Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 26
Betapa
kecewa hati Kian Lee dan Hwee Li ketika mereka tiba kembali di bekas benteng
pangeran dari Nepal yang kini telah hancur dan bekas terbakar itu. Mereka
melihat benteng hancur yang sunyi, dijaga oleh puluhan orang prajurit yang
ditinggalkan oleh Puteri Milana untuk menjaga tempat itu.
Dua orang
muda ini lalu mencari keterangan dari para prajurit tentang Kian Bu yang mereka
cari-cari. Para prajurit hanya mengatakan bahwa semua pendekar telah pergi
semua dan mereka tidak tahu ke mana perginya Pendekar Siluman Kecil, tidak tahu
pula apakah pendekar berambut putih itu ikut bersama Panglima Puteri Milana
kembali ke kota raja ataukah tidak.
Akan tetapi
ada seorang prajurit yang melihat bahwa pendekar itu pergi ke arah timur.
Mendengar ini, giranglah hati Kian Lee dan Hwee Li. Mereka lalu cepat pergi ke
timur meninggalkan benteng rusak itu untuk mencari Kian Bu. Sampai berhari-hari
mereka mengejar dan mencari, akan tetapi belum juga menemukan jejak Kian Bu.
Tidak ada seorang pun di sepanjang jalan yang mereka lalui tahu tentang
pendekar berambut putih itu sehingga hati kedua orang muda ini menjadi makin
bingung.
Kurang lebih
sepekan kemudian, mereka mendengar dari seorang petani bahwa dia melihat
orang-orang yang lari seperti terbang memasuki hutan. Mendengar keterangan yang
tidak jelas ini, Kian Lee dan Hwee Li cepat mengejar ke dalam hutan. Akan
tetapi sampai malam tiba, mereka tidak bertemu dengan siapa pun sehingga
akhirnya mereka terpaksa bermalam di dalam kuil tua karena cuaca sudah terlalu
gelap untuk berkeliaran di dalam hutan itu. Karena mereka berdua belum tahu
siapa adanya orang-orang yang oleh si petani dikabarkan seperti orang-orang
yang terbang memasuki hutan, kawan ataukah lawan, maka Kian Lee dan Hwee Li
yang bersikap hati-hati tidak membuat penerangan di dalam kuil. Hwee Li
membersihkan lantai dan mereka berdua duduk di dalam ruangan kuil tua
melepaskan lelah sambil bercakap-cakap. Sebelum gelap tadi, mereka sudah
berhenti di dekat sumber air di hutan itu untuk makan dan minum, maka kini
mereka tinggal beristirahat saja.
Malam itu
tidak terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hwee Li sudah
terbangun oleh suara ayam hutan berkokok dan berkeruyuk. Dia menoleh ke kiri
dan tidak melihat Kian Lee. Tentu pemuda itu telah bangun lebih dulu dan pergi
ke sumber air yang berada agak jauh di belakang kuil, pikirnya. Dia masih
merasa malas untuk bangun, hari masih terlampau pagi dan hawa udara sedemikian
sejuknya sehingga kembali Hwee Li melingkar dan berselimut jubah Kian Lee yang
oleh pemuda itu semalam diselimutkan kepadanya tanpa dia ketahui.
Tiba-tiba
dara ini meloncat dan seketika dia menjadi sadar betul seperti biasanya seorang
ahli silat kalau mendengar sesuatu yang mencurigakan. Seluruh urat syarafnya
menegang dan cepat dia menyelinap di balik dinding, mengintai ke luar dari mana
dia mendengar suara orang memasuki kuil itu, suara langkah kaki yang ragu-ragu
dan hati hati. Dan dia melihat seorang wanita memasuki kuil itu, seorang wanita
muda yang memegang sebatang pedang. Wanita itu cantik dan pakaiannya berwarna
hijau. Kim Cui Yan, wanita baju hijau sumoi dari Liong Tek Hwi saudara misan
Pa-ngeran Nepal!
Tentu saja
Hwee Li segera mengenali wanita ini, wanita cantik yang masih terhitung kakak
tirinya itu! Akan tetapi karena enci tirinya ini pernah membantu Pangeran
Nepal, atau setidaknya termasuk kelompok lawan, maka Hwee Li diam saja dan
mengintai penuh perhatian. Dia melihat betapa Kim Cui Yan berdiri sambil
mundur-mundur dan memandang ke arah pintu kuil. Di luar kuil masih gelap dan
sangat sunyi. Cui Yan nampak gelisah sekali, wajahnya tidak begitu nampak jelas
di keremangan cuaca, namun gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia sedang dilanda
ketakutan dan pedang telanjang di tangannya itu dilintangkan depan dada, siap
untuk digerakkan menyerang lawan.
Keadaan di dalam
kuil rusak itu makin terang ketika sinar matahari pagi mulai mengusir
kegelapan. Hwee Li melihat enci tirinya itu masih berdiri setelah mundur-mundur
sampai punggungnya menempel dinding retak-retak. Kini dia dapat melihat wajah
yang agak pucat itu, wajah yang jelas memperlihatkan rasa takut dan juga lelah.
Agaknya semalam itu enci-nya tidak tidur, dan berada dalam ketakutan, mungkin
dikejar-kejar musuh.
Hati Hwee Li
menjadi panas. Betapa pun juga, wanita ini adalah enci tirinya, seayah dengan
dia, maka sudah sepatutnya kalau dia bela. Dia akan menanti dan melihat sampai
musuh yang agaknya ditakuti enci-nya itu muncul, dan kalau perlu, dia akan
membantu enci tirinya. Hwee Li bersiap-siap dan menduga-duga siapa adanya musuh
yang begitu ditakuti enci-nya, padahal dia tahu bahwa Kim Cui Yan yang berjuluk
Si Walet Hijau ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga tidak akan
mudah dikalahkan orang begitu saja.
Tak lama
kemudian, suasana yang penuh ketegangan yang mencekam hati itu pecah oleh suara
wanita yang nyaring, “Perempuan kejam, hendak lari ke manakah engkau?”
Hwee Li
terkejut bukan main mendengar suara yang amat dikenalnya itu dan begitu wanita
itu muncul di ambang pintu, Hwee Li memandang terbelalak dari tempat
persembunyiannya. Wanita itu bukan lain adalah gurunya sendiri, Ceng Ceng atau
isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Wajah nyonya muda ini kelihatan bengis
dan sepasang matanya mencorong seperti mata naga ketika dia memasuki ruangan
kuil itu dengan tenang, namun di setiap langkahnya terkandung ancaman maut yang
membuat Hwee Li menggigil. Dia melihat betapa Cui Yan juga terkejut dan muka
enci tirinya itu menjadi makin pucat, akan tetapi tangan yang memegang pedang
itu tidak gemetar.
“Kau... kau
terlalu mendesakku!” kata Cui Yan dan kini dia melangkah maju dengan pedang
siap di tangan.
“Perempuan
keparat, pada waktu engkau menculik dan melarikan puteraku, apakah perbuatanmu
itu tidak terlalu kejam? Engkau membuat duniaku hampir kiamat rasanya, dan
sekarang engkau bilang aku mendesakmu?” Nyonya muda itu berkata, suaranya
mengandung penuh kebencian.
Karena sudah
tersudut, agaknya Kim Cu Yan menjadi berani dan nekat. Dia menjawab dan
suaranya terdengar penuh penyesalan, “Hemmm, seluruh keluarga ayahku tewas
karena ayah mertuamu, kalau aku melarikan puteramu dan di sepanjang jalan aku
merawatnya, menjaganya dan sama sekali tidak pernah menyiksanya, bukankah aku
masih jauh lebih baik dari pada ayah mertuamu?”
Sepasang
mata Ceng Ceng mengeluarkan sinar berkilat. “Ayahmu adalah pemberontak, sudah
selayaknya dihukum!”
“Ayahku
boleh jadi pemberontak, akan tetapi apakah ibuku, dan keluarga ayah, juga
berdosa?” Cui Yan balas menghardik.
Ceng Ceng
adalah seorang wanita yang berhati keras seperti baja. Biar pun dia dapat
mengerti akan rasa penasaran di hati dara itu karena seluruh keluarganya tewas,
akan tetapi tentu saja dia membela pihaknya sendiri. “Tidak perlu banyak
cerewet, engkau memegang pedang. Nah, kita sudah berhadapan, mari membuat
perhitungan. Engkau boleh melepaskan dendam kematian keluarga ayahmu, dan aku
akan membalasmu dan menghukummu karena engkau pernah menculik puteraku. Atau
barangkali engkau takut, pengecut seperti mendiang ayahmu?”
“Perempuan
sombong!” Kim Cui Yan menjerit dan pedangnya menyambar.
Ceng Ceng
cepat mengelak dan balas menyerang dengan tamparan tangannya yang mengandung
tenaga sakti yang luar biasa itu. Hwee Li menonton dari balik pintu tembusan
itu dengan mata terbelalak dan bingung. Tadi dia sudah sempat mengambil
keputusan untuk membela dan membantu enci tirinya berhadapan dengan musuh, akan
tetapi setelah melihat bahwa musuh enci-nya itu bukan lain adalah gurunya
sendiri, dia menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa! Maka dia hanya
bengong dan melihat ke arah pertandingan yang berjalan amat seru itu dengan
bingung, mengepal tinju dengan hati amat gelisah dan khawatir.
Kim Cui Yan
adalah murid terkasih dari nenek Kim-mou Nionio, datuk barat di luar tembok
besar yang amat sakti, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai
tingkat tinggi. Apa lagi dia kini memegang sebatang pedang dan mainkan Ilmu
Pedang Swat-lian Kiamsut (Ilmu Pedang Teratai Salju) yang berhawa dingin
sekali, maka dia merupakan seorang lawan yang lihai dan berbahaya. Akan tetapi,
kini dia berhadapan dengan Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir!
Nyonya muda ini semenjak minum sari darah anak naga telah memiliki tenaga
sinkang yang luar biasa dahsyatnya, ditambah lagi memperoleh bimbingan suaminya
dalam ilmu silat tiinggi, maka dia merupakan seorang tokoh wanita yang jarang
dapat ditemukan tandingannya di waktu itu.
Pertandingan
itu berjalan cepat dan juga seru, karena Kim Cui Yan yang maklum akan kehebatan
lawan itu berkelahi mati-matian. Akan tetapi, akhirnya dia harus mengakui
keunggulan lawannya ketika dengan tenaganya yang dahsyat, Ceng Ceng berhasil
memukul pergelangan tangan kanannya sehingga pedangnya terlepas dan terampas
oleh lawan. Di lain saat, Ceng Ceng sudah menodongkan ujung pedang rampasan itu
ke leher lawan sampai menempel di kulit tenggorokan Cui Yan yang tak berani
bergerak lagi karena bergerak berarti lehernya tertembus ujung pedangnya
sendiri!
Cui Yan
hanya melangkah mundur, namun ujung pedang itu tidak pernah meninggalkan kulit
tenggorokannya sedikit pun, terus menempel ketika Ceng Ceng melangkah maju pula
mengikutinya sampai akhirnya Cui Yan tidak mampu mundur lagi oleh karena
punggungnya telah menumbuk bekas perapian di ruangan kuil tua itu.
“Bunuhlah,
siapa takut mati?” teriak Cui Yan sambil memandang dengan mata yang terbelalak.
“Perempuan
keji, memang aku akan membunuhmu...“
“Tunggu!
Jangan bunuh dia, Subo...!” Hwee Li menjerit dan meloncat keluar dari tempat
persembunyiannya.
Ceng Ceng
menahan pedangnya dan memandang kepada muridnya itu dengan kaget dan heran.
Tanpa menurunkan pedangnya yang tetap menodong leher Cui Yan, dia membentak,
“Apa maksudmu, Hwee Li? Mengapa engkau mencegah aku membunuh penculik puteraku
ini?”
“Subo,
jangan bunuh dia... dia adalah enci-ku sendiri...“
Ceng Ceng
merasa terkejut bukan main mendengar ini sehingga otomatis pedang itu
diturunkannya dari leher Cui Yan yang juga merasa heran sekali mendengar itu
dan memandang kepada Hwee Li dengan mata penuh keheranan.
“Enci-mu?
Jadi dia ini juga puteri Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka?” tanya Ceng Ceng
dengan alis berkerut.
“Bukan,
Subo. Akan tetapi dia adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin...”
“Dan engkau
puteri Hek-tiauw Lo-mo, bagaimana kau bisa bilang dia enci-mu?”
“Tidak,
teecu hanya anak angkat saja dari Hek-tiauw Lo-mo, sebetulnya teecu adalah
puteri Kim Bouw Sin juga, dari salah seorang selir yang dilarikan oleh
Hek-tiauw Lo-mo. Teecu Kim Hwee Li adalah adik tirinya seayah dengan Enci Cui
Yan. Oleh karena itu, harap Subo memandang muka teecu dan suka mengampuni Enci
Cui Yan.”
Keterangan
ini membuat Ceng Ceng melangkah mundur tiga langkah dan dia demikian tercengang
sehingga tangan kirinya naik dan mengusap pipinya sendiri. Kenyataan ini
merupakan pukulan baginya.
“Ahhh,
kau... jadi engkau ini anak pemberontak? Aihhh, sungguh celaka sekali. Jadi
selama ini aku mengambil anak pemberontak keji dan hina sebagai murid?”
Saking
menyesalnya, Ceng Ceng lalu menggunakan kedua tangan menekuk pedang di
tangannya itu.
“Krekkk!”
Pedang Cui
Yan itu patah menjadi dua dan Ceng Ceng melemparkannya ke atas tanah. Matanya
menatap wajah muridnya itu dengan penuh kemarahan, kekecewaan dan penyesalan.
Kemudian dia mengeluh dan sekali berkelebat, dia sudah meloncat keluar dari
kuil itu.
“Ahhh...“
Hwee Li rnemejamkan kedua matanya dan seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia merasa
lega bahwa nyawa enci tirinya terlepas dari ancaman maut, akan tetapi juga
berduka sekali karena maklum bahwa gurunya itu merasa kecewa dan menyesal dan
dia merasa bahwa semenjak saat tadi, tali perhubungan antara dia dan gurunya
telah diputuskan oleh gurunya, seperti gurunya mematahkan pedang tadi.
Tiba-tiba
terdengar suara yang membuat Hwee Li cepat membuka mata, membalikkan tubuh dan
memandang ke arah jendela. Di luar jendela itu telah berdiri Kian Lee, wajahnya
pucat, matanya terbelalak dan kerut-merut duka terbayang di wajah itu.
“Ya Tuhan...
jadi engkau ini anak Kim Bouw Sin pemberontak hina itu...?” Setelah berkata
demikian, Kian Lee berkelebat pergi.
“Lee-koko...!”
Hwee Li menjerit.
Dia meloncat
ke dekat jendela, akan tetapi ketika dia memandang, bayangan Kian Lee telah
lenyap dari situ dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengejar pemuda itu
yang dapat lari jauh lebih cepat dari pada dia, bahkan lebih cepat dari gurunya
tadi. Maka tak tertahankan lagi Hwee Li menangis terisak-isak sambil bersandar
di ambang jendela yang retak-retak. Memang tadinya dia sudah merasa berduka
sekali oleh sikap gurunya yang tercinta, yang kelihatan kecewa dan meninggalkanya
dengan marah dan menyesal. Sikap gurunya sudah membuat dia hampir menangis,
maka sikap Kian Lee yang mengeluarkan kata-kata yang sama dengan ucapan gurunya
menjebol bendungan hatinya yang seperti disayat rasanya.
Sebuah
tangan yang halus menyentuh pundaknya. Hwee Li menoleh dan melihat Cui Yan
berdiri di dekatnya. Mereka saling pandang dan Hwee Li melihat betapa kedua
mata gadis itu penuh air mata, betapa mata itu memandangnya penuh perasaan iba.
Tiba-tiba, seperti ada sesuatu yang menarik mereka, keduanya saling rangkul dan
menangislah dua orang dara itu tersedu-sedu. Kakak beradik yang saling jumpa
dalam keadaan yang menyedihkan.
Setelah
tangis mereka mereda, biar pun Hwee Li masih sesenggukan, akan tetapi Cui Yan
telah dapat menguasai hatinya. Sambil merangkul adiknya, dia berkata, “Aku
sudah menduga-duga dengan penuh keheranan mengapa engkau serupa sekali dengan
ibu ketiga, yaitu selir ayah yang cantik. Aku berusia kurang lebih enam tahun
ketika ibumu itu lenyap. Kiranya engkaulah puterinya yang ketika itu baru
berusia tiga bulan. Kenapa engkau tidak bilang kepadaku bahwa engkau adikku
ketika kita berada di benteng?”
Hwee Li
menghapus air matanya dan keduanya lalu duduk di atas lantai ruangan itu.
“Aku... aku tidak ingin diketahui oleh... mereka bahwa aku adalah puteri
pemberontak, maka aku diam saja walau pun aku sudah mendengar bahwa engkau
adalah kakak tiriku, Enci Cui Yan.”
Gadis baju
hijau itu menarik napas panjang. “Aku mengerti. Mereka semua membenci ayah
kita. Sungguh menggemaskan sekali! Apa hubungannya ayah kita dengan kita?
Kenapa kita diikutkan memikul kesalahan yang diperbuat oleh ayah kita?” Lalu
Cui Yan merangkul lagi leher adiknya. “Engkau... engkau telah berkorban untuk
keselamatanku, Adikku! Engkau telah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi untuk
itu engkau kehilangan guru... dan pemuda itu...”
Diingatkan
begini Hwee Li menangis lagi. Dia merebahkan diri di atas dada enci-nya dan
kembali keduanya bertangisan.
Memang
demikianlah satu di antara ‘kebiasaan umum’ yang sudah membudaya dalam
kehidupan kita. Manusia dinilai bukan dari keadaan manusia itu sendiri pada
saat itu, melainkan dinilai dari segala yang melekat pada dirinya. Ada
penilaian terhadap manusia didasarkan atas kebangsaannya, sukunya,
masyarakatnya, agamanya, orang tuanya, keluarganya, pendidikannya,
kedudukannya, hartanya dan sebagainya lagi.
Sungguh
merupakan suatu kebiasaan yang amat buruk dan palsu. Sudah menjadi kebiasaan
dalam peradaban kita ini untuk menilai dan menentukan keadaan seseorang dan apa
yang nampak oleh kita. Padahal, tidak ada orang yang dapat menilai orang lain,
kecuali dirinya sendiri. Kalau kita membenci bangsanya atau sukunya, setiap
orang yang menjadi anggota bangsa atau suku itu pun kita benci. Kalau kita
membenci ayahnya, setiap keluarga dari si ayah itu pun kita benci. Pandangan
seperti ini tentu saja amat sesat. Pandangan seperti ini menimbulkan konflik
antara suku, antara bangsa, antara agama, antara keluarga dan antara perorangan.
Dapatkah
kita hidup di dunia ini sedemikian bebasnya dari pandangan ketergantungan dan
penilaian ini hingga kita menghadapi siapa pun juga tanpa mengingat kebangsaan,
kesukuan, agamanya, kaya miskinnya, pintar bodohnya, keluarganya, tetapi sebagai
manusia dengan manusia lain pada saat itu juga, tanpa diembel-embeli latar
belakang atau latar depannya, asal-usulnya atau segala perbuatannya yang telah
lampau? Kalau tidak dapat, maka konflik antara manusia pun takkan pernah dapat
dihentikan!
Kakak beradik
itu lalu saling menceritakan pengalaman dan riwayat mereka masing masing.
Dengan segala kejujuran mereka membuka rahasia hati masing-masing hingga
mengertilah Hwee Li bahwa enci-nya ini saling mencinta dengan Liong Tek Hwi dan
merencanakan pernikahan mereka. Sebaliknya, Kim Cui Yan mendengar bahwa adik
tirinya ini sesungguhnya saling mencinta dengan Suma Kian Lee, pemuda yang tadi
meninggalkan adiknya karena kecewa mendengar bahwa adiknya itu puteri seorang
pemberontak.
“Sudahlah,
jangan engkau terlalu berduka, Adikku. Setelah kita saling jumpa, aku tidak
akan membiarkan engkau terhina oleh siapa pun juga. Biar pun kita dianggap anak
anak pemberontak yang hina, kita pun tidak butuh dengan mereka. Marilah engkau
ikut bersamaku, hidup di samping enci-mu ini yang akan menghibur dan
melindungimu, Hwee Li.”
Akan tetapi
Hwee Li bangkit berdiri dan sambil menghapus air mata yang masih terus mengalir
di atas kedua pipinya. Dia berkata keras, “Tidak...! Aku harus mencarinya, aku
harus menyusulnya... aku... aku tidak dapat hidup tanpa dia, Enci!” Dan Hwee Li
lalu berlari meninggalkan Cui Yan yang bangkit dan berdiri termangu-mangu
memandang dari jendela ke arah adiknya yang berlari cepat sambil menangis.
Setelah
bayangan Hwee Li lenyap, gadis baju hijau ini menghela napas panjang dan
menggeleng kepala. “Kasihan Hwee Li... ah, semua ini gara-gara Hek-tiauw Lo-mo
dan pangeran dari Nepal yang konyol itu! Kalau bertemu dengan mereka, akan
kuhajar mereka! Dan aku pun harus mengajak suheng untuk mencari pemuda itu dan
dapat menjodohkan Hwee Li dengan dia...“
Dengan
pikiran penuh rasa iba kepada adiknya, Cui Yan lalu meninggalkan kuil untuk
pergi menemui suheng-nya, yaitu Liong Tek Hwi. Dia bersama suheng-nya itu
setelah meninggalkan benteng yang terbakar, lalu untuk sementara tinggal di
rumah dusun yang dibeli suheng-nya. Mereka menanti datangnya Kim-mouw Nionio,
guru mereka yang akan mengunjungi mereka dan akan mempersiapkan hari pernikahan
mereka. Dia sedang keluar dari rumah ketika di tengah jalan dia bertemu dengan
Ceng Ceng yang segera menyerangnya. Karena merasa kewalahan menghadapi nyonya
muda yang amat lihai itu, Cui Yan melarikan diri dan terus dikejar oleh
musuhnya. Cui Yan dapat melarikan diri ke dalam hutan dan malam itu musuhnya
terus mengejar dan mencari carinya di dalam hutan sampai pada keesokan paginya
Cui Yan bersembunyi ke dalam kuil itu dan akhirnya ditemukan juga oleh Ceng
Ceng.
“Tentu
suheng sedang mencari-cari aku dengan bingung,” pikirnya. Dia pergi sejak
kemarin dan kepada suheng-nya hanya berpamit untuk berbelanja ke kota. Maka
dengan cepat dia berlari menuju ke dusun tempat tinggal suheng-nya yang cukup
jauh karena ketika melarikan diri dia mempergunakan ilmu lari cepat, dan terus
dikejar oleh musuh sampai ke hutan itu.
Kim Cui Yan
mengambil keputusan untuk mengajak suheng-nya mencari Hwee Li dan Kian Lee.
Untuk keperluan itu, dia rela untuk mengundur hari pernikahannya dengan
suheng-nya yang juga menjadi kekasihnya itu. Kini urusan pribadinya telah
beres.
Keluarganya
yang terbasmi habis karena Jenderal Kao telah impas dendamnya karena jenderal
itu sendiri pun telah tewas. Dan kini terbuka mata batinnya bahwa Jenderal Kao
Liang adalah seorang gagah perkasa yang selain setia kepada negara juga rela
berkorban apa saja demi keselamatan keluarganya.
Jenderal itu
gagah perkasa, para pendekar yang mendukungnya terdiri dari orang-orang yang
berjiwa satria yang gagah perkasa pula. Maka dia telah menghapus dendam pribadi
itu dari hatinya. Diam-diam dia merasa bersyukur bahwa dia tidak memperdalam
dendam itu dengan mencelakai cucu Jenderal Kao Liang atau putera dari Si Naga
Sakti Gurun Pasir, walau pun baru saja dia hampir tewas di tangan ibu dari anak
yang diculiknya itu yang masih marah kepadanya.
Diam-diam
dia bergidik kalau teringat akan pengalamannya bertanding melawan isteri Si
Naga Sakti Gurun Pasir. Baru isterinya saja sudah demikian saktinya sehingga
biar pun dia mempergunakan pedang, sama sekali dia tidak berdaya mendesak
wanita itu. Agaknya bahkan gurunya sendiri pun belum tentu dapat menangkan
wanita itu dengan mudah. Apa lagi Si Naga Sakti sendiri! Koksu Nepal yang
demikian saktinya, orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok juga tidak mampu menandingi
Si Naga Sakti. Dia bergidik.
Biarlah dia
mencari adiknya, mengurus perjodohan adiknya itu, baru dia akan ikut bersama
suheng-nya, atau kekasihnya, atau calon suaminya, ke utara, jauh sekali ke
utara, ke tempat asal ibu dari suheng-nya yang juga menjadi tempat asal guru
mereka, nenek Kim-mouw Nionio.
Matahari
telah naik tinggi ketika gadis baju hijau itu memasuki sebuah hutan. Dia harus
berjalan cepat agar dapat tiba di dusun yang menjadi tempat tinggal mereka
sementara waktu, di mana suheng-nya tentu sedang menanti kedatangannya dengan
gelisah.
Tiba-tiba di
sebelah depan berkelebat bayangan orang dan dari balik pohon-pohon muncullah
seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap yang kepalanya memakai sorban dan di
bagian depan sorban itu terthias bulu burung yang amat indah. Segera Cui Yan
mengenal orang itu. Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu, pangeran dari
Nepal itu! Melihat pangeran ini, hati Cui Yan yang masih dipenuhi rasa iba dan
duka karena adiknya, seketika menjadi panas karena dia teringat bahwa pangeran
inilah yang menjadi gara-gara sehingga adiknya itu kini mengalami hal-hal yang
menyengsarakan hati. Huh, laki-laki macam ini mau memaksa Hwee Li menjadi
isterinya!
Liong Bian
Cu juga segera mengenal Cui Yan, sumoi dan juga kekasih dari saudara misannya
itu, maka dengan tersenyum lebar dia cepat menghampiri dan begitu berhadapan
dia kemudian berkata, “Ahhh, kiranya Nona Kim berada di sini. Sungguh
menggembirakan hati dapat bertemu dengan calon iparku yang begini cantik manis!
Eh, di mana adanya saudaraku Liong Tek Hwi?”
Sikap yang
ceriwis itu makin memanaskan hati Cui Yan. Dia berdiri tegak memandang wajah
pangeran itu dengan sepasang mata terbelalak, mukanya merah dan mulutnya
cemberut, hidungnya yang mancung itu bergetar dan cuping hidungnya kembang
kempis karena kemarahan membuat napasnya agak memburu. Kemudian terdengar dia
berkata, suaranya nyaring dan kaku, “Pangeran, engkau adalah seorang laki-laki
yang tidak tahu malu!”
Sepasang
alis yang tebal hitam itu berkerut dan sepasang mata yang agak dalam dan
mempunyai pandangan tajam itu menatap wajah Cui Yan yang cantik. Memang cantik
manis sekali calon iparku ini, pikir sang pangeran. Terutama sekali hidungnya
yang mancung itu, manis sekali. Tetapi, mengapa dia marah-marah dan berani
memakinya?
Hati
pangeran ini memang sedang tertekan sekali oleh kekecewaan dan kedukaan.
Gerakannya telah gagal total, bentengnya telah hancur dan dia tentu akan
mendapat kemarahan besar dari pamannya yang kini menjadi raja di Nepal. Selain
itu, juga baru saja dia kehilangan Hwee Li, gadis yang dicintanya. Dalam
keadaan murung seperti itu, kini bertemu dengan wanita ini yang datang-datang
memakinya sebagai laki-laki yang tidak tahu malu, tentu saja diam-diam dia
merasa penasaran dan marah sekali.
Dia,
Pangeran Nepal, yang biasanya disembah-sembah orang, yang biasanya dihujani
kerling dan senyum manis oleh setiap orang wanita, tua atau pun muda, yang
selama hidupnya belum pernah dihina wanita kecuali oleh Hwee Li yang
dicintanya, sekarang merasa dihina oleh wanita ini! Namun, dia dapat
menyembunyikan kemarahannya dan masih tersenyum memandang kepada wanita yang
marah-marah sampai kedua pipinya kemerahan dan amat menarik itu.
“Calon
iparku yang manis, mengapa begitu bertemu engkau marah-marah dan memaki aku?
Biar pun kalau marah engkau kelihatan bertambah cantik, akan tetapi iparmu ini
ingin mengetahui mengapa engkau marah kepadaku.”
Sikap dan
kata-kata Liong Bian Cu merupakan minyak pembakar yang disiramkan pada api yang
menyala di dalam Cui Yan. Mukanya segera bertambah merah dan matanya
mengeluarkan sinar berkilat. “Cih, laki-laki tak sopan! Engkau tahu bahwa
adikku Hwee Li tidak suka kepadamu, kenapa engkau hendak memaksanya menjadi
isterimu? Engkaulah yang membuat dia merana!”
Pangeran
Nepal itu memandang dengan sepasang mata mulai berseri. Teringatlah kini dia
bahwa wanita yang berdiri di depannya dan sedang marah-marah ini adalah kakak
tiri Hwee Li, puteri dari mendiang Kim Bouw Sin, hanya berlainan ibu dengan
Hwee Li. Memang ada kemiripan antara keduanya, terutama sikap galaknya dan
bibir yang membayangkan kelembutan di balik kekerasan itu.
Maka
timbullah dua macam perasaan di dalam hatinya, perasaan yang terdorong oleh
kecewa dan penasaran karena kegagalannya. Perasaan itu adalah perasaan marah
karena dia dihina oleh wanita, bercampur dengan perasaan kagum karena memang
keberanian wanita ini mengingatkan dia akan keberanian Hwee Li dan itulah yang
membangkitkan birahinya! Walau pun aku luput mendapatkan adiknya, biar
kudapatkan kakaknya, demikian bisikan hatinya yang mulai panas. Kalau aku bisa
mendapatkannya dan membawanya ke Nepal sebagai seorang di antara selir-selirku,
sewaktu-waktu aku rindu kepada Hwee Li, wanita ini bisa menjadi penggantinya
dan kuanggap saja dia Hwee Li!
“Ahhh, Kim
Cui Yan, nona yang cantik manis. Kalau kau anggap aku demikian, lalu bagaimana?
Engkau mau menghukumku? Nah, silakan, aku menyerah kepada seorang wanita denok
manis seperti engkau.”
Sepasang
mata wanita itu berapi-api saking marahnya. “Pangeran ceriwis! Engkau harus
menyatakan bersalah, minta ampun di depanku dan berjanji bahwa selanjutnya
engkau tidak akan mengganggu adikku Hwee Li lagi!”
Tentu saja
diam-diam Pangeran Bharuhendra menjadi marah sekali, akan tetapi dia masih
tersenyum sungguh pun pandang matanya mulai berapi. “Kalau aku tidak mau minta
ampun bagaimana?”
“Aku akan
menghajarmu!” bentak Cui Yan sambil mengepalkan kedua tinjunya dan berdiri
tegak.
“Ha-ha-ha,
bagus sekali. Kiranya engkau mengajak aku untuk bertanding mengadu kepandaian?
Baik, akan tetapi pertandingan ini harus ada taruhannya. Kalau aku kalah,
biarlah aku akan minta ampun padamu seperti yang kau minta, akan tetapi
sebaliknya, kalau engkau kalah...“ Pangeran itu mengelus dagunya yang dicukur
licin, “Engkau cantik manis seperti adikmu, kalau engkau kalah, engkau harus
menemani aku sehari semalam, menghibur hatiku yang sedang gundah-gulana...“
“Keparat!”
Cui Yan membentak.
Dara ini
sudah menerjang dengan kemarahan meluap-luap. Saking marahnya, begitu menyerang
dia sudah mempergunakan ilmu pukulannya yang amat diandalkan, yaitu Swat-lian
Sin-ciang. Pukulan ini adalah pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang
amat kuat dan berbahaya, tenaga Im-kang yang mengandung hawa dingin sekali.
Ketika
merasa betapa ada hawa dingin menyambar ke arah dadanya, pangeran itu berseru,
“Bagus sekali!”
Dan cepat
dia mengelak ke belakang, lalu siap menghadapi terjangan lawan. Cui Yan yang
sudah marah terus mendesak dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang, akan
tetapi kini pangeran itu pun mempergunakan ilmu pukulan sakti untuk
menyambutnya, yaitu ilmu pukulan Im-yang Sin-ciang yang juga sama kuatnya.
Ilmu pukulan
Swat-lian Sin-ciang yang dimiliki Cui Yan bukanlah ilmu sembarangan. Ilmu
pukulan ini mengandung tenaga Im-kang tingkat tinggi yang diciptakan oleh
gurunya, yaitu Kim-mouw Nionio di daerah utara dekat kutub di mana setahun
penuh segala sesuatu diselimuti es dari salju, hawanya dingin bukan main. Biar
pun tingkat Cui Yan belum sehebat gurunya, namun pukulan-pukulannya sudah
sedemikian kuatnya sehingga kalau lawannya kurang kuat, maka darah dan segala
cairan dalam tubuh lawan dapat membeku terlanda hawa pukulannya, atau
setidaknya, hawa dingin akan membuat lawan menggigil dan tidak mampu bertahan
lagi.
Namun, Liong
Bian Cu adalah murid tersayang dari Ban Hwa Sengjin atau pendeta dari Nepal
yang bernama Lakshapadma, yang selain menjadi seorang koksu dari Nepal juga
merupakan orang ketiga dari Ngo-ok yang pada waktu itu termasuk datuk-datuk
kaum sesat yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali. Maka, dengan
menggunakan Ilmu Im-yang Sin-ciang, pangeran itu dengan tepat sekali dapat
menahan semua serangan Cui Yan biar pun setiap kali lengan mereka bertemu, dia
merasa betapa hawa dingin menyusup ke dalam tulang lengannya, sebaliknya,
karena memang kalah kuat, Cui Yan selalu terdorong dan terhuyung ke belakang.
Mulailah Cui
Yan terdesak dan dara ini merasa menyesal mengapa pedangnya telah dipatahkan
oleh Ceng Ceng sehingga dalam pertempuran melawan Pangeran Nepal ini dia tidak
dapat mengandalkan permainan pedangnya. Setelah bertanding lima puluh jurus
lebih, kini Liong Bian Cu mulai melancarkan serangan-serangan hebat yang
membuat dara itu menjadi kewalahan. Jika dibandingkan, tingkat kepandaian
Pangeran Nepal itu memang masih lebih tinggi, maka begitu dia menekan, dara itu
menjadi sibuk sekali dan pada saat kedua lengan mereka kembali beradu, Liong
Bian Cu cepat mempergunakan kesempatan itu untuk mencengkeram pergelangan
tangan kanan dara itu. Dia tertawa bergelak dan sebelum Cui Yan mampu
melepaskan lengannya, dia sudah tertotok dan menjadi lemas!
Kalau dia
dihantam atau dibunuh, Cui Yan tentu akan menghadapinya dengan tabah. Akan
tetapi kini pangeran itu merangkul dan memeluknya dan dara itu terbelalak dan
merasa ngeri setengah mati ketika pangeran itu mendekatkan muka lalu menciumnya
penuh nafsu! Cui Yan memejamkan mata dan berusaha meronta, namun dia telah
tertotok sehingga tenaganya habis. Bahkan dia tidak mampu mengerahkan Swat-im
Sin-kang untuk membuat tubuhnya dingin. Terpaksa dia menyerah saja diciumi dan
dibelai oleh pangeran itu yang tertawa-tawa.
“Engkau
cantik, manis, dan engkau seperti Hwee Li... ha-ha-ha, Cui Yan yang cantik,
engkau telah kalah, engkau harus membayar taruhan.” Lalu dipondongnya tubuh
dara itu.
“Lepaskan
aku ! Atau... bunuh saja aku...,“ Cui Yan meratap, kini merasa takut bukan
main. Baru sekarang ini dia merasa amat ketakutan, amat ngeri menghadapi apa
yang akan menimpa dirinya.
“Lepaskan?
Nanti dulu, Sayang, kau harus membayar taruhan dulu. Membunuhmu? Sayang sekali,
engkau terlalu cantik... ha-ha-ha...!”
Cui Yan tak
mampu berdaya apa-apa lagi dan dia dilarikan oleh pangeran itu ke sebuah dusun
di mana terdapat sebuah gedung yang dibangunnya semenjak dia bertualang di
daerah ini. Ketika dia memondong tubuh Cui Yan memasuki rumah itu, Cui Yan
melihat Koksu Nepal berada di situ pula! Melihat muridnya memondong gadis yang
dikenalnya sebagai nona yang pernah datang ke lembah atau ke dalam benteng,
kakek botak itu hanya tersenyum saja, sama sekali tidak bertanya apa lagi
menegur. Dia hanya memandang ketika muridnya itu membawa tubuh yang
dipondongnya memasuki kamarnya dan menutupkan kamar itu dengan kakinya.
Pada jaman itu,
baik di Tiongkok mau pun di bagian dunia lain di Asia, terutama di Nepal,
memang kaum wanita dipandang sebagai benda mainan atau sebagai sumber
kesenangan bagi pria belaka. Wanita dianggap tidak berhak untuk menentukan
nasibnya, tergantung sepenuhnya dari orang tua atau dari pria yang
menguasainya, seperti benda-benda hiasan atau binatang-binatang peliharaan,
dijadikan alat pemuas nafsu, dijadikan milik kebanggaan. Maka, bukan hal yang
aneh melihat wanita dipaksa oleh pria yang memiliki kedudukan seperti Pangeran
Nepal, seolah-olah setiap orang wanita yang berada di dalam kekuasaannya harus
tunduk kepadanya, bahkan dipilih oleh seorang pangeran dianggap sebagai
kehormatan besar bagi si wanita, tidak peduli wanita itu dipilih dengan paksa
atau dengan suka rela.
Oleh karena
itulah, Ban Hwa Sengjin hanya tersenyum-senyum saja melihat muridnya memondong
seorang wanita cantik, seolah-olah melihat suatu hal yang lucu. Apa lagi karena
memang Ban Hwa Sengjin adalah seorang yang amat keji hatinya, Sam-ok dari Ngo-ok
yang terkenal sebagai Lima Datuk yang paling kejam di seluruh dunia ini.
Kim Cui Yan
hanya dapat merintih dan menangis dengan hati hancur lebur. Dia tidak mampu
menolak, tidak mampu meronta, tidak mampu mengelak ketika Liong Bian Cu
memperkosanya disertai bujuk rayu yang tentu akan ditolaknya dan ditentangnya
dengan taruhan nyawa kalau saja dia mampu bergerak. Akan tetapi, Pangeran Nepal
itu cerdik, dia ditotok sehingga kaki tangannya menjadi lemas tak berdaya,
hanya mampu bergerak lemah tanpa mampu mengerahkan tenaga sinkang-nya. Dia
hanya mampu membuang muka dan air matanya bercucuran ketika dia dipermainkan
oleh pangeran itu yang agaknya tidak ada puas-puasnya menuruti nafsu kejinya.
Sudah bulat
tekad di dalam hati Cui Yan untuk membunuh diri begitu dia memperoleh
kesempatan. Untuk melaksanakan kebenciannya dan membunuh pangeran itu, tentu
saja dia tidak mampu, apa lagi mengingat bahwa di tempat itu terdapat koksu
yang sakti pula. Maka, jalan satu-satunya hanyalah membunuh diri untuk mencuci
dirinya dari aib dan penghinaan. Akan tetapi, kalau hanya membunuh diri begitu
saja akan sia-sia. Dia harus lebih dulu dapat bertemu dengan suheng-nya, dengan
kekasihnya, dengan calon suaminya, untuk menceritakan semua mala petaka yang
menimpa dirinya ini.
Akan tetapi,
Liong Bian Cu yang sudah berpengalaman dalam hal memperkosa wanita dapat
melihat dan menduga bahwa Cui Yan tentu akan membunuh diri kalau diberi
kesempatan, oleh karena itu dia selalu menjaga dan menotok jalan darah wanita
itu. Baru setelah ada tanda-tanda bahwa Cui Yan membalas belaiannya dan
seolah-olah menjawab pernyataan cintanya, dia mulai memberi kelonggaran karena
dia mengira bahwa dia telah berhasil ‘menundukkan’ wanita ini, seperti
menundukkan seekor kuda betina liar yang mulai menjadi ‘jinak’, seperti yang
sudah sering kali dia alami. Di antara para selirnya, banyak yang tadinya juga
melawan dan tidak rela menyerahkan diri, akan tetapi kemudian malah menjadi
selir yang amat mendambakan cintanya, bahkan saling berebutan untuk
melayaninya! Dan dia mengira bahwa Cui Yan juga termasuk wanita seperti itu.
Kini Cui Yan mulai suka tersenyum kepadanya!
Karena
merasa bahwa setelah sepekan lamanya dia memaksa Cui Yan melayaninya dan jarang
meninggalkan wanita ini, dia mulai memberi kelonggaran. Akan tetapi, pada malam
kelima itu, malam pertama dia meninggalkan Cui Yan sebentar untuk
berbincang-bincang dengan koksu, ketika dia kembali ke kamarnya, burung itu
telah terbang menghilang! Dia cepat mengejar dan mencari, namun sia-sia belaka.
Cui Yan telah lenyap!
Ke manakah
perginya Cui Yan? Wanita, yang ditimpa mala petaka hebat ini melarikan diri
dengan secepatnya meninggalkan dusun tempat tinggal Liong Bian Cu. Sambil
menangis dia terus lari sekuatnya semalam suntuk itu, menuju ke dusun tempat
tinggal suheng-nya. Hampir putus napasnya ketika pada keesokan harinya dia tiba
di depan rumah suheng-nya, karena semalam suntuk dia terus berlari cepat,
sedikit pun tidak pernah mengurangi kecepatannya dan mengerahkan segenap
tenaganya.
Bukan main
kaget hati Liong Tek Hwi ketika dia melihat sumoi-nya datang berlari-lari, lalu
menubruk padanya, merangkul dan menangis tersedu-sedu.
“Sumoi, apa
yang telah terjadi? Ke mana saja selama ini engkau pergi? Aku dan subo
mencari-carimu sampai ke mana-mana, hatiku risau dan bingung sekali...“ Pemuda
berkulit putih bermata kebiruan itu merangkul dan mengelus rambut kekasihnya.
“Cui Yan,
apa yang telah terjadi?” tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan ketika
mendengar ini, Cui Yan kaget dan menengok, kemudian dia menjerit dan melepaskan
rangkulan leher suheng-nya, menubruk kaki nenek itu sambil menangis
sesenggukan.
Nenek itu
bukan lain adalah gurunya, Kim-mouw Nionio. Nenek ini sudah tua sekali, sudah
sembilan puluhan tahun usianya, dan keadaannya amat mengerikan. Rambutnya
pirang keemasan sudah penuh uban, matanya agak kebiruan dan di kedua lengannya
nampak dua buah gelang, yang kanan terbuat dari emas dan yang kiri dari perak.
Sepasang gelang emas dan perak itu selain menjadi perhiasan, juga merupakan
senjatanya yang ampuh sekali.
Melihat
muridnya itu menangis tersedu-sedu sambil merangkul kakinya, nenek itu
menyeringai dan sekali menggerakkan kakinya, tubuh muridnya itu terjengkang.
“Wuhhh,
memalukan sekali! Apakah selama ini aku mengajar engkau menjadi wanita lemah
dan cengeng? Hayo katakan apa yang telah terjadi!”
Dengan air
mata bercucuran Cui Yan bangkit berdiri dan ketika dia bertemu pandang dengan
kekasihnya, kembali dia tersedu-sedu. Liong Tek Hwi melangkah maju dan memegang
tangan sumoi-nya, memandang dengan penuh kekhawatiran dan bertanya halus,
“Sumoi, ada apakah? Engkau benar-benar membuat aku gelisah sekali. Coba
ceritakanlah.”
“Suheng...
demi Thian... engkau harus membunuh si jahanam Liong Bian Cu...!”
Tentu saja
ucapan itu membuat Liong Tek Hwi terkejut bukan main. Liong Bian Cu adalah
saudara misannya dan sekarang sumoi-nya atau kekasihnya ini sudah minta
kepadanya untuk membunuh saudara misannya itu!
“Sumoi,
apakah yang terjadi? Mengapa engkau mengajukan permintaan yang luar biasa ini?”
“Sepekan
yang lalu... aku bertemu dia. Kami bertempur karena aku menyalahkan dia yang
ingin memaksa adikku Kim Hwee Li menjadi isterinya dan karena dia kurang ajar
kepadaku, aku kalah dan tertawan. Aku dibawa ke dusun sebelah barat hutan di
mana jahanam itu tinggal bersama gurunya, Koksu Nepal dan... dan...“ Cui Yan
kembali menjerit dan menangis terisak-isak.
Sepasang
alis Tek Hwi berkerut dan pandang mata yang ditujukan kepada sumoi-nya itu
penuh kekhawatiran. “Lalu bagaimana, Sumoi?”
“Dia...
selama sepekan ini... dia... memaksaku, dia memperkosa aku... dan aku tidak
berdaya... ditotoknya dan... diperkosanya... hu-hu-huuu!”
“Ahhh...!”
Liong Tek Hwi mengeluarkan suara bentakan nyaring dan wajahnya seketika menjadi
pucat sekali, matanya terbelalak dan tinjunya dikepal kuat-kuat.
“Suheng...!”
Cui Yan menjerit dan menubruk suheng-nya.
Tek Hwi
menerima dan merangkul kekasihnya, dari kedua matanya juga keluar air mata
saking marah dan menyesalnya. Dia ingin menghibur kekasihnya, akan tetapi tidak
tahu harus berkata apa.
“Tek Hwi,
awas...! Cegah dia...!”
Tiba-tiba
Kim-mouw Nionio berseru dan sekali meloncat dia telah menerkam Cui Yan dan
menangkap kedua tangan dara itu, akan tetapi terlambat sudah. Liong Tek Hwi
memandang dengan mata terbelalak, melihat dada kekasihnya yang merah semua
karena darahnya mengucur keluar dari ulu hati yang tertusuk hiasan rambut atau
tusuk konde yang terbuat dari perak dan panjangnya lebih dari sejengkal. Tusuk
konde itu terbenam di dada Cui Yan, menembus jantungnya sehingga darah
muncrat-muncrat dan tanpa banyak bergerak lagi dara itu menjadi lemas dan
lunglai.
“Sumoi...!”
Tek Hwi, menjerit dan menubruk, merangkul kekasihnya.
Cui Yan
membuka mata dan bibirnya bergerak lemah, “Balaskan, Suheng...“ Kemudian
tubuhnya lunglai dan matanya terpejam.
“Sumoi...!
Cui Yan... ahh, Cui Yan kekasihku...!” Liong Tek Hwi menangis dan berteriak
teriak seperti orang gila memanggil-manggil nama kekasihnya, namun nyawa Cui
Yan telah melayang pergi meninggalkan tubuhnya.
“Bian Cu,
jahanam kau! Aku harus mengadu nyawa denganmu!” Liong Tek Hwi menurunkan
jenazah kekasihnya dan dia meloncat bangun, kemudian lari dari rumah itu,
diikuti oleh subo-nya.
“Tek Hwi,
nanti dulu...!” subo-nya berseru, akan tetapi Liong Tek Hwi yang sudah hampir
gila saking duka dan marahnya, tidak mempedulikan subo-nya sehingga terpaksa
Kim-mouw Nionio mengikutinya terus menuju ke barat dengan cepat sekali.
Ketika tiba
di dusun itu, dengan mudah Liong Tek Hwi dapat mencari rumah saudara misannya
itu dan kebetulan sekali pada waktu itu, Pangeran Liong Bian Cu dan Ban Hwa
Sengjin sedang berada di ruangan depan. Mereka sudah tahu bahwa Cui Yan semalam
telah berhasil melarikan diri, dan mereka pun menduga bahwa mungkin saja
kekasih nona itu, yaitu Liong Tek Hwi atau saudara misan sang pangeran akan
muncul. Akan tetapi mereka bersikap tenang-tenang saja dan tidak takut, bahkan
mereka lalu melupakan urusan nona itu dan bicara tentang kegagalan gerakan
mereka dan mengatur rencana selanjutnya. Perhatian mereka kini ditujukan kepada
pemberontakan di Bhutan yang dilakukan oleh Mohinta.
Ketika
mereka sedang bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari depan,
“Bian Cu, jahanam hina-dina! Mari kita tentukan siapa di antara kita yang harus
mampus untuk menemani arwah sumoi-ku!”
Pangeran
Liong Bian Cu bangkit berdiri, sedangkan Koksu Nepal hanya menoleh saja. Akan
tetapi terkejutlah guru dan murid ini ketika melihat bahwa di belakang Liong
Tek Hwi terdapat seorang nenek berambut keemasan yang bukan lain adalah
Kim-mouw Nionio, datuk luar tembok besar dari utara itu!
Biar pun terkejut
melihat kehadiran nenek itu yang sudah sering kali didengarnya dari suhu-nya,
akan tetapi karena di situ hadir pula gurunya, Pangeran Nepal tidak merasa
gentar dan dengan gagah dia menyambut kemarahan saudara misannya itu dengan
tersenyum.
“Saudaraku
Tek Hwi, mengapa engkau datang dengan kemarahan seperti itu?”
“Keparat,
engkau manusia berhati binatang! Engkau menghina dan memperkosa calon isteriku
sampai dia membunuh diri... ah, aku tidak ingin hidup bersamamu di dunia ini.
Seorang di antara kita harus mati!” bentak Liong Tek Hwi dan dengan kemarahan
memuncak, pemuda peranakan bule ini sudah menerjang dengan pukulan yang amat
keras.
Liong Bian
Cu cepat mengelak dengan loncatan ke belakang sambil berkata, “Sabar dulu,
saudaraku. Apakah kita antara saudara harus saling bunuh hanya karena urusan
wanita? Aku dapat mengganti seribu orang wanita yang lebih cantik dari pada
sumoi-mu itu!”
“Manusia
iblis! Harus kau ganti dengan nyawamu!” Tek Hwi, menerjang lagi, kini
menggunakan ilmu pukulan Swat-lian Sin-ciang setelah menggosok-gosok kedua
tangannya lalu diputar-putar di depan dada dan menyerang dengan gerakan
mendorong lawan.
Pangeran
Nepal itu terkejut bukan main. Hawa dingin yang menyerangnya amat hebat, lebih
hebat dari pada serangan Kim Cui Yan, tanda bahwa tingkat kepandaian saudara
misannya ini masih lebih tinggi dari pada nona yang pernah ditawannya itu. Maka
dia tidak mau banyak bicara lagi karena kalau dia tidak waspada, bisa-bisa dia
celaka oleh lawan ini. Apa lagi dia melihat betapa gurunya tidak turun tangan
membantu, melainkan berdiri bertolak pinggang dan tak jauh dari situ nampak si
nenek rambut kuning emas itu juga berdiri dengan sikap siap menghadapi Sam-ok
atau Koksu Nepal!
Pangeran
Liong Bian Cu mengelak dan balas menyerang, dan karena dia maklum akan
kelihaian lawan, dia pun kini mempergunakan ilmu pukulan Im-yang Sinciang, Dia
tidak mau mengalah dan biar pun merasa sayang bahwa dia harus bermusuhan dengan
saudara misannya, akan tetapi pangeran ini maklum bahwa dia tidak akan mampu membujuknya,
maka terpaksa harus membunuhnya.
Terjadilah
pertandingan yang amat seru dan mati-matian antara dua orang saudara misan ini.
Ternyata bahwa tingkat kepandaian mereka memang berimbang sehingga berbeda
dengan ketika melawan Cui Yan, sekali ini Pangeran Liong Bian Cu harus
mempergunakan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawan ini. Sementara itu,
Sam-ok dan Kim-mouw Nionio tetap berdiri menonton sambil bersiap-siap turun
tangan kalau pihak lawan dibantu oleh guru masing-masing. Akan tetapi, kakek botak
itu hanya tersenyum saja melihat betapa muridnya agak kewalahan menghadapi
lawannya, sedangkan Kim-mouw Nionio secara terang-terangan selalu memandang
kakek itu untuk mengamati gerak-geriknya!
Seratus
jurus telah lewat dan kedua lengan mereka telah bengkak-bengkak, akan tetapi
pertandingan itu masih berlangsung terus dengan serunya. Pangeran Liong Bian Cu
makin terkejut dan mulai merasa khawatir. Tak disangkanya bahwa saudara
misannya ini ternyata tangguh sekali.
“Liong Tek
Hwi, kita berdua dapat membangun kembali kejayaan ayah-ayah kita. Mengapa
engkau tidak menghabiskan saja urusan perempuan ini?” dia berseru sambil
menangkis sebuah pukulan keras yang membuat mereka berdua terpental ke
belakang.
Akan tetapi
Liong Tek Hwi menerjang lagi dengan nekat.
“Liong Bian
Cu, aku baru menganggap habis urusan ini kalau kau sudah menggeletak tanpa
nyawa di depan kakiku!”
“Keparat!”
Liong Bian Cu membentak marah dan perkelahian dilanjutkan makin nekat dan
makin-seru.
Akan tetapi
karena pada waktu itu hati Liong Tek Hwi diliputi penuh kedukaan dan kemarahan,
penuh dendam sakit hati yang meluap-luap, maka serangannya lebih bersemangat
dan nekat. Dia tidak takut mati dan tenaganya seperti bertambah hebat oleh
semangat dan kenekatan ini, berbeda dengan Liong Bian Cu yang masih bersikap
hati-hati. Oleh karena inilah maka kini pangeran itu kelihatan mulai terdesak!
Serangan serangan Liong Tek Hwi seperti seekor singa terluka yang sudah nekat.
Hanya ada dua pilihan bagi pemuda yang sakit hati ini, yaitu membunuh atau
terbunuh! Liong Bian Cu mulai khawatir dan tak terasa lagi dia mengharapkan
bantuan gurunya.
“Suhu, harap
bantu...!”
Akan tetapi
sungguh aneh. Kakek botak yang biasanya sebagai seorang koksu amat taat kepada
pangeran ini, sekarang hanya tersenyum dan sama sekali tidak bergerak membantu,
juga tidak berkata apa-apa! Memang, hati kakek ini luar biasa kejinya maka dia
menjadi orang ketiga dari Sam-ok, Lima Jahat yang oleh dunia kang-ouw dianggap
sebagai datuk-datuk kejahatan yang paling hebat. Di dalam hati kakek botak ini,
yang terpenting adalah keuntungan atau kesenangan bagi dirinya sendiri.
Memang benar
bahwa Liong Bian Cu adalah muridnya, akan tetapi Ban Hwa Sengjin ini mau
mengambilnya sebagai murid hanya karena pemuda ini adalah Pangeran Nepal
sehingga melalui muridnya dia dapat memperoleh kedudukan sampai menjadi koksu!
Tentu saja tidak ada perasaan cinta sebagai guru terhadap pangeran ini. Apa
lagi sekarang dia melihat bahwa yang terbaik bagi dirinya adalah matinya
pangeran ini!
Gerakan
pangeran ini yang ditunjangnya telah gagal, dan hal ini tentu akan mendatangkan
kemarahan pada Raja Nepal, dan kalau pangeran ini masih hidup dan mereka berdua
bersama-sama kembali ke Nepal, tentu dialah yang akan dipersalahkan oleh Raja
Nepal karena kegagalan itu. Akan tetapi kalau Pangeran Liong Bian Cu sudah
tidak ada, tentu dia dapat menimpakan kesalahan kepada pangeran ini. Dia
sendiri masih akan dapat menghibur hati raja dengan membuat jasa baru, yaitu
menaklukkan Bhutan dengan bantuan Mohinta seperti yang telah di aturnya itu.
Demikianlah,
setiap perbuatan yang disebut jahat, kejam, keras dan licik selalu tentu
terdorong oleh keinginan untuk keuntungan atau kesenangan diri sendiri.
Keinginan untuk senang, atau pengejaran terhadap kesenangan inilah yang
menyeret manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang amat jahat. Bagi dia
yang melakukannya, perbuatan itu tidak dianggap jahat karena dianggap sebagai
suatu kecerdikan atau langkah-langkah demi mencapai apa yang dicita-citakan
atau yang dikejar-kejar.
Dapat kita
saksikan sehari-hari dalam kehidupan kita betapa pengejaran terhadap kedudukan
menimbulkan jegal-jegalan, permusuhan dan bunuh-membunuh, pengejaran terhadap
harta menimbulkan sogok-menyogok, korupsi, penipuan, pencurian dan sebagainya;
pengejaran terhadap kehormatan, kebersihan nama dan apa pun yang dinamakan
kebaikan menimbulkan penjilatan dan kemunafikan. Perbuatan apa pun, betapa
mulia pun, akan kehilangan kemurniannya apa bila didorong oleh suatu pamrih, karena
perbuatan itu menjadi tidak wajar, menjadi palsu, dan hanya merupakan alat
untuk mencapai apa yang dipamrihkan itu.
Dan pamrih
tetap pamrih, tetap memalsukan inti perbuatan, biar pamrih itu bisa saja kita
beri pakaian dan menyebutnya sebagai ‘pamrih baik’, ‘pamrih mulia’ dan
sebagainya lagi. Pada hakekatnya, betapa pun baik dan mulianya kita namakan
dia, pamrih itu bukan lain adalah keinginan tercapainya sesuatu yang dapat
menguntungkan atau bisa menyenangkan diri kita, lahir mau pun batin! Hanya tindakan
yang seketika, tanpa pamrih, wajar dan tanpa kita sadari baik buruknya, tanpa
didasari kebencian, kemarahan, iri hati, rasa takut, maka tindakan seperti itu
barulah merupakan tindakan yang benar, karena tindakan tanpa pamrih dan tanpa
dinodai oleh segala macam nafsu pementingan diri pribadi itulah tindakan yang
mengandung cinta kasih!
Ketika
Pangeran Liong Bian Cu mendapat kenyataan betapa gurunya diam saja, jangankan
membantunya, bahkan menjawab permintaannya pun tidak, hatinya menjadi kecut
sekali dan dia menjadi makin panik. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Tek
Hwi untuk menubruk ke depan dan terdengarlah pekik menyayat hati ketika tangan
kanan Tek Hwi yang ditusukkan itu mengenai dada Pangeran Lion Bian Cu dan
amblas memasuki dada seperti sebuah kapak.
“Crottttt...!”
Tangan yang
terbuka jari-jarinya dan mengandung tenaga sinkang amat kuat itu sudah memasuki
rongga dada sampai sepergelangan tangan dalamnya. Akan tetapi pada saat itu
juga, dengan mata melotot dan mulut masih mengeluarkan pekik Pangeran Liong
Bian Cu sempat menghantamkan kepalan kanannya ke arah kepala yang amat dekat
dengannya itu.
“Prakkkk!”
Pukulan itu
keras bukan main karena dalam keadaan sekarat itu Liong Bian Cu masih ingat
untuk mengerahkan seluruh tenaga terakhir dalam pukulannya yang mengenai kepala
dengan tepat sehingga kepala Liong Tek Hwi pecah terkena hantaman itu!
Robohlah dua
orang kakak beradik misan itu, tergelimpang dan tak bergerak lagi karena
keduanya telah tewas, mati sampyuh dalam perkelahian yang seru dan nekat itu.
Berbeda dengan Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang tidak mencinta muridnya, Kim-mouw
Nionio amat mencinta murid-muridnya, terutama sekali Liong Tek Hwi karena
pemuda ini memiliki kulit, warna mata dan rambut yang sama dengan dia. Tadi dia
menjaga agar Sam-ok tidak membantu pangeran itu, dan dia sudah girang melihat
kemenangan muridnya, akan tetapi sungguh tidak disangkanya bahwa dalam saat
terakhir itu, Pangeran Nepal masih sanggup melakukan pukulan maut terakhir yang
menewaskan muridnya. Dia menjadi marah sekali. Dengan lengking mengerikan nenek
ini menangis dan langsung saja dia menyerang Sam-ok Ban Hwa Sengjin!
Ban Hwa
Sengjin tertawa dan menggerakkan lengan bajunya menangkis. Hatinya girang bahwa
muridnya tewas bersama lawannya. Hal ini amat menguntungkan dia. Pertama, dalam
pertandingan tadi tak dapat dikatakan bahwa muridnya kalah karena lawannya juga
tewas sehingga namanya tidak akan ternoda oleh kekalahan muridnya. Kedua,
pangeran itu tewas sebagaimana yang diharapkannya. Maka kini menghadapi
kemarahan Kim-mouw Nionio, dia tertawa. Nenek tua ini pun sebaiknya dibungkam
mulutnya untuk selamanya karena nenek ini merupakan seorang saksi pula.
Baiknya, tidak ada penduduk dusun yang berani datang mendekat menyaksikan
pertempuran itu sehingga yang menjadi saksi hanyalah satu nenek tua ini. Dan
untuk membungkam mulutnya, tentu saja nenek ini harus dibunuh….
Tangkisan
Ban Hwa Sengjin membuat nenek itu terpelanting dan terhuyung, hampir saja
roboh. Kim-mouw Nionio terkejut bukan main. Lawannya memiliki sinkang yang luar
biasa kuatnya, dan juga dia sendiri sudah terlampau tua, usianya sudah kurang
lebih seratus tahun. Maklumlah nenek tua ini bahwa kalau mengandalkan tenaga
sinkang dan ilmu pukulan, dia tidak akan menang melawan Sam-ok ini. Maka dia
lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja nampak dua gulung sinar
emas dan sinar perak melayang-layang dan menyerang ke arah Ban Hwa Sengjin dari
atas, menyambar turun di kedua tangan nenek itu yang sudah terlepas dari
tangannya dan seperti benda-benda hidup menyambar ke arah lawan sambil berputar
cepat sekali sehingga mengeluarkan suara mendesing.
Ban Hwa
Sengjin terkejut melihat gulungan sinar yang menyambar dari kanan kiri ini.
Akan tetapi sebagai seorang berilmu tinggi, dia tidak menjadi gugup dan cepat
dia mengulur kedua tangan untuk menangkap dua buah gelang yang menyambar itu.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mencoba menangkap, tangannya terasa
nyeri seperti akan terkupas kulitnya oleh benda yang berpusing itu, maka
cepat-cepat dia menarik kembali kedua tangannya dan dua benda itu seperti hidup
menyambar ke arah kepala dan dadanya! Namun, Sam-ok dapat meloncat ke samping
dan menghindarkan diri dari serangan maut itu dan ketika dia menghadapi lagi
nenek itu, ternyata gelang emas dan gelang perak itu telah dipegang oleh si
nenek yang lihai.
“Hemmm,
kiranya itukah senjatamu kim-lun dan gin-lun yang lihai? Bagus, aku ingin
sekali merasakan sampai di mana kelihaiannya!” kata Sam-ok sambil tertawa.
Memang dia
pernah mendengar bahwa nenek ini lihai sekali memainkan kim-lun (roda emas) dan
gin-lun (roda perak). Nenek itu tidak menjawab, melainkan mendengus dan sudah
menyerang lagi, kini bersilat secara aneh dan kedua gelang itu berubah menjadi
gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara nyaring berdesing.
Ban Hwa Sengjin yang maklum akan kelihaian lawan, cepat memutar tubuhnya dan
kini tubuhnya sudah berpusing, lenyap bentuknya merupakan pusingan yang
bergerak maju mundur.
Dari dalam
pusingan itu terdengar suara ketawanya dan kadang-kadang sebuah kaki bersepatu
dengan lapis baja mencuat untuk menendang atau sebuah dengan mencuat untuk
menghantam atau menotok. Itulah ilmu silat yang amat diandalkan oleh kakek ini,
yaitu ilmu yang disebutnya Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) dan yang
amat sukar dilawan.
Kini nenek
Kim-mouw Nionio menjadi kaget dan bingung. Sepasang senjatanya kehilangan keampuhannya
karena tubuh lawan yang berpusing itu sukar sekali diikuti oleh pandang matanya
sehingga sukar pula di jadikan sasaran serangannya. Beberapa kali dia menyerang
secara ngawur saja dan begitu bertemu dengan bayangan tubuh berpusing itu,
senjatanya membalik diikuti oleh pukulan tangan atau tendangan kaki yang
tiba-tiba mencuat dari pusingan itu, membuat dia terkejut sekali dan beberapa
kali nyaris dia menjadi korban tendangan.
Sambil
berpusing dalam Ilmu Thian-te Hong-i, diam-diam Ban Hwa Sengjin yang lihai itu
memperhatikan gerakan kedua senjata lawan dan akhirnya dia mengenal sifat keras
dari kedua senjata itu. Maka pada saat yang telah diperhitungkannya
masak-masak, ketika lawan menggerakkan kedua gelang itu dari arah yang
berlawanan yang memang menjadi sifat permainan kedua gelang itu, tiba-tiba
nenek Kim-mouw Nionio menjadi kabur pandangan matanya karena dia melihat warna
merah yang lebar sekali dan tahu tahu kedua tangannya berikut gelang emas dan
perak yang dipegangnya itu telah tergulung dalam selimut mantel merah! Dan
sebelum dia mampu bergerak, kaki kanan Ban Hwa Sengjin menendang. Tendangan itu
sedemikian kuatnya dan tepat mengenai pusar Kim-mouw Nionio. Nenek tua itu
menjerit dan terlempar sampai beberapa meter jauhnya, terbanting jatuh dan dari
mulut dan hidungnya mengalir darah, tubuhnya lunglai dan dia sudah tewas karena
isi perutnya hancur oleh tendangan yang amat dahsyat tadi!
Ban Hwa
Sengjin tertawa puas melihat ke arah tiga mayat itu. Kemudian, dengan kasar dia
menyeret mayat tiga orang itu dan melempar-lemparkannya ke dalam rumah, lalu
dia menyiramkan minyak dan membakar rumah itu! Setelah rumah itu berkobar besar
dan para penduduk dusun mulai geger, diam-diam Ban Hwa Sengjin menyelinap pergi
dari situ tanpa dilihat seorang pun di antara penduduk dusun. Kini dengan hati
lapang Sam-ok Ban Hwa Sengjin melakukan perjalanan pulang ke Nepal.
Dia telah
menyusun laporan-laporan palsu kepada Raja Nepal yang akan diajukannya nanti
setibanya di Nepal, tentang kegagalan gerakan di Tiongkok yang disebabkan oleh
kesalahan-kesalahan Pangeran Bharuhendra yang telah tewas pula dalam
pertempuran itu. Andai kata kegagalan itu membuat dia tidak disukai lagi di
Kerajaan Nepal, dia pun masih dapat bergabung dengan keempat orang saudaranya
dalam kedudukan mereka sebagai Ngo-ok…..
***************
“Cui Lan,
pinni (aku) tahu bahwa engkau mencinta Siluman Kecil, bukan?”
Gadis cantik
itu menundukkan mukanya, dan biar pun dia berusaha untuk menahannya, namun
tetap saja dua titik air mata bergantung di pelupuk matanya.
Kim Sim
Nikouw menarik napas panjang dan untuk sejenak lamanya dia termenung, teringat
akan pengalaman hidupnya sendiri ketika dia masih muda, ketika dia belum
menjadi nikouw. Puluhan tahun yang lalu, ketika dia masih merupakan seorang
dara cantik dan muda seperti Phang Cui Lan ini, ketika namanya masih Kim Cu dan
dia merupakan seorang dara perkasa murid dari Ma-bin Lo-mo, dia pernah juga
jatuh cinta mati-matian kepada Suma Han atau Pendekar Super Sakti. Akan tetapi
cintanya adalah cinta sepihak dan betapa dia merana dan mengalami penderitaan
batin yang amat hebat.
Dia tahu
belaka betapa sengsaranya cinta yang tidak terbalas, akan tetapi sekarang dia
melihat betapa semua itu adalah kesalahannya sendiri, betapa cinta kasih yang
mengharapkan balasan adalah cinta kasih yang berdasar ingin menyenangkan diri
sendiri dan karenanya tentu saja dapat berubah menjadi kesengsaraan karena pada
hakekatnya, kesenangan yang dikejar-kejar adalah muka kedua dari kesusahan.
Dalam cerita Pendekar Super Sakti diceritakan dengan jelas semua pengalaman dan
penderitaan yang diderita oleh nikouw tua ini akibat cintanya yang tidak
mendapatkan balasan dari Suma Han yang dicintanya itu.
“Cui Lan
hentikan tangismu dan dengarlah baik-baik segala ucapan pinni. Di waktu pinni
masih muda, pinni pernah mengalami kepahitan hidup akibat cinta seperti yang
kau rasakan sekarang ini, bahkan karena kegagalan cinta itulah yang mendorong
pinni menjadi seorang nikouw. Ketahuilah bahwa cinta pinni terhadap orang yang
pinni cinta itu, seperti cintamu terhadap Siluman Kecil ini, adalah cinta yang
palsu, Cui Lan.”
Dara itu
mengangkat wajahnya yang cantik. Sepasang matanya yang indah terbelalak karena
penasaran dan dua titik air mata itu kini meloncat turun ke atas kedua pipinya.
“Subo... bagaimana Subo dapat mengatakan demikian? Teecu (murid)... mencintanya
dengan sepenuh jiwa raga teecu...,“ dia berhenti sebentar, menunduk lalu
mengangkat lagi mukanya memandang wajah nikouw tua itu. “Subo, bagaimanakah
Subo dapat mengatakan bahwa cinta Subo dan cinta teecu itu adalah cinta palsu?”
“Anak yang
baik,” kata pendeta wanita itu dengan sikap halus dan penuh iba hati, “Kalau
kita benar-benar mencinta seseorang, tentu kita mementingkan kebahagiaan orang
itu, bukan? Kalau benar kita mencinta seseorang, tentu kita akan ikut merasa
bahagia melihat orang yang kita cinta itu berbahagia hidupnya. Namun tidak
demikian, kita tidak mementingkan keadaan orang itu, melainkan mementingkan
keadaan diri kita sendiri sehingga kalau tidak terpenuhi hasrat hati kita,
yaitu hidup bersama dengan orang yang kita cinta, kita merasa sengsara dan
menderita! Apakah ini disebut cinta, ataukah hanya keinginan kita untuk senang
sendiri dengan berdekatan dengan dia yang kita cinta sehingga kita
mempergunakan dia sebagai sarana untuk menyenangkan diri belaka?”
“Subo...!”
Dara itu terisak. “Teecu memujanya, menghormatinya, mengaguminya dan teecu
mencintanya. Teecu ingin melihat dia berbahagia, tetapi juga ingin berdekatan
selama hidup teecu di sampingnya..., salahkah ini?”
Nikouw itu
tersenyum haru. “Tidak ada yang menyalahkan atau membenarkan, Cui Lan. Pinni
hanya minta agar engkau suka membuka mata melihat kenyataan. Cinta yang
mengharapkan balasan pada hakekatnya adalah nafsu birahi. Tentu saja hal ini
bukan berarti pinni menyalahkan, karena hal itu sudah wajar, timbul dari daya
tarik antara pria dan wanita. Akan tetapi, cinta seperti itu sudah pasti
menimbulkan duka pula di samping mendatangkan kesenangan, anakku. Kalau kita
mencinta seseorang dan orang itu tidak membalas cinta kita, lalu bagaimana?”
“Teecu akan
tetap mencintanya...“
“Dengan hati
hancur dan menderita?”
Gadis itu
mengangguk dan terisak. “Teecu mencintanya dan teecu tahu bahwa teecu tidak
cukup berharga untuk menjadi jodohnya, akan tetapi biar pun dia tidak membalas
cinta teecu, teecu tetap mencintanya sampai akhir hidup teecu...“
Kim Sim
Nikouw merangkul dara itu dan mendekapkan kepala dara itu di dadanya. Betapa
sama penderitaan dara ini dengan apa yang dialaminya dahulu. Bahkan dia sendiri
meragu apakah sampai detik ini juga dia dapat melupakan perasaan hatinya
terhadap Pendekar Super Sakti!
“Anakku yang
baik, mengapa engkau tidak mau membuka mata melihat kenyataan dan menyadari
bahwa engkau menyiksa diri sendiri secara sia-sia? Apakah manfaatnya kedukaan
dan kepatahan hatimu itu untuk dirimu sendiri, apa gunanya pula untuk orang yang
kau cinta? Apa pula gunanya untuk orang lain?”
Mendengar
ini, perih rasa hati Cui Lan, dia memejamkan mata dan menggigit bibir yang
gemetar menahan tangis. Air mata jatuh berderai dari kedua matanya. Setelah
dapat menenangkan hatinya, dia kemudian berkata, “Subo, apakah yang harus teecu
lakukan sekarang? Teecu mohon petunjuk Subo...“
Kim Sim
Nikouw mengelus rambut yang panjang halus itu, lalu mendorong tubuh muridnya
dengan lembut. “Duduklah yang baik, mari kita bicara.”
Setelah
Phang Cui Lan duduk dan menghapus air matanya, wajahnya agak pucat dengan
rambut yang kusut namun tidak mengurangi kecantikannya, nikouw tua itu lalu
berkata.
“Cui Lan,
engkau telah menceritakan semua riwayat dan pengalamanmu. Menurut pandangan
pinni, sebaiknya kalau engkau pergi menghadap ayah angkatmu, yaitu Gubernur Hok
Thian Ki yang bijaksana itu. Di sana engkau akan terhibur, berada dalam
lingkungan keluarga baik-baik dan terhormat, dan pinni yakin bahwa ayah
angkatmu yang bijaksana itu akan dapat mengatur hidupmu selanjutnya, mencarikan
jodoh yang layak untukmu...“
“Akan
tetapi, teecu merasa tenteram berada di dekat Subo. Biarlah teecu melayani Subo
saja, teecu tidak ingin menjadi seorang puteri bangsawan terhormat...“
Pendeta itu
tersenyum memandang wajah dara yang jelita itu. “Alangkah baiknya watakmu, Cui
Lan. Pinni tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang rendah hati, akan tetapi
setelah pinni mengajarkan ginkang kepadamu, pinni yakin bahwa engkau tidak
berbakat untuk menjadi seorang wanita yang mengandalkan kekerasan, sungguh pun
pinni melihat jiwa pendekar yang gagah berani dalam dirimu. Dan pinni bukan
menganjurkan engkau hidup kaya raya dan mulia di rumah Gubernur Ho-pei,
melainkan karena gubernur itu amat baik dan sudah mengangkatmu sebagai
puterinya, maka sudah sepatutnya kalau engkau ikut dengan beliau sebagai
puterinya yang berbakti. Pinni akan mengantarmu ke sana, Cui Lan.”
Cui Lan
teringat kepada orang tua yang gagah dan bijaksana itu, dan akhirnya dia menurut
karena memang dia sayang dan kagum kepada Gubernur Hok Thian Ki yang pernah
mengalami bahaya bersamanya dan yang telah mengangkatnya sebagai anak itu.
Memang, dia sudah tidak berayah ibu lagi, gubernur itu telah menjadi pengganti
orang tuanya, sudah selayaknya kalau dia pergi menghadap ayah angkat itu.
Demikianlah,
beberapa hari kemudian, dengan diantar oleh Kim Sim Nikouw, Cui Lan
meninggalkan Kuil Kwan-im-bio di lereng Bukit Thai-hang-san itu untuk pergi ke
Ho-pei, di mana Hok Thian Ki menjadi gubernurnya. Selama beberapa bulan ini
Phang Cui Lan telah diajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dan terutama sekali
dilatih ilmu ginkang sehingga gadis yang lemah lembut itu kini dapat bergerak
dengan cepat, bahkan dapat melakukan perjalanan dengan cepat dan tubuhnya tidak
mudah lelah seperti sebelum dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Biar pun
kepandaiannya belum boleh diandalkan untuk menyerang orang lain, tetapi
kegesitannya sudah cukup untuk menghindarkan diri dari serangan orang.
Pada suatu
hari, nikouw tua dan dara cantik ini memasuki sebuah hutan di kaki Pegunungan
Thai-hang-san. Dari tempat tinggal nikouw itu, yaitu di Kuil Kwan-im-bio yang
letaknya di lereng Bukit Thai-hang-san, menuju ke daerah Ho-pei tidaklah begitu
jauh, akan tetapi harus melalui banyak hutan liar dan makan waktu perjalanan
kurang lebih tiga empat hari.
Pada hari
ketiga itu, mereka memasuki hutan besar dan di dalam hatinya, Kim Sim Nikouw
sudah merasa khawatir sungguh pun dia tidak mengatakan sesuatu kepada Cui Lan.
Sebagai seorang kang-ouw yang berpengalaman, Kim Sim Nikouw dapat menduga bahwa
sebuah hutan besar dan liar seperti itu, biasanya disuka sekali oleh
orang-orang jahat yang hendak menyembunyikan diri dari pengejaran yang berwajib
atau juga dari pengejaran para pendekar.
Kekhawatiran
Kim Sim Nikouw itu memang benar. Pada waktu itu, di dalam hutan ini memang
bersembunyi ketua Liong-sim-pang dan anak buahnya! Seperti kita ketahui, ketua
Liong-sim-pang, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun telah ikut terseret pula dalam
petualangan Pangeran Nepal sehingga dia bersama anak buah dan para pembantunya
ikut pula bersekutu dengan pemberontak itu.
Setelah
benteng pemberontak dapat dihancurkan dan Hwai-kongcu Tang Hun bersama sisa
anak buahnya berhasil melarikan diri, tentu saja dia tidak berani kembali ke
sarangnya semula, yaitu Puncak Naga Api yang terletak di Pegunungan
Lu-liang-san, melainkan bersembunyi di dalam hutan besar di kaki Pegunungan
Thai-hang-san itu. Dia khawatir sekali kalau-kalau namanya dan perkumpulannya
telah masuk cacatan pemerintah dan sarangnya itu akan di serbu pasukan
pemerintah. Apa lagi karena dalam pertempuran di benteng itu, dia juga telah
ditinggalkan oleh tiga orang tangan kanannya yang dipercaya, yaitu Ban-kin-kwi
Kwan Ok, Hai-Liong-pang Ciok Gu To dan tosu Hak Im Cu.
Tiga orang
pandai ini juga melarikan diri dari benteng dalam keadaan terpencar dan melihat
kegagalan Hwa-i-kongcu dalam persekutuan itu, mereka bertiga lalu terus pergi
tanpa pamit lagi. Hwa-i-kongcu hanya berhasil mengumpulkan dua puluh orang
lebih sisa anggota Liong-sim-pang dan bersama mereka dia cepat kembali ke
Puncak Naga Api untuk mengambil semua hartanya yang ditinggalkan di situ,
kemudian membawa hartanya pergi dan bersembunyilah dia dan anak buahnya di
dalam hutan ini, menanti saat baik untuk membangun kembali perkumpulannya yang
menjadi lemah dan rusak akibat gagalnya persekutuan membantu Pangeran Nepal
itu.
Ketika
nikouw tua dan dara muda itu sedang berjalan di antara pohon-pohon raksasa
dalam hutan yang sunyi itu, tiba-tiba Kim Sim Nikouw memegang lengan muridnya
dan berhenti melangkah. Biar pun dia sudah tua sekali, namun berkat latihan
ketat di waktu mudanya, maka panca inderanya masih peka dan tajam,
pendengarannya masih dapat menangkap suara yang tidak sewajarnya.
“Ada apakah,
Subo?” bisik Phang Cui Lan khawatir ketika melihat wajah subo-nya yang serius.
“Sssttt...“
Kim Sim Nikouw berbisik pula.
Cui Lan
makin khawatir, mengira bahwa tentu subo-nya melihat atau mendengar suara
seekor binatang buas, maka dara ini merasa ngeri juga. Mendadak terdengar suara
berisik dan dari balik pohon-pohon besar itu muncullah seorang laki-laki
bertubuh jangkung diikuti oleh lima orang lain. Melihat munculnya enam orang
laki-laki ini, Cui Lan menarik napas lega. Kiranya hanya manusia-manusia saja
dan dara ini menjadi tenang kembali.
“Ahh, kalian
enam orang gagah sungguh membuat kami berdua terkejut bukan main!” kata Cui Lan
dengan wajah berseri dan senyum ramah. “Kusangka kami akan bertemu dengan
harimau atau ular!”
Laki-laki
berusia hampir lima puluh tahun yang bertubuh jangkung dan bermuka keras itu
tertawa mendengar ini dan lima orang temannya tertawa semua. “Ha-ha-ha, Nona
Manis, kalau dibandingkan dengan harimau, kami adalah singa-singa perkasa, dan
kalau dibandingkan dengan ular-ular sesungguhnya kami adalah naga-naga sakti!
Setelah berjumpa dengan kami, kalian berdua harus menyerah untuk menjadi
tawanan kami.”
“Menjadi
tawanan?” Cui Lan bertanya dengan penasaran. Dara ini memang memiliki ketabahan
besar, maka kini dia pun tidak menyembunyikan kemarahannya dan sedikit pun
tidak kelihatan takut karena dia merasa berada di pihak yang benar. “Apakah
kesalahan kami berdua. Dan untuk apa kami hendak ditawan?”
Kembali enam
orang itu tertawa dan si jangkung membusungkan dada. “Kalian telah memasuki
wilayah kami dan kalian harus kami tawan untuk kami hadapkan kepada pimpinan
kami!”
Kim Sim
Nikouw sudah maklum bahwa dia dan muridnya sedang berhadapan dengan gerombolan
perampok atau orang-orang jahat, maka dia sudah mengerutkan alisnya dan kini
dia segera berkata halus, “Omitohud... kami berdua hanyalah seorang nikouw tua
dan seorang gadis muda yang lemah dan miskin, tidak mempunyai apa-apa, maka,
demi Dewi Kwan Im yang pengasih dan penyayang, harap Cu-wi (Anda sekalian) yang
gagah perkasa tidak mengganggu kami.”
Si jangkung
itu membelalakkan matanya. “Ehh, nikouw tua, jangan ngoceh engkau! Kau kira
kami ini perampokperampok? Phuh! Kami adalah orang-orang gagah perkasa dari
Liong-sim-pang, tahu?”
Sudah
puluhan tahun lamanya Kim Sim Nikouw tidak lagi berkecimpung di dalam dunia
kang-ouw, tentu saja dia belum pernah mendengar akan nama perkumpulan
Liong-sim-pang itu. Akan tetapi melihat sikap sombong dari si jangkung ini saja
sudah dapat dinilai olehnya macam apa adanya Perkumpulan Hati Naga itu.
Dia cepat
menjura dan berkata, “Ahhh, kiranya Cu-wi adalah orang-orang gagah dari
perkumpulan besar. Makin baik kalau begitu, karena pinni percaya bahwa Cu-wi
tidak akan mengganggu kami. Hendaknya Cu-wi ketahui bahwa pinni sedang mengantarkan
nona ini untuk menghadap Gubernur Ho-pei. Nona ini adalah puteri angkat beliau,
maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan.”
“Puteri
angkat Gubernur Ho-pei? Ahhh...!” Enam orang itu terbelalak dan kelihatan
terkejut dan girang sekali.
Kim Sim
Nikouw sengaja menggunakan nama gubernur untuk mengusir mereka karena biar pun
dia tidak merasa takut, akan tetapi nenek ini sudah tidak mempunyai minat lagi
untuk menggunakan kekerasan bertempur melawan orang lain. Usianya sudah hampir
enam puluh tahun dan sudah puluhan tahun dia tidak pernah berkelahi, bahkan
jarang sekali berlatih sungguh pun selama puluhan tahun itu dia telah menemukan
rahasia ilmu ginkang yang luar biasa sekali.
Biar pun Cui
Lan sendiri merasa tak setuju mendengar gurunya membawa-bawa nama ayah
angkatnya menghadapi orang-orang kasar ini karena dia sendiri sama sekali tidak
merasa takut, akan tetapi melihat wajah girang mereka, dara ini mengira bahwa
mereka sudah mengenal ayah angkatnya dan menghormatinya, maka dia pun tersenyum
dan berkata, “Setelah Cu-wi mengenal ayah angkatku, maka harap Cu-wi suka
membiarkan kami melanjutkan perjalanan. Dan nanti setelah bertemu dengan beliau
tentu aku akan melaporkan tentang kebaikan kalian. Sekarang ini, seperti
dikatakan Subo, kami adalah orang-orang miskin dan aku tidak mempunyai
apa-apa...“
Cui Lan
menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba si jangkung itu tertawa bergelak dan
diikuti oleh teman-temannya. “Ha-ha-ha, engkau bilang tidak mempunyai apa-apa,
Nona? Ha-ha-ha, engkau memiliki sesuatu yang amat berharga sekali, yaitu
kecantikan dan kemudaanmu. Kongcu tentu akan tertarik sekali kepadamu, oleh
karena itu, marilah engkau ikut bersama kami menghadap kongcu dan nenek tua ini
tidak ada gunanya, biar dia melanjutkan perjalanannya seorang diri saja.”
“Jiu-twako,
mengapa tidak bunuh saja nenek ini biar menjadi makanan binatang hutan dan agar
dia tidak dapat banyak bicara tentang kita di sini?” berkata seorang di antara
mereka yang mukanya penuh brewok dan kata-katanya ini agaknya didukung oleh
teman-temannya.
“Bunuh juga
lebih baik!” kata si jangkung.
Tentu saja
Cui Lan menjadi terkejut bukan main dan bangkitlah kemarahannya. Dengan mata
terbuka lebar dan dada dibusungkan, dia menghadang di depan subo-nya dan
menentang enam orang laki-laki kasar itu.
“Hemmm, apa
yang kalian hendak perbuat? Apakah seperti itu sikap orang-orang gagah yang
menamakan dirinya anggota-anggota perkumpulan Liong-sim-pang yang gagah
perkasa? Mundurlah, kalau tidak, tentu kejahatan kalian kelak akan menerima
hukuman dari pemerintah dan dari Tuhan!”
Enam orang
itu tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan ini. “Ha-ha-ha-ha, kawan kawan,
lihat, nona ini selain cantik jelita, juga memiliki keberanian! Kongcu tentu
akan girang melihatnya. Kurasa, dibandingkan dengan Puteri Bhutan itu, dia ini
masih tidak kalah!”
Kim Sim
Nikouw melihat gelagat tidak baik, maka dia menarik tangan muridnya dan
berkata, “Cui Lan, mundurlah.” Kemudian dia menghadapi enam orang itu dan
berkata lagi dengan halus, “Harap Cu-wi suka mempertimbangkan lagi apa
keuntungan Cu-wi mengganggu kami, seorang wanita tua dan seorang gadis lemah.
Apakah Cu-wi tidak khawatir nama baik Cu-wi akan ternoda?”
Si jangkung
membentak, “Nikouw tua jangan cerewet! Dengar, aku adalah Jiu Koan, tokoh
Liong-sim-pang yang terkenal jagoan dan tentu saja aku tidak sudi mengganggu
nenek-nenek tua dan seorang dara yang lemah. Tetapi kami bukan ingin mengganggu
kalian. Aku hanya ingin mengajak nona ini menghadap kongcu yang sedang
kesepian, sedangkan engkau, kalau engkau mau menjadi bujang dan melayani kongcu
akan kami ajak sekalian. Kalau tidak, nona ini akan kami bawa dan engkau akan
kami berikan kepada binatang-binatang buas di hutan ini untuk dimakan!”
Kim Sim
Nikouw memejamkan mata sejenak untuk merasakan api kemarahan yang terasa di
dada dan kepalanya, kemudian dia membuka kembali matanya, memandang kepada Jiu
Koan jagoan Liong-sim-pang itu dengan sinar mata tetap lembut dan dia menarik
napas panjang berkali-kali sehingga api kemarahan itu padam kembali.
“Omitohud...
kalian menggunakan kekerasaan untuk melakukan perbuatan jahat, tidak tahukah
kalian bahwa hal itu akan menimpa kalian sendiri?”
“Jiu-twako,
mengapa melayani nenek-nenek cerewet? Biar kusembelih saja dia!” bentak si
brewok sambil mencabut sebuah golok dari punggungnya, ditertawakan oleh teman
temannya.
Jiu Koan
mengangguk, kemudian tiba-tiba dia sendiri bergerak menubruk ke arah Cui Lan
untuk menangkap dara itu, sementara itu, si brewok sudah memutar goloknya lalu
dibabatkan golok itu ke arah leher Kim Sim Nikouw!
“Ihhhhh...!”
Cui Lan menjerit ngeri akan tetapi dengan ringan sekali tubuhnya sudah meloncat
ke samping sehingga Jiu Koan hanya menubruk tempat kosong belaka! Inilah hasil
beberapa bulan digembleng oleh Kim Sim Nikouw dalam hal ginkang! Melihat betapa
mudahnya dia mengelak, Cui Lan menjadi besar hati dan dia bersikap waspada
memandang kepada si jangkung yang kelihatan terheran itu. Akan tetapi si
jangkung Jiu Koan tidak berusaha menubruknya kembali karena tertarik untuk
menonton si brewok yang sudah mulai menyerang nikouw tua itu.
Enam orang
itu terkejut sekali seperti juga si brewok. Walau pun si brewok menyerang
sedemikian cepatnya, ketika golok itu menyambar, tubuh nenek itu tiba-tiba saja
lenyap! Jiu Koan sendiri melihat betapa cepatnya gerakan nenek itu, seperti
kapas ringannya, melayang ke kanan saat golok si brewok menyambar. Dia menjadi
penasaran dan mulai menduga bahwa nikouw itu tentu memiliki kepandaian, maka
dia mengambil kesimpulan bahwa kalau nikouw ini tidak dibunuh lebih dulu, tentu
akan sukar baginya untuk dapat menawan dara cantik jelita yang tentu akan
menyenangkan hati kongcunya itu.
Maka setelah
mencabut goloknya, golok yang amat diandalkannya, dia lalu berseru nyaring
kepada kawan-kawannya, “Hayo kalian bantu, bunuh nikouw tua itu!”
Empat orang
kawannya cepat mengeluarkan senjata masing-masing dan beramai-ramai mereka
berlima lalu mengeroyok Kim Sim Nikouw. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh
nikouw itu, menyilaukan mata sinar golok dan pedang yang berkilat-kilat. Namun
sungguh mengejutkan mereka karena biar pun mereka kadang-kadang dapat melihat
dengan jelas tubuh atau bayangan nenek itu, tidak ada satu pun di antara
serangan serangan mereka mengenai sasaran! Nenek tua itu seperti pandai
menghilang saja dan tahu-tahu, begitu diserang, bayangan itu lenyap dan telah
berada di tempat lain, di belakang atau di kanan kiri mereka! Tentu saja hal
ini memancing rasa penasaran mereka dan lima orang itu menyerang lebih ganas
lagi.
Penyerangan
orang-orang kasar itu tentu saja sama sekali tidak ada artinya bagi Kim Sim
Nikouw, merupakan serangan sekumpulan anak-anak yang canggung dan kaku belaka
dan dengan ginkang-nya yang sudah mencapai tingkat amat tinggi itu, dengan
mudah dia dapat mengelak ke sana-sini. Jangankan baru lima orang kasar itu,
biar ditambah lagi dengan lima puluh orang macam mereka, kiranya belum tentu
akan mampu melukai nenek ini dengan senjata mereka!
Kalau nikouw
tua itu menghendaki, dengan sedikit gerakan berdasarkan ilmu ganas Toat-beng
Sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut Nyawa), atau Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti
Inti Salju), maka dengan mudah dia akan dapat merobohkan mereka. Hanya saja
hati nikouw ini merasa tidak tega. Setelah puluhan tahun lamanya menghayati
ajaran ajaran Dewi Kwan Im yang penuh welas asih, ia merasa tidak tega untuk
membalas kekerasan orang dengan kekerasan pula. Dia melihat perbuatan keras dan
kasar itu bukan sebagai suatu kejahatan, melainkan sebagai suatu kebodohan dan
orang-orang itu tidak menimbulkan kebencian di dalam hatinya, malah baginya
patut dikasihani! Inilah sebabnya mengapa sampai sekian lamanya Kim Sim Nikouw
hanya mengelak saja tanpa mau membalas.
Jiu Koan,
tokoh Liong-sim-pang yang sombong itu, tentu saja terkejut bukan main melihat
betapa nenek itu dapat berkelebat seperti seekor burung di antara kilatan golok
dan pedang anak buahnya, sedikit pun tidak pernah tersentuh. Dia menjadi
penasaran sekali dan sambil berseru keras dia pun menerjang ke depan,
menusukkan goloknya ke arah punggung nenek itu. Kim Sim Nikouw mengelak dengan
tubuh dimiringkan, akan tetapi golok yang luput menusuk itu telah membalik dan
membabat ke arah lehernya! Tahulah Kim Sim Nikouw bahwa Jiu Koan ini memiliki
kepandaian yang tidak boleh disamakan dengan kekasaran lima orang anak buahnya,
maka dengan cepat nikouw tua ini mengenjot kakinya dan tubuhnya sudah mencelat
ke belakang, membuat babatan golok di tangan Jiu Koan itu mengenai angin kosong
saja.
Enam orang
Liong-sim-pang itu makin penasaran dan kini mereka terus menyerang
bertubi-tubi, sama sekali sudah tidak ingat akan kegagahan mereka yang
sepatutnya tersinggung dan membuat mereka malu karena mereka adalah enam orang
laki-laki yang selalu menganggap diri sendiri gagah perkasa, akan tetapi
sekarang mengeroyok seorang nikouw tua yang sama sekali tidak pernah mau balas
menyerang!
Kim Sim
Nikouw akhirnya maklum bahwa kalau dia tidak mengalahkan mereka, enam orang
yang tidak tahu diri ini tentu akan terus menyerang, dan dia pun
mengkhawatirkan keselamatan Cui Lan, maka tiba-tiba nenek tua itu mengeluarkan
suara melengking nyaring dan di lain saat, terdengar pekik kaget
berturut-turut, golok dan pedang mereka terlepas dari tangan dan telah dirampas
semua oleh Kim Sim Nikouw.
“Omitohud,
kalian terlalu mendesak...!” Kim Sim Nikouw berseru dan satu demi satu dia
mematahkan pedang dan golok itu dengan jari-jari tangannya yang kurus dan
kecil.
Mendengar
suara ‘pletak-pletak’ dan melihat betapa golok dan pedang mereka itu dipatahkan
seperti orang mematahkan lidi saja, enam orang itu terbelalak dengan muka
pucat! Tahulah mereka sekarang bahwa nikouw tua itu ternyata adalah seorang
yang sakti, memiliki kepandaian yang amat tinggi dan luar biasa. Selagi mereka terbelalak
dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara orang di belakang
mereka.
“Apakah yang
sedang terjadi di sini?”
Legalah hati
Jiu Koan dan para anak buahnya mendengar suara ini. Jiu Koan cepat membalik dan
menghadap seorang laki-laki muda yang usianya tiga puluh tahun lebih akan
tetapi masih nampak muda sekali, nampaknya baru berusia dua puluhan tahun
lebih. Pakaiannya serba baru dengan baju kembang-kembang, sepatunya mengkilap.
Seorang yang tampan dan pesolek, yang kini berdiri dan biar pun dia bertanya
kepada anak buahnya, namun sepasang matanya dengan jalang melahap kecantikan
Cui Lan yang berdiri tidak jauh dari tempat itu.
Dengan
tangan kiri memegang kipas yang dikembangkan, maka Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua
Liong-sim-pang ini pantas menjadi seorang sastrawan yang sopan dan halus budi!
Mukanya putih seperti dibedaki, dan di punggungnya nampak gagang sebatang
pedang yang terukir indah dan dihias ronce merah!
“Kongcu,
nenek ini lihai bukan main dan kami tak berdaya terhadapnya. Senjata kami
dirampasnya, harap Kongcu suka menghajarnya!”
Hwa-i-kongcu
Tang Hun mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum dan matanya
mengerling tajam ke arah Cui Lan yang tentu saja merasa tidak enak dan juga
agak tak senang melihat kekurang ajaran dalam mata pemuda asing itu.
“Jiu Koan,
ceritakan yang jelas mengapa kalian ribut-ribut dengan Lo-suthai ini,” kata
Hwa-i-kongcu, suaranya halus sikapnya menarik dan sopan.
“Kongcu,
kami melihat nenek dan nona ini lewat di sini, melanggar wilayah kita, maka
kami bermaksud untuk menghadapkan nona itu kepada Kongcu. Akan tetapi nikouw
tua ini melarang dan kami lalu menyerangnya...“
“Seorang
gagah perkasa harus malu berbohong!” mendadak Cui Lan berkata lantang.
“Hendaknya Kongcu tidak sembarangan percaya pelaporan orang-orang yang pengecut
ini! Kami guru dan murid lewat di sini dalam perjalanan kami ke daerah Ho-pei,
mana kami tahu bahwa hutan ini menjadi wilayah kekuasaan mereka? Si jangkung
ini lalu hendak menangkap aku dan hendak membunuh Subo, dan Subo hanya membela
diri saja ketika hendak dibunuh. Harap Kongcu membiarkan kami berdua guru dan
murid melanjutkan perjalanan kami.”
“Kongcu,
nona itu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki di Ho-pei!” tiba-tiba si
jangkung berkata.
Berubahlah
wajah Tang Hun. Dia tersenyum dan matanya menatap wajah cantik Cui Lan. “Ah,
kiranya Siocia adalah puteri angkat Gubernur Ho-pei? Selamat datang di wilayah
kami dan kupersilakan Nona untuk sudi singgah di gubukku sebagai seorang tamu
terhormat.”
Cui Lan mengerutkan
alisnya. Biar pun pemuda itu tampan dan lemah lembut, juga sopan santun, namun
dia melihat betapa di balik sinar mata dan senyum pemuda itu terdapat sesuatu
yang menyeramkan dan mengerikan hatinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi Kim
Sim Nikouw yang juga segera mengenal orang, segera menjura.
“Ah, kiranya
Kongcu adalah pimpinan Liong-sim-pang? Harap maafkan pinni dan murid pinni yang
tanpa disengaja melanggar wilayah Kongcu. Kini kami sedang tergesa-gesa, maka
harap maafkan bahwa pinni dan murid pinni tiada kesempatan untuk berkunjung.”
“Siapakah
Lo-suthai?” Tiba-tiba suara pemuda itu berubah, tidak semanis tadi, bahkan
kelihatan marah. Memang sesungguhnya hati Tang Hun sudah terasa panas melihat
betapa enam orang anak buahnya dibuat tidak berdaya oleh nenek tua ini.
“Pinni
adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio yang berada di salah satu lereng
Thai-hang-san, Kongcu. Dan murid pinni ini adalah Phang Cui Lan, puteri angkat
dari Gubernur Ho-pei. Kami sedang menuju ke sana untuk menghadap gubernur.”
Nikouw itu menjelaskan sejujurnya.
“Hemmm,
Suthai adalah seorang pemuja Dewi Welas Asih, akan tetapi Suthai sendiri tidak
memiliki welas asih dalam hati Suthai.”
“Maksud
Kongcu?” Kim Sim Nikouw bertanya heran.
“Kalau
Suthai memiliki hati penuh welas asih, tentu Suthai akan meninggalkan nona ini
di sini dan Suthai boleh pergi.”
“Kongcu, apa
maksudmu?”
“Suthai
tentu maklum betapa tersiksanya seorang pria yang sedang kesepian seperti saya
ini. Melihat nona ini, anak buahku ingin menghibur hatiku dengan persembahan
berupa nona ini. Kalau Suthai menaruh kasihan kepada saya, tentu Suthai juga
tidak berkeberatan untuk menyerahkan nona ini kepadaku, untuk menghibur hatiku
yang sedang kesepian...“
“Ehh, Kongcu
yang rendah budi!” Cui Lan berseru marah. “Aturan mana itu? Melihat gerak-gerik
dan pakaianmu, tentu engkau adalah orang yang tahu akan peraturan dan
kebudayaan, mengapa dapat mengeluarkan kata-kata yang rendah itu?”
Tang Hun
tersenyum. “Nona Phang Cui Lan, begitu melihatmu aku sudah jatuh cinta
kepadamu. Engkau begini cantik jelita, halus budi dan penuh keberanian. Sungguh
pantas kalau menjadi teman hidupku! Jiu Koan, ajak teman-teman tangkap nona
itu, akan tetapi jangan lukai dia dan jangan bersikap kasar, dia adalah milikku
yang harus kalian hormati.”
“Tapi...
tapi dia...“ Jiu Koan memandang ke arah Kim Sim Nikouw dengan sikap jeri.
“Serahkan
nikouw tua ini kepadaku!”
Setelah
berkata demikian, secara tiba-tiba Hwa-i-kongcu Tang Hun sudah menerjang maju.
Tangan kanannya menampar ke arah pelipis dan tangan kirinya menghadang lalu
mencengkeram lambung. Serangan ini ganas bukan main!
“Omitohud...!”
Kim Sim Nikouw berseru kaget sekali, akan tetapi kegesitan gerakannya masih
mengatasi kecepatan serangan lawan dan sebelum kedua tangan lawan itu menyentuh
ujung baju, dia sudah mengelak sehingga serangan pertama itu luput!
Akan tetapi,
Hwa-i-kongcu terus menyerangnya dengan bertubi-tubi. Sedemikian hebat serangan
pemuda pesolek itu sehingga biar pun Kim Sim Nikouw memiliki kecepatan gerakan
yang luar biasa dan semua serangan Hwa-i-kongcu dapat dielakkannya dengan
mudah, namun nenek ini maklum pula bahwa menghadapi seorang yang memiliki
tingkat kepandaian seperti pemuda pesolek ini, jelas bahwa dia tidak mungkin
dapat mengandalkan kecepatan untuk terus-menerus mengelak saja. Pukulan-pukulan
yang dilakukan oleh lawannya itu bukanlah pukulan kasar yang dapat dielakkannya
dengan mudah, melainkan pukulan yang mengandung tenaga sinkang sehingga amatlah
berbahaya baginya kalau dia hanya mengelak terus-menerus.
Oleh karena
itu, mulailah nikouw tua ini bersilat dan terpaksa dia lalu mengeluarkan ilmu
pukulan yang selama ini disimpannya sebagai rahasia dirinya, yaitu Toat-beng
Sin-ciang dan kadang-kadang Swat-im Sin-ciang. Penggabungan pukulan seperti
yang dilatih oleh Siluman Kecil atas petunjuk dan bantuannya, sama sekali tidak
pernah dipelajarinya sendiri karena dianggap terlalu kejam, bertentangan dengan
hati dan sifatnya yang menentang kekerasan.
Melihat
gerakan tangan nikouw itu, bukan main kagetnya Hwa-i-kongcu. Yang dihadapi
adalah seorang nikouw pemuja Kwan Im Pouwsat yang demikian lemah lembut dan
suci, akan tetapi mengapa gerakan tangannya demikian kejinya, membayangkan ilmu
yang luar biasa ganasnya dan ampuhnya? Dia tidak tahu bahwa Kim Sim Nikouw
dahulunya di waktu muda adalah murid datuk-datuk ilmu persilatan yang termasuk datuk
kaum sesat.
Akan tetapi,
karena memang kurang latihan, akhirnya Kim Sim Nikouw harus mengakui keunggulan
murid dari nenek iblis Durganini itu. Apa lagi ketika dalam penasaran dan
marahnya Hwa-i-kongcu Tang Hun mencabut pedangnya yang tipis, terpaksa Kim Sim
Nikouw kembali mengandalkan ginkang-nya untuk mengelak ke sana-sini.
Sebetulnya
yang membuat dia terdesak adalah karena nikouw tua ini sama sekali tidak ada
maksud untuk membunuh lawan, berbeda dengan lawannya yang bernafsu untuk
membunuhnya. Hal ini tentu saja amat mempengaruhi jalannya pertempuran. Kalau
dia selalu berhati-hati dan hanya melakukan serangan balasan yang sifatnya
menjaga diri saja, sebaliknya lawan menghujankan serangan maut untuk membunuh.
Sementara
itu, biar pun dia telah mengerahkan ginkang-nya untuk mengelak dan lari ke sana
ke mari, akhirnya Cui Lan tertangkap juga dan begitu lengannya kena ditangkap,
dara itu tak mampu lari lagi dan segera diringkus oleh Jiu Koan yang
tertawa-tawa. Akan tetapi karena sudah dipesan oleh Hwa-i-kongcu, maka dia dan
kawan-kawannya tidak berani bersikap kasar atau kurang ajar terhadap dara itu,
hanya mengikat kedua tangan dara itu ke belakang tubuhnya dengan saputangan.
Tertawannya
dara itu membuat Kim Sim Nikouw makin bingung dan nyaris pundaknya dimakan
pedang kalau saja dia tidak cepat-cepat melempar diri ke belakang dan terus
berjungkir-balik dan melarikan diri dari tempat itu!
“Subo...!”
Phang Cui Lan berseru memanggil, akan tetapi nikouw itu telah berkelebat lenyap
dari situ.
“Kejar dia!
Nenek itu harus dibunuh karena dia sudah tahu tempat kita!” Hwa-i-kongcu
berseru kepada Jiu Koan dan teman-temannya yang segera berlari mengejar ke arah
berkelebatnya bayangan nikouw itu, sedangkan Hwa-i-kongcu lalu memondong tubuh
Phang Cui Lan, dibawa lari memasuki hutan lebat. Dara itu meronta dan memaki,
akan tetapi tentu saja tidak mampu berkutik dalam pondongan Hwa-i-kongcu yang
hanya tertawa gembira.
Kenapa Kim
Sim Nikouw melarikan diri dan meninggalkan Cui Lan begitu saja terancam bahaya
di tangan pemuda cabul itu? Apakah nikouw tua yang di waktu mudanya adalah
seorang pendekar wanita gagah perkasa itu kini menjadi penakut dan pengecut
yang membiarkan muridnya terancam bahaya? Tentu saja tidak demikian, Kim Sim
Nikouw maklum bahwa kalau mengandalkan kekuatannya sendiri saja dia tidak akan
mampu menyelamatkan Cui Lan, bahkan dia sendiri yang akan celaka karena
Hwai-kongcu Tang Hun ternyata amat lihai dan agaknya memiliki banyak anak buah.
Oleh karena
itulah maka dia sengaja melarikan diri untuk mencari bantuan! Karena daerah itu
sudah termasuk wilayah Propinsi Ho-pei, maka dia akan cepat mencari pembesar
setempat untuk minta bantuan pasukan keamanan untuk menolong puteri angkat
gubernur yang tertawan orang jahat. Kalau pembesar setempat mendengar bahwa
yang tertawan Hwa-i-kongcu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki, sudah
pasti pembesar itu mau membantu.
Ketika
nikouw tua itu sudah mulai berpeluh dan terengah-engah karena sejak tadi
melakukan perjalanan dengan berlari cepat, tiba-tiba dia mendengar seruan dari
samping, “Ibu...! Mengapa tergesa-gesa? Hendak pergi ke manakah?”
“Kian
Bu...!” Kim Sim Nikouw amat girang ketika dia menahan kakinya dan menengok,
melihat bahwa yang menegurnya itu adalah seorang pemuda berambut putih yang
bukan lain adalah Suma Kian Bu, pemuda yang menjadi muridnya, juga menjadi anak
angkatnya itu, pemuda putera Suma Han atau Pendekar Super Sakti, satu-satunya
pria yang pernah dan masih dicintanya! Saking girangnya, Kim Sim Nikouw
menubruk dan merangkul Kian Bu dengan air mata berlinang.
“Ehhh, Ibu
menangis?” Kian Bu terkejut bukan main.
Seperti
telah kita ketahui, pemuda ini mengejar dan mencari Kian Lee, kakaknya yang
lari melakukan pengejaran terhadap Pangeran Liong Bian Cu yang membawa pergi
Hwee Li. Akan tetapi karena dia tidak tahu ke mana kakaknya itu lari, dia salah
jalan dan tidak berhasil menyusul Kian Lee. Ketika dia tiba di perbatasan
Propinsi Ho-nan dan Ho-pei, dia teringat kepada Kim Sim Nikouw, gurunya dan
juga ibu angkatnya itu, maka dia lalu membelok dan bermaksud mengunjungi
Kwan-im-bio di lereng gunung Thai-hang-san dan tak disangkanya, dia melihat
nikouw itu berkelebat cepat maka segera dipanggilnya. Kini melihat nikouw tua
itu berlinang air mata, dia terkejut sekali.
“Kian Bu,
anakku, engkau harus cepat menolong dia! Hayo kau ikut denganku!” Setelah
berkata demikian, nikouw itu menarik tangan Kian Bu dan cepat berlari ke arah
yang berlawanan dengan tadi.
Terpaksa
Kian Bu juga mempergunakan ilmunya berlari cepat sehingga nenek dan pemuda ini
berlari cepat sekali menuju ke sebuah hutan besar yang nampak dari situ.
“Dia
siapakah, Ibu?” Kian Bu bertanya karena dia merasa heran dan ingin tahu sekali
mengapa ibu angkatnya kelihatan begitu gugup dan bingung, suatu sikap yang amat
berlawanan dengan sikap nikouw ini yang biasanya tenang dan lemah lembut.
“Dia...
Phang Cui Lan,” jawab nikouw itu sambil terus berlari, bahkan mempercepat
larinya, padahal napasnya sudah terengah-engah.
“Phang Cui
Lan...? Siapa dia...?” Kian Bu bertanya lagi. “Dan apa yang telah terjadi
dengan dia?”
Tiba-tiba
Kim Sim Nikouw menghentikan langkahnya, terengah-engah dan menghapus keringat
dari muka dan lehernya, matanya memandang kepada Klan Bu dengan marah dan dia
berkata penuh teguran, “Kian Bu, engkau laki-laki tak berjantung!”
Kian Bu
memandang kepada nikouw itu dengan mata terbelalak. “Apa... apa maksud Ibu
berkata demikian?”
“Dara itu
memujamu seperti dewa, mencintamu melebihi jiwa raganya sendiri, dan engkau...
namanya pun kau lupakan! Betapa kejam engkau...!”
“Ahhh...?”
Kian Bu terkejut dan mengingat-ingat nama itu, namun tetap saja tak dapat
diingat dan dikenalnya.
“Lupakah kau
kepada puteri mendiang lurah dusun Cian-Ii-cung di dekat Lokyang?”
“Ahhh...!
Kiranya dia...!” Tentu saja kini teringat oleh Kian Bu dara cantik yang dia
tahu tergila-gila dan jatuh cinta kepadanya itu.
Dara yang
ditolongnya ketika dusunnya diserbu perampok, keluarga ayahnya terbunuh semua,
kemudian dia menitipkan dara itu sebagai dayang di gedung Gubernur Ho-nan. Dan
dara itu muncul kembali ketika dia bertanding melawan Sin-siauw Sengjin. Dalam
pertemuan itu dia sengaja bersikap kasar kepada dara itu untuk meyakinkan hati
dara itu bahwa dia tidak mencintanya karena sikap ini dianggapnya sebagai
satu-satunya obat untuk menyembuhkan dara itu. Siapa kira, kini dara itu
agaknya dikenal oleh Kim Sim Nikouw dan terjadi sesuatu yang membuat nikouw itu
demikian gelisah.
“Apa yang
terjadi dengan dia, Ibu?”
“Dia ditawan
oleh ketua Liong-simpang dan aku tidak berhasil menyelamatkannya, hayo kau
cepat tolong dia!” Nikouw itu sudah berlari-lari dan Kian Bu cepat menyusulnya.
“Mari kau
kugendong saja agar cepat, Ibu, kau sudah lelah sekali!” kata pemuda itu dan
tanpa menanti jawaban, dia sudah menyambar dan memondong tubuh nikouw tua itu
dan dibawanya lari secepat angin. “Harap kau tunjukkan jalannya.”
Kim Sim
Nikouw memandang pemuda itu dengan hati kagum. Dia yang mengajarkan ilmu
ginkang kepada pemuda ini, akan tetapi dibandingkan dengan pemuda ini, dia
sekarang kalah jauh! Dan berada dalam pondongan pemuda ini, ada rasa keharuan
menyengat hatinya karena dia membayangkan bahwa yang memondongnya bukan Suma
Kian Bu melainkan ayahnya, Suma Han!
Akan tetapi
dengan muka berubah merah Kim Sim Nikouw cepat mengusir bayangan itu dan
mengalihkan perhatiannya untuk menunjukkan jalan kepada Kian Bu memasuki hutan
di mana tadi dia meninggalkan Cui Lan yang tertawan oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun,
ketua dari Liong-sim-pang.
Sementara
itu, dengan hati girang dan gembira sekali Tang Hun memondong tubuh Cui Lan dan
dibawa masuk ke dalam sebuah pondok kayu yang kokoh kuat, pondok yang dibuat
oleh anak buahnya di tengah hutan sebagai tempat tinggal dan tempat sembunyi
sementara itu. Hatinya gembira bukan main karena dara yang ditawannya ini benar
benar amat cantik jelita! Hatinya sedang kesal dan berduka oleh semua
kegagalannya, maka dara ini akan dapat menghiburnya di tengah hutan itu dan
karena dara ini amat cantik dan lemah lembut, apa lagi dikabarkan sebagai
puteri angkat gubernur, maka dia tidak mau memperkosanya secara kasar.
Tang Hun
adalah seorang laki-laki hidung belang dan cabul, akan tetapi dia pun amat
cerdik dan memiliki ambisi besar. Baru saja, dalam membantu Pangeran Nepal, dia
mengalami kegagalan yang amat merugikan sehingga terpaksa dia menyembunyikan
diri ke dalam hutan karena takut kalau diburu sebagai pemberontak, akan tetapi
kini terbukalah kesempatan baginya untuk menebus kegagalannya itu!
Dia
mempunyai dua kesempatan yang amat baik dengan tertawannya puteri angkat
Gubernur Ho-pei itu. Kalau dia pandai membujuk rayu sampai dara cantik jelita
itu menyerah dengan suka rela, dan dia yakin akan berhasil dalam hal ini, maka
selain dia akan memperisteri seorang wanita yang amat jelita, juga dia akan
menjadi menantu gubernur! Bukan main kenyataan ini, karena seketika dia akan
terangkat tinggi sekali dalam kedudukan yang amat terhormat dan tentu gubernur
itu akan melindungi mantunya! Andai kata keadaannya berbalik dan dara cantik
manis itu tidak mau menyerah dengan suka rela, dia masih dapat memanfaatkannya,
yaitu menjadikannya sandera untuk melindungi dirinya jika dia diserbu dan diburu
oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dia tetap akan dapat bersenang-senang dan
menjadikan dara itu kekasihnya, baik secara halus atau secara kasar!
Berbareng
dengan kata terakhir itu, secara tiba-tiba dan cepat sekali Tang Hun sudah
menubruk ke depan. Kini dia mengambil keputusan untuk secara paksa mencemarkan
gadis ini dan menundukkannya dengan kekerasan. Dia percaya bahwa gadis ini
setelah ditundukkan dengan paksaan, setelah diperkosanya akan kehilangan
keangkuhannya pula dan akan patuh dan menurut, seperti yang sudah banyak dia
alami dengan gadis gadis yang pernah diperolehnya dengan cara apa pun juga.
Biasanya, seorang dara yang angkuh seperti ini, sekali kehilangan kehormatannya
akan menjadi jinak dan patah semangat.
“Ehh...?”
Tang Hun terkejut bukan main ketika tubrukannya itu mengenai tempat kosong
karena dengan kecepatan luar biasa dara itu telah dapat mengelak dari tubrukan
itu!
Tak
disangkanya dara itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya. Tetapi dianggapnya
bahwa tentu gerakan mengelak itu hanya kebetulan saja, maka kembali dia
menubruk, sekali ini lebih cepat dan ganas, kedua tangannya membentuk cakar
karena dia ingin mencengkeram pakaian dara itu untuk direnggut dan
dicabik-cabiknya, kebiasaan yang amat disukainya kalau dia memperkosa wanita. Akan
tetapi, kembali tubrukannya luput!
Dengan
sangat ringan Cui Lan yang melihat bahaya mengancam itu sudah meloncat,
mengerahkan seluruh ginkang-nya yang telah dipelajari selama ini dari Kim Sim
Nikouw. Wajah dara ini menjadi pucat, dia merasa ngeri dan maklum bahwa dia
terancam bahaya yang lebih hebat dari pada maut, akan tetapi sampai mati pun
dia tidak akan menyerah dan kalau dia sudah tidak melihat jalan lain, dia
mengambil keputusan untuk membunuh dirinya sendiri dan pria ini hanya akan
memperoleh mayatnya saja. Untuk itu dia telah bersiap-siap, kalau sudah tidak
ada jalan keluar, dia akan membenturkan kepalanya pada dinding kamar itu!
“Hemmm...
kiranya engkau memiliki ginkang yang boleh juga...!” Tang Hun berkata memuji
dan pandang mata yang marah itu bercampur kagum dan timbullah rasa sayang di
dalam hatinya.
“Nona,
engkau adalah seorang dara yang cantik jelita, mempunyai kepandaian lumayan dan
engkau puteri gubernur, mengapa engkau tidak mau mempergunakan pikiran sehat?
Ketahuilah bahwa aku adalah seorang pemuda yang belum beristeri dan aku jatuh
cinta padamu. Kalau kita menjadi suami isteri, bukankah sudah sepadan sekali
dan engkau akan hidup serba kecukupan.”
“Tidak
sudi...! Tidak sudi...!” Cui Lan berseru dengan marah pula.
“Nona,
pikirlah baik-baik. Kalau engkau menerima dengan suka rela, aku akan
memperlakukan engkau dengan hormat sebagai calon isteriku yang baik. Aku akan
merasa menyesal kalau harus memaksamu dengan perkosaan. Jangan kau mengira
bahwa sedikit ilmu ginkang itu akan dapat membuat engkau terbebas dariku,
Sayang. Nikouw tua itu sendiri tidak mampu melawanku. Marilah mendekat, dan
katakan bahwa engkau menerima pinanganku, Nona...”
“Tidak sudi,
keparat keji! Lebih baik seratus kali mati dari pada tunduk kepada niat
jahatmu!” Cui Lan membentak dan pada saat itu Tang Hun sudah menerjang dengan
kecepatan kilat. Cui Lan berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja ujung lengan
bajunya kena dicengkeram.
“Brettttt...!”
Lengan baju itu robek sampai ke pundak sehingga nampak lengan dan pundak yang
berkulit putih mulus itu.
Melihat ini,
makin berkobar nafsu Tang Hun dan dia sudah menyeringai, matanya jalang dan Cui
Lan sudah mundur-mundur sampai membentur dinding. Maklumlah dara itu bahwa dia
tidak dapat meloloskan diri, maka dia sudah mengambil keputusan untuk
membenturkan kepalanya pada dinding itu kalau Tang Hun menubruknya lagi.
Akan tetapi
pada saat itu, terdengar suara dari luar jendela, “Hemmm, bajingan kecil
seperti ini berani kurang ajar terhadap Nona Phang Cui Lan?”
Mendengar
suara ini, sepasang mata Cui Lan terbelalak lebar, wajahnya berseri penuh
kegembiraan dan dia segera mengenal suara itu, maka teriaknya, “Taihiap...!”
Dia mengenal
suara itu, sampai di mana pun, bercampur dengan suara apa pun, dia akan selalu
mengenal suara yang amat dirindukannya itu, suara dari Pendekar Siluman Kecil!
Hwa-i-kongcu
Tang Hun terkejut mendengar suara itu. Anak buahnya banyak menjaga di luar,
tetapi bagaimana orang ini tahu-tahu sudah berada di luar jendela kamarnya? Hal
ini saja menunjukkan bahwa orang itu tentu lihai, sungguh pun dia tidak merasa
jeri karena dia belum melihat siapa orangnya dan di dunia ini tidak banyak
orang yang akan mampu mengalahkannya.
Tiba-tiba
tangan kanannya bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah jendela itu. Daun
jendela pecah tertembus oleh senjata rahasia berbentuk uang logam yang
dilontarkan oleh Tang Hun tadi. Kalau yang berada di luar jendela itu hanya
orang yang memiliki kepandaian silat biasa saja, tentu akan roboh oleh
penyerangan uang logam yang ampuh ini, yang setelah menembus daun jendela masih
meluncur cepat dan tentu akan melukai orang yang berdiri di luar jendela.
Cui Lan
memandang dengan mata terbelalak ke arah jendela. Biar pun ilmu silat yang
dipelajarinya dari Kim Sim Nikouw belum tinggi benar, namun dia sudah mengerti
atau sedikitnya sudah dapat menduga bahwa sinar hitam yang menyambar jendela
dan memecahkan daun jendela itu adalah senjata ampuh yang menyerang ke arah
orang yang bicara di luar jendela tadi. Dia sudah tahu akan kelihaian Pendekar
Siluman Kecil akan tetapi melihat senjata rahasia itu hatinya berdebar tegang
dan penuh kekhawatiran pula, apa lagi ketika tidak terdengar apa-apa dari luar,
seolah-olah senjata-senjata kecil yang beterbangan itu menembus daun jendela
dan mengenai sasaran!
Tang Hun
sendiri memandang ke arah jendela dengan mata terbelalak. Dia merasa yakin
benar bahwa senjata-senjatanya itu menembus daun jendela dan meluncur ke arah
siapa saja yang berdiri di luar jendela, akan tetapi kalau mengenai sasaran,
mengapa tidak terdengar teriakan orang kesakitan? Dan andai kata tidak mengenai
sasaran, tentu terdengar pula uang-uang logam itu jatuh ke atas lantai atau
mengenai dinding di luar jendela.
Akan tetapi,
sunyi saja tidak terdengar apa-apa, seolah-olah senjata-senjata rahasianya itu
lenyap di luar jendela tanpa bekas dan tanpa suara. Mulailah dia merasa
bergidik. Akan tetapi tangannya sudah menggenggam beberapa buah mata uang lagi,
siap untuk menyerang siapa saja yang memasuki kamar.
Baik Cui Lan
dan Tang Hun kini memandang ke arah daun jendela yang sudah penuh lubang
ditembusi senjata-senjata rahasia tadi dengan hati penuh ketegangan. Dan
perlahan-lahan daun jendela itu mengeluarkan bunyi dan bergerak, terbuka
perlahan lahan seperti hanya didorong oleh hembusan angin lembut! Seluruh urat
syaraf di tangan Tang Hun sudah menegang dan dia sudah siap dengan senjata
rahasia uang logamnya, dan sepasang mata Cui Lan kini terbelalak menatap ke arah
jendela yang terbuka perlahan-lahan itu. Kemudian nampaklah sebuah kepala dan
Cui Lan hampir saja menjerit kegirangan karena itulah kepala yang amat
dicintanya, kepala yang dihias rambut putih panjang, kepala Pendekar Siluman
Kecil!
Memang orang
yang muncul dari balik jendela itu adalah Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu!
Seperti kita ketahui, Kian Bu bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang kemudian
dipondongnya untuk secepat mungkin mencari Cui Lan dan akhirnya mereka tiba di
rumah besar dari kayu dalam hutan itu. Kian Bu cepat mempergunakan
kepandaiannya menyelinap dan tanpa diketahui siapa pun dia berhasil mengintai
dari luar jendela kamar Tang Hun, diikuti oleh Kim Sim Nikouw dan mereka berdua
mendengar semua yang telah terjadi di dalam kamar itu, mendengar penolakan yang
gagah berani dari Cui Lan. Ketika Kian Bu mengeluarkan kata-kata tadi, dia
sudah siap, maka begitu ada senjata-senjata rahasia berhamburan keluar, dengan
mudah saja pendekar muda ini menangkapi semua uang logam dengan kedua tangannya
sehingga tidak ada sebuah pun yang jatuh menimbulkan suara berisik.
Kini
pendekar itu meloncat dan memasuki kamar melalui jendela, tidak peduli akan
sikap Tang Hun yang kini memandang terbelalak dengan muka berubah pucat sekali.
Tentu saja ketua Liong-sim-pang ini mengenal Kian Bu karena pendekar ini pernah
menggegerkan benteng ketika Tang Hun masih berada di dalam benteng Pangeran
Nepal. Tanpa disadarinya lagi, tangan yang menggenggam uang-uang logam itu
gemetar, akan tetapi dengan nekat dia menggerakkan tangan melontarkan uang-uang
logam itu ke arah tubuh Suma Kian Bu.
Pendekar
muda ini secara tidak pedulian menggerakkan kedua tangannya dan sinar sinar
hitam menyambar dari kedua tangan itu ketika uang-uang logam rampasan tadi
menyambut datangnya uang-uang logam yang dilontarkan Tang Hun. Terdengar suara
nyaring dan semua uang logam runtuh dan menggelinding ke arah kaki Tang Hun!
Hwa-i-kongcu
Tang Hun adalah seorang yang amat cerdik, maka dalam keadaan itu dia sudah
mempunyai akal yang cerdik. Secepat kilat dia melompat dan menerjang, bukan
kepada Kian Bu melainkan kepada Cui Lan yang hendak ditangkapnya dan yang akan
digunakannya sebagai sandera karena dia merasa jeri melawan Kian Bu atau
Siluman Kecil itu.
“Pengecut
hina dina yang curang!” Kian Bu berkata dan tahu-tahu tubuhnya sudah mendahului
Tang Hun, berkelebat dan menghadang di depan Cui Lan!
“Taihiap...!”
Cui Lan berseru lirih akan tetapi suaranya mengandung getaran penuh keharuan,
penuh kebahagiaan, penuh cinta kasih.
Diam-diam
Kian Bu merasa terharu dan kasihan sekali kepada gadis ini. Pantas saja ibu
angkatnya memarahinya dan memakinya laki-laki kejam. Gadis ini benar-benar amat
mencintanya, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menyambut cinta itu kalau
dia sendiri tidak ada hasrat untuk berjodoh dengan Cui Lan, betapa pun sukanya
kepada gadis ini?
Melihat
betapa Siluman Kecil tahu-tahu sudah menghadang di depannya, Tang Hun berlaku
nekat. Dia berteriak memanggil anak buahnya, kemudian mencabut pedang tipisnya
dan menyerang Siluman Kecil dengan ganasnya, diikuti oleh tangan kirinya yang
melakukan pukulan dengan pengerahan tenaga sinkang. Namun, dengan tenang
Siluman Kecil menyambut serangannya itu dengan elakan-elakan cepat. Pada saat
itu, Kim Sim Nikouw muncul dari jendela, langsung meloncat ke dekat Cui Lan.
“Subo...!”
Cui Lan menubruk gurunya.
“Mari kita
keluar dulu!” Kim Sim Nikouw menyambar tubuh muridnya dan membawanya meloncat
keluar melalui jendela. Dua orang anak buah Tang Hun yang muncul dari jendela
berusaha menyerang nikouw ini, akan tetapi dua kali nikouw itu menggerakkan
kakinya, dua orang itu terjungkal dan Kim Sim Nikouw terus membawa Cui Lan
menjauh dari situ, membiarkan Kian Bu membuat perhitungan dengan gerombolan
penjahat itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment