Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 13
SIAUW HONG
mengerutkan alisnya, memandang ke arah gurunya dan kepada Sin-siauw Sengjin,
nampaknya dia terkejut bukan main. Di luar tahunya, dia sudah dijodohkan dengan
seorang gadis semenjak dia masih kecil dan belum tahu apa-apa. Akan tetapi,
karena memang dia sudah tidak berkeluarga dan sejak kecil dia menerima budi
kedua orang tua itu, maka dia tidak berkata apa-apa, lalu menunduk kembali.
Ohh, nasib.
Sai-cu
Kai-ong dapat meraba isi hati pemuda itu, maka dia berkata lagi, "Maafkan
kami, muridku. Percayalah bahwa kami melakukan hal itu demi kebaikanmu dan demi
memperkuat tali perhubungan antara keturunan keluarga Kam dan Yu. Tunanganmu
itu, ialah cucuku yang bernama Yu Hwi, sejak kecil sekali kuserahkan kepada
Sin-siauw Sengjin untuk dididik. Akan tetapi, seperti yang telah dia ceritakan
tadi, terjadi mala petaka. Dia diculik orang dan sampai sekarang belum
diketahui berada di mana, masih hidup ataukah sudah mati..." Kakek itu
berhenti sebentar, mukanya menjadi pucat.
"Kai-ong,
harap kau maafkan aku..." Sin-siauw Sengjin berkata pilu.
Lalu dia
berkata kepada Siauw Hong, "Kam-kongcu, sekarang tibalah saatnya engkau
harus menggembleng diri dengan ilmu-ilmu peninggalan nenek moyangmu, dan saya
sendiri akan menurunkan semua ilmu itu. Setelah Kongcu mempelajarinya dan mudah
mudahan Kongcu lebih cocok sehingga dapat menguasainya dengan sempurna, tidak
seperti saya yang bodoh, maka sudah menjadi kewajiban Kongcu untuk pergi
mencari tunangan Kongcu itu sampai dapat. Kalau tidak demikian, maka selama
hidup kita akan berhutang kepada keluarga Yu..."
Melihat
wajah Sai-cu Kai-ong yang pucat, dan melihat kedukaan Sin-siauw Sengjin,
bangkit semangat Siauw Hong. Dia maklum bahwa mereka berdua itu selalu berusaha
demi kebaikannya, maka ikatan jodoh itu pun dia terima dengan hati rela.
"Baiklah, Locianpwe. Saya akan mengerahkan seluruh semangat saya untuk
mempelajari ilmu ilmu itu. Suhu, harap jangan khawatir, teecu kelak akan
mencari Yu Hwi sampai dapat! Teecu bersumpah!"
Sepasang
mata kakek itu menjadi basah, akan tetapi mulutnya tersenyum. "Manusia boleh
saja berusaha, namun Tuhan yang kuasa, muridku. Kalau memang Yu Hwi masih
hidup, tentu dia sewaktu-waktu akan dapat bertemu dengan kita. Dan kalau toh
sudah meninggal dunia, kita harus dapat menemukan kuburannya agar tali
perjodohan itu bisa membebaskan dirimu dan engkau berhak untuk berjodoh dengan
orang lain."
"Tidak!
Saya merasa yakin bahwa dia tidak akan dibunuh oleh penculiknya. Kalau memang
penculik itu menghendaki nyawanya, mengapa tidak dibunuhnya dia seketika itu
juga?" Sin-siauw Sengjin berkata hampir berteriak.
Melihat ini,
Ceng Ceng lalu berkata, "Saya berjanji akan bantu mencarinya. Namanya Yu
Hwi, apakah dia mempunyai ciri-ciri yang khas?"
"Saya
juga berjanji akan bantu mencarinya!" Kian Lee berkata pula.
Jenderal Kao
Liang dan dua orang puteranya, walau pun di dalam hatinya juga merasa kasihan,
namun diam saja karena mereka maklum bahwa tidak mungkin mereka akan dapat
membantu, karena mereka sendiri masih bingung kehilangan seluruh keluarga
mereka yang diculik orang. Bahkan mantunya, seperti telah diceritakan oleh
mantunya kepadanya, telah kehilangan puteranya yang juga diculik orang, akan
tetapi sekarang mantunya menjanjikan bantuannya untuk ikut mencari Yu Hwi. Dia
mengenal watak mantunya, seorang pendekar wanita yang sakti, maka dia hanya
mendengarkan dengan kagum.
Sin-siauw
Sengjin dan Sai-cu Kai-ong serentak menjura kepada Kian Lee dan Ceng Ceng.
"Terima kasih atas kebaikan Ji-wi," kata Sin-siauw Sengjin.
"Di
dagu Yu Hwi, sebelah kiri, terdapat sebintik tahi lalat hitam, itulah cirinya
yang paling mudah untuk dikenal," kata Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw
Sengjin mengangguk tanda membenarkan.
"Kalau
begitu, adikku Kai-ong, perkenankan saya pergi dan mengajak Kam-kongcu agar dia
dapat cepat mewarisi ilmu-ilmu keturunan keluarganya," tiba-tiba Sin-siauw
Sengjin berkata sambil bangkit berdiri.
"Memang
sebaiknya begitulah, kakakku yang baik. Aku sendiri pun segera berusaha mencari
cucuku yang hilang," jawab Sai-cu Kai-ong. "Siauw Hong, kau ikutlah
bersama Sin-siauw Sengjin dan berbahagialah muridku, karena engkau akan
mewarisi ilmu dari keluargamu yang mukjijat, yang semenjak ratusan tahun selalu
dicari dan diperebutkan oleh seluruh dunia persilatan."
Siauw Hong
lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek pengemis itu.
"Teecu
menghaturkan banyak terima kasih atas segala budi kebaikan yang sudah Suhu
limpahkan kepada teecu."
Sai-cu
Kai-ong tersenyum dan mengangkat bangun muridnya. "Berlatihlah baik-baik,
muridku, agar kelak aku boleh berbangga hati bahwa engkau pernah menjadi
muridku."
Siauw Hong
kemudian memberi hormat kepada semua orang dan pergilah orang muda keturunan
Suling Emas ini mengikuti Sin-siauw Sengjin, bersama rombongan murid muridnya
yang mengikuti dari belakang.
Setelah
Suling Sakti dan para muridnya itu pergi, Ceng Ceng kemudian menceritakan
pertemuannya dengan Syanti Dewi kepada Kian Lee, didengarkan pula oleh Jenderal
Kao dan dua orang puteranya, dan juga oleh Sai-cu Kai-ong. "Sungguh
kasihan sekali Enci Syanti," kata Ceng Ceng. "Entah bagaimana
nasibnya demikian terlunta-lunta selalu, setelah dia baik-baik kembali ke
istana orang tuanya di Bhutan, tahu-tahu kini dia berada di sini pula, dan
bahkan dia telah diculik seorang yang belum kuketahui siapa.”
Dia lalu
menceritakan pertempurannya melawan See-thian Hoat-su di dalam gelap,
pertempuran yang terjadi karena salah pengertian dan selagi mereka bertempur,
Syanti Dewi lenyap dibawa orang.
Kian Bu
mendengarkan dan dia terkejut bukan main, seakan-akan tersentuh kembali bekas
luka di hatinya mendengar itu. Mengapa Syanti Dewi berada di daerah ini? Dan
siapa yang menculiknya? Bagaimana dengan Ang Tek Hoat? Teringatlah Kian Bu akan
ibu kandung Tek Hoat yang terbunuh oleh perwira Bhutan. Apakah ada hubungannya
dengan kepergian Syanti Dewi meninggalkan Kerajaan Bhutan? Kian Bu kemudian
menghampiri sebuah meja, membuat coretan-coretan dengan alat tulis di atas
kertas, meninggalkan kertas tulisannya itu di atas meja, kemudian dia
menyelinap pergi dengan diam-diam.
Setelah
bercakap-cakap dan menceritakan pengalaman masing-masing, mereka lalu mengambil
keputusan untuk pergi meninggalkan tempat itu di hari itu juga.
Kian Lee
yang melihat bahwa sin-siauw Sengjin tidak ada lagi di situ akan tetapi adiknya
belum juga muncul, segera mencarinya. Akan tetapi, ternyata Kian Bu tidak ada
lagi di ruangan itu dan dia hanya menemukan sehelai suratnya.
Lee-ko,
Banyak
sekali tugas menanti kita. Karena banyaknya, sebaiknya kalau kita berpisah dan
masing-masing melaksanakan satu tugas. Aku lebih dulu akan pergi menyelidiki
dan mencari Syanti Dewi.
Adikmu,
KIAN BU
Kian Lee
menyimpan surat itu di dalam saku bajunya dan menarlk napas panjang. Dia merasa
kasihan sekali kepada adiknya itu dan maklumlah dia bahwa diam-diam Kian Bu
masih belum dapat melupakan Syanti Dewi. Karena itu, tidaklah mengherankan apa
bila Kian Bu yang agaknya tadi mendengar penuturan Ceng Ceng, lalu diam-diam
cepat pergi untuk mencari dan menolong puteri itu!
Mereka semua
lalu pergi. Ceng Ceng pergi bersama ayah mertuanya dan dua orang adik iparnya,
meninggalkan tempat itu untuk pergi ke kota Pao-ting di mana dia sudah berjanji
akan bertemu dengan suaminya yang mencari-cari jejak anak mereka dari lain
jurusan.
Kian Lee
juga pergi dan karena dia tidak tahu ke mana perginya Kian Bu, maka dia
teringat akan wanita yang mencuri pusaka-pusaka dari Sin-siauw Sengjin, yang
agaknya tentu pusaka-pusaka palsu pula mengingat akan penuturan Sin-siauw
Sengjin sendiri betapa nenek moyangnya banyak memalsukan pusaka-pusaka itu
untuk mencegah yang asli dicuri orang.
Bukankah
Kian Bu telah berjanji akan mendatangi tempat gadis pencuri itu di pantai
Po-hai? Sebaiknya kalau dia mewakili adiknya mencari gadis pencuri itu di
pantai Po-hai, di teluk sebelah utara. Siapa tahu, kalau-kalau Kian Bu juga
pergi ke sana. Tadinya dia ingin mernbantu Jenderal Kao, akan tetapi setelah
ada Ceng Ceng dan suaminya, yang dia tahu amat sakti, tidak perlu lagi dia
membantu dan kalau dia tidak berhasil bertemu dengan adiknya, dia akan terus
mencari atau akan kembali ke Pulau Es melapor pada ayahnya.
Sai-cu
Kai-ong juga pergi meninggalkan tempat tinggalnya untuk mulai mencari cucunya
yang hilang pula. Biar pun Ceng Ceng dan Kian Lee sudah berjanji untuk membantu
mencari cucunya, dia tidak puas kalau dia sendiri tidak ikut mencari. Dia tahu
betapa sukarnya mencari seseorang tanpa mengetahui di mana adanya cucunya itu,
yang sama sekali tidak meninggalkan jejak dan hilangnya sudah lima belas tahun
yang lalu. Hemmm, agaknya lagi musim penculikan…..
***************
"Ayah,
ke manakah kita pergi? Apakah akan kembali ke Pulau Neraka?" tanya Hwee Li
kepada ayahnya ketika mereka dibawa terbang di atas punggung garudanya.
"Tidak,
Hwee Li. Pulau Neraka terlalu jauh dan aku sudah tidak suka tinggal di tempat
buruk itu. Aku malah tidak mau kembali lagi ke sana."
"Kalau
begitu, kita pergi ke mana?"
"Ke
tempatku yang baru."
"Di
mana itu, Ayah?"
"Ha-ha,
kau sudah pernah mengunjunginya. Di lembah Huang-ho."
"Lembah
Huang-ho?" Dara itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. "Maksudmu
di sarang Huang-ho Kui-liong-pang?"
"Ha-ha-ha,
engkau memang anakku yang amat cerdik. Benar di sana. Tempat indah itu menjadi
tempat tinggal kita yang baru."
"Ehh,
bukankah di sana tinggal ketua Kui-liong-pang, musuh besar Ayah sendiri, yaitu
Hek-hwa Lo-kwi?"
"Hemmm,
dalam hal ini engkau masih bodoh dan tidak mengerti, anakku. Ada waktunya
menjadi musuh, ada pula waktunya menjadi sahabat, semua disesuaikan dengan
waktu dan keadaan. Ha-ha-ha!"
Hwee Li
paling tidak suka melihat ayahnya tertawa. Kalau ayahnya bersikap biasa, maka
ayahnya kelihatan sebagai seorang raksasa yang berwibawa. Akan tetapi kalau
sudah tertawa dan kelihatan gigi yang bertaring itu, dia merasa jijik dan malu.
Kalau tertawa, ayahnya amat menyeramkan seperti iblis saja, atau seperti seekor
binatang buas!
"Kenapa
Ayah tinggal di tempat orang 1ain!"
"Hek-hwa
Lo-kwi bukan orang lain, anakku. Dia seorang sekutu!"
"Hemmm,
agaknya Ayah sudah main-main lagi dengan persekutuan. Apakah Ayah tidak jera
setelah mengalami kegagalan ketika Ayah dulu membantu pemberontak she Liong
itu? Hampir saja Ayah celaka dan kehilangan banyak anak buah."
"Hemmmm,
sekali ini lain lagi persoalannya, anakku. Bukan pemberontak biasa yang
kubantu, melainkan seorang pangeran tulen, dari kerajaan besar Nepal."
"Ahhh...
Ayah maksudkan orang she Liong itu? Peranakan Nepal dan putera mendiang
Pangeran Liong Khi Ong itu?"
"Benar,
murid dari Ban Hwa Sengjin, Koksu Nepal yang sakti. Dia seorang muda yang amat
pandai, seorang calon kaisar yang amat hebat, heh-heh-heh!"
"Dan
aku amat benci padanya!" tiba-tiba Hwee Li berkata.
"Ehhh,
mengapa, anakku?"
"Kulitnya
hitam coklat..."
"Menambah
manis dan jantan!"
"Hidungnya
melengkung..."
"Tanda
dia bernafsu besar dan kuat, heh-heh!"
"Matanya
cekung..."
"Itu
menunjukkan bahwa dia memiliki kecerdikan..."
"Ah,
pendeknya aku tidak suka kepadanya. Pandang matanya cabul dan genit, Ayah. Aku
sudah ingin menamparnya ketika kami bertemu di sana dan dia memandangku dengan
mata seolah-olah hendak menelanjangiku. Huh!"
"Ha-ha-ha,
begitulah kalau seorang pria sudah jatuh cinta! Dan pria mana yang tidak akan
tergila-gila kepada anakku yang cantik jelita dan manis ini? Haha-ha!"
"Ahhh,
aku tidak suka kalau Ayah bicara seperti itu!" Hwee Li bersungut-sungut
dan menjambak bulu di leher garudanya sehingga garuda itu memekik kesakitan dan
terbang makin cepat lagi. Ayahnya hanya tertawa-tawa akan tetapi tidak bicara
lagi karena maklum bahwa puterinya masih marah-marah.
Benarkah
ucapan Hek-tiauw Lo-mo, ayah Hwee Li itu, bahwa dia kini telah menjadi sekutu
dari Hek-hwa Lo-kwi ketua Huang-ho Kui-liong-pang di lembah Huang-ho? Di dalam
cerita Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan betapa dahulu, Hek-tiauw Lo-mo
pernah bermusuhan secara hebat dengan Hek-hwa Lo-kwi.
Hek-hwa
Lo-kwi dahulu bernama Thio Sek, seorang pelayan dari manusia dewa yang amat
terkenal sebagai penghuni Istana Gurun Pasir dan dikenal sebagai Go-bi Bu Beng
Lojin atau juga Si Dewa Bongkok. Sebagai pelayan manusia sakti ini, sudah tentu
saja Hek-hwa Lo-kwi juga memiliki kepandaian tinggi. Pada suatu hari, muncullah
Hek-tiauw Lo-mo untuk mencuri kitab pusaka milik Si Dewa Bongkok.
Dengan
bekerja sama bersama Thio Sek, berhasillah dua orang ini mencuri sebuah kitab
pusaka tentang ilmu pukulan beracun. Keduanya lalu melarikan kitab itu, tetapi
di tengah jalan mereka bercekcok dan saling memperebutkan kitab. Mereka
bertanding dan karena keduanya memiliki tingkat kepandaian yang seimbang,
akhirnya mereka menguasai seorang separoh dari kitab yang terobek dalam
perebutan itu. Mereka mempelajari bagian masing-masing dan sampai
bertahun-tahun menjadi musuh, akan tetapi keadaan mereka selalu seimbang. Dua
orang yang tadinya menjadi kawan ketika maling kitab, berubah menjadi musuh.
Akan tetapi
sekarang, dengan munculnya Liong Bian Cu, Pangeran Nepal yang pandai menarik
hati orang-orang kang-ouw itu, mereka menjadi sekutu lagi. Kali ini keduanya
yang sudah merasa tua ingin sekali memperoleh kedudukan, mengandalkan kedudukan
Pangeran Nepal itu, agar mereka kelak akan mengakhiri kehidupan mereka sebagai
pembesar-pembesar terhormat!
Ketika
Hek-tiauw Lo-mo mengunjungi lembah itu, tadinya dengan maksud menentang Hek-hwa
Lo-kwi, dia bertemu dengan Liong Bian Cu, Ban Hwa Sengjin dan para pembantu
pangeran itu. Liong Bian Cu berhasil membujuk Hek-tiauw Lo-mo dan akhirnya
Hok-tiauw Lo-mo terpikat pula, bahkan lalu masuk dalam persekutuan itu, apa
lagi ketika dia melihat betapa keadaan Liong Bian Cu sebagai pangeran dan
sebagai murid Koksu Nepal, amatlah kuatnya.
Dia mendengar
bahwa puterinya telah mewakilinya dia mengunjungi lembah itu, dan giranglah
hatinya ketika dalam pembicaraannya dengan Pangeran Nepal itu, dia mendengar
bahwa pangeran itu ternyata amat tertarik dan agaknya jatuh hati kepada
puterinya! Kalau saja dia dapat menjadi mertua dari Pangeran Nepal ini. Dan
kelak, kalau pangeran ini menjadi Raja Nepal, dia menjadi mertua raja! Apa lagi
kalau pangeran ini berhasil menjadi kaisar, dia menjadi mertua kaisar. Pangkat
dan kemuliaan apa lagi yang dapat lebih tinggi lagi dari pada itu? Maka dia
lalu berpamit dari lembah dan pergi untuk mencari puterinya, dengan satu tujuan
di dalam benaknya, yaitu dengan cara apa pun dia akan menyerahkan puterinya
kepada Liong Bian Cu sebagai Isterinya! Beberapa orang anak buahnya membantunya
mencari Hwee Li! dan akhirnya dia menemukan puterinya itu di tempat tinggal
Sai-cu Kai-ong.
Atas
petunjuk Hek-tiauw Lo-mo, Hwee Li menyuruh garudanya menukik turun. Dari atas
dia sudah melihat lembah itu dan dia memandang heran. Lembah yang dikenalnya
sebagai tempat tinggal atau sarang Hek-hwa Lo-kwi itu kini telah berubah. Masih
sukar untuk didatangi dari darat tanpa melalui jalan rahasia, akan tetapi kini
dari atas nampak betapa lembah itu telah dikurung air!
Ternyata
bahwa air yang meluap dan membanjiri lembah akibat ledakan-ledakan alat peledak
Siluman Kucing dahulu itu, telah membentuk genangan air seperti telaga di
sekitar lembah dan oleh Hek-hwa Lo-kwi, air itu malah dipergunakan untuk
memperkuat bentengnya. Dengan adanya air yang mengurung lembah itu, maka makin
sukarlah bagi orang luar untuk dapat menyerbu ke lembah. Mereka harus lebih
dulu menyeberangi air yang lebarnya lebih dari dua puluh tombak itu, air yang
cukup dalam karena oleh Hek-hwa Lo-kwi telah digali dan diperdalam dan tidak ada
jembatan yang menghubungkan lembah dengan seberang air seperti sungai atau
telaga itu.
Garuda itu
menukik turun dan akhirnya hinggap di atas tanah di depan bangunan besar yang
menjadi tempat tinggal Hek-hwa Lo-kwi. Dari atas sudah nampak banyak orang berdiri
di luar bangunan itu menyambut kedatangan ayah dan anak yang aneh itu. Ketika
Hwee Li dan ayahnya meloncat dari atas punggung garuda, dara ini memutar tubuh
dan memandang. Alisnya berkerut ketika wajah pertama yang dilihatnya justeru
adalah wajah yang amat dibencinya, wajah Liong Bian Cu sendiri! Laki-laki yang
tinggi tegap ini memakai pakaian indah, dan dia sudah menjura dengan hormatnya
dan tersenyum penuh keramahan kepada Hwee Li.
"Hek-tiauw
Lo-mo locianpwe, sungguh mengagumkan sekali betapa dalam waktu singkat
Locianpwe dapat menemukan puterimu!" katanya kepada Hek-tiauw lo-mo yang
tertawa bergelak penuh kebanggaan.
"Nona
Hwee Li, selamat datang di lembah dan mudah-mudahan engkau tadi menikmati
perjalanan menyenangkan sekali," katanya kepada Hwee Li sambil tersenyum.
Giginya putih dan rata, hidungnya yang agak melengkung itu bergerak-gerak.
Sesungguhnya
pria ini cukup tampan dan juga gagah sekali, tetapi entah mengapa, Hwee Li
merasa tidak suka kepadanya. Agaknya hal itu ditimbulkan oleh pandang mata yang
memang jalang dan menembus itu, yang terpancar dari sepasang mata yang cekung
dan tajam bukan main.
"Hemmm...!"
Hwee Li hanya mengeluarkan suara dari hidungnya tanpa menjawab.
"Hwee
Li, kau sedang diajak bicara oleh Pangeran. Jawablah, jangan membikin malu
Ayahmu seolah-olah engkau tidak pernah dididik kesopanan!" kata Hek-tiauw
Lo-mo kepada puterinya.
Makin dalam
kerut pada alis dara itu. Dia merasa makin tidak senang dan juga terheran
heran. Sejak kapankah ayahnya menjadi seorang penjilat dan seorang yang
mengenal kesopanan? Biasanya, dahulu dia yang sering kali merasa malu karena
ayahnya adalah seorang yang sama sekali tidak mempedulikan tata susila atau
sopan santun! Karena di situ terdapat banyak orang, dan tentu saja dia tidak
mau membikin malu ayahnya, maka dia lalu balas menjura kepada pangeran itu dan
berkata dengan suara kaku, "Terima kasih, Ayahku memaksa aku berkunjung ke
sini, mudah-mudahan tidak mengganggu siapa pun!" Sambil berkata demikian,
dia melirik kepada Hek-hwa Lo-kwi yang dia tahu adalah tuan rumahnya.
Kembali ia
terheran-heran sebab Hek-hwa Lo-kwi hanya mengangguk sambil tersenyum saja
sedangkan yang menjawabnya adalah pangeran itu, "Ha-ha-ha... tidak sama
sekali, Nona! Saya percaya bahwa Hek-hwa Lo-kwi locianpwe bahkan akan merasa
terhormat dan girang dengan kunjunganmu ini. Siapa yang tak kan merasa
terhormat dan gembira menerima kunjungan seorang seperti engkau, Nona? Nona
tentu telah merasa lelah sekali, maka silakan Nona beristirahat di kamar yang
telah kami sediakan, menyegarkan diri baru kemudian kita makan dalam pesta yang
kami selenggarakan untuk menyambut kedatangan Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dan
Nona Kim Hwee Li!" Pangeran itu lalu bertepuk tangan dan muncullah empat
orang pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka menjatuhkan diri berlutut di
depan pangeran itu.
"Kalian
antar Nona Hwee Li ke kamarnya dan layani baik-baik!" perintah pangeran
itu.
"Silakan,
Siocia...," seorang pelayan memberi hormat kepada Hwee Li.
Dara ini
tadinya hendak menolak. Tidak biasa dia diperlakukan seperti seorang puteri dan
dilayani orang, tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan mata ayahnya, dia
melihat ayahnya menganggukkan kepala dan pandang matanya ayahnya itu seperti
dia memaksanya. Dengan gerakan marah dia memutar tubuh lalu mengikuti para
pelayan itu memasuki gedung yang besar dan akhirnya dipersilakan masuk ke
sebuah kamar yang amat indah. Begitu masuk, Hwee Li terpesona. Hebat bukan main
kamar ini. Selain besar dan luas, juga dihias seperti kamar seorang puteri
istana saja layaknya.
Dia berdiri
dan memandang ke kanan kiri. Sebuah dipan berada di tengah kamar, dipan yang
terbuat dari kayu indah terukir dan terhias emas dan permata, terletak di atas
permadani merah yang tebal dan berbulu, permadani yang terhampar memenuhi kamar
itu. Di dekat pembaringan terdapat meja dengan empat kursinya dari kayu
ukir-ukiran dan halus mengkilap amat indahnya, merupakan hasil seni ukir yang
menakjubkan.
Pot-pot
bunga berukiran gambar naga dan burung dewata menghias sudut-sudut kamar dan di
sebelah kiri nampak meja rias yang mungil, dengan piring cermin dari perak
mengkilap tergantung di dinding, dan di atas meja itu nampak lengkap alat-alat
rias seperti bedak, yan-ci (pemerah pipi), gincu, sisir, tusuk konde emas,
minyak wangi dan sebagainya. Dan dari pintu kecil di belakang yang menyambung
dengan kamar itu, yang daun pintunya terbuka sedikit, nampak kolam mandi dari
batu pualam! Sebuah kamar yang amat indah dan mewah dan dari jendela yang bentuknya
seperti bulan purnama dan terhias pot-pot bunga itu dia dapat melihat sebuah
kamar kecil yang indah pula di luar kamar. Benar-benar merupakan kamar seorang
puteri raja!
"Siocia,
mari kami bantu Siocia menanggalkan pakaian..."
"Biar
kami membantu Siocia mandi..."
"Rambut
Siocia kusut dan agak kotor terkena debu, perlu dikeramasi lalu
disikat..."
Keempat
orang pelayan itu lalu menghampiri Hwee Li dan mengulurkan tangan hendak
membantu dara itu agar menanggalkan pakaian untuk mandi. Hwee Li membelalakkan
matanya dan mengepal tinju, lalu menghardik, "Pergi kalian dari
sini!"
Empat orang
pelayan itu terkejut, akan tetapi mereka telah menerima perintah dari majikan
mereka untuk melayani nona ini sebaiknya, "Siocia, kami..."
"Cukup!
Cepat kalian menggelinding keluar dari kamar ini, kalau tidak, kalian akan
kulemparkan satu demi satu!"
"Siocia..."
Mereka masih nekat.
Mereka
adalah empat orang di antara para pelayan Pangeran Nepal itu dan mereka adalah
pelayan-pelayan terlatih yang menguasai ilmu silat dan ilmu gulat, maka ancaman
Hwee Li tidak membuat mereka takut. Mereka sudah terlatih dan sudah biasa
menghadapi dara cantik jelita yang dipersiapkan untuk melayani majikan mereka.
Dan biar pun mereka sudah mendengar bahwa puteri Hek-tiauw Lo-mo ini memiliki
ilmu kepandaian tinggi, mereka tidak khawatlr karena mereka mengira bahwa
sepandai pandainya seorang dara remaja seperti ini, mana mungkin dapat
mengalahkan mereka berempat?
Apa lagi
mereka melihat bahwa Hwee Li begitu cantik dan masih begitu muda, dan mereka
dapat melihat dari sikap Pangeran Liong Bian Cu bahwa pangeran itu benar benar
jatuh cinta kepada dara ini sehingga sebelum dara ini tiba pun kamar yang amat
indah itu telah dipersiapkan olehnya! Maka, mereka berempat tentu saja tidak
mau meninggalkan Hwee Li, karena kalau mereka mampu membujuk sehingga dara ini
dengan hati terbuka mau melayani majikan mereka, mau menerima cintanya, tentu
mereka akan menerima ganjaran besar!
"Siocia,
kami hanya membantu..."
"Cerewet!"
bentak Hwee Li, dan dia menggerakkan tangan kirinya untuk mendorong.
Akan tetapi,
dengan cepat wanita itu mengelak ke kanan dan tiba-tiba saja tangannya telah
menangkap pergelangan tangan kiri Hwee Li. Itulah gerakan seorang ahli gulat
yang amat cekatan dan biar pun pelayan itu berlaku hati-hati sehingga
tangkapannya tidak akan menyakitkan orang, namun jelas bahwa di bawah kulit
telapak tangannya terkandung getaran tenaga yang kuat sehingga tangkapan itu
pun erat sekali!
"Kalian
mencari mampus!" Hwee Li berseru ketika tiga orang pelayan yang lain juga
sudah memegangnya dari kanan kiri dan belakang.
Mendadak
Hwee Li mengguncang tubuhnya sambil mengerahkan sinkang-nya. Tentu saja empat
orang pelayan itu sama sekali bukan lawan puteri majikan Pulau Neraka ini.
Mereka terguncang dan pegangan mereka terlepas semua, kemudian sebelum mereka
tahu apa yang menimpa mereka, tubuh mereka satu demi satu melayang keluar dari
pintu kamar mewah itu. Terdengar suara hiruk-pikuk ketika tubuh empat orang
pelayan itu terbanting di luar kamar, diiringi keluhan dan rintihan mereka.
Tiba-tiba di
luar pintu itu muncul Liong Bian Cu, diiringi oleh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek
raksasa itu memandang kepada puterinya dan menegur, "Ehhh, Hwee Li, apa
yang terjadi? Apa yang kau lakukan tadi?"
Kembali Hwee
Li merasa terheran karena jelas bahwa di dalam pertanyaan ayahnya itu
mengandung penyesalan terhadapnya dan terkandung rasa sungkan terhadap Sang
Pangeran Nepal itu! Diam-diam dia merasa muak dan marah. Mengapa ayahnya tiba
tiba menjadi seorang penjilat? Mana kegagahan ketua Pulau Neraka?
"Mereka
memang layak dihajar!" katanya tak acuh dan sama sekali tidak merasa takut
menghadapi Pangeran Nepal itu.
Liong Bian
Cu tersenyum lebar dan menjura, sikapnya halus memikat. "Maaf, Nona.
Apakah empat orang pelayan itu bersikap kurang ajar kepadamu? Apakah mereka
tidak menyenangkan hatimu? Kalau begitu, katakanlah dan aku akan membunuh
mereka atau menyiksa mereka di depan kakimu sekarang juga!"
Hwee Li
cemberut. Sikap ayahnyalah yang membuat dia marah, bukan sikap pangeran itu.
Jika saja ayahnya tak bersikap seperti itu, berubah sama sekali dari pada
biasanya, agaknya sikap pangeran ini akan menyenangkan hatinya juga. Maka
kemarahannya lalu dia lontarkan kepada pangeran itu. Dengan kaku dan kasar dia
menjawab, "Mereka adalah orang-orangmu. Mau siksa atau mau bunuh terserah,
tiada sangkut-pautnya dengan aku!" Lalu dia membuang muka, kedua pipinya
merah dan terasa panas karena marahnya.
"Hwee
Li!" Ayahnya membentak marah. "Pangeran telah bersikap demikian
hormat dan ramah kepadamu, pantaskah sikap dan jawabanmu ini?"
Hwee Li
menoleh kepada ayahnya. Mereka saling pandang dan baru sekarang Hwee Li melihat
pandang mata ayahnya kepadanya demikian penuh kemarahan. Selamanya, pandang
mata ayahnya kepadanya selalu lembut dan penuh kasih sayang, akan tetapi kini
ayahnya memandangnya dengan mata melotot marah. Hal ini amat menyakitkan
hatinya dan tak terasa lagi dua titik air mata membasahi matanya!
"Sudahlah,
Locianpwe, jangan marah kepadanya. Nona Hwee Li, kalau para pelayanku tidak
menyenangkan hatimu, biarlah aku yang minta maaf kepadamu!" Sambil berkata
demikian, pangaran itu benar-benar menjura kepada Hwee Li!
Diam-diam
gadis ini terkejut dan merasa heran juga. Pangeran ini ternyata seorang yang
amat hormat kepadanya, sungguh pun pandang matanya amat menjijikkan dan membuat
dia merasa seperti telanjang bulat kalau berhadapan dengan pangeran itu.
Melihat sikap yang amat hormat ini, juga amat merendah, padahal pemuda berusia
tiga puluhan tahun ini benar-benar seorang pangeran yang kaya raya dan
berpengaruh, pula melihat betapa ayahnya marah-marah kepadanya, maka
kemendongkolan hatinya agaknya mereda. Biar pun sikapnya masih acuh tak acuh,
namun suaranya tidaklah sekaku dan sekasar tadi ketika dia berkata kepada Liong
Bian Cu.
"Mereka
tidak apa-apa, hanya aku tidak senang dilayani, aku ingin tinggal sendirian di
kamar ini."
"Eh,
begitukah? Baiklah, Nona." Dia lalu menoleh kepada empat orang pelayan
wanita yang sudah berlutut di situ dengan muka pucat dan sikap ketakutan.
Hwee Li
percaya bahwa sekali dia bilang ‘mati’, agaknya tanpa dapat diragukan lagi
pangeran itu tentu akan membunuh mereka berempat!.
"Hei,
dengarkan baik-baik kalian berempat! Kalian sama sekali tidak boleh masuk ke
dalam kamar ini, melainkan siap di luar kamar dan baru masuk kalau Siocia
memanggil dan membutuhkanmu. Mengerti?" Empat orang itu lalu memberi hormat
dengan dahi menyentuh lantai.
"Nah,
beristirahatlah, Nona Hwee Li. Sebentar lagi kita bertemu lagi di ruang dalam,
di mana akan diadakan pesta perjamuan makan untuk menyambut kedatanganmu."
Pangeran itu menjura lagi lalu pergi, diikuti oleh Hek-tiauw Lo-mo yang melirik
penuh desakan kepada puterinya.
Setelah
mereka pergi, dan melihat empat orang pelayan itu masih berlutut di situ, Hwee
Li menutupkan daun pintu keras-keras dengan hati mengkal. Lalu dia menjatuhkan
diri di atas pembaringan. Kasur itu lantas bergoyang-goyang naik turun,
mengayun-ayun tubuhnya. Ternyata pembaringan itu selain berkasur tebal juga
dipasangi per sehingga amat enak di tiduri.
Hwee Li
memejamkan matanya, kemudian membukanya lagi, termenung. Dia sungguh merasa
penasaran dan heran melihat perubahan pada watak ayahnya. Akan tetapi, ayahnya
adalah seorang yang dikenalnya sebagai orang yang amat cerdik. Tidak mungkin
ayahnya menjadi penjilat. Tentu ada apa-apa di balik semua sikap ayahnya itu.
Ayahnya
sedang bersiasat! Pikiran ini mengusir rasa penasaran di hatinya, dan tak lama
kemudian wajah yang cantik itu telah berseri kembali. Sepasang matanya
bersinar-sinar ketika dia duduk di depan meja rias dan memandangi wajahnya
sendiri. Dia membuat berbagai gerakan dengan lehernya, menggerakkan kepalanya
miring ke kanan dan ke kiri, lalu menggerak-gerakkan alisnya, matanya,
hidungnya dan mulutnya. Dia merasa puas. Dia cantik memang! Dan timbul rasa
bangga di hatinya.
Pangeran
hidung betet itu agaknya tergila-gila kepadanya! Kini baru terasa olehnya
betapa mesra pandang mata pangeran itu, betapa halus dan hormat sikapnya.
Bahkan pangeran itu tidak segan-segan untuk menjura dan minta maaf kepadanya
untuk urusan kecil tadi!
Hwee Li
adalah seorang gadis yang mempunyai watak lincah jenaka dan gembira, maka dia
tidak bisa lama-lama berada dalam keadaan marah atau berduka. Sesaat kemudian
dia sudah merendam tubuhnya di kolam mandi dan terdengar mulutnya bersenandung!
Setelah merasa tubuhnya segar sekali, dia baru keluar dari kolam, mengeringkan
tubuhnya dengan kain bersih yang tersedia di situ, kemudian keluar dari kamar
mandi, kembali ke dalam kamar dalam keadaan telanjang bulat.
Seperti
seekor kijang muda dia lalu melangkah kecil-kecil menuju ke depan meja rias,
memutar-mutar tubuhnya yang telanjang di depan cermin perak, mengagumi bentuk
tubuhnya sendiri yang padat dengan lekuk lengkung sempurna itu, kulitnya yang
putih halus, mengagumi dadanya yang sebagian tertutup oleh rambutnya yang hitam
halus, membayangkan bukit-bukit dadanya dan timbul kebanggaan di dalam hatinya.
Dia bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar, bagaikan sebutir buah yang
sedang meranum. Kesadaran bahwa dia cantik dan memiliki tubuh yang indah,
mendatangkan kebanggaan dan dia berjanji dalam hati tidak akan menyerahkan dirinya
secara murah kepada siapa pun, apa lagi kepada pangeran berhidung betet itu!
Ketika Hwee
Li mengambil pakaiannya yang tadi ditanggalkannya dan ditumpuknya di atas
pembaringan, alisnya berkerut. Tubuhnya sudah segar dan bersih, akan tetapi
pakaiannya itu sudah kusut dan kotor! Dia teringat akan lemari yang berdiri di
sudut kamar. Dihampirinya lemari itu dan dibukanya. Penuh dengan pakaian!
Pakaian wanita, serba indah dan semua terbuat dari pada kain sutera yang mahal!
Dipilihya pakaian dalam beserta celananya yang terbuat dari kain tipis licin
berwarna merah muda, didekatkan kepada tubuhnya. Ukurannya persis!
Dia
terheran-heran. Milik siapakah pakaian-pakaian ini? Kenapa semua masih baru dan
belum ada yang bekas? Dan kenapa pula ukuran tubuh pemilik pakaian itu sama
benar dengan ukuran tubuhnya? Dipakainya pakaian dalam itu. Dan dugaannya
memang benar. Persis betul seperti memang sengaja dibuat untuk dia! Dipilihnya
baju dan celana berwarna biru. Dia paling suka memakai pakaian hitam, akan
tetapi pakaian selemari itu tiada yang hitam, maka dia memilih yang biru tua,
satu-satunya warna yang mendekati warna hitam. Lalu dipakainya pula.
Ketika dia
sedang menyisir rambutnya di depan kaca rias, daun pintunya terketuk dari luar.
Hwee Li mencelat kaget. Dia merasa ‘berdosa’ karena telah memakai pakaian orang
lain dan tiba-tiba daun pintu terketuk, maka tentu saja dia kaget bukan main.
"Siapa?"
bentaknya, karena dia mengira bahwa yang mengetuk pintu tentulah pangeran
ceriwis itu, maka disambutnya lebih dulu dengan suara ketus.
"Hwee
Li, bukalah pintunya. Aku mau bicara denganmu."
Suara
ayahnya! Hwee Li kemudian menghampiri pintu dan sebelum membukanya dia
bertanya, "Ayah datang dengan siapa? Kalau sendirian baru aku mau membuka
pintu."
"Ha-ha-ha,
anak bodoh. Tentu saja aku datang sendirian. Bukalah!"
Hwee Li
membuka pintu dan ayahnya masuk ke dalam kamar sambil membelalakkan matanya,
hidungnya yang besar berkembang-kempis dan dia memandang puterinya dengan sinar
mata penuh kagum. "Hemmm, harumnya! Dan kau begini segar, dan pakaian biru
itu pantas sekali bagimu!"
"Ayah,
aku lebih senang pakaian hitamku sendiri. Akan tetapi pakaianku kotor dan aku
pinjam pakaian orang yang berada di dalam lemari itu..." Dia menuding ke
arah lemari di sudut.
"Pakaian
orang? Ha-ha-ha, anak bodoh, itu adalah pakaianmu semua! Dan hal itu
membuktikan kebaikan hati Pangeran Liong Bian Cu kepadamu, kepada kita!
Sungguh, selama hidupku belum pernah aku bertemu orang sebaik dia. Selain kamar
ini yang sudah dipersiapkan sebelum kau datang, juga pakaian-pakaian itu telah
disuruhnya buat untukmu, Hwee Li."
"Ahhh...!"
Hwee Li terkejut sekali. "Dia membuatkan pakaian untukku? Bagaimana bisa,
begini pas ukurannya?"
"Ha-ha-ha,
tentu saja aku yang memberi tahu."
"Ayah! Kenapa
Ayah begitu... merendah kepadanya? Kalau ini pakaian yang sengaja dia buatkan
untukku, maka biarlah aku memakai pakaianku sendiri!" Hwee Li sudah
memegang bajunya seperti orang hendak menanggalkannya.
"Eh,
eh... jangan begitu Hwee Li. Kau tidak tahu! Duduklah dan dengarkan
kata-kataku."
Hwee Li
menjadi sangat girang. Tepat dugaannya. Tentu ada apa-apanya di balik sikap
ayahnya yang seperti menjilat-jilat pangeran itu. Maka dia segera duduk
menghadapi ayahnya, terhalang oleh meja berukir indah itu.
"Kau
tidak tahu siapa Pangeran Liong Bian Cu. Dia adalah putera mendiang Pangeran
Liong Khi Ong dan ibunya adalah Puteri dari Nepal, maka dia adalah cucu Raja
Nepal sendiri! Dan siapa gurunya? Gurunya adalah seorang manusia sakti yang
tingkat kepandaiannya tinggi sekali, mungkin tidak kalah olehku, dan gurunya
itu adalah koksu dari Nepal!"
"Hemmm,
aku sudah mendengar akan hal itu, Ayah. Lalu apa artinya bagi kita?" Hwee
Li menjawab dan bibirnya berjebi, memandang rendah pangeran itu.
"Artinya?
Anak bodoh! Artinya, pangeran itu kelak mempunyai kesempatan besar untuk
menjadi Raja Nepal! Bukan itu saja, dia amat cerdik dan pandai, dengan mudahnya
dia telah dapat menguasai Gubernur Ho-nan. Dia mempunyai banyak pembantu yang
amat lihai sehingga aku tidak ragu-ragu bahwa kelak dia akan berhasil menguasai
daratan Tiongkok dan menjadi seorang kaisar!"
Hwee Li
masih tersenyum mengejek. "Hemmm, habis mengapa? Dia boleh jadi raja
neraka sekali pun, apa hubungannya dengan kita?"
Ayahnya
membelalakkan matanya sampai lebar sekali. "Oooh-ho-ho-ho-ho! Engkau
sungguh bodoh dan polos, tidak tahu apa-apa, anakku!"
"Tidak,
Ayah. Aku tahu semuanya. Aku tahu bahwa Ayah menjilat-jilat karena Ayah ingin
memperolah kedudukan kelak di dekat pangeran itu. Bukan begitu?"
Hek-tiauw
Lo-mo mengepal tinjunya. "Kau kira aku orang seperti apa yang suka
menjilat dan merendahkan diri begitu saja? Akan tetapi, aku makin tua, Hwee Li,
dan selama ini aku hidup dalam dunia yang keras dan penuh dengan kesukaran,
penuh kemiskinan dan kehinaan. Aku sudah tua. Aku ingin mati sebagai seorang
yang terhormat dan mulia, seseorang yang berkedudukan tinggi. Aku tidak ingin
kelak mati sebagai seorang liar dari Pulau Neraka. Tidak! Aku ingin mati
meninggalkan nama sebagai seorang mulia, seorang bangsawan tinggi!"
"Hemmm,
terserah pada Ayah. Akan tetapi aku tidak sudi menjilat pangeran itu karena aku
tidak menghendaki apa-apa darinya, Ayah. Bahkan pakaian ini pun tidak!"
Berkata demikian, Hwee Li menyambar pakaian hitamnya sendiri dan lari ke dalam
kamar mandi. Hek-tiauw Lo-mo mendengar suara kain dirobek-robek.
"Hwee
Li, jangan begitu...! Jangan kau menyia-nyiakan kebaikan orang lain..."
"Peduli!"
Hwee Li menjawab dengan marah dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi dari
kamar mandi, kini mengenakan pakaian hitamnya sendiri sedangkan pakaian bagus
berwarna biru dan pakaian dalam berwarna merah muda sudah robek-robek dan
berserakan di kamar mandi.
Wajah kakek
raksasa itu menjadi merah dan dia bangkit berdiri, memandang kepada puterinya
yang juga berdiri di depannya dan menentang pandang mata ayahnya dengan berani.
"Hwee Li, engkau adalah puteriku! Apakah engkau tak mau menaati
perintahku? Apakah engkau hendak menjadi anak yang tidak berbakti?"
Hwee Li
mengerutkan alisnya. "Ayah, aku tidak melarang Ayah menghambakan diri
kepada pangeran itu, aku tidak menentang Ayah. Akan tetapi aku sendiri tidak
mau ikut campur dan aku hendak pergi dari sini sekarang juga agar jangan
berhutang budi kepada pangeran atau kepada siapa pun juga."
"Tidak
boleh! Engkau harus berada di sini, Hwee Li, membantu usahaku!"
"Akan
tetapi aku tidak butuh bantuan pangeran."
"Aku
butuh! Dan aku ingin menjadi mertuanya, maka engkau tidak boleh pergi!"
Ucapan itu
seolah-olah kilat yang menyambar kepala Hwee Li. Seketika wajahnya menjadi
pucat sekali, lalu berubah merah dan matanya seperti mengeluarkan sinar berapi
ketika dia memandang ayahnya.
"Apa
kata Ayah? Menjadi mertuanya? Jadi aku... aku...!"
"Engkau
akan menjadi isterinya, menjadi permaisurinya. Dia amat mencintamu, Hwee Li.
Dia berterus terang kepadaku bahwa dia telah jatuh hati kepadamu ketika untuk
pertama kali bertemu denganmu di tempat ini. Ingat? Dan lihat betapa dia telah
menyediakan segala-galanya untukmu. Engkau akan menjadi isteri pangeran, dan
kelak menjadi Permaisuri Nepal, kemudian mungkin menjadi permaisuri kaisar! Dan
aku mertua kaisar! Ha-ha, bukankah hebat sekali kedudukan kita kelak, anakku?”
Akan tetapi
Hwee Li sudah tidak mendengarkan kata-kata ayahnya lagi karena tiba-tiba
tubuhnya sudah mencelat keluar dari situ.
"Hwee
Li...!" Ayahnya mengejar.
"Ayah,
aku mau pergi dari sini!" terdengar dara itu menjawab.
"Apa
kau ingin Ayahmu menggunakan kekerasan?" bentak ayahnya sambil mengejar.
Jantung Hwee
Li berdebar keras! Baru sekarang selama hidupnya dia diancam oleh ayahnya
sendiri! Ayahnya yang dulu selalu memanjakannya, yang tak pernah bersikap keras
padanya sungguh pun dia tahu ayahnya amat keras kepada orang lain. Ia terisak
dan melanjutkan larinya. Dia tidak mempedulikan orang-orang yang memandangnya
dengan heran di dalam gedung itu dan dia terus lari keluar dengan cepat, siap
untuk menyerang siapa saja yang akan menghalangi larinya. Akan tetapi tidak ada
orang yang menghalanginya, kecuali ayahnya yang mengejarnya dari belakang.
Sejak dia
menjadi murid Ceng Ceng dan juga menerima petunjuk dari suami subo-nya itu,
Hwee Li telah memperoleh kemajuan hebat sehingga ginkang-nya juga meningkat dengan
luar biasa. Maka dia dapat melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan
ayahnya. Banyak sekali para anggota Huang-ho Kui-liong-pang yang melihat gadis
ini berlari-lari dikejar ayahnya, akan tetapi mereka hanya memandang dan tidak
berani mencampuri. Juga anak buah Liong Bian Cu hanya menonton. Bahkan di dalam
larinya, Hwee Li melihat Hek-hwa Lo-kwi duduk di bawah sebatang pohon sambil
tersenyum melihat Hek-tiauw Lo-mo mengejar-ngejar puterinya.
Hwee Li
berlari cepat sampai di lembah dan bukan main kagetnya ketika dia melihat
telaga atau sungai menghadang di depannya. Dia berlari terus di sepanjang tepi
sungai itu, akan tetapi sungai itu terus saja tiada putusnya karena air itu
mengitari lembah! Teringatlah Hwee Li akan pemandangan lembah itu dari atas
ketika dia datang bersama ayahnya menunggang garuda, maka tahulah dia bahwa
tempat itu memang sudah dikelilingi air yang amat luas.
Melihat
bahwa bayangan ayahnya sudah tidak mengejarnya lagi, mendadak Hwee Li
mengeluarkan suara melengking nyaring, memanggil burung garudanya. Beberapa
kali dia melengking nyaring, akan tetapi garudanya tidak kunjung datang.
Padahal biasanya, sekali saja dia memanggil, betapa pun jauhnya garuda itu
terbang, dia akan mendengar dan akan datang, atau setidaknya menjawab dengan
lengking yang sama.
Kembali dia
melengking nyaring dan sekali ini ada jawaban, akan tetapi jawaban itu membuat
Hwee Li terkejut. Jawaban yang nyaring itu terdengar dari dalam gedung! Dan
yang lebih menggelisahkan hatinya lagi, jawaban itu terdengar mengandung
keluhan yang membuat dia mengerti bahwa garudanya berada dalam keadaan tidak
berdaya untuk datang ke situ. Jelas bahwa garuda itu tentu telah diikat atau
dikurung sehingga percuma saja dia memanggilnya!
"Hwee
Li jangan pergi...!"
Hwee Li
meloncat dan lari lagi ketika mendengar suara ayahnya itu. Kini dia lari sambil
meneliti dan tiba-tiba hatinya girang melihat sebuah perahu di tepi pantai.
Cepat dia menghampiri perahu itu, menyambar dayungnya, lalu mengempit perahu
itu sambil mengerahkan tenaganya dan membawanya lari ke air. Dia melontarkan
perahu itu ke atas air, lalu meloncat ke dalamnya dan mendayung secepatnya ke
tengah!
Hatinya
sudah merasa lega dan girang karena dia mendapatkan kesempatan untuk melarikan
diri dari tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main. Begitu
terkena air, perahu itu pecah-pecah dan sambungannya terlepas! Tentu saja tanpa
dapat dicegah lagi, dia tercebur ke dalam air! Padahal sungai itu amat luas dan
dia baru saja meninggalkan pantai lembah. Untuk berenang menyeberangi sungai
itu sama dengan membunuh diri, karena dia bukan ahli, biar pun dia dapat
berenang sekedar untuk mencegah agar dia tidak tenggelam saja. Maka terpaksa
dia menggerakkan kaki tangannya berenang kembali ke pantai, pantai lembah,
bukan pantai di seberang!
Ketika
dengan pakaian dan rambut basah kuyup, dengan mulut menyumpah-nyumpah dia
merangkak keluar dari air, dia disambut oleh suara ketawa ayahnya yang sudah
berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar dan kedua tangan bersedakap. Begitu
mendongkol hati Hwee Li sehingga kalau saja bukan ayahnya yang mentertawakan,
tentu orang itu akan diserangnya atau dimakinya habis-habisan. Dia hanya
berdiri melotot memandang kepada ayahnya, penuh kemarahan.
"Ayah,
kau... kau kejam!" akhirnya dia berkata dan menangis terisak-isak.
Ayahnya
menghampirinya. "Hwee Li, siapa bilang aku kejam? Engkaulah yang terlalu,
tidak mau mentaati perintah Ayahmu. Aku ingin mengangkat dirimu menjadi seorang
yang mulia dan terhormat, akan tetapi engkau malah hendak menghancurkan rencana
hidup Ayahmu. Jangan kira kau akan dapat pergi dari sini, anakku. Mau atau
tidak mau, engkau harus menjadi isteri pangeran yang cinta kepadamu."
Watak Hwee
Li memang keras. Begitu mendengar kata-kata ‘harus’, dadanya diangkat,
kepalanya ditegakkan, dan dia bertanya dengan air matanya bercampur dengan air
sungai yang mengalir turun dari rambutnya, "Kalau aku tidak sudi?"
"Kau
akan dipaksa! Nah, boleh kau pilih. Engkau menjadi isterinya secara terhormat
atau menjadi isterinya dengan lebih dulu dipaksa, seperti seekor kuda betina
liar yang dijinakkan!"
Hwee Li
membelalakkan kedua matanya, hampir tidak dapat percaya akan kata-kata ayahnya.
Tidak mungkin ayahnya akan berbuat sekeji, itu. "Ayah! Kau...
kau...," dia tak dapat melanjutkan, hanya menangis keras.
"Tiada
gunanya engkau menangis, Hwee Li. Jika engkau mentaati permintaanku, berarti
engkau menjadi puteriku tersayang, akan tetapi kalau kau menentang kehendakku,
berarti engkau adalah musuhku! Dan engkau tentu tahu apa jadinya dengan musuh
Hek-tiauw Lo-mo!"
"Biar
sampai mati aku tidak sudi! Aku mau melihat siapa berani memaksaku!"
Tiba-tiba Hwee Li berdiri tegak, kedua tangannya terkepal, pakaiannya basah
kuyup sehingga menempel ketat di tubuhnya, membuat lekuk-lengkung tubuhnya
nampak nyata.
"Hemmm,
engkau tidak akan mati, akan tetapi aku yang akan menundukkanmu, anak
bandel!" bentak Hek-tiauw Lo-mo.
"Aku
adalah anakmu, aku tidak akan melawan Ayahku sendiri, tetapi kalau aku hendak
kau umpankan kepadanya, seperti mengumpankan kelinci untuk dimakan serigala,
aku akan melawan!" kata Hwee Li.
"Huh,
agaknya gurumu telah mendidikmu untuk menjadi anak yang durhaka terhadap
ayahnya. Nah, coba-cobalah kau lawan aku!" Hek-tiauw Lo-mo lalu
menubruknya dan mencengkeram pundak puterinya.
Hwee Li
cepat mengelak dan balas menyerang dengan dahsyat hingga ayah dan anak itu lalu
saling serang dengan hebat dan serunya di tepi sungai itu! Hwee Li maklum bahwa
kalau dia tidak dapat menangkan ayahnya, harapannya untuk lari habis sama
sekali, dan entah apa yang akan menimpa dirinya, maka dia mengerahkan seluruh
tenaganya dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Dia tahu bahwa dia tidak
boleh menggunakan ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ayahnya, karena hal
itu akan percuma saja karena tentu ayahnya lebih mahir.
Maka dia pun
selalu bergerak menurut petunjuk Ceng Ceng dan suami subo-nya itu. Sebetulnya,
dari Ceng Ceng, seperti pernah dijanjikan oleh subo-nya itu dahulu, dara ini
hanya diberi pelajaran tentang racun-racun yang paling hebat dan penolaknya.
Akan tetapi karena Ceng Ceng merasa suka kepada muridnya yang lincah jenaka
ini, dia juga mengajarkan Ilmu Pukulan Sin-liong-kun, yaitu semacam ilmu silat
yang diciptakannya dengan bantuan suaminya, yang disaring dari ilmu-ilmu silat
yang telah dikenalnya, lalu ditambah pula dengan beberapa gerakan yang
mengambil dari ilmu mukjijat Sin-liong ciang-hoat, ilmu yang hanya dapat
dipelajari dan dikuasai oleh seorang yang buntung lengannya seperti Kao Kok Cu.
Akan tetapi
betapa pun lihainya Hwee Li, tentu saja dia masih belum mampu untuk menandingi
Hek-tiauw Lo-mo! Beberapa kali dia sudah kena ditampar oleh ayahnya, yang tidak
ingin melukai puterinya, maka yang ditamparnya hanya bagian tubuh yang tidak
berbahaya seperti di bahu dan pundak, akan tetapi yang cukup membuat tubuh Hwee
Li terpelanting dan terguling-guling. Tetapi, setiap kali roboh, Hwee Li
meloncat bangun kembali dan menyerang dengan ganas! Dia sudah nekat dan ingin
mati di tangan ayahnya sendiri dari pada harus menyerahkan dirinya kepada
Pangeran Liong Bian Cu!
"Hyaaaaattttt...!"
Tiba-tiba dia melengking nyaring.
Tubuhnya
meloncat dan meluncur lurus ke depan, kedua tangannya menusuk seperti pedang
selagi tubuhnya masih melayang di udara. Inilah jurus yang sangat hebat dari
Sin-long-kun, yang mengandung unsur ilmu mukjijat Sin-liong hok-te dari Kao Kok
Cu!
"Ihhh...!"
Hek-tiauw Lo-mo terkejut bukan main.
Dari
serangan Hwee Li ini menyambar hawa dahsyat yang membuat dia terjengkang. Akan
tetapi, sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi yang mengenal pukulan mukjijat,
dia tidak berani menangkis dan cepat dia melempar tubuh ke belakang terus
bergulingan. Dia meloncat bangun dan mukanya berubah. Nyaris dia roboh oleh
pukulan mukjijat itu.
"Bocah
durhaka!" Dia membentak dan menubruk maju begitu melihat Hwee Li melayang
turun, tubrukan dari belakang yang dahsyat. Hwee Li bergerak ke samping,
kakinya melayang untuk menyambut serangan ayahnya dengan tendangan.
"Plakkk!"
Ayahnya
menangkis, demikian keras tangkisannya sehingga tubuh Hwee Li terhuyung.
Kembali gadis itu melempengkan kedua lengan, untuk mengulangi serangannya yang
hampir berhasil tadi. Akan tetapi tiba-tiba ayahnya sudah menyerang lagi,
menyerang dari bawah ke arah kedua kakinya. Melihat hebatnya serangan kaki
ayahnya yang menyerampang ini, dia berteriak keras dan tubuhnya mencelat ke
atas.
"Wuuuuuttttt...!"
Hwee Li
terkejut. Hendak mengelak namun terlambat, dan tubuhnya sudah tercakup oleh
sinar hitam yang ternyata adalah jala tipis yang tadi dipergunakan oleh
Hek-tiauw Lo-mo selagi tubuh Hwee Li meloncat ke atas.
"Cukup,
Locianpwe!"
Mendadak
terdengar seruan nyaring dan tahu-tahu di situ telah berdiri Liong Bian Cu
dengan sikapnya yang ramah. Pangeran ini berkata, "Andai kata bukan
Locianpwe yang melakukan hal ini terhadap Nona Hwee Li, tentu akan berhadapan
dengan aku dan aku belum puas kalau belum menyiksanya!"
Hek-tiauw
Lo-mo membungkuk, "Anak ini tidak bisa dibujuk dengan halus, Pangeran.
Terpaksa saya sebagai orang tuanya menundukkannya. Sekarang kuserahkan kepada
Pangeran untuk menjinakkan dia. Ha-ha-ha!" Hek-tiauw Lo-mo menyerahkan
tali jala itu kepada Pangeran Nepal itu.
Liong Bian
Cu menerima tali itu, lalu menghampiri Hwee Li yang masih rebah miring di dalam
jala. "Marilah, Nona, biar aku merawatmu, Nona..." Dia membungkuk dan
hendak memondong tubuh itu.
Hwee Li yang
kini mengalihkan kemarahan dan kebenciannya kepada pangeran ini yang dianggapnya
sebagai biang keladi perubahan sikap ayahnya, diam-diam menanti dan begitu
pangeran itu membungkuk, tiba-tiba dia menggerakkan tangan kanannya menghantam
sekuat tenaga! Akan tetapi, dia merasa pundaknya ditekan dan tenaganya lenyap,
pukulannya tidak dapat dilakukan dan terhenti setengah jalan.
"Tenanglah,
Nona, percayalah bahwa aku tidak tega untuk menyakitimu," kata pangeran
itu dengan tenang dan tiba-tiba Hwee Li merasa tubuhnya diangkat dan dipondong
oleh pangeran itu, dibawa ke arah gedung.
Semua orang
yang melihat dan bertemu di jalan membungkuk dengan penuh hormat kepada
pangeran itu yang bersikap seolah-olah tidak melihat mereka, sikap angkuh
seorang pangeran! Hwee Li tidak dapat meronta lagi, kedua tangannya seperti
lumpuh dan tahulah dia bahwa pangeran yang kelihatan lemah lembut ini memang
lihai sekali sehingga dia telah ditotoknya sebelum dapat menyerang. Dia pernah
melihat pangeran ini dalam pertemuan dengan para tokoh dan yang dahulu pernah
mendemonstrasikan kepandaiannya yang hebat.
Dara ini
maklum bahwa menggunakan kekerasan akan percuma saja, karena selain pangeran
ini sendiri amat lihai, juga di situ terdapat ayahnya yang agaknya siap untuk
menggunakan kekerasan terhadap dirinya untuk memaksanya menjadi isteri pangeran
ini. Belum lagi diperhitungkan adanya Hek-hwa Lo-kwi di situ, dan banyak anak
buah Kui-liong-pang dan anak buah pangeran itu sendiri. Juga, biar pun belum
dijumpainya, dia mendengar bahwa di situ terdapat pula guru pangeran ini, koksu
dari Nepal yang menurut ayahnya memiliki kepandaian yang amat hebat, mungkin
melebihi kepandaian ayahnya dan Hek-hwa Lo-kwi. Jelas bahwa mengandalkan
kepandaian silatnya akan sia-sia belaka, maka dia harus berlaku cerdik.
Pangeran itu
memondongnya dengan hati-hati dan membawanya kembali ke dalam kamarnya yang
mewah. Dengan gerakan lembut dia merebahkan Hwee Li di atas pembaringan setelah
melepaskan jala tipis itu. Sejenak dia berdiri di tepi pembaringan memandang
wajah Hwee Li yang rebah terlentang. Dara itu gelisah sekali. Dia masih belum
mampu menggerakkan kaki tangannya dan dia tidak akan dapat melawan kalau
pangeran itu melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap dirinya. Sepasang mata
yang cekung dan tajam itu bersinar-sinar ketika menjelajahi tubuh Hwee Li dari
rambut sampai ke kakinya. Dan tubuh yang terbungkus pakaian basah itu kelihatan
bagaikan telanjang saja.
"Ah,
betapa kejam ayahmu, Nona... sungguh kasihan engkau...," kata pangeran itu
dengan sikap menyayang sekali dan tangannya lalu memeriksa leher, pipi, dan
pundak Hwee Li yang babak bundas karena dibanting-banting tadi. "Aku akan
mengobatimu. Ahhh, kalau lain kali dia berani menyakitimu lagi, tentu akan
kuhukum dia!"
Hwee Li
memandang dengan mata terbelalak. Hatinya lega. Biar pun dia masih muda sekali,
namun sebagai seorang wanita, Hwee Li dapat merasakan bahwa pangeran ini
sungguh mencinta dia. Sikapnya demikian lembut, cintanya demikian halus
sehingga agaknya tidak perlu dikhawatirkan bahwa pangeran ini akan melakukan
kekerasan terhadap dirinya. Akan tetapi, biar pun dia amat cerdik, dalam hal
seperti ini, mengenai urusan cinta, dia masih asing sama sekali sehinga dia
tidak tahu benar bagaimana dia harus bersikap terhadap musuh yang jatuh cinta
kepadanya ini. Dia tahu bahwa dari orang berkulit kehitaman ini mengancam
bahaya yang amat hebat terhadap dirinya, namun perasaan wanitanya juga tahu
bahwa pria ini amat mencintanya dan tidak akan suka melihat dia sengsara.
"Pangeran...
harap... harap kau suka membebaskan aku... dan biarkan aku pergi dari sini. Aku
akan berterima kasih sekali kepadamu dan selamanya engkau akan kuanggap sebagai
seorang yang amat baik."
Liong Bian
Cu tersenyum, memandang mesra dan menggeleng kepala. "Janganlah kita
bicara tentang itu. Engkau perlu kuobati, akan tetapi pakaianmu basah. Engkau
harus berganti pakaian lebih dulu. Ah, betapa kejamnya ayahmu... sakit hatiku
melihat engkau disiksa. Aku sangat cinta kepadamu, Nona Hwee Li, dan kalau
bukan ayahmu yang melakukan ini, pasti dia sudah kubunuh. Biar aku membantumu
berganti pakaian..."
Jari-jari
tangan pangeran itu menyentuh kancing-kancing di depan dadanya. Meski pun
pangeran itu tetap bersikap lembut dan sopan, namun Hwee Li terbelalak dan
hampir menjerit. Sayang kaki tangannya masih belum dapat digerakkan, kalau
tidak demikian, tentu dia sudah meronta dan meloncat turun dari atas
pembaringan.
"Jangan...!
Tidak... jangan buka pakaianku...!" dia meratap.
Jari-jari
tangan yang baru berhasil membuka dua buah kancing itu berhenti dan mata yang
cekung itu menatap tajam, mulutnya tersenyum dingin. "Mengapa, Nona?
Engkau basah kuyup dan dapat jatuh sakit. Pakaianmu yang basah harus diganti
dengan yang kering, baru luka-lukamu akan kuobati sendiri..."
Hwee Li
melihat sinar gembira di mata pangeran itu dan tiba-tiba jantungnya memukul
keras. Agaknya di balik kelembutan, di balik keramahan dan kesopanannya,
pangeran ini memiliki watak aneh yang sangat kejam. Agaknya pangeran ini akan
bergembira melihat dia digerogoti rasa malu, tersiksa batinnya kalau
ditelanjangi.
Hwee Li
tiba-tiba menekan perasaannya dan mukanya tidak lagi memperlihatkan rasa ngeri
dan takut seperti tadi. Suaranya dingin dan tenang ketika dia berkata,
"Pangeran, baru saja engkau mengatakan bahwa engkau amat mencintaku, akan
tetapi sekarang engkau hendak melakukan penghinaan. Kalau perbuatanmu ini kau
lanjutkan, aku akan merasa amat benci kepadamu!"
"Benci?"
Pangeran itu mengerutkan alisnya. "Tidak bisa engkau membenciku, Nona,
karena engkau akan menjadi isteriku yang terkasih. Aku hendak menolongmu,
mengapa engkau membenciku?"
"Di
luar banyak terdapat pelayan, mengapa kemudian engkau hendak mengganti sendiri
pakaianku? Hal itu menandakan bahwa engkau sengaja hendak menghinaku, tidak
memandang aku sebagai seorang gadis yang terhormat, yang tentu saja tidak sudi
dilihat telanjang oleh seorang laki-laki."
Tangan itu
meninggalkan baju Hwee Li dan pangeran itu tersenyum, mengangguk angguk.
"Sikapmu ini menambah besar cintaku, Nona. Engkau memang seorang gadis
terhormat dan agung, patut menjadi calon isteriku." Pangeran itu bertepuk
tangan dan masuklah empat orang pelayan tadi.
"Kalian
bantu Nona Hwee Li berganti pakaian kering. Ehhh, Nona, engkau memilih pakaian
yang berwarna apa?" Pangeran itu bertanya kepada Hwee Li, sikapnya ramah
dan biasa seolah-olah gadis itu sedang dalam keadaan biasa, tidak tertotok
seperti itu.
"Aku
selamanya selalu memakai pakaian hitam," jawab Hwee Li yang ingin mencegah
pakaiannya diganti.
"Hei,
kau! Cepat kau suruh penjahit membuatkan pakaian dari sutera hitam beberapa
stel dan dengan cara kilat. Harus jadi sekarang juga!" Pangeran Liong Bian
Cu berkata dan pelayan yang diperintahkannya itu cepat pergi. Lalu dia
berpaling kepada Hwee Li. "Karena yang hitam sedang dibikin, harap kau
suka memakai yang lain untuk sementara saja, Nona." Setelah berkata
demikian, pangeran itu menggerakkan kakinya menuju ke pintu.
"Pangeran...!"
Hwee Li tiba-tiba memanggil.
Liong Bian
Cu membalikkan tubuhnya dan memandang dengan wajah berseri. "Apa lagi yang
dapat kulakukan untukmu, Nona Hwee Li? Bukankah kau bilang bahwa engkau merasa
terhina kalau... terlihat olehku? Aku tahu engkau malu, biarlah aku keluar dulu
dan nanti baru kuobati engkau..."
"Pangeran,
engkau tentu maklum bahwa aku tidak akan dapat lolos dari sini. Di sana ada
ayahku, ada Hek-hwa Lo-kwi, ada orang-orangmu, dan tempat ini terkurung air.
Aku tidak akan mampu lolos dan hal ini aku tahu benar, maka aku pun tidak
begitu tolol untuk mencoba melarikan diri."
Pangeran itu
mengangguk-angguk. Engkau memang cerdik sekali, Nona. Kecerdikanmu makin
mengagumkan hatiku dan makin memperdalam cintaku."
Hwee Li
merasa malu sekali melihat pangeran ini mengaku cinta begitu saja di depan tiga
orang pelayan yang masih berlutut di atas lantai, maka cepat-cepat dia berkata,
"Kalau engkau sudah tahu bahwa aku tidak akan lolos atau melarikan diri,
mengapa engkau masih menotokku? Apakah kau memang sengaja ingin menyiksaku,
Pangeran? Bebaskan totokan ini..."
Pangeran itu
melangkah menghampiri pembaringan. "Dan engkau berjanji tidak akan memukul
pelayan, tidak akan memberontak?"
"Aku
bukan seorang tolol. Memberontak pun apa gunanya? Para pelayan ini tidak salah
dan tidak tahu apa-apa. Tidak, aku tidak akan memukul mereka atau
memberontak."
"Bagus,
aku percaya kepadamu, Nona." Pangeran itu kemudian menggerakkan tangan
kanannya menotok kedua pundak Hwee Li dan seketika dara itu dapat menggerakkan
kembali kedua lengannya. Ketika pangeran itu menotok pula punggungnya dan kedua
kakinya juga dapat digerakkan, hatinya lega bukan main. Kaki dan tangannya
masih terasa penat dan sakit, maka dia bangkit duduk perlahan-lahan, memandang
kepada pangeran yang diam-diam telah siap kalau-kalau dia akan memberontak.
Melihat ini,
Hwee Li tersenyum. "Terima kasih, Pangeran. Dan sekarang harap engkau suka
keluar, aku hendak ganti pakaian. Dan kalian bertiga juga keluarlah saja, nanti
kalau aku perlu bantuan kalian akan kupanggil."
Tiga orang
pelayan itu memandang kepada Liong Bian Cu, ragu-ragu apakah mereka harus
mentaati perintah gadis itu. Liong Bian Cu tersenyum dan mengangguk, maka
mereka pun pergilah meninggalkan kamar itu bersama Liong Bian Cu. Pangeran itu
menutupkan pintunya sambil menjenguk ke dalam dan tersenyum.
"Kalau
sudah selesai, beritahulah aku, Nona." Hwee Li mengangguk dan daun pintu
itu ditutup dari luar oleh Liong Bian Cu.
Setelah
mereka semua keluar, Hwee Li cepat menggerak-gerakkan kaki tangannya agar jalan
darahnya lancar kembali. Diam-diam dia menyumpah di dalam hatinya dan panaslah
rongga dadanya teringat akan perlakukan ayahnya kepadanya. Dia duduk kembali
dan memutar otaknya. Keinginan besar untuk melarikan diri ditekannya. Tidak,
dia tidak boleh sembrono lagi.
Lari dalam
keadaan sekarang ini tidak akan ada gunanya, dan dia tentu akan tertawan
kembali. Dan kalau sampai dia mencoba lari dan tertawan kembali, tentu pangeran
itu tidak akan bersikap demikian baik lagi. Celaka kalau sampai dia ditotok
terus atau dibelenggu. Lebih celaka lagi kalau dalam kemarahannya pangeran itu
akan melakukan hal-hal yang mengerikan terhadap dirinya. Lebih baik dia berlaku
cerdik, bersikap halus dan mempergunakan cinta kasih pangeran terhadapnya untuk
melindungi dirinya.
Hwee Li
memilih pakaian hijau dari lemari, karena yang biru sudah dirobek-robeknya. Dia
memindahkan dua benda seperti gulungan tali hitam dan segulung kecil tali merah
dari saku pakaian hitamnya ke dalam saku baju dalamnya yang baru. Tiga benda
yang kelihatan seperti gulungan tali itu sebetulnya adalah tiga ekor ular!
Kemudian dia menyisir rambutnya, memakai sedikit bedak di meja rias dan
mengganti pula sepatunya yang basah dengan sepatu baru yang berjajar beberapa
pasang di bawah lemari.
"Aku
sudah selesai, Pangeran!" katanya sambil duduk di atas kursi.
Daun pintu
itu segera terbuka, tanda bahwa pangeran itu sejak tadi sudah siap dengan
tangan tak pernah melepaskan daun pintu. Wajahnya berseri, mulutnya tersenyum
dan matanya bersinar-sinar memandang Hwee Li yang bangkit berdiri. Penuh kagum!
"Bukan
main...!" Engkau... engkau sungguh cantik seperti bidadari, Nona Hwee Li!
Aihh, rambutmu yang masih agak kusut itu, anak rambut yang melihgkar di dahi
dan depan telinga, sungguh seperti lukisan saja! Marilah, Nona, mari kuobati
semua luka-lukamu." Pangeran itu mengeluarkan sebuah botol terisi obat
kuning dari dalam sakunya.
"Terima
kasih, Pangeran. Kurasa tidak perlu karena sudah kuobati sendiri dan luka-luka
ini tidak ada artinya." Dia memperlihatkan leher dan tangannya yang tadi
lecet-lecet, dan yang kini sudah menjadi kering.
"Ahhh,
engkau lihai, ilmu silatmu tinggi, juga engkau memiliki keberanian hebat,
engkau cantik jelita dan cerdik. Sungguh, semua keindahan dan kebaikan
terkumpul menjadi satu di dalam dirimu, Nona Hwee Li."
"Hanya
luka di pundakku ini masih terasa nyeri. Aku khawatir kalau-kalau ada tulangnya
yang retak..." Hwee Li meringis ketika tangannya menyentuh pundak kirinya.
"Ahhh...!
Benarkah? Celaka! Sungguh kejam Hek-tiauw Lo-mo. Coba kuperiksa dahulu
pundakmu, Nona. Jangan khawatir, jangankan baru retak, biar sudah remuk sekali
pun, aku akan dapat mengobati dan menyembuhkannya!" Pangeran itu datang
mendekat.
Dengan
hati-hati, sambil kadang-kadang meringis kesakitan, Hwee Li membuka kancing
bajunya bagian atas sehingga nampak baju dalamnya yang tipis. Disingkapnya baju
di bagian pundak kiri dengan tangan kanannya sehingga nampak kulit pundaknya
yang putih halus dan memang di atas pundak itu terdapat warna kebiruan. Ketika
melihat pundak kiri setengah telanjang yang berkulit putih halus itu bernoda
biru, pangeran itu lalu berseru, "Ahhh, sungguh kejam...!" Tangannya
lalu memeriksa dan dengan halus menyentuh pundak itu.
Saat inilah
yang ditunggu-tunggu oleh Hwee Li. Sudah diperhitungkannya semenjak dia melihat
pangeran itu masuk kamarnya. Dara ini tadi sudah mengambil keputusan untuk
membunuh pangeran ini. Dia tidak mungkin melarikan diri, akan tetapi dia tahu
bahwa yang menyebabkan ayahnya bersikap seperti itu kepadanya adalah pangeran
ini. Pangeran inilah biang keladinya, maka kalau pangeran ini dibunuhnya, tentu
ayahnya akan bersikap lain. Dan kalau ayahnya tidak lagi mengharapkan bantuan
pangeran yang mati untuk meraih kedudukan tinggi, tentu akan lain lagi sikap
ayahnya, tentu akan pulih seperti dahulu dan kalau sudah begitu, dia dan ayahnya
tentu akan dapat saling bantu untuk meloloskan diri dari tempat itu.
Kini,
melihat pangeran itu memeriksa pundak kirinya dan agaknya tenggelam dalam
pekerjaannya itu, diam-diam Hwee Li mengeluarkan ular merahnya. Ular itu kecil
sekali, sebesar kelingking jari tangannya, panjangnya hanya dua jengkal,
kulitnya merah seperti darah, matanya juga merah dan lidahnya hitam. Inilah
Hiat-coa (Ular Darah) dari Gurun Pasir Go-bi yang merupakan binatang yang sukar
sekali dilihat orang, seekor ular tanah yang amat berbahaya dan racunnya amat
hebat.
"Ssssshhh...!"
Liong Bian
Cu terkejut sekali dan cepat dia meloncat mundur ketika dia melihat sinar merah
meluncur ke arah mukanya. Matanya terbelalak, dia berusaha menghindarkan diri,
akan tetapi gerakan ular itu lebih hebat dan cepat lagi, seolah-olah burung
terbang dan tahu-tahu pundak pangeran itu telah kena digigitnya. Liong Bian Cu
mengeluarkan suara melengking nyaring, jeritan maut yang amat lantang, lalu
tubuhnya terhuyung dan roboh ke atas lantai.
Melihat ini,
Hwee Li girang sekali. Cepat dia meloncat ke arah jendela kamar itu. Akan
tetapi, begitu dia meloncat, dari jendela itu muncul dua orang penjaga yang
memegang pedang. Hwee Li menggunakan kakinya menendang dari samping untuk
menangkis sambaran pedang. Kini tangan kirinya bergerak dan sinar hitam panjang
bergerak ke depan. Ular hitam panjang itu mematuk dan dua orang penjaga roboh
seketika.
"Bocah
setan, berani engkau mengacau lagi?" Tiba-tiba terdengar suara bentakan
dan Hek-hwa Lo-kwi muncul bersama Hek-tiauw Lo-mo!
"Ayah,
aku sudah membunuh Liong Bian Cu!" teriak Hwee Li. "Mari kita cepat
pergi dari sini!"
"Apa?
Anak durhaka, engkau sungguh patut dihukum!” Hek-tiauw Lo-mo berseru marah.
Hek-hwa
Lo-kwi segera meloncat memasuki jendela dan cepat kakek ini memondong tubuh
Pangeran Liong Bian Cu yang sudah menjadi biru mukanya. Hek-hwa Lo-kwi adalah
ahli racun yang telah kebagian kitab yang dicuri bersama Hek-tiauw Lo-mo dari
Si Dewa Bongkok, bagian tentang racun dan pengobatannya, maka sekarang dia
cepat membawa pergi Liong Bian Cu untuk diobati.
Sementara
itu, melihat ayahnya sudah menyerangnya, Hwee Li menjadi marah juga.
"Ayah, apa engkau sudah gila?" Dia memaki sambil mengelak dari sambaran
pedang yang amat mengerikan, pedang yang mendatangkan hawa mukjijat. Itulah
pedang Cui-beng-kiam (Pedang Pengejar Nyawa) yang amat mukjijat.
Pedang ini
dahulu adalah milik Cui-beng Koai-ong, tokoh nomor satu dari Pulau Neraka, dan
akhirnya pedang itu tadinya terjatuh ke tangan Ang Tek Hoat dan kemudian,
ketika Tek Hoat tertawan, pedang itu terjatuh ke tangan Hek-tiauw Lo-mo sampai
sekarang.
Sambil
mengelak, Hwee Li yang sudah marah sekali itu memaki, "Aku adalah anakmu,
apakah Ayah hendak membunuhku?"
"Bocah
keparat, anak durhaka!" Hek-tiauw Lo-mo yang sudah marah sekali kembali
menyerangnya dengan dahsyat.
"Baik!
Ayah membela musuh dan melawan anak sendiri! Ayah memaksa aku untuk
melawan!" Hwee Li juga mengeluarkan dua ekor ularnya yang panjang itu dan
balas menyerang. Bertempurlah anak dan ayah ini untuk kedua kalinya, kini lebih
seru dan hebat karena Hwee Li benar-benar melakukan perlawanan mati-matian.
Setelah dara
itu melakukan perlawanan nekat dengan menggunakan dua ekor ularnya yang amat
berbahaya, Hek-tiauw Lo-mo bergerak dengan hati-hati. Dia maklum bahwa anaknya
itu telah menguasai banyak ilmu yang aneh dan hebat. Beberapa kali dia
menggerakkan pedangnya untuk membunuh ular-ular itu, akan tetapi dua ekor ular
itu adalah mahluk hidup, selain memiliki gerakan sendiri untuk mengelak, juga
digerakkan oleh tangan Hwee Li yang mahir. Bahkan beberapa kali hampir saja
tangan Hek-tiauw Lo-mo terpatuk oleh ular-ular itu.
"Hemmm,
inikah anakmu, Hek-tiauw Lo-mo? Sungguh ganas dan liar dia!" Mendadak terdengar
suara besar yang berwibawa dan muncullah dua orang kakek.
Yang seorang
adalah kakek tinggi besar, sama tinggi besarnya dengan Hek-tiauw Lo-mo, seperti
seorang raksasa yang kepalanya botak, pakaiannya indah dan mewah dengan mantel
merah, sepatunya pakai lapis baja dan sepasang matanya besar sekali. Usianya
tentu sudah hampir enam puluh tahun, akan tetapi wajahnya masih segar dan
kemerahan. Sikapnya amat berwibawa dan di belakangnya berdiri seorang kakek
lain yang bersorban, berkulit hitam, jenggotnya panjang sampai ke perut, tangan
kirinya memegang tongkat cendana dan wajahnya seperti topeng, sama sekali tidak
pernah bergerak seolah-olah mati.
Melihat
munculnya dua orang kakek ini, Hek-tiauw Lo-mo menjadi terkejut. Itulah Ban Hwa
Sengjin, koksu dari Nepal, dan kakek Nepal bersorban itu adalah Gitananda,
pembantunya yang lihai dan pandai sihir.
"Maafkan,
Sengjin, anakku kurang ajar dan perlu saya hukum!" teriak Hek-tiauw Lo-mo
dan pedang Cui-beng-kiam diputarnya cepat.
Melihat ini,
Hwee Li menarik kedua ekor ularnya karena tidak ingin ular-ularnya menjadi
korban pedang ayahnya. Akan tetapi, pada saat itu, tendangan kaki Hek-tiauw
Lo-mo yang amat cepat datangnya tak dapat dielakkan oleh Hwee Li. Pahanya
tertendang dan dara ini hanya dapat mengerahkan sinkang untuk melindungi
pahanya.
"Desss...!"
Dia terlempar dan terbanting, bergulingan.
"Mampus
kau!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak dan pedangnya menyambar.
Hwee Li
terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa ayahnya benar-benar hendak
membunuhnya. Pedang itu menyambar dengan ganas dan merupakan serangan maut.
Terpaksa dia menggunakan dua ekor ularnya untuk balas menyerang. Dua ekor ular
itu meluncur dan kalau pedang Hek-tiauw Lo-mo dilanjutkan untuk membacok tubuh
dara itu, tentu dua ekor ular itu akan berhasil pula menggigitnya. Melihat ini,
Hek-tiauw Lo-mo mengubah gerakan pedangnya, dibabatkan ke samping dua kali.
"Crok!
Crokkk!"
"Ihhhhh...
kau membunuh ular-ularku...?" Hwee Li menjerit dengan isak tertahan dan
dia berlaku nekat, menubruk ayahnya dengan kedua tangan kosong sambil
melancarkan pukulan-pukulan beracun.
"Anak
setan!" Hek-tiauw Lo-mo menyambutnya dengan tusukan Cui-beng-kiam dan kali
ini, tak mungkin Hwee Li dapat menghindarkan diri dari tusukan maut itu.
Tiba-tiba
nampak sinar menyambar.
"Trangg...!"
Pedang
Cui-beng-kiam tergetar di tangan Hek-tiauw Lo-mo. Kakek itu amat terkejut dan
melompat ke belakang. Kiranya Ban Hwa Sengjin sudah turun tangan menggunakan
sebutir kerikil memukul ke arah pedangnya itu dengan sambitannya.
"Dia
ini adalah calon isteri Pangeran, bagaimana kau begitu berani mencoba untuk
membunuhnya?!" teriak Koksu Nepal itu. "Gitananda, tangkap Nona
itu!"
Gitananda
membungkuk dan sekali dia menggerakkan kedua kakinya, dia sudah meloncat ke
depan Hwee Li. Tiba-tiba tangan kiri kakek Nepal ini mengeluarkan sesuatu dan
ada cahaya menyorot ke muka kakek itu.
Hwee Li
tentu saja tak mengerti apa yang terjadi. Melihat ada cahaya menyorot ke muka
kakek itu, dia memandang. Kiranya kakek itu memegang sebuah cermin dan pantulan
sinar matahari menyorot ke mukanya sendiri. Melihat wajah yang berkilauan
terkena cahaya itu, Hwee Li memandang terbelalak. Dia seperti melihat wajah
yang aneh, wajah dalam dongeng tentang dewa-dewa! Betapa pun dia ingin
mengalihkan pandangannya, dia tak dapat! Dia tidak dapat menguasai pandang
matanya sendiri yang terus menatap wajah kehitaman dengan mata yang tajam
berpengaruh itu.
Tongkat
Gitananda menyambar dan dengan perlahan mengetuk tengkuk Hwee Li. Gadis itu
sama sekali tidak mampu bergerak untuk mengelak, seolah-olah pandang matanya
yang melekat pada wajah menyeramkan itu membuat seluruh tubuhnya lumpuh. Ketika
tongkat mengenai tengkuknya, dia mengeluh memejamkan matanya dan roboh
terguling, pingsan.....
***************
Kesadaran
perlahan-lahan menyusupi dirinya. Mula-mula hanya pendengarannya yang bekerja.
Dia mendengar suara beberapa orang bercakap-cakap, makin lama makin jelas dan
perhatiannya tertuju kepada suara-suara itu karena di antara suara-suara itu
dia mendengar suara ayahnya. Matanya masih tetap dipejamkan dan dia masih belum
mempunyai keinginan untuk melihat di mana adanya dia dan dalam keadaan bagai
mana. Dia masih terlampau lemah untuk itu dan kini dia hanya tinggal diam
dengan tenang, hanya membuka telinga mendengarkan.
"Kalau
Paduka suka menggunakan obat hamba tentu mudahlah menundukkan dia. Dia akan
jatuh cinta kepada Paduka, dan akan mentaati semua perintah Paduka,"
terdengar suara parau dan asing, suara yang tidak dikenalnya, namun dapat
diduganya bahwa agaknya itu adalah suara orang Nepal yang memegang tongkat itu.
"Ahhh,
Gitananda, aku sudah tahu akan kepandaianmu dan aku juga percaya bahwa
menggunakan obat dan sihirmu, dia akan tunduk kepadaku. Akan tetapi aku tahu
pula bahwa kekuatan sihir dan obat itu hanya sementara saja. Dan aku
menghendaki agar selama hidupnya dia mau tunduk dan membalas cintaku!"
terdengar suara yang amat dikenalnya, suara halus dan sopan, suara Liong Bian
Cu.
Ahhh, jadi
pangeran itu belum mampus, pikirnya dengan perasaan menyesal. Biar pun sudah
terkena gigitan ular darah, tapi masih hidup. Hemmm, tentu Hek-hwa Lo-kwi yang
mengobatinya. Dia tahu bahwa kakek itu juga seorang ahli racun yang jempolan!
"Dia
memang keras kepala!" Tiba-tiba terdengar suara ayahnya. "Anak itu
keras kepala dan keras hati, seperti ibunya! Sebaiknya kalau Pangeran menggunakan
kekerasan menundukkan dia, seperti menjinakkan seekor kuda betina yang liar.
Hanya kalau dia sudah satu kali menjadi milik Pangeran, dia akan terpatahkan
kekerasannya, dia akan tunduk, seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu.
Percayalah kepada saya, Pangeran. Itu satu-satunya cara untuk menjinakkan dia.
Paksa saja dia menjadi milik Pangeran malam ini juga, dan besok atau lusa, dia
sudah akan menjadi jinak, untuk selama-lamanya!"
Hwee Li
hampir menjerit. Dia mengepal tinju dan berniat untuk meloncat turun. Akan
tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa dia tidak mampu
menggerakkan kaki dan tangannya. Dia tidak tertotok, kaki tangannya dapat
bergerak, akan tetapi tidak dapat dipindahkan dari tempatnya. Cepat dia membuka
matanya dan dia makin terkejut. Dia rebah terlentang di atas pembaringannya,
kedua kakinya terpentang dan setiap kaki terbelenggu pada ujung pembaringan,
demikian pun dengan kedua lengannya, terpentang dan pergelangan lengan
terbelenggu dengan rantai baja pada ujung pembaringan. Dia seperti seekor lembu
atau domba yang terikat dan siap untuk disembelih!
Dia berada
di dalam kamar mewah itu dan orang-orang yang suaranya didengarnya itu
bercakap-cakap di luar kamar. Dia mendengarkan lagi. Dan kini dia mendengar
suara Hek-hwa Lo-kwi.
"Agaknya
memang tepat apa yang diusulkan oleh Lo-mo, Pangeran. Anak itu amat keras hati,
membujuknya akan sia-sia saja. Dan kekerasan yang tidak dapat diluluhkan oleh
kelembutan, dapat dikalahkan oleh kekerasan pula."
"Akan
tetapi... ahh, aku sungguh cinta kepadanya, dan aku ingin sekali agar dia dapat
membalas cinta kasihku dengan sewajarnya.” Pangeran itu membantah dan mengeluh.
"Menggunakan kekerasan? Memperkosanya? Ah, betapa hal itu akan menyiksa
hatiku, aku tidak ingin melihat dia berduka..."
"Hemmm,
pada mulanya memang dia akan menangis dan berduka, akan membencimu, akan tetapi
lambat-laun kebencian itu akan berubah menjadi cinta. Dia persis
ibunya...," terdengar Hek-tiauw Lo-mo berkata pula.
"Akan
tetapi, melihat dia dibelenggu terus..."
"Hal
itu tidak perlu lagi setelah Paduka dapat memaksa dan memilikinya,
Pangeran," kata Hek-hwa Lo-kwi. "Dan jangan khawatir ia akan dapat
melarikan diri. Dia akan saya beri obat beracun dan racun itu akan mengeram di
dalam dirinya, akan membunuhnya dalam waktu satu tahun. Sedangkan obat
penawarnya berada di tangan Paduka."
Hening
sejenak. Lalu terdengar lagi suara ayahnya, suara yang mulai mendatangkan
kebencian di hati Hwee Li. "Dia amat cerdik dan banyak akalnya, Pangeran.
Selama dia belum menjadi milikmu, dia tentu akan menggunakan segala akalnya dan
hal itu dapat menimbulkan kesukaran. Akan tetapi kalau malam ini Paduka
berhasil memilikinya, semua daya lawannya akan patah dan luluh.
Percayalah."
"Sudahlah,
tinggalkan kami berdua. Akan kupikirkan usul-usul kalian."
Terdengar
langkah kaki tiga orang kakek itu pergi dan tak lama kemudian, daun pintu kamar
itu terbuka dan muncullah Liong Bian Cu. Melihat pangeran itu, Hwee Li segera
membuang muka. Pangeran itu menghampiri dan duduk di dekat pembaringan, di atas
sebuah kursi. Sejenak dia diam saja, hanya menatap wajah yang miring itu.
Kemudian dia menarik napas panjang.
"Ahhh,
betapa sedih hatiku melihat engkau terbelenggu kaki tanganmu seperti ini, Nona
Hwee Li. Betapa perih hatiku yang mencintamu melihat bahwa hal ini terpaksa
harus dilakukan karena engkau ternyata tega hendak membunuhku. Nyaris saja aku
tewas oleh gigitan ular merahmu itu. Kalau tidak ada Hek-hwa Lo-kwi, tentu
segera tercapai maksudmu dan aku sudah mati. Akan tetapi tentu engkau pun tidak
akan terhindar dari maut."
Hwee Li
tidak menjawab dan tidak menoleh. Masih terlalu ngeri hatinya mendengar
percakapan tadi. Jantungnya berdebar keras. Mau apakah pangeran ini? Apakah
benar benar hendak melakukan usul-usul tadi? Hampir dia pingsan kembali
membayangkan hal itu! Ingin dia menangis, ingin dia minta-minta ampun agar
dibebaskan saking ngeri dan takutnya, akan tetapi wataknya yang keras dan gagah
melarangnya berbuat seperti itu. Dia hendak memperlihatkan, terutama kepada
ayahnya, bahwa sampai mati dia tidak takut menghadapi apa pun! Akan tetapi, dia
tidak boleh nekat begitu saja. Selama dia masih hidup, dia harus berusaha
menggunakan kecerdikannya untuk meloloskan diri dari bahaya penghinaan hebat
itu!
"Aku
memang hendak membunuhmu. Maka sebaiknya kau bunuh saja aku sekarang!"
akhirnya dia berkata sambil memutar otaknya mencari akal. Dia masih belum
berani memandang, sebab dia khawatir jika sinar mata yang tajam itu akan dapat
menjenguk isi hatinya.
Pangeran itu
menyentuh lengan tangan Hwee Li, dan membelai lengan yang berkulit halus itu.
Hwee Li memejamkan matanya. Rabaan jari-jari tangan pada lengannya itu
menimbulkan perasaan jijik dan geli, juga gelisah dan ngeri.
"Ahhh,
bagaimana mungkin aku membunuhmu, sayang? Tidak tahukah bahwa aku cinta
kepadamu, Nona?"
"Aku
sudah berdosa hendak membunuhmu, dan aku kelak akan membunuhmu kalau kau tidak
membunuhku sekarang!" Hwee Li memancing.
"Tidak...
tidak...! Engkau masih muda, belum tahu betapa aku amat mencintaimu. Kalau kau
tahu, engkau akan menyesal, Hwee Li. Perbuatanmu itu amat kejam, sedangkan
aku... ahhh, tanpa engkau sebagai isteriku, hidup rasanya akan menjadi
hampa..."
"Hemmm,
bagus, ya? Siapa sudi percaya obrolanmu tentang cinta? Kalau engkau benar
mencintaku, mengapa pula engkau membiarkan aku dibelenggu seperti ini?
Beginikah perlakuan orang yang mencinta?" Hwee Li kini memandang dan
menjebikan bibirnya yang merah.
Pangeran itu
mengerutkan alisnya dan matanya menjadi sayu, berduka. Sekarang dia melepaskan
lengan Hwee Li dan kini jari-jari tangannya meraba kaki dara itu, mengelus
betis yang nampak karena pipa celana kanannya tertarik ke atas. Betis yang
berkulit putih mulus kemerahan itu, yang kulitnya kelihatan demikian tipis dan
halus sehingga urat-uratnya membayang, dirabanya dengan penuh kemesraan dan
kegairahan.
Kini Hwee Li
menggigil. Seluruh bulu di tubuhnya bangkit berdiri, meremang saking ngerinya.
Ingin dia menjerit, ingin dia memaki agar pangeran itu jangan mengusap dan
membelai betis kakinya. Akan tetapi semua perasaan ini ditahannya.
"Sudah
kukatakan tadi, sayang. Hatiku berduka, jantungku berdarah melihat kakimu yang
indah dan tanganmu yang halus itu dirantai seperti ini. Akan tetapi, mengapa
engkau memperlihatkan kekerasan dan tidak sudi menerima cintaku? Tentu saja,
kalau engkau mau menerima dan membalas cintaku engkau tidak akan dibelenggu,
bahkan engkau akan menjadi orang paling terhormat dan paling mulia di sini, di
seluruh Nepal, dan di seluruh dunia! Engkau akan menjadi permaisuri, menjadi
ratu yang disembah sembah! Mengapa engkau tidak mau menjadi kekasihku, sayang?
Aku Liong Bian Cu dapat menciptakan sorga untukmu, engkau dapat bergelimang
dalam kemewahan, kemuliaan dan kehormatan."
"Hemmm,
janjimu terlalu muluk, Pangeran. Bagaimana kalau aku berjanji untuk tidak
melawan dan untuk... hemmm, belajar mempertimbangkan cintamu dan mungkin kelak
dapat menerima dan membalas cintamu itu?" kata Hwee Li hati-hati.
"Apakah dengan janjiku itu engkau mau membebaskan aku sekarang juga?"
"Tentu
saja! Tentu saja akan kubebaskan sekarang juga!" kata pangeran itu penuh
gairah kegembiraan.
Dapat
dibayangkan betapa tegang dan gembira hati Hwee Li mendengar ini dan dia merasa
betapa tangan pangeran itu telah meraba-raba belenggu kedua kakinya. Akan
tetapi, timbul kekecewaannya karena jari-jari tangan pangeran itu kembali
meninggalkan belenggu dan terdengar pangeran itu berkata, "Nona, aku
sungguh amat mencinta dan kasihan kepadamu. Akan tetapi, bagaimana aku dapat
mempercayai janjimu. Betapa aku ingin kita dapat saling percaya dan saling
mencinta, akan tetapi apa yang baru saja kau lakukan terhadapku sungguh membuat
hatiku meragu. Dan engkau belum berjanji."
Dengan
jantung berdebar Hwee Li berkata, "Aku berjanji, Pangeran! Aku berjanji
bahwa aku akan mempertimbangkan cintamu dan aku akan belajar membalas
cintamu!"
Mulut
pangeran itu tersenyum lebar, matanya yang cekung bersinar-sinar, akan tetapi
dia belum bergerak membuka belenggu kaki dan tangan Hwee Li. "Dan kau
berani bersumpah?" tanyanya perlahan.
"Aku
bersumpah!" jawab Hwee Li sedangkan di dalam hatinya dia mengejek. Apa
artinya sumpah baginya? Apa lagi bersumpah di depan orang Nepal yang dibencinya
ini!
"Ahhh,
sumpah dan janji harus disertai bukti, Nona Manis."
"Bukti?
Bukti bagaimana maksudmu?" Hwee Li bertanya, penasaran dan kecewa.
"Jika
benar engkau mempunyai maksud hati yang baik dan tidak hendak berlaku curang
kepadaku, kalau benar engkau jujur dalam janjimu, engkau tentu mau
memperlihatkan kebaikanmu itu untuk menciumku." Pangeran itu tersenyum dan
memandang tajam.
Hwee Li
merasa betapa wajahnya panas sekali. Dia tidak tahu betapa kedua pipinya
menjadi merah seperti udang direbus mendengar permintaan pangeran itu. Ingin
dia menjerit, memaki dengan segala macam makian kotor yang pernah didengarnya.
Akan tetapi dara yang cerdik ini menekan perasaannya dan dia lalu berkata,
"Aku mau..."
Sepasang
mata yang cekung itu langsung berkilat. "Benarkah? Aihhh, Nona Hwee Li,
kekasihku..., benarkah engkau mau menciumku? Ah, betapa bahagia hatiku dan kalau
benar, aku pasti akan mempercayaimu sepenuh hatiku. Nah, kau ciumlah aku,
sayang." Pangeran itu lalu berlutut di dekat pembaringan dan mendekatkan
mukanya pada muka dara itu.
Ketika muka
itu mendekati mukanya, Hwee Li merasa ngeri bukan main. Tercium bau wangi yang
aneh, agaknya pangeran itu memakai minyak wangi yang asing, bercampur bau badan
pria yang mungkin keluar dari keringat, seperti bau binatang liar, dan napas
pangeran itu menyapu pipinya, panas dan tersendat-sendat. Hwee Li memejamkan
matanya dan dengan cepat menggerakkan mukanya sehingga hidungnya menyapu pipi
pangeran itu.
"Ngokkk!"
Pertemuan
antara ujung hidung dan sebagian bibirnya dengan pipi yang panas kasar itu
membuat Hwee Li mengkirik dan bulu tengkuknya meremang.
"Terima
kasih... ha-ha, ciumanmu seperti ciuman seorang anak kecil. Nona, karena kita
kelak akan menjadi suami isteri, maka tiada buruknya kalau kita saling mencium.
Dan mengingat betapa Nona adalah seorang dara yang masih murni dari hijau,
biarlah saya memberi contoh bagaimana jika mencium kekasih." Setelah
berkata demikian, tiba-tiba pangeran itu merangkul Hwee Li dan sebelum gadis
itu dapat membuang muka, tahu tahu bibirnya telah dicium oleh pangeran itu.
Ketika
merasa betapa sepasang bibirnya tertawan dalam ciuman mulut yang panas itu,
hampir saja Hwee Li menjadi pingsan. Dia cepat menggerak-gerakkan kepalanya
agar bibirnya terlepas dari ciuman, akan tetapi mulut pangeran itu menempel
pada mulutnya seperti seekor lintah yang tidak mau lepas lagi. Setelah napas
mereka terengah-engah, barulah pangeran itu melepaskannya.
Wajah Hwee
Li menjadi pucat, matanya terbelalak penuh kemarahan dan dua titik air mata
meloncat ke luar dari sepasang matanya. Akan tetapi wajah pangeran itu menjadi
kemerahan, napasnya tersendat-sendat, tanda bahwa nafsu birahi telah naik ke
kepala pangeran itu. Dia memandangi wajah dan tubuh Hwee Li dengan mata merah.
"Benar.
Hemmm, benar usul mereka...," katanya lirih dan kini tangannya meraba baju
Hwee Li.
Dara itu
memandang dengan mata terbelalak. Dia tadi telah mendengar usul-usul yang
dikeluarkan oleh suara ayahnya sendiri dan suara Hek-hwa Lo-kwi, maka tahulah
dia apa yang akan dliakukan oleh pangeran itu.
"Jangan..."
bisiknya dengan muka semakin pucat. "Lepaskan aku...!" Dia meronta,
akan tetapi karena kaki dan tangannya terikat, ia hanya dapat
menggerak-gerakkan pinggang dan lehernya saja.
"Brettttt...!"
Sekali renggut saja robeklah baju Hwee Li sehingga tubuhnya bagian atas hanya
tertutup pakaian dalam yang tipis.
"Jangan...!
Aku akan bunuh diri kalau kau lanjutkan... aku akan menggigit putus lidahku
sendiri...!"
Pangeran
yang sedang dikuasai nafsu birahi itu amat terkejut, secepat kilat tangannya
bergerak ke arah leher Hwee Li, menotok ke bawah telinga dan seketika gadis itu
tidak mampu lagi menggerakkan dagunya, apa lagi untuk menggigit!
"Hwee
Li, aku terlalu cinta padamu, aku ingin engkau dapat membalas cintaku, maka aku
juga tidak segan-segan mempergunakan segala cara...," katanya
terengah-engah dan kembali dia sudah menubruk gadis itu penuh nafsu birahi yang
berkobar-kobar.
Hwee Li
merasa takut sekali. Dia teringat akan jalan satu-satunya untuk membunuh diri.
Maka dia melupakan segalanya, menutup ingatannya dan menahan napasnya.
Pangeran itu
sudah meraba pakaian dalamnya pada saat melihat wajah Hwee Li. Dia terkejut
sekali. "Ahhhhh..."
Dan cepat
dia turun dari atas tubuh Hwee Li yang sudah ditindihnya, sekarang dia
mengguncang-guncangkan pundak dara itu dengan muka pucat. "Hwee LI...!
Hwee Li... jangan... jangan... aihhh, Hwee Li, aku tidak akan memaksamu...
jangan begitu nekat...!"
Dia
mempergunakan tangannya untuk mengurut leher dan ulu hati gadis itu. Dalam
keadaan panik dan khawatir itu dia tidak lagi merasakan betapa tangannya tanpa
disengaja menyentuh dua buah bukit dada yang sedang mekar itu. Lenyap sama
sekali nafsu birahinya karena sama sekali dia tidak ingat lagi akan hal-hal
yang berhubungan dengan itu. Kini pikirannya penuh dengan kekhawatiran melihat
betapa wajah dara itu kebiruan dan napasnya sama sekali terhenti, dadanya mekar
penuh dengan hawa yang ditahan-tahan dan tidak dikeluarkan.
"Hwee
Li...!" Dia mengeluh dengan suara seperti orang menangis.
Akhirnya,
oleh karena dipaksa oleh pijatan dan urutan tangan Liong Bian Cu, Hwee Li
bernapas lagi, terengah-engah dan terbatuk-batuk. Dia sadar kembali dan membuka
matanya. Melihat bahwa tubuhnya masih tertutup pakaian dalam, tahulah dia bahwa
dia belum ternoda. Dia melihat pangeran itu berlutut dan ada air mata di kedua
pipi pemuda itu!
"Hwee
Li... ahh, Hwee Li, apa yang akan kulakukan tadi? Kau ampunkan aku, Hwee Li,
percayalah padaku, semua yang kulakukan kepadamu terdorong oleh rasa cintaku
yang besar..." Liong Bian Cu meratap.
"Hemmm,
kau tahu sekarang bahwa setiap saat aku dapat membunuh diri dan kau sama sekali
tidak akan mampu mencegahku? Aku sudah berjanji, dan kau ternyata hendak
melanggar, padahal kau pun berjanji akan membebaskan aku."
"Akan
kubebaskan... sekarang juga, tetapi kau pun harus berjanji tidak akan membunuh
diri..."
Hwee Li
tersenyum. "Aku tidak akan begitu bodoh untuk membunuh diri, Pangeran.
Akan tetapi, kau tidak boleh menyentuhku, tidak boleh menciumku seperti tadi,
apa lagi menggunakan kekerasan untuk memperkosa. Kalau kau melakukan satu kali
saja, aku akan mencoba untuk membunuhmu, dan kalau aku gagal, aku akan membunuh
diri sendiri. Kau boleh memiliki tubuhku sebagai mayat!"
"Tidak...,
tidak..., kau maafkanlah aku, sayang. Nah, lihat, aku akan membebaskanmu
sekarang juga." Dia meraba belenggu, akan tetapi berhenti lagi. Diam-diam
Hwee Li gemas bukan main. Pangeran ini amat berbahaya, juga amat besar curiga
dan hati-hati, amat licin dan cerdik!
"Tetapi,
kau benar-benar mau menjadi isteriku, bukan? Jawablah, Hwee Li, sekarang juga.
Karena kalau kau suka berjanji untuk menjadi isteriku, apa pun akan kulakukan
demi engkau, sayang. Sebaliknya, aku tidak mau disiksa menantikan sesuatu yang
tidak akan terjadi, tidak mau disiksa dengan harapan kosong yang tidak akan
terpenuhi. Kalau kau tidak mau, katakan saja tidak mau. Aku tidak akan
memaksamu, aku terlalu cinta padamu untuk melihat engkau menderita di bawah
tanganku, akan tetapi... hemmm, kalau tidak mau, aku akan hadiahkan engkau
kepada anak buahku!"
Hwee Li
merasa ngeri. Dia maklum bahwa gertakan pangeran ini bisa saja dilaksanakan
kalau dia membuat pangeran ini putus harapan dan marah. "Aku berjanji,
Pangeran. Akan tetapi aku bukanlah seorang wanita sembarangan saja. Aku hanya
mau menjadi isterimu dalam pernikahan yang syah, pernikahan yang dirayakan
secara meriah dan disaksikan oleh banyak tamu di dunia kang-ouw. Sebelum itu,
sekali saja engkau menyentuhku, aku akan membunuh diri! Kehormatanku jauh lebih
penting dari pada nyawaku. Nah, aku sudah berjanji, terserah kepadamu!"
Bukan main
girangnya hati Liong Bian Cu. Dia mengeluarkan kunci dari dalam saku bajunya
dan segera membuka kunci belenggu kaki tangan Hwee Li. Dara itu bangkit duduk
di atas pembaringan, bergantian menggosok-gosok pergelangan tangan dan kakinya
untuk melancarkan jalan darah yang tadi terganggu oleh himpitan belenggu.
Tiba-tiba dia teringat akan peristiwa tadi, betapa mulutnya dicium dengan
lahapnya oleh mulut Liong Bian Cu. Teringat akan ini, tiba-tiba saja Hwee Li
muntah-muntah!
"Ahhh,
kau sakit...! Kalau pusing, engkau rebahlah, Hwee Li..." Liong Bian Cu
terkejut sekali melihat gadis itu muntah-muntah di atas lantai dekat
pembaringan, lalu mendekati untuk memijat-mijat tengkuk gadis itu.
"Sudah,
aku tidak apa-apa!" Hwee Li berkata sambil melepaskan tangan yang memijit
mijit tengkuknya. Dia menggunakan lengan baju untuk mengusap mulutnya,
diusapnya keras-keras karena dia bukan hanya mau menghapus bekas muntah tadi,
melainkan hendak menghapus bekas ciuman dari kedua bibirnya.
"Sungguh
engkau tidak apa-apa, Moimoi (Dinda)...?" tanya Liong Bian Cu, suaranya
penuh kasih sayang dan dia bertepuk tangan memanggil pelayan.
Pelayan
datang dan segera disuruh membersihkan lantai. Pelayan itu langsung disuruh
keluar lagi setelah selesai mengerjakan perintah itu.
"Bekas
belenggu itu menyakitkan tanganmu, Hwee Li?" Dia merayu lagi dan
mendekati, membantu gadis itu menggosok-gosok pergelangan tangannya. "Biar
kulancarkan jalan darahnya dengan urutan tangan dan...!"
Tiba-tiba
pangeran itu menghentikan kata-katanya, karena dia merasa betapa tangan yang
kecil halus akan tetapi mengandung tenaga yang amat kuat itu sekarang telah
mencengkeram jalan darah di dekat ulu hatinya, jalan darah kematian!
"Jangan
bergerak atau kau akan mampus!" Hwee Li menghardik.
"Aihhh,
apa yang hendak kau lakukan ini, Moi-moi...?" Pangeran itu mengeluh, tidak
berani bergerak karena sekali saja dara itu mengerahkan sinkang dan
mencengkeram, tidak ada yang dapat menolong nyawanya lagi.
"Dengar
kau, Liong Bian Cu! Engkau tadi telah menghinaku, dan untuk... ciuman itu saja
engkau sudah layak mampus. Apa lagi penghinaan lainnya tadi! Hayo, cepat kau
antar aku keluar dari lembah ini, kalau tidak, engkau akan mampus sekarang
juga."
"Ahhh,
Hwee Li, apa kau kira aku takut mati? Akan tetapi, bukan kematianku yang
kutakutkan, melainkan nasibmu. Kalau kau membunuhku, apa kau kira akan dapat
lolos dari kematian? Engkau yang masih begini muda remaja, cantik jelita, pasti
tidak akan lolos dari kematian di tangan Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo dan
semua anak buahku dan anak buah Kui-Liong-pang. Aku mati, akan tetapi engkau
juga mati, apa bedanya bagiku? Kita akan berkumpul juga di alam baka! Mati di
tangan seorang yang kucinta seperti engkau adalah kematian yang menyenangkan,
Hwee Li. Nah, cepat kau bunuhlah dan aku akan menantimu di sana karena aku
yakin engkau akan menyusulku cepat, dalam hari ini juga."
"Bohong!"
bentak Hwee Li. "Kalau kau mampus, ayah tentu tidak melihat kegunaannya
lagi berada di sini dan mengorbankan aku. Ayah tentu akan membantuku melarikan
diri. Betapa pun juga, dia adalah ayah kandungku sendiri!"
Tiba-tiba
pangeran itu tertawa dan Hwee Li memperkuat cengkeramannya sehingga kuku-kuku
jarinya sudah mulai terbenam sedikit ke dalam baju dan menyentuh kulit di dada
Liong Bian Cu.
"Ha-ha-ha-ha!
Ayah kandungmu? Hwee Li, kalau dia ayah kandungmu, mana mungkin dia sengaja
menyerahkan engkau kepadaku, bahkan dia telah memberiku nasehat buat
memperkosamu? Kalau dia ayah kandung yang mencinta puterinya, mana mungkin dia
tega melakukan hal itu? Sedangkan aku saja, seorang pria muda yang mencintamu,
masih tidak tega memperkosamu seperti yang kau lihat sendiri tadi. Dia bukan
ayah kandungmu, Hwee Li, engkau adalah anak pungut dari Hek Tiauw Lo-mo!"
"Bohong...!"
Hwee Li menjerit dan dia lupa dengan ancamannya, sekarang tangannya bergerak
menampar.
"Plakkk!"
Pipi Liong
Bian Cu ditamparnya dan tubuh pemuda bangsawan itu terhuyung-huyung ke
belakang. Akan tetapi dia hanya tersenyum dan mengelus pipinya yang menjadi
merah sekali oleh tamparan tadi.
"Bohong
kau...! Bohong...!" bentak Hwee Li, wajahnya pucat dan air matanya menitik
turun.
"Tidak,
Hwee Li, aku tidak bohong. Ayahmu sendiri yang akan menceritakan kepadamu, dan
kau boleh bertanya kepadanya. Semua peristiwa itu diketahui Hek-hwa Lo-kwi,
dulu sahabat ayahmu, dan aku mendengar dari Hek-hwa Lo-kwi. Hek-tiauw Lo-mo
tidak pernah punyak anak, dan engkau bukan puterinya."
Mata yang
indah itu terbelalak, kedua kakinya menggigil. "Bohong...!
Bohong...!" Dara itu meloncat ke luar dari kamar dan berlari sambil
menutupi mukanya dan menangis terisak-isak.
Malam telah
tiba. Di luar sudah gelap. Akan tetapi tidak terlalu gelap karena bulan telah
muncul di angkasa timur. Biar pun bukan bulan purnama, akan tetapi bulan yang
tiga perempat itu cukup mengusir kegelapan dan menimbulkan cahaya remang-remang
yang sejuk dan kehijauan.
Hwee Li
berlari terus sambil menangis dan akhirnya dia baru berhenti ketika tiba di
tepi sungai yang mengurung lembah. Dia menjatuhkan diri di atas rumput dan
menangis sejadi-jadinya. Ia mengingat akan semua pengalamannya dengan ayahnya,
waktu yang belasan tahun itu seperti membayang semua di benaknya.
Ayahnya
selalu memanjakannya, selalu mencintanya, dan baru akhir-akhir ini berubah. Dan
dia mendengar ucapan ayahnya ketika bercakap-cakap di luar kamar tadi. Apa kata
ayahnya ke pada Pangeran Liong Bian Cu? Terngiang di telinganya sebagian dari
kata kata ayahnya yang sukar dia lupakan, "Hanya kalau dia satu kali sudah
menjadi milik pangeran, dia akan terpatahkan kekerasannya, dia akan tunduk,
seperti yang terjadi pula dengan ibunya dahulu."
Ah, ayahnya
hanya bilang bahwa ibunya telah meninggal dunia ketika dia masih kecil. Dia
sama sekali sudah tidak ingat lagi kepada ibunya. Dan dia percaya! Siapakah
ibunya? Siapa pula ayahnya? Apa yang terjadi dengan mereka? Dan bagaimana dia
bisa menjadi anak Hek-tiauw Lo-mo dan tinggal di Pulau Neraka?
Hwee Li
masih menangis, akan tetapi sekarang pikirannya bekerja. Kalau benar bahwa
Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya, tentu dia tak bisa mengharapkan bantuan dari
kakek itu. Dia sendirian saja dikurung di dalam lembah itu, bahkan ayahnya itu
juga membantu Pangeran Liong Bian Cu. Dia tidak bisa mengandalkan siapa-siapa,
dan kalau dia ingin selamat, dia harus mengandalkan dirinya! Akan tetapi,
kepandaiannya masih jauh dari pada cukup untuk menghadapi orang-orang seperti
mereka, yang amat lihai itu.
Satu-satunya
yang boleh diminta tolong dan diandalkannya hanyalah otaknya sendiri,
kecerdikannya. Dia harus cerdik, kalau dia tidak ingin terhina dan mati konyol.
Dan dia tidak ingin mati. Dia harus mencari akal!
"Moi-moi...!"
Hwee Li tahu
siapa yang datang dan dia menangis makin keras. Dia terisak-isak sambil
berlutut di atas rumput, akan tetapi kini tangisnya berbeda dengan tadi. Kalau
tadi, dia menangis sepenuhnya terdorong oleh rasa penasaran, marah, kecewa dan
duka. Akan tetapi kini tangisnya sebagian besar terkendali oleh kecerdikannya.
"Hwee
Li, kau maafkanlah aku. Aku tidak sengaja melukai hatimu. Tetapi percayalah,
bahwa satu-satunya orang di dunia ini hanya aku yang dapat kau percaya, hanya
aku yang mencintamu. Jangan kau memikirkan lagi ayah angkatmu itu. Akulah yang
akan membahagiakan hidupmu, Moi-moi."
Hwee Li
masih terus menangis, kemudian ketika dia merasa ada tangan menyentuh
pundaknya, sentuhan penuh kasih sayang, dia mendorong perlahan tangan itu,
bangkit berdiri dan menghadapi pangeran itu dengan muka basah air mata.
"Pangeran,
betapa sedih hatiku mendengar bahwa dia bukan ayah kandungku. Dan aku tahu akan
kebaikanmu, tetapi engkau pun tahu bahwa aku tidak sudi untuk dijadikan
perempuan sembarangan. Kalau kau berlaku sopan, kalau kau dapat menghormati dan
menghargai aku sebagai gadis baik-baik, mungkin akan lebih mudah bagiku untuk
kelak menjadi jodohmu."
Tiba-tiba
pangeran yang sudah tergila-gila dan benar-benar jatuh cinta kepada dara itu
menjatuhkan dirinya berlutut. "Lihat, kekasihku, lihat. Aku Pangeran Liong
Bian Cu yang biasa disembah-sembah orang. Aku tidak malu-malu untuk berlutut di
depan kakimu. Aku bersumpah akan memenuhi janjiku, takkan mengganggumu sebelum
kita menikah dan menjadi suami isteri yang syah. Engkau tahu bahwa aku
mempunyai cita-cita yang maha besar, dan agaknya, tanpa engkau di sampingku,
aku merasa tidak cukup kuat untuk melaksanakan tugas berat itu. Akan tetapi,
Moi-moi, dengan adanya engkau di sampingku, aku sanggup untuk menaklukkan
seluruh dunia!"
"Baiklah,
Pangeran. Aku percaya kepadamu, dan kuharap mulai sekarang aku boleh bebas di
tempat ini."
"Tentu
saja kekasihku. Akan tetapi, kuharap engkau jangan mencoba untuk melarikan diri
karena engkau tahu bahwa hal itu selain tidak mungkin terjadi, juga ketahuilah
bahwa aku telah terlanjur menusukkan jarum beracun pemberian Hek-hwa Lo-kwi itu
di tubuhmu sehingga kini racun itu telah berada di dalam tubuhmu. Racun itu
tidak akan bekerja sebelum satu tahun, tetapi dalam satu tahun, racun itu akan
dapat mematikan, Moi-moi. Akan tetapi, jangan khawatir, obat penawarnya selalu
berada di tanganku."
Pangeran itu
bangkit berdiri dan tersenyum. “Jadi jelas bahwa mencoba untuk melarikan diri,
selain tidak mungkin, juga berarti engkau kelak akan tewas dalam keadaan
tersiksa sekali. Maka, kuharap engkau tidak sebodoh itu."
Demikianlah,
dalam keadaan tersudut, Hwee Li yang cerdik itu lalu bermain sandiwara,
pura-pura menerima kehendak sang pangeran untuk memperisterinya. Setiap hari
dia hidup dengan bebas di lembah itu, dihormati semua orang yang tahu bahwa
dara cantik jelita ini adalah tunangan Pangeran Nepal itu. Akan tetapi
penjagaan terhadap dirinya sungguh amat ketat, apa lagi di situ selalu ada
Hek-hwa Lo-kwi atau Hek-tiauw Lo-mo yang membayanginya. Selain itu, juga semua
perahu selalu dijaga sehingga tanpa memiliki perahu, tidak mungkin dia dapat
menyeberangi sungai.
Ada pun
sikap pangeran itu terhadapnya kini tak begitu merisaukan hati Hwee Li karena
pangeran yang amat mencintanya itu benar-benar tidak pernah mau mengganggunya.
Sikapnya amat manis, ramah dan mesra dan pangeran itu jelas berusaha keras
untuk menundukkan hatinya dengan memupuk segala macam kebaikan dan keramahan.
Hwee Li mengimbanginya dengan sikap manis sambil selalu mengincar kesempatan
untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu. Bahkan dia pandai menyimpan
penasaran hatinya sehingga dia pun tidak melontarkan rasa penasaran itu secara
kasar kepada Hek-tiauw Lo-mo.
Ketika
beberapa hari kemudian Liong Bian Cu mengundang makan Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi di taman bunga untuk menikmati bulan purnama bersama Hwee Li,
barulah dara ini dengan hati-hati mengajukan pertanyaan kepada Hek-tiauw Lo-mo.
Mereka telah selesai makan dan Hek-tiauw Lo-mo telah minum banyak sekali arak pada
malam hari itu.
"Ayah,
jangan Ayah merasa heran bahwa aku telah mendengar bahwa sesungguhnya Ayah
bukanlah ayah kandungku."
"Ehhh?"
Hek-tiauw Lo-mo menoleh kepada Hek-hwa Lo-kwi dengan alis berkerut, akan tetapi
kakek muka tengkorak yang tinggi kurus itu tidak perduli dan tenang-tenang saja
makan manisan angco.
"Sayalah
yang menceritakan kepadanya, Locianpwe," tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu
berkata. "Untuk melenyapkan rasa penasaran di hatinya."
Hek-tiauw
Lo-mo memandang kepada pangeran itu, tetapi lalu mengangguk-angguk dan minum
arak dari cawannya, kemudian meletakkan cawan kosong dan memandang kepada Hwee
Li sambil tersenyum lebar. "Bagus kalau engkau sudah tahu. Kalau pun
Pangeran tidak memberi tahu, sebetulnya aku pun hendak memberitahukan kepadamu,
Hwee Li. Engkau sudah dewasa dan sudah waktunya mengetahui riwayatmu."
"Ayah,"
kata Hwee Li tenang sambil memandang tajam.
Dia memaksa
diri menyebut ayah, padahal di dalam hatinya dia tidak sudi lagi menyebut kakek
yang kejam ini sebagai ayahnya. Semenjak dia bukan kanak-kanak lagi dan sudah
mengerti dan dapat membedakan antara baik dan buruk, dia memang sudah merasa
kecewa dan tak senang kepada ayahnya. Sikap ayahnya itulah yang membuat dia tidak
kerasan berdekatan dengan ayahnya itu.
"Ayah
telah memeliharaku sejak kecil dan untuk itu, aku berterima kasih sekali. Akan
tetapi, aku berhak untuk mengetahui siapa orang tuaku yang sebenarnya dan di
mana adanya mereka." Hwee Li menggunakan kekuatan batinnya untuk menekan
perasaan dan dia menelan kembali keinginannya untuk menangis. Kemudian dia
menambahkan, "Kurasa Ayah adalah seorang tokoh yang terlalu terkenal dan
gagah untuk tidak menyembunyikan semua perbuatan yang Ayah lakukan terhadap
orang tuaku itu."
"Ha-ha-ha!
Kim Hwee Li, engkau tentu sudah cukup mengenal watakku. Aku bukanlah orang yang
suka menyesalkan semua perbuatanku sendiri, dan aku bukan orang yang suka
mengingkari perbuatan sendiri. Aku berani berbuat dan berani pula bertanggung
jawab. Ha-ha-ha! Sekarang dengarlah penuturanku dan setelah kau mendengarnya,
terserah apa yang akan kau pikirkan terhadap diriku."
Dengan wajah
tenang namun hatinya penuh dengan segala macam perasaan, Hwee Li mendengarkan
penuturan kakek itu…..
Belasan
tahun yang lalu, dalam perantauannya setelah menemukan dan menundukkan
orang-orang di Pulau Neraka dan mengangkat diri sendiri menjadi ketua Pulau
Neraka, pada suatu hari Hek-tiauw Lo-mo singgah di benteng yang dipimpin oleh
Panglima Kim Bouw Sin yang terkenal sebagai seorang panglima yang suka
berhubungan dengan orang-orang berilmu tinggi di dunia kang-ouw. Karena
tertarik akan berita bahwa Kim Bouw Sin amat menghormati orang-orang kang-ouw,
maka Hek-tiauw Lo-mo singgah di benteng itu. Benar saja, Panglima Kim Bouw Sin
menyambutnya penuh penghormatan, bahkan lalu mengadakan pesta untuk menyambut
tamu agung ini. Di dalam pesta itu, Panglima Kim Bouw Sin berkenan untuk
menghibur tamunya dengan tari-tarian yang dilakukan oleh seorang selirnya yang
terkasih. Selir ini cantik sekali dan masih muda belia, seorang ahli menari
yang amat pandai.
Sebenarnya,
Hek-tiauw Lo-mo pelarian dari Korea itu, biar pun pernah menjadi raja
orang-orang liar, bahkan pernah mempunyai kebiasaan makan daging manusia, amat
kejam dan membunuh orang seperti membunuh lalat saja, dia bukan termasuk
seorang laki-laki yang lemah terhadap nafsu birahi. Akan tetapi, dalam keadaan
setengah mabuk melihat selir panglima itu menari-nari dengan tubuh yang lemah
gemulai, dengan dada montok penuh karena wanita muda ini mempunyai anak yang
baru tiga bulan usianya, Hek-tiauw Lo-mo menjadi tergila-gila, dan pada malam
hari itu, tanpa pamit, lenyaplah Hek-tiauw Lo-mo dari dalam kamar itu, dan
bersama dia lenyap pula selir cantik itu bersama anaknya yang baru berusia tiga
bulan!
Panglima Kim
Bouw Sin terkejut sekali, akan tetapi melihat betapa tamunya yang seperti
raksasa itu dapat menculik selir dan anaknya, melarikan diri dari sebuah
benteng yang terjaga ketat, tahulah dia bahwa tamunya itu lihai sekali. Dan sebagai
seorang panglima yang bercita-cita besar, yang ingin mengambil hati orang-orang
berilmu di dunia kangouw, Panglima Kim Bouw Sin tidak mau ribut-ribut tentang
penculikan ini, sungguh pun diam-diam dia menggerakkan orang-orangnya untuk
mencari tanpa hasil.
Selir muda
yang cantik itu menangis ketika dibawa masuk ke rumah Hek-tiauw Lo-mo di Pulau
Neraka. Mula-mula dia menolak semua bujuk rayu raksasa itu, dan memilih mati.
Tetapi, ketika Hek-tiauw Lo-mo menangkap anaknya, menempelkan golok gergajinya
di leher anak yang baru berusia tiga bulan itu, wanita muda ini menyerah! Demi
menjaga nyawa anaknya, dia mau menyerahkan diri setelah Hek-tiauw Lo-mo
berjanji tidak akan mengganggu dan tidak akan membunuh anak itu, bahkan
mengambil anak itu sebagai anaknya sendiri. Barulah wanita muda itu menyerahkan
diri, penyerahan yang dilakukan dengan terpaksa dan dengan hati hancur.
Hek-tiauw Lo-mo, raksasa yang kasar itu, mempermainkan wanita itu di luar batas
kekuatan si wanita sehingga dalam waktu tiga bulan saja, wanita itu tidak kuat
bertahan dan tewas!
Walau pun
dia seorang liar dan kejam, namun Hek-tiauw Lo-mo merasa sebagai orang gagah,
maka dia pantang untuk menjilat janjinya sendiri. Setelah wanita itu meninggal
dunia, dia benar tidak membunuh anak itu dan memeliharanya sebagai anak
sendiri. Makin besar anak itu, makin sayanglah dia, apa lagi setelah anak
perempuan itu memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia kelak akan menjadi seorang
wanita yang cantik jelita seperti ibunya!
"Ha-ha-ha,
dan engkaulah anak itu, Hwee Li!" Hek-tiauw Lo-mo menutup ceritanya yang
dilakukan terang-terangan tanpa menyembunyikan sesuatu apa pun untuk
membuktikan ‘kegagahannya’.
"Melihat
engkau menjadi dewasa dan persis ibumu, tadinya aku mempunyai keinginan untuk
menarik engkau di sampingku sebagai pengganti ibumu yang kucinta sungguh. Akan
tetapi, setelah aku menjadi makin tua, aku kehilangan gairah terhadap wanita,
apa lagi setelah berjumpa dengan Pangeran Liong, aku lantas mengambil keputusan
untuk menyerahkan engkau kepadanya demi kebahagiaanmu, anakku!
Ha-ha-ha-ha-ha!"
Dapat
dibayangkan betapa muak, benci dan sakitnya hati Hwee Li mendengar semua itu.
Meski ayahnya mengaku cinta kepada ibunya, tetapi dia tahu bahwa akibat paksaan
ayah angkat atau ayah tirinya inilah maka ibunya sampai tewas. Dan
sesungguhnya, orang ini sama sekali tidak pantas dia sebut ayah, bahkan sebagai
ayah tiri sekali pun, karena ibunya menjadi isteri orang ini tidak secara suka
rela dan tidak syah, melainkan diculik dan dipaksa! Orang ini sama sekali bukan
ayahnya, bukan ayah angkat atau ayah tirinya, melainkan musuh besarnya,
pembunuh ibunya!
Panglima Kim
Bouw Sin? Dia teringat akan peristiwa pemberontakan lima enam tahun yang lalu.
Ketika itu, usianya baru kurang lebih sebelas tahun, akan tetapi dia sudah tahu
akan apa yang telah terjadi. Dia mendengar nama Panglima Kim Bouw Sin ini.
Bukankah itu panglima pembantu Jenderal Kao Liang yang kemudian memberontak dan
bersekutu dengan Pangeran Liong Khi Ong dan akhirnya panglima itu terbunuh?
Jadi ibunya dan ayahnya yang sebenarnya, ayah ibu kandungnya, semua telah mati?
Dia masih
penasaran dan bertanya dengan suara kering, "Dan ayah kandungku...?"
"Panglima
Kim Bouw Sin? Ha-haha, tentunya dia sekeluarga telah dihukum mati karena
memberontak. Jadi akhirnya engkau malah harus berterima kasih kepadaku, Hwee
Li. Karena andai kata aku tidak melarikan ibumu dan engkau ikut, tentu engkau
dan ibumu juga akan mengalami nasib yang sama, dihukum mati sebagai salah
seorang anggota keluarga pemberontak," kata Hek-tiauw Lo-mo.
Dengan muka
pucat akan tetapi tidak begitu kentara karena taman itu hanya diterangi oleh
sinar bulan purnama yang sudah membuat segala sesuatu nampak pucat, Hwee Li
berkata lirih, "Kalau begitu, engkau bukan ayahku, Hek-tiauw
Lo-mo..."
Pangeran
Liong Bian Cu menyentuh tangan Hwee Li dan berkata, "Moi-moi, jangan
bilang begitu. Betapa pun juga, Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo adalah ayah tirimu
dan dia sudah memeliharamu sejak kecil, mendidikmu dengan segala macam ilmu.
Aku akan selalu menganggap dia sebagai ayahmu."
Pikiran Hwee
Li bekerja. Dia melihat Hek-tiauw Lo-mo memandang tajam kepadanya dan di balik
pandang matanya itu terdapat ancaman hebat. Dia tahu bahwa kakek itu melakukan
semua ini dengan harapan untuk membonceng kemuliaannya kalau dia kelak menjadi
isteri Liong Bian Cu. Tentu saja kalau tidak diaku sebagai ayah, harapan kakek
itu menjadi hancur dan mungkin saja dia melakukan sesuatu yang akan merugikan
dirinya. Selagi dia masih berada di lembah itu, selagi dia masih mencari-cari
kesempatan untuk lolos, tidak baik kalau dia menanamkan kebencian dan ancaman
baru dalam diri Hek-tiauw Lo-mo.
"Tentu
saja, Pangeran. Aku tidak dapat melupakan segala kebaikan Ayah,” katanya sambil
minum araknya beberapa teguk. Dia lalu melirik ke arah Hek-tiauw Lo-mo dan
melihat kakek ini tertawa-tawa senang mendengar ucapannya itu.....
***************
Demikianlah,
Hwee Li yang bagaikan seekor burung telah terkurung dalam sangkar emas itu,
terjaga ketat dan sama sekali tidak melihat kesempatan sedikit pun untuk
melarikan diri, mulai menggunakan kecerdikannya. Tiap saat dia waspada dan
mencari lubang, dan hanya kecerdikannya saja yang membuat dia dapat menahan
segala kekhawatirannya dan bersikap biasa, bahkan ramah terhadap Pangeran Liong
Bian Cu, seolah-olah dia mulai setuju untuk menjadi isteri Pangeran Nepal ini.
Sering Hwee
Li termenung dan hatinya diliputi kedukaan dan kemarahan. Dia merasa benci
sekali kepada Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata adalah seorang musuh besar. Kini
lenyaplah harapannya untuk dapat tertolong oleh kakek itu. Semua orang yang
berada di lembah ini adalah musuh-musuhnya, dan Hek-tiauw Lo-mo merupakan musuh
utama malah, di samping Pangeran Liong Bian Cu.
"Ingatlah,
Moi-moi, engkau adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin dan engkau sudah
tahu betapa ayah kandungmu itu dahulu juga bersekutu dengan ayahku dan membantu
ayahku, Pangeran Liong Khi Ong. Maka, kalau sekarang engkau menjadi isteriku
dan membantuku, sungguh sudah tepat sekali. Orang tua kita bersahabat, dan
sekarang kita berjodoh, bukankah itu baik sekali?" Demikian antara lain
bujukan dari Pangeran Liong Bian Cu.
Akan tetapi
biar pun dia tidak mau membantah, di dalam hatinya dia sangat tidak senang.
Ayahnya adalah seorang pemberontak dan karena perbuatannya itu, seluruh
keluarga ayahnya binasa. Dia mengerti bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar,
dan tentu saja dia tidak sudi mengulang perbuatan yang salah itu, apa lagi
ditambah dengan pengorbanan dirinya menjadi isteri dari Liong Bian Cu yang
dibencinya.
Akan tetapi,
kesempatan yang dinanti-nantinya itu tidak kunjung datang. Penjagaan terlalu
ketat dan dia sama sekali tidak melihat kernungkinan untuk dapat meloloskan
diri melalui penyeberangan sungai. Satu-satunya jalan untuk dapat lolos
hanyalah dengan bantuan garudanya, tetapi kini garuda itu telah dikurung,
dijaga ketat dan kurungannya dikunci.
Hwee Li
sudah menggunakan akal untuk terus bersikap ramah kepada Liong Bian Cu sehingga
pergaulan di antara mereka sudah kelihatan akrab dan tidak asing lagi. Bahkan
dengan keramahannya itu, Hwee Li mengajak dia bercakap-cakap dan dengan gembira
Hwee Li menceritakan tentang kesenangannya menunggang burung garuda
melayang-layang di angkasa.
Mendengar
ini dan melihat sikap Hwee Li, Liong Bian Cu berkata, "Jangan khawatir,
kekasihku. Kelak kalau kita sudah menikah, aku pasti akan mengajakmu berpesiar
naik garuda itu."
"Ahhh,
mana mungkin? Burungku itu tentu akan dibawa pergi oleh Hek-tiauw Lo-mo.
Sekarang pun telah dikurungnya, aku khawatir burung itu akan sakit dan
mati."
"Ha-ha-ha,
kau tidak perlu khawatir. Ayahmu telah menyerahkan burung itu kepadaku dan ini
kunci kurungan itu selalu berada di tanganku. Dan aku sudah menyuruh para
pemelihara burung itu baik-baik, memberi makan dan minum secukupnya."
lnilah yang
ingin diketahui oleh Hwee Li dan dara ini cepat mengalihkan percakapan. Dia
kini sudah tahu bahwa kunci kurungan berada di tangan pangeran ini! Cukuplah
itu! Terbuka lagi jalan baginya untuk meloloskan diri. Kalau saja dia dapat
merobohkan Liong Bian Cu, merampas kunci itu dan membebaskan garudanya, tentu
dia akan dapat lolos dari situ menunggang garudanya!
Liong Bian
Cu benar-benar jatuh cinta kepada Hwee Li. Sikapnya baik sekali, dan pemuda ini
tidak pernah lagi memperlihatkan kekerasan, sungguh pun sikapnya mesra sekali.
Namun, dia sudah puas untuk menggandeng tangan Hwee Li, atau paling jauh dia
hanya mencium tangan dara itu, tidak berani bertindak lebih. Akan tetapi, Hwee
Li makin gelisah ketika hari yang ditentukan telah makin mendekat. Liong Bian
Cu sudah menentukan hari pernikahan mereka, dan tanpa disadari, dia telah
hampir sebulan berada di situ sehingga waktu pernikahan tinggal satu bulan
lagi!
Pada suatu
senja, Liong Bian Cu sibuk mencari-cari Hwee Li. Dara ini memang diberi
kebebasan untuk pergi ke mana saja di dalam lembah itu, karena Liong Bian Cu
merasa yakin bahwa tidak mungkin Hwee Li dapat meloloskan diri. Selain lembah
itu terkurung sungai lebar, juga terdapat banyak sekali penjaga di tepi sungai
sehingga andai kata Hwee Li hendak nekat menyeberang, dia akan ketahuan pula.
"Hwee
Li...!"
"Moi-moi,
di mana kau...?"
Liong Bian
Cu mencari-cari ke sana-sini sambil berteriak-teriak memanggil. Hatinya merasa
agak gelisah. Biar pun dia merasa yakin bahwa tidak mungkin dara itu dapat
meloloskan diri, namun setelah agak lama mencari-cari tanpa hasil, dia merasa
khawatir juga, khawatir kehilangan dara yang dicintanya itu. Akan tetapi
hatinya merasa lega ketika seorang pengawal memberi tahu bahwa dara yang
dicari-carinya itu tadi pergi ke sumber air di tempat yang agak tinggi di
sebelah belakang lembah.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment