Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Istana Pulau Es
Jilid 11
MENDENGAR
ucapan yang bernada mengejek ini, pemuda itu makin membelalakkan mata saking
marahnya. Tangannya keluar dari celah-celah jala menuding ke arah muka Siauw
Bwee, mulutnya terbuka lebar mengeluarkan kata-kata keras. “Eh, bocah cilik
nakal! Apakah ini perbuatanmu? Jangan main-main kau! Aku bukan harimau atau
beruang yang boleh kau jerat seperti ini. Hayo lepaskan aku, kalau tidak aku
akan...”
“Kau akan
apa? Melepaskan diri sendiri pun tidak mampu, masih banyak lagak hendak
mengancam orang!” Siauw Bwee makin suka menggoda menyaksikan orang kasar itu.
“Dan biar pun engkau bukan harimau atau monyet, akan tetapi engkau adalah
seekor burung tolol yang mudah dijerat, hi-hik!”
“Eh, bocah!
Lepaskan aku! Jangan main-main kau. Apakah engkau ini bocah yang baru turun di
dunia kang-ouw sehingga tidak mengenal julukanku Hui-eng yang sudah terkenal di
seluruh jagad?”
Siauw Bwee
tidak membenci orang itu. Malah sebaliknya, dia suka kepada orang yang kasar,
jujur dan agaknya memiliki kepandaian lumayan ini dan berniat menolongnya.
Kalau tadi ia menggodanya adalah karena tertarik melihat sikap orang itu. Akan
tetapi, ketika ia berniat meloncat turun dan menolong membebaskan orang yang
meronta-ronta dan berteriak-teriak itu, tiba-tiba telinganya mendengar gerakan
banyak orang mendatangi dari jauh. Ia cepat memutar kudanya dan pergi dari
situ.
“Heee!
Siluman betina! Kau hendak pergi ke mana? Lepaskan dulu aku, baru boleh pergi.
Kalau pergi dulu, siapa yang akan membebaskan aku? Aku... aku ngeri melihat ke
bawah...!” Akan tetapi Siauw Bwee tidak peduli dan cepat membawa kudanya
bersembunyi, lalu ia kembali ke tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon
dan mengintai.
Tak lama
kemudian, di tempat itu telah datang serombongan orang yang membuat Siauw Bwee
bengong keheranan memandang mereka. Mereka itu terdiri dari dua belas orang,
sembilan laki-laki dan tiga orang wanita. Melihat sikap mereka membayangkan
bahwa mereka memiliki kepandaian tinggi, dan pakaian mereka pun biasa saja.
Akan tetapi yang amat luar biasa adalah bahwa mereka semua hanya berkaki satu,
alias buntung kaki kanan mereka! Sebagai pengganti kaki, mereka itu memakai
tongkat bercagak yang mereka kempit di ketiak kanan. Biar pun mereka itu semua
berkaki satu, namun mereka dapat melangkah cepat dan gerakan mereka sigap
sekali, bahkan ketika mereka berdiri di bawah Hui-eng Liem Hok Sun yang
tergantung di pohon, mereka berdiri tegak dengan sikap penuh wibawa.
Liem Hok Sun
Si Garuda Terbang juga memandang ke bawah dan kini mulailah dia mengerti bahwa
agaknya bukan Si Dara Jelita tadi yang menjeratnya, melainkan orang-orang
berkaki buntung ini. Dia memang kasar, akan tetapi tidak bodoh dan dia pun
maklum bahwa orang-orang buntung itu lihai sekali. Karena tidak mempunyai
permusuhan dengan mereka bahkan tidak mengenal mereka, dia diam menutup mulut
dan menanti perkembangan selanjutnya.
“Susiok,
kita kesalahan menjerat orang lain!” Seorang di antara tiga wanita itu berkata
kepada seorang kakek berusia lima puluh tahun yang agaknya menjadi pimpinan
rombongan.
Kakek itu memandang
tajam penuh perhatian kepada Liem Hok Sun, kemudian mengangguk-angguk dan
menarik napas panjang. “Sayang sekali bukan seorang anggota mereka yang
terjerat. Akan tetapi karena dia sudah berkeliaran di sini sampai terjerat,
siapa tahu dia adalah bala bantuan dan mata-mata yang dikirim kaum tangan satu.
Kita bawa dia menghadap Suhu.”
Mendengar
percakapan itu, Hok Sun berteriak-teriak, “Hei, saudara-saudara yang di bawah,
dengarlah! Aku Hui-eng Liem Hok Sun, selamanya tidak ada permusuhan dengan kalian,
juga tidak tahu-menahu siapa itu golongan lengan satu dan kaki satu! Lepaskan
aku dan biarkan aku pergi!”
“Pergilah
kalau bisa!” Seorang berkaki buntung yang kelihatannya juga kasar dan berwatak
dogol berkata. Dalam persembunyiannya Siauw Bwee menahan ketawanya. Nah ketemu
batunya kau, orang kasar, pikirnya.
Hok Sun
melotot. “Sudah terang terjerat, mana bisa pergi? Totol amat kau! Coba lepaskan
jerat ini, tentu aku akan dapat pergi!”
Orang kasar
berkaki satu itu tertawa bergelak, “Benarkah? Baru ada aku seorang saja di
sini, engkau si goblok ini mana bisa pergi, apa lagi di sini sekarang terdapat
Sam-susiok! Coba kita lihat, bagaimana engkau akan pergi!” Setelah berkata
demikian, tubuh yang berkaki satu mencelat ke atas, tongkatnya membabat dan....
“Brettt!”
tali yang menggantung tubuh Hok Sun putus dan tubuh Si Kasar itu melayang jatuh
ke bawah.
Akan tetapi
ternyata ginkang Hok Sun sudah cukup tinggi sehingga dia tidak terbanting jatuh,
melainkan turun dengan kedua kakinya ringan menyentuh tanah. Setelah membuang
jerat dari tubuhnya, Hok Sun menggerakkan tubuh hendak meloncat pergi karena
dia tidak ingin membalas kepada belasan orang yang ia tahu lihai itu. Akan
tetapi, begitu meloncat tampak sinar berkelebat dan tongkat kakek kaki buntung
bergerak, tahu-tahu tubuh Hok Sun jatuh tersungkur! Si Kaki Buntung yang kasar
tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha!
Pergilah! Pergilah, hendak kulihat bagaimana engkau dapat pergi!”
Liem Hok Sun
meloncat bangun, mukanya merah saking marahnya. “Eh kalian ini orang-orang
buntung kaki mengapa begini tidak tahu aturan? Apakah kalian mau menantang
berkelahi?”
Kakek yang
menjadi susiok rombongan itu manjawab, suaranya halus namun nadanya kereng.
“Kami tidak ingin berkelahi, akan tetapi engkau harus ikut bersama kami, untuk
sementara menjadi tawanan kami sebelum menerima keputusan ketua kami.”
“Aku tidak
peduli keputusan ketua kalian! Apa salahku kalian hendak menangkapku?” bantah
Hok Sun.
“Kau sudah
melanggar wilayah kami, masih pura-pura bodoh ataukah memang engkau ini bodoh
melebihi kerbau?”
“Kalian
sungguh tidak memandang aku Si Garuda Terbang!” bentak Hok Sun dan ia sudah
menerjang Si Kaki Buntung yang kasar.
Dari tempat
persembunyiannya Siauw Bwee mendapat kenyataan bahwa julukan si kasar itu
bukanlah kosong belaka. Gerakannya tangkas penuh tenaga dan terjangannya memang
seperti seekor garuda terbang, menyerang lawan dari atas. Dan memang orang
kasar berjuluk garuda tebang ini adalah seorang murid pertapa di Gobi-san yang
lihai, wataknya kasar, dogol dan jujur, akan tetapi ilmu kepandaiannya juga
tinggi.
Menghadapi
serangan ini, Si Kaki Buntung yang juga sama kasarnya itu cepat menangkis
dengan lengan kiri ke arah kaki Hok Sun yang menendang, sedangkan tongkatnya
sudah menotok ke arah leher. Namun Hok Sun benar-benar memiliki ginkang yang
hebat. Biar pun tubuhnya masih terapung di udara dan sekaligus lawannya
menangkis sambil menyerang, namun dia tidak menjadi gugup. Tubuhnya sudah
berjungkir balik dan dengan gerakan tangkas dia telah berhasil menangkap ujung
tongkat yang menotok lehernya, kemudian sambil meluncur turun ia mengerahkan
tenaganya menarik sehingga lawannya roboh tersungkur!
“Hemm,
manusia bandel!” Kakek yang menjadi pimpinan rombongan sudah mencelat ke depan.
Siauw Bwee
yang menyaksikan kecepatan gerakan kakek itu menjadi kagum. Memang hebat sekali
gerakannya. Sekaligus kakek buntung ini menggerakkan kedua lengannya, jari-jari
tangannya sudah mengirim serangan totokan bertubi-tubi dengan kecepatan yang
membingungkan Hok Sun. Biar pun murid dari Gobi-san ini berusaha menangkis dan
mengelak namun ia kalah cepat, apa lagi memang gerakan kedua tangan kakek yang
menyerang sambil mengempit tongkatnya itu luar biasa anehnya sehingga tahu-tahu
Hok Sun sudah tertotok dan roboh tak dapat berkutik lagi!
“Curang!
Kalian manusia-manusia curang. Main keroyokan!” Liem Hok Sun berteriak-teriak,
akan tetapi rombongan itu tidak mempedulikan. Dia digotong seperti seekor
celeng (babi hutan) yang meraung-raung, dibawa pergi dari tempat itu.
Ada yang
menarik dalam gerak-gerik para orang buntung itu dan yang membuat Siauw Bwee
menahan keinginan hatinya untuk menolong si manusia kasar Hok Sun. Sikap para
orang buntung itu bukan seperti sikap orang-orang jahat yang kejam melainkan
seperti sikap anak buah perkumpulan yang berdisiplin. Pula dia tertarik
menyaksikan gerak tangan kakek buntung tadi, gerak silat yang amat aneh
sehingga dia ingin lebih banyak mengetahui tentang orang-orang ini sebelum
menolong Si Garuda Terbang. Maka ia tidak tergesa-gesa menolongnya, melainkan
mengikuti rombongan yang menggotong tubuh Hok Sun itu dari jauh.
Mereka
menyeberangi hutan yang besar dan lebat sekali, kemudian memasuki hutan kecil
yang menyambung hutan itu di kaki bukit. Di tengah hutan kecil itu terdapat
bangunan yang bentuknya aneh sekali. Hanya ada sebuah, tidak terlalu besar dan
dari jauh kelihatan seperti bukit gundul setengah bundar. Ke arah bangunan
inilah rombongan itu membawa Hok Sun. Siauw Bwee mengintai penuh perhatian,
melihat betapa rombongan orang itu mendekati bangunan aneh, kemudian melompat
dan lenyap! Kakek pimpinan rombongan mengempit tubuh Hok Sun, melompat lebih
dulu dan lenyap pula.
Setelah
semua orang tidak tampak lagi, Siauw Bwee berindap menghampiri bangunan itu dan
ia terheran-heran. Bangunan itu merupakan dinding batu yang amat tebal dan
kuat, berbentuk bundar dan sama sekali tidak ada lubangnya! Namun, semua orang
tadi begitu meloncat terus lenyap! Siauw Bwee merasa penasaran sekali. Ia
melayang ke atas bangunan, merayap sampai ke puncak, memeriksa seluruh
permukaan yang setengah bundar, akan tetapi tetap saja dia tidak melihat adanya
lubang sedikit pun! Ke manakah perginya rombongan orang kaki buntung tadi?
Tentu ada pintu rahasianya, pikir Siauw Bwee. Akan tetapi, andai kata ada pintu
rahasianya, bagaimana begitu banyak orang dapat masuk semua ke bangunan kecil
ini!
Tiba-tiba
Siauw Bwee melayang turun dengan cepat, lalu mencari tempat sembunyi. Dari atas
puncak bangunan itu dia tadi melihat serombongan orang berjalan cepat
menghampiri bangunan. Ia menyelinap dan mengintai, sekali ini Siauw Bwee
benar-benar tak dapat menahan keheranan hatinya.
“Ohh...
tidak...! Mimpi burukkah aku...?” Dia mencubit pahanya sendiri, terasa panas.
Tidak, dia tidak mimpi.
Akan tetapi
adakah yang lebih aneh dari pada semua ini? Tadi ia melihat serombongan orang
buntung sebelah kaki kanan, semua buntung dan begitu sama keadaannya
seolah-olah kebuntungan mereka merupakan keseragaman! Dan orang-orang berkaki
buntung itu mempunyai tempat yang begini aneh, begitu kecil tanpa lubang pintu
atau jendela, namun dapat menampung begitu banyak orang!
Dan sebelum
semua keanehan itu terbuka rahasianya, kini ia menyaksikan lima orang, empat
laki-laki dan seorang wanita, yang kesemuanya buntung lengan kirinya! Begitu
sama keadaannya, lengan kiri buntung sebatas pundak, dengan lengan baju sebelah
kiri kosong kempis tergantung lepas. Mengerikan!
Seorang di
antara lima orang lengan buntung itu membawa sebatang tongkat yang biasa
dipakai anak buah rombongan kaki buntung, dan dia agaknya menjadi pemimpin
rombongan, karena selain dia paling tua berjenggot panjang dan bersikap angker,
juga gerakan kedua kakinya paling ringan dan lincah. Ada pun di belakang kakek
ini tampak seorang laki-laki muda tinggi besar yang juga buntung lengan
kirinya, menggunakan lengan kanan mengempit tubuh seorang anggota rombongan
kaki buntung!
Diam-diam
Siauw Bwee memandang penuh perhatian, dan ia mendapat kenyataan bahwa gerakan
kaki lima orang itu luar biasa sekali. Ringan dan langkah mereka teratur,
begitu tegap, begitu kuat dan kokoh, namun begitu ringan membuat dia kagum
bukan main!
Kakek
berjenggot yang memegang tongkat Si Kaki Buntung dan menjadi pemimpin rombongan
itu menggunakan ujung tongkat mengetuk tujuh kali ke atas dinding bangunan
bundar, kemudian meloncat ke belakang. Tak lama kemudian terbukalah lubang di
sebelah atas depan bangunan itu dan dari dalam lubang melayang ke luar tiga
orang berkaki buntung, yang paling depan adalah kakek yang memimpin rombongan
penawan Liem Hok Sun tadi. Kemudian dari belakang bangunan itu keluar pula
beberapa orang berkaki buntung, agaknya keluar dari lubang rahasia lain di
sebelah belakang. Suasana menjadi tegang dan Siauw Bwee memandang penuh
perhatian.
Laki-laki
tangan buntung yang tinggi besar tadi melemparkan tubuh Si Kaki Buntung yang
dikempitnya sehingga Si Kaki Buntung itu terguling di atas tanah, dan secepat
kilat pimpinan rombongan lengan buntung menodongkan ujung tongkatnya, yaitu
tongkat Si Kaki Buntung yang tertawan, ke jalan darah di punggung orang berkaki
buntung itu yang jatuh berlutut dan tidak berani berkutik. Keadaan masih hening,
tidak ada seorang pun dari kedua pihak orang-orang bercacat itu yang
mengeluarkan suara. Yang paling merasa tegang adalah Siauw Bwee yang mengintai
dan melihat semua itu dari tempat persembunyiannya.
Tiba-tiba
wanita berkaki buntung yang ikut meloncat ke luar menggerakkan tangan kirinya,
dan ternyata bahwa dialah yang mewakili pihak tuan rumah, karena ia sudah
menegur dengan suara penuh kebencian, keras dan dingin, “Apakah kaum lengan
buntung kini sudah menambah sebuah watak buruk baru lagi, tidak mematuhi janji?
Hari pertandingan masih tiga bulan lagi, kenapa sekarang sudah turun tangan
memancing keributan dengan menawan seorang anggota kami?”
Kakek yang
menodong punggung orang berkaki buntung yang dibawa mereka sebagai tawanan itu
tersenyum mengejek, lalu menjawab dengan suara tidak kalah keras dan dinginnya,
mengandung kebencian yang sama, “Agaknya di dalam pondok kalian yang buruk
tidak terdapat cermin sehingga kalian orang-orang berkaki buntung suka
menjelekkan kami yang berlengan buntung. Memang mudah melontarkan tuduhan,
mudah menunjuk cacat orang tanpa melihat akan besarnya cacat sendiri, semudah
menggoyang lidah yang tidak bertulang. Kami kaum lengan buntung bukanlah
orang-orang hina yang suka melanggar janji, melainkan kalianlah yang tidak memenuhi
janji sendiri. Memang tepat sekali, hari pertandingan masih tiga bulan lagi,
akan tetapi mengapa seorang anggota kalian yang tidak terhormat ini melanggar
wilayah kami dan melakukan penyelidikan?”
Alis empat
orang berkaki buntung itu berkerut dan Si Wanita bersama Si Kakek memandang
kepada anak buah mereka dengan mata penuh pertanyaan. Tawanan itu kelihatan
ketakutan dan diam-diam Siauw Bwee merasa heran sekali. Tadi ketika menjadi
tawanan kaum lengan buntung, tawanan itu tidak kelihatan begitu takut. Dia
dapat menduga bahwa tentu kaum kaki buntung itu mempunyai peraturan dan hukum
yang keras sekali terhadap anak buahnya yang melanggar peraturan.
“Tidak...
tidak... Suci... dan Suheng... aku tidak melanggar wilayah mereka. Aku tidak
melakukan penyelidikan seperti yang mereka tuduhkan. Aku sedang memburu hewan
seperti biasa. Aku berhasil melukai seekor kijang yang masih dapat berlari maka
aku melakukan pengejaran. Tahu-tahu mereka ini merobohkan aku dengan jalan
mengeroyok dan menawanku!” Si Tawanan membantah.
Kakek
berlengan satu tertawa mengejek, “Hemm, mana ada maling mau mengaku?”
Si Wanita
Berkaki Satu menggerakkan tangan kirinya ke atas dan berkata, suaranya mantap
dan berwibawa, “Menghadapi perkara tidak boleh mendengar keterangan sepihak
saja. Kalau keterangan dua pihak berlawanan, satu-satunya jalan hanya melihat
bukti!”
“Baik!” kata
kakek lengan satu. “Mari kita lihat buktinya di mana kami menawan anak buahmu!”
Tanpa banyak cakap lagi, rombongan lengan buntung sebanyak lima orang dan
rombongan kaki buntung yang bersama Si Bekas Tawanan juga berjumlah lima orang
sudah pergi meninggalkan tempat itu memasuki hutan!
Siauw Bwee
tertarik sekali dan ingin menyaksikan kelanjutan perkara itu. Akan tetapi
mengingat akan nasib Si Garuda Terbang yang dibawa masuk ke dalam bangunan
bundar, dan melihat kesempatan baik selagi lubang itu belum tertutup, Siauw
Bwee cepat meloncat dan sekaligus menerobos masuk ke dalam lubang itu. Ketika
ia turun di sebelah dalam, ia tiba di ruangan berlantai dan di sudut terdapat
dua buah anak tangga yang menurun ke bawah. Tahulah ia sekarang bahwa kiranya
bangunan di luar itu hanya merupakan ‘pintu gerbang’ saja yang menyembunyikan
tempat tinggal yang agaknya luas sekali, yang tersembunyi di sebelah bawah!
Ia menjadi
bingung. Tangga batu yang manakah yang akan membawanya ke tempat Si Kasar itu
ditahan? Karena tidak ada jalan lain, Siauw Bwee lalu menuruni tangga yang
sebelah kiri. Tak lama kemudian ia mendapat kenyataan bahwa tepat seperti
diduganya, bagian bawah terdapat ruangan-ruangan yang luas sekali,
lorong-lorong yang terbuat dari pada batu dan keadaan di bawah itu merupakan
bangunan di bawah tanah seperti istana!
Siauw Bwee
menuruni tangga dengan hati-hati sekali, akan tetapi dia tidak mendengar
gerakan apa-apa, juga tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Jelas ia melihat
rombongan yang menawan Liem Hok Sun tadi memasuki bangunan ini, sedangkan tadi
yang keluar hanyalah empat orang. Di manakah adanya orang-orang lain? Apakah
mereka telah keluar lagi dari pintu rahasia yang lain? Apakah tempat itu
kosong?
Dengan sikap
hati-hati ia melangkah terus dan tibalah dia di sebuah ruangan yang luas dan
bersih sekali. Lantainya dari batu putih dan di sudut terdapat sebuah arca yang
melukiskan seorang laki-laki tua bermuka kasar, berdiri dengan tegak akan
tetapi kakinya hanya satu karena kaki kanan arca ini pun buntung. Melihat arca
ini, Siauw Bwee menduga bahwa agaknya arca inilah arca nenek moyang kaum kaki
buntung yang lihai ini.
Tiba-tiba
terdengar gerakan halus. Siauw Bwee memutar tubuhnya, siap waspada dan ternyata
dari sekeliling ruangan itu muncul dua puluh orang lebih, laki-laki dan
perempuan, semua buntung kaki kanannya. Akan tetapi mereka itu hanya mengepung
dan tidak bergerak, berdiri dibantu tongkat masing-masing dan sikap mereka
menanti, menanti perintah seorang di antara mereka, yaitu seorang kakek buntung
pula yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih dan sikapnya berwibawa
sekali.
Siauw Bwee
dapat menduga bahwa agaknya kakek inilah yang menjadi ketua mereka, maka ia
cepat mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata, “Apakah Locianpwe ketua
dari kaum... eh, kaki buntung ini?”
Kakek itu
memandang tajam, mengerutkan keningnya dan menjawab singkat, “Benar. Aku adalah
Liong Ki Bok, ketua kaum kaki buntung.”
“Maafkan
kalau aku lancang memasuki tempat kediaman kalian ini, Liong-locianpwe. Kedatanganku
tidak bermaksud buruk, hanya ingin minta pertimbanganmu agar kalian suka
membebaskan si kasar Hui-eng Liem Hok Sun yang sesungguhnya tidak mempunyai
kesalahan apa-apa.”
“Tidak
mempunyai kesalahan? Hemm... hal itu harus diputuskan kelak setelah hari
pertandingan. Kalau kelak ternyata diakui oleh pihak Si Lengan Buntung bahwa
dia bukan mata-mata mereka, kami pun tidak akan mengganggu orang yang tidak
berdosa. Akan tetapi, selama ini sampai hari pertandingan tiba di mana
persoalan dibikin terang, dia akan menjadi tawanan kami. Juga engkau, Nona.”
Siauw Bwee
mengerutkan alisnya, “Apa? Menjadi tawanan selama tiga bulan?”
“Terpaksa
begitulah. Sekarang kami belum dapat mengetahui apakah dia dan engkau pembantu
mereka atau bukan. Dia sudah kami tawan dan tak seorang pun dapat
membebaskannya. Engkau pun sebaiknya menyerah menjadi tawanan kami.”
“Eh, nanti
dulu! Liong-locianpwe, aku tidak mempunyai permusuhan dengan kaum kaki buntung,
juga tidak mengenal siapa adanya kaum lengan buntung. Aku hanya minta kau membebaskan
orang yang tidak bersalah, dan kalau engkau hendak menawanku, hemmm... kurasa
tidak akan begitu mudah.”
Terdengar
seruan-seruan marah dari semua kaum kaki buntung, dan sepasang mata kakek itu
mengeluarkan sinar tajam, “Engkau siapa, Nona? Apakah engkau juga murid
Gobi-san seperti orang she Liem itu? Dan dari aliran manakah engkau? Kami tidak
ingin bermusuhan dengan partai lain, akan tetapi kami harus berhati-hati
terhadap para pembantu kaum lengan buntung.”
“Aku bukan
dari aliran atau partai apa pun, namaku Khu Siauw Bwee.”
“Bagus!
Kalau begitu, harap kau suka menyerah saja menjadi tawanan kami, Nona. Aku sungguh
merasa tidak enak kalau harus menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis
muda.”
“Orang she
Liong, kau terlalu sombong, tidak pantas dihormati! Kalau aku tidak mau
menyerah, hendak kulihat engkau dapat berbuat apakah?”
“Suhu,
biarkan teecu menawannya!” kata seorang wanita yang usianya sudah lima puluhan
tahun dan agaknya dia adalah murid kepala. Kakek itu mengangguk dan berkata,
“Hati-hatilah, jangan sampai membuat dia menderita luka parah. Dia hanya
seorang bocah yang masih amat muda.”
Nenek itu
mengangguk, kemudian tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat dan berdiri di depan
Siauw Bwee. “Nona, kami tidak biasa menghina yang muda, maka sebaiknya engkau
dapat menerima peraturan kami dan menyerahlah. Biar pun engkau menjadi tawanan,
engkau akan kami perlakukan dengan baik. Sebaliknya, hendaknya kau ketahui
bahwa entah sudah beberapa ratus orang tewas di tangan kami.”
Panas rasa
hati Siauw Bwee. Jelas bahwa mereka, Si Ketua dan murid kepalanya ini, amat
memandang rendah kepadanya. Ia tersenyum lebar dan menjawab, “Bagus sekali
kalau kalian mempunyai pikiran tidak ingin menghina yang muda. Akan tetapi
sebaliknya aku pun sama sekali tidak ingin menghina kaum tua, apa lagi yang
bercacat. Maka sebaiknya kalau engkau membebaskan Si Kasar itu dan aku akan pergi
dari sini agar hatiku tidak menjadi tak enak membikin repot orang-orang tua
yang cacat saja.”
“Bocah
sombong!” Nenek itu berteriak dan tahu-tahu tangan kirinya sudah menyambar dan
mencengkeram ke arah pundak kiri Siauw Bwee.
Cepat bukan
main gerakan itu. Akan tetapi Siauw Bwee, murid ke tiga dari Bu Kek Siansu yang
telah mempelajari ilmu yang tinggi tingkatnya, cepat miringkan tubuh dan dari
bawah jari tangannya menyambar dengan totokan ke arah telapak tangan nenek itu.
“Aihhh...!”
Nenek itu berseru kaget, tangannya membuat gerakan membalik dan luputlah
totokan Siauw Bwee.
Gerakan
nenek itu aneh sekali dan tahu-tahu kini tongkatnya menyambar, menotok ke arah
lutut kiri Siauw Bwee yang kalau mengenai sasarannya tentu akan membuat gadis
itu bertekuk lutut. Namun Siauw Bwee yang sudah melihat betapa gerakan-gerakan
nenek itu cepat dan aneh sekali, maklum bahwa lawannya memiliki gerak tangan
yang hebat dalam bersilat. Maka ia berlaku hati-hati dan cepat menggeser
kakinya. Ketika kembali tangan kiri nenek itu menusuk dengan jari-jari tangan
terbuka ke arah lambungnya, disusul tongkat yang menyambar dengan totokan ke
arah pundak, dia berkelebat ke kanan dan sengaja menggunakan telapak tangannya
menerima tongkat yang menyambar.
“Plakk!”
“Aihhh...!”
Nenek itu kembali berteriak kaget dan tubuhnya terhuyung, namun kembali tangan
kirinya sudah mencengkeram disusul totokan tongkatnya, kini tidak kepalang dan
dilakukan dengan kemarahan karena tongkat itu menyerang leher!
Diam-diam
Siauw Bwee kagum sekali. Dalam keadaan terhuyung seperti itu Si Nenek yang
kakinya hanya satu ini masih mampu mengirim serangan dua kali berturut-turut,
sungguh merupakan hal yang luar biasa. Dia mengerti bahwa kiranya kaum kaki
buntung ini memiliki ilmu silat yang amat aneh, cepat dan kuat sehingga ilmu
silat tangan kiri dan tongkat ini dapat menutup kekurangan karena cacat kaki
mereka!
Dia juga
mengeluarkan kegesitannya dan bayangannya berkelebat lenyap. Biar pun dia agak
bingung menghadapi serangan ilmu silat aneh dari nenek itu, namun karena dia
menang dalam tenaga sinkang, pula dalam hal ginkang dia pun lebih unggul, maka
dia masih mampu menyelamatkan diri dengan elakan cepat atau tangkisan kuat.
Akan tetapi karena dia pun tahu bahwa kaum kaki buntung ini bukan orang-orang
jahat, dan dia harus mengakui bahwa dalam pertentangan ini dialah yang telah
mulai lebih dulu, Siauw Bwee tidak ingin mencelakai lawannya dan hanya ingin
merobohkan atau mengalahkannya tanpa melukai.
“Hebat...!
Luar biasa...! Sukar dipercaya!” Beberapa kali kakek yang menjadi ketua kaum
kaki buntung itu memberi komentar penuh kekaguman menyaksikan gerakan Siauw
Bwee.
Siauw Bwee
adalah seorang dara remaja yang baru sekali itu mengadakan pertandingan
sungguh-sungguh yang selamanya belum pernah ia lakukan, kecuali ketika melawan
Maya, suci-nya. Maka kini mendengar pujian keluar dari mulut ketua kaum kaki
buntung yang lihai ilmunya, dia menjadi bangga. Ingin dia memperlihatkan
kelihaiannya, maka ketika tongkat nenek itu untuk kesekian kalinya menyambar
dan kini menyambar ke arah pinggangnya, ia meloncat dan mengeluarkan teriakan
keras, tubuhnya melayang ke atas dan kakinya menotol ujung tongkat lawan!
Perbuatan
ini selain luar biasa dan membuktikan kemahiran ginkang yang istimewa, juga
amat berbahaya. Maka terdengarlah seruan-seruan heran dan seruan kagum dari
pada penonton termasuk ketuanya. Nenek itu penasaran sekali, merasa seperti
dipermainkan, maka ia mengerahkan tenaga, menggerakkan ujung tongkatnya dan
siap untuk memberi serangan susulan kalau tubuh dara itu telah terlepas dari
ujung tongkat.
“Wuuuutttt!”
Tubuh dara
itu memang terlepas dari tongkat, akan tetapi terlepas ke atas, ke arah
langit-langit ruangan batu itu yang tingginya ada tiga ukuran tinggi manusia.
Semua orang berdongak memandang terbelalak, melihat betapa dara itu mencapai
langit-langit, punggungnya menempel ke langit-langit seolah-olah di punggungnya
terdapat perekat ajaib yang melekatkan punggungnya dengan langit-langit.
Siauw Bwee
tertawa-tawa mengejek. “Ah, kasihan engkau, nenek cacat. Lebih baik sudahilah
saja, untuk apa susah payah melawan orang muda yang lebih panjang napasnya dan
lebih kuat tubuhnya?”
Muka nenek
itu menjadi merah sekali. Dia adalah murid kepala yang kepandaiannya sudah
mencapai tingkat tinggi, hanya selisih sedikit dengan gurunya. Kini melawan
seorang dara berusia belasan tahun yang tidak ternama, dia dipermainkan seperti
itu.
“Bocah
sombong keparat!” Ia berseru dan sekali kaki tunggalnya menggenjot lantai,
tubuhnya sudah melayang ke atas dan tongkatnya siap menusuk tubuh yang menempel
di langit-langit itu.
“Jangan...!”
Sang Ketua berteriak ketika melihat serangan maut yang dilakukan muridnya. Dia
sudah menyaksikan kehebatan Siauw Bwee, dan merasa khawatir sekali. Kalau
seorang dara remaja sudah berkepandalan seperti itu, tentu dapat dibayangkan
betapa hebat orang tua atau guru yang berdiri di belakangnya!
Akan tetapi
seruannya terlambat dan nenek itu dalam kemarahannya telah menyerang ke atas.
Memang saat inilah yang dinanti-nanti oleh Siauw Bwee. Begitu tubuh nenek itu
meloncat, ia melepaskan punggungnya dari langit-langit, tubuhnya meluncur
didahului kedua tangannya yang melakukan gerakan mendorong. Dari kedua telapak
tangannya itu menyambar angin pukulan yang amat dingin!
“Aihhh...!”
Nenek itu menggigil, tongkatnya terlepas dan tubuhnya sendiri terbanting ke
bawah.
Untung
tubuhnya disambut oleh seorang sutenya, akan tetapi begitu kedua tangan sutenya
menyambut tubuh itu, ia merasakan pula getaran dingin yang membuatnya menggigil
dan kedua kakinya tidak dapat menahan sehingga mereka berdua roboh bergulingan.
Betapa pun juga, karena telah ditahan oleh kedua tangan sutenya, tubuh nenek
itu tidak terbanting keras.
Baru saja
Siauw Bwee turun, ia mendengar suara mencicit-cicit dan betapa kagetnya ketika
suara itu keluar dari sepasang tangan kakek ketua kaum kaki buntung! Kakek itu
telah menyerangnya tanpa menggunakan tongkat. Dengan sebelah kaki berloncatan
kakek ini telah menyerangnya dengan kedua tangan, gerakannya luar biasa anehnya
sehingga repotlah Siauw Bwee mengelak. Dara ini makin terdesak dan dia maklum
bahwa dalam hal ilmu silat dia kalah pengalaman, lagi pula harus menghadapi
gerakan sepasang tangan yang begitu aneh.
Maka dia
lalu mengerahkan tenaga di tangan kiri menangkis. Tubuh kakek itu sampai
berputaran ketika lengannya tertangkis dan ternyata dia pun kalah kuat
sinkang-nya oleh dara penghuni Pulau Es yang hebat ini. Akan tetapi, dalam
perputaran ini kedua tangan kakek itu masih bergerak secara luar biasa,
membingungkan Siauw Bwee sehingga tanpa dapat dicegah lagi, jalan darah di
belakang pusar dara itu kena tertotok dengan tepat sekali.
“Celaka...!”
Ketua kaki buntung itu berteriak kaget. Teriakan yang membayangkan kekagetan
dan penyesalan besar.
Totokan yang
dilakukan dalam keadaan tubuh terputar-putar itu memang mengenai jalan darah
yang bagi lawan lain tentu akan menimbulkan kematian. Akan tetapi Siauw Bwee
yang telah digembleng dengan latihan-latihan sinkang dan besemedhi secara
istimewa oleh Han Ki sesuai dengan kitab Bu Kek Siansu, ketika tertotok hanya
menjadi gemetar beberapa detik lamanya.
Tadinya dia
sudah menjadi marah sekali karena dianggapnya kakek itu kejam, telah mengirim
totokan para jalan darah yang menyebabkan kematian sehingga dia sudah
mengerahkan sinkang istimewa memulihkan jalan darahnya kemudian dia hendak
membalas dengan serangan hebat. Akan tetapi setelah mendengar seruan kakek itu,
maklumlah dia bahwa kakek itu tidak sengaja hendak membunuhnya. Timbullah
pikirannya untuk menyelidiki keadaan kaum kaki buntung yang aneh ini dan jalan
satu-satunya hanyalah berpura-pura mati.
Ketika
berlatih sinkang di Istana Pulau Es, suheng-nya telah membikin rahasia ilmu
‘mematikan raga’ yang luar biasa. Kini dia mengeluarkan kepandaiannya ini
sehingga tubuhnya menjadi lemas, napasnya dan detik pada nadi tangannya
berhenti. Tubuhnya benar-benar seperti dalam keadaan tak bernyawa lagi!
Kakek itu
berlutut dengan satu kakinya dan memeriksa pergelangan tangan Siauw Bwee.
“Aihh, celaka. Aku telah kesalahan tangan membunuhnya. Gadis ini luar biasa
sekali, kepandaiannya sudah mencapai tingkat lebih tinggi dari pada
kepandaianku sendiri! Kalau aku tidak memiliki ilmu silat gerak tangan kilat,
agaknya aku sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya. Celaka, aku telah
membunuhnya! Biar aku sendiri yang menyimpannya di dalam ruangan jenazah. Dia
harus mendapatkan tempat terhormat.”
Setelah menghela
napas berulang-ulang, kakek itu lalu memondong tubuh Siauw Bwee lalu dibawanya
masuk melalui lorong yang panjang dan agak gelap. Anak buahnya hanya berdiri
menonton, tak seorang pun mengeluarkan suara seperti ikut merasa berduka
bersama pimpinan mereka.
Siauw Bwee
yang berlagak mati itu diam-diam siap. Kalau sampai tubuhnya akan mengalami
bahaya, tentu saja ia akan sadar kembali dan akan melawan untuk menyelamatkan
diri. Tadinya dia sudah khawatir kalau-kalau ketua kaum kaki buntung ini
membawa ‘jenazahnya’ keluar dari bangunan di bawah tanah, akan tetapi hatinya
menjadi lega dan girang ketika kakek itu membawanya ke bagian dalam.
Ketua yang
bernama Liong Ki Bok itu memasuki sebuah ruangan yang mendapat penerangan dari
lubang yang merupakan celah-celah batu yang menjadi langit-langit ruangan itu.
Terdengarlah gerengan menyeramkan. Siauw Bwee terkejut dan hampir dia lupa
bahwa dia beraksi mati ketika melihat seekor beruang hitam yang besar menyambut
kedatangan Sang Ketua. Akan tetapi ternyata binatang besar itu tidak menyerang,
bahkan Liong Ki Bok berkata,
“Aku membawa
mayat baru, Hek-mo. Mayat seorang yang terhormat dan sama sekali bukan musuh
kita. Sayang aku telah kesalahan tangan membunuhnya. Bawa dan letakkan dia di
peti teratas, tempat terhormat, peti yang disediakan untuk tubuhku sendiri.”
Beruang yang
bernama Hek-mo (Setan Hitam) itu mengeluarkan suara gerengan. Bagaikan mengerti
akan ucapan Sang Ketua, ia menerima tubuh Siauw Bwee dan memondongnya.
Tiba-tiba dia mendengar dan merintih dan diam-diam Siauw Bwee terkejut. Manusia
mengenal kematiannya hanya dari panas dan darah yang berhenti, akan tetapi
binatang memiliki indera ke enam yang luar biasa. Jangan-jangan binatang ini
tahu bahwa dia sebetulnya belum mati!
“Memang
kasihan sekali dia, Hek-mo, dan aku akan menyesal selama hidupku hari ini telah
kesalahan tangan membunuh seorang seperti dia. Cepatlah bawa dia, Hek-mo, aku
tidak ingin lama-lama berada di situ melihat korban tanganku yang berdarah!”
Beruang itu
lalu berjalan ke dalam diikuti kakek berkaki satu. Diam-diam Siauw Bwee
bergidik ketika melihat ruangan sebelah dalam yang diterangi sebuah lampu.
Siapa takkan menjadi ngeri dan merasa seram kalau melihat ruangan yang penuh
mayat? Di sekelilingnya terdapat lubang-lubang pada dinding dan di setiap
lubang berisi sebuah mayat yang sudah kering. Ada puluhan banyaknya
lubang-lubang itu, ada yang sudah terisi dan ada pula yang masih kosong.
Beruang itu
membawanya naik ke anak tangga batu, kemudian meletakkan tubuhnya ke dalam
sebuah peti kaca yang indah, sebuah peti mati terindah yang berada di situ.
Peti mati yang disediakan untuk Sang Ketua kalau kelak ketua itu mati! Sambil
rebah di dalam peti, Siauw Bwee mengerling dan melihat ketua itu membalikkan
tubuh, memandang sesosok mayat orang tinggi besar yang berdiri menyeramkan di
sebalik lubang dekat anak tangga. Bibir Sang Ketua bergerak-gerak seperti orang
bicara, akan tetapi suaranya perlahan sekali, berbisik-bisik. Dengan
mengerahkan kepandaiannya, Siauw Bwee dapat menangkap bisikan-bisikan itu.
“Orang she
Cia, tadinya kusangka bahwa engkaulah orang yang paling pandai yang pernah
kutandingi. Kiranya hari ini sangkaanku ini terbantah dan gadis yang baru
kubawa masuk ini jauh melampauimu. Ahhh, dan penyesalanku lebih besar dari pada
ketika terpaksa membunuhmu.”
Setelah
kakek itu melihat bahwa tubuh Siauw Bwee rebah di dalam peti mati kaca dengan
baik, dia mengeluarkan sebuah botol dan menuangkan isi botol berupa benda cair
berwarna kuning berbau harum ke atas tubuh Siauw Bwee. “Jenazah orang seperti
engkau patut diawetkan, Nona yang bernasib malang...”
Kemudian
kakek itu meninggalkan ruangan jenazah setelah mengelus kepala beruang sambil
berkata, “Hek-mo, kau jagalah baik-baik pintu gerbang ruangan jenazah.”
Mereka
keluar dari ruangan itu dan menutupkan pintu besi. Agaknya beruang itu bertugas
menjaga ruangan di luar pintu gerbang. Penjaga yang kuat! Siauw Bwee tidak
segera bergerak karena khawatir kalau kakek itu kembali lagi. Dia rebah dan
diam memperhatikan keadaan ruangan jenazah yang cukup luas itu. Ketika matanya
mengerling ke arah mayat tinggi besar yang tubuhnya juga tidak rusak, hanya
memakai cawat dan kepalanya gundul, dia bergidik. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya
gemetar, semua bulu di tubuhnya meremang dan matanya terbelalak ketika ia
melihat mayat orang she Cia itu bergerak!
Tadinya dia
tidak percaya ketika melihat mata mayat itu berkedip-kedip. Hampir saja ia lupa
bahwa dia telah ‘mati’ dan tidak semestinya bergerak dan hampir meloncat saking
kaget dan ngerinya ketika melihat mayat itu menggerakkan kaki tangannya dan
melangkah ke luar dari dalam lubangnya! Mayat itu hidup kembali! Melihat
seorang ‘mayat hidup’ di dalam kamar jenazah yang penuh jenazah-jenazah
tengkorak dan mayat-mayat kering, tentu saja hal ini merupakan pemandangan yang
terlalu berat menguji hati seorang gadis remaja, biar pun memiliki kesaktian
seperti Siauw Bwee. Maka dara yang tadinya berpura-pura mati itu kini
benar-benar menjadi pingsan!
Setelah
siuman kembali, hal pertama yang dilakukan Siauw Bwee adalah melirik ke arah
lubang mayat she Cia itu dengan harapan akan melihat mayat itu masih di situ
dan tak bergerak, dan bahwa yang dialaminya tadi hanyalah dalam mimpi. Akan
tetapi lubang itu kosong! Dengan napas terengah saking ngeri dan takut, Siauw
Bwee gadis perkasa yang kini ketakutan seperti kanak-kanak melihat setan itu
mengintai dari balik peti mati di mana ia direbahkan dan matanya melotot lebar
ketika melihat mayat hidup itu bergerak cepat sekali, berkelebat datang dari
sebelah belakang ruangan itu, tangan kanannya membawa sebuah panci besar terisi
makanan.
Setelah tiba
di ruangan itu, dia makan dengan lahapnya sambil berdiri saja. Akan tetapi
tiba-tiba ia mengeluarkan suara gerengan seperti terkekeh, lalu ia menggerakkan
kaki tangannya. Siauw Bwee menjadi makin ngeri, juga heran sekali menyaksikan
bahwa mayat hidup itu memiliki kepandaian yang hebat. Ilmu silatnya luar biasa
sekali, kedua tangan bergerak cepat dan tiba-tiba kedua tangan itu menyerang
dengan gerakan menggunting dari atas kanan kiri disusul gerakan kaki menyapu dari
bawah.
Agaknya
jurus itu merupakan jurus terakhir dan mayat hidup itu kini kelihatan girang
bukan main. Begitu girangnya sampai terkekeh-kekeh dan berjingkrak-jingkrak
menari. Tangannya mengambil makanan dari panci yang tadi ia taruh di atas
lantai ketika dia bersilat. Ketika ia mengambil makanan itu dimasukkan ke
mulut, Siauw Bwee memandang jelas dan tiba-tiba Siauw Bwee merasa hendak muntah
karena melihat bahwa yang dimakan oleh mayat hidup itu adalah tikus-tikus kecil
yang berkulit merah!
Karena ingin
muntah ini, Siauw Bwee mengeluarkan suara dari tenggorokannya dan tiba-tiba
mayat hidup itu melesat seperti anak panah cepatnya dan tahu-tahu telah berdiri
lagi di lubangnya seperti tadi. Akan tetapi, mungkin karena tergesa-gesa dan
lupa, dia berdiri di tempatnya dengan panci di tangan kiri dan mulutnya masih
menggigit seekor anak tikus yang buntutnya melambai ke bawah melalui bibirnya!
Aksi Si
Mayat Hidup ini mengusir semua rasa takut dari hati Siauw Bwee. Tidak mungkin
di dunia ini ada setan atau mayat hidup yang bersikap seperti itu! Begitu panik
dan kembali ke lubangnya secara menggelikan. Hal seperti itu hanya dapat
dilakukan orang hidup yang sedang ketakutan atau panik.
Siauw Bwee
tertawa dan ia melangkah keluar dari dalam peti kaca. Ketika ia langsung
melangkah menghampiri Si Mayat Hidup, hatinya menjadi makin geli melihat betapa
‘mayat hidup’ itu matanya melotot memandang kepadanya dengan kedua kaki
menggigil. Siauw Bwee makin geli hatinya, maklum bahwa tentulah mayat hidup
yang sebenarnya seorang manusia yang masih hidup itu kini menderita kengerian
seperti dia tadi. Tentu orang ini mengira bahwa dialah yang kini menjadi mayat
hidup!
Terdorong
oleh rasa geli dan kelegaan hatinya mendapat kenyataan bahwa mayat hidup itu
hanyalah seorang manusia hidup, timbul kenakalan Siauw Bwee. Dia sengaja
menyeringai untuk menakut-nakuti, setelah tiba di depan mayat hidup itu ia
tertawa dengan suara mengerikan, “He-he-hi-hi-hiiik! Bangkai ini masih baik,
enak diganyang jantungnya!”
Dengan
gerakan dibuat-buat, Siauw Bwee membentuk kedua tangannya seperti cakar setan
dan melangkah maju.
“Hiiiihh!”
Kini ‘mayat hidup’ itu tidak dapat menahan kengerian hatinya dan ia meloncat
meninggalkan lubangnya, menjauhi Siauw Bwee dan berdiri dengan kedua kaki
menggigil.
Siauw Bwee
tak dapat bersandiwara terus dan ia tertawa terpingkal-pingkal. “Nah, kau tahu
sekarang rasanya orang yang ketakutan menghadapi mayat hidup!” katanya. “Orang
she Cia, mengapa engkau pura-pura mati dan berada di tempat ini?”
Orang yang
tadinya berdiri menggigil itu menjadi begitu lega hatinya sehingga jatuh
terduduk. “Aahhh... sungguh mati. Aku hampir pingsan ketakutan!” katanya.
Suaranya besar dan agak parau, agaknya karena sudah lama tidak bicara.
“Aku sendiri
tadi sampai pingsan saking takutku melihat engkau sebagai mayat hidup,” Siauw
Bwee berkata sambil tertawa geli.
Orang itu
meloncat bangun, gerakannya cepat sekali. “Eh, engkau tadi dibawa si ketua
Liong Ki Bok itu ke sini dalam keadaan mati. Orang mati mana bisa pingsan dan
mana mungkin sekarang engkau hidup lagi?”
Siauw Bwee
menjebirkan bibirnya. “Tidak meraba kepalamu sendiri! Engkau pun masih hidup,
mengapa berada di sini dan beraksi sebagai mayat?”
Sejenak
laki-laki tinggi besar gundul itu memandang Siauw Bwee, kemudian menggeleng
kepala dan menghela napas. “Sukar dipercaya... akan tetapi... Liong Ki Bok tadi
sudah mengatakan sendiri bahwa kepandaianmu melebihi aku. Hemm, Nona, dengan
cara bagaimanakah engkau dapat mengakali Liong Ki Bok yang lihai sehingga
engkau disangka mati dan dibawa ke sini?”
“Mudah saja.
Dengan Pi-ki-hoan-hiat (Menutupi Hawa Memindahkan Jalan Darah) aku bisa
menghentikan napas dan memindahkan denyut perjalanan darah.”
Mata orang
itu terbelalak. “Engkau? Semuda ini sudah pandai melakukan hal itu?”
“Jangan
terlalu memuji, Sobat.” Siauw Bwee segera merasa suka kepada orang ini karena
merasa ‘senasib’. “Engkau sendiri pun telah dapat mengakali Liong Ki Bok dan
berpura-pura mati.”
“Aku lain
lagi. Aku memang hampir mati ketika dibawa ke sini... eh, nanti dulu, Nona.
Sebelum aku menceritakan rahasiaku, aku harus mengetahui lebih dulu siapakah
Nona dan mengapa Nona menyelundup masuk seperti ini?”
Siauw Bwee
maklum bahwa tentu orang ini mempunyai rahasia besar dan mungkin ia akan dapat
menyelidiki keadaan kaum kaki buntung dengan mendengar keterangan orang ini
tanpa melakukan penyelidikan sendiri. “Namaku Khu Siauw Bwee dan aku
menyelundup ke sini karena hendak menolong seorang bernama Liem Hok Sun yang
ditawan oleh orang-orang kaki buntung itu karena dianggap melanggar wilayah
mereka.”
Orang itu
mengangguk-angguk. “Engkau benar-benar memiliki keberanian luar biasa, Nona.
Nah, dengarlah ceritaku. Seratus tahun lebih yang lalu, nenek moyang tiga empat
keturunan dari kaum kaki satu dan lengan satu adalah dua orang saudara
seperguruan yang berilmu tinggi. Entah mengapa, kedua saudara seperguruan itu
bercekcok sehingga terjadilah pertempuran antara mereka berdua. Pertempuran
hebat yang mengakibatkan seorang buntung kaki kanannya dan yang seorang lagi
buntung lengan kirinya. Dendam antara kedua orang ini amat hebat. Mereka lalu
mengasingkan diri melatih ilmu, juga masing-masing mengambil murid-murid,
kemudian mereka berjanji untuk mengadu ilmu setiap tahun, untuk menentukan siapa
yang lebih unggul di antara mereka. Karena makin lama jumlah mereka makin
banyak, maka permusuhan itu menjadi berlarut-larut dan setiap tahun tentu
diadakan pertandingan mengadu ilmu. Demikianlah, keturunan kedua orang itu
melanjutkan permusuhan aneh ini dan terbentuklah kaum kaki buntung dan kaum
lengan buntung yang saling bermusuhan.”
“Akan
tetapi, mengapa mereka itu masing-masing dapat mengumpulkan orang-orang kaki
buntung dan orang-orang lengan buntung sebanyak itu? Siauw Bwee bertanya heran.
“Bukan dikumpulkan,
Nona. Melainkan dibuat, sengaja dibikin buntung!”
Mata Siauw
Bwee terbelalak lebar. “Apa? Murid-murid mereka dibuntungi sebelah kaki atau
lengannya?”
Orang itu
mengangguk. “Begitulah. Syarat pertama menjadi murid kedua kaum ini haruslah
dibuntungi kaki atau lengannya.”
“Apakah
mereka gila? Mengapa mau saja dibuntungi kaki atau lengan agar bisa menjadi
murid mereka?”
“Memang
banyak orang gila di dunia ini, Nona. Ilmu kaum kaki buntung dan lengan buntung
amat terkenal, maka banyak yang tergila-gila dan rela menjadi seorang berkaki
buntung atau berlengan buntung asal diterima menjadi murid mereka. Kaum berkaki
buntung tinggal di dalam istana bawah tanah ini sedangkan kaum lengan buntung
tinggal di balik gunung, di dalam goa-goa batu karang. Kaum kaki buntung ini
diketuai oleh Liong Ki Bok, keturunan ke tiga atau empat dari seorang di antara
kedua saudara seperguruan yang bermusuhan itu, tentu saja yang menjadi buntung
kakinya dalam pertandingan itu. Ada pun kaum lengan buntung diketuai oleh The
Bian Le, seorang kakek yang sama lihainya dengan Liong Ki Bok dan juga
keturunan dari tokoh yang seorang lagi. Sampai sekarang mereka tetap bermusuhan
dan setiap tahun selalu diadakan pertandingan antara mereka.”
Siauw Bwee
mengangguk-angguk, kemudian memandang orang itu. “Dan engkau sendiri, kulihat
kaki dan tanganmu lengkap, tidak ada yang buntung. Mengapa engkau sampai
bermusuhan dengan kaum kaki buntung dan berada di sini?”
”Aku bernama
Cia Cen Thok, dan aku adalah kakak ipar ketua kaum lengan buntung. Isteri The
Bian Le adalah adik perempuanku. Karena percaya akan kepandaianku, iparku minta
tolong kepadaku untuk menyelidiki dan mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat
kaum kaki buntung. Karena hanya dengan mengetahui rahasia ilmu silat gerak
tangan kilat, maka kaum lengan buntung akan dapat menundukkan musuh keturunan
mereka ini.”
“Hemm,
apakah kaum lengan buntung kalah lihai oleh kaum kaki buntung?”
Cia Cen Thok
menghela napas panjang. “Kalah lihai sih tidak. Engkau harus ingat bahwa nenek
moyang mereka adalah saudara seperguruan, maka tentu saja dasar ilmu silat juga
sesumber dan kepandaian para keturunan ini pun seimbang. Justeru karena
keseimbangan ilmu inilah yang membuat pembunuhan tiada habisnya. Tahun ini
pihak yang satu kalah, tahun kemudian pihak yang lain kalah dan begitu
seterusnya. Kaum lengan buntung yang hanya mempunyai sebuah lengan telah
menciptakan ilmu gerak kaki kilat yang luar biasa. Di lain pihak, kaum kaki
buntung, untuk mengimbangi karena kaki mereka hanya sebuah, telah menciptakan
ilmu gerak tangan kilat. Ilmu silat tangan mereka yang diperpadukan dengan
tongkat, benar-benar amat hebat.”
Siauw Bwee
mengangguk-angguk. “Memang hebat gerakan tangan mereka, cepat dan aneh.”
“Itulah
sebabnya, tiga tahun yang lalu aku memenuhi permintaan adik iparku, The Bian Le
ketua kaum lengan buntung untuk menyelundup ke sini dan mempelajari rahasia
gerak tangan kilat pihak musuh. Akan tetapi aku kepergok dan dalam perkelahian
mati-matian aku roboh dan dihajar habis-habisan, disangka mati lalu ditaruh di
ruangan jenazah ini.”
“Tiga
tahun?” Siauw Bwee bergidik.
“Ya, tiga
tahun kurang lebih.”
“Akan tetapi
engkau telah berhasil kulihat tadi. Engkau telah mempelajari ilmu silat gerak
tangan kilat mereka!”
Cia Cen Thok
memandang kagum. “Engkau awas sekali, Nona. Akan tetapi, biar pun aku percaya
bahwa engkau tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan aku pun telah
mulai dapat mempelajari rahasia gerak tangan kilat mereka, aku masih sangsi
apakah kita berdua akan dapat keluar dari tempat ini dengan selamat. Jumlah
mereka banyak, dan di samping Liong Ki Bok yang lihai juga mereka mempunyai
jago-jago berkepandaian tinggi, yaitu beberapa orang murid kepala yang
kepandaiannya sudah hampir setingkat dengan kepandaian Si Ketua sendiri.”
“Berapakah
jumlah mereka?”
“Kalau tidak
salah, ada tiga puluh enam orang. Sedangkan pihak kaum lengan satu berjumlah
tiga puluh orang.”
“Aku tidak
takut! Aku tentu akan dapat membebaskan orang kasar Hui-eng Liem Hok Sun itu.”
“Apamukah
dia itu, Nona?”
“Hemm...
bukan apa-apa. Kenal pun tidak. Akan tetapi aku melihat sifat baik di balik
sikapnya yang kasar, juga dia murid Gobi-san yang ilmunya lumayan. Aku percaya
bahwa dia pun tentu akan menolong orang yang menjadi tawanan di sini.”
“Aahhh,
hatimu terlalu baik, Nona. Aku sendiri tidak percaya bahwa dia itu akan suka
mempertaruhkan nyawa untuk menolong orang yang belum dikenalnya seperti yang
telah kau lakukan ini.”
Tiba-tiba
terdengar gerengan keras, gerengan beruang yang menjaga di luar pintu, disusul suara
gedebukan dan tak lama kemudian pintu itu terbuka dari luar dan muncullah orang
yang mereka bicarakan, yaitu Hok Sun sendiri yang memegang sebatang pedang di
tangannya. Melihat Siauw Bwee, dia segera menyerahkan pedangnya sambil berkata,
“Nona, kau pergunakan
pedang ini. Mari kita menerjang ke luar. Kesempatan baik sekali selagi ketuanya
dan pembantu-pembantunya tidak berada di dalam!” Tiba-tiba ia menoleh, melihat
Cia Cen Thok dan meloncat ke belakang seperti diserang ular. “Dia... eh, dia...
siapa ini...?”
“Dia seorang
sahabat senasib. Apakah engkau datang sengaja hendak menolongku? Bagaimana kau
bisa bebas?”
Liem Hok Sun
hilang kagetnya dan ia tertawa, “Aku akali Si Buntung Kaki itu! Ha-ha! Aku
pura-pura lemah, ketika mereka memberi makan, aku memberontak dan berhasil
merobohkan Si Pengantar Makanan, kemudian aku lari dan mendapatkan pedang ini
di jalan. Dari percakapan mereka aku mendengar bahwa mereka telah membunuh
seorang dara muda. Aku penasaran, ingin melihat sendiri ke sini dan kiranya engkaulah
orang yang mereka bunuh itu, dan masih hidup. Syukurlah. Mari kita cepat
menerjang ke luar sebelum terlambat!”
Siauw Bwee
tersenyum dan memandang kepada Cia Cen Thok dengan penuh arti. Kakek bekas
mayat hidup itu mengangguk-angguk mengerti. “Saudara Liem Hok Sun, engkau
seorang gagah sejati!”
“Eh, kau
mengenal aku?”
“Aku yang
memberitahukan namamu kepadanya,” kata Siauw Bwee.
“Engkau?
Engkau Nona penunggang kuda itu. Aku belum pernah memperkenalkan diri..., ohhh,
sekarang aku ingat! Aku pernah mengakui namaku ketika kau kusangka pemasang
jerat. Hayo, lekaslah kita keluar. Eh, sahabat aneh, apakah engkau pun akan
lari ke luar?”
Cia Cen Thok
mengangguk. “Keluarlah kalian lebih dulu, aku menyusul belakangan.”
Siauw Bwee
dan Liem Hok Sun berlari keluar dan Siauw Bwee melihat beruang itu sudah
menggeletak dengan kepala pecah, tentu kena pukulan tangan Si Garuda Terbang.
Dia merasa kasihan karena menganggap beruang itu bukan binatang jahat, akan
tetapi dalam keadaan seperti itu dia diam saja dan terus berlari ke luar
didahului Liem Hok Sun sebagai pembuka jalan.
Ketika
mereka sudah tiba di ruangan paling depan, dari kanan kiri meloncat ke luar
empat orang berkaki buntung dan mereka ini menyerang Hok Sun dan Siauw Bwee
tanpa banyak tanya lagi.
Siauw Bwee
menggerakkan kakinya menangkis dan tangan kirinya memukul dengan dorongan penuh
tenaga sinkang. Dua orang di antara mereka berteriak dan roboh terjengkang,
berusaha merayap bangun kembali. Hok Sun melawan dengan kedua tangan kosong. Ia
berhasil menangkap tongkat seorang penyerang, membetot dan mematahkan tongkat
itu, kemudian kakinya menendang. Lawannya menangkis dan orang ke dua sudah
menotokkan tongkatnya ke arah lambung Hok Sun.
“Trakk!”
Tongkat itu patah ketika tertangkis pedang Siauw Bwee yang sudah cepat
membantu. Kemudian pukulan tangan Hok Sun merobohkan orang yang tongkatnya
patah itu.
“Wah,
kepandaianmu hebat sekali, Nona!” Ia memuji, kagum dan juga kaget karena tidak
menyangka bahwa nona yang disangkanya hanya berkepandaian silat biasa itu
ternyata telah merobohkan dua orang pengeroyok dengan cepat, bahkan telah
menolongnya!
“Hayo cepat
keluar!” Siauw Bwee berkata.
Kini dialah
yang mendahului lari ke depan karena ia tahu bahwa kalau mereka berdua
dikeroyok di sebelah dalam, keadaan mereka berbahaya sekali. Dengan gerakan
ringan dan indah tubuh Siauw Bwee melayang naik dan menerobos ke luar dari
lubang kecil yang merupakan ‘pintu kamar’ bangunan setengah bundar di atas
tanah itu. Kembali Hok Sun memuji. Gerakan nona itu benar amat ringan dan
tahulah dia bahwa nona itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampaui
tingkatnya sendiri.
Begitu Siauw
Bwee dan Hok Sun tiba di luar, mereka segera dikepung oleh para anak buah kaum
kaki buntung yang sudah berjaga di luar dan yang mengejar dari dalam. Tetapi
seperti yang diceritakan oleh Cia Cen Thok, biar pun Siauw Bwee dapat menangkan
mereka dalam hal sinkang, ginkang, mau pun ilmu silat, namun gerakan tangan
mereka benar-benar amat lihai, cepat bagaikan kilat dan tidak tersangka-sangka.
Untuk dapat
mengatasi lawan yang seperti ini memang jalan satu-satunya hanya mempelajari
dan membuka rahasia ilmu tangan kilat mereka itu. Siauw Bwee tidak ingin
melakukan pembunuhan, maka gerakan pedangnya hanya untuk menghalau
tongkat-tongkat mereka yang lihai, dan ia hanya berusaha merobohkan mereka
dengan dorongan-dorongan tangan dengan tenaga sinkang. Karena inilah maka dia
segera dikurung dan didesak hebat.
Ada pun Hok
Sun keadaannya lebih terdesak lagi. Beberapa kali terdengar suara bak-bik-buk
dan tubuhnya sudah terkena hantaman-hantaman tongkat pada bahu, pinggul dan
pahanya. Untung bahwa Si Garuda Terbang ini memiliki tubuh yang kebal sehingga
hantaman-hantaman itu tidak sampai meremukkan tulang dan tertahan oleh daging
dan urat-uratnya yang kokoh kuat, sungguh pun cukup mendatangkan rasa nyeri
membuatnya berkaok-kaok kesakitan.
Untung bagi
mereka bahwa pada saat itu, benar seperti keterangan Hok Sun, tidak tampak
murid-murid lain yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kelas satu. Kalau mereka itu
ikut mengeroyok, tak tahulah bagaimana jadinya dengan nasib mereka berdua.
“Saudara
Liem, cepat ke sini! Kita melawan dengan saling melindungi!” teriak Siauw Bwee
sambil berputaran dan mendekati Si Pemuda Kasar yang sudah berteriak-teriak
kesakitan.
Hok Sun
bukan seorang bodoh. Dia mengerti apa yang dimaksudkan dara perkasa itu, maka
dia pun lalu meloncat dan di lain saat dia telah melakukan perlawanan dengan
beradu punggung bersama Siauw Bwee. Dengan cara ini mereka berdua tidak dapat
dikurung lagi dan hanya menghadapi lawan dari depan.
“Awas...!”
Siauw Bwee berbisik, “aku akan melontarkanmu ke kiri melalui kepala mereka.
Engkau harus cepat melarikan diri, biar aku yang menahan mereka...!”
“Ahhh, mana
bisa...?” Hok Sun menjawab dengan bantahannya, dan tidak seperti Siauw Bwee
yang berbisik, pemuda itu bicara nyaring, “Aku bukan seorang pengecut yang
ingin selamat sendiri dan meninggalkan kau sendirian dikepung oleh para....”
Siauw Bwee
menjadi gemas dan sambil menangkis tusukan tongkat seorang lawan wanita, ia sengaja
menggerakkan pinggul.
“Auhhh...!
Apakah pinggulmu dari baja, Nona?” Hok Sun berteriak kesakitan ketika
pinggulnya dihantam dari belakang. Ia menggosok-gosok pinggulnya sehingga tidak
sempat menghindar ketika ada tongkat memukul kepalanya dari atas. Untung Siauw
Bwee melihat atau lebih tepat mendengar gerakan itu, maka ia cepat mendorongkan
tangan kirinya ke belakang.
“Aihhh...!”
Hok Sun terhuyung, akan tetapi hantaman tongkat itu luput. “Bagaimana sih
engkau ini, Nona? Kawan ataukah lawan?”
“Bodoh!”
Siauw Bwee berbisik gemas. “Kalau engkau sudah bebas, bagiku apa sih sukarnya
melarikan diri? Awas, akan kulontarkan kau. Lekas lari!” Tiba-tiba Hok Sun
merasa tubuhnya terbang ke atas ketika Siauw Bwee mencengkeram punggung bajunya
dan mendorong dengan tenaga yang hebat bukan main.
Tubuh Hok
Sun terlempar melalui atas kepala para pengeroyoknya dan ia terus melompat jauh
untuk melarikan diri. Diam-diam ia makin kagum bukan main terhadap Siauw Bwee.
Setelah Si
Dogol itu terbebas, Siauw Bwee bernapas lega, memutar pedangnya bagaikan
kitiran cepatnya sehingga lenyaplah tubuh dara perkasa ini, yang tampak hanya
gulungan sinar pedangnya. Dari dalam gulungan sinar pedang yang menangkis
datangnya semua serangan tongkat itu, menyambar keluar tenaga dahsyat dari
telapak tangan kirinya yang mengirim dorongan-dorongan. Para pengeroyoknya
banyak yang terjengkang, akan tetapi segera meloncat bangun lagi dan mengeroyok
makin nekat. Ketika Siauw Bwee memandang ke arah larinya Hok Sun, ia melihat
pemuda itu kembali sudah dikepung enam orang kaki buntung! Siauw Bwee gemas
sekali.
Tentu Si
Dogol itu masih tetap keras kepala dan tidak rela lari meninggalkannya. Kalau
begitu terus, Hok Sun bisa celaka, padahal kini jaraknya sudah jauh sehingga
tak mungkin lagi dia dapat menolong jika Hok Sun terancam bahaya seperti tadi.
Akan tetapi tiba-tiba enam orang pengeroyok Hok Sun itu cerai-berai ketika
sesosok bayangan berkelebat dan Cia Cen Thok sudah membantu Hok Sun. Melihat
laki-laki bercawat ini, terdengar teriakan-teriakan kaget dan para pengeroyok
mereka berdiri terbelalak seperti arca dengan muka pucat.....
Siauw Bwee
tersenyum geli dan hatinya lega melihat Hok Sun dan Cia Cen Thok sudah berhasil
melarikan diri, menggunakan kesempatan selagi para pengeroyok mereka terkejut
dan diam tak bergerak. Tentu saja anak buah kaki buntung itu kaget setengah
mati melihat dan mengenal orang yang telah tiga tahun menjadi mayat di kamar
mayat, kini tahu-tahu telah hidup lagi dan mengamuk!
KETIKA
melihat Siauw Bwee, mereka tidak begitu kaget dan heran karena mereka segera
mengerti bahwa dara perkasa itu sebetulnya belum mati ketika tadi dimasukkan ke
kamar jenazah. Akan tetapi berbeda lagi dengan Cia Cen Thok yang sudah tiga
tahun menjadi mayat, dan dahulu mereka ikut pula mengeroyok dan membunuh orang
ini. Dan pakaian Cia Cen Thok yang hanya berupa cawat itu menambah keseraman.
Setelah
melihat dua orang itu jauh dan lenyap bayangannya, Siauw Bwee tertawa nyaring.
Pedangnya dilempar ke atas tanah dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir
balik beberapa kali. Selagi semua orang berdongak dan mengikuti gerakan luar
biasa itu, tubuh Siauw Bwee telah lari jauh dan dia menyusul ke arah larinya
Hok Sun dan Cia Cen Thok. Orang-orang berkaki buntung mengejar cepat, namun
mereka itu bukanlah tandingan Siauw Bwee dalam hal ilmu berlari cepat sehingga
sebentar saja tubuh dan bayangan Siauw Bwee telah lenyap dari pandang mata
mereka.
Tak lama
kemudian Siauw Bwee telah dapat mengejar Hok Sun dan Cen Thok. Dia heran
melihat dua orang itu berhenti dan kelihatan bingung. “Kenapa kalian berhenti
di sini?” Siauw Bwee menegur.
“Wah,
celaka, Lihiap!” Kini Hok Sun yang amat kagum akan kelihaian Siauw Bwee tidak
segan-segan menyebut lihiap (pendekar wanita), “Semua jalan ke luar sudah
dihadang setan-setan buntung itu!”
Siauw Bwee
memandang kepada Cen Thok dan bekas mayat hidup ini mengangguk.
“Memang
benar, Lihiap. Jalan menuju ke tempat tinggal kaum lengan buntung sudah
dihadang semua dan penuh perangkap dan jerat yang dipasang mereka. Satu-satunya
jalan hanya melalui rawa, daerah yang dianggap berbahaya dan tidak pernah ada
yang berani melalui tempat itu. Aku sendiri sama sekali tidak mengenal daerah
itu, Lihiap.” Ucapan terakhir ini seolah-olah minta keputusan dan nasehat Siauw
Bwee yang biar pun paling muda namun mereka anggap sebagai orang yang lebih
tinggi kedudukan dan tingkatnya dari pada mereka.
“Kalau
begitu, kita melalui rawa!” kata Siauw Bwee dengan suara tetap, ”Bagaimana pun
juga kita harus dapat keluar dari daerah berbahaya ini!”
“Baik, kalau
begitu marilah ikut bersamaku!” Cen Thok berkata dan mendahului lari. Hok Sun
dan Siauw Bwee juga meloncat dan lari mengikuti orang bercawat itu. Tak lama
kemudian mereka tibalah di daerah yang penuh rawa, daerah luas dan mati.
“Ke mana
jalannya?” tanya Siauw Bwee, agak ngeri juga menyaksikan daerah luas dan mati,
rawa yang seolah-olah tanpa tepi sehingga amat mengerikan keadaannya.
“Aku sendiri
pun tidak tahu, Lihiap. Kita harus mencari jalan, akan tetapi hati-hatilah.
Rawa ini kabarnya berbahaya sekali, banyak terdapat bagian-bagian yang pada
permukaannya kelihatan rumput dan tanah, akan tetapi di bawahnya adalah lumpur
yang menyedot dan ada kalanya air amat dalam.”
Siauw Bwee
yang mengandalkan ginkang-nya segera mengambil keputusan, “Biarlah aku mencari
jalan. Dengan keringanan tubuh, kiranya aku tidak akan terancam bahaya.”
Tanpa menanti
jawaban ia lalu mulai menyeberangi rawa, memilih bagian yang cukup tebal dan
kuat. Kalau kakinya salah injak bagian yang tipis, sebelum ia terjeblos ia
sudah dapat meloncat lagi. Melihat ini, dua orang itu selain merasa kagum juga
ngeri karena kalau kurang tinggi ilmu ginkang-nya, tentu sekali terjeblos akan
berarti bahaya maut!
MATAHARI
telah condong ke barat dan mereka masih belum menemukan jalan ke luar dari
daerah itu karena jalan penyeberangan rawa yang mereka tempuh membelak-belok
harus memilih bagian yang aman.
Tiba-tiba
Hok Sun berteriak, “Aihh, apa itu...?”
Dua orang
temannya menengok dan berdongak memandang ke atas, arah yang ditunjuk oleh Hok
Sun. Tampak awan hitam memenuhi udara, akan tetapi jelas bukan awan yang
bergerak terbawa angin karena gerakan awan itu cepat sekali.
“Burung-burung...!”
Siauw Bwee berseru ngeri karena belum pernah ia melihat burung-burung terbang
berkelompok sebanyak itu sehingga merupakan awan hitam yang bergerak cepat.
“Eh, dia ke
sini...!” Cen Thok berseru kaget.
“Mereka
meluncur turun...!” Hok Sun berteriak pula.
Benar saja.
Sekumpulan burung itu seolah-olah menerima pertanda rahasia dan mereka kini
meluncur turun ke arah tiga orang ini dan segera mereka diserang oleh ratusan
ekor burung elang!
Tiga orang
ini menjadi repot sekali menghadapi penyerangan ribuan ekor burung di tengah
rawa yang amat berbahaya itu. Hok Sun menggerak-gerakkan kedua tangannya
menangkis dan menghantam burung-burung yang menyerangnya. Juga Cen Thok sibuk
membela diri dan membunuhi burung-burung yang tak terhitung banyaknya. Namun
mereka ini kewalahan, bingung dan panik, apa lagi setelah kulit-kulit tangan
mereka mulai berdarah oleh patukan-patukan burung yang kuat itu. Mereka
bertanding melawan keroyokan burung-burung sambil berteriak-teriak.
Tak lama
kemudian Siauw Bwee terpisah dari mereka. Dara perkasa ini pun repot menghadapi
pengeroyokan binatang-binatang yang kelihatannya marah, haus darah dan buas
itu. Sampokan-sampokan kedua tangan dara ini sekaligus membunuhi banyak burung,
akan tetapi binatang-binatang itu sungguh ganas. Mati lima datang sepuluh, mati
sepuluh datang dua puluh.
Kepanikan
menyerang hati Siauw Bwee. Dia merasa jijik dan ngeri sekali karena para
pengeroyoknya ini seperti bukan burung-burung biasa, begitu nekat dan agaknya
mereka kelaparan semua. Bajunya mulai robek-robek, bahkan pundak dan kedua
lengannya mulai berdarah. Serangan datangnya seperti hujan, sukar untuk
dihindarkan semua. Dia tidak lagi dapat memperhatikan dua orang temannya dan
teriakan-teriakan mereka sudah tidak terdengar lagi karena mereka saling
berpisah makin jauh setelah Siauw Bwee mulai berloncatan untuk menghindarkan
burung-burung itu.
Dia
menggunakan ginkang-nya, meloncat tinggi dan jauh dengan maksud melarikan diri.
Akan tetapi burung-burung itu tetap mengejarnya. Sampai jauh Siauw Bwee melawan
sambil berloncatan menjauhi dan kemarahannya timbul sehingga ketika dia
menggerakkan kedua tangan, makin banyaklah burung-burung itu menjadi bangkai,
memenuhi rawa.
Entah berapa
jam lamanya Siauw Bwee bertanding melawan burung-burung itu, akan tetapi kini
matahari sudah makin doyong ke barat dan sinarnya mulai menyuram. Entah berapa
ratus ekor burung telah dibunuhnya. Kepalanya menjadi pening oleh suara burung
yang menjerit-jerit sambil menyerang, pandang matanya berkunang oleh bayangan
burung-burung yang tiada hentinya menyambar di depan mukanya. Dia mulai lelah,
kepalanya pening dan patukan burung mulai banyak mengenai kulit lengannya.
Celaka, pikirnya, tidak pernah mengira bahwa dia akan tewas oleh pengeroyokan
burung-burung. Betapa memalukan dan menyedihkan. Tewas oleh pengeroyokan
burung-burung!
Tiba-tiba di
antara suara mencicitnya burung yang memekakkan telinga, terdengar suara
manusia! Lirih saja, akan tetapi amatlah jelas seolah-olah ada yang berbisik di
dekat telinganya.
“Sungguh
keberanian dan kenekatan yang bodoh! Masa manusia kalah cerdik oleh burung?
Kalau berlindung ke air bersembunyi di balik alang-alang, bukankah lebih mudah
dari pada melawan dengan nekat?”
Siauw Bwee
terkejut. Tidak, dia bukan sedang mimpi, juga tidak mendengar suara setan rawa!
Dia mendengar suara manusia, seorang manusia yang berilmu tinggi dan yang
menolongnya dengan nasehat itu. Suara itu adalah suara yang dikirim dari tempat
jauh menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit yang hanya dapat dilakukan dengan
pengerahan khikang yang amat kuat! Suheng-nya dapat melakukan hal itu, dan dia
pun kalau mau melatih diri, menggabungkan sinkang dengan khikang, tentu akan
dapat melakukannya pula.
Suheng-nya!
Jantung Siauw Bwee berdebar. Suheng-nyakah orang itu? Ah, tidak mungkin.
Suheng-nya selalu bicara dengan halus dan ramah kepadanya, sedangkan suara
orang itu sama sekali tidak halus dan ramah, bahkan setengah memakinya bodoh
dan kalah cerdik oleh burung! Siapa pun adanya orang itu, jelas bahwa
nasehatnya patut diperhatikan.
Maka ia lalu
mencari bagian rawa yang penuh alang-alang dan yang airnya agak dalam. Setelah
menggerakkan kedua tangannya membunuh burung-burung yang menyerangnya, ia lalu
menjatuhkan diri ke dalam air rawa, menyembunyikan tubuhnya ke dalam air di
bawah alang-alang sampai ke atas mulut. Hidungnya mencium bau busuk alang-alang
yang membusuk, membuatnya muak, akan tetapi ia tahankan. Benar saja,
burung-burung itu hanya beterbangan di atas alang-alang, tidak ada lagi yang
menyerangnya.
Siauw Bwee
merasa lega dan berterima kasih. Akan tetapi burung-burung itu tetap saja
beterbangan di atas alang-alang, agaknya menunggu sampai dia muncul kembali dan
siap menyerang. Burung sialan, ia memaki. Merendam diri di dalam air lumpur
kotor itu sungguh bukan hal yang menyenangkan, apa lagi baunya amat tidak enak
dan tubuhnya mulai merasa gatal-gatal.
Dua jam
kemudian, setelah matahari makin turun ke barat dan sinarnya sudah hampir tidak
ada tenaganya lagi, setelah Siauw Bwee hampir tidak kuat bertahan dan ingin
mengamuk lagi, tiba-tiba burung-burung itu terbang pergi meninggalkan Siauw
Bwee dan meninggalkan rawa yang banyak bangkai burungnya. Siauw Bwee meloncat
dan keluar dari dalam air. Tiba-tiba ia menjerit-jerit dan tubuhnya mengkirik,
menggigil dengan jijik dan geli ketika ia melihat bahwa puluhan ekor lintah
telah menempel di tubuhnya dan menggigit, menghisap darahnya tanpa ia rasakan
tadi!
Dengan bulu
tengkuk berdiri dan mengkirik ia sibuk mencabuti dan meremas serta membanting
lintah-lintah itu sehingga darah binatang-binatang itu berceceran ke mana-mana.
Bukan darah binatang-binatang itu melainkan darahnya yang telah dihisap mereka!
Siauw Bwee sampai hampir menelanjangi tubuhnya sendiri karena lintah-lintah itu
ada yang menyelinap memasuki baju dan celananya, menggigit dan menghisap darah
tanpa memilih tempat.
“Setan!
Bedebah! Kurang ajar!” Siauw Bwee memaki-maki dan membunuhi lintah-lintah itu,
dan setelah memeriksa semua tubuh dan pakaiannya, barulah ia memakai kembali
pakaiannya. Sementara itu, matahari telah tenggelam. Ketika Siauw Bwee
memandang ke sekeliling, dia tidak melihat lagi adanya dua orang temannya tadi,
juga tidak dapat menduga ke mana larinya mereka yang tadi ketakutan dikeroyok
burung.
Siauw Bwee
mulai melangkah lagi melanjutkan usahanya keluar dari tempat itu. Dia tidak
lagi dapat mencari kedua orang temannya, maka dia pun kini harus mengingat
keadaannya sendiri. Dia harus dapat keluar dari daerah rawa yang amat luas ini.
Dia mulai mencari-cari, akan tetapi tetap saja tidak dapat keluar, bahkan
beberapa kali ia lewat lagi di tempat di mana dia dikeroyok burung karena di
situ terdapat banyak bangkai burung berserakan di atas rawa!
“Tempat
celaka! Neraka dunia!” Ia mengomel karena kini malam sudah mulai tiba, cuaca
mulai gelap.
Tiba-tiba
terdengar suara air berkecipakan. Dia memandang ke depan dan bukan main
kagetnya ketika melihat serombongan ular berenang menyeberangi rawa menuju ke
arah dia berdiri! Ular-ular yang besar kecil beraneka warna, ada yang putih,
hijau, coklat, hitam dan merah! Kembali bulu tengkuk Siauw Bwee berdiri.
Teringatlah ia akan ular-ular merah di bawah Istana Pulau Es. Tak jauh dari
tempat ia berdiri terdapat sebatang pohon yang sudah tumbang tengahnya, tinggal
merupakan tonggak, akan tetapi tingginya masih ada dua meter.
Cepat Siauw
Bwee mengayun tubuh meloncat ke atas tonggak itu, berdiri tegak dan memandang
ke bawah. Betapa ngeri hatinya ketika ia melihat ular-ular itu mulai berebut,
memperebutkan bangkai-bangkai burung. Bangkai-bangkai burung yang terapung di
atas air itu mereka serang, moncong-moncong ular dibuka lebar dan
bangkai-bangkai dicaploki dan ditelan berikut bulu-bulunya sehingga tak lama
kemudian beratus buah bangkai burung itu telah habis, pindah ke dalam perut
ular-ular yang kini menggembung.
Pemandangan
ini amat mengerikan hati Siauw Bwee sehingga tonggak yang ia injak
bergoyang-goyang, tanda bahwa kakinya menggigil terbawa oleh hati yang ngeri.
Baiknya dara perkasa ini sudah memiliki ginkang yang luar biasa, kalau tidak,
ada bahayanya ia terguling jatuh dan dikeroyok ular saking ngerinya.
Malam telah
tiba dan keadaan gelap sekali. Selagi Siauw Bwee kebingungan karena tidak
mungkin kini ia berdiri terus semalam suntuk di atas tonggak, juga tidak
mungkin dia meloncat turun tanpa mengetahui lebih dulu apakah ular-ular itu
tidak berada di situ, tiba-tiba tampak olehnya sinar terang dari jauh.
Dari atas
tonggak itu ia dapat menduga bahwa sinar itu adalah obor-obor yang dipegang
orang. Karena rawa itu luas dan sinar obor-obor yang bersatu itu cukup terang,
maka sebagian sinarnya dapat mencapai tempat Siauw Bwee. Giranglah hati Siauw
Bwee ketika melihat bahwa ular-ular yang sudah kekenyangan itu kini merayap
pergi, agaknya takut akan sinar obor.
Dengan
bantuan sinar yang datang dari obor-obor itu, Siauw Bwee dapat meloncat turun
ke tempat yang tidak ada ularnya, kemudian mulailah ia berlari dengan hati-hati
menuju ke arah orang-orang yang membawa obor. Tadinya ia mengira bahwa kedua
orang temannya yang membawa obor itu, akan tetapi kini tampak olehnya bahwa
yang membawa obor adalah tiga orang, jadi jelas bukan dua orang temannya itu.
Tiga orang itu membawa enam buah obor, masing-masing dua buah yang disatukan di
satu tangan.
Apakah
orang-orang berkaki buntung yang masih berusaha mengejar dan mencarinya? Siauw
Bwee menggigit bibirnya dengan gemas. Aku telah menderita karena mereka,
pikirnya. Dikeroyok burung, hampir dikeroyok ular dan benar-benar telah
dikeroyok lintah! Dan merendam tubuhnya di air kotor berbau! Kalau dia bukan
bekas penghuni Pulau Es, tentu sekarang telah menderita kedinginan luar biasa
pula! Biarlah, mereka hanya bertiga, mungkin pimpinan mereka dan sekali ini aku
akan membikin mereka tahu rasa!
Dengan hati
gemas dan marah Siauw Bwee mempercepat larinya, berloncatan menghampiri tiga
orang yang membawa obor itu dan setelah dekat ia tercengang karena tiga orang
itu tidak memakai tongkat dan kini tampak jelaslah bahwa mereka bukan tiga orang
berkaki buntung, melainkan tiga orang berlengan buntung sebelah! Kiranya mereka
itu adalah tiga orang dari kaum lengan buntung!
Hati Siauw
Bwee tertarik sekali dan juga girang. Sekarang ia mendapat kesempatan untuk
keluar dari daerah rawa yang berbahaya itu! Diam-diam ia membayangi mereka dan
benarlah dugaannya, tiga orang berlengan kiri buntung itu membawanya keluar
dari daerah rawa dan memasuki sebuah hutan yang tandus.
Karena
keadaan gelap dan penerangan obor itu tidaklah cukup menerangi daerah sekitarnya,
maka Siauw Bwee tidak tahu jalan apa yang mereka tempuh sehingga dapat keluar
dari daerah rawa, akan tetapi ternyata untuk keluar dari daerah rawa itu mereka
telah menghabiskan waktu semalam suntuk!
Mereka telah
memadamkan obor dan membuangnya karena malam telah terganti pagi ketika tiga
orang itu berjalan cepat sekali menuju ke sebuah pondok bambu yang berdiri di
tengah hutan tandus. Gerak kaki mereka ketika berlari itu cepat bukan main dan
diam-diam Siauw Bwee kagum sekali. Gerakan orang-orang berlengan kiri buntung
itu ternyata amat hebat dan dalam hal berlari cepat, jelas bahwa orang-orang
berkaki buntung bukanlah lawan mereka ini! Dia sendiri harus mengerahkan
ginkang-nya dan berlari cepat-cepat untuk dapat membayangi mereka agar tidak
tertinggal.
Ketika tiga
orang itu menghampiri pondok, Siauw Bwee menyelinap dan bersembunyi sambil
mengintai. Pakaiannya sudah kering kembali, akan tetapi robek-robek di bagian
lutut, paha, betis dan lengan kanan kiri. Burung-burung sialan, ia memaki.
Bekal pakaiannya masih tertinggal di atas punggung kuda hitamnya yang sekarang
entah bagaimana nasibnya.
Siauw Bwee
memandang heran ketika melihat seorang laki-laki tua renta dan bertubuh kurus
kering duduk di atas bangku bambu depan pondok itu. Laki-laki itu keadaannya
amat menyedihkan. Kedua kakinya buntung sebatas paha, lengan kirinya juga
buntung seperti tiga orang pendatang itu dan yang tinggal hanyalah lengan
kanannya yang kurus dan yang memegang sebatang tongkat seperti milik para
anggota kaum kaki buntung. Siauw Bwee memandang heran dan menduga. Termasuk
golongan manakah kakek itu?
Lengan
kirinya buntung seperti tiga orang pendatang itu, akan tetapi belum tentu dia
merupakan anggota kaum lengan buntung karena kakinya juga buntung, tidak hanya
kaki kanan, bahkan kedua-duanya! Dan kakek itu duduk tanpa kaki seperti orang
sedang bersila. Tangan kanannya memegang tongkat yang melintang di depannya,
lengan baju kiri tergantung lepas tanpa isi, kedua matanya terpejam seolah-olah
dia tidak tahu akan kedatangan tiga orang itu.
Siauw Bwee
mengalihkan pandangnya. Di antara tiga orang lengan buntung ini tidak seorang
pun pernah dilihatnya di antara mereka yang dulu pernah dilihatnya ketika lima
orang lengan buntung membawa tawanan seorang kaki buntung. Yang seorang adalah
seorang nenek yang mukanya masam dan kelihatan galak. Yang ke dua adalah
seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan, lebih muda dari pada Si Nenek,
sikapnya gagah dan agaknya dia yang memimpin rombongan tiga orang itu. Orang ke
tiga adalah seorang laki-laki bermuka tampan akan tetapi membayangkan
kesombongan. Ketiganya kini berdiri di depan kakek tua renta itu, kemudian
terdengarlah laki-laki tinggi tegap yang memimpin rombongan itu berkata,
“Twa-supek,
kami diperintah oleh Suhu untuk memperingatkan Supek yang terakhir kalinya agar
supek suka memberitahukan rahasia gerak tangan kilat kaum kaki buntung!” Biar
pun laki-laki itu menyebut twa-supek (uwa guru tertua), namun nada suaranya
amat tidak menghormat, bahkan mengandung ancaman dan kekerasan.
Kakek itu
membuka matanya dan terkejutlah Siauw Bwee menyaksikan betapa sinar mata kakek
tua renta itu mengandung penderitaan seperti mata orang yang sakit berat!
Kemudian terdengar kakek itu berkata lirih, “Sudah kukatakan bahwa aku tidak
sudi mencampuri permusuhan terkutuk itu! Pergilah kalian!”
“Twa-supek!
Kalau begitu benar keterangan para penyelidik bahwa supek menerima kedatangan
orang-orang berkaki buntung, tentu supek telah membuka rahasia ilmu kami!”
“Benar,
mereka datang pula ke sini membujuk, akan tetapi aku tidak sudi pula membantu
mereka. Seperti juga kaum lengan buntung, kaum kaki buntung adalah anak muridku
pula. Betapa aku sudi membantu mereka yang saling bermusuhan sendiri?”
“Twa-supek!
Kiranya sampai sekarang, setelah menerima kutukan dari roh para nenek moyang,
Twa-supek masih saja mengkhianati sumpah...”
“Sudahlah,
tutup mulutmu!” Kakek itu membentak.
Orang itu
melotot marah. “Orang tua, biar pun engkau terhitung supek sendiri, akan tetapi
engkau telah hampir mati, hanya mempunyai sebuah lengan saja. Kalau kami turun
tangan, apakah kau sanggup melawan kami?”
Kakek itu
menundukkan kepalanya. “Hanya kesesatan itu yang belum kalian lakukan, kalau
kalian hendak membunuhku, silakan!”
Siauw Bwee
terkejut ketika mendengar suara kakek itu. Teringatlah ia akan suara yang
dikirim dengan ilmu Coan-im-jip-bit dan yang telah menolongnya dari serangan
burung-burung liar. Kini mendengar ancaman laki-laki lengan buntung, Siauw Bwee
tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia menggenjotkan kakinya dan tubuhnya
melayang cepat sekali, tahu-tahu telah berdiri di depan laki-laki tinggi tegap
yang menyerang kakek itu dengan kata-kata keras tadi.
“Engkau
manusia yang tak tahu aturan!” Siauw Bwee tidak memberi kesempatan kepada tiga
orang itu untuk pulih kembali dari rasa kaget mereka melihat munculnya seorang
dara yang gerakannya seperti burung walet. “Tidak menghormati supek sendiri,
dan tidak menghiraukan alasan-alasan yang begitu bijaksana, melainkan bersikap
seperti tiga ekor kerbau gila yang hanya bertindak karena dorongan nafsu
bermusuhan dan haus darah! Kalian hendak membunuh Locianpwe ini? Hi-hik, bicara
sih mudah! Baru melawan aku saja kalian sudah takkan bisa menang, apa lagi
melawan Locianpwe ini!”
Tiba-tiba
muncul seorang dara jelita yang masih remaja dan datang-datang memaki-makinya
membuat laki-laki tinggi tegap bertangan satu itu tercengang dan sejenak tak
dapat berkata-kata. Akan tetapi kemudian timbul kemarahannya. Dia tadi hanya
mengancam saja dan sama sekali bukan bermaksud menyerang, apa lagi membunuh kakek
itu. Karena ancamannya itu kini disaksikan orang luar, tentu saja hal ini amat
memalukan dan merendahkan dirinya, maka dia amat marah.
“Bocah
siluman dari mana berani mencampuri urusan kami?!” bentaknya.
“Bocah dari
mana tak perlu kau tahu. Pendeknya, lekas kau mentaati petintah Locianpwe ini
untuk segera angkat kaki dari tempat ini, kalau tidak, jangan sesalkan aku
menggunakan kekerasan mengusir kalian bertiga!”
Ucapan ini
tekebur sekali dan tentu saja murid kepala kaum lengan buntung itu saking
marahnya sampai memandang dengan mata mendelik. “Bocah kurang ajar! Engkau ada
hubungan apakah dengan kakek itu?”
“Bukan sanak
bukan teman, akan tetapi aku akan melindunginya dari keganasan kalian!”
“Hemm,
kulihat engkau masih amat muda, masih bocah. Ingat lebih baik jangan mencampuri
urusan kaum lengan buntung kalau kau sayang nyawamu.”
“Tentu saja
aku sayang nyawaku, akan tetapi aku siap membelanya dengan nyawaku karena aku
yakin nyawaku tidak akan apa-apa kalau hanya melawan orang-orang kejam macam
kalian!”
“Keparat!”
Laki-laki itu tak dapat menahan kesabarannya lagi dan ia sudah menerjang dengan
sambaran lengan baju kirinya ke arah muka Siauw Bwee dan tangan kanannya sudah
cepat mengirim susulan dengan tonjokan ke arah leher! Gerakannya ini cepat
sekali, namun terlalu lambat bagi Siauw Bwee yang sudah dapat mengelak dengan
jalan menarik muka ke belakang, kemudian menggerakkan tangan kiri menangkis
tangan kanan yang memukul.
“Plakk!”
Tubuh laki-laki itu hampir terjengkang ke belakang sehingga ia mengeluarkan
seruan kaget dan heran.
Siauw Bwee
tidak peduli dan sudah menerjang maju dengan tamparan kedua tangannya
susul-menyusul. Akan tetapi kini dara ini yang merasa kaget karena tubuh
laki-laki itu dengan amat indah dan cepatnya sudah bergerak dan semua
tamparannya luput! Kiranya laki-laki itu mempunyai gerak langkah yang amat luar
biasa dan tiba-tiba saja kaki kiri laki-laki itu menyambar amat dahsyat dan
cepatnya!
Siauw Bwee
makin terkejut dan hanya dengan loncatan ke samping secara cepat ia dapat
menghindar. Namun dengan langkah-langkah yang aneh dan berputar, laki-laki itu
telah berada di belakangnya dan lengannya mencengkeram kepala, disusul
tendangan lagi yang akan melontarkan tubuh seekor kerbau bunting saking
kuatnya!
“Ayaaaa...!”
Siauw Bwee berteriak dan tubuhnya mencelat ke atas tinggi sekali, kemudian dari
atas, ketika tubuhnya meluncur turun, dia telah menggerakkan kedua tangannya
melakukan gerakan mendorong.
Laki-laki
itu kagum sekali menyaksikan ginkang yang begitu sempurna, akan tetapi ia juga
girang karena kalau tubuh itu turun ia akan dapat menyambut dengan serangan
dahsyat. Siapa kira, dari telapak kedua tangan dara itu menyambar hawa yang
kuat dan ketika ia berusaha menangkis, hawa dingin yang luar biasa membuat
tubuhnya menggigil dan dia terhuyung-huyung.
“Aihhh...!”
Laki-laki itu berseru keras dan kini kedua orang saudara seperguruannya sudah
menerjang maju mengeroyok Siauw Bwee.
“Bagus,
majulah semua kalian orang-orang tak tahu malu!” Siauw Bwee mengejek, akan
tetapi segera ia mendapat kenyataan bahwa dikeroyok tiga oleh orang-orang itu
benar-benar merupakan lawan amat berat!
Tingkat
sinkang dan ginkang mereka tidaklah seberapa hebat, akan tetapi dia dibikin
bingung oleh gerak langkah mereka yang amat luar biasa itu. Teringatlah ia akan
penuturan Cia Cen Thok bahwa kaum lengan buntung ini telah mencipta semacam
ilmu silat yang disebut gerak kaki kilat. Siauw Bwee harus mengerahkan seluruh
kepandaiannya dan kini dia terdesak terus. Sungguh pun dengan ilmu silatnya
yang tinggi, sinkang-nya yang kuat dan ginkang-nya yang sempurna dia dapat
selalu mengelak atau menangkis, namun dia tidak diberi kesempatan membalas sama
sekali. Terkejutlah dara perkasa itu karena mendapat kenyataan bahwa kaum
lengan buntung ini benar-benar memiliki keistimewaan seperti yang dimiliki kaum
kaki buntung dengan gerak tangan kilat mereka!
Tiba-tiba
terdengar kelepak sayap yang riuh-rendah dan tiba-tiba udara di situ menjadi gelap
tertutup bayangan dari atas. Tiga orang lengan buntung itu memandang ke atas
dan seketika wajah mereka menjadi pucat sekali. Kini kelepak sayap itu ternyata
bukanlah sayap melainkan suara cecowetan separti suara kera yang banyak sekali
dan dari mulut tiga orang lengan buntung itu terdengar jerit ketakutan.
“Celaka...!
Kelelawar siang!”
Siauw Bwee
menjadi heran sekali melihat tiga orang itu menjatuhkan diri berlutut dan
menutupi kepala mereka dengan tubuh menggigil ketakutan. Dia mendongak dan apa
yang dilihatnya membuat ia hampir menjerit. Yang disebut kelelawar siang itu
memang sesungguhnya kelelawar, akan tetapi banyaknya bukan main, sama banyaknya
dengan burung-burung yang menyerangnya kemarin! Dan yang hebat,
kelelawar-kelelawar itu agaknya berbeda dengan kelelawar biasa, tidak takut
sinar matahari dan tubuh mereka hitam seperti arang! Biar pun merasa ngeri
sekali, akan tetapi Siauw Bwee tidak mau bersikap penakut seperti tiga orang
bekas lawan itu, maka ia masih berdiri tegak dan siap melakukan perlawanan.
“Nona, lekas
berlutut serendah mungkin. Kelelawar-kelelawar itu tidak akan menyerang lebih
tinggi dari satu meter di atas tanah, dan gigitannya seekor saja cukup membuat
manusia menjadi gila!”
Mendengar
suara lirih di dekat telinganya yang sama dengan suara ketika dia dikeroyok
burung, Siauw Bwee terkejut. Pada saat itu beberapa ekor kelelawar sudah
menyambar turun mengarah kepalanya! Menjadi gila kalau digigit? Dia makin ngeri
dan tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut seperti yang
dilakukan tiga orang lengan buntung, hanya dia tidak menutup kepalanya
melainkan memandang ke atas penuh perhatian.
Tiba-tiba
terdengar bunyi melengking tinggi dan nyaring. Siauw Bwee menoleh dan melihat
bahwa suara itu keluar dari mulut Si Kakek Tua, suara yang dikeluarkan dengan
pengerahan sinkang yang tinggi. Aneh sekali, ketika terdengar suara melengking
tinggi penuh getaran ini, kelelawar-kelelawar itu menjadi kacau-balau
terbangnya, menabrak sana sini dan kelihatan panik. Akan tetapi, sebelum suara
itu cukup kuat untuk mengusir semua kelelawar, suara itu makin melemah dan
Siauw Bwee melihat kakek itu terengah-engah kehabisan tenaga.
Siauw Bwee
adalah seorang dara yang cerdik. Melihat ini, maklumlah bahwa cara mengeluarkan
lengkingan itu adalah cara untuk mengusir binatang-binatang mengerikan itu dan
bahwa pada saat itu Si Kakek yang lihai sedang menderita sakit, maka pengerahan
sinkang yang kuat membuatnya kehabisan tenaga. Maka dia lalu mengerahkan
sinkang dan keluarlah suara melengking tinggi dengan getaran kuat dari dalam
dada Siauw Bwee.
Dia hampir
menari kegirangan ketika melihat hasil tiruannya. Binatang-binatang itu menjadi
makin panik dan kacau, beterbangan membubung setinggi mungkin, agaknya untuk
menghindari getaran lengkingan maut itu dan tak lama kemudian mereka sudah
terbang tinggi dan jauh, lenyap dari pandangan mata. Barulah Siauw Bwee
menghentikan lengkingannya dan ia meloncat berdiri memandang tiga orang lengan
buntung yang juga sudah berdiri dengan muka pucat.
“Mau
dilanjutkan?” Siauw Bwee menantang berani.
“Kalian
bertiga tidak lekas pergi? Melawan Nona ini berarti mencari mati sia-sia!” kata
Si Kakek Tua.
Tiga orang
itu sudah melihat bukti kelihaian Siauw Bwee. Selain merasa gentar, juga mereka
tahu bahwa berkat pertolongan gadis itulah maka mereka lolos dari bahaya yang
lebih mengerikan dari pada maut, maka tanpa berkata-kata mereka lalu berlari
pergi.
Siauw Bwee
membalikkan tubuh memandang kakek tua itu. “Locianpwe, kau sedang menderita
sakit.”
Kakek itu
mengangguk, tersenyum dan lengan tunggalnya melambai. “Ke sinilah, anak baik.
Siapa namamu?”
“Nama saya
Khu Siauw Bwee, Locianpwe.”
“Ha-ha-ha,
jangan menyebut locianpwe. Kepandaianmu lebih hebat dari pada sedikit ilmu yang
kumiliki. Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang dara semuda engkau telah
memiliki sinkang yang sedemikian hebat. Siapakah gurumu?”
Siauw Bwee
sudah mendapat pesan suheng-nya bahwa mereka bertiga tidak boleh
menyebut-nyebut nama Bu Kek Siansu, sesuai dengan pesan kakek manusia dewa itu.
Maka dia menjawab menyimpang, “Guruku tidak boleh disebut namanya, aku hanya
belajar dari suhengku yang bernama Kam Han Ki. Locianpwe jangan terlalu memuji
dan membuatku menjadi bangga dan sombong.”
Kembali
kakek itu tertawa. “Engkau benar-benar masih bocah. Eh, Nona yang baik, engkau
selain lihai juga rendah hati, dan hatimu amat baik penuh budi dan welas asih.
Engkau belum mengenal aku akan tetapi engkau berani mempertaruhkan nyawa untuk
membelaku mati-matian.”
Siauw Bwee
tertawa manis dan dia berkata, “Aihhh, Locianpwe membikin aku merasa malu saja.
Aku tidaklah sebaik yang Locianpwe katakan. Tentu saja aku membela mati-matian
kepada Locianpwe yang telah menolongku kemarin.”
Mata kakek
itu terbelalak. “Menolongmu? Apa maksudmu, Nona?”
“Waah,
Locianpwe pandai berpura-pura lagi. Siapakah yang kemarin menggunakan ilmu
Coan-im-jip-bit menyelamatkan aku dari serangan burung-burung gila? Kalau tidak
ada pertolongan Locianpwe, agaknya aku akan mati di tengah rawa!”
“Ah,
engkaukah orangnya? Aku tidak mengenal siapa orangnya karena dari jauh. Aku
kebetulan berjalan-jalan di dekat rawa dan melihat orang dikeroyok burung
elang. Kiranya engkaukah orangnya?”
Hati Siauw
Bwee menjadi geli. Orang tidak mempunyai sebuah kaki pun, bagaimana bisa
berjalan-jalan? Ingin dia menyaksikan bagaimana orang tak berkaki bisa
berjalan.
“Akulah
orangnya, Locianpwe. Dan aku mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu
itu,” Siauw Bwee menjura dengan hormat.
Kakek itu tertawa
bergelak dan sejenak wajahnya yang muram itu berseri gembira. “Wah, pengakuanmu
ini meningkatkan pandanganku terhadap dirimu, Nona. Di samping segala
kebaikanmu, engkau jujur dan ingat budi pula! Engkaulah orangnya. Ya, engkaulah
orangnya yang akan dapat menolong kedua kaum yang saling bermusuhan sehingga
setiap tahun mengorbankan banyak nyawa manusia tidak berdosa. Aku mohon
kepadamu, Nona. Sukakah engkau mewakili aku menyelamatkan mereka!”
Siauw Bwee
mengerutkan alisnya. Sikap kakek itu benar-benar patut dikasihani. Dalam
keadaan seperti itu masih mementingkan keselamatan orang lain, keselamatan kaum
buntung kaki dan buntung lengan yang memperlakukannya dengan buruk.
“Apakah
maksudmu, Locianpwe? Mereka itu saling bermusuhan dan kedua pihak amat lihai.
Bagaimana aku dapat mencampuri dan betapa mungkin aku dapat menolong dua pihak
yang saling bermusuhan?”
“Duduklah,
Nona, dan dengarkan ceritaku.”
Siauw Bwee
memang tertarik sekali akan permusuhan kedua kaum yang cacat itu, yang sebagian
sudah ia dengar dari Cia Cen Thok, maka ia lalu duduk di atas dipan bambu di
sebelah kakek itu.
“Tahukah
engkau mengapa kedua kaum yang bercacat itu saling bermusuhan, Nona?”
Siauw Bwee
mengangguk. “Permusuhan mereka ditanam oleh kedua orang saudara seperguruan
yang bermusuhan dan dalam pertandingan, seorang kehilangan kaki kanan dan yang
seorang lagi kehilangan lengan kiri.”
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment