Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 04
Siang In
meloncat ke depan sambil tersenyum. “Nah, jelas bahwa temanku memperoleh
kemenangan! Hayo, orang she Jiu. Sekarang kau majulah!”
Jiu Koan
masih terheran-heran oleh kekalahan temannya. Dia lalu memandang ke arah Syanti
Dewi dengan pandang mata penuh selidik. Apakah yang sudah terjadi, pikirnya.
Temannya itu bukan seorang lemah atau tolol, akan tetapi dalam pertandingan
tadi, temannya telah bersikap lebih dari pada tolol! Setelah dia memberi
isyarat dan si raksasa itu oleh teman-temannya diangkat minggir, Jiu Koan lalu
berkata, “Kemenangan temanmu mencurigakan!”
“Ehh-ehh-ehh,
sudah jelas kawanmu kalah, engkau masih mencari alasan!” Siang In mengejek.
“Benar, akan
tetapi sungguh tak wajar! Tendangan-tendangan yang dilakukan temanmu tadi
sebetulnya bukan apa-apa, sungguh tidak mungkin bisa mengalahkan kawanku itu
kalau saja dia dalam keadaan wajar. Mungkin dia sedang sakit atau ada sesuatu
yang mengganggunya.“
”Ah, omong
kosong! Sudah kalah masih mencari-cari alasan kosong. Orang she Jiu, ketahuilah
bahwa kami berdua adalah ahli-ahli menggunakan kaki untuk mengalahkan lawan!
Temanku tadi menggunakan keahliannya itu dan telah merobohkan kawanmu, maka
jangan banyak alasan. Kalah ya kalah saja, habis perkara!”
Muka Jiu
Koan menjadi merah sekali. “Bagus!” bentaknya marah. “Kalau begitu coba kau
kalahkan aku dengan keahlian kakimu itu!”
Diam-diam
Siang In harus mengakui kecerdikan orang ini, akan tetapi dia tersenyum dan
menjawab, “Baik, engkau lihat saja, aku tidak akan menggunakan kedua tanganku
untuk mengalahkanmu, cukup dengan kedua kakiku saja!”
Ucapan dara
ini dianggap terlalu sombong oleh Jiu Koan, maka kemarahannya meluap dan dia
membentak, “Bocah sombong, kau boleh lihat betapa aku akan menangkap kedua
kakimu dan merobek celanamu agar kau tidak bersikap sombong lagi!”
Baru saja
orang ini berkata demikian, tiba-tiba kaki kiri Siang In yang menjadi marah
mendengar kata-kata itu sudah melayang dengan kecepatan yang tidak
terduga-duga.
“Plakkk!”
Kaki itu
sudah menendang dagu Jiu Koan sehingga orang ini terhuyung ke belakang sambil
memegangi dagunya, matanya terbelalak kaget dan juga marah. Dia kemudian
menggereng seperti seekor harimau terluka, kemudian dia menyerbu ke depan
dengan kedua tangannya menyerang dari kanan kiri, menghujamkan pukulan dan
cengkeraman bertubi-tubi….
Namun, kini
Siang In sudah mengetahui bahwa lawannya itu lebih besar lagak dari pada
kepandaiannya, maka dengan mudah saja ia menggunakan ginkang-nya yang istimewa
untuk mengelak ke kanan kiri. Jika menghadapi seorang lawan seperti ini saja
memang baginya tidak perlu menggunakan kedua tangan, apa lagi menggunakan
sihirnya. Dia mengelak sambil membalas dengan tendangan kakinya dan tiap kali
kakinya bergerak, kalau tidak ada bagian tubuh yang kena tertendang, tentu
lawannya itu terhuyung ketika menangkis, karena tendangan kaki dara itu
mengandung kekuatan yang amat hebat.
Baru saja
berjalan belasan jurus pertandingan itu, Jiu Koan sudah terdesak terus dan tak
mampu menyerang lagi karena kedua kaki lawannya bergerak seperti kilat
cepatnya, bergantian kanan kiri menyambar dan menghajarnya. Memang Siang In
tadi berkata tidak berlebihan bahwa dia adalah seorang ahli menggunakan
sepasang kakinya. Oleh gurunya ia telah diberi ilmu silat yang mendasarkan atas
permainan kaki dan dinamakan ilmu tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin
Puyuh) hingga kedua kakinya dapat melakukan tendangan berantai yang
bertubi-tubi.
Terdengar
bunyi bertubi-tubi ketika tubuh Jiu Koan dihajar oleh tendangan-tendangan kaki
yang kecil mungil itu. Tentu saja kini keadaannya berbeda dengan ketika Syanti
Dewi melawan raksasa tadi. Syanti Dewi yang pernah belajar ilmu silat tentu
mengerti pula bagaimana cara untuk menggunakan kaki menendang, akan tetapi dia
sama sekali bukanlah ahli seperti Siang In. Tadi dia dengan mudah menendangi
tulang kering kaki lawannya karena lawannya itu tidak dapat melihatnya oleh
kekuatan sihir Siang In. Kini, biar pun Jiu Koan berusaha mengelak dan
menangkis, namun datangnya tendangan-tendangan yang bertubi dan amat cepat itu
sukar dihindarkan dan akhirnya, sebuah tendangan kilat bersarang di perutnya.
“Bukkk!”
Dan kini
tubuh Jiu Koan terjengkang, terbanting ke atas tanah di mana dia meringis dan
mengaduh-aduh, memegangi perutnya yang menjadi mulas dan nyeri bukan main.
“Tangkap
mereka! Bunuh...!” Jiu Koan berteriak-teriak.
Dia bangkit
sambil memegangi perutnya, kemudian tangan kanannya mencabut golok yang
tergantung di pinggangnya. Juga semua anak buahnya mencabut senjata
masing-masing. Melihat ini, Syanti Dewi menjadi cemas juga dan cepat dia
mendekati Siang In.
Akan tetapi
Siang In malah melangkah maju. “Kalian ini anggota-anggota Perkumpulan Hati
Naga, apakah tidak mengenal seekor naga asli? Lihat baik-baik siapa aku!”
Syanti Dewi memandang
penuh perhatian kepada tiga belas orang itu dan terjadilah keanehan. Tiga belas
orang itu terbelalak memandang kepada Siang In, muka mereka menjadi pucat
sekali, kemudian didahului oleh Jiu Koan mereka membuang senjata mereka dan
lari tunggang langgang! Syanti Dewi cepat menoleh dan dia melihat betapa dara
itu masih biasa saja tubuhnya, akan tetapi kepalanya yang cantik jelita itu
kini telah berubah menjadi kepala seekor naga yang menyeramkan! Tentu saja
Syanti Dewi juga ketakutan dan menjauhkan dirinya. Karena dia tidak langsung
dikuasai sihir, maka dia hanya melihat kepala Siang In saja yang berubah
menjadi naga, tidak seperti tiga belas orang itu yang melihat seekor naga yang
lengkap, yang mengancam untuk menerkam mereka.
“Enci, kau
kesinilah, aku tidak apa-apa,” kata Siang In tersenyum lucu dan ketika Syanti
Dewi menoleh, ternyata Siang In sudah biasa kembali.
“Aihhh, kau
menakutkan aku...,“ katanya.
Pada saat
itu pula terdengar suara melengking panjang dan suara ini disusul bentakan,
“Kembalilah kalian penakut-penakut menjemukan!”
Mendengar
suara ini, Jiu Koan dan dua belas orang anak buahnya berhenti dan mereka cepat
menjura kepada seorang pemuda yang baru muncul.
“Ampun,
Kongcu... ada... ada siluman...,” Jiu Koan berkata akan tetapi dia menoleh dan
memandang ke arah dua orang gadis itu, dan ternyata mereka adalah dua orang
gadis cantik yang tadi dan tidak nampak ada naga di situ. Tanpa mempedulikan
Jiu Koan lagi pemuda tampan itu segera bertindak menghampiri Siang In dan
Syanti Dewi.
Dua orang
dara itu pun memandang penuh perhatian dan mereka dapat menduga bahwa tentulah
orang ini yang disebut kongcu dan menjadi majikan atau ketua dari Perkumpulan
Liong-sim-pang yang markasnya seperti benteng di puncak bukit itu.
Ketika
pemuda itu yang bukan lain adalah Hwa-i-kongcu Tang Hun melihat bahwa yang
ribut-ribut di situ adalah dua orang dara yang demikian cantik jelitanya,
diam-diam dia merasa terkejut, terheran dan juga girang sekali. Jantungnya
sudah bergoncang hebat karena dia harus mengakui bahwa selama hidupnya belum
pernah dia melihat wanita sedemikian hebat dan cantiknya seperti dua orang dara
ini! Sejenak dia bengong dan pandangan matanya seperti terasa oleh dua orang
gadis itu, menggerayangi wajah dan tubuh mereka.
Siang In
memandang sambil tersenyum, penuh perhatian. Pemuda itu memang tampan, bahkan
terlalu tampan dan wajah yang dibedaki putih, alis yang dipertebal dengan cat
alis, bibir yang di beri sedikit pemerah bibir dan pipi yang agak kemerahan itu
mendekati kecantikan wajah seorang wanita. Pemuda itu pesolek sekali,
pakaiannya serba indah dan terbuat dari sutera mahal, bajunya
berkembang-kembang dan biar pun pemuda itu berdiri dalam jarak empat meter darinya,
dia masih dapat mencium bau wangi semerbak datang dari tubuh pemuda itu!
Diam-diam
Siang In bergidik. Pemuda ini betul-betul mengerikan! Usianya tentu tidak lebih
dari dua puluh tahun, pikirnya. Dia tidak tahu bahwa Tang Hun sesungguhnya
sudah berusia tiga puluh tahun.
“Enci, mari
kita pergi,” kata Siang In, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mengajak untuk
turun kembali dari lereng bukit itu karena dia merasa tidak enak menyaksikan
pandang mata pemuda pesolek yang mengerikan itu.
“Eh-eh,
harap perlahan dulu, Ji-wi Siocia (Nona Berdua)...!” Terdengar suara halus dan
ada angin menyambar dari samping mereka.
Kembali
Siang In terkejut karena ternyata pemuda pesolek itu kini telah berdiri di
depan mereka, tanda bahwa pemuda itu memiliki ginkang yang hebat juga! Sekarang
mereka berhadapan dekat dan bau harum semerbak makin menyengat hidung kedua
orang dara itu.
Siang In
pura-pura tidak mengenal orang itu dan dia bertanya, “Siapa engkau dan perlu
apa engkau menghadang perjalanan kami?”
Hwa-i-kongcu
Tang Hun menjura dengan sikap hormat dan dengan tersenyum ramah dia berkata,
“Harap Ji-wi Siocia suka memaafkan anak buah kami jikalau mereka itu lancang
dan membikin Jiwi tidak senang hati.”
“Hemmm, anak
buahmukah mereka itu?”
“Benar,
Nona. Saya adalah Tang Hun, majikan atau ketua dari Liong-Sim-pang dan di atas
itu adalah tempat tinggal kami”.
“Ah, kiranya
begitu? Memang anak buahmu tadi kurang ajar terhadap kami, akan tetapi telah
kami beri hajaran kepada mereka. Kalau kau hendak membela mereka...“
“Aihhh, tidak
sama sekali, Nona! Bahkan kalau mereka itu berani kurang ajar terhadap
tamu-tamu kami yang terhormat, mereka patut dihukum. Jiu Koan, ke sini kau!”
pemuda itu membentak dan Jiu Koan, komandan pasukan itu cepat-cepat datang
menghampiri ketuanya dengan sikap takut dan hormat.
“Siap,
Kongcu,” katanya dengan berdiri tegak seperti prajurit.
“Aku melihat
tadi engkau dan seorang lagi bertanding melawan Nona ini. Siapa yang seorang
lagi? Panggil sini!”
Jiu Koan
berteriak memanggil temannya, si raksasa yang tadi telah digajul kedua tulang
kering kakinya oleh Syanti Dewi. Raksasa ini pun datang menghadap dengan sikap
hormat dan takut.
“Mereka
berdua inikah yang telah mengganggu, Ji-wi?” Tang Hun bertanya sambil kini
memandang kepada Syanti Dewi.
Puteri ini
yang dipandang oleh sepasang mata yang mempunyai sinar tajam dan aneh itu
bergidik lalu mengangguk. Sinar mata pemuda ini amat tajam dan aneh, hampir
setajam mata Siang In, akan tetapi kalau mata Siang In tajam lembut dan jujur,
mata orang ini tajam akan tetapi mengandung gairah nafsu-nafsu yang mengerikan.
“Baik,
kalian lihatlah, Ji-wi Siocia. Aku menghukum mereka karena kekurang ajaran
mereka. Kupenggal kepala mereka!”
Syanti Dewi
terkejut bukan main melihat pemuda itu mencabut pedang dan dengan satu kali
gerakan kilat, pedangnya itu berkelebat membacok ke arah leher dua orang itu.
“Wuuuttttt...
crak-crakkk!” Dan leher kedua orang itu terbabat putus, lalu kepala mereka
terpental dan darah muncrat-muncrat!
“Ihhh...!”
Syanti Dewi menjerit dan meloncat ke belakang dengan hati penuh kengerian. Akan
tetapi Siang In memegang lengannya dan berbisik, suaranya berwibawa sekali.
“Tidak
apa-apa, Enci. Lihat lagi baik-baik, badut itu hanya membohongi kita.”
Syanti Dewi
terheran, mengangkat mukanya dan benar saja. Dia melihat dua orang tadi masih
berdiri dan tidak terjadi sesuatu dengan leher mereka! Pemuda itu tersenyum.
“Tang-pangcu,
kami bukan anak kecil. Tidak perlu kau menipu kami dengan sulapan yang hanya
pantas kau pertunjukkan di pasar itu. Dan kami pun tidak ingin melihat dua ekor
babi ini disembelih!” Berkata demikian, Siang In menggerakkan tangan ke arah
dua orang anak buah Liong-sim-pang itu dan kini pemuda itu terbelalak dan
meloncat ke belakang karena tiba-tiba dia melihat dua orang pembantunya itu
berubah menjadi dua ekor babi!
“Aihhhhh...,
bukan main...!” Dia lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya, kelihatan
mengerahkan sinkang dan seluruh tenaga batinnya, barulah dia melihat kedua
orang pembantunya itu kembali menjadi manusia seperti biasa.
“Hebat...!”
Dia berseru lagi dan sekarang dia saling pandang dengan Siang In. Dia lalu
menjura. “Engkau amat hebat, Nona. Marilah kita naik ke puncak, kita bicara di
sana. Ji-wi adalah tamu-tamu agung kami.”
Akan tetapi
Siang In menggeleng kepala. “Terima kasih. Kami akan pergi saja.”
“Mana bisa
begitu, Nona? Bukankah kalian sudah naik sampai ke sini? Kemana lagi jika bukan
hendak mengunjungi Liong-sim-pang?” Pemuda pesolek itu bertanya heran.
Siang In
menggeleng kepala dan berkata, “Maaf, sesungguhnya bukan niat kami untuk
mengunjungi Liong-sim-pang atau siapa pun juga. Dari bawah bukit tadi kami
mengira bahwa yang di atas itu adalah sebuah dusun atau kota, maka hendak kami
kunjungi. Kemudian kami bertemu dengan orang-orangmu dan terjadi salah paham.
Sekarang biarkan kami pergi dan kami akan menganggap Liong-sim-pang perkumpulan
orang-orang gagah yang tidak suka mengganggu wanita.”
Pemuda itu
menjura dengan hormat. “Maaf, Ji-wi Siocia. Mungkin orang-orangku telah berlaku
lancang, tetapi sekali lagi aku mengundang kalian menjadi tamu kehormatan kami.
Hari sudah hampir malam dan Ji-wi akan kemalaman di jalan. Maka sebaiknya
bermalam ditempat kami ini.”
Akan tetapi,
bujukan ini tak dapat menundukkan hati dua orang gadis itu. Dari pandang mata
pemuda itu saja mereka sudah dapat menduga bahwa pemuda seperti ini tidak boleh
dipercaya.
“In-moi,
mari kita pergi saja,” Syanti Dewi berkata.
“Pangcu,
kami berterima kasih atas undangannmu, akan tetapi kami akan pergi saja.
Selamat berpisah…”
Pada saat
itu, terdengar suara ketawa yang melengking panjang dan terkejutlah Siang In
karena dia mengenal suara ini. Syanti Dewi juga terkejut karena ada suara
ketawa namun tiada orangnya. Dia menoleh ke arah Siang In dan mengikuti arah
pandangan mata temannya itu. Segera tampak olehnya ada asap hitam yang
bergumpal-gumpal dan bergulung-gulung yang datang dari atas, kemudian setelah
tiba di situ, asap itu membuyar dan tampaklah seorang nenek tua India yang
berpakaian serba hitam, sudah tua sekali, berdiri di situ. Syanti Dewi terkejut
karena dia pun mengenal nenek ini yang dulu merupakan pembantu dan guru
mendiang Tambolon, raja liar yang sakti itu.
“Subo...!”
Siang In juga cepat memberi hormat dengan menjura ke arah nenek itu.
Di dalam
cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan dengan jelas siapa adanya
nenek ini. Seorang nenek India ahli sihir yang berilmu tinggi sekali, isteri
dari See-thian Hoatsu, yaitu guru Siang In. Oleh karena itu, Siang In menyebut
subo (ibu guru) kepada nenek itu.
“Ehh, ehhh,
Subo, siapakah Nona ini dan mengapa menyebutmu Subo?” Hwa-i-kongcu bertanya
dengan heran, kaget dan juga girang.
“Ho-ho, dia
itu adalah murid See-thian Hoatsu,” kata Si Nenek sambil tertawa sehingga
mulutnya yang tidak ada giginya sama sekali itu terbuka seperti gua gelap.
“Aih,
kiranya masih Sumoi-ku sendiri!” Tang Hun berseru girang.
“Hehh,
bocah, siapa namamu? Aku sudah lupa lagi!” Nenek itu dengan kata-katanya yang
logatnya kaku bertanya.
“Teecu
(Murid) Teng Siang In...“
“Oya, Siang
In! Mana tua bangka gurumu itu? Biar kuketuk kepalanya, hoho!” Durganini
celingukan ke kanan kiri.
“Suhu sedang
bertapa di Goa Tengkorak di Po-hai, Subo...“
“Hi-hik, dia
tentu akan mampus dan menambah jumlah tengkorak di sana.” Tiba-tiba dia
memandang ke arah Syanti Dewi yang sejak tadi menunduk dengan jantung berdebar.
“Hei! Ini... bukankah ini Puteri Bhutan itu?”
Siang In
terkejut, tidak menyangka bahwa nenek itu mengenali Syanti Dewi. Memang
Durganini seorang yang aneh, kadang-kadang pikun sekali, akan tetapi
kadang-kadang ingatannya tajam.
“Benar,
Subo...“
“Wah,
kebetulan. Tang Hun, Inilah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan! Dialah yang paling
tepat menjadi permaisurimu. Hayo bawa dia!”
Tang Han
juga terkejut dan girang sekali. Memang sudah lama dia mencari wanita yang
kiranya cocok untuk menjadi isterinya yang syah, yang dapat dibanggakannya.
Ketika tadi bertemu dengan dua orang dara ini, seketika dia telah jatuh cinta
kepada keduanya dan wanita-wanita seperti mereka inilah yang kiranya pantas
menjadi isterinya. Siapa tahu, yang satu masih sumoi-nya sendiri dan yang lain
adalah Puteri Bhutan yang amat terkenal itu karena pernah nama puteri itu
disebut-sebut oleh seluruh dunia kang-ouw sebagai puteri asing yang pernah
menggegerkan negara. Kiranya orangnya demikian cantik seperti bidadari dan kini
gurunya sendiri menganjurkan agar dia memperisteri puteri itu! Tentu saja tanpa
disuruh untuk kedua kalinya, Tang Hun sudah maju dan mengulur tangan hendak
menangkap lengan Puteri Syanti Dewi.
“Tahan...!”
Siang In berseru marah.
“Ho-ho,
Siang In, kau mau apa? Sudah sepantasnya kau datang membawakan calon isteri
untuk Suheng-mu! Bawa dia, Tang Hun,” kata Durganini.
Tang Hun
menyambar lengan Syanti Dewi. Puteri ini tentu saja tidak sudi menyerah begitu
saja. Dia mengelak dan tangannya menampar ke arah muka Tang Hun. Akan tetapi
pemuda ini tertawa, membiarkan pipinya ditampar dan pada saat itu juga, dia
telah menotok Syanti Dewi yang menjadi lemas dan memondong tubuh yang padat
menggairahkan itu.
“Keparat...!”
Siang In menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba dia berhenti sebab ada asap
hitam menghadangnya seperti tirai. Dia tidak dapat maju, hanya melihat Syanti
Dewi dipondong dan dibawa lari oleh pemuda itu naik ke puncak bukit. Sedangkan
kini dari atas datang banyak sekali anak buah Liong-sim-pang menuju ke tempat
itu.
“Hi-hik,
bocah tolol. Apakah engkau mau melawan aku?” Durganini tertawa mengejek.
Hati Siang
In mendongkol sekali. Sesungguhnya dia tidak takut menghadapi nenek ini karena
dia maklum bahwa biar pun nenek ini memiliki sihir yang amat hebat, melebihi
kepandaian gurunya sendiri, namun dalam hal ilmu silat dia dapat mengatasinya
dan dia sudah mendapat petunjuk dari See-thian Hoat-su bagaimana untuk
melindungi dirinya sendiri dari serangan ilmu sihir lawan yang lebih handal.
Akan tetapi, anak buah Liong-sim-pang begitu banyak. Mana mungkin dia seorang
diri akan dapat menang? Bahkan dia tentu akan tertawan sehingga celakalah
mereka berdua kalau dia juga sampai tertawan. Tidak, dia harus tetap bebas agar
dapat mencari akal untuk menolong Syanti Dewi.
“Subo, kau
terlalu!” teriaknya. “Kau hanya berani menggangguku. Suhu berkata bahwa kalau
Suhu bertemu Subo, kalau Subo berani datang ke Goa Tengkorak di pantai Po-hai,
Suhu akan menggunduli kepalamu!”
Nenek itu
menjerit, suaranya melengking saperti suara iblis dari neraka layaknya. Akan
tetapi Siang In yang sudah menduga bahwa nenek itu akan marah, telah
membalikkan tubuhnya dan mengerahkan ginkang-nya untuk lari secepatnya menuruni
bukit. Nenek itu mengejar, akan tetapi seperti telah diduga oleh Siang In,
nenek yang sudah amat tua itu tak mampu menyusulnya dan dari belakang juga tak
mampu menggunakan sihirnya.
Dia sudah
tahu dari gurunya bahwa nenek Durganini mempunyai pantangan besar, yaitu tidak
mau diganggu rambutnya yang dibanggakannya, rambut yang panjang dan sampai dia
tua renta pun rambutnya tetap hitam. Maka secara sengaja Siang In tadi
mengatakan bahwa gurunya hendak menggunduli kepalanya, maka tentu saja nenek
itu menjadi marah karena merasa dihina dan dengan gemas dia mengejar Siang In.
Karena dia
tak mampu menyusul dara yang larinya cepat sekali itu, sehingga napasnya sampai
hampir putus tetap saja tidak mampu menyusul, nenek yang marah sekali ini
melanjutkan perjalanannya menuju ke pantai Po-hai untuk mencari bekas suaminya,
See-thian Hoat-su yang katanya hendak menggunduli kepalanya. Ia hendak membalas
penghinaan itu kepada si kakek yang katanya bertapa di Goa Tengkorak. Dan
memang inilah maksud Siang In membohongi nenek itu agar si nenek sakti itu
meninggalkan benteng Liong-sim-pang!
Malam itu,
Siang In duduk dengan bingung dan termenung di bawah bukit, di dalam sebuah
hutan. Hatinya gelisah sekali dan kadang-kadang dia mengepal tinjunya. Dia
bersumpah bahwa kalau sampai pemuda pesolek murid Durganini itu mengganggu
Syanti Dewi, memperkosa puteri itu, dia akan menyiksa dan membunuhnya!
Tetapi
hatinya agak lapang ketika dia menyelidiki pada keesokan harinya, menangkap
seorang penjaga di dekat tembok benteng dan memaksanya mengaku, dia mendengar
bahwa Hwa-i-kongcu tidak mengganggu Sang Puteri, hanya mengumumkan bahwa dua
minggu lagi Hwa-i-kongcu akan merayakan pernikahannya dengan Syanti Dewi dan mengundang
semua kenalan dan tokoh-tokoh kang-ouw sambil menanti kembalinya Nenek
Durganini yang semalam telah pergi entah ke mana.
Mendengar
ini Siang In kemudian mencari akal untuk dapat menolong puteri itu dari
cengkeraman pemuda pesolek itu. Dia tidak berani sembrono memasuki benteng
untuk menolong sendiri, karena selain pemuda pesolek itu juga pandai ilmu sihir
sehingga mungkin sihirnya tidak banyak menolong, juga dia mendengar bahwa di
dalam benteng itu Hwai-kongcu mempunyai pembantu-pembantu banyak orang pandai
dan anak buah Liong-sim-pang juga tidak kurang dari lima puluh orang banyaknya.
Dia harus mencari akal dan agaknya, menurut perhitungannya, sebelum hari
pernikahan tiba, Syanti Dewi akan aman. Pemuda pesolek itu tentu tidak akan mau
merusak keadaan dan suasana pengantin baru, tentu tak akan memperkosa gadis
yang dicalonkannya menjadi isterinya yang syah…..
***************
Sekarang
kita tinggalkan dulu Teng Sian In yang sedang mencari akal untuk dapat
menyelamatkan Syanti Dewi dan marilah kita kembali mengikuti pengalaman Suma
Kian Lee yang telah kita tinggalkan, karena dua peristiwa itu sejalan dan agar
jangan sampai salah satu di antaranya tertinggal jauh.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, terjadi keributan di taman istana Gubernur
Ho-nan, di mana Gubernur Kui Cu Kam, yaitu Gubernur Ho-nan, menyambut datangnya
utusan kaisar yang bukan lain adalah putera kaisar sendiri, yaitu Pangeran Yung
Hwa yang masih muda belia itu.
Keributan di
dalam taman terjadi ketika ada penghinaan dari mereka yang bersikap anti kaisar
kepada utusan sehingga mengakibatkan pertempuran antara para pengawal utusan
dan pihak yang anti kaisar. Pertempuran yang hebat terjadi antara jagoan-jagoan
Ho-nan yang diam-diam menentang kaisar dan para pengawal utusan. Jagoan-jagoan
Ho-nan dibantu oleh seorang tokoh kaum sesat yang berjuluk Mauw Siauw Mo li
yang cantik genit, sedangkan para pengawal istana itu dibantu oleh
jagoan-jagoan Gubernur Ho-pei yang bertugas sebagai pengiring utusan kaisar ke
Ho-nan.
Seperti
telah kita ketahui, diam-diam Suma Kian Lee hadir pula di dalam pesta itu dan
menyaksikan pertempuran-pertempuran tanpa campur tangan. Akan tetapi ketika dia
melihat Pangeran Yung Hwa, utusan kaisar itu melarikan diri dikejar oleh
Perwira Su Kiat yang pernah bentrok dengan dia di celah-celah tebing ketika dia
hendak ditangkap tempo hari. Tentu saja Suma Kian Lee tidak dapat tinggal diam
lagi. Betapa pun juga, ayahnya adalah menantu kaisar dan dia terhitung adalah
cucu kaisar.
Biar pun
sudah amat jauh karena yang berdarah keluarga kaisar adalah ibu tirinya, ibu
Kian Bu, akan tetapi Pangeran Yung Hwa itu masih sedarah dengan Nirahai, ibu
tirinya, dengan demikian masih ada hubungan darah pula dengan Suma Kian Bu,
adik tirinya! Oleh karena itu pangeran ini harus ditolongnya, apa lagi pada
saat itu Pangeran Yung Hwa merupakan seorang utusan kaisar yang sebetulnya
tidak boleh diganggu oleh siapa pun karena mengganggu utusan sama dengan
mengganggu yang mengutusnya.
Pada saat
itu, Pangeran Yung Hwa hampir terpegang oleh perwira tinggi besar bernama Su
Kiat itu yang telah mengulur tangan kanannya yang panjang untuk menangkap
pundak Sang Pangeran sambil berseru, “Pangeran, perlahan dulu...!”
“Plakkk!”
Dari
belakang Kian Lee menampar perlahan pundak Su Kiat, akan tetapi cukup hebat
akibatnya karena tubuh yang tinggi besar itu terpelanting dan pingsan seketika!
“Keparat,
kiranya engkau pun mata-mata dari Ho-pei!” terdengar bentakan keras dan
tiba-tiba ada angin menyambar dahsyat dari belakangnya.
Kian Lee
cepat mengelak dan ternyata yang menyerangnya itu adalah kakek berambut merah
tadi, yang menyerangnya dengan guci araknya. Hebatnya, bukan hanya guci arak
itu yang menyambar ke arah kepalanya, tetapi juga dari mulut guci itu muncrat
arak wangi yang seolah-olah hidup, yang menyambar ke arah matanya! Namun
serangan dari kakek bernama Wan Lok It dan berjuluk Ho-nan Ciu-lo-mo ini dengan
cepat dapat dihindarkan oleh Kian Lee.
“Singgg...!”
Sinar hijau menyambar dari arah kiri Kian Lee.
Sekali ini
Kian Lee terkejut karena pedang yang bersinar hijau itu benar-benar amat
berbahaya, sangat cepat dan mendatangkan angin dingin. Dia segera membuang diri
dan menggerakkan kakinya untuk menendang agar si pemegang pedang tidak dapat
melanjutkan serangan. Pemegang pedang itu dengan gesitryya dapat pula mengelak
dan ketika Kian Lee memandang, ternyata penyerangnya itu adalah wanita cantik
yang agaknya menjadi pembesar para panglima di Ho-nan, yaitu Mauw Siauw Mo-li.
Kian Lee
masih diserang oleh beberapa orang lain yang memiliki kepandaian cukup tinggi,
namun dia masih dapat mengelak dan balas memukul tanpa menggunakan pukulan maut
karena memang dia tidak ingin bermusuhan dengan para jagoan ini dan kalau tadi
dia turun tangan hanyalah karena dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan diri
dan dikejar oleh Perwira Su Kiat.
Sambil
menghadapi pengeroyoknya yang lihai dan jumlahnya ada enam orang itu, Kian Lee
memperhatikan keadaan di situ dan melihat bahwa Pangeran Yung Hwa sudah
digandeng oleh Gubernur Kui Cu Kam dari Ho-nan, dan gubernur ini bersikap
seolah-olah hendak menghentikan pertempuran dan hendak melerai, lalu menarik
Pangeran Yung Hwa untuk menyelamatkan diri. Juga dia melihat Gubernur Hok Thian
Ki, yaitu Gubernur Ho-pei yang sudah tua itu berlari-lari dan dikejar oleh
beberapa orang jagoan Ho-nan pula. Kian Lee menjadi bingung, akan tetapi karena
dia sendiri pun dikepung dan dikeroyok, maka dia harus menyelamatkan diri
sendiri lebih dulu.
Pemuda
perkasa itu memang tadi salah menduga. Dia melihat Pangeran Yung Hwa melarikan
diri karena pangeran ini hendak menyingkir dari keributan dan pertempuran itu.
Dan Perwira Su Kiat mengejarnya bukan untuk mencelakai pangeran itu. Gubernur
Ho-nan belumlah begitu nekat untuk mencelakakan utusan kaisar, bahkan gubernur
itu hendak melindungi Pangeran Yung Hwa agar jangan sampai pangeran itu ikut
celaka dalam penyergapan yang sebenarnya ditujukan untuk menawan Gubernur
Ho-pei. Dia ingin menawan Gubernur Hok Thian Ki dan mempergunakannya sebagai
sandera untuk dapat menguasai sebagian daerah Ho-nan di perbatasan antara
Ho-nan dan Ho-pei.
Gubernur Hok
Thian Ki yang melihat bahaya cepat berusaha menyelamatkan diri, lari dan
dilindungi oleh Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw, yaitu si mata satu tinggi besar
yang merupakan pengawal pribadinya, juga dibantu dua orang pengawal lain.
Belasan orang pengawal Ho-nan mengejarnya dan ditahan oleh Tok-gan Sin-ciang
bersama dua orang kawannya, sedangkan Gubernur Hok yang tua itu terus melarikan
diri, menyelinap di sebuah lorong gelap. Melihat betapa para pengawalnya terus
mundur sambil menahan serbuan para pengeroyoknya, Gubernur Hok cepat-cepat
menyelinap memasuki sebuah kamar dan segera menutupkan pintu kamar itu.
“Taijin,
cepat ke sini...“ Suara halus ini mengejutkannya.
Gubernur itu
tadi tidak memperhatikan dan mengira kamar itu kosong. Tetapi ternyata kamar
itu kamar tamu yang tadinya ditinggali oleh Kian Lee, dan wanita muda yang
menegurnya itu bukan lain adalah Phang Ciu Lan, yaitu pelayan cantik yang
melayani Kian Lee! Gubernur Hok membalikkan tubuh dan siap untuk melawan, akan
tetapi ketika melihat bahwa yang menegurnya hanya seorang pelayan muda yang
cantik, hatinya menjadi lega.
“Sssttttt...
harap kau diam dan menolongku... aku hanya ingin bersembunyi... mereka mengejar
untuk membunuhku,” katanya terengah-engah oleh karena tadi dia berlari-lari
dengan hati tegang. Di luar kamar masih terus terdengar suara beradunya senjata
dan teriakan-teriakan orang bertempur, akan tetapi masih agak jauh.
“Saya
mengerti, Taijin. Biar pun saya hanya pelayan di sini, tetapi saya
memperhatikan semua dan mengenal Taijin. Bukankah Taijin adalah Hok-taijin,
gubernur dari Ho-pei?”
“Benar, anak
baik. Biarkan aku bersembunyi di sini sampai aman.“
“Justeru
kalau bersembunyi di sini tidak akan aman, Taijin. Sebaiknya Taijin cepat dapat
pergi dari tempat ini, pergi dari Ho-nan dan kembali ke utara.”
“Tapi...
tapi bagaimana?”
“Saya akan
membantu Taijin, tetapi Taijin harus menyamar. Marilah, Taijin.“
Dengan tabah
sekali wanita muda itu lalu membantu Gubernur Ho-pei itu melakukan penyamaran.
Dicukurnya kumis gubernur tua itu dan jenggotnya yang panjang dipotong pendek,
rambut kepala diawut-awut dan topi kebesarannya dlilepas, lalu rambutnya
digelung biasa secara sederhana dan diikat dengan kain kepala yang kotor.
Kemudian Cui Lai menyerahkan seperangkat pakaian tukang kebun dan menyuruh
gubernur itu berganti pakaian sebagai tukang kebun.
“Bagaimana
dengan Pangeran...?” Gubernur yang setia itu mengeluh dan merasa khawatir
sekali.
“Jangan
khawatir, Taijin. Saya yakin Pangeran yang menjadi utusan Kaisar tidak akan
apa-apa“
“Eh, engkau
seorang pelayan, bagaimana tahu ?”
“Saya
memperhatikan dan mendengarkan percakapan mereka, Taijin, antara gubernur dan
Ouw-teetok dan juga para pengawal. Pangeran tidak akan diganggu, akan tetapi
memang Paduka yang akan ditawan.“
“Celaka...!”
“Jangan
khawatir, kini tidak akan ada yang mengenal Paduka. Mari, saya antar ke luar,“
Cui Lan menggandeng tangan pembesar tua itu.
“Nanti
dulu...!” Pembesar itu berhenti, lalu membalik kepada Cui Lan dan dirangkulnya
dara itu penuh keharuan. “Nona... kau seorang pelayan, akan tetapi... ahh,
berhasil atau tidak usahamu ini percayalah bahwa aku Hok Thian Ki selamanya tak
akan melupakan pertolonganmu ini!”
Cui Lan
menjadi terharu. “Sudahlah, Taijin. Saya berani melakukan ini karena saya
memperoleh suatu keyakinan dari seorang yang saya puja bahwa hidup haruslah
diisi dengan perbuatan yang berguna, yaitu antaranya menolong orang yang berada
di pihak yang benar. Marilah!”
Dia
menggandeng tangan pembesar itu dan ditariknya keluar, lalu mereka menyelinap
di antara rumah-rumah dan pohon-pohon serta di antara orang-orang yang masih
ribut bertempur tanpa ada yang mempedulikan mereka. Siapa juga yang akan
mempedulikan seorang pelayan dan seorang tukang kebun di saat geger seperti
itu?
“Kita harus
melalui taman...”
“Tempat
pertempuran itu?” Gubernur Hok terkejut.
“Benar, akan
tetapi hanya di sana terdapat pintu belakang untuk lolos. Pula, sebagai tukang
kebun berada di taman, Paduka tidak akan menarik perhatian dan kecurigaan.
Mariliah, Taijin...”
Mereka
berjalan terus memasuki taman di mana benar saja masih terjadi pertempuran
hebat antara para pengawal utusan kaisar, para jagoan Ho-pei serta para
prajurit pengawal Ho-nan yang sangat banyak. Juga nampak Kian Lee masih
dikurung oleh Mauw Siauw Mo-li, Bun Hok Ti pengawal Ouw-teetok yang mata
keranjang itu, Ho-nan Ciu-lo-mo jagoan dari Ho-nan, dan masih banyak lagi
tokoh-tokoh pengawal yang berkepandaian tinggi karena mereka melihat betapa
lihainya pemuda tampan yang tadinya menjadi tamu mereka akan tetapi ternyata
kini membantu pihak Ho-pei itu.
Kian Lee
memang sengaja mengamuk untuk menarik tenaga-tenaga yang terkuat dari Ho-nan
agar mengeroyoknya sehingga dengan demikian, pihak Ho-pei akan dapat meloloskan
diri. Dengan ilmunya yang tinggi, kalau mau tentu saja dia bisa mengirim
pukulan-pukulan maut dan menewaskan banyak orang. Akan tetapi pemuda ini tidak
bermaksud membunuh, hanya merobohkan saja beberapa orang tanpa membunuhnya.
Tetapi menghadapi orang-orang seperti Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo,
tentu saja tidak akan mudah merobohkan mereka tanpa membunuhnya.
Sambil
menghadapi pengeroyokan itu, menggunakan kaki tangannya untuk menangkisi
senjata-senjata yang menyambar, juga mengelak ke sana-sini, pandang mata Kian
Lee masih terus mencari-cari. Bagaimana dengan Pangeran Yung Hwa? Bagaimana
pula dengan Gubernur Ho-pei? Demikian pikirnya dengan hati khawatir juga.
Tiba-tiba
dia mengenali wajah Cui Lan. Terkejutlah dia. Apa yang dilakukan oleh gadis
pelayan cantik itu di dalam taman, tempat yang telah menjadi medan pertempuran
itu? Dan siapa yang jalan tergesa-gesa bersama pelayan itu? Pada saat itu, Cui
Lan juga menengok dan memandang ke arah pemuda yang dilayaninya tadi, pemuda
yang amat baik dan sopan.
“Aiiiiihhh...!”
Cui Lan menjerit ketika melihat Si Rambut Merah, yaitu Ho-nan Ciu-lo-mo, dengan
dahsyat menggerakkan guci araknya menghantam dan mengenai dada Kian Lee yang
agak terpecah perhatiannya memandang Cui Lan.
“Desssss...!”
Kian Lee
terkejut. Tubuhnya sudah terlindung sinkang yang otomatis bekerja, dan dia
tidak mengalami luka parah, namun tetap saja dia terlempar ke belakang dan
karena dia berdiri membelakangi kolam besar di taman itu, otomatis dia jatuh ke
dalam kolam.
“Byuuuuurrr...!”
“Aiiiiihhhhh...!”
Kembali Cui Lan menjerit dan banyak orang menoleh ke arah suara jeritan itu.
Akan tetapi
karena yang menjerit itu hanyalah seorang pelayan yang berdiri bersama seorang
tukang kebun, maka mereka tidak memperhatikan lagi, juga pada waktu itu si
tukang kebun sudah memegang tangan Cui Lan dan diajaknya pergi dari situ dengan
cepat, menyelinap ke dalam gelap.
Tok-gan
Sin-ciang dan dua orang temannya juga sudah mengamuk di dalam taman. Mereka
tadi dapat memancing para pengeroyoknya untuk menjauhi tempat di mana Gubernur
Ho-pei bersembunyi dan kini, Tok-gan Sin-ciang biar pun hanya bermata sebelah,
namun dia mengenal ‘tukang kebun’ yang tadi berdiri di sana bersama pelayan
itu. Dia berteriak girang dan terus mengamuk, agar pihak musuh tidak memperoleh
kesempatan memperhatikan tukang kebun itu!
Sedangkan
komandan pasukan pengawal yang gagah perkasa, yaitu komandan Pasukan Garuda
yang melihat betapa pemuda perkasa yang membantu pihaknya itu terjengkang ke
dalam air kolam, dia cepat meloncat dan terjun ke dalam air. Komandan ini
adalah seorang yang pandai renang, maka dia khawatir akan keadaan pemuda yang
membantu pihaknya itu, maka dia ingin menolong.
Tetapi,
sebetulnya Kian Lee tidak apa-apa dan bagi pemuda yang lahir dan dibesarkan di
Pulau Es ini tentu saja bergerak di air bukan merupakan hal yang asing baginya.
Melihat komandan yang perkasa itu berenang menghampirinya, Kian Lee lalu
berkata, “Tidak apa-apa, Ciangkun!”
“Awas...!”
Komandan itu berseru ketika melihat banyak sekali anak panah menyambar ke arah
Kian Lee.
Akan tetapi
dengan tenang Kian Lee menggerakkan kedua tangannya dan anak-anak panah itu
runtuh semua, membuat Sang Komandan menjadi kagum bukan main. Akan tetapi
sekarang, anak-anak panah itu bukan hanya menyerang Kian Lee, melainkan juga
menyerangnya! Terpaksa dia menyelam dan ternyata bahwa di tepi kolam telah
berdiri pasukan panah yang siap untuk menyerang mereka berdua dengan anak panah
mereka!
Sibuk
jugalah Kian Lee dan komandan itu. Biar pun Kian Lee amat lihai, namun berada
di air tentu saja gerakannya tidak leluasa. Dia dapat menangkis atau menyelam,
juga komandan yang cukup tangguh itu dapat pula menyelam untuk menghindarkan
diri dari sambaran anak-anak panah, akan tetapi mereka berdua pun tidak bisa
naik ke darat!
“Kita harus
mencari jalan ke luar!” Kian Lee berseru dan komandan itu mengangguk lalu
menyelam lagi karena dia sudah dijadikan sasaran anak panah.
Mereka mulai
berenang menjauh ke tengah. Kolam itu cukup luas dan dalam, dan ternyata di
pinggir timur terdapat pintu air, agaknya untuk membuang atau menguras air itu.
Kalau saja airnya tidak sedalam ini, tidak setinggi tubuhnya, tentu dia akan
dapat menggunakan dasar kolam untuk berpijak dan meloncat ke dalam, pikir Kian
Lee.
Tiba-tiba
Kian Lee terkejut bukan main melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li di antara para
pemanah itu. Tadi Kian Lee sudah merobohkan beberapa orang anggota pasukan itu
dengan menangkapi anak panah dan menyambitkannya ke arah mereka.
“Hentikan
anak-anak panah itu, kalian orang-orang tolol. Lihatlah, aku akan membunuh
mereka dengan ini!” Dan wanita cantik itu melontarkan sebuah benda ke arah Kian
Lee!
“Celaka...!”
Kian Lee berseru.
Dia mengenal
sekali benda itu karena dia tahu bahwa Mauw Siauvv Mo-li, sumoi dari Hek-tiauw
Lo-mo ketua Pulau Neraka ini selain amat lihai ilmunya, juga mernpunyai senjata
rahasia yang amat mengerikan, yaitu senjata peledak! Kalau sampai senjata itu
meledak di kolam, dia dan komandan pasukan pengawal Kuku Garuda itu tentu akan
celaka dan tewas!
Pemuda ini
memang memiliki dasar watak yang tenang sekali. Walau pun menghadapi ancaman
bahaya yang amat besar ini, bahaya maut baginya, namun dia masih dapat bersikap
tenang dan ketenangannya inilah yang menyelamatkannya, karena di dalam
ketenangan itu terkandung kewaspadaan dan kecerdasan yang luar biasa, yang
dapat bergerak lebih cepat dari apa pun juga di dunia ini.
Dalam waktu
beberapa detik itu saja, ketika benda itu melayang ke arahnya, Kian Lee telah
dapat mempergunakan kecerdasannya dan membuat perhitungan yang amat tepat. Dia
lalu mengulur tangan, maklum bahwa benda itu akan meledak setiap bertemu dengan
benda keras, maka dia mengerahkan sinkang membuat telapak tangannya selunak
kapas, lalu begitu benda itu menempel di tangannya, dia cepat melontarkan benda
itu ke arah pintu air di timur!
“Blaaarrrrr...!”
Sinar kilat
menyilaukan mata memecahkan kegelapan dan api muncrat ketika benda peledak itu
menghancurkan pintu air. Karena pintu air yang pecah dengan mendadak ini, air
kolam membanjir ke arah pintu air itu, dan arus yang terjadi karena sedotan air
yang mengalir turun itu sedemikian kuatnya sehingga seorang yang perkasa
seperti Suma Kian Lee sendiri pun sampai tersedot dan hanyut oleh arus yang
amat kuat itu. Apa lagi si komandan yang biar pun gagah namun masih jauh di
bawah Kian Lee tingkatnya. Keduanya tak kuasa menahan diri, hanyut oleh arus
air yang amat kuat, melewati pintu air dan terus disedot masuk ke saluran air
di bawah tanah yang memang menjadi pembuangan air kolam itu dan semua air yang
datang dari seluruh bagian istana.
Suma Kian
Lee menangkap tangan komandan yang mengeluh karena terbentur-bentur batu, lalu
mereka berdua membiarkan diri mereka hanyut sambil meraba ke depan untuk
melindungi diri dari benturan tiba-tiba. Sementara itu melihat betapa dua orang
itu selamat, Mauw Siauw Mo-li dan Wan Lok It Si Setan Arak menjadi penasaran
sekali.
“Kita hadang
mereka di sungai, di mana saluran itu memuntahkan airnya dan kita bunuh mereka
di sana kalau mereka belum mampus!” teriak Wan Lok It. Bersama beberapa orang
pengawal dia kemudian cepat berlari menuju ke tempat itu, yaitu ke sungai yang
mengalir di pinggir dan luar kota.
Kian Lee dan
komandan pasukan Kuku Garuda itu terus hanyut dan setelah agak jauh ternyata
arus air tidak lagi begitu kencang, dan karena saluran itu melebar, maka air
pun menjadi dangkal. Hanya setinggi pinggang. Maka mereka lalu berjalan kaki
dengan hati-hati di tempat gelap itu, mengikuti aliran air. Gelap pekat di
terowongan saluran air ini, sampai tangan sendiri pun tidak dapat mereka lihat.
“Eh, apakah
di depan itu?” Tiba-tiba komandan pasukan Kuku Garuda itu berseru.
Kian Lee
juga sudah melihat benda-benda yang berkelap-kelip mengeluarkan sinar kehijauan
itu. Begitu kecil dan banyak, bergerak-gerak, dan agaknya benda-benda itu
tentulah kunang-kunang. Akan tetapi bagaimana terdapat kunang-kunang, di dalam
terowongan, di atas air? Biasanya binatang-binatang kecil ini hanya terdapat di
kebun-kebun dan ladang-ladang di mana terdapat padi atau gandum. Mereka merasa
heran sekali, dan mereka lalu berjalan mendekati makin lama makin dekat dan
betapa pun mereka membelalakkan mata, tetap saja mereka tak dapat melihat benda
atau binatang apakah yang berkerlapan seperti kunang-kunang itu.
“Ehh,
baunya...!” Tiba-tiba Kian Lee terkejut sekali. Teringatlah dia akan ular-ular
merah di Pulau Es yang juga mengeluarkan bau seperti ini, wangi-wangi amis,
tanda ular beracun atau sejenis binatang lain yang beracun.
“Awasss...!”
Akan tetapi
terlambat. Komandan itu yang ingin tahu binatang apa yang mengeluarkan sinar
berkeredepan itu telah mengulur tangan untuk menangkap seekor, akan tetapi ‘kunang-kunang’
itu bergerak dan tahu-tahu tangannya telah digigit oleh seekor ular!
“Aduhhhh...!”
Dia menangkap dengan tangan kedua, dari rabaannya tahulah dia bahwa yang
menggitnya adalah seekor ular, maka diremasnya ular itu sampai hancur. “Celaka,
aku digigit ular...!”
Dan memang
yang mereka sangka kunang-kunang itu ternyata adalah mata ular-ular yang banyak
sekali terdapat di dekat mulut terowongan saluran air itu! Kini ular-ular itu
bergerak cepat dan mengeroyok mereka!
“Kerahkan
singkang melindungi tubuh!” Kian Lee berseru.
Mulailah dia
menggunakan kedua tangannya untuk memukul-mukul ke depan sehingga ular-ular
yang berdekatan dengan mereka mati semua dan bangkai mereka hanyut oleh air.
Kian Lee lalu memasukkan kedua tangannya ke air untuk memungut batu-batu kecil
dari dasar terowongan itu, dan dengan batu-batu ini dia menyambiti ular-ular
itu yang mudah saja dia ketahui dari mata mereka yang bersinar-sinar. Bagaikan
lampu-lampu kecil, setiap terkena sambitan batu, lampu itu padam, tanda bahwa
sambitan itu tepat mengenai kepala ular dan membuatnya tewas seketika. Akan
tetapi komandan itu tidak dapat membantunya karena lengan kirinya sudah terasa
lumpuh dan kaku, tanda bahwa dia telah terkena racun gigitan ular tadi yang
mulai memperlihatkan pengaruhnya.
“Celaka...!”
serunya. “Lenganku lumpuh...“
Kian Lee
meraba lengan itu, lalu dia menotok pundak dan ketiak sang komandan untuk
menghentikan jalan darah agar racun ular tidak terus menjalar ke jantung.
Kemudian dia minta pinjam pedang komandan itu, dan sambil meraba-raba dia
merobek kulit daging tangan yang tergigit dan menyuruh komandan itu menyedot
dan meludahkan sendiri darah dari luka itu.
“Biar pun
bukan merupakan pengobatan yang manjur, namun sementara cukup untuk
menyelamatkan nyawamu, Ciangkun,” katanya.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di sebelah depan. Di samping suara
orang-orang, juga terdengar suara batu-batu besar di lempar dan menimpa air.
Telinga Kian Lee yang tajam dapat menangkap suara Si Setan Arak rambut merah,
Ho-nan Ciu-Io-mo yang tertawa dan berkata nyaring, “Tutup mulut saluran itu,
ha-ha-ha, biar mereka mati seperti tikus-tikus dalam selokan!”
Kian Lee
maklum apa yang terjadi.
“Cepat, kita
harus mencapai mulut terowongan sebelum ditutupi!” Dia berkata sambil menarik
tangan komandan itu.
Akan tetapi,
komandan itu mengeluh dan tidak dapat berjalan cepat di dalam air itu dan
ternyata setelah mereka tiba di mulut terowongan, dengan rabaan tangan tahulah
mereka bahwa mereka telah terlambat. Terowongan itu telah tertutup oleh
batu-batu besar, tidak mungkin lagi dapat mereka lewati dan hanya sedikit air
saja yang dapat lolos keluar, karena terbendung air ini, air mulai naik
perlahan-lahan! Selain air mulai naik, juga hawa dari ular-ular beracun
menimbulkan bau yang menyesakkan dada…..
***************
Kita
tinggalkan dulu Kian Lee dan komandan pasukan pengawal istana yang terkurung di
dalam terowongan yang gelap pekat dan terancam maut, dan mari kita mengikuti
perjalanan Gubernur Hok Thian Ki dari Ho-pei yang menyamar sebagai tukang kebun
dan melarikan diri bersama Phang Cui Lan. Mereka dapat berlari cepat melalui
tempat-tempat gelap sehingga dapat lolos dari perhatian para penjaga dan
pengawal yang sedang kacau dan sibuk bertempur itu sehingga mereka dapat keluar
dari tembok kota.
Karena mereka
itu hanya seorang tukang kebun dan seorang pelayan yang diaku anak oleh tukang
kebun, dalam keadaan ribut-ribut itu semua nafsu kebengalan mereka agaknya
menjadi padam dan hal ini memudahkan Gubernur Ho-pei dan Cui Lan untuk
meloloskan diri dari tembok kota. Pagi-pagi sekali mereka telah keluar dari
pintu gerbang kota dan langsung menuju ke utara, ke perbatasan. Kini Gubernur
Hok yang memimpin perjalanan dan gubernur ini berkata bahwa kalau mereka sudah
melintasi batas propinsi berarti dia akan selamat dan akan dapat menyuruh
pejabat setempat untuk mempersiapkan pengawal dan kereta untuk melanjutkan
perjalanan.
Akan tetapi,
belum jauh mereka berjalan tiba-tiba Gubernur Hok memegang lengan Cui Lan,
kemudian menarik gadis itu menyelinap di balik semak-semak belukar karena dia
mendengar derap kaki kuda. Benar saja, tidak lama kemudian muncul belasan orang
pengawal Gubernur Ho-nan yang lewat dengan cepatnya di jalan itu. Setelah
mereka pergi jauh, Gubernur Hok menghela napas panjang.
“Berbahaya
sekali...“ Dia mencegah Cui Lan yang hendak berdiri. “Kita bersembunyi dulu di
sini, siapa tahu mereka segera kembali...“
Cui Lan
duduk di atas rumput di balik semak-semak itu. “Habis, bagaimana baiknya,
Taijin?”
“Kalau
mereka itu sudah kembali, kita boleh melanjutkan perjalanan, akan tetapi kalau
belum terpaksa kita harus mencari tempat persembunyian di dekat jalan ini untuk
melihat sampai mereka kembali.”
Akan tetapi
mereka tidak perlu menanti terlalu lama, karena hanya sejam kemudian nampak
belasan orang itu sudah kembali menjalankan kuda mereka perlahan-lahan dan mata
mereka menengok ke kanan kiri mencari-cari! Ketika lewat di dekat mereka,
Gubernur Hok dan Cui Lan mendengar komandan pasukan itu berkata, “Tidak mungkin
mereka sudah pergi jauh dari sini! Tidak mungkin! Seorang tua dan seorang gadis
lemah tentu mereka bersembunyi dan kita harus terus mengawasi jalan ini.
Sewaktu-waktu mereka pasti akan muncul. Si tua itu kita serahkan kepada
gubernur dan kita menerima hadiah, sedangkan si pelayan yang kabarnya cantik
itu hemmm... dia harus dihukum karena melarikan Gubernur Ho-pei, dihukum
mesra!”
“Eh, Twako.
Mana ada hukuman mesra?”
“Kau tahu
sendiri, ha-ha-ha! Kabarnya dia masih perawan!” Dan mereka tertawa-tawa sampai
suara mereka lenyap dan mereka pergi jauh. Wajah Cui Lan sebentar merah
sebentar pucat, kedua tangannya menggigil ketika dipegang oleh Gubernur Hok
yang juga kelihatan pucat.
“Celaka,
kalau begitu kita tidak bisa lewat jalan ini. Kita harus mengambil jalan liar,
akan tetapi, aku tidak tahu jalan...” kata Si Gubernur tua dengan khawatir.
“Baiknya, biarlah aku menyerahkan diri saja agar jalan ini aman. Lalu engkau
terus melarikan diri ke Ho-pei. Biar aku mereka tangkap asalkan engkau
jangan...”
“Aihhh,
mengapa demikian, Taijin? Tidak boleh Taijin mengorbankan diri untuk saya...“
“Engkau
seorang wanita...“
“Hanya
seorang pelayan...“
“Bagiku
engkau bukan sekedar pelayan, melainkan seorang penolong, seorang wanita muda
yang berani dan berbudi. Nona, siapa namamu?”
“Phang Cui
Lan...“
“Nah, Cui
Lan, kita berpisah di sini. Aku akan berjalan ke selatan, biar mereka tangkap
dan bawa ke Ho-nan. Kemudian engkau boleh melanjutkan perjalanan ke utara dan
di sana engkau boleh melaporkan kepada pembesar setempat bahwa aku ditahan oleh
Gubernur Ho-nan. Mudah-mudahan kita akan dapat saling bertemu kembali, Cui Lan,
agar aku bisa membalas budimu.”
Gubernur tua
itu lalu bangkit berdiri, meloncat ke atas jalan raya dan melangkah dengan
tabahnya menuju ke selatan. Cui Lan memandang dengan mata basah air karena dia
merasa kasihan dan khawatir sekali kepada pembesar itu. Baru sekarang dia
bertemu dengan pembesar yang demikian manis budi, seakan-akan sikapnya seperti
seorang ayah saja baginya.
“Taijin...!”
Tiba-tiba gadis itu memanggil dan dia bangkit berdiri.
Gubernur Hok
berhenti, membalikkan tubuhnya dan memandang heran melihat gadis itu sudah
keluar dari tempat persembunyian, lalu naik ke jalan raya dan menghampirinya.
“Eh, Cui
Lan, jangan keluar!”
“Cepat,
Taijin, saya mendapat akal. Mari!” Gadis itu memegang tangan Hok-taijin dan
menariknya kembali ke tepi jalan dan kembali seperti tadi mereka bersembunyi di
balik semak-semak belukar yang cukup lebat hingga dapat menyembunyikan mereka
sama sekali dari jalan raya itu.
Dengan suara
bisik-bisik Cui Lan berkata, “Taijin, keputusan yang Taijin, ambil tadi terlalu
berbahaya. Sudah pasti bahwa jika Taijin tertawan, keselamatan Taijin terancam
bahaya hebat. Saya teringat akan pesan seorang yang saya puja-puja, yaitu apa
bila sewaktu-waktu saya menghadapi bahaya, saya boleh pergi ke rumah seorang
pemburu yang bertempat tinggal di tepi hutan, tak jauh dari sini. Saya kira
sekaranglah waktunya untuk pergi ke sana dan minta tolong seperti pesan orang
itu.”
Gubernur Hok
Thian Ki mengerutkan alisnya. “Cui Lan, engkau hendak melakukan perbuatan
berbahaya demi menyelamatkan aku. Akan tetapi justeru aku akan menyeret engkau
seorang wanita muda yang tak tahu apa-apa dan tak berdosa ke dalam bahaya.
Siapakah orang yang meninggalkan pesan itu? Apakah dapat dipercaya?”
“Taijin,
saya tidak dapat mengatakan siapa dia, tetapi dia boleh dipercaya sepenuhnya,
untuk itu saya berani tanggung dengan nyawa saya!”
“Ah...
betapa bahagianya orang itu yang mendapatkan kepercayaan mutlak seperti itu
dari orang seperti engkau.“
Kedua pipi
gadis itu menjadi merah, namun matanya berseri tanda bahwa dia girang sekali
mendengar pujian dari pejabat yang amat tinggi kedudukannya ini.
“Marilah,
Taijin, sebelum mereka kembali ke sini!” Dia lalu bangkit, memegang tangan
orang tua itu dan kembali mereka berjalan setengah berlari, tersaruk-saruk,
tergurat dan kena lecutan semak-semak yang mereka terjang, melalui jalan liar
menuju ke sebuah hutan di lereng gunung yang nampak dari situ.
Yang seorang
biar pun laki-laki adalah orang yang sudah lanjut usianya dan tak pernah
melakukan pekerjaan berat, yang seorang lagi biar pun masih muda remaja
hanyalah seorang gadis lemah, maka ketika mereka akhirnya tiba di dekat hutan,
napas mereka memburu terengah-engah, muka beserta leher mereka penuh keringat
dan kedua kaki mereka gemetar saking lelahnya.
“Wah, aku
tidak kuat lagi...“ Gubernur Hok Thian Ki mengeluh.
“Saya juga
capai, Taijin, akan tetapi sudah dekat. Kurasa di sana itulah tempatnya, lihat
ada genteng rumah di sana.”
Tiba-tiba
terdengar bunyi ramai di bawah. Ketika mereka menoleh, dapat dibayangkan betapa
kagetnya hati mereka melihat belasan orang mengejar mereka dari bawah lereng
gunung.
“Celaka,
mereka adalah para pengawal yang mengejar kita!” Cui Lan berseru kaget dan
mukanya menjadi pucat sekali. “Mari, Taijin...!” Gadis itu seakan-akan
memperoleh semangat baru dan rasa capainya lenyap sama sekali karena dia sudah
menggandeng tangan pembesar itu lagi dan menariknya, mengajaknya lari ke arah
hutan.
“Heiiiii!
Berhenti...!” Teriakan-teriakan para pengejar mulai terdengar dan kedua orang
pelarian ini makin mempercepat larinya.
“Auhhhhh...!”
Tiba-tiba Gubernur Hok tersandung dan terguling roboh. Untung dia tidak sampai
terjerumus ke dalam jurang yang ada di dekat mereka karena Cui Lan sudah
merangkulnya dan membantunya berdiri.
“Auhhhhh...
kakiku...“ Pembesar itu terpincang-pincang, akan tetapi terus digandeng Cui
Lan, dipapahnya menuju ke rumah yang sudah berada di depan mereka.
“Mari,
Taijin...!” Cui Lan menariknya dan mereka berdua berlari menuju ke rumah yang
bentuknya aneh itu.
Sebuah rumah
yang kokoh kuat, berbentuk segi empat seperti sebuah peti besar. Rumah itu
berdiri di tebing sebuah sungai yang airnya tenang dan cukup lebar. Yang luar
biasa pada rumah itu adalah bahwa berbeda dengan rumah biasa, rumah ini tidak
mempunyai jendela, hanya ada sebuah daun pintunya yang terbuat dari pada besi!
Benar-benar seperti sebuah rumah penjara saja, penjara yang aneh di pinggir
hutan!
Akan tetapi
karena para pengejar sudah berada dekat di belakang mereka, Cui Lan dan
Gubernur Hok tentu saja tidak lagi memperhatikan rumah aneh ini dan langsung
saja mereka menghampiri pintu besar yang terbuat dari pada besi itu dan
menggedor-gedor sekuat tangan mereka dapat bertahan. Akan tetapi, tidak ada
yang menjawab dari dalam, apa lagi membuka daun pintunya.
“Bukalah...
bukalah...!” Tolonglah kami...!” Berulang kali Cui Lan menggedor daun pintu
dengan kepalan tangannya sampai punggung tangannya berdarah!
“Cukup,
Nona. Agaknya rumah ini kosong...“ Gubernur Hok memegang tangan yang berdarah
itu. Cui Lan menangis terisak-isak dan gubernur itu dengan terharu kemudian
mencium punggung tangan yang berdarah itu.
“Tenanglah,
kita masih hidup dan kita akan menghadapi ini bersama...,“ bisiknya.
Empat belas
orang pengawal itu telah tiba dan mengurung mereka sambil tertawa-tawa mengejek
ketika mereka tadi menggedor-gedor pintu dan tidak ada yang menjawab. Juga
mereka mentertawakan gubernur itu ketika dia tadi mencoba untuk menarik dan
membuka pintu yang kokoh kuat itu. Ejekan-ejekan dilontarkan ke arah Gubernur
Hok dan godaan-godaan kotor dan cabul mereka lemparkan kepada Cui Lan.
Tiba-tiba
terdengar suara nyaring, suara anak-anak yang masih belum pecah suaranya,
bening dan halus, “Heiiiii, jangan menghalang di depan pintu orang, aku mau
lewat!”
Karena
munculnya anak kecil itu begitu tiba-tiba, semua pengawal itu menjadi terkejut
dan di luar kesadaran mereka, mereka itu bergerak memberi jalan kepada seorang
anak laki-laki kecil yang datang dari belakang mereka.
Anak ini
menghampiri pintu, memandang kepada Gubernur Hok dan Cui Lan, kemudian berkata
lirih, “Mari ikut dengan aku!”
Anak itu
meraba sesuatu di dekat pintu dan terdengar suara berkeret keras, daun pintu
besi terbuka dan cepat anak itu menarik tangan keduanya masuk ke dalam. Seperti
digerakkan oleh tangan raksasa yang tidak nampak, daun pintu itu menutup
kembali dengan suara keras berderak!
Para
pengawal Gubernur Ho-nan itu cepat mengejar. Mereka lalu mendorong-dorong,
menarik-narik, menggedor-gedor, namun pintu itu tidak dapat dibuka, dan juga
tidak dibuka dari sebelah dalam. Biar pun empat belas orang itu telah
menyatukan tenaga, namun tetap saja mereka tidak mampu membuka pintu besi itu.
Marahlah
para pengejar itu. Mereka berteriak-teriak bahwa kalau dua orang itu tidak mau
keluar, rumah itu akan dibakar! Komandan mereka dengan suara lantang lalu
memerintahkan anak buahnya mengumpulkan kayu di sekeliling rumah itu dan
setelah cukup lalu dia berteriak lagi, suaranya lantang menembus celah-celah
yang ada memasuki rumah itu, “Heiiiii! Kalian yang berada di dalam. Kalau
kalian tidak cepat keluar, kalian akan terbakar hidup-hidup di dalam!”
Tentu saja
Cui Lan, Gubernur Hok, dan bocah itu mendengar suara ini dari dalam dan Cui Lan
yang takut kalau-kalau anak itu akan membuka pintu, segera berkata, “Anak baik,
tolonglah kami... jangan kau buka pintunya, mereka itu hendak membunuh kami
berdua...!”
Bocah itu
memiliki sifat-sifat yang gagah. Mendengar ini, dia membusungkan dadanya yang
masih kecil sambil berkata dan menepuk dada, “Percaya padaku, aku tidak akan
menyerahkan kalian kepada orang-orang jahat itu!”
Mereka yang
berada di dalam mendengar suara kayu terbakar dan melihat sinar terang di luar
rumah, ada asap masuk dan hawa panas mulai terasa oleh mereka. Anak itu lalu
lari mengambil air dan menyiramkan di bagian yang ada sinar api membakar di
luar tembok rumah. Cui Lan dan Gubernur Hok membantunya, akan tetapi usaha
mereka itu tiada gunanya. Air itu tidak dapat langsung menyerang api yang
menyala di luar rumah tembok tebal itu dan memang api tidak dapat masuk pula,
akan tetapi hawa panas mulai menyerang makin hebat ke dalam!
Rumah itu
kecil saja, terbuat dari tembok tebal dan dibagi menjadi empat buah kamar.
Tidak ada pintu lain kecuali pintu depan itu, dan tidak ada jendela. Yang ada
hanyalah lubang-lubang hawa yang amat kecil di bagian atas. Tentu saja kini
rumah itu mulai terasa seperti dipanggang.

Tiga orang
itu mulai mandi peluh, sekujur tubuh mereka basah, juga pakaian mereka mulai
basah kuyup seolah-olah mereka bertiga baru saja jatuh ke dalam air sungai atau
kehujanan! Akan tetapi napas mereka mulai megap-megap. Rasa panas hampir tidak
tertahankan lagi.
“Bukalah...
bukalah... kalian berdua tidak layak mati untukku..., bukalah...“
“Jangan,
Taijin... Paduka akan celaka...“
“Tidak, Cui
Lan, aku akan lindungi kau sedapatku.“
Tetapi anak
itu yang tadi kelihatan berkeliaran dan tidak mendengarkan pembicaraan mereka,
kini datang mendekat.
“Harap
kalian jangan gugup,” katanya sambil menunjuk ke sebuah kamar. “Ini kamarku dan
Ayah, ini kamar kedua orang Pamanku, masing-masing satu, dan kamar yang sudut
itu adalah kamar... Ibuku dahulu! Mari kita dobrak dan buka kamar itu!”
Daun pintu
yang satu ini digembok dan dikunci, sukar sekali dibuka. Dengan tenaga
seadanya, bocah itu dibantu oleh Cui Lan dan Gubernur Hok berusaha untuk membuka
pintu itu, menggunakan segala alat yang ada seperti palu dan linggis untuk
merusak gembok.
Mengapa
bocah itu berkeras hendak membuka kamar ini? Padahal, sejak kecil ayahnya
melarang dia membuka pintu itu yang selalu ditutup dan digembok? Barusan anak ini
teringat akan cerita seorang di antara kedua pamannya, yang seperti juga
ayahnya adalah pemburu-pemburu yang mencari binatang di hutan-hutan untuk
dijual kulit dan dagingnya.
Menurut
cerita pamannya itu, ayahnya adalah seorang suami yang cemburunya amat besar.
Karena cemburunya itulah maka ayahnya membuat rumah aneh seperti penjara itu
dan setiap kali ayahnya pergi berburu, rumah itu ditutup dan ibunya seperti
dikurung di dalam penjara. Akhirnya ibunya tidak tahan dan setiap kali ayahnya
pergi berburu, ibunya itu menggali terowongan sedikit demi sedikit, sampai
bertahun-tahun lamanya sehingga akhirnya dia berhasil membuat terowongan dari
kamarnya itu menembus ke dinding tebing sungai! Maka, pada suatu hari kaburlah
isteri ini meninggalkan anaknya yang masih kecil….
Teringat
oleh cerita inilah maka bocah itu lalu berusaha mati-matian untuk membuka daun
pintu kamar ibunya itu. Akhirnya, setelah tangan mereka terasa sakit semua,
gembok itu dapat dipatahkan. Cui Lan girang sekali, cepat dia mendorong pintu kamar
itu dan gadis ini melangkah mundur dengan mata terbelalak karena terkejut
melihat tiga orang laki-laki yang bertubuh tegap dan berpakaian kasar berdiri
di belakang pintu kamar itu dengan mata terbelalak marah!
“Ayah...!
Paman...!” Bocah itu berseru dengan girang, akan tetapi begitu melihat wajah
ayahnya yang beringas dan teringat bahwa dia telah melanggar pantangan ayahnya,
dia menjadi ketakutan dan mundur-mundur berlindung di belakang Cui Lan!
Ayah bocah
itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka bengis sekali. Dia tidak
memakai baju, hanya bercelana hitam. Dadanya penuh bulu, cambang bauknya
membuat wajahnya makin seram kelihatannya. Tangan kirinya memegang sebatang
kapak dan tangan kanannya memegang gendewa besar.
“Keparat,
kau berani membuka pintu ini? Kubunuh kau... dan dua orang asing ini yang
berani lancang memasuki rumahku!” Pemburu kasar itu mengangkat kapaknya
tinggi-tinggi dan hendak mengejar anaknya. Dia bukan hanya marah kepada anaknya
yang dianggapnya telah mendatangkan bencana, rumahnya dikepung pengawal dan
dibakar, juga berani membuka pintu kamar yang dirahasiakan, namun kemarahannya
meluap ketika dia melihat Cui Lan yang cantik. Semenjak isterinya minggat,
setiap kali melihat perempuan cantik, hati pemburu ini seperti dibakar rasanya
dan dia membenci setiap wanita cantik!
“Sabar dulu,
Saudara!” Cui Lan cepat melindungi bocah itu dan menentang si pemburu dengan
berani. Dia penasaran sekali. Masa ada ayah yang hendak membunuh anaknya hanya
karena membuka pintu kamar itu saja? Kamar itu pun hanya kamar yang kosong!
”Anak ini
tidak bersalah. Dia terpaksa membuka kamar untuk menyelamatkan kami. Kalau mau
bunuh, bunuhlah aku, akan tetapi aku benar-benar menyesal mengapa aku datang ke
sini seperti yang dipesankan oleh Siluman Kecil.”
Mendengar
ini, kapak di tangan pemburu itu terlepas ke atas lantai dan mukanya segera
berubah pucat sekali, juga kedua orang paman bocah itu kelihatan terkejut dan
cepat melangkah maju.
“Kau... kau
bilang... Siluman Kecil...?” Suara pemburu tinggi besar itu agak gemetar.
Cui Lan
merasa mendapat hati. Jelas bahwa disebutnya Siluman Kecil itu membuat tiga
orang itu menjadi terkejut dan ketakutan. “Benar!” katanya lantang. “Dulu
Siluman Kecil pernah berpesan kepadaku bahwa jika aku berada dalam kesukaran,
aku boleh minta bantuan para pemburu yang datang tinggal di rumah ini!”
“Ah, maaf...
maaf... kami tidak tahu bahwa Siocia (Nona)...“
“Sudahlah,
aku hampir tak kuat bertahan!” Cui Lan berkata dan cepat dia menggandeng tangan
Pembesar Hok. “Dan dia pun sudah tidak kuat! Tolonglah kami terhindar dari mala
petaka ini.”
“Mari...!”
Ayah bocah itu berkata dan cepat dia membuka sebuah tutup di lantai kamar kecil
itu.
Ternyata
terdapat sebuah lubang seperti sumur, sebuah terowongan dan semua orang lalu
memasuki terowongan ini. Tidak terlalu panjang terowongan ini dan kiranya
inilah terowongan yang dahulu dibuat oleh ibu bocah itu. Tadi, ketika pulang
dari berburu dan melihat rumah mereka dikurung para pengawal dan dibakar dari
luar, mereka terkejut sekali. Mereka adalah pemburu-pemburu yang berpengalaman,
dan melihat bahwa pasukan itu adalah pasukan pengawal, mereka tidak berani
sembrono.
Untuk
menolong puteranya yang berada di dalam rumah, pemburu itu lalu mengajak dua
orang adiknya untuk memasuki rumahnya melalui terowongan buatan isterinya dulu
itu dan demikianlah, ketika mereka tiba di dalam kamar, tepat sekali Cui Lan
membuka daun pintu kamar yang berhasil mereka rusak gemboknya. Begitu melihat
Cui Lan dan kakek itu, dan melihat anaknya merusak gembok daun pintu kamar itu,
marahlah si pemburu dan nyaris dia membunuh mereka bertiga kalau saja Cui Lan
tidak cepat menyebut nama Siluman Kecil!
Kini mereka
tiba di mulut terowongan di tebing sungai. Dengan bantuan mereka, Cui Lan dan
Gubernur Hok dapat meloncat ke dalam air dan karena tempat itu tak nampak dari
atas tebing, maka para pengawal yang masih tertawa-tawa di luar rumah yang
mereka bakar itu, mereka dengan mudahnya dapat menyelamatkan diri.
Dengan
menggunakan sebuah perahu para pemburu, mereka menjauhi tempat itu dan setelah
melakukan perjalanan setengah hari keluar dan masuk hutan, akhirnya mereka tiba
di dalam sebuah hutan lebat di mana terdapat sebuah pondok yang dibuat oleh
tiga orang pemburu itu dan yang digunakan pada waktu mereka memburu binatang.
Hampir
patah-patah rasanya kaki Cui Lan dan Gubernur Hok ketika mereka akhirnya dapat
melempar tubuh mereka ke atas lantai pondok yang ditilami daun-daun kering itu.
Gubernur Hok saking lelahnya sudah tidak dapat bertahan lagi, langsung dia
tertidur pulas!
Setelah
membuat api unggun, memasak air dan nasi yang memang tersedia di situ, dibantu
oleh bocah kecil, pemburu dan dua orang adiknya lalu duduk pula di atas lantai
dan bertanyalah ayah bocah itu kepada Cui Lan. “Kami tidak hendak mencampuri
urusan Siocia dan Lopek ini, dan oleh karena Siocia mengenal beliau, maka kami
akan menolong sampai sekuat tenaga kami. Jika Siocia tak keberatan, kami ingin
mengetahui kenapa Siocia dan Lopek ini dikejar-kejar para pengawal itu?
Bukankah para pengawal itu adalah pengawal-pengawal dari gubernuran?”
Cui Lan
adalah seorang gadis yang cerdik sekali. Dia bukan seorang pelayan biasa tapi
puteri seorang kepala kampung yang terpelajar juga.Karena itu, ditambah pula
dengan wataknya yang memang halus dan pribadinya yang tinggi, dara ini dapat
bersikap tenang dan cerdik menghadapi keadaan yang bagaimana pun juga. Dia
maklum bahwa mereka masih berada di wilayah Ho-nan, dan sungguh pun bagi
dirinya sendiri tidak perlu dia menyembunyikan diri, namun tidak demikian
halnya dengan Gubernur Ho-pei ini. Keadaan diri pembesar ini harus
disembunyikan, maka dia sudah cepat mengarang cerita sambil menjawab pertanyaan
itu.
“Benar
seperti yang kalian duga. Mereka memang adalah pengawal-pengawal di istana
gubernur. Dan aku bernama Phang Cui Lan, seorang pelayan di istana Gubernur
Kui, melayani isteri beliau. Akan tetapi pada suatu hari, aku akan dikawinkan
oleh gubernur dengan seorang pelayan beliau. Karena sejak kecil aku sudah
ditunangkan, aku tidak mau, akan tetapi tentu saja tidak berani menolak dengan
terus terang. Maka aku lalu minggat dengan bantuan Pamanku ini yang menjadi
tukang kebun di sana.” Dia berhenti sebentar karena pada saat itu, Gubernur Hok
agaknya telah sadar dan mendengarkan cerita itu.
“Kami berdua
melarikan diri dan berhasil lolos dari kota, akan tetapi ketika tiba di dekat
hutan tempat tinggal kalian itu, kami melihat para pengawal istana gubernuran
mengejar kami. Maka kami lalu lari ke rumah kalian dan kebetulan sekali putera
kalian berada di pintu dan membantu kami masuk. Selanjutnya, kalian ketahui.”
Ketiga orang
itu mengangguk-angguk dan ayah dari bocah itu kemudian mengangkat muka,
memandang kepada Cui Lan dengan kagum. “Ahhh, sungguh hebat engkau, Nona.
Engkau adalah seorang wanita yang setia kepada tunangan. Aku kagum dan aku
merasa girang telah dapat menolongmu. Kemudian, mengenai perkenalanmu dengan
beliau itu..., bolehkah kami mendengarnya?”
Cui Lan
merasa ragu-ragu untuk menceritakan pengalamannya dengan Siluman Kecil, apa
lagi karena perasaan hatinya terhadap Siluman Kecil itu akan disimpannya
sebagai rahasia hidupnya dan hanya satu kali dia menceritakan rahasia itu
kepada Kian Lee! Kini, ditanya oleh tiga orang kasar ini, dia menjadi
ragu-ragu, akan tetapi kecerdikannya kembali menolongnya, “Siluman Kecil...
pendekar itu pernah menolong kami ketika kami diganggu perampok...“
“Nona adalah
seorang pelayan di gubernuran, bagaimana bisa diganggu perampok?” seorang di
antara dua paman bocah itu terheran-heran.
Kini
Gubernur Hok yang telah sadar betul dan sejak tadi mendengarkan percakapan itu,
bangkit duduk dan berkata, “Kalian tidak tahu. Keponakanku ini baru saja
menjadi pelayan di gubernuran, bahkan sejak peristiwa itulah dia menjadi
pelayan. Ada pun saya yang sudah lama menjadi tukang kebun di taman istana
Kui-taijin, Gubernur Ho-nan.” Dia terbatuk-batuk lalu menghirup air teh yang
dihidangkan oleh bocah itu, kemudian melanjutkan, “Pada waktu itu saya
mendengar bahwa Nyonya Gubernur membutuhkan seorang pelayan yang boleh
dipercaya. Saya lalu menawarkan keponakan saya Cui Lan ini dan karena sudah
lama saya bekerja di gubernuran, penawaran saya diterima dan saya lalu pergi ke
dusun untuk menjemput keponakan saya ini. Nah, dalam perjalanan kami ke kota
itulah kami dihadang segerombolan perampok dan kami tentu celaka kalau tidak
ditolong oleh beliau.” Gubernur itu tentu saja tidak pernah tahu tentang
‘beliau’ itu, akan tetapi dari percakapan tadi dia mengerti bahwa yang disebut
oleh Cui Lian sebagai ‘Siluman Kecil’ dan oleh tiga orang pemburu disebut
sebagai ‘beliau’ itu tentu seorang pendekar atau seorang yang luar biasa yang
pernah menolong Cui Lan dan yang amat ditakuti oleh tiga orang kasar itu.
“Demikianlah…,”
Cui Lan menyambung hati-hati dan mengerling ke arah ‘pamannya’ sambil tersenyum
dengan penuh rasa syukur dan dibalas oleh gubernur yang kini selain menjadi
tukang kebun juga menjadi paman itu, “Dalam kesempatan itulah pendekar itu
memperkenalkan namanya sebagai Siluman Kecil dan berpesan bahwa apa bila aku
tertimpa bahaya, aku boleh minta bantuan kalian yang disebutnya sebagai
pemburu-pemburu gagah yang tinggal di pinggir hutan itu.”
Tiga orang
pemburu itu tersenyum girang dan bangga bukan main karena mereka disebut
‘pemburu gagah’ oleh Siluman Kecil! Tentu saja sebutan itu adalah tambahan Cui
Lan sendiri!
“Kami girang
sekali telah dapat membantu Nona yang ternyata menjadi sahabat baik beliau,”
kata si ayah bocah itu.
“Karena kami
telah memperkenalkan diri, yaitu namaku Phang Cui Lan dan Pamanku ini...“
“Aku bernama
Hok An, kakak dari Ibu Cui Lan,” sambung sang gubernur.
“Maka kami
harap kalian suka menceritakan pula kepada kami siapakah kalian ini dan
bagaimana pula kalian dapat berhubungan dengan beliau.” Kini Cui Lan juga
menyebut beliau kepada Siluman Kecil, karena dia merasa ngeri juga menyaksikan
sikap yang begitu takut kepada pendekar pencuri hatinya itu.
“Maaf, aku
dan adikku ini tidak pandai bicara, hanya adikku paling kecil itu yang agak
bisa bicara. Kun-te, kau berceritalah!” Pemburu berewok itu menyuruh adiknya
yang termuda, dan berceritalah laki-laki yang usianya kurang lebih dua puluh
delapan tahun, berwajah cukup tampan dan bertubuh gagah itu sungguh pun tidak
sebesar kakaknya yang tertua.
Mereka itu
adalah kakak beradik. Yang tertua, yang berewok dan ayah dari bocah itu bernama
Sim Hoat dan seperti telah diceritakan oleh puteranya yang bernama Sim Hong Bu
tadi, isteri Sim Hoat yang tersiksa batinnya oleh suaminya yang pencemburu itu
minggat dan meninggalkannya. Dan ada pun orang kedua itu adalah adiknya yang
bernama Sim Tek. Kalau Sim Hoat berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun, Sim
Tek berusia tiga puluh tahun sedangkan adik terkecil yang tidak pendiam seperti
dua orang kakaknya, yaitu yang bercerita itu adalah Sim Kun, berusia dua puluh
delapan tahun. Semenjak kecil mereka itu telah menjadi pemburu-pemburu yang
ulung karena mereka memang keturunan pemburu.
Mereka mulai
mengenal Siluman Kecil kira-kira dua tahun yang lalu. “Memang nama beliau
muncul sekitar dua tahun yang lalu.” Sim Kun melanjutkan ceritanya. “Tadinya
tidak ada nama julukan itu di dunia kang-ouw. Pada waktu itu, terjadi
pertikaian dan perebutan wilayah perburuan di antara para pemburu di sekitar
perbatasan tiga Propinsi Ho-nan, Ho-pei, dan Shen-si. Ratusan orang pemburu
terpecah menjadi tiga kelompok dan saling berebutan, hingga sering terjadi
pertumpahan darah untuk memperebutkan wilayah perburuan itu. Pada suatu hari,
muncullah beliau dan dengan kesaktian yang luar biasa beliau mengalahkan dan
menundukkan semua pemburu untuk menghentikan permusuhan dan membagi-bagi
wilayah perburuan secara adil menurut wilayah propinsi masing-masing. Semenjak
saat itulah kami semua mentaati perintah itu karena setiap kali ada
pelanggaran, si pelanggar tentu akan menerima hukuman hebat dari beliau dan
sampai sekarang kami saling menghormati wilayah masing-masing dan dapat bekerja
sama dengan baik. Itulah sebabnya, ketika mendengar bahwa Nona adalah sahabat
beliau, kami sangat girang dan bersedia membela Nona sampai titik darah
terakhir!”
Cui Lan
merasa terharu bercampur kagum terhadap kehebatan pendekar yang sangat
dipujanya itu. Juga diam-diam Gubernur Ho-pei menyesalkan mengapa dirinya
sebagai gubernur tidak tahu akan adanya hal itu, dan tidak mengenal pula
pendekar yang demikian besar jasanya mendamaikan pertikaian antara para pemburu
kasar itu.
“Pertolongan
kalian bertiga cukup berharga bagi kami dan kami berdua menghaturkan terima
kasih,” kata Cui Lan. “Akan tetapi kalau kalian memang suka menolongku, aku
minta dengan sangat sukalah kalian menyelidiki tentang seorang penolong kami
pula yang dikeroyok di taman istana gubernuran.”
“Tentu saja,
kami siap melakukan segala permintaan Nona!” kata Sim Hoat karena dia dan
adik-adiknya yakin bahwa kelak mereka tentu akan dipuji oleh Siluman Kecil atas
pertolongan mereka terhadap nona cantik ini. Siapa tahu kalau-kalau nona cantik
ini selain pernah ditolong, juga menjadi kekasih pendekar ajaib itu! Dan memang
sudah sepatutnya karena nona ini cantik sekali!
“Begini,
Sim-twako,” Cui Lan yang amat pandai itu segera menyebut twako sehingga si
pemburu yang kasar merasa makin girang dan akrab. “Di taman rumah gubernuran
ada seorang pemuda yang terlibat dalam pertempuran. Ketika kami berdua
melarikan diri memang sedang terjadi keributan dan hal itu menolong kami, akan
tetapi ada seorang pemuda yang baik kepada kami, yang terlibat dalam
pertempuran dan dikeroyok oleh para pengawal gubernuran. Harap Samwi (Kalian
Bertiga) sudi membantuku menyelidiki bagaimana kabarnya dengan pemuda itu.”
“Ah, mudah
saja itu! Siapa namanya?” tanya Sim Hoat.
“Namanya
Suma Kian Lee.”
“Suma...?”
Tiga orang kasar itu saling pandang.
“Mengapa?”
Cui Lan bertanya heran.
“Tidak
apa-apa, hanya pernah dahulu beliau bertanya kepada kami semua apakah kami
bertemu atau mendengar adanya seorang she Suma. Ahhh, mungkin hanya kebetulan
saja dan pertanyaan itu sudah hampir dua tahun. Baiklah, Nona Phang, kami akan
segera menyelidikinya dan harap Nona dan Hok-lopek suka menanti saja di sini
dan jangan pergi ke mana-mana. Daerah ini aman dan tidak mungkin para pengawal
dapat mencari sampai ke sini. Hong Bu akan melayani semua keperluan kalian
selama kami pergi.”
Mereka
bertiga segera pergi dengan cepat dan menjelang malam mereka telah kembali
membawa berita yang membuat wajah Cui Lan menjadi pucat sekali dan juga
Gubernur Hok yang mendengar dari Cui Lan betapa pemuda itu membantunya melawan
para pengawal lihai dari Ho-nan merasa khawatir sekali. Berita itu adalah bahwa
Suma Kian Lee dan komandan pasukan Kuku Garuda dari istana terjebak di dalam
terowongan saluran air dan bahwa kini kedua mulut saluran air dari kolam di
taman istana sampai ke jalan keluar itu telah ditutup dan di jaga oleh banyak
pasukan pengawal.
“Padahal
menurut pendengaran kami, di dalam terowongan itu terdapat banyak ular-ular
beracun.” Sim Hoat melanjutkan ceritanya.
“Aihhhhh...!”
Cui Lan mendekap mukanya dengan kedua tangannya dan memejamkan mata, ditahannya
tangisnya. Dia ngeri membayangkan betapa pemuda yang amat tampan, amat baik dan
yang sikap dan gerak-geriknya mengingatkan dia akan pendekar yang dipujanya itu
kini terbenam di air saluran dan dikeroyok ular-ular beracun!
“Apakah
kalian tidak dapat menolongnya?” Tiba-tiba Gubernur Hok berkata, suaranya
lantang dan penuh semangat. “Percayalah, kalau kalian dapat membantunya kelak
aku akan memberi ganjaran yang amat besar kepada kalian!”
“Ganjaran?
Lopek memberi ganjaran?” Sim Hoat bertanya dan gubernur itu terkejut dan
menyadari kesalahan bicaranya. Akan tetapi kembali Cui Lan yang cekatan dan
cerdik itu sudah cepat menolongnya.
“Sim-twako,
yang dimaksudkan oleh Pamanku adalah ganjaran dari beliau. Karena tentu kami
kelak akan menceritakan kepada beliau betapa hebatnya kalian, betapa gagahnya
kalian dan mati-matian telah membantu kami. Tentu beliau tidak akan melupakan
jasa kalian dan akan memberi ganjaran...“
“Bagus! Kami
tentu saja dapat membantunya kalau mengerahkan teman-teman kami!” Sim Hoat
sudah terlampau girang mendengar ucapan Cui Lan itu.
“Tek-te
(Adik Tek) hayo cepat kau lepaskan tanda rahasia!”
Sim Tek
mengangguk dan dengan gendewa di tangan dia kemudian keluar dari dalam pondok,
melepaskan anak panah berapi dan tak lama kemudian, berturut-turut dari empat
penjuru nampak sinar-sinar kuning melayang di udara sebagai sambutan atas anak
panah berapi kuning yang dilepaskan oleh Sim Tek tadi.
Malam itu
juga, datanglah dari empat penjuru orang-orang yang bersikap kasar-kasar
menakutkan, para pemburu yang sudah biasa hidup di hutan dan hidup dengan liar.
Sampai menjelang pagi, di tempat itu sudah berkumpul dua puluh orang yang
terdiri dari macam-macam orang, akan tetapi yang rata-rata berperawakan tinggi
besar, kuat dan kasar sehingga Cui Lan merasa ngeri juga.
Akan tetapi,
biar pun tadinya banyak di antara mereka yang meringis memperlihatkan gigi
seperti seekor harimau bertemu domba ketika melihat Cui Lan yang cantik, begitu
mendengar dari tiga saudara Sim bahwa dara itu adalah sahabat ‘beliau’,
otomatis sikap mereka berubah menjadi lunak dan menghormat biar pun sikap
hormat ini kasar pula!
Maka
berundinglah mereka dan Cui Lan juga menghadiri perundingan itu dengan hati
tabah. Diam-diam Gubernur Hok makin kagum melihat sepak terjang Cui Lan. Gadis
ini memang mempunyai sifat-sifat yang mengejutkan dan luar biasa. Seorang
pelayan saja kini ternyata dapat bersikap sedemikian hebat, bukan hanya suka
menolong dia yang tidak dikenalnya sama sekali dengan taruhan nyawa, tetapi
juga kini memperlihatkan kesetiaan yang luar biasa kepada seorang yang
dianggapnya baik, yaitu kepada Suma Kian Lee.
Mulai
terbukalah mata pembesar ini betapa selama usianya yang enam puluh lima tahun
ini, dia tadinya seperti orang buta saja yang memandang kepada orang-orang yang
berkedudukan rendah seperti pelayan dan lain-lain, yang dianggapnya adalah
manusia-manusia yang berderajat rendah, berpengetahuan dangkal, berpribudi
tipis dan lebih mendekati binatang dari pada seorang manusia yang luhur dan
mengenal apa artinya hidup dan apa artinya perikemanusiaan dan sebagainya!
Sekarang
terbukalah matanya bahwa di dunia ini banyak terdapat orang-orang yang tadinya
dikira rendah, hina dan bodoh, yang ternyata bahkan lebih manusiawi dari pada
orang-orang besar, lebih memiliki kejujuran, kesetiaan, kewajaran dari pada
orang-orang besar yang merasa dirinya penuh pengetahuan dan kepandaian! Bahkan
di dalam diri orang-orang kasar seperti para pemburu itu dia menemukan
sifat-sifat yang jauh lebih agung dari pada sifat para pembesar, bangsawan,
cendekiawan yang biasa menjilat ke atas dan menginjak atau merendahkan ke
bawah!
Orang-orang
kasar dan liar itu bukan seluruhnya pemburu, bahkan ada yang tadinya menjadi
kepala perampok, bajak sungai dan lain-lain. Akan tetapi mereka semua adalah
kepala-kepala dan pemimpin-pemimpin rombongan mereka, dan mereka semua telah
tunduk kepada Siluman Keicl, maka begitu melihat tanda anak panah berapi kuning
sebagai tanda bahwa seorang ‘sahabat’ Siluman Kecil minta bantuan, mereka cepat
datang! Di antara mereka, banyak yang belum pernah berjumpa dan belum kenal,
akan tetapi mereka kelihatan rukun karena semuanya merasa berada di bawah
pengaruh Siluman Kecil yang mereka anggap sebagai manusia dewa itu!
Cui Lan
tentu saja seram melihat muka-muka liar dan kasar itu mengelilinginya. Di
antara mereka itu, dua orang adik Sim Hoat kelihatan tampan dan ganteng,
setidaknya bersih dan umum! Kini dara itu yang diperkenalkan oleh Sim Hoat
sebagai sahabat Siluman Kecil yang mohon bantuan mereka, segera menceritakan
niatnya untuk menyelamatkan Suma Kian Lee yang terjebak ke dalam terowongan
saluran air dan terancam nyawanya itu.
Tidak ada
seorang pun di antara mereka yang menanyakan siapa adanya Suma Kian Lee itu,
sungguh pun mereka juga tercengang karena teringat bahwa dulu Siluman Kecil
pernah menanyakan she Suma, seperti juga seperti juga yang dialami oleh ketiga
orang saudara Sim. Mereka datang untuk membantu nona yang menjadi sahabat
Siluman Kecil dan mereka tidak perlu tahu urusan apa itu. Demikianlah kesetiaan
mereka terhadap sahabat-sahabat Siluman Kecil, dan andai kata seorang di antara
mereka juga mengalami malapetaka, tentu teman-teman ini semua juga akan
membelanya mati-matian seperti kalau mereka akan membela Siluman Kecil.
Demikian dalam Siluman Kecil menanam rasa setia kawan kepada orang-orang kasar
ini.
“Tidak
mungkin kita akan menang melawan pasukan-pasukan pengawal Gubernur Ho-nan,” Sim
Hoat menyatakan pendapatnya.
“Menang
kalah sih bukan soal dan kami pun bukannya takut, hanya amat tidak baik jika
golongan kami nanti dicap sebagai pemberontak-pemberontak!” kata salah seorang
yang matanya lebar sekali.
“Beliau
tentu akan marah kepada kami kalau kami memberontak terhadap kerajaan,
memberontak terhadap Gubernur Ho-nan tidak ada bedanya dengan memberontak
terhadap pemerintah!” sambung seorang yang mukanya seperti monyet besar dan
berbulu!
Cui Lan
mengangkat tangannya dan mereka semua terdiam! Gubernur Hok makin kagum, kagum
kepada pendekar yang berjuluk Siluman Kecil yang ternyata memiliki pengaruh
hebat itu, dan juga kagum terhadap Cui Lan yang tadinya hanya seorang pelayan
akan tetapi kini memiliki sifat seperti seorang pemimpin!
“Saya tidak
mengharapkan saudara-saudara untuk membunuh diri, apa lagi untuk memberontak.
Saya hanya minta bantuan saudara sekalian untuk menyelamatkan pemuda itu yang
terjebak di dalam terowongan yang kedua pintunya telah ditutup itu. Dengan
membobol terowongan, kalau dia masih hidup tentu dia akan dapat keluar dari
situ.”
“Bagus! Nona
cerdik bukan main!”
“Akal yang
baik sekali!”
“Aku
setuju!”
Mereka
bicara lagi tidak karuan seperti sekawan burung tidur dikejutkan sesuatu.
“Akan tetapi
mana mungkin membobol terowongan tanpa diketahui oleh para pasukan pengawas.”
Pertanyaan
dari seorang di antara mereka ini membungkam mulut mereka semua dan dua puluh
pasang mata yang menyeramkan itu semua ditujukan kepada Cui Lan. Bahkan
Gubernur Hok sendiri pun menujukan pandang matanya kepada dara itu karena terus
terang saja, biar pun dia seorang gubernur, jadi seorang pembesar yang memiliki
kepandaian dan kecerdikan tentunya, kini sama sekali merasa tidak berdaya!
“Saya sudah
mengenal jalan terowongan itu. Tempat yang terbaik untuk digali adalah di kebun
belakang sebuah kuil. Tempat itu tertutup dan mana mungkin ada pengawal akan
memeriksa sebuah kuil? Hanya saya khawatir kalau-kalau penjaga kuil tidak
setuju!”
“Kita paksa
kepala gundul itu!”
“Kita serbu
saja kuil ltu!”
Kembali Cui
Lan mengangkat tangannya. “Saya harap saudara sekalian tidak berbuat ceroboh.
Melakukan perbuatan menolong di dalam ibu kota ini amatlah berbahaya dan harus
memakai kecerdikan. Tidak boleh bertindak sendiri-sendiri dan saya mengangkat
Saudara Sim Kun untuk memimpin kalian. Kalian, walau pun lebih pandai dari pada
Saudara Sim Kun, harus menurut perintah dan petunjuknya.”
Tentu saja
Sim Kun girang bukan main dan memang tepatlah pilihan Cui Lan. Dara ini melihat
bahwa di antara mereka, hanya Sim Kun yang tidak begitu liar dan memiliki
kecerdikan, maka dia memilih pemuda ini.
“Sekarang
kita rundingkan bagaimana kita akan dapat menguasai kuil itu untuk sehari
saja,” kata pula Cui Lan.
“Kita
serbu!”
“Kita bunuh
hwesio-hwesio-nya!”
Sim Kun
mengangkat tangan ke atas dan mereka semua membungkam. Jelas bahwa mereka telah
mentaati perintah Cui Lan tadi dan telah menganggap Sim Kun sebagai pemimpin
mereka, yaitu dalam urusan menolong pemuda dalam terowongan itu saja tentunya,
bukan pemimpin seterusnya!
“Harap
kalian jangan mempunyai pendapat sendiri-sendiri dan dengarlah siasat kita
bersama yang baik dan tidak ngawur,” kata Sim Kun.
“Tentu
Kun-twako sudah mempunyai akal, bukan?” Cui Lan bertanya dengan cerdik melihat
sikap pemuda itu yang dia sebut ‘twako’ pula sehingga wajah pemuda itu berseri
gembira.
“Begini,”
katanya. “Kita harus menyelundup ke dalam ibu kota dan kita akan menyamar
sebagai orang-orang dusun yang hendak bersembahyang di kuil itu. Kemudian,
dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan suara, kita tangkap semua hwesio dan
membuat mereka tidak berdaya, dan kemudian...” Dengan suara bisik-bisik Sim Kun
melanjutkan penuturannya tentang rencana siasatnya.
Sampai lama
semua orang mendengarkan dengan serius, kemudian meledaklah suara ketawa
mereka. Gubernur Hok diam-diam menarik napas. Siasat mereka ini tidak kalah
oleh siasat kelompok perwira-perwira perang yang mengatur siasat!
“Aku percaya
kalian tak akan gagal, hanya pintaku agar kalian tidak sampai melakukan
pembunuhan, apa lagi terhadap hwesio-hwesio itu. Saya dan Paman Hok akan
menanti di sini bersama Hong Bu,” kata Cui Lan akhirnya.
Siang hari
itu juga, berangkatlah serombongan petani dengan berpencar ke kota dan memasuki
ibu kota tanpa dicurigai karena mereka itu adalah petani-petani biasa. Seperti
yang telah direncanakan, petani-petani yang masuknya berpencar, secara
berpencar pula memasuki sebuah kuil di pinggir kota, sebuah kuil besar dan
karena biasanya orang pergi ke kuil di waktu pagi dan malam, maka siang hari
itu agak sunyi. Orang-orang kota yang datang bersembahyang hanya beberapa orang.
Mereka ini pun segera pergi meninggalkan kuil, enggan berdesakan dengan
orang-orang dusun kasar dan berbau apek yang baru saja memasuki kuil untuk
bersembahyang.
Di antara
dua puluh orang dusun yang memasuki kuil itu, ada sepuluh orang yang kepalanya
tertutup ikat kepala sehingga tidak nampak rambutnya sama sekali. Para hwesio
pengurus kuil yang jumlahnya dua belas orang itu sibuk melayani orang-orang
dusun ini yang bertanya ini itu dan minta ini itu sehingga mereka sibuk
melayani dengan pisah-pisah.
Tidak ada
suara terdengar ketika hwesio-hwesio itu dirobohkan dengan totokan-totokan,
diikat dan sepuluh orang yang kepalanya ditutupi tadi kini menanggalkan ikat
kepala dan ternyata bahwa kepala mereka sudah digunduli licin seperti kepala
para hwesio! Cepat mereka lalu menanggalkan jubah hwesio-hwesio itu dan
muncullah kini sepuluh orang hwesio baru menjaga dan melayani kuil, sedangkan
dua belas orang hwesio itu setelah diikat kaki tangannya dan disumpal mulutnya
lalu dilempar ke dalam gudang di belakang dan dikunci dari luar!
Hwesio-hwesio
baru itu tentu saja canggung dan kaku ketika ada tamu yang datang
bersembahyang, akan tetapi dengan cerdiknya mereka itu menceritakan bahwa
mereka memang hwesio-hwesio baru yang dilatih melayani tamu dan kalau ada pelayanan
yang kurang memuaskan mereka mohon maaf! Selagi mereka ini sibuk melayani
tamu-tamu yang mulai berdatangan karena hari mulai senja, yang lain-lain sibuk
menggali lubang di kebun belakang kuil dipimpin oleh Sim Hoat, karena Sim Kun
yang cerdik itu pun termasuk seorang di antara ‘hwesio-hwesio’ baru itu!
Sementara
itu, keadaan Suma Kian Lee dan komandan Pasukan Kuku Garuda itu benar-benar
amat sengsara. Karena di dekat pintu air dekat sungai itu jalan keluarnya telah
ditutup dan air makin lama makin naik tinggi, terpaksa Kian Lee lalu kembali ke
hilir sambil meraba-raba karena keadaannya sangat gelap. Berbeda dengan tadi
ketika berjalan mengikuti aliran air, kini perjalanan kembali amatlah sukarnya.
Selain air naik makin tinggi, juga Kian Lee harus memapah komandan yang lumpuh
separuh badannya itu.
Akhirnya
sampai juga dia di pintu air yang dihancurkan oleh senjata peledak tadi, di
taman istana gubernuran. Akan tetapi betapa kaget hatinya melihat bahwa lubang
di tempat ini pun telah ditutup! Dia dan komandan itu sekarang benar-benar
seperti tikus terjebak, tidak bisa keluar lagi dan air di saluran dalam
terowongan itu semakin lama semakin tinggi! Walau pun air dari kolam sudah
habis, akan tetapi karena saluran itu menampung air pembuangan dari semua bagian
istana, tentu saja makin lama makin bertambah, dan yang bertambah jauh lebih
banyak dari pada yang dapat mengalir keluar melalui celah-celah batu yang
menutup mulut terowongan. Maka dengan sendirinya air naik makin tinggi!
Tadi ketika
air masih setinggi lutut, bahkan ketika mencapai pinggang, Kian Lee masih dapat
ke sana-sini untuk mencari-cari, kalau-kalau terdapat jalan keluar lain di
samping dua mulut terowongan depan dan belakang yang sudah ditutup itu. Akan
tetapi, yang ada hanya lubang-lubang kecil yang merupakan cabang terowongan
dari mana air mengalir dari segala jurusan. Akan tetapi sekarang air sudah
sampai di bawah leher! Sukar sekali untuk maju dan dengan setengah berenang.
Sambil menggandeng tangan komandan itu, Kian Lee tidak mau menyerah begitu saja
dan selalu mencari bagian yang dangkal. Dia maklum bahwa kalau air sudah
memenuhi saluran itu mereka berdua akan tewas, akan tetapi sebelum mereka mati
dia harus berdaya dan mencari jalan keluar.
Mereka tidak
mengenal waktu karena di dalam terowongan itu cuaca selalu gelap. Dan melihat
betapa pemuda itu tiada hentinya hilir-mudik sambil menggandeng lengannya
dengan susah payah, komandan pasukan Kuku Garuda itu berkata lemah, “Taihiap...
tidak ada gunanya lagi... dari pada menghabiskan tenagamu yang tinggal sedikit
itu... lebih baik... mari kita hadapi maut dengan tenang...“
“Aku tidak
takut mati, Ciangkun. Akan tetapi sebelum hayat meninggalkan badan kita pantang
menyerah begitu saja!”
Komandan itu
menarik napas panjang, kagum akan semangat pemuda ini yang tak kunjung pandam.
“Akan tetapi mati hidup di tangan Tuhan, Taihiap.”
“Mungkin
engkau benar, Ciangkun, akan tetapi kita pun telah diberi perlengkapan untuk
berusaha sekuat tenaga mempertahankan hidup dan itu harus kita pergunakan, apa
lagi menghadapi ancaman maut seperti sekarang ini.”
Terpaksa
komandan itu tidak mampu membantah dan dia pun memaksa tubuhnya yang hampir
tidak kuat lagi mengikuti kemana pun pemuda itu bergerak. Mereka sama sekali
tak menyangka bahwa sudah dua hari mereka berada di dalam terowongan itu
bergulat dengan maut! Tidak tahu bahwa saat itu sudah menjelang malam yang
ketiga!
“Taihiap…
sebelum kita mati... aku ingin sekali mati sebagai salah seorang sahabatmu.
Perkenalkanlah, saya bernama Souw Kee An... dan siapakah nama Taihiap?” berkata
Panglima Pasukan Kuku Garuda itu yang sudah bertahun-tahun menjadi komandan
pasukan pengawal di istana, bahkan ternyata dia adalah adik dari pengawal
kaisar yang bernama Souw Kee It yang muncul dalam cerita Kisah Sepasang
Rajawali.
Tentu saja
Suma Kian Lee tidak merasa keberatan sedikit pun, maka dengan sejujurnya dia
menjawab, “Namaku adalah Suma Kian Lee, Ciangkun.”
Panglima itu
terkejut dan memandang ke arah Suma Kian Lee sungguh pun dia tidak melihat
apa-apa kecuali kehitaman yang padat. “Suma...? Suma Kian Lee...? Ahhh...
Keluarga Suma dari Pulau Es ?”
Kian Lee
menghela napas. Dia tidak perlu menyembunyikan diri lagi, apa lagi terhadap
seorang panglima pengawal istana. Pula, apa sih bedanya keluarga Pulau Es
dengan orang biasa dalam menghadapi kematian secara tidak berdaya itu?
“Kau benar,
Ciangkun.”
“Ahhh...!
Mataku seperti buta tidak mengenal orang pandai! Ahhh, Suma-taihiap, kau
maafkan saya...“
“Sudahlah,
Ciangkun. Dengar... aku seperti mendengar sesuatu...!” Tiba-tiba Kian Lee tidak
bergerak dan mengerahkan tenaga pendengarannya untuk menangkap suara itu.
Komandan Souw Kee An juga tidak bergerak dan memasang telinga mendengarkan
dengan penuh perhatian.
“Dukkk!
Dukkk! Dukkk!”
Suara ini
terus-menerus terdengar, makin lama makin keras seolah-olah ada sesuatu yang
memukul-mukul di atas mereka. Kian Lee belum dapat menduga suara apa yang
terdengar itu, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, apa pun menarik perhatian
dan lalu bergerak mencari-cari sambil memapah Souw-ciangkun, menuju ke arah
suara sampai dia tiba tepat di bawah suara itu. Suara itu makin terdengar keras
dan karena bergema di seluruh terowongan maka terdengar menyeramkan sekali.
Tiba-tiba
tangan Panglima Souw mencengkeram lengan Kian Lee di dalam air yang sudah
mencapai leher mereka itu. “Suara orang menggali di atas kita!” teriaknya
dengan suara serak dan tergetar penuh harapan.
“Kita lihat
saja apa yang akan terjadi, Ciangkun. Tidak perlu terlalu mengharap karena yang
mengharapkan mungkin akan kecewa. Kita tidak tahu siapa yang menggali itu,
kawan ataukah lawan. Oleh karena itu kita bersiap-siap saja dan kalau nanti lubang
sudah terbuka dan ternyata mereka adalah lawan, kuharap Ciangkun suka
bersembunyi di sini saja dulu, dan biarkan aku yang meloncat keluar menghadapi
mereka.”
“Baik,
Suma-taihiap.”
Suara itu
makin keras saja dan akhirnya nampaklah sebuah lubang! Dan terdengarlah suara
orang-orang di atas, kemudian lubang itu makin lebar. Hawa segar memasuki
terowongan itu dan dua orang itu menarik napas dalam-dalam. Di atas lubang itu
pun hitam, akan tetapi tidak segelap di bawah, dan setelah lubang itu cukup
besar, mulailah nampak bayang-bayang muka orang di atas lubang dan jauh tinggi
sekali nampak berkelap-kelipnya bintang-bintang! Pemandangan ini sungguh amat
menyedapkan mata kedua orang itu. Akan tetapi mereka tetap tidak bergerak,
sungguh pun seluruh urat syaraf mereka menegang. Setiap ada kesempatan harus
dia pergunakan sebaiknya, pikir Suma Kian Lee. Kalau yang di atas itu pihak
musuh, dia harus menyergap dan menyerbu keluar dan sekarang dia akan melawan
mati-matian!
Sebuah
kepala nampak di lubang yang besar itu, lalu terdengar suara parau kasar,
“Apakah ada yang bernama Suma Kian Lee di bawah sana?”
Suara ini
bergema dengan aneh, seperti suara iblis dari neraka saja layaknya. Kian Lee
tidak menjawab, menanti perkembangan selanjutnya karena dia tidak tahu siapakah
mereka itu dan mendengar suaranya, di atas itu terdapat banyak sekali orang!
Pertanyaan itu
diulang lagi, dengan suara yang lebih keras dan ada lanjutanya, “Apakah ada
yang bernama Suma Kian Lee di bawah sana? Kami diutus oleh Nona Phang Cui Lan,
sahabat Siluman Kecil, untuk menolongmu!”
“Suma Kian
Lee berada di sini!” Kian Lee menjawab, suaranya nyaring hingga terdengar oleh
semua orang yang berada di atas. Mereka itu kelihatan girang karena ada
suara-suara tertawa lega.
“Kalau
begitu naiklah melalui tali ini!” terdengar suara yang kasar parau itu lagi,
lalu nampak sehelai tali besar diturunkan dari lubang, seperti seekor ular.
“Taihiap,
biarkan saya naik dulu. Kalau ini merupakan jebakan, biarlah saya dulu...“
“Tidak, aku
akan naik dulu, Ciangkun.”
“Taihiap,
kalau ini jebakan dan kau naik dulu kemudian kau terjebak, berarti kita berdua
akan mati. Sebaliknya, kalau aku yang naik dulu dan terjebak, hanya aku yang
akan mati karena Taihiap dapat mengetahui dan menghindarkan jebakan itu.
Biarkan aku naik dulu!”
“Engkau
gagah sekali, Ciangkun. Akan tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mudah mereka
celakakan di atas sana. Pula, aku yakin mereka itu tentu orang-orang yang
hendak menolong, apa lagi tadi menyebut nama Phang Cui Lan, dan andai kata
mereka itu adalah musuh, perlu apa susah-susah menolong kita? Mereka tentu tahu
bahwa membiarkan kita begini saja, kita akan mati sendiri.”
Panglima itu
tidak membantah lagi dan Kian Lee lalu menyambar tali dan merayap naik, tentu
saja dia sudah siap dengan sinkang melindungi tubuh dan satu di antara kedua
tangannya bebas dan siap untuk menghadapi serangan. Tali itu ditarik dari atas
dan ketika Kian Lee meloncat ke luar, dia melihat belasan orang laki-laki yang
berpakaian seperti petani dan ternyata mereka itu benar-benar hendak menolong
karena tidak ada seorang pun yang kelihatan hendak menyerangnya.
Kian Lee
lalu menurunkan lagi tali itu ke dalam lubang sambil berseru ke bawah.
“Souw-ciangkun, sekarang naiklah!”
Dengan satu
tangannya, panglima itu bergantung kepada tali dan ditarik ke atas oleh Kian
Lee. Setelah keduanya berada di atas, Kian Lee dan Souw-ciangkun menjura pada
belasan orang itu dan Kian Lee berkata, “Banyak terima kasih atas pertolongan
Cu-wi sekalian. Sekarang, di manakah adanya Nona Phang Cui Lan?”
Tanpa banyak
cakap Sim Hoat dan teman-temannya lalu berkata, “Mari kita pergi!” dan Kian Lee
berdua panglima itu terheran-heran melihat hwesio-hwesio ikut pula bersama
rombongan mereka dan jumlah mereka yang menolong itu ada dua puluh orang!
Kiranya
hwesio-hwesio yang jumlahnya sepuluh orang itu hanya hwesio-hwesio palsu karena
di tengah jalan mereka menanggalkan pakaian hwesio dan di bawah jubah ini
ternyata mereka berpakaian seperti petani pula. Kian Lee dan Panglima Souw juga
diberi pakaian petani itu, dan dengan menggotong Souw-ciangkun yang tidak dapat
berjalan, mereka berangkat meninggalkan kota. Dengan cepat mereka menuju ke
hutan di mana Cui Lan dan Gubernur Hok menanti.
Air mata
bercucuran dari sepasang mata Cui Lan yang bening ketika dia melihat
orang-orang kasar itu berhasil menyelamatkan Kian Lee, dan pemuda ini pun
dengan hati terharu memegang tangan dara itu. “Terima kasih... terima kasih...
Cui Lan,” katanya berulang-ulang.
“Jangan
kepada saya, Kongcu, melainkan kepada dia...”
“Siluman
Kecil?”
Cui Lan
mengangguk dan kedua pipinya merah.
“Sekali
waktu aku pasti akan bertemu dengan dia dan menghaturkan terima kasihku.”
Souw-ciangkun
ketika bertemu dengan Gubernur Ho-pei, yang tidak dikenal oleh Kian Lee, segera
menjura dengan penuh hormat sambil berkata, “Syukur bahwa Taijin ternyata dapat
diselamatkan, akan tetapi Pangeran...“ Dan komandan pengawal ini mengeluh
karena begitu dipakai bergerak, tubuhnya terasa sakit-sakit dan dia tentu
terguling roboh kalau tidak cepat disambar oleh Kian Lee dan dibaringkan.
“Engkau
harus kuobati dulu, Ciangkun. Kalau tidak bisa berbahaya!” Kian Lee kemudian
membawa komandan itu ke dalam kamar di pondok, membaringkannya di atas lantai
yang bertilam daun kering, kemudian dia sendiri duduk di dekatnya dan
menggunakan sinkang untuk mengusir hawa beracun dari tubuh panglima itu.
Hanya dalam
waktu beberapa jam saja, pendekar muda ini telah berhasil membersihkan hawa
beracun dari tubuh Souw-ciangkun, dan biar pun tubuhnya masih terasa lemah,
namun Souw-ciangkun sudah sehat kembali. Mereka berdua lalu makan nasi yang
dihidangkan oleh Cui Lan dan Hong Bu, makan dengan lahapnya karena selama tiga
hari mereka itu sama sekali tidak makan apa-apa.
“Kemanakah
perginya orang-orang yang menolong kami semalam?” tanya Kian Lee ketika melihat
keadaan yang sunyi di pondok itu.
Cui Lan
menggelengkan kepala. “Mereka telah pergi semua, tak mungkin dapat ditahan
lagi. Mereka berkumpul dan menolong Kongcu atas permintaanku itu karena nama
Siluman Kecil. Setelah tugas mereka selesai, tugas yang akan mereka lakukan
dengan taruhan nyawa demi Siluman Kecil, kini mereka lalu pergi. Urusan kita
selanjutnya tidak mereka pedulikan karena mereka hanya mau bergerak karena
mengingat pendekar itu.” Lalu Cui Lan menceritakan pengalamannya sejak ia
melarikan Gubernur Ho-pei sampai bertemu dengan para pemburu dan nyaris saja
dia dan Hok-taijin mati terbakar hidup-hidup.
“Bukan main
Siluman Kecil itu!” Kian Lee memuji penuh kagum.
“Akan tetapi
bagi saya, yang lebih hebat adalah Nona Phang Cui Lan ini, Taihiap,” kata
Gubernur Hok yang sudah mendengar dari Souw-ciangkun tentang kegagahan Suma
Kian Lee membantu pihak istana menentang para jagoan Ho-nan. “Dia ini hanyalah
seorang gadis muda yang lemah, namun sepak terjangnya sungguh tidak kalah oleh
seorang pendekar yang perkasa!”
“Ah, Taijin
bisa saja memuji orang...“ Cui Lan menunduk dengan muka merah.
“Memang,
saya pun mengerti, Taijin,” kata Kian Lee. “Memang engkau patut menjadi sahabat
baik Siluman Kecil, Cui Lan.”
“Sudahlah,
Suma-kongcu. Kalian hanya membuat saya merasa malu saja, sebaiknya sekarang
dipikirkan bagaimana dengan nasib Pangeran utusan Kaisar itu dan para pengawal
beliau.”
“Aku pun
sedang memikirkan hal itu dan karena Souw-ciangkun sendiri masih lemas, biarlah
aku sendiri yang menyelidiki ke sana malam ini.”
“Aihhh...,
itu berbahaya sekali, Kongcu!” Cui Lan berseru sambil matanya terbelalak penuh
khawatir. “Kami dengan susah payah membantu Kongcu keluar dari terowongan maut
itu dan sekarang Kongcu malah hendak ke kota yang penuh dengan bahaya itu!”
Kian Lee merasa
terharu. Dara ini benar-benar seorang wanita yang memiliki watak halus dan
berbudi mulia. Berbahagialah pria yang dicintai oleh seorang wanita seperti Cui
Lan ini, pikirnya dan diam-diam dia agak iri juga kepada Siluman Kecil dan juga
diam-diam berjanji pada diri sendiri bahwa kelak tentu Siluman Kecil akan
berhadapan dengan dia sebagai lawan. Hanya seorang yang berhati mati saja yang
tidak akan menerima cinta kasih seorang dara berperasaan halus dan berbudi
mulia seperti Cui Lan!
“Ahhh, Cui
Lan, engkau belum tahu siapa adanya Suma-taihiap ini! Engkau masih menganggap
dia seorang pemuda terpelajar yang lemah. Ha-ha!” kata Gubernur Hok.
“Nona Phang,
ketahuilah bahwa Suma taihiap ini tidak kalah saktinya dengan pendekar yang
berjuluk Siluman Kecil itu!” kata pula Souw Kee An.
“Ahhh...!”
Sepasang mata itu memandang Kian Lee penuh selidik dan pemuda ini tersenyum,
diam-diam menyesal mengapa panglima itu lancang mulut sehingga selain
mengejutkan juga dapat menurunkan pandangan nona itu yang teramat tinggi
terhadap Siluman Kecil.
“Jangan
percaya kepadanya, Cui Lan, Souw-ciangkun hanya suka berkelakar. Nah, aku harus
berangkat sekarang juga. Harap Taijin dan Cui Lan menanti di sini, dan kau
lindungi dia dulu, Souw-ciangkun. Setelah aku kembali, baru kita berunding lagi
bagai mana baiknya. Syukur-syukur kalau aku berhasil menolong dan membawa
Pangeran Yung Hwa ke sini.”
Maka
berangkatlah Kian Lee, diiringkan pandang mata penuh harapan oleh Gubernur Hok
dan Souw-ciangkun, akan tetapi pandang mata Cui Lan penuh kekhawatiran…..
***************
Tidaklah
sukar bagi Kian Lee untuk menyelundup masuk ke dalam kota Lok-yang di Ho-nan.
Dengan ilmunya yang tinggi, mudah saja dia meloncati dinding tembok di
sekeliling kota dan menyelinap di antara rumah-rumah penduduk menuju ke istana
Gubernur Ho-nan.
Malam itu
sunyi. Semenjak peristiwa keributan yang terjadi di taman istana, memang
keadaan ibu kota menjadi sunyi dan penduduk banyak yang merasa takut keluar
malam. Penjagaan diperketat, akan tetapi dengan mudah Kian Lee menggunakan
ginkang-nya meloncat ke atas pagar tembok istana dan terus meluncur ke dalam.
Dengan sigap dia telah menotok roboh seorang penjaga yang sedang meronda di
dekat taman, lalu menyeretnya ke semak-semak dan mengancamnya, “Kubunuh kau
kalau kau berani berteriak!”
Di dalam
keadaan yang remang-remang itu, penjaga ini tidak dapat melihat muka Kian Lee
dengan jelas, dan andai kata dapat melihat pun, dia tidak akan mengenal wajah
pemuda ini yang baru satu kali datang sebagai tamu dan belum banyak dikenal,
kecuali oleh pasukan yang dulu menghadangnya.
“Ampun,
Hohan...!” penjaga itu memohon.
“Aku tidak
akan membunuhmu asal engkau suka menceritakan di mana adanya Pangeran Yung
Hwa!” Kian Lee mengancam.
“Ampun...
siapa Pangeran Yung Hwa...? Saya tidak tahu, Hohan...“
Kian Lee
mengerutkan alisnya. “Kau tidak kenal? Pangeran yang menjadi utusan Kaisar
tempo hari...”
“Ah, kalau
beliau tentu saja saya tahu. Yang menjadi utusan Kaisar dan kemudian terjadi
keributan di taman?”
“Ya, benar.
Di mana dia ditahan?”
“Ditahan?
Saya sungguh tidak mengerti apa maksudmu, Hohan.”
“Bukankah
kau sendiri bilang terjadi keributan di taman ketika Pangeran itu muncul, lalu
diserang dan ditangkap?”
“Ahh, sama
sekali tidak, Hohan. Memang terjadi keributan antara jagoan-jagoan Ho-nan
melawan jagoan-jagoan Ho-pei, akan tetapi tidak ada yang berniat buruk terhadap
Pangeran utusan Kaisar. Bahkan pada keesokan harinya pun utusan itu telah
kembali ke kota raja dengan pengawalan ketat.”
“Bohong!
Kubunuh kau kalau membohong!”
“Saya...
saya tidak berani membohong Hohan!”
Kian Lee
menjadi bingung, lalu dia menotok lagi agar orang itu tidak mampu bergerak atau
mengeluarkan suara, kemudian dia meninggalkannya di balik semak-semak dan
karena penasaran, Kian Lee lalu mencari dan akhirnya dia berhasil menyergap dan
menangkap seorang perwira pengawal seperti yang dilakukannya kepada prajurit
itu. Akan tetapi, keterangan perwira pengawal ini pun sama dengan apa yang
didengarnya dari si prajurit. Sungguh mengherankan!
Suma Kian
Lee menjadi penasaran sekali. Para prajurit dan perwira itu tentu saja sudah
diperintahkan untuk membuat pengakuan seperti itu setiap kali ada penyelidik
datang hendak menolong Pangeran Yung Hwa. Betapa bodohnya dia! Satu-satunya
orang yang akan dapat dia paksa membebaskan Pangeran Yung Hwa hanyalah si
gubernur sendiri. Dia harus menangkap Gubernur Kui Cu Kam dan memaksanya
membebaskan Pangeran Yung Hwa! Dia sudah memperhitungkan bahayanya.
Menurut
penglihatannya kemarin dulu ketika terjadi pertempuran, yang patut dianggap
lawan berat hanya beberapa orang, yaitu Mauw Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo
serta beberapa orang panglima pengawal saja. Bahkan baginya, hanya dua orang
itulah yang merupakan lawan yang cukup tangguh, namun dia yakin akan dapat
mengatasi mereka berdua.
Yang
dikhawatirkan hanya kalau semua pasukan dikerahkan. Tentu saja tidak mungkin
dia dapat menghadapi pengeroyokan ratusan orang pasukan, apa lagi di dalam
istana yang masih asing baginya. Kalau sampai demikian halnya, tentu akan gagal
usahanya menangkap gubernur itu. Yang penting adalah menyelundup dan kemudian
diam-diam menangkap gubernur itu, karena kalau gubernur itu sudah ditawannya,
tentu yang lain-lain akan mundur teratur. Juga dia akan membawa pula gubernur
yang memberontak itu sebagai tawanan ke kota raja!
Dengan
keputusan hati yang bulat ini Kian Lee lalu melayang naik ke atas wuwungan
istana, mendekam karena khawatir kalau-kalau di atas genteng terdapat pula
penjaga-penjaga. Ternyata dugaannya betul, namun hanya terdapat dua orang yang
menjaga di menara untuk mengamati keamanan di atas genteng-genteng.
“Aku harus
merobohkan mereka dulu, baru dapat bergerak dengan leluasa mencari kamar
gubernur,” pikir Kian Lee.
Bagaikan
seekor kucing saja, dia bergerak-gerak di atas genteng tanpa mengeluarkan
suara, menghampiri tempat pejagaan di menara itu, sedikit pun tidak diketahui
oleh dua orang penjaga yang sedang bercakap-cakap.
“Ah, kenapa
kita masih harus melakukan penjagaan yang begini ketat? Sampai-sampai semua
atap harus diawasi seolah-olah ada musuh yang akan terbang ke sini,” seorang di
antara mereka mengeluh.
“Ah, siapa
tahu!” bantah orang kedua. “Semenjak utusan Kaisar itu datang dan pulang, kita
harus berjaga-jaga karena sudah pasti pihak Ho-pei tidak mau tinggal diam
begitu saja. Demikian yang kudengar dari para perwira.”
Kian Lee
yang sudah siap untuk menerjang itu menunda gerakannya dan merasa makin heran.
Dua orang ini sedang bercakap-cakap tanpa paksaan dia, tetapi toh mereka
menyatakan bahwa utusan kaisar sudah pulang. Bagaimana ini? Benarkah Pangeran
Yung Hwa tidak menjadi tawanan Gubernur Ho-nan?
Dua orang
itu kini membalikkan tubuh untuk memeriksa keadaan di sekeliling mereka dan
pada saat itu Kian Lee meloncat. Dua kali tangannya bergerak, dua orang penjaga
itu roboh pingsan karena tengkuk mereka kena disambar oleh jari tangan Kian
Lee. Cepat pendekar ini menotok mereka sehingga untuk waktu yang agak lama mereka
akan lumpuh dan menyumpal mulut mereka dengan robekan baju mereka sendiri,
kemudian dia berloncatan di atas genteng mencari-cari kamar gubernur.
Selagi dia
mencari-cari dan mengintai, tiba-tiba dia mendengar suara ketawa yang
mengejutkan hatinya. Suara ketawa macam itu hanya dapat dilakukan oleh orang
yang memiliki khikang tinggi dan amat kuat! Suara itu bergema dan menggetarkan
genteng yang diinjaknya, lalu dia mendengar suara orang bercakap-cakap dari
arah datangnya suara ketawa itu. Dengan hati tertarik dan amat hati-hati karena
dia tahu bahwa ada orang pandai di bawah sana, Kian Lee lalu menghampiri tempat
itu dan mendekam di atas genteng lalu mengintai ke bawah.
Akan tetapi,
berbeda dengan ruangan-ruangan lain, ruangan di bawah ini ternyata rapat dan di
bawah genteng itu terdapat langit-langit sehingga dia tidak dapat melihat ke
dalam ruangan. Kian Lee mendongkol sekali karena kini dia merasa yakin bahwa
sang gubernur yang dicari-cari itu berada di bawah genteng ini! Hal ini dapat
dia ketahui karena suara yang besar dan mengandung tenaga khikang amat kuat,
agaknya suara orang yang tertawa tadi, berkata dengan nyaring.
“Percayalah,
Kui-taijin, semua akan berjalan dengan baik menurut rencana!” kemudian dia
mendengar langkah kaki yang berat sekali, seperti gajah berjalan, dan suara itu
terdengar lagi, “Harap Taijin beristirahat dan besok kita sambung lagi
perundingan kita.”
Kian Lee
cepat melayang turun dari atas genteng, bersembunyi di balik dinding dan
mengintai. Dilihatnya seorang laki-laki yang tubuhnya sangat besar, seperti
raksasa, kepalanya botak dan besar sekali, keluar dari ruangan itu. Raksasa ini
sukar ditaksir usianya, tetapi tentu sudah lebih dari setengah abad. Sungguh
pun tubuhnya besar sekali namun gerak-geriknya lemas dan gesit, pakaiannya
mewah dengan memakai sehelai jubah mantel berwarna merah dan sepatunya memakai
tapal baja. Langkahnya lebar dan tetap, kadang-kadang mengeluarkan bunyi
seperti seekor gajah lari, kadang-kadang tidak berbunyi sama sekali seperti
seekor harimau melangkah. Sebentar saja kakek ini lenyap dan diam-diam Kian Lee
menarik napas panjang. Orang itu sudah jelas merupakan lawan yang amat tangguh,
taksirnya.
Akan tetapi
karena yang dicarinya berada di kamar itu, dia tidak mempedulikan lagi kakek
raksasa itu, dan mengintai dari jendela. Ruangan itu luas, merupakan ruangan
perundingan agaknya, dengan banyak kursi dan meja yang panjang besar. Hatinya
girang bukan main ketika dia melihat sang gubernur kini duduk seorang diri di
sudut ruangan itu, di atas kursi dan menghadapi sebuah meja, agaknya sedang
menuliskan sesuatu di atas buku yang terletak di atas meja, di depannya. Inilah
kesempatan yang baik, pikir Kian Lee. Lebih baik dia cepat turun tangan sebelum
ada pengawal datang.
Dengan
gerakan kilat, Kian Lee menerobos melalui pintu dari mana kakek raksasa tadi
keluar dan sedetik kemudian dia telah berdiri di tengah ruangan itu, memandang
kepada Gubernur Kui Cu Kam yang masih duduk di atas kursi. Akan tetapi,
tiba-tiba gubernur itu menoleh, memandang kepadanya dan mendadak kursi yang
diduduki gubernur itu berikut mejanya amblas ke dalam lantai!
“Heiiiii!”
Kian Lee terkejut dan meloncat, akan tetapi ketika dia tiba di sudut tempat
itu, meja dan kursi berikut sang gubernur telah lenyap dan lantai itu telah
tertutup kembali!
“Ha-ha-ha-ha!”
Suara ketawa yang menggetarkan seluruh ruangan itu terdengar dan ketika Kian
Lee menengok, ternyata kakek botak raksasa itu telah berdiri di ambang pintu,
berdiri tegak dengan dua kaki terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang
dan perutnya yang besar bergoncang-goncang ketika dia tertawa.
Mengertilah
Kian Lee bahwa dia telah tertipu, maka dengan marah dia lalu meloncat ke depan,
kemudian menggerakkan kedua tangannya mendorong kakek raksasa itu sambil
membentak, “Pergilah!”
Kian Lee
adalah seorang pemuda yang berwatak halus dan dia sama sekali tidak mau
membunuh orang begitu saja. Dia tak mengenal kakek ini, sungguh pun dia tahu
bahwa kakek ini adalah kaki tangan Gubernur Ho-nan yang agaknya tadi telah
mengetahui akan kedatangannya dan mengatur siasat untuk menjebaknya di ruangan
itu. Maka ketika dia menyerang untuk meloloskan diri, dia hanya menggunakan
setengah tenaga sinkang-nya karena dianggapnya itu sudah cukup dan agar jangan
sampai dia melukai orang dan membahayakan keselamatan orang itu.
Kakek itu
dengan kedua kaki masih terpentang lebar, agaknya memandang rendah kepada
pukulan kedua tangan pemuda itu. Buktinya, dia sama sekali tidak mengelak dari
pukulan itu, juga tidak menangkis, melainkan juga menggerakkan kedua tangannya menyambut
dengan pukulan telapak tangan yang didorongkan.
Kian Lee
terkejut sekali. Dia mengenal keampuhan pukulannya sendiri yang dilakukan
dengan tenaga Swat-im-sin-kang, yaitu Tenaga Sakti Inti Es yang amat ampuh,
tenaga sakti dari ayahnya yang dilatihnya di Pulau Es. Karena dia tidak ingin
mencelakakan orang, maka kembali dia mengurangi tenaganya dengan agak menahan
pukulan kedua tangannya yang mendorong itu.
“Desssss...!”
Akibat
benturan dua pasang telapak tangan itu, tubuh Kian Lee lalu terjengkang dan
terlempar sampai jauh ke dalam ruangan itu!
“Ha-ha-ha-ha-ha!”
Kakek raksasa itu tertawa bergelak, suara ketawanya menggetarkan ruangan dan
tadi ketika bertemu tenaga sakti, tubuhnya hanya bergoyang sedikit saja!
Dan pada
saat itu, kelihatan dua orang menubruknya dan mereka ini bukan lain adalah Mauw
Siauw Mo-li dan Ho-nan Ciu-lo-mo! Kiranya dua orang ini juga telah bersembunyi
di balik pintu-pintu rahasia dan begitu melihat dia terjengkang dan
bergulingan, mereka sekarang menubruk dengan serangan maut mereka. Mauw Siauw
Mo-li menggunakan pedangnya yang bersinar hijau itu menusuk ke arah dadanya,
sedangkan Ho-nan Ciu-lo-mo menggunakan guci arak menghantam ke arah kepalanya!
Akan tetapi
biar pun tubuhnya terlempar dan bergulingan, Kian Lee sama sekali tidak
terluka. Kalau dia terpental, hal itu hanyalah karena dia hanya menggunakan
tenaganya sedikit saja, hanya kurang dari setengahnya dan ternyata, di luar
dugaannya, kakek botak raksasa itu benar-benar lihai bukan main! Kiranya kalau
dia tadi mengerahkan seluruh tenaganya, baru dia akan dapat menandingi kakek itu!
Betapa bodohnya!
Dengan
ginkang-nya yang sangat hebat, yang hanya kalah oleh ilmu mujijat ayahnya yang
disebut Gerakan Angin dan Petir, yaitu gerakan khas ayahnya sebagai seorang
pendekar kaki tunggal yang terkenal sebagai Pendekar Super Sakti atau Pendekar
Siluman, Kian Lee menggerakkan tubuhnya melesat dari bawah hingga hanya nampak
bayangan berkelebat dan dua serangan maut itu hanyalah mengenai tempat kosong!
Nyaris dia celaka, pikirnya dan karena tahu bahwa usahanya gagal sama sekali,
tubuhnya mencelat lagi ke arah daun jendela yang masih tertutup.
“Brakkk!”
Daun jendela
pecah kena terjangan tubuhnya dan terdengar pekik kesakitan ketika empat orang
pengawal di luar jendela itu kena diterjang pula oleh kaki Kian Lee hingga
mereka terpental dan terguling-guling. Kiranya di luar ruangan itu telah
menanti banyak sekali pengawal! Kian Lee tidak mau membuang waktu lebih lama
lagi. Sebelum kakek raksasa yang lihai bersama dua orang lihai tadi keluar, dia
sudah meloncat ke atas genteng dan melarikan diri.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment