Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 28
Siang In
berkemak-kemik, membentak ke arah gumpalan jenggot, akan tetapi sia-sia. Dia
lalu bertepuk tangan tiga kali, tepukan tangannya menimbulkan suara meledak dan
nampak asap mengepul, dia mengerahkan seluruh tenaga sakti dari ilmu sihirnya,
namun kesemuanya itu juga tidak dapat membuyarkan sihir Gitananda yang membuat
jenggotnya semakin panjang dan hidup memenuhi seluruh tempat itu. Tempat seluas
sepuluh meter persegi itu penuh oleh rambut-rambut bergumpal-gumpal dan yang
hidup itu, makin lama makin mulur dan ketat memenuhi tempat itu seperti jaring
yang siap menangkap mangsa!
“Hiaaaaakkk!”
Gitananda berteriak mengejutkan.
“Syeettttt...
Syeeettttt...!” Jenggot itu kini bersatu dan seperti seekor ular besar meluncur
ke arah Siang In!
Dara ini
terkejut sekali, berusaha mengelak akan tetapi ujung jenggot masih menyapu
kakinya dan dia terguling! Kini jenggot itu seperti seekor ular merayap hendak
menggulungnya dan Siang In sudah merasa ngeri bukan main. Akan tetapi tiba-tiba
ada angin keras dan kuat membawa dan menerbangkan tubuh Siang In yang melayang
dan gulungan jenggot itu tidak mengenai tubuh Siang In yang sudah turun agak
jauh ke sebelah kanan. Jenggot itu terus menyambar dan melibat sebatang pohon
yang tumbuh di sebelah kiri Siang In.
“Brolllll!!”
Pohon itu terlibat dan tertarik jebol oleh jenggot panjang yang kuat luar biasa
itu.
Siang In
maklum bahwa tadi dia telah dibantu orang pandai karena kalau tidak, mana
mungkin dia tadi dapat membebaskan diri dari jenggotnya itu? Kini, melihat
Gitananda sibuk melepaskan jenggotnya dari batang pohon yang tumbang, dia cepat
meloncat ke depan dan menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan kedua
tangannya. Tentu saja Gitananda menjadi sibuk sekali. Cepat dia menarik
jenggotnya menjadi pendek kembali dan melempar tubuh ke belakang, bergulingan
dan setelah dia terbebas dari desakan Siang In, tiba-tiba dia melompat dan kini
jenggotnya menyambar seperti tongkat!
“Ihhh!”
Siang In terkejut dan cepat mengelak, merasa jijik karena ketika jenggot itu
lewat di dekat mukanya, dia mencium bau yang apek dan memuakkan.
Akan tetapi
jenggot itu sudah datang kembali, maka terpaksa Siang In memperlihatkan
kelincahannya dan balas menyerang dengan pukulan dan tendangan. Kembali kedua
orang ini bertanding dengan seru. Akan tetapi sekali ini Siang In tak mampu
mendesak seperti tadi ketika dia masih memegang pedang payungnya. Kini dia
bertangan kosong dan kakek itu dapat mempergunakan jenggotnya yang panjang
sebagai senjata! Dan hebatnya, jenggot itu dapat mulur mengkeret sehingga benar-benar
merupakan senjata yang amat berbahaya bagi Siang In.
Akan tetapi,
beberapa kali ketika nyaris dara itu terkena totokan atau libatan jenggot ada
saja kekuatan tersembunyi yang memukul kembali ujung jenggot sehingga Siang In
terlolos dari bahaya. Siang In menjadi penasaran. Dia belum kalah dan dia belum
membutuhkan bantuan siapa pun juga. Dia harus dapat mengalahkan kakek Nepal
ini, akan tetapi bagaimana akalnya? Sukar menyerang kakek ini kalau jenggotnya
masih merupakan senjata yang demikian ampuhnya.
Tiba-tiba
Siang In mendapatkan akal yang amat berani. Dia mulai menjauhi kakek itu dan
tiada hentinya mengejek, “Jenggotmu seperti jenggot kambing!”
Kakek itu
menyerangnya dan kembali Siang In meloncat ke belakang.
“Jangan lari
kau, bocah setan!” Gitananda membentak nyaring setelah beberapa kali
serangannya hanya dielakkan sambil main mundur saja oleh dara itu.
“Jenggotmu
bau apek, bau tahi kambing, aku tidak tahan!” Siang In kembali mengejek.
Kembali
kakek itu mengejar dan menyerang dengan jenggotnya, akan tetapi karena memang
gerakannya kalah lincah dan kalah ringan oleh dara itu, semua serangannya itu
gagal. Akhirnya dia mengeluarkan seruan memekik nyaring seperti tadi dan
tiba-tiba jenggotnya telah mulur lagi! Jenggot itu mulur panjang dan digunakan
untuk menyerang, dan karena jenggot itu panjang sekali, sukar bagi Siang In
untuk mengelak lagi. Akan tetapi memang ini yang dikehendaki oleh dara itu,
yaitu memancing agar kakek itu memanjangkan lagi jenggotnya.
Ketika
melihat jenggot itu menyambar dari kiri ke kanan, Siang In sengaja bersikap
lambat, akan tetapi ketika ujung jenggot hendak melibat pinggangnya, dia
meloncat ke atas dan ketika ujung jenggot lewat di bawah kakinya, dia
mencengkeram dan berhasil menjambak ujung jenggot panjang itu. Tanpa membuang
waktu lagi, dia mengerahkan ginkang-nya dan berlari secepatnya membawa ujung
jenggot itu, lari mengitari kakek itu.
“Heee...!”
Gitananda berteriak.
Akan tetapi
dara itu tak peduli, terus saja berlari cepat sekali sehingga jenggot panjang
itu mulai melibat tubuh Gitananda sendiri! Kakek itu meronta dan berusaha
melepaskan rambut jenggotnya, akan tetapi Siang In berlari makin cepat, malah
dia berloncatan dan terus melibatkan jenggot panjang itu ke leher Gitananda,
terus membelenggu kedua lengannya sampai kakek itu tidak mampu berkutik. Siang
In masih berlari terus, mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk menarik sehingga
jenggot itu mencekik leher dan ketika dara ini akhirnya melepaskan ujung
jenggot, tubuh kakek itu roboh dengan kaku dan lidahnya terjulur keluar,
matanya mendelik dan napasnya putus!
“Ihhh!”
Melihat keadaan lawannya itu, Siang In bergidik ngeri dan dia lalu melarikan
diri, lari neninggalkan tempat yang menyeramkan itu. Sampai terengah-engah dia
lari dan akhirnya dia menjatuhkan diri di atas rumput tebal dalam hutan,
dadanya bergelombang dan wajah serta lehernya berpeluh.
Sementara
itu, Kian Bu tidak pernah berhenti membayangi Siang In. Setelah melihat
pertandingan antara dua orang ahli sihir itu, Kian Bu seperti orang terkena
sihir! Tersihir oleh setiap gerak-gerik dara itu. Dia mengintai dan semua
tingkah dan gerak-gerik Siang In mempesona, membuatnya kagum, membuatnya senang
dan kini melihat dara itu menjatuhkan diri di atas rumput, mengusap keringat
dan tiba-tiba kedua mata dara itu basah dan Siang In mulai terisak menangis,
Kian Bu makin terpesona! Jantung Kian Bu berdebar tegang dan dia bingung
melihat gadis itu menangis tanpa sebab. Mengapa menangis? Bukankah gadis itu
keluar sebagai pemenang dalam pertempuran yang seru tadi? Apakah gadis itu
terluka? Tidak, dia tidak melihat gadis itu terkena pukulan.
Memang Siang
In bukan menangis karena terluka. Dara ini menangis karena hatinya mengkal dan
kesal. Pedang payungnya rusak, dia kehilangan benda yang disayangnya, dan
memikirkan betapa dia belum juga bertemu dengan orang yang dicarinya,
sebaliknya malah bertemu dengan orang-orang lain seperti Ang-siocia dan
Gitananda yang hampir saja mencelakainya, dia merasa sedih dan jengkel. Maka
menangislah gadis ini, menangis sepuas hatinya untuk mencurahkan semua
kekecewaan dan kesedihan hatinya yang bertumpuk selama ini.
Makin
dikenang makin sedih dia akan nasib dirinya yang terlunta-lunta seorang diri.
Apakah yang menyebabkan dia selalu gagal dan sial? Mencari-cari Kian Bu
bertahun tahun belum juga dapat berkesempatan menyampaikan isi hatinya, setelah
bertemu bahkan berpisah lagi. Bertemu dengan Syanti Dewi yang ditolongnya juga
kemudian gagal melindungi puteri itu. Kemudian melihat Kian Bu demikian mesra dengan
Hwee Li, dan bahkan dicari-cari oleh Ang-siocia.
Ahh, apakah
sebaiknya dia kembali saja ke Goa Tengkorak di pantai Po-hai, bertapa bersama
gurunya yang sudah tua, dan membiarkan dirinya menjadi pertapa sampai tua di
dalam goa itu? Teringat akan hal ini, kembali Siang In menangis tersedu-sedu.
Dara ini biasanya lincah jenaka, murah senyum dan gembira, dan wataknya itulah
yang seolah-olah menutupi semua duka dan kecewa sampai kini sudah bertumpuk dan
membanjir keluar melalui air matanya di tempat sunyi itu.
Tiba-tiba
terdengar langkah halus disusul suara seseorang yang halus pula, “Nona, mengapa
Nona begini berduka?”
Siang In
terperanjat seperti mendengar suara setan. Dia sampai terlonjak dari atas
rumput di mana dia duduk, cepat memutar tubuh dan memandang dengan muka pucat
dan mata basah. Dari balik air matanya dia melihat wajah tampan dikurung rambut
putih keperakan itu. Dia mengusap air matanya untuk dapat melihat lebih jelas.
Benar! Siluman Kecil yang berdiri di depannya, kini berjongkok dan memandang
dengan sinar mata penuh iba kepadanya. Kembali Siang In menggosok kedua matanya
seolah-olah dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Jangan-jangan dia
masih berada dalam pengaruh sihir kakek Nepal tadi, pikirnya dan setelah
membuka mata kembali, ternyata memang Suma Kian Bu yang berada di depannya itu!
Melihat
wajah yang demikian cantik jelita dekat di depannya, wajah yang agak pucat,
rambut indah hitam awut-awutan, air mata masih menuruni kedua pipinya, Kian Bu
terpesona dan hatinya tergerak, penuh keharuan. “Nona... mengapa engkau
menangis di sini seorang diri? Apakah kau terluka dalam pertempuran tadi?
Mengapa kau amat berduka?”
Suara pemuda
itu demikian penuh perhatian dan penuh iba sehingga Siang In merasa hatinya
tertusuk dan kini dia makin terisak! Dia menutupi muka dengan kedua tangan,
pundaknya bergerak-gerak dan air mata mengalir di antara celah-celah jari
tangannya. Suara halus yang menghibur itu malah membuatnya terharu dan makin
berduka! Bertahun-tahun dia mencari pemuda ini, setelah dia hampir putus asa,
tiba-tiba saja pemuda ini muncul di depannya, seperti dalam mimpi, dan
menghibur dia seperti menghibur seorang anak kecil yang cengeng sedang
menangis!
Melihat
Siang In menangis makin sedih, Kian Bu menjadi bingung. “Kenapakah, Nona? Siapa
yang menyakiti hatimu...?” tanyanya.
Akan tetapi
Siang In tidak mampu menjawab, tersedu-sedu dan ketika dara itu bingung mencari
saputangan di kedua sakunya tanpa hasil, tiba-tiba Kian Bu menyodorkan sapu
tangannya, saputangan sutera berwarna biru muda. Tanpa berkata apa-apa Kian Bu
menyodorkan saputangannya dan tanpa berkata apa-apa pula Siang In menerimanya
dengan pundak masih terguncang oleh tangis, kemudian dia mempergunakan sapu
tangan itu untuk mengusap air mata dan membersihkan hidungnya! Kian Bu
mengikuti semua gerakan ini dengan hati tertarik dan rasa iba makin menebal.
Kini Siang
In sudah dapat menguasai dirinya, tangisnya terhenti dan air matanya tidak
mengucur lagi, sungguh pun mata dan terutama ujung hidungnya masih merah! Tanpa
bicara pula dia menyerahkan kembali saputangan biru yang kini menjadi basah
itu. Kian Bu menerimanya dan tanpa berkata apa-apa juga lalu menyimpan
saputangan basah itu ke dalam saku bajunya.
“Jadi
engkaukah kiranya yang menolongku tadi?” Tiba-tiba Siang In bertanya, biar pun
suaranya masih agak serak-serak basah karena habis menangis, namun dia benar
benar telah sembuh dari rasa mengkal dan kesalnya, kini memandang kepada Kian
Bu dengan sepasang mata yang membuat Kian Bu tidak berani menentang terlalu
lama!
Untuk
menjawab pertanyaan itu, dia mengangguk. “Mengapa engkau menangis sedih seperti
itu tadi?”
Akan tetapi
Siang In seperti tidak mendengar pertanyaan itu karena sebaliknya dari menjawab
pertanyaan itu, dia malah bertanya, pertanyaan tiba-tiba yang membuat Kian Bu
memandang heran, “Sungguh tak pernah kusangka bahwa Siluman Kecil adalah Suma
Kian Bu! Apakah engkau Siluman Kecil?”
Kian Bu
memandang heran, akan tetapi dia mengangguk.
“Dan engkau
Suma Kian Bu?”
Makin
heranlah Kian Bu. Dara ini benar-benar aneh bukan main! Begini muda, paling
banyak sembilan belas tahun usianya, begini cantik jelita, akan tetapi memiliki
kekuatan sihir yang aneh! Juga wataknya begini luar biasa, baru saja menangis
begitu sedih, sekarang sudah tidak kelihatan berduka lagi biar pun mata dan
hidungnya masih merah. Hidung yang kecil mancung dan tipis itu kemerahan,
menambah cantiknya!
“Heiii,
bukankah engkau Suma Kian Bu? Apakah bukan? Kenapa diam saja?”
Kian Bu
terkejut dan gagap. “Eh... ohhh... benar, Nona. Aku bernama Suma Kian Bu.
Kenapa Nona bertanya lagi? Apakah kakakku tidak menceritakan kepadamu?”
Siang In
hanya mengangguk dan semenjak tadi sepasang matanya tidak pernah meninggalkan
wajah Kian Bu, memandang penuh selidik. Sudah bertahun-tahun dia ingin bertemu
dengan orang ini, ingin bicara, mencurahkan semua isi hatinya, dan kini setelah
berhadapan, timbul rasa takut yang amat besar di dalam hatinya, takut kepada
diri sendiri! Bagaimana kalau dugaannya selama ini benar, bahwa... bahwa dia
jatuh cinta kepada pendekar ini? Berubahnya keadaan Kian Bu, rambutnya yang
menjadi putih semua, tidak mengubah perasaan hatinya, bahkan timbul semacam
rasa iba yang besar, yang mengharukan hati Siang In. Akan tetapi, dia teringat
akan hubungan Kian Bu dengan Hwee Li, kemesraan dan keakraban mereka, maka
jantungnya berdebar penuh ketegangan.
“Mengapa
Nona tadi menangis di sini setelah berhasil mengalahkan pendeta Nepal itu, jika
aku boleh mengetahui?” kembali Kian Bu bertanya, agak mendesak karena hatinya
masih merasa penasaran.
“Tadi aku
menangis karena duka dan jengkel,” jawab Siang In tak acuh.
“Ahhh!
Kusangka engkau sakit...,“ berkata Kian Bu, membayangkan keinginan hatinya
bahwa dia ingin tahu mengapa nona itu berduka dan jengkel.
Siang In
bangkit berdiri, mengebutkan pakaiannya yang agak kotor karena pertempuran
tadi, lalu otomatis kedua tangannya diangkat ke atas untuk membereskan
rambutnya yang awut-awutan. Gerakan ini adalah ciri khas wanita, gerakan yang
manis sekali karena ketika kedua lengan diangkat itu, tubuh yang ramping dan
padat itu makin menonjol dan kedua lengan itu membentuk lengkung-lengkung indah,
jari-jari tangan yang lentik itu pun seperti menari-nari di antara rambut yang
hitam halus dan panjang.
Kembali Kian
Bu memandang terpesona. Biasanya, tidak pernah dia memperhatikan wanita, akan
tetapi entah mengapa, kini dia memperhatikan setiap gerakan dara ini,
seolah-olah setiap gerakan yang betapa kecil pun amat berarti baginya.
“Akan tetapi
sekarang aku tidak berduka atau jengkel lagi, dan aku sama sekali tidak sakit.
Lihat, aku sudah tidak menangis lagi!” Dan dara itu tersenyum manis.
Melihat
bibir itu merekah kemerahan, memperlihatkan kilatan gigi berderet rapi yang
nampak sekilas, Kian Bu melongo dan tanpa disengaja atau disadarinya lagi
pemuda ini menelan ludahnya.
Bukan main
dara ini, bukan main anehnya dan manisnya! Baru saja menangis demikian
sedihnya, kini sudah tersenyum secerah itu. Seperti hari hujan lebat tiba-tiba
menjadi terang dan matahari bersinar amat cerahnya.
“Ehhh, Kian
Bu, di mana itu temanmu yang cantik?” tiba-tiba saja dara itu bertanya, sampai
pemuda itu terkejut dibuatnya.
“Teman
cantik? Siapa?” kata Kian Bu.
“Aih, masih
pura-pura lagi! Siapa pula kalau bukan Hwee Li yang cantik itu? Bukankah dia
itu sahabat baikmu dan bukankah engkau sudah mengejarnya ketika mendengar dia
dilarikan oleh Pangeran Liong Bian Cu? Apakah engkau tidak berhasil
menolongnya?”
Kian Bu
menarik napas panjang, wajahnya membayangkan kekhawatiran. Itulah yang menjadi
pengganjal hatinya sejak dia mencari kakaknya. Dia tahu bahwa Kian Lee mengejar
Pangeran Nepal untuk menolong Hwee Li, akan tetapi sampai kini dia tidak
berhasil menemukan mereka dan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Hwee Li
yang dilarikan Pangeran Nepal. Melihat pemuda itu menarik napas panjang dan
wajahnya muram, Siang In tersenyum mengejek untuk menutupi perasaan hatinya
yang panas oleh cemburu!
“Engkau
tentu mencinta sekali kepada Hwee Li, bukan? Dan engkau khawatir akan
keselamatannya?”
Mendengar
ini, Kian Bu lalu teringat betapa dara ini amat membenci Hwee Li, atau
sebaliknya Hwee Li membenci dara ini karena cemburu, maka mendengar ucapan itu
dia cepat menjawab, “Harap Nona jangan salah mengerti. Hwee Li adalah seorang
sahabat baikku, tentu saja aku merasa khawatir mendengar dia dilarikan Pangeran
Nepal. Akan tetapi tidak ada perasaan saling cinta antara kami seperti yang
Nona sangka itu.”
Jawaban ini
benar-benar menyenangkan hati Siang In dan senyumnya makin cerah, lalu dia
berkata, “Ahhh, kalau begitu aku telah berdosa terhadap Hwee Li! Kiranya dia
seorang yang setia terhadap cintanya. Kian Bu, aku sudah salah sangka sehingga
aku merasa kasihan kepada Kian Lee dan membenci Hwee Li.”
“Mengapa
begitu, Nona?”
“Ih, engkau
ini menjemukan! Nona-nonaan segala macam, seperti kita ini belum pernah
berkenalan saja!”
Kian Bu
menahan senyumnya. Memang dara ini luar biasa sekali, tiada keduanya di dunia
ini. Begitu lucu! Padahal, memang dia belum pernah berkenalan dengan dara ini,
mengapa sikap dara ini demikian polos terbuka? Akan tetapi, dia tidak mau
membikin hati gadis itu tidak senang, maka katanya lagi, “Mengapa tadinya engkau
merasa kasihan kepada Lee-ko dan membenci... Enci Hwee Li?”
“Karena
kusangka engkau dan Hwee Li sudah saling jatuh cinta!”
Berdebar
rasa jantung Kian Bu. “Andai kata benar begitu, mengapa?” Dia mendesak, menatap
wajah yang ayu itu penuh perhatian dan penuh selidik.
Siang In
juga memandang. Dua pasang mata bertemu, akan tetapi Siang In kemudian membuang
muka. “Mengapa? Tentu saja aku kasihan kepada Kian Lee karena cintanya terhadap
Hwee Li menjadi sia-sia, dan aku membenci Hwee Li karena berarti dia gadis
tidak setia. Akan tetapi syukur, engkau dan dia tidak saling mencinta!”
Ucapan ini
membuat jantung Kian Bu makin berdebar girang. “Kalau begitu... kalau begitu...
kami, aku dan Hwee Li juga salah sangka! Kami mengira bahwa antara engkau dan
Lee-ko...“
“Ya, ada
apa? Bicara mengapa gagap-gugup begitu? Beginikah Pendekar Siluman Kecil yang
terkenal itu? Bicara saja takut!”
“Kami berdua
tadinya mengira bahwa kalian sudah saling cinta. Ahhh, kiranya tidak, sungguh
gembira hatiku!” Kian Bu berkata, wajahnya berseri-seri.
Kini Siang
In yang memandang penuh selidik, demikian tajam sinar kedua matanya yang jeli
dan mempunyai kekuatan sihir itu sehingga Kian Bu teringat akan sinar mata
ayahnya.
“Kenapa
begitu? Kenapa kau gembira? Kenapa hatimu gembira mendengar bahwa aku dan Kian
Lee tidak saling mencinta?”
Kian Bu
terkejut. Tentu saja dia tidak berani mengatakan bahwa dia girang karena dengan
demikian berarti bahwa hati Siang In masih ‘bebas’, maka dia cepat berkata,
“Sama dengan alasanmu tadi. Aku gembira karena hubungan cinta kasih antara Kian
Lee koko dan Enci Hwee Li tidak menjadi putus.”
“Hemmm,
kukira...” Siang In menundukkan mukanya, tangannya memetik ujung rumput dan
jari-jari tangannya mempermainkan rumput itu.
“Kau kira
apa, Nona?”
Sepasang
mata itu mengerling tajam penuh tuntutan, Kian Bu terperanjat karena ingat
bahwa kembali dia memanggil nona. Akan tetapi dia merasa sungkan untuk menyebut
nama gadis itu.
“Ehhh, kau
kira apa?” Kian Bu mengulang, tanpa menyebut nama apa pun di belakang
pertanyaan itu.
Siang In
tersenyum. “Tidak apa-apa...”
Keduanya
terdiam. Siang In masih menunduk dan kini melangkah lambat ke arah sebatang
pohon, lalu bersandar ke pohon itu, matanya dipejamkan. Kian Bu juga melangkah
mengikutinya, akan tetapi pemuda ini tidak tahu lagi harus berkata apa. Berada
di dekat dara ini dia merasa canggung, bingung, akan tetapi juga gembira dan
senang sekali. Seolah-olah dia baru mengenal dara ini, akan tetapi juga hatinya
was was karena dia takut kalau-kalau tidak menyenangkan hati dara yang lucu dan
aneh ini.
Hening
keadaan di situ. Kian Bu memandang wajah yang bersandar batang pohon dengan
mata terpejam. Wajah yang cantik molek. Kulit pipinya halus kemerahan,
hidungnya kecil lucu, dan dia seolah-olah dapat merasakan napas hangat yang
keluar dari hidung dan bibir yang setengah terbuka itu. Tiba-tiba Siang In
membuka matanya dan Kian Bu yang sedang bengong memandang wajahnya itu
gelagapan, cepat menundukkan mukanya, pura-pura menendang-nendang batu kecil
dengan sepatunya.
Dia merasa
heran mengapa dia menjadi begini kikuk di depan dara ini, padahal dia bukan
anak kecil lagi. Sama sekali bukan. Bahkan dia sudah pernah berhubungan erat
dengan wanita, dalam arti sedalam-dalamnya, yaitu ketika untuk beberapa lamanya
dia tenggelam dalam peluk rayu Siluman Kucing. Dia sudah cukup dewasa, akan
tetapi mengapa berhadapan dengan dara ini dia merasa seperti seorang anak
kecil?
“Tak
kusangka sama sekali bahwa Siluman Kecil adalah Suma Kian Bu,” terdengar dara
itu berkata dan Kian Bu cepat mengangkat muka memandang. “Kalau aku tahu, tentu
sudah dulu-dulu aku dapat menjumpaimu.”
“Sekarang
kita sudah saling jumpa,” kata Kian Bu, mencoba untuk tersenyum dan membesarkan
hatinya mengusir rasa canggung.
Dara itu
rnenarik napas panjang. “Kian Bu, tahukah engkau betapa sudah bertahun tahun
lamanya aku menginginkan pertemuan ini? Betapa aku mencari-carimu sampai
bertahun-tahun, sampai aku pergi ke Bhutan dan menjelajahi seluruh negeri,
mencari-carimu?”
Tentu saja
hati Kian Bu merasa heran bukan main mendengar pengakuan ini. Biar pun dia amat
tertarik kepada dara ini, begitu bertemu, yaitu ketika dara ini berkelahi
dengan Hwee Li secara mati-matian, dia sudah tertarik sekali kepada dara ini.
Memang dia tidak pernah dapat melupakan Teng Siang In, dara yang ketika
beberapa tahun yang lalu sudah nampak cantik jelita dan lincah jenaka, apa lagi
karena dia pernah mencium dara ini. Mana mungkin dia dapat melupakan Siang In?
Akan tetapi,
dia harus mengaku terus terang bahwa selama ini dia tidak pernah lagi
memikirkan Siang In, dan peristiwa yang lalu itu dianggapnya sudah lewat begitu
saja, sampai pada saat dia bertemu kembali dengan Siang In ketika Siang In
bertanding melawan Hwee Li. Barulah perhatiannya tertarik dan
pengalaman-pengalaman yang lalu bersama Siang In teringat olehnya, membuat dia
merasa canggung sekali. Akan tetapi kini mendengar betapa dara itu mencarinya
selama bertahun-tahun jauh ke Bhutan, dia benar-benar merasa terkejut dan heran
sekali.
“Engkau?
Mencariku selama bertahun-tahun? Sungguh nengherankan sekali! Siang In, ada
urusan apakah engkau mencari-cariku?” Setelah bercakap-cakap agak lama, mulai
berkurang rasa canggung yang menghimpit hati Kian Bu, sungguh pun dia masih
seperti terpesona oleh segala gerak-gerik dara ini.
Dara ini adalah
seorang kenalan lama, akan tetapi seperti seorang sahabat baru saja bagi Kian
Bu. Dulu, di waktu dia berjumpa dan berkenalan dengan Siang In, dara ini masih
merupakan seorang dara remaja, akan tetapi sekarang Siang In telah dewasa,
sungguh pun masih belum kehilangan kelincahannya, kegalakannya dan keanehan
wataknya. Dulu, dara ini suka sekali menggoda orang, mengejek dan menirukan
gerak gerik orang.
Mendengar
pertanyaan Kian Bu itu tiba-tiba saja sepasang mata yang indah itu mengeluarkan
sinar marah. “Engkau sudah lupa ataukah engkau pura-pura lupa akan perbuatanmu
yang biadab beberapa tahun yang lalu, yang kau lakukan kepadaku?”
Seketika
wajah Kian Bu rnenjadi merah sekali dan kembali dia menjadi gelisah, gugup dan
canggung! Jantungnya berdebar tegang dan tentu saja dia tahu persis apa yang
dimaksudkan oleh dara itu! Ah, celaka sekali. Kiranya ciumannya dahulu itu
menggores perasaan dara ini dan agaknya hal itu dijadikan dendam yang hebat
oleh Siang In!
Dengan muka
masih merah sekali dan pandang mata hampir tidak berani bertemu dengan sinar
mata dara itu, Kian Bu berkata, kepalanya menunduk, suaranya terdengar penuh
penyesalan besar, “Aihhh... itukah maksudmu? Memang... aku menyesal sekali, aku
mohon maaf sebesarnya atas kelancangan dan kekurang ajaranku itu, Siang In,
akan tetapi, hal itu telah terjadi bertahun-tahun yang lalu, pada saat kita
masih... ehhh, sama-sama belum dewasa benar. Aku sungguh-sungguh menyesal dan
harap kau suka memafkanku...“
“Maafkan,
setelah selama bertahun-tahun aku tak pernah dapat melupakan penghinaan itu!
Maafkan begitu saja? Aih, terlalu enak di situ dan celaka di sini kalau begitu!
Susah payah aku mencarimu bertahun-tahun, setelah sekarang dapat saling jumpa,
hanya cukup dengan maaf-memaafkan begitu saja?”
Kian Bu menarik
napas panjang, hatinya merasa menyesal dan berduka sekali. Siapa duga,
kenakalannya di waktu remaja itu agaknya kini akan mempunyai akibat yang hebat
pula! Dara yang menarik hatinya ini, yang benar-benar membangkitkan rasa kagum
dan suka di hatinya, ternyata mengandung dendam hebat kepadanya dan bahkan
tidak bersedia memaafkan! Memang hidupnya selalu dirundung malang dan agaknya
memang dia harus selalu menderita dalam asmara.
Pertama-tama
dia merasakan hati kiamat untuk pertama kalinya ketika cinta kasihnya terhadap
Puteri Syanti Dewi tidak terbalas karena Puteri Bhutan itu mencinta Tek Hoat.
Kemudian dia terbenam ke dalam pelukan seorang wanita seperti Mauw Siauw Mo-li,
Siluman Kucing, yang sama sekali hanya mendasarkan hubungan antara mereka
karena nafsu birahi semata sehingga dia terseret ke dalam gelombang nafsu
birahi yang menghanyutkan. Hal itu pun mendatangkan penyesalan yang amat hebat
di dalam hatinya. Setelah itu, dia harus pula melihat kehancuran hati seorang
dara yang amat baik, yaitu Phang Cui Lan, karena dia tidak dapat memaksa diri
membalas cinta dara yang bijaksana itu. Dan masih ada lagi Ang-siocia yang dia
lihat ada gejala jatuh cinta kepadanya pula, dan juga dia tidak mungkin dapat
membalas cinta murid Raja Maling itu.
Kini,
setelah dia tertarik secara hebat kepada Siang In, dara yang di waktu remajanya
memang pernah menarik hatinya tetapi karena ketika itu Siang In masih merupakan
seorang dara remaja, maka hal itu tidak berkesan mendalam di hatinya, setelah
kini dia merasa suka sekali, mungkin jatuh cinta kepada Siang In, dara ini
malah menyimpan dendam sakit hati kepadanya karena kenakalannya dahulu, yaitu
mencium dara ini, ciuman yang sesungguhnya ketika itu tidak berkesan amat
mendalam di hatinya, akan tetapi yang sekarang, setelah timbul rasa kagumnya
terhadap Siang In, agaknya menjadi hidup kembali dan mendatangkan kesan yang
amat mendalam.
“Aku sudah
salah... aku sudah berdosa besar, terserah kepadamu, hendak memberi hukuman apa
kepadaku kalau engkau tidak dapat memaafkan aku, Siang In,” katanya dengan nada
sedih dan muka tunduk sehingga dia tidak melihat betapa sinar mata yang tadinya
keras dari dara itu kini melembut, bahkan nampak dara itu seperti terharu.
“Selama
bertahun-tahun ini aku mencarimu untuk... untuk membunuhmu!”
Tersentak
Kian Bu mengangkat mukanya dan terbelalak. “Membunuhku...? Hanya untuk
kesalahan men... eh, menciummu itu...? Siang In, engkau agak terlalu keras!
Memang aku bersalah dan aku menyesal, aku minta maaf, tetapi engkau hendak
membunuhku? Ini sih... keterlaluan...“ Wajah pemuda itu berubah agak pucat
karena dia merasa penasaran.
“Memang
tadinya aku ingin membunuhmu, sungguh pun aku tahu bahwa tidak mungkin aku akan
dapat melakukannya. Kepandaianmu jauh lebih tinggi dari pada semua ilmu yang
kumiliki, bahkan guruku sendiri sekali pun takkan mampu menandingimu. Biar pun
begitu, aku tetap akan berusaha membunuhmu karena apa yang kau lakukan itu
hanya dapat dicuci dengan melayangnya nyawamu atau nyawaku.”
Kian Bu
terkejut bukan main, wajahnya menjadi pucat. “Ahhh, Siang In, mengapa pikiranmu
demikian sempit? Urusan yang telah lalu itu terjadi ketika kita masih remaja
dan aku... aku masih belum dewasa. Mengapa kau jadikan soal yang demikian
hebat? Tidak bisakah engkau memaafkan aku?”
Dara itu
menyandarkan punggungnya di atas batang pohon dan sejenak dia menatap wajah
Kian Bu penuh perhatian, lalu dia menarik napas. “Memang aku sudah meragu, dan
agaknya hanya ada dua pilihan bagiku, membunuhmu atau memaafkanmu. Akan tetapi
untuk itu, aku harus yakin dulu dan inilah yang membuat aku selama bertahun
tahun ini ragu-ragu dan selama hidupku akan selalu meragu kalau tidak ada
keyakinan sekarang juga selagi kita bertemu. Hee, Kian Bu! Benar-benarkah
engkau menyesali perbuatanmu dahulu itu? Benarkah engkau menyesal dan minta
maaf bahwa engkau dahulu pernah menciumku?”
Timbul
harapan di dalam hati Kian Bu. Tadinya dia sudah khawatir setengah mati. Dara
seaneh Siang In ini mungkin saja melakukan hal-hal yang luar biasa, misalnya,
kalau tidak berhasil membunuhnya mungkin saja akan membunuh diri untuk ‘mencuci
aib’ dan kalau sampai terjadi demikian, tentu selama hidupnya dia akan merana
dan merasa berdosa. Dan dia... dia malah mulai tertarik dan mencinta dara ini!
Maka, mendengar pertanyaan itu, tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan Siang In!
“Siang In,
demi Langit dan Bumi, aku sungguh merasa menyesal dengan perbuatanku beberapa
tahun yang lalu itu, dan aku mohon maaf kepadamu atas perbuatanku itu,” katanya
dengan wajah sungguh-sungguh karena memang dia rela minta maaf seperti itu dari
pada harus melihat dara itu mati di tangannya atau mati membunuh diri!
Dia
menundukkan mukanya sehingga tidak melihat betapa perbuatannya itu membuat
wajah yang cantik itu sejenak berseri dan matanya bercahaya! Akan tetapi hanya
sebentar saja karena sambil bersandar kepada batang pohon itu, Siang In berkata
dengan suara seperti orang yang sama sekali tidak tertarik atau bahkan kesal
melihat sikap Kian Bu yang berlutut kepadanya mohon maaf itu!
“Tidak
begitu mudah untuk memaafkan dan menghabiskan persoalan itu begitu saja! Aku
harus yakin dulu dan untuk membuktikan penyesalanmu, engkau harus dapat
memenuhi permintaanku.” Suaranya terdengar keras dan tenang, akan tetapi suara
itu agak gemetar, tanda bahwa di balik ketenangannya, dara itu hendak
menyembunyikan perasaan tegangnya.
Mendengar
ini, Kian Bu meloncat berdiri, timbul harapannya. “Baik, aku akan memenuhi
semua permintaanmu, Siang In! Katakanlah, apa yang harus kulakukan?” Kian Bu
maklum sepenuhnya bahwa kesanggupan seperti itu merupakan kebodohan, akan
tetapi kesanggupannya itu tidaklah ngawur, karena berdasarkan keyakinan hatinya
bahwa seorang gadis gagah perkasa seperti Siang In, yang sudah bersahabat erat
dengan kakaknya, tentulah merupakan seorang gadis yang berjiwa luhur dan tidak
akan minta dia melakukan suatu kejahatan.
Dengan sikap
ditenang-tenangkan, namun matanya sayu dan suaranya gemetar, juga tangan yang
menunjuk ke mukanya sendiri itu menggigil, berkatalah Siang In, “Kian Bu... kau...
kau harus mencium bibirku seperti dulu!”
Wajah Kian
Bu menjadi pucat dan matanya memandang terbelalak kepada wajah dara itu, tangan
kanan mengusap dagu penuh keheranan. Hampir dia tidak percaya akan apa yang
didengarnya keluar dari mulut gadis itu. Minta dicium bibirnya? Bagaimana pula
ini? Sedangkan ciumannya beberapa tahun yang lalu itu saja membuat dara ini
menjadi sakit hati dan menaruh dendam sampai bertahun-tahun mencarinya untuk
membunuhnya. Bagaimana sekarang dara itu minta dicium lagi? Gilakah dara cantik
jelita ini? Atau... jangan-jangan dara ini telah tersesat sedemikian jauhnya,
menjadi wanita cabul semacam Mauw Siauw Moli? Celaka!
Akan tetapi,
dara itu kelihatan wajar saja, sepasang matanya bahkan kelihatan betapa dara
itu menahan kengerian, senyumnya hilang dan tubuhnya menggigil, tanda bahwa apa
yang dimintanya merupakan hal yang sama sekali asing baginya dan dia merasa
ngeri dan takut. Akan tetapi, kalau dara ini tidak gila dan bukan seorang
wanita yang cabul, mengapa mengajukan permintaan seperti itu?
“Siang
In...“ Kian Bu mendengar suaranya sendiri dengan perasaan heran karena suaranya
itu menjadi bisik-bisik dan agak parau penuh perasaan tegang, “... apa artinya
ini...?”
Suara Siang
In sekarang juga berbisik-bisik dan parau, jelas suara itu menggetar penuh
ketegangan, suara yang dipaksakan keluar karena sesungguhnya, saking tegangnya
dara itu sudah merasa amat sukar untuk bicara, “Hanya... ini sajalah... yang
dapat menentukan... apakah aku akan membunuhmu atau memaafkanmu...“
Setelah
berkata demikian, sambil menyandarkan tubuhnya di batang pohon itu, Siang In
memejamkan matanya, agaknya tidak kuat lagi dia menatap wajah Kian Bu dengan
sinar mata penuh selidik, penuh pertanyaan, dan penuh keheranan itu.
Kian Bu
mengerutkan alisnya, otaknya bekerja cepat. Akhirnya dia tak dapat berbuat lain
kecuali menuruti permintaan gila itu. Dia masih belum tahu mengapa dara ini
mendasarkan pilihannya kepada ciuman! Akan tetapi karena dia sudah menyatakan
sanggup untuk melakukan apa saja yang diminta Siang In, maka tidak mungkin dia
menarik kembali janjinya.
Dia sudah
matang memperoleh ‘pendidikan’ Siluman Kucing sehingga mencium bukan merupakan
hal yang terlalu aneh baginya. Akan tetapi, sekali ini, Kian Bu menggigil,
tubuhnya terasa panas dingin dan kepalanya terasa puyeng! Dia merasa seperti
terkena sihir yang amat kuat, maka cepat dia mengerahkan tenaga sinkang-nya
untuk mengusir perasaan itu. Namun, dia tidak tersihir, tenaga sinkang-nya
tidak berhasil mengusir sesuatu karena memang ketegangannya itu sudah
sewajarnya, datang dari dalam.
Amat berat
rasanya melaksanakan tugas ini! Dia tertarik kepada Siang In, bahkan dia merasa
jatuh cinta. Tentu saja, untuk mencium dara ini merupakan hal yang amat
menyenangkan, jangankan satu kali, biar disuruh menciumnya seribu kali pun dia
sanggup. Akan tetapi bukan dalam keadaan seperti ini! Bukan ciuman untuk
percobaan atau untuk ujian belaka! Dan dia masih belum juga mengerti mengapa
dara yang mendendam sakit hati karena pernah diciumnya lagi untuk meyakinkan
hatinya apakah dia akan membunuh atau memaafkan! Sungguh tak masuk akal dan
gila! Namun, tidak ada pilihan lain bagi Kian Bu.
Kian Bu
melangkah maju, lalu diraihnya kedua pundak dara itu, ditariknya mendekat.
Merasa betapa kedua pundaknya disentuh, Siang In makin keras memejamkan
matanya, kedua kakinya menggigil dan napasnya terengah-engah, jelas bahwa dara
itu merasa tegang bukan main. Wajahnya ditengadahkan, mulutnya agak terbuka
karena napasnya tersengal-sengal.
Melihat
wajah yang demikian cantiknya, mulut yang demikian menggairahkan, dan kedua
pundak yang lembut di bawah telapak tangannya, jantung Kian Bu berdebar. Biar
apa pun yang akan terjadi, biar akibatnya dia akan dibunuh atau dimaafkan, dia
harus mencurahkan segenap perasaannya sekarang juga. Gadis ini minta dicium,
baik, dia akan menciumnya dengan sepenuh perasaan hatinya, sepenuh
kemesraannya, akan dicurahkan rasa birahi dan kasih sayangnya dalam ciuman itu!
Didekapnya
tubuh itu, dirangkulnya sampai tubuh bagian depan mereka bertemu ketat,
kemudian Kian Bu mendekatkan mukanya dan perlahan-lahan diciumnya sepasang
bibir yang setengah terbuka itu, diciumnya dengan penuh perasaan dan sepenuh
kemesraan yang terkandung di dalam hatinya terhadap Siang In. Seketika naik
sedu sedan dari dalam dada Siang In dan kerongkongannya mengeluarkan suara
keluhan, akan tetapi kedua tangan dara itu tiba-tiba merangkul leher Kian Bu
dan bibirnya membalas ciuman itu. Keduanya seperti tenggelam bersama ke dalam
ciuman itu, merasa seolah-olah hati mereka saling bertemu, bertaut dan bersatu.
“Siang
In...!” Seluruh lahir batin Kian Bu mengeluh dan memanggil nama ini, ciumannya
makin mesra, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu terkejut sekali karena kalau
tadinya Siang In merangkulnya dan membalas ciumannya penuh gairah, kini
tiba-tiba dara itu menjadi lemas dalam pelukannya. Ketika dia melepaskan
ciumannya untuk memandang wajah itu, terdengar dari mulut dara itu keluhan
lirih dan wajahnya pucat sekali, matanya terpejam dan tubuhnya lunglai. Melihat
bahwa dara itu telah pingsan, Kian Bu terkejut setengah mati!
“Siang
In...!” Kini mulutnya yang memanggil nama ini untuk membangunkannya, akan
tetapi dara itu tetap pingsan, seperti orang tidur pulas, dan detak jantungnya
lemah sekali.
Kian Bu
cepat memeriksa pukulan nadi dan detakan jantung, dan dia menjadi gelisah
ketika melihat bahwa keadaan tubuh dara itu lemah sekali. Cepat dipondongnya
tubuh itu, lalu direbahkannya di atas rumput hijau dan dengan penuh kekhawatiran,
dia lalu menempelkan telapak tangannya di atas perut, dekat ulu hati dan
disalurkannya tenaga yang hangat untuk membantu bekerjanya perjalanan darah dan
pernapasan gadis itu yang amat lemah!
“Siang In...
ahhh, Siang In..., maafkan aku... maafkan aku...!” Kian Bu meratap penuh
kekhawatiran dan sekarang dia yakin benar bahwa dia jatuh cinta kepada gadis
ini, bukan hanya baru sekarang, bahkan mungkin semenjak mereka bertemu beberapa
tahun dahulu, ketika mereka masih sama remaja, dalam sebuah hutan.
Dia sungguh
merasa bingung dan heran terhadap dara ini, apa lagi ketika dia melihat bahwa
Siang In memegang sebuah pisau yang amat tajam runcing, pisau kecil yang tadi
tentu dipegangnya dan kalau dara itu menghendaki, ketika mereka berpelukan dan
berciuman tadi, sekali tusuk saja tentu akan tewaslah Kian Bu! Betapa pun
saktinya dia, dalam keadaan berpelukan dan berciuman tadi, dia tentu menjadi
lengah dan sama sekali tidak akan mampu menghindarkan tusukan pisau itu. Akan
tetapi, dara ini tidak menyerangnya dan bahkan pingsan! Ini saja sudah menjadi
bukti bagi Kian Bu bahwa dara itu tidak hendak membunuhnya, berarti
mengampuninya!
“Siang In...
sadarlah..., kau maafkan aku...,“ bisiknya dan sekali ini, terdorong oleh rasa
haru dan sayangnya, dia mendekatkan mukanya dan dengan sepenuh kasih hatinya,
dia mencium dahi dara itu yang agak basah oleh keringat.
“Kian Bu...“
Suara itu lemah menggetar dan Kian Bu girang bukan main, melihat dara itu telah
membuka matanya dan memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh, sepasang
mata indah itu seperti terkatup, atau setengah terpejam, dan dua sinar mata
yang aneh memancar dari balik bulu mata hitam lentik yang setengah
menyembunyikan mata itu.
“Siang In...
kau... kau tidak apa-apa, bukan? Kau... kau maafkan aku, bukan?”
Siang In
tersenyum. Bukan main manisnya, biar pun wajahnya masih pucat dan bibirnya agak
gemetar, seperti seekor kelinci yang baru saja terlepas dari ancaman harimau.
“Kini tak
perlu lagi engkau minta maaf, Kian Bu. Lihat, aku tidak akan membunuhmu dan aku
memaafkan sudah, aku malah bersyukur akan hal yang telah terjadi itu.” Dan
sekali menggerakkan tangannya, pisau tajam runcing itu melesat dan lenyap ke
dalam semak semak.
“Tringgg...!”
Pisau itu mencelat, lalu membalik dan meluncur ke arah Siang In dengan
kecepatan kilat.
“Ahhh!” Kian
Bu menggerakkan tangannya dan sekali mengibaskan tangan, pisau kecil itu
melesat ke bawah masuk ke dalam tanah sampai tidak lagi nampak gagangnya.
Pemuda ini cepat membalikkan tubuh memandang ke arah semak-semak, dan Siang In
juga sudah meloncat bangun dan memandang ke arah semak-semak itu dengan mata
terbelalak.
Dari dalam
semak-semak itu keluarlah seorang wanita. Siang In dan Kian Bu terlonjak kaget
melihat wanita cantik ini, cantik pesolek yang berdiri tersenyum mengejek
kepada mereka. Siang In samar-samar masih mengenal wanita ini, dan bagi Kian
Bu, perjumpaannya dengan wanita ini benar-benar amat mengejutkan hatinya.
Bagaimana dia tidak akan terkejut ketika mengenal wanita ini yang bukan lain
adalah Siluman Kucing?
Mauw Siauw
Mo-li yang bernama Lauw Hong Kui itu benar-benar luar biasa sekali. Usianya
sekarang tentu sudah mendekati empat puluh tahun, akan tetapi dia masih
kelihatan muda dan cantik jelita. Pakaiannya rapi dan indah, rambutnya digelung
halus dan dihias intan permata, mukanya yang cantik itu dibedaki dan yang perlu
warna merah dipoles gincu. Tubuhnya masih ramping padat, dan terutama sekali
gayanya ketika dia melangkah maju, lenggangnya sungguh memikat seperti lenggang
seekor harimau kelaparan! Sepasang matanya seperti hendak menelan Kian Bu
bulat-bulat, penuh dengan rayuan.
Seperti
telah diceritakan dalam Kisah Sepasang Rajawali, wanita cantik ini pernah
berhasil merayu dan membujuk Kian Bu beberapa tahun yang lalu ketika Kian Bu
masih remaja, sehingga pemuda itu terjatuh ke dalam pelukan wanita cabul ini.
Akhirnya Kian Bu insyaf dan menjauhkan diri, namun betapa pun juga, wanita
pertama yang pernah dikenalnya sebagai teman bermain cinta ini tentu saja
selalu masih mendatangkan kenangan padanya dan betapa pun juga, dia tidak dapat
membenci wanita yang dia tahu amat mencintanya lahir batin ini. Maka, melihat
munculnya Mauw Siauw Mo-li, tentu saja Kian Bu menjadi terkejut dan makin
khawatirlah dia karena sekarang dia tahu bahwa sejak tadi wanita cabul ini
mengintai dan melihat perbuatannya ketika dia saling berciuman dengan Siang In
tadi.
Dan Siang In
juga ingat akan wanita ini, yang semenjak dahulu tak pernah disukainya,
dianggapnya seorang wanita perayu yang cabul dan menjemukan. Dia mengenal
wanita iblis cabul yang lihai ini, maka dia pun kaget melihat kemunculannya
yang tidak terduga sama sekali dan wajahnya yang tadinya pucat seketika menjadi
merah ketika dia teringat bahwa perbuatannya bersama Kian Bu tadi tentu
terlihat oleh wanita cabul ini yang sejak tadi telah bersembunyi di balik
semak-semak. Kalau saja dia tahu bahwa iblis betina ini tadi bersembunyi di
dalam semak-semak itu, tentu dia akan melontarkan pisaunya dengan tenaga
sepenuhnya!
Melihat Kian
Bu memandangnya dengan alis berkerut dan dara jelita itu memandangnya dengan
mata terbelalak, keduanya jelas memperlihatkan sikap tidak senang, Mauw Siauw
Mo-li malah tertawa. Suara ketawanya merdu, mengandung suara seperti seekor
kucing, dan gayanya memikat sekali, kemudian lidahnya menjilat-jilat bibir
seperti seekor kucing habis makan daging dan darah, dan gerakan bibir yang
dijilat-jilat lidah ini amat menggairahkan karena memang dimaksudkan untuk
membangkitkan birahi pria yang memandangnya.
“Hi-hi-hik,
setelah mendapatkan baju baru lalu mencampakkan baju lama, setelah menemukan
makanan baru lalu melupakan kelezatan makanan lama, itulah watak laki laki dan
agaknya engkau tidak terkecuali, Kian Bu! Mendapatkan kekasih baru, lupa kepada
kekasih lama. Hi-hi-hik, dan tak kusangka bahwa pemuda tampan yang kini sudah
berjuluk Pendekar Siluman Kecil kiranya hanya seorang laki-laki pembosan.”
Sinar mata
Kian Bu menyambar dan kalau saja sinar mata itu dapat dipergunakan untuk
menyerang, tentu Siluman Kucing itu sudah menghadapi serangan maut!
“Mauw Siauw
Mo-li, mau apa engkau datang mengacau di sini? Pergilah sebelum aku hilang
sabar dan menghalaumu dengan kekerasan!” bentak Kian Bu, mukanya sudah menjadi
merah sekali. Dia memang tidak mungkin membenci wanita ini yang bagaimana pun
juga pernah menghiburnya, namun melihat wanita itu bersikap mengejek di depan
Siang In, tentu saja dia menjadi marah dan tidak ingin wanita itu bicara yang
bukan bukan seperti itu.
“He-he-he,
engkau marah, Kian Bu? Sekarang engkau marah, akan tetapi beberapa tahun yang
lalu... hemmm, di atas kereta itu, lupakah...”
“Tutup
mulutmu yang kotor! Dan pergilah!” bentak Kian Bu sambil melangkah maju
setindak, kedua tangan dikepal dan sinar matanya penuh ancaman.
Tentu saja
dia marah karena wanita cabul itu mengingatkan betapa dulu di atas kereta anak
buah Lembah Bunga Hitam, dia dan wanita cabul itu telah bermain cinta dengan
mesra! Diingatkan akan hal yang amat memalukan hatinya itu, apa lagi di depan
Siang In, benar-benar membuat dia naik darah!
“Hemmm,
hendak kulihat apakah pendekar yang terkenal dengan julukan Siluman Kecil itu
benar-benar tega membunuhku dan melupakan segala-galanya,” kata wanita itu dan
pada saat itu terdengar suara dahsyat dari jauh.
“Sumoi,
memang dia itu laki-laki tak tahu malu, perayu jahat! Puteriku pun dirayunya
sampai habis-habisan dan sekarang malah puteriku diculik oleh kakaknya. Memang
anak-anak Pendekar Siluman Pulau Es ini kurang ajar sekali dan harus dibasmi
habis!” Maka muncullah seorang kakek raksasa yang ganas, yang bukan lain adalah
Hek-tiauw Lo-mo!
Melihat
munculnya kakek ini, Kian Bu makin marah. “Bagus! Kalian dua orang manusia
iblis, selalu melakukan kejahatan di dunia ini dan sudah sepatutnya kalau aku
turun tangan melenyapkan kalian!”
“Kian Bu,
kalau aku tidak dapat mendapatkan tubuhmu, biarlah kuperoleh nyawamu! Suheng,
mari kita bunuh dia, baru nanti dara itu kuhadiahkan kepadamu!” Setelah berkata
demikian, Mauw Siauw Mo-li sudah mencabut pedangnya dan menyerang. Sinar hijau
pedangnya meluncur cepat ke arah Kian Bu.
Mendengar
kata-kata itu, lenyaplah sisa-sisa kenangan dan perasaan lembut di dalam hati
Kian Bu terhadap wanita itu dan dengan cepat dia mengelak, lalu balas menyerang
dengan dorongan tangan kiri ke arah perut wanita itu. Mauw Siauw Mo-li sudah
mengenal kelihaian Kian Bu, apa lagi setelah pemuda ini berjuluk Siluman Kecil
yang sakti dan dikenal di seluruh dunia kang-ouw, maka dia tidak berani lengah.
Cepat dia meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya melindungi tubuh.
Pada saat
itu, Hek-tiauw Lo-mo yang membenci semua orang Pulau Es, mengeluarkan teriakan
dahsyat dan dia pun sudah menerjang ke depan dengan golok gergaji di tangan
kanan. Bacokan golok yang mempunyai gerakan berputar ini disusul tamparan
tangan kiri yang mengeluarkan uap hitam. Tamparan ini bahkan lebih dahsyat dari
pada senjata golok gergajinya yang mengerikan itu, karena pukulan itu adalah
salah satu jurus dari Ilmu Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) yang
sangat ampuh, suatu ilmu yang diperolehnya dari kitab curian milik Go-bi Bu
Beng Lojin atau Si Dewa Bongkok dari Gurun Pasir Go-bi.
Namun
Pendekar Siluman Kecil sudah melesat dan menghindarkan diri dari serangan
raksasa itu dengan kecepatan kilat, tubuhnya berkelebat seperti kilat, bahkan
dia sudah membalas serangan itu dengan kontan, menerjang dari atas setelah
tubuhnya tadi melesat naik seperti burung terbang. Ketika Hek-tiauw Lo-mo
mengelak sambil memutar goloknya, bayangan Kian Bu sudah mencelat ke arah Mauw
Siauw Mo-li dan menyerang dengan tendangan kilat yang hampir saja mengenai
lengan wanita cabul itu kalau saja dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang.
Terjadilah
perkelahian yang amat seru dan hebat. Tingkat kepandaian Siluman Kecil Suma
Kian Bu pada waktu itu sudah amat tinggi sehingga andai kata dia harus melawan
dua orang kakak beradik seperguruan itu satu lawan satu, maka kiranya dia akan
berhasil merobohkan lawan dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus. Akan
tetapi, dua orang manusia iblis itu maju bersama dan karena mereka itu adalah
kakak dan adik seperguruan, tentu saja mereka berdua dapat bekerja sama dengan
baik. Mereka saling mengenal dasar gerakan mereka yang sesumber, maka kerja
sama mereka teratur sekali dan kelihaian mereka tentu saja menjadi berganda,
membuat Kian Bu harus berhati-hati dan pemuda ini mempergunakan ilmunya yang
luar biasa, yaitu Sin-ho Coan-in, ilmu yang membuat tubuhnya berkelebatan
seperti kilat dengan kecepatan luar biasa hingga dua orang lawannya menjadi
bingung seperti mengejar-ngejar bayangan.
Siang In
sejak tadi menonton dengan mata terbelalak. Dia masih kagum dan juga ngeri,
kagum kepada Kian Bu yang luar biasa hebatnya itu, dan ngeri menyaksikan
keganasan dua orang yang mengeroyok Siluman Kecil itu. Dari gerakan-gerakan
mereka, dia dapat menilai bahwa tingkat kepandaian silatnya mungkin hanya dapat
menandingi wanita siluman itu, sungguh pun dia tahu bahwa tidak akan mudah bagi
dia untuk merobohkan wanita yang amat lihai itu, dan dia pun tahu bahwa
dibandingkan dengan raksasa itu, dia masih kalah jauh. Dan kini, dua orang
lihai itu menyerang dengan senjata yang ampuh, namun Kian Bu menghadapi mereka
hanya dengan bertangan kosong, dan pemuda itu sama sekali tidak kelihatan
terdesak!
Siang In
tidak bergerak membantu Kian Bu. Selain bingung menyaksikan gerakan Kian Bu
yang mencelat ke sana-sini secepat itu dan takut kalau bantuannya malah akan
mengacaukan gerakannya, juga dia merasa tidak enak mendengar ucapan-ucapan
Siluman Kucing tadi. Apa lagi mendengar ucapan Hek-tiauw Lo-mo bahwa Kian Bu
merayu puterinya habis-habisan! Hatinya mulai merasa tidak senang dan kini dia
hanya menonton sambil berjaga-jaga untuk membantu Kian Bu apa bila perlu,
sungguh pun kini dia merasa hampir yakin bahwa Kian Bu pasti akan dapat
mengatasi kedua orang lawannya.
Dugaan Siang
In memang tidak keliru. Dengan kecepatan gerakan Ilmu Sin-ho Coan-in, Kian Bu
mulai mendesak kedua orang lawannya. Dia lebih banyak menyerang, karena dua
orang lawan itu sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk menyerang
bayangan yang berkelebatan menyambar mereka dari segala jurusan itu. Sedemikian
cepatnya gerakan Kian Bu sehingga dia seolah-olah berubah menjadi beberapa
orang banyaknya!
“Hyaaaaakkk...!”
Hek-tiauw Lo-mo membentak dan tangan kirinya bergerak.
Sinar hitam
lebar lantas menyambar ke arah bayangan Kian Bu dan itu adalah senjata
rahasianya yang amat ampuh dan bebahaya, yaitu jala hitam yang terbuat dari
benang lembut yang amat kuat. Jala itu menyambar cepat sekali, akan tetapi
gerakan Kian Bu masih lebih cepat karena dia sudah dapat menghindarkan diri,
bahkan tangannya menyambar ujung jala dan ditariknya jala itu ke arah sinar
hijau dari pedang Mauw Siauw Mo-li yang menusuknya.
“Brettt...!”
Jala itu
terobek pedang, akan tetapi pedang hijau di tangan wanita cabul itu pun
terbelit jala. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kian Bu untuk menendang. Wanita
itu masih berusaha menghindarkan tendangan dengan melempar tubuh ke belakang
dan menarik pedang sekuatnya, namun tetap saja pangkal paha kirinya tercium ujung
sepatu.
“Aduhhh...!”
Wanita itu terpental dan pedangnya sudah terlepas dari libatan jala, kemudian
dia terbanting dan bergulingan lalu meloncat berdiri sambil meringis dan tangan
kirinya mengelus-elus pangkal paha yang terasa nyeri dan panas. Akan tetapi,
hatinya lebih panas lagi dari pada pangkal pahanya yang tidak terluka parah
hanya nyeri dan panas itu, karena dia mengingat betapa dahulu, bagian tubuh itu
pernah diusap dan dibelai sayang oleh Kian Bu, akan tetapi kini ditendang! Dia
merasa terhina sekali.
Sementara
itu, melihat jalanya robek, Hek-tiauw Lo-mo membentak dan goloknya membacok ke
arah Kian Bu, disusul hantaman tangan kirinya. Kian Bu miringkan tubuhnya ke
kanan, membiarkan golok menyambar lewat dan melihat tangan kiri lawan yang
mengeluarkan asap itu memukulnya dengan tangan terbuka ke arah dada, dia pun
cepat memapaki dengan tangan kanannya.
“Desss!”
Dua telapak
tangan bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Hek-tiauw Lo-mo
terjengkang dan roboh bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Biar pun dia
tidak terluka parah, namun tenaga pukulannya yang membalik karena kalah kuat
bertemu dengan hawa sinkang lawan tadi telah memukulnya sendiri, membuat
napasnya sesak dan tubuhnya gemetar!
Akan tetapi
pada saat itu, Mauw Siauw Mo-li yang melihat bahwa dia dan suheng-nya takkan
mampu mengalahkan Kian Bu, sudah melontarkan beberapa buah benda hitam ke arah
Siang In! Dara ini tidak tahu benda apa yang menyambar ke arahnya itu, maka
dengan cepat dia hendak menangkis.
“Jangan
ditangkis...!” Kian Bu berseru dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, tahu-tahu
Siang In telah dipondongnya dan dibawanya berloncatan ke kanan kiri.
Terdengar
ledakan-ledakan keras bertubi-tubi, akan tetapi selalu dapat dielakkan oleh
Kian Bu yang memondong tubuh Siang In. Setelah ledakan tidak terdengar lagi,
tempat itu menjadi gelap oleh asap hitam dan dua orang manusia iblis itu telah
lenyap.
Kian Bu
beberapa kali melompat jauh, keluar dari lingkungan asap itu, lalu menurunkan
Siang In dan mengomel gemas, “Hemmm, lain kali aku tidak akan memberi
kesempatan kepada mereka untuk melarikan diri.”
Siang In
memandang kagum kepada Kian Bu, lalu menghampirinya dan memegang kedua
lengannya, “Kian Bu, engkau hebat sekali...,“ katanya.
Mereka
saling berpegang tangan, berhadapan dan saling pandang dengan mesra. Ketika
pandang mata mereka bertaut, yakinlah Kian Bu bahwa dia benar-benar mencinta
dara ini. Semua rasa cintanya terpancar dari pandang matanya, terasa benar oleh
Siang In dan membuat bulu tengkuk dara itu meremang dan dia cepat-cepat
menundukkan mukanya. Dara lincah yang biasanya suka menggoda orang itu kini
kemalu-maluan menatap sinar mata yang demikian penuh cinta kasih.
Akan tetapi
Siang In segera teringat akan semua ucapan dua orang manusia iblis tadi, maka
alisnya berkerut dan rasa malu tadi lenyap ketika dia mengangkat mukanya dan
bertanya, “Kian Bu, apa artinya ucapan raksasa tadi bahwa engkau merayu
puterinya?”
Kian Bu
tersenyum. “Puterinya adalah Hwee Li, dan sudah kuceritakan kepadamu tentang
Hwee Li. Agaknya dia pun menyangka bahwa antara Hwee Li dan aku ada hubungan
yang tidak dikehendakinya, padahal di antara kami hanya terdapat tali
persahabatan saja, dan Hwee Li mencinta kakakku...“
“Dan
ucapan-ucapan wanita tadi? Dia...“ Siang In tidak melanjutkan kata-katanya
karena dia merasa malu mengingat dan membayangkan arti ucapan wanita tadi.
Wajah Kian
Bu menjadi muram dan alisnya berkerut. “Ahhh, jangan kau dengarkan ucapan iblis
betina itu! Dia curang dan bicaranya sama sekali tidak ada artinya, tidak perlu
didengar dan dipercaya. Sudah terlalu banyak dia membuat malapetaka.”
Agaknya
Siang In percaya dan wajahnya berseri kembali, dan setelah mereka saling pandang
kembali timbul kemesraan dan rasa malu, apa lagi ketika Kian Bu kemudian
mendekatkan muka sehingga hidung pemuda itu menyentuh pelipisnya, dia cepat
menundukkan mukanya. Seketika Kian Bu sudah melupakan dua orang musuh tadi,
kini dia teringat akan ciuman yang membuat dara itu tadi menjadi pingsan!
“Siang In,
betapa engkau tadi membuat aku hampir mati karena khawatir. Mengapa engkau
menjadi pingsan tanpa sebab? Dan apa artinya pisau yang berada di tanganmu
tadi? Mengapa pula engkau... menyuruh aku... menciummu? Semua itu merupakan
teka-teki bagiku, mengundang banyak dugaan yang membingungkan. Maukah engkau
menjelaskan kepadaku, Sayang?”
Mendengar
sebutan itu, wajah Siang In menjadi merah sekali dan sambil menunduk dia
tersenyum malu-malu dengan penuh rasa bahagia. Jari-jari tangannya yang saling
genggam dengan jari tangan Kian Bu itu gemetar dan dari jari-jari tangan kedua
orang muda ini tersalur getaran-getaran yang penuh arti, terasa sampai ke dasar
jantung….
Getaran-getaran
cinta yang tak perlu lagi dinyatakan dengan kata-kata, yang dalam keadaan
seperti itu sudah kehilangan arti dan fungsinya, bahkan hanya mendatangkan
kecanggungan belaka. Bahasa cinta melalui getaran sentuhan, melalui senyum dan
terutama melalui sinar mata sudah lebih dari cukup mewakili suara hati
masing-masing, jauh lebih sempurna dari pada kata-kata yang biasanya hampa dan
dibuat-buat. Getaran dan sinar mata tak mungkin dapat dibuat-buat seperti suara
melalui kata-kata.
“Kian Bu,
sebelum aku menjawab, aku ingin lebih dulu mengetahui isi hatimu. Jawablah,
adakah engkau merasakan sesuatu dalam... dalam... ciuman tadi?”
“Ahhh...!”
Dengan mesra Kian Bu merangkul dan mendekap kepala dara itu ke dadanya,
jantungnya berdegup dekat telinga Siang In yang seolah-olah mendengar bisikan
hati melalui degup jantung itu. “Siang In... aku merasakan sesuatu yang ajaib,
seolah-olah langit terbuka dan kita berdua terbang ke angkasa, aku... aku...
ah, sukar menceritakan apa yang kurasakan tadi sampai... sampai aku terkejut
melihat engkau terkulai...”
Siang In
menyandarkan kepalanya di dada yang kuat itu, kemudian dia berbisik halus,
“...lanjutkan... lanjutkan...“
“Mula-mula
aku merasa heran dan terkejut, lalu takut-takut untuk menciummu seperti yang
kau minta, Siang In. Akan tetapi ketika aku melakukannya, ahhh... dunia seakan
kiamat! Aku merasa seperti tidak berpijak di atas bumi lagi... dan... dan pada
detik itu juga tahulah aku...“ Kian Bu berhenti dan menunduk, mencium rambut
kepala yang bersandar di dadanya itu.
“Tahu
apakah, Kian Bu...?” Suara itu makin lirih, berbisik dan gemetar.
“Aku tahu
dan yakin benar, pada saat aku menciummu tadi, bahwa aku cinta padamu, Siang
In.”
Inilah yang
dikehendaki oleh Siang In. Pengakuan inilah. Sungguh pun tadi dia telah
merasakan cinta pemuda itu melalui ciuman, melalui tatapan mata, melalui
sentuhan ujung jari-jari tangan, melalui degup jantung di dekat telinganya,
namun belum puas hatinya kalau belum mendengar pengakuan itu melalui mulut.
Memang
demikianlah keadaan kita manusia pada umumnya. Semenjak kecil, kita sudah
terdidik dan terbiasa untuk menilai segala sesuatu melalui kata-kata hingga
kita semua terjerumus ke dalam dunia penuh kepalsuan yang tersembunyi di balik
kata-kata manis! Dan kepalsuan-kepalsuan melalui kata-kata manis dan senyum
buatan ini oleh kita dinamai peradaban. Sesungguhnya peradaban yang tidak
beradab. Kita namakan pula kesopanan. Kesopanan yang tidak sopan.
Kita sudah
terbiasa untuk menilai keadaan luarnya saja. Inilah yang menyebabkan kita
sering tergelincir oleh kemanisan kata-kata dan sikap palsu. Kita tidak lagi
peka untuk mengenal keadaan yang lebih mendalam, karena perasaan kita sudah
dibikin tumpul oleh kebiasaan menilai kulitnya saja. Maka diobral oranglah kata-kata
‘aku cinta padamu’ sehingga tidak ada artinya lagi. Diobral orang pula senyum
palsu, sikap menghormat, menjilat, yang kesemuanya itu sesungguhnya tidak wajar
dan palsu adanya. Hal ini dapat kita lihat jelas sekali terjadi di sekeliling
kita, bahkan dalam diri kita, kalau saja kita mau membuka mata memandang dan
mengamati apa adanya. Dapatkah kita hidup tanpa menjadi hamba kepalsuan ini?
Demikianlah
pula dengan Siang In. Dia sudah yakin benar akan perasaan Kian Bu kepadanya,
namun tidak puaslah hatinya kalau dia tidak mendengar pernyataan cinta itu
melalui kata-kata, padahal pernyataan macam ini sesungguhnya tidak ada harganya
sama sekali, karena apakah artinya kata-kata hampa dibandingkan dengan perasaan
yang murni dan agung itu?
Cinta asmara
lautan rahasia kemesraan sejuta.
Menciptakan
embun sakti menembus lubuk hati.
Anggur
semanis madu bunga dan lagu merdu.
Kepuasan
yang nikmat sorga yang memikat.
Namun juga
membawa bara api menghanguskan hati.
Sepahit
empedu maki kutuk menggebu.
Kekecewaan
mencekam neraka jahanam!
Cinta
asmara, lautan suka-duka...
Sampai lama
rasanya ucapan Kian Bu dalam kalimat terakhir tadi, yaitu ‘aku cinta padamu’
bergema di dalam ruang hati Siang In, membuat dia seperti terlena, seperti
terayun dalam buaian kasih sayang yang membawanya terbang ke sorga ke tujuh!
“Sekarang
akan kuceritakan padamu, Kian Bu. Dengarlah akan tetapi jangan menatap wajahku,
aku... aku malu sesungguhnya untuk menceritakan. Tetapi karena engkau cinta
padaku, seperti yang baru saja kau katakan, biarlah kuceritakan kepadamu juga.”
Siang In memejamkan matanya dan masih bersandar di dada Kian Bu, kemudian dia
melanjutkan dengan suara lirih berbisik-bisik.
“Semenjak
engkau menciumku di dalam hutan beberapa tahun yang lalu itu, aku... tidak
pernah lagi dapat melupakanmu, tak pernah dapat melupakan saat engkau menciumku
itu. Ada dua macam perasaan selalu berperang di dalam hatiku, yaitu perasaan
terhina yang menimbulkan benci serta perasaan gembira yang sukar dilukiskan.
Perasaan perasaan yang berperang itulah yang menimbulkan suka dan benci pada
bayanganmu. Maka setelah aku selesai mempelajari ilmu dari suhu, aku lalu pergi
mencarimu, sampai aku tiba di Bhutan dan di tempat-tempat jauh. Aku mencarimu
dengan dua macam niat, yaitu membunuhmu atau memaafkanmu. Dan dua niat itu
hanya dapat ditentukan oleh perasaan hatiku padamu, apakah benci ataukah cinta!
Maka aku mengambil keputusan, yaitu kalau aku bertemu denganmu, sebelum
melakukan sesuatu, aku harus lebih dulu yakin, apakah aku benci atau cinta
kepadamu, apakah ciumanmu itu mendatangkan duka atau suka. Dan untuk dapat
merasa yakin, aku harus minta kau cium sekali lagi! Nah, sekarang engkau
mengerti mengapa aku minta cium padamu.” Siang In masih memejamkan mata karena
dia menceritakan ini dengan perasaan malu sekali.
Kian Bu tahu
betapa berat dan malu rasa hati kekasihnya itu untuk menceritakan semua ini,
maka dia pun tidak mau menambah beban itu dengan menatap wajahnya, tetapi
mencium rambut kepala itu dengan mesra. “Ahh, engkau memang seorang dara yang
luar biasa, aneh, berani, jujur dan... hebat!”
Biar pun
yang dicium hanya rambut kepalanya, akan tetapi Siang In sudah merasa betapa
seluruh tubuhnya tergetar dan jantung berdebar. “Dengarkan dulu ceritaku, Kian
Bu.” Dia mengeluh dan agak menjauhkan kepalanya untuk menghentikan pemuda itu
menciumi rambutnya.
“Lanjutkanlah,
Siang In.”
“Ketika
engkau menciumku untuk kedua kalinya, aku diam-diam sudah mempersiapkan pisau
itu. Kalau dari ciuman itu aku menjadi yakin bahwa aku benci padamu, maka pisau
itu akan menewaskanmu di saat itu juga, karena hanya saat itulah kesempatan
satu-satunya bagiku untuk membalas dendam. Dalam keadaan biasa, mana mungkin
aku dapat menandingimu? Nah, itulah sebabnya mengapa aku memegang pisau itu.”
“Hebat!
Engkau memang pintar sekali!” Kian Bu memuji dan hati Siang In merasa senang
sekali. Ahh, betapa cinta asmara membuat orang menjadi buta akan kenyataan.
Andai kata
pada saat itu perasaan Kian Bu terhadap Siang In lain, tentu bukan pujian yang
keluar dari mulut pemuda ini. Mungkin sebutan pintar itu akan berubah menjadi
sebutan curang atau pengecut! Jelaslah bahwa penilaian terhadap suatu tindakan
atau perbuatan itu tergantung dari keadaan batin seseorang. Bagi seorang yang
sedang mencinta, maka segala macam perbuatan orang yang dicintanya itu akan
nampak baik dan benar belaka. Sebaliknya, bagi seorang yang sedang membenci,
maka segala macam perbuatan orang yang dibencinya itu akan nampak jahat dan
salah belaka.
Oleh karena
itu sudah jelas pula bahwa penilaian adalah palsu, karena penilaian didasari
atas rasa suka atau tidak suka. Penilaian hanya mendatangkan konflik, karena
yang dinilai baik oleh A, belum tentu dinilai baik oleh B, dan mungkin dinilai
jahat oleh C, dan selanjutnya. Apa adanya dan yang sesungguhnya tidak baik
tidak pula jahat, tidak bagus dan tidak pula jelek, karena baik dan buruk
hanyalah hasil penilaian dan kita sudah tahu bahwa penilaian adalah palsu.
Pengertian yang mendalam dan menyeluruh tentang kenyataan ini akan membuat kita
hanya mengamati belaka tanpa penilaian sehingga kita tidak terseret untuk
mengambil kesimpulan, pendapat, melainkan mengamati saja penuh kewaspadaan.
“Sekarang
tentang mengapa aku menjadi pingsan. Ohhh, Kian Bu, bagaimana aku dapat
menjelaskan itu? Ketika engkau menciumku, aku... aku merasa... seperti yang kau
rasakan pula, aku merasa bahwa itulah sesungguhnya yang kurindukan selama ini,
pelukan dan ciumanmu, dirimu... dan aku tahu bahwa aku cinta padamu, Kian Bu.
Mengingat betapa pisau sudah di tangan, betapa hampir saja aku membunuh satu
satunya pria yang kucinta semenjak bertahun-tahun yang lalu, membuat aku begitu
tegang dan terharu sampai aku tidak ingat apa-apa lagi...”
“Siang In,
dewiku... pujaan hatiku...“
Kian Bu
merasa terharu sekali dan kini dia mendekap lebih erat, mengangkat wajah ayu
itu dan menciuminya dengan sepenuh perasaan cintanya.
Siang In
mengeluh lirih dan mandah saja, bahkan kadang-kadang membalas ciuman itu,
terdorong oleh perasaan hatinya yang mencinta. Akan tetapi ketika ciuman-ciuman
Kian Bu makin lama makin panas, dara itu lalu menarik dirinya, mukanya merah
sekali, pandang matanya setengah terpejam, mulutnya setengah terbuka dan
terengah. Ketika Kian Bu hendak merangkulnya, dia menolak halus dengan kedua
tangannya.
“Jangan... sudah
cukup, Kian Bu, jangan...,“ bisiknya di antara napasnya yang terengah.
Wajah Kian
Bu juga merah padam, matanya mengeluarkan sinar aneh. “Kenapa, Siang In?
Kenapa...? Bukankah kita saling mencinta...?”
Siang In
melangkah mundur dua langkah. “Justeru karena cinta kita, maka kita harus tidak
melanjutkan itu, Kian Bu. Tidak baik kalau dilanjutkan. Karena cinta kita, maka
kita harus saling menjaga, kita harus mempertahankan, menunda dan menyimpan itu
sampai pada saatnya yang tepat, yaitu... kelak kalau kita sudah menjadi suami
isteri, sudah menikah!”
Mendengar
ini, seketika sadarlah Kian Bu dan dia merasa malu sendiri. Memang tadi,
setelah menciumi wajah Siang In, setelah merasa betapa bibir yang lunak itu
membalas ciumannya, dia tenggelam dalam gelombang nafsu birahi yang
mendorong-dorongnya untuk bertindak lebih jauh, untuk memuaskan gelora nafsu
birahinya! Celaka, semua ini adalah gara-gara Siluman Kucing, keluhnya dalam
hati. Dia lalu memandang wajah kekasihnya dan tiba-tiba dia menjatuhkan diri
berlutut karena merasa berdosa sekali.
“Ahh, betapa
bijaksana engkau, dewiku. Betapa murni hatimu, dan aku... aku memang bersalah.
Aku bersumpah tidak akan berani mengganggumu lagi sampai... sampai kita menikah
kelak.”
Siang In
tertawa, suara ketawanya sangat merdu dan nyaring karena semua itu amat
menyenangkan hatinya. Dia mengulurkan tangan, memegang tangan pemuda itu dan
menariknya bangun.
“Sudah,
kalau kelihatan orang lain, disangka kita ini sedang berlatih main sandiwara!
Kita saling mencinta, dan kita akan menikah! Dua hal ini merupakan rahasia
besar dalam batin kita, Kian Bu. Aku ingin sekali bertemu dengan ayah bundamu.”
“Benar,
memang aku pun ingin membawamu pulang ke Pulau Es.”
“Kalau
begitu, mari kita pergi. Eh, apakah perutmu tidak lapar?”
Ditanya
begitu, Kian Bu terbelalak, lalu tertawa. “Ha-ha-ha, memang benar kata orang
bahwa cinta membuat kita lupa makan lupa tidur. Aku sampai lupa bahwa sejak
kemarin perutku belum kemasukan apa-apa dan setelah sekarang kau peringatkan,
baru terasa betapa lapar perutku!”
“Aku lebih
percaya kepada kata-kata orang bahwa cinta membuat kita selalu merasa lapar!”
“Ehh,
mengapa begitu?”
“Habis,
cinta membuat hati menjadi senang, dan hati senang membuat perut selalu merasa
lapar dan apa pun yang kita makan terasa lezat. Pendapat ini kudukung karena
lebih sehat dari pada pendapatmu tadi yang membuat kita kelaparan dan
kecapaian. Kalau menurut pendapatmu itu, bisa-bisa orang yang jatuh cinta lekas
mati karena kurang makan dan kurang tidur, bukan?”
Kian Bu
tertawa. Kekasihnya ini selain cantik jelita, gagah perkasa, penuh keberanian,
baik budi dan jujur, juga lincah jenaka dan pandai bicara! Pendeknya, segala
macam kebaikan wanita terdapat lengkap dalam diri kekasihnya ini, pikirnya
bangga!
“Kau memang
hebat, Siang In. Hebat segala-galanya!”
“Hi-hik,
engkau belum merasakan masakanku! Kalau engkau sudah menikmati lezatnya
masakanku, engkau akan kehabisan kata-kata untuk memujiku. Tunggu saja. Mari
kita mencari bahan-bahannya dulu dalam hutan itu.” Digandengnya lengan Kian Bu
dan dua orang muda itu bergandeng tangan meninggalkan tempat itu sambil
tersenyum dan tertawa gembira.
Dunia
seolah-olah berubah dalam sekejap mata bagi mereka berdua. Penuh keindahan,
penuh kegembiraan, penuh harapan dan bayangan yang muluk-muluk…..
***************
“Uhu-huuuuk-huuuu...!”
Dara itu menangis mengguguk sambil berlutut di depan kaki gurunya, memeluk kaki
itu dan air matanya bercucuran.
Tentu saja
Hek-sin Touw-on terkejut bukan main menyaksikan keadaan muridnya ini. Datang-datang
muridnya merangkul kakinya dan menangis sedih seperti itu, sungguh membuatnya
bingung sekali. Berkali-kali dia menyuruh muridnya menceritakan apa yang begitu
menyusahkan hatinya, namun Kang Swi Hwa atau Ang-siocia tidak kuasa
mengeluarkan kata-kata, hanya menangis mengguguk makin sedih sehingga akhirnya
kakek itu maklum bahwa dia harus membiarkan muridnya menangis dulu sampai
kedukaan yang menyesak di dada itu terlampiaskan dalam tangisnya.
Dari mana
timbulnya duka? Akibat duka sudah jelas, membuat orang menjadi gelap pikiran
dan tidak sabar, dan dalam keadaan sesak oleh duka itu jasmani pun bekerjalah
untuk menolong dirinya dari ancaman bahaya karena duka, yaitu dengan jalan
menciptakan air mata yang bercucuran keluar dan peristiwa ini dapat melampiaskan
duka seperti bendungan yang dibuka sehingga genangan duka itu dapat membanjir
keluar. Akan tetapi dari manakah timbulnya duka?
Jelaslah
bahwa duka timbul dari pikiran sendiri. Pikiran dilayangkan kepada hal-hal yang
sudah lewat, hal-hal yang dianggap merugikan diri sendiri, dianggap tidak cocok
dengan apa yang dikehendaki sehingga hal yang telah terjadi itu mendatangkan
kekecewaan yang kemudian menciptakan rasa nelangsa dan iba kepada diri sendiri,
menjadi duka. Jelaslah bahwa duka menguasai batin hanya pada saat kita tidak
sadar, pada saat kita tidak waspada, pada saat kita membiarkan batin
diselubungi kenangan hal-hal yang sudah lewat. Dan kita melakukan sesuatu yang
amat keliru, yaitu kita selalu ingin lari dari duka yang datang menyerang, kita
ingin lari dari duka, kita ingin menghibur dan melupakan hal yang mendukakan.
Usaha menjauhkan duka ini malah memperbesar duka itu sendiri!
Kita tidak
pernah mau menghadapi duka itu sebagaimana adanya, mengamati duka dengan penuh
kewaspadaan dan kesadaran, mengamati betapa kita penuh dengan iba diri, betapa
kita mengenang-ngenang hal yang merugikan itu, terus mengunyah ngunyah kenangan
itu sehingga semua kenangan itu seolah-olah merupakan sebuah tangan setan yang
meremas-remas hati kita sendiri! Untuk dapat terbebas dari duka, kita harus
mengenal duka sebagaimana adanya, kita harus berani mengamati duka, tidak lari
darinya. Karena hanya dengan pengamatan yang penuh kewaspadaan inilah maka akan
timbul pengertian yang sedalam-dalamnya tentang duka, dan pengertian ini akan
menimbulkan kesadaran yang dengan sendirinya akan melenyapkan duka tanpa kita
berusaha menghilangkannya.
Namun
sayang, betapa kita semua tidak sadar dan membiarkan diri terseret ke dalam
arus suka-duka ini. Kita terseret duka, mengharapkan hiburan, menikmati hiburan
yang mendatangkan suka, untuk kemudian diseret ke dalam duka kembali, dan
demikian selanjutnya kita terjebak ke dalam lingkaran setan yang berupa suka
dan duka. Dan lebih menyedihkan lagi, kita menganggap bahwa memang sudah
demikian itulah hidup! Seolah-olah tidak ada jalan lain dalam kehidupan ini
kecuali menjadi hamba suka duka yang menyedihkan.
Akhirnya
reda juga tangis Ang-siocia, tinggal terisak-isak yang jarang. Gurunya, kakek
Hek-sin Touw-ong lalu mengangkatnya bangun dan disuruhnya murid itu duduk di
atas bangku di depannya. Mereka berada di dalam sebuah kuil rusak dan mereka
duduk di atas bangku-bangku batu yang kasar. Kuil itu berada dalam sebuah hutan
di lereng bukit.
“Swi Hwa,
mengapa engkau menangis seperti ini? Sungguh memalukan sekali melihat muridku
menangis seperti seorang perempuan lemah yang cengeng. Mana kegagahan yang
kugemblengkan pada dirimu selama bertahun-tahun ini?” Kakek itu menarik napas
panjang, agaknya dia melihat bahwa betapa pun gagahnya, muridnya itu hanya
seorang wanita, dan menurut kata pujangga kuno, wanita tidak dapat dipisahkan
dari air mata!
“Suhu,
maafkan teecu...“ Gadis itu berkata di antara isaknya.
“Hemmm,
entah sudah berapa ratus kali selama menjadi muridku engkau minta maaf, dan
sebanyak itu pula aku selalu memaafkanmu. Sekarang ceritakanlah, mengapa kau
menangis?”
“Suhu...
teecu ingin mati saja...!” Gadis itu menutupi muka dengan kedua tangannya dan
dari celah-celah antara jari tangannya nampak air matanya menetes.
“Hehhh?
Apa-apaan lagi ini? Mana bisa manusia minta mati kalau belum tiba saatnya?
Kalau sudah tiba saatnya, tanpa diminta pun akan mati. Hayo bilang, mengapa kau
sampai mengeluarkan kata-kata gila ini? Apa yang terjadi dengan dirimu?”
Gadis itu
menggeleng kepala, kemudian menurunkan kedua tangan dari depan muka. Mukanya
yang cantik itu agak pucat dan amat muram, basah oleh air matanya. Hati kakek
itu terkejut dan kasihan juga melihat ini karena maklumlah dia bahwa muridnya
ini mengalami pukulan batin yang parah juga.
“Tidak
terjadi apa-apa dengan diri teecu, akan tetapi telah terjadi hal yang hebat
dengan diri... dia...“ Gadis itu megap-megap seperti ikan di darat.
“Dia? Dia
siapa?” Hek-sin Touw-ong bertanya, memandang wajah muridnya penuh selidik
karena dia khawatir kalau-kalau kesedihan membuat muridnya ini mengalami
guncangan batin yang akan mengganggu ketenangan jiwanya.
“Dia…
Pendekar Siluman Kecil...!”
Alis kakek
itu berkerut. Dia sudah mengerti bahwa muridnya ini tergila-gila kepada
pendekar sakti itu.
“Ada apa
dengan dia?” desaknya.
Siluman
Kecil itu menurut muridnya dapat mengalahkan Sin-siauw Sengjin, berarti
memiliki kesaktian setinggi langit yang sukar diukur lagi, maka apakah yang
dapat menimpa seorang pendekar sakti seperti itu? Apakah pendekar itu terkena
malapetaka maka muridnya menjadi berduka seperti ini?
“Siluman
Kecil? Ada apa dengan dia? Apa yang terjadi?”
“Dia...
dia... mencinta wanita lain, Suhu... uuuhhhu-hu-huuuhhh...!” Dara itu menangis
lagi.
Hek-sin
Touw-ong mengerutkan alisnya dan memandang kepala yang menunduk dan pundak yang
berguncang-guncang dalam tangisnya itu. Dia menarik napas panjang berkali-kali
dan hatinya penuh rasa iba kepada muridnya ini. Terbayanglah semua peristiwa
semenjak dia mengambil anak itu sebagai murid.
Dia tahu
bahwa Kang Swi Hwa adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong yang dititipkan kepada
Sin-siauw Sengjin untuk dilatih ilmu silat. Karena penasaran terhadap Sin-siauw
Sengjin, maka dia menculik anak itu untuk dilatihnya sendiri. Akan tetapi
kemudian, maksud yang hanya ingin menimpakan rasa penasaran itu kepada
Sin-siauw Sengjin, akhirnya berubah setelah dia mulai mencinta murid itu sebagai
puterinya sendiri! Maka anak itu pun dididiknya terus sampai menjadi dewasa dan
dia telah mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya, baik ilmu silat, ilmu maling
dan ilmu menyamar kepada dara itu.
Dia tahu
bahwa muridnya ini adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong, seorang yang sudah
dikenalnya dengan baik maka ia pun mendidik muridnya itu sekuat tenaganya
sehingga muridnya sekarang memiliki tingkat kepandaian yang sudah hebat, hampir
menyamai tingkatnya sendiri. Maka ketika dia mendengar betapa muridnya itu ‘dihina’
secara tidak sengaja oleh murid Sai-cu Kai-ong, dia terkejut bukan main dan
heran mengapa justeru murid dari kakek gadis ini yang bertemu dan ‘menghina’
nya! Maka timbul pula niatnya untuk menjodohkan muridnya dengan pemuda murid
Sai-cu Kai-ong itu, sebab dengan demikian, selain untuk menebus kesalahannya
terhadap Sai-cu Kai-ong, juga untuk menghapus aib yang telah dialami oleh Swi
Hwa.
Dia sengaja
mengganti nama muridnya yang ketika itu masih kecil sekali sehingga tidak
mungkin dapat mengingat apa-apa, mengganti namanya menjadi Kang Swi Hwa, bahkan
dia telah menghapus tahi lalat di dagu anak itu agar tidak akan dapat dikenali
oleh Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Sengjin! Dan kini, ternyata muridnya itu
mencinta Siluman Kecil dan merana, patah hati, karena Siluman Kecil mencinta
gadis lain!
Setelah
sejenak membiarkan dara itu menangis lagi, dengan hati amat terharu Hek-sin
Touw-ong kemudian memegang kedua pundak muridnya, dan berkata dengan suara
menghibur, “Kalau begitu, masih jauh lebih baik bagimu, muridku...“
Mendengar
ini, dara itu mengangkat mukanya yang basah air mata itu, memandang gurunya
dengan penasaran.
“Lebih
baik...? Apa... apa maksud Suhu?” Dia sedih setengah mati, gurunya malah
mengatakan lebih baik! Hati siapa tidak menjadi penasaran?
“Kakek itu
mengangguk-angguk dan kembali menarik napas panjang. “Jauh lebih baik gagal
sebelum menikah, dari pada gagal setelah menjadi suami isteri... seperti gurumu
ini...“
Sepasang
mata yang masih basah itu terbelalak. Tidak disangkanya gurunya akan berkata
demikian. Gurunya tidak pernah bercerita tentang diri sendiri, bahkan tidak
pernah bercerita tentang riwayatnya, tentang ayah bundanya.
“Apakah Suhu
pernah menikah?” tanyanya, hatinya tertarik karena seluruh perhatiannya
tertarik akan keadaan suhu-nya, maka otomatis ia melupakan diri sendiri dan
lenyaplah seketika rasa duka di hatinya.
Memang,
kedudukan bukan lain hanyalah permainan ingatan, permainan pikiran yang
mengingat-ingat dan membayang-bayangkan, penuh dengan iba diri. Begitu pikiran
meninggalkan semua itu, ditujukan kepada lain hal dengan penuh perhatian, maka
duka pun lenyap tanpa bekas!
Kakek itu
mengangguk. “Aku pernah menikah, akan tetapi terdapat ketidak cocokan dalam
kehidupan rumah tangga kami. Kami hidup menderita, seperti dalam neraka karena
percekcokan terjadi setiap hari. Akhirnya, setelah menikah selama tiga tahun
tanpa ada keturunan, kami terpaksa berpisah, dan semenjak itu, aku tidak mau
lagi menikah...“
Melihat
wajah suhu-nya membayangkan penderitaan batin, seketika lupalah Swi Hwa akan
kesusahan hatinya sendiri. Dia memandang kepada suhu-nya dengan hati penuh
perasaan iba.
Akan tetapi
kakek itu lalu melanjutkan, “Karena itulah, Swi Hwa, kukatakan lebih baik gagal
sebelum menikah dibandingkan seperti yang kualami ini. Bayangkan saja kalau
kegagalanmu ini terjadi setelah engkau menikah dengan seorang suami yang tidak
menaruh cinta kepadamu, tentu akan lebih pahit dan sengsara lagi.”
Dara itu
kini menunduk, dia mengerti akan maksud ucapan gurunya itu. “Jadi, dalam
pernikahan Suhu itu hanya terdapat cinta sepihak?”
Hek-sin
Touw-ong mengangguk. “Ya, hanya dariku adanya cinta itu, tidak dari pihaknya.
Maka, kalau Siluman Kecil tidak mencintamu dan mencinta orang lain, apa yang
perlu disesalkan? Dunia tidak hanya setapak tangan lebarnya, dan masih terdapat
banyak sekali pria yang cukup baik untuk menjadi calon jodohmu. Terutama
sekali, kita harus mencari pemuda bernama Siauw Hong itu, karena menurut
pandanganku, hanya dialah yang harus menjadi suamimu, karena dia yang pernah
melihat tubuhmu!”
Dara itu
makin menunduk dan mukanya berubah merah mendengar ucapan ini, karena dia
teringat akan peristiwa itu, yaitu ketika dia yang menyamar sebagai pria dan
terbuka rahasianya oleh Siauw Hong. Pada waktu itu Siauw Hong berusaha
mengobatinya dan memeriksa dadanya!
“Hanya ada
dua pilihan terhadap pemuda itu. Membunuhnya atau menikah dengan dia!
Kehormatan dan nama baikmu tergantung sepenuhnya kepada persoalan ini, muridku.
Maka, marilah engkau ikut bersamaku pergi mencari Sai-cu Kai-ong buat
membicarakan urusan muridnya itu.”
“Tapi...
Suhu, teecu belum mempunyai ingatan untuk menguruskan persoalan jodoh
sebelum... sebelum teecu mendengar dari Suhu tentang keadaan keluarga teecu.
Suhu selalu mengelak dan tidak mau memberi keterangan kepada teecu. Sekarang
teecu mohon Suhu suka memberi penjelasan. Siapakah ayah bunda teecu? Apakah
mereka masih hidup dan mengapa teecu sejak kecil ikut bersama Suhu?”
Kakek itu
menghela napas. “Dalam hal ini aku berdosa kepadamu, muridku. Ketahuilah, bahwa
engkau adalah seperti cucu atau anak angkatku sendiri, di samping engkau
muridku satu-satunya. Dan terus terang saja, aku tidak dapat menceritakan
tentang keluargamu karena memang aku tidak tahu. Hanya ada satu orang saja yang
akan dapat menceritakan hal itu kepadamu.”
“Siapa dia,
Suhu?”
“Dia adalah
Sai-cu Kai-ong...“
“Apa...?”
Ang-siocia atau Kang Swi Hwa memandang kepada suhu-nya dengan mata terbelalak
lebar. “Kakek sakti guru... Siauw Hong itu...?”
Hek-sin
Touw-ong mengangguk. “Muridku, agaknya sudah tiba saatnya bagimu untuk
mengetahui semua rahasia yang meliputi dirimu. Akulah yang bertanggung jawab
akan semua itu. Maka, mari kau ikut bersamaku menemui Sai-cu Kai-ong, sekalian
kita bicarakan urusan muridnya itu.”
Dara itu
mengangguk sambil menundukkan mukanya. Dia akan selalu merasa malu dan canggung
kalau bicara tentang pemuda yang menjadi pangeran pengemis itu, karena nama
Siauw Hong selalu mengingatkan dia akan peristiwa yang dialaminya, ketika
rahasia penyamarannya sebagai pria terbuka oleh pemuda itu.
Berangkatlah
guru dan murid itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan kuil tua itu. Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Ang-siocia lari mengejar ketika melihat
Siluman Kecil pergi, kemudian di tengah perjalanan dia bertemu dengan Siang In.
Mereka berpisah dan tanpa disengaja, kembali dia bertemu dengan Siang In yang
sedang berkasih-kasihan dengan Siluman Kecil. Dapat dibayangkan betapa hancur
rasa hati Kang Swi Hwa melihat betapa pria yang dikaguminya dan diam-diam
dicintanya itu ternyata saling mencinta dengan seorang gadis lain.
Maka dia
lalu diam-diam meninggalkan tempat itu sambil menangis. Dia tidak tahu bahwa
ketika dia lari meninggalkan benteng yang terbakar, dari jauh gurunya selalu
membayanginya dan melihat dara itu menangis, Hek-sin Touw-ong lalu mengejar,
menyusulnya dan mengajaknya istirahat di kuil tua itu, kemudian bertanya apa
yang disusahkan oleh muridnya. Karena kakek ini membayangi muridnya dari jauh,
maka dia tidak ikut menyaksikan apa yang menjadi sebab muridnya berduka, dia
tidak melihat betapa Siluman Kecil sedang berkasih-kasihan dengan Siang In.
Beberapa
hari kemudian guru dan murid ini sudah tiba di puncak Bukit Nelayan di
Pegunungan Tai-hang-san, tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Dari lereng saja sudah
nampak bangunan besar kuno yang dahulunya merupakan bangunan semacam istana
megah dari raja pengemis, nenek moyang dari Sai-cu Kai-ong. Berbeda dengan
nenek moyangnya, Saicu Kai-ong kini tidak suka menonjolkan diri dan walau pun
dia dijuluki Kai-ong dan pengaruhnya masih besar sekali, dianggap sebagai datuk
kaum pengemis dan dipuja-puja oleh semua perkumpulan pengemis, namun dia tidak
secara langsung memimpin para pengemis itu. Dia lebih senang menyembunyikan
diri di dalam bekas istana nenek moyangnya itu, hidup bersunyi di puncak Bukit
Nelayan.
Ketika guru
dan murid itu telah berdiri di depan rumah kuno yang kelihatan kosong dan sunyi
itu, Hek-sin Touw-ong lalu berseru sambil mengerahkan khikangnya sehingga
suaranya bergema sampai terdengar dari tempat jauh.
“Kai-ong,
ini sahabatmu Touw-ong ingin berjumpa denganmu!”
Memang
kedengarannya lucu. Touw-ong (Raja Maling) ingin bertemu dengan Kai-ong (Raja
Pengemis)! Suara dari Hek-sian Touw-ong menimbulkan gema yang panjang dari
dalam gedung besar itu, dan tidak lama kemudian terdengar suara yang nyaring
dari dalam gedung.
“Selamat
datang, Touw-ong! Pintu rumahku tidak tertutup, harap kau masuk saja!”
Agaknya di
antara dua orang sakti itu terdapat jalinan persahabatan yang sudah akrab, maka
mereka menggunakan kata-kata yang ramah dan kasar, tanpa banyak peraturan dan
sopan santun yang biasa timbul antara orang-orang yang baru berkenalan. Hek-sin
Touw-ong tertawa bergelak, kemudian mengajak muridnya memasuki pintu gerbang
besar dari rumah kuno itu.
Hek-sin
Touw-ong sendiri hidup sebagai seorang yang kaya, memiliki rumah besar yang
terjaga oleh banyak pelayan, maka tentu saja guru dan murid ini tidak asing
dengan rumah-rumah besar dan mewah. Akan tetapi, ketika memasuki istana tua
ini, dara itu merasa seram juga, dan kagum melihat hiasan-hiasan kuno yang
antik dan indah.
Rumah kuno
yang besar itu nampak sunyi menyeramkan oleh karena kelihatan kosong tanpa ada
seorang pun manusia yang menjaganya, kelihatan dingin karena kurangnya manusia
di situ. Berindap-indap dara ini berjalan di samping gurunya, memandang ke
kanan kiri seperti memasuki sebuah goa yang penuh ancaman bahaya. Akan tetapi
Hek-sin Touw-ong yang dahulu sudah sering memasuki gedung ini, berjalan
seenaknya dengan wajah gembira, sungguh pun terdapat ketegangan yang nampak
dari kerutan di antara kedua alisnya. Kakek ini merasa gembira karena dia akan
mengejutkan dan mendatangkan kegembiraan besar kepada sahabat lamanya ini
dengan mengembalikan cucunya, akan tetapi juga dia merasa tegang karena merasa
bersalah telah menculik cucu sahabatnya yang diserahkan kepada Sin-siauw
Sengjin untuk menjadi murid Kakek Suling Sakti itu. Juga hatinya tegang
mengingat bahwa pemuda yang pernah ‘menghina’ muridnya adalah murid sahabatnya
ini.
Ketika
mereka tiba di dalam sebuah ruangan, muncullah seorang kakek yang gagah
perkasa, dan biar pun usianya sudah lebih dari enam puluh lima tahun, namun
tubuhnya yang tinggi tegap itu masih nampak kokoh kuat, pakaiannya sederhana,
pandang matanya tajam dan penuh kejujuran dan kegagahan. Kakek ini menggunakan
sinar matanya menyapu wajah dua orang tamunya dan dia agaknya merasa puas
sekali melihat keadaan Hek-sin Touw-ong karena sahabat lamanya itu masih nampak
sehat dan sederhana, dengan mukanya yang hitam terbakar matahari dan pakaiannya
yang serba hitam pula. Dia tahu bahwa Si Raja Maling ini amat kaya raya, namun
pakaian dan sikapnya jelas membuktikan bahwa kakek itu tidak membanggakan
kekayaannya.
Ketika
Sai-cu Kai-ong, kakek tuan rumah itu, memandang wajah Ang-siocia, dia kelihatan
tertarik sekali, bahkan seperti orang tertegun dan sinar matanya melekat pada
wajah dara itu. Kalau orang tidak mengenal bahwa kakek ini adalah seorang kakek
sakti yang gagah perkasa, yang sudah tidak tertarik lagi oleh wanita muda dan
cantik, maka tentu orang akan menyangka dia adalah lelaki mata keranjang yang
terpesona oleh kecantikan Ang-siocia.
Melihat tuan
rumah seperti tertegun memandangnya, dengan sinar mata penuh selidik
menjelajahi setiap bagian wajahnya, Ang-siocia mengerutkan alisnya dan
diam-diam hatinya sudah merasa tidak senang. Dia menyangka bahwa kakek itu
tentu tergolong pria tua yang cabul dan mata keranjang! Akan tetapi tidak
demikian dengan gurunya, Hek-sin Touw-ong tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Kai-ong,
dia ini adalah muridku, mengapa engkau memandanginya seperti itu? Apakah engkau
sudah mengenal muridku ini?” tanya Hek-sin Touw-ong sambil tersenyum.
Kalau saja
dia memang terpesona oleh kecantikan gadis itu, tentu Sai-cu Kai-ong akan
merasa canggung dan malu mendengar teguran itu, akan tetapi karena memang dia
sama sekali tidak ada pikiran yang tidak patut, teguran itu diterimanya secara
sungguh sungguh dan dia pun menjawab tanpa melepaskan pandang matanya dari
Ang-siocia.
“Serasa
kukenal dia... wajahnya serupa benar dengan... mantuku yang telah meninggal
dunia... akan tetapi...,“ kini matanya meneliti ke arah dagu Ang-siocia.
“Ha-ha-ha,
pengemis tua bangka, engkau mencari-cari sebuah tahi lalat kecil di dagu?”
Mendengar
ini, secepat kilat kakek itu menoleh dan memandang pada tamunya dengan sinar
mata berkilat, wajahnya berubah pucat. “Engkau maling tua, hayo katakan yang
sebenarnya, apa maksudmu itu? Dari mana kau tahu tentang tahi lalat di dagu?”
Tiba-tiba
mata kakek itu terbelalak. Dia menoleh lagi kepada Ang-siocia, memandang tajam
wajah dara itu, kemudian dia menoleh lagi kepada Hek-sin Touw-ong, suaranya
gemetar ketika dia berkata, “Touw-ong, demi Tuhan! Siapakah dia ini? Benarkah
dia ini...?”
“Kai-ong, mari
kita duduk yang baik dan akan kuceritakan sesuatu yang pasti akan mendatangkan
kegembiraan besar bagimu.”
Dengan mata
masih memandang kepada Ang-siocia, tuan rumah itu membawa dua orang tamunya ke
sebuah ruangan dan mereka duduk berhadapan. Kemudian tuan rumah itu memandang
wajah Si Raja Maling, dan dari sinar matanya dia mengajukan seribu satu macam
pertanyaan.
“Kai-ong,
tidak perlu kujelaskan lagi, engkau tentu mengenal baik Sin-siauw Sengjin,
bukan? Biar pun engkau belum pernah membongkar rahasia kakek suling sakti itu,
namun aku dapat menduga bahwa antara engkau dan dia terdapat suatu ikatan yang
amat mendalam. Benarkah demikian?”
Urusan yang
menyangkut Sin-siauw Sengjin merupakan rahasia besar bagi Si Raja Pengemis,
akan tetapi karena dia percaya bahwa Raja Maling ini merupakan seorang gagah
yang dapat dipercaya, maka tanpa banyak cakap lagi dia mengangguk.
“Nah, terus
terang saja, aku pernah bentrok dengan kakek yang angkuh dan sombong itu dan
aku telah kalah olehnya. Memang dia lihai bukan main dan betapa pun aku
berusaha, aku tidak pernah dapat menangkan kakek yang penuh rahasia itu.”
Sai-cu
Kai-ong tersenyum. “Hal itu tidak aneh, Touw-ong. Aku sendiri pun tidak akan
mampu menandinginya.”
“Dan aku
merasa penasaran, bukan main...“
“Ahhh, orang-orang
macam kita ini, tua bangka-tua bangka yang sudah banyak makan garam dunia, masa
masih harus merasa penasaran kalau dikalahkan orang? Engkau tentu tahu bahwa
tidak ada orang terpandai di dunia ini,” cela Si Raja Pengemis.
“Engkau
benar. Namun entah bagaimana, aku merasa penasaran sekali. Lebih-lebih ketika
aku mendengar betapa engkau mempercayakan seorang cucumu kepada kakek sombong
itu untuk dididik! Kai-ong, engkau memang terlalu. Jika hanya untuk mendidik
cucumu saja, di dunia ini masih banyak sahabat-sahabat lainmu yang tidak
sombong, dan termasuk aku yang tentu akan bersedia untuk menurunkan seluruh
ilmu tidak berharga yang ada padaku kepada cucumu. Akan tetapi, engkau justeru
menyerahkan cucumu itu kepada kakek takabur yang kubenci itu! Tentu saja aku
menjadi makin penasaran saja.”
Sai-cu
Kai-ong mengerutkan alisnya. “Bagaimana engkau dapat berkata demikian,
Touw-ong? Urusan keluarga adalah urusan kami sendiri dan kalau aku menyerahkan
cucuku kepada Sin-siauw Sengjin, hal itu tentu terjadi dengan suatu sebab dan
alasan yang kuat. Kalau tidak demikian, apakah kau kira aku malas untuk
mendidik cucuku sendiri?”
Hek-sin
Touw-ong mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Agaknya engkau benar
pula. Akan tetapi ketika itu aku dibikin buta oleh perasaan penasaranku
terhadap si suling sombong itu, maka aku tidak dapat berpikir jernih. Dan untuk
melampiaskan kemarahan dan rasa penasaranku, aku lalu memasuki rumahnya dan...
kuculik cucumu itu, kubawa pergi!”
Terdengar
teriakan nyaring dan Sai-cu Kai-ong sudah bangkit berdiri dari bangkunya,
matanya melotot dan mukanya menjadi merah sekali. Mendengar teriakan nyaring
tadi, Ang-siocia terkejut bukan main karena dia merasa betapa jantungnya
tergetar hebat dan tentu dia sudah roboh kalau saja dia tidak cepat mengerahkan
sinkang-nya untuk melawan serangan suara yang luar biasa itu. Itulah Ilmu
Sai-cu Ho-kang yang barusan dikeluarkan oleh Sai-cu Kai-ong dalam kemarahannya.
“Hemmm, jadi
kiranya engkaukah yang menculik cucuku itu?” Suara Raja Pengemis itu terdengar
penuh ancaman dan kemarahan yang ditahan-tahan.
Akan tetapi
Hek-sin Touw-ong masih bersikap tenang saja sungguh pun wajahnya berubah agak
pucat. Dia mengangguk. “Benar, Kai-ong, akulah yang menculiknya, dan aku tidak
menyesal karena aku menganggap anak itu seperti anakku atau cucuku sendiri, aku
sudah menurunkan seluruh ilmuku kepada muridku itu...“
“Suhu...!”
Ang-siocia berteriak kaget mendengar ini.
Sejak tadi dia
mendengarkan saja tanpa mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua orang kakek
itu. Akan tetapi, ucapan terakhir suhu-nya itu membuka matanya. Kiranya dialah
anak kecil yang dipercakapkan itu. Dialah cucu Raja Pengemis ini yang
dititipkan kepada Sin-siauw Sengjin dan kemudian diculik oleh suhu-nya! Pantas
saja suhu-nya mengatakan bahwa orang yang dapat menceritakan semua keluarganya
adalah Sai-cu Kai-ong yang ternyata adalah kakeknya sendiri!
“Dia... dia
ini Yu Hwi cucuku...? Tapi... tapi...“ Sai-cu Kai-ong memandang dengan mata
terbelalak dan wajahnya pucat, suaranya gemetar karena keharuan yang mendalam.
“Maksudmu
tahi lalatnya? Tahi lalat di dagu itu telah kuhilangkan dengan obat, dan dia
pun hanya mengenal namanya sebagai Kang Swi Hwa, atau julukannya Ang-siocia
murid Si Raja Maling.”
“Yu Hwi...
kau... kau cucuku...“ Sai-cu Kai-ong berseru dan melangkah maju.
Kang Swi Hwa
atau lebih tepat lagi Yu Hwi juga memandang pada kakeknya itu, yang agaknya
merupakan satu-satunya keluarganya, maka dia pun lalu menjatuhkan dirinya
berlutut di depan kakek itu. “Kong-kong...!”
“Yu Hwi...
ahhh, Yu Hwi...!” Kakek itu mengangkat dara itu dengan memegang kedua
pundaknya, memandangi wajah itu. “Benar, benar..., engkaulah satu-satunya
keturunan keluarga Yu kita... wajah dan mulutmu serupa dengan mendiang ibumu,
akan tetapi matamu... ahhh, matamu adalah mata keturunan keluarga Yu...!”
Kakek itu
merasa terharu sekali dan memeluk cucunya. Tak dapat menahan keharuan hatinya,
dan Yu Hwi pun menangis.
Hek-sin
Touw-ong tertegun. Baru sekarang dia merasa betapa dia telah melakukan suatu
kesalahan besar. Dia melihat sekarang persamaan sinar mata kedua orang itu, dan
dia merasa betapa dia telah membuat sahabatnya itu menderita hebat. Dia tidak
mengira sama sekali bahwa sahabatnya itu pun baru belum lama ini mendengar
tentang hilangnya Yu Hwi, baru setelah Sin-siauw Sengjin menemuinya beberapa
bulan yang lalu. Tadinya, Raja Pengemis itu mengira bahwa cucunya masih belajar
pada Kakek Suling Sakti itu dalam keadaan sehat.
“Kai-ong, aku
telah melakukan kesalahan besar padamu...!” Dia berkata dengan suara penuh
kedukaan, bukan duka karena menyesali kesalahannya, melainkan duka melihat
betapa muridnya yang dianggap sebagai keluarga sendiri itu kini benar-benar
telah bertemu dengan keluarga asli muridnya, dan baru terasa olehnya bahwa dia
bukan apa apa, bahwa dia adalah orang luar, tidak berhak terhadap diri muridnya
itu, bahkan dia orang luar yang telah melakukan kesalahan terhadap keluarga Yu!
“Kau...
kau... plakkk!” Tiba-tiba tangan kanan Sai-cu Kai-ong menampar pipi Hek-sin
Touw-ong.
Melihat ini,
Yu Hwi terkejut bukan main. Akan tetapi yang ditampar masih berdiri dan
menundukkan mukanya. Pipi kirinya menjadi merah sekali oleh tamparan itu. Kedua
kakek itu saja yang tahu bahwa betapa pun marahnya Si Raja Pengemis, namun dia
tadi menampar tanpa mengerahkan tenaga sinkang, karena kalau hal itu
dilakukannya, tentu yang ditamparnya telah roboh dengan tulang pipi remuk! Dan
juga, yang ditampar tadi sama sekali tidak mengelak, bahkan sama sekali tidak
mengerahkan sinkang untuk melawan atau melindungi pipinya!
“Aku sudah
layak kau tampar, bahkan kalau engkau hendak membunuhku sekali pun, Kai-ong,
aku tidak akan melawan. Silakan!”
“Engkau tua
bangka keparat!” Sai-cu Kai-ong membentak dan tangannya telah bergerak lagi.
“Kong-kong,
tahan...!” Tiba-tiba Yu Hwi berteriak dan dara ini sudah meloncat ke depan dan
memegang lengan kakeknya. Kakeknya memutar tubuh, kemudian menatap wajah cucunya
dengan sinar mata penuh selidik.
“Kong-kong,
biarlah aku yang mintakan ampun untuk Suhu!” Dara itu menjatuhkan diri
berlutut. “Setelah aku mendengar riwayat itu, aku tahu bahwa Suhu bersalah
besar kepada keluarga kita, terutama telah membuat Kong-kong menderita duka.
Akan tetapi, selama ini, semenjak aku kecil, Suhu telah menjadi guruku,
sahabatku, dan juga menjadi pengganti orang tuaku. Kalau Kong-kong mau
menghukumnya, biarlah aku yang mewakilinya sebagai pembalas semua budi
kebaikannya yang telah dilimpahkan kepadaku selama ini.”
Sai-cu
Kai-ong berdiri tegak sambil menunduk, memandang kepala cucunya yang berlutut
itu, dan Hek-sin Touw-ong juga berdiri dengan kepala tunduk, kelihatan terharu
sekali. Hening sekali suasana di dalam ruangan itu setelah Yu Hwi menghentikan
kata katanya.
Tiba-tiba
meledak suara ketawa bergelak yang memecahkan keheningan itu. Hek-sin Touw-ong
mengangkat muka memandang, juga Yu Hwi memandang wajah kakeknya dengan penuh
keheranan. Kakek itu tertawa bergelak, menghadapkan mukanya ke atas dan tertawa
lagi.
“Ha-ha-ha!
Bagus, bagus! Kiranya Hek-sin Touw-ong tidak mencemarkan namanya dan tetap
terbukti sebagai seorang laki-laki sejati yang pandai mendidik. Touw-ong, aku
mengucapkan terima kasih kepadamu. Engkau telah mendidik Yu Hwi sebagaimana
mestinya sehingga dia tetap menjadi seorang dara yang gagah perkasa, berjiwa
pendekar, sungguh tidak memalukan sebagai keturunan terakhir keluarga Yu.
Ha-ha-ha, kau maafkanlah tamparanku sebagai ledakan kemarahanku tadi,
Touw-ong!”
Hek-sin
Touw-ong kini juga tertawa, akan tetapi ketika dia tertawa, ada dua titik air
mata meloncat keluar dari sepasang matanya, dua titik air mata yang hinggap di
pipi dan cepat dihapusnya dengan punggung tangannya. “Ha-ha-ha, engkau Raja
Pengemis, jembel tua bangka yang menjemukan! Kau bilang menampar, namun
sesungguhnya engkau hanya mengelus pipiku saja. Kalau engkau benar menampar,
apakah mukaku yang buruk ini masih utuh sekarang? Ha-ha-ha, mengelabui anak
sekali pun engkau tak becus, Raja Pengemis! Sekarang hutangku telah impas,
cucumu telah kukembalikan. Dan tentang si sombong Sin-siauw Sengjin, sampaikan
kepadanya bahwa aku mentertawakan dia, katakan bahwa akulah yang dulu mencuri
muridnya dan kalau dia tidak terima, dia boleh mencariku. Rumahku tidak tersembunyi
seperti rumahnya! Dan katakan lagi bahwa sekumpulan kitab-kitab palsunya telah
dicuri orang, dan pencurinya adalah... ha-ha-ha, cucumu inilah! Jangan heran,
Kai-ong, cucumu ini adalah murid Hek-sin Touw-ong, maka jangankan hanya milik
manusia macam Sin-siauw Sengjin, biar milik kaisar sekali pun dia sanggup untuk
mencurinya tanpa diketahui sang pemilik! Dan kalau si suling sombong itu ingin
mendapatkan kitab-kitab palsunya kembali, suruh dia mengambil di rumahku. Nah,
aku sudah cukup bicara, dan di antara kita tidak ada hutang-pihutang lagi.
Selamat tinggal, Kai-ong!”
Setelah
berkata demikian, Hek-sin Touw-ong membalikkan tubuh dan melangkah keluar
dengan langkah lebar, tanpa menoleh kepada Yu Hwi lagi.
“Suhu...!”
Yu Hwi meloncat dan menghadang di depan suhu-nya. Kini tampak olehnya betapa
muka suhu-nya itu basah oleh air mata yang masih menetes-netes dari kedua mata
itu dan mengalir di sepanjang kedua pipi yang keriput.
“Suhu...!”
Yu Hwi menjatuhkan diri berlutut dan menangis di depan kaki suhu-nya, memegangi
tangan suhu-nya dengan perasaan penuh keharuan.
Teringatlah
dia akan semua kebaikan suhu-nya itu semenjak dia masih kecil sekali. Terasa
benar olehnya kasih sayang gurunya ini kepadanya. Tahulah dia mengapa tadi
suhu-nya pergi tanpa pamit, bahkan sama sekali tanpa menoleh kepadanya. Kiranya
suhu-nya merasa tidak kuat untuk berpamitan kepadanya, dan suhu-nya hendak
menyembunyikan kedukaan hatinya karena harus berpisah darinya, bukan hanya
berpisah lahir, bahkan harus memutuskan hubungan karena kini dia sudah kembali
kepada keluarganya, kepada kakeknya.
“Suhu, teecu
menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan Suhu terhadap teecu, dan sampai
mati teecu tidak akan melupakan budi kebaikan Suhu...“
“Swi Hwa,
muridku, biar pun engkau adalah Yu Hwi cucu si Raja Pengemis, akan tetapi
bagiku engkau tetap Kang Swi Hwa muridku. Engkau sekarang telah kembali kepada
kakekmu, seorang gagah perkasa yang patut kau junjung tinggi, patut kau hormati
dan patut kau taati. Aku hanyalah seorang maling yang tidak berhak menjadi
gurumu, dan aku telah melakukan kesalahan besar terhadap keluargamu. Akan
tetapi, biar pun aku tidak mengharapkan lagi untuk kau ingat, aku minta
kepadamu, Swi Hwa, agar engkau mempergunakan semua ilmu yang pernah kuajarkan
kepadamu itu untuk membela kebenaran dan keadilan. Nah, sudahlah, muridku, kita
berpisah dan jangan ingat aku lagi.” Sebelum muridnya sempat menjawab, kakek
itu telah berkelebat dan lenyap dari situ, melarikan diri dengan mengerahkan
tenaga ginkang-nya sehingga sebentar saja dia sudah jauh sekali.
“Suhu...!”
Yu Hwi memekik dan hendak mengejar, namun sebuah tangan memegang pundaknya
dengan lembut.
“Yu Hwi,
belum pernah keturunan keluarga Yu memperlihatkan kelemahan! Apakah yang kekal
di dunia ini? Pengikatan diri hanya merupakan sumber segala derita. Ada waktu
berkumpul, pasti ada waktu berpisah.”
Ucapan yang
keluar dari mulut kakek Raja Pengemis itu terdengar sedemikian penuh wibawa dan
semangat sehingga Yu Hwi atau Kang Swi Hwa atau Ang-siocia seketika berdiri
tegak dengan muka agak pucat akan tetapi matanya bersinar-sinar. Dia dapat
merasakan kegagahan yang terpancar keluar dari sikap, kata-kata dan pandang
mata kakeknya itu dan dia merasa bangga menjadi keturunan keluarga Yu.
Kebanggaan
makin membesar dalam diri dara itu pada waktu kakeknya mengajaknya berkeliling
ke dalam istana kuno itu dan mendengar penuturan kakeknya mengenai kebesaran
nama keluarga Yu, yaitu keluarga nenek moyangnya yang terkenal sebagai
tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Kiranya dia bukanlah keturunan
keluarga sembarangan, dan hatinya mengandung perasaan penasaran! Dia adalah
keturunan keluarga Yu yang besar dan gagah perkasa, tidak kalah hebat
dibandingkan dengan keluarga Pulau Es, keluarga dari Siluman Kecil!
“Yu Hwi,
setelah engkau kini dapat kutemukan, kita harus cepat-cepat pergi menemui
keluarga calon suamimu.”
Ucapan
tenang dan lembut dari kakeknya itu mengejutkan hati Yu Hwi bukan kepalang.
Namun dara ini dapat menekan perasaannya. Dia adalah keturunan keluarga besar,
maka dia pun harus berjiwa besar dan berwatak gagah, tidak boleh memperlihatkan
perasaan hatinya! Kenyataan bahwa dia adalah keturunan keluarga besar ini
seketika telah mengubah sedikit watak Yu Hwi, mendatangkan semacam keangkuhan
yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang merasa dirinya ‘besar’. Maka dengan
kekuatan batinnya dia telah berhasil menindas perasaannya yang terkejut ketika
mendengar ucapan kakeknya itu dan dia hanya memandang tajam kepada kakeknya.
Suaranya terdengar tenang saja ketika dia bertanya.
“Calon
suami? Apa yang kau maksudkan, Kong-kong?”
Sikap Sai-cu
Kai-ong juga tenang sekali dan diam-diam dia merasa girang melihat sikap
cucunya. Benar-benar Si Raja Maling tidak mengecewakan, telah mendidik cucunya
ini menjadi seorang dara yang gagah perkasa. Dia tersenyum dan memandang
cucunya dengan wajah berseri.
“Yu Hwi,
semenjak engkau masih bayi, engkau telah bertunangan. Dan jangan engkau
khawatir atas keputusan yang diambil kakekmu ini. Tunanganmu itu bukanlah orang
sembarangan. Dia adalah keturunan dari keluarga yang jauh lebih besar dan gagah
perkasa dari pada keluarga kita malah! Dia adalah keturunan dari keluarga
Pendekar Suling Emas, satu-satunya keturunan pendekar itu yang masih ada. Dan
jangan kau khawatir, Kam-kongcu, calon suamimu itu adalah seorang pemuda yang
tampan dan gagah perkasa, memiliki kepandaian silat yang amat tinggi karena dia
mewarisi kepandaian nenek moyangnya, yaitu Pendekar Suling Emas.”
Biar pun
sikapnya masih tenang, namun sepasang alis yang hitam kecil itu berkerut. Tentu
saja dia sama sekali tidak tertarik ketika mendengar seorang pemuda bernama
Kam-kongcu itu, biar pun kakeknya mengatakan betapa pemuda itu tampan dan
gagah.
“Kong-kong,
mengapa engkau mengikat perjodohanku ketika aku masih seorang bayi? Bukankah
perjodohan adalah urusan dua orang yang berhak memilih sendiri calon jodohnya
sesuai dengan perasaannya?”
Sai-cu
Kai-ong Yu Kong Tek menarik napas panjang. “Boleh jadi benar anggapanmu,
cucuku. Akan tetapi di antara kita keluarga Yu dan keluarga Suling Emas, yaitu
keluarga Kam, terdapat ikatan yang amat erat semenjak nenek moyang kita dahulu.
Kebetulan sekali keturunan keluarga kita yang terakhir terlahir sebagai seorang
wanita, yaitu engkau, dan keluarga Kam yang terlahir sebagai seorang pria. Oleh
karena itu, atas persetujuan bersama, engkau kutunangkan dengan Kam-kongcu,
sehingga dengan demikian, keturunan Yu biar pun akan putus karena tidak ada
lagi keturunan laki-laki, namun keturunanmu akan menjadi keturunan keluarga Kam
dan berarti keluarga kita tidak putus melainkan menggabungkan dengan keluarga
Kam. Sungguh penggabungan yang amat baik dan mengharukan.” Suara kakek itu agak
gemetar ketika mengatakan kalimat terakhir.
Biar pun di
dalam hatinya merasa tidak setuju dan tidak senang, akan tetapi sebagai
keturunan keluarga ‘besar’, Yu Hwi hanya menunduk. Dia tahu bahwa janji seorang
seperti kakeknya itu pasti tidak mungkin dapat ditarik kembali! Maka dia pun
akan melihat dulu bagaimana keadaan tunangan itu, kalau kelak dia merasa tidak
cocok, sampai bagaimana pun juga dia tidak akan tunduk dan menyerah begitu
saja!
Sai-cu
Kai-ong merasa girang bukan main ketika dia minta kepada cucunya untuk bersilat
mempertunjukkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh cucunya itu dari Touw-ong. Dia
merasa kagum melihat kehebatan Kiam-to Sin-ciang, dan lebih kagum sekali
melihat kecepatan gerakan tangan cucunya yang memperlihatkan kemahiran ilmu
mencopet, kemudian tertegun melihat cucunya dapat ‘pian-hoa’ (mengubah diri)
menjadi orang lain dalam ilmu penyamarannya yang hebat!
“Ah, engkau
telah menjadi seorang gadis yang lihai Yu Hwi. Dalam penggemblenganku sendiri,
belum tentu engkau akan menjadi lihai seperti ini. Akan tetapi, engkau berhak
untuk mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Yu kita, maka engkau harus menghafal
semua ilmu itu untuk kemudian kau latih perlahan-lahan.”
Tentu saja
Yu Hwi merasa girang sekali dan selama tiga hari tiga malam kakeknya menurunkan
ilmu yang amat hebat, yaitu ilmu warisan keluarga Yu yang mengangkat nama
keluarga itu selama puluhan, bahkan ratusan tahun, yaitu Ilmu Silat Khong-sim
Sin-ciang, ilmu inti dari para raja pengemis perkumpulan Khong-sim Kai-pang!
Setelah dara itu menghafal teori ilmu silat ini dengan baik, maka kakek itu
lalu mengajaknya untuk pergi menemui tempat tinggal tunangannya!
Yu Hwi tidak
membantah, dan jantungnya berdebar penuh ketegangan pada saat dia melakukan
perjalanan dengan kakeknya menuju ke tempat tinggal calon suaminya, yang
menurut kakeknya sekarang tinggal bersama Sin-siauw Sengjin! Dia tidak pernah
menyinggung nama tunangannya itu, akan tetapi mendengar nama Sin-siauw Sengjin,
dia berkata, “Apakah Kong-kong lupa akan pesan suhu? Aku pernah mencuri
kumpulan kitab-kitab dari kakek suling sakti itu. Kalau dia mendengar itu dan
melihatku, apakah dia tidak akan marah?”
Kakek itu
tertawa. “Dia marah kepadamu? Ha-ha-ha, tidak mungkin cucuku. Dan dia tentu
malah akan tertawa girang melihat kelihaianmu, apa lagi kitab-kitab yang kau
curi itu hanya kitab-kitab palsu. Sudahlah, jangan khawatir. Kita akan menemui
keluarga yang paling hebat dalam dunia ini, sedangkan Sin-siauw Sengjin itu
hanya merupakan keturunan dari pelayan saja dari keluarga tunanganmu!”
Diam-diam Yu
Hwi terkejut sekali mendengar ini dan timbul keinginan hatinya untuk melihat
seperti apakah gerangan macamnya orang yang menjadi calon suaminya itu sehingga
kakek sakti Sin-siauw Sengjin hanya merupakan keturunan pelayan dari keluarga
pemuda itu!
Hari telah
sore dan cuaca mulai gelap ketika akhirnya kakek dan cucu itu tiba di puncak
sebuah bukit kecil yang kini menjadi tempat tinggal Sin-siauw Sengjin dan para pengikutnya.
Di puncak itu terdapat sebuah bangunan sederhana namun cukup besar dan
kelihatan sunyi saja. Di sekeliling bangunan terdapat tanaman bermacam-macam
sayur dan bunga-bunga, suasananya hening dan bersih sekali.
Akan tetapi,
ketika mereka tiba di depan rumah besar itu, tiba-tiba berkelebat bayangan
orang dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri menghadang seorang kakek yang
bertubuh tinggi kurus dan memegang tongkat butut. Yu Hwi kagum melihat gerakan
kakek ini yang memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi sehingga dapat bergerak
secepat itu.
Sejenak
kakek tinggi kurus itu memandang kepada Sai-cu Kai-ong dan Yu Hwi, akan tetapi
segera sikapnya berubah ketika dia mengenal Sai-cu Kai-ong. Kalau tadinya dia
bersikap galak dan angkuh, sekarang wajahnya tersenyum dan dia cepat membungkuk
dengan hormat.
“Ahhh,
kiranya Kai-ong yang berkenan datang berkunjung. Harap maafkan bahwa guru kami
tidak mengetahui sebelumnya sehingga tidak sempat menyambut.”
“Ha-ha-ha,
Gin-siauw Lo-jin, engkau makin tua makin gagah saja. Tak usah bersikap sungkan,
lebih baik lekas beritahukan gurumu bahwa aku datang dan minta menghadap
kepadanya karena urusan keluarga yang amat penting,” kata Sai-cu Kai-ong.
“Silakan
Kai-ong masuk dan menanti di ruangan tamu, saya akan melaporkan kepada suhu,”
kata kakek itu sambil mempersilakan dua orang tamu itu masuk.
Sai-cu
Kai-ong mengangguk dan mengajak Yu Hwi masuk, kemudian mereka berdua duduk di
sebuah ruangan yang lebar dan sederhana, sedangkan kakek bertongkat itu lalu
mengangguk lagi dan meninggalkan mereka.
“Siapakah
kakek lihai itu, Kong-kong? Kalau tidak salah, pada waktu Sin-siauw Sengjin
bertanding melawan Pendekar Siluman Kecil, aku pernah melihatnya,” bisik Yu Hwi
yang masih kagum melihat kakek itu.
“Dia adalah
Gin-siauw Lo-jin. Kau lihat, muridnya saja demikian lihai, apa lagi gurunya!
Dan selihai itu pun masih belum dapat menguasai ilmu-ilmu Pendekar Suling Emas
dengan sempurna. Yang dapat menguasainya kelak tentu hanya Kam-kongcu, yaitu
tunanganmu itu,” kata kakek itu dengan bangga sehingga makin tertarik hati Yu
Hwi untuk melihat bagaimana tampangnya pemuda yang dipuji-puji kakeknya ini.
Terdengar
suara orang tertawa halus dari arah pintu dalam dan muncullah seorang kakek tua
renta yang bukan lain adalah Sin-siauw Sengjin sendiri. Kakek ini nampak tua
sekali. Begitu melihat tamunya, dia cepat menjura dengan dalam ke arah Sai-cu
Kai-ong sambil berkata, “Ahhh, sungguh girang sekali kami mendapat kunjungan
Kai-ong yang terhormat. Mengapa tidak memberi kabar lebih dulu sehingga kami
dapat mengadakan penyambutan meriah?”
Sai-cu
Kai-ong cepat bangkit dan membalas penghormatan sahabatnya itu, kemudian dia
menjawab, “Kami datang secara tergesa-gesa, membawa berita yang amat penting
dan tentu akan menggirangkan hati Sengjin yang sudah tua.”
Kakek
berambut putih itu memandang kepada Yu Hwi, dan Si Raja Pengemis tahu betapa
sinar mata kakek itu nampak tertegun, kemudian sinar mata itu meneliti ke arah
dagu cucunya, maka dia tertawa, “Ha-ha-ha, Sengjin, engkau sedang mencari tahi
lalat di dagunya?” Dia lalu teringat akan teguran Si Raja Maling kepadanya dan
dia tertawa gembira.
Wajah kakek
berambut putih itu berubah. “Apa maksudmu, Kai-ong?” Sekarang dia memandang
kepada kakek raja pengemis itu penuh keheranan.
Memang tadi
dia tertegun melihat Yu Hwi, akan tetapi tentu saja terdapat perbedaan amat
besar antara Yu Hwi belasan tahun yang lalu sebagai anak kecil dengan Yu Hwi
sekarang yang telah menjadi seorang dara jelita yang sudah dewasa. Kalau dia
tadi memandang tertegun, bukan karena dia melihat persamaan, seperti persamaan
antara Yu Hwi dan mendiang ibu kandungnya yang dapat dikenal oleh Sai-cu
Kai-ong, tetapi karena dia merasa heran mengapa sahabatnya itu datang membawa
seorang gadis cantik yang sama sekali tak dikenalnya. Maka, mendengar ucapan
sahabatnya tentang tahi lalat di dagu, dia terkejut sekali.
“Maksudku,
Sengjin, bahwa yang berdiri di depanmu ini adalah Yu Hwi, cucuku yang dulu
kutitipkan kepadamu kemudian hilang diculik orang.”
Mendengar
ini, kakek berambut putih itu terkejut bukan main dan dia melangkah maju ke
depan, mendekati Yu Hwi dan memandang makin teliti. “Ahhhhh... terima kasih
kepada Thian bahwa engkau akhirnya dapat ditemukan dalam keadaan selamat, anak
yang baik!” katanya.
“Yu Hwi,
lekas beri hormat kepada Sin-siauw Sengjin, karena dia inilah sesungguhnya
gurumu sebelum engkau dilarikan oleh gurumu yang sekarang.”
Biar pun
hatinya meragu, apa lagi mengingat bahwa dia telah mencuri kitab-kitab milik
kakek sakti ini, namun Yu Hwi tidak berani membantah perintah kakeknya dan dia
lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu.
Sin-siauw
Sengjin tersenyum dan mengelus jenggotnya sambil mengangguk-angguk. Dengan
sikap lembut jari-jari tangannya meraba baju di punggung dara itu, kemudian
membetotnya. Ada tenaga kuat yang memaksa Yu Hwi bangkit berdiri lagi.
“Jangan
banyak sungkan, Yu-siocia. Silakan duduk,” katanya lembut.
Yu Hwi
merasa heran mendengar betapa di dalam suara itu terkandung penghormatan yang
agak berlebihan, seolah-olah kakek itu merendahkan diri dengan menyebutnya
Yu-siocia. Akan tetapi dia pun tidak banyak cakap dan duduk di atas bangku yang
ditunjuk, yaitu di depan kakek rambut putih itu.
“Kai-ong
yang baik, kenapa engkau tidak cepat-cepat memberi kabar kepadaku bahwa engkau
telah menemukan kembali cucumu?” Sin-siauw Sengjin menegur sahabatnya.
“Ketahuilah,
Sengjin, bahwa aku sendiri pun baru beberapa hari saja bertemu dengan cucuku,
dan setelah menurunkan ilmu-ilmu keluarga kami, aku lalu cepat mengajaknya
menghadapmu di sini.”
“Ahhh, kalau
begitu maafkan teguranku dan terima kasih atas perhatianmu, Kai-ong. Sekarang,
coba kau tolong beri tahu kepadaku, bagaimana engkau dapat menemukan cucumu
ini? Siapakah yang menculiknya?”
Sai-cu
Kai-ong menarik napas panjang. “Inilah jadinya kalau kita yang sudah tua-tua
ini selalu tidak mau kalah mengadu ilmu dengan orang lain. Apakah engkau ingat
akan Hek-sin Touw-ong?”
“Ah, Si Raja
Maling dari pantai Po-hai yang lihai itu?”
“Benar dia,
dan pernahkah engkau bentrok dengan dia?”
Sin-siauw
Sengjin lantas mengangguk-angguk. “Ah, aku masih menyesal sekali dengan
peristiwa itu. Kami sama-sama keras kepala dan tak mau mengalah sehingga
akhirnya dengan menyesal aku terpaksa melukainya... apa hubungannya dia dengan
urusan ini?”
“Bukan hanya
jasmaninya yang terluka, akan tetapi juga hatinya, Sengjin. Oleh karena merasa
penasaran, apa lagi ketika mendengar bahwa aku, sahabatnya yang akrab,
menyerahkan cucuku untuk menjadi muridmu, hatinya menjadi panas sekali dan
dialah yang menculik Yu Hwi, yang kemudian diangkatnya sebagai murid, bahkan
dianggap sebagai anak sendiri dan dicintanya.”
“Ahhh...!”
Wajah kakek tua itu berubah merah, akan tetapi kemarahannya itu segera
meluntur. “Salahku sendiri... semua sebab tentu berakibat...!”
“Engkau benar,
tidak perlu kita merasa penasaran karena Si Raja Maling itu tidak berniat buruk
terhadap Yu Hwi. Bahkan semua kepandaiannya telah diturunkannya kepada Yu Hwi
dan cucuku dicinta seperti anak sendiri. Dan kau tahu apa yang dikatakannya
kepadaku untuk disampaikan kepadamu? Bahkan kumpulan-kumpulan kitab palsumu
telah dicuri orang, dan pencurinya adalah... Yu Hwi sendiri!”
“Ahhh...?”
Sin-siauw Sengjin terbelalak memandang kepada Yu Hwi dan dara itu cepat
menundukkan mukanya.
“Harap
Locianpwe sudi memaafkan kekurang ajaranku...“
Kakek tua
renta itu tertawa pahit. “Aihhh, si maling itu sungguh tak kepalang membalas
sakit hatinya. Tidak, Yu-siocia, aku tidak marah dan sudah sepatutnya aku
menerirna hajaran itu agar aku tidak lagi memandang rendah kepandaian orang
lain.”
“Sengjin,
kenapa urusan penting dilupakan dan kita bicara urusan sendiri? Mana dia
Kam-kongcu? Peristiwa yang amat menggembirakan ini harus kita saksikan,
ha-ha-ha! Ingin aku melihat pertemuan antara dua orang calon pengantin yang
amat cocok dan sama-sama elok, bukan? Lekas kau persilakan Kam-kongcu keluar!”
Sin-siauw
Sengjin tersenyum gembira dan mengangguk-angguk. “Wah, aku sudah pikun,
Kai-ong. Dia tadi sedang tekun melatih sinkang bagian terakhir. Anak itu dengan
cepat telah dapat menguasai ilmu-ilmu yang paling sukar dan kini sudah
melampaui tingkatku. Semua ini berkat bimbinganmu, Kai-ong. Biar kupanggil
dia.”
Setelah
berkata begitu kakek itu menoleh ke kiri, lalu bibirnya bergerak mengeluarkan
suara lirih, akan tetapi suara lirih ini menggetarkan jantung Yu Hwi yang
merasa terkejut setengah mati dan cepat dia pun mengerahkan sinkang untuk
menahan jantungnya agar tidak terguncang hebat oleh pengaruh khikang suara itu.
“Kam-kongcu,
silakan keluar ke kamar tamu, di sini ada Suhu-mu dan tunanganmu!”
Suara itu
lirih saja, akan tetapi mengandung getaran amat kuat dan agaknya getaran itu
dapat menembus dinding. Hening sejenak setelah gema suara aneh itu lenyap,
kemudian lapat-dapat terdengar bisikan yang lirih pula akan tetapi terdengar
jelas oleh Yu Hwi.
“Aku datang,
Locianpwe...!”
Tak lama
kemudian terdengar suara langkah kaki yang halus dari pintu samping ruangan
tamu itu. Jantung di dalam dada Yu Hwi lantas berdebar tegang. Kalau dia
menurunkan bisikan hatinya yang biasanya wajar, polos dan lincah, tentu dia
akan memandang ke arah pintu itu untuk cepat melihat seperti apa gerangan
Kam-kongcu yang dikatakan sebagai tunangan atau calon suaminya itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment