Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 23
Suma Hoat
tersenyum dan tetap duduk di atas pembaringan menghadapi gadis itu. “Tenanglah,
Nona dan duduklah. Mungkin sekali aku sudah gila, dan tidak kusangkal bahwa aku
adalah seorang yang mata keranjang. Hati siapakah yang takkan terpesona oleh
kecantikan seperti yang kau miliki? Akan tetapi, penukaran yang kuajukan cukup
adil, dan engkau harus percaya kepadaku karena banyak hal yang mengharuskan aku
membebaskan engkau dan suheng-mu.”
“Hemm,
hal-hal apakah yang menjadi alasanmu?”
“Pertama,
engkau dan suheng-mu bukanlah musuh-musuhku, bahkan tidak kukenal. Untuk apa
aku mencelakakan kalian? Kedua, kalian memiliki ilmu kepandaian tinggi,
bermusuhan dengan kalian sungguh bukan perbuatan yang cerdik. Ketiga, kalian
mengganggu Kerajaan Sung yang bukan menjadi negara yang kami bela. Nah, kalau
di antara kita terikat persahabatan baik, bukankah hal itu sangat
menguntungkan? Begitu melihatmu, hatiku tertarik dan timbul gairah di hatiku,
Nona. Aku tidak akan memaksamu, akan tetapi kiranya engkau tidak akan menganggap
aku seorang laki-laki biasa apa lagi buruk rupa. Tidak kurang banyaknya gadis
yang suka kepadaku, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka yang menarik
hatiku. Nah, bagaimana jawabanmu, Nona?”
Muka gadis
itu tidak semerah tadi, namun jantungnya masih berdebar keras. Pemuda ini
memang tampan sekali, akan tetapi usul dan permintaan pemuda itu benar-benar
merupakan hal yang selama hidupnya belum pernah ia dengar, maka tentu saja dia
merasa tegang dan malu.
“Coba ulangi
lagi usulmu, agar aku tidak salah tangkap,” katanya menekan hatinya agar
suaranya tidak gemetar.
Suma Hoat
tersenyum, diam-diam merasa geli karena dia sudah tahu betapa hati nona itu
berdebar penuh ketegangan. Hal ini menyenangkan hatinya karena berarti bahwa
dara kang-ouw ini tidak biasa melakukan perbuatan seperti dimintanya. Tidak
jarang terdapat wanita-wanita kang-ouw yang mengumbar nafsu mengandalkan
kepandaian, bersenang-senang dan memuaskan nafsu birahi dengan pria-pria
tampan. Namun gadis ini agaknya bukan semacam wanita pengejar nafsu.
“Begini,
Nona. Aku akan membebaskan engkau dan suheng-mu keluar dari kota ini asal
engkau mau melayani aku sebagai kekasih sampai besok pagi, jadi sehari
semalam.”
Kembali
wajah Yan Hwa menjadi merah sekali. “Usul gila!” Kembali ia mengulang karena
hampir dia tidak percaya akan ada orang yang berani mengajukan usul segila ini
kepadanya. “Kalau sekarang aku menyerangmu, apakah engkau kira akan dapat hidup
lebih lama lagi? Betapa berani engkau!”
Suma Hoat
tersenyum. “Aku sama sekali tidak berani memandang rendah kepadamu, Nona. Aku
sudah cukup menyaksikan kelihaianmu dan belum tentu aku akan dapat bertahan
kalau engkau menyerangku sekarang. Akan tetapi, hal itu sudah aku perhitungkan
masak-masak. Aku boleh saja kau bunuh, akan tetapi apakah engkau dan suheng-mu
akan dapat meloloskan diri dari sini? Dan sepasang pedang kalian yang ampuh
itu, tidak sayangkah engkau?”
“Sepasang
Pedang Iblis milik kami itu kau kembalikan pula kalau kami kau bebaskan?”
”Tentu saja!
Aku bukan seorang pencuri pedang yang hina! Aku hanyalah seorang pencuri hati,
pencuri wanita-wanita cantik seperti Nona...”
“Engkau
laki-laki cabul!”
“Aku
hanyalah seorang laki-laki cabul yang berterus terang, tidak seperti semua
laki-laki cabul yang menyembunyikan kecabulannya di balik kemunafikan mereka.
Nona, aku tergila-gila kepadamu, akan tetapi aku tidak memaksamu. Aku seperti
seekor kumbang yang tertarik akan madu manis yang terkandung dalam setangkai
kembang. Engkaulah kembang itu dan aku hanya mengharapkan engkau membukakan
kelopak bungamu kepadaku. Aku mengharapkan sari madu cintamu, kubeli dengan
kebebasan engkau dan suheng-mu. Bukankah ini sudah adil namanya?”
“Kalau
engkau melanggar janji?”
Suma Hoat
mengangkat muka, alisnya berkerut dan matanya bersinar. “Aku adalah seorang
laki-laki, seorang jantan! Melanggar janji, apa lagi terhadap seorang wanita
cantik seperti Nona, merupakan pantangan besar bagiku!”
Yan Hwa
merasa terjepit, tidak ada jalan ke luar yang lebih baik. Kalau dia marah-marah
dan menyerang orang ini, bahkan andai kata dia berhasil membunuhnya, hal yang
masih harus diragukan karena Suma Hoat ini memiliki kepandaian yang tinggi
pula, apakah untungnya bagi dia dan suheng-nya? Dia tentu akan dikepung, dan
tanpa Li-mo-kiam di tangan, apa lagi suheng-nya masih ditawan, akhirnya mereka
berdua hanya akan membuang nyawa sia-sia. Kalau dia menurut... ah, pemuda itu
tampan dan gagah sekali, tidak kalah oleh Ji Kun.
Teringat
akan Ji Kun, dia membayangkan watak Ji Kun yang kadang-kadang juga mata
keranjang. Ketika mereka menawan seorang di antara gadis-gadis cantik dari
kereta para siuli, bukanlah Ji Kun juga memperlihatkan kenakalannya? Apa kata
suheng-nya itu? Hanya kulit yang bersentuhan, namun hati dan cintanya adalah
miliknya! Hemm, kalau dia melayani permainan Suma Hoat, bukankah dia pun hanya
mengorbankan kulit dan daging belaka, sama sekali tidak ada sangkut pautnya
dengan hatinya yang mencinta Ji Kun seorang? Apa lagi kalau diingat bahwa
‘pengorbanannya’ itu untuk menyelamatkan nyawa Ji Kun pula!
“Bagaimana,
Nona?” Suma Hoat mendesak.
“Kalau aku
menolak?”
“Tidak ada
lain jalan kecuali memanggil para pengawal agar engkau ditawan pula dan bersama
suheng-mu diseret ke depan pengadilan. Engkau tentu tahu bahwa aku tidak
menakut-nakutimu kalau kuberi tahu bahwa hukuman bagi mata-mata adalah penggal
kepala.”
“Kalau
sekarang aku membunuhmu?”
“Sama saja,
engkau dan suheng-mu juga akan mati konyol. Bagiku mati di tanganmu yang halus
itu merupakan mati yang terhormat dan menyenangkan. Silakan pilih, aku siap
mendengar pilihanmu.”
Yan Hwa
merasa betapa jantungnya makin berdebar. Kamar ini begini indah,
perabot-perabotnya serba mewah dan mahal, tempat tidur itu kelihatan amat
menyenangkan dan tentu enak dipakai tidur, dan bau harum dari pembaringan itu
menyentuh hidungnya. Seperti kamar seorang puteri istana saja! Dan pemuda di
depannya yang memandang dengan mata bersinar-sinar, dengan bibir tersenyum,
merupakan calon teman yang menyenangkan.
Dengan
jantung berdebar dan suara lirih hampir tidak terdengar, Yan Hwa mengangguk dan
berkata, “Baiklah, aku menerima usulmu. Akan tetapi, kalau sampai engkau
melanggar janji, aku bersumpah untuk menghancurkan kepalamu dan menyayat-nyayat
tubuhmu!”
”Terima
kasih, engkau sungguh seorang dara yang cerdik dan menyenangkan sekali! Ahh,
Nona, betapa keputusanmu itu mendatangkan rasa gembira yang hebat di hatiku.
Terima kasih!” Suma Hoat melompat turun, merangkul Yan Hwa dan mencium dara itu
dengan kemesraan yang membuat Yan Hwa menjadi nanar. Belum pernah dia dicium
orang seperti itu. Ji Kun pun belum pernah menciumnya semesra itu! Dia tidak
tahu bahwa yang mendekap dan menciuminya adalah Jai-hwa-sian, seorang yang
tentu saja amat ahli dalam permainan cinta!
“Kebaikanmu
harus dirayakan, Nona!” Suma Hoat menghampiri pintu, membuka daun pintu dan
memanggil pelayan, menyuruh pelayan menyediakan air hangat untuk mandi, dan
hidangan yang mewah, masakan-masakan termahal dan terlezat bersama arak yang
paling baik!
Kalau
tadinya Yan Hwa masih merasa berat, malu-malu, dan merasa bahwa dia telah
melakukan suatu perbuatan maksiat yang hina dan kotor, lambat laun perasaan itu
lenyap sama sekali terganti perasaan girang dan senang yang luar biasa berkat
kepandaian Suma Hoat merayunya. Kalau masih ada awan tipis menyelubunginya,
segera awan itu tertiup pergi oleh hiburan paksaan berupa pendapat bahwa dia
melakukan hal itu demi menyelamatkan nyawa suheng-nya!
Manusia
adalah makhluk yang amat lemah terhadap nafsunya sendiri. Kelemahan ini
ditambah lagi dengan bermacam perasaan bersalah karena larangan-larangan yang
mereka ciptakan sendiri sehingga setiap perbuatan mereka adalah tidak wajar
dalam usaha mereka menghindarkan diri dari pelanggaran larangan itu.
Demikian
pula dengan Yan Hwa. Kalau memang dia tidak bersikap palsu, maka baginya hanya
tinggal memilih apa yang akan dilakukannya sesuai dengan kehendak hatinya,
tanpa penyesalan tanpa pura-pura dan tanpa mencari kambing hitam sebagai alasan
pendorong perbuatannya. Dia seorang wanita yang lemah, mudah jatuh di bawah
rayuan pria tampan seperti Suma Hoat. Akan tetapi, dia hendak menutupi
kelemahannya ini dengan alasan yang dicari-cari sehingga semua perbuatannya
adalah tidak wajar dan karenanya menjadi kotor.
Sehari
semalam kedua orang itu mandi dalam telaga asmara, tiada bosan-bosannya. Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum sinar matahari mengusir kegelapan
malam, keduanya mengakhiri permainan cinta mereka karena sudah tiba saatnya
dalam perjanjian mereka untuk membebaskan Yan Hwa dan Ji Kun.
Dengan hati
penuh kagum dan puas, Suma Hoat mencium Yan Hwa sambil berkata, ”Ah, engkau dan
aku cocok sekali, Yan Hwa.”
Sejenak Yan
Hwa membalas ciuman itu, kemudian didorongnya dada Suma Hoat sambil berkata,
“Cukup, Suma Hoat. Kau tahu bahwa aku melakukan semua itu untuk menebus
keselamatan aku dan suheng.”
“Ha-ha-ha,
tak usah kau berpura-pura, manis. Beranikah engkau menyangkal bahwa engkau pun
seperti aku, menikmati hubungan kita yang pendek ini?”
“Tak perlu
kusangkal. Engkau memang seorang laki-laki yang hebat. Akan tetapi aku tidak
cinta kepadamu seperti juga engkau tidak mencintaku. Aku telah mencinta orang
lain.”
“Suheng-mu
sendiri?”
“Bagaimana
kau bisa tahu?”
“Ha-ha, apa
sukarnya menduga? Engkau telah rela mengorbankan diri untuk menyelamatkannya.
Aku tidak menyalahkan engkau. Suheng-mu seorang laki-laki yang tampan dan gagah
perkasa. Kalian berdua memiliki ilmu kepandaian yang amat dahsyat, memiliki
Sepasang Pedang Iblis yang mukjizat. Yan Hwa, sebelum kita berpisah dan mungkin
kita tidak akan saling berjumpa kembali, mengingat akan kemesraan yang sudah
sama-sama kita nikmati, maukah engkau sekarang mengaku, sebetulnya engkau dan
suheng-mu itu dari perguruan mana?”
“Sudah
kukatakan bahwa keadaan kami adalah rahasia kami. Harap kembalikan dulu pedang
kami.”
Suma Hoat
menarik napas panjang, lalu mengambil Sepasang Pedang Iblis dari balik jubahnya
yang digantung di sudut. “Kau lihat, hanya kutaruh di sini, tidak
kusembunyikan, untuk membuktikan betapa aku telah percaya penuh kepadamu.”
Yan Hwa
menerima sepasang pedang itu, mengikat sarung Li-mo-kiam di pinggang sedangkan
Lam-mo-kiam ia gantungkan di punggung. Ia memandang Suma Hoat dan berkata
dengan senyum, “Baiklah, Suma Hoat. Di antara kita sebetulnya masih ada
hubungan, biar pun hubungan di antara kita penuh dendam permusuhan. Kulihat
engkau, biar pun mata keranjang dan tukang perayu wanita, tidak jahat seperti
ayahmu. Aku dan suheng adalah murid mendiang subo kami, Mutiara Hitam.”
Wajah Suma
Kiat menjadi pucat. “Apa...? Murid Bibi Kam Kwi Lan Si Mutiara Hitam dan engkau
sudah tahu bahwa aku masih keponakannya?”
Yan Hwa
mengangguk. “Ayahmu, Jenderal Suma Kiat amat jahat dan curang. Dia
mengakibatkan kematian Supek Kam Liong dan muridnya. Agaknya semenjak dahulu
antara keturunan Suma dan keturunan Kam selalu timbul permusuhan karena
kejahatan keluarga Suma. Akan tetapi, kulihat engkau tidak jahat hanya mata
keranjang!”
Suma Hoat
tersenyum kecut. “Tidak perlu kau ulangi lagi, Yan Hwa. Aku tidak akan
menyangkal akan sifatku yang suka merayu dan bermain cinta dengan wanita
cantik. Untuk itulah maka aku dijuluki Jai-hwa-sian.”
“Engkau
Jai-hwa-sian? Hemm, pantas! Sudahlah, mari antar aku kepada Suheng dan biarkan
kami pergi. Mudah-mudahan saja jalan hidup antara kita akan bersimpangan karena
aku tidak ingin merusak kenangan manis kemarin dan malam tadi dengan bentrokan
karena sekali kita saling bentrok, aku takkan suka mengampunimu, Suma Hoat.”
Suma Hoat
mengangguk lalu mengajak Yan Hwa mengambil jalan rahasia menuju ke tempat
tahanan di bawah tanah. “Kau tunggu di sini. Kalau terjadi keributan dan
teriakan kebakaran sehingga semua penjaga lari meninggalkan pintu di sana itu,
barulah kau masuk, bebaskan suheng-mu dan lari melalui jalan ini.” Suma Hoat
menerangkan jalan rahasia ke luar dari tempat itu.
Setelah Yan
Hwa mengerti betul, dia lalu merangkul Yan Hwa, mencium bibirnya dan berbisik,
“Selamat berpisah, Yan Hwa, aku tidak cinta padamu akan tetapi aku takkan
pernah dapat melupakanmu. Kau bersembunyi di sini dan tunggu sampai ada teriakan
kebakaran.”
Yan Hwa
mengangguk dan melihat bayangan pemuda itu berkelebat lenyap. Tak lama
kemudian, benar saja seperti yang dipesankan Suma Hoat, tampak sinar api dan
asap membubung tinggi dan terdengar teriakan-teriakan,
“Kebakaran...!
Kebakaran...! Tolong... padamkan api...!”
Ributlah
keadaan di situ. Setelah Yan Hwa melihat para penjaga yang tadinya berkumpul di
pintu berlari-lari membawa ember dan lain-lain alat pemadam kebakaran, dia
cepat menyelinap memasuki pintu dan menuruni anak tangga ke bawah. Dilihatnya
Ji Kun meringkuk rebah miring di atas bangku di dalam sebuah kamar tahanan yang
terbuat dari besi. Pintu dan jendelanya kuat sekali, akan tetapi beberapa kali
bacokan dengan pedang Li-mo-kiam, Yan Hwa sudah berhasil membuka pintu.
“Sumoi...”
Bagaimana kau bisa bebas...?”
“Sstt, bukan
waktunya bicara.” Yan Hwa menggunakan pedangnya mematahkan belenggu kaki tangan
Ji Kun, kemudian ia menyerahkan Lam-mo-kiam kepada suheng-nya dan menarik
tangannya, mengajak keluar dari tempat itu.
“Bagus, agaknya
engkau telah memancing mereka dengan kebakaran, Sumoi! Mari kita amuk dan
binasakan mereka sebelum pergi dari sini!” Ji Kun berkata setelah mereka keluar
dari tempat tahanan di bawah tanah dan dia menyaksikan api yang berkobar tinggi
dan orang-orang yang sibuk memadamkan api.
“Hushhh,
jangan, Suheng. Setelah susah payah aku berhasil membebaskan kita berdua,
apakah akan kau rusak dengan memasuki bahaya tertawan lagi? Hayo kita pergi,
ikut dengan aku!”
Dengan
mengikuti petunjuk yang diterimanya dari Suma Hoat, akhirnya Yan Hwa berhasil
membawa suheng-nya keluar dari istana dan tembok kota Siang-tan, kemudian
melarikan diri secepatnya di dalam cuaca remang-remang karena pagi telah tiba.
Setelah
lewat tengah hari dan mereka sudah jauh sekali di sebelah utara kota Siang-tan,
dan napas mereka mulai memburu, tubuh penuh keringat, barulah kedua orang ini
berhenti mengaso di sebuah hutan kecil. Bahkan Yan Hwa yang amat lelah dan
semalam suntuk berenang dalam lautan cinta bersama Suma Hoat sehingga tubuhnya
terasa lemas, segera tertidur pulas di bawah pohon, dihembus angin semilir
sejuk. Ji Kun memandang sumoi-nya yang tidur nyenyak dan diam-diam ia merasa
terheran-heran melihat wajah sumoi-nya mangar-mangar, bibirnya tersenyum dalam
tidurnya.
Sumoi-nya
kelihatan seperti orang yang bergembira, penuh kepuasan, sama sekali bukan
seperti orang yang habis tertawan. Dan bagaimanakah sumoi-nya dapat menolongnya
sedang pihak musuh demikian banyak dan lihai? Bagaimana pula dapat merampas
kembali Lam-mo-kiam? Apa yang terjadi dengan Maya dan kedua orang perwira
pembantunya? Dia tadi tidak sempat bicara karena mereka harus melarikan diri
secepatnya dan begitu mereka berhenti mengaso, Yang Hwa sudah merebahkan diri
dan tidur nyenyak!
**************
Kita
meninggalkan dulu Yan Hwa yang tidur pulas dan suheng-nya yang memandang dengan
heran dan menduga-duga, karena pada hari itu juga, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu
berhasil menyelundup ke kota Siang-tan. Karena sudah lama kita meninggalkan
Siauw Bwee, sebaiknya kita mengikuti perjalanannya.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, pendekar wanita yang sakti ini berhasil
keluar dari kota Sian-yang berkat bantuan Suma Hoat dan kemudian setelah keluar
dari kota itu, dia bertemu kembali dengan pemuda ini yang ternyata adalah sute
dari Coa Leng Bu. Diceritakan pula betapa Suma Hoat tergila-gila kepadanya dan
secara terus terang menyatakan cintanya yang tentu saja ditolak oleh Siauw
Bwee. Betapa pun juga Siauw Bwee tidak mengganggu pemuda itu biar pun kenyataan
bahwa pemuda itu putera tunggal musuh besarnya, Suma Kiat, membuat dia
semestinya membenci Suma Hoat. Namun sikap pemuda itu malah menimbulkan
perasaan iba di hatinya.
Setelah Suma
Hoat pergi yang membuat heran hati Coa Leng Bu karena kakek ini tidak
mengetahui sebab-sebabnya, juga tidak berani bertanya kepada Siauw Bwee, mereka
melanjutkan perjalanan menuju ke kota Siang-tan. Siauw Bwee ingin sekali
bertemu dengan suheng-nya, ingin menyelidiki sikap suheng-nya yang aneh, yang
menurut dugaan supek-nya itu tentu menjadi korban racun perampas semangat.
Sebagai
orang-orang Han, tentu saja lebih mudah bagi mereka memasuki kota Siang-tan
yang masih diduduki oleh pasukan Sung dari pada memasuki kota Sian-yang yang
telah dikuasai bala tentara Mancu. Bersama rombongan pengungsi, Siauw Bwee dan
Coa Leng Bu memasuki pintu gerbang kota.
Akan tetapi,
pada pagi hari itu penjagaan di pintu gerbang kota Siang-tan tidaklah seperti
biasa. Biar pun para pengungsi itu adalah suku bangsa sendiri, namun setiap
orang pengungsi harus digeledah dan setiap buah senjata yang ada pada mereka
dirampas. Hal ini adalah akibat kekacauan yang terjadi kemarin, di mana para
pengungsi mengamuk dan lima orang mata-mata ketahuan dan dikejar-kejar.
Ketika tiba
giliran Siauw Bwee digeledah, hampir saja terjadi keributan. Melihat dua orang
penjaga yang menyeringai dan memandangnya dengan muka kurang ajar, hati Siauw
Bwee menjadi panas sekali. Para pengungsi lain cukup digeledah barang-barang
bawaan mereka dan diharuskan menyerahkan senjata yang menempel di tubuh, akan
tetapi melihat Siauw Bwee yang cantik jelita, dua orang petugas itu timbul
gairahnya dan keceriwisannya.
“Aha, Nona
harus digeledah. Silakan masuk ke pondok penjaga, harus kami geledah
kalau-kalau Nona menyembunyikan senjata atau surat-surat penting di dalam
pakaian Nona. Kami takkan bersikap kasar terhadap Nona yang cantik jelita.”
Hampir saja
Siauw Bwee melayangkan tangannya menampar petugas itu, akan tetapi Coa Leng Bu
cepat menyentuh lengannya. Kakek ini menjura kepada dua orang petugas itu.
“Harap Ji-wi suka memaafkan kami. Keponakanku ini tidak membawa senjata lain
kecuali pedangnya. Pedang sudah kami berikan, mengapa harus digeledah
pakaiannya lagi sedangkan para pengungsi lainnya tidak?”
“Hemm,
engkau tak tahu, orang tua! Di antara mata-mata yang dikejar semalam, terdapat
beberapa orang gadis muda yang cantik. Dalam keadaan perang seperti ini,
gadis-gadis cantik, pengemis-pengemis tua, orang-orang yang kelihatan lemah dan
biasa malah mencurigakan, karena para mata-mata selalu menyamar sebagai
orang-orang lemah.”
“Alasan
dicari-cari! Kalau aku mata-mata, masa akan masuk kota begini saja? Katakan
saja kalian kurang ajar agar aku mendapat alasan untuk menghajar kalian!” Siauw
Bwee membentak dan telapak tangannya sudah terasa hendak ‘mencium’ muka dua
orang penjaga yang menyebalkan hatinya itu.
“Ssstt,
sabarlah, Lihiap,” kata Coa Leng Bu yang segera berkata kepada dua orang yang
kelihatan marah oleh kata-kata Siauw Bwee tadi. “Harap Ji-wi tidak mengganggu.
Ketahuilah bahwa aku adalah suheng dari Suma Hoat, putera Jenderal Suma Kiat.
Kalau sampai terjadi keributan antara kita dan terdengar oleh Suma-goanswe,
akan membuat hati tidak enak saja.”
Mendengar
ini, pucatlah wajah kedua orang penjaga itu. Mereka membungkuk-bungkuk, meminta
maaf dan mempersilakan mereka memasuki kota tanpa banyak cakap lagi.
”Huh,
menyebalkan sekali anjing-anjing penjilat itu!” Siauw Bwee mengomel.
“Kita harus
dapat memaafkan mereka, Lihiap. Mereka hanyalah petugas-petugas yang
menjalankan kewajibannya.”
“Supek,
perlu apa membela orang-orang macam itu? Kalau memang para petugas menjalankan
kewajibannya dengan baik dan teliti, siapa yang akan membantah dan mencela? Aku
malah akan menghargainya dan kagum. Ayah pernah bilang bahwa seorang petugas
harus memiliki kesetiaan kepada tugasnya. Akan tetapi mereka itu? Hemm...,
mereka hanya melakukan tugas dengan keras penuh tekanan kepada mereka yang
lemah dan miskin. Mereka yang mampu memberi uang sogokan tidak digeledah, dan
wanita-wanita muda yang sudi bersikap manis kepada mereka tentu akan terbebas
pula dari penggeledahan. Engkau tadi baru menggunakan nama besar Jenderal Suma
saja sudah membuat mereka mundur dan melipat buntut seperti anjing-anjing
penjilat ketakutan. Menyebalkan.” Siauw Bwee memang marah sekali karena nama
musuh besarnya, Suma Kiat, terpaksa dipergunakan oleh supek-nya untuk
menghindarkan keributan.
“Lihiap,
engkau adalah seorang yang biar pun masih amat muda, telah berhasil memiliki
ilmu kepandaian yang amat hebat. Namun, tetap saja engkau masih muda dan perlu
mempelajari soal hidup dan lebih mengenal diri sendiri agar kesadaran
menuntunmu dan membuat pandang matamu waspada terhadap segala yang terjadi di sekelilingmu.
Belajarlah untuk berani menghadapi kenyataan yang bagaimana pun juga, Lihiap.
Menghadapi kenyataan tanpa penilaian dan tanpa perbandingan. Tanpa ingatan akan
masa lalu dan renungan akan masa depan, maka engkau akan dapat melihat
kenyataan itu seperti apa adanya, membuat engkau akan tetap tenang biar pun
menghadapi apa pun juga. Dalam keadaan tenang sewajarnya inilah maka segala
tindakanmu akan dapat kau pergunakan dengan tepat, dan engkau tidak akan
terseret oleh kemarahan dan penasaran, penyesalan mau pun harapan, karena
ketenangan yang timbul dari kewaspadaan ini akan dapat membuat engkau bisa
menyesuaikan diri dengan segala keadaan.”
Siauw Bwee
menjadi termenung. Pantas supek-nya ini selalu tenang, kiranya memiliki dasar
kesadaran yang amat mendalam. Dia menjadi malu kepada diri sendiri yang mudah
dibangkitkan rasa penasaran dan kemarahannya yang sesungguhnya hanya
berdasarkan untung rugi bagi diri pribadinya saja.
“Maafkan
kemarahanku tadi, Supek. Pikiranku sedang gelisah memikirkan Suheng, sehingga
aku mudah tersinggung. Aku akan langsung mencari di mana gedung tempat tinggal
Bu-koksu, karena Suheng tentu berada di sana pula.”
“Berbahaya
sekali kalau langsung pergi ke sana, Lihiap.”
“Supek, aku
tidak takut. Kurasa, aku akan sanggup menghadapi semua pengawal Bu-koksu...”
“Apakah
engkau akan mampu pula menandingi Kam-taihiap, suheng-mu itu?”
”Ahhh...
kalau dia... tentu saja aku takkan mampu, dia adalah suheng-ku dan juga guruku,
karena dialah yang membimbingku dahulu.”
“Nah, kalau
begitu, harap jangan tergesa-gesa dan sembrono. Bukankah suheng-mu itu telah
hilang ingatan dan tidak mengenalmu lagi? Kalau kau menyerbu ke sana, tentu dia
akan membela Bu-koksu dan mau tidak mau engkau akan berhadapan dengan dia.”
Siauw Bwee
terkejut dan menjadi bingung, lalu menghela napas. “Aihhh, benar juga, habis
bagaimana baiknya, Supek?”
“Kita harus
bersabar. Sebaiknya kita mencari rumah penginapan lebih dulu, kemudian baru
kita menyelidiki dengan diam-diam. Jalan terbaik adalah mencari kesempatan
untuk dapat berjumpa berdua dengan suheng-mu itu dan membujuknya untuk suka
kuobati. Atau, kalau sekiranya sukar mencari kesempatan ini, aku dapat meminta
bantuan Sute. Kurasa Suma-sute juga berada di kota ini.”
Siauw Bwee
mengerutkan alisnya. Hatinya merasa tidak enak kalau dia harus minta bantuan
Suma Hoat, pemuda putera musuh besarnya, juga pemuda yang ia tolak cintanya
itu.
“Coa-supek,
terima kasih atas nasehatmu yang amat berharga. Memang sebaiknya begitulah dan
kuminta bantuan Supek agar Supek mempersiapkan obat-obat untuk menyembuhkan
suheng-ku. Sebaiknya Supek mempersiapkan tempat dan obat lebih dulu, aku akan
menyusul setelah aku berhasil membujuk Suheng.”
“Soal
tempat, aku sudah memilih untuk keperluan itu. Hutan yang kita lewati kemarin,
hutan yang penuh pohon pek itu merupakan tempat yang amat baik, apa lagi aku
melihat banyak tetumbuhan obat di sekitarnya. Kalau kita berhasil membujuk
suheng-mu, sebaiknya kita ajak dia ke sana, kita bersembunyi di bagian yang
sunyi dalam hutan itu dan aku akan berusaha mengobatinya.”
“Bukan kita,
Supek, melainkan aku sendiri. Aku sendiri yang akan mencari dan membujuknya.
Harap Supek mempersiapkan tempat dan mencari obat-obatnya. Pekerjaan ini amat
berat, dan kalau Supek ikut, aku khawatir kalau dia akan curiga dan tidak mau
memenuhi permintaanku.”
Coa Leng Bu
mengangguk-angguk. “Engkau benar, Lihiap. Di sini banyak terdapat orang lihai,
dan dengan kepandaianku yang masih rendah, aku hanya akan menjadi penghalang
saja. Baiklah, kita berpisah di sini, aku akan menuju ke hutan itu dan
mempersiapkan obat-obatnya yang harus kucari lebih dulu. Kau berhati-hatilah
dan semoga kau berhasil membujuknya pergi ke sana.”
“Aku sama
sekali bukan bermaksud merendahkan kepandaianmu, Supek...”
“Tidak,
memang kenyataannya demikian. Aku tidak menyesal, dan selamat tinggal, Lihiap,
semoga semua berjalan baik.” Setelah berkata demikian, kakek itu meninggalkan
Siauw Bwee kembali ke pintu gerbang dan keluar dari kota Siang-tan.
Siauw Bwee menarik
napas panjang. Ia merasa menyesal terpaksa harus mengeluarkan kata-kata
menyinggung hati supek-nya yang baik itu, sungguh pun ia yakin bahwa supek-nya
yang bijaksana tidak merasa tersinggung dan dapat melihat kenyataan bahwa kalau
supek-nya ikut bersama dia mencari suheng-nya, keadaan tidak akan menguntungkan
mereka. Maka dia pun melanjutkan perjalanannya memasuki kota besar Siang-tan,
mencari-cari rumah penginapan.
Rumah
penginapan Sin-lok adalah sebuah rumah penginapan yang cukup besar, bahkan mempunyai
rumah makan sendiri di sampingnya. Melihat rumah penginapan ini, Siauw Bwee
menghampiri pintu dan bermaksud hendak menyewa kamar di situ. Akan tetapi,
tiba-tiba ia menghentikan langkahnya ketika ada suara orang berseru,
“Heii, Nona!
Tunggu dulu!”
Ia menoleh
dan kiranya yang menegurnya adalah seorang perwira pengawal yang memimpin
pasukan pengawal sebanyak dua belas orang. Agaknya mereka ini bertugas meronda
di kota yang sudah bersiap-siap menghadapi penyerbuan musuh dan yang kini
melakukan penjagaan dan perondaan ketat setelah kemarin terjadi keributan yang
ditimbulkan oleh Maya dan para pembantunya, terutama sekali pemberontakan
beberapa orang pengemis yang berhasil dihasut oleh Kwa-huciang.
“Mau apa
engkau menahan aku?” Siauw Bwee sudah bangkit lagi kemarahannya melihat perwira
itu dan semua anak buahnya memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum.
Perwira itu
meraba gagang pedangnya dan berkata, “Harap Nona tidak melawan. Aku menangkap
Nona dan harap suka ikut ke kantor untuk diperiksa.”
“Apa salahku?
Mengapa aku ditangkap dan diperiksa, untuk apa?” Siauw Bwee membentak, tidak
mempedulikan wajah beberapa orang yang sudah datang untuk menonton dan kini
mereka memandang kepada Siauw Bwee dengan muka khawatir menyaksikan sikap gadis
itu yang galak dan berani melawan pasukan pengawal.
“Kalau aku
tidak salah lihat, aku pernah melihat Nona di Sian-yang. Kalau benar dugaanku,
Nona adalah seorang mata-mata. Kalau aku salah lihat, setelah diperiksa oleh
komandan kami, Nona tentu akan dibebaskan, disertai maaf kami.”
“Gila! Aku
tidak mau ditangkap, tidak mau diperiksa. Aku seorang pengungsi, apakah kalian
ini bisanya hanya mengganggu wanita saja, sedangkan kalau musuh datang kalian
lari terbirit-birit? Memalukan sekali!”
Muka Si
Perwira menjadi merah. “Nona, kalau engkau melawan, hal itu hanya menunjukkan
bahwa Nona adalah seorang musuh. Kami hanya melakukan tugas, mengapa Nona
hendak menggunakan kekerasan?”
“Siapa yang
menggunakan kekerasan? Siapa yang memulai dengan pertentangan ini? Aku tidak
ada urusan dengan kalian, sudahlah, jangan mengganggu!” Siauw Bwee melangkah
hendak pergi, memasuki pintu rumah penginapan.
Akan tetapi
perwira itu sudah menghadang dan kini sudah menghunus pedangnya. “Berhenti!
Sikap Nona makin mencurigakan dan kami terpaksa menangkap Nona. Kalau Nona
menyerah dengan baik-baik, kami akan mengiringkan Nona ke kantor. Kalau Nona
melawan, terpaksa kami menggunakan kekerasan!”
Siauw Bwee
makin naik darah. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan
di pinggang dan ia menghardik, “Aku tidak mau ditangkap, hendak kulihat kalian
akan bisa berbuat apa?”
“Tangkap
dia!” Perwira itu mengeluarkan aba-aba.
Bagaikan
kucing-kucing kelaparan memperebutkan seekor tikus, empat orang prajurit pengawal
sudah menubruk maju, penuh gairah untuk meringkus tubuh yang padat
menggairahkan itu.
“Plak-plak-plak-plak!”
Empat kali tangan Siauw Bwee menampar dan empat tubuh terlempar dan roboh
terjengkang seperti disambar petir!
“Ahh,
ternyata dugaanku benar! Engkau bukan perempuan sembarangan, engkau adalah
mata-mata yang mengacau di Sian-yang itu!” Perwira muda itu mencabut pedangnya
dan menerjang maju.
Akan tetapi,
dengan gerakan kaki yang luar biasa, kaki kiri Siauw Bwee menendang, tepat
mengenai tangan yang memegang pedang sehingga pedang terlempar ke atas,
kemudian disusul kaki kanan menendang lutut, membuat perwira itu roboh
terguling. Pedang yang meluncur turun itu disambut oleh tangan Siauw Bwee yang
membentak marah.
“Kau main
pedang, ya? Nah, makan pedangmu sendiri!”
Gadis yang
marah itu sudah menggerakkan pedang, bukan untuk membunuh hanya untuk sekedar
melukai memberi hajaran. Akan tetapi tiba-tiba sebutir kacang goreng melayang
dan tepat menotok pergelangan tangannya yang memegang pedang. Siauw Bwee
terkejut bukan main karena totokan sebutir kacang goreng itu membuat seluruh
lengan kanannya tergetar dan lumpuh sehingga pedang rampasannya terlepas dari
pegangan! Betapa lihainya pelempar ‘senjata rahasia’ itu!
Dia dapat
mengerahkan sinkang-nya sehingga lengannya pulih kembali dan cepat memandang ke
atas dari mana serangan tadi datang. Ia melihat seorang laki-laki duduk dengan
tenang di atas loteng depan rumah makan sambil minum arak dan makan kacang
goreng, sama sekali tidak memandang ke bawah seolah-olah tidak mengacuhkannya.
Akan tetapi begitu melihat laki-laki itu jantung Siauw Bwee berdebar keras.
Kiranya orang yang melemparnya dengan kacang goreng adalah orang yang
dicari-carinya, Kam Han Ki. Pantas saja lemparannya demikian tepat menotok jalan
darah di pergelangan tangannya dan membuat pedangnya terlepas!
“Suheng...!”
Ia menjerit penuh kegirangan dan tubuhnya sudah melompat ke atas loteng itu,
dipandang oleh para pengawal dan penduduk yang menonton dengan mata terbelalak
kagum.
Gerakan
Siauw Bwee memang amat mengejutkan. Lompatannya itu seperti seekor burung
terbang ke atas, demikian indah dan cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan
mata, hanya merupakan bayangan berkelebat saja.
“Suheng...!”
Kembali Siauw Bwee berkata setelah dia berdiri di depan pemuda itu yang
memandangnya dengan mata tak acuh dan masih melanjutkan minum araknya.
Melihat
sinar mata suheng-nya ini, Siauw Bwee merasa seolah-olah jantungnya ditusuk
ujung pedang. Sinar mata suheng-nya membayangkan bahwa dia tidak mengenalnya
sama sekali, seperti pandang mata seorang asing, namun pandang mata itu
mengandung teguran dan penyesalan.
“Suheng, ini
aku, Siauw Bwee sumoi-mu!” Suara Siauw Bwee mengandung isak, hampir saja dia
menangis karena tidak kuat menahan kedukaan hatinya.
Kam Han Ki,
pemuda itu, menurunkan guci araknya, memandang Siauw Bwee penuh perhatian dan
sepasang alisnya berkerut, penuh teguran. Suaranya halus namun penuh dengan
penyesalan ketika ia berkata, “Nona, aku sama sekali tidak mengerti akan sikapmu
yang aneh, dan mengapa engkau selalu menyebut suheng kepadaku. Aku tidak dapat
menduga apakah sebabnya engkau bersandiwara seperti itu, ataukah memang engkau
salah mengenal orang. Kalau hendak mengatakan engkau gila, tidak mungkin. Akan
tetapi, yang amat kusayangkan adalah bahwa berkali-kali engkau mengacau. Dahulu
di Sian-yang, dan sekarang kembali engkau mengacau di sini. Kepandaianmu amat
tinggi, jarang aku bertemu dengan orang yang setinggi tingkat kepandaianmu.
Akan tetapi sungguh sayang andai kata engkau pergunakan kepandaianmu untuk
mengkhianati negara.”
“Kam-suheng!
Aku tidak mengkhianati siapa-siapa, aku... aku...” Siauw Bwee tak dapat
melanjutkan kata-katanya saking sedih hatinya melihat keadaan suheng-nya yang
benar-benar sama sekali tidak mengenalnya.
“Hemm,
engkau selalu membikin kacau dan kalau tadi tidak kucegah, bukankah engkau
sudah melukai seorang perwira pengawal?”
“Kam-suheng,
aku sengaja mencarimu! Engkau... engkau telah kehilangan ingatan sehingga
engkau tidak ingat lagi kepadaku, sumoi-mu yang... yang setengah mati
mencarimu. Aihh, Suheng... ingatlah, aku Siauw Bwee... Suheng, benar-benarkah
engkau lupa kepadaku?”
Han Ki
memandang dan menggeleng-geleng kepalanya, lalu menghela napas. “Sayang...
sungguh sayang... Engkau seorang dara remaja yang cantik jelita dan
berkepandaian tinggi. Sayang kalau sampai pikiranmu tidak normal. Aku belum
pernah bertemu denganmu, kecuali ketika engkau mengacau dan menyerang Koksu di
Sian-yang. Sungguh pun suaramu... ahh, tentu hanya dalam mimpi saja aku pernah
mendengar suaramu. Nona, kau pergilah dari kota ini, jangan mengacau lagi.”
Siauw Bwee
maklum bahwa akan percuma saja dia mengingatkan suheng-nya ini yang sudah
hilang ingatannya. Dia seorang gadis cerdik, maka dia segera bertanya, “Kalau
kau anggap aku sebagai seorang pengkhianat dan pengacau, mengapa engkau tidak
menangkap saja aku agar aku dihukum mati, atau tidak kau bunuh saja aku? Betapa
pun lihaiku, aku tidak akan dapat menang melawanmu. Mengapa?” Bertanya
demikian, sepasang matanya menatap tajam seolah-olah hendak menjenguk isi hati
Han Ki.
”Aku tidak
akan tega mencelakakan engkau, Nona. Aku tidak suka membikin susah orang lain,
apa lagi engkau!”
“Mengapa aku
diistimewakan?”
Han Ki
bukanlah seorang yang pandai bicara, maka dia merasa terdesak di sudut. Setelah
memandang gadis itu dengan pandang mata bingung, dia menarik napas panjang dan
menjawab, “Entah mengapa... aku... aku kasihan kepadamu. Engkau seorang gadis
yang amat baik, amat lihai, sungguh aku tidak mengerti mengapa engkau pura-pura
mengenalku sebagai suheng-mu. Sudahlah, mari kau kuantar keluar dari kota agar
engkau dapat pergi dengan aman.”
Ia menjenguk
ke bawah dan melihat pasukan-pasukan pengawal datang mengurung tempat itu, ia
menggerakkan tangan berkata, “Pergilah kalian semua! Biarkan aku sendiri yang
mengurus Nona ini!”
Siauw Bwee
juga menjenguk ke bawah dan ia melihat betapa para perwira komandan pasukan
memandang Han Ki dengan heran, akan tetapi mereka tidak berani membantah dan
pergilah para pasukan pengawal itu.
Harus
membujuknya di tempat sunyi, pikir Siauw Bwee, agar tidak terganggu orang lain.
“Baiklah, mari kau antar aku keluar kota,” akhirnya dia berkata.
“Baik, aku
akan mengantarmu ke luar kota dan setelah itu engkau harus pergi dan berjanji
padaku tidak akan mengacau di kota lagi karena aku akan merasa menyesal sekali
kalau aku terpaksa harus melawanmu sebagai musuh.” Pemuda itu lalu memanggil
pelayan, membayar makan minumnya lalu meloncat turun dari loteng diikuti oleh
Siauw Bwee yang menjadi girang sekali.
Dengan
diantar oleh Kam Han Ki, pengawal kepercayaan Bu-koksu, tidak ada seorang pun
berani mengganggu Siauw Bwee dan dengan tenang Siauw Bwee berjalan di samping
suheng-nya keluar dari pintu gerbang utara. Bukan main girangnya hati Siauw
Bwee dapat berjalan bersama suheng-nya yang diam saja. Melihat betapa para
penjaga memberi hormat kepada Han Ki, hatinya terasa perih dan berduka. Biar
pun dia berjalan di samping suheng-nya, namun Kam Han Ki pada saat itu bukanlah
suheng-nya, melainkan pengawal nomor satu dari koksu negara.
Akan tetapi
baru saja mereka keluar dari pintu gerbang, terdengar suara kaki kuda berderap
dan sepasukan pengawal melakukan pengejaran dari belakang. Dari jauh terdengar
suara yang amat berpengaruh dan melengking nyaring tanda bahwa yang
mengeluarkan suara menggunakan khikang yang amat kuat.
“Kam-siauwte,
berhenti dulu!”
Han Ki
menghentikan langkahnya, lalu berkata kepada Siauw Bwee. “Nona, itu Koksu
bersama para pengawalnya datang. Lebih baik kau lekas lari pergi, biarlah aku
yang akan membujuknya agar melepaskan engkau dan tidak melakukan pengejaran
sehingga tidak terjadi bentrokan antara engkau dan pihak kami.”
Siauw Bwee
maklum bahwa dalam keadaan kehilangan ingatan ini, Han Ki telah menjadi
pengawal yang setia dari Bu-koksu, dan apa bila dia menggunakan kepandaiannya
melawan Koksu, kesetiaan di hati Han Ki tentu akan memaksa pemuda itu memihak
Koksu. Akan tetapi dia pun maklum bahwa betapa pun suheng-nya kehilangan
ingatan, namun sifatnya sebagai pendekar masih tidak lenyap sehingga suheng-nya
itu tentu tidak akan membiarkan dia yang dianggapnya sebagai seorang gadis yang
tidak dikenalnya, celaka di tangan Koksu. Kalau dia lari pergi begitu saja,
lenyaplah kesempatan baik untuk mernbujuk suheng-nya supaya ikut bersamanya.
“Tidak,
Suheng. Aku tidak mau pergi. Aku hanya pergi kalau engkau suka ikut pergi
bersamaku.”
“Ehhh? Pergi
bersamamu?” Han Ki mengerutkan alisnya, memandang heran. “Ke mana?”
”Menemui
supek-ku, seorang yang ahli dalam hal pengobatan. Aku akan membawamu ke sana
agar engkau diobati karena engkau menderita sakit hebat, Suheng.”
“Ihhh, gila!
Siapa yang sakit? Andai kata aku sakit, mengapa engkau hendak bersusah payah
benar mengobati aku yang belum kau kenal? Mengapa, Nona?”
Pasukan itu
sudah makin dekat dan cepat Siauw Bwee memegang lengan Han Ki sambil berkata,
“Karena aku cinta kepadamu!”
Berubah
wajah Han Ki dan mukanya menjadi merah sekali. Sejenak dia memandang wajah
Siauw Bwee seperti orang bingung, akan tetapi sinar matanya berseri seolah-olah
dia merasa girang sekali, akan tetapi kembali wajahnya berubah dan alisnya
berkerut. ”Engkau main-main, Nona. Ataukah jalan pikiranmu tidak beres?
Pergilah dan hindarkan keributan.”
Siauw Bwee
menggeleng kepala. “Biar sampai mati terbunuh di sini sekali pun, aku tidak
akan mau pergi kalau tidak bersamamu!”
“Engkau
gadis yang aneh sekali!”
Pada saat
itu pasukan berkuda yang dipimpin oleh Bu Kok Tai sendiri telah tiba di situ.
Pasukan itu terdiri dari dua puluh empat orang pengawal pilihan, dan di samping
Bu Kok Tai terdapat pula perwira-perwira pembantu Koksu yang berkepandaian
tinggi, di antaranya Ang Hok Ci atau Ang-siucai, Pat-jiu Sin-kauw yang lihai,
Thian Ek Cinjin dan beberapa orang perwira tinggi yang lihai lagi.
“Kam-siauwte,
apa yang telah terjadi? Aku mendengar bahwa engkau membantu wanita pengacau ini
maka aku cepat menyusul. Apa yang telah kau lakukan ini, Siauwte?”
“Aku hanya
tidak ingin melihat dia mengacau lagi, Bu-loheng. Maka aku membujuknya untuk
keluar kota dan jangan menimbulkan keributan lagi. Dia bukan orang jahat, harap
kau suka memaafkannya dan membiarkan dia pergi. Nona, harap kau suka pergi, aku
percaya bahwa Koksu cukup bijaksana untuk memaafkan engkau seorang gadis muda.
Pergilah!” Han Ki membujuk.
“Tidak!”
Siauw Bwee membantah. “Suheng, tidak tahukah engkau bahwa engkau telah terkena
racun perampas pikiran? Mereka ini adalah musuh-musuhmu, musuh-musuh kita!
Suheng, mari kita gempur mereka!”
Mendengar
ini, Bu-koksu tertawa bergelak untuk menutupi kekagetannya mendengar tuduhan
yang tepat itu. “Gadis sombong engkau! Ha-ha-ha, yang kau bela ini adalah
seorang gadis gila, atau seorang mata-mata musuh yang sengaja hendak main gila
dan mempengaruhimu.” Ia lalu memberi isyarat kepada para pembantunya dan
memerintahkan, “Bekuk dia, kalau dia melawan, bunuh saja!”
Thian Ek
Cinjin, Pat-jiu Sin-kauw, Ang-siucai dan yang lain-lain telah maklum akan
kelihaian Siauw Bwee, maka serentak mereka turun tangan menerjang gadis yang
bertangan kosong itu. Juga dua puluh empat orang pengawal sudah menerjang dan
mengurung dengan senjata di tangan.
Menghadapi
serbuan ini, Siauw Bwee cepat menggerakkan kaki tangannya. Dalam beberapa
gebrakan saja ilmu gerak kilat kaki tangannya berhasil membuat empat orang
pengawal terjungkal, sedangkan para perwira yang berkepandaian tinggi cepat
melompat mundur memutar senjata. Mereka gentar menghadapi Siauw Bwee yang amat
cepat gerakan kaki tangannya itu sehingga tidak tampak oleh mereka bagaimana
caranya gadis itu merobohkan empat orang tadi.
“Nona,
jangan...! Pergilah...!” Han Ki berseru bingung. Dia masih berdebar mendengar
pengakuan gadis itu yang mengaku cinta kepadanya, dan kini dia menjadi serba
salah.
“Ha-ha-ha,
Kam-siauwte. Dia adalah mata-mata musuh yang mengaku sebagai sumoi-mu. Sengaja
dia mengacau dan coba kau perhatikan, betapa dia telah berhasil mencuri ilmu
silatmu!”
Sambil
berkata demikian, kini Bu-koksu sendiri meloncat turun dari kudanya dan ikut
menerjang Siauw Bwee dengan senjatanya yang menyeramkan. Senjata Koksu ini
sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, yaitu sebatang golok besar yang berat
sekali dan punggung golok itu dipasangi gelang-gelang perak yang mengeluarkan
bunyi nyaring kalau senjata itu dimainkan.
“Cring-cring...
sing...!” Golok itu berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata yang
menyambar-nyambar ke arah Siauw Bwee.
Gadis ini
terkejut. Lawannya bukanlah orang sembarangan, dan jika dia mengeluarkan ilmu
dari Pulau Es, tentu akan menambah kecurigaan Han Ki. Maka dia menahan diri dan
cepat menggeser kaki, mainkan gerak kaki kilat yang memungkinkan dia untuk
mengelak ke sana-sini dengan cekatan sekali. Untuk membalas, dia mengerahkan
tenaga Jit-goat-sinkang yang setingkat lebih rendah kekuatannya kalau
dibandingkan dengan Im-kang dan Yang-kang yang ia latih di Pulau Es, namun yang
mengandung kemukjizatan karena tenaga itu dikumpul dari sari hawa bulan dan
matahari.
Han Ki
berdiri bengong dan kagum. Hawa udara di sekitar tempat pertandingan itu
tiba-tiba berubah panas sekali, kemudian menjadi dingin, berganti-ganti.
Kembali ada tiga orang pengawal roboh, bahkan Thian Ek Cinjin yang lihai itu
terhuyung ke belakang, terpental oleh dorongan hawa dingin sejuk dari tangan
kiri gadis itu.
“Kam-siauwte,
bantu aku menangkap gadis ini!” Bu-koksu berteriak dan dia cepat menerjang
makin hebat.
Tingkat
kepandaian Bu-koksu sudah amat tinggi, dan kalau saja Siauw Bwee tidak
mendapatkan tambahan pengalaman dan ilmu kepandaian semenjak dia meninggalkan
Pulau Es, agaknya Koksu itu merupakan tandingan yang terlalu berat baginya.
Namun Siauw Bwee kini bukanlah seperti Siauw Bwee dahulu sebelum melakukan
perantauan dan mengalami banyak hal yang hebat.
Dengan gerak
kaki tangan kilat, dia masih mampu mempertahankan diri, meloncat ke sana ke
mari. Ketika golok besar Bu-koksu menyambar lehernya, tubuhnya merendah dan
menyelinap ke kiri, kakinya menendang ke depan mengenai lutut Ang-siucai
sehingga murid dan orang kepercayaan Bu-koksu itu roboh dengan tulang kaki
terlepas dari sambungannya. Dalam detik berikutnya, tangan kiri Siauw Bwee
sudah mendorong ke kiri, membuat Pat-jiu Sin-kauw hampir terguling kalau tidak
cepat memasang kuda-kudanya yang hebat sambil mengerahkan Thai-lek-kang. Dengan
marah Pat-jiu Sin-kauw lalu melancarkan pukulan Thai-lek-kang dan mainkan
Soan-hong Sin-ciang mendesak Siauw Bwee.
Kini Siauw
Bwee terkurung oleh Bu-koksu, Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin yang
ketiganya berusaha merobohkannya dengan serangan-serangan maut, sedangkan di
belakangnya, para perwira tinggi lainnya siap untuk menghujankan senjatanya.
“Kalau aku
mengamuk, mungkin dapat merobohkan mereka, akan tetapi tentu aku akan
kehilangan Suheng. Sebaiknya aku menggunakan akal untuk menarik bantuannya,”
pikir Siauw Bwee yang cerdik.
Ketika itu
golok Bu-koksu yang merupakan serangan paling berbahaya bagi Siauw Bwee membabat
ke arah pinggangnya. Siauw Bwee meloncat ke atas, menangkis hantaman Thian Ek
Cinjin dengan tendangan kakinya. Dia sengaja turun dengan tubuh miring di depan
Pat-jiu Sin-kauw yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, memukul dengan
tenaga Thai-lek-kang sekuatnya. Tubuhnya berjongkok dan angin keras menyambar
dari kedua tangannya yang mendorong ke arah dada Siauw Bwee. Gadis ini maklum
bahwa pukulan itu amat berbahaya, namun kalau dia mengerahkan sinkang, dia
masih mampu menerimanya, maka dia mengerahkan sinkang-nya, sengaja terhuyung
sehingga pukulan itu ia terima dengan bahunya.
“Aduuuhhh...!”
Siauw Bwee mengeluh dan jatuh, terus bergulingan sambil memegangi bahu kanannya
yang terkena pukulan Thai-lek-kang.
Pada saat
itu Bu-koksu mengejar dengan golok diputar merupakan gulungan yang mengancam
jiwa Siauw Bwee. Gadis ini benar-benar amat tabah. Dia maklum bahwa kalau
suheng-nya masih belum mau turun tangan, nyawanya terancam bahaya maut karena
dalam bergulingan seperti itu, akan sukarlah baginya untuk dapat meloloskan
diri dari ancaman golok yang terus mengikutinya. Dia sudah siap. Kalau
suheng-nya tidak juga turun tangan, dari pada mati konyol, dia akan mengadu
nyawa, berlomba duluan dengan Bu-koksu dan mengirim pukulan maut dengan Im-kang
dari Pulau Es!
“Tringgg...!”
Golok itu terpental ke samping dan Bu-koksu meloncat mundur dengan kaget.
“Heiii, Kam-sute... apa yang kau lakukan ini?!” bentaknya.
Akan tetapi
Kam Han Ki telah meloncat dan menyambar tangan Siauw Bwee, ditariknya tubuh
gadis itu berdiri dan dia mengomel, “Kau keras kepala! Masih juga tidak mau
pergi?”
“Tidak! Biar
mereka membunuhku, kalau dapat! Engkau pun tidak mempedulikan aku, untuk apa
hidup lebih lama lagi?” Siauw Bwee berkata, kini tidak bersandiwara lagi karena
memang dia bicara dari lubuk hatinya. Kalau sekali ini dia gagal mengajak pergi
Han Ki dan tidak berhasil mengobati suheng-nya itu, berarti dia akan kehilangan
Han Ki untuk selamanya dan kalau sudah begitu, apa artinya hidup ini baginya
lagi?
“Kam-siauwte,
biarkan aku membunuhnya. Apakah engkau akan mengkhianati aku?”
”Bu-loheng,
maafkan aku. Gadis ini tidak waras, biarlah aku membawanya pergi dulu, kelak
aku mohon maaf kepadamu!” Setelah berkata demikian, Han Ki memegang lengan
Siauw Bwee dan membawanya meloncat jauh dari tempat itu.
“Siauwte,
tahan...!” Bu-koksu berseru marah dan mengejar bersama pasukannya, namun Han Ki
sudah pergi jauh.
Setelah
pemuda ini mengerahkan ginkang-nya, mana ada yang mampu mengejarnya? Apa lagi
Siauw Bwee yang sama sekali tidak terluka itu pun sudah mengerahkan ginkang-nya
sehingga dia tidak menghalangi gerakan suheng-nya.
Setelah
mereka pergi jauh, Han Ki berhenti dan menoleh kepada Siauw Bwee, mengomel,
“Engkau sungguh membikin aku kehilangan muka dan menjadi serba salah. Apa sih
maksudmu bersikap seperti ini? Apakah engkau ingin merusak nama baikku? Dan
mengapa pula segala sandiwara ini? Aku tahu bahwa kalau kau hendaki, Bu-koksu
sendiri tidak akan mampu membunuhmu!”
Siauw Bwee
kagum bukan main. Biar pun ingatannya hilang, suheng-nya ternyata amat lihai
dan pandang matanya masih amat tajam sehingga dapat melihat permainan
sandiwaranya tadi. Dia harus berhati-hati, kalau tidak, suheng-nya tentu tidak
akan mau ikut bersama dia.
“Sudah
kukatakan kepadamu, aku cinta padamu dan melihat engkau sakit hebat, aku
berusaha mengajakmu kepada supek-ku untuk diobati.”
“Kau gila!
Aku tidak sakit, aku sehat!” Han Ki menggerak-gerakkan kaki tangannya
memperlihatkan bahwa dia benar-benar sehat.
“Bukan
badanmu yang sakit, melainkan ingatanmu. Tahukah engkau, siapa sebenarnya
engkau ini?”
”Tentu saja
aku tahu! Aku Kam Han Ki, aku pengawal pertama dari Bu-koksu yang telah melepas
budi besar kepadaku dan mengangkat aku sebagai adiknya.”
“Hemm,
Kam-suheng. Dia itu adalah musuh besar yang hendak mencelakakanmu!”
”Gadis muda,
jangan kau bicara sembarangan. Bu-loheng adalah Bu Kok Tai, Koksu negara yang
berjiwa pahlawan, seorang gagah perkasa yang amat baik, dan aku berhutang budi
kepadanya.”
“Baiklah...
baiklah..., akan tetapi ingatkah engkau siapa ayah bundamu? Ingatkah engkau
siapa gurumu? Di mana kau belajar ilmu silat? Ingatkah engkau semua itu?”
Kam Han Ki
mengerutkan alisnya, mengingat-ingat dan akhirnya dia menghela napas. ”Aku
tidak ingat lagi, akan tetapi apa hubungannya hal itu dengan Bu-loheng dan
engkau? Kenyataannya, dia amat baik kepadaku sedangkan engkau... aku sama
sekali tidak mengenalmu, hanya tahu bahwa engkau seorang gadis muda yang amat
lihai dan yang selalu mendatangkan kekacauan dan...”
“...dan yang
amat mencintaimu, Kam-suheng! Cobalah kau ingat-ingat, apakah engkau lupa akan
Istana Pulau Es? Lupakah engkau bahwa engkau bertahun-tahun menggembleng diri
di Pulau Es dan membimbing dua orang sumoi-mu yang bernama Maya dan Khu Siauw
Bwee? Lupakah engkau kepada mendiang Menteri Kam Liong, kepada Mutiara Hitam,
kepada Panglima Khu Tek San?”
Mendengar
disebutnya Istana Pulau Es dan nama-nama itu, Kam Han Ki kelihatan terkejut dan
bingung. “Istana Pulau Es...? Serasa sering aku mendengarnya, tidak asing
bagiku, dan nama-nama itu... seperti pernah kukenalnya... ah, tidak mungkin,
aku tidak ingat lagi.”
“Nah, itu
tandanya engkau telah kehilangan ingatanmu, Suheng. Mana ada orang lupa akan
orang tuanya? Lupa akan gurunya.”
Kam Han Ki
menjatuhkan diri duduk di atas batu di hutan itu. Alisnya berkerut, mukanya
pucat dan tubuhnya berpeluh karena ia memeras ingatannya. Namun sia-sia belaka,
dia tidak ingat apa-apa lagi. “Orang tuaku? Guruku? Pulau Es? Aihh, Nona, aku
benar-benar menjadi bingung. Seperti pernah kukenal baik, dan tak mungkin aku
lupa akan orang tua dan guruku, akan tetapi sungguh mati, aku tidak ingat
lagi...”
“Dan aku
adalah seorang di antara kedua sumoi-mu, aku bernama Khu Siauw Bwee. Ah,
Suheng... bertahun-tahun kita tinggal bertiga di Pulau Es. Engkau menjadi
guruku, juga sahabatku, tapi benar-benar engkau tidak ingat kepadaku lagi...”
Siauw Bwee tak dapat menahan lagi kesedihan hatinya dan ia menangis
tersedu-sedu.
Han Ki
menjadi makin bingung. “Nona... jangan menangis, engkau membikin aku makin
bingung. Biarlah aku tanyakan semua itu kepada Bu-loheng... dia tentu tahu...”
“Jangan...!
Dia itu adalah musuh kita, dialah yang membuat kau kehilangan ingatan, Suheng.
Kalau engkau kembali kepadanya, setelah melihat bahwa aku tahu rahasianya,
tentu mereka itu akan mencelakaimu!”
“Ha-ha,
jangan menyangka yang bukan-bukan, Nona. Dia adalah kakak angkatku,
satu-satunya orang yang amat baik kepadaku. Dia telah menolongku, merawatku,
memberiku kedudukan tinggi dan kepercayaan.”
“Kam-suheng,
kau kasihanilah aku. Kau turutlah bersamaku untuk diobati oleh supek-ku. Supek
Coa Leng Bu adalah seorang ahli pengobatan yang lihai, dia tentu akan
memulihkan ingatanmu dan engkau akan dapat mengingat segala hal yang telah
lalu, yang telah kau lakukan. Marilah, Suheng, dia menanti di hutan pohon pek,
marilah...” Siauw Bwee memegang tangan Han Ki dan ditarik-tariknya.
Akan tetapi
Han Ki mempertahankan diri dan akhirnya berkata, “Bukan aku tidak percaya
kepadamu, Nona. Akan tetapi, amat tidak enak kalau aku meninggalkan Bu-loheng
begitu saja. Pula, aku akan menanyakan riwayatku yang telah kulupakan itu
kepadanya. Kalau dia tidak dapat menjawab, baru aku akan datang mencarimu dan
menerima pengobatan supek-mu.”
Tiba-tiba
Siauw Bwee melepaskan tangan Han Ki. “Kalau engkau berkeras, baiklah, aku akan
pergi pula ke sana menemui Bu-koksu.”
”Heh? Susah
payah kau kularikan, sekarang hendak kembali? Apa kau mencari mati?”
”Biarlah.
Aku akan mengamuk dan membunuh Koksu, kalau aku gagal, biar aku mati. Lebih
baik mati dari pada hidup melihat engkau menjadi boneka hidup, lupa akan segala
hal yang lalu. Sekarang kau pilih saja mau ikut bersamaku untuk pengobatan atau
aku akan mengamuk dan mengadu nyawa di gedung Bu-koksu!”
“Wah, kau
mengancam?”
“Benar,
soalnya hanya mati atau hidup bagiku!”
“Tsk-tsk-tsk,
kau benar-benar seorang gadis luar biasa sekali. Mengapa kau begini nekat hanya
untuk diriku seorang?”
Pandang mata
Siauw Bwee menjadi lembut, kekerasaannya luntur dan dengan air mata berlinang
dia memegang tangan Han Ki, berkata lirih, “Karena aku mencintaimu, tak tahukah
kau? Keadaanmu yang lupa ingatan memberanikan hatiku untuk mengaku terus
terang, Suheng. Aku cinta padamu dengan seluruh badan dan nyawaku!”
Han Ki
menggeleng-geleng kepala, bingung. “Engkau seorang dara jelita yang gagah
perkasa, mencinta seorang seperti aku? Bahkan menurut pendapatmu, aku seorang
yang hilang ingatan, berarti orang yang otaknya miring, tidak waras lagi!”
“Apa pun
yang terjadi denganmu, aku tetap mencintamu, Suheng.”
“Aihhh...,
apa yang dapat kulakukan sekarang? Menghadapi engkau lebih sukar dari pada
menghadapi ribuan orang lawan bersenjata, Nona. Baiklah, mari kita coba apakah
benar aku kehilangan ingatan dan dapat disembuhkan oleh supek-mu. Akan tetapi,
ingatlah engkau, jangan main-main denganku. Kalau engkau menipuku, aku... aku
akan...”
Siauw Bwee
mendekatkan tubuhnya, mukanya ditengadahkan penuh tantangan, matanya
bersinar-sinar. “Engkau akan apakan aku, Suheng...? Membunuhku?”
Han Ki
gelagapan. Biar pun dia tidak ingat siapa adanya gadis ini, namun ada sesuatu
yang amat menarik dari diri gadis ini yang membuat dia diam-diam mengherankan
hatinya sendiri. Apakah dia telah menjadi benar-benar gila dan jatuh cinta
kepada gadis yang nekat ini?
“Tidak! Aku
hanya akan... akan... membencimu!” akhirnya dia menjawab juga.
Siauw Bwee
menggandeng lengan suheng-nya dan merapatkan tubuhnya dengan sikap manja. “Itu
tandanya bahwa engkau cinta kepadaku, Suheng. Marilah, dan kalau aku menipumu,
tidak usah engkau membenciku, aku sendiri akan membenciku bahkan kalau Supek
gagal, aku akan membenciku sampai aku mati dikeroyok orang-orangnya Bu-koksu
yang pasti akan kuamuk sampai titik darahku terakhir!”
Han Ki
bergidik. Tekad gadis ini luar biasa sekali dan tentu ada apa-apanya di balik
sikapnya itu. Andai kata benar peringatan Bu-koksu bahwa gadis ini hendak
menipunya, andai kata dia dibawa ke dalam perangkap, dia tidak takut dan
percaya bahwa dia akan mampu mempertahankan dirinya. Hanya ia menjadi takut
sendiri kalau-kalau gadis ini benar seorang penipu, karena kalau ternyata
demikian, dia akan merasa amat berduka dan kecewa dan... kehilangan.
Seorang
kakek yang bertelanjang kaki menyambut mereka di dalam hutan pek. Melihat gadis
itu berhasil membawa Han Ki yang kelihatannya curiga dan ragu-ragu, Coa Leng Bu
girang bukan main.
“Ah, sungguh
girang hatiku melihat engkau berhasil mengajaknya ke sini, Lihiap. Kam-taihiap,
selamat datang!”
Biar pun
ingatannya lenyap, Han Ki masih belum kehilangan kesopanannya. Kalau di tempat
Bu-koksu dia bersikap tidak acuh adalah karena dia tidak suka melihat sikap
anak buah Bu-koksu, hanya karena sayang dan berhutang budi kepada Bu-koksu saja
yang mengikat dia di samping pembesar itu. Kini melihat wajah kakek yang tenang
dan penuh pengertian, sikap yang sederhana dengan pakaian sekedarnya, dia cepat
menjura dengan hormat dan berkata, “Tidak tahu, siapakah Locianpwe yang telah
mengenal namaku?”
“Ha-ha-ha,
Kam-taihiap terlalu menghormat seorang bodoh seperti aku dengan menyebut
Locianpwe. Aku bernama Coa Leng Bu dan karena sumoi-mu, Khu-lihiap ini diangkat
anak oleh sute-ku, maka aku menjadi supek-nya, supek dalam sebutan saja yang
membuat aku malu, karena dalam hal kepandaian, aku boleh berguru kepadanya.
Kam-taihiap, aku mengenalmu karena keterangan sumoi-mu dan kulihat bahwa engkau
terkena racun yang membuat ingatanmu hilang. Aku mengerti sedikit ilmu
pengobatan, maka kalau engkau percaya, biarlah aku berusaha mengobatimu,
Kam-taihiap.”
Han Ki
mengerutkan alisnya. “Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku menjadi lupa sama
sekali akan hal-hal yang lalu, akan tetapi aku sungguh tidak mengenal Nona ini
yang menganggap aku sebagai suheng-nya. Yang kukenal hanyalah kakak angkatku,
Bu-loheng...”
Dengan wajah
penuh ketenangan Coa Leng Bu berkata, “Aku mengerti Taihiap. Kau anggap sajalah
bahwa engkau belum mengenal aku dan Khu-lihiap, dan bahwa engkau memang adik
angkat Koksu. Akan tetapi kuharap engkau percaya kepada kami bahwa kami berniat
baik, karena aku melihat engkau menderita lupa ingatan karena racun perampas
ingatan, maka anggap saja bahwa engkau berada di antara teman-teman yang hendak
berusaha mengobatimu.”
“Heran
sekali, aku merasa sehat, akan tetapi kalian menganggap aku sakit. Akan tetapi
rasanya tidak mungkin kalau engkau, terutama Nona ini hendak menipuku. Baiklah
aku akan menurut dan suka kau obati, harap lekas memberi obatnya dan hendak
kulihat apakah aku akan dapat mengingat riwayatku yang telah kulupakan sarna
sekali.”
Coa Leng Bu
menggeleng-geleng kepalanya. “Kam-taihiap, racun itu memasuki kepalamu melalui
makanan atau minuman, sedikit demi sedikit dan untuk mengobatinya pun harus
sedikit demi sedikit dan memakan waktu lama. Engkau pun tentu pernah mendengar
bahwa penyakit datang menunggang kuda akan tetapi pergi menunggang kura-kura, kalau
datang cepat sekali akan tetapi perginya memakan waktu lama!”
“Berapa lama
engkau akan dapat menyembuhkan aku, Locianpwe?”
“Pertama-tama,
kuharap Taihiap jangan menyebutku Locianpwe. Namaku Coa Leng Bu, cukup kalau
kau sebut lopek saja. Untuk menentukan berapa lama aku akan dapat
menyembuhkanmu, bukanlah hal mudah dan aku tidak berani bilang sebelum
memeriksamu. Bolehkah aku memeriksamu, Taihiap?”
“Silakan,”
Han Ki menjawab dan biar pun suaranya masih meragu, namun di dalam hatinya ia
mulai khawatir dan percaya bahwa memang dia sedang sakit. Buktinya adalah
bahwa, seperti yang dikatakan gadis jelita itu, dia lupa sama sekali akan
riwayat hidupnya, lupa akan ayah bundanya dan lupa akan gurunya. Hal ini memang
tidak mungkin terjadi kalau dia tidak menderita sakit kehilangan ingatan!
Coa Leng Bu
mempersilakan Han Ki rebah telentang di atas rumput, kemudian ia mulai
memeriksa denyut nadi, mendengarkan detak jantung, memeriksa mata dengan
membuka kelopaknya. “Taihiap, kalau boleh, aku hendak mengambil sedikit darahmu
untuk diperiksa.”
“Silakan!”
Han Ki menjawab.
Dengan
sebatang jarum emas, kakek itu menusuk ujung jari tangan kiri Han Ki, sehingga
ada beberapa tetes darah keluar dari luka kecil itu. Darah itu ditampungnya di
atas sehelai daun yang berwarna putih, kemudian dibawanya ke tempat terang
sehingga dia dapat memeriksa dengan jelas di bawah sinar matahari. Darah itu
diperiksa, diamat-amati, dicium, bahkan dijilat dengan lidahnya.
Semua
perbuatannya itu diikuti penuh perhatian oleh Han Ki yang sudah membereskan
pakaian dan duduk kembali di atas rumput, sedangkan Siauw Bwee tak pernah
melepaskan pandang matanya dari suhengnya dengan hati penuh keharuan.
Menyaksikan sikap pemuda ini yang berubah sama sekali seolah-olah dia
menghadapi seorang asing, akan tetapi wajah, bentuk badan dan setiap
gerak-gerik pemuda itu dari matanya mengerutkan alis, sinar matanya yang tajam
itu, mulut yang membayangkan kedukaan, dia tidak meragukan lagi bahwa pemuda
ini adalah suhengnya. Di antara sejuta orang pemuda, tak mungkin ada satu yang
menyamai suhengnya itu.
“Bagaimana,
Coa-lopek?” Han Ki bertanya setelah kakek itu kembali menghampiri mereka.
“Tidak
berat, bukan?” Siauw Bwee juga bertanya...
Coa Leng Bu
menghela napas panjang. “Racun itu mengandung hawa panas luar biasa. Hawanya
sudah naik ke atas sehingga menutup semua ingatan Taihiap. Sayang bahwa
satu-satunya akar obat yang mengandung hawa dingin tidak bisa kudapatkan di
daerah ini. Aku hanya dapat memberi obat untuk melenyapkan racun sedikit demi
sedikit dari darah Taihiap, akan tetapi hawa panas yang menutup ingatan... ahh,
aku harus mencari akar itu, dan adanya hanya di daerah kutub utara!”
Siauw Bwee
terkejut sekali sedangkan Han Ki hanya mendengarkan dengan tenang, karena dia
masih belum percaya sepenuhnya.
“Supek,
kalau hawa itu timbul karena hawa panas, tidakkah dapat dilawan dengan tenaga
Im-kang? Aku bisa menyalurkan tenaga Im-kang ke dalam kepala Suheng untuk
melawannya. Bahkan Suheng sendiri memiliki Im-kang yang jauh lebih kuat dari
aku, tidakkah Im-kang itu dapat mengusir hawa panas itu?”
Coa Leng Bu
menggeleng kepala. “Kalau yang terserang hawa itu di dalam tubuh, memang
mungkin dapat diusir dengan Im-kang yang amat kuat, akan tetapi tidak boleh
digunakan ke dalam kepala karena berbahaya sekali. Kepala merupakan tempat yang
amat penting dan sekali ada bagian yang terguncang, bahayanya akan lebih
dahsyat lagi, mungkin dapat merenggut nyawa. Tidak, Lihiap, usaha itu sama
sekali tidak boleh dilakukan!”
“Habis,
bagaimana...?” Siauw Bwee bertanya, bingung. Mencari akar itu ke kutub utara
tentu akan memakan waktu berbulan-bulan! “Eh, Coa-supek, dahulu Suheng pernah
bercerita tentang mendiang ayahnya, Kam Bu Sin. Ayahnya dahulu pernah juga
terkena racun dan menurut Suheng, ayahnya ditolong oleh Bu Kek Siansu, yaitu
suhu kami, dengan jalan bertapa di bawah air terjun. Dapatkah Suheng diobati
secara itu?”
“Kam Bu
Sin...? Ayahku...? Nona, apa yang kau katakan itu? Aku tidak ingat bahwa ayahku
bernama Kam Bu Sin...?” Han Ki berkata bingung.
Akan tetapi
wajah Coa Leng Bu berseri dan alisnya berkerut tanda bahwa dia berpikir keras.
Akhirnya ia bertepuk tangan. “Boleh! Memang pengobatan secara itu mungkin
sekali! Air terjun yang merupakan air hidup, di waktu pagi-pagi sekali
mengandung hawa dingin sejuk yang mukjizat dan sungguh pun kemustajabannya
tidak sekuat akar pendingin, namun mengandung hawa yang akan dapat mengusir
hawa beracun itu sedikit demi sedikit. Taihiap, kuharap Taihiap suka untuk
menjalani pengobatan dengan bersemedhi di bawah air terjun setiap pagi sampai
hawa panas terusir dari kepala. Kebetulan sekali, di kaki bukit sebelah utara
hutan ini terdapat air terjun, biar pun tidak besar sekali namun cukup untuk
kebutuhan ini, karena yang dipentingkan adalah airnya yang mengalir hidup,
masih bersih keluar dari sumber, suasana yang hening dan hawa yang sejuk.”
Kam Han Ki
menghela napas panjang. “Aku tentu akan menerima teguran hebat dari Bu-loheng.
Akan tetapi biarlah, aku pun ingin sekali dapat mengingat segala riwayatku.
Asal saja kalian tidak mempermainkan aku.”
“Kam-taihiap,
aku Coa Leng Bu selama hidupku tidak suka mempermainkan orang. Jangankan engkau
sebagai suheng dari Khu-lihiap, bahkan andai kata engkau seorang lain, mana aku
berani mempermainkanmu? Karena pengobatan ini memakan waktu yang amat lama dan
tidak boleh terganggu, maka sebaiknya kita sekarang membangun sebuah pondok
kecil untuk tempat tinggal sementara.”
“Suheng,
mari kau bantu kami...!” Siauw Bwee menarik tangan Han Ki dengan wajah berseri.
Kini hatinya penuh harapan dan kegirangan,.
“Nona, harap
kau hentikan sebutan suheng yang membuat aku merasa tidak enak saja.”
“Aihhh,
engkau memang suheng-ku! Habis disuruh menyebut apa?” Siauw Bwee bertanya,
tersenyum menggoda.
Biar pun
Siauw Bwee tidak pernah mengatakan rahasia hatinya, namun sebagai seorang pria
yang sudah berusia tua dan banyak pengalaman, Coa Leng Bu dapat mengerti bahwa
di antara suheng dan sumoi itu terdapat hubungan yang lebih mendalam dari pada
hubungan kakak beradik seperguruan belaka. Atau setidaknya, dia maklum bahwa
Siauw Bwee mencinta suheng-nya itu, cinta seorang wanita terhadap seorang pria.
Maka dia mengejapkan matanya kepada Siauw Bwee dan berkata,
“Khu-lihiap,
Taihiap bicara benar. Sebelum dia sadar dan pulih kembali ingatannya, tidak
baik membuat dia bingung. Sepatutnyalah kalau Lihiap menyebut kakanda kepada
Kam-taihiap!” Kakek itu lalu membalikkan tubuh agar tidak melihat sepasang pipi
yang halus itu menjadi kemerahan, dan dia pura-pura mengumpulkan kayu besar
untuk mulai membuat pondok.
“Kata-kata
Supek benar, biarlah aku menyebutmu koko, Kam-koko!”
“Engkau baik
sekali, Nona. Sungguh aku girang dapat mempunyai seorang sahabat sepertimu.”
“Ehh, aku
sudah mengalah, tidak menyebutmu Suheng melainkan Koko, akan tetapi kenapa kau
masih memakai sebutan Nona segala macam? Kalau aku menyebut kakak bukankah
sepatutnya engkau menyebut adik? Engkau lebih tua dari pada aku!”
”Banyak
lebih tua!” kata Han Ki yang kini timbul pula kegembiraannya menghadapi gadis
yang lincah dan halus budi ini. “Sepatutnya engkau menjadi keponakanku!”
”Ihhh!
Memangnya engkau sudah kakek? Kam-koko, tidak maukah engkau menyebut aku
Siauw-moi?”
Kam Han Ki
tersenyum, senyum pertama semenjak pikirannya bingung. “Baiklah Moi-moi. Ah,
betapa untungku mendapatkan seorang adik yang begini manis...”
“Bukan hanya
adik, melainkan juga juru rawat. Engkau sedang sakit, ingat? Dan engkau harus
manurut segala petunjuk Coa-supek dan memenuhi semua permintaanku, jangan
banyak rewel!”
“Engkau
gadis yang manis, dan nakal!” Tiba-tiba Han Ki mengerutkan alisnya. “Akan
tetapi... eh, jangan kau main-main Khu-moi. Di kota tadi... ehh, sebelum
berjumpa dengan Coa-lopek, kau...”
“Aku
kenapa?” Siauw Bwee berdiri di depan Han Ki, bertolak pinggang, sikapnya manja
dan manis, matanya bersinar karena hatinya girang bukan main bahwa dia dan
supek-nya telah berhasil membujuk Han Ki untuk berobat.
“Kau bicara
tentang... cinta... Hal seperti itu sama sekali tidak boleh dibuat bicara
main-main!”
”Siapa yang
main-main? Memang aku mencintamu, semenjak dahulu mencintamu, sejak aku kecil,
sampai sekarang aku telah dewasa, sampai kelak kalau aku sudah menjadi
nenek-nenek. Nah, aku cinta padamu, habis mengapa?”
Han Ki
merasa kepalanya puyeng. Dia jatuh terduduk dan memegangi kepalanya dengan
kedua tangan. Gadis ini tidak main-main, biar pun sikapnya seperti orang
main-main, namun pernyataan cintanya itu bukan main-main, melainkan setulusnya.
Hal ini dapat ia lihat dari sinar mata gadis itu ketika memandangnya. Dan
jantungnya juga berdebar tidak karuan, tanda bahagia bahwa gadis itu
mencintanya, hal ini hanya membuktikan bahwa hatinya pun tertarik secara luar
biasa kepada gadis ini.
Apa artinya
semua ini? Bahwa dia mencinta gadis yang baru saja dikenalnya ini? Ah, tidak
mungkin. Banyak dia bertemu puteri-puteri cantik di istana, bahkan beberapa
kali Bu-koksu membujuknya menerima hadiah berupa gadis-gadis cantik, namun
selalu ditolaknya karena dia tidak tertarik sama sekali. Akan tetapi mengapa
gadis ini amat menarik hatinya?
“Eh,
Suheng... Kam-koko, kau kenapa? Apakah kepalamu terasa sakit?” Siauw Bwee sudah
berlutut dekat suheng-nya dan memegang lengan pemuda itu, meraba-raba
pelipisnya.
Han Ki
menggeleng kepala dan bangkit berdiri. Alisnya berkerut. Biar pun dia percaya
bahwa gadis ini menyatakan cinta dari dasar hatinya, akan tetapi sebagai
seorang kenalan baru, betapa pun jatuh cinta, sikap gadis ini terlalu karib,
terlalu mesra dan dekat seolah-olah mereka sudah menjadi sepasang kekasih
selama bertahun-tahun!
“Tidak
apa-apa, Moi-moi, hanya... ahh, aku ngeri melihat betapa cinta bagimu
sedemikian ringan dan mudahnya. Mungkin karena engkau masih muda, Khu-moi.
Engkau tidak tahu betapa hidup ini penuh dengan duka sengsara, penuh dengan
perasaan, penuh kekhawatiran dan kegelisahan, penuh kekecewaan...”
Berdebar
jantung Siauw Bwee. Apakah suheng-nya sudah mulai ingat? Hati-hati dia
memancing. “Suheng... eh, maksudku Koko, mengapa engkau begitu muram
seolah-olah awan hitam selalu mengambang di atas kepalamu dan menyelubungi
sinar kegembiraan hidupmu? Apakah engkau berduka? Kalau benar berduka, mengapa?
Apa yang kau dukakan?”
Han Ki
menggeleng kepala. “Aku tidak menyusahkan apa-apa.”
“Apakah
engkau khawatir?”
“Sedikit,
yaitu kalau ternyata bahwa engkau dan Coa-lopek tidak dapat menyembuhkan aku
atau ternyata menipuku.”
“Dan apakah
engkau pernah mengalami kecewa?”
Kembali Han
Ki menggeleng. “Sepanjang yang teringat olehku... tidak.”
Hati Siauw
Bwee-lah yang kecewa karena jawaban-jawaban itu membuktikan bahwa Han Ki belum
teringat apa-apa.
“Ha-ha-ha,
memang semua itu hanyalah permainan pikiran manusia belaka, Khu-lihiap. Mengapa
manusia harus membiarkan dirinya terseret oleh pikiran yang melayang-layang
mengacaukan hidup kita sendiri?” Coa Leng Bu datang menyeret dua buah batang
pohon besar. Dia melepaskan dua buah batang pohon itu dan menghapus peluhnya,
lalu duduk di dekat mereka.
“Ah, kenapa
kau sebut permainan pikiran, Lopek?” Han Ki bertanya.
“Benar,
Supek. Memang hidup penuh dengan suka-duka, dengan puas kecewa, dengan cinta
dan benci, dengan kekhawatiran. Mengapa kau katakan sebagai permainan pikiran
yang menyeret kita ke dalam kekacauan hidup?” Siauw Bwee yang membantah.
Setelah
menarik napas panjang untuk mengatur napasnya yang agak memburu, kakek itu berkata
sungguh-sungguh, “Pokok pangkalnya segala perasaan adalah dari keinginan
mendapat yang timbul dari sifat sayang diri. Betapa pun juga, segala macam
perasaan itu tidak timbul kalau tidak dibakar oleh api pikiran yang menguasai
kita sepenuhnya, melayang-layang dari masa lalu ke masa depan, sehingga setiap
gerak perbuatan kita dicetak oleh pikiran kita. Pikiran membangkitkan
penilaian, perbandingan, dan dengan sendirinya mempertebal rasa sayang diri dan
iba diri. Bagaimana timbulnya duka? Dari permainan pikiran yang mengenang atau
mengingat-ingat masa lalu. Dari mana timbulnya kecewa, penasaran, kemarahan dan
kebencian? Juga dari permainan pikiran yang menyeret kita mengenang masa lalu.
Buktinya Kam-taihiap ini. Setelah dia lupa sama sekali akan masa lalu, maka
tidaklah ada persoalan baginya yang timbul dari masa lalu, tidak ada kebencian,
tidak ada penasaran, tidak ada kedukaan karena tidak ada lagi yang harus dibuat
penasaran, dibenci atau dibuat duka. Yang ada hanya tinggal masa depan baginya.
Dan dari mana datangnya kekhawatiran dan ketakutan? Bukan lain dari permainan
pikiran yang menyeret kita membayangkan masa depan! Membayangkan hal yang belum
terjadilah maka menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan! Bukankah demikian,
Taihiap dan Lihiap?”
Dua orang itu
mendengarkan penuh perhatian dan seperti dikomando saja, mereka
mengangguk-angguk. Betapa mereka dapat membantah setelah kesadaran mereka
membuat mereka melihat kenyataan dalam ucapan kakek itu? Biar pun Han Ki adalah
seorang yang belum tua, namun dia memiliki pengetahuan luas tentang filsafat
dan kebatinan. Memang pada saat itu dia telah melupakan semua pelajaran, bahkan
ilmu silatnya pun hanya dia kuasai karena sudah mendarah daging saja, namun
semua teorinya sudah dia lupakan sama sekali.
Akan tetapi pada
dasarnya dia memang seorang yang memiliki perasaan peka terhadap kebatinan.
Biar pun dia telah melupakan hal-hal yang lalu, namun ucapan kakek itu membuat
dia mengangguk-angguk dan diam-diam dia dapat melihat kebenarannya.
Marah timbul
karena mengingat perbuatan seseorang, perbuatan yang sudah dilakukan, yang
sudah lalu. Kalau hal itu tidak diingat, tak mungkin akan timbul kemarahan.
Demikian pula duka, dan benci, dan kecewa. Ada pun takut dan khawatir, hanya
dirasa oleh orang yang belum tertimpa oleh apa yang ditakutkan atau
dikhawatirkannya itu.
Orang takut
sakit karena dia belum sakit. Khawatir gagal, karena kegagalan belum
menimpanya. Jadi semua itu hanyalah permainan pikiran saja yang tiada gunanya,
bahkan menimbulkan persoalan dan pertentangan yang timbul keluar terhadap orang
lain.
Siauw Bwee
juga mengangguk-angguk karena dia merasa betapa benar omongan itu, akan tetapi
dia masih belum puas dan mendesak, “Habis, mana mungkin kita menghadapi sesuatu
tanpa pemikiran akan sebab akibat tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa
depan, Supek? Persoalan timbul dari luar tanpa kita minta. Contohnya, aku
menghadapi keadaan Kam-suheng, bukankah ini merupakan persoalan yang datang
tanpa kuminta? Bagaimana hati tidak menjadi khawatir menghadapi keadaan Suheng
ini?”
Kakek itu
tersenyum maklum. “Aku tidak menyalahkan kalau engkau gelisah, Lihiap, hanya
aku minta pengertian dan kesadaranmu untuk dapat menemukan dirimu sendiri.
Segala macam persoalan bersumber dalam diri sendiri, bukan dari luar.
Kam-taihiap sakit. Ini merupakan tantangan dan setiap orang hidup selalu akan
menghadapi kenyataan yang harus ditanggungnya pada saat kenyataan tiba. Tidak
ada persoalan khawatir dan gelisah selama kita dapat membuka mata menghadapi
kenyataan tentang sakitnya suheng-mu dan selama engkau tidak membayangkan
hal-hal yang belum datang. Suheng-mu sakit, kita dihadapkan kenyataan ini dan
apa yang tepat kita lakukan? Berusaha menyembuhkannya. Tidak ada persoalan lain
yang mengkhawatirkan, bukan?”
“Aih, Supek.
Betapa mungkin bersikap seperti itu? Bagaimana kalau kita gagal menyembuhkan
Suheng? Bagaimana kalau Suheng tidak mendapatkan kembali ingatannya? Bagaimana
kalau...”
“Nah, nah!
Itulah, Lihiap. Bagaimana kalau... bukankah itu hanya permainan pikiran yang
membayangkan hal-hal yang tidak ada dan belum terjadi? Apa gunanya membayangkan
hal-hal yang belum ada? Kita harus belajar mengenal diri sendiri, mengenal
pikiran-pikiran kita, mengenal perasaan-perasaan kita, mengenal
keinginan-keinginan kita, dan sadar bahwa di dalam diri kitalah sesungguhnya
terletak segala sumber, segala sebab akibat, dan segala bahan kesengsaraan.
Kita wajib belajar menghadapi kenyataan seperti apa adanya, tanpa penilaian,
tanpa perbandingan, tanpa ingatan waktu lampau atau yang akan datang, dan
dengan itu, dalam keadaan bebas dan kosong, kita akan selalu dalam keadaan
sadar, waspada dan tenang, seperti air telaga yang dalam dan diam, bening sejuk
tidak terganggu karena tidak merasa terganggu, penuh pengertian, kesadaran, dan
cinta kasih.”
“Aduh,
Coa-lopek. Betapa dalam pengertian itu!” Kam Han Ki membelalakkan matanya,
seolah-olah terbuka mata hatinya mendengar semua ucapan kakek itu. “Kiranya
Lopek adalah seorang yang arif bijaksana!”
Kakek itu
tersenyum. “Aku hanyalah seorang sederhana yang suka akan kewajaran, dan aku
sama dengan engkau, sama dengan Lihiap dan dengan orang-orang lain. Kita
sama-sama belajar, karena hidup berarti belajar, dan terutama sekali, di
samping pelajaran lahir yang kita butuhkan untuk hidup, jangan lupa mempelajari
diri sendiri, mengenal dan menemukan kembali diri pribadi yang selama ini
menyeleweng jauh terbawa hanyut oleh sayang diri dari iba diri, menjadi
manusia-manusia munafik, menjadi pelawak-pelawak yang bermain di panggung
sandiwara, tidak sewajarnya sehingga dalam setiap gerak-gerik kita, setiap
pikiran kita, semua adalah palsu belaka. Kita sudah terlalu lama hidup dalam
alam kepalsuan yang dibentuk oleh manusia sendiri. Sudah terlalu lama kita
hidup terbakar oleh bunga-bunga yang mekar dari pohon sayang diri berupa
pertentangan, persoalan, dendam, dengki, iri, benci, khawatir, takut, duka dan
sebagainya. Kenalilah diri kita sendiri, hadapilah kenyataan apa adanya, dan
kita akan terbebas dari apa pun juga.”
“Ahh,
Coa-lopek, mendengarkan kata-katamu jauh lebih berharga dari pada mengharapkan
kesembuhan dari pengobatanmu! Kesembuhanku, kalau benar aku sakit, tidak banyak
artinya lagi! Lopek yang bijaksana, berilah petunjuk kepadaku untuk dapat
membebaskan diri seperti yang Lopek katakan tadi...” Han Ki berseru, penuh
kagum.
Tiba-tiba
kakek itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, orang muda! Itulah yang menjadi
penyakit dan penghalang umum! Membuang keinginan dengan menghidupkan keinginan
baru! Mana mungkin? Mari kita belajar meneliti diri sendiri, mengenal diri
sendiri dan segala gerak-gerik pikiran dan perasaan, mengenal sifat-sifat
sendiri, dan belajar menghadapi kenyataan tanpa wawasan, tanpa ingatan. Akan
tetapi kalau ada terselip keinginan dalam hatimu bahwa engkau mempelajari itu
untuk memperoleh kebebasan, maka engkau akan gagal, Taihiap. Segala perbuatan
yang didasari keinginan, didasari pamrih, perbuatan itu adalah palsu belaka,
karena ingatlah bahwa yang dimaksudkan bebas di sini, bukan hanya bebas dari
segala yang secara lahiriah dirugikan, akan tetapi juga bebas dari segala yang
menguntungkan. Bebas dari segalanya, juga bebas dari segala macam keinginan,
betepa pun dianggap suci keinginan itu oleh umum. Kebebasan ini lebih tinggi
dari kesadaran, lebih tinggi dari apa pun juga karena kebebasan ini berarti
cinta kasih. Ahhh, orang seperti aku ini, mana mungkin dapat memberi penjelasan
sebaiknya? Marilah kita sama-sama mempelajari diri sendiri seperti apa adanya,
dan mudah-mudahan saja batin kita akan terbuka... Sudah terlalu banyak aku
bicara, yang terpenting sekarang adalah membangun pondok. Aihh, apa kalian
dapat membangun pondok hanya dengan bicara saja? Ha-ha-ha!”
Han Ki dan
Siauw Bwee tertawa juga. Mereka lalu melompat bangun dan tiga orang itu lalu
membangun sebuah pondok sederhana. Berkat kepandaian mereka, dengan mudah
mereka menumbangkan pohon-pohon, mengumpulkan balok-balok dan membuat sebuah
pondok yang sederhana namun cukup kokoh untuk melindungi mereka dari angin,
hujan, panas dan hawa dingin.
Mulai hari
ini, Han Ki diobati oleh Coa Leng Bu dan dirawat dengan sabar oleh Siauw Bwee.
Setiap pagi, tak lama setelah lewat tengah malam, dia dibangunkan oleh Siauw
Bwee dan setengah dipaksa pergi ke air terjun. Gadis itu menanti agak jauh
ketika Han Ki menanggalkan pakaian dan dengan bertelanjang bulat duduk bersila
di bawah air terjun, membiarkan air jatuh menimpa ubun-ubun kepalanya seperti
yang dianjurkan oleh Coa Leng Bu.
Kalau bukan
seorang yang sudah memiliki sinkang amat kuat seperti Han Ki, tentu tidak akan
kuat lama-lama di pagi buta ditimpa air terjun yang amat dinginnya seperti itu.
Namun Han Ki adalah seorang pemuda sakti, murid Bu Kek Siansu yang sudah
bertahun-tahun berlatih sinkang di Pulau Es, dalam keadaan yang jauh lebih
dingin dari pada bersemedhi di bawah air terjun itu, bahkan telah memiliki
tenaga Inti Es yang disebut Swat-im-sinkang.
Kalau matahari
mulai menyinarkan cahayanya di ufuk timur, barulah Han Ki menghentikan
semedhinya, mengenakan pakaian lagi, menghampiri Siauw Bwee yang duduk menunggu
agak jauh, lalu bersama-sama kembali ke pondok di mana Coa Leng Bu telah
menyediakan masakan obat yang pahit rasanya.
Di samping
pengobatan air terjun dan obat, Siauw Bwee membantu pemulihan ingatan Han Ki
dengan mengajaknya bercakap-cakap tentang masa lalu. Dan terjadilah suatu
keanehan! Hubungan di antara mereka makin akrab dan Siauw Bwee merasa seolah-olah
jatuh cinta untuk kedua kalinya! Timbullah keinginan hati yang luar biasa,
yaitu dia ingin agar Han Ki tidak berubah lagi! Kini cintanya terhadap pemuda
itu makin mendalam, karena diperhalus oleh rasa iba melihat kekasihnya
menderita kehilangan ingatan!
Selain itu,
juga Han Ki yang sekarang ini sama sekali tidak ingat kepada Maya, bahkan
mengenal pun tidak! Berarti dia tidak mempunyai saingan. Apa lagi ketika dia
melihat tanda-tanda bahwa pemuda itu pun mencintanya, tampak dari
gerak-geriknya, sikapnya yang ramah, pandang matanya yang penuh kemesraan. Han
Ki yang sekarang ini mencintanya, sedangkan Han Ki yang lama, Han Ki di Pulau
Es dahulu itu masih belum dapat dia pastikan siapa yang dicintanya, dia ataukah
Maya!
Setelah
minum obat yang disediakan oleh Coa Leng Bu, Han Ki dan Siauw Bwee duduk di
atas bangku balok melintang di depan pondok. Seperti biasa, Siauw Bwee mengajak
suheng-nya duduk di situ sambil berjemur diri di bawah sinar matahari pagi dan
mengajaknya bercakap-cakap.
Sudah
seminggu lebih Han Ki berobat, namun masih belum ada tanda-tanda bahwa dia
mendapatkan kembali ingatannya. Coa Leng Bu sibuk mencuci daun dan akar obat
yang dicarinya kemarin, dikumpulkan di atas tampah untuk dijemur. Diam-diam dia
merasa girang bahwa biar pun pemuda itu belum tampak pulih kembali ingatannya,
namun sinar matanya sudah mulai ada perubahan, dan dia tahu bahwa pengobatannya
sudah mulai ada hasilnya.
Han Ki
menggeleng kepala. “Kasihan sekali Coa-lopek yang membuang tenaga sia-sia,
Khu-moi. Lebih baik aku pergi saja menemui Bu-loheng dan bertanya kepadanya.
Mungkin kalau mendengarkan penjelasannya, aku akan dapat mengingat semua.”
“Ah, jangan
Koko! Biarlah aku mencoba mengingatkanmu. Coba kau lihat ini, masih kenalkah
engkau akan gerakan-gerakan ini?” Siauw Bwee lalu bersilat dengan Ilmu Silat
Hong-in Bun-hoat, sebuah di antara ilmu-ilmu yang ia pelajari di Pulau Es dari
suheng-nya.
“Tentu saja!
Aihh, gerakanmu indah sekali, Moi-moi!” Han Ki berseru girang.
’’Jadi kau
mengenalnya?”
“Tentu saja!
Setiap gerakanmu kukenal.”
“Apa nama
ilmu silat itu?”
“Ini... ini
aku tidak ingat lagi. Akan tetapi aku dapat memainkan semua jurus itu.”
“Hemm... dan
kau lihat ini, Koko!” Siauw Bwee mendorongkan tangan kanannya kepada ujung
bangku, terdengar suara keras dan ujung balok yang dijadikan bangku itu pecah
dan hangus seperti terbakar!
“Aku
tahu...! Pukulan sinkang yang mengandung hawa panas itu aku pun dapat
mempergunakannya!” seru Han Ki.
“Dan
ini...!” Kembali Siauw Bwee memukul dengan tangan kirinya ke arah ujung balok
yang lain. Ujung itu patah, akan tetapi tidak pecah, hanya terasa hawa amat
dinginnya ketika balok itu disentuh.
“Ini pukulan
mengandung hawa dingin, seperti yang kumiliki pula. Heii, Moi-moi, dari mana
kau mempelajari semua ini? Sama benar dengan ilmuku!”
“Dan engkau
tidak tahu namanya, Koko?” suara Siauw Bwee agak gemetar.
“Tidak,
Moi-moi. Aku bisa menggunakannya, akan tetapi tidak tahu nama ilmu pukulan
itu.”
“Dan
engkaulah yang memberi nama, Koko. Engkau pula yang melatihnya kepadaku, dan
kepada Suci...”
“Suci?”
Siauw Bwee
menghela napas dan terbayanglah semua peristiwa yang ia alami bersama suci dan
suheng-nya di Istana Pulau Es. “Ya engkau masih mempunyai seorang sumoi lainnya
yaitu Suci-ku Maya...”
“Hemmm, aku
tidak ingat.”
“Koko, tidak
ingatkah engkau akan ayah bundamu yang bernama Kam Bu Sin?”
Han Ki
menggeleng kepala.
“Dan lupakah
engkau bahwa guru kita adalah Bu Kek Siansu?”
Kembali
pemuda itu menggeleng kepala.
“Koko...”
Suara Siauw Bwee makin tergetar karena duka. “Apakah engkau lupa bahwa selama
bertahun-tahun engkau, Suci Maya, dan aku tinggal di Istana Pulau Es dan hidup
bertiga jauh dari dunia ramai?”
Han Ki
mengerutkan alisnya, kelihatan makin bingung. Jelas bahwa dia mengerahkan
segala kemampuan otaknya untuk mengingat sehingga dahinya berkeringat. Akan
tetapi akhirnya ia menggeleng kepala, dan berkata kesal, “Aku tidak ingat
apa-apa, Moi-moi.”
Siauw Bwee
tak bertanya lagi, berdiam sampai lama.
“Moi-moi...”
“Siauw Bwee
menoleh. “Hemmm...?”
“Kasihan
engkau...!”
“Mengapa
kasihan?”
“Dengan
susah payah engkau berusaha menyembuhkan aku, akan tetapi agaknya sia-sia
belaka. Aku telah mengecewakan hatimu. Khu-moi, mengapa engkau begini bersusah
payah untukku?”
Siauw Bwee
menatap wajah orang yang dikasihinya itu, kini tersenyum. Melihat wajah orang
yang dicinta itu, lenyaplah kekecewaannya. Apa pun yang terjadi, asal dia tidak
akan berpisah lagi dari samping kekasihnya ini, tidak ada hal yang akan dapat
mengecewakannya.
“Mengapa,
Koko? Sudah kukatakan, karena aku cinta kepadamu!”
“Khu-moi-moi,
kita baru saja saling jumpa, bagaimana dengan mudah saja engkau menjatuhkan
hati, mencintaku?”
“Apakah
untuk mencinta seseorang, harus melalui perkenalan yang lama, Koko? Tidak, aku
mencintamu semenjak bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi andai kata aku belum
pernah mengenalmu, begitu aku melihatmu, aku pun akan jatuh cinta.”
“Tidak
mungkin!”
“Bagaimana
tidak mungkin?”
“Cinta
timbul dari daya tarik seseorang, bukan hanya dari wajah dan bentuk tubuh. Daya
tarik keluar dari segala gerak-geriknya, bicaranya, pandang matanya, senyumnya,
pendeknya di antara dua orang yang saling mencinta ada daya tarik yang saling
menguasai dan saling menarik, sesuai dengan selera hati masing-masing. Baru
bertemu sudah jatuh cinta? Betapa janggalnya!”
“Koko,
apakah kau tidak cinta kepadaku?”
Bukan main,
pikir Han Ki. Gadis ini berani luar biasa. Tidak saja serta-merta menyatakan
cinta begitu jumpa, juga berani bertanya apakah dia mencintanya!
“Eh, hal
ini... ah, aku tidak tahu, Moi-moi. Aku suka kepadamu dan... dan aku kasihan
kepadamu. Aku... aku senang sekali berkenalan denganmu.”
“Jawablah
sejujurnya, Koko. Engkau cinta kepadaku atau tidak?”
“Mengapa
tergesa-gesa? Aku suka kepadamu, akan tetapi untuk menyatakan cinta, masih
terlalu pagi bagiku. Aku tidak mau sembrono, tidak mau berlaku lancang sebelum
ada ketentuan. Soal cinta bukanlah soal main-main, Moi-moi, sekali mengaku
cinta berarti sumpah untuk hidup bersama selamanya!”
“Kam-koko,
memang engkau benar. Tak mungkin jatuh cinta dalam pertemuan pertama, cinta
macam itu adalah cinta yang masih mentah. Orang baru jatuh cinta kalau sudah
mengenal betul baik buruk, cacat cela orang yang dicinta dan tetap mencinta
berikut cacat-celanya. Dan aku cinta kepadamu sejak bertahun-tahun, karena kita
sudah saling berkumpul lama sekali, hanya engkau yang tidak ingat lagi. Aku
bukan mencintamu secara membuta, Koko. Akan tetapi, kalau benar engkau suka
kepadaku... aahhh, biarlah aku menceritakan riwayatku yang telah kau lupakan.”
“Ceritakanlah,
Khu-moi. Aku ingin sekali mendengar riwayatmu.”
Siauw Bwee
ingin mencoba ‘rasa suka’ pemuda itu terhadap dirinya. Dari Han Ki yang dulu,
dia tidak dapat memperoleh kepastian karena suheng-nya yang dahulu itu tidak
pernah mengaku cinta, baik kepada dia mau pun kepada Maya. Akan tetapi
suheng-nya yang sekarang ini berbeda lagi, dan dia ingin melihat sampai di mana
rasa suka di hati pemuda itu seperti yang diceritakannya tadi.
“Mendiang
ayahku adalah Khu Tek San, seorang panglima Kerajaan Sung yang setia. Dia
adalah murid Menteri Kam Liong, kakak sepupumu yang kau lupakan. Mereka berdua
adalah orang-orang yang setia dan berjasa besar untuk kerajaan....”
Dengan
singkat Siauw Bwee kemudian menceritakan tentang Menteri Kam Liong dan ayahnya.
“Akan tetapi
sungguh menyedihkan. Ayah dan Menteri Kam Liong tewas karena pengkhianatan dan
fitnah yang dilontarkan oleh seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat....”
Siauw Bwee
menceritakan pula sejelasnya betapa ayahnya dan Menteri Kam Liong tewas oleh
pengeroyokan para panglima dan pengawal Sung, dan tentang kelicikan dan
kecurangan Suma Kiat.
Berkerut
alis Han Ki mendengar penuturan itu dan tiba-tiba ia bangkit berdiri mengepal
tinjunya. “Keparat orang she Suma itu! Dia harus dihajar!”
Mendengar
bentakan ini, Siauw Bwee tersenyum girang dan cepat menarik lengan suheng-nya.
“Duduklah dan tenanglah. Bagaimana kau akan menghajar Panglima Suma Kiat kalau
dia itu adalah rekan dari Bu-koksu sendiri?”
Sementara
itu, Coa Leng Bu yang sedang menjemur obat, mendengar juga bentakan Han Ki dan
dia mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum akan kecerdikan Siauw Bwee yang
berusaha mengingatkan Han Ki.
“Koko,
engkau marah mendengar betapa keluargaku difitnah sehingga aku hidup sebatang-kara.
Hal itu berarti bahwa engkau juga cinta kepadaku, Koko.”
Wajah Han Ki
menjadi merah dan dia menoleh kepada gadis yang duduk di dekatnya, melihat muka
yang cantik jelita dari dekat. “Mungkin... mungkin sekali. Engkau cantik
jelita, Moi-moi, engkau gagah perkasa dan engkau berhati lembut, engkau
berwatak mulia... Betapa mudahnya jatuh cinta kepada seorang gadis seperti
engkau.”
“Kam-Suheng...,
Kam-koko... ternyata engkau hanya mencinta aku seorang...!” dengan hati penuh
keharuan dan kebahagiaan Siauw Bwee merangkul dan merebahkan pipinya di atas
dada Han Ki!
Han Ki
terkejut, akan tetapi hatinya sudah terusik dan harus diakuinya bahwa sukar
diragukan akan rasa kasih sayang yang timbul di dalam hatinya terhadap gadis
ini, maka hatinya menjadi lunak dan tanpa disadarinya lagi, jari-jari tangannya
membelai rambut yang berada di atas dadanya itu.
“Hanya aku
yang kau cinta, aku merasa akan hal ini, Suheng. Sejak dulu... engkau hanya
mencinta aku, bukan Suci Maya...”
“Maya...?”
Siauw Bwee
cepat mengalihkan percakapan karena dia tidak mau membuat suheng-nya meragu
lagi. Kini setelah jelas bahwa suheng-nya hanya mencinta dia seorang, dia pun
tidak ragu-ragu untuk segera menyembuhkan suheng-nya. Dia sudah menduga bahwa
dengan sinkang tenaga Inti Es dia dan suheng-nya akan sanggup mengusir hawa
panas yang melenyapkan ingatan suheng-nya. Coa Leng Bu tidak tahu betapa mereka
berdua telah memiliki Im-kang yang tak mungkin dapat diduga betapa tingginya
oleh kakek itu, maka kakek itu khawatir kalau-kalau pengobatan itu akan
berbahaya bagi keselamatan Han Ki.
“Suheng,
engkau tidak ingat tentunya bahwa kita berdua dahulu telah berlatih Im-kang di
Pulau Es. Akan tetapi, coba raba tanganku dan rasakan ini.” Setelah Han Ki
memegang tangannya, Siauw Bwee perlahan-lahan mengerahkan Im-kang sehingga hawa
dingin tersalur dari telapak tangannya.
“Ihhh! Bukan
main kuatnya sinkang-mu Moi-moi! Mungkin menyamai kekuatanku!”
Siauw Bwee
menghentikan saluran Im-kang-nya dan tersenyum manja. “Kau merendahkan diri,
Suheng. Tenagamu jauh lebih besar dari pada tenagaku. Akan tetapi dengan
bantuanku kita berdua akan dapat menyembuhkanmu dengan cepat. Mari kita temui
Coa-supek.”
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment