Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 12
Pendekatan
antara minyak dengan api memang tidak begitu saja menimbulkan kebakaran, akan
tetapi setidaknya membuka kesempatan besar sekali untuk terjadinya kebakaran
itu, dan dengan pengalamannya, dengan kecantikannya dan tubuhnya yang masih
padat dan nampak muda, dia akan dengan mudah menimbulkan kebakaran itu.
Meonggg.
“Baiklah,
Tek Hoat. Dan langkah pertama setelah kita menjadi sahabat adalah agar engkau
jangan menyebutku Mo-li (lblis Betina) lagi. Betapa tidak enaknya mendengar
sebutan itu dari mulut seorang... sahabat. Namaku adalah Lauw Hong Kui. Nama
yang indah sekali, bukan? Memang mendiang orang tuaku pandai memilih nama untuk
anaknya. Nah, mulai sekarang kau sebut saja namaku seperti aku menyebut
namamu.”
Tentu saja
hal semacam itu tidak terlalu dipedulikan benar oleh Tek Hoat. “Baiklah, Hong
Kui. Dan mari kita melanjutkan perjalanan.”
Mauw Siauw
Mo-li tersenyum manis, sepasang matanya bersinar penuh kegembiraan mendengar
namanya disebut oleh Tek Hoat. “Mari, Tek Hoat, mari kita datangi kakek itu!”
Kedua orang
itu melanjutkan perjalanan, jalan berendeng dan kalau dilihat dari jauh memang
mereka itu serasi sekali. Yang pria tampan gagah, yang wanita cantik manis.
Hanya kalau dilihat dari dekat dengan penuh perhatian baru dapat diketahui
bahwa yang wanita jauh lebih tua dan memang banyak berbeda usia mereka. Tek
Hoat berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, sedang Lauw Hong Kui, Siluman
Kucing itu, paling sedikitnya berusia tiga puluh lima tahun. Mereka melakukan
perjalanan menuju ke timur, menuju ke pantai Teluk Po-hai.....
***************
Setelah
berhasil memperoleh ramuan obat seperti yang dipesan oleh Sai-cu Kai-ong untuk
mengobati kakaknya, Kian Bu dan Siauw Hong dengan cepat meninggalkan kota kecil
di perbatasan Ho-pei sebelah barat itu untuk kembali ke puncak Nelayan di
pegunungan Tai-hang-san, yaitu tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Obat yang
dicarinya itu agak sukar sehingga mereka berdua telah melewati beberapa buah
kota, barulah dapat membeli di toko obat dalam kota di perbatasan itu, setelah
melakukan perjalanan dua hari! Maka kini, khawatir kalau ditunggu-tunggu oleh
Sai-cu Kai-ong, dua orang muda ltu bergegas pulang.
Dalam
perjalanan ini, Kian Bu mencoba ilmu kepandaian berlari cepat dari pengemis
muda yang sekarang telah berpakaian biasa itu, dan dengan kagum dia mendapatkan
kenyataan bahwa Siauw Hong benar-benar merupakan seorang pemuda remaja yang
memiliki dasar ilmu kepandaian tinggi yang hanya perlu dimatangkan saja.
Ketika
mereka melewati jalan sunyi dan berbatu-batu di luar sebuah dusun, ditimpa
terik matahari lewat tengah hari yang masih bersinar sepenuh kekuatannya,
tiba-tiba pada suatu tikungan jalan Siauw Hong berseru, “Ehh, ada orang
berkelahi...!”
Kian Bu juga
sudah melihatnya. Agak jauh di depan, dia melihat dua orang sedang berkelahi
dan dari jauh sudah dapat dilihat bahwa dua orang yang sedang berkelahi itu
keduanya menggunakan ilmu silat yang cukup hebat. Dan di tepi jalan nampak
rebah seorang laki-laki yang bergerak-gerak lemah.
“Siauw Hong,
jangan engkau sembarangan mencampuri urusan mereka sebelum kita mengetahui
duduk persoalan,” bisik Kian Bu dan Siauw Hong mengangguk.
Setelah
mereka tiba di tempat itu, Siauw Hong melihat bahwa yang rebah itu adalah
seorang laki-laki tua yang gagah kelihatannya, dan agaknya dia itu telah
terluka. Dia menggigit bibir dan menahan rasa nyeri, akan tetapi tidak pernah
terdengar keluhan dari mulutnya.
Ketika dia
melihat mereka yang berkelahi, Siauw Hong terkejut karena dia mengenal bekas
teman seperjalanannya, yaitu Kang Swi, si pemuda royal yang menjadi pengawal
dari Gubernur Ho-nan! Ada pun yang menjadi lawan Kang Swi adalah seorang gadis
cantik berbaju hijau yang hidungnya mancung. Siauw Hong tertarik sekali. Dia
maklum betapa lihainya Kang Swi karena dia pernah bertanding dengan pemuda kaya
raya itu di atas panggung lui-tai ketika diadakan sayembara pemilihan pengawal
oleh Gubernur Ho-nan dan dia harus mengakui keunggulan Kang Swi. Akan tetapi
kini Kang Swi seperti terdesak oleh wanita baju hijau yang amat lihai itu!
Kian Bu juga
memandang dengan tertarik dan kagum. Dia mengenal gadis baju hijau yang
hidungnya mancung itu. Pernah dia bertemu dengan wanita ini di dalam restoran.
Bahkan wanita ini pernah menjamu para tamu dan membayar harga makanan dan
minuman mereka, termasuk dia. Dan kemudian muncul seorang pemuda yang kulitnya
putih, matanya agak biru dan rambutnya coklat yang diakui sebagai suheng oleh
wanita hijau itu dan mereka berdua kemudian terluka dan pingsan oleh
jarum-jarum beracun dari huncwe yang dilepas oleh Boan-wangwe. Benar, dia
mengenal wanita itu dan kini diam-diam dia memperhatikan betapa Kang Swi repot
juga menghadapi wanita baju hijau yang gerakannya amat cepat dan aneh itu,
mengandung gerakan liar yang tidak dia kenal. Entah dari cabang persilatan
apakah ilmu silat yang dimainkan oleh wanita baju hijau ini.
Melihat Kang
Swi terdesak dan gerakan pemuda tampan itu agak kaku, Kian Bu hanya menarik
napas panjang. Dia tahu bahwa pemuda tampan itu masih menderita luka akibat
bentrok dengan dia ketika mereka memperebutkan Pangeran Yung Hwa di gubernuran
Ho-nan. Beberapa kali Kang Swi terdesak dan terhuyung menyeringai tanda bahwa
dia merasa nyeri di dalam tubuhnya. Akan tetapi baik dia sendiri mau pun Siauw
Hong, kini telah menganggap Kang Swi sebagai musuh karena pemuda itu telah
menjadi kaki tangan Gubernur Ho-nan yang dianggap memberontak, maka mereka
berdua hanya menonton saja ketika melihat Kang Swi terdesak.
Sementara
itu, pada saat Kang Swi melirik dan mengenal Kian Bu dan Siauw Hong, mukanya
menjadi merah karena marahnya. Kedua orang itu tadinya adalah sahabat sahabat
baiknya, yang tidak saja pernah melakukan perjalanan dengan dia, malah di dalam
perjalanan mengobrol dan bergurau sebagai sahabat. Bukan itu saja, malah dia
sudah membelikan kuda tunggangan untuk mereka! Akan tetapi kini mereka hanya
menonton, padahal dia terdesak oleh lawan yang lihai ini. Hatinya terasa
mendongkol bukan main dan kemarahannya memuncak, maka dia kemudian mengeluarkan
suara melengking nyaring, tubuhnya meloncat dan menerjang ke arah lawan dengan
pukulan tangan kanan yang dimiringkan.
Kian Bu
terkejut melihat serangan dahsyat ini. Ia mengenal pukulan sakti, maka karena
dia mengkhawatirkan keselamatan gadis baju hijau itu, dia berseru, “Awasss...!”
Namun
terlambat sudah. Pukulan itu datang dengan dahsyatnya dan tidak mungkin dapat
dielakkan lagi, kecuali ditangkis. Dan wanita baju hijau itu pun agaknya tidak
takut menghadapi pukulan itu. Dia mengangkat lengannya menangkis sambil
mengerahkan seluruh tenaganya, apa lagi karena mendengar seruan Kian Bu.
“Desssss...!”
Hebat sekali
pertemuan antara dua lengan yang mengandung tenaga sinkang dahsyat itu.
Akibatnya hebat, tubuh Kang Swi terpelanting dan dia terbanting jatuh berdebuk,
sedangkan kedua kaki gadis baju hijau itu ambles ke dalam tanah sampai setengah
lutut dalamnya!
Sambil
menyeringai, gadis berbaju hijau itu menarik kedua kakinya dari dalam tanah dan
menggoyangkan lengan kanannya yang beradu dengan lengan lawan tadi karena
terasa ngilu dan panas.
“Reettttt...!”
Kagetnya
bukan main melihat betapa lengan bajunya sebatas siku terlepas dan ternyata
lengan baju itu robek dan putus seperti digunting dan copot dari lengannya. Dia
cepat memeriksa lengannya dan di bagian lengan yang tadi bertemu dengan lengan
lawan nampak terluka melintang dan mengucurkan darah, kulitnya robek seperti
terkena bacokan pedang atau golok. Bukan main kaget dan herannya. Dia tahu
jelas bahwa lawannya itu tadi ketika memukul tidak mempergunakan senjata apa
pun, akan tetapi lengannya yang dipakai menangkis terluka, bahkan lengan
bajunya terobek.
Memang
jarang sekali orang menyaksikan ilmu seperti yang dipergunakan oleh Kang Swi
tadi. Dia sendiri pun jarang mempergunakannya, bahkan ketika dia bertanding di
atas panggung lui-tai, dia tidak mau mempergunakannya. Itulah ilmu pukulan
sakti Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) Biar pun dia belum
melatihnya secara sempurna dan belum menguasai sepenuhnya, namun sudah demikian
lihai dan berbahaya.
Wanita baju
hijau itu menjadi marah sekali. Lawannya telah menurunkan tangan kejam, maka
dia cepat menghadapi Kang Swi yang sudah bangkit berdiri lagi. Dengan sepasang
mata mengeluarkan sinar berapi, wanita berbaju hijau itu kini menggosok
gosokkan kedua telapak tangannya, kemudian kedua tangan digerak-gerakkan dengan
lingkaran-lingkaran di depan dadanya.
Kang Swi
yang melihat betapa pukulannya tadi telah berhasil melukai lengan lawan, biar
pun tangkisan itu membuat dia terbanting keras, kini memandang rendah kepada
lawannya. Sambil mengeluarkan lengking panjang lagi, dia hendak mengulangi
pukulan sakti Kiam-to Sin-ciang dan menerjang dengan dahsyatnya. Gadis berbaju
hijau itu menyambutnya dengan dorongan kedua tangan yang terbuka jari-jarinya.
Kian Bu terkejut
bukan main. Dia mengenal pukulan hebat dari gadis berbaju hijau itu, karena dia
pernah melihat suheng dari si nona baju hijau itu dahulu di restoran juga
mempergunakan pukulan dahsyat ini terhadap para lawannya. Maklumlah dia bahwa
Kang Swi yang tidak menduga apa-apa itu terancam bahaya maut. Dia tidak begitu
suka kepada pemuda tampan yang banyak lagak ini biar pun pemuda itu telah
bersikap baik sekali kepadanya, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin
melihat Kang Swi terkena hantaman yang demikian ampuh dan kejamnya, maka dari
tempat dia berdiri, dia lalu mendorong dengan pukulan jarak jauh untuk
membuyarkan tenaga serangan gadis baju hijau terhadap Kang Swi.
Hebat bukan
main pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Kian Bu. Kedua orang yang sedang
saling adu tenaga ini merasa seperti tertahan oleh kekuatan dahsyat yang tak
tampak, yang membuat tenaga mereka seperti tersedot lenyap. Oleh karena itu,
ketika kedua tangan mereka bertemu, kekuatan mereka tidak sepenuhnya lagi.
“Plakkk!”
Biar pun
tenaga gadis berbaju hijau dan Kang Swi hanya tinggal beberapa bagian saja
karena telah dibuyarkan oleh tenaga sinkang yang didorongkan oleh Kian Bu,
namun akibatnya masih sangat parah bagi Kang Swi yang sudah terluka. Dia
terjengkang dan terbanting, bergulingan dan kemudian rebah pingsan. Mukanya
kelihatan biru seperti orang kedinginan.
Melihat Kang
Swi roboh seperti orang mati, Siauw Hong tiba-tiba menjadi marah. Dia teringat
akan kebaikan pemuda tampan itu dan kini melihat pemuda itu dipukul mati, dia
berteriak marah dan membentak, “Berani kau membunuh orang?”
Akan tetapi
sebelum serangannya disambut oleh gadis berbaju hijau yang kelihatan sedang
mengumpulkan kekuatan karena benturan tenaga dengan Kang Swi tadi membuat dia
terengah sedikit, dari samping muncul seorang laki-laki bermata kebiruan dan
berkulit agak putih, gerakannya tangkas ketika dia menangkis pukulan Siauw Hong
yang ditujukan kepada gadis berbaju hijau tadi. Mereka segera berkelahi dan
dari tangkisan-tangkisannya, tahulah Siauw Hong bahwa laki-laki yang seperti
orang asing ini memiliki tenaga yang sangat kuat, maka dia berlaku hati-hati
dan memusatkan perhatian kepada gerakan-gerakannya.
“Tahan...!
Siauw Hong, mundurlah dan jangan berkelahi!” Kian Bu berseru. Mendengar ini,
Siauw Hong lalu meloncat mundur dan cepat dia menghampiri Kang Swi yang masih
menggeletak dengan muka biru.
Melihat Kian
Bu, gadis baju hijau dan laki-laki asing itu segera mengenalnya dan cepat
mereka berdua menjura. “Kiranya Taihiap yang berada di sini...” Gadis baju hijau
itu berkata dan sikapnya agak canggung dan gugup.
“Mengapa
Ji-wi berkelahi dengan dia?” Kian Bu bertanya sambil memandang tajam, tanpa
menoleh kepada Siauw Hong yang sudah memondong tubuh Kang Swi.
Siauw Hong
merasa kasihan sekali melihat Kang Swi rebah seperti mati, mukanya menjadi biru
pucat, akan tetapi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Kang Swi masih bernapas,
sungguh pun napas yang senin kemis, dia kemudian memondongnya dan membawanya ke
tempat teduh di bawah sebatang pohon besar, agak jauh dari tempat perkelahian
itu. Dia tidak lagi mendengarkan apa yang sedang diperbincangkan oleh Kian Bu
dan dua orang itu.
Melihat
napas yang empas-empis dan muka yang pucat kebiruan, tahulah Siauw Hong bahwa
bekas temannya ini menderita luka dalam yang cukup berbahaya dan tentu akan
dapat menyebabkan kematian kalau tidak cepat diobati. Sebagai murid terkasih
dari Sai-cu Kai-ong si ahli obat, tentu saja Siauw Hong juga mempelajari ilmu
pengobatan dan terutama sekali ilmu mengobati luka-luka bekas pukulan, baik luka
luar mau pun luka dalam. Tahulah dia bahwa tanpa bantuan dari luar, Kang Swi
terancam bahaya maut karena dalam keadaan setengah pingsan itu tentu saja Kang
Swi tidak dapat menyalurkan sinkang untuk mengobati lukanya.
Tanpa
ragu-ragu lagi dan tanpa mempedulikan Kian Bu yang kelihatan masih bercakap
cakap dengan dua orang itu, Siauw Hong lalu membuka kancing baju Kang Swi. Dia
melihat betapa di balik baju itu terdapat pula baju dalam. Hemmm, pikirnya.
Dasar pemuda royal dan banyak lagak, pakaian saja sampai berangkap-rangkap dan
pakaian dalamnya menutupi tubuh dari leher ke bawah! Karena melihat bahwa baju
dalam itu tidak dapat dibuka semua, hanya terdapat kancing kecil di bagian
pembukaan yang menyerong ke pundak, dia membuka dua buah kancing itu, lalu tangan
kanannya menyusup ke dalam untuk meraba dada mendekati ulu hati Kang Swi agar
dia dapat menyalurkan sinkang melalui telapak tangannya dan membantu pemuda
tampan itu mengobati luka di dalam dadanya yang agaknya tergoncang oleh
pertemuan tenaga dahsyat tadi.
“Ehhhhh...!”
Dia menahan
seruannya dan seperti orang menyentuh api, tangannya yang menyusup di balik
pakaian dalam Kang Swi itu ditariknya keluar, lalu dia memandang wajah yang
pingsan kebiruan itu dengan bengong terlongong.
Wajah yang
amat tampan, terlalu tampan malah. Dia bengong seperti tak percaya akan apa
yang dialaminya. Setelah meragu sejenak dia kembali memasukkan tangannya untuk
meyakinkan dirinya bahwa apa yang dialaminya bukan dalam mimpi.
“Uhhhhh...!”
Kembali tangannya
dicabut keluar dan seluruh mukanya dari bawah rambut kepala sampai leher
menjadi merah sekali. Tidak salah lagi. Tangannya yang menyusup tadi memang
meraba sesuatu yang aneh! Dia menoleh dan melihat betapa Kian Bu masih bicara
dengan tegang bersama empat orang. Entah dari mana datangnya dan kapan, di situ
kini telah terdapat dua orang laki-laki muda lain lagi dan mereka semua
kelihatan bercakap-cakap dengan sikap tegang.
“Heemmm...
aneh...,“ dia berbisik dan kembali dia menatap wajah Kang Swi yang tampan.
“Kalau tidak cepat kutolong, dia bisa tewas. Akan tetapi dia... tidak boleh aku
menjamahnya... ahhh, tapi dia bisa mati... dia...“
Terjadi
perang hebat di dalam hati pemuda remaja ini. Akan tetapi, melihat wajah yang
pucat kebiruan itu, napas yang tersendat-sendat, Siauw Hong makin khawatir dan
semua perasaan lain disapu bersih oleh rasa khawatir ini, maka dia memutuskan
untuk cepat menolong Kang Swi dan membuktikan dugaannya. Dia mulai membukai
semua kancing, kemudian menarik baju dalam itu ke bawah sehingga terobek
sedikit dan dia memejamkan mata dan membuang muka ketika melihat dua buah bukit
tersembul keluar dan nampaklah dada putih yang dihias dua bukit dada itu.
Kedua
tangannya menggigil, akan tetapi cepat Siauw Hong menutupkan kembali baju dalam
itu, menutupi dada dan juga menutupi tangan kanannya yang menempel di dada itu,
tepat di tengah tengah di antara dua buah bukit dada yang ranum. Dengan jantung
berdebar Siauw Hong mengerahkan sinkang-nya namun tetap saja seluruh tubuhnya
panas dingin dan agak menggigil biar pun dia sudah menenteramkan hatinya.
“Ahhh...
ohhhhh... tolol kau...!”
Dia memaki
diri sendiri dalam hatinya. “Biar dia perempuan, laki-laki atau banci, peduli
apa kau? Yang terpenting adalah mengobatinya agar dia terbebas dari cengkeraman
maut, jangan memikirkan dada yang indah itu!”
Akan tetapi,
suara hatinya berhenti pada kalimat ‘dada yang indah itu’ dan terus saja dada
yang putih dengan sepasang bukit yang bentuknya indah itu terbayang di depan
matanya, walau pun dia telah memejamkan kedua matanya. Mulailah Siauw Hong
mengobati Kang Swi sambil memejamkan matanya dan memerangi sendiri ketegangan
hatinya yang timbul ketika dia memperoleh kenyataan bahwa Kang Swi adalah
seorang dara muda!
Sementara
itu, Kian Bu sedang sibuk melerai orang-orang yang sedang ngotot dan hendak
saling serang. Siapakah dua orang pemuda yang baru datang itu? Mereka ini bukan
lain adalah Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han, dua orang putera dari Jenderal Kao
Liang! Sedangkan laki-laki gagah yang rebah terluka tadi adalah Jenderal Kao
Liang sendiri.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, Jenderal Kao Liang bersama
dua orang puteranya ini telah kehilangan seluruh keluarga mereka ketika
keluarga mereka itu bersama harta benda mereka diculik dan dicuri orang tanpa
mereka ketahui dengan pasti siapa yang melakukannya. Hanya akhirnya mereka
yakin bahwa yang memusuhi mereka tentulah keluarga Pulau Es, yaitu
putera-putera dari Suma Han yang mereka duga tentulah diperalat oleh kaisar
untuk menyingkirkan atau membasmi mereka mengingat bahwa ayah mereka itu adalah
menantu kaisar! Karena mereka merasa tidak kuat menghadapi keluarga Suma yang
amat sakti itu, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk mencari putera
sulung jenderal itu yaitu Sin-liong Kao Kok Cu, di Naga Sakti dari Gurun Pasir.
Hanya putera sulungnya itulah yang akan mampu menghadapi musuh-musuh tangguh
itu, pikir Jenderal Kao.
Akan tetapi,
di tengah perjalanan ayah dan anak ini bertemu dengan rombongan gadis baju
hijau dan suheng-nya yang bule dan bermata kebiruan itu bersama lima orang anak
buah mereka. Dan tanpa bicara apa-apa lagi, gadis berbaju hijau dan suheng-nya
itu, dibantu oleh orang-orang mereka, langsung saja menyerang Jenderal Kao
Liang dan dua orang puteranya! Pertempuran hebat dan mati-matian terjadi dan
selain kalah banyak, juga jenderal dan dua orang puteranya itu kalah lihai.
Akhirnya jenderal atau lebih tepat lagi bekas Jenderal Kao Liang tertawan, akan
tetapi sebelum roboh dan tertangkap dia meneriaki dua orang puteranya untuk
cepat melarikan diri dan minta bantuan kakak mereka.
Kok Tiong
dan Kok Han terpaksa lari karena maklum bahwa ayahnya benar. Kalau mereka terus
melawan, akhirnya mereka akan roboh juga sehingga selain tidak ada yang akan
dapat melapor kepada kakak mereka, juga tidak ada harapan lagi menolong
keluarga mereka. Namun, ketika mereka melihat ayah mereka dibawa pergi, mereka
tidak tega meninggalkan dan diam-diam mereka membayangi rombongan gadis baju
hijau yang menawan ayah mereka itu.
Akhirnya,
pada hari itu, rombongan yang menawan Kao Liang bertemu dengan Kang Swi.
Melihat orang tua gagah itu ditawan serombongan orang, Kang Swi menegur dan
terjadi bentrok antara dia dan gadis baju hijau. Si gadis baju hijau yang
merasa memiliki kepandaian tinggi, melarang suheng-nya dan kelima orang anak
buahnya untuk turun membantunya dan dia melawan sendiri pemuda tampan itu
sehingga mereka berkelahi dengan seru sampai muncul Siluman Kecil atau Suma
Kian Bu yang cepat melerai mereka. Ketika melihat munculnya pendekar yang
ilmunya amat tinggi itu, baik si gadis baju hijau mau pun Kang Swi yang sudah
mengenalnya menjadi kaget dan jeri untuk melanjutkan pertandingan itu.
Kao Liang
yang terluka itu kini dapat bercerita kepada Kian Bu setelah pemuda ini bertanya
dengan suara tenang. “Kalian berdua telah mengenal aku dan tahu bahwa Siluman
Kecil selalu mencegah terjadinya permusuhan di antara orang-orang sendiri.
Kalau kalian berdua mempunyai urusan dan di antara kalian terdapat penasaran,
mari kita perbincangkan dengan seadilnya.”
Kao Liang
yang sudah kembali bangkit berdiri itu melihat betapa gadis baju hijau dan
penolongnya si pemuda tampan itu kelihatan jeri terhadap pemuda berambut putih
yang baru tiba, apa lagi mendengar disebutnya nama Siluman Kecil, dia terkejut
dan cepat cepat dia lalu menceritakan pengalamannya itu. Betapa dia dan
putera-puteranya sama sekali tidak mengenal gadis baju hijau yang menangkap
mereka, dan betapa pemuda tampan itu datang untuk menolongnya.
Kao Liang
dan kedua orang puteranya juga menghaturkan terima kasih kepada Kang Swi yang
telah mencoba untuk menolong orang tua itu, kemudian bekas jenderal itu
menudingkan telunjuknya kepada muka gadis baju hijau sambil berkata, “Dia ini
tentulah seorang di antara kaum sesat karena hanya orang-orang dari golongan
hitam sajalah yang akan memusuhi keluarga kami!”
Tentu saja
Kian Bu mengenal Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang agaknya tidak
mengenalinya karena rambutnya putih semua itu menutupi sebagian dari mukanya.
Akan tetapi, bukanlah menjadi watak Kian Bu untuk membantu orang yang telah
dikenalnya begitu saja tanpa menyelidiki lebih dulu urusannya. Maka dia lalu
menghadapi wanita baju hijau itu dan bertanya, “Nona, benarkah cerita mereka
bahwa Nona menyerang dan menawan Paman ini tanpa sebab?”
Wanita baju
hijau itu tersenyum dingin. “Nama Siluman Kecil telah menggemparkan kolong
langit dan kami berdua saudara seperguruan sudah lama merasa kagum, apa lagi
semenjak peristiwa di restoran itu. Karena Taihiap yang datang meleraikan, maka
memandang muka Taihiap, kami menyabarkan diri. Tetapi hendaknya Taihiap ketahui
bahwa dia itu…,” sampai di sini gadis baju hijau itu menudingkan telunjuknya ke
arah muka Kao Liang dan memandang dengan penuh kebencian. “Dia itu adalah bekas
Jenderal Kao Liang. Dialah orang yang telah membasmi seluruh keluargaku.
Seluruh keluarga, tua muda laki perempuan, semua dihukum mati karena dia, dan
hanya secara kebetulan saja ketika itu aku masih berada di tempat Subo sehingga
tidak sekalian dibunuh. Kao Liang, urusan lima enam tahun yang lalu di utara,
ketika engkau membasmi keluarga Kim, aku tidak akan dapat melupakannya begitu
saja!”
Jenderal Kao
Liang terbelalak. “Keluarga Kim...?” Dia mengingat-ingat. “Maksudmu keluarga
pemberontak dan pengkhianat Kim Bouw Sin?”
“Tutup
mulutmu!” Gadis baju hijau itu membentak marah. “Engkau sudah membasmi
keluargaku dan kau masih berani memaki ayahku?” Kini kedua mata gadis itu
menjadi basah.
“Ahhhhh...
kiranya Nona adalah puteri dari Kim Bouw Sin?” Kao Liang menarik napas panjang
dan mengangguk-angguk, lalu meraba-raba jenggotnya. “Pantas...! Pantaslah
engkau marah-marah dan membenci kami sekeluarga. Akan tetapi agaknya karena
engkau tidak tahu akan duduknya persoalan yang sebenarnya, Nona. Kulihat engkau
seorang yang berkepandaian tinggi, tentu berwatak gagah dan pastilah juga dapat
mempertimbangkan keadaan. Baik kau dengar penuturanku mengapa keluarga ayahmu
sampai terhukum semua. Semua itu adalah gara-gara perbuatan mendiang ayahmu.”
Bekas
Jenderal Kao Liang lalu bercerita tentang peristiwa yang terjadi lima enam
tahun yang lalu. Ketika itu, Kao Liang masih menjadi seorang panglima besar,
seorang jenderal gagah perkasa yang amat ditakuti oleh para pemberontak dan
musuh-musuh negara yang berada di luar tapal batas. Jenderal Kao Liang
bermarkas besar di utara karena pada waktu itu, musuh yang paling ditakuti
adalah suku-suku liar dari utara, di luar tembok besar. Yang menjadi
pembantunya, bahkan menjadi wakil panglima di utara itu adalah Kim Bouw Sin,
seorang panglima yang lebih muda dan yang pandai pula, dipercaya sebagai wakil
oleh Jenderal Kao.
Tetapi,
seperti banyak di antara para pembesar, Panglima Kim Bouw Sin dapat dibujuk
oleh dua orang pangeran yang merencanakan pemberontakan, yaitu Pangeran Liong
Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong. Panglima Kim Bouw Sin dijanjikan kedudukan
tertinggi oleh dua orang pangeran yang memberontak itu sehingga dia tertarik
dan memberontaklah panglima ini, berusaha menguasai bala tentara yang berada di
bawah kekuasannya di utara.
Usahanya itu
ternyata gagal sama sekali, dan tentu saja sebagai seorang pemberontak, dia dan
sekeluarganya dijatuhi hukuman mati.
“Nah,
demikianlah…” Jenderal Kao Liang mengakhiri penuturannya secara singkat itu.
“Keluargamu terbasmi karena gara-gara pengkhianatan ayahmu terhadap kerajaan,
Nona. Tak ada permusuhan pribadi antara kami dan ayahmu. Ayahmu terkena bujukan
Pangeran Liong Khi Ong dan Pangeran Liong Bin Ong. Dua orang pangeran khianat
itulah yang menjadi biang keladi pemberontakan dan penyelewengan ayahmu.”
“Orang she
Kao! Kalau saja engkau tidak berhenti memaki ayahku, terpaksa aku akan
menghancurkan mulutmu!” Tiba-tiba pemuda berkulit putih dan bermata kebiruan
itu melangkah maju dan mengepal tinju mengancam Kao Liang.
Dua orang
putera bekas jenderal itu cepat maju untuk melawan. Kian Bu melerai dan
menyuruh kedua pihak mundur.
Kao Liang
kini memandang pemuda asing itu dengan alis berkerut. “Orang asing, apakah
maksudmu?” tanyanya.
“Hemmm, Kao
Liang, engkau tadi memaki ayahku. Pangeran Liong Bin Ong adalah ayah kandungku.
Ibuku adalah seorang puteri Mongol yang berdarah orang kulit putih. Dengarlah,
orang she Kao. Kami, aku dan Sumoi-ku ini menyadari akan kesalahan orang-orang
tua kami yang melakukan pemberontakan terhadap kerajaan, maka kami tidak akan
mengulang kesalahan mereka. Tetapi, sebagai anak-anak yang berbakti, kami tetap
harus membalaskan kematian keluarga kami itu kepada yang bersangkutan! Karena
hancurnya keluarga Kim-sumoi ini adalah karena engkau, maka Sumoi hendak
membalaskan dendam keluarganya kepadamu!”
Mendengar
bahwa pemuda asing ini adalah putera mendiang pemberontak Liong Bin Ong, semua
orang tercengang. “Ahhh... sungguh aneh dan luar biasa. Mengapa anak anak
mereka juga dapat menjadi saudara-saudara seperguruan?” Kao Liang berseru
heran.
“Kao Liang,
dalih apa pun yang kau kemukakan, tetap saja kuanggap bahwa engkau menjadi
biang keladi terbasminya keluargaku, oleh karena itu aku harus membalas
kepadamu!” Gadis berbaju hijau itu berseru. “Aku Kim Cui Yan bersumpah takkan
mau sudah sebelum musuh besar keluargaku dapat terbasmi pula!”
Sepasang
matanya memandang penuh kebencian kepada Kao Liang dan dua orang puteranya itu
yang sudah siap lagi untuk menghadapi terjangan wanita yang menjadi berbahaya
karena sakit hati itu.
“Dan
mengingat bahwa engkau dahulu pun merupakan musuh dari mendiang ayahku, maka
aku akan selalu membantu Sumoi menghadapi engkau dan keluargamu, orang she
Kao!” si pemuda asing berseru. “Aku Liong Tek Hwi juga sudah bersumpah akan membasmi
musuh-musuh orang tuaku!”
Melihat
kedua pihak sudah mau bergerak saling serang lagi, Kian Bu cepat melangkah maju
dan membentak. “Cukup! Selagi aku berada di sini, aku tidak akan membiarkan
pertempuran lagi. Aku tidak membantu siapa pun juga, tetapi aku akan menghadapi
siapa saja yang hendak memamerkan kepandaian!” bentaknya keras dan sikapnya
menyeramkan sehingga Kim Cui Yan dan Liong Tek Hwi yang berkepandaian tinggi
itu menjadi gentar.
Mereka bukan
penakut, akan tetapi mereka merasa segan untuk melanggar larangan Siluman Kecil
yang selain hebat kepandaiannya, juga pernah menolong mereka. Juga, nama
Siluman Kecil sudah cukup membuat mereka tunduk dan mengalah.
Kim Cu Yan
menjura kepada Kian Bu. “Baiklah, Taihiap. Memandang muka Taihaip dan nama Siluman
Kecil, biarlah kami mengalah dan tidak akan menggunakan kekerasan di depan
Taihiap.” Lalu dia menoleh kepada bekas jenderal itu. “Akan tetapi, orang-orang
she Kao, ingatlah bahwa selama aku Kim Cui Yan masih hidup, jiwa kalian selalu
akan dibayangi oleh pembalasanku! Liong-suheng, mari kita pergi!”
Dua orang
itu lalu melangkah pergi diikuti oleh lima orang anak buahnya, berjalan cepat
tanpa menoleh lagi. Jenderal Kao Liang mengelus jenggotnya dan berkata seperti
kepada diri sendiri namun cukup jelas terdengar oleh orang lain yang berada di
situ.
“Aihhh...,
kekerasan..., kekerasan..., dalam bentuk apa pun juga, tentu mendatangkan
kekerasan yang lainnya lagi, sebab akibat, balas-membalas tiada berkeputusan
seperti lingkaran setan. Betapa menyedihkan...!”
“Aduhhhhh...!”
Kian Bu
beserta tiga orang ayah dan anak itu terkejut dan cepat menengok ke arah
datangnya suara itu. Kian Bu melihat Siauw Hong terlempar dan roboh terbanting,
pingsan! Sedangkan Kang Swi lari pergi dari bawah pohon sambil menangis terisak
isak, sebentar saja lenyap di antara pohon-pohon.
Kian Bu
terkejut dan heran. Bukankah tadi Siauw Hong memondong tubuh Kang Swi yang
terluka parah itu ke bawah pohon dan mengobatinya? Apa yang terjadi? Mengapa
kini Siauw Hong terpukul sampai pingsan dan mengapa pula pemuda tampan yang
kaya raya itu melarikan diri sambil menangis terisak-isak seperti itu? Kian Bu
cepat meloncat dan berlutut memeriksa Siauw Hong. Tidak terluka parah dan hanya
dengan beberapa kali pijatan di kedua pundaknya dan tengkuknya, pemuda remaja
itu telah siuman kembali. Begitu siuman, Siauw Hong bangkit duduk, matanya
memandang ke kanan kiri mencari-cari.
“Kau mencari
siapa?” Kian Bu bertanya.
“Dia... mana
dia...?“ Siauw Hong bertanya.
“Kang Swi?
Dia telah lari dan anehnya, dia berlari sambil menangis seperti anak kecil.
Siauw Hong, apakah yang telah terjadi?” Kian Bu bertanya.
Tiba-tiba
wajah pemuda itu menjadi merah sekali dan dia menundukkan mukanya. Terbayanglah
semua yang telah terjadi tadi. Biar pun dia merasa malu dan sungkan, akan
tetapi demi untuk menyelamatkan Kang Swi yang ternyata adalah seorang dara
remaja itu, terpaksa dia menempelkan telapak tangannya di dada itu, dada yang
putih dan tangannya diapit sepasang bukit indah, menyalurkan sinkang-nya dan
perlahan lahan memulihkan keadaan rongga dada yang terluka akibat guncangan
pukulan tadi.
Selagi dia
melakukan pengobatan, tiba-tiba saja Kang Swi membuka matanya. Dara itu menahan
jeritnya lalu menghantam ke arah muka Siauw Hong. Pemuda ini terkejut,
miringkan kepalanya sehingga hantaman itu meleset dan mengenai lehernya. Dia
terlempar dan pingsan.
“Apa yang
telah terjadi, Siauw Hong?” tanya pula Kian Bu mendesak ketika dilihatnya
pemuda itu menunduk saja tanpa menjawab.
Siauw Hong
menggelengkan kepala “Tidak apa-apa... tidak apa..., dia memang orang aneh...,“
jawabnya. Tentu saja Siauw Hong merasa sungkan sekali untuk menceritakan apa
yang telah terjadi. Pula terdapat perasaan aneh di dalam hatinya terhadap Kang
Swi. Kalau Kang Swi ternyata seorang dara yang menyamar tentu berarti dia tidak
ingin diketahui orang bahwa dia seorang gadis. Nah, biarlah tidak ada yang
mengetahuinya kecuali dia!
Sementara
itu, bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang tidak mau mencampuri
urusan mereka, kini menghampiri Kian Bu dan orang tua gagah itu menjura sambil
berkata, “Kami telah menerima bantuan Sicu yang amat berharga. Kalau tidak ada
Sicu, kiranya kami sudah terbunuh oleh wanita puteri pemberontak itu. Dan saya
merasa seperti pernah mengenal wajah Sicu. Kami juga sudah mendengar akan nama
besar Siluman Kecil, akan tetapi, bolehkah kami mengetahui nama Sicu?”
Pada saat
itu, Kian Bu masih memandang kepada Siauw Hong dengan pandang mata penuh
selidik. Dia mengerti bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang aneh antara Kang
Swi dan Siauw Hong, dan dia ingin tahu apa adanya peristiwa itu. Melihat
pandang mata Kian Bu kepadanya, Siauw Hong juga maklum bahwa dia tidak mungkin
dapat menyembunyikan rahasia kalau didesak oleh Siluman Kecil. Mendengar
pertanyaan bekas jenderal itu, untuk mengalihkan perhatian dan mengubah
percakapan, dia cepat menjawab, “Nama Taihiap ini adalah Suma...“
“Siauw
Hong!” Kian Bu berseru sehingga Siauw Hong menjadi kaget dan tidak jadi
melanjutkan kata-katanya.
Akan tetapi,
sebutan she Suma itu sudahlah cukup bagi Kao Liang dan dua orang puteranya.
Bekas jenderal itu melangkah maju, menatap wajah Kian Bu dengan sinar mata
tajam dan di baliknya terkandung kemarahan yang mengherankan hati Kian Bu.
“Jadi engkau
adalah putera keluarga Pulau Es?” bentak bekas jenderal itu.
Dengan
pandang mata masih terheran-heran, Kian Bu mengangguk karena tidak perlu lagi
untuk menyembunyikan diri setelah she-nya diketahui orang.
“Keparat!”
Tiba-tiba saja jenderal itu bersama dua orang puteranya telah maju dan langsung
menyerang kalang-kabut!
“Ehhhh...!
Lhohhh...! Bagaimana pula ini...?” Siauw Hong kebingungan dan berteriak teriak.
Tetapi tiga
orang itu tetap saja menyerang terus sungguh pun orang yang diserangnya itu
terus mengelak dengan mudah. Melihat ini Siauw Hong hendak menyerbu dan
membantu Kian Bu, akan tetapi Kian Bu melarangnya.
“Mundurlah
kau, Siauw Hong! Paman dan Saudara-saudara Kao, hentikan serangan kalian!
Ketahuilah bahwa aku bukanlah orang yang menculik keluarga Kao mau pun mencuri
harta benda keluarga kalian!”
Mendengar
ini, Jenderal Kao dan dua orang puteranya menghentikan serangan, namun mereka
masih memandang dengan penuh kecurigaan dan kemarahan. “Apa pula maksudmu? Dan
bagaimana kau bilang bahwa kau bukan orang yang melakukannya kalau kau
mengetahui semua itu?”
Kian Bu
menghela napas. “Aku mendengar dari kakakku, Suma Kian Lee yang juga telah
menceritakan betapa dia kalian serang kalang-kabut seperti tadi. Jelas bahwa
kami berdua kakak beradik difitnah orang sehingga engkau menyangka kami yang
melakukan semua itu, Paman Kao Liang. Sungguh aneh, Paman Kao tentu sudah
mengenal dengan baik keadaan kami sekeluarga. Apakah Paman dapat percaya begitu
mudahnya mendengar bahwa kami kakak beradik dari Pulau Es kini menjadi perampok
dan penculik? Begitu rendahkah Paman memandang kami berdua?”
Wajah bekas
jenderal itu menjadi merah. Dia menarik napas panjang dan menjawab, “Kalau
keadaan tidak seperti ini, tentu sampai mati pun kami tidak akan percaya. Akan
tetapi, banyak bukti menunjukkan bahwa yang melakukan semua kekejian terhadap
keluarga kami adalah orang-orang she Suma. Dan mengingat bahwa kami tidak
terpakai lagi oleh kerajaan, mengingat bahwa ayah kalian adalah mantu kaisar,
maka besar kemungkinannya keluarga kalian yang dipergunakan oleh sri baginda
atau mereka yang berkuasa untuk membasmi kami. Bukan sebagai penculik atau
perampok, melainkan sebagai pengemban perintah atasan.”
Lalu
diceritakanlah semua pengalaman yang menimpa dia sekeluarganya itu kepada Kian
Bu, dari awal sampai saat itu mereka belum juga dapat menemukan keluarga
mereka.
“Demikianlah,
Sicu. Semua bukti menunjukkan bahwa keluarga Suma yang melakukan ini, dan
sekarang Sicu bersikap seperti ini. Sungguh membuat kami meragu dan amat
bingung. Katakanlah, demi keadilan, demi kegagahan dan demi nama baik Pendekar
Super Sakti Majikan Pulau Es, katakanlah Suma-sicu, demi persahabatan di antara
keluarga kita, apakah kalian berdua yang melakukan penculikan keluarga kami
ataukah bukan?”
Melihat
wajah yang pucat dan muram penuh kekhawatiran dan kedukaan itu, melihat pandang
mata yang penuh harapan itu, Kian Bu merasa terharu dan dengan tegas dia
menjawab, “Bukan kami, demi kehormatan keluarga kami!”
“Ohhhhh...!”
Dan bekas jenderal itu menjatuhkan diri berlutut dan menutupi mukanya dengan
kedua tangannya. Dua orang puteranya cepat berlutut dan memegang lengan ayah
mereka.
“Ayah...!”
Kok Han mengeluh.
“Ayah, kuatkanlah
perasaan Ayah,” kata Kok Tiong, dia sendiri menjadi pucat mukanya dan menahan
air matanya. Hati siapa tidak akan menjadi gelisah memikirkan lenyapnya
isterinya di antara keluarga itu, juga dua orang anaknya?
Kao Liang
menurunkan dua tangannya. Pipinya basah akan tetapi dari kedua matanya tidak
lagi ada air mata mengalir. “Hatiku lega mendengar bahwa bukan keluarga Suma
yang melakukan perbuatan biadab itu,” katanya setelah dia berdiri lagi. “Akan
tetapi bersama dengan kelegaan itu hatiku menjadi makin khawatir karena kami
sama sekali tidak tahu siapa gerangan pelakunya.”
“Ayah, mari
kita cepat melanjutkan perjalanan mencari Twako,” kata Kok Tiong.
Ayahnya
mengangguk-angguk. “Benar, akan tetapi tempat tinggal kakakmu terlalu jauh, aku
khawatir kalau-kalau akan terlambat...“
Tiba-tiba
Kian Bu berkata, “Paman, jangan kalian khawatir. Aku dan kakakku sudah
memperbincangkan urusan kalian itu dan kami berdua sudah mengambil keputusan
untuk membongkar rahasia ini. Bukan hanya untuk menolong keluargamu dan mencari
harta bendamu, melainkan juga untuk membersihkan nama kami yang difitnah orang.
Kakakku menderita sakit, terluka parah dan sedang berobat, bahkan sekarang pun
aku sedang membelikan obat untuknya. Tunggu kalau dia sudah sembuh, kami berdua
tentu akan menyelidiki hal ini dan menangkap orangnya yang telah melakukan
semua perbuatan secara sembunyi itu dan menggunakan nama kami!” Kian Bu bicara
penuh semangat.
“Ahhh, kami
menyesal sekali, kami pernah pula menyerang kakakmu. Hal itu adalah karena kami
masih mengira...“
“Sudahlah,
Paman Kao. Kakakku juga mengerti bahwa kalian salah paham dan tidak menaruh
penyesalan.”
“Betapa pun
juga, kami harus menengoknya.”
“Kalau
begitu, marilah, Paman.”
Berangkatlah
Kian Bu, Siauw Hong, diiringkan oleh Kao Liong dan dua orang puteranya itu,
menuju ke puncak Nelayan yang tidak berapa jauh lagi dari situ. Siauw Hong
merasa girang dan lega sekali karena percakapan yang serius antara Kian Bu dan
keluarga Kao tadi agaknya membuat semua orang, terutama Kian Bu, lupa akan
keadaan Kang Swi sehingga tidak lagi bertanya-tanya. Mereka melakukan
perjalanan cepat mendaki puncak dan matahari sudah mulai berkurang panasnya…..
***************
Ketika
mereka baru tiba di lembah bawah puncak Nelayan, tiba-tiba terdengar seruan,
“Sute...!”
Kian Bu dan
Siauw Hong cepat menengok dan cepat pula mereka berlari ke arah datangnya suara
itu, diikuti oleh Kao Liang dan dua orang puteranya yang merasa terheran-heran
melihat bahwa yang memanggil itu adalah seorang yang berpakaian pengemis, yang
usianya sudah enam puluh lima tahun lebih. Pengemis ini berdiri bersandarkan
batang pohon dan terikat pada batang pohon itu dari dada sampai ke kaki, sama
sekali tidak mampu bergerak!
“Suheng...!
Kau kenapa...?” Siauw Hong bertanya penuh keheranan dan cepat dia bersama Kian
Bu melepaskan ikatan itu.
Wajah Gu
Sin-kai, pengemis itu, menjadi merah sekali. “Celaka,” katanya. “Gadis setan
itulah yang melakukannya!”
Siauw Hong
terkejut sekali. “Seorang gadis…? Dan dia mampu mengalahkanmu dan membelenggumu
seperti ini, Suheng?” Tentu saja Siauw Hong terkejut bukan main. Suheng-nya
itu, Gu Sin-kai, adalah murid pertama dari gurunya, ilmu kepandaiannya tinggi,
akan tetapi kini dapat dibelenggu oleh seorang gadis!
Melihat
pengemis itu ragu-ragu dan kelihatan seperti malu untuk menceritakan karena di
situ terdapat banyak orang, Kian Bu lalu berkata, “Gu Sin-kai, harap kau tidak
ragu-ragu untuk menceritakan semuanya. Mereka ini bukan orang lain, melainkan
Paman bekas Jenderal Kao Liang yang terkenal itu dan dua orang puteranya.”
Memang nama
Kao Liang amat terkenal, apa lagi hampir semua orang gagah di dunia kang-ouw
mengenal nama ini dengan perasaan hormat, maka begitu mendengar bahwa kakek
gagah perkasa yang datang bersama sute-nya dan Siluman Kecil itu adalah bekas
panglima yang amat terkenal itu, dia cepat menjura dengan hormat. “Ahh, kiranya
Kao tai-ciangkun...“
Kao Liang
tersenyum. “Jangan menyebutku Tai-ciangkun karena aku sekarang bukan lagi
seorang panglima, bahkan prajurit pun bukan.”
Gu Sin-kai
mengangguk. “Maafkan saya, Kao-enghiong.” Lalu dia bercerita kepada Kian Bu dan
Siauw Hong. “Tadi ada seorang gadis remaja yang liar naik ke sini. Ketika
bertemu denganku, dia mengatakan bahwa dia hendak bertemu dengan Taihiap Suma
Kian Lee. Aku merasa curiga dan lalu mengatakan bahwa tidak boleh sembarangan
bertemu dengan Suma-taihiap, akan tetapi dengan lagak sombong dia mengatakan
bahwa kalau aku tidak mau menunjukkan, dia akan memukulku. Tentu saja aku makin
curiga dan marah. Kami bertempur dan ternyata dia lihai bukan main...“
“Hemmm,
gadis itu apakah pakaiannya serba hitam?” tiba-tiba Kian Bu bertanya.
“Ya benar!
Apakah kau mengenalnya, Taihiap?” tanya Gu Sin-kai.
Kian Bu
menahan senyumnya dan membayangkan wajah Hwee Li. Siapa lagi kalau bukan gadis
liar yang lihai itu yang dapat membelenggu Gu Sin-kai? Gadis itu liar, ganas,
aneh dan ilmu kepandaiannya tinggi. Sukar sekali diduga apa saja yang akan
dilakukan oleh seorang dara seperti Hwee Li.
“Mari kita
cepat naik ke puncak!” katanya tanpa menjawab pertanyaan Gu Sin-kai tadi. Semua
orang mengikutinya dan mereka mendaki puncak dengan cepat.
Apa yang
dikhawatirkan oleh Kian Bu memang benar terjadi. Ketika dia dan yang lain lain
tiba di depan pintu gerbang tempat tinggal Sai-cu Kai-ong, mereka melihat
keributan sedang terjadi di situ. Dari jauh sudah nampak dua orang sedang
bertanding dengan serunya. Para pengemis yang menjadi anak buah Sai-cu Kai-ong
hanya mengurung dengan senjata di tangan, tidak berani turun tangan.
Kian Bu
maklum bahwa Sai-cu Kai-ong adalah seorang tua yang angkuh dalam hal
pertandingan, sama sekali tidak mengijinkan anak buahnya melakukan
pengeroyokan. Padahal dia terdesak hebat dalam perkelahian itu! Di dekat situ
nampak Hwee Li berdiri sambil meringis kesakitan memegangi lengan kanannya yang
agaknya terluka.
Pertempuran
itu memang hebat sekali. Kian Bu menjadi bengong dan kagum. Lawan dari Sai-cu
Kai-ong adalah seorang wanita muda yang amat luar biasa gerakannya. Melihat
betapa Sai-cu Kai-ong sampai mempergunakan tongkatnya melawan wanita yang
bertangan kosong itu, dan masih terdesak, dapat diduga betapa lihainya wanita
ini, wanita cantik yang pandang matanya tajam mencorong namun alisnya berkerut
seperti orang sedang marah atau berduka.
Kian Bu,
Siauw Hong, Kao Liang dan dua orang puteranya itu segera mengenal wanita itu.
“Ceng
Ceng...!” Terdengar bekas jenderal itu menahan seruannya ketika dia mengenal
mantunya.
Kian Bu yang
tadinya teringat bahwa wanita itulah yang disebut ‘subo’ oleh Hwee Li,
mendengar disebutnya nama ini menjadi terkejut sekali dan kini dia pun
teringatlah bahwa guru Hwee Li itu adalah Ceng Ceng! Ada pun Siauw Hong juga
mengenal wanita perkasa itu ketika Ceng Ceng dan suaminya, Kao Kok Cu, berada
di dalam restoran di mana Kok Cu membagi-bagikan masakan kepada para pengemis.
Melihat
bahwa wanita itu adalah Ceng Ceng, yang baru sekarang diingatnya, Kian Bu cepat
meloncat ke depan dan berseru. “Tahan...! Kita berada di antara teman sendiri!”
Ceng Ceng
menahan gerakannya dan sekarang dia berdiri tegak, sepasang matanya mencorong
memandang ke arah pemuda berambut putih yang berdiri di depannya. Sejenak
mereka berpandangan dengan sinar tajam penuh selidik, kemudian terdengar Kian
Bu berkata lirih, “Ceng Ceng, Lupakah kau kepadaku? Aku Suma Kian Bu...“
“Ohhhhh...!”
Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu tersenyum dan dia cepat menjura. “Ahhh,
kiranya Paman...,“ katanya agak gagap karena memang belum terbiasa olehnya
menganggap pemuda dari Pulau Es ini sebagai pamannya.
“Ceng
Ceng...!”
Wanita itu
terkejut dan menengok. Bukan main kagetnya ketika dia melihat bahwa ayah
mertuanya berada di situ pula.
“Twa-so...!”
Kok Tiong dan Kok Han juga berseru.
“Ayah...!
Adik Tiong dan Adik Han...!” Ceng Ceng cepat menghampiri dengan wajah berseri.
“Ayah di sini?” Dia cepat memberi hormat.
“Ceng Ceng,
kebetulan sekali kita bisa bertemu di sini. Mana suamimu? Kami sedang hendak
mencari kalian di utara.”
“Kami sudah
lama meninggalkan utara, Ayah. Puteramu tidak jauh dari sini dan kami... ah,
panjang ceritanya, Ayah. Akan tetapi mengapa Ayah dan kedua adik berada di
sini?”
Bekas
jenderal itu menarik napas panjang. “Ceritanya juga panjang, nanti kuceritakan
semua kepadamu...” Dia menoleh ke arah Kian Bu. “Ceng Ceng, sebaiknya urusanmu
di sini dibereskan dulu. Apa yang terjadi dan kenapa kau berkelahi?”
“Benar, Ceng
Ceng, mengapa kau berkelahi dengan Paman Sai-cu Kai-ong? Paman, apakah yang
telah terjadi dan mengapa kalian berdua tadi bertempur?” Kian Bu juga bertanya.
“Ahhh, semua
ini adalah gara-gara Hwee Li yang bengal! Hwee Li, hayo kau ceritakan semua
perbuatanmu yang mengakibatkan aku sampai bertempur dengan Locianpwe ini!” Ceng
Ceng berkata kepada Hwee Li sambil menghampiri muridnya itu dan memeriksa luka
di lengan muridnya, mengobatinya dan membalutnya dengan sapu tangan.
Mulut yang
indah bentuknya itu cemberut, matanya yang tajam menyambar ke kanan kiri,
mengamati semua orang dan agak lama berhenti di wajah Kian Bu. Lalu dia berkata
kepada Kian Bu, “Ehh, kau sudah kubantu mendapatkan obat untuk kakakmu, apakah
engkau juga akan menyalahkan aku dan membantu tuan rumah yang galak ini?” Dia
menuding ke arah Sai-cu Kai-ong.
Kian Bu
menahan senyumnya. Dara itu sebenarnya bukan kanak-kanak lagi, baik dilihat
dari wajahnya yang cantik jelita mau pun bentuk tubuhnya, akan tetapi sikapnya
benar benar seperti seorang anak kecil! “Aku tidak menyalahkan siapa-siapa,
kita berada di antara orang-orang sendiri, maka sebaiknya semua kesalah pahaman
ini diselesaikan dengan damai. Hwee Li, mengapa engkau membelenggu Gu Sin-kai
ini di bawah sana, mengikatnya pada sebatang pohon?”
Hwee Li
tersenyum. “Siluman Kecil, kau sudah tahu namaku sekarang?”
“Tentu saja!
Dan Lee-koko sangat berterima kasih kepadamu.”
“Ahhh,
bagaimana dengan dia? Ketahuilah, ketika aku mendengar darimu bahwa... dia
terluka parah, aku lalu menyusul ke sini dan aku ingin sekali menengoknya. Aku
pernah mengenalnya, pernah mengobati pahanya dan kini mendengar dia menderita
luka parah, aku ingin menengoknya. Salahkah itu? Akan tetapi... para jembel ini...“
“Hwee Li!”
Ceng Ceng menghardiknya.
Hwee Li
melirik ke arah Ceng Ceng dengan mulut cemberut. “Subo, harap Subo lihat
pakaian mereka,” dia menuding ke arah anak buah Sai-cu Kai-ong, “Bukankah
mereka itu pengemis semua dan bukankah pengemis juga boleh disebut jembel?”
“Hemmm,
bocah bengal! Jangan kurang ajar kau!” kembali Ceng Ceng menghardik. Sering
kali nyonya muda ini merasa kewalahan menghadapi muridnya yang bengal dan
pandai bicara itu, dan sering dia memarahi Hwee Li sungguh pun di dalam hatinya
dia sayang sekali kepada dara ini dan hal ini pun diketahui oleh Hwee Li
sehingga murid ini tidak pernah merasa sakit hati dimarahi oleh subo-nya.
“Baiklah,
Subo. Siluman Kecil, ketahuilah, ketika aku hendak menengok kakakmu, aku
dilarang naik ke puncak oleh jem... ehh, oleh kakek itu.” Dia lalu menuding ke
arah Gu Sin-Kai. “Kami bertempur dan dia lalu kuikat di pohon agar tidak
menghalangiku. Masih baik aku tidak mengetuk kepalanya...!” Dia melerok ke arah
Gu Sin-kai yang hanya menundukkan mukanya dan masih terheran-heran dan
penasaran bagaimana dia telah dikalahkan oleh dara remaja yang sikapnya masih
seperti anak kecil itu!
“Kemudian,
ketika tiba di depan pintu gerbang ini, muncul jem... eh, kakek tua yang lihai
ini. Aku kalah dan untung datang Subo yang membantuku setelah lenganku terluka
oleh tongkat bututnya.”
“Aku tadinya
tidak tahu akan duduk perkaranya, akan tetapi melihat Hwee Li terluka oleh
Locianpwe ini, tentu saja aku lalu membelanya, Paman,” kata Ceng Ceng kepada
Kian Bu sehingga Sai-cu Kai-ong dan para murid serta anak buahnya terheran-heran
mengapa nyonya muda itu menyebut paman kepada Kian Bu, padahal usia mereka
sebaya.
Tentu saja
bekas Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang sudah tahu bahwa Ceng
Ceng adalah cucu isteri Pendekar Super Sakti, tahu akan hubungan mereka dan
tidak menjadi heran.
“Ahhh,
sungguh kesalahan terletak pada kami,” Sai-cu Kai-ong berkata dan menjura ke
arah Ceng Ceng. “Kepandaian Toanio sungguh amat hebat luar biasa dan harap suka
memaafkan kami yang terlalu mencurigai orang. Suma Kian Lee sedang terluka
parah dan tidak boleh sembarang ditengok orang, apa lagi kami belum mengenal
muridmu ini, maka kami melarangnya.”
Akan tetapi
Ceng Ceng sudah tidak memperhatikan lagi kata-kata itu. Dia menoleh kepada Kian
Bu dan bertanya dengan wajah agak berubah, “Paman Kian Lee terluka parah...?”
Dia bertanya.
“Benar,
Subo. Dan aku yang mencarikan obatnya. Kalau tidak ada aku, tidak mungkin
Siluman Kecil bisa mendapatkannya dengan mudah.”
“Kenapa kau
tidak menceritakannya kepadaku? Ahhh, bocah bodoh. Hayo kita cepat menengok
Paman Kian Lee!”
Kian Bu
cepat memperkenalkan mereka semua, keluarga Jenderal Kao Liang dan Ceng Ceng
serta muridnya kepada Sai-cu Kai-ong. Kakek ini terkejut sekali mendengar bahwa
para tamunya adalah orang-orang yang telah lama dikagumi dan dijunjung tinggi
namanya, apa lagi nama bekas Jenderal Kao Liang, dan dia terkejut mendengar
bahwa nyonya muda bekas lawannya itu adalah isteri dari pendekar si Naga Sakti
dari Istana Gurun Pasir! Dengan ramah dan penuh hormat dia lalu mempersilakan mereka
semua masuk dan mereka langsung mengunjungi Suma Kian Lee yang masih rebah di
atas pembaringan di dalam kamar.
Akan tetapi
setelah tiba di luar pintu, Sai-cu Kai-ong menahan mereka dan berkata halus,
“Harap Cu-wi sekalian sudi memaafkan saya. Biar pun Kian Lee telah terbebas
dari bahaya maut, akan tetapi tubuhnya masih lemah sekali, maka kunjungan
banyak orang tentu akan mengejutkannya dan melelahkannya. Karena itu, sebaiknya
kunjungan dilakukan secara bertahap dan terpisah, dan sebaiknya kalau satu demi
satu.”
“Aku akan
menengoknya lebih dulu!” Hwee Li sudah melangkah maju.
Melihat ini,
yang lain mengalah dan menyaksikan sikap muridnya itu diam-diam Ceng Ceng
mengerutkan alisnya. Akan tetapi di depan banyak orang, dia diam saja tidak
mencegah dan pintu kamar itu dibuka oleh Sai-cu Kai-ong yang membiarkan Hwee Li
menyelinap masuk.
Hwee Li
melangkah perlahan. Dia mendekati pembaringan di mana Kian Lee rebah terlentang
dengan mata terpejam. Wajahnya yang tampan masih agak pucat dan tubuhnya agak
kurus. Hwee Li berdiri dekat pembaringan, pandang matanya menatap wajah itu
tanpa berkedip. Selama bertahun-tahun ini, semenjak dia mengobati paha Kian Lee
ketika terluka dahulu, dia tidak pernah melupakan Kian Lee yang dikaguminya.
Kini,
melihat pemuda itu, jantungnya berdebar aneh dan baru pertama kali ini selama
hidupnya Hwee Li yang keras hati itu merasa terharu dan hampir saja dia
meneteskan air mata kalau dia tidak cepat-cepat memejamkan mata dan mengeraskan
hati menekan perasaan. Ketika dia membuka kembali matanya, dia melihat bahwa
Kian Lee telah sadar dan menengok kepadanya, memandang kepadanya dengan mata
terbelalak. Akan tetapi segera Kian Lee tersenyum dan mengenalnya, bahkan sudah
bangkit duduk.
“Ahhh,
kiranya engkau yang datang, Hwee Li,” kata Kian Lee wajah gembira.
Hwee Li
cepat duduk di atas bangku dekat pembaringan. “Kau masih mengenali aku?”
Suaranya agak gemetar karena dia masih terharu.
“Tentu saja,
apa lagi karena adikku telah menceritakan betapa engkau yang membantu dia
mencari jamur panca warna. Hwee Li, beberapa tahun yang lalu engkau pernah
menyelamatkan nyawaku ketika pahaku terluka oleh bibi gurumu, dan kini kembali
engkau menyelamatkan nyawaku dengan bantuanmu mendapatkan jamur panca warna.
Sungguh aku berhutang budi kepadamu, Hwee Li.”
“Ahhhhh,
siapa ingin bicara tentang budi? Mukamu pucat sekali, Kian Lee, tubuhmu kurus
dan engkau kelihatan lemah sekali. Hemmm, sungguh keji sekali Siluman Kecil
adikmu itu! Ingin aku mengetuk kepalanya karena dia berani memukulmu seperti
ini!”
Kian Lee
tersenyum dan matanya bersinar-sinar. Melihat dan mendengar kata-kata gadis ini
benar-benar mendatangkan semangat dan gairah hidup, seolah-olah ada cahaya
matahari cerah memasuki kamarnya dari jendela.
“Sudah cukup
kau menghajarnya, Hwee Li. Kasihanilah dia karena dia memukul aku tanpa
disengaja. Kami berkelahi karena kami berdua dalam penyamaran dan tidak saling
mengenal. Ehhh, kau dari mana saja, Hwee Li? Selama lima enam tahun tidak
berjumpa, engkau kini telah menjadi seorrang gadis yang lihai dan sudah
dewasa.”
Sepasang
mata itu bersinar-sinar amat indahnya. “Benarkah kau tidak melupakan aku? Aku
telah banyak merantau, Kian Lee, sampai di gurun pasir, bahkan melintasi lautan
bersama burung garuda. Akan tetapi aku tidak pernah bertemu denganmu, dan baru
secara kebetulan aku bertemu dengan Siluman Kecil yang ternyata adalah Kian Bu,
adikmu.”
Selama ini
Kian Lee banyak menanggung penderitaan batin sehingga dia selalu murung dan
kurang gembira. Baru sekarang dia merasa gembira sekali memandang dan bicara
dengan gadis ini. Sungguh, luar biasa lucu dan menggembirakannya melihat gadis
ini bicara, menyebut namanya dan nama adiknya begitu saja seolah-olah Hwee Li
merasa lebih tua, lebih pandai dan lebih segala-galanya! Akan tetapi di dalam
semua itu terdapat kewajaran yang menyegarkan, sehingga orang tidak akan merasa
tersinggung oleh sikapnya yang polos, wajar dan jujur sehingga agak kasar itu.
Tidak ada bosannya mendengar Hwee Li bercerita panjang lebar dengan gerakan
kedua tangannya dan bibir itu bergerak-gerak dengan kenesnya, mata itu
bersinar-sinar. Dari cerita ini Kian Lee mendengar bahwa Hwee Li telah berguru
kepada Ceng Ceng yang kini menjadi nyonya Kao Kok Cu, tinggal di Istana Gurun
Pasir dan mempunyai seorang anak laki-laki yang telah lenyap.
“Subo dan
Suhu sekarang mencari-carinya...“
Pada saat
itu, pintu kamar terbuka dan masuklah Sai-cu Kai-ong. “Nona, harap Nona
menyudahi kunjungan Nona karena yang lain-lain juga ingin masuk. Maaf, dia
tidak boleh diganggu terlalu lama.”
“Akan tetapi
siapa yang mengganggunya? Aku sama sekali tidak mengganggunya! Bukankah aku
tidak mengganggumu, Kian Lee?” Hwee Li membantah.
Kian Lee
menggeleng kepala lalu bertanya kepada kakek itu, “Paman, siapakah yang akan
mengunjungi aku?”
“Ada
Panglima Kao Liang di luar...“
“Ahhh!” Kian
Lee terkejut dan dia lalu berkata kepada Hwee Li, “Hwee Li, maafkan aku. Harap
kau suka keluar dulu dan membiarkan Jenderal Kao masuk.”
“Huh, jadi
kau lebih suka bercakap-cakap dengan segala macam jenderal, ya? Kau lebih
senang bicara dengan dia dari pada dengan aku?”
Kian Lee
tersenyum. “Tidak begitu, Hwee Li, akan tetapi kasihan dia yang sudah lama
menanti sejak tadi.”
Dengan mulut
cemberut Hwee Li terpaksa meninggalkan kamar itu dan ketika di pintu kamar dia
bertemu dengan Kao Liang, dia mencibirkan bibirnya kepada bekas panglima besar
itu!
Bekas
Jenderal Kao Liang memasuki kamar. Kian Lee memandangnya, dan kemudian
mempersilakan duduk dengan tangannya. Kao Liang duduk dan berkata, “Kedua orang
puteraku berada di luar pula, akan tetapi karena kami tidak ingin banyak
mengganggu Sicu yang sedang sakit, maka aku mewakili mereka untuk menengok dan
sekalian minta maaf kepada Sicu atas sikap kami tempo hari.”
“Ahhh,
Lo-ciangkun terlalu sungkan...”
“Sicu, saya
bukan panglima lagi. Kami telah bertemu dengan adikmu dan barulah kami tahu
bahwa Sicu berdua sama sekali bukan orang yang telah mengganggu keluarga kami,
maka maafkanlah kami atas penyerangan kami terhadap Sicu tempo hari karena kami
tadinya mengira bahwa...“
“Sudahlah
Lo-enghiong. Aku pun sudah mengerti dan sudah menduga bahwa terjadi kesalah
pahaman di sini. Bahkan aku dan adikku sudah bersepakat untuk kelak setelah aku
sembuh, membantu keluarga Lo-enghiong dan membongkar semua rahasia itu,
menghukum penjahatnya yang telah menjatuhkan fitnah kepada kami.”
Kao Liang
lalu bangkit berdiri dan menjura. “Terima kasih, Sicu. Sungguh bodoh sekali
bahwa saya pernah meragukan kemuliaan budi dan kegagahan keluarga Pulau Es.
Perkenankan saya keluar dan harap Sicu menjaga diri baik-baik agar cepat sembuh.”
“Terima
kasih.”
Kao Liang
lalu keluar dan tak lama kemudian pintu itu terbuka kembali dan masuklah
seorang wanita cantik ke dalam kamar itu.
Sejenak
mereka berpandangan ketika wanita itu berdiri di tengah kamar. Wajah Kian Lee
sebentar pucat sebentar merah ketika dia memandang wajah cantik yang selama ini
sukar untuk dilupakannya itu, wajah wanita satu-satunya di dunia ini yang
pernah mencengkeram hatinya, yang telah merampas cinta kasihnya akan tetapi
juga yang kemudian menghancurkan hatinya karena wanita ini tidak mungkin
menjadi jodohnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Ceng Ceng akan memasuki
kamarnya.
“Kau...
kau... Ceng Ceng...?” Dia berkata lemah dan gugup, lirih seperti bisikan saja.
Sejenak hati
Ceng Ceng seperti diremas oleh rasa haru. Dia tahu apa yang terjadi di dalam
hati pemuda perkasa ini. Melihat betapa pemuda ini demikian kurus dan pucat,
dan wajah tampannya itu jelas membayangkan banyak penderitaan batin, dia merasa
terharu karena merasa bahwa dialah yang berdosa telah mengecewakan hati pemuda
yang amat baik ini. Dari pandang mata Kian Lee, dia dapat mengukur isi hatinya
dan makin perih rasa hatinya melihat betapa besar sinar kemesraan dari cinta
kasih masih saja terpancar dari sepasang mata itu yang kini memandangnya.
“Paman...!”
Cepat Ceng Ceng menghampiri pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan
Kian Lee yang tetap duduk di atas pembaringan. “Keponakanmu Ceng Ceng memberi
hormat dan mengharapkan kesembuhan bagimu, Paman Suma Kian Lee.”
“Ehh...
ehhh..., Ceng Ceng, bangunlah...!” Kian Lee berseru gugup. “Ha-ha-ha, hampir
saja aku lupa bahwa engkau adalah keponakanku! Ceng Ceng, kau bangunlah dan
duduklah di atas bangku itu...“
Mendengar
ini, barulah Ceng Ceng bangkit kemudian duduk di atas bangku, mukanya menjadi
merah sekali, mungkin karena dia berlutut tadi demikian anggapan Kian Lee,
padahal wanita ini dengan sekuat tenaga menahan air matanya. Hati Ceng Ceng
menjadi lega melihat pemuda itu kini memandangnya tidak seperti tadi lagi,
bahkan ada senyum di bibir pemuda itu. Sejenak mereka saling berpandangan.
“Terima
kasih, Ceng Ceng, terima kasih atas kunjungan ini dan sikapmu yang ramah.
Bagaimana keadaanmu? Mana suamimu dan apakah engkau sekarang telah menjadi
seorang ibu yang baik?”
Ceng Ceng
mengangguk-angguk kemudian bangkit berdiri, menghampiri pembaringan. “Paman,
keadaan kami baik-baik saja dan kami telah mempunyai seorang anak laki-laki.
Akan tetapi biarlah kita bicara tentang hal itu kelak saja karena aku datang
mendengar engkau terluka parah dan aku ingin mengobatimu, Paman.”
Suma Kian
Lee tersenyum. “Aku sudah sembuh, Ceng Ceng, setidaknya, sudah hampir sembuh
berkat pengobatan Sai-cu Kai-ong.”
“Aku tahu,
Paman, aku sudah mendengar penuturan orang tua itu dan Paman Kian Bu, akan
tetapi selama ini aku memperdalam ilmu pengobatan dengan penggunaan sinkang dan
kim-ciam (jarum emas) dari guru suamiku.”
“Dewa
Bongkok dari Istana Gurun Pasir?”
Ceng Ceng
hanya mengangguk.
“Hebat
sekali!”
“Marilah
kuperiksa keadaanmu, Paman. Harap kau suka rebah terlentang,” kata Ceng Ceng
dan Kian Lee tidak membantah, lalu dia rebah terlentang dan hanya memandang
ketika dengan cekatan jari-jari tangan itu menanggalkan semua kancing bajunya
sehingga tubuhnya bagian atas telanjang. Dengan teliti dari halus, jari-jari tangan
Ceng Ceng memeriksa dada dan sekitarnya, menekan sana sini, meraba sana sini,
dipandang dengan sinar mata penuh keharuan oleh Kian Lee.
Dia merasa
amat terharu melihat betapa wanita yang selama bertahun-tahun ini
dirindukannya, membuat dia merana, kini memeriksanya dengan sikap begitu lembut
dan teliti, membuatnya teringat benar bahwa wanita ini adalah keponakannya
sendiri!
Kian Lee
yang melihat betapa wanita yang selama ini merampas semangat hidupnya itu
memeriksanya, wajahnya demikian dekat sehingga dia melihat wajah itu
sejelasnya, merasakan benar kehadirannya, dan merasakan betapa jari-jari itu
dengan amat teliti memeriksanya, memejamkan mata dan merasa malu kepada diri
sendiri mengapa dia tidak mau melihat kenyataan bahwa wanita ini adalah keponakannya,
masih ada hubungan darah daging dengan ibunya sendiri, cucu dari ibunya!
Kini
jari-jari yang cekatan itu mengancingkan kembali bajunya dan terdengar Ceng
Ceng berkata, "Seperti yang telah kuduga, Paman. Memang obat dari Sai-cu
Kai-ong amat manjur dan telah menyelamatkanmu dari bahaya, tetapi untuk dapat
memulihkan kesehatan dan tenagamu secara cepat dan tepat, kiranya hanya dapat
dilakukan dengan bantuan sinkang dari luar dan tusukan jarum emas. Dan
mengingat bahwa engkau memiliki dasar tenaga sinkang yang amat kuat, maka
diperlukan tenaga yang jauh lebih kuat darimu, dan untuk itu kiranya kalau aku
menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, engkau akan dapat mudah tertolong
sehingga cepat sembuh dan pulih seperti biasa kembali."
Kian Lee
sudah bangkit duduk dan memandang kepada Ceng Ceng sambil tersenyum.
"Sungguh bahagia mempunyai seorang keponakan seperti engkau, Ceng Ceng.
Tentu saja aku suka sekali dapat segera sembuh dan kuat mengingat banyaknya
persoalan yang kuhadapi."
Ceng Ceng
lalu membuka daun pintu dan memanggil masuk Suma Kian Bu dan Sai-cu Kai-ong.
Kedua orang itu bergegas masuk dan kepada mereka Ceng Ceng kemudian
menceritakan hasil pemeriksaannya.
"Harap
Sai-cu Kai-ong suka memaafkan kelancanganku. Pengobatanmu memang luar biasa
sekali dan engkau sudah menyelamatkan nyawa Paman Kian Lee, akan tetapi untuk
dapat memulihkan kesehatan dan tenaga secara cepat, pengobatan dengan
mengandalkan ramuan obat itu kurang cepat. Paman Kian Lee terluka oleh pukulan
sinkang, maka pengobatan satu-satunya yang tepat dan cepat hanyalah dengan
penggunaan sinkang pula, dibantu dengan penusukan jarum emas untuk menahan dan
membuka jalan-jalan darah tertentu."
Sebagai
seorang ahli pengobatan, Sai-cu Kai-ong mengangguk-angguk. "Sayang aku
tidak pandai ilmu tusuk jarum, dan tentang pengobatan dengan sinkang, siapakah
yang mampu menembus tubuh Kian Lee yang penuh dengan sinkang amat kuat
itu?"
"Aku
akan menggabungkan tenagaku dengan Paman Kian Bu, Kai-ong, dan tentang
penggunaan jarum emas, sangat kebetulan sekali aku telah mempelajarinya dari
guru suamiku."
"Bagus
sekali kalau begitu!" Sai-cu Kai-ong berseru girang dan kagum.
Juga Kian Bu
merasa girang sekali dan cepat-cepat ia membantu Ceng Ceng membuka baju Kian
Lee, kemudian pemuda itu duduk bersila di atas pembaringan. Ceng Ceng lalu
mengeluarkan empat batang jarum emas. Dengan gerakan hati-hati tetapi cekatan,
dia lalu menancapkan jarum-jarum itu pada dahi di antara kedua mata, di
tengkuk, dan di kedua pundak Kian Lee yang sama sekali tidak merasakan nyeri.
Kemudian, Ceng Ceng menyuruh Kian Bu duduk bersila di belakang Kian Lee,
sedangkan dia sendiri duduk bersila di depan pemuda yang diobati itu, kemudian
mereka berdua mengulur lengan, menempelkan telapak tangan di punggung dan dada
Kian Lee menurut petunjuk Ceng Ceng. Mulailah mereka mengerahkan tenaga sinkang
mereka dari pusar, sesuai dengan petunjuk nyonya muda yang lihai itu.
Di dalam
Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa sebelum menjadi isteri Kao Kok
Cu, Ceng Ceng pernah menjadi murid Ban-tok Mo-li, seorang nenek iblis ahli
racun yang amat lihai dalam hal ilmu tentang racun dan dari nenek ini Ceng Ceng
telah mempelajari ilmu-ilmu yang mukjijat tentang segala macam racun yang
dipergunakan oleh dunia persilatan. Tentu saja, selain pandai menggunakan
racun, dia pandai pula mengobati segala macam penyakit akibat racun. Setelah
dia menjadi isteri Kao Kok Cu, melihat keahliannya ini, Dewa Bongkok Bu Beng
Lojin dari Istana Gurun Pasir lalu menurunkan pelajaran ilmu pengobatan dari
golongan putih yang mempergunakan sinkang dan jarum emas untuk mengubah
keahlian yang berdasarkan ilmu kaum sesat itu menjadi ilmu yang bersih pula.
Karena hawa
pukulan yang melukai tubuh Kian Lee adalah penggabungan antara tenaga yang
sifatnya panas dan dingin seperti yang dilatih oleh Kian Bu, maka cara
pengobatannya juga menyalurkan dua macam tenaga. Ceng Ceng menyuruh Kian Bu
menggunakan inti tenaga Swat-im Sin-ciang sedangkan dia sendiri mempergunakan
sinkang yang berhawa panas. Dengan dua macam hawa sakti itu, mereka berdua
mengalirkan tenaga mereka ke dalam tubuh Kian Lee. Dan jarum-jarum emas itu
melakukan tugasnya untuk mencegah masuknya hawa-hawa yang amat kuat ini ke
bagian-bagian tertentu yang lemah dan untuk mengurung tenaga sinkang Kian Lee
sendiri agar jangan bangkit melakukan perlawanan.
Terasalah
oleh Kian Lee betapa tubuhnya disusupi dua macam hawa yang amat dingin dan amat
panas, dua hawa yang saling bertentangan dan yang mula-mula membuat tubuhnya
kadang-kadang menggigil kedinginan dan kadang-kadang malah berkeringat
kepanasan, akan tetapi lambat-laun dua tenaga itu seperti dapat bersatu dan
membuat dia merasa nyaman sekali. Tanpa disadarinya, Kian Lee tertidur dan
melihat ini, Ceng Ceng memberi tanda kepada Kian Bu untuk perlahan-lahan
menarik kembali tenaganya. Kemudian nyonya muda ini dibantu oleh Kian Bu
merebahkan Kian Lese yang pulas itu ke atas pembaringan setelah dia mencabuti
kembali empat batang jarum emas tadi.
"Biarkan
dia tidur. Pengobatan ini diulang sekali lagi dan dia akan sembuh sama
sekali," kata Ceng Ceng setelah mereka semua meninggalkan kamar itu dan
menutupkan daun pintunya.
Bukan main
girangnya hati Kian Bu mendengar ini. Dia memegang tangan Ceng Ceng,
mengepalnya erat-erat dan berkata, "Terima kasih, engkau benar-benar
keponakanku yang amat hebat!" katanya. Ceng Ceng hanya tersenyum akan
tetapi merasa betapa matanya menjadi basah.
Sambil
menanti sehari semalam lamanya untuk mengobati Kian Lee lagi, mereka semua
bercakap-cakap di ruangan tamu yang luas. Kesempatan ini mereka pergunakan
untuk saling menceritakan pengalaman mereka dan tentu saja masing-masing
menjadi terkejut, marah, penasaran dan berduka sekali ketika mendengar
malapetaka yang menimpa diri masing-masing. Bekas Jenderal Kao mengepal tinju
dan matanya yang lebar terbelalak.
"Brakkk!"
Untung meja
itu tidak pecah oleh hantaman tinjunya ketika orang tua ini dengan gemas
menampar dengan tangannya ke atas meja di depannya. "Jahanam manakah
berani menculik cucuku? Aihhh, jangan-jangan cucuku itu bukan diculik orang
melainkan pergi sendiri dan hilang seperti yang dialami oleh ayahnya di waktu
kecil?"
Ceng Ceng
menggeleng kepalanya. "Tidak, Ayah. Kami berdua sudah menyelidiki dan
beberapa kali kami menemukan jejak Cin Liong diajak seseorang. Akan tetapi
anehnya, orang yang mengajaknya itu selalu berganti-ganti sehingga kami menjadi
bingung dan sampai sekarang kami berdua belum berhasil menemukannya."
Nyonya muda
itu mengusap air mata yang menetes turun. Betapa pun gagahnya Ceng Ceng, namun
sebagai seorang ibu, tentu saja hatinya seperti disayat-sayat oleh rasa
kekhawatiran kalau dia mengingat akan puteranya yang hilang.
Kini tiba
giliran Kao Liang menceritakan tentang keadaannya yang dipecat atau istilah
halusnya dipensiun dan betapa ketika dia sekeluarga hendak pulang ke kampung
halaman, di tengah jalan terjadi malapetaka sehingga harta bendanya dicuri
orang dan semua anggota keluarganya diculik orang.
"Ehhh...!"
Kini Ceng Ceng yang bangkit berdiri dengan muka pucat. "Siapakah mereka
yang begitu jahat?"
Dia duduk
kembali dan mendengarkan penuturan ayah mertua dan dua orang adik iparnya itu
dan dia menggeleng-geleng kepala ketika mendengar betapa ayah mertuanya dan dua
orang adik iparnya pernah menyangka keluarga Pulau Es yang melakukannya, bahkan
mereka pernah menyerang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu karena mengira bahwa
mereka inilah yang melakukan semua kejahatan terhadap keluarga mereka.
"Akan
tetapi, baru kemarin kami bertemu dengan Sicu Suma Kian Bu dan kami sadar bahwa
bukan mereka yang melakukannya, bahkan mereka berjanji hendak membantu
kami." Kakek itu menutup penuturannya sambil menarik napas panjang.
Ceng Ceng
mengerutkan alisnya. "Memang tidak mungkin kalau kedua orang Paman Suma
yang melakukan kejahatan seperti itu. Ayah, kini timbul dugaanku bahwa sangat
boleh jadi hilangnya Cin Liong ada hubungannya dengan penculikan terhadap
keluarga kita itu!"
"Ahhh...!"
Kao Liong dan dua orang puteranya berseru kaget.
"Saya
dan puteramu telah mengunjungi semua orang yang agaknya dipandang sebagai
orang-orang yang memusuhi Istana Gurun Pasir, akan tetapi tidak seorang pun di
antara mereka yang melakukan penculikan atas diri Cin Liong. Oleh karena itu,
agaknya hanya orang-orang yang memusuhi Ayah saja yang akan melakukannya, tahu
bahwa Cin Liong adalah cucu Ayah. Mengingat akan kedudukan Ayah dahulu, tentu
banyak sekali orang-orang yang memusuhi Ayah."
"Ahhh...
kiranya benar dugaanmu itu, mantuku. Benar sekali! Bahkan tempo hari kami
bertiga pun hampir celaka oleh puteri mendiang pemberontak Kim Bouw Sin. Sama
sekali tidak pernah kusangka-sangka sebelumnya bahwa Kim Bouw Sin meninggalkan
seorang anak yang kini hendak membalaskan kehancuran keluarganya kepadaku.
Mungkin... mungkin sekali musuh-musuhku yang selain melakukan penculikan atas
diri keluarga kita juga telah menculik anakmu. Akan tetapi siapa? Para penjahat
dan pemberontak yang jatuh olehku ketika aku masih menjadi panglima begitu
banyak, ratusan, mungkin ribuan. Kemana kita harus menyelidiki?"
"Saya
dan Kok Cu koko berjanji akan bertemu di Pao-ting sepekan lagi. Marilah kita
berunding dengan dia untuk mengambil keputusan."
Girang
sekali hati ayah dan dua orang puteranya itu mendengar bahwa dalam waktu
sepekan lagi mereka dapat bertemu dengan Kao Kok Cu, oleh karena hanya kepada
pendekar inilah mereka bisa menggantungkan harapan. Mereka kemudian meneruskan
percakapan, menceritakan pengalaman masing-masing.
Sementara
itu, atas kemauannya sendiri yang sangat keras, Hweee Li minta agar dia
diperkenankan menjaga Kian Lee di kamarnya. Sai-cu Kai-ong dan Kian Bu tidak
bisa melarang gadis yang keras kepala ini sehingga akhirnya dia diperkenankan
menjaga Kian Lee di dalam kamarnya, ditemani oleh Kian Bu. Ada pun Sai-cu
Kai-ong sendiri sibuk memasak obat karena dia hendak memberi kesempatan kepada
Ceng Ceng dan ayah mertuanya untuk bercakap-cakap urusan kekeluargaan mereka
yang tentu saja tidak boleh dicampuri atau didengarkan oleh orang luar. Dan
Siauw Hong membantu gurunya ini dengan tekun.
Pada
keesokan harinya, kembali Ceng Ceng dan Kian Bu mengerahkan sinkang mengobati
Kian Lee yang ternyata benar saja sudah hampir sembuh sama sekali setelah
menerima pengobatan pertama itu. Dibantu pula dengan obat-obat dari Sai-cu
Kai-ong, maka setelah pengobatan kedua yang dilakukan Ceng Ceng dibantu oleh
Kian Bu, maka boleh dibilang keadaan Kian Lee sudah pulih kembali! Dia sudah
sehat kembali, juga tenaganya sudah pulih dan hanya tubuhnya saja masih kurus
dan mukanya masih agak pucat. Namun, dia telah sembuh sama sekali!
Tentu saja
Kian Bu girang bukan main. Demikian pula Sai-cu Kai-ong menjadi girang dan raja
pengemis ini kemudian memerintahkan para muridnya untuk mempersiapkan masakan
dan minuman karena dia hendak menjamu para tamu yang terhormat itu. Semua orang
bergembira dan mengucapkan selamat kepada Kian Lee yang tersenyum dengan wajah
cerah di antara mereka yang mengelilingi meja perjamuan yang besar dan penuh
dengan masakan dan minuman.
"Terima
kasih... terima kasih," kata Kian Lee dengan terharu setelah dia minum
arak menyambut ucapan selamat mereka. "Terutama sekali terima kasih
kuhaturkan kepada Paman Yu Kong Tek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong dan yang telah
menyelamatkan saya. Terima kasih kepada keponakan saya Ceng Ceng yang telah
membantu mempercepat kesembuhan saya dengan kepandaiannya yang tinggi, dan juga
kepada Nona Hwee Li yang telah membantu adik saya memperoleh jamur panca warna.
Kepada Paman Kao Liang dan kedua Saradara Kao, saya juga berterima kasih atas
kunjungan mereka."
Semua orang
tersenyum dan merendahkan diri. Kemudian Kian Bu berkata, "Kita merupakan
sekelompok orang yang masih ada hubungan, baik hubungan keluarga atau
persahabatan. Bahkan Paman Yu Kong Tek ini adalah keturunan dari keluarga yang
sejak dahulu bersahabat dengan keluarga Suling Emas yang tidak dapat dipisahkan
dengan riwayat keluarga kami. Oleh karena itu, mengingat bahwa kita semua telah
mengenal riwayat masing-masing, sukalah kiranya Paman Yu menceritakan
riwayatnya, dan riwayat tempat kuno yang seperti benteng ini."
Sai-cu Kai-ong
teringat akan janjinya kepada kedua saudara Suma bahwa dia akan memperlihatkan
bangunan seperti istana peninggalan nenek moyangnya itu, maka dia lalu menghela
napas panjang dan berkata, "Memang, tempat ini dahulunya merupakan
istana-istana dari nenek moyang saya yang menjadi raja pengemis dan terkenal di
seluruh dunia pengemis. Akan tetapi sekarang tinggal bekas-bekasnya saja karena
saya lebih senang menyembunyikan diri di sini bersama beberapa orang murid dan
dilayani oleh mereka yang masih setia kepada keluarga saya. Semenjak ratusan
tahun yang lalu, nenek moyang saya terkenal sebagai keluarga pendekar besar
pendiri perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Apa lagi ketika berada di bawah
pimpinan kakek besar saya Yu Siang Ki, Khong-sim Kai-pang menjadi makin terkenal
sebagai perkumpulan pengemis yang hanya menggunakan pakaian pengemis sebagai
tanda kesederhanaan, sebagai para pengikut pelajaran Buddha yang suci, hidup
sederhana untuk diri sendiri tanpa banyak keinginan, akan tetapi selalu
mempergunakan ilmu warisan keluarga untuk membela yang lemah tertindas dan
menentang yang kuat jahat. Akan tetapi saya... ahhh, setelah tua saya
kehilangan semangat, bahkan tidak suka mencampuri urusan dunia lagi, hidup
tenang dan sunyi di tempat ini sampai datang utusan dari kaisar yang memaksa
saya berangkat memimpin pasukan ke Ho-nan untuk menyelamatkan Pangeran Yung
Hwa." Dengan singkat dia lalu menceritakan tentang tugasnya itu di mana
dia bertemu dengan Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee dan betapa Pangeran Yung Hwa
telah berhasil diselamatkan dan kini telah dengan aman kembali ke istana.
Setelah
secara singkat menceritakan riwayat nenek moyangnya yang didengarkan penuh
perhatian oleh semua orang, kakek itu kemudian mengajak para tamunya untuk
melihat-lihat keadaan bangunan kuno yang seperti istana itu. Bangunan itu
memang amat besar dan luas, mempunyai banyak sekali ruangan-ruangan dan
kamar-kamar dan di situ tergantung banyak gambar orang-orang yang berpakaian
pengemis, namun kelihatan gagah perkasa dan berwibawa. Itulah gambar-gambar
dari para anggota keluarga Yu dan Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek memperkenalkan
gambar-gambar itu kepada para tamunya, siapa namanya, hidup di jaman apa dan
bagaimana kedudukan masing-masing di Khong-sim Kai-pang.
Juga dia
memperlihatkan kamar-kamar bersejarah yang pernah dipakai oleh para nenek
moyangnya. Kamar-kamar itu digunakan ketika mereka menjabat ketua perkumpulan
Khong-sim Kai-pang. Semua kamar-kamar ini dijaga oleh anak murid yang bertugas
menjaga kebersihan kamar itu dan juga menjaga agar jangan sampai kemasukan
orang luar yang dapat mencuri benda-benda kuno di dalam kamar itu.
Akhirnya
Sai-cu Kai-ong membawa mereka ke sebuah kamar yang besar indah dan angker, yang
di pintunya terjaga oleh empat orang pengemis. Melihat kamar ini lain dari pada
kamar yang lain, lebih besar dan lebih megah, Hwee Li tak dapat menahan
keinginan tahunya dan bertanya, "Kai-ong, kamar apakah ini?"
"Inilah
kamar dari leluhur keluarga Yu yang langsung menurunkan saya," kata kakek
itu dengan wajah sungguh-sungguh, "Dan kamar ini ditempati secara
turun-temurun oleh keluarga yang menurunkan saya secara langsung. Mari, silakan
Cu-wi masuk dan melihat-lihat."
Kamar itu
memang megah, diatur seperti ruangan balairung istana, hanya bentuknya
sederhana dan tidak mewah seperti istana yang terhias oleh emas permata. Biar
pun tidak mewah, namun ruangan itu megah dan agung, membuat mereka yang masuk
merasa kagum. Dinding ruangan itu terhias sutera beraneka warna, dan selain
terdapat tulisan-tulisan indah yang menghias dinding, juga terdapat banyak
gambar-gambar orang tergantung rapi.
"Itu
adalah kumpulan gambar-gambar dari para leluhur saya yang pernah menjadi raja
di perkumpulan kami," Sai-cu Kai-ong menerangkan dengan suara penuh
hormat.
Hwee Li yang
mendahului orang-orang lain memandangi gambar-gambar itu, berhenti di depan
sebuah gambar dan memandang gambar itu dengan melongo penuh kagum. "Gambar
siapakah ini, Sai-cu Kai-ong?" tanyanya. "Tampan dan gagah sekali
dia!"
Sai-cu
Kai-ong dan semua tamunya lalu menghampiri Hwee Li. Ternyata gambar itu
memperlihatkan seorang pria muda yang berpakaian pengemis dan bertubuh
jangkung, kepalanya memakai topi pandan yang berhiaskan bunga mawar. Memang
gambar itu memperlihatkan seorang pria yang gagah perkasa dan tampan.
"Dia
adalah kakek besar saya yang bernama Yu Siang Ki," kata Sai-cu Kai-ong
dengan suara mengandung kebanggaan. "Dia adalah kebanggaan perkumpulan
kami karena beliau yang mengangkat nama Khong-sim Kai-pang ke tempat tinggi
sehingga dihormati oleh seluruh perkumpulan mana pun juga. Beliau memimpin
perkumpulan kami dengan adil dan usahanya itu diteruskan oleh putera tunggal
beliau yang bernama Yu Goan, itulah gambarnya. Kakek besar Yu Goan itulah yang
memperbaiki istana tua ini, bahkan dia yang pertama-tama mengumpulkan semua harta
benda pusaka di sini, yang kami jaga terus-menerus dan turun-temurun. Dan
deretan sana itu terdapat gambar-gambar para sahabat leluhur saya."
Hwee Li yang
berjalan paling dulu telah tiba di depan gambar yang berderet-deret di dinding
sebelah kiri dan dia berseru, "Wah, dia ini lebih ganteng lagi! Siapakah
dia?"
Ceng Ceng
terpaksa tersenyum karena pujian muridnya itu bukan keluar dari hati seorang
wanita yang genit, melainkan pujian yang keluar dari hati yang jujur dan tulus
seperti watak muridnya itu. Semua orang kini memandang gambar itu. Memang
benar, pria yang bertubuh tinggi besar itu dan berpakaian sastrawan itu amat
ganteng, dan tangannya memegang kipas.
"Dia
ini bukan orang sembarangan, dan menjadi sahabat baik dari kakek besar saya Yu
Siang Ki. Dia bernama Kam Liong..."
"Heeei...
bukankah itu sebatang suling emas yang terselip di pinggangnya?" Hwee Li
berseru heran sambil menunjuk ke arah gambar pria ganteng itu.
Kian Bu
terkejut dan meneliti dan semua orang kini memang melihat gambar suling yang
terselip di pinggang orang dalam gambar itu, suling yang berwarna kuning emas.
"Memang
benar," kata Sai-cu Kai-ong. "Beliau adalah putera kesayangan dari
pendekar sakti Suling Emas yang termasyur itu. Tentu saja suling itu adalah
senjata pusaka beliau yang mengangkat nama beliau menjadi pendekar besar Suling
Emas. Ketika masih muda, beliau ini terkenal dengan sebutan Kam-taihiap, akan
tetapi setelah tua, beliau lebih terkenal lagi sebagai Kam-taijin, seorang
menteri yang setia. Akan tetapi sayang... sayang beliau tewas dalam keadaan
tidak begitu baik, mati dalam keadaan sebagai seorang pemberontak" Sai-cu
Kai-ong menarik napas panjang.
"Tidak!"
Tiba-tiba Kian Lee membantah. "Beliau tewas sebagai seorang gagah perkasa
dan beliau tetap seorang menteri yang setia. Dia tewas karena fitnah seorang
yang amat jahat, demikian menurut penuturan ibuku."
Kian Lee dan
Kian Bu saling pandang dengan alis berkerut. Di dalam hati mereka merasa
menyesal sekali kematian orang gagah keturunan Suling Emas ini adalah akibat
perbuatan keji dari kakek besar mereka sendiri, yaitu Suma Kiat! Suma Kiat yang
jahat itu mempunyai anak yang lebih jahat lagi, seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa
wanita) bernama Suma Hoat, dan dari Suma Hoat inilah ayah mereka Suma Han
diturunkan. Sungguh amat tidak enak menghadapi gambar-gambar para orang-orang
besar keturunan keluarga gagah perkasa itu, yang mengingatkan betapa keluarga
Suma sejak dahulu amat jahat.
Sai-cu
Kai-ong mengangguk-angguk. "Mungkin juga, karena aku sendiri pun selalu
tidak percaya bahwa putera pendekar sakti Suling Emas sampai bisa menjadi
pemberontak. Senjata pusaka suling emas itu selalu berada di tangan orang-orang
gagah, sebuah senjata yang amat bagus, ampuh dan luar biasa. Jarang ada orang
berkesempatan melihat pusaka itu..."
"Aku
pernah melihatnya!" Tiba-tiba Hwee Li berseru.
Sai-cu
Kai-ong kembali menghadapi Hwee Li setelah menoleh ke belakang, ke arah Siauw
Hong yang sejak tadi diam saja dan mengikuti rombongan itu melihat-lihat.
"Ahh, benarkah itu, Nona? Di mana?"
"Tentu
saja di tangan Sin-siauw Sengjin! Aku melihatnya beberapa bulan yang
lalu."
"Benarkah
itu? Sin-siauw Sengjin adalah pewaris dari ilmu-ilmu keluarga Suling Emas. Dia
adalah cucu murid dari Gu Toan yang pernah menjadi pelayan setia dari
Kam-taijin atau Kam Liong itu. Gu Toan inilah yang mewarisi semua pusaka dan
kitab-kitab ilmu yang sakti dari keluarga Suling Emas, dan kemudian secara
turun-temurun pusaka pusaka itu tiba di tangan Sin-siauw Sengjin. Dimanakah
Nona bertemu dengan dia?"
Hwee Li
menoleh kepada Kian Bu. "Kalau kau ingin tahu, Kai-ong, kau tanyalah
kepada Siluman Kecil ini! Dialah orangnya yang pernah mencoba keampuhan suling
emas yang ternyata tidak berguna itu!"
"Jangan
sembarangan bicara!" tiba-tiba terdengar suara bentakan dari belakang.
Hwee Li
menoleh dan ternyata yang mengeluarkan suara membentak marah itu adalah Siauw
Hong yang tadi berlutut menghadap kepada gambar Kam Liong dan kini sudah
bangkit berdiri.
"Apa?
Kau membentak-bentak aku, heh? Kau bocah ini belum pernah dihajar
rupanya!" Hwee Li sudah maju menghampiri dan mengepal tinjunya sedangkan
Siauw Hong juga sudah bersiap dan memandang marah.
"Siapa
pun tidak boleh menghina kepada orang yang kami hormati dan junjung tinggi itu.
Aku akan membelanya, dengan nyawaku!" kata pula Siauw Hong, suaranya penuh
kesungguhan sehingga Kian Bu yang telah mengenalnya memandang dengan heran.
"Hwee
Li!" Tiba-tiba Ceng Ceng membentak. "Mundur kau dan hayo cepat kau
minta maaf!"
Hwee Li
masih mengepal tinju, akan tetapi dia menoleh ke arah subo-nya dan sejenak dua
orang wanita itu saling ‘mengukur’ tenaga dengan pandang mata mereka. Akhirnya
Hwee Li mengeluh pendek dan tersenyum, mata kirinya berkejap kepada subo-nya.
"Aku paling tidak kuat kalau melihat Subo marah kepadaku...," lalu
dia menoleh kepada Sai-cu Kai-ong dan berkata, "Kai-ong, harap kau maafkan
kelancanganku tadi, ya?" Dia sama sekali tidak memandang kepada Siauw Hong
dan sengaja minta maaf kepada Sai-cu Kai-ong. Dasar gadis yang berhati keras
seperti baja, mana dia mau mengalah dan minta maaf kepada Siauw Hong yang
dianggapnya masih bocah itu?
Akan tetapi,
semua orang merasa heran ketika Sai-cu Kai-ong menghadapi Siauw Hong dan
berkata, "Nona Kim telah minta maaf, hendaknya dilupakan saja kata-kata
tadi." Dan Siauw Hong mengangguk!
"Paman
Yu, benarkah itu... bahwa Sin-siauw Sengjin adalah ahli waris yang tulen dari
Suling Emas?" Kian Bu bertanya sambil memandang tajam kepada Sai-cu
Kai-ong.
Sai-cu
Kai-ong mengangguk-angguk. "Benar! Ketika pendekar sakti Kam Liong sebagai
menteri dikeroyok oleh pasukan kerajaan dan sudah luka-luka parah, beliau
berpesan kepada pelayannya yang setia itu, Gu Toan, untuk melarikan semua
pusakanya. Kabarnya berkat bantuan manusia dewa Bu Kek Siansu sendiri akhirnya
Gu Toan dapat membawa jenazah pendekar Kam Liong, jenazah muridnya she Khu,
juga membawa semua pusaka, kemudian memakamkan jenazah itu di kuburan keluarga
Suling Emas dan menjaga kuburan di sana. Sin-siauw Sengjin adalah keturunan Gu
Toan itu yang bertugas menjaga baik-baik semua pusaka, mempelajarinya agar
supaya kelak dapat diserahkan kepada yang berhak, yaitu keturunan langsung dari
keluarga Kam, keluarga Suling Emas."
"Ah,
mana mungkin itu?" Kian Lee membantah. "Menurut penuturan ayah,
keluarga Kam dari pendekar Suling Emas telah habis, berhenti hanya sampai
kepada pendekar Kam Liong itu saja. Pendekar Kam Liong tewas sebagai seorang
menteri yang hidup menyendiri, tidak mempunyai keluarga, tidak mempunyai isteri
dan anak."
Sai-cu
Kai-ong kembali melirik kepada Siauw Hong, lalu menarik napas panjang dan
berkata, "Memang demikianlah yang diketahui orang. Dan tentu saja cerita
Suma taihiap Majikan Pulau Es itu tidak salah, karena memang hal ini merupakan
rahasia pribadi dari Menteri Kam Liong. Beliau kematian isterinya dan tidak
mempunyai anak. Sebagai seorang yang berbakti kepada leluhurnya, tentu saja hal
itu amat menyusahkan hatinya, karena dia merupakan putera tunggal dari pendekar
Suling Emas. Untuk menikah lagi, hal itu berlawanan dengan hati nuraninya, maka
untuk menyambung keturunan nenek moyangnya, Menteri Kam Liong diam-diam
memiliki seorang wanita baik-baik dari antara para pelayannya. Dari wanita inilah
dia memperoleh seorang putera..."
"Ahhhhh...!"
Kian Bu dan Kian Lee berseru kaget dan heran.
"Memang
tidak ada yang tahu, bahkan sungguh amat mengharukan sekali, mendiang Menteri
Kam Liong sendiri tidak pernah mengetahuinya bahwa beliau mempunyai atau
meninggalkan seorang keturunan, seorang putera!" kata Sai-cu Kai-ong.
"Ehhh,
bagaimana pula itu?" Kian Lee bertanya kaget.
"Wanita
yang diambilnya sebagai selir untuk menyambung keturunan itu baru diambilnya
beberapa bulan lamanya sebelum beliau tewas sehingga beliau sendiri tidak tahu
bahwa selir itu telah mengandung ketika beliau tewas. Tidak ada yang tahu akan
hal itu kecuali pelayannya yang setia, yaitu Gu Toan. Karena khawatir
kalau-kalau selir itu dan keturunan Menteri Kam Liong akan dibunuh karena
dianggap sebagai keturunan pemberontak, maka selir itu lalu disingkirkan ke
tempat aman oleh Gu Toan. Nah, keturunan dari Gu Toan inilah yang selalu
mengikuti perkembangan keturunan tunggal itu dan sampai sekarang menjadi tugas
Sin-siauw Sengjin untuk menyerahkan semua pusaka dan ilmu dari Suling Emas
kepada keturunan itu. Karena, hanya apa bila terdapat keturunan langsung yang
berbakat, barulah ilmu-ilmu itu akan diserahkan kepada yang berhak, yaitu
keturunan langsung dari Pendekar Suling Emas. Dan putera selir itulah yang
melanjutkan keturunan Suling Emas, karena putera lain dari keluarga Kam, yaitu
yang bernama Kam Han Ki, adik sepupu Menteri Kam Liong, telah menjauhkan diri
dari keduniaan dan tidak pernah mempunyai keturunan."
"Koai-lojin..."
Kian Lee dan Kian Bu berbisik. Mereka sudah mendengar cerita ayah mereka bahwa
keluarga Suling Emas yang bernama Kam Han Ki dan murid terutama dari Bu Kek
Siansu, hidup menyendiri dan setelah tua menjadi Koai-lojin yang sakti seperti
dewa.
"Ah,
kalau begitu ada keturunannya sekarang? Siapa dia...?" Kian Lee bertanya
penuh keheranan dan Kian Bu kembali memandang gambar dari laki-laki ganteng
berpakaian sastrawan membawa kipas dan suling emas itu.
"Bukan
menjadi hakku untuk membuka rahasia orang lain. Hanya Sin-siauw Sengjin seorang
yang berhak," jawab Sai-cu Kai-ong.
Kian Bu
bengong memandang gambar itu, terutama memandang ke arah kipas dan suling emas
yang berada pada pria di dalam gambar itu. Dia merasa bingung sekali. Manakah
yang asli sebenarnya? Milik orang tuanya ataukah milik Sinsiauw Sengjin?
Ibunya, Puteri Nirahai, memiliki sebatang suling emas yang juga dahulu katanya
diterima dari kakek Gu Toan, dan juga ibu Kian Lee, bekas ketua Pulau Neraka,
Lulu, menerima pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas dari kakek Gu Toan. Akan
tetapi sekarang muncul keturunan kakek Gu Toan yang menyimpan semua pusaka itu!
"Kian
Bu, bagaimana engkau sampai bertanding dengan Sin-siauw Sengjin?" Sai-cu
Kai-ong bertanya, akan tetapi yang ditanya masih bengong memandangi gambar itu.
Ketika
Sai-cu Kai-ong hendak mendesak, tiba-tiba seorang muridnya tergopoh-gopoh masuk
dan melaporkan bahwa di luar lembah terjadi pertempuran antara orang-orang yang
tidak dikenal. Mendengar ini, Sai-cu Kai-ong berlari keluar diikuti oleh Suma
Kian Lee, Ceng Ceng, Hwee Li, Siauw Hong, bekas Jenderal Kao Liang dan dua
orang puteranya, dan bergegas lari ke arah pertempuran itu. Dalam ketegangan
itu, mereka sampai tidak tahu bahwa Kian Bu masih tetap terlongong memandangi
gambar Kam Liong.
Ketika
mereka tiba di lembah bawah puncak, benar saja di sana terjadi pertempuran
dahsyat sekali. Yang bertempur adalah seorang kakek raksasa yang menyeramkan
melawan seorang kakek tua renta yang bersenjata sebatang suling emas! Hwee Li,
Ceng Ceng, dan Jenderal Kao segera mengenal kakek raksasa itu yang bukan lain
adalah Hek-tiauw Lomo, ketua Pulau Neraka, ayah dari Hwee Li! Sedangkan kakek
tua yang bersenjata suling emas itu adalah Sin-siauw Sengjin.
Dua orang
ini bertempur dengan seru dan hebatnya dan terdengar suara berdengung dari
suling ditangan Sin-siauw Sengjin. Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan
seorang lawan yang tangguh sehingga keduanya saling serang dengan dahsyatnya.
Sedangkan tidak jauh dari situ, beberapa orang anak buah Hek-tiauw Lomo dengan
wajah seram-seram sedang bertanding melawan pengikut-pengikut Sin-siauw Sengjin
yang jumlahnya lima orang.
Melihat
ayahnya bertanding dengan pewaris Suling Emas itu, Hwee Li segera meloncat ke
depan dan berseru, "Ayah...! Aku berada di sini!"
Sai-cu
Kai-ong terkejut ketika mendengar nona berpakaian hitam itu menyebut ayah
kepada lawan Sin-siauw Sengjin, maka dia pun cepat maju dan berkata kepada
sahabatnya itu, "Sengjin, hentikan pertempuran di antara orang
sendiri!"
Mendengar
seruan Sai-cu Kai-ong ini, Sin-siauw Sengjin terkejut dan meloncat mundur,
mengelebatkan sulingnya dan berteriak menyuruh Gin-siauw Lo-jin dan empat orang
murid lain untuk mundur dan menghentikan pertempuran pula. Sepuluh orang anak
buah Hek-tiauw Lomo yang seram-seram itu pun mundur dan berkelompok.
Hek-tiauw
Lo-mo sendiri ketika mendengar suara Hwee Li, sudah menarik kembali golok
gergajinya, menyimpannya di punggung. Kakek ini memandang kepada Hwee Li dengan
mata terbelalak lalu tertawa bergelak. Semua orang merasa ngeri ketika melihat
kakek ini tertawa karena nampak gigi seperti taring di mulut kakek itu! Sungguh
seorang kakek yang mengerikan, seperti iblis saja. Tubuhnya tinggi besar,
kelihatan kokoh kuat seperti batu karang. Di punggungnya nampak golok gergaji
dan tombak tulang ikan, sedangkan di pinggangnya tergambar sebatang pedang.
"Ha-ha-ha!
Kiranya benar engkau di sini, anakku! Melihat garuda terbang di atas sini, aku
sudah menduga bahwa engkau tentu berada di sini. Ha-ha-ha, dan ternyata engkau
bersama orang-orang yang berkepandaian tinggi yang berkumpul di lembah ini.
Hebat... hebat..."
"Ayah,
aku bersama Subo di sini..."
"Hemmm,
aku tahu." Hek-tiauw Lo-mo lalu menjura dengan kaku ke arah Ceng Ceng
sambil berkata, "Terima kasih atas bimbinganmu kepada puteriku, Toanio.
Akan tetapi, hari ini terpaksa aku hendak mengajak puteriku pergi."
"Ahhh,
tidak, Ayah! Aku masih ingin bersama Subo...!" Dan gadis berpakaian hitam
itu menoleh, bukan kepada subo-nya, melainkan kepada Kian Lee!
"Hushhh!
Sudah lima tahun lamanya aku membiarkan engkau pergi meninggalkan aku menahan
hati yang rindu. Anakku, setelah kini bertemu, apakah engkau masih tidak
kasihan kepada ayahmu? Aku rindu padamu, ingin mengajakmu berkumpul. Apakah
engkau hendak menjadi searang anak yang sama sekali tidak berbakti terhadap
ayahmu? Aku hanya memiliki engkau seorang, Hwee Li anakku..." Aneh sekali,
kakek raksasa yang segala-galanya kelihatan kasar dan keras itu, kini suaranya
terdengar menggetar seperti mengandung isak!
"Hwee
Li, kau tahu bahwa Subo-mu dan Suhu-mu sedang sibuk menghadapi banyak urusan.
Sekarang, Ayahmu telah datang dan sebagai seorang anak yang berbakti kau tidak
boleh menyakitkan hati Ayahmu. Sudah menjadi kewajibanmu untuk menghibur hati
Ayahmu. Kelak masih banyak waktu untuk kita saling bertemu lagi."
Mulut yang
manis itu cemberut, lalu tiba-tiba Hwee Li menghampiri Kian Lee dan bertanya,
"Bagaimana pendapatmu, Kian Lee? Apakah benar bahwa aku harus turut dengan
Ayah?"
Kian Lee
terkejut. Tidak disangkanya bahwa dia akan ditanya oleh Hwee Li tentang hal
itu. Tentu saja semua orang juga merasa heran, hanya Ceng Ceng yang mengerutkan
alisnya karena guru yang sudah bertahun-tahun mengenal watak muridnya itu dapat
merasakan sesuatu yang membuat dia merasa tidak enak. Dia tahu bahwa muridnya
itu jatuh cinta kepada Kian Lee!
"Ehhh...
ini... ini... memang sebaiknya begitu, Hwee Li. Seorang anak harus berbakti
kepada orang tuanya, dan kurasa ada baiknya jikalau engkau ikut bersama ayahmu
sebab aku yakin bahwa dengan adanya engkau di sampingnya, engkau akan mencegah
terjadinya hal-hal yang tidak baik." Dengan ucapan ini Kian Lee hendak
mengatakan bahwa dara itu dapat mencegah ayahnya melakukan kejahatan-kejahatan
karena dia sudah mengenal siapa adanya Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka yang
ganas dan keji seperti iblis itu.
Mulut itu
makin cemberut. "Tapi... kita baru saja saling berjumpa... dan kau baru
saja sembuh. Aku masih belum puas bercakap-cakap denganmu, Kian Lee."
"Hwee
Li, jangan banyak membantah. Ayahmu sudah mengajak, aku sebagai gurumu telah
menyetujui, dan... Paman Kian Lee telah menganjurkan pula, mengapa engkau masih
banyak membantah?"
Hwee Li
membanting-banting kaki kanannya, lalu mulutnya mengeluarkan lengkingan
panjang. Tidak lama kemudian terdengar lengking panjang menjawab, itulah
garudanya yang segera melayang turun. Hwee Li sekali lagi membanting kaki
kanannya dan menghampiri ayahnya.
"Ha-ha-ha!
Apakah kau marah, anakku? Apakah gurumu terlalu galak kepadamu? Apakah ada
orang yang membuatmu tidak senang? Katakan, siapa dia dan aku akan mengeluarkan
isi perutnya, ha-ha-ha!" Semua orang bergidik mendengan ucapan ini, apa
lagi mata yang lebar dan liar itu menyapu semua orang yang berada di situ tanpa
terkecuali, seolah-olah dia sama sekali tidak memandang mata kepada mereka.
"Sudahlah,
Ayah. Mari kita pergi.” Dia menoleh ke arah Kian Lee dan berkata lagi,
"Benarkah aku harus pergi?"
Kian Lee
hanya mengangguk karena dia merasa sungkan dan malu untuk menjawab.
"Subo,
sampai jumpa. Sampaikan hormatku kepada Suhu," kata Hwee Li kepada Ceng
Ceng.
Wanita itu
mengangguk dan hatinya merasa tertusuk ketika melihat Hwee Li meloncat ke atas
punggung garuda sambil menangis! Tahulah dia bahwa sebenarnya hati dara itu
berat sekali harus pergi bersama ayahnya.
"Muridku
yang baik, hati-hatilah menjaga diri dan kelak kita bertemu kembali!"
katanya melambaikan tangan ketika garuda itu mulai menggerakkan sayapnya dan
terbang meninggalkan tempat itu.
"Heiii,
Hwee Li, aku ikut...!" Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berseru keras.
"Ayah
mengikuti dari bawah saja!" teriak Hwee Li.
Hek-tiauw
Lo-mo tertawa bergelak, dari tangannya menyambar sinar hitam yang halus dan
tahu-tahu tubuh raksasa ini sudah melayang naik bergantung pada benda halus
hitam yang telah mengait pada kaki garuda yang baru terbang tadi. Kiranya kakek
itu menggunakan sehelai jala tipis lembut yang tadi ditujukan ke arah kaki
garuda dan kini dia bergantung kemudian memanjat naik dengan cekatan dan tak
lama kemudian dia sudah duduk di atas punggung garuda di belakang puterinya!
Semua orang terkejut dan kagum karena memang hebat sekali kakek raksasa itu.
Anak buahnya lalu berlari-larian mengikuti arah terbangnya burung garuda.
Setelah
orang-orang Pulau Neraka itu lenyap, Sin-siauw Sengjin lalu menjatuhkan diri
berlutut menghadap ke arah Sai-cu Kai-ong. Tentu saja kakek ini menjadi
terheran heran dan cepat dia menghampiri sahabatnya itu dan memeluknya.
"Sengjin,
apa artinya ini? Kau aneh sekali, Twako! Kenapa engkau berlutut di depan adikmu
seperti ini?"
Akan tetapi,
kakek itu tidak menjawab, melainkan menundukkan mukanya yang menjadi pucat dan
kelihatan berduka sekali, hampir menangis malah. Makin heranlah Sai-cu Kai-ong
dan dia berkata lagi, "Ehhh, kakakku, Sin-siauw Sengjin, apakah yang
terjadi? Lihatlah dia itu..." Sai-cu Kai-ong menuding ke arah Siauw Hong,
"Telah kudidik dia sesuai dengan persetujuan antara kita lima belas tahun
yang lalu. Lihat, dia telah menjadi seorang dewasa dan telah memiliki dasar
kepandaian yang cukup kuat. Dan manakah cucuku yang kutitipkan kepadamu?
Mengapa tidak kau bawa bersamamu? Ahhh, tentu dia sudah dewasa sekarang!"
Sin-siauw
Sengjin tetap berlutut dan kini memejamkan mata seperti hendak menahan
keluarnya air matanya.
"Kai-ong
adikku yang baik... kau... kau bunuhlah saja aku sekarang...," akhirnya
kakek tua renta itu berkata.
Sai-cu
Kai-ong terkejut bukan main. "Apa... apa maksudmu... Twako?"
"Cucumu...
cucumu itu... baru dua tahun berada bersamaku, lalu diculik orang... sampai
sekarang..."
"Ahhh...!"
bagai tersengat Sai-cu Kai-ong meloncat berdiri dan mukanya menjadi pucat
sekali. Dia memandang kakek yang masih berlutut itu, kemudian dia menarik napas
panjang dan menarik tangan Sin-siauw Sengjin.
"Sengjin,
marilah kita bicara di dalam. Marilah kita menenangkan pikiran dahulu dan
kemudian kita bicara di antara sahabat-sahabat ini," katanya dan dia
menggandeng tangan Sin-siauw Sengjin, diajak naik ke puncak dan mereka semua
lalu masuk istana tua itu, duduk mengelilingi meja besar di ruangan tamu.
Sementara
itu, setelah tadi mendengar bahwa kakek itu adalah Sin-siauw Sengjin, Kian Lee
mencari-cari dengan pandang matanya dan merasa heran karena baru dia tahu bahwa
Kian Bu tidak berada di situ. Dia merasa tidak aneh, karena bukankah Sin-siauw
Sengjin pernah bertanding melawan adiknya? Tentu adiknya itu menyembunyikan
diri agar supaya jangan terjadi pertemuan yang tidak enak, pikirnya dan
diam-diam memuji kebijaksanaan adiknya itu.
Setelah
duduk, pandang mata Sin-siauw Sengjin ditujukan kepada orang-orang asing yang
ikut duduk di situ. Melihat ini, Sai-cu Kai-ong berkata, "Tenangkan hatimu,
Twako. Mereka ini adalah sahabat-sahabat sendiri. Beliau ini adalah bekas
Panglima Kao Liang bersama dua orang puteranya, dan nyonya ini adalah mantunya,
dan Sicu ini adalah putera Majikan Pulau Es. Semua adalah orang-orang
sendiri..."
Sin-siauw
Sengjin memandang dengan kagum dan mengangguk-angguk. "Sudah lama
mendengar nama-nama Cu-wi yang mulia...," katanya, akan tetapi kembali dia
terbenam ke dalam kedukaan.
"Sekarang
ceritakanlah tentang diri cucuku, Twako."
"Dua
tahun setelah dia ikut bersamaku, pada suatu hari dia diculik orang yang amat
tinggi kepandaiannya. Aku dan para murid mengejar, akan tetapi setelah dia lari
jauh ke luar dari daerah Tai-hang-san, tentu saja aku tidak berani melanjutkan
pengejaran. Seperti telah kau ketahui, Kai-ong, aku dan para murid telah
bersumpah tidak akan meninggalkan puncak Tai-hang-san selama hidup sebelum aku
dapat menguasai secara sempurna semua ilmu warisan itu, kecuali kalau aku
dikalahkan orang dalam pibu. Lima belas tahun telah lewat dan baru-baru ini
sebelum aku berhasil menguasai semua ilmu dengan sempurna, aku telah dikalahkan
orang, maka aku dapat turun puncak dan berkunjung kepadamu untuk mengabari
tentang lenyapnya cucumu itu lima belas tahun yang lalu. Aihhh, Kai-ong, aku
merasa bersalah dan selanjutnya terserah kepadamu..." Dia berhenti
sebentar.
"Ketika
aku tiba di lembah itu, aku melihat raksasa itu sedang mencari-cari orang,
sikapnya mencurigakan dan kami bentrok. Ternyata dia lihai bukan main. Ahh,
sampai setua ini ternyata aku belum juga dapat menguasai ilmu-ilmu keluarga
Suling Emas!" Dia menarik napas panjang. "Andai kata aku sudah
berhasil, tidak mungkin pemuda itu dapat mengalahkan aku, dan juga raksasa tadi
tentu sudah dapat kurobohkan. Dasar aku yang bodoh dan tidak berbakat..."
Lalu dia
memandang kepada Siauw Hong yang sejak tadi mendengarkan saja dan duduk anteng,
dan kakek ini lalu bangkit berdiri, menjura ke arah pemuda itu sambil berkata,
"Kongcu... kuharap saja engkau tidak akan mengecewakan... leluhurmu..."
suaranya seperti tercekik keharuan.
Siauw Hong
balas menjura. "Mudah-mudahan saja, Locianpwe," jawabnya singkat.
Semua orang
saling pandang dengan heran. Kian Lee mengerutkan alisnya karena dia sama
sekali tidak mengerti apa artinya semua itu. Melihat ini, Saicu Kai-ong lalu
berkata kepada Sin-siauw Sengjin, "Twako, di depan para sahabat yang gagah
perkasa ini, kiranya kita tidak perlu merahasiakan lagi, apa pula karena kita
boleh mengharapkan bantuan mereka untuk mencari cucuku yang hilang."
Sin-siauw
Sengjin yang sudah tua sekali itu menarik napas panjang dan mengangguk angguk.
"Sebaiknya memang demikian. Sudah terlampau lama rahasia itu tersimpan di
antara keturunan kami sehingga menjadi beban yang amat menggelisahkan, dan
sekarang setelah terdapat keturunan majikan kami yang tepat untuk mewarisi ilmu
dan pusaka dari Pendekar Suling Emas, sudah sepatutnya pula kalau rahasia ini
kubuka saja di depan orang-orang gagah."
Mereka semua
mendengarkan penuh perhatian terutama sekali Kian Lee karena pemuda ini pernah
mendengar riwayat keluarga Suling Emas yang diceritakan oleh orang tuanya di
Pulau Es. Bahkan sebetulnya, di antara leluhurnya dan keluarga Suling Emas
terdapat hubungan yang amat dekat, yaitu antara nenek moyang keluarga Suma dan
nenek moyang keluarga Kam. Hanya sayangnya, di antara keluarga Suma, yaitu
nenek moyangnya, muncul banyak orang-orang jahat yang mengganggu keluarga Kam
yang terkenal gagah perkasa itu. Bahkan kehancuran keluarga Kam sejak Menteri
Kam Liong, adalah karena hasil perbuatan jahat dari seorang she Suma, yaitu
Suma Kiat, kakek buyut dari ayahnya sendiri!
Dengan
perasaan bersalah pemuda Pulau Es ini mendengarkan, dan dia maklum bahwa
adiknya, Kian Bu tentu sengaja tidak mau muncul karena merasa tidak enak
terhadap Sin-siauw Sengjin, dan memang benarlah dugaan Kian Lee ini. Kian Bu
yang tadinya bengong di dalam ruangan menghadapi gambar dari Menteri Kam Liong
di waktu muda, menjadi terkejut ketika mengetahui bahwa yang datang bersama
orang orang itu adalah Sin-siauw Sengjin!
Dia merasa
tidak enak untuk keluar, takut kalau-kalau kakek yang belum lama ini
dikalahkannya akan merasa malu dan penasaran sehingga akan terjadi bentrok
antara mereka. Tentu saja dia tidak menghendaki hal ini karena kalau terjadi
demikian, dia merasa sungkan sekali kepada Sai-cu Kai-ong yang begitu baik.
Maka diam-diam dia pun mendengarkan dari balik pintu ruangan.
Sin-siauw
Sengjin mulai dengan penuturannya…..
Kakek
besarnya, Gu Toan bekas pelayan setia dari Menteri Kam Liong, menyelamatkan
pusaka-pusaka Suling Emas dan membawa jenazah Menteri Kam Liong dan muridnya
she Khu, menguburkan mereka di tanah pekuburan keluarga Suling Emas. Gu Toan
lalu menjadi penjaga kuburan dan diam-diam dia memperdalam ilmu-ilmunya dari
kitab-kitab pusaka Suling Emas yang berada di tangannya, sehingga dia menjadi
seorang yang lihai sekali. Dia khawatir bahwa pusaka-pusaka itu tentu akan
dicari dan diperebutkan orang-orang pandai, maka dia menyimpannya di tempat
rahasia, dan dia telah membuat beberapa buah suling dan kipas palsu, juga
kitab-kitab palsu yang dikutipnya dari yang asli, lalu menyimpan pusaka-pusaka
palsu itu di beberapa tempat.
Hal ini
dilakukannya untuk menjaga keamanan yang asli dan memang dugaannya tidak
meleset karena banyak orang pandai yang mencari pusaka itu sehingga beberapa
pusaka palsu itu sempat dirampas orang. Akan tetapi pusaka yang asli tetap di
dalam kekuasaannya, disimpan di tempat aman dan rahasia, dan hanya diketahui
oleh dia sendiri dan seorang puteranya yang sengaja dia singkirkan jauh-jauh
dan tak diakuinya sebagai anak secara terbuka agar jangan ada yang tahu bahwa
Gu Toan mempunyai seorang anak laki-laki! Semua ini dilakukan untuk menjaga
keselamatan anaknya berikut pusaka-pusaka itu.
Dan
akhirnya, seperti yang telah dikhawatirkannya pula, Gu Toan tewas di tangan
seorang di antara mereka yang memperebutkan pusaka itu. Akan tetapi pusaka
Suling Emas yang aslinya selamat bersama anaknya yang juga menyembunyikan diri,
bahkan tidak berani mengaku she Gu!
Mendengar
penuturan sampai di sini, Kian Lee terbelalak dan mukanya menjadi merah. Ibunya
yang dulu bernama Lulu, ternyata telah ‘mewarisi’ kitab-kitab Suling Emas yang
palsu! Kitab-kitab itu diambilnya dari kuburan keluarga Suling Emas seperti
yang ditunjukkan oleh Gu Toan sendiri ketika kakek bongkok ini diserang orang
yang lihai. Jadi kiranya ibunya itu pun hanya memperoleh yang palsu saja, dan
agaknya hal itu disengaja Gu Toan untuk mengalihkan perhatian orang-orang yang
memperebutkan pusaka itu ke arah lain.
Dan juga ibu
tirinya, Puteri Nirahai yang meminjam senjata pusaka suling emas dari kakek Gu
Toan, hanya menerima suling yang palsu saja, biar pun benar-benar terbuat dari
emas! Ah, kiranya ibu kandungnya dan ibu tirinya, dua orang wanita perkasa yang
memiliki kesaktian hebat, isteri-isteri dari ayahnya, Pendekar Super Sakti,
ternyata telah dikelabui oleh kakek Gu Toan, bekas pelayan Menteri Kam Liong
itu!
"Betapa
berat tugas nenek moyang kami..." Sin-siauw Sengjin kemudian melanjutkan
penuturannya dan kakek ini kelihatan lelah sekali. "Bukan hanya karena
kami tidak lagi menggunakan nama keturunan kami she Gu agar jangan
dikejar-kejar orang, juga kami harus menjaga pusaka itu dengan taruhan nyawa,
mempelajari kitab-kitab yang amat sukar itu..." Kembali dia kelihatan
lelah sekali dan menarik napas panjang. "Itu masih belum berapa sukar.
Yang lebih sukar lagi, menjaga dan mengikuti perkembangan keturunan dari
Pendekar Suling Emas, keturunan she Kam dan meneliti kalau-kalau lahir seorang
anak laki-laki yang berbakat dalam keluarga Kam itu agar kami dapat
mengembalikan pusaka kepadanya."
Kian Lee
yang mempunyai dugaan bahwa Siauw Hong mempunyai hubungan erat dengan urusan
itu, mengerling dan dia melihat Siauw Hong duduk seperti arca sambil
menundukkan kepalanya, hanya mendengarkan tanpa berani memandang kepada kakek
Sin-siauw Sengjin atau kepada gurunya, Sai-cu Kai-ong.
"Sungguh
amat luar biasa dan amat menyukarkan kami selama beberapa keturunan ketika
ternyata bahwa keturunan keluarga Kam tidak ada yang berbakat dalam ilmu silat!
Kami tak boleh memaksa, dan kami harus meneliti bakat mereka tanpa membuka
rahasia mereka. Akan tetapi selama beberapa keturunan ini, keluarga she Kam
hanya menjadi sastrawan, petani, atau pedagang. Tidak ada seorang pun yang
memiliki bakat baik dalam ilmu silat. Kesukaran kami ini, juga rahasia kami
sebagai keturunan she Gu yang melanjutkan tugas nenek moyang kami Gu Toan
sebagai pelayan setia keluarga Kam, tidak diketahui oleh lain orang, kecuali
oleh keluarga Yu inilah yang selalu membantu kami, dan keluarga Yu sudah kami
percaya sepenuhnya sebagai keturunan dari tokoh-tokoh Khong-sim Kai-pang,
seorang sahabat baik dari keturunan keluarga Kam, semenjak jaman Menteri Kam
Liong, yaitu Locianpwe Yu Siang Ki." Kakek tua itu berhenti sebentar,
kemudian dia mengerling kepada Siauw Hong yang masih terus mendengarkan sambil
menundukkan mukanya.
"Kam-kongcu,
bolehkah saya melanjutkan?" tanyanya kepada pemuda itu dengan sikap
hormat.
Semua orang
terkejut mendengar ini. Kian Lee memandang tajam wajah pemuda yang pernah
menjadi ‘rekannya’ ketika dia menyamar dan memasuki sayembara sehingga terpilih
menjadi pengawal Gubernur Ho-nan dalam usahanya menyelidiki Pangeran Yung Hwa
tempo hari. Kiranya pemuda ini she Kam, keturunan dari pendekar sakti Suling
Emas! Dia melihat Siauw Hong bangkit dan menjura ke arah Sin-siauw Sengjin dan
Sai-cu Kai-ong, lalu dia berkata dengan suara lantang dan tenang.
"Budi
keluarga Gu yang dilimpahkan kepada keluarga saya sudah setinggi langit dan
sedalam lautan, demikian pula dengan budi dari Suhu. Oleh karena itu, saya
hanya menyerahkan kepada kebijaksanaan Locianpwe dan Suhu saja." Setelah
memberi hormat dia lalu duduk kembali dengan tubuh tegak.
Kini Kian
Lee dapat melihat bahwa wajah pemuda itu memang selain tampan juga mengandung
kegagahan yang mengagumkan, yang terselimut dan tersembunyi di dalam
kesederhanaannya. Maka dia merasa kagum sekali.
Sin-siauw
Sengjin lalu melanjutkan penuturannya dengan suara tenang dan lambat,
"Setelah menanti sampai beberapa keturunan dengan sia-sia, akhirnya saya
dapat menemukan bakat itu di dalam diri Kam Siauw Hong, Kongcu ini. Dialah yang
berhak untuk mewarisi seluruh ilmu dari nenek moyangnya. Karena saya sendiri
masih terikat sumpah tidak akan turun gunung selama belum berhasil menyempurnakan
ilmu-ilmu dari keluarga Suling Emas, dan agar Kam-kongcu memperoleh kesempatan
meluaskan pengetahuannya, maka untuk memberi pelajaran dasar ilmu-ilmu silat
tinggi, saya mempercayakannya kepada sahabat saya yang telah saya percaya
penuh, yaitu Sai-cu Kai-ong. Dan bagi engkau juga, Kam-kongcu, sekarang hendak
saya bukakan rahasia yang selama ini tidak Kongcu ketahui. Kai-ong, harap kau
lanjutkan ceritaku tentang pertunangan itu…"
Sai-cu
Kai-ong menarik napas panjang, kemudian memandang muridnya. "Siauw Hong,
betapa pun juga engkau harus bersyukur bahwa keturunan keluarga Gu amat setia
kepada keluargamu sehingga dahulu timbul akal mereka untuk menyerahkan engkau
kepadaku karena memang banyak tokoh kang-ouw yang selalu menyelidiki pusaka
Suling Emas dan tentu akan mengganggumu kalau ada yang tahu bahwa engkau
keturunannya. Ketahuilah, ketika engkau masih kecil, sebelum dititipkan
kepadaku untuk menjadi muridku, dengan persetujuan kami berdua, telah diikat
tali perjodohan antara engkau dan cucuku, yaitu Yu Hwi yang kutitipkan kepada
Sin-siauw Sengjin agar dididik dengan dasar ilmu-ilmu silat tinggi pula. Engkau
tahu bahwa semenjak kecil, ayah bundamu telah meninggal dunia karena sakit,
engkau hidup sebatangkara dan karena itu kami berdua berani mengambil keputusan
tentang tali perjodohan itu agar hubungan baik antara keluarga Kam dan keluarga
Yu menjadi makin erat dan berubah menjadi keluarga." Kakek berpakaian
sederhana itu menarik napas panjang.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment