Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 19
PENDUDUK
kota Sian-yang yang padat itu setiap hari masih melakukan pekerjaan seperti
biasa, pasar-pasar tetap ramai, tontonan-tontonan masih terus mengadakan
pertunjukan, restoran-restoran dan penginapan-penginapan selalu penuh.
Pendeknya, seperti biasa, rakyat tidak mau memusingkan pikiran mengenai perang
dan pertempuran. Kalau mereka itu tanpa dikehendaki terlanda perang, rakyat
mawut seperti rombongan semut diusir, namun begitu mereka dapat menetap di
suatu tempat dan perang telah lewat melalui atas kepala mereka yang
terinjak-injak, rakyat kembali membiasakan diri dan hidup seperti biasa, tenang
dan tenteram.
Di kota ini
banyak terdapat tentara pemerintah yang berkumpul di dalam markas dekat tembok
benteng yang mengelilingi kota. Setiap hari tampak perwira-perwira pasukan
berkeliaran di kota, namun rakyat yang sudah biasa dengan pemandangan ini
menganggap biasa saja dan bekerja terus. Karena ini, penghuni kota itu pun
tidak merasa heran ketika dalam beberapa hari ini datang kereta-kereta yang
terisi pembesar-pembesar militer dan sipil memasuki kota Sian-yang. Bahkan
dikabarkan orang bahwa Koksu sendiri berkenan datang ke Sianyang untuk
memeriksa keadaan dan memperkuat pertahanan, di samping beberapa orang jenderal
yang memegang kedudukan penting.
Biar pun
kedatangan orang-orang besar itu tidak mengejutkan penduduk kota, namun seperti
biasa, orang-orang suka melebih-lebihkan cerita mengenai jagoan-jagoan yang
turut datang ke kota. Maka ramailah orang membicarakan kehebatan Koksu Negara
yang dikabarkan memiliki ilmu kepandaian seperti dewa berkepala tiga berlengan
enam! Masih ada lagi beberapa orang jagoan negara yang kabarnya juga berkumpul
di kota itu, yang memiliki ilmu kepandaian tidak lumrah manusia.
Siauw Bwee
dan Coa Leng Bu memasuki kota dan lenyap dalam arus manusia di dalam kota.
Mereka menyewa kamar di sebuah rumah penginapan dan ketika pada sore hari itu
mereka makan di restoran, mereka mendengar percakapan antara pelayan restoran
dan beberapa orang tamu.
Dari
percakapan inilah Siauw Bwee dan supeknya mendengar bahwa Koksu telah tiba di
kota itu membawa jago-jagonya yang berkepandaian tinggi, di antaranya yang
dipuji-puji oleh pelayan itu adalah sepasang setan dampit yang kabarnya belum
pernah terkalahkan oleh siapa pun juga! Dan mereka mendengar bahwa pada malam
hari itu di dalam gedung kepala daerah akan diadakan pesta menyambut kedatangan
Koksu dan para pembantunya.
Setelah
selesai makan dan kembali ke kamar masing-masing, Siauw Bwee berkata kepada Coa
Leng Bu, “Supek, amat sukarlah untuk mencari orang macam Ang Hok Ci itu di
dalam kota sebesar ini di antara puluhan ribu orang lain. Akan tetapi,
mengingat bahwa dia adalah murid Koksu seperti yang diceritakan oleh Yu-twako,
maka setelah Koksu sendiri kini datang, tentu mereka akan menghadap Koksu dan
si manusia she Ang tentu akan menyerahkan kitab itu kepada gurunya, karena itu,
kurasa sebaiknya kalau kita pergi menyelidiki ke gedung pertemuan itu. Kalau
benar manusia she Ang itu berada di sana, aku akan menyergapnya!”
Coa Leng Bu
mengerutkan alisnya. “Lihiap, ilmu kepandaianmu amat tinggi dan aku percaya
bahwa engkau akan kuat melawan siapa pun juga. Akan tetapi, aku telah mendengar
akan kelihaian Bu-koksu dan para pembantunya. Selain berkedudukan tinggi,
mereka adalah orang-orang yang menguasai laksaan tentara dan juga memiliki
kepandaian yang luar biasa tingginya. Karena itu kita harus hati-hati sekali
dan kuharap engkau suka menahan sabar, tidak melakukan tindakan sembrono. Kita
mengintai dan mengikuti gerak-gerik Ang-siucai itu saja tanpa melibatkan diri
dalam pertentangan melawan para pembesar pemerintah. Karena hal itu hanya akan
mencelakakan diri saja.”
“Baiklah,
Supek. Memang tujuan kita ini hanya merampas kembali kitab dan membunuh manusia
she Ang itu, bukan?”
Malam
harinya, dengan pakaian ringkas dan membawa pedang yang digantung di punggung,
Siauw Bwee bersama Coa Leng Bu keluar dari rumah penginapan untuk pergi
menyelidiki ke gedung kepala daerah yang menjadi tempat pertemuan para pembesar
pada malam hari itu. Seperti biasa, Coa Leng Bu yang berjiwa sederhana itu
hanya mengenakan pakaian yang amat bersahaja, bahkan kedua kakinya tetap
telanjang tak bersepatu!
Dengan
gerakan ringan dan lincah bagaikan dua ekor burung, mereka setelah tiba di
dekat gedung itu meloncat ke atas genteng dan berindap-indap mendekati ruangan
pertemuan yang terang benderang dan sekelilingnya terjaga oleh pasukan itu.
Untung bahwa malam itu gelap sehingga Siauw Bwee dan Coa Leng Bu dapat bergerak
tanpa ada yang melihat mereka. Mereka merayap di atas genteng dengan hati-hati
tanpa meninggalkan suara dan akhirnya tiba di atas ruangan itu, menggeser
genteng dan mengintai ke bawah.
Siauw Bwee
menyentuh lengan supeknya di dalam gelap ketika ia melihat bahwa orang yang
mereka cari-cari, Si Sastrawan she Ang yang telah berhasil menimbulkan
pemberontakan dan kekacauan di atas tebing dan lembah, kemudian berhasil
merampas kitab pusaka peninggalan Bu-tek Lo-jin, ternyata berada di dalam
ruangan itu, duduk berhadapan dengan seorang tinggi besar yang berpakaian panglima
tinggi dan beberapa orang jenderal lain.
Di ruangan
itu terdapat belasan orang panglima dan pembesar setempat yang agaknya sedang
merundingkan siasat-siasat pertahanan dan perang menghadapi musuh yang banyak.
Di samping itu mereka pun saling beramah tamah dan menyambut kedatangan Koksu
dengan pesta yang meriah.
Agak janggal
memang kehadiran Ang-siucai di meja pembesar tinggi itu. Akan tetapi Siauw Bwee
mengangguk maklum ketika supeknya berbisik, “Di depannya itulah Bu-koksu... Ah,
kiranya sastrawan licik itu telah bertemu dengan gurunya dan tentu kitab itu
telah diserahkan kepada koksu itu!”
Menurut kata
hatinya, ingin Siauw Bwee segera meloncat turun membekuk siucai itu dan
memaksanya menyerahkan kembali kitab yang dicurinya. Akan tetapi dia bukanlah
seorang yang begitu bodoh dan lancang karena tanpa peringatan Coa Leng Bu yang
pada saat itu menyentuh lengannya sekali pun, dia tidak akan sembrono melakukan
hal itu.
Siauw Bwee
cukup maklum bahwa orang-orang di bawah itu tidak boleh dipandang ringan, apa
lagi mereka yang duduk di ujung ruangan, yang tak salah lagi tentulah rombongan
jago-jago dari Koksu. Yang amat menarik hatinya adalah sepasang laki-laki
dampit yang duduk bersanding. Sepasang manusia dampit ini benar-benar
menyeramkan, dan mereka kelihatan saling membenci, saling bersungut dan pandang
mata yang saling mereka tujukan satu kepada yang lain memandang nafsu membunuh!
Kalau apa
yang ia dengar di restoran itu benar bahwa sepasang manusia dampit ini belum
pernah terkalahkan, tentulah mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang amat luar
biasa. Karena inilah maka Siauw Bwee merasa gatal-gatal tangannya untuk mencoba
sampai di mana gerangan kehebatan sepasang orang dampit yang tentu gerakan
mereka akan canggung dan saling merintangi itu.
Manusia-manusia
dampit itu tidak memakai pakaian militer, juga dua orang kakek yang duduk
bersama mereka. Akan tetapi dua orang laki-laki tinggi besar dan kelihatan
seperti raksasa yang duduk dalam rombongan ini mengenakan pakaian perang dari
baja, membuat gerakan mereka tampak kaku dan berat.
Tiba-tiba
Koksu yang tadinya bercakap-cakap dengan Ang-siucai dengan wajah membayangkan
kepuasan hati menoleh ke kanan dan berkata, “Hemm, kau baru muncul? Benar-benar
manusia malas!”
Siauw Bwee
menoleh ke arah pembesar itu memandang, dan hampir saja ia mengeluarkan jerit
kalau tidak cepat-cepat tangan kirinya menutup mulutnya sendiri. Ia
membelalakkan mata, napasnya terengah dan setelah menggosok-gosok kedua mata
dan berkejap-kejap beberapa kali, barulah ia merasa yakin bahwa orang yang yang
tahu-tahu telah duduk di jendela dengan sikap sembarangan, lengan kiri menopang
dagu dengan siku ditunjang paha kiri, kaki kanan menginjak lemari, duduk
melamun seenaknya di lubang jendela, orang yang baru saja datang dan ditegur
oleh Koksu, bukan lain adalah Kam Han Ki, suheng-nya yang amat dirindukannya
selama ini!
Sejenak Siauw
Bwee hampir tidak percaya akan pandang matanya dan menduga bahwa tentu ada
orang lain yang mirip suheng-nya, yaitu seorang di antara pengawal dan jagoan
Koksu. Akan tetapi ia melihat sesuatu yang tidak wajar. Sikap orang ini
benar-benar luar biasa. Kalau menjadi pengawal Koksu, mengapa sikapnya begitu
kurang ajar? Dan bukan hanya Koksu, bahkan semua orang yang menyaksikan
sikapnya duduk di jendela seperti itu, seenaknya seolah-olah di situ tidak ada
manusia lainnya, agaknya tidak mempedulikan orang ini! Ketidak-wajaran yang
cocok dengan ketidak-wajaran kalau Kam Han Ki sekarang membantu Koksu Negara!
Kam Han Ki
suheng-nya itu adalah seorang pelarian, seorang buruan, mana mungkin sekarang
menjadi pengawal Koksu dan pembantu pemerintah yang telah membunuh kakaknya,
Menteri Kam Liong, dan yang telah mengejar-ngejarnya dahulu? Tidak salah lagi,
orang itu tentulah Kam Han Ki. Sikapnya yang luar biasa itu menunjukkan bahwa
biar pun orangnya Kam Han Ki, akan tetapi pikirannya bukan! Agaknya telah
terjadi sesuatu yang menimpa diri suheng-nya itu sehingga kehilangan
ingatannya!
“Kam-taihiap!
Duduklah di sini!” Bu-koksu berkata dengan suara halus mempersilakan.
Akan tetapi
pemuda tampan yang duduk di jendela itu, acuh tak acuh menjawab, “Bu-loheng,
engkau dan teman-temanmu enak saja duduk di sini sedangkan di sana itu terdapat
dua orang mengintai kalian!”
Mendengar
ini semua orang terkejut, akan tetapi Siauw Bwee dan Coa Leng Bu lebih kaget
lagi.
“Lari...!”
kata Coa Leng Bu yang merasa kaget bahwa pemuda aneh itu tahu akan kehadiran
mereka.
Akan tetapi
ia menjadi lebih kaget lagi ketika Siauw Bwee bukan hanya tidak menuruti
kata-katanya, bahkan dara perkasa itu kini meloncat ke depan, tepat di atas
ruangan itu sambil berseru, “Suheng...!”
Siauw Bwee
menjadi gelisah sekali. Jelas bahwa orang itu adalah Kam Han Ki, dan Si Koksu
menyebutnya juga Kam-taihiap. Dia tidak heran kalau suheng-nya yang lihai
sekali itu dapat mengetahui kehadirannya bersama Coa Leng Bu, akan tetapi
mengapa suheng-nya tidak mengenalnya?
Pemuda itu
masih bertopang dagu, hanya miringkan mukanya dan mengomel, “Siapa menyebutku
suheng?”
“Suheng! Ini
aku, Khu Siauw Bwee...!” Siauw Bwee berseru lagi dan semua orang yang berada di
ruangan itu terkejut sekali mendengar bahwa wanita yang suaranya terdengar di
atas itu adalah adik seperguruan pemuda aneh yang mereka semua mengenalnya
sebagai pengawal nomor satu dari Koksu!
“Tangkap
pengacau itu!” Tiba-tiba Bu-koksu berseru sambil menoleh kepada para
pengawalnya yang duduk di sudut ruangan.
Seorang di
antara dua pengawal tinggi besar seperti raksasa yang memakai pakaian perang
meloncat bangun sambil mencabut goloknya, sebatang golok besar yang tajam
mengkilap dan kelihatan berat sekali.
Siauw Bwee
yang menjadi makin gelisah melihat suheng-nya masih duduk enak-enak dan sama
sekali tidak memperhatikannya itu tak dapat menahan lagi hatinya. Dia meloncat
turun dan berjungkir-balik, tubuhnya meluncur masuk ke ruangan itu melalui
pintu belakang. Begitu kedua kakinya menyentuh lantai, pengawal raksasa itu
sudah menerjang maju dan goloknya menyambar ke arah pinggang Siauw Bwee.
Dara perkasa
ini menjadi marah sekali dan dia tidak ingat lagi akan bahaya. Dia merasa
gelisah penasaran dan marah menyaksikan keadaan suheng-nya, marah melihat
Ang-siucai, dan kemarahannya memuncak ketika tiba-tiba saja ia disambut
serangan. Bagaikan seekor burung terbang tubuhnya mencelat ke atas sedemikian
cepatnya sehingga sambaran golok itu kalah cepat dan golok menyambar di sebelah
bawah kakinya. Karena Siauw Bwee mempergunakan gerakan kilat, maka tubuhnya
seolah-olah lenyap, demikian cepat gerakannya sehingga ketika pengawal raksasa
itu luput menyerang dan cepat hendak membalikkan goloknya, tiba-tiba kaki Siauw
Bwee yang berada di udara itu bergerak ke depan.
“Crot!”
Pengawal
raksasa itu mengaduh dan terhuyung ke belakang, tangan kirinya mengusap darah
yang muncrat ke luar dari hidungnya yang pecah dicium telapak sepatu Siauw
Bwee. Dia menjadi marah sekali, lalu menerjang seperti seekor badak terluka,
membabi-buta, goloknya yang besar dan berat itu lenyap menjadi segulung sinar
yang menyilaukan mata.
Biar pun
hatinya marah sekali bercampur gelisah, Siauw Bwee masih ingat bahwa dia berada
di goa macan, bahkan keadaannya berbahaya sekali kalau sampai dia melakukan
pembunuhan. Maka mengingat bahwa seorang koksu yang suka menggunakan tenaga
orang pandai tentu akan menghargai ilmu silat tinggi, dia mengambil keputusan
untuk mengalahkan para jagoan koksu itu, kemudian atas nama kegagahan yang
dihargai oleh dunia kang-ouw, minta kembali kitab Bu-tek Lo-jin secara baik dan
selanjutnya berurusan dengan suheng-nya dan kalau mungkin, membunuh Ang-siucai.
Keputusan
hati ini membuat dia tidak mau mencabut pedangnya, melainkan melawan pengawal
raksasa itu dengan kecepatan gerakan tubuhnya. Betapa pun cepatnya sambaran
sinar golok yang bergulung-gulung, gerakan tubuh dan kaki tangan Siauw Bwee
lebih cepat lagi. Sambaran-sambaran golok itu seperti menyambar asap saja,
jangankan mengenai tubuh Siauw Bwee, mencium ujung baju pun tidak pernah!
Siauw Bwee
seperti menari-nari di atas lantai, berputaran dan selalu sambaran golok
mengenai tempat kosong. Indah dan aneh sekali gerakan kakinya karena memang dia
mempergunakan ilmu gerak kaki kilat yang dimilikinya berkat ajaran Kakek Lu
Gan. Dalam menghadapi serangan-serangan golok ini, Siauw Bwee masih sempat
mengerling ke arah suheng-nya yang masih duduk di jendela, dan betapa gelisah
dan mendongkol hatinya melihat suheng-nya itu masih bertopang dagu dan
menundukkan muka, sama sekali tidak tertarik dan tidak menonton seolah-olah
tidak terjadi sesuatu di depan hidungnya!
Pertandingan
itu membuat mereka yang hadir di ruangan itu melongo. Pengawal raksasa itu
adalah seorang yang terkenal amat kuat dan amat lihai ilmu goloknya, namun
dalam segebrakan saja hidungnya telah pecah oleh tendangan Si Dara Perkasa,
bahkan kini serangannya yang bertubi-tubi itu dihadapi dara itu seenaknya saja,
selalu mengelak tanpa membalas namun belum pernah golok itu menyerempet
sasarannya.
Bu-koksu
tentu saja dapat mengenal orang pandai. Ia memandang dengan mata berkilat dan
wajah berseri. Dia merasa beruntung sekali bisa mendapatkan seorang pembantu
seperti Kam Han Ki. Kalau kini gadis jelita yang mengaku adik seperguruan Kam
Han Ki itu suka menjadi pembantunya, ahhh, betapa akan senang hatinya, betapa
akan aman dirinya dikawal oleh kakak beradik selihai itu.
Diam-diam ia
memberi tanda dan pengawal raksasa kedua yang juga berpakaian perang itu
meloncat maju sambil menyeret tombaknya, tombak gagang panjang yang beratnya
tidak kurang dari seratus lima puluh kati! Begitu sampai di tempat pertempuran,
pengawal ini sudah menggerakkan tombak panjangnya dengan lagak seperti Kwan
Kong (tokoh sakti dalam cerita Samkok), membantu kawannya menusuk ke arah pusar
Siauw Bwee.
Dara itu
tadi memang sengaja mempertontonkan kelincahannya, bukan hanya untuk menarik
hati koksu agar dapat menghargai kepandaiannya, akan tetapi juga untuk menarik
perhatian suheng-nya yang ternyata disambut dengan sikap tak acuh itu. Dia
menjadi marah, apa lagi kini melihat pengawal kedua sudah maju. Dengan suara
melengking panjang dia sudah mencelat tinggi dan tahu-tahu telah berada di
belakang pengawal kedua ini.
Pengawal itu
cepat menyodokkan gagang tombaknya ke belakang, menggunakan pendengarannya
untuk mengikuti gerakan lawan tadi karena matanya kalah cepat. Akan tetapi
kembali Siauw Bwee sudah mencelat ke kiri dan melihat golok menyambar, secepat
kilat tangannya mengejar punggung golok lawan dan mendorong punggung golok itu
sehingga senjata ini menyeleweng ke arah pengawal kedua yang memegang tombak
panjang.
“Tranggg!
Heiii, lihat golokmu, jangan ngawur!” Si Pengawal Bertombak mencela kawannya
dan dia menggerakkan tombaknya menyerang Siauw Bwee setelah tadi menangkis
golok kawannya.
Kini Siauw
Bwee tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi dengan main kelit dan mempertontonkan
kelincahannya. Tusukan tombak yang menuju ke ulu hati itu diterimanya begitu
saja dan hanya setelah ujung tombak tinggal sejengkal dari dadanya ia
mendoyongkan tubuh ke kiri sehingga tombak itu menembus melalui celah-celah di
antara dada dan lengan kanannya. Ia menurunkan lengan menjepit leher tombak,
memegang gagang tombak dengan tangan kanan dan menarik sambil mengerahkan
sinkang.
Pengawal itu
terkejut sekali, khawatir kalau tombaknya terampas. Maka dengan kedua tangannya
ia membetot gagang tombaknya. Tenaganya memang besar sekali, tenaga gwakang
(luar) yang mengandalkan kekuatan otot.
“Hekkk!”
Tiba-tiba tubuhnya terjengkang karena Siauw Bwee mempergunakan kesempatan
selagi lawan membetot tombak, dia membarengi mendorong dan gagang tombak yang
tidak runcing itu tepat menotok dada pemiliknya sehingga seketika napasnya
sesak dan perutnya mulas, terjengkang ke belakang dan bergulingan
mengaduh-aduh.
Tanpa
membalikkan tubuhnya, Siauw Bwee menggunakan tombak rampasan itu menangkis
golok yang menerjangnya dari belakang.
“Trangggg!”
Bunga api muncrat menyilaukan mata disusul jatuhnya golok yang terlepas dari
tangan pengawal itu yang kini tubuhnya menggigil kedinginan.
Ternyata
Siauw Bwee ingin menyudahi pertandingan dengan cepat, maka ketika menangkis
tadi ia membarengi dengan dorongan tenaga Im-kang yang ia latih di Pulau Es,
tidak terlalu kuat karena dia tidak ingin membunuh lawan, namun cukup membuat
lawan itu menggigil kedinginan dan lumpuh kaki tangannya sehingga goloknya
terlepas dan orangnya pun terguling roboh!
Setelah
melempar tombak itu ke atas lantai, Siauw Bwee memutar tubuh menghadapi Bu-koksu
lalu berkata nyaring, “Koksu, aku mau bicara tentang suheng-ku Kam Han Ki!”
Setelah berjumpa dengan Han Ki, lain urusan tidak ada artinya lagi bagi Siauw
Bwee sehingga ia sudah lupa akan maksud kedatangannya semula.
“Tidak! Kami
datang pertama-tama untuk bicara tentang manusia she Ang yang curang!”
Tiba-tiba Coa Leng Bu berteriak dan tubuhnya melayang turun di samping Siauw
Bwee.
“Dia itulah
Coa Leng Bu, sute ketua lembah, Suhu,” bisik Ang Hok Ci kepada Koksu yang
menjadi gurunya. “Biar pun tidak sesakti gadis ini, akan tetapi dia pun amat
lihai!”
Koksu
memberi isyarat dengan gerak kepala dan pandang mata kepada dua orang jagonya
yang lain setelah melihat dua orang jagonya yang pertama keok dan kini dengan
muka merah kembali ke kursi masing-masing. Dua orang jagonya yang lebih tinggi
tingkatnya itu adalah dua orang pendeta yang aneh.
Yang seorang
berpakaian jubah pendeta dengan rambut dipelihara panjang riap-riapan, jubahnya
berwarna hitam dan sikapnya angkuh sekali, seolah-olah dia memandang semua
orang dan keadaan di sekitarnya itu kecil tiada arti. Usianya tentu sudah lima
puluh tahun lebih namun gerakannya ketika ia bangkit dari kursinya membayangkan
kegesitan melebihi seorang muda. Ada pun orang kedua berjubah kuning seperti
seorang tosu, mukanya kelihatan sabar dan sikapnya tenang, namun sinar matanya
membayangkan kecerdikan, usianya sudah mendekati lima puluh tahun.
“Khu-lihiap,
minggirlah. Mana ada aturan orang-orang gagah mengeroyok seorang wanita muda?
Biarlah aku yang menghadapi orang-orang berjubah pendeta ini, tua sama tua!”
Coa Leng Bu berseru dan melangkah maju.
“Satu lawan
satu!” terdengar Bu-koksu berteriak dan agaknya orang berpangkat tinggi itu
mulai gembira sekali akan menyaksikan jago-jagonya bertanding.
Mendengar
perintah ini, tosu baju kuning berkata kepada kawannya, “Biarlah pinto
menghadapi petani kotor itu!” Kawannya yang berambut panjang tertawa mengejek
dan melangkah mundur, berdiri di pinggiran seperti halnya Siauw Bwee yang
menuruti permintaan supeknya.
Kini dua
orang itu saling berhadapan tidak segera saling serang karena mereka saling
pandang dengan sinar mata tajam, seolah-olah hendak mengukur tingkat lawan
dengan pandang mata, dan hendak saling mengenal siapa yang menjadi lawannya.
“Majulah,
petani busuk!” Tosu itu membentak dan sudah siap dengan pasangan kuda-kuda
kakinya. Karena dia melihat lawannya yang berpakaian sederhana itu bertangan
kosong, maka tosu ini pun tidak mau mengeluarkan senjatanya, namun diam-diam ia
membuka gulungan ujung lengan bajunya sehingga menjadi longgar dan panjang
karena kedua ujung lengan bajunya itu baginya merupakan senjata yang cukup
ampuh.
“Taijin,
kami datang bukan untuk bertanding, akan tetapi kalau Taijin memaksa dan
menghendaki kami memperlihatkan kepandaian, apa boleh buat!” kata Coa Leng Bu
dengan suara tenang.
“Tak perlu
mencari muka, sambut tanganku!” Tosu itu membentak dan tubuhnya sudah menerjang
maju, kepalan tangan kirinya menampar muka lawan, disusul dengan tusukan jari
tangan kiri ke arah perut.
“Plak-plakk!”
Coa Leng Bu menangkis dengan gerakan tangkas dan kuat sehingga kedua tangan
lawan itu terpental, kemudian ia melangkahkan kaki telanjang ke depan, langsung
menggunakan tangan kirinya yang menangkis tadi untuk balas memukul dada lawan
dengan telapak tangan terbuka.
Tosu itu
tadi sudah terkejut sekali karena mendapat kenyataan betapa tangkisan lawan
yang dipandang rendah sebagai petani busuk itu ternyata mengandung sinkang yang
amat hebat dan yang membuat kedua lengannya tergetar. Maka kini dia tidak
berani memandang rendah. Ketika dorongan telapak tangan lawan tiba, ia cepat
mengelak dan balas menyerang mengandalkan kecepatan ilmu silatnya. Coa Leng Bu
menghadapi lawan dengan sikap tenang karena ia maklum bahwa dia akan mampu
mengalahkan lawan ini, hanya dia harus dapat menang tanpa membunuh lawan.
Siauw Bwee
yang merasa lega karena dalam beberapa gebrakan saja dia pun maklum bahwa
supek-nya itu tidak akan kalah, kini mencurahkan perhatiannya kepada Kam Han Ki
yang masih duduk termenung di jendela. Dia terheran-heran dan hatinya gelisah
bukan main. Tidak mungkin kalau suheng-nya sengaja bersikap seperti itu! Dia
sudah mengenal betul suheng-nya, sudah bertahun-tahun tinggal bersama
suheng-nya di Pulau Es.
Suheng-nya
adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki sejati, seorang
yang berhati mulia. Andai kata suheng-nya itu marah kepadanya sekali pun karena
dia melarikan diri dari Pulau Es, tidak mungkin sekarang suheng-nya mengambil
sikap seperti tidak kenal padanya. Ah, tidak mungkin! Pasti terjadi sesuatu
yang amat hebat atas diri suheng-nya dan agaknya hanya koksu itu saja yang
mengetahuinya!
Dugaan yang
dikhawatirkan Siauw Bwee memang benar. Laki-laki itu bukan lain adalah Kam Han
Ki. Mengapa ia bersikap seperti itu, seperti tidak mempedulikan keadaan
sekelilingnya dan hanya ada reaksi kalau ditegur oleh Koksu? Hal ini sebetulnya
sudah terjadi sejak beberapa bulan yang lalu dan untuk mengetahui
sebab-sebabnya marilah kita mengikuti pengalaman Kam Han Ki semenjak dia
menderita siksa batin melihat bekas kekasihnya, Puteri Sung Hong Kwi, meninggal
dunia dalam keadaan sengsara.
*************
SEPERTI
telah diketahui, tekanan batin membuat Han Ki menjadi seperti gila dan dia
mengamuk dan menyebar maut pada pasukan-pasukan Mancu yang dianggap sebagai
biang keladi kematian bekas kekasihnya itu. Kemudian ia mengalami pukulan batin
kedua ketika dalam pasukan Mancu itu dia berjumpa dengan dua orang murid
Mutiara Hitam, bahkan makin hebat lagi pukulan batin ini ketika ia bertemu dengan
sumoi-nya, Maya sebagai seorang Panglima Mancu! Hatinya berduka sekali karena
dia tidak berhasil membujuk Maya untuk meninggalkan kedudukannya sebagai
Panglima Mancu.
Memang benar
bahwa dia dapat menyelami isi hati Maya yang karena kematian orang tuanya, Raja
dan Ratu Khitan, menaruh dendam yang hebat terhadap Kerajaan Yucen dan Kerajaan
Sung, dan bahwa tindakannya menjadi Panglima Mancu semata-mata untuk dapat
membalas dendam itu. Akan tetapi, alangkah sakit hatinya kalau dia memikirkan
betapa sumoi-nya yang tadinya hidup tenang dan tenteram jauh dari pada segala
keruwetan dunia, apa lagi perang besar, bersama dia dan Siauw Bwee di Istana
Pulau Es, kini menjadi seorang panglima perang!
Harapan
satu-satunya hanyalah Siauw Bwee. Kalau dia dapat bertemu dengan sumoi-nya yang
kedua itu, agaknya mereka berdua akan mampu membujuk Maya. Dia pun masih
bingung sekali mendengar jawaban Maya yang terang-terangan menyatakan cinta
kasihnya kepadanya, tanpa mau dibagi dengan orang lain! Maya hanya suka ikut
dengan dia kembali ke Istana Pulau Es, meninggalkan semua urusan duniawi, akan
tetapi harus hanya mereka berdua, tanpa Siauw Bwee!
Betapa
mungkin dia memenuhi permintaan itu? Betapa mungkin dia mendapatkan Maya dengan
membuang Siauw Bwee? Dia mencinta kedua orang sumoi-nya itu, mencinta dengan
kasih sayang besar, seperti seorang saudara tua, bahkan seperti pengganti guru
dan orang tua! Memang, kadang-kadang dia merasa bahwa ada cinta kasih yang lain
dari itu, seperti cinta kasihnya terhadap mendiang Sung Hong Kwi, cinta kasih
yang membuat ia rindu akan kemesraan dengan wanita, akan tetapi dia sendiri
tidak jatuh cinta kepada keduanya sebagai pengganti Sung Hong Kwi! Ah, dia
tidak berani membayangkan hal ini yang dianggapnya terlalu jahat!
Karena tidak
dapat memenuhi permintaan Maya, maka sumoi-nya itu pergi membawa pasukannya dan
dia sendiri tidak tahu harus mencari Siauw Bwee ke mana? Kemudian timbul
keinginan hatinya untuk mencari kedua orang enci-nya, kedua orang kakak
kandungnya yang semenjak dia dibawa pergi gurunya, Bu Kek Siansu, belum pernah
ia jumpai. Maka pergilah Han Ki ke pegunungan Ta-liang-san, di mana ia dahulu
mendengar bahwa kedua orang enci-nya itu belajar ilmu di bawah pimpinan paman
kakek mereka sendiri, yaitu Kauw Bian Cinjin.
Dengan penuh
harapan untuk dapat bertemu dengan kedua orang enci-nya, Han Ki melakukan
perjalanan cepat ke Ta-liang-san. Luka-lukanya yang ia derita ketika mengamuk
barisan Mancu hanyalah luka luar yang biar pun banyak akan tetapi ringan saja.
Maka sambil melakukan perjalanan dia mengobati luka-lukanya dan ketika tiba di
Ta-liang-san, ia sudah sembuh sama sekali, akan tetapi batinnya tetap tertindih
penuh duka dan kecewa. Betapa pun ia berusaha melupakannya, selalu wajah Hong
Kwi yang telah meninggal dan wajah Maya yang tidak mau ikut dengannya
menggodanya dan setiap kali teringat kepada Hong Kwi, Maya dan juga Siauw Bwee
yang belum dapat ditemukannya itu, jantungnya seperti ditusuk karena duka dan
kecewa.
Dapat
dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika di lereng pegunungan itu, seorang
petani menjawab pertanyaannya tentang tokoh-tokoh Beng-kauw, “Di puncak sana
sudah tidak ada orang lagi, yang ada hanya kuburan-kuburan!”
Mendengar
ini Han Ki cepat berlari mendaki puncak dan tak lama kemudian ia berdiri
termangu-mangu di depan pondok yang sudah rusak dan di depan sebaris kuburan
yang tidak terawat lagi. Dengan hati kosong ia melihat nama tokoh-tokoh
Beng-kauw di situ, dan di antaranya terdapat nama Kauw Bian Cinjin! Ia
menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan paman kakeknya dan membayangkan
wajah paman kakek ini yang dulu pernah dilihatnya di waktu ia masih kecil.
Kemudian ia
meneliti dan memeriksa dengan hati tidak karuan mencari kuburan kedua enci-nya.
Akan tetapi harapannya timbul kembali ketika ia tidak melihat nama Kam Siang
Kui dan Kam Siang Hui di antara mereka yang terkubur di situ. Kenyataan ini
membesarkan hatinya karena berarti bahwa kedua orang enci-nya itu tidak ikut
mati! Semua kuburan, di bawah nama masing-masing yang terkubur terdapat tulisan
‘Gugur dalam mempertahankan Beng-kauw’. Dia makin bingung karena tidak tahu
apakah yang telah terjadi dengan Beng-kauw? Ia teringat akan petani tadi, maka
kini tanpa mempedulikan kelelahan tubuhnya ia lari lagi menuruni puncak untuk
mencari petani tadi.
“Paman,
mohon tanya di mana adanya kedua orang wanita yang bernama Kam Siang Kui dan
Kam Siang Hui, yang dahulu tinggal di puncak bersama Kakek Kauw Bian Cinjin?”
Kakek petani
itu menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kau maksudkan Ji-wi Kam-kouwnio?
Aihhhh... sungguh kasihan mereka. Bagaimana aku tahu di mana mereka itu berada?
Semenjak Beng-kauw jatuh ke tangan orang lain, kedua orang kouwnio itu sajalah
yang masih hidup, lalu mereka pergi entah ke mana...” Suara orang itu penuh
duka dan keharuan. “Aihh, mereka sungguh orang-orang yang amat mulia, sungguh
aku heran sekali mengapa kadang-kadang Thian tidak memberkahi orang-orang yang
baik hati?”
“Paman,
siapakah yang telah menjatuhkan Beng-kauw? Dan di mana sekarang pusat
Beng-kauw?”
Kini petani
memandang Han Ki penuh kecurigaan. “Engkau ini siapakah, orang muda? Aku mana
tahu tentang Beng-kauw?”
Kam Han Ki
yang maklum bahwa orang ini mencurigainya, cepat mengaku terus terang.
“Namaku Kam
Han Ki, ada pun kedua orang Kam-kouwnio itu adalah enciku.”
Tiba-tiba
petani itu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Ki dan menangis. Han Ki cepat
membangunkan orang itu yang segera menyusut air matanya dan bercerita....
“Saya dahulu
juga seorang anggota Beng-kauw. Ketika itu muncul seorang bernama Hoat Bhok
Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dialah orangnya yang menjatuhkan
Beng-kauw, merobohkan semua tokoh-tokohnya kecuali kedua Kam-kouwnio yang
berhasil melarikan diri. Anak buah Beng-kauw dipaksa untuk menjadi pengikutnya,
dan hanya beberapa orang saja termasuk saya sendiri yang dapat melarikan diri
karena tidak sudi menjadi anggota Beng-kauw baru yang dipimpin oleh pendeta Lama
itu. Ji-wi Kam-kouwnio dan beberapa orang anggota yang setia menguburkan semua
jenazah di puncak itu, kemudian berkali-kali kami mencoba untuk membalas dendam
dan merampas kembali Beng-kauw. Namun, pendeta Lama itu terlalu lihai sehingga
makin banyak korban. Akhirnya Ji-wi Kouw-nio pergi entah ke mana, mungkin
mencari bala bantuan dan habislah riwayat Beng-kauw yang sejati. Beng-kauw yang
sekarang berpusat di pegunungan Heng-toan-san adalah Beng-kauw palsu yang
dipimpin oleh Hoat Bhok Lama.”
Han Ki
menjadi makin berduka, akan tetapi juga marah sekali. “Terima kasih, Paman.
Sekarang juga aku akan mencari Hoat Bhok Lama dan menghancurkan kepala penjahat
berkedok pendeta itu!” Sekali berkelebat Han Ki lenyap dari depan petani itu
yang melongo dan mencari dengan pandang matanya. Ketika tidak dapat menemukan
bayangan Han Ki, dia lalu berlutut dan mengangkat kedua tangan ke atas.
“Terima
kasih kepada Thian yang agaknya menurunkan cahaya terang untuk mengusir
kegelapan ini. Semoga dia berhasil!”
Tanpa
mempedulikan kelelahan, Han Ki terus langsung menuju ke Heng-toan-san,
melakukan perjalanan cepat siang malam dengan hati penuh kemarahan. Ia
mengambil keputusan untuk membasmi Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya,
membebaskan para anggota Beng-kauw dan baru kemudian mencari kedua orang
enci-nya yang tidak ada kabar beritanya lagi. Biar pun di sepanjang jalan ia
bertanya-tanya orang, agaknya penduduk di sepanjang jalan sungkan untuk bicara
sesuatu yang menyangkut Beng-kauw yang kini berubah menjadi perkumpulan agama
yang ditakuti orang.
Akan tetapi
ketika Han Ki akhirnya tiba di puncak Heng-toan-san, di lembah Sungai Cin-sha
yang dahulu menjadi markas besar Beng-kauw yang dipimpin oleh Hoat Bhok Lama,
kembali ia mendapatkan tempat yang amat sunyi, hanya tinggal bekas-bekasnya
saja, yaitu bangunan-bangunan yang sudah tak terawat. Beberapa orang yang masih
tinggal di situ hidup sebagai petani dan kepada mereka inilah Han Ki bertanya.
“Saudara
sekalian, harap suka memberi keterangan kepadaku, di mana aku dapat bertemu
dengan Hoat Bhok Lama?”
Begitu Han
Ki mengucapkan kata-kata pertanyaan ini, enam orang petani itu langsung
menyerangnya dengan cangkul mereka. Gerakan mereka gesit dan kuat, tanda bahwa
mereka bukanlah petani-petani biasa, melainkan orang-orang yang pandai ilmu
silat.
Tentu saja
Han Ki terkejut bukan main. Akan tetapi begitu tubuhnya bergerak cepat, enam
orang itu semua terlempar kembali ke tengah sawah dan terbanting ke dalam
lumpur! Untung bagi mereka bahwa Han Ki tidak menggunakan seluruh tenaga
sinkang-nya karena Han Ki masih meragukan apakah mereka ini kaki tangan Hoat
Bhok Lama yang dicarinya. Kalau dia sudah yakin bahwa mereka adalah kaki tangan
pendeta Lama itu, tentu mereka berenam itu sekarang sudah tidak dapat bangkit
lagi dan tewas seketika!
“Hemm,
mengapa kalian menyerangku? Apakah kalian ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang
jahat?”
Mendengar
ucapan itu, enam orang yang sudah bangkit kembali itu tiba-tiba merubah sikap.
Mereka keluar dari lumpur dan melempar cangkul, kemudian menghadapi Han Ki
sambil memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka bertanya.
“Maaf...,
apakah Taihiap yang gagah perkasa ini bukan sahabat mendiang Hoat Bhok Lama?”
“Sahabatnya?
Dan apa kau bilang? Mendiang? Jadi manusia iblis itu sudah mati?”
Enam orang
itu menarik napas lega. “Uihh, kiranya Taihiap bukan sahabatnya. Maafkanlah
kami karena tadi kami menyangka bahwa Taihiap adalah seorang sahabatnya, maka
kami segera menyerang. Memang dia sudah tewas, juga semua kaki tangannya,
Taihiap. Kami bersyukur sekali, dan sebelum kami melanjutkan cerita, bolehkah
kami mengetahui siapa Taihiap ini? Apakah masih sahabat Suma-taihiap, atau
Im-yang Seng-cu, dan kenalkah Taihiap kepada Bu-tek Lo-jin?”
Han Ki sudah
mendengar nama besar Im-yang Seng-cu tokoh Hoa-san-pai itu, dan nama besar
Bu-tek Lo-jin tentu saja sudah didengarnya. Hanya sebutan Suma-taihiap itu
membuat ia terkejut karena dia tidak tahu siapa, sedangkan she-nya mengingatkan
dia akan keluarga Suma yang jahat sekali.
“Namaku Kam
Han Ki, dan aku mencari kedua orang enci-ku, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui.”
“Ahhhhh...,
mengapa Taihiap datang terlambat...?” Enam orang itu mengeluh dan tiba-tiba
mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Han Ki dan menangis! Persis seperti
yang dilakukan petani bekas anggota Beng-kauw di Ta-liang-san itu.
“Bangkitlah,
jangan seperti anak kecil. Kalau Hoat Bhok Lama sudah tewas, demikian pula kaki
tangannya, bukankah kalian seharusnya bersuka, mengapa sekarang menangis?”
Orang tertua
dari mereka berkata, “Kami adalah bekas anggota-anggota Beng-kauw yang dipaksa
menjadi anak buah Hoat Bhok Lama. Setelah Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya
dibasmi oleh Bu-tek Lo-jin dibantu oleh Suma-taihiap dan Im-yang Seng-cu, kami
berenam tinggal di sini, sedangkan saudara-saudara lainnya kembali ke Nan-cao
untuk membangun kembali Beng-kauw yang berantakan oleh perbuatan Hoat Bhok
Lama. Akan tetapi... ah... Taihiap... kedua orang kouwnio yang kami hormati dan
cinta itu, mereka... mereka telah menjadi korban dan tewas...”
Seketika
pucat wajah Kan Ki, napasnya terasa sesak. Pukulan terakhir ini benar-benar
amat hebat baginya, hampir saja dia roboh pingsan kalau dia tidak mengeraskan
hatinya. Dengan bibir gemetar dia berkata singkat, “Ceritakan...!”
Orang tertua
itu lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi di situ hampir dua bulan
yang lalu. Han Ki mendengarkan dengan penuh perhatian dan ia berduka sekali
ketika mendengar betapa kedua orang enci-nya terjebak dan terpendam di bawah
tumpukan batu-batu gunung.
“Di mana
mereka terpendam? Lekas tunjukkan kepadaku!”
Enam orang
itu lalu menuju ke bukit di mana dahulu kedua orang wanita itu teruruk oleh
batu-batu yang amat banyak. Ketika Han Ki tiba di depan gundukan batu seanak
gunung itu, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran.
“Pergilah
kalian, jangan ganggu aku!” bentaknya.
Enam orang
itu cepat menyingkir, saling pandang dan mereka kasihan sekali. Ketika dari
jauh mereka melihat Han Ki mulai membongkari batu-batu itu, mereka menggeleng-geleng
kepala dan mengira bahwa orang itu menjadi gila saking duka. Akan tetapi maklum
bahwa Han Ki amat lihai, mereka tidak berani mendekat, lalu kembali ke sawah
mereka dan melanjutkan pekerjaan mereka.
Memang Han
Ki seperti menjadi gila saking hebatnya penderitaan batin yang menghimpitnya.
Ia mengerahkan seluruh tenaganya, membongkari batu-batu itu dan orang akan
terbelalak kagum dan terheran-heran menyaksikan betapa ia melempar-lemparkan
batu-batu besar ke dalam jurang seolah-olah batu sebesar kerbau itu hanya
merupakan sebongkah kapas yang ringan saja. Hal ini tidak mengherankan karena
dalam duka dan marahnya Han Ki telah mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya.
Saking
tekunnya membongkar batu dan mengerahkan seluruh sinkang, Han Ki tidak tahu
betapa dari jauh terdapat beberapa pasang mata memandang ke arahnya dengan
terbelalak dan penuh kekaguman. Juga ia tidak tahu betapa enam orang tadi kini
telah menggeletak di tengah sawah dalam keadaan mati semua!
Dia terus
membongkar batu-batu yang merupakan tumpukan sebesar anak gunung itu dan
menjelang senja, habislah batu-batu itu dibongkarnya, tenaganya hampir habis
dan dengan tubuh lemas ia berlutut memandang dua buah kerangka manusia yang
masih berpakaian. Jelas pakaian dua orang wanita, dua orang enci-nya!
“Aduh,
Kui-cici... Hui-cici...!” Ia menangis memeluk dua kerangka manusia itu.
Han Ki
kemudian mengumpulkan kerangka itu, memondongnya dan membungkusnya dalam
pakaian mereka, lalu menggali lubang tak jauh dari situ dan mengubur dua
kerangka itu menjadi dua gundukan tanah. Dengan pengerahan tenaga terakhir ia
berhasil menggores-gores dua buah batu sebagai batu nisan, menuliskan nama
kedua orang enci-nya dengan goresan jari, kemudian menancapkan batu nisan itu
di depan dua kuburan dan ia menangis tersedu-sedu sampai akhirnya ia roboh
terguling dalam keadaan pingsan!
“Cepat! Dia
pingsan, kita dapat turun tangan sekarang! Jangan sampai dia keburu siuman!”
Terdengar orang berkata dan muncullah beberapa orang yang sejak tadi mengintai
setelah mereka mendengar penuturan enam orang bekas anggota Beng-kauw kemudian
membunuh mereka begitu saja. Orang-orang ini adalah Coa Sin Cu yaitu Coa-bengcu
yang bermarkas di Pantai Po-hai, isterinya yang cantik bernama Liem Cun,
Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin.
Kedatangan
mereka adalah atas usul Pat-jiu Sin-kauw yang masih terhitung adik seperguruan
Hoat Bhok Lama, yaitu murid Thai-lek Kauw-ong. Pat-jiu Sin-kauw yang tahu bahwa
suheng-nya telah merampas Beng-kauw mengusulkan kepada Coa Sin Cu untuk
mengadakan hubungan dengan suheng-nya agar kedudukan mereka menjadi makin kuat.
Kunjungan ke situ selain disertai ketua Pantai Po-hai itu dan isterinya, juga
turut pula Thian Ek Cinjin, tosu pembantu Coa Sin Cu.
Untung
sekali bahwa mereka tadi tidak berjumpa dengan Han Ki, melainkan dengan enam
orang petani yang mengira bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Kam Han Ki, maka
tanpa curiga mereka menceritakan keadaan Beng-kauw yang sudah hancur, tentang
kematian Hoat Bhok Lama dan tentang kedatangan Han Ki membongkar batu segunung
yang mengubur dua orang enci-nya.
Mendengar
nama Han Ki, mereka terkejut karena nama Han Ki sudah amat terkenal sebagai
adik Menteri Kam yang sakti. Mereka lalu membunuh enam orang bekas anggota
Beng-kauw itu, kemudian diam-diam mereka mengintai dan menyaksikan dengan penuh
takjub betapa pendekar itu membongkar batu-batu besar.
Ucapan
Pat-jiu Sin-kauw tadi memang benar. Biar pun Han Ki hampir kehabisan tenaga
membongkar batu-batu tadi, kalau saja dia tidak pingsan, belum tentu enam orang
itu akan mampu menandinginya. Kini empat orang itu berlompatan mendekati tubuh
Han Ki yang pingsan tak bergerak, kelihatan mereka masih takut-takut kemudian
Pat-jiu Sin-kauw hendak menotok tubuh yang pingsan itu.
“Jangan!”
Tiba-tiba Liem Cun, isteri Coa Sin Cu, mencegah. “Orang dengan kesaktian
seperti dia ini, siapa tahu tidak akan terpengaruh kalau ditotok. Aku mempunyai
akal yang lebih aman bagi kita.” Nyonya yang cantik dan cerdik, bekas murid
Hoa-san-pai yang murtad itu mengeluarkan sebuah bungkusan merah, mengeluarkan
seguci arak, kemudian menuangkan arak ke dalam cawan. Setelah itu bungkusan
dibuka dan dia menjumput sedikit bubuk merah yang ia masukkan ke dalam cawan.
“Buka
mulutnya, paksa obat ini masuk ke perutnya!” katanya.
Melihat
Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin ragu-ragu.
Coa Sin Cu
tertawa. “Ha-ha, percayalah akan kemanjuran racun isteriku itu. Biar dia dewa
sekali pun, kalau minum racun ini dalam waktu sehari semalam dia akan pingsan
terus!”
Mulut Han Ki
yang sedang pingsan itu dibuka dan arak itu dituangkan ke dalam mulutnya.
Karena masuknya arak ini ke perut dan menyumbat tenggorokan, Han Ki siuman dari
pingsannya. Ia meronta dan melompat bangun sehingga empat orang itu terlempar
ke kanan kiri, akan tetapi Han Ki terhuyung-huyung dan jatuh lagi, pingsan
untuk kedua kalinya, akan tetapi kali ini karena pengaruh racun yang dipaksa
memasuki perutnya.
“Hebat, dia
lihai bukan main!” Pat-jiu Sin-kauw mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor karena
dia tadi terlempar jatuh.
“Mengapa
orang yang berbahaya ini tidak dibunuh saja?” Thian Ek Cinjin berkata sambil
mengerutkan alisnya, merasa ngeri menyaksikan kesaktian pendekar itu.
“Ah, dia
tepat sekali bagi kita,” kata Coa Sin Cu. “Dia inilah yang akan menjadi pembuka
jalan, menjadi kunci ke dalam gedung Bu-koksu. Kalau Pat-jiu Sin-kauw dan
Totiang berdua datang menghadap Bu-koksu seperti yang kita rencanakan,
menghadap begitu saja, aku masih khawatir kalau-kalau Koksu menjadi curiga dan
tidak mau menerima bantuan kalian. Akan tetapi kalau kalian membawa Kam Han Ki
sebagai tawanan, tentu dia percaya karena orang ini adalah seorang buruan,
musuh pemerintah. Begitu muncul kalian membawa tangkapan yang penting ini,
berarti telah membuat jasa besar. Tentu Bu-koksu akan menerima kalian sebagai
pengawal dan kalau sudah begitu akan lancarlah usaha kita. Pek-mau Seng-jin,
koksu dari Yucen tentu akan girang sekali mendengar bahwa kalian sudah berhasil
menyelundup ke sana dan menduduki jabatan penting!”
Dua orang
kakek itu mengangguk-angguk dan berangkatlah mereka berdua membawa Han Ki yang
pingsan, dan membawa pula bekal obat merah Liem Cun. Setiap sehari semalam,
mereka mencekokkan obat merah dan arak ke dalam perut Han Ki sehingga pendekar
ini berada dalam keadaan pingsan terus-menerus selama sepuluh hari!
Tepat
seperti yang diperhitungkan oleh Coa Sin Cu, Bu Kok Tai, koksu negara itu
menjadi girang sekali ketika menerima dua orang pendeta yang membawa Han Ki
sebagai tangkapan itu. Otomatis keduanya diterima dan diangkat menjadi
pengawal, akan tetapi koksu yang cerdik itu tidak membunuh Han Ki atau
menyerahkan kepada pengadilan kota raja untuk diadili. Tidak, koksu ini terlalu
cerdik untuk membunuh Han Ki begitu saja.
Dia sudah
mendengar akan kelihaian pendekar ini, bahkan sudah mendengar akan sepak
terjang Han Ki ketika membasmi ribuan orang tentara Mancu, dan tahulah dia
bahwa amat sukar mencari seorang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Kam Han
Ki. Alangkah akan kuat kedudukannya, terjamin keamanannya, kalau dia dapat
memiliki seorang pengawal seperti ini! Apa lagi kalau dipikir bahwa dia dapat
memetik ilmu-ilmu kesaktian dari pendekar ini.
Akan tetapi
tentu saja tidak mungkin membujuk pendekar ini untuk menjadi pengawalnya. Bu
Kok Tai tidak kekurangan akal. Di samping ilmunya yang tinggi, dia juga sudah
lama tinggal di daerah Himalaya dan dia mempunyai bubuk racun dari Himalaya,
buatan seorang pendeta aliran hitam, yang disebut I-hun-tok-san. Bubuk beracun
ini dapat dicampurkan dengan makanan atau minuman, dan siapa yang meminumnya
akan kehilangan ingatannya dan seperti dalam keadaan dihypnotis, menurut segala
perintah orang yang menguasainya pada pertama kali.
Demikianlah,
dengan menggunakan I-hun-tok-san ini, Bu-koksu memberi minuman racun ini kepada
Han Ki selama tiga hari berturut-turut. Ketika sadar, Han Ki mendapatkan
dirinya di sebuah kamar yang amat bagus dan di dekat pembaringannya duduk
Bu-koksu yang dengan ramah-ramah memberitahukan bahwa koksu itu menolongnya
dari keadaan pingsan dan hampir mati.
Han Ki
adalah seorang yang memiliki dasar watak pendekar budiman. Seorang pendekar
tidak pernah melepas budi, akan tetapi selalu ingat akan budi orang lain, maka
biar pun ingatannya samar-samar dan ia sudah lupa mengapa dia pingsan di bukit
dan hampir mati. Kenyataannya bahwa dia berada di situ dan terawat baik membuat
ia tidak meragukan lagi akan pertolongan orang lain, maka dia menghaturkan
terima kasih.
Demikianlah,
dengan amat pandai Bu-koksu mengambil hati Han Ki yang kehilangan ingatannya,
bahkan memanggil taihiap dan menganggapnya sebagai seorang adik sendiri. Han Ki
disuruh menyebutnya Bu-loheng (Kakak Tua Bu), sebuah sebutan yang amat langka
bagi orang lain dan semenjak itu, Han Ki menjadi pengawal Bu-koksu yang amat
setia.
Namun ada
hal yang mengecewakan hati Bu-koksu. Biar pun Han Ki tidak kehilangan ilmu
kepandaiannya yang sudah mendarah daging dan tidak membutuhkan ingatan lagi,
namun pemuda itu sama sekali tidak dapat mengajarkan ilmu silat karena pemuda
itu sudah lupa sama sekali akan teori ilmu silatnya! Sebetulnya, agak janggal
menyebut Han Ki yang sudah berusia tiga puluh lima tahun itu sebagai pemuda,
akan tetapi karena dia memang belum menikah dan wajahnya masih kelihatan
seperti seorang berusia dua puluh lima tahun, dia masih patut disebut pemuda!
Hal lain
lagi yang aneh adalah bahwa Han Ki dalam keadaan tidak sadar itu tidak pernah
mau mempedulikan urusan lain, bahkan tidak tahu akan sopan-santun dan segala
peraturan lain. Hanya ucapan Bu-koksu seoranglah yang ditaatinya dan biar pun
tanpa diminta, kalau melihat koksu itu diganggu orang, tentu dia akan turun
tangan melindungi. Seperti keadaan seekor anjing yang terlatih dan amat setia.
*************
Marilah kita
kembali ke dalam ruangan kepala daerah, yang tadinya menjadi tempat pesta
pertemuan dan kini menjadi medan pertandingan menguji kepandaian itu. Han Ki
melenggut di atas langkan jendela, tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya.
Karena Koksu tidak memberi perintah apa-apa, dan juga tidak ada bahaya
mengancam Koksu, maka Han Ki bertopang dagu lagi dengan pikiran kosong!
Seperti
telah diduga Siauw Bwee, pertandingan antara Coa Leng Bu melawan tosu yang
bukan lain adalah Thian Ek Cinjin itu tidak berjalan terlalu lama dan kini
supek-nya telah dapat mendesak lawannya sehingga selalu mundur. Ketika tangan
Thian Ek Cinjin terpental bertemu dengan tangan Coa Leng Bu dan kedudukan
kakinya tergeser, Coa Leng Bu cepat menerjang dan melakukan tiga kali pukulan
tangan kosong berturut-turut. Thian Ek Cinjin berusaha mengelak dan menangkis,
namun kalah cepat dan pundak kirinya kena terpukul telapak tangan Coa Leng Bu.
Ia
terjengkang dan roboh, meringis kesakitan akan tetapi dia sudah meloncat lagi
dan kini tangan kanannya memegang sebatang pedang tipis. Coa Leng Bu adalah
seorang tokoh yang sudah berpengalaman. Dia tidak khawatir menghadapi lawan
yang bersenjata, akan tetapi karena dia tidak ingin kesalahan tangan melakukan
pembunuhan, maka ia mendahului. Selagi lawan meloncat bangun, cepat ia
menggerakkan tangan memukul dengan sinkang jarak jauh. Thian Ek Cinjin
tiba-tiba merasa dadanya dingin sekali, tangannya menggigil dan ia tidak mampu
mempertahankan lagi ketika pedangnya dirampas oleh lawannya!
“Kurasa
sudah cukup Totiang!” kata Coa Leng Bu sambil melontarkan pedang itu ke arah
pemiliknya. Thian Ek Cinjin marah sekali, menyambar pedangnya dan hendak
meloncat maju lagi. Betapa dia tidak marah kalau di depan Koksu dia dikalahkan
orang seperti itu?
“Mundurlah,
Cinjin, biar aku yang melawannya!”
Bentakan ini
keluar dari mulut Pat-jiu Sin-kauw yang juga marah melihat kawannya keok.
Karena dia maklum bahwa petani tak bersepatu itu cukup lihai, maka begitu
menyerang ia sudah mainkan Soan-hong-sin-ciang, tubuhnya berputar seperti
gasing dan angin yang keras bertiup ke arah Coa Leng Bu! Kakek ini terkejut
sekali, terpaksa kini ia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Jit-goat-sinkang.
Kedua lengannya melindungi tubuh sendiri dan kadang-kadang tangannya mendorong
ke depan.
“Ihhhh...!”
Pat-jiu Sin-kauw berteriak kaget ketika hawa pukulan yang amat panas
menyambarnya dan membuat gerakan berputar menjadi agak kacau.
Tahulah dia
bahwa lawannya itu memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, maka ia menjadi
marah sekali dan menghentikan gerakan tubuhnya berputaran, lalu kedua lengannya
bergerak mendorong atau memukul dari bawah ke arah lawan. Dari perutnya
terdengar bunyi berkokok. Inilah ilmu pukulan Thai-lek-kang yang mengandung
tenaga sinkang amat dahsyat!
Menghadapi
pukulan-pukulan dahsyat ini, Coa Leng Bu terkejut dan cepat ia pun mengerahkan
Jit-goat-sinkang, karena hanya dengan tenaga sinkang ini sajalah ia akan mampu
menghadapi lawannya yang tangguh. Mulailah dua orang kakek itu bertanding
secara hebat sekali, gerakan mereka tidak cepat sekali, namun setiap gerakan
tangan yang memukul atau menangkis mengandung tenaga sinkang yang kuat sehingga
angin menyambar-nyambar di sekitar ruangan itu dan terdengar suara bersuitan.
Siauw Bwee
memandang kagum. Dia dapat mengukur Jit-goat-sinkang yang dikuasai supek-nya
sekarang. Terasa betapa di ruangan itu hawanya menjadi berubah-ubah,
kadang-kadang panas sekali dan kadang-kadang sejuk dingin. Itulah pengaruh dari
kekuatan Jit-goat-sinkang. Akan tetapi ia pun dapat melihat bahwa supek-nya
bukanlah lawan Pat-jiu Sin-kauw yang lihai sekali. Biar pun dengan
Jit-goat-sinkang supek-nya masih dapat menahan serangan-serangan Thai-lek-kang,
namun ilmu silat supek-nya masih kalah jauh. Begitu pendeta rambut panjang
berjubah hitam itu mainkan Soan-hong Sin-ciang, supeknya terdesak hebat.
Si Sastrawan
Ang Hok Ci berbisik kepada gurunya, memberi tahu bahwa Coa Leng Bu
mempergunakan Jit-goat-sinkang. Mendengar ini Koksu berkata sambil tertawa!
“Ha-ha-ha, jadi hanya begini sajakah Jit-goat-sinkang yang terkenal ini? Kalau
hanya begini, mengapa mesti susah payah mendapatkannya?”
Mendengar
ini, tahulah Siauw Bwee bahwa sastrawan Ang itu hanya memenuhi perintah gurunya
untuk mencari kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin untuk mempelajari Jit-goat-sinkang.
Kini mendengar koksu itu mengejek karena memang kepandaian dan kekuatan Coa
Leng Bu masih kalah tingkatnya oleh Pat-jiu Sin-kauw, ia merasa mendongkol.
Pula dara perkasa ini maklum bahwa kalau dilanjutkan, supek-nya bisa terluka
karena orang macam pendeta rambut panjang itu mana mempunyai pribadi baik dan
dapat dipercaya? Salah-salah supek-nya akan terbunuh!
Tiba-tiba
terdengar bentakan Pat-jiu Sin-kauw, “Petani busuk, menggelindinglah kau!”
Ternyata
setelah mendesak lawannya dengan hebat, pendeta jubah hitam itu tiba-tiba
mengirim serangan hebat dengan Thai-lek-kang yang tak dapat dielakkan lagi oleh
Coa Leng Bu sehingga terpaksa dia menangkis dengan tangan kanannya sambil
mengerahkan Jit-goat-sinkang. Biar pun tangan mereka tidak saling sentuh, namun
terjadilah pertemuan tenaga sinkang yang amat dahsyat dan tubuh Coa Leng Bu
menggigil, namun dia tetap mempertahankan agar tidak sampai roboh karena dia
maklum bahwa kalau dia mengalah dan sampai roboh ia akan celaka di tangan lawannya
yang berhati kejam itu.
“Supek,
mundur!” tiba-tiba Siauw Bwee berseru nyaring.
Tubuhnya
sudah mencelat ke atas di antara kedua orang yang mengadu tenaga itu dan
tiba-tiba dorongan tangannya dari atas memisahkan tenaga dua orang yang sedang
saling dorong, bahkan tubuh mereka terjengkang ke belakang. Coa Leng Bu yang
maklum bahwa dara sakti itu hendak menggantikannya, dan tahu bahwa dia bukanlah
lawan pendeta jubah hitam, segera mundur. Sedangkan Siauw Bwee dengan sikap
tenang menghadapi Pat-jiu Sin-kauw yang sudah meloncat lagi memperbaiki
posisinya.
Kakek ini
memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak penuh kemarahan, lalu menegur,
“Kawanmu belum kalah, engkau sudah datang mengeroyok. Aturan mana ini?”
Siauw Bwee
tersenyum mengejek. “Biar pun belum kau robohkan, Supek sudah mengaku kalah.
Apakah kau belum puas kalau belum melukai atau membunuh? Anggap saja dia
mengalah kepadamu dan marilah kita main-main sebentar kalau memang kau ingin
memamerkan kepandaianmu!”
Pat-jiu
Sin-kauw adalah seorang yang berilmu tinggi. Di depan orang banyak tentu saja
dia merasa direndahkan kalau harus melawan seorang dara remaja, maka ia
membentak nyaring, “Kalau supek-mu saja sudah kalah olehku, apa lagi engkau
keponakan muridnya. Apakah engkau gila hendak melawanku?”
Siauw Bwee
menoleh ke arah Bu-koksu dan berkata nyaring, “Koksu, begini sajakah
jago-jagomu? Kalau memang takut melawan aku, mengapa mesti berpura-pura segala?
Jagomu ini tidak berani melawanku, harap Koksu suka mengeluarkan jago yang
lebih berani!”
Ejekan ini
benar-benar hebat, membuat muka Pat-jiu Sin-kauw menjadi marah. Sebenarnya dia
tidak takut, hanya merasa segan dan direndahkan kalau harus melawan seorang
gadis remaja. Mukanya menjadi makin merah lagi dan matanya terbelalak marah
ketika terdengar suara Bu-koksu, “Pat-jiu Sin-kauw, apakah engkau takut
menghadapi anak perempuan itu?” Ucapan koksu ini disambut suara kekeh tawa di
sana-sini.
“Bocah
setan, engkau sudah bosan hidup! Sambutlah ini!”
Dengan
gerakan cepat sekali Pat-jiu Sin-kauw menggerakkan tangannya menampar ke arah
kepala Siauw Bwee. Dia memandang rendah sehingga tidak menggunakan
Thai-lek-kang, hanya menampar dengan sembarangan saja, namun sambil mengerahkan
sinkang.
“Plakkk!”
Tangan yang besar itu tertangkis oleh tangan yang kecll mungil, dan
akibatnya... tubuh Pat-jiu Sin-kauw terpelanting!
Semua orang
berseru kaget, akan tetapi tidak lebih keras dari seruan Pat-jiu Sin-kauw
sendiri. Ia cepat meloncat dan mukanya menjadi pucat saking marahnya, diam-diam
ia menyalahkan diri sendiri yang memandang ringan dara ini. Sambil berteriak
keras ia kini menyerang lagi dengan Ilmu Soan-hong-sin-ciang. Tubuhnya
berputaran seperti gasing, membawa angin yang menyambar dan dari bayangan tubuh
yang berputaran itu, kedua tangannya meluncur ke luar dan memukul dengan
pengerahan tenaga Thai-lek-kang! Inilah serangan yang amat hebat dan yang tadi
membuat Coa Leng Bu kewalahan. dengan mengeluarkan dua ilmu ini sekaligus
berarti Pat-jiu Sin-kauw sudah marah sekali dan bermaksud membunuh dara itu.
Semua orang
memandang terbelalak, demikian pula Bu-koksu karena pembesar ini sudah mengenal
kehebatan ilmu jagonya dan diam-diam ia khawatir kalau-kalau dara yang demikian
cantik jelita itu akan celaka dan tewas. Maka ia memandang dengan mata penuh
perhatian tanpa berkejap seperti juga semua orang yang berada di situ.
Betapa heran
hati mereka yang menonton ketika melihat dara itu sama sekali tidak bergerak
dari tempatnya, hanya berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, dan hanya
kedua lengannya saja yang bergerak amat cepat sehingga dua lengan itu seperti
berubah menjadi banyak sekali. Anehnya, semua pukulan yang dilakukan Pat-jiu
Sin-kauw itu terpental, bahkan setiap kali kakek itu memukul dan tertangkis,
tubuhnya terdesak mundur sampai dua tiga langkah!
Tidak ada
orang yang dapat mengikuti gerak tangannya, bahkan Koksu sendiri yang lihai
juga tidak mengenal gerak tangan itu karena Siauw Bwee mainkan ilmu gerak
tangan kilat dari kaum kaki buntung, dan sebagai dasar gerakan, tentu saja ia
menggunakan sinkang yang dilatihnya di Pulau Es dahulu dan yang kini, berkat
latihan-latihan dan ilmu lain yang dipelajarinya, telah menjadi makin kuat itu.
Baik gerakan tangan ilmu silat mau pun tenaga sinkang Pat-jiu Sin-kauw tentu
saja tidak mampu menandingi tingkat Siauw Bwee, maka biar pun dara itu hanya
menangkis saja, semua serangan kakek itu membalik dan terpental ke belakang.
Pat-jiu
Sin-kauw sendiri merasa terkejut dan heran sekali. Dia tidak tahu bagai mana
caranya dara itu menghadapi serangan-serangannya karena dia pun tidak dapat
mengikuti kecepatan gerak tangan lawan. Hanya kenyataannya, setiap kali dia
memukul, tangannya terpental kembali dan tubuhnya terdorong oleh tenaga raksasa
yang dahsyat. Ia merasa penasaran sekali dan marah, karena kalau dia tidak
dapat mengalahkan seorang dara remaja seperti itu, tentu namanya akan jatuh
dalam pandangan koksu! Maka sambil berseru keras ia menerjang lagi dengan
pengerahan tenaga, siap untuk mengadu tenaga sampai mati!
Akan tetapi
tiba-tiba dara itu lenyap dari depannya. Cepat ia membalik dan mengayun tangan
langsung menyerang setelah pendengarannya menangkap gerakan lawan di
belakangnya. Akan tetapi dia hanya melihat bayangan berkelebat-kelebat dan
selalu lenyap dari pandang matanya. Pat-jiu Sin-kauw terkejut dan terus
mengejar ke mana saja bayangan berkelebat dengan pukulan-pukulannya, namun
semua pukulannya luput dan makin lama bayangan Siauw Bwee menjadi makin banyak
dan makin cepat gerakannya, membuat kepala Pat-jiu Sin-kauw menjadi pening.
Bukan hanya
Pat-jiu Sin-kauw yang pening kepala dan kabur pandangan matanya, bahkan semua orang
yang menonton pertandingan itu terbelalak memandang ke depan, berusaha
mengerahkan pandang mata untuk dapat mengikuti gerakan kaki Siauw Bwee yang
kini berkelebatan dan amat cepatnya seperti menghilang itu. Siauw Bwee telah
mainkan ilmu gerak kaki kilat dari kaum lengan buntung, maka gerakannya
benar-benar mukjizat dan cepat sekali.
Setelah
menganggap cukup memberi pelajaran kepada kakek yang sombong itu, tangan kiri
Siauw Bwee bergerak menepuk pundak, kaki kanan menyentuh lutut dan tanpa dapat
dipertahankannya lagi, Pat-jiu Sin-kauw jatuh berlutut di depan Siauw Bwee!
“Aihh,
engkau orang tua terlalu sungkan, mana mungkin aku yang muda berani menerima
penghormatan ini?” Siauw Bwee berkata sambil melangkah mundur, seolah-olah dia
sungkan menerima penghormatan Pat-jiu Sin-kauw yang berlutut di depannya.
Sejenak
Pat-jiu Sin-kauw terbelalak, heran sendiri mengapa tahu-tahu dia jatuh
berlutut. Ketika mendengar suara ketawa ditahan di sana-sini, dia marah sekali
dan meloncat berdiri, siap untuk menerjang mati-matian mengadu nyawa.
“Pat-jiu
Sin-kauw, cukup! Mundurlah, Nona ini benar-benar lihai sekali, terlalu lihai
untukmu. Agaknya hanya Kam-siauwte saja yang tepat menjadi lawannya.
Kam-taihiap, harap maju dan kalahkan Nona itu untukku!”
Pat-jiu
Sin-kauw tidak berani membantah dan mengundurkan diri, sedangkan Han Ki yang
duduk di jendela, ketika mendengar perintah itu mengangkat muka memandang
kepada Koksu, kemudian menoleh dan memandang Siauw Bwee. Nona ini masih berdiri
dan juga memandang kepadanya. Pandang mata mereka bertemu dan mulut Siauw Bwee
berseru, “Suheng...!”
Akan tetapi
ia tahu bahwa sia-sia saja panggilannya ini karena Han Ki memandang kepadanya
seperti pandang mata orang asing, bahkan alisnya berkerut sebagai tanda kalau
hatinya tidak senang. Tiba-tiba tubuh Han Ki melesat dari jendela itu, melayang
dan tiba di depan Siauw Bwee!
Kembali
mereka berpandangan, kini dari jarak dekat karena mereka berdiri saling
berhadapan. Hati Siauw Bwee terharu sekali. Wajah suheng-nya kini kelihatan
muram ditindih duka, sinar matanya kosong, dan jelas tampak olehnya bahwa
suheng-nya itu sama sekali tidak bahagia. Akan tetapi dengan kaget ia pun dapat
melihat bahwa suheng-nya sudah siap untuk menerjangnya.
“Suheng...
jangan melawanku...!” Ia berkata dengan hati bingung.
Han Ki
memandangnya dengan sinar mata kosong, kemudian terdengar ia berkata,
“Bu-loheng menyuruh aku mengalahkan engkau. Aku akan menangkapmu untuk
Bu-loheng!”
“Suheng,
ingatlah! Aku Khu Siauw Bwee...! Suheng...!”
Siauw Bwee
cepat menghindar ketika tangan kiri Han Ki meluncur dan mencengkeram pundaknya.
“Eh, kau
pandai juga!” Han Ki yang cengkeramannya luput itu telah membalikkan tangan dan
menyambar ke arah lengan Siauw Bwee untuk menangkap lengan itu. Akan tetapi
kemball tangkapannya luput!
“Kam-siauwte,
jangan sungkan-sungkan, pukul roboh dia!” Tiba-tiba Koksu berkata nyaring, “Dia
datang mengacau!”
Han Ki
mengerutkan alisnya. “Baik, Loheng!”
Dan kini dia
menerjang maju memukul ke arah lambung Siauw Bwee. Tentu saja pukulannya mantap
dan kuat sekali sehingga Siauw Bwee yang maklum bahwa suheng-nya ini tidak
main-main cepat mengelak dan mengibaskan lengan menangkis.
“Plakkk!”
Tubuh Siauw
Bwee terhuyung ke samping karena betapa pun juga, tenaga sinkang-nya masih
belum dapat menandingi tenaga Han Ki. Selagi terhuyung, Han Ki sudah mengejar
dengan tendangan ke belakang lutut dan tumitnya, tendangan beruntun yang amat
berbahaya.
Namun
tiba-tiba Siauw Bwee mencelat ke atas dan bukan hanya dapat menghindarkan diri
dari dua kali tendangan, bahkan dari atas dia kini membalas dengan tendangan
pula ke arah dada Han Ki! Dara itu kini merasa yakin bahwa suheng-nya
kehilangan ingatan, maka dia kini menyerang sungguh-sungguh dengan niat merobohkan
Han Ki dan dapat melarikan suheng-nya itu dari situ!
“Eh, kau
lihai!” Kembali Han Ki berseru dan sambil menjengkangkan tubuh ke belakang,
tangannya menyambar dan berusaha menangkap kaki Siauw Bwee yang menendang.
”Plakkk!”
Sebelum
tangan Han Ki dapat menangkap kaki yang menendang itu, kaki kedua dari dara itu
telah menghantam tangannya dari samping sehingga kembali tangkapannya meleset.
Akan tetapi pertemuan tenaga itu membuat tubuh Siauw Bwee terlempar lagi. Dara
itu berjungkir balik dan dapat turun dengan tegak di atas lantai.
“Aihhh...
bagaimana kau bisa sehebat ini?” Han Ki mulai merasa heran dan kini dia
menerjang dan mengirim serangkaian serangan pukulan yang mendatangkan angin
dahsyat.
Siauw Bwee
tentu saja mengenal pukulan-pukulan ini dan cepat dia menghadapinya dengan
elakan dan tangkisan. Diam-diam ia merasa terharu dan juga bingung sekali.
Menghadapi suheng-nya seperti ini, teringat ia akan keadaan mereka ketika
berlatih di Pulau Es dahulu. Akan tetapi dia tahu bahwa saat ini suheng-nya
bukannya sedang berlatih, melainkan menyerangnya dengan sungguh-sungguh!
“Hebat,
engkau Nona! Sungguh menarik sekali dan menyenangkan dapat berlatih ilmu
denganmu!” Ucapan Han Ki ini membuktikan akan dasar wataknya yang baik, dan
bahwa dia tidak akan mempunyai niat kejam terhadap lawan, karena terpaksa oleh
perintah Koksu maka dia berusaha merobohkan dan menangkap Siauw Bwee. Akan
tetapi ucapan yang tidak sengaja itu membuat Siauw Bwee makin terharu dan dua
titik air mata menetes turun.
“Wuuutttt!”
“Aihhh...
plakkk!” Hampir saja Siauw Bwee roboh oleh air matanya sendiri.
Karena
terharu dan matanya menjadi kabur oleh air mata, totokan tangan kiri Han Ki
hampir mengenai sasarannya, yaitu di lambung kanan. Untung ia masih cepat dapat
menggerakkan kakinya yang telah memiliki ilmu gerak kaki kilat dan dapat pula
menangkis totokan ltu dengan tangan kanannya. Kemudian ia terhuyung dan kini
Siauw Bwee terpaksa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, bahkan dia juga
harus menggunakan ilmu gerak kaki tangan kilat untuk mempertahankan diri. Biar
pun demikian, dia masih selalu terdesak dan tidak mampu balas menyerang,
sungguh pun sampai sekian lamanya Han Ki belum dapat merobohkannya!
Coa Leng Bu
memandang bingung. Mendengar disebutnya suheng oleh Siauw Bwee dia dapat
menduga bahwa tentu laki-laki yang amat lihai itulah penghuni Istana Pulau Es,
murid dari Bu Kek Siansu. Melihat jalannya pertempuran yang demikian hebatnya,
ia maklum bahwa murid keponakannya itu takkan dapat menang, dan untuk membantu
pun ia merasa bahwa kepandaiannya terlampau rendah. Gerakan dua orang itu amat
hebat, amat indah, dan sukar dimengerti karena mengandung keanehan. Kalau
sampai Siauw Bwee tertawan, dia akan mengamuk dan mengorbankan nyawa karena
maklum bahwa kalau dara sakti itu saja masih kalah, apa lagi dia!
Pada saat
itu, terdengar suara gaduh sekali di luar gedung. Mula-mula suara itu terdengar
dari jauh, makin lama makin dekat. Terdengar teriakan-teriakan, bahkan tanda
bahaya dipukul gencar dan derap kaki kuda hilir-mudik disambut suara
orang-orang berlari-lari bingung. Semua orang yang berada di ruangan itu
menoleh ke arah pintu dengan heran, akan tetapi Han Ki dan Siauw Bwee tetap
bertanding dengan hebat. Dapat dibayangkan betapa hancur hati Siauw Bwee
menghadapi peristiwa itu. Kalau saja Han Ki tidak dalam keadaan kehilangan
ingatan seperti itu, kalau saja dalam keadaan wajar suheng-nya itu
menyerangnya, tentu dia akan menyerah dan tidak berani melawan.
Akan tetapi
keadaannya sekarang lain lagi. Suheng-nya itu bergerak atas perintah lain
orang, bergerak di luar kesadarannya dan seolah-olah bukan suheng-nya yang
menyerangnya, melainkan orang lain, seorang pengawal dari Koksu! Karena inilah
maka Siauw Bwee melawan sekuatnya, mengerahkan seluruh tenaganya dan
kepandaiannya, bukan hanya untuk menjaga diri, melainkan juga kalau mungkin
untuk merobohkan dan menawan suheng-nya untuk melarikannya.
Akan tetapi
ternyata olehnya bahwa biar pun Han Ki kehilangan ingatannya, namun sama sekali
tidak kehilangan ilmu kepandaiannya! Dan baru sekarang setelah bertanding
benar-benar, bukan main-main dan bukan latihan, Siauw Bwee mendapat kenyataan
betapa hebat kepandaian suheng-nya. Dia yang sudah merantau dan banyak
mempelajari ilmu tambahan yang tinggi-tinggi tingkatnya, terutama ilmu gerakan
kilat, kini berhadapan dengan suheng-nya dia benar-benar tidak berdaya!
Dia hanya
mampu mempertahankan diri, mengelak dan menangkis, sama sekali tidak diberi
kesempatan membalas. Bahkan dia mengerti benar bahwa kalau suheng-nya itu tidak
memiliki dasar watak yang baik, kalau suheng-nya kejam dan bermaksud
membunuhnya, agaknya pertandingan itu tidak berjalan terlalu lama! Hanya karena
suheng-nya bermaksud menawan tanpa membunuhnya sajalah yang membuat dia masih
dapat bertahan sampai ratusan jurus lamanya!
Seorang
perwira pengawal yang bermuka pucat bergegas memasuki ruangan itu menghadap
Bu-koksu dan melapor dengan wajah serius penuh kegelisahan bahwa pada saat itu,
Sian-yang telah kebobolan oleh penyelundup, yaitu mata-mata musuh yang berhasil
menyelundup ke dalam kota, bahkan telah berhasil menyamar sebagai tentara dan
mempengaruhi prajurit-prajurit penjaga di Sian-yang sehingga timbul
pemberontakan dan kekacauan.
“Hemm,
berapa jumlah mereka?” Koksu bertanya sambil mengerutkan alisnya.
“Menurut
hasil penyelidikan, mereka itu hanya terdiri dari belasan orang yang dipimpin
oleh dua orang mata-mata lihai, akan tetapi selain mereka itu terdiri dari
orang-orang yang pandai, juga jumlah prajurit kita yang telah dipengaruhi cukup
banyak, ada beberapa losin orang yang sekarang memperlihatkan sikap
memberontak!”
“Ahhh, Si
Keparat! Harus kuhajar sendiri!” Koksu lalu bangkit berdiri lalu menoleh kepada
Han Ki yang masih bertanding dengan gadis perkasa itu. “Kam-siauwte, hentikan
pertandingan, biar diwakili Si Dampit. Mari ikut aku keluar! Dampit, dan kau
semua pengawal, tangkap dua orang itu!”
Mendengar
ucapan ini, Han Ki mencelat ke belakang meninggalkan Siauw Bwee, kemudian
mengikuti Koksu keluar dari dalam ruangan itu. Siauw Bwee hendak mengejar, akan
tetapi tiba-tiba bayangan berkelebat dan empat buah lengan bergerak cepat dan
dalam detik yang sama mencengkeram ke arah tubuhnya dari kanan kiri!
Siauw Bwee
cepat mengelak dan ketika ia memandang, ternyata sepasang manusia dampit yang
tadi enak-enak duduk, kini telah menyerangnya dan ternyata selain gerakan
mereka itu cepat sekali, juga mengandung tenaga dahsyat. Kembali Si Dampit
menyerang dan Siauw Bwee cepat mengelak lagi, menggunakan gerak kaki kilat.
Pada saat
itu, Coa Leng Bu juga sudah diserang oleh Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin.
Tentu saja Coa Leng Bu melawan mati-matian sungguh pun dalam beberapa jurus
saja dia terdesak hebat. Betapa pun ia berusaha mempertahankan diri, diserang
oleh dua orang yang tingkat ilmu kepandaiannya tinggi itu, Coa Leng Bu masih
terkena hantaman tangan kanan Pat-jiu Sin-kauw yang mengandung Thai-lek-kang,
menyerempet pundaknya, membuat kakek ini terpelanting. Pengawal raksasa yang
berpakaian perang telah menubruknya dengan tombak panjang di tangan, menusuk ke
arah dada Coa Leng Bu yang sedang terguling itu. Coa Leng Bu dapat mengelak dan
menggulingkan tubuhnya, namun terus dikejar dengan tusukan bertubi-tubi.
Mendengar
teriakan Coa Leng Bu, Siauw Bwee menoleh dan tahu-tahu dua buah tangan telah
menangkap leher dan pundaknya, dua tangan lagi bergerak menotoknya. Siauw Bwee
mengerahkan sinkang-nya, maklum bahwa dalam keadaan lengah karena menoleh tadi
dia telah tertangkap oleh Si Dampit. Dia menerima totokan kedua tangan itu,
akan tetapi dia telah menutup jalan darahnya dan pada detik itu juga, kedua
tangannya bergerak cepat.
“Krakkk!
Cusss!”
Tangan kirinya
dengan jari terbuka menghantam dada Si Dampit yang berada di kanannya, tepat
mengenai iga dan mematahkan beberapa batang tulang iga, sedangkan tangan
kanannya bergerak ke atas menusuk dengan jari tangannya mengenai leher sehingga
leher orang kedua itu tertusuk berlubang dua buah dan mengucurkan darah. Siauw
Bwee meronta, pegangan kedua tangan itu terlepas dan ia mencelat mundur sambil
menendang dengan kedua kakinya.
“Dess!
Bukkk!”
Tubuh Si
Dampit terpelanting ke belakang dan terjadilah hal yang mengerikan. Mungkin
saking nyerinya, kedua orang dampit yang sebetulnya saling membenci karena
keadaan mereka membuat hidup tidak leluasa dan tidak menyenangkan, kini saling
menyalahkan. Kebencian mereka memuncak karena mereka menganggap bahwa kalau
tubuh mereka tidak saling melekat, tentu mereka tidak sampai terluka seperti
itu.
Dengan
kemarahan meluap, seorang di antara mereka yang terluka lehernya itu mencekik
leher saudaranya sendiri. Orang yang tulang iganya patah tadi juga marah,
berusaha melepaskan cekikan, akan tetapi cekikan sepuluh jari tangan itu
bagaikan cakar besi menghujam kulit leher dan makin lama makin dalam. Yang
dicekik menjadi panik, matanya terbelalak dan dalam saat terakhir ia menghantam
tangan kanannya sekuat tenaga tepat mengenal ubun-ubun kepala saudaranya.
“Krekkk!”
Seketika pecah kepala itu dan matilah orangnya, namun kedua tangannya sudah
mencengkeram terlalu dalam sampai masuk ke dalam leher dan orang kedua ini pun
terbawa roboh dan mati dengan mata mendelik!
Sungguh
mengerikan sekali kematian sepasang manusia dampit itu. Watak sepasang manusia
dampit ini tidaklah aneh, karena memang demikianlah watak manusia-manusia yang
belum sadar pada umumnya. Dalam keadaan terancam bahaya, manusia-manusia merasa
senasib sependeritaan dan bersatu. Persatuan yang sesungguhnya hanya timbul
dari sayang diri, merasa diri ada teman sependeritaan.
Pandang mata
batin manusia yang belum sadar diselubungi nafsu mementingkan diri pribadi,
sehingga lenyaplah rasa kasih terhadap apa dan siapa pun juga kecuali terhadap
tubuh sendiri. Selalu akan merasa terhibur dari kesengsaraan kalau melihat
orang lain sengsara! Sebaliknya, dia akan merasa iri hati kalau melihat orang
lain bahagia. Kalau ada perkara timbul menimpa dirinya, selalu ia mencari
sasaran kepada orang lain untuk menyalahkannya, sama sekali tidak pernah mau
menyalahkan diri sendiri.
Demikian
pula dengan kedua orang dampit itu. Di waktu mereka menghadapi lawan, mereka
dapat bekerja sama seolah-olah dua tubuh mereka dikendalikan oleh satu nyawa,
dapat bekerja sama dengan amat baiknya. Akan tetapi kalau tidak ada bahaya
mengancam mereka berdua, mereka itu saling menyalahkan sebagai biang keladi
keadaan mereka yang tidak menyenangkan. Maka ketika mereka berdua terluka,
mereka saling membenci dan kemarahan membuat mereka seperti gila sehingga
terjadilah saling bunuh! Betapa banyaknya di dunia ini terjadi seperti halnya
sepasang manusia dampit itu!
Perang
terjadi semenjak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang. Apakah sebabnya? Tiada
lain karena manusia tidak pernah mau mengakui kesalahan pribadi, melainkan
melontarkan sebab kesalahan kepada orang laln. Karena manusia selalu dipenuhi
oleh kehendak, dipenuhi oleh keinginan, dipengaruhi oleh ingatan-ingatan akan
kenikmatan duniawi, akan kedudukan tinggi, akan kekayaan, kemakmuran dan lain
sebagainya yang sudah dikenalnya dan didengung-dengungkan orang semenjak dia
kecil.
Dari
kehendak-kehendak yang demikian banyaknya yang dimiliki oleh seluruh manusia,
tentu saja timbul pertentangan karena masing-masing hendak mendapatkan apa yang
dikehendakinya. Pertentangan inilah yang menimbulkan permusuhan, melahirkan
kebencian, memperebutkan kebenaran masing-masing yang sesungguhnya hanyalah
kebenaran palsu belaka, dan sebagai pelaksanaannya terjadilah perang!
Betapa
jahatnya manusia yang belum memillki kesadaran ini, semua manusia termasuk
pengarang sendiri! Untuk kepentingan pribadi, kita melakukan hal-hal yang amat
menjijikkan. Untuk kepentingan pemuasan nafsu badani, kita tidak segan-segan
mengotori rohani. Dan semua ini masih dilakukan dengan cara yang memuakkan,
yaitu dengan dalih muluk-muluk dan suci, seperti menutupi kotoran dengan kain
putih! Biar pun di dasar hati, biar pun jiwa kita yang kotor, namun kita
makhluk yang mengaku terpandai di antara segala makhluk, mencari alasan-alasan
yang bersih untuk menutupi perbuatan kita yang kotor.
Di dalam
perang, misalnya. Manusia sampai-sampai tidak segan untuk menarik TUHAN, untuk
menggunakan nama-Nya sebagai alasan agar dianggap, sedikitnya oleh hatinya
sendiri, bahwa perang yang dilakukannya adalah betul, karena telah diridhoi
Tuhan! Dua bangsa yang berlawanan dan saling berperang, sebelum mengangkat
senjata untuk membasmi musuh masing-masing lebih dahulu mohon berkah dari Tuhan
dan masing-masing berangkat perang dengan semangat bernyala untuk menyembelih
sesama manusia karena merasa bahwa Tuhan akan melindunginya!
Mengutuk
perang, mengusahakan perjanjian damai, melenyapkan senjata-senjata dan
meniadakan pasukan-pasukan tentara tidak akan mungkin berhasil melenyapkan
perang di antara manusia. Karena perang hanyalah pencetusan dari pertentangan
antar kelompok manusia yang dihidupkan oleh pertentangan di antara
manusia-manusia pribadi sendiri. Selama pertentangan antar manusia pribadi ini
masih ada, maka pertentangan antar kelompok atau antar bangsa tak mungkin
lenyap. Tidak ada perbedaan pokok antara perkelahian antar tetangga dengan
peperangan antar negara. Satu-satunya perbedaannya hanyalah dalam bentuk kecil
dan besar. Namun bersumber satu, yaitu dari keinginan mementingkan diri pribadi
yang dimiliki kedua pihak sehingga timbul pertentangan.
Setelah
menyaksikan kematian mengerikan karena saling bunuh dari Si Dampit, Siauw Bwee
bergidik dan baru ia teringat akan supek-nya. Ia menengok dan terkejut
menyaksikan supek-nya bergulingan dan diancam tusukan tombak bertubi-tubi oleh
pengawal berpakaian perang dan kini kawan-kawannya juga mulai ikut mengejar
tubuh yang bergulingan itu.
Karena
maklum bahwa keselamatan supek-nya terancam hebat, Siauw Bwee mengeluarkan suara
melengking tinggi yang menggetarkan jantung para lawan yang berada di situ.
Kaki tangannya bergerak dan dalam sekejap mata saja, pengawal bertombak dan
Thian Ek Cinjin terpelanting ke kanan kiri dan tubuh Coa Leng Bu telah lenyap
karena disambar Siauw Bwee dan dibawa melesat ke luar dari ruangan itu melalui
jendela!
Gegerlah
para pengawal dan perwira yang berada di ruangan itu. Mereka berteriak-teriak
dan melakukan pengejaran, akan tetapi Siauw Bwee dan supek-nya telah lenyap.
Ketika semua orang tiba di luar gedung, perhatian mereka tertarik oleh hal yang
lebih menggegerkan lagi. Kiranya kota Sian-yang telah menjadi kacau dan geger.
Di sana-sini terjadi pertempuran-pertempuran antara tentara yang memberontak
dan yang hendak menindas pemberontakan. Pertempuran kacau-balau karena pihak
pemberontak hanya ada kurang lebih seratus orang saja, maka tentu saja mereka
kewalahan dan terdesak.
Mereka
mundur dan menyebar sehingga pertempuran menjadi kacau, berkembang di seluruh
pelosok kota. Di sana-sini bahkan terjadi kebakaran sebagai siasat para
pemberontak yang mengundurkan diri dan bersembunyi di antara rumah-rumah
penduduk yang padat. Tentu saja dengan adanya kebakaran-kebakaran itu keadaan
menjadi makin kacau.
Penduduk
menjadi panik, mengira bahwa pihak musuh telah menyerbu masuk kota. Mereka
berbondong-bondong pergi mengungsi, membawa buntalan pakaian dan perhiasan
serta barang-barang berharga yang mudah dibawa, membawa anak-anak mereka hendak
keluar dari pintu gerbang kota, mengungsi ke lain tempat. Akan tetapi para
pasukan penjaga melarang mereka dan secepat mungkin berusaha menenangkan mereka
dengan keterangan bahwa tidak ada musuh menyerbu, hanya ada beberapa
pemberontak yang dikejar-kejar.
Siauw Bwee
dan Coa Leng Bu berhasil menyelinap di antara banyak orang yang berlari-larian
hilir mudik tidak karuan itu sehingga para pengejar mereka kehilangan jejak
mereka. Siauw Bwee mengajak Coa Leng Bu untuk menyelidiki apa sebenarnya yang
terjadi. Akhirnya mereka mendapat keterangan bahwa yang membikin kacau adalah
belasan orang mata-mata Mancu yang menyelundup ke kota Sian-yang dan yang dapat
mempengaruhi beberapa losin orang tentara sehingga memberontak.
Dengan marah
Bu-koksu sendiri turun tangan mengatur pasukan-pasukan penjaga untuk melakukan
pembersihan, menjaga tempat-tempat penting. Ke mana pun dia bergerak, Han Ki
selalu mengawalnya. Koksu bersama beberapa orang perwira pembantu, juga Han Ki,
menunggang kuda dan berputaran di dalam kota, mengatur pasukan-pasukan yang
melakukan pembersihan. Namun karena malam telah tiba dan para mata-mata itu
melakukan taktik bersembunyi di antara rakyat, keluar masuk gang-gang dan
rumah-rumah rakyat, memancing kekacauan dengan membakar sana-sini, maka Koksu
sendiri dan anak buahnya menjadi kewalahan.
Memang benar
bahwa para serdadu yang memberontak telah ditundukkan, sebagian tewas dan
sebagian lagi ditawan, selebihnya menyerahkan diri. Akan tetapi belasan orang
mata-mata itu tetap saja tidak dapat ditemukan biar pun para penjaga telah
melakukan penggeledahan di seluruh rumah penduduk kota. Hal ini adalah karena
para mata-mata itu amat cerdik, selalu berpindah-pindah dan bersembunyi ke
dalam rumah-rumah yang telah digeledah, dengan mengancam penghuninya dan
pura-pura menjadi anggota keluarga penghuni rumah itu.
Malam itu
merupakan malam yang paling ribut di Sian-yang. Para tentara masih sibuk
memeriksa dan mencari ke sana ke mari dan tingkah-polah para anggota tentara
yang mencari mata-mata ini menambah kekacauan penduduk. Mereka bersikap keras
dan tidak segan-segan untuk memukuli rakyat yang dicurigai menyembunyikan para
mata-mata musuh. Semalam suntuk terjadi kebakaran di sana-sini, dan setelah
melakukan pembakaran, para mata-mata Mancu yang terdidik itu tentu saja berada
di tempat yang jauh dari kebakaran di mana para tentara melakukan penggerebekan
dan pemeriksaan ketat.
Semalam
suntuk tidak ada seorang pun penduduk yang dapat tidur dan mereka menanti
datangnya pagi dengan hati berdebar-debar penuh ketegangan. Berada di dalam
kota amat menakutkan, akan mengungsi keluar dilarang oleh para penjaga pintu
gerbang.
Paginya,
pagi-pagi sekali penduduk tersentak kaget mendengar lonceng tanda bahaya
dibunyikan bertalu-talu. Di luar rumah, di jalan-jalan terdengar
teriakan-teriakan para anggota tentara yang berlarian menuju ke benteng.
Lonceng itu merupakan tanda bahwa ada pasukan musuh menyerbu ke kota Sian-yang!
Para penduduk gemetar ketakutan dan tidak berani keluar rumah, anak-anak
menangis dalam pelukan ibunya dan orang laki-laki sibuk mengumpulkan senjata
untuk melindungi keluarga, menutupi pintu dan jendela kuat-kuat. Gegerlah
seluruh kota Sian-yang.
Siauw Bwee
dan Coa Leng Bu menyelinap di antara rumah-rumah penduduk mendekati benteng,
hendak menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka berhasil naik sebuah
pohon besar yang tinggi di dekat benteng dan dari tempat yang terlindung
daun-daun lebat ini mereka mengintai ke atas benteng dan ke luar benteng.
Kiranya dari jauh tampak barisan besar yang terpecah menjadi pasukan-pasukan
yang bergerak mengepung kota Sian-yang!
Setiap
pasukan mempunyai bendera dan mereka itu dipelopori oleh pasukan berkuda yang
gagah. Paling depan tampak beberapa orang prajurit berkuda membawa
bendera-bendera, mengiringkan beberapa orang pangllma Mancu yang juga
menunggang kuda. Dari tempat sembunyinya, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu melihat
bahwa di antara para Panglima Mancu itu terdapat seorang panglima wanlta.
Jantung Siauw Bwae berdebar aneh.
Dia
menduga-duga dengan penuh keheranan siapa adanya panglima wanita Mancu yang
demikian gagah itu, yang duduk di atas kuda dengan tegak dan majukan kudanya
paling depan mendekati benteng, menuju ke atas pintu gerbang di mana berdiri
Koksu dan para panglimanya. Jaraknya terlalu jauh sehingga dia tidak dapat
mengenal wajah panglima wanita itu, hanya melihat rambutnya dikuncir panjang
hitam melambal-lambai tertiup angin. Pakaian para panglima itu gemerlapan
ditimpa sinar matahari pagi, dan senjata-senjata tajam yang dipegang oleh anak
buah pasukan itu menyilaukan mata.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment