Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 15
TUBUH Liang
Bi yang menggeliat-geliat menjadi makin lemah dan ketika suara suling
melengking makin tinggi. Tiba-tiba ular itu berubah gerakannya, kini kepalanya
mulai menyusup-nyusup dan menyelinap di balik baju bagian dada Liang Bi!
“Iihhh...
ouhhh...” Liang Bi merintih-rintih dan seluruh tubuhnya menggigil ketika kepala
ular itu menyusup makin dalam. “Aduuuuhhhh... tolongggg... ihhhh... ambil
dia... ambil binatang ini... uhu-hu-huuuu...!”
“Engkau
menyerah?” Suma Hoat bertanya.
Dengan tubuh
menggigil, air mata bercucuran dan mata dipejamkan Liang Bi mengangguk lemah.
“...aku menyerah... hu-hu-huuuuhh...”
Suma Hoat
lompat mendekat, sekali sambar ia mengambil ular itu dan melemparkannya jauh ke
luar, ke kebun di mana ular yang ketakutan itu cepat menyusup di antara rumput.
Sambil tersenyum-senyum Suma Hoat melepaskan belenggu kaki tangan Liang Bi,
membebaskan totokannya. Akan tetapi Liang Bi tidak kuat berdiri, tubuhnya
menggigil dan ia tentu roboh kalau tidak cepat dipondong oleh Suma Hoat. Liang
Bi menangis ketika Suma Hoat memondongnya masuk ke dalam kamar.
Cui Leng
berdiri dengan wajah agak pucat. Ia merasa ngeri juga menyaksikan penderitaan
Liang Bi tadi. Akan tetapi kini hatinya lega dan ia berdiri tak bergerak,
mendengarkan isak tangis Liang Bi yang terdengar dari dalam kamar. Cui Leng
menarik napas panjang. Sukar dia mengatakan apakah tarikan napas itu saking
lega hatinya ataukah karena menyesal membayangkan betapa pria yang dicintanya
itu kini direbut lain wanita!
Perlahan ia
melangkah memasuki kamarnya sendiri dan semalam itu ia mendengar isak tangis
Liang Bi yang tidak pernah berhenti. Sambil mendengarkan isak tangis itu, Cui
Leng rebah telentang, matanya menatap langit-langit dan tanpa disadarinya, dua
titik air mata meloncat ke atas pipinya. Hatinya lega, karena sekarang dia
mendapat kawan!
Sekarang
rahasianya yang mencemaskan hati akan terlindung dan aman. Akan tetapi
senangkah dia? Pertanyaan yang takkan dapat ia jawab karena dua butir air
matanya menjadi bukti akan kebimbangan hatinya.
Mereka
bertiga berjalan-jalan di antara bunga-bunga yang tumbuh di belakang rumah,
Suma Hoat tersenyum-senyum, lengan kiri melingkari pinggang Liang Bi, lengan
kanan melingkari pinggang Cui Leng. Sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau ia
menoleh ke kanan kiri untuk mencium pipi kedua orang kekasihnya. Cui Leng juga
berseri wajahnya dan pipinya kemerahan. Akan tetapi Liang Bi tidak tampak
berseri. Wajahnya pucat rambutnya kusut dan pandang matanya redup, sayu
merenung ke depan seolah-olah dia hidup di alam mimpi.
Suma Hoat
mengajak dua orang wanita itu duduk di antara bunga-bunga. Dipetiknya dua
kuntum bunga dan dengan mesra dipasangkan bunga-bunga itu di rambut Liang Bi
dan Cui Leng.
“Ahh, kalian
benar-benar cantik jelita!” katanya sambil mencium bibir Liang Bi, kemudian Cui
Leng. Liang Bi mandah saja, tidak seperti Cui Leng yang membalas ciuman itu
dengan mesra.
“Koko,
sekarang tentu hatimu amat berbahagia, bukan?” Tiba-tiba Cui Leng bertanya,
tangannya dengan mesra membelai dagu pemuda itu.
Wajah Suma
Hoat yang berseri itu tiba-tiba lenyap sinarnya. Ia merenung dan bibirnya
bergerak perlahan. “Bahagia? Aku berbahagia...?” Ia menghela napas,
mengeluarkan sulingnya dari pinggang. Melihat ini wajah Liang Bi menjadi makin
pucat.
”Jangan...!
Jangan panggil ular...” Ia merintih.
Suma Hoat
merangkulnya, mencubit dagunya. “Bi-moi, kekasihku tercinta. Jangan takut, masa
aku mau menakut-nakuti engkau lagi?” Dia lalu meniup sulingnya dan terdengarlah
tiupan lagu yang merayu-rayu, lagu yang membuat kedua orang gadis itu terpesona
dan perlahan-lahan bertitiklah air mata dari sepasang mata mereka.
Lagu itu
terdengar begitu sedih, menyayat hati, seolah-olah dalam tiupan itu mereka
mendengar hati peniupnya menjerit-jerit dan menangis penuh duka. Tak lama
kemudian, suara suling berhenti dan Suma Hoat yang masih termenung, seperti
tidak sadar akan keadaan sekelilingnya, memandang sinar matahari pagi yang
menerobos di antara celah-celah daun dan bunga, kemudian dia membuka mulut
bernyanyi.
Bahagia,
siapakah gerangan Anda?
Seribu kali
bayanganmu menggapai kuraih kupeluk mesra
Hanya
mendapatkan kenyataan hampa bahwa semua bayanganmu itu bukanlah Anda!
Serasa
tampak Anda mengintai di balik kelopak bunga mengharum
Menunggang
cahaya matahari pagi di balik senyum kekasih jelita
Di antara
tawa sahabat-sahabat di dalam gelak anak-anak
Di antara
tumpukan harta benda
Di atas
kedudukan mulia
Di balik
kemasyhuran nama namun...
Setelah
didekap dalam pelukan
Semua itu
pun hampa bukan Anda!
Duhai
kebahagiaan siapa dan di mana gerangan Anda?
Belum habis
gema suara nyanyian Suma Hoat yang keluar dengan suara gemetar dan selagi kedua
orang gadis itu masih terpesona, tiba-tiba terdengar suara yang parau dan lirih
namun jelas seolah-olah suara itu diucapkan oleh mulut yang dekat dengan
telinga mereka, mulut yang tak tampak.
Mempunyai
mata seperti buta
Sudah ada
dicari-cari keluar menjauh
Siapa bisa
memisahkan bayangan dari badan?
Yang mencari
takkan mendapatkan
Yang
mendapatkan takkan memiliki
Yang
memiliki akan kehilangan
Yang
mengharap akan kecewa
Tanpa
dicari, tanpa diharap
Tanpa
dimiliki, tanpa pamrih
Hanya
membuka mata ke dalam
Sadar bahwa
semua telah ada
Setelah
bersatu dengan keadaan
Apa lagi
yang dicari?
Suma Hoat
meloncat bangun, suling siap di tangannya. Wajahnya berubah tegang karena
kata-kata parau itu seolah-olah merupakan ujung pedang yang menusuk hatinya.
Kedua orang gadis itu pun bangkit berdiri karena sebagai ahli silat tingkat
tinggi mereka maklum bahwa ada orang pandai telah mempergunakan Ilmu
Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang hebat sekali. Apa lagi karena
suara itu tidak asing bagi kedua orang dara Siauw-lim-pai sehingga mereka
memandang ke depan dengan wajah agak pucat.
Kian Ti
Hosiang nampak keluar dengan langkah tenang diikuti Kam Siang Kui dan Kam Siang
Hui. Melihat guru mereka seperti yang telah mereka duga dan khawatirkan ketika
mendengar suara tadi, Liang Bi menjerit dan berlari menghampiri hwesio itu,
diikuti oleh Cui Leng.
“Suhu...!”
Liang Bi menangis terisak-isak di depan kaki gurunya sedangkan Cui Leng
menunduk dengan muka pucat.
“Omitohud...!”
Kian Ti Hosiang menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang
berulang-ulang. Sekali pandang saja dia sudah maklum bencana apa yang menimpa
kedua orang muridnya itu. Kemudian perlahan ia mengangkat kepala memandang Suma
Hoat yang berdiri tegak dengan sikap tenang. Sejenak mereka bertemu pandang.
Kian Ti
Hosiang lalu berkata, “Sayang...! Sungguh sayang sekali...! Orang muda, kalau
pinceng tidak salah sangka, bukankah engkau ini yang dijuluki orang
Jai-hwa-sian?”
Suma Hoat
terkejut sekali, jantungnya berdebar. Tadinya dia hendak merahasiakan
julukannya dari kedua orang gadis itu. Dia mendapatkan sesuatu yang aneh, yang
tak pernah ia rasakan selama petualangannya dengan ratusan orang wanita. Dia
merasa enggan dan sayang meninggalkan mereka, bahkan dia akan berpikir-pikir
dulu untuk mencelakakan mereka. Kalau keadaan mengijinkan, agaknya ia bersedia
menghentikan petualangannya dan hendak mencoba untuk belajar mencinta
sungguh-sungguh dan berusaha menjangkau kebahagiaan bersama kedua orang
kekasihnya itu. Akan tetapi, siapa kira kini hwesio itu begitu bertemu telah
mengenalnya!
Akan tetapi,
dia adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, maka ia tersenyum dan
menjura sambil berkata, “Tidak salah dugaan Locianpwe. Saya adalah Suma Hoat
yang dijuluki Jai-hwa-sian dan sungguh merupakan kehormatan besar berjumpa
dengan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti!”
“Oohhhh...!”
Seruan ini keluar dari mulut Liang Bi dan Cui Leng.
Mereka
berdua terkejut setengah mati ketika mendengar bahwa pria yang mereka serahi
tubuh dan hati mereka kiranya adalah Jai-hwa-sian, penjahat cabul tukang
memperkosa yang dimusuhi semua orang gagah di dunia! Liang Bi terguling roboh
pingsan di depan kaki gurunya, sedangkan Cui Leng memeluk suci-nya sambil
menangis tersedu-sedu dengan hati seperti disayat-sayat karena dia merasa bahwa
dialah yang mendatangkan mala-petaka besar itu!
“Kau...
kau... Suma Hoat...?” Kam Siang Kui juga berkata dengan mata terbelalak,
kemudian dia saling pandang dengan adiknya.
Kian Ti
Hosiang melangkahi tubuh Liang Bi dan maju menghampiri Suma Hoat. Matanya
bersinar tajam, namun wajahnya penuh kesabaran ketika dia berkata, “Orang muda,
pinceng mengenal baik keluargamu yang besar. Pinceng mengenal siapa Panglima
Suma Kiat yang menjadi ayahmu, maka pinceng mengerti bahwa di dalam tubuhmu
masih mengalir darah pendekar-pendekar yang amat pinceng kagumi. Juga pinceng
mendengar betapa dalam sepak terjangmu, engkau merupakan seorang pendekar yang
budiman. Akan tetapi sayang... nafsu telah merusak hatimu sehingga engkau
menjadi kejam terhadap wanita, engkau memancing kenikmatan dengan cara merusak
wanita lahir batin! Betapa sayang seorang yang berjiwa pendekar seperti nenek
moyang dari nenekmu, terusak oleh jiwa sesat warisan nenek moyang keluarga
Suma!”
Tiba-tiba
Suma Hoat tertawa bergelak, suara ketawa yang mirip tangis dan matanya beringas
memandang Kian Ti Hosiang, telunjuknya menuding. “Kian Ti Hosiang! Engkau tahu
satu tidak tahu dua! Engkau tahu ekornya tidak mengenal kepalanya! Aku merusak
wanita lahir batin? Benar, akan tetapi tahukah engkau bahwa aku telah hancur
lahir batin oleh wanita? Engkau memaki nenek moyangku, keluarga Suma yang
sesat. Memang, siapakah tidak mengenal kakek buyutku Pangeran Suma Kong yang
terkenal korup dan jahat? Siapa tidak mengenal kakekku Suma Boan yang berhati
keji dan dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw? Siapa yang tidak mengenal
ayahku, Jenderal Suma Kiat yang... memberatkan selirnya dari pada putera
tunggalnya? Ha-ha-ha! Dan siapa tidak mengenal Jai-hwa-sian Suma Hoat? Aku
berdarah keluarga Suma yang sesat, dan memang aku jahat, kotor dan sesat.
Sebaliknya engkau adalah Ketua Siauw-lim-pai yang paling suci, gagah dan
budiman. Eh, hwesio tua, apakah pekerjaanmu? Mengapa engkau menjadi seorang
pendeta, Kian Ti Hosiang?”
Kam Siang
Kui dan Kam Siang Hui mendengarkan ucapan pemuda itu dengan mata terbelalak
penuh kemarahan. Betapa kurang ajarnya! Dan orang muda itu bukan lain adalah
keponakan mereka sendiri Ayah pemuda ini, Suma Kiat, adalah saudara misan
mereka, putera bibi mereka, putera Kam Sian Eng adik kandung ayah mereka (baca
cerita Mutiara Hitam)!
Akan tetapi,
karena menghormat Ketua Siauw-lim-pai, mereka hanya mengertak gigi menahan
kemarahan, dan betapa heran hati mereka melihat hwesio itu sama sekali tidak
marah, bahkan tenang-tenang saja menjawab, “Suma Hoat, pinceng menjadi pendeta
karena melihat kekotoran yang menguasai batin manusia di dunia. Pekerjaan
pinceng adalah mengajarkan kasih sayang di antara semua makhluk agar kasih
sayang merupakan sinar yang mencuci bersih kekotoran itu.”
“Ha-ha-ha!
Amat berlawanan dengan aku, bukan? Aku dikatakan pembuat kotor dan engkau
adalah pembersih yang kotor. Eh, hwesio! Karena tugasmu, tentu engkau selalu
siap untuk memberantas kejahatan, tentu engkau benci kejahatan, benci kepada
orang-orang yang melakukan perbuatan yang dianggap jahat, seperti aku! Dalam
tugasmu, engkau membenci kejahatan, seolah-olah engkau lupa bahwa sesungguhnya
karena adanya kejahatan, karena adanya orang-orang jahat macam aku inilah, maka
membuka kemungkinan dan kesempatan kepada orang-orang seperti engkau untuk
memakai jubah pendeta! Kalau orang-orang jahat macam aku sudah kau basmi semua,
kalau kejahatan sudah tidak ada lagi, ha-ha-ha, hwesio tua, engkau mau bekerja
apakah?”
Kedua orang
wanita tokoh Beng-kauw itu makin marah, bahkan kini Liang Bi dan Cui Leng juga
memandang pucat, tidak mengira sama sekali bahwa laki-laki yang telah merebut
tubuh dan hati mereka itu adalah seorang yang mempunyai pendirian sedemikian
kacau dan jahatnya!
Akan tetapi
Kian Ti Hosiang tetap tenang. “Jai-hwa-sian Suma Hoat, pinceng merasa kasihan
sekali kepadamu. Engkau mengalami himpitan jiwa. Jiwamu sakit tertekan oleh
nafsu-nafsu yang menguasai dirimu. Pinceng sama sekali tidak membenci orang yang
sesat, bahkan merasa kasihan dan ingin menolong mereka, termasuk engkau,
Suma-sicu!”
Kalau saja
Ketua Siauw-lim-pai itu marah-marah dan menerjang Suma Hoat dengan serangan
lihai, tentu pemuda itu suka menerima, karena menganggap hal itu sudah sewajarnya.
Akan tetapi mendengar pendeta ini menaruh kasihan kepadanya, dan ingin
menolongnya, kemarahannya menjadi makin meluap. Dia merasa dipandang rendah
sekali, seolah-olah perbuatannya hanyalah perbuatan seorang anak kecil yang
nakal!
“Kian Ti
Hosiang! Dengar baik-baik. Aku telah menodai dua orang murid perempuanmu! Nah,
bukankah perbuatanku amat terkutuk? Bukankah engkau sebagai gurunya wajib
menghukumku dengan hukuman paling berat? Apakah ini belum cukup hebat?”
Kian Ti
Hosiang tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya. “Perbuatanmu amat jahat dan
sesat, Suma Hoat. Perasaan pinceng sebagai guru tertikam oleh perbuatanmu dan
murid-murid pinceng. Akan tetapi, mengingat bahwa engkau adalah keturunan
keluarga pendekar sakti Suling Emas, yakin bahwa perbuatanmu ini tentu ada
sebab-sebab yang menimbulkannya, pinceng merasa lebih berkewajiban lagi untuk
mengingatkanmu, memberi penerangan kepadamu.”
“Pendeta
sombong! Katakan saja engkau takut melawan aku!”
”Suma Hoat
manusia iblis!” Kam Siang Kui membentak marah sekali.
Suma Hoat
tersenyum lebar. “Engkau sudah setengah tua akan tetapi masih bersemangat dan
cantik, hemmm, kalau ada kesempatan aku suka melayanimu bermain cinta...”
“Jahanam!”
Kam Siang Hui yang mendengar enci-nya dihina seperti itu sudah tidak dapat
menahan lagi hatinya. Dia sudah menerjang maju dan mengirim pukulan maut yang
digerakkan sinkang. Sebagai murid Kauw Bian Cinjin, tentu saja dia memiliki
ilmu silat yang hebat, maka pukulannya itu pun mendatangkan angin dahsyat.
“Plak!
Plak!” Dua kali Suma Hoat menangkis dan dia terhuyung mundur, juga Kam Siang
Hui terhuyung dan merasa lengannya panas. Hemm, bocah ini lihai juga, pikirnya.
Ada pun Suma
Hoat diam-diam terkejut karena kini maklumlah dia bahwa kalau kemarin kedua
orang wanita itu menyerang dengan sungguh-sungguh, belum tentu dia dan Cui Leng
akan mampu mengalahkan mereka! Akan tetapi hatinya sudah panas karena sikap
Kian Ti Hosiang, maka dia sengaja mengeluarkan suara ketawa mengejek sambil
memandang Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu.
“Hemm, Kian
Ti Hosiang, apakah engkau begitu pengecut, tidak berani maju sendiri lalu
mengandalkan bantuan dua orang wanita ini, dan masih berusaha membujuknya
dengan kata-kata halus?”
“Suma Hoat,
bocah celaka!” Kam Siang Kui kembali membentak.
“Harap
Toanio tidak mencampuri urusan pinceng dengan dia,” kata Kian Ti Hosiang dan
kedua orang wanita itu kembali melepaskan tangan yang tadinya sudah meraba
gagang pedang.
“Kian Ti
Hosiang, pendeta pikun. Bagaimanakah engkau hendak memberi penerangan padaku?
Menyuruh aku menggunduli rambut dan memakai jubah pendeta?” Suma Hoat mengejek
lagi dengan hati panas mengapa hwesio itu sama sekali tidak pernah marah,
bahkan memandangnya dengan sinar mata begitu lembut penuh iba. Itulah yang amat
mengganggu hatinya. Dia tidak ingin dikasihani! Dia malah ingin semua orang
membenci dan memusuhinya! Dia tidak takut menghadapi mereka semua dan dia
berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya.
“Suma-sicu,
pada dasarnya engkau mempunyai jiwa pendekar. Mengapa engkau tidak mau membuka
mata menyadari bahwa amatlah tidak baik kalau engkau menumpahkan kebencianmu
terhadapi wanita? Dengan merusak kaum wanita, berarti engkau merusak kehormatan
kaum ibu, karena ibumu sendiri pun seorang wanita! Kasihanilah mereka, keluarga
mereka, orang tua mereka, masa depan mereka. Engkau dapat menebus semua
kesesatanmu dengan memupukkan perbuatan baik dan dengan hati bertobat. Setelah
apa yang kau lakukan terhadap kedua orang murid pinceng, jadilah engkau suami
mereka dan jauhi semua perbuatan sesat. Pinceng akan berbesar hati melihatnya.”
Wajah Suma
Hoat menjadi merah. “Kalau aku menolak?”
Ia
mengharapkan kemarahan pendeta itu dan dia tidak menyesal kalau harus mati di
tangan pendeta ini karena semua perbuatannya yang lalu jelas tidak mendatangkan
kepuasan dan kebahagiaan baginya. Ia ingin mengakhiri hidupnya di tangan
pendeta itu. Mati di tangan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai, adalah mati
terhormat!
Kian Ti
Hosiang menghela napas panjang. “Kalau engkau menolak, pinceng hanya dapat
berdoa untuk keselamatan jiwamu, orang muda. Pinceng hanya dapat merasa makin
iba melihat seorang keturunan keluarga pendekar besar tersesat makin jauh.”
“Apa? Engkau
tidak marah dan tidak membunuhku?”
Kian Ti
Hosiang menggeleng kepalanya. “Pinceng bukan pembunuh, pinceng tidak bisa
membikin mati karena pinceng tidak bisa membikin hidup.”
“Pendeta
sombong! Engkau takut kepadaku?”
Kian Ti
Hosiang menggeleng kepala dan tersenyum. “Pinceng tidak takut kepada siapa pun
juga, kecuali kepada kegelapan yang meliputi hati dan pikiran sendiri, Sicu.”
“Baik,
pendeta sombong! Aku mau bertobat, mau menuruti nasehatmu asal engkau suka
menerima dua kali pukulanku. Bagaimana?”
Kian Ti Hosiang
mengangguk tenang. “Omitohud...! Kalau dengan cara itu berarti pinceng akan
dapat mendatangkan penerangan di dalam hatimu, pengorbanan itu masih terlalu
murah. Pinceng menerima syarat itu...”
“Locianpwe...!”
Kam Siang Hui dan Kam Siang Kui meloncat maju dengan wajah pucat. “Bagaimana
Locianpwe membiarkan saja bedebah ini bersikap kurang ajar? Biarkan kami
membasminya!”
“Harap Ji-wi
Toanio suka mundur. Pinceng sudah melepaskan janji menerima syaratnya.”
Terpaksa kedua orang wanita itu mundur dengan tangan dikepal saking marahnya.
Kian Ti
Hosiang melangkah maju mendekati Suma Hoat. “Sicu, berjanjilah bahwa setelah
memukul pinceng dua kali, engkau benar-benar akan merubah jalan hidupmu, tidak
akan melakukan perbuatan sesat lagi, membersihkan nama Jai-hwa-sian dengan
perbuatan-perbuatan baik.”
Hampir Suma
Hoat tidak dapat percaya. Hwesio ini bersedia menerima dua kali pukulannya!
“Apa? Engkau menerima dan engkau tidak akan mengelak, menangkis atau melawan?”
Kian Ti
Hosiang menggeleng kepala. “Pengorbanan ini masih terlalu murah. Namun
kata-kata seorang gagah harus dapat dipegang. Pinceng berjanji takkan melawan
dan berjanjilah bahwa engkau pun akan membuang semua perbuatan sesat.”
Kemarahan
Suma Hoat mencapai puncaknya. Dia benar-benar merasa dipandang rendah sekali,
bukan hanya sebagai seorang anak kecil yang nakal, bahkan agaknya pukulannya
dianggap ringan oleh hwesio ini.
“Baik, aku
berjanji!” bentaknya.
“Nah,
silakan memukul dua kali, Sicu.” Hwesio itu berdiri tegak, sama sekali tidak
memasang kuda-kuda, memandang tenang ke depan dengan telapak tangan dirangkap
di depan dada seperti orang berdoa.
Suma Hoat
menggerak-gerakkan kedua tangannya, mengerahkan sernua sinkang di tubuhnya,
disalurkan ke arah kedua tangan. Gerakan ini membuat kedua lengannya
mengeluarkan bunyi berkerotokan, tanda bahwa kedua lengannya sudah dialiri
tenaga sinkang yang dahsyat sekali. Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw
memandang dengan mata terbelalak dan kedua orang murid hwesio itu pun memandang
dengan muka pucat.
Suma Hoat
merasa dipandang ringan oleh Ketua Siauw-lim-pai itu. Dia maklum bahwa hwesio
itu amat sakti, termasuk seorang tokoh besar di dunia persilatan. Akan tetapi
sikap hwesio itu keterlaluan, terlalu baik sehingga merupakan penghinaan yang
baginya lebih menyakitkan hati dari pada makian atau serangan. Dia, seorang
yang telah menggegerkan dunia kang-ouw, kini hanya dianggap seperti seorang
anak kecil yang nakal saja oleh hwesio ini. Akan tetapi dia tidak percaya bahwa
hwesio itu akan benar-benar menerima pukulannya tanpa melawan.
Mungkin
takkan mengelak, akan tetapi pasti akan menggunakan sinkang untuk menangkis.
Ataukah kepandaiannya sudah begitu tinggi sehingga pukulannya takkan ada
artinya! Dia tidak percaya. Maka kini Suma Hoat mengerahkan tenaga, kemudian
menerjang maju dengan dua pukulan susul-menyusul ke arah kedua paha kaki Kian
Ti Hosiang.
Angin
dahsyat menyambar ketika kedua tangan Suma Hoat dengan jari-jari terbuka
menyambar ke arah Kian Ti Hosiang. Hebat bukan main pukulan itu karena Suma
Hoat telah mengerahkan seluruh sinkang-nya dan menggunakan ilmu pukulan
Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang)!
“Krekkk!
Krekkkk!” Cepat sekali datangnya dua kali pukulan yang bertubi itu.
Terdengar
jeritan tertahan kedua orang wanita Beng-kauw dan kedua murid hwesio itu,
sedangkan tubuh Kian Ti Hosiang jatuh terduduk dalam keadaan bersila, kedua
kakinya lumpuh karena tulang-tulang kakinya remuk dan otot-ototnya hancur oleh
pukulan dahsyat itu.
Suma Hoat
membelalakkan kedua mata, wajahnya pucat memandang hwesio yang memandangnya
sambil tersenyum penuh kesabaran dan kemenangan itu! Hwesio itu sama sekali
tidak melawan! Kedua kaki hwesio itu menjadi rusak, lumpuh dan tak mungkin
dapat disembuhkan lagi! Dan biar pun kedua kakinya sudah lumpuh, hwesio itu
masih memandang kepadanya dengan senyum sabar. Inilah yang membuat hati Suma
Hoat tidak kuat menahan.
“Kau...
kau...! Biar tidak kepalang, kalau kau ingin mati... terimalah ini...!” Suma
Hoat yang merasa ngeri kalau kelak melihat hwesio yang dipukulnya tanpa melawan
menjadi seorang lumpuh selama hidupnya, kini menerjang maju dan memukul dengan
pukulan paling hebat ke arah dada Kian Ti Hosiang. Lebih baik melihat hwesio
ini mati dari pada melihat ia cacat selamanya karena pukulannya yang tidak
dilawan!
Kembali
pukulan ini diterima tanpa mengelak atau menangkis oleh Kian Ti Hosiang akan
tetapi sepasang mata hwesio itu mengeluarkan sinar yang luar biasa.
“Desss...!”
Telapak
tangan Suma Hoat dengan tepat mengenai dada Kian Ti Hosiang dan akibatnya...
tubuh Suma Hoat terlempar jauh ke belakang, sampai lima enam meter jauhnya di
mana ia roboh terbanting dan muntahkan darah segar! Dia merangkak bangun,
mendekap dada yang terasa sesak, memandang ke arah hwesio yang masih bersila
itu dengan pandang mata penuh kaget, heran dan kagum bukan main. Tahulah dia
bahwa kalau hwesio ketua Siauw-lim-pai itu melawan, dalam beberapa gebrakan
saja dia tentu akan roboh dan kehilangan nyawa!
“Janjinya
hanya dua kali pukulan, Suma Hoat. Mengapa engkau memukul lagi?” dengan tenang
Kian Ti Hosiang menegur perlahan.
Suma Hoat
tak dapat menjawab karena napasnya makin sesak. Pukulannya tadi mengandung
sinkang sekuatnya dan semua tenaga itu membalik dan menghantam dadanya sendiri.
Ia terhuyung dan cepat menjatuhkan diri duduk bersila, mengatur napas untuk
menghindarkan isi dadanya dari ancaman luka yang akan mematikannya.
“Oohhh,
bocah setan yang kejam...!” Kam Siang Kui menggeram.
“Manusia
iblis yang patut dibasmi!” Kam Siang Hui juga membentak.
Kedua orang
wanita Beng-kauw ini sudah mencabut pedang dengan kemarahan meluap. Akan tetapi
kembali terdengar suara Kian Ti Hosiang, “Ji-wi Toanio, harap jangan
menggagalkan usaha pinceng. Akan sia-sialah pengorbanan pinceng kalau Ji-wi
tidak dapat mengendalikan kemarahan!”
Mendengar
ini, kedua orang itu mundur dan Kian Ti Hosiang berkata lagi, “Bagaimana, Suma
Hoat, apakah engkau akan memegang janji?” Pertanyaan ini ditujukan kepada Suma
Hoat yang masih duduk bersila, enam meter jauhnya dari tempat hwesio itu
bersila dengan kedua kaki lumpuh dan kini berubah menjadi merah menghitam.
Suma Hoat
membuka kedua matanya dan tampak dua titik air mata menetes turun. Selama
hidupnya, baru sekali ini ia merasa menyesal bukan main. Tadinya ia mengira
bahwa hwesio itu hanya membujuknya saja, siapa tahu bahwa hwesio itu
benar-benar telah mengorbankan kedua kakinya menjadi lumpuh selamanya hanya
untuk melihat dia dapat menjadi seorang baik-baik! Di dunia ini, mana mungkin
ditemukan keduanya manusia seperti Ketua Siauw-lim-pai ini?
Dia merasa
menyesal sekali dan dengan suara gemetar dia menjawab, “Locianpwe, aku
bersumpah akan bertobat, akan berusaha menghilangkan perbuatan yang kotor, akan
tetapi... aku tidak yakin apakah akan berhasil...”
“Berhasil
atau tidak merupakan hal kedua, yang terutama sekali adalah kesanggupan untuk
berusaha. Bagus, pinceng akan girang sekali kalau melihat engkau dapat kembali
ke jalan benar, Sicu.”
“Aku
berjanji, Locianpwe. Hanya untuk menjadi suami kedua orang muridmu, aku tidak
sanggup karena aku pun tidak pernah berjanji untuk menjadi suami mereka. Aku
telah bersumpah untuk tidak menikah selama hidup...”
Suma Hoat
menghentikan kata-katanya karena terdengar jerit mengerikan disusul robohnya
Liang Bi dan Kim Cui Leng dengan tubuh mandi darah. Kiranya ketika mendengar
bahwa pria itu adalah Jai-hwa-sian, kemudian menyaksikan betapa gurunya
mengalami bencana sampai kedua kakinya lumpuh dan mendengar ucapan terakhir
Suma Hoat yang menusuk hatinya, Liang Bi menganggap bahwa dosanya dan dosa
sumoi-nya tak terampunkan lagi. Ia menjadi beringas, dan mencabut pedang,
tiba-tiba menyerang sumoi-nya dengan tusukan kilat yang menembus dada Cui Leng,
kemudian ia menusuk dadanya sendiri sampai tembus.
Kian Ti
Hosiang menoleh, merangkap kedua tangan depan dada sambil berkata, “Omitohud...
dosa ditambah dosa lagi. Dengan kelemahan batinnya, mana mungkin manusia dapat
bertahan menghadapi godaan nafsunya sendiri? Ji-wi Toanio dari Beng-kauw, Ji-wi
melihat sendiri betapa pinceng kini tak mungkin dapat menghadapi Hoat Bhok
Lama, maka harap suka memaafkan kalau pinceng tidak dapat membantu Ji-wi.”
Setelah
berkata demikian, tiba-tiba tubuh yang sudah lumpuh kedua kakinya itu, dalam
keadaan masih bersila, mencelat ke depan, kedua lengannya menyambar jenazah
Liang Bi dan Kim Cui Leng, kemudian sambil memanggul dua mayat muridnya itu,
tubuh yang tak dapat menggunakan kedua kaki lagi itu berloncatan ke depan
dengan cepat, sebentar saja lenyap dari situ.
Suma Hoat memandang
dengan mata terbelalak dan muka pucat. Penyesalan besar sekali menghimpit
hatinya. Biasanya dia bisa tertawa-tawa melihat wanita-wanita membunuh diri
karena menjadi korbannya. Akan tetapi, menghadapi kematian dua orang murid
Siauw-lim-pai itu, melihat pengorbanan Ketua Siauw-lim-pai yang tiada taranya,
ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Kembali dua butir air mata menetes
dari matanya. Biar pun ia maklum bahwa dua orang wanita gagah itu dengan penuh
kemarahan telah meloncat maju di depannya, Suma Hoat memejamkan mata dan
menundukkan muka.
“Bocah
setan! Sudah lama mendengar tentang kejahatan Jai-hwa-sian, siapa tahu
kenyataannya lebih jahat lagi!” terdengar Kam Siang Kui berkata penuh
kemarahan.
“Manusia
iblis yang hanya mengotorkan dunia!” Kam Siang Hui juga berkata penuh
kebencian, “Tidak hanya jahat, kejam dan pengecut hina, juga engkau telah
menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada kami!”
Suma Hoat
sedang menderita penyesalan yang hebat. Hatinya kesal dan sedih, akan tetapi
wataknya untuk mencemooh wanita masih belum lenyap sama sekali. Ia membuka
mata, memandang mereka berdua dan tersenyum. “Ji-wi Toanio, sekarang dua orang
gadis itu telah mati, biar pun aku terluka akan tetapi kalau hanya melayani
kalian bermain cinta, aku masih sanggup!”
“Keparat
bermulut busuk!” Kam Siang Hui membentak, tangannya bergerak.
“Plakkk!”
Suma Hoat hampir terguling ketika pipinya kena tampar yang keras sekali, akan
tetapi ia tetap tersenyum biar pun ujung bibirnya berdarah oleh tamparan yang
hebat itu. “Baru saja engkau berjanji kepada Kian Ti Hosiang, sekarang telah
kau langgar, bedebah!”
“Ha-ha-ha,
Toanio tidak adil! Memang aku berjanji untuk tidak melakukan kejahatan,
termasuk memperkosa wanita. Akan tetapi, kalau ada wanita yang dengan suka rela
hati mau melayani aku, mau kuajak berenang dalam lautan cinta, apakah ini juga
jahat namanya? Tidak, Toanio, kalau Toanio berdua mau, tidak usah malu-malu, di
sini tidak ada orang lain. Aku suka sekali melayani karena biar pun sudah agak
tua, Toanio berdua masih cantik dan tentu lebih banyak pengalaman yang
hebat-hebat...!”
“Plak-plak!”
Kini Suma
Hoat terguling, matanya berkunang dan kepalanya pening karena dua kali tamparan
tangan Kam Siang Hui itu lebih dahsyat lagi. Akan tetapi ia tersenyum dan
memang dia sengaja memancing kemarahan kedua orang wanita gagah itu agar dia
dibunuhnya saja untuk mengakhiri penyesalan yang menyesak di dada bersama luka
akibat sinkang yang dikembalikan Kian Ti Hosiang tadi.
“Wanita
seperti Toanio sudah berpengalaman, ibarat buah sedang masak-masaknya, manis
dan...”
“Kubunuh
engkau!” Kam Siang Hui membentak dan....
“Srat!”
pedangnya sudah tercabut, akan tetapi lengannya dipegang oleh encinya.
“Hui-moi,
tahan! Dia sengaja memanaskan hati kita agar kita membunuhnya! Terlalu enak
baginya kalau begitu,” Kam Siang Kui melangkah maju memandang wajah Suma Hoat
yang masih tersenyum itu lalu berkata, suaranya dingin.
“Suma Hoat,
tertawalah karena engkau sudah berani menghina dan mempermainkan kami.
Dengarlah dan kenalilah siapa adanya kami yang telah kau hina ini. Aku adalah
Kam Siang Kui dan dia adalah adikku, Kam Siang Hui! Nenekmu, Kam Siang Eng,
adalah bibi kami dan engkau adalah keponakan kami sendiri. Engkau telah
bersikap kurang ajar dan menghina kedua orang bibimu sendiri. Nah, bersenanglah
engkau!” Kam Siang Kui menarik tangan adiknya dan mereka berlari pergi dari
situ, meninggalkan Suma Hoat yang tiba-tiba menjadi pucat mukanya.
“Ahhhh...!”
Suma Hoat menutup muka dengan kedua tangannya. Pukulan batin yang dilontarkan
Kam Siang Hui itu hebat sekali. Penyesalan hati yang menghimpit perasaannya
menjadi makin berat. Ia mengeluh, muntahkan darah segar lalu tubuhnya terguling
pingsan!
“Aduhhh...
ampunkan aku... kedua bibi... ampunkan aku...,” ketika siuman Suma Hoat
merintih-rintih, suaranya mengandung penuh penyesalan.
Tentu saja
ia sudah mendengar akan nama kedua orang wanita itu, dan ia sudah mendengar
bahwa mereka adalah kedua orang enci dari Kam Han Ki, puteri paman ayahnya yang
bernama Kam Bu Sin. Maka mereka adalah pendekar-pendekar wanita Beng-kauw,
bibi-bibinya sendiri, dan dia sudah berani mengajak mereka bermain gila,
mengejek dan menghina mereka, bersikap kurang ajar sekali!
“Betapa
baiknya orang yang masih mampu menyesali perbuatan sendiri dan bertobat lahir
batin....”
Suma Hoat
terkejut. Dia tidak ingat lagi berapa lama pingsan, dan kini ia merasa betapa
ada telapak tangan menempel di punggungnya, tangan yang mengeluarkan hawa
hangat dan orang itu ternyata sedang menyalurkan sinkang untuk mengobatinya! Ia
menoleh dan mendapat kenyataan bahwa yang menolongnya itu bukan lain adalah
Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang aneh dan berkaki telanjang
itu! Ia menjadi terharu sekali. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai
hubungan dengannya, yang kebetulan saja pernah bertemu dengannya, kini tanpa
diminta telah menolongnya.
“Ahhh...
mengapa kau menolongku? Akan lebih baik kalau kau membiarkan aku mati....” Suma
Hoat mengeluh ketika mendapat kenyataan betapa pertolongan orang aneh ini telah
menyembuhkan rasa sesak di dadanya.
“Jai-hwa-sian...
baru sekali ini selama hidupku aku menjumpai hal yang amat mengherankan.
Seorang gagah perkasa seperti engkau kudapati pingsan di situ dan menderita
luka dalam yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang memiliki sinkang amat
kuatnya. Itu masih belum aneh. Yang lebih aneh lagi, engkau putus asa, berduka
minta-minta ampun. Aihhh... apakah yang terjadi? Anggaplah aku sebagai sahabat,
aku yang amat mengagumimu, atau saudaramu... ceritakanlah apa yang terjadi?”
Suma Hoat
menganggap bahwa dirinya selalu dimusuhi dan dibenci orang, bahkan ayahnya
sendiri mengusirnya, juga uwanya, Menteri Kam Liong yang sakti, membencinya. Ia
merasa seperti hidup sebatang kara. Kini melihat sikap orang aneh yang amat
baik ini, mengingat akan perbuatannya terhadap Ketua Siauw-lim-pai, terhadap
dua orang bibinya, tak tertahankan lagi ia menangis tersedu-sedu seperti anak
kecil!
Im-yang
Seng-cu yang biasanya berwatak gembira dan jenaka, kini melongo keheranan.
Kemudian, sambil terisak Suma Hoat menceritakan semua riwayatnya, semenjak
hatinya rusak karena kekasih yang benar-benar dicintanya, yang diharapkan
menjadi isterinya, Ciok Kim Hwa, membunuh diri. Kemudian betapa Menteri Kam
Liong menentangnya, godaan selir ayahnya dan betapa ia diusir oleh ayahnya
sehingga ia menjadi benci kepada wanita, benci di samping dorongan birahinya
sehingga berubahlah dia menjadi Jai-hwa-sian. Diceritakan pula betapa dia telah
melumpuhkan kedua kaki Kian Ti Hosiang dan bersikap kurang ajar terhadap kedua
orang bibinya, tokoh-tokoh Beng-kauw!
Berkali-kali
Im-yang Seng-cu menahan napas mendengar penuturan yang hebat itu dan dia hanya
dapat menggeleng-geleng kepalanya, penasaran dan menyesal menyaksikan nasib
seorang pendekar yang begini buruk sehingga terseret ke dalam kesesatan yang
mengerikan.
Setelah
selesai bercerita, menumpahkan segala perasaan yang menggelora di hatinya, Suma
Hoat menangis dengan tubuh lemas.
“Aihhh...,
betapa banyak aku bertemu orang yang hidupnya seolah-olah merupakan siksaan,
akan tetapi tidak sehebat penderitaanmu, Jai-hwa-sian. Namamu Suma-hoat? Jadi
engkau adalah putera Panglima Suma Kiat yang terkenal itu dan engkau masih
keponakan Menteri Kam Liong? Ah... ah..., kiranya engkau masih terhitung
keluarga pendekar besar Suling Emas! Pantas... pantas...! Dan engkau telah
melumpuhkan kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai tanpa dia melawan? Benar-benar ajaib
Ketua Siauw-lim-pai itu. Aihh! Sekarang mengerti aku! Aku mengerti mengapa dia
mengorbankan dirinya begitu rupa!”
Suma Hoat
menyusut air matanya, mengangkat muka memandang sahabat barunya ini dengan
sedih. “Dia mengorbankan diri semata-mata untuk menyadarkan aku, akan tetapi
terlambat...! Aku sudah terlalu rusak, mana mungkin dapat dibetulkan lagi? Aku
sudah terlalu kotor, mana bisa dibersihkan lagi? Dia telah mengorbankan diri
dengan sia-sia dan aku merasa makin berat batinku...”
Akan tetapi
Im-yang Seng-cu menggeleng kepala. “Mengalahkan orang lain, hal itu tidaklah
terlalu mengagumkan. Mengalahkan hawa nafsu dalam diri sendiri, barulah
mengagumkan! Kian Ti Hosiang adalah seorang budiman yang sukar dicari keduanya
di dunia ini. Dia tidak hanya berkorban karena hendak menyadarkanmu, saudara
Suma Hoat, melainkan karena dia hendak membalas budimu ketika engkau membela
Siauw-lim-pai mati-matian. Di samping itu, hemmm... kalau aku tidak salah duga,
orang tua yang sakti dan bijaksana itu sengaja membuat dirinya menjadi lumpuh
karena urusan Beng-kauw!”
Mendengar
ini, Suma Hoat tertarik sekali dan terheran-heran. Dia teringat akan ucapan
seorang di antara bibinya yang menyalahkan dia sebagai orang yang telah
menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada mereka.
“Apa
maksudmu, Im-yang Seng-cu?”
“Tidak
tahukah engkau bahwa kedua orang bibimu itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang
berusaha merampas kembali Beng-kauw yang terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama?
Karena Hoat Bhok Lama menguasai Beng-kauw dan orang ini amat sakti, bahkan
semua tokoh Beng-kauw yang hendak menundukkannya banyak yang tewas di
tangannya. Kedua orang bibimu itu minta bantuan Kian Ti Hosiang, maka agaknya
pendeta itu sengaja membuat dirinya lumpuh tak berdaya!”
“Eh, mengapa
begitu?”
Im-yang
Seng-cu menghela napas dan memandang wajah sahabatnya yang dikaguminya itu
penuh perhatian. “Saudara Suma Hoat, apakah engkau tidak tahu akan sifat
orang-orang yang sudah mencapai kesaktian tinggi seperti Kian Ti Hosiang?
Semenjak dahulu, ada saja orang sakti seperti dia. Ada tiga macam orang sakti
yang mengambil jalan hidup berbeda-beda. Pertama adalah orang-orang sakti yang
menjadi tokoh kaum sesat, menjadi datuk-datuk kaum sesat, di antaranya seperti
Hoat Bhok Lama itulah. Yang kedua adalah orang-orang sakti seperti mendiang
Menteri Kam Liong dan mendiang Mutiara Hitam, juga ayah mereka, pendekar sakti
Suling Emas yang menggunakan kesaktian untuk menentang kejahatan atau membela
negara sebagai patriot-patriot sejati. Orang ke tiga, yang sebetulnya memiliki
tingkat lebih tinggi, adalah orang-orang seperti Kian Ti Hosiang dan Bu Kek
Siansu, yang sama sekali tidak mau mempergunakan kesaktian untuk berkelahi,
melainkan menggunakan kesaktian untuk menolong siapa saja, untuk mengembangkan
kasih sayang antara manusia, untuk menyadarkan yang sesat, kalau perlu
mengorbankan diri sendiri. Kian Ti Hosiang termasuk orang golongan ke tiga
inilah. Dia tidak dapat menolak begitu saja permohonan tolong kedua orang
bibimu dari Beng-kauw, akan tetapi dia pun merasa enggan untuk menggunakan
kekerasan terhadap Hoat Bhok Lama. Maka dia sengaja menerima pukulanmu agar
menjadi lumpuh sehingga dia mempunyai alasan untuk tidak menghadapi Hoat Bhok
Lama di satu pihak, di lain pihak dia mengorbankan diri untuk menyadarkanmu.”
Suma Hoat
terkejut sekali, wajahnya pucat, alisnya berkerut. “Aihhhh...! Dan seorang yang
berbudi mulia seperti itu kupukul sampai cacat! Dan kepada dua orang bibiku
yang demikian gagah perkasa aku telah bersikap kurang ajar. Manusia macam apa
aku ini?” Dia mengeluh penuh penyesalan.
Im-yang
Seng-cu menggeleng kepala. “Tidak aneh kalau dalam hidup ini kita sebagai
manusia melakukan penyelewengan-penyelewengan, terseret oleh nafsu kita
sendiri. Akan tetapi yang terpenting adalah kesadaran akan kesalahan sendiri
dan belum terlambat untuk menebus kesalahan, juga kesalahanmu terhadap kedua
orang bibimu.”
“Apa
maksudmu, Im-yang Seng-cu? Ah, engkau yang kuanggap sahabat atau saudara, yang
telah kuceritakan semua riwayatku yang belum pernah kubicarakan dengan orang
lain, katakanlah, apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?” Suma
Hoat memegang lengan Im-yang Seng-cu yang menjadi terharu hatinya.
Im-yang
Seng-cu membalas pegangan itu dan berkata, “Kedua bibimu berjuang untuk
merampas kembali Beng-kauw yang dibawa menyeleweng oleh Hoat Bhok Lama. Kini
harapan mereka musnah karena Kian Ti Hosiang tidak dapat membantu mereka.
Marilah kita berdua membantu mereka menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai.
Dengan jalan ini, selain menebus kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu, juga
berarti kita melakukan pekerjaan besar menolong Beng-kauw kembali ke jalan
benar dan terbebas dari tangan seorang sakti yang sesat seperti Hoat Bhok
Lama.”
Timbul
semangat Suma Hoat. Ia melompat berdiri dan wajahnya berseri. “Bagus sekali!
Terima kasih atas nasehatmu, Im-yang Seng-cu. Marilah kita pergi sekarang juga.
Aku menyediakan nyawaku untuk membantu kedua orang bibiku itu!”
Im-yang
Seng-cu bangkit sambil tertawa lebar. Kegembiraannya datang kembali. “Aku tahu!
Aku tahu bahwa sebetulnya lebih banyak darah keluarga Suling Emas mengalir
dalam tubuhmu, ha-ha-ha! Marilah kutunjukkan jalannya, sahabatku!” Kedua orang
yang berilmu tinggi ini lalu melesat pergi menggunakan ilmu lari cepat mereka
untuk menyusul kedua orang tokoh wanita Beng-kauw yang menuju ke Ta-liang-san.
*************
Setelah
sibuk membagi-bagi perintah dan mengatur siasat agar gerakan pasukannya yang
akan bergabung dengan pasukan-pasukannya yang malam nanti akan menyerang
barisan Sung yang dipimpin Panglima Suma Kiat, Maya lalu mengundurkan diri,
beristirahat mencari angin sejuk di dalam hutan kecil di belakang perkemahan.
Dia memilih tempat sunyi ini untuk beristirahat dan membayangkan kembali
siasatnya untuk serbuan malam nanti agar tidak sampai ada hal yang sampai
terlupa atau terlewat.
Malam masih
jauh, saat itu baru menjelang senja dan penyerbuan mereka akan dimulai
menjelang tengah malam. Setelah merasa yakin bahwa semua siasat dan persiapan
telah diatur lengkap, dia melamun. Tersenyum-senyum panglima wanita yang
perkasa ini teringat kepada Cia Kim Seng si penggembala domba yang tampan
kasar, jujur dan tak kenal takut itu. Kiranya penggembala yang miskin itu
adalah penyamaran Pangeran Bharigan, putera Kaisar Mancu! Dan selama ini
pangeran itu telah menjadi pembantunya yang setia!
Akan tetapi
Maya mengerutkan sepasang alisnya yang kecil panjang hitam melengkung indah itu
kalau ia teringat kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Mereka itu adalah
orang-orang yang paling dekat dengannya karena mereka adalah murid-murid
Mutiara Hitam, bibinya. Dia merasa sesuatu yang aneh terdapat dalam hubungan di
antara kedua orang itu. Ia melihat ada sikap yang bertentangan dalam kata-kata
mereka, akan tetapi sejenak saja sikap bertentangan itu berubah menjadi
kemesraan ketika mereka bergandeng tangan memasuki perkemahan berdua! Apakah
kemesraan itu pun hanya akan berlangsung pendek saja, seperti sikap
pertentangan mereka?
Dan ia
menarik napas berulang-ulang kalau ia teringat kepada Kam Han Ki. Rasa rindu
menyesak dadanya. Biar pun ia mengepalai banyak sekali pasukan, namun ia merasa
seolah-olah dia hidup sendiri kesepian. Ke manakah suheng-nya itu sekarang?
Dapatkah dia bertemu lagi dengan suheng-nya? Ia membayangkan bagaimana kalau ia
kembali ke Pulau Es! Apakah suheng-nya masih berada di sana? Dan sumoi-nya, Khu
Siauw Bwee, apakah sumoi-nya itu pun berada di sana?
Teringat
akan suheng-nya, Maya melamun jauh dan di dalam hatinya timbul perasaan tidak
enak dan penuh iri hati yang timbul dari cinta kasih yang digoda cemburu! Ia
tahu bahwa sumoi-nya juga mencinta suheng mereka itu, akan tetapi dia tidak
tahu pasti kepada siapakah di antara mereka hati penuh kasih sayang suheng-nya
tertambat. Dia pun mengerti bahwa suheng-nya amat sayang kepada dia dan
sumoi-nya, akan tetapi bukanlah itu yang dia dan sumoi-nya kehendaki, melainkan
kasih sayang pria terhadap wanita! Karena tenggelam dalam lamunan, Maya yang
biasanya berpendengaran tajam itu sampai tidak tahu bahwa sejak tadi ada orang
berdiri tak jauh di belakangnya, memandangnya penuh perhatian dan dengan sinar
mata penuh kasih!
“Maya...”
Dara perkasa
ini terkejut, menengok dan alisnya berkerut ketika ia melihat Can Ji Kun telah
berdiri di belakangnya. Tanpa bangkit dari atas batu yang didudukinya, Maya
berkata, “Can Ji Kun, ada keperluan apakah engkau menemuiku?”
“Maya...
aku... aku...,” Ji Kun menggagap.
Hati Maya merasa
tidak enak mendengar pemuda ini memanggil namanya begitu saja, padahal biasanya
menyebutnya ‘li-ciangkun’.
“Ji Kun,
apakah yang terjadi? Engkau hendak bicara apa? Katakanlah!”
Ji Kun
memandangnya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian menghela napas dan
berkata, “Maya, katakanlah, apakah selama aku menjadi pembantumu aku memuaskan
hatimu? Apakah kau anggap aku telah berjasa dan melaksanakan tugasku dengan
baik?”
Maya
mengerutkan kening, tidak tahu dan tidak dapat menduga ke mana arah jalan pikiran
pemuda itu. Ia mengangguk dan menjawab, “Pekerjaanmu baik sekali, Ji Kun dan
aku puas dengan bantuanmu.”
“Syukurlah
kalau begitu, Maya. Aku jadi lega dan berani menyatakan perasaan hatiku
kepadamu. Sesungguhnya... eh, semenjak kita bertemu... sesungguhnya... aku amat
tertarik kepadamu, Maya. Aku... aku cinta padamu! Nah, sudah kukatakan sekarang
terserah penerimaanmu, Maya. Aku cinta padamu!”
Maya
membelalakkan matanya, dan kedua pipinya menjadi merah sekali. Baru pertama
kali ini didengarnya pernyataan seorang pemuda yang mengaku cinta padanya. Hal
ini menimbulkan keharuan di hatinya. Dia mencinta suheng-nya dan tidak
terbalas, kini tanpa disangka-sangkanya Can Ji Kun murid bibinya menyatakan
cinta! Hal ini sesungguhnya bukan merupakan hal aneh, akan tetapi ia teringat
akan hubungan mesra antara Ji Kun dan Yan Hwa, dan hal inilah yang membuat
dadanya terasa panas dan membuat dia langsung menjawab keras.
“Can Ji Kun,
betapa berani engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu! Engkau dan Yan Hwa....
Kau kira mataku buta tidak dapat melihat bahwa ada pertalian kasih antara
kalian berdua? Baru saja engkau bertemu dengan dia, dan sekarang engkau telah
berani menyeleweng dan menyatakan cinta kepadaku?”
“Tidak!
Kalau ada pertalian antara sumoi dan aku, pertalian itu adalah pertalian benci
dan saling bersaing, bukan cinta. Aku tergila-gila kepadamu, Maya, aku tertarik
begitu berjumpa denganmu. Aku cinta padamu!”
“Sudahlah!”
Maya berkata jengkel. “Seorang manusia hanya dapat mencinta satu kali saja! Aku
yakin bahwa Yan Hwa mencintamu, Ji Kun, dan demikian pula engkau pun cinta
kepadanya. Bukankah tadi kalian telah memperlihatkan perasaan itu dengan
terang-terangan?”
“Maya, kami
hanya kadang-kadang berbaik karena mengingat hubungan suheng dan sumoi. Akan
tetapi aku tidak pernah akur dengannya. Aku hanya mencinta engkau seorang,
Maya, dewi pujaan hatiku, tidak kasihankah engkau kepadaku?” Tiba-tiba Ji Kun
sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Maya!
Maya bangkit
berdiri, membanting kaki dan membentak, “Ji Kun! Hentikan kegilaan ini! Aku
tidak bisa mencinta engkau atau laki-laki lain! Kita sedang menghadapi tugas
penting malam ini dan aku melarang engkau bicara tentang cinta!”
“Maya, aku
siap membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi sebelumnya, katakanlah bahwa
engkau tidak akan menolak cinta kasihku. Berilah aku sedikit harapan, Maya...”
“Gila! Aku
tidak tahu apa yang membuatmu menjadi gila ini! Tidak, sampai mati pun aku tidak
dapat mencinta pria lain!”
“Maya...
apakah... apakah hati dan cintamu telah dimiliki pria lain?”
Pertanyaan
ini menusuk perasaan Maya dan tanpa disadarinya, wajahnya yang tiba-tiba
berubah pucat itu kelihatan muram, dua titik air mata menimpa pipinya.
Melihat ini
Ji Kun juga bangkit berdiri, memegang lengannya dan bertanya, “Siapa dia, Maya?
Siapa pria yang menyakiti hatimu? Katakan, akan kupenggal lehernya!”
Sekali
renggut Maya melepaskan lengannya dan memandang wajah Ji Kun dengan sinar mata
marah. “Can Ji Kun, hentikan segala omong kosong ini! Aku tidak dapat menerima,
apa lagi membalas cintamu. Habis! Aku tidak sudi mendengarnya lagi!” Setelah
berkata demikian, ia meninggalkan pemuda yang berdiri dengan muka menunduk itu.
Setelah berjalan beberapa langkah, Maya berhenti, menengok dan berkata, “Dan
jangan lupa menyebutku ‘ciangkun’ kalau engkau masih suka bekerja sebagai
pembantuku!”
Ji Kun tidak
menjawab, hanya berdiri tegak dengan kepala menunduk. Ia tak berani menatap
kepergian gadis itu, seakan takut bahwa ia telah ditinggalkan selamanya.
Setelah tiba
di kamarnya, Maya menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, lalu merenung,
terkenang kepada suheng-nya. Terbayang ia kepada Ji Kun yang berdiri menunduk
seperti itu ketika dia tinggalkan. Diam-diam ia mempertimbangkan semua
sikapnya. Tidak terlalu keraskah dia terhadap pembantunya itu? Can Ji Kun
adalah murid bibinya, seorang pemuda yang perkasa dan tampan gagah.
Betapa pun
juga, tidak dapat dipersalahkan dia sebagai seorang pemuda tertarik dan menyatakan
cinta kasihnya. Mengapa ia tadi marah dan memperlihatkan sikap tak senang?
Sepatutnya pemuda itu dikasihani! Betapa sengsara hati mencinta yang tidak
mendapat sambutan, seperti... seperti dia mencinta Han Ki!
Teringat
akan ini, timbul perasan iba di hati Maya. Dia tadi bersikap terlalu keras, dan
sukarlah menemukan pembantu seperti pemuda itu. Aku harus melunakkan hatinya,
minta maaf dan menghiburnya. Dengan pikiran ini, Maya lalu melompat turun dan
melesat ke luar perkemahan, memasuki hutan kecil itu. Malam telah tiba, akan
tetapi di luar tidak terlalu gelap karena angkasa terhias bulan yang tidak
terhalang awan.
Betapa
kagetnya ketika ia tiba di dalam hutan itu, ia melihat sinar pedang
begulung-gulung dan ternyata Ji Kun sedang bertanding pedang mati-matian
melawan Yan Hwa! Kiranya tadi ketika Ji Kun merayu dan menyatakan cinta kasih
kepada Maya, Yan Hwa mengintai dari balik pohon dan ketika Maya pergi, Yan Hwa
yang menjadi panas hatinya oleh cemburu itu lalu muncul dan memaki-maki Ji Kun
lalu menyerangnya!
Yan Hwa tak
tahu bahwa sebetulnya Ji Kun memang sengaja memancing kemarahannya, memancing
cemburunya dan sengaja merayu Maya karena tahu bahwa kekasihnya, sumoi-nya dan
juga saingannya itu mengintai! Setelah puas memaki, Yan Hwa lalu menyerang dan
berlangsunglah pertandingan untuk membuktikan pedang siapa yang lebih ampuh dan
kepandaian siapa lebih tinggi!
Ketika
melihat kedua orang itu bertanding mati-matian, bukan main-main, dan melihat Ji
Kun terluka pundaknya sedangkan Yan Hwa terluka pangkal lengannya, biar pun
hanya tergores ujung pedang namun mengucurkan darah, Maya lalu mencabut
pedangnya dan ia melompat ke depan, mengelebatkan pedangnya.
“Cring-cring...!”
Ji Kun dan Yan Hwa melompat mundur dengan tangan tergetar hebat oleh tangkisan
pedang Maya.
“Apakah
kalian sudah gila? Hentikan pertandingan ini!” bentak Maya.
“Aku harus
membunuhnya!” Yan Hwa berseru dan menerjang maju lagi.
“Perempuan
sombong, kau kira begitu mudah?” Ji Kun balas membentak.
“Tranggg....!”
Pedang mereka bertemu dan bunga api berhamburan.
“Berhenti
kataku!” Maya menerjang lagi di antara mereka. Pedangnya berkelebat menyilaukan
mata, mengancam leher kedua orang itu sehingga kembali mereka mundur untuk
mengelak.
“Kalian dua
orang gila! Kita menghadapi serbuan musuh dan kalian saling serang mati-matian!
Apa artinya ini? Celaka sekali! Kalau kalian masih tetap hendak bertanding,
tidak usah saling serang, marilah layani aku! Orang-orang seperti kalian ini
tidak patut menjadi murid-murid Bibi Mutiara Hitam! Kematian Bibi belum
terbalas, juga sekarang kita menghadapi si keparat Suma Kiat. Pembalasan untuk
kita berada di depan mata dan kalian malah saling serang. Hayo, kalau memang
kalian tidak bisa didamaikan, biarlah aku yang mewakili mendiang Bibi Mutiara
Hitam memberi pengajaran kepada kalian!”
Melihat Maya
sudah marah sekali, kedua orang itu menunduk. Mereka telah mengenal kelihaian
Maya dan mereka tidak menaruh kebencian kepada pendekar wanita ini, maka biar
pun ditantang mereka diam saja. Keduanya saling pandang dan Ji Kun lebih dulu
menyarungkan pedangnya, diturut oleh Yan Hwa.
“Maya... eh,
Li-ciangkun, maafkan aku yang dimabokkan kemarahan. Sumoi, ucapan Li-ciangkun
benar, kita masih menghadapi tugas berat, tidak semestinya saling serang.
Maafkan aku, Sumoi.”
Yan Hwa
menarik napas panjang. “Aku yang salah. Aku terburu nafsu, Suheng. Akan tetapi
jangan kau memanaskan hatiku. Aku yang minta maaf.”
Hampir Maya
tertawa mendengar dan melihat sikap mereka itu. Ia menyarungkan pedangnya dan
berkata, “Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid seorang pendekar sakti yang
terkenal. Kalian bukanlah orang-orang lemah. Dalam keadaan seperti sekarang
ini, di mana kita bersama menghadapi tugas yang berat dan penting, urusan
pribadi harus di kesampingkan dulu. Apa lagi kalau timbul urusan di antara kita
yang bukan musuh, masih banyak jalan untuk berunding dan bermusyawarah, tidak
semestinya diselesaikan di ujung pedang seperti musuh-musuh besar!”
“Maaf,
Li-ciangkun. Marilah Sumoi, kita melanjutkan persiapan dengan pasukan kita.”
“Mari
Suheng. Dan luka di pundakmu itu harus diobati.”
“Juga luka
di lenganmu. Aih, mengapa kita begitu terburu nafsu?”
Kedua orang
itu saling menghampiri lalu bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Maya menarik
napas panjang dan menjatuhkan diri duduk di atas batu. Ia tidak tahu apakah dia
harus marah, harus menangis, apakah tertawa. Kedua orang yang menjadi
murid-murid bibinya itu benar-benar gila! Jelas bahwa mereka saling mencinta,
akan tetapi mengapa mereka bisa saling serang mati-matian seperti itu? Kalau
dia tidak muncul, sukar untuk membayangkan mereka akan dapat lolos dari
cengkeraman maut di ujung sepasang pedang iblis yang mengerikan itu!
Hemm, mereka
itu saling mencinta, akan tetapi di antara mereka juga terdapat persaingan yang
mengerikan! Tiba-tiba Maya mengepal tinju dan mengertak giginya. Kurang ajar!
Tentu saja Ji Kun tadi sengaja merayunya untuk menyiksa hati Yan Hwa, untuk
mendatangkan cemburu! Tidak salah lagi, tentu mereka bertanding karena Yan Hwa
cemburu! Akan tetapi pandang mata Ji Kun tadi! Benar-benarkah pemuda murid
bibinya itu jatuh cinta kepadanya? Ataukah hanya tertarik oleh kecantikannya?
Ia menghela napas, sudah memaafkan Ji Kun.
Agaknya
begitulah sifat laki-laki. Suheng-nya juga sering kali memandangnya seperti
itu, akan tetapi toh suheng-nya itu kadang-kadang seperti mencinta sumoi-nya.
Apakah semua laki-laki memiliki sifat mata keranjang?
Menjelang
tengah malam, bergeraklah Pasukan Maut yang dipimpin oleh Maya, dan
pembantu-pembantunya yang lihai, yaitu Can Ji Kun, Ok Yan Hwa dan Kwa-huciang.
Mereka bergerak dari tiga jurusan dan diam-diam Ok Yan Hwa telah menghubungi
Theng Kok untuk membantu dengan pasukan serigalanya.
Maya telah
mengadakan kontak rahasia dengan Pangeran Bharigan atau Cia Kim Seng si
pengembala yang memimpin pasukan besar Mancu, dan yang bergerak dari jurusan
lain untuk secara langsung menyerbu pasukan Sung. Serbuan langsung itu yang
akan memancing pasukan Sung sehingga mereka lengah akan ancaman yang lebih
hebat dari tiga jurusan, belakang kanan dan kiri Pasukan Maut Maya!
Akan tetapi
barisan Mancu kecelik kalau mereka mengira bahwa mereka akan dapat menyerbu
secara mendadak dan mengacaukan musuh. Begitu tiba di lapangan terbuka,
terdengar sorak-sorai meledak-ledak dan mereka disambut oleh pasukan Sung yang
sudah siap menyambut kedatangan mereka!
Barisan
Mancu terkejut dan ternyata kini bahwa bukan merekalah yang menyerbu secara
mendadak, bahkan sebaliknya mereka yang diserbu dengan tiba-tiba sehingga
barisan mereka menjadi kacau-balau! Perang tanding terjadi dengan hebatnya di
malam gelap itu, perang sampyuh tanpa memilih lawan, hanya membedakan antara
kawan dan lawan dari pakaian dan teriakan-teriakan mereka.
Karena bulan
bersembunyi di balik awan hitam seolah-olah merasa ngeri menyaksikan
manusia-manusia di bumi yang saling sembelih dan saling bunuh sehingga darah
membanjir di lapangan itu, dengan sendirinya perang berhenti, masing-masing
menarik pasukannya dan mengatur barisan sambil menanti saat perintah atasan.
Pemimpin masing-masing meneliti keadaan musuh dan mendapat kenyataan bahwa
mereka itu sama kuat.
Jumlah
pasukan Sung memang lebih banyak, akan tetapi mereka itu berada di lapangan
yang telah diserbu dari depan, sedangkan para penyelidik barisan Sung melihat
gerak-gerik musuh di kanan kiri dan belakang sehingga mereka maklum bahwa biar
pun belum ada penyerbuan dari tiga penjuru ini, namun dari situ ada pula
ancaman, sehingga sebagian pasukan dikerahkan untuk melakukan penjagaan di
sayap kanan, kiri dan belakang.
Rencana Maya
untuk melakukan penyergapan di waktu malam ternyata gagal. Tanpa terduga-duga
awan-awan gelap menutupi bulan, tidak memungkinkan terjadinya perang tanding.
Hal-hal seperti itu sering kali terjadi atas diri manusia.
Betapa pun
pandainya manusia mengatur siasat dalam melakukan sesuatu, baru akan berhasil
kalau Tuhan menghendaki! Kalau Tuhan tidak menghendaki, segala usaha akan gagal
berantakan oleh hal-hal yang tak dapat dihalau oleh tenaga manusia.
Akan tetapi
kehancuran bala tentara Sung itu hanya mengalami kemunduran waktu saja karena
pada keesokan harinya, begitu terang tanah, perang dilanjutkan dengan amat
hebatnya. Sekali ini pihak Sung benar-benar menjadi kacau karena Maya telah
mengerahkan Pasukan Mautnya yang terpecah-pecah itu untuk menghantam dari tiga
jurusan.
Yang hebat
lagi, barisan berkuda Sung yang sudah terkenal amat kuat dan menjadi pelopor
bagi seluruh pasukan, dihancurkan oleh Maya dan pasukannya dengan bantuan-bantuan
serigala yang dipimpin Theng Kok si gundul yang menjadi penggembala serigala
itu!...
PASUKAN
berkuda dari bala tentara Sung ini langsung dipimpin oleh Panglima Suma Kiat
dan dua orang pembantunya yang setia, yaitu selirnya, Ci Goat, dan muridnya,
Siangkoan Lee. Tentu saja pasukan berkuda ini amat kuat dan terdiri dari
orang-orang terlatih yang rata-rata memiliki ilmu silat lihai dan tidak akan
gentar kalau hanya menghadapi serigala-serigala. Setiap orang dari pasukan ini
akan dapat membunuh seekor serigala dengan mudah.
Akan tetapi,
kalau di dalam perang itu tiba-tiba muncul ratusan ekor serigala liar yang
langsung menerjang mereka, menyerang kaki-kaki kuda membuat kuda tunggangan
mereka panik ketakutan, serigala-serigala yang seperti manusia saja dapat
diatur oleh seorang laki-laki gundul yang juga berloncatan merangkak seperti serigala,
tentu saja pasukan yang bagaimana kuat pun akan menjadi kacau-balau. Lebih lagi
karena saat itu dipergunakan oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa untuk menerjang
pasukan berkuda yang merupakan andalan seluruh barisan Sung, maka Suma Kiat
sendiri menjadi marah dan juga bingung menyaksikan keadaan pasukannya.
Ia
berteriak-teriak membagi tugas. Hatinya makin panas dan marah ketika ia
menerima laporan bahwa yang menyerang dari belakang, kanan dan kiri adalah
Pasukan Maut yang amat terkenal dipimpin oleh Panglima Wanita Maya. Tentu saja
Suma Kiat sudah pernah mendengar kehebatan Pasukan Maut ini yang kabarnya
adalah pasukan anak buah pasukan armada di timur yang memberontak.
“Biar
kuhadapi sendiri pemberontak itu!” bentaknya.
Di atas
kudanya, panglima ini bersama selir dan muridnya menyerbu ke depan. Gerakan
pedang tiga orang ini hebat bukan main dan entah berapa puluh ekor serigala
tewas oleh mereka bertiga. Bahkan dengan kemarahan meluap Suma Kiat sudah
melepas senjata jarum-jarum hitam ke arah Theng Kok. Jarum-jarum beracun hitam
dari Suma Kiat amat dahsyat, tentu saja tak dapat dielakkan oleh laki-laki
gundul itu sehingga dadanya terkena tiga batang jarum hitam yang membuatnya
terjungkal, berkelojotan dan mengeluarkan suara meraung-raung seperti serigala
marah. Raungan ini membuat sisa barisan serigala menjadi seperti gila.
Mereka
meraung-raung pula dan mengamuk hebat dan nekat. Pihak pasukan berkuda bala
tentara Sung benar-benar menjadi rusak keadaannya oleh amukan serigala-serigala
ini karena menghadapi penyerbuan Pasukan Maut itu saja mereka sudah merasa
berat. Memang akhirnya mereka dapat membunuh semua serigala, akan tetapi
pasukan ini kehilangan banyak sekali anak buah, lebih dari setengahnya.
Sedangkan
pasukan yang dipimpin oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa menghimpit mereka dari
kanan kiri dan sepak terjang kedua orang ini benar-benar mengerikan. Mereka itu
menggerakkan pasukan dan menggerakkan pedang seolah-olah hendak saling
berlomba, berbanyak-banyakan membabat musuh! Mereka menaati pesan Maya untuk
menghimpit pasukan berkuda yang dipimpin sendiri oleh Suma Kiat itu karena
panglima wanita ini sendiri mengerahkan pasukannya untuk menyerbu pasukan besar
lawan untuk membantu barisan Mancu.
“Bala
bantuan datang!” Teriakan ini berulang kali terdengar dari pihak tentara Sung
yang telah didesak hebat.
Pasukan Sung
itu menjadi girang sekali dan bangkit semangat perlawanan mereka. Juga Suma
Kiat menjadi girang sekali ketika ia mengenal pasukan-pasukan yang dipimpin
oleh beberapa orang panglima Kerajaan Sung, yang dari jauh sudah dapat dikenal
bendera-benderanya. Dia bersama selirnya dan muridnya tertawa dan mengamuk
makin hebat sehingga para prajurit di pihak musuh menjadi gentar tidak berani
mendekati mereka.
SEMENTARA
itu, Maya dan pihak barisan Mancu yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan
menjadi terkejut. Biar pun mereka telah mulai mendesak musuh, namun
sesungguhnya jumlah pasukan lawan lebih besar. Kalau sekarang ditambah bala
bantuan tentara Sung, benar-benar merupakan keadaan yang membahayakan sekali!
Tadinya, dengan cara penyergapan yang sudah direncanakan, ditambah bantuan
barisan serigala, tentara Sung telah dibikin kacau dan banyak di antara mereka
tewas sehingga jumlah mereka kini hampir seimbang. Kemenangan sudah nampak di
depan mata. Akan tetapi dengan munculnya pasukan-pasukan baru yang masih segar,
Maya merasa khawatir apakah pasukannya dan pasukan Mancu akan mampu bertahan.
Akan tetapi,
terjadilah hal yang sama sekali tidak terduga, baik oleh pihak Mancu, mau pun
oleh pihak Sung sendiri. Pasukan baru yang jelas adalah pasukan Kerajaan Sung
itu datang-datang bukan membantu barisan Sung yang dipimpin Panglima Besar Suma
Kiat, sebaliknya malah menyerang barisan Sung! Tentu saja Suma Kiat menjadi
kaget heran dan marah. Ia membalapkan kudanya menyambut pasukan Sung itu
diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee.
Pasukan yang
baru datang itu mendapat perintah atasan mereka untuk menyerbu pasukan Sung.
Akan tetapi melihat Suma Kiat, mereka yang tentu saja sudah mengenalnya tidak
berani menyerang sehingga dengan mudah Suma Kiat dapat berhadapan dengan tiga
orang pimpinan pasukan itu. Dia mengenal tiga orang ini, tiga orang panglima
yang dahulu bertugas menjaga di utara, yaitu Panglima-panglima Ong Ki Bu, Cong
Hai dan Kwee Tiang Hwat. Mereka ini adalah rekan-rekan mendiang Panglima Khu
Tek San.
Karena
mereka adalah orang-orang bawahannya, Suma Kiat membentak marah, “Apa kalian
bertiga sudah menjadi gila? Mengapa pasukan kalian menyerang pasukan kami
sendiri?”
Ong Ki Bu,
Panglima tinggi besar yang mukanya menyeramkan dan sikapnya gagah seperti
Panglima Kwan Kong dalam dongeng Sam-kok mengajukan kudanya dan menudingkan
tombaknya kepada Suma Kiat sambil berkata, “Suma Kiat! Engkau sendiri sudah
mengangkat tangan secara kejam, membunuhi pahlawan-pahlawan budiman dan gagah
perkasa seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San. Engkau
menjilat-jilat para thaikam dan bersekutu melumpuhkan Kaisar melemahkan negara.
Kalau kami sekarang mengangkat senjata melawanmu, apakah keanehannya?”
Muka Suma
Kiat menjadi merah, matanya terbelalak, alisnya berdiri dan sejenak ia tidak
mampu mengeluarkan suara. Akhirnya ia menggereng keras, tubuhnya mencelat dari
atas kudanya, menyambar ke arah Ong Ki Bu. Panglima Ong ini maklum betapa
lihainya Jenderal Suma Kiat, maka ia cepat menyambut sambaran tubuh Suma Kiat
dengan tombaknya yang digerakkan cepat menusuk. Suara tombak menyambar sampai
mengeluarkan suara mendesing saking kuatnya tenaga panglima yang tinggi besar
itu dan ujung tombak lenyap berubah menjadi sinar memapaki tubuh Suma Kiat ke
arah dadanya.
“Krekkkk!
Desss!” Tombak itu patah, tangan kiri Suma Kiat sudah memukul dada Panglima Ong
Ki Bu yang berteriak keras dan terjengkang dari atas punggung kudanya,
terbanting ke atas tanah dan tewas di saat itu juga dengan dada menghitam
seperti terbakar api. Dalam kemarahannya tadi, Suma Kiat telah mempergunakan
pukulan Hui-tok-ciang (Pukulan Tangan Api Beracun) yang ampuhnya menggila!
“Hayo kalian
berdua lekas berlutut dan menarik kembali pasukan!” Suma Kiat membentak kepada
Panglima Cong Hui dan Panglima Kwee Tiang Hwat yang memandang dengan muka pucat
ke arah mayat Ong Ki Bu.
Akan tetapi,
sebaliknya dari menaati perintah ini, kedua orang panglima itu malah menerjang
maju dengan senjata mereka, menerjang Suma Kiat! Jenderal tua ini makin marah
akan tetapi pada saat itu, Bu Ci Goat selirnya dan Siangkoan Lee sudah maju
menyambut dua orang panglima itu. Tidak berlangsung lama pertandingan yang
berat sebelah ini. Dalam hal ilmu perang, mungkin kedua orang panglima ini jauh
lebih lihai dibandingkan dengan selir dan murid Suma Kiat itu, akan tetapi
dalam hal ilmu silat, mereka kalah jauh dan dalam belasan jurus saja Cong Hai
dan Kwee Tiang Hwat telah roboh terjungkal dan tewas menyusul rekan mereka Ong
Ki Bu.
Akan tetapi
biar pun tiga orang panglima itu telah roboh tewas, pasukan mereka yang
menyerbu membuat pasukan Sung yang dipimpin Suma Kiat menjadi kacau dan
terpukul mundur. Melihat ini Suma Kiat menjadi makin marah. Dia bersama selir
dan muridnya mengamuk dan terus maju membabati musuh, merobohkan banyak perwira
Mancu dan akhirnya Suma Kiat berhadapan dengan dua orang murid Mutiara Hitam
yang juga mengamuk secara dahsyat.
“Ha-ha,
bagus sekali! Manusia jahat Suma Kiat datang menyerahkan nyawanya!” Can Ji Kun
ketawa dan menerjang maju didahului sinar kilat pedangnya, dan hanya selisih
beberapa detik dari pedang di tangan Ok Yan Hwa yang juga sudah menyerang tubuh
panglima itu.
“Trang-trang...!”
Suma Kiat terkejut bukan main menyaksikan berkelebatnya dua sinar kilat
menyilaukan mata itu, apa lagi ketika ia merasakan telapak tangannya tergetar
ketika menangkis. Dipandangnya dua orang muda itu dengan mata terbelalak, dan
ia membentak,
“Bocah-bocah
setan! Siapa kalian?”
“Buka telingamu
lebar-lebar!” Ok Yan Hwa berseru sambil melintangkan pedang di depan dada.
“Kami adalah murid-murid Mutiara Hitam yang datang sengaja untuk mencabut
nyawamu!”
Mendengar
disebutnya nama Mutiara Hitam, Suma Kiat terkejut sekali, akan tetapi juga
marah. Dahulu di waktu mudanya ia tergila-gila kepada Mutiara Hitam yang selain
masih menjadi saudara misannya, juga Mutiara Hitam Kam Kwi Lan adalah murid
ibunya. Akan tetapi karena cinta kasihnya ditolak, ia menjadi benci kepada
Mutiara Hitam, bahkan benci kepada semua keturunan keluarga Suling Emas.
Mata Suma
Kiat melotot dan ia membentak, “Kebetulan sekali! Aku tidak punya kesempatan
membikin mampus Mutiara Hitam yang sudah mati oleh orang-orang Mongol, sekarang
aku akan puas kalau dapat membunuh kedua orang muridnya!” Ia menerjang maju
dengan dahsyat, menggunakan pedangnya yang juga sebatang pedang pusaka, mainkan
Ilmu Pedang Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang amat hebat.
“Ha-ha!
Pedang kami yang akan menghirup darahmu!” Ji Kun mengejek dan menyambut
serangan itu bersama sumoi-nya sambil balas menyerang karena di antara kedua
orang murid Mutiara Hitam ini khawatir kalau-kalau kalah duluan!
Mutiara
Hitam telah menurunkan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam kepada kedua orang murid
mereka, dan ilmu pedang itu telah digabungkan dengan Ilmu Golok Pek-kong
To-hoat dari Tang Hauw Lam, maka kini ilmu pedang yang dimainkan dua orang
murid Mutiara Hitam itu hebatnya luar biasa. Masing-masing telah memberi nama
sesuai dengan pedang mereka, yaitu Yan Hwa mainkan Li-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang
Iblis Merah) sedangkan Ji Kun mainkan Lam-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis
Jantan). Biar pun Suma Kiat memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari
pada mereka, dia terkejut juga menyaksikan kehebatan gerakan mereka, terutama sekali
kaget melihat sinar pedang yang mengandung hawa mukjizat yang mengerikan!
Melihat
keadaan panglima itu, Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee yang sedang mengamuk
merobohkan para prajurit Pasukan Maut seperti orang membabat rumput saja, cepat
menghampiri dan menerjang maju sehingga di lain saat, Yan Hwa telah dikeroyok
dua oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee, sedangkan Ji Kun bertanding melawan Suma
Kiat.
Kini keadaan
menjadi berubah sama sekali. Kalau Suma Kiat tidak dibantu murid dan selirnya,
biar pun kedua orang murid Mutiara Hitam tidak akan mudah untuk dapat
mengalahkannya, namun panglima ini pun akan selalu terdesak. Kini setelah kedua
orang itu membantunya, Suma Kiat mendesak Ji Kun dengan hebat, sedangkan
Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat dapat pula menandingi kehebatan ilmu pedang Yan
Hwa.
Kedatangan
pasukan-pasukan Sung di bawah pimpinan tiga orang panglima yang memberontak
terhadap Suma Kiat membuat keadaan perang menjadi berat sebelah dan pihak
barisan Sung menjadi kocar-kacir. Sebagian besar tewas dan kini mulailah ada
prajurit membalikkan tubuh dan melarikan diri.
Menyaksikan
keadaan ini, mulailah Maya memperhatikan lain hal, yaitu keinginannya untuk
membunuh Suma Kiat. Ketika dia melihat betapa musuh besar yang telah
mencelakakan Menteri Kam Liong, Panglima Khu Tek San, dan juga suheng-nya itu
kini sedang mendesak Ji Kun sedangkan Yan Hwa juga didesak oleh dua orang
pembantu panglima itu, Maya lalu cepat menghampiri mereka.
“Trangggg...!”
Tubuh Suma
Kiat terhuyung ke belakang dan pundak kirinya terluka, bajunya robek berdarah.
Ia memandang Maya, dengan wajah pucat dan mata mendelik saking marahnya.
“Hemmm, agaknya engkau inikah Panglima Wanita Maya yang terkenal itu?”
bentaknya.
Maya
tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan hati Suma Kiat. “Benar, akulah Maya.
Apakah engkau telah lupa, Suma Kiat? Lupa kepada dua orang anak yang
menyelundup masuk ke istana ketika menyambut utusan Kerajaan Yucen?”
Suma Kiat
membelalakkan matanya. “Engkau...? Engkaukah... Maya puteri Raja Talibu?”
Diam-diam ia bergidik.
Kiranya kini
ia berhadapan dengan keturunan keluarga Suling Emas lagi! Dua orang murid
Mutiara Hitam belum dapat ia robohkan, kini muncul keponakan Mutiara Hitam yang
agaknya memiliki kepandaian lebih hebat, puteri dari Raja Talibu, kakak kembar
Mutiara Hitam! Mulailah panglima ini menjadi gentar hatinya, apa lagi ketika ia
menoleh ke sekeliling melihat betapa pasukannya sudah kocar-kacir, bahkan ia
melihat seorang penunggang kuda yang berpakaian gagah dan mewah, yang ia kenal
sebagai Pangeran Bharigan dari Mancu!
Suma Kiat
maklum bahwa dalam keadaan terkurung seperti itu, dia dan dua orang pembantunya
sudah tidak dapat membebaskan diri. Ia melihat selirnya dan muridnya masih
melawan Ok Yan Hwa dengan gigih, dan diam-diam ia pun hendak berlaku nekat,
melawan sampai mati ketika tiba-tiba timbul akal yang amat baik di otaknya.
“Persetan
kalian! Mampuslah!” Kedua tangan panglima ini bergerak.
”Awas jarum
berbisa!” Maya cepat berteriak memperingatkan orang-orangnya sambil mengibaskan
lengan bajunya.
Jarum-jarum
berwarna merah dan hitam menyambar ke arah Maya dan para perwira yang mengurung
di situ. Biar pun Maya sudah memberi ingat, tetap saja Kwa-huciang,
pembantunya, roboh terguling dari atas kudanya. Melihat ini Maya cepat meloncat
mendekati dan melihat tiga batang jarum memasuki pergelangan tangan kiri
Kwa-huciang.
“Celaka!
Pertahankan Kwa-huciang!” Maya berseru dan... tampak sinar berkelebat ke arah
pergelangan tangan yang seketika menjadi buntung terbabat pedang Maya!
Kwa-huciang yang maklum bahwa jalan satu-satunya untuk menolong nyawanya hanya
mengorbankan tangan, menggigit bibir menahan rasa nyeri.
“Biar
kurawat sendiri lukanya, Li-ciangkun, lebih baik tangkap dia!” Ia menuding ke
depan.
Maya baru
teringat dan cepat mengangkat mukanya. Namun terlambat, karena Suma Kiat sudah
meloncat ke arah Pangeran Bharigan dan sekali sergap saja ia berhasil membekuk
pangeran itu dan mengancam nyawa Sang Pangeran Mancu dengan jari tangan di atas
ubun-ubun!
“Ci Goat!
Lee-ji! Mundur ke sini!” Suma Kiat membentak. Selir dan muridnya meloncat ke
belakang meninggalkan Ok Yan Hwa.
“Pengecut
besar!” Maya berseru. “Lepaskan Pangeran Bharigan dan hadapi kami secara
laki-laki. Panglima macam apa engkau ini?”
Suma Kiat
tersenyum. Pundaknya masih terluka dan berdarah. “Belum waktunya kita
bertanding, Maya. Aku sudah lelah dan perlu mengaso. Terserah kepadamu, kalau
kau hendak memaksa melanjutkan pertandingan, lebih dulu Pangeran Mancu keparat
ini kuhancurkan kepalanya!”
“Jangan
dengarkan dia, Li-ciangkun! Aku tidak takut mati. Serang saja!” Pangeran
Bharigan yang sudah dibuat tidak berdaya itu berkata dengan nada keras penuh
keberanian, “Can Ji Kun! Ok Yan Hwa! Hayo cepat serang jahanam ini!”
Kedua orang
murid Mutiara Hitam sudah melangkah maju, akan tetapi Maya membentak, “Tahan!”
Kedua orang
muda itu tidak berani membangkang dan menoleh dengan pandang mata penuh
pertanyaan. Maya menghela napas dan berkata, “Jiwa pahlawan Pangeran Bharigan
jauh lebih berharga dibandingkan dengan sepuluh jiwa rendah macam mereka ini.
Suma Kiat, apa kehendakmu sekarang?”
“Ha-ha-ha!
Melakukan siasat dalam keadaan terjepit, itu cerdik namanya! Maya, apa yang kau
kehendaki?”
“Manusia
rendah! Jangan mengira bahwa aku akan merendahkan harga diri Pangeran Bharigan
dengan menyelamatkan nyawanya untuk memenuhi segala kehendakmu yang mencemarkan
namanya. Engkau bebaskan dia dan aku akan membebaskan engkau. Ini adalah
keputusan adil di antara orang gagah, kalau engkau masih memiliki slfat
kegagahan!”
“Ha-ha-ha,
bocah yang kurang ajar. Tidak ingatkah engkau bahwa aku ini masih pamanmu
sendiri? Ayahmu, Raja Talibu adalah adik misanku, dan Mutiara Hitam adalah adik
misanku pula, bahkan dahulu calon isteriku, juga sumoiku karena Mutiara Hitam
adalah murid ibuku. Apakah engkau sekarang, dan dua orang murid Mutiara Hitam
itu berani bersikap kurang ajar kepadaku?”
“Tak perlu
banyak bicara, Suma Kiat. Sekarang engkau yang harus pilih. Engkau bebaskan
Pangeran Bharigan, dan aku pun tidak akan mengganggumu bertiga, kalian bertiga
boleh pergi dari sini tanpa diganggu. Atau... aku akan menghancurkan kepala
kalian bertiga kalau kau membunuh Pangeran Bharigan. Nah, pilihlah!”
“Ha-ha-ha!
Maya, engkau membela mati-matian kepada Pangeran Mancu ini. Hemm... dia memang
gagah dan tampan! Aha, aku mengerti sekarang. Agaknya engkau sudah tergila-gila
kepadanya, ya? Kerajaan Khitan sudah hancur, memang baik sekali kalau engkau
menjadi isteri seorang Pangeran Mancu sehingga ada harapan untuk kelak menjadi
permaisuri...”
“Keparat
busuk, tutup mulutmu dan bunuhlah aku!” Pangeran Bharigan membentak marah
sekali.
“Suma Kiat,
bagaimana?” Maya menghardik, tangannya meraba gagang pedang yang tadi sudah
disarungkannya.
“Ha-ha-ha,
baiklah. Aku bebaskan dia! Ci Goat, Siangkoan Lee, hayo kita pergi dari sini!”
Suma Kiat melepaskan Pangeran Bharigan, kemudian tanpa mempedulikan
musuh-musuhnya, dia melangkah pergi diikuti kedua orang pembantunya yang setia
itu. Melihat betapa bekas panglima musuh itu pergi begitu saja, Ji Kun dan Yan
Hwa sudah menggerakkan pedang. Tampak dua sinar kilat berkelebat ke depan
mengejar musuh.
“Trang-tranggg...!”
“Ehhh!
Engkau... melindungi dan membela dia?” Yan Hwa dan Ji Kun hampir berbareng bertanya
sambil melintangkan pedang di dada dan memandang Maya dengan mata terbelalak.
Maya menyarungkan kembali pedangnya yang dipergunakan untuk menangkis dan
menghalangi tadi, menggeleng kepala dan berkata, suaranya tegas dan ketus.
“Tidak, aku
tidak membela dia melainkan membela kehormatan kita sendiri. Seorang gagah
lebih menghargai kehormatan dari pada nyawa. Kita sudah berjanji, siapa sudi
melanggar janji sendiri? Apakah hal macam ini saja kalian tidak tahu ataukah
melupakan pelajaran mendiang Bibi Mutiara Hitam yang gagah perkasa?”
Ji Kun dan
Yan Hwa menundukkan muka dan diam-diam mengaku dalam hati bahwa di dalam banyak
hal, Maya ini menyerupai guru mereka! Tiba-tiba terjadi kegaduhan dan Suma Kiat
bersama dua orang pembantunya sudah dikeroyok beberapa orang perwira Mancu.
“Heiii!
Tahan senjata! Bebaskan mereka bertiga, biarkan tiga ekor anjing itu pergi!”
Pangeran Bharigan berseru dengan marah.
Mendengar
seruan ini, para perwira Mancu terkejut dan mundur. Beberapa orang perwira
tinggi menghampiri pangeran itu dan bertanya mengapa komandan pasukan musuh
malah diberi kebebasan. Pangeran Bharigan memandang ke arah Maya dan berkata,
“Panglima
Wanita Maya yang sakti telah berjanji membebaskannya. Janji merupakan
kehormatan dan aku akan membela kehormatan Panglima Maya dengan taruhan
nyawaku!”
Mendengar
ini, para perwira memberi hormat ke arah Maya yang menjadi merah mukanya karena
ucapan Sang Pangeran itu, disertai pandang matanya, sama sekali tidak
menyembunyikan perasaan di hati pangeran itu terhadap dirinya!
Kemenangan
besar di hari itu disambut meriah oleh Raja Mancu. Maya disanjung dan dipuji
oleh Raja, bahkan dianugerahi pangkat tinggi menjadi wakil panglima besar yang
dipegang oleh Pangeran Bharigan sendiri! Kalau tadinya Maya hanya memimpin
ratusan orang tentara Sung yang memberontak terhadap Kerajaan Sung, kini dia
mengepalai laksaan prajurit Mancu yang siap setiap saat mematuhi segala
perintahnya. Juga Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa dianugerahi kedudukan sebagai
panglima-panglima yang dihormati. Kwa-huciang yang kehilangan sebelah tangannya
dalam pertempuran itu diangkat menjadi penasehat perang oleh Pangeran Bharigan
yang pandai mengambil hati orang-orang yang berkepandaian.
Karena
memang tujuan hati Maya dan kawan-kawannya hanya untuk melepaskan dendam kepada
Pemerintah Sung, kepada bangsa Mongol dan bangsa Yucen, bagi mereka tidak
peduli mereka itu menjadi panglima tentara Sung yang memberontak atau tentara
Mancu, tidak ada bedanya. Yang penting mereka dapat membalas dendam dan tentu
saja hal ini hanya mampu mereka lakukan kalau mereka memimpin barisan yang
kuat.
Raja Mancu
yang maklum akan isi hati pembantu-pembantu kuat ini berlaku cerdik dan
bijaksana. Maya dan kawan-kawannya hanya diberi tugas untuk memimpin pasukan
menghadapi pasukan-pasukan musuh yang memang dibenci oleh mereka. Hal ini
diserahkan oleh Pangeran Bharigan yang telah mengetahui riwayat Maya.
Semenjak
Maya, Ji Kun dan Yan Hwa berada di situ sebagai Panglima-panglima Mancu, bala
tentara Mancu menjadi kuat dan mendapatkan kemajuan besar. Dalam banyak
pertempuran, baik menghadapi pasukan Mongol, pasukan Sung, atau Yucen, pasukan
yang dipimpin Maya atau kedua orang murid Mutiara Hitam selalu memperoleh
kemenangan! Mereka makin disanjung-sanjung dan diberi banyak hadiah oleh Raja.
Biar pun
kedudukannya telah tinggi dan cita-citanya membalas dendam telah terlaksana,
namun banyak hal yang dihadapinya membuat Maya sering kali tampak termenung dan
berduka. Tidak saja ia menderita rindu kepada suheng-nya yang dicintanya, juga
dia menghadapi hal-hal yang memusingkan hatinya. Pertama adalah urusan Ji Kun
dan Yan Hwa. Sungguh dia tidak mengerti akan sikap kedua orang murid bibinya
itu. Jelas bahwa keduanya itu saling mencinta, bahkan terang-terangan kedua
kakak beradik seperguruan itu telah lama melakukan hubungan seperti suami
isteri saja!
Akan tetapi
betapa seringnya mereka berdua itu cekcok, bahkan berkelahi dan saling serang
dengan senjata mereka yang dahsyat, yaitu Sepasang Pedang Iblis yang kini telah
didengar riwayatnya oleh Maya dari kedua orang itu. Setiap kali kedua orang itu
bercekcok, dia yang melerai, akan tetapi selalu Ji Kun lalu memperlihatkan
sikap mesra kepadanya yang ia tidak dapat mengenal pula dasarnya. Apakah memang
benar tertarik kepadanya, ataukah hanya dipergunakan untuk ‘memanaskan’ hati
Yan Hwa, dia tidak pernah dapat memastikan.
Akan tetapi,
hal itu tidak begitu memberatkan hatinya seperti hal lain yang membuat dia
benar-benar bingung dan kadang-kadang menjadi kesal. Hal ini adalah kenyataan
bahwa Pangeran Bharigan yang dahulunya bernama Cia Kim Seng si penggembala domba,
jelas sekali jatuh cinta kepadanya! Mula-mula hanya diperlihatkan dalam pandang
mata, dalam suara dan sikap serta gerak-geriknya, akan tetapi makin lama makin
nyata, bahkan pada suatu senja pangeran itu menemuinya di dalam taman dan
secara terang-terangan menyatakan cinta kasihnya terhadap Maya dan meminangnya
untuk menjadi isterinya!
“Aku tahu
siapa engkau, Puteri Maya. Kita berdua adalah keturunan raja-raja dari bangsa
kita yang besar. Kerajaan Khitan telah rusak, akan tetapi aku berjanji untuk membangunnya
kembali. Kita bersama dapat membangun kembali Kerajaan Mancu dan Khitan,
disatukan menjadi negara besar!” Demikian antara lain bujukan yang dikeluarkan
oleh Pangeran Bharigan secara sungguh-sungguh.
Maya
menghela napas panjang. “Pangeran Bharigan, terima kasih banyak atas segala
kebaikanmu dan cinta kasihmu terhadap diriku. Tentang kerja sama, tentu saja
aku setuju sekali, bahkan bukankah sekarang kita telah bekerja sama? Akan
tetapi tentang perjodohan, maafkan aku, Pangeran. Bagiku, jodoh hanya dapat
diikat dengan cinta kedua pihak.”
“Apakah...
apakah tidak ada cinta kasih sedikit saja di hatimu terhadap diriku?”
Pertanyaan Pangeran itu yang diucapkan dengan suara gemetar dan secara
terang-terangan, membuat kedua pipi Maya kemerahan dan hatinya terharu.
“Pangeran,
maafkan aku. Aku suka kepadamu semenjak engkau kukenal sebagai Cia Kim Seng si
penggembala domba, dan engkau adalah seorang pria yang amat baik, gagah
perkasa, tampan, budiman, berkedudukan tinggi. Pendeknya, tiada cacat celanya
bagi seorang gadis. Akan tetapi, soal cinta adalah soal hati dan tidak bisa
dipaksakan, Pangeran.”
Wajah yang
tampan itu menjadi muram. “Puteri Maya, apakah kata-katamu itu berarti bahwa
engkau telah mencinta pria lain?”
Maya
mengangkat muka memandang. Mereka saling berpandangan dan akhirnya Maya
menundukkan muka dan menarik napas panjang, akan tetapi ia berkata dengan
jujur, “Benar, Pangeran.”
Pangeran
Bharigan menghela napas panjang. “Aihhh, betapa bahagianya pria itu...”
Di dalam
suara Pangeran itu terkandung kedukaan dan kekecewaan besar, membuat Maya
terharu dan dara ini berkata, “Tidak, Pangeran, karena agaknya dia tidak
menerima cintaku.”
Pangeran itu
membelalakkan mata dan mengepal tinju. “Apa? Kalau dia menolak cinta kasihmu,
sudah terang dia itu orang gila!”
“Pangeran!”
“Maafkan
aku, Maya...!” Kemudian pangeran itu dapat menguasai hatinya dan tersenyum,
memaksa diri bergembira sambil berkata, “Sudahlah, aku tidak semestinya
menggodamu dan kita hentikan saja pembicaraan mengenai hal yang mendatangkan
kepahitan di hati kita itu. Maafkan aku sekali lagi, dan aku hanya berdoa
semoga engkau bahagia, dan... semoga akan tumbuh tunas cinta di hatimu terhadap
aku, Maya.”
Biar pun
semenjak saat itu sikap Pangeran Bharigan terhadap dirinya menjadi biasa
kembali dan pangeran itu tidak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal cinta,
namun ia tahu dari pandangan mata pangeran itu kepadanya bahwa cinta kasih yang
bersemi di hati pangeran itu semakin mendalam dan pangeran ini selalu masih
mengharapkan sambutannya. Hal-hal itulah yang membuat Maya kadang-kadang
termenung, teringat dengan hati perih kepada Kam Han Ki, suheng-nya dan juga
gurunya yang amat dicintanya.
Pada suatu
hari, selagi Pangeran Bharigan berunding dengan Maya membicarakan pergerakan
bala tentara Yucen tak jauh dari perbatasan barat, tiba-tiba datang berita yang
mengejutkan bahwa pasukan Mancu yang menjaga di perbatasan barat itu hancur
diserbu pasukan Yucen yang besar dan amat kuat! Lebih dari setengah jumlah
pasukan Mancu tewas dan sisanya kocar-kacir.
Yang amat
menyakitkan hati adalah masuknya seorang perwira Mancu membawa kepala seorang
panglima yang memimpin pasukan Mancu. Kiriman kepala panglima ini adalah
kiriman dari pihak Yucen yang disampaikan kepada Pangeran Bharigan sebagai
sebuah penghinaan dan tantangan!
Perwira itu
berlutut dan membawa baki yang terisi kepala manusia itu, diterima dengan
tenang namun muka berubah pucat oleh Pangeran Bharigan yang meloncat bangun
dari kursinya. Suaranya gemetar menahan marah ketika ia membentak, “Kubur kepala
itu dengan upacara kebesaran!”
Setelah
perwira itu pergi, Sang Pangeran menjatuhkan diri di atas kursinya dan berkata
penuh geram, “Sungguh aneh sekali sikap orang Yucen! Biasanya mereka tidak
pernah melakukan hal yang menjemukan dan sombong itu! Sikap mereka ini harus
kita sambut sebagai tantangan untuk mengadakan perang besar. Hemmm, berani
mereka memandang rendah kepada kita!”
Seorang
perwira lain dari pasukan yang terpukul hancur itu menceritakan betapa di pihak
tentara Yucen terdapat seorang panglima yang amat sakti, yang berpakaian biasa
tidak seperti panglima, namun orang itulah yang sebenarnya membuat pertahanan
pasukan Mancu berantakan. Juga Panglima Yucen itulah yang telah memenggal
kepala panglima komandan mereka dan mengirimkan kepala itu kepada Kerajaan
Mancu.
“Keparat!
Biarkan aku sendiri memimpin pasukan untuk menghajar mereka, Pangeran!” kata
Maya dengan marah.
“Aih,
menurut laporan, jumlah pasukan Yucen itu hanya sekitar sepuluh ribu orang
saja. Tidak perlu engkau merendahkan diri melayani musuh yang begitu kecil
jumlahnya.”
Maya
terpaksa mengangguk. Pangeran ini selalu berusaha untuk mengangkat derajatnya.
“Kalau begitu, aku akan menyuruh Ji Kun dan Yan Hwa saja memimpin pasukan
istimewa untuk menghancurkan pasukan Yucen.”
Pangeran
Bharigan mengangguk, “Baiklah, kalau kedua orang panglima yang saling berlomba
membunuh musuh itu maju bersama, tentu pasukan musuh akan dapat dibasmi habis.”
Dia tersenyum puas karena sudah beberapa kali sepak terjang kedua orang murid
Mutiara Hitam itu amat hebat dan ganas, mengerikan bagi pihak lawan.
Biar pun
kedudukan mereka sudah tinggi, namun Ji Kun dan Yan Hwa selalu turun tangan
sendiri, terjun ke medan perang dan pedang mereka yang mulai terkenal sebagai
Pedang Iblis itu seakan-akan berlomba, berbanyak-banyak minum darah musuh!
Bahkan orang-orang dalam pasukan Mancu sendiri, dan pasukan Sung yang
menggabungkan diri dengan Mancu, secara berbisik menyebut mereka berdua itu
Pendekar Sepasang Pedang Iblis! Ji Kun disebut Pedang Iblis Jantan sedangkan
Yan Hwa disebut Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment