Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 14
Liong Bian
Cu cepat pergi ke tempat itu. Dia tahu bahwa dara itu memang suka pergi ke sana
dan bahkan suka mandi di sumber air mancur itu, sungguh pun di dalam kamarnya
telah tersedia kamar mandi dan kolam. Membayangkan kekasihnya mandi di tempat
sunyi itu, jantungnya berdebar keras. Betapa sering dia harus menahan gelora
nafsunya kalau berhadapan dengan Hwee Li.
Nafsunya
mendorong untuk menubruk dan memeluk dara itu, seperti seekor harimau kelaparan
menubruk seekor domba muda. Akan tetapi cinta kasihnya melarangnya, karena dia
ingin menikmati penyerahan diri Hwee Li sebulatnya, dengan suka rela dan dengan
sikap yang membalas perasaan cintanya. Hampir tiap malam dia mimpi bermain
cinta dengan tunangannya itu. Mimpi yang.
Kini,
membayangkan Hwee Li mandi di sumber air, menimbulkan keinginan besar di
hatinya untuk mengintai dan melihat kekasihnya itu mandi. Setidaknya tentu dara
itu akan menanggalkan pakaian luarnya! Dengan hati-hati pangeran ini lalu
menghampiri sumber air, lalu menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak.
Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia mendengar suara kekasihnya
bersenandung dan mendengar suara air berkecipakan!
Sementara
itu, Hwee Li sejak tadi memang menanti munculnya Liong Bian Cu. Sudah
berhari-hari dia mengatur siasat ini. Siasat itu timbul ketika dia lewat di
lorong kecil yang menuju ke sumber air itu dan sebuah batu runtuh dari tebing
di sebelah kiri lorong dan hampir menimpanya. Dia melihat bahwa tebing itu
hampir longsor, tanahnya sudah retak-retak dan di atas tebing terdapat
sebongkah batu sebesar kepala gajah! Untung hanya batu sebesar kepala manusia
saja yang runtuh dan hampir menimpanya. Kalau batu besar itu yang runtuh, tentu
akan membawa semua batu yang berada di atas dan tepi tebing, dan dia akan
teruruk oleh batu-batu besar karena lorong di tempat itu terhimpit tebing dan
sempit sekali.
Peristiwa
itu menimbulkan siasat kepada Hwee Li yang amat cerdik. Berhari-hari dia
mempelajari keadaan tebing dan batu besar itu. Ternyata bahwa yang menahan batu
besar itu tidak sampai longsor ke bawah adalah sebatang pohon kecil yang tumbuh
di tebing, juga ada beberapa buah batu yang tidak begitu besar merupakan
pengganjal. Kalau pohon itu diambil, atau batu-batu kecil itu runtuh, tentu
pohon itu tidak kuat menahan dan batu besar itu akan runtuh ke bawah.
Dia mencari
akal dan mulailah dengan diam-diam dia menggali dan melubangi tanah di atas
tebing, tepat di bawah batu besar itu, menyingkirkan beberapa batu pengganjal
dengan hati-hati sekali. Pekerjaan ini dilakukannya secara diam-diam selama
beberapa hari. Kemarin, ketika seorang pegawal melihatnya dengan heran di situ,
Hwee Li cepat menangkap seekor jengkerik dan bermain-main dengan binatang itu
sehingga pengawal yang melihatnya di situ mengira bahwa dara remaja tunangan pangeran
itu mencari jengkerik dan bermain-main seperti seorang anak-anak saja. Dan
memang dara remaja itu masih bersikap lincah seperti anak kecil!
Setelah
membuat persiapan secara menyakinkan, Hwee Li lalu mengikatkan tali pada batang
pohon kecil yang kini seolah-olah merupakan pengganjal utama bagi batu besar
tadi, serta menyembunyikan tali panjang itu melalui belakang batu-batu besar,
terus menurun dan disembunyikan di dekat sumber air. Dan pada senja hari itu,
dia sengaja mandi di situ. Meski dia mendengar teriakan-teriakan suara Liong
Bian Cu memanggil manggilnya, dia sengaja tidak menjawab dan membiarkan
pangeran itu mendatangi sumber air.
Liong Bian
Cu juga bukan seorang yang bodoh. Begitu dia tiba di luar lorong dan mengintai
dari jauh, dia melihat dara itu duduk di bawah pancuran air dan benar saja
hanya memakai pakaian dalam, akan tetapi dara itu kelihatan tegang dan tidak
mandi! Dan dara itu bersenandung sambil matanya diarahkan ke bawah sumber air,
seolah olah menanti kedatangannya! Dia teringat bahwa dia tadi telah
menggunakan khikang ketika memanggil-manggil. Mustahil kalau gadis itu tidak
mendengar panggilannya. Akan tetapi gadis itu tidak pernah menjawab. Dan kini
Hwee Li seolah-olah menantinya, kedua tangannya disembunyikan di dalam air yang
membentuk kolam jernih di bawah pancuran. Air terjun kecil itu datang dari
sumber air dari batu-batu di atas pancuran. Apa yang akan dilakukan gadis itu?
Agaknya akan menyerangnya lagi, pikir pemuda itu. Demikian mencurigakan
sikapnya.
Akan tetapi,
dia tidak tahu bahwa sepasang mata yang tajam sekali dari Hwee Li telah dapat
melihatnya ketika dia menyelinap di balik pohon dan mengintai. Hwee Li juga maklum
akan kecerdikan Liong Bian Cu. Mengapa pemuda itu tidak terus naik melalui
lorong? Tentu timbul kecurigaannya, pikirnya. Tidak ada gunanya membujuk Bian
Cu untuk naik. Satu-satunya jalan adalah memancingnya naik melalui lorong itu
dan dia tahu umpan terbaik untuk memancingnya, yaitu bukan lain adalah tubuhnya
sendiri.
Maka, dengan
sikap biasa, setelah pura-pura menengok ke sana-sini untuk meyakinkan bahwa di
sekitar tempat itu tidak ada orang, Hwee Li lalu mulai menanggalkan pakaian
dalamnya dengan berdiri membelakangi tempat di mana Bian Cu mengintai.
Nampaklah tubuh belakangnya yang mulus.
Melihat
adegan strip-tease (tarian menanggalkan pakaian) yang terjadi di alam terbuka
ini, Liong Bian Cu berkali-kali menelan ludahnya dan matanya tidak pernah berkedip
satu kali pun, pandang matanya melotot seolah-olah dia hendak menelan tubuh itu
bulat-bulat dengan sinar matanya! Liong Bian Cu bukanlah seorang pemuda hijau.
Tidak, dia
adalah seorang pangeran dan di Nepal sudah biasa bagi seorang pangeran untuk
mengambil selir sebanyak mungkin. Dia sudah banyak bergaul dengan wanita wanita
cantik, akan tetapi belum pernah dia jatuh cinta seperti yang dirasakannya
sekarang terhadap Hwee Li. Kini melihat dara yang dicintanya itu, yang
dirindukannya siang malam, melepas busana di depan matanya, tentu saja membuat
dia menjadi seperti cacing terkena abu panas!
Lebih-lebih
lagi ketika dengan gerakan tanpa disengaja Hwee Li miringkan tubuhnya sehingga
nampak dari samping sebagian dari bukit dadanya, darah Bian Cu tersirap dan
seperti terkena pesona, terkena sihir yang amat kuat. Dengan semangat seperti
terbang meninggalkan tubuhnya, kedua kakinya melangkah ke dalam lorong dan
matanya masih tanpa berkedip memandang ke arah tubuh itu. Dia seperti terbetot
oleh kekuatan rahasia, kekuatan yang mengandung semberani, yang membuat kedua
kakinya bergerak dan berjalan memasuki lorong menuju ke tempat Hwee Li.
Hwee Li yang
memutar tubuh miring tadi melirik dan ketika melihat Bian Gu memasuki lorong,
dia merasa betapa jantungnya berdebar keras sekali. Dia menanti sampai pangeran
itu tiba tepat di bawah batu besar, kemudian tiba-tiba dia menarik tali yang
dipegangnya sejak tadi, mengerahkan seluruh tenaganya.
“Braakkk...
bruuuuukkkkk...!”
Suara ini
disusul suara hiruk-pikuk saat batu sebesar gajah itu menggelinding menuruni
tebing, membawa batu-batu lainnya ikut pula runtuh dan longsor! Pohon kecil itu
tadi digerakkan oleh tali dan jebol, tidak kuat lagi menahan batu besar dan
karena sebelah bawah batu sudah digerowongi, maka tanpa dapat dicegah lagi batu
itu menggelinding turun.
Liong Bian
Cu terkejut bukan main, berteriak keras dan berusaha untuk menyingkir. Akan
tetapi, dia tidak mungkin dapat meloncat ke kanan atau kiri yang merupakan
tebing tinggi, maka jalan satu-satunya baginya hanya meloncat ke belakang.
Namun, gerakannya kurang cepat dan biar pun dia berhasil menghindarkan diri
dari tindihan batu sebesar gajah itu, dia tidak dapat terhindar dari hantaman
batu-batu kecil lainnya yang datang bagaikan hujan. Dia berteriak lagi,
terpelanting dan tubuhnya ditimpa banyak batu yang menguruknya. Debu mengebul
tinggi dan suara hiruk-pikuk dari batu batu yang runtuh itu terdengar sampai
jauh.
Sementara
itu, dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Hwee Li sudah cepat mengenakan
kembali pakaiannya dan dia lalu berloncatan menghampiri tumpukan batu. Dia
melihat sebelah kaki dan sebelah tangan Bian Cu tersembul dari tumpukan batu.
Dia bergidik ngeri, mengira bahwa tentu pemuda ini telah tewas.
Dan memang
demikianlah perhitungannya. Kalau Bian Cu mati, dia tidak lagi terancam bahaya
untuk dipaksa menjadi isterinya. Dan banyak kemungkinan dia akan selamat.
Pertama, orang-orang tidak akan tahu bahwa kematian Bian Cu disebabkan oleh
dia. Kedua, kalau dia dapat membebaskan garuda, dia akan dapat meloloskan diri
dari tempat itu. Ketiga, andai kata dia tidak dapat membebaskan garuda, setelah
pangeran itu mati, orang-orang di lembah itu tentu tidak membutuhkan lagi dia
dan mungkin saja dia dibiarkan lolos dari situ. Semua kemungkinan itu tidak mungkin
ada selama Liong Bian Cu masih hidup!
Cepat dia
berusaha mencari kunci kurungan garuda yang menurut pemuda itu berada di
sakunya. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan, “Apa yang terjadi?
Minggir kau!” dan tubuh Hwee Li terdorong ke samping.
Dara ini
terkejut sekali melihat seorang kakek bermantel merah sudah berada di situ.
Dorongan dari jarak jauh yang dilakukan oleh Ban-hwa Sengjin, kakek itu, amat
hebat sehingga Hwee Li terdorong mundur. Kini, dengan kecepatan dan tenaga yang
luar biasa, kakek itu membongkar batu dan melempar-lemparkan batu yang menindih
tubuh muridnya. Tubuh itu penuh dengan luka-luka dan berdarah.
Ban Hwa
Sengjin memondong tubuh muridnya dan lari cepat sekali menuju ke gedung di
tengah lembah. Hwee Li berdiri bingung. Kunci itu belum berhasil dia temukan.
Akan tetapi, selagi semua orang sibuk mengurus Liong Bian Cu, sebaiknya dia
berusaha untuk membebaskan garudanya. Maka berlarilah dia menuju ke taman di
belakang gedung untuk menuju ke tempat di mana garuda itu dikurung, sebab
selama ini dia telah menyelidiki dan tahu bahwa burung itu dikurung di sudut
taman di belakang gedung.
Tetapi, baru
saja dia muncul, bukan pengawal-pengawal yang menyambutnya dan yang sudah dia
rencanakan untuk dirobohkan semua baru dia akan berusaha membebaskan burungnya.
Yang berdiri di situ adalah Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi! Hwee Li maklum
bahwa terhadap dua orang kakek ini, percuma saja kalau dia melawan. Maka dengan
suara dibuat gugup dia bertanya, “Bagaimana keadaan Pangeran...?”
Akan tetapi
sebagai jawaban, dua orang kakek itu tiba-tiba menerjangnya!
Hwee Li
terkejut dan berusaha untuk mengelak dan membela diri, namun diserang oleh dua
orang sakti itu secara berbareng, tentu saja dia tak mungkin dapat
menyelamatkan diri dan sebuah totokan mengenai pundaknya, membuat dia roboh
terguling, Hek-tiauw Lo-mo mengempit tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam
gedung.
Dapat
dibayangkan betapa kaget, kecewa, dan penasaran rasa hati Hwee Li ketika dia
dibawa masuk ke dalam kamar besar mewah itu, dilempar ke atas kursi oleh
Hek-tiauw Lo-mo dan dia melihat Liong Bian Cu sedang duduk di atas pembaringan
dengan muka pucat dan masih nampak obat kuning di atas luka-luka di seluruh
tubuhnya. Akan tetapi dia telah memakai baju bersih dan sinar matanya memandang
lembut kepada Hwee Li sedangkan mulutnya tersenyum.
“Kau...
kau...?” Hwee Li menggagap, tetapi melihat senyum itu melebar dia melanjutkan,
“Kau tidak apa-apa, Pangeran...?”
Tiba-tiba
Hek-tiauw Lo-mo membentaknya, “Dasar anak durhaka! Engkau hampir saja
membunuhnya dan untung Ban Hwa Sengjin masih sempat menyelamatkannya karena
beliau kebetulan datang! Kalau tidak, dan Pangeran sampai meninggal dunia,
tentu kau sudah kami bunuh sejak tadi!”
“Locianpwe,
jangan bicara begitu...!” Mendadak pangeran itu berkata, suaranya lemah
menandakan bahwa peristiwa tersebut benar-benar sangat berbahaya baginya dan
membuatnya menderita, sungguh pun tidak sampai berbahaya bagi nyawanya. “Hwee
Li tidak bersalah!”
“Muridku,
Pangeran yang mulia. Saya sendiri melihat dia berada di sana ketika Paduka
tertindih batu-batu itu, bagaimana Paduka dapat mengatakan bahwa dia tak
bersalah?” Terdengar Ban Hwa Sengjin yang duduk di dalam kamar itu pula
menegur, mata kakek ini dengan tajamnya menatap wajah Hwee Li.
“Tidak,
Suhu. Dia tidak bersalah dan aku perintahkan agar dia dibebaskan dari totokan.
Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, bebaskan dia!”
Tiga orang
kakek itu saling pandang, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menghampiri dara itu dan
membebaskan totokannya. Hwee Li cepat menghampiri pangeran itu dan duduk di
tepi pembaringan, wajahnya pucat dan matanya terbelalak. Dia maklum bahwa
dengan satu gerakan saja dari pangeran itu, tiga orang kakek sakti itu tentu
akan turun tangan membunuhnya.
“Pangeran,
maafkan saya. Akan tetapi saya melihat tali mengikat pohon kecil itu. Tentu ada
yang menarik tali itu merobohkannya sehingga batu besar itu menggelinding
turun!” kata Hek-hwa Lo-kwi.
“Pangeran,
harap Paduka tidak membahayakan diri sendiri dan melindungi orang yang
berdosa,” Ban Hwa Sengjin juga memperingatkan.
Liong Bian
Cu memandang wajah dara itu dan tersenyum, lalu mengangkat kedua tangannya ke
atas dan menggoyang-goyangnya, akan tetapi dia menyeringai karena lengan
kirinya terasa nyeri sekali.
“Jangan
gerakkan lengan kiri Paduka dulu, baru saja sambungan tulang pundak saya
benarkan,” kata Ban Hwa Sengjin.
“Sam-wi
(Anda Bertiga) harap jangan salah sangka. Sungguh peristiwa itu terjadi karena
kesalahan saya sendiri. Tali itu adalah saya sendiri yang mengikatnya. Saya
melihat tempat itu dapat menjadi perangkap yang baik, perangkap rahasia untuk
melindungi diri kalau-kalau ada musuh berani datang. Hwee Li cerdik sekali, dia
membantuku dan kami sedang mengatur perangkap itu. Akan tetapi, ketika aku mendaki
di bawah tebing untuk mencarikan tempat rahasia untuk menaruh tali, dan
berpegang pada pohon itu, pohon itu tidak kuat, jebol dan aku jatuh ke bawah,
lalu batu-batu itu menimpa turun.”
“Ah,
tapi...“ Ban Hwa Sengjin hendak membantah.
Liong Bian
Cu mengangkat tangan kanan ke atas menyetopnya. “Sudahlah, Koksu, aku sudah
bicara. Peristiwa itu hanya kecelakaan dan aku melarang siapa pun untuk
menggangu kekasihku dengan pertanyaan-pertanyaan tentang itu. Sekarang, harap
kau ceritakan tentang perkembangan usaha kita.”
Kakek
bermantel merah itu kembali menoleh ke arah Hwee Li, menarik napas panjang dan
berkata, “Baiklah, Pangeran. Saya baru saja mengunjungi Gubernur Ho-nan dan dia
sudah menyanggupi untuk melindungi tempat ini dan dia pun setuju kalau tempat
ini dijadikan sebagai markas untuk sementara. Selain itu, sesuai dengan
perintah Paduka, Gitananda sedang pergi menjemput tawanan itu untuk dipindahkan
ke sini.”
“Bagus!
Memang sebaiknya puteri itu berada di sini. Di sini dia lebih aman dan terjaga,
selain itu, juga dia dapat menjadi teman tunanganku. Betapa pun juga, dialah
orangnya yang dapat mengajarkan kepada Hwee Li tentang tata susila kerajaan dan
hal-hal lain yang patut diketahui oleh seorang calon puteri kerajaan.”
Hwee Li
tidak turut bicara sungguh pun semua percakapan tidak ada yang terlewat oleh
perhatiannya. Dia masih merasa tegang dan terkejut, dan diam-diam dia merasa
heran sekali mengapa pangeran ini menolongnya, padahal sudah jelas pangeran ini
tentu tahu bahwa peristiwa itu sama sekali bukan kecelakaan, namun usahanya
untuk membunuh Liong Bian Cu.
Setelah
percakapan itu selesai, Liong Bian Cu lalu berkata, “Sekarang harap Sam-wi
meninggalkan kamar ini. Aku lelah dan ingin beristirahat, biar Hwee Li
menemaniku.”
Kembali tiga
orang itu bangkit dan memandang dengan ragu-ragu. “Maaf, Pangeran. Apakah itu
bijaksana?” tanya Ban Hwa Sengjin.
“Berbahaya
sekali membiarkan dia di sini sendiri bersama Paduka!” berkata Hek-tiauw Lo-mo
sambil memandang ke arah dara itu dengan mata melotot. Agaknya dia masih marah
sekali atas perbuatan ‘bekas anaknya’ itu.
Akan tetapi
pandang mata Liong Bian Cu menjadi keras. “Siapa pun tidak boleh menilai calon
isteriku! Pergilah kalian!” bentaknya.
Ban Hwa
Sengjin dan dua orang kakek itu lalu menjura dan pergi. Biar pun Ban Hwa
Sengjin itu seorang Koksu Nepal, seorang yang berkedudukan tinggi, dan juga
guru dari Liong Bian Cu, akan tetapi betapa pun juga, terhadap pemuda itu dia
adalah seorang petugas terhadap atasannya, maka sikapnya selalu menghormat dan
taat.
Setelah
mereka pergi dan pintu kamar ditutupkan dari luar dengan amat hati-hati oleh
seorang pelayan yang atas isyarat Pangeran Liong Bian Cu lalu ke luar lagi,
mereka kini tinggal berdua saja di dalam kamar itu. Hwee Li lalu mundur dan
duduk di atas bangku, agak jauh dari pembaringan di mana Liong Bian Cu duduk.
Gadis itu mengangkat muka dan memandang Bian Cu. Pemuda ini kelihatan pucat,
mukanya hampir penuh dengan warna-warna kuning, yaitu obat cair yang
dipergunakan oleh Ban Hwa Sengjin untuk mengobati luka-lukanya. Sepertinya obat
itu manjur bukan main karena luka-luka itu kelihatan sudah mengering.
Liong Bian
Cu juga memandang kepadanya, kemudian mulutnya tersenyum dan dia mengejapkan
sebelah matanya, seolah-olah memberi tanda kepada seorang sekutunya. Melihat
sikap ini, Hwee Li merasa makin heran. “Pangeran, mengapa engkau malah
menolongku?” tanyanya, tidak tahan dia melihat sikap itu.
Kalau
pangeran itu marah-marah tentu dia akan menerimanya dengan tenang saja, akan
tetapi melihat pangeran itu bersikap demikian baik terhadap perbuatannya yang
hampir saja mengakibatkan pangeran ini tewas, benar-benar sukar dapat
diterimanya.
“Kenapa? Tentu
saja karena aku cinta padamu, Hwee Li! Dan mengapa engkau tadi bermaksud
membunuhku?”
“Perlukah
kujawab itu?”
“Tentu saja.
Karena aku merasa penasaran kalau tidak mendengar sebabnya.”
“Karena aku
membencimu, Pangeran.”
“Ahhh!
Engkau membenciku karena aku mencintamu?”
Hwee Li
menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku belum segila itu. Akan tetapi aku benci
kepadamu oleh karena engkau memaksa aku untuk menjadi isterimu, karena engkau
mengurung aku di sini, karena biar pun engkau bersikap ramah dan baik, akan
tetapi pada hakekatnya engkau melakukan penekanan dan paksaan kepadaku.”
“Hemmm,
semua itu kulakukan demi cintaku padamu, Hwee Li. Tahukah engkau bahwa sebagai
seorang pangeran, belum pernah ada wanita yang bagaimana pun menolak cintaku?
Dan engkau tidak saja menolak, bahkan sudah beberapa kali engkau nyaris
membunuhku!”
“Dan aku
akan masih terus berusaha membunuhmu!” kata Hwee Li terus terang.
“Ha-ha-ha,
sikapmu inilah yang membuat aku semakin tergila-gila dan semakin cinta
kepadamu, sayang. Kalau saja engkau menangis merengek-rengek minta ampun, atau
engkau merayuku, agaknya cintaku akan menipis. Akan tetapi tidak, engkau
melawan, engkau menggunakan kecerdikan, engkau tabah, berani, cerdik dan gagah.
Itulah sebabnya maka aku mau mengorbankan apa saja demi untuk mendapatkan
cintamu.”
“Aku tidak
akan mencintamu, Pangeran.”
“Ha-ha-ha,
kita sama lihat saja nanti. Dengan cintaku yang murni, dengan kebaikan kebaikan
yang kulimpahkan, pada suatu hari aku berharap akan dapat mencairkan kekerasan
hatimu, dewiku, dan aku akan mengecap kenikmatan dan kebahagiaan itu sebagai
hasil jeri payahku selama ini.”
“Aku akan
berusaha untuk minggat!”
Pangeran itu
menggeleng kepalanya. “Tidak mungkin, Hwee Li. Dan bukankah engkau senang
tinggal di sini? Bukankah di sini semua orang mentaati perintahmu dan segala
keinginanmu dapat terpenuhi? Bukan itu saja, engkau bahkan akan memperoleh
seorang kawan yang tentu akan menyenangkan hatimu, seorang puteri yang cantik
jelita dan terkenal. Dia akan diantar oleh Gitananda ke sini.”
“Siapakah
dia?”
“Dia adalah
Puteri Syanti Dewi, Puteri Bhutan.”
Diam-diam
Hwee Li menjadi terkejut sekali mendengar nama ini. Biar pun dia sendiri tidak
pernah mengenal puteri itu, namun nama puteri itu sudah kerap kali didengarnya.
Gurunya, Nyonya Kao Kok Cu yang dulu bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng itu, sering
kali menceritakan tentang Puteri Syanti Dewi ini yang menjadi kakak angkat
gurunya. Akan tetapi di depan Pangeran Nepal itu, dia bersikap tenang saja.
“Apakah dia
itu tamumu?” tanyanya.
“Bukan, dia
adalah tawanan kami. Dia secara kebetulan dapat tertawan oleh Gitananda, selama
ini disembunyikan karena banyak orang pandai mencarinya, dan kini atas
perintahku, puteri itu di bawa ke sini untuk menemanimu.”
“Dia kau
tawan pula? Pangeran, memang tepatlah kalau dia yang menjadi jodohmu. Engkau
pangeran dan dia puteri. Pula, bukankah Nepal dan Bhutan itu bertetangga?”
“Ha-ha-ha,
mana mungkin begitu? Aku cinta padamu, Hwee Li. Dari kenyataan bahwa Puteri
Bhutan itu kutawan, jelas membuktikan bahwa Bhutan dan Nepal bukanlah sahabat.
Mungkin saja kelak dia akan menjadi selirku, tapi ahh, sementara ini, aku tidak
ingin memandang atau membicarakan wanita lain kecuali dirimu, sayang.”
Sejak
peristiwa itu, biar pun sikap pangeran itu masih biasa, masih ramah kepadanya,
namun Hwee Li maklum bahwa penjagaan terhadap dirinya makin diperkuat. Dia
selalu dibayangi, kalau tidak oleh Hek-tiauw Lo-mo tentu oleh Hek-hwa Lo-kwi
atau para pembantu lain. Dia merasa penasaran dan kebenciannya terhadap Liong
Bian Cu tidak berkurang. Biar pun dia telah mencela dirinya sendiri sebagai
orang kurang mengenal budi, mengakui sendiri bahwa pangeran itu benar-benar
cinta kepadanya, tidak sakit hati biar pun nyaris tewas oleh perbuatannya,
namun tetap saja dia tidak mempunyai sedikit pun perasaan cinta kepada pangeran
itu. Bahkan dia merasa makin gemas karena dia menuduh pangeran itu sengaja
hendak ‘melepas budi’ agar dia merasa berhutang budi kepadanya.
Dan memang
dia merasa canggung sekali, sukar baginya kini untuk memperlihatkan sikap kasar
terhadap pangeran yang selalu baik kepadanya itu. Dan ini berbahaya, dia tahu
akan hal itu. Merasa betapa kebenciannya makin mengendur, Hwee Li menjadi takut
dan dia memperkuat pula perasaan benci itu sambil mengingat satu hal pokok,
yaitu bahwa kemerdekaannya dihalangi oleh Liong Bian Cu.
Pada
keesokan harinya, benar saja Gitananda muncul bersama Syanti Dewi. Seperti
telah kita ketahui, Gitananda berhasil menculik Syanti Dewi ketika terjadi
perebutan antara Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su karena salah duga sehingga
Syanti Dewi tidak terlindung dan mudah diculik dan dilarikan oleh Gitananda.
Karena maklum bahwa banyak orang pandai yang akan mengejarnya untuk merampas
kembali Syanti Dewi, maka Gitananda lalu menyembunyikan puteri itu di suatu
tempat dalam hutan besar, menyuruh anak buahnya menjaga dengan ketat dan dia
hanya melaporkan saja kepada koksu, yaitu atasannya. Kemudian koksu
menceritakan hal itu kepada muridnya, yaitu Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya
Liong Bian Cu memerintahkan agar puteri itu dipindahkan saja ke lembah Sungai
Huang-ho itu, selain untuk dapat menjaganya lebih kuat, juga puteri itu dapat
menemani tunangannya.
Setelah
Syanti Dewi yang kelihatan kurus dan agak pucat itu disambut oleh Liong Bian Cu
dengan sikap hormat dan disuruh antar ke kamarnya, Liong Bian Cu lalu mengajak
gurunya berunding. Sementara itu, Hwee Li yang sepintas lalu melihat puteri
itu, diam diam merasa kagum sekali. Benar cerita gurunya. Puteri Syanti Dewi
amat cantik jelita, sikapnya agung dan tenang. Menurut penuturan gurunya,
puteri itu tentu sudah berusia dua puluh tiga tahun lebih, akan tetapi
kelihatan seperti dara remaja belasan tahun saja. Hanya sikapnya, pandang mata
dan gerak-geriknya yang lemah lembut membayangkan bahwa puteri itu adalah
seorang wanita yang sudah matang, tenang, dan memiliki kepribadian yang amat
kuat.
Hwee Li lalu
mengunjungi kamar itu. Para penjaga yang berdiri di luar kamar dengan senjata
di tangan, cepat memberi hormat dan tak ada seorang pun berani menghalangi Hwee
Li memasuki kamar itu. Hwee Li dianggap sebagai tunangan pangeran dan tidak ada
seorang pun yang berani menentangnya, sungguh pun tidak akan ada pula yang
berani membantunya andai kata Hwee Li minta mereka membantu dia lolos dari
tempat itu. Mereka tahu bahwa sekali saja nona ini mengadu kepada pangeran,
tentu pangeran tak akan segan-segan untuk menghukum orang yang diadukan, atau
mungkin langsung membunuhnya seketika!
Hwee Li
memasuki kamar dan melihat puteri itu rebah telentang, menatap langit-langit
kamar dengan sikap termenung. Ada dua orang pelayan wanita duduk bersimpuh di
atas lantai. Melihat Hwee Li, dua orang pelayan itu cepat memberi hormat.
“Keluarlah
kalian berdua dan jangan masuk kalau tidak kami panggil!” kata Hwee Li dengan
sikap kereng.
Dua orang
pelayan itu menghormat, lalu keluar dari dalam kamar. Mereka bersama para
penjaga berkelompok di luar pintu, bingung dan khawatir. Mereka diperintahkan
untuk menjaga sang puteri, akan tetapi mereka disuruh keluar oleh tunangan
pangeran dan mereka tidak berani membantah karena sudah berkali-kali ditekankan
oleh pangeran dan para pembantunya, bahwa tunangan pangeran itu harus ditaati
dan jangan sampai marah. Pula, mereka semua tahu bahwa tunangan pangeran itu
adalah seorang dara yang memiliki tangan baja, memiliki kepandaian tinggi dan
sekali pukul saja dapat menghancurkan kepala mereka!
“Bibi Syanti
Dewi...!” Hwee Li melangkah maju dan menjura ke arah wanita yang masih rebah
dan menyambut kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik itu.
Syanti Dewi
mengerutkan alisnya dan bangkit duduk. Dia tidak pernah diganggu selama diculik
oleh Gitananda, dan dia tahu bahwa Gitananda adalah kaki tangan Kerajaan Nepal,
bahwa dia terjatuh ke tangan musuh negaranya. Maka, biar pun dia merasa berduka
karena putus harapannya bertemu dengan kekasihnya, Ang Tek Hoat, namun dia tahu
bahwa dia aman berada di tangan orang-orang Nepal ini. Hanya karena terlalu
berduka memikirkan Tek Hoat, maka dia tidak suka makan, kurang tidur sehingga
badannya lemah dan mukanya pucat.
Kini,
setelah disambut oleh Pangeran Liong Bian Cu yang dia dengar adalah cucu Raja
Nepal, dia tahu bahwa dia akan dijadikan sandera. Maka tentu saja dia terkejut
dan terheran-heran melihat munculnya seorang dara remaja yang sangat cantik dan
yang menyebutnya bibi ini. Melihat sikap dara cantik ini terhadap para pelayan,
dan melihat betapa para pelayan mentaati perintahnya, dia maklum bahwa dara ini
tentu orang penting yang besar kekuasaannya di tempat itu. Ditatapnya wajah
Hwee Li dengan tajam dan penuh selidik.
“Engkau
siapakah, Nona?” tanyanya sambil bangkit duduk.
“Namaku Hwee
Li,” jawab Hwee Li sambil tersenyum dan duduk di atas pembaringan di dekat
Puteri Bhutan itu. “Engkau tentu tak mengenalku dan merasa heran mengapa aku
menyebutmu bibi. Ketahuilah, Bibi Syanti Dewi, bahwa guruku adalah adik
angkatmu yang bernama Lu Ceng atau Candra Dewi.”
Dari
subo-nya, dara ini memang sudah mendengar banyak tentang riwayat subo-nya
bersama Syanti Dewi. Candra Dewi adalah nama yang diberikan oleh Puteri Bhutan
ini kepada Ceng Ceng yang menjadi adik angkatnya.
Mendengar
disebutnya nama Ceng Ceng, Syanti Dewi terkejut dan gembira bukan main.
Wajahnya berseri dan dia meloncat turun dan berdiri di depan Hwee Li, langsung
saja memegang lengan dara itu dan bertanya, “Di mana dia? Di mana Candra Dewi?
Dan bagaimana engkau dapat berada di sini?”
Hwee Li
merasa kasihan melihat kegembiraan dan sinar mata penuh harapan dari puteri
itu. Dia menarik napas panjang dan menjawab lirih, “Aku tidak tahu di mana
adanya Subo sekarang ini, Bibi. Dan aku sendiri pun menjadi seorang tawanan di
sini.”
“Ahhhhh...!”
Syanti Dewi
masih memegang tangan Hwee Li, tetapi dia kini duduk kembali di samping dara
itu, memandang dengan sinar mata khawatir. Seketika dia sudah melupakan keadaan
dirinya sendiri karena semua perhatiannya tercurah kepada dara murid adik
angkatnya itu, mengkhawatirkan keadaan Hwee Li yang menjadi tawanan.
Demikianlah memang watak Puteri Bhutan ini, mudah melupakan penderitaan sendiri
akan tetapi selalu peka terhadap penderitaan orang lain.
Hwee Li
kemidian menceritakan keadaannya dan bagaimana dia bisa menjadi seorang tawanan
di tempat itu, sungguh pun dia, kelihatan sebagai seorang tamu agung yang
dihormati dan ditaati oleh para pengawal dan pelayan. Ketika Syanti Dewi
mendengar bahwa dara remaja yang cantik jelita ini akan dijadikan isteri oleh
Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Terkejut, heran dan juga kagum. Tentu
ada puluhan, bahkan ratusan ribu gadis yang ingin menjadi isteri Pangeran Nepal
itu, yang akan menyambut pinangan pangeran itu dengan penuh kebanggaan dan
kegirangan hati. Akan tetapi, dara remaja murid Ceng Ceng ini kelihatan sama
sekali tidak gembira!
“Aku benci
dia, Bibi! Aku ingin membunuhnya dan nyaris aku berhasil, akan tetapi dia
memang lihai sekali, apa lagi dia dibantu oleh Hek-hwa Lo-kwi yang sakti, belum
lagi gurunya yang amat lihai, Ban Hwa Sengjin yang mempunyai banyak pembantu.
Bahkan ayahku sendiri kini juga menjadi pembantunya.”
“Ayahmu?”
Syanti Dewi bertanya heran. Bagaimana ayah seorang dara yang tidak suka dipaksa
menjadi jodoh pangeran itu malah menjadi pembantu pangeran itu?
“Ya, ayahku
adalah Hek-tiauw Lo-mo...!”
“Ahhhhh...!”
Bukan main
terkejutnya hati Syanti Dewi mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah mendengar
dan mengenal baik nama ini, raksasa jahat yang banyak mengambil peran dalam
keributan pemberontakan dua orang Pangeran Liong dulu. Dara cantik jelita ini,
yang menjadi murid Ceng Ceng, adalah puteri dari majikan Pulau Neraka itu?
Sungguh mengherankan dan mengejutkan sekali. Dan mendengar bahwa dara ini
adalah puteri iblis itu, otomatis Syanti Dewi segera melepaskan pegangan
tangannya dan duduk agak menjauh.
Gerakan Syanti
Dewi ini tidak terlepas dari pandang mata Hwee Li. Dara itu menarik napas
panjang, lalu cepat berkata, “Harap Bibi jangan kaget. Hek-tiauw Lo-mo memang
kini menjadi pembantu utama dari Pangeran Nepal itu, dan Hek-tiauw Lo-mo juga
memaksaku untuk menjadi isteri Pangeran Liong. Justeru itulah yang dikejarnya.
Agar aku menjadi isteri Liong Bian Cu dan dia dapat membonceng kedudukanku dan
menjadi seorang yang mulia dan terhormat. Akan tetapi, aku tidak sudi...“
Syanti Dewi
mengerutkan alisnya yang berbentuk indah itu, lalu kembali mendekat dan
memegang tangan Hwee Li. Makin besar rasa iba di dalam hatinya terhadap dara
yang malang ini. Betapa banyaknya dara di dunia ini yang dipaksa oleh ayah
mereka dalam urusan perjodohan! Bukan hanya Hwee Li ini, juga dia sendiri
malah! Bukankah dia sudah memilih Tek Hoat sebagai calon jodohnya, akan tetapi
juga kini gagal karena ayahnya yang tidak menyetujui pemuda pilihannya itu
menjadi mantu?
Betapa
banyak gadis dari yang paling miskin sampai yang paling kaya, dari yang paling
rendah sampai yang paling tinggi kedudukannya, harus tunduk kepada ayah mereka
dalam urusan memilih jodoh! Dan betapa banyaknya hati yang hancur karena
paksaan harus menikah dengan orang lain. Dalam hal perjodohan, meski pun
berlainan sifatnya, dia merasa senasib dengan Hwee Li, maka timbullah rasa
sayang di dalam hatinya terhadap murid adik angkatnya ini.
“Hwee Li,
sungguh engkau patut dikasihani! Aku merasa heran sekali mengapa ayahmu sampai
hati memaksamu? Padahal, aku tahu bahwa ayahmu bukanlah orang biasa, melainkan
seorang tokoh besar yang amat terkenal dan berilmu tinggi...“
“Akan tetapi
dia jahat, Bibi. Jahat sekali dan aku sangat benci padanya! Aku pun ingin
membunuhnya kalau bisa!” Hwee Li mengepal tinju dan matanya mengeluarkan sinar berkilat.
Syanti Dewi
mengerutkan alisnya. “Hwee Li,” katanya dengan suara kereng. “Engkau adalah
murid adikku Candra Dewi, oleh karena itu engkau patut mendengarkan kata kataku
pula. Engkau telah menyeleweng dari kebenaran! Mana boleh seorang anak membenci
ayahnya sendiri, bahkan hendak membunuhnya?”
“Dia bukan
ayahku! Dia bukan ayah kandungku! Dia malah musuh besarku!” Hwee Li berseru dan
sepasang mata itu menjadi merah.
“Ehhh,
bagaimana pula ini, Hwee Li?” Syanti Dewi bertanya dan tiba-tiba saja Hwee Li
menangis tersedu-sedu.
Syanti Dewi
terkejut. Dia cepat memeluk dara itu dan Hwee Li menangis di atas dada puteri
itu. Hwee Li adalah seorang dara yang berhati keras seperti baja. Penderitaan
batin yang dideritanya selama ini, apa lagi ketika mendengar bahwa Hek-tiauw
Lo-mo bukan ayahnya, dan betapa seluruh keluarganya, yaitu keluarga Kim, telah
binasa, membuat batinnya tertekan oleh duka yang amat besar. Namun, di depan
orang-orang yang dibencinya di lembah itu, dia menggunakan kekuatan batinnya,
menggunakan kekerasan hatinya, untuk menahan tekanan batin itu.
Kini,
berhadapan dengan Syanti Dewi yang lemah lembut, yang bersikap begitu baik dan
penuh perasaan kepadanya, apa lagi mengingat bahwa puteri ini adalah bibi
gurunya, Hwee Li merasa seolah-olah menemukan tempat penumpahan segala derita
batinnya dan setelah kini bendungan itu dibuka, menangislah dia, sewajarnya
tangis yang amat memilukan hati sehingga Syanti Dewi yang lembut hati itu pun
tidak dapat pula menahan air matanya dan dia mengusap-usap rambut kepala Hwee
Li penuh rasa sayang dan iba.
Dia
membiarkan dara remaja itu menangis sepuasnya. Syanti Dewi sendiri bukanlah
seorang wanita tua, sama sekali bukan. Usianya baru dua puluh dua tahun, akan
tetapi pengalaman dan penderitaan hidup telah menggemblengnya sehingga kini
menghadapi Hwee Li yang baru berusia tujuh belas tahun ini, dia merasa
seolah-olah menjadi bibi atau ibu dara remaja ini.
Setelah
tangisnya mereda dan hatinya terasa ringan sekali setelah dia menangis
sepuasnya, Hwee Li lalu menceritakan apa yang didengarnya tentang Hek-tiauw
Lo-mo yang ternyata bukan ayahnya, bukan apa-apanya itu, dan tentang
keluarganya yang terbasmi karena dianggap sebagai keluarga pemberontak.
Syanti Dewi
mengangguk-angguk. “Aku telah mendengar tentang keluargamu itu. Aku mendengar
bahwa ayah kandungmu yang sesungguhnya, Panglima Kim Bouw Sin itu, memang telah
memberontak terhadap kerajaan. Betapa pun juga, sikapnya itu tentu ada
alasannya, dan biar pun oleh kerajaan dia dianggap berdosa, namun sebagai
manusia dia tidaklah sejahat seperti halnya Hek-tiauw Lo-mo yang terkenal
sebagai seorang manusia iblis itu. Tadi aku sudah merasa heran bagaimana
seorang dara seperti engkau, murid adik angkatku, juga dapat menjadi puteri
iblis Hek-tiauw Lo-mo. Kiranya engkau bukan puterinya! Hwee Li, engkau memiliki
kepandaian, engkau harus berusaha untuk meloloskan diri dari tempat berbahaya
ini!”
“Ahhh, tidak
mudah, Bibi.” Hwee Li lalu menceritakan keadaan lembah itu dan betapa semua
daya upayanya gagal. “Malah Liong Bian Cu sudah bersiap-siap, pernikahan akan
diadakan beberapa pekan lagi. Aku khawatir, Bibi, apa lagi melihat Bibi ditawan
pula. Aku harus dapat menolong Bibi dari tempat ini!”
“Tak perlu
engkau mengkhawatirkan diriku, Hwee Li. Pangeran Liong Bian Cu, sebagai cucu
Raja Nepal, adalah musuh dari negaraku. Dia menawanku tentu dengan maksud
menjadikan aku sebagai sandera untuk memukul negaraku. Tetapi engkau…, engkau
menghadapi bahaya langsung yang sudah makin dekat saatnya, maka kau harus dapat
lolos dari sini.”
Demikianlah,
dua orang wanita itu sekarang menjadi akrab sekali dan bercakap-cakap mencari
jalan untuk dapat lolos dari tempat itu. Akan tetapi, mereka akhirnya maklum
bahwa jalan untuk lolos sama sekali buntu. Agaknya, tanpa ada bantuan dari
luar, tidak mungkin bagi mereka untuk meloloskan diri. Akan tetapi Hwee Li
tidak putus harapan. Dia masih mempunyai harapan untuk lolos, yaitu pada saat
pernikahan di mana dia percaya tentu banyak hadir tokoh kangouw yang lihai.
Siapa tahu, di antara mereka itu terdapat orang-orang yang mau membantunya, dan
dia percaya pula bahwa orang orang seperti suhu-nya dan subo-nya, seperti Suma
Kian Bu si Siluman Kecil, Suma Kian Lee, dan orang-orang gagah lainnya tidak
akan tinggal diam kalau mendengar bahwa dia dipaksa menikah dengan Pangeran
Liong Bian Cu!
***************
Kita
tinggalkan dulu Syanti Dewi dan Hwee Li, dua orang wanita muda yang tertawan di
dalam lembah dan sama sekali tidak berdaya untuk meloloskan diri itu, dan mari
kita mengikuti perjalanan Jenderal Kao Liang bersama dua orang puteranya yaitu
Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han, yang bersama-sama dengan Ceng Ceng pergi menuju
ke kota Pao-ting. Seperti yang diceritakan oleh Ceng Ceng kepada ayah
mertuanya, dia sudah berjanji untuk saling bertemu di Pao-ting bersama suaminya
setelah dia dan suaminya berpisah dan melakukan penyelidikan untuk mencari
putera mereka secara berpencar.
Mereka tiba
di kota Pao-ting pada waktu senja. Menurut perjanjian antara suami isteri itu,
pertemuan di antara mereka di kota ini akan dilakukan esok hari. Karena itu,
Ceng Ceng kemudian mengajak ayah, mertua dan adik-adik iparnya untuk mencari
rumah penginapan.
Akan tetapi,
tiba-tiba seorang anak kecil, anak laki-laki yang usianya kurang lebih dua
belas tahun, seorang anak yang berpakaian pengemis, menghampiri mereka yang
sedang berjalan perlahan di atas jalan raya itu dan berbisik kepada Ceng Ceng.
Ceng Ceng dan rombongannya mengira bahwa anak itu tentu hendak mengemis, akan
tetapi betapa kaget hati Ceng Ceng ketika mendengar anak itu berbisik, “Apakah
Toanio mengenal Topeng Setan?”
Tentu saja
Ceng Ceng kaget karena Topeng Setan adalah nama julukan suaminya dulu ketika
suaminya belum menikah dengan dia dan suka menggunakan topeng buruk menutupi
wajahnya yang tampan. “Anak baik, kau membawa berita apa dari Topeng Setan?”
tanyanya, berbisik dan membungkuk.
“Saya
disuruh menyerahkan surat ini,” jawab anak itu, mengeluarkan sesampul surat
dari saku bajunya yang butut.
“Ah, terima
kasih!” Ceng Ceng berseru, menerima surat itu dan mengeluarkan beberapa potong
uang kecil. “Ini hadiah untukmu.”
“Tidak,
Toanio. Saya sudah menerima hadiah cukup dari pengirim surat ini.”
Setelah
berkata demikian, bocah itu lari meninggalkan Ceng Ceng dan rombongannya. Ceng
Ceng lalu menoleh kepada ayah mertuanya dan berkata, “Ayah, lihatlah, seorang
anak jembel pun mempunyai kejujuran.”
Jenderal Kao
Liang mengangguk dan menghela napas panjang. “Justeru kejujuran biasanya
ditemukan pada orang-orang bodoh dan miskin, sebaliknya orang-orang yang
mengaku dirinya terpelajar dan pandai, agaknya tidak mengenal lagi kejujuran
yang mereka anggap semacam kebodohan.”
Ceng Ceng
membuka sampul surat dari suaminya itu dan melihat tulisan suaminya di atas
kertas, tulisan yang amat dikenalnya.
‘Isteriku,
harap ajak ayah dan adik-adik ke kuil kosong di sudut barat kota.’
Ceng Ceng
memperlihatkan surat itu kepada ayah mertuanya. Hati bekas jenderal ini girang
bukan main dan diam-diam dia kagum kepada putera sulungnya itu yang ternyata
telah dapat mengetahui bahwa dia dan dua orang puteranya datang bersama
menantunya. Dia membenarkan sikap putera sulungnya yang berhati-hati dan tidak
menghendaki pertemuan di tempat terbuka.
“Mari kita
pergi ke sana,” katanya kepada Ceng Ceng dan mereka berempat lalu menuju ke
barat. Malam telah tiba dan mereka menghampiri kuil yang tua, kosong dan gelap
itu.
“Ayah...!”
Kao Kok Cu menyambut kedatangan ayahnya dengan memberi hormat sambil berlutut
di atas lantai ruangan kuil itu. Ruangan itu luas dan sebagian dindingnya sudah
runtuh, atapnya juga sebagian banyak terbuka. Di atas meja butut terdapat dua
batang lilin yang dinyalakan oleh pendekar itu dan lantainya dibersihkan.
Bekas
jenderal itu mengangkat bangun putera sulungnya dan memandang dengan penuh
perhatian dan penuh selidik. Kao Kok Cu berusia kurang lebih tiga puluh tahun,
berpakaian sederhana. Tubuhnya tinggi dan padat, dan kelihatan agak kurus.
Wajahnya yang tampan itu kelihatan agak muram. Lengan kirinya yang buntung
tertutup lengan baju yang tergantung lepas. Inilah dia Naga Sakti dari Gurun
Pasir, pendekar sakti yang berilmu tinggi, akan tetapi yang kini bersama
isterinya merana dan berduka, mencari putera mereka yang hilang.
“Saya
melihat Ceng Ceng muncul bersama Ayah dan adik-adik, maka saya menyuruh anak
pengemis mengirim surat,” katanya setelah bangkit berdiri, memandang ayahnya
yang kelihatan demikian muram dan berduka, bahkan sepasang mata kakek itu
basah. Melihat ini, Kao Kok Cu bertanya khawatir, “Ada apakah Ayah? Apa yang
terjadi?”
“Twako...!”
Dua orang adiknya berseru dan kini dua orang muda itu menangis sambil merangkul
kakak mereka.
“Ehh, ehhh,
Adik Tiong dan Han! Ada apakah?” Kok Cu bertanya, semakin kaget dan khawatir.
“Mari kita duduk di lantai dan bicara!”
Mereka
berlima duduk di atas lantai membentuk lingkaran dan berceritalah Jenderal Kao
Liang tentang semua peristiwa yang terjadi, tentang malapetaka yang menimpa
keluarganya. Semua dia ceritakan dengan jelas, melewati hal-hal yang
dianggapnya kurang penting. Sebagai penutup, dia menghela napas panjang dan
berkata, suaranya gemetar, “Kami bertiga masih bingung dan tertekan oleh
peristiwa hebat itu dan engkau dapat membayangkan betapa gelisah hatiku. Akan
tetapi, kemudian kami bertemu dengan isterimu dan mendengar bahwa cucuku juga
hilang! Aihhh, Kok Cu, apa yang dapat kita lakukan sekarang?” Ayah itu mengusap
ke arah bawah matanya untuk menghapus dua tetes air matanya.
Si Naga
Sakti dari Gurun Pasir tidak menjawab, tangan kanannya dikepal, sepasang
matanya mencorong seperti mengeluarkan api, seperti mata naga ketika tertimpa
sinar dua batang lilin yang lemah. Mendengar betapa ibunya, iparnya, bibinya,
keponakan keponakannya diculik orang, betapa keluarga ayahnya, tertimpa
malapetaka yang hebat itu, dia menjadi marah bukan main. Anaknya sendiri lenyap
dan kini ibunya dan semua keluarganya diculik orang.
Melihat keadaan
pendekar itu, ayahnya dan dua orang adiknya memandang dengan kaget dan gentar
juga. Memang hebat sekali melihat sepasang mata yang mencorong itu. Menakutkan!
Mereka hanya menanti ketika melihat Kok Cu diam saja, wajahnya seperti topeng,
keras dan kaku, hanya matanya yang mencorong itulah yang hidup, bergerak
seperti mata naga mencari mustikanya. Melihat ini, mengertilah Ceng Ceng bahwa
suaminya menderita himpitan batin yang hebat dan betapa suaminya sedang
mengerahkan sinkang untuk menghadapi penderitaan itu. Tahulah dia betapa
suaminya marah dan andai kata orang-orang yang menyebabkan malapetaka itu
berada di situ, berapa pun banyaknya, betapa pun kuatnya, tentu akan mengalami
saat kiamat di tangan suaminya!
“Suamiku,
kemarahan adalah sia-sia, hanya melemahkan batin dan mengeruhkan plkiran,”
katanya dengan suara halus, tangannya meraba lengan suaminya. Kata-kata itu
adalah kata-kata suaminya sendiri yang sekarang dia pergunakan untuk membantu
suaminya sadar akan keadaan dirinya.
Perlahan-lahan
wajah yang kaku itu bergerak dan hidup kembali. Kok Cu menghela napas panjang
dan matanya, biar pun masih mencorong, namun tidak liar seperti tadi ketika dia
menoleh dan memandang isterinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi jari-jari
tangannya memegang tangan isterinya, tergetar dan Ceng Ceng dapat menerima rasa
syukur dan terima kasih yang terpancar melalui getaran jari-jari tangan dan
pandang mata suaminya itu. Dia merasa terharu dan dua titik air mata membasahi
kedua matanya. Dia menunduk dan dua titik air mata itu menetes turun.
“Ayah, tidak
mungkin semua peristiwa ini terjadi secara kebetulan saja. Ayah dipecat tanpa
kesalahan, kemudian perjalanan Ayah ke kampung diganggu, keluarga kita diculik
dan harta yang dikumpulkan secara jujur, hasil pengabdian Ayah selama puluhan
tahun dicuri, dan bukan itu saja, juga cucu Ayah diculik orang. Aku dan Ceng
Ceng sudah melakukan penyelidikan, mencari-cari Cin Liong, dan kami sependapat
bahwa Cin Liong bukan pergi dan tersesat begitu saja, melainkan tentu ada yang
membawanya pergi. Semua ini kurasa ada hubungannya, saling kait-mengait.
Bukankah menurut cerita Ayah tadi, di antara para penghadang yang kemudian
saling bertempur sendiri, di antara mayat mereka terdapat pengawal-pengawal
istana?”
Bekas
jenderal itu mengangguk. “Aku sendiri memang sudah menduga demikian, Kok Cu.
Akan tetapi, sungguh aneh sekali kalau begitu. Apa perlunya kaisar melakukan
semua kekejian itu terhadap kita? Dan siapa yang melaksanakannya? Tadinya kami
mengira keluarga Suma, akan tetapi ternyata bukan.”
“Memang
bukan. Aku sudah berjumpa dengan kedua orang Paman Suma, dan mereka itu sama
sekali tidak tahu, bahkan mereka berjanji akan membantu kita untuk
menyelidiki,” kata Ceng Ceng yang percaya sepenuhnya kepada dua orang pamannya
dari Pulau Es itu.
“Aku sendiri
tidak akan percaya kalau keluarga Pulau Es mencampuri urusan yang keji ini,
akan tetapi kita tidak bisa mengandalkan orang lain. Kita harus menyelidiki
sendiri. Karena awal peristiwa ini dimulai dengan pemecatan Ayah di kota raja,
maka kurasa semua rahasia ini bisa didapatkan di kota raja. Aku bersama
isteriku akan melakukan penyelidikan ke kota raja, Ayah. Sekali kita mengetahui
rahasianya, kiranya tidak akan sukar mencari di mana mereka itu menyembunyikan
keluarga kita dan anakku.“
“Akan tetapi...
ahhh, bagaimana kalau sampai terlambat? Kalau sampai anakku Cin Liong...?” Ceng
Ceng tak dapat melanjutkan kata-katanya dan mukanya menjadi pucat.
“Tidak
mungkin!” Tiba-tiba Kok Cu berseru nyaring sekali, mengejutkan Jenderal Kao dan
dua orang puteranya. “Kalau terjadi apa-apa dengan anakku dan keluarga kita,
mereka semua, siapa pun adanya mereka itu, bahkan kaisar sendiri sekali pun,
tidak akan dapat terlepas dari tanganku!” Hebat bukan main ancaman ini dan hati
Jenderal Kao Liang yang semenjak nenek moyangnya amat setia kepada kaisar,
seperti tertusuk. Akan tetapi ayah yang bijaksana ini tidak berkata sesuatu,
karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, dilanda oleh kegelisahan dan
kemarahan, tidak baik kalau menentang putera sulungnya.
“Baiklah,
Kok Cu. Engkau pergilah bersama isterimu menyelidiki ke kota raja. Engkau tentu
mengerti bahwa tidak mungkin bagi ayahmu untuk kembali ke sana, setelah ayahmu
dipecat. Kami bertiga akan melakukan penyelidikan dengan cermat sekali lagi di
tempat peristiwa kehilangan itu terjadi. Siapa tahu kami akan bisa menemukan
jejak.”
Malam itu
mereka tidak tidur, tidak meninggalkan ruangan itu, melainkan bercakap cakap
saling menceritakan perjalanan mereka lebih jauh. Pertemuan yang sangat
mengharukan dari keluarga seorang jenderal yang pernah menjadi panglima besar,
yang kini mengadakan pertemuan di kuil kosong, sunyi dan kotor. Biar pun
keadaannya demikian, agaknya pertemuan itu tentu akan berlangsung penuh
kegembiraan kalau saja tidak terjadi peristiwa-peristiwa hebat yang menimpa
keluarga mereka. Tetapi kini, pertemuan itu menjadi pertemuan yang amat
mengharukan dan menyedihkan.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Kok Cu dan Ceng Ceng sudah berlutut di
depan kaki Jenderal Kao Liang dan bermohon diri untuk melanjutkan perjalanan
mereka ke kota raja di mana mereka akan menyelidiki rahasia malapetaka yang
menimpa keluarga mereka. Jenderal Kao Liang mengelus kepala mereka seperti
memberi berkah, kemudian Kok Cu merangkul kedua orang adiknya. Pergilah suami
isteri pendekar ini meninggalkan kuil tua dalam cuaca yang masih gelap.
Jenderal Kao
Liang sendiri bersama putera-puteranya lalu meninggalkan kota Pao-ting, menuju
ke daerah lembah Huang-ho di mana keluarga mereka lenyap dan mereka pun hendak
melakukan penyelidikan yang lebih cermat setelah kini mereka tahu bahwa bukan
keluarga Suma yang melakukan semua kejahatan terhadap keluarga mereka itu.
Pada suatu
siang, tibalah mereka di tempat itu, di mana dahulu mereka meninggalkan
keluarga mereka yang kemudian lenyap. Mereka berhenti di celah tebing di mana
rombongan mereka diserang dan banyak yang mati keracunan oleh balok-balok yang
menghadang jalan. Mereka termenung berdiri di situ. Peristiwa yang telah lalu
itu seperti baru terjadi dan masih terbayang di mata mereka.
Tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh suara derap kaki kuda. Mereka cepat menoleh dan dari
belakang mereka datang sepasukan orang berkuda yang jumlahnya ada dua puluh
orang lebih.
“Hati-hati,
dan jangan sembarangan turun tangan,” bisik Jenderal Kao Liang kepada dua orang
puteranya.
Mereka
berdiri di tepi jalan dan memandang pasukan yang datang semakin dekat itu.
Mereka mengira bahwa rombongan yang ternyata bukan pasukan kerajaan, melainkan
pasukan yang memakai pakaian aneh, bukan seperti tentara namun memakai seragam
berwarna biru gelap, akan lewat. Akan tetapi, ternyata mereka itu menghentikan
kuda mereka ketika tiba di situ dan kini mereka melihat sulaman gambar naga di
dada baju orang-orang itu! Seorang di antara mereka, yang tinggi kurus,
melompat turun dari atas kudanya dan berdiri di depan Jenderal Kao Liang sambil
tersenyum lebar.
Ayah dan
anak ini sangat terkejut ketika mengenal orang ini. Inilah orang yang berjuluk
Hoa-gu-ji (Kerbau Belang), seorang tokoh dari Kwi-liong-pang dan tahulah mereka
kini bahwa mereka berhadapan dengan orang-orang Kwi-liong-pang, salah satu di
antara gerombolan-gerombolan yang memperebutkan harta benda mereka! Jenderal
Kao Liang maklum bahwa orang ini lihai, akan tetapi dia bersikap tenang, walau
pun dia dan dua orang puteranya sudah siap untuk menghadapi perkelahian.
Akan tetapi,
setelah tertawa, Hoa-gu-ji sama sekali tidak menyerang atau memberi isyarat
untuk menyerang. Sebaliknya malah, dia memberi hormat dan menjura kepada
Jenderal Kao Liang sambil berkata, “Kao-goanswe, maafkan kalau kami mengganggu.
Kami sengaja menemui Kao-goanswe untuk menyerahkan bungkusan ini, harap kau
suka menerima dan memeriksa isinya.”
Hoa-gu-ji
mengeluarkan sebuah bungkusan kecil berwarna kuning. Walau pun meragu, Jenderal
Kao Liang menerimanya juga.
“Siapa yang
menyuruhmu?” tanyanya.
“Bukalah,
dan engkau akan mengetahuinya sendiri, Kao-goanswe,” jawab Hoa-gu-ji.
Jenderal Kao
Liang membuka bungkusan itu, dengan hati-hati karena dia tentu saja tidak
percaya kepada orang seperti tokoh Kwi-liong-pang ini. Akan tetapi, begitu isi
bungkusan itu nampak, Kok Tiong yang bersama Kok Han ikut pula memperhatikan,
berseru kaget.
“Ini tusuk
konde isteriku!” teriaknya.
Jenderal Kao
Liang mengangguk dan memeriksa sebuah cincin bermata biru, cincin milik
isterinya! Ternyata orang telah mengirim dua buah benda itu yang cukup menjadi
bukti bahwa keluarga Kao berada di tangan mereka!
“Keparat,
kau apakan mereka? Di mana mereka?” Kok Tiong sudah mencabut pedang diikuti
oleh Kok Han, akan tetapi Jenderal Kao Liang cepat mencegah mereka dan menyuruh
mereka mundur dan menyimpan pedang mereka kembali. Sementara itu, Hoa-gu-ji
yang akan diserang itu hanya memandang sambil tersenyum lebar saja.
Jenderal Kao
Liang membuka sampul surat yang berada di dalam bungkusan bersama dua buah
benda perhiasan wanita itu.
Jenderal Kao
Liang,
Kalau engkau
ingin bertemu dengan keluargamu, ikutlah bersama utusan kami dan taati semua
perintahnya.
Surat itu
tanpa tanda tangan, tetapi maksudnya sudah cukup dan jelas bagi Jenderal Kao
Liang. Dengan adanya tusuk konde menantunya dan cincin isterinya, jelas bahwa
keluarganya berada dalam cengkeraman pengirim surat ini dan kalau dia
menghendaki dapat bertemu kembali dengan mereka, bahkan demi keselamatan
mereka, dia dan dua orang puteranya harus menyerah!
“Baiklah,
kami akan ikut bersama kalian,” kata Jenderal Kao, lalu kepada Kok Han dia
berkata, “Kao Han, engkau susul twako-mu ke kota raja.”
“Baik,
Ayah,” kata Kok Han yang tadi juga sudah ikut membaca surat itu. Dia menjura
kepada ayahnya, memeluk kakaknya, lalu berlari pergi dengan cepat.
Hoa-gu-ji
tidak mencegahnya karena menurut perintah, dia hanya disuruh menangkap Jenderal
Kao Liang saja. Dia lalu melucuti pedang Jenderal Kao dan Kok Tiong, kemudian
mereka berdua dibelenggu dan disuruh naik ke atas punggung kuda, kemudian
keduanya dibawa pergi dengan mata ditutup kain hitam.
Ayah dan
anak ini tak pernah melepaskan perhatian dalam perjalanan itu. Akan tetapi,
mereka tahu bahwa tidak mungkin mereka dapat melalui bukit-bukit dan
hutan-hutan yang dapat mereka ketahui dari jalan yang naik turun dan dari hawa
dan suara angin di antara banyak pohon, suara burung dan binatang hutan. Malam
itu mata mereka dibuka ketika rombongan berhenti di dalam sebuah hutan yang
gelap, dan mereka diberi makan yang cukup baik, diperlakukan dengan sikap yang
hormat biar pun Hoa-gu-ji dan seluruh anggota rombongan tidak pernah bicara.
Pada
keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan dan kembali mata mereka ditutup.
Ketika hari telah panas, mereka berhenti, ayah dan anak ini lalu diturunkan
dari punggung kuda, dibawa masuk ke dalam rumah yang luas dan ke dalam ruangan.
Mata mereka dibuka dan mereka memandang silau.
Ruangan itu
luas dan di situ terdapat banyak pintu. Di tengah ruangan terdapat meja besar
dan di belakang meja duduk beberapa orang. Ketika Jenderal Kao Liang mengenal
Hek-tiauw Lo-mo yang duduk pula di dalam ruangan itu, dia terkejut, akan tetapi
dia diam saja, pura-pura tidak mengenalnya. Dengan adanya Hek-tiauw Lo-mo di
situ, tahulah dia bahwa dia terjatuh ke tangan gerombolan orang dari dunia
hitam, orang-orang yang berniat memberontak terhadap kerajaan, karena Hek-tiauw
Lo-mo dahulu juga bersekutu dengan pemberontak.
Diam-diam
dia memperhatikan, demikian pula puteranya. Di antara semua orang yang berada
di kursi-kursi belakang meja itu, yang paling menarik perhatiannya adalah
seorang laki-laki muda yang kelihatan berwibawa, berkulit kehitaman dengan hidung
melengkung dan mata cekung, gagah dan tampan namun juga aneh dan asing,
rambutnya coklat dan pakaiannya indah dan mewah. Dia duduk di tengah-tengah dan
di sebelah kanannya duduk seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun
bertubuh seperti raksasa, kepalanya botak dan bermantel merah. Pemuda yang
usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan kakek botak itulah yang agaknya
menjadi orang-orang terpenting di situ, maka Jenderal Kao Liang menujukan
pandang matanya kepada mereka.
Dugaannya
benar. Pemuda itu lalu bangkit berdiri dan menyambutnya dengan mata bersinar
dan mulut tersenyum lebar. “Ah, sungguh merupakan kebahagiaan besar dapat
bertemu muka dengan Jenderal Kao Liang yang namanya pernah menggetarkan dunia!
Haaii, Hoa-gu-ji, hayo cepat buka belenggu mereka!”
Hoa-gu-ji
memberi hormat dan dibantu oleh beberapa orang, dia membuka belenggu tangan
Jenderal Kao Liang dan puteranya. Mereka lalu mundur kembali dan kini pemuda
berkulit kehitaman itu berkata lagi, “Jenderal Kao Liang, silakan kau duduk bersama
puteramu dan menikmati hidangan kami sebagai penyambutan!”
Jenderal Kao
Liang melangkah maju mendekati meja, menjura sebagai balasan penghormatan lalu
berkata, “Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Aku dan puteraku bukanlah tamu
undangan, melainkan tawanan. Oleh karena itu, harap segera memberi penjelasan.
Apakah sebabnya engkau menawan keluarga kami dan siapakah engkau?”
“Ha-ha-ha,
sungguh hebat dan tegas!” Tiba-tlba kakek botak itu berkata dan matanya
memandang penuh kagum. “Memang tepat menjadi seorang jenderal yang pandai!”
“Suhu, tidak
percuma dia pernah menjadi panglima besar,” kata pula orang muda itu, lalu dia
berkata lagi kepada Jenderal Kao Liang. “Memang engkau benar, Jenderal Kao.
Kita tidak perlu berpura-pura lagi. Memang, kami yang telah menawan keluargamu.
Akan tetapi kami tidak berniat buruk, melainkan hendak mengajak engkau untuk
bekerja sama dengan kami.”
Jantung Kao
Liang berdebar tegang. Jadi, keluarganya masih hidup? Semua selamat? Akan
tetapi, mendengar betapa orang muda asing ini mengajak dia bekerja sama, dia
merasa curiga sekali. Kerja sama dalam hal apa? Betapa pun juga, Kao Liang
adalah bekas panglima besar dan dia sudah sering kali menghadapi urusan-urusan
besar, sungguh pun belum pernah dia menghadapi ancaman hebat bagi seluruh
keluarganya seperti sekarang ini yang membuat hatinya tegang luar biasa.
Sebelum melanjutkan percakapan, dia harus melihat buktinya lebih dulu, bukti
bahwa keluarganya dalam keadaan selamat semua.
Dengan sikap
tenang dan air muka sama sekali tidak berubah, bekas jenderal itu lalu berkata
dengan sikap hormat pula, “Soal kerja sama dan yang lain-lain baru bisa
dibicarakan dengan hati terbuka kalau kami sudah diperbolehkan melihat dengan
mata kepala sendiri bahwa keluarga kami berada di sini dalam keadaan selamat.
Sebelum itu, engkau tentu mengerti bahwa kami tidak mungkin dapat melakukan
percakapan dengan hati terbuka.”
Kembali
Liong Bian Cu tertawa. “Benar sekali kata-katanya itu, bukan, Suhu?”
Ban Hwa
Sengjin mengangguk. “Dia memang laki-laki sejati!”
“Suhu, harap
suka membawa mereka melihat-lihat keluarga mereka. Akan tetapi hanya melihat
saja karena belum sampai saatnya mereka diperkenankan bicara dan bertemu dengan
keluarga mereka.”
Ban Hwa
Sengjin kembali mengangguk, lalu bangkit berdiri dan ditemani oleh Hek-tiauw
Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, dia lalu menghampiri Jenderal Kao Liang dan
puteranya.
“Goanswe dan
Sicu, mari silakan ikut bersama kami.”
Dengan
jantung berdebar tegang Kao Liang dan Kok Tiong mengikuti tiga orang kakek itu.
Ban Hwa Sengjin berjalan di depan, diiringkan oleh Kao Liang dan Kok Tiong
sedangkan dua orang kakek iblis itu mengikuti dari belakang. Mereka melalui
lorong berlika-liku di dalam gedung besar itu dan akhirnya Ban Hwa Sengjin
berhenti dan memberi isyarat kepada dua orang itu untuk berhenti. Mereka tiba
di sebuah ruangan kecil dan tidak jauh di depan terdapat sebuah pintu yang
lebar dan di depan pintu ini berdiri enam orang penjaga yang memegang senjata.
Melihat kedatangan Ban Hwa Sengjin, mereka lalu cepat memberi hormat.
“Buka daun
pintu kayu itu lebar-lebar agar kami dapat melihat mereka yang berada di
dalam!” kata Ban Hwa Sengjin kepada kepala penjaga.
Perintah ini
cepat ditaati, rantai pintu itu dibuka dan pintu itu didorong ke samping.
Ternyata di balik pintu kayu itu terdapat pula ruji-ruji besi seperti
kerangkeng dan di belakang ruji-ruji ini terdapat sebuah kamar yang besar
sekali, dengan beberapa buah pembaringan, meja dan kursi-kursi. Dan di dalam
kamar besar yang ditutup ruji dan dijaga ketat itu terdapat beberapa orang
wanita dan anak-anak, ada yang sedang berbaring, ada yang duduk membaca, ada
pula yang menyulam, ada yang sedang bercakap-cakap.
Melihat
mereka itu, Kao Liang dan Kao Tiong memandang dengan mata terbelalak. Mereka
itulah keluarga yang hilang! Dan tidak ada seorang pun yang kurang. Masih
lengkap dan kelihatannya memang sehat, sungguh pun di antara mereka ada yang
kelihatan pucat dan kurus. Dan biar pun tidak ada yang kelihatan gembira, namun
harus diakui bahwa mereka itu selamat dan agaknya kamar besar itu cukup baik,
mereka cukup terjamin.
“Ayah...!”
Tiba-tiba seorang anak laki-laki berseru dan menuding ke arah Kok Tiong.
Semua orang
dalam kamar itu menengok dan terjadilah pemandangan yang amat memilukan. Para
wanita itu sejenak memandang dengan mata terbelalak ke arah Kao Liang dan Kao
Tiong, seolah-olah tidak percaya, kemudian terdengarlah seruan-seruan mereka
memanggil dan tangis mereka riuh-rendah. Mereka semua lari ke ruji-ruji besi,
seperti tawanan-tawanan yang melihat keluarga datang berkunjung.
Ban Hwa
Sengjin mengembangkan kedua lengannya ketika melihat Kao Liang dan Kok Tiong
bergerak hendak maju, sambil berkata, “Cukup sudah untuk membuktikan bahwa
keluargamu dalam keadaan selamat, Kao-goanswe.” Lalu dia memerintahkan kepada
para penjaga, “Tutup kembali pintunya!”
Kao Liang
dan Kok Tiong berdiri tegak dengan muka pucat dan mata terbelalak, melihat
betapa wajah-wajah orang yang mereka cinta itu lenyap kembali di pintu kayu dan
tangis mereka masih terdengar lapat-lapat. Seperti ditusuk-tusuk rasa jantung
Kok Tiong mendengar putera sulungnya yang baru berusia empat tahun itu
memanggil manggilnya dari balik daun pintu. Ingin dia memberontak dan
memecahkan daun pintu itu, akan tetapi dia maklum bahwa itu bukanlah cara yang
baik dan selamat, maka dia menekan perasaannya dan ketika tangan ayahnya
menjamah lengannya, dia memutar tubuh dan bersama ayahnya mengikuti kakek botak
kembali ke ruangan tadi di mana pemuda berkulit kehitaman itu masih menanti
mereka sambil tersenyum-senyum.
Begitu tiba
di ruangan itu, Kao Liang lalu menghadapi pemuda asing itu dan berkata dengan
suara tegas, “Orang muda, apakah artinya semua ini? Lekas katakan, siapakah
engkau dan kerja sama yang bagaimana yang kau minta dariku?”
“Kao-goanswe,
dan Kao-sicu, duduklah kalian agar kita dapat bicara dengan baik,” kata Liong
Bian Cu sambil memberi isyarat kepada pelayan.
Segera
pelayan datang membawa cawan dan meletakkan cawan dan mangkok di depan ayah dan
anak itu, kemudian hidangan dikeluarkan, hidangan yang masih panas. Liong Bian
Cu lalu menuangkan sendiri arak ke dalam dua cawan di depan ayah dan anak itu,
mempersilakan mereka untuk minum.
“Maaf, orang
muda. Sebelum kami mengenal siapa engkau dan mengetahui apa maksudmu menawan
keluarga kami, bagaimana kita dapat minum dan makan seperti antara sahabat?”
Kao Liang berkata lagi dan tidak menyentuh cawan arak itu. Juga Kok Tiong duduk
tegak dengan mata menatap wajah pemuda berkulit kehitaman itu dengan sinar mata
tajam penuh selidik.
Liong Bian
Cu tersenyum melihat penolakan ayah dan anak itu. Dia minum araknya dari cawan,
lalu meletakkan cawan itu di atas meja dan berkatalah dia sambil menatap tajam
wajah bekas jenderal itu, “Kao-goanswe, saya bernama Liong Bian Cu dan biar pun
engkau belum pernah bertemu dengan saya dan belum mengenal saya, akan tetapi
saya kira engkau tentu sudah mengenal baik mendiang ayah saya.”
Kao Liang
mengerutkan alisnya. “She Liong...?” dia berkata lirih dan mengingat-ingat
karena setahunya, yang she Liong adalah pangeran-pangeran dari Kerajaan Ceng!
“Benar,
Goanswe, mendiang ayah saya adalah Pangeran Liong Khi Ong!”
“Ahhh...!”
Bukan main kagetnya Kao Liang mendengar ini, juga Kok Tiong terkejut dan timbul
kekhawatiran besar di dalam hatinya. Mendiang Liong Khi Ong adalah seorang
pemberontak besar dan ayahnya adalah bekas panglima yang telah membasmi kaum
pemberontak. Kenyataan ini saja sudah amat jelas berbicara mengapa keluarga Kao
diculik dan ditawan!
“Antara
mendiang Pangeran Liong Khi Ong dan saya memang terdapat pertentangan,”
akhirnya Kao Liang berkata dengan suara berat, “Akan tetapi itu bukan merupakan
permusuhan pribadi, melainkan dalam kedudukan saya sebagai panglima perang abdi
negara. Maka saya tidak melihat dasar-dasar yang kuat mengapa Kongcu mengambil
tindakan terhadap keluarga saya yang tidak tahu-menahu tentang pertentangan
antara mendiang ayahmu dan saya itu.”
Liong Bian
Cu tersenyum lebar. “Tenanglah, Goanswe. Sudah kukatakan tadi bahwa kami
menawan keluargamu sama sekali bukan dengan niat yang buruk! Dan saya sama
sekali tidak menaruh dendam pribadi kepadamu. Saya bukanlah seperti orang biasa
yang mabuk oleh dendam dan sakit hati pribadi. Saya adalah seorang pangeran,
cucu dari raja besar di Nepal.”
Kao Liang
rnengangguk-angguk dan mendengar bahwa putera Pangeran Liong Khi Ong ini juga
merupakan cucu Raja Nepal, tahulah dia dan teringatlah dia bahwa Pangeran Liong
Khi Ong memang mempunyai seorang selir, yaitu puteri Raja Nepal. Jadi pemuda
inikah keturunannya dari puteri Nepal itu? Dia lalu memandang kepada kakek
botak dan kedua kakek lain yaitu Hek-tiauw Lo-mo yang seperti raksasa
menyeramkan, dan kakek muka tengkorak yang tidak kalah mengerikan itu.
“Dan saya
memperkenalkan Locianpwe ini adalah guru saya, juga beliau adalah koksu dari
Nepal, berjuluk Ban Hwa Sengjin,” Liong Bian Cu berkata dan kakek botak itu
bangkit berdiri.
Kao Liang
makin kaget dan cepat dia bangkit berdiri memberi hormat yang dibalas oleh
kakek botak itu. Kiranya Pangeran Nepal ini berada di situ bersama Koksu Nepal!
Tentu ada apa-apa di balik ini semua, ada sesuatu yang amat penting! Akan
tetapi dia menekan keheranannya dan tetap bersikap tenang.
“Mereka
berdua ini adalah dua di antara pembantu-pembantu kami, Goanswe. Beliau ini
adalah Locianpwe Hek-hwa Lo-kwi, dan Locianpwe ini adalah Hek-tiauw Lo-mo.”
“Ha-ha-ha,
Jenderal Kao Liang sudah mengenalku!” berkata Hek-tiauw Lo-mo sambil tertawa
dan minum araknya.
“Kiranya
Kongcu adalah pangeran dari Nepal dan lengkap dengan para pembantu yang amat
lihai. Akan tetapi apa hubungannya itu dengan keluarga saya? Kerja sama apa
yang dapat saya lakukan untuk Kongcu?”
“Kami tahu
bahwa Goanswe adalah seorang ahli dalam ilmu perang. Mungkin untuk seluruh
Tiongkok pada waktu ini, Goanswe adalah orang yang paling pandai! Kami amat
membutuhkan bantuanmu, Kao-goanswe. Kami ingin agar engkau suka memimpin
orang-orang kami, menjadikan tempat ini, lembah ini sebagai benteng yang amat
kuat. Terus terang saja, kami berniat untuk menentang kaisar, dan kami sudah
menerima janji bantuan dari Gubernur Ho-nan dan banyak pula pembesar lain, baik
sipil mau pun militer.”
Berubah
wajah bekas jenderal itu. Keluarga Kao sejak turun-temurun adalah pahlawan
pahlawan yang setia! Dan sekarang, Pangeran Nepal ini mengajak dia bersekutu
untuk memberontak terhadap kerajaan! Hampir saja tangan Kao Liang menghantam
meja di depannya saking marahnya, matanya mendelik dan kumisnya seolah-olah
berdiri. Dia tidak mampu bicara saking marahnya.
“Engkau
berjanji akan membantu kami, Kao-goanswe, dan kami pun akan berjanji untuk
menjamin keselamatan jiwa raga keluargamu. Bukankah itu sudah adil sekali?”
Liong Bian Cu kembali berkata dengan suaranya yang tenang dan halus.
“Tidak...!
Tidak sudi aku...!” Tiba-tiba Jenderal Kao berteriak dan cepat bangkit berdiri,
mengepal tinjunya, mukanya merah dan matanya mendelik.
“Ayah...!”
Kok Tiong berkata lirih, suaranya penuh kegelisahan. “Ayah, harap Ayah sudi
menyelamatkan dua orang cucumu!” Muka orang muda ini pucat sekali karena dia
maklum bahwa nyawa seluruh keluarga yang dikurung di sana tadi berada di
telapak tangan ayahnya!
“Tidak...!
Seribu kali lebih baik kita mati semua!” kembali Kao Liang berseru keras dan
pada saat itu terdengar jerit tertahan dari balik sebuah pintu.
“Gihu (Ayah
Angkat)...!” Dan muncullah Syanti Dewi bersama Hwee Li dari balik pintu itu.
Syanti Dewi lari menghampiri Kao Liang. Bekas jenderal ini terkejut, menoleh
dan segera memeluk Syanti Dewi yang sudah merangkulnya dan menangis di atas
dadanya yang bidang.
“Kau...?
Dewi...? Kau... juga di sini?” bekas jenderal itu berkata heran dan juga
bingung, penuh kekhawatiran.
“Gihu, saya
menjadi... tawanan perang di sini. Baru hari ini saya mendengar bahwa keluarga
Gihu semua juga menjadi tawanan di sini... harap Gihu tidak menggunakan
kekerasan dan bersikap bijaksana untuk menyelamatkan keluarga Gihu...!”
“Syanti
Dewi, biar pun kami memberi kebebasan kepadamu, akan tetapi perbuatanmu ini
lancang sekali dan tidak tahu tata susila. Harap kau suka meninggalkan ruangan
ini,” kata Liong Bian Cu dengan sikap halus.
Syanti Dewi
segera melepaskan pelukan ayah angkatnya dan mundur dengan kedua pipi
kemerahan.
“Semua ini
tentu gara-gara Hwee Li!” Hek-tiauw Lo-mo membentak, lalu berkata kepada dara
itu dengan nyaring, “Hwee Li, hayo kau ajak Sang Puteri pergi dari ruangan
ini!”
Dara cantik
jelita yang barusan datang bersama Puteri Bhutan itu berdiri tegak, bertolak
pinggang menghadapi Hek-tiauw Lo-mo kemudian berkata, “Memang benar aku yang
mengajaknya ke sini! Habis, kau mau apa?” Sikapnya menantang sekali,
mengherankan Kao Liang dan puteranya. Alangkah beraninya sikap dara cantik
jelita ini, dan anehnya, Hek-tiauw Lo-mo yang biasanya sangat angkuh itu, kejam
dan ganas, sekali ini tidak menjawab apa-apa atas tantangan itu!
Pangeran
Liong Bian Cu cepat bangkit berdiri dan dengan suara yang amat ramah dan halus
dia berkata kepada dara itu, “Hwee Li, kekasihku, harap engkau tidak membuat
ribut di sini. Kami sedang membicarakan urusan besar, harap engkau suka
mengajak Syanti Dewi ke taman, Sayang.”
Hwee Li
merasa malu sekali melihat pangeran itu memperlihatkan sikap demikian ramah dan
mesra kepadanya di depan banyak orang. Dia ingin marah, akan tetapi dia takut
kalau-kalau pangeran itu akan makin bersikap mesra, maka dia lalu menggandeng
tangan Syanti Dewi dan diajaknya pergi cepat-cepat dari ruangan itu. Pangeran
Liong Bian Cu tersenyum lebar, puas akan hasil dari kecerdikannya. Dia tahu
benar harus bersikap bagaimana untuk mengalahkan dara yang dicintanya itu.
“Maaf atas
gangguan tadi, Kao-goanswe. Sungguh saya tidak mengira bahwa Syanti Dewi adalah
anak angkatmu. Dan gadis tadi adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, atau
tunangan saya.”
Diam-diam
Kao Liang merasa heran dan juga terkejut. Dara cantik jelita tadi tunangan
pangeran ini? Puteri Hek-tiauw Lo-mo? Kini dia mengerti mengapa Hek-tiauw Lo-mo
membantu pangeran ini. Dan biar pun dia kagum akan kecantikan dan keberanian
dara itu, namun diam-diam dia bergidik mengingat akan sikap dara itu terhadap
ayahnya! Dasar ayahnya seorang laki-laki iblis, anaknya pun sikapnya demikian
kurang ajar terhadap ayahnya sendiri! Akan tetapi, yang amat mengherankan
hatinya, bagaimana Syanti Dewi yang memiliki watak mulia dan lemah lembut itu
kelihatan begitu akrab dengan dara iblis tadi?
“Kao-goanswe,”
tiba-tiba Koksu Nepal berkata kepadanya dengan suaranya yang asing karena Ban
Hwa Sengjin memang seorang asli Nepal, sungguh pun dia telah berusaha
mempelajari bahasa Han dengan baik dan dapat bicara dengan lancar. “Kita sama
sama adalah orang-orang yang tahu akan tata negara, tahu akan kebijaksanaan dan
kesetiaan terhadap pemerintah. Seorang bijaksana akan setia kepada tanah air
dan bangsa melalui kesetiaannya terhadap pemerintah. Akan tetapi, kalau melihat
betapa pemerintah dipimpin oleh orang-orang yang lemah dan tidak bijaksana,
benarkah kalau dia mengekor saja dan berarti menambah beban penderitaan
rakyatnya? Tentu tidak, dan seorang bijaksana akan menentang pemerintah yang
demikian, demi kebaktiannya kepada rakyat dan tanah airnya.”
Kao Liang
memandang wajah kakek botak itu dan sejenak mereka beradu pandang. Diam-diam
bekas jenderal itu terkejut melihat sinar mata yang tajam bersinar-sinar dan
penuh wibawa itu, maklumlah dia bahwa selain pandai, juga Koksu Nepal itu tentu
bukan orang sembarangan dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Kemarahan hebat yang tadi membakar dadanya kini sudah mereda setelah munculnya
Syanti Dewi yang tak disangka-sangkanya.
“Ban Hwa
Sengjin, ke manakah tujuan kata-katamu itu?”
“Kao-goanswe,
seperti yang dikatakan oleh Puteri Bhutan tadi, seorang bijaksana akan lebih
dulu mengutamakan keselamatan keluarganya dan dalam hal ini, Goanswe adalah
seorang yang akan menentukan mati hidupnya keluarga Goanswe, termasuk pula
Syanti Dewi.”
“Hemmm,
engkau hendak mengancam keselamatan mereka demi untuk memeras dan memaksaku,
Koksu?” bekas jenderal itu mengejek.
“Bukan
ancaman kosong belaka, Kao-goanswe! Dengan sekali isyarat, saat ini pun aku
sanggup menyuruh algojo memenggal leher keluargamu di depan matamu!” Pangeran
Liong Bian Cu berkata tenang dan halus, namun isi kata-katanya itu penuh
ancaman yang mengerikan sehingga pucatlah wajah Kok Tiong mendengar ini.
“Bukan
sekedar mengancam untuk memaksa, Jenderal Kao Liang!” kata pula Ban Hwa Sengjin
dengan sinar mata tajam. “Sebagai seorang ahli perang engkau tentu dapat
mengetahui kalau keadaanmu sudah tersudut dan kalah total. Engkau sudah kalah
dan kami yang menang, karena itu kami menggunakan hak kami sebagai pemenang dan
sudah selayaknya kalau engkau tahu diri sebagai pihak yang kalah. Akan tetapi,
selain kenyataan ini aku ingin membuka mata dan kesadaranmu akan kenyataan
lain, yaitu bahwa engkau tidak mempunyai pilihan lain.”
Kao Liang
menegakkan kepalanya dan mengangkat dadanya. “Bagiku, tetap saja ada pilihan,
Koksu, karena aku lebih menghargai kehormatan dari pada nyawa. Ancamanmu
terhadap keluargaku, sama sekali tidak akan membutakan mataku terhadap nilai
kehormatan kami!”
Wajah koksu
itu sudah menjadi merah karena dia marah sekali melihat kekerasan hati bekas
jenderal ini. Akan tetapi Liong Bian Cu memberi isyarat kepadanya dan orang
muda yang cerdik ini lalu berkata, “Jenderal Kao Liang, sikapmu yang tegas dan
gagah itu amat mengagumkan hatiku. Akan tetapi engkau lupa bahwa setiap perbuatan
itu tentu ada dasarnya. Setiap pemberontakan ada pula yang menjadi dasarnya.
Ketika mendiang ayahku memberontak terhadap kaisar, apakah dasarnya? Karena
kaisar terlalu lemah dan membiarkan para pembesar melakukan korupsi dan maksiat
besar besaran, memeras rakyat. Ayah memberontak dan gagal, hal itu sudah biasa
dan tidak perlu disesalkan. Yang patut disesalkan adalah betapa kelaliman
berlangsung terus. Engkau, yang ketika itu menjadi panglima, bahkan lalu
diangkat menjadi panglima besar, kini dapat melihat bukti kebenaran dasar yang
membuat ayahku memberontak, Jenderal Kao. Lihat, betapa lalimnya kaisar! Betapa
kaisar memberi hati kepada para thaikam dan pembesar-pembesar lalim dan jahat,
sehingga banyak orang-orang yang benar-benar merupakan pahlawan seperti engkau,
malah disingkirkan dan dipecat. Orang-orang yang penjilat dan pemeras rakyat,
tukang korupsi besar malah dipakai dan memperoleh kekuasaan. Engkau yang
dipecat dan diusir secara halus oleh kaisar membuktikan bahwa engkau bukan
termasuk pembesar penjilat dan korup. Engkau tidak merasa sakit hati oleh
tindakan lalim kaisar itu terhadapmu, itu membuktikan bahwa engkau berjiwa
pahlawan yang setia. Tetapi sebaliknya, engkau membiarkan kaisar dan kaki
tangannya melakukan kelaliman yang menyengsarakan rakyat, hal itu berarti bahwa
engkau pun membantu kelaliman mereka. Bukankah orang yang tahu kejahatan dan
tinggal memeluk tangan saja berarti membantu kejahatan itu pula?”
Kata-kata
Liong Bian Cu merupakan ujung pedang tajam yang menusuk-nusuk hati bekas
jenderal itu, membuat dia menundukkan kepalanya dan mukanya menjadi agak pucat.
Harus diakui bahwa di dalam kata-kata itu terkandung kebenaran yang sukar untuk
disangkal. Memang kaisar amat lemah, kaisar yang sudah terlalu tua dan sakit
sakitan itu seakan-akan menyerahkan kendali pemerintahan kepada para thaikam
yang korup dan lalim, dan memang kelaliman akan terus terjadi dan berlangsung
tanpa ada yang berani menentang.
“Saya...
saya tidak mungkin mau memberontak, lebih baik mati sekeluarga dari pada
memberontak...” Akhirnya dia berkata dengan lirih dan memejamkan matanya.
“Ayah...!”
Kok Tiong berkata dengan suara penuh duka dan dua butir air mata jatuh ke atas
pipinya. Membayangkan dia dan isterinya mati masih belum apa-apa, akan tetapi
membayangkan ibunya dibunuh, dan dua orang anaknya, benar-benar membuat dia
hampir tidak kuat menahan.
“Hemmm,
lihat betapa lemahnya jenderal yang terkenal ini! Lihat betapa kejam hati bekas
panglima yang disanjung-sanjung dan dipuji-puji orang sebagai pahlawan ini!
Membiarkan keluarganya terancam kematian padahal ia dapat menyelamatkan mereka,
membiarkan rakyat tertekan kesengsaraan padahal dia dapat pula berusaha untuk
mengubah nasib mereka! Betapa lemahnya, dan hanya mementingkan diri sendiri,
kehormatan dan namanya sendiri saja!” kata Liong Bian Cu berkata lagi.
“Brakkkkk!”
Jenderal Kao
menggebrak meja sampai tergetar dan cawan mangkok piring mencelat
berkerontangan. “Cukup!” bentaknya. “Baiklah, aku mau membantu kalian, akan
tetapi hanya untuk memimpin lembah ini yang akan dibangun sebagai benteng. Aku
mau memimpin dan mengatur agar benteng ini tidak dapat diduduki oleh musuh mana
pun, akan tetapi hanya sekian saja, dan biar kalian mengancam bagaimana pun,
jangan harap dapat memaksaku memimpin pasukan menyerbu kerajaan!”
Liong Bian
Cu tersenyum dan cepat bangkit berdiri dan menjura. “Terima kasih, Goanswe.
Siapa yang mengharapkan engkau menyerbu ke kota raja? Asal engkau dapat membuat
lembah ini menjadi benteng yang kuat, sudah cukuplah. Berjanjilah bahwa engkau
akan mempertahankan benteng ini dengan sekuat tenaga dan seluruh jiwa ragamu!”
“Hemmm,
Liong-kongcu, lebih dulu berjanjilah demi nama nenek moyangmu bahwa engkau akan
menjamin keselamatan keluargaku dan Puteri Bhutan!”
“Baik, aku
berjanji akan menjamin keselamatan keluargamu dan Puteri Bhutan, demi nama
nenek moyangku!” Liong Bian Cu berkata dengan sikap sungguh-sungguh.
“Dan aku
berjanji akan mempertahankan lembah ini dengan jiwa ragaku, demi nama keluarga
Kao!” kata bekas jenderal itu.
Hidangan dan
minuman lalu ditambah dan mereka merayakan persekutuan itu. Untuk melupakan
perasaannya yang tertindih, bekas jenderal itu minum arak tanpa batas sampai
akhirnya dia mabuk dan diantar oleh pengawal memasuki kamar keluarganya,
bersama Kok Tiong. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan hujan tangis
terjadi.
Demikianlah,
mulai hari itu, Kao Liang dengan sungguh hati lalu membangun lembah itu menjadi
sebuah benteng yang kokoh kuat. Pelaksanaannya dibantu oleh tukang-tukang dan
tenaga dari Gubernur Ho-nan dan semua rencana dan gambar yang dibuat oleh
Jenderal Kao dilaksanakan sehingga tempat itu menjadi sebuah benteng yang sukar
sekali ditembus musuh. Sungai yang mengelilingi lembah itu diperdalam dan
diperlebar, ditambah air yang mengalir dari atas bukit ke dalam lembah. Di
sekeliling lembah dibangun tembok benteng yang tebal dan kokoh, dan dibuat pula
banyak tempat-tempat jebakan yang amat berbahaya.
Jenderal Kao
dan seluruh keluarganya hidup bebas di tempat itu, bersama Hwee Li dan Puteri
Syanti Dewi yang seperti telah bergabung menjadi anggota keluarga jenderal itu.
Akan tetapi biar pun mereka kelihatan bebas, sesungguhnya mereka sama sekali
tidak bebas! Jenderal Kao dan Kok Tiong memang dapat pergi ke mana saja, akan
tetapi selalu di situ terdapat anggota keluarga mereka menjadi sandera dan
tidaklah mungkin untuk mencoba-coba meloloskan diri beserta seluruh keluarga
yang terdiri dari wanita wanita dan anak-anak itu!
Dalam waktu
beberapa pekan saja, rambut Jenderal Kao sudah berubah menjadi putih semua. Hal
ini terjadi karena memang batinnya amat tertekan dan dia melakukan semua itu
demi menyelamatkan keluarganya. Di dalam hatinya, dia merasa malu sekali kepada
mendiang ayahnya, kakeknya dan nenek moyangnya yang turun-temurun merupakan
panglima-panglima besar yang setia…..
***************
“Satu-satunya
sumber yang baik dan dapat dipercaya adalah Pangeran Yung Hwa,” kata Ceng Ceng
kepada suaminya setelah mereka tiba di kota raja dan bermalam di sebuah rumah
penginapan. “Kalau masih ada Puteri Milana yang terhitung bibi tiriku pula,
tentu beliau dapat membantu. Akan tetapi kini Puteri Milana sudah tidak ada di
kota raja, tidak berada di istana, telah pergi entah ke mana semenjak lima
tahun yang lalu, maka satu-satunya orang di lingkungan istana yang dapat
kupercaya adalah Pangeran Yung Hwa.”
Kao Kok Cu
menggunakan tangan kanan untuk meraba dagunya, kebiasaannya kalau dia sedang
berpikir, matanya memandang kepada isterinya penuh selidik. “Akan tetapi,
bukankah dahulu pernah dia jatuh cinta kepadamu seperti yang pernah kau
ceritakan kepadaku? Dan kau sekarang hendak menemuinya?”
Ceng Ceng
tersenyum, mendekati dan merangkul leher suaminya, dengan sikap manja. “Ihhh!
Jangan kau bilang bahwa engkau cemburu!”
Kao Kok Cu
tertawa dan mencium isterinya. Semenjak putera mereka hilang, hanya kalau dia
berada di dekat isterinya sajalah maka hatinya terhibur dan sejenak dia atau
mereka, dapat melupakan kedukaan yang menindih hati. “Engkau salah duga,
isteriku. Kau tahu betapa aku mencintamu, betapa kita saling mencinta, dan
cinta adalah kepercayaan. Seujung rambut pun tidak ada penyakit cemburu
menyentuh hatiku, aku hanya bertanya karena agaknya tidak tepatlah kalau engkau
mencari keterangan dari seorang pangeran yang telah patah hati terhadap dirimu.
Pertemuan itu selain hanya akan menyakitkan hatinya, membuat luka kembali
kambuh, juga mana mungkin dia mau membantu kita?”
“Engkau
belum mengenal siapa dia, suamiku. Pangeran Yung Hwa bukan sembarang pangeran
yang mabuk kekuasaan dan rusak oleh keangkuhan seperti biasanya para muda
bangsawan. Sama sekali bukan. Dia menuruni watak gagah, seperti juga Bibi
Milana, hanya bedanya, pangeran itu tidak mempelajari ilmu silat.”
Ceng Ceng
lalu menceritakan sifat-sifat dan watak pangeran yang pernah jatuh cinta
kepadanya itu. Setelah mendengar penuturan Ceng Ceng, akhirnya Kok Cu percaya
juga bahwa mungkin dari pangeran itulah isterinya akan dapat menyelidiki
rahasia dari sernua malapetaka yang menimpa keluarga ayahnya.
“Selain
menyelidiki rahasia itu, juga aku ingin sekali menyampaikan rasa penyesalanku
kepada kaisar melalui Pangeran Yung Hwa atas peristiwa dipecatnya ayahmu.”
Demikian Ceng Ceng berkata dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia
sudah mencari istana Pangeran Yung Hwa dan menghadap pangeran itu.
Pangeran
Yung Hwa menyambut kedatangan Ceng Ceng yang mengunjunginya itu dengan perasaan
heran dan gembira. Begitu melihat siapa wanita yang menghadap dan memberi
hormat kepadanya, dia segera teringat kepada wanita perkasa itu.
“Ahhh...
engkau...?” serunya dan mempersilakan nyonya muda itu duduk di atas kursi di
depannya. “Aku telah mendengar bahwa engkau menjadi menantu Jenderal Kao Liang!
Bagaimana keadaanmu? Kuharap baik-baik saja dan berbahagia.”
Melihat
sikap pangeran itu yang ramah dan jujur, Ceng Ceng merasa terharu. “Terima
kasih atas kebaikan dan perhatian Paduka, Pangeran. Sesungguhnya saya cukup
berbahagia kalau saja tidak timbul peristiwa-peristiwa yang menimpa keluarga
kami, merupakan bencana yang didatangkan dari istana.”
Pangeran
Yung Hwa mengerutkan alis. “Ehhh? Apa maksudmu? Istana mendatangkan bencana
terhadap keluargamu?”
Ceng Ceng
lalu menceritakan tentang dipecatnya ayah mertuanya secara halus oleh kaisar.
Kemudian diceritakannya pula betapa ketika ayah mertuanya beserta seluruh
keluarga melakukan perjalanan menuju ke kampung halaman, di tengah jalan
diganggu oleh berbagai golongan dan di antara gerombolan yang mengganggu itu
terdapat pengawal-pengawal istana! Kemudian diceritakan pula akan hilangnya
puteranya yang diduga ada hubungannya dengan malapetaka yang menimpa keluarga
Jenderal Kao Liang.
“Coba Paduka
pikir, siapa lagi yang menyuruh pengawal-pengawal itu menghadang dan mengganggu
keluarga Kao? Bukankah semua itu amat mencurigakan sekali?”
Pangeran Yung
Hwa meraba dahinya dan berpikir, lalu dia memandang wanita yang pernah
dicintanya itu, bertanya, “Nyonya muda yang baik, apa maksudmu mengunjungi aku
dan menceritakan semua ini kepadaku?”
Ceng Ceng
membalas pandang mata itu dan berkata terus terang, “Saya dan suami saya
menduga keras bahwa kunci semua peristiwa itu berada di istana, oleh karena itu
kami datang ke kota raja untuk melakukan penyelidikan. Mengingat bahwa
Padukalah satu-satunya orang yang saya percaya sebagai seorang keluarga istana
yang adil dan bijaksana, maka saya sengaja menghadap untuk mohon pertolongan
Paduka sehingga saya dapat mengetahui ke mana putera saya dibawa dan di mana
pula adanya keluarga Kao yang terculik.”
Pangeran
Yung Hwa menarik napas panjang. “Aihhhhh... kalau saja aku tahu, tentu sekarang
juga aku akan turun tangan membebaskan mereka dan mengembalikan puteramu. Akan
tetapi, bagaimana mungkin aku dapat menyelidikinya? Harus kuakui bahwa keadaan
kaisar amat lemah, sudah tua dan tidak begitu memperhatikan keadaan para pembantunya
yang banyak melakukan hal-hal yang tidak baik. Aku memang mendengar bahwa
Jenderal Kao mengundurkan diri, akan tetapi kusangka tadinya bahwa hal itu
terjadi secara wajar sebagaimana biasanya pembesar yang sudah tua dan
mengundurkan diri. Kelemahan kaisar memang membuat para pembesar yang tidak
jujur untuk bergerak demi keuntungan diri pribadi sehingga terjadi banyak hal
yang buruk. Biar pun aku tidak dapat membantumu secara langsung, akan tetapi
munculmu di sini menggerakkan hatiku dan mendorongku untuk bertindak, Nyonya
Kao. Hari ini juga aku akan menemui kakakku, Pangeran Mahkota, karena hanya
beliau saja yang akan dapat turun tangan membersihkan segala kekotoran yang
menodai istana. Mudah mudahan saja dengan pembersihan yang pasti akan dilakukan
oleh kakakku, Pangeran Yung Ceng, urusanmu itu akan terbongkar pula dan engkau
dapat menemukan kembali puteramu dan keluarga Kao yang hilang. Hanya inilah
yang dapat kulakukan.”
Tentu saja
Ceng Ceng tidak merasa sangat puas dengan hasil ini, akan tetapi dia pun maklum
bahwa Pangeran Yung Hwa tidak berdaya menolongnya karena memang tidak tahu di
mana adanya puteranya atau keluarganya, tidak tahu pula siapa biang keladinya.
Sudah jelas bahwa bukan kaisar yang melakukan tindakan itu, melainkan pembesar
lalim yang amat banyak terdapat di waktu itu. Terpaksa dia lalu berpamit
setelah menghaturkan terima kasih, pergi meninggalkan istana Pangeran Yung Hwa
untuk segera menemui suaminya dan menceritakan semua hasil pertemuannya dengan
pangeran itu.
Sementara
itu, Pangeran Yung Hwa juga tidak lama kemudian meninggalkan istananya. Dengan
menyamar pangeran ini lalu melakukan perjalanan menuju ke Kuil Siauw-lim-si
untuk menemui kakaknya, yaitu Pangeran Yung Ceng. Hal ini tentu menimbulkan
perasaan heran bagi yang belum mengetahuinya. Mengapa pangeran itu mencari
kakaknya, Pangeran Yung Ceng atau Pangeran Mahkota, ke kuil Siauw-lim?
Tidaklah
mengherankan kalau diketahui bahwa Pangeran Yung Ceng memang menjadi murid
Siauw-lim-pai! Pangeran ini sejak kecil memang suka akan ilmu silat, apa lagi
setelah dia diangkat menjadi Pangeran Mahkota, dia makin tekun mempelajari ilmu
silat karena dia berpendapat bahwa untuk dapat menjadi kaisar yang baik, selain
harus ahli dalam soal-soal bun yang meliputi juga soal-soal tata negara, harus
mahir pula dalam bu atau ilmu silat, juga ilmu perang. Maka dia lalu masuk ke
Siauw-lim-si dan menjadi murid kuil yang juga menjadi partai persilatan yang
amat besar dan telah terkenal sebagai sumber ilmu silat yang tinggi itu.
Pangeran
Yung Hwa menjumpai kakaknya dan menceritakan akan segala yang terjadi selama
kakaknya tenggelam dalam pelajaran ilmu silat di kuil itu, akan penyelewengan
para pembesar. Pangeran Yung Hwa menceritakan pula tentang pemecatan-pemecatan
yang dilakukan oleh kaisar karena bujukan pembesar-pembesar penjilat, pemecatan
yang dilakukan terhadap pemimpin-pemimpin yang setia, jujur dan pandai, bahkan
menceritakan betapa Jenderal Kao Liang juga dipecat. Kemudian, Pangeran Yung
Hwa menceritakan pengalamannya ketika dia hampir tewas di Ho-nan.
“Kenapa kau
tidak adukan semua itu kepada kaisar?” Pangeran Yung Ceng menegur adiknya.
“Gubernur Ho-nan yang memberontak itu harus ditindak!”
Pangeran
Yung Hwa menarik napas panjang. “Itulah sebabnya mengapa aku terpaksa
menyusulmu ke sini. Kaisar sama sekali tidak mau mendengar laporanku, bahkan
marah-marah dan kalau bukan aku yang melapor, agaknya tentu sudah dihukum.
Betapa banyaknya pembesar jujur yang sudah mencoba untuk menyadarkan beliau,
akan tetapi malah menerima hukuman. Pengaruh para thaikam (pembesar kebiri)
amat besar dan kaisar amat lemah, seperti bersikap masa bodoh.”
“Hemmm,
sampai sekian jauhnya keadaan buruk itu?” tanya Pangeran Yung Ceng.
“Malah lebih
lagi,” kata Yung Hwa. “Semenjak kakak kita, Puteri Milana tidak ada, dan engkau
sendiri pergi memperdalam ilmu silat di sini, tidak ada lagi orang kuat di
dalam istana. Aku sendiri biar pun telah terbebas dari cengkeraman Gubernur
Ho-nan dan berkali-kali tertolong oleh orang-orang gagah, akan tetapi tidak
pernah terlepas dari pengawasan mereka. Bahkan aku percaya bahwa ketika aku
menyamar dan datang ke sini ada orang-orang yang diam-diam membayangiku.”
“Ahhh!
Sampai begitu hebat?” Pangeran Yung Ceng mengepal tinjunya. “Yung Hwa, wajah
kita mirip sekali seperti saudara kembar, maka biarlah aku memakai pakaianmu
dan keluar lebih dulu dari kuil ini. Engkau boleh menyusul besok dengan dikawal
oleh murid-murid Siauw-lim-pai. Hendak kulihat sendiri, sampai di manakah
kenekatan dan keberanian pengkhianat-pengkhianat itu!”
Dengan marah
sekali Pangeran Mahkota Yung Ceng lalu mengenakan pakaian adiknya. Setelah
berpamit kepada para guru di kuil itu dan memesan agar besok adiknya dikawal ke
kota raja, dia lalu meninggalkan kuil. Memang wajah Pangeran Yung Ceng mirip
sekali dengan wajah Pangeran Yung Hwa. Tentu saja, kalau mereka berdua berbuka
pakaian, nampak perbedaan yang menyolok karena kalau tubuh Pangeran Yung Hwa
halus lemah lembut, sebaliknya tubuh Pangeran Yung Ceng yang sejak kecil gemar
berolah raga itu kokoh dan kekar. Akan tetapi, kalau tubuh mereka disembunyikan
dalam pakaian dari luar, nampak serupa, bertubuh sedang dan berwajah tampan.
Hari telah
mulai senja ketika Pangeran Yung Ceng memasuki kota Thian-cin di sebelah
selatan kota raja. Karena menyamar sebagai adiknya, pangeran ini tidak
menggunakan kepandaiannya untuk berlari cepat dan dia sengaja melakukan
perjalanan lambat untuk melihat-lihat keadaan. Banyak sudah dia mendengar
percakapan di antara rakyat tentang penyelewengan para petugas, dan dia pun
mendengar berita-berita tentang sikap memberontak dari para pembesar di Ho-nan
yang tentu saja mencontoh sikap gubernur mereka. Dia juga tahu bahwa diam-diam
dia selalu dibayangi orang seperti yang diceritakan oleh adiknya.
Ketika malam
hari itu Pangeran Yung Ceng memasuki salah sebuah restoran di kota Thian-cin.
Dia tahu bahwa ada lima orang laki-laki yang bertubuh kokoh kuat dan gerak
geriknya menunjukkan bahwa mereka adalah jagoan-jagoan, yang diam-diam sedang
membayanginya dan mereka pun masuk pula di restoran itu, mengambil tempat duduk
di meja yang berdekatan dengan meja pangeran itu. Restoran itu tidak begitu
ramai dan banyak kursi yang kosong.
Ketika
pangeran itu memesan masakan kepada seorang pelayan, tiba-tiba seorang di
antara lima orang yang duduk di meja yang berdekatan itu tampak bangkit berdiri
dan menghampiri Pangeran Yung Ceng, menjura dan berkata, “Harap maafkan! Kalau
tidak salah lihat, bukankah Kongcu datang dari kota raja?”
Yung Ceng
memandang dengan sikap tak acuh, lalu menggelengkan kepalanya dan menjawab,
“Bukan, saya memang hendak pergi ke kota raja, akan tetapi saya bukan dari kota
raja, saya orang dari selatan.”
Orang itu
berkata ‘maaf’ sambil tersenyum, kemudian kembali duduk di tempat teman
temannya. Percakapan pendek itu disaksikan oleh pelayan yang kini sudah pergi
untuk mempersiapkan pesanan Pangeran Yung Ceng.
“Ha-ha,
memang mirip, akan tetapi dia tentu bukan pangeran pengecut itu,” tiba-tiba
terdengar seorang di antara lima orang itu berkata, kata-katanya cukup keras
sehingga terdengar oleh Pangeran Yung Ceng.
“Kalau dia
Pangeran Yung Hwa, sudah kuhancurkan kepalanya sejak tadi,” terdengar pula
mereka bicara.
“Ha-ha-ha,
yang ini hanyalah seorang sastrawan lemah, tidak ada harganya untuk dipandang.
Dan kita telah membayanginya sehari penuh. Sialan!”
“Karena
gara-gara dia kita membuang tenaga sia-sia, sebaiknya kalau kita hajar kutu
buku ini.”
“Akan
tetapi, bagaimana kalau dia benar Pangeran Yung Hwa...?” terdengar suara lain,
berbisik dan kalau yang duduk di situ adalah Pangeran Yung Hwa, tentu tidak
akan dapat mendengar bisikan itu. Akan tetapi, Pangeran Yung Ceng telah
mempelajari ilmu yang tinggi, sehingga panca inderanya lebih peka dan tajam
dari pada orang biasa. Dia mampu mendengarkan bisikan ini.
“Lebih baik
lagi kalau begitu! Dan kita tak akan salah, karena bukankah dia menyangkal
siapa dirinya? Pelayan itu menjadi saksi.”
Sekarang
maklumlah Pangeran Yung Ceng mengapa seorang di antara mereka tadi menegurnya.
Kalau dia sudah menyangkal sebagai pangeran, maka andai kata mereka itu
membunuhnya, mereka kemudian dapat menggunakan alasan bahwa mereka tidak
mengenalnya sebagai pangeran, seperti disaksikan pula oleh pelayan tadi.
Pelayan tadi
datang membawa masakan, langsung menghampiri meja Pangeran Yung Ceng.
“Heeeii, itu
pesanan kami!” teriak seorang di antara mereka sambil bangkit berdiri dan
menghampiri meja Pangeran Yung Ceng.
“Tidak,
Sicu, ini adalah pesanan Kongcu ini!” bantah si pelayan.
“Setan! Kami
juga memesan masakan seperti ini sejak tadi. Hayo berikan kepada kami. Apakah
kau hendak menjilat kutu buku ini?”
Pangeran
Yung Ceng maklum bahwa orang yang berkumis tebal, seorang di antara mereka itu
yang kini bersikap kasar, memang sengaja hendak mencari keributan, maka dia
berkata tenang, “Sobat, harap jangan membikin ribut!”
Inilah yang
ditunggu-tunggu oleh Si Kumis Tebal itu. Dengan mata melotot dia segera
menghampiri Pangeran Yung Ceng, lalu menghardik, “Jika aku membikin ribut,
engkau mau apa, cacing buku yang busuk?”
Akan tetapi,
biar pun Yung Ceng juga seorang kutu buku atau cacing buku, yaitu sebutan
mengejek bagi seorang sastrawan, dia bukanlah seorang yang lemah. Sama sekali
bukan! Dia adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang tekun dan berbakat, bahkan
telah diberi pelajaran istimewa oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai sehingga dia
memiliki ilmu kepandaian tinggi.
“Tidak
apa-apa,” jawab Pangeran Yung Ceng tenang. “Hanya kalau kau tidak segera pergi
dari sini, aku akan mencabuti kumismu!”
Sepasang
mata itu terbelalak semakin lebar, mulutnya ternganga seakan-akan tidak percaya
akan pendengarannya sendiri. Benarkah si kutu buku ini sudah berani berkata
demikian kepadanya?
“Keparat...!”
teriaknya dan kepalan tangannya yang sebesar kepala anak kecil, yang keras dan
terlatih karena sering kali dilatih memukuli batu sampai remuk, sekarang
menyambar ke arah kepala Pangeran Yung Ceng.
Akan tetapi,
dengan gerakan ringan dan tenang, pangeran itu miringkan kepalanya, membiarkan
tangan yang memukul itu lewat, kemudian secepat kilat jari-jari tangannya
menyambar dan membetot.
“Auuwwhhhh...!”
Si Kumis Tebal itu menjerit-jerit dan kedua tangannya menutupi bawah hidungnya
yang berdarah karena kumisnya telah dicabut dengan paksa oleh Pangeran Yung
Ceng.
“Manusia
bosan hidup!” terdengar teriakan dan empat orang lainnya sudah berloncatan dari
kursi mereka dan menerjang Pangeran Yung Ceng. Pelayan itu lari ketakutan dan
kini pangeran itu bangkit berdiri, wajahnya merah karena marah.
Empat orang
itu menerjang dengan kepalan tangan mereka, dan dari gerakan mereka dapat
diketahui bahwa mereka memang bukan orang-orang sembarangan, melainkan
jagoan-jagoan yang pandai ilmu silat. Akan tetapi, yang mereka keroyok adalah
murid Siauw-lim-pai yang sudah matang ilmu silatnya, maka segera terdengar
suara mereka mengaduh dan meja kursi berserakan ketika pangeran itu
membagi-bagi pukulan dan tendangan yang membuat mereka terlempar ke sana-sini.
Mengertilah
lima orang itu sekarang bahwa pemuda tampan yang kelihatan lemah itu, yang
mereka sangka adalah Pangeran Yung Hwa, ternyata adalah seorang pemuda yang
sama sekali tidak lemah, melainkan seorang pemuda yang memiliki kepandaian
tinggi. Kemarahan mereka memuncak dan mereka berlima, termasuk Si Kumis Tebal
yang kini telah berubah menjadi Si Kumis Buntung karena masih ada sisa kumisnya
menempel di bawah hidung, segera mencabut senjata mereka berupa golok besar dan
dengan teriakan-teriakan ganas mereka kini menerjang pemuda itu.
Yung Ceng
meraba pinggangnya dan nampaklah cahaya berkelebat ketika pangeran ini sudah
mencabut sebatang pedang pendek yang tadi disembunyikan di bawah baju
sastrawannya. Pedang pendeknya itu digerakkan dengan hebat, nampak gulungan
sinar menyambar-nyambar dan terjadilah pertempuran yang seru di dalam rumah
makan itu. Para tamu sudah sejak tadi lari meninggalkan restoran itu, demikian
pun para pelayan ada yang lari, ada pula yang sembunyi dengan tubuh menggigil.
Dengan marah
sekali Pangeran Yung Ceng menggerakkan pedangnya dan berturut turut
terdengarlah pekik mengerikan disusul robohnya lima orang pengeroyok itu, ada
yang lehernya terpancung hampir putus, ada yang perutnya robek dan ada pula
yang dadanya berlubang. Pangeran Yung Ceng menyimpan pedangnya dan melihat
bahwa seorang di antara mereka masih belum tewas, yaitu yang tadi sengaja hanya
dia lukai pahanya, dia cepat mencengkeram pundak orang itu, lalu ditariknya
naik dan dia membentak, “Kalian telah membayangi aku dan sekarang sengaja
menyerang, hayo katakan siapa yang menyuruh kalian!”
Orang itu
meringis kesakitan, mukanya pucat dan dia sangat ketakutan, menggeleng
gelengkan kepala.
“Hayo
mengaku! Kau tahu siapa aku? Aku adalah Pangeran Mahkota Yung Ceng!”
Orang itu
terbelalak. “Am... ampunkan hamba... hamba hanya utusan... dari... dari...!”
Pada saat
itu nampak sinar berkelebat menyambar. Pangeran Yung Ceng amat terkejut karena
sinar itu datangnya cepat bukan main, menyambar dari luar rumah makan. Karena
tidak mungkin dapat mengelak lagi, pangeran itu cepat mengangkat tubuh orang
yang dicengkeram pundaknya itu, dipakai sebagai perisai.
“Crottt...auggghhhhh...!”
Orang itu
menjadi lemas dan melihat betapa tawanannya itu tewas, Pangeran Yung Ceng
melemparkannya ke atas lantai dan dia cepat meloncat ke pintu. Akan tetapi dia
hanya melihat bayangan penyerangnya itu berkelebat cepat dan sudah lenyap di
antara banyak orang di jalan raya. Dia kembali lagi dan melihat bahwa punggung
orang tadi tertusuk jarum berwarna kehijauan yang menancap sampai hanya
kelihatan sedikit saja ujungnya. Tahulah dia bahwa penyerangnya adalah seorang
yang mahir menggunakan senjata rahasia jarum beracun. Dia merasa menyesal
karena tawanan ini belum sempat mengaku siapa yang menyuruh mereka.
Ketika
pembesar setempat mendengar bahwa pangeran mahkota diserang orang di kotanya,
dia tergopoh-gopoh datang diiringkan oleh pasukan pengawal. Kiranya ketika
Pangeran Yung Ceng tadi mengakui dirinya untuk memaksa tawanannya mengaku, ada
beberapa orang yang mendengar dan cepat mereka itu melaporkan kepada para penjaga
keamanan sehingga pembesar kepala daerah sendiri kini datang ke restoran itu.
Pangeran
Yung Ceng menerima penghormatan mereka yang berlutut dan dengan singkat dia
lalu memerintahkan untuk menyelidiki lima orang itu, kemudian dia minta seekor
kuda dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat ke kota raja, menolak ketika
hendak dikawal. Pangeran mahkota ini marah sekali karena kini dia mendapatkan
bukti sendiri betapa memang terjadi kekacauan sehingga ada penjahat-penjahat
yang menghendaki nyawa adiknya, yaitu Pangeran Yung Hwa. Dia dapat menduga
bahwa lima orang itu tentulah orang-orang yang diutus oleh Gubernur Ho-nan yang
sudah memperlihatkan sikap memberontak itu.
Setelah tiba
di kota raja, pangeran mahkota yang sedang marah itu langsung saja menghadap
ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi yang sudah tua dan pikun. Dengan tegas dia
menceritakan keadaan yang amat kacau karena tingkah polah para pembesar yang
menyeleweng itu kepada kaisar.
Kaisar Kang
Hsi adalah seorang kaisar yang tadinya amat terkenal karena pandai mengatur
pemerintahan, berwibawa dan juga bijaksana. Kerajaan Mancu berkembang dengan
baiknya, dan harus diakui bahwa dialah yang berjasa dalam menaikkan nama
Dinasti Kerajaan Ceng-tiauw. Tetapi, setelah dia menjadi tua dan pikun, dia
menjadi tidak acuh dan malas. Kini, mendengar teguran puteranya yang telah
dipilihnya untuk kelak menggantikan dia menjadi kaisar, Kaisar Kang Hsi
mendengarkan dengan sabar dan dengan sikap tidak acuh, kemudian dia
menggerakkan tangan dan berkata, “Puteraku yang baik, ayahmu ini sudah tua dan
sudah malas untuk mengurus segala macam hal yang memusingkan belaka. Di dalam
tahun-tahun terakhir dari usiaku ini, aku ingin hidup tenteram dan enak, ingin
menikmati hidup ini, dan yang kupentingkan adalah keuntungan bagi negeriku.
Mengapa aku tidak boleh menikmati kehidupan di dalam usia setua ini? Engkau
saja yang harus rajin dan mematangkan dirimu agar kelak kalau kau menggantikan
aku, engkau sudah benar-benar cakap.”
“Maafkan
hamba, bukan maksud hamba untuk membantah. Akan tetapi sudah lupakah Paduka
akan Sri Baginda Raja Liang Hwi Ong?”
Kaisar yang
tua itu memandang puteranya sambil tersenyum. “Hemmm, maksudmu?”
Dengan tegas
Pangeran Mahkota Yung Ceng lalu mengingatkan kaisar akan pelajaran dalam kitab
Beng Cu. Beng Cu adalah seorang murid Nabi Khong Cu yang bijaksana sekali dan
banyaklah contoh-contoh diambil dari Beng Cu ini sebagai pewaris pelajaran Nabi
Khong Cu. Yang dimaksudkan oleh Pangeran Yung Ceng dengan Raja Liang Hwi Ong
adalah pelajaran Beng Cu yang menuturkan tentang pertemuan antara Raja Hwi Ong
dari Negeri Liang dengan Beng Cu.
Raja Hwi Ong
bertanya kepada Beng Cu, ajaran apakah yang dapat membawa keuntungan bagi
negerinya di waktu itu. Mendengar pertanyaan ini, Beng Cu lalu menjawab.
“Mengapa Baginda menanyakan keuntungan? Yang saya bawa hanyalah cinta kasih dan
kebenaran. Apa bila Paduka bertanya tentang keuntungan bagi negeri Paduka, para
pembesar tentu akan bertanya tentang keuntungan bagi keluarga mereka, dan
rakyat pun akan bertanya tentang keuntungan bagi diri sendiri. Apa bila yang
berkedudukan tinggi mau pun yang rendah hanya memperebutkan atau menginginkan
keuntungan saja, negara tentu akan berada dalam bahaya. Raja yang memiliki
berlaksa kereta perang kalau sampai terbunuh tentu oleh pangeran yang memiliki
ribuan kereta perang, dan pangeran itu kalau sampai terbunuh tentu oleh
keluarga yang hanya memiliki seratus kereta perang. Apa bila yang memiliki
selaksa kereta perang mengambil yang seribu, tentu yang memiliki seribu
mengambil yang seratus dan selanjutnya. Jumlah itu bukan kecil, akan tetapi apa
bila manusia membelakangi kebenaran dan mengutamakan keuntungan, pasti dia
tidak puas sebelum memperoleh seluruhnya. Sebaliknya, belum pernah ada seorang
manusia yang mempunyai cinta kasih menyia-nyiakan orang tuanya, dan belum
pernah ada seorang manusia yang menjunjung kebenaran membelakangi rakyatnya.
Seharusnya Paduka bertanya tentang cinta kasih dan kebenaran. Untuk apa
bertanya tentang keuntungan?”
Demikianlah
pelajaran dalam kitab Beng Cu yang kini dikemukakan oleh Pangeran Yung Ceng
untuk menyadarkan ayahnya, yaitu Kaisar Kang Hsi.
Kaisar Kang
Hsi sudah amat tua dan sakit-sakitan tubuhnya, juga batinnya tidak sehat lagi
semenjak dia berduka atas kematian saudara-saudaranya yang telah memberontak.
“Sudahlah, Yung Ceng, jangan ganggu aku dengan segala isi kitab lama itu. Aku
sudah lelah dan aku tidak ingin memusingkan keadaan di luar kamarku.”
“Akan tetapi
Paduka masih seorang kaisar, Paduka masih mempunyai tanggung jawab yang amat
besar terhadap rakyat jelata. Apakah Paduka masih belum tahu akan segala
peristiwa di luaran? Apakah Paduka tidak tahu betapa hampir saja Adik Yung Hwa
terbunuh karena Gubernur Ho-nan hendak memberontak? Betapa pembesar-pembesar
jahat sekarang ini sudah bersekongkol dengan penjahat-penjahat dari dunia hitam
dan menanti saatnya saja untuk memberontak? Betapa para pembesar setia dan
bijaksana Paduka pecat oleh karena bujukan para pembesar palsu yang
menjilat-jilat? Betapa kedudukan Paduka menjadi lemah karena kekuasaan secara
diam-diam diambil alih oleh mereka yang berpengaruh di dalam istana?”
“Sudahlah,
Yung Ceng. Apa yang dapat dilakukan oleh seorang tua seperti aku yang sudah
bosan dengan semua itu?”
“Paduka
dapat turun tangan, Paduka dapat bertindak sekarang juga, dan pertama-tama
Paduka seyogyanya dapat membebaskan diri dari pengaruh para thaikam...”
Pada saat
itu, thaikam kepala yang bernama Kong Tek Jin dan yang hadir pula di situ,
tiba-tiba berkata, “Pangeran, harap jangan terlalu mendesak kepada Sri Baginda.
Beliau sedang kurang sehat dan lelah...“
“Diam kau!
Jangan mencampuri!” Yung Ceng membentak.
“Yung Ceng,
tidak boleh kau bersikap begitu terhadap dia yang amat berjasa...” Kaisar
mencela.
“Justeru dia
inilah salah seorang di antara mereka yang jahat dan palsu, akan tetapi dia
pandai menjilat!”
“Pangeran,
tidak boleh Paduka berkata demikian...“
“Yung Ceng,
Kong Tek Jin adalah seorang yang amat setia!”
Akan tetapi
Yung Ceng sudah meloncat dan menyambar pundak thaikam itu, kemudian
mengangkatnya dan membantingnya ke atas lantai.
“Brukkkkk...!”
Thaikam yang
gendut itu mengeluh dan ketika para pengawal dalam bergerak maju, Yung Ceng
bertolak pinggang dan membentak, “Kalian mundurlah! Berani melawan Pangeran
Mahkota?”
Tentu saja
para pengawal itu meragu dan mereka memandang ke arah Sri Baginda. Kalau Sri
Baginda memberi aba-aba atau isyarat, tentu tanpa ragu-ragu lagi mereka akan
menerjang pangeran itu. Akan tetapi Sri Baginda diam saja, hanya memandang
kepada puteranya dan kembali Yung Ceng membentak, “Kalian keluar dari sini,
jaga di luar pintu kamar!” Kembali para pengawal memandang kepada kaisar.
Sekali ini kaisar mengangguk dan menggerakkan tangan memberi isyarat agar
mereka keluar.
Setelah para
pengawal keluar, Yung Ceng berkata kepada ayahnya, “Sekarang hamba akan
membuktikan siapa adanya manusia macam ini!”
Dia sudah
mendekati Thaikam Kong Tek Jin, menggerakkan tangannya mencengkeram ke arah
tengkuk thaikam itu, kemudian menghardik. “Hayo kau mengaku sebenarnya!
Bukankah seluruh keluargamu telah kau datangkan ke sini dan kau angkat menjadi orang-orang
yang memiliki kedudukan tinggi? Hayo jawab, kalau membohong akan kuhancurkan
kepalamu sekarang juga?”
Sambil
berkata demikian, Yung Ceng menggunakan tangannya mencengkeram jalan darah di
tengkuk yang menimbulkan rasa nyeri yang amat hebat. Thaikam itu ketakutan
karena dia tahu bahwa pangeran ini memang berilmu tinggi. Dia harus
menyelamatkan diri dulu, baru kelak mencari jalan untuk melenyapkan pangeran
ini. Sekarang, dia benar-benar tidak berdaya dan kalau dia membohong, tentu dia
benar-benar akan dibunuh.
“Be...
benar, Pangeran. Akan tetapi apakah salahnya hal itu? Tentu saja hamba ingin
menolong keluarga hamba...”
“Dan untuk
itu kau memecat pejabat-pejabat lama? Dan engkau sudah menumpuk harta kekayaan
berlimpah-limpah? Engkau sudah makan sogokan dari pembesar-pembesar bawahan
agar engkau suka membujuk Kaisar demi keuntungan mereka, bukan?”
“Ini...
ini...“
“Hayo
katakan yang benar! Bukankah Gubernur Ho-nan telah mengirimkan seribu tail emas
dan dua kereta bertabur emas kepadamu baru-baru ini?” kata Yung Ceng yang
mendengar ini semua dari Pangeran Yung Hwa. “Dan dengan pemecatan Jenderal Kao
Liang, engkau memperolah hadiah sepeti permata dari Panglima Ciu yang diangkat
menjadi panglima penggantinya? Dan engkau juga telah menyuruh orang-orang untuk
membasmi keluarga Yauw, ketika pembesar Yauw bermaksud untuk membongkar
kepalsuanmu di depan Kaisar? Hayo jawab, tidak benarkah semua itu?”
“Ti...
tidak... tidak...“
Yung Ceng
mencabut pedang pendeknya.
“Crottt...!”
Ujung pedang itu menusuk paha sampai beberapa senti dalamnya, dan dia
mencengkeram otot di punggung sehingga thaikam itu memekik-mekik seperti seekor
babi disembelih saking nyerinya.
“Hayo kau
menjawab, benarkah semua itu?”
“Ya... ya...
benar...!” Thaikam Kong Tek Jin menangis, akan tetapi diam-diam dia sudah
bersumpah untuk membalas pangeran ini.
“Sekarang,
katakan, bukankah engkau sudah tahu pula bahwa Gubernur Ho-nan akan
memberontak? Hayo jawab!”
Tubuh
thaikam itu menggigil. “Hamba... hamba tidak ikut-ikut...“
“Tapi engkau
tahu?”
“Ya...
ya...”
Kaisar kini
mengerutkan alisnya. “Kong Tek Jin! Engkau tahu ada gubernur hendak memberontak
dan kau tidak melaporkan kepada kami?”
“Hamba...
hamba tidak berani... hamba...“
“Yung Ceng,
kiranya benar pelaporanmu. Keadaan sudah demikian buruk, sama sekali tidak
kusangka. Suruh bawa dia pergi!”
Yung Ceng
memanggil pengawal. “Seret dia ke dalam tahanan!”
Kini kaisar
memandang puteranya dengan kagum. Kemudian dia mencabut pedangnya, pedang
kerajaan yang merupakan lambang kekuasaan, menyerahkannya kepada pangeran itu.
“Terimalah ini dan kau wakili aku melakukan pembersihan di dalam dan di luar
istana. Aku sudah lelah, aku ingin beristirahat dan jangan ganggu aku dengan
tugasmu itu. Harus kau selesaikan seluruhnya dan kalau sudah selesai saja
melaporkan kepadaku.”
Pangeran
Yung Ceng lalu menerima pedang pusaka itu sambil berlutut, menghaturkan terima
kasih dan cepat meninggalkan kamar ayahnya. Mulailah pangeran mahkota ini
melakukan pembersihan. Tindakannya yang pertama adalah menangkapi para thaikam
yang menjadi kaki tangan Thaikam Kong Tek Jin, menjatuhkan hukuman mati! Dan
semua pembesar yang diangkat oleh para thaikam ini, para keluarga thaikam dan
sobat-sobat mereka, yang memperoleh kedudukan dengan jalan menyogok, dipecat
dari kedudukannya dan ada pula yang dijatuhi hukuman.
Kota raja
geger! Para pembesar palsu yang kerjanya hanya korupsi dan menumpuk kekayaan
pribadi tanpa menghiraukan tugas-tugasnya menggigil. Mereka tidak enak makan
tidak nyenyak tidur, dan dalam keadaan seperti itu, sogok-menyogok makin
menghebat karena mereka yang merasa terancam, kembali mencari perlindungan
dengan cara sogok sana sogok sini. Kalau dunianya para koruptor itu geger,
adalah para petugas yang setia dan jujur merasa bersyukur sekali. Mereka
seolah-olah melihat cahaya terang, melihat matahari muncul kembali di
tengah-tengah kegelapanan yang ditimbulkan oleh awan tebal yang sudah
bertahun-tahun mengancam kerajaan.
Setelah
pembersihan di dalam istana dilakukan, Yung Ceng melanjutkan tindakannya dengan
segera melakukan pembersihan-pembersihan di luar istana atas nama kaisar.
Gubernur Ho-pei cepat menghadap dan barulah sekarang dia berani melapor tentang
sikap memberontak Gubernur Ho-nan. Sebelum ini, dia sama sekali tidak berani
melaporkan kepada kaisar, karena maklumlah gubernur ini bahwa melaporkan akan
percuma saja, sama sekali tidak akan diterima oleh kaisar, bahkan sebaliknya
akan membahayakan dia sekeluarganya karena yang dihadapi bukan kaisar melainkan
para thaikam yang berkuasa seolah-olah melebihi kaisar.
Ketika
mendengar laporan Gubernur Ho-pei betapa pihak pemberontak, yaitu Gubernur
Ho-nan diam-diam telah bersekutu dengan kerajaan Nepal, bahkan mendirikan
benteng di perbatasan propinsi, di lembah Sungai Huang-ho, dia terkejut dan
marah sekali. Dia maklum akan bahayanya perang saudara, maka pangeran mahkota
ini lalu teringat akan Puteri Milana. Dia segera menyebar orang-orang untuk
mencari Puteri Milana, karena dia tahu bahwa puteri itu adalah seorang yang
paling boleh diandalkan untuk menanggulangi ancaman bahaya pemberontakan itu.
Dia tidak mau sembrono mengirim pasukan, karena hal itu akan menimbulkan perang
saudara yang akan membuat rakyat menderita sengsara.
Di dalam
Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa Puteri Milana bersama Pendekar
Sakti Gak Bun Beng telah meninggalkan dunia ramai. Puteri Milana adalah puteri
dari Pendekar Super Sakti Suma Han majikan Pulau Es. Ibunya adalah Puteri
Nirahai. Seperti telah diceritakan dalam Kisah Sepasang Rajawali, Puteri Milana
sudah pergi dari istana, minggat setelah suaminya, yaitu mendiang Panglima Han
Wi Kong, membunuh Pangeran Liong Bin Ong. Selain untuk membunuh seorang
pemberontak dan pengkhianat, pembunuhan atas diri pangeran ini dilakukan oleh
Han Wi Kong sebagai cara untuk membunuh diri karena dia ingin memberi kebebasan
kepada Puteri Milana yang menjadi isterinya hanya dalam nama saja. Dia tahu
isterinya itu mencinta Gak Bun Beng, maka semenjak menikah, belum pernah dia
mendekati isterinya dan belum pernah mereka tidur bersama.
Demikianlah,
Puteri Milana akhirnya bertemu dan berkumpul juga dengan pria yang dicintanya,
satu-satunya pria yang pernah dicintanya, yaitu Gak Bun Beng. Akan tetapi, atas
permintaan Gak Bun Beng yang tidak ingin mendengar nama kekasihnya ini cemar
dan tertimpa aib, sebagai janda bangsawan, seorang puteri istana, menikah lagi
dengan dia, maka dia mengajak kekasihnya yang menjadi isterinya itu ke tempat
sunyi, jauh dari dunia ramai. Mereka berdua meninggalkan segala kericuhan hidup
di dunia ramai dan tinggal di sebuah puncak, satu di antara puncak-puncak
Pegunungan Beng-san, yaitu puncak yang disebut puncak Telaga Mawar karena di
situ terdapat sebuah telaga kecil yang penuh dengan pohon bunga mawar.
Suami isteri
ini seolah-olah hendak menebus segala kerinduan mereka bertahun-tahun yang
lalu, belasan tahun penuh kerinduan ketika mereka dahulu saling berpisah. Kini
mereka itu seolah-olah tenggelam dan berenang di dalam lautan madu asmara,
mencurahkan seluruh perasaan cinta kasih satu kepada yang lain di tempat sunyi
di pondok mereka dekat telaga, di tengah-tengah suasana tenang dan hening yang
diliputi keharuman bunga-bunga mawar.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment