Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 18
Sementara
itu, di luar pondok terjadi perang yang amat seru. Anak buah yang masih setia
kepada Ouw-pangcu diserbu anak buah lain yang telah dipengaruhi Ang Hok Ci atau
Ang-siucai. Kiranya diam-diam Ang-siucai selama setengah tahun berada di situ
telah menurunkan ilmu silat kepada para kawanan yang dipengaruhinya sehingga
dalam pertempuran itu, anak buah Ouw-pangcu banyak yang roboh dan tewas.
“Bunuh
Ouw-pangcu!” terdengar teriakan Ang-siucai.
Ternyata
bahwa kini selain Ang-siucai dan para anak buah yang dapat dipengaruhinya,
muncul pula beberapa orang kawan Ang-siucai yang datang dari luar dan pada saat
itu sudah menyerbu masuk perkampungan itu untuk membantu pemberontakan yang
dicetuskan oleh sastrawan itu! Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi,
dan Ang-siucai sendiri sekarang pun tidak pura-pura.
Biasanya dia
menyembunyikan kepandaiannya, maka ia selalu bergerak dengan kaku seperti
orang-orang di situ. Akan tetapi sekarang, di samping tenaga Jit-goat-sinkang
yang telah dimilikinya walau pun belum mencapai tingkat tinggi, dia juga
menggunakan ilmu silatnya sendiri yang ternyata cukup hebat. Seorang demi
seorang robohlah para pengikut Ouw-pangcu dan sebagian kini menyerbu ke pondok
tempat tinggal Ouw-pangcu!
Daun pintu
dibobol dari luar dan Yu Goan cepat menggerakkan pedangnya, merobohkan orang
pertama yang menyerbu masuk. Pemuda itu maklum bahwa selagi Siauw Bwee
mengobati Ouw-pangcu, kedua orang itu tidak berdaya untuk membantunya. Bahkan
kalau mereka berdua diganggu, amat berbahaya bagi keselamatan mereka. Selain
itu, cara pengobatan menggunakan sinkang itu tidak dapat dihentikan di tengah
jalan karena hal ini akan membahayakan yang diobati. Dia harus dapat bertahan
seorang diri sampai Siauw Bwee selesai mengobati kakek itu.
Dua orang
dengan gerakan liar menyerbu masuk dengan tangan memegang golok. Mereka
menyerang berbareng ke arah Yu Goan. Pemuda ini sudah melolos pedang dari
sarung pedangnya karena dia maklum akan menghadapi pengeroyokan banyak lawan.
Melihat datangnya dua batang golok yang digerakkan dengan tenaga kuat itu, ia
menangkis dengan pedang dan sarung pedangnya.
Untung
baginya bahwa dua orang itu hanya memiliki tenaga sinkang yang amat kuat akan
tetapi gerakan mereka sama sekali tidak berbahaya, maka begitu menangkis,
pedangnya terus berkelebat ke kanan kiri menusuk dada dan menyabet perut. Dua
orang itu berteriak keras, akan tetapi benar-benar tubuh mereka kebal, karena
tusukan ke arah dada itu meleset dan hanya mendatangkan luka pada kulit,
sedangkan sabetan pada perut hanya merobek baju dan kulit.
Dua orang
itu sambil berteriak kaget sudah menerjang lagi dengan buas. Akan tetapi Yu
Goan yang melihat betapa di belakang dua orang itu menyerbu banyak sekali
lawan, bergerak cepat sekali. Serangan orang di sebelah kanannya ia elakkan
sehingga orang itu terhuyung ke belakang. Cepat pedangnya dibalik dan secara
tiba-tiba pedangnya menusuk ke belakang dan tepat menancap pada punggung lawan
yang langsung menjerit dan muntahkan darah segar dari mulutnya, kemudian
terjungkal. Ada pun penyerangnya dari kiri ia sambut dengan totokan sarung
pedang pada pergelangan tangan orang itu sehingga goloknya terlempar karena
tangan itu menjadi lumpuh.
Pedang Yu
Goan menyambar, kini mengarah leher. Biar pun leher itu juga kebal, namun
goresan itu mengenai jalan darah di leher sehingga tampak tergetar ketika
bertemu dengan golok yang dipegang seorang berpakaian seperti orang Han, yang
dahinya lebar sekali dan gerakan goloknya aneh dan tangkas. Bersama orang ini,
menyerbu pula enam orang liar dan Yu Goan segera dikeroyok di depan pintu.
Pemuda ini
memutar pedang dan sarung pedangnya. Namun kepandaian orang Han yang menjadi
kawan Ang-siucai itu benar-benar tak dapat dipandang ringan sehingga Yu Goan
harus bersikap hati-hati sekali. Dia memutar pedang dan sarung pedang,
berloncatan ke sana-sini tanpa meninggalkan posisinya melindungi Siauw Bwee
yang sedang mengobati Ouw-pangcu di sebelah belakangnya. Dia berhasil
merobohkan dua orang pengeroyok pula, akan tetapi kini Ang-siucai sendiri
bersama teman-temannya datang, dan Yu Goan terkurung oleh delapan orang
termasuk Ang-siucai dan dua orang Han yang lihai!
Yu Goan
bukanlah seorang pendekar muda biasa. Dia adalah putera tunggal pendekar besar
Yu Siang Ki, keturunan langsung dari tokoh-tokoh besar Ketua Khong-sim
Kai-pang, perkumpulan pengemis pendekar yang amat terkenal itu. Ayahnya sendiri
yang telah menggemblengnya dalam ilmu silat, bahkan ayahnya yang menjadi
seorang ahli ilmu tongkat keluarga Yu, telah mengubah ilmu pedang dari ilmu
tongkatnya itu. Kini, Yu Goan mainkan pedang di tangan kanan dan sarung pedang
di tangan kiri yang dipergunakan sebagai tongkat, dapat menangkis dan juga
menotok jalan darah lawan!
Namun,
jumlah pengeroyok terlalu banyak. Roboh dua maju empat orang dan sebentar saja
banyak lawan menyerobot masuk sehingga Yu Goan menjadi sibuk dan bingung juga
karena dia harus melindungi Siauw Bwee dan Ouw-pangcu. Andai kata dia tidak
harus melindungi dua orang itu, tentu saja sejak tadi dia sudah meloncat ke
luar mencari tempat yang lebih luas agar enak dia mengamuk.
Kini di tempat
sempit itu, dan separuh perhatiannya ia tujukan untuk melindungi Siauw Bwee dan
Ouw-pangcu, tentu saja dia kurang menjaga diri sendiri sehingga beberapa kali
dia terkena sambaran senjata yang bagaikan hujan datangnya. Pundaknya, pangkal
lengan kirinya dan paha kanannya sudah terluka, namun Yu Goan tak pernah
berhenti bergerak menahan musuh yang seolah-olah air bah mengancam Siauw Bwee
dan Ouw-pangcu.
“Kurung dia
rapat-rapat!” Ang-siucai berseru.
Kini dua
belas orang mengepung Yu Goan. Pemuda ini bingung sekali karena dia tidak dapat
lagi melindungi Siauw Bwee. Baginya hanyalah Siauw Bwee yang penting maka
kembali dia terkena tusukan ujung golok pada dada kanannya yang mengakibatkan
luka lumayan dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena dia nekat meloncat ke luar
dari kepungan mendekati Siauw Bwee. Pada saat itu, dua orang liar telah dekat
di belakang Siauw Bwee, telah mengangkat golok hendak membacok wanita muda yang
duduk bersila dan memejamkan mata, kedua telapak tangan menempel di punggung
Ouw-pangcu itu.
“Trang-trang!
Cepp! Cepp!”
Dalam
kemarahan dan kegelisahannya, Yu Goan menangkis golok dari belakang, kemudian
dua kali pedangnya amblas memasuki lambung dua orang itu yang tidak sempat
mengerahkan sinkang karena serangan itu datangnya amat cepatnya.
“Bukkk!”
Tubuh Yu
Goan terguling ketika pukulan tangan kiri Ang-siucai mengenai punggungnya.
Belasan batang golok dan pedang menghujam ke bawah mengarah tubuh pemuda ini.
Akan tetapi dengan sikap seperti seekor burung terbang, tubuh Yu Goan sudah
mencelat ke atas dan terdengar bunyi nyaring ketika pedang dan sarung pedangnya
menangkis sekian banyaknya senjata!
Kesempatan
ini dipergunakan oleh dua orang Han pembantu Ang-siucai untuk menerjang Siauw
Bwee dari belakang. Mereka telah melihat Siauw Bwee dan diam-diam mereka ini
tergila-gila, maka ketika mereka menerjang, mereka tidak ingin membunuh dara
jelita itu, melainkan ingin menangkapnya. Tanpa berunding lebih dulu karena
memang mereka mempunyai nafsu hati yang sama, dua orang ini menubruk, seorang mencengkeram
pundak kiri Siauw Bwee dan orang kedua mencengkeram pundak kanan. Niat hati
mereka, dara itu akan ditangkap, dipeluk, dipondong dan dibawa lari!
“Auugghhh!”
“Aiiighhh!”
Begitu
menyentuh pundak Siauw Bwee, dua orang ini terpelanting dan terbanting ke atas
lantai. Yang memegang pundak kiri seketika menjadi kejang, mula-mula menggigil
lalu mati kaku dengan muka dan tubuh membiru karena darahnya telah membeku
terserang Im-kang yang dahsyat. Ada pun yang menyentuh pundak kanan tadi
menjadi hitam seluruh tubuhnya dan mati seperti orang terbakar karena darahnya
telah terbakar oleh Yang-kang!
“Ihhhh...!”
Ang-siucai berteriak kaget dan memberi aba-aba kepada para kawannya agar tidak
menyerang nona itu, namun terlambat. Dua orang pembantunya, anak buah
Ouw-pangcu yang memberontak telah menusukkan golok mereka ke punggung Siauw
Bwee. Begitu ujung golok menyentuh punggung, keduanya memekik dan terjengkang
ke belakang dan mati seketika!
Pada saat
itu Siauw Bwee sedang mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya, dan tenaga itu
bercampur dengan tenaga Jit-goat-sinkang dari Ouw-pangcu, maka dahsyatnya bukan
kepalang. Tenaga itu seolah-olah melindungi tubuh mereka berdua dan tentu saja
penyerang yang kurang kuat sinkang-nya akan mati seketika seperti yang dialami
empat orang sembono itu.
Ang-siucai
membawa teman-temannya keluar dan kini pertandingan dilanjutkan di luar. Pihak
pengikut Ouw-pangcu terdesak hebat. Yu Goan masih mengamuk dalam keadaan
terkurung dan terdesak karena pemuda perkasa ini sudah menderita banyak luka.
Keadaannya berbahaya sekali, namun Yu Goan sedikit pun tidak menjadi gentar dan
bertekad melawan sampai detik terakhir.
Ouw-pangcu
menghela napas panjang, tubuhnya bergerak dan ia berkata dengan suara nyaring,
“Terima kasih, Lihiap. Budimu takkan kulupakan dan ternyata Lihiap tidak kecewa
menjadi murid Bu Kek Siansu!”
“Tidak perlu
berterima kasih, Pangcu. Lebih baik lekas kita membantu Yu-twako.”
Kedua orang
ini meloncat ke luar. Ouw-pangcu masih bertelanjang baju dan tangannya sudah
menyambar goloknya yang tadi tergantung di dinding. Begitu tiba di luar, Siauw
Bwee dan Ouw-pangcu mengamuk. Terutama sekali Ouw-pangcu yang masih sempat
menyaksikan Yu Goan menderita banyak luka dan orangnya banyak yang tewas. Ketua
ini mengamuk seperti harimau terluka dan banyak kaum pemberontak roboh dan
tewas di ujung golok atau di bawah telapak tangan kirinya.
Namun,
ketika para pemberontak melemparkan senjata dan berlutut minta ampun, di antara
mereka tidak terdapat Ang-siucai dan kawan-kawannya yang telah lebih dulu
melarikan diri. Hanya dua orang Han yang menyerang Siauw Bwee tadi yang tewas,
selebihnya telah berhasil melarikan diri semua. Ouw-pangcu yang merasa
penasaran, mengerahkan orang-orangnya untuk melakukan pengejaran, namun
Ang-siucai dan teman-temannya lenyap seperti ditelan bumi. Dengan hati penuh
penasaran dan duka Ouw-pangcu memimpin anak buahnya untuk mengurus mayat-mayat
yang bergelimpangan dan mengobati yang terluka.
Yu Goan
menderita luka, namun tidak ada yang berbahaya. Setelah mengobati dirinya
sendiri, pemuda perkasa ini lalu sibuk mengobati anak buah Ouw-pangcu yang
terluka.
Hati
Ouw-pangcu menjadi terharu sekali. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan Siauw
Bwee dan Yu Goan. Ketika dua orang itu menolak dan membujuknya untuk berdiri,
dia berkata, “Aku tidak mau berdiri kalau Ji-wi tidak suka menjadi anak-anak
angkatku!”
Yu Goan dan
Siauw Bwee saling pandang dan akhirnya keduanya mengangguk.
“Baiklah,
Gihu!”
“Bangkitlah
sekarang, Gihu!” kata pula Siauw Bwee yang mencontoh Yu Goan menyebut gihu
(ayah angkat) kepada kakek itu.
Ouw-pangcu
melompat bangun, tertawa bergelak dan merangkul pundak kedua orang muda itu,
memandang muka mereka saling berganti penuh kebanggaan. “Ha-ha-ha-ha! Mempunyai
dua orang anak angkat seperti kalian, biar sekarang mati pun aku akan mati
dengan senyum bahagia!”
Siauw Bwee
dan Yu Goan menjadi terharu sekali dan diam-diam mereka tidak menyesal, bahkan
bangga mempunyai seorang ayah angkat yang demikian gagah perkasa, jujur, dan
hidup dalam keadaan wajar. “Marilah, anak-anakku. Marilah kuajarkan ilmu
melatih sinkang untuk memperoleh tenaga inti matahari dan bulan. Kebetulan
bulan sedang purnama malam ini, kau bisa mulai.”
Bagi Yu Goan
tentu saja ilmu ini merupakan keuntungan besar bukan main dan dengan tekun ia
mulai melatih diri. Bagi Siauw Bwee, sesungguhnya dia memiliki sinkang yang
lebih dahsyat dari pada yang dimililki Ouw-pangcu, akan tetapi ketika dia
mempelajari teori pelajaran ini, dia mendapat kenyataan bahwa kalau orang dapat
mencapai tingkat tertinggi dari ilmu ini, bukan saja akan memliiki sinkang yang
dahsyat, juga akan dapat memetik hawa mukjizat dari matahari dan bulan! Maka
dia pun lalu mempelajari dengan teliti dan mulai berlatih bersama Yu Goan.
Ouw Teng,
ketua penghuni tebing dan hutan itu bersikap amat baik kepada Yu Goan dan Siauw
Bwee. Kakek ini tidak mempunyai isteri atau anak, dan rasa terima kasih membuat
dia berusaha sedapatnya untuk menyenangkan hati kedua orang anak angkatnya. Dia
menceritakan segala hal mengenai keadaan para penghuni di situ tanpa menyimpan
rahasia.
Anak
buahnya, yaitu para penghuni tebing dan hutan, tadinya berjumlah seratus orang
lebih. Mereka membentuk keluarga di situ dan beranak bini. Tetapi pemberontakan
itu menewaskan belasan orang anak buahnya, sedangkan yang terbujuk oleh
Ang-siucai dan tewas serta melarikan diri ada tiga puluh orang.
Setelah
tinggal di tempat itu selama dua bulan, Siauw Bwee dan Yu Goan mendapat
kenyataan betapa orang-orang itu sesungguhnya hidup jauh lebih bahagia dari
pada orang-orang kota. Dan sesungguhnya mereka hidup dengan tenang, tenteram
dan penuh damai. Tidak pernah ada percekcokan. Tidak pernah ada pencurian
karena mereka tidak mengenal istilah mencuri. Semua benda yang terdapat di situ
adalah milik mereka bersama dan siapa yang membutuhkan boleh mengambilnya.
Tidak ada iri hati karena keadaan hidup mereka sama, bahkan Ouw-pangcu sendiri
hidupnya tidak berbeda dengan mereka.
Melihat
keadaan ini, Siauw Bwee diam-diam membenarkan Bu-tek Lo-jin yang menaruh
kasihan dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Hidup secara liar seperti itu tentu
saja lebih membutuhkan kekuatan untuk melawan ancaman binatang buas, penyakit
yang timbul dari hawa udara dan lain ancaman lagi. Karena melihat bahwa mereka
itu hanya memiliki kekebalan, Siauw Bwee lalu mengajarkan beberapa jurus ilmu
pukulan dan ilmu meringankan tubuh.
Kini ia
mendapat kenyataan bahwa ketika malam-malam mereka mengintai dia dan Yu Goan,
mereka itu melenyapkan diri bukan karena memiliki gerakan cepat, melainkan
karena mempunyai tempat persembunyian di hutan-hutan yang tentu saja sudah
mereka kenal betul keadaannya. Pula, karena mata mereka mengeluarkan cahaya
mencorong berkat sinkang mereka, maka begitu mereka memejamkan mata dan
mendekam di tempat gelap, Siauw Bwee tidak dapat melihat mereka.
Bagi Siauw
Bwee yang sudah mengalami banyak hal aneh, bahkan pernah tinggal di Pulau Es
yang sunyi, kini tinggal di dalam hutan di antara orang-orang yang demikian
sederhana hidupnya, ia merasakan ketenteraman hati yang amat menyenangkan. Ia
merasa kerasan di tempat itu, hidup di antara pohon-pohon dan tanaman-tanaman
liar, tidak pernah terlihat kemewahan kota, tidak pernah melihat kesibukan
manusia mengejar uang, tidak pernah melihat percekcokan-percekcokan.
Juga Yu
Goan, di samping tekun melatih diri dengan Ilmu Jit-goat-sinkang, juga merasa
amat senang tinggal di situ. Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Siauw Bwee,
pemuda ini maklum bahwa jangankan tinggal di tempat yang tenang itu, biar
tinggal di dalam neraka sekali pun dia akan merasa senang kalau di situ
terdapat Siauw Bwee di sampingnya!
Pemuda ini
menyadari sedalamnya bahwa dia telah jatuh cinta kepada dara jelita yang sakti
itu. Jatuh bertekuk lutut, mencinta Khu Siauw Bwee bukan hanya dengan jiwa
raganya, melainkan seluruh hidupnya seakan-akan kini ia tujukan demi cinta
kasihnya kepada dara itu! Dia tidak berani mengeluarkan isi hatinya, akan
tetapi setiap pandang matanya, suaranya, gerak-geriknya jelas membayangkan
cintanya yang amat mendalam.
Siauw Bwee
sendiri bukan tidak tahu akan perasaan pemuda itu, dan hal ini amat mengganggu
hatinya. Dia suka kepadanya. Yu Goan yang ia tahu adalah seorang pemuda yang
amat halus budi pekertinya, seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, bukan
hanya dalam ilmu silat, juga dalam kesusastraan dan ilmu pengobatan,
sopan-santun dan jujur, pendeknya seorang pemuda pilihan. Akan tetapi, hatinya
yang sudah jatuh cinta kepada suheng-nya Kam Han Ki, tidak mungkin mencinta
pria lain. Dia merasa kasihan kepada Yu Goan, terharu kalau melihat betapa
sinar mata pemuda itu memandangnya penuh kasih. Ia mengambil keputusan untuk
mengakhiri penderitaan pemuda itu dengan satu-satunya jalan yang ia ketahui,
yaitu memisahkan diri dari pemuda itu.
Pagi itu
mereka berdua berlatih di waktu matahari mulai naik tinggi, duduk bersila dan
melatih sinkang menerima cahaya matahari dan membiarkan sinar matahari yang
mengandung inti hawa panas yang menjadi sumber segala hawa panas itu meresap ke
dalam tubuh mereka. Setelah mereka menghentikan latihan mereka dan tubuh mereka
basah oleh peluh, mereka mengaso di bawah pohon yang teduh sambli menghapus
peluh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw Bwee untuk mengutarakan keinginan
hatinya.
”Yu-twako,
kurasa kita sudah cukup memahami cara melatih diri dengan Jit-goat-sinkang.
Kini yang penting hanya tinggal melatih diri yang dapat kita lakukan di mana
pun juga. Sudah terlalu lama kita tinggal di tempat ini.”
Yu Goan
menoleh dan memandang dara itu dengan matanya yang lembut. Kemudian ia berkata,
“Ucapanmu benar, Lihiap...”
“Aihh, sudah
berapa kali aku minta agar engkau tidak menyebutku dengan lihiap, Twako.
Bukankah sejak lama aku menyebutmu Twako?”
“Terima
kasih, ...eh, Bwee-moi. Sesungguhnya engkau baik sekali dan aku merasa amat
beruntung diperbolehkan menyebutmu adik. Akan tetapi, engkau adalah seorang
pendekar wanita yang tiada keduanya di dunia ini, dan aku... aku merasa terlalu
rendah untuk menyebutmu adik.”
“Omongan
apakah ini? Aku hanya seorang manusia biasa, Twako. Kalau kau tidak menyebutku
adik, aku tidak mau menjawabnya.”
“Baiklah,
Bwee-moi. Maafkan aku. Apa yang kau katakan tadi benar bahwa kita sudah
memahami Jit-goat-sinkang dan sudah terlalu lama tinggal di sini mengganggu
ayah angkat kita. Akan tetapi..., kita akan pergi ke manakah?”
Inilah yang
berat bagi Siauw Bwee dan semua tadi ia ucapkan hanya untuk dipergunakan
sebagai alasan belaka. Maksudnya hanya untuk mencari jalan agar ia dapat
memisahkan diri dari pemuda ini.
“Aku akan
melakukan perjalananku mencari suci dan suheng, Twako. Kita berpisah di sini,
aku melanjutkan perjalanan dan engkau pun melanjutkan perjalananmu sendiri.”
Dengan hati
perih Siauw Bwee melihat betapa wajah yang tampan itu menjadi pucat, mata itu
memandangnya dengan sinar mata penuh permohonan. “Bwee-moi..., mengapa...
mengapa kita harus saling berpisah? Bukankah kita dapat melakukan perjalanan
bersama? Aku akan membantumu mencari suheng dan suci-mu sampai engkau dapat
bertemu dengan mereka!”
Siauw Bwee
menggeleng kepalanya. “Twako, engkau baik sekali dan percayalah bahwa aku
selamanya tidak akan melupakan engkau sebagai seorang sahabat yang paling baik,
bahkan sebagai saudara angkat karena setelah kita berdua menjadi anak-anak
angkat Ouw-pangcu, kita pun menjadi saudara angkat. Akan tetapi, tidak baik
kalau kita melakukan perjalanan bersama, apa lagi aku tidak ingin
menyusahkanmu. Urusan pribadiku masih amat banyak, dan engkau sendiri tentu
mempunyai urusan pribadi. Biarlah kita berpisah di sini dan tentu kelak kita
masih akan dapat saling berjumpa kembali.”
Yu Goan
menggunakan kedua tangan menutupi mukanya untuk menyembunyikan kedukaan yang
membayang di wajahnya. “Ah, Bwee-moi... aku mohon kepadamu, jangan aku harus
berpisah darimu... jangan kita saling berpisah lagi...”
Siauw Bwee
tentu saja sudah menduga akan isi hati pemuda ini, akan tetapi ia mengeraskan
hati, memandang dengan alis berkerut dan bertanya dengan suara nyaring
mendesak, “Twako! Apa maksudmu dengan kata-kata itu?”
Yu Goan
menurunkan kedua tangannya dan memandang wajah dara itu dengan muka pucat namun
sinar mata membayangkan isi hatinya tanpa disembunyikan lagi. Suaranya
menggetar, namun ia memaksa diri untuk menggunakan saat itu mengeluarkan semua
isi hatinya.
“Bwee-moi,
dengarlah. Semenjak saat pertama aku melihatmu, kemudian mendengar bahwa engkau
adalah puteri dari mendiang pahlawan Khu Tek San, cucu murid Menteri Kam Liong,
kemudian dilanjutkan melihat sepak terjangmu, menyaksikan kelihaian ilmu
kepandaianmu dan watakmu yang amat mulia, aku telah jatuh cinta kepadamu! Tidak
tahukah engkau, Bwee-moi? Aku cinta kepadamu, Bwee-moi, dan aku tidak akan
dapat hidup kalau harus berpisah dari sampingmu. Engkau telah menjadi separuh
nyawaku dan aku...”
“Cukup,
Twako!” Siauw Bwee berkata keras, tidak marah, hanya sengaja memperkeras
sikapnya untuk ‘mengobati’ penyakit yang menyerang hati pemuda itu. “Aku bukan
seorang buta yang tidak melihat tanda-tanda itu semua, dari sinar matamu, dari
suara dan gerak-gerikmu. Aku tahu bahwa engkau sudah jatuh cinta kepadaku. Akan
tetapi, karena aku tahu pula bahwa amat tidak mungkin bagiku untuk membalas
perasaan hatimu itu, aku mengambil keputusan bahwa kita harus saling berpisah
sebelum penyakitmu menjadi makin berat.”
Yu Goan
memandang dengan mata terbelalak kosong, sekosong hatinya yang mengalami
pukulan hebat. Wajahnya yang pucat, matanya yang memandang kosong, mulutnya
yang agak terbuka seolah-olah sukar mengeluarkan suara, merupakan ujung pedang
yang menusuk hati Siauw Bwee.
“Meng...
mengapa tidak mungkin..., Bwee-moi?” Suara ini lebih mirip rintihan yang
membuat Siauw Bwee memejamkan mata sejenak.
Ketika Siauw
Bwee membuka matanya kembali, dua titik air mata menetes turun. Sejenak dia
memandang wajah Yu Goan yang pucat, rambutnya yang mawut, matanya yang sayu,
mulutnya yang tertarik derita hatinya. Ahhh, betapa mudahnya jatuh cinta kepada
seorang pemuda seperti ini, pikiran ini seperti kilat memasuki kepalanya. Akan
tetapi di sana ada Kam Han Ki dan dia tidak mau menukar suheng-nya itu dengan
pria lain yang mana pun juga, betapa tampan dan baik pun!
“Yu-twako,
aku suka kepadamu, aku menganggap engkau sebagai sahabat terbaik, bahkan
sebagai saudara, akan tetapi tidak mungkin aku membalas cintamu karena...
karena cinta kasihku telah dimiliki pria lain, Twako.”
Yu Goan
terbelalak, kemudian kedua lengannya bergerak ke atas, yang kanan menjambak
rambut sendiri, yang kiri menutupi muka, tubuhnya gemetar dan suaranya
menggetar, “Ahhhh... maafkan aku, Bwee-moi... maafkan aku...!”
Siauw Bwee
memegang kedua tangan Yu Goan dan menariknya turun. Ia memandang air mata yang
menetes-netes turun di wajah yang pucat itu, menahan air matanya sendiri dan
mengeraskan suaranya, “Twako! Begini lemahkan engkau? Seorang pemuda gagah
perkasa, begini sajakah kekuatan batinmu?”
Yu Goan
memandang dara itu, lalu memejamkan mata dan menundukkan mukanya. “Maafkan
aku... maafkan...”
Siauw Bwee
mengguncang kedua lengan pemuda itu. “Yu-twako! Engkau mengatakan bahwa engkau
cinta kepadaku, akan tetapi kalau ternyata bahwa engkau menderita batin karena
aku tidak bisa membalas cintamu, berarti bahwa engkau bukan mencinta aku,
melainkan mencinta dirimu sendiri!”
Yu Goan
mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang terbelalak. “Apa maksudmu,
Bwee-moi?”
“Di balik
cintamu itu tersembunyi nafsu mementingkan diri sendiri, tersembunyi keinginan
untuk menyenangkan diri sendiri. Kau ingin dicinta, ingin memiliki, itu
bukanlah cinta sejati, Twako, melainkan cinta diri yang bergelimang nafsu.
Karena di balik cintamu bersembunyi hal-hal itulah maka engkau menjadi berduka
dengan merasa sengsara ketika mendengar bahwa aku tidak dapat membalas cintamu!
Renungkanlah, Twako, siapakah yang kau cinta itu? Aku ataukah dirimu sendiri?”
Yu Goan
termenung, tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi, kemudian ia
mengangguk. “Akan tetapi... adakah cinta yang murni, tanpa keinginan untuk
tidak berpisah lagi selamanya dari orang yang dicintanya?”
“Tentu saja
ada, Twako. Cinta murni melupakan keinginan hati sendiri, hanya ingin melihat
orang yang dicintanya bahagia. Karena kita yakin bahwa aku tidak mungkin
membalas cinta kasihmu, rubahlah cintamu itu, bersihkan dari pada nafsu birahi.
Lihatlah, aku memegang tanganmu, tanpa getaran nafsu, akan tetapi dengan rasa
cinta sepenuhnya, cinta saudara. Dapatkah engkau merasakan itu, Twako?”
Yu Goan
memandang tajam, kemudian menghela napas panjang dan mengangguk. “Aku mengerti,
Bwee-moi.”
Ia lalu
meraih tubuh dara itu dan mencium dahinya, ciuman yang lembut dan bersih dari
pada nafsu, jauh dari pada kemesraan kasih sayang lawan kelamin. Siauw Bwee
dapat melaksanakan pula hal ini, maka dia tidak kaget, tidak membantah, dan
diam-diam ia merasa bersyukur dan kagum bahwa pemuda itu benar-benar seorang
yang memiliki budi pekerti yang bersih.
Yu Goan
menekan keharuannya dan melepaskan pelukannya. Mereka hanya duduk berhadapan,
saling berpegang tangan. Kini terbayang senyum di bibir Yu Goan biar pun pada
matanya yang biasanya tajam penuh kegembiraan itu kini berganti pandang sayu
tanda bahwa hatinya terluka oleh ujung anak panah Dewa Cinta yang beracun...
"Bwee-moi,
terima kasih. Aku memang bodoh sekali, bodoh karena mementingkan diri sendiri
saja. Bwee-moi, kalau boleh aku bertanya, apakah cinta kasihmu terhadap pria
yang berbahagia itu juga murni dan bersih dari pada nafsu?"
Wajah Siauw
Bwee tiba-tiba menjadi merah sekali dan ia menggenggam tangan Yu Goan ketika
menjawab, “Aku... aku juga bodoh seperti engkau, Twako. Aku... aku mencinta dia
seperti engkau mencintaku tadi. Ahhh... sudah mengerti namun tetap tidak dapat
mengalahkan perasaan sendiri, betapa lemah dan bodohnya aku, lebih bodoh dan
lebih lemah dari pada engkau, Twako.”
Tiba-tiba
Siauw Bwee menangis, teringat akan Han Ki, teringat akan Maya, teringat akan
cintanya yang masih berbelit-belit itu karena dia tidak tahu kepada siapakah
sesungguhnya Han Ki mencinta, cinta seorang pria terhadap wanita, cinta yang
tak dapat dibagi-bagi, kepada dia ataukah kepada Maya?
Yu Goan
menjadi terharu dan merasa kasihan sekali. Ia merangkul pundak Siauw Bwee,
menepuk-nepuk punggungnya perlahan sambil berkata, “Bwee-moi, kasihan
engkau.... Engkau sedang menderita, ditambah oleh gangguan lagi. Tenanglah,
Bwee-moi, aku berjanji takkan mengganggumu lagi dan aku akan bersembahyang
setiap saat kepada Tuhan semoga engkau akan berbahagia dalam cinta kasihmu
itu.”
“Terima
kasih, Yu-twako, engkau baik sekali.”
Tiba-tiba
kedua orang ini tersentak kaget dan meloncat berdiri ketika pada saat itu
terdengar suara hiruk-pikuk kentongan-kentongan bambu yang dipukul
bertalu-talu. Tanpa bicara keduanya melesat meninggalkan tempat itu, kembali ke
perkampungan dan mereka melihat orang-orang lari tergopoh-gopoh berkumpul di
depan pondok Ouw-pangcu.
Ketika
melihat dari jauh wajah Ouw-pangcu dan wajah anak buahnya kelihatan tegang,
Siauw Bwee dan Yu Goan tidak mau mengganggu, hanya memandang bengong ketika
melihat Ouw-pangcu memimpin anak buahnya berbondong-bondong lari menuruni bukit
memasuki hutan. Siauw Bwee dan Yu Goan saling berpandangan, kemudian mereka
bergerak mengikuti rombongan itu dari belakang.
Sudah lama
Siauw Bwee dan Yu Goan mempunyai keinginan bertemu dengan penghuni lembah di
bawah, atau setidaknya ketuanya karena mereka itu adalah orang-orang yang
menerima pendidikan langsung dari Bu-tek Lo-jin. Biar pun mereka mendengar dari
Ouw-pangcu bahwa Bu-tek Lo-jin sudah lama sekali meninggalkan daerah itu, namun
menurut Ouw-pangcu, ilmu kepandaian para tokoh penderita kusta itu amat tinggi
dan karena inilah maka Siauw Bwee dan Yu Goan ingin sekali bertemu dan
menyaksikan sendiri keadaan mereka.
Akan tetapi
menurut penuturan Ouw-pangcu, tidak ada seorang manusia boleh turun ke lembah,
pula tidak ada jalan menuruninya, kecuali jalan rahasia yang dikuasai oleh
orang-orang lembah. Kini melihat kesibukan itu, dan ketegangan yang tampak pada
wajah Ouw-pangcu dan anak buahnya, Siauw Bwee dan Yu Goan menduga-duga bahwa
tentu ada urusan yang menyangkut orang-orang lembah yang penuh rahasia itu.
Siauw Bwee
dan Yu Goan mengikuti rombongan itu memasuki hutan yang belum pernah mereka
datangi. Mereka menerobos ke sana ke mari, melalui hutan yang penuh pohon-pohon
raksasa, kemudian melintasi padang rumput yang tinggi dan tebal, melalui
tanaman-tanaman berduri yang agaknya sudah bertahun-tahun tidak dilalui
manusia. Dari jauh terdengar suara melengking tinggi dan agaknya ke arah suara
itulah mereka menuju.
Rombongan
itu berhenti di dalam sebuah hutan, tak jauh dari sebatang pohon raksasa yang
amat besar dan tua. Di bawah pohon ini tampak sebuah batu besar yang dilihat
dari jauh berbentuk sebuah kepala raksasa. Ouw-pangcu dan anak buahnya
menjatuhkan diri berlutut dalam jarak lima meter dari pohon raksasa itu,
berlutut tanpa berkutik seperti menanti sesuatu. Siauw Bwee dan Yu Goan
bersembunyi di balik pohon, mengintai dengan hati tegang karena mereka tidak
mengerti apa artinya semua itu dan apa yang akan terjadi di situ.
Suara
melengking yang terdengar dari pohon tua itu berhenti. Keadaan sunyi senyap,
sunyi yang mendebarkan jantung penuh ketegangan. Tiba-tiba Siauw Bwee dan Yu
Goan memandang terbelalak ke arah batu besar itu. Batu itu bergerak perlahan,
bergeser dari kanan ke kiri. Dan tampaklah sebuah lubang di bawah batu itu,
seperti sebuah sumur dan batu itu terus menggeser sampai lubang itu tampak
semua, berbentuk bundar dan bergaris tengah satu meter.
Tiba-tiba
terdengar suara kelentingan ramai dari dalam lubang, seperti suara banyak
kelenengan kecil dibunyikan berbareng. Keadaan makin tegang dan kalau
Ouw-pangcu dan anak buahnya semua berlutut menundukkan muka tanpa berani
memandang, Siauw Bwee dan Yu Goan terbelalak memandang ke arah lubang sumur
itu. Tiba-tiba di depan lubang itu telah berdiri seorang manusia yang amat
menyeramkan!
Demikian
cepat gerakan orang itu, seolah-olah dia seorang iblis yang muncul dari alam
lain, seperti pandai melenyapkan diri dan tiba-tiba kini menampakkan diri di
depan lubang. Hanya pandang mata Siauw Bwee saja yang lebih tajam dan kuat dari
pandang mata Yu Goan dapat melihat berkelebatnya sinar hitam dari dalam lubang,
maka dara sakti ini maklum bahwa orang itu muncul dari dalam lubang dengan
gerakan yang amat ringan dan cepat, tanda bahwa orang itu memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi sekali. Akan tetapi ketika ia memandang orang itu,
seperti juga Yu Goan, ia bergidik dan bulu tengkuknya berdiri.
Orang itu
benar-benar amat menyeramkan dan keadaan tubuhnya amat mengerikan. Tubuhnya
jangkung kurus, seperti tengkorak terbungkus kulit, badannya tertutup jubah
hitam yang sudah butut, dekil kotor dan robek-robek di pinggir dan ujungnya.
Jubah yang panjang sampai menutupi lutut, berlengan lebar panjang, namun karena
robek-robek maka jubah itu tidak dapat menyembunyikan keadaan tubuh yang
mengerikan. Tubuh yang tidak normal, penuh cacat-cacat seperti batang pohon
yang dikerokoti kutu. Tangan kiri orang itu memegang tongkat, karena kelingking
dan jari tengahnya sudah hilang, tinggal sisanya sedikit saja.
Tangan
kanannya sudah hilang sama sekali, tinggal lengan yang tulangnya menonjol halus
merupakan ujungnya, keluar dari lengan baju secara amat mengerikan, jari-jari
kakinya pun tidak utuh. Jari kaki kiri tinggal dua buah ibu jari dan jari
tengah, sedangkan jari kaki kanannya tinggal tiga buah saja. Kulit yang
membungkus kaki pun tidak utuh, sudah pecah-pecah di sana-sini seperti
digerogoti rayap.
Ketika Siauw
Bwee yang bergidik itu memandang ke arah muka orang itu, ia merasa betapa
seluruh bulu tubuhnya berdiri saking ngerinya! Kepala orang itu ditutup kain
hitam yang menyembunyikan seluruh kepalanya dan bagian muka, yaitu di bagian
atas sehingga yang tampak hanya mulai dari alis ke bawah. Akan tetapi itu pun
sudah amat menakutkan!
Kalau kulit
kaki hanya sebagian yang lenyap, maka kulit muka itu boleh dibilang sudah
hampir habis dimakan rayap! Tampak tulang-tulang pipi menonjol, dagunya menjadi
runcing karena tidak ada kulitnya, putih mengerikan. Bibirnya habis pula
sehingga tampak mulut ompong menonjol panjang. Separuh hidungnya hilang
sehingga merupakan lubang hitam. Matanya seperti melotot terus karena
pelupuknya tinggal separuh, tidak dapat dipejamkan. Benar-benar amat mengerikan
dan melihat sebuah tengkorak tidak akan sengeri ini. Manusia yang berdiri di
depan lubang itu tak patut disebut manusia, akan tetapi juga tidak atau belum
menjadi mayat!
Di samping
perasaan ngeri dan serem ini, timbul rasa iba yang besar di hati Siauw Bwee dan
Yu Goan yang sebagai seorang ahli pengobatan maklum betul betapa menderita dan
sengsaranya keadaan orang yang ia tahu menjadi korban penyakit kusta yang
dahsyat itu.
Kini muncul
dua orang lain dari dalam lubang, keadaan mereka juga mengerikan seperti orang
pertama. Akan tetapi kedua orang ini tidak meloncat seperti orang pertama tadi,
melainkan berjalan terpincang-pincang keluar dari lubang dan berdiri di kanan
kiri orang pertama yang sudah marah-marah, mengeluarkan kata-kata yang sama
sekali tidak dimengerti oleh Siauw Bwee dan Yu Goan. Orang itu bicara tidak
karuan dan karena tidak mempunyai bibir, giginya ompong-ompong dan lidahnya
tinggal sepotong, bicaranya sukar dimengerti.
Akan tetapi
agaknya Ouw-pangcu sudah biasa mendengar suara seperti itu, buktinya ketua ini
lalu menjawab dan membela diri, menceritakan tentang peristiwa pemberontakan di
perkampungan yang dipimpinnya. Dari jawaban Ouw-pangcu ini mengertilah Siauw
Bwee dan Yu Goan bahwa agaknya Ouw-pangcu dipersalahkan oleh orang-orang lembah
tentang peristiwa pertempuran di antara orang-orang tebing.
“Harap para
Locianpwe dari lembah mengetahui bahwa saya dan anak buah saya sama sekali
tidak melakukan pelanggaran. Yang melakukan pelanggaran adalah mereka yang
memberontak dan mereka telah diberi hukuman setimpal. Tolong disampaikan kepada
Pangcu di bawah bahwa kami semua tidak pernah melanggar perintah.”
Orang
penderita kusta yang pertama itu kembali bicara ribut-ribut tidak karuan.
Ouw-pangcu menjawab, mukanya memperlihatkan kekagetan dan ketakutan. Ia
menggoyang tangan kiri yang diangkat ke atas sambil berkata, “Tidak bisa,
Locianpwe! Saya tidak bersalah, maka tentu saja menolak untuk dibawa turun
menerima hukuman. Pula, siapa pun tidak boleh turun, kalau saya sudah turun,
bukankah berarti saya melanggar? Saya tidak merasa bersalah, maka saya pun
tidak mau ikut Locianpwe turun ke bawah!”
Orang kedua
yang berdiri di sebelah kanan orang pertama mengeluarkan suara gerengan seperti
seekor binatang terluka, kemudian tubuhnya meloncat maju dengan kecepatan kilat
sehingga diam-diam Siauw Bwee kagum karena orang ini pun memiliki ginkang yang
amat luar biasa! Dengan tangan kirinya yang tinggal empat buah jarinya itu,
orang sakit kusta ini mencengkeram pundak Ouw-pangcu.
“Crottt!”
Empat buah jari tangan itu menancap di pundak seperti empat buah pisau tajam,
akan tetapi tiba-tiba orang itu terpental ke belakang karena Ouwpangcu telah
mengerahkan Jit-goat-sinkang.
Ketika
terpental, orang itu memandang tangan kirinya yang ternyata tertinggal di
pundak Ouw-pangcu! Penyakit kusta membuat buku-buku dan ruas-ruas tangannya
lemah dan rapuh, maka tentu saja tidak dapat melawan aliran sinkang yang
demikian kuatnya! Dua buah jari yang tertinggal di pundak Ouw-pangcu juga tercabut
ke luar terdorong oleh daya tolak sinkang Ouw-pangcu. Anehnya, biar pun dua
buah jari tangannya putus, orang itu tidak kelihatan menderita nyeri dan
tangannya tidak berdarah. Seolah-olah hanya dua batang kayu saja yang potong!
“Maaf, saya
tidak sengaja menyusahkan para Locianpwe,” kata Ouw-pangcu. Diam-diam dia
merasa kasihan sekali karena maklum bahwa penyakit kusta yang hebat itu
ternyata membuat orang-orang lembah ini tidak mungkin lagi dapat menyimpan
tenaga Jit-goat-sinkang di tubuh mereka. Hal ini pun dapat diduga oleh Siauw
Bwee dan Yu Goan ketika menyaksikan serangan dan akibatnya tadi.
Si Lengan
Buntung, orang pertama tadi, kini sudah mengeluarkan sebuah bendera kecil
berwarna hitam dan menggerak-gerakkan bendera kecil itu di atas kepalanya.
Melihat
bendera kecil itu Ouw-pangcu terkejut sekali, berlutut dan memberi hormat ke
arah bendera sambil berkata, “Teecu Ouw Teng telah berdosa. Kalau Locianpwe
tadi mengatakan bahwa Pangcu memerintahkan saya turun ke lembah dan
mengeluarkan benda pusaka itu, tentu saya tidak berani banyak membantah.”
Si Tangan
Buntung itu bicara lagi. Ouw-pangcu bangkit berdiri, kemudian membalikkan tubuh
berkata kepada anak buahnya yang masih berlutut ketakutan.
“Kalian
kembalilah dan bekerja seperti biasa. Aku dipanggil menghadap oleh Pangcu di
lembah maka jangan kalian memikirkan aku lagi. Kalau sampai aku tidak kembali
untuk selamanya, kalian boleh mengangkat seorang ketua baru. Tunggu sampai
seratus hari, kalau aku tidak kembali berarti aku berhenti menjadi ketua. Nah,
aku pergi. Marilah Sam-wi Locianpwe.” Berkata demikian, Ouw-pangcu mengikuti
tiga orang penderita kusta itu memasuki lubang sumur yang ternyata merupakan
lorong di bawah tanah yang menuju ke lembah jauh di bawah!
Setelah
empat orang itu memasuki sumur, batu besar itu tergeser kembali dan menutupi
lubang. Keadaan menjadi sunyi senyap dan kini orang-orang liar anak buah
Ouw-pangcu baru berani bergerak. Mereka bicara dengan muka penuh ketakutan dan
kedukaan, akan tetapi tak seorang pun berani mencela tiga orang lembah tadi.
Setelah anak
buah Ouw-pangcu meninggalkan tempat itu, Siauw Bwee dan Yu Goan muncul dari
tempat sembunyi mereka.
“Setan-setan
itu! Mengapa kau tadi mencegah aku turun tangan membela ayah angkat kita,
Bwee-moi?”
“Gihu ikut
dengan mereka secara sukarela, dan menurut ceritanya sendiri, orang-orang
lembah itu memang mempunyai kekuatan lebih besar dan Gihu harus tunduk kepada
ketua orang lembah. Kalau kita turun tangan tadi, berarti kita bertindak
berlawanan dengan isi hati Gihu sendiri.”
“Akan tetapi
Gihu dibawa mereka. Apakah kita harus membiarkannya saja? Siapa tahu dia akan
mengalami bencana di bawah sana?”
“Tidak, kita
tidak akan membiarkan saja. Kita harus menyelidiki ke bawah dan melihat apa
yang terjadi.”
“Bagus! Mari
kita kejar mereka, biar kugeser batu ini!” Yu Goan meloncat akan tetapi baru
saja ia menyentuh batu besar itu Siauw Bwee sudah melarangnya.
“Jangan,
Twako. Kalau kita masuk atau turun melalui jalan ini, tentu kita akan
menghadapi perlawanan dan bahaya. Aku tidak takut menghadapi mereka, akan
tetapi membayangkan betapa aku harus bertanding dengan orang-orang seperti
itu... hiiiihhhh, aku bisa mati karena jijik! Pula, kalau kita turun melalui
lorong ini, mungkin kita malah menambah kesalahan Gihu dalam pandangan mereka.
Mereka itu menjijikkan, akan tetapi juga lihai sekali sehingga kita mungkin
akan menemui kegagalan di tengah jalan sebelum sampai di lembah. Lorong yang
merupakan jalan satu-satunya ini pasti terjaga kuat oleh mereka.”
Yu Goan
mengangguk-angguk dan kagum sekali. “Habis, bagaimana kita bisa turun kembali
ke lembah?”
“Perkampungan
mereka di bawah itu kelihatan dari atas tebing. Biar pun curam dan sukar, kalau
kita menggunakan besi pengait, pedang dan tambang yang kuat, masa kita tidak
dapat turun ke bawah?”
Yu Goan
setuju dan mereka segera mencari alat-alat yang mereka butuhkan itu. Kemudian
mulailah kedua orang itu menuruni tebing yang amat curam. Namun dengan
kepandaian mereka yang tinggi, dibantu alat-alat itu, dapat juga mereka merayap
turun perlahan, menggunakan pedang yang ditancapkan pada dinding batu karang,
melorot turun dengan bergantung kepada tambang. Biar pun sukar sekali, dan
tidak dapat cepat karena mereka harus amat berhati-hati, sekali jatuh berarti
nyawa melayang, mereka dapat merayap ke bawah.
Akan tetapi
ternyata oleh mereka bahwa jalan itu benar-benar tidak mudah sama sekali. Biar
pun mereka mempergunakan alat-alat, terpaksa mereka harus mencari jalan memutar
beberapa kali kalau menghadapi jalan buntu, di mana tebing itu berakhir dengan
jurang yang tak mungkin dapat dilalui, batunya pecah di bagian bawah. Terpaksa
mereka mencari jalan baru untuk turun dan ada kalanya mereka terpaksa merayap
ke atas lagi untuk mencari jalan lain. Sampai malam tiba, mereka baru dapat
mencapai sepertiganya saja dalam jarak dari puncak tebing ke lembah dan
terpaksa mereka harus melewatkan malam di dalam goa yang terdapat di dinding
batu karang yang licin!
Pada
keesokan harinya, setelah cuaca terang barulah kedua orang muda itu berani
melanjutkan perjalanan. Ketika mereka mengambil jalan memutar ke selatan,
mereka melihat dataran di tengah-tengah antara puncak dan lembah. Dinding di
bagian ini ternyata menembus ke sebuah dataran yang merupakan dataran kedua di
bawah puncak tebing, sungguh merupakan keadaan yang ajaib! Dataran yang berada
di perut gunung, luasnya paling banyak seribu meter persegi, akan tetapi
tanahnya penuh dengan tetumbuhan, seperti sebuah kampung kecil di puncak,
dikelilingi tebing curam, merupakan keadaan yang amat berlawanan dengan lembah
itu yang di kelilingi tebing tinggi!
“Mari kita
ke sana, siapa tahu dari dataran itu terdapat jalan yang lebih mudah,” kata
Siauw Bwee.
“Baik...
heiii, ada rumahnya di sana!” Yu Goan yang merayap di sebelah depan tiba-tiba
menuding.
Benar saja,
dari lereng tebing itu mereka melihat dua pondok kecil sederhana di dataran
itu, tanda bahwa di sana ada manusianya! Hal ini mendorong semangat mereka dan
mereka merayap ke arah dataran itu, kemudian meloncat turun di atas tanah yang
rata. Dengan hati-hati mereka berjalan ke tengah menghampiri dua buah pondok
sederhana yang modelnya sama dengan pondok-pondok tempat kediaman Ouw-pangcu
dan anak buahnya, bahkan dua pondok itu lebih sederhana lagi.
Setelah
dekat dan menghampiri pondok dari depan, tiba-tiba mereka berhenti dan cepat
menyelinap di balik pohon. Mereka melihat seorang laki-laki tua sedang keluar
dari pondok membawa setumpuk tampah berisi benda-benda kecil seperti daun-daun
kering, akar-akar dan buah-buahan kering. Laki-laki itu usianya sebaya dengan
Ouw-pangcu, hanya rambut dan kumis jenggotnya masih banyak hitamnya. Bajunya
ringkas dan sangat sederhana, tanpa lengan sehingga lengan dan sebagian
pundaknya tampak. Celananya hitam dan di bagian bawahnya digulung sampai ke
lutut.
Tiba-tiba
kakek itu berhenti di depan pondoknya, kemudian dengan tangan kiri menyangga
tumpukan tampah yang jumlahnya belasan buah itu, dia mengambil tampah teratas
dengan tangan kanan dan sekaligus menggerakkan tangan, tampah itu terlempar ke
udara dan berputar-putar seperti hidup tanpa menumpahkan isinya sedikit pun!
Tampah
pertama masih melayang-layang ketika tampah kedua, ke tiga dan ke empat
menyusul sehingga dalam beberapa detik saja belasan buah tampah melayang-layang
di udara seperti sekumpulan burung-burung mencari tempat bertengger. Kemudian
tampah-tampah itu meluncur turun dan tiba di atas depan dipan yang dipasang di
depan pondok sebagai tempat penjemuran, jatuh dengan lunak tanpa ada isinya
yang terlempar keluar dan dalam keadaan berderet-deret rapi seperti diatur dan
diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan!
“Bukan
main...!” Yu Goan berbisik.
Siauw Bwee
diam-diam kagum sekali, dan maklum bahwa kakek itu memiliki tenaga sinkang yang
sudah dapat diatur sedemikian rupa sehingga tenaga loncatan tampah-tampah tadi
pun di ‘kendalikan’ oleh tenaga sinkang! Dan dia pun menduga bahwa tentu kakek
itu sudah tahu akan kedatangan mereka, karena demonstrasi tenaga sinkang tadi
tentu dikeluarkan hanya dengan satu tujuan, yaitu sengaja diperlihatkan orang
untuk menggertak. Kalau kakek itu tidak tahu bahwa mereka datang dan hendak
menggertak orang asing yang datang, perlu apa main-main dengan tenaga sinkang
seperti itu?
Maka ia
bersikap waspada dan memandang kakek itu penuh perhatian. Kini di tangan kakek
itu tinggal dua tampah lagi. Tiba-tiba kakek itu mengambil sebuah tampah,
mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tampah itu ‘melayang’ berputaran menuju
ke arah Siauw Bwee dan Yu Goan dengan kecepatan kilat seperti seekor burung
garuda menyambar dua ekor domba!
“Celaka!” Yu
Goan berseru dan pemuda itu sudah mencabut pedangnya.
Akan tetapi
Siauw Bwee menyentuh lengan pemuda itu, kemudian dara sakti ini menggerakkan
kedua lengan mendorongkan kedua telapak tangan ke atas, ke arah tampah yang
meluncur turun. Dia tidak berani mempergunakan Jit-goat-sinkang yang belum
dilatih sempurna itu, maka dia mengerahkan seluruh tenaga sinkang yang ia latih
di Pulau Es sesuai dengan ajaran Bu Kek Siansu dan petunjuk suheng-nya.
Tampah yang
sudah meluncur turun itu tiba-tiba terhenti, kemudian bergerak lagi, bukan ke
arah Siauw Bwee, melainkan berputaran turun dan hinggap dengan lunaknya ke atas
dipan yang masih kosong, persis seperti lontaran kakek itu tadi, hanya kini
tampah itu agak tergetar karena ada dua tenaga sinkang raksasa yang
mengemudikannya dari arah berlawanan!
“Tahan dulu,
Locianpwe!” Siauw Bwee sudah berseru dan melompat ke luar dari tempat
sembunyinya. Lompatannya seperti kilat karena dia mempergunakan gerakan kaki
kilat sehingga tahu-tahu tubuhnya sudah muncul di depan kakek itu dalam jarak
enam meter, terhalang dipan penjemur obat-obatan di atas tampah-tampah.
Sejenak
kakek itu memandang dengan alis berkerut. Matanya terbelalak penuh keheranan
dan agaknya dia masih tidak mau percaya bahwa yang tadi menahan tampahnya, yang
memaksa tampahnya itu melayang turun, hanyalah seorang dara remaja.
“Bagus! Coba
engkau tahan ini!” serunya dan tampah terakhir yang berada di tangannya itu ia
lemparkan ke udara, kini bukan dengan sebelah tangan, melainkan dengan kedua
tangan. Kedua tangannya itu tetap terpentang karena dari kedua telapak
tangannya meluncur hawa sinkang yang ‘mengemudikan’ tampah berisi bahan obat
itu.
Siauw Bwee
maklum bahwa kakek itu kini mengerahkan tenaga sinkang yang besar sekali karena
tidak hanya tampah itu berputaran di udara, akan tetapi juga isinya ikut
berputaran di atas tampah. Dan dengan menggunakan tampah menyerangnya, dia
dapat menduga bahwa kakek itu menganggap dia dan Yu Goan sebagai orang luar
yang lancang masuk, maka kini hendak mengujinya, bukan hendak menyerang dengan
niat jahat, maka ia pun lalu mengerahkan kedua tangan diulur dan dikembangkan
ke depan. Hawa sinkang yang kuat meniup ke luar dari kedua tangannya, membubung
ke atas menerima tampah itu.
Tampah yang
berpusing di udara itu tiba-tiba berhenti dan mengambang di udara, seolah-olah
terpegang tangan yang kuat, lalu perlahan-lahan tampah itu melayang kembali ke
arah pelemparnya. Kakek itu terkejut sekali, lalu membusungkan dadanya,
mengerahkan seluruh tenaga dan Siauw Bwee merasa betapa dari tubuh kakek itu
keluar hawa yang panas sekali. Ia cepat mengerahkan Im-kang yang dingin untuk
melawannya. Tiba-tiba hawa dari kakek itu berubah dingin pula, dan Siauw Bwee
yang sengaja hendak menguji pula, segera merubah sinkang-nya menjadi Yang-kang.
Tampah itu
seperti hidup. Sebentar bergerak ke arah Siauw Bwee, akan tetapi hanya sebentar
karena kembali terdorong ke arah Si Kakek. Dorong-mendorong ini terjadi
beberapa menit lamanya dan akhirnya tampah itu terus bergerak perlahan, sedikit
demi sedikit menuju ke arah Si Kakek yang makin terkejut dan memandang
terbelalak. Akhirnya ia berseru keras melompat ke kiri dan menurunkan kedua
lengannya. Tampah itu jatuh ke bawah, hancur dan isinya berantakan. Akan tetapi
seperti tampah yang hancur bagaikan diremas-remas itu, isinya juga remuk
pecah-pecah dan ada yang gosong seperti terbakar!
“Hebat!
Wanita muda, dari mana engkau mempelajari Jit-goat-sinkang?” Pertanyaan ini
mengandung penasaran besar, seolah-olah menuduh Siauw Bwee mencuri ilmu itu.
Siauw Bwee
yang kini sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentu memiliki Ilmu
Jit-goat-sinkang seperti yang dimiliki Ouw-pangcu, malah lebih kuat, segera
menjura dan menjawab, “Untuk menghadapi Jit-goat-sinkang-mu tadi, aku tidak
menggunakan sinkang yang sama, orang tua!”
“Tidak
mungkin! Sinkang biasa mana mampu menghadapi Jit-goat-sinkang seperti itu?”
Yu Goan kini
sudah muncul dan meloncat dekat Siauw Bwee. Dia tadi menyaksikan adu tenaga
sinkang itu dan kekagumannya terhadap Siauw Bwee meningkat. Dengan sabar ia
menjura dan mendahului Siauw Bwee. “Locianpwe, sesungguhnya kami pernah
mempelajari Jit-goat-sinkang dari Ouw-pangcu.”
“Ahh, tidak
mungkin! Selain Ouw-pangcu tidak akan berani lancang menurunkan ilmunya kepada
orang luar, juga tidak mungkin kalau hanya murid-muridnya mampu mengalahkan
kekuatanku. Dia sendiri masih jauh di bawahku, ataukah... dia telah memperoleh
kemajuan yang luar biasa sehingga muridnya saja mampu mengalahkan aku? Betapa
pun juga, dia melanggar dan harus dihukum!”
Yu Goan
terkejut dan cepat membela, “Locianpwe, harap jangan menyalahkan dia karena
Ouw-pangcu adalah Gihu kami. Tiada salahnya menurunkan ilmu kepada anak-anak
angkatnya sendiri.”
Wajah yang
penasaran dan marah itu berubah. “Aihhhh! Dia menjadi ayah angkat kalian?
Betapa anehnya! Akan tetapi... tenaga sinkang Nona muda ini amat luar biasa,
betapa mungkin...”
“Harap
Locianpwe tidak menjadi heran karena sesungguhnya, kepandaian Nona Khu ini amat
tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Gihu sendiri. Dan kalau benar
Locianpwe adalah suheng dari Gihu, harap kau ketahui bahwa kami berdua sedang
berusaha menyelamatkan Gihu yang terancam bahaya besar di lembah di bawah
sana.”
“Apa? Apa
yang terjadi? Orang muda, duduklah. Dan kau juga, Nona yang amat lihai.
Duduklah dan ceritakan semua. Apa yang telah terjadi di atas tebing, dan di
bawah lembah sana?”
Yu Goan dan
Siauw Bwee duduk di atas dipan bambu, berhadapan dengan kakek itu lalu Yu Goan
menceritakan semua pengalaman mereka sejak bertemu dengan Ouw-pangcu, mengobati
luka ketua itu, dan tentang pemberontakan di atas tebing yang dipimpin oleh
Ang-siucai. Setelah mendengar penuturan itu sampai habis, kakek tadi menarik
napas panjang.
“Hemm,
memang banyak resikonya menjadi ketua, tidak sebebas aku yang hidup seorang
diri tanpa dibebani peraturan. Sute telah lancang menerima seorang asing
seperti sastrawan she Ang itu, maka dia memetik buah dari tanamannya sendiri.
Akan tetapi siapakah engkau orang muda yang pandai ilmu pengobatan? Aku sendiri
senang dengan ilmu itu, maka kepandaianmu menarik hatiku, dan siapa pula Nona
yang amat lihai ini? Sukakah kalian memperkenalkan diri setelah mengetahui
bahwa aku adalah suheng dari Gihu-mu?”
Yu Goan
tidak berani lancang, maka dia menoleh dan memandang Siauw Bwee. Bagi dia
sendiri, dia tidak akan ragu memperkenalkan diri kepada siapa pun juga. Akan
tetapi Siauw Bwee adalah penghuni Istana Pulau Es, dan biar pun dara itu tidak
pernah memperingatkannya, dia tahu bahwa gadis itu tentu akan merahasiakan
Pulau Es dan keadaan dirinya. Akan tetapi Siauw Bwee tersenyum dan mengangguk.
Maka Yu Goan
lalu berkata, “Karena Locianpwe adalah suheng dari Gihu, maka sepatutnya kalau
kami menyebut Supek kepadamu. Harap Supek ketahui bahwa sahabatku ini bernama
Khu Siauw Bwee dan sebelum dia menjadi anak angkat Gihu dia telah memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi karena Bwee-moi ini adalah... seorang di antara
penghuni-penghuni Istana Pulau Es.”
Seperti
telah diduganya, kakek itu mencelat dari tempat duduknya, memandang Siauw Bwee
dengan mata terbelalak, kemudian mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil
menjura, “Aihhh... mataku seperti buta tidak mengetahui orang pandai. Maaf...!”
Siauw Bwee
cepat berdiri membalas penghormatan itu dan berkata sederhana, “Supek, mengapa
begini sungkan? Yu-twako hanya pandai memuji setinggi langit padahal aku hanyalah
seorang muda yang masih perlu menerima bimbingan orang pandai seperti Supek.
Dalam melatih diri dengan Jit-goat-sinkang saja, dibandingkan dengan tingkat
Supek, aku belum ada seper-sepuluhnya!”
“Aihhh!
Sudah lihai masih pandai merendah pula. Sungguh menakjubkan! Nona Khu, tanpa
Jit-goat-sinkang sekali pun sinkang-mu sudah amat luar biasa dan aku tidak
menjadi heran mengingat bahwa engkau adalah penghuni Istana Pulau Es, murid
langsung dari Bu Kek Siansu. Hebat... hebat...! Dan engkau sendiri, orang muda,
siapakah engkau?”
“Aku bernama
Yu Goan, ilmu silatku yang kalah jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian
Khu-siauwmoi kudapatkan dari ayahku sendiri yang bernama Yu Siang Ki, sedangkan
sedikit ilmu pengobatan kudapatkan dari kakekku, Yok-san-jin Song Hai.”
Kembali
kakek itu mengangguk-angguk kagum. “Aku pernah mendengar nama besar ayahmu itu.
Bukankah dia putera Ketua Khong-sim Kai-pang? Dan Yok-san-jin... Hemmm, siapa
yang belum mendengar namanya? Ahh, sungguh menggembirakan sekali bertemu dengan
orang-orang muda keturunan orang-orang pandai, lebih-lebih lagi menggembirakan
mendengar bahwa kalian adalah anak-anak angkat sute-ku. Aihhhh, bukan main
beruntungnya Ouw-sute!”
“Akan tetapi
sekarang Gihu terancam bahaya, Supek,” kata Siauw Bwee.
Kakek itu
mengerutkan alisnya. “Aku heran sekali. Biasanya suheng kami, yaitu ketua
lembah, adalah orang yang amat sabar. Ketahuilah bahwa dahulu, ketika Suhu
Bu-tek Lo-jin datang ke tempat ini, dia mengangkat tiga orang murid. Pertama
adalah Lie Soan Hu yang kini menjadi ketua orang lembah setelah dia terkena
pula penyakit kusta yang mengerikan itu. Murid kedua adalah aku sendiri. Namaku
adalah Coa Leng Bu, dan berbeda dengan suheng dan sute, aku lebih senang hidup
bersunyi diri di tempat ini, mengumpulkan obat-obat untuk kuberikan kepada anak
buah suheng di lembah dan anak buah sute di atas tebing. Murid ke tiga adalah
Ouw-sute sendiri. Setelah Lie-suheng menderita penyakit kusta, dia menjadi
penyabar sekali, bahkan tidak pernah keluar dari lembah. Sungguh pun amat
mengherankan kalau sekarang dia menyuruh pembantu-pembantunya menangkap
Ouw-sute. Apa lagi semua itu dilakukan tanpa memberi tahu kepadaku....”
“Hemm,
benar-benar peristiwa itu mencurigakan sekali dan agaknya perlu kuselidiki
sendiri. Kalian jangan khawatir. Biarlah aku menyertai kalian turun ke lembah
dan dari tempat ini memang ada jalan rahasia ke lembah yang lebih mudah
dilalui. Tentu saja dengan kepandaian yang kalian miliki, tanpa melalui jalan
rahasia itu pun kalian akan dapat mencapai lembah, akan tetapi selain hal itu
akan makan waktu lama dan perjalanan yang sukar sekali, juga berarti kalian
akan menjadi seorang yang melanggar larangan. Mari kita pergi sekarang sebelum
terlambat, karena aku menduga bahwa seperti halnya di atas tebing, di lembah
sana terjadi sesuatu yang tidak wajar. Sudah terlalu lama aku tidak pernah
datang ke lembah atau ke tebing, obat-obat itu hanya diambil saja oleh anak
buah yang disuruh Sute atau Suheng.”
Girang
sekali hati kedua orang muda itu. Mereka segera mengikuti Coa Leng Bu pergi
meninggalkan pondok dan menuruni tebing melalui jalan turun yang bukan
merupakan jalan, melainkan rangkaian akar-akar dan batu-batu yang sengaja
dibuat untuk jalan naik turun. Karena ‘jalan’ ini tertutup oleh tetumbuhan,
maka kalau tidak bersama kakek itu, tentu Siauw Bwee dan Yu Goan tak mungkin
akan dapat menemukannya.
Jalan ini
bukanlah jalan mudah bagi orang biasa, akan tetapi bagi mereka bertiga
merupakan jalan yang amat mudah, bergantung sana-sini, melompati sana-sini dan
mereka dapat turun dengan cepat sekali. Dua orang muda itu merasa girang karena
perjalanan kali ini jauh lebih mudah dan cepat dari pada yang mereka lakukan
kemarin. Tak lama kemudian mereka sudah mencapai lembah.
Akan tetapi,
begitu ketiganya melompat turun, mereka diserbu oleh belasan orang penderita
kusta dan orang-orang penghuni tebing yang tadinya memberontak, juga tampak
beberapa orang berpakaian Han yang ikut menyerbu.
“Merekalah
yang memberontak di atas tebing!” seru Yu Goan.
Coa Leng Bu
menjadi marah sekali. Ia melompat maju dan membentak, “Mundur semua! Apakah
kalian tidak mengenal aku lagi?”
Akan tetapi
orang-orang itu tidak menjawab dan terus menyerangnya!
“Keparat!
Setan busuk, mana Suheng? Suruh dia keluar sebelum aku membunuh kalian semua,
keparat!”
Akan tetapi
orang-orang itu telah menyerbunya dan Coa Leng Bu cepat menggerakkan kaki
tangannya merobohkan dua orang penderita kusta. Akan tetapi mereka tidak mundur
bahkan kini menerjang dengan senjata-senjata mereka.
“Twako, kita
berpencar mencari Gihu!” Siauw Bwee berseru sambil melawan pengeroyokan orang
yang menjijikkan itu.
Karena tidak
tahan harus bertanding melawan orang-orang yang begitu mengerikan, setelah
mengelak ke sana-sini, Siauw Bwee melesat jauh dan mulai mencari Gihu-nya yang
tertawan. Yu Goan mencabut pedangnya dan mengamuk bersama Coa Leng Bu. Betapa
pun juga, melihat bahwa tukang obat itu tidak mau menurunkan tangan membunuh
orang-orang yang masih murid keponakannya sendiri, Yu Goan juga menggerakkan
pedang secara hati-hati agar tidak sampai membunuh orang.
Namun
tingkat kepandaian orang-orang lembah itu tinggi dan dia pun seperti Siauw
Bwee, merasa jijik di samping rasa kasihan. Maka kini melihat Siauw Bwee telah
pergi, dia pun memutar pedang mencari jalan ke luar dari kepungan, lalu
melarikan diri ke depan meninggalkan Coa Leng Bu yang masih dikeroyok
murid-murid keponakannya sendiri.
Beberapa
orang penderita penyakit kusta mengejarnya, termasuk seorang berpakaian Han
yang menjadi kawan Ang-siucai. Yu Goan marah sekali terhadap orang ini karena
dia tahu bahwa biang keladi semua keributan di tebing mau pun di lembah ini
tentulah Ang-siucai dan kawan-kawannya. Dia dapat menduga bahwa setelah gagal
di atas tebing, Ang-siucai membawa kaki tangannya dan orang-orang tebing yang
dipengaruhinya melarikan diri ke lembah. Hanya dia merasa heran, kenapa
sastrawan itu dapat pula menguasai lembah!
Karena
marahnya, tiba-tiba dia membalik dan pedangnya menyambar ke arah orang Han yang
ikut mengejarnya. Orang itu menangkis, akan tetapi tiba-tiba ia menjerit keras
ketika tangan kiri Yu Goan berhasil menotoknya, kemudian mengempit lehernya.
“Suruh
mereka mundur sebelum kupatahkan batang lehermu!” Yu Goan mengancam dan
memperkuat jepitan lengannya pada leher orang itu.
Orang itu
ternyata takut mati dan cepat membentak orang-orang penderita kusta untuk
mundur. Di samping sifat pengecutnya, orang itu pun cerdik sekali. Agaknya
semua kawan Ang-siucai cerdik-cerdik belaka. Orang ini maklum akan kelihaian
Siauw Bwee dan Si Tukang Obat, maka dia ingin memancing agar mereka itu
berpencar sehingga lebih mudah dikuasai kawannya.
Setelah
semua orang penderita kusta mundur dan mereka membantu pengeroyokan kawan-kawan
mereka terhadap Coa Leng Bu dan sebagian mengejar dan mencari Siauw Bwee yang
melarikan diri, orang itu berkata, “Ampunkan saya, Taihiap...”
“Hemm,
manusia busuk! Karena engkau menuruti permintaanku, aku tidak akan membunuhmu,
akan tetapi kau harus memberi tahu kepadaku di mana Ouw-pangcu ditahan!”
Diam-diam
orang itu menjadi girang. “Ahhh, kalau begitu cepat, Taihiap. Engkau bisa
terlambat. Mereka... mereka tadi sedang menggiring Ouw-pangcu ke tempat
pembakaran mayat, hendak membakarnya!”
“Apa?” Yu
Goan terkejut sekali. “Dia... dia... sudah mati...?”
“Tidak,
Taihiap. Belum, akan tetapi tentu akan mati kalau kau terlambat. Mereka hendak
membakarnya hidup-hidup!”
“Keparat! Di
mana tempat itu?”
“Mari
kutunjukkan padamu.”
“Awas kalau
kau menjebakku, aku akan menyayat-nyayat tubuhmu menjadi lebih rusak dari pada
orang-orang yang dimakan kusta itu!” Yu Goan mengancam.
“Aku tidak
menipumu, Taihiap.”
Yu Goan
mengikuti tawanan itu sambil memegang lengannya. Mereka menuju ke bagian
belakang lembah dan tiba di sebuah pintu di mana tampak anak tangga menurun ke
bawah. Orang tawanan itu menuruni anak tangga, terus diikuti oleh Yu Goan dari
belakang. Ketika tiba di sebuah tikungan, dengan kaget Yu Goan melihat
pemandangan mengerikan di bawah anak tangga.
Belasan
meter di bawah tempat itu berdiri Ouw-pangcu bersandar tiang, kedua tangannya
dibelenggu rantai baja yang panjang dan yang tergantung pada tiang itu.
Kayu-kayu kering ditumpuk di sekitar tubuhnya dan beberapa orang penderita
kusta telah memegang obor, agaknya mereka sudah siap untuk membakar kayu-kayu
kering itu, membakar Ouw-pangcu hidup-hidup!
Cepat tangan
Yu Goan bergerak dan tawanan itu berteriak, roboh dengan tulang pundak putus
terbabat pedang. Yu Goan tidak mau melanggar janjinya. Dia tidak membunuh orang
itu, hanya merobohkannya saja dengan mematahkan tulang pundaknya. Andai kata
orang itu tidak menunjukkan tempat ini, dan andai kata tadi dia tidak berjanji,
tentu dia akan membunuh orang ini dan kawan-kawannya yang telah mendatangkan
kekacauan di tempat yang tenteram seperti di atas tebing dan di lembah ini.
“Lepaskan
Ouw-pangcu!” dengan suara nyaring Yu Goan membentak sambil melangkah turun
melalui anak tangga.
Enam orang
penderita kusta itu menengok dan menjadi kaget. Juga Ouw-pangcu menengok dan
melihat Yu Goan, dia berteriak, “Yu-sicu... pergilah tinggalkan tempat
berbahaya ini. Jangan memikirkan diriku!”
“Tenanglah,
Gihu. Aku dan Bwee-moi, juga Supek Coa Leng Bu telah turun ke lembah untuk
menolongmu dan menghajar pemberontak-pemberontak laknat ini!”
Mendengar
bahwa suheng-nya dan kedua orang anak angkatnya datang dan mereka telah tahu
akan pemberontakan yang terjadi pula di lembah, wajah Ouw-pangcu menjadi girang
sekali. Ia berteriak keras, kakinya bergerak dan tumpukan kayu bakar di
depannya itu terlempar ke kanan kiri. Tiga orang penderita kusta yang memegang
obor di tangan menyerang Ouw-pangcu yang masih terbelenggu.
Akan tetapi
pada saat itu Yu Goan telah meloncat maju dan pedangnya berkelebat cepat
membuat tiga orang itu terpaksa meloncat mundur dan membatalkan niatnya
menyerang Ouw-pangcu dengan api obor. Yu Goan kembali memutar pedangnya,
mendesak orang-orang mengerikan itu mundur, kemudian secepat kilat pedangnya
membacok rantai panjang yang membelenggu kedua tangan Ouw Teng.
Terdengar
suara nyaring dan belenggu itu putus, rantai panjang itu kini tergantung di
kedua tangan kakek itu yang segera meloncat ke depan dan membantu anak
angkatnya menghadapi pengeroyokan enam orang penderita kusta, Kakek itu
mengamuk dan memutar-mutar rantai yang tergantung di kedua tangannya, sedangkan
Yu Goan menggerakkan pedangnya menghadapi enam orang yang bersenjata golok.
Biar pun
enam orang penderita kusta itu memiliki gerakan yang luar biasa cepat dan
ringannya, namun mereka itu tidak dapat lagi mengerahkan sinkang terlalu kuat
karena tulang-tulang mereka sudah rusak dan rapuh. Maka amukan Ouw-pangcu dan
Yu Goan membuat dua di antara mereka roboh, sedangkan empat orang lain terdesak
hebat.
“Gihu, kita
harus cepat keluar dari sini membantu Supek dan Bwee-moi!”
“Baik, akan
tetapi kita robohkan dulu empat orang pengkhianat ini. Mereka ini termasuk
orang-orangnya Sastrawan Ang yang berhasil mempengaruhi lembah dan mengobarkan
pemberontakan,” kata Ouw-pangcu.
Akan tetapi
sebelum mereka berhasil merobohkan empat orang itu, dari atas muncul belasan
orang lain, terdiri dari penderita kusta, beberapa orang bekas anak buah
Ouw-pangcu sendiri dan tiga orang Han. Mereka itu datang dengan cepat lalu
langsung mengeroyok Yu Goan dan Ouw Teng. Kakek ketua tebing itu menjadi marah
sekali melihat bekas anak buahnya. Sambil memaki-maki dia lalu mengarahkan dua
potong rantai itu ke arah bekas-bekas anak buahnya sehingga biar pun dia
dikeroyok banyak lawan, dia berhasil merobohkan dua orang bekas anak buah dan
juga muridnya itu dengan sambaran dua potong rantai baja, membikin pecah kepala
mereka!
Namun
pengeroyokan itu benar-benar membuat Yu Goan dan Ouw-pangcu terdesak hebat.
Kepandaian orang-orang penderita kusta itu tinggi, gerakan mereka cepat, dan
tiga orang Han itu pun lihai sekali ilmu pedangnya. Mereka berdua dikeroyok di
tempat yang sempit oleh belasan orang dan betapa pun mereka mengamuk, dan
berhasil merobohkan tiga orang lain, namun Yu Goan terkena tusukan pedang di
paha kirinya sedangkan Ouw-pangcu juga terluka oleh bacokan pedang yang dilawan
dengan sinkang-nya, namun tetap saja membuat kulit punggungnya terluka dan
mengeluarkan darah.
“Gihu, kita
keluar!” Yu Goan berteriak sambil merobohkan seorang pengeroyok lagi dengan
sebuah tendangan yang mengenai pusar.
“Tidak sudi
lari sebelum membunuh iblis-iblis ini!” Ouw-pangcu menjawab dan mengamuk lebih
hebat.
“Bukan
melarikan diri, melainkan mencari tempat luas!”
“Hemm,
baiklah!” Sambil berkata demikian, Ouw-pangcu mencontoh perbuatan anak
angkatnya, membuka jalan sambil memutar kedua rantai baja yang sudah berlepotan
darah lawan, kemudian bersama Yu Goan dia lari menaiki anak tangga itu, dikejar
oleh sebelas orang lawan, sisa para pengeroyok tadi. Akan tetapi, baru tiba di
tengah-tengah, dari atas muncul pula banyak orang musuh! Kini mereka berada di
tengah-tengah, dikepung dari atas dan bawah sehingga keadaan Ouw-pangcu dan Yu
Goan menjadi repot!
Sementara
itu, Siauw Bwee yang pergi lebih dulu mencari Ouw-pangcu, di mana-mana bertemu
dengan orang-orang penderita kusta yang mengeroyoknya. Diam-diam Siauw Bwee
terkejut juga karena tidak mengira bahwa hampir semua anggota lembah itu
agaknya telah dikuasai oleh Ang-siucai dan kawan-kawannya. Dia tidak tahu bahwa
di antara mereka ada yang belum dapat dibujuk oleh Ang-siucai, akan tetapi
mereka yang masih setia kepada ketuanya juga mengeroyoknya karena kedatangannya
sebagai orang luar ternyata merupakan pelanggaran bagi para penghuni tempat
itu, pelanggaran yang harus dihukum dengan kematian.
Akhirnya
Siauw Bwee yang selalu dapat menghindari para pengeroyok itu tiba di depan
sebuah pondok terbesar. Dia menduga bahwa tentu itu pondok ketua orang lembah.
Ia pikir lebih baik menemui ketuanya untuk bicara secara terbuka mengenai hal
ini dan minta kepada Si Ketua untuk membebaskan Ouw-pangcu yang dia masih belum
temukan ditawan di mana. Kalau ketua lembah menolak, dia akan memaksanya! Ia
pikir bahwa jika dia dapat menawan ketua lembah, tentu dia akan memaksanya
menghentikan perlawanan anak buahnya, memaksanya membebaskan Ouw-pangcu.
Akan tetapi,
ketika tiba di depan pondok dia segera dikepung oleh belasan orang penderita
kusta. Siauw Bwee merasa ngeri sekali dan jijik bukan main menyaksikan keadaan
para pengeroyoknya. Juga dia tidak sampai hati kalau harus membunuh orang yang
tidak karuan bentuk tubuhnya ini, maka dia hanya mempergunakan kelincahannya
untuk mengelak dan hanya kalau terpaksa saja dia menggunakan pedangnya mendesak
mundur mereka. Dia takut kalau-kalau dia akan bersentuhan dengan mereka dan
takut kalau ketularan!
Karena rasa
jijik, rasa kasihan dan keraguannya ini maka Siauw Bwee tidak dapat segera
membebaskan diri dari kepungan. Kiranya yang mengepungnya kali ini adalah
pembantu-pembantu ketua yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari pada
anggota biasa.
“Lihiap,
tahan mereka!” tiba-tiba terdengar suara bentakan dan kiranya Coa Leng Bu sudah
muncul di tempat itu.
Kakek ini
pun disambut serangan oleh empat orang penderita kusta. Seorang di antara mereka
menggerakkan sebatang cambuk panjang. Cambuk itu mengeluarkan suara meledak,
bagaikan seekor ular hitam yang panjang tahu-tahu telah melibat leher kakek
itu.
“Kalian
manusia-manusia gila!” Coa Leng Bu membentak, menangkap cambuk dan mengerahkan
tenaga membetot.
Orang yang
memegang cambuk berteriak kaget, tubuhnya terbawa oleh sentakan itu dan
terbanting ke atas tanah. Begitu terbanting, tulang-tulangnya yang rapuh tak
dapat bertahan, maka dengan mengeluarkan suara berkeretek mengerikan lengan
kanannya putus, sambungan pundaknya terlepas dan lengan itu terpisah dari
tubuhnya, tangan kanannya masih mencengkeram gagang cambuk! Coa Leng Bu
menendang lengan itu dan kini cambuk itu berada di tangannya. Dia memutar
cambuk, merobohkan tiga pengeroyok lain lalu ia berlari memasuki pondok.
Siauw Bwee
merasa ngeri dan jijik sekali menyaksikan peristiwa itu. Ia lalu meloncat
tinggi melampaui kepala para pengeroyoknya dan berlari cepat memasuki pondok
mengejar Coa Leng Bu. Ketika dia dapat menyusul kakek tukang obat itu, mereka
menuruni anak-anak tangga di sebelah dalam pondok dan tampaklah oleh mereka
pemandangan yang amat aneh. Ketua orang lembah berbaring di atas dipan,
memegangi sebatang bambu berbentuk suling dengan tempat tembakau di ujungnya.
Kiranya
kakek ketua lembah yang keadaannya mengerikan itu sedang menghisap madat! Bau
yang tidak enak menyambut hidung Siauw Bwee, membuat dara ini berbangkis, muak
dan hendak muntah.
Ketua lembah
itu sudah tua sekali, rambutnya jarang dan kepalanya botak, matanya cacat
karena pelupuk matanya habis dimakan kusta. Hidungnya tidak berdaging lagi,
hanya tampak dua lubang hitam, bibirnya pletat-pletot. Tubuhnya yang tidak
berbaju, hanya bercelana hitam itu kelihatan kurus kering dan tangan kirinya
yang membantu lengan kanan memegangi pipa madat itu hanya tinggal dua buah
jarinya!
Di dekat
dipan berdiri seorang laki-laki yang bukan lain adalah Si Sastrawan Ang Hok Ci!
Ang-siucai yang menjadi biang keladi segala kekacauan di atas tebing dan di
lembah itu. Ang Hok Ci memegang sebatang golok dan dia membalik cepat ketika
mendengar suara Siauw Bwee berbangkis tadi.
“Tarr...!”
Cambuk di tangan Coa Leng Bu meledak dan cambuk itu meluncur ke depan, ujungnya
membelit tangan Ang-siucai yang berteriak kaget dan goloknya terlepas dari
pegangan.
“Keparat she
Ang, mampuslah!” Coa Leng Bu membentak.
“Sute,
jangan kurang ajar!” Kakek yang mengisap madat itu berseru, mulutnya
menyemburkan asap putih ke arah muka Coa Leng Bu.
Jarak antara
dia berbaring dan tempat Coa Leng Bu berdiri cukup jauh, ada lima meter, akan
tetapi asap itu bergulung-gulung cepat sekali menyambar muka Coa Leng Bu yang
menjadi gelagapan dan terbatuk. Saat itu dipergunakan oleh Ang-siucai untuk
menyambar goloknya karena tangannya yang terbelit ujung cambuk sudah terlepas
ketika Coa Leng Bu diserang asap madat yang baunya memuakkan itu.
“Setan tua,
kau melindungi pengacau?” Siauw Bwee marah sekali dan sudah akan meloncat maju
menghadapi ketua lembah yang amat lihai itu.
“Lihiap,
jangan!” Coa Leng Bu berseru sehingga Siauw Bwee menahan gerakan kakinya.
“Dia...
Suheng... telah terbujuk penjahat...” Ia lalu berpaling kepada suheng-nya yang
masih rebah di atas dipan. “Suheng, insyaflah. Dia ini bukan manusia baik-baik.
Dia telah mengacau tebing, kini dia mengacau lembah bahkan tentu dia yang
membujukmu untuk mengisap racun itu!”
“Coa Leng
Bu, pergilah sebelum kubunuh engkau!” Kakek itu berseru. “Jangan kurang ajar
terhadap tamu dan sahabat baikku. Hayo pergi!”
“Supek, kau
hadapi manusia she Ang itu, biar aku yang menundukkan ketua lembah...,” bisik
Siauw Bwee.
“Coa Leng
Bu, tidak pergi juga engkau?” Kakek itu kini bangkit duduk dan tangannya
memegang sebuah bendera hitam kecil, bendera yang dahulu dilihat oleh Siauw
Bwee dipegang penderita kusta untuk menundukkan Ouw-pangcu.
Melihat
bendera itu, tiba-tiba Coa Leng Bu menjatuhkan diri berlutut. “Teecu tidak
berani membantah...!”
Tiba-tiba
Ang-siucai yang melihat kakek tukang obat itu berlutut dan sama sekali lenyap
sikapnya melawan, menggerakkan goloknya membacok sambil melompat ke depan.
”Trangggg!”
Pedang Siauw Bwee menangkis dan golok itu terpental, sedangkan tubuh siucai itu
terhuyung.
“Tolong,
Lie-pangcu... perempuan siluman itu lihai sekali!” Ang-siucai berseru minta
bantuan ketua lembah.
Akan tetapi
Siauw Bwee sudah menyambar lengan Coa Leng Bu dan dibawa lari keluar dari
pondok itu. “Supek, mengapa kau selemah itu melihat bendera itu?”
“Bendera itu
adalah peninggalan Suhu. Siapa yang memegangnya mempunyai kekuasaan seperti
Suhu sendiri. Bagaimana aku berani melawan?”
“Hemm, kalau
Twa-supek sudah terpengaruh racun dan bujukan manusia she Ang, sebaiknya kita
lekas menolong Gihu dan keluar dari neraka ini.”
“Usulmu baik
sekali, Lihiap.” Biar pun menjawab demikian, namun sikap kakek tukang obat itu
jelas membayangkan kedukaan hebat.
Ketika
mereka tiba di luar pondok, kembali mereka dikepung oleh para penderita kusta
dan kawan-kawan Ang-siucai. Mereka berdua melawan sambil melarikan diri untuk
mencari Ouw-pangcu.
“Tentu dia
ditahan dalam ruangan tahanan atau di tempat hukuman! Mari ikut aku!” Coa Leng
Bu berkata sambil melawan para pengeroyok yang selalu menghadang.
Mereka
mencari-cari di seluruh perkampungan lembah itu tanpa hasil. Banyak sudah
pengeroyok mereka robohkan, namun diam-diam hati Siauw Bwee khawatir sekali
karena selain tidak dapat menemukan Gihu-nya, juga tidak kelihatan bayangan Yu
Goan!
“Sute
benar-benar kurang ajar. Aaahh, tidak kusangka dua orang sute-ku semua
menentangku!” Ketua lembah yang sudah kekenyangan menghisap madat itu duduk
sambil memijit-mijit kedua pelipisnya, tubuhnya bergoyang-goyang seperti orang
mabok.
“Pangcu,
orang-orang yang memberontak itu harus dihukum. Aku khawatir sekali kalau
mereka berhasil mengacau kemudian merampas kitab-kitab yang amat penting itu.
Pangcu berjanji untuk memperlihatkan kitab-kitab itu kepadaku. Bolehkah
sekarang aku melihatnya?” Ang-siucai melangkah menuju ke sebuah kamar yang daun
pintunya tertutup.
“Nanti dulu,
Sicu. Tidak boleh orang lain masuk ke kamar itu kecuali aku!” Ketua lembah
sudah bangkit berdiri dan berjalan terpincang-pincang ke kamar itu, diikuti
oleh Ang-siucai yang sudah memegang goloknya lagi.
“Selain
kitab-kitab kuno simpananku yang tidak begitu penting bagiku, di sini kusimpan
sebuah kitab yang amat penting dan yang kuanggap sebagai benda pusaka. Kitab
itu adalah peninggalan Suhu kepada kami....”
“Kitab
pelajaran Jit-goat-sinkang?” tanya Ang-siucai dan matanya berapi-api penuh
gairah.
“Jit-goat-sinkang
termasuk ilmu yang berada di dalam kitab itu. Masih ada ilmu-ilmu silat lain
yang tidak dapat diturunkan kepada siapa pun juga. Engkau amat baik kepadaku,
Sicu. Maka aku tidak keberatan kalau engkau melihat kitab itu, akan tetapi
tidak boleh dibaca atau dibawa pergi. Karena engkau seorang sastrawan, maka aku
maklum bahwa engkau suka sekali melihat kitab-kitab kuno, mari masuk...”
Ketika
memasuki kamar, ketua lembah itu terhuyung-huyung, kelihatannya lemas sekali.
Diam-diam Ang-siucai menjadi girang karena dia tahu bahwa kakek ini telah mabok
madat dan sebentar lagi, seperti biasanya, tentu akan tidak kuat bertahan dan
jatuh tertidur nyenyak!
“Yang
manakah kitab peninggalan Locianpwe Bu-tek Lo-jin itu, Pangcu?”
Kakek itu
kini sudah lenggat-lenggut dan beberapa kali menguap, kemudian ia hanya dapat
menuding ke arah sebuah kitab yang dibungkus kain kuning, terletak di atas meja
di sudut kamar, kemudian ia merebahkan tubuhnya begitu saja di lantai terus
tidur mendangkur!
Ang-siucai
girang sekali. Cepat ia menghampiri meja di sudut itu, mengambil bungkusan kain
kuning, membukanya dan setelah mendapat kenyataan bahwa kitab itulah yang
dimaksudkan Lie-pangcu, dia cepat melangkah hendak keluar dari kamar itu. Akan
tetapi ketika ia harus melangkahi tubuh Lie-pangcu yang tidur mendangkur di
atas lantai, dia berhenti dan melirik dengan sinar mata tajam.
Dia tahu
bahwa kakek ini amat lihai, jauh lebih lihai dari pada Ouw-pangcu, maka kalau
nanti terbangun dan melihat lenyapnya kitab dan mengejarnya, berarti dia akan
menambah seorang musuh yang amat berat. Dia sedang tidur, mengapa tak kubunuh
saja? Setelah berpikir demikian, secepat kilat Ang Hok Ci melangkah mundur,
memegang goloknya erat-erat lalu mengayun goloknya itu ke arah leher kakek yang
tidur pulas. Saking gugupnya, bacokannya meleset dan mengenai pundak Lie Soan
Hu, ketua lembah.
“Crookk!”
Pundak itu putus berikut lengan kanan Si Kakek yang pulas.
Akan tetapi
mata Ang-siucai terbelalak dan mukanya menjadi pucat ketika ia melihat betapa
luka di pundak itu tidak mengeluarkan darah dan Si Kakek masih enak-enak tidur
mendangkur! Hal ini tentu saja membuat dia terkejut dan ketakutan, disangkanya
kakek itu mempermainkannya, maka segera ia meloncat ke luar kamar dan memasuki
pintu rahasia di sebelah belakang pondok yang sudah dikenalnya, kemudian dia
lari dari tempat itu, tidak mempedulikan lagi Siauw Bwee dan kakek obat yang
masih mengamuk di luar.
Pada saat
itu keadaan Yu Goan dan Ouw-pangcu sudah payah. Tubuh mereka sudah penuh luka
dan mereka tahu bahwa dikeroyok dari atas dan bawah anak tangga, mereka tidak
dapat melarikan diri lagi. Biar pun banyak pula pengeroyok yang mereka
robohkan, namun karena jumlah mereka amat banyak, kedua orang yang sudah luka-luka
ini mulai kehabisan tenaga.
“Jangan
bunuh mereka, tangkap hidup-hidup!” Teriakan ini keluar dari mulut Ang-siucai
yang sudah tiba di tempat itu.
Dia tadi
menyaksikan betapa Siauw Bwee dan Coa Leng Bu nengamuk dengan hebat, maka ia
menjadi khawatir sekali. Kalau tadinya dia dapat mengharapkan bantuan kakek
ketua lembah yang lihai, kini tidak mungkin lagi. Pula, benda yang dicarinya,
yang membuat dia mengadakan pengacauan sampai berbulan-bulan di tebing dan
lembah, kini telah tersimpan di balik jubahnya. Tugasnya telah selesai, kini
tinggal mencari jalan untuk keluar dengan selamat. Melihat Ouw-pangcu dan Yu
Goan terkepung rapat, dia melihat jalan ke luar itu, maka segera ia berseru
agar menawan dua orang itu hidup-hidup.
Betapa pun
juga, seruan ini menyelamatkan nyawa Ouw-pangcu dan Yu Goan. Para pengeroyok
menubruk dengan nekat dan akhirnya mereka ditangkap dan ditotok sehingga
lumpuh. Ang Hok Ci lalu mengumpulkan kawan-kawannya, yaitu orang-orang Han yang
datang bersamanya. Dia datang ke daerah itu seorang diri, tapi diam-diam
kemudian disusul oleh dua puluh orang temannya. Akan tetapi sekarang
teman-temannya itu hanya tinggal lima orang saja. Selebihnya sudah tewas,
sebagaian besar tewas di tangan Siauw Bwee dan Coa Leng Bu.
Dengan cepat
Ang-siucai mengempit tubuh Yu Goan dan seorang temannya membawa tubuh Ouw Teng,
kemudian mereka berenam meninggalkan tempat itu melarikan diri melalui
terowongan yang menembus di puncak tebing di daerah orang-orang liar anak buah
Ouw-pangcu.
Siauw Bwee
dan Coa Leng Bu masih mengamuk, tidak tahu bahwa Ouw Teng dan Yu Goan sudah
ditawan dan dibawa lari. Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring,
“Tahan semua
senjata! Hentikan semua pertempuran!”
Mereka semua
menoleh dan seketika pertandingan berhenti. Tak jauh dari mereka telah berdiri
kakek Lie Soan Hu, ketua lembah yang buntung pundak kanannya. Dengan tangan
kiri mengangkat bendera hitam tinggi-tinggi, kakek itu ternyata tidak
kehilangan suaranya seperti para penderita lain, ia berkata, “Ang Hok Ci
manusia jahat... kitab peninggalan Suhu dirampas dan dilarikan...! Sute...
lekas kejar...!” Setelah berkata demikian, kakek itu roboh pingsan. Biar pun
luka di pundaknya tidak mengeluarkan darah, akan tetapi tentu saja dia
menderita hebat sekali.
Pucat wajah
Si Tukang Obat mendengar itu. Dia tahu kitab apa yang dimaksudkan, maka cepat
dia berteriak, “Hai, kalian orang-orang yang telah berdosa! Baru sekarang
kalian tahu bahwa kalian telah ditipu oleh manusia she Ang itu! Siapa di antara
kalian yang mengetahui di mana adanya bangsat itu?”
Beberapa
orang penderita kusta menjawab sehingga terdengar suara gaduh tidak karuan yang
tak dimengerti oleh Siauw Bwee. Akan tetapi dara ini melihat wajah Si Tukang
Obat menjadi terkejut, alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan kekhawatiran
hebat.
“Lekas
kejar, Lihiap.”
“Apa sih
artinya keterangan mereka?”
“Si keparat
itu telah merampas kitab peninggalan Suhu, telah menawan Ouw-sute dan Yu-sicu
dan mereka melarikan diri melalui terowongan yang menembus ke atas tebing.”
“Celaka!
Mari kita kejar!” Siauw Bwee berseru dan dia cepat meloncat mengikuti Coa Leng
Bu yang sudah lari menuju ke terowongan rahasia yang merupakan satu-satunya
jalan yang menghubungkan daerah lembah terpencil ini ke dunia luar melalui puncak
tebing tempat tinggal Ouw-pangcu dan anak buahnya.
Siauw Bwee
dan Coa Leng Bu terus melakukan pengejaran. Biar pun mereka berdua sudah
tertinggal jauh, namun mereka dapat mengikuti jejak enam orang yang melarikan
diri dan menawan Yu Goan dan Ouw Teng itu. Jejak mereka menuju ke kota
Sian-yang. Ketika mereka tiba di luar tembok kota Sian-yang, mereka melihat Yu
Goan duduk termenung menghadapi sebuah kuburan baru!
“Yu-twako...!”
Yu Goan
melompat bangun dan memandang Siauw Bwee dan Coa Leng Bu dengan girang. Akan
tetapi segera wajahnya menjadi muram ketika ia berkata, “Bwee-moi, Gihu telah
meninggal dunia dan inilah kuburannya,” ia menunjuk ke arah kuburan baru.
“Keparat!
Mereka membunuhnya?” Siauw Bwee berteriak marah.
Yu Goan
menggeleng kepala. “Tidak, Bwee-moi, Gihu tewas karena luka-lukanya, terutama
sekali karena penyakitnya yang lama kambuh kembali.”
“Di mana
penjahat itu? Bagaimana engkau dapat lolos, Twako?”
“Bwee-moi,
Supek, mereka itu ternyata bukanlah penjahat-penjahat, melainkan utusan-utusan
rahasia dari pemerintah. Mereka membebaskan aku di sini untuk mengurus jenazah
Gihu. Tadinya mereka menawan kami berdua hanya untuk menggunakan kami sebagai
perisai ketika mereka keluar dari lembah. Mereka adalah orang-orang pemerintah
dan aku sendiri telah melihat surat kuasa dan surat perintah mereka. Bahkan Ang
Hok Ci itu adalah murid dari Bu Kok Tai, koksu negara yang sengaja mengutusnya
ke lembah untuk mengambil kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin.”
“Siapa pun
dia, jelas dia adalah seorang penipu, pencuri, pembunuh dan pengacau terkutuk!”
kata Coa Leng Bu.
“Yu-twako,
di mana mereka?”
“Mereka
memasuki kota Sian-yang untuk menghadap Bu-koksu yang kebetulan berada di kota
itu. Aku ditinggalkan di sini untuk mengurus jenazah Gihu. Bwee-moi, setelah
kita ketahui bahwa mereka itu adalah utusan-utusan pemerintah, perlukah kita
melibatkan diri?”
“Yu-twako!
Aku tidak peduli mereka itu utusan pemerintah atau utusan raja sorga mau pun
raja neraka! Yang jelas, mereka adalah pengacau-pengacau busuk yang telah
menimbulkan mala-petaka di atas tebing dan di lembah, dan mereka telah
menyebabkan kematian Gihu, bahkan telah mencuri kitab peninggalan Bu-tek
Lo-jin! Perbuatan mereka itu cukup bagiku untuk memusuhi mereka, tidak peduli
mereka itu orang macam apa! Bagaimana dengan pendapatmu, Twako?”
Yu Goan
mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang. “Bwee-moi, maafkan aku. Ayah
bundaku dan kakekku telah memesan dengan sungguh-sungguh sebelum aku pergi
merantau agar aku tidak melakukan perbuatan yang melawan dan menentang
pemerintah, bahkan menganjurkan agar aku membantu pemerintah, menjadi pahlawan
dan patriot demi kepentingan tanah air dan bangsa. Karena itu, mana mungkin aku
menentang mereka yang ternyata tidak membunuhku, malah membebaskan aku dan
memberi surat perkenalan kepada komandan pasukan di Sian-yang? Bwee-moi, harap
engkau sadar bahwa mereka itu pun hanya petugas-petugas belaka, dan kalau kita
memusuhi mereka sama artinya dengan memusuhi pemerintah. Mungkinkan kita
memusuhi pemerintah yang berarti memusuhi bangsa sendiri?”
Siauw Bwee
tersenyum pahit. “Twako, banyak orang yang tidak tahu bahwa pemerintah tidaklah
sama dengan bangsa! Jalannya pemerintahan berada di tangan raja dan semua
pembantunya, dan justeru pembantu-pembantunya yang menjadi pelaksana banyak
sekali yang tidak benar dan jahat! Demikian jahat dan liciknya mereka ini
sehingga orang-orang yang benar-benar berjiwa pahlawan dapat dianggap
pengkhianat, sedangkan pengkhianat-pengkhianat dan penjahat-penjahat macam
orang she Ang itu bisa saja dianggap pahlawan!”
“Aku akan
mengejar ke Sian-yang, harus mendapatkan kembali kitab pusaka dan membunuh
orang she Ang. Apakah Ji-wi mau ikut?” Coa Leng Bu yang merasa tidak sabar
mendengar perdebatan itu berkata dan meloncat ke depan meninggalkan mereka.
“Aku ikut,
Supek! Twako, apakah engkau mau pergi juga?”
Yu Goan
menggeleng kepala. “Maaf, Bwee-moi, aku tidak boleh melanggar pesan orang
tuaku.”
“Sayang
sekali, Twako. Nah, selamat berpisah!” Setelah berkata demikian, sekali
berkelebat Siauw Bwee telah lenyap dari situ, pergi menyusul Coa Leng Bu yang
sudah lari menuju ke pintu gerbang kota Sian-yang.
Yu Goan
duduk termenung dan berkali-kali menarik napas panjang. Ia merasa seolah-olah
semangatnya terbawa terbang melayang bersama Siauw Bwee. Akan tetapi dia
mengerahkan kekuatan batinnya dan akhirnya dia dapat melihat bahwa memang
sebaiknyalah demikian. Dengan perbedaan paham ini, yaitu tentang pengabdian
terhadap pemerintah maka tercipta jarak antara mereka yang akan meringankan
penderitaan hatinya akibat cinta gagal.
Seperginya
Siauw Bwee, dia merasa hatinya kosong dan seperti dalam mimpi, Yu Goan
mengeluarkan sebuah sampul surat yang ia terima dari Ang-siucai. Surat perkenalan
untuk komandan pasukan pengawal kota Sian-yang, di mana dia akan bekerja dan
mendapat kesempatan membuktikan dirinya untuk pemerintah seperti yang
dianjurkan oleh orang tuanya. Dengan adanya pekerjaan itu, dia akan lebih sibuk
setiap harinya sehingga akan terhibur dari luka hati karena berpisah dari Siauw
Bwee.
Setelah hari
hampir gelap, barulah pemuda yang patah hati ini bangkit meninggalkan kuburan
mendiang Ouw-pangcu dan melangkah perlahan-lahan menuju ke tembok kota
Sian-yang yang sudah tampak dari situ.
Kota
Sian-yang adalah kota yang besar dan ramai, bukan saja merupakan kota dagang,
akan tetapi juga menjadi kota pertahanan yang dikelilingi sebuah benteng yang
amat kuat. Dalam keadaan negara kalut seperti pada waktu itu, musuh mengancam
dari pelbagai jurusan, setiap kota besar menjadi benteng pasukan yang kuat dan
Sian-yang tidak terkecuali. Bahkan Sian-yang dijadikan kota benteng yang
menjadi pusat dari daerah di sekitarnya, menjadi sebuah di antara benteng
pertahanan jalan yang menuju ke kota raja...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment