Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 03
Gegerlah
seluruh istana Kerajaan Bhutan dengan berita tentang siluman yang memasuki
istana itu. Tentu saja sebagian besar orang tidak percaya, dan raja sendiri pun
tidak percaya. Namun betapa pun juga, para panglima mengerahkan
pengawal-pengawal istana untuk melakukan penjagaan dan perondaan yang ketat
untuk menjaga keselamatan keluarga istana raja. Juga para pendeta Buddha
dikerahkan untuk mengusir ‘roh’ jahat atau siluman yang mengganggu istana.
Kalau saja
tidak ada pengerahan pendeta-pendeta untuk mengusir roh-roh jahat, kiranya
tidak akan terjadi hal-hal yang menghebohkan. Malam itu juga, seorang pendeta
Buddha yang terkenal sebagai seorang ahli roh-roh jahat dan siluman yang
bernama Nalanda, seorang yang bertubuh tinggi besar, berusia lima puluh tahun berwajah
angker dan serius, dengan membawa tempat pedupaan yang terisi dupa wangi
mengebul, berjalan mengelilingi istana.
Asap dupa
mengebul dari tempat pedupaan, baunya semerbak sampai ke sudut-sudut, dan
Pendeta Nalanda berkemak-kemik membaca mantera untuk mengusir roh jahat. Kemak…
kemik… kemak… kemik….
Pada saat
itu, sesosok bayangan menyelinap di antara bayangan-bayangan gedung istana.
Bayangan ini bukan lain adalah dara cantik jelita yang tadi telah menggegerkan
luar istana. Sekarang payungnya telah ditutup dan dikempit di bawah ketiak
kirinya, dan dengan gerakan kaki yang ringan dan gesit, tanda bahwa gadis
‘siluman’ ini memiliki kepandaian tinggi, dan menyelinap ke sana ke mari
mencari-cari. Dara itu sudah mulai kelihatan gelisah dan jengkel karena dia
tidak mengenal jalan sehingga selalu tersesat bertemu dengan lorong buntu di
kompleks istana yang luas itu.
“Sialaaan...!”
Berulang kali dia mengumpat dan memandang ke kanan kiri, mencari-cari.
Tiba-tiba
hidung yang cupingnya tipis itu bergerak-gerak, seperti hidung kelinci mencium
bau harimau yang berbahaya, matanya berkilat dan kepalanya menoleh ke sana-sini
mencari-cari sumber bau dupa harum itu yang makin lama makin keras. Akhirnya
dia bergerak menyelinap di antara pot-pot bunga antik yang besar, bersembuyi di
balik pot bunga dan mengintai ke arah Pendeta Nalanda yang melangkah datang
perlahan-lahan dengan tangan memegang pedupaan yang mengebulkan asap putih dan
bibirnya terus berkemak-kemik membaca mantra pengusir roh jahat.
Dara itu
tersenyum geli. Sekelebat mata, giginya yang putih seperti mutiara itu berkilat
tertimpa cahaya lampu yang banyak bergantung di lorong-lorong istana. Dara itu
tentu saja mengerti mengapa pendeta ini membakar dupa dan berdoa mengusir roh
jahat. Matanya yang cerdik itu berkilauan dan wajahnya yang jelita berseri
gembira. Dia kini memperoleh seorang petunjuk jalan, pikirnya! Maka dengan
gerakan yang ringan, yang menandakan bahwa dia memiliki ginkang yang tinggi,
dara itu lalu menyelinap dan membayangi pendeta itu dari belakang.
Pendeta
Nalanda memasuki taman bunga istana, di istana bagian puteri yang terjaga
ketat. Penjagaan di sekitar taman ini ketat bukan main dan dara cantik itu
hanya bersembunyi di luar taman, akan tetapi dia dapat mengintai dari luar,
melihat pendeta itu memasuki taman, tiba di tengah taman yang luas dan dari
jauh dia melihat pendeta itu bicara kepada seorang wanita yang agaknya duduk di
dalam taman, lalu pendeta itu mengelilingi taman dengan pedupaannya dan keluar
lagi.
Si Dara
terus membayanginya dan akhirnya dia melihat pendeta itu memasuki sebuah kamar
kosong, meletakkan pendupaan di atas lantai di tengah kamar, kemudian dia
berjalan mengelilingi pendupaan, kedua tangan dirangkap di depan dada, mulutnya
tak hentinya berkemak-kemik membaca mantera.
Kemudian
pendeta itu berdiri tegak di tengah kamar, pendupaan mengebul di dekat kakinya,
dan terdengar dia berkata, “Wahai semua roh penasaran yang berkeliaran di
sekitar istana Bhutan, dengarkanlah perintahku! Aku adalah yang terkasih,
Pendeta Nalanda, yang telah memperoleh penerangan dan kekuasaan untuk mengusir
kalian! Jangan kalian berani mendekati dan mengganggu istana, atau aku akan
menggunakan kekuasaan untuk menghukum kalian!”
Ucapan itu
dilanjutkan dengan doa-doa dan mantera lagi dan pada saat itulah, selagi
Pendeta Nalanda melakukan upacara pengusiran roh jahat, tiba-tiba saja pandang
mata pendeta itu terbelalak menatap bayangan yang muncul dari pintu kamarnya!
Bayangan seorang wanita yang cantik jelita, yang mengempit sebuah payung!
Pendeta yang
selama menjadi pengusir roh ini hanya mengusir siluman-siluman dalam khayalnya
saja, kini melihat pemandangan itu, merasa tengkuknya pun dingin dan tebal,
semua bulu di tubuhnya, dan banyak memang bulu ini karena semua tubuhnya
berbulu, berdiri satu-satu! Makin diperhebat doa dan manteranya, kulit di
antara alisnya berkerut ketika dia memusatkan kekuatan batinnya. Akan tetapi,
ketika dia melirik ke depan, ‘roh jahat’ itu masih berdiri di situ, malah makin
mendekat memasuki kamar dan tersenyum-senyum!
“Wahai, roh
yang keras kepala!” bentaknya menudingkan telunjuknya ke arah hidung mancung
‘roh’ itu. “Pergilah kau kalau tidak ingin merasakan ampuhnya pusakaku!”
‘Roh’ cantik
itu malah tersenyum, manisnya bukan main, membuat tangan pendeta yang mencabut
keluar sebatang pedang kayu itu gemetar. Tersenyum lagi dan mengerling dengan
sikap menggoda dan mempermainkan.
“Sliuman
jahat... pedang pusakaku akan menghukummu!” Dengan suara gemetar pula pendeta
Nalanda itu menggerakkan pedang kayu yang berbau harum itu, terbuat dari
semacam kayu cendana yang berkhasiat melumpuhkan siluman, menusuk ke arah dada
wanita cantik itu.
“Plakkkk!”
Sekali wanita itu menggerakkan tangannya, pedang kayu telah dirampasnya,
kemudian pedang itu bergerak dua kali menotok dan tubuh pendeta yang tinggi
besar itu jatuh bertekuk lutut!
Dara jelita
itu terkekeh, menutupi mulutnya, kemudian menggunakan pedang kayu yang dia
oles-oleskan abu pendupaan untuk mencoret-coret muka pendeta itu dengan arang
hitam! Setelah melakukan kenakalan ini sambil tertawa, dia lalu merenggut lepas
jubah pendeta itu, menyelimutkan di atas tubuhnya sendiri, menyambar kopiah
pendeta dan menaruhnya di atas kepala, lalu diambilnya pendupaan itu dan
keluarlah dia dari kamar itu, mengepit payung dan memegang pendupaan, lalu
menuju ke taman istana yang tadi pernah dikunjungi oleh Pendeta Nalanda!
“Ehh,
Losuhu, kenapa kembali lagi?” Penjaga taman itu berseru heran dan menghadang di
tengah pintu taman.
“Minggir,
ada siluman di dalam taman!” kata dara itu dengan suara dibesarkan, dan dia
cepat membaca mantera dengan ngawur dan berjalan masuk.
Para penjaga
sudah menjadi ketakutan mendengar kata-kata itu, maka mereka tidak begitu
memperhatikan di dalam kegelapan malam yang mulai tiba itu bahwa si pendeta
kini tiba-tiba berubah kecil tubuhnya, dan kini mengempit payung di bawah
ketiaknya!
Dara itu
terus memasuki taman. Setelah para penjaga sudah tidak kelihatan lagi, dia
melemparkan pendupaan, kopiah dan jubah ke belakang semak-semak dan dia cepat
menyelinap ke belakang pohon-pohon dan semak-semak, menuju ke tengah taman.
Seperti
telah diceritakan di bagian terdahulu, pada saat itu Puteri Syanti Dewi tengah
duduk melamun seorang diri di dalam taman, termenung memandangi bunga teratai
merah di dalam empang.
“Bunga
teratai... engkau jauh lebih bahagia dari pada manusia,” demikian keluhan hati
Sang Puteri.
Dia teringat
akan kekasihnya. Betapa sukarnya menjadi manusia. Kotor atau bersihnya manusia
ditentukan oleh keadaan, oleh lingkungan, dan terutama oleh pendapat orang lain
atau umum. Sebelum pergi meninggalkan Bhutan, Ang Tek Hoat dikenal sebagai
seorang pahlawan, seorang calon mantu raja, seorang yang sangat patut dihormati
dan dimuliakan. Akan tetapi sekali saja suara orang lain dijatuhkan, Tek Hoat
menjadi orang yang direndahkan.
“Tidak...!”
bantah hatinya. “Bagiku, engkau masih bersih, Tek Hoat. Bagai bunga teratai
itu, biar direndam ke dalam lumpur masih tetap bersih dan cemerlang. Dan
selamanya aku akan menganggapmu begitu.“
Dia menghela
napas panjang dan teringat akan pesan pendeta Nalanda tadi. Pendeta itu
memasuki taman dan menasehati agar dia masuk ke kamarnya karena ada ‘hawa
siluman’ mengotori istana dan pendeta itu tengah berusaha untuk mengusir roh
jahat. Tetapi Syanti Dewi tidak merasa takut! Puteri ini telah terlepas dari
ketahyulan semenjak dia terjun di dunia bebas dahulu, setelah dia mengalami
banyak sekali hal-hal hebat hingga membuka matanya bahwa segala macam ketahyulan
itu hanyalah kebohongan semata.
Dia telah
mengalami hal-hal yang nyata, dan dalam keadaan bagaimana pun juga, dia tidak
pernah mengalami hal-hal aneh seperti yang dipercaya oleh orang-orang yang suka
menerima ketahyulan sebagai sesuatu yang benar. Dan oleh karena itu, nasehat
pendeta itu tidak dipedulikannya dan puteri ini masih saja duduk seorang diri
di dalam taman itu.
“Selamat
malam, Adinda Syanti Dewi!”
Puteri itu
menengok dan hatinya berbisik mencela, “Hemmm, kalau memang di dunia ini ada
siluman, dia inilah siluman bagiku.”
Akan tetapi
Syanti Dewi adalah seorang yang berperangai halus, dan biar pun hatinya tidak
senang kepada Panglima Mohinta yang tiba-tiba muncul itu, namun dia memaksa
senyum dan menjawab, “Selamat malam, Panglima Mohinta.”
Mohinta
menyeringai dan kumis tipisnya yang membuat wajahnya tampan menarik itu
bergerak sedikit. Dia kecewa karena setiap kali mereka berduaan, puteri ini
masih selalu menyebutnya ‘panglima’. Hanya dalam pertemuan resmi yang
disaksikan oleh keluarga istana saja puteri itu mentaati ayahnya dan menyebut
‘kakanda’ kepada tunangannya ini! Sebutan ‘panglima’ sungguh sama sekali tidak
mencerminkan kemesraan, bahkan membayangkan kedudukan puteri itu yang lebih
tinggi, seorang puteri yang berbicara dengan seorang panglima kerajaan, seorang
bawahan!
“Mengapa
Adinda masih di sini? Hawa udara dingin sekali, Adinda bisa masuk angin.”
“Biarlah,
Panglima Mohinta. Aku sedang menikmati malam sunyi di sini. Engkau datang
menemuiku di sini ada urusan apakah?”
Kembali
panglima muda itu menyeringai seperti orang sakit gigi. Betapa dingin sikap
tunangannya ini, melebihi dinginnya hawa udara pada waktu itu. “Saya... saya...
hanya ingin menjenguk, khawatir kalau Adinda sakit. Dan kabarnya... hemmm...
ada siluman berkeliaran... tadi Pendeta Nalanda memberi tahu...“
“Hemmm,
apakah seorang panglima seperti engkau takut siluman? Aku sih tidak takut.
Sudahlah, Panglima, tinggalkan aku sendiri menikmati kesunyian.”
Akan tetapi
panglima itu tidak pergi, bahkan kini matanya memandang puteri itu dengan
mesra. Alangkah cantiknya puteri tunanganya itu! Alangkah manis bibir itu,
putih halus wajah dan leher itu! Dan Panglima Mohinta melangkah maju, lalu
tanpa diminta dia duduk di atas bangku, di sisi Syanti Dewi.
“Adinda
Syanti Dewi...“
“Panglima,
aku ingin sendirian!”
“Aduhai,
Adinda sayang. Bukankah telah bertahun-tahun kita bertunangan? Kita adalah
calon suami isteri. Apakah aku tak boleh mendekati calon isteriku yang
tercinta? Adinda Syanti, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dengan
menunda-nunda pernikahan kita?”
“Panglima,
aku tidak ingin bicara tentang itu!”
“Adinda, itu
adalah urusan kita berdua, urusan pribadiku dan pribadi...“
“Sudahlah.
Kalau engkau mau bicara tentang hal itu, bicara dengan Sri Baginda. Beliau
sebagai Ayahku yang berhak membicarakan soal itu, bukan aku.”
“Adinda...
aku... aku cinta padamu, sejak masih kanak-kanak. Sudah berapa ribu kalikah aku
menyatakan ini...?”
“Sudah
terlalu sering sampai membosankan!”
“Duhai,
Adinda... jangan begitu“
Panglima
Mohinta memegang tangan Syanti Dewi dan diciuminya tangan itu sepenuh kasih
sayang hatinya. Syanti Dewi menarik tangannya dan bangkit berdiri, mukanya
menjadi merah dan matanya berkilat, dua titik air mata tergenang di matanya.
“Panglima,
bukan aku tidak kasihan kepadamu. Tetapi... aku tidak suka membicarakan hal
itu. Pergilah!”
“Adinda...
Syanti Dewi, kau kasihanilah aku...!” Panglima itu sekarang menjatuhkan diri
berlutut!
Pada saat
itu, dara cantik jelita yang sejak tadi mengintai, perlahan-lahan bangkit dan
keluar dari tempat persembunyiannya, melangkah ringan sampai dekat. Syanti Dewi
melihatnya, memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi Panglima Mohinta yang
sedang mabuk asmara dan berlutut itu tidak melihatnya.
“Siapa
kau...?” Syanti Dewi bertanya suaranya halus nyaring.
Panglima
Mohinta menengok kaget dan pada saat itu, dara jelita itu melirik ke arah
sebuah arca batu sebesar manusia di dekat empang, lalu tangannya yang agak
tergetar bergerak ke arah Panglima Mohinta.
Syanti Dewi
terbelalak pucat melihat sesuatu yang amat luar biasa baginya. Dia melihat
Panglima Mohinta memandang seperti orang bingung, kemudian panglima itu bangkit
berdiri, menghampiri arca batu dan mencumbu-rayu arca itu, menyebutnya ‘Adinda
Syanti Dewi’! Jelas bahwa Panglima Mohinta menganggap arca itu adalah dia dan
kini panglima itu merayu arca, merangkul dan menciuminya. Wajah Syanti Dewi
yang pucat menjadi merah sekali dan kembali dia memandang dara yang cantik dan
aneh itu.
Dara itu
melangkah mendekat menghampirinya, lalu mengedip-ngedipkan mata sambil
tersenyum manis, berbisik, “Puteri, lupakah engkau padaku?”
Syanti Dewi
memandang penuh selidik dan kini dia merasa pernah bertemu dengan dara cantik
yang bersikap jenaka ini, akan tetapi dia tidak ingat lagi kapan dan di mana.
“Aku Siang
In... eh, yang dulu pernah membantumu... guruku adalah See-thian Hoat-su yang
pernah menolongmu.“
Berseri
wajah Syanti Dewi. “Aihhh, Si tukang sulap itu...?” teriaknya.
“Sssttttt...!”
Dara itu tersenyum dan memberi isyarat ke arah Panglima Mohinta yang masih
terus merayu arca. “Mari kita bicara di dalam saja. Aku sengaja datang untuk
menjengukmu, Puteri Syanti Dewi.”
Siang In,
dara itu, menggandeng tangan Syanti Dewi dan mereka berdua kemudian melangkah
keluar dari taman. Di pintu gerbang taman itu yang menghubungkan taman dengan
gedung istana tempat yang ditinggali Syanti Dewi, nampak beberapa orang
penjaga. Melihat ini, Syanti Dewi agak khawatir, akan tetapi kembali Siang In
memberi isyarat dengan kedipan mata, kemudian dara yang masih menggandeng
tangan Syanti Dewi sambil mengempit payung di bawah ketiak itu memegang ujung
rambutnya yang panjang dan memasang sedikit ujung rambut itu melintang di bawah
hidungnya, seolah dia hendak memakai kumis seperti Panglima Mohinta. Kemudian,
dengan lenggang gagah dan lucu sambil menggandeng Syanti Dewi, dia lewat di
pintu.
“Heh, semua
penjaga jangan lengah! Jaga yang baik dan teliti, mengerti?” bentaknya dengan
suara dibesarkan dan menurut pendengaran Syanti Dewi, suara dara itu persis
suara Panglima Mohinta!
Tujuh orang
penjaga berdiri dalam barisan, tegak dan membusungkan dada. Pemimpin mereka
menjawab ‘perintah’ dara itu, “Siap, Panglima!”
Setelah
mereka memasuki kamar Syanti Dewi, Siang In tertawa-tawa geli dan Syanti Dewi
yang juga tersenyum geli akan tetapi keheranan itu bertanya, “Eh, apa yang
telah kau lakukan tadi? Mengapa Panglima Mohinta merayu patung dan para penjaga
itu menyebut engkau panglima?”
Siang In
melempar payungnya ke atas meja, lalu menjatuhkan diri di atas dipan rendah
yang penuh bantal dan meneliti kamar yang amat indah itu. “Aaahhhhh, nyamannya
di kamar ini!” Dia mengeluh panjang dan memejamkan matanya sejenak, dipandang
oleh Syanti Dewi yang masih tersenyum karena sikap lucu dara jelita itu.
“Hi-hik,
masih mending merayu arca batu yang dingin dari pada merayu seorang gadis yang
bersikap dingin seperti engkau, Puteri! Dan para penjaga itu tentu saja mengira
bahwa aku adalah panglima perayumu itu, hik-hik. Lucu, ya?”
“Tetapi...
tetapi mengapa bisa begitu? Bingung aku... apa sih yang sebetulnya sudah
terjadi?”
“Aihhhhh...
kau tadi bilang sendiri bahwa guruku tukang sulap! Aku sebagai muridnya tentu
saja pandai main sulap juga.”
Syanti Dewi
terbelalak, kemudian tertawa dan merangkul dara cantik itu. Terdengar suara
ha-ha-hi-hi keduanya tertawa dan baru sekarang selama bertahun-tahun ini Syanti
Dewi dapat tertawa segembira itu karena hatinya geli bukan main.
“Ah-he-heh-hi-hik, jadi kau... hi-hik, kau tadi menggunakan sihir dan dia itu,
panglima itu... hik-hik, dia menganggap arca tadi…?”
“Disangkanya
engkau, maka dipeluk dan diciumnya, ahh, dia tampan dan ganteng juga, ehh!”
Syanti Dewi
bersungut-sungut. “Huh, siapa sudi? Kalau aku yang dibegitukan, kutampar dia!
Kusuruh tangkap pengawal dan kusuruh gantung...!”
“Ee-eeeiiiiittt,
mengapa begitu? Puteri Syanti Dewi, aku mendengar dari luaran bahwa Panglima
Mohinta itu adalah tunanganmu, bukan?”
Tiba-tiba hati
puteri itu menjadi nelangsa lagi, diingatkan akan kenyataan yang tidak
disukanya itu. Dia kemudian menjatuhkan diri di atas pembaringan, menelungkup
dan menyembunyikan muka di bantal.
Siang In
meloncat dan duduk mendekatinya, merangkul dan menariknya bangun. Pipi yang
halus itu basah. Siang In tersenyum, menghibur dan menghapus air mata itu. Dua
orang dara ini memang sama-sama cantik jelita, hanya bedanya, bagaikan bunga,
Syanti Dewi adalah bunga halus yang terpelihara di dalam taman, kelihatan
lembut dan lunak, sebaliknya Siang In seperti setangkai bunga di hutan, cantik
jelita kuat, bebas, liar dan memiliki daya tarik tersendiri. Melihat kemesraan
yang diperlihatkan Siang In, Syanti Dewi teringat akan adik angkatnya, yaitu
Candra Dewi atau Ceng Ceng yang amat dicintanya, maka dia merangkul leher Siang
In.
“Engkau
cantik sekali, Puteri,” Siang In berkata.
Syanti Dewi
mengambung pipi dara itu. “Terima kasih, Siang In, engkau pun manis sekali dan
engkau mengingatkan aku kepada adik angkatku yang tercinta, Ceng Ceng.”
Sejenak
mereka saling pandang, mengagumi kecantikan masing-masing. Di dalam cerita
Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa puteri itu mempunyai seorang
adik angkat yang bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau juga disebut Candra Dewi.
Ceng Ceng kini telah menjadi isteri dari pendekar sakti yang terkenal sebagai
Naga Sakti Gurun Pasir, yaitu Kao Kok Cu putera sulung dari Jenderal Kao Liang.
Dan siapakah
dara cantik jelita, jenaka dan aneh yang bernama Teng Siang In itu? Di dalam
cerita Kisah Sepasang Rajawali juga diceritakan dengan jelas tentang dara ini
yang pada waktu itu baru berusia lima belas tahun. Teng Siang In adalah seorang
dara berasal dari Lembah Pek-thouw-san (Gunung Kepala Putih), dan dia adalah
puteri dari mendiang Yok-sian (Dewa Obat), seorang ahli pengobatan yang amat
terkenal. Dalam keadaan sebatang kara, karena orang tuanya telah meninggal dan
juga enci-nya yang merupakan satu-satunya keluarganya juga kemudian mati
terbunuh, akhirnya dara jelita ini bertemu dengan seorang kakek aneh yang
berilmu tinggi dan juga pandai ilmu sihir. Kakek itu bernama See-thian Hoat-su
dan Siang In lalu diambilnya sebagai murid.
Empat tahun
lamanya Siang In digembleng oleh gurunya itu, tidak hanya menerima pelajaran
ilmu silat tinggi, melainkan juga menerima pelajaran ilmu sihir sehingga kini
Siang In muncul sebagai seorang dara yang dewasa, cantik jelita, lihai ilmu
silatnya dan lebih hebat lagi ilmu sihirnya! Demikianlah sedikit riwayat Teng
Siang In, dara cantik jelita yang menggegerkan Bhutan karena begitu dia muncul,
terjadilah geger dan tersiar berita bahwa Kerajaan Bhutan kemasukan siluman cantik!
Tidak lama
setelah Syanti Dewi dan Siang In meninggalkan taman, sedikit demi sedikit
buyarlah pengaruh sihir yang dilakukan oleh dara itu atas diri Panglima
Mohinta. Dapat dibayangkan betapa terkejut dan heran rasa hati panglima muda
ini ketika dia sadar dan mendapatkan dirinya memeluk dan menciumi arca batu,
sedangkan ketika ia menengok ke arah bangku, Puteri Syanti Dewi sudah tidak
berada di tempat itu lagi! Dia merasa seram dan ngeri, juga bingung.
Sejenak dia
memandang ke kanan kiri, mengingat-ingat dan tengkuknya terasa dingin, bulu
tengkuknya meremang karena dia teringat akan berita tentang siluman! Tadi jelas
bahwa Syanti Dewi duduk di bangku itu, dan dia berusaha untuk merayu
tunangannya yang bersikap dingin itu. Entah bagaimana, dia tadi melihat
seolah-olah Syanti Dewi menyambut cumbu rayunya, bahkan membalas pelukannya,
dan membalas pula ciuman-ciumannya penuh gairah. Akan tetapi ternyata bahwa
yang dipeluk ciumnya itu adalah arca batu yang kotor dan Syanti Dewi sudah
lenyap!
“Uhhhhh...!”
Panglima Mohinta menggigil dan meraba tengkuknya.
Dia adalah
seorang panglima muda yang berani, namun sekarang dia merasa ngeri dan takut
juga berada seorang diri di dalam taman yang sepi itu. Penerangan dalam taman
itu yang hanya datang dari dua buah lentera yang tergantung di bawah pohon,
tertiup angin bergerak-gerak, menghidupkan bayangan-bayangan di sekelilingnya,
menambah seram keadaan. Suara belalang, jengkerik dan burung malam yang
mengasyikkan bagi mereka, menambah seram suasana dan Panglima Mohinta yang
pemberani itu kini bergegas setengah lari melangkah keluar dari taman.
“Siap...!”
Teriakan dan gerakan tujuh orang penjaga taman membuat Panglima Mohinta hampir
menjerit dan panglima muda ini terloncat kaget memandang kepada tujuh orang
itu. Akan tetapi sebaliknya, tujuh orang penjaga itu pun memandang kepadanya
dengan mata terbelalak penuh keheranan.
Panglima
Mohinta mengerutkan alisnya. Mengapa mereka memandang kepadanya seperti itu?
Adakah sesuatu yang aneh pada mukanya? Dia meraba-raba mukanya dan
menghapus-hapus muka itu, kalau-kalau ada coreng-moreng di situ. Akan tetapi
tujuh orang itu tetap saja memandang kepadanya dengan mata aneh dan bingung.
“Heh, kalian
lagi melihat apa?” bentaknya marah, hampir memukul kepala penjaga yang menjadi
ketakutan.
“Ah, maaf,
Panglima... ehh, kapankah Panglima masuk lagi ke taman? Baru saja kami melihat
Panglima keluar.“
“Heh, apa
maksudmu? Bicara yang benar!” Panglima Mohinta membentak.
“Kami
bertujuh tadi baru saja melihat Panglima keluar, menggandeng Puteri memasuki
istana dan... dan panglima menggandeng Puteri dengan mesra, dan sambil
mengempit payung…“
“Mengempit
payung? Apakah kalian gila?” Panglima Mohinta membentak, akan tetapi kembali
tengkuknya terasa dingin karena dia sudah merasa ngeri.
Pada saat
itu terdengar teriakan mengerikan dari istana. Panglima Mohinta dan para
penjaga terlonjak kaget, akan tetapi mereka dipimpin oleh panglima segera lari
cepat ke arah istana dan di jalan mereka bertemu dengan para penjaga dan
pengawal yang juga sudah berlari-larian menuju ke arah datangnya teriakan itu.
“Tolong...
aduhhh, toloonggg... si... siluman... sssetannnn...!” terdengar teriakan itu.
Ketika
mereka semua tiba di tempat suara itu, ternyata yang berteriak-teriak itu
adalah Pendeta Nalanda, pendeta tinggi besar yang tidak mengenakan jubah lagi,
kopiahnya juga hilang dan sebagai gantinya, mukanya coreng-coreng hitam. Dia
berteriak-teriak ketakutan, matanya terbelalak memandang ke kanan kiri.
Seorang
pengawal cepat mengambil air, dan ketika pendeta yang akan diberi minum itu
masih berteriak-teriak dan tidak mau minum, air itu disiramkan ke atas
kepalanya yang gundul. Pendeta Nalanda gelagapan dan sadar.
“Ah...
ehh... ya ampun... ada... setan... wanita cantik...” dia lalu menceritakan
munculnya siluman cantik yang membuatnya tidak berdaya, merampas jubah dan
kopiahnya, dan mencoreng mukanya dengan pedang kayu yang dilumuri abu
pendupaan. Seorang siluman cantik yang memegang payung.
“Membawa
payung?” Panglima Mohinta bertanya dengan mata terbelalak, langsung punggungnya
terasa dingin.
Tak salah
lagi, tentu ada siluman yang membawa payung, karena tadi pun para penjaga
melihat dia membawa payung. Tentu siluman itu! Dan siluman itu menyamar sebagai
dia menggandeng tangan Syanti Dewi!
“Celaka,
kita harus melapor kepada Sri Baginda!” teriaknya dan dia bergegas memasuki
istana.
Sementara
itu di dalam kamar Syanti Dewi, puteri itu masih tertawa-tawa bersama Siang In
yang menceritakan betapa dia telah menggoda para penjaga.
“Apakah
mereka di pintu gerbang tidak menyerangmu?” tanya Syanti Dewi dengan senyum
lebar selalu menghias bibirnya, senyum yang selama ini hampir dilupakannya.
Berdekatan dengan Siang In, mendengar penuturan dara itu, telah membuat Sang
Puteri timbul kembali kegembiraannya dan membawa dia kembali ke alam bebas,
alam liar seperti ketika dia berkelana dahulu.
“Tentu saja
mereka lalu mengejarku, dan aku cepat mengenakan sesuatu dan ketika mereka
sudah dekat, aku membalik seperti ini...“
“Ihhhhh...!”
Syanti Dewi menjerit, terbelalak menatap wajah yang tadinya begitu cantik
manis, akan tetapi sekarang telah berubah menjadi wajah yang luar biasa
mengerikan, wajah yang halus polos tanpa tonjolan, tanpa mata hidung atau
mulut!
“Hik-hik,
kau juga ngeri!” Siang In melepaskan kedoknya.
Syanti Dewi
terkekeh-kekeh saking geli hatinya, mengambil kedok itu dari tangan Siang In
dan memandanginya. Kedok itu hanya sehelai penutup muka seperti karet yang
halus sekali, entah dibuat dari bahan apa.
“Dan pendeta
gundul yang lucu itu, hi-hik.”
“Kau
maksudkan Pendeta Nalanda? Kau apakan pula dia?” Syanti Dewi makin tertarik dan
bertanya.
“Tidak
apa-apa, hanya kucoreng-moreng mukanya.” Siang In kemudian menceritakan
pertemuannya dengan pendeta itu dan berderailah suara ketawa Syanti Dewi.
Dua orang
dara yang sedang bergembira itu sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, Sri
Baginda Raja Bhutan sendiri sedang berdiri di luar kamar Syanti Dewi dengan
mata terbelalak, terheran-heran mendengar suara ketawa puterinya. Tentu saja
hati raja ini senang mendengar suara ketawa puterinya, suara yang beberapa
tahun lamanya tidak pernah didengarnya lagi. Akan tetapi karena suara ketawa
ini dilakukan puterinya yang berada sendirian di dalam kamar, tentu saja
menimbulkan perasaan bimbang dan khawatir, juga ngeri. Hanya seorang gila saja
yang tertawa-tawa geli seperti itu seorang diri saja di dalam kamar.
Empat orang
pengawal Sri Baginda, dua orang kepala pendeta, dan Panglima Mohinta yang
menemani raja juga terbelalak dan saling pandang penuh kengerian. Jelaslah bagi
mereka yang sedang panik oleh berita siluman, bahwa Sang Puteri tentulah
diganggu siluman!
“Syanti...!
Buka pintu...!”
Ketukan
pintu dan suara Sri Baginda ini membuat Syanti Dewi terlonjak kaget. Mukanya
menjadi pucat ketika dia memandang kepada Siang In. Akan tetapi Siang In hanya
tenang-tenang saja, malah tersenyum dan berbisik, “Bukalah pintu dan anggap
saja aku tidak ada di kamar ini.”
Syanti Dewi
bimbang. Dia khawatir sekali karena tentu Siang In akan ditangkap dan dihukum
karena dianggap mengacau istana. Akan tetapi dengan gerakan kepala dan tangan
Siang In mendesaknya untuk membuka pintu karena ketukan pada pintu makin gencar
dan suara Sri Baginda makin mendesak.
Syanti Dewi
melangkah, menghampiri pintu dan sekali lagi dia menengok. Dia melihat Siang In
sudah duduk bersila di atas lantai dekat pembaringannya. Gadis itu tersenyum
dan kelihatan tenang saja sehingga mau tak mau Syanti Dewi menjadi kagum dan
juga terheran-heran. Dia menurunkan ganjal pintu dan membuka daun pintu.
Serentak
masuklah Sri Baginda yang ditemani oleh Panglima Mohinta, empat orang pengawal
dan dua orang pendeta. Semua mata memandang ke seluruh kamar dan Syanti Dewi
sudah menanti dengan hati berdebar akan seruan mereka melihat Siang In yang
duduk bersila di lantai. Akan tetapi, aneh bin ajaib! Tidak ada seorang pun
yang menyinggung-nyinggung kehadiran gadis asing itu di dalam kamarnya. Padahal
dia melihat sendiri betapa semua mata tentu dapat melihat gadis itu yang masih
duduk tersenyum setelah tadi tangan kirinya diangkat dan digerakkan seperti
memberi salam kepada mereka yang baru memasuki kamar!
“Syanti,
tadi dengan siapa engkau di kamarmu ini?” Sri Baginda bertanya sedangkan
Panglima Mohinta berjalan hilir mudik dengan mata mencari-cari, bahkan kakinya
lewat dekat sekali dengan tubuh Siang In.
“Tidak
dengan siapa-siapa, Ayah. Saya sedang tidur, mengapa Ayah dan semua orang ini
datang mengganggu dan membangunkan saya?” Syanti Dewi berkata dengan nada suara
tidak senang.
“Hemmm...
tidur? Akan tetapi tadi dari luar kami mendengar engkau tertawa-tawa, Syanti.
Jangan engkau membohongi Ayahmu.”
“Sungguh
saya sedang tidur dan kalau saya tertawa, agaknya itu terjadi dalam mimpi.”
“Ahh, engkau
mimpi? Mimpi apa? Bertemu dengan siluman..., dengan siapa?” Sri Baginda yang
sudah dicekam rasa ngeri yang meliputi seluruh istana itu bertanya.
Syanti Dewi
menjadi bingung dan melirik ke arah Siang In. Gadis ini menudingkan telunjuknya
ke arah Panglima Mohinta yang masih hilir mudik.
“Saya mimpi
bertemu dengan... Panglima Mohinta...“
“Ahh, jadi
Adinda mimpi bertemu dengan saya?” Panglima muda itu bertanya dengan wajah
berseri.
Syanti Dewi
mengangguk. “Di dalam mimpi, saya melihat... Kakanda Mohinta menjadi seorang
badut yang sangat lucu, maka saya tertawa...“
Wajah yang
tadinya berseri itu berubah merah, dan Panglima Mohinta lalu menghampiri Siang
In yang sedang duduk bersila, memandang penuh perhatian. Sri Baginda juga
menujukan pandang matanya kepada Siang In sehingga jantung Syanti Dewi berdebar
tegang. Agaknya mereka kini telah dapat melihat gadis itu, pikirnya khawatir.
“Syanti
Dewi, sejak kapan ada kursi bagus ini di dalam kamarmu?” Sri Baginda tiba-tiba
bertanya sambil menuding ke arah Siang In yang duduk bersila.
Syanti Dewi
terkejut dan terheran, akan tetapi segera dia teringat bahwa dara cantik itu
adalah seorang ahli sulap agaknya, seperti gurunya, maka dia dapat menduga
bahwa tentu Siang In menggunakan sihirnya pula sehingga orang melihatnya
seperti sebuah kursi!
“Kursi...?
Ehh, inikah, Ayah? Ini adalah kursi hadiah yang saya terima dari seorang
pelayan, katanya kursi antik...“
“Memang
bagus sekali, tentu amat enak diduduki...“ Panglima Mohinta kini menghampiri
Siang In, siap untuk duduk di atas kepala gadis itu! Pantatnya sudah dipasang
hendak duduk.
Tentu saja
Syanti Dewi menjadi cemas sekali dan Siang In tidak akan sudi membiarkan
kepalanya diduduki orang. Cepat dia gerakkan payungnya yang tadi telah
disambarnya dari atas meja ketika rombongan raja masuk, kemudian ujung
payungnya digerakkan menyambut datangnya pantat yang hendak menduduki
kepalanya.
“Cussss...
aduhhhh...!” Panglima Mohinta terloncat kaget saat merasa betapa pantatnya
ditusuk ujung payung. “Ehhh, kursimu ada pakunya, Adinda Syanti Dewi!” Akan
tetapi diam-diam panglima ini bergidik ngeri karena dia tidak melihat ada paku
di kursi itu!
Setelah
melihat jelas bahwa kamar puterinya itu biasa saja dan tidak terdapat siluman
di situ, Sri Baginda kemudian berkata, “Syukurlah kalau tak ada apa-apa,
anakku. Tidurlah dengan tenang.” Dia kemudian keluar lagi dari kamar Puteri
Syanti Dewi, diikuti oleh rombongannya setelah dua orang pendeta membaca doa
untuk melindungi puteri dari gangguan siluman.
Setelah
menutupkan kembali daun pintu kamarnya, Syanti Dewi dan Siang In tertawa-tawa
lagi, akan tetapi Syanti Dewi menutupi mulutnya dan memberi isyarat kepada nona
itu agar jangan tertawa keras. Kemudian, puteri yang kini sudah menemukan
kembali kegembiraan hidupnya itu lalu menggandeng tangan Siang In, diajak duduk
bersanding di atas pembaringan. Dia makin kagum melihat gadis ini yang masih
amat muda akan tetapi sudah cantik sekali, berilmu tinggi dan aneh.
“Siang In,
engkau sungguh hebat. Apakah engkau tadi mengubah diri dalam pandangan mereka
menjadi sebuah kursi?” tanya puteri itu, memandang kagum.
Siang In
mengangguk dan cemberut. Mulutnya diruncingkan akan tetapi dia masih saja
kelihatan manis, “Hampir sial aku, kepala ini hampir di duduki orang, biar pun
orangnya tunanganmu yang tampan dan ganteng itu, Puteri...“
“Hushhh,
jangan berkata demikian, aku... aku benci padanya!”
“Eihhhh? Aku
mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi kini bertunangan dengan Panglima Mohinta,
dan melihat rayuan maut tadi di taman...“
“Sudahlah,
Siang In,” Syanti Dewi menghela napas panjang. “Aku tidak ingin berbicara
tentang dia. Sekarang katakan, apakah kehendakmu maka engkau bersusah payah
menggunakan kepandaian menempuh bahaya mencari aku di sini?”
“Aku sedang
mencari seseorang, Puteri. Karena merasa bahwa aku telah mengenalmu, juga
mengenal Panglima Jayin, maka aku lalu mampir. Aku mencari keterangan dulu dan
mendengar bahwa engkau masih belum menikah, Puteri, tetapi sudah bertunangan
dengan Panglima Mohinta. Tentu saja aku tadinya merasa bingung dan heran,
karena bukankah... ehhh, pemuda aneh dan lihai bernama Ang Tek Hoat itu
dahulu...“
Siang In
tidak melanjutkan kata-katanya karena dia melihat betapa wajah yang cantik dari
puteri itu menjadi pucat, matanya redup dan membayangkan kedukaan hebat saat
dia menyebut nama pemuda itu.
“Adik yang
baik.” Syanti Dewi kini memandang dara itu. “Apakah yang telah kau dengar
tentang Ang Tek Hoat?”
“Aku dahulu
mendengar bahwa Ang Tek Hoat berjasa besar di Bhutan, bahkan diangkat menjadi
panglima dan dijadikan calon suamimu. Di mana dia sekarang dan mengapa engkau
sekarang menjadi tunangan Panglima Mohinta?”
Ditanya
begini, tiba-tiba Puteri Syanti Dewi menangis! Sudah terlalu lama dia tak pernah
menangis lagi, seolah-olah air matanya sudah mongering. Namun kegembiraan tadi,
tertawa-tawa bersama Siang In tadi, agaknya juga mengembalikan pula
kemampuannya untuk menangis.
Melihat
puteri yang keadaan hidupnya dilimpahi kemuliaan itu agaknya kini menderita
kesengsaraan batin, Siang In memegang tangannya dengan sikap menghibur dan
berkata lembut, “Puteri, jangan terlalu membiarkan diri terseret oleh arus
kesedihan. Segala kesukaran di dunia ini dapat diatasi dan untuk itu kita harus
berusaha, tidak hanya cukup untuk ditangisi dan disedihkan belaka. Ceritakanlah
kepada adikmu ini, apakah yang terjadi sehingga engkau terpisah dari Ang Tek
Hoat dan menjadi tunangan panglima yang tidak kau cinta itu?” Dia
mengangguk-angguk meyakinkan. “Ceritakanlah dan aku akan menolongmu sedapat
mungkin, Puteri.”
Karena baru
sekarang dia bertemu dengan seseorang yang memperhatikan nasibnya, yang
selamanya tak akan mungkin dilupakannya itu, timbul pula semangat Syanti Dewi
dan berceritalah dia tentang kepergian Ang Tek Hoat dari Bhutan. Betapa
kemudian dia dipaksa untuk menjadi tunangan Panglima Mohinta dan betapa sampai
saat ini, setelah lewat empat tahun, dia selalu menolak kalau hendak dinikahkan
karena sampai kini dia masih menanti Tek Hoat dan percaya akan cinta kasih
pemuda itu.
“Aku tidak
percaya kalau dia pergi begitu saja meninggalkan aku. Aku yakin pasti ada
sesuatu terjadi. Kalau saja dia pergi berpamit, kalau saja aku tahu apa yang
terjadi, dan andai kata dia memutuskan cinta secara terus terang, tentu aku takkan
menderita dalam keadaan yang serba tidak menentu ini, Adik Siang In,“ Puteri
itu mengakhiri ceritanya.
Siang In
mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang dara yang sejak kecilnya biasa hidup
bebas, tidak pernah terkekang, seperti seekor burung di udara. Boleh jadi,
seperti juga burung yang bebas, kadang-kadang dia harus menderita kekurangan
makan, menderita kepanasan dan kehujanan, akan tetapi semua itu tidak
mengurangi kebahagiaan dari keadaan bebas. Tidak seperti Syanti Dewi yang
bagaikan seekor burung hidup di dalam sangkar, biar pun sangkar itu terbuat
dari pada emas dan dihias permata, biar pun di dalam sangkar itu penuh dengan
makanan berlimpah.
“Puteri...“
“In-moi
(Adik In), setelah semua isi hatiku kuceritakan padamu, engkau sudah kuanggap
sebagai adikku sendiri, sebagai pengganti adik angkatku Ceng Ceng, maka
janganlah kau menyebut Puteri lagi padaku. Sebut saja Enci (Kakak).”
“Baiklah
Enci Syanti Dewi,” jawab Siang In sambil tersenyum dan wajahnya berseri.
“Aihhhhh, siapa sangka aku akan mempunyai enci seorang puteri kerajaan! Begini,
Enci Syanti Dewi. Terus terang saja, engkau terlalu lemah dalam hal ini.
Mengapa selama bertahun-tahun ini engkau diam saja, malah menenggelamkan diri
dalam air mata dan kedukaan? Mengapa engkau tidak mau bertindak?”
“Bertindak?
Tindakan apa yang dapat dilakukan seorang wanita seperti aku? Dan Ayah
mengambil keputusan itu tentu saja demi cintanya kepadaku, bagaimana aku dapat
membantah kehendak Ayah?”
“Hemmm...
mencintamu? Terus terang saja, Enci, maafkan kata-kataku yang jujur dan mungkin
tidak enak didengar ini. Akan tetapi... jelas bahwa Ayahmu, Sri Baginda Raja
itu tidak mencintamu, Enci.”
Dengan
wajahnya yang agak pucat dan matanya yang masih basah Syanti Dewi mengangkat
mukanya memandang wajah Siang In penuh selidik. Kerut di keningnya menunjukkan
bahwa dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat nona itu.
“Bagaimana
kau bisa mengatakan demikian, In-moi? Ayahku mencintaku karena aku anaknya dan
seperti juga semua ayah di dunia ini, dia pasti melakukan semua itu demi
cintanya kepadaku.”
“Hemmm,
pendapat yang kolot dan keliru, Enci Syanti. Tidak, Ayahmu, seperti juga
kebanyakan ayah di dunia ini, pada hakekatnya hanya mencinta dirinya akan
tetapi cinta pada dirinya sendiri ini tersembunyi dan ditutup-tutupi oleh dalih
mencinta anak-anaknya! Semua tindakannya terhadap dirimu itu sama sekali bukan
karena cintanya kepadamu, melainkan karena cintanya kepada diri sendiri!”
“Ehh,
bagaimana kau bisa bilang begitu Siang In?”
“Coba saja
kau renungkan. Orang yang mencinta tentu selalu menunjukkan
tindakan-tindakannya untuk membahagiakan dan menyenangkan orang yang dicinta,
bukan?”
Syanti Dewi
mengangguk.
“Nah,
tindakan Ayahmu yang memisahkan engkau dengan Tek Hoat dan memaksamu berjodoh
dengan Mohinta ini, apakah tindakan ini membahagiakan dan menyenangkan hatimu?”
“Tidak, akan
tetapi dia maksudkan demi kebaikanku.”
“Itulah
kepalsuannya, dan itulah tutup-tutupnya untuk menyembunyikan pamrih yang
sesungguhnya. Sebetulnya semua itu dilakukan untuk menyenangkan hatinya
sendiri! Betapa banyaknya, bahkan hampir semua orang-orang tua yang menujukan
segala tindakan demi untuk memenuhi kehendaknya sendiri, demi untuk
menyenangkan diri sendiri. Akan tetapi mereka menggunakan dalih membahagiakan
anak, padahal si anak hanya dijadikan alat untuk dia mencapai keinginan hatinya
itulah! Si anak tidak penting lagi, yang penting adalah rencananya untuk
membahagiakan anak, sungguh pun pada hakekatnya si anak tidak bahagia dengan
rencananya itu!”
“In-moi...!”
Syanti Dewi berseru dengan mata terbelalak. “Apa kau hendak mengatakan bahwa
Ayahku jahat...?”
Dara itu
menggeleng kepala, “Siapa pun adanya dia itu, kalau dia masih belum sadar akan
kepalsuan-kepalsuan yang dilakukan, dia tentu akan menganggap bahwa semua
tindakannya itu benar belaka dan semua tindakan yang dianggap benar itu hanya
akan mengakibatkan kesengsaraan dan kedukaan, seperti yang kau alami sekarang
ini. Kau menganggap bahwa Ayahmu penuh cinta kasih terhadapmu. Enci, apakah
tindakan cinta kasih menimbulkan kesengsara dan kedukaan?”
Syanti Dewi
memegangi kedua pelipis kepalanya, dan menggeleng-geleng kepalanya. “Ah, aku
tidak tahu... semua kata-katamu membuat aku bingung sekali, Adik In! Habis, apa
yang harus kulakukan?”
“Mengapa
engkau menyiksa diri seperti ini? Kalau memang Enci mencinta Tek Hoat, dan
kalau memang Enci yakin bahwa dia mencintamu...“
“Aku yakin
benar akan cintanya!”
“Kalau
begitu, tentu ada sesuatu yang memaksa dia meninggalkan Enci tanpa pamit! Kalau
begitu, mengapa Enci tidak pergi meninggalkan sangkar ini dan mencari kekasih
Enci itu, dari pada menerima nasib dan makan hati karena harus menerima calon
jodoh yang tidak Enci cinta?”
“Pergi? Kau
maksudkan minggat dari istana?” Syanti Dewi berkata dengan nada suara sedih.
“Aihhh, In-moi, engkau tidak tahu. Betapa sudah sering kali aku ingin lolos
saja dari sini, akan tetapi sungguh tidak mungkin. Ayah selalu menjagaku dan
istana ini siang malam dikepung oleh ratusan orang pengawal.”
“Hal itu
tidak penting. Yang penting, maukah engkau meninggalkan tempat ini dan pergi
mencari Tek Hoat?”
“Tentu saja
aku mau!”
“Meninggalkan
kedudukan Enci sebagai puteri raja, meninggalkan semua kemuliaan dan kemewahan
ini, mungkin menempuh kesukaran dan kesengsaraan di jalan...?”
“Tentu aku
mau dan aku berani menghadapi segala kesukaran, demi cintaku kepada Ang Tek
Hoat.”
“Bagus!”
Siang In berseru girang. “Itulah cinta! Kalau begitu, aku akan membantumu
keluar dari sangkar emas ini, Enci.”
Syanti Dewi
girang sekali dan dia merangkul dara itu. Sejenak mereka berangkulan, lalu
Siang In berkata, “Harap engkau berkemas dan karena engkau belum berpengalaman
dalam perantauan…“
“Siapa
bilang belum berpengalaman? In-moi, agaknya engkau lupa bahwa aku dahulu sudah
merantau dan menghadapi segala macam kesukaran di dunia timur. Dan aku sama
sekali tidak takut menghadapi kesukaran-kesukaran seperti itu.”
“Bagus, akan
tetapi betapa pun juga, engkau harus berkemas dan membawa bekal untuk biaya
perjalananmu ke timur. Besok aku akan mencari akal untuk membawamu keluar dari
sini dengan aman.”
Syanti Dewi
lalu berkemas, hatinya girang sekali, wajahnya yang masih agak pucat itu
berseri. Membayangkan betapa dia akan mengalami kesengsaraan dan kesukaran
dalam mencari kekasihnya, mendatangkan semangat baginya. Ia rela menghadapi apa
pun demi pertemuannya kembali dengan Tek Hoat! Dan malam itu, tidak seperti malam
yang sudah, puteri ini tidur nyenyak dengan mulut tersenyum di samping Siang
In.
Mereka tidak
tahu bahwa setelah keluar dari kamar Syanti Dewi, Panglima Mohinta yang merasa
curiga lalu mengerahkan jagoan-jagoan istana untuk mengurung dan menjaga kamar
sang puteri. Panglima muda ini mendapat firasat bahwa ada bahaya mengancam diri
tunangannya itu, maka dia mengerahkan pengawal-pengawal pilihan, bahkan dia
sendiri pun melakukan penjagaan di sekitar istana tunangannya.
Oleh karena
penjagaan yang diperketat ini, tidaklah mengherankan ketika Siang In yang
hendak memeriksa keadaan, keluar dari kamar dan memasuki taman di waktu pagi
sekali pada keesokan harinya, secara tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang
yang membentak nyaring, “Siluman jahat! Jangan lari!”
Siang In
terkejut. Tidak disangkanya bahwa di taman itu ternyata terdapat penjaga-penjaga
yang bersembunyi dan tahu-tahu dua orang penjaga yang agaknya memiliki
kepandaian lumayan dan melihat pakaiannya berpangkat perwira, telah meloncat
keluar dari semak-semak dan kini menodongkan pedang tajam runcing dari kanan
kiri ke arah lambungnya!
Siang In
tersenyum manis sekali sambil menoleh ke kanan kiri memandangi dua orang
perwira itu yang menjadi bengong juga ketika mendapat kenyataan bahwa yang
mereka todong adalah seorang dara remaja yang sedemikian cantik jelitanya. Akan
tetapi mereka telah mendapat pesan keras dari Mohinta dan dari Pendeta Nalanda
bahwa mereka tak boleh sekali-kali terbujuk dan tertipu oleh seorang dara
remaja yang cantik, karena dia itu adalah siluman!
“Eh-eh,
kalian ini mau apakah?” Siang In bertanya sambil tersenyum dan dari sepasang
matanya yang indah jeli itu menyambar keluar sinar yang sangat kuat dan aneh,
sedangkan tangannya bergerak-gerak.
“Menyerahlah
engkau, siluman, kalau tidak, pedang kami akan menembus tubuhmu!” bentak di
sebelah kirinya.
“Berlututlah
kau!” perwira di sebelah kanannya membentak pula sambil menempelkan ujung
pedangnya pada pinggang yang ramping itu.
Siang In
tertawa dan berkata dengan suara meyakinkan, “Ihhh, kalian berdua ini apakah
sudah gila? Mana pedang kalian? Dan mengapa pula kalian berdua memegang dan
bermain-main dengan ular? Awas, kalian akan digigit oleh ular-ular itu!”
Dua orang
perwira itu terkejut dan memandang pedang mereka. Wajah mereka menjadi pucat
sekali, mata mereka terbelalak ketakutan dan mulut mereka berteriak-teriak ketika
mereka melihat bahwa yang mereka pegang dan dipakai menodong tadi ternyata
benar-benar bukanlah sebatang pedang melainkan seekor ular cobra! Mereka
memegang ular itu pada ekornya dan kini ular itu membalik kepada mereka,
lehernya menggembung dan mulutnya mengeluarkan desis yang mengerikan, matanya
bersinar-sinar, siap untuk mematuk.
“Ihhhhh...
ularrrrr...!”
“Hiiiiihhhhh...
aih, celaka...!”
Mereka
berdua berusaha untuk membuang ular-ular itu, akan tetapi celakanya, ekor ular
yang mereka genggam itu agaknya sudah melekat di tangan mereka dan tidak dapat
dilepaskan lagi! Tentu saja mereka menjadi makin ketakutan, apa lagi ketika
ular-ular itu makin mendekati muka mereka. Keduanya segera lari pontang-panting
meninggalkan taman itu, diikuti suara ketawa merdu dari Siang In yang cepat
kembali ke dalam istana Syanti Dewi.
“Siapakah
yang berteriak-teriak itu dan mengapa engkau tertawa-tawa?” Syanti Dewi
menyambut kedatangan dara itu dengan hati tegang.
“Dua orang
pengawal. Wah, benar seperti yang kau ceritakan, Enci, tempat ini penuh dengan
penjagaan pengawal.”
“Habis,
bagaimana kita dapat lolos dari sini? Apakah engkau tidak bisa menggunakan ilmu
sihirmu itu, In-moi?” Syanti Dewi makin gelisah ketika mendengar suara
ribut-ribut di luar dan agaknya dua orang pengawal yang berteriak-teriak tadi
sudah menyebarkan cerita tentang siluman cantik yang mempermainkan mereka.
Siang In
duduk dan menopang dagunya yang manis itu, kedua alis matanya yang hitam kecil
dan panjang melengkung seperti dilukis itu berkerut merut. Dia menggeleng
kepala menjawab pertanyaan puteri itu.
“Aku dapat
mempengaruhi belasan orang dengan permainan sihir, akan tetapi sukar sekali
mempengaruhi ratusan orang pengawal sekaligus, Enci. Pula di antara mereka
terdapat banyak orang-orang yang berkemauan dan berbatin kuat sehingga belum
tentu usahaku akan berhasil. Bagi aku sendiri, tentu saja dapat lolos dengan
mudah. Akan tetapi kalau membawamu, kurasa akan sukar sekali hasilnya.
Sebaiknya diatur begini saja, Enci. Aku akan menimbulkan kegegeran, menggoda
dan mempermainkan mereka, memancing mereka agar seluruh pengawal yang berjaga
di sini akan tertarik ke suatu jurusan. Dalam saat itu, selagi semua pengawal
ribut mengurungku, engkau meloloskan diri dari istana ini. Kemudian kita
bertemu di luar istana dan aku selanjutnya akan membawamu melarikan diri.
Bagaimana?”
Syanti Dewi
mengangguk-angguk, kemudian dua orang dara itu mengatur rencana pelarian itu
yang akan mereka lakukan malam nanti, Syanti Dewi menggambar peta dari istana
itu dan memberi tahu di mana letak pintu rahasia dari mana dia akan meloloskan
diri, sedangkan Siang In mengatur rencana untuk menarik semua pengawal menjauhi
pintu rahasia itu.
Sehari itu
Siang In tidak lagi pernah keluar dari kamar sang puteri dan memang sudah lama
Syanti Dewi tidak pernah membolehkan pelayan-pelayannya untuk menemaninya di
dalam kamar. Semenjak Tek Hoat lolos dari istana, puteri ini lebih suka
menyendiri sehingga pelayan-pelayannya hanya memasuki kamarnya di waktu perlu
saja. Dengan demikian, lebih leluasalah bagi Siang In untuk bersembunyi di
dalam kamarnya.
Malam itu
hawanya masih dingin seperti malam-malam yang lewat. Udara yang dingin ditambah
cuaca yang gelap membuat suasana yang sudah seram karena dongeng-dongeng yang
tersiar tentang gangguan siluman, dongeng yang dari mulut ke mulut mengalami
perubahan dan penambahan banyak sekali, menjadi makin menyeramkan. Hampir
seluruh penghuni Kota Raja Bhutan yang semuanya telah mendengar akan gangguan
siluman itu, tidak ada yang berani keluar dari rumah masing-masing. Mereka
menerima dengan penuh kepercayaan berita angin yang mengatakan bahwa malam itu
iblis, setan dan siluman-siluman berkeliaran mencari mangsa! Demikian pula
dengan para penghuni istana sendiri juga sejak senja hari sudah menyembunyikan
diri di dalam kamar masing-masing.
Tentu saja
keadaan para penghuni itu sebaliknya dengan keadaan para pengawal yang bertugas
berjaga. Setelah malam tiba penjagaan diperketat dan mereka lebih waspada lagi
menjaga dari pada di waktu siang, karena mereka semua mempunyai dugaan bahwa di
waktu malam tentu siluman akan lebih mengganas lagi. Kini bahkan Panglima
Mohinta sendiri mengatur dan mengepalai penjagaan, seolah-olah istana
menghadapi ancaman serbuan musuh yang besar jumlahnya. Keadaan di sekeliling
istana itu seperti dalam perang saja karena sedikitnya ada tiga ratus orang
pengawal dikerahkan oleh Mohinta untuk menjaga seluruh istana, terutama sekali
sekeliling istana kecil yang menjadi tempat tinggal Syanti Dewi.
Keadaan
sunyi sekali di sekeliling istana. Suasana yang sunyi dan mencekam hati ini
membuat para penjaga juga merasa ngeri dan mereka bahkan tidak berani membuat
suara keras untuk memecahkan kesunyian malam, seolah-olah suara keras hanya
mengundang datangnya siluman! Mereka bicara bisik-bisik dan membuat api unggun
sebesarnya, karena selain api unggun itu dipergunakan untuk mengusir hawa
dingin dan menimbulkan kehangatan, juga menurut kata para pendeta, api dapat
menjauhkan segala macam siluman.
Juga mereka
berusaha untuk membicarakan urusan lain tanpa menyebut-nyebut tentang siluman,
karena ada kepercayaan di antara mereka bahwa setan tidak boleh disebut-sebut,
karena kalau disebut-sebut biasanya suka datang! Demikian hebatnya dongeng
tentang gangguan setan dan kepercayaan tentang tahyul menghimpit hati mereka
sehingga para pengawal yang biasanya galak dan pemberani itu, kini berubah
menjadi seperti sekelompok anak kecil yang ketakutan.
Panglima
Mohinta sendiri, diiringkan oleh dua orang pendeta, yaitu Pendeta Nalanda dan
seorang pendeta lain yang terus berkemak-kemik membaca doa, dan empat orang
perwira pengawal, tiada henti hilir mudik dari gardu ke gardu untuk memberi
semangat kepada para pengawal yang berjaga.
Malam makin
larut dan keadaan makin seram. Dari balik pintu kamar, Siang In yang sudah siap
melakukan siasatnya untuk meloloskan Puteri Syanti Dewi dari istana mengintai
ke luar. Dilihatnya banyak sekali pengawal berjaga di luar dalam keadaan
terpencar. Dia mengintai dari balik jendela. Sama saja. Taman di luar kamar itu
pun penuh dengan pengawal-pengawal yang menjaga ketat. Tidak mungkin dia dapat
keluar dari pintu atau jendela tanpa diketahui orang. Dan menggunakan sihirnya
pun akan berbahaya karena tentu ada di antara mereka yang tidak terpengaruh dan
akan dapat melihatnya. Dia tidak boleh memperlihatkan diri di dekat kamar Sang
Puteri karena hal itu akan menimbulkan kecurigaan dan akan mempersulit lolosnya
Syanti Dewi karena tentu kamar itu tidak akan ditinggalkan para penjaganya.
“Bagaimana...?”
Syanti Dewi mendekati dan berbisik ketika melihat Siang In yang telah mengintai
dari jendela itu berdiri termenung. Puteri ini sudah berpakaian ringkas dan
sebuah buntalan terisi bekal pakaiannya sudah dia siapkan di atas meja.
“Sssttttt,...
banyak penjaga di luar. Aku akan keluar melalui genteng,” bisik Siang In.
Dara ini
masih mengempit payungnya dan dia lalu menjejakkan kakinya di atas lantai.
Tubuhnya mencelat ke atas, ke arah langit-langit dan dengan payungnya dia
menusuk langit-langit dan bergantungan di situ. Dari bawah, Syanti Dewi
memandang penuh kagum dan dia segera teringat kepada Ceng Ceng, adik angkatnya
yang juga memiliki kepandaian hebat seperti Siang In. Sementara itu, Siang In
telah berhasil membobol langit-langit, kemudian setelah dia menoleh ke bawah
dan memberi kedipan mata yang lucu kepada Syanti Dewi, tubuhnya menyelinap ke
atas dan lenyap.
Dengan
hati-hati sekali Siang In membuka genteng dan menyelinap ke luar. Kemudian dia
mempergunakan ilmunya dan berkelebat cepat sekali di atas genteng.
“Hei... apa
itu...?!” terdengar seruan dari bawah. Agaknya ada seorang pengawal yang sempat
melihat bayangan berkelebat cepat.
Siang In
segera mendekam di wuwungan yang tinggi, bersembunyi sambil memasang telinga
mendengarkan. Ada gerakan-gerakan kaki orang di bawah.
“Mana? Tidak
ada apa-apa!” terdengar orang lain mencela.
“Akan tetapi
aku melihat bayangan orang berkelebat di atas genteng. Sungguh, aku berani
sumpah!”
“Hemmm, mana
ada orang mampu menghilang? Kecuali setan... ihhhhh...!”
“Sssttttt,
jangan bicara yang bukan-bukan. Kita harus waspada.”
Siang In
terus mendekam. Maklumlah dia bahwa kalau dia muncul begitu saja, betapa pun
cepatnya dia menggunakan ginkang untuk meloncat, para pengawal yang sudah
memasang mata penuh perhatian di atas genteng itu akan dapat melihatnya. Dia
mencari akal dan tersenyumlah gadis yang cerdik ini. Dipatahkannya sepotong
genteng dan dia lalu menyambitkan tiga patahan genteng berturut-turut ke arah
belakangnya.
Potongan-potongan
genteng itu menimbulkan suara berisik ketika menimpa pot-pot bunga di bagian
depan bangunan itu. Tentu saja semua pengawal terkejut dan semua orang menoleh
ke tempat itu sehingga tidak ada seorang pun yang memperhatikan atau melihat
ketika Siang In cepat sekali meloncat dan terus berlari dan akhirnya melayang
turun ke dalam taman.
Dengan hati
lega Siang In menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak di dalam taman
itu. Dia telah berhasil meninggalkan kamar Syanti Dewi tanpa diketahui orang
dan kini akan menuju ke kandang kuda seperti yang telah direncanakan di dalam
kamar Sang Puteri. Dari peta yang dibuat oleh Syanti Dewi, kini dia telah hafal
akan keadaan dan lorong-lorong di kompleks istana itu.
“Heiiiii,
berhenti...!”
Siang In
terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa ada dua orang pengawal yang
bersembunyi di belakang batang pohon besar sehingga hampir saja dia bertumbukan
dengan mereka.
“Srat!
Srattt!” Dua orang pengawal itu telah mencabut pedang masing-masing.
“Aihhh,
mengapa kalian demikian galak? Mengagetkan orang saja!” Siang In tersenyum
manis bukan main, suaranya pun merdu dan genit, matanya bersinar-sinar sehingga
kedua orang pengawal itu terpesona dan dalam waktu beberapa detik tidak mampu
bergerak hanya menatap wajah yang cantik jelita itu dengan bengong.
Waktu yang
hanya beberapa detik ini cukup sudah bagi Siang In. Dua kali payungnya bergerak
dan dua orang itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara atau berkutik lagi
karena mereka telah tertotok secara tepat sekali oleh ujung payung di tangan
Siang In yang cepat sudah menyelinap maju. Kini dia berlaku hati-hati sekali
sehingga dia tidak sampai ketahuan oleh para penjaga lain.
Akhirnya
tibalah dia di bagian kandang kuda dan gudang rumput, di sebelah belakang
istana. Dia menyelinap dan mengintai. Dilihatnya ada empat orang penjaga di
dalam gudang rumput, maka dia lalu menyambar lampu minyak yang tergantung di
samping gudang, kemudian dia bersenandung!
Tentu saja
empat orang penjaga yang sedang melewatkan malam dingin dengan bermain kartu,
karena mereka ini pun menerima perintah agar malam itu mereka tidak tidur,
menjadi terheran-heran mendengar senandung yang merdu itu. Suara wanita di
tempat itu? Sungguh aneh.
“Aihhh,
kiranya di antara kalian ada yang mempunyai simpanan wanita di sini, ya?”
penjaga yang gendut tertawa. “Hayo, siapa yang menyimpan wanita yang sekarang
bersenandung itu?”
“Aih,
suaranya begitu merdu...,” kata penjaga yang kurus.
“Aku tidak
mempunyai kenalan wanita di sini,” kata yang ketiga.
“Aku pun
tidak...,“ kata yang keempat.
“Kalau
begitu... siapa...?“ Mereka saling pandang dan mata mereka terbelalak karena
teringatlah mereka akan dongeng tentang siluman cantik.
“Jangan-jangan
dia...?”
“Ahhhhh,
mana ada siluman pandai bersenandung semerdu itu. Apa pun adanya dia, mari kita
ke luar menyelidiki. Suaranya terdengar dekat, agaknya di depan gudang,” kata
Si Gendut yang menjadi pemimpin dan keluarlah empat orang itu, berindap-indap
keluar dari gudang, tangan mereka memegang tombak garpu yang biasanya dipakai
untuk menumpuk rumput kering.
Akan tetapi
baru saja mereka tiba di luar pintu gudang dan celingukan karena tidak melihat
sesuatu, dari jendela gudang itu ada sebuah lentera yang dilemparkan ke dalam
gudang. Lentera menimpa tumpukan rumput kering dan tentu saja dalam sekejap
mata rumput kering itu terbakar! Empat orang itu terkejut mendengar suara api
di belakang mereka.
Cepat mereka
menengok ke dalam gudang dan melihat api sudah berkobar besar di dalam gudang
itu. Mereka terkejut dan juga merasa ngeri. Kalau saja mereka tadi belum
keluar, agaknya kini akan sukar meloloskan diri dari api yang tentu mudah
berkobar memakan rumput kering itu.
“Kebakaran...!”
“Tolonggg...
kebakaran...!”
Segera
mereka memukul kentongan sambil berteriak-teriak dan sebentar saja suara
kentongan dan berita kebakaran di gudang kandang kuda itu sudah terdengar di
seluruh kompleks istana. Apa lagi ketika semua kuda telah terlepas dari kandangnya
dan kini berlarian ke sana-sini oleh karena ketakutan melihat api. Tentu Siang
In pula yang telah melepaskan kuda-kuda itu dengan membuka pintu-pintu kandang
dan mencambuki binatang-binatang itu ke luar kandang mereka.
Panik dan
gegerlah seluruh istana! Orang-orang berlari ke sana-sini, berserabutan dan
bingung.
“Jangan
panik! Dan jangan tinggalkan tempat penjagaan masing-masing!” Panglima Mohinta
dibantu oleh beberapa orang perwira berlari ke sana-sini menenangkan para
pengawal.
Akan tetapi
tetap saja terjadi kepanikan hebat, bukan hanya karena kebakaran itu, melainkan
kepanikan lain yang terjadi mulai dari taman di belakang kamar Syanti Dewi.
Selagi para pengawal di sekitar taman itu yang jumlahnya paling banyak ada lima
puluh orang yang tadinya berada di mana-mana dan kini berkumpul, menjadi agak
bingung mendengar teriakan-teriakan kebakaran dan bunyi kentongan, tiba-tiba di
tempat gelap muncul seorang wanita muda yang sangat cantik, yang
tersenyum-senyum kepada mereka dari jauh dan melambaikan tangan.
“Itu dia...
siluman itu!” teriak seorang di antara mereka yang pernah bertemu dengan Siang
In. “Lihat dia membawa payung!”
Mendengar
ini, para pengawal yang merasa tabah karena terdiri dari banyak orang itu
berlari menghampiri. Akan tetapi Siang In tertawa terkekeh lalu membalikkan
tubuhnya dan lari menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Gerakannya
amat ringan dan cepat, lincah bukan main sehingga untuk beberapa lamanya dia
dapat bermain kucing-kucingan dengan mereka, kadang-kadang menghilang
bersembunyi di balik semak-semak atau di balik pohon-pohon, bahkan
kadang-kadang dia meloncat seperti seekor burung terbang ke dalam pohon dan
ketika beberapa orang pengawal yang mencarinya lewat di bawah pohon, dia
melempari mereka dengan buah-buah mentah lalu melompat ke lain pohon dan
berlari lagi.
Dengan
gangguan-gangguan ini, Siang In berhasil membikin kacau lima puluh orang itu
dan kini mereka semua tercurah perhatiannya kepada Siang In yang sebentar
muncul sebentar lenyap itu. Bahkan Siang In kini lari tidak begitu cepat
meninggalkan taman, tentu saja segera dikejar oleh semua pengawal yang
seolah-olah kini berlumba untuk menangkap siluman yang amat cantik jelita itu.
Siang In sengaja memperlambat larinya dan membiarkan dirinya hampir tersusul.
Setelah dia
mendengar suara derap para pengawal itu dekat di belakangnya, tiba-tiba dia
berhenti, membalik sambil mengeluarkan suara melengking nyaring yang tidak
menyerupai suara manusia. Begitu dia membalik, semua pengejarnya terbelalak
ngeri melihat wajah yang putih polos, wajah setan tanpa mata hidung mulut! Dan
selagi mereka bengong dengan muka pucat, Siang In menubruk ke depan,
menggerakkan payungnya dan robohlah enam orang sambil mengaduh-aduh karena
ujung payung itu secara nakal sekali telah menusuk pundak dan paha mereka,
tidak membahayakan namun cukup mendatangkan rasa nyeri.
“Hi-hi-hik!”
Siang In tertawa lagi sambil membalikkan dan melanjutkan larinya, makin
menjauhi taman. Tentu saja para pengawal segera mengejarnya dengan marah.
Berhasillah
Siang In mengacaukan para pengawal dan Syanti Dewi yang sudah siap dan
mendengar keributan kebakaran, maklum bahwa saat baginya sudah tiba. Memang
tanda kebakaran itu merupakan isyarat baginya untuk mulai meloloskan diri.
Karena itu puteri ini lalu cepat keluar dari kamarnya melalui jendela dan hal
ini bukan merupakan hal yang sukar baginya karena Syanti Dewi juga bukanlah
seorang puteri yang lemah, melainkan seorang yang telah mempelajari ilmu silat
pula sehingga lolos dari jendela merupakan pekerjaan yang mudah.
Dia
mendengar suara ribut-ribut di taman itu, maka tahulah dia bahwa Siang In
sedang ‘mengerjai’ para pengawal yang berjaga di taman. Maka dia lantas
menyelinap di belakang pohon, mengintai dari tempat gelap dan setelah suara
teriakan para pengawal makin menjauhi taman, tanda bahwa Siang In yang cerdik
itu telah berhasil memancing mereka ke luar dari taman, Sang Puteri cepat
berlari menyelinap di antara kegelapan pohon-pohon di taman, membawa
buntalannya dan terus menuju ke luar taman melalui jalan rahasia yang menembus
ke pinggir tembok kota raja!
Sementara
itu, Siang In dengan lincahnya mempermainkan para pengawal yang kini makin
banyak berdatangan dan mengepungnya. Ketika para pengejarnya belum begitu
banyak, dia masih dapat menggunakan sihirnya yang mempengaruhi para
pengejarnya. Kadang-kadang dia berdiri begitu saja di dekat pohon dan mereka
yang mengejarnya tidak dapat melihatnya karena mereka melihat gadis itu seperti
sebatang pohon dan melewatinya begitu saja. Kadang-kadang ketika mereka sudah
mengepung gadis itu, mendadak saja gadis itu lenyap berubah menjadi asap atau
‘terbang’ begitu saja ke angkasa di depan mata mereka!
Tentu saja
semua ini hanyalah pengaruh sihir yang dikerjakan oleh Teng Siang In dan
menguasai pikiran mereka semua. Akan tetapi ketika yang mengejarnya makin
banyak, sihir Siang In tidak begitu manjur lagi! Ada sebagian yang melihat dia
‘terbang’ sehingga menjadi bengong, akan tetapi sebagian lagi yang tidak
terpengaruh, melihat gadis itu sebetulnya hanya menyelinap saja untuk melarikan
diri dan mereka ini terus mengejar, dan tentu saja perbuatan mereka ini
sekaligus menyadarkan mereka yang terkena pengaruh sihir. Mulai sibuklah Siang
In berlari ke sana ke mari dan dikejar oleh para pengawal yang dipimpin oleh
Panglima Mohinta sendiri.
“Kejar!
Tangkap dia!” Mohinta berteriak-teriak ketika melihat betapa gadis itu
kadang-kadang melawan dan merobohkan para pengeroyok dengan gerakan silat yang
amat hebat.
Mulailah
Siang In mencari kesempatan untuk meloloskan diri. Menurut perhitungannya, saat
ini Syanti Dewi tentu telah lolos. Akan tetapi celaka baginya, kini tiga ratus
orang pengawal memusatkan kekuatan untuk mengurungnya dan tidak memberi
kesempatan baginya untuk keluar dari dalam lingkungan istana! Kemana pun lari,
tentu dia bertemu dengan pasukan pengawal yang amat banyak jumlahnya! Dan dia
tidak akan mungkin terus bermain kucing-kucingan seperti itu, karena kalau
sampai malam berganti pagi dan dia masih berada di istana, dia akan celaka!
Ilmu silatnya dan ilmu sihirnya tidak mungkin dapat dia pergunakan menghadapi
bala tentara Bhutan yang tentu akan dikerahkan untuk menangkapnya!
Kemarin
masih ada Syanti Dewi yang melindungi dan menyembunyikannya, akan tetapi
sekarang, para pengawal sudah menduga bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa
yang pandai ilmu sihir. Bahkan kini Mohinta telah mengundang jago-jago ilmu
sihir yang banyak pula terdapat di Bhutan untuk menandinginya sehingga ketika
dia mencoba menggunakan sihirnya ketika dia bertemu dengan sepasukan pengawal
yang ditemani seorang pendeta, sihirnya melempem dan tidak berhasil sama
sekali! Hanya berkat ilmu silatnya yang cukup tinggi sajalah dia mampu lolos!
Napasnya
agak terengah dan keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya ketika Siang In
menyelinap ke dalam sebuah ruangan kosong untuk beristirahat sejenak serta
mengumpulkan kekuatan dan mencari akal. Akan tetapi baru saja dia masuk dan
menghapus peluh dengan saputangan, muncul seorang laki-laki tinggi besar
berpakaian panglima yang gagah sekali. Orang ini sudah setengah tua, usianya
kurang lebih empat puluh lima tahun, tubuhnya tegap dan gagah, tangannya
memegang sebatang golok. Melihat laki-laki ini, Siang In terkejut, akan tetapi
juga girang dan wajahnya berseri.
“Paman
Jayin...!”
Panglima itu
memang Panglima Jayin, seorang panglima yang setia kepada Kerajaan Bhutan dan
di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa panglima ini
yang telah berhasil membawa pulang Syanti Dewi dari timur, dan panglima ini
masih terhitung suheng dari Ceng Ceng karena dia pernah menerima gemblengan
dari kakek pendekar wanita itu.
Panglima
Jayin terkejut dan heran mendengar dara muda yang cantik, yang disangka siluman
dan dikejar-kejar ratusan orang pengawal itu menyebutnya paman. Panglima ini
baru saja tiba dari tugasnya ke luar kota raja dan begitu mendengar bahwa
istana dikacau oleh seorang gadis lihai yang disangka siluman, dia bergegas
pergi ke istana dan ikut pula mencari ‘siluman’ itu.
Panglima ini
adalah seorang yang sudah berpengalaman. Tentu saja dia tidak percaya bahwa
istana diganggu siluman. Dia menduga bahwa tentulah yang mengganggu atau
mengacau itu seorang tokoh kang-ouw atau seorang penjahat. Bahkan tadinya dia
menduga bahwa yang mengacau adalah Ang Tek Hoat, tetapi dugaan ini dilenyapkan
oleh berita bahwa pengacau atau siluman itu adalah wanita.
Dengan
kecerdikannya, Panglima Jayin tidak ikut mengejar-ngejar dengan ribut, tetapi
dia menyelinap ke tempat-tempat sunyi karena dia mempunyai perhitungan bahwa
orang jahat yang dikejar-kejar itu tentu akan mencari tempat-tempat sunyi untuk
beristirahat. Perhitungannya itu ternyata cocok sekali, dan dengan girang dia
melihat seorang dara menyelinap masuk ke dalam ruangan kosong itu. Akan tetapi
terkejut dan terheranlah dia ketika dara asing yang dia yakin tentulah si
pengacau itu langsung saja menyebutnya paman!
Sejenak
mereka berpandangan dan dara itu tersenyum manls, senyum kekanak-kanakan yang manis
akan tetapi penuh dengan sifat menggoda seperti seorang anak nakal. “Ehhh,
Paman Panglima Jayin, sudah lupa lagikah engkau kepadaku?” kembali dara itu
berkata ramah sambil tersenyum.
Kini ada
sesuatu pada diri dan sikap lucu serta nakal dari dara itu yang mengingatkan
kepada panglima ini bahwa dia memang pernah bertemu dengan dara ini, akan
tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan di mana. “Nona, siapakah engkau?”
“Aku adalah
Teng Siang In, murid dari See-thian Hoat-su. Kami dulu pernah membantu kalian ketika
mengawal Syanti Dewi ke Bhutan.”
Jayin
teringat dan dia mengangguk-angguk. “Ahhh, kiranya Nona! Akan tetapi apakah
Nona pula yang menggegerkan istana dan dianggap sebagai siluman?”
“Hi-hik-hik,
inilah yang disangka siluman!” Siang In mengeluarkan kedok dan sekali tangannya
mengusap muka, mukanya berubah menjadi polos mengerikan.
Jayin
terbelalak lalu tersenyum. “Aihh, Nona sungguh nakal sekali! Apa perlunya Nona
mempermainkan kami dan mengacau istana?”
Siang In
sudah melepaskan kedoknya lagi dan kini dengan sikap serius, sungguh tidak
pantas bagi wajahnya yang cantik namun jenaka sifatnya itu, dia berkata, “Paman
Jayin, apakah engkau tidak merasa kasihan kepada Puteri Syanti Dewi? Apakah
dulu Paman bersusah payah membawanya pulang ke Bhutan hanya untuk menyiksanya
sehingga dia akan mati tenggelam dalam kedukaan seperti seekor burung dalam
sangkar?”
“Ehhh, apa
maksudmu berkata seperti itu, Nona?” Jayin bertanya marah dengan alis berkerut.
“Hemmm,
jangan kau pura-pura tidak tahu, Paman. Tidak tahukah engkau bahwa Puteri
Syanti Dewi setiap hari berduka, bahwa Sang Puteri masih mencintai Tek Hoat dan
sama sekali tidak mencinta Mohinta? Tidak tahukah Paman akan hal itu?”
Jayin
terkejut dan sejenak dia tak dapat menjawab. Akhirnya dia menghela napas dan
berkata, “Tentu saja aku tahu, Nona. Aku tidak buta, akan tetapi apakah yang
dapat kulakukan?”
“Paman
Jayin, dahulu engkau adalah seorang gagah perkasa yang budiman, yang amat
sayang kepada Syanti Dewi. Apakah sekarang Paman sudah berubah? Apakah Paman
tidak ingin melihat dia berbahagia?”
“Bagaimana
saya dapat membuat dia berbahagia?”
“Dengan
membiarkan dia lolos dari istana untuk pergi mencari dan berkumpul kembali
dengan kekasihnya, yaitu Ang Tek Hoat.”
“Hemmm...
apakah kau menganjurkan aku berkhianat?”
“Siapa yang
suruh kau berkhianat? Terus terang saja Paman Jayin, sejak dahulu aku
menganggapmu sebagai teman. Namun sekarang aku sedang berusaha meloloskan
Puteri Syanti Dewi dari istana. Bahkan sekarang pun dia sudah lolos. Kalau
engkau hendak menghalangi, hemmm... terpaksa kini aku akan menganggap engkau
sebagai musuh!” Berkata dengan demikian, gadis yang cerdik itu sudah siap
dengan payungnya, akan tetapi sesungguhnya ini hanya aksi belaka, karena dia
sama sekali tidak ingin melukai panglima ini, dan yang dia persiapkan adalah
kekuatan sihirnya karena kalau perlu dia akan menguasai panglima ini dengan
sihirnya.
Panglima
Jayin tercengang. Tahulah dia sekarang mengapa gadis ini mengacau istana. Dan
semenjak Tek Hoat pergi tanpa pamit dari Kota Raja Bhutan, kemudian melihat
keadaan Sang Puteri, memang di dalam hati panglima yang setia ini sudah timbul
penyesalan hebat. Namun tentu saja dia tidak berdaya untuk membantu Syanti
Dewi. Dan sekarang, secara tidak terduga-duga, muncul nona ini yang hendak
menolong Syanti Dewi. Kalau dia menghalangi, sama saja artinya dengan dia
hendak memaksa Syanti Dewi hidup menderita selamanya!
Pada saat
itu, terdengar suara hiruk-pikuk dari jauh yang makin lama makin mendekati
tempat itu.
“Dia tadi
berkelebat ke sini!”
“Cari sampai
dapat!”
“Geledah
semua tempat, semua tempat kosong!”
Jayin dan
Siang In masih saling berpandangan. “Apa kau yakin Puteri telah lolos dari
istananya?” tiba-tiba Jayin bertanya.
“Sudah
pasti!”
“Kalau
begitu, aku akan memancing mereka menjauhimu menuju ke istana Syanti Dewi di
utara dan kau dapat melarikan diri ke bagian selatan. Cepat kau temani Sang
Puteri dan bantulah dia agar bertemu dengan kekasihnya agar dia hidup
berbahagia.”
Siang In
tersenyum dan menjura. “Sungguh engkau hebat, Paman! Sudah kusangka bahwa
engkau memang seorang yang gagah perkasa dan budiman.”
“Sudahlah
selamat berpisah...!” kata Jayin.
“Mari
selidiki di dalam sini!” terdengar suara Mohinta tiba-tiba.
“Heiiiii,
siluman! Kau hendak lari ke mana?!” Tiba-tiba Jayin membentak marah. Dengan
golok terhunus dia menyerbu ke luar, mengejutkan Mohinta dan para anak buahnya.
“Ehh, Paman.
Panglima!” Mohinta berseru.
“Mohinta!
Cepat, siluman itu lari ke sana! Ehh, kenapa kalian mengejar-ngejar di sini?
Celaka! Tentu siluman itu akan menculik Sang Puteri! Dan kalian meninggalkan
istana Sang Puteri! Celaka, aku melihat siluman itu tadi lari ke arah istana
Sang puteri!” Jayin mendahului yang lain-lain, melompat dan lari ke arah istana
Syanti Dewi.
Mohinta
terkejut dan baru teringat, maka dia pun kemudian berlari cepat mengejar Jayin,
diikuti oleh para pengawal.
“Ini adalah
pancingan!” Sambil berlari Panglima Jayin berseru. “Siluman itu memancing
kalian meninggalkan penjagaan di istana Sang Puteri. Betapa bodohnya kalian!”
“Celaka...!”
Mohinta menjadi pucat dan mempercepat larinya ke arah istana kecil itu.
Seperti
berlomba lari saja mereka menuju ke istana, langsung ke kamar Sang Puteri dan
memang semua pengawal yang menjaga di situ tadi telah lari mengejar Siang In.
Mohinta bernapas lega melihat pintu kamar Sang Puteri masih terkunci dari
dalam.
“Ahhh,
syukur Adinda Syanti Dewi masih di dalam, tentu masih tidur nyenyak,” katanya
sambil tersenyum lega.
“Bodoh! Coba
ketuk, buka! Siapa tahu...!” Jayin melangkah maju dan mengetuk pintu
perlahan-lahan sambil memanggil. Akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam.
Ketukan diperkeras dan akhirnya pintu itu digedor-gedor oleh Mohinta yang sudah
menjadi pucat sekali mukanya. Namun tetap saja tidak ada jawaban.
“Bongkar
pintunya…!” Jayin yang bersikap seperti orang kebingungan itu memerintah. Pintu
kamar dibongkar, dipaksa terbuka dan mereka menyerbu ke dalam kamar yang
ternyata sudah dalam keadaan kosong!
“Celaka...!
Adinda...! Adinda Syanti Dewi...!” Panglima Mohinta mencari-cari di dalam kamar
itu, lalu menjenguk keluar jendela, akan tetapi keadaan di luar jendela pun
sunyi.
“Nah, apa
kataku tadi!” Panglima Jayin marah-marah. “Sungguh tolol kalian semua yang
dapat dipancing meninggalkan tempat ini oleh penjahat. Jelas bahwa penjahat itu
sudah menyamar sebagai siluman, mengacau dan membakar kandang agar semua
pengawal terpancing ke sana, kemudian dia dengan leluasa telah masuk ke dalam
kamar ini dan menculik Sang Puteri.”
“Aduh, Paman
Panglima Jayin, bagaimana baiknya sekarang?” Panglima Mohinta yang merasa cemas
dan duka itu mengeluh.
“Agaknya
tidak mungkin penjahat dapat melarikan Sang Puteri keluar dari lingkungan
istana. Mohinta, kau perkuatlah penjagaan di sekitar istana, jangan sampai ada
orang dapat keluar atau masuk. Aku sendiri yang akan melaporkan hal ini kepada
Sri Baginda sekarang juga!”
Mohinta
cepat mengerahkan semua pasukan untuk berjaga-jaga dan mencari-cari, akan
tetapi tentu saja tanpa hasil karena pada saat itu, Syanti Dewi dan Siang In
telah pergi jauh meninggalkan tembok tebal yang mengurung Kota Raja Bhutan.
Gegerlah
istana Bhutan. Sri Baginda menjadi marah sekali dan juga sangat gelisah
memikirkan puterinya yang untuk kedua kalinya diculik orang. Dahulu, kurang
lebih lima tahun yang lalu, Sang Puteri bersama Ceng Ceng juga lenyap, sampai
setahun lebih baru berhasil ditemukan. Sekarang, Sang Puteri lenyap pula,
bahkan sekarang lenyap dari dalam kamarnya! Maka, ketika Panglima Mohinta mohon
perkenan Sri Baginda untuk pergi mencari Sang Puteri, Sri Baginda segera
menyetujuinya. Panglima Mohinta lalu mengumpulkan jagoan-jagoan dari Bhutan,
tokoh-tokoh yang berilmu tinggi untuk menemaninya pergi mencari jejak Sang
Puteri Syanti Dewi.
Keadaan
Syanti Dewi benar-benar seperti seekor burung yang tadinya terkurung dalam
sangkar dan kini terlepas dari kurungan, terbang bebas di udara. Kesehatannya
pulih kembali, dalam waktu satu bulan saja melakukan perjalanan, wajahnya sudah
menjadi segar kemerahan, sepasang matanya yang tadinya sayu kini bersinar-sinar
penuh semangat dan gairah hidup dan biar pun pakaiannya tidak seindah dan semewah
ketika dia berada di istana, namun hal ini sama sekali tak mengurangi
kecantikannya, bahkan dia kelihatan segar dan cantik sekali, dengan mata
bersinar, mulut tersenyum dan wajah berseri-seri.
Dia telah
berhasil menyelinap keluar dari tembok kota raja setelah bertemu dengan Siang
In di tempat yang telah dijanjikan oleh mereka, dan berkat kelihaian Siang In,
Sang Puteri dapat dibawa keluar tembok kota dan dengan cepat mereka melarikan
diri ke timur.
Memang bukan
perjalanan yang mudah yang mereka tempuh selama sebulan ini. Naik turun
gunung-gunung yang tinggi dan liar, masuk keluar hutan-hutan yang amat besar
dan gelap. Namun, karena di sampingnya ada Siang In, pula karena memang puteri
ini pernah mempelajari ilmu silat dan telah banyak mengalami hal-hal yang
hebat, maka perjalanan ini tidaklah terlalu sukar dan sengsara baginya.
Sebaliknya malah, dia benar-benar merasa seperti hidup baru, merasa gembira dan
penuh harapan yang muluk-muluk, yaitu harapan untuk dapat bertemu kembali
dengan pria yang dicintanya, ialah Ang Tek Hoat.
Makin akrab
saja hubungan di antara dua orang dara yang sifat dan wataknya bagaikan bumi
dan langit itu. Syanti Dewi adalah seorang wanita yang berwatak lembut, halus
budi, halus perasaan, pandai mengekang perasaan, dan memiliki keagungan
seseorang puteri. Sebaliknya, Teng Siang ln adalah seorang wanita yang berwatak
periang jenaka, bahkan bengal dan suka menggoda orang, suka tertawa, jujur,
polos dan tidak begitu mempedulikan tentang peraturan dan sopan santun,
perasaannya sudah mengeras oleh gemblengan hidup, dan walau pun dia termasuk
seorang dara yang suka berpakaian indah dan suka pula bersolek, namun pada
dasarnya dia amat sederhana.
Betapa pun
besar perbedaan watak antara mereka, akan tetapi mereka dapat segera menjadi sahabat
yang akrab sekali. Syanti Dewi benar-benar merasa seolah-olah dia mendapatkan
pengganti Ceng Ceng! Memang ada persamaan antara Ceng Ceng dan Siang In,
persamaan dalam hal watak periang, agak binal dan jujurnya. Akan tetapi Ceng
Ceng tidaklah sebinal Siang In!
Betapa pun
juga, dengan adanya Siang In di sampingnya, perjalanan yang amat sukar itu
tidak terasa oleh Syanti Dewi dan dia dalam waktu sebulan itu saja sudah
mengenal benar-benar watak Siang In. Biar pun kelihatan binal dan terpengaruh
oleh keindahan yang membawa keanehan, kadang-kadang kelihatan keras, namun pada
hakekatnya dara ini memiliki watak yang amat baik, setia dan jujur!
“Enci
Syanti, ajari aku nyanyian yang kemarin kau nyanyikan ketika kita mandi di
telaga itu! Kau sudah berjanji.“
Mereka
tengah duduk beristirahat di sebuah hutan yang amat indah. Hutan itu berada di
pegunungan yang jauh dari dusun-dusun, hutan yang liar dan tentu amat jarang
terinjak kaki manusia. Akan tetapi ternyata alam memiliki daya cipta yang tak
dapat terukur oleh otak manusia. Pohon-pohon besar kecil tumbuh dengan subur
dan amat nyeni seolah-olah diatur saja, berkelompok dan memiliki keindahan
sendirl-sendiri yang khas, namun juga merupakan suatu kesatuan yang amat indah,
yang tidak terpisahkan. Agaknya, sebatang pohon saja dipindahkan, akan
hambarlah keindahan kesatuan itu. Kembang-kembang dan rumput-rumput seolah-olah
tumbuh di tempat yang memang sudah semestinya, begitu serasi, begitu cocok
sehingga suasana di hutan itu menjadi indah membahagiakan hati.
Dua orang
dara yang benar-benar sadar atau tidak terpengaruh oleh keindahan yang
membahagiakan itu, dan yang kini beristirahat melepaskan lelah di bawah
sebatang pohon besar, merasa bergembira pula dan bercakap-cakap dengan asyiknya
sampai terdengar Siang In minta diajari nyanyian.
“Adikku yang
manis, engkau sudah begini pandai, mempunyai banyak macam ilmu-ilmu yang
aneh-aneh, tetapi kulihat engkau masih selalu haus akan pelajaran-pelajaran.
Betapa rajinnya engkau, In-moi.” Syanti Dewi memuji sambil meletakkan tangannya
ke atas pundak dara itu.
Siang In
tersenyum. “Selama ini, aku hanya mempelajari hal-hal yang kasar saja, Enci.
Ilmu silat, ilmu memukul orang. Huh! Dan ilmu sihir, ilmu menipu orang. Wah,
tidak ada yang baik dan hanya bisa menyusahkan orang lain saja. Akan tetapi
engkau sebagai seorang puteri benar-benar memiliki banyak kepandaian yang dapat
menyenangkan orang lain, dan aku ingin sekali mempelajarinya, Enci.”
“Akan
tetapi, aku mempelajari segala macam kepandaian nyanyi, tari, bermain musik dan
lain-lain itu bukan untuk menyenangkan sembarang orang, adikku. Aku bukannya
ingin menjadi seorang penari atau penyanyi umum.“
“Aku tahu,
Enci. Tentu engkau hanya mau bernyanyi atau menari di depan orang yang kau
cinta. Bukankah begitu?”
Dengan kedua
pipinya berubah merah, Syanti Dewi mengangguk.
“Aku pun
demikian, Enci. Aku minta diajar bernyanyi sebab aku suka sekali mendengar
senandungmu kemarin itu, dan aku... hemmm, aku pun tidak akan mau sembarangan
memamerkan nyanyian di depan orang lain!”
Wajah itu
berseri dan mata yang halus pandangnya itu menatap wajah Siang In penuh
selidik. Akan tetapi yang dipandang hanya tersenyum saja.
“Aihhh,
kalau begitu engkau juga tentu sudah mempunyai seorang pilihan hati, seorang
kekasih, adikku!”
Siang In
menggeleng kepala. “Belum, Enci. Pilihan hati... hemmm, ya, mungkin saja, siapa
tahu... akan tetapi kekasih? Belum! Enci dengan Ang Tek Hoat, nah, itu baru
namanya kekasih, karena saling mencinta.”
Tiba-tiba
pandang mata Syanti Dewi berubah, penuh kekhawatiran. “Adikku yang manis,
apakah... apakah cintamu hanya sepihak...?”
Kembali
Siang In menggeleng dan tersenyum. “Tidak ada cinta, baik dari fihak mana pun,
Enci. Aku sendiri tidak tahu benar apakah aku telah mencinta seseorang. Banyak
memang pria yang menyatakan cinta padaku, baik melalui pandangan matanya,
melalui rayuannya...“
“Aku
percaya. Engkau sungguh cantik jelita seperti bidadari!”
“Tidak ada
sepersepuluhmu dalam kecantikan, Enci. Akan tetapi kalau hanya seperti itu
cinta yang diagung-agungkan itu, seperti para pria yang menyatakan cinta melalui
pandang mata atau rayuan mulut penuh nafsu itu, hihhh...“ Siang In bergidik.
“Lebih baik aku tidak mengenal cinta!”
Syanti Dewi
memandang tajam. “Hemmm... janganlah engkau berkata begitu, In-moi. Kalau benar
engkau belum mempunyai kekasih, habis siapa yang kau cari-cari itu? Dulu di
Bhutan engkau pernah bilang bahwa engkau datang ke Bhutan mencari seseorang
siapakah dia itu yang kau cari-cari?”
Terjadi
perubahan, akan tetapi hanya pada sinar mata dara itu yang tiba-tiba menjadi
bersinar-sinar seperti orang gembira, akan tetapi juga bisa jadi seperti orang
marah. Dia mengangguk. “Memang aku sedang mencari seseorang yang tadinya
kusangka berada di Bhutan atau sekitarnya. Akan tetapi mungkin aku salah sangka
dan dia mungkin tidak berada di barat.”
“Siapakah
dia, In-moi? Mungkin saja aku mengenalnya dan tahu di mana dia berada.”
“Enci
mengenalnya, tentu. Dia adalah Suma Kian Bu.“
“Ehhh...?
Dia...?” Sejenak puteri itu termenung, teringat akan pemuda gagah perkasa,
putera Majikan Pulau Es yang jatuh cinta kepadanya itu! Seorang pemuda hebat
dan andai kata di dunia ini tidak ada Ang Tek Hoat, betapa akan mudahnya dia
jatuh cinta kepada seorang seperti Suma Kian Bu!
“Tahukah
Enci di mana adanya dia?”
Syanti Dewi
dalam keadaan masih termenung menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, tentunya
di Pulau Es, di ternpat tinggal orang tuanya, In-moi. Suma Kian Bu adalah
seperti kakakku sendiri, seperti saudaraku sendiri. Katakanlah kenapa engkau
mencari dia? Kuharap saja tidak ada permusuhan di antara kalian.“
Siang In
menggeleng kepalanya. “Tidak ada permusuhan apa-apa.“
“Kalau
begitu kalian saling mencinta! Wah, syukurlah…!”
“Juga tidak,
Enci. Tidak ada permusuhan, juga tak ada ikatan itu karena selama ini kami
tidak pernah saling jumpa, hanya ada sedikit penasaran dan aku ingin sekali
bertemu dengan dia untuk menanyakan suatu hal agar rasa penasaran di hatiku
dapat lenyap.”
“Syanti Dewi
mengerutkan alisnya dan merasa khawatir. “Penasaran? Urusan apakah itu yang
membuat engkau penasaran, adikku? Bolehkah aku mengetahuinya? Aku khawatir
sekali...”
“Ahh, tidak
apa-apa, Enci Syanti. Hanya rasa penasaran karena suatu perbuatan yang dia
lakukan kepadaku, lima tahun yang lalu,” jawab Siang In dan mendadak wajahnya
berubah merah.
Tentu saja
puteri itu menjadi makin penasaran. “In-moi, perbuatan apakah yang dia lakukan
kepadamu sampai membuatmu penasaran? Atau... engkau kurang percaya kepadaku untuk
memberitahu...“
“Ahhh,
mengapa tidak percaya, Enci Syanti Dewi?” Siang In merangkul. “Tidak ada
rahasia, perbuatan itu hanyalah... eh, lima tahun yang lalu dia... eh, dia
pernah mencium bibirku.”
“Ihhh...!”
Syanti Dewi terkejut bukan main! Dara ini menceritakan hal seperti itu demikian
jujurnya, seolah-olah itu ‘bukan apa-apa’!
“Kenapa kau
terkejut, Enci?” Siang In memandang penuh selidik.
“Tidak
apa-apa...“ Syanti Dewi mengatur napasnya yang agak memburu. “Hanya... jika
sudah begitu... berarti kalian saling mencinta.”
Siang In
menggeleng kepala. “Bagaimana engkau dapat memastikan begitu?”
“Ya...
karena... pria yang mau mencium seperti itu, berarti dia mencinta, dan kalau
kau mau menerima ciuman itu, berarti engkau pun mencintanya.”
“Hemmm...
aku tidak tahu apakah aku cinta padanya, dan aku tidak tahu pula apakah dia
cinta padaku. Akan tetapi, terus terang saja, ciuman itu membuat aku sering
kali tidak bisa tidur, Enci Syanti.”
Syanti Dewi
menutupi mulutnya, menahan ketawa. Anak ini benar-benar jujur bukan main,
pikirnya dengan hati terharu. Jujur dan polos, murni bagaikan setangkai mawar
hutan yang mulus tak pernah ternoda.
“Itulah
tandanya bahwa kau jatuh cinta kepada Kian Bu koko, adikku.”
“Ah, tidak.
Belum tentu. Aku tidak yakin apakah aku cinta padanya. Memang aku sering kali
membayangkan ciuman itu, tetapi dengan hati penasaran. Maka aku ingin sekali
bertemu dengan dia untuk menanyakan artinya, untuk bertanya kepadanya mengapa
lima tahun yang lalu itu dia menciumku seperti itu!”
Syanti Dewi
menggeleng-geleng kepalanya. Selama hidupnya baru kini dia bertemu dengan
seorang gadis seperti Siang In, juga dalam kitab-kitab lama belum pernah dia
bertemu dengan cerita tentang seorang gadis seperti Siang In!
“Jadi
jauh-jauh engkau bersusah-payah mencari Kian Bu koko, hanya untuk bertanya
tentang itu?”
“Benar, akan
tetapi sudahlah, Enci. Hatiku menjadi tidak enak dan amat kecewa karena
kenyataannya perjalananku sia-sia belaka, tak dapat bertemu dia. Baiknya aku
bertemu denganmu dan dapat membantumu lolos dari sangkar emas di istana Bhutan
itu. Sekarang kau ajarkan lagu yang kau nyanyikan kemarin itu.”
“In-moi,
lagu itu adalah lagu lama dari Bhutan, dan sebetulnya untuk menyanyikannya
harus diiringi musik dan dinyanyikan sambil menari.”
“Bagus
sekali! Aku pun senang menari, bahkan aku pernah belajar menari, Enci. Biar kau
ajarkan sekalian tariannya.”
“Musiknya?”'
“Asal kau
ajarkan pada aku iramanya, dapat digantikan dengan irama ketukan batu.”
Syanti Dewi
tertawa. Memang, inti dari musik adalah iramanya, dan andai kata tidak ada alat
musik, asal iramanya dibunyikan dengan tepuk tangan, ketukan batu atau apa pun
jadilah! Dia lalu mengajarkan iramanya yang sederhana saja seperti semua irama
dari segala macam musik di dunia ini.
“Lagu ini
bernama HARAPAN JUMPA KEKASIH. Nah, kau iringilah dengan irama yang baik dan
teratur, dan dengarkan nyanyiannya, lihat gerak tariannya kalau kau ingin pula
mempelajarinya.”
Terdengarlah
ketukan-ketukan batu berirama di dalam hutan itu, kemudian terdengarlah suara
halus merdu dari Syanti Dewi yang bernyanyi sambil menari. Kata-kata dalam lagu
itu memang tepat sekali dengan keadaan dan suara hati Sang Puteri sendiri.
Kekasih telah
lama pergi
tak tahu
bila akan jumpa kembali
namun hati
pantang membeku
tak mengenal
putus harapan
selama hayat
dikandung badan
cintaku tak
pernah padam
jika tiada
kesempatan jumpa di dunia
di akhirat
kita akan saling bersua
harapan
jumpa kekasih
kubawa
sampai mati...
“Hebat,
Enci! Hebat sekali, baik nyanyiannya mau pun tariannya. Cepat, kau yang
mengiringi dengan irama, selagi aku masih ingat.”
Gembira
bukan main hati kedua orang dara itu dan ketika Siang In belajar menyanyi dan
menarikan lagu Harapan Jumpa Kekasih itu, Syanti Dewi yang bengong dan kagum!
Kiranya di samping kepandaian silat dan sihirnya yang hebat, dara ini pun
memiliki suara yang nyaring merdu seperti burung kenari, dan tubuhnya yang
padat ramping itu memang telah jelas memiliki gerakan yang lemas dan lemah
gemulai sehingga ketika dia menari, benar-benar amat indah dan mengandung daya
pikat yang mempesonakan.
Gerak-gerik
tarian Syanti Dewi mengandung kehalusan dan masih terselubung oleh tradisi
sopan santun yang telah mendarah daging dalam diri puteri itu, akan tetapi
tidak demikian dengan Siang In. Gadis ini bebas dari segala ikatan tradisi,
gerakannya wajar dan tidak terkekang maka setiap anggota tubuhnya seolah-olah
‘hidup’ dan menari-nari sehingga menimbulkan daya tarik yang menggairahkan!
Demikianlah,
dengan asyiknya dua orang dara itu menari dan bernyanyi di dalam hutan. Siang
In belajar penuh semangat, kadang-kadang Syanti Dewi masih turun tangan
mengajarnya bagaimana harus menggerakkan tangan dan jari-jari tangan yang
benar, bagaimana harus menggerakkan kaki melangkah. Puteri itu memberi petunjuk
dengan penuh ketelitian dan Siang In makin gembira mempelajarinya sampai
akhirnya dia dapat menangkap inti dari nyanyian dan tarian itu. Sejak kecil,
Siang In mempelajari ilmu silat dan sesungguhnya orang yang berbakat pula
mempelajari ilmu tari, karena di dalam gerakan ilmu silat memang terkandung
inti gerakan ilmu tari pula. Oleh karena itu, dengan mudah saja dara yang
memang bertubuh ramping dan lemas ini menguasai tarian Harapan Jumpa Kekasih
itu.
Tiba-tiba
Siang In menangkap tangan Syanti Dewi dan ditariknya puteri itu menyelinap ke
balik semak-semak belukar yang tinggi. Tentu saja puteri itu terkejut bukan
main, akan tetapi melihat Siang In memberi isyarat dengan jari tangan ke depan
mulut, dia pun tidak berani bertanya dan maklum bahwa tentu ada sesuatu yang
tidak beres. Melihat pandang mata Siang In ditujukan ke barat, dia pun menoleh
dan kini setelah dia memusatkan perhatiannya, dia pun mendengar lapat-lapat
derap kaki kuda datang dari jurusan itu.
Tidak lama
mereka menanti. Derap kaki kuda makin keras dan segera kelihatan belasan orang
penunggang kuda membalapkan kuda lewat di hutan itu dan dapat dibayangkan
betapa kaget rasa hati Syanti Dewi saat melihat bahwa rombongan berkuda itu
ternyata dipimpin oleh Panglima Mohinta! Seketika wajahya menjadi pucat dan
tangannya yang memegang tangan Siang In menggigil. Disangkanya bahwa dia telah
terlepas dari bahaya karena telah meninggalkan Bhutan selama satu bulan. Siapa
kira, ternyata dia dikejar dan kini para pengejarnya telah tiba di situ!
Setelah
derap kaki kuda itu menghilang ke jurusan timur, barulah Syanti Dewi bernapas
lega dan Siang In kemudian berkata, “Aihhhh, tidak kusangka monyet-monyet itu
akan bisa menyusul secepat itu. Dan tunanganmu sendiri yang memimpin pasukan
pengejar.”
“Dia bukan
tunanganku! Jangan menyebut-nyebut lagi dia sebagai tunanganku, In-moi. Engkau
tahu bahwa tunanganku adalah Ang Tek Hoat!”
“Maaf, Enci
Syanti. Sekarang kita tidak boleh lalai. Mereka telah mengejar, tentu mereka
telah mendengar tentang kita dari dusun terakhir yang kemarin dulu kita lewati
untuk membeli roti kering. Kalau mereka nanti tiba di dusun depan dan tidak
mendengar tentang kita, tentu mereka akan kembali lagi dan mencari kita di
sepanjang jalan.”
“Tapi mereka
hanya belasan orang banyaknya. Dengan kepandaianmu...“
“Hemmm, apa
engkau tidak melihat pendeta lama jubah kuning yang tadi menunggang kuda di
samping tunang... ehh, Panglima Mohinta itu?”
“Ya, aku
melihatnya dan aku belum pernah melihat dia sebelumnya. Siapa dia dan mengapa,
In-moi?”
“Ketika
lewat tadi, aku sempat melihat sinar matanya dan tentu dia itu seorang jagoan
undangan. Agaknya dari Tibet dan melihat sinar matanya, aku dapat menduga bahwa
dia tentu seorang yang lihai dan tidak mudah dipengaruhi oleh kekuatan sihir.
Tentu saja aku tidak takut kepada mereka, akan tetapi aku harus melindungimu,
Enci. Dan agaknya akan sukarlah kalau aku harus melawan mereka sambil
melindungimu. Aku tidak ingin melihat usaha kita gagal setelah kita berhasil
pergi sejauh ini dari Bhutan. Mari kita mengambil jalan lain saja, bukan jalan
umum.”
“Terserah
kepadamu, In-moi.”
Siang In
lalu mengubah rencana perjalanannya, tidak melanjutkan melalui jalan umum ke
timur melainkan membelok ke utara melalui jalan liar, naik turun gunung dan
jurang yang amat liar, akan tetapi yang menjamin mereka bahwa pasukan berkuda
itu tidak akan mungkin dapat mencari jejak mereka. Siasat Siang In berhasil
baik. Memang tepat perhitungannya.
Ketika
Mohinta dan anak buahnya tiba di dusun depan dan mereka tidak mendengar adanya
dua orang gadis itu lewat di dusun ini, Mohinta dan kawan-kawannya segera
kembali dan mencari-cari di dalam hutan di mana dua orang tadi bernyanyi dan
menari. Namun Mohinta kehilangan jejak mereka dan terpaksa dia membawa
rombongannya terus mengejar dan mencari ke timur. Mohinta dapat menduga bahwa
tentu Syanti Dewi akan berusaha mencari bekas kekasihnya, Ang Tek Hoat, maka
dengan mencari pemuda itu, dia percaya akhirnya akan dapat pula menemukan
Syanti Dewi.
Setelah
melakukan perjalanan yang amat jauh, sukar dan melelahkan, namun mereka berdua
selalu berada dalam keadaan gembira, terutama sekali karena watak jenaka dan
periang dari Siang In telah menular kepada Syanti Dewi, akhirnya pada suatu
senja mereka tiba di kaki sebuah di antara pegunungan yang mempunyai banyak
puncak. Itulah Pegunungan Lu-liang-san yang menjadi tapal batas Propinsi
Shen-si di barat, Ho-nan di selatan, dan Shan-si di utara.
Lebih dari
sepekan mereka berdua melakukan perjalanan melalui air Sungai Wei-ho, dan di
kota Sian, yaitu ibukota Propinsi Shen-si, mereka mendarat dan melakukan
perjalanan darat. Tujuan mereka adalah Kota Raja Peking di utara. Setelah berjalan
beberapa hari lamanya, pada senja hari itu mereka tiba di kaki puncak dan
mereka memandang ke atas puncak di mana nampak sebuah kota yang dikelilingi
tembok, mereka merasa lelah sekali karena anehnya, setelah melakukan perjalanan
sehari lamanya mereka tidak juga bertemu dengan kota atau dusun! Baru sekarang
mereka melihat kota di puncak bukit itu, dan di depan agak jauh nampak mengalir
Sungai Kuning yang amat lebar.
“Hari sudah
gelap dan sudah dua hari kita tidak makan nasi,” kata Siang In, “Kalau melanjutkan
ke depan, kita terhalang Sungai Kuning yang lebar. Bagaimana kalau kita naik ke
puncak itu? Kelihatannya di atas itu adalah sebuah kota kuno yang besar dan
kita bisa mencari penginapan di sana dan makan sepuasnya di rumah makan.”
Syanti Dewi
yang merasa sudah lelah sekali itu mengangguk. “Terserah kepadamu, In-moi. Aku
setuju saja. Hanya lain kali lebih baik kita melanjutkan perjalanan dengan
berjalan kaki saja. Perjalanan melalui air yang telah kita tempuh, demikian
enak dan membikin malas hingga begitu diganti dengan perjalanan darat, kaki ini
menjadi seperti mau patah-patah rasanya. Padahal, sebelum itu, dipakai berjalan
sampai sebulan lebih tidak apa-apa.”
Siang In
tersenyum dan menggandeng puteri itu. “Kasihan engkau, Enci Syanti, dan kasihan
kedua kakimu yang mungil itu. Biasanya kalau pergi dekat saja engkau tentu
menggunakan joli atau kereta, dan biasanya kalau terasa capai, tentu ada
pelayan-pelayan yang memijatinya. Sayang, kalau ada Tek Hoat, tentu….“
“Hushhh,
genit kau...!” Syanti Dewi mencubit lengan Siang In dan dara ini menjerit-jerit
minta ampun. Dengan kelakar itu Siang In berhasil membuat puteri itu melupakan
kelelahannya dan mereka bersendau-gurau sambil mendaki jalan naik ke puncak
itu.
Sungguh
kasihan kedua orang dara cantik jelita itu. Mereka tertawa-tawa bersenda gurau,
membayangkan bahwa mereka akan tiba di sebuah kota atau dusun besar di mana
mereka akan dapat melepaskan lelah di rumah penginapan, mandi air hangat dan
makan masakan yang lezat-lezat. Mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa
mereka itu seolah-olah dua ekor anak domba yang berdaging empuk dan yang sedang
menuju ke goa yang penuh dengan harimau dan naga!
Tempat
apakah yang dikurung tembok di atas puncak itu? Bagi wilayah itu, bahkan hampir
semua orang-orang kang-ouw di Propinsi-propinsi Shan-si, Ho-nan dan Shen-si,
tempat itu telah amat terkenal, disegani dan tidak sembarangan orang kang-ouw
berani mendatangai tempat itu, apa lagi sejak beberapa tahun akhir-akhir ini.
Puncak bukit itu merupakan daerah berbahaya dan gawat, bahkan di sekitar itu,
orang-orang tidak lagi berani tinggal sehingga dusun-dusun itu ditinggalkan
orang. Inilah sebabnya mengapa selama sehari perjalanan Siang In dan Syanti
Dewi tidak pernah melihat kota atau dusun.
Puncak itu
dinamakan puncak Hwee-liong (Naga Api) dan yang kelihatan seperti dusun itu
sesungguhnya adalah sekelompok bangunan yang dikurung dinding tembok yang kuat
seperti benteng saja. Tempat itu menjadi markas sebuah perkumpulan yang amat
terkenal, yaitu Perkumpulan Liong-sim-pang (Perkumpulan Hati Naga). Yang
menjadi ketuanya, atau lebih tepat menjadi pemiliknya karena sesungguhnya
perkumpulan itu didirikan oleh seorang yang amat kaya raya, adalah seorang
laki-laki yang terkenal dengan julukan Hwa-i-kongcu (Pemuda Baju Kembang),
bernama Tang Hun dan memang dia merupakan keturunan terakhir dari keluarga Tang
yang kaya raya dan seolah-olah sejak turun-temurun menjadi raja kecil yang
menguasai semua tanah di daerah itu.
Mengapa
pemuda bernama Tang Hun ini sampai mendirikan Perkumpulan Liong-sim-pang?
Karena selain kaya raya dia pun sejak kecil suka sekali akan ilmu silat, bahkan
kini ia terkenal sebagai seorang yang amat tangguh dan lihai, apa lagi setelah
sejak beberapa tahun ini dia berguru kepada seorang nenek hitam yang kini
tinggal di puncak itu sebagai seorang yang dipuja-puja. Sejak berguru kepada
nenek hitam ini kabarnya kepandaian Hwa-i-kongcu menjadi hebat bukan main
karena selain silat nenek itu amat tinggi, juga terutama sekali nenek itu
seorang ahli sihir yang menurunkan sebagian dari kepandaian ini kepada muridnya
itu! Dan selain dia sendiri amat lihai, juga Hwa-i-kongcu mempunyai
pembantu-pembantu yang sakti dan setia.
Sebagai
seorang majikan atau ketua dari sebuah perkumpulan, apa lagi karena amat kaya
raya, tentu saja Hwa-i-kongcu membentuk pasukan sebagai anak buah
Liong-sim-pang. Anak buahnya berjumlah lima puluh orang, dan rata-rata memiliki
kepandaian lumayan, sebab mereka yang masuk menjadl anggota harus lulus melalui
ujian tertentu. Bahkan setelah menjadi anak buah Liong-sim-pang mereka ini
mendapat pendidikan khusus dari para pembantu Hwa-i-kongcu.
Melihat
namanya, perkumpulan ini didirikan oleh Tang Hun dengan maksud untuk mengangkat
diri sendiri sebagai majikan atau ketua perkumpulan orang-orang gagah yang
berhati naga! Akan tetapi, sudah menjadi kelajiman di dunia bagian mana pun
juga, baik dalam bentuk pangkat, kedudukan, dan kepintaran, harta benda, mau
pun kekuatan, selalu mendatangkan kekuasaan dan kekuasaan inilah yang
menimbulkan kesombongan, kesewenang-wenangan dan penindasan. Maka tidak lama
kemudian, nama Liong-simpang menjadi tersohor dan ditakuti orang karena para
anak buahnya mengandalkan kekuasaan itu untuk menang sendiri terhadap fihak
lain.
Hwa-i-kongcu
Tang Hun sendiri tentu saja merasa dirinya terlalu tinggi untuk melakukan
hal-hal yang remeh. Dia sudah kaya raya, maka tidak pernah dia melakukan
pemerasan atau merampas harta. Akan tetapi dia memiliki kesenangan lain, yaitu
wanita cantik!
Dengan
berbagai jalan, baik menggunakan kekayaannya, ketampanannya, atau kalau perlu
kepandaiannya, dia mengumpulkan banyak wanita cantik di dalam gedungnya dan
celakanya, pemuda mata keranjang dan hidung belang ini adalah seorang pembosan
sehingga kumpulan wanita di gedungnya selalu berganti. Yang sudah membosankan,
dan biasanya hal ini takkan pernah terjadi lebih dari beberapa bulan saja,
kemudian dipulangkan begitu saja dan dia mulai berkeliaran lagi mencari
penggantinya. Kamar-kamarnya selalu penuh dengan wanita cantik yang jumlahnya
paling sedikit ada sepuluh orang!
Hwa-i-kongcu
sendiri biar pun usianya sudah tiga puluh tahun namun dia kelihatan amat muda,
seperti seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun. Wajahnya tampan dan
selalu putih karena dibedaki dengan bedak harum. Dia pesolek sekali, dengan
pakaian seperti seorang sastrawan yang selalu berwarna-warni dan
berbunga-bunga, pakaian dari sutera yang mahal dan mewah.
Karena
kelihatan masih amat muda, tampan dan ganteng serta kaya raya, pandai ilmu
sastra dan silat, maka tentu saja dengan mudah dia dapat memikat hati
wanita-wanita cantik. Akan tetapi, begitu wanita-wanita itu berhasil
diperolehnya dan dibawa ke dalam gedungnya, wanita-wanita itu menyesal bukan
main dan barulah mereka sadar bahwa mereka telah memasuki neraka karena pria
yang tampan itu memiliki watak yang amat aneh dan kejam, yang suka menyiksa
wanita demi untuk memuaskan nafsu birahinya dan menganggap wanita hanya sebagai
barang permainan belaka, sebagai pemuas nafsu belaka!
Sampai berusia
tiga puluh tahun, Hwa-i-kongcu ini tidak pernah menikah. Hal ini adalah karena
dia berwatak pembosan dan terutama sekali karena dia amat tinggi hati, merasa
bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang cukup berharga untuk menjadi isterinya
yang sah! Semua wanita itu hanya mau dijadikan barang permainannya untuk
sementara saja.
Demikianlah,
di luar kesadaran atau dugaan mereka, kini Siang In dan Syanti Dewi sedang
mendaki bukit itu menuju ke tempat seperti itu! Tentu saja para penjaga di atas
tembok yang seperti benteng itu sudah melihat akan adanya dua orang yang
mendaki bukit. Sepasukan anak buah Liong-sim-pang yang jumlahnya selosin orang
segera bergegas turun dari puncak untuk menghadang dua orang yang berani
lancang naik ke puncak itu.
Siang In dan
Syanti Dewi sudah tidak bergurau lagi karena mendaki jalan naik itu cukup
melelahkan, membuat mereka terutama Syanti Dewi menjadi kecapaian, keringatnya
membasahi seluruh tubuh dan nafasnya agak memburu.
“Ihhhhh...“
Puteri itu mengeluh. “Kelihatan dekat, tapi kalau dijalani kenapa tidak juga
sampai-sampai!”
Siang In
tertawa. “Enci, kita sudah melewati gunung-gunung yang jauh lebih tinggi dan
sukar dari pada bukit kecil ini, akan tetapi kau tidak pernah mengeluh. Hal itu
adalah karena kau tergesa-gesa ingin lekas-lekas tiba di puncak itu, maka
menjadi lama dan kelihatan jauh...“
Tiba-tiba
Siang In menghentikan kata-katanya, lalu memegang tangan puteri itu dan
menghentikan langkahnya. Syanti Dewi terkejut dan memandang ke depan. Tampak
olehnya serombongan orang berjalan cepat turun dari atas. Bukan rombongan
orang, melainkan sepasukan orang karena mereka itu berjalan dengan berbaris
rapi seperti pasukan saja! Dan pakaian mereka juga seragam. Setelah mereka
datang agak dekat, nampaklah bahwa pakaian mereka itu seragam dengan baju
kuning dan celana hitam, dan di dada mereka terdapat lukisan seekor naga.
Syanti Dewi
menjadi gelisah dan memegang tangan Siang In, akan tetapi gadis ini hanya
tersenyum dan berkata lirih. “Tenanglah, Enci, biar aku menghadapi badut-badut
itu.”
Pasukan itu
berhenti di depan mereka dan Si Tinggi Kurus yang agaknya menjadi komandan
pasukan menyerukan aba-aba dan mereka lalu berpencar menghadang ke depan dua
orang dara itu, berdiri berjajar memenuhi jalan. Mereka memandang dengan mata
terbelalak, terheran-heran ketika melihat bahwa dua orang yang naik dan mereka
curigai itu ternyata adalah dua orang dara yang memiliki bentuk badan dan wajah
yang aduhai! Sampai bengong mereka memandang, karena sesungguhnya, selama
mereka hidup, belum pernah mereka bertemu dengan dua orang dara yang begini
cantik jelitanya! Seolah-olah dua orang bidadari yang baru turun dari
kahyangan!.
Melihat dua
orang wanita cantik, komandan pasukan segera pasang aksi. Ia mengebut-ngebutkan
pakaian seragamnya, membusungkan dadanya yang tipis hingga tubuhnya menjadi
melengkung seperti huruf S atau seperti seekor ular sendok bergaya, kemudian
melangkah maju dengan langkah seorang jenderal dan dia berdehem dua kali
sebelum bicara. Suaranya lantang dibesar-besarkan akan tetapi tetap saja
sumbang karena memang si jangkung ini suaranya kecil parau.
“Heiiiii!
Kalian dua orang Nona Muda ini siapakah, dari mana dan hendak ke mana?” Si
jangkung ini bertanya dengan suara mengandung nada-nada seperti orang
bernyanyi, dan tentu saja nyanyian sumbang!
Melihat
lagak orang ini mau tidak mau hati Syanti Dewi merasa geli dan dia menutupi
mulutnya untuk menyembunyikan senyumnya. Akan tetapi Siang In tersenyum lebar,
bahkan tidak menahan suaranya terkekeh kecil. Inilah perbedaan antara dua orang
dara cantik itu. Syanti Dewi sejak kecil sudah dikurung oleh semacam kebiasaan,
tradisi, dan sopan santun sehingga setiap gerak-geriknya terbentuk oleh suasana
di dalam istana. Di lain fihak, Siang In sudah biasa hidup bebas, maka dia
tidak merasa kurang sopan untuk tersenyum atau tertawa sesuka hatinya.
“Kami adalah
dua orang pelancong, dari belakang hendak ke depan, hik-hik!” Siang In menjawab
sambil terkekeh.
“Ha-ha-ha,
Nona ini lucu!”
“Lucu dan
manis, heh-heh.”
“Kedua-duanya
cantik jelita!”
“Hushhh,
diam kalian!” Si jangkung membentak ke belakangnya dan para anak buahnya
berhenti bicara. Sungguh pun mereka masih menyeringai gembira dan pandangan
mata mereka kadang-kadang melayang mengagumi wajah dua orang dara itu, kemudian
pandang mata mereka meraba-raba ke seluruh anggota tubuh yang menggairahkan
Itu. Hal ini terasa sekali oleh Syanti Dewi yang cepat menundukkan muka dengan
alis berkerut.
“Nona,
jangan kau main-main! Kalian berdua berhadapan dengan Jiu Koan, seorang tokoh
Liong-sim-pang! Hayo lekas mengaku baik-baik, jangan sampai aku bertindak kasar
terhadap kalian dua orang dara-dara muda.”
“Nanti dulu,
mengaku ya mengaku, akan tetapi kalian ini mau apakah? Kami tidak melakukan
apa-apa yang merugikan kalian, mengapa kalian menghadang perjalanan kami? Kami
hendak pergi ke kota di puncak itu.”
“Ha-ha-ha-ha-ha!”
Semua anggota pasukan tertawa dan Siang In mengerutkan alisnya, lalu memandang
ke arah kota berdinding tebok itu.
“Mengapa
kalian tertawa!?” tanyanya.
“Di atas itu
bukan kota Nona, melainkan markas dari perkumpulan kami, Liong-sim-pang. Dan
kalian berdua telah melanggar wilayah kami, tentu saja kami menghadang kalian,”
kata pula si jangkung bernama Jiu Koan dan mengaku tokoh Liong-sim-pang itu.
Padahal tentu saja dia hanya seorang petugas rendahan yang paling tinggi
berpangkat kopral.
Siang In dan
Syanti Dewi saling pandang dan merasa terkejut serta kecewa. Kiranya mereka
telah salah duga! Akan tetapi mendengar bahwa mereka itu adalah anak buah
perkumpulan yang bernama Hati Naga, dia merasa dadanya lapang.
Hati Naga
berarti keberanian. Hanya orang-orang gagah saja yang mau menggunakan nama
seperti itu. Dan orang gagah tentu bukan orang-orang jahat. Maka cepat dia
menjura dan berkata, “Aihh, kalau begitu harap Cu-wi (Anda Sekalian) suka
memaafkan kami yang salah terka dan salah jalan. Kami kira yang di atas itu
sebuah kota atau dusun. Setelah kami mengetahui akan kesalahan kami, biarlah
kami kembali dan harap maafkan kami.”
“Eh-eh,
nanti dulu, Nona!” Jiu Koan membentak ketika melihat Siang In dan Syanti Dewi
hendak pergi dan membalikkan tubuh mereka. Dia memberi isyarat dan dua belas
orang pasukannya itu berpencar lalu membentuk lingkaran mengurung dua orang
dara itu.
“Hemmm...
kalian mau apa?” Siang In tersenyum. Dia menyembunyikan kemarahannya dibalik
senyum manis.
“Kalian
sudah melanggar wilayah kami, tidak boleh begitu saja sebelum ikut dengan kami
untuk menghadap Kongcu.”
“Hemmm,
siapa itu Kongcu?” tanya Siang In.
“Kongcu
adalah majikan dan ketua kami.”
“Kongcu
pasti akan senang sekali melihat kalian, heh-heh!”
“Tentu saja,
dan kita akan mendapatkan hadiah!”
Mereka
tertawa-tawa dan lenyaplah keyakinan di hati Siang In bahwa dia berhadapan
dengan anggota-anggota perkumpulan orang gagah. Lagak mereka ini tiada bedanya
dengan penjahat-penjahat kecil atau sebangsa perampok liar saja.
“Kalau kami
tidak mau?” tanyanya.
“Ha-ha, mau
tidak mau kalian harus ikut bersama kami,” jawab Jiu Koan.
Siang In
melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Jiu Koan dan
bertanya, “Eh, siapa namamu tadi? Jiu Koan?”
“Benar.”
“Jadi engkau
ini seorang jagoan Liong-sim-pang? Nah, sekarang begini saja orang she Jiu.
Kalau kau memang jagoan, aku tantang kau untuk bertanding. Kalau aku kalah,
biar kami akan menyerah dan ikut bersama kalian ke atas sana. Tetapi kalau aku
menang, kalian harus membiarkan aku pergi. Bagaimana?”
Jiu Koan
memandang dengan mata terbelalak. Gadis ini menantangnya? Akan tetapi dia
seorang yang cerdik pula. Kalau gadis ini berani menantangnya, agaknya gadis
yang membawa payung ini memiliki kepandaian. Kalau dia mempertaruhkan kebebasan
mereka, amatlah berbahaya. Akan tetapi gadis kedua itu, yang kelihatan lemah
lembut, tentu tidak bisa silat.
“Baik, akan
tetapi karena kalian berdua, maka haruslah kalian berdua pula yang maju,
masing-masing melawan seorang pembantuku dan aku. Kalau kalian berdua menang,
biarlah kalian boleh pergi. Akan tetapi, seorang saja yang kalah, dia harus
ikut kami ke atas untuk menghadap Kongcu.”
“Baiklah,”
jawab Siang In sambil berkedip kepada Syanti Dewi yang ingin membantu. “Kau
ajukan jagomu biar dilawan temanku ini.” Dan dia menggunakan ilmunya sehingga
hanya Syanti Dewi saja yang mendengar bisikannya, “Enci, kau lawanlah saja, aku
akan membantumu dan tidak mungkin kau kalah.”
Syanti Dewi
mengangguk. Memang dia pernah mempelajari ilmu, bahkan ilmu silatnya telah
memperoleh kemajuan hebat saat dia mendapat petunjuk-petunjuk dari pendekar
sakti Gak Bun Beng beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi selama bertahun-tahun
ini dia tidak pernah berlatih karena semangatnya seperti telah hilang terbawa
pergi oleh Tek Hoat. Maka untuk bertanding tentu saja gerakannya kaku dan
memang puteri ini bukan seorang yang suka berkelahi!
Jiu Koan
lalu memberi isyarat dan majulah seorang laki-laki tinggi besar bermata lebar.
Usianya tentu belum ada empat puluh tahun dan kedua lengannya nampak penuh
dengan lingkaran otot-otot besar karena dengan bajunya digulung sebatas siku.
Dia ini tersenyum menyeringai, agaknya girang sekali mendapat kesempatan untuk
bertanding melawan dara cantik seperti bidadari itu. Sudah terbayang dalam
benaknya betapa dia akan memperoleh kesempatan untuk memeluk dara itu.
Syanti Dewi
merasa agak ngeri berhadapan dengan raksasa ini, akan tetapi dia pun bersiap
sedia dan memasang kuda-kuda. Ketika Si Tinggi Besar meliihat betapa dara cantik
ini dapat memasang kuda-kuda ilmu silat, dia bersikap hati-hati dan berkata,
“Nona manis, lebih baik kau menyerah dan mengaku kalah.”
“Tidak perlu
banyak cakap, majulah!” Syanti Dewi berkata.
“Ha-ha,
hendak kulihat apakah kau akan mampu bergerak dalam dekapanku!” Raksasa itu
tertawa dan menubruk cepat sekali ke arah Syanti Dewi.
Puteri ini
amat terkejut, tak disangkanya orang tinggi besar itu dapat bergerak demikian
cepatnya. Akan tetapi dia dapat mengelak dengan meloncat ke kanan sambil
mengirim tendangan ke arah lambung lawan. Dalam perjalanan yang jauh ini,
puteri Bhutan itu sengaja memakai sepatu kulit yang dipasangi besi di ujungnya,
maka tendangannya itu bukanlah tidak berbahaya.
“Ehhh!”
Lawannya berseru kaget juga karena hampir saja lambungnya tercium sepatu.
Dia mengelak
sambil berusaha menangkap kaki itu, akan tetapi Syanti Dewi sudah menarik
kembali kakinya. Raksasa itu kini menyerang dengan marah, tidak lagi hanya
berusaha menangkap Sang Puteri, tetapi juga menggunakan pukulan dan tendangan
bertubi-tubi. Karena kaki dan tangannya memang besar dan panjang, repot jugalah
Syanti Dewi mengelak ke sana ke mari.
“Kau hendak
lari ke mana sekarang?” Raksasa itu berseru keras, tangan kanannya diulur untuk
mencengkeram ke arah rambut kepala Syanti Dewi.
Puteri ini
cepat merendahkan tubuh mengelak, dan selagi ia membalas dengan pukulan ke arah
muka raksasa itu, lawannya sama sekali tidak menangkis atau mengelak, agaknya
akan menerima pukulan itu begitu saja, akan tetapi kedua tangannya kini
mencengkeram ke arah kedua buah dada Sang Puteri!
“Aihhh...!”
Syanti Dewi menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang.
Dia
berjungkir-balik dan terbebas dari serangan yang kasar itu, akan tetapi karena
kurang latihan, ketika berjungkir-balik itu tubuhnya agak terhuyung-huyung
hampir jatuh. Kesempatan itu dipergunakan oleh si raksasa untuk menyerbu ke
depan.
Pada saat
itu, Siang In menggerak-gerakkan tangannya ke arah si raksasa sambil berseru,
“Laki-laki tidak sopan, jangan kau main curang dan kurang ajar!”
Suaranya
melengking nyaring dan mengandung daya tarik yang luar biasa sehingga si
raksasa itu memandang kepadanya. Inilah kesalahannya karena begitu dia bertemu
pandang dengan dara itu, otomatis dia telah terjatuh ke dalam pengaruh sihir
Siang In.
“Eh... eh...
mana...?” Raksasa itu bingung karena secara tiba-tiba saja dia tidak melihat
lagi dara cantik yang menjadi lawannya.
“Plak!
Plak!”
Dua kali
pipinya ditampar orang, ditampar oleh tangan yang tidak kelihatan sampai
menjadi merah dan terasa panas sehingga dia terhuyung ke belakang.
Syanti Dewi
sendiri merasa telapak tangannya panas ketika menampar muka orang itu. Dia
melihat lawannya berdiri bingung dan tahulah puteri ini bahwa Siang In mulai
membantunya, maka dia kemudian melangkah maju, dan memukul ke arah dada orang
dengan tinju tangannya yang kecil.
“Buk-buk-bukkk!”
Tiga kali dia memukul dan raksasa itu berteriak kaget dan terhuyung-huyung lagi
ke belakang.
Semua
temannya menjadi bengong. Apa yang terjadi dengan raksasa itu? Tadi jelas
tampak oleh mereka bahwa nona cantik itu yang terdesak hebat, kenapa kini kawan
mereka itu seperti orang bingung dan dengan mudah saja ditampar dan ditonjok?
Si raksasa
itu memang bingung dan ngeri. Jelas bahwa dia ditampar dan ditonjok, akan
tetapi dia sama sekali tidak dapat melihat lawan yang menampar dan menonjoknya
itu. Dia masih berusaha menggunakan kedua lengannya yang panjang untuk memukul
sana-sini, mencengkeram sana-sini, namun hanya mengenai angin saja karena
Syanti Dewi sudah menjauhkan diri. Teman-teman orang itu menjadi makin kaget
dan heran melihat raksasa itu memukul dan mencengkeram tempat kosong di
depannya, padahal lawannya berada di sebelah kirinya!
“Takkk!
Aughhhhh... aduhhhhh...!”
Raksasa itu
mengangkat kaki kirinya, memegangi tulang kakinya dengan tangan dan berloncatan
dengan kaki kanan. Hanya orang yang pernah digajul (ditendang dengan ujung
sepatu) tulang keringnya saja akan mengerti bagaimana perasaan si raksasa di
saat itu. Tulang kering kakinya dicium oleh ujung besi sepatu Syanti Dewi,
tentu saja nyeri bukan main, kiut-miut rasanya, bernyut-nyutan sampai terasa di
dalam sumsum.
“Dukkk...!
Aduhhh...!”
Dan si
raksasa roboh terpelanting ketika tulang kering kaki kanannya yang berloncatan
itu ditendang lagi oleh Syanti Dewi. Dia mengelus-elus dua kakinya yang sudah
menjadi biru dan bengkak itu.
Siang In
menggerakkan tangannya. Kini si raksasa telah dapat melihat lagi Syanti Dewi
yang berdiri di depannya, bertolak pinggang dengan bangga karena kemenangannya
yang amat mudah itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment