Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 20
Dari tempat
sembunyinya yang jauh itu Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menyaksikan perang yang
dimulai dengan tantangan pihak Mancu yang diajukan dengan bunyi terompet dan
tambur, dan disusul majunya seorang panglima berkuda yang bertubuh tinggi besar
dan dengan suara seperti geledek menyambar panglima itu memberi aba-aba kepada
pasukannya yang bergerak maju pula, sebanyak kurang leblh seribu orang pasukan
berkuda dan bergolok panjang yang dikempit dengan lengan kanan.
Melihat ini,
Koksu lalu memerintahkan seorang panglimanya untuk menyambut musuh membawa
pasukannya. Panglima ini masih muda, bertubuh tinggi kurus dan mukanya kuning
pucat, namun sepasang matanya tajam dan gerak-geriknya tangkas. Suaranya kecil
namun melengking nyaring ketika dari atas benteng itu dia mengeluarkan aba-aba
kepada perwira-perwira pembantunya di bawah. Pasukannya disiapkan, juga
berjumlah seribu orang pasukan berkuda, pintu gerbang dibuka, jembatan gantung
diturunkan dan pasukan keluar dari dalam benteng. Panglima muka kuning itu memberi
perintah kepada pembantunya. Kudanya yang berbulu hitam disiapkan di luar
benteng, dan dengan gerakan lincah sekali panglima muka kuning itu melayang
turun dari atas benteng!
“Wah, hebat
juga ginkang-nya...!” Coa Leng Bu memuji kagum menyaksikan panglima itu
melayang turun dan tubuhnya tepat tiba di atas kuda hitamnya di luar benteng!
Seorang
pembantunya menyerahkan sebuah tombak panjang dan panglima ini lalu membedal
kuda ke depan barisannya dengan sikap gagah. Memang perbuatannya meloncat dari
atas tembok benteng itu bukan semata-mata untuk berlagak, melainkan terutama
sekali dimaksudkan untuk mengangkat semangat pasukannya dan untuk membikin jeri
pihak musuh.
Panglima
Mancu yang bertubuh tinggi besar itu mengeprak kudanya maju menyeret golok panjangnya
menyambut majunya Panglima Sung yang bermuka kuning. Begitu kuda mereka
berhadapan, terdengar bunyi nyaring berkali-kali beradunya golok dan tombak
panjang diiringi ringkik kuda dan sorakan pasukan kedua pihak.
Pertandingan
itu berlangsung seru sekali dan ternyata bahwa kepandaian kedua orang panglima
itu seimbang. Mungkin panglima muka kuning itu lebih gesit, akan tetapi jelas
dia kalah tenaga sehingga hal ini membuat keadaan mereka berimbang dan
pertandingan mati-matian itu berjalan makin seru.
Sungguh
tidak beruntung bagi panglima muka kuning. Ketika lawannya menghantam sekuat
tenaga dengan golok panjang dan dia menangkis dengan tombak, hantaman yang amat
kuat itu membuat tombaknya hampir terlepas dari pegangan, kudanya meringkik
kesakitan karena tertusuk tombak yang hampir terlepas dan kuda itu berjingkrak.
Hal ini membuat panglima muka kuning kehilangan keseimbangan tubuhnya sehingga
ketika golok lawan menyambar dan ia kembali menggerakkan tombak menangkis,
tombaknya menjadi patah. Terpaksa ia mencabut pedang dan dengan senjata yang
pendek ia terdesak hebat oleh lawannya yang bersenjata golok bergagang panjang.
Sorak-sorai
pasukan Mancu yang menyambut kemenangan panglimanya disambut serbuan tentara
Sung di bawah pimpinan para perwira pembantu panglima muka kuning. Tentu saja
pasukan Mancu tidak tinggal diam dan menyambut serbuan ini dengan sorak-sorai
makian.
Terjadilah
perang yang dahsyat antara dua ribu orang perajurlt itu, perang sampyuh di atas
kuda yang menggiriskan hati Siauw Bwee dan Coa Leng Bu. Mereka berdua dapat
melihat betapa dua ribu orang itu saling bunuh, darah muncrat-muncrat, mayat
bergelimpangan terinjak-injak kuda, jerit-jerit kesakitan, teriakan-teriakan
kemarahan, tawa dan tangis bercampur-aduk memenuhi udara bercampur debu yang
mengebul tinggi!
Pasukan
Mancu itu adalah pasukan yang terlatih baik menurut petunjuk Panglima Wanita
Maya, maka mereka bertanding dengan semangat tinggi. Kuda mereka pilihan dan
mereka mempunyai kerja sama yang lebih baik sehingga akhirnya pasukan dari
benteng itu terdesak dan kewalahan. Panglima muka kuning itu tewas dan beberapa
orang perwira pembantunya juga tewas, maka sisa pasukan yang kehllangan dua
ratus orang lebih itu mundur melarikan diri ke benteng, dikejar oleh pasukan
musuh.
Koksu yang
marah sekali melihat ini, memerintahkan serdadu-serdadu penjaga di benteng
menghujankan anak panah ke arah musuh. Kemudian dia menyuruh muridnya sendiri,
Ang-siucai yang kini telah memakai pakaian panglima, memimpin dua ribu orang
prajurit menyerbu ke luar.
Pasukan
pengejar yang dihujani anak panah itu menghentikan pengejaran, kemudian
merekalah yang mengundurkan diri karena ada aba-aba dari belakang agar mereka
mundur. Panglima Wanita Maya melihat keluarnya pasukan baru yang jumlahnya dua
ribu orang lalu memerintahkan Kwa-huciang, pembantu utamanya menyambut serbuan
musuh itu dengan membawa tiga ribu orang prajurit.
Kini
terjadilah perang yang lebih hebat lagi, sebagian berkuda, sebagian pasukan
berjalan kaki dan makin banyaklah kini darah berhamburan, nyawa melayang dan
debu mengebul makin tinggi.
Panglima
Maya mempergunakan sisa pasukannya untuk menyerbu ke benteng dan di pihak Sung
mengadakan perlawanan, menghujankan anak panah dari atas tembok yang dibawa
oleh pihak penyerbu. Karena kalah banyak jumlahnya, akhirnya pihak musuh dapat
menyerbu masuk. Koksu yang dilindungi oleh Han Ki membuka jalan darah,
melarikan diri dari belakang dengan cara merobohkan pihak penyerbu yang
mengurung kota itu dari belakang pula.
Berkat
kelihaian Han Ki, akhirnya Bu-koksu, beberapa orang panglima, Kepala Daerah
Sian-yang, dapat melarikan diri menunggang kuda dan terus lari ke selatan,
menuju ke kota Ta-tung di mana terdapat benteng lebih besar dan kuat lagi
sebagai benteng pertahanan dekat kota raja. Pihak pasukan yang mempertahankan
kota Sian-yang, sebagian ada pula yang berhasil menyelamatkan diri ke selatan,
akan tetapi lebih banyak yang roboh dan tewas menjadi korban amukan tentara
Mancu yang bergabung dengan pasukan tentara pemberontak. Penyerbuan kota itu
dapat berhasil dengan mudah berkat pengacauan dari dalam yang dilakukan anak
buah Panglima Maya.
Dalam
keributan ketika pasukan Mancu menyerbu, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu yang
tadinya bersembunyi di atas pohon itu cepat meloncat turun dan terpaksa
melarikan diri memasuki kota dan bersembunyi di dalam sebuah kuil tua di mana
ternyata sudah terdapat banyak orang bersembunyi pula.
Sudah
menjadi lajimnya manusia-manusia di dunia ini, perang antara manusia
mendatangkan mala-petaka hebat di mana peri-kemanusiaan sudah diinjak-injak,
nyawa manusia tidak ada harganya, nafsu membunuh, merusak, menyiksa dan
kebencian meluap-luap. Di dalam perang biasanya yang menang seperti harimau
haus darah, ingin membunuh sebanyak mungkin, ingin menyiksa sepuas hatinya
karena selalu teringat olehnya bahwa kalau dia kalah, maka dialah yang akan
tersiksa dan terbunuh. Soalnya hanya siapa yang lebih dulu membunuh, dia
menang! Kemudian akibat kemenangan ini membuat mereka yang haus darah menjadi
kejam sekali, perampokan terjadi di mana-mana, pembunuhan, penyiksaan dan
perkosaan!
Dengan dalih
‘pembersihan’, bala tentara Mancu memasuki setiap rumah penduduk dan membunuh
siapa saja yang dicurigai, mengambil barang-barang berharga, dan wanita-wanita
muda diganggunya, diperkosa atau dibunuhnya kalau melawan! Jerit tangis
membubung tinggi di angkasa, rintihan mohon pengadilan dan perlindungan. Namun
dalam perang, siapakah yang akan mengadili dan melindungi? Semua hak mutlak
berada di tangan yang menang.
Andai kata
keadaannya terbalik, pihak yang kalah itu yang menjadi penyerbu dan pemenang,
keadaannya takkan berbeda banyak. Memang sudah menjadi sifat manusia pada
umumnya. Jika kalah dan menderita minta-minta ampun dan mohon perlindungan
Tuhan dan semua dewa, kemudian mengandung dendam kebencian yang hebat. Kalau
sedang menang dan jaya lupa akan peri-kemanusiaan, berbuat sewenang-wenang,
lupa akan kekuasaan Tuhan dan mabok kemenangan.
Siauw Bwee
dan Coa Leng Bu mencari jalan ke luar dari kota itu, namun sia-sia. Atas
perintah Panglima Maya yang cerdik, begitu berhasil merampas dan menduduki
kota, pihak Mancu lalu mengatur penjagaan ketat, menjadikan benteng rampasan
itu menjadi benteng pertahanan, tidak memperbolehkan orang keluar masuk tanpa
ijin khusus. Kemudian Panglima Maya dan Pangeran Bharigan yang memimpin
langsung penyerbuan itu menjatuhkan perintah kepada semua prajurit, melarang
mereka melanjutkan perbuatannya merampok, membunuh dan memperkosa. Kalau ada
yang dicurigai supaya ditangkap dan akan diperiksa. Pelanggaran larangan ini
akan dijatuhi hukuman berat.
Maya memang
cerdik. Pengalamannya ketika ia lari dari Khitan, menyaksikan akibat perang
melihat hal-hal mengerikan sebagai akibat perang membuat dia mengerti bahwa
pada saat pasukannya berhasil menyerbu kota yang dilakukan dengan taruhan
nyawa, maka pesta-pora mereka yang kejam itu hanya untuk melampiaskan nafsu
yang berkobar-kobar. Tidaklah bijaksana kalau begitu berhasil lalu menjatuhkan
larangan, hal ini akan mengecewakan hati pasukan dan menimbulkan rasa tidak
senang sehingga mudah memberontak. Akan tetapi juga tidak baik kalau dibiarkan
berlarut-larut. Maka setelah membiarkan pasukannya berbuat sesukanya itu, dua
hari kemudian, dia mengumumkan perintah ini.
Pengumuman
ini membuat rakyat yang tadinya ketakutan setengah mati menjadi tenang kembali.
Penghuni kota diperkenankan bekerja seperti biasa dengan jaminan akan
dilindungi oleh pemerintah baru. Betapa pun juga, pemerasan dan perampokan
halus-halusan masih terjadi di sana-sini sungguh pun prajurit-prajurit itu
tidak lagi berani membunuh orang. Pukulan dan hinaan tentu saja masih ada.
Terutama sekali perkosaan yang dilakukan sembunyi-sembunyi dengan ancaman.
Siauw Bwee
dan Coa Leng Bu terpaksa meninggalkan kuil ketika kuil itu diserbu belasan
orang prajurit Mancu yang galak-galak. Para pengungsi di dalam kuil terdiri
dari dua puluh orang lebih dan mereka menggigil ketakutan ketika terdengar
suara gaduh masuknya belasan orang prajurit itu. Waktu itu pengumuman dari
Panglima Mancu belum ada, maka para prajurit itu segera menyerbu, menendangi
orang dan merampas buntalan-buntalan.
Beberapa
orang wanita yang sudah tua dan ikut mengungsi ke situ ditendang roboh dan
dirampas buntalan mereka. Buntalan dibuka dan isinya dibuang ke sana-sini,
hanya yang berharga saja yang diambil. Ketika ada di antara para pengungsi itu
hendak mempertahankan barangnya, mereka dibacok roboh. Seorang wanita tua
lehernya sampai hampir putus ketika wanita itu mencakar muka seorang para prajurit
yang merampas buntalannya. Yang lain-lain menjerit dan berusaha lari, akan
tetapi mereka roboh oleh sabetan golok atau tendangan kaki.
Siauw Bwee
menjadi merah mukanya dan ia sudah hendak meloncat dan memberi hajaran, akan
tetapi lengannya dipegang Coa Leng Bu yang berbisik, “Jangan mencari bahaya.
Mereka bukan lawan kita...”
Kemudian Coa
Leng Bu menarik tangan Siauw Bwee, diajak keluar dari kuil tua yang kini
menjadi tempat penyembelihan manusia dan menjadi tempat perbuatan
sewenang-wenang itu. Akan tetapi mereka melihat Siauw Bwee dan segera terdengar
seruan-seruan girang.
“Aduhhhh!
Ada yang sejelita ini sembunyi di sini! Wah, untung besar kita... ha-ha-ha!”
Seorang
perwira Mancu yang agaknya menjadi kepala pasukan kecil ini sudah meloncat
menubruk, matanya bernyala penuh gairah nafsu, mukanya beringas. Coa Leng Bu
maklum bahwa kalau perwira itu sampai mendekati Siauw Bwee, tentu gadis itu
takkan membiarkannya dan menerjang ke depan. Segera ia menyambut perwira itu
dengan tendangan yang membuatnya terjengkang!
Melihat
betapa supek-nya jelas dengan sengaja tidak mau membunuh orang, Siauw Bwee
menjadi sadar. Dia maklum bahwa kota yang sudah diduduki bala tentara Mancu itu
merupakan tempat yang amat berbahaya. Mereka tidak dapat lolos ke luar dan jika
sampai mereka membunuh tentara lalu dikeroyok, benar-benar merupakan hal yang
amat berbahaya bagi mereka. Maka sambil menahan kemarahan, ia pun lalu
berkelebat merobohkan para prajurit Mancu yang kini datang mengeroyok mereka
berdua. Dalam waktu singkat saja dia dan supek-nya telah berhasil meloloskan
diri dari mereka dan cepat melarikan diri, menyelinap di antara banyak orang
dan mencari tempat persembunyian baru.
Tiba-tiba
terdengar jerit wanita dan Siauw Bwee bersama Coa Leng Bu cepat menuju ke tempat
itu, di balik sebuah jalan tikungan di mana tampak orang-orang melarikan diri
dan prajurit-prajurit Mancu hilir mudik tertawa-tawa, dan ada yang mabok.
Ketika Siauw Bwee dan supek-nya melihat sebuah kereta dikurung belasan orang
serdadu yang tertawa-tawa dan dari dalam kereta itu terdengar jerit
wanita-wanita tadi, dara sakti ini tak mampu mengendalikan kemarahannya lagi.
Tanpa
mempedulikan pencegahan supek-nya dia telah menerjang maju, membuat empat orang
prajurit terpelanting ke kanan kiri dan ia cepat membuka tirai yang menutupi
kereta. Kiranya ada empat orang prajurit di dalam kereta, sedang tertawa-tawa
dan hendak memperkosa dua orang wanita, yang seorang masih dara remaja dan
seorang pula adalah ibu dara itu, seorang nyonya setengah tua yang cantik dan
berpakaian seperti seorang wanita bangsawan.
Siauw Bwee
menggerakkan tangan empat kali dan tubuh empat orang prajurit itu terlempar ke
luar dari kereta dengan kepala pecah! Melihat ini Coa Leng Bu terkejut sekali.
Akan tetapi Siauw Bwee telah menyambar tubuh ibu dan anak itu, meloncat ke luar
dari dalam kereta sambil berseru, “Supek, kita harus selamatkan mareka!”
“Celaka...,
hayo cepat lari!” Coa Leng Bu mengomel, akan tetapi dia tidak dapat menyalahkan
Siauw Bwee karena menyaksikan peristiwa seperti itu, tentu saja dara sakti itu
tak mungkin tinggal diam.
Wanita
bangsawan itu berkata, “Nona penolong, bawa kami pergi ke ujung selatan kota di
sana ada tinggal seorang adikku, membuka toko obat.”
“Supek, mari
kita ke sana!” kata Siauw Bwee.
Dengan cepat
mereka itu lenyap menyelinap di antara banyak pengungsi dan akhirnya mereka
berhasil tiba di toko obat dan cepat-cepat mereka disembunyikan di ruangan
belakang.
Kiranya
nyonya itu adalah isteri seorang pembesar di kota itu. Rumahnya sudah habis
dirampok dan suaminya mati terbunuh, bahkan sekeluarga mereka, hanya nyonya itu
dan anak gadisnya yang berhasil melarikan diri melalui pintu belakang, ditolong
oleh kusir mereka yang setia. Akan tetapi sial bagi mereka, di tengah jalan
mereka dihentikan oleh pasukan tadi, kusir mereka dibunuh dan hampir saja
mereka menjadi korban kebuasan prajurit-prajurit Mancu kalau saja tidak
tertolong oleh Siauw Bwee.
Nyonya
bangsawan itu bersama puterinya berlutut menghaturkan terima kaaih kepada Siauw
Bwee, akan tetapi dara perkasa ini membangunkan mereka sambli berkata, “Dalam
keadaan seperti ini, tidak ada tolong-menolong dan sudah semestinya kalau klta
yang senasib saling melindungi. Sekarang pun aku dan supek-ku minta
perlindungan kalian, agar kami diperbolehkan bersembunyi di rumah ini sampai
malam. Menjelang tengah malam, kami akan berusaha menyelundup ke luar kota.”
“Lihiap
telah menolong keluarga kami, tentu saja Lihiap boleh sembunyi di sini,” kata
adik nyonya bangsawan pemilik toko obat itu.
Coa Leng Bu
dan Siauw Bwee mendapatkan dua buah kamar di ruangan paling belakang. Setelah
mengisi perut dengan hidangan yang hangat, mereka berdua mengaso dan
bercakap-cakap.
“Kita baru
dapat keluar kalau keadaan sudah gelap sekali. Kita harus dapat melewati tembok
kota dan sebaiknya kalau aku yang lebih dulu mencari jalan ke luar. Tembok kota
raja luar terkurung air dan kurasa penjagaan amat ketat. Engkau akan
menimbulkan banyak perhatian, apa lagi para serdadu itu seperti serigala
kelaparan kalau melihat wanita muda. Kau tunggu saja di sini, aku akan menyamar
sebagai seorang pengungsi yang mencari keluarganya yang tercerai dalam
keributan dan akan kucari bagian yang paling lemah untuk diterobos. Kau menanti
di sini dan beristirahatlah.”
Siauw Bwee
tak dapat membantah. Biar pun dia jauh lebih lihai dari pada supek-nya, akan
tetapi dia adalah seorang wanita muda yang tentu akan menimbulkan banyak
kesukaran dalam usaha itu.
“Baiklah,
Coa-supek. Akan tetapi harap Supek berhati-hati. Pihak Mancu mempunyai banyak
orang pandai sehingga Koksu sendiri yang dibantu orang-orang sakti sampai dapat
dikalahkan dan kota ini diduduki. Memang aku harus keluar dari sini untuk
mengejar Kam-suheng.”
Mendengar
ini Coa Leng Bu mengerutkan alisnya dan ia teringat akan pemuda tampan yang
lihainya bukan main itu, lalu ia menghela napas. “Telah kuperhatikan ketika
mendengar engkau menyebut suheng kepada pemuda sakti itu. Sungguh beruntung
sekali mataku dapat memandang murid Locianpwe Bu Kek Siansu, penghuni Istana
Pulau Es! Akan tetapi menurut penglihatanku berdasarkan pengalaman, suheng-mu
itu berada dalam keadaan yang tidak wajar, Khu-lihiap.”
“Itulah yang
membingungkan hatiku, Supek. Dia tidak mengenalku, bahkan melawanku! Bagaimana
mungkin hal seperti itu terjadi? Apakah dia berpura-pura dan terpaksa bersikap
seaneh itu?”
Coa Leng Bu
menggeleng kepala. “Tidak, Lihiap. Kalau aku tidak salah duga, suheng-mu itu
tentu telah diracuni dengan semacam I-hun-san (bubuk perampas ingatan) sehingga
dia lupa akan segala hal yang lalu dan dijadikan pengawal boneka oleh
Bu-koksu.”
“I-hun-san...?”
Siauw Bwee memandang dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran. “Akan tetapi,
suheng-ku memiliki ilmu kepandaian yang hebat, bagaimana mungkin dia sampai
terkena racun...?”
Kakek itu
menghela hapas. “Boleh jadi dia lihai sekali. Menyaksikan sepak terjangnya
ketika melawanmu, harus kuakui bahwa selama hidupku belum pernah aku melihat
orang sehebat dia. Akan tetapi dia masih muda, Lihiap, dan mungkin ilmu silat
yang demikian tinggi cukup untuk melindungi diri dari pada serangan yang kasar,
namun untuk dapat melindungi dari tipu muslihat halus, benar-benar membutuhkan
pengalaman. Sudahlah, kita akan menyelidikinya kelak, akan tetapi kita harus
dapat keluar lebih dulu dari kota yang menjadi neraka ini. Kemudian kita akan
menyusulnya, tentu dia menyelamatkan rombongan Koksu keluar dari kota ini.
Sekarang aku akan melakukan penyelidikan dan mencari jalan untuk keluar dari
tembok kota.”
Siauw Bwee
mengangguk dan supek-nya itu lalu meninggalkan rumah tempat persembunyian
mereka melalui jalan atas, meloncat ke atas genteng dan mulailah dia melakukan
penyelidikan dan mencari jalan yang memungkinkan mereka dapat melarikan diri
dengan selamat.
Malam itu
Siauw Bwee tak dapat tidur, gelisah di atas pembaringannya. Dia sama sekali
tidak mengkhawatirkan diri sendiri yang terkurung di dalam kota itu, akan
tetapi dia bingung dan gelisah memikirkan Kam Han Ki, suheng-nya. Memikirkan
suheng-nya yang dicintanya itu, selain gelisah hatinya juga panas dan kemarahan
membuat dia jengkel sekali. Dia tahu bahwa suheng-nya, seperti juga dia adalah
keturunan pendekar-pendekar yang berjiwa pahlawan.
Andai kata
tidak terjadi hal-hal yang membuat mereka seolah-olah dimusuhi negara, dianggap
orang-orang pelarian, tentu mereka akan menyumbangkan tenaga untuk kepentingan
mereka. Suheng-nya adalah keturunan keluarga Suling Emas, akan tetapi kini
dianggap sebagai pengkhianat negara dan pemberontak, hanya karena peristiwa
hubungan asmara yang tiada sangkut-pautnya dengan kepentingan negara. Dan
sekarang tenaga suheng-nya dipergunakan oleh negara secara pengecut dan keji!
Marahlah hati dara ini dan andai kata saat itu ia berhadapan dengan Bu-koksu,
tentu akan diserangnya pembesar tinggi itu.
“Eiiggghhhh...!
Toloooongggg...!” Jeritan suara wanita itu terhenti tiba-tiba seolah-olah mulut
yang berteriak itu didekap.
Siauw Bwee
tersentak kaget, mencelat turun dari pembaringannya karena jeritan itu
terdengar dekat sekali, dari sebelah depan rumah. Tanpa membuang waktu lagi dia
meloncat ke luar kamar dan lari ke depan. Dapat dibayangkan betapa marahnya
ketika ia melihat tiga orang serdadu Mancu sambil tertawa-tawa membacoki
keluarga tuan rumah yang semua sudah menggeletak tewas di atas lantai, termasuk
nyonya bangsawan yang ditolongnya.
“Iblis...!”
Ia membentak dan menerjang maju.
Tiga orang
serdadu itu terbelalak, kagum memandang dara yang muncul ini. Betapa cantik
jelitanya! Akan tetapi, bagaikan seekor burung menyambar, tubuh Siauw Bwee
sudah mencelat ke depan, kaki kirinya bergerak, tangan kanannya meraih dan
tubuh serdadu yang memegang pedang terpental, pedangnya terampas oleh dara
perkasa itu. Sebelum mereka bertiga dapat bergerak, pedang di tangan Siauw Bwee
telah menyambar seperti kilat dan mereka itu roboh dengan tubuh terbabat putus
menjadi dua!
Dari bawah
sinar lampu Siauw Bwee melihat bahwa seluruh keluarga telah tewas, kecuali
gadis cantik puteri nyonya bangsawan. Mengertilah dia bahwa dara itu tadi yang
menjerit, tentu dilarikan serdadu. Dia terus mengejar ke depan dan memasuki
sebuah warung kosong di mana ia mendengar suara serdadu tertawa. Dengan pedang
di tangan kanan ia menerjang masuk melalui pintu dan apa yang dilihatnya
membuat Siauw Bwee seperti hendak meledak dadanya. Matanya mendelik penuh
amarah! Dua orang serdadu sedang memaksa gadis puteri bangsawan itu di atas
meja. Baju atas gadis itu telah terbuka sama sekali dan sekarang, sambil tertawa-tawa,
seorang serdadu hendak merenggut lepas pakaian bawah, sedangkan serdadu kedua
memegang lengan gadis itu sambil menampari mulut gadis disuruh diam!
“Anjing
busuk!” Siauw Bwee memaki, pedangnya berkelebat.
“Singgg...!
Crotttt!”
Punggung
serdadu yang hendak menelanjangi gadis itu terbelah dari atas ke bawah. Dia
tidak sempat berteriak, hanya matanya saja yang memandang heran, lalu ia roboh
mandi darahnya sendiri. Serdadu kedua terkejut. Cepat ia mencabut pedangnya,
namun kembali sinar kilat berkelebat dan serdadu itu pun roboh dengan leher
putus!
Tiba-tiba
dari luar warung itu datang belasan orang serdadu berlari-lari. Mereka adalah
pasukan-pasukan yang menjaga daerah ini dan tadi mereka melihat mayat kawan
mereka di dalam rumah obat, lalu mereka mendengar keributan di warung itu.
Melihat
munculnya dua belas orang serdadu ini, Siauw Bwee yang sudah marah sekali cepat
menyambar dengan terjangan pedang rampasannya. Gerakan pedang di tangan Siauw
Bwee seperti kilat menyambar-nyambar. Terdengar suara nyaring berturut-turut,
pedang dan golok beterbangan disusul robohnya enam orang serdadu Mancu! Yang
lain-lain menjadi terkejut dan marah, mereka berteriak-teriak. Siauw Bwee terus
menerjang maju, dalam sekejap mata merobohkan dua orang serdadu lagi sehingga
dengan mudah ia meloncat ke luar.
Akan tetapi,
di luar warung telah berkumpul puluhan orang tentara Mancu yang dipimpin oleh
empat orang perwira Mancu yang lihai. Begitu perwira Mancu ini menggerakkan
senjata mereka, tahulah Siauw Bwee bahwa empat orang ini lihai, maka dia pun
cepat menggerakkan senjatanya yang berkelebat seperti sinar kilat, membuat
keempat orang itu cepat-cepat menangkis dan mengelak kaget. Mereka segera
mengurung dan memberi aba-aba kepada anak buah mereka. Siauw Bwee dikeroyok dan
dikurung ketat, namun dara ini yang sudah marah sekali mengamuk terus, lupa
bahwa dia telah mengamuk di kandang harimau dan akan menghadapi bala tentara
musuh yang jumlahnya ribuan orang!
Sepak
terjang Siauw Bwee menggiriskan hati pasukan Mancu dan dalam pertandingan
mati-matian itu kembali Siauw Bwee telah merobohkan belasan orang. Hanya empat
orang perwira itu saja yang masih dapat bertahan, dibantu oleh anak buah mereka
yang mengurung dari jarak jauh dan dengan sikap jeri. Betapa pun juga,
dikeroyok oleh empat orang perwira Mancu yang dibantu oleh pasukan yang kini
makin banyak karena bala bantuan datang, Siauw Bwee menjadi lelah dan dia
maklum bahwa sukarlah baginya untuk dapat keluar dari kepungan itu.
“Aku akan
mengadu nyawa dengan kalian anjing-anjing Mancu!” bentaknya.
Pedangnya
bergerak makin cepat, diikuti tubuhnya yang mencelat ke sana ke mari, sukar
diikuti pandang mata para pengeroyoknya. Namun. ke mana juga tubuh Siauw Bwee
berkelebat, dia selalu dihadapi oleh puluhan orang tentara dan di sebelah luar
kepungan masih ada ratusan orang musuh yang bersiap-siap dan berteriak-teriak
mengepungnya.
Tiba-tiba
kepungan itu agak kacau, terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya
orang-orang yang mengepung Siauw Bwee. Tadinya dara ini mengira bahwa Coa Leng
Bu yang datang membantunya, akan tetapi betapa herannya ketika ia melihat
seorang pemuda tampan yang sama sekali tidak dikenalnya. Di bawah sinar
penerangan lampu-lampu di depan rumah dan obor-obor yang dibawa oleh para
pasukan, dia melihat bahwa pemuda itu tersenyum-senyum, wajahnya tampan pandang
matanya tajam, akan tetapi gerakan kedua tangan pemuda itu lihai bukan main.
Yang membuat dia terheran-heran adalah gerakan yang dikenalnya baik-baik karena
itulah ilmu silat yang dia pelajari dari mendiang Ouw-pangcu, yaitu Ouw Teng
ketua kaum liar, dan dia mengenal pula pukulan Jit-goat-sinkang yang
dipergunakan pemuda itu, pukulan-pukulan yang mengeluarkan hawa panas dan
kadang-kadang dingin.
“Nona, harap
lekas lari melalui pintu gerbang selatan. Cepat, biar aku yang menahan mereka!”
Pemuda tampan itu kini sudah bergerak mendekati Siauw Bwee, berdiri saling
membelakangi dengan dara ini dan menuding ke selatan.
Biar pun dia
tidak mengenal pemuda itu, namun melihat pemuda itu mengamuk dengan gerakan
lihai sekali, dia percaya bahwa pemuda ini tentu bermaksud baik, maka dia hanya
berkata, "Terima kasih!"
TUBUHNYA
cepat meloncat dan menerobos melalui kepungan di sebelah selatan yang sudah
terbuka karena dikacau oleh pemuda itu. Ketika dia lari melewati tubuh pemuda
itu, dia merasakan getaran hawa pukulan Jit-goat-sinkang, dan diam-diam merasa
kagum sekali. Hawa pukulan pemuda ini tidak di sebelah bawah tingkat Coa Leng
Bu mau pun mendiang Ouw Teng sendiri! Dan kini pemuda itu telah merampas
sebatang tombak, mainkan tombak itu dengan gerakan yang amat lincah seolah-olah
seekor naga yang mengamuk di antara awan-awan angkasa. Dalam amukannya ini,
pemuda itu masih dapat tersenyum memandang Siauw Bwee, bahkan mengejapkan mata
kirinya dengan lucu akan tetapi juga menarik sekali!
Kalau saja
pemuda itu tidak terbukti telah membantunya ke luar dari kepungan, tentu Siauw
Bwee akan marah dan menganggapnya kurang ajar. Dia cepat mengerahkan ginkang-nya
dan meloncat jauh ke depan, merobohkan tiga orang serdadu yang menghadapinya.
Karena kini empat orang perwira itu dihadapi Si Pemuda yang sengaja mencegah
mereka mengejar Siauw Bwee, maka dara perkasa ini tentu saja dengan mudah dapat
menerobos ke luar karena hanya dihadang dan dihalangi oleh pasukan yang dapat
dibabatnya dengan mudah. Dia lalu berlari cepat ke selatan, dikejar oleh
pasukan yang berteriak-teriak.
Ketika tiba
di pintu gerbang sebelah selatan, di situ sedang terjadi keributan pula dan
dilihatnya supek-nya, Coa Leng Bu sedang mengamuk, dikeroyok para penjaga pintu
gerbang. Melihat ini Siauw Bwee menjadi girang dan dia terjun ke dalam medan
pertempuran sehingga para pengeroyok Coa Leng Bu menjadi kocar-kacir setelah
dalam beberapa gebrakan saja belasan orang di antara mereka roboh oleh pedang
rampasan Siauw Bwee. Coa Leng Bu juga mengamuk dengan hebat. Kedua tangannya
menyambari tubuh-tubuh para pengeroyok dan melempar-lemparkannya ke arah
serdadu lain. Di sekeliling tempat itu sudah penuh dengan tubuh korban yang
malang-melintang.
Coa Leng Bu
juga girang sekali melihat munculnya Siauw Bwee yang memang sudah
dinanti-nantinya, maka dia cepat berkata, “Syukur engkau tidak terlambat
datang. Lekas ikut aku, cepat!”
Siauw Bwee
maklum bahwa kalau mereka terus mengamuk di situ, para pasukan musuh tentu akan
datang membanjiri dan kalau pintu gerbang sudah tertutup dan mereka dikurung
oleh ratusan orang serdadu, tidak ada harapan lagi untuk keluar dari kota itu.
Apa lagi kalau sampai para panglima Mancu keluar. Baru empat orang perwira yang
mengeroyoknya tadi saja sudah memiliki kepandaian yang lihai, apa lagi kalau
para panglima seperti yang ia saksikan ketika mereka berperang tanding melawan
para Panglima Sung!
Kini mereka
berdua menerobos kepungan dan berhasil keluar dari pintu gerbang selatan yang
terkurung oleh air yang cukup lebar. Dan jembatan gantung di luar pintu itu
tentu saja terangkat naik sehingga tidak ada jalan ke luar lagi meninggalkan
tempat itu.
“Bagaimana,
Supek?” Siauw Bwee bertanya bingung, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang
pengejar terdekat.
“Aku sudah
siap dengan alat penyeberang di sana itu. Mari!” Kakek ahli obat ini menuding
ke kanan.
Siauw Bwee
memandang. Di tempat gelap yang terkena cahaya penerangan dari atas benteng,
dia melihat sebatang kayu balok yang panjangnya ada tiga meter. Kiranya
supek-nya selain telah mendapatkan jalan juga telah siap dengan sebatang balok
untuk menyeberang! Biar pun tidak sebaik sebuah perahu, namun cukup untuk
menyeberangkan mereka. Maka dia lalu mengikuti supek-nya. Kemudian keduanya
meloncat ke atas balok itu dan dengan tenaga tekanan kaki mereka, balok itu
meluncur ke tengah!
Baru saja
balok yang mereka injak dan mereka dorong dengan tekanan tenaga kaki itu
bergerak, berserabutan muncul melalui pintu gerbang itu para serdadu sambil
berteriak-teriak dan mengacungkan obor, kemudian mereka berlari mendekati tepi
sungai dan mengacung-acungkan senjata.
“Serang
dengan anak panah!” terdengar teriakan seorang perwira yang baru datang.
Tak lama
kemudian datanglah hujan anak panah dari tepi sungai dan dari atas benteng! Coa
Leng Bu yang tidak memegang senjata sudah menanggalkan bajunya. Dengan baju ini
dia menangkis semua anak panah yang datang menyerang, memutar bajunya sehingga
seluruh tubuhnya tertutup. Siauw Bwee memutar pedang dan sinar pedangnya
bergulung-gulung menjadi perisai tubuhnya. Semua anak panah gagal mengenai
sasaran dan kini balok itu telah tiba di tengah sungai, penuh dengan anak panah
yang menancap di situ.
“Awas
perahu-perahu musuh!” Coa Leng Bu berbisik.
Dari kanan
kiri meluncurlah perahu-perahu yang ditumpangi oleh serdadu Mancu. Semua ada
enam buah perahu, tiga dari kanan dan tiga dari kiri, setiap perahu dipimpin
oleh seorang perwira yang kelihatan lihai.
“Supek,
cepat dorong balok ke seberang, biar aku yang menahan mereka,” kata Siauw Bwee.
Dia menyelipkan pedang rampasannya di pinggang, kemudian kedua tangannya sibuk
mencabuti anak-anak panah yang menancap di atas balok, ada puluhan batang
banyaknya.
Coa Leng Bu
mengerti bahwa murid keponakannya ini memiliki kepandaian yang jauh lebih
tinggi dari padanya, maka dia mengangguk dan cepat mengerahkan tenaga sinkang
ke kaki, mendorong balok itu dengan tekanan kuat, kemudian malah berjongkok dan
membantu dengan kedua tangannya yang dipergunakan sebagai dayung. Balok itu
meluncur cepat sekali menuju ke seberang yang di malam itu hanya tampak gelap
menghitam.
“Wir-wir-wirrr...!”
Siauw Bwee kini melontarkan anak-anak panah itu dengan kedua tangannya,
menyerang ke arah perahu-perahu musuh yang meluncur dari kanan kiri.
Terdengar
teriakan-teriakan dari atas perahu-perahu itu ketika anak-anak panah yang
dilontarkan namun kecepatannya tidak kalah oleh luncuran anak panah yang
terlepas dari gendewa itu membuat beberapa orang tentara Mancu terjungkal.
Tiba-tiba dari atas sebuah perahu yang datang dari kanan, terdengar suara
berdesing nyaring. Siauw Bwee terkejut melihat menyambarnya beberapa batang
anak panah. Ia maklum bahwa anak-anak panah itu dilepaskan oleh orang yang
memiliki tenaga kuat, maka ia berseru,
“Coa-supek,
awas anak panah!”
Dengan
pedangnya dia sudah menangkis, akan tetapi sebatang anak panah melesat dan
kalau saja Coa Leng Bu tidak cepat miringkan tubuh, tentu punggungnya sudah menjadi
sasaran. Betapa pun juga, anak panah yang amat cepat dan kuat luncurannya itu
masih mengenai pundak kanannya, menancap di bawah tulang pundak dari belakang
sampai menembus ke depan! Coa Leng Bu tidak mengaduh, hanya menggigit bibir dan
melanjutkan pekerjaannya menyeberangkan balok. Siauw Bwee marah sekali. Dia
gerakkan tangan kirinya yang menggenggam lima batang anak panah, dan lima
batang anak panah itu melayang ke arah perahu dari mana datangnya anak-anak
panah yang cepat tadi.
“Trak-trakk!”
Siauw Bwee melihat betapa lima batang anak panahnya runtuh dan lenyap ke dalam
air.
Tak lama
kemudian dari atas perahu yang sudah mendekat itu, tampak berkelebat bayangan
yang meloncat ke arah balok. Karena keadaan gelap, Siauw Bwee hanya melihat
tubuh yang langsing dari orang itu. Seorang wanita, pikirnya heran dan kagum.
Gerakan wanita itu benar-benar hebat, seperti seekor burung terbang saja, akan
tetapi yang mengejutkan hati Siauw Bwee adalah pedang di tangan orang itu
karena pedang ini mengeluarkan cahaya kilat yang hebat, juga membawa hawa yang
mengerikan hati.
Tentu
seorang Panglima Mancu, pikir Siauw Bwee dengan kaget dan heran karena tidak
diduganya bahwa yang melepas anak panah tadi dan yang kini melayang ke arah
mereka adalah seorang wanita. Namun dia tidak sempat terheran terlalu lama
karena tubuh orang yang menyambar dari perahu itu telah berjungkir-balik di
udara dan kini menyerangnya dengan pedang yang bersinar kilat dengan tusukan ke
arah lehernya!
Siauw Bwee
maklum bahwa selain pedang itu amat ampuh, juga tenaga yang mendorong gerakan
pedang itu tentu kuat sekali, maka dia tidak berani memandang ringan, lalu
mengerahkan sinkang-nya yang disalurkan melalui pedang rampasannya, dan
berbareng dia menghantam dengan telapak tangan kirinya, mengerahkan sinkang dan
menggunakan pukulan Jit-goat-sinkang!
“Trakkk...!
Aiiihhh...!” Jeritan ini keluar dari mulut dua orang wanita, yaitu Siauw Bwee
dan wanita yang menyerangnya, karena keduanya terkejut bukan main akan akibat
bentrokan pertama ini.
Pedang Siauw
Bwee patah menjadi dua ketika bertemu dengan pedang yang bersinar kilat itu, akan
tetapi wanita itu pun terkejut setengah mati ketika pedangnya bertemu dengan
pedang lawan, tangan kanannya tergetar, apa lagi ketika ada pukulan yang amat
dingin menghantam dadanya. Cepat wanita itu mencelat dengan jalan
berjungkir-balik di udara, turun ke ujung balok di belakang Siauw Bwee dan
ketika Siauw Bwee cepat membalik dan mendorongkan kedua tangannya, kini dengan
pengerahan sinkang yang dilatihnya di Pulau Es, wanita lawannya yang berpedang
kilat itu telah menggenjotkan kakinya pada balok dan tubuhnya sudah melayang
kembali ke atas perahu!
Seorang
lawan yang hebat, pikir Siauw Bwee. Namun dia sama sekali tidak menjadi gentar,
bahkan menanti dengan pandang mata tajam ditujukan ke arah perahu itu. Akan
tetapi agaknya wanita yang berpedang kilat itu pun terkejut dan ragu-ragu untuk
menyerang lagi, apa lagi kini balok itu telah tiba di seberang, sedangkan
perahu-perahu yang besar itu tidak dapat mepet di tepi sungai yang dangkal.
Siauw Bwee
tentu saja tidak pernah menduga bahwa wanita yang menyerangnya tadi adalah Ok
Yan Hwa, murid Mutiara Hitam! Tentu saja ilmu kepandaiannya hebat, dan pedang
itu tentu saja amat ampuh karena yang dipegangnya adalah sebatang di antara
Sepasang Pedang Iblis!
Seperti
telah diceritakan di bagian yang lalu, tadinya kedua orang murid Mutiara Hitam,
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, setelah bertemu dan dikalahkan oleh Kam Han Ki,
menaati pesan Han Ki dan meninggalkan tentara Mancu. Akan tetapi, di dalam
perjalanan mereka ini selalu berselisih. Selain kehidupan yang mewah dan terhormat
di dalam barisan Mancu membuat mereka merasa sengsara setelah berkelana lagi,
juga mereka kurang gembira karena tidak dapat mengamuk dan berlomba membunuh
musuh dengan pedang mereka! Karena itulah ketika mendengar betapa
pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin Maya maju terus, mereka kembali lagi dan
membantu Panglima Maya menyerbu dan menaklukkan kota Sian-yang.
Hati Siauw
Bwee dan Coa Leng Bu menjadi lega ketika mereka meloncat ke darat. Untung bahwa
malam itu gelap dan agaknya panglima wanita musuh yang lihai itu menjadi
ragu-ragu setelah menyaksikan kelihaian Siauw Bwee, maka tidak mengejar lagi.
Dan memang dugaan Siauw Bwee betul.
Ok Yan Hwa
adalah seorang wanita gagah perkasa yang berilmu tinggi. Akan tetapi dia pun
bukan seorang bodoh yang nekat. Ketika tadi bergebrak dengan Siauw Bwee,
hatinya penuh keheranan karena dia tahu bahwa tenaga sinkang-nya jauh di bawah
wanita muda itu! Apa lagi ketika menghadapi pukulan dorongan tangan kiri Siauw
Bwee, Yan Hwa benar-benar kaget setengah mati, tidak pernah menyangka bahwa di
samping Maya, masih ada lagi gadis muda yang lebih lihai dari pada dia!
Karena
suheng-nya tidak bersamanya, dan di antara pasukan tidak ada yang dapat
diandalkan untuk membantu, maka di dalam kegelapan malam itu dia tidak berani
nekat melakukan pengejaran seorang diri saja, apa lagi dua orang yang melarikan
diri itu selain lihai juga berada di luar kota. Baru menghadapi wanita itu saja
belum tentu dia akan menang, apa lagi harus menghadapi dua orang lawan yang
sakti. Dia tidak tahu bahwa sebatang di antara anak panahnya telah berhasil
melukai pundak Coa Leng Bu, dan tentu saja dia pun tidak tahu bahwa kakek itu,
yang menurut pendengaran para pasukan adalah supek Si Nona Lihai, sebetulnya
kalah jauh kalau dibandingkan dengan murid keponakannya.
Setelah
melihat bahwa pihak pasukan musuh tidak melakukan pengejaran, Siauw Bwee
mengajak paman gurunya berhenti, kemudian dengan hati-hati dia mencabut anak
panah yang menancap di pundak Coa Leng Bu. Sebagai seorang ahli pengobatan,
tentu saja Leng Bu dapat mengobati luka di pundaknya yang untung sekali tidak
merupakan luka parah karena anak panah itu hanya menembus daging, tidak merusak
tulang atau urat besar.
Setelah
diobati dan dibalut, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Biar pun
pundaknya terluka, semalaman itu Leng Bu mengajak Siauw Bwee berjalan cepat
terus ke selatan, dan baru pada pagi harinya mereka memasuki dusun dan berhenti
ke dalam sebuah warung untuk makan dan beristirahat.
Di sepanjang
jalan malam itu, mereka melewati banyak rombongan orang yang mengungsi, yaitu
penduduk dusun-dusun di sekitar kota Sian-yang yang telah direbut pasukan
Mancu. Ketika mereka tiba di dusun itu pun sebagian besar penduduk telah
berkemas dan bersiap untuk lari mengungsi ke selatan. Hanya mereka yang tidak
mampu saja, dan mereka yang enggan meninggalkan usaha mereka, seperti tukang
warung itu, yang masih berada di dusun dan tidak tergesa-gesa lari mengungsi.
Warung itu
penuh dengan para pengungsi yang ingin beristirahat sambil mengisi perut, dan
kedua orang itu diam-diam mendengarkan percakapan para pengungsi tentang
jatuhnya kota Sian-yang. Tiba-tiba Siauw Bwee yang sedang makan bubur menelan
ludah dan hampir saja tersedak. Coa Leng Bu memandang heran, akan tetapi ketika
melihat gadis itu mengerutkan alis dan melirik ke kiri di mana terdapat
beberapa orang tamu pria sedang bercakap-cakap. Leng Bu juga mendengarkan dan
melanjutkan makan bubur dengan sikap tenang.
“Benarkah
keteranganmu itu bahwa bala tentara musuh dipelopori oleh Pasukan Maut?”
terdengar orang kedua bertanya sambil berbisik.
“Tidak salah
lagi. Keponakanku adalah seorang anggota pasukan pengawal di Sian-yang. Dialah
yang menganjurkan kami sekeluarga meninggalkan kota setelah dia ketahui betapa
kuatnya pasukan-pasukan musuh,” bisik orang pertama.
“Aihhh,
pantas saja Sian-yang tak dapat dipertahankan, biar pun Koksu sendiri kebetulan
berada di sana!” kata orang ke tiga. “Aku telah mendengar pula akan kehebatan
Pasukan Maut yang kabarnya beranggotakan tentara yang seperti iblis, tidak
takut mati dan berkepandaian tinggi, dipimpin oleh orang-orang sakti. Apa lagi
Panglima Pasukan Maut, kabarnya Panglima Wanita Maya itu memiliki kepandaian
seperti iblis dari belum pernah ada yang mampu mengalahkannya!”
“Hemmm, di
antara panglima musuh muncul seorang panglima wanita seperti itu, mengingatkan
aku akan ramalan seorang tosu di Kun-lun-san puluhan tahun yang lalu bahwa
banyak kerajaan runtuh oleh wanita, bukan hanya oleh kecantikan mereka, akan
tetapi juga oleh kelihaian mereka. Apakah Kerajaan Sung yang kini makin
terpecah dan mundur ke selatan akan roboh pula karena wanita?”
“Stttt,
Twako, jangan bicara seperti itu...!” terdengar suara memperingatkan.
Yang
mengejutkan hati Siauw Bwee adalah disebutnya nama Panglima Wanita Maya tadi.
Apakah suci-nya yang menjadi Panglima Mancu? Ataukah hanya kebetulan ada
persamaan nama belaka? Akan tetapi, melihat kelihaian panglima wanita itu,
tidak akan mengherankan kalau wanita itu adalah suci-nya, apa lagi kalau
diingat betapa wanita dari perahu Mancu malam tadi pun amat lihai, sungguh pun
tidak selihai suci-nya. Pula, suci-nya adalah puteri dari Kerajaan Khitan,
sedikitnya masih mempunyai hubungan darah dengan bangsa Mancu, dan dia tahu
betapa suci-nya amat membenci Kerajaan Sung karena kerajaan itu dianggap telah
menjadi sebab kesengsaraan dan kemusnahan keturunan keluarga Suling Emas.
Hati Siauw
Bwee ingin sekali menjumpai suci-nya, akan tetapi dia telah menimbulkan
kekacauan di Sian-yang, bukankah hal ini akan membuat suci-nya makin benci
kepadanya? Pula, apa perlunya menjumpai suci-nya yang telah menjadi Panglima
Mancu? Dia tidak ada hasrat bertemu dengan suci-nya itu sebaliknya dia ingin
sekali segera pergi menyusul suheng-nya yang sekarang amat aneh sikapnya dan
menurut dugaan Coa Leng Bu, menjadi korban racun perampas semangat dan ingatan.
Keadaan suheng-nya amat mengkhawatirkan dan suheng-nya perlu sekali mendapat
pertolongannya.
“Supek, mari
kita melanjutkan perjalanan,” katanya lirih kepada Coa Leng Bu.
Kakek itu
mengangguk, akan tetapi tiba-tiba dia melihat Siauw Bwee memandang ke luar
dengan mata terbelalak kaget, kemudian dara itu memberi isyarat kepadanya untuk
duduk kembali. Coa Leng Bu melirik ke luar dan melihat serombongan orang
memasuki warung.
Mereka
terdiri dari sebelas orang, dan yang menjadi pembuka jalan ke warung itu adalah
seorang pendek gemuk yang berkepala botak. Melihat orang ini pemilik warung
cepat-cepat menyambut dengan membongkok-bongkok penuh penghormatan.
“Selamat
datang, Koan-taihiap... sungguh menyesal sekali warungku penuh tamu sehingga
saya tidak dapat menyambut dengan sepatutnya.”
Orang yang
disebut pendekar besar Koan itu menggerakkan matanya yang lebar memandang ke
sekeliling, alisnya berkerut dan dia berkata, “Harus kau sediakan tempat.
Tamu-tamuku adalah orang-orang yang lebih penting dari pada siapa pun juga di
sini, dan aku sudah terlanjur memuji warungmu yang dapat menyuguhkan makanan
enak.”
Tukang
warung menjadi bingung dan terpaksa dengan kata-kata halus dia mengusir
beberapa orang pengungsi yang sudah lama duduk di situ dan yang sudah selesai
makan pula. Dengan muka bersungut-sungut namun tidak berani membantah, beberapa
orang meninggalkan warung itu dan meja bangku bekas mereka dibersihkan oleh
tukang warung dan pelayan-pelayannya. Kemudian orang she Koan itu bersama
rombongannya yang masih menanti di luar warung dipersilakan masuk. Orang she
Koan dengan sikap amat ramah, hormat bahkan menjilat, mempersilakan seorang kakek
tua yang agaknya menjadi pimpinan rombongan itu untuk duduk di bangku kepala.
Dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati Siauw Bwee ketika mengenal kakek ini dan dia
melirik dengan penuh perhatian. Kakek itu sudah tua sekali, tentu sudah ada
delapan puluh tahun usianya. Rambutnya sudah putih semua, panjang seperti juga
jenggotnya, namun matanya masih berkilat-kilat jernih seperti mata anak kecil
dan kulit mukanya masih merah segar seperti orang muda. Pakaiannya seperti
seorang sastrawan dan tangannya menggerak-gerakkan sebatang kipas sutera yang
terlukis indah. Dia tersenyum-senyum lebar ketika memasuki warung itu.
Biar pun
sudah bertahun-tahun tak pernah berjumpa, namun Siauw Bwee segera mengenal
kakek ini yang bukan lain adalah Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang amat
sakti! Juga ia dapat menduga bahwa dengan adanya Koksu Yucen di situ, tentulah
rombongan itu terdiri dari orang-orang penting dari bangsa Yucen.
Dugaannya
memang tidak salah karena rombongan itu adalah tokoh-tokoh pengawal dan
Panglima Kerajaan Yucen, bahkan di antara mereka terdapat Panglima Dailuba yang
terkenal, Panglima Besar Yucen yang pandai sekali akan ilmu perang dan ilmu
silat, bertubuh tinggi besar, bermuka lebar dan mukanya brewok, usianya sudah
enam puluh tahun namun masih kelihatan tangkas dan kuat.
Coa Leng Bu
sudah bertahun-tahun mengasingkan diri sehingga dia tidak mengenal rombongan
itu, akan tetapi pandang matanya yang tajam dapat mengenal orang pandai. Sekali
pandang saja dia dapat menduga bahwa biar pun disebut pendekar besar, orang she
Koan itu hanyalah ahli silat biasa saja, akan tetapi kakek berambut putih dan
rombongannya itu adalah orang-orang yang sakti. Maka dia bersikap waspada dan
memperhatikan wajah murid keponakannya yang jelas kelihatan berubah.
Pek-mau
Seng-jin sendiri sekali pandang sudah dapat menduga bahwa wanita muda yang
cantik jelita dan seorang kakek berpakaian sederhana yang duduk menyendiri di
sudut itu tentulah bukan orang-orang sembarangan, dan bukanlah
pengungsi-pengungsi biasa. Koksu ini adalah seorang yang sakti dan cerdik.
Pada waktu
itu bangsa Yucen mulai berkembang kemajuannya. Melihat penyerbuan-penyerbuan
bangsa Mancu terhadap Kerajaan Sung Selatan, Koksu Yucen sengaja menahan
pasukan-pasukannya dan membiarkan pihak lain saling berperang. Hal ini
menguntungkan Yucen karena dapat menyusun kekuatan yang kelak dapat digunakan
memukul kedua bangsa yang tentu menjadi lemah oleh perang.
Kini bangsa
Yucen hanya menjadi penonton, menanti saat baik untuk mengalahkan semua musuh
yang sudah lelah karena bertanding sendiri. Kedatangannya di tempat itu selain
hendak melihat-lihat keadaan dengan mata kepala sendiri, juga untuk mengadakan
hubungan-hubungan dengan golongan-golongan yang kuat untuk membantu gerakan
bangsa Yucen kalau waktunya sudah tiba.
Kini melihat
Siauw Bwee yang sudah tidak dikenalnya lagi karena telah menjadi seorang dara
dewasa yang amat cantik jelita, dan melihat Coa Leng Bu yang juga tidak
dikenalnya, namun yang ia dapat duga tentu merupakan dua orang yang berilmu
tinggi. Diam-diam dia memperhatikan dan timbul keinginan hatinya menarik kedua
orang itu menjadi pembantunya, atau kalau ternyata kedua orang itu berada di
pihak musuh, membasminya di saat itu juga sebelum kelak mereka merupakan
penghalang dan pembantu-pembantu musuh yang lihai.
Karena dia
hanya menduga saja kelihaian dua orang itu dari sikap dan kedudukan tubuh
mereka, maka dia ingin menguji. Di atas meja di depannya terdapat taplak meja
dari kain. Jari-jari tangan kirinya merobek ujung taplak, lalu dipelintirnya
menjadi dua butir kecil dan dengan telunjuknya, ia menyentil kedua butir kain
itu ke arah Siauw Bwee dan Coa Leng Bu. Dua butir kain itu melesat dengan cepat
luar biasa, tidak tampak oleh pandang mata yang lain, kecuali oleh para
panglima yang lihai yang maklum akan niat atasan mereka dan hanya memandang
sambil tersenyum.
Sambaran dua
butir gulungan kain itu mendatangkan desir angin yang cukup untuk ditangkap
oleh pendengaran kedua orang itu. Coa Leng Bu terkejut sekali, maklum bahwa ada
senjata rahasia menyambar ke arah lehernya. Cepat dia menjatuhkan sumpitnya
dari atas meja dan membungkuk untuk mengambil sumpit itu, padahal gerakan ini
adalah gerakan mengelak sehingga benda kecil itu menyambar lewat.
Tentu saja
Siauw Bwee yang jauh lebih lihai dari pada Leng Bu, maklum pula bahwa Pek-mau
Seng-jin menyerangnya. Dia mengibaskan tangannya mengusir beberapa ekor lalat
dari atas meja sambil mengomel, “Ihhh, banyak benar lalat di sini!”
Bagi orang
lain hanya kelihatan dara jelita itu mengusir lalat, akan tetapi lalat-lalat
itu terbang ketakutan, sedangkan di antara jari tangannya terjepit benda kecil
yang tadi menyambar ke arah lehernya! Tadinya Siauw Bwee terkejut dan mengira
bahwa Koksu Negara Yucen itu agaknya mengenalnya dan menyerang, akan tetapi
ketika ia menangkap senjata rahasia itu dan mendapat kenyataan bahwa benda itu
hanyalah segumpal kecil kain, dan yang diserang tadi hanyalah jalan darah yang
tidak berbahaya dan hanya akan mendatangkan kelumpuhan tanpa membahayakan
keselamatannya, maka tahulah dia bahwa kakek berambut putih itu hanya
mengujinya, ingin membuktikan bahwa dia dan supek-nya adalah orang-orang yang lihai.
Maka
menyesallah Siauw Bwee. Kalau tahu demikian, tentu dia akan membiarkan saja
gumpalan kain itu mengenai lehernya agar jangan menimbulkan kecurigaan. Kini
telah terlanjur, maka dia bahkan menjadi mengkal, menoleh ke arah meja
rombongan itu dan diam-diam meremas hancur gumpalan kain menjadi debu, kemudian
dia meniup tangan kirinya dan... debu itu melayang ke arah meja rombongan
Pek-mau Seng-jin.
Para
Panglima Yucen terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa dara jelita itu
ternyata benar-benar sakti, dan diam-diam mereka pun kagum akan ketajaman
pandang mata Pek-mau Seng-jin. Kalau tidak menduga bahwa dara itu lihai, tentu
koksu itu tidak sudi sembarangan main-main dengan orang!
Pek-mau
Seng-jin tersenyum puas. Tak salah dugaannya. Petani sederhana dan dara jelita
itu benar-benar bukan orang sembarangan. Biar pun petani itu hanya pura-pura
mengambil sumpit yang jatuh, tidak seperti gadis itu yang sengaja
memperlihatkan kepandaiannya, namun jelas bahwa petani sederhana itu bukan ahli
silat biasa. Sambitannya tadi tidak mengandung tenaga yang mematikan, namun
telah disambitkan dengan kecepatan sentilan jari tangan dan meluncur cepat
sekali, tak tampak oleh mata dan karena kecil ringan maka desir anginnya lirih
sekali. Namun telah dapat disambut oleh mereka dengan cara mengagumkan!
Orang she
Koan sebetulnya hanyalah seorang di antara kaki tangan bangsa Yucen untuk
daerah itu dan yang kini bertugas sebagai penunjuk jalan. Ia tidak melihat apa
yang baru terjadi. Kini dia disuruh mendekat, dibisiki oleh Pek-mau Seng-jin.
Orang itu mengangguk-angguk dan memandang ke arah Siauw Bwee dengan alis
berkerut dan sinar mata heran. Bayangkan saja, pikirnya. Koksu minta dia
mempersilakan dua orang itu untuk makan bersama sebagai tamu terhormat yang
diundang!
Koan Tek,
demikian nama orang ini, adalah seorang jago silat yang terkenal di daerah itu,
maka dihormati oleh pemilik warung makan. Dia berwatak kasar dan memandang
rendah orang lain dan tentu saja orang yang suka memandang orang yang dianggap
berada di bawahnya dan selalu menjilat kepada orang-orang atasannya. Mendengar
Koksu mengundang dua orang itu yang dianggapnya hanya seorang petani miskin dan
seorang gadis cantik, dia merasa penasaran sekali. Sepanjang pengetahuannya,
Koksu Yucen dan para panglimanya adalah orang-orang peperangan yang gagah
perkasa, tak pernah terdengar mereka itu suka mempermainkan wanita cantik.
Apakah sebabnya kini Koksu mengundang kedua orang ini?
Akan tetapi
dia tidak berani membantah, dan dengan langkah lebar ia menghampiri meja Siauw
Bwee. Karena kedua orang itu merupakan orang yang diundang Koksu, maka dia
menjura dengan sikap hormat paksaan sambil berkata, “Ji-wi diundang untuk makan
bersama dengan rombongan kami.”
Coa Leng Bu
yang maklum akan kekerasan hati Siauw Bwee cepat mendahului murid keponakannya
itu dan dia berdiri sambil membalas penghormatan Koan Tek. “Terima kasih atas
undangan Sicu. Kami berdua telah makan dan sudah hendak melanjutkan perjalanan.
Harap maafkan kami.” Dia memberi kedipan mata kepada Siauw Bwee untuk berdiri
dan meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi,
penolakan yang tak disangka-sangka oleh Koan Tek ini membuat dia mendongkol dan
marah. Boleh jadi kedua orang ini tidak mengenal rombongan Koksu dari Yucen,
akan tetapi dia yang mengundangnya, mengapa mereka tidak memandang mata
kepadanya?
“Loheng,
mungkin karena Ji-wi belum mengenal saya maka tidak suka menerima undangan
kami,” katanya dengan nada agak keras. “Perkenalkanlah, saya Koan Tek, di sini
dikenal sebagai Koan-taihiap dan orang-orang yang kami undang bukanlah
orang-orang sembarangan, berarti bahwa kami telah menjunjung tinggi kehormatan
Ji-wi. Maka saya ulangi, harap Ji-wi tidak menolak undangan kami untuk
berkenalan dan makan bersama!”
Biar pun
kata-kata itu bersifat undangan, namun nadanya yang keras itu mengandung
tekanan, paksaan dan membayangkan ancaman. Hal ini membuat Siauw Bwee makin
marah. Hati dara muda ini memang sudah mengkal dan marah ketika ia melihat
Pek-mau Seng-jin yang mengingatkan dia akan perbuatan koksu itu yang dahulu
pernah menawan dia dan Maya kemudian menyerahkan dia dan Maya sebagai hadiah
kepada Coa Sin Cu di pantai Po-hai.
Mengingat
akan hal ini saja sudah membuat tangannya gatal untuk membalas dendam, karena
sekarang dia tidak gentar lagi menghadapi koksu yang lihai itu. Kemudian
kemarahannya tadi ditambah dengan penyerangan Pek-mau Seng-jin, biar pun
penyerangan itu merupakan ujian dan tidak mengandung niat jahat. Kini, ditambah
oleh kata-kata dan sikap Koan Tek, tentu saja dia tidak mau menaati isyarat
mata supek-nya agar bersabar. Dia sudah bangkit berdiri dan memandang Koan Tek
dengan mata berapi.
“Engkau ini
mengundang ataukah hendak memaksa orang? Kalau mengundang bersikaplah sebagai
pengundang yang sopan, setelah ditolak dengan alasan tepat segera mundur. Kalau
mau memaksa, terus terang saja, tak usah bersembunyi di balik sikap manis agar
aku tidak usah ragu-ragu lagi memberi hajaran kepada orang yang hendak
memaksaku!”
“Ehhh...
sudahlah... sudahlah...!” Coa Leng Bu berkata khawatir. Kakek ini cepat berdiri
dan menjura kepada Koan Tek. “Harap sicu suka maafkan, kami hendak pergi saja.”
Akan tetapi
Koan Tek sudah marah sekali. Dengan mata melotot ia memandang kepada Siauw Bwee
dan membentak, “Berani engkau kurang ajar kepada Koan-taihiap. Apakah kau sudah
bosan hidup?”
Siauw Bwee
menudingkan telunjuknya. “Jangankan baru engkau seorang, biar ada seratus orang
macam engkau aku tidak takut! Supek, orang macam dia ini kalau tidak dihajar
tentu akan menghina orang lain saja!”
Koan Tek
hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba ada orang menarik lengannya
sehingga dia terhuyung ke belakang. Ketika dia menoleh ternyata yang menariknya
adalah seorang kakek tinggi kurus, berpakaian sastrawan dan dia ini adalah
seorang di antara para pembantu Koksu, maka dia segera melangkah mundur. Kakek
itu dengan sikap sopan sekali menjura kepada Leng Bu dan Siauw Bwee sambil
berkata,
“Harap Ji-wi
sudi memaafkan Koan-sicu yang bersikap kasar karena memang dia yang jujur
selalu bicara kasar. Harap Ji-wi ketahui bahwa kami mengundang Ji-wi dengan
niat bersih hendak berkenalan. Di antara kita terdapat nasib yang sama yaitu
selagi negara kita diserbu bangsa Mancu, sebaiknya kalau orang-orang gagah
seperti kita bersatu menghadapi musuh. Karena itulah maka pemimpin kami,
Pek-mau Seng-jin, mengharap Ji-wi sudi datang berkenalan.”
Leng Bu
tidak pernah mendengar nama Pek-mau Seng-jin, akan tetapi Siauw Bwee yang tahu
bahwa kakek rambut putih itu adalah Koksu Negara Yucen, segera menjawab, “Kami
berdua tidak ada sangkut-pautnya dengan segala urusan perang! Apa lagi harus
bersekutu dengan pihak ke tiga. Hemm, kami bukan pengkhianat, bukan pula
penjilat, lebih baik kalian tidak mencari perkara dan membiarkan kami pergi!”
Setelah berkata demikian, Siauw Bwee memegang tangan supek-nya dan diajak
pergi.
Akan tetapi
baru saja mereka melangkah hendak keluar, terdengar bentakan harus, “Tahan!”
Dan tampak berkelebat bayangan orang, tahu-tahu Pek-mau Seng-jin sendiri telah
berdiri menghadang mereka sambil tersenyum-senyum.
Tadi ketika
mendengar ucapan Siauw Bwee yang menyinggung ‘pihak ke tiga’, Koksu itu menjadi
kaget sekali dan ia maklum bahwa dara itu telah mengetahui keadaannya sebagai
pihak ke tiga, yaitu bukan golongan Mancu dan bukan pula golongan Sung. Maka
dia menjadi khawatir kalau-kalau gadis itu akan membuka rahasianya yang akan
menyukarkan penyamaran dan penyelidikannya, juga dia menjadi curiga.
“Nona,
siapakah engkau? Dan di golongan manakah engkau berdiri?”
Ingin sekali
Siauw Bwee memperkenalkan diri dan menyerang Koksu itu, akan tetapi dia masih
menahan diri karena maklum bahwa Koksu ini disertai rombongan orang yang
berkepandaian tinggi. Tentu saja dia tidak takut, hanya dia khawatir akan
keselamatan supek-nya yang telah terluka pundaknya.
“Aku dan
Supek adalah orang-orang perantauan yang tak perlu berkenalan dengan siapa pun
juga, tidak mempunyai urusan dengan kalian dan tidak mencari perkara. Sudahlah,
harap kau orang tua suka minggir dan membiarkan kami lewat!”
“Ha-ha-ha,
benar-benar lantang suaranya! Nona, aku kagum sekali menyaksikan keberanian dan
kelihaianmu. Orang-orang di dunia kang-ouw berkata bahwa sebelum bertanding
tidak akan dapat saling menghargai dan berkenalan. Oleh karena itu, setelah
kebetulan sekali kita saling bertemu di sini, aku menantang Ji-wi untuk saling
menguji kepandaian.”
Panaslah
hati Siauw Bwee. Betapa pun dia ingin menghindari pertempuran, akan tetapi
kalau ditantang terang-terangan seperti itu, mana mungkin dia mundur lagi?
“Hemm,
kalian mengandalkan banyak orang untuk menghina?” tanyanya sambil memandang ke
arah rombongan itu, tersenyum mengejek. Memang Siauw Bwee memiliki wajah yang
amat cantik jelita, maka biar pun dia tersenyum mengejek wajahnya tampak manis
dan menarik sekali.
“Ha-ha-ha!
Selain tabah dan pandai bicara, juga cerdik sekali. Nona muda, aku akan merasa
malu mengeroyok seorang yang patut menjadi cucuku. Tidak sama sekali, kami
bukanlah rombongan pengecut yang main keroyok, melainkan orang-orang yang dapat
menghargai kepandaian orang lain dan melalui kepandaian itu kami ingin
berkenalan dan bersahabat. Bagaimana, Nona? Aku berjanji tidak akan mengeroyok
melainkan menguji kepandaian satu lawan satu!”
“Siapa
takut? Majulah!” Siauw Bwee diam-diam merasa girang karena kini dia memperoleh
kesempatan untuk menghajar musuh yang pernah menawannya ini dan tidak takut
akan pengeroyokan karena ucapan yang keluar dari mulut seorang Koksu tentu saja
dapat dipercaya.
h tenaganya
dalPek-mau Seng-jin kembali tertawa. “Hebat! Sebegitu muda sudah memiliki
keberanian besar, mengingatkan aku akan kegagahan mendiang pendekar sakti
wanita Mutiara Hitam! Tidak, Nona. Dunia kang-ouw akan mentertawakan Pek-mau
Seng-jin kalau aku melayani seorang muda seperti engkau. Biarlah aku diwakili
oleh...”
“Perkenankanlah
hamba menghadapinya!” Tiba-tiba Koan Tek berkata sambil meloncat maju. Dia
merasa penasaran dan marah sekali kepada Siauw Bwee yang tadi memandang rendah
serta menghinanya. Dia bukan seorang kejam yang suka membunuh orang, akan
tetapi karena nama besar dan kehormatannya tersinggung dia ingin memberi
hajaran kepada gadis ini.
Pek-mau
Seng-jin tersenyum. Orang kasar macam Koan Tek ini perlu juga menerima hajaran,
pikirnya, karena dia yakin bahwa Koan Tek bukanlah lawan kedua orang ini.
“Mundurlah,
biar aku yang maju lebih dulu!” Leng Bu berkata kepada Siauw Bwee.
Dia maklum
bahwa murid keponakannya itu hendak menyembunyikan nama dan keadaannya, maka
dia tidak menyebut nama. Sebaliknya Siauw Bwee pun maklum mengapa paman gurunya
ini hendak maju biar pun pundaknya sudah terluka. Tentu paman gurunya ini
hendak maju lebih dulu sehingga kalau sampai kalah, Siauw Bwee dapat
menggantikannya. Kalau Siauw Bwee yang maju lebih dulu dan sampai kalah, tentu
Leng Bu pun tidak akan berdaya lagi.
Maka Siauw
Bwee segera melangkah mundur dan berkata, “Hati-hatilah, Supek. Pundakmu terluka,
mengapa memaksa diri?” dengan ucapan ini Siauw Bwee kembali menghina Koan Tek,
seolah-olah dia hendak menonjolkan kenyataan bahwa biar pun pundaknya terluka,
kakek petani itu masih berani maju menghadapi Koan Tek yang berarti memandang
rendah.
“Petani tak
tahu diri, kau sambutlah seranganku!” Koan Tek berseru nyaring dan dia sudah
maju menerjang dengan pukulan keras ke arah dada Leng Bu.
Leng Bu
tidak dapat terlalu menyalahkan Siauw Bwee yang menyambut tantangan sehingga
terpaksa terjadi pertandingan. Dia sendiri tentu saja masih dapat bersabar dan
mundur menghadapi tantangan, akan tetapi seorang muda seperti Siauw Bwee, tentu
sukar untuk mengelakkan tantangan seperti itu. Maka dia mendahului Siauw Bwee
menyambut lawan sehingga seandainya ia dapat menang dan mengatasi hal ini,
tidak akan terjadi persoalan yang lebih hebat. Dia khawatir apa bila Siauw Bwee
yang maju, tangan dara yang ampuh itu akan terlalu keras dan terjadi
pembunuhan. Selain itu, andai kata rombongan ini berniat buruk, kalau sampai
dia kalah, masih ada Siauw Bwee yang jauh lebih lihai untuk menghadapi mereka.
Pendeknya, biar pun pundaknya luka, dia hendak maju sebagai pengukur keadaan
dan iktikad hati mereka ini.
Jotosan
tangan Koan Tek itu merupakan serangan yang cukup kuat dan cepat. Leng Bu
mengenal juga serangan ini dan tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli gwakang
yang memiliki tenaga kasar yang besar. Jurus itu adalah jurus Hek-houw-to-sim
(Macan Hitam Menyambar Jantung), sebuah pukulan ke arah dada kirinya dengan
kepalan tangan diputar ke kanan kiri ketika lengan itu meluncur dari pinggang.
Pukulan semacam ini dapat menghancurkan batu!
Coa Leng Bu
memiliki tingkat lebih tinggi dari pada Koan Tek yang kasar itu. Hanya dengan
melangkah ke belakang saja sudah cukup baginya untuk menghindarkan pukulan itu.
Akan tetapi Koan Tek sudah menyambung serangannya dengan jurus serangan
berikutnya, yaitu lengan kirinya meluncur ke depan berbareng dengan kaki kiri,
memasukkan dua jari tangan kiri ke arah leher lawan. Itulah jurus Sian-jin-ci-lou
(Dewa Menunjukkan Jalan), sebuah totokan ke arah kerongkongan yang amat
berbahaya dan merupakan serangan maut. Saking cepatnya dan kuatnya gerakan ini
terdengar angin bercuitan!
Kini Leng Bu
tidak mau mundur lagi, bahkan melangkah maju memapaki serangan ini! Dengan
gerakan ringan sekali dia miringkan tubuh sehingga tusukan jari tangan itu
meleset lewat dekat lehernya, berbareng dengan itu Leng Bu menggerakkan telapak
tangan kirinya mendorong dada lawan. Koan Tek terkejut sekali dan berusaha menangkis
dengan lengan kanan, namun biar pun tertangkis, tenaga dorongan itu tetap saja
membuat tubuhnya terjengkang ke belakang.
Koan Tek
cukup lihai. Biar pun tubuhnya terjengkang, dia masih mengangkat kakinya
menendang ke arah bawah pusar! Kembali serangan yang dapat membawa maut. Leng
Bu menjadi tak senang menyaksikan betapa lawannya berusaha untuk membunuhnya.
Cepat kakinya digeser dan ketika tendangan itu lewat, secepat kilat tangannya
menyangga kaki itu dan sekali dia membentak dan mendorong tubuh Koan Tek
terlempar ke belakang tanpa dapat dicegahnya lagi. Tubuhnya tentu akan
terbanting keras kalau saja sebuah tangan yang kurus tidak cepat menyambar
tengkuknya sehingga dia tidak jadi terbanting.
“Hebat...!”
kata pemilik tangan kurus yang bukan lain adalah kakek sastrawan pembantu Koksu
Yucen.
Sementara
itu, para tamu warung yang sebagian besar terdiri dari para pengungsi,
berserabutan lari keluar dari warung, sedangkan pemilik warung bersama para
pelayannya telah bersembunyi di balik meja dan lemari dengan ketakutan.
“Sungguh
mengagumkan sekali dan sepantasnya saya, Tiat-ciang-siucai (Sastrawan Tangan
Besi) Lie Bok berkenalan dan ingin mengetahui siapakah nama Enghiong yang
perkasa?” Si Kakek Sastrawan bertanya dengan muka tersenyum.
Melihat
sikap yang sopan ini, Coa Leng Bu merasa tidak enak dan dia cepat menjura.
“Namaku yang rendah adalah Coa Leng Bu dan harap saja Locianpwe suka memaafkan
kami dan membiarkan kami pergi karena sesungguhnya, saya dan keponakan saya
tidak ingin bertanding dengan siapa pun juga.”
“Ha-ha,
bukan bertanding melainkan menguji kepandaian untuk bahan perkenalan,
Coa-enghiong. Marilah kita main-main sebentar!”
Leng Bu yang
maklum bahwa lawannya sekali ini tentu tidak boleh disamakan dengan Koan Tek
yang kasar, cepat menyapu dengan kakinya dan meja kursi di sekeliling tempat
itu terlempar ke sudut, disambar hawa tendangan kakinya sehingga ruangan itu
menjadi lega. Hal ini saja membuktikan betapa kuat tenaga sinkang kakek ini
sehingga orang yang berjuluk Tiat-ciang-siucai mengangguk-angguk kagum.
“Bagus
sekali! Engkau benar-benar amat berharga untuk menjadi teman berlatih. Nah,
sambutlah, Coa-enghiong!” Setelah berkata demikian kakek sastrawan itu
melangkah maju, tangan kirinya menampar kepala dan tangan kanannya dalam detik
berikutnya mencengkeram ke arah perut! Itulah jurus Pai-san-to-hai (Menolak
Gunung Mengaduk Laut) yang dilakukan dengan tenaga lweekang (tenaga dalam)
cukup kuat.
Leng Bu
tidak tahu pukulan mana yang merupakan pukulan pancingan dan yang mana yang
merupakan serangan sesungguhnya karena kedua tangan yang bergerak hampir
berbareng itu memang dapat dipergunakan sesuka Si Penyerang, yang satu dipakai
memancing, yang kedua baru merupakan pukulan sesungguhnya. Dia tidak mau
terpancing, maka dia menggunakan kedua tangannya menangkis ke atas dan ke
bawah.
”Plakk!
Dukkk!”
Tiat-ciang-siucai
terdesak mundur dua langkah, sedangkan Leng Bu masih berada di tempatnya, akan
tetapi wajahnya berubah menyeringai karena pundaknya yang terluka tadi terasa
nyeri. Jelas bahwa sinkang-nya lebih kuat, akan tetapi selisihnya hanya sedikit
dan luka di pundaknya membuat dia menderita. Namun dia tidak mau mundur, bahkan
membalas menyerang dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sinkang! Terdengar angin
menyambar dari kedua tangannya dan hawa di ruangan warung itu tiba-tiba menjadi
panas seolah-olah ada sinar matahari sepenuhnya memasuki ruangan.
Tiat-ciang-siucai
berseru kaget dan cepat ia menggunakan kedua tangannya melindungi tubuh,
menangkis bertubi-tubi sehingga dua pasang tangan itu saking cepat gerakannya
berubah menjadi banyak. Namun kakek sastrawan itu terdesak mundur oleh hawa
panas. Tiba-tiba Leng Bu yang ingin segera memperoleh kemenangan itu sudah
mengubah gerakannya, ditujukan ke bawah, menyerang tubuh bagian bawah dan
tiba-tiba hawa yang panas itu berubah sejuk. Kembali kakek sastrawan terkejut,
dan biar pun dia berhasil menangkis serangan yang seperti hujan datangnya,
namun perubahan itu membuat dia bingung dan terhuyung ke belakang.
“Heiii!
Bukankah itu Jit-goat-sinkang?” Tiba-tiba Pek-mau Seng-jin berseru kaget dan
kagum.
Mendengar
ini Coa Leng Bu terkejut. Tak disangkanya kakek berambut putih itu mengenal
Jit-goat-sinkang yang selama ini tersembunyi dari dunia kang-ouw. Akan tetapi
karena sudah terlanjur dikeluarkan, dia lalu menerjang maju dan mengerahkan
tenaganya. Dari dorongan telapak tangan kanannya keluar hawa pukulan yang
bercuitan ke arah tubuh Tiat-ciang-siucai yang terhuyung. Siucai itu berusaha
menahan dengan kedua tangannya, namun tetap saja dia terdorong dan roboh
bergulingan.
Leng Bu
menghentikan serangannya, meloncat mundur dan menjura. “Harap maafkan kekasaran
saya.”
Tiat-ciang-siucai
meloncat bangun, matanya terbelalak. “Luar biasa sekali! Saya mengaku kalah!”
Menyaksikan
sikap ini, agak lega hati Coa Leng Bu, karena sikap kakek sastrawan itu
menunjukkan sikap seorang kang-ouw yang baik, gagah perkasa dan jujur, berani
menerima kekalahan dengan hati tulus.
Pek-mau
Seng-jin girang sekali. Biar pun belum dapat dikatakan luar biasa, petani tua
bertelanjang kaki itu dapat dijadikan seorang pembantunya yang lumayan. Maka
dia memberi tanda dengan mata kepada Panglima Dailuba yang tinggi besar,
bermata lebar dan bermuka penuh brewok.
“Biarlah aku
menguji kepandaianmu, Coa-enghiong!” katanya dengan suaranya yang nyaring besar
mengejutkan.
Panglima ini
adalah seorang bangsa Yucen tulen, bertenaga besar dan berkepandaian tinggi.
Apa lagi setelah dia menjadi pernbantu utama Pek-mau Seng-jin yang melatihnya
dengan ilmu-ilmu silat tinggi, panglima ini benar-benar merupakan seorang lawan
yang amat tangguh.
Hal ini
dapat diduga oleh Siauw Bwee, maka dia berkata, “Supek, biarkanlah saya yang
maju karena Supek tentu lelah sekali.”
Akan tetapi
Coa Leng Bu menggeleng kepala. Sebelum dia kalah, lebih baik gadis itu jangan
turun tangan yang tentu akan menimbulkan persoalan yang lebih berat lagi.
Sekali gadis itu turun tangan, dia tidak berani tanggung apakah lawan masih
dapat keluar dari pertandingan dengan hidup-hidup. Pula, agaknya yang merupakan
lawan terberat hanyalah kakek yang bernama Pek-mau Seng-jin itu, maka biarlah
kakek itu nanti bertanding melawan Siauw Bwee.
“Tidak, aku
masih belum kalah,” jawabnya dan cepat ia maju sambil berkata, “Sahabat,
siapakah nama besarmu?”
Dailuba
tertawa bergelak. “Namaku sama sekali tidak terkenal, Coa-enghiong. Namaku
adalah Thai Lu Bauw, seorang kasar yang hanya mempelajari sedikit ilmu. Mana
bisa dibandingkan dengan engkau yang memiliki Jit-goat-sinkang? Harap kau suka
mulai.”
Coa Leng Bu
menggeleng kepala. “Bukan kami yang menghendaki pertandingan ini, Thai-sicu.
Engkau majulah!”
“Lihat
serangan!”
Gerakan
Dailuba berbeda dengan gerakan Tiat-ciang-siucai Lie Bok tadi. Gerakan orang
tinggi besar ini lambat sekali ketika tangan kanannya yang dibuka itu menyerang
dengan dorongan ke arah dada Leng Bu. Akan tetapi, Coa Leng Bu sebagai seorang
yang sudah banyak mengalami pertandingan tidak mau memandang rendah dan
dugaannya ternyata tepat karena ketika ia menangkis pukulan itu, dia terdorong
sampai dua langkah, sedangkan lawannya terus melangkah maju dan mengirim
dorongan lanjutan dengan tangan kiri. Ternyata Si Tinggi Besar ini memiliki
tenaga yang luar biasa kuatnya!
Terpaksa Coa
Leng Bu menangkis dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sinkang sehingga dua tenaga
raksasa bertemu dan keduanya tergoyang. Ketika Leng Bu hendak menarik kembali
lengannya, dia kaget bukan main karena lengannya itu lekat pada lengan lawan,
seolah-olah tersedot dan tak dapat dilepas lagi dan pada saat itu tangan kanan
Dailuba telah datang lagi menampar ke arah kepalanya!
Tahulah dia
bahwa lawannya ini telah melatih sinkang-nya dengan tenaga menyedot dan menempel,
maka dia cepat miringkan kepala dan mendahului dengan sodokan tangan kiri ke
arah perut lawan.
“Plakkk!”
Lengannya
yang tertempel itu terlepas, akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan
kagumnya hati Leng Bu ketika merasa betapa sodokannya ke perut yang mengenai
sasaran dengan tepat tadi seolah-olah tidak terasa oleh lawan, bahkan jari
tangannya terasa nyeri. Dailuba menggerakkan kakinya yang panjang dan besar
menyerang kaki lawan. Leng Bu cepat meloncat ke atas, akan tetapi angin yang
menyambar dari kaki Si Tinggi Besar membuat dia hampir terpelanting!
Coa Leng Bu
menjadi penasaran sekali, lalu dia menyerang dengan cepat, menggunakan
jurus-jurus simpanan dan mengerahkan tenaga Jit-goat-sinkang. Namun, melihat
betapa Dailuba dapat menahan serangannya dengan gerakan lambat dan seenaknya,
kedua lengan besar yang digerakkan lambat itu telah menciptakan hawa yang
merupakan perisai sehingga semua pukulan Leng Bu menyeleweng, maka tahulah Leng
Bu bahwa tingkat kepandaian lawannya ini masih jauh lebih tinggi dari pada
tingkatnya. Maka dia merasa terkejut dan khawatir, bukan takut kalah, melainkan
takut kalau-kalau Siauw Bwee sendiri tidak akan mampu menanggulangi mereka.
Kalau sampai
mereka kalah, tentu mereka terpaksa menerima undangan dan perkenalan mereka,
padahal dia tahu bahwa Siauw Bwee tidak menghendaki hal itu terjadi. Maka dia
lalu mempercepat serangannya dan kini dia menggunakan Im-yang-sinkang.
Sebetulnya
Im-yang-sinkang masih kalah setingkat kalau dibandingkan dengan
Jit-goat-sinkang yang merupakan latihan sinkang dengan bantuan sinar sakti
matahari dan bulan, akan tetapi karena dalam latihan ini Leng Bu belum mencapai
puncaknya sedangkan Im-yang-sinkang dia sudah mahir sekali, maka terpaksa dia
menggunakan sinkang yang baginya lebih kuat itu. Padahal, untuk menggunakan
sinkang ini mengandalkan seluruhnya dari tenaga dalamnya sendiri sedangkan
pundaknya sudah terluka, maka hal ini merupakan bahaya baginya. Dia sekarang
mempergunakannya dalam keinginannya untuk mencapai kemenangan.
Ketika
lawannya membalas serangannya dengan dorongan kedua telapak tangan, dengan
pukulan semacam Thai-lek-sinkang yang amat kuat, dia menghadapinya dengan
Im-yang-sinkang.
“Bressss!”
Tubuh tinggi besar dari Dailuba terlempar ke belakang dan terguling, akan tetapi
Leng Bu sendiri terjengkang dan dia mengeluh, pundaknya nyeri bukan main.
”Supek...!”
Siauw Bwee menghampiri, akan tetapi Leng Bu telah bangun kembali, wajahnya
pucat menahan sakit dan dia memegangi pundaknya yang luka, sebelah lengannya
menjadi lumpuh.
Dailuba juga
bangkit berdiri, tampak darah dari ujung bibirnya dan dia menjura. “Hebat
sekali engkau, Coa-enghiong. Biar pun engkau terluka, engkau masih mampu
menahan pukulanku!”
“Ha-ha-ha,
karena Coa-enghiong terluka, biarlah kita anggap pertandingan tadi berakhir
dengan sama-sama dan mudah-mudahan menjadi jembatan perkenalan di antara kita!”
kata Pek-mau Seng-jin.
“Tidak,”
Siauw Bwee menjawab lantang. “Kami tetap tidak berkeinginan untuk mengikat tali
persahabatan. Kami hendak pergi dan siapa yang menghalangiku, berarti dia
hendak memusuhiku!” Dia lalu memegang tangan supek-nya dan berkata, “Marilah,
Supek. Kita pergi dari sini dan jangan melayani mereka yang mabok kekerasan ini!”
“Ha-ha-ha,
nanti dulu, Nona. Kalau kalian tidak memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari
pada kami, mengapa begini angkuh? Kami hanya ingin berkenalan, kalau engkau
menolak berarti engkau menghina kami,” kata Pek-mau Seng-jin sambil menghadang
di depan pintu keluar.
“Kalau
engkau menganggap aku menghina, habis kau mau apa?”
“Taijin,
bocah ini lancang sekali. Biarlah hamba menundukkannya!” kata Dailuba yang tak
dapat menahan kesabarannya lagi menyaksikan sikap Siauw Bwee demikian berani
terhadap orang pertama sesudah Raja Yucen! Dia sudah melompat maju menghadapi
Siauw Bwee.
Dara ini
maklum bahwa tanpa memperlihatkan kepandaian, mereka tidak akan mau mundur
begitu saja, maka dia melepaskan tangan Leng Bu dan menghampiri Dailuba.
“Kau kira
aku takut kepadamu?” bentaknya.
Dailuba
tersenyum mengejek. Gadis ini hanyalah murid keponakan Leng Bu. Sedangkan Coa
Leng Bu sendiri tidak mampu mengalahkannya, apa lagi murid keponakannya yang
hanya seorang dara muda?
“Nona, aku
harus mengaku bahwa aku kagum sekali menyaksikan keberanianmu. Akan tetapi,
engkau bukanlah lawan kami dan sesungguhnya aku sendiri merasa malu kalau harus
bertanding melawan seorang bocah perempuan seperti Nona. Sedangkan supek-mu
sendiri yang cukup lihai tidak mampu mengalahkan aku, bagaimana engkau berani
menghadapi aku?”
“Tidak perlu
banyak cerewet. Kalau kau berani, majulah!” Siauw Bwee menantang.
Dailuba
menjadi marah. Akan tetapi dia adalah seorang panglima besar, tentu saja dia
dapat menahan diri dan tidak mau menuruti nafsu amarah. Maka sambil tersenyum
dia berkata, “Baiklah kalau begitu. Seorang anak bandel seperti engkau ini
tentu belum mau mengerti kalau belum mengenal kelihaianku. Nah, kau jagalah
sentuhan ini!”
Sambil
berkata demikian, Dailuba menampar pundak Siauw Bwee dan hanya mempergunakan
seperempat bagian tenaganya saja. Itu pun ia lakukan dengan hati-hati dan
perlahan karena khawatir kalau-kalau tulang pundak nona ini akan remuk terkena
tamparannya!
Siauw Bwee
menjadi makin marah. Dia tentu saja tahu bahwa lawannya ini tidak
sungguh-sungguh menyerangnya, dan hal ini selain dianggap sebagai sikap
memandang rendah, juga merupakan penghinaan! Cepat sekali tangannya bergerak
dan tahu-tahu Dailuba berteriak kaget ketika kedua pundak dan kedua lututnya
telah kena ditotok oleh jari tangan dan ujung sepatu nona itu. Kedua pasang
kaki tangannya menjadi lumpuh dan di saat selanjutnya, tubuhnya sudah
dilemparkan oleh dara itu dengan menyambar tengannya! Tembok warung itu bobol
kena bentur tubuhnya, akan tetapi tubuh yang kuat itu tidak terluka dan begitu
dia terbanting, totokan-totokan itu telah punah dan Si Tinggi Besar telah
meloncat bangun. Merah sekali mukanya dan matanya menjadi merah saking marah.
Dia telah dihina di depan Koksu dan para rekannya!
“Keparat!
Tak tahu orang mengalah!” bentaknya sambil menubruk maju.
“Siapa minta
kau mengalah! Keluarkan semua kepandaianmu!” Siauw Bwee tersenyum mengejek.
Perasaan
malu membuat Dailuba lupa diri dan memuncak kemarahannya. Belum pernah
selamanya dia menerima penghinaan seperti itu, apa lagi dilakukan oleh seorang
gadis muda di depan Koksu! Dia adalah orang kepercayaan dan tangan kanan Koksu,
dan semua panglima tunduk kepadanya! Mana mungkin dia menerima saja
dipermainkan seorang gadis begitu saja?
Maka begitu
ia menubruk maju, dia memukul dengan pengerahan tenaga sekuatnya, tangan kiri
menghantam ubun-ubun kepala dan tangan kanan menyodok ke arah pusar. Kedua
tangannya melancarkan pukulan maut dan jarang ada lawan tangguh yang mampu
menghindarkan diri dari serangan ini. Bahkan Koksu sendiri menjadi terkejut dan
menyesal mengapa panglimanya itu hendak membunuh gadis yang demikian lihai,
namun dia dapat mengerti akan kemarahan Dailuba dan memandang penuh perhatian.
“Mampuslah!
Wuushhh... siuuutt!” Bentakan Dailuba disusul angin sambaran kedua tangannya.
“Haaaiiittt...
yyaaaahhhh!”
Pek-mau
Seng-jin sendiri sampai terbelalak kagum menyaksikan gerakan Siauw Bwee yang
asing baginya. Kedua kaki dara itu bergerak dengan cepat dan aneh, indah sekali
seolah-olah kedua kaki dara itu menjadi roda, bergeser ke sana-sini dengan
lincah dan ringan, namun tepat sekali sehingga dua pukulan maut itu sama sekali
tidak mengenai sasaran.
Padahal dua
pukulan itu sukar sekali dielakkan dan Koksu sendiri maklum bahwa jalan
satu-satunya menghadapi dua pukulan maut itu hanya menangkis dengan pengerahan
sinkang. Betapa mungkin gadis itu dapat mengelak tanpa meloncat pergi, hanya
mengegos ke sana-sini seolah-olah pukulan itu merupakan pukulan biasa yang
dipandang rendah saja?
Juga
panglima tinggi besar itu terkejut, namun rasa marah dan penasaran melampaui
kekagetannya dan kemarahan membuat dia tidak mau melihat kenyataan, tidak
menyadarkannya bahwa sesungguhnya dia menghadapi seorang lawan yang jauh lebih
berbahaya dari pada Coa Leng Bu, bahkan lebih berbahaya dari pada semua lawan
yang pernah ia hadapi sebelumnya! Kemarahan dan penasaran membuat dia menerjang
lagi dengan gerakan cepat dan lebih kuat, menggerakkan kedua tangannya
menyerang bertubi-tubi dan setiap pukulan, tamparan, atau totokan dia tujukan
ke arah bagian-bagian yang mematikan!
Siauw Bwee
bukan tidak tahu akan hal ini. Dia maklum bahwa lawannya sengaja mengirim
pukulan-pukulan maut karena kemarahannya, dan hal ini membuat dia ingin
menalukkan orang-orang itu dengan memperlihatkan kepandaiannya. Dia pun bukan
seorang gadis bodoh yang hanya menuruti nafsu amarah. Dia mengenal Pek-mau
Seng-jin sebagai seorang Koksu Negara Yucen, dan sudah mendengar bahwa bangsa
Yucen pada waktu itu merupakan bangsa yang besar dan kuat.
Dia dapat
menduga bahwa orang tinggi besar ini tentu bukan orang sembarangan pula,
melainkan seorang yang berkedudukan tinggi di Kerajaan Yucen. Mengingat bahwa
mereka yang tadi berhadapan dengan Coa Leng Bu bersikap gagah dan tidak
bermaksud membunuh supek-nya itu, maka kini dia pun hanya ingin mencari
kemenangan dan segera pergi bersama supek-nya melanjutkan perjalanan ke
selatan, terutama sekali untuk menyusul suheng-nya, Kam Han Ki.
Kini melihat
betapa lawannya menerjang dengan hebat, Siauw Bwee terus menggunakan ilmu gerak
langkah kilat yang ia pelajari dahulu dari kaum lengan buntung, mengelak ke
sana-sini sehingga tubuhnya berkelebatan ke kanan kiri, menyelinap di antara
pukulan-pukulan itu. Makin lama, Dailuba menjadi makin penasaran dan memukul
makin cepat.
Tidak
mungkin ada orang hanya main mengelak saja dari hujan pukulannya, padahal baru
sambaran angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Namun,
pandang matanya sampai berkunang ketika lewat tiga puluh jurus dia menyerang,
gadis itu hanya main elak saja dan tak sebuah pun dari pukulan-pukulannya dapat
menyentuh ujung baju gadis itu, apa lagi mengenai tubuhnya! Dia makin
terheran-heran. Supek gadis ini tadi harus mengakui keunggulannya hanya dalam
belasan jurus saja. Bagaimana kini gadis ini menghadapi serangan-serangannya
sampai tiga puluh jurus lebih tanpa membalas sama sekali, mempermainkannya
seperti seorang dewasa mempermainkan anak kecil?
Kalau tidak
ingat bahwa di situ ada Koksu dan para rekannya yang menjadi penonton, tentu
panglima tinggi besar ini sudah mengeluarkan senjatanya. Akan tetapi hal itu
tidak mungkin dia lakukan di bawah pengawasan Koksu dan para rekannya karena
tentu hal itu akan membuat dia menjadi makin rendah dan malu. Maka kini ia
hanya menggigit bibir dan melanjutkan serangan-serangannya dengan tenaga
sinkang Thai-lek-sinkang.
Melihat
pukulan-pukulan yang mengandung hawa sinkang ini, Siauw Bwee maklum bahwa sudah
cukup dia memperlihatkan kepandaiannya. Dia meloncat mundur, memasang kuda-kuda
dan sengaja menyambut pukulan kedua tangan lawannya tadi.
Melihat ini
Coa Leng Bu terkejut sekali. Dia tahu akan kehebatan ilmu silat murid
keponakannya, akan tetapi menghadapi pukulan-pukulan orang yang bernama Thai Lu
Bauw begitu saja, benar-benar amat berbahaya karena tenaga sinkang Si Tinggi
Besar itu amat kuat. Sebaliknya, Dailuba girang sekali melihat gadis itu berani
menerima pukulannya tanpa menggunakan langkah-langkah aneh untuk mengelak
seperti tadi, maka dia mengerahkan seluruam dorongan kedua lengannya itu...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment