Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 22
Suma Hoat
terbelalak, bukan hanya oleh kata-kata yang keras dan penuh keangkuhan ini,
melainkan juga karena terpesona oleh wajah yang kini tampak jelas olehnya.
Kulit muka itu agak kecoklatan karena tertimpa sinar matahari, namun wajah itu
benar-benar luar biasa cantiknya, terutama sekali matanya yang bersinar-sinar
seperti bintang pagi, mulutnya yang manis dalam gerakan apa pun juga. Dari
seluruh kepribadian gadis ini mengakibatkan getaran di hatinya, getaran yang
dirasainya ketika ia bertemu dengan Khu Siauw Bwee. Tak salah lagi, dia jatuh
cinta untuk ketiga kalinya, dan mungkin yang terakhir ini paling parah! Rasanya
dia rela berkorban apa pun juga untuk dapat menjadi suami gadis ini!
“Baiklah,
aku tidak boleh terlalu banyak mengharap sebelum memperlihatkan kemauan baikku,
Nona. Hanya aku yakin bahwa Nona bukanlah seorang berbangsa Mancu, dan juga
bukan seorang gadis Han...”
“Cukup semua
ini. Kalau kau memang hendak membantuku, aku ingin mengetahui kekuatan yang
menjaga benteng Siang-tan ini, berapa besar bala tentaranya, siapa
komandan-komandannya, dari mana akan didatangkan bala tentara kalau benteng
terdesak, dan apa macamnya jebakan-jebakan dan barisan pendam di luar tembok
benteng, dari mana datangnya pasukan inti kalau musuh datang, di mana ditempatkannya
barisan panah.”
Suma Hoat
melongo. Benar-benar seorang mata-mata yang hebat, pikirnya, dan agaknya
menguasai benar pekerjaan perang!
”Aku akan
berusaha mendapatkan keterangan-keterangan itu, Nona. Di kamar belakang sebelah
kanan terdapat bahan-bahan makan dan minum untukmu. Aku akan pergi mencari
keterangan untukmu, malam nanti aku akan datang. Harap Nona jangan meninggalkan
tempat ini sebelum gelap.”
Maya
mengangguk, akan tetapi sebelum Suma Hoat tiba di pintu dia memanggil. ”Tunggu
dulu!”
Suma Hoat
membalik dan menatap wajah itu, beberapa kali menelan ludah. Bibir itu! Mata
itu! Ingin dia berlutut dan menyatakan cinta kasihnya di saat itu juga! Akan
tetapi, menghadapi seorang wanita seperti ini, dia tidak boleh lancang dan
sembrono. Dan sekali ini dia tidak boleh gagal, cinta kasihnya harus mendapat
sambutan, kalau tidak, dia tidak dapat membayangkan apa yang terjadi kalau
kembali cintanya berantakan!
“Ada pesan
apakah, Nona?”
“Hanya
sebuah pertanyaan yang kuminta kau jawab dengan sebenarnya, karena kalau kau
membohong tiada gunanya. Kenapa engkau melakukan ini semua? Kenapa engkau
membantu aku, padahal aku tahu pasti bahwa engkau bukanlah seorang sekutu
Kerajaan Mancu?” Setelah bertanya demikian, sambil menanti jawaban Maya
memandang dengan sinar mata tajam yang seolah-olah menembus dan menjenguk isi
hati pemuda itu.
Suma Hoat
merasa silau dan karena memang dia tidak menyembunyikan sesuatu, memang
perasaannya terhadap gadis itu sudah jelas dan wajar, maka dia menentang sinar
mata tajam itu sambil menjawab dengan hati terbuka sehingga suaranya tenang dan
jujur. “Aku sengaja membantumu bukan karena engkau mata-mata Mancu, Nona, juga
bukan karena dalih dan pamrih apa pun juga, melainkan semata-mata karena aku
ingin membantumu karena aku kagum kepadamu, dan karena ada dorongan di hatiku
yang membuat aku ingin berkorban apa juga demi untukmu. Nah, sampai jumpa!”
Suma Hoat
membalikkan tubuhnya tanpa menanti reaksi dari pertanyaannya yang hampir
membuka rahasia hatinya itu. Dia sudah nekat dan pasrah andai kata gadis itu
menjadi marah dan menyerangnya. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu, sehingga
ketika tiba di luar rumah hati Suma Hoat lega bukan main, bukan lega karena dia
tidak diserang atau dibunuh, melainkan lega penuh harapan karena kalau gadis itu
tidak marah, berarti dia sudah menang separuh!
Memang Maya
tidak berbuat sesuatu. Gadis itu telalu heran mendengar jawaban yang ia yakin
bukan bohong itu. Terlalu heran dan terlalu kaget sehingga dia hanya duduk
melongo sampai pemuda itu lenyap dari depannya. Barulah ia sadar dan menarik
napas panjang. Gila! Putera Suma Kiat menaruh hati cinta kepadanya! Hemmm,
berkali-kali dia digoda cinta kasih pria, dari Can Ji Kun yang masih harus
diragukan cintanya yang mungkin palsu, sampai Pangeran Bharigan yang tak dapat
diragukan lagi cinta kasihnya. Namun mana mungkin dia memperhatikan, apa lagi
membalas cinta kasih pria lain kalau hatinya sudah dia serahkan sebulatnya
kepada suheng-nya, Kam Han Ki?
Hampir Maya
menitikkan air mata ketika ia teringat akan suheng-nya, teringat betapa
pertemuannya dengan suheng-nya amat menyakitkan hati. Dia sudah mengaku cinta,
sudah rela meninggalkan semua ini, melupakan semua dendamnya, tidak lagi
mencampuri urusan dunia, ikut sehidup semati dengan suheng-nya di Pulau Es,
memadu cinta sampai hayat meninggalkan raga, asal saja suheng-nya tidak membagi
kehidupan mereka berdua dengan kehadiran Siauw Bwee.
Akan tetapi
suheng-nya tidak mau! Sungguh menyakitkan hatinya dan menurut patut, tidak
seharusnya dia mati-matian mencinta orang yang begitu tak tahu dicinta! Sudah
sepatutnya kalau dia memperhatikan, mungkin membalas cinta kasih yang murni
dari Pangeran Bharigan, atau memperhatikan sinar mata mengandung kasih yang
begitu mesra dan menggairahkan yang terpancar dari mata Suma Hoat!
“Alhh,
Suheng..., Suheng...!” Ia mengeluh, hatinya merintih, namun kekerasan hatinya
membuat dia pantang menitikkan air mata.
Ia melupakan
kedukaan hatinya dengan mencurahkan pikiran kepada tugasnya sebagai mata-mata.
Apa pun yang akan terjadi dengan gejolak hatinya, yang terang pekerjaannya akan
berhasil baik dengan bantuan seorang putera jenderal! Bahkan kalau dia bisa
mempengaruhi Suma Hoat untuk membujuk Jenderal Suma Kiat membantu penyerbuan
pasukan Mancu dari dalam kota Siang-tan, tentu akan mudah menalukkan kota
benteng yang amat kuat ini!
**************
Kedua orang
panglima pembantu Maya yaitu Kwa-huciang dan Theng-ciangkun, berhasil
menyelamatkan diri dari kepungan. Dengan menyamar sebagai pengemis mereka dapat
menyelinap di antara banyak pengemis yang berkeliaran di kota itu, yang
berkelompok di emper-emper kuil, di bawah jembatan, di pasar-pasar.
Berbeda
dengan dua orang ini, Ji Kun dan Yan Hwa tidak sudi untuk menyamar sebagai
ngemis dan bercampur dengan orang-orang yang berbaju kotor, berbadan kotor dan
berbau apek itu. Di dalam keadaan terancam ini, timbul cinta kasih antara Ji
Kun dan Yan Hwa sehingga ke mana pun mereka lari bersama, saling melindungi dan
tak mau saling berpisah.
Memang
demikianlah sifat dan watak kedua orang ini. Di waktu ada bahaya saling
menolong dan saling melindungi tanpa mengingat akan keselamatan diri sendiri,
namun dalam keadaan bebas dan damai, keduanya selalu bertengkar dan tak mau
saling mengalah. Mereka sama sekali tidak sadar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang
berada di tangan mereka itu mengeluarkan pengaruh mukjizat dan jahat sekali,
yang menambah persaingan di antara mereka karena dengan mengandalkan pedang
masing-masing, mereka tidak mau mengalah dan hal inilah yang merupakan
penghalang rasa cinta kasih mereka yang sebetulnya amat mendalam itu.
Ketika kedua
orang murid Mutiara Hitam ini berhasil lolos dari kepungan para prajurit,
mereka bersembunyi di wuwungan rumah lalu berunding sebentar. Tak lama kemudian
mereka berhasil menyambar dua orang prajurit yang berada di tempat terpisah,
melucuti pakaian mereka dan dengan mengenakan pakaian prajurit mereka
menyelinap di dalam kegelapan malam, kemudian berhasil lolos ke luar dari kota
melalui pintu gerbang sebelah selatan, yaitu pada saat diadakan penggantian penjaga.
Barulah para penjaga tahu bahwa dua orang di antara mereka adalah palsu ketika
Ji Kun dan Yan Hwa berlari cepat meninggalkan pintu gerbang. Pengejaran
dilakukan, akan tetapi tak mungkin pasukan itu dapat menandingi ilmu lari cepat
dua orang murid Mutiara Hitam ini. Apa lagi malam yang gelap segera menelan
bayangan mereka.
Setelah
berlari jauh, dua orang muda itu meninggalkan pakaian prajurit dan duduk
mengaso dalam sebuah hutan, di atas akar pohon menonjol. Yan Hwa agak
terengah-engah dan gadis ini membereskan rambutnya yang tadi awut-awutan karena
tadi disembunyikan dalam topi prajurit. Melihat rambut sumoi-nya terurai, Ji
Kun segera memeluknya dan menciumnya. Yan Hwa tertawa dan balas mencium dengan
mesra. Pengalaman berbahaya tadi mendekatkan hati mereka dan ciuman-ciuman
mereka menambah mesra perasaan hati. Akan tetapi ketika Ji Kun hendak berbuat
lebih jauh lagi, Yan Hwa mendorong dadanya dengan halus.
“Ihhh...!
Tugas belum selesai ingin yang bukan-bukan!”
Ji Kun
tertawa. Buyarlah hasrat hatinya. Sambil mempermainkan rambut kekasihnya yang
panjang hitam dan gemuk, dia berkata, “Kita telah bebas. Sungguh berbahaya
sekali!”
“Malu kita
melarikan diri terbirit-birit seperti dua ekor tikus. Enci Maya dan yang
lain-lain tentu sedang sibuk melakukan penyelidikan di dalam kota, sedangkan
kita berada jauh di luar kota, enak-enakan. Sungguh harus malu!” Yan Hwa
mencela.
”Aihh,
bukankah kita sudah bersepakat untuk lari keluar kota? Engkau tidak mau
menyamar sebagai pengemis.”
“Ihh,
jijik!”
“Kita
terpaksa lari ke luar karena keadaan amat berbahaya. Dengan keributan seperti
itu dan penjagaan amat ketat di dalam kota, biar pun kita berada di sana juga
tak mungkin dapat bekerja. Pula, apakah hanya di dalam kota saja yang perlu
diselidiki? Kurasa menyelidiki di luar tembok benteng tidak kalah pentingnya,
menyelidiki barisan pendam mereka, dan pertahanan pertama mereka. Selain itu,
kalau keadaan di kota sudah mereda, masuk lagi ke sana apa sukarnya bagi kita?”
“Habis,
sekarang kita mau apa?” Yan Hwa bertanya.
Ji Kun
tertawa, “Menanti sampai matahari terbit, baru nanti mencari jalan menyelidiki
ke dekat tembok benteng. Sekarang, sambil menanti, mau apa lagi, Sumoi yang
manis?”
Dia memeluk
lagi dan sekali ini Yan Hwa juga timbul kasih sayangnya, melayani cumbu rayu
suheng-nya. Keduanya tenggelam dalam gelombang asmara, akan tetapi Yan Hwa yang
rebah dengan telinga menempel tanah tiba-tiba mendorong dada kekasihnya.
“Ada barisan
datang...!”
Ji Kun
terkejut. Keduanya melompat bangun, lalu dengan cekatan seperti dua ekor
burung, mereka melompat ke atas, menyambar dahan pohon dan dalam beberapa detik
saja dua orang yang lihai itu telah berada di puncak pohon tertinggi, mengintai
ke sana-sini. Akhirnya mereka melihat lampu bergerak-gerak di selatan, dan
akhirnya beberapa pasang lampu itu berhenti.
“Apakah
itu?” Yan Hwa bertanya.
“Menurut
suaranya tentu derap kaki kuda, dan lampu-lampu itu tak salah lagi, tentu lampu
kendaraan kereta. Mereka berhenti di sana, hayo kita menyelidiki!”
Dengan cepat
sekali, tanpa mengeluarkan suara, kedua orang muda itu mendekati tempat itu dan
melihat bahwa rombongan yang berhenti itu adalah rombongan terdiri dari empat
buah kereta yang dikawal ketat oleh pasukan pengawal sejumlah lima puluh orang.
Ketika tenda-tenda kereta yang berkumpul itu tersingkap, dengan heran sekali
Yan Hwa dan Ji Kun melihat gadis-gadis cantik yang duduk di dalam joli kereta,
setiap kereta terisi enam orang gadis cantik. Mereka itu kelihatan berduka, ada
pula yang menangis terisak.
Ji Kun dan
Yan Hwa menyelinap di antara pohon-pohon, mendekati komandan dan para
pembantunya yang duduk mengelilingi api unggun, mendengarkan percakapan mereka.
”Dalam
keadaan terancam penyerbuan barisan Mancu, mengumpulkan siuli (gadis cantik
calon selir pangeran atau raja), sungguh mementingkan kesenangan sendiri saja,”
seorang perwira mengeluh.
“Hati-hati
dengan mulutmu!” Komandan pasukan yang berpakaian panglima membentak
bawahannya, “Bukan tidak ada gunanya kalau Suma-goanswe menyuruh kita
mengumpulkan gadis-gadis cantik untuk Pangeran Ci Hok Ong di Siang-tan. Kita
hanyalah pelaksana, perlu apa memusingkan sebab-sebabnya?”
“Akan
tetapi, mengapa kita bermalam di sini, tidak langsung terus ke Siang-tan?”
tanya seorang perwira lain.
“Hemm,
orang-orang kang-ouw tentu tidak membiarkan perampasan wanita-wanita cantik
ini, dan hutan-hutan di depan amat besar. Lebih aman melewatkan malam di sini,
besok pagi baru melanjutkan perjalanan. Kalau kita disergap di dalam hutan,
tentu akan sulit mempertahankan penumpang-penumpang itu. Jumlah mereka sudah
dihitung, dan kita akan celaka kalau sampai hilang seorang saja. Suma-goanswe
tentu akan menghukum kita!”
Ji Kun dan
Yan Hwa saling pandang di dalam gelap, kemudian Ji Kun mendekatkan mulutnya di
telinga kekasihnya dan berbisik, “Kesempatan baik untuk kita!”
Ia lalu
berbisik-bisik mengatur rencana. Sumoi-nya mengangguk-angguk, sehingga pipinya
yang halus itu menyentuh dan mengusap hidung dan mulutnya, membuat Ji Kun tidak
tahan untuk tidak mencium pipi itu. Sebuah cubitan dari Yan Hwa memperingatkannya
dan mereka lalu berpencar, siap melaksanakan rencana yang dibisikkan Ji Kun
tadi.
Tak lama
kemudian terdengar pekik kesakitan dan seorang di antara pengawal yang sedang
berdiri menjaga di sebelah kanan roboh. Keadaan menjadi kacau dan semua
pengawal lari ke tempat itu di mana terdapat Ji Kun mengamuk di dalam gelap.
Para perwira cepat menghunus golok dan mengepung, akan tetapi sekali melompat,
Ji Kun telah lenyap ke dalam kegelapan hutan kecil itu karena dia melihat
bayangan sumoi-nya yang berkelebat.
Memang
seperti direncanakan semula, ternyata sumoi-nya telah berhasil menculik seorang
di antara gadis siuli dari kereta terdepan. Terdengar jerit para siuli lainnya
dan ketika para pengawal melihat bahwa yang terculik adalah gadis yang paling
cantik, mereka menjadi bingung, marah dan khawatir bukan main.
Panglima
pasukan marah-marah dan terdengar bentakan-bentakannya, “Hayo cari dia! Kalau
tidak dapat terampas kembali, nyawa kita menjadi taruhan!”
Akan tetapi
para pengawal sudah dibikin gentar oleh ketangkasan Ji Kun tadi dan mereka
menyaksikan bayangan yang melarikan siuli tadi pun seperti iblis saja. Pula
mereka berada di hutan yang gelap, ke mana harus mencari? Betapa pun juga
karena takut kepada komandan mereka, takut pula kalau kehilangan itu akan
dilimpahkan kepada mereka, dengan obor di tangan para pengawal itu mencari di
sekitar tempat itu.
Namun Yan
Hwa dan Ji Kun sudah berada jauh di tengah hutan besar dan gadis cantik itu
kini tidak takut lagi. Bahkan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Yan Hwa
dan Ji Kun sambil berkata,
“Terima
kasih atas pertolongan Ji-wi, entah bagaimana saya dapat membalas budi
pertolongan Ji-wi yang membebaskan saya dari mala-petaka ini.”
Cuaca pagi
kemerahan membuat Ji Kun dapat meneliti wajah gadis itu yang sesungguhnya
cantik manis. Dia lalu memegang kedua pundak gadis itu, diangkatnya bangun
sambil tersenyum. “Manis, kami tidak mengharapkan balasan dan aku akan cukup
puas kalau engkau membalasnya dengan sebuah ciuman!” Berkata demikian, dia
memeluk dan mengecup bibir gadis itu yang tentu saja menjadi tersipu-sipu, dan
ketika Ji Kun melepaskan pelukannya, gadis itu terhuyung ke belakang dan
menangis.
“Suheng!
Engkau... engkau...!” Yan Hwa membentak marah tangannya meraba gagang pedang.
“Eiiitt,
Sumoi. Engkau cemburu?”
“Tentu saja!
Hanya sebegitukah cintamu kepadaku? Engkau pernah tergila-gila kepada Enci Maya
dan sekarang... katakan, siapa yang kau cinta? Gadis ini?”
“Wah-wah,
apakah engkau anak kecil? Tentu saja hanya engkau yang kucinta, sedangkan yang
lain-lain termasuk gadis ini, hanya tubuhku saja yang tertarik, bukan hatiku.
Apakah engkau tidak mernbolehkan suheng-mu bersenang-senang sedikit?”
“Hemmm...
laki-laki ceriwis mata keranjang! Lihat saja nanti pembalasanku kalau ada
kesempatan. Eh, bocah, kami telah menyelamatkanmu dan sekarang bersembunyilah
di sini. Jangan pergi ke mana-mana sebelum lewat hari ini atau engkau akan
tertawan lagi dan mendapat hukuman. Kami pergi!”
Yan Hwa dan
Ji Kun meloncat dan berkelebat pergi meninggalkan gadis itu yang menjadi
ketakutan sekali dan menangis di antara semak-semak belukar di mana dia
ditinggalkan seorang diri. Dia seorang gadis yang lemah, dan biar pun dia kini
telah dibebaskan, namun ditinggalkan seorang diri di tempat itu, tentu saja dia
ketakutan dan tidak tahu ke mana harus pergi. Untuk kembali ke kampungnya, dia
tidak mengenal jalan.
Ketika beberapa
orang anak buah pasukan pengawal mencari-cari sampai pagi dan tiba di pinggir
hutan besar, tiba-tiba mereka melihat seorang wanita muda yang cantik sedang
sibuk mengumpulkan kayu kering. Wanita ini bukan lain adalah Ok Yan Hwa yang
sengaja memperlihatkan sikap terkejut dan takut melihat datangnya tujuh orang
pengawal berikut seorang perwira pengawal itu. Dia menjerit, melepaskan
kayu-kayu kering yang dikumpulkannya lalu melarikan diri. Tentu saja dia
berlari biasa seperti lari seorang gadis lemah dan sebentar saja ia telah
tertangkap, kedua lengannya dipegang dari kanan kiri oleh dua orang pengawal.
“Ha-ha-ha-ha,
engkau hendak lari ke mana?” Seorang di antara mereka berkata.
”Ehhh...,
ini bukan dia!” Perwira pengawal berseru kaget setelah melihat Yan Hwa. “Dia
hanya seorang gadis dusun, akan tetapi... hemmm, aku berani bertaruh dia tidak
kalah cantik menarik dari pada siuli yang lenyap tadi!”
“Benar, dia
jelita sekali!” Para anak buahnya berkata dan semua mata memandang Yan Hwa
dengan kagum.
Kedua pipi
Yan Hwa menjadi merah dan dia pura-pura meronta sambil berteriak, “Kalian
siapakah? Mengapa aku ditangkap?”
“Anak baik,
engkau tinggal di mana?” Perwira itu bertanya.
“Aku tinggal
di sebuah dusun di luar hutan di seberang sana. Aku mencari kayu bakar untuk di
jual...” Yan Hwa menjawab ketakutan, matanya yang indah bening terbelalak.
”Apakah
engkau melihat orang-orang di dalam hutan besar ini?”
Yan Hwa
menggeleng kepala.
“Hemmm...,”
Sang Perwira menggosok-gosok jenggot pendeknya. “Bawa dia kepada Ciangkun,
kurasa jalan satu-satunya hanyalah menggantikan yang hilang dengan dia ini.”
Yan Hwa
menjerit-jerit ketika dipaksa ikut bersama mereka menuju ke rombongan kereta
dan di situ dia menjadi tontonan semua pengawal. Panglima yang memimpin pasukan
pengawal mendengarkan laporan perwira dan mengangguk-angguk. “Memang tidak ada
jalan lain yang lebih baik lagi. Eh, Nona muda. Siapa namamu?”
“Nama saya
Yan Hwa, she Ok,” jawab Yan Hwa yang tidak khawatir memperkenalkan nama aslinya
karena namanya memang tidak terkenal.
“Dengar, Ok
Yan Hwa. Engkau ingin mati atau hidup?” Suara panglima itu terdengar kereng dan
penuh ancaman.
Dengan
sinkang-nya yang sudah tinggi tingkatnya, Yan Hwa dapat membuat jalan darahnya
terhenti sehingga mukanya menjadi pucat. “Saya... saya ingin hidup,
Tai-ongya...”
“Hushh! Aku
bukan kepala perampok!” bentak Si Panglima yang disebut tai-ong (raja besar),
sebutan yang biasa dipergunakan orang terhadap kepala perampok. “Sebut aku
Tai-ciangkun, mengerti?”
“Baik,
Tai-ciangkun...”
“Kalau
engkau ingin hidup, mulai sekarang engkau harus menjadi seorang di antara
gadis-gadis cantik di dalam kereta ini untuk dipersembahkan kepada Pangeran Ciu
Hok Ong di Siang-tan. Engkau tidak boleh menceritakan tentang peristiwa malam
ini kepada siapa pun juga. Katakan bahwa engkau adalah seorang di antara mereka
yang kami pilih. Kalau engkau menurut, engkau akan hidup mewah dan mulia di
istana Pangeran, mungkin menjadi selir Pangeran yang terkasih, sedikitnya
menjadi pelayan istana. Kalau menolak, sekarang juga kusembelih lehermu sampai
putus!”
“Iihhh...
ampun... ampun, Tai-ciangkun... hamba tidak berani menolak, hanya... hamba
harus memberi tahu ayah ibu dulu di dusun...”
“Tidak usah!
Tinggal pilih, sekarang juga, ingin mati atau hidup?”
Yan Hwa menangis
akan tetapi mengangguk-angguk. “Baik, Tai-ciangkun... hamba... hamba
menurut...”
Yan Hwa
disuruh memasuki kereta terdepan dan dipaksa berganti pakaian yang indah. Semua
siuli memang diharuskan berpakaian indah dan panglima itu masih mempunyai
beberapa potong pakaian untuk perlengkapan. Setelah itu, komandan pasukan
mempersiapkan orang-orangnya untuk memberangkatkan rombongan kereta itu.
Akan tetapi,
kembali terjadi kekacauan ketika rombongan itu baru saja berangkat. Tiba-tiba
dua ekor kuda yang menarik kereta terdepan meringkik keras lalu membedal ke
depan seperti dikejar setan. Sia-sia saja kusirnya berusaha menahan kedua kuda
yang kabur itu, bahkan kini panglima itu sendiri bersama beberapa orang
pembantunya membalapkan kuda untuk mengejar dan menyelamatkan kereta itu. Kalau
sampai kereta terguling dan lima orang siuli di dalamnya celaka, benar-benar
mereka menghadapi kesulitan besar!
Melihat
panglima itu dan pembantu-pembantunya mengejar, dua ekor kuda penarik kereta
yang kabur itu menjadi makin binal. Kusirnya berteriak-teriak dengan panik,
menarik-narik kendali kuda, namun tetap tidak berhasil menghentikan kaburnya
dua ekor kuda itu.
Tiba-tiba
muncul seorang pemuda yang bukan lain adalah Ji Kun. Dia lari dari samping
menangkap kendali kuda, meloncat ke atas punggung kuda. Diam-diam dia mencabut
dan membuang dua buah duri yang tadi menancap di dekat ekor kuda, kemudian dia
menarik kendali kuda dan menggunakan kekuatan tangan, diam-diam mengerahkan
sinkang-nya, kakinya menjapit perut kuda.
Semua ini
dilakukan oleh Ji Kun dengan mengurangi ketangkasannya sehingga dia tidak
kelihatan sebagai seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, melainkan
sebagai seorang ahli mengatasi kuda-kuda kabur. Setelah dua ekor kuda itu
berhenti, dia pura-pura lemas dan ketika melompat turun, dia terhuyung dan
hampir jatuh. Sambil mengusap keringatnya dia berkata, “Wah, bahaya sekali...,
dua ekor kuda ini malam tadi tentu makan rumput merah dan menjadi binal!”
Panglima dan
para perwira sudah tiba di situ dan melihat mereka, Ji Kun cepat menjatuhkan
diri berlutut. Dengan pandang mata penuh kecurigaan panglima itu bertanya,
“Engkau siapa?”
“Nama hamba
Can Ji Kun, pekerjaan hamba sebagai ahli kuda. Dahulu di utara hamba pernah
bekerja kepada seorang peternak kuda yang besar, kemudian karena perang hamba
lari ke selatan dengan maksud mencari pekerjaan yang sesuai dengan kepandaian
hamba. Kebetulan hamba melihat kereta dikaburkan kuda dan mengandalkan keahlian
hamba, hamba lupa diri dan menolong. Harap Tai-ciangkun suka memaafkan
kelancangan hamba.”
Hilanglah
kecurigaan panglima itu dan dia mengangguk-angguk. “Bagus, kami berterima
kasih, Ji Kun. Kalau engkau mencari pekerjaan, mulai sekarang kau boleh
mengurus kuda dan mengusiri kereta ini. He kau turun!” Bentak Sang Panglima
kepada kusir yang masih pucat wajahnya.
Dengan tubuh
gemetar kusir itu turun dari atas kereta dan sekali mengulur tangan panglima
itu telah merampas cambuk, kemudian mencambuki kusir itu sambil memaki-maki,
“Manusia tolol! Goblok! Hampir saja engkau mencelakakan kita semua!”
Cambuk itu
menari-nari di atas tubuh kusir yang berlutut dan minta-minta ampun. Pakaiannya
robek-robek dan kulit tubuhnya babak-belur dan berdarah. Setelah puas, panglima
itu berkata, “Kau harus jalan di belakang kereta, pengadilan akan menjatuhkan
hukuman nanti di kota!”
Rombongan
itu berangkat lagi dan kini Can Ji Kun duduk di tempat kusir, memegang cambuk
dan mengendalikan kuda menarik kereta di mana duduk pula Ok Yan Hwa yang
menjadi girang sekali melihat betapa siasat mereka berjalan lancar dan berhasil
baik. Tentu saja dua ekor kuda itu tadi kabur ketika diam-diam Yan Hwa
menyerangnya dari belakang dengan dua buah duri yang sudah dipersiapkannya
sebelumnya, menyambitkan duri-duri itu mengenai pantat kuda yang menjadi kaget dan
kesakitan lalu kabur.
Tak lama
kemudian rombongan memasuki hutan besar yang ditakuti Sang Komandan. Tiba-tiba
komandan ini berteriak, “Awas, di depan ada orang!”
Ji Kun yang
berada di depan kereta pertama sudah melihat orang-orang itu, dan dia
mengerutkan alisnya. Jelas tampak olehnya bahwa yang menghadang di depan itu
tentulah orang-orang kang-ouw. Sikap mereka gagah dan bukanlah kasar seperti
sikap perampok. Ada tujuh orang laki-laki yang menghadang di depan, berjajar
memenuhi jalan.
Komandan dan
para perwira memberi aba-aba menghentikan kereta, kemudian memerintahkan
pasukan mengurung kereta-kereta itu, dan dia sendiri bersama sisa pasukan lalu
melarikan kuda menghampiri orang-orang yang menghadang itu. Seorang laki-laki
berusia lima puluh tahun, dengan sebatang golok besar di punggung, berjenggot
panjang dan bersikap gagah perkasa, memimpin para penghadang itu, berdiri
bertolak pinggang dan sinar matanya tajam menatap Sang Panglima.
Panglima
yang duduk dengan angkuhnya di atas kuda itu membentak, “Kalian mau apa
menghadang di sini? Minggirlah! Apa tidak melihat bahwa kami pasukan pengawal
dari kerajaan? Apakah kalian ini pemberontak-pemberontak atau
pengkhianat-pengkhianat yang hendak melawan pasukan kerajaan?”
Laki-laki
berjenggot panjang itu mengelus jenggotnya dengan tangan kiri, kemudian
menjawab, “Ciangkun, kami adalah orang-orang gagah yang sama sekali tidak
berjiwa pengkhianat atau pemberontak. Bahkan sebaliknya, kami adalah patriot-patriot
negara yang menjadi pelindung rakyat yang tertindas! Negara dalam keadaan
perang. Mengapa para pembesar hanya mementingkan kesenangan diri pribadi dan
menambah beban rakyat dengan menculik dan memaksa gadis-gadis orang untuk
dijadikan korban kebuasan nafsu pembesar? Kami tidak akan melawan pasukan
kerajaan, akan tetapi kami menuntut agar para gadis yang ditawan dalam kereta
itu dibebaskan!”
“Hemm, enak
saja kau bicara! Para gadis ini adalah calon-calon dayang atau selir pangeran,
nasib mereka sudah pasti akan jauh lebih baik dari pada kalau mereka berada di
rumah. Mereka akan menjadi orang-orang terhormat dan hidup mewah, bahkan
keluarga mereka akan ikut pula menjadi orang terhormat. Kalian bilang bukan
pemberontak, akan tetapi hendak menentang kehendak pangeran dan hendak melawan
pasukan pemerintah. Pergilah sebelum kami basmi kalian kaum petualang
pemberontak!”
“Ciangkun,
alasan kuno yang kau kemukakan itu memuakkan! Kau sendiri tahu betapa
gadis-gadis itu pergi dengan paksaan. Dengar mereka terisak-isak, menangis.
Kalau mereka pergi dengan sukarela, kami pun bukan orang-orang yang lancang
mencampuri urusan orang. Akan tetapi karena melihat gadis-gadis itu dipaksa
yang berarti penindasan kejam, kami tak mungkin berpeluk tangan saja. Kalau kau
tidak mau membebaskan mereka sekarang juga, terpaksa kami menggunakan
kekerasan.”
“Si
pemberontak keparat! Serbu!” Panglima itu mengeluarkan aba-aba dan para
pengawal yang berjalan kaki sudah bersorak sambil maju menyerbu tujuh orang
itu.
Mereka ini
pun sudah mencabut senjata masing-masing dan terjadilah pertandingan yang seru
antara tujuh orang gagah itu melawan tiga puluh orang pasukan pengawal,
sedangkan yang lain bertugas menjaga kereta-kereta dengan mengurungnya.
Can Ji Kun
dan Ok Yan Hwa merasa serba salah. Orang-orang kang-ouw itu ternyata cukup
lihai sehingga banyak anak buah pengawal yang roboh, sedangkan panglima dan
para perwira juga terdesak. Terutama sekali Si Jenggot Panjang amat lihai
mainkan goloknya.
Dua orang
murid Mutiara Hitam menjadi bingung. Tentu saja di dalam hati mereka, mereka
berpihak kepada tujuh orang itu dan andai kata mereka tidak sedang bertugas,
tentu mereka membantu tujuh orang itu dan membasmi pasukan pengawal. Akan
tetapi dalam keadaan sekarang, andai kata turun tangan, mereka seharusnya
membantu pasukan pengawal dan merobohkan penghalang itu agar mereka dapat cepat
masuk kota dan dapat memulai dengan tugas mereka! Karena serba salah, baik Ji
Kun mau pun Yan Hwa hanya duduk menonton saja dan dari permainan golok dan
pedang para orang gagah itu, mereka dapat menduga bahwa mereka itu tentulah
anak-anak murid Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai.
Agaknya
pihak pasukan pengawal takkan kuat menghadapi tujuh orang gagah itu kalau
pertandingan dilanjutkan seperti itu tanpa campur tangan lain. Selagi Ji Kun
dan Yan Hwa saling lirik ketika Ji Kun menyingkap tenda dan menjenguk ke dalam,
tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah sebuah pasukan kecil terdiri
dari selosin prajurit berkuda, dikepalai oleh seorang laki-laki bermuka panjang
seperti kuda!
Ketika
melihat pertempuran itu, laki-laki bermuka kuda itu yang bukan lain adalah
Siangkoan Lee cepat membawa pasukannya menyerbu dan terkejutlah tujuh orang itu
karena orang bermuka kuda ini benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Dengan
sebuah golok melengkung Siangkoan Lee sudah meloncat turun dari atas kudanya
dan mengamuk.
Orang gagah
berjenggot panjang yang menandinginya dirobohkannya dalam waktu belasan jurus
saja. Juga pasukannya ternyata adalah pasukan istimewa yang rata-rata memiliki
ilmu silat tinggi. Orang-orang gagah itu melakukan perlawanan mati-matian,
namun akhirnya mereka semua roboh dan tewas jadi sasaran hujan senjata para
pasukan pengawal! Pertempuran berhenti dan berakhir dengan matinya tujuh orang
gagah itu dan belasan orang prajurit pengawal.
Siangkoan
Lee segera berkata kepada panglima pengawal yang terluka pundaknya dalam
pertempuran tadi. “Atas perintah Goanswe, seluruh siuli supaya langsung dibawa
ke istana pangeran dan harap bergerak cepat karena Pangeran sudah tidak sabar
menanti. Mengapa sekarang baru tiba di sini?”
“Maaf,
Siangkoan-taihiap, kami terpaksa bermalam di luar hutan besar karena kami
khawatir akan penyergapan di tengah malam dalam hutan itu.”
“Hemm,
disergap di pagi hari pun kau tak mampu melindungi kereta-kereta itu!” kata Si
Muka Kuda dengan suara menghina. “Kalian sudah terlambat, hayo cepat
berangkat!”
Karena takut
kalau murid dan orang kepercayaan Jenderal Suma Kiat yang galak dan lihai itu
akan menjadi marah dan menyalahkan mereka, maka para pengawal tidak berani
bercerita tentang hilangnya seorang gadis yang diganti gadis lain dan seorang
kusir baru yang mereka terima untuk jasanya menolong mereka terlepas dari
bencana ketika kereta kabur. Hal ini menguntungkan dua orang murid Mutiara
Hitam, karena kalau diketahui Siangkoan Lee, tentu orang yang lihai dan cerdik
ini akan menjadi curiga dan menyelidiki mereka.
Demikianlah,
tanpa menimbulkan kecurigaan Yan Hwa ditempatkan di dalam istana pangeran
bersama para gadis lain. Berkat kepandaiannya mengurangi riasan muka dan
membuat mukanya pucat seperti orang berpenyakitan kalau dihadapkan Pangeran, Ok
Yan Hwa berhasil membuat Pangeran kehilangan seleranya. Akan tetapi gadis ini
amat rajin dan pandai melayani, sehingga Yan Hwa tidak diambil selir melainkan
diberi pekerjaan sebagai dayang pelayan. Sedangkan Ji Kun menjadi seorang
tukang mengurus kuda. Tentu saja dua orang muda yang lihai ini mendapatkan
kesempatan baik untuk melakukan penyelidikan, dan terutama sekali Yan Hwa yang
selalu dekat dengan Pangeran dan mengetahui apa bila ada tamu-tamu penting yang
datang bertemu dengan Pangeran.....
**************
Maya duduk
termenung di dalam pondok di mana dia bersembunyi. Hari telah hampir malam dan
dia menanti kedatangan Suma Hoat. Telah empat hari dia berada di tempat
persembunyiannya ini dan selama empat hari itu dia mendengar banyak dari Suma
Hoat. Dia sendiri pun setiap malam keluar melakukan penyelidikan, namun harus
dia akui bahwa tanpa bantuan keterangan-keterangan yang amat penting dari
pemuda itu, akan sukarlah baginya menyelidiki keadaan musuh.
Penjagaan
amat ketatnya dan kini dia mendengar dari Suma Hoat bahwa benteng kota
Siang-tan ini benar-benar amatlah kuatnya, jauh berbeda dengan kota Sian-yang.
Bahkan dia mendengar dari Suma Hoat bahwa benteng itu sedang mendatangkan
barisan bantuan dari selatan untuk menghadapi ancaman pasukan-pasukan Mancu
yang telah menduduki Sian-yang. Dengan barisan bantuan itu, jumlah pasukan Sung
menjadi lebih besar dari pada pasukan Mancu dan Maya berpikir bahwa untuk
menyerbu ke Siang-tan, pasukan Mancu harus mendatangkan bala bantuan juga.
Suma Hoat
banyak membantunya dan diam-diam dia merasa berterima kasih kepada pemuda itu.
Pemuda musuh besarnya karena bukankah pemuda itu putera Suma Kiat? Namun harus
dia akui bahwa di dalam hatinya, dia tidak membenci Suma Hoat. Bahkan
sebaliknya, dia merasa kagum dan suka kepada pemuda itu yang jelas menaruh hati
cinta kepadanya. Hal ini mudah saja dia lihat dari pandang matanya, dari sikap
dan gerak-geriknya, dari suara dan dari senyumnya.
Teringat
akan hal ini, Maya menarik napas panjang karena terbayanglah wajah satu-satunya
orang yang dicintanya, wajah Kam Han Ki. “Aihhh, Suheng. Banyak pria yang jatuh
cinta kepadaku, akan tetapi mengapa engkau seorang yang kuharapkan, bahkan
mengecewakan hatiku?” Teringat akan suheng-nya, Maya menundukkan mukanya dan
perasaan rindu dendam mencekam hatinya, membuatnya menggigit bibir menahan
tangis.
Gerakan
orang memasuki rumah itu menyadarkannya dan ia cepat meloncat bangun. Bukan
Suma Hoat, pikirnya. Pemuda itu memiliki gerakan yang ringan, akan tetapi
pendatang ini langkah kakinya berat! Langkah itu terdengar makin berat dan
akhirnya terdengar suara orang roboh. Maya cepat meloncat ke ruangan depan dan
betapa kagetnya melihat Suma Hoat rebah di lantai dalam keadaan pingsan!
Maya cepat
berlutut memeriksa dan segera melihat bahwa pernuda ini telah menderita luka
oleh pukulan yang hebat, yang membuat tubuhnya dingin sekali dan dada kanannya
membiru. Cepat ia memondong tubuh pemuda itu, membawanya ke dalam kamar tidur
dan merebahkannya di atas pembaringan. Sekali renggut robeklah baju yang menutup
dada Suma Hoat dan setelah memeriksa sebentar, tahulah Maya bahwa pemuda itu
terkena pukulan yang mengandung hawa Im-kang kuat sekali dan tentu nyawanya
akan terancam maut kalau tidak cepat ditolong.
Maka dia
lalu duduk bersila di atas pembaringan, menempelkan telapak kanannya di dada
kanan pemuda itu sambil mengerahkan hawa sinkang dari pusarnya melalui lengan.
Untuk melawan luka akibat pukulan Im-kang itu, dia mengobatinya dengan
pengerahan Yang-kang. Mula-mula hawa yang hangat memasuki tubuh Suma Hoat,
kehangatan yang makin lama menjadi makin panas mengusir hawa dingin yang
dideritanya semenjak dia terkena pukulan itu.
Setelah
lewat dua jam lebih, barulah wajah Suma Hoat yang pucat menjadi kemerahan dan
napasnya menjadi normal kembali. Ketika dia membuka matanya perlahan dan
melihat tangan Maya menempel di dadanya, merasakan betapa hawa yang panas
memasuki dadanya, mendatangkan rasa hangat mengusir rasa dingin yang hampir
merenggut nyawanya tadi, Suma Hoat menjadi terharu sekali. Dia menggerakkan
tangan, meraba lengan Maya, membelai lengan itu dan berbisik, “Aku... aku cinta
padamu...”
Maya yang
sedang rindu kepada suheng-nya, selama mengobati tadi dia mendapatkan
kesempatan untuk mengamati wajah pemuda ini dan jantungnya berdebar,
menggelora. Wajah pemuda itu tampan sekali membuat hatinya amat tertarik. Di
antara pemuda yang pernah menyatakan cinta kasih kepadanya, harus ia akui bahwa
Suma Hoat merupakan pria yang paling tampan.
Gejolak
darah masa dewasa membuat muka Maya merah sekali. Apa lagi ketika mendengar
bisikan Suma Hoat mengaku cinta begitu pemuda itu siuman, membuat jantungnya
berdebar keras. Dia menarik kembali tangannya yang tadi dipakai mengobati dada
pemuda itu agar belaian pada lengan yang membuat lengannya gemetar itu tidak
sampai diketahui Suma Hoat.
“Suma Hoat,
apa yang kau lakukan ini?” Maya membentak, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa
lemas sekali, bukan hanya karena dia tadi lama mengerahkan tenaga untuk
mengobati pemuda itu, melainkan terutama sekali karena debar jantungnya membuat
dia merasa aneh dan lemas, seperti dilolosi seluruh urat dari tubuhnya.
“Nona...
engkau telah menolong nyawaku, dan karena aku tidak tahan untuk menyimpan
perasaan hatiku lebih lama, biarlah sekarang aku mengaku dan aku akan rela
andai kata engkau marah dan membunuhku. Nona, semenjak pertama kali aku
memandangmu, aku telah jatuh cinta ketpadamu. Aku membantumu karena cinta...”
Maya seperti
terkena pesona. Seluruh tubuhnya gemetar dan kedua matanya basah ketika pemuda
itu kembali memegang lengannya yang dahaga akan cinta kasih. Rindu dendamnya
yang selalu ditahan-tahannya terhadap suheng-nya membuat hatinya seolah-olah
menjadi sebatang tanaman kering. Kini sikap dan bisikan Suma Hoat yang penuh
getaran cinta kasih, seolah-olah merupakan embun pagi bagi hatinya, sejuk dan
menyenangkan.
“Nona, aku
cinta padamu... aku bersumpah, aku mencintamu dengan hati tulus dan murni...”
Maya
memejamkan matanya, tubuhnya yang lemas itu menurut saja ketika ditarik dan
terdengar rintih perlahan dari dadanya ketika ia merasa betapa tubuhnya dipeluk
erat-erat, kemudian napasnya berhenti menjadi sedu-sedan ketika ia merasa
betapa mulutnya dicium penuh kemesraan oleh Suma Hoat. Seperti dalam mimpi,
kedua lengannya bergerak, membalas rangkulan pemuda itu dan pada saat itu Maya
yang rindu akan cinta kasih itu seperti tidak ingat bahwa yang memeluk dan
menciuminya bukanlah pemuda yang dicintanya dan dirindukannya, bukanlah Kam Han
Ki suheng-nya, melainkan Suma Hoat, putera Suma Kiat musuh besarnya!
Selama ini,
hanya kepada tiga orang wanita saja Suma Hoat benar-benar jatuh cinta.
Pertama-tama adalah cinta kasihnya kepada Ciok Kim Hwa yang juga merupakan
cinta pertamanya. Kedua kalinya adalah ketika dia berjumpa dengan Khu Siauw
Bwee, dan ke tiga kalinya adalah kepada Maya inilah. Kecuali tiga orang wanita
itu, tidak ada lagi wanita yang benar-benar dicinta secara mendalam, bukan
hanya cinta birahi belaka seperti yang telah dia jatuhkan kepada banyak sekali
wanita sehingga dia dijuluki Jai-hwa-sian.
Dapat
dibayangkan betapa bahagia hati Suma Hoat setelah dapat mendekap dan mencium
mulut Maya. Dia merasa bahagia, mendapatkan pengganti Ciok Kim Hwa, pengganti
Khu Siauw Bwee.
“Maya...
bidadariku, kekasih pujaan hatiku... bumi dan langit menjadi saksi akan cinta
kasihku kepadamu, Maya...”
Maya
tersentak kaget. Tadi sebelum mendengar namanya disebut, dia hanyalah seorang
gadis dewasa, seorang wanita yang haus akan cinta, yang menderita karena rindu
sehingga dia terlena dalam dekapan Suma Hoat, pria tampan yang pandai merayu
hati wanita itu. Akan tetapi begitu mendengar namanya disebut, dia sadar! Dia adalah
Maya, panglima wanita pemimpin Pasukan Maut. Dia adalah Puteri Maya, puteri
dari Raja dan Ratu Khitan yang sedang berjuang membalaskan kematian ayah bunda
dan keluarganya! Dia adalah Maya, penghuni Istana Pulau Es, sumoi dari Kam Han
Ki!
Sekali meronta,
Maya telah merenggutkan tubuhnya dari pangkuan dan dekapan Suma Hoat dan dia
sudah meloncat turun dari atas pembaringan. Mukanya berubah pucat, sepasang
matanya bersinar-sinar ketika ia memandang Suma Hoat yang menjadi kaget dan
khawatir menyaksikan perubahan sikap ini.
“Maya...
kekasihku, kenapa...?”
“Suma Hoat!
Bagaimana engkau bisa mengenal namaku?” tiba-tiba Maya bertanya, suaranya penuh
kecurigaan dan pandang matanya tajam menyelidik.
Sejenak Suma
Hoat kagum dan bengong, diam-diam ia harus mengakui bahwa belum pernah dia
melihat gadis secantik Maya sehingga dalam keadaan seperti itu masih saja
tampak cantik jelita, kecantikan yang aneh namun pada saat itu menguasai
seluruh hatinya.
“Ahhh,
kekasih pujaan hatiku, jadi itukah yang mengejutkan hatimu?” Suma Hoat
tersenyum lebar. “Tentu saja aku dapat menduga. Pertama karena aku melihat
bahwa wajahmu yang cantik seperti bidadari itu bukan wajah seorang gadis Han
dan mengingat engkau bekerja untuk orang Mancu, tentulah engkau seorang gadis
Mancu pula. Dan ilmu kepandaianmu demikian hebat. Siapa lagikah gadis secantik
dan terlihai di Mancu kalau bukan Panglima Wanita Maya? Akan tetapi, kenyataan
itu bahkan menggirangkan hatiku, Maya dewiku. Engkau seorang Panglima Mancu,
aku seorang putera jenderal. Kita akan menjadi sepasang suami isteri yang cocok
dan...”
“Cukup!”
tiba-tiba Maya membentak dan melihat pandang mata gadis itu, Suma Hoat baru
merasa terkejut sekali karena gadis itu benar-benar telah menjadi marah sekali.
“Maya... ada
apakah...? Mengapa engkau marah-marah...?” Suma Hoat turun pula dari
pembaringan. Melihat perubahan yang amat menggelisahkan ini, dia yang cerdik
cepat menceritakan jasanya untuk menyenangkan hati Maya. “Tidak cukupkah bukti
yang kuperlihatkan dalam membantumu? Bukankah engkau sendiri yang tadi
mengobati aku yang terluka hebat dan hampir tewas? Maya... aku rela berkorban
nyawa untukmu. Untuk memenuhi permintaanmu dan membantumu, aku tadi menyelidiki
ke dalam istana Pangeran Ciu Hok Ong yang sedang mengadakan perundingan dengan
Bu-koksu, dan aku mendapatkan sebuah rahasia rencana mereka yang amat penting
bagimu!”
Suma Hoat
memandang wajah Maya dengan hati gelisah karena gadis itu seolah-olah tidak
mendengarnya, bahkan kini tampak penyesalan dan kemarahan membayang di wajah
yang cantik itu. Maya merasa menyesal sekali, menyesalkan diri sendiri yang
telah menjadi lemah dan membiarkan pemuda itu memeluk dan menciuminya. Betapa
mungkin hal itu terjadi! Dia masih nanar kalau memikirkan kembali dekapan dan
ciuman yang membuat darahnya menggelora tadi!
“Maya,
dengarlah,” Suma Hoat menyambung cepat. “Pangeran Ciu dan Koksu berunding dan
mengambil keputusan untuk memancing pasukan Mancu meninggalkan Sian-yang
menyerbu Siang-tan. Mereka lalu menggunakan saat itu untuk menyerbu dan
merampas kembali Sian-yang dan mengurung pasukan antara kedua kota itu. Sial
bagiku, dalam persembunyianku itu aku ketahuan oleh seorang panglima pengawal
Koksu yang amat lihai dan dalam beberapa gebrakan saja aku telah terpukul.
Untung keadaan yang kacau memungkinkan aku melarikan diri dan ke sini... eh,
Maya, bukankah sudah terbukti betapa aku rela mengorbankan apa saja untukmu?”
Maya menarik
napas panjang. “Terima kasih atas bantuanmu, Suma Hoat. Akan tetapi jangan kau
mengira bahwa semua jasamu itu harus kubalas dengan cinta! Engkau telah
mengetahui siapa aku. Aku adalah Puteri Maya, juga Panglima Maya, dan aku
adalah penghuni Istana Pulau Es! Tak mungkin aku mencinta orang seperti engkau
yang seharusnya kubunuh, karena engkau adalah putera Suma Kiat musuh besarku!
Untuk bantuanmu itu, aku membalas dengan mengampunimu, tidak membunuhmu. Nah,
selamat tinggal!”
“Maya...!”
Suma Hoat berteriak, kaget bukan main mendengar bahwa Maya adalah penghuni
Istana Pulau Es! Dia mengejar, akan tetapi sekali berkelebat saja Maya telah
lenyap dari situ.
“Ahhhh...
tidak... tidak mungkin...!” Suma Hoat menjatuhkan diri ke atas pembaringan
setelah dia kembali ke kamar itu.
Hatinya
seperti diremas, semua harapannya membuyar. Mengapa nasibnya seburuk itu dalam
cinta kasih? Setelah gagal memperisteri Ciok Kim Hwa, setelah gagal meraih
cinta kasih Khu Siauw Bwee, setelah semua harapannya tercurah kepada Maya dan
melihat Maya berada dalam dekapannya malah diciuminya, kini Maya terlepas dan
terbang pula dari tangannya! Kembali dia gagal! Tidak ada harapan lagi karena
Maya ternyata adalah penghuni Istana Pulau Es yang tentu saja memiliki
kepandaian yang amat luar biasa! Mengapa nasibnya bagitu buruk sehingga dia
dipertemukan dengan dua orang dara penghuni Istana Pulau Es? Apakah seperti
Siauw Bwee, Maya juga telah mencinta laki-laki lain? Ah, nasib!
Ketika Suma
Hoat bangkit lagi, rambutnya awut-awutan karena dijambakinya, wajahnya pucat
dan sepasang matanya kembali mengandung sinar yang keji, sinar yang telah lama
meninggalkan matanya semenjak dia melukai Ketua Siauw-lim-pai, semenjak dia
sadar akan kesesatannya. Hatinya yang berkali-kali mengalami pukulan, kegagalan
cinta, membuat perasaannya menjadi kecut dan kambuh kembalilah penyakitnya,
penyakit yang membuat dia menjadi Jai-hwa-sian, penyakit yang membuat dia
membenci wanita, ingin mempermainkan semua wanita, terutama mempermainkan cinta
kasih mereka!
Kalau dia
menjadi sakit hati karena cintanya terhadap wanita, dia akan mempermainkan
cinta kasih wanita. Mulai detik itu juga, iblis mulai menguasai hati Suma Hoat
lagi, seolah-olah Jai-hwa-sian yang beberapa bulan lamanya telah mati itu kini
bangkit dan hidup kembali. Dan dengan beringas pemuda itu meloncat ke luar
meninggalkan rumah itu, kemudian di malam hari itu, di sebuah rumah besar,
terdengarlah rintihan dari seorang gadis yang dipermainkannya, kemudian
menjelang pagi terdengar jerit gadis itu yang mengantar nyawanya terbang
meninggalkan tubuhnya yang setelah diperkosa lalu dibunuh oleh tangan
Jai-hwa-sian.....
*************
Suma Hoat
tidak membohong ketika dia bercerita kepada Maya. Memang sore hari itu dia
telah menyelidik ke istana Pangeran Ciu Hok Ong. Sayang bahwa ketika dia sudah
mendengar sebagian dari percakapan antara Pangeran Ciu dan Koksu negara bersama
panglima-panglima tinggi, tiba-tiba dia diserang seorang pengawal berpakaian
preman yang amat lihai. Tentu saja Suma Hoat tidak mampu menandingi pengawal
itu dan terpaksa melarikan diri dengan membawa luka karena pengawal itu bukan
lain adalah Kam Han Ki!
Akan tetapi,
pada waktu Pangeran Ciu bersama Bu-koksu mengadakan perundingan di pondok taman
yang didirikan di atas telaga buatan itu, ada seorang manusia lain yang juga
diam-diam mengintai dan mencuri dengar percakapan orang-orang besar ini. Dia
bukan lain adalah Ok Yan Hwa yang bekerja sebagai dayang dalam istana Pangeran
Ciu Hok Ong.
Bedanya, kalau
Suma Hoat mengintai dengan bersembunyi di atas wuwungan pondok sehingga dia
terlihat dan diserang oleh Kam Han Ki, dara perkasa ini lebih cerdik dan dia
bersembunyi di bawah pondok, menyelam ke dalam air, berpegang pada tiang pondok
dan hanya menyembulkan kepalanya sambil bersembunyi di balik tiang, mendengar
percakapan orang-orang yang duduk di atas papan pondok. Karena keadaan di
kolong pondok itu gelap, tentu saja tempat persembunyian Yan Hwa ini lebih aman
sehingga Kam Han Ki yang amat lihai itu sendiri pun tidak dapat melihatnya.
Seperti juga
Suma Hoat, Yan Hwa dapat menangkap percakapan antara Pangeran Ciu dan Bu-koksu
tentang rencana mereka untuk menjebaknya dan menghancurkan pasukan Mancu. Dia
menjadi girang sekali. Hari itu adalah hari terakhir dan besok pagi-pagi dia
sudah harus meninggalkan tempat ini untuk mengadakan pertemuan dengan
kawan-kawannya, maka hasil pengintaiannya itu merupakan rahasia yang penting
sekali bagi pasukan Mancu.
Akan tetapi,
betapa terkejutnya ketika ia melihat bayangan berkelebat dan seorang laki-laki
tampan berdiri di depan Bu-koksu sambil berkata tenang, ”Bu-loheng, aku telah
mengusir seorang mata-mata yang tadi mengintai di sini.”
“Eh, mengapa
kau usir dan tidak kau tangkap atau bunuh?” Koksu Bu Kok Tai bertanya, tidak
puas.
“Dia lihai
sekali, Loheng. Akan tetapi dia sudah terluka oleh sebuah pukulanku.”
“Siapakah
dia? Apakah kau mengenal dia?”
“Tempatnya
gelap, dia bersembunyi di belakang wuwungan, Loheng. Aku hanya melihat dia
dalam cuaca remang-remang, dia masih muda dan tampan, akan tetapi aku tidak
mengenalnya.”
“Kam-siauwte,
engkau telah berjasa. Harap kau suka melakukan penyelidikan ke kota, jangan
sampai ada mata-mata musuh dapat menyelundup masuk ke kota Siang-tan ini.”
“Baiklah,
Loheng.” Setelah berkata demikian, pemuda itu berkelebat dan lenyap dari situ.
Ok Yang Hwa
masih memeluk tiang di bawah pondok itu, wajahnya pucat dan dia menggigil.
Bukan menggigil karena kedinginan yang dapat dilawannya dengan pengerahan
sinkang-nya, melainkan menggigil karena ketakutan! Ok Yan Hwa murid Mutiara
Hitam, menggigil ketakutan? Memang benar demikian dan hal ini tidaklah aneh
karena dara perkasa itu tadi mengenal Si Pemuda yang menghadap Bu-koksu sebagai
Kam Han Ki!
Perasaan
terheran-heran melihat adik sepupu gurunya itu kini membantu Koksu Negara Sung,
bercampur dengan rasa ngeri dan takut karena kalau sampai Kam Han Ki
melihatnya, tentu dia celaka. Paman gurunya lebih lihai dari pada Maya, pernah
menundukkan dia dan suheng-nya di medan pertempuran, bahkan memperingatkan
mereka berdua agar meninggalkan barisan Mancu.
Karena telah
mendengar rahasia penting dan hatinya gentar setelah melihat Kam Han Ki, Yan
Hwa lalu menyelam, berenang di bawah permukaan air tanpa menimbulkan suara,
meninggalkan tempat itu dan langsung dia menghubungi suheng-nya, Can Ji Kun
yang menyelundup dan bekerja sebagai tukang kuda. Isyarat suitan yang
dikeluarkan Yan Hwa segera mendapat balasan dan tak lama kemudian kedua orang
kakak beradik seperguruan, juga sepasang kekasih ini, sudah saling berhadapan
di belakang kandang kuda yang gelap.
Ji Kun
segera merangkul Yan Hwa dan dia berbisik kaget, “Aihhh... kenapa pakaianmu
basah semua?”
“Aku baru
saja menyelidiki perundingan di pondok telaga dengan hasil baik,” Yan Hwa balas
berbisik.
“Engkau
tentu kedinginan. Hayo masuk ke kamarku, tanggalkan pakaian basah ini dan
kuhangatkan...”
“Hushhh, itu
saja yang kau pikirkan, Suheng. Dengarlah, kita harus pergi dari sini, sekarang
juga!”
“Kenapa? Kau
kelihatan ketakutan, Sumoi.”
”Memang aku
takut setengah mati. Kau tahu... Kam-susiok berada di sini, dia menjadi
pengawal Bu-koksu!”
Can Ji Kun
membelalakkan matanya. “Apa? Kam-susiok? Kau maksudkan dia... Kam Han Ki
penghuni Istana Pulau Es?”
Yan Hwa
mengangguk dan dengan singkat menceritakan semua pengalamannya ketika dia
mengintai tadi. “Karena itulah, kita harus sekarang juga meninggalkan tempat
ini. Besok adalah hari yang menentukan bagi kita untuk berkumpul di dalam kuil
tua di luar kota. Aku telah mendengar rahasia yang amat penting itu, terutama
sekali kehadiran Kam-susiok di sini tentu akan menarik perhatian Maya. Dan kau
sendiri tentu sudah mendapatkan banyak keterangan. Selagi gelap begini, akan
berkuranglah bahayanya untuk melarikan diri. Mudah-mudahan saja jangan sampai
bertemu dengan Kam-susiok!” Yan Hwa bergidik ngeri karena dia takut sekali
kepada adik gurunya itu.
“Baiklah
kalau begitu, Sumoi. Nih pedangmu, simpanlah!” Yan Hwa menerima pedangnya yang
ia titipkan kepada suheng-nya ketika mereka menjalankan siasat menyelundup kota
bersama rombongan siuli, “Akan tetapi, engkau harus berganti pakaian lebih
dulu. Pakaianmu basah kuyup begini.”
“Tidak ada
waktu untuk kembali ke istana. Kalau ada yang melihat pakaianku tentu akan
menimbulkan kecurigaan. Sudahlah, basah begini pun tidak apa-apa, Suheng.”
“Bagimu
tidak apa-apa, akan tetapi kalau engkau sakit, akulah yang akan kehilangan!” Ji
Kun berkata, “Tidak, engkau harus berganti pakaian kering. Biarlah engkau
memakai pakaianku saja.”
Yan Hwa
tidak membantah lagi. Dengan belaian-belaian mesra, Ji Kun membantunya
menanggalkan pakaian basah dan mengenakan pakaian kering yang tentu saja
terlalu besar bagi Yan Hwa. Dalam keadaan seperti itu, mereka tiada ubahnya
sepasang suami isteri muda yang saling mencinta. Kalau Yan Hwa yang masih
ketakutan mengingat kehadiran Kam Han Ki tidak menolaknya, tentu Ji Kun akan
melepas rindunya terhadap sumoi-nya atau kekasihnya itu.
Mereka lalu
menyelundup keluar dari lingkungan istana, melalui tembok belakang yang tidak
jauh dari kandang-kandang kuda di mana Ji Kun bekerja. Dengan kepandaian
mereka, kedua orang murid Mutiara Hitam ini berhasli meloncat ke luar tanpa
dilihat para peronda dan penjaga. Mereka meloncat dan berlarian di atas genteng
rumah-rumah penduduk kota dengan hati-hati sekali dan legalah hati mereka
melihat bahwa di atas rumah-rumah itu tidak nampak penjaga-penjaga.
“Kita harus
menghubungi Kwa-huciang dan Theng-ciangkun lebih dulu,” kata Ji Kun.
“Kemarin aku
telah berhasil menghubungi mereka.”
“Apakah
mereka masih menyamar sebagai pengemis?”
“Benar, dan
mereka bersembunyi di kolong jembatan Ayam Besi di sebelah utara bersama para
pengemis lainnya. Kita harus membantu mereka keluar dari kota. Marilah!”
Akan tetapi
ketika mereka melompat ke atas genteng sebuah rumah besar, tiba-tiba muncul
empat bayangan orang-orang yang tadinya bersembunyi dengan mendekam di balik
wuwungan. Mereka adalah empat orang pengawal yang memegang pedang dan seorang
di antaranya membentak, “Berhenti! Siapa kalian berdua?”
Kedua orang
murid Mutiara Hitam itu menjawab dengan gerakan pedang yang telah mereka cabut
dari sarungnya. Gerakan mereka cepat bukah main dan keduanya seperti berlomba.
Tampak sinar kilat berkelebat dan empat orang pengawal itu telah roboh dan
tewas seketika. Kakak beradik seperguruan ini masing-masing merobohkan dua
orang!
“Tangkap
penjahat...!”
Kini
muncullah belasan orang pengawal yang berloncatan dari empat penjuru, dan kedua
orang muda perkasa itu sudah dikurung. Terjadilah pertempuran seru di atas
genteng.
”Cepat, kita
harus pergi dari sini!” Ji Kun berkata sambil mengelebatkan pedangnya.
Para
pengawal yang datang mengeroyok ini memiliki kepandaian lumayan sehingga
terdengarlah bunyi berdencing nyaring ketika Sepasang Pedang Iblis di tangan Ji
Kun dan Yan Hwa mengamuk, mematahkan senjata-senjata lawan yang menghujani
mereka dengan serangan dahsyat. Dua orang pengawal roboh lagi, akan tetapi kini
tampak banyak sekali pengawal berloncatan.
Ji Kun dan
Yan Hwa maklum bahwa kalau pasukan pengawal dikerahkan, mereka akan menghadapi
bahaya besar dan akan sukar sekali untuk dapat meloloskan diri. Apa lagi kalau
mereka teringat kepada Kam Han Ki, mereka merasa ngeri. Maka sambil memutar
pedang yang mengeluarkan hawa menyeramkan dan sinar kilat sehingga para
pengeroyok menjadi gentar, keduanya meloncat ke depan, berdiri di atas genteng
dan dikejar oleh para pengawal.
Terdengar
bunyi suitan-suitan dari para pengawal yang memberi tanda bahaya sehingga dari
mana-mana muncullah para penjaga yang tadinya melakukan penjagaan sambil
bersembunyi. Melihat betapa dari depan, kanan, kiri muncul pula banyak pengawal,
Ji Kun dan Yan Hwa lalu meloncat turun. Seperti juga di atas, di bawah sudah
terdapat banyak pengawal yang segera menyambut dan mengurung mereka. Ji Kun dan
Yan Hwa mengamuk dan seperti biasa, pedang mereka seolah-olah berubah menjadi
naga kilat, sepasang naga yang amat dahsyat dan mereka berlomba membunuhi para
musuh yang mengeroyok mereka.
“Sing-sing...
crat-crat...! Delapan orang, Suheng!” Yan Hwa berseru ketika tubuhnya mencelat
ke atas dan pedangnya menyambar ke bawah, merobohkan dua orang pengeroyok yang
hampir putus leher mereka terbabat pedang Li-mo-kiam di tangannya. Ucapannya
itu berarti bahwa sudah delapan orang yang dirobohkannya.
Ji Kun
menggulingkan tubuhnya, pedangnya membabat ke sekelilingnya. “Wuuuttt,
crok-crok...! Sembilan orang Sumoi!” katanya gembira karena dia menang satu
orang.
Yan Hwa
penasaran dan pedangnya diputar makin hebat. Kedua orang itu kini telah lupa
akan bahaya, lupa akan menyelamatkan diri, bahkan lupa bahwa mereka tadi
khawatir sekali akan munculnya Kam Han Ki. Mereka telah berubah menjadi dua
orang yang haus darah, ingin berlomba berbanyak-banyaknya dalam membunuh musuh!
Tiba-tiba
terjadi kekacauan di antara para pengeroyok dan ternyata tiga puluh orang lebih
yang berpakaian pengemis mengamuk dan menyerang para pengawal itu. Keadaan
menjadi kacau-balau dan tiba-tiba Ji Kun dan Yan Hwa melihat Kwa-huciang dan
Theng-ciangkun muncul dekat mereka.
“Cepat, ikut
kami...!” bisik Kwa-huciang memberi isyarat dengan tangannya.
Ji Kun dan
Yan Hwa maklum bahwa kalau mereka menuruti nafsu hati berlomba membunuhi musuh,
akhirnya mereka akan terjebak dan sukar sekali meloloskan diri. Mereka segera
menyelinap dan mengikuti Kwa-huciang dan Theng-ciangkun yang agaknya memang
sudah merencanakan pelarian ini. Menggunakan kekacauan karena para pengemis
menyerbu para pengawal, empat orang mata-mata ini berlari dan melalui
lorong-lorong gelap, akhirnya mereka itu dapat lolos dari kota dengan jalan
merobohkan beberapa orang penjaga tembok kota yang sunyi dan kurang kuat
penjagaannya, meloncat ke atas tembok dan menggunakan tali yang sudah
disediakan untuk ke luar.
Setelah
mereka terbebas dari kejaran para pengawal dan penjaga, Ji Kun memuji kawannya
dan berkata, “Eh, Kwa-huciang, untung engkau datang, kalau tidak tentu kami
akan repot menghadapi kepungan pasukan-pasukan musuh. Bagaimana kalian berdua
dapat menggerakkan para pengemis itu?”
“Mereka itu
sebagian besar adalah pengemis-pengemis anggota Hek-tung Kai-pang yang
bergabung dengan Coa-bengcu. Telah kita ketahui bahwa diam-diam Coa-bengcu
menjadi sekutu pemerintah Yucen, maka kami berdua lalu mengaku sebagai
mata-mata dari Yucen. Mendengar ini, tentu saja mereka siap membantu kami
berdua untuk meloloskan diri dari dalam kota.”
“Hemm, bagus
sekali siasatmu, Kwa-huciang. Sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat! Para
pengemis itu adalah kaki tangan Yucen, musuh kita juga, dan tentu mereka akan
terbasmi oleh para penjaga Sung. Sungguh bagus, ha-ha-ha!” Ji Kun memuji.
Kwa-huciang
mengerutkan alisnya dan dia menarik napas panjang. “Yaaah, begitulah perang!
Demi kemenangan pihak sendiri, orang tidak segan-segan melakukan segala macam
hal yang dalam keadaan biasa akan membuatnya malu sekali karena perbuatan
semacam yang kami lakukan adalah keji dan curang. Sudahlah, mari kita cepat
menuju ke kuil tua di mana tentu Li-ciangkun telah menanti kita.”
Benar saja
dugaan pembantu utama Maya ini. Ketika mereka berempat memasuki kuil tua yang
sudah tidak digunakan, di luar kota yang sunyi itu, Maya sudah berada di situ.
Wajah Maya yang tadinya agak keruh karena masih teringat akan peristiwa antara
dia dengan Suma Hoat, kini menjadi berseri. Girang hatinya bahwa empat orang
pembantunya ternyata dapat lolos pula dan berkumpul kembali di tempat itu dalam
keadaan selamat.
Empat orang
itu segera melaporkan hasil penyelidikan mereka kepada Maya. Kwa-huciang dan
Theng-ciangkun, dengan bantuan para pengemis telah berhasil menyelidiki keadaan
di kota Siang-tan, bahkan telah berhasil membuat gambar peta keadaan kota itu
dan sekitarnya.
Hasil
penyelidikan mereka ini amat besar artinya bagi Maya, akan memudahkan mengatur
siasat penyerbuan ke kota itu. Setelah memuji hasil mereka, Maya lalu
menanyakan hasil penyelidikan kedua orang murid Mutiara Hitam.
“Kami berdua
berhasil menyelundup ke dalam istana Pangeran Ciu Hok Ong,” Yan Hwa berkata dan
dengan singkat dia menceritakan pengalamannya bersama Ji Kun ketika mereka
berdua menyamar sebagai pengganti siuli dan tukang kuda. Maya kagum bukan main
akan kecerdikan kedua orang muda itu, juga merasa geli karena dapat
membayangkan betapa lucunya pengalaman mereka itu.
“Dan apa
saja yang kalian dapatkan dalam penyelidikan kalian?” tanyanya setelah dia
memuji.
“Hasil-hasil
lainnya tidak begitu penting, akan tetapi ada dua buah berita yang tentu akan
kau anggap hebat sekali,” kata Yan Hwa.
Maya
mengerutkan alisnya, hatinya tidak enak. “Lekas katakan, berita apa itu?”
“Pertama,
dari perundingan antara Pangeran Ciu, Bu-koksu dan para panglimanya, mereka
merencanakan untuk menjebak kita! Mereka akan membiarkan pasukan-pasukan kita
meninggalkan Sian-yang menyerbu Siang-tan. Diam-diam mereka akan memotong jalan
dan mengurung pasukan kita di antara kedua kota itu dengan pengerahan bala
tentara yang jauh lebih besar dari pada pasukan kita.”
Kwa-huciang
dan Theng-ciangkun terkejut sekali mendengarkan berita yang amat penting itu.
Akan tetapi Maya mengangguk dan menjawab, “Memang berita itu hebat dan amat
penting, perlu segera kita hadapi dengan siasat lain, akan tetapi aku telah
mendengarnya juga, Yan Hwa. Biar pun dari sumber lain, aku pun telah tahu akan
rencana siasat mereka itu. Berita kedua apa lagi?”
“Berita
kedua ini lebih hebat lagi. Aku telah melihat... Kam-susiok sebagai pengawal
Bu-koksu!”
“Apa...?!
Siapa...?” Maya yang tadinya duduk di atas lantai, meloncat bangun dan mukanya
berubah pucat.
Yan Hwa
maklum bahwa tentu Maya terkejut mendengar bahwa suheng-nya berada di kota itu,
bahkan menjadi pengawal Koksu musuh. “Aku melihatnya sendiri, dan untung bahwa
aku mengintai dari bawah, di dalam air, karena kalau sampai Kam Han Ki-susiok
melihatku, tentu aku akan celaka.”
Maya
termenung dan teringat akan keadaan Suma Hoat. Melihat betapa pemuda lihai itu
terkena pukulan yang amat hebat, dia percaya bahwa penglihatan Yan Hwa tentu
tidak keliru dan yang melukai Suma Hoat tentulah suheng-nya sendiri, Kam Han
Ki! Yang membuat dia terheran-heran adalah kenyataan bahwa suheng-nya itu
dahulunya jelas membantu pasukan Yucen, sungguh pun bukan sebagai petugas
resmi, mengapa sekarang tahu-tahu menjadi pengawal Bu-koksu dari Kerajaan Sung?
Apakah yang telah terjadi dengan suheng-nya?
“Kita harus
kembali ke Sian-yang sekarang juga!” Tiba-tiba ia berkata, suaranya agak
tergetar. Betapa hatinya takkan gelisah kalau mendengar bahwa suheng-nya berada
di pihak musuh? Bagaimana kalau Kam Han Ki maju sebagai Panglima Sung? Dapatkah
dia berhadapan dengan suheng-nya yang dicintanya itu sebagai musuh?
Lima orang
itu berjalan menuju ke depan kuil tua. Akan tetapi baru saja mereka melalui
ambang pintu depan yang sudah rusak, tiba-tiba terdengar suara berdesir
sambung-menyambung dan belasan batang anak panah dan senjata piauw menyambar ke
arah mereka dari depan, kanan dan kiri.
“Mundur!”
Maya berkata setelah mereka berhasil mematahkan semua senjata rahasia itu
dengan pukulan dan kibasan tangan ke kanan kiri. Mereka meloncat mundur lagi
dan Maya berkata perlahan, “Hati-hati, kita terkepung musuh. Jangan bergerak
sebelum aku melihat keadaan.”
Biar pun
keadaan mereka terkepung dan cuaca di luar masih gelap sehingga mereka terancam
bahaya, namun sikap Maya tetap tenang.
Tiba-tiba
terdengar bentakan dari luar, “Heiiiii! Kalian mata-mata Mancu! Menyerahlah, kalian
telah terkepung dan tidak akan dapat lolos lagi!”
Maya sudah
menyelinap dan tanpa mengeluarkan suara dia mengintai dari empat penjuru,
kemudian dia kembali menghampiri empat orang pembantunya dan berkata, “Banyak
sekali pasukan mengepung kita. Kita harus menggunakan cuaca gelap ini untuk
menerjang ke luar dan melawan mati-matian. Kalau sudah terang, harapan kita
tipis sekali untuk dapat lolos. Kita akan berhadapan dengan perlawanan yang
kuat, akan tetapi betapa pun juga, seorang di antara kita harus dapat lolos dan
menyampaikan berita-berita penting itu kepada Pangeran. Oleh karena itu, tidak
boleh kita gagal semua, maka harus berpencar agar sedikitnya salah seorang di
antara kita dapat lolos dan sampai ke Sian-yang. Ji-wi Ciangkun harap menyerbu
dari pintu belakang dan aku sendiri akan menyerbu dari pintu depan. Ji Kun, kau
menerobos dari jendela kiri, sedangkan Yan Hwa dari jendela kanan. Dengan
dipecah menjadi empat bagian, tentu kepungan mereka tidak begitu rapat lagi dan
kalau untung kita baik, mudah-mudahan kita semua akan dapat lolos dengan
selamat. Mengertikah semua?”
Mereka
mengangguk. Memang, di antara mereka berlima, yang dapat dikatakan paling
rendah kepandaiannya, sungguh pun sama sekali bukanlah rendah menurut ukuran
umum, adalah Theng-ciangkun dan Kwa-huciang. Oleh karena itu, kedua orang ini
disuruh menyerbu bersama.
“Sekarang,
aku akan menyerbu lebih dulu ke depan. Kalau mereka sudah menyambutku, Ji Kun
harus cepat menerjang ke kiri untuk mengacaukan mereka, kemudian Yan Hwa
menyusul menyerbu ke kanan, sedangkan Ji-wi Ciangkun menyerbu paling akhir ke
belakang.”
Setelah para
pembantunya mengangguk tanda mengerti dan setuju, Maya melangkah ke luar dengan
sikap tenang. Dia tidak membawa senjata. Kalau dia berpakaian sebagai panglima,
tentu saja pinggangnya selalu terhias sebatang pedang panjang. Akan tetapi
kalau berpakaian preman, dara ini tidak pernah memegang senjata dan hal ini
tidaklah aneh kalau diingat bahwa seorang yang telah memiliki tingkat
kepandaian seperti dia tidak lagi membutuhkan senjata.
Begitu
tubuhnya muncul ke luar, kembali ada belasan anak panah menyambar, namun sekali
meraih, beberapa batang anak panah dapat ditangkisnya dan sebagian lagi runtuh
terkena sambaran hawa pukulan tangannya yang dikibaskan. Sambil tersenyum
mengejek Maya lalu melontarkan anak-anak panah yang dapat ditangkapnya itu ke
arah asalnya. Terdengarlah pekik-pekik kesakitan disusul robohnya tubuh orang
di dalam gelap ketika senjata-senjata itu makan tuannya sendiri!
“Tangkap
mata-mata!”
“Bunuh dia!”
Teriakan-teriakan
ini disusul serbuan banyak sekali pasukan yang menyerang Maya dengan
macam-macam senjata, seperti hujan datangnya. Namun Maya bersikap tenang,
tubuhnya berkelebat ke kiri dan berbareng dengan robohnya dua orang oleh
tamparan-tamparannya, tangannya sudah merampas sebatang pedang lawan. Mulailah
pendekar wanita yang sakti ini mengamuk, memutar pedang rampasannya dan
terdengar suara nyaring berdentang ketika pedangnya menangkis banyak senjata,
disusul pukulan-pukulannya dengan tangan kiri dan tendangan-tendangan kedua
kakinya yang merobohkan banyak pengeroyok.
Tiba-tiba
terjadi kegaduhan di sebelah kiri kuil tua dan tampak sinar kilat
menyambar-nyambar. Itulah Can Ji Kun yang sudah menerjang ke luar. Seperti juga
Maya, pemuda ini telah disambut oleh pengeroyokan puluhan orang tentara musuh.
Keadaan menjadi ramai dan kacau, apa lagi ketika Yan Hwa juga cepat menyusul ke
luar di sebelah kanan kuil dan mengamuk dengan Pedang Iblis di tangannya.
Pasukan yang
mengurung mereka itu ternyata juga telah dibagi-bagi sehingga tidaklah terjadi
kepanikan di pihak mereka seperti diharapkan Maya karena yang mengepung mereka
berjumlah seratus enam puluh orang, dan kini dibagi menjadi empat regu,
masing-masing dipimpin oleh perwira-perwira pengawal yang berkepandaian tinggi.
Sambutan
pasukan yang besar jumlahnya ini mengejutkan Maya. Diam-diam ia merasa khawatir
sekali kalau-kalau di antara para pengepung itu terdapat suheng-nya. Akan
tetapi dia tidak mempedulikan lagi hal itu dan terus mengamuk sambil berusaha
mencari lowongan untuk melarikan diri. Dia maklum dengan penuh penyesalan bahwa
dalam keadaan seperti itu, di mana terdapat rahasia besar yang harus
disampaikan kepada Pangeran Bharigan di Sian-yang agar pasukan Mancu tidak
masuk dalam perangkap yang dipasang oleh pimpinan Sung, dia atau seorang di
antara mereka harus dapat lolos dan terpaksa mereka tidak dapat saling
menolong. Kalau saja tidak ada hal yang harus disampaikan ke Sian-yang itu,
tentu dia akan mengamuk dan akan menolong anak buahnya, kalau perlu tewas bersama
semua pembantunya.
Kwa-huciang
dan Theng-ciangkun juga mengamuk sekuat mereka. Namun jumlah pengeroyok terlalu
banyak, bahkan di antara para perwira pengawal terdapat orang-orang pandai, di
antaranya terdapat Siangkoan Lee yang lihai. Biar pun kedua orang perwira
pembantu Maya itu mengamuk dan berhasli merobohkan belasan orang pengeroyok,
namun akhirnya mereka berdua roboh juga dan tewas di bawah hujan senjata
pasukan Sung yang marah melihat betapa teman-teman mereka banyak yang tewas.
Di lain
bagian dari pertempuran sebelah itu, Ji Kun mengamuk dengan pedang iblis di
tangannya. Dia seperti harimau yang haus darah, pedangnya berubah menjadi sinar
kilat menyambar-nyambar yang mematahkan banyak senjata lawan dan merobohkan
banyak orang. Sudah ada dua puluh orang roboh dan tewas oleh pedangnya, namun
dia sendiri juga terluka di pahanya, keserempet golok. Betapa pun juga, pemuda
yang perkasa ini tidak menjadi gentar dan dia mengamuk terus, merasa kecewa
bahwa dia terpaksa harus bertanding jauh dari Yan Hwa sehingga dia tidak dapat
membuktikan kepada sumoi-nya itu bahwa dia lebih banyak merobohkan lawan dari
pada sumoi-nya!
Tiba-tiba
para pengeroyok bertambah dan muncullah Siangkoan Lee bersama beberapa orang
perwira tinggi yang lihai. Murid Jenderal Suma Kiat ini bersenjatakan sebatang
golok melengkung dan dia memimpin pengeroyokan dengan serangan-serangannya yang
amat dahsyat. Sekali ini, Ji Kun benar-benar menghadapi pengeroyokan
orang-orang yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi sukarlah bagi Siangkoan Lee
dan kawan-kawannya untuk merobohkan pemuda ini, terutama sekali karena di
tangan Ji Kun terdapat Pedang Iblis yang amat ampuh itu.
“Jangan
bunuh dia! Tangkap hidup-hidup dan rampas pedangnya!” Tiba-tiba terdengar
seruan dan muncullah Suma Hoat yang langsung mengirim tusukan dengan pedangnya
ke arah punggung Ji Kun.
Ji Kun
maklum bahwa lawan ini amat lihai, terbukti dari gerakan pedang yang berubah
menjadi gulungan sinar putih. Dia memutar tubuh, mengelebatkan pedang
Lam-mo-kiam untuk merusak pedang lawan. Namun Suma Hoat yang sudah maklum akan
kelihaian pedang itu ketika tadi datang dan menonton, cepat menarik pedangnya
dan dia bersuit nyaring. Suitan ini merupakan tanda rahasia bagi seregu pasukan
yang sudah ia persiapkan lebih dulu dan dua belas orang anggota pasukan ini
serentak melemparkan sebuah jaring ke arah tubuh Ji Kun!
Pemuda ini
terkejut sekali. Cuaca pada saat itu masih gelap dan dia tak dapat melihat
jelas benda apa yang menyambarnya dari sekelilingnya itu. Tiba-tiba pandang
matanya menjadi gelap, tertutup oleh benda-benda yang lebar itu. Karena tidak
tahu senjata apa yang dipergunakan lawan untuk menyerangnya, dia hanya memutar
pedangnya.
Teriakan-teriakan
mengerikan terdengar ketika pedang Lam-mo-kiam membabat jaring-jaring itu,
terus membabat lengan dan tubuh para pemegangnya. Biar pun jaring-jaring itu
terbuat dari kawat-kawat baja yang kuat, namun sekali terkena babatan
Lam-mo-kiam menjadi putus semua, bahkan pedang mukjizat itu masih terus
membabat orang orang yang memegang jaring. Sekali putaran saja lima orang di
antara selosin anggota regu ini roboh. Akan tetapi, Ji Kun terkejut sekali
karena pedangnya terlibat jaring. Selagi dia berusaha melepaskan jaring-jaring
yang melibat pedang dan lengannya, tujuh orang pengeroyoknya melepas pula
jaring-jaringnya dengan berbareng!
“Keparat!”
Ji Kun berteriak marah. Biar pun tubuhnya sudah tertutup jaring-jaring itu,
pedangnya masih mampu merobek jaring dan sekali bacok, tubuh dua orang lawan
terbabat buntung di bagian pinggangnya!
“Hebat...!”
Suma Hoat berseru lalu menubruk dari belakang, tangannya bergerak dan tiga buah
totokan kilat membuat Ji Kun mengeluh dan terguling roboh dalam keadaan
pingsan! Suma Hoat cepat merampas pedang yang mukjizat itu, bergidik memandang
pedang yang mengeluarkan cahaya kilat, kemudian dia memimpin sisa pasukan untuk
mengeroyok Yan Hwa.
Gadis itu
pun mengamuk dengan hebat. Pedangnya membuat para pengeroyok menjadi gentar
karena pedang-pedang pusaka yang terkenal ampuh di tangan beberapa orang
perwira menjadi patah semua ketika bertemu dengan pedang di tangan gadis itu.
Suma Hoat
kagum bukan main ketika menyaksikan kehebatan gadis itu, juga menyaksikan
kecantikannya di bawah sinar obor yang dipegangi oleh beberapa orang tentara.
Semenjak dia terpukul untuk ke tiga kalinya, terpukul hatinya karena penolakan
Maya, timbul pula penyakit lamanya dan tadi dia melampiaskan kemarahan dan
kekecewaannya dengan mempermainkan seorang gadis kemudian membunuhnya.
Namun ia
masih merasa berduka, menyesal dan kecewa. Ternyata perbuatannya yang keji itu
tidak mampu memuaskan hatinya, bahkan menimbulkan penyesalan yang lebih besar
lagi. Ketika lewat tengah hari itu dia meninggalkan kamar gadis yang kini telah
tewas di atas pembaringannya, dia melihat pasukan yang tergesa-gesa lari ke
arah utara. Dia cepat bertanya kepada Siangkoan Lee yang memimpin pasukan itu,
dan mendengar bahwa kini di luar kota, di kuil tua, pasukan-pasukan penjaga
sedang berusaha menangkap lima orang mata-mata yang lihai.
Suma Hoat
terkejut, lalu dia ikut pula berlari ke luar kota di sebelah utara. Dia
menyangka bahwa tentu Maya dan kawan-kawannya. Sangkaannya ternyata tepat. Akan
tetapi, melihat Maya mengamuk dengan hebat itu, selain dia merasa tidak akan
mampu menandingi wanita penghuni Istana Pulau Es itu, juga dia merasa tidak
tega untuk mengeroyok Maya yang dicintanya. Diam-diam dia merasa heran sekali
kepada diri sendiri. Mengapa dia tidak dapat membenci Maya yang terang-terangan
telah menolak cintanya? Mengapa dia tidak pernah pula dapat melupakan Khu Siauw
Bwee yang juga tidak dapat membalas cinta kasihnya? Benar-benar dia telah
menjadi gila!
Dia,
Jai-hwa-sian yang dapat memperoleh gadis-gadis cantik yang mana saja, baik
dengan rayuan mau pun dengan kekerasan, kini tergila-gila kepada dua orang
gadis yang tidak mungkin didapatkannya! Mengapa hatinya jatuh cinta kepada dua
orang gadis yang jelas menolaknya, sedangkan banyak gadis-gadis cantik hanya
ingin ia dapatkan untuk memenuhi nafsu birahi dan sebagai balas dendam belaka?
Karena tidak
sampai hati menyaksikan Maya dikeroyok, pula dia juga tidak berdaya menolongnya
karena hal ini selain akan membahayakan dia sendiri, juga akan membahayakan
kedudukan ayahnya dan membocorkan rahasia mereka bahwa sesungguhnya mereka itu
memusuhi Kerajaan Sung Selatan dan bersekutu dengan Yucen, maka Suma Hoat tidak
mau mendekati Maya, sebaliknya dia membantu Siangkoan Lee untuk menangkap
pemuda yang lihai itu. Kini, menghadapi Yan Hwa, timbul gairah di hatinya.
Dia tertarik
dan ingin mendapatkan gadis ini. Dia sudah bosan dengan gadis-gadis cantik yang
lemah, yang hanya menangis kalau diperkosanya tanpa mampu melawan, yang
tersenyum-senyum malu dan penuh pura-pura kalau gadis itu kebetulan suka
kepadanya. Kini, gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Dia
sendiri belum tentu akan dapat mengalahkan gadis itu, apa lagi gadis itu
memiliki sebatang pedang yang hebat bukan main, pedang yang bentuk dan sinarnya
serupa benar dengan pedang yang dirampasnya dari tangan pemuda tadi. Aku harus mendapatkan
gadis ini pikirnya. Maka dia lalu melompat maju sambil menghunus pedang
Lam-mo-kiam yang telah dirampasnya.
“Tranggg...!”
Semua orang yang berdekatan dengan pertemuan sepasang pedang itu, menjadi silau
matanya dan banyak yang terhuyung mundur karena sepasang pedang yang bertemu
dengan dahsyatnya itu mengandung getaran yang mukjizat.
“Aihhhh...,
Lam-mo-kiam...!” Yan Hwa menjerit kaget ketika pedangnya bertemu dengan pedang
pegangan suheng-nya itu. Dia memandang wajah pemuda tampan yang memegang pedang
itu, kemudian bertanya dengan suara membentak, “Bagaimana pedang Lam-mo-kiam
bisa berada di tanganmu? Siapa engkau dan di mana suheng-ku?”
Suma Hoat
memandang dengan senyum lebar, “Ah, kiranya dia itu suheng-mu, Nona? Dia sudah
tertawan...”
“Bohong! Tak
mungkin suheng tertawan oleh kalian!”
“Hemm, kalau
belum tertawan, mana mungkin pedangnya dapat kurampas? Dan semua temanmu sudah
kalah, tinggal engkau seorang. Kalau engkau suka menyerah, aku menanggung bahwa
engkau tidak akan diganggu, bahkan soal suheng-mu... hemmm, marilah kita
bicarakan. Melawan pun takkan ada gunanya, Nona.”
Yan Hwa
terkejut dan memandang ke sekeliling. Benar saja dia tidak melihat lagi Maya
yang tadi mengamuk, dan tidak melihat lagi yang lain-lain. Bahkan kini semua
pasukan sudah mengurungnya sehingga kalau dia melawan, biar pun akan dapat
membunuh banyak lawan, akhirnya dia tidak akan dapat meloloskan dirinya. Dia
memandang tajam. Pemuda ini amat tampan dan gagah, dan tidak memiliki sifat
kejam.
“Aku minta
bukti lebih dulu bahwa suheng-ku benar-benar telah kau tawan!” katanya sambil
melintangkan pedangnya.
Suma Hoat
tertawa dan memanggil Siangkoan Lee. “Bawalah tawanan itu agar nona ini dapat
melihatnya!”
Siangkoan
Lee mengerutkan alisnya. Dia tidak setuju dengan sikap putera gurunya, akan
tetapi tentu saja dia tidak berani membantah. Dia mengangguk lalu pergi lagi,
tak lama kemudian dia mengawal empat orang anak buahnya yang menggotong tubuh
Ji Kun yang masih pingsan dan yang terbelenggu kuat-kuat.
“Suheng...!”
Yang Hwa berseru dan pedangnya bergerak hendak mengamuk.
“Tranggg!”
Pedang Suma Hoat menangkis pedangnya dan pemuda ini berkata, “Nona, lebih baik
menyerah. Percayalah, aku akan mengusahakan agar engkau dan suheng-mu
dibebaskan.”
Yan Hwa
memandang. Jantungnya berdebar melihat sinar mata pemuda tampan itu
memandangnya penuh gairah. Kalau di sana ada jalan ke luar untuk membebaskan
diri bersama suheng-nya, agaknya jalan satu-satunya hanyalah menuruti kehendak
pemuda tampan ini.
“Di mana
teman-temanku yang lain?” Ia bertanya, masih belum mau tunduk dan menyerah
begitu saja.
“Dua orang
temanmu yang menyerbu dari belakang kuil telah tewas, sedangkan yang seorang
lagi... eh, wanita sakti itu, telah melarikan diri,” kata Suma Hoat. Di dalam
hatinya girang sekali ketika tadi mendapat kenyataan bahwa Maya telah berhasil
melarikan diri.
Tidak ada
jalan lain lagi, pikir Yan Hwa. Maya telah berhasil melarikan diri membawa
berita rahasia itu untuk disampaikan ke Sian-yang, sedangkan kedua orang
perwira pembantu Maya telah tewas. Sekarang yang terpenting adalah
menyelamatkan diri sendiri dan suheng-nya.
“Engkau
siapakah?” tanyanya.
Suma Hoat
menjura. “Aku Suma Hoat...”
“Suma
Hoat...?” Yan Hwa terkejut karena tentu saja dia telah mendengar akan nama
Jenderal Suma Kiat.
Suma Hoat
maklum akan isi hati gadis itu, maka dia melanjutkan, “Benar, aku adalah putera
Suma-goanswe yang terkenal. Kau lihat, aku bukan orang sembarangan, Nona, dan
kata-kataku boleh engkau percaya sepenuhnya.” Kemudian dengan berbisik ia
menyambung, “Berikan pedangmu dan menyerahlah, engkau dan suheng-mu akan
selamat.”
Mendengar
bisikan ini dan melihat sinar mata pemuda itu mengandung kesungguhan, Yan Hwa
memutar pikirannya cepat sekali. Kalau dia melawan dan sampai tertawan seperti
suheng-nya, tidak ada harapan lagi bagi mereka berdua. Sebaliknya kalau dia
menyerah, dia masih dapat melihat keadaan dan mungkin dapat menyelamatkan diri
bersama suheng-nya. Semua harapan sudah buntu, kenapa tidak berpegang kepada
satu harapan ini, betapa pun tipisnya? Ia mengangguk dan tanpa berkata sesuatu
dia menyerahkan pedangnya.
Suma Hoat
girang sekali, menerima pedang mukjizat itu lalu berkata kepada Siangkoan Lee
dan para perwira, “Aku yang telah menawan pemuda itu, dan gadis ini menyerah
kepadaku. Mereka adalah tawanan-tawananku. Siangkoan Lee, bawa pemuda itu ke
rumah dan masukkan ke dalam tahanan di bawah tanah, jaga yang kuat.”
Siangkoan
Lee mengangguk. Kini dia mentaati perintah putera majikan atau gurunya karena
dia menyangka bahwa tentu ‘ada apa-apanya’ dengan kedua orang mata-mata itu
sehingga putera gurunya sengaja menawan mereka. Agaknya ada hubungannya dengan
persekutuan antara majikannya dengan Kerajaan Yucen. Apakah dua orang muda itu
mata-mata Yucen? Maka dia lalu menggunakan pengaruhnya untuk menekan para
pengawal dan menyuruh mereka melaporkan bahwa dua orang mata-mata telah
terbunuh, seorang berhasil melarikan diri, sedangkan dua orang lagi yang
tertawan oleh putera Jenderal Suma sedang diselidiki oleh karena keadaan dua
orang itu masih disangsikan apakah mereka benar-benar mata-mata ataukah hanya
terlibat saja dalam keributan yang digerakkan oleh para pengemis pemberontak
itu.....
"Usul
yang gila, dan engkau seorang manusia yang mata keranjang! Siapa yang percaya
bahwa engkau akan memegang janji?” Yan Hwa dengan muka berubah merah sekali
bangkit dari ternpat duduknya, memandang Suma Hoat dengan mata bersinar penuh
kemarahan dan keheranan setelah mendengar usul yang diajukan pemuda itu
kepadanya. Mereka berada di sebuah kamar yang mewah dan serba indah, kamar
tidur pemuda itu sendiri...
Terima kasih telah membaca Serial ini
terimkasih.
ReplyDelete