Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 17
Im-yang
Seng-cu berjalan hati-hati menuju ke bangunan yang dikelillngi pagar tembok
tinggi. Menjelang senja barulah ia sampai di depan pintu gerbang dan dia merasa
heran bukan main menyaksikan keadaan markas Beng-kauw yang amat sunyi itu.
Tidak nampak penjaga di depan pintu. Ketika ia melangkah maju dengan hati-hati
karena maklum bahwa markas besar Beng-kauw ini mempunyai banyak alat-alat
rahasia dan jebakan berbahaya, melongok ke dalam, ia menjadi makin terheran.
Biar pun terasa amat sunyi karena tidak ada suara, namun di sebelah dalam
benteng itu tampak kesibukan orang-orang.
Im-yang
Seng-cu menggerakkan tubuhnya, melesat ke dalam melalui pintu gerbang yang
terbuka lebar. Kini tampaklah olehnya betapa orang-orang itu sibuk mengangkuti
mayat-mayat manusia yang malang-melintang di tempat itu termasuk mayat Hoat
Bhok Lama dan para pembantunya. Ketika melihat mayat Hoat Bhok Lama diangkat,
Im-yang Seng-cu mendapat kenyataan bahwa mayat itu tidak kelihatan terluka,
tidak mengeluarkan darah, hanya ada tanda biru di ubun-ubun kepalanya yang
gundul. Im-yang Seng-cu bergidik dan teringat suara Bu-tek Lo-jin yang ingin
mengetuk satu kali kepala yang gundul itu!
Ketika
orang-orang yang bekerja dengan sunyi itu melihat munculnya Im-yang Seng-cu,
mereka memandang dengan khawatir. Seorang di antara mereka yang agaknya
memimpin pekerjaan mengurus mayat-mayat itu, seorang laki-laki yang usianya
sudah lima puluh tahun lebih, cepat menghampiri Im-yang Seng-cu, menjura dengan
penuh hormat dan berkata, “Harap Taihiap tidak turun tangan mengganggu kami
yang hanya menaati perintah Bu-tek Locianpwe dan Suma-taihiap.”
Im-yang
Seng-cu mengangguk-angguk kagum. Ia maklum betapa dalam waktu singkat
sahabatnya dan gurunya yang luar biasa itu telah dapat membereskan Beng-kauw,
membunuh Hoat Bhok Lama dan para pembantunya serta menundukkan anak buahnya.
“Apa yang
telah terjadi?” tanyanya.
Orang itu
memandang tajam, agaknya terheran mendengar ucapan pendekar kaki telanjang ini.
“Bukankah Taihiap sahabat baik Suma-taihiap dan datang bersama dia?”
“Benar, akan
tetapi aku tertinggal di sana. Harap kau ceritakan apa yang sebenarnya telah
terjadi, dan mengapa pula Bu-tek Locianpwe dapat muncul di tempat ini.”
Orang itu
menarik napas panjang. Setelah memandang Im-yang Seng-cu beberapa lama, ia
berkata, “Taihiap adalah Im-yang Seng-cu seperti yang dikatakan Suma-taihiap,
sudah sepatutnya mendengar semua keadaan kami. Marilah kita bicara di dalam dan
saya akan menceritakan semuanya.”
Im-yang
Seng-cu mengikuti orang itu memasuki sebuah bangunan yang cukup mewah. Setelah
duduk menghadapi meja dan diberi suguhan arak, dia mendengarkan penuturan Lauw
Kiam, orang itu yang dahulunya seorang anggota Beng-kauw tulen yang sudah
memiliki kedudukan lumayan tingginya.
“Ketika Hoat
Bhok Lama dan kaki tangannya mula-mula menyerbu Beng-kauw, kami pihak Beng-kauw
melakukan perlawanan mati-matian. Dalam perlawanan ini, satu demi satu gugurlah
para pimpinan kami, bahkan tokoh tertua yang kami andalkan, Kauw Bian Cinjin,
gugur pula di tangan Hoat Bhok Lama. Sampai habis semua pimpinan tingkat tinggi
kami, dan hanya kedua orang Kam-toanio kakak beradik saja yang masih sempat
meloloskan diri. Kami, termasuk saya yang sejak muda menjadi anggota Beng-kauw
yang setia, tadinya bertekad untuk melakukan perlawanan sampai mati. Akan
tetapi kemudian tertarik oleh bujukan-bujukan Hoat Bhok Lama,
pelajaran-pelajaran ilmu silat tinggi dan kebatinan sehingga akhirnya kami
sampai terpikat dan terbujuk pula. Antara lain Hoat Bhok Lama mengatakan, bahwa
Agama Beng-kauw adalah Agama Terang yang semenjak dahulu memerangi Gelap dan
bahwa keturunan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, pendiri Beng-kauw di Nan-cao telah
menyelewengkan pelajaran Beng-kauw yang sejati!”
“Hemm,
agaknya Hoat Bhok Lama mengerti benar akan pelajaran Beng-kauw,” kata Im-yang
Seng-cu. “Apa saja yang dikatakannya mengenai penyelewengan itu?”
Lauw Kian
lalu bercerita. Menurut pelajaran Hoat Bhok Lama yang disebarkan kepada semua
bekas pengurus dan anggota Beng-kauw, Agama Beng-kauw atau Agama Terang
(Manichaeism) didirikan oleh Guru Besar Mani. Terang adalah lambang kebaikan
dan Gelap adalah lambang kejahatan. Pelajarannya adalah untuk menyelamatkan
Terang dari selubung Kegelapan.
JADI menurut
pelajaran agama ini, terdapat dua kerajaan di alam semesta ini, yaitu Kerajaan
Terang dan Kerajaan Gelap yang saling berlawanan. Setan menjadi raja dari
kegelapan. Manusia adalah ciptaan Setan, demikian menurut Hoat Bhok Lama,
karena itu selalu diliputi kegelapan atau kejahatan. Dan Agama Beng-kauw
merupakan pelajaran dari Sang Duta Terang, yaitu Guru Besar Mani, pendirinya.
Dongeng yang
menjadi pegangan para penganut Beng-kauw ini memang sama dengan yang dijelaskan
oleh Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Letak perbedaannya adalah bahwa kalau Liu Gan
mengajarkan bahwa para penganutnya harus mengenyahkan kegelapan, mengenyahkan
kejahatan dengan pantangan-pantangan, sebaliknya Hoat Bhok Lama tidak
mengadakan pantangan, bahkan mengajarkan anak buahnya untuk memasuki kegelapan!
“Betapa
mungkin kita dapat mengalahkan musuh tanpa menyelidiki keadaan musuh itu
sendiri, tanpa mengetahui kekuatan-kekuatannya dan kelemahan-kelemahannya? Dan
untuk dapat mengetahui keadaan musuh melalui penyelidikan, kita harus terjun ke
dalamnya! Kita lahir dari kegelapan, setelah kita sadar dan mendapat sinar
terang untuk melawan kegelapan itu sendiri, kita harus benar-benar memahami
apakah itu kegelapan, apakah itu kejahatan, apakah itu kekuasaan nafsu. Untuk
menyelidiki kekuasaan nafsu, jalan satu-satunya hanyalah menuruti dorongan itu
sendiri! Setelah kita mengenal betul sifat-sifat nafsu dalam diri kita, tidak
akan sukar lagi untuk menundukkannya!”
Demikianlah
bujukan dan pelajaran yang disebar oleh Hoat Bhok Lama, dan sudah lajimnya
manusia yang lemah lebih suka menganut sesuatu yang menyenangkan hati dan badan
dari pada menganut pelajaran yang sukar dan tidak menyenangkan hati dan badan.
Mengekang
nafsu merupakan hal yang sukar dan tidak mendatangkan nikmat kepada tubuh,
sebaliknya mengumbar nafsu mendatangkan nikmat jasmani. Tentu saja pelajaran
macam itu segera mendapat minat yang besar sekali dari para bekas anggota
Beng-kauw sehingga banyak di antara mereka yang tunduk dan mengakui Hoat Bhok
Lama sebagai seorang ketua baru yang jauh lebih ‘bijaksana’ dari pada para
bekas pengurus lama. Apa lagi di samping itu sudah menjadi kenyataan bahwa Hoat
Bhok Lama memiliki kepandaian yang amat tinggi sehingga mereka makin tertarik
untuk dapat mempelajari ilmu-ilmu tinggi dari pendeta Lama itu.
Im-yang
Seng-cu mengangguk-angguk mendengar penuturan itu dan diam-diam ia menarik
napas panjang. Dia masih belum tua, namun sudah banyak sekali mengalami hal-hal
aneh di dunia ini yang membuat pandangannya cukup luas. Di mana-mana ia melihat
kegagalan usaha para tokoh agama apa pun juga dalam perjuangan mereka
mendatangkan damai dan bahagia bagi manusia seluruhnya.
Kegagalan
itu seluruhnya terletak kepada kelemahan manusia yang biar pun dengan akal budi
dan pikirannya dapat menerima inti pelajaran untuk hidup sebagai manusia yang
baik, namun jasmaninya terlalu kuat sedangkan hatinya terlalu lemah untuk
menentang nafsu badani sendiri sehingga terjadilah pertentangan yang amat
menyedihkan.
Pertentangan
antara hati nurani sendiri dengan perbuatan-perbuatan yang terdorong oleh nafsu
pribadi, yang biasanya sering kali dimenangkan oleh nafsu. Inilah sebabnya
mengapa makin banyak orang mempelajari kebatinan, makin banyak pula terjadi
pelanggaran dan dosa. Raja Kegelapan memiliki senjata yang amat ampuh untuk
menundukkan manusia, yaitu senjata sayang diri atau iba diri yang menjadi dasar
sehingga manusia dengan senang hati dan mudah melakukan hal-hal yang tidak
baik. Lihatlah manusia-manusia kecil, kanak-kanak. Betapa mudahnya mereka itu,
tanpa disuruh tanpa diajar, untuk membohong dalam membela diri. Sebaliknya,
biar pun setiap hari diajar dan disuruh pantang membohong, disuruh jujur dan
lain sifat-sifat baik, agaknya amat sukar bagi mereka.
“Hem, dia
memang cerdik, mungkin iblis sendiri yang mengajarinya,” kata Im-yang Seng-cu.
“Dan bagaimanakah kakek dewa Bu-tek Lo-jin dapat muncul di tempat ini?”
“Hal itu
terjadi dua bulan yang lalu,” kata Lauw Kian.
Kemudian ia
menceritakan tentang kakek aneh itu. Bu-tek Lo-jin pada dua bulan yang lalu
datang ke Pegunungan Heng-toan, ke markas Beng-kauw karena hendak mencari Kauw
Bian Cinjin yang dikenalnya. Kakek ini tidak tahu bahwa Beng-kauw telah
terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama dengan paksa. Ketika mencari Kauw Bian Cinjin
yang telah tewas, kakek ini kemudian mengunjungi Beng-kauw untuk bertanya
tentang kematian sahabat yang dikenalnya itu.
Hoat Bhok
Lama tentu saja mengenal kakek sakti ini dan dengan amat cerdiknya, Hoat Bhok
Lama membujuk agar kakek sakti itu membantu Beng-kauw yang katanya hendak
dikembangkannya sampai ke seluruh daratan. Ketika tampak gejala penolakan dari
Bu-tek Lo-jin, dan ada pula bahaya akan diketahui kakek itu bahwa dia merampas
Beng-kauw dan membunuh semua pengurusnya, Hoat Bhok Lama lalu menipu Bu-tek
Lo-jin memasuki goa di puncak yang merupakan tempat jebakan yang amat
berbahaya. Kakek yang sakti akan tetapi terlalu berani dan terlalu ingin tahu
itu kena diakali dan jatuh terjerumus ke dalam lubang jebakan yang terdapat di
goa puncak gunung itu.
“Hoat Bhok
Lama menutup lubang dan goa itu sehingga kami menganggap kakek itu telah
tewas,” Lauw Kian menutup ceritanya. “Siapa dapat menduga, tadi kakek yang luar
biasa itu muncul bersama Suma-taihiap. Entah bagaimana dia dapat hidup selama
dua bulan tertutup di dalam sumur goa itu.”
Im-yang
Seng-cu kagum sekali. Hanya orang yang memiliki ilmu yang sudah mencapai
tingkat tinggi sekali saja yang akan dapat mempertahankan hidupnya setelah dua
bulan tertutup di dalam sumur di puncak. Bahkan kakek yang sakti ini masih
mampu menyelamatkan diri ketika puncak itu longsor oleh gerakan alat-alat
rahasia sehingga kakek itu terbawa runtuh pula ke bawah.
“Setelah
kini kalian terlepas dari tangan orang-orang jahat yang menguasai Beng-kauw,
apa yang akan kalian lakukan?” Im-yang Seng-cu bertanya.
“Kami akan
meninggalkan tempat ini, kembali ke Nan-cao dan kami akan berkumpul kembali
dengan bekas para anggota Beng-kauw, bersama-sama membangun kembali Beng-kauw,”
jawab Lauw Kian dengan wajah berduka, teringat akan para tokoh dan pimpinan
Beng-kauw yang tewas sehingga kini perkumpulan mereka seolah-olah tidak
mempunyai pimpinan lagi.
Im-yang
Seng-cu mengangguk-angguk. “Perkumpulan kalian adalah perkumpulan agama yang
semestinya mencurahkan segala perhatian khusus untuk agama, berarti untuk
kerohanian. Kalau urusan kerohanian dicampur dengan urusan dunia, tentu akan
timbul pertentangan-pertentangan karena di antara keduanya bersimpang jalan.
Kuharap saja Beng-kauw akan dapat benar-benar menjadi Agama Terang yang akan
mendatangkan penerangan bagi manusia yang telah kehilangan sinar rohaninya,
digelapkan oleh awan-awan nafsu. Sebuah perkumpulan agama bukanlah sebuah
parkumpulan tukang pukul. Yang disebut kuat dalam perkumpulan kalian bukanlah
kaki tangannya, melainkan batinnya, rohaninya, sehingga memancarkan sinar
terang dan membantu mereka yang kegelapan. Semoga kalian berhasil.”
Im-yang
Seng-cu meninggalkan Pegunungan Heng-toan, berjalan menyusuri sepanjang tepi
Sungai Cin-sha. Diam-diam ia memujikan semoga sahabatnya, Jai-hwa-sian Suma
Hoat, selain memperoleh ilmu kepandaian tinggi dari Bu-tek Lo-jin, juga akan
dapat sadar dan mengalahkan penyakitnya sendiri yang membuat pemuda itu
mendapat julukan Dewa Pemetik Bunga.
*************
“Aiihhh...,
semua tempat kacau-balau oleh perang. Dalam keadaan sekacau ini, mana mungkin
mencari orang? Ahhh, Suheng... di manakah engkau...?” Siauw Bwee menghela napas
berulang-ulang sambil duduk termenung menghadapi api unggun yang dinyalakannya
di tengah hutan sunyi itu.
Berbulan-bulan
lamanya ia melakukan perjalanan tanpa tentu arah dalam usahanya mencari dua
orang dengan perasaan hati yang berlawanan. Yang seorang dicarinya dengan hati
penuh rindu dan kasih, yang kedua dicarinya dengan dendam dan benci. Namun
sudah banyak kota dijelajahi, hutan-hutan dimasuki dan bukit-bukit didaki,
sudah banyak ia menyaksikan perang dan kekacauan, belum juga dia dapat
menemukan orang-orang yang dicarinya, yaitu Kam Han Ki suheng-nya dan Suma Kiat
musuh besarnya.
Tersorot
cahaya api unggun yang kemerahan itu, Siauw Bwee kelihatan amat cantik jelita.
Rambutnya yang panjang dan mawut itu mengkilap, kedua pipinya kemerahan
tersentuh sinar api, matanya yang merenung itu kadang-kadang berkilat. Dara
jelita yang memiliki ilmu kesaktian tinggi itu duduk bertopang dagu. Kudanya
menggerogoti rumput kurus tak jauh di depannya.
Semenjak
meninggalkan Pulau Es, di dalam perantauannya Siauw Bwee telah mengalami banyak
hal yang hebat, telah pula mematangkan ilmu-ilmunya dan telah menerima
ilmu-ilmu baru yang tinggi. Terutama sekali ilmu yang diterimanya dari kakek Lu
Gak, yaitu gerakan kaki tangan kilat, benar-benar membuat Siauw Bwee menjadi
seorang dara sakti yang akan sukar dikalahkan lawan. Namun dara yang berilmu
tinggi dan cantik jelita seperti bidadari ini ternyata tidak berbahagia seperti
yang disangka semua orang yang melihatnya. Tidak sama sekali, dia kini duduk
termenung penuh penasaran, kekecewaan dan kedukaan.
Kewaspadaan
seorang ahli silat tinggi setingkat Siauw Bwee amat luar biasa sehingga
seolah-olah penglihatan, pendengaran dan perasaannya menjadi satu dan selalu
siap menjaga diri. Namun segala kewaspadaan akan hilang apa bila manusia
dikuasai perasaan duka yang membuat semangat tenggelam. Siauw Bwee benar-benar
sedang tenggelam di lautan duka sehingga perlahan-lahan matanya berkilau basah,
berkumpul di pelupuk membentuk dua butir mutiara yang turun bergantung pada
bulu matanya yang panjang lentik.
Ia teringat
akan nasibnya. Ayahnya sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia
harus menerima kematian sebagai seorang pemberontak. Ibunya harus meninggal
dunia dalam keadaan merana berduka. Kemudian ia terpaksa harus berpisah dari
suci-nya Maya dengan kandungan dendam di dalam hati. Dan akhirnya ia harus
berpisah dari suheng-nya dengan kandungan rindu dan kasih tak sampai di
hatinya.
Siapa yang
takkan berduka? Sementara itu, semua ketidak-senangan hatinya yang hendak ia
tumpahkan dalam pembalasan dendam terhadap diri Suma Kiat, tak juga dapat
terlaksana karena dia belum berhasil menemukan musuh besarnya itu. Ada
didengarnya bahwa Suma Kiat memimpin pasukan besar melakukan perang terhadap
barisan Mancu, akan tetapi setiap kali ia mengejarnya, dia selalu kecelik atau
tidak berkesempatan turun tangan.
Tentu saja
tidak mungkin baginya untuk nekat menyerbu barisan yang laksaan orang banyaknya
untuk mencari musuh besarnya itu. Hal ini akan berarti pemberontakan dan
sebagai puteri tunggal Panglima Khu Tek San yang berjiwa pahlawan, dia tidak
mau menambah cemar nama ayahnya dengan melawan pasukan pemerintah yang berarti
pemberontakan!
Biar pun
ayahnya tewas di tangan para pengawal Sung, namun yang ia persalahkan dalam hal
ini hanyalah Suma Kiat karena orang itulah yang menjadi biang keladinya. Dalam
keadaan melamun tak berketentuan arah pikiran dan perasaan hati itu,
teringatlah Siauw Bwee akan bunyi sajak yang pernah dibacakan ayahnya, seorang
ahli silat dan juga penggemar sastra. Sajak keluhan sastrawan yang kesunyian,
seperti dirinya di saat itu.
Kosong
melengang... pikiran melayang
mengejar
kenangan dihimpit kesunyian...
seperti
iblis mentertawakan bunyi daun berkelisik
Kerik
jangkrik, kerok katak, kokok burung hantu
di luar
bising... namun betapa sunyi melengang terasa di dalam
Seribu suara
malam, menambah rasa kesepian...
Teringat
akan sajak ini, dua butir mutiara air mata menyusul dua yang pertama, menitik
ke atas pipi. Siauw Bwee menarik napas panjang dan memandang kudanya yang makan
rumput kurus. Terhibur sedikit hatinya. Dia tidak sendirian sama sekali. Masih
ada kudanya. Terdorong oleh perasaan senasib sependeritaan, Siauw Bwee bangkit
berdiri, mendekati kuda itu dan mengelus bulu leher binatang itu.
“Aihh,
kudaku yang setia. Sesungguhnyalah, seperti dikatakan sastrawan yang kesepian
itu, sunyi timbul dari dalam hati, bukan dari keadaan di luar tubuh. Kalau
tidak begini besar rinduku kepada Suheng, dendamku kepada si keparat Suma Kiat,
kedukaanku karena kematian Ibu, agaknya malam ini akan terasa lain sekali, sama
sekali tidak sunyi lagi. Aihhhh...”
Betapa pun
tinggi ilmu kepandaian silat yang dimiliki Siauw Bwee, namun dia hanyalah
seorang dara remaja yang belum matang batinnya. Kepandaian yang dimilikinya
hanyalah kepandaian lahiriah. Kalau setinggi itu pengertian batinnya, tentu dia
akan tahu bahwa yang membuat orang merasa merana dalam kesunyian adalah karena
dia belum dapat menyatukan diri dengan keadaan sekelilingnya. Melihat kudanya,
dia menemukan hiburan karena ada rasa persatuan di dalam hatinya terhadap
binatang itu.
Kalau dia
memiliki perasaan persatuan yang sama terhadap sekelilingnya, terhadap suara
binatang-binatang kecil yang tak tampak, terhadap berkelisiknya daun, terhadap
angin, terhadap kegelapan malam, menyatukan diri dengan alam dan seisinya,
tentu tidak ada lagi penderitaan batin yang merana karena kesepian itu. Hanya
manusia yang dapat menyatukan diri dengan alam dan seisinya, baik yang tampak
mau pun yang tidak, dialah yang akan dapat merasakan betapa bahagia hidup ini,
betapa kecil artinya hal-hal yang menimpa dirinya dan yang dianggapnya tidak
menyenangkan.
Persatuan
dengan alam dan seisinya, termasuk manusia dan segala makhluk, membuka rasa
kasih yang akan menerangi hidup dan akan musnah segala perbandingan, segala
perbedaan, segala iri hati, segala dendam dan kebencian! Betapa sulitnya!
Sulit? Tidak, sama sekali tidak bagi yang sadar dan yang sudah dapat mengenal
diri pribadi, dapat menyaksikan dengan mata batinnya akan segala nafsu dan
kekotoran yang menyelubungi dirinya. Karena manusia selalu menunjukkan
pandangan matanya ke luar, tidak pernah ke dalam, maka dia tidak akan melihat
semua itu dan tidak dapat menjadi sadar.
Perasaan
sengsara yang menekan batin Siauw Bwee membuat dara ini lengah dan kehilangan
kewaspadaannya, tidak tahu bahwa semenjak tadi, ada sepasang mata yang
mengintainya, sepasang mata seorang pemuda tampan yang duduk di atas cabang
pohon tinggi. Pemuda itu telah berada di atas cabang pohon ketika Siauw Bwee
datang ke tempat itu dan membuat api unggun. Semenjak tadi pemuda ini memandang
dengan mata penuh kagum terpesona oleh kecantikan dara remaja itu.
Pemuda yang
berpakaian sederhana dan berwajah tampan ini adalah seorang pendekar muda yang
belum lama keluar untuk merantau meluaskan pengalaman. Dia belum terkenal di
dunia kang-ouw, karena wataknya yang halus, sesuai dengan pendidikan ayah
bundanya, membuat dia tidak pernah bentrok dengan orang lain, padahal pemuda ini
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia bernama Yu Goan.
Ayahnya
adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi bernama Yu Siang Ki, putera ketua
perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang yang terkenal. (Baca cerita MUTIARA
HITAM, episode ke 4 dari serial BU KEK SIANSU) Ada pun ibunya adalah seorang
yang berilmu tinggi pula, tidak hanya dalam hal ilmu silat, akan tetapi
terutama sekali dalam hal ilmu pengobatan karena ibunya itu puteri dari Song
Hai yang berjuluk Yok-san-jin (Kakek Gunung Ahli Obat)! Ayah dan bundanya kini
membuka toko obat dan dari kedua orang tuanya, Yu Goan mewarisi ilmu silat asli
dari Khong-sim Kai-pang dan ilmu pengobatan dari raja obat Yok-san-jin Song
Hai. Dengan bekal ilmu kepandaian yang tinggi ini, orang tuanya, juga kakeknya,
memperkenankan pemuda ini merantau untuk meluaskan pengalaman.
Malam itu
kebetulan sekali Yu Goan bermalam di dalam hutan itu, duduk di atas cabang
pohon dengan aman sampai munculnya Siauw Bwee yang membuat ia bengong
terlongong dan memandang penuh kagum. Hatinya ikut merasa terharu ketika
melihat dara itu termenung dan berduka seorang diri.
Menurutkan
dorongan hatinya, ingin sekali ia meloncat turun dan berkenalan, namun
pendidikannya sebagai seorang pemuda terpelajar dan sopan membuat ia menahan
hatinya dan tidak berani turun, bahkan tidak berani berkutik, khawatir
kalau-kalau ketahuan dan disangka seorang pengintai kurang ajar. Dia hanya
berdoa dalam hatinya, mudah-mudahan dara itu tidak melakukan hal yang
tidak-tidak, misalnya berganti pakaian, melepas sepatu dan lain perbuatan yang
akan membuat dia tersudut dan menjadi makin kurang ajar tampaknya.
Tiba-tiba
pemuda itu terkejut dan matanya terbelalak memandang jauh. Apakah benda-benda
mencorong yang muncul di belakang gadis itu? Seperti mata harimau! Ada tiga
pasang banyaknya! Otomatis tangan pemuda ini meraba ke pinggang, di mana
disimpannya beberapa buah senjata rahasia, siap melindungi dara itu kalau betul
ada tiga ekor harlmau merunduknya!
Siauw Bwee
tiba-tiba meloncat dan membalik.
“Srattt!”
sinar kilat tampak ketika ia mencabut pedangnya.
Yu Goan
memandang makin kagum. Bukan main, pikirnya. Gerakan dara itu sedemikian gesit
dan ringannya, dan cara mencabut pedang tadi pun menunjukkan gerakan seorang
ahli!
Karena
terhibur oleh kehadiran kudanya, kewaspadaan Siauw Bwee timbul kembali dan
telinganya dapat menangkap gerakan di belakangnya. Ketika ia membalik dan
melihat tiga pasang benda mencorong di balik semak-semak, ia terkejut dan juga
menduga bahwa tentulah itu tiga pasang mata binatang buas, entah harimau entah
apa.
Akan tetapi
begitu ia membalik dan mencabut pedangnya, tiba-tiba tiga pasang benda
mencorong itu pun lenyap, seolah-olah api yang ditiup padam. Dia menjadi
penasaran. Tidak ada manusia atau binatang yang boleh mengintainya kemudian
melenyapkan diri begitu saja sebelum dia tahu benar apa dan siapa mereka itu!
Tubuhnya berkelebat dan sekali melesat bayangannya lenyap dari pandang mata Yu
Goan yang melongo terheran-heran penuh kekaguman.
Dengan gerakan
kilat, gerakan yang kini jauh melebihi kecepatannya ketika sebelum ia
mempelajari ilmu gerakan kaki tangan kilat, Siauw Bwee berloncatan ke
sana-sini, mencari-cari. Akan tetapi tidak menemukan seorang pun manusia atau
seekor pun hewan! Terpaksa ia kembali ke dekat api unggun memandang ke kanan
kiri dengan mata tajam dan diam-diam ia merasa bulu tengkuknya berdiri.
Apakah
benda-benda mencorong yang dilihatnya tadi? Apakah pandang matanya keliru? Ah,
tidak mungkin! Jelas ia melihat enam buah benda mencorong, tiga pasang dan
melihat jaraknya tentulah merupakaan tiga pasang mata. Akan tetapi, mata apa?
Andai kata binatang, atau manusia, tentu dapat ia kejar. Akan tetapi
benda-benda itu lenyap begitu saja tanpa meninggalkan suara apa-apa!
Seluruh urat
saraf di tubuh Siauw Bwee menegang dan dia berdiri dengan sikap waspada,
menanti munculnya benda-benda aneh itu, pedang masih di tangan. Hampir setengah
jam ia berdiri tanpa bergerak seperti itu, tidak tahu bahwa ada dua buah mata,
sepasang mata yang tidak mencorong, mata manusia, mengintainya jauh di atas
dengan melongo penuh kagum.
Api unggun
bergoyang-goyang mengecil dan hal ini menyadarkan Siauw Bwee bahwa tidak ada
apa-apa yang mengancamnya. Apa pun juga adanya tiga pasang benda mencorong
tadi, yang pasti mereka itu tidak ada lagi sekarang. Ia menghampiri api unggun,
menambah kayu hingga api unggun menyala lagi, apinya makan kayu kering dengan
lahapnya. Kini Siauw Bwee sudah duduk lagi, akan tetapi bukan duduk melamun
seperti tadi, melainkan duduk sambil menanti dengan penuh kesiap-siagaan. Kini
semua ketajaman pendengarannya dipasang dan suara yang tidak wajar sedikit saja
tentu akan dapat ditangkapnya. Dia mengambil keputusan untuk bergerak
secepatnya dan tidak akan membiarkan makhluk itu sempat melenyapkan diri kalau
berani muncul lagi.
Yu Goan yang
berada di atas pohon dan tadi juga melihat tiga pasang benda mencorong itu,
tidak kalah tegangnya. Tegangnya dua kali lipat, karena selain tegang
memikirkan benda-benda aneh itu, juga tegang menyaksikan sikap dara jelita yang
ternyata dapat bergerak seperti menghilang itu. Dia pun memasang mata penuh
perhatian. Karena berada di tempat tinggi, dia lebih awas dari pada Siauw Bwee
yang pandangan matanya terhalang oleh pohon-pohon dan tetumbuhan lain.
Tiba-tiba Yu
Goan bergerak, hampir lupa dan hampir berseru ketika ia melihat lagi
benda-benda mencorong muncul di sekitar tempat itu, tidak lagi hanya tiga
pasang, melainkan banyak sekali! Untung baginya bahwa Siauw Bwee juga melihat
sehingga gadis itu tidak mendengar gerakannya di atas dan kini tubuh Siauw Bwee
telah lenyap ketika dara ini berkelebat meloncat dengan pedang di tangan. Siauw
Bwee berseru heran karena tiba-tiba begitu ia bergerak, benda-benda mencorong
itu ‘padam’ dan lenyap, juga sekali ini dia tidak berhasil menemukan sesuatu
biar pun dia sudah berloncatan ke sana ke mari di sekeliling tempat itu.
Kini Siauw
Bwee kembali ke tempatnya dengan muka penuh keringat. Hatinya ngeri sekali.
Belum pernah ia merasa ngeri seperti saat ini. Dia bukanlah seorang penakut,
sama sekali tidak. Akan tetapi apa yang dialaminya di hutan ini benar-benar
amat menyeramkan. Tentu iblis-iblis penghuni hutan yang mengganggunya!
Dia tidak
akan gentar menghadapi lawan manusia yang bagaimana pun. Akan tetapi melawan
iblis? Uhh, kalau saja malam tidak begitu gelap, kalau saja matahari telah
muncul, tentu ia akan segera meninggalkan hutan berhantu ini! Siauw Bwee
menghela napas, tak berdaya. Terpaksa ia harus melewatkan malam di tempat
menyeramkan ini. Dia duduk kembali, perlahan-lahan dan tidak pernah mengalihkan
perhatiannya dari keadaan di sekelilingnya.
Tiba-tiba
Siauw Bwee yang baru menekuk lutut untuk duduk kembali itu menyambar segenggam
tanah di dekat kakinya dan tangannya terayun sambil tubuhnya diputar. Segenggam
tanah itu mengeluarkan suara bercicitan ketika meluncur ke atas, ke arah pemuda
yang menjadi terkejut bukan main.
“Wuuuuttt!
Trakkk!” Biar pun hanya segenggam tanah dan pasir, namun cabang pohon yang
tadinya diduduki Yu Goan menjadi patah terkena hantamannya.
Pemuda itu
sudah meloncat dengan gerakan ringan, melayang turun sambil berseru, “Heit,
saya bukan musuh...! Harap Nona tidak salah sangka, saya bukanlah
makhluk-makhluk mengerikan yang memiliki mata mencorong itu!”
Siauw Bwee
memandang tajam ke arah wajah pemuda yang tinggi tegap dan tampan itu,
tangannya meraba gagang pedang, jantungnya masih berdebar tegang karena tadi
dia mengira bahwa tentu laki-laki di atas pohon itu yang mengganggunya. Di
bawah sinar api unggun yang kemerahan mereka saling pandang dan setelah kini
berhadapan, Yu Goan menjadi makin terpesona. Kiranya dara itu setelah
didekatinya, malah jauh lebih jelita dari pada ketika ia melihat dari atas
tadi, dan masih amat muda!
“Mudah saja
membela diri. Sudah jelas engkau mengintai aku dari atas pohon, atau engkau pun
hendak menyangkal lagi?” Siauw Bwee mencela, suaranya dingin.
Yu Goan
menggeleng kepala. “Saya tidak menyangkal telah melihatmu dari atas pohon,
Nona, akan tetapi bukanlah salahku. Bukan niatku sengaja hendak mengintai,
karena aku telah berada di atas pohon lama sebelum Nona datang dan membuat api
unggun di bawah pohon ini.”
Siauw Bwee
memandang marah, teringat akan benda-benda mencorong yang menimbulkan rasa
ngeri di hatinya, yang kini ia duga tentulah perbuatan pemuda ini.
“Engkau
membohong!”
Yu Goan
menarik napas panjang. “Nona, membohong atau tidak bukan hal yang dapat
dipersoalkan, karena seorang pembohong tentu saja tidak mau mengaku. Akan
tetapi, andai kata Nona yang berada di sini terlebih dulu, kemudian aku datang
mengintai dari atas pohon, bagaimana mungkin sampai tidak tahu ada orang datang
dan memanjat pohon? Aku bukan dewa, bukan pula iblis seperti makhluk-makhluk
aneh tadi.”
Siauw Bwee
termenung dan akhirnya ia mengangguk-angguk. Dia dapat menangkap kebenaran
ucapan itu karena biar pun dari gerakan pemuda ini ketika mengelak dan melompat
turun tadi, terbukti bahwa pemuda ini bukan seorang lemah, namun kiranya masih
tidak mungkin pemuda ini dapat datang dan meloncat ke atas pohon itu tanpa dia
ketahui sama sekali.
“Kalau
begitu, mengapa engkau diam saja dan sengaja mengintaiku dari atas pohon?”
“Habis, apa
yang harus kulakukan, Nona?”
“Mengapa
engkau tidak menegurku sehingga aku tahu bahwa ada orang di atas pohon?”
“Ahh, mana
aku berani, Nona? Andai kata engkau seorang pria, tentu saja aku akan langsung
menegurmu dan berkenalan. Akan tetapi engkau seorang wanita muda, bagaimana aku
berani menegur dan bersikap tidak sopan? Aihhhh, Nona, kalau saja engkau tahu
betapa tersiksa hatiku di atas sana tadi, tak tahu harus berbuat apa, turun
tidak berani diam saja bagaimana. Aihh, benar-benar tersiksa. Aku hanya
mengkhawatirkan suatu hal...” Tiba-tiba pemuda itu berhenti, mukanya yang
tampan menjadi merah sekali. Ia pun menunduk dan merasa telah terlanjur
menurutkan suara hatinya.
Siauw Bwee
kini sudah hilang kemarahannya, bahkan diam-diam ia senang sekali melihat sikap
yang halus, pandang mata yang penuh perhatian, tutur kata yang sopan dan
tersusun rapi. Ia percaya bahwa pemuda seperti ini tidak mungkin seorang
penjahat. Akan tetapi keraguan pemuda dalam kalimat terakhir tadi kembali
membangkitkan kecurigaannya dan ia cepat berkata mendesak, “Apa yang kau
khawatirkan itu? Katakanlah agar aku tidak meragukan kebersihanmu!”
“Yang
kukhawatirkan tadi... eh, anu... aku diam-diam berdoa kepada Tuhan agar engkau
tidak melakukan hal yang bukan-bukan di bawah sini selagi aku berada di atas
pohon, karena kalau engkau melakukannya, aku benar-benar akan celaka!”
“Eh, jangan
bicara seperti teka-teki. Katakan, hal yang bukan-bukan itu apakah? Perbuatan
apa yang kau khawatir aku lakukan?”
“Hem...
misalnya... eh, kau merasa kakimu lelah dan membuka... sepatu... atau... eh,
berganti pakaian... maaf...”
Tiba-tiba
Siauw Bwee menahan ketawanya dan mukanya juga menjadi merah sekali. Memang
tidak ada air di situ. Kalau ada tentu dia akan mandi dan berganti pakaian dan
memikir hal ini... bertelanjang bulat di situ, di bawah pandang mata pemuda
ini, ia merasa bulu tengkuknya berdiri! Akan tetapi dia masih penasaran dan
bertanya, “Andai kata benar demikian, mengapa kau khawatir dan kau katakan akan
celaka?”
“Tentu saja,
Nona. Kalau terjadi hal itu, tentu dalam pandanganmu aku akan lebih kurang ajar
lagi.”
Siauw Bwee
tersenyum dan memandang dengan mata bersinar. “Sungguh lega hatiku sambitanku
tadi tidak mencelakakan engkau. Ternyata engkau bukan musuh, dan engkau seorang
yang amat sopan dan jujur. Siapakah engkau?”
Pemuda itu
menjura dengan hormat, wajahnya berseri karena dia senang sekali bahwa Nona
yang dikaguminya itu tidak marah. “Saya she Yu bernama Goan, seorang perantau
yang kemalaman di sini maka bermalam di atas pohon. Dan Nona...”
“Eh, apakah
engkau tadi melihat benda-benda mencorong yang aneh itu?” Siauw Bwee
memotongnya.
“Aku
melihatnya, dan aku kagum sekali menyaksikan gerakan Nona yang amat cepat.”
”Hemm, kalau
gerakanmu demikian cepat tentu akan dapat menangkap mereka. Tahukah engkau,
apakah benda-benda itu tadi?”
“Aku pun
tidak tahu, Nona. Melihat jaraknya, seperti sepasang mata, akan tetapi kalau
sampai Nona yang demikian cepat gerakannya tidak dapat menangkap mereka, aku
bukan seorang yang percaya akan tahyul, hanya... kiranya tak mungkin manusia
memiliki mata seperti itu. Aihh, sampai sekarang pun aku masih merasa ngeri dan
merasa seolah-olah saat ini banyak pasang mata yang memandang dan mengintai
kita.”
Siauw Bwee
bergidik, hatinya ngeri, akan tetapi juga agak lega dan girang bahwa dia
mendapatkan seorang kawan dalam hutan yang menyeramkan ini. Tanpa disengaja
matanya melirik ke bawah dan memperhatikan kedua kaki pemuda itu. Pemuda yang
tampan sekali, sikapnya yang halus seperti itu jarang ia jumpai, dan munculnya
tidak wajar. Jangan-jangan penjelmaan iblis dan siluman, siapa tahu?
Tiba-tiba
pemuda itu tertawa geli. “Ampun, Nona. Harap jangan menyangka bahwa aku ini
siluman! Sungguh mati, aku manusia biasa!”
Wajah Siauw
Bwee menjadi merah dan ia pun tersenyum. “Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku
menyangka engkau siluman?”
“Nona memandang
ke arah kakiku untuk melihat apakah kedua kakiku menginjak tanah, bukan?
Menurut dongeng, bangsa siluman kalau menjelma menjadi manusia dapat dikenal
dari kakinya yang tidak menginjak tanah, melainkan berada sejengkal di atas
tanah, dan kalau ada cermin, dia tidak mempunyai bayangan.”
“Ihh, aku
harus berhati-hati terhadapmu. Engkau sopan, jujur dan cerdik sekali. Dan
hatiku masih panik oleh rasa ngeri memikirkan benda-benda mencorong itu.”
Pemuda itu
mengangguk. “Kalau tidak bertemu di sini, agaknya aku pun akan takut setengah
mati. Untung kita saling bertemu dan sebaiknya malam ini kita bersikap waspada.
Engkau mengasolah, Nona. Biar aku yang menjaga. Menurut dongeng, bangsa siluman
takut akan api, maka api unggun ini harus selalu dijaga jangan sampai padam.”
Siauw Bwee
menggeleng kepala. “Setelah munculnya makhluk-makhluk aneh itu, mana aku dapat
tidur? Engkau tidurlah, biar aku yang menjaga api. Kalau mereka itu betul
makhluk hidup dan muncul lagi... hemmm, ingin aku menggempur mereka!”
“Tidak,
Nona. Engkau yang harus tidur dan aku yang menjaga.”
“Tidak! Aku
yang menjaga!”
Keduanya
saling pandang dan melihat pemuda itu memandangnya dengan mata terbelalak penuh
keheranan dan kegelian hati, mau tidak mau Siauw Bwee tersenyum. Mereka baru
saja bertemu, sudah berbantahan!
“Aku telah
tahu bahwa ilmu kepandaian Nona hebat bukan main, mungkin sepuluh kali tingkat
kepandaianku. Akan tetapi, betapa pun juga, Nona adalah seorang wanita dan aku
seorang pria. Mana mungkin seorang pria yang tahu akan susila dapat tidur pulas
dan membiarkan seorang wanita melakukan penjagaan? Biar pun bodoh, aku tidaklah
sekasar dan kurang ajar seperti itu, Nona.”
Siauw Bwee
tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, aku akan mengaso dulu. Akan tetapi begitu
muncul lagi benda-benda mencorong seperti tadi, jangan ragu-ragu untuk
membangunkan aku. Dan jangan lupa, kita bergilir. Kalau bulan secuwil di atas
itu sudah lenyap, tibalah saatnya giliranku menjaga dan engkau mengaso.”
Yu Goan
mengangguk. “Baiklah.”
“Akan tetapi
awas, jangan kau terlalu sungkan dan membiarkan aku tidur terus sampai siang.
Aku akan marah!”
Yu Goan
tersenyum. Makin tertarik hatinya. Dara itu cantik jelita melebihi bidadari
impian hatinya, berilmu tinggi sekali, pemberani dan tabah sehingga seorang
diri berani bermain di dalam hutan, dirundung keprihatinan yang tadi memancing
keluarnya mutiara air mata mendatangkan perasaan iba di hatinya, dan sekarang
ternyata selain berwatak halus dan bersikap ramah, juga sikapnya terbuka, polos
dan jujur! Seorang dara yang menonjol di antara laksaan orang gadis lain!
Siauw Bwee
rebah miring membelakangi api unggun dan Si Pemuda. Biar pun dia merasa yakin
akan sifat-sifat baik pemuda itu, namun hatinya masih penuh kengerian, maka dia
hanya akan merasa aman kalau tidur sambil menghadap ke arah kegelapan dari mana
tadi muncul benda-benda aneh.
Hati Yu Goan
merasa lega. Kalau gadis itu rebah miring menghadap ke arahnya, tentu dia tidak
akan berani menatap wajah gadis itu. Kini gadis itu membelakanginya sehingga dia
mendapat kebebasan untuk memandangnya, biar pun dia hanya dapat mengagumi
lekuk-lengkung tubuh belakang di balik pakaian sederhana, dan sedikit kulit
tengkuk putih kuning yang membayang di antara dua kepang rambut yang hitam
subur, anak-anak rambut yang melingkar indah di atas tengkuk, dan garis pipi
kemerahan dilindungi sebuah telinga yang kecil panjang dan tipis.
Semalam
suntuk tidak terjadi sesuatu, tidak ada benda-benda mencorong atau makhluk aneh
muncul. Yu Goan tenggelam dalam kekaguman sehingga dia tidak merasa betapa
malam telah lewat. Dirasakannya sebentar saja dan tahu-tahu dia mendengar bunyi
ayam hutam berkokok dan sinar keemasan membayang di timur. Malam telah lewat
dan pagi mulai menjenguk di ambang timur!
Siauw Bwee
mengulet enak sekali, membalikkan tubuh, menegangkan otot-otot dan
mengembangkan kedua lengan ke atas kepala, menguap kecil. Pemandangan ini
sedemikian indah mengharukan bagi Yu Goan, membuatnya terpesona. Akan tetapi
ketika hatinya mencela mata yang menikmati pemandangan itu, dia cepat menunduk,
mengalihkan pandang dari tubuh dan muka yang kini telentang itu.
Kokok ayam
hutan memasuki pendengaran Siauw Bwee dan seketika dia meloncat bangun,
membalik dan memandang ke arah api unggun yang masih menyala dan ke arah pemuda
yang masih duduk dekat api unggun. Mata gadis itu bersinar marah dan ia
membentak, “Terlalu sekali! Sudah pagi! Mengapa kau tidak membangunkan aku?
Mengapa membiarkan aku tidur kesiangan dan tidak memberi kesempatan padaku
untuk melakukan gilir berjaga? Apa maksudmu?”
Yu Goan
bangkit berdiri dan menjawab halus, “Maaf, Nona. Hanya ada dua pilihan bagiku
malam tadi. Pertama, aku harus melihat Nona terganggu dari tidur nyenyak kalau
aku membangunkan Nona. Kedua, aku harus menghadapi kemarahan Nona kalau aku
tidak membangunkan Nona. Dari dua pilihan itu, aku memilih yang kedua. Aku
menerima salah dan siap menerima hukuman.”
Bagaimana
mungkin orang bisa marah menghadapi sikap yang menyerah seperti ini? Apa lagi
pemuda itu jelas bermaksud bahwa rela dimarahi dari pada mengganggunya dari
tidur nyenyak! Kalau dia toh marah terus, berarti dia yang keterlaluan!
Seketika kejengkelan hati Siauw Bwee lenyap dan dara ini menurunkan kedua
lengan yang tadi menegang, membanting kaki kiri dan berkata, “Aihhhh! Engkau
membikin aku tidak enak saja. Kalau tahu begini, aku tidak mau tidur sedikit
pun juga, apa lagi tidur semalam suntuk dan membiarkan engkau melakukan
penjagaan!”
“Tapi aku
senang sekali melakukan penjagaan, Nona. Dan semalam tidak ada muncul peristiwa
sesuatu. Agaknya iblis-iblis itu telah merasa takut mendengar ancamanmu.”
Siauw Bwee
teringat dan cepat ia menyambar pedangnya, digantungkan di punggung. “Ahh,
sekarang kita dapat mencari iblis-iblis itu! Kalau ada jejak kakinya, berarti
bukan iblis!”
“Engkau
benar, Nona. Mari kita mencari!”
Dua orang
muda itu lalu mencari di antara rumput alang-alang dan tetumbuhan di sekitar tempat
itu, di tempat-tempat di mana semalam mereka melihat benda-benda mencorong dan
dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat tapak kaki manusia!
“Bukan main!
Manusia-manusia apakah mereka yang memiliki mata mencorong seperti mata harimau?”
Yu Goan berseru.
“Hebatnya,
bagaimana mereka dapat bergerak demikian cepatnya?” Siauw Bwee berkata lirih.
Diam-diam ia
terkejut sekali. Setelah ia memiliki ilmu sakti gerak kaki tangan kilat dari
rombongan kaki buntung dan lengan buntung, ginkang-nya mencapai tingkat tinggi
sekali. Akan tetapi mengapa semalam dia tidak mampu menangkap orang-orang aneh
ini? Mungkinkah mereka memiliki kepandaian menghilang seperti setan?
“Jumlah
mereka banyak dan tapak kaki mereka menuju ke satu jurusan. Kita dapat mengikuti
mereka.” Yu Goan berkata sambil meneliti tanah.
“Hemm, aku
merasa curiga sekali. Mari kita cari mereka!” Siauw Bwee berkata.
Kedua orang
itu lalu berjalan mengikuti arah jejak tapak kaki yang menuju ke selatan.
Setelah berjalan dua jam lamanya, mereka berdua berhenti di tepi sebuah tebing
yang amat curam.
“Ah, tentu
di bawah itu sarang mereka...!” kata Yu Goan menunjuk ke bawah.
Tebing itu
amat curam, kiranya tidak kurang dari dua ribu kaki. Dan jauh di bawah sana,
kelihatan kecil sekali seperti mainan kanak-kanak, tampak sebuah perkampungan
kecil dengan beberapa buah rumah sederhana. Lembah di bawah itu kelihatan
sunyi, seolah-olah perkampungan itu tidak ada penghuninya.
“Aneh
sekali. Lembah di bawah itu dikelilingi tebing yang begini curam, seolah-olah
terpisah dari dunia ramai. Siapakah gerangan yang tinggal di bawah sana?” Siauw
Bwee berkata, termangu-mangu.
“Sebaiknya
kita mencari jalan turun ke sana untuk menyelidikinya, Nona.”
“Memang
begitu kehendakku. Akan tetapi, aku mendapat firasat di hati bahwa tempat itu
amat berbahaya, dan agaknya orang-orang yang tinggal di tempat seperti itu
tentulah orang-orang aneh yang berilmu tinggi. Aku tidak ingin melihat engkau
menghadapi mala-petaka di sana, Yu-twako.”
Yu Goan
menoleh, mereka berpandangan dan pemuda itu tersenyum. “Engkau baik sekali,
Nona. Jangan khawatir, aku dapat menjaga diri dengan pedangku.”
Sejenak
Siauw Bwee memandang pemuda itu. Akhirnya ia tersenyum dan mengangguk, “Baiklah,
aku pun percaya bahwa engkau bukanlah seorang yang mudah dikalahkan, Yu-twako.
Mari kita mencari jalan turun!”
“Nanti dulu,
Nona!”
Siauw Bwee
membalikkan tubuh dan melihat pemuda itu memandangnya penuh perhatian, ia
bertanya, “Ada apakah?”
Pemuda itu
kelihatan bingung dan ragu-ragu, agaknya sukar sekali membuka mulut menyatakan
isi hatinya. “Harap Nona sudi memaafkan kalau aku bersikap kurang ajar, karena
sungguh tidak sopan bagi seorang pemuda untuk mengajukan pertanyaan ini kepada
seorang dara terhormat...”
“Aihhh,
katakanlah. Apa yang ingin kau katakan, Twako? Engkau terlalu sungkan.”
”Aku
terpaksa mengajukan pertanyaan ini, Nona, mengingat bahwa kita telah saling
berkenalan dan kita bersama menghadapi hal yang belum kita ketahui bagaimana
sifatnya, mungkin berbahaya.”
Siauw Bwee
mengangguk tak sabar. “Tanyalah!”
“Aku ingin
mengetahui siapakah Nona? Dan siapakah nama Nona yang mulia?”
Siauw Bwee
tertawa dan menggunakan tangan kiri menutupi mulut. “Hi-hi-hik! Engkau
benar-benar lucu sekali, Twako! Engkau terlalu ditekan dan diselubungi
kesopanan sehingga kelihatan lucu! Bertanya nama saja apa sih dosanya? Tentu
saja kau boleh menanyakan namaku, bahkan aku yang lupa belum memperkenalkan
diri, padahal aku telah mengetahui namamu. Mengapa kau ragu-ragu dan malu-malu,
minta maaf segala? Dengarlah, namaku adalah Khu Siauw Bwee.”
“Khu Siauw
Bwee...?” Yu Goan mengingat-ingat, akan tetapi merasa belum pernah mendengar
nama ini. Tiba-tiba ia mengangkat muka memandang. “Khu-lihiap (Pendekar Wanita
she Khu), aku pernah mendengar nama besar murid dari pendekar sakti Kam Liong
yang menjadi menteri. Murid Menteri Kam Liong itu seorang pahlawan yang gagah
perkasa, dan yang telah gugur bersama gurunya di kota raja karena fitnah.
Namanya Khu Tek San, dan mengingat she itu...” Yu Goan berhenti bicara dan
memandang terbelalak ke wajah jelita yang berubah agak pucat. Dua butir air
mata menitik turun dan bibir yang kecil merah itu bergerak-gerak lalu digigit.
“Khu-lihiap,
maafkan aku. Apakah mendiang Khu Tek San itu...”
Siauw Bwee
mengangguk. “Dia adalah ayahku sendiri!”
Yu Goan
cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada, membungkuk penuh hormat.
“Ahhh, sudah
kuduga bahwa Nona tentulah bukan orang sembarangan! Kiranya puteri mendiang
Khu-ciangkun, murid yang setia dan gagah perkasa dari mendiang Menteri Kam yang
terkenal di seluruh dunia! Maafkan kalau aku bersikap kurang hormat, Lihiap!”
Siauw Bwee
menarik napas panjang. “Sudahlah, Twako. Sikapmu yang terlalu sungkan dan
hormat itu bisa membuat orang salah mengerti, mengira bahwa engkau memiliki
watak penjilat. Bagimu mungkin aku puteri seorang pahlawan, akan tetapi banyak
orang menganggap aku puteri seorang pemberontak! Aku tahu bahwa engkau seorang
yang terpelajar dan berbudi halus, penuh kesopanan, dan aku suka bersahabat
denganmu, Twako. Akan tetapi kalau engkau tidak membuang sikapmu yang sungkan
dan sopan itu, aku akan benci padamu. Aku paling tidak suka melihat pria yang
menunduk-nunduk seperti seorang penjilat!”
Wajah Yu
Goan menjadi merah sekali. “Tidak ada seujung rambut pun di dalam hatiku ingin
menjilat kepadamu atau kepada siapa pun di dunia ini, Nona. Sikapku tidak
kubuat-buat dan sewajarnya, sesuai dengan pelajaran-pelajaran yang semenjak
kecil kuterima dalam pendidikan. Karena itu maafkan aku, Lihiap.”
“Twako, aku
ingin sekali mengetahui bagaimana engkau bisa mengenal ayahku, dan mengenal
nama Menteri Kam?”
“Ayah
bundaku mengenal baik Menteri Kam yang sakti, Nona. Terutama sekali ayahku, dia
banyak bercerita tentang pendekar-pendekar sakti keturunan Suling Emas. Ayah
amat kagum terhadap keturunan Suling Emas, kekaguman yang tertanam pula di
dalam hatiku. Ah, betapa ayah dan ibu akan merasa bangga bahwa aku dapat
bertemu dan bersahabat dengan puteri Khu-ciangkun yang terkenal, murid Menteri
Kam!”
“Sudahlah,
Twako. Aku menjadi pening mendengar pujian-pujian dan segala nama besar yang
kosong itu! Lihat, di bawah itu mulai ada gerakan!” Siauw Bwee menuding.
Ketika Yu
Goan memandang ke bawah, dia melihat pula manusia manusia bergerak ke sana ke
mari akan tetapi karena jaraknya amat jauh sehingga manusia-manusia di bawah
itu hanya kelihatan sebesar jari tangan, maka mereka tidak dapat melihat jelas.
Dengan
hati-hati dari berindap-indap, Siauw Bwee dan Yu Goan mencari jalan turun ke
lembah di bawah yang penuh rahasia itu. Akan tetapi dengan kaget mereka
mendapat kenyataan bahwa tebing yang amat curam itu tidak mungkin dapat
dituruni. Mana mungkin turun melalui dinding karang yang ratusan kaki
tingginya, licin dan tegak tidak ada tempat kaki berpijak atau tangan
bergantung? Untuk menggunakan ginkang meloncat ke bawah? Lebih tak masuk akal
lagi.
Namun Siauw
Bwee dan Yu Goan bukanlah orang-orang lemah yang muda berputus asa. Mereka
terus mencari, meneliti setiap kemungkinan menuruni tebing dan memeriksa
sekeliling tebing yang berada di situ. Sampai setengah hari mereka mencari
jalan turun, namun hasilnya sia-sia.
Lembah di
bawah itu, perkampungan yang aneh, dikelilingi tebing terjal yang tidak mungkin
dituruni atau didaki. Seekor monyet sekalipun kiranya tak mungkin menuruni
tebing itu yang halus licin tanpa ada tempat menahan tubuh. Perkampungan di
lembah bawah itu seolah-olah terputus sama sekali dari dunia luar daerah
mereka. Mereka seperti hidup di dalam sebuah mangkok, tidak mungkin dapat
menjenguk ke luar dari bibir mangkok yang merupakan tebing yang mengelilingi
tempat tinggal mereka.
Akhirnya
Siauw Bwee dan Yu Goan terpaksa mengaku kalah. Mereka telah melakukan
pemeriksaan mengitari sekeliling lembah sampai kembali ke tempat mereka
berangkat, tempat mereka mula-mula melakukan pemeriksaan. Keduanya duduk
mengaso di tepi tebing sambil memandang ke bawah dengan hati penasaran.
Dari atas
tampak manusia di bawah itu menuju ke suatu tempat di tengah perkampungan,
kemudian tampak api bernyala, asap mengepul tinggi seolah-olah mereka yang
berada di bawah itu membakar sesuatu. Terlalu tinggi tempat itu untuk dapat
melihat jelas apa yang dikerjakan oleh manusia-manusia di lembah itu.
“Tanpa sayap
seperti burung, mana mungkin menuruni tempat itu?” Yu Goan berkata sambil
menghapus peluh dari lehernya.
“Memang
tidak mungkin, kecuali kalau menggunakan alat.” Siauw Bwee berkata memandang ke
bawah dengan alis berkerut. “Menggunakan kaitan besi atau tali untuk merayap ke
bawah.”
“Akan tetapi
terlalu berbahaya. Biar pun merayap ke bawah tidak amat berbahaya, namun kalau
orang-orang di bawah itu menyambut dengan sikap bermusuh, kita yang sedang
merayap tak berdaya itu tentu merupakan sasaran yang lunak.”
Siauw Bwee
mengangguk-angguk. “Memang aneh sekali. Makin sukar tempat itu didatangi, makin
tertarik hatiku untuk membongkar rahasia mereka itu. Yang mengherankan hati,
kalau memang benar mereka di bawah sana itu yang malam tadi mengganggu kita,
bagaimana cara mereka mendaki tebing?”
“Dan gerakan
mereka begitu cepat seperti menghilang!” Yu Goan berkata.
“Yu-twako,
awasss...!” Tiba-tiba Siauw Bwee berseru dan tubuhnya yang tadinya duduk di
atas rumput dekat pemuda itu, mencelat ke belakang, berjungkir-balik beberapa
kali.
Yu Goan
terkejut pula, meloncat ke atas dan ketika ia membalik, dengan kagum ia melihat
dara jelita itu telah mendorong roboh dua orang laki-laki yang bertubuh tegap
kuat dan berpakaian sederhana kasar seperti orang liar! Betapa cepatnya gadis
itu mengetahui kedatangan musuh dan betapa cepatnya bergerak merobohkan lawan!
Dari gerakan-gerakan itu mengertilah Yu Goan bahwa tingkat kepandaian dara ini
jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya, bahkan dia dapat menduga bahwa dara itu
lebih pandai dari pada ibunya, atau ayahnya sekali pun!

Akan tetapi
dia terkejut sekali ketika melihat bahwa yang datang mengurung tempat itu bukan
hanya dua orang yang didorong roboh oleh Siauw Bwee tadi, melainkan banyak
sekali. Sebagian sudah memperlihatkan diri, dan masih banyak pula yang
menyelinap di balik pohon-pohon dan tetumbuhan!
Siauw Bwee
tadi sengaja mendorong dua orang terdekat sampai terguling, akan tetapi betapa
heran hatinya ketika melihat dua orang itu sudah meloncat bangun lagi! Ketika
ia tadi berloncatan berjungkir balik lalu menyerang, dua orang itu membuat
gerakan tangan yang baginya amat canggung dan tidak ada artinya sehingga mudah
saja dia mendorong mereka dan menotok pundak mereka. Akan tetapi sungguh luar
biasa. Kedua orang kasar itu bukan roboh tertotok, melainkan terguling karena
tenaga dorongan dan begitu menyentuh tanah mereka sudah meloncat bangun
kembali. Kini tampak belasan orang mengurung dia dan Yu Goan.
“Tahan!”
Siauw Bwee membentak ketika melihat orang-orang itu mulai bergerak hendak
menyerang.
Dia melihat
orang-orang ini bukan seperti perampok-perampok, bahkan mereka seperti
manusia-manusia liar dengan pakaian sederhana, muka yang membayangkan
kebodohan, akan tetapi sepasang mata mereka mengeluarkan sinar berkilat! Ah,
kiranya orang-orang inilah yang semalam mengintai. Mata mereka yang aneh
seperti mata harimau itu mencorong karena sinar api unggun!
Diam-diam
Siauw Bwee terheran-heran karena menurut penuturan suheng-nya, hanya
orang-orang yang memiliki sinkang tingkat tinggi saja yang dapat membuat matanya
mencorong seperti mata harimau. Dia dan suci serta suheng-nya pun dapat membuat
matanya mencorong kalau dia kehendaki, akan tetapi tentu saja dia tidak mau
melakukan itu karena hal demikian hanya akan membuat dia menjadi tontonan! Akan
tetapi orang-orang kasar ini semua memiliki sinar mata yang mencorong!
“Siapakah
kalian dan mengapa kalian mengurung kami berdua?” Siauw Bwee membentak.
Orang-orang
itu saling pandang, tidak ada yang menjawab.
“Heii!
Apakah kalian tuli, atau gagu?” Siauw Bwee membentak lagi.
“Mereka
hanya melaksanakan perintah!” Tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah
seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dari belakang sebatang
pohon besar.
Siauw Bwee
dan Yu Goan menoleh dan mereka mengerutkan kening melihat bahwa orang itu tidak
segolongan para pengepung tadi. Orang ini berpakaian biasa, bahkan pakaiannya
bersih dari sutera mahal, bentuk pakaian seorang sastrawan, tubuhnya tinggi
kurus dan wajahnya biasa saja. Akan tetapi anehnya, juga pancaran pandang mata
orang ini aneh, mencorong seperti semua orang liar itu.
“Perintah
siapa?” Siauw Bwee bertanya, maklum bahwa tentu sastrawan inilah yang menjadi
komandan pasukan orang liar yang mengepung.
“Tentu saja
perintah ketua kami. Kalian berdua memasuki daerah kami, daerah terlarang,
karenanya kalian harus menyerah sebagai tawanan kami untuk kami bawa menghadap
Ketua!”
“Hemm, kami
berdua tidak salah apa-apa, mengapa akan dijadikan tawanan?” Yu Goan membantah.
“Mau apa kalian menawan kami?”
Sastrawan
itu memandang Yu Goan dan tersenyum mengejek. “Hanya ketua kami yang akan
memutuskan.”
“Aku tidak
sudi menyerah!” Siauw Bwee membentak. “Pergilah kalian, jangan menggangguku.
Kalian akan menyesal nanti!”
Sastrawan
itu mengerutkan kening, memberi aba-aba dan menyerbulah belasan orang liar itu.
Gerakan mereka kaku sekali, akan tetapi baik Siauw Bwee mau pun Yu Goat
terkejut sekali ketika dari gerakan tangan mereka itu menyambar hawa pukulan
yang amat dahsyat!
“Hati-hati,
Twako. Sinkang mereka amat kuat!” Siauw Bwee berseru.
Dara perkasa
ini sengaja berkelebat cepat mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan,
mempergunakan ilmu mukjizat gerak kaki tangan kilat sehingga dalam sekejap mata
saja dia sudah merobohkan delapan orang terrnasuk Si Sastrawan! Akan tetapi
kembali dia terkejut karena seperti halnya dua orang yang pertama kali dia
robohkan tadi, delapan orang ini pun meloncat bangun begitu tubuh mereka
terbanting ke tanah, sedikit pun tidak tampak tanda-tanda mereka itu menderita
nyeri.
Yu Goan juga
cepat mengerahkan ginkang-nya untuk mengelak ke sana-sini, karena tanpa
peringatan Siauw Bwee pun dia maklum betapa pukulan-pukulan para pengurung liar
ini mendatangkan angin keras. Sambil mengelak dia sudah menotok jalan darah di
leher seorang pengeroyok, dan pada detik berikutnya, kakinya sudah menendang
sambungan lutut seorang pengeroyok lain. Kedua orang itu terpelanting, akan
tetapi mereka mencelat bangun lagi. Baik totokannya mau pun tendangannya hanya
membuat kedua orang itu terpelanting, akan tetapi sama sekali tidak melumpuhkan
mereka.
Berkali-kali
Siauw Bwee dan Yu Goan merobohkan para pengeroyok yang ternyata tidak memiliki
ilmu silat tinggi. Bahkan Si Sastrawan itu hanya memiliki ilmu silat yang bagi
Siauw Bwee biasa saja. Akan tetapi jelas terbukti bahwa segala macam pukulan,
totokan, tendangan, tidak mampu merobohkan para pengeroyok yang agaknya
memiliki kekebalan luar biasa, atau tubuh mereka seolah-olah dilindungi oleh
semacam hawa mukjizat.
Siauw Bwee
merasa terheran-heran dan diam-diam ia mencurahkan perhatian untuk menyelidiki
keadaan lawan. Ketika ia sengaja menerima pukulan dengan telapak tangannya, ia
merasa ada hawa yang panas keluar dari kepalan orang itu, yang cepat dapat ia
enyahkan dengan sinkang-nya. Akan tetapi pukulan kedua orang dari orang yang
sama, mengandung hawa yang sejuk nyaman. Im-kang yang aneh ini tentu saja dapat
juga ia lawan dengan sinkang yang amat tinggi dan kuat, yang ia latih di Pulau
Es. Biar pun Siauw Bwee belum tahu dengan jelas, namun kini ia sudah dapat
menduga bahwa para pengeroyoknya itu biar pun tidak memiliki ilmu silat tinggi,
namun memiliki inti tenaga sinkang yang amat kuat dan aneh, dan agaknya mereka
yang masih rendah ilmu silatnya ini secara luar biasa telah dapat menggabungkan
tenaga sakti Im dan Yang.
“Twako,
pergunakan senjatamu!” tiba-tiba Siauw Bwee berseru dan dia sendiri mencabut
pedangnya.
“Sing!
Singgg!” Dua sinar berkelebat ketika dua orang muda itu mencabut pedang mereka.
Benar saja seperti yang diduga Siauw Bwee, kecuali Si Sastrawan, para
pengeroyok itu kelihatan jeri.
"Twako,
robohkan akan tetapi jangan bunuh orang!" Kembali Siauw Bwee berseru dan
diam-diam Yu Goan menjadi makin suka dan kagum kepada dara perkasa itu yang
ternyata selain lihai, cantik jelita, juga hatinya lembut, tidak kejam.
Orang-orang
ini biar pun kelihatan jeri, namun mereka itu menyerbu dengan nekat. Yu Goan
membacokkan pedangnya, mengarah bagian yang tidak berbahaya. Dua kali pedangnya
berkelebat, menyambar pangkal lengan seorang dan paha orang kedua.
"Plak!
Plak!" Pedangnya itu mengenai sasaran, akan tetapi telapak tangannya
terasa panas karena dua kali pedangnya membalik seperti membacok karet yang
ulet dan kuat.
Dua orang
itu terhuyung. Pangkal lengan dan paha yang terbacok itu terluka, akan tetapi
lukanya hanya merupakan goresan pada kulit saja, sedangkan dagingnya tidak
terluka sama sekali. Darah yang keluar hanya merupakan goresan merah pada kulit
yang terbacok. Ternyata baju mereka lebih parah terobek pedang dari pada kulit
mereka..
Demikian
pula Siauw Bwee mengalami hal yang sama. Dia kaget dan makin kagum. Hebat
sekali kekebalan yang dimiliki oleh orang kasar ini. Sungguh aneh sekali. Tentu
mereka ini orang-orang yang kasar dan bodoh, telah menerima ilmu berlatih
sinkang yang amat mukjizat! Apa lagi ketika ia menyerang Si Sastrawan yang
dianggapnya pimpinan orang-orang itu, dia lebih terkejut lagi...
PEDANGNYA
selalu mencong arahnya, menyeleweng ketika ujungnya mendekati tubuh Si
Sastrawan, seolah-olah ada tenaga tak tampak yang mendorong senjatanya ke
samping! Hal ini membuktikan sinkang yang amat kuat, dan untung baginya bahwa
sinkang kuat yang dimiliki orang-orang ini, terutama Si Sastrawan, hanya mereka
kuasai untuk melindungi tubuh saja. Kalau sinkang yang sedemikian kuatnya itu
dapat mereka pergunakan untuk menyerang, agaknya dia sendiri belum tentu akan
mampu menandingi pengeroyokan orang-orang yang sehebat itu tenaga sinkang-nya!
“Tangkap
mereka dengan jala!” tiba-tiba Si Sastrawan mengeluarkan aba-aba.
“Wuuuuttt!
Wuuuuutttt!” Para pengeroyok itu dengan cepat sekali telah mengeluarkan jala
yang istimewa.
Jala ini
amat lebar dan ringan, namun demikian kuat sehingga dengan jala ini mereka
biasanya menangkap binatang-binatang buas seperti harimau, beruang dan
lain-lain! Juga agaknya mereka ahli mainkan jala-jala itu yang kedua ujungnya
dipegang oleh dua orang, kemudian mereka mengayun dan menggerakkan jala-jala
itu seperti orang bermain tari naga. Bagaikan dua ekor naga besar, kini dua
buah jala yang dimainkan empat orang itu menyerang Siauw Bwee dan Yu Goan.
Sedangkan para pengeroyok lain masih tetap mengeroyoknya, terutama Si Sastrawan
yang melancarkan pukulan-pukulan berat kepada Yu Goan, sedangkan Siauw Bwee
dikeroyok sisa-sisa orang liar itu.
Yu Goan
menggerakkan pedangnya membacok sekuat tenaga untuk memutus jala yang
melayang-layang ringan di atas kepalanya itu. Akan tetapi betapa kaget hatinya
ketika ia mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak mampu membikin putus tali
jala. Kiranya jala itu terbuat dari pada benang-benang yang amat luar biasa,
berwarna hitam mengkilap dan amat ringan, halus dan ulet sekali, dapat mulur
sehingga bacokan senjata tajam itu sama sekali tidak berbekas. Yu Goan merasa
seolah-olah senjatanya membacok asap saja!
Sementara
itu, jala yang melayang-layang itu menyambar turun. Yu Goan cepat meloncat jauh
ke kiri untuk mengelak. Dua orang pengeroyok menubruknya dari kanan kiri dan
dia berhasil membuat mereka terhuyung-huyung dengan pukulan tangan kiri dan
sabetan pedang ke arah kaki orang kedua.
“Dukkk!”
Pukulan Si Sastrawan menyerempet punggungnya.
Yu Goan
terhuyung, pandang matanya berkunang. Biar pun pukulan itu tidak tepat kenanya,
namun karena mengandung tenaga sinkang yang hebat, dia merasa tubuhnya tergetar
dan cepat-cepat pemuda ini mengatur pernapasan. Pada saat itu bayangan jala
sudah melayang turun lagi menimpa ke arah kepalanya!
Yu Goan
melempar tubuhnya ke bawah dan berusaha mengelak dengan cara bergulingan ke
atas tanah. Akan tetapi ternyata dua orang yang memegang jala itu adalah
ahli-ahli yang cekatan sekali. Jala mereka sudah melayang dan kalau tadi
bergulung-gulung kini jala itu terbuka dan terbentang selebarnya, langsung
menutup tubuh Yu Goan yang tidak mungkin mengelak lagi.
Yu Goan
makin kaget dan cepat ia mengerahkan ginkang-nya, meloncat bangun dan memutar
pedangnya. Akan tetapi jala itu seperti hidup, bergerak menggulungnya dan makin
keras ia meloncat, makin keras pula ia terbanting karena jala itu bersifat
mulur seperti karet namun kuat melebihi baja. Tubuh Yu Goan tergulung jala dan
pedangnya terlepas, jauh di luar jala. Ketika Yu Goan hendak mengambilnya,
pedang itu sudah disambar oleh seorang pengeroyok. Kemudian jala itu terus
diguling-gulingkan sehingga tubuh Yu Goan terbelit-belit ketat dan tak dapat
berkutik pula!
MELIHAT ini
Siauw Bwee kaget dan marah sekali. Dengan sinkang-nya yang istimewa kuatnya itu
pun Siauw Bwee tidak mampu membikin putus jala dengan pedangnya. Akan tetapi
dengan ginkang-nya yang membuat dia bergerak seperti kilat itu membuat mereka
yang menggunakan jala tidak mungkin dapat menangkapnya!
Dara itu
mencelat ke sana sini, dikejar bayangan jala sehingga kelihatannya seperti dia
bermain-main, di antara dua orang pemegang jala, bermain loncat-loncatan dengan
gaya yang indah sekali! Kini keadaannya berubah. Melihat Yu Goan tertawan,
Siauw Bwee mengeluarkan suara melengking nyaring, pedangnya bergerak ke depan
dan robohlah seorang pemegang jala dengan kulit dada robek dari kiri ke kanan,
lukanya cukup dalam karena dalam penyerangannya sekali ini Siauw Bwee menambah
tenaganya.
“Bebaskan
dia, kalau tidak, aku akan membunuh kalian semua!” bentaknya.
Didahului
sinar pedangnya yang berkelebat, bagai seekor burung garuda menyambar, tubuhnya
sudah melayang ke arah Si Sastrawan. Sastrawan itu cepat mengelak, akan
tetapi....
“Brettt!”
kedua helai pita rambut sastrawan itu yang panjang terbabat putus!
“Kalau tidak
kau lepaskan dia, lehermu yang akan putus!” Siauw Bwee yang sudah marah sekali
itu membentak.
Tiba-tiba
sastrawan itu menggulingkan tubuhnya, bergulingan dan tahu-tahu ia sudah berada
di dekat Yu Goan yang sudah terbelenggu seluruh tubuhnya oleh jala dan tak
dapat bergerak itu.
“Bergeraklah
dan sahabatmu ini akan kubunuh lebih dulu!” Si Sastrawan berseru sambil
menodongkan pedang Yu Goan ke punggung pemuda yang rebah miring itu.
Siauw Bwee
terkejut, terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Tak disangkanya bahwa Si
Sastrawan itu ternyata amat cerdik dan licik. Pada saat dia terkejut dan
berdiri termangu itu, tiba-tiba sebuah jala melayang dari atas dan tahu-tahu
tubuhnya sudah tertutup jala.
Siauw Bwee
kaget dan cepat ia mencelat ke atas. Jala itu terbawa melayang ke atas dan
ketika kedua orang pemegangnya menggerakkan tangan, jala itu terputar-putar
dengan tubuh Siauw Bwee di dalamnya. Akan tetapi tiba-tiba dara perkasa itu
berseru keras dan tubuhnya dalam jala meluncur dengan kekuatan yang luar biasa
sehingga dua orang pemegang jala di kanan kiri itu tidak dapat bertahan dan
mereka ikut tertarik, roboh terseret ke depan!
Para
pengeroyok, dan juga Si Sastrawan yang meninggalkan Yu Goan untuk membantu
teman-temannya menundukkan dara yang amat lihai itu, datang menyerbu ke arah
tubuh Siauw Bwee yang sudah mulai tergulung jala. Akan tetapi biar pun tubuhnya
sudah dibelit-belit jala, Siauw Bwee masih memegang pedangnya. Begitu tubuhnya
mencelat ke depan, robohlah tiga orang pengeroyok termasuk Si Sastrawan yang
kena ditendang dadanya, seorang dipukul kepalanya dan seorang lagi hampir putus
pahanya terkena pedang dara perkasa itu yang meluncur keluar dari dalam jala!
“Tahan...!”
tiba-tiba terdengar seruan halus.
Mendengar
seruan ini, para pengeroyok seketika menghentikan sernua gerakan mereka dan
menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, kecuali Si Sastrawan yang berdiri
dengan muka tunduk ke arah kakek yang tiba-tiba muncul di tempat itu.
“Lepaskan
mereka berdua! Buka jala-jala itu!” Kembali kakek itu berseru halus dan para
pengeroyok tadi kini sibuk membuka jala dari kanan kiri dan melepaskan
belitan-belitan yang amat kuat itu.
Yu Goan yang
sudah terbebas dari dalam jala menyambar pedang dan sarung pedangnya yang
dilempar di atas tanah oleh Si Sastrawan, kemudian pemuda itu berdiri dekat
Siauw Bwee yang sudah bebas lebih dulu. Mereka berdiri memandang kakek yang
datang itu dan siap menghadapi segala kemungkinan tanpa mengeluarkan suara.
Ketika mereka mengerling kiranya di situ sudah berkumpul banyak sekali
orang-orang liar itu.
Ada pun
kakek yang muncul itu agaknya adalah ketua mereka, melihat dari sikap hormat
dan takut semua orang liar, kecuali Si Sastrawan yang kelihatannya bersikap takut
hormat buatan. Sikapnya yang palsu ini diam-diam tidak terlepas dari pandang
mata Yu Goan dan Siauw Bwee.
Kakek itu
sudah tua sekali, jenggot dan rambutnya yang tidak terpelihara baik-baik itu
sudah putih. Matanya cekung dan tubuhnya yang jangkung itu amat kurus, akan
tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar yang aneh, lebih mencorong dari pada
mata orang-orang liar itu! Pakaiannya juga sederhana sekali sehingga tampak
jelas betapa bedanya dengan pakaian Si Sastrawan.
“Jala-jala
itu kubikin untuk menangkap binatang buas, untuk memenuhi kebutuhan perut kita.
Mengapa sekarang kalian pergunakan untuk menangkap manusia-manusia? Bukankah
aku sudah melarang kalian bertanding dengan orang luar?”
Para
pengeroyok tadi tidak ada yang menjawab, hanya berlutut dan menundukkan muka,
akan tetapi beberapa orang di antara mereka melirik ke arah Si Sastrawan,
seolah-olah menyerahkan jawabannya kepada sastrawan itu.
Kakek itu
dapat menangkap sikap anak buahnya ini, maka dia menoleh ke arah sastrawan itu
dan berkata, “Ang-siucai, engkau adalah tamu terhormat di sini, mengapa membawa
anak buah kami untuk mengeroyok dua orang muda ini?”
Sastrawan
itu menjura dan menjawab dengan suara tenang, “Harap Pangcu (Ketua) suka
memaafkan saya. Karena dua orang ini melanggar wilayah Pangcu dan sikap mereka
mencurigakan, maka saya mengusulkan kepada kawan-kawan untuk menangkap mereka
dan membawa mereka ke depan Pangcu untuk diadili. Akan tetapi mereka berdua
tidak mau menyerah, bahkan melawan sehingga terjadilah pertempuran.”
Anak buah
orang-orang liar itu bersama Si Sastrawan lalu bangkit dan pergi dari situ
dengan kepala menunduk. Mereka itu semua kelihatan patuh dan sama sekali tidak
memperlihatkan muka penasaran, akan tetapi dengan kerling matanya Siauw Bwee
dapat menangkap ketidak-puasan membayang di wajah sastrawan itu, bahkan mulut
sastrawan itu membayangkan senyum mengejek. Hemm, orang itu bukan seorang
baik-baik, pikir Siauw Bwee. Akan tetapi karena urusan orang-orang itu tidak
ada sangkut-pautnya dengan dia, maka dia pun diam saja dan hanya memandang
kakek yang masih berdiri di depannya.
Kakek itu
sejenak memandang kepada Yu Goan, kemudian memandang lebih lama dan penuh
perhatian kepada Siauw Bwee, kemudian membungkuk dan berkata, “Harap Ji-wi suka
memaafkan kekerasan anak buahku yang tidak berpendidikan. Melihat
gerakan-gerakan Lihiap tadi, aku percaya bahwa Lihiap tentulah seorang pendekar
muda yang menjadi murid seorang sakti.”
Siauw Bwee
tersenyum. Biar pun sederhana keadaannya, kakek ini tidaklah sebodoh orang-orang
kasar tadi, maka dia pun mengangkat kedua tangan memberi horrnat seperti yang
dilakukan Yu Goan lalu berkata, “Kami berdua hanya kebetulan saja lewat di
hutan sana, akan tetapi malam tadi anak buahmu mengintai kami. Kami menjadi
curiga dan mengikuti jejak mereka sampai di sini dan tiba-tiba kami dikeroyok.
Pangcu siapakah dan perkumpulan apakah yang Pangcu pimpin, dan di bawah tebing
sana itu... apakah ada hubungannya dengan Pangcu?”
Tiba-tiba
wajah kakek itu berubah agak pucat. Ia cepat menggeleng kepala sambil berkata,
“Harap Lihiap tidak bertanya-tanya lebih banyak lagi. Aku sudah mohon maaf atas
kelancangan anak buahku. Sudahlah, aku minta dengan hormat sukalah Ji-wi
meninggalkan tempat ini dan harap jangan menceritakan orang lain akan keadaan
kami, dan jangan pula kembali ke tempat ini. Percayalah, aku seorang tua yang
bicara demi kebaikan Ji-wi sendiri.”
Tiba-tiba
kakek itu mengerutkan keningnya, menyentuh dahi dengan tangan kanan. Mukanya
berubah pucat membiru, matanya dipejamkan, mulutnya menyeringai dan seluruh
tubuh tergetar menggigil seperti orang kedinginan hebat. Giginya saling beradu
dan akhirnya kakek itu menjatuhkan diri di atas tanah, mengeluh dan mengerang
kedinginan, mukanya makin membiru.
“Pangcu...”
“Sssttt...!”
Yu Goan mencegah Siauw Bwee dan ketika nona ini memandang temannya, pemuda itu
mendekati ketua itu dan memandang penuh perhatian dengan alis berkerut.
Kini wajah
kakek itu mulai putih kembali, dari biru menjadi putih dan tubuhnya tidak
menggigil lagi. Dia dapat duduk bersila tenang dan wajahnya yang pucat itu
mulai kemerahan. Akan tetapi betapa terkejut hati Siauw Bwee ketika melihat
bahwa muka itu makin lama makin merah dan tubuh kakek itu seolah-olah
mengeluarkan hawa panas yang sampai terasa olehnya. Kakek itu kembali tersiksa,
kini seperti seekor cacing terkena abu panas, bergulingan di atas tanah!
“Pangcu...”
Kembali Siauw Bwee melangkah maju.
“Jangan,
biarkan saja. Dia sedang terancam jiwanya oleh penyakit yang amat berat, aku
sedang mempelajari penyakitnya.”
Seperti tadi
Yu Goan mendekat dan memandang penuh perhatian. Siauw Bwee merasa heran dan
juga kagum. Kiranya pernuda itu, yang sudah ia saksikan ilmu silatnya yang
sungguh tak boleh dikatakan masih rendah tingkatnya, bahkan amat tinggi
mutunya, memiliki pula ilmu kepandaian pengobatan! Pemuda yang aneh dan
mengagumkan!
Kurang lebih
satu jam lamanya kakek itu menderita, akhirnya keadaannya tenang kembali. Dia
membuka mata, mengeluh dan meloncat bangun, menghapus keringat dari dahi dan
lehernya, memandang kepada dua orang muda itu dan berkata perlahan, “Maafkan...
ah, aku telah membuat Ji-wi kaget saja. Sedikit gangguan kesehatanku...”
“Gangguan
kesehatan? Aihh, Pangcu tidak tahukah Pangcu bahwa yang Pangcu ceritakan ini
bukan sekedar gangguan kesehatan, melainkan ancaman jiwa Pangcu? Pangcu telah
menderlta keracunan hebat sekali, racun yang menimbulkan hawa meresap ke dalam
pusar dan mempengaruhi seluruh tubuh Pangcu!”
Kakek itu
menjadi pucat wajahnya. “Bagaimana Sicu bisa tahu?”
“Sedikit-sedikit
aku tahu akan ilmu pengobatan, Pangcu. Bolehkah aku memeriksanya?”
Kakek itu
mengangguk-angguk, kemudian duduk bersila dan Yu Goan mempersilakan dia membuka
bajunya. Dengan gerakan tangan tetap pemuda itu lalu memeriksa denyut nadi,
kemudian menempelkan telapak tangan ke pusar dan ke atas kedua dada kakek itu.
Keningnya berkerut tanda bahwa pemuda itu memusatkan pikiran, kemudian berkata,
“Benar seperti dugaanku. Pangcu terkena racun yang amat hebat. Bukankah
kadang-kadang hawa sinkang di tubuh Pangcu tak dapat dikendalikan, di pusar
terasa sakit seperti ditusuk, dada sesak dan kadang-kadang terasa amat dingin
ada kalanya amat panas hampir tak tertahankan? Pandangan mata menjadi berkunang
telinga terdengar bunyi melengking?”
Kakek itu
terbelalak. “Sicu benar! Ahh, kiranya Sicu seorang ahli yang pandai. Bolehkah
aku mengetahui siapa guru Sicu?”
“Aku
mendapat ilmu pengobatan dari kakekku sendiri yang berjuluk Yok-sanjin.”
“Ahh,
kiranya Si Raja Obat Song Hai?” kakek itu berseru girang, lalu merangkap kedua
tangannya. “Mohon pertolongan Sicu untuk mengobati dan menolong nyawaku.”
“Sudah
menjadi kewajiban setiap orang untuk menolong sesamanya yang menderita, Pangcu.
Akan tetapi mengobati Pangcu tidaklah mudah, membutuhkan tenaga sinkang yang
amat besar dan pula bukan di sini tempatnya.”
“Ahh, aku
berlaku kurang hormat. Marilah, silakan Ji-wi datang ke tempat kami!”
Yu Goan
mengangguk dan Siauw Bwee memandang kepadanya dengan penuh rasa kagum. Mereka
berdua mengikuti kakek itu pergi meninggalkan tebing menuju ke dalam hutan.
Di tengah
jalan Siauw Bwee berkata, “Wah, kiranya engkau seorang ahli pengobatan yang
lihai, Yu-twako.”
“Ahh,
pengertianku hanya dangkal saja, Lihiap. Pula aku merasa sangsi, apakah aku
akan cukup kuat untuk menyembuhkan orang tua ini.”
“Harap Sicu
jangan khawatir. Berhasil atau tidak bukanlah soal bagiku. Aku tetap berterima
kasih kepada Sicu yang telah sudi melimpahkan budi dan berusaha menolong aku,
padahal tadi anak buahku telah mengganggu Ji-wi. Bolehkah aku mengetahui Ji-wi
yang gagah? Aku sendiri bernama Ouw Teng dan sudah belasan tahun menjadi ketua
di sini.”
Siauw Bwee
dan Yu Goan menjura dan pemuda itu berkata, “Lihiap ini adalah Khu Siauw Bwee,
dan aku bernama Yu Goan.”
Biar pun
kakek itu belum pernah mendengar nama dua orang muda itu, namun karena sudah
lama dia tidak muncul di dunia kang-ouw, dia percaya bahwa mereka itu tentulah
tokoh-tokoh muda murid orang pandai, maka ia bersikap menghormat sekali.
Setelah melalul jalan berliku-liku, akhirnya tibalah mereka di perkampungan
yang sederhana, di tengah hutan gelap akan tetapi tanah di daerah ini amat
subur dan sebagian dari hutan itu telah berubah menjadi sawah dan kebun sayur.
“Daerah kami
ini jarang didatangi orang luar dan kami hidup tenang di sini, tidak pernah
kekurangan makan. Di dalam kesederhanaan kami, kami tidak membutuhkan apa-apa,
karena itu kami hidup cukup bahagia,” kata Ouw-pangcu sambil mempersilakan
kedua orang muda itu memasuki pondok terbesar yang menjadi rumahnya.
Orang-orang
yang berpakaian sederhana seperti yang mengeroyok mereka tadi nampak hilir
mudik dan sibuk bekerja. Agaknya mereka semua telah mendengar tentang kedua
orang muda itu, maka mereka memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi tidak
ada seorang pun yang berani membuka suara karena kini dua orang muda itu datang
bersama ketua mereka.
Diam-diam Yu
Goan tersentuh oleh ucapan ketua itu. Terbukti kebenaran pelajaran yang pernah
ia dengar dari kakeknya bahwa kebahagiaan hanya dapat dirasakan oleh orang yang
tidak membutuhkan apa-apa! Bahkan tidak membutuhkan kebahagiaan itu sendiri!
Keinginan timbul karena panca indera ditempeli pikiran yang membayangkan dan
mengenang segala pengalaman kenikmatan jasmani dan kesenangan.
Kalau
keinginan sudah timbul, maka memuaskan keinginan itulah yang menciptakan
kebutuhan. Ada kebutuhan disusul dengan usaha pencarian, yaitu mencari apa yang
dibutuhkan. Sungguh berlika-liku dan sulit ditempuh, padahal setelah mencapai
apa yang dicari, hahya mendatangkan kesenangan sesaat saja, kemudian dilupakan
untuk disambung kebutuhan lainnya yang tak kunjung habis, tak kunjung henti
karena kebutuhan itu diciptakannya sendiri tanpa sadar.
Betapa
mungkin manusia yang selalu dikejar-kejar kebutuhan yang diciptakan sendiri
oleh kehausan dan kerakusan akan kenikmatan duniawi dapat merasakan
kebahagiaan? Kebahagiaan bukanlah senang bukan pula susah, bukan untung bukan
pula rugi, karena itu tidak ada kebalikannya, tidak ada perbandingannya. Jika
masih dapat dibandingkan, itu bukanlah bahagia!
Pondok
tempat tinggal Ouw Pangcu cukup besar, akan tetapi amatlah sederhana. Dindingnya
terbuat dari pada bata bertumpuk-tumpuk secara kasar, daun pintunya dari kayu
dengan bentuk bersahaja. Pembaringan kakek ini pun hanya merupakan sebuah dipan
bambu! Belum pernah selama hidupnya dua orang muda itu melihat seorang ketua
semiskin ini!
Yu Goan dan
Ouw-pangcu duduk berhadapan di atas dipan, ada pun Siauw Bwee duduk di atas
bangku tak jauh dari situ, mendengarkan percakapan dua orang itu. Dia sendiri
tidak mengerti ilmu pengobatan, maka dia hanya ingin menonton bagaimana
sahabatnya itu mengobati Ouw-pangcu.
“Bagaimanakah
aku sampai keracunan? Aku sama sekali tidak pernah bertanding dengan orang
lihai dan tidak pernah kena pukul,” kata kakek itu menyatakan keheranannya,
biar pun dia tidak meragukan keterangan Yu Goan yang cocok dengan penderitaannya.
”Engkau
tidak terluka oleh pukulan, Pangcu. Akan tetapi karena makanan atau minum
sesuatu yang dicampuri racun. Dan racun ini mengacaukan hawa murni di tubuhmu.
Karena engkau telah melatih diri dengan sinkang yang tinggi dan aneh, yang
agaknya telah dapat kau kuasai sedemikian rupa sehingga engkau mampu
mempergunakan Im-kang dan Yang-kang yang amat kuat, maka kini kedua hawa yang
sifatnya bertentangan itu saling menggempur tubuhmu sendiri.”
Kakek itu
membelalakkan matanya. “Betapa mungkin makanan atau minumanku diracuni orang?
Akan tetapi... keteranganmu tepat sekali, Sicu. Memang aku telah melatih diri
dengan sinkang yang... yang...,” kakek itu kelihatan ragu-ragu.
“Hemm,
bukankah engkau melatih Im-yang-sinkang secara berbareng dan pandai pula
menggunakan kedua sinkang itu secara berbareng?” tiba-tiba Siauw Bwee
menyambung ketika melihat kakek itu agak ragu-ragu untuk memberi tahu.
Kakek itu
makin kaget dan memandang Siauw Bwee penuh kagum. “Engkau tahu akan hal itu,
Nona? Bukan main! Agaknya di dunia ini penuh dengan orang-orang muda yang
berilmu tinggi! Tidak salah, sesungguhnya ilmuku ini merupakan rahasia. Akan
tetapi heran sekali, mengapa engkau dapat menduga begitu tepat, dan Sicu ini
dapat pula memberi keterangan yang cocok.”
“Hemm, apa
anehnya Pangcu?” Siauw Bwee berkata. “Anak buahmu tidak pandai ilmu silat
tinggi, namun mereka rata-rata memiliki sinkang yang amat kuat. Dan juga
sastrawan itu...”
Tiba-tiba
wajah kakek itu menjadi pucat. “Aihh! Apakah bisa jadi...?”
“Apa yang
hendak kau katakan, Pangcu?” Yu Goan berkata.
“Racun
itu...! Anak buahku tidak mungkin meracuniku, akan tetapi dia... Ang-siucai
itu... dia banyak mengajarkan ilmu masakan kepada para koki kami! Dan anggur
yang dibuatnya itu...!” Tiba-tiba ia menarik napas panjang, kemudian
melanjutkan dengan suara lirih hampir berbisik. “Ah, aku sudah membuka rahasia.
Akan tetapi agaknya keadaan gawat, dan entah mengapa, timbul kepercayaan besar
di hatiku terhadap Ji-wi. Biarlah kuceritakan keadaan kami sebelum engkau
mencoba mengobatiku, Sicu.”
Kakek ini
dengan suara perlahan lalu menceritakan keadaan orang-orang di situ yang
dipimpinnya. Dahulu di tempat itu tinggal sekelompok orang, kurang lebih dua
ratus orang jumlahnya, yang hidupnya masih terbelakang dan jarang bertemu dengan
orang luar. Mereka hidup sederhana, bahkan masih setengah liar. Kemudian
muncullah seorang kakek sakti yang aneh dan berilmu seperti dewa. Melihat
keadaan sekelompok manusia yang wajar dan sederhana ini, kakek itu lalu
memimpin mereka dan mengajarkan ilmu kepandaian agar mereka itu dapat menjaga
diri dan dapat mengalahkan segala tantangan hidup dalam dunia yang masih liar
itu.
“Karena
pimpinan Locianpwe itulah maka kami memiliki sedikit ilmu kepandaian sehingga
kami dapat menangkap binatang buas yang bagaimana kuat pun. Akan tetapi,
sungguh celaka, nasib buruk menimpa kami. Tidak lama setelah Locianpwe itu
berada di sini dan beliau suka sekali hidup di antara orang-orang yang masih
sederhana, wajar dan liar seperti kami, mala-petaka menimpa kami, yaitu berupa
penyakit yang menyeramkan.”
“Penyakit
apakah, Pangcu?” Siauw Bwee bertanya, hatinya tertarik sekali mendengar
penuturan itu dan menduga-duga siapa gerangan kakek sakti itu.
“Penyakit
kusta.”
“Kusta...?”
Yu Goan sebagai seorang ahli pengobatan tentu saja merasa ngeri mendengar
penyakit yang belum pernah dapat diobati itu. “Lalu bagaimana, Pangcu?”
“Inilah
sebetulnya rahasia besar kami yang sekarang kubuka kepada Ji-wi karena Ji-wi
sudah kuanggap bukan orang lain. Mereka yang terkena penyakit itu terpaksa
harus menjauhkan diri agar jangan sampai menular kepada orang lain. Hal ini
diatur oleh Locianpwe itu dan mereka itu ditempatkan di lembah.”
“Di bawah
sana itu? Jadi orang-orang di bawah itu adalah penderita-penderita penyakit
kusta?” tanya Siauw Bwee.
“Benar, jadi
di antara mereka dan kami sebenarnya masih ada hubungan erat, bahkan masih
keluarga, dan lebih lagi, di antara mereka yang menderita itu terdapat ketua
kami yang dahulu dipilih oleh Locianpwe itu sehingga sampai sekarang pun,
tingkat kedudukan mereka lebih tinggi dari pada kami orang-orang penghuni hutan
di bukit ini. Karena penderitaan mereka itulah, Locianpwe menurunkan ilmu
melatih sinkang yang disebut Jit-goat-sinkang (Hawa Sakti Matahari Bulan).
Hanya mereka yang berada di lembah saja yang memperoleh ilmu itu, dan di atas
sini hanya ketuanya, yaitu aku sendiri yang mendapatkan ilmu itu. Aku melatih
sinkang itu dengan mengambil tenaga sakti matahari dan bulan, kulatih
bertahun-tahun. Siapa mengira, sekarang aku menjadi korban dari sinkang itu
sendiri.”
“Kenapa
engkau keracunan, Pangcu? Dan agaknya ada orang yang sengaja meracunimu,” kata
Yu Goan.
“Tentu orang
yang tahu akan Jit-goat-sinkang, dan satu-satunya... hemmm, hanya Ang-siucai
yang kuberi tahu akan rahasia ilmu itu untuk membalas budinya. Setelah
Locianpwe itu pergi beberapa tahun yang lalu, datanglah Ang-siucai sebagai
utusan pemerintah yang bersikap baik sekali kepada kami, mengajarkan masak dan
baca tulis.
Mungkinkah
dia...? Aihh, jangan-jangan sikap beberapa orang anak buahku yang berubah ini
pun hasil perbuatannya! Celaka, dan aku terluka. Ah, Sicu, tolonglah aku agar
aku dapat menyelidiki hal ini dan mencegah terjadinya hal yang lebih hebat
lagi. Aku khawatir kalau-kalau akan terjadi pemberontakan di sini. Dalam
beberapa bulan ini aku sudah melihat gejala-gejala perlawanan dan sikap tidak
mau menaati perintahku, termasuk penyerangan mereka kepada Ji-wi tadi.”
“Baik,
Pangcu. Akan kucoba. Silakan Pangcu duduk bersila dan aku akan membantu
membersihkan hawa beracun yang mengacaukan sinkang di tubuhmu.” kata Yu Goan.
Pemuda ini
lalu duduk bersila di atas dipan, di belakang kakek itu. Ia kemudian
menempelkan kedua telapak tangannya di atas punggung yang telanjang itu,
mengerahkan sinkang-nya. Tak lama kemudian, Yu Goan berteriak keras dan
tubuhnya terpelanting jatuh dari atas dipan, mukanya pucat penuh keringat dan
matanya terbelalak. Siauw Bwee cepat menyambar lengan Yu Goan dan membantu
pemuda itu berdiri.
Kakek itu
menoleh dan mengerutkan alisnya yang putih. “Bagaimana, Sicu?”
“Bagaimana,
Twako? Kenapa kau jatuh?” Siauw Bwee juga bertanya.
Yu Goan
mengusap peluhnya dan menggeleng kepala. “Percuma. Agaknya Jit-goat-sinkang
yang kau miliki itu luar biasa kuatnya, Pangcu. Aku tidak kuat menahan. Untuk
mengobatimu membutuhkan orang yang memiliki sinkang jauh lebih tinggi dari pada
kekuatanmu sendiri. Sinkang-mu yang dua macam saling berlawanan itu mana
mungkin dilawan orang biasa seperti aku? Yang mengobati harus membagi
tenaganya, sebagian untuk menahan penolakan Jit-goat-sinkang yang berlawanan
itu, sebagian untuk mengirim hawa murni ke pusarmu dan membantumu menguasai
kembali sinkang-mu dan bersama-sama mengusir hawa beracun. Tak mungkin aku
melakukannya, bahkan seluruh sinkang-ku masih tidak kuat menghadapl pergolakan
Jit-goat-sinkang yang saling berlawanan itu, apa lagi untuk mengusir hawa
beracun.”
“Aihh, sudah
nasibku. Untuk menghadapi maut, bagiku bukan apa-apa, karena aku pun sudah
cukup tua. Akan tetapi kalau yang kukhawatirkan terjadi, kalau sampai timbul
pemberontakan, celakalah anak buahku semua...” Kakek itu mengeluh dengan air
muka berduka sekali.
“Pangcu,
jangan khawatir. Aku akan membantumu mengobati penyakitmu. Twako, jelaskan apa
yang harus kulakukan?”
“Khu-lihiap...,
hal itu... berbahaya sekali. Jit-goat-sinkang di tubuhnya liar dan amat
kuatnya. Salah-salah engkau akan terluka parah di sebelah dalam tubuhmu!”
“Sicu benar,
Lihiap. Harap jangan main-main dan mengorbankan diri sendiri untukku,”
Ouw-pangcu juga berkata dengan hati tulus.
Siauw Bwee
tersenyum. “Kalau belum dicoba mana kita tahu, Twako? Biarlah aku mencobanya.”
“Khu-lihiap,
ini bukan main-main, mana boleh dicoba-coba? Aku tahu bahwa kepandaianmu jauh
lebih tinggi dari pada tingkatku. Aku tidak hendak mengatakan bahwa sinkang-mu
lebih lemah dari pada sinkangku, akan tetapi betapa pun, tak mungkin dapat
melawan Jit-goat-sinkang yang liar di tubuh Ouw-pangcu.”
Kembali
Siauw Bwee tersenyum. “Ouw-pangcu, Locianpwe yang kau sebutkan tadi, apakah dia
seorang kakek bertubuh kecil seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar
sekali dan namanya Bu-tek Lo-jin?”
Ouw-pangcu
begitu kaget mendengar ini sampai dia meloncat turun dari dipan dan memandang
Siauw Bwee dengan mata terbelalak. “Ini... ini... rahasia besar... bagaimana
Lihiap bisa tahu...?” tanyanya gugup.
Yu Goan juga
terkejut. Dia pernah mendengar dari ayahnya akan nama Bu-tek Lo-jin itu,
seorang manusia setengah dewa yang sakti dan aneh sekali, bahkan lebih terkenal
dari pada nama Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, dua orang kakek beradik
yang tidak lumrah manusia itu dan hanya kalah kebesaran dan keanehannya oleh Bu
Kek Siansu!
“Karena
engkau telah mempercayakan rahasiamu kepadaku, Pangcu, dan karena aku sudah
percaya penuh kepada Yu-twako, maka tidak perlu aku menyembunyikan rahasia
diriku lagi. Aku mendengar nama besar Bu-tek Lo-jin dari suheng-ku ketika aku
digemblengnya di Pulau Es.”
“Pulau
Es...?” Kini seruan itu keluar hampir berbareng dari mulut Yu Goan dan
Ouw-pangcu.
“Khu-lihiap,
jadi engkau... murid penghuni Istana Pulau Es? Engkau murid manusia dewa Bu Kek
Siansu...?” Yu Goan bertanya dengan mata terbelalak.
Siauw Bwee
tersenyum, mengangguk. “Aku murid beliau, akan tetapi beliau tidak ikut bersama
kami ke Pulau Es dan yang mengajarku adalah Suheng. Penghuni Pulau Es hanyalah
kami bertiga, aku, suci-ku dan suheng-ku.”
“Ah, aku
bersikap kurang hormat...!” Ouw-pangcu cepat menjatuhkan diri berlutut. Akan
tetapi baru setengahnya, tangan Siauw Bwee telah menangkap lengannya dan sekali
tarik, tubuh kakek itu telah melayang ke atas dipan!
Kakek itu
duduk bersila dan memejamkan mata sambil berkata, “Khu-lihiap penghuni Istana
Pulau Es, aku menyerahkan nyawaku ke tangan Lihiap!”
”Jangan
terlalu sungkan, Ouw-pangcu. Aku pun belum dapat menentukan apakah aku akan
dapat menyembuhkanmu. Twako, jangan banyak pujian dan sungkan-sungkan lagi,
lekas terangkan bagaimana caranya mengobati luka Ouw-pangcu.”
Dengan
keheranan dan kekaguman masih menyelubungi hatinya, Yu Goan lalu memberi
petunjuk. Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, suara beradunya senjata dan
teriakan anak buah Ouw-pangcu, “Pemberontak! Pengkhianat! Manusia palsu Ang Hok
Ci!”
Ouw-pangcu
menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dengan tenang Siauw Bwee berkata, “Twako,
kau menjaga di pintu, biar aku mengobatinya.” Lalu dara perkasa ini menempelkan
kedua telapak tangannya ke punggung kakek itu.
Ouw-pangcu
hendak melawan karena ingin dia menghadapi para pemberontak, akan tetapi
sungguh aneh, tenaga Jit-goat-sinkang di tubuhnya tiba-tiba bertemu dengan
sinkang yang amat kuat, juga sinkang yang keluar dari kedua tangan dara itu
merupakan dua macam sinkang, panas dan dingin. Dia terheran-heran. Apakah dara
ini pandai pula Jit-goat-sinkang?
Sebenarnya
bukanlah demikian. Siauw Bwee tidak pernah melakukan ilmu sinkang dari inti
hawa sakti matahari dan bulan, akan tetapi dia berlatih di Pulau Es di bawah
petunjuk Han Ki dan menurut kitab-kitab pelajaran Bu Kek Siansu tentu saja dia
menguasai Yang-kang dan Im-yang dengan baiknya.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment