponakan... keponakan seorang wanita Khitan yang
kuambil selir. Mengerti?”
Maya
membelalakkan mata akan tetapi mengangguk-angguk. Diam-diam ia kagum dan
berterima kasih. Keputusan hatinya untuk menolong panglima ini ternyata tidak
sia-sia! Panglima ini seorang yang gagah perkasa, yang dalam saat berbahaya itu
lebih mementingkan keselamatannya dari pada keselamatan sendiri!
Dengan
langkah tenang sambil menggandeng tangan Maya, Panglima Khu berjalan ke luar
dan menuju ke perkemahan besar di mana semua panglima sudah hadir menghadap
Raja Yucen karena bunyi terompet tanduk tadi adalah tanda panggilan mendadak
oleh Raja kepada pangeran, panglima dan perwira. Dengan sudut matanya
Khu-ciangkun melihat betapa tempat itu sudah dikurung oleh pasukan besar yang
siap dengan senjata mereka, juga pasukan anak buahnya sendiri sehingga
diam-diam ia mengerti bahwa keadaan amat berbahaya. Agaknya Raja yang telah
mengetahui rahasianya telah siap menangkapnya. Biarlah ia berkorban nyawa untuk
negara, akan tetapi kalau memikirkan Maya yang digandengnya, dia menjadi
bingung!
Para
panglima telah siap semua berkumpul di depan kemah Sri Baginda, menanti Sang
Raja keluar. Dan mereka itu memandang heran kepada Khu-ciangkun yang datang
menggandeng seorang anak perempuan cantik.
“Keponakan...
selirku!” jawab panglima ini pendek ketika rekan-rekannya bertanya sehingga di
sana-sini terdengar suara ketawa.
Akan tetapi,
mereka semua menjadi diam dan bersikap menghormat ketika terdengar suara
terompet dari dalam kemah, tanda bahwa Raja akan keluar dan persidangan darurat
dimulai. Tempat di depan kemah itu telah menjadi terang-benderang oleh
obor-obor yang di nyalakan para prajurit pengawal. Raja keluar dari kemah
dengan... menunggang kuda! Memang Raja Yucen lebih suka duduk di atas kuda
kalau menghadapi para panglimanya dan bangsa Yucen merupakan bangsa yang paling
ahli berperang di atas kuda. Di belakang Raja tampak seorang laki-laki bermuka
kuda, membawa sebuah bungkusan.
“Khu-ciangkun...!”
Tiba-tiba Raja berseru keras memanggil.
“Hamba
siap!” Khu-ciangkun melangkah maju dan berlutut dengan sebelah kakinya dengan
sikap gagah dan hormat. Maya terpaksa ditinggalkannya di belakang dan anak itu
memandang dengan hati tegang.
“Khu-ciangkun!
Selama ini aku percaya kepadamu sebagai seorang panglima yang setia. Siapa kira
ternyata engkau adalah seorang mata-mata dari Kerajaan Sung!”
Semua
panglima saling pandang, dan terdengar suara mereka berisik sekali karena
tuduhan ini benar-benar amat hebat!
“Ampun,
Tuanku, akan tetapi tuduhan yang tidak ada buktinya merupakan fitnah keji,”
Khu-ciangkun menjawab dengan suara tenang.
“Fitnah,
ya?” Raja membentak dan memberi tanda kepada pemuda bermuka kuda itu yang
segera membuka kantung dan melemparkan sebuah benda di atas tanah. Benda itu
adalah kepala orang!
Semua orang
memandang dengan muka berubah dan hati tegang, dan Raja berkata lagi, “Orang
she Khu! Kau tentu mengenal orang ini, kurir yang menghubungkan engkau dengan
gurumu di Kerajaan Sung! Engkau adalah murid dari Menteri Kam Liong. Hayo
mengaku!”
Khu-ciangkun
tetap tenang. “Yang penting adalah bukti, Tuanku. Bisa saja ditunjukkan bahwa
orang yang mempunyai kepala ini adalah utusan hamba, akan tetapi apakah
buktinya, Tuanku?”
”Bukti lagi?
Lihat ini! Surat Menteri Kam Liong untukmu, keparat!” Raja itu mengeluarkan
sebuah sampul kuning dari sakunya, mengangkatnya tinggi-tinggi agar semua orang
dapat melihatnya.
Akan tetapi,
dalam suasana yang amat tegang itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan
muncullah pasukan Yucen yang dipimpin oleh empat orang panglima gagah berkuda
dan mereka ini menyeret tubuh dua orang anak yang meronta-ronta!
Apakah yang
telah terjadi? Siapakah dua orang bocah yang ditawan oleh pasukan Yucen itu?
Mereka itu bukan lain adalah Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, dua orang murid Mutiara
Hitam dan suaminya. Bagaimanakah mereka dapat tertawan pasukan Yucen?
Seperti
telah dituturkan di bagian depan, Mutiara Hitam Kam Kwi Lan dan suaminya,
Pek-kong-to Tang Hauw Lam, bersama kedua orang muridnya itu, setelah mendengar
akan kehancuran Khitan dan tewasnya raja dan ratu lalu bermaksud mengejar
pasukan yang mengantarkan Maya ke Gobi-san. Karena pengejaran itu dimaksudkan
untuk melindungi keselamatan Puteri Maya, dan karena mereka tidak tahu jalan
mana yang diambil oleh pasukan yang sudah pergi lebih dulu sebulan lebih, maka
mereka melakukan perjalanan lambat sambil bertanya-tanya tentang jejak mereka.
Can Ji Kun
dan Ok Yan Hwa tidak sabar menyaksikan perjalanan lambat kedua orang guru
mereka, maka sering kali kedua orang murid ini mendahului guru-guru mereka yang
melakukan penyelidikan setelah memberi tahu bahwa mereka berdua akan mendahului
ke atas bukit di depan atau padang rumput di depan.
Pada sore
hari itu, kembali dua orang anak itu mendahului guru-guru mereka berlari-lari
di padang rumput yang luas. Tiba-tiba muncullah pasukan Yucen yang mengurung
mereka sambil tertawa-tawa. Dua orang bocah itu berpakaian seperti orang Han
dan tentu saja bangsa Yucen yang di dalam hatinya memusuhi orang-orang selatan
ingin mempermainkan dua orang anak ini.
”Heh-heh-heh,
dua ekor anjing cilik, berlututlah kalian dan minta ampun kepada tuan-tuan
besarmu, baru kami akan melepaskan kalian!” berkata seorang di antara para
panglima Yucen yang menunggang kuda.
Can Ji Kun
dan Ok Yan Hwa adalah anak-anak yang sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu
silat tinggi. Selain berani dan berkepandaian, juga mereka ini mengandalkan
nama besar kedua orang gurunya, terutama sekali nama besar ibu gurunya. Siapa
berani mengganggu mereka?
“Kalian ini
berandal dari mana berani mengganggu kami? Pergilah sebelum kami berdua turun
tangan tidak memberi ampun lagi!” bentak Can Ji Kun sambil bertolak pinggang.
Juga Ok Yan
Hwa bertolak pinggang sambil membentak. “Sungguh tak tahu diri, berani
mengganggu anak naga dan harimau!”
Dua orang
anggota pasukan itu tertawa-tawa dan menghampiri Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa.
“Ha-ha-ha, engkau anak naga, ya? Heh-heh, apakah kalian ini sudah gila?”
Seorang di antara mereka menghampiri Can Ji Kun.
“Wah, yang
ini biar pun masih belum dewasa sudah cantik sekali!” Tentara ke dua
menghampiri Ok Yan Hwa, tertawa-tawa dan hendak mencolek pipi gadis cilik itu.
Tiba-tiba
dua orang anak itu menerjang ke depan. Terdengar teriakan-teriakan keras dan
dua orang anggota pasukan itu roboh sambil mengaduh-aduh karena dada mereka
seperti pecah rasanya dihantam oleh dua orang anak-anak itu!
Terkejutlah
semua pasukan, terkejut dan marah. Mereka sudah akan turun tangan mengeroyok
dan membunuh, akan tetapi empat orang panglima berseru, “Jangan bunuh! Biarkan
kami menangkap harimau-harimau cilik ini dan menyeret mereka ke hadapan Sri
Baginda. Siapa tahu mereka ini ada gunanya kelak!”
Setelah
berkata demikian, empat orang itu mengeluarkan tali panjang yang
melingkar-lingkar di lengan kiri mereka. Ujung tali itu dibuat semacam lasso
dan kini mereka berempat yang menunggang kuda mengurung Ji Kun dan Yan Hwa, tali
mereka makin lama makin panjang tetap diputar-putar. Dua orang anak itu siap
menghadapi lawan, akan tetapi mereka bingung ketika dikurung empat ekor kuda
dan memandang tali berujung lasso yang diputar-putar.
Tiba-tiba
sebuah lasso menyambar ke arah kepala Yan Hwa. Dara cilik ini cepat mengelak
dan ketika lasso itu mengejarnya, ia menggulingkan tubuh ke atas tanah. Luput!
Para pasukan bersorak memuji. Juga Ji Kun dapat menghindarkan diri dengan
gerakan gesit sekali ketika ada tali lasso menyambar. Bahkan sampai
berkali-kali tali-tali lasso beterbangan menyambar ke arah mereka, namun dengan
lincah sekali dua orang anak itu tetap dapat mengelak.
Empat orang
Panglima Yucen ini menjadi penasaran sekali. Mereka lalu berpencar menjadi dua
rombongan dan mengeroyok setiap anak dengan lasso mereka. Kini repotlah dua
orang anak kecil itu dan tak lama kemudian tubuh mereka telah terikat dan
tertangkap! Dua orang panglima memegangi lengan setiap anak dan mengangkat
tubuh anak itu di antara kuda mereka yang dilarikan sehingga tergantunglah
tubuh Ji Kun dan Yan Hwa, dibawa membalap pergi! Mereka tidak sudi berteriak
minta tolong, hanya memaki-maki dan meronta-ronta.
Sikap dua
orang anak inilah yang menolong mereka sendiri. Kalau saja mereka berdua tidak
memperlihatkan sikap yang berani luar biasa, tentu mereka dianggap anak-anak
biasa dan sudah dibunuh. Kini para panglima itu menjadi curiga, maka mereka
tidak membunuh kedua orang anak itu dan merasa perlu menghadapkan kedua orang
anak luar biasa itu kepada raja yang kebetulan berada di perkemahan.
Sementara
itu, Khu Tek San yang melihat bahwa bukti bagi kesalahannya sudah cukup dan
bahwa dia tidak dapat menyelamatkan diri lagi, bersikap tenang dan mengambil
keputusan untuk mengorbankan dirinya dan tidak menyeret orang lain dalam
pekerjaannya memata-matai Yucen. Yang terpenting sekarang adalah berusaha
menyelamatkan diri Puteri Maya dan menyuruh puteri Kerajaan Khitan itu pergi ke
selatan menghadap Menteri Kam Liong dan menyampaikan berita tentang
kematiannya.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment