Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 06
Di tengah
dusun yang terletak di pegunungan tak jauh dari pantai Lautan Po-hai, terdapat
sebuah bangunan yang tidak mewah, bahkan sederhana, namun kokoh kuat dan besar
sekali. Mempunyai halaman yang amat luas dan yang terkurung dinding tembok
tinggi seperti benteng atau asrama pasukan! Inilah tempat tinggal Coa-bengcu
dan di situ pula pada hari itu diadakan keramaian merayakan hari ulang tahun
Coa-bengcu.
Tuan rumah
Coa-bengcu sendiri telah berada di ruangan depan menyambut datangnya para
utusan atau wakil berbagai partai, juga para tokoh kang-ouw dan liok-lim yang
datang sendiri untuk memberi selamat dan sumbangan-sumbangan. Isteri Bengcu
adalah seorang wanita yang usianya setengah dari usia suaminya, kurang lebih
tiga puluh tahun. Wanita ini cantik dan sikapnya gagah pula karena nyonya
Bengcu ini pun bukan orang sembarangan, melainkan seorang murid Hoa-san-pai.
Kini ia duduk di samping suaminya sambil tersenyum-senyum bangga menyaksikan
pengaruh suaminya yang menarik datangnya semua orang gagah dari dua golongan
itu.
Ada pun
putera tunggal Coa-bengcu yang bermama Coa Kiong, seorang pemuda berusia dua
puluh lima tahun, anak tiri nyonya Bengcu yang sudah ditinggal mati ibu
kandungnya, sibuk menerima barang-barang sumbangan yang ditumpuk di atas
belasan buah meja besar di sudut ruangan. Tidak kurang dari lima puluh orang
utusan pelbagai partai telah hadir dan duduk di atas kursi-kursi yang telah
disediakan, menerima hidangan yang dilayani oleh anak-anak buah Coa-bengcu,
pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang tampan-tampan dan cantik-cantik serta
memiliki gerakan yang cekatan sekali.
Biar pun di
antara para tamu itu terdapat banyak tokoh liok-lim, golongan bajak, perampok
dan orang-orang yang biasa melakukan kejahatan, namun mereka tidak berani
bersikap kurang ajar terhadap pelayan-pelayan wanita yang cantik-cantik itu
karena semua orang maklum belaka bahwa pelayan-pelayan itu adalah anak buah
atau murid-murid Coa-bengcu.
Banyak
sekali barang sumbangan yang serba indah, perhiasan-perhiasan emas dan perak,
ukiran naga dan burung hong terbuat dari batu-batu kemala, sutera-sutera yang
indah sekali warnanya, bahkan ada pula senjata-senjata pusaka yang ampuh. Akan
tetapi semua itu masih belum mengherankan karena ada pula orang-orang yang
menyumbangkan benda-benda luar biasa anehnya.
Seorang tamu
yang baru tiba, bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk, mukanya lebar,
berseru dengan suara nyaring, “Saya Kiang Bu adalah seorang miskin, karena itu
selain ucapan selamat kepada Coa-bengeu, tidak dapat menyumbangkan benda berharga
kecuali barang hina tak berharga ini. Sudilah Bengcu menerimanya!”
Coa-bengcu
memandang orang itu lalu tertawa. “Ha-ha-ha, Tho-tee-kong (Malaikat Bumi)
sungguh berlaku sungkan sekali. Terima kasih atas ucapan selamat dan sumbangan
yang amat berharga, harap menyerahkan sumbangan itu kepada Puteraku.”
Kiang Bu
yang berjuluk Tho-tee-kong segera melangkah lebar dan menyerahkan sebuah
bungkusan kepada Coa Kiong putera tuan rumah yang menerimanya dan meletakkannya
di atas meja.
“Karena
sumbanganku ini tidak berharga dan lain dari pada yang lain, harap
Siauw-enghiong suka membukanya agar semua tamu dapat melihatnya,” kata pula
Kiang Bu.
Ketika
memandang ayahnya dan melihat ayahnya mengangguk tanda setuju, barulah Coa
Kiong berani membuka bungkusan kain itu. Tiba-tiba wajahnya berubah dan matanya
memandang Si Malaikat Bumi dengan marah, juga banyak tamu mengeluarkan seruan
tertahan setelah melihat isi bungkusan. Siapa yang tidak akan menjadi kaget
melihat bahwa bungkusan itu terisi sebuah kepala manusia yang masih belepotan
darah?
“Apa... apa
maksudmu ini?” Coa Kiong membentak dan tangan kanan pemuda ini sudah meraba
gagang pedang, matanya terbelalak memandang kepala orang yang kini terletak di
atas meja.
Tiba-tiba
Coa-bengcu tertawa girang,”Ha-ha-ha! Barang hina tak berharga itu ternyata
merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya bagiku. Terima kasih,
Tho-tee-kong. Aku telah mengenal kepala Bhe-ciangkun dan memang sudah lama aku
ingin melihat orang kejam dan penindas laknat itu kehilangan kepalanya! Kiong-ji,
suruh pelayan membuang kepala itu dan memberikan kepada anjing-anjing agar
digerogoti habis!”
Barulah
semua orang termasuk Coa Kiong sendiri, tahu bahwa sumbangan itu benar-benar
amat berharga karena Si Malaikat Bumi telah membunuh orang yang dibenci
Coa-bengcu! Perwira she Bhe yang berkuasa di pantai Po-hai memang terkenal
ganas dan kejam kekuasaannya seolah-olah melampaui kekuasaan Kaisar sendiri dan
dia menjadi raja tanpa mahkota di daerah pantai Po-hai!
Dua orang
yang membawa Maya dan Siauw Bwee tiba di tempat itu dan langsung mereka
menghadap Coa-bengcu, memberi hormat dan berkata, “Kami berdua diutus oleh
Koksu Kerajaan Yucen untuk menyampaikan ucapan selamat beliau kepada Bengcu,
dan menyerahkan sumbangannya.”
Sejenak
kakek yang dihormati itu memandang kepada dua orang itu, akan tetapi pandang
matanya segera terarah kepada Maya dan Siauw Bwee, seolah-olah melekat dan
tidak menyembunyikan rasa kekagumannya. Isterinya yang melihat keadaan suami
itu lalu berbisik, “Mereka menanti jawaban!”
Barulah
Coa-bengcu sadar dan ia tertawa bergelak sambil merangkap kedua tangan di depan
dada. “Ha-ha-ha, sungguh Pek-mau Seng-jin mencurahkan kehormatan besar sekali
kepada kami! Seorang koksu negara masih mau memperhatikan orang tiada harganya
seperti aku benar-benar menunjukkan perbedaan antara Permerintah Yucen dan
Permerintah Sung! Terima kasih, terima kasih. Tidak tahu, sumbangan apakah yang
dikirim Pek-mau Seng-jin, Koksu Kerajaan Yucen itu yang akan membuat kami
sekeluarga bahagia bukan main?”
“Sumbangan
atau hadiah yang harus kami sampaikan kepada Bengcu adalah dua orang anak
perempuan inilah!” kata Si Tahi Lalat.
Semua tamu
kembali menjadi terheran dan keadaan menjadi tegang karena mereka menganggap
bahwa sumbangan ini sama sekali tidak dapat dianggap berharga. Melihat sikap
para tamu itu, dua orang utusan itu menjadi tidak enak hati, maka Si Muka Kuning
cepat menyambung keterangan temannya.
“Hendaknya
Bengcu mengetahui bahwa dua orang anak perempuan ini bukanlah anak sembarangan.
Yang lebih besar ini bernama Maya, dia adalah puteri dari Raja dan Ratu Khitan,
sedangkan yang lebih kecil bernama Khu Siauw Bwee, puteri Khu Tek San seorang
panglima yang terkenal di Kerajaan Sung!”
Terdengar
seruan-seruan kaget di sana-sini, dan wajah Coa-bengcu yang tadinya memang
sudah berseri gembira, kini menjadi makin berseri penuh kagum. “Sungguh
merupakan hadiah yang tak ternilai harganya!” katanya. Kemudian seperti kepada
diri sendiri ia berkata, “Puteri Raja Khitan...? Puteri Panglima Khu...?”
Tiba-tiba
seorang tamu meloncat bangun sambil berseru keras. “Mohon kebijaksanaan Bengcu
agar saya boleh membunuh bocah she Khu itu untuk membalas anak buah saya yang
dahulu dibasmi oleh Khu Tek San ayahnya!” Yang bicara ini adalah bekas kepala
rampok yang kenamaan di Lembah Huang-ho perbatasan Propinsi Shan-tung.
“Puteri
Khitan itu patut dibunuh!” Tiba-tiba seorang lain meloncat dan berseru nyaring
memandang ke arah Maya dengan mata terbelalak marah.
“Kalau dia
puteri Raja Khitan, berarti dia itu cucu Suling Emas yang sudah banyak
menimbulkan malapetaka di kalangan kamil!” Yang bicara kali ini adalah seorang
pendeta berambut panjang yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya
hitam dan kotor seperti tubuhnya.
Dia adalah
seorang tokoh dunia hitam yang tekenal dengan julukannya. saja, yaitu Pat-jiu
Sin-kauw (Monyet Sakti Tangan Delapan). Dia amat terkenal dan ditakuti karena
Pat-jiu Sin-kauw ini adalah murid dari seorang datuk hitam yang amat terkenal,
yaitu Thai-lek Kauw-ong, seorang di antara lima datuk besar golongan sesat
puluhan tahun yang lalu.
“Benar!
Puteri Khu Tek San harus dibunuh! Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong
dan siapakah menteri itu? Bukan lain putera Suling Emas pula!” teriak yang
lain.
“Harap
Bengcu serahkan saja puteri Khitan kepada saya!” teriak yang lain.
Ributlah
keadaan di ruangan itu karena banyak sekali tokoh dunia hitam yang ingin
mendapatkan dua orang anak perempuan itu setelah mereka ketahui bahwa Maya
adalah cucu Suling Emas sedangkan Siauw Bwee adalah cucu murid pendekar sakti
itu.
Coa-bengcu
bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke atas untuk minta para tamunya
agar jangan membuat gaduh. Setelah suasana meredup terdengarlah suaranya
lantang, “Aku mengerti apa yang terkandung di hati Saudara-saudara yang menaruh
dandam. Akan tetapi dua orang anak perempuan ini adalah sumbangan dari Koksu
Yucen kepadaku, bagaimana aku dapat memberikan begitu saja kepada orang lain?
Bukannya aku orang she Coa bersikap kukuh, melainkan aku harus menghormat
kepada Koksu Yucen. Kalau aku menyerahkan begitu saja dua orang anak ini,
bukankah berarti aku kurang menaruh penghargaan? Karena itu, biarlah dua orang
anak ini kuanggap benda-benda yang amat berharga dan sudah sewajarnyalah kalau
untuk dapat memiliki benda amat berharga, diadakan sayembara!” Memang Coa-bengcu
ini orangnya cerdik sekali.
Dia memiliki
kedudukan yang tinggi dan berpengaruh, namun dia tahu bahwa kalau terjadi
bentrokan antara dia dengan pemerintah, dia harus mengandalkan bantuan
orang-orang pandai ini, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitam
terutama sekali. Dia sayang kepada dua orang gadis cilik yang jelas memiliki
kelebihan mencolok kalau dibandingkan dengan murid-muridnya perempuan yang mana
pun juga. Kalau dia berkukuh menahan, tentu dia akan menimbulkan rasa tidak
senang kepada para tamunya.
Kalau dia
berikan begitu saja, selain dia merasa tidak enak kepada Koksu Yucen, juga dia
merasa sayang sekali. Maka dia mengusulkan diadakan sayembara, karena dengan
demikian masih ada harapan baginya untuk mendapatkan dua orang gadis itu tanpa
menimbulkan rasa tidak suka di hati orang lain.
“Apakah yang
Bengcu maksudkan dengan sayembara?” beberapa suara terdengar dan semua orang
menanti jawaban dengan dugaan yang sama.
Coa-bengcu
tertawa. “Perlukah kujelaskan lagi? Apakah yang paling diandalkan orang-orang
golongan kita kecuali sedikit ilmu sliat? Maka hanya orang terpandai di antara
kita sajalah yang berhak memiliki dua orang anak ini. Yang minta begini banyak
bagaimana dapat kuberikan kecuali dengan jalan beradu menguji kepandaian? Pula
dua orang anak ini bukan anak sembarangan, melainkan keturunan orang-orang
pandai seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu. Kalau yang bertanggung jawab
atas diri kedua orang bocah ini tidak memiliki kepandaian tinggi, mana mungkin
dapat menghadapi mereka? Setujukah Cu-wi sekalian?”
“Setuju!
Akur! Tepat sekali!” Para tamu berteriak, yaitu mereka yang ingin sekali
mendapatkan Maya dan Siauw Bwee.
Ada pun
tokoh-tokoh wakil partai-partai yang termasuk golongan bersih atau putih, diam
saja karena mereka ini tidak ingin mendapatkan kedua orang anak perempuan, juga
tidak ingin mencampuri urusan mereka yang menaruh dandam kepada nenek moyang
anak-anak itu.
Kembali
Coa-bengcu mengangkat kedua tangan minta agar semua orang tidak
berteriak-teriak membuat berisik. Setelah semua orang diam, tiba-tiba terdengar
Maya berkata.
“Kalian ini
orang-orang gagah macam apa? Berunding seenak perut sendiri untuk memperebutkan
aku dan adikku tanpa bertanya persetujuan kami yang tersangkut! Sudah jelas
bahwa kami adalah dua orang manusia pula, masa kalian hendak menganggap sebagai
benda mati? Beginikah sikap orang-orang gagah? Ataukah kalian ini semua bangsa
penjahat yang tidak mengenal perikemanusiaan?”
Semua orang
menjadi merah mukanya dan kembali mereka membuat gaduh dengan teriakan-teriakan
memaki Maya, yaitu mereka yang membenci keluarga Raja Khitan dan keluarga
Suling Emas.
Setelah
mereka mereda, Coa-bengcu berkatat “Kita tidak perlu mendengarkan ucapan bocah
ini. Sebagai tawanan tentu saja mereka berdua tidak berhak untuk bicara. Kita
semua menerima sebagai pemberian hadiah Koksu Yucen! Cu-wi sekalian. Karena
jumlah kita terlalu banyak, maka untuk mempersingkat waktu dan mempermudah
jalannya pibu kami akan mengadakan syarat-syarat yang berat lebih dulu. Hanya
mereka yang memenuhi syarat-syarat itu barulah dapat memasuki pibu. Syaratnya
dua macam dan akan kulakukan untuk memberi contoh.”
Setelah
semua orang menyatakan setuju, Coa-bengcu membisikkan perintah kepada
murid-muridnya. Tak lama kemudian, dari pintu belakang tampak dua belas orang
murid laki-laki yang muda-muda dan bertubuh kuat memikul sebuah arca besi
berupa seekor singa.
Pemuda-pemuda
itu adalah orang-orang yang kuat, namun mereka membutuhkan tenaga dua belas
orang untuk menggotong arca itu, dapat dibayangkan betapa beratnya singa besi
itu. Ketika singa besi itu diturunkan di atas lantai ruangan, lantai itu
tergetar sehingga sebagian besar para tamu baru melihat saja sudah ngeri dan di
dalam hatinya mundur teratur. Mereka maklum bahwa tuan rumah yang lihai itu tentu
hendak menggunakan benda berat ini untuk mengukur calon pengikut sayembara
memperebutkan dua orang gadis cilik.
Memang benar
dugaan para tamu itu. Coa-bengcu melangkah maju mendekati arca besi itu lalu
berkata sambil tersenyum. “Nama besar Suling Ermas sudah terkenal di seluruh
dunia, juga puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam. Sayang sekali bahwa puluhan
tahun pendekar ini mengasingkan diri, juga di dunia kang-ouw tidak pernah lagi
terdengar Mutiara Hitam. Sudah amat lama aku ingin sekali dapat bertemu dan
menguji mereka, sungguh pun aku benar-benar meragukan kebisaan sendiri untuk
menandingi mereka. Kini secara kebetulan, dua orang keturunannya berada di sini
dan menjadi rebutan. Maka, hanya mereka yang benar-tenar pandai saja yang dapat
diharapkan akan dapat mampu menandingi Suling Emas dan keturunannya apa bila
kelak keluarganya datang mencari dua orang anak ini. Nah, untuk memilih calon
pengikut sayembara, syarat pertama adalah mengangkat singa besi ini sampai ke
atas pundak seperti yang akan kulakukan sekarang!”
Setelah
berkata demikian dan memberi hormat kepada para tamu, Coa-bengcu yang pada hari
itu tepat berusia enam puluh tahun itu menggulung lengan baju lalu membungkuk
memegang singa besi pada kaki depan dan belakang, kemudian mengeluarkan seruan
keras sekali dan... ia telah berhasil mengangkat singa besi itu, bukan hanya
sampai ke pundak, bahkan sampai ke atas kepala! Kedua tangannya tergetar, kedua
kakinya menggigil sedikit, dan kembali kakek yang kuat itu berseru keras lalu
menurunkan singa besi ke bawah sehingga lantai tergetar ketika benda berat itu
jatuh berdebuk di atas lantai sampai melesak ke bawah sedalam beberapa senti
meter! Tepuk sorak para tamu menyambut demonstrasi tenaga yang amat kuat itu.
“Cu-wi
sekalian, silakan kalau ada yang merasa sanggup mengangkat singa besi ini. Ada
pun syarat ke dua adalah mengambil sebatang paku yang kutancapkan di balok
melintang penyangga langit-langit itu!” Setelah berkata demikian, tangan kakek
itu merogoh saku dan bergerak.
“Cuat-cuat-cuat...!”
Sinar hitam tampak berkelebatan menyambar ke atas dan ternyata di atas balok
yang amat tinggi itu telah menancap belasan batang paku yang berjajar rapi!
Kemudian
kakek itu menggerakkan kakinya, tubuhnya ringan sekali melayang ke atas dan
tangannya mencabut sebatang di antara paku-paku itu lalu ia turun kembali,
kakinya menginjak lantai tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Kembali semua
orang bertepuk tangan memuji karena kakek itu telah mendemonstrasikan ilmu
ginkang yang amat tinggi. Balok melintang di atas itu amat tinggi sehingga
seorang yang tidak memiliki kepandaian tinggi tentu tidak akan dapat mencabut
paku itu.
“Sekarang
kami mempersilakan Cu-wi mencoba,” kata Coa-bengcu sambil melangkah kembali ke
tempat duduknya.
Maya
membanting kakinya dengan marah dan gemas, akan tetapi maklum bahwa dia tidak
akan dapat melarikan diri. Setelah dilepas ia lalu menarik tangan Siaw Bwee dan
kembali ke tempat tadi, malah kini mengajak Siauw Bwee duduk di atas kursi yang
masih kosong dekat Coa-bengcu. Kalau tidak bisa lari dan terpaksa menonton
biarlah mereka berdua menonton yang enak dan mengaso di atas kursi, demikian
Maya menghibur diri sendiri. Bahkan ketika melihat di meja terdapat hidangan,
tanpa malu-malu dan tanpa permisi Maya menyambar dua potong roti, juga
memberikan sebuah kepada Siauw Bwee lalu makan roti, juga menuangkan minuman
pada dua buah cawan.
Orang-orang
yang menyaksikan sikap Maya ini diam-diam menjadi kagum dan di dalam hati
memuji ketabahan anak perempuan itu yang jelas amat berbeda dengan anak-anak
biasa. Akan tetapi para tamu itu lebih tertarik untuk melihat siapa kiranya di
antara mereka yang akan dapat mengangkat singa besi dan meloncat setinggi itu.
Suara ketawa
mereka riuh-rendah menyambut kegagalan empat orang yang berturut-turut mencoba
untuk mengangkat singa besi. Jangankan sampai terangkat melewati pundak, yang
dua orang hanya dapat mengangkat singa besi itu setinggi lutut dan melepas
kembali, sedangkan yang dua setelah mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh dan
menarik-narik singa besi itu, sedikit pun tak dapat menggerakkannya!
Menyaksikan
kegagalan empat orang berturut-turut, empat orang yang kelihatan kuat sekali,
hati para tamu menjadi keder dan banyak yang tidak berani mencoba, khawatir
gagal dan hal itu sedikit banyak akan menurunkan derajat nama mereka. Dan
memang inilah yang dikehendaki oleh Coa-bengcu, yaitu agar pibu dapat
diselesaikan dengan singkat dan mudah di antara sedikit orang-orang yang memang
memiliki kepandaian tinggi!
“Hemm?
biarkan aku mencobanya!” terdengar suara keras dan ketika bayangan orang itu
berhenti bergerak di dekat singa besi, kiranya dia adalah bekas kepala perampok
di lembah Huang-ho yang dahulu gerombolannya dibasmi oleh Khu Tek San.
Kepala
rampok ini bertubuh tinggi kurus. Kini dia sudah membungkuk memegang singa besi
dengan kedua tangan, mengerahkan tenaganya dan terangkatlah singa besi itu
sampai ke atas pundaknya, kemudian cepat ia melepaskannya kembali hingga singa
besi itu jatuh berdebuk di atas lantai depan kakinya.
Biar pun
demikian, bekas kepala rampok ini telah lulus dalam ujian pertama karena dia
telah berhasil mengangkat benda itu sampai ke pundak. Tepuk sorak menyambut
hasil orang pertama yang memasuki sayembara itu dan Siauw Bwee memandang dengan
mata penuh kekhawatiran. Tadi dia sudah mendengar bahwa orang ini adalah musuh
ayahnya, maka kalau orang ini sampai menang dan dia terjatuh ke tangannya,
tentu akan celaka nasibnya.
Melihat
sikap Siauw Bwee ini, Maya berbisik, “Dia memang kuat, akan tetapi tidak sekuat
Coa-bengcu, harap kau jangan khawatir.”
Kini kepala
rampok itu mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya meloncat tinggi akan tetapi
hampir saja ia gagal kalau tidak cepat-cepat mengulur tangan dan dua ujung jari
tengah dan telunjuknya berhasil menjepit dan mencabut sebatang paku. Kembali ia
disambut dengan sorakan memuji.
Setelah
kepala perampok ini, maju seorang laki-laki gendut pendek yang melangkah penuh
gaya. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan mukanya berseri-seri, mulutnya
tersenyum-senyum penuh aksi, apa lagi kalau dia memandang ke arah gadis-gadis
cantik murid Bengcu yang melayani para tamu dan kini menonton sambil berdiri
berjajar di pinggir. Terang bahwa langkahnya dibuat-buat, berlenggang-lenggok
meniru langkah seekor harimau supaya kelihatan gagah menyeramkan. Akan tetapi
karena tubuhnya gemuk sekali dan agak pendek, langkahnya tidak mendatangkan
kegagahan melainkan mendatangkan pemandangan yang lucu, bukan seperti langkah
harimau melainkan seperti langkah seekor babi buntung!
“Heh-heh-heh,
maafkan...! Sebetulnya saya tidak berani berlaku lancang. Akan tetapi karena
sayembara ini memperebutkan hadiah yang luar biasa, dua orang nona kecil mungil
yang jelita itu, tak dapat saya menahan hasrat hati saya untuk meramaikan
sayembara. Ehemm, saya hanya memiliki sedikit kermampuan, dan kalau nanti
mengecewakan, harap Cu-wi tidak mentertawakan saya. Nama saya Ngo Kee, julukan
saya adalah Tai-lek Siauw-hud (Babi Tertawa Bertenaga Besar).”
Melihat
semua tamu tersenyum dan ada yang tertawa karena memang lagaknya amat lucu
seperti seorang badut, Si Gendut yang berjuluk hebat itu kelihatan makin
senang, mengerling ke arah Maya dan Siauw Bwee dengan lagak memikat, membasahi
bibir bawah dengan lidahnya yang bundar sehingga makin lucu tampaknya. Ia
kemudian membungkuk dan memegang kedua kaki singa besi, kemudian mengerahkan tenaga
dan... kiranya orang lucu ini bukan membual kosong karena singa besi itu telah
dapat diangkatnya! Semua orang tercengang dan bertepuk tangan. Hal ini membuat
Si Gendut makin bangga. la mengerahkan seluruh tenaganya, tidak mau mengangkat
sampai di situ saja, menahan napas dan mendorongkan kedua lengannya ke atas!
“Uhhh...
brooooottt!!”
Si Gendut
cepat menurunkan singa besi ke atas lantai dan semua tamu tertawa geli. Para
pelayan murid Bengcu menutupi mulut dengan tangan agar jangan tampak mereka tertawa.
Maya sendiri terpingkal-pingkal dan Siauw Bwee juga tertawa, memijat hidung
sendiri sehingga membuat Maya makin terpingkal-pingkal. Kiranya karena terlalu
mengerahkan tenaga sebagian hawa yang memenuhi perut gendut itu menerobos ke
luar melalui pintu belakang tanpa dapat dicegah lagi. Si Gendut mengeluarkan
kentut besar.
Biar pun
merasa jengah dan mukanya menjadi merah, namun Ngo Kee ini tertawa-tawa dan
menyoja ke kanan kiri sebagai tanda terima kasih atas pujian semua orang dengan
lagak merendah seperti seorang jagoan keluar kalangan dengan kemenangan!
Kemudian ia memandang ke atas, ke arah paku-paku yang menancap di balok
melintang. la lalu melepas sepatunya, menghampiri dinding dan... mulailah ia
merayap naik melalui dinding seperti seekor cecak!
Ia
menggunakan kedua telapak kaki telanjang itu merayap cepat melalui dinding
sampai ke atas, kemudian dengan mudah menggunakan tangan kirinya mencabut
sebatang paku. Setelah tercabut, Si Gendut ini bukan merayap turun kembali,
melainkan melepaskan dirinya jatuh ke bawah seperti sebongkah batu! Semua orang
terkejut sekali, menduga bahwa tubuh itu tentu akan terbanting remuk. Akan
tetapi sungguh aneh, ketika tubuh itu tiba di atas lantai, tubuh itu terus
menggelundung dan sama sekali tidak terbanting keras, bahkan kini dia sudah
meloncat bangun sambil mengangkat paku itu tinggi-tinggi! ...
PARA TOKOH
berilmu tinggi yang hadir di situ mengangguk-angguk. Si Gendut itu biar pun
tingkahnya seperti badut, namun memiliki tenaga kuat dan kepandaian tinggi.
Mungkin ginkang-nya tidak setinggi Coa-bengcu, namun dia telah mampu
mempergunakan ilmu merayap di tembok seperti cecak, hal ini menandakan bahwa
sinkang di tubuhnya sudah kuat sekali sehingga ia dapat menggunakan telapak
kaki dan tangannya untuk melekat pada dinding seperti telapak kaki cecak!
“Aihh, aku
suka kalau dia yang menang Enci Maya. Setiap hari dia akan kusuruh membadut,”
bisik Siauw Bwee yang masih tertawa-tawa ditahan.
“Hussh,
siapa sudi? Jangan-jangan ketika melepas kentut tadi ada ampasnya yang ikut
terbawa ke luar!” jawab Maya.
“Ihhh...
Jijik...!” Keduanya tertawa-tawa lagi dan hal ini memang amat mengherankan.
Dua orang
anak perempuan yang masih kecil dalam keadaan menjadi tawanan, bahkan dijadikan
barang sumbangan dan kini dijadikan hadiah perebutan sayembara, namun masih
enak-enak makan minum dan tertawa-tawa melihat kelucuan Thai-lek Siauw-hud Ngo
Kee! Sedikit pun mereka tidak kelihatan takut atau putus asa, padahal kalau
anak-anak lain yang mengalami hal seperti mereka tentu sudah ketakutan setengah
mati!
Puluhan tamu
maju mencoba setelah melihat hasil baik kepala rampok dan Si Gendut, akan
tetapi yang berhasil hanya tujuh orang lagi saja, termasuk Pat-jiu Sin-kauw, Si
Monyet Sakti berpakaian hitam itu. Dan hanya Pat-jiu Sin-kauw seorang yang
dapat mengangkat singa besi semudah yang dilakukan Bengcu, kemudian menurunkan
semua paku dengan kebutan lengan bajunya dari bawah, menerima sebatang kemudian
melontarkan paku-paku lainnya kembali ke atas dengan sapuan lengan bajunya!
Ternyata lihai sekali pendeta rambut panjang ini!
Memang masih
banyak tokoh yang pandai hadir di situ, yang kiranya akan dapat melakukan dua
syarat itu tanpa kesukaran, akan tetapi mereka ini tidak mempunyai niat untuk
mengikuti sayembara. Para tokoh partai memang tidak mau mencampuri urusan
mereka, sedangkan tokoh-tokoh kaum sesat tidak mau ikut karena tidak tertarik
kepada hadiahnya!
Kini
terkumpul sepuluh orang bersama Coa-bengcu yang telah lulus dan berhak mengadu
kepandaian untuk menentukan siapa yang paling pandai di antara mereka dan
berhak memiliki dua orang gadis cilik. Mereka itu telah berkumpul di tengah dan
hendak merundingkan dengan Coa-bengcu bagaimana pibu akan diatur. Saat itu
kembali dipergunakan oleh Maya yang menggandeng tangan Siauw Bwee, sekali ini
tidak lari melainkan berjalan perlahan ke pintu.
“He, ke mana
kalian mau lari?!” tiba-tiba seorang murid Coa-bengcu berseru.
Mendengar
ini Maya mengajak Siauw Bwee lari secepatnya ke pintu. Coa-bengcu, puteranya
dan murid-muridnya, juga tamu-tamu yang lulus ujian, meloncat dan mengejar
pula. Akan tetapi betapa heran hati mereka ketika melihat bahwa kedua orang
anak perempuan itu telah lenyap! Mereka mengejar ke luar dan tampaklah dua
orang anak perempuan itu berjalan pergi, digandeng oleh seorang kakek tua yang
hanya kelihatan tubuh belakangnya oleh semua orang. Mereka semua mengejar dan
berteriak-teriak.
Akan tetapi
dua orang anak perempuan itu berlari di kanan kiri Si Kakek yang rambutnya
panjang dan sudah putih semua, sama sekali tidak mempedulikan teriakan-teriakan
mereka. Yang amat luar biasa dan membuat Coa-bengcu dan para tokoh pandai
mengkirik adalah kenyataan bahwa betapa pun cepat mereka mengejar sambil
mengerahkan ilmu lari cepat, mereka tidak juga dapat menyusul kakek dan kedua
orang anak perempuan itu!
Mereka mulai
penasaran dan marah, mencabut senjata rahasia dan menyerang. Berhamburan
senjata rahasia bermacam-macam, ada piauw, paku, jarum, uang logam, peluru
besi, pisau terbang, kesemuanya menyambar dengan cepat ke arah punggung Si
Kakek rambut putih. Semua senjata rahasia itu mengenai tubuh belakang kakek
itu, tepat sekali, dan aneh nya, tidak sebatang pun mengenai punggung Maya dan
Siauw Bwee. Dan lebih aneh lagi, semua senjata rahasia yang dilontarkan dengan
tenaga sinkang dan yang tepat mengenai tubuh belakang Si Kakek runtuh tak
meninggalkan bekas pada tubuh belakang itu!
Akhirnya
semua tokoh kang-ouw dan liok-lim yang melakukan pengejaran menjadi gentar dan
ngeri. Mereka adalah tokoh-tokoh kelas tinggi, ahli-ahli senjata rahasia, dan
senjata rahasia mereka itu sebagian besar mengandung racun. Namun tak seorang
pun di antara mereka dapat menyusul kakek itu, dan tak sebuah pun senjata
rahasia melukai punggungnya. Kini para tokoh itu menghentikan pengejaran,
saling pandang dengan mata terbelalak.
“Siancai....
Kiranya di dunia ini hanya satu orang saja yang memiliki kepandaian seperti
itu...!” Seorang tosu yang menjadi tamu berkata lirih.
Ucapannya
ini menyadarkan semua orang dan mereka menjadi gentar sekali. Mereka
menduga-duga siapa gerangan tokoh itu.
“Suling
Emaskah...?”
Tosu itu,
seorang tokoh dari Kun-lun-pai, menggeleng kepala. “Kalau tidak salah dugaan pinto,
hanyalah manusia dewa yang dapat memiliki kepandaian sehebat itu. Beliau
adalah... Bu Kek Siansu....”
“Aihhh...”
Mana mungkin? Mana mungkin tokoh yang sudah ratusan tahun itu masih hidup? Aku
lebih percaya kalau dia tadi adalah Bu-beng Lojin, julukan Suling Emas setelah
mengasingkan diri!”
“Akan
tetapi, biasanya pendekar itu bergerak secara berterang dan merobohkan semua
lawan dengan berdepan. Sebaliknya kakek itu seolah-olah hendak menghindarkan
bentrokan. Agaknya memang benar dugaan Totiang, beliau adalah Bu Kek
Siansu....”
Demikianlah,
para tokoh itu menjadi ribut membicarakan peristiwa aneh itu dan tentu saja
otomatis sayembara ditiadakan. Betapa pun juga, tidak ada yang merasa penasaran
karena kalau memang benar bahwa yang membawa pergi dua orang anak perempuan itu
adalah Bu Kek Siansu seperti yang mereka duga, tentu saja mereka tak dapat
berbuat apa-apa. Siapakah orangnya di dunia ini yang akan mampu menandingi
manusia dewa itu?
Maya dan
Siauw Bwee masih terheran-heran dan mereka melongo memandang wajah kakek
berambut panjang putih yang menggandeng tangan mereka. Tadi ketika mereka
ketahuan dan dikejar, mereka tiba di pintu dan tahu-tahu tubuh mereka seperti
ditarik ke luar. Tahu-tahu mereka telah digandeng oleh seorang kakek dan mereka
meluncur ke depan dengan kecepatan yang mengerikan.
Tentu saja
Maya dan Siauw Bwee tahu bahwa mereka dikejar-kejar, bahkan telinga mereka yang
terlatih telah mendengar menyambarnya banyak senjata rahasia dari belakang,
akan tetapi kakek tua renta itu masih enak-enak saja berjalan! Langkah kakek
ini biasa saja, akan tetapi mengapa tubuh mereka meluncur ke depan seperti
angin cepatnya?
Mereka
berdua adalah anak-anak yang sejak kecil digembleng ilmu silat dan banyak
mendengar akan orang-orang sakti, maka mereka dapat menduga bahwa tentu mereka
tertolong oleh seorang kakek yang sakti. Akan tetapi, mereka tidak tahu orang
macam apakah kakek yang menolong ini. Seorang baik-baikkah? Ataukah
jangan-jangan seorang manusia iblis yang lebih jahat dari pada sekumpulan manusia
sesat tadi!
“Kong-kong
(Kakek), engkau siapakah?” tanya Siauw Bwee, agak sesak napasnya karena gerakan
yang amat cepat meluncur ke depan seperti terbang itu membuat orang sukar
bernapas.
Akan tetapi
kakek itu tidak menjawab, seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ini. Masih
melangkah satu-satu dan wajahnya tegak memandang ke depan, kedua tangan
menggandeng tangan Siauw Bwee dan Maya. Kedua orang anak perempuan itu
menengadah, menanti jawaban yang tak kunjung datang.
Maya menjadi
curiga dan tidak sabar. “Kakek yang aneh, kalau engkau tidak suka bicara dengan
kami, mengapa engkau membawa kami lari dari mereka?”
Kembali
kakek itu tidak menjawab sama sekali.
“Enci Maya,
jangan-jangan dia tuli!” Siauw Bwee berkata, tak lama kemudian setelah
dinanti-nanti tetap tidak ada jawaban dari kakek tua renta itu.
“Hemm, kalau
hanya tuli masih untung! Jangan-jangan dia ini malah lebih jahat dari pada
Bengcu dan kawan-kawannya tadi. Celaka, kita terjatuh ke tangan manusia iblis!”
kata Maya, suaranya mulai ketus karena marah.
“Anak-anak,
kalian menghadapi urusan besar, harap jangan lengah dan bergantunglah kepada
tanganku. Kalau kalian ingin tahu, orang-orang menyebut aku orang tua Bu Kek
Siansu.”
“Ohhh...!”
Siauw Bwee melongo.
“Ahhh...!”
Maya juga berseru dengan mata terbelalak!
Kedua orang
anak perempuan ini sudah mendengar penuturan orang tua masing-masing akan
seorang manusia dewa yang kesaktiannya luar biasa bernama Bu Kek Siansu yang
muncul dan lenyap tanpa ada yang tahu bagaimana caranya. Bahkan ilmu-ilmu silat
keluarga Suling Emas, yaitu sebagian kecil yang pernah mereka pelajari,
bersumber dari pada pemberian manusia dewa ini. Tak terasa lagi hati mereka
menjadi besar, akan tetapi juga dengan hormat dan takut.
Mereka
menaati permintaan kakek itu, mencurahkan perhatian ke depan dan tidak
bertanya-tanya lagi! Bahkan Maya yang biasanya liar ini kini menjadi jinak!
Mereka menyerahkan nasib mereka sepenuhnya kepada kakek itu dan ketika kakek
itu mempercepat langkahnya sehingga mereka merasa pening, dua orang anak
perempuan ini lalu memejamkan mata.....
*************
DENGAN ILMU
kepandaian yang tinggi, Han Ki berhasil menyelinap ke dalam taman bunga di
istana, melompati pagar tembok yang tinggi setelah memancing perhatian para
peronda dengan melemparkan batu ke sebelah barat. Ketika perhatian para peronda
itu terpecah, kesempatan itu dipergunakan Han Ki melompati pagar tembok dan
menyelinap ke bawah pohon-pohon menuju ke taman bunga. Jantungnya berdebar
keras dan ia tahu bahwa dia melakukan hal yang amat berbahaya dan gawat.
Puteri Sung
Hong Kwi, kekasihnya, kini telah diputuskan menjadi jodoh orang lain. Bahkan di
halaman tamu istana, Kaisar sendiri sedang menjamu utusan-utusan Raja Yucen calon
suami Hong Kwi. Akan tetapi dengan nekat dan berani mati dia menyelundup ke
dalam taman untuk menemui kekasihnya itu seperti biasa dahulu ia lakukan. Hal
ini adalah karena dorongan ucapan Maya yang membesarkan semangat.
Hebat bukan
main bocah itu, pikir Han Ki sambil tersenyum. Besar hatinya. Dia harus bertemu
dengan Hong Kwi. Benar kata Maya, biar pun dia itu masih belum dewasa. Kalau
memang Hong Kwi mencintainya, mengapa mereka tidak melarikan diri saja berdua?
Urusan perjodohan adalah selama hidup, bagaimana ia dapat dipaksa?
Jantungnya
berdebar makin tegang ketika dari tempat sembunyinya di balik sebatang pohon
besar dia melihat kekasihnya yang mengenakan pakaian indah sekali, pakaian baru
calon mempelai, dari sutera berwarna-warni, dengan hiasan rambut terbuat dari
permata terhias mutiara yang membuat kekasihnya nampak makin cantik
gilang-gemilang sehingga mendatangkan keharuan di hati Han Ki.
Puteri Sung
Hong Kwi sedang duduk di atas bangku marmer di dekat kolam ikan yang penuh
dengan bunga teratai putih. Ikan-ikan emas berenang ke sana ke mari,
berpasang-pasangan. Melihat ini, teringatlah Hong Kwi akan
pertemuan-pertemuannya yang penuh kasih sayang, penuh kemesraan dengan pemuda
idamannya, Kam Han Ki!
Dia
mendengar betapa kekasihnya itu melakukan tugas keluar, tugas yang amat
berbahaya. Kekasihnya belum juga pulang dan tahu-tahu ia akan diberikan kepada
Raja Yucen yang belum pernah dilihatnya. Teringat akan ini, dan melihat betapa
ikan-ikan emas itu berenang berpasangan, kadang-kadang bercumbu dan
berkasih-kasihan, tak tertahan pula kesedihannya dan Puteri Sung Hong Kwi
menutup mukanya dengan ujung lengan bajunya yang panjang, menangis
tersedu-sedu!
“Han
Ki-koko...!” Gadis bangsawan itu menjerit lirih, lirih sekali tertutup isaknya,
namun masih dapat ditangkap oleh telinga Han Ki dan tak terasa lagi dua butir
air mata terloncat ke atas pipi pemuda itu.
Seorang
pelayan wanita yang Han Ki kenal sebagal satu-satunya pelayan yang paling
dikasihi dan setia kepada nona majikannya berlutut dan mengelus-elus pundak
nona majikan itu sambil ikut menangis.
Han Ki tak
dapat menahan keharuan dan kerinduan hatinya lebih lama lagi menyaksikan
kekasihnya menangis sedemikian sedihnya. Ia meloncat ke luar dan berlutut di
depan kaki Sung Hong Kwi. “Dewi pujaan hatiku... kekasihku... Hong Kwi...!”
Pelayan itu
cepat bangkit berdiri dan pergi dari tempat itu, kedua pipinya masih basah air
mata dan dadanya masih terisak-isak. Hong Kwi mengangkat mukanya perlahan.
Ketika ia memandang wajah Han Ki yang berada dekat di depannya, matanya yang
basah terbelalak, ia takut kalau-kalau pertemuan ini hanya terjadi dalam alam
mimpi. Kemudian ia menjerit lirih dan menubruk, merangkul leher pemuda itu.
“Koko... ah,
Koko.... Aku... aku telah....”
Han Ki
mengangkat tubuh kekasihnya dan memangkunya. Sambil duduk di atas bangku Hong
Kwi menyandarkan pipinya di dada Han Ki sambil menangis tersedu-sedu. Han Ki
membelai rambutnya, dahinya, kemudian menunduk dan menciumi wajah kekasihnya,
menghisap air mata yang mengalir deras sambil berbisik.
“Aku tahu,
Dewiku. Aku tahu kesemuanya yang telah menimpa dirimu. Karena itulah aku datang
mengunjungimu malam ini....”
“Aduh,
Koko... bagaimana dengan nasibku...? Bagaimana cinta kasih kita? Kita sudah
saling mencinta, saling bersumpah sehidup semati di bawah sinar bulan purnama!
Bagaimana...?” Ia tersedu kembali.
“Jangan
berduka, Hong Kwi. Aku datang untuk mengajakmu pergi. Mari kita pergi dari sini
sekarang juga!”
“Aihhh...!”
Puteri bangsawan itu terkejut sekali, tersentak duduk dan memandang wajah
kekasihnya penuh selidik, “Kau maksudkan... minggat?”
“Mengapa
tidak? Bukankah kita saling mencinta?” Han Ki teringat akan ucapan Maya,
seolah-olah bergema suara anak perempuan itu di telinganya di saat itu. “Kita
pergi bersama, takkan saling berpisah lagi selamanya. Kita pergi jauh dari sini
dan aku akan melindungimu sebagai suami yang mencintamu dengan seluruh jiwa
ragaku. Marilah, Hong Kwi...!”
“Tidak!
Tidak bisa begitu, Koko... Aku lebih baik mati. Lebih baik kau bunuh saja aku
sekarang ini. Aahhh, untuk apa aku hidup lebih lama lagi...? Koko, kau bunuhlah
aku...!”
Han Ki
memeluk kekasihnya dan dia menjadi bingung. Ia dapat memaklumi isi hati
kekasihnya. Kekasihnya adalah seorang puteri Kaisar, tentu saja tidak bisa lari
minggat begitu saja karena hal ini selain akan menyeret namanya ke dalam lumpur
hina, juga akan mencemarkan nama Kaisar dan karenanya membikin malu kerajaan!
“Hong Kwi,
aku tidak melihat jalan lain kecuali membawamu lari dari sini menjauhi segala
kesusahan ini. Apakah engkau melihat jalan lain yang lebih baik, Hong Kwi
kekasihku?”
“Ada jalan
yang lebih baik, Koko!” tiba-tiba gadis bangsawan itu kelihatan bersemangat.
Biar pun kedua pipinya masih basah, namun sepasang pipi itu sekarang menjadi
kemerahan, merah jambon berbeda sekali dengan bibirnya yang merah segar, dan
matanya berseri-seri aneh.
“Koko, aku
telah bersumpah hanya mencinta kau seorang, mencinta dengan seluruh jiwa
ragaku. Jiwa dan hatiku selamanya adalah kepunyaanmu, tidak dapat dirampas oleh
siapa pun juga. Akan tetapi tubuh ini... ah, bagaimana aku dapat membiarkan
tubuhku dimiliki orang lain? Engkaulah yang berhak memiliki, Koko! Aku
menyerahkan tubuhku kepadamu, ahhh... kalau tak terhimpit seperti ini, sampai
mati pun aku tidak akan dapat bicara seperti ini. Koko... ambillah tubuhku...
barulah aku akan dapat menahan hatiku kalau tubuhku dimiliki orang lain secara
paksa!”
Han Ki
meloncat turun dari bangku dan melangkah mundur dua tindak. Mukanya pucat
sekali dan bulu tengkuknya berdiri! Sampai lama dia tidak dapat berkata apa-apa
dan hanya memandang wajah gadis yang dicintanya itu.
“Bagaimana,
Koko...? Apakah... apakah cintamu tidak cukup besar untuk memenuhi permintaan
terakhirku ini?” Hong Kwi juga bangkit berdiri dan menghampiri Han Ki,
merangkul pinggangnya sehingga tubuh mereka merapat.
“Tidak, Hong
Kwi! Tidak mungkin itu! Aku... ah..., janganlah mengajak aku menjadi seorang
pria yang keji dan kotor! Lebih baik aku mati dari pada mengotori dirimu yang
murni! Tidak, betapa pun besar hasrat hatiku, betapa darahku telah mendidih
bergolak pada saat ini dengan kerinduan dan kemesraan sepenuhnya, betapa nafsu
birahiku terhadapmu sudah hampir menggelapkan mataku, namun... aku... aku tidak
akan melakukan hal itu, Hong Kwi!”
“Kalau
begitu, bagaimana baiknya... Koko? Ahhh, engkau membuat aku makin putus asa dan
menderita...” Gadis bangsawan itu terisak-isak lagi sambil berpelukan dengan
Han Ki.
Han Ki
mengelus-elus rambut yang halus hitam dan harum itu. “Kekasihku, pujaan hatiku,
nasib kita boleh buruk, hati kita boleh tersiksa, namun semua itu tidak boleh
menggelapkan kesadaran kita. Kalau engkau suka pergi denganku, biar pun hal ini
merupakan pelanggaran besar, namun kita akan dapat hidup bersama menanggung
semua akibat bersama pula, maka aku mengajakmu minggat. Ada pun kalau
menurutkan permintaanmu tadi, aku menjadi seorang lakl-laki hina dina, setelah
melakukan pelanggaran susila, menikmati pelanggaran, mencemarkan dan menodaimu,
lalu pergi begitu saja, membiarkan engkau yang akan menanggung semua akibatnya!
Betapa hina dan rendahnya apa lagi terhadap engkau satu-satunya wanita yang
kucinta didunia ini!”
“Aduhhh,
Koko... bagaimana baiknya...?”
“Hong Kwi
kelahiran, perjodohan dan kematian merupakan tiga hal yang tidak dapat diatur
oleh manusia karena sudah ada garisnya sendiri. Keadaan sekarang ini
membuktikan bahwa Thian tidak menghendaki kita menjadi suami isteri, atau
jelasnya, kita tidak saling berjodoh, betapa pun murni cinta kasih yang
terjalin antara kita. Memang sudah nasib kita... ah, Hong Kwi...” Dua orang
yang dimabok cinta dan kedukaan itu, seperti tergetar oleh sesuatu, tertarik
oleh tenaga gaib, saling mencium dengan perasaan penuh duka, haru dan cinta
tercampur menjadi satu.
“Aduhhh...
Sri Baginda datang...” Bisikan yang keluar dari mulut pelayan itu membuat
sepasang orang muda yang sedang berpelukan dan berciuman itu terkejut sekali
dan saling melepaskan pelukannya.
“Koko...
cepat... bersembunyi...” Hong Kwi berseru lirih.
“Di mana...?
Lebih baik aku pergi saja...”
“Jangan! Kau
bisa ketahuan dan... dan kita celaka! Lekas... kolam itu, kau masuklah dan
bersembunyi di bawah daun teratai...”
Karena kini
sudah tampak rombongan pengawal Kaisar datang memasuki taman membawa lampu, Han
Ki tidak melihat jalan lain. Ia meloncat dan air muncrat ke atas ketika pemuda
itu menyelam ke bawah permukaan air yang dalamnya hanya sampai ke pinggang,
bersembunyi di bawah daun-daun teratai yang lebar. Dia menengadahkan mukanya,
mengeluarkan hidungnya saja di bawah daun teratai agar dapat bernapas,
sedangkan matanya kadang-kadang ia buka untuk melihat melalui air yang bening.
“Hong Kwi,
mengapa malam-malam begini engkau masih berada di taman... eh, kau... habis
menangis?” Kaisar menegur puterinya dengan suara kereng dan marah.
Memang Kaisar
tahu bahwa puterinya ini tidak suka dijodohkan dengan Raja Yucen, maka hati
Kaisar menjadi mengkal dan penasaran. Apa lagi ketika ia tadi mendengar bisikan
Jenderal Suma Kiat yang mendengar dari muridnya, Siangkoan Lee, bahwa mulai
saat itu keadaan Sang Puteri harus dijaga karena ada kemungkinan masuknya
seorang ‘pengganggu kesusilaan’!
Sung Hong
Kwi yang berlutut tidak menjawab, hanya menundukkan mukanya.
“Apakah ada
orang luar masuk ke sini malam ini?” kembali Sri Baginda bertanya dengan suara
kereng.
Hong Kwi
menggeleng kepala tanpa menjawab.
“Heh,
pelayan! Apakah ada orang datang ke sini tadi?” Kaisar bertanya kepada pelayan
yang berlutut di belakang nonanya.
“Ham...
hamba ti... tidak melihatnya...” Pelayan itu menjawab lirih sambil membentur-benturkan
dahi di atas tanah di depannya.
“Periksa
semua tempat di sekitar sini!” Kaisar memerintahkan para pengawalnya yang
segera berpencar ke segala sudut, mencari-cari dan menerangi tempat gelap
dengan lampu-lampu yang mereka bawa. Jantung Sung Hong Kwi dan pelayan itu
hampir copot saking tegang dan takutnya.
“Mulai saat
ini, engkau harus selalu berada dalam kamar, tidak boleh sekali-kali keluar.
Mengerti?” Kaisar membentak dan kembali Hong Kwi mengangguk.
Para
pengawal selesai menggeledah dan melapor bahwa tidak ada orang luar di dalam
taman itu. Dengan uring-uringan karena sikap puterinya, Kaisar lalu mendengus
dan meninggalkan taman itu diiringkan para pengawalnya.
Setelah
rombongan Kaisar lenyap memasuki pintu belakang, barulah Hong Kwi dan pelayannya
berani bangkit berdiri. Han Ki yang juga melihat semua kejadian itu dari dalam
air, berdiri dengan muka, rambut dan seluruh pakaian basah kuyup! Ia bergidik
ketika merasa sesuatu menggelitik lehernya. Ditangkapnya ikan emas yang
berenang di leher bajunya dan dilepaskannya kembali ke air.
“Hong
Kwi...!” Ia berkata lalu meloncat ke luar.
“Koko...
ahhh... hampir saja... Aku harus segera masuk. Han Ki Koko, selamat berpisah,
selamat tinggal... sampai jumpa pula di akherat kelak...,” puteri itu terisak
dan lari pergi diikuti pelayannya yang juga menangis, meninggalkan Han Ki yang
berdiri melongo di tepi kolam dalam keadaan basah kuyup dan tubuh seolah-olah
kehilangan semangat.
“Hong
Kwi...,” ia mengeluh, kemudian membalikkan tubuh dan... kiranya dia terkurung
sepasukan pengawal istana yang dipimpin oleh... Jenderal Suma Kiat sendiri
bersama muridnya Siangkoan Lee dan masih banyak panglima tinggi istana!
“Kam Han Ki!
Engkau manusia rendah budi, engkau membikin malu keluargamu saja! Membikin malu
aku pula karena biar pun jauh engkau terhitung keluargaku juga. Cihh! Sungguh
menyebalkan. Berlututlah engkau menyerah agar aku tidak perlu menggunakan
kekerasan!”
Han Ki
pernah jumpa dengan Suma Kiat yang masih terhitung kakak misannya sendiri,
karena ibu Suma Kiat ini adalah adik kandung mendiang ayahnya. Akan tetapi
dalam perjumpaan yang hanya satu kali itu, Suma Kiat bersikap dingin kepadanya,
maka kini ia menjawab.
“Goanswe,
perbuatanku tidak ada sangkut-pautnya dengan siapa pun juga. Ini adalah urusan
pribadi, biarlah semua tanggung jawab kupikul sendiri, dan aku tidak akan
menyeret nama keluarga, apa lagi namamu!”
Wajah Suma
Kiat menjadi merah saking marahnya. Dia gentar menghadapi Menteri Kam Liong
karena maklum akan pengaruh kekuasaan dan kelihaian menteri itu. Akan tetapi
dia tidak takut menghadapi Han Ki. Biar pun ia tahu bahwa Han Ki yang lenyap
selama belasan tahun itu kini kabarnya telah memiliki kepandaian tinggi, akan
tetapi dia belum membuktikannya sendiri dan pula pemuda yang hanya dijadikan
pengawal Menteri Kam itu kini melakukan kesalahan yang amat berat, yaitu berani
menyelundup ke dalam taman istana dan melakukan hubungan gelap dengan puteri
Kaisar, calon isteri Raja Yucen. Pula, saat ini dia sudah mengirim laporan
kepada Kaisar bahwa pemuda itu benar-benar berada di taman sehingga menangkap
atau membunuhnya bukan merupakan kesalahan lagi.
“Kam Han Ki
manusia berdosa! Setelah engkau melakukan pelanggaran memasuki taman seperti
maling, apakah kau tidak lekas menyerahkan diri dan hendak melawan petugas
negara?” Kembali Suma Kiat membentak sambil mencabut pedangnya. Melihat gerakan
jenderal ini, semua anak buah pasukan dan para panglima juga mencabut senjata
masing-masing.
Han Ki tidak
mau banyak bicara lagi karena ia maklum bahwa tidak ada pilihan lain bagi dia
yang sudah ‘tertangkap basah’ ini, yaitu menyerahkan diri atau berusaha untuk
melarikan diri. Tidak, dia tidak akan menyerahkan diri karena dia tidak merasa
bersalah! Dahulu pernah ia mendengar wejangan gurunya Bu Kek Siansu yang pada
saat itu bergema di dalam telinganya.
“Jika engkau
dengan pertimbangan hati nuranimu merasa bahwa engkau melakukan sesuatu yang
salah, engkau harus mengalah terhadap seorang yang lemah pun. Sebaliknya, jika
engkau yakin benar bahwa engkau tidak bersalah, tidak perlu takut
mempertahankan kebenaranmu menghadapi orang yang lebih kuat pun.”
Kini Han Ki
tidak merasa bersalah. Berasalah kepada siapa? Dia dan Hong Kwi sudah saling
mencinta dengan murni dan tulus. Kaisarlah yang salah karena hendak memberangus
kemerdekaan hati puterinya sendiri! Tidak, dia tidak bersalah, karena itu dia
tidak akan menyerahkan diri. Dia akan melarikan diri dan tidak akan mencampuri
urusan kerajaan lagi, dia tidak akan dekat dengan istana! Berpikir demikian,
Han Ki lalu membalikkan tubuh dan meloncat ke arah pagar tembok taman itu.
Akan tetapi,
ia berseru keras dan cepat berjungkir-balik dan meloncat kembali ke depan
Suma-goanswe karena di dekat pagar tembok telah menghadang banyak pengawal dan
tadi ketika ia meloncat hendak lari, mereka telah melepas anak panah ke arah
tubuhnya.
”Ha-ha-ha!
Kam Han Ki, engkau maling cilik sudah terkurung. Lebih baik menyerah untuk
kuseret ke depan kaki Hong-siang agar menerima hukuman!” Suma Kiat tertawa
mengejek.
Hati pemuda
itu menjadi panas, akan tetapi dia tidak melupakan kakak sepupunya, Menteri
Kam. Kalau dia melakukan perlawanan, mengamuk sehingga membunuh para pengawal,
panglima atau Jenderal Suma, tentu Menteri Kam Liong akan celaka karena
bukankah dia menjadi pengawal Menteri Kam? Dia akan mencelakakan orang yang
dihormatinya itu kalau dia mengamuk, maka dia mengambil keputusan untuk mencari
jalan ke luar tanpa membunuh orang.
“Sampai mati
pun aku tidak akan menyerah kepadamu, Suma-goanswe!” katanya gagah sambil
mencabut pedangnya juga.
“Apa? Kau
hendak melawan? Serbu!” Suma Kiat berseru dan mendahului kawan-kawannya
menerjang maju dengan pedangnya berkelebat melengkung ke arah pusar Han Ki,
sedangkan tangan kirinya sudah mengirim totokan maut yang amat berbahaya ke
arah pangkal leher.
Ilmu
kepandaian Suma Kiat amatlah dahsyat dan ganas. Jenderal ini mewarisi ilmu-ilmu
yang tinggi dan aneh dari ibu kandungnya. Ibunya adalah Kam Sian Eng, adik tiri
Suling Emas yang pernah menjadi tokoh yang menggemparkan para datuk golongan
hitam karena selain sakti juga aneh dan setengah gila, membuat sepak terjangnya
aneh-aneh mengerikan dan ilmu silatnya juga dahsyat menyeramkan.
Melihat
serangan Jenderal itu diam-diam Han Ki terkejut. Sinar pedang yang menyerang ke
arah pusarnya itu membuat lingkaran melengkung yang sukar diduga dari mana akan
menyerang sedangkan totokan jari tangan kiri itu dikenalnya sebagai totokan
yang bersumber dari ilmu menotok jalan darah dari Siauw-lim-pai yang amat lihai
dan berbahaya, yaitu Im-yang Tiam-hoat!
“Cringgg...”
Dukkk!”
Han Ki yang
sudah mendengar dari Menteri Kam akan kelihaian Jenderal yang masih keluarga
sendiri ini, sengaja menangkis pedang lawan dan menangkis pula totokannya
sehingga dua pedang dan dua lengan bertemu susul-menyusul. Suma Kiat terkejut
karena pedang dan lengan kirinya gemetar dan tubuhnya tertolak ke belakang,
tanda bahwa pemuda ini memiliki sinkang yang amat kuat. Namun ia berseru keras
dan menyerang lagi dibantu para panglima dan pengawal sehingga di lain saat Han
Ki telah terkurung rapat dan dihujani senjata dengan gencar sekali.
Pemuda ini
terpaksa memutar pedangnya dengan cepat, membentuk lingkaran sinar pedang yang
menyelimuti seluruh tubuhnya dari atas sampai bawah sehingga semua senjata para
pengeroyok terpukul mundur oleh sinar pedangnya yang berkilauan. Namun pemuda
ini harus mengerahkan seluruh tenaganya karena sekali saja pedangnya terpukul
miring, tentu akan terdapat lowongan dan tubuhnya akan menjadi sasaran senjata
para pengeroyok yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu.
Tiba-tiba
Han Ki mengeluarkan lengkingan dahsyat yang menggetarkan jantung para
pengeroyoknya dan membuat sebagian dari mereka ragu-ragu dan menunda gerakan
senjata. Kesempatan ini dipergunakan oleh Han Ki untuk memutar pedangnya
membalas dengan ancaman serangan ke arah kepala para pengeroyoknya. Demikian
ganas dan cepat sambaran pedangnya itu sehingga para pengeroyoknya menjadi
terkejut, cepat mengelak dengan merendahkan tubuh atau meloncat ke belakang.
“Kesempatan
yang amat baik,” pikir Han Ki. Sekali ia menggenjot tubuhnya sambil menangkis
serangan susulan pedang Suma Kiat dan golok di tangan Siangkoan Lee, ia telah
meloncat jauh ke kiri, ke atas wuwungan bangunan kecil di tengah taman di mana
ia sering kali mengadakan pertemuan rahasia dengan Sung Hong Kwi.
“Penjahat
cabul hendak lari ke mana?” terdengar bentakan keras dan sebatang tombak
menusuknya dari kanan, sebatang pedang dari depan sedangkan dari kiri menyambar
sehelai cambuk besi.
“Cringg...
tranggg... wuuuttt!”
Han Ki
terkejut bukan main dan untung dia masih dapat menangkis tombak dan pedang
serta mengelak dari sambaran pecut besi. Kiranya di tempat itu telah menjaga
tiga orang panglima yang kepandaiannya cukup tinggi, terbukti dari
serangan-serangan tadi yang amat kuat dan cepat. Ia melempar diri ke bawah,
berjungkir-balik dan langsung meloncat ke bawah, makin ke tengah mendekati
istana karena untuk lari ke pagar tembok tidak mungkin lagi, terhalang oleh
pengejarnya.
“Siuuttttt...!”
Kembali Han
Ki harus meloncat ke atas menghindarkan diri dari sambaran toya yang amat kuat,
yang tadi datang menyambutnya dari bawah. Ia mencelat mundur sambil memandang.
Kiranya di situ telah berjaga seorang panglima pengawal yang bertubuh tinggi
besar dan memegang sebatang toya kuningan yang berat. Kini panglima itu terus
menerjangnya dan toyanya yang diputar menimbulkan angin bersuitan. Han Ki
mengelak ke kanan kiri dan mengerahkan tenaga, lalu membabat dari samping.
“Trangggg...!”
bunga api berhamburan dan panglima tinggi besar itu berseru kaget.
Tubuhnya
terguling, lalu ia bergulingan dan baru meloncat bangun setelah agak jauh,
memandang ujung toyanya yang buntung oleh sambaran pedang di tangan Han Ki
tadi! Sementara itu Suma Kiat, Siangkoan Lee dan para panglima yang tadi
mengeroyoknya telah mengejar sampai di situ dan kembali Han Ki dikurung dan
dikeroyok. Makin lama makin bertambah banyak jumlah pengeroyok karena tanda
bahaya telah dipukul sehingga panglima dan pengawal yang berada di istana
muncul semua!
Betapa pun
tinggi ilmu kepandaian Han Ki, namun menghadapi pengeroyokan begitu banyak
orang lihai, sedangkan dia menjaga agar jangan sampai membunuh lawan, tentu
saja Han Ki menjadi kewalahan. Dia memang menerima gemblengan seorang manusia
sakti seperti Bu Kek Siansu, menerima pelajaran ilmu silat yang amat tinggi,
bahkan telah mempelajari inti sari ilmu silat sehingga segala macam ilmu silat
yang dimainkan lawan dapat ia kenal sumber dan gerakan dasarnya. Akan tetapi
selama belasan tahun ini waktunya habis untuk berlatih dan belajar. Dia belum mempunyai
banyak pengalaman dalam pertempuran, apa lagi dikeroyok begini banyak panglima
dan pengawal yang pandai!
Namun harus
dipuji keuletan pemuda ini. Biar pun tubuhnya dihujani serangan senjata dari
segenap penjuru, ia masih dapat mempertahankan diri, memutar pedang menangkis
dengan gerakan lincah ke sana ke mari, bahkan masih sempat menggunakan tangan
kirinya kadang-kadang untuk menyampok senjata lawan dan kadang-kadang
menggunakannya dengan pengerahan sinkang untuk mendorong pengeroyok sampai terjengkang
atau terhuyung mundur. Entah berapa belas orang pengeroyok yang ia robohkan
dengan tendangan kedua kakinya, merobohkan mereka tanpa membunuh, hanya
mematahkan tulang kaki dan mengakibatkan luka ringan saja.
Jenderal
Suma Kiat yang memimpin pengeroyokan ini berulang-ulang menyumpah-nyumpah. Dia
dibantu oleh pasukan pengawal, bahkan para panglima yang menjadi
rekan-rekannya, yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi, dengan jumlah
seluruhnya tidak kurang dari lima puluh orang, masih belum mampu membekuk pemuda
itu setelah mengeroyok selama tiga empat jam! Bahkan ada belasan orang anak
buah pengawal yang roboh tertendang atau terdorong oleh pemuda itu! Benar-benar
amat memalukan!
“Panggil
semua panglima yang berada di luar istana! Datangkan bala bantuan pengawal luar
istana!” bentak Suma Kiat kepada anak buahnya yang cepat melaksanakan perintah
itu.
Han Ki masih
memutar pedangnya dan makin lama makin mendekati istana. Dia tahu bahwa tidak
mungkin dia dapat bertahan terus. Tubuhnya basah kuyup, bukan oleh air kolam
ikan tadi yang sudah menjadi kering kembali, melainkan dari keringatnya
sendiri. Tubuhnya mulai terasa lelah dan lemas, juga amat panas seolah-olah
dari dalam tubuhnya timbul api yang membakarnya. Tubuhnya sudah menerima banyak
pukulan dan bacokan senjata lawan dan biar pun sinkang-nya telah melindungi
tubuh sehingga luka-luka itu tidak berat, namun membuat kaki tangannya terasa
linu dan berat.
“Habis aku
sekali ini...,” keluhnya diam-diam, namun ia tidak putus asa dan masih terus
melawan sampai malam terganti pagi!
Telapak
tangannya yang memegang gagang pedang sampai kehilangan rasa, seolah-olah telah
menjadi satu dengan gagang pedangnya. Tak mungkin aku melarikan diri melalui
pagar tembok, pikirnya. Pagar tembok itu tentu telah terkepung ketat. Jalan
satu-satunya hanyalah sekalian masuk ke dalam istana!
Kalau berada
di taman terbuka ini, dia dapat dikeroyok banyak orang, akan tetapi kalau dia
main kucing-kucingan di dalam istana yang banyak kamar-kamarnya dan tidak
terbuka seperti di taman, tentu dia dapat membatasi jumlah pengeroyok. Siapa
tahu dia dapat menyelinap dan melarikan diri, atau setidaknya bersembunyi di
dalam istana yang amat besar itu. Bukankah dahulu pernah dikabarkan ada orang
sakti mengacau istana hanya untuk ‘menyikat’ hidangan Kaisar dan orang itu
dapat bersembunyi di dapur sampai berpekan-pekan?
Dia harus
dapat menyelinap ke istana sebelum keadaan cuaca menjadi terang, pikirnya.
Dengan penuh semangat Han Ki memutar pedang, berloncatan ke sana sini seperti
orang nekat. Semenjak dikeroyok tadi, Han Ki selalu melindungi dirinya, dan
hanya merobohkan pengeroyok yang tidak terlalu kuat dengan tendangan atau
dorongan kaki kiri, dan hal ini agaknya dimengerti oleh Suma Kiat dan
kawan-kawannya.
Akan tetapi
kini pemuda itu menggerakkan pedangnya sedemikian hebat seolah-olah hendak
mengamuk dan membunuh, maka para pengepungnya menjadi kaget dan jeri, otomatis
meloncat mundur. Han Ki membuat gerakan ke bawah cepat sekali, tangannya
menyambar segenggam pasir dan sambil berseru keras ia menyambitkan pasir itu ke
depan, ke arah para pengepungnya.
“Awas
senjata rahasia!” bentaknya.
Suma Kiat
dan para panglima yang berilmu tinggi dapat menyampok pasir-pasir itu runtuh
tanpa berkedip. Akan tetapi pengeroyok-pengeroyok yang kurang pandai menjadi
kaget dan cepat membuang diri ke bawah. Yang kurang cepat segera memekik
kesakitan karena biar pun hanya butiran-butiran pasir, jika dapat menembus
kulit mendatangkan rasa nyeri dan perih sekali!
Ketika semua
orang memandang ke depan, pemuda yang luar biasa itu telah lenyap karena Han Ki
telah meloncat cepat sekali dan menerobos masuk melalui pintu yang menuju ke
kompleks bangunan istana dengan merobohkan dua orang penjaga pintu itu sambil
berlari. Penjaga penjaga itu terpelantlng ke kanan kiri sedangkan tombak
panjang mereka patah-patah!
“Kejar!
Tangkap dia, mati atau hidup!” Suma Kiat membentak para pengawal yang sejenak
melongo penuh rasa kaget dan gentar menyaksikan sepak terjang Han Ki yang
benar-benar amat hebat itu. Dikeroyok begitu banyak orang pandai sampai
setengah malam, masih belum dapat ditangkap, bahkan kini berani memasuki
istana.
Tentu saja
semua orang cepat menyerbu, berlomba memasuki istana. Ada yang menerobos dari
pintu-pintu belakang, ada pula yang meloncat naik ke atas wuwungan. Mereka
harus cepat-cepat menangkap pemuda itu karena setelah kini pemuda itu
menyelinap masuk ke istana, keadaan Kaisar dan keluarganya dapat diancam
bahaya! Bala bantuan dari luar istana sudah datang dan kini puluhan orang
pengawal dipimpin sendiri oleh panglima-panglima kerajaan mulai mengadakan
pengejaran dan mencari Han Ki yang lenyap! Ke manakah perginya Han Ki?
Han Ki yang
berhasil menerobos memasuki istana terus berlari melalui lorong-lorong di
antara kamar-kamar dan bangunan-bangunan kecil, ruangan-ruangan yang luas. Dia
tidak mengenal jalan, hanya lari ke arah yang sunyi tidak ada orangnya. Napasnya
terengah-engah, mukanya berkilat penuh keringat, seluruh tubuhnya
berdanyut-danyut saking lelahnya. Setelah tidak bertempur lagi, terasa betapa
perihnya luka-luka bekas gebukan-gebukan senjata lawan.
Tiba-tiba ia
berhenti di luar sebuah kamar besar dan menyelinap di balik jendela. Ia
mendengar suara wanita ber-liamkeng (berdoa), membaca kitab suci di dalam kamar
itu. Ketika ia mengintai, tampak olehnya seorang nenek tua di kamar itu, duduk
membaca kitab dihadapan seorang pelayan wanita. Han Ki menjadi tegang hatinya.
Ia tahu bahwa nenek itu adalah ibu suri, Ibu dari Kaisar, seorang nenek yang
sudah keriputan dan tua, yang seolah-olah kini telah mengasingkan diri
bersembunyi di dalam kamarnya siang malam dan kerjanya hanya membaca
kitab-kitab suci.
Selagi Han
Ki hendak melanjutkan larinya, tiba-tiba ia mendengar suara para pengawal yang
mengejarnya. Ada serombongan pengawal yang datang dari kanan. Han Ki sudah
menggerakkan kaki untuk lari ke kiri, akan tetapi dari arah kiri terdengar pula
suara pengawal-pengawal yang menuju ke tempat itu!
“Kita harus
mengepung seluruh jalan dalam istana, memeriksa seluruh kamar. Tak mungkin dia
bisa menghilang seperti setan!” Suara itu adalah suara Suma Kiat yang sudah
datang mendekat!
Celaka,
pikir Han Ki. Dia sudah amat lelah, tidak mungkin kuat melawan terus kalau
tempat sembunyinya diketahui mereka. Dan kini, jalan dari kanan kiri sudah
tertutup. Untuk meloncat ke atas menerobos langit-langit, ia tahu merupakan hal
berbahaya sekali, karena para pengawal tentu tidak melupakan penjagaan di atas
sehingga begitu dia muncul tentu akan disambut serangan yang berbahaya sekali.
Tiba-tiba ia
mendapat akal dan didorongnya daun jendela, kemudian ia meloncat ke dalam,
menutup daun jendela dan menggunakan sapu tangan yang tadi dipakai mengusap
peluh menutupi bagian bawah mukanya agar Ibu suri tidak mengenal dia!
Gerakannya begitu ringan sehingga Ibu suri yang sedang asyik membaca kitab itu
tidak mendengarnya. Akan tetapi pelayan wanita yang berlutut di depannya tentu
saja dapat melihat Han Ki yang muncul dari jendela di belakang Ibu suri, maka
pelayan itu bangkit berdiri dengan mata terbelalak.
“Jangan
menjerit!” Han Ki berkata, lalu menodongkan pedangnya di belakang Ibu suri.
“Kalau menjerit, pedangku akan merampas nyawa!”
Pucatlah
muka pelayan itu, kedua kakinya menggigil, tubuhnya gemetar dan tak terasa lagi
ia menjatuhkan diri berlutut. Ibu suri yang sedang membaca kitab itu
menghentikan bacaannya lalu menoleh. Ketika melihat seorang pemuda bertopeng
sapu tangan memegang sebatang pedang telanjang di belakangnya, nenek ini tidak
menjadi kaget atau takut, hanya terheran lalu bertanya lirih sambil bangkit
berdiri. “Engkau siapakah dan apa artinya perbuatanmu ini?”
Hati Han Ki
sudah lemas menyaksikan sikap tenang nenek itu. Kalau nenek itu menjadi panik
dan mencoba berteriak, tentu akan ditotoknya dan dipaksanya diam. Akan tetapi
nenek itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan menegurnya dengan suara
halus dan sikap tenang penuh wibawa dan keagungan. Tanpa dapat ditahan lagi,
Han Ki menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Hamba dikejar-kejar pengawal dan
mohon perlindungan...”
Sejenak
nenek itu menunduk, memandang wajah yang setengahnya tertutup sapu tangan itu.
“Hemm, apakah engkau yang diributkan semalam, engkau yang berani memasuki taman
istana dan mengadakan pertemuan dengan Hong Kwi?”
“Benar,
hambalah orang itu!”
“Siapa
namamu?”
“Hamba Kam
Han Ki...”
“She Kam?
Ada hubungan apa engkau dengan Kam Bu Song?”
“Paduka
maksudkan Suling Emas? Dia adalah Pek-hu (uwa) hamba...”
“Hemmm...!
Seorang pemuda gagah perkasa yang menghadapi bahaya sebagai akibat perbuatan
sendiri, mengapa menjadi begini lemah? Mengapa tidak menghadapi bahaya itu
sendiri, bahaya yang amat berharga kalau memang hatimu terdorong cinta kasih?
Mengapa membawa-bawa aku seorang tua untuk ikut terseret akibat perbuatanmu?
Kam Han Ki, benarkah sikapmu ini?”
Han Ki
terkejut bukan main. Mukanya seperti ditampar dan ia merasa malu sekali.
Memang, apakah tujuannya bersembunyi di kamar nenek ini? Paling-paling dia akan
menyeret nenek ini ke dalam kecemaran, seorang nenek yang begitu luhur budinya!
Tiba-tiba
pintu kamar itu diketuk dari luar. Han Ki terkejut, akan tetapi, nenek itu
sambil berdiri dan masih memegangi kitabnya, menegur halus, “Siapa di luar?”
“Hamba
Jenderal Suma dan pengawal hendak mencari seorang buronan. Harap Paduka suka
mengijinkan hamba memeriksa di dalam!” terdengar jawaban dari luar.
“Masuklah,
daun pintu tidak dikunci,” jawab Si Nenek dengan tenang.
Daun pintu
didorong terbuka dari luar dan Han Ki sudah bertindak cepat. Ia melompat bangun
dan mengancam dengan pedangnya di dekat leher nenek itu. Hal ini ia lakukan
sekali-kali bukan untuk mengancam Si Nenek, melainkan untuk menolong nenek itu
dari kecemaran. Kalau dia menodong dan seolah-olah memaksa nenek itu, berarti
bahwa Ibu Suri sama sekali tidak melindunginya, tidak menyembunyikannya!
Akan tetapi
maksudnya ini agaknya tidak dimengerti oleh Si Pelayan yang terbelalak
ketakutan dan menubruk kaki nyonya majikannya. Pada saat itu muncullah Jenderal
Suma Kiat bersama dua orang panglima pengawal. Mereka memandang tajam ke arah
Han Ki dan sejenak menjadi bingung melihat betapa Ibu Suri ditodong oleh Han Ki
yang memakai kedok sapu tangan menutupi separuh mukanya.
“Kam Han Ki,
apakah engkau sudah menjadi pengecut, mengancam seorang wanita yang tak
berdaya?” tegur Suma Kiat dengan suara marah sekali dan pedangnya sudah
tergetar di tangannya, demikian pula kedua orang panglima sudah mencabut
senjata dan di belakang mereka. Di luar pintu terdapat banyak pengawal,
berdesakan untuk melihat dan siap mengeroyok ketika mendengar bahwa orang
buronan itu bersembunyi di kamar Ibu Suri dan menodong nenek itu!
Han Ki tidak
menjawab dan kini nenek itu berkata, “Goanswe dan para Ciangkun, harap jangan
membikin ribut di dalam kamarku. Kalian boleh saja hendak menangkap orang ini,
akan tetapi jangan sekali-kali di dalam kamarku. Keluarlah dan lakukan apa saja
kalau orang ini sudah keluar kamar.” Suara nenek itu halus, akan tetapi
mengandung kepastian yang tidak boleh dibantah lagi.
Suma Kiat
dan dua orang panglima pengawal memberi hormat, dan setelah melempar pandang
mata marah sekali lagi ke arah Han Ki, mereka lalu keluar dari kamar itu.
“Orang muda yang
gagah, sekarang keluarlah dan hadapi segala akibat perbuatanmu dengan gagah
seperti pek-hu-mu Suling Emas. Bagi seorang gagah, pilihan hanya dua, mati atau
hidup, akan tetapi keduanya tiada bedanya asal bersandar kebenaran dan
kegagahan. Hidup sebagai seorang pendekar, mati sebagai seorang gagah, itulah
kemuliaan terbesar dalam kehidupan seorang jantan.”
“Terima
kasih dan hamba mohon maaf sebanyaknya!” kata Han Ki. Semangatnya timbul
kembali oleh nasihat nenek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah mencelat
ke luar menerobos jendela kamar itu.
Baru saja ia
turun di luar kamar, lima orang pengawal sudah menerjangnya dari kanan kiri.
Akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja lima orang pengawal ini roboh dan
mengalirlah darah pertama sebagai akibat gebrakan pedang Han Ki! Dia didesak
hebat, maka sekarang dia tidak berlaku sungkan lagi. Pedangnya dikerjakan, dan
biar pun tidak membunuh mereka, kini Han Ki merobohkan orang dengan niat agar
yang dirobohkan tak dapat mengeroyoknya lagi!
Ia meloncati
tubuh lima orang itu dan lari, akan tetapi setibanya di ruangan yang besar di
mana Suma Kiat dan para panglima telah menanti, dia dikurung dan kini dikeroyok
oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan belasan orang panglima pilihan yang
kesemuanya berkepandaian tinggi! Di antara para panglima itu ada yang mengenal
dia, bahkan ada yang menjadi rekan Panglima Khu Tek San. Mereka itu hanya
melaksanakan tugas, dan pada saat itu Han Ki tidak lagi dianggap sebagai rekan,
melainkan sebagai seorang buronan yang telah mengacaukan istana dan menghina
Kaisar, maka harus ditangkap atau dibunuh!
Han Ki
mengamuk dengan hebat. Pedangnya lenyap menjadi sinar yang bergulung-gulung
seperti seekor naga sakti bermain di angkasa, mengeluarkan suara berdesing dan
kadang-kadang bercuitan menyeramkan para pengeroyoknya. Akan tetapi sekali ini
para pengeroyoknya adalah orang-orang yang pandai, yang hanya kalah dua tiga
tingkat dibandingkan dengan dia, ditambah lagi keadaan tubuhnya yang penuh luka
dan lelah sekali, maka mulailah Han Ki terdesak hebat!
Setengah
malam suntuk ia telah bertanding dikeroyok banyak orang pandai. Kini di ruangan
terbatas ia dikeroyok oleh tujuh belas orang pandai, tentu saja Han Ki menjadi
repot sekali. Betapa pun juga, ucapan nenek di dalam kamar tadi telah menggugah
semangatnya.
“Aku tidak
bersalah! Aku datang menemui wanita yang kucinta! Apa dosaku? Kalian semua tahu
bahwa aku tidak melakukan kejahatan, dan aku sudah banyak mengalah. Kalau
kalian tidak mau mundur, terpaksa aku mengadu nyawa!”
“Pemberontak
keji, maling cabul tak tahu malu!” Suma Kiat membentak dan menerjang hebat.
“Rrrrtt...
cring-cring...!”
Han Ki
menangkis sekian banyaknya senjata dan tangan kirinya menggunakan pukulan ke
samping secara aneh dan tak terdaga-duga. Biar pun pukulan dengan tangan kiri
ini tidak mungkin dapat mengenai tubuh lawan, namun angin pukulan yang
mengandung sinkang kuat itu membuat dua orang pengeroyok terlempar ke belakang
dan terbanting pada dinding! Sejenak kedua orang pengeroyok itu menjadi pening
dan semua pengeroyok diam-diam merasa kagum, lalu mengeroyok lebih hati-hati.
Mereka semua maklum bahwa adik sepupu Menteri Kam ini hebat sekali
kepandaiannya.
Kembali Han
Ki terkena pukulan-pukulan, bahkan bajunya robek-robek termakan senjata tajam
para pengeroyoknya. Darahnya mulai mengalir dari kedua bahu, pundak dan kedua
pahanya. Darahnya sendiri membasahi tubuh, akan tetapi dalam seratus jurus
lamanya dia hanya terluka dan belum tertangkap. Sebaliknya ia telah merobohkan
empat orang pengeroyok dengan pedangnya sehingga mereka tidak mampu mengeroyok
lagi, dan melukai ringan tujuh orang lain! Di antara yang terluka ringan adalah
Siangkoan Lee, murid Suma Kiat yang dadanya tergores pedang sehingga kulit
dadanya robek berdarah!
Akan tetapi
kehilangan darah dan kelelahan membuat Han Ki merasa pening dan sering kali
terhuyung. Keadaannya sudah payah sekali dan tiba-tiba sebatang toya berhasil
mengemplang pergelangan tangan yang memegang pedang. Pukulan yang keras sekali
dan hanya berkat sinkang-nya saja maka tulang lengan itu tidak remuk, akan
tetapi pedangnya terlepas dari pegangan. Detik-detik lain merupakan hujan
pukulan yang diakhiri dengan totokan Suma Kiat membuat tubuh Han Ki roboh mandi
darah dan tak berkutik lagi, pingsan!
Suma Kiat
melarang para panglima itu membunuh Han Kt. Hal ini bukan sekali-kali karena
rasa sayang terhadap anggota keluarga, bahkan sebaliknya. Saking bencinya, Suma
Kiat tidak ingin melihat Han Ki dibunuh begitu saja. Ia ingin melihat pemuda
itu dijatuhi hukuman gantung atau penggal leher disaksikan orang banyak
sehingga puaslah hatinya. Kalau dibunuh sekarang dalam keadaan pingsan, terlalu
‘enak’ bagi Han Ki yang dibencinya!
Tubuh Han Ki
dibelenggu lalu diseret dan dilempar ke dalam kamar tahanan di belakang istana,
dijaga kuat oleh pengawal yang diatur oleh Suma Kiat sendiri. Selain tidak
ingin melihat Han Ki tewas secara enak, juga dia menahan pemuda itu dengan niat
lain, dengan siasat untuk memancing Menteri Kam melakukan pelanggaran sehingga
ia dapat pula mencelakakan Menteri Kam Liong yang amat dibencinya!
Dalam
keadaan pingsan dan terbelenggu kaki tangannya, Han Ki dilemparkan ke atas
pembaringan batu dalam kamar tahanan yang sempit, kemudian pintu beruji besi
yang kokoh kuat dikunci dari luar dan di luar kamar tahanan dijaga ketat oleh
pasukan pengawal.
Ketika Han
Ki siuman dari pingsannya dan membuka mata, ia tidak mengeluh. Ia sadar benar
dan maklum bahwa dia telah ditawan. Dia tidak menyesal. Mati bukan apa-apa bagi
seorang gagah, apa lagi kalau ia teringat akan Hong Kwi, kematian hanya
merupakan kebebasan dari pada penderitaan batin akibat kasih tak sampai. Namun
hatinya diliputi penyesalan dan kekhawatiran kalau ia teringat akan Menteri Kam
Liong, kakak sepupunya itu. Dia maklum bahwa semua perbuatannya tentu dianggap mengacau
istana dan dianggap berdosa besar, pasti pula akan mengakibatkan hal yang tidak
baik terhadap Menteri Kam, padahal ini sungguh tidak ia kehendaki sehingga
membuat dirinya merasa menyesal sekali.
Betapa pun
juga, dia lalu mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya dapat rebah telentang,
matanya memandang langit-langit kamar tahanan. Sedikit pun tidak ada keluhan
keluar dari mulutnya, dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Han Ki dapat
‘mematikan rasa’ sehingga tubuhnya tidaklah terlalu menderita. Ia menyerahkan
nyawanya kepada Tuhan dan siap menerima datangnya maut dalam bentuk apa pun
juga.
Dugaan Han
Ki memang sama sekali tidak meleset. Peristiwa yang terjadi itu membawa akibat
yang amat jauh dan hebat. Dia pun tidak tahu nasib apa yang menimpa Maya dan
Siauw Bwee yang ia tinggalkan di tengah jalan.....
***************
Ketika
Menteri Kam Liong dan muridnya, Panglima Khu Tek San meninggalkan istana yang
mengakhiri pesta penyambutan tamu agung sampai tengah malam, hati guru dan
murid ini lega karena semenjak munculnya Maya dan Siauw Bwee tadi membuat hati
mereka amat tidak enak. Mereka pun berpisah. Panglima Khu pulang ke gedungnya
sendiri dengan tergesa-gesa. Dia ingin segera sampai di rumah dan menegur
puterinya yang telah berbuat lancang menggegerkan istana bersama Maya.
Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika sampai di rumah dia disambut
teguran isterinya, mengapa Siauw Bwee dan Maya tidak diajak pulang?!
“Apa...?!
Mereka sudah pulang lebih dulu, malah diantar oleh Kam-susiok!” Panglima ini
berkata dengan suara keras.
Maka
paniklah keluarga Khu dan Panglima itu pun segera menyuruh anak buahnya untuk
berpencar mencari puterinya dan Maya. Juga dia sendiri ikut mencari, karena
sungguh pun ia tidak usah merasa khawatir akan keselamatan dua orang anak
perempuan yang diantar oleh susioknya itu, namun peristiwa yang terjadi di
istana sebagai akibat kelancangan Maya dan Siauw Bwee membuat hatinya tidak
enak. Apa lagi karena utusan Yucen dan Jenderal Suma jelas memperlihatkan sikap
bermusuhan dengan gurunya.
Akan tetapi
malam itu ternyata terjadi hal yang amat menggelisahkan hati panglima ini
secara susul-menyusul. Waktu ia meninggalkan rumahnya lagi untuk mencari jejak
puterinya dan Maya, ia dikejutkan oleh berita bahwa Kam Han Ki mengamuk di
taman istana dan dikeroyok oleh para pengawal! Tentu saja ia terkejut sekali,
akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia dapat menduga bahwa tentu hal itu ada
hubungannya dengan pertalian cinta kasih antara Kam Han Ki dan Puteri Sung Hong
Kwi.
Panglima Khu
menjadi bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan kedua
orang anak perempuan itu belum didapatkan, kini mendengar Han Ki menggegerkan
istana! Apakah yang terjadi dengan puterinya dan Maya?
Tiada jalan
lain bagi Panglima Khu selain bergegas mendatangi gurunya di gedung Menteri Kam
Liong. Seperti telah diduganya, gurunya telah mendengar perihal Han Ki di
istana, tentu mendapat pelaporan dari anak buah yang setia. Kini Menteri yang
tua itu duduk termenung dan menyambut kedatangan Tek San dengan muka gelisah.
“Kau tentu
datang untuk melaporkan tentang Han Ki, bukan? Aku sudah mendengar semua dan...
ah, betapa pun juga, dia seorang pemuda yang tentu saja belum cukup kuat untuk
menahan pukulan cinta terputus. Bagaimana aku dapat menyalahkan dia?”
“Bukan hanya
urusan Kam-susiok saja yang menggelisahkan teecu dan membuat teecu menjelang
pagi begini mengunjungi Suhu, melainkan juga lenyapnya kedua orang anak
itu....”
“Apa...?!”
Menteri tua itu menjadi terkejut.
“Seperti
Suhu ketahui, Maya dan Siauw Bwee pulang lebih dulu diantar oleh Kam-susiok.
Akan tetapi ternyata kedua orang anak itu belum sampai ke rumah teecu dan
tahu-tahu ada berita Kam-susiok mengamuk di taman istana. Teecu bingung dan
tidak tahu harus berbuat apa, maka teecu datang menghadap Suhu mohon petunjuk.”
Menteri Kam
Liong mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang berkali-kali. Khu Tek San
mendengar gurunya berkata lirih, “Mengapa... mengapa...?”
Ia tidak
mengerti apa yang dimaksudkan gurunya itu. Memang yang mengerti hanya Menteri
Kam Liong sendiri. Di dalam hatinya ia merasa berduka dan bertanya, mengapa
keturunan keluarga Suling Emas selalu ditimpa kemalangan?
“Kita harus
bersabar, Tek San. Urusan Han Ki adalah urusan yang gawat dan biarlah besok aku
menghadap Kaisar minta keterangan, dan akan kuusahakan agar aku dapat bertemu
Han Ki dan bertanya tentang dua orang anak itu. Aku harus membela Han Ki yang
kabarnya masih belum tertangkap. Sebaiknya sekarang juga aku melihat keadaan.”
Khu Tek San
mengerti betapa gurunya bingung dan berduka, maka ia cepat berkata, “Harap Suhu
tunggu saja di rumah karena kalau Suhu yang datang ke sana, tentu akan terjadi
salah paham, disangka Suhu akan membantu Kam-susiok. Sebaiknya teecu saja yang
menyelidiki ke sana dan melihat keadaan.”
Menteri Kam
Liong mengangguk-angguk dan membiarkan muridnya keluar. Dia memang bingung
sekali menghadapi urusan yang sulit itu. Tidak mungkin ia tidak membantu Han Ki
karena di antara semua keluarganya, hanya Han Ki seorang yang paling dekat.
Kalau membantu berarti ia terancam bahaya bermusuhan dengan istana!
Sampai Han
Ki tertawan dan dimasukkan dalam penjara, Khu Tek San menyaksikan semua pertandingan
itu. Dia tidak berani turun tangan membantu. Setelah mendapat kenyataan betapa
Han Ki tertawan dan dijebloskan ke kamar tahanan, ia bergegas pulang ke rumah
Menteri Kam untuk membuat laporan.
Menteri Kam
Liong mengurut jenggotnya yang panjang, wajahnya agak pucat dan ia berkata
lirih, "Aku harus menolongnya! Harus membebaskannya, kalau perlu dengan
mengorbankan diriku."
"Suhu...!"
Tek San berseru kaget.
Menteri Kam
Liong memandang muridnya yang setia. "Tek San, engkau muridku yang amat
baik, seperti keluargaku sendiri, maka tak perlu aku menyimpan rahasia.
Saudara-saudaraku cerai-berai tidak karuan, dan keturunan ayahku yang laki-laki
hanya ada tiga orang, yaitu aku sendiri, mendiang Raja Khitan dan Han Ki. Raja
Khitan telah tewas dan aku sendiri tidak berdaya menolong adikku itu. Aku
sendiri sudah tua dan tidak mempunyai anak. Kalau Han Ki tewas, bukankah
keluarga Kam akan kehilangan turunan? Aku harus menyelamatkan dia, apa pun yang
akan menimpa diriku. Tentu saja aku akan mempergunakan jalan halus membujuk
Kaisar untuk mengampuni Han Ki, akan tetapi apa bila tidak berhasil, aku akan
mempergunakan kekerasan membebaskannya. Juga kalau kedua orang anak perempuan
itu benar-benar lenyap di luar pengetahuan Han Ki, aku akan mendatangi Suma
Kiat dan demi Tuhan, sekali ini aku tidak akan segan-segan untuk memukul pecah
kepalanya kalau sampai dia berani mengganggu Maya dan Siauw Bwee. Kau
pulanglah!"...
BERSAMBUNG KE JILID07
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment