Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 21
Siauw Bwee
tidak berniat membunuh lawannya, akan tetapi kalau sampai dia tidak berani
menerima pukulan sinkang ini, tentu orang-orang itu menyangka takut. Oleh
karena itu, dia tidak mengelak, bahkan kini dia mendorongkan kedua lengannya ke
depan menyambut datangnya pukulan jarak jauh yang amat dahsyat ini. Diam-diam
dia menggunakan sinkang yang dilatihnya bersama Kam Han Ki dan Maya di Pulau Es
sehingga dari kedua tangannya menyambar hawa dingin sekali yang menyambut hawa
pukulan Dailuba.
“Wussshhhh...
desss!”
Mereka
berdiri berhadapan dengan kedua tangan dilonjorkan, jarak antara kedua pasang
tangan itu ada dua kaki, akan tetapi mereka merasa seolah-olah telapak tangan
mereka bertemu. Tubuh Dailuba bergoyang-goyang, kemudian menggigil kedinginan.
Tiba-tiba Siauw Bwee mencelat ke atas sambil menarik kedua lengannya dan...
tubuh Dailuba terbawa oleh dorongannya sendiri ketika dia mengerahkan seluruh
tenaganya, jatuh menelungkup!
Kalau Siauw
Bwee menghendaki, di saat itu tentu saja dia dapat memukul kepala lawannya dari
atas. Akan tetapi untuk membuktikan kemenangannya, dia hanya merenggut penutup
kepala lawannya dan meloncat turun dengan ringan di belakang Dailuba. Panglima
tinggi besar ini terengah-engah, tubuhnya masih terguncang dan menggigil,
kemudian melompat bangun dan memutar tubuh, dengan mata terbelalak memandang
Siauw Bwee yang tersenyum sambil memegangi topi yang tadi berada di atas
kepalanya.
“Terimalah
kembali penutup kepalamu!” Siauw Bwee berkata sambil melontarkan benda terbuat
dari kain itu ke arah Dailuba. Orang tinggi besar itu menyambar topi dengan
tangannya, akan tetapi...
“Wushhhh!”
benda itu seperti berubah menjadi burung terbang, mengelak dari sambarannya, melayang
ke atas dan jatuh di atas kepalanya.
“Hebat...!
Ahhh, sungguh ajaib! Betapa mungkin kepandaian seorang murid keponakan jauh
melampaui tingkat supek-nya sendiri? Nona, aku kagum sekali dan marilah kita
saling menguji kepandaian kita. Aku akan merasa gembira sekali berkenalan
dengan Nona setelah kita saling mengenal kelihaian masing-masing!” Koksu
berkata dan tubuhnya sudah mencelat ke depan Siauw Bwee.
Hemm, biar
akan menimbulkan geger, sekali ini dia akan memberi hajaran keras kepada orang
yang telah pernah menawan dia bersama suci-nya, Maya. Pikiran ini membuat Siauw
Bwee menjawab lantang.
“Pek-mau
Seng-jin, biar pun aku masih muda, sudah banyak aku mendengar namamu yang
besar.”
“Apa? Engkau
sudah mengenal namaku? Jadi engkau tahu siapa aku ini?” Kakek berambut putih
itu bertanya, alisnya berkerut.
Siauw Bwee
tersenyum mengejek sambil mengangguk. Alis putih itu makin berkerut. Celaka,
pikir Pek-mau Seng-jin. Kalau gadis ini sudah mengenalnya, berarti tahu bahwa
dia adalah Koksu dari Yucen, rahasia penyamaran dan perjalanannya telah
terbuka! Gadis ini harus ditarik sebagai sekutunya, atau... kalau tidak mau,
harus dienyahkan sebagai musuh yang berbahaya!
Namun, sikap
kakek itu masih tenang saja dan dia bertanya, ”Nona, engkau sudah mengenalku.
Sudah sepatutnya kalau aku mengetahui siapakah engkau yang semuda ini telah
memiliki kepandaian amat tinggi.”
“Aku seorang
perantau. Sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun
juga. Akan tetapi kalian memaksa kami untuk bertanding. Kami telah memenuhi
permintaan kalian, hanya karena terpaksa, bukan sekali-kali untuk berkenalan.
Nah, kita lanjutkan atau tidak?”
“Ha-ha-ha,
pantas saja engkau angkuh dan tinggi hati, karena memang engkau lihai sekali.
Biarlah, kita main-main sebentar dengan taruhan bahwa kalau engkau kalah, biar
pun engkau tidak mau menjadi sahabat kami, engkau harus memperkenalkan namamu
kepadaku. Bagaimana?”
“Aku tidak
sudi berjanji apa-apa. Dengan pertandingan yang kau paksakan ini, kalau aku
kalah, terserah kepadamu mau berbuat apa. Akan tetapi kalau engkau kalah dan
tewas di tanganku, jangan menyalahkan aku!”
“Aduh
sombongnya! Baiklah, Nona. Sudah lama aku tidak ketemu lawan yang setanding.
Melihat cara engkau mengalahkan pembantuku, ternyata engkau cukup berharga
untuk menjadi kawanku. Bersiaplah engkau!”
“Majulah!”
Siauw Bwee sudah memasang kuda-kuda dengan kedua kaki tegak, agak terbuka dan
kedua tangannya tergantung lemas di kedua samping tubuhnya, matanya tajam
mengawasi lawan dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi serangan
yang bagaimana pun juga.
Melihat cara
persiapan dan kedudukan tubuh dara itu, kembali Pek-mau Seng-jin kagum dan dia
tidak berani memandang rendah. Dara ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi sekali sehingga dapat bersikap seperti itu, tanpa memasang kuda-kuda
teguh seperti yang biasa dilakukan ahli-ahli silat.
“Sambutlah,
Nona!”
Pek-mau
Seng-jin mulai dengan serangan pertama. Tangan kirinya bergerak menyambar dari
samping menuju ke arah leher Siauw Bwee. Angin pukulan yang panas sekali
menyambar, diikuti oleh lengan baju yang menampar muka, kemudian dalam detik
berikutnya disusul pula oleh jari-jari tangan yang melakukan totokan-totokan ke
arah lima jalan darah di kedua pundak kanan kiri leher dan tenggorokan! Bukan
main hebatnya serangan ini yang sekali gerak telah mengandung lima serangan.
Baru angin pukulan itu saja sudah amat berbahaya, tidak kalah bahayanya dengan
tamparan ujung lengan baju atau totokan-totokan itu sendiri yang rerupakan inti
serangan!
Namun Siauw
Bwee tidak menjadi gentar. Tanpa menggeser kaki, tubuh atasnya meliuk ke
belakang dan lengan kanannya yang kecil menangkap dengan berani.
“Plakk!
Brettt...!”
Pek-mau
Seng-jin meloncat ke belakang dengan mata terbelalak heran. Dia tidak mengenal
gerak tangan Siauw Bwee tadi yang amat cepat dan hal ini tidak aneh karena dara
ini menggunakan ilmu gerak tangan kilat yang merupakan kepandaian khusus dari
kaum kaki buntung! Dengan gerakan kilatnya, sambil menangkis serangan tadi,
jarinya dapat digerakkan dengan pemutaran pergelangan tangan cepat sekali sehingga
dari samping ia berhasil melubangi ujung lengan baju kakek berambut putih itu!
“Kau...
apakah engkau dara perkasa yang telah membunuh panglima dampit dari Kerajaan
Sung?”
Siauw Bwee
terkejut dan kagum. Agaknya Koksu Yucen ini mempunyai banyak mata-mata yang
telah menyelundup ke dalam gedung pembesar Sian-yang sehingga mengetahui pula
peristiwa itu.
“Kalau betul
demikian, mengapa?” tanyanya dengan tenang.
“Aihh...,
Nona yang perkasa! Kita sepaham dan sehaluan! Marilah engkau bekerja sama
dengan kami menghadapi bangsa Mancu yang biadab dan Kerajaan Sung yang sudah
hampir roboh!”
“Pek-mau
Seng-jin, aku tidak mau mencampuri urusan negara dan perang. Kalau kau tidak
ingin melanjutkan pertandingan gila ini, biarkan aku dan Supek pergi.”
“Engkau keras
kepala! Apa kau kira akan mampu menandingi Pek-mau Sengjin? Jaga serangan!”
Kini kakek
itu mengeluarkan seruan keras dan nyaring sekali, seruan yang dikeluarkan
dengan tenaga khikang sehingga melengking tinggi dan mengejutkan semua orang,
bahkan para pembantunya hampir tidak kuat bertahan kalau tidak cepat
mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan lengking itu. Pemilik warung dan para
pelayannya yang masih bersembunyi, seketika roboh pingsan!
Namun Siauw
Bwee tetap tenang. Melihat kini kakek itu menerjangnya dengan dahsyat, ia cepat
mengelak dengan gerakan kakinya yang lincah sambil balas memukul dari samping
dengan pengerahan sinkang yang mengandung tenaga Im-kang kuat sekali. Pek-mau
Seng-jin menangkis.
“Dukkk!”
keduanya terlempar ke belakang. Akan tetapi kalau Siauw Bwee tidak merasakan
sesuatu, hanya terpental saking kuatnya lawan, adalah Pek-mau Seng-jin
menggoyang tubuhnya mengusir hawa dingin yang menyusup ke tulang-tulangnya!
Pada saat
itu terdengar seruan nyaring. “Tahan! Di antara sahabat sendiri tidak boleh
bertanding!”
Tampak
bayangan berkelebat dan Suma Hoat telah berdiri di tempat itu, memandang kepada
Koksu dan Siauw Bwee, kemudian cepat menjura kepada Pek-mau Seng-jin sambil
berkata, “Seng-jin, dia adalah Coa Leng Bu, suheng-ku sendiri. Harap jangan
melanjutkan perkelahian!”
Pek-mau
Seng-jin tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, kau salah sangka, Suma-sicu! Kami bukan
berkelahi, melainkan saling menguji kepandaian dan Nona ini benar-benar luar
biasa lihainya. Kiranya masih Coa-sicu ini suheng-mu sendiri, dan Nona ini,
apakah dia juga murid keponakanmu?”
“Murid
keponakan...? Saya tidak mengenalnya, biar pun kami pernah saling berjumpa.”
Sementara
itu Siauw Bwee terheran-heran melihat pemuda tarnpan yang pernah menolongnya
lari dari Sian-yang. Jadi pemuda yang lihai dan mahir Ilmu Jit-goat-sinkang itu
adalah sute dari Coa Leng Bu? Dia mengerutkan alisnya dan makin tidak mengerti
ketika mendengar pemuda itu disebut Suma-sicu oleh Pek-mau Seng-jin. Pemuda itu
bernama keluarga Suma! Apa artinya ini?
Ketika dia
menoleh kepada Coa Leng Bu, kakek ini menarik napas panjang dan berkata, “Sute,
sesungguhnya tidak ada perkelahian dan biarkan kami berdua pergi lebih dulu.
Kalau engkau mengenal mereka ini, harap jelaskan bahwa kami bukanlah orang yang
suka terlibat dalam urusan negara. Sampai jumpa, Sute.” Coa Leng Bu lalu
mengajak Siauw Bwee pergi dari situ dan sekali ini rombongan Pek-mau Seng-jin
tidak mencegah mereka.
Setelah
keluar dari dusun itu, Siauw Bwee tidak dapat menahan hatinya. “Supek, pemuda
itu adalah orang yang menolongku keluar dari Sian-yang. Benarkah dia itu
sute-mu?”
“Memang
begitulah. Tadinya Suhu Bu-tek Lo-jin hanya mempunyai tiga orang murid, yaitu
Twa-suheng Lie Soan Hu yang menjadi ketua lembah memimpin orang-orang penderita
kusta, kedua aku sendiri, dan ke tiga adalah Sute Ouw Teng. Akan tetapi belum
lama ini, Suhu mengangkat seorang murid baru yang biar pun paling muda, namun
memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Dia adalah Suma-sute tadi yang sebelum
menerima ilmu Jit-goat-sinkang dan lain-lain dari Suhu, telah memiliki ilmu
kepandaian yang lebih tinggi dari pada kami bertiga. Sungguh tidak kuduga bahwa
dia mengenal rombongan Pek-mau Seng-jin tadi. Betapa pun juga, kedatangannya
menghentikan bahaya yang mengancam kita. Sekarang aku ingin sekali tahu,
bagaimana engkau mengenal Pek-mau Seng-jin dan siapakah dia sebenarnya?”
“Dia itu
bukan lain adalah Koksu Negara Yucen.”
“Aihhhh...!”
Wajah Coa Leng Bu berubah pucat. “Pantas saja dia lihai bukan main. Dan
Suma-sute agaknya mengenal balk mereka itu! Apa artinya ini?”
Siauw Bwee
menarik napas panjang. “Agaknya aku dapat menduga apa artinya, Supek. Koksu
Negara Yucen itu tentu melakukan penyelidikan dan mencari bantuan orang-orang
pandai, mengingat akan pesatnya gerakan kerajaan itu menyerbu ke selatan. Tadi
dia mengajak aku membantunya ketika mendengar bahwa aku menewaskan Panglima
Sung, tentu dia mengira aku memusuhi Sung dan Mancu. Dan melihat sikap sute-mu
tadi, aku tidak akan meragukan kalau dia termasuk di antara orang-orang gagah
yang kena terbujuk untuk bersekutu dengannya.”
Coa Leng Bu
mengangguk-angguk. “Hemm, agaknya begitulah. Aku bertemu dengan dia di
Sian-yang dan akulah yang minta dia mencarimu dan memberi tahu bahwa aku
menanti di pintu gerbang selatan. Aku tidak mencampuri urusan pribadinya, namun
aku sebagai suheng-nya berhak untuk mengingatkannya bahwa tidaklah baik
membantu bangsa asing memerangi bangsa sendiri.”
Siauw Bwee
teringat akan suci-nya, Maya. Mengapa suci-nya itu juga membantu pasukan Mancu?
Maka dia lalu berkata, “Dalam keadaan negara kacau seperti ini, memang banyak
orang merasa serba salah, Supek. Kerajaan Sung makin merosot pamornya, banyak
pembesar yang buruk dan jahat. Timbullah Kerajaan bangsa Yucen dan bangsa
Mancu, membuat banyak orang menjadi ragu-ragu dan timbul harapan baru untuk
melihat munculnya kerajaan baru yang akan dapat mengamankan negara dan
memakmurkan kehidupan rakyat. Betapa pun juga, tentu saja aku tidak setuju kalau
orang mengharapkan kemakmuran dari penjajahan bangsa asing!”
“Cocok,
Khu-lihiap! Demikian pula pendapatku, maka kalau aku bertemu dengan dia, akan
kuperingatkan dia.”
“Supek,
siapakah nama sute-mu itu? Aku mendengar tadi disebut Suma-sicu oleh Koksu
Yucen.”
“Memang dia
she Suma, namanya Hoat.”
“Suma
Hoat...?” Siauw Bwee mengerutkan alisnya, mengingat-ingat karena dia seperti
pernah mendengar nama itu.
“Apakah engkau
sudah mengenal namanya pula?”
Siauw Bwee
mengangguk. “Nama itu tidak asing bagiku... akan tetapi aku lupa lagi...”
Dia
benar-benar tidak ingat lagi, akan tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda tampan
itu masih ada hubungan dengan Panglima Suma Kiat, musuh besar yang telah
menjadi biang keladi tewasnya ayahnya dan Menteri Kam Liong! Ketika hal ini
terjadi, dia masih terlalu muda dan memang dia tidak pernah memperhatikan atau
mendengar keadaan keluarga Suma Kiat sehingga dia tidak tahu bahwa pemuda berusia
tiga puluh tahun yang telah menolongnya itu bukan lain adalah putera tunggal
musuh besarnya itu!
Mereka
melanjutkan perjalanan dan bermalam di sebuah kota kecil. “Kita menanti Sute di
sini. Aku ingin sekali mendengar apakah betul dia menjadi kaki tangan Kerajaan
Yucen.”
Siauw Bwee
mengangguk setuju. Dia pun ingin sekali menyelidiki, apakah hubungan sute dari
supek-nya itu, yang mengingat akan kedudukannya terhitung masih susiok-nya
(paman gurunya) sendiri, dengan musuh besarnya, Suma Kiat!
Sementara
itu, setelah menyadarkan pemilik warung dan mengganti semua kerusakan dengan
hadiah banyak, rombongan Pek-mau Seng-jin mengajak Suma Hoat keluar dari dusun
karena mereka tidak mau menarik perhatian penduduk yang sudah panik dengan
adanya pertandingan di dalam warung tadi. Di dalam hutan di luar dusun itu
mereka bercakap-cakap.
Memang
benarlah dugaan Siauw Bwee, Suma Hoat telah menjadi kaki tangan Koksu dari
Yucen. Seperti telah kita ketahui, pemuda yang merasa amat menyesal dan berduka
karena dia telah membikin lumpuh Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau melawannya,
kemudian makin menyesal karena dia telah menghina kedua orang bibinya sendiri,
yaitu Kam Siang Hui dan Kam Siang Kui, bersama Im-yang Seng-cu menyerbu markas
besar Hoat Bhok Lama di Pegunungan Heng-toan-san di lembah Sungai Cin-sha. Dia
melihat kedua orang wanita itu tewas dan dia bertemu dengan Bu-tek Lo-jin yang
kemudian mengajaknya membunuh Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, kemudian
mengangkatnya sebagai murid.
Hati Dewa
Pemetik Bunga ini penuh dengan penyesalan akan semua perbuatannya yang lalu,
penyesalan yang timbul setelah dia membuat lumpuh kedua kaki Ketua
Siauw-lim-pai, yaitu Kian Ti Hosiang. Penyesalan ini membuat dia mengasingkan
diri dan tekun berlatih ilmu silat yang ia peroleh dari Bu-tek Lo-jin yang
hanya beberapa bulan saja mengajarkan ilmu-ilmu silat dan Jit-goat-sinkang
kepadanya, kemudian kakek aneh itu pergi lagi meninggalkannya. Dengan tekun
sekali Suma Hoat menggembleng diri dengan ilmu-ilmu itu sambil berusaha
melupakan kesenangannya, yaitu bermain asmara dengan wanita-wanita cantik yang
membuatnya dijuluki Jai-hwa-sian.
Gurunya
menceritakan kepadanya bahwa dia mempunyai tiga orang suheng yang tinggal di
tebing Lembah Kaum Kusta. Ketika dia mengunjungi mereka ke sana, dia hanya
bertemu dengan Coa Leng Bu, suheng-nya yang kedua, dan dia enggan menjumpai
twa-suheng-nya dan sam-suheng-nya ketika mendengar dari Ji-suheng ini bahwa
mereka itu menjadi ketua dari kaum liar dan kaum penderita kusta. Apa lagi
karena ia mendapat kenyataan bahwa biar pun disebut Ji-suheng, kepandaian Coa
Leng Bu tidaklah lebih tinggi dari padanya.
Setelah
meninggalkan Ji-suheng-nya, Suma Hoat lalu teringat kepada ayahnya. Benar bahwa
dia telah disakiti hatinya, telah diusir tanpa salah, karena bukankah permainan
asmara dengan Bu Ci Goat adalah karena rayuan ibu tirinya itu? Betapa pun juga,
dia adalah anak tunggal, dia harus menghadap ayahnya yang sudah tua. Dia harus
membantu ayahnya setelah kini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Teringat akan
ayahnya, Suma Hoat merasa dirinya makin berdosa dan semua ini adalah gara-gara
wanita! Gara-gara Ciok Kim Hwa!
Kalau dia
tidak patah hati karena Ciok Kim Hwa membunuh diri, tentu dia tidak sampai
bentrok dan diusir ayahnya sehingga kemudian dia membalas dendamnya kepada para
wanita dan menjadi seorang pemerkosa dengan Julukan Jai-hwa-sian! Bahkan
kemudian membuat dia melakukan hal yang amat keji, yaitu membuat Ketua
Siauw-lim-pai yang sakti dan berbudi mulia itu menjadi cacat, lumpuh kedua
kakinya. Dia harus menebus semua dosanya itu dengan jalan berbakti kepada
ayahnya, berbakti kepada negara, dan berbakti kepada kemanusiaan.
Dengan
pikiran inilah Suma Hoat mencari ayahnya, menahan nafsu birahinya yang
kadang-kadang bergejolak setiap ia melihat wanita cantik, dan akhirnya dia
berhasil bertemu dengan ayahnya, Suma Kiat di kota raja. Akan tetapi, biar pun
dia girang sekali mendapat sambutan gembira dari ayahnya dan ibu tirinya, Bu Ci
Goat, di dalam hatinya dia terkejut karena ayahnya segera memberi tahu bahwa ayahnya
diam-diam telah membuat persekutuan dengan Kerajaan Yucen, dan membuat
persiapan untuk membantu Kerajaan Yucen dari dalam untuk menjatuhkan pemerintah
lama!
Biar pun di
dalam hatinya terasa panas dan tidak setuju, namun dia tidak mau mengecewakan
ayahnya dan akhirnya dia menjalankan tugas yang diperintahkan ayahnya untuk
menemui Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang sedang melakukan penyelidikan
tentang gerakan tentara Mancu.
Dengan
membawa surat ayahnya, Suma Hoat berhasil bertemu dengan Pek-mau Seng-jin,
kemudian dia malah menerima tugas penyelundupan ke dalam kota Sian-yang untuk
menghubungi kaki tangan Pek-mau Seng-jin dan menyelidiki keadaan pasukan Mancu
yang menduduki kota itu. Telah ada kata sepakat antara Suma Kiat dan Pek-mau
Seng-jin untuk membiarkan pasukan-pasukan Sung berperang melawan
pasukan-pasukan Mancu sehingga kedua pihak itu akhirnya menjadi lemah dan mudah
dihancurkan oleh pasukan Yucen.
Demikianlah,
ketika ia menyelundup ke Sian-yang, Suma Hoat bertemu dengan Ji-suheng-nya, Coa
Leng Bu, dan ia disuruh membantu dan memberitahukan jalan ke luar kepada nona
yang menjadi murid keponakan Ji-suheng-nya. Suma Hoat berhasil membantu Siauw
Bwee dan begitu bertemu dengan dara itu, jantung Suma Hoat berdebar keras,
sekaligus dia tertarik seperti sebatang jarum tertarik oleh besi sembrani!
Ketangkasan dan kelihaian gadis itu, kecantikannya, bentuk tubuhnya, suaranya,
segala-galanya membuat jantung Suma Hoat seperti akan dicopot.
Dia telah
banyak berjumpa dengan wanita cantik, telah banyak mempermainkan wanita, namun
belum pernah dia mengalami getaran jantung seperti ketika bertemu dengan Siauw
Bwee, padahal baru dia lihat sebentar saja di malam itu, di antara sinar obor.
Seolah-olah dia bertemu dengan Ciok Kim Hwa, bahkan lebih lagi karena dalam
pandang matanya, Siauw Bwee jauh melampaui daya tarik Kim Hwa!
Dia telah
jatuh cinta, bukan cinta birahi seperti kalau dia bertemu wanita-wanita cantik
yang dipermainkan dan diperkosanya, melainkan cinta kasih yang membuat dia
ingin selamanya berdampingan dan hidup berdua dengan gadis itu, menghentikan
semua petualangan asmaranya!
Di dalam
hutan kecil, Pek-mau Seng-jin dan kaki tangannya berunding. “Biarkan pasukan
Mancu yang kuat itu menyerbu terus ke selatan,” antara lain Pek-mau Seng-jin
berkata. “Setelah pasukan-pasukan Mancu jauh meninggalkan induknya, dan tentara
Sung mengalami pukulan hebat, baru kita mengerahkan bala bantuan untuk memotong
jalan, menghancurkan tentara Mancu dan menyerbu terus ke kota raja Sung
Selatan. Suma-sicu, gadis tadi memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali.
Sungguh aku merasa heran sekali mengapa murid keponakanmu dapat memiliki ilmu
kepandaian yang demikian hebat. Siapakah dia sebenarnya?”
“Saya
sendiri belum mengenalnya, Seng-jin,” jawab Suma Hoat sejujurnya. “Ji-suheng
hanya mengatakan bahwa gadis itu adalah anak angkat dari Sam-suheng karena
itulah maka menyebut Ji-suheng sebagai supek-nya.”
“Hemm, akan
menguntungkan sekali kalau saja dia dapat kita tarik menjadi pembantu.
Suma-sicu, dapatkah kau membujuknya untuk berplhak kepada kita?”
“Akan saya
coba, Seng-jin.”
“Baik, kalau
begitu harap kau suka menyusulnya. Biarkan dia memilih, langsung membantuku
atau membantu ayahmu. Dengan tenaga-tenaga lihai seperti dia, perjuangan kita
akan makin berhasil. Kami akan kembali dan mempersiapkan pasukan untuk memberi
pukulan-pukulan terakhir setelah Mancu dan Sung berhantam sendiri di selatan.”
Mereka
berpisah dan Suma Hoat cepat pergi mengejar Ji-suheng-nya dan gadis jelita yang
telah memikat hatinya. Mendengar betapa dara itu dipuji-puji Pek-mau Seng-jin,
dia menjadi makin tertarik. Benar-benar seorang dara pilihan, pikirnya. Dahulu,
dia tergila-gila kepada Ciok Kim Hwa, seorang gadis lemah. Sekarang dara yang
datang bersama Ji-suheng-nya itu, selain memiliki daya tarik lebih hebat dari
pada Ciok Kim Hwa juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Pantas menjadi kawan
hidupnya. Untuk mendapatkan gadis seperti itu sebagai isterinya, dia siap
meninggalkan cara hidupnya yang lalu, yang penuh petualangan dan dosa!
Demikianlah,
dapat dibayangkan betapa girang hati Suma Hoat ketika dia bertemu dengan Coa
Leng Bu dan Khu Siauw Bwee yang memang menantinya di kota kecil itu. Kedua
orang itu sedang makan pagi di sebuah warung ketika Suma Hoat datang.
“Ahhh,
Ji-suheng! Untung sekali aku dapat menyusul kalian di sini!” katanya sambil
menatap wajah Siauw Bwee dengan jantung berdebar.
Bukan main!
Pagi ini gadis itu tampak makin cantik mempesonakan. Biar pun mulut Suma Hoat
mengeluarkan kata-kata gembira seperti itu, namun dia berdiri terpesona
memandang Siauw Bwee, seolah-olah kedua kakinya tidak kuat menaiki anak tangga
rumah makan itu!
Menyaksikan
sikap pemuda itu, Siauw Bwee mengerutkan alisnya dan tiba-tiba kedua pipinya
menjadi merah. Pandang mata pemuda itu dengan jelasnya memancarkan isi hatinya
kepadanya! Siauw Bwee tidak mampu melawan pandang mata seperti itu lebih lama
lagi dan ia menunduk.
Coa Leng Bu
yang melihat sikap sutenya ini lalu menegur, “Sute, mari duduklah. Kenapa
berdiri saja di situ?”
Suma Hoat
sadar, kedua pipinya menjadi merah, jantungnya berdenyut aneh dan ia merasa
heran sekali. Dia yang sudah bermain cinta dengan banyak gadis cantik dari
segala golongan, kenapa sekarang sama sekali tidak berdaya menghadapi gadis
ini? Ia lalu menaiki anak tangga, dan duduk di atas bangku berhadapan dengan
Siauw Bwee, di sebelah kiri suheng-nya.
“Ji-suheng,
aku mendengar bahwa kau terluka pundakmu. Bagaimana lukamu? Apakah sudah
sembuh?”
“Hanya luka
daging, tidak berbahaya, Sute.”
“Suheng,
Nona ini adalah yang kau suruh aku bantu di Sian-yang tempo hari. Siapakah dia?
Harap Suheng memperkenalkan.”
Siauw Bwee
mengangkat muka dan kini dia menatap wajah orang muda itu penuh perhatian.
Wajah yang tampan, pikirnya, dan sikap yang gagah sekali. Dia sudah hampir lupa
lagi bagaimana wajah Panglima Suma Kiat, akan tetapi dia mendengar bahwa
panglima tua itu pun dahulunya seorang yang tampan. Orang muda di depannya ini
memiliki sikap yang gagah perkasa, agaknya tidak patut menjadi seorang jahat,
akan tetapi pandang matanya begitu tajam, seolah-olah pandang mata itu
menjenguk ke dalam hatinya, bahkan seolah-olah pandang mata itu menelanjanginya!
Diam-diam
Siauw Bwee bergidik. Laki-laki yang jantan dan berbahaya sekali! Kalau saja
cinta kasih di hatinya tidak sebulatnya tertuju kepada suheng-nya, pria di
depannya ini memiliki daya tarik luar biasa dan tidak anehlah kalau dia
tertarik!
Mendengar
ucapan sutenya, Coa Leng Bu tertawa, “Ahhh, aku sampai lupa memperkenalkan.
Sute, Khu-lihiap ini adalah puteri angkat dari mendiang Ouw-sute, jadi masih
terhitung murid keponakanmu sendiri. Khu-lihiap, ini adalah Suma-sute, masih
susiok-mu sendiri.”
Siauw Bwee
bangkit berdiri dan memberi hormat. “Susiok...!” katanya perlahan dan
sederhana.
Suma Hoat
cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan dara itu sambil berkata, “Aihh,
Nona. Harap jangan menyebut Susiok kepadaku. Kepandaian Nona begitu tinggi,
kalau menyebut Susiok kepadaku hanya membuat aku menjadi malu saja. Nona,
namaku adalah Suma Hoat dan kuharap Nona tidak menyebut Susiok, sebut saja
Twako karena kita telah menjadi sahabat, bukan?”
Ucapan dan
sikap Suma Hoat demikian ramah dan wajar, sama sekali tidak memperlihatkan
sikap kurang ajar sehingga Siauw Bwee tersenyum. Senyum yang membuat Suma Hoat
hampir terjengkang saking kagum dan girangnya.
“Baiklah,
Suma-twako.”
Mereka duduk
kembali dan Leng Bu cepat memberi isyarat kepada pelayan untuk menambah
hidangan dan minuman.
“Nona,
engkau she Khu akan tetapi belum memperkenalkan diri.”
Sambil
tersenyum memandang orang muda yang polos itu, Siauw Bwee menjawab, “Namaku Khu
Siauw Bwee.” Berkata demikian, ia memandang tajam untuk melihat apakah orang
muda she Suma itu mengenal namanya. Kalau dia keluarga Suma Kiat, tentu akan
mengenal bahwa dia adalah puteri mendiang Panglima Khu Tek San!
Akan tetapi
tidak tampak perubahan sesuatu pada wajah yang tampan itu dan memang
sesungguhnya Suma Hoat tidak mengenal nama ini. Peristiwa yang menimpa Khu Tek
San dan Menteri Kam Liong terjadi ketika dia sudah meninggalkan kota raja.
Sambil makan
minum mereka bercakap-cakap. Beberapa kali Suma Hoat memancing untuk mengetahui
keadaan Khu Siauw Bwee, namun gadis itu seolah-olah hendak menyembunyikan
keadaannya.
“Nona,
kepandaianmu begitu hebat. Siapakah sebetulnya gurumu?” Akhirnya dia bertanya
secara langsung.
“Aku sendiri
tidak tahu dan tidak dapat memberi tahu tentang itu, Suma-twako. Aku hanya
belajar sedikit-sedikit di sana-sini, dan mula-mula aku belajar di bawah
bimbingan suheng dan suci-ku sendiri,” Siauw Bwee tetap saja mengelak.
“Ahh, kalau
begitu, suheng dan suci-mu tentu sakti bukan main! Bolehkah aku mengenal
mereka?”
“Maaf,
Twako. Suheng dan suci merahasiakan diri mereka sehingga aku tidak boleh
menyebut nama mereka. Harap kau suka memaklumi watak orang-orang aneh seperti
mereka itu.”
Suma Hoat
kecewa akan tetapi dia mengangguk. Heran sekali gadis ini, sikapnya penuh
rahasia. Akan tetapi biar pun kecewa, dia tidak merasa menyesal! Padahal
biasanya dia merasa paling benci kalau menghadapi gadis yang angkuh.
“Aku
mengerti, Nona, dan maafkan kelancanganku bertanya tadi. Bukan maksudku untuk
mengetahui rahasia orang lain, akan tetapi... aku kagum sekali kepadamu, maka
timbul keinginanku untuk mengenalmu lebih baik dengan mengetahui riwayatmu.
Maafkan aku.”
“Tidak apa,
Twako, akulah yang minta maaf,” kata Siauw Bwee, tidak enak juga hatinya
menyaksikan sikap yang amat ramah, sopan dan baik dari orang muda itu.
“Sute,
sekarang aku ingin sekali bertanya kepadamu. Sesungguhnya karena hal inilah
maka aku menantimu di sini. Bagaimana engkau dapat mengenal Koksu Negara Yucen
dan rombongannya?”
Pertanyaan
yang tiba-tiba datangnya ini mengejutkan hati Suma Hoat. Tak disangkanya bahwa
suheng-nya tahu akan hal itu. Suheng-nya sudah lama mengasingkan diri, tak
mungkin mengenal Pek-mau Seng-jin sebagai Koksu Kerajaan Yucen. Tak salah lagi,
tentulah Khu Siauw Bwee yang mengenal kakek berambut putih itu, maka dia
menjadi makin kagum dan heran. Dara ini selain berilmu tinggi, juga agaknya
berpemandangan luas dan berpengalaman dalam dunia kang-ouw.
“Jadi Suheng
sudah mengenal Koksu Yucen? Terus terang saja, Suheng. Aku bekerja sama dengan
Kerajaan Yucen dan bersekutu dengan Pek-mau Seng-jin.”
Diam-diam
Coa Leng Bu kagum akan ketepatan pandangan Siauw Bwee. Dia melirik gadis itu
yang bersikap tidak mengacuhkan, kemudian berkata, “Sute, aku tidak bermaksud
untuk mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi selagi negara dalam keadaan
terancam malah mengadakan persekutuan dengan bangsa lain, bukankah hal itu dipantang
oleh orang-orang gagah?”
Suma Hoat
tersenyum. “Untuk memberi pandangan tentang perjuangan bangsa, harus lebih dulu
mengetahui keadaan sesungguhnya. Suheng melihat sendiri betapa kerajaan
terancam oleh pasukan-pasukan Mancu yang kuat sekali. Biar pun semua orang
gagah membantu Kerajaan Sung, kiranya kerajaan itu takkan dapat dipertahankan
lagi. Jalan satu-satunya yang tepat adalah mengharapkan bantuan bala tentara
Yucen dengan maksud menghadapi Mancu, bukanlah hal itu demi keselamatan negara
kita?”
Diam-diam
Siauw Bwee dapat mengerti kebenaran ini, dan Coa Leng Bu hanya menarik napas
panjang. “Aku tidak tahu tentang politik negara, Sute, hanya kuharap Sute tidak
akan menyimpang dari pada garis yang dilalui orang-orang gagah, jangan sampai
kelak dikenal sebagai seorang pengkhianat bangsa.”
“Tidak
mungkin, Suheng. Sampai mati pun aku tidak sudi menjadi pengkhianat. Kalau
sekarang aku berbaik dengan Koksu Negara Yucen, hal itu semata-mata untuk
menarik pihak Yucen menolong Kerajaan Sung yang terancam oleh pihak Mancu.”
Keterangan ini
memuaskan hati Leng Bu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Suma Hoat untuk
mengajak mereka mencontoh sikapnya. “Kuharap Suheng dan Nona Khu dapat melihat
kenyataan itu dan marilah kalian ikut bersamaku membantu kerajaan dengan
bekerja sama dengan Koksu Yucen, dengan jalan ini kita akan dapat menyelamatkan
negara dari ancaman Mancu.”
“Aku tidak
mempunyai hasrat untuk melibatkan diri dengan perang, Sute,” jawab Leng Bu
dengan suara dingin.
“Dan
bagaimana dengan pendapatmu, Nona?”
“Aku juga
tidak suka mencampuri urusan negara, aku benci akan perang! Dan selain itu, aku
mempunyai urusan pribadi yang lebih penting. Biarlah kita mengambil jalan kita
masing-masing, Suma-twako. Supek, marilah kita melanjutkan perjalanan ke
selatan.”
Siauw Bwee
ingin sekali segera dapat bertemu dengan Kam Han Ki dan Leng Bu yang maklum
akan hal hati dara itu berkata, “Sebaiknya besok pagi-pagi saja kita berangkat.
Kota Sian-tan merupakan benteng kuat dan menjadi pertahanan pasukan Sung,
kurasa ke sanalah kita harus menuju. Akan tetapi, mengingat akan peristiwa di
Sian-yang, kita harus berhati-hati memasuki kota itu.”
Siauw Bwee
maklum bahwa setelah mereka berdua mengacau di Sian-yang sebelum pasukan Mancu
tiba di sana, tentu mereka akan dimusuhi oleh tentara Sung, dan akan ditangkap
oleh Bu-koksu karena dia telah membunuh panglima dampit. Maka ia mengangguk dan
menyatakan setuju.
“Suheng dan
Nona Khu. Aku telah mendengar akan sepak terjang kalian di Sian-yang. Bukankah
engkau yang telah membunuh panglima dampit dan menimbulkan kekacauan di sana?
Kalau benar demikian, amat berbahaya kalau kalian memasuki kota Siang-tan.
Pula, bolehkah aku bertanya apa tujuan Nona pergi ke sana?”
“Aku ingin
mencari seseorang, urusan pribadi, Twako. Maaf, aku tidak dapat memberi
penjelasan kepadamu.”
Suma Hoat
mengangguk, kembali merasa kecewa akan tetapi tidak menyesal. Bahkan dia ingin
sekali membantu Nona ini karena dia dapat merasa bahwa tentu ada rahasia yang
mengganggu hati nona ini. Dia akan diam-diam menyelidiki dan kalau perlu melindungi
dan membantu Nona yang telah menjatuhkan hatinya ini.
“Kalau
begitu aku setuju dengan pendapat Ji-suheng. Lebih baik berangkat besok pagi,
dan sedapat mungkin memasuki kota di waktu malam, menyelinap di antara kaum
pengungsi sehingga tidak akan mudah dikenal.”
Siauw Bwee
makin suka kepada pemuda ini. Seorang yang jujur, ramah, sopan dan tahu diri
sehingga tidak terus bertekad mengetahui rahasia orang, bahkan dapat menghargai
dan memaklumi rahasia orang.
“Suma-twako,
aku pernah mendengar nama besar seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat.
Tidak tahu apakah persamaan she antara Twako dan dia berarti ada hubungan
keluarga?”
Kembali Suma
Hoat terkejut, akan tetapi dia dapat menekan hatinya dan tidak memperlihatkan
pada wajahnya. Dia tersenyum dan berkata, “Kebetulan sekali aku adalah
puteranya, Nona.”
“Ohhh...!”
Siauw Bwee tak dapat menyembunyikan kekagetannya.
Untung dia dapat
menahan kemarahannya dengan pendapat bahwa pemuda ini sama sekali tidak ada
sangkut-pautnya dengan perbuatan Suma Kiat. Buktinya, pemuda ini tidak
mengenalnya dan agaknya tidak tahu menahu tentang perbuatan jahat ayahnya yang
telah mengakibatkan kematian Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Betapa pun
juga, sukar baginya untuk dapat duduk semeja lagi dengan putera musuh besarnya,
maka ia lalu bangkit dan berkata, “Supek, aku ingin mengaso dulu. Besok
pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan.”
Kepada Suma
Hoat dia hanya menjura tanpa memandang wajahnya, kemudian meninggalkan mereka
dan pergi memasuki kamarnya di mana dia duduk dan mengatur pernapasan untuk
menekan hatinya yang menggelora karena marah. Dia dapat menyabarkan hatinya
ketika mengingat betapa Suma Hoat adalah seorang laki-laki yang baik, tidak
seperti ayahnya. Dia tidak akan mencontoh suci-nya, yang membawa-bawa dendam
kepada seluruh keluarga, bahkan bangsa! Tidak, dendamnya hanya tertuju kepada
Suma Kiat, dia tidak akan memusuhi Suma Hoat yang sedikit banyak telah menarik
hatinya.
Suma Hoat
merasa heran akan sikap gadis itu, akan tetapi dia tidak menduga sama sekali
akan isi hati Siauw Bwee. Dia melanjutkan bercakap-cakap dengan suheng-nya, dan
di pihak Coa Leng Bu, dia sama sekali tidak mengenal siapa adanya sutenya ini.
Puluhan tahun dia menyembunyikan diri, mengasingkan diri dan tidak pernah tahu
akan keadaan dunia ramai.
Tentu saja
dia tidak tahu akan sepak terjang Suma Kiat, bahkan dia tidak tahu bahwa
sutenya ini adalah Jai-hwa-sian, karena nama Jai-hwa-sian pun belum pernah
didengarnya. Dia hanya merasa kagum kepada sutenya yang selain memiliki
kepandaian lebih tinggi dari padanya, juga ternyata putera seorang Panglima
Sung! Dia malah merasa malu sendiri bahwa tadi dia telah menegur sutenya, siapa
kira sutenya adalah putera panglima yang tentu saja lebih tahu akan keadaan
negara.
Karena Suma
Hoat juga hendak melanjutkan perjalanan besok, maka pemuda ini menyewa kamar di
rumah penginapan yang didiami Leng Bu dan Siauw Bwee. Melihat Siauw Bwee tidak
pernah keluar lagi dari kamarnya, Suma Hoat juga siang-siang sudah memasuki
kamar, berusaha melupakan Siauw Bwee namun tak berhasil. Makin dilupa, wajah
gadis itu makin jelas kelihatan di depan mata. Setiap gerak-gerik gadis itu,
lirikan mata, gerak bibirnya kalau bicara, kejapan matanya, senyum dikulum,
aihh, dia benar tergila-gila! Harus kunyatakan sekarang, pikirnya. Tidak akan
ada kesempatan, lagi. Berhasil atau gagal, sekarang, malam ini!
Malam ini
amat sunyi. Suara penduduk kota kecil yang biasanya memecahkan kesunyian, malam
itu tidak terdengar lagi. Dan sudah beberapa malam yang lalu, semenjak
pasukan-pasukan Mancu menyerbu ke selatan, kota kecil ini menjadi sunyi sekali
di waktu malam. Sebagian besar penduduknya sudah mengungsi ke selatan, mencari
tempat yang jauh dari kemungkinan dilanda perang, dan sebagian kecil yang
tertinggal, sore-sore sudah masuk tidur, tidur yang tidak pulas karena sedikit
suara saja cukup membuat mereka terbangun dan bersiap-siap melarikan diri jika
ada bahaya perang mengancam.
Bulan
sepotong menciptakan keindahan ajaib, pemandangan remang-remang antara terang
dan gelap, seakan-akan menambah kesunyian karena tiada yang menikmati dan
mengaguminya. Hanya belalang, jengkerik, kutu-kutu dan burung malam yang dapat
menikmati malam sunyi itu. Makin sunyi, makin menyenangkan bagi mereka. Mereka
dapat bebas mengeluarkan suara, mungkin suara rindu si jantan mengundang si
betina, suara untuk melindungi telur atau anak-anak mereka dari bahaya, namun
bagi telinga manusia, suara binatang-binatang itu seolah-olah bernyanyi. Aneh,
akan tetapi demikianlah kenyataannya bahwa suara-suara berirama ini bahkan
menambah rasa sunyi dan hening sang malam yang menciptakan rasa takut dalam
hati manusia-manusia yang sudah gelisah oleh bayangan mereka sendiri itu.
Kesunyian
terasa benar oleh Siauw Bwee yang berada di dalam kamarnya. Dia rebah sambil
termenung, gelisah memikirkan suheng-nya. Bagaimanakah kalau benar pendapat Coa
Leng Bu bahwa suheng-nya menjadi korban racun perampas semangat? Bagaimana
kalau sampai tak dapat disembuhkan? Ngeri dia memikirkan bahwa suheng-nya
takkan dapat mengenalnya selamanya!
Berkali-kali
Siauw Bwee menarik napas panjang dan dia merasa kesunyian, perasaan yang selalu
menggoda hatinya semenjak dia meninggalkan Pulau Es. Kegelisahan dan kesunyian
hatinya membuat dia dapat mendengarkan suara binatang malam dengan jelas. Dalam
pendengarannya, suara malam itu seperti keluh-kesah yang menggema dari lubuk
hatinya.
Tiba-tiba
dia bangun, duduk di atas pembaringannya. Suara binatang malam terhenti ketika
terdengar suara tiupan suling melengking. Mula-mula suara suling itu rendah
seperti keluhan seekor binatang yang terluka, kemudian makin meninggi dan
melagu. Lengking suling yang merdu mengalun, naik turun dengan lika-liku yang
halus, suaranya menggetar seolah-olah hawa yang keluar dari mulut peniupnya
mengandung hati yang merana.
Siauw Bwee
terpesona. Seperti juga semua belalang, jengkerik, dan kutu-kutu malam yang
semua diam terpesona, dia pun diam tak bergerak. Seluruh semangatnya seperti
terbetot, terbawa melayang-layang di angkasa, memasuki dunia lamunan. Suara itu
mendatangkan perasaan aneh dan penuh rahasia. Seperti perasaan orang kalau
mendengarkan dengan penuh perhatian suara angin bersilir mempermainkan daun-daun
pohon. Seperti dendang anak sungai dengan airnya yang bercanda dengan batu-batu
sungai, suara air hujan rincik-rincik menimpa permukaan bumi, suara guntur di
angkasa di musim hujan, suara air laut bergemuruh menghantam karang. Sejenak
membuat perasaan pikiran menjadi hampa, sunyi, penuh damai, bebas dari pada
permainan suka duka.
Namun, suara
tiupan suling yang melagu itu menghanyutkannya ke lembah keharuan, mengingatkan
dia akan segala kesunyian dan kegelisahannya, membuat Siauw Bwee tanpa
disadarinya sendiri berlinang air mata. Ketika merasa dua titik air hangat
mengalir turun di atas pipinya, barulah dia tersadar. Cepat dihapusnya air
matanya, dan ia terheran-heran. Siapakah yang meniup suling seperti itu?
Seolah-olah dia mendengar keluh kesah, rintihan dan ratap tangis bersembunyi di
dalam lengking merdu itu.
Siauw Bwee
turun dari pembaringan, membereskan pakaian tanpa mempedulikan rambutnya yang
awut-awutan, kemudian dia keluar dari kamarnya, terus keluar dari rumah
penginapan, menuju ke belakang dari mana terdengar suara suling itu. Bulan
sepotong masih mengambang tinggi di atas kepala, sinarnya menciptakan cahaya
remang-remang, agak kebiruan, agak kekuningan, mendatangkan hawa yang sejuk dan
menimbulkan suasana yang penuh rahasia dan keajaiban. Pohon-pohon yang menjadi
permainan cahaya redup dan kegelapan, seolah-olah kehilangan bentuk aslinya dan
berubah menjadi bentuk yang penuh rahasia.
Siauw Bwee
terus melangkah memasuki sebuah kebun yang kosong, dan tiba-tiba tampaklah
olehnya seorang yang duduk membelakanginya, duduk di atas sebuah batu, meniup
suling. Dia adalah seorang laki-laki, akan tetapi sukar dikenal siapa karena
selain membelakanginya, juga laki-laki itu duduk terlindung dalam bayangan
sebatang pohon. Kedua tangan memegang suling, kepalanya agak miring ketika
meniup lubang suling, kedua pundaknya bidang.
Siauw Bwee
berhenti melangkah. Setelah keluar dari dalam kamar, kini suara suling
terdengar makin merdu, seolah-olah melayang-layang di angkasa, bermain-main
dengan bayangan, membubung tinggi melalui sinar bulan redup, seperti hendak
mencapai bulan. Teringatlah dia kini dan dia mengenal lagu yang dimainkan
suling itu.
Ketika dia
masih tinggal bersama orang tuanya di kota raja, Siauw Bwee pernah mempelajari
seni suara dan dia mengenal lagu itu, sebuah lagu kuno yang berjudul
‘Merindukan Bulan’. Bahkan dia masih teringat akan kata-kata nyanyian lagu itu.
Bagaikan dalam mimpi, ketika tiupan suling itu mengulangi lagi nyanyian itu,
dia bernyanyi, perlahan, akan tetapi karena dia memiliki tenaga khikang yang
hebat, suara nyanyian menggetar dan bergelombang sampai jauh, merdu seperti
bisikan bulan sendiri melalui cahaya yang kebiruan.
Bulan...
tunggulah
aku wahai bulan
jangan kau
tinggalkan aku sendiri!
Bulan...
hanya
engkaulah pengganti dia
hanya
engkaulah pencermin wajahnya
Bulan...
ke mana
engkau lari?
ke mana
engkau sembunyi?
Bulan...
kasihanilah
aku wahai bulan
jangan kau
pergi... jangan...
Tak terasa
lagi, kembali dua titik air mata membasahi pipi Siauw Bwee. Dia berhenti
bernyanyi, dan suara suling itu pun melambat, menurun, akhirnya berhenti sama
sekali. Sejenak sunyi, tiada sedikit pun suara menyusul penghentian lengking
suling. Kemudian, tiba-tiba, suara binatang malam saling sahut lagi,
seolah-olah mereka itu berseru memuji.
Seperti
dalam mimpi, Siauw Bwee melihat penyuling itu bangkit, menghampirinya dan
tiba-tiba orang itu menjatuhkan diri berlutut di depannya.
“Nona...
engkau benar-benar datang... terima kasih kepada Thian...! Betapa hatiku
menggetarkan suara merindumu, memanggilmu... dan ternyata engkau dapat
menangkap getaran ini... ahhh, Nona, adakah... adakah harapan di hatiku yang
kering ini?”
Siauw Bwee
terbelalak memandang ketika sadar kembali dan terbebas dari hikmat keajaiban
malam dan mengenal orang itu yang bukan lain adalah Suma Hoat. Hampir dia
menjerit kalau saja tidak cepat-cepat dia mendekap mulut sendiri dengan telapak
tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mendekap dada kiri seolah-olah menahan
debaran jantungnya.
“Ihhh...
engkau... engkau... apa maksudmu? Apa artinya semua ini...?”
Suma Hoat
yang sudah tergila-gila itu menjatuhkan diri menelungkup dan mencium ujung
sepatu Siauw Bwee. Gadis itu menjadi makin sadar dan cepat melompat ke
belakang.
“Suma Hoat!
Apakah engkau sudah gila?” bentaknya.
“Nona Khu
Siauw Bwee, memang aku sudah gila. Tidak dapatkah engkau menangkap kegilaanku
dari suara sulingku, dari sinar mataku kalau memandangmu, dan debar jantungku
kalau mendengar suaramu, dari...”
“Kau... kau
gila...!” Siauw Bwee membentak, wajahnya menjadi merah sekali.
“Benar, aku
gila, aku tergila-gila kepadamu, Nona. Aku cinta padamu... biarlah kau bunuh
aku kalau kau merasa terhina, aku rela mati di tanganmu, aku cinta padamu, Khu
Siauw Bwee,” Suma Hoat berkata sambil berlutut, hanya sekali ini, tidaklah
seperti biasa kalau dia merayu wanita lain. Belum pernah dia merendahkan diri
seperti itu, biasanya dia malah angkuh sekali berhadapan dengan wanita. Dan
baru dua kali ini selama hidupnya dia mengaku cinta dengan setulus hatinya.
Melihat
sikap ini, lenyaplah kemarahan dari hati Siauw Bwee. Dia terharu karena sikap
laki-laki ini jelas bukanlah rayuan kosong belaka! Timbul pertentangan di
hatinya, antara kasihan yang menimbulkan keharuan dan kebencian karena
mengingat bahwa pria ini adalah putera musuh besarnya.
“Suma Hoat,
cukuplah sikapmu yang gila ini. Aku tidak mau menerima cintamu, tidak bisa
menerima cinta siapa pun juga.”
Suma Hoat
memejamkan matanya. Aihh, tidak... tidak...” Apakah dia harus kembali mengalami
kegagalan cinta? Cinta yang tulus ihklas, cinta yang bukan terdorong birahi
semata, melainkan cinta karena daya tarik dari seluruh pribadi wanita itu?
“Kau...
kau... sudah mencinta orang lainkah...?” tanyanya lemah.
“Bukan
urusanmu itu, Suma Hoat. Dengarlah, kalau aku tidak melihat sikapmu yang baik,
tentu sudah sejak kemarin aku mencarimu dan membunuhmu!”
Suma Hoat
terkejut bukan main. Dia melompat bangun, memandang gadis itu dengan mata
terbelalak lebar. “Nona, demikian besarkah dosaku? Demikian besarkah dosa
seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita seperti Nona? Sehingga
timbul kebencianmu dan keinginanmu untuk membunuhku?”
“Bukan
karena itu, melainkan karena kenyataan bahwa engkau adalah putera musuh
besarku, putera si keparat Suma Kiat.”
“Ya
Tuhan...! Mengapa, Nona? Mengapa engkau memusuhi ayahku?”
“Buka
telingamu baik-baik. Suma Hoat! Aku adalah puteri tunggal dari mendiang Khu Tek
San! Dan engkau tahu bahwa ayahku dan Menteri Kam Liong, guru ayahku, tewas
gara-gara kekejian ayahmu!”
Suma Hoat
makin kaget. Dia tidak melihat peristiwa itu, akan tetapi akhir-akhir ini dia
sudah mendengar akan hal itu. Dengan muka pucat dia memandang gadis itu, lalu
berkata lemah, “Sungguh buruk nasibku... Tuhan mengutukku karena perbuatan
ayah... dan... dari perbuatanku sendiri. Nona, kalau begitu, kau bunuhlah aku,
aku takkan melawanmu...”
“Hemmm,
kalau aku hendak membunuhmu, apa kau kira engkau mampu melawanku?”
“Khu Siauw
Bwee, aku tahu bahwa engkau lihai, akan tetapi harap jangan memandang rendah orang
laln. Dan jangan engkau mencari ayahku, karena selain ayahku berilmu tinggi dan
mempunyai banyak pasukan, juga aku bersedia menebus kesalahan ayah kepadamu.
Aku cinta padamu, Nona. Sungguh, aku bersumpah, aku cinta padamu. Lebih baik
engkau membalas dendammu kepadaku dan aku rela mati di tangan wanita yang
kucinta dengan seluruh tubuh dan nyawaku.”
“Engkau
gila! Siapa percaya omonganmu? Engkau perayu. Mana mungkin orang baru berjumpa
dua kali sudah menyatakan cinta seperti engkau? Selain itu, aku tidak akan
membunuhmu, aku bukan orang yang membabi buta dalam pembalasan dendamnya. Hanya
ayahmu yang bersalah dan ke mana pun dia bersembunyi, aku akan dapat mencari
dan membunuhnya. Kalau tidak, percuma saja aku bertahun-tahun belajar ilmu di
Pulau Es!” Saking marahnya, Siauw Bwee lupa diri dan menyebut Pulau Es.
Suma Hoat
makin kaget. “Apa...? Engkau... engkau... penghuni Istana Pulau Es...?”
“Benar! Dan
kalau engkau hendak membela ayahmu, majulah agar aku mempunyai alasan untuk
menghajarmu!”
Lemas rasa
seluruh tubuh Suma Hoat. Bukan lemas karena takut, melainkan lemas karena
maklum bahwa harapan cintanya musnah sama sekali. Gadis jelita ini adalah
penghuni Istana Pulau Es, selain memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa, juga
agaknya mencintai orang lain, bahkan menjadi musuh ayahnya. Tak mungkin dara
ini sudi membalas cintanya.
“Aku... aku
tidak akan melawanmu, Nona. Betapa pun juga, aku tetap mencintamu... dan
agaknya sudah menjadi nasibku untuk selalu kecewa dalam cinta kasih murni, dan
hanya dapat mengecap kenikmatan cinta palsu yang hampa. Maafkan aku, Nona.
Hanya sebuah hal yang kumohon kepadamu untuk mengaku. Benarkah dugaanku bahwa
Nona telah mencinta orang lain?”
Menyaksikan
sikap yang begitu menderita dan suara yang menggetar seperti hendak menangis,
Siauw Bwee, yang berperasaan halus itu kembali merasa kasihan. “Benar dugaanmu,
karena itu aku tidak mungkin dapat mendengar pernyataan cinta kasih dari pria
lain yang mana pun juga!”
Suma Hoat
menunduk, jari-jari tangannya meremas.
“Krekkk!”
sulingnya hancur berkeping-keping.
“Selamat
tinggal, Nona. Betapa pun juga, cintaku takkan pernah padam dan harapanku
takkan pernah musnah. Aku akan menanti, siapa tahu..., Thian akan menaruh iba
kepadaku... dan kelak... kelak kita masih akan dipertemukan kembali dengan
harapan baik bagiku... selamat tinggal.”
Tubuh Suma
Hoat melesat cepat meninggalkan tempat itu, dan Siauw Bwee berdiri
termangu-mangu, menghela napas panjang. Teringat ia kepada Yu Goan, pemuda
tampan gagah perkasa yang juga jatuh cinta kepadanya dan terpaksa ditolaknya
pula. Akan tetapi, hatinya tidak seberat ketika menghadapi pernyataan cinta
kasih Suma Hoat. Diam-diam dia harus mengaku di dalam hatinya bahwa andai kata
Suma Hoat bukan putera Suma Kiat, agaknya tidak sukar baginya untuk
memperhatikan pernyataan cinta kasih pemuda itu! Andai kata....
“Khu-lihiap,
apa yang kau lakukan malam-malam di sini? Hawanya begini dingin...”
Siauw Bwee
sadar dari lamunannya dan membalikkan tubuh. “Ah, aku tak dapat tidur, Supek.”
“Sebaiknya
tidur sekarang, besok kita berangkat pagi-pagi. Aku akan membicarakan rencana
kita dengan Sute karena dia agaknya lebih mengenal keadaan kota Siang-tan agar
lebih mudah kita memasuki kota yang menjadi benteng pertahanan pasukan Sung
itu.”
”Dia sudah
pergi, Supek.”
“Apa? Siapa
maksudmu?”
“Suma-twako,
dia sudah pergi.” Setelah berkata demikian, Siauw Bwee kembali ke penginapan
dan memasuki kamarnya.
Coa Leng Bu
masih tidak percaya dan membuka pintu kamar sute-nya. Ternyata kamar itu telah
kosong. Dia hanya melongo dan tidak mengerti. Diam-diam ia menghela napas dan
menduga bahwa tentu terjadi sesuatu antara Siauw Bwee dan sute-nya itu, akan
tetapi dia tidak tahu apa yang terjadi dan tidak berani bertanya. Ia pun lalu
memasuki kamarnya dan tidur.
Pasukan
Mancu yang menduduki kota Sian-yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan,
dan tentu saja karena jasa Pasukan Maut yang dipimpin oleh Panglima Wanita Maya
maka benteng itu dapat direbut dengan mudah. Setelah berhasil menduduki kota
dan mengamankan keadaan, Pangeran Bharigan mengadakan pesta untuk merayakan
kemenangan Pasukan Mancu. Jasa Maya dan pembantu-pembantunya, terutama kedua
orang murid Mutiara Hitam, dipuji-puji oleh Pangeran Bharigan yang biar pun
cintanya ditolak Maya, masih selalu mengharapkan perubahan hati dara itu.
Biar pun
keadaan mengharuskan dia bergembira, namun Maya merasa masih belum puas, apa
lagi kalau dia mengingat akan suheng-nya yang tempo hari membantu pasukan
Yucen. Dia tidak akan merasa puas kalau belum menumpas Kerajaan Sung untuk
membalas dendam kematian Menteri Kam Liong, kemudian menumpas bangsa Mongol dan
Yucen untuk membalas kematian ayah bundanya, Raja dan Ratu Khitan.
Maka untuk
menghentikan puji-pujian itu, dia menjawab, “Kemenangan kita adalah jasa para
prajurit dan kemenangan ini belum ada artinya karena benteng yang berada di
depan jauh lebih kuat. Saya mendengar bahwa benteng musuh di kota Siang-tan
amat kuatnya.”
“Menurut
para penyelidik memang benar demikian, Li-ciangkun,” kata Pangeran Bharigan. “Oleh
karena itu, kita pun jangan tergesa-gesa melakukan penyerangan. Sambil memberi
waktu kepada para anak buah pasukan untuk mengaso, sebaiknya kalau kita
mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka. Kita harus mengetahui
kelemahan-kelemahan mereka di samping kekuatan mereka agar pukulan kita tidak
akan gagal.”
“Sebaiknya
demikian, Pangeran. Akan tetapi tidaklah mudah untuk menyelidiki kota besar
yang merupakan benteng kuat itu. Oleh karena itu, saya mohon perkenan Pangeran
untuk pergi menyelidiki sendiri dengan beberapa orang pembantu yang
berkepandalan cukup tinggi.”
Pangeran
Bharigan mengangguk-angguk. Memang sebaiknya begitu dan kalau panglima wanita
yang sakti itu pergi menyelidiki sendiri, tentu hasilnya akan jauh lebih baik
dari pada mengirim penyelidik biasa. Biar pun hatinya khawatir kalau-kalau
wanita perkasa yang menarik hatinya dan diharapkan dapat menjadi calon
isterinya itu mengalami mala-petaka, namun dia tahu bahwa merupakan pantangan
bagi Maya untuk bersikap penakut.
“Saya tidak
dapat menolak permintaanmu, Li-ciangkun. Kalau memang kau anggap penting bahwa
engkau sendiri yang pergi, terserah. Silakan memilih pembantu-pembantumu, dan
apakah perlu dengan pasukan?”
Maya
menggeleng kepala. “Saya hanya memerlukan bantuan Ok Yan Hwa, Can Ji Kun,
Kwa-huciang dan Theng-ciangkun. Kami berlima akan menyamar sebagai pengungsi
dan memasuki kota Siang-tan. Besok pagi-pagi kita berangkat. Kalau Pangeran
setuju, kuharap kalian berempat suka bersiap-siap malam ini.”
Pangeran
Bharigan menyetujui dan bersiaplah lima orang itu. Pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali di waktu cuaca makin gelap, mereka menyelundup ke luar dan
berpakaian sebagai penduduk biasa, membawa buntalan pakaian, kemudian
menyelinap di antara rombongan pengungsi yang berbondong-bondong menuju ke
Siang-tan. Tidak begitu banyak yang memasuki kota Siang-tan, karena sebagian
pengungsi ada yang berhenti di dusun-dusun dan kota-kota sebelum mencapai
Siang-tan.
Perjalanan
jauh membuat pakaian dan rambut mereka kusut sehingga kecantikan Ok Yan Hwa,
terutama sekali Maya, tidaklah begitu menonjol, apa lagi mereka sengaja
membiarkan sinar matahari membakar kulit muka dan tangan mereka yang biasanya
halus dan putih kuning itu. Kulit mereka menjadi kecoklatan seperti kulit para
wanita petani. Pula, di antara para pengungsi terdapat pula wanita-wanita
bangsawan dan hartawan yang dalam perjalanan mengungsi itu tak pernah lupa
untuk bersolek, sehingga dipandang sepintas lalu, Yan Hwa dan Maya yang
membiarkan kulit mereka dihanguskan matahari, membiarkan pakaian dan rambut
mereka kusut, tidak kelihatan cantik luar biasa.
Ketika
memasuki pintu gerbang sebelah utara bersama rombongan pengungsi, Maya dan
empat orang pembantunya melihat betapa penjagaan di sepanjang tembok kota amat
kuat dan rapi. Para penjaga berbaris dengan lapisan yang ketat, sedangkan
setiap orang pengungsi diawasi dengan cermat, bahkan kereta-kereta yang masuk
diperiksa dan pengungsi yang membawa senjata dirampas.
Diam-diam
Maya harus mengakui bahwa penjagaan bagian pintu gerbang di kota Siang-tan ini
jauh lebih kuat dari pada penjagaan di kota Sian-yang dan di atas tembok kota
penuh pula dengan pasukan penjaga yang selalu siap dengan busur dan anak panah
mereka. Juga di sekeliling tembok dipasangi jebakan-jebakan dengan
barisan-barisan pendam yang tidak tampak dari jauh. Semua ini dicatat dalam
hati oleh Maya. Setelah memasuki kota, Maya dan teman-temannya menyaksikan
barisan Sung telah memasang persiapan membentuk pasukan-pasukan peronda,
sedangkan induk pasukan yang berada di markas, yang tampak dari luar, kelihatan
segar-segar dan penuh semangat.
Banyak
sekali rombongan pengungsi yang membanjiri kota ini semenjak beberapa hari yang
lalu sehingga semua rumah penginapan penuh oleh para pengungsi yang beruang.
Karena kehabisan kamar, terpaksa Maya dan teman-temannya bermalam di dalam
sebuah gedung besar rumah perkumpulan yang oleh para dermawan kota itu
disediakan untuk menampung para pengungsi yang tidak dapat menyewa kamar, yang
tidak berkeluarga di kota itu, dan yang tidak kebagian kamar penginapan lagi.
Saking banyaknya orang yang memasuki gedung ini, sebagiaan besar mereka
terpaksa berjubel di dalam ruangan terbuka yang luas.
Di tempat
ini mereka beristirahat. Laki-laki wanita, tua muda, kanak-kanak, ada yang
duduk mengobrol, ada yang tidur di lantai. Di sana-sini terdengar suara
anak-anak kecil menangis diiringi suara makian atau hiburan orang tuanya, ada
pula suara keluh-kesah wanita yang teringat akan rumah dan segala miliknya yang
terpaksa ditinggalkan. Di dalam ruangan ini Maya dan empat orang temannya duduk
di sudut, memperhatikan percakapan-percakapan antara para pengungsi karena
percakapan-percakapan itu pun merupakan sumber keterangan yang amat penting
bagi mereka.
Menyaksikan
sikap para pengungsi, melihat wajah mereka tidaklah sekeruh tadi ketika
melakukan perjalanan, bahkan kini setelah bercakap-cakap mereka
tersenyum-senyum dan sama sekali tidak tampak berduka, diam-diam Maya teringat
akan penuturan suheng-nya yang sering kali ketika mereka berada di Pulau Es
membicarakan filsafat yang banyak diketahui suheng-nya itu. Diam-diam dia dapat
melihat kenyataan akan watak manusia pada umumnya seperti yang pernah ia dengar
dari suheng-nya.
Di dalam
segala macam hal, dalam susah mau pun senang, manusia selalu bergerak dan
bersikap di atas dorongan sifat sayang diri. Betapa pun dukanya hati seseorang
karena mengalami derita tertimpa kemalangan, hatinya yang duka itu akan
terhibur apa bila melihat manusia lain menderita pula, apa lagi kalau
penderitaan manusia lain itu lebih besar dari pada penderitaannya sendiri. Dia
dapat membayangkan betapa akan hancur dan sengsara hati setiap orang diri para
pengungsi ini andai kata dia seorang yang mengalami nasib buruk seperti itu!
Akan tetapi, bertemu dan berkumpul dengan banyak orang lain yang senasib, maka
mereka itu merasa terhibur!
Sebaliknya,
setiap kesenangan dan keuntungan yang datang selalu ingin dikuasai oleh seorang
saja sehingga dijadikan perebutan! Sifat sayang diri dan iba diri inilah yang
mengusir cinta kasih antara manusia jauh-jauh dari hati manusia sehingga di
mana-mana, bahkan di dalam hati masing-masing manusia, timbul
pertentangan-pertentangan.
Padahal,
dengan cinta kasih yang mendalam, setiap kedukaan akan terasa ringan apa bila
dipikul bersama, sebaliknya di setiap kesukaan akan terasa lebih nikmat apa
bila dinikmati bersama. Hal ini akan dapat dirasakan oleh setiap orang dalam
sebuah keluarga yang penuh cinta kasih, di mana setiap kedukaan menjadi ringan
dan setiap kesukaan menjadi besar karena selalu dirasakan oleh seluruh keluarga
yang mengandung cinta kasih di dalam hati masing-masing.
Percakapan
antara tiga orang laki-laki tua di sebelah kirinya amat menarik hati Maya dan
empat orang kawannya. Mereka itu bercerita tentang keributan di dalam gedung
kepala daerah kota Sian-yang, di mana Koksu Negara menjadi tamu. Keributan yang
ditimbulkan oleh seorang dara perkasa yang bertanding melawan pengawal-pengawal
Koksu, bahkan yang berhasil membunuh pengawal Koksu yang paling terkenal, yaitu
Panglima Dampit...
Maya saling
pandang dengan teman-temannya, dan berbisiklah Ok Yan Hwa, ”Tentu dia itu
orangnya...”
Maya dan
yang lain-lain mengangguk. Mereka sudah mendengar penuturan Ok Yan Hwa betapa
ada seorang gadis lihai bukan main yang hendak kabur keluar dari kota Sian-yang
di malam hari dan dalam pengepungan terhadap dara lihai itu, Yan Hwa sendiri
tidak berhasil mengalahkannya. Tadinya Maya juga terheran, akan tetapi ketika
mendengar bahwa Yan Hwa baru bertanding beberapa gebrakan saja melawan pelarian
itu, dia masih belum yakin benar akan ada seorang gadis yang dapat menandingi
Yan Hwa.
Akan tetapi
ketika sekarang mendengar bahwa gadis itu dapat membunuh Panglima Dampit dalam
pertandingan, Maya benar-benar terkejut bukan main. Dia maklum akan kelihaian
Panglima Dampit, yang amat terkenal dan sukar dikalahkan itu, dan kini dua
orang dampit yang lihai itu tewas di tangan gadis itu. Diam-diam terbayanglah
wajah sumoi-nya, Khu Siauw Bwee di dalam mata Maya. Yan Hwa melihat dara itu di
dalam gelap sehingga tidak dapat menceritakan dengan jelas bagaimana wajah
gadis itu.
Akan tetapi
melihat keadaannya, di dunia ini sukar sekali didapat seorang gadis cantik yang
mampu mengalahkan Panglima Dampit, bahkan Yan Hwa sendiri belum tentu akan
mampu mengalahkan dua orang dampit itu. Kalau pun ada, agaknya hanya dia
sendiri atau Siauw Bwee! Dia lalu berbisik kepada Ji Kun.
Pemuda ini
mengangguk lalu mendekati orang-orang yang sedang bicara tentang peristiwa di
gedung yang ditinggali Bu-ciangkun itu, kemudian bertanya, “Lopek, benarkah
Panglima Dampit terbunuh oleh seorang gadis? Betapa anehnya dan sukar
dipercaya. Siapa yang tidak mengenal kelihaian Panglima Dampit?”
Kakek itu
memandang Ji Kun dan mengerutkan alisnya. “Memang benar dia lihai sekali. Akan
tetapi menurut penuturan keponakanku yang menjadi pengawal dan pada waktu itu
menyaksikan sendiri pertandingan itu, Panglima Dampit benar-benar tewas dalam
keadaan mengerikan di tangan gadis yang mempunyai kepandaian seperti dewi itu.”
“Aih,
sungguh hebat dan menarik sekali. Lopek, untuk melupakan kesengsaraan kita,
sukakah kau menceritakan kejadian itu? Si Dampit adalah panglima, betapa
mungkin sampai terbunuh, dan bagaimana dengan Koksu dan panglima-panglima
lainnya?”
Dengan wajah
gembira karena mendapat kesempatan menceritakan peristiwa penting yang tidak
sembarangan orang dapat mengetahuinya, kakek itu menghisap huncwe (pipa
tembakau) sampai paru-parunya penuh asap, kemudian dengan uluran napas panjang
ia mengeluarkan asap tambahan yang hilang sarinya itu melalui hidungnya,
menikmati pandang mata semua orang di sekelilingnya yang bergantung kepada
bibirnya. Barulah dia menjawab,
“Engkau
tidak tahu, orang muda. Pertandingan itu memang disengaja oleh Koksu yang
hendak menguji kepandaian gadis perkasa itu. Gadis itu bersama seorang
laki-laki tua memasuki ruangan dan entah mengapa, para pengawal tidak ada yang
mengerti, dia mengamuk. Menyaksikan kelihaian gadis itu, Koksu menyuruh
panglimanya maju bergantian, akan tetapi apa yang terjadi? Benar keponakanku
yang mengatakan bahwa gadis itu agaknya bukan manusia biasa melainkan seorang
dewi, baik karena kecantikannya yang luar biasa, tubuhnya yang berbentuk
menggairahkan, mau pun kepandaiannya yang sukar dipercaya. Kalian tahu? Seorang
demi seorang para panglima pengawal itu roboh olehnya!”
“Aihhhh...!”
“Ayaaaaaa...
lihai sekali!”
“Tsk-tsk-tskk...!”
“Melihat
semua panglimanya roboh, Bu-koksu lalu menyuruh adik angkatnya sendiri,
pengawal pribadinya yang penuh rahasia, yang hanya dikenal sebagai Kam-busu
untuk maju menghadapi gadis itu!”
“Aihhhh...!”
Sekali ini teriakan kaget keluar dari mulut Maya.
Disebutnya
nama Kam-busu yang katanya paling lihai di antara para panglima membuat hatinya
berdebar tegang. Seorang she Kam menjadi adik angkat Koksu dan paling lihai di
antara para panglima pengawal? Siapa lagi kalau bukan Kam Han Ki? Ah, akan
tetapi sungguh tidak mungkin hal itu terjadi. Suheng-nya menjadi pengawal
pribadi Koksu? Tak masuk akal! Suheng-nya adalah seorang buruan, seorang
pelarian yang dimusuhi Kerajaan Sung, mana bisa sekarang menjadi pengawal
pribadi Koksu?
Pula kalau
betul dugaannya bahwa dara yang lihai sekali itu adalah sumoi-nya, Khu Siauw
Bwee, mana mungkin bertanding melawan Kam Han Ki? Tentu seorang di antara
keduanya itu yang bukan sumoi-nya atau suheng-nya. Kalau gadis itu betul Siauw
Bwee, tentu pengawal itu bukan Han Ki. Sebaliknya, kalau pengawal itu Han Ki,
pasti gadis itu bukan Siauw Bwee. Betapa pun juga, dia hampir yakin bahwa tentu
gadis itu sumoi-nya, sedangkan pengawal itu bukan suheng-nya, biar pun mempunyai
she Kam.
Kakek itu
melanjutkan ceritanya setelah melotot kepada Maya sebagai teguran karena
teriakannya tadi. “Terjadilah pertandingan yang amat luar biasa, mengejutkan
semua orang dan agaknya sukar ditentukan siapa di antara mereka itu yang akan
menang kalau pertandingan itu dilanjutkan. Sayang, pada saat itu kota mulai
dikacau musuh sehingga Koksu terpaksa meninggalkan ruangan itu dikawal oleh
Kam-busu, dan Koksu memerintahkan Panglima Dampit bersama para panglima lain
dan para pengawal untuk menangkap atau membunuh gadis ini bersama temannya.
Dalam pertempuran inilah gadis jelita yang lihai itu membunuh Panglima Dampit
dan banyak pengawal lain. Untung keponakanku hanya mengalami kepala benjol saja
dan tidak mati. Gadis yang sepak terjangnya seperti seekor naga betina itu
berhasil lolos dari kepungan para pengawal, bahkan menolong pula temannya.”
Semua orang
tercengang dan cara Si Kakek bercerita yang disertai gerakan kedua tangannya
mendatangkan kesan mendalam terhadap para pendengarnya, terutama sekali kepada
Maya dan teman-temannya, tentu saja. Maya merasa yakin kini bahwa gadis itu
tentulah Siauw Bwee. Gadis mana lagi di dunia ini yang memiliki ilmu kepandaian
selihai itu? Dia maklum bahwa kepandaian sumoi-nya amat tinggi, tidak banyak
selisihnya dengan dia sendiri, bahkan dia tidak berani memastikan bahwa dia
akan dapat memenangkan sumoi-nya itu!
Selagi dia
hendak bertanya kepada kakek itu lebih jelas tentang diri Kam-busu, tiba-tiba
terdengar suara ribut-ribut di sebelah luar gedung itu. Suara teriakan-teriakan
orang berkelahi! Mendengar ini, otomatis para pengungsi menjadi pucat wajahnya.
Mereka bergegas menyiapkan barang-barang bawaan, ada yang segera menggendong
anaknya. Tak seorang pun berani membuka suara sehingga keadaan yang sunyi itu
membuat suara gaduh di luar makin terdengar jelas. Tak salah lagi, ada dua
orang tengah berkelahi sambil saling memaki.
“Hendak lari
ke mana kau, keparat?” terdengar bentakan disusul gedebak-gedebuknya kaki
berlari memasuki gedung. Kembali terdengar suara perkelahian, di dalam gedung,
dekat dengan ruangan itu.
Mendengar
suara perkelahian ini makin dekat dengan ruangan itu, seorang kakek yang pucat
ketakutan cepat menutupkan daun pintu yang menembus ruangan itu kemudian
bergegas ia duduk kembali. Semua mata terbelalak memandang kepada pintu yang
tertutup itu dan dari balik pintu terdengar suara perkelahian, kini
berdesingnya senjata. Jantung mereka menjadi makin tegang dan berdebar.
“Brakkkkk!”
Daun pintu pecah berantakan dan tubuh seorang laki-laki tinggi besar yang tadi
terlempar menubruk daun pintu, jatuh terjengkang di atas daun pintu di sebelah
dalam ruangan.
Anak-anak
menjerit, juga para wanita, dan semua orang terbelalak memandang, akan tetapi
menjadi agak lega ketika melihat bahwa yang berkelahi bukanlah tentara, berarti
bahwa di luar tidak terjadi perang. Yang berkelahi hanyalah dua orang laki-laki
setengah tua. Kini orang yang jatuh cepat mencelat ke samping ketika lawannya,
seorang kakek berjenggot pendek menubruknya.
Kakek
berjenggot pendek itu ternyata lihai sekali. Biar pun dia bertangan kosong,
ternyata lawannya yang memegang sebatang golok telah terlempar sampai tubuhnya
membobol daun pintu. Kini kakinya melayang menyusul tubrukannya yang tak
berhasil tadi. Lawannya berseru marah, tangannya tertendang sehingga goloknya
terlepas. Dengan gerengan seperti seekor beruang terluka, orang yang memakai
topi bulu domba ini membalas dengan pukulan-pukulan dahsyat dan bertandinglah
kedua orang itu di tempat yang amat sesak dengan para pengungsi itu!
Maya dan
teman-temannya tetap duduk dengan sikap tenang. Mereka mendapat kenyataan bahwa
kedua orang yang berkelahi itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Gerakan
mereka tangkas sekali dan biar pun tempat itu penuh sesak dengan pengungsi,
mereka dapat bertanding dengan berloncatan ke sana-sini, melewati kepala orang,
bahkan kadang-kadang menggunakan kaki mereka meloncat dari pundak dan kepala
para pengungsi, lalu melesat ke kanan kiri!
Tentu saja
para pengungsi menjadi geger dan melihat bahwa yang berkelahi hanya dua orang
biasa, mereka yang kena injak dan yang memiliki kepandaian, melawan dan
memukul. Namun dua orang itu lihai sekali sehingga setiap serangan dari para
pengungsi yang marah karena dikacau dua orang itu, dalam dua tiga gebrakan saja
sudah terpukul roboh dan mereka berdua melanjutkan perkelahian mereka!
Melihat ini
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa sudah marah sekali, hendak meraba pedang yang mereka
sembunyikan di balik baju. Akan tetapi Maya menyentuh lengan mereka, berkedip
dan menggoyang kepala sehingga mereka terpaksa menelan kemarahan mereka
terhadap dua orang yang benar-benar tidak mengenal tempat dan keadaan,
berkelahi di antara bagitu banyak orang sehingga menimbulkan kepanikan.
Tiba-tiba
orang yang bertopi bulu domba itu mengelak sambil meloncat ke tempat rombongan
Maya. Seperti tidak disengaja, dia turun dan hendak menginjak pundak Can Ji Kun
untuk dipergunakan sebagai landasan! Tentu saja Ji Kun tidak sudi pundaknya
diinjak. Dia miringkan tubuh, tangannya menyambar ke atas menotok lutut orang
dan sambil berteriak kaget orang itu roboh terguling!
Lawannya
yang berjenggot pendek menerjang maju, melampaui kepala Yan Hwa, dan gadis itu
pun menampar ke atas, mengenai tulang betis Si Jenggot Pendek yang terjungkal
pula menimpa tubuh lawannya. Mereka berdua sudah cepat meloncat bangun, menahan
rasa nyeri pada lutut dan tulang betis, kemudian keduanya tiba-tiba bersuit
keras sambil meloncat ke pintu.
“Tangkap
mereka!” Kedua orang itu berseru dan dari luar masuklah puluhan orang tentara
yang bersenjata lengkap, sedangkan di luar pintu masih tampak banyak sekali
anggota tentara. Jumlah mereka ada seratus orang lebih!
“Berpencar!
Lari...!” Maya berbisik.
Maklumlah
dia bahwa perkelahian antara dua orang tadi hanyalah sandiwara belaka. Agaknya
mereka adalah panglima-panglima yang menyamar dan melakukan penyelidikan. Kota
Sian-yang di utara telah kebobolan karena adanya penyelundupan mata-mata musuh
yang lihai, maka kini Koksu Bu Kok Tai tidak mau membiarkan hal itu terulang di
kota Siang-tan. Dia maklum bahwa mata-mata musuh hanya dapat menyelinap masuk
di antara pengungsi, maka dia mengatur rencana itu untuk mengetahui siapa di
antara pengungsi-pengungsi yang berkepandaian tinggi dan mereka itu harus
ditangkap untuk diperiksa.
Kalau
ternyata mata-mata, tentu akan dihukum mati, sebaliknya kalau bukan mata-mata,
akan dapat dipergunakan untuk membantu mempertahankan kota. Siasat ini
dilakukan pada saat yang sama dan sandiwara perkelahian itu bukan hanya terjadi
di tempat Maya dan teman-temannya berkumpul saja, akan tetapi juga di
tempat-tempat lain di mana para pengungsi berkumpul. Pada saat pasukan-pasukan
menyerbu ke ruangan itu, di lain tempat juga terjadi hal yang sama, yaitu
penangkapan-penangkapan atas diri orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi,
yang terkena pancingan perkelahian palsu tadi!
Maya dan
empat orang temannya cepat meloncat dan menyerbu ke luar. Dua orang yang tadi
bersandiwara cepat memerintahkan pasukan mengurung lima orang ini dan
terjadilah pertandingan yang jauh berbeda dengan perkelahian antara dua orang
tadi. Pertandingan sekali ini adalah pertempuran sesungguhnya, bahkan
mati-matian karena kalau Maya berlima tidak akan menyerah sampai mati, adalah
para pimpinan pasukan itu ketika menyaksikan kelihaian lima orang itu menjadi
makin curiga bahkan hampir yakin bahwa lima orang itu tentulah mata-mata musuh.
Pengepungan
dilakukan ketat sekali, namun Maya, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa melayang naik,
membobol langit-langit dengan kepandaian mereka dan dari atas mereka
melempar-lemparkan genteng ke bawah untuk membantu Kwa-huciang dan
Theng-ciangkun yang menerjang ke luar melalui pintu. Kepandaian kedua orang
panglima pembantu Maya ini hebat sekali, terutama Kwa-huciang yang hanya
tinggal sebelah lengannya. Semenjak lengannya buntung, panglima yang setia ini
menerima gemblengan ilmu dari Maya sehingga dia malah lebih lihai dari pada
sebelum lengannya buntung sebelah.
Kacau-balaulah
pihak tentara Sung. Dari atas ada hujan genteng yang dilepas dengan sambitan
keras sekali, siapa yang terkena pasti roboh dengan kepala pecah atau tubuh
terluka parah, sedangkan dua orang laki-laki itu mengamuk seperti dua ekor
singa. Akhirnya kedua orang itu berhasil membobol ke luar dari gedung itu.
Ternyata
malam hari itu di seluruh kota terjadi geger karena penyergapan di
tempat-tempat pengungsi yang dilakukan serentak. Kepanikan penduduk dan
kegelapan malam membuka kesempatan baik bagi Kwa-huciang dan Theng-ciangkun
sehingga dengan berpencar mereka akhirnya dapat melarikan diri dari para
pengejarnya. Maya, Yan Hwa dan Ji Kun yang berada di atas genteng segera
diserbu oleh anak panah yang dilepas oleh para anggota pasukan panah dari
bawah.
“Kita
berpencar,” Maya cepat berkata setelah meruntuhkan semua anak panah yang
menyambar ke arahnya seperti yang dilakukan oleh dua orang pembantunya pula,
“Jangan lupa, pada hari yang ditentukan berkumpul di kuil tua itu!” Setelah
berkata demikian, sekali tubuhnya melesat, Maya telah lenyap dari situ ditelan
kegelapan malam.
Ji Kun dan
Yan Hwa juga cepat menggunakan ginkang mereka, berloncatan di atas rumah-rumah
penduduk kota dan menghilang. Maka gegerlah keadaan kota, pasukan-pasukan
dikerahkan untuk mencari lima orang mata-mata musuh itu.
Dengan
gerakannya yang luar biasa cepatnya, Maya lari seorang diri ke arah timur.
Selama dia menjadi panglima, dara perkasa itu tiada henti-hentinya melatih diri
dengan ilmu silatnya, bahkan kecerdasannya membuat dia mampu mengembangkan dan
memperbaiki jurus-jurus simpanannya sehingga dari jurus-jurus ilmu silatnya dia
dapat menciptakan banyak sekali jurus silat yang aneh dan juga amat lihai. Dari
banyak pertandingan yang dialaminya ketika berperang melawan musuh, dia dapat
menemukan banyak gerakan-gerakan aneh dari macam-macam lawan dan semua ini
ditampungnya, diolah dan karena dia berbakat mencipta, maka tanpa disadari,
Maya telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya.
Apa lagi
ketika ia menerima buah sian-tho dari Pangeran Bharigan, semacam buah yang
langka, yang didapat jauh dari utara dekat kutub dan merupakan barang pusaka
dari Kerajaan Mancu, maka dara ini memperoleh tenaga sinkang yang dahsyat. Buah
sian-tho ini bagi orang biasa mengandung khasiat daya pengobatan yang lebih
mujarab dari pada jin-som, akan tetapi bagi seorang ahli sinkang seperti Maya,
dapat membangkitkan hawa sakti yang membuat sinkang-nya yang dilatih secara
istimewa di Pulau Es itu menjadi lebih kuat lagi.
Maya tidak
berani berhenti dan berputaran mencari tempat yang baik untuk memulai dengan
penyelidikannya. Dia harus dapat menemukan markas di mana tinggal Koksu dan
para panglima agar dia dapat mengintai dan mendengarkan rencana siasat mereka.
Hanya inilah jalan yang paling baik, karena untuk menyelidiki sendiri keadaan
pertahanan musuh, selain berbahaya juga akan memakan waktu lama sekali.
Kota itu
amat besar, dan dia tidak tahu di antara gedung-gedung yang banyak sekali itu,
yang mana menjadi tempat tinggal Koksu dan para panglimanya. Dia harus bekerja
dengan hati-hati sekali. Koksu Bu Kok Tai bukanlah orang sembarangan, dan dia
maklum akan kelihaian para panglima pengawalnya, sungguh pun Panglima Dampit
telah tewas.
Menjelang
pagi, Maya menuju ke pinggir tembok kota sebelah timur ketika ia mendengar
suara ribut-ribut di sana. Disangkanya bahwa seorang di antara anak buahnya
menghadapi bahaya, maka dia cepat menuju ke tempat itu dan siap untuk menolong
kalau benar seperti yang dikhawatirkannya. Dia mendekam di atas sebuah wuwungan
dan melihat seorang laki-laki sedang dikeroyok oleh banyak tentara.
Laki-laki
itu tidak tampak jelas mukanya di dalam cuaca yang gelap, akan tetapi
gerakannya hebat sekali! Bukan Kwa-huciang, juga bukan Theng-ciangkun, akan
tetapi gerakannya malah lebih lihai dari pada kedua orang pembantunya. Bahkan
mungkin tidak di sebelah bawah kelihaian Can Ji Kun sendiri! Diam-diam Maya
menjadi heran sekali. Orang itu lihai, pikirnya, dan kenyataannya bahwa dia
dikeroyok tentara-tentara Sung membuktikan bahwa orang itu tentulah seorang
penyelundup dari luar pula. Akan tetapi dari mana?
”Mundur
kalian semua! Orang-orang tolol tidak mengenal orang! Aku adalah putera seorang
panglima!” Laki-laki itu mengamuk, merobohkan para pengeroyok sambil
membentak-bentak.
“Ha-ha-ha,
di kota berkeliaran mata-mata dan biar kau mengaku putera raja sekali pun,
siapa mau percaya? Kami tidak pernah bertemu denganmu!” Pimpinan pasukan yang
mengeroyok tertawa dan pengeroyokan menjadi makin ketat.
Mendengar
bahwa orang lihai itu mengaku sebagai putera Panglima, Maya mendapatkan sebuah
akal yang cerdik dan berani. Kalau dia bisa menolong dan mengikat persahabatan
dengan orang itu, tentu amat berguna bagi penyelidikannya, pikirnya dan dia
lalu melompat turun langsung menyerbu para tentara yang mengurung pria itu.
“Heiii...
kau... ehhh... !” Pria itu bukan lain adalah Suma Hoat!
Ketika dia
menyusul ayahnya di kota Siang-tan dan menyaksikan kekacauan malam itu, dia
sengaja keluar untuk melihat apa yang terjadi. Dalam penyelidikannya inilah dia
dicurigai dan dikepung oleh pasukan yang memang belum pernah melihat pemuda
yang belum lama kembali ke tempat asalnya itu.
Maya tidak
mempedulikan seruan pemuda itu. Pada waktu itu banyak panglima berpakaian
preman untuk menjadi penyelidik dan menangkapi mata-mata. Seorang panglima yang
berpakaian preman menyerangnya dari belakang dengan sebatang pedang. Dengan
mudah saja Maya membalikkan tubuh, membiarkan pedang lawan dan sekali tangan
kanannya bergerak, pedang itu telah dirampasnya dan sebuah tamparan tangan
kirinya membuat Panglima Sung itu terpelanting dan roboh telentang di depannya.
“Heiiii...
kau... Nona... siapa dan mengapa...?” Suma Hoat mengelak dari sebuah tusukan
tombak dan menoleh kepada Maya, tergagap saking herannya ketika melihat seorang
dara yang demikian cantik jelita tahu-tahu datang membantunya!
Melihat
wajah Maya ia tepesona dan terbelalak. Dia telah gila! Mengapa sekarang dia pun
terpesona, jantungnya berdebar tidak karuan menyaksikan wajah dara ini? Sungguh
mati dia harus mengakui bahwa getaran jantungnya ketika melihat wajah itu sama
sekali berbeda dengan getaran nafsu kalau dia melihat wanita-wanita cantik!
Wajah ini... luar biasa sekali, lebih cantik dari pada mendiang Ciok Kim Hwa,
lebih jelita dari pada wajah Khu Siauw Bwee! Mungkinkah dia begitu mudah jatuh
cinta sekarang?
Apakah
setelah beberapa bulan ini dia menghentikan petualangannya sebagai
Jai-hwa-sian, dia lalu mudah tergila-gila dan jatuh cinta dalam arti kata yang
murni terhadap setiap gadis cantik yang dijumpainya?
Akan tetapi,
kalau tadi dia terpesona oleh wajah itu, oleh kecantikannya, kini dia terpesona
menyaksikan betapa pedang rampasan di tangan dara jelita itu berkelebatan
merupakan gulungan sinar yang luar biasa sekali dan semua senjata para
pengurungnya patah disambar sinar yang bergulung-gulung. Hebat bukan main!
Mengapa dia selalu bertemu dengan dara-dara yang seperti bidadari namun
memiliki kepandaian seperti iblis?!
Biar pun
Maya mengamuk, namun dia berhati-hati sekali, tidak mau membunuh seorang pun
tentara yang kalau dalam perang tentu akan dibasminya sebanyak mungkin itu. Dia
tidak mau menghadapi kesulitan yang tentu timbul kalau sampai dia melakukan
pembunuhan.
“Bunuh
mata-mata... !” terdengar teriakan keras.
Seorang
panglima lain yang mukanya seperti tengkorak, berpakaian preman, melayang turun
dari atas genteng, terjun ke dalam medan pertempuran itu. Setelah dekat,
ternyata muka seperti tengkorak itu lebih mirip muka kuda. Suma Hoat
membalikkan tubuhnya dan orang bermuka kuda itu terbelalak, lalu berseru,
“Kongcu...!”
“Eh,
Siangkoan Lee! Engkau di sini...?” Suma Hoat juga berseru.
“Saya
mengawal kereta Taijin, itu di sana...” Siangkoan Lee, pelayan dan juga murid
Suma Kiat itu cepat membentak, “Tahan senjata! Apakah kalian sudah buta? Kongcu
ini adalah putera Suma-goanswe (Jenderal Suma)!”
Para
komandan pasukan mengenal Siangkoan Lee, maka tentu saja mereka terkejut
mendengar ini dan mengeluarkan aba-aba untuk menghentikan pengeroyokan.
Sementara itu, ketika Maya melihat munculnya Siangkoan Lee, dan mendengar bahwa
pemuda tampan yang dibantu itu adalah putera Suma Kiat, menjadi kaget setengah
mati. Celaka, pikirnya. Dia telah salah pilih! Tanpa berkata sesuatu dia sudah
meloncat ke atas genteng dan menghilang di dalam gelap.
“Heiiii,
Nona...” Tunggu...!” Melihat dara perkasa yang telah mengguncang jantungnya itu
melompat pergi, Suma Hoat cepat meloncat pula mengejar.
“Apakah dia
mata-mata?” tanya Siangkoan Lee.
“Mata-mata
hidungmu!” Suma Hoat memaki. “Dia sahabatku! Katakan kepada Ayah nanti aku
datang menghadap!” Tanpa menoleh Suma Hoat melanjutkan pengejarannya terhadap
bayangan hitam yang meloncat-loncat ke atas genteng rumah-rumah penduduk itu.
“Heii, Nona!
Tunggu, aku mau bicara...!”
Maya
mengerutkan kening. Kalau dia menggunakan ginkang-nya, biar pemuda itu memiliki
kepandaian tinggi, tak mungkin pemuda itu dapat menyusulnya. Juga kalau dia
menghadapi pemuda itu, biar pun dia tahu bahwa pemuda itu cukup lihai namun dia
percaya akan dapat membunuhnya. Akan tetapi, kalau hal itu terjadi, Si Pemuda
tentu akan mengejar dan berteriak-teriak, dan kalau sampai dia kedapatan oleh
para penjaga, padahal malam telah hampir pagi, dia bisa celaka. Maya mengigit
bibir menahan kesabaran hatinya, demi keselamatannya sendiri. Mengingat bahwa
pemuda ini adalah putera Suma Kiat yang amat dibencinya, ingin dia menggerakkan
pedang membunuhnya!
Dia terpaksa
berhenti dan membalikkan tubuh. “Engkau mau bicara apakah?”
Kebetulan
sekali mereka berhenti di atas genteng rumah yang terkena sorotan sinar dari
bawah sehingga wajah dara itu tampak jelas di bawah sinar remang-remang. Sekali
lagi jantung di dalam dada Suma Hoat seperti jungkir-balik. Wajah ini... luar
biasa cantiknya. Kecantik-jelitaan yang aneh, asing dan belum pernah selama
hidupnya ia bertemu dengan seorang gadis berwajah seperti ini.
“Nona,
maafkan aku... setelah Nona tadi menolongku, bagaimana aku dapat membiarkan kau
pergi begitu saja sebelum aku menghaturkan terima kasih?”
“Aku tidak
mengharapkan terima kasih,” jawab Maya singkat.
“Akan
tetapi, setelah Nona menolongku, tidak mungkin aku bersikap begitu tak kenal
budi. Setidaknya, harap Nona sudi berkenalan. Namaku Suma Hoat, dan siapakah
Nona yang cantik jelita seperti bidadari namun berkepandaian setinggi langit?”
Berkerut
alis Maya. Laki-laki ceriwis, pikirnya, sungguh pun dia harus mengakui bahwa
putera Jenderal Suma Kiat ini ternyata amat tampan, suaranya halus
gerak-geriknya menarik.
“Aku melihat
seorang dikeroyok, lalu datang membantu. Hal itu biasa saja. Aku melakukannya
bukan untuk memancing terima kasih, bukan pula mengharapkan perkenalan.
Sudahlah...!”
Melihat
gadis itu sekali mencelat melayang ke wuwungan di depan, Suma Hoat terkejut dan
takut kalau-kalau takkan dapat bertemu lagi, maka dia pun cepat mengejar sambil
berseru, “Nona, tunggu...!”
Maya
berhenti dan membalikkan tubuh, membentak, “Engkau mau apa lagi?!”
Suma Hoat
kini sudah tergila-gila benar menyaksikan sikap yang demikian keras, sifat yang
liar dan penuh kewibawaan, namun juga amat manis. Maka dia mengambil keputusan
untuk dapat berkenalan dengan dara ini. Cinta kasihnya yang pertama terhadap
Ciok Kim Hwa putus, kemudian cinta kasihnya yang kedua, cinta kasih murni
terhadap Khu Siauw Bwee juga gagal karena gadis itu telah mencinta orang lain
dan dia tidak berani bermain gila terhadap gadis yang ternyata adalah penghuni
Istana Pulau Es itu. Kini dia merasa jatuh cinta untuk ke tiga kalinya, bukan
cinta birahi seperti terhadap semua wanita yang pernah dipermainkannya,
melainkan cinta sungguh-sungguh! Dia tidak mau gagal lagi sekarang.
“Nona, aku
berniat baik, mengapa Nona menolak perkenalan? Kalau aku tidak berniat baik
terhadap dirimu, tentu aku sudah berteriak bahwa Nona adalah seorang mata-mata
dan Nona akan dikepung oleh ribuan orang tentara!”
“Hemm, begitukah?
Kalau begitu mampuslah engkau!” Pedang rampasan di tangan Maya menyambar ganas
merupakan sinar kilat menyambar ke arah leher Suma Kiat.
Pemuda ini
terkejut bukan main. “Aahhhh...!”
Ia melempar
tubuh ke belakang dan berjungkir-balik dengan cepat. Kembali sinar pedang
menyambar dan keringat dingin keluar membasahi dahi Suma Hoat ketika dengan
pengerahan ginkang sekuatnya kembali dia melempar diri ke kiri sambil
mengebutkan ujung lengan bajunya ke belakang.
“Brettt!”
Ujung lengan baju itu buntung karena benar seperti dugaannya, sinar pedang itu
kembali telah menerjangnya untuk ketiga kalinya dengan gerakan yang bukan main
cepatnya.
“Tahan,
Nona...!” Ia meloncat ke belakang, loncatan yang indah sekali karena tubuhnya
masih menghadap kepada Maya. “Aku sudah memperlihatkan niat baik dengan tidak
membuka rahasiamu, apakah engkau seorang yang begitu kejam dan tidak mengenal
budi, membalas iktikad baik orang dengan serangan maut?”
Maya
diam-diam kagum juga. Tiga kali dia menyerang sungguh-sungguh, dengan jurus-jurus
maut, namun pemuda itu masih mampu menyelamatkan diri, hal itu berarti bahwa
pemuda itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, tidak di sebelah
bawah tingkat kepandaian Can Ji Kun. Dan ucapan yang halus penuh teguran itu,
betapa pun juga membuat kedua pipinya merah. Ingin dia memperkenalkan diri dan
terus menyerang, membunuh pemuda ini karena bagi dia, seluruh keluarga Suma
Kiat harus dibunuh!
Akan tetapi
dia teringat akan pekerjaannya sebagai penyelidik, maka dia berkata angkuh,
“Aku tidak membutuhkan iktikad baikmu, dan aku pun tidak takut kalau engkau
hendak membuka rahasia!”
Bukan main,
pikir Suma Hoat. Gadis ini benar-benar angkuh, seperti seorang puteri kaisar
saja! Seorang dara yang ilmu kepandaiannya amat tinggi, wajahnya amat cantik
jelita, dan wataknya amat tinggi pula!
“Dengarlah
dulu, Nona. Nona adalah seorang mata-mata, berarti Nona memusuhi Kerajaan Sung,
dan aku pun adalah seorang yang tidak memihak Kerajaan Sung. Dengan demikian,
kita berada di satu pihak. Dan penjagaan di sini amat ketat dan kuat. Nona
tidak dapat bergerak leluasa, apa yang akan dapat Nona selidiki? Bahkan banyak
bahayanya Nona akan terkepung dan celaka. Akan tetapi aku dapat bergerak
leluasa dan aku dapat menyelidiki dan memberi tahu kepadamu apa yang kau ingin
ketahui. Aku suka membantumu, Nona. Nah, apakah Nona masih hendak membunuhku?”
Maya memutar
otaknya. Pemuda putera musuh besar ini harus dibunuh, akan tetapi apa yang
dikatakannya mengandung kebenaran. Dia harus bersikap cerdik. Sebagai seorang
panglima perang yang sudah biasa menahan perasaan pribadi demi siasat dan
keuntungan pihaknya, Maya lalu berkata, “Begitukah? Ucapanmu harus dibuktikan
lebih dulu. Sekarang apa yang hendak kau lakukan dengan aku, setelah engkau
tahu bahwa aku adalah seorang mata-mata?”
Wajah Suma
Hoat girang bukan main. “Pertama-tama, Nona harus mempunyai tempat persembunyian
yang baik dan aku mempunyai sebuah rumah kecil yang kosong dan yang takkan ada
yang berani mengganggu atau memasukinya. Nona boleh mempergunakan rumahku itu
sebagai tempat bersembunyi. Hanya di waktu malam saja Nona dapat melakukan
penyelidikan dan di waktu siangnya Nona boleh bersembunyi di situ. Kemudian,
aku dapat membantu mencari keterangan yang sekiranya tak dapat Nona peroleh
sendiri. Bagaimana?”
Maya kembali
terdiam dan berpikir, kemudian dia berkata sambil menurunkan pedangnya, “Kalau
aku tidak dengar tadi bahwa engkau adalah putera Jenderal Suma Kiat yang kutahu
bukanlah seorang pembesar yang setia terhadap Kerajaan Sung, tentu aku tidak
percaya omonganmu. Betapa pun juga, ketahuilah bahwa di samping aku menerima
penawaranmu, aku tetap tidak percaya kepadamu dan sedikit saja engkau
memperlihatkan sikap mencurigakan, aku pasti akan membunuhmu. Jangan engkau
kira bahwa aku tidak dapat melakukannya! Nah, tunjukkan di mana rumah itu!”
“Mari, Nona!
Aku tak perlu bersumpah, akan tetapi Suma Hoat bukanlah seorang yang biasa
mengeluarkan kata-kata yang berlainan dengan isi hati! Bukan seorang pengecut
yang untuk menolong nyawa sendiri melakukan penipuan-penipuan rendah!” Dia
meloncat dan dara perkasa itu pun meloncat di belakangnya.
Untuk
menguji nona itu, Suma Hoat mengerahkan seluruh ilmunya berlari cepat, namun
betapa pun cepatnya dia berloncatan dan berlari, bayangan gadis itu tetap
berada di belakangnya! Diam-diam dia makin kagum, dan di lain pihak, Maya juga
kagum karena pemuda ini benar-benar lihai sekali.
Rumah kecil
itu memang milik Jenderal Suma Kiat yang mempunyai banyak rumah di kota
Siang-tan. Rumah itu kosong dan sebagai rumah pembesar itu, tentu saja tidak
akan ada yang berani mengganggunya.
Setelah
mereka memasuki rumah itu dan duduk berhadapan di ruangan dalam, Suma Hoat
berkata, “Siang ini harap Nona bersembunyi di sini. Nona sudah mengenalku,
harap Nona suka memperkenalkan diri dan menceritakan kedudukan Nona agar aku
dapat mencarikan keterangan yang Nona kehendaki.”
Maya mengerutkan
alisnya. Malam telah berganti pagi dan sinar matahari yang mulai menyinari
ruangan itu membuat ia dapat melihat wajah Suma Hoat dengan jelas. Wajah yang
tampan dan sama sekali tidak kelihatan jahat, bahkan wajah yang akan menarik
hati wanita mana pun! Akan tetapi pertanyaan itu tidak menyenangkan hatinya.
Dia tidak mungkin mengakui dirinya sebagai Panglima Pasukan Maut, hal ini
terlalu berbahaya karena kalau Suma Hoat mengetahui, belum tentu dia mau
memegang janji. Dia terlalu penting bagi Kerajaan Sung yang akan mempertaruhkan
apa saja untuk menangkap panglima wanita yang telah banyak merugikan Kerajaan
Sung itu.
“Suma Hoat,
ingatlah bahwa bukan aku yang menghendaki kerja sama ini, melainkan engkau! Aku
hanya berjanji bahwa kelak aku akan memperkenalkan diri kepadamu, akan tetapi
untuk saat ini, cukup untuk kau ketahui bahwa aku adalah seorang mata-mata dari
barisan Mancu, tanpa nama! Masih belum terlambat bagimu untuk kau menarik diri,
aku pun tidak terlalu mengharapkan bantuanmu!”......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment