Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 04
Ketika melihat keributan dengan datangnya panglima-panglima yang menyeret dua orang anak itu, Khu Tek San cepat berbisik kepada Maya, “Engkau larilah sekarang, cepat!”
Akan tetapi Maya menggeleng kepala. “Aku hanya mau lari kalau bersama engkau!”
Panglima she Khu itu memandang penuh kagum. Benar-benar patut menjadi puteri Raja Khitan, cucu Suling Emas, pikirnya. Masih begini kecil sudah kenal apa artinya budi dan kegagahan! Tiba-tiba Panglima Khu dikejutkan oleh suara dua orang anak kecil yang diseret itu.
Yang perempuan berkata galak. “Tidak peduli engkau ini Raja Yucen atau Raja Akhirat, kalau tidak segera membebaskan kami, tentu akan mampus!”
“Guru kami, pendekar wanita sakti Mutiara Hitam dan suaminya, pendekar Golok Sinar Putih, tentu akan membalas dendam!” kata anak laki-laki, sikap mereka berdua sedikit pun tidak takut dihadapkan pada Raja Yucen.
Tentu saja Khu Tek San terbelalak memandang ke arah dua orang anak itu. Bagaimana bisa terjadi hal yang begini kebetulan secara berturut-turut? Pekerjaan rahasianya terbongkar, muncul Puteri Maya, dan kini tahu-tahu muncul pula dua orang anak yang mengaku murid Mutiara Hitam! Mutiara Hitam adalah adik kembar Raja Khitan, jadi adik tiri suhunya pula, karena itu bukan hanya Maya yang harus diselamatkan, melainkan juga dua orang bocah itu!
“Apa pun yang terjadi, aku harus berusaha menyelamatkan mereka,” bisik Khu Tek San kepada Maya. “Kau larilah dalam keributan ini!”
Tanpa menanti jawaban, tiba-tiba Panglima Khu ini menggerakkan tubuhnya, melayang ke depan, ke arah dua orang anak itu. Cepat bagaikan seekor garuda menyambar, dia menerjang empat orang panglima muda yang memegangi dua orang bocah itu. Mereka ini terkejut, tahu akan kelihaian Khu-ciangkun, maka mereka mundur dan mencabut senjata. Kesempatan itu dipergunakan oleh Tek San untuk menyambar tangan Can Ji Kun, anak laki-laki itu.
Ketika ia hendak menolong Ok Yan Hwa, terdengar bocah itu membentak. “Budak cilik! Aku tidak butuh pertolonganmu!”
Tek San cepat menengok dan melihat betapa Maya sudah berada di situ pula, tadi menyambar tangan Yan Hwa dan ditarik mendekatinya. Ia merasa makin kagum. Kiranya Puteri Khitan ini tidak melarikan diri dalam keributan seperti yang dipesankannya, malah menyusulnya meloncat ke depan untuk menolong dua orang murid Mutiara Hitam!
Keadaan menjadi geger. “Kurung...! Tangkap...!” Raja Yucen berteriak marah sekali.
Tek San bersama tiga orang anak itu dikurung rapat oleh pasukan panglima yang telah menghunus senjata. Tek San menjadi khawatir sekali. Dia tidak takut mati di tangan musuh-musuh ini, akan tetapi bagaimana ia dapat menyelamatkan tiga orang anak itu?
“Sri Baginda Yucen...!” Ia berteriak lantang. “Aku Khu Tek San sebagai seorang laki-laki sejati telah mengaku kedosaanku terhadap Kerajaan Yucen dan aku siap menerima hukuman mati dengan mata terbuka! Akan tetapi, tiga orang anak kecil ini tidak mempunyai dosa, kuharap sukalah Paduka membebaskannya! Kalau tidak, terpaksa aku memberontak dan biar pun kami berempat akan mati, namun kami pun akan menyeret nyawa beberapa orang pengawalmu!”
Raja Yucen yang sudah marah sekali kembali membentak. “Tangkap dia hidup-hidup! Tangkap Si Pengkhianat ini dan tiga orang anak iblis itu!”
Tek San yang mengambil keputusan untuk melindungi tiga orang anak itu dengan nyawanya, mulai siap menghadapi pengeroyokan para panglima yang mengurungnya. Ia menjadi kagum sekali dan tak dapat menahan senyumnya ketika melihat bahwa tiga orang anak itu pun telah bersiap-siap dengan pasangan kuda-kuda yang tangguh, membelakanginya sehingga mereka berempat beradu punggung menghadap ke empat penjuru!
Bukan main, pikirnya penuh kagum. Murid-murid dan keturunan Suling Emas benar-benar merupakan anak-anak yang telah memiliki kegagahan luar biasa. Masih sekecil itu, menghadapi bahaya maut tidak menjadi gentar dan putus asa, melainkan hendak membela diri dengan gagah dan mati-matian!
Keadaan sudah menegangkan sekali. Pengurungan makin ketat dan sudah dapat dibayangkan bahwa betapa pun gagahnya Khu Tek San murid menteri Kam Liong, namun menghadapi begitu banyaknya panglima, perwira dan prajurit Yucen, tentu dia takkan menang.
“Tahannnn...!” tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring yang mengejutkan semua orang.
Lengking nyaring ini disusul berkelebatnya dua sosok bayangan yang sukar dilihat saking cepatnya. Hanya terdengar ribut-ribut ketika sesosok bayangan menyambar ke atas kuda yang diduduki Raja Yucen dan bayangan ke dua menyambar ke arah dua orang panglima tinggi yang berada di sebelah kanan raja. Hanya terdengar suara gedebukan dan suara “ah-uh-ah-uh” disusul melayangnya tubuh Raja Yucen dan dua orang panglima tinggi itu ke atas batu besar yang berada di dekat kemah! Tentu saja semua pasukan menjadi terkejut dan mengalihkan perhatiannya dari Tek San dan tiga orang bocah itu.
“Suhu...!” Ji Kun berteriak girang.
“Subo...!” Yan Hwa juga bersorak.
Ketika obor-obor diangkat tinggi dan semua orang memandang, ternyata di atas batu besar itu telah berdiri seorang wanita gagah perkasa dan cantik jelita yang menelikung lengan Raja ke belakang tubuh dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka mengancam tengkuk. Di sampingnya seorang laki-laki gagah mencengkeram pundak dua orang panglima tinggi itu, siap untuk membenturkan dua buah kepala itu, sikapnya tenang dan laki-laki ini tersenyum-senyum lebar.
“Bebaskan dua orang murid kami, kalau tidak, Raja Yucen kubunuh!” Wanita yang bukan lain adalah Mutiara Hitam itu membentak.
“Ha-ha-ha, kehilangan murid masih mudah mencari gantinya. Kalau kalian kehilangan Raja, wah, berabe juga!” Laki-laki di samping Mutiara Hitam itu berkata sambil tertawa. “Dan penukaran ini sudah cukup menguntungkan bagi kalian. Coba saja, dua orang murid kami ditambah orang gagah dan anak perempuannya yang berusaha menolong, baru empat jiwa. Kami tukar dengan dua puluh tiga jiwa! Wah, kami sudah banyak mengalah!”
Raja Yucen dapat menduga bahwa dia terjatuh ke tangan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang terkenal, maka dia tidak berani main-main. Akan tetapi, mendengar laki-laki yang agaknya suami Mutiara Hitam itu bicara tidak karuan, dia mendongkol juga. “Hemm, kalian hanya menawan kami tiga orang, mana yang dua puluh orang lagi?”
“Ha-ha-ha, Sri Baginda. Yang dua puluh adalah panglima-panglima Sri Baginda yang tentu akan tewas di tangan kami kalau penukaran ini tidak berhasil. Sekarang untuk sementara, kami titipkan nyawa mereka kepada tubuh masing-masing sambil menanti penukaran ini!” jawab Pek-kong-to Tang Hauw Lam seenaknya.
“Bebaskan mereka!” Raja Yucen menghardik dengan muka merah saking marahnya.
Mereka yang tadinya mengurung Tek San dan tiga orang anak itu mundur dengan kecewa.
“Ji-kun! Yang Hwa! Naik ke sini!” Mutiara Hitam berteriak.
Dua orang muridnya lalu meloncat dan dengan gerakan indah serta ringan mereka melayang ke atas batu besar. Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa Maya telah mendahului mereka dengan loncatan yang lebih cepat lagi!
“Apakah engkau Bibi Kam Kwi Lan yang berjuluk Mutiara Hitam?” Maya bertanya kepada Mutiara Hitam sambil memandang penuh kagum.
Mutiara Hitam yang masih menodong Raja Yucen, juga terheran-heran menyaksikan bocah perempuan yang memiliki gerakan demikian ringannya, mengalahkan kedua orang muridnya. “Siapa engkau? Dan siapakah orang gagah di bawah itu?”
Tek San juga melompat ke atas batu besar lalu menjura dengan hormat. “Teecu Khu Tek San murid Suhu Kam Liong memberi hormat kepada Sukouw (Bibi Guru) dan Paman Guru berdua dan berterima kasih atas pertolongan Ji-wi.”
“Ahhh...!” Mutiara Hitam tercengang dan juga girang mendengar bahwa laki-laki perkasa yang tadi berusaha menolong murid-muridnya adalah murid kakaknya sendiri!
“Dan bocah ini...?”
“Dia adalah keponakan Sukouw sendiri, Puteri Maya...!”
“Aihhh...!” Seruan Mutiara Hitam ini mengandung isak tertahan dan tangan kanannya meraih kepala Maya. Dipeluknya anak itu sejenak, sedangkan tangan kirinya masih menelikung Raja Yucen.
“Heeiii! Mutiara Hitam, lepaskan kami! Bukankah kami sudah membebaskan Khu-ciangkun dan tiga orang bocah itu?”
“Nanti dulu, Sri Baginda. Kami belum aman. Anakku, Maya, marilah engkau ikut bersama bibimu.”
Akan tetapi Maya berpendirian lain. Begitu bertemu dengan dua orang murid bibinya, dia merasa tidak suka. Mereka itu berwatak angkuh! Dan dia sudah merasa kagum dan suka sekali kepada Khu Tek San, maka ia menggeleng kepala dan berkata, “Terima kasih, Bibi. Akan tetapi aku ingin pergi bersama Khu-ciangkun!”
Mutiara Hitam menghela napas panjang. Dia adalah seorang wanita gagah perkasa yang tidak suka cerewet. Sekali mengambil keputusan tidak dirubah lagi, dan sekali mendengar keputusan keponakannya, tidak banyak berbantah lagi. Hatinya masih tetap keras dan angkuh.
“Baiklah, Maya. Engkau ikut dengan Khu-ciangkun dan menghadap Pek-hu-mu (Uwamu) Kam Liong pun sama saja. Nah, Khu-ciangkun, pergilah dulu bawa Maya ke selatan. Kami yang tanggung bahwa orang-orang Yucen tidak akan mengganggu perjalanan kalian.”
Khu Tek San memberi hormat, kemudian menggandeng tangan Maya sambil berkata, “Marilah kita pergi!”
Keduanya melompat turun dari batu besar itu dan berlari pergi. Tidak ada seorang pun yang berani menghalang. Akan tetapi Khu Tek San yang mencari-cari dengan matanya, tidak melihat adanya pemuda muka kuda yang tadi muncul bersama Raja Yucen, pemuda yang menurut Maya bernama Siangkoan Lee dan yang membunuh kurirnya.
Setelah menanti agak lama sehingga ia merasa yakin betul bahwa Khu Tek San dan Maya sudah pergi jauh, Mutiara Hitam melepaskan lengan Raja Yucen, juga suaminya melepaskan pundak kedua orang panglima tinggi yang sama sekali tak mampu bergerak ketika dicengkeramannya tadi.
Mutiara Hitam menjura kepada raja itu dan berkata, “Harap Sri Baginda maafkan kami. Kalau menurutkan nafsu hati, agaknya Paduka sudah kami bunuh mengingat akan tewasnya kakakku Raja Khitan di tangan kalian...”
“Ahhhh, tuduhan keji itu!” Raja Yucen membentak marah. “Raja Khitan dan kami pada saat terakhir berjuang bahu-membahu menghadapi gelombang serbuan bangsa Mongol sampai Raja Khitan gugur! Bukan kami yang membunuhnya!”
Mutiara Hitam dan suaminya saling pandang, kemudian Mutiara Hitam berkata, ”Siapa pun yang membunuhnya, kakakku ini gugur dalam perang maka saya pun tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Akan tetapi, kami tidak menanam permusuhan dengan siapa pun juga, dengan Raja Yucen pun tidak, maka harap saja Sri Baginda tidak melanjutkan sikap memusuhi kami dan memerintahkan kepada anak buah Paduka agar kelak tidak lagi mengganggu kami.”
Raja itu bersungut-sungut. “Musuh kami hanya negara lain, bukan perorangan. Apa untungnya bermusuhan dengan Mutiara Hitam? Asal engkau tidak mengganggu keamanan di wilayah kami, perlu apa kami memusuhimu?”
“Bagus, dengan demikian kita sudah saling mengerti. Nah, selamat tinggal, Sri baginda, dan maaf sekali lagi!” Mutiara Hitam menyambar tangan Yan Hwa sedangkan suaminya menggandeng tangan Ji Kun, kemudian mereka berkelebat lenyap ditelan kegelapan malam.
“Sialan!” Raja Yucen membanting-banting kaki. “Turunkan aku...! Goblok kalian semua begini banyak orang tak berguna menghadapi dua orang saja! Aku harus menegur Raja Sung! Tidak patut memata-matai kerajaan sahabat sendiri! Apa-apaan ini? Kalau tidak ada penyelesaian yang memuaskan, kugempur wilayah Sung!” Raja itu mencak-mencak dan marah-marah.
Karena sudah bertemu dengan keponakannya, Puteri Maya, maka Mutiara Hitam dan suami serta murid-murid tidak melanjutkan perjalanan ke Gobi-san dan mereka lalu kembali ke puncak Gunung Yin-san di mana terdapat sebuah goa besar yang pernah mereka pergunakan sebagai tempat tinggal. Melihat betapa pergolakan dan perang antara suku-suku di utara masih terjadi di mana-mana, Mutiara Hitam ingin mengasingkan diri saja di Yin-san agar dia dan murid-muridnya tidak terlibat. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati Mutiara Hitam ketika ia dan suaminya bersama dua orang muridnya tiba di depan goa di puncak Yin-san, dan melihat seorang kakek dan nenek hidung mancung telah menempati goa itu dan kini menyambut kedatangan mereka dengan senyum mengejek.
“Kalian siapakah? Mau apa di sini?” Mutiara Hitam membentak sambil memandang tajam. Karena sekali pandang saja ia dapat mengenal laki-laki dan perempuan itu sebagai bangsa India atau Nepal, maka dia menegur dalam bahasa India.
Kakek tinggi kurus berkulit hitam arang itu tertawa. “Ha-ha-ha, selamat datang, Mutiara Hitam! Beberapa tahun yang lalu, pernah kita saling jumpa di pondok guru kami!”
Tang Hauw Lam menepuk dahinya, memandang kepada isterinya dan berseru, “Wah-wah-wah, bukankah kalian ini murid tukang membuat senjata yang berkaki pincang itu? Kalian murid-murid pertapa Naragita di Himalaya, bukan?”
Mutiara Hitam teringat dan dia bertukar pandang dengan suaminya, mata mereka sejenak berseri dan Mutiara Hitam berkata, “Aihh, kebetulan sekali!”
“Heh-heh-heh!” Nenek India yang bernama Nila Dewi terkekeh. “Memang kebetulan bagi kami, akan tetapi tidak kebetulan bagimu, Mutiara Hitam!”
Mutiara Hitam mengerutkan alisnya, wajahnya berubah dingin dan dia berkata, “Kami sudah mengenal guru kalian, akan tetapi tidak tahu siapa nama kalian?”
“Aku Nila Dewi dan dia ini Mahendra,” jawab Si Nenek India.
“Maksud kedatangan kalian?”
Melihat sikap dingin penuh ancaman dari Mutiara Hitam ini, kakek India itu lalu berkata, “Wah, kami melihat sepak terjangmu ketika engkau membuat Raja Yucen tidak berdaya, Mutiara Hitam. Kami kagum bukan main! Makin tua Mutiara Hitam makin hebat saja, benar-benar seperti mutiara tulen, makin tua makin mengkilap!”
“Mahendra, tidak perlu banyak menjilat. Katakan saja terus terang, mau apa kalian datang dan agaknya mengambil tempat kami?”
Mahendra tertawa, akan tetapi ketawanya ini agak dipaksakan untuk menutupi rasa gentarnya terhadap wanita sakti itu. “Mutiara Hitam, di depan Raja Yucen, suamimu mengatakan bahwa kehilangan murid mudah mencari gantinya. Memang benarkah begitu? Banyak sekali calon-calon murid baik di dunia ini, akan tetapi selain jarang ada pengganti raja, juga jarang bisa mendapatkan tempat tinggal begini nyaman dan enak seperti goa di puncak ini!”
Mutiara Hitam mengerutkan sepasang alisnya lalu digerak-gerakkan. Tidak suka ia mendengar ucapan plintat-plintut direntang panjang itu. “Mahendra, jangan seperti penjual obat, katakan kehendak kalian!”
“Mutiara Hitam, kami mencontoh perbuatanmu terhadap Raja Yucen. Kami mendahului kalian menduduki tempat ini dan hanya akan kami kembalikan kepadamu kalau kalian suka menukar tempat ini dengan....” Dua orang India itu tertawa-tawa dan memandang kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa!
“Tukar apa? Hayo katakan jangan banyak tingkah!” Mutiara Hitam membentak.
“Ditukar dengan dua orang muridmu. Bukankah suamimu bilang bahwa kehilangan murid mudah dicari gantinya dan...”
“Wah-wah-wah, Mahendra benar-benar pandai membadut dan pandai bicara sekarang! Eh, Hitam Jangkung! Kau katakan, kalau kami tidak mau memberikan murid-murid kami, lalu bagaimana?” Tang Hauw Lam bertanya sambil tertawa.
“Kami pun tidak memberikan tempat ini!” jawab Mahendra dan bersama Nila Dewi dia lalu siap menjaga di depan goa.
Mutiara Hitam dan suaminya pernah mendengar akan praktek-praktek keji yang dilakukan orang-orang segolongan pertapa Himalaya yang bernama Naragita itu, yaitu penghayatan ilmu hitam yang membutuhkan pengorbanan darah dan jiwa anak-anak yang bertulang baik seperti dua orang murid mereka itu. Akan tetapi Mutiara Hitam dan suaminya masih bersabar.
Setelah saling pandang dan bermufakat dalam sinar mata mereka, Mutiara Hitam lalu berkata, “Nila Dewi dan Mahendra, orang-orang macam kita tidak menyelesaikan urusan dengan kata-kata, melainkan dengan perbuatan. Nah, coba kalian kalahkan kami. Kalau kami kalah, biarlah kami tidak akan merintangi murid-murid kami kalian bawa.”
“Bagus! Ini namanya ucapan orang gagah! Mutiara Hitam, kami makin kagum saja kepadamu,” kata Mahendra. “Dan kami berjanji, kalau kami kalah, kami akan mengembalikan tempat ini kepadamu dan pergi tanpa banyak ribut lagi.”
“Enak saja kau bicara, Mahendra. Tempat ini memang tempat kami, kami yang menemukan, membersihkan dan membetulkan. Kalau kalah kami mempertaruhkan murid, akan tetapi kalau kalian kalah, kalian juga harus mengorbankan sesuatu.”
“Apa?” Nila Dewi menjerit. “Kau menghendaki nyawa kami?”
“Bodoh! Kami tidak haus darah seperti kalian. Kalau kalian kalah, kalian harus membuatkan sepasang pedang untuk kami, sepasang pedang dari logam yang kutemukan di gunung dalam perjalanan dari barat dahulu. Hanya kalian saja yang agaknya dapat membuatkan pedang dari logam itu untuk kami, karena tukang-tukang pandai besi yang kami temui semua menyatakan tidak sanggup.”
Mahendra tertawa. “Wah, hebat logam itu, makin menarik! Baiklah, taruhan itu malah menyenangkan kami. Nah, bagaimana pertandingan ini diatur?”
Mutiara Hitam tersenyum. Dia tahu bahwa dua orang ini lihai sekali dan biar pun suaminya memiliki ilmu yang tinggi, akan tetapi ia khawatir kalau-kalau suaminya akan salah tangan melukai atau membunuh lawan. Hal ini tidak ia kehendaki karena selain tidak ingin menanam permusuhan dengan orang India ini, juga dia membutuhkan tenaga mereka.
“Kita tidak saling bermusuhan dan pertandingan ini merupakan pertandingan yang ada taruhannya, maka harus satu kali berhasil menentukan siapa kalah siapa menang. Dari pihak kami, aku sendiri yang akan maju menjadi jago, dan aku akan menghadapi jago kalian dengan tangan kosong!”
Mahendra dan Nila Dewl saling pandang. Mereka maklum akan kelihaian Mutiara Hitam, akan tetapi kalau hanya maju dengan tangan kosong, apa yang perlu ditakuti? Mahendra berkedip kepada Nila Dewi, lalu mencabut sepasang pisau belati melengkung yang mengeluarkan sinar gemerlapan sambil meloncat maju.
“Akulah jago pihak kami, Mutiara Hitam! Berani engkau menghadapi sepasang senjataku dengan tangan kosong?”
“Seorang gagah tidak akan menarik kembali janjinya. Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong, Mahendra. Nah, bersiaplah engkau!” Mutiara Hitam meloncat maju ke atas batu di depan goa dan mereka berhadapan.
Orang India yang bertubuh tinggi kurus dan berkulit hitam itu menekuk kedua lututnya, merendahkan diri dan kedua tangannya dipentang lebar, pisau belati digenggam erat-erat dengan mata pisau menghadap ke luar. Ketika ia menggoyang kedua pisaunya, sinar matahari yang menimpa permukaan pisau itu menyorot ke depan menyilaukan mata.
“Sepasang senjata yang bagus!” Mutiara Hitam memuji akan tetapi ia sudah menerjang ke depan dengan pukulan dahsyat.
Mahendra cepat mengelak dan sambil miringkan tubuh, pisau kirinya menangkis lengan lawan dan pisau kanannya menyambar tengkuk! Akan tetapi gerakan Mutiara Hitam yang gesit itu membuat ia dengan mudahnya mengelak.
Nila Dewi berdiri menonton penuh perhatian dengan alis berkerut. Tang Hauw Lam menggandeng tangan kedua orang muridnya untuk mencegah mereka pergi dan tertangkap lawan, akan tetapi dia menonton dengan wajah tenang-tenang saja karena hatinya mempunyai kepercayaan sepenuhnya akan kelihaian isterinya. Ketika isterinya maju dan menantang untuk menghadapi lawan dengan tangan kosong, maka tahulah ia bahwa isterinya ingin mengalahkan lawan tanpa melukainya.
Dan memang ini tepat sekali karena dalam hal ilmu silat tangan kosong, ia harus mengaku kalah jauh terhadap isterinya. Kalau dia yang maju dan menggunakan goloknya, tentu dia hanya akan mampu mengalahkan Mahendra dengan melukainya! Padahal, isterinya sudah lama sekali merasa penasaran mengapa logam yang berbentuk dua buah bola putih itu, yang mereka dapatkan di puncak gunung barat, sampai kini belum ada yang mampu membuatnya menjadi pedang!
Hal ini terjadi beberapa tahun yang lalu ketika dia berdua isterinya melakukan perjalanan dari barat ke timur. Mereka baru saja menuruni lereng puncak Gunung Yolmu-lungma, yaitu puncak tertinggi dari Pegunungan Himalaya, turun ke sebelah selatan tapal batas Nepal dan India, kemudian terus ke timur menyusuri pantai Sungai Brahma Putera. Ketika tiba di perbatasan Yunan dan mulai mendaki lagi sisa kaki Pegunungan Himalaya di waktu malam, mereka tiba-tiba melihat sinar kehijauan jatuh dari langit dan terdengarlah suara menggelegar tak jauh di depan.
Mutiara Hitam dan suaminya cepat menuju ke tempat itu dan dari jauh mereka sudah melihat sinar putih di atas tanah sawah dan tanah dari mana sinar putih itu tampak, mengeluarkan asap dan hawa panas!
“Agaknya itulah yang disebut batu bintang!” kata Mutiara Hitam.
“Jatuh begitu saja dari langit? Sungguh luar biasa!” Tang Hauw Lam berkata dan keduanya tidak berani sembarangan menghampiri tanah yang mengeluarkan sinar itu.
Baru pada keesokan harinya dengan berindap mereka menghampiri tempat yang sunyi itu dan di situlah mereka menemukan dua buah logam berbentuk bulat berwarna putih dan masih hangat. Mereka menjadi girang dan menyimpan dua buah batu logam itu. Ketika sudah berada di Tiong-goan, mereka menemui ahli-ahli pedang dengan maksud untuk membuatkan sepasang pedang dari batu logam itu. Akan tetapi semua ahli pedang tidak sanggup mengolah dua batu logam itu. Sudah sebulan lamanya dibakar masih tetap keras saja!
Inilah sebabnya mengapa munculnya dua orang murid pendeta Naragita menggirangkan hati Mutiara Hitam dan suaminya. Dua orang India itu adalah murid seorang di antara ahli-ahli pedang yang sakti dan agaknya hanya orang-orang seperti mereka inilah yang akan sanggup membuatkan sepasang pedang dari dua buah batu logam itu untuk mereka.
Pertandingan antara Mutiara Hitam dan Mahendra masih berlangsung dengan seru. Ilmu silat Mahendra amat aneh. Gerakan sepasang pisaunya sangat cepat sehingga tampak dua gulungan sinar bergulung-gulung seperti ombak hendak menelan tubuh Mutiara Hitam, apa lagi setiap serangannya mengandung tenaga sinkang yang amat kuat.
Namun Mutiara Hitam menghadapinya dengan ketenangan yang mengagumkan. Bermacam ilmu silat tangan kosong yang lihai-lihai dan tinggi-tinggi ia mainkan. Mula-mula ia mainkan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Harum) untuk mendesak kakek India itu. Akan tetapi tokoh India ini ternyata merupakan seorang yang ahli terhadap pukulan-pukulan beracun, maka sama sekali Mutiara Hitam merubah lagi ilmu silatnya. Untuk melindungi tubuhnya dari sepasang pisau lawan, baginya amat mudah. Gerakan lawannya bagi dia terlalu canggung dan lambat, maka dengan kegesitannya, mudah baginya untuk mengelak. Yang menjadi soal adalah bagaimana dia harus mengalahkan lawan ini dengan ilmu silat tangan kosong.
Tiba-tiba pendekar wanita sakti ini mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan jantung lawan, suara melengking seperti suling nada tinggi dan inilah ilmu khikang Kim-kong-sim-im yang diwarisi dari ayahnya Suling Emas.
Selagi lawannya terkejut dan mengerahkan sinkang untuk melawan gerakan suara mukjizat ini, Mutiara Hitam sudah menerjangnya dan mainkan ilmu silat yang memiliki gaya tidak lumrah dahsyatnya! Dia telah mainkan ilmu silat tangan kosong yang didapatkannya dari ibunya, yaitu Ratu Yalina. Ilmu ini adalah Ilmu Silat Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Ilmu Silat Sakti) yang hanya merupakan tiga belas jurus saja, namun tiga belas jurus ini merupakan jurus-jurus pilihan di antara semua ilmu silat tangan kosong dan merupakan jurus-jurus maut yang sukar dilawan.
Mahendra mulai menggereng-gereng dan menjadi bingung. Gerakannya kacau-balau ketika angin menyambar-nyambar secara hebat dari tubuh dan tangan Mutiara Hitam. Pendekar wanita itu baru mainkan sejurus saja, yaitu jurus yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Berpusing Mengeluarkan Kilat). Tubuhnya berkelebatan dan berputaran seperti gasing dan dari putaran tubuhnya itu kedua tangan dan kakinya kadang-kadang menyambar secara tak terduga-duga!
“Ciaaatttt!” Mutiara Hitam berseru...
TANGAN
kirinya dengan dua jari terpentang menyambar untuk menjepit pisau kiri
Mahendra. Tokoh India ini kaget sekali. Biar pun yang mengancam pisaunya hanya
dua buah jari, namun ia maklum bahwa jari-jari kecil mungil itu mengandung
tenaga sinkang yang membuat cepitannya sekuat cepitan baja dan ada bahayanya
pisaunya terampas. Cepat ia mengangkat tangannya ke atas. Mutiara Hitam tertawa
dan Mahendra terkejut, cepat hendak mengelak namun telambat.
Dia tadi
telah kena dipancing sehingga menekuk lengannya melindungi pisau, akan tetapi
kiranya jari tangan Mutiara Hitam telah menotok sambungan sikunya sehingga
seketika lengan kirinya menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu bagaimana
terjadinya, pisau kirinya telah berpindah ke tangan kanan Mutiara Hitam yang
cepat menyambar dan merampasnya pada detik lengannya lumpuh tertotok tadi.
“Bagus!
Hebat kau Mutiara Hitam, akan tetapi aku masih belum kalah!” Mahendra membentak
dan kini menerjang makin hebat dengan pisau kanannya.
Mutiara
Hitam melemparkan pisau rampasannya kepada suaminya yang menerima pisau itu dan
memeriksanya penuh kagum karena pisau itu terbuat dari logam yang aneh dan amat
kuat pula.
“Mahendra,
bersiaplah engkau untuk mengakui keunggulan Mutiara Hitam dan membuatkan
sepasang pedang untuk membayar taruhanmu!” Mutiara Hitam berseru dan kini
wanita sakti itu menerjang lawannya dengan gerakan yang membuat Mahendra
benar-benar bingung.
Tubuh wanita
itu lenyap dan yang tampak hanya bayangan putih seperti awan yang bermain-main,
namun mengandung angin berpusingan yang membuat tubuh Mahendra ikut pula
berputaran tanpa dapat dicegahnya lagi. Itulah jurus Khong-in-loh-hwa (Awan
Kosong Rontokkan Bunga) dari ketiga-belas jurus ilmu silat sakti! Mahendra
berusaha untuk mempertahankan diri, namun tubuhnya berputar makin cepat dan tak
dapat dikuasainya pula dan tahu-tahu pisau kanannya telah terampas pula,
sedangkan lututnya tertendang sehingga ia jatuh berlutut di depan Mutiara
Hitam!
“Aku mengaku
kalah, Mutiara Hitam!” kata kakek hitam itu penuh kagum.
Juga Nila
Dewi yang mengikuti jalannya pertandingan dengan seksama mengerti bahwa dia pun
bukanlah tandingan Mutiara Hitam, maka ia lalu melangkah maju dan berkata,
“Kami tidak mendapat kesenangan memperoleh anak bertulang baik, tidak pula
dapat menikmati kemenangan pertandingan, biarlah kita menikmati pembuatan
pedang dengan bahan yang aneh. Keluarkanlah logammu itu, Mutiara Hitam. Kami
akan saling berlomba membuatkan pedang terbagus untukmu.”
Tang Hauw
Lam mengeluarkan dua butir bola logam putih dari bungkusan dan menyerahkan dua
buah logam itu kepada Nila Dewi dan Mahendra. Ketika dua orang itu menerima dan
memeriksa logam itu, mereka terbelalak dan membuat gerakan seperti orang
menyembah dengan hormat. Mulut Mahendra berkata lirih, “Ya, Tuhan..., ini...
besi bintang putih...!”
Nila Dewi
juga terbelalak, mukanya agak pucat dan ia berkata, “Luar biasa... dan kita...
yang mendapat kehormatan membuatkan pedang... dari logam mulia dan keramat
ini...!”
Mutiara
Hitam sejak tadi memandang penuh perhatian dan kekaguman, kemudian ia berkata,
“Apakah kalian hendak mengatakan bahwa kalian bisa membuat sepasang pedang dari
buah benda bola logam ini?”
“Bisa? Tentu
saja bisa! Akan tetapi kami minta agar kalian tidak mencampuri dan mengganggu
kami membuat pedang,” kata Nila Dewi.
“Benar,”
Mahendra mengangguk-angguk. “Kami minta tempat terpisah dan tidak mau diganggu.
Betapa pun tinggi ilmu kepandaianmu, Mutiara Hitam, akan tetapi dalam pembuatan
po-kiam, apa lagi menggunakan bahan keramat seperti ini, engkau tentu tidak
tahu apa-apa. Karena itu jangan mencampuri pekerjaan kami.”
Mutiara
Hitam mengangguk-angguk. “Baik, aku percaya kepada kalian. Akan tetapi contoh
pedangnya harus seperti ini!” Mutiara Hitam menggunakan jari telunjuknya
menggambar sebatang pedang di atas tanah dan menerangkan modelnya, ukurannya
dan lain-lain, diperhatikan oleh dua orang India itu yang mengangguk-angguk.
Sebagai ahli-ahli yang berpengalaman, sekali pandang saja tahulah mereka pedang
macam apa yang harus mereka bikin.
“Kalian
boleh menggunakan dua buah goa di kiri sana itu, di sana bersih dan sunyi. Kami
takkan mengganggu, akan tetapi kalian harus memberi waktu, berapa lama kalian
sanggup menyelesaikan pedang itu?”
Mahendra dan
Nila Dewi berpikir-pikir, mengerutkan alis dan menghitung-hitung. “Untuk
mempersiapkan tempat pembakaran dan penempaan sih cukup beberapa hari saja,”
kata Mahendra.
“Hemm, yang
harus dipikirkan adalah cara membakar logam ini agar melunak dan dapat ditempa
dan dibentuk!” Nila Dewi berkata sambil menimang-nimang logam bundar di
tangannya.
“Hal ini
perlu kita selidiki lebih dulu,” kata pula Mahendra, kemudian ia menoleh kepada
Mutiara Hitam. “Kami minta waktu tiga bulan atau seratus hari! Kalau dalam
waktu seratus hari pedang ini belum jadi, berarti kami tidak sanggup lagi.”
Mutiara
Hitam menghela napas dan mengangguk. Dua orang pembuat pedang itu adalah
orang-orang aneh dan ia percaya bahwa sekali mereka berjanji tentu akan
dipenuhinya. Dia tidak tahu cara bagaimana mereka akan membuat pedang dari dua
batu logam aneh itu, akan tetapi diam-diam ia pun mengharapkan agar mereka akan
dapat berhasil membuat sepasang pedang yang ia idam-idamkan. Dua buah benda
putih itu amatlah anehnya, kalau dilekatkan dapat bergerak sendiri. Ada tenaga
mukjizat dalam kedua benda itu, pada satu ujungnya mereka itu dapat saling
menarik dan ujung yang lain mengeluarkan daya tolak atau saling mendorong!
Sepasang goa
yang dipergunakan oleh Mahendra dan Nila Dewi untuk membuat pedang itu agak
jauh dari goa yang ditinggali Mutiara Hitam dan suami serta dua orang muridnya
sehingga mereka tidak dapat melihat apa yang dikerjakan dua orang India yang
membuat pedang itu. Mereka hanya mendengar kadang-kadang suara
klang-kling-klang seperti dua buah benda keras beradu, kadang-kadang melihat
cahaya api dari dalam goa-guha itu. Kadang-kadang sampai berhari-hari sunyi
saja seolah-olah dua orang itu telah pergi meninggalkan goa tanpa pamit.
“Subo,
bagaimana kalau mereka pergi minggat?” Can Ji Kun bertanya kepada Mutiara
Hitam.
“Benar, aku
pun tidak percaya dua manusia iblis itu akan mampu membuat pedang dari dua buah
logam keramat itu!” Ok Yan Hwa juga berkata.
Mutiara
Hitam menyapu wajah kedua orang muridnya dengan alis berkerut, kemudian ia
berkata menegur, “Camkanlah dalam kepala kalian bahwa di dunia orang gagah,
baik pada golongan putih mau pun hitam, golongan bersih mau pun sesat, terdapat
semacam kehormatan yang takkan dilanggar biar berkorban nyawa sekali pun. Aku
percaya bahwa mereka akan memenuhi janji. Bagi seorang gagah, tidak ada sifat
yang lebih rendah dari pada tidak memenuhi janji!”
Dua orang
murid itu mundur dengan takut dan tidak berani bertanya lagi. Akan tetapi makin
lama makin anehlah keadaan di sepasang goa itu didengar dari tempat mereka.
Akhirnya, pada suatu malam terdengarlah jeritan-jeritan anak kecil melengking
berkali-kali dari sepasang goa itu.
“Keparat!”
Tang Hauw Lam yang biasanya bersikap gembira dan tenang kini agaknya tak dapat
menahan kesabarannya lebih lama lagi “Mereka menculik anak-anak!”
Akan tetapi
Mutiara Hitam hanya duduk bersila dengan tenang, sama sekali tidak bergerak,
seolah-olah jeritan-jeritan itu tidak didengarnya.
“Eh, masa
kita harus mendiamkan saja mereka menggangu anak-anak? Mungkin juga mereka
membunuhnya!”
Mutiara
Hitam menghela napas. “Bukankah kita sudah berjanji tidak akan mencampuri
pekerjaan mereka membuat pedang?”
”Memang
tidak mencampuri pekerjaan membuat pedang. Akan tetapi kalau mereka membunuh
anak-anak, tak dapat aku membiarkan saja. Apa mereka boleh membunuhi anak-anak
tak berdosa di depan hidung Pek-kong-to? Hemm, sebelum aku mati, hal itu takkan
terjadi!” Tang Hauw Lam yang biasanya bergembira itu sudah bangkit berdiri dan
membawa goloknya, siap untuk mendatangi sepasang goa itu dan menyerbu.
“Nanti dulu,
Suamiku!” Mutiara Hitam berkata, suaranya penuh kesungguhan. “Apakah engkau mau
melanggar janji kita tidak akan mencampuri pekerjaan mereka membuat pedang?”
“Siapa mau
mencampuri? Apa hubungannya penculikan anak-anak itu dengan pembuatan pedang?”
Tang Hauw Lam berhenti dan menoleh kepada isterinya dengan penasaran.
“Apakah
engkau lupa tentang dongeng yang pernah kita dengar di dunia barat tentang
logam mulia yang hanya dapat dibikin cair dan lunak hanya dengan
campuran-campuran tertentu?”
Tang Hauw
Lam sejenak memandang isterinya dengan mata terbelalak, kemudian wajahnya
berubah pucat. “Kau... kau maksudkan... anak-anak itu...?”
Mutiara
Hitam mengangguk. “Mereka itu biar pun mungkin saja membutuhkan anak-anak untuk
meyakinkan ilmu hitam mereka, takkan berani melakukan hal itu di dekat kita.
Kalau mereka toh melakukannya juga, tentu ada hubungannya dengan pembuatan
pedang. Kalau kau penasaran, besok boleh kau bertanya, kiranya takkan meleset
dugaanku.”
Wajah Hauw
Lam makin pucat. “Kalau begitu... pedang-pedang itu... akan menjadi Sepasang
Pedang Iblis...!”
Mutiara
Hitam mengangguk. “Kalau benar dugaan kita, begitulah. Maka kita harus lebih
waspada lagi menjaga agar sepasang pedang itu jangan jatuh ke tangan lain
orang. Kalau benar sepasang pedang itu menjadi Pedang Iblis, kita berkewajiban
untuk membasminya sendiri agar tidak menimbulkan mala-petaka!”
Tang Hauw
Lam mengangguk-angguk kemudian membentak dua orang muridnya agar tidur karena
mereka itu masih mendengarkan percakapan kedua orang guru mereka dengan penuh
perhatian. Pada keesokan harinya, Tang Hauw Lam yang merasa penasaran
menghampiri sepasang goa itu. Dari jauh dia sudah berteriak.
”Mahendra!
Aku tidak akan mencampuri pekerjaanmu, akan tetapi keluarlah, aku bertanya
kepadamu!”
Sunyi saja
sepasang goa itu. Setelah Tang Hauw Lam mengulangi pertanyaannya, terdengar
suara Mahendra mengomel. “Keparat! Dengan mengganggu semedhiku, engkau membikin
aku ketinggalan sehari oleh Dewi, Pek-kong-to! Engkau mau tanya apa? Lekas!”
“Hanya
tentang jeritan suara anak-anak semalam....”
“Pek-kong-to!
Kalau tidak melihat muka Mutiara Hitam isterimu, pertanyaanmu ini bisa kuanggap
bahwa engkau mencampuri urusan pekerjaan kami dan engkau melanggar janji! Bodoh
engkau! Di dalam tubuh manusia yang sudah dicairkan terdapat semacam zat yang
tidak terdapat pada tubuh mahluk lain. Dan itulah yang dibutuhkan, karena hanya
dengan campuran itulah logam ini dapat dicairkan! Apa lagi?”
Tang Hauw
Lam merasa betapa kedua kakinya menggigil. “Sudah cukup!” katanya dan ia lari
kembali ke goa di mana isterinya masih duduk bersila dengan wajah yang muram.
”Benar
sekali!” Hauw Lam berkata sambil menjatuhkan diri dekat isterinya.
“Sungguh
tidak kebetulan sekali kita yang menemukan logam itu. Pedang sudah dibuat,
sepasang pedang yang sifatnya jahat sekali, sebelum dibentuk pun sudah minum
darah dan nyawa dua orang anak. Kita harus membasmi pedang-pedang itu!”
“Benar, kita
hanya menanti sampai sepasang pedang itu jadi.”
Mulai hari
itu, setiap hari terdengarlah bunyi besi ditempa nyaring di dalam sepasang goa,
tanda bahwa dua orang India itu sibuk sekali membuat pedang yang dipesan
Mutiara Hitam. Kedua orang ini memang aneh. Mereka sesungguhnya saling
mencinta, akan tetapi juga selalu saling berlomba tidak mau kalah. Apa lagi
kini mereka berdua berlomba membuatkan pedang untuk Mutiara Hitam, pedang yang
sama bahannya, sama bentuknya pula. Tentu saja mereka mulai berlomba untuk
membuatkan pedang yang sebagus-bagusnya!
Memang cara
mereka membuat pedang dari logam putih itu amat menyeramkan. Setelah beberapa
hari gagal membikin logam itu mencair atau melunak, akhirnya mereka berdua lalu
pergi dan menculik anak-anak dari dalam dusun yang jauh letaknya dari situ.
Mahendra menculik seorang anak perempuan sedangkan Nila Dewi menculik seorang
anak lakl-laki secara terpisah. Mengapa Mahendra menculik anak perempuan dan
Nila Dewl menculik anak laki-laki?
Sebetulnya
keduanya salah mengira dan terdorong oleh nafsu bersaing, Mahendra mengira
bahwa tentu Nila Dewi membuat pedang yang bersifat betina, maka ia pun menculik
seorang anak perempuan dan mulai membuat sebatang pedang ‘betina’ dengan
menggunakan darah dan tubuh seorang anak perempuan. Demikian pula dengan Nila
Dewi yang tidak mau kalah. Dia mengira bahwa Mahendra tentu akan membuat
sebatang pedang ‘jantan’ maka dia lalu membuat pedang ‘jantan’ untuk
mengalahkan saingannya itu! Tanpa mereka ketahui, terdorong oleh nafsu tidak
mau kalah masing-masing. Mahendra membuat pedang ‘betina’ sedangkan Nila Dewi
membuat sepasang pedang ‘jantan’.
Anak yang
mereka culik itu mereka gantung dengan kepala di bawah, kemudian mereka
mengerat urat nadi untuk mengeluarkan darah mereka. Dengan darah inilah logam
itu ‘dicuci’ dan direndam, kemudian tubuh yang masih hidup itu dimasukkan ke
dalam kuali besar untuk direbus bersama-sama logam putih! Cara yang mengerikan
sekali, akan tetapi nyatanya, setelah menghisap hawa tubuh manusia dan terkena
darah anak-anak ini, logam putih itu dapat dibakar lunak dan dibentuk!
Kurang lebih
tiga bulan kemudian, pagi-pagi sekali Mutiara Hitam dan suaminya terkejut
mendengar suara beradunya senjata yang menimbulkan suara berdesing nyaring
sekali. Mereka cepat meloncat ke luar menuju ke sepasang goa itu dan apakah
yang mereka lihat? Mahendra dan Nila Dewi sedang bertanding mati-matian
mempergunakan dua batang pedang yang mengeluarkan sinar seperti kilat
menyambar-nyambar.
Dari jauh
saja Mutiara Hitam dan suaminya yang sudah banyak pengalaman itu merasakan
adanya getaran pengaruh mukjizat yang keluar dari sinar pedang itu. Dua batang
pedang yang amat indah buatannya, persis seperti contoh yang dilukis di atas
tanah oleh Mutiara Hitam tiga bulan yang lalu, hanya pedang di tangan Mahendra
agak kecil sedikit.
“Aihhh...
mengapa kalian? Jangan berkelahi...!” Mutiara Hitam berseru dan melompat maju
untuk melerai, akan tetapi tiba-tiba sinar pedang yang seperti kilat itu
menyambar ke arahnya dengan kecepatan luar biasa sehingga Mutiara Hitam
terkejut sekali dan melompat ke belakang.
“Jangan
mencampuri!” Mahendra membentak. “Lihat, pedang siapa yang lebih lihai!”
“Manusia
sombong! Pedang buatanku akan menghancurkan pedang buatanmu berikut kepalamu
yang sombong!” Nila Dewi juga menjerit dan menyerang lagi dengan hebatnya.
“Cring-sing-tranggg...!”
Bunga api berhamburan menyilaukan mata dan kedua pedang itu terpental setiap
kali bertemu, lalu kedua orang itu saling serang dengan kecepatan kilat.
“Celaka...,
tahan...!” Tang Hauw Lam berseru dan meloncat maju dengan golok di tangan.
“Trang-trangggg...
aiihhh...!” Tang Hauw Lam terpaksa harus meloncat ke belakang karena ketika
goloknya tertangkis oleh dua pedang itu, ia merasa seolah-olah dibetot oleh dua
tenaga bertentangan yang amat kuat.
Mutiara
Hitam juga menerjang maju, kini dengan pedang Siang-bhok-kiam di tangannya.
Ketika ia menerjang maju untuk memisahkan dua orang itu, tampak sinar pedangnya
yang hijau, akan tetapi kembali sepasang pedang yang tadinya saling serang itu
secara aneh dan tiba-tiba sekali telah membalik dan menghadapi pedang Mutiara
Hitam dengan kekuatan mukjizat dan kerja sama yang mengherankan.
“Trak-trakkk!”
Juga Mutiara Hitam menghadapi kenyataan mukjizat karena pedangnya yang jarang
menemui tanding itu kini tertolak dan tangannya tergetar ketika bertemu dengan
sepasang pedang yang sinarnya seperti kilat itu!
Terpaksa ia
meloncat ke belakang dan berkata kepada suaminya, “Kalau mereka sudah gila
untuk saling bunuh, biarkanlah!”
Dan memang
tidak ada jalan lain lagi bagi Mutiara Hitam dan suaminya. Dua orang itu seperti
gila, kalau dibiarkan, saling menyerang seperti hendak saling bunuh! Akan
tetapi kalau hendak dipisahkan, mereka berdua membalik dan mengeroyok lawan
yang mengganggu mereka! Tentu saja Mutiara Hitam dan suaminya tidak mau
merobohkan mereka hanya untuk menghentikan pertandingan mereka!
Can Ji Kun
dan Ok Yang Hwa juga sudah tiba di tempat itu dan dua orang anak ini memandang
pertandingan dengan pandang mata bersinar-sinar penuh kagum melihat sepasang
pedang itu. Selama ini kedua orang murid Mutiara Hitam telah mendengar
percakapan antara guru mereka tentang sepasang pedang yang sedang dibuat secara
aneh oleh Nila Dewi dan Mahendra, dan diam-diam kedua orang anak ini ingin
sekali memiliki pedang yang luar biasa itu. Apa lagi setelah kini pedang-pedang
itu jadi, mereka makin kagum melihat sinar pedang yang seperti kilat.
Pertandingan
Nila Dewi dan Mahendra sudah mencapai titik puncak yang berbahaya sekali.
Mutiara Hitam dan suaminya maklum bahwa seorang di antara mereka tentu akan
roboh terluka, akan tetapi karena mereka tidak dapat berbuat apa-apa, mereka
hanya memandang dengan alis berkerut.
“Cringggg!”
sepasang pedang itu bertemu di udara, tertolak keras dengan tiba-tiba dan....
“Blesss...!
Blesss...!” pedang di tangan Mahendra menembus dada Nila Dewi, sebaliknya
pedang wanita itu menembus dada Mahendra. Keduanya terhuyung, melepaskan pedang
masing-masing yang sudah menancap di dada lawan, kemudian roboh terguling ke
kanan kiri!
“Gila!”
Mutiara Hitam dan Tang Hauw Lam meloncat menghampiri dua tubuh yang rebah
telentang itu.
Mahendra
memandang Mutiara Hitam dan tertawa! “Ha-ha-ha, sepasang pedang pesananmu telah
rampung, Mutiara Hitam! Sepasang Pedang Iblis! Disempurnakan dengan rendaman
darah kami sendiri. Sepasang Pedang Iblis, kelak masih akan banyak minum darah
manusia, ha-ha-ha!”
Nila Dewi
terbelalak dan juga tertawa. “Mahendra, kita berdua akan hidup terus, dalam
sepasang pedang ini. Sepasang Pedang Iblis... hi-hik, kita akan selalu haus
darah, akan selalu bersaing... ha-ha-ha!”
Biar pun
Mutiara Hitam dan Pek-kong-to adalah suami isteri pendekar yang sudah mengalami
banyak hal-hal aneh dan menyeramkan, akan tetapi melihat betapa dua orang itu
berkelojotan dan tewas dengan ucapan-ucapan seperti itu, keduanya merasa ngeri
juga. Sejenak mereka berdua memandang kepada pedang ‘jantan’ yang kini menancap
di dada Mahendra, untuk kedua kalinya minum darah manusia, dan kepada pedang
‘betina’ yang menancap di dada Nila Dewi.
“Haruskah
kita mengambil pedang-pedang itu?” Tang Hauw Lam bertanya kepada isterinya
dengan perasaan jijik. “Tak enak rasanya memegang kedua pedang itu.”
Mutiara
Hitam mengangkat muka memandang suaminya. “Apa? Engkau... takut?”
Suaminya
tersenyum. “Takut sih tidak, hanya... hemm, ngeri!” Ia memandang kepada dua
mayat itu. “Sebaiknya kita kubur saja kedua jenazah ini berikut kedua
pedangnya!”
“Tidak baik
begitu!” Mutiara Hitam mencela. “Pedang ini tercipta karena kita, maka harus
berada di tangan kita. Kalau dikubur kemudian didapatkan orang lain, tidakkah
celaka?”
“Apa...? Kau
sebatang dan aku sebatang? Jangan-jangan setelah kita berdua masing-masing
menyimpan sebatang, kita pun akan menjadi gila dan saling menyerang seperti
mereka.” Hauw Lam menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyang tangan.
“Tahyul!”
Mutiara Hitam mencela. ”Memang mereka ini sejak dulu sudah selalu tidak akur
dan bersaing. Akan tetapi, biarlah sepasang pedang ini aku yang menyimpannya.”
Mutiara Hitam lalu mencabut sepasang pedang itu dan ia memandang terbelalak
kepada kedua pedang dan ke arah dada kedua buah mayat itu.
“Benar-benar
Sepasang Pedang Iblis yang suka minum darah...!” Tang Hauw Lam berseru dengan
muka pucat.
Ternyata
setelah dicabut, kedua pedang itu tetap putih bersih tidak ada darahnya, bahkan
dada yang terluka dan ditembus pedang itu pun tidak berdarah, seolah-olah semua
darahnya habis dihisap oleh kedua pedang itu!
“Sepasang
Pedang Iblis yang haus darah dan harus disingkirkan!” Mutiara Hitam juga
berkata, lalu tiba-tiba ia membentak dua orang murid yang datang mendekat,
“Hei, kalian mau apa?”
“Subo,
berikan pedang betina kepada teecu!” kata Ok Yan Hwa.
“Dan yang
jantan untuk teecu, Subo!” kata pula Can Ji Kun.
Dua orang
suami isteri itu saling pandang. “Hemm, untuk apa pedang bagi kalian?” Kemudian
Mutiara Hitam berkata untuk membantah sendiri ketahyulannya terhadap sifat
sepasang pedang itu. “Karena baru saja jadi, agaknya di dalam tubuh pedang
masih ada lubang-lubang dan hawa panas oleh api yang membakarnya, membuat
pedang-pedang ini mempunyai daya menghisap.”
Betapa pun
juga, Mutiara Hitam bangkit berdiri dan meneliti sepasang pedang itu penuh
perhatian. Buatannya amat indah dan halus, bentuknya sama benar, hanya
perbedaannya terletak pada tubuh pedang yang berbeda sedikit besarnya. Ia
mempertemukan ujung pedang yang runcing dan... kedua pedang itu tertolak,
seolah-olah tidak suka bertemu ujung dan tiba-tiba ada kekuatan aneh yang
membuat gagang kedua pedang itu saling menempel! Berkali-kali Mutiara Hitam
mencoba dan mendapat kenyataan bahwa ujung runcing kedua pedang itu saling
menolak, akan tetapi ujung di gagang saling menarik.
“Hemm,
mengandung sembrani yang kuat...,” katanya perlahan.
Mereka lalu
mengubur jenazah Nila Dewi dan Mahendra, kemudian meninggalkan tempat itu untuk
merantau ke tempat lain karena Mutiara Hitam tidak suka lagi tinggal di situ
setelah terjadi peristiwa kematian dua orang India itu.
Tang Hauw
Lam yang bijaksana dan amat mencinta isterinya maklum sepenuhnya betapa sikap
isterinya berubah banyak sekali semenjak menerima berita kematian Raja Khitan.
Isterinya sekarang pemarah sekali, bahkan kedua orang muridnya menjadi takut
karena sering dibentak dan ditampar, pula sering kali termenung-menung dan
melihat matanya yang membengkak, tahulah dia bahwa sering kali isterinya itu
secara sembunyi-sembunyi suka menangis.
Pada suatu
hari, selagi mereka beristirahat di atas lereng dan mereka membiarkan dua orang
murid bermain-main di padang rumput, Tang Hauw Lam tak dapat menahan lagi
tekanan batinnya. Ia duduk mendampingi isterinya dan berkata lirih.
“Kwi Lan
Isteriku. Engkau kenapakah?”
Kwi Lan yang
seperti orang termenung itu menoleh kepada suaminya dan berkata singkat, “Tidak
apa-apa.”
Hauw Lam
menghela napas, kemudian berkata halus dan lirih. “Kita telah menjadi suami
isteri selama belasan tahun, setiap harl kita berkumpul sehingga aku mengenal
engkau seperti mengenal tubuhku sendiri, Kwi Lan. Aku melihat perubahan hebat
terjadi atas dirimu. Engkau membiarkan Nila Dewi dan Mahendra membunuh dua
orang anak kecil, kemudian saling bunuh sendiri. Engkau hampir saja membunuh
Raja Yucen, kulihat dari getaran tanganmu. Baru hal itu tidak terjadi setelah
engkau mendengar bahwa pembunuh Raja dan Ratu Khitan bukanlah bangsa Yucen,
melainkan bangsa Mongol. Aihh, Kwi Lan. Engkau tertekan kedukaan hebat atas
kematian kakak kembarmu, bukan? Kedukaan yang membuat engkau menjadi dingin,
tak pedulian, kejam...”
Tiba-tiba
Mutiara Hitam, wanita sakti yang hatinya sekeras baja itu menubruk suaminya,
merangkul dan menangis tersedu-sedu. “Aduhhh, Lam-ko... apakah yang harus
kulakukan, Lam-ko...? Aihh...!”
Tang Hauw
Lam memeluk isterinya penuh kasih sayang dan membiarkan isterinya menangis
sepuasnya untuk memberi jalan ke luar pelepasan kedukaan hatinya. Kemudian ia
berkata, “Isteriku, kalau tidak salah dugaanku, engkau tentu menaruh dendam
benar di hatimu atas kematian Raja Talibu, bukan?”
Kembali
Mutiara Hitam memandang suaminya dengan muka basah air mata, sejenak sepasang
matanya memandang penuh selidik. Akan tetapi ketika ia melihat betapa suaminya
memandang kepadanya penuh pengertian, ia tersedu dan menundukkan mukanya.
“Dugaanmu
benar, Suamiku. Kalau aku tidak bisa membalas dendam ini, hidupku takkan dapat
tenang lagi. Aku bisa menjadi gila dikejar-kejar dendaml Aku... aku harus
membalas dendam ini, aku harus membunuh Raja Mongol!”
Tang Hauw
Lam menarik napas, kemudian berkata suaranya penuh kedukaan. “Aku mengerti,
Isteriku. Biar pun keputusan hatimu ini sebenarnya keliru, namun tidak berani
aku melarangmu karena aku tahu betul apa yang terjadi dalam hatimu.”
Mutiara
Hitam merangkul suaminya. “Aihhh, Lam-ko... selamanya engkau begini penuh
pengertian terhadap aku, penuh kasih sayang dan penuh kesabaran. Aku... aku
memang selalu salah... ahhh, Lam-ko... akan tetapi, kalau aku tidak membalas
dendam kematian kakakku, agaknya aku akan menjadi gila! Aku akan mati dalam
hidup merana dan selalu digoda bayangan Kakak Talibu yang menuntut dlbalaskan
kematiannya. Aaahh, Lam-ko, betapa tersiksa hatiku selama beberapa malam ini...
selalu didatangi bayangan Kakak Talibu....“ Mutiara Hitam menangis lagi
terisak-isak.
Diam-diam
Hauw Lam terkejut sekali. Dia mengerti bahwa memang ada ikatan batin dan ikatan
getaran yang lebih halus dan lebih dekat antara saudara kembar. Maka ia
mengeraskan hatinya dan bertanya, “Janganlah engkau merasa bersalah kepadaku
dan hendak menyembunyikan, Isteriku. Sekarang katakanlah terus terang, apa yang
menjadi kehendak hatimu yang selama ini kau tahan-tahan dan kau tekan-tekan?”
Mutiara
Hitam menyusut air matanya sampai kering dan kembali ia menghadapi suaminya,
sekali ini seperti biasa, tenang dan penuh kesungguhan. “Lam-ko, aku ingin
pergi ke Mongol dan membunuh Raja Mongol.”
Biar pun
jantung Hauw Lam berdebar karena maklum bahwa hal Itu sama saja artinya dengan
membunuh diri, namun ia mengangguk dan berkata, “Baik sekali! Kapan kita
berangkat, aku siap, Isteriku.”
“Inilah
persoalan yang mengganggu hatiku dan membuat aku selama ini tidak dapat
berterus terang kepadamu, Lamko. Aku harus pergi sendiri!”
Berkerut
sepasang alis Tang Hauw Lam ketika ia memandang tajam wajah isterinya. “Mengapa
demikian, Lan-moi?”
“Urusan
balas dendam terhadap Raja Mongol ini merupakan bahaya besar, seperti memasuki
lautan api!”
Tang Hauw
Lam tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Mutiara Hitam! Apa kau kira aku ini orang
yang takut mati?”
“Jangan
berkelakar, Lam-ko. Dalam urusan lain, tentu saja aku lebih suka sehidup semati
di sampingmu. Akan tetapi urusan ini lain lagi. lni merupakan urusan pribadi
bagiku dan aku tidak mau menarik dirimu menempuh bahaya besar. Aku tidak suka
melihat suamiku juga menjadi korban dalam urusan ini. Selain itu, kalau kita
pergi berdua, bagaimana dengan murid-murid kita? Tidak, suamiku dan kuharap
engkau suka memenuhi permohonanku sekali ini, mati atau hidup aku akan
berterima kasih sekali kepadamu.”
“Kwi Lan...
!” Hauw Lam menjadi kaget terharu dan merangkul isterinya. Ia tahu bahwa sekali
ini isterinya tidak main-main dan sudah mengambil keputusan tetap yang takkan
dapat dirubah lagi.
Kwi Lan
merangkul dan membelai suaminya penuh kasih sayang. “Suamiku, dengarlah
kata-kataku. Besok pagi aku akan pergi sendiri. Engkau bawalah dua orang murid
kita ke Gunung Merak di sebelah utara kota raja Khitan. Kau ingat tempat yang
disediakan untuk menjadi tempat perkuburan keluarga Ayahku Sullng Emas? Nah,
kau tunggulah aku di sana bersama dua orang murid dan semua kitab-kitabku, juga
Sepasang Pedang Iblis. Kalau selesai tugasku di Mongol dan aku dapat keluar
dengan selamat, aku akan menyusulmu ke sana. Kalau tidak..., andai kata aku
tewas dalam tugas pribadi ini, hemm... kau pimpin baik-baik kedua orang murid
kita, dan aku... aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang
akhirat, Suamiku.”
“Lan-moi...!”
Sekali ini Hauw Lam yang mencucurkan alr mata.
Semalaman
itu suami isteri ini mencurahkan kasih sayang sepenuhnya karena mereka merasa
di dalam hati bahwa mungkin sekali ini mereka saling menumpahkan kasih untuk
penghabisan kali!
Pada
keesokan harinya, dengan mata bengkak dan merah, di samping suaminya yang
kelihatan muram dan lesu, Mutiara Hitam memanggil Ji Kun dan Yan Hwa lalu
meninggalkan pesan.
“Aku mau
pergi, mungkin lama sekali. Kalian adalah anak-anak yang nakal, akan tetapi
kalian harus mentaati semua perintah Suhu kalian, belajar dengan tekun dan
rajin sehingga kelak dapat menjadi pendekar-pendekar yang menjunjung tinggi
kebenaran dan keadilan. Jangan membikin malu nama guru-guru kalian. Mutiara
Hitam dan Golok Sinar Putih adalah pendekar-pendekar yang terkenal. Hati-hati
kalian, kalau sepergiku kalian tidak menaati Suhu, kalau aku masih hidup, aku
sendiri yang akan menghukum kalian dan kalau aku sudah mati, arwahku yang akan
menghukum kalian. Mengerti?”
Dua orang
murid itu mengangguk-angguk sambil menangis sesenggukan karena mereka sudah
mendengar bahwa subo mereka hendak pergi jauh dan mungkin tidak kembali.
Setelah berpelukan untuk terakhir kali dengan suaminya, tanpa berkata-kata,
hanya sinar mata mereka saja yang melepas seribu janji bahwa dalam keadaan
hidup atau pun mati mereka pasti akan saling berkumpul kembali, Mutiara Hitam
lalu berkelebat pergi meninggalkan tiga orang yang dikasihinya!
Tang Hauw
Lam merasa seolah-olah jantungnya disayat-sayat. Semenjak menikah dengan
Mutiara Hitam, ia tidak pernah berpisah dari isterinya yang tercinta itu.
Merantau ke negeri jauh berdua, menghadapi bahaya-bahaya maut berdua, dalam
keadaan suka mau pun duka selalu berdua dan bersatu hati. Kini tiba-tiba
isterinya pergi meninggalkannya untuk urusan yang amat berbahaya! Lemah seluruh
tubuhnya, dan kalau di situ tidak ada dua orang muridnya, tentu Tang Hauw Lam
yang biasanya jenaka gembira ini akan menangis menggerung-gerung.
Dia lalu
mengajak kedua muridnya, mengumpulkan kitab-kitab milik isterinya, menyelipkan
Sepasang Pedang Iblis di pinggangnya, kemudian mengajak kedua orang muridnya
itu pergi menuju ke Bukit Merak di Khitan. Dunia ini tampak tidak menarik lagi
bagi Hauw Lam. Matahari seolah-olah kehilangan sinarnya, bunga-bunga kehilangan
keindahannya dan hatinya selalu merasa gelisah dan tertekan. Namun ia tidak
pernah mengeluh di depan kedua orang muridnya.
Setelah tiba
di Bukit Merak, Tang Hauw Lam mulai melatih kedua orang muridnya dengan tekun,
akan tetapi sementara itu, hatinya mengharap-harap siang malam akan kembalinya
Mutiara Hitam. Dia hanya makan sedikit sekali dan hampir tak pernah tidur
karena kalau siang dia selalu menerawang ke kejauhan, kalau malam telinganya
seolah-olah mendengar langkah kaki isterinya pulang! Tubuhnya menjadi kurus
sekali dan wajahnya menjadi pucat. Menanti dalam keadaan tidak menentu itu
benar-benar merupakan siksaan yang paling berat bagi manusia. Kalau saja ia
tahu bagaimana hasil pembalasan dendam isterinya! Berhasilkah? Masih hidupkah
isterinya? Ataukah sudah tewas?
Can Ji Kun
dan Ok Yan Hwa adalah dua orang anak yang biasanya dimanja oleh Hauw Lam. Suhu
mereka ini adalah seorang yang selalu gembira, tidak pernah marah, maka mereka
itu amat manja terhadap suhunya. Hanya subo mereka yang berwatak keras terhadap
mereka dan dua orang murid ini amat takut kepada Mutiara Hitam. Di bawah asuhan
suami isteri itu, mereka berdua akan menjadi murid-murid yang baik karena dari
Hauw Lam mereka mendapatkan kasih sayang yang diperlihatkan dan menerima kegembiraan,
ada pun dari Mutiara Hitam mereka mendapatkan tekanan agar rajin dan mengenal
disiplin.
Kini setelah
Mutiara Hitam pergi, tidak ada yang mereka takuti lagi dan biar pun mereka
masih tekun belajar di bawah asuhan Tang Hauw Lam, namun mereka itu kini sering
kali bermain-main sendiri dan tidak mempedulikan guru mereka. Hal ini adalah
karena Tang Hauw Lam juga sudah seperti sebuah arca, kehilangan semangatnya
sehingga dia pun tidak mempedulikan muridnya kecuali dalam hal pelajaran ilmu
silat.
Setelah dua
orang murid itu tahu bahwa subo mereka pergi hendak membunuh Raja Mongol dan
melakukan tugas yang berbahaya sekali, mereka kini pun ikut menanti-nanti
sehingga tiga orang ini selain belajar ilmu, juga sering kali duduk termenung
menanti kembalinya Mutiara Hitam yang amat diharap-harapkan.....
***************
“Mengapa
Paduka tidak suka ikut bersama bibi Paduka Mutiara Hitam saja? Bukankah dengan
ikut beliau, Paduka sama dengan ikut orang tua sendiri dan kelak dapat
mempelajari ilmu silat tinggi yang dimiliki pendekar sakti Mutiara Hitam?” Khu
Tek San bertanya kepada Maya ketika mereka duduk beristirahat di bawah pohon
besar berlindung dari terik matahari.
Maya menarik
napas panjang. “Paman Khu, harap jangan menyebut Paduka padaku. Sesungguhnya,
aku bukanlah puteri Khitan asli, dan aku hanyalah anak pungut Raja dan Ratu
Khitan saja! Mereka tidak mempunyai keturunan dan aku adalah seorang yang yatim
piatu. Karena itulah maka aku tidak suka ikut dengan Bibi Mutiara Hitam yang
tentu tahu pula bahwa aku bukan keponakannya sesungguhnya. Aku orang biasa,
Paman Khu.”
Khu Tek San
mengerutkan alisnya. Baru sekarang ia mendengar akan hal ini. Akan tetapi anak
sendiri ataukah anak angkat sama saja, anak ini adalah puteri Khitan yang harus
dia lindungi dan ia hadapkan kepada gurunya.
“Baiklah,
Maya. Mulai sekarang, demi keselamatanmu sendiri, engkau kuakui sebagai
keponakanku. Marilah kita melanjutkan perjalanan. Di depan sana, lewat bukit
itu adalah benteng bertahanan barisan Sung, kawan-kawan sendiri. Setelah
bertemu mereka, perjalanan ke selatan tentu lebih lancar. Kita dapat menunggang
kuda.”
Berangkatlah
mereka berdua dan karena biar pun baru berusia sepuluh tahun, Maya telah
memiliki kepandaian lumayan. Apa lagi setelah ia makan buah-buah merah yang
biar pun kini khasiatnya sudah banyak berkurang namun telah mempertinggi
ginkang-nya, maka perjalanan itu dapat dilakukan cepat. Baru sekarang Maya tahu
bahwa khasiat buah merah yang membuat tubuh ringan itu hanya sementara, dan
agaknya orang-orang aneh itu setiap waktu makan buah-buah itu. Pantas saja
ketika pohon buah itu ketahuan olehnya, mereka ribut-ribut takut kalau buahnya
dihabiskan!
Mereka
melewatkan malam di lereng bukit. Pada keesokan harinya, sebelum tengah hari
mereka telah tiba di daerah penjagaan bala tentara Sung. Hati Khu Tek San
girang bukan main dan ia mengajak Maya untuk mempercepat jalannya. Gembira
hatinya akan bertemu dengan anak buah pasukan negaranya dan panglima-panglima
yang menjadi rekan-rekannya.
Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kaget dan penasaran hati panglima perkasa ini ketika
ia tiba di tempat penjagaan, ia segera dikurung oleh pasukan Kerajaan Sung dan
muncullah beberapa orang panglima berkuda yang menghadapinya dengan sikap
kereng, bahkan seorang panglima yang bertubuh tinggi besar dan penuh wibawa
membentak nyaring.
“Khu Tek
San! Atas perintah atasan, kami menangkapmu sebagai seorang pengkhianat!”
Panglima itu lalu memberi perintah kepada anak buahnya. “Belenggu kedua
lengannya, bocah perempuan itu juga!”
“Apa artinya
ini...?” Khu Tek San hampir tidak percaya akan mata dan telinganya sendiri.
“Hemmm, Khu
Tek San! Apakah engkau hendak memberontak pula melawan pasukan negara?” tanya
panglima tinggi besar itu dengan alis berkerut. Wajahnya muram, agaknya dia
tidak suka melakukan tugas ini, juga dua orang panglima lain memandang tanpa
banyak cakap dengan wajah murung.
“Aku tidak
akan melawan. Silakan!” Khu Tek San memberikan kedua lengannya yang segera
dibelenggu dengan belenggu besi yang kuat. Juga Maya yang hanya dapat memandang
Khu Tek San dengan mata terbelalak tidak melawan ketika kedua tangannya
dibelenggu dengan rantai besi yang lebih kecil. Hemm, agaknya rantai-rantai itu
telah dipersiapkan sebelumnya, pikir Khu Tek San.
Ia memandang
kepada tiga orang panglima itu dan kemudian berkata lantang, “Ong Ki Bu! Cong
Hai dan engkau Kwee Tiang Hwat! Kalian bertiga telah mengenal orang macam apa
adanya Khu Tek San! Kalian adalah rekan-rekanku yang sudah mengenal watakku,
sudah mengenal sepak terjangku! Mengapa kini kalian menangkapku dengan tuduhan
berkhianat?”
Sejenak tiga
orang panglima itu tidak menjawab dan saling pandang, kemudian Ong Ki Bu,
panglima tinggi besar itu, berkata, “Khu Tek San, engkau tahu bahwa
petugas-petugas seperti kita hanya mentaat perintah atasan! Engkau dituduh
telah berkhianat terhadap negara, telah menjadi kaki tangan bangsa Yucen, bahkan
engkau dituduh telah melindungi puteri Khitan. Jelas bahwa engkau tidak setia
kepada Kerajaan Sung, dan karena itu, kami akan menjalankan perintah atasan
untuk menghukummu sekarang juga!”
“Apa...?”
Khu Tek San membentak marah. “Aku bukannya orang yang takut menghadapi hukuman
apa pun juga! Akan tetapi, salah atau tidak, seorang panglima baru akan
menjalani hukuman setelah diperiksa di pengadilan tinggi di kota raja! Mengapa
aku akan dihukum tanpa melalui pemeriksaan pengadilan?”
Kembali tiga
orang panglima itu kelihatan tidak enak sekali, muka mereka berubah merah.
Dengan suara serak dan terpaksa Ong Ki Bu berkata, “Semua ini bukan kehendak
kami, Khu Tek San, melainkan atas perintah.”
“Atas
perintah siapa? Apakah Hong Siang sendiri yang memerintahkan? Harap suka
perlihatkan perintah dari Kaisar!”
“Kaisar
tidak mengurus hal-hal ketentaraan di perbatasan, kau tahu ini, Khu Tek San?”
jawab Ong Ki Bu yang agaknya benar-benar tidak enak hatinya menghadapi urusan
ini dan ingin agar segera selasai. “Kalau engkau hendak mendengar bunyi
perintah atasan, nah, dengarlah!” Panglima tinggi besar itu lalu mengeluarkan
segulung kertas dan membaca dengan suara lantang.
‘Karena
sudah jelas bahwa Panglima Khu Tek San telah melakukan pengkhianatan terhadap
negara dengan menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen, maka kami memerintahkan
kepada semua panglima yang menjaga di tepi tapal batas untuk menangkapnya dan
menjatuhkan hukuman mati gantung di tempat ia ditangkap!’
Wajah Khu
Tek San tidak berubah, sedikit pun ia tidak kelihatan gentar sungguh pun
matanya membayangkan penasaran dan amarah. “Itu fitnah belaka! Siapakah yang
menjatuhkan perintah ini, Ong-ciangkun?”
“Perintah
atasan harus ditaati dan kiranya tidak perlu kita perbantahkan lagi, Khu Tek
San. Bersiaplah untuk menjalani hukuman gantung.” Panglima itu memberi aba-aba
kepada anak buahnya dan menunjuk ke depan.
Khu Tek San
memandang ke depan dan melihat bahwa di atas pohon bahkan telah tersedia tali
gantungan untuknya! Benar-benar hukuman yang telah direncanakan dan diatur
terlebih dahulu. Akan tetapi ia mengenal betul tiga orang panglima itu sebagai
panglima-panglima yang gagah dan taat sehingga tidak mungkin mereka itu
melakukan fitnah dan mencelakakan dirinya. Tentulah ada orang lain yang
menjatuhkan perintah ini!
“Paman,
kurasa ini pun hasil perbuatan manusia bernama Siangkoan Lee itu...,” tiba-tiba
Maya berbisik. Anak ini sama sekali tidak merasa ngeri melihat betapa maut
mengancam Khu Tek San yang akan digantung, bahkan mungkin mengancam dirinya
sendiri. Dia tetap tenang dan menjalankan otaknya.
“Benar...!
Kau benar...!” Panglima yang gagah perkasa itu mengepal kedua tinjunya di
antara rantai belenggunya, berdiri tak jauh dari tali gantungan yang sudah
siap. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan berkata dengan suara lantang.
“Aku Khu Tek
San, sebagai seorang panglima yang selalu siap mengorbankan nyawa untuk negara,
taat akan bunyi perintah dan karena tidak diadakan pengadilan, maka aku pun
tidak perlu untuk membela diri. Hanya kuminta kepada kalian, pelaksana perintah
yang taat, agar tidak mengganggu keponakanku ini karena di dalam surat perintah
itu tidak disebut untuk menghukumnya. Aku minta kepada Ong Ki Bu sebagai bekas
rekan yang baik, sukalah mengantar keponakanku ini kepada Menteri Kam Liong!”
“Permintaanmu
kuterima, Khu Tek San!” Terdengar Ong-ciangkun mengguntur. “Dan kalau aku Ong
Ki Bu sudah menerima, tidak ada seekor setan pun akan boleh mengganggu anak
itu!”
Khu Tek San
tersenyum dan wajahnya berseri ketika ia memandang panglima tinggi besar itu.
“Terima kasih! Terima kasih, bukan hanya atas pertolonganmu terhadap anak ini,
rekanku Ong, juga terima kasih karena sikapmu ini membuktikan bahwa
Panglima-panglima Sung masih merupakan laki-laki sejati yang jantan dan gagah
perkasa. Nah, aku siap menerima hukuman!”
Khu Tek San
melangkah maju menghampiri tali gantungan. Maya memandang dengan mata
terbelalak, bukan karena ngeri melainkan karena kagum akan sikap yang gagah
perkasa ini!
Seorang
prajurit yang menerima perintah sudah maju dan menurunkan tali gantungan,
dikalungkan ke leher Khu Tek San, kemudian ia mundur untuk menarik ujung tali
dari belakang batang pohon bersama tiga orang temannya. Khu Tek San berdiri
dengan sikap gagah, mata terbuka lebar, siap menerima datangnya maut.
“Siaaappp!”
terdengar aba-aba, lalu disusul perintah untuk menarik ujung tali sehingga
lubang gantungan akan menjerat leher Khu Tek San dan menggantungnya ke atas.
“Krekkk!”
Bukan tubuh Khu Tek San yang tergantung ke atas, melainkan tali gantungan itu
yang tiba-tiba putus dan jatuh ke bawah kaki Khu Tek San!
Semua orang
terheran, lalu memandang ke atas dan ributlah mereka ketika melihat seorang
pemuda tampan tahu-tahu telah duduk menongkrong di atas dahan pohon, di mana
terdapat tali gantungan tadi. Ong Ki Bu dan para panglima lainnya, juga Khu Tek
San sendiri, terkejut sekali melihat betapa pemuda itu dapat berada di situ
tanpa ada yang tahu, padahal di situ terdapat banyak orang pandai!
Melihat,
pemuda itu jelas datang hendak menolongnya, hati Khu Tek San menjadi khawatir
dan tidak senang, karena hal ini tentu saja berarti bahwa dia benar-benar akan
memberontak dan melawan perintah atasan. Maka ia berseru, “Hei, Enghiong muda
yang lancang! Harap jangan mencampuri urusan ketentaraan! Aku Khu Tek San
dengan rela menjalani hukuman, mengapa engkau gatal tangan mencampurinya?”
Pemuda itu
tersenyum dan semua orang memandang heran. Dia masih muda sekali, paling banyak
dua puluh satu tahun umurnya, wajahnya tampan dan sikapnya gagah, pedangnya
tergantung di punggung dan biar pun menghadapi pasukan sekian banyaknya ia
kelihatan tenang tenang saja.
“Khu-ciangkun,
engkau adalah seorang gagah perkasa yang patut dipuji dan dikagumi semua orang.
Engkau contoh kegagahan. Akan tetapi yang kusaksikan ini bukanlah hukuman
ketentaraan, melainkan hukum rimba! Di mana ada aturannya seorang panglima yang
sudah banyak jasanya seperti Khu-ciangkun, tanpa diadili lalu dihukum begitu
saja, digantung di dalam rimba? Tidak malukah para panglima yang melakukan
tugas rendah ini?”
“Heh, orang
muda! Turunlah dan kita bicara yang benar! Aku adalah Ong Ki Bu yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan hukuman ini. Engkau siapa?”
Pemuda itu
melayang turun, gerakannya ringan dan indah. Ia sudah berdiri di depan
Ong-ciangkun dengan tersenyum tenang. “Aku bernama Kam Han Ki...”
“Ohhh...!”
Khu Tek San tak dapat menyembunyikan kagetnya, ia memandang bengong dan
terbelalak.
Tentu saja
ia mendengar dari suhunya bahwa suhunya mempunyai seorang adik misan yang
semenjak kecil lenyap dan disangka sudah mati, bernama Kam Han Ki. Sekarang
tahu-tahu muncul di situ sebagai seorang pemuda tampan gagah yang berani
menentang pasukan bala tentara Sung!
“Kami
melaksanakan hukuman atas perintah atasan, hal ini sudah benar dan syah!
Mengapa engkau berani mengatakan hukum rimba?” Ong Ki Bu membentak marah.
“Sabarlah,
Ong-ciangkun. Sejak tadi aku sudah mendengar semua dan aku pun tahu bahwa para
panglima adalah orang-orang gagah perkasa seperti Khu-ciangkun, yang setia akan
tugas dan melaksanakan perintah atasan tanpa ragu-ragu lagi. Akan tetapi, demi
keadilan, perlu kau perlihatkan, atasan yang manakah yang memerintahkan engkau
menggantung Khu-ciangkun? Ketahuilah bahwa aku pun datang sebagai utusan dari
kota raja!”
Semua orang
terkejut. Dengan muka merah saking penasaran karena orang tidak mempercayai
dirinya, Ong Ki Bu mengeluarkan gulungan surat perintah dan membukanya di depan
orang banyak sambil berseru keras.
“Yang
menjatuhkan perintah adalah Panglima Besar Suma Kiat! Apakah masih tidak
dipercaya lagi?”
“Hemm,
hemm... surat bisa dipalsukan. Dari siapa engkau menerima surat perintah ini,
Ong-ciangkun?” Han Ki bertanya.
Ong-ciangkun
melotot kepada Han Ki dan membentak. “Orang muda, sudah puluhan tahun aku
menjadi panglima! Apa kau kira aku begitu sembrono untuk tidak meneliti surat
perintah tulen atau palsu? Surat ini tulen, apa lagi yang membawa ke sini
adalah murid dan pembantu Suma-goanswe sendiri!”
“Di mana
dia? Harap engkau suka memanggilnya!” Han Ki mendesak.
Panglima itu
menyuruh anak buahnya, akan tetapi dicari-cari, utusan Suma Kiat itu tidak ada.
“Wah, dia... dia sudah pergi tanpa pamit. Sungguh aneh!” Ong-ciangkun berkata
heran.
Kam Han Ki
lalu berkata, “Ong-ciangkun, Khu-ciangkun dan semua saudara yang berada di
sini, dengarlah. Aku adalah adik misan dari Menteri Kam Liong, dan ketahuilah
bahwa Khu-ciangkun adalah murid dari Kakakku Kam Liong. Kini aku membawa surat
perintah dari Menteri Kam Liong yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada
Panglima Suma, harap kalian suka mengindahkan perintahnya!” Han Ki mengeluarkan
segulung surat pula.
Dengan
tergesa-gesa Ong Ki Bu menerima dan membaca surat itu yang berbunyi:
MENTERI KAM
LIONG MENGUTUS PETUGAS KAM HAN KI UNTUK MENJEMPUT DAN MEMANGGIL PULANG PANGLIMA
KHU TEK SAN KE KOTA RAJA.
Wajah
panglima tinggi besar itu berseri-seri dan ia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Lega
hatiku sekarang! Tentu saja aku lebih mentaati perintah Menteri Kam Liong!
Siapa berani membantah perintah beliau? Dan dengan adanya perintah Menteri Kam
Liong, terpaksa aku membatalkan perintah Panglima Suma. Tak ada yang akan
menyalahkan aku. Ha-ha-ha, rekan Khu Tek San, dasar orang baik selalu
dilindungi Thian! Pemuda perkasa ini datang mengembalikan nyawamu, ha-ha-ha!
Engkau tentu tahu betapa tak senang hati kami semua melaksanakan perintah tadi,
akan tetapi dia merupakan seorang yang kedudukannya lebih tinggi dari kita,
mana kami dapat membantah?”
“Aku
mengerti, Sahabat Ong, dan terima kasih,” kata Khu Tek San.
Setelah
dilepas belenggu tangannya dan tangan Maya, Khu Tek San lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan Kam Han Ki sambil berkata, “Teecu Khu Tek San mengucapkan
terima kasih atas bantuan Susiok (Paman Guru)!”
Kam Han Ki
cepat mengangkat bangun orang yang lebih tua akan tetapi karena menjadi murid
kakak misannya maka menjadi pula murid keponakannya itu. “Khu-ciangkun, harap
jangan berlaku sungkan. Mari kuantar ke kota raja bersama anak yang kau tolong
itu. Maya namanya, bukan?”
Maya
memandang kepada Kam Han Ki penuh perhatian, kemudian menegur Khu Tek San. “Paman
Khu, dia masih begini muda, kenapa Paman berlutut menghormatnya? Sungguh tidak
layak, membikin dia besar kepala dan sombong saja!”
“Hushh,
Maya, jangan berkata demikian! Dia itu paman guruku!” kata Khu Tek San
cepat-cepat.
“Hemm, aku
berani bertaruh, kepandaiannya tidak seberapa hebat. Mana mampu menandingi
Paman?”
Khu Tek San
merasa tidak enak sekali. Kam Han Ki memandang Maya dengan alis berkerut dan
mata marah, akan tetapi ia pun tidak berkata apa-apa, hanya mukanya berubah
merah dan sinar matanya saja yang memaki, “Bocah nakal cerewet kau!”
Akan tetapi,
tentu saja di depan Khu Tek San dan para panglima dia tidak mau cekcok dengan
seorang anak perempuan! Maka untuk menutupi kemendongkolan hatinya ia berkata,
“Khu-ciangkun, harap engkau suka mengganti pakaian Panglima Yucen dengan
pakaian rakyat biasa agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak menyenangkan
dalam perjalanan yang jauh ke kota raja.”
Khu Tek San
membenarkan pendapat ini dan dengan suka hati para rekannya lalu mempersiapkan
pakaian sipil untuk Khu Tek San, bahkan menyediakan tiga ekor kuda yang baik
untuk mereka. Setelah berpamit dan mengucapkan terima kasih, berangkatlah Khu
Tek San, Kam Han Ki dan Maya menunggang tiga ekor kuda menuju ke selatan.
Di sepanjang
perjalanan ke selatan ini, atas pertanyaan Khu Tek San, Han Ki bercerita bahwa
dia diutus oleh Menteri Kam Liong untuk menyelidiki keadaannya karena lama
tidak ada berita. Kemudian setelah menyelidiki ke Yucen, Han Ki terlambat
karena Khu Tek San telah pergi bersama Maya.
“Aku mendengar
cerita tentang Ciangkun dan Maya yang ditolong oleh Mutiara Hitam dan suaminya.
Hemm, ternyata hebat sekali kakakku itu!” kata Han Ki. “Karena mendengar bahwa
engkau telah pergi ke selatan, maka aku cepat menyusul dan untung bahwa
Kam-taijin telah waspada dan membekali segulung surat perintah untukku. Kalau
tidak, agaknya terpaksa aku harus meniru perbuatan Kakakku Mutiara Hitam dan
memaksa mereka melepaskanmu!”
“Memang
telah terjadi hal-hal yang amat aneh,” kata Khu Tek San yang menceritakan pengalamannya,
betapa kurirnya terbunuh oleh orang yang bernama Siangkoan Lee seperti terlihat
oleh Maya dan betapa rahasianya di Yucen terbuka sehingga dia hampir celaka
kalau saja tidak ditolong Mutiara Hitam.
“Hebatnya,
orang yang bernama Siangkoan Lee itu agaknya masih melanjutkan usahanya untuk
mencelakakanku! Akan tetapi... hemmmm, memang tidaklah aneh lagi kalau sudah
diketahui bahwa dia adalah murid dan pembantu Suma-goanswe...,” Khu Tek San
mengakhiri ceritanya sambil mengangguk-angguk.
“Kenapakah,
Khu-ciangkun? Apakah Suma-goanswe musuhmu?” Han Ki bertanya.
Tek San
menggeleng kepala. “Sesungguhnya bukan aku yang mereka musuhi. Mereka memukul
aku untuk melukai Suhu.”
“Ah,
begitukah? Jenderal Suma itu memusuhi Menteri Kam? Mengapa?”
Kembali Tek
San menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Hal itu adalah urusan
keluarga, aku tidak berhak mencampuri. Susiok tentu dapat bertanya kepada
Suhu.”
“Keluarga
Suma adalah keluarga iblis! Tentu saja mereka selalu memusuhi orang baik-baik
seperti Paman Khu!” Maya yang sejak tadi mendengarkan percakapan mereka
tiba-tiba berkata gemas.
Kam Han Ki
yang masih marah kepada gadis cilik itu memandang dan berkata dengan suara
dingin, “Huh, kau bocah tahu apa?”
Maya membalas
pandangan Han Ki dengan mata melotot dan suaranya tidak kalah dinginnya, “Kalau
aku bocah, apakah engkau ini seorang kakek? Sombongnya, merasa diri sendiri
paling tua dan paling pandai!”
“Eh, Maya,
jangan bersikap begitu kurang ajar!” Khu Tek San cepat mencela bekas puteri
Khitan itu. “Kam-susiok ini adalah adik dari Suhu, dengan demikian berarti
masih saudara misan dari mendiang ayahmu, Raja Khitan. Dia ini adalah pamanmu
sendiri! Hayo cepat, memberi hormat dan minta maaf.”
Maya duduk
di atas punggung kudanya, menoleh ke arah Han Ki dan mencibirkan bibirnya! Akan
tetapi karena ia tahu bahwa Khu Tek San memandangnya dengan mata terbelalak
marah, ia lalu berkata, “Dia bukan pamanku! Kulihat dia belum begitu tua untuk
menjadi paman, hanya lagaknya saja seperti kakek-kakek!”
“Maya!
Bagaimana kau berani bersikap kurang ajar seperti ini?” Khu Tek San membentak
dengan muka merah.
“Paman Khu,
aku tidak biasa bersikap menjilat-jilat, apa lagi terhadap seorang yang sombong
seperti dia.”
“Maya!”
Kembali Khu Tek San membentak, matanya mengerling penuh kekhawatiran ke arah
Han Ki.
“Sudahlah
Khu-ciangkun. Bocah seperti ini memang biasanya sukar diurus! Dia ini sudah
rusak karena terlalu dimanja,” Han Ki berkata dengan sikap tenang, akan tetapi
sebenarnya pemuda ini merasa betapa perutnya menjadi panas dan ingin sekali dia
menempeleng kepala gadis cilik yang menggemaskan itu.
Kedua pipi
Maya menjadi merah saking marahnya. Ia membusungkan dada dan menegakkan kepala
ketika memandang Han Ki sambil berkata, “Aku sudah rusak karena dimanja, ya?
Dan kau sudah bobrok karena sombong!”
“Maya!” Khu
Tek San membentak marah. “Kenapa sikapmu tiba-tiba berubah seperti ini? Engkau
amat sopan dan hormat kepadaku, mengapa kepada Kam susiok...”
“Karena
engkau seorang yang baik dan gagah, Paman Khu. Dan dia ini... hemm....”
“Dia pamanmu
sendiri!” Khu Tek San memperingatkan.
“Paman apa?
Aku tidak mempunyai paman seperti dia!”
“Kalau
engkau puteri Raja Khitan, berarti dia ini pamanmu sendiri!”
Maya
mencibirkan bibirnya. “Aku pun bukan puteri Raja Khitan....”
“Apa...?”
Khu Tek San berseru heran, bahkan Han Ki juga menoleh, memandang anak perempuan
itu dengan alis berkerut.
Memang
pemuda ini merasa terheran-heran melihat Maya. Seorang anak perempuan yang
‘terlalu’ cantik jelita, yang terlalu berani dan kini juga ternyata terlalu
galak! Patutnya menjadi puteri Ratu Siluman!
“Sesungguhnyalah,
Paman Khu. Tadinya aku tidak ingin membuka rahasia ini, akan tetapi untuk
membuktikan bahwa aku bukanlah keponakan dia ini, terpaksa kukatakan bahwa aku
sebenarnya bukan Puteri Raja dan Ratu Khitan! Aku hanyalah seorang keponakan
luar saja yang diambil anak sejak kecil. Aku hanyalah anak angkat saja!”
Khu Tek San
mengangguk-angguk dan berkata, “Biar pun demikian, berarti engkau adalah puteri
Raja Khitan, Maya. Dan karena itu, engkau tidak boleh bersikap kurang ajar
terhadap Kam-susiok. Dia adalah adik misan Raja Khitan. Selain itu, kalau tidak
ada Kam-susiok ini, apakah, kau kira kita dapat selamat?”
“Cukuplah,
Khu-ciangkun. Di sebelah depan ada rombongan orang, sebaiknya kita melanjutkan
perjalanan dan menyusul rombongan itu. Aku ingin tahu siapakah mereka yang
lewat di daerah sunyi ini,” kata Han Ki.
“Baiklah,
Susiok.” Khu Tek San lalu mengajak Maya mengejar Han Ki yang sudah membalapkan
kudanya.
Maya menurut
dengan mulut cemberut. Entah mengapa, dia merasa tidak senang kepada Han Ki
semenjak pemuda itu muncul dengan gaya yang dianggapnya sombong dan angkuh,
yang dianggapnya tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap dirinya! Pandang
mata pemuda itu menyapu lewat begitu saja seolah-olah dia hanyalah sebuah
patung yang tiada harganya untuk dipandang dengan perhatian. Pemuda itu sama
sekali tidak memperhatikannya! Pemuda itu sombong dan dia membencinya!
Khu Tek San
diam-diam merasa kagum sekali ketika tak lama kemudian melihat bahwa
benar-benar terdapat serombongan orang di sebelah depan. Ia kagum akan
ketajaman mata dan telinga pemuda yang menjadi susiok-nya itu. Hal ini saja
menebalkan dugaannya bahwa pemuda ini tentu memiliki kepandaian yang luar biasa
tingginya!
Mereka
bertiga menahan kuda ketika melewati rombongan itu. Melihat pakaian dan bendera
yang terpasang di atas sebuah kereta, tahulah Khu-ciangkun dan Han Ki bahwa
rombongan itu adalah serombongan piauwsu yang mengawal barang-barang dalam
kereta itu. Mereka terdiri dari tujuh orang yang bersikap gagah dan bendera
yang berkibar di atas kereta dihias lukisan sebatang golok dengan sulaman
benang perak, di bawah golok ditulisi huruf ‘Gin-to Piauw-kiok’ (Perusahaan
Pengawal Golok Perak).
Melihat
datangnya tiga orang penungang kuda, tujuh orang piauwsu itu dengan sikap
tenang dan waspada sudah menjaga kereta dan mata mereka memandang ke arah Khu
Tek San penuh selidik.
Panglima she
Khu ini sudah mendengar akan kegagahan para piauwsu ‘Golok Perak’, maka ia
cepat menjura dan berkata, “Cu-wi Piauwsu hendak mengantar barang ke manakah?”
Kecurigaan
tujuh orang itu berkurang ketika mereka menyaksikan sikap Khu Tek San yang
ramah dan sopan, juga Khu-ciangkun tampak gagah perkasa. Sedangkan Kam Han Ki
biar pun membawa pedang di punggungnya namun kelihatan halus sikapnya, halus
dan tampan, tidak patut menjadi anggota perampok. Apa lagi Maya, gadis cilik
itu.
Pemimpin
mereka, seorang yang dahinya lebar, membalas penghormatan Khu Tek San sambil
berkata, “Kami tujuh orang piauwsu dari Gin-to Piauw-kiok hendak pergi ke kota
raja, mengantar barang-barang sumbangan untuk istana Kaisar. Tidak tahu
siapakah Sam-wi yang terhormat dan hendak pergi ke manakah?”...
Terima kasih telah membaca Serial ini
terimkasih
ReplyDelete