Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 27
Kini belasan
orang anak buah Tang Hun sudah memasuki kamar yang cukup luas itu, dan mereka
maju mengeroyok. Kian Bu bersikap tenang. Tidak banyak bergerak, hanya berdiri
di tengah-tengah, bahkan sikapnya biasa saja seperti bukan orang yang sedang
menghadapi pertempuran. Akan tetapi anehnya, setiap serangan Tang Hun tadi
dapat dihindarkannya dengan mudah….
Kini setelah
belasan orang anak buah Tang Hun ikut maju, Kian Bu menjadi marah. Dia masih
berdiri diam di tengah-tengah, hanya biji matanya saja yang bergerak sedikit ke
kanan kiri dan dia seluruhnya mengandalkan perasaan dan pendengarannya untuk
menghadapi serangan yang tak dapat dilihat oleh matanya. Dan setiap kali ada
anggota Liong-sim-pang berani bergerak menyerang tubuh, memutarnya dan
menggerakkan tangannya, maka penyerang itu tentu akan terpental dan roboh
terbanting! Dalam waktu singkat saja, sudah ada enam orang penyerang gelap yang
roboh tak mampu bangkit kembali.
Melihat ini,
Tang Hun menjadi makin marah. “Serbu! Keroyok bersama-sama dan secara
berbareng! Kurung!” teriaknya dan anak buahnya, walau pun kini merasa jeri
sekali terhadap Siluman Kecil, mulai mengurung dan atas bentakan majikan mereka
yang merupakan perintah, didahului oleh Tang Hun sendiri yang menubruk ke depan
sambil menusukkan pedang tipisnya ke arah dada Kian Bu, mereka itu pun
menyerang dalam saat yang hampir berbareng.
Tiba-tiba
nampak tubuh Kian Bu berkelebat lantas lenyap. Tang Hun dan anak buahnya
terheran-heran, akan tetapi keheranan mereka itu hanya sebentar saja karena
tiba-tiba seperti kilat menyambar-nyambar, bayangan Kian Bu nampak lagi dan
pertama-tama tamparan yang keras sekali mengenai pelipis kiri Tang Hun.
Hwa-i-kongcu
mengeluarkan pekik mengerikan dan dia terbanting roboh, tak bergerak lagi
karena kepalanya retak oleh tamparan itu, lalu secara berturut-turut, terdengar
teriakan-teriakan dan belasan orang itu pun roboh semua. Tidak semua dari
mereka tewas, akan tetapi sedikitnya tentu patah tulang lengan atau kaki, dan
ketika mereka mampu membuka mata memandang, Siluman Kecil telah tidak berada
lagi di dalam ruangan itu!
Memang
Siluman Kecil telah keluar dari dalam pondok itu dan di luar dia melihat Kim
Sim Nikouw dan Phang Cui Lan telah menantinya.
“Suma-taihiap...!”
Cui Lan berseru lirih dan berusaha keras menahan kedua lengannya yang ingin
diulurkan ke arah pemuda itu.
Kian Bu
menarik napas panjang, memandang kepada Cui Lan dan berkata dengan halus namun
agak dingin, “Nona, engkau baik-baik saja, bukan? Ibu, ke manakah Ibu hendak
pergi bersama Nona Phang...“
“Kian Bu,
dia adalah muridku, oleh karena itu dia ini terhitung sumoi-mu sendiri! Cui
Lan, engkau harus menyebut suheng kepada Kian Bu,” kata nikouw tua itu dan
sekilas pandang saja maklumlah dia bahwa telah terulang kembali riwayat lama
antara dia dan Pendekar Super Sakti yang kini diperankan oleh Phang Cui Lan dan
Pendekar Siluman Kecil. Seperti juga dia, Cui Lan jatuh cinta setengah mati
kepada Kian Bu, akan tetapi seperti Pendekar Super Sakti pula, jelas nampak
olehnya bahwa pemuda ini tidak membalas cinta Cui Lan. Maka dia merasa kasihan
sekali kepada Cui Lan.
Mendengar
ucapan nikouw itu, dengan senyum manis dan wajah berseri Cui Lan lalu menjura
kepada Kian Bu sambil berkata, “Suma-suheng, maafkan aku...“
“Sumoi, aku
girang sekali engkau menjadi murid Ibu... ehhh, kalian berdua hendak ke manakah
dan bagaimana sampai terjatuh ke tangan Hwa-i-kongcu itu?”
Dengan
tenang Kim Sim Nikouw lalu menceritakan bahwa Phang Cui Lan telah diangkat anak
oleh Gubernur Hok Thian Ki, dan dia sedang mengantar muridnya itu untuk pergi
menghadap Gubernur Hok Thian Ki, tetapi di tengah jalan mereka bertemu dengan
anak buah Liongsim-pang sampai akhirnya Cui Lan tertawan.
“Karena
pinni tidak dapat mengalahkan Hwa-i-kongcu, maka pinni tadinya hendak minta
bantuan petugas keamanan yang tentu mau menolong kalau mendengar bahwa puteri
angkat gubernur tertawan gerombolan penjahat, tak terduga bertemu denganmu,
Kian Bu.”
“Berkali-kali
sudah saya berhutang budi dan nyawa kepada Taihiap… ehhh…, Suheng, entah
bagaimana saya akan dapat membalasnya,” terdengar Cui Lan berkata dan suaranya
terdengar penuh keharuan. Ingin dia meneriakkan bahwa dia mencinta pemuda itu
dan ingin menghambakan diri, menjadi apa pun dia rela asalkan dia dapat
mendampingi pemuda ini selama hidupnya.
Baik Kim Sim
Nikouw mau pun Kian Bu sendiri maklum akan isi hati dara ini, karenanya nikouw
itu hanya menundukkan muka, teringat akan pengalaman hidupnya sendiri. Akhirnya
Kian Bu berkata setelah dia berpikir masak-masak.
“Phang-sumoi,
memang engkau sudah sepatutnya menjadi puteri gubernur, dan sudah selayaknya
menjadi seorang gadis bangsawan yang terhormat. Maka dari itu aku ingin
mengucapkan selamat, dan sebaiknya kalau Sumoi melanjutkan perjalanan bersama
Ibu, dan aku akan mengawal sampai engkau tiba di rumah kediaman Gubernur Hok
Thian Ki yang saya tahu adalah seorang pembesar budiman dan bijaksana.”
“Akan tetapi
aku... aku tidak suka menjadi gadis bangsawan terhormat...”
“Kau akan
tinggal di rumah seperti istana dan menjadi puteri...“
“Akan tetapi
aku tidak suka tinggal di istana..., aku... aku...“ Gadis itu memejamkan mata
dan air matanya berlinang-linang.
Kembali Kian
Bu menarik napas panjang. Menghadapi dara yang sudah demikian parah tenggelam
ke dalam jurang cinta, harus menggunakan tindakan yang berani dan terus terang.
“Phang-sumoi, memang dalam hidup banyak terjadi hal-hal yang jauh dari pada
yang kita harapkan. Segala sesuatu telah diatur oleh Thian dan kita tidak
mungkin dapat memaksakan kehendak kita, betapa pun kita akan menjadi berduka
dan menderita batin karenanya. Maafkan aku, Sumoi, percayalah, bukan maksudku
untuk menyakiti hatimu, akan tetapi... ah, bagaimana aku dapat memaksa hati
sendiri? Terimalah kenyataannya, Sumoi, dan sekali lagi, kau maafkanlah
Suheng-mu yang mengecewakan hatimu dan tidak memenui harapan hidupmu ini. Ibu,
maafkan, aku pergi dulu!”
Setelah
berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu lenyap dari situ, meninggalkan
Cui Lan yang menutupi muka dengan kedua tangan dan air matanya bercucuran
melalui celah-celah jari tangannya, sedangkan Kim Sim Nikouw hanya menggeleng
kepala berulang-ulang sambil menarik napas panjang.
Nikouw tua
itu merangkulnya dan berkata lembut, “Cui Lan, apa yang sudah dikatakan
suheng-mu itu memang benar. Dia adalah seorang laki-laki yang jujur. Apakah
engkau menghendaki dia itu berpura-pura membalas cintamu padahal sebenarnya
tidak ada rasa cinta di hatinya kepadamu? Dan, lupakah engkau bahwa cinta kasih
yang murni itu mendorong kita untuk melihat orang yang kita cinta berbahagia?
Apakah engkau tidak ingin melihat dia berbahagia, Cui Lan? Dan dia akan bahagia
melihat engkau memenuhi permintaannya, yaitu agar engkau tinggal bersama ayah
angkatmu, Gubernur Hok Thian Ki. Mari kita lanjutkan perjalanan kita.”
Dara itu
hanya mengangguk, kemudian mengikuti gurunya melanjutkan perjalanan, menahan
tangisnya dan hanya kadang-kadang kedua pundaknya bergoyang, tanda bahwa dia
masih menahan isaknya…..
***************
Adakah yang
lebih panas dari pada melihat orang lain merebut kekasih? Adakah yang lebih
perih dari pada melihat kekasihnya bermain cinta dengan orang lain? Panas dan
perih terasa di dalam hati Tek Hoat ketika dia melakukan perjalanan secepatnya
menuju ke Bhutan. Batinnya tertekan dan menderita hebat sejak dia menyaksikan
betapa Syanti Dewi, puteri cantik jelita, Puteri Bhutan yang pernah menjadi
tunangannya itu, ternyata secara tak tahu malu telah bermain gila dengan
Mohinta!
Kalau hanya
melihat Syanti Dewi jatuh cinta kepada pria lain, apa lagi kepada Mohinta,
pemuda tampan gagah dan sebangsa dengan puteri itu, agaknya Tek Hoat akan dapat
menerimanya, walau pun dengan hati sedih dan iba kepada diri sendiri. Akan
tetapi, apa yang disaksikannya adalah hal yang sangat menjijikkan. Syanti Dewi
agaknya telah menyerahkan diri secara amat murah kepada Mohinta, bermain cinta
dalam perjalanan secara tidak senonoh.
Hal ini,
amat menjijikkan hatinya, apa lagi ketika mendengar pembicaraan dua orang insan
yang keji itu, yang merencanakan pemberontakan dan penggulingan kekuasaan Raja
Bhutan, ayah dari Syanti Dewi sendiri! Sungguh menjijikkan! Tek Hoat hampir
tidak percaya bahwa Syanti Dewi telah tersesat sedemikian jauhnya. Di samping
perasaan panas, perih dan juga jijik, ada pula perasaan duka yang amat besar,
yang membuat jantungnya seperti diremas-remas rasanya.
Dia
mengambil keputusan untuk mencegah persekutuan busuk itu dan membela Bhutan,
kerajaan kecil yang pernah menganugerahkan dia kedudukan panglima muda itu. Akan
tetapi, tentu saja yang mendorongnya untuk bergegas pergi ke Bhutan bukan hanya
rasa hutang budi kepada Bhutan karena sesungguhnya ada dua hal yang membuat dia
nekat kembali ke Bhutan.
Pertama
adalah rasa cintanya kepada Syanti Dewi yang sedemikian besarnya sehingga dia
tidak ingin melihat puteri itu mengkhianati kerajaan ayahnya sendiri, dan kedua
adalah karena bencinya yang mendalam kepada Mohinta. Mahinta bukan hanya telah
membawa Syanti Dewi ke jalan sesat yang amat menjijikkan, akan tetapi lebih dari
itu malah Mohinta telah membunuh ibu kandungnya! Dia ingin memperlihatkan
kepada Raja Bhutan bahwa dia, yang dianggap sebagai seorang anak haram tanpa
ayah, seorang hina dina, ternyata jauh lebih berharga dari pada Sang Puteri
Bhutan sendiri, puteri dari raja itu sendiri yang mengkhianati ayah dan
kerajaannya! Juga lebih berharga dari Mohinta, putera panglima tua atau
panglima pertama dari Bhutan!
Akan tetapi
ketika dia tiba di Bhutan, timbul kesangsian dalam hati Tek Hoat. Dapatkah dia
meyakinkan hati raja akan kebenaran laporannya? Tentu laporan itu menimbulkan
kegegeran besar dan banyak kemungkinan tidak akan ada yang mau mempercayainya.
Juga Raja Bhutan tentu sukar untuk percaya ceritanya bahwa puterinya bersekutu
dengan Mohinta dan Kerajaan Nepal untuk menggulingkan kedudukannya! Tidak masuk
di akal! Dia sendiri, andai kata tidak mendengarkan percakapan dalam suasana
penuh kecabulan itu antara Mohinta dan Syanti Dewi, kalau hanya mendengarkan
kata-kata orang lain saja tentang pengkhianatan Syanti Dewi, tentu tidak akan
percaya, bahkan akan marah kepada orang yang menceritakan hal itu!
Tek Hoat
adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Walau pun dia sedang dimabuk kemarahan
dan dendam, namun dia tidak bertindak secara sembrono. Setelah memutar otak
mencari akal, akhirnya dia menyelinap memasuki Kerajaan Bhutan di waktu malam
dan berkat kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mengandalkan ginkang-nya untuk
berkelebat dan memasuki kerajaan tanpa diketahui seorang pun penjaga, tentu
saja setelah dia berhasil memperoleh pakaian orang Bhutan yang diambilnya dari
sebuah rumah dan berganti dengan pakaian itu. Dengan pakaian Bhutan ditambah
sebuah sorban kuning, dia berubah menjadi seorang pemuda Bhutan biasa yang
tidak akan menarik terlalu banyak perhatian…..
***************
Malam hari
itu, Panglima Jayin sedang duduk termenung di dalam kamar kerjanya. Panglima
yang usianya sudah hampir lima puluh tahun ini masih nampak gagah, akan tapi
semenjak beberapa tahun akhir-akhir ini di dahinya banyak timbul guratan-guratan
karena banyak terjadi hal di Bhutan yang mendatangkan penyesalan besar di dalam
hatinya, hati seorang panglima yang amat setia kepada tanah air dan
kerajaannya.
Panglima
Jayin merupakan panglima tua yang kedua di Bhutan, di bawah kedudukan panglima
pertama, yaitu panglima tua Sangita yang usianya sudah hampir enam puluh tahun
itu. Panglima Jayin prihatin sekali semenjak Puteri Syanti Dewi lenyap pada
beberapa tahun yang lalu. Kemudian dia sudah ikut merasa berbahagia sekali
ketika akhirnya, berkat bantuan para pendekar Han termasuk Tek Hoat, dia dapat
menemukan sang puteri dan mengantarnya kembali ke Bhutan, bahkan dia ikut
bergembira ketika sang puteri ditunangkan dengan Tek Hoat yang dikenalnya
sebagai seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, sungguh pun dia sendiri akan
merasa lebih senang kalau sang puteri itu berjodoh dengan bangsa sendiri atau
setidaknya dengan seorang pendekar seperti putera-putera Majikan Pulau Es yang
gagah perkasa itu dari pada Ang Tek Hoat yang pernah ternoda namanya karena
membantu pemberontak. Ketika hatinya sudah mulai tenteram, timbul pula bencana
ketika Tek Hoat pergi dari Bhutan disusul lenyapnya sang puteri lagi! (baca
Kisah Sepasang Rajawali)
Mengenangkan
keadaan rajanya, Panglima Jayin merasa prihatin sekali. Apa lagi dia maklum
bahwa di dalam negeri Bhutan sendiri yang nampaknya tenteram itu terjadi
pertentangan antara pihak yang setia kepada raja dan agaknya, biar pun tidak
kentara, terdapat pula pihak yang menentang raja secara diam-diam. Yang amat
menyedihkan hatinya adalah karena sikap Sangita, panglima tua yang agaknya kini
menampakkan sikap tidak puas terhadap raja. Apakah hal itu terutama sekali
disebabkan karena gagalnya putera panglima besar itu, yaitu Mohinta, yang
hendak memperisteri Puteri Syanti Dewi? Dia tidak yakin benar.
“Selamat
malam, Panglima!”
Sebagai
seorang yang sering kali menghadapi bahaya dalam perang dan pertempuran, secara
otomatis tubuh panglima itu meloncat dari atas kursinya, memutar tubuhnya dan
siap menghadapi segala kemungkinan, karena munculnya seorang asing begitu saja
di dalam ruangan kerjanya pada malam itu, tanpa melalui pelaporan penjaga,
sungguh merupakan hal yang luar biasa. Akan tetapi begitu dia melihat siapa
adanya pemuda yang muncul di luar jendela ruangannya, dia terkejut dan sejenak
dia hanya terbelalak memandang penuh keheranan.
“Apakah
engkau juga seperti semua orang di Bhutan, tak lagi sudi mengenalku sebagai
seorang sahabat, Panglima?” tanya Tek Hoat, dalam suaranya terkandung
penyesalan dan kepahitan.
“Eh...
ohhh... tidak sama sekali, Ang-taihiap! Aku hanya... hanya terkejut dan heran.
Masuklah, dari mana Taihiap datang...?” tanya panglima itu dengan gugup karena
dia masih terheran-heran.
Dengan
ringan sekali tubuh pemuda itu meloncat memasuki ruangan melalui jendela,
kemudian dia duduk di atas kursi, melepaskan sorbannya dan menarik napas
panjang sambil menghapus keringatnya. “Aihhh, betapa sukarnya tugasku ini,”
keluhnya.
Panglima
Jayin cepat menutupkan daun jendela, kemudian bergegas membuka pintu ruangan,
meyakinkan hatinya bahwa di luar kamar tidak ada siapa-siapa, kemudian dia
menutupkan kembali daun pintu ruangan itu dan menguncinya dari dalam. Kemudian
dia menuangkan air teh dalam cangkir.
“Minumlah,
Taihiap, kemudian ceritakan cepat apa maksud Taihiap datang ke Bhutan dan
terutama datang ke tempatku di malam hari begini. Aku yakin bahwa ada urusan
penting sekali maka Taihiap teringat untuk mencari Jayin.”
Tek Hoat
minum air teh itu, kemudian dia memandang wajah panglima itu yang duduk
berhadapan dengannya dan yang sekarang sedang mengamati wajahnya penuh selidik.
“Panglima, benar wawasanmu. Kedatanganku membawa berita yang luar biasa
penting, yang menyangkut diri Puteri Syanti Dewi, Raja Bhutan, dan keselamatan
Kerajaan Bhutan sendiri.”
“Ahhh...!” Wajah
panglima itu menjadi pucat. “Mengapa Taihiap tidak langsung saja menghadap sri
baginda? Mari kuantarkan menghadap sekarang juga.”
“Nanti dulu,
Panglima.” Tek Hoat menggeleng kepala. “Di Bhutan ini, siapa lagi yang dapat
kupercaya selain engkau? Kalau aku menghadap sri baginda dan menyampaikan
laporanku ini, pasti beliau tidak akan percaya, bahkan aku akan ditangkap. Maka
lebih baik kuceritakan dulu kepadamu, barulah kau pertimbangkan apakah perlu
aku pergi menghadapi sri baginda raja.”
“Baik, baik,
lekas kau ceritakan, Taihiap!”
“Dengar,
Panglima. Kerajaan Bhutan dalam bahaya, juga keselamatan raja terancam. Mohinta
sedang menuju pulang ke Bhutan dan membawa Puteri Syanti Dewi sebagai sandera.
Dia mengatur rencana, membawa sang puteri ke dalam istana dan memaksa raja
turun tahta dengan sang puteri di jadikan sandera untuk mengancam raja. Selain
itu, dia pun sudah siap dengan bala tentara untuk memberontak, dibantu oleh
pasukan Nepal yang akan datang dari perbatasan.” Tek Hoat sengaja tidak
menceritakan ikutnya Syanti Dewi dalam persekutuan itu, karena cintanya
terhadap puteri itu melarang dia mengabarkan tentang pengkhianatan sang puteri.
“Biarlah,
hal itu akan kuhadapi sendiri dan akan kutanyakan sendiri kepadanya jika aku
sempat bertemu lagi dengan dia,” pikirnya.
Sepasang
mata Panglima Jayin mengeluarkan sinar kilat yang menyoroti wajah Tek Hoat,
memandang penuh selidik dan wajah panglima itu jelas membayangkan ketidak
percayaan, akan tetapi keheranan yang besar menguasai hatinya sehingga dia
tidak mampu mengeluarkan kata-kata!
“Hemmm,
kulihat engkau pun agaknya tidak percaya kepadaku, Panglima!” Tek Hoat berkata
dengan alis berkerut.
“Siapakah
yang dapat mempercayai cerita segila itu? Ah, maafkan aku, Taihiap, akan tetapi
penuturanmu itu sungguh terlalu luar biasa. Mohinta adalah putera Panglima
Sangita, hal ini tentu engkau sudah tahu, dan dia malah direncanakan menjadi
suami Puteri Syanti Dewi. Mana mungkin dia akan mengadakan pemberontakan
seperti itu? Akan tetapi nanti dulu... jangan kau putus asa, Taihiap karena
agaknya, di negeri ini hanya ada satu orang saja yang percaya kepada ceritamu,
dan orang itu adalah aku.”
“Ahhh,
terima kasih, Panglima. Kalau begitu tidak sia-sia perjalananku sejauh ini!”
seru Tek Hoat dengan girang. “Harap Panglima suka mengatur bagaimana baiknya
untuk menggagalkan pengkhianatan ini, dan aku akan membantumu.”
Wajah
Panglima Jayin berseri. Biar pun dia bukan seorang pembesar ambisius yang
mendambakan kedudukan yang lebih tinggi, namun dalam peristiwa ini dia melihat
kesempatan besar terbuka baginya untuk membuat jasa besar sekali terhadap
negara dan kerajaan, dan hal ini mendatangkan rasa girang yang amat besar dalam
hatinya. Apa lagi di situ terdapat pemuda perkasa, ini yang membantunya, maka
dia merasa tenang dan sama sekali tidak khawatir.
“Pertama-tama,
kita harus cepat memberi laporan kepada sri baginda, dan karena urusan ini amat
gawat, dan agar tidak menarik perhatian orang dan menimbulkan keributan
sehingga hal ini akan bocor dan diketahui pihak pemberontak, sebaiknya kita
harus malam ini juga melapor kepada sri baginda. Mari, Taihiap, mari ikut
bersamaku ke istana, kita menghadap sri baginda melalui jalan rahasia.”
Pergilah
kedua orang itu menuju ke istana melalui tempat-tempat gelap, dan dari luar
taman bunga istana, Panglima Jayin mengajak Tek Hoat memasuki taman melalui
jalan rahasia yang hanya diketahui oleh keluarga raja dan para pembesar
terpercaya. Setelah melalui jalan berliku-liku dan rumit, akhirnya mereka
berdua memasuki terowongan bawah tanah dan ketika keluar dari terowongan,
mereka telah berada di dalam sebuah kamar yang letaknya di belakang dapur
istana yang pada saat itu sunyi senyap. Jayin menggunakan sebuah kunci yang
telah dibawanya dari rumah untuk membuka pintu kamar itu dan tibalah mereka di
lorong dalam istana.
Mereka
bertemu dengan seorang pengawal istana untuk pertama kali. Akan tetapi ketika
pengawal itu datang berlari dan melihat bahwa dua orang itu yang seorang adalah
Panglima Jayin sedangkan yang kedua adalah seorang muda yang tidak dikenalnya
karena Tek Hoat menyamar sebagai seorang Bhutan pula, dia tidak menaruh curiga
dan cepat memberi hormat kepada Panglima Jayin.
“Ada urusan
mendesak yang memaksa kami harus cepat menghadap sri baginda,” kata panglima
itu. “Di mana beliau?”
“Beliau
sudah memasuki kamar, baru saja.”
“Laporkan
kepada pengawal kamar, kami harus menghadap sekarang.”
“Mari
Panglima, keputusannya terserah kepada pengawal kamar.” Mereka bertiga lalu
berjalan dan beberapa kali mereka bertemu dengan pengawal-pengawal istana yang
memandang dengan heran juga melihat betapa panglima itu malam-malam begini
memasuki istana.
“Maaf,
panglima. Kami tidak berani membiarkan Paduka memasuki kamar sebelum ada
perkenan dari sri baginda sendiri,” kata seorang di antara para pengawal yang
menjaga di depan kamar dengan senjata di tangan.
“Kalau
begitu sampaikan kepada sri baginda bahwa Panglima Jayin mohon menghadap
sekarang juga untuk menyampaikan berita amat penting tentang sang puteri.”
“Sang Puteri
Syanti Dewi...?” Hampir semua mulut pengawal berseru mengulang nama ini dan
tahulah mereka betapa pentingnya berita yang dibawa oleh panglima ini, maka
seorang di antara mereka yang bertugas sebagai komandan jaga malam itu, segera
membuka daun pintu perlahan-lahan dan melangkah masuk kamar dengan hati-hati
setelah menutupkan kembali daun pintu.
Tidak lama
kemudian daun pintu bergerak, terbuka dan pengawal itu kembali muncul,
mengangguk kepada Panglima Jayin dan berkata, “Paduka diperkenankan masuk dan
menghadap sri baginda.”
Panglima
Jayin lalu memasuki kamar, diikuti oleh Tek Hoat yang berjalan sambil
menundukkan mukanya. Kamar itu besar dan ketika mereka masuk dan Tek Hoat
melirik, dia melihat sri baginda sudah duduk di atas pembaringan dan beberapa
orang dayang cantik berlutut di sudut kamar. Sri baginda tersenyum menerima
kedatangan Jayin, akan tetapi alisnya berkerut heran ketika dia melihat Tek
Hoat yang belum dikenalnya.
Panglima
Jayin segera menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan, diikuti oleh Ang
Tek Hoat.
“Jayin,
benarkah engkau datang membawa berita tentang puteriku? Bagaimana dia? Di mana
dia sekarang?” Karena tegang mendengar puterinya telah ada beritanya, raja ini
tidak begitu memperhatikan Tek Hoat.
Panglima
Jayin melirik ke arah para dayang yang hadir di situ, kemudian berkata dengan
penuh hormat, “Harap Paduka sudi mengampuni hamba, akan tetapi hamba akan
menghaturkan berita yang hanya layak didengar oleh Paduka sendiri saja.”
Sri baginda
mengerti maksud Jayin, maka dengan gerakan tangannya dia segera mengusir para
dayang itu. Enam orang wanita muda yang cantik-cantik itu segera mengundurkan
diri melalui pintu belakang dan daun pintu itu segera ditutup kembali
rapat-rapat.
“Nah,
ceritakan, Jayin.” Sri baginda cepat berkata.
“Maaf, hamba
harus memeriksa pintu lebih dulu.” Panglima Jayin memberi hormat, kemudian
bangkit berdiri dan memeriksa pintu belakang yang baru saja ditutup,
menguncinya, juga memeriksa jendela-jendela dan pintu depan yang besar. Setelah
merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang mendengarkan, dia kembali berlutut
di depan raja itu.
Perbuatannya
ini membuat hati sang raja menjadi makin tegang dan khawatir, lalu bertanya,
“Jayin, mengapa engkau begitu curiga? Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan
Puteri Syanti?”
“Bukan hanya
keselamatan puteri Paduka terancam bahaya, Sri Baginda, bahkan juga Paduka
sendiri dan kerajaan terancam pengkhianat dan pemberontakan keji.”
Raja tua itu
terkejut bukan main, terbelalak dan mukanya berubah agak pucat, tetapi kini dia
memandang ke arah Tek Hoat dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia
membentak kepada Jayin, “Jayin, kalau engkau membawa berita yang begini hebat
dan gawat, mengapa engkau mengajak orang ini? Siapa dia dan apa hubungannya
dengan berita ini?”
“Maafkan
kelancangan hamba, agaknya Paduka lupa kepada hamba. Hamba adalah Ang Tek Hoat
dan hambalah yang datang membawa berita ini.”
Kini sang
raja benar-benar terkejut bukan main dan dia memandang kepada wajah Tek Hoat
penuh perhatian, kemudian memandang kepada Panglima Jayin dengan sinar mata
terheran-heran dan penuh pertanyaan.
“Hamba
rnengerti bahwa Paduka tentu merasa heran sekali, akan tetapi oleh karena
Ang-taihiap membawa berita yang luar biasa penting dan gawatnya, maka hamba
membawanya menghadap Paduka agar Paduka dapat mendengar sendiri berita hebat
ini.”
Betapa pun
juga, sri baginda masih ingat benar akan jasa-jasa yang pernah dibuat oleh Tek
Hoat, bahkan pernah dia mengagumi pemuda ini dan merasa bangga mempunyai calon
mantu seperti dia. Hanya karena pengakuan ibu kandung pemuda ini saja yang
membuat dia berubah membencinya karena merasa malu kalau harus mempunyai mantu
seorang anak haram tanpa ayah! Akan tetapi, sekarang puterinya itu hilang, dan
kini yang datang membawa berita tentang puterinya adalah pemuda itu sendiri!
“Jayin,
ceritakanlah apa yang terjadi!” katanya singkat.
Dengan jelas
Panglima Jayin lalu mengulang cerita Tek Hoat tentang Syanti Dewi yang ditawan
oleh Mohinta dan tentang rencana Mohinta mempergunakan puteri itu sebagai
sandera untuk memaksa sang raja turun tahta, kemudian menggunakan pasukan yang
dibantu oleh Kerajaan Nepal untuk merampas kedudukan sri baginda dan mengangkat
diri sendiri menjadi raja.
Makin lama
Sang Raja Bhutan menjadi makin terheran-heran di samping terkejut dan tidak
percaya. Setelah Jayin selesai bercerita, dia berkata, “Ah, mana mungkin
terjadi hal demikian? Mohinta... dia putera Sangita... bagaimana aku dapat
percaya akan berita ini?”
“Memang amat
mengherankan dan sukar dipercaya, Sri baginda, tetapi hendaknya Paduka
memaklumi bahwa hamba sendiri dapat percaya sepenuhnya akan berita yang dibawa
oleh Ang-taihiap.”
“Hemmm,
bagaimana kalau bohong?”
“Hamba
mempertaruhkan nyawa hamba!” kata Ang Tek Hoat cepat-cepat dengan hati
penasaran karena dia masih juga belum dipercaya.
“Dan hamba
juga berani mempertaruhkan kepala hamba untuk kebenaran berita yang dibawa oleh
Ang-taihiap.”
Sampai
beberapa lamanya raja itu menatap kedua orang itu bergantian sehingga suasana
di kamar itu sunyi senyap. Akhirnya raja itu mengangguk-angguk dan berkata,
“Sesungguhnya aku pun tidak dapat menyangsikan omongan kalian berdua, hanya
karena berita itu benar-benar mengejutkan dan luar biasa, maka aku ingin
meyakinkan hatiku. Kalau benar demikian, keparat sungguh Mohinta itu! Jayin,
kau boleh memimpin pasukan menyambut Mohinta itu, menangkapnya dan
menyelamatkan puteriku!”
“Mohon
diampunkan kelancangan hamba, Sri baginda. Akan tetapi kalau perintah Paduka
itu dilaksanakan, berarti kita belum dapat membasmi seluruh pemberontakan itu
karena tidak ada bukti. Bahkan mungkin sekali Mohinta akan menyangkal dan kita
kehilangan bukti. Sebaiknya dilakukan pembersihan lebih dulu sebelum Mohinta
datang, dan di sini dilakukan penjagaan ketat yang terpendam, dan dikirim
pasukan untuk menghalau pasukan Nepal di perbatasan yang hendak membantu
gerakan Mohinta. Hamba sendiri yang akan melindungi sang puteri kalau sudah dibawa
oleh Mohinta ke istana.”
“Usul
Ang-taihiap itu tepat sekali, Sri Baginda. Memang lebih penting memadamkan
sumber-sumber api pemberontakan ini lebih dahulu sambil menunggu sampai Mohinta
melakukan gerakannya dalam istana yang diam-diam sudah terjaga ketat dan
dilindungi oleh Ang-taihiap. Hamba akan menangkapi kaki tangan Mohinta yang
memang sudah hamba daftar, kemudian akan mencari akal untuk menaruh seorang
perwira yang pura pura akan bersekutu dengan dia agar segala rencananya dapat
kita ketahui.”
Raja tua itu
menghela napas panjang. “Baiklah... baiklah, kalian atur saja sebaiknya. Aku
sudah malas mengurus segala hal itu, akan tetapi aku menghendaki keselamatan
puteriku!”
“Hamba
menanggung keselamatan puteri Paduka dengan nyawa hamba!” kata Ang Tek Hoat.
“Baik, nah,
kau bawa pedangku ini sebagai tanda kekuasaan tertinggi, Jayin, dan cincin ini
akan menyadarkan semua pembantuku bahwa engkau adalah orang kepercayaanku, Ang
Tek Hoat.”
Dua orang
itu dengan hormat menerima pedang dan cincin, kemudian diperkenankan mundur
untuk mengatur rencana penghancuran pemberontakan dan melaksanakannya tanpa
menanti perintah dari sri baginda lagi karena pedang di tangan Jayin itu telah
merupakan kekuasaan mutlak untuk bertindak atas nama raja!
Dengan
tenang namun cepat, tanpa menimbulkan kegelisahan dan keributan, Jayin
menangkapi banyak panglima dan perwira, dimulai dari panglima tua Sangita
sendiri. Sebagai panglima nomor dua di Bhutan, tentu saja Panglima Jayin sudah
hafal siapa di antara para panglima dan perwira yang condong kepada Panglima
Sangita, maka dalam waktu sehari itu dia menangkapi lebih dari lima puluh orang
panglima dan perwira tinggi!
Kemudian dia
membawa seorang panglima yang sejak muda sudah mengabdi kepada sri baginda, dan
yang juga termasuk seorang di antara kaki tangan Sangita, membawa orang itu ke
dalam kamar rumahnya sendiri dan di situ dia membebaskan belenggu yang tadinya
mengikat kedua tangan panglima tua ini. Di situ dibeberkan semua rahasia
pemberontakan Mohinta dan mengapa Sangita dan para pembantunya ditangkapi.
“Mohinta
merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan mengingat bahwa Mohinta
adalah putera Sangita, maka Sangita dan mereka yang berpihak padanya ditangkap
atas perintah sri baginda.”
“Akan
tetapi... saya tidak tahu menahu sama sekali tentang rencana pemberontakan,
Panglima Jayin, dan sepanjang pengetahuan saya, Panglima Sangita adalah seorang
panglima tua yang berbakti kepada negara. Tidak mungkin dia hendak melakukan
pemberontakan, biar pun diatur oleh puteranya sendiri!”
“Aku tahu,
akan tetapi demi keamanan negara, lebih dulu Panglima Sangita dan teman
temannya, termasuk engkau diamankan. Dan kalau memang benar engkau merupakan
seorang warga negara Bhutan yang setia, engkau harus dapat membantu untuk
menghancurkan rencana pemberontakan ini.”
“Aku
bersedia!” jawab panglima itu sambil berdiri sigap seperti seorang prajurit
siap menerima perintah.
Jayin lalu
mengatur dan menyusun siasat untuk menjebak Mohinta. Panglima tua itu adalah
tangan kanan Sangita, merupakan wakilnya, maka setelah panglima ini jelas
memperlihatkan sikap setia pada negara, Jayin lalu menggunakannya untuk
menjebak Mohinta. Panglima itu lalu dibebaskan kembali dan bahkan disuruh
menghadapi dan menyelesaikan segala urusan yang seharusnya ditangani oleh
Sangita, sebagai wakil panglima pertama ini.
Panglima
Jayin yang bijaksana dan pandai itu dapat mengatur sedemikian rupa hingga
peristiwa penahanan para panglima itu tidak sampai menghebohkan masyarakat, dan
keadaan kota raja tetap tenang-tenang saja sehingga tidak akan mencurigakan
pihak pemberontak, sungguh pun kini kekuatan utama telah diamankan sehingga
andai kata ada pasukan-pasukan yang condong untuk memberontak, mereka telah
kehilangan kepala dan kehilangan pegangan. Kini mereka tinggal menanti saja
munculnya Mohinta.
Tek Hoat
sendiri sudah bersiap-siap, menjaga dalam istana dan sepasukan pengawal
diserahkan kepadanya untuk diatur menjaga istana itu dengan ketat namun juga
tidak kentara bahwa terjadi ketegangan-ketegangan. Panglima Jayin sendiri
mengerahkan pasukan terpendam untuk menghadapi gerakan pasukan Nepal di
perbatasan.
Akhirnya
saat yang dinanti-nanti penuh ketegangan itu pun tiba! Pada suatu malam yang
sunyi, seorang perwira utusan Mohinta yang menjadi kurir menyelinap ke dalam
gedung tempat tinggal Panglima Sangita. Dia tidak tahu bahwa seluruh penjagaan
di dalam gedung itu telah bertukar orang, yaitu orang-orangnya Panglima Jayin.
Kemudian oleh penjaga dia dihadapkan kepada panglima tua yang mengaku sebagai
wakil dari Panglima Sangita dan mengatakan bahwa Panglima Sangita sedang
menjalankan tugas ke luar Bhutan dan telah memberi kuasa kepadanya untuk
menerima hubungan dari putera panglima.
Utusan itu
lalu menyampaikan pesan Mohinta agar Panglima Sangita atau wakilnya suka
menenuinya di luar Bhutan, dalam sebuah hutan yang tersembunyi untuk bicara.
Panglima tua yang kini telah menjadi pembantu Jayin itu cepat mengikuti utusan
itu meninggalkan kota raja dan menjelang pagi sampailah mereka di dalam hutan
di mana telah menanti Mohinta dan kaki tangannya.
Mohinta
mengenal panglima tua ini sebagai pembantu ayahnya yang paling dipercaya, maka
dia pun tidak ragu-ragu lagi dan cepat dia menceritakan segala rencananya untuk
disampaikan kepada ayahnya. Mohinta minta kepada panglima itu untuk mengirim
pasukan pengawal untuk mengawalnya masuk istana, pasukan yang boleh dipercaya
dan cukup kuat untuk menghadapi pengawal-pengawal istana. Kemudian dia minta
agar dikerahkan pasukan besar untuk bergerak mengepung istana, dan mengirim
pula pasukan untuk menyambut pasukan Nepal di perbatasan dan mengajak pasukan
Nepal memasuki wilayah Bhutan sehingga dengan bantuan pasukan Nepal mereka akan
dapat menguasai Bhutan seluruhnya.
Tentu saja
diam-diam panglima yang tua itu terkejut sekali mendengar rencana ini dan baru
dia percaya bahwa putera panglima ini merencanakan pemberontakan hebat, bahkan
pengkhianatan dengan bersekutu bersama pasukan Nepal yang menjadi musuh Bhutan.
Dia menyatakan mengerti dan bergegas kembali ke kota raja untuk segera
‘melaksanakan’ rencana yang diatur oleh Mohinta itu. Tanpa mengenal lelah
panglima tua ini lalu menemui Jayin yang memang sudah menanti dan
diceritakanlah semua pembicaraannya dengan Mohinta.
“Bagus!
Permintaannya yang pertama tentu harus dipenuhi, yaitu mengirim pasukan
pengawal pilihanku sendiri. Dan memang ada pasukan yang akan menyambut pasukan
Nepal di perbatasan, bukan untuk diajak bekerja sama, melainkan untuk
dihancurkan!” kata Jayin menahan kemarahannya.
Sesuai
dengan permintaan Mohinta, seregu pasukan pengawal dikirim ke hutan itu, dan
seorang ‘utusan’ panglima tua menyampaikan berita kepada Mohinta bahwa pasukan
telah dipersiapkan untuk ‘mengurung’ istana, dan juga dikirim sebuah pasukan
untuk menyambut bala tentara Nepal di perbatasan. Tentu saja Mohinta menjadi
girang bukan main. Biar pun hatinya juga diliputi ketegangan hebat, namun dia
sudah merasa yakin akan kemenangannya dan dia segera mengawal sang puteri,
berikut para pengawalnya sendiri dan pasukan pengawal yang baru saja
menyambutnya, memasuki kota raja dan karena rakyat sudah dikabari akan
kembalinya sang puteri, maka di sepanjang jalan rakyat menyambut dengan
gembira.
‘Puteri’
Syanti Dewi yang duduk di dalam kereta itu melambaikan tangannya ke kanan kiri
sambil tersenyum manis. Mereka yang pernah mengenal sang puteri dari dekat,
diam-diam merasa akan adanya perubahan pada diri sang puteri itu. Memang sejak
dulu Puteri Syanti Dewi terkenal ramah terhadap rakyat kecil, akan tetapi
keramahannya itu bersifat halus, senyumnya agung dan pandang matanya lembut.
Akan tetapi ketika sang puteri melambaikan tangan dari dalam kereta dan
wajahnya nampak sepintas lalu, mereka ini melihat betapa senyum sang puteri
itu, biar pun masih tetap manis, mengandung kegenitan dan pandang matanya juga
tidak selembut dahulu lagi! Tentu saja perubahan yang sedikit ini tidak
menimbulkan kecurigaan sesuatu.
Rakyat
bersorak-sorak menyambut sang puteri yang memang dicinta oleh rakyat Bhutan
yang sudah lama ikut prihatin karena hilangnya sang puteri, sampai rombongan
itu tiba di depan istana, kemudian memasuki halaman istana yang lebar. Rakyat
hanya bergerombol di luar halaman yang terjaga. Para prajurit pengawal memberi
hormat ketika Mohinta mengawal sang puteri turun dari kereta dan berjalan
dengan agungnya memasuki istana.
Sesuai
dengan permintaan Ang Tek Hoat, sri baginda menanti kedatangan puterinya itu di
ruangan yang luas di tengah istana, dan yang mendampingi raja itu hanya dua
orang pengawal pribadi yang memegang tombak. Ketika Mohinta tiba di luar pintu
ruangan itu, para pengawal istana melarang para pengawal ikut masuk bersama
Mohinta memasuki ruangan itu dan hanya membolehkan Mohinta dan sang puteri
berjalan masuk. Karena Mohinta merasa yakin bahwa para pengawal di istana ini
pun tentu sudah ‘diberi’ oleh ayahnya dan kaki tangannya, maka dia dengan sikap
tenang saja memasuki ruangan itu dengan sikap gagah.
Raja Bhutan
duduk di atas kursinya dengan sikap tenang, sungguh pun jantungnya berdebar
penuh ketegangan. Hanya ada dua orang pengawal di belakangnya, sungguh pun dia
maklum bahwa Ang Tek Hoat berada di situ pula, entah bersembunyi di mana! Dan
melihat betapa raja hanya ditemani dua orang pengawal, diam-diam Mohinta
menjadi girang bukan main. Inilah saatnya bertindak, pikirnya dan begitu dia
dan Syanti Dewi melangkah maju sampai cukup dekat, tiba-tiba Mohinta mencabut
pedangnya, menangkap pundak sang puteri dan menodongkan pedangnya ke leher
Syanti Dewi!
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati sang raja melihat ini sungguh pun dia telah
diberi tahu akan rencana Mohinta yang membawa puterinya sebagai sandera. Kaget
dan marah bukan main hati raja itu melihat pengkhianatan ini. Dia turun dari
kursinya, dengan muka merah dan mata melotot, menudingkan telunjuk kirinya ke
arah Mohinta dan membentak, suaranya penuh dengan kemarahan.
“Mohinta,
apa yang kau lakukan itu?” Suara sri baginda gemetar.
Dengan wajah
beringas Mohinta berkata, “Sri baginda, dengarlah baik-baik! Pasukan pengawalku
sudah mengurung ruangan ini, juga istana telah dikurung oleh barisan ayahku,
dan di perbatasan telah menanti pasukan besar Nepal yang akan membantuku!
Seluruh negeri Bhutan telah berada dalam genggamanku, dan nyawa puterimu berada
di telapak tanganku pula! Harap Paduka melihat kenyataan ini dan tidak
melawan!”
Hampir raja
itu tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya. “Pengkhianat busuk!
Semenjak beberapa keturunan, keluargamu telah menerima banyak anugerah dari
kerajaan, juga telah banyak membuat jasa yang mengharumkan nama keluargamu.
Akan tetapi sehari ini semua itu akan dihancurkan oleh kelakuan seorang keturunan
macam kamu yang hina dan rendah ini!”
“Sri
baginda, tak perlu banyak cakap kalau Paduka menghendaki puterimu ini selamat!”
bentak Mohinta.
“Apa
kehendakmu?” tanya raja, juga membentak.
“Buatkan
pernyataan bahwa Paduka melepaskan kedudukan dan menyerahkan tahta kerajaan
kepadaku. Paduka telah terlalu tua dan aku sebagai menantu yang akan
menggantikan kedudukan Paduka di Bhutan!”
“Keparat!
Jahanam! Tangkap pemberontak ini!” Raja itu berteriak-teriak dan dua orang
pengawalnya bergerak ke depan.
“Mundur
kalian! Atau, kubunuh sang puteri, kemudian kubunuh pula Sri baginda!” bentak
Mohinta dan pedangnya makin dilekatkan ke leher sang puteri yang menjadi pucat
dan gemetar tubuhnya.
Dua orang
pengawal itu menjadi ragu-ragu dan bingung. Akan tetapi pada saat itu nampak
bayangan berkelebat ke arah Mohinta. Panglima muda ini terkejut bukan main
ketika bayangan itu menyambar ke arahnya dan ada hawa pukulan dahsyat menyambar
pula. Dia mengelebatkan pedangnya, akan tetapi akibatnya, dia berteriak
kesakitan dan terhuyung ke belakang karena pedangnya itu membalik dan hampir
mengenai mukanya sendiri, sedangkan pergelangan tangannya yang kena pukulan
hawa itu terasa nyeri. Ketika dia memandang, seorang pemuda telah berdiri
menghadang antara dia dan sang puteri dan semangatnya seperti terbang
meninggalkan tubuhnya ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Ang
Tek Hoat!
Sementara
itu, Sri baginda sudah lari menghampiri sang puteri yang segera dipeluknya.
“Syanti... anakku... ahhh, anakku...!”
Ang Tek Hoat
memandang Mohinta dengan muka beringas dan menyeramkan sekali. Apa lagi ketika
pemuda ini berkata lirih, namun cukup jelas terdengar oleh Mohinta, “Jahanam
busuk Mohinta, engkau telah membunuh ibuku dan untuk itu saja pasti akan
kuhancurkan kepalamu! Engkau telah menyesatkan Syanti Dewi dan untuk itu akan
kupatahkan batang lehermu! Dan engkau berani merencanakan pengkhianatan dan
pemberontakan, dan untuk itu engkau layak mampus sebagai anjing pengkhianat!”
“Ahhh...
kau... kau...!”
Teriakan
raja ini mengejutkan Tek Hoat yang cepat memutar tubuhnya. Dia melihat Syanti
Dewi dengan pisau di tangan menyerang raja! Raja Bhutan mengelak akan tetapi
lengannya masih tertusuk dan mengeluarkan darah.
“Syanti...!
Kau gila...!” Tek Hoat berseru, akan tetapi Syanti Dewi mengeluarkan suara
ketawa aneh dan terus menyerang raja.
Akan tetapi
pada saat itu, dua orang pengawal raja sudah bergerak, tombak mereka menghalang
dan menyerang dan di lain saat, perut puteri itu sudah ditembus tombak dan
robohlah puteri itu dengan mata terbelalak. Ususnya keluar dari lukanya,
tubuhnya mandi darah.
“Dewi...!”
Tek Hoat berseru lagi dan Raja Bhutan segera diselamatkan oleh dua orang
pengawal melalui pintu rahasia.
Tek Hoat
merasa kepalanya pening dan hampir dia roboh pingsan menyaksikan semua itu.
Syanti Dewi menyerang ayahnya sendiri dan puteri itu kemudian roboh tewas oleh
pengawal. Semua ini gara-gara Mohinta. Dia memutar tubuhnya, akan tetapi
Mohinta telah lari keluar, mempergunakan kesempatan selagi ‘puteri’ itu
menyerang raja dan Ang Tek Hoat tidak lagi memperhatikan dirinya. Di luar
terjadi keributan, terdengar suara hiruk-pikuk orang berkelahi.
Dengan hati
hancur melihat tubuh kekasihnya menggeletak tak bernyawa dengan usus terurai
keluar, Tek Hoat mengerang dan berkelebat keluar dari dalam ruangan itu,
mencabut pedang Cui-beng-kiam dan sinar matanya mengandung hawa maut seperti
seekor harimau yang haus darah. Ternyata telah terjadi pertempuran di luar, di
seluruh istana sampai keluar halaman istana, yaitu antara para pengikut Mohinta
melawan para pengawal.
Mohinta
terkejut setengah mati ketika tadi melihat munculnya Tek Hoat dan tahulah dia
bahwa rencananya gagal. Juga Syanti Dewi palsu tahu akan kegagalan itu maka
dengan nekat dia menyerang sang raja sehingga dia menemui ajalnya di ujung
tombak dua orang pengawal. Ketika tiba di luar dan melihat betapa pasukan
pengawal yang menyambutnya tadi kini malah bertanding melawan para pengikutnya,
makin sadarlah Mohinta bahwa dia telah terjebak. Maka dia pun lalu mengamuk
dibantu oleh anak buahnya. Dan memang sebelumnya Mohinta telah mempersiapkan
diri maka para pengikutnya terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian
tinggi, bukan pengikut pengikut biasa, bahkan di antara mereka terdapat
orang-orang Nepal yang menyamar, orang-orang yang kepandaiannya bahkan lebih
tinggi dari pada Mohinta sendiri!
Tek Hoat
mengamuk dengan pedangnya. Begitu dia menerjang ke depan, kacaulah pertahanan
para pengikut Mohinta dan sebentar saja, Tek Hoat telah merobohkan banyak
pengikut pemberontak, akan tetapi dia terus berlari keluar untuk mencari dan
mengejar Mohinta. Ketika dia tiba di ruangan depan, dia melihat Mohinta dibantu
oleh beberapa orang anak buahnya, di antaranya bahkan ada seorang berkepala
gundul seperti hwesio yang amat lihai sedang mengamuk merobohkan para pengawal
istana.
“Mohinta
keparat, jangan lari!” Tek Hoat berseru nyaring dan menerjang ke depan, akan
tetapi dia disambut oleh banyak anak buah Mohinta yang cukup lihai sehingga Tek
Hoat harus menggerakkan pedangnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya dari
hujan senjata.
“Kepung!
Bunuh!” Mohinta berseru memerintahkan anak buahnya karena dia maklum bahwa
selama pemuda ini belum roboh, maka dia sendiri terancam bahaya.
Anak buahnya
berdatangan dan kiranya panglima muda ini memang telah menaruh banyak mata-mata
di situ, mata-mata yang berdatangan pada saat Mohinta memasuki istana dan para
anak buah itu kini dapat membantunya mengeroyok Tek Hoat. Ada dua puluh orang
lebih kini mengurung Tek Hoat yang mengamuk seorang diri saja karena para
pengawal istana sudah roboh oleh para pemberontak itu. Tek Hoat tidak menjadi
gentar dan mengamuk terus sambil berusaha mendekati Mohinta. Akan tetapi, para
pengeroyoknya adalah orang-orang pilihan dari Bhutan, sebagian dari Nepal dan
bahkan ada beberapa orang Han yang telah menjadi kaki tangan panglima muda itu.
Bagaikan
seekor naga mengamuk, Tek Hoat menggerakkan pedangnya. Hatinya masih kalut,
kedukaan yang amat hebat menghimpit hatinya. Tubuh Syanti Dewi dengan usus
keluar itu tak pernah meninggalkan bayangan matanya dan dia mengamuk dengan
gerakan nekat dan banyak yang mengawur maka beberapa kali senjata lawan yang
mengeroyoknya sempat mengenai tubuhnya. Kedua pahanya luka-luka, celananya
robek dan pakaiannya sudah ternoda darahnya sendiri dan darah musuh. Namun, dia
terus merobohkan mereka satu demi satu dan Cui-beng-kiam, pedang pusaka yang
mengerikan itu, kini boleh puas minum darah manusia. Berkali-kali pedang ini
memasuki tubuh seorang pengeroyok dan keluar lagi telah berwarna merah, dan
darah-darah itu seperti mencucinya, membuatnya mengkilap dan makin ampuh!
Biar pun dia
sendiri luka-luka dan banyak keluar darah dari lukanya, namun Tek Hoat tidak
merasakan semua itu. Satu-satunya hasrat dalam hatinya hanya membunuh Mohinta
dan biar pun dia sudah merobohkan belasan orang pengeroyok, dia masih belum
dapat mendekati Mohinta yang selalu menjauhkan diri itu. Kini hanya tinggal
lima enam orang lagi saja yang masih mengeroyoknya, di antaranya adalah orang
berkepala gundul itu yang amat lihai mainkan tombak bercabang tiga itu, bersama
dengan beberapa orang pengawal dari Nepal yang pandai bermain golok dan
perisai. Mohinta sendiri hanya menyerang dari belakang setiap kali ada
kesempatan, kemudian meloncat mundur lagi kalau Tek Hoat membalikkan tubuhnya.
Melihat
kecurangan orang yang amat dibencinya ini, Tek Hoat menjadi marah. Dia menanti
kesempatan baik sambil memutar Cui-beng-kiam menghalau semua serangan enam
orang lihai yang membantu Mohinta itu. Saat pendengarannya dapat menangkap
gerakan Mohinta yang menyerangnya lagi dari belakang, Tek Hoat pura-pura tidak
memperhatikannya, akan tetapi setelah serangan itu dekat dengan tubuhnya,
tiba-tiba dia melakukan gerakan meloncat dan membalik, kaki kirinya menginjak
tangga lantai.
Mohinta
terkejut dan cepat meloncat hendak menjauhkan diri, akan tetapi Ang Tek Hoat
yang berada di belakangnya itu, tanpa memutar tubuhnya sudah cepat menggerakkan
Cui-beng-kiam ke belakang, ke arah punggung Mohinta melalui bawah ketiak lengan
kanannya.
“Blesssss...!”
Mohinta
menjerit ngeri ketika pedang Cui-beng-kiam itu memasuki punggung, terus ke
perut dan menembus ke depan. Darahnya muncrat-muncrat dan teriakannya seperti
babi disembelih.
“Itu untuk
ibuku!” teriak Tek Hoat sambil mencabut pedangnya. Ketika tubuh lawan itu
terhuyung-huyung, kembali pedangnya membabat dua kali.
“Crakkk!
Crakkk!” Kedua lengan Mohinta putus sebatas siku oleh karena kena disambar
Cui-beng-kiam.
“Itu untuk
Kerajaan Bhutan!” kembali Tek Hoat berteriak.
Mohinta
kembali menjerit dan matanya terbelalak memandang kedua lengannya yang buntung,
kini darahnya muncrat-muncrat dari perut, punggung, dan kedua lengan yang
buntung. Tetapi Tek Hoat masih belum berhenti menyerangnya. Pedangnya kembali
berkelebat, menangkis tombak laki-laki gundul sehingga ujung tombak bercabang
tiga itu putus, kemudian pedang itu masih terus membabat ke arah leher Mohinta
yang sudah lemas dan kedua kakinya sudah hampir tidak kuat berdiri lagi itu.
“Crakkk!”
Leher Mohinta putus disambar Cui-beng-kiam dan kini lenyaplah jeritan-jeritan
Mohinta yang mengerikan tadi.
“Itu untuk
Syanti Dewi!” kembali Tek Hoat berteriak dan kini pemuda ini mengamuk sampai
enam orang pengeroyoknya itu roboh semua, tewas di ujung Cui-beng-kiam.
Akan tetapi
karena dia sendiri pun mengalami banyak luka, dan terutama sekali karena
batinnya yang tertekan oleh kematian Syanti Dewi, sambil mengeluh panjang
setelah tidak melihat adanya seorang pun lawan, Tek Hoat terkulai dan dengan
Cui-beng-kiam masih di dalam genggamannya, dia roboh pingsan!
Di luar
istana juga terjadi pertempuran-pertempuran kecil dari pasukan-pasukan anak
buah Mohinta melawan pasukan-pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pembantu
Panglima Jayin. Akan tetapi karena pasukan-pasukan pemberontak itu telah
kehilangan pimpinan mereka, yang sudah ditawan terlebih dahulu oleh Jayin, maka
perlawanan mereka pun setengah matang, dilakukan setengah hati sehingga belum
sampai setengah hari lamanya, mereka telah dapat ditundukkan, dihancurkan dan
ditawan. Sebagian besar di antara mereka menaluk.
Demikian
pula, di perbatasan terjadi pertempuran antara pasukan Nepal yang sudah siap
menyeberang dengan pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Jayin sendiri.
Pertama-tama Jayin mengirim utusan yang menyamar sebagai utusan pemberontak,
yang pura pura mempersilahkan pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan. Setelah
tiba di lorong sempit yang diapit dua buah bukit, pasukan Nepal itu diserbu
dari kanan kiri dan depan sehingga pasukan itu menjadi panik, akhirnya melarikan
diri kembali ke Nepal dengan meninggalkan banyak korban.
Pemberontakan
itu berhasil dihancurkan sebelum dimulai! Rakyat merasa gembira bukan main
karena mereka terhindar dari perang pemberontakan yang tentu akan merusak
kesejahteraan hidup. Apa lagi ketika rakyat mengetahui bahwa yang tewas sebagai
Puteri Syanti Dewi itu hanya seorang wanita Nepal yang menyamar!
Akan tetapi,
Ang Tek Hoat tidak tahu akan hal ini. Ketika dia ditolong dalam keadaan
pingsan, sampai beberapa hari dia tidak siuman, dan tubuhnya terus menderita
demam panas. Dia jatuh sakit, bukan hanya karena luka-lukanya melainkan
terutama sekali karena kehancuran hatinya melihat Syanti Dewi tewas. Untuk
kedua kalinya, pemuda ini telah menyelamatkan dan membela Bhutan dengan taruhan
nyawa, bahkan telah mengorbankan dirinya sampai luka-luka. Karena sekali ini
benar-benar merasakan pembelaan pemuda ini, sri baginda merasa berterima kasih
sekali dan dia sendiri yang mengatur agar Tek Hoat memperoleh perawatan
sebaiknya dari para ahli pengobatan dalam istana.
Para ahli
pengobatan yang pandai itu tahu bahwa pemuda ini jatuh sakit bukan hanya karena
luka-luka di tubuhnya. Untuk itu, tubuh pemuda ini sudah terlampau kebal dan
terlatih sehingga luka-luka itu tidak membahayakan keselamatannya. Akan tetapi
yang mengkhawatirkan para ahli pengobatan itu adalah guncangan batin yang
membuat pemuda itu belum pulih benar kesadarannya.
Memang Tek
Hoat menjadi seperti seorang linglung. Dia hanya rebah dan kadang kadang duduk,
diam saja tak pernah mau bicara. Kadang-kadang dia menangis tersedu sedu
menutupi mukanya, memejamkan matanya hendak mengusir bayangan Syanti Dewi yang
mati dalam keadaan mengerikan itu. Kadang-kadang pula, selagi tidur dia
berteriak-teriak memanggil nama Syanti Dewi dan memaki-maki Mohinta.
Para ahli
pengobatan merasa khawatir kalau tekanan batin itu akan mempengaruhi jiwa
pemuda itu dan kemudian membuatnya menjadi tidak waras. Oleh karena itu, para
ahli pengobatan itu menasehatkan kepada sri baginda agar kenyataan bahwa yang
tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu sesungguhnya bukan sang puteri, melainkan
seorang wanita Nepal yang menyamar, supaya tetap dirahasiakan. Para tabib ini
khawatir kalau kalau berita yang amat mengejutkan akan mendatangkan guncangan
yang terlalu hebat sehingga bahkan membuat penyakit Tek Hoat menjadi makin
parah. Sri baginda dapat menerima nasehat ini, kemudian memerintahkan kepada
semua pelayan agar jangan menceritakan hal itu kepada Tek Hoat.
Sri baginda
cukup bijaksana untuk mengampuni Panglima Sangita yang sudah tua, karena memang
sesungguhnya panglima tua ini hanya terpaksa dan terbujuk oleh puteranya saja.
Sedangkan para panglima dan perwira yang menjadi kaki tangan Mohinta dijatuhi
hukuman cukup berat untuk membikin jeri mereka yang masih memiliki niat untuk
memberontak. Pasukan-pasukan yang tadinya terpengaruh oleh Mohinta dan
kawan-kawannya dipecah-pecah dan digabungkan dengan pasukan pemerintah yang
setia untuk mencuci bersih batin mereka dari sisa-sisa keinginan memberontak.
Setelah
Panglima Sangita yang sudah tua itu dipensiun dan dibebas tugaskan, dengan
sendirinya Panglima Jayin rmenjadi panglima pertama, dan biar pun belum
diadakan pengangkatan resmi, namun Ang Tek Hoat diangkat lagi menjadi panglima
muda oleh sri baginda di Bhutan.
Perang
terjadi di seluruh dunia semenjak jaman dahulu sampai sekarang, tiada henti
hentinya. Baik yang dinamakan perang dingin atau perang panas, perang
kebudayaan, politik, ekonomi, perang halus mau pun kasar, tak pernah lenyap dan
selalu ada di antara bangsa sebagai letusan-letusan dari kemarahan, kebencian
dan permusuhan.
Perang yang
terjadi antara bangsa, di bagian mana pun juga di dunia ini, tidak terlepas
dari setiap orang dari kita, karena bangsa merupakan kelompok manusia, oleh
karena itu, perang adalah masalah setiap orang manusia di dunia ini, tidak
peduli di mana pun dia tinggal dan hidup, tidak peduli negaranya berada dalam
perang atau tidak pada saat itu. Perang antara bangsa tidak terpisahkan dari
keadaan diri setiap orang manusia, karena perang pada hakekatnya adalah
kekerasan yang timbul dari keadaan batin yang penuh dengan kebencian, dengan
perebutan kekuasaan, perebutan kebenaran, dan pementingan diri sendiri. Perang
antara bangsa hanya merupakan gambaran besar dari perang yang setiap saat
timbul di dalam hati kita sendiri masing-masing.
Setiap saat,
setiap hari juga terjadi pertentangan-pertentangan, konflik-konflik yang
menimbulkan kebencian, kemarahan, dendam, iri hati, persaingan, perebutan yang
kesemuanya itu didasari oleh keinginan untuk mementingkan diri sendiri, untuk
mencari kesenangan atau keenakan bagi diri sendiri sehingga dalam pencarian
atau pengejaran kesenangan ini kita tidak mempedulikan lagi keadaan orang lain.
Demi mencapai cita cita, mencapai apa yang kita kejar, yang tentu saja kita anggap
akan mendatangkan kesenangan, maka kalau perlu kita membasmi siapa saja yang
kita anggap menjadi penghalang tercapainya cita-cita kita itu.
Demikianlah
keadaan perang di dalam batin kita setiap saat sehingga batin kita penuh dengan
kemarahan, kebencian, dan kekerasan dalam permusuhan. Hal ini dapat kita lihat
setiap saat di sekeliling diri kita, atau di dalam diri kita sendiri. Dan
selama kita masing-masing tidak berubah, maka perang akan selalu berkobar di
dunia ini, karena yang bertanggung jawab adalah kita masing-masing manusia di
permukaan bumi ini.
Dapatkah
kita hidup tanpa perang? Perang dalam arti kata perang antara bangsa, antara
suku, antara kelompok, antara golongan, antara keluarga, antara tetangga, dan
antara manusia perorangan, bahkan perang dalam diri sendiri antara nafsu-nafsu
keinginan kita? Berakhirnya ‘perang’ di dalam batin mengakhiri perang di luar
diri, karena lahir dan batin tidak terpisahkan, kait-mengait dan
pengaruh-mempengaruhi. Bagaimana mungkin kita hidup damai lahiriah dengan orang
lain kalau batin kita mengandung kebencian? Mengandung kemarahan, iri hati,
rasa takut dan keinginan untuk enak sendiri? Jelas tidak mungkin!
Sebaliknya,
kalau batin tidak lagi dihuni oleh kemarahan, kebencian, iri hati, rasa takut,
keinginan enak sendiri, batin seperti itu adalah batin yang hening dan bersih,
batin seperti itu penuh dengan cahaya cinta kasih, dan bagi batin seperti itu
tidak ada perang, tidak ada permusuhan, tidak ada kekerasan!
Raja Bhutan
dan Panglima Jayin tentu saja merasa bahwa mereka telah berhasil membasmi
pemberontakan, tetapi mereka lupa bahwa pemberontakan-pemberontakan tidak akan
pernah berhenti, baik pemberontakan halus mau pun kasar, selama manusia
mementingkan kedudukan, harta benda, nama dan kehormatan, pendeknya selama
manusia mengejar-ngejar kesenangan dan mementingkan semua itu lebih tinggi dari
pada si manusia sendiri.
Raja Bhutan
dan Jayin sama sekali bukan melenyapkan pemberontakan, tetapi hanya memperoleh
kemenangan sementara saja, kemenangan yang harus pula dijaganya dengan
kekerasan, karena kemenangan itu diperoleh dengan jalan kekerasan pula.
Ketenangan dan kedamaian yang diciptakan oleh penekanan dan kekerasan bukanlah
kedamaian lagi namanya. Manusia tidak lagi melakukan pemberontakan bukan karena
dalam batinnya sudah penuh dengan cinta kasih, melainkan karena mereka takut
melakukan pemberontakan itu! Dan ketenteraman seperti ini, yang diciptakan
dengan menciptakan pula rasa takut, hanya akan bertahan untuk sementara saja,
karena sekali waktu, ketenteraman itu akan terganggu oleh pemberontakan yang
lain apa bila yang takut sudah tidak takut lagi menurut keadaan pada saat itu!
Ketertiban
yang sungguh-sungguh ketertiban adalah ketertiban yang timbul dari cinta kasih!
Ketertiban yang timbul oleh paksaan kekuasaan, bukanlah ketertiban lagi
namanya, melainkan ketidak tertiban yang dipulas. Dan ketertiban berdasarkan
cinta kasih tidak mungkin dapat diatur, melainkan datang dengan sewajarnya apa
bila kita masing-masing tidak lagi dicengkeram oleh keinginan menyenangkan diri
sendiri, apa bila tidak ada lagi si aku, si kamu dan si dia. bukan berarti
bahwa kita lalu menjadi boneka-boneka hidup yang digerakkan oleh suatu
kekuasaan tertentu yang membuat kita mati daya cipta kita, membuat kita
kehilangan kepribadian, membuat kita memejamkan mata dan hanya bertindak
menurut perintah atau menyesuaikan diri dengan apa yang diajarkan oleh
kekuasaan itu! Sama sekali tidak, karena kalau demikian, sama saja kita hidup
di bawah penekanan kekerasan dan terjadi konflik konflik dalam batin yang
akhirnya akan tercetus keluar menjadi tindakan kekerasan yang menimbulkan
permusuhan antara manusia. Ketertiban, cinta kasih tidak bisa dipaksakan, tidak
bisa disusun atau dibentuk, melainkan timbul sewajarnya kalau segala bentuk
kekerasan sudah lenyap sama sekali dari batin. Amin.
Seperti juga
dengan para pendekar yang sudah membantu pemerintah menentang pemberontakan
yang didalangi oleh Koksu Nepal, yang setelah benteng musuh itu berhasil
dihancurkan lalu pergi cerai-berai, masing-masing mengambil jalan sendiri,
demikian pula dengan para tokoh yang tadinya membantu pemberontakan itu.
Seperti kita
ketahui, rombongan Bhutan yang dipimpin oleh Mohinta sudah lebih dahulu
meninggalkan benteng dan mengawal Puteri Syanti Dewi palsu untuk melaksanakan
rencana pemberontakan Mohinta di Bhutan. Rombongan Liong-sim-pang yang
dikepalai Hwa-i-kongcu Tang Hun juga telah lolos dari benteng, mengambil
jalannya sendiri. Ada pun Hek-tiauw Lo-mo juga telah pergi mencari puteri
angkatnya, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi juga sudah pergi mencari keselamatannya
sendiri. Bahkan tiga orang pandai yang tadinya membantu Hwa-i-kongcu Tang Hun,
yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To, setelah
melihat kegagalan orang yang dibantunya, juga telah pergi memisahkan diri
meninggalkan benteng.
Demikian
pula dengan halnya Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi itu.
Walau pun tadinya mereka memperoleh kesempatan untuk meninggalkan benteng
bersama-sama, namun setelah tiba di luar benteng, mereka berpencar. Empat orang
di antara Ngo-ok tidak mau mengikuti Sam-ok atau Koksu Nepal yang telah gagal
itu.
Mereka tidak
mau ikut pergi ke negara Nepal, maka mereka pergi sendiri memisahkan diri,
meninggalkan Koksu Nepal yang seperti kita ketahui pergi bersama muridnya,
Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu. Kalau tadinya keempat orang di antara
Ngo-ok itu menyambut undangan Sam-ok untuk membantu adalah karena Sam-ok atau
Koksu Nepal itu mengadakan pergerakan di Tiongkok dan mereka bisa mengharapkan
kedudukan kalau gerakan itu berhasil. Akan tetapi gerakan pemberontakan itu
gagal dan mereka kini tidak bernafsu untuk mencari kemuliaan di negeri lain
seperti Nepal, maka mereka berempat meninggalkan Koksu Nepal, kemudian
mengambil jalan sendiri, sungguh pun mereka berempat masih belum berpencar,
masih melakukan perjalanan bersama menuju ke utara.
Pada saat
benteng yang dibangun oleh mendiang Jenderal Kao Liang atas pemaksaan Koksu
Nepal itu runtuh dan terbakar di antara pertempuran ketika pasukan-pasukan
pimpinan Puteri Milana menyerbu benteng, jauh tinggi di angkasa nampak sebuah
titik hitam bergerak-gerak, melayang-layang berputaran di atas tempat itu.
Orang-orang
yang berada di bawah, di dalam dan luar benteng yang terbakar itu, terlalu
sibuk dengan urusan mereka sendiri, dengan perang dan bunuh-membunuh sehingga
tidak ada seorang pun yang sempat memandang ke atas dan melihat titik hitam
yang kini makin membesar sehingga akhirnya nampak bahwa titik hitam itu adalah
seekor burung rajawali yang melayang-layang di antara awan dan asap yang
bergulung-gulung naik dari benteng yang kebakaran itu. Andai kata ada yang
melihatnya, tentu orang itu akan merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa
di atas punggung burung rajawali raksasa itu duduk seorang manusia! Orang yang
melihatnya tentu akan menyangka bahwa yang menunggang rajawali itu seorang
dewa!
Burung itu
sendiri adalah seekor burung rajawali yang sudah jarang dapat ditemukan orang
di jaman itu, seekor burung rajawali besar yang hanya hidup di tempat asing,
jauh di utara. Burung itu telah tua sekali, namun masih kelihatan kuat ketika
menggerakkan sayapnya yang lebar dan nampaknya ringan saja dia membawa seorang
manusia di punggungnya.
Manusia itu
pun aneh. Kakinya buntung sebelah, tinggal kaki kanan saja. Pakaiannya
sederhana sekali, rambutnya panjang terurai dan berwarna putih perak, demikian
pula jenggotnya yang agak panjang. Wajahnya agak kurus, namun masih nampak
bahwa dahulu orang berkaki buntung sebelah ini tentu merupakan seorang pria
yang tampan. Tubuhnya sedang, agak kekurus-kurusan dan dia duduk di atas
punggung rajawali yang terbang cepat di angkasa itu seperti orang menunggang
kuda saja, enak dan tenang. Tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut yang
selalu ditempelkannya ke leher burung, agaknya tongkat itulah yang menjadi
pengganti kendali untuk mengemudikan burung itu, atau setidaknya untuk memberi
isyarat ke mana burung itu harus terbang.
Kini burung
rajawali itu menguik-nguik panik ketika dia terpaksa memasuki gumpalan asap
menghitam bercampur awan, asap yang membubung tinggi dari benteng yang terbakar
itu. Kakek berkaki buntung yang usianya tentu sudah lebih dari enam puluh tahun
itu menggerakkan tongkatnya dan burung itu menukik turun lalu membelok ke kiri
menghindarkan diri dari asap, keluar dari gumpalan menghitam yang baunya sangat
menyesakkan napas itu.
“Hemmm,
perang... lagi-lagi perang... pertempuran, bunuh-membunuh antara manusia!”
Kakek itu menggumamkan sambil memandang ke bawah di mana pertempuran masih
berlangsung. Kakek ini bukan lain adalah Suma Han atau Pendekar Super Sakti,
atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.
Seperti
telah kita ketahui, Pendekar Super Sakti seolah-olah ditangisi oleh kedua orang
isteri tercintanya untuk pergi meninggalkan pulau dan mencari putera-putera
mereka yang sudah terlalu lama pergi merantau tanpa ada kabar ceritanya.
Sebenarnya, pendekar sakti yang tua ini enggan pergi meninggalkan pulaunya,
akan tetapi akhirnya dia mengalah juga terhadap keluhan dan bujukan
isteri-isterinya, dan pergilah dia bersama burung rajawali yang tua itu
meninggalkan pulau, mulai dengan perantauannya mencari dua orang puteranya,
yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.
Ketika dia
mendengar akan gerakan pasukan kerajaan yang kabarnya telah menindas
pemberontakan di Propinsi Ho-nan dan kini pasukan itu bergerak menuju ke sebuah
benteng di lembah, hatinya tertarik karena sangat boleh jadi kedua orang
puteranya itu terlibat pula dalam penindasan pemberontakan ini, seperti yang
pernah mereka lakukan ketika terjadi pemberontakan dari kedua orang Pangeran
Liong. Maka dia pun lalu menyusul ke tempat itu, menunggang burung rajawalinya
yang tua.
Akan tetapi,
ketika melihat pertempuran yang terjadi di bawah, melihat betapa benteng para
pemberontak itu dapat dibobolkan dan terbakar, pendekar sakti yang sudah sering
menyaksikan perang di antara manusia itu menjadi muak, dan tidak mau mendekati
tempat ini, melainkan menyuruh rajawalinya berputaran di atas dan memasang mata
kalau-kalau dia akan dapat melihat dua orang puteranya. Dari tempat tinggi, di
antara gumpalan asap, dia samar-samar dapat melihat pemimpin pasukan pemerintah
dan jantungnya berdebar karena dia mengenal puterinya, yaitu Puteri Milana!
Ah, kalau
begitu tentu pemberontakan itu cukup penting dan berbahaya, pikirnya. Kalau
tidak demikian, kiranya kaisar tidak akan mengganggu Milana yang sudah hidup
tenang dan tenteram bersama pria yang dikasihinya, Gak Bun Beng di puncak
Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Pula, kalau tidak penting dan berbahaya,
tentu puterinya itu pun tidak akan mau menceburkan diri dalam medan perang
seperti itu.
Akan tetapi,
melihat puterinya memimpin pasukan untuk membasmi pemberontak, yang berarti
adanya bunuh membunuh yang mengerikan di antara manusia, Pendekar Super Sakti
merasa enggan untuk turun menemui puterinya. Dia tidak melihat adanya Kian Lee
dan Kian Bu, maka dia lalu menyuruh burungnya agak menjauhi benteng. Burung itu
agaknya merasa girang karena binatang ini pun menjadi panik melihat asap hitam
bergumpal-gumpal itu, maka dengan cepat lalu meluncur ke arah timur.
Tiba-tiba
Pendekar Super Sakti terkejut melihat bayangan empat orang yang bentuk tubuhnya
aneh-aneh, akan tetapi terutama sekali yang mengejutkan hati pendekar ini
adalah cara empat orang itu bergerak dan lari. Mereka itu bergerak cepat bukan
main dan dari tempat tinggi itu Suma Han dapat mengenal orang-orang pandai yang
memiliki ilmu yang sudah sangat tinggi tingkatnya. Maka dia lalu menyuruh
burungnya menukik dan mendekati. Setelah agak dekat di atas empat orang yang
berlari cepat sekali itu, pendekar sakti yang tua ini makin kaget karena dia
mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Twa-ok dan Ji-ok yang pernah bentrok
dengan dia belum lama ini.
Kalau yang
dua orang ini Twa-ok dan Ji-ok, maka melihat bentuk tubuh mereka, yang dua
orang lain lagi pastilah orang-orang di antara Ngo-ok yang terkenal itu. Dan
kalau Ngo-ok sudah bergerak di tempat ini, maka tentulah terjadi urusan besar
dan bukan tidak mungkin empat orang itu tahu di mana adanya Kian Lee dan Kian
Bu. Bukankah Twa-ok sendiri pernah bercerita kepadanya tentang Kian Bu yang
katanya rambutnya putih semua, berjuluk Siluman Kecil dan katanya
bergulang-gulung dengan puteri dari Hek-tiauw Lo-mo? Tentu mereka itu tahu di
mana adanya Kian Bu. Berpikir demikian, Suma Han lalu menyuruh rajawalinya
terbang turun dan setelah burung itu berada kurang lebih empat meter dari tanah,
dia lalu meloncat turun dan membiarkan burungnya terbang naik lagi.
Munculnya
pendekar sakti ini sama sekali tidak menimbulkan suara sehingga ketika empat
orang itu tiba-tiba melihat si pendekar sakti berdiri tegak di depan mereka,
tentu saja mereka terkejut bukan main. Memang mereka itu adalah Twa-ok, Ji-ok,
Su-ok dan Ngo-ok, empat di antara Ngo-ok. Mereka sedang meninggalkan benteng
yang terbakar itu dengan hati kecewa dan mengkal karena gagalnya usaha mereka,
yaitu Sam-ok atau Koksu Nepal. Kegagalan itu bukan hanya merugikan mereka yang
telah membuang waktu dan tenaga untuk membantu usaha Sam-ok, akan tetapi
terutama sekali karena kegagalan itu pun sekaligus menjatuhkan nama mereka
sebagai Ngo-ok!
Pemberontakan
yang dibantu oleh Ngo-ok gagal sedemikian rupa, tentu saja hal ini menampar
muka mereka. Kini, melihat betapa tiba-tiba Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau
Es itu menghadang di depan mereka, empat orang ini terkejut, agak gentar akan
tetapi juga marah. Anak-anak dari pendekar inilah yang membantu pemerintah
sehingga gerakan itu gagal dan terutama sekali Twa-ok dan Ji-ok yang pernah
bentrok dan terpukul mundur oleh Pendekar Siluman ini, kini mendapatkan
kesempatan untuk membalas kekalahan mereka karena sekarang ada Su-ok dan Ngo-ok
yang membantu mereka. Rasa penasaran karena pernah dikalahkan, kemudian rasa
kecewa karena kegagalan pemberontakan itu, kini hendak mereka tumpahkan kepada
Pendekar Super Sakti, maka Twa-ok sudah berkata dengan sikapnya yang biasa,
yaitu tenang dan gerak-geriknya yang halus lembut.
“Ah, kiranya
yang terhormat Suma-taihiap alias Pendekar Super Sakti alias Pendekar Siluman,
Majikan Pulau Es yang datang menghadang kita! Saudara-saudaraku, tamu agung
tiba, mari kita sambut dengan penuh kehormatan!” Ucapan ini halus dan menghormat,
akan tetapi merupakan isyarat bagi teman-temannya untuk menyerang pendekar
berkaki satu itu.
“Maafkan
kalau aku mengganggu kalian berempat. Aku hanya ingin bertanya kalau kalau
Su-wi (kalian berempat) melihat dua orang puteraku, yaitu Suma Kian Lee dan
Suma Kian Bu.” Dia berhenti sebentar, memandang kepada empat orang itu dengan
sinar mata tajam penuh selidik. “Apakah putera-puteraku itu terlibat dalam
pertempuran di benteng yang terbakar itu dan apakah...“
Baru sampai
di sini pendekar itu bicara, Ngo-ok Toat-beng Siansu, si tosu yang tinggi
badannya dua setengah meter itu, dengan mukanya yang selalu Nampak sedih, telah
mengeluarkan teriakan menyayat hati dan dia sudah menerjang dengan dua
tangannya yang berlengan panjang. Serangan ini hebat sekali, dan begitu
Pendekar Super Sakti mengelak, dari samping telah menerjang Su-ok
Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek katai itu yang menggelundung seperti
trenggiling, melakukan penyerangan secara diam diam dan pengecut, menghantam
dari bawah ke arah belakang kaki Suma Han! Dan menyusul itu, hampir bersamaan
waktunya, Ji-ok Kui-bin Nionio dan Twa-ok Su Lo Ti juga sudah bergerak dan
masing-masing sudah menerjang dengan ganas dan dahsyat!
Mula-mula
Suma Han hanya mengelak dari serangan-serangan itu satu demi satu, akan tetapi
ketika serangan-serangan itu dilanjutkan dengan desakan yang bertubi-tubi, dan
setiap serangan merupakan jangkauan tangan maut, pendekar ini terkejut juga dan
tahulah dia bahwa yang dihadapinya adalah orang-orang lihai dengan kepandaian silat
tingkat tinggi yang berbahaya dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Pendekar sakti ini lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba
saja tubuhnya lenyap dari depan empat orang pengeroyoknya, dan yang nampak
hanya bayangannya saja berkelebatan dengan kecepatan seperti kilat menyambar
dan ke mana pun empat orang lawan itu menubruk dan menyerang, selalu bayangan
itu melejit dan meluncur dengan cepat, membuat semua serangan itu mengenai
tempat kosong belaka.
Empat orang
datuk kaum sesat itu terheran-heran. Tahulah mereka bahwa lawan ini menggunakan
Ilmu Soan-hong-lui-kun, ilmu ajaib yang terkenal sekali dan hanya dimiliki oleh
Pendekar Siluman ini.
Akan tetapi
Suma Han tidak ingin mencari permusuhan, maka setelah berkelebatan mengelak ke
sana-sini mengandalkan Ilmu Soan-hong-lui-kun, tiba-tiba dia turun dan berdiri
tegak sambil berseru, “Tahan, harap kalian suka dengarkan bicaraku dulu!”
Pendekar Siluman
itu berdiri tegak dengan satu kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkat
bututnya yang dipergunakan sebagai pengganti kaki kiri, sikapnya tenang sekali
namun agung dan berwibawa. Empat orang datuk kaum sesat itu penasaran dan masih
belum hilang rasa kaget dan heran menyaksikan gerakan lawan yang tidak lumrah
manusia itu. Ji-ok Kui-bin Nionio sudah memasang kuda-kuda yang amat aneh,
yaitu kedua lengannya diangkat ke atas, kedua lengan itu menggigil dan
bergerak-gerak, dari situ memancar hawa dingin, dan dia seolah-olah dengan
susah payah menahan kedua tangannya berikut jari-jari tangan yang seperti
‘hidup’ dan hendak bergerak sendiri itu.
Twa-ok Su Lo
Ti juga memasang kuda-kuda yang aneh dan lucu, agak membongkok, tangan kanannya
membentuk cakar setan dan tangan kirinya membuka jari telunjuk dan jari tengah,
seperti siap untuk menotok atau mencapit! Su-ok Siauw-siang-cu si gundul pendek
kelihatan makin pendek karena dia memasang kuda-kuda berjongkok dan itulah
kuda-kuda untuk ilmunya yang hebat, yaitu pukulan sakti Katak Buduk! Yang
paling aneh adalah si jangkung Ngo-ok Toat-beng Siansu yang memasang kuda-kuda
dengan kedua tangan di bawah dan kedua kaki di atas. Karena tubuhnya jangkung
bukan main, dua setengah meter panjangnya, maka ketika dia berdiri seperti itu,
kedua kakinya menjadi seperti dua batang kayu yang menjulang tinggi!
Melihat gaya
aneh-aneh dari empat orang pengeroyoknya yang kini memasang kuda kuda
mengepungnya dengan membentuk setengah lingkaran, Suma Han tetap tenang saja.
“Aku tidak
pernah dan tidak ingin bermusuhan dengan Su-wi, maka hendaknya Su-wi suka
bersabar. Aku hanya ingin bertanya tentang kedua orang puteraku itu. Kalau di
antara Su-wi ada yang tahu, harap memberi tahu, kalau tidak ada yang tahu,
sudahlah, aku tidak akan mengganggu lebih lama lagi. Kita bukan anak-anak kecil
yang tanpa sebab dan tanpa alasan berkelahi seperti gila. Nah, tahukah Su-wi
tentang kedua orang puteraku itu ataukah tidak?”
Empat orang
itu sama sekali tidak menjawab, hanya memandang dengan sinar mata penuh
kebencian. Mereka itu tidak mempedulikan pertanyaan Suma Han, melainkan sedang
memutar otak mencari jalan bagaimana baiknya menyerang dan menjatuhkan Majikan
Pulau Es yang amat sakti ini.
Selagi
Pendekar Super Sakti hendak mengulang pertanyaannya, tiba-tiba terdengar pekik
aneh di angkasa dan ternyata burung rajawali itu diserang oleh seekor burung
garuda! Semua orang melirik ke atas, akan tetapi pada saat itu terdengar
bentakan orang yang suaranya parau dan kasar sekali.
“Huh, kalau
bapaknya tak tahu malu, anaknya pun tidak tahu malu pula!” Semua orang
menengok, dan Suma Han segera mengenal kakek yang baru datang ini, kakek
raksasa yang kelihatan menakutkan dan buas. Kakek ini bukan lain adalah
Hek-tiauw Lo-mo, penghuni Pulau Neraka!
“Suma Han,
engkau tidak bisa mendidik anakmu! Anakmu yang bernama Suma Kian Lee itu
sungguh tidak tahu malu, dan kalau engkau tidak dapat menghajarnya, biar aku
yang akan menghajarnya sampai mampus!”
Tadinya Suma
Han tidak mempedulikan munculnya Hek-tiauw Lo-mo ini, akan tetapi mendengar
ucapan itu yang menyangkut nama seorang di antara dua puteranya yang sedang
dicarinya, dia tertarik.
“Hek-tiauw
Lo-mo, apakah maksudmu? Di mana adanya Kian Lee?”
“Kalau aku
tahu di mana dia, sudah kudatangi dia dan kubunuh dia!” jawab ketua Pulau
Neraka ini dengan marah. Kakek raksasa ini sudah mendengar bahwa Hwee Li telah
dirampas oleh Kian Lee dari tangan Liong Bian Cu, maka dia marah dan
memaki-maki begitu melihat Pendekar Super Sakti.
Suma Han
menarik napas panjang. Dia mengenal orang ini dan tahu akan wataknya yang liar,
kasar dan keras, maka maki-makian terhadap puteranya itu tak dihiraukannya.
“Hek-tiauw Lo-mo, setidaknya engkau tentu dapat menceritakan urusan apa yang
telah diperbuat oleh puteraku itu sehingga engkau marah-marah seperti ini.”
“Apa yang
diperbuatnya? Setan cilik itu telah merampas dan menculik puteriku! Hayo engkau
yang menjadi bapaknya harus bertanggung jawab! Kalau engkau tidak bisa memaksa
puteramu itu untuk mengembalikan puteriku, maka namamu akan cemar selama hidup,
bahkan sampai ke semua anak cucumu akan menanggung kecemaran namamu!”
Suma Han
mengerutkan alisnya. Segala makian dan omongan keji yang keluar dari mulut
kakek raksasa itu tidak dia masukkan dalam hati karena memang dia sudah tahu
orang macam apa adanya ketua Pulau Neraka itu. Akan tetapi yang merisaukan
hatinya adalah berita tentang Kian Lee yang menculik seorang gadis itu! Dan dia
merasa heran akan bersimpang-siurnya berita itu. Twa-ok belum lama ini
menceritakan kepadanya bahwa Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil katanya lagi
gulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw Lo-mo, dan sekarang Hek-tiauw Lo-mo
sendiri menuduh Kian Lee menculik puterinya! Bagaimana ini?
Dia menoleh
kepada Twa-ok dan dengan hati kesal pendekar itu berkata. “Twa-ok mengatakan
kepadaku bahwa Kian Bu bergaul erat dengan puterimu, Hek-tiauw Lo-mo, dan
sekarang engkau mengatakan bahwa Kian Lee menculik puterimu. Siapakah yang
benar dalam memberikan berita ini? Ataukah keduanya bohong?”
“Tidak ada
yang bohong! Kedua berita itu semua benar. Twa-ok juga menceritakan kenyataan
bahwa anakmu bernama Kian Bu itu mengejar-ngejar puteriku, juga anakmu yang
bernama Kian Lee kini menculik puteriku, Hwee Li yang manis. Memang kedua
anakmu itu mata keranjang, gila perempuan!”
“Heh-heh-heh-ha-ha-ha!
Kacang mana meninggalkan lanjaran? Buah apel tidak akan jatuh terlalu jauh dari
pohonnya. Anak tidak akan jauh berbeda dari ayahnya. Aku mendengar bahwa
Pendekar Siluman juga seorang laki-laki mata keranjang, bahkan isterinya dua
disembunyikan di pulau kosong. Mana anak-anaknya tidak mata keranjang pula?
Ha-ha-ha!” kata Su-ok Siauw-siang-cu yang memang pandai sekali bicara. Kakek
berkepala gundul ini tertawa-tawa sambil memegangi perutnya saking gelinya,
bahkan dia lalu terguling dan tertawa-tawa sambil bergulingan di atas tanah!
Suma Han
mengerutkan alisnya. Sinar matanya menjadi tajam sekali dan betapa pun juga,
dia mulai marah. “Hemmm, kalian adalah manusia-manusia iblis, mana mungkin bisa
dipercaya omongannya?”
Pada saat
itu, terdengar teriakan nyaring dan Suma Han terkejut bukan main karena
teriakan itu adalah teriakan kesakitan dari burung rajawalinya! Cepat dia
memandang dan dia menahan seruannya ketika melihat betapa burung rajawali dan
burung garuda yang tadi bertarung di angkasa itu keduanya kini roboh ke bawah,
meluncur cepat sekali, kemudian terbaring berdebuk di atas tanah dan keduanya
sudah tidak bergerak lagi. Dengan sekali melompat Suma Han menghampiri dan
memeriksa dua bangkai burung itu. Kiranya mereka itu luka-luka parah dan
agaknya telah saling bunuh dalam pertarungan tadi, mati sampyuh karena sama
kuatnya dan sama tuanya pula. Suma Han berduka sekali, berjongkok dan mengelus
kepala bangkai rajawalinya.
Mendadak ada
angin dahsyat menyambar dan empat orang dari Ngo-ok itu bersama Hek-tiauw Lo-mo
sudah menyerangnya selagi dia berjongkok untuk memeriksa bangkai burungnya.
Kini
marahlah Suma Han. Dia melengking nyaring dan tubuhnya berkelebat cepat,
tongkatnya bergerak, bukan hanya untuk menangkis melainkan untuk balas
menyerang pula. Hebat bukan main gerakan pendekar ini dan begitu tongkatnya
diputar, lima orang pengeroyoknya itu terpaksa mundur untuk mengatur kedudukan
lagi, kemudian mereka kembali menyerang dari pelbagai jurusan. Suma Han kini
tidak banyak mengalah, dia mengelak, menangkis dan balas menyerang.
Terjadilah
perkelahian yang amat hebat di tempat sunyi itu. Biar pun mereka bertanding
tanpa suara, namun debu beterbangan dan pohon-pohon di sekitar tempat itu
seperti dilanda angin besar. Tubuh Suma Han sudah lenyap, yang nampak hanya
bayangan tubuhnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, hebat bukan
main karena dari sambaran tubuhnya itu keluar hawa yang kadang-kadang panas
sekali dan kadang kadang juga dingin bukan main. Terpaksa lima orang lawannya
itu harus mengerahkan sinkang sekuat tenaga mereka karena kalau tidak, tentu
tanpa terkena pukulan pun mereka itu akan tidak kuat menghadapi gelombang hawa
yang berubah-ubah itu.
Twa-ok yang
memiliki tingkat kepandaian paling tinggi merasa menyesal sekali bahwa dalam
kesempatan menghadapi seorang lawan hebat seperti Pendekar Super Sakti ini,
Sam-ok tidak berada di situ bersama mereka. Biar pun dalam urutan tingkat Koksu
Nepal itu hanya tingkat tiga, namun sesungguhnya Sam-ok memiliki keistimewaan
sendiri dan tidak kalah oleh Ji-ok, dan mereka berlima memang telah memiliki
kerja sama yang amat baik maka mereka terkenal sebagai Ngo-ok.
Belasan
tahun yang lalu, ketika di pantai selatan diadakan pertandingan antara datuk,
hanya karena mereka berlima dapat bekerja sama sajalah maka Ngo-ok dapat
menjagoi dan tidak ada lawan yang dapat mengalahkan lima orang datuk ini, biar
pun lawan yang lebih banyak jumlahnya sekali pun, seperti Cap-sha-tin (Barisan
Tiga Belas), Pat-kwa-tin (Barisan Delapan) dan lain lagi. Biar pun kini di sini
terdapat Hek-tiauw Lo-mo yang membuat jumlah mereka tetap lima, namun Hek-tiauw
Lo-mo masih terlampau rendah tingkatnya, dan tidak bisa bekerja sama dengan
mereka sehingga bantuan kakek raksasa ini tidak terlalu banyak artinya. Kalau
ada Sam-ok, tentu kelima orang Ngo-ok itu dapat mainkan Ngo-heng-tin (Barisan
Lima Unsur) yang amat dahsyat itu.
Kekhawatiran
Twa-ok memang sangat beralasan karena setelah lewat seratus jurus, mulailah
lima orang itu terdesak hebat oleh gerakan Pendekar Super Sakti, terutama
sekali Hek-tiauw Lo-mo yang sudah beberapa kali sampai terhuyung-huyung
terdorong oleh hawa pukulan Majikan Pulau Es itu. Kerja sama antara empat orang
itu pun menjadi kacau-balau dan kalau tadinya mereka masih mampu saling bantu
membentuk pertahanan dan penyerangan bersama, kini rangkaian itu putus dan
mereka kini bergerak sendiri-sendiri. Tentu saja hal ini amat merugikan mereka
karena mereka itu masing-masing sama sekali tidak mampu menandingi kecepatan
gerakan Pendekar Super Sakti yang mempergunakan Ilmu Soan-hong-lui-kun.
Mengerti
bahwa jika dilanjutkan tentu pihaknya akan roboh semua, Twa-ok yang cerdik
segera memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mundur, dan dengan sikap
halus dan ramah dia menjura ke arah Suma Han yang masih berdiri tegak karena
melihat para pengeroyoknya mundur, dia pun menarik kembali gerakannya dan
berdiri menanti dengan penuh kewaspadaan.
“Sungguh
mengagumkan kepandaian Pendekar Super Sakti, Tocu (majikan pulau) Pulau Es!
Sekali ini kami mengaku kalah, akan tetapi kami belum merasa kalah sama sekali
karena seperti yang Tocu lihat, kami kurang satu orang sehingga kerja sama kami
kacau. Kalau memang Suma-taihiap seorang yang gagah perkasa, kami tantang
engkau untuk mengadakan pertemuan dan bertanding melawan kami di gurun pasir,
di daratan Chang-pai-san. Kalau kelima Ngo-ok sudah hadir, dan kami berlima
sudah menggeletak di depan kakimu, barulah kami akan mengakui keunggulan
Pendekar Super Sakti dan kami tidak akan berani lagi memperlihatkan muka di
dunia kang-ouw!”
“Ha-ha-ha,
Twako, mana dia berani? Sekali ini kebetulan saja Sam-ko tidak ada dan dia
lolos dari lubang jarum, mana dia berani mengulang lagi kalau kita lengkap?”
tiba-tiba Su-ok berkata untuk memanaskan hati Suma Han.
Tanpa
dibikin panas pun tak mungkin Pendekar Super Sakti dapat menolak tantangan
seperti itu, apa lagi memang dia tahu bahwa kalau Ngo-ok lengkap lima orang,
dia tidak akan dapat mengambil kemenangan dengan mudah. Sebagai seorang ahli
silat tinggi, tentu saja bertemu dengan lawan tangguh merupakan hal yang selalu
menarik hati.
“Baiklah,
Ngo-ok! Aku menerima tantangan kalian. Akan tetapi karena aku hendak mencari
dua orang puteraku, tantangan itu baru akan dapat kulayani dalam waktu tiga
bulan lagi. Tepat tiga bulan sejak hari ini, aku akan berada di daratan
Chang-pai-san, di gurun pasir, menanti kedatangan kalian berlima!”
“Bagus!
Janji seorang gagah lebih berharga dari pada nyawa. Jangan khawatir, Suma
taihiap, bukan engkau yang menanti, melainkan kami yang akan siap menantimu di
sana!” Setelah berkata demikian, Twa-ok lalu pergi bersama tiga orang
saudaranya, dan Hek-tiauw Lo-mo juga ikut pergi karena tentu saja dia merasa
gentar sekali kalau ditinggal seorang diri saja berhadapan dengan Majikan Pulau
Es itu.
“Hek-tiauw
Lo-mo! Katakan dulu padaku di mana adanya Suma Kian Lee!” Tiba-tiba pendekar
itu berseru ketika melihat kakek raksasa itu pun ikut pergi.
“Persetan!”
bentak Hek-tiauw Lo-mo. Tanpa mempedulikan pendekar itu, dia melangkah terus
meninggalkan tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba ada angin menyambar dan tahu
tahu pendekar kaki buntung itu sudah berdiri di depannya!
“Tak boleh
engkau pergi sebelum memberitahukan kepadaku!” bentak Suma Han.
“Keparat
sombong!” Hek-tiauw Lo-mo tak dapat menahan kemarahannya sehingga dia lupa akan
takut, golok gergajinya yang menggiriskan hati itu sudah menyambar dan membacok
ke arah dada Pendekar Siluman dengan kecepatan kilat!
Suma Han
tidak bergerak mengelak, hanya berkata, “Senjatamu tajam sekali, dapat membelah
tubuhku!”
“Crakkk!”
Golok itu
benar-benar mengenai tubuh Suma Han, dan membelah tubuh itu menjadi dua, akan
tetapi apa yang terjadi? Tidak ada darah muncrat, dan tubuh yang terbelah itu
‘pecah’ menjadi dua, kemudian muncullah dua orang Pendekar Siluman yang berdiri
berdampingan sambil tersenyum kepada Hek-tiauw Lo-mo!
“Ehhh?”
Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia teringat bahwa lawannya
adalah seorang ahli sihir, maka dia kembali menggerakkan goloknya dengan
dahsyat, membacok ke arah dua orang Suma Han itu.
“Crakkk!
Crakkk!”
Kembali
goloknya membacok dua orang lawan itu sampai terbelah dua dan... dua kali dua
sama sama dengan empat, kini empat orang Pendekar Siluman berdiri dengan
senyum-senyum di depannya! Sebelum dia mampu bergerak, empat orang Pendekar
Siluman ini sudah memeganginya dari kanan kiri dan dia tidak mampu bergerak
lagi!
“Hek-tiauw
Lo-mo, katakan di mana adanya Suma Kian Lee!”
Meski dia
seorang manusia iblis yang tidak pernah mengenal takut, sekali ini Hek-tiauw
Lo-mo merasa tidak berdaya dan dia pun tahu bahwa dia tidak dapat menandingi
Pendekar Super Sakti, maka sambil bersungut-sungut dia berkata, suaranya masih
kasar dan marah, “Anakmu yang bermuka tebal itu telah menculik anakku dari
tunangan anakku, yaitu Liong Bian Cu. Entah ke mana dia pergi membawa anakku
itu, aku sendiri ingin sekali mengetahuinya!”
Kini Suma
Han percaya bahwa manusia iblis ini tidak membohong, akan tetapi dia pun merasa
yakin bahwa tentu ada suatu hal yang memaksa puteranya berbuat seperti itu,
melarikan seorang gadis dari tangan Pangeran Liong Bian Cu.
“Sudahlah,”
katanya dan dia mendorong tubuh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu hampir
terguling, terhuyung lalu lari tanpa menoleh lagi.
Sejenak Suma
Han memandang ke arah bangkai dua ekor burung raksasa yang mati sampyuh itu,
lalu menarik napas panjang dan berkata lirih, “Ahhh, kalau kalian tidak
terjatuh dalam kekuasaan manusia, tentu kalian masih menjadi burung-burung liar
dan bebas hidup di dunia kalian sendiri yang lebih murni. Cara kehidupan
manusia hanya mendatangkan permusuhan.” Suma Han lalu menggali lubang dan
mengubur bangkai dua ekor burung besar itu.
Apa yang
diucapkan oleh Pendekar Super Sakti itu memang merupakan kenyataan yang sukar
dibantah. Bagi semua makhluk lainnya kecuali manusia, hidup dan mati merupakan
dua hal yang tidak terpisah dan kematian bukan apa-apa lagi. Anehnya,
binatang-binatang yang masih belum dijinakkan manusia, hidup bebas dan tidak
terkurung, seolah-olah tidak lagi mengenal kematian seperti yang kita
mengenalnya dengan perasaan was-was. Demikian banyaknya burung terbang di udara
di sekeliling kita, namun amatlah sukar bagi kita untuk menemukan bangkai
burung menggeletak mati karena penyakit atau karena usia tua! Bahkan sukar kita
melihat bangkai semut, kecuali sering melihat binatang peliharaan mati karena
sakit atau karena tua, akan tetapi jarang melihat binatang yang bebas sakit
atau mati tua. Semua mahluk tidak ada yang mengkhawatirkan tentang kematian,
kecuali manusia!
Mengapa kita
takut mati? Mengapa manusia merasa ngeri kalau membayangkan kematian? Kematian
adalah hal yang belum pernah kita alami, belum kita ketahui, bagaimana mungkin
dapat takut terhadap kematian? Mungkin saja ada yang takut terhadap kematian
karena selagi hidup kita mendengar dongeng-dongeng tentang sesudah mati,
tentang penderitaan sesudah mati, tentang hukuman, dan sebagainya, namun rasa
takut kita terhadap itu pun hanya tipis saja, buktinya kalau benar-benar orang
takut akan hukuman sesudah mati, tentu dia tidak akan berani melakukan hal-hal
yang akan menyebabkan hukuman itu! Kiranya bukan itu yang menyebabkan manusia
takut menghadapi kematian.
Bukankah
rasa takut terhadap kematian itu timbul karena kita ngeri membayangkan bahwa
kita akan lenyap? Semua yang kita alami ini akan berhenti dan berakhir?
Bukankah itu yang menimbulkan rasa ngeri terhadap kematian? Kita sudah melekat
kepada kesenangan-kesenangan, atau hal-hal, benda-benda yang kita anggap
menjadi sumber kesenangan. Kita tidak rela meninggalkan semua itu, kita ingin
melanjutkan kesenangan-kesenangan itu sampai abadi. Dan kita tahu bahwa kita
tidak abadi, bahwa kita akan mati! Inilah yang menimbulkan rasa takut,
mengingat bahwa kita takkan bisa apa-apa lagi, tidak akan dapat mendekati
benda-benda yang kita suka atau orang-orang yang kita sayang. Maka timbullah
harapan-harapan agar sesudah mati kita masih terus melanjutkan suatu keadaan
seperti ketika kita masih hidup ini, yaitu kembali mengejar kesenangan, sungguh
pun kesenangan itu sudah berubah lagi bentuknya, disesuaikan dengan keadaan
baru dari badan kita! Lagi-lagi mengejar hal-hal yang menyenangkan! Padahal, justeru
pengejaran terhadap hal-hal yang menyenangkan inilah SUMBER dari mana timbulnya
rasa takut!
Setelah
selesai menguburkan bangkai dua ekor burung besar itu, Suma Han lalu
melanjutkan perjalanannya, kini dengan jalan kaki, untuk mencari dua orang
puteranya. Di dalam hatinya terdapat suatu keputusan bulat, yaitu dia akan
melarang kedua orang puteranya itu untuk bergaul dengan seorang gadis seperti
puteri Hek-tiauw Lo-mo! Dan biar pun dia kini berjalan kaki, namun pendekar
yang memiliki kesaktian luar biasa ini dapat melakukan perjalanan dengan amat
cepatnya. Wussssss…..
***************
Siang In
berlari secepatnya untuk dapat menyusul bayangan Kian Bu yang dia lihat
melarikan diri keluar dari dalam benteng. Akan tetapi, betapa cepat pun dia
lari, betapa hebat dia mengerahkan ginkang-nya untuk dapat menyusul pemuda itu,
namun usahanya sia-sia belaka karena Kian Bu lari dengan menggunakan ilmunya
yang istimewa, yaitu Jouw-sang-hui-teng, yang membuat dia mampu lari secepat
terbang! Maka sebentar saja dia sudah kehilangan bayangan pemuda itu dan mau
rasanya Siang In menangis ketika dia berhenti mengejar dengan napas
terengah-engah itu.
Bertahun-tahun
sudah dia melakukan perjalanan jauh sekali, menjelajahi semua tempat sebelum
dia sampai ke Bhutan dan bertemu dengan Syanti Dewi, dengan maksud mencari
pemuda ini! Dan sekarang, setelah belum lama ini dia baru tahu bahwa Siiuman
Kecil adalah pemuda yang dicari-carinya, yaitu Suma Kian Bu, setelah dia dapat
bertemu muka dengan pemuda itu, bahkan sama-sama berjuang menghadapi
pemberontakan, kini pemuda itu sudah pergi lagi sebelum dia sempat bicara!
Apakah dia harus merantau lagi, mencari-cari seperti dulu, mulai lagi dengan
usahanya sampai bulanan, tahunan untuk dapat bicara dengan Kian Bu?
“Ahh, Kian
Bu... begitu sukarkah untuk dapat bicara denganmu?” Dia termenung dan tenggelam
dalam lamunannya, membayangkan bagaimana dia harus bicara dengan pemuda itu
kalau sampai pada suatu waktu dia berkesempatan untuk bicara dengan pemuda itu.
Siang In
menarik napas panjang dan melanjutkan perjalanannya, perlahan-lahan karena dia
tidak tahu ke mana harus mencari pemuda itu. Dara ini melalui jalan yang naik
turun di pegunungan, sampai akhirnya senja pun tibalah dan terpaksa dia
menghentikan perjalanannya karena dia tiba di sebuah hutan kecil yang sunyi.
Hutan itu kecil, akan tetapi indah sekali karena pohon-pohon yang hidup di situ
adalah pohon-pohon yang mengeluarkan bunga, bahkan tanah di situ dipenuhi
rumput hijau yang merupakan permadani menutup seluruh permukaan, tanah di dalam
hutan. Hutan ini liar, akan tetapi seperti taman yang terpelihara baik saja dan
Siang In mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat ini.
Dia memilih
tempat di bawah sebatang pohon besar, membersihkan tempat itu dengan daun-daun,
lalu dia duduk melepaskan lelah. Perutnya terasa lapar, akan tetapi dia tidak
peduli karena hatinya kesal memikirkan Kian Bu. Rasa lapar dan lelah, ditambah
hati kesal membuat dia lesu dan sebentar saja dia sudah tidur nyenyak. Dia
duduk di atas rumput tebal, punggungnya bersandar batang pohon, kepalanya
miring ke kiri dan napasnya halus tanda bahwa dia sudah pulas benar.
Akan tetapi
pulasnya seorang pendekar silat yang telah memiliki ilmu kepandaian silat
tinggi berbeda dengan pulasnya orang biasa. Biar pun dalam keadaan tidur pulas,
namun panca inderanya yang sudah terlatih itu seolah-olah selalu berada dalam
keadaan siap siaga sehingga sedikit suara saja cukup untuk membangunkannya,
yaitu suara yang tidak wajar dan yang mencurigakan.
Demikian
pula dengan Siang In. Menjelang tengah malam, dia sadar oleh suara kaki manusia
yang berjalan perlahan-lahan menginjak daun kering dan ranting dan begitu
terbangun, dara ini sudah meloncat berdiri, dan seluruh urat syaraf di tubuhnya
siap menghadapi segala bahaya apa pun yang mengancamnya.
Langkah-langkah
kaki itu kadang-kadang berhenti, kadang-kadang bergerak lagi dan dari suara
yang ringan itu Siang In dapat menduga bahwa yang berjalan itu tentu seorang
pandai, atau sedikitnya tentu orang yang telah memiliki ilmu ginkang sehingga
dapat meringankan tubuhnya ketika berjalan. Tiba-tiba timbul harapannya karena
siapa tahu kalau-kalau orang itu adalah pemuda yang dicari-carinya! Siapa lagi
kalau bukan Kian Bu yang berkeliaran di dalam hutan pada malam buta begini?
Kalau orang
lain, apa lagi seorang gadis muda, yang mendengar suara-suara ini di dalam
hutan yang demikian gelap, sunyi dan menyeramkan, tentu akan merasa takut dan
pertama-tama tentu akan menyangka ada setan yang muncul untuk menggodanya. Namun
Siang In adalah seorang dara yang sejak kecil sudah hidup dalam keadaan penuh
bahaya, menyendiri dan sudah banyak merantau di dunia kang-ouw, seorang diri
saja sehingga entah sudah berapa puluh atau ratus kali dia tidur sendirian di
dalam hutan, atau di kuil kosong, dalam goa, atau di mana saja!
Maka,
mendengar suara ini, pertama-tama yang diduganya adalah seorang manusia lain,
atau seorang musuh. Belum pernah dia menyangka akan ada setan, karena dia yang
sudah merantau bertahun-tahun itu belum pernah bertemu dengan setan sehingga
dia yakin benar bahwa setan-setan yang menjadi buah bibir manusia itu hanya
hidup dalam dunia khayal dan bayangan pikiran manusia saja.
Karena
langkah-langkah kaki itu kini membelok, tidak menuju ke tempat itu, Siang In
yang mengharapkan akan bertemu dengan Kian Bu menjadi khawatir kehilangan orang
itu, maka dia pun menyelinap dengan hati-hati sekali, mengejar suara langkah
kaki itu. Dan biar pun ginkang-nya sendiri juga sudah terlatih baik, namun
dalam malam gelap itu tidak urung beberapa kali dia menginjak ranting kering
dan menimbulkan sedikit suara.
Ketika dia
sudah tiba dekat dengan suara langkah kaki itu, mulai nampaklah bayangan orang
karena orang di depan itu sudah tiba di tempat terbuka, di mana cahaya bintang
bintang di langit dapat menembus dan memberi sedikit cuaca yang remang-remang.
“Kresekkk...!”
Kembali kaki Siang In menginjak ranting dan daun kering karena dia merasa
tegang dan gembira, mengira bahwa orang di depan itu tentulah Siluman Kecil
atau Suma Kian Bu, orang yang dicarinya.
Bayangan itu
menoleh cepat sekali dan agaknya juga dapat melihat bayangan Siang In, karena
bayangan itu cepat membalikkan tubuhnya dan menghampiri sambil berseru nyaring,
suaranya penuh harapan dan kegembiraan, suara wanita!
“Suma-taihiap!
Siluman Kecil... engkaukah itu...?”
Mendengar
suara wanita ini, seketika buyarlah harapan Siang In. Sialan, pikirnya,
mengomel di dalam hati, bayangan itu ternyata adalah wanita, dan wanita itu
pun, seperti dia, mencari Siluman Kecil! Akan tetapi dia seperti mengenal suara
itu, maka dia pun melangkah maju, membiarkan wajahnya tertimpa cahaya bintang
yang redup.
“Siapa
engkau?” bentaknya.
Bayangan itu
pun tercengang. “Ahhh... kiranya bukan...!”
Kini dua
orang dara itu berdiri dekat saling berhadapan dan Siang In tentu saja
mengenalnya. Wanita itu bukan lain adalah Ang-siocia atau Kang Swi Hwa, murid
dari Hek-sin Touw-ong yang sudah berjasa besar dalam membantu Jenderal Kao
Liang untuk melakukan gerakan di dalam benteng.
“Enci Swi
Hwa, kiranya engkau!” Siang In berseru, menyembunyikan kekecewaannya.
“Ah, Adik
Siang In! Malam-malam begini engkau berada di dalam hutan, mau apakah? Dengan
siapa engkau di sini?”
“Dan engkau
pun di sini seorang diri! Dan menyangka aku Siluman Kecil!” balas Siang In.
“Mau apakah engkau mencari Siluman Kecil, Enci Swi Hwa?”
Siang In
tidak dapat melihat wajah dara itu di dalam kegelapan malam, akan tetapi dia
mendengar kegugupan gadis itu ketika menjawab, “Aku... aku sudah kenal baik
dengan Suma-taihiap... dan kusangka dia yang masuk ke sini...“
“Ada
keperluan apakah engkau mencari Suma Kian Bu? Atau tidak bolehkah aku
mengetahuinya?”
“Ah,
tidak... tidak apa-apa, hanya ada sedikit pesan... ehhh, dari suhu...,
sudahlah, aku harus cepat kembali kepada suhu, Adik Siang In. Selamat tinggal,
aku mau pergi.”
Siang In
hanya mengangguk tanpa menjawab. Hatinya penuh tanda tanya. Apa pula urusan
Siluman Kecil dengan dara ini? Dara yang cantik manis, lihai dan terutama
cerdik bukan main, juga berjasa besar sekali. Suaranya ketika memanggil ‘Suma
taihiap’ tadi demikian penuh perasaan, penuh harapan dan mesra! Hatinya menjadi
panas. Begitu banyak dara yang agaknya jatuh hati kepada Siluman Kecil! Apa
lagi Hwee Li itu, juga luar biasa cantik jelitanya dan lihai pula. Aihhh,
begitu banyakkah saingannya?
“Gila kau!”
Dia mencela diri sendiri. Mengapa belum apa-apa dia sudah menganggap semua
wanita yang bersikap mesra kepada Siluman Kecil sebagai saingan? Padahal dia
masih belum tahu apa yang menyebabkan dia bertahun-tahun ini selalu terkenang
kepada Kian Bu, yang mendorongnya untuk mencari Kian Bu sampai jauh di Bhutan!
Setelah
pertemuannya dengan Ang-siocia itu, yang mendatangkan rasa kecewa dan kekhawatiran,
Siang In tidak dapat tidur nyenyak lagi. Memang dia bisa pulas, akan tetapi
tidurnya penuh mimpi yang membuat dia kegelagapan karena dalam mimpi itu dia
melihat Kian Bu bermesraan dengan Ang-siocia yang membuatnya terbangun dengan
napas sengal-sengal. Kemudian tidur lagi dan mimpi lagi, sekali ini dia melihat
Kian Bu bergandeng tangan dan bersenda gurau dengan Hwee Li. Kembali dia
terbangun dan memaki diri sendiri yang dianggapnya tolol, memikirkan hal yang
bukan-bukan.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang In telah meninggalkan hutan itu untuk
melanjutkan perjalanannya, sungguh pun dia sendiri tidak tahu harus ke mana
arah perjalanannya itu. Ada dua persoalan yang mendorongnya untuk melakukan
perjalanan. Pertama tentu saja, mencari Kian Bu untuk menyampaikan perasaan
hatinya yang sudah dipendamnya bertahun-tahun, untuk mencari keyakinan. Kedua,
mencari Syanti Dewi yang kabarnya dilarikan oleh Mohinta, panglima dari Bhutan
itu. Seharusnya dia mengejar ke barat karena sangat boleh jadi Puteri Bhutan
itu dilarikan ke barat oleh Mohinta, akan tetapi karena dia melihat Kian Bu
berlari ke utara, maka dia lebih dulu mengejar pemuda itu yang ternyata
kemudian gagal dan sia-sia belaka.
Matahari
telah mulai naik meninggi ketika Siang In tiba di lereng bukit dan selagi dia
berdiri di atas bagian yang agak tinggi untuk memandang ke seluruh penjuru
dengan sinar mata mencari-cari, tiba-tiba muncul seorang kakek bersorban,
begitu saja muncul di depannya seperti iblis. Memang kakek ini semenjak tadi
bersembunyi dan mengintai gerak-gerik Siang In.
Siang In
cepat memandang dengan penuh perhatian dan dia pun segera mengenal kakek ini.
Pernah dia bertemu, bahkan mengadu ilmu sihir melawan kakek ini di tempat pesta
pernikahan Hwa-i-kongcu Tang Hun yang ketika itu merayakan pernikahannya dengan
Puteri Syanti Dewi! Kakek ini bersorban, kulitnya coklat kehitaman, jenggotnya
panjang sampai ke perut dan tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana.
Inilah Gitananda, pendeta bangsa Nepal, pembantu Koksu Nepal, seorang kakek
yang memiliki kekuatan sihir yang hebat!
Setelah
mengenal kakek itu, Siang In menjadi marah. Bukan saja kakek ini pernah
mengganggunya ketika dia berusaha menolong Syanti Dewi yang dulu hendak dipaksa
menjadi isteri Hwa-i-kongcu, akan tetapi juga melihat bahwa kakek ini adalah
pembantu Koksu Nepal yang mengadakan pemberontakan, dan terutama sekali karena
dia sudah mendengar bahwa yang menangkap Syanti Dewi dan membawanya ke dalam
benteng sebagai tawanan adalah kakek ini pula.
“Ah, kiranya
kakek dukun lepus kaki tangan pemberontak!” Dia memaki.
Gitananda
sendiri sejak tadi mengintai gerak-gerik Siang In. Dia sudah merasa heran dan
curiga mengapa ada seorang gadis muda cantik yang berjalan seorang diri di
tempat itu, maka dia tadi bersembunyi dan mengintai. Kini dia pun mengenal dara
ini yang dia tahu mempunyai ilmu sihir yang cukup kuat, maka tertawalah kakek
pendeta Nepal itu. Inilah gadis yang menjadi seorang di antara musuh-musuh
majikannya, yang telah menggagalkan pemberontakan dan menghancurkan benteng.
Juga, dara ini amat cantik jelita, rasanya tidak kalah cantik oleh Puteri
Bhutan, maka kalau dia dapat menangkapnya dan menyerahkannya kepada pangeran
junjungannya, tentu Pangeran Nepal akan girang sekali. Sebagai seorang hamba
yang amat setia, tentu saja dia sudah tahu akan kesukaan Paageran Nepal
terhadap kaum wanita.
Melihat
pendeta itu tertawa dan matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan kurang ajar,
Siang In menjadi marah sekali dan segera dia sudah menubruk ke depan dan
menggerakkan senjatanya yang istimewa, yaitu pedang payungnya! Payung itu
tertutup dan kini ujungnya yang runcing dan mengkilap itu meluncur ke arah
leher Gitananda, mengeluarkan suara mendesing saking cepat gerakannya.
“Hemmm...!”
Gitananda menggereng dengan kaget dan cepat menggerakkan tongkat kayu cendana
untuk menangkis, bukan menangkis payung, tetapi menghantam ke arah pergelangan
tangan yang memegang payung. Tangkisan yang sekaligus merupakan serangan
balasan!
Akan tetapi
Siang In memiliki gerakan yang luar biasa cepatnya. Serangan balasan lawan ini
sama sekali tidak membuat dia menjadi gugup, sebaliknya malah dia sudah menarik
kembali pedang payungnya dan secepat kilat pedang payung itu telah membalik dan
menusuk ke arah lambung lawan!
“Uuuhhh...!”
Kembali Gitananda berseru kaget.
Cepat dia
melempar tubuh ke belakang karena untuk menangkis sudah tidak sempat lagi.
Kakek ini terjengkang, bergulingan dan meloncat bangun dengan muka berubah
pucat, lalu merah karena penasaran. Dalam dua gebrakan saja hampir dia termakan
lawan!
Marahlah
Gitananda. Lawannya hanya seorang dara remaja yang masih amat muda, pantas
menjadi cucu muridnya, mustahil kalau dia sampai kalah oleh dara ini. Sambil
mengeluarkan teriakan nyaring dia lalu menyerang, menubruk ke depan dan memutar
tongkatnya yang mengeluarkan bau harum kayu cendana.
Melihat ini,
dara itu tersenyum. Bagus, pikirnya girang, makin marah dan ganas gerakan lawan
ini makin mudah baginya untuk mencapai kemenangan. Ilmu silat kakek ini biar
pun cukup ganas, namun dasarnya liar dan hanya mengandalkan tenaga kasar, maka
dia merasa sanggup untuk mengatasinya. Yang berbahaya adalah ilmu sihir kakek
ini. Maka melihat serangan yang ganas itu, Siang In bersikap tenang saja,
memainkan pedang payungnya, menangkis dan mengelak sambil kadang-kadang memutar
payungnya sehingga terbuka dan setelah menolak semua serangan tongkat,
tiba-tiba dia mengirim balasan yang mengejutkan sehingga beberapa kali kakek
itu berseru kaget dan meloncat ke belakang, ditertawakan oleh Siang In.
“Hi-hik,
kiranya sebegitu saja tongkatmu penggebuk anjing itu?” Dia mengejek dan pendeta
itu menjadi makin marah. Inilah yang dikehendaki oleh Siang In. Makin marah,
makin kacaulah permainan silat, hal ini sudah diketahui oleh semua ahli.
Kemarahan
membuat kewaspadaan banyak berkurang dan gerakan silat tidak lagi mengandung
kecerdikan, melainkan semata-mata merupakan peluapan dari kemarahan dan
kebencian dan karenanya menjadi lengah. Demikian pula dengan Gitananda. Dia marah
bukan hanya karena ejekan Siang In, melainkan terutama sekali karena merasa
penasaran bahwa dia, pembantu Koksu Nepal, bahkan orang kepercayaan Pangeran
Nepal, kini dipermainkan oleh seorang dara remaja!
Sesungguhnya,
tingkat ilmu silat yang dikuasai oleh pendeta itu tidak kalah banyak
dibandingkan dengan ilmu silat Siang In. Memang dasar ilmu silat dara ini lebih
murni dan kuat, akan tetapi dalam hal pengalaman bertempur, kakek itu lebih
menang, maka andai kata Gitananda tidak marah-marah dan penasaran, dan mau
bertanding dengan tenang, agaknya tidak mudah bagi Siang In untuk
mengalahkanya.
Akan tetapi
kini, dalam keadaan marah-marah dan kurang waspada, ketika dara itu menggunakan
ilmu tendangnya Soan-hong-twi yang amat cepat, kedua kaki kecil itu berputaran
dan bertubi-tubi menendang diselingi dengan tusukan-tusukan pedang payungnya,
Gitananda tidak mampu mempertahankan diri lagi dan kurang cepat sehingga
tendangan kaki kiri Siang In yang meluncur dari samping sempat mencium
lambungnya.
“Dukkk!”
Gitananda
mengeluh dan roboh terguling, terus bergulingan sambil meringis kesakitan dan
tongkatnya menyambar-nyambar melindungi tubuhnya yang sedang bergulingan itu.
Setelah
dapat meloncat bangkit dan berdiri lagi, wajah kakek itu menjadi merah penuh
kemarahan. Dia mengacungkan tongkat kayu cendana itu ke atas, dan kemudian dia
mengeluarkan pekik melengking dahsyat, seluruh tubuhnya menggigil dan mendadak
Siang In ikut pula menggigil! Maka segera tahulah dara ini bahwa lawannya sudah
mengeluarkan ilmu sihir, maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya, memusatkan
perhatiannya dan mengerahkan kekuatan sihir yang selama bertahun-tahun ini
sudah dipelajarinya dari gurunya. Terjadilah pertempuran yang tidak nampak oleh
mata orang, akan tetapi terasa sekali oleh kedua orang itu, getaran-getaran
ajaib yang saling menyerang.
“Bocah
sombong, lihatlah siapa aku! Aku adalah Gitananda, ahli sihir terkuat di Nepal!
Engkau harus tunduk kepadaku!” Kakek itu membentak, suaranya terdengar aneh dan
lucu, seperti suara dari jauh, seperti suara setan!
Namun dengan
tenang dan berani. Siang In menentang pandang mata lawannya. Dia merasa betapa
sinar mata lawan itu seperti dua sinar tajam hendak menembus dan mencengkeram
kesadarannya, tetapi dia mengerahkan tenaga dan dia pun membentak, halus akan
tetapi nyaring, “Tua bangka, engkau tidak tahu siapa aku! Aku adalah murid
See-thian Hoat-su, seorang ahli sihir kenamaan di seluruh dunia! Aku tidak akan
tunduk kepadamu!” Akan tetapi Siang In terpaksa menghentikan kata-katanya
karena makin panjang kata-katanya, makin banyak dia membagi tenaga dan
perhatian sehingga dia terhuyung!
“Ha-ha-ha...!”
Kakek itu tertawa bergelak dan menambah kekuatannya, namun Siang In sudah
cepat-cepat menguasai keadaannya dan kini dara itu memusatkan perhatiannya
menolak pengaruh ajaib yang keluar dari pandang mata lawan itu. Tiba-tiba
Gitananda mengeluarkan suara bentakan nyaring dan dia sudah melontarkan
tongkatnya ke atas. Seketika tongkat itu mengeluarkan suara auman seperti singa
dan memang tongkat itu dalam pandang mata Siang In berubah menjadi singa yang
menubruknya dengan dahsyat!
“Dukun
lepus, siapa takut permainanmu ini?” bentaknya dan dia memapaki ‘singa’ itu
dengan bacokan pedang payungnya.
“Cusssss!”
Bayangan
singa yang terkena pedang payung itu seketika berubah, menjadi seekor ular yang
melibat payung dan membetot dengan kerasnya. Siang In terkejut, merasa tertipu
dan dia mempertahankan payungnya. Terdengar Gitananda tertawa dan menggerakkan
kedua tangannya ke arah tongkat yang menjadi ‘ular’ dan melibat pedang payung
itu.
Siang In
tidak mau kalah, tidak mau menyerahkan pedang payungnya begitu saja untuk
dirampas lawan, maka sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, dia pun menarik
dengan pengerahan tenaga Iweekang.
“Krakkk!
Krekkk!”
Pedang
payung dan ‘ular’ itu patah-patah dan runtuh ke atas tanah, pedang payung rusak
dan patah, juga tongkat itu patah menjadi tiga potong! Dengan terkejut dan
marah sekali Siang In membuang gagang payungnya. Gitananda tertawa bergelak,
karena biar pun dia sendiri kehilangan tongkatnya, namun dia girang melihat
senjata istimewa dari dara itu rusak, karena senjata itulah yang membuat dia
tadi repot menghadapi Siang In.
Suara ketawa
ini dan hawa yang mengandung kekuatan sihir yang ajaib itulah yang terdengar
sampai jauh dan menarik perhatian seorang pemuda yang sedang berjalan di dalam
hutan tak jauh dari tempat itu. Siapakah pemuda ini? Dia bukan lain adalah Suma
Kian Bu!
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Kian Bu lari meninggalkan Phang Cui Lan dan
Kim Sim Nikouw. Dia merasa amat kasihan kepada Cui Lan. Dia tahu betul sejak
dia menolong dara itu dari dalam dusunnya, ketika dusun Cian-li-cung dirampok
oleh gerombolan yang mengakibatkan musnahnya keluarga gadis itu, bahwa Cui Lan
jatuh cinta kepadanya. Dia dapat mengetahui hal ini dari pandang mata yang
mesra dan lembut, dari suara dalam kata-katanya, dan dari senyumnya. Dara itu
bersedia menyerahkan jiwa raganya kepadanya.
Dan dia juga
tahu bahwa dia tidak boleh merusak hati dara ini, dan bahwa dia tidak membalas
cintanya maka dia bersikap keras, sengaja untuk membuka mata Cui Lan bahwa dia
tidak mungkin dapat membalas cintanya. Kalau dia melayani Cui Lan, kalau dia
memperlihatkan sikap manis, akan makin ‘parah’ penyakit dara itu. Memang dia
pun tahu bahwa Cui Lan adalah seorang dara yang selain cantik jelita dan lemah
lembut, juga halus perasaannya dan memiliki jiwa yang gagah berani. Kalau dia
menyambut cinta kasih Cui Lan, itu berarti bahwa dia mendapatkan seorang gadis
pilihan yang sukar dicari keduanya.
Akan tetapi,
tentu dia juga akhirnya akan merana karena dia tidak tertarik kepada Cui Lan,
tidak mencintanya. Satu-satunya wanita yang pernah dicintanya adalah Puteri
Syanti Dewi, dan akhir-akhir ini dia tertarik kepada seorang dara yang cantik
jelita dan galak, seorang gadis yang lincah bukan main, yaitu Siang In! Akan
tetapi, begitu dia teringat kepada Siang In, hatinya berdebar bingung. Dara itu
kelihatan bergaul dengan amat eratnya bersama Kian Lee, bahkan agaknya saling
mencinta!
Hal inilah
yang membingungkan Kian Bu. Dia tahu betul bahwa Hwee Li mencinta Kian Lee,
dara yang amat jujur dan polos itu terang-terangan menyatakan cintanya kepada
Kian Lee. Akan tetapi sekarang kelihatannya Kian Lee saling jatuh hati dengan
Siang In. Padahal dia sendiri tertarik oleh Siang In. Bingunglah Kian Bu, akan
tetapi bagaimana pun juga, dia tidak hendak merintangi kebahagiaan kakaknya.
Dia pun tahu bahwa kakaknya itu pernah patah hati, tidak bahagia cintanya
terhadap Ceng Ceng. Maka, kini dia tidak ingin melihat kakaknya gagal lagi
dalam bercinta, karena dia sendiri sudah mengalami betapa pahit dan sengsaranya
mengandung penderitaan rindu karena cinta gagal!
Selagi
pemuda itu berjalan sambil melamun karena dia tidak dapat menemukan jejak
kakaknya, dia mendengar suara ketawa itu. Hatinya sedang risau karena ke mana
pun mencari, dia kehilangan jejak Kian Lee yang sudah jauh lebih dulu pergi
meninggalkan benteng. Maka ketika mendengar suara ketawa aneh itu, dia tertarik
dan mengharapkan kalau-kalau suara itu ada hubungannya dengan kakaknya! Maka
dia cepat menghampiri ke arah suara yang kedengarannya dari luar hutan.
Setelah
dekat, dia terkejut bukan main karena suara ketawa itu mengandung getaran aneh
yang membuat jantungnya berdebar-debar, dan juga setelah berada di luar hutan,
dia merasakan adanya pengaruh mukjijat, seolah-olah keadaan di sekeliling
tempat itu terdapat dua tenaga sakti yang saling bertentangan, tenaga sihir
yang saling dorong! Cepat dia menyelinap dan berindap-indap mendekati, dan
dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat seorang dara yang baru
saja dibayang-bayangkan, yaitu Siang In, berdiri berhadapan dengan seorang
kakek bersorban, dan kedua orang ini agaknya sedang mengadu ilmu sihir!
Memang
demikianlah keadaannya. Setelah melihat betapa senjata pedang payung dara itu
yang amat ditakutinya patah, Gitananda lalu mengerahkan kekuatan sihirnya. Dia
berteriak keras dan kedua tangannya didorongkan ke depan, kedua lengannya yang
panjang berbulu itu lurus ke depan, ke arah Siang In, dan jari-jari tangannya
bergerak gerak seperti cakar-cakar setan yang hendak mencengkeram. Dan biar pun
jarak antara mereka cukup jauh, namun Siang In merasa betapa kedua tangan itu
seolah-olah berada di depan mukanya. Maka dia pun lalu melonjorkan kedua
lengannya untuk menolak.
Kekuatan
sihir sepenuhnya terpancar dari dua pasang mata dan dua pasang tangan itu,
membuat suasana di sekeliling itu tergetar hebat. Bahkan Kian Bu sendiri,
seorang pendekar sakti yang memiliki sinkang amat kuatnya, merasakan getaran
ini sehingga diam-diam dia pun mengerahkan sinkang-nya untuk bertahan agar
jangan sampai dia ‘terseret’ oleh gelombang getaran yang amat kuat itu.
Diam-diam dia memandang kagum kepada Siang In, kagum dan juga khawatir karena
dia maklum betapa lihainya kakek Nepal itu.
Adu kekuatan
sihir itu dilanjutkan dan makin lama Siang In merasa makin lemah. Kedua kakinya
sudah gemetar dan tahulah dia bahwa kakek itu lebih kuat dari padanya dan kalau
dilanjutkan tentu dia akan celaka. Maka, tiba-tiba saja dia merendahkan
tubuhnya dan tangan kirinya mencengkeram tanah lalu disambitkan ke depan. Sinar
hitam dari pasir dan tanah menyambar ke arah kakek itu.
“Ihhhhh!”
Gitananda berteriak kaget.
Biar pun
yang menyambar itu hanya tanah dan pasir, akan tetapi karena disambitkan dengan
pengerahan tenaga sinkang, dapat menembus kulit daging! Dia tak menyangka bahwa
lawannya dapat bergerak secepat itu dan karena dia tadi mencurahkan seluruh
tenaga dan kekuatan untuk merobohkan dara yang sudah mulai lemah itu, maka kini
dia gelagapan! Namun, kakek ini memang lihai sekali. Dia tidak mau menurunkan
kedua tangannya yang mendorong, karena dengan terus menekan dia mengharapkan
kemenangan. Kini dia menggerakkan pinggulnya sedemikian rupa sehingga ujung
jubahnya yang panjang berkibar ke depan tubuhnya, menyambut tanah dan pasir itu
sehingga tidak mengenai tubuhnya, melainkan runtuh oleh sambaran ujung
jubahnya.
Akan tetapi
Siang In juga bukan seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa kalau hanya
mengadu kekuatan sihir, dia akan kalah, maka dia harus mendesak lawan dengan
pertandingan yang mengandalkan ilmu silat di mana dia merasa akan dapat
mengatasi lawannya. Oleh karena itu, dia hanya menggunakan setengah bagian
tenaganya untuk bertahan dalam pertandingan tenaga sihir, dan kini dia sudah
menyambar potongan tongkat kayu cendana milik kakek itu dan melontarkannya ke
arah lawan.
“Haihhhhhh!”
Kakek itu membentak dan menuding ke arah tongkatnya dan tiba-tiba tongkat itu
berubah menjadi burung dan terbang ke atas lalu meluncur ke arah Siang In untuk
menyerang dara ini.
Melihat
betapa tongkat pendek itu berubah menjadi burung yang kini mematuk ke arah
matanya, Siang In terkejut sekali, menggerakkan tangan kiri dan menyampok
sambil membentak, “Kembali menjadi tongkat!” Dan burung itu tersampok jatuh,
berubah menjadi tongkat lagi.
“Heh-heh-heh,
engkau tak akan dapat lari dariku, Nona. Engkau harus ikut bersamaku dan
menjadi tawananku untuk kuhadapkan kepada pangeran...!” kata kakek itu sambil
menyeringai.
Tiba-tiba
dia memekik dahsyat dan terjadilah hal yang amat aneh. Kian Bu yang tidak mampu
pula mengelak dari pengaruh sihir itu, terbelalak memandang betapa jenggot
kakek itu yang panjangnya sampai ke perut, kini jenggot itu bergerak dan tumbuh
makin lama makin panjang, melingkar-lingkar dan merayap seperti ular-ular yang
memenuhi tempat itu! Kian Bu terbelalak dan menahan napas memandang penglihatan
yang luar biasa ini.
Siang In
juga kelihatan sangat terkejut. Dia sudah mencoba untuk mengerahkan tenaga
sihirnya, untuk menghentikan penglihatan itu atau untuk menyadarkan matanya
bahwa yang dilihatnya itu hanyalah khayalannya sendiri. Akan tetapi percuma
saja, dia tetap melihat jenggot itu merayap-rayap dan tumbuh semakin panjang.
Kemana pun dia melangkah, tentu dia disambut gumpalan-gumpalan jenggot yang
melingkar-lingkar seperti benang ruwet, rambut-rambut jenggot yang hidup dan
menjijikkan, mengerikan.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment