Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 05
Khu Tak San
maklum bahwa orang itu sengaja mempergunakan nama ‘Istana kaisar’ untuk
menggertak kalau-kalau ada niat jahat hendak merampok kereta, maka ia tersenyum
dan berkata, “Harap Cu-wi tidak usah khawatir. Aku orang she Khu bukanlah
perampok, maka tidaklah perlu Cu-wi menyebut nama istana Kaisar. Ha-ha-ha!”
Akan tetapi
pemimpin piauwsu itu cepat berkata dengan suara tegas, “Kami harap Khu-sicu
tidak mentertawakan kami karena sesungguhnyalah bahwa yang kami kawal adalah
barang-barang sumbangan dari para pedagang dan pembesar daerah kami untuk
Kaisar.”
Tertariklah
hati Khu Tek San. Ia adalah seorang panglima dan bahkan seorang yang mempunyai
kedudukan cukup penting di kota raja, sebagai pembantu Menteri Kam, maka cepat
dia bertanya, “Maafkan kalau tadi aku salah duga. Akan tetapi ada terjadi
urusan apakah di kota raja maka para pedagang dan pembesar mengirim sumbangan
kepada Kaisar?”
“Aihhh!
Agaknya Sam-wi telah lama meninggalkan selatan!” Pimpinan piauwsu itu berseru
heran. “Kota raja telah ramai dan dalam keadaan pesta-pora karena Kaisar akan
merayakan pernikahan seorang di antara puteri-puteri istana. Siapakah yang
tidak mendengar bahwa Kaisar akan menghadiahkan puteri tercantik, kembangnya
istana, Puteri Song Hong Kwi kepada Raja Yucen?”
“Ouhhh...!”
“Susiok...!
Kau.... kau... kenapakah....?”
Tiba-tiba
Tek San meloncat turun dari kudanya dan menangkap kendali kuda yang diduduki
Han Ki karena tiba-tiba saja pemuda itu duduk miring di atas kudanya dan
kudanya hendak lari karena kendalinya tidak dikuasai Han Ki.
“Ahhh...
tidak apa-apa...” Han Ki berkata. Ia sudah dapat menguasai kembali hatinya yang
terguncang hebat mendengar keterangan piauwsu itu. Akan tetapi wajahnya menjadi
pucat sekali dan dahinya berkeringat. “Mari... kita melanjutkan perjalanan
secepatnya!”
Khu Tek San
masih merasa heran menyaksikan pemuda itu yang tiba-tiba menjadi pucat dan
muram wajahnya. Akan tetapi dia tidak berani bertanya dan mendengar ajakan Han
Kit dia berkata, “Rombongan piauwsu ini mengawal barang-barang sumbangan untuk
istana. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu mereka menyelamatkan
barang-barang ini sampai ke istana. Sebaiknya kita melakukan perjalanan bersama
mereka.”
Alasan itu
kuat sekall dan Han Ki yang tidak ingin terbuka rahasia hatinya mengangguk.
Tujuh orang piauwsu itu girang sekali ketika rmendengar pengakuan Khu Tek San
bahwa dia adalah seorang Panglima Sung dan hendak memperkuat pengawalan atas
barang-barang yang hendak disumbangkan kepada Kaisar. Maka berangkatlah
rombongan yang kini terdiri dari sepuluh orang itu.
Di sepanjang
perjalanan Maya mendapat kenyataan betapa terjadi perubahan besar sekali atas
diri Han Ki. Dia membenci pemuda yang dianggapnya sombong itu, akan tetapi
entah mengapa dia selalu memperhatikan Han Ki. Tanpa disadarinya, dia selalu
memandang dan memperhatikan pemuda yang ‘dibencinya’ itu sehingga delapan orang
teman seperjalan dan yang lain seolah-olah tidak tampak lagi olehnya! Karena
selalu menaruh perhatian secara diam-diam inilah yang membuat Maya dapat
mellhat perubahan hebat atas diri Han Ki.
Pemuda itu
kelihatan murung sekali dan seperti bunga melayu dan mengering kekurangan air.
Pemuda itu tidak lagi mau bercakap-cakap, selalu menjauhkan diri di waktu
mereka beristirahat, duduk menjauh lalu termenung dengan alis berkerut. Bahkan
Han Ki jarang sekali mau makan kalau tidak didesak-desak oleh Tek San yang juga
merasa heran dan khawatir akan keadaan pemuda itu yang selalu mengelak kalau
ditanya. Di waktu malam Maya melihat betapa Han Ki tidak pernah tidur, duduk
melamun menggigit kuku jari tangan atau menggigiti sebatang rumput yang
dicabutnya dari dekat kaki.
Bahkan
sering kali Maya mendengar dia menarik napas panjang dan mengeluh lirih,
keluhan yang mengandung rintihan seolah-olah pemuda itu merasa berduka sekali,
rasa duka yang ditahan-tahan dan hendak disembunyikan dari orang lain.
Kadang-kadang Maya melihat pemuda itu mengusapkan punggung tangannya ke depan
mata sehingga ia dapat menduga bahwa pemuda itu telah menangis sungguh pun tak
pernah ia dapat melihat air matanya.
Memang amat
berat penanggungan yang diderita di hati Han Ki. Ketika mendengar penuturan
piauwsu tentang hendak dinikahkannya Puteri Sung Hong Kwi, seolah-olah ada
petir menyambar kepalanya, langsung memasuki jantung, menghanguskan hati dan
menghancurkan perasaannya. Hong Kwi, kekasihnya itu akan dikawinkan dengan Raja
Yucen! Membayangkan wanita satu-satunya di dunia ini yang dicintanya sepenuh
hati dan nyawanya menjadi isteri orang lain membuat Han Ki merasa tertusuk
perasaannya dan ia seolah-olah kehilangan gairah hidup.
Kalau saja
Hong Kwi adalah seorang gadis biasa, tentu dia tidak akan segelisah itu. Kalau
sudah sama mencinta, tentu dia akan dapat mengajak Hong Kwi pergi jauh
meninggalkan segala keruwetan dunia. Akan tetapi Hong Kwi adalah seorang puteri
Kaisar! Mencintanya saja sudah merupakan hal yang langka, meminangnya akan
merupakan hal yang amat sukar dan dia hanya dapat mengandalkan bantuan Menteri
Kam. Kini Hong Kwi sudah dijodohkan dengan orang lain, bukan sembarang orang
melainkan Raja Yucen sendiri! Bagaimana mungkin ia akan dapat berdaya memiliki
kekasihnya? Mengajaknya lari? Tidak mungkin! Habis, apa yang akan ia lakukan?
Han Ki tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri dan dia makin gelisah,
berduka dan putus harapan.
Keadaan Han
Ki yang makin pucat dan makin berduka serta wajahnya yang selalu murung itu
mendatangkan perasaan aneh sekali di hati Maya. Kini melihat keadaan pemuda
itu, lenyap sama sekali rasa benci di hati gadis cilik ini, berubah menjadi
perasaan iba dan khawatir! Ia seakan-akan terseret ke dalam lembah duka, terbawa
oleh arus kedukaan yang ditimbulkan Han Ki. Berkali-kali secara berbisik-bisik
ia bertanya kepada Khu Tek San, namun panglima ini pun tidak tahu apa yang
menyebabkan pemuda itu kelihatan begitu bersedih. Untuk bertanya, dia tidak
berani.
Sebagai
seorang yang berpengalaman Khu Tek San maklum bahwa seorang pemuda aneh seperti
Han Ki, kalau menyimpan rahasia, biar dipaksa sampai mati sekali pun tidak akan
membuka rahasianya itu, dan kalau ditanya, tentu akan menimbulkan
ketidaksenangan. Maka dia hanya memandang dengan khawatir, diam-diam mengambil
keputusan untuk melaporkan sikap Han Ki yang penuh duka itu kepada gurunya
kelak.
Malam itu
rombongan terpaksa bermalam di dalam sebuah hutan yang besar karena hujan turun
sebelum mereka dapat keluar dari hutan mencapai sebuah dusun. Untung bagi
mereka bahwa di hutan itu terdapat pegunungan karang yang banyak goanya
sehingga mereka dapat berteduh di dalam goa sambil mengobrol di dekat api
unggun. Beberapa orang di antara mereka memasak air dan menghangatkan bekal makanan.
Hujan telah
mereda dan akhirnya terhenti sama sekali ketika rombongan itu mulai makan.
Seperti biasa, Khu Tek San dan Maya mendapat bagian dari mereka, akan tetapi
kembali Han Ki tidak mau makan, malah keluar dari goa dan duduk menyendiri di
atas batu di bawah pohon. Dia duduk melamun di bawah sinar bulan yang mulai
muncul setelah awan habis menimpa bumi menjadi air hujan dan angkasa menjadi
bersih membiru.
Hawa udara
malam itu amat dingin sehingga hawa dingin masih terasa oleh mereka yang duduk dekat
api unggun di dalam goa. Namun Han Ki duduk termenung tanpa membuat api unggun
dan dia tidak kelihatan kedinginan. Hal ini adalah karena Han Ki telah memiliki
sinkang yang amat kuat di tubuhnya sehingga dia dapat membuat tubuhnya terasa
hangat melawan hawa dingin dari luar tubuh.
Biar pun
sedang melamun dan semangatnya seperti melayang-layang jauh, namun panca
indranya yang terlatih itu membuat Han Ki sadar bahwa ada orang melangkah
mendekat dari belakangnya. Langkah yang ringan namun bukan langkah seorang
musuh, maka dia diam saja biar pun seluruh urat syaraf di tubuhnya, seperti
biasa siap menghadapi segala bahaya.
“Paman Han
Ki...”
Alis Han Ki
berkerut makin dalam sehingga sepasang alis itu seperti akan bersambung.
Kiranya Maya yang datang dan panggilan itu benar menambah panas hatinya yang
sedang mengkal. Selama dalam perjalanan semenjak ‘percekcokan’ mereka dahulu,
gadis cantik itu tidak pernah menegurnya, bahkan tidak pernah mau memandang
langsung dan cepat-cepat membuang pandang matanya kalau kebetulan pandang mata
mereka bersilang. Anak yang manja, nakal, galak dan angkuh! Akan tetapi
sekarang tiba-tiba datang dan memanggilnya paman!
“Aku bukan
pamanmu! Lupa lagikah engkau?” Han Ki berkata ketus, tanpa menoleh.
Akan tetapi
Maya melanjutkan langkahnya dan kini berdiri di depan Han Ki yang duduk di atas
batu, menunduk. “Memang kita orang lain. Biarlah kusebut saja namamu. Han Ki,
aku datang membawa makanan untukmu. Makanlah!”
Han Ki
terkejut dan terheran sehingga di luar kesadarannya ia mengangkat muka
memandang. Gadis cilik ini benar-benar amat cantik jelita. Masih kecil sudah
jelas tampak kecantikannya. Wajah yang tertimpa sinar bulan itu demikian cantik
seperti bukan wajah manusia. Pantasnya seorang bidadari! Dan Maya berdiri
menunduk, memandangnya dangan sikap seorang ibu terhadap seorang puteranya
dengan sikap hendak menghibur!
Panas rasa
perut Han Ki dan ia menjawab ketus. “Aku tidak mau makan! Kalau aku ingin
makan, masa aku menanti kau datang membawakan makanan untukku? Pergilah dan
bawa makanan itu, kau makan sendiri!”
Han Ki
merasa pasti bahwa jawaban ini tentu akan membuat marah gadis cilik yang galak
itu dan memang demikian yang ia kehendaki agar bocah ini segera pergi, tidak
mengganggu dia yang sedang melamun. Akan tetapi sungguh mengherankan, Maya
tidak menjadi marah! Tidak melangkah pergi, masih berdiri di situ memegang
mangkok makanan, bahkan terdengar ia berkata lirih.
“Han Ki,
engkau selalu berduka, tidak makan tidak tidur. Wajahmu pucat, tubuhmu kurus
dan engkau selalu muram dan layu. Mengapakah?”
Han Ki merasa
makin jengkel. Bocah ini benar-benar lancang mulut. Bocah seperti dia ini
berani bertanya-tanya tentang urusan yang menjadi rahasia hatinya! Kalau dia
tidak ingat bahwa anak perempuan yang berdiri di depannya ini adalah puteri
Raja Khitan, tentu sudah ditamparnya!
“Engkau
cerewet benar! Pergilah dan jangan tanya-tanya hal yang tiada sangkut-pautnya
dangan dirimu!” la membentak lirih agar jangan terdengar oleh orang-orang lain
di dalam goa.
“Hemmmm, di
dunia ini tidak ada peristiwa yang aneh! Segala yang terjadi adalah wajar,
siapa yang memaksa kita harus bersuka atau berduka? Yang telah terjadi tetap
terjadi, peristiwa yang sudah terjadi merupakan hal yang telah lewat dan tidak
mungkin dapat dirubah lagi, seperti lewatnya matahari dari timur kemudian
lenyap di barat. Tergantung kepada kita bagaimana menerima terjadinya peristiwa
itu. Mau diterima dangan duka atau dengan suka, tidak ada yang memaksa dan
tidak akan mempengaruhi atau merubah kejadian itu. Karena itu, mengapa berduka?
Muka yang berduka tidak sedap dipandang! Dari pada menangis, lebih baik
tertawa! Dari pada berduka lebih baik bersuka kalau keduanya tidak merubah
nasib!”
Han Ki
meloncat bangun seolah-olah kepalanya disiram air es! la memandang gadis cilik
itu dangan mata terbelalak dan mulut ternganga, hampir tidak percaya bahwa
kata-kata yang keluar tadi adalah ucapan Maya.
“Kau...
kau... sekecil ini... sudah berpendapat sedalam itu??”
Maya
tersenyum, girang melihat betapa ucapannya seolah-olah menyadarkan Han Ki dari
alam duka. “Aku hanya mendengar wejangan mendiang Ayah... eh, Pamanku Raja
Khitan. Akan tetapi wejangan itu menjadi peganganku ketika aku dilanda
malapetaka dan sengsara. Ayah bundaku telah tiada, Raja dan Ratu Khitan yang
menjadi ayah bunda angkat dan yang kucinta melebihi ayah bunda kandungku
sendiri yang tak pernah kukenal, telah gugur semua. Kerajaan Khitan hancur.
Semua milikku, semua keluargaku terbasmi habis. Adakah kesengsaraan yang lebih
hebat dari pada yang kualami? Namun aku tidak terpendam atau tenggelam kedukaan
seperti engkau! Karena aku berpegang kepada wejangan Raja Khitan tadi. Biar aku
menangis dengan air mata darah, semua milikku takkan kembali, semua keluargaku
takkan hidup lagi. Maka, perlu apa menangis?”
Sejenak Han
Ki memejamkan matanya dan teringatlah ia akan semua nasihat dan wejangan Bu Kek
Siansu, gurunya. Terbukalah mata hatinya dan sadarlah dia betapa selama ini ia
benar-benar telah bersikap bodoh dan lemah! Ia terharu sekali dan tiba-tiba ia
memegang pinggang Maya dengan kedua tangan, mengangkat tinggi-tinggi tubuh Maya
sambil tertawa bergelak!
“Ha-ha-ha-ha!
Seorang paman baru sadar setelah mendengar nasihat keponakannya! Betapa
lucunya! Terima kasih, Maya, anak manis! Terima kasih banyak!”
Akan tetapi
tubuh Maya meronta dan kedua kakinya menendang-nendang marah. “Turunkan aku!
Aku bukan anak kecil!”
Han Ki
tersenyum dan menurunkan tubuh Maya. Benar-benar anak ini luar biasa sekali.
Sikapnya aneh, kadang-kadang bersikap seperti orang dewasa!
“Dan aku
bukan keponakanmu. Ingat Han Ki. Engkau bukan pamanku melainkan sahabatku.
Sahabat baik! Nah, makanlah!”
Han Ki duduk
di atas batu sambil tersenyum, menerima mangkok itu dan makan dangan lahapnya.
Maya pergi dari situ dan kembali lagi membawa makanan lebih banyak yang semua
disikat habis oleh Han Ki. Pemuda itu baru sekarang merasa betapa lapar
perutnya dan betapa tubuhnya amat membutuhkan makanan. Kemudian, setelah minum
air dan arak yang disediakan Maya sehingga perutnya terasa penuh kekenyangan, dia
merebahkan diri telentang dan tidur pulas! Dia tidak tahu betapa Maya duduk di
dekatnya, memandang wajahnya sambil tersenyurm puas! Tidak tahu betapa Maya
membuat api unggun tidak jauh dari situ sebelum meninggalkannya, masuk ke dalam
goa untuk tidur ditemani Khu Tek San.
Semenjak
malam itu Han Ki dapat menguasai dirinya lagi. Dia makan dan tidur seperti
biasa sesuai dangan kebutuhan tubuhnya, tidak lagi kehilangan semangat sehingga
wajahnya tidak pucat lagi, tubuhnya juga pulih. Kini hubungannya dangan Maya
menjadi baik dan bahkan akrab, sering kali mereka duduk bercakap-cakap dan Han
Ki menceritakan pengalaman-pengalamannya yang luar biasa di dunia kang-ouw,
atau kadang-kadang memberi petunjuk ilmu kepada gadis cilik itu.
Akan tetapi
tak mungkin dia dapat melupakan hal yang mengecewakan hatinya, yaitu tentang
Sung Hong Kwi yang akan dikawinkan dangan Raja Yucen. Kalau teringat kepada
kekasihnya, mau tidak mau Han Ki termenung. Hanya kelincahan Maya saja yang
selalu membuyarkan kedukaan ini dan mendatangkan kegembiraan di hatinya.
Sementara
itu, rombongan telah melakukan perjalanan jauh dan pada suatu hari mereka
memasuki sebuah hutan besar di sebelah utara tapal batas kota raja. Hutan ini
sudah lama terkenal sebagai daerah yang berbahaya karena di situ sering kali
dihuni oleh perampok-perampok ganas yang menghadang perjalanan yang
menghubungkan kota raja dangan daerah utara. Khu Tek San yang mengenal daerah
ini segera memperingatkan para piauwsu.
Para piauwsu
itu tertawa dan berkata, “Setelah kami ditemani oleh Khu-ciangkun, masa perlu
takut menghadapi gangguan perampok? Nama Gin-to Piauw-kiok bukan tidak terkenal
di antara kaum liok-lim dan kang-ouw. Sungguh kebetulan sekali kami bertemu
dangan Ciangkun, pertemuan yang menguntungkan kedua pihak, karena kita dapat
bekerja sama saling bantu, bukan? Keselamatan barang kawalan kami dan
keselamatan dua orang keluarga Ciangkun dapat sama-sama kita lindungi!”
Mendengar
ini Khu Tek San hanya mengangguk-angguk. Di hatinya merasa geli sebab ia tahu
bahwa para piauwsu ini memandang rendah kepada Kam Han Ki yang dianggapnya
sebagai orang yang patut dilindungi! Dengan pendengarannya yang tajam sekali,
Han Ki yang berada agak jauh dari mereka juga mendengar kata-kata pemimpin
piauwsu, akan tetapi dia tidak peduli dan melanjutkan percakapannya dangan Maya
sambil menjalankan kuda perlahan-lahan.
Matahari
telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah tikungan dan tiba-tiba terdengar
suara lengkingan-lengkingan panjang dari depan, kanan dan kiri tempat itu. Para
piauwsu cepat menghentikan kereta kawalan mereka, mencabut golok dan siap
karena mereka maklum bahwa suara itu adalah tanda-tanda yang dikeluarkan oleh
para perampok. Dengan golok di tangan, tujuh orang piauwsu itu kelihatan gagah
sekali. Golok mereka terbuat dari pada perak, mengkilap putih tertimpa sinar
matahari. Tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang golok melintang
depan dada, kedua kaki berdiri tegak di kanan kiri agak melebar, mata mereka
bergerak-gerak mengerling ke kanan kiri penuh kewaspadaan.
Melihat
semua piauwsu telah turun dari kuda, Khu Tek San juga meloncat turun dan
menggiring semua kuda mereka ke pinggir, mencancangnya pada pohon. Kam Han Ki
bersikap tidak peduli, malah membawa kudanya ke kanan, meloncat turun dan duduk
di atas batu di bawah pohon dengan kepala menunduk.
Maya
memandang tegang kepada para piauwsu. Gadis cilik ini pun maklum bahwa tentu
akan terjadi serbuan para perampok, maka dia juga turun dari kuda, mengikat
kendali kudanya dan kuda Han Ki di pohon, kemudian ia berdiri tak jauh dari Han
Ki. Jantungnya berdebar karena dia ingin sekali melihat bagaimana sepak terjang
Khu Tek San dan Han Ki. Akan tetapi dia kecewa melihat Han Ki sama sekali tidak
ambil peduli, bahkan kini pemuda itu menundukkan mukanya seperti orang mengantuk!
Suara suitan
melengking makin berisik dan dekat, kemudian muncullah dua puluh orang lebih
yang dipimpin oleh seorang laki-laki berjubah berwarna merah. Mukanya brewok,
matanya lebar dan liar seperti mata singa! Berbeda dengan para anak buahnya
yang semua memakai topi kain dikerudungkan di atas kepala sampai menutupi
leher, pemimpin itu sendiri tidak bertopi. Rambutnya yang panjang diikat ke
belakang. Kalau semua anak buahnya memegang senjata pedang, golok atau tombak,
Si Pemimpin ini bertangan kosong dan sikapnya angkuh sekali.
Khu Tek San
yang melihat dandanan para perampok segera dapat menduga bahwa mereka bukanlah
perampok-perampok biasa, melainkan pasukan yang terlatih, pasukan yang memakai
pakaian seragam. Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga, entah dari mana
datangnya pasukan itu yang kini telah menjadi gerombolan perampok.
Akan tetapi
Maya dapat mengenal mereka sebagai suku bangsa Kerait yang terkenal ganas dan
kejam kalau sudah berperang melawan musuh! Dan memang dugaan Maya ini benar.
Pasukan yang kini telah berubah menjadi gerombolan perampok itu adalah bekas
pasukan Kerait yang terpukul hancur oleh pasukan Mongol. Sisa pasukan yang
cerai-berai itu kemudian dipimpin oleh kakek brewok ini dan menjadi gerombolan
perampok yang ganas.
“Ha-ha-ha-ha!
Segerobak benda-benda berharga yang berat! Dan dijaga oleh tujuh orang piauwsu
Gin-to Piauwkiok! Bagus! Bagus! Selain kami dapat bertanding secara
menggembirakan, juga akan mendapat hadiah segerobak harta!” Kakek Brewok
berjubah merah itu tertawa bergelak.
Pemimpin
piauwsu melangkah maju, menjura dan berkata. “Maaf, sobat. Kami adalah
piauwsu-piauwsu Gin-to Piauwkiok yang selamanya tidak permah bentrok dengan
sobat-sobat dari liok-lim. Karena kami tidak pernah mendengar namamu maka tidak
tahu dan lewat tanpa memberi kabar lebih dulu. Harap suka memaafkan dan suka
memperkenalkan namamu agar kami dapat mengirim bingkisan kehormatan. Aku yang
memimpin rombongan ini dan namaku adalah Chi Kan.”
Si Brewok
itu mengelus jenggotnya yang pendek akan tetapi memenuhi mukanya itu, tangan
kirinya bertolak pinggang. la mengangguk-angguk dan berkata dengan suara
nyaring, matanya yang lebar melirik-lirik ke arah kereta, kemudian ke arah Maya
yang berdiri tenang.
“Bagus!
Bagus! Gin-to Plauw-kiok memang dapat menghargai persahabatan! Kami pun bukan
orang-orang yang tak tahu kebaikan orang, maka kami tidak akan mengganggu
kalian asal kalian meninggalkan kereta dan gadis itu untuk kami. Nyawa kalian
sembilan orang di tukar dengan segerobak benda mati dan seorang gadis kecil mungil.
Sudah cukup adil dan menguntungkan bagi kalian, bukan?”
Jawaban ini
tentu saja merupakan jawaban yang sengaja mencari perkara, maka Chi Kan,
pemimpin piauwsu itu menjadi merah mukanya. Dengan sikap gagah ia berkata,
“Hemm, agaknya kalian hendak memilih jalan keras. Baiklah perkenalkan namamu
dan nama gerombolanmu sebelum kami mengambil keputusan atas permintaanmu tadi.”
Si Brewok
kembali tertawa sambil menengadahkan mukanya ke langit. “Ha-ha-ha! Pantas kalau
kalian belum mengenalku, memang perang dan kekacauan yang merubah kami menjadi
begini! Aku adalah bekas perwira pasukan Kerait dan mereka ini adalah anak
buahku!”
“Ah, kalau
begitu lebih baik lagi! Sebagai seorang perwira Kerait yang tidak memusuhi
Kerajaan Sung, tidak boleh engkau mengganggu barang kawalanku. Hendaknya
diketahui bahwa barang-barang ini adalah barang sumbangan dari pedagang dan
pembesar setempat untuk pernikahan puteri Kaisar Dengan Raja Yucen!” kata Chi
Kan yang hendak menggunakan nama Kerajaan Sung dan Yucen untuk mengundurkan orang-orang
Kerait itu tanpa pertempuran.
Akan tetapi
pemimpin rombongan piauwsu ini kecelik karena orang brewokan itu tertawa
bergelak mendengar ucapannya dan menjawab. “Kebetulan sekali kalau begitu!
Bangsa Yucen adalah musuh kami, dan Kerajaan Sung bukanlah sahabat kami.
Serahkan saja gerobak dan gadis cilik itu, dan kalian boleh pergi dengan aman!”
“Perampok
busuk!” Chi Kan menjadi marah sekali dan tampak sinar berkilauan ketika golok
peraknya menyambar ke arah leher Si Brewok, mengeluarkan angin yang berdesingan
bunyinya.
Kakek bangsa
Kerait itu sambil tertawa miringkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak cepat
menangkis ke arah sinar putih itu dengan jari terbuka.
“Krekkk!!”
Chi Kan
terkejut bukan main dan sambil berseru kaget ia meloncat ke belakang, memandang
golok peraknya yang sudah patah! Dia adalah murid kepala dari Gin-to
Piauw-kiok, akan tetapi dalam segebrakan saja orang Kerait itu telah mematahkan
goloknya hanya dengan tangkisan tangan kosong! Sekarang dapat dimengerti
mengapa bekas perwira Kerait itu berani maju dengan tangan kosong, kiranya
tangannya itu memiliki keampuhan melebihi golok atau pedang!
“Ha-ha-ha,
bangsa piauwsu rendahan berani membantah perintahku?” orang brewok itu berkata
sambil tertawa. “Aku adalah Ganya, jagoan Kerait yang belum permah bertemu
tanding!”
Para piauwsu
menjadi gentar, akan tetapi mereka tentu saja tidak akan menyerahkan gerobak
yang mereka kawal dan akan melindunginya dengan nyawa mereka. Ada pun Khu Tek
San yang menyaksikan kelihaian orang Kerait yang bernama Ganya itu dan
mendengar namanya, teringatlah ia karena ketika ia menjadi panglima di Yucen,
pernah ia mendengar nama ini yang kabarnya memiliki kepandaian hebat dan tenaga
yang luar biasa. la maklum bahwa para piauwsu takkan marmpu menang menghadapi
orang kuat itu, maka ia meloncat maju dan membentak.
“Manusia
sombong, akulah lawanmu!” Sambil meloncat, Khu Tek San sudah mengeluarkan
senjatanya yang ampuh, yaitu sebuah kipas! Sebagai murid Menteri Kam Liong,
tentu saja ia mewarisi ilmu silat yang ampuh ini.
Di antara
keturunan Suling Emas, yang menuruni kedua ilmu silat sakti pendekar itu
hanyalah Menteri Kam Liong, yaitu ilmu silat suling emas Pat-sian Kiam-sut
(Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan ilmu silat Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau
Lautan). Karena kedua ilmu ini adalah ilmu yang hebat-hebat dan sukar
dipelajari, maka Khu Tek San hanya memperdalam ilmu kipasnya saja sehingga dia
menjadi seorang ahli ilmu silat kipas Lohai San-hoat.
Ilmu silat
Lo-hai San-hoat ini bukanlah ilmu sembarangan. Biar pun hanya dimainkan dengan
sebuah kipas, namun kipas itu lebih berbahaya dari pada senjata tajam yang
bagaimana pun juga. Gagang dan batang-batang kipas itu merupakan alat-alat
penotok jalan darah yang banyak jumlahnya, sedangkan kain kipasnya sendiri
dapat dikebutkan dan mendatangkan angin yang mengacaukan lawan. Terbuka mau pun
tertutup kipas itu dapat menjadi alat penyerang mau pun penangkis yang ampuh,
apa lagi kalau dimainkan oleh seorang ahli seperti Khu Tek San yang memiliki
limu kepandaian hebat!
Begitu
mellhat senjata aneh ini menyarmbar, Ganya berseru kaget. Sebagai seorang
berilmu tinggi, dia pun sudah mengerti akan kehebatan lawan. Maka tidak seperti
tadi, kini dia sama sekaii tidak berani menangkis, hanya mengelak kemudian
kedua tangannya bergerak, yang kiri menangkis lengan lawan yang memegang kipas
karena dia tidak berani menangkis kipasnya, yang kanan mencengkeram ke arah
muka lawan. Gerakannya cepat dan mantap, tanda bahwa kepandaiannya memang
tinggi dan tenaganya besar.
Melihat cara
lawan mengelak dan balas menyerang, Khu Tek San berlaku hati-hati. Dia maklum
bahwa lawannya memang benar-benar hebat, maka ia membalikkan kipasnya dengan
pemutaran pergelangan tangan, menggunakan ujung cabang kipas menotok telapak
tangan kiri Si Brewok, sedangkan lengan kirinya sengaja ia gerakkan menangkis
cengkeraman tangan kanan Ganya.
“Dukkk!”
Ganya dapat menyelamatkan tangan kirinya yang tertotok, akan tetapi dia sengaja
mengadu lengan kanannya dengan lengan kiri lawan.
Dua buah
lengan yang sama kuat dan mengandung getaran tenaga sinkang bertemu, membuat
keduanya terhuyung ke belakang! Ganya memandang terbelalak dan kaget,
sebaliknya Khu Tek San memandang kagum. Jarang ada orang yang dapat mengimbangi
tenaga sinkang-nya, akan tetapi lawan ini agaknya tidak kalah kuat olehnya.
Maka ia menerjang lagi dan terjadilah pertandingan yang amat dahsyat dan seru
antara kedua orang gagah itu.
Melihat
betapa pemimpin mereka sudah bertanding, anak buah perampok itu berteriak dan
maju menyerbu, disambut oleh Chi Kan yang sudah mengambil senjata baru dan enam
orang temannya. Perang kecil terjadi dengan ramainya. Senjata tajam berdencingan
bertemu lawan, teriakan-teriakan dan maki-makian saling susul menyeling suara
berdebuknya kaki mereka yang sedang bertanding mengadu nyawa.
Maya berdiri
memandang dengan kagum ke arah Khu Tek San. Hebat memang penolongnya itu,
permainan kipasnya indah sekali dan gerakannya amat kuat. Akan tetapi ia
menjadi gemas dan penasaran melihat betapa Kam Han Ki masih saja duduk di atas
batu di bawah pohon seperti tadi, malah kini pemuda itu menggigiti rumput yang
dicabutnya dari dekat kakinya, duduk menggigiti batang rumput sambil termenung
dengan alis berkerut. Memang saat itu Han Ki kembali teringat akan kekasihnya
yang makin sering diingatnya setelah perjalanan mendekati kota raja.
“Eh, kenapa
engkau malah melamun saja?” Maya yang tidak sabar lagi mendekati Han Ki,
menegur dan mengguncang pundaknya. “Lihat, Paman Khu Tek San melawan seorang
yang lihai sekali sedangkan para piauwsu dikeroyok banyak perarmpok!”
Han Ki
seperti baru sadar dari alam mimpi. Akan tetapi ia hanya menoleh ke kanan
memandang pertandingan antara Khu Tek San dan Ganya. Pada saat itu seorang
anggota perampok yang agaknya ingin membantu pemimpinnya dan menyerbu Tek San
dari belakang kena disambar dadanya oleh ujung batang kipas sehingga perampok
ini terbanting ke belakang, roboh dan merintih-rintih.
“Khu-Ciangkun
tidak akan kalah!” kata Han Ki setelah memandang sebentar, lalu kembali
menunduk menggigiti batang rumput.
Memang di
dalam hatinya pemuda ini merasa enggan untuk membantu para piauwsu menghadapi
perampok-perampok itu. Yang akan dirampok adalah benda-benda yang akan
dijadikan barang sumbangan atas menikahnya Raja Yucen dan... Sung Hong Kwi,
kekasihnya! Karena itu dia tidak peduli. Kalau mau dirampas para perampok
barang-barang yang menyebalkan hatinya itu, biarlah!
Kembali Maya
mengguncang pundaknya. “Han Ki, lihatlah! Para perampok hendak merampas
gerobak!”
Han Ki
menoleh dan benar saja, kini sebagian dari pada anak buah perampok ada yang
mendekati gerobak berisi barang-barang berharga, bahkan di antara mereka
berkata nyaring sambil terkekeh, “Mari kita naikkan gadis itu ke atas kereta
dan sekalian kita bawa pergi!”
Kini lima
orang perampok tinggi besar sambil tersenyum menyeringai datang menghampiri
Maya yang berdiri tegak dan siap melakukan perlawanan! Melihat ini. Han Ki
menggerakkan tangan ke bawah, menggenggam pasir kasar dan mengayun tangan itu
ke arah para perampok. Akibatnya hebat!
Lima orang
perampok yang sudah mendekati Maya itu roboh berpelantingan ke kanan kiri,
mengaduh-aduh karena pasir-pasir kasar itu menembus kulit dan menancap di dalam
daging lengan-lengan mereka! Perih pedih panas gatal rasanya. Teriakan-teriakan
kesakitan ini disusul pula oleh tujuh orang perampok yang berada di dekat
gerobak sehingga dua kali mengayun tangan yang menggenggam pasir, Han Ki telah
berhasil membuat dua belas orang perampok roboh tak dapat berkelahi lagi!
Maya berdiri
terbelalak. Dia menjadi heran dan bingung. Hanya melihat ada sinar kehitaman
menyambar dua kali dibarengi desingan angin yang datang dari arah Han Ki dan
perampok-perampok itu sudah roboh! Ilmu sihirkah ini? Gerakan Han Ki sedemikian
cepatnya sehingga Maya tidak dapat mengikutinya dengan pandang mata.
Menyaksikan
robohnya dua belas orang kawan mereka secara aneh itu, para perampok yang lain
menjadi gentar dan marah. Demikian pula pimpinan perampok, Si Brewok yang lihai
itu. Perhatiannya terpecah ketika ia mendengar pekik-pekik kesakitan dan
melihat robohnya banyak anak buahnya tanpa melakukan pertandingan. Sebagai
seorang ahli yang pandai, ia dapat melihat gerakan Han Ki dan diam-diam menjadi
terkejut bukan main. Kiranya orang muda yang duduk melamun itu memiliki
kepandaian yang lebih dahsyat lagi dari pada orang gagah yang dilawannya.
Karena perhatiannya terpecah dan hatinya gentar, Khu Tek San dapat melihat
‘lowongan’ dan memasuki lowongan itu dengan pukulan kipasnya ke arah leher
lawan. Ganya terkejut, cepat mengelak, akan tetapi terlambat.
“Krekk!”
tulang pundak kiri kepala perampok ini patah dan ia mencelat mundur sambil
bersuit keras memberi tanda kepada anak buahnya untuk mundur!
Sebagai
bekas pasukan yang berdisiplin, anak buah perampok yang masih bertempur itu
segera melompat ke belakang dan melarikan diri, meninggalkan dua belas orang
teman yang masih mengaduh-aduh dan bergulingan di atas tanah! Tujuh orang
piauwsu menjadi lega sekali karena para perampok pergi dan di antara mereka
hanya ada dua orang yang terluka ringan. Melihat dua belas orang perampok
bergulingan itu, mereka menjadi gemas dan menggerakkan golok-golok perak mereka
untuk membunuh.
“Cring-cring-cring...!”
Para piauwsu
terkejut dan berteriak sambil terhuyung ke belakang. Kiranya golok-golok mereka
telah tertangkis oleh kerikil-kerikil kecil yang disambitkan secara tepat
mengenai golok mereka dan dengan tenaga yang amat kuat sehingga golok mereka
tergetar! Ketika mereka menoleh, kiranya Han Ki yang tadi mencegah mereka dan
kini pemuda itu bangkit berdiri.
“Para
piauwsu harap jangan melakukan pembunuhan! Barang-barang telah diselamatkan,
lebih baik melanjutkan perjalanan, mengapa mau membunuh orang?”
Mendengar
teguran Han Ki ini, Chi Kan membantah. “Akan tetapi penjahat ini tadinya hendak
merampok gerobak dan Siocia, dan tentu akan membunuh kita semua. Mengapa
sekarang tidak boleh kami bunuh? Orang-orang jahat seperti mereka ini kalau
tidak dibasmi, kelak tentu akan menimbulkan mala-petaka kepada orang lain.”
Han Ki
menggeleng kepala. “Belum tentu, Chi-piauwsu! Ada akibat tentu ada sebabnya.
Mereka ini dulunya bukan perampok dan kalau sekarang menjadi perampok tentu
bersebab. Kalau saja pasukan mereka tidak dipukul hancur, kalau saja mereka
tidak dipengaruhi seorang pemimpin yang jahat, kalau saja Kaisar Sung tidak
menikahkan puterinya, kalau saja kalian tidak mengantar barang-barang berharga
ke kota raja dan masih banyak kalau-kalau lagi, kiranya mereka ini tidak
menjadi perampok. Pula, aku yang merobohkan mereka, karenanya aku pula yang
berhak memutuskan. Mereka ini tidak boleh dibunuh!”
Melihat
betapa para piauwsu masih penasaran, Khu Tek San segera berkata, “Cu-wi Piauwsu
harap jangan banyak membantah lagi. Kalau tadi Siauw-susiok tidak turun tangan,
bukankah gerobak dan nyawa kalian akan hilang? Mari kita melanjutkan perjalanan
dan meninggalkan mereka yang terluka ini!’
Para piauwsu
tadi sudah menyaksikan kegagahan Khu Tek San, maka biar pun mereka masih
penasaran karena tiada seorang pun menyaksikan bahwa Han Ki yang merobohkan dua
belas orang perampok itu, tidak banyak bicara lagi dan perjalanan dilanjutkan
menuju ke kota raja.
Ketika
rombongan itu memasuki kota raja, semua menjadi gembira, kecuali Han Ki.
Terutama sekali Maya menjadi gembira bukan main dan amat kagum menyaksikan
rumah-rumah besar dan kota yang dihias indah itu. Jelas bahwa kota raja
menyambut pernikahan puteri Kaisar secara besar-besaran! Namun keadaan kota
raja itu membuat hati Han Ki terasa makin perih seperti ditusuk-tusuk pedang.
Hiasan-hiasan indah dengan bunga-bunga dan kertas-kertas berwarna-warni itu
seolah-olah mengejeknya, mengejek atas kepatahan hatinya dan terputusnya ikatan
cinta kasih antara dia dan Sung Hong Kwi!
Setelah
menghaturkan terima kasih, rombongan piauwsu memisahkan diri. Khu Tek San
mengajak Maya dan Han Ki langsung menghadap Menteri Kam. Dengan ramah dan
gembira Menteri Kam menerima kedatangan mereka bertiga itu di dalam ruangan
sebelah dalam.
“Suhu.... !”
Khu Tek San berlutut memberi hormat kepada gurunya.
Han Ki
berdiri lesu dan Maya juga berdiri akan tetapi dia terbelalak memandang ke arah
laki-laki tua yang berpakaian seperti pembesar, kakek yang berwajah penuh
kesabaran namun pandang matanya tajam penuh wibawa. Dia segera mengenal kakek
ini! Ketika dia dahulu ditawan sepasang iblis dari India, kakinya digantung di
pohon oleh Mahendra dan hampir saja ia disembelih seperti seekor ayam, kakek
itulah yang menolongnya! Jadi kakek inilah guru penolongnya? Dan kakek inikah
saudara tua Raja Khitan, ayah angkatnya?
“Bagus
sekali, engkau dapat pulang dengan selamat, Tek San. Dan engkau telah melakukan
tugasmu dengan baik, Han Ki! Akan tetapi anak perempuan ini... siapakah dia?”
Menteri Kam Liong memang tidak ingat lagi akan anak perempuan yang dulu
ditolongnya dari tangan Mahendra, sehingga kini tidak mengenal Maya. Apa lagi
dahulu ia hanya melihat wajah anak yang digantung itu dari jauh dan mengira
anak dusun biasa.
“Maaf, Suhu.
Hampir saja teecu mengalami kegagalan dan tewas dalam tugas kalau tidak
tertolong oleh Susiok yang amat lihai. Ada pun anak ini bukan lain adalah
puteri dari mendiang Raja dan Ratu Khitan.”
Menteri Kam
Liong terbelalak memandang Maya. “Aiihhh..., kasihan sekali engkau Anakku...!”
Kam Liong turun dari bangkunya, memegang lengan Maya, ditariknya dan
dirangkulnya anak itu. “Aku adalah uwamu sendiri, Maya.”
Akan tetapi
Maya tidak merasa terharu. Dia memiliki hati yang keras, dan kini timbullah
rasa tidak senangnya kepada Menteri Kam. Kalau benar orang tua ini uwanya,
kalau benar memiliki kepandaian tinggi dan kedudukan tinggi berpengaruh, kenapa
tidak sejak dahulu membantu dan melindungi keselamatan keluarga Raja Khitan?
Uwa macam apa ini?
“Tidak, aku
tidak mempunyai uwa, tidak mempunyai saudara atau keluarga. Keluargaku habis
terbasmi di Khitan. Dan aku pun bukan puteri Raja Khitan, hanya anak angkat!
Harap kau orang tua tidak mengaku keluarga hanya untuk menghiburku.”
“Maya...!”
Khu Tek San menegur kaget dan marah.
Akan tetapi
Menteri Kam Liong tersenyum pahit. Dia mempunyai pandangan tajam dan dapat
menyelami hati bocah itu. Dia sendiri pun merasa nelangsa hatinya mengapa tidak
dapat menyelamatkan saudara-saudaranya di Khitan. Maka ia pun tidak tersinggung
ketika Maya melepaskan pelukannya, melangkah mundur dekat Han Ki dan tadi
mengeluarkan ucapan seperti itu. Dia memandang kagum. Biar pun dia tahu bahwa
bocah ini memang bukan puteri kandung Raja dan Ratu Khitan, namun bocah ini
patut menjadi puteri mereka, patut menjadi keponakan Mutiara Hitam karena
memiliki watak yang khas dimiliki wanita gagah perkasa Mutiara Hitam, adik
tirinya itu!
Hati Tek San
tidak enak sekali menyaksikan sikap Maya terhadap gurunya. Dia cepat berkata,
“Kalau Suhu memperbolehkan, biarlah Maya tinggal di tempat teecu karena di sana
dia dapat bermain-main dengan anak teecu Siauw Bwee.”
Menteri Kam
Liong mengangguk-angguk. “Sebaiknya begitu, kalau dia mau. Maukah engkau
tinggal di rumah Tek San, Maya? Apakah ingin tinggal di sini bersama uwamu?”
“Aku ingin
tinggal bersama Paman Khu!” jawab Maya tegas.
“Kalau
begitu, engkau pulanglah lebih dulu, Tek San dan bawa Maya bersamamu. Akan
tetapi engkau segera kembali ke sini karena banyak hal penting yang ingin
kubicarakan dengan engkau dan Han Ki!”
Khu Tek San
memberi hormat, lalu mengajak Maya keluar dari gedung itu menuju ke rumahnya
sendiri. Ternyata panglima itu pun memiliki sebuah rumah gedung yang cukup
mewah. Maya mendapat kenyataan pula bahwa penolongnya ini bukan sembarang
orang, dan tentu memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Hal ini bukan hanya terbukti
dari rumah gedungnya yang mentereng, melainkan juga terbukti dari sikap para
perwira yang bertemu di jalan. Semua menghormat kepada Panglima Khu yang masih
berpakaian preman itu.
Para pelayan
menyambut kedatangan panglima ini penuh hormat, akan tetapi Khu Tek San yang
sudah tidak sabar untuk dapat segera bertemu dengan anak isterinya menggandeng
tangan Maya dan setengah berlari memasuki gedung. Di sebelah dalam disambutlah
dia oleh seorang wanita cantik dan seorang anak gadis cilik yang cantik jelita
pula.
“Ayahhh...!”
Anak perempuan yang usianya lebih muda dua tahun dari pada Maya itu dengan
sikap manja lari menghampiri ayahnya.
Tek San
tertawa. Disambarnya anak itu dan diangkatnya tinggi-tinggi, lalu dipeluk dan
dicium pipinya. “Ha-ha-ha, Siauw Bwee, engkau sudah begini besar sekarang!”
Kemudian
suami ini saling pandang dengan isterinya, penuh kerinduan dan penuh kemesraan
yang tak dapat mereka perlihatkan di depan dua orang anak perempuan itu. Hanya
pandang mata mereka yang saling melekat mesra mewakili tubuh mereka.
“Maya,
inilah bibimu!” kata Tek San yang melanjutkan. “Niocu, dia ini adalah Puteri
Maya, puteri mendiang Raja dan Ratu Khitan.”
“Aihhh...!”
Isteri Khu-ciangkun menghampiri dan mengelus rambut kepala Maya.
Anak ini
menahan-nahan air matanya yang hendak runtuh sejak tadi. Melihat betapa Siauw
Bwee disambut mesra oleh kasih sayang ayahnya, dia teringat akan nasib diri
sendiri. Dahulu pun ayahnya, Raja Khitan, amat cinta kepadanya. Akan tetapi
sekarang? Dia tidak punya siapa-siapa! Ia menjadi makin terharu setelah tangan
halus bibinya mengusap rambutnya.
“Maya,
inilah Siauw Bwee, anakku. Bermainlah dengan dia dan anggap dia adikmu sendiri.
Siauw Bwee, inilah Cici mu, Maya.”
Siauw Bwee
diturunkan dari pondongan ayahnya. Gadis cilik ini tersenyum manis dan ramah
kepada Maya, menghampirinya dan memegang tangannya. “Enci Maya...!”
Begitu
bertemu hati Maya telah tertarik dan suka sekali kepada Siauw Bwee. Dia pun
lupa akan kedukaannya, merangkul pundak Siauw Bwee dan berkata, “Adik Siauw Bwee...!”
“Enci Maya,
mari kita main-main di taman. Di kolam taman terdapat ikan baru. Lucu sekali,
sisiknya seperti emas, ekornya seperti selendang sutera, tubuhnya seperti katak
dan kedua matanya membengkak dan menjendol ke luar di atas selalu memandang langit!”
Dua orang anak perempuan itu tertawa-tawa dan berlarian menuju ke taman.
Setelah
kedua orang anak itu pergi, barulah suami isteri yang saling mencinta dan sudah
berpisah lama ini dapat menumpahkan rasa rindu mereka. Mereka saling menubruk,
berciuman, dan tanpa berkata-kata Tek San melingkarkan lengan kanan di pinggang
yang ramping itu kemudian mereka berdua berjalan memasuki kamar.
Tak lama
kemudian Khu Tek San sudah kembali ke gedung Menteri Kam yang duduk berdua
dengan Han Ki. Pemuda itu kelihatan lebih murung lagi, wajahnya pucat dan
matanya sayu.
“Aku sudah
mendengar penuturan Han ki tentang peristiwa yang terjadi dan menimpa kalian,”
Menteri Kam berkata setelah muridnya duduk. “Memang semua itu telah diatur
oleh... hemmm, Suma Kiat!”
Khu Tek San
mengangguk-angguk. “Suhu, kalau tidak salah dugaan teecu, semua perbuatan yang
dilakukan oleh Siangkoan Lee terhadap teecu hanyalah untuk memukul Suhu.
Betulkah?”
Menteri itu
menghela napas panjang dan mengangguk. “Benar demikian. Orang itu sampai kini
masih saja belum dapat melenyapkan rasa benci dan dendam yang meracuni hidupnya
sendiri. Diam-diam dia telah bersekongkol dengan pasukan-pasukan asing,
berusaha memburukkan namaku di depan Kaisar dengan bermacam cara. Untung tak
pernah berhasil dan Kaisar masih tetap percaya kepadaku. Akan tetapi, Suma Kiat
masih belum puas juga dan siasatnya yang terakhir ini benar-benar menjengkelkan
dan membahayakan.”
“Siasat apa
lagi, Suhu?” tanya Khu Tek San dengan kening berkerut dan hati khawatir.
Mempunyai seorang musuh seperti Jenderal Suma Kiat benar-benar amat berbahaya
karena selain ia tahu betapa tinggi ilmu kepandaian jenderal itu, juga Jenderal
Suma Kiat amat licik, curang dan mempunyai pengaruh di antara para thaikam dan
menteri-menteri yang tidak setia.
“Dia
berhasil membujuk Kaisar untuk menyerahkan puteri selirnya kepada Raja Yucen!”
Menteri tua itu menggeleng-geleng kepala dan memandang Han Ki yang menundukkan
muka.
“Hal itu apa
sangkut-pautnya dengan kita, Suhu?”
“Ah, kau
tidak tahu, muridku, Suma Kiat amat cerdik dan pandai mengatur siasat untuk
merobohkan lawan-lawan dan musuh-musuhnya. Ketika usaha muridnya yang bernama
Siangkoan Lee itu gagal untuk menangkap dan membunuhmu, muridnya cepat pulang
ke kota raja. Raja Yucen marah-marah karena dibakar hatinya oleh murid itu,
mengirim protes kepada Kaisar mengapa seorang Panglima Sung diselundupkan untuk
menjadi mata-mata di Kerajaan Yucen! Dan kembali Suma Kiat yang memberikan
jasa-jasa baiknya untuk mengangkat diri sendiri di depan Kaisar sambil
sekaligus berusaha menjatuhkan aku! Dia menyalahkan aku mengenai kemarahan Raja
Yucen kemudian membujuk Kaisar agar menyerahkan puteri selirnya yang tercantik
untuk menjadi isteri muda Raja Yucen. Sengaja dia mengusulkan agar Puteri Sung
Hong Kwi yang dihadiahkan!”
Khu Tek San
mendengar tarikan napas panjang dari Han Ki dan ia mengerling ke arah permuda
itu. Heranlah hatinya melihat pemuda itu mengepal tinju dan marah sekali. Sudah
lama ia melihat sikap Han Ki yang penuh duka, dan kini ia menjadi makin ingin
tahu apa gerangan yang menyusahkan hati pemuda sakti ini.
Menteri Kam
agaknya tahu akan isi hati Khu Tek San, maka ia lalu berkata tenang. “Karena
engkau merupakan orang sendiri, kiranya Han Ki tidak perlu menyembunyikan lagi
rahasianya. Ketahuilah, Tek San. Puteri Sung Hong Kwi yang akan dijodohkan
dengan Raja Yucen itu adalah kekasih Han Ki. Dia ingin minta aku mengajukan
pinangan kepada Kaisar, akan tetapi ternyata telah didahului Suma Kiat karena
aku yakin benar mengapa dia justeru mengusulkan agar puteri itu yang
dihadiahkan kepada Raja Yucen. Agaknya hubungan cinta kasih antara Han Ki dan
puteri itu telah bocor dan diketahui Suma Kiat, maka kembali dia melakukan hal
itu untuk memukul Han Ki dan tentunya yang dijadikan sasaran terakhir adalah
aku sendiri karena Han Ki adalah saudara sepupuku!”
“Hemm,
sungguh mengherankan sekali sikap Suma-goanswe itu. Bukankah beliau itu masih
ada hubungan keluarga dengan Suhu?” tanya Tek San penasaran.
Gurunya
mengelus jenggot dan menghela napas panjang melihat betapa Han Ki juga
memandangnya dengan sinar mata penuh pertanyaan. “Memang begitulah, antara Suma
Kiat dan aku terdapat pertalian keluarga. Ibunya bernama Kam Sian Eng dan
ibunya itu adalah adik kandung Kam Bu Sin, ayah Han Ki ini. Mereka berdua
adalah adik tiri ayahku, Kam Bu Song pendekar sakti Suling Emas. Memang ada
hubungan keluarga, dan dia itu masih misanku sendiri. Namun menurut riwayat nenek
moyang, keluarga Suma memang selalu memusuhi keluarga kami. Sungguh menyedihkan
kalau diingat.”
“Habis
bagaimana sekarang baiknya, Suhu?”
Menteri itu
menggerakkan pundaknya. “Bagaimana baiknya? Kita menanti dan melihat saja
bagaimana perkembangannya. Kota raja sudah dalam keadaan pesta karena
perjodohan itu telah diumumkan, bahkan besok akan tiba utusan dari Raja Yucen,
diikuti oleh panglima besar dan guru negara sendiri, yaitu utusan untuk
meresmikan hari pernikahan. Engkau harus hadir pula, Tek San, untuk
memperlihatkan kepada Kaisar bahwa engkau benar-benar berdiri di pihak Kerajaan
Sung. Dan kehadiranmu malah merupakan ujian bagi ketulusan sikap orang-orang
Yucen. Kalau memang mereka menghendaki hubungan baik, setelah Kaisar
menyerahkan puterinya tentu mereka tidak akan berani bicara lagi tentang
penyelundupan di Yucen. Kalau terjadi sebaliknya, berarti mereka itu masih
mendendam dan tidak mempunyai itikad baik terhadap Kerajaan Sung. Dan engkau
harus hadir pula dalam perjamuan menyambut para tamu agung itu, Han Ki, sebagai
pengawalku.”
Tek San dan
Han Ki menyatakan persetujuan mereka, namun di dalam hatinya Han Ki merasa
makin berduka. Dia harus hadir dalam perjamuan menyambut utusan calon suami
Hong Kwi! Bahkan tak salah lagi, dia pun harus pula ikut minum arak untuk
menghaturkan selamat kepada pengantin.....
*************
“Enci Maya,
aku sudah minta perkenan Ayah, akan tetapi tetap tidak boleh! Katanya keramaian
yang diadakan di istana untuk menyambut dan menghormati utusan Raja Yucen, yang
hadir adalah Kaisar sendiri dan para menteri, para thaikam dan orang-orang
besar saja. Anak-anak mana boleh turut?” Khu Siauw Bwee berkata dengan muka
kecewa kepada Maya yang membujuknya agar dia minta perkenan ayahnya
diperbolehkan ikut menonton keramaian di istana.
Khu Siauw
Bwee adalah puteri tunggal Khu Tek San, lebih muda satu dua tahun dari Maya.
Dia seorang anak perempuan yang cantik mungil, dengan pandang mata lembut namun
tajam sekali menandakan bahwa dia memiliki kecerdikan. Sikapnya tidak manja
karena memang ayah bundanya pandai mendidik. Seperti juga Maya, sejak kecil
Siauw Bwee digembleng ilmu silat dan ilmu sastra oleh ayah bundanya. Berkat
ketajaman otaknya, biar pun masih kecil, belum sepuluh tahun usianya, Siauw
Bwee telah memiliki ketabahan dan kepandaian silat yang membuat tubuhnya lincah
dan kuat.
Maya merasa
kecewa ketika mendengar mereka tidak boleh ikut. “Ahh, sayang sekali. Aku ingin
melihat bagaimana sih rupanya Kaisar Sung dan puteri-puterinya, juga ingin
sekali melihat utusan Yucen. Terutama sekali melihat puteri-puteri istana yang
kabarnya cantik-cantik seperti bidadari.”
“Ihhhh,
seperti apa sih kecantikan mereka? Kulihat mereka itu tidak ada yang lebih
cantik dari pada engkau, Enci Maya. Engkau barulah boleh disebut seorang gadis
yang cantik!” Siauw Bwee berkata sungguh-sungguh sambil memandang wajah Maya
yang amat mengagumkan hatinya.
“Aihhh,
sudahlah jangan menggoda, Adikku. Dahulu di istana orang tuaku, aku boleh
melakukan apa saja. Sekarang melihat ayahmu melarang engkau padahal hanya ingin
menonton keramaian, sungguh-sungguh aku merasa penasaran sekali. Apa sih buruk
dan ruginya kalau kita ikut menonton? Hemm, aku ada akal baik, Moi-moi. Kalau
kau suka, kita akan dapat bergembira sekali dan... hemm, kau dengar
baik-baik....” Maya lalu berbisik-bisik di dekat telinga Siauw Bwee.
Wajah Siauw
Bwee berubah dan matanya terbelalak. “Ihh, Enci Maya! bagaimana kalau sampai
ketahuan?”
Dengan ibu
jari tangan kanannya, Maya menuding dadanya sendiri. “Akulah yang akan
bertanggung jawab, jangan engkau khawatir!”
Sambil tertawa
terkekeh-kekeh kedua orang anak perempuan itu memasuki kamar mereka dan
mengunci pintu. Terdengar mereka berdua masih tertawa-tawa, entah apa yang
mereka lakukan dan bicarakan.....
APA YANG
menjadi dugaan Menteri Kam ketika ia menceritakan kepada muridnya memang tepat.
Peristiwa yang menimpa diri Khu Tek San di Yucen, yaitu pecahnya rahasianya
sebagai mata-mata kemudian tertangkapnya oleh rekan-rekannya sendiri di
perbatasan, adalah akibat perbuatan Siangkoan Lee yang memenuhi perintah
gurunya, Suma Kiat. Memang Jenderal Suma Kiat ini tidak pernah dapat melupakan
sakit hatinya dan kebenciannya terhadap keturunan Suling Emas.
Ketika ia
mendapat laporan dari Siangkoan Lee betapa usaha muridnya itu semua gagal oleh
Mutiara Hitam, kemudian oleh Kam Han Ki, hatinya menjadi makin marah dan
penasaran. Maka diaturnyalah siasat baru untuk memukul Han Ki dan Menteri Kam
Liong yaitu membujuk Kaisar agar mengambil hati Raja Yucen dengan menyerahkan
seorang di antara puteri selirnya.
“Puteri
Paduka Sung Hong Kwi terkenal sebagai bunga istana, hal ini bahkan terkenal
sampai ke Yucen. Kalau Paduka menghadiahkan puteri itu kepada Raja Yucen,
Paduka akan memetik tiga keuntungan,” demikian antara lain bujukan yang
diucapkan Suma Kiat yang didukung oleh para thaikam.
“Tiga
keuntungan yang bagaimana engkau maksudkan?” Kaisar bertanya.
“Pertama,
puteri Paduka akan terangkat sebagai seorang junjungan yang dihormati di Yucen
dan mengingat akan keadaan Permaisuri Yucen yang lemah dan sakit-sakit, banyak
harapan beliau akan dapat menjadi permaisuri. Kedua, dengan menarik Raja Yucen
sebagai mantu paduka, mantu yang rendah karena hanya menikah dengan puteri
selir, berarti Paduka mengangkat kedudukan Paduka jauh lebih tinggi dari pada
Raja Yucen. Kemudian ketiga, dengan ikatan jodoh itu, tentu saja Yucen tidak
akan memusuhi Sung, bahkan setiap saat dapat diharapkan bantuan mereka.”
Tentu saja
Jenderal Suma Kiat tidak menyatakan rahasia hatinya bahwa kalau perjodohan itu
dilakukan, terutama sekali karena ia ingin menghancurkan hati Kam Han Ki yang
ia tahu dari para penyelidiknya mempunyai hubungan cinta kasih dengan puteri
itu, dan karenanya ingin pula ia menghantam Menteri Kam melalui Han Ki!
Demikianlah,
secara cepat sekali ikatan jodoh diadakan dan hari itu kota raja telah berpesta
merayakan perjodohan itu. Penduduk yang tidak tahu apa-apa hanya ikut merasa
germbira bahwa Kaisar hendak mantu, apa lagi yang akan mempersunting Puteri
Sung Hong Kwi adalah Raja Yucen sehingga hal ini dapat diartikan bahwa kota
raja terhindar dari satu di antara bahaya serbuan musuh-musuhnya.
Rombongan
utusan Raja Yucen tiba dan mendapat sambutan meriah, bahkan malamnya istana
mengadakan perjamuan meriah untuk menghormati mereka. Sesuai pula dengan
kebiasaan di Yucen, maka ruangan di istana diatur dengan bangku-bangku kecil
tanpa tempat duduk karena memang mereka itu biasa makan minum sambil duduk di
lantai, menghadapi bangku kecil di mana terdapat makanan.
Mereka
terdiri dari dua puluh orang lebih, dipimpin oleh guru negara dan panglima
besar Yucen, duduk berjajar-jajar menghadapi bangku masing-masing merupakan barisan
keliling yang saling berhadapan. Juga Kaisar sendiri bersama menteri-menteri
yang berkedudukan tinggi hadir dalam perjamuan itu, di antaranya tampak Menteri
Kam Liong, Panglima Khu Tek San, Kam Han Ki pengawal pribadi Menteri Kam,
Jenderal Suma Kiat, dan lain pembesar penting lagi. Kaisar sendiri menghadapi
bangkunya di tempat yang lebih tinggi dan dilayani para thaikam dan pelayan.
Panglima-panglima
yang pangkatnya belum cukup tinggi hanya dipersilakan duduk di ruangan sebelah,
di atas kursi-kursi berjajar, ada lima puluh kursi banyaknya. Mereka yang
memenuhi ruangan ini hanya ikut makan minum, ikut mendengarkan percakapan dan
menonton pesta orang-orang besar di ruangan dalam, akan tetapi tidak berhak
ikut dalam percakapan.
Selagi
perjamuan itu mulai ramai dan gembira karena pihak tamu mau pun dari pihak tuan
rumah berkali-kali diadakan penghormatan dengan mengisi cawan arak dan minum
demi keselamatan masing-masing pihak, terjadi sedikit keributan di sebelah
luar, di pintu ruangan para panglima rendahan. Enam orang pengawal yang menjaga
pintu sedang ribut mulut dengan seorang berpakaian panglima yang bertubuh
tinggi kurus berwajah tampan sekali. Para pengawal tidak mengenal panglima muda
ini, maka mereka menolaknya untuk memasuki ruangan itu. Si Panglima Muda
marah-marah dan memaki-maki.
“Kalian ini
serombongan pengawal berani menolak seorang panglima? Aku adalah seorang
panglima kerajaan, masa tidak boleh menonton keramaian menyambut utusan calon
besan Kaisar? Apakah kalian ingin dipecat dan dihukum?” Suara Panglima itu
nyaring dan bening.
Pemimpin
pengawal menjadi gugup, akan tetapi berusaha membantah, “Maaf, Ciangkun, akan
tetapi hamba... tidak mengenal Ciangkun, bahkan belum permah melihat Ciangkun.”
“Goblok!
Mana mungkin kalian dapat mengenal semua panglima yang amat banyaknya dan yang
banyak bertugas di luar kota? Cukup kalau kalian mengenal pakaian dan
tanda-tanda pangkat yang kupakai! Awas, aku adalah panglima yang dipercaya oleh
Menteri Kam!”
Mendengar
disebutnya Menteri Kam, para pengawal mundur ketakutan dan terpaksa
mempersilakan panglima muda itu memasuki ruangan yang disediakan bagi para
panglima rendahan yang tidak diundang ke ruangan dalam ikut menyambut tamu-tamu
agung! Enam orang pengawal ini saling pandang, kemudian mereka berbisik-bisik,
membicarakan panglima muda itu dengan hati heran. Panglima yang masih begitu
muda yang tampan sekali, bertubuh jangkung dan galaknya bukan main! Kalau saja
para pengawal itu berani mengikuti Si Panglima tampan ini, tentu keheranan
mereka akan bertambah beberapa kali lipat melihat Si Panglima itu kini telah
berubah menjadi dua orang bocah yang duduk di baris terdepan!
Memang bukan
orang lain, panglima itu sebenarnya adalah Maya dan Siauw Bwee! Akal bulus Maya
membuat mereka dapat memasuki istana melalui beberapa tempat penjagaan dengan
menyamar sebagai seorang panglima, menggunakan pakaian Khu Tek San! Dua orang
gadis cilik ini sejak kecil digembleng ilmu silat, maka bukan merupakan hal
yang aneh dan sukar bagi mereka untuk penyamaran itu. Maya berdiri di atas
pundak Siauw Bwee sehingga tubuh mereka yang bersambung ini, setelah ditutup
pakaian Khu Tek San, berubah menjadi tubuh seorang panglima yang jangkung kurus
dan berwajah tampan sekali, wajah Maya.
Setelah
berhasil mengelabui penjagaan terakhir di depan ruangan itu, Maya dan Siauw
Bwee girang sekali. Pakaian luar panglima itu segera mereka copot. Maya
meloncat turun dan kedua orang anak perempuan yang berani itu menyelinap dan
memilih tempat duduk di bagian paling depan sehingga mereka dapat menonton ke
ruangan dalam di mana Kaisar sedang menjamu tamu-tamunya! Para panglima yang
melihat munculnya dua orang gadis cilik dekat mereka menjadi heran dan ada yang
menegur.
Maya
mendahului Siauw Bwee yang sudah mulai agak gelisah. “Dia adalah puteri
Panglima Khu yang hadir di situ, dan aku adalah keponakan Menteri Kam yang
hadir pula di situ. Kami ikut dengan mereka dan ditempatkan di sini. Apakah
Cu-wi Ciangkun berkeberatan?”
Memang hebat
sekali, amat tabah dan cerdik. Sekecil itu dia sudah dapat ‘berdiplomasi’ dan
menggunakan kata-kata yang menyudutkan para panglima itu. Tentu saja tidak ada
seorang pun di antara mereka berani menyatakan keberatan menerima puteri
Panglima Khu yang terkenal, apa lagi keponakan Menteri Kam! Bahkan mereka
tersenyum-senyum gembira karena biar pun masih kecil, dua orang bocah itu
merupakan ‘pemandangan’ yang menarik dan memiliki kecantikan yang mengagumkan.
Para utusan
Kerajaan Yucen sudah mulai merah mukanya oleh pengaruh arak wangi dan
percakapan mulai lebih bebas dan berani. Menteri Kam yang duduk tak jauh dari
Kaisar bersikap tenang saja dan beberapa kali mengerling ke arah Jenderal Suma
Kiat yang duduk dekat panglima besar dan Guru Negara Yucen. Sejak tadi Jenderal
Suma ini bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan kedua orang tamu agung, bahkan
sering kali berbisik-bisik, kelihatannya akrab sekali.
Han Ki yang
berdiri di belakang Menteri Kam sebagai pengawal tidak bergerak seperti arca.
Akan tetapi sinar matanya kadang-kadang layu, kadang-kadang berapi kalau
memandang ke arah para utusan Raja Yucen. Khu Tek San juga duduk dengan
tenang...
TIBA-TIBA
panglima besar Kerajaan Yucen yang bertubuh tinggi besar, bercambang bauk,
matanya tajam dan sikapnya gagah sekali, berpakaian perang yang megah mewah,
mengangkat tangan ke atas dan memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki ke
arah Kaisar, suaranya terdengar garang dan kereng.
“Perkenankan
hamba menghaturkan selamat kepada Kaisar yang ternyata memiliki banyak menteri
dan jenderal yang pandai dan setia. Kalau tidak demikian, hamba rasa
kegembiraan malam ini takkan kita rasakan bersama akibat perbuatan seorang
Menteri Sung yang tidak patut terhadap Kerajaan Yucen. Hamba sebagai utusan Sri
Baginda di Yucen sama sekali tidak menyalahkan Kerajaan Sung, karena hamba tahu
bahwa yang menjadi biang keladi hanyalah seorang menteri yang bersikap lancang
seolah-olah lebih berkuasa dari pada kaisarnya sendiri!”
Semua yang
hadir menahan napas, menghentikan percakapan dan makan, menanti dengan jantung
berdebar karena utusan itu menginggung hal yang gawat. Semua orang mengerti
siapa yang dimaksudkan oleh panglima besar Yucen itu. Menteri Kam dan Khu Tek
San saling pandang sejenak, akan tetapi keduanya masih bersikap tenang-tenang
saja.
Kaisar sendiri
mengerutkan keningnya mendengar ucapan itu. Tak senang hatinya dan untuk
menjawab, lidahnya terasa berat. Tiba-tiba Jenderal Suma Kiat sudah membuka
mulut berkata, “Tai-ciangkun dari Yucen benar-benar seorang yang jujur dan
berhati polos! Setelah Tai-ciangkun tidak menyinggung atau menyalahkan Kaisar,
sebaiknya menunjuk secara jujur menteri mana yang dimaksudkan agar tidak
membikin hati para menteri di sini menjadi tidak enak.”
“Ha-ha-ha,
Suma-goanswe pun menyukai sikap jujur seperti kami. Bagus sekali! Yang kami
maksudkan adalah Menteri Kam Liong yang telah melakukan perbuatan tidak patut
sekali, mengirim muridnya dan menyelundupkannya menjadi panglima kerajaan kami
untuk melakukan pekerjaan mata-mata! Bukankah perbuatan itu amat busuk? Untung
Sri Baginda Kerajaan Sung amat bijaksana, kalau tidak, bukankah perbuatan licik
Menteri Kam itu cukup berbahaya untuk mencetuskan perang?”
Kembali
keadaan di ruangan itu sunyi sekali dan hati semua orang makin bimbang dan
tegang. Sri Baginda sendiri, yang tentu saja menyetujui akan penyelundupan
Khu-ciangkun ke Yucen, kini hanya dapat memandang kepada Menteri Kam Liong.
Sebelum ada
yang menjawab, tiba-tiba tampak seorang panglima bertubuh jangkung memasuki
ruangan itu dan terdengar suaranya nyaring. “Rombongan utusan Yucen ini datang
membawa perdamaian ataukah mencari pertentangan? Menghina seorang menteri
berarti menghina Kaisar dan kerajaan!”
Semua orang
terkejut sekali melihat munculnya seorang panglima muda tinggi kurus yang tidak
terkenal ini. Seorang pengawal Yucen yang berdiri menjaga di belakang Sri
Panglima Besar sudah menghadang ke depan, melintangkan tombaknya memandang
panglima tinggi kurus itu.
“Eh, eh, mau
apa engkau?” Panglima tinggi kurus itu membentak Si Pengawal Yucen sambil
melangkah maju mendekat.
Pengawal itu
mengira bahwa Panglima Sung ini akan menyerang majikannya, maka cepat
menggerakkan tombaknya menodong. Tiba-tiba kedua tangan panglima yang kurus itu
bergerak menyambar tombak dan semua orang memandang terbelalak ketika tiba-tiba
bagian perut panglima kurus itu bergerak ke depan seperti kaki tangan yang
bertubi-tubi mengirim tendangan dan pukulan.
“Buk-buk...!”
Pukulan-pukulan aneh yang keluar dari perut itu mengenai tubuh Si Pengawal yang
sama sekali tidak menduga. Siapa akan menduga lawan memukul dengan perut yang
bisa bergerak seperti kaki tangan itu? Biar pun pukulan-pukulan itu tidak
keras, namun Si Pengawal terhuyung mundur saking kagetnya dan tombaknya
terlepas!
Panglima
besar Yucen dan guru negara marah sekali. Mereka sudah bangkit berdiri
memandang panglima itu dan Koksu (Guru Negara) Yucen yang berjenggot panjang
berambut putih berseru.
“Beginikah
caranya menerima utusan kerajaan calon besan?”
Semua orang,
termasuk Kaisar sendiri masih terlalu heran dan bingung menyaksikan munculnya
panglima tinggi kurus yang aneh itu sehingga mereka tak dapat menjawab. Kaisar
sendiri mulai marah dan sudah membuat gerakan memerintahkan pengawal menangkap
panglima tinggi kurus itu ketika Menteri Kam tiba-tiba meloncat dan menjatuhkan
diri berlutut di depan Kaisar.
“Mohon
Paduka sudi mengampunkan hamba dan mengijinkan hamba untuk menyelesaikan urusan
ini agar perdamaian tetap dipertahankan.”
Kaisar
mengangguk.
“Cu-wi
Ciangkun dan Taijin dari Yucen harap suka memaafkan karena dia ini hanyalah
seorang anak kecil yang bertindak menurutkan perasaan dan sama sekali tidak ada
sangkut-pautnya dengan kerajaan. Mengenai urusan yang diajukan oleh
Te-i-ciangkun dari Yucen tadi, biarlah saya akan memberi penjelasan.”
“Menteri Kam
Liong! Apakah engkau hendak melindungi pula seorang panglima yang bersikap
begitu lancang dan membikin malu kerajaan?” Tiba-tiba Suma Kiat berkata marah.
“Pertanyaan
yang tepat!” Panglima Besar Yucen berseru. “Dan siapa mau menerima alasan bahwa
dia ini masih seorang anak kecil? Alasan yang dicari-cari untuk menyelamatkan
diri!”
Menteri Kam
Liong dengan sikap tenang lalu bangkit dan menghampiri panglima kurus yang
masih berdiri tegak itu, tangannya meraih dan mulutnya menegur, “Maya, jangan
kurang ajar, hayo cepat minta ampun kepada Hong-siang!”
Panglima
kurus itu mencoba menghindar, namun terlambat dan jubahnya telah direnggut
robek oleh tangan Menteri Kam Liong yang kuat. Berbareng dengan robeknya jubah,
tampaklah penglihatan yang aneh dan membuat semua orang menjadi geli. Kiranya
panglima tinggi kurus itu adalah dua orang anak perempuan, yang seorang berdiri
di atas pundak temannya. Pantas saja tadi dari ‘perut’ panglima itu keluar kaki
tangan yang menyerang dari dalam jubah!
Maya segera
meloncat turun dari pundak Siauw Bwee. Tadi sewaktu semua panglima menonton
tegang, dia dan Siauw Bwee diam-diam telah melakukan penyamaran mereka lagi,
tentu saja atas desakan Maya yang ingin menolong Menteri Kam! Sebagai seorang
puteri Kerajaan Khitan, tentu saja Maya mengerti akan tata susila istana,
demikian pula Siauw Bwee yang menjadi puteri seorang panglima terkenal. Mereka
berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar dan dengan suara halus
mohon ampun.
Kam Han Ki
tak dapat menahan ketawanya dan untung bahwa pada saat itu, Kaisar sendiri pun
tertawa disusul oleh para pembesar yang hadir di situ. Memang amat lucu setelah
melihat bahwa yang berbuat lancang kurang ajar itu ternyata hanyalah dua orang
anak perempuan!
“Siauw
Bwee... !” Khu Tek San menegur dan biar pun Panglima ini hanya memanggil namanya,
Siauw Bwee mengenal bahwa ayahnya amat marah dan dia menoleh ke arah ayahnya
dengan muka pucat.
Akan tetapi
Maya cepat berkata lantang, “Mohon Paman Khu, juga Sri Baginda dan semua orang
tidak menyalahkan adik Siauw Bwee atau siapa saja karena semua ini sayalah yang
bertanggung jawab!”
Bukan main
kagum rasa hati Kaisar melihat sikap Maya. Bocah ini bukan anak sembarangan,
pikirnya. Kepada Menteri Kam, Kaisar bertanya, “Siapakah mereka ini?”
“Ampunkan
mereka, karena mereka itu adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Hamba
bersedia menerima hukumannya. Maya ini adalah anak keponakan hamba, sedangkan
Khu Siauw Bwee adalah puteri Khu Tek San.”
Kaisar
mengangguk-angguk. Pantas, pikirnya. Dia sudah tahu bahwa menterinya, Kam
Liong, adalah seorang yang sakti, putera dari Pendekar Suling Emas, tidak aneh
kalau kemenakannya sehebat bocah cantik itu. Dan gadis cilik yang seorang lagi
memang pantas menjadi puteri Panglima Khu Tek San yang terkenal sebagai seorang
panglima yang gagah perkasa dan setia, berkepandaian tinggi karena panglima itu
adalah murid Menteri Kam Liong!
Sambil
tertawa Kaisar berkata, “Dua orang bocah yang bersemangat, tabah dan lucu
sekali. Kami memaafkan kenakalan mereka, Heii, kalian terimalah ini!”
Kaisar
menyambar dua butir buah apel merah dan menyambitkan dua butir buah itu ke arah
Siauw Bwee dan Maya. Bukan sambitan biasa melainkan sambitan untuk menguji.
Dengan cekatan sekali Siauw Bwee dan Maya berhasil menangkap buah apel yang
menyambar ke arah mereka. Kemudian mereka menghaturkan terima kasih.
“Bagus!
Mereka ini kelak akan menjadi pendekar-pendekar wanita yang hebat!” Kaisar
berkata. “Akan tetapi kalian sekarang harus pergi. Tidak boleh ada anak-anak
kecil hadir dalam pertemuan yang penting ini.”
Bukan main
gembiranya hati Menteri Kam Liong. Kiranya Kaisar dapat mengampunkan sedemikian
mudahnya. Maka ia cepat memerintahkan Han Ki untuk mengantar kedua orang bocah
itu pergi meninggalkan ruangan. Keadaan menjadi tenteram kembali setelah Maya
dan Siauw Bwee pergi, sungguh pun para panglima di ruangan luar masih
terheran-heran, terutama sekali para pengawal yang tadi kena diakali oleh dua
orang anak perempuan itu.
Biar pun
pihak Kaisar dan para pembesar Sung telah menjadi tenang dan lega, sebaliknya
para utusan Yucen merasa terhina dan mendapat malu. Betapa pun juga, telah
disaksikan semua orang betapa seorang pengawal Yucen dengan mudah dapat
dikalahkan oleh dua orang anak perempuan nakal! Juga Suma Kiat menjadi tidak
senang, maka diam-diam ia memberi tanda kedipan mata kepada Panglima Besar
Yucen. Panglima ini maklum dan berkata dengan suara lantang.
“Kami utusan
Kerajaan Yucen merasa makin kagum menyaksikan kebijaksanaan Kaisar yang besar!
Dan kami bukanlah anak-anak kecil yang merasa tersinggung oleh perbuatan dua
orang bocah. Akan tetapi, kami yang menjunjung tinggi janji yang keluar dari
mulut seorang gagah! Tadi kami mendengar akan kesanggupan Menteri Kam Liong
yang akan membereskan persoalan. Terus terang saja, kami seluruh pembesar Yucen
merasa penasaran kalau mengingat betapa Menteri Kam telah mempermainkan kami
dengan mengirimkan muridnya sebagai penyelundup dan memata-matai kami!”
Kam Liong
dengan sikapnya yang masih tetap tenang, menjawab. “Tuduhan Tai-ciangkun dari
Kerajaan Yucen tidak dapat disangkal dan memanglah sesungguhnya saya mengaku
bahwa saya telah mengutus murid saya dan Panglima Sung yang bernama Khu Tek San
untuk menyelundup ke Yucen dan menjadi panglima di sana sambil mengawasi
gerak-gerik dan mempelajari keadaan di Yucen untuk mengenal kerajaan itu. Akan
tetapi, bukankah hal ini sudah wajar dan lumrah, Ciangkun? Setiap negara tentu
akan mengirim penyelidik-penyelidik untuk mengetahui keadaan negara tetangga.
Biar pun secara bersembunyi, saya tahu bahwa banyak pula penyelidik-penyelidik
dari Yucen yang menyelidiki dan bekerja sebagai mata-mata di Kerajaan Sung.
Muridku sedikit banyak berjasa bagi Yucen, dan tidak menimbulkan kerugian,
hanya memang benar dia menyelidiki keadaan Yucen dan melaporkan kepada saya.
Tanpa mengenal sedalam-dalamnya, bagaimana kami akan tahu tentang kerajaan lain
terhadap kerajaan kami? Sekianlah jawaban saya.”
Panglima
Besar Yucen tertawa. “Kiranya Kam-taijin pandai bersilat lidah! Sejak dahulu
semua orang tahu siapakah Kerajaan Yucen, dan bagaimana macamnya, perlu apa
mesti diselidiki dengan cara menyelundupkan seorang panglima? Keadaan di Yucen
sudah pasti, kerajaannya sudah ada dan pemerintahannya berjalan terus seperti
ini. Perlu apa diselidiki lagi?” Panglima Yucen itu mengeluarkan sebuah bola
besi sebesar kepalan tangan dan menyambung. “Bangsa kami terkenal sebagai
bangsa besi yang sudah ada beratus tahun yang lalu, seperti senjata peluru besi
ini. Apakah Kam-taijin juga akan menyelidiki bola besiku ini?”
Sambil
tertawa Panglima Yucen itu melontarkan bola besi ke atas dan... semua orang
memandang kaget, heran dan kagum melihat betapa bola besi itu berputaran cepat
sekali dan menyambar ke kanan kiri seperti dikendalikan, kemudian menyambar ke
arah Menteri Kam Liong!
Keahlian
mempergunakan bola besi sebagai senjata itu membuktikan betapa kuatnya tenaga
sinkang Panglima Besar Yucen ini dan semua ahli yang hadir di situ menjadi
khawatir akan keselamatan Menteri Kam Liong. Hanya Khu Tek San seorang yang
memandang dengan wajah tidak berubah karena panglima gagah ini yakin bahwa
permainan sinkang seperti itu hanya merupakan permainan kanak-kanak bagi
gurunya.
Memang
demikianlah. Menteri Kam Liong bersikap tenang, tangan kanannya sudah tampak
mermegang sebuah kipas dan sekali ia menggerakkan kipasnya dan mengebut, bola
besi itu berputaran di atas kepalanya, dekat dengan kipas yang dikebut-kebutkan
seperti seekor kupu-kupu mendekati bunga, seolah-olah ada daya tarik yang
keluar dari gerakan kipas itu yang membuat bola besi ikut terputar-putar.
Sambil
mempermainkan kipasnya menguasai bola besi, Kam Liong berkata, “Tai-ciangkun.
Bola besi ini memang sebuah bola besi, akan tetapi siapakah yang tahu akan
keadaan dalamnya tanpa memeriksanya lebih dulu? Apakah dalamnya kosong? Ataukah
berisi? Serupa ataukah lain dengan keadaan luarnya? Saya kira Ciangkun sendiri
tak dapat menjawab tepat, bukan? Memang sukar menjawab tepat tanpa melihat
dalamnya. Marilah kita bersama melihat apa isi bola besi ini sesungguhnya!”
Setelah
berkata demikian, kipas di tangan kanan Menteri Kam itu bergerak cepat sekali,
menyambar tiga kali ke arah bola besi. Terdengar suara keras tiga kali dan... bola
besi itu telah terbabat malang-melintang tiga kali sehingga. terpotong menjadi
delapan, seperti sebuah jeruk dipotong-potong pisau tajam dan kini delapan
potong besi itu diterima tangan kiri Menteri Kam Liong yang dengan tenang lalu
meletakkan potongan potongan bola besi itu di atas meja depan panglima besar
dari Yucen!
“Ah,
ternyata isinya padat dan tetap besi, sama seperti di luarnya. Cocok sekali
dengan keadaan Kerajaan Yucen, bukan? Akan tetapi baru diketahui setelah
diselidiki dalamnya seperti yang telah kami lakukan dengan mengirimkan murid
kami ke Yucen.”
Wajah
Panglima Yucen menjadi merah sekali, matanya terbelalak. Juga wajah Jenderal
Suma Kiat menjadi pucat. Yang diperlihatkan oleh Menteri Kam tadi adalah
kesaktian yang amat luar biasa, tenaga sinkang yang hebat dan keampuhan kipas
pusaka yang keramat!
Koksu Negara
Yucen maklum akan hal ini, maka dia lalu berkata, “Hebat sekali kepandaian
Kam-taijin. Dan keterangannya cukup jelas. Menurut pendapat saya tidak perlu
memperpanjang urusan kecil itu selagi urusan besar masih belum dibicarakan
selesai.” Ucapan ini melegakan hati setiap orang dan perundingan untuk
menentukan hari pertemuan pengantin dilanjutkan sambil diseling makan minum dan
hiburan tari nyanyi oleh seniwati-seniwati istana.
Berkat sikap
Menteri Kam yang bijaksana, pesta menyambut utusan Yucen itu berlangsung dengan
tenteram dan lancar. Menteri Kam sendiri kelihatan lega, akan tetapi di dalam
hatinya, dia merasa amat khawatir karena dia telah mendengar dari Han Ki akan
hubungan pemuda itu dengan Sung Hong Kwi, dan ia dapat menduga betapa hancur
perasaan hati adik sepupunya itu. Kalau ia pikir-pikir dan kenangkan segala
peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, Menteri Kam merasa berduka sekali.
Kerajaan
Khitan hancur, adik tirinya tewas, dan kini Kam Han Ki kembali mengalami nasib
buruk, kekasihnya direbut orang! Kalau teringat akan itu sermua, hati Menteri
Kam menjadi dingin, semangatnya mengendur dan timbul keinginannya untuk
mengajak muridnya sekeluarga, Han Ki dan Maya pergi saja mengundurkan diri
menjauhi keramaian kota raja, bahkan sebaliknya menyusul ayahnya, Suling Emas
yang bertapa dengan ibu tirinya, bekas Ratu Yalina.
Makin
menyesal lagi kalau ia memandang kepada Suma Kiat yang kini nampak makan minum
dengan gembira melayani para tamu. Suma Kiat itu sebenarmya masih merupakan
keluarga dekat dengannya. Tidak hanya keluarga karena terikat hubungan antara
ayahnya, Suling Emas, dan ibu Suma Kiat yaitu Kam Sian Eng yang menjadi adik
Suling Emas. Juga dari pihak ibunya dan ayah Suma Kiat terdapat hubungan dekat,
yaitu kakak beradik. lbunya, Suma Ceng, adalah adik kandung Suma Boan, ayah
Suma Kiat. Dia dan Suma Kiat adalah keluarga dekat, namun Suma Kiat selalu
membencinya dan selalu memusuhinya, sungguh pun tidak berani berterang.
“Susiok-couw
(Paman Kakek Guru), apakah perbuatan kami tadi akan menimbulkan bencana...?”
ketika diantar oleh Han Ki dalam perjalanan pulang bersama Maya, Siauw Bwee
bertanya kepada pemuda itu.
“Aihhh! Kau
benar-benar terlalu sekali, Siauw Bwee! Masa Han Ki yang masih muda, patut
menjadi kakek kita, kau sebut Susiok-couw? Benar-benar terlalu menyakitkan hati
sebutan itu!” Maya mencela.
“Habis
bagaimana?” Siauw Bwee membantah, “Memang dia itu paman guru ayahku, tentu saja
aku menyebutnya Susiok-couw! Atau Susiok-kong?”
“Wah, tidak
patut! Tidak patut! Jangan mau disebut kakek, Han Ki!” Maya berkata lagi.
Mau tidak
mau Han Ki tersenyum. “Kalian berdua ini seperti langit dengan bumi, jauh
bedanya akan tetapi sama anehnya! Maya terhitung masih keponakanku, menyebutku
dengan nama begitu saja seperti kepada seorang kawan. Sebaliknya, Siauw Bwee
terlalu memegang peraturan sehingga aku disebut kakek guru! Kalau benar kalian
menganggap aku sebagai kakak, biarlah kalian menyebut kakak saja.”
“Bagus kalau
begitu! Aku menyebutmu Han Ki Koko,” Maya berseru girang.
“Koko,
engkau kelihatan begini berduka, apakah kesalahan aku dan Enci Maya tadi tertalu
hebat sehingga engkau khawatir kalau-kalau ayahku dan Menteri Kam akan tertimpa
bencana akibat perbuatan kami?” Siauw Bwee mengulang pertanyaannya, kini ia
menyebut koko (kakak).
Han Ki
menggeleng kepalanya. “Kurasa tidak. Kakakku, Menteri Kam bukanlah seorang yang
dapat dicelakakan begitu saja oleh lawan. Aku tidak khawatir...”
“Akan
tetapi, mengapa wajahmu begini muram? Engkau kelihatan berduka sekali, tidak
benarkah dugaanku, Enci Maya?”
Maya
mengangguk. “Memang hatinya hancur lebur, patah berkeping-keping dan luka parah
bermandi darah, siapa yang tidak tahu?”
Han Ki
memandang Maya, alisnya berkerut dan ia membentak, “Engkau tahu apa?”
Maya
tersenyum. “Tahu apa? Tahu akan rahasia hatimu yang remuk karena setangkai
kembang itu akan dipetik orang lain!”
Han Ki
terkejut sekali, menghentikan langkahnya dan menghardik. “Maya! Dari mana kau
tahu?!”
Siauw Bwee
juga memandang dengan mata terbelalak, masih belum mengerti betul apa yang
diartikan oleh Maya dan mengapa Han Ki kelihatan kaget dan marah.
“Dari mana
aku tahu tidak menjadi soal penting,” jawab Maya yang tidak mau berterus terang
karena dia mendengar tentang hal itu dari percakapan antara ayah bunda Siauw
Bwee yang ia dengar dari luar jendela kamar. “Yang penting adalah sikapmu
menghadapi urusan ini. Kenapa kau begini bodoh, menghadapi peristiwa ini dengan
berduka dan meremas hancur perasaan hati sendiri tanpa mencari jalan ke luar
yang menguntungkan? Mengapa kau begini lemah, Koko?”
Han Ki
terbelalak. “Bodoh? Lemah? Apa... apa maksudmu, Maya? Jangan kau kurang ajar
dan mempermainkan aku!”
“Siapa
mempermainkan siapa? Engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi,
Koko, sungguh pun aku belum yakin benar akan hal itu. Kalau engkau memiliki
kepandaian, apa sukarnya bagimu untuk pergi mengunjungi kekasihmu itu? Dan
kalau benar dia itu mencintaimu seperti yang ku... eh, kuduga, tentu dia akan
lebih suka ikut minggat bersamamu dari pada menerima nasib menjadi permainan
Raja Yucen yang liar!”
Han Ki
memandang Maya dengan mata terbelalak, terheran-heran. Akan tetapi harus ia
akui bahwa ‘nasihat’ Maya itu cocok benar dengan isi hatinya. “Sudahlah jangan
bicara lagi urusan itu. Mari kuantar pulang cepat-cepat karena aku masih
mempunyai banyak urusan lain.”
Maya
bertolak pinggang. “Koko, engkau memang orang yang kurang penerima! Kalau
engkau setuju dengan omonganku, mengapa pakai pura-pura segala? Kau langsung
pergilah menemui kekasihmu sebelum terlambat. Ada pun kami berdua, kami
bukanlah anak-anak kecil yang tidak bisa pulang sendiri. Tadi pun kami pergi
berdua, masa untuk pulang harus kau temani? Pergilah, kami dapat pulang
sendiri. Benar tidak, Adik Siauw Bwee?”
Siauw Bwee
mengangguk. Han Ki menarik napas panjang. “Baiklah, kalian pulang berdua, akan
tetapi harus langsung pulang dan jangan berkeliaran lagi. Siauw Bwee, jangan
engkau selalu menuruti permintaan Maya. Bocah ini memang liar!” Setelah berkata
demikian, Han Ki cepat-cepat meloncat pergi, tidak memberi kesempatan kepada
Maya untuk membalas makiannya.
“Awas dia
kalau bertemu lagi denganku!” Maya membanting-banting kaki dengan gemas.
“Dia... dia
hebat sekali, ya Enci Maya?” Siauw Bwee berkata lirih memandang ke arah
lenyapnya bayangan Han Ki.
“Hebat
apanya, manusia sombong itu!” Maya mendangus marah. “Mari kita pergi, Siauw
Bwee.”
Malam telah
larut dan sunyi sekali di sepanjang jalan. Semua rumah telah menutup daun pintu
dan sebagian besar penghuni kota raja sudah tidur nyenyak. Ketika mereka tiba
di jembatan Ayam Putih yang panjang menyeberangi sungai yang menghubungkan kota
raja dengan saluran besar ke selatan, mereka melihat seorang laki-laki tua di
tengah jembatan yang sunyi. Maya dan Siauw Bwee adalah anak yang tabah sekali.
Akan tetapi ketika mereka melihat dan mengenal kakek yang menghadang itu,
mereka menjadi terkejut juga. Kakek itu adalah kakek berambut putih berjenggot
panjang yang hadir di istana, yaitu Koksu Negara Kerajaan Yucen!
Maya
menggandeng tangan Siauw Bwee dan berjalan terus tanpa memandang seolah-olah
dia tidak mengenal kakek ltu.
Akan tetapi
kakek itu tertawa dan berkata, “Anak-anak setan kalian hendak ke mana? Hayo
ikut bersama kami!”
Maya sudah
menaruh curiga bahwa tentu kakek itu tidak mengandung niat baik, maka begitu
kakek itu melangkah datang, ia sudah membalikkan tubuh dan mengirim pukulan ke
arah lambungnya! Siauw Bwee juga memiliki reaksi yang cepat sekali karena tanpa
berunding lebih dulu dia sudah dapat cepat menyusul gerakan Maya, mengirim
pukulan ke arah perut kakek itu.
“Buk! Bukk!”
Kakek itu sama sekali tidak mengelak dan membiarkan dua orang anak perempuan
itu memukulnya.
Maya dan
Siauw Bwee berseru kaget karena lambung dan perut yang mereka pukul itu seperti
bola karet yang membuat pukulan mereka membalik. Sebelum mereka dapat mengelak,
kakek itu telah mencengkeram pundak mereka, membuat mereka menjadi lemas.
Kemudian Koksu dari Yucen itu sambil tertawa melemparkan tubuh Maya dan Siauw
Bwee melalui langkan (pagar pembatas berupa kisi-kisi yang tingginya kurang
lebih satu meter) jembatan melemparkannya ke sungai!
Maya dan
Siauw Bwee terkejut setengah mati. Tubuh mereka tak dapat digerakkan dan kini
melayang menuju ke sungai yang amat dalam. Akan tetapi tiba-tiba tubuh mereka
disambar tangan yang kuat dan kiranya di bawah jembatan telah menanti dua orang
laki-laki di atas perahu. Mereka inilah yang menyambar tubuh Maya dan Siauw
Bwee.
“Bawa mereka
pergi sekarang juga!” terdengar Koksu Yucen berteriak dari atas jembatan kepada
dua orang itu. “Dia merupakan hadiah sumbanganku untuk Coa-bengcu yang berulang
tahun. Ha-ha-ha!”
Maya dan
Siauw Bwee yang tadinya merasa girang karena mengira bahwa mereka tertolong,
menjadi makin marah karena kini mereka tahu bahwa dua arang di perahu ini
adalah pembantu-pembantu koksu itu! Malam gelap, perahu itu pun gelap dan
mereka tidak dapat melihat muka dua orang laki-laki itu. Perahu digerakkan
meluncur ke selatan. Maya dan Siauw Bwee dibelenggu kaki tangannya sehingga
setelah mereka terbebas dari totokan, mereka tetap saja tidak mampu bergerak,
hanya rebah miring di atas perahu dengan hati penuh kemarahan.
Setelah
malam berganti pagi barulah kedua orang anak perempuan itu dapat itu melihat
wajah dua orang laki-laki yang menawan mereka. Maya memperhatikan wajah kedua
orang itu dan menurut penglihatannya dua orang itu bukanlah orang jahat, maka timbullah
harapannya.
“Eh, Paman
yang baik. Kalian adalah orang baik-baik, melihat wajah, pakaian dan sikap
kalian. Mengapa kalian mau membantu koksu jahat yang menangkap kami dua orang
anak perempuan yang tidak berdosa?”
Dua orang
laki-laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, bersikap gagah dan golok
besar tergantung di punggung mereka. Mendengar ucapan Maya, mereka saling
pandang, kemudian seorang di antara mereka yang mempunyai tahi lalat di pipi
kanan, berkata, “Kami hanyalah pelaksana-pelaksana tugas yang dibebankan kepada
kami. Kami tidak tahu siapa kalian dan mengapa kalian ditawan, akan tetapi kami
harus menaati perintah atasan.”
Maya belum
cukup dewasa, akan tetapi dia memiliki kecerdikan luar biasa dan ia dapat
menangkap rasa tidak senang dan sungkan di balik ucapan laki-laki bertahi lalat
itu. Maka ia menjadi makin berani dan berkata. “Ah, kiranya Paman berdua juga
menjadi anak buah Yucen?” la berhenti sebentar, lalu mengirim serangan halus
dengan kata-kata, “Heran sekali, bukankah Paman berdua ini orang-orang Han?
Mengapa kini membantu kerajaan asing?”
“Kau anak
kecil tahu apa!” Tiba-tiba orang ke dua yang mukanya kuning membentak. Ucapan
ini sama benar dengan ucapan Han Ki yang pernah menjengkelkan hati Maya, akan
tetapi sekali ini ia menangkap rasa sakit hati di balik kata-kata itu, rasa
hati yang tersinggung dan yang menyatakan betapa tepatnya ucapannya tadi.
“Biar pun
aku anak kecil, akan tetapi aku tahu betapa seorang gagah selalu mengutamakan
kegagahan, membela negara dan menentang yang lalim,” Maya melanjutkan.
Si Tahi
Lalat kini berkata, “Hemm, kulihat engkau bukan anak sembarangan. Ketahuilah
bahwa kami berdua telah dibikin sakit hati oleh perbuatan anak buah Jenderal
Suma Kiat sehingga keluarga kami terbasmi habis. Karena itu, apa perlunya kami
mengabdi pemerintah Sung? Pula kami menjadi anak buah dari Koksu Negara Yucen
yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, sehingga tidaklah memalukan di dunia
kang-ouw karena kami mengabdi kepada seorang tokoh besar yang jarang ada
bandingannya.”
Biar pun
tubuhnya masih terbelenggu dan ia rebah miring, Maya mengangguk-angguk dan
berkata mengejek “Hemm... bicara tentang kesaktian dan kegagahan ya? Buktinya,
koksu itu pengecut hanya berani melawan dua orang anak perempuan. Dan sukar
bagiku untuk mengatakan kalian ini orang gagah macam apa, menawan dua orang
anak perempuan kecil masih perlu membelenggu seperti ini! Apakah kalau kami
tidak dibelenggu kalian takut kalau-kalau kami akan membunuh kalian?”
Maya memang
pandai sekali bicara dan amat cerdik. Kata-katanya lebih runcing dari pada
pedang dan lebih tajam dari pada golok, secara tepat menusuk perasaan dan
kegagahan dua orang laki-laki itu.
“Bocah,
engkau benar-benar bermulut lancang!” bentak yang bermuka kuning.
“Aku tentu
tidak berani bicara kalau tidak ada kenyataannya. Coba, kalau berani
membebaskan belenggu kami, barulah aku percaya bahwa kalian tidak takut kepada
kami.”
Si Tahi
Lalat segera mencabut goloknya yang berkelebat empat kali, dan semua belenggu
pada kaki tangan Maya dan Siauw Bwee menjadi putus. “Nah, apakah kalian
sekarang hendak menyerang kami?” tanyanya menyeringai.
Maya dan
Siauw Bwee bangun, duduk dan menggosok-gosok pergelangan kaki tangan yang
terasa nyeri. “Terima kasih,” kata Maya. “Kami tidak akan menyerang karena tak
mungkin kami dapat menang.”
“Kami pun
tidak suka membelenggu kalian dua orang anak perempuan, akan tetapi disiplin di
pasukan kami keras sekali. Kalau sampai kami tidak berhasil mengantar kalian
sampai di tempat yang ditentukan, tentu kami berdua harus menebus dengan nyawa
kami. Itulah sebabnya kami membelenggu kalian, tidak ada maksud lain!”
Maya
mengangguk-angguk. “Ahh, sekarang aku percaya bahwa kalian adalah orang-orang
gagah yang terdesak oleh keadaan dan nasib buruk, seperti yang kami alami
sekarang ini. Eh, Paman yang baik. Kami akan kau bawa ke manakah?”
“Nasib
kalian tidaklah seburuk yang kalian khawatirkan,” kata Si Tahi Lalat. “Entah
apa sebabnya sampai kaliah dimusuhi oleh Koksu, akan tetapi tentu kalian telah
melakukan hal-hal yang amat tidak menyenangkan hatinya maka kalian ditangkap
dan diserahkan kepada kami untuk membawa kalian pergi. Akan tetapi kalian
sekarang merupakan sumbangan-sumbangan yang amat berharga karena kalian
dijadikan sumbangan oleh Koksu, diberikan kepada seorang bengcu yang terkenal
sakti dan berpengaruh di pantai Lautan Po-hai.”
“Sungguh
lucu! Mengapa menyumbangkan dua orang anak perempuan? Apa maksudnya? Dan apa
maksudmu mengatakan bahwa nasib kami tidak buruk? Apakah kalau kami diberikan
sebagai sumbangan begitu saja merupakan nasib baik?” Maya mendesak terus.
”Sudahlah,
kalian akan mengerti sendiri kalau kita sudah tiba di istana!” kata Si Tahi
Lalat yang sikapnya segan menceritakan keadaan bengcu itu. “Hanya aku dapat
memastikan bahwa kalian tidak akan dibunuh dan bahkan akan hidup dengan senang
dan terhormat. Percayalah dan harap saja jangan kalian mencoba untuk
memberontak karena kalau sampai terpaksa kami berdua menggunakan kekerasan, hal
itu sesungguhnya bukan kehendak kami.”
“Kami tidak
akan memberontak, kecuali kalau kami menghadapi bahaya. Bukankah begitu, Adik
Siauw Bwee?”
Siaw Bwee
mengangguk, kemudian anak yang lebih pendiam dibandingkan dengan Maya itu
berkata, “Agaknya kedua Paman tidak tahu siapa kami, ya? Kalau tahu, kukira
kalian berdua tidak akan lancang menawan kami, biar pun kalian melakukannya
atas perintah Koksu Yucen.”
Dua orang
laki-laki itu kini memandang penuh perhatian. “Siapakah kalian ini?”
“Aku sih
hanya puteri Panglima Khu Tek San yang tidak ada artinya, akan tetapi enciku
ini adalah Puteri Khitan, puteri Raja Khitan!” Siauw Bwee berkata tidak peduli
akan tanda kedipan mata dari Maya yang hendak mencegahnya.
Dua orang
itu kelihatan kaget sekali, saling pandang dan berkatalah Si Tahi Lalat. “Kami
hanya melakukan perintah!” dengan kata-kata itu agaknya dia hendak membela
diri.
Semenjak
saat itu kedua orang itu tidak banyak bicara lagi melainkan bergegas
mempercepat gerakan dayung mereka sehingga perahu meluncur cepat. Perahu itu
keluar dari Terusan Besar, membelok ke kiri, yaitu ke timur memasuki sungai
yang mengalir ke arah Lautan Po-hai.
Tidak jauh
dari pantai Lautan Po-hai, mereka mendarat dan mengajak Maya dan Siauw Bwee
memasuki sebuah hutan besar. Setelah melalui daerah pegunungan yang penuh hutan
liar, tibalah mereka di sebuah pedusunan besar yang pada waktu itu sedang
menampung banyak tamu dari empat penjuru, tamu-tamu penting karena mereka
adalah tokoh-tokoh kang-ouw dan liok-lim. Tokoh-tokoh golongan putih dan hitam,
atau kaum bersih dan sesat, yang pada saat itu dapat berkumpul dan saling jumpa
karena mereka itu kesemuanya menghormati ulang tahun seorang tokoh besar yang
pada hari itu merayakannya di dusun itu.
Tokoh besar
ini lebih terkenal dengan sebutannya, yaitu Coa-bengcu (Pemimpin she Coa),
tokoh yang sudah lama dikenal sebagai seorang pemimpin rakyat dan tidak
mengakui kedaulatan Kaisar dengan alasan bahwa Kaisar amat lemah dan tidak
memperhatikan keadaan rakyat yang makin menderita keadaannya. Coa-bengcu ini
amat terkenal dan biar pun jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah menyaksikannya
sendiri, namun menurut berita, ilmu kepandaian Coa-bengcu ini hebat sekali,
baik kepandaian ilmu silatnya. mau pun ilmu perangnya. Dan perjuangannya yang
gigih untuk membela rakyat membuat namanya menjulang tinggi sehingga para
pembesar setempat tidak berani mengganggunya, bahkan tokoh-tokoh di seluruh
dunia kang-ouw dan liok-lim menghormatinya.
Demikianlah,
ketika Bengcu ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh, bukan hanya
tokoh-tokoh golongan bersih dan kaum sesat yang datang untuk memberi hormat dan
memberi selamat, bahkan Koksu Negara Yucen sendiri sampai berkenan mengirim
utusan memberi selamat dan mempersembahkan dua orang gadis cilik! Dan sudah
terkenal pula bahwa Coa-bengcu amat suka kepada orang-orang muda, baik
laki-laki mau pun perempuan, terutama yang tampan-tampan dan yang
cantik-cantik, untuk dididik menjadi murid-murid atau seperti dikatakannya
sendiri, sebagai anak-anak angkatnya!
Siapakah
sebenarnya Coa-bengcu ini? Dia adalah seorang pelarian bekas tokoh Im-yang-kauw
yang dahulu berpusat di perbatasan barat dan telah dihancurkan oleh pemerintah.
Biar pun mengadakan perlawanan gigih, para tokoh Im-yang-kauw terbasmi
kocar-kacir dan lenyaplah perkumpulan Im-yang-kauw, yang tersisa hanya namanya
saja sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah pada waktu itu.
Coa Sin Cu
adalah seorang tokoh kelas dua dari Im-yang-kauw. Dia berhasil menyelamatkan
diri dan lari ke timur. Untuk belasan tahun ia menggembleng diri dan berguru
kepada orang-orang sakti sehingga kepandaiannya meningkat secara hebat. Setelah
ilmu kepandaiannya meningkat tinggi, Coa Sin Cu mulai dengan gerakannya
memimpin rakyat yang tertindas, menentang mereka yang mengandalkan kekuasaan
memeras rakyat. Pengaruhnya makin besar, pengikutnya makin banyak, sehingga
akhinya terkenallah sebutannya Coa-bengcu sampai ke seluruh pelosok. Hanya
tokoh-tokoh lama saja yang mengenal Coa-bengcu ini sebagai Coa Sin Cu yang dulu
menjadi tokoh Im-yang-kauw.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment