Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 10
Malam itu
sunyi sekali di sekitar kuil. Malam yang gelap, akan tetapi keadaan di dalam
dan di luarnya terang karena para hwesio menyalakan lampu penerangan atas
perintah Gin Sim Hwesio. Biar pun hatinya keras dan kepercayaannya terhadap
diri sendiri dan para muridnya amat besar, namun ketua kuil itu telah siap
sedia dan berlaku hati-hati.
Kuil cabang
Siauw-lim-pai di Lo-kiu ini tidak begitu besar dan Gin Sim Hwesio hanya dibantu
oleh murid-muridnya, para hwesio muda Siauw-lim-pai yang jumlahnya ada dua puluh
orang. Dia merasa bahwa kedudukannya sudah cukup kuat karena murid-muridnya
telah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Para muridnya menjaga di
sekeliling kuil, sedangkan Gin Sim Hwesio sendiri duduk bersila melakukan
semedhi di tengah ruangan depan.
Menjelang
tengah malam, tiba-tiba Gin Sim Hwesio berkata, “Siap...!” Dan perintah ini
segera disampaikan kepada semua murid sambung-menyambung.
Tak lama
kemudian tampaklah berkelebat bayangan enam orang yang gerakannya gesit sekali,
tanda bahwa mereka adalah orang-orang berkepandaian tinggi. Melihat ini, enam
orang murid kepala yang ditugaskan menjaga di dalam segera keluar membawa obor
sehingga sinar penerangan di ruangan depan itu makin cemerlang menerangi wajah
enam orang itu.
Gin Sim
Hwesio sudah bangkit berdiri, tasbeh di tangan kiri, sebatang tongkat hwesio di
tangan kanan. Ia memandang tajam. Ia mengenal lima orang yang diceritakan
Im-yang Seng-cu, yaitu dua orang kang-ouw, dua orang berpakaian perwira, dan
seorang tosu. Akan tetapi kini bertambah dengan seorang lagi yang membuatnya
terkejut karena gerakan dan sinar mata orang ini menunjukkan bahwa
kepandaiannya amat tinggi. Orangnya gendut pendek dan mulutnya tertawa-tawa
atau tersenyum-senyum lebar, usianya kurang lebih empat puluh tahun.
“Liok-wi
siapakah, malam-malam mengunjungi kuil kami secara ini?”
Si Perwira
Gemuk yang agaknya memimpin penyerbuan itu tertawa sambil mencabut pedang
panjang dari pinggangnya, “Kami adalah dua orang perwira tinggi Kerajaan Sung,
datang untuk membasmi kuil Siauw-lim-si karena para hwesio Siauw-lim-pai
bersekutu dengan pemberontak!”
“Dan pinto
Thian Ek Cin-jin dari Hoa-san-pai!” kata Si Tosu sambil mengejek.
“Omitohud!
Harap Cu-wi tidak membohong lagi karena pinceng sudah tahu bahwa Ji-wi-ciangkun
hanyalah perwira-perwira Sung yang palsu, sedangkan Toyu juga hanya menyamar
sebagai tosu Hoa-san-pai. Sebaiknya katakan terus terang, apakah maksud Cu-wi
datang mengganggu? Cu-wi sudah mendengar bahwa Siauw-lim-pai tidak mau
mengotorkan diri dengan pertentangan dan perebutan kekuasaan. Kami tidak mau
memusuhi siapa pun juga. Kalau Cu-wi datang hendak mengobarkan kemarahan
Siauw-lim-pai dan memancing-mancing usaha keji, itu tidak akan berhasil,
sebaliknya Cu-wi selamanya akan merasa tidak aman. Sebaiknya Cu-wi pergilah
dengan aman sebelum kita semua melakukan dosa!”
Lima orang
itu saling pandang dengan mata terbelalak. “Ahhhh Si Keparat... tentu mereka
yang membocorkan...!” teriak Si Perwira Kurus.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ telah muncul Im-yang Seng-cu yang
tertawa dan berkata, “Ha-ha-ha, kiranya si pemakan lalat yang datang! Eh,
apakah engkau sudah ketagihan lalat lagi dan datang ke sini hendak mencari
makanan? Di sini terlalu bersih, tidak ada lalat hijau, ha-ha!”
“Engkau...
Im-yang Seng-cu!” Tiba-tiba orang pendek gemuk yang tersenyum-senyum tadi
melangkah maju dan menegur.
Im-yang
Seng-cu mengangguk-angguk. “Hemm... hemm, kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee
juga hadir! Sekarang tahulah aku bahwa yang berdiri di belakang semua ini
tentulah Coa Sin Cu!”
“Setan kau!”
Dua orang perwira gendut dan kurus itu sudah menerjang maju, dibantu oleh dua
orang kang-ouw, sedangkan tosu, dan Si Gendut yang bukan lain adalah Thai-lek
Siauw-hud Ngo Kee menerjang Gin Sim Hwesio yang dibantu enam orang muridnya.
Im-yang
Seng-cu sudah menggerakkan tongkatnya. Sinar hitam yang lebar dan panjang bergulung
di depan tubuhnya menangkis serangan empat batang pedang, dan sambil meloncat
mundur mencari tempat luas ia mengejek ke arah ketua kuil cabang Siauw-lim-si,
“Bagaimana, Losuhu? Berhasilkah engkau menghadapi mereka dengan pelajaran suci
agamamu? Ha-ha-ha, orang-orang macam mereka ini hanya patut dihadapi dengan
tongkat penggebuk anjing!”
“Omitohud...,
terpaksa pinceng melanggar pantangan berkelahi!” Gin Sim Hwesio juga sudah
menggerakkan tongkat hwesio-nya dan melanjutkan, “Im-yang Seng-cu, terima kasih
atas bantuanmu, akan tetapi jangan mengotorkan kuil dengan darah atau
pembunuhan!”
Akan tetapi,
biar pun mulutnya berkata demikian, hati hwesio ini terkejut sekali menyaksikan
kelihaian dua orang lawannya, terutama Si Gendut yang dengan gerakan golok
besarnya di tangan kanan telah membuat senjata para muridnya menyeleweng,
kemudian dorongan tangan kiri yang amat kuat membuat seorang di antara muridnya
roboh terjengkang dan muntah darah!
“Ha-ha-ha,
Gin Sim Hwesio. Kalau kita tidak membunuh tentu kita yang akan terbunuh!”
Im-yang Seng-cu tertawa lagi.
Tongkatnya
menyambar-nyambar, dan dengan ilmu kepandaiannya yang campur aduk ia berhasil
mengacaukan pertahanan keempat orang pengeroyoknya. Im-yang Seng-cu adalah
seorang jagoan Hoa-san-pai, murid Tee Cu Cinjin yang merupakan orang terpandai
di Hoa-san-pai, akan tetapi semenjak bertahun-tahun ia berkelana, merantau dan
mempelajari banyak sekali ilmu silat.
Memang
mempelajari ilmu silat merupakan hobbynya. Tidak seperti para murid Hoa-san-pai
yang menjaga kemurnian ilmu silat Hoasan-pai dan tidak sudi mempelajari ilmu
silat golongan atau partai lain, Im-yang Seng-cu tidak pantang mempelajari ilmu
silat apa pun juga, baik ilmu silat kaum putih mau pun kaum hitam sehingga dia
dianggap murtad dari Hoa-san-pai. Akan tetapi berkat kesukaannya mempelajari
segala macam ilmu silat dan ‘mengawin-ngawinkan’ semua ilmu itu, Im-yang
Seng-cu memperoleh kemajuan hebat dan dia memiliki gerakan yang aneh-aneh,
sedangkan keuntungan lain adalah bahwa dia mengenal dasar-dasar gerakan ilmu
silat lawan sehingga memudahkannya untuk menghadapi lawan itu.
Selain
segala keanehan yang dimilikinya, juga jago kang-ouw yang masih muda akan
tetapi wataknya luar biasa ini mempunyai sebuah keanehan lain, yaitu dia selalu
bernyanyi dan mengarang sajak setiap melakukan pertempuran! Kali ini pun dia
sudah memutar tongkatnya sambil bernyanyi, suaranya lantang dan nyaring:
Betapa dunia
takkan kacau-balau
oleh tingkah
makhluk bernama manusia
Pendeta
tidak segan berbuat dosa
Pejabat
tidak segan berbuat khianat
Pendekar
berubah menjadi penjahat
Si bengcu
cerdik menggoyang kaki
membiarkan
anjing-anjing memperebutkan tulang
Tinggal dia
menanti hasil terakhir!
Oh dunia...
Oh manusia...
Sungguh
menyedihkan, ataukah menggelikan?
Pada saat
menyanyikan bait terakhir, ujung tongkatnya yang tadinya dikempit ketika ia
menggerakkan ujung satunya untuk menangkis tiga batang pedang, tiba-tiba
mencuat melalui belakang ketiaknya dan langsung menyambar ke arah kaki Si
Perwira kurus.
“Pletak!”
tulang kering kaki kanan Si Perwira Kurus dihajar ujung toya hingga retak dan
rasa nyeri menusuk ke tengah jantung.
“Ayaaaa...!
Aduh-aduhhh...!” Perwira kurus itu berloncatan dengan sebelah kaki, pedangnya
terlepas dan ia berjingkrak-jingkrak memegangi kaki yang rasanya patah-patah.
Yang terpukul adalah tulang kering kakinya, namun rasa nyeri menusuk-nusuk
sampai jantung.
“Ha-ha-ha!
Kalau menangis jangan terlalu lebar membuka mulut, nanti kemasukkan lalat
lagi!” Im-yang Seng-cu mengejek dan mendesak tiga orang pengeroyoknya.
“Im-yang
Seng-cu, manusia sombong!” Tiba-tiba sebatang golok besar menyambar dari
belakang.
“Syuuutt...
tranggg!” Im-yang Seng-cu mundur dan terkejut karena telapak tangannya tergetar
ketika tongkatnya menangkis golok.
Kiranya Thai-lek
Siauw-hud Ngo Kee yang menyerangnya. Ketika melihat betapa empat orang kawannya
tidak mampu mengalahkan Im-yang Seng-cu, bahkan perwira kurus terluka, orang
gendut pendek ini segera meninggalkan Gin Sim Hwesio. Tosu itu sendiri cukup
untuk menghadapi Gin Sim Hwesio yang kini hanya dibantu oleh seorang murid,
sedangkan lima orang muridnya telah roboh dan tewas.
Tosu itu
ternyata lihai sekali. Pedangnya menyambar-nyambar merupakan gulungan sinar
putih sehingga biar pun Gin Sim Hwesio sudah menggerakkan tongkat dan
tasbihnya, dibantu pula oleh murid kepala, tetap saja kedua orang hwesio ini
terdesak. Betapa pun juga, mereka berdua masih mampu mempertahankan diri, tidak
seberat tadi ketika Thai-lek Siauw-hud masih membantu Si Tosu.
Ada pun
Im-yang Seng-cu, biar pun masih tertawa-tawa, namun dia kini bersilat dengan
hati-hati sekali. Tadinya ia memandang ringan setelah para pengeroyoknya
tinggal tiga orang, akan tetapi begitu Si Gendut Pendek itu maju, dia segera
terdesak dan maklumlah dia bahwa tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud tidak
kalah jauh olehnya.
“Thai-lek
Siauw-hud, kematian sudah di depan mata, engkau masih banyak berlagak?” Im-yang
Seng-cu masih mengejek.
“Ha-ha-ha!
Bualanmu tidak akan menolongmu Im-yang Seng-cu! Sayang kau tidak pernah
bersepatu sehingga kalau mati, jangankan sorga, neraka pun tidak akan sudi
menerima orang tak sopan bertelanjang kaki!”
Im-yang
Seng-cu tertawa. Diam-diam ia mendongkol karena sekarang ia bertemu batunya.
Ternyata Si Pendek itu pun suka tertawa dan suka berkelakar. Ia lalu
menjalankan siasatnya yang ia dapatkan ketika merantau ke utara, di mana ia
mempelajari ilmu gulat dari bangsa Mongol. Ketika tiga batang pedang menyambar,
disusul sambaran golok Si Gendut yang lihai, ia cepat memutar tongkatnya dengan
pengerahan tenaga sehingga tiga batang pedang itu terpental dan tiga orang
pengeroyoknya meloncat mundur dengan kaget.
Pada saat
golok menyambar, Im-yang Seng-cu sengaja memperlambat gerakan mengelak. Akan
tetapi begitu sinar golok lewat di atas pundak, ia merendahkan tubuh, menangkap
pergelangan tangan lawan! Sedetik mereka bersitegang, dan tiba-tiba tubuh yang
gendut pendek dari Thai-lek Siauw-hud terlempar ke atas kepala Im-yang Seng-cu!
Inilah bantingan dari gulat yang dimiliki Im-yang Seng-cu. Dalam adu tenaga ia
mendapat kenyataan bahwa julukan Thai-lek tidaklah kosong, Si Gendut Pendek itu
kuat sekali. Maka ia tadi telah cepat membalikkan tubuh dan melontarkan tubuh
Si Gendut itu dengan kekuatan dari bokong dan punggungnya.
“Ngekkk...broooottt!”
Tubuh si Gendut terbanting dan ketika ia mengerahkan sinkang untuk melawan
bantingan, tanpa disengaja lubang belakangnya melepaskan kentut besar!
“Idiiih...!
Bau... Bau...!” Im-yang Seng-cu memijat hidung dengan jari tangan kiri
sedangkan tangan kanannya memutar tongkat menyambut serangan perwira gemuk dan
dua orang kang-ouw.
Muka
Thai-lek Siauw-hud merah sekali. Dia tidak terluka akan tetapi telah terbanting
sampai terkentut-kentut! Memang aneh sekali Thai-lek Siauw-hud ini, dia
mempunyai semacam ‘penyakit’ yang mungkin timbul karena kesalahan berlatih
sinkang dahulu. Entah terlalu banyak angin di dalam perutnya yang gendut itu,
ataukah karena lubang belakangnya sudah longgar, akan tetapi setiap kali ia
mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya dan hawa sakti terkumpul di perut, selalu
tentu ada saja hawa yang bocor sedikit ke belakang sehingga menimbulkan suara
kentut yang nyaring!
Ketika
menghadiri ulang tahun Coa-bengcu di pantai Po-hai dahulu pun, dalam mengikuti
pameran tenaga mengangkat benda berat, ia sudah melepas kentut pula. Sekarang,
karena terbanting ia mengerahkan sinkang agar tidak terluka, ia terkentut pula.
Rasa malu membuat dia marah sekali. Bagaikan seekor harimau terluka, ia
menerjang maju memutar goloknya sambil memaki, “Im-yang Seng-cu calon bangkai!
Makanlah golokku!”
Hebat bukan
main serangan Thai-lek Siauw-hud yang marah sehingga Im-yang Seng-cu tidak
berani main-main, cepat mainkan jurus-jurus pertahanan dengan ketat, menahan
serangan golok dan tiga batang pedang yang bertubi-tubi itu. Sekali ini ia
terdesak hebat seperti halnya Gin Sim Hwesio dan murid kepalanya.
Gin Sim
Hwesio mulai merasa khawatir karena murid-muridnya yang menjaga di sekitar kuil
tidak ada yang tampak. Tiba-tiba ia berseru, “Celaka...!”
Ia memutar
tongkatnya mengirim serangan hebat kepada Si Tosu yang lihai, akan tetapi tosu
itu dapat mengelak dan bahkan mengirim tusukan dari samping dengan pedangnya.
Kekagetan ketua kuil ini melihat api bernyala di belakang kuil membuat
gerakannya kurang cepat dan ketika ia mengelak, pedang itu berkelebat ke bawah
melukai pahanya. Ia terhuyung dan muridnya cepat mendesak Si Tosu untuk
menolong suhu-nya.
Tiba-tiba
terdengar sorak-sorai menyusul berkobarnya api, akan tetapi sorak-sorai ini
segera terganti teriakan-teriakan kaget dan api pun padam. Tak lama kemudian
berkelebatlah bayangan orang yang cepat dan ringan sekali, dan di situ muncul
seorang laki-laki tampan yang menerjang dengan pedangnya, sekali terjang ia
telah membuat Si Tosu terlempar ke belakang. Kemudian laki-laki ini meloncat
dan menerjang mereka yang mengepung Im-yang Seng-cu.
Melihat laki-laki
ini Im-yang Seng-cu tertawa dan berseru, “Ha-ha-ha! Kiranya engkau benar-benar
Sian (Dewa), bukannya Kwi (Setan)!”
Suma Hoat
atau Jai-hwa-sian tidak menjawab, hanya menggerakkan pedangnya yang diputar
cepat sekali sehingga dua orang kang-ouw yang baru menangkis menjadi patah
pedangnya dan terluka pundak dan dadanya.
“Siapa
engkau...?” Thai-lek Siauw-hud membentak, kaget menyaksikan kehebatan gerak
pedang Suma Hoat.
Suma Hoat
tidak menjawab, akan tetapi Im-yang Seng-cu sudah memperkenalkan, “Mau kenal
sahabatku ini? Dialah Jai-hwa-sian!”
Si Gendut
terkejut sekali. “Mengapa orang seperti engkau membela Siauw-lim-pai?”
Sebagai
jawaban Jai-hwa-sian menerjang, dan Si Gendut terpaksa menangkis dengan golok.
“Cringggg!”
golok dan pedang bertemu dan melekat.
Pada saat
itulah Si Perwira gemuk sudah menerjang dengan pedang panjangnya, menyambar ke
leher Suma Hoat dari belakang.
“Pergilah...!”
Suma Hoat membentak.
Ia
menggetarkan pedangnya dan mendorong sehingga Thai-lek Siauw-hud terhuyung ke
belakang dan secepat kilat Suma Hoat sudah merendahkan diri sehingga pedang
perwira gemuk menyambar di atas kepalanya. Detik itu juga pedang Suma Hoat
meluncur dari bawah sehingga Si Perwira menjerit, pedangnya terlepas dan ia
terjengkang roboh. Darah muncrat-muncrat keluar dari perutnya.
Akan tetapi
puluhan orang sudah menyerbu datang. Mereka terdiri dari belasan pemuda-pemuda
dan belasan gadis-gadis yang memiliki gerakan gesit dan ringan. Mereka itu
adalah anak buah atau murid-murid dari Coa Sin Cu, bengcu di pantai laut
Po-hai. Para murid Kuil Siauw-lim-si yang menjaga di luar tadi telah roboh oleh
mereka dan ketika mereka mulai membakar kuil, tiba-tiba muncul Suma Hoat yang
merobohkan lima orang yang membakar kuil dan memadamkan kebakaran, lalu datang
membantu Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu.
Terjadilah
pertadingan yang berat sebelah karena para penyerbu terdiri dari puluhan orang,
sedangkan yang mempertahankan hanyalah Gin Sim Hwesio yang telah terluka,
Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat. Murid kepala Gin Sim Hwesio juga sudah roboh.
“Ha-ha-ha!
Jai-hwa-sian, mari kita basmi anjing-anjing keparat ini!” Im-yang Seng-cu
tertawa bergelak.
Cepat ia
mengerjakan tongkatnya merobohkan dua pengeroyok karena ingin mengejar
ketinggalannya ketika melihat betapa Suma Hoat sudah lebih dulu merobohkan dua
orang. Gin Sim Hwesio mengeluh ketika melihat kuilnya menjadi kotor oleh darah
manusia, dan karena dia sudah terluka cukup parah, ia hanya dapat menggerakkan
tongkatnya untuk melindungi tubuhnya.
Dari pihak
penyerbu, yang memiliki kepandaian tinggi hanya Thai-lek Siauw-hud dan tosu
yang mengaku bernama Thian Ek Cinjin. Si Perwira Gemuk telah tewas oleh pedang
Suma Hoat, si Perwira Kurus telah remuk tulang kering kakinya dan dua orang
kang-ouw teman mereka pun telah terluka oleh pedang Suma Hoat. Biar pun
kepandaian dua orang itu cukup hebat, namun Si Tosu kewalahan menghadapi
tongkat Im-yang seng-cu dan Thai-lek Siauw-hud juga terdesak hebat menghadapi
pedang Suma Hoat. Akan tetapi karena datang puluhan orang anak buah Coa Sin Cu,
payah jugalah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat. Gin Sim Hwesio sendiri sudah tidak
dapat menyerang lawan kecuali melindungi diri sendiri.
Bunyi
senjata beradu bertubi-tubi nyaring dan terdengar Gin Sim Hwesio mengeluh
panjang, tubuhnya terhuyung dan roboh ke belakang ketika kembali bahu kanannya
terluka oleh sabetan pedang. Dia sudah terluka dan tenaganya makin berkurang,
sedangkan para pengeroyoknya yang masih muda-muda itu terlampau banyak. Biar
pun ia roboh terjengkang dan rebah sambil memutar tongkatnya, namun keadaannya
terancam bahaya maut oleh serangan senjata pedang yang amat banyak, yang
bagaikan hujan menimpa dirinya.
“Trang-trang-trang...!”
Pedang-pedang yang menyerang tubuh ketua kuil ini terpental, bahkan dua orang
pengeroyok roboh terguling ketika Suma Hoat meloncat datang, meninggalkan para
pengeroyoknya untuk menolong Gin Sim Hwesio.
Hwesio itu
kini sempat bangun kembali. Darah mengucur dari bahu dan pahanya, namun ia
sudah dapat memasang kuda-kuda dan melintangkan tongkatnya. Suma Hoat kini
kembali dikepung dan pundaknya kena ujung pedang seorang pengeroyok, bajunya
robek dan kulitnya ikut robek sehingga darahnya mulai mengucur keluar. Namun
bagaikan seekor naga mengamuk, ia masih terus memutar pedangnya menyambut
datangnya serangan Thai-lek Siauw-hud dan para murid Coa-bengcu.
Keadaan
Im-yang Seng-cu juga tidak lebih baik. Biar pun masih tertawa-tawa, namun dia
sudah terluka pula. Dada kanannya tertusuk pedang, dan untunglah bahwa ia
sempat mengerahkan sinkang sambil membanting diri sehingga hanya kulit dan
daging dada saja yang robek berdarah. Dia pun mengamuk hebat, bahkan terdengar
dia bernyanyi nyaring:
Malang-melintang
di dunia kang-ouw
menentang
kejahatan mengabdi kebenaran
Tongkat di
tangan haus darah dan nyawa
para
penjahat angkara murka
Biar pun
tewas dalam membela kebenaran
dengan
senjata tongkat tetap di tangan
Apa lagi
yang membuat penasaran?
“Bress!
Prookk!” Kembali dua orang pengeroyok roboh oleh tongkat di tangan Im-yang
Seng-cu, akan tetapi pada saat itu, pedang Si Tosu yang lihai telah berhasil
membacok ke arah lehernya.
Im-yang
Seng-cu cepat membuang diri ke belakang, namun sinar pedang menyusul dan darah
muncrat keluar dari pundak kanan Im-yang Seng-cu, sebagian daging bahu kanannya
robek! Ia terhuyung dan memutar tongkatnya sehingga terdengar suara nyaring
ketika tongkatnya berhasil menangkis banyak senjata lawan.
Suma Hoat
mengeluarkan teriakan keras dan pedangnya berubah menjadi gulungan sinar
menyilaukan mata tertimpa api penerangan, membuat Thai-lek Siauw-hud dan
teman-temannya mundur. Kesempatan itu dipergunakan Suma Hoat untuk loncat
menjauh, menyambar tubuh Im-yang Seng-cu yang kemudian dibawa ke tempat di mana
Gin Sim Hwesio masih mempertahankan diri.
“Kalian
berdua mempertahankan di belakangku!” kata Suma Hoat.
Mulailah
terjadi pengepungan yang ketat terhadap tiga orang itu. Gin Sim Hwesio sudah
terluka parah, juga Im-yang Sengcu sudah terluka berat, dan hanya Suma Hoat
seorang yang masih mampu mengirim serangan balasan karena dua orang temannya
hanya mampu mempertahankan diri saja.
Bukan main
kagum hati Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu menyaksikan sepak terjang Suma
Hoat. Biar pun pundaknya sudah berdarah, pemuda tampan itu mengamuk terus,
melindungi kedua orang yang terluka sambil balas menerjang dengan sambaran
pedangnya yang amat luar biasa sehingga sedikit saja ada pengeroyok lengah
tentu menjadi korban.
Im-yang
Seng-cu kagum dan juga gembira menyaksikan teman barunya itu. Dia sendiri
bersama Gin Sim Hwesio hanya mampu melindungi diri, dan dia pun maklum bahwa
kalau tidak ada Suma Hoat tentu niat buruk anak buah Coa Sin Cu membasmi para
hwesio Siauw-lim-pai dan membakar kuil akan terlaksana, bahkan ditambah dengan
pengorbanan dirinya sendiri. Saking gembiranya menyaksikan sepak terjang Suma
Hoat, ia memutar tongkat sambil bernyanyi:
Dia
dikatakan Pemetik Bunga
perbuatannya
bergelimang darah menghitam
Kini dia
mati-matian membela kebenaran
dengan
taruhan nyawa penuh rela
Hitam atau
putihkah dia?
Dia disebut
berbudi seperti dewa
tapi betapa
banyak air mata runtuh dari dara-dara
menangis
dengan hati merana
Setan atau
dewakah dia?
Suma Hoat
tidak dapat memperhatikan nyayian ini, hanya diam-diam ia pun kagum sekali akan
sikap Im-yang Seng-cu yang dalam himpitan bahaya maut masih sempat
bernyanyi-nyanyi. Betapa gagah perkasanya Si Kaki Telanjang itu! Suma Hoat
memusatkan perhatiannya di ujung pedang dan amukannya membuat gentar Thai-lek
Siauw-hud, Thian Ek Cinjin dan anak buah mereka.
Malam sudah
hampir terganti pagi dan mulailah para penyerbu merasa khawatir. Kalau sampai
pagi mereka belum berhasil sehingga kelihatan oleh penduduk, tentu rahasia
mereka akan pecah dan semua usaha itu akan sia-sia belaka. Maka Thai-lek
Siauw-hud lalu memberi aba-aba rahasia. Semua anak buahnya mulai mengumpulkan
teman-teman yang tewas atau terluka, kemudian serentak mereka lari meninggalkan
tempat itu membawa para korban pihak mereka.
“Engkau ikut
denganku!” tiba-tiba Suma Hoat berseru.
Tubuhnya
berkelebat ke depan dan ia sudah menyambar pinggang seorang di antara
gadis-gadis penyerbu yang sejak tadi memang sudah diincarnya, bahkan ketika
mengamuk tadi ia berlaku hati-hati agar jangan melukai gadis berpakaian hijau
ini. Gadis itu menjerit, meronta dan menggerakkan pedangnya membacok, akan
tetapi sekali mengetuk pergelangan gadis itu, pedangnya terbang dan di lain
saat tubuhnya sudah ditotok dan dikempit lengan kiri Suma Hoat. Gadis yang
cantik itu tak dapat bergerak lagi. Kemudian, tanpa menoleh lagi Suma Hoat
meloncat berkelebat dan pergi dari situ tanpa pamit.
“Eh, nanti
dulu!” Im-yang Seng-cu berseru.
“Taihiap,
harap tunggu dulu, Pinceng hendak menyampaikan terima kasih!” Gin Sim Hwesio
juga berteriak, akan tetapi Suma Hoat tidak peduli dan sama sekali tidak
menengok atau menjawab.
Im-yang
Seng-cu tertawa dan berkata kepada Gin Sin Hwesio, “Itulah seorang pendekar
besar yang rusak hatinya oleh asmara! Ha-ha-ha-ha, dia terkenal di dunia
kang-ouw sebagai Jai-hwa-sian, akan tetapi siapa kira malam ini dia membela
Siauw-lim-pai mati-matian. Losuhu selamat berpisah!” Im-yang Seng-cu juga
berkelebat pergi mengejar bayangan Suma Hoat yang sudah lenyap di telan
keremangan pagi.
“Omitohod...!”
Gin Sim Hwesio merangkap kedua tangan seperti berdoa. Diam-diam ia harus
mengakui bahwa keselamatannya dan keselamatan kuilnya, juga agaknya keselamatan
Siauw-lim-pai sehingga tidak terseret dalam pertentangan adalah jasa
pertolongan orang muda yang di dunia kang-ouw disohorkan sebagai seorang
penjahat cabul yang dikutuk semua orang.
Im-yang
Seng-cu melakuan pengejaran. Hatinya penuh rasa penasaran dan penuh rasa
kekecewaan. Begitu bertemu dengan Suma Hoat, ia merasa tertarik, merasa suka
dan kagum. Ia tahu bahwa di dasar hatinya Suma Hoat memiliki watak pendekar
yang besar dan mengagumkan. Akan tetapi sayang seribu kali sayang watak yang
baik itu dikotori oleh kesukaan lain yang dianggap terkutuk di seluruh dunia,
yaitu suka mengganggu wanita!
Bahkan perbuatannya
semalam yang amat mengagumkan, kegagahan serta keberanian disertai tekad untuk
membela kebenaran dengan taruhan nyawa tanpa ditawar-tawar lagi, pada akhirnya
dicemarkan oleh perbuatannya yang amat tercela, yaitu menculik seorang di
antara para penyerbu yang masih muda dan cantik. Penculikan yang jelas
diketahui apa maksudnya!
Padahal di
waktu mengamuk tadi, demi membela kebenaran untuk membersihkan nama
Siauw-lim-pai, dia sudah terancam bahaya maut. Kalau dikehendaki, Jai-hwa-sian
yang sudah terluka itu masih sempat melarikan diri. Akan tetapi dia sama sekali
tidak mau menyelamatkan diri, tidak mau meninggalkan Gin Sim Hwesio dan Im-yang
Seng-cu yang terluka parah, bahkan melindungi mereka dan mengamuk dengan nekat!
“Jai-hwa-sian...
bagaimana aku akan dapat menyadarkanmu dari kebiasaan buruk itu?” Im-yang
Seng-cu berlari terus dan baru setelah matahari naik tinggi ia menemukan jejak
Jai-hwa-sian yang membawa lari korbannya ke dalam sebuah hutan di luar kota
Lok-kiu!
Im-yang
Seng-cu mencari-cari di dalam hutan. Akhirnya ia mendengar suara-suara dari
balik rumpun, dan tahulah ia bahwa Jai-hwa-sian bersama korbannya berada di
balik rumpun itu, di atas tanah yang ditilami rumput tebal hijau seperti
permadani! Dia menyelinap mendekati, siap untuk menolong gadis yang menjadi
korban itu. Betapa pun kagumnya terhadap Jai-hwa-sian, di sini terdapat seorang
wanita yang perlu ditolong! Dan dia akan melawan Jai-hwa-sian, demi kebenaran,
kalau perlu berkorban nyawa!
Memang tidak
salah bahwa gadis itu adalah seorang di antara para penyerbu kuil semalam,
seorang anak buah Coa Sin Cu. Akan tetapi persoalannya sekarang lain. Gadis itu
kini menjadi seorang wanita yang terancam kehormatannya oleh seorang penjahat
cabul tukang memperkosa, bukan oleh seorang pendekar yang semalam
mempertaruhkan nyawanya untuk membela kebenaran!
Ia menduga
bahwa tentu akan mendengar gadis itu menangis seperti biasa kalau seorang
Jai-hwa-cat (Penjahat Pemerkosa) menerkam korbannya, dan mendengar suara
Jai-hwa-sian membujuk rayu atau mengancam. Akan tetapi muka Im-yang Seng-cu
menjadi merah sekali, bahkan matanya terbelalak ketika ia mendengar suara gadis
itu penuh kemanjaan penuh rayuan.
“Koko...
aku... aku cinta padamu! Betapa gagah perkasa engkau... betapa... tampan dan
mesra! Koko, aku rela menjadi milikmu selamanya... aku cinta padamu!”
Dan
terdengarlah jawaban Jai-hwa-sian, suaranya mengandung kegetiran, “Aku tidak
percaya akan cinta! Perempuan yang cantik rupanya belum tentu cantik hatinya.
Yang ada ini hanya nafsu! Nafsu birahi! Dan aku....” Tiba-tiba suara itu
terhenti kemudian disusul bentakan.
“Im-yang
Seng-cu! Aku suka bersahabat denganmu karena aku kagum padamu. Akan tetapi
kalau kau mencampuri urusan pribadiku, aku akan melupakan kekagumanku dan
terpaksa engkau akan kuanggap penghalang. Pergilah, atau seorang di antara kita
akan mati!”
Im-yang
Seng-cu menarik napas panjang, merasa malu karena benar-benar keterlaluan
baginya untuk mengintai dua orang yang sedang berkasih mesra, sama sekali tidak
ada tanda-tanda perkosaan. Kedua telinganya sendiri jelas mendengar pernyataan
cinta gadis itu kepada Jai-hwa-sian! Betapa mungkin ini? Dia menggeleng-geleng
kepala dan berkata, “Jai-hwa-sian, aku hanya ingin melihat apakah engkau sadar
bahwa perbuatanmu itu menyeleweng dari pada kebenaran.”
“Im-yang
Seng-cu, perbuatan yang menyangkut urusan pribadiku tidak ada sangkut-pautnya
dengan siapa pun juga, dan sama sekali engkau tidak berhak mencampurinya.
Pilihlah sekarang, engkau mau pergi atau aku terpaksa menggunakan kekerasan?”
Im-yang
Seng-cu menghela napas. Apa yang akan ia lakukan? Dia tidak takut menghadapi
Jai-hwa-sian, sungguh pun ia maklum bahwa orang itu lihai sekali, apa lagi
sekarang dia sudah terluka cukup parah. Andai kata dia mendengar gadis itu
menangis dan minta tolong, jangankan baru orang selihai Jai-hwa-sian, biar
sepuluh kali lebih lihai, dia tidak akan mundur selangkah pun dalam membela
wanita yang tertindas dan terhina.
Akan tetapi
wanita yang suaranya manja dan merayu itu mana membutuhkan ‘pertolongannya’?
Bahkan, kalau ia mencampuri, bukan hanya Jai-hwa-sian yang tidak senang hatinya,
jelas bahwa wanita itu pun akan membecinya! Jadi siapa yang ditolongnya dan
untuk apa ia mencampuri urusan ini? Ia menggerakkan pundak lalu pergi dari
tempat itu.
Han Ki
memandang kedua arca Maya dan Siauw Bwee dengan mata bersinar-sinar penuh
kegembiraan. Kedua arca yang berdiri di dekat arcanya sendiri itu amat
memuaskan dirinya. Arca-arca itu sudah jadi, persis seperti kedua orang
sumoi-nya yang amat dikasihinya. Ia bukan kagum akan hasil seni yang diciptakan
tangannya, melainkan kagum akan kecantikan kedua orang sumoi-nya. Baru sekarang
ia dapat memandangi kecantikan kedua orang gadis remaja itu sepuas hatinya...
Memang
hebat! Sukarlah menentukan siapa di antara keduanya yang lebih cantik.
Kadang-kadang tampak Maya lebih cantik, akan tetapi kadang-kadang Siauw Bwee
lebih manis dan jelita. Hanya diam-diam ia harus mengakui bahwa sepasang mata
Maya amat hebat, luar biasa hebatnya dan menyinarkan kehangatan yang membuat ia
kadang-kadang merasa jantungnya berdebar, apa lagi ditambah bibir yang
seolah-olah mengandung senyum penuh arti itu.
Gerakan
halus di belakangnya pada saat itu amat dikenalnya. Berkat latihan yang tekun,
tanpa menengok pun Han Ki maklum bahwa Maya telah berada dalam kamar kerjanya
membuat arca. Dia mengenal benar gerakan halus kedua orang sumoi-nya, malah
dapat membedakannya. Apa lagi ada keharuman yang khas pada diri masing-masing
dara itu karena keduanya suka memakai bunga yang berlainan, bunga-bunga yang
sering kali dipetiknya dari pulau-pulau lain, yang dia cari untuk kedua orang
sumoi-nya karena dia tahu bahwa semua wanita menyukai bunga dan bau-bau harum.
“Suheng...”
Han Ki
menoleh tersenyum. “Sudah hampir jadi arca-arca kita, Sumoi. Hanya tinggal
menghaluskannya saja, dalam sehari saja tentu selesai.”
Maya
berlutut di dekat suheng-nya. “Suheng, arca siapakah yang terindah di antara
tiga buah arca ini?”
Pertanyaan
kanak-kanak, pikir Han Ki sambil tersenyum dan dia menjawab, suaranya menggoda,
“Tentu saja arcaku sendiri!”
“Ah, Suheng
sombong!”
Han Ki hanya
tertawa.
“Suheng,
kalau dua yang lain ini, mana lebih cantik?”
Han Ki
mengerutkan alisnya, sejenak tak dapat menjawab. Akan tetapi kemudian terdengar
suaranya menggoda karena dia terpaksa melayani pertanyaan yang manja itu, “Wah,
tentu saja arcamu lebih cantik.”
Wajah yang
manis itu berseri. Pandang mata yang biasanya hangat itu lebih panas lagi,
senyumnya manis memikat. “Suheng...,” Maya menyentuh lengan suheng-nya,
“Benarkah engkau anggap aku paling cantik?”
Han Ki menatap
wajah sumoi-nya dan memang dia harus mengakui bahwa wajah itu luar biasa
cantiknya, kecantikan khas, yang sukar dilukiskan karena memiliki ciri
tersendiri dan mempunyai daya pikat yang amat kuat. Terpaksa ia mengangguk dan
menjawab sungguh-sungguh, “Engkau memang cantik jelita, Sumoi.”
“Tidak ada
wanita di dunia ini yang melebihi kecantikanku?” Pertanyaan ini makin manja dan
Maya mendekatkan mukanya. Tampak garis-garis muka yang amat indah itu, bulu
matanya panjang lentik melengkung, agak merapat karena mata itu memandang
setengah terpejam, bibir itu terbuka sedikit, tampak sederetan gigi putih dan
napas dara itu seperti agak terengah.
Han Ki
hanyalah seorang laki-laki yang masih muda pula. Jantungnya berdebar dan
jakunnya bergerak ketika ia menelan ludah, “Engkau cantik sukar dicari
bandingnya di dunia ini, Maya.”
Maya
memandang dengan sinar mata penuh arti, tangannya memegang lengan Han Ki,
suaranya menggetar berbisik, “Suheng, engkau pun bagiku merupakan pria yang
paling hebat di dunia ini.”
“Maya...!”
Han Ki membantah kaget.
Akan tetapi
Maya yang sudah mabok oleh perasaannya sendiri itu melanjutkan. “Suheng,
bukankah aku lebih cantik pula dibandingkan dengan Sung Hong Kwi?”
“Maya-sumoi...!”
Maya sudah
menjatuhkan diri ke dalam pelukan suheng-nya dan berbisik, “Suheng, aku
bersedia menjadi pengganti Hong Kwi... aku... Suheng, bukankah engkau
mencintaku seperti aku cinta padamu...?”
Kali ini
benar-benar Han Ki terkejut karena di luar kesadarannya ia telah memeluk tubuh
itu penuh dendam rindu terhadap Sung Hong Kwi yang selama lima tahun
ditahan-tahannya, bahkan muka Maya yang tengadah itu dekat sekali dengan
mukanya sehingga napas yang keluar dari hidung dara itu menyentuh pipinya.
Bagaikan sinar kilat tampak wajah gurunya dan Han Ki melepaskannya, bangkit
berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi Maya, memejamkan mata mengheningkan
hati dan pikirannya mengusir gairah nafsu yang menyesakkan dada.
“Suheng...!”
Maya juga bangkit berdiri dan memeluk pinggangnya.
“Maya-sumoi,
jangan...!” Han Ki berkata dan melepas kedua lengan yang merangkul pinggang
itu, melangkah maju dua langkah sambil membalikkan tubuh menghadapi sumoi-nya.
Kini ia telah menguasai nafsunya dan matanya memancarkan pandang mata penuh
teguran.
“Sumoi,
mulai detik ini jangan engkau ulangi semua sikap dan kata-katamu tadi!”
“Suheng...,
Aku... cinta padamu, Suheng...”
“Diam!
Keluarlah engkau sebelum kutampar!”
Maya
memandang dengan mata terbelalak lebar, seperti mata kelinci yang ketakutan,
napasnya terengah dan naiklah sedu-sedan dari dadanya, kemudian membalik dan
lari ke luar sambil terisak.
Han Ki
memejamkan mata, menarik napas panjang dan kedua kaki yang lemas itu berlutut,
dan kemudian ia memandangi arca-arca itu. Maya mencintainya! Dan biar pun Siauw
Bwee tidak pernah memperlihatkan sikap dengan terang-terangan, namun ia dapat
menduga bahwa Siauw Bwee juga mencintanya! Dan dia? Ah, cintanya sudah habis,
sudah terbang pergi bersama Hong Kwi. Betapa mungkin ia jatuh cinta lagi?
Namun
ahhh.... dia bergidik kalau teringat tadi betapa nafsu birahi menguasainya,
membuat ia ingin memeluk ketat tubuh itu, ingin mencium bibir dan mata itu,
ingin membelai merayu. Ah, betapa mudahnya ia jatuh cinta kepada Maya, dan...
ketika ia memandang arca Siauw Bwee, dia pun tahu bahwa akan amat mudah pula,
semudah tadi, ia jatuh hati kepada Khu Siauw Bwee yang halus wataknya. Celaka!
“Kau... kau
mata keranjang!” Han Ki menampar kepalanya sendiri.
Terbayanglah
wajah Hong Kwi dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Sampai lama ia
termenung seperti itu, berjam-jam dan hanya dengan kekuatan batinnya yang hebat
saja akhirnya ia dapat menindas perasaannya. Kemudian, seperti orang mabok ia
melanjutkan pekerjaannya memperhalus tiga buah arca itu, tidak mempedulikan
apa-apa. Bahkan ketika dua kali Siauw Bwee menjenguknya, kemudian mengajaknya
makan setelah bertanya mengapa dia tidak tidur, dia hanya menjawab tanpa
menoleh.
“Aku tidak
lapar dan tidak mengantuk. Aku ingin menyelesaikan ini, Khu-siauwmoi,
tinggalkan aku sendiri.”
Pada
jengukannya yang ke dua, Siauw Bwee ragu-ragu dan memandang suheng-nya,
kemudian berkata, “Ini tentu kesalahan suci entah apa sebabnya!”
Han Ki
terkejut, akan tetapi menindas perasaannya dan menoleh. “Mengapa engkau,
berpendapat demikian?”
“Kulihat
Suci menangis, dia pun tidak mau makan, tidak mau tidur. Ketika aku bertanya
dan menghiburnya dia malah membentakku agar aku tidak mencampuri urusannya.
Suheng, apakah yang terjadi?”
“Tidak
apa-apa. Aku pun tidak tahu dia mengapa? Sudahlah, tinggalkan aku sendiri,
Sumoi!”
Sejenak
Siauw Bwee berdiri di belakangnya, ragu-ragu. Kemudian terdengar ucapannya
lirih, “Engkau kelihatan berduka, Suheng. Kenapakah?”
“Tidak
apa-apa! Tidak apa-apa!”
“Suheng,
selama lima tahun kita tinggal di sini, baru sekarang kulihat engkau berduka
dan Suci menangis. Suheng, engkau... engkau satu-satunya orang yang kumiliki di
dunia ini, di samping ibuku yang entah berada di mana. Suheng, kalau engkau
berduka, aku ikut berduka...”
Han Ki
memejamkan mata, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Akan tetapi hanya sebentar
ia telah dapat menguasai dirinya. Ia menoleh, memaksa diri tersenyum dan
berkata, “Engkau ini aneh-aneh saja, Sumoi. Aku tidak apa-apa, hanya tekun
menyelesaikan arca-arca ini. Eh, bagaimana dengan perahu yang kau buat? Telah
selesaikah?” Dia sengaja membelokkan percakapan untuk mengalihkan perhatian
sumoi-nya itu.
“Sudah,
Suheng. Layar yang kau beri sudah kujahit dan kupasang. Besok pagi akan kucoba.
Aku ingin mengunjungi pulau yang kulihat di sebelah selatan itu!”
Han Ki
tersenyum. “Itu Pulau Kijang. Pulau kosong akan tetapi banyak binatang kijang
di sana.”
“Aku ingin
menagkap kijang.”
”Boleh, akan
tetapi kalau memburu kijang, cari yang sudah tua agar pembiakannya tidak
terganggu.”
“Aku ingin
menangkap seekor anak kijang, tidak membunuhnya. Aku ingin memeliharanya, untuk
teman di sini.”
Han Ki
berdiri, membalikkan tubuh dan memandang sumoi-nya. “Apa? Di sini ada aku dan
suci-mu, dan engkau hendak mencari kijang untuk teman?”
Siauw Bwee
menunduk dan terdengar suaranya lemah seperti berbisik, “Aku... aku
kadang-kadang merasa kesepian, Suheng, terutama sekali... sekarang ini....”
Setelah berkata demikian Siauw Bwee membalikkan tubuhnya dan lari pergi.
“Hei...!
Khu-sumoi...?” Han Ki memanggil akan tetapi dara itu tidak menoleh dan
lapat-lapat Han Ki mendengar sumoi-nya itu terisak! Han Ki berdiri
termangu-mangu kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Perempuan...!”
gumamnya dengan hati terheran-heran dan tidak mengerti.
Hatinya
makin bingung dan makin berduka karena perasaannya membisikkan bahwa mulai saat
itu ia hanya akan menjumpai kesulitan-kesulitan dengan kedua sumoi-nya itu.
Untuk melupakan perasaannya, semalam suntuk dia tidak tidur dan memperhalus
ukiran tiga buah arcanya.
Pada
keesokan harinya barulah pekerjaannya selesai dan selagi ia hendak
beristirahat, tiba-tiba ia terlonjak bangun karena mendengar suara desir angin
yang aneh dan yang dikenalnya baik-baik. Itulah suara pukulan-pukulan dengan
tenaga sinkang yang kuat. Biasanya desir angin pukulan itu terdengar di waktu
kedua sumoi-nya berlatih, akan tetapi sekali ini desir angin hebat itu diseling
suara bentakan-bentakan nyaring orang bertempur.
Ia merasa
heran dan khawatir sekali, cepat meloncat bangun dan melesat ke luar dari
Istana Pulau Es. Ketika tiba di luar, ia berdiri kaget melihat betapa kedua
orang sumoi-nya sudah saling serang dengan hebatnya! Pohon tumbang dan batu
berhamburan dilanggar angin pukulan kedua sumoi-nya yang berkelahi dengan
sungguh-sungguh, mengeluarkan semua ilmu yang selama ini mereka latih. Sekali
ini mereka bukan sedang berlatih, melainkan sedang saling serang
sungguh-sungguh, setiap serangan mendatangkan maut. Sekelebatan saja ia dapat
mengerti bahwa dalam perkelahian itu, Siauw Bwee masih bersikap mengalah dan
lebih banyak mengelak, akan tetapi Maya menyerang seperti seekor singa betina
kehilangan anaknya.
“Maya...!
Siauw Bwee...! Berhenti...!” Han Ki berteriak sambil lari menghampiri.
Akan tetapi
ia tertegun dan menghentikan larinya ketika melihat kini kedua orang dara itu
saling serang dari jarak dekat, tidak hanya mengandalkan sinkang seperti tadi,
melainkan menggunakan jari-jari tangan mereka yang lihai dan yang merupakan
cengkeraman-cengkeraman maut, totokan-totokan yang mengancam nyawa! Akan tetapi
yang membuat Han Ki tertegun adalah jeritan mereka yang saling menuduh.
“Engkaulah
yang membuat suheng berduka! Engkau sungguh seorang adik yang tidak mengenal
budi!”
“Dan
engkau... engkau yang menjadi biang keladinya sehingga dia tidak dapat menerima
cintaku!” Maya membalas dengan teriakan marah.
“Begitukah?
Kalau benar dia mencintaku, sepatutnya kau tahu diri!” balas Siauw Bwee.
“Kau
perempuan tak bermalu!”
“Engkau yang
tidak tahu malu!”
“Sumoi... !
Jangan berkelahi!” Han Ki berteriak keras dan tubuhnya mencelat menangkis
sambil mengerahkan tenaga. Akibatnya, tubuh Maya dan Siauw Bwee terlempar ke
belakang, terpental dan terhuyung-huyung.
“Kau...
membelanya...!” Siauw Bwee berkata sambil menangis.
“Kau...
kau... melemparku dahulu, kau... benar-benar mencinta bocah kurang ajar ini!”
Maya juga menangis.
“Ahh,
Maya-sumoi dan Khu-sumoi, apakah kalian berdua telah menjadi gila? Hentikan
permusuhan gila ini! Aku... aku... ahhh...!” Han Ki menjambak rambutnya sendiri
dan ingin pula dia menangis!
“Suheng!
Berterus teranglah, apakah engkau mencinta Maya-suci?” Siauw Bwee bertanya.
“Suheng,
engkau bilang aku paling cantik di dunia ini! Bukankah engkau mencintaku?
Ataukah... engkau cinta kepada Sumoi?” Maya juga menuntut jawaban pasti.
Wajah Han Ki
menjadi pucat. Kemudian ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya karena
pandang matanya terasa berkunang-kunang. Sambil menggelengkan kepalanya ia
berkata, “Aku tidak tahu... aku tidak tahu. Kalian adalah kedua orang sumoi-ku,
seperti adik-adikku sendiri... aku tidak cinta siapa-siapa...!”
Ia hanya
mendengar isak tertahan dan mendengar berkelebatnya gerakan tubuh mereka pergi
dari situ. Dia tidak peduli, bagi dia asalkan kedua orang dara itu tidak saling
serang pada saat itu, cukuplah. Akan tetapi ketika sampai lama dia tidak
mendengar gerakan mereka, ia membuka kedua tangannya dan memandang. Kedua orang
dara itu tidak tampak lagi dan keadaan di sekelilingnya sunyi. Sunyi dan dingin
karena angin yang bertiup membawa datang salju-salju tipis.
Ia mulai
merasa khawatir, lalu melangkahkan kaki mencari kedua orang sumoi-nya, khawatir
kalau-kalau mereka itu pergi untuk melanjutkan pertandingan mati-matian di
bagian lain dari pulau itu. Akan tetapi mereka tidak ada di pulau dan betapa
kaget hatinya ketika melihat dua buah perahu berlayar, jauh dari pantai, yang
sebuah ke barat, yang sebuah lagi selatan. Ia mengenal perahu lama dengan layar
hitam itu membawa Maya menuju ke barat, sedangkan yang sebuah lagi adalah
perahu buatan Siauw Bwee, dengan layar kuning meluncur pergi membawa dara itu
ke selatan!
Han Ki
berlari ke pantai, berteriak nyaring, “Sumoiiii...!”
Akan tetapi
samar-samar dia hanya melihat kedua orang sumoi-nya itu menoleh dan melambaikan
tangan, kemudian tangan yang melambai itu menyentuh muka, seperti menghapus air
mata! Tak terasa lagi kedua mata Han Ki menjadi basah dan dia memandang sampai
kedua buah perahu itu lenyap dari pandang matanya. Di dalam hatinya, semenjak
tinggal di situ dia sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke dunia
ramai. Akan tetapi kini kedua orang sumoi-nya, dua orang yang paling
dicintainya di dunia ini, meninggalkan Pulau Es, menempuh hidup menghadapi
dunia ramai yang penuh bahaya.
Teringat dia
akan cita-cita kedua orang sumoi-nya membalas dendam, dan terbayanglah dia
betapa sumoi-sumoi-nya itu akan menghadapi bahaya-bahaya besar. Betapa mungkin
ia mendiamkan saja kedua orang yang dikasihinya itu terancam bahaya di sana?
Tidak, dia harus pergi menyusul, membantu mereka dan kalau mungkin mengakurkan
mereka. Akan tetapi mungkinkah ini? Betapa pun juga, dia harus menyusul mereka
dan berusaha.
Setelah dua
buah perahu itu tidak tampak lagi, Han Ki mengalami perasaan yang selama
hidupnya belum pernah dirasainya, yaitu perasaan hati kosong dan nelangsa,
seolah-olah semangat dan segala gairah hidupnya terbang melayang dibawa pergi
bayangan dua buah perahu yang ditumpangi Maya dan Siauw Bwee. Lenyaplah semua
gairah dan kegembiraan hidup, seolah-olah kegembiraan hidupnya selama ini
berada di tangan kedua sumoi-nya itu. Han Ki menjatuhkan diri duduk di pantai.
Ia termenung, hatinya kosong, sedangkan pikirannya melayang-layang jauh
mencari-cari dan terkenanglah ia akan keadaan hidupnya selama ini.
Semenjak
kecil ia sudah sebatang kara, seorang diri di dunia ini dan selama itu ia
selalu gembira, tidak pernah merasa kehilangan sesuatu. Kemudian pengikatan
cinta kasihnya dengan Sung Hong Kwi membuat ia merasa sengsara dan menderita
kehilangan karena dipisahkan dari orang yang dicintanya itu. Namun rasa
sengsara itu terobati ketika ia tinggal di pulau ini bersama kedua orang
sumoi-nya. Semua rasa sayangnya ia curahkan kepada kedua orang sumoi-nya itu.
Dan sekarang timbul pula keruwetan karena cinta, dan akhirnya dia menderita
lebih hebat lagi setelah kedua orang itu pergi meninggalkan Pulau Es,
meninggalkan dia! Maka teringatlah ia akan petuah-petuah Bu Kek Siansu, gurunya
yang bijaksana.
“Han Ki,
segala hal yang menimpa dirimu kelak, jangan kau persalahkan keadaan di luar
dirimu, karena sesungguhnya yang menjadi sebab dari pada akibat yang menimpa
diri berada di dalam diri sendiri. Carilah sebab-sebabnya pada dirimu sendiri
dan dengan jalan itu engkau akan dapat memperbaiki diri dan mengenal kekotoran
diri sendiri. Mengenal cacat diri pribadi jauh lebih penting dan berharga dari
pada mengenal cacat selaksa orang lain.”
Teringat
akan petuah ini, Han Ki mengangguk-angguk, kemudian termenung lagi karena dalam
menderita kekosongan hati dan kehilangan ini lapat-lapat terngiang di
telinganya petuah gurunya mengenai hal ini.
“Segala
peristiwa merupakan mata rantai yang tak dapat dipisah-pisahkan, karena saling
menyambung, saling mengikat dan saling menjadi sebab. Segala macam perasaan
suka-duka, gembira, marah, puas, kecewa dan lain-lain hanyalah permainan dari
pada rasa sayang diri dan iba diri. Yang mau bersuka tentu akan bertemu dengan
duka. Ingatlah, Han Ki, bahwa senang bergandeng tangan dengan susah. Hanya dia
yang memiliki saja yang akan kehilangan! Memiliki itu bersifat senang, akan
tetapi memiliki membawa datang kewajiban paksa yaitu menjaga karena di depannya
terbentang mengerikan jurang kehilangan. Karena ada dan tiada itu saling mengait,
yang ada tentu akan tiada, sebaliknya yang tiada tentu akan ada, maka yang
memiliki tentu akan kehilangan! Dan dia yang merasa suka di waktu memiliki,
sudah tentu saja akan menderita duka di waktu kehilangan. Oleh karena itu, Han
Ki, berbahagialah si bijaksana yang tidak memiliki apa-apa, karena dia akan
bebas dari pada suka mau pun duka!”
Han Ki
termenung mengerutkan alisnya. Betapa tepat petuah gurunya itu, betapa cocok
dengan keadaan hidupnya. Bahkan ia yakin bahwa wejangan itu cocok pula dengan
kehidupan semua manusia.
Orang yang
tidak mempunyai apa-apa takkan khawatir kehilangan. Si pembesar khawatir
kehilangan kedudukannya, si hartawan khawatir kehilangan hartanya, si terkenal
khawatir kehilangan kesohorannya, dan kalau sampai kemudian terjadi kehilangan,
itu akan menimbulkan duka.
Seperti dia
sekarang, karena dia memiliki kedua orang sumoi-nya, mencintainya, maka kini
kehilangan dan menimbulkan duka nestapa di hatinya, menyesal kecewa dan suka!
Dahulu pun, karena dia memiliki Sung Hong Kwi, mencintainya, dia menjadi
berduka ketika kehilangan. Andai kata dia tidak memiliki kesemuanya itu, pasti
sekarang dia akan tetap hidup tenang gembira!
“Janganlah
kita sampai dikuasai nafsu, Han Ki. Sebaliknya kita harus menguasai nafsu
perasaan sehingga kita mempunyai tanpa memiliki. Pada lahirnya kita mempunyai
namun batin kita tidak terikat sehingga batin kita tidak tergoncang sewaktu
yang kita punyai itu hilang, karena hal itu sudah wajar. Mata batin yang sadar
sudah menjadi waspada, melihat sesuatu berlandaskan kewajaran sehingga tidak
lagi menjadi kaget, tidak menjadi duka karenanya. Menang dan kalah sudah
menjadi rangkaian maka wajarlah. Berkumpul dan berpisah wajar pula. Tidak ada
hal aneh di dunia ini yang patut disesalkan.”
Han Ki
menghela napas panjang. Melamun dan mengenangkan kembali semua wejangan gurunya
yang merupakan obat yang amat mujarab karena kini dia merasa hatinya ringan,
tidak seberat tadi, sungguh pun gundah gulana yang menyesak dada tidak mungkin
dapat lenyap. Bukan hanya karena kehilangan dua orang yang dicintainya,
melainkan karena kedua orang sumoi-nya itu membawa ganjalan hati yang rumit,
membawa dendam dan permusuhan karena cinta, cinta dua orang dara remaja
terhadap dirinya!
Mulai saat
itu bangkitlah semangat Han Ki dan dia lalu membuat sebuah perahu. Beberapa
pekan kemudian berangkatlah Han Ki menaiki perahunya yang kecil sederhana,
meninggalkan Pulau Es, meninggalkan tiga buah arca yang seolah-olah kini
menggantikan mereka menghuni Istana Pulau Es yang mereka tinggalkan.
Kalau hati
Han Ki merana karena ditinggal pergi dua orang yang dikasihinya sehingga dunia
terasa kosong olehnya, hati Maya pun merana penuh kekecewaan dan penuh cemburu
terhadap sumoi-nya. Dia mencintai suheng-nya. Melihat sikap suheng-nya selama
lima tahun dia tinggal di Pulau Es, dia pun merasa yakin bahwa suheng-nya
mencintainya. Bukan hanya mencinta seperti seorang suheng terhadap sumoi-nya,
melainkan cinta seorang pemuda terhadap seorang dara!
Hal ini
diketahuinya benar atau diduganya penuh keyakinan. Menyaksikan sikap dan
pandang mata Han Ki, juga ketika suheng-nya mengukir arcanya, jari-jari tangan
suheng-nya itu penuh perasaan dan amat mesra, sehingga ketika ia menonton
suheng-nya bekerja menyelesaikan arcanya, dia merasa seolah-olah jari tangan
suheng-nya itu bukan meraba-raba arca, melainkan meraba dan membelai tubuhnya
sendiri, membuat ia merasa mesra dan nikmat. Akan tetapi, mengapa suheng-nya
tidak mau mengaku cinta? Apakah karena di sampingnya ada Siauw Bwee?
Hatinya
kecewa, penasaran, dan mengkal. Maka larilah dara ini kepada cita-citanya. Dia
harus memenuhi cita-citanya. Dia harus membalas dendam keluarganya. Membalas
kematian ayah bundanya, membalas kehancuran kerajaan ayahnya. Dia akan membalas
dendam kepada Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung, terutama sekali Kerajaan Sung
karena selain kerajaan ini ikut bertanggung jawab atas kehancuran Kerajaan
Khitan dan tewasnya ayah bundanya, juga Kerajaan Sung telah menewaskan
pek-hu-nya, Menteri Kam Liong, dan telah membikin sengsara pula kepada
suheng-nya, Kam Han Ki.
Dia harus
membalas Kerajaan Sung, inilah tugasnya yang paling penting. Biar pun dia tidak
tahu bagaimana caranya membalas dendam kepada sebuah kerajaan, namun dia akan
mencari cara itu, dan tidak akan berhenti sebelum cita-citanya tercapai. Dia percaya
bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi dan dia tidak takut menghadapi
siapa pun juga di Kerajaan Sung!
Perahunya
berlayar terus ke barat. Sampai keesokan harinya, dia belum melihat daratan
besar, hanya bertemu dengan pulau-pulau kecil yang kosong. Akan tetapi pada
keesokan harinya, menjelang tengah hari, ia terkejut melihat sebuah mayat
manusia terbawa ombak berlalu di dekat perahunya. Mayat seorang laki-laki yang
berpakaian tentara! Maya cepat lari ke pinggir perahu dan kini tampaklah olehnya
bahwa bukan hanya sebuah itu saja mayat yang terapung di laut karena segera
tampak banyak sekali mayat manusia di samping bagian-bagian perahu yang pecah
dan peralatan perang yang terbawa hanyut oleh ombak. Siapakah mereka?
Tentara mana
dan mengapa perahu mereka pecah dan mereka semua tewas? Pada tubuh mayat-mayat
itu tampak luka-luka bekas senjata tajam. Agaknya terjadi pertempuran yang
mengakibatkan semua ini, pikirnya. Tiba-tiba ia makin terkejut melihat asap
membubung tinggi di sebelah kiri perahu, agak jauh dari situ.
Maya cepat
mengatur kemudi dan membelokkan perahunya menuju ke arah asap yang membubung
tinggi. Perahunya melawan ombak dan tak lama kemudian tampaklah olehnya
penyebab asap itu. Kiranya ada beberapa buah perahu terbakar dan di atas lautan
yang bergelombang itu tampak olehnya pertempuran yang dahsyat antara dua
pasukan di atas perahu-perahu besar dan kecil yang bergerak-gerak naik turun
oleh ombak. Udara yang digelapkan oleh asap itu penuh dengan anak panah yang
beterbangan ke sana-sini mengeluarkan bunyi bersuitan dan amat banyak bagaikan
hujan saling menyerang musuh kedua pihak.
Tampak pula
panah-panah yang dipasangi kain berminyak yang bernyala-nyala menyambar
perahu-perahu dan terbakarlah perahu-perahu yang terkena panah berapi ini.
Dahsyat dan mengerikan, bising oleh suara anak panah, suara api memakan perahu,
dan suara teriakan-teriakan manusia sedang berjuang melawan maut. Mayat-mayat
bergelimpangan di atas perahu-perahu, ada yang terapung-apung, ada pula yang
terluka dan belum mati terlempar ke laut. Teriakan mereka melolong-lolong
karena ngeri menghadapi maut di laut, sungguh menyayat hati.
Banyak
sekali di antara prajurit yang tadinya dengan gagah berani menghadapi maut
melawan musuh, setelah kini berada dalam cengkeraman maut yang berada di tengah
gelombang lautan, menjerit-jerit dan minta tolong seperti seorang pengecut yang
penakut. Memang ada kalanya orang yang berani mati menghadapi ancaman maut di
tangan senjata tajam musuh menjadi ketakutan menghadapi ancaman maut ditelan
air.
Maya
memandang semua itu dengan hati tertarik. Aneh-aneh sekali. Dia tidak merasa
ngeri atau takut! Pengalaman-pengalamannya setelah Kerajaan Khitan hancur,
ketika dia dibawa pasukan Khitan yang berkhianat di bawah pimpinan bekas
pengawal Bhutan, amatlah hebatnya sehingga perang bukan merupakan hal yang baru
baginya.
Dia sama
sekali tidak merasa takut atau ngeri, bahkan tertarik hatinya untuk ikut pula
berperang! Dia tidak tahu siapa yang berperang, akan tetapi dia ingin membantu
pihak yang terdesak! Karena itu Maya mempercepat perahunya menghampiri daerah
perang yang mengerikan itu, dan matanya memandang penuh perhatian. Ketika ia
melihat sebuah perahu besar seperti perahu perang dikepung oleh banyak
perahu-perahu kecil, ia mendekatkan perahunya ke tempat itu.
Kagum hatinya
menyaksikan beberapa orang berpakaian perwira dan anak buahnya mempertahankan
perahu besar itu. Setiap kali ada prajurit dari perahu-perahu kecil itu
berhasil meloncat ke atas perahu besar, tentu orang ini roboh lagi dengan tubuh
terluka. Gerakan para perwira di atas perahu besar menunjukkan bahwa mereka
memiliki kegagahan dan kepandaian lumayan. Akan tetapi serangan anak panah yang
seperti hujan lebatnya telah merobohkan banyak anak buah perahu besar sehingga
di atas dek perahu besar itu telah bertumpukan mayat-mayat prajurit.
Hanya
beberapa orang perwira yang masih sempat mempertahankan diri, menggunakan golok
besar atau pedang untuk menangkis semua anak panah yang menyambar ke arah diri
mereka. Di antara beberapa orang perwira itu, ada dua orang yang amat
mengagumkan hati Maya.
Mereka itu
amat gagah perkasa, bukan hanya melindungi diri sendiri namun juga orang ini
membagi-bagi perintah dan berusaha melindungi anak buah mereka dengan pedang
mereka yang panjang. Seorang di antara mereka yang berpakaian amat indah dan
gagahnya dapat ia kenal dari pakaiannya sebagai seorang panglima besar,
berjenggot panjang dan sudah putih.
Ada pun
orang kedua adalah seorang berpakaian panglima muda yang brewok dan gagah
perkasa, yang berjuang bahu-membahu dengan Si Panglima Besar. Namun keadaan
mereka itu amat terdesak, tidak hanya karena pihak musuh yang amat banyak
jumlahnya, yang meloncat dari perahu-perahu kecil yang mengepung perahu besar,
akan tetapi juga karena para anak buah mereka itu sibuk memadamkan perahu besar
yang sudah terbakar sebagian!
“Gak-goanswe
(Jenderal Gak), engkau sudah memberontak terhadap Kerajaan Sung, dan sekarang
telah terkepung. Menyerahlah!” terdengar teriakan dari perahu-perahu kecil.
Mendengar
ini segera timbul rasa suka di hati Maya terhadap jenderal yang agaknya
memberontak terhadap pemerintah Sung ini. Inilah kesempatannya untuk membalas,
pikirnya. Yang berperahu besar itu adalah seorang jenderal dengan anak buahnya
yang memberontak dan lawan mereka adalah tentara Kerajaan Sung yang harus
dibasminya!
Dengan
dayungnya, Maya lalu mendayung perahunya menuju ke tengah medan pertempuran.
Ada anak panah yang menyeleweng dan menyambar ke arahnya, akan tetapi hanya
dengan kebutan tangan ia berhasil meruntuhkan semua anak panah dan akhirnya ia
dapat mendekatkan perahunya ke perahu besar setelah melalui kobaran api yang
memakan perahu. Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet, tubuhnya mencelat
ke atas perahu besar.
“Basmi
tentara Sung yang lalim!” teriaknya dan sekali menggerakkan kaki tangan, tiga
orang tentara Sung yang mengeroyok panglima besar pemberontak itu roboh.
Dengan
cekatan sekali Maya merampas sebatang golok dan sebatang pedang, lalu
mengamuklah sang dara perkasa ini yang membuat Si Jenderal melongo. Baru
sekarang ini ia menyaksikan seorang dara jelita yang masih remaja, bersilat
secara aneh, tangan kiri mainkan golok dengan ilmu golok sedangkan tangan kanan
mainkan pedang dengan ilmu pedang.
Dalam waktu
beberapa menit saja, lima orang pengeroyok roboh dan tubuh mereka mencelat ke
luar dari perahu besar, terjatuh ke laut karena ditendang kaki-kaki yang kecil
mungil itu! Setelah kepungan terhadap diri Sang Jenderal itu berkurang sehingga
Sang Jenderal dengan leluasa dapat bergerak melindungi dirinya, Maya lalu
meninggalkannya untuk mengamuk dan membabati tentara musuh yang mulai membakar
layar perahu besar.
Amukannya
hebat sekali dan setelah golok dan pedang rampasannya yang buruk itu rusak-rusak,
ia menangkap tengkuk leher seorang perwira Sung yang berhasil naik ke perahu
besar, kemudian merampas pedang dan sarung pedangnya yang indah, dan sekali
menggerakkan tangan ia melempar tubuh sang perwira Sung dari perahu besar pula.
Kini dara perkasa itu mengamuk dengan pedang di tangan kanan dan sarung pedang
di tangan kiri.
Akan tetapi
di sebelah belakang perahu besar terjadi keributan hebat. Maya cepat menengok
dan alangkah kagetnya ketika ia menyaksikan pemandangan aneh. Dua orang
laki-laki yang tubuhnya menempel satu sama lain, dua orang dampit, mengamuk dan
membantu tentara kerajaan Sung! Gerakan mereka tangkas dan aneh sekali. Maya
segera teringat akan cerita suheng-nya akan sepasang manusia dampit yang amat
lihai, bersembunyi di tempat keramat Pulau Nelayan. Pada saat itu perwira
pemberontak yang brewok, yang gagah perkasa menerjang marah kepada sepasang
orang dampit yang merobohkan banyak anak buahnya.
Perwira muda
itu menerjang dengan pedang panjangnya, menyerang dua orang yang tubuhnya
menjadi satu dan bersambung di bagian punggung. Akan tetapi Si Dampit itu lihai
bukan main karena empat buah tangan mereka bergerak secara berbareng dan
tahu-tahu pedang di tangan panglima muda itu telah dirampas, pundak Si Panglima
Muda dicengkeram dan di lain saat Sang Panglima Muda pemberontak sudah ditawan
dan dikempit dalam keadaan lumpuh tertotok!
“Tawan dan
bawa dia ke sini!” terdengar perintah dari sebuah di antara perahu kecil.
Maya menjadi
marah sekali. Begitu melihat sepasang manusia dampit, sudah timbul
kebenciannya, apa lagi melihat mereka telah menawan panglima muda pemberontak
yang sedang dibelanya. Maka ia pun merobohkan para pengeroyok dengan pedangnya
yang digerakkan secara luar biasa cepatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke arah
sepasang orang dampit, pedangnya menyambar, sekaligus membabat dua buah kepala
orang dampit itu.
“Wuuuuttt...
tranggg...!”
Maya
terkejut karena tenaga manusia-manusia dampit itu ternyata amat kuat sehingga
pedangnya tergetar. Namun manusia dampit itu lebih kaget lagi karena pedang
dara yang ditangkis itu kini telah melakukan gerakan melengkung dan tahu-tahu
sudah menyambar ke arah empat buah kaki mereka. Cepat mereka meloncat ke atas
dan Maya mendapat kenyataan bahwa dua orang dampit itu tidak saja kuat
sinkang-nya, akan tetapi juga amat lihai ginkang-nya.
“Lepaskan
dia...!” Maya membentak dan mengirim serangan bertubi-tubi.
Selama
berada di Pulau Es, dia dan sumoi-nya paling tekun mempelajari ilmu pedang dan
ilmu pedang yang mereka latih bersama Han Ki adalah ilmu pedang ciptaan Bu Kek
Siansu, hebatnya bukan main. Baru sinar pedangnya saja sudah berbahaya sekali,
dapat merobohkan lawan, apa lagi kini ia mendesak dari jarak dekat!
Sepasang
manusia dampit itu tadinya memandang rendah dan mengandalkan tiga buah tangan
mereka untuk melawan Maya, karena yang sebuah mengempit tubuh Si Panglima Muda.
Namun sepasang senjata di kedua tangan Maya, yaitu pedang dan sarung pedangnya,
amatlah hebat gerakannya. Selain aneh gerakannya juga cepat bukan main dan
mengandung tenaga sinkang yang dingin menusuk tulang. Setiap kali senjata kedua
orang dampit itu bertemu pedang di tangan Maya, kedua orang itu menggigil dan
terdengar seorang di antara mereka yang kepalanya botak, berseru,
“Gadis
siluman!”
Orang ke dua
yang berambut riap-riapan berseru, “Loncat turun, bawa dia lari!”
Si Kepala
Botak yang mengempit tubuh panglima muda dengan tangan kanannya membuat gerakan
maut, dibantu oleh kaki Si Rambut Panjang yang juga mengenjot tubuhnya. Karena
loncatan mereka digerakkan oleh enjotan empat buah kaki, tubuh mereka melayang
cepat ke luar dari perahu besar. Mereka meloncat ke atas atap sebuah perahu
kecil dan terus melompat dari situ ke perahu lain, agaknya hendak membawa
tawanan mereka ke perahu dari mana tadi terdengar suara perintah pemimpin
mereka.
Akan tetapi
Maya juga meloncat, gerakannya seperti burung walet, amat cepatnya melakukan
pengejaran. “Ke mana kau hendak lari, setan dampit?” bentaknya, pedangnya
berkelebat menyambar dari belakang.
Si Rambut
Panjang yang berada di sebelah belakang menangkis dengan pedangnya, kemudian
sisihannya sudah melompat lagi, kini tidak melompat ke perahu, melainkan
melompat ke... air! Maya terkejut, mengira bahwa Si Dampit hendak terjun ke
air, hal yang tentu saja tak dapat ia lakukan karena biar pun dia pandai
berenang, namun kepandaiannya di air tidaklah boleh diandalkan untuk melawan
musuh lihai seperti Si Dampit itu.
Akan tetapi
ternyata bahwa Si Dampit itu tidak menceburkan diri ke air, melainkan hinggap di
atas mayat seorang tentara yang sudah mati, yang mengapung di air dengan
menelungkup! Maya menyambar cepat, hinggap di atas kayu pecahan perahu dan
pedangnya menyambar, akan tetapi Si Dampit sudah melompat lagi menggunakan
mayat itu sebagai tempat loncatan. Dari perbuatan ini saja dapat dibayangkan
betapa lihai Si Dampit ini dan betapa tinggi ginkang-nya. Namun Maya tidak
kalah cepat dan terus loncat mengejar, bahkan menyusul, dan selagi tubuh mereka
di udara, ujung pedangnya yang menyambar dengan cepat menusuk lengan Si Botak
yang mengempit tubuh perwira yang melawan itu.
“Aduhhh...!”
Si Botak berteriak dan tentu saja kempitannya terlepas.
Maya yang
menangkis serangan pedang Si Rambut Panjang dengan sarung pedangnya berjungkir
balik di udara, menggigit pedangnya dan tangan kanannya dengan gerakan seperti
seekor burung elang menyambar kelinci sudah mencengkeram leher baju Si Panglima
Muda dan kembali berjungkir balik, tubuhnya melayang ke atas sebuah perahu.
Dari situ kembali ia berloncatan menggunakan pecahan perahu, mayat-mayat
tentara, dan atap-atap perahu yang sedang terbakar, langsung ke perahu besar.
Dia masih sempat membebaskan totokan Si Panglima Muda dan melemparkan tubuhnya
itu ke atas dek perahu, kemudian memutar senjatanya menghadapi para musuh yang
mengeroyok sambil berkata,
“Tai-ciangkun,
lekas putar perahu dan tinggalkan tempat ini. Biar aku yang menghadapi
anjing-anjing Sung ini!” Panglima tinggi yang merasa bersyukur melhat
pembantunya selamat merasa kagum bukan main. Ia lalu berkata, “Li-hiap... harap
memperkenalkan nama yang mulia...”
“Cepat putar
perahu!” Maya menjawab tanpa memperkenalkan nama.
Dia mengamuk
amat hebat sehingga para pengeroyok menjadi gentar dan mereka berlompatan
meninggalkan perahu besar yang mulai diputar kemudinya. Perahu itu telah dapat
dipadamkan dari bahaya kebakaran, sedangkan sisa pasukan musuh pun sudah
berloncatan ke air! Mereka tak memperhitungkan lagi, pokoknya mereka dapat lari
dari dara perkasa yang seperti setan itu!
Kegembiraan
besar karena dia dapat membunuhi tentara-tentara Sung membuat Maya seperti
seekor harimau haus darah. Dia meloncat pula meninggalkan perahu besar,
mengejar dan mengamuk dari perahu ke perahu sehingga pasukan Sung menjadi
kacau-balau dan terdengarlah perintah menyuruh perahu-perahu kecil untuk
mundur!
Akhirnya
tempat itu menjadi sunyi. Perahu besar panglima yang memberontak sudah pergi
jauh, perahu-perahu kecil pasukan Sung sudah pergi semua. Yang tampak hanya
perahu-perahu terbakar, pecahan-pecahan perahu, mayat-mayat manusia yang mulai
bergoyang-goyang karena kakinya disambari ikan hiu, dan rintih tangis mereka
yang terluka dan masih belum mati. Ada yang meronta-ronta di air berusaha
berenang menyelamatkan diri, ada yang terapung di pecahan-pecahan perahu.
Maya berdiri
di atas sebuah balok pecahan tiang perahu, pedang di tangan, berdiri tegak
dengan wajah berseri, dadanya turun naik, napasnya agak memburu karena dia
telah mengeluarkan banyak tenaga. Baru sekarang terasa betapa lelahnya
tubuhnya, dan betapa perih kaki di paha kirinya karena serempetan golok para
pengeroyok yang ketika ia mengamuk tadi tidak dirasakannya.
Tiba-tiba
dara perkasa itu menjerit kaget. Balok yang diinjaknya terbalik dan terseret ke
bawah dan tentu saja tubuhnya terlempar ke air! Ia gelagapan dan pedang serta
sarung pedang terpaksa dibuangnya karena ia membutuhkan kedua tangannya untuk
berenang. Akan tetapi tiba-tiba kakinya terpegang atau tergigit sesuatu, lalu
tubuhnya diseret ke dalam air. Ia berusaha meronta, akan tetapi karena memang
bukan ahli di air, ia gelagapan, minum air laut dan tak lama kemudian tubuhnya
tenggelam.
*************
Kita
tinggalkan dulu Maya yang terancam bahaya maut tanpa ia ketahui sebabnya dan
kita tengok keadaan Pek-kong-to Tang Hauw Lam Si Golok Sinar Putih, suami Mutiara
Hitam yang tekun menggembleng kedua orang muridnya, yaitu Can Ji Kun dan Ok Yan
Hwa. Pekerjaan ini dilakukan dengan amat tekun oleh Tang Hauw Lam yang
seolah-olah sudah mati perasaan dan kemauannya akan hal lain. Memang sejak
ditinggal mati isterinya yang tercinta, Mutiara Hitam yang gugur ketika
berusaha membalas kematian kakak kembarnya Raja Talibu dari Kerajaan Khitan,
dan menyerbu Kerajaan Mongol, Tang Hauw Lam kehilangan gairah hidup. Kalau saja
tidak ada dua orang muridnya dan tidak hendak memenuhi pesan terakhir isterinya
tercinta agaknya pendekar ini lebih baik memilih mati menyusul isterinya.
Kini ia
mencurahkan seluruh kepandaiannya mengajar kedua orang muridnya yang dilatih
sesuai dengan kitab-kitab peninggalan isterinya sehingga dalam waktu lima tahun
saja kedua orang murid itu telah memperoleh kemajuan hebat dan telah dapat
mewarisi hampir semua kepandaian Mutiara Hitam! Tentu saja mereka masih jauh
kalau dibandingkan dengan mendiang subo mereka, kalah latihan dan kalah
pengalaman. Namun tidaklah terlalu dilebih-lebihkan kalau dikatakan bahwa pada
masa itu, sukarlah dicari pemuda-pemudi remaja yang memiliki ilmu kepandaian
setinggi kedua orang murid Mutiara Hitam ini.
Akan tetapi
dalam keadaan tiada semangat dan selalu terbenam kedukaan dan kerinduan
terhadap isterinya seperti itu, tubuh Tang Hauw Lam menjadi kurus kering dan
wajahnya selalu muram dan pucat. Bekas pendekar besar ini tiada bersemangat
pula untuk memperhatikan kedua muridnya kecuali dalam pelajaran ilmu silat yang
ia turunkan, sama sekali tidak memperhatikan hal lain dan sama sekali tidak
memperhatikan soal pendidikan. Bekas pendekar besar yang sekarang seperti pohon
layu kekeringan itu lupa bahwa kedua orang muridnya telah mulai dewasa, dan
bahwa dalam usia seperti itu mereka bukan lagi kanak-kanak, perlu pembatasan di
dalam pergaulan mereka.
Setelah
mendapat kenyataan bahwa tingkat kepandaian kedua orang muridnya itu telah
cukup tinggi, mulailah dia menurunkan ilmu pedang yang dahulu membuat Mutiara
Hitam terkenal sekali, yaitu Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu
Harum). Ilmu pedang yang diturunkannya kepada murid perempuannya Ok Yan Hwa ini
telah ia pelajari dari kitab peninggalan Mutiara Hitam, dan dalam melatih ilmu
pedang ini Tang Hauw Lam sengaja menyerahkan Pedang Iblis yang betina kepada
Yan Hwa.
Pada waktu
yang sama, ia menyerahkan Pedang Iblis yang jantan kepada Can Ji Kun dan
mengajarkan ilmu pedang yang bersumber dari Ilmu goloknya yang dahulu
membuatnya amat terkenal, yaitu Ilmu Golok Pek-kong To-hoat (Ilmu Golok Sinar
Putih). Dengan tingkat kepandaiannya yang amat tinggi, bekas pendekar besar ini
mampu mengubah ilmu goloknya menjadi ilmu pedang dan menurunkan ilmu pedang ini
kepada Ji Kun. Akan tetapi tentu saja untuk melengkapi ilmu kedua orang
muridnya, dia mengajarkan kedua ilmu pedang itu kepada mereka, hanya berpesan
agar Yan Hwa khusus memperdalam Siang-bhok Kiam-sut, sedangkan Ji Kun
memperdalam Pek-kong Kiam-sut.
Setahun lamanya
kedua orang muda itu menggembleng diri sehingga akhirnya mereka dapat menguasai
ilmu pedang masing-masing dan sepasang pedang yang kini diserahkan kepada
mereka itu benar-benar amat luar biasa. Kalau mereka berlatih, terdengar bunyi
berdesingan dan tampaklah kilat menyambar-nyambar menyilaukan mata.
Tang Hauw
Lam benar-benar tidak peduli sama sekali akan pendidikan moral murid-muridnya.
Di samping mengajarkan ilmu silat, ia hanya selalu tekun besemedhi. Sebab itu
bekas pendekar ini tidak tahu akan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
perhubungan kedua orang muridnya.
Kekuasaan
alam menguasai dua orang yang telah dewasa itu dan mulailah mereka itu saling
tertarik. Masa kanak-kanak mereka lewat sudah. Menjelang kedewasaan mereka,
masing-masing merupakan daya tarik yang luar biasa dan karena mereka hidup
terasing, maka tanpa pengawasan terjadilah hal yang tidak aneh, yaitu kedua
orang suheng dan sumoi ini mulai bermain dengan asmara!
Tang Hauw
Lam baru terkejut bukan main ketika pada suatu malam, secara tidak sengaja ia
mendapatkan kedua orang muridnya itu sedang saling bermain cinta, saling
bercumbu seperti kelakuan dua orang suami isteri!
“Ji Kun! Yan
Hwa!” bentaknya dengan muka pucat sekali, matanya terbelalak lebar penuh
kemarahan.
Kedua orang muda
itu terkejut, saling melepaskan pelukan dan menjatuhkan diri berlutut di depan
suhu mereka yang marah. Sampai lama Tang Hauw Lam tak dapat berkata-kata,
kemudian kemarahannya mereda dan jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya
karena apa yang dilakukan kedua orang muridnya itu menimbulkan rindu yang makin
hebat, mengingatkan ia akan isterinya yang telah tiada.
“Ahhh... dua
orang muridku...? Ahhh, betapa isteriku akan kecewa sekali... aku... aku telah
gagal mendidik kalian....” Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya. Dengan
terhuyung ia memasuki kamar di pondoknya dan bersila, memejamkan mata melawan
kehancuran hatinya.
Pada
keesokan harinya Tang Hauw Lam dikejutkan suara ribut-ribut beradunya pedang
dan angin pukulan yang berdesir-desir. Ia menjadi kaget. Kalau berlatih, bukan
seperti itu gerakan pedang kedua orang muridnya. Sekali ini kedua pedang itu
bergerak dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, gerakan orang bertempur
mati-matian.
Ia meloncat.
Tubuhnya terhuyung lemah karena pukulan batin yang diterimanya selama ini
membuat tubuh bekas pendekar yang sudah lemah itu menjadi makin lemah. Ketika
ia tiba di luar pondok, Tang Hauw Lam terkejut bukan main melihat kedua orang
muridnya itu telah bertanding mati-matian dengan pedang di tangan. Sepasang
pedang iblis itu mereka pergunakan untuk saling serang dengan hebat! Apakah
yang telah terjadi dengan sepasang orang muda yang semalam saling melimpahkan
kasih sayangnya satu sama lain?
Ternyata
bahwa ketika gurunya mempergoki perbuatan mereka dan mengundurkan diri dengan
penuh kemarahan dan kedukaan, dua orang ini lalu saling menyalahkan. Semalam
suntuk mereka bercekcok, saling menuduh telah mulai dengan permainan cinta
mereka, menuduh masing-masing lebih dulu mulai merayu dan memikat.
Percekcokan
menjadi makin sengit ketika masing-masing menyatakan bahwa ilmu pedangnya lebih
lihai, pedang masing-masing lebih ampuh. Karena pertengkaran itu makin memuncak
sehingga kemarahan mereka melampaui besarnya cinta kasih mereka, tak dapat
dicegah lagi kedua orang muda yang masih berdarah panas ini lalu saling
membuktikan keunggulan masing-masing dengan jalan mengadu ilmu secara
mati-matian!
Baru sekali
ini mereka bertanding sungguh-sungguh, dan anehnya, begitu kedua pedang mereka
saling bentrok, seolah-olah ada kekuasaan gaib yang membuat mereka menjadi
makin penasaran dan tidak akan merasa puas sebelum memperoleh kemenangan.
Seolah-olah mereka menjadi lebih marah dan lebih panas hatinya, timbul
keinginan untuk keluar sebagai pemenang tanpa memperhitungkan lagi bagaimana
harus mengalahkan lawan, kalau perlu membunuhnya! Anehnya, setelah bertanding,
seolah-olah lenyap semua cinta kasih di antara mereka, bahkan lenyap pula semua
persoalan saling menyalahkan sehingga malam tadi mereka kepergok suhu mereka.
Kini yang ada hanyalah ingin menang! Ingin membuktikan bahwa ilmu pedangnya
lebih tinggi dan pedang di tangannya lebih ampuh!
Sebagai
seorang ahli, sekali pandang saja Tang Hauw Lam maklum bahwa kedua orang
muridnya itu tidaklah sedang berlatih atau main-main, melainkan saling serang
dengan dahsyat dan mati-matian. Pandang matanya berkunang, kepalanya pening
karena apa yang disaksikannya ini merupakan pukulan batin ke dua yang hebat,
yang menimbulkan kemarahan, kedukaan, penasaran dan kekecewaan. Juga dia
terkejut bukan main karena dia seolah-olah tidak melihat kedua orang muridnya
yang bertanding, melainkan Mahendra dan Nila Dewi, dua orang tokoh India yang
membuat Sepasang Pedang blis itu! Wajah kedua orang muridnya itu mengeluarkan
sinar yang sama, sinar mengerikan yang haus darah!
“Ji Kun! Yan
Hwa! Berhenti bertanding...!” Ia berseru sambil lari cepat menghampiri kedua
orang muridnya.
Akan tetapi
seruannya itu sekali ini tidak seperti biasa pengaruhnya. Biasanya setiap
seruannya tentu akan diperhatikan dan ditaati oleh kedua orang muridnya itu.
Akan tetapi seruan dan perintahnya sekali ini sama sekali tidak dlgubris, tidak
ditaati, bahkan kedua orang muridnya saling menyerang semakin dahsyat.
“Ji Kun! Yan
Hwa! Kalian masih tidak mau berhenti?” Tang Hauw Lam yang menjadi marah sekali
ini meloncat ke depan dan menerjang maju. Ia melihat betapa kedua pedang
muridnya itu membuat gerakan saling menusuk. Ia tidak peduli dan cepat
menerjang di tengah-tengah antara mereka sambil mendorongkan kedua tangannya ke
kanan kiri.
Can Ji Kun
dan Ok Yan Hwa mengeluarkan pekik tertahan. Tubuh mereka terlempar ke belakang
dan masing-masing memandang suhu mereka yang berdiri tegak, kedua tangan
mendekap lambung kanan kiri yang masih menyemburkan darah melalui celah-celah
jari tangan yang menutup kedua luka itu!
“Suhu...!”
Kedua orang muda yang agaknya seperti baru sadar dari mimpi itu menjerit
berbareng dan keduanya menangis terisak-isak.
“Suhu...
harap Suhu bunuh saja teecu...” Can Ji Kun meratap.
“Suhu,
bunuhlah teecu yang berdosa...!” Ok Yan Hwa juga berkata dengan suara merintih.
Sepasang
mata Tang Hauw Lam melotot memandang ke arah sepasang pedang di atas tanah.
Pedang itu dilepas oleh kedua orang muridnya setengah dilempar seolah-olah
mereka jijik menyaksikan pedang yang berlumuran darah suhu mereka dan sepasang
pedang yang terjatuh dalam jarak berpisahan satu meter itu tiba-tiba sudah
bergerak seperti saling tarik dan kini bagian gagang mereka saling melekat! Dia
memang tahu akan sifat pedang-pedang itu, yaitu bagian mata pedang saling tolak
akan tetapi bagian gagang saling tarik!
“Sepasang
Pedang iblis! Pedang-pedang terkutuk... aaahhhh...!”
“Suhu... teecu
berdosa...!” Ji Kun berkata pula, penuh penyesalan.
“Suhu, bunuh
saja teecu...!” Yan Hwa juga meratap lagi.
Tang Hauw
Lam menunduk, memandang kedua muridnya. Kemarahannya lenyap dan kini ia
tersenyum! “Tidak, kalian tidak sengaja... dan... dan terima kasih... aku
girang sekali... akan dapat berjumpa dengan subo kalian... akan tetapi
kalian... ahh, hati-hatilah... pedang-pedang itu terkutuk... aaahhh!” Wajah
yang berseri itu memucat, matanya memandang ke atas, lalu ia tersenyum lebar.
“Kwi Lan... isteriku, engkau masih menunggu aku...? Ha-ha, tunggulah,
kekasihku, aku datang...!” Tubuhnya terguling.
Kedua orang
muridnya menubruk dan ternyata Tang Hauw Lam telah tewas, matanya terbuka,
mulutnya tersenyum dan tarikan wajahnya berseri penuh bahagia!
“Suhu...!”
Ok Yan Hwa terguling roboh pingsan dan Can Ji Kun hanya dapat menangis,
sebentar memeluk mayat suhu-nya, kemudian bingung hendak menyadarkan sumoi-nya.
Tiga hari
kemudian setelah mengubur jenazah suhu mereka yang mereka bawa ke Bukit Merak
di Khitan dan dikuburkan di sebuah makam bersama Mutiara Hitam, kedua orang ini
berpamit dari Gu Toan si bongkok yang menjaga kuburan keluarga itu dan yang
membantu mereka mengubur jenazah Tang Hauw Lam sambil menghela napas penuh
duka. Ji Kun dan Yan Hwa lalu berpisah, membawa pedang masing-masing.
“Sumoi,
mengapa kita harus berpisah? Engkau tahu bahwa kalau kita berpisah, kita berdua
akan menderita, akan saling merindukan...” Can Ji Kun mencoba untuk membujuk
sumoi-nya setelah berhari-hari ia membujuk dengan sia-sia.
Yan Hwa
menggeleng kepala dengan duka. “Tidak, kita telah berdosa. Dosa yang timbul
karena kita berkumpul menjadi satu. Kalau dekat denganmu, aku akan selalu
teringat akan dosaku terhadap Suhu, Suheng. Sebaiknya kita berpisah.” Ucapan
itu dikeluarkan dengan suara tegas, namun mengandung kedukaan.
“Sumoi,
bukankah engkau cinta padaku seperti besarnya cintaku kepadamu?”
Yan Hwa
mengangguk. “Tidak kusangkal, akan tetapi cinta kita baru bersih dan membawa
bahagia kalau engkau sudah mengakui keunggulan ilmu pedang dan po-kiam-ku
(pedang pusakaku).”
Tiba-tiba
sinar mata penuh kasih sayang lenyap dari mata pemuda itu, terganti sinar
penasaran. “Akan tetapi, Sumoi. Mana bisa itu? Jelas bahwa ilmuku lebih tinggi
darimu, pedangku juga tidak kalah. Ingat, aku suhengmu, sudah semestinya lebih
lihai darimu!”
“Hemm, kita
lihat saja! Ingin bukti? Mau melanjutkan yang dahulu?”
Ji Kun
bergidik, teringat betapa pertemuan di antara mereka mengorbankan nyawa suhu
mereka. Sungguh pun hal itu terjadi tanpa mereka sengaja karena keduanya sedang
diamuk penasaran dan kemarahan dan mereka juga tidak mengira bahwa suhu mereka
demikian lemah dan lambat gerakannya sehingga termakan pedang mereka, namun
peristiwa ini takkan pernah terlupa dan tetap akan menjadi tekanan batin dan
perasaan berdosa.
“Cukuplah,
Sumoi. Kalau engkau menghendaki perpisahan di antara kita, baiklah. Akan
tetapi, kita akan menderita...”
“Aku akan
kembali kepadamu setelah kuperdalam ilmuku, kembali untuk mengalahkan engkau
dan setelah kau mengakui keunggulanku, baru aku suka menyambung kembali
hubungan cinta kita.”
“Gila...!”
Ji Kun berseru akan tetapi ia pun merasa betapa yang gila dan berbeda pendapat
seperti itu bukan hanya sumoi-nya, melainkan dia sendiri juga! Dia baru akan
merasa puas dan cintanya takkan terganggu apa bila sumoi-nya mau tunduk dan
mengaku kalah terhadapnya.
Maka
berpisahlah kedua orang muda yang saling mencinta itu, sama sakali mereka tidak
sadar bahwa mereka telah berada dalam cengkeraman kekuasaan gaib dari Sepasang
Pedang Iblis yang seolah-olah telah kemasukan roh dari Mahendra dan Nila Dewi.
Dan pada waktu itu, kembali dunia kang-ouw kemasukan dua orang muda yang
berilmu tinggi, yang mengambli jalan masing-masing, namun yang keduanya
memiliki pedang pusaka yang haus darah, memiliki sebatang Pedang Iblis!
*************
Agar tidak
tertinggal terlalu lama dan jauh, marilah kita ikuti perjalanan Khu Siauw Bwee,
seorang dara lain yang melakukan perjalanan seorang diri meninggalkan Istana
Pulau Es dan meninggalkan hatinya pula yang seolah-olah tertinggal di pulau itu
menemani suheng-nya yang diam-diam ia cinta sepenuh hatinya, Kam Han Ki! Dengan
hati merana dan kosong, Siauw Bwee melayarkan perahu buatannya, menuju ke
selatan. Seperti juga suci-nya ia ingin mengobati sakit hatinya dengan
pelaksanaan cita-citanya.
Pertama, dia
ingin mencari ibunya yang dahulu mengungsi ketika ayahnya, mendiang Panglima
Khu Tek San yang gagah perkasa, bersama suhu-nya, Menteri Kam Liong yang sakti
melakukan usaha nekat, yaitu membebaskan Kam Han Ki dari dalam penjara istana.
Kemudian ia akan menuntut balas atas kematian ayahnya. Akan tetapi dia tidak
berpemandangan sepicik suci-nya, tidak mendendam kepada Kerajaan Sung,
melainkan kepada Suma Kiat, jenderal yang lalim itu bersama semua kaki
tangannya.
Setelah
melakukan palayaran selama belasan hari, barulah ia melihat daratan luas
membentang di sebelah barat, maka ia lalu mendayung perahunya ke pantai. Dia
berniat memasuki dunia ramai di daratan yang luas itu, maka perahunya sedianya
akan ia tinggalkan begitu saja. Akan tetapi, ketika perahunya tiba di pantai ia
melihat banyak nelayan di pantai, maka berkatalah ia kepada para nelayan yang
datang menyambutnya dengan heran karena melihat seorang dara remaja dan jelita
mendarat seorang diri, “Paman sekalian tentu dapat menggunakan dan memanfaatkan
perahu ini. Aku suka menukarnya dengan seekor kuda yang baik. Siapa suka?”
Para nelayan
membelalakkan mata. Sebuah perahu yang biar pun amat sederhana namun kuat
buatannya itu ditukar dengan kuda? Tentu saja banyak yang mau, maka
berlarianlah mereka yang memiliki kuda dan tak lama kemudian di situ telah
terdapat belasan ekor kuda yang dituntun oleh pemiliknya masing-masing.
Siauw Bwee
memilih seekor kuda berbulu hitam yang besar. “Aku memilih kuda ini. Pemiliknya
boleh mendapatkan perahuku.”
Pemilik kuda
itu seorang petani tua. Dengan wajah berseri ia menyerahkan kudanya kepada
Siauw Bwee. “Nona, banyak terima kasih. Penukaran ini amat menguntungkan aku.
Akan tetapi, hati seorang tua seperti aku akan selalu merasa tidak enak kalau
tidak berterus terang. Nona, apakah Nona pandai menunggang kuda?”
Nelayan itu
jujur sekali tampaknya dan Siauw Bwee juga menjawab secara jujur, “Aku tidak
pandai, Lopek. Akan tetapi ketika masih kecil dahulu, lima tahun yang lalu, aku
pernah belajar menunggang kuda.”
Nelayan tua
itu menggeleng kepala. “Kalau begitu, biar pun hatiku amat menyesal karena
tidak jadi mendapat keuntungan, aku tidak dapat melakukan penukaran ini, Nona.
Silakan memilih lain kuda saja.”
Siauw Bwee
memandang heran. “Mengapa, Lopek?”
“Kudaku ini
adalah kuda liar, Nona. Belum lama kutangkap dari hutan. Amat sukar ditunggangi
karena belum jinak. Aku sendiri, dan semua teman yang di sini belum ada yang
mampu menundukkan dan menjinakkannya. Aku khawatir kalau Nona dilemparkan
jatuh.”
Siauw Bwee
mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji kejujuran nelayan ini. Tahulah dia
bahwa watak orang-orang pantai seperti juga orang-orang dusun di pegunungan
yang sederhana dan dianggap bodoh ternyata jauh lebih baik dari watak
orang-orang kota yang menganggap diri pintar! Ia tersenyum manis dan berkata,
“Lopek, aku memerima kudamu ini dan aku tidak akan menyesal andai kata aku
sampai dilemparkan dan mati sekali pun.”
“Nona...!”
Beberapa mulut para nelayan berseru mencegah.
“Biarlah
kucoba keliarannya!” Siauw Bwee berkata, memegang kendali kuda dan bagaikan
seekor burung, tubuhnya sudah meloncat naik ke punggung kuda hitam besar itu.
Benar saja
kata-kata Si Nelayan. Kuda itu meringkik, lalu meloncat tinggi, melengkungkan
punggungnya mengipat-ngipatkan tubuh. Ketika nona itu masih tetap duduk di atas
punggungnya, ia lalu berdiri di atas kedua kaki belakang, menggoyang-goyang
tubuh dan meringkik-ringkik, berusaha menoleh untuk menggigit orang yang
menduduki punggungnya.
Para nelayan
berlari menjauhi, takut tergigit atau tertendang. Akan tetapi mereka melongo
menyaksikan betapa nona jelita itu masih tetap di atas punggung kuda dengan
tegak duduk menggunakan kedua kaki menjepit perut kuda. Ketika kepala kuda
menoleh hendak menggigit, tangan Siauw Bwee bergerak menamparnya. Setiap kali
menoleh kuda itu ditampar dengan pengerahan sedikit sinkang, sementara tubuhnya
ditekan sehingga kuda itu tidak kuat menahan dan roboh mendeprok dengan
penunggangnya masih tetap di atas punggung!
“Dia jinak,
Lopek,” kata Siauw Bwee sambil melompat turun. Kini kuda itu dapat berdiri
lagi, empat buah kakinya gemetaran, akan tetapi dia menundukkan kepala dengan
mata melirik takut ketika Siauw Bwee mengelus bulu di kepalanya.
“Hebat...
bukan main... siapakah... siapakah Nona...?” tanya nelayan itu. Kini mukanya,
seperti muka teman-temannya, memperlihatkan sikap hormat dan takut.
“Selamat
tinggal Lopek!” Siauw Bwee meloncat ke atas punggung kudanya yang meringkik
perlahan dan melambaikan tangan. “Lupakan aku, aku hanya seorang gadis
pengembara biasa!” Ia menyepak perut kudanya dan kuda itu meringkik lagi lebih
keras, lalu meloncat ke depan dan lari cepat sekali, diikuti pandang mata para
nelayan yang melongo.
Hati Siauw
Bwee girang sekali. Kuda itu ternyata kuat dan tangkas, dapat berlari cepat dan
tidak pernah mogok atau rewel. Biar pun melalui padang rumput yang hijau dan
gemuk ia tidak berhenti sebelum dihentikan. Berhari-hari Siauw Bwee menunggang
kuda, naik turun gunung dan masuk keluar hutan lebat.
Pada suatu
hari ia melihat seorang laki-laki berlari di sebelah depan. Ia heran dan juga
girang. Heran melihat di tempat sunyi itu, di dalam hutan, ada seorang yang
memiliki ilmu berlari cepat cukup lumayan, dan girang karena dia yang mulai
merasa bingung karena tidak mengenal jalan dan sudah berhari-hari tidak pernah
bertemu manusia atau dusun kini bertemu orang yang tentu akan dapat ia tanyai
arah ke kota raja Kerajaan Sung.
Ia
mempercepat larinya kuda untuk mengejar orang itu. Akan tetapi tiba-tiba orang
itu menghilang di sebuah tikungan yang penuh pohon. Siauw Bwee mengejar sampai
ke tempat itu dan menghentikan kudanya. Orang itu hilang tanpa meninggalkan
jejak! Ia memandang ke kanan kiri, kemudian mendengar makian nyaring dari atas!
“Setan! Siluman!
Keluarlah kalau memang kalian memiliki kegagahan dan lawanlah aku, Hui-eng Liem
Hok Sun!”
Siauw Bwee
mengangkat muka memandang dan ia terheran-heran. Orang yang dikejarnya tadi
kini telah terjerat dalam sebuah jala dan tergantung di dahan pohon besar,
meronta-ronta dan memaki-maki kalang-kabut. Diam-diam Siauw Bwee merasa geli
hatinya melihat orang yang berjuluk Hui-eng (Garuda Terbang) itu kini seperti
seekor garuda dalan sebuah sangkar!
Orang yang
terjerat itu melihat Siauw Bwee melotot dan siap memaki-maki, akan tetapi ia
melongo ketika melihat bahwa yang datang menunggang kuda adalah seorang dara
remaja yang cantik jelita.
Akhirnya
Siauw Bwee yang membuka mulut lebih dulu, bertanya sambil tersenyum, “Sobat,
kau sedang apa di situ? Mengapa terjala seperti ikan? Ataukah engkau memang
seekor burung dalam kurungan?” Godaan Siauw Bwee ini timbul ketika mendengar
julukan orang itu dan melihat bahwa orang itu adalah seorang pemuda berusia
kurang lebih dua puluh lima tahun, mukanya memperlihatkan kekasaran seorang
yang jujur dan penuh keberanian...
Terima kasih telah membaca Serial ini
terimakasih
ReplyDelete