Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 16
Ketika Ji
Kun dan Yan Hwa menerima perintah Maya untuk menyerbu dan menghancurkan pasukan
Yucen yang mengalahkan pasukan Mancu di perbatasan barat, mereka menjadi girang
sekali. Mereka sudah mendengar akan kekalahan pasukan Mancu dan tangan mereka
sudah gatal-gatal untuk menghajar pihak musuh. Begitu menerima perintah, Ji Kun
dan Yan Hwa lalu mengatur pasukan mereka masing-masing.
Mereka
berdua adalah orang-orang yang memiliki watak tinggi hati, maka mendengar bahwa
pihak musuh hanya terdiri dari sepuluh ribu orang, mereka pun tidak mau membawa
pasukan besar, masing-masing hanya memimpin lima ribu orang sehingga jumlahnya
sepuluh ribu. Di bawah pimpinan Sepasang Pedang Iblis, pasukan Mancu
bersemangat tinggi dan mereka berangkat dengan langkah tegap, sikap gagah dan
sambil bernyanyi-nyanyi.
Setelah tiba
di perbatasan, mereka disambut oleh barisan Yucen dan terjadilah perang yang amat
seru. Debu mengepul tinggi, suara beradunya senjata diseling teriakan-teriakan
mendatangkan suara hiruk-pikuk yang membubung tinggi ke angkasa. Kuda-kuda
meringkik, kilatan golok, pedang dan tombak menyilaukan mata dan banjir darah
mulai membasahi rumput dan tanah.
Ji Kun dan
Yan Hwa, seperti biasa, meloncat turun dari kuda mereka dan mengamuk. Pedang
mereka berubah menjadi dua sinar kilat yang menyambar-nyambar ganas, setiap
sambaran tentu disusul jerit seorang lawan yang roboh binasa. Mereka seperti berubah
menjadi sepasang iblis yang haus darah dan mereka mengamuk berdekatan agar
dapat melihat sendiri bahwa mereka masing-masing dapat membunuh lawan yang
lebih banyak. Sambil merobohkan lawan, kedua orang ini menghitung jumlah korban
mereka.
Kehebatan
dua orang murid Mutiara Hitam ini memperkobar semangat bertanding pasukan Mancu
sehingga pasukan Yucen terdesak hebat dan mulai mundur dengan penuh rasa
gentar, terutama sekali menyaksikan amukan dua orang Panglima Mancu yang sakti
itu.
Akan tetapi
tiba-tiba mereka bersorak dan semangat mereka bangkit. Di bagian depan, pasukan
Mancu mulai kocar-kacir dan terpukul mundur. Hal ini disebabkan oleh terjunnya
seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah ke medan perang. Pedang di tangan
kanannya berlomba dengan telapak tangan kirinya. Setiap sabetan atau tusukan
pedang sama mengerikannya dengan setiap dorongan atau tamparan tangan kirinya.
Kepala atau dada seorang prajurit Mancu akan hancur dan pecah terkena tamparan
tangan kiri orang ini. Dia berpakaian biasa, bukan seperti seorang panglima
atau prajurit, akan tetapi agak nya para anak buah pasukan Yucen mengenalnya
dengan baik karena mereka itu bersorak-sorak bersemangat ketika orang sakti ini
muncul.
Laki-laki
muda rupawan ini bukan lain adalah Kam Han Ki! Seperti telah kita ketahui,
kematian Sung Hong Kwi yang telah menjadi isteri Pangeran Dhanu dari Kerajaan
Yucen, membuat hati Kam Han Ki remuk redam dan timbullah dendamnya kepada
bangsa Mancu yang dianggap sebagai biang keladi atau penyebab kematian bekas
kekasihnya itu.
Dialah
orangnya yang telah mengamuk dan menghancurkan barisan Mancu, bahkan dialah
yang memenggal kepala Panglima Mancu dan melemparkan kepala panglima itu dengan
pesan agar dikirimkan kepada Raja Muda Mancu! Di dalam kemarahan dan dendamnya,
Han Ki menantang dan bersumpah akan membasmi semua orang Mancu.
Ketika Ji
Kun dan Yan Hwa menyaksikan betapa pasukan mereka di sebelah depan kocar-kacir
dan mundur, mereka menjadi marah sekali. Mereka sudah mendengar bahwa pihak
musuh terdapat seorang yang sakti, maka begitu melihat laki-laki berpedang itu
mengamuk seperti seekor naga menyambar-nyambar merobohkan banyak anak buah
mereka, kedua orang murid Mutiara Hitam ini menjadi marah. Seperti berlomba
mereka lalu melesat ke depan, merobohkan setiap orang prajurit musuh yang
menghadang dan hanya beberapa menit kemudian mereka telah tiba di tempat
laki-laki tampan itu mengamuk.
Tanpa
berkata apa-apa, Ji Kun dan Yan Hwa sudah menyerbu dengan pedang mereka,
menyerang Han Ki dengan jurus-jurus maut yang membuat pedang mereka berubah
menjadi sinar bergulung-gulung yang mengelilingi tubuh lawan. Melihat sinar
pedang yang mendatangkan angin berdesing ini, Han Ki terkejut. Tak disangkanya
bahwa pihak tentara Mancu memiliki orang-orang sepandai ini.
Dia pun
tidak berani memandang rendah, cepat tubuhnya melesat ke belakang sehingga
lolos dari sambaran dua batang pedang itu. Ia turun sambil memandang dan
hatinya kagum melihat bahwa penyerangnya adalah seorang gadis dan seorang
pemuda yang berpakaian Panglima Mancu, bersikap gagah perkasa dan ia segera
dapat menduga bahwa mereka itu tentulah dua orang tokoh kang-ouw, bukan
berbangsa Mancu.
Yang
menyeramkan hatinya adalah sepasang pedang yang berada di tangan kedua orang
panglima itu, pedang yang sama bentuknya, sama pula sinarnya yang menyeramkan,
hanya berbeda ukurannya. Han Ki dapat mengenal pedang yang ampuh, dan dapat
mengenal orang-orang pandai, maka ia bersikap hati-hati.
Ada pun Ji
Kun dan Yan Hwa setelah melihat pemuda tampan yang usianya sudah tiga puluh
lima tahun kurang lebih ini, yang mukanya berpeluh, pakaiannya sederhana dan
sinar matanya lembut, memandang rendah. Jelas bahwa laki-laki itu jeri terhadap
mereka, terhadap Sepasang Pedang Iblis sehingga dalam gebrakan pertama tadi
laki-laki itu mencelat ke belakang.
“Sumoi, mari
kita lihat siapa di antara kita yang dapat lebih dulu membikin mampus badut
ini!”
“Ah, sukar
menentukan kalau hanya membunuh. Mari kita lihat pedang siapa yang banyak
merobek tubuhnya!”
Han Ki
mengerutkan keningnya dan berkata, “Sungguh sayang! Masih muda belia, memiliki
kepandaian lumayan, namun berwatak tinggi hati. Sayang... sayang... agaknya
guru kalian tidak meningkatkan akhlak kalian.”
Yan Hwa
menjadi marah sekali. Ia menudingkan pedangnya ke arah muka Han Ki sambil
membentak, “Setan sombong! Kematian sudah di depan mata, engkau masih bersikap
seperti dewa? Berani betul engkau mencaci guru kami, keparat!”
“Sumoi, dia
mana tahu bahwa guru kita adalah Mutiara Hitam. Kalau dia tahu tentu takkan
berani membuka mulut besar!”
Benar saja,
Han Ki terkejut bukan main mendengar bahwa mereka ini adalah murid Mutiara
Hitam, karena Mutiara Hitam adalah piauwci-nya (kakak misan). Ia menjadi makin
marah dan kerut di keningnya mendalam.
“Bagus!
Kiranya kalian murid Mutiara Hitam? Sungguh memalukan nama guru kalau begitu,
merendahkan diri menjadi anjing-anjing penjilat bangsa Mancu!”
“Jahanam
bermulut kotor!” Yan Hwa kembali memaki, “Engkau sendiri anjing penjilat bangsa
Yucen...”
“Buka matamu
lebar-lebar!” Han Ki memotong. “Apakah pakaianku seperti prajurit? Tidak, aku
tidak membantu pasukan Yucen, akan tetapi aku memusuhi orang-orang Mancu. Tanpa
ada pasukan Yucen sekali pun aku akan mengamuk dan membunuhi orang-orang Mancu.
Sekarang tidak usah banyak cakap, biarlah aku mewakili guru kalian untuk
memberi hajaran kepada kalian bocah-bocah murtad!”
“Sombong!”
Ji Kun sudah menerjang lagi dibarengi oleh sumoi-nya.
Pedang
mereka berdesing dan mendatangkan angin, berkilauan dan bergulung-gulung sinarnya.
Namun dengan mudah Han Ki mengelak dari sambaran dua gulungan sinar itu dan
balas menyerang dengan pedangnya.
Para
prajurit kedua pihak yang bertempur di dekat tempat itu otomatis menghentikan
pertandingan mereka dan mundur di belakang ‘jago’ masing-masing karena mereka
tertarik sekali menonton pertandingan luar biasa yang menegangkan hati itu.
Mereka tidak melihat bayangan tiga orang yang sedang bertanding, yang tampak
hanyalah gulungan sinar pedang yang saling membelit, dan kadang-kadang tampak
bayangan tiga orang itu menjadi banyak sekali saking cepatnya gerakan mereka.
Tadi, ketika
kedua orang muda itu mengaku sebagai murid-murid Mutiara Hitam, Han Ki masih
belum mau percaya begitu saja. Akan tetapi setelah dia menghadapi mereka dalam
pertandingan selama lima puluh jurus, barulah ia merasa yakin bahwa memang
kedua orang ini adalah murid piauwci-nya. Yang membuat dia tidak percaya adalah
sikap mereka dan kenyataan bahwa mereka menjadi panglima-panglima Mancu. Kalau
benar murid piauwci-nya, tidak mungkin menjadi perwira Mancu.
Apa lagi
mereka memiliki sepasang pedang yang pantasnya hanya berada di tangan
tokoh-tokoh kaum sesat, sepasang pedang yang mengeluarkan hawa busuk dan jahat!
Melihat permainan ilmu pedang mereka yang masih jelas mengandung dasar Ilmu
Pedang Siang-bhok-kiam bercampur dengan gerakan lain, dengan tenaga sinkang
yang amat kuat. Dia tidak ragu-ragu lagi dan tentu saja dia tidak ingin
membunuh dua orang murid piauwci-nya ini.
“Kalian
murid-murid murtad!” Kam Han Ki berseru keras dan ketika ia menangkis pedang
Yan Hwa dan mengelak dari tusukan pedang Ji Kun, dia sengaja melangkah mundur,
menurunkan pedang dan ‘membuka’ pertahanan bagian atas. Kesempatan yang hanya
sedetik ini tentu saja dapat dilihat dan dimanfaatkan oleh kedua orang murid
Mutiara Hitam yang lihai. Seperti dikomando saja, pedang di tangan mereka
dengan gerak kilat membacok dari atas merupakan sambaran sinar kilat!
Tadi, setiap
kali ia menangkis, Han Ki merasa betapa pedangnya melekat di pedang lawan.
Namun berkat sinkang-nya yang kuat sekali, selain dia dapat melepaskan
pedangnya dari tempelan, juga kedua orang lawan yang kaget menyaksikan
kesaktian lawan dan kekuatan sinkang yang amat luar biasa, selalu menarik
kembali pedang dan tidak mau mengadu tenaga sinkang. Kini melihat pancingannya
berhasil, Han Ki cepat mengangkat pedang ke atas, menangkis sambil mengerahkan
tenaga sinkang.
“Trakkk!”
Dua batang Pedang Iblis itu menempel di pedang Han Ki dan biar pun dua orang
murid Mutiara Hitam sudah berusaha melepaskan, tetap saja mereka tak dapat
menarik kembali pedang mereka.
Namun Yan
Hwa dan Ji Kun tidak kehilangan akal. Ji Kun memukul dengan tangan kirinya ke
arah pusar Han Ki, sedangkan tangan kiri Yan Hwa sudah menyambitkan jarum-jarum
dari jarak yang amat dekat. Terpaksa Han Ki menarik pedang dan tubuhnya
mencelat dengan cepat ke belakang, tangan kirinya mendorong dan ujung lengan
bajunya sudah berhasil mengebut runtuh semua jarum halus yang berbahaya dari
Yan Hwa.
Akan tetapi,
pada saat itu Ji Kun sudah menerjang lagi dengan sebuah tusukan pedang yang
diikuti hantaman tangan kiri yang mengandung sinkang panas sekali. Han Ki
terkejut, apa lagi ketika Yan Hwa juga sudah menerjang dengan pedang diputar di
atas kepala, sedangkan tangan kirinya mendahului pedang dengan jari terbuka
mendorong ke arah dada Han Ki.
Han Ki
mengenal dasar serangan mereka berdua itu. Pukulan Ji Kun itu adalah jurus
mukjizat yang disebut Tok-hiat-coh-kut (Pukulan Meracuni Darah Melepaskan
Tulang), sedangkan pukulan Yan Hwa adalah Khong-in-loh-hwa (Awan Kosong
Menggugurkan Bunga). Pukulan-pukulan yang dahsyat dan keji, berbahaya bukan
main melebihi bahayanya tusukan-tusukan senjata tajam karena baru terkena angin
pukulannya saja lawan yang kurang kuat tentu akan roboh dengan tubuh dalam
keracunan!
Namun Han Ki
adalah murid Bu Kek Siansu yang di waktu itu telah memiliki tingkat kepandaian
amat tinggi, mungkin tidak kalah oleh kepandaian mendiang Mutiara Hitam
sendiri. Melihat datangnya pukulan-pukulan maut dibarengi serangan pedang iblis
itu, dia menggerakkan pedangnya menangkis berturut-turut dua batang pedang
sambil kembali menggunakan tenaga membiarkan kedua pedang iblis itu menempel di
pedangnya, sedangkan pukulan-pukulan ke arah lambung dan dada itu ia terima
dengan pengerahan tenaga sakti Im-kang yang amat kuat.
“Trak-trakk...
plak-plak!”
Kedua orang
murid Mutiara Hitam yang sudah merasa girang karena pukulan mereka tak dapat
dielakkan lawan, berbalik menjadi terkejut bukan main. Tidak hanya pedang
mereka yang kembali melekat di pedang lawan, juga tangan kiri mereka yang
memukul itu begitu mengenai tubuh lawan terus menempel dan hawa yang dingin
luar biasa menjalar melalui tangan mereka sehingga tubuh mereka menggigil
kedinginan. Secepat kilat tangan kiri Han Ki bergerak dua kali menyentuh pundak
kedua orang lawan itu. Ji Kun dan Yan Hwa menjerit, kedua lengan terasa lumpuh
dan terpaksa mereka melepaskan pedang lalu roboh berlutut!
Han Ki yang
berhasil merampas pedang mengambil kedua senjata itu dari pedangnya, mengamati
dan mengkirik. Benar-benar sepasang pedang yang mengandung hawa iblis.
“Hemmm,
sungguh sayang Enci Kam Kwi Lan mempunyai dua orang murid yang murtad dan
memiliki senjata-senjata yang begini keji!” Ia berkata.
Mendengar
itu, Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang, lalu Ji Kun memandang Han Ki, bertanya,
“Siapakah... siapakah engkau?”
“Orang-orang
murtad! Kalian telah melakukan tiga pelanggaran. Pertama, sebagai murid Kakak
Mutiara Hitam, kalian tidak mencontoh jejaknya, bahkan berwatak sombong dan
kejam menggunakan pedang-pedang iblis ini. Kedua, kalian malah merendahkan diri
menjadi penjilat bangsa Mancu, hal yang takkan dilakukan oleh guru kalian. Ke
tiga, kalian berhadapan dengan paman gurumu sendiri akan tetapi bersikap kurang
ajar. Aku adalah Kam Han Ki dan guru kalian Mutiara Hitam adalah kakak
misanku.”
Kedua orang
muda itu tentu saja sudah mendengar dari guru mereka tentang Kam Han Ki, bahkan
mereka mengerti bahwa mereka berhadapan dengan murid manusia dewa Bu Kek
Siansu, berhadapan dengan suheng dari Panglima Wanita Maya! Mereka kaget bukan
main dan teringat akan guru mereka, kedua orang itu lalu memberi hormat sambil
berlutut.
“Mohon
Susiok sudi memaafkan. Teecu berdua menggabungkan diri dengan bangsa Mancu agar
dapat menuntut balas kematian Subo di tangan orang-orang Mongol, juga menuntut
balas atas kematian Supek Kam Liong di tangan Kerajaan Sung, dan menuntut balas
atas kehancuran Khitan di tangan musuh-musuhnya, di antaranya bangsa Yucen!”
Kam Han Ki
menarik napas panjang. “Urusan pribadi jangan dibawa-bawa dalam perang.
Sudahlah, kalau aku tidak memaafkan kalian, apakah kalian kira masih dapat
hidup di saat ini? Kalian boleh pergi dan jangan merendahkan nama guru kalian
dengan menjadi panglima Mancu. Dan pedang-pedang ini... hemm, mendiang Enci Kam
Kwi Lan tentu akan merasa jijik dan malu melihat kalian menggunakan sepasang
pedang iblis ini.”
“Akan
tetapi, Susiok! Pedang-pedang itu adalah pemberian Subo!”
Mendengar
ucapan Yan Hwa ini Han Ki terkejut dan memandang sepasang pedang yang
mengeluarkan cahaya kilat menyilaukan mata itu. “Apa? Benarkah itu?”
“Sumoi tidak
membohong, Susiok. Pedang-pedang itu adalah buatan Nila Dewi dan Mahendra atas
perintah Subo, kemudian oleh Subo ditinggalkan kepada Suhu dan akhirnya
diberikan kepada teecu berdua.”
Han Ki
menghela napas dan menyerahkan kembali sepasang pedang itu. “Baiklah,
sebetulnya baik buruknya sifat pedang tergantung kepada tangan manusia yang
memegangnya. Tentu mendiang gurumu memberikan pedang-pedang ini dengan niat
baik. Mulai saat ini, pergunakanlah pedang-pedang itu untuk menjunjung tinggi
nama gurumu, karena kalau kalian menyeleweng, aku bersumpah untuk membersihkan
pedang-pedang pemberian guru kalian dengan darah kalian! Nah, pergilah!”
Ji Kun dan
Yan Hwa saling pandang, kemudian menyimpan pedang, menjura dan berlari pergi
meninggalkan medan perang. Setelah kedua orang itu pergi Han Ki mengamuk lagi.
Sakit hati karena kematian Sung Hong Kwi, ditambah kenyataan betapa dua orang
murid Mutiara Hitam sampai terbujuk menjadi panglima-panglima Mancu, membuat ia
membenci orang Mancu, dan kini kedatangan pasukan baru di pihak Mancu yang
berjumlah selaksa orang ia sambut dengan amukan yang dahsyat.
Pasukan-pasukan
Mancu yang dipimpin oleh kedua orang murid Mutiara Hitam adalah pasukan
istimewa yang terlatih, rata-rata prajuritnya memiliki kepandaian yang lumayan
dan semangat yang tinggi karena para perwiranya terdiri dari bekas Pasukan Maut
pimpinan Panglima Wanita Maya. Karena ini, pihak Mancu melakukan serbuan yang
ganas dan pasukan-pasukan Yucen terdesak hebat. Biar pun di situ terdapat Kam
Han Ki yang mengamuk seperti seekor naga sakti yang marah, namun pasukan Mancu
tetap bertempur dengan semangat tinggi, roboh seorang maju dua orang, roboh dua
orang maju empat orang sehingga mayat mereka bergelimpangan kena sambaran sinar
pedang di tangan kanan Han Ki dan pukulan maut dari tangan kirinya.
Perang yang
terjadi itu benar-benar mengerikan karena kedua pihak tidak ada yang mau kalah
dan mundur. Setengah hari lamanya Han Ki mengamuk terus, bergerak tanpa
berhenti dan biar pun dia merupakan seorang yang berilmu tinggi, sakti dan amat
kuatnya, namun tetap saja dia seorang manusia biasa dari darah dan daging.
Hujan senjata pedang, tombak, golok dan senjata-senjata rahasia pengeroyoknya
dan biar pun tubuhnya dapat menahan semua itu, namun pakaiannya pecah-pecah dan
robek-robek, kulitnya babak-belur dan seluruh tubuhnya basah oleh keringat.
Amat
menyeramkan keadaan pendekar muda ini yang seperti gila diamuk rasa sakit hati
yang timbul dari kedukaan hatinya melihat kekasihnya tewas. Segala kekecewaan
hatinya, segala kedukaannya ia tumpahkan di saat itu melalui pedang dan tangan
kirinya, merobohkan siapa saja yang menentangnya.
Pihak Mancu
menjadi gentar juga menghadapi amukan Han Ki. Para perwira pilihan tidak ada
yang kuat menghadapinya. Dalam beberapa gebrakan saja, kalau tidak tewas tentu
terluka berat sehingga akhirnya para perwira itu mengerahkan pasukan-pasukan
istimewa yang dilatih oleh Panglima Wanita Maya sendiri. Han Ki dipancing masuk
ke tempat yang sudah dipasangi lubang-lubang jebakan, dikurung oleh dua losin
prajurit yang sudah ahli mempergunakan jaring-jaring baja yang ada kaitannya.
Han Ki tidak
tahu akan jebakan ini, maka ketika ia memasuki tempat itu dan dikurung oleh
lawan yang menggerakkan jaring-jaring baja secara teratur, ia menjadi marah. Pedangnya
diputar dan ia membabat setiap jaring yang menyambar tubuhnya, akan tetapi
tiba-tiba kakinya terjebak. Barulah ia tahu bahwa dia sengaja hendak dijebak.
Pada saat kaki kirinya terjeblos ke dalam lubang yang ditutupi ranting dan
tanah, tiga helai jaring baja menyambar dari tiga jurusan.
“Cring-tranggg...
brettt!” Tak mungkin bagi Han Ki untuk dapat menghalau tiga helai jaring baja
itu sekaligus.
Pedangnya
merobek dua helai jaring, dan mematahkan banyak kaitan baja, akan tetapi
sehelai jaring telah menyelimuti tubuhnya, kaitan-kaitan baja merobek pakaian
dan melecetkan kulit tubuhnya. Dengan marah ia meraih dengan tangan kiri,
merenggut lepas tiga buah kaitan baja dan ketika tangan kirinya bergerak,
terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang penyerangnya roboh dengan dahi
pecah dihantam kaitan-kaitan baja itu! Han Ki menggunakan pedangnya membabati
jaring yang menyelimutinya.
Akan tetapi
baru saja ia berhasil membebaskan diri, datanglah serangan anak panah dari
empat penjuru, anak panah yang mengandung racun dan ada juga anak panah yang
mengandung api! Bukan main berbahayanya penyerangan ini. Terpaksa Han Ki yang
sudah lelah sekali itu memutar pedangnya melindungi tubuh.
Ia maklum
bahwa kalau dia hanya melindungi tubuh saja, tentu penyerangan itu takkan
berhenti dan akhirnya ia akan celaka. Maka ia melirik ke sekelilingnya dan
melihat di mana adanya musuh-musuh yang menghujankan anak panah. Tiba-tiba
tubuhnya melesat ke kiri, luar biasa cepatnya mendahului gerakan anak panah
berikutnya. Pedangnya berkelebat dan robohlah lima orang pemanah yang
bersembunyi di sebelah kirinya.
Han Ki
mengamuk terus. Kini tidak ada lagi lawan yang berani mendekat, apa lagi karena
pihak Mancu harus menjaga desakan pasukan Yucen yang berbesar hati menyaksikan
sepak terjang Han Ki yang biar pun tidak secara terang-terangan membantu
mereka, namun amukan pemuda sakti itu terhadap pihak Mancu benar-benar
menguntungkan mereka.
Perang di
antara kedua pasukan itu masih berlangsung, akan tetapi Han Ki sudah kehabisan
tenaga. Dia sudah tidak mengamuk lagi. Jangankan mengamuk, berjalan dan bahkan
berdiri pun dia sudah tidak kuat. Dia harus mengaso, tubuhnya lelah sekali.
Marahnya berkurang dan ia menjatuhkan diri berlutut, tangan kanan memegang
gagang pedang yang ditancapkan di atas tanah, mukanya menunduk, matanya
terpejam. Rambutnya awut-awutan, seperti juga pakaiannya. Tangan, muka dan
tubuhnya berlepotan darah kental menghitam, darah lawan dan darahnya sendiri.
Namun, tidak
ada yang berani mendekatinya biar pun pemuda itu sudah berada dalam keadaan
seperti itu. Ada dua orang perwira yang hendak menggunakan keuntungan dan
kesempatan selagi pemuda itu kelihatan habis tenaga untuk membunuhnya. Akan
tetapi, ketika dua orang perwira Mancu ini menerjang dari depan belakang dengan
golok terangkat, tiba-tiba pedang di tangan Han Ki mengeluarkan sinar kilat dua
kali, ke depan dan belakang dan... dua orang perwira itu roboh dengan perut
terobek pedang. Setelah terjadi hal yang mengerikan ini, tidak ada lagi yang
berani mengganggu Han Ki yang sudah kehabisan tenaga.
Han Ki
benar-benar lelah. Dia mendengar teriakan-teriakan hiruk-pikuk dan gerakan kaki
pasukan Yucen yang kacau-balau dan bubar, tanda bahwa pasukan Yucen terdesak
lawan dan mulai mundur. Akan tetapi Han Ki tidak mempedulikan semua itu. Dia
tidak peduli apakah pasukan Yucen menang atau kalah karena yang penting baginya
hanyalah membalas kematian Sung Hong Kwi kepada orang-orang Mancu sampai
tenaganya habis!
Kini mulailah
ia sadar kembali. Setelah tubuhnya kehabisan tenaga, rasanya tidak berdaya,
pikiran dan hatinya menguasai diri, kesadarannya pulih dan ia merasa terkejut
dan menyesal. Apakah yang telah dilakukannya? Mengapa ia membunuhi demikian
banyaknya manusia? Dan dia bukan seorang prajurit Yucen! Dia membunuhi
manusia-manusia Mancu seperti iblis, hanya terdorong oleh kedukaan hati
kehilangan Sung Hong Kwi! Han Ki membuka matanya dan ngeri ia menyaksikan bekas
tangannya sendiri, melihat mayat orang Mancu bertumpuk di sekelilingnya.
“Ya
Tuhan..., apakah yang telah kulakukan tadi...?” Terbayang olehnya betapa dengan
nafsu seperti seekor binatang buas yang kelaparan ia mengamuk selama satu hari,
membunuh entah berapa ratus atau berapa ribu orang!
Teringat
akan semua perbuatannya sehari tadi, tak terasa lagi dua titik air mata
membasahi pipi Han Ki, apa lagi karena ia teringat pula akan kematian
kekasihnya, Sung Hong Kwi. Dia mengguncang-guncang kepala seolah-olah hendak
mengusir kepeningan, merasa seperti dalam sebuah mimpi yang amat buruk dan
mengerikan. Mengapa ia telah lupa akan segala nasehat gurunya sehingga dia
sampai melakukan pembunuhan besar-besaran ini?
Tiba-tiba ia
mendengar derap banyak kaki kuda dan melihat pasukan Yucen lari kocar-kacir
sehingga keadaan di sekelilingnya sejenak sunyi. Tak lama kemudian tampaklah
pasukan Mancu yang baru tiba, masih segar dan menunggang kuda, agaknya pasukan
baru yang membuat pasukan Yucen kocar-kacir tadi. Namun Han Ki tidak peduli dan
dia masih tetap berlutut memulihkan tenaga. Dia tidak akan bergerak kalau tidak
diserang orang. Apa lagi dalam keadaan seperti itu, selagi hatinya penuh
penyesalan, andai kata diserang orang sekali pun belum tentu dia mau membela
diri.
“Suheng...!”
Pasukan
berkuda itu berhenti dan sesosok bayangan melesat ke dekat Han Ki, lalu
berlutut di depan Han Ki.
"Suheng...!"
Han Ki
membuka mata memandang. Hampir dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri.
Seorang wanita cantik dan gagah perkasa, berpakaian sebagai seorang Panglima
Besar Mancu.
"Maya-sumoi...!"
Han Ki tergagap saking bingungnya melihat sumoinya telah menjadi Panglima Besar
Mancu. "Kau... kau seorang Panglima Mancu?"
"Aihh,
Suheng. Kiranya engkau orangnya yang mengamuk dan membinasakan pasukan Mancu.
Ah, Suheng, mana mungkin ini? Engkau membantu bangsa Yucen? Bangsa yang telah
mengakibatkan kehancuran Khitan? Suheng..."
"Diam!"
Han Ki membentak marah lalu bangkit berdiri. "Maya, tidak kusangka bahwa
engkau begitu merendahkan diri menjadi kaki tangan Mancu. Lihat, aku masih
orang biasa, aku bukan prajurit Yucen. Kalau aku memusuhi orang Mancu, hal itu
adalah karena urusan pribadi... aku... aku pun sudah menyesal sekarang. Akan
tetapi engkau... ahh, engkau mabok akan kedudukan dan kemuliaan, ya? Nah,
sekarang engkau menjadi Panglima Besar Mancu, aku sudah banyak membunuh
orang-orangmu, engkau mau apa? Mau menangkapku? Membunuhku?"
"Suheng...!"...
MAYA bangkit
pula berdiri dan mukanya pucat sekali. "Suheng, mengapa engkau berkata
seperti itu kepadaku? Suheng, begitu bencikah engkau kepadaku? Aku... aku bukan
gila kedudukan. Aku... aku bergabung dengan Kerajaan Mancu untuk membangun
kembali Khitan yang telah hancur, untuk dapat membalas sakit hati orang tua
terhadap Yucen, Mongol dan Sung. Kalau hanya seorang diri, mana mungkin aku
dapat membalas, Suheng? Ayah bundaku dan kerajaan mereka hancur oleh Yucen dan
Sung, sedangkan Bibi Mutiara Hitam tewas di tangan orang Mongol. Suheng,
marilah engkau pergi bersamaku menghadap Raja Mancu. Perbuatanmu hari ini tentu
akan dimaafkan, mari kita berjuang bahu-membahu untuk membalas dendam keluarga,
menegakkan cita-cita, Suheng..."
Han Ki
melangkah mundur, matanya terbelalak. "Tidak! Aku tidak mau terlibat dalam
perang antar bangsa yang kotor ini. Aku meninggalkan Istana Pulau Es untuk
mencari engkau dan Khu-sumoi. Sekarang aku telah dapat berjumpa denganmu,
Sumoi. Kau tinggalkan semua ini, mari kita mencari Khu-sumoi dan kita bertiga
kembali ke Pulau Es."
Maya
mengerutkan keningnya, menjawab perlahan, “Engkau tahu tiada keinginan lebih
besar di hatiku kecuali hidup di dekatmu di Pulau Es, Suheng. Akan tetapi, lupakah
engkau akan peristiwa tidak enak yang terjadi di antara kita bertiga? Aku tidak
tahu apakah Sumoi sudah tidak marah lagi kepadaku. Marilah engkau ikut
bersamaku, Suheng. Luka-lukamu harus dirawat dan biarlah aku nanti menyuruh
pasukan mencari berita ke mana perginya Sumoi. Setelah kita bertiga berkumpul,
baru kita bicarakan urusan masa depan kita!”
“Tidak, aku
tidak sudi menerima kebaikan orang Mancu setelah aku membunuhi banyak anak
buahnya. Setidaknya aku sekarang sudah tahu di mana engkau berada. Aku tidak
akan menghalangi jalan hidupmu, Sumoi. Biarlah aku pergi sendiri mencari
Khu-sumoi...,” dengan hati penuh duka karena kecewa menyaksikan sumoi-nya itu
ternyata telah menjadi seorang Panglima Besar Mancu, Han Ki membalikkan tubuh
hendak pergi.
“Tunggu,
Suheng...!” Maya berkelebat dan sudah meloncat menghadang ke depan suheng-nya,
memandang dengan sepasang mata merah dan basah.
Biar pun
tubuhnya sudah lelah sekali, melihat Maya mengejarnya, Han Ki memandang dengan
wajah berseri. “Bagus, Sumoi. Lekas kau buang pakaian panglima itu dan marilah
kau ikut bersamaku mencari Khu-sumoi.”
“Suheng,
tidak ada kebahagiaan bagiku melebihi kalau aku hidup di sampingmu selamanya,
Suheng. Aku suka ikut bersamamu, akan tetapi marilah kita berdua pergi ke Pulau
Es dan hidup selamanya di sana. Jangan mencari Sumoi karena... hal itu... hal
itu hanya akan menimbulkan pertentangan dan...”
“Maya-sumoi!
Apa maksudmu ini?” Han Ki membentak.
“Suheng,
tidak tahukah engkau...? Aku... aku... dan Sumoi... kami... ah, tak mungkin
kami berdua hidup di sampingmu bersama-sama...”
“Omong
kosong! Kau seperti anak kecil saja, Sumoi! Sudahlah, nanti kita bicara lagi
kalau sudah pergi dari sini. Mari ikut bersamaku.”
“Tidak,
Suheng. Kalau Suheng tidak mau berjanji pergi berdua saja dengan aku ke Pulau
Es aku tidak bisa ikut. Suheng harus dapat memilih seorang di antara kami.”
“Maya...!”
Maya terisak
menangis. “Selamat berpisah, Suheng...” Ia membalikkan tubuhnya, kemudian
melampiaskan kemarahan, kedukaan dan kekecewaannya dengan memimpin pasukannya
menyerang pasukan Yucen yang menjadi kocar-kacir dan melarikan diri.
Han Ki pergi
meninggalkan tempat itu dengan hati gelisah. Diam-diam ia merasa menyesal
sekali bahwa di dalam hatinya, Maya masih membenci Siauw Bwee dan dia bingung
sekali karena dia pun maklum apa yang menyebabkan Maya bersikap seperti itu.
Maya jatuh cinta kepadanya dan merasa cemburu kepada Siauw Bwee!
Pandang
matanya berkunang dan kepalanya menjadi pening ketika ia melihat gerakan
pasukan yang hilir-mudik. Ia terhuyung-huyung menjauhkan diri dan di dalam
hatinya mengeluh, “Maya... kenapa engkau bersikap seperti ini? Mengapa engkau
memaksa aku menjadi makin menderita setelah aku kehilangan Hong Kwi? Engkau dan
Siauw Bwee adalah sumoi-ku juga murid-muridku, bagaimana aku dapat jatuh cinta
kepada kalian yang kukenal sejak kecil? Maya... apa yang harus kulakukan kini?
Siauw Bwee, aku harus mencarimu dan mudah-mudahan kau akan dapat membujuk Maya
agar dia suka kembali ke Pulau Es...”
Setelah
gagal mengajak Maya kembali ke Pulau Es, dengan hati berduka akhirnya Han Ki
dapat keluar dari daerah perang itu dan mulai dengan usahanya untuk mencari
sumoi-nya yang kedua, yaitu Khu Siauw Bwee. Ia bahkan mengalami pukulan batin
ketika melihat kenyataan bahwa Maya telah menjadi seorang Panglima Besar Mancu
dan dara itu bertekad hanya mau pergi bersamanya kalau tidak mengajak Siauw
Bwee.
Dengan
mengerahkan seluruh sisa tenaganya, Han Ki dapat mencapai lereng gunung dan
dari tempat ini dia hanya melihat gerakan pasukan seperti serombongan semut. Ia
lelah lahir batin ketika duduk di bawah pohon. Pertandingan hebat di mana ia
telah membunuh banyak sekali orang Mancu itu telah menghabiskan tenaganya. Kini,
setelah sadar akan segala perbuatannya, ditambah dengan pertemuannya dengan
Maya, ia merasa batinnya tertekan hebat dan penuh dengan penyesalan.
Seluruh
tubuhnya lemas, akan tetapi tidak selemas batinnya. Kulit tubuhnya menderita
banyak luka, akan tetapi tidak sehebat luka di hatinya. Baru terbuka matanya,
mata batinnya betapa ia telah melakukan perbuatan yang amat jahat membunuhi
orang-orang Mancu tanpa alasan, hanya terdorong oleh rasa sakit hatinya oleh
kematian Sung Hong Kwi. Ia menyesal bukan main dan merasa malu sendiri mengapa
dia sampai dapat menjadi begitu lemah.
Teringat ia
akan suhu-nya, Bu Kek Siansu dan ia menjadi makin menyesal! Gurunya adalah
seorang manusia dewa yang telah menurunkan banyak ilmu kepadanya. Ilmu-ilmu
yang amat luar biasa dan yang amat tinggi pula. Sekarang terbuktilah kata
gurunya dahulu bahwa yang menentukan nilai seseorang bukanlah ilmunya, bukanlah
kepandaiannya, melainkan kekuatan batinnya. Dan dia harus mengakui bahwa
batinnya masih lemah, masih mudah dikuasai oleh nafsu dendam. Ia merasa
menyesal sekali.
Ia harus
dapat membujuk Maya agar melepaskan diri dari ikatan perang. Hal ini sudah
merupakan kewajibannya. Namun, ia mengenal pula kekerasan hati sumoi-nya itu
sehingga dalam keadaan seperti sekarang ini, dipaksa pun akan percuma.
“Aku harus
dapat menemukan Khu-sumoi. Hanya dialah yang kiranya akan dapat membantuku
membujuk Maya. Khu-sumoi, di manakah engkau...?” Han Ki mengeluh.
Dalam
keadaan berduka itu teringatlah Han Ki akan semua pengalamannya sejak kecil.
Dan teringat
ia akan kedua orang enci-nya. Ia pernah mendengar dari Menteri Kam Liong bahwa
kedua orang kakak perempuannya, yaitu Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, berada
di Ta-liang-san belajar ilmu dari paman kakek mereka, Kauw Bian Cinjin. Dalam
keadaan tertekan hatinya itu timbul perasaan rindu di hatinya kepada kedua
orang enci-nya itu.
Akhirnya,
setelah bersemedhi di lereng gunung itu selama semalam untuk memulihkan
tenaganya, pada keesokan harinya Han Ki meninggalkan tempat itu dan pergi
menuju ke selatan, ke Pegunungan Ta-liang-san karena dia tahu bahwa kedua orang
suci-nya itu dahulu tinggal di Puncak Ta-liang-san, digembleng oleh paman
kakeknya, Kauw Bian Cinjin.....
******************
Di lereng
Gunung Heng-toan-san sebelah timur, di lembah Sungai Cin-sha, terdapat sebuah
kelompok bangunan yang dilingkari tembok tinggi dan tebal, merupakan sebuah
benteng yang kokoh kuat, megah dan juga menyeramkan karena siang malam selalu
terjaga orang-orang yang kelihatan gagah sehingga tidak ada penduduk sekitar
Pegunungan Heng-toan-san yang berani datang mendekat. Para penduduk di kaki
pegunungan ini sering kali melihat orang-orang yang kelihatannya gagah
menggiring kereta yang berisi peti-peti barang atau menggiring serombongan kuda
yang juga penuh muatan bahkan ada kalanya menggiring wanita-wanita cantik yang
menangis di sepanjang jalan.
Biar pun
semua barang dan tawanan itu digiring memasuki benteng dan semua penduduk dapat
menduga bahwa perampokan-perampokan yang terjadi di sekitar pegunungan ini
tentu ada hubungannya dengan benteng besar itu, namun tak seorang pun berani
mencampuri. Mereka hanya tahu bahwa benteng itu merupakan sarang dari
perkumpulan Beng-kauw yang kini menjadi nama yang amat ditakuti, tidak seperti
beberapa tahun yang lalu di mana Beng-kauw terkenal sebagai perkumpulan yang
amat kuat berpengaruh, menjadi tulang punggung Kerajaan Nan-cao dan juga
menjadi penjamin ketenteraman karena tidak ada penjahat yang berani sembarangan
bergerak di bawah kekuasaan Beng-kauw.
Memang
Beng-kauw kini telah berubah sama sekali semenjak dikuasai oleh Hoat Bhok Lama.
Pendeta Lama dari Tibet yang berjubah merah ini adalah keturunan dari datuk
kaum sesat Thai-lek Kauw-ong, maka biar pun dia berpakaian pendeta, namun
pakaian ini hanya menjadi kedok belaka untuk menutupi keadaan yang sebenarnya
karena Hoat Bhok Lama adalah seorang yang menjadi hamba dari nafsu-nafsunya,
yang mengumbar nafsu tanpa pengekangan sedikit pun juga. Hidupnya telah
dipersembahkan untuk menuruti segala kesenangan dunia yang dapat ia capai
dengan mengandalkan kepandaiannya yang tinggi.
Dia gila
kedudukan, gila kemewahan, gila perempuan. Karena hendak menuruti dorongan
nafsu-nafsunya ini, dirampasnya Beng-kauw agar dia memperoleh kedudukan ketua
yang tinggi, memiliki ratusan orang anak buah yang taat, dihormati dan ditakuti
banyak orang. Kemudian untuk memuaskan nafsunya akan kemewahan, dia menggunakan
kepandaian dan kekuasaannya untuk menundukkan semua kaum sesat di daerah itu
sehingga setiap pencurian, setiap perampokan yang berhasil, harus lebih dulu
dibawa ke bentengnya. Setelah dia memilih hasil-hasil rampokan itu, baru
sisanya dikembalikan kepada mereka yang melakukannya! Bukan hanya benda-benda
berharga dan indah, juga termasuk penculikan-penculikan wanita cantik!
Karena
inilah maka keadaan di dalam benteng itu benar-benar mengagumkan orang. Semua
perabot serba mewah dan mahal, gudangnya penuh dengan emas dan perak, sedangkan
di dalam kamar-kamar yang berderet-deret di belakang kamar ketua ini terdapat
simpanan wanita cantik yang merupakan haremnya, tidak kurang dari dua puluh
orang banyaknya, dan masih terus minta ditambah!
Wanita-wanita
ini dalam beberapa tahun saja sudah diganti-ganti dengan orang baru, karena
watak Hoat Bhok Lama yang pembosan tidak memungkinkan seorang wanita tinggal
lebih dari sebulan di situ. Setelah bosan, ia hadiahkan kepada
pembantu-pembantu yang berjasa, kemudian dia menghendaki pengganti untuk
memperlengkapi haremnya.
Pihak
pimpinan Beng-kauw yang asli sudah sejak dahulu berusaha membasmi Hoat Bhok
Lama dan kaki tangannya, namun tiada seorang pun dapat menandingi kelihaian
pendeta Lama ini. Bahkan mendengar akan kejahatan Beng-kauw baru ini, banyak
orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang datang untuk menentang. Namun mereka
semua menjadi korban dalam perjuangan mereka menentang kejahatan ini.
Selain Hoat
Bhok Lama amat sakti dan pembantu-pembantunya yang dia latih juga memiliki
kepandaian tinggi, juga di sekitar sarang mereka telah dipasangi tempat-tempat
yang berbahaya, jebakan-jebakan dan alat-alat rahasia yang mampu menghancurkan
setiap penyerbu sebelum mereka dapat memasuki benteng.
Pada suatu
hari, pagi-pagi sekali kembali tampak sebuah kereta diiringkan oleh anak buah
Beng-kauw yang menyeleweng memasuki pintu gerbang benteng itu. Di dalam kereta
terdapat tiga orang wanita muda yang menangis terisak-isak. Mereka adalah
anggota rombongan pedagang yang baru saja dirampok. Semua harta dirampas, kaum
pria yang berada di kereta dibunuh termasuk para pengawal, sedangkan tiga orang
wanita muda yang cantik itu ditawan.
Mereka
adalah tiga orang enci adik, yang dua orang telah menikah dan baru saja suami
mereka tewas dalam pertempuran melawan perampok, ada pun yang termuda masih
gadis berusia enam belas tahun. Biar pun kedua orang enci-nya telah menikah,
namun karena usia mereka baru dua puluh tahun lebih dan cantik-cantik pula,
maka mereka tidak dibunuh dan dijadikan tawanan.
Hoat Bhok
Lama tercengang penuh kegirangan hati ketika melihat tiga orang wanita ini.
Baru saja dua hari yang lalu ia menghadiahkan lima orang wanita haremnya dan ia
haus akan wanita-wanita baru, maka kedatangan tiga orang wanita ini membuat
pendeta Lama itu gembira sekali. Ia minum-minum sampai mabok kemudian sekaligus
menyeret tiga orang tawanan itu yang meronta-ronta dan menangis, memasuki
kamarnya.
Terdengarlah
jerit tangis tiga orang wanita itu yang terdengar sampai keluar kamar dan
ditertawai anak buah Beng-kauw. Sudah terlalu sering terdengar rintih tangis
dari dalam kamar yang merupakan kamar jagal di mana wanita-wanita muda seperti
domba-domba yang disembelih tanpa ada yang membela mereka. Di antara rintih
tangis ini terdengar suara ketawa Hoat Bhok Lama yang menyeramkan.
“Tok-tok-tok!
Suhu...!” terdengar ketukan di pintu kamar itu.
“Setan!
Siapa yang sudah bosan hidup berani menggangguku?” Hoat Bhok Lama membentak
marah dari dalam kamar.
“Teecu
hendak melapor, ada musuh datang!” Wanita muda yang kini berlutut di luar pintu
kamar berkata.
“Heh,
keparat!” Hoat Bhok Lama meloncat, menyambar pakaian dan membuka daun pintu.
Tangannya terkepal, siap memukul wanita muda yang menjadi muridnya, juga
merangkap selirnya tentu saja karena muridnya ini cantik.
“Maaf, Suhu.
Kalau tidak penting, teecu mana berani mengganggu kesenangan Suhu? Penjaga
melapor bahwa dua orang kakak beradik she Kam itu naik lagi ke bukit. Apa yang
harus kami lakukan?”
“Apa? Dua
orang keturunan Beng-kauw itu? Bagus, sekali ini dua keturunan terakhir itu
harus dibasmi agar tidak selalu menimbulkan kekacauan. Eh, kau jaga mereka
bertiga itu, suruh mereka makan dan membersihkan diri dan jangan sampai mereka
membunuh diri, aku masih belum selesai dengan mereka!” Setelah selesai berkata
demikian, tergesa-gesa Hoat Bhok Lama meninggalkan kamar tanpa menengok lagi.
Si Murid memasuki kamar dan melihat betapa tiga orang wanita muda itu saling
peluk di atas ranjang sambil menangis mengguguk.
Hoat Bhok
Lama berlari menaiki anak tangga menuju ke atas tembok di mana terdapat gardu
penjaga. Para pembantunya sudah menanti dan memberi hormat.
“Di mana
mereka? Dan berapa orang yang datang?”
“Hanya
mereka berdua, Kauwcu (Ketua Agama),” jawab seorang pembantunya. “Enci adik Kam
Siang Kui dan Kam Siang Hui yang dulu juga.”
“Hemm,
mereka benar-benar sudah bosan hidup. Kalau saja masih muda, hemm, ada gunanya,
akan tetapi biar pun cantik, mereka sudah terlalu tua. Kita bunuh saja mereka.”
“Wah,
sayang, Kauwcu. Mereka cantik-cantik sekali dan sebagai keturunan Beng-kauw
yang masih ada hubungan darah dengan Suling Emas, tentu mereka hebat. Aihh,
bagaimana kalau mereka itu diberikan kepada kami saja?”
“Boleh, akan
tetapi selanjutnya harus dibunuh. Sebelum dibunuh, boleh kalian permainkan
mereka sepuasnya. Kalau tidak dibunuh, mereka tentu akan selalu membikin kacau.
Di mana mereka?”
“Mereka
mendaki dari lereng sebelah utara.”
“Sekali ini
aku tidak ingin mengorbankan anak buah. Mereka cukup lihai dan sekarang aku
sendiri akan keluar menangkap mereka.” Tanpa menanti jawaban karena maklum
bahwa ucapannya merupakan perintah yang tidak boleh dibantah, kakek berjubah
merah ini lalu melompat turun seperti seekor burung berbulu merah yang besar
dan dengan kaki ringan sekali dia turun ke atas tanah di luar tembok.
Kam Siang
Kui dan Kam Siang Hui mendaki lereng Pegunungan Heng-tuan dari utara dan tidak
tahu bahwa pihak musuh telah tahu akan kedatangan mereka. Andai kata mereka
tahu pun mereka tidak peduli dan tidak takut karena mereka telah bertekad bulat
untuk mengadu nyawa dengan pimpinan Beng-kauw yang menyeleweng itu. Mereka
telah gagal mohon bantuan Siauw-lim-pai dan sebelum mengambil keputusan
terakhir mengadu nyawa di Heng-tuan-san, mereka telah mencari bantuan namun
hasilnya kosong.
Para
orang-orang gagah sudah mendengar akan kesaktian Hoat Bhok Lama, mereka menjadi
gentar dan tidak berani membantu. Partai-partai besar yang mengkhawatirkan
kedudukan mereka segan untuk memusuhi Beng-kauw yang amat kuat itu. Dengan
kecewa dan penasaran akhirnya kedua orang enci adik itu mengambil keputusan
terakhir, yaitu maju sendiri tanpa bantuan, mengadu nyawa dengan Ketua
Beng-kauw yang sakti untuk membalas dendam kematian suami dan saudara-saudara
mereka, dan untuk merampas kembali Beng-kauw.
Mereka telah
mempersiapkan diri dengan tekad bulat mempertaruhkan nyawa dan mempersenjatai
diri dengan lengkap. Sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang cambuk di
tangan kiri. Pecut di tangan mereka yang berwarna hitam itu bukanlah senjata
sembarangan, tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan mereka.
Pecut itu
dahulunya adalah senjata dari paman kakek, juga guru mereka, Kauw Bian Cinjin.
Pecut itu terbuat dari pintalan rambut monyet hitam raksasa yang hanya terdapat
di Pegunungan Himalaya dan senjata ini mengeluarkan pengaruh mukjizat dan hawa
panas. Pecut ini dahulu hanya sebuah, kemudian oleh Kauw Bian Cinjin dijadikan
dua dan menjadi dua buah pecut kecil sebagai senjata kedua orang cucu
keponakan, juga muridnya.
“Moi-moi,
hati-hati, kita sudah mendekati benteng. Kita belum pernah menyerbu dari utara
akan tetapi aku menduga bahwa di bagian ini pun tentu banyak terdapat
jebakan-jebakan dan alat rahasia. Siapkan senjatamu dan jangan sembrono
melangkahkan kaki.”
“Baik,
Cici,” jawab Siang Hui dan dia berjalan di belakang cicinya karena Siang Kui
lebih berpengalaman di samping lebih tinggi tingkat ilmunya.
Mereka
berhenti di tepi padang rumput yang membentang luas di antara mereka dan tembok
benteng. Di kanan kiri mereka terdapat gunung-gunung batu karang.
“Hemm,
begini sunyinya dan tenang. Amat mencurigakan!” kata Siang Hui.
“Benar, kita
harus menyelidiki dulu, baru boleh melintasi padang rumput ini. Siapa tahu di
bawahnya tersembunyi jebakan.” Berkata demikian, Siang Kui mengambil sepotong
batu untuk dilemparkan ke arah rumput yang hijau segar di sebelah depan.
“Trakk!”
Batu itu hancur berkeping-keping disambar sinar merah dari samping dan
kepingannya jatuh ke atas rumput tanpa menimbulkan reaksi apa-apa.
Dua orang
wanita perkasa itu cepat menengok ke kiri dan mereka memandang dengan muka
merah dan mata terbelalak penuh kemarahan kepada seorang kakek yang sudah
berdiri di situ sambil tertawa bergelak. Hoat Bhok Lama, musuh besar yang
mereka cari-cari, pembunuh Kauw Bian Cinjin, suami mereka dan para tokoh
Beng-kauw yang lain! Inilah orang yang telah merampas nama Beng-kauw,
menghancurkan Beng-kauw asli yang didirikan oleh kakek mereka, Pat-jiu Sin-ong
Liu Gan dan kini mengangkat diri menjadi Ketua Beng-kauw, membawa anak buah
Beng-kauw menyeleweng ke arah jalan sesat!
“Ha-ha-ha,
kalian berdua perempuan keras kepala, sudah berkali-kali kami beri ampun
mengingat bahwa keturunan pendiri Beng-kauw hanya tinggal kalian berdua,
mengapa masih belum bertobat dan datang mengantar nyawa? Bukankah lebih baik
kalian yang menjadi janda, masih cantik, mencari suami-suami baru sebelum
terlambat sehingga memiliki keturunan untuk menyambung keluarga?”
“Hoat Bhok
Lama, engkau penjahat besar yang berkedok pendeta, manusia terkutuk yang
berselimut jubah merah Lama, keparat busuk yang bersembunyi di balik nama
pendeta! Hari ini kami akan mengadu nyawa denganmu untuk membersihkan nama
Beng-kauw dan membalas kematian tokoh-tokoh Beng-kauw!” Setelah mencaci marah,
tubuh Kam Siang Kui bergerak cepat berubah menjadi bayangan hijau, pedangnya
menusuk ke arah perut lawan.
“Crengggg...!”
Siang Kui terhuyung ke belakang, tangan yang memegang pedang tergetar hebat.
Hoat Bhok
Lama tertawa bergelak, sepasang gembreng yang tahu-tahu telah berada di kedua
tangannya dan tadi dipergunakan menangkis pedang itu berkilauan menyilaukan
mata dan bunyi gembreng membuat telinga kedua orang wanita kakak beradik itu
seperti tuli. Akan tetapi Siang Hui telah menggerakkan pecut hitam di
tangannya.
“Tar-tar...!”
Ujung cambuk hitam ini menyambar ke arah kepala Hoat Bhok Lama yang menjadi
kaget juga karena ia mengenal cambuk bulu kera yang ampuh ini. Cepat ia
melempar tubuh ke belakang, kemudian berjungkir-balik dan tubuhnya meluncur ke
depan, gembreng di tangan kiri menghantam ke arah kepala Siang Hui.
“Cringgg...!”
Seperti juga enci-nya, ketika pedangnya menangkis gembreng kuning itu, tubuhnya
terhuyung dan tangan kanannya tergetar.
“Ha-ha-ha!
Aku akan menangkap kalian hidup-hidup! Ha-ha!” Hoat Bhok Lama kini menerjang
maju, sepasang gembrengnya berubah menjadi gulungan sinar kuning yang lebar,
menyambar-nyambar seperti dua bola api.
“Sing-sing-sing,
crenggg...!” Sepasang gembreng itu menyambar-nyambar dengan suara berdesing dan
kadang-kadang diseling bunyi berdencreng kalau sepasang senjata aneh itu saling
bertemu sendiri atau beradu dengan pedang lawan. Hebat bukan main sepasang
senjata ini.
Dahulu,
seorang di antara datuk kaum sesat yang bernama Thai-lek Kauw-ong merupakan
orang yang amat sakti sehingga hanya pendekar-pendekar sakti seperti Suling
Emas saja yang sanggup menandinginya, di samping tokoh-tokoh atau datuk-datuk
kaum sesat lain seperti mendiang Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, Siauw-bin
Lo-mo dan Kam Sian Eng, bibi kedua orang wanita ini yang telah mewarisi
ilmu-ilmu aneh dari Liu Lu Sian, puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri
Beng-kauw. Dan Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung yang mewarisi ilmu
kepandaian Thai-lek Kauw-ong.
Di samping
senjata sepasang gembreng yang amat ampuh, bukan saja dapat dimainkan dengan
dahsyat akan tetapi dapat pula mengeluarkan getaran suara yang menulikan
telinga dan menggetarkan jantung, namun di samping ini dia memiliki Ilmu Silat
Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Puyuh) dan pukulan Thai-lek-kang yang
mengandung sinkang amat kuat.
“Wuuut-wuuut-wuuut,
tar-tar-tar!”
Kedua orang
wanita Beng-kauw itu terpaksa menjaga diri dengan cambuk hitam mereka yang
diputar cepat, berubah menjadi segulung sinar hitam yang membentuk benteng
sinar kuat menyelimuti tubuh mereka, sedangkan dari dalam gulungan sinar hitam
itu pedang mereka kadang-kadang meluncur ke depan secara tiba-tiba untuk
membalas serangan lawan.
Sebetulnya,
tingkat kepandaian kedua orang wanita perkasa itu masih jauh lebih rendah kalau
dibandingkan dengan tingkat kepandaian Hoat Bhok Lama, dan kalau kakek ini
menghendaki, tentu saja dia dapat mengeluarkan ilmunya yang tinggi untuk
merobohkan dan membunuh mereka dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi
kedua orang wanita itu bertanding mati-matian, bermaksud mengadu nyawa dan rela
mati asal dapat membunuh kakek itu. Hal ini membuat mereka seolah-olah berubah
menjadi dua ekor naga betina yang ganas.
Di samping
ini, Hoat Bhok Lama juga ingin menangkap kedua lawannya hidup-hidup seperti
yang ia janjikan kepada para pembantunya. Dua orang wanita ini telah banyak
membikin pusing kepalanya, maka akan terlalu enak bagi mereka kalau dibunuh
begitu saja. Kalau dia menawan mereka hidup-hidup, dia akan memperoleh dua
keuntungan. Pertama, ia dapat menyiksa musuh-musuh ini dan kedua ia akan dapat
menyenangkan hati pembantu-pembantu dan anak buahnya. Bagi dia sendiri, biar
pun mata keranjang dan harus diakui bahwa kedua orang janda ini masih amat
menarik, namun sudah terlalu tua dan dia dapat memperoleh gadis-gadis muda
setiap saat yang dikehendakinya!
Karena
itulah maka pertandingan itu berlangsung lama dan amat hebat. Siang Kui dan
Siang Hui maklum bahwa memang mereka datang mengantar nyawa. Mereka tahu bahwa
lawan jauh lebih pandai dari mereka, karena itu mereka tadinya berusaha minta
bantuan Ketua Siauw-lim-pai untuk membantu mereka. Namun semua usaha mereka
gagal dan kini mereka datang dengan tekad bulat untuk membunuh lawan atau mengorbankan
nyawa terbunuh olehnya!
“Cuit-cuit-tar-tar-tar!”
Dua batang cambuk yang bergulung-gulung itu menyambar empat kali ke arah empat
jalan darah di tubuh Hoat Bhok Lama, disusul tusukan dua batang pedang dari
kanan kiri.
“Aihhhh!”
Hoat Bhok Lama terkejut sekali.
Sepasang
gembrengnya bergerak melindungi tubuhnya sehingga terdengarlah suara nyaring
yang membuat dua orang wanita itu menjerit karena telinga mereka seperti
ditusuk jarum dan jantung mereka tergetar, membuat mereka terhuyung ke
belakang. Namun sebatang ujung cambuk di tangan Siang Kui masih berhasil
melecut dan menotok leher kanan Hoat Bhok Lama, mendatangkan rasa nyeri bukan
main. Kalau lain orang yang terkena totokan ini tentu akan roboh, setidaknya
menjadi lumpuh lengan kanannya.
Namun
sinkang kakek ini kuat sekali dan ia hanya merasa lehernya ngilu dan matanya
berkunang. Bangkitlah kemarahan kakek ini dan ia mengeluarkan teriakan keras
seperti seekor singa terluka, sepasang gembrengnya digerakkan cepat sekali dan
tubuhnya berpusing seperti gasing!
Siang Kui
dan Siang Hui terkejut bukan main. Pusingan tubuh kakek itu mengeluarkan angin
seperti angin puyuh, membuat pasangan kuda-kuda kaki mereka berdua tidak dapat
tetap. Itulah Soan-hong Sin-ciang yang biasanya dilakukan dengan tangan kosong,
akan tetapi kini lebih berbahaya lagi karena yang menyambar-nyambar dari
bayangan yang berpusingan itu adalah sepasang gembreng!
Kam Siang
Kui dan Kam Siang Hui melakukan perlawanan mati-matian, mengimbangi
cengkeraman-cengkeraman maut yang berupa sepasang gembreng itu dengan
serangan-serangan mereka yang tidak kalah dahsyatnya. Akan tetapi yang membuat
keduanya merasa pening dan bingung adalah tubuh lawan yang berpusing ditambah
suara gembreng beradu yang selain menulikan telinga juga menggetarkan jantung
mereka.
Untuk
memusatkan sinkang menghadapi lawan yang lihai ini, kedua orang kakak beradik
itu memejamkan mata dan hanya mengandalkan pendengaran mereka yang sudah kacau
oleh suara gembreng.
“Cuit-cuittt...!”
Dua orang wanita itu secepat kilat telah menyerang dengan cambuk mereka ketika
Hoat Bhok Lama secara tiba-tiba menghentikan pusingan tubuhnya hanya untuk
sejenak saja.
“Cret-crett!”
ujung cambuk bertemu sepasang gembreng, melekat dan melibat tak dapat ditarik
kembali.
Terdengar
kakek itu terkekeh dan tiba-tiba ia melepaskan kedua gembrengnya, tubuhnya
berjongkok dan ia memukul dengan kedua tangan terbuka dari bawah ke arah perut
kedua orang lawannya. Inilah pukulan Thai-lek-kang yang jaman dahulu membuat
Thai-lek Kauw-ong menjadi seorang di antara datuk-datuk golongan hitam!
“Siuuut!
Siuuutt!” dua sinar kecil hitam menyambar ke arah kedua pelipis Hoat Bhok Lama
dari kanan kiri.
Kakek ini
terkejut sekali, terpaksa menarik kembali kedua tangannya dan tubuhnya ke
belakang sehingga sambaran benda-benda itu lewat yang ternyata hanyalah dua
buah batu kecil yang dilepas dengan tenaga dahsyat. Kakek ini meloncat ke atas,
mencengkeram ke arah kepala dua orang wanita yang sudah terkena pukulan
Thai-lek-kang sehingga terhuyung ke belakang. Ketika mereka membuang diri ke
belakang, cepat Hoat Bhok Lama sudah merampas kembali sepasang gembrengnya yang
tadi terbelit oleh ujung kedua batang cambuk.
Ketua
Beng-kauw itu menoleh ke kanan kiri dan melihat munculnya dua orang laki-laki
muda. Yang muncul dari sebelah kirinya adalah seorang pemuda tampan sekali,
dengan pakaian mewah indah dan di punggungnya tampak gagang pedang beronce
merah, sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar tajam. Yang muncul dari
kanan adalah seorang pemuda yang pakaiannya sederhana, memegang tongkat dan
kedua kakinya telanjang.
Ia maklum
bahwa dua orang yang dapat melempar sebuah batu kerikil dengan tenaga lontaran
seperti itu tentu memiliki tenaga besar dan kepandaian tinggi. Kalau tadi dia
maju sendiri untuk menghadapi dua orang kakak beradik itu adalah karena dia
sudah yakin akan dapat memenangkan pertandingan melawan mereka. Akan tetapi
kini munculnya dua orang muda yang lihai membuat dia ragu-ragu untuk
mengandalkan kepandaian sendiri, maka kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah
melompat ke belakang, ke arah padang rumput.
“Manusia
terkutuk, hendak lari ke mana kau?” Siang Kui berseru dan meloncat pula
mengejar, diikuti oleh Siang Hui.
“Kedua bibi
jangan kejar dia!” Laki-laki tampan yang bukan lain adalah Suma Hoat si
Jai-hwa-sian berteriak memberi peringatan.
Kalau saja
yang muncul bukan Suma Hoat tentu enci adik Kam itu akan menurut, akan tetapi
munculnya keponakan yang dianggap sebagai seorang manusia cabul dan jahat,
membuat hati mereka marah. Apa lagi Siang Kui yang cerdik tidak mau melakukan
hal yang lengah atau sembrono, mengejar begitu saja. Dia sudah curiga bahwa
padang rumput itu mengandung jebakan, maka dia pun meloncat ke arah bekas kaki
Hoat Bhok Lama menginjak. Dan benar saja, ketika tubuhnya turun, dia menginjak
tempat yang keras.
“Moi-moi,
ikuti jejak kakiku!” Dia berteriak kepada adiknya tanpa menoleh karena dia
harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melihat dan mengingat bekas
injakan kaki orang yang dikejarnya.
Tiga kali
dia meloncat mengikuti Hoat Bhok Lama dan dia sudah berada di tengah padang
rumput, di belakang Hoat Bhok Lama, sedangkan Siang Hui juga sudah menyusul dan
berada di belakang enci-nya ketika tiba-tiba Hoat Bhok Lama tertawa bergelak
dan tubuh Siang Kui bersama adiknya yang menginjak tepat di bekas kaki pendeta
itu terjeblos dan roboh terguling ke dalam air!
Ternyata
bahwa rumput hijau itu tumbuh di atas air yang tertutup tanah tipis. Tempat
berpijak kaki Hoat Bhok Lama memang tepat di atas balok-balok yang dipasang dan
disembunyikan di bawah rumput, akan tetapi balok-balok ini dipasangi kawat
sehingga dapat diatur oleh anak buahnya yang bersembunyi sehingga ketika ia
memberi isyarat, anak buahnya menggerakkan balok-balok itu sehingga tentu saja kaki
Siang Kui dan Siang Hui tergelincir dan terjatuhlah mereka ke dalam air.
Air itu
ternyata cukup dalam karena tempat ini sesungguhnya merupakan telaga kecil yang
oleh Hoat Bhok Lama diatur menjadi padang rumput sebagai jebakan. Dua orang
wanita ini boleh jadi amat perkasa kalau mereka di darat, akan tetapi mereka
tidak berdaya dan menjadi gelagapan setelah tercebur ke dalam air. Empat orang
anak buah Hoat Bhok Lama yang bertugas menjaga tempat ini segera muncul dari
bawah rumput di mana mereka bersembunyi, lalu mereka berenang menghampiri Siang
Kui dan Siang Hui.
Mereka
adalah ahli-ahli renang yang pandai, maka mereka dengan mudah dapat menarik
kaki kedua orang wanita itu dari bawah dan dalam pergulatan ini kedua orang
wanita perkasa itu kehilangan senjata pedang dan cambuk mereka, akan tetapi
mereka berhasil membunuh dua orang pengeroyok. Biar pun demikian, mereka tidak
mampu melepaskan pegangan tangan dua orang pada kaki mereka yang menarik mereka
ke bawah sehingga terpaksa mereka gelagapan minum air telaga yang kotor!
“Cepat, kita
harus menolong mereka!” teriak Im-yang Seng-cu yang tadi muncul bersama Suma
Hoat.
Orang aneh
bertelanjang kaki ini sudah melontarkan tongkatnya. Tubuhnya menyusul melayang
seperti seekor burung terbang dan kakinya hinggap di atas tongkatnya yang
melintang dan mengambang di atas rumput dekat tempat kedua orang wanita itu
tenggelam. Juga Suma Hoat sudah melontarkan sepotong kayu yang didapatnya di
situ, meniru perbuatan kawannya melompat.
Sekali
menggerakkan tangan mereka sudah berhasil membunuh dua orang yang berusaha
menenggelamkan dua orang wanita itu, kemudian mereka menarik tangan Siang Hui
dan Siang Kui. Namun tubuh dua orang terlalu berat untuk dapat ditahan oleh
hanya sebatang tongkat dan kayu, maka sambil menarik, mereka terus melontarkan
tubuh Siang Kui dan Siang Hui ke depan, ke arah tepi di seberang yang lebih
dekat.
Siang Kui
dan Siang Hui yang sudah kehilangan senjata meluncur ke depan dan mereka
berjungkir-balik di udara untuk menambah tenaga luncuran sehingga mereka dapat
turun ke tepi seberang padang rumput dengan selamat. Dengan kemarahan
meluap-luap mereka tidak sempat berterima kasih kepada keponakan mereka yang
tadinya mereka benci itu, melainkan terus mengejar bayangan Hoat Bhok Lama yang
berlari ke depan sambil tertawa-tawa. Kakek itu lari mendekati sebuah gunung
batu karang di sebelah depan.
Melihat
kenekatan kedua orang bibinya, Suma Hoat menjadi khawatir sekali. Dia dan
Im-yang Seng-cu baru saja tiba di tempat itu dan hampir mereka terlambat
menolong Siang Kui dan Siang Hui.
“Monyet tua
itu lihai dan licik sekali, kita harus membantu bibimu!” Im-yang Seng-cu
berkata, “Aku harus membawa senjataku, lontarkan aku ke sana!”
Suma Hoat
mengangguk, lalu ia memegang lengan kawannya dan mengerahkan sinkang melemparkan
tubuh kawan itu ke seberang depan. Im-yang Seng-cu menjepit tongkatnya dengan
jari kaki yang telanjang dan dia pun mengerahkan ginkang-nya untuk membantu
tenaga lontaran Suma Hoat. Pemuda tampan ini sampai amblas kedua kakinya yang
menginjak kayu ketika melontarkan tubuh kawannya, kemudian ia menggunakan kayu
itu sebagai perahu untuk menyusup di antara rumput hijau menuju ke seberang.
Hoat Bhok
Lama tadinya tertawa-tawa menanti dua orang wanita yang sudah tidak memegang
senjata. Dia merasa yakin kini akan dapat menawan mereka. Akan tetapi ketika ia
melihat dua orang laki-laki muda yang lihai itu juga mengejar, cepat kakek ini
mengeluarkan suara melengking panjang untuk memberi isyarat kepada anak
buahnya. Pada saat Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat tiba di seberang padang rumput
atau telaga yang tertutup rumput itu, dari atas puncak gunung karang tampak
datang banyak orang anak buah Beng-kauw yang menjadi kaki tangan Hoat Bhok
Lama.
Melihat ini
Suma Hoat berteriak, “Harap Bibi berdua hadapi tikus-tikus dari atas itu.
Serahkan monyet tua ini kepada kami!”
Sekali ini
Siang Kui dan Siang Hui tidak membantah. Diam-diam mereka merasa berbesar hati
bahwa keponakan mereka itu agaknya telah insyaf dan kini datang bersama seorang
bertelanjang kaki yang kelihatan juga lihai sekali untuk membantu mereka
menghadapi pendeta Lama yang menyelewengkan Beng-kauw. Mereka juga tahu diri,
maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi Hoat Bhok Lama, apa lagi
setelah mereka kehilangan senjata mereka. Maka mereka hanya mengangguk dengan
pandang mata bersyukur, kemudian mereka lari naik menyambut rombongan anak buah
Hoat Bhok Lama.
Dengan
beberapa kali loncatan Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu sudah berhadapan dengan
Hoat Bhok Lama yang sudah menanti dengan sepasang gembreng di tangan dan
sepasang mata yang memandang ringan. Mulutnya menyeringai menyambut dua orang
muda itu dengan ucapan memuji, “Wah, kepandaian kalian boleh juga! Siapakah
kalian orang-orang muda yang berani menentang Ketua Beng-kauw?”
Suma Hoat
tidak mau menjawab dan sudah akan menerjang maju, akan tetapi Im-yang Seng-cu
tertawa menjawab, “Anak buah Beng-kauw yang kau pimpin adalah
penyeleweng-penyeleweng dan engkau adalah seorang ketua palsu, Hoat Bhok Lama!
Karena itu hari ini aku, Im-yang Seng-cu dan sahabat kentalku ini, Jai-hwa-sian
sengaja datang untuk melenyapkan yang palsu membangun yang asli. Bagaimana?”
Hoat Bhok
Lama menjadi merah mukanya dan alisnya berkerut. “Hemmm, seingatku nama julukan
Jai-hwa-san dimiliki seorang yang rendah hati menggolongkan diri sebagai kaum
sesat dan hitam, juga Im-yang Seng-cu kabarnya adalah seorang pelarian yang
murtad dari Hoa-san-pai, jadi juga tidak tergolong kaum bersih. Mengapa kini
berlagak seperti orang-orang bersih yang sombong dan hendak menentang golongan
sendiri? Sebaiknya Ji-wi membantu kami dan Ji-wi akan menikmati hidup ini. Apa
lagi Jai-hwa-sian, ingin mendapatkan gadis yang betapa cantik pun tidak usah
repot-repot mencari sendiri. Bagaimana?”
Mereka
saling pandang, kemudian Im-yang Seng-cu tertawa, “Ha-ha-ha-ha! Usulmu memang
adil dan baik sekali. Kami bukan hendak mengaku-aku orang baik-baik dan orang
suci! Memang kami akui bahwa Jai-hwa-sian dan Im-yang Seng-cu bukan manusia
suci, namun kami tidak pernah menyembunyikan diri di balik jubah pendeta merah
dan di bawah kepala gundul! Di antara kami dengan engkau jelas terdapat
perbedaan yang mencolok, Hoat Bhok Lama. Kami kotor akan tetapi tidaklah palsu
seperti engkau! Kalau sekarang engkau suka berlutut minta ampun kepada dua
orang keturunan Beng-kauw asli itu dan menyerahkan kembali anak buahmu yang
sudah kau bawa menyeleweng, kemudian kau membiarkan aku mengetuk kepalamu yang
gundul sampai benjol-benjol, kemudian kau membiarkan rambut kepalamu tumbuh dan
mengganti baju pendetamu, nah, kalau begitu mungkin kami mau mengampunkan
engkau!”
“Manusia
sombong! Makanlah gembrengku seorang satu!” bentak Hoat Bhok Lama yang menjadi
marah sekali dan menyerang ke depan, kedua gembrengnya sebelum menyerang saling
beradu sehingga terdengar suara yang menggetarkan jantung menulikan telinga,
kemudian tampak sinar kuning menyambar ke arah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat.
“Cringgg!
Tranggg!” Pedang di tangan Suma Hoat dan tongkat di tangan Im-yang Seng-cu
menangkis.
Dua orang
muda perkasa itu terdorong mundur, tanda bahwa tenaga sinkang kakek itu
benar-benar amat hebat, mereka terkejut dan balas menyerang, maka terjadilah
pertandingan yang amat seru dan dalam sekejap mata saja lenyaplah bayangan
mereka bertiga, terbungkus oleh sinar senjata masing-masing. Dua gulungan sinar
kuning dari sepasang gembreng Hoat Bhok Lama saling belit dengan sinar putih
pedang Suma Hoat dan sinar hijau tongkat Im-yang Seng-cu!
Hoat Bhok
Lama adalah keturunan langsung dari Thai-lek Kauw-ong yang mempunyai dua orang
murid. Murid kedua adalah Pat-jiu Sin-kauw yang pernah bentrok dengan dua orang
muda itu ketika mereka menyerbu tempat Coa-bengcu, ketua perkumpulan hitam di
pantai Po-hai dahulu. Namun dibandingkan dengan Hoat Bhok Lama kepandaian
Pat-jiu Sin-kauw masih terlalu rendah karena murid pertama ini benar-benar
telah mewarisi kepandaian Thai-lek Kauw-ong yang hebat.
Setelah kini
bertanding mati-matian, tahulah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat bahwa tingkat
mereka masih kalah oleh Ketua Beng-kauw palsu ini, maka mereka mengerahkan
seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk mengimbangi
gerakan sepasang gembreng yang benar-benar dahsyat sekali itu.
Andai kata
mereka berdua itu maju satu lawan satu, pasti mereka akan kalah. Akan tetapi
karena mereka itu maju berdua dan di antara mereka terdapat kecocokan hati dan
perasaan persahabatan yang mendalam sehingga gerakan mereka pun dapat saling
melindungi, repot juga bagi Hoat Bhok Lama untuk dapat mendesak kedua orang
pengeroyoknya yang jauh lebih muda. Apa lagi selama ini Hoat Bhok Lama terlalu
banyak membuang tenaga untuk bersenang-senang dengan wanita-wanita muda yang
menjadi tawanannya sehingga tenaga sinkang-nya banyak berkurang, juga daya
tahan dan napasnya.
Untung
baginya bahwa Suma Hoat tidak dapat mencurahkan seluruh perhatiannya dalam
pertandingan itu karena pemuda perkasa ini membagi perhatiannya kepada kedua
orang bibinya yang sudah bertempur dikeroyok banyak orang anak buah Beng-kauw
yang menyeleweng. Pertandingan di dekat puncak gunung karang itu lebih seru
lagi. Dua puluh orang lebih pembantu-pembantu Hoat Bhok Lama yang memegang
bermacam senjata mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui yang mengamuk seperti dua
ekor singa betina yang marah.
Biar pun
tingkat kepandaian para pembantu ketua palsu itu tidak setinggi tingkat mereka,
namun mereka berdua bertangan kosong dan mereka dikeroyok dan dikepung ketat.
Siang Kui dan Siang Hui mengamuk, merobohkan enam orang, namun muncul pula
beberapa orang lagi sehingga para pengeroyoknya tetap berjumlah dua puluh orang
lebih.
Sambil
memutar pedang melindungi tubuh dari sambaran sinar kuning yang
bergulung-gulung, Suma Hoat sering kali melirik ke atas. Dia melihat betapa
kedua orang bibinya mengamuk dan kini para pengeroyok itu makin mundur menuju
ke puncak gunung karang dikejar oleh kedua bibinya. Ia merasa tidak enak
sekali, mengingat betapa licik mereka ini dan betapa berbahayanya tempat yang
penuh jebakan itu.
“Bibi
berdua, harap jangan mengejar mereka...!” Ia berteriak.
Akan tetapi
teriakannya itu sia-sia belaka. Siang Kui dan Siang Hui yang sudah berhasil
merobohkan banyak musuh dan kini melihat anak buah Beng-kauw palsu itu mundur,
tentu saja tidak mau melepaskan mereka dan berniat untuk membasmi sampai ke
akar-akarnya. Apa lagi karena mereka kini memperoleh kesempatan baik sekali
selagi Hoat Bhok Lama yang amat lihai itu sibuk menghadapi pengeroyokan dua
orang muda perkasa. Enci adik ini mengejar terus dan merobohkan banyak anak
buah musuh yang melarikan diri ke puncak gunung karang.
Ketika sisa
anak buah Beng-kauw itu tiba di bawah puncak, tiba-tiba mereka lenyap seperti
ditelan jurang. Dua orang wanita perkasa itu melompat jauh dan setibanya di
bawah puncak mereka memandang ke kanan kiri, mencari-cari.
“Bibi...
awaaasss...!” Masih terdengar teriakan Suma Hoat jauh di bawah dan tiba-tiba
tanah batu yang mereka injak tergetar hebat! Siang Kui dan Siang Hui terkejut
sekali. Getaran makin menghebat disertai suara bergemuruh seolah-olah gunung
itu akan meletus!
“Moi-moi, turun...!”
Siang Kui berseru keras.
Hampir
berbareng mereka membalik dan hendak meloncat turun melalui jalan mereka
mengejar naik tadi. Akan tetapi mata mereka terbelalak dan tubuh mereka berdiri
kaku memandang ke depan. Batu-batu besar yang mereka lalui tadi kini telah
merekah pecah membentuk jurang menganga lebar dan kini puncak gunung batu itu
runtuh ke bawah! Mula-mula hanya batu-batu kecil lalu disusul batu-batu sebesar
kerbau bahkan batu-batu sebesar rumah bergulingan ke bawah.
“Cici...!”
Siang Hui menjerit. Mereka berusaha mengelak, akan tetapi mana mungkin
menghindarkan diri dari hujan batu yang sedemikian banyaknya?
Suma Hoat
dan Im-yang Seng-cu menyaksikan mala-petaka mengerikan itu. Suma Hoat menjadi
nekat. Dengan gerengan seperti seekor singa dia menubruk maju, menerima
gembreng kanan lawan dengan telapak tangan kiri sedangkan pedangnya membacok ke
arah kepala yang ditangkis oleh Hoat Bhok Lama dengan gembreng kiri. Saat itu
tongkat Im-yang Seng-cu bergerak dan memang inilah yang dihendaki Suma Hoat,
yaitu membuat sepasang senjata lawan sibuk menghadapinya agar temannya dapat
turun tangan.
“Desss!”
Biar pun Hoat Bhok Lama dapat menyelamatkan kepala dan lehernya, namun tetap
saja pundaknya kena hantaman tongkat Im-yang Seng-cu sehingga ia terlempar ke
belakang dan terhuyung-huyung, akan tetapi Suma Hoat juga mengeluh dan roboh
miring.
Hoat Bhok
Lama tertawa bergelak, lalu berloncatan pergi menghilang. Im-yang Seng-cu tidak
berani mengejar ketika melihat temannya terluka.
Dia berlutut
dan bertanya, “Bagaimana?”
Suma Hoat
menyeringai dan menarik napas panjang. Tangan kirinya, dari telapak tangan
sampai ke siku berwarna biru karena tadi ketika ia menahan gembreng dia kalah
tenaga sehingga hawa sinkang lawan yang mendesaknya membuat lengannya terluka
dan kemasukan hawa beracun. Akan tetapi Suma Hoat tidak mempedulikan diri
sendiri, matanya memandang ke arah puncak, kedua matanya berlinang air mata.
Dengan nekat ia kemudian meloncat bangun dan berlari mendaki pundak yang kini
sudah tidak berguncang lagi. Batu-batu dari puncak telah menutup tempat di mana
Siang Kui dan Siang Hui berdiri, ribuan bongkah batu besar yang membentuk
puncak baru.
“Bibi...”
Bibi...!” Suma Hoat sudah menyarungkan pedangnya dan tanpa mempedulikan lengan
kirinya yang sudah biru itu dia mulai membongkar batu-batu besar seperti
kelakuan seorang gila.
“Sabar dan
tenanglah, sahabatku. Bagaimana mungkin kita membongkar batu-batu sebanyak dan
sebesar ini?” Im-yang Seng-cu menghibur, akan tetapi ia pun ikut membantu
kawannya membongkar batu-batu. Suma Hoat tidak menjawab dan tidak mempedulikan
kawannya, melainkan terus membongkar batu-batu itu sambil memanggil-manggil
kedua orang bibinya.
“Bibi...”
Tiba-tiba Suma Hoat melemparkan sebuah batu besar dan Im-yang Seng-cu juga
memandang terbelalak ketika tampak pakaian orang di bawah batu itu. Suma Hoat
mengulur tangan menangkap lengan orang itu.
“Bi...!”
Akan tetapi ia berhenti memanggil dan meloncat ke belakang ketika melihat bahwa
orang di bawah batu itu sama sekali bukan bibinya, bahkan kini tampak
bergerak-gerak dan muncullah sebuah kepala seorang kakek tua, kepala yang botak
dan amat besar, dengan mata melotot dan mulut tersenyum-senyum!
Melihat
kakek yang kepalanya besar ini, Im-yang Seng-cu segera mengayun tongkatnya
tepat mengenai kepala yang rambutnya jarang itu dengan keras sekali.
“Takkk!”
Akan tetapi tongkatnya terpental dan Im-yang Seng-cu merasa betapa kedua
telapak tangannya nyeri bukan main, seolah-olah bukan kepala orang yang
dihantamnya tadi melainkan kepala terbuat dari baja murni.
Kakek itu
mengejapkan matanya, kemudian tubuhnya digoyang dan dia terlepas dari himpitan
batu-batu, meloncat bangun. Kiranya kakek ini bertubuh pendek cebol, tubuh
seperti anak kecil akan tetapi kepalanya lebih besar dari pada kepala orang
dewasa yang mana pun juga!
“Monyet, kau
orangnya Hoat Bhok Lama, ya?” Tangannya terulur dan angin dorongan yang keras
membuat Im-yang Seng-cu roboh terguling sungguh pun dia telah mengerahkan
sinkang menahan.
Tentu saja
Im-yang Seng-cu terkejut sekali dan cepat melompat bangun sambil melintangkan
tongkat di depan dada siap bertanding.
“Jangan,
Locianpwe! Dia sahabatku, malah memusuhi Hoat Bhok Lama!” Suma Hoat yang dapat
mengerti bahwa kakek itu amat sakti segera berkata.
“Heh-heh-heh,
kalau aku tidak tahu, apakah dia dapat bangun lagi? Ha-ha-ha, Hoat Bhok Lama
benar kurang ajar. Kalau tidak ada kau orang muda yang membongkar batu, kiranya
aku si tua bangka akan mampus.” Kakek yang bertubuh kecil dan berkepala besar
itu tertawa bergelak sampai keluar air matanya!
Tiba-tiba
Im-yang Seng-cu menghampiri kakek itu dan menjura penuh hormat sambil berkata,
“Mohon Locianpwe mengampuni boanpwe yang seperti buta tidak mengenal Locianpwe
Bu-tek Lo-jin.”
Mendengar
disebutnya nama itu, Suma Hoat terkejut bukan main dan memandang kakek itu
dengan mata terbelalak. Di dalam perantauannya pernah ia mendengar akan nama
orang-orang sakti seperti dewa yang oleh dunia kang-ouw dianggap telah lenyap
dari dunia ramai, orang-orang seperti Bu Kek Siansu dan kedua adalah Bu-tek
Lo-jin.
Teringatlah
ia akan ciri-ciri orang aneh ini, bertubuh seperti kanak-kanak akan tetapi
kepalanya besar. Pantas saja pukulan tongkat Im-yang Seng-cu yang amat dahsyat
pada kepala kakek ini seperti tidak terasa tadi, kiranya kakek ini adalah orang
yang memiliki kesaktian yang kabarnya seperti dewa itu! Maka ia pun cepat
memberi hormat di depan kakek itu.
Kakek itu
memang benar Bu-tek Lo-jin, seorang yang sudah amat tua usianya dan sudah
puluhan tahun tidak pernah terdengar lagi muncul di dunia ramai. Di dalam
cerita ‘Mutiara Hitam’ kakek yang sakti dan berwatak aneh ini muncul, bahkan
menjadi guru pendekar Pek-kong-to Tang Hauw Lam, suami dari pendekar wanita
Mutiara Hitam. Kakek Bu-tek Lo-jin ini pulalah yang mengunjungi Khitan dan
mengadakan pelamaran atas diri Mutiara Hitam sebagai wali muridnya itu. Biar
pun hanya beberapa bulan saja Tang Hauw Lam menerima petunjuk dari kakek ini,
namun kakek itu telah menurunkan ilmu yang dahsyat-dahsyat dan membuat pendekar
itu makin terkenal.
Setelah Tang
Hauw Lam menikah dengan Mutiara Hitam, kakek yang aneh watak dan bentuk
tubuhnya ini lalu menghilang dan tidak pernah terdengar lagi sepak terjangnya
yang aneh-aneh. Karena itu dapat dibayangkan betapa keget dan heran hati
Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat ketika tanpa disangka-sangka mereka bertemu
dengan kakek sakti ini secara demikian luar biasa!
“Ha-ha-ho-ho-ho!
Engkau sudah mengemplang kepalaku satu kali, akan tetapi engkau bermata tajam
dapat mengenalku, berarti sudah lunas! Kulihat gerakanmu tadi seperti ilmu dari
Hoa-san. Eh, bocah tak bersepatu seperti aku, siapakah sih engkau ini? Dan kau
ini, bocah yang bertulang baik dan telah menyelamatkan aku dari himpitan
batu-batu, kau siapa?”
Suma Hoat
cepat menjawab, “Dia itu adalah sahabat saya yang terkenal dengan sebutan
Im-yang Seng-cu, bekas tokoh Hoa-san-pai. Ada pun saya sendiri... saya bernama
Suma Hoat...”
“Heh-heh-heh!
Im-yang Seng-cu? Nama sebutan yang bagus. Dan kau she Suma? Hemm, kau berjodoh
denganku. Eh, Suma Hoat, coba kau serang dengan seluruh kepandaian yang kau
miliki!”
Tentu saja
Suma Hoat terbelalak heran. Dia teringat akan kedua bibinya, maka dia
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu dan berkata, “Harap Locianpwe sudi
memaafkan teecu. Sesungguhnya teecu ingin membongkar batu-batu ini untuk
menolong kedua orang bibi teecu yang tertimbun batu.” Setelah berkata demikian,
kembali Suma Hoat membongkar batu-batu itu.
“Hayaaaa...!
Jadi mereka itu tadi bibi-bibimu? Percuma, siapa dapat menyelamatkan dua orang
wanita yang terhimpit batu-batu begini banyak? Mereka telah tewas dan mengapa
masih harus mengganggu jenazah mereka yang sudah baik-baik terkubur seperti
ini? Jarang ada orang mati dapat dikubur sehebat ini! Apakah engkau bersusah
payah membongkar batu-batu ini hanya untuk menyaksikan tubuh mereka yang tentu
sudah hancur?”
“Bu-tek
Locianpwe benar sekali, sahabatku. Dari pada membuang waktu membongkar batu
yang tidak akan dapat menolong kedua orang bibimu, lebih baik kita mencari Hoat
Bhok Lama dan membalas kematian kedua orang bibimu,” kata Im-yang Seng-cu.
Ucapan ini
menyadarkan Suma Hoat. Dia meloncat bangun, pandang matanya beringas. “Kau
betul! Mari kita kejar dia!”
“Heitt,
nanti dulu!” Bu-tek Lo-jin berseru dan tampak bayangan berkelebat, tahu-tahu
tubuhnya yang kecil sudah berdiri di depan Suma Hoat. “Aku tadi sudah merasakan
gebukan tongkat Si Kaki Telanjang akan tetapi aku belum melihat kepandaianmu.
Dengan kepandaian seperti yang dimiliki Si Kaki Telanjang, bagaimana mungkin
melawan Si Gundul Jubah Merah? Apa lagi, setelah aku bebas, Si Gundul busuk itu
dapat berlari ke manakah? Hayo Suma Hoat, kau seranglah aku!”
Suma Hoat
kelihatan ragu-ragu, akan tetapi Im-yang Seng-cu cepat berkata, suaranya
terdengar gembira, “Suma Hoat, mengapa kau begini bodoh dan tidak cepat-cepat
mentaati perintah gurumu?”
Tentu saja
Suma Hoat tidak bodoh, bahkan dia cerdik sekali. Kalau tadi dia kurang perhatian
adalah karena hatinya berduka oleh kematian kedua bibinya dan marah kepada Hoat
Bhok Lama. Kini ia teringat betapa besar untungnya kalau dia bisa menjadi murid
orang sakti ini, maka biar pun lengan kirinya terasa nyeri, dia memasang
kuda-kuda dan berkata, “Baik, teecu mentaati perintah Locianpwe. Teecu
menyerang!” Tubuhnya sudah menerjang maju, kedua kakinya melakukan gerakan aneh
dan ketika ia menggerakkan kedua tangannya, angin menyambar ke arah leher dan
pusar kakek itu.
“Cuss!
Cusss!”
“Heiiihhh!
Dari mana engkau memperoleh ilmu setan ini?” Bu-tek Lo-jin berteriak sambil
membelalakkan kedua matanya, mengelus-elus leher dan perut yang tadi tercium
ujung jari tangan Suma Hoat.
Pemuda ini
sendiri sudah terhuyung ke samping dengan kaget sekali. Ketika ia menotok tadi,
jari tangannya seperti menotok air saja, bahkan tenaga sinkang-nya seperti
terbanting membuat ia terpelanting ketika dari tubuh kakek itu timbul hawa
mukjizat yang melawannya. Maklum betapa saktinya kakek aneh ini, Suma Hoat
menjatuhkan diri berlutut. “Teecu mohon petunjuk.”
Bu-tek
Lo-jin mengerutkan alisnya yang tebal putih. “Di dunia gila ini banyak sudah
kulihat dan temui orang-orang gila yang memiliki kepandaian seperti setan. Biar
pun mereka semua sekarang telah menjadi setan-setan, entah di neraka, entah di
mana, akan tetapi mengenang kepandaian mereka, aku masih bergidik. Pak-kek
Sin-ong dan Lam-kek Sin-ong memiliki ilmu kepandaian istimewa, tidak perlu
bicara lagi tentang ilmu kepandaian Suling Emas dan keturunan-keturunannya. Dahulu,
di empat penjuru dunia terdapat datuk-datuk golongan hitam yang seperti
raja-raja kejahatan, mereka adalah Bu-tek Siu-lam dari barat, Thai-lek Kauw-ong
dari timur, Jin-cam Khoa-ong dari utara, dan Siauw-bin Lo-mo dari selatan.
Namun mereka semua itu masih tidak mampu menandingi kedahsyatan, kegilaan dan
keseraman adik Suling Emas yang telah menjadi murid iblis-iblis sendiri,
bernama Kam Sian Eng. Heh, orang muda, gerakan kakimu tadi bukankah dari
Cap-sha Seng-keng, dan serangan tanganmu yang aneh tadi mirip
Im-yang-tiam-hoat? Padahal dua ilmu itu dahulu milik Kam Sian Eng si wanita
iblis!”
“Beliau
adalah nenek teecu!” Suma Hoat berkata.
“Aihhhh!
Pantas... pantas...!” Kakek yang sudah tua sekali itu berloncatan seperti
seorang anak kecil. “Dia memang mempunyai seorang putera Suma Kiat yang licik
dan jahat sekali, jadi dia...”
“Dia adalah
ayah teecu!” Suma Hoat berkata cepat, suaranya keras karena ia merasa mengkal
sekali, sungguh pun ia tidak dapat membantah akan kebenaran kata-kata kakek
ini.
“Ha-ha-ha-ha!
Besar sekali untungku! Pernah aku mengambil murid calon suami Mutiara Hitam,
sekarang aku mengambil murid seorang keturunan keluarga Suling Emas, biar pun
dari keluarga yang gila dan jahat. Eh Suma Hoat, di dalam dirimu engkau condong
kepada yang jahat atau yang baik?”
“Tentu saja
yang baik, Locianpwe!”
Im-yang
Seng-cu mendengarkan percakapan itu penuh perhatian dan diam-diam ia merasa
terharu mendengar pengakuan sahabatnya. Dia pun percaya bahwa sebetulnya
sahabatnya yang berjuluk Jai-hwa-sian itu tidaklah memiliki dasar watak yang
jahat, memiliki sebuah penyakit yang ditimbulkan oleh dendam kebencian terhadap
wanita sehingga terciptalah dorongan nafsu birahi yang tidak wajar di samping
kekejaman yang amat mengerikan terhadap kaum wanita.
Bu-tek
Lo-jin memandang dengan matanya yang tua dan mulut yang tak bergigi lagi.
“Heh-heh, kalau engkau mengerti yang baik, coba terangkan, apakah kebaikan
itu?”
Tanpa
ragu-ragu Suma Hoat menjawab, “Apa yang baik menurut perasaan hati teecu,
itulah baik bagi teecu!”
Im-yang
Seng-cu mengerutkan alisnya dan menganggap betapa piciknya jawaban sahabatnya
itu. Akan tetapi Bu-tek Lo-jin tertawa bergelak sampai keluar air matanya.
“Huah-ha-ha-hah, berbahaya sekali! Perasaan hati dapat dikuasai nafsu sehingga
bukanlah hati yang murni yang akan diturut, melainkan nafsu. Akan tetapi,
setidaknya engkau jujur, muridku. Mengaku apa adanya, tanpa ditutupi kepalsuan.
Bagiku, masih lebih kuhargai seorang penjahat yang mengaku dirinya jahat dari
pada seorang baik yang menyombongkan kebaikannya. Nah, mulai sekarang engkau
menjadi muridku yang bungsu, murid terakhir sebelum aku lenyap ditelan maut.
Engkau siap menerima warisan ilmu-ilmuku?”
“Teecu siap,
Suhu.”
“Nah, kalau
begitu, mari kau ikut aku pergi dari tempat ini!” Kakek aneh itu bangkit dan
Suma Hoat juga bangkit berdiri.
“Heii, nanti
dulu, Suma Hoat! Apakah kau lupa untuk membalaskan kematian kedua orang
bibimu?” Im-yang Seng-cu menegur.
Suma Hoat
memandang gurunya. “Suhu, teecu harus membunuh Hoat Bhok Lama dan membasmi
Beng-kauw palsu yang mereka rampas dari tangan kedua bibi teecu yang telah
tewas. Setelah itu baru teecu akan mengikuti Suhu!”
Bu-tek
Lo-jin mengerutkan alisnya. “Mengapa kau hendak membunuhnya? Untuk membalas
dendam kematian kedua bibimu?”
Suma Hoat
yang cerdik itu ternyata sedikit banyak telah dapat menyelami dan mengenal
watak gurunya yang amat aneh itu. Ia menggeleng kepala dan menjawab, “Sebagai
murid, teecu harus mencontoh Suhu. Suhu sama sekali tidak mendendam kepada Hoat
Bhok Lama padahal Suhu dicelakainya. Tidak, teecu bukan hendak membunuhnya
karena dendam, melainkan karena teecu harus memberantas kejahatan yang
dilakukan Hoat Bhok Lama dan anak buahnya. Teecu harus menolong dan melindungi
orang-orang dari ancaman perbuatan jahat mereka.”
Kembali
kakek itu tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha! Pikiran keruh, pendapat yang
kacau-balau. Siapakah engkau ini yang dapat memberantas kejahatan yang
dilakukan orang-orang? Siapakah engkau ini yang dapat menolong dan melindungi
orang-orang? Khayalan kosong melompong! Akan tetapi selama ucapan dan
perbuatanmu sejalan dengan isi hatimu, engkau jujur dan tulen. Hayolah, aku pun
ingin sekali mengetuk satu kali kepala Hoat Bhok Lama yang botak, ha-ha-ha!”
Setelah
berkata demikian, Bu-tek Lo-jin yang masih tertawa-tawa itu menyambar lengan
Suma Hoat, meloncat dan sekali berkelebat tubuhnya dan tubuh murid barunya
lenyap di balik tumpukan batu-batu yang longsor dari puncak tadi. Im-yang
Seng-cu menarik napas panjang. Dia merasa senang sekali bahwa sahabatnya telah
menjadi murid kakek aneh itu.
Dia tidak
merasa iri hati, karena dia sendiri tidak mempunyai keinginan menjadi murid
siapa pun juga, bahkan dia telah melepaskan diri dari ikatan Hoa-san-pai.
Im-yang Seng-cu adalah seorang yang ingin bebas, tidak mau terikat oleh
peraturan, tidak mau mencontoh guru yang sudah dicetak untuk murid, ingin hidup
bebas lahir batin. Akan tetapi, di dalam hatinya terdapat rasa simpati yang
besar terhadap Jai-hwa-sian Suma Hoat, perasaan yang timbul di luar
kesadarannya. Dia merasa kasihan kepada Suma Hoat, maka kini merasa girang
bahwa sahabatnya itu menjadi murid seorang pandai.
Dengan hati
tegang Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan tempat itu, menyusul guru dan murid
itu yang ia tahu tentulah mencari Hoat Bhok Lama di sarangnya. Karena puncak
gunung batu karang itu runtuh, perjalanan menuruni tempat itu sukar sekali.
Terbentuk puncak-puncak tumpukan batu baru, dan goncangan tadi membuat banyak
tanah batu merekah menjadi jurang-jurang yang amat curam...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment