Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 10
Suma Kian Bu
dahulunya adalah seorang pemuda yang berwatak penuh keriangan, gembira dan
jenaka, juga bengal dan pandai bicara, pandai berdebat dan suka menggoda orang.
Setelah dia
mengalami pukulan batin karena cinta kasihnya terhadap Puteri Syanti Dewi menemui
kegagalan dan kekecewaan, kemudian ditambah lagi oleh latihan ilmu penggabungan
tenaga Im (dingin) dan Yang (panas) dari Pulau Es sehingga membuat rambutnya
mengalami perubahan warna, dia menjadi seorang pendiam yang penuh rahasia.
Penuh misteri.
Pendiam
karena dia seperti terbenam dalam tumpukan kedukaan dan kekecewaan yang membuat
dia menjadi pemurung, kadang-kadang ganas, akan tetapi tentu saja sebagai
seorang yang berjiwa satria, keganasannya hanya ditujukan kepada kaum penjahat
saja. Kini ia telah berjumpa dengan kakaknya dan hal ini membangkitkan atau
setidaknya sedikit membongkar sifatnya yang tadinya sudah tertimbun oleh
kedukaan itu, mengingatkannya akan keluarganya sehingga timbul kembali gairah
hidupnya.
Kini,
bertemu dengan gadis berpakaian hitam yang amat lincah jenaka dan galak ini
sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong dan wajahnya mulai agak berseri,
seolah-olah mulai ditanggalkanlah sedikit demi sedikit topeng kedukaan yang
selama ini menutupi wajah aslinya.
“Nona,
apakah otakmu miring?” Tiba-tiba Kian Bu yang sudah mulai ‘menemukan’ kembali
sifat kegembiraannya itu bertanya sambil memandang tajam.
Dia bukan
hanya sekedar menggoda atau balas mengejek, melainkan bertanya dengan
sungguh-sungguh karena memang dia mulai menyangka dengan perasaan sayang bahwa
gadis yang demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi itu agaknya gila.
Buktinya, dahulu pun sudah mencari keributan dengan dia untuk perkara yang
bukan bukan saja, dan sekarang bicaranya begitu tidak karuan!
Hwee Li
merasa seperti disengat kalajengking ketika mendengar pertanyaan itu. Ada rasa
kaget, heran akan tetapi marahlah yang lebih besar menguasainya sehingga biar
pun matanya terbuka lebar amat indahnya, namun bibirnya cemberut meruncing dan
sepasang alis yang hitam kecil panjang itu berkerut.
“Siluman
Gila! Engkau adalah seorang gila, bunuh diri merupakan perbuatan gila, dan kau
masih mengatakan orang lain gila. Sungguh gila!” Hwee Li memberi tekanan kepada
setiap kata ‘gila’ sehingga dia seolah-olah telah membalas dengan makian gila
kepada Siluman Kecil sampai empat kali gila!
Melihat cara
gadis ini melampiaskan rasa mendongkolnya, Kian Bu tak dapat menahan diri lagi
dan dia tersenyum. Senyum pertama semenjak dia berjuluk Siluman Kecil! Sebelum
ini, kalau toh dia tersenyum, maka senyumnya itu tentulah hanya senyum untuk
bersopan-sopan saja, senyum paksaan. Akan tetapi baru sekali ini dia tersenyum
yang terdorong oleh kegembiraan hati.
“Nona
ular...“
“Engkau
makin kurang ajar!” Hwee Li membanting kaki kanannya.
“Harus
disebut apa kalau tidak mau dinamakan nona ular? Engkau ke mana-mana pasti
membawa ular yang menjijikkan!”
“Tidak lebih
menjijikkan dari pada manusia, apa lagi yang gila seperti engkau!” Hwee Li
balas menyerang.
“Hemmm...kau
mengingatkan aku akan sebuah syair...”
“Wah, orang
gila mau bersyair, coba kudengarkan sampai di mana kegilaannya!”
“Manusia
adalah mahluk gila yang tidak mengenal kegilaannya!
Yang gila
mengaku waras, yang waras dimaki gila!
Adakah yang
lebih gila dari pada manusia?”
Hwee Li
bersorak. “Bagus, bagus! Nah, syair itu cocok menggambarkan keadaan dirimu
sendiri, hi-hi-hik! Sudah kusangka bahwa engkau memang Siluman Gila, Siluman
Gila yang kecil!”
Kian Bu yang
belum pulih semua kelincahannya merasa kewalahan juga menghadapi dara yang
ternyata pandai sekali berdebat ini. “Nona, kau tadi datang-datang lantas
membentak sampai aku kaget, lalu tiada hujan tiada angin kau memaki aku
pengecut, cengeng, rendah dan gila yang akan membunuh diri. Sikapmu itulah yang
membuat aku mengira engkau berotak miring.”
“Habis, mau
apa engkau melongok-longok ke bawah tebing securam itu kalau bukan untuk bunuh
diri? Ataukah engkau bercanda dengan kabut yang melayang di bawah kaki? Nah,
itu pun merupakan tanda-tanda bahwa engkau gil...”
“Sudahlah,
jangan engkau mengobral makian. Sungguh tak pantas maki-makian macam itu keluar
dari mulut yang begitu indah.”
Sepasang
mata itu terbelalak, lalu dia mengangguk-angguk. “Hemmm, sekarang baru aku
mengerti mengapa Cui Lan jatuh hati kepadamu. Kiranya engkau adalah seorang
laki-laki yang selain berkepandaian tinggi, berwajah tampan dan berambut aneh,
juga pandai merayu!”
Kian Bu
bengong. “Aku? Merayu?”
“Menyangkal
lagi! Baru saja kau bilang mulutku indah...“
“Kalau
memang benar mulutmu indah, harus berkata bagaimana aku ini? Lihat, bentuk
bibirmu amat indah, kemerahan dan segar, kalau tersenyum gigimu kecil berderet
rata dan putih berkilau, dan lesung pipit di kanan kiri mulutmu mengintai.
Benar indah mulutmu. Apakah aku harus bilang mulutmu buruk dan jelek? Aku tidak
merayu, hanya bicara sebenarnya. Salahkah itu?” Kian Bu mulai menemukan kembali
kepandaiannya berdebat dan kini Hwee Li yang menjadi bengong, mencari-cari
jawaban yang tepat.
Akan tetapi
sekali ini sukar dia membantah. Wanita mana yang tidak suka akan pujian? Dan
pujian dari Siluman Kecil itu begitu wajar dan terbuka, begitu langsung dan
jelas bukan pujian kosong! Tanpa disadarinya, warna kemerahan menjalar di kedua
pipi yang halus putih itu.
“Sudahlah!”
katanya gemas karena tidak berdaya lagi untuk menangkis. “Ketahuilah, Siluman
Kecil, hatiku masih penasaran dan benci kepadamu kalau aku teringat kepada Cui
Lan!”
“Hemmm,
mengapa tidak kau lupakan saja dia?”
“Huh,
pantas! Apa kau tidak peduli betapa dara yang cantik jelita dan halus budi
pekertinya itu jatuh cinta kepadamu? Dia tergila-gila kepadamu, sungguh tolol
mengapa seorang gadis seperti dia bisa tergila-gila kepada seorang sepertimu
ini. Dia tergila-gila kepadamu, hatinya merana penuh kerinduan kepadamu, dan
kau bersikap tidak peduli kepadanya! Bukankah hal itu membuktikan bahwa engkau
sebenarnya adalah seorang yang kejam, keji, dan jahat, suka melihat
kesengsaraan yang diderita seorang wanita?”
Melihat dara
itu hendak nyerocos terus menyerangnya dengan kata-kata tajam, Kian Bu cepat
mengangkat tangan ke atas. “Stop! Engkau salah mengerti dan tidak mengerti,
Nona. Aku memang pernah menolong Nona Cui Lan. Dan dia jatuh cinta kepadaku,
hal ini aku mengetahuinya. Akan tetapi, salahkah aku kalau ada seorang gadis
jatuh cinta kepadaku? Salahkah aku kalau aku tidak membalas cintanya? Engkau
sungguh tidak mengerti. Hanya karena aku merasa amat kasihan kepadanya sajalah
maka aku sengaja bersikap tidak peduli dan kasar kepadanya. Memang sikap itu
kusengaja!”
Sepasang
mata yang bening itu melotot. “Coba, betapa gilanya! Kasihan kepada orang dan
menyatakan rasa kasihan itu dengan sikap tidak peduli dan kasar! Seperti baris
terakhir dari syair gilamu itu, 'Adakah yang lebih gila dari pada itu'?”
“Engkau
seperti anak kecil saja, dan memang engkau seorang anak-anak yang belum tahu
tentang seluk-beluk cinta.”
Makin
meradang hati Hwee Li. “Engkau makin besar kepala dan sombong saja. Baiklah,
Guru Besar, berilah kuliah kepada hamba mengenai cinta karena Guru Besar tentu
merupakan seorang yang berpengalaman dan ahli tentang cinta!” Hwee Li menjura
dengan sikap mengejek.
Tetapi Kian
Bu tidak mempedulikan sikap ini. “Aku sengaja bersikap kasar kepadanya agar dia
membenciku! Aku tahu betapa sengsaranya hati yang menderita karena cinta gagal,
dan kurasa penderitaannya itu hanya akan berakhir kalau cintanya terhadap aku
berubah menjadi benci. Dengan demikian barulah dia akan dapat melupakan aku dan
itulah sebabnya aku bersikap kasar kepadanya!” Kian Bu bicara penuh semangat
dan Hwee Li menjadi bengong melihat betapa wajah tampan yang tadinya mulai
berseri dan bersemangat itu kini kembali menjadi muram sekali, penuh duka yang
membayang di dalam sinar mata dan tarikan mulutnya.
“Ohhh...
begitukah? Mengapa kau tidak dapat mencintanya? Dan bagaimana kau tahu bahwa
cinta gagal menimbulkan penderitaan hebat?”
“Karena aku
sendiri... ahh, sudahlah, Nona. Harap kau tidak lagi menggangguku. Aku sedang
menghadapi kepentingan yang sangat besar di sini dan kedatanganmu hanya
mengganggu terlaksananya kepentingan besar itu. Maaf, aku tidak dapat lama-lama
menunda urusanku.”
Akan tetapi
gadis itu tentu bukan Hwee Li kalau dapat ‘digebah’ sedemikian mudahnya. Dia
adalah seorang dara yang keras kepala, lebih keras dari pada baja sehingga dia
tidak akan mudah saja disuruh pergi sebelum dia sendiri menghendakinya untuk
pergi!
“Eh, apakah
tempat ini milikmu maka kau berani mengusir aku pergi dari sini? Kalau aku
tidak mau pergi, kau mau apa?” tantangnya.
Siluman
Kecil melirik dan menarik napas panjang. Dia tahu bahwa kalau dilayani, hal itu
hanya akan berkepanjangan dan mungkin sekali mereka akan bertarung lagi.
“Terserah kepadamu, akan tetapi jangan ganggu aku dengan bicaramu lagi.”
Setelah itu, dia lalu menghampiri tepi tebing, merenung kembali sambil mengasah
otaknya, mencari jalan bagaimana dia dapat turun ke dasar tebing itu.
Setiap orang
manusia tentu mempunyai sifat ingin tahu. Hwee Li pun tidak terkecuali. Melihat
pemuda itu longak-longok memandang ke bawah tebing, dia tak dapat menahan lagi
hasrat ingin tahunya dan dia pun lalu menghampiri tepi tebing dan mulai pula
ikut longak-longok memandang ke bawah tebing, seolah-olah hendak mencari
sesuatu yang sedang dicari-cari pula oleh pemuda itu.
Kian Bu
sudah tenggelam dalam renungannya mencari-cari akal maka dia tidak peduli,
bahkan hampir tidak sadar bahwa tidak jauh dari situ ada seorang gadis yang
juga longak-longok seperti dia menjenguk ke bawah tebing. Akhirnya dia menarik
napas panjang dan menggeleng kepala, dan seperti dalam mimpi dia melihat Hwee
Li juga menjenguk ke bawah tebing lalu gadis itu mengangkat muka memandangnya.
Mereka saling bertemu pandang dan Hwee Li bertanya secara otomatis, “Sudah
ketemu?”
Secara
otomatis pula Kian Bu menggeleng kepala sambil menjawab, “Belum...,“ baru dia
terkejut dan sadar, maka sambungnya dengan bentakan. “Ketemu apanya?”
“Tentu
barang yang kau cari-cari itu, apa lagi? Tentu buntalan pakaianmu tadi terjatuh
ke bawah tebing ini, bukan? Maka kau sejak tadi mencari-cari. Kurasa tidak
mungkin dapat kelihatan dari sini buntalan itu dan...“
“Buntalan
hidungmu!” Kian Bu membentak dengan hati mengkal karena dia merasa digoda
terus-terusan.
Hwee Li
meloncat berdiri dan kedua tangannya bertolak pinggang. Hampir saja bertemu
jari-jari kedua tangannya di sekeliling pinggang itu saking rampingnya pinggang
gadis ini. Mukanya merah dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.
“Sombong,
benar! Engkau berani menghidung-hidungkan orang, ya? Aku sudah susah payah ikut
mencari-cari, engkau malah memaki orang sebagai balasan! Hayo berdirilah dan
kita selesaikan penghinaan ini di ujung kedua kaki tangan!”
Kian Bu
menarik napas panjang. “Sudahlah, Nona. Kita ribut-ribut untuk urusan kosong
belaka. Aku tidak mencari buntalan apa pun, tidak ada kehilangan apa pun. Aku
sedang mencari akal bagaimana aku dapat turun ke dasar tebing ini. Nah, Nona
manis, sudah puaskah engkau sekarang dan sudikah engkau meninggalkan aku untuk
melanjutkan usahaku ini?”
Hwee Li
kembali menjenguk ke bawah tebing, lalu mendengus. “Huh, disebut gila tidak mau
akan tetapi mau turun ke dasar tebing! Mau apa sih engkau hendak turun ke
sana?”
Dengan
setengah hati Kian Bu terpaksa menjawab, dengan maksud agar dara itu cepat
pergi setelah rasa penasarannya dipenuhi, “Aku hendak mencari obat untuk
kakakku yang terluka parah, dan obatnya hanya terdapat di dasar tebing itu.
Nah, sudah cukupkah penyelidikanmu, Nona? Silakan meninggalkan aku sekarang.”
Tiba-tiba
Hwee Li tertawa dan Kian Bu mengerutkan alisnya. Terjadi perang di dalam
hatinya melihat dara itu tertawa. Di satu pihak, ingin dia menempiling perawan
ini, di lain pihak dia kagum melihat wajah itu ketika tertawa. Bukan main indah
dan cantiknya ketika tertawa, seperti matahari di senja kala! Cerah namun tidak
menyengat! Karena tertawa dara itu tidak dibuat-buat melainkan wajar, maka dia
bertanya, “Kenapa kau tertawa?”
“Karena
sekarang engkau harus bersikap sopan dan ramah kepadaku kalau engkau ingin
dapat turun ke dasar tebing sana.”
“Hemmm, apa
maksudmu?”
“Karena,
biar pun engkau berjuluk Siluman Kecil, biar pun engkau memiliki kepandaian
amat tinggi sehingga engkau mampu mengalahkan Sin-siauw Sengjin, namun engkau
tidak akan mungkin turun ke dasar tebing ini kecuali kalau kau hendak membunuh
diri. Oleh karena hanya aku seoranglah yang dapat menolongmu turun ke sana,
tentu saja dengan selamat.”
“Jangan
main-main, Nona!”
“Siapa
main-main? Aku berani bertaruh potong leher bahwa aku dapat membawamu dengan
selamat sampai di bawah tebing sana.”
Kian Bu
mengerutkan alisnya. “Nona, jangan main-main. Aku menghadapi urusan yang amat
penting dan aku tahu bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi
sedikit banyak aku telah mengukur kepandaianmu itu dan aku yakin bahwa engkau
tidak mungkin dapat menggunakan kepandaianmu itu untuk menuruni tebing ini.”
“Tentu saja!
Siapa pun tidak mungkin dapat menuruni tebing ini, akan tetapi dengan terbang,
betapa akan mudahnya!”
“Terbang?
Jangan bilang bahwa kau pandai terbang...“
“Aku sih
bukan kupu-kupu yang mempunyai sayap. Akan tetapi burung garudaku tentu bisa!”
Kian Bu
terbelalak. “Kau... kau mempunyai burung garuda?”
“Tentu saja,
kalau tidak, perlu apa aku banyak bicara kepadamu?” Gadis itu lalu bangkit
berdiri, menaruh kedua tangan di kanan kiri mulutnya kemudian terdengarlah
bunyi lengking aneh seperti suara burung dari mulut yang dilindungi dua tangan
itu.
Kian Bu
terkejut. Lengking itu memang bunyi lengking untuk memanggil burung seperti
rajawali atau garuda! Berkali-kali Hwee Li mengeluarkan suara melengking
nyaring itu dan tiba-tiba dia menuding ke atas.
“Nah, itu
dia garudaku!”
Benar saja.
Seekor burung garuda yang besar menukik turun dan terbang berputaran di atas
kepala mereka. Berdebar jantung Kian Bu. Memang inilah jalan satu-satunya turun
ke sana. Naik di atas punggung garuda! Dan dia bukanlah seorang yang asing
dengan pengalaman seperti itu. Dia sudah sering kali naik punggung rajawali
ketika dia masih berada di Pulau Es.
“Ahh,
sungguh hebat kau, Nona! Maafkan semua kekasaranku tadi dan sekarang aku
percaya. Kau tolonglah aku, Nona. Biarkan aku meminjam burungmu itu untuk turun
ke sana mencarikan obat untuk kakakku.”
“Enaknya!
Pinjam! Apa kau kira akan dapat menguasai Sin-eng-cu (Garuda Sakti)? Kau boleh
kuboncengkan ke bawah sana, asal engkau mau minta maaf kepadaku dan mengatakan
siapa adanya kakakmu yang terluka itu. Aku hampir tidak percaya bahwa seorang
yang berjuluk Siluman Kecil masih mempunyai seorang kakak.”
Karena Kian
Bu tahu bahwa hanya dengan pertolongan gadis ini sajalah dia akan dapat
memperoleh obat untuk kakaknya itu dengan cepat dan pasti, maka tanpa ragu-ragu
lagi dia lalu menjura dan berkata halus, “Nona, harap kau suka memaafkan semua
kesalahanku. Kakakku menderita luka dalam yang cukup hebat, kini dirawat oleh
Sai-cu Kai-ong, obatnya hanya terdapat di daerah bawah tebing itu. Kakakku
bernama Suma Kian Lee dan...“
“Kian
Lee...? Aihhh, kenapa tidak dari tadi-tadi kau bilang...!” Hwee Li melonjak
kaget dan cepat-cepat dia melengking keras memanggil garudanya. Burung itu
menukik dan hinggap di atas tanah di depan gadis itu, mengeluarkan suara
nguk-nguk-nguk manja, kemudian mendekam.
“Hayo cepat,
nanti saja kau ceritakan bagaimana Suma Kian Lee sampai terluka hebat. Kau
boleh duduk di belakangku. Sin-eng-cu, kau antarkan kami ke bawah sana!”
Berkata demikian, Hwee Li melompat ke punggung garuda itu lalu menggeser ke
depan sedikit untuk memberi tempat kepada Kian Bu.
Pemuda itu
yang sudah biasa menunggang burung besar, lalu meloncat dengan ringan agar
tidak mengejutkan burung itu dan dia telah duduk di belakang Hwee Li.
“Sin-eng-cu,
berangkatlah!” Hwee Li menepuk leher burung itu yang lalu mengeluarkan suara
keras, kemudian menggerakkan kedua sayapnya, kedua kakinya menggenjot dan
melayanglah dia ke atas, lalu terbang melayang ke bawah tebing.
“Sekarang
ceritakan, benarkah kakakmu itu Suma Kian Lee?”
“Benar,”
jawab Kian Bu dan jantungnya mulai berdegup tidak karuan.
Punggung
garuda itu agak melengkung di tengah-tengahnya, sehingga dia yang duduk di
bagian belakang, tentu saja selalu melorot ke depan sehingga tubuhnya merapat
dengan tubuh belakang dara itu. Rambut dara itu tertiup angin dan menyapu-nyapu
muka dan hidungnya, selain mendatangkan rasa geli juga bau harum menyergap
hidungnya dan rambut halus itu mengusap-usap mukanya seperti membelainya!
“Sungguh
aneh! Engkau Siluman Kecil dan kakakmu Suma Kian Lee. Lalu siapa namamu
sebenarnya?”
“Namaku Suma
Kian Bu... “
“Ahhh...!”
Gadis itu berseru demikian keras hingga burungnya terkejut dan agak miring.
Hwee Li cepat menepuk-nepuk punggungnya menenangkan.
“Jadi engkau
dan kakakmu itu putera-putera Pulau Es?”
Kian Bu kini
yang terkejut. Bagaimana gadis ini dapat mengenal kakaknya dan tahu pula bahwa
dia dan kakaknya itu dari Pulau Es? Akan tetapi karena dia mengharapkan bantuan
gadis itu, dia tidak mau banyak bertanya lebih dulu.
“Benar,
Nona.”
“Pantas
engkau begini lihai!”
“Hemmm...”
”Dan pantas
saja engkau agaknya sudah biasa menunggang garuda.”
“Memang kami
juga mempunyai rajawali di sana...“
Hwee Li
mengangguk. “Aku tahu...”
Hening
sejenak dan terdengar oleh Kian Bu gadis itu bicara kepada diri sendiri, lirih,
“Kiranya dari Pulau Es...”
Tak lama
kemudian gadis itu berkata lagi, “Aku tahu bahwa Suma Kian Lee juga amat lihai
seperti engkau, bagaimana dia sampai dapat menderita luka parah?”
Kian Bu hampir
tidak dapat menjawab pertanyaan itu karena dia sekarang makin gelisah duduknya.
Sejak tadi jantungnya sudah berdebar keras tidak karuan dan makin lama makin
hebat gelora di dalam hatinya. Dia duduk begitu rapat sehingga tubuh depannya
menempel ketat pada tubuh belakang gadis itu! Dan kehangatan tubuh itu sampai
terasa olehnya kelunakan dan kehalusan kulit di balik pakaian itu, tercium
olehnya bau keringat, bau badan yang khas, dan mulailah dia membayangkan yang
bukan-bukan.
Teringatlah
dia ketika dia mengalami permainan cinta yang amat mesra dan hebat ketika dia
untuk beberapa lamanya dahulu terpikat oleh seorang wanita cantik yang berwatak
cabul, yaitu Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, si Siluman Kucing. Dan
membayangkan semua pengalamannya dengan Lauw Hong Kui yang lalu, sedangkan di
depannya duduk seorang dara yang malah jauh lebih cantik menarik dari pada Lauw
Hong Kui, lebih muda, lebih menggairahkan, maka seketika naiklah darah ke
kepala Kian Bu dan sejenak menggelapkan mata batinnya.
Dia memejamkan
mata akan tetapi makin terbayanglah adegan-adegan mesra antara dia dan Lauw
Hong Kui ketika bermain cinta, dan wajah Hong Kui itu berubah menjadi wajah
dara yang duduk di depannya! Dia berusaha untuk menekan perasaan ini dan
mengusir bayangan-bayangan itu, maka terjadilah perang hebat di dalam hati dan
pikirannya pada saat itu.
Tidak salah
lagi, timbulnya segala macam nafsu keinginan, termasuk nafsu birahi adalah dari
ingatan yang bertumpuk di dalam pikiran. Biar pun kita duduk dikelilingi oleh
puluhan orang wanita cantik manis, kalau kita menghadapi mereka dengan wajar
dan dengan pikiran bebas, tidak akan terjadi sesuatu dalam batin kita. Akan
tetapi, begitu pikiran mengusik dan mengingat pengalaman-pengalaman yang lalu,
baik pengalaman itu kita alami sendiri dengan wanita mau pun pengalaman orang
lain yang kita dengar atau baca, terbayanglah adegan-adegan mesra antara kita
dengan wanita atau laki-laki lain dengan wanita. Dan kalau sudah begitu,
timbullah keinginan untuk menikmati kesenangan itu, bangkitlah nafsu birahi,
timbul nafsu untuk memiliki. Seorang pertapa yang duduk semedhi seorang diri di
puncak gunung, biar pun dalam jarak ratusan li jauhnya tidak ada wanita, namun
kalau pikirannya membayangkan permainan cinta yang pernah dialaminya atau dialami
orang lain dengan wanita, akan timbul pula nafsu birahinya.
Demikian
pula dengan Suma Kian Bu. Selama lima tahun lebih ini dia tidak pernah
mengalami hal seperti saat itu. Ketika dia duduk di atas punggung burung garuda
bersama Hwee Li, duduk demikian dekatnya dan merapat ketat karena punggung itu
miring sehingga tubuh depannya menempel rapat ke tubuh belakang Hwee Li, mula
mula tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, setelah dia membayangkan adegan-adegan
mesra yang pernah dialaminya bersama Lauw Hong Kui, maka mulailah terasa
olehnya betapa dia seakan-akan sedang memeluk dara cantik jelita di depannya
itu, memeluk dari belakang sehingga terasa dan tercium segala-galanya,
kelembutannya, kepadatan tubuhnya, kehalusannya, kesedapannya, dan bangkitlah
birahinya!
Karena
sampai lama tidak memperoleh jawaban, Hwee Li menoleh dan bertanya, “Heiii,
katakanlah, siapa yang melukai Suma Kian Lee?”
Ketika Hwee
Li menoleh, muka mereka begitu berdekatan dan napas hangat dara itu menghembus
di pipinya, membuat Kian Bu hampir tak kuat bertahan pula dan birahinya makin
berkobar.
“Ihhhhh...!”
Tiba-tiba Hwee Li berseru dengan kaget dan geli dan pada saat itu Kian Bu
menjawab gugup karena dia maklum mengapa dara itu menjerit.
“Akulah yang
memukulnya...”
“Ahhhhh...!”
Kembali Hwee Li berseru kaget dan sekali ini seruannya adalah karena dua hal,
pertama karena dia merasakan keadaan pemuda itu yang sedang diamuk birahi dan
kedua kalinya mendengar bahwa pemuda itu yang memukul dan melukai Suma Kian
Lee. Berbareng dengan seruannya itu, tangannya bergerak dan dua ekor kepala
ular mematuk dari kanan kiri ke arah leher dan dahi Kian Bu.
“Heiii...!”
Kian Bu berteriak keras, cepat dua tangannya menangkis dengan pengerahan
tenaga.
“Plak! Plak!
Bukkkkk...!”
Kedua ekor
ular itu ditangkis remuk kepalanya, tetapi tangan Hwee Li telah mendorong
dadanya sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kian Bu terguling jatuh dari
atas punggung garuda!
Untung bagi
Kian Bu bahwa pada saat itu mereka telah tiba di atas dasar tebing itu, tidak
begitu tinggi lagi sehingga ketika dia terguling, dia dapat mengatur keseimbangan
tubuhnya dan meloncat ke arah sebatang pohon yang tumbuh di bawah itu dan
menyambar cabang pohon sehingga dia dapat mendarat dengan selamat. Cepat dia
lalu meloncat turun ke atas tanah dan peristiwa berbahaya itu sekaligus
mengusir semua bayangan yang tadi membuat dia kehilangan kesadaran dan diamuk
oleh nafsu birahi. Mukanya menjadi merah sekali ketika dia teringat dan dia
melihat kini burung garuda yang ditunggangi oleh Hwee Li itu terbang berputaran
di atas kepalanya.
“Kau adalah
laki-laki cabul! Kau laki-laki kurang ajar yang tidak tahu kesusilaan dan kau
laki-laki porno!” terdengar Hwe Li memaki-maki sambil menjenguk dari atas
punggung garudanya, suaranya penuh dengan kemarahan. “Dan engkau juga laki-laki
kejam dan durhaka, memukul kakak sendiri!”
Kian Bu
merasa malu bukan main mengingat apa yang terjadi di atas punggung garuda tadi.
Tentu saja dara itu menjadi kaget kemudian menjadi geli dan jijik! Tentu saja
dara itu merasa dan tahu bahwa dia diamuk birahi karena tubuh mereka begitu
rapat seolah olah dara itu tadi setengah dipangkunya!
“Nona...
kau… kau maafkanlah aku...“ Dia berkata dengan pengerahan khikang hingga
suaranya pasti dapat terdengar dari atas punggung garuda yang terbang
berputaran di atas kepalanya beberapa tombak tingginya itu. “Engkau... engkau
begitu cantik dan kita duduk begitu berdekatan dan aku... aku hanyalah orang
lemah...“ Kian Bu menunduk, kemudian berkata lagi, “Aku menyesal sekali, Nona.
Percayalah!” Pemuda ini memang benar-benar merasa malu dan amat menyesal mengapa
dia tadi membiarkan saja pikirannya melamun dan mengingat-ingat hal yang dapat
membangkitkan birahinya.
Dia tidak
tahu betapa di atas punggung garuda, Hwee Li yang marah-marah itu menjadi merah
mukanya karena jengah atau malu teringat akan keadaan pemuda itu tadi yang
duduk mepet di belakangnya sehingga pinggulnya dapat merasakan kebangkitan
birahi pada pemuda itu. Mendengar ucapan Kian Bu, diam-diam Hwee Li memuji
kejujuran pemuda itu dan dia memang sudah memaafkannya karena bukankah
sesungguhnya pemuda itu tidak melakukan sesuatu terhadap dirinya?
Kalau pemuda
itu sudah menggerakkan tangan untuk merabanya misalnya, barulah hal itu dapat
dianggap sebagai suatu kekurangajaran. Yang membuat dia penasaran adalah ketika
mendengar betapa Siluman Kecil itu memukul dan melukai Suma Kian Lee. Birahi
yang timbul pada diri Siluman Kecil tadi bahkan membuktikan bahwa dia memang
mempunyai kecantikan dan daya tarik istimewa sehingga seorang tokoh besar
seperti Siluman Kecil, yang dia melihat sendiri menolak cinta kasih seorang
gadis cantik jelita seperti Cui Lan, ternyata timbul birahinya terhadap dia!
“Aku tidak
mau bicara tentang itu!” bentak Hwee Li dari atas dan dia membiarkan garudanya
terus beterbangan perlahan mengelilingi pemuda itu. “Akan tetapi engkau telah
memukul Suma Kian Lee, padahal, dia kakakmu sendiri!”
Di dalam
cerita Kisah Sepasang Rajawali, lima enam tahun yang lalu, Hwee Li pernah
bertemu dengan Suma Kian Lee ketika pemuda ini terluka pahanya oleh senjata
rahasia peledak yang dilepas oleh Mauw Siauw Mo-li dan Kim Hwee Li yang ketika
itu baru berusia sebelas dua belas tahun, telah menolong pemuda itu,
menyembunyikannya dan mengobatinya.
Melihat Suma
Kian Lee yang tampan dan gagah, di dalam hati gadis kecil yang ketika itu baru
menjelang dewasa, telah terdapat perasaan kagum dan memuja, dan Kian Lee
merupakan pemuda atau pria pertama yang pernah menggoncangkan perasaan
wanitanya. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa Kian Lee terluka parah dan
yang memukulnya adalah pemuda yang mengaku adiknya itu sendiri, tentu saja dia
menjadi marah bukan main. Apa lagi, ketika menangkis serangan ular-ularnya
tadi, Siluman Kecil telah memukul mati kedua ularnya!
Kian Bu
mengerti bahwa hanya dengan bantuan gadis itu dia dapat mencapai dasar tebing,
dan juga tanpa bantuan gadis dengan garudanya itu, agaknya akan sukar bahkan
tidak mungkin baginya untuk mendaki tebing yang amat tinggi itu. Dia tidak
takut menghadapi ancaman bahaya terkurung di situ, akan tetapi kalau tidak
dibantu, tentu ia akan terlambat sekali membawa obat untuk kakaknya. Maka dia
mengambil keputusan untuk mengaku terus terang kepada gadis yang aneh itu.
Siapa tahu gadis yang aneh itu mempunyai watak gagah yang dapat
mempertimbangkan keadaan dengan adil. Buktinya gadis itu pun telah menghabiskan
saja urusan yang timbul karena bangkitnya nafsu birahinya tadi, dan hal ini
saja sudah menunjukkan bahwa gadis itu mempunyai kebijaksanaan dan kegagahan.
“Nona
dengarlah baik-baik. Kakakku itu kena pukulanku karena kami berdua berkelahi
dalam keadaan saling menyamar. Aku menyamar sebagai kakek-kakek dan dia
menyamar sebagai seorang jagoan Gubernur Ho-nan sehingga kami tidak saling
kenal dan saling serang. Setelah dia roboh dan penyamarannya terbuka, barulah
kami saling mengenal. Melihat dia terluka parah, kemudian aku pergi ke sini
untuk mencarikan obat penyembuhnya. Nah, terserah apakah engkau mau percaya
atau tidak. Sekarang aku hendak mencari obat itu.”
Dia lalu
membalikkan tubuhnya dan tidak lagi mempedulikan nona itu, melainkan meneliti
keadaan di situ untuk mencari anak sungai seperti yang telah digambarkan oleh
Sai-cu Kai-ong kepadanya. Walau pun dia maklum bahwa dia membutuhkan bantuan
nona itu dan burung garudanya untuk dapat menyampaikan obat kepada kakaknya,
tentu saja kalau sudah ditemukannya, namun bukanlah watak Suma Kian Bu untuk
mengemis-ngemis bantuan orang. Maka dia pun tidak merasa kecewa ketika melihat
burung itu terbang naik meninggalkan dirinya, dan dia melanjutkan
penyelidikannya.
Akhirnya
ditemukanlah anak sungai tidak jauh dari situ dan tepat seperti yang
digambarkan oleh kakek itu dari hwesio yang secara kebetulan menemukan tempat
itu, dan Kian Bu cepat mengikuti aliran sungai kecil itu sampai anak sungai itu
memasuki sebuah goa yang gelap. Tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu turun ke air
sungai yang dalamnya hanya selutut itu karena untuk mengikuti aliran sungai
dari tepi sudah tidak mungkin lagi sekarang. Ketika dia hendak memasuki goa,
dia melihat burung garuda itu menukik dan nona yang duduk di atas punggung
burung itu terus memandang penuh perhatian, akan tetapi dia tidak mau
mempedulikan lagi dan terus memasuki goa yang gelap.
Dia tidak
tahu berapa jauhnya dia menempuh jalan yang amat gelap dan sukar itu karena dia
harus terus berjalan di dalam sungai dengan air kadang-kadang sampai sedalam
dadanya dan dasar sungai itu kadang-kadang amat licin dan kadang-kadang penuh dengan
batu-batu runcing. Akan tetapi, setelah melewati waktu yang agaknya tiada
habisnya itu, akhirnya Kian Bu melihat cahaya terang di sebelah depan dan
tibalah dia di daerah terbuka.
Dia lalu
mendarat di tepi sungai yang penuh dengan batu-batu besar hitam dan hatinya
lega ketika melihat bahwa tempat itu terbuka, langit dapat kelihatan dari situ
sungguh pun daerah itu merupakan sumur raksasa yang amat dalam dan sekeliling
tebingnya terjadi dari dinding batu yang amat licin dan tidak mungkin sama
sekali untuk mendaki naik. Akan tetapi di bawah dinding licin yang amat tinggi
itu terdapat banyak batu-batu karang besar dan terdapat pula goa-goa yang besar
dan hitam sehingga tempat yang terpencil itu kelihatan menyeramkan sekali.
Kian Bu
menjadi bingung. Menurut petunjuk dari Sai-cu Kai-ong, setelah tiba di tempat
terbuka dia harus memasuki sebuah goa karena di dalam goa yang katanya
merupakan terowongan panjang itulah dia akan menemukan jamur panca warna yang
akan menjadi obat bagi kakaknya. Akan tetapi goa yang mana? Dilihat dari tempat
ia berdiri, agaknya di sekeliling tempat yang merupakan lambung gunung
terhimpit tebing itu terdapat ratusan buah goa! Mana dia bisa tahu goa yang
manakah yang benar? Dia tidak menyalahkan Sai-cu Kai-ong karena kakek itu sendiri
belum pernah tiba di tempat ini dan hanya mendengar dari orang lain.
Tiba-tiba
ada bayangan hitam di dekat kakinya. Cepat dia melihat ke atas dan benar saja,
jauh sekali di atas tebing-tebing itu nampak titik hitam yang bukan lain adalah
burung garuda tadi! Tentu saja seekor burung yang terbang dapat memeriksa
keadaan sekeliling itu dan dapat menemukan ‘sumur raksasa’ ini, tetapi kalau
harus mendatangi tempat ini melalui atas, dengan jalan kaki, sungguh merupakan
hal yang sama sekali tidak mungkin.
Burung itu
lewat dan samar-samar dia melihat gadis aneh yang duduk di punggung burung itu
menjenguk ke bawah. Akan tetapi dia tidak mempedulikan gadis pemarah itu karena
dia masih menghadapi banyak pekerjaan yang sukar sekali. Tanpa membuang banyak
waktu lagi, mulailah Kian Bu memeriksa dan memasuki goa itu satu demi satu!
Sungguh hal ini merupakan pekerjaan yang amat sukar dan melelahkan. Goa-goa itu
ternyata banyak sekali yang amat dalam, merupakan terowongan-terowongan panjang
dan berliku-liku, akan tetapi setelah dimasuki dan diikuti, ternyata hanya
merupakan goa-goa kosong dan buntu, tidak ada nampak jamur sama sekali di situ.
Karena tidak dimasuki sinar matahari, lumut pun tidak nampak, apa lagi jamur
panca warna!
Baru belasan
lubang goa yang diperiksanya dengan sia-sia, hari telah mulai gelap. Kian Bu
merasa heran sekali ketika keluar dari goa dan melihat matahari telah lenyap
dan tempat itu cepat sekali gelap. Tadi ketika dia membonceng gadis itu turun,
hari masih pagi dan dia membuang waktu untuk memeriksa goa-goa itu hanya makan
waktu empat lima jam saja. Mengapa sekarang tahu-tahu telah menjadi
remang-remang, menjadi senja dan hampir malam?
Akan tetapi
ketika dia berdongak memandang ke sekeliling di atas tempat yang seperti sumur
raksasa itu, mengertilah dia. Tentu saja di tempat ini, waktu yang diukur
dengan sinar matahari amatlah berbeda dengan di atas sana, di lapangan terbuka
di mana sinar matahari dapat bercahaya sepenuhnya. Di sini, matahari cepat
lenyap terhalang ujung tebing di barat dan biar pun di dasar tempat itu sudah
gelap, namun dia dapat menduga bahwa di atas sana tentu masih terang dan baru
lewat tengah hari!
Karena
gelap, terpaksa Kian Bu menunda pekerjaannya memeriksa goa-goa itu. Dia duduk
di atas batu yang halus permukaannya dan banyak terdapat di tempat itu, sambil
termenung dan memandang ke sekeliling. Di tempat ini tidak ditumbuhi pohon
karena lantainya penuh dengan batu. Ada pohon-pohon tumbuh di lereng tebing dan
pohon pohon itu merupakan pohon-pohon liar yang tidak mengandung buah yang
dapat dimakan. Akan tetapi, dia tidak lapar dan sebagai seorang yang terlatih,
tidak makan beberapa hari saja bagi pemuda Pulau Es ini tidaklah merupakan hal
yang menyiksa.
Juga dia
tidak perlu membuat api unggun karena hawa dingin tidak akan mengganggu
tubuhnya yang sudah biasa dengan hawa yang jauh lebih dingin ketika dia
berlatih di Pulau Es. Maka duduklah Suma Kian Bu di atas batu itu, bersila dan
mulai melakukan siulan untuk mengumpulkan hawa murni, memulihkan tenaga dan
memberi kesempatan kepada tubuhnya untuk mengaso.
Kegelapan
kini menyelimuti tempat itu dan hanya sinar bintang-bintang di langit yang
hanya seperempat luasnya kalau dibandingkan langit biasanya di tempat terbuka,
yang mendatangkan cahaya remang-remang. Sunyi sekali di sekitar tempat itu,
kesunyian yang makin terasa karena adanya suara gemercik air yang tiada
hentinya dan yang kini terdengar amat jelas.
Berbeda
dengan waktu siang yang harinya pendek sekali, sebaliknya waktu malamnya di
tempat itu amat panjang dan lama karena matahari yang di permukaan bumi sudah
muncul dan naik tinggi, di dasar sumur raksasa itu masih belum nampak! Kian Bu
sudah tidak melihat adanya bintang-bintang di langit yang sudah disapu bersih
oleh sinar matahari, namun tempat itu masih gelap.
Tiba-tiba
dia mendengar suara di belakangnya. Cepat dia menoleh dan meski Kian Bu
merupakan seorang pemuda gemblengan, seorang pendekar sakti yang berkepandaian
tinggi, tak urung bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat sesosok tubuh
berindap indap keluar dari sebuah di antara ratusan goa itu. Akan tetapi segera
dia melenyapkan rasa takut itu dengan dugaan bahwa tentu orang itu adalah dara
cantik yang tentu saja dapat turun dengan bantuan garudanya. Karena itu dia pun
bersikap dingin saja dan melanjutkan siulannya.
Bayangan
orang itu dapat bergerak cepat dan kini telah tiba di dekat Kian Bu, lalu tiba
tiba saja bayangan itu menyerang dengan cengkeraman dari belakang ke arah
tengkuk dan kepala pemuda itu. Kian Bu terkejut dan cepat dia meloncat ke depan
sehingga cengkeraman itu luput. Akan tetapi orang itu dengan marah menerjangnya
terus dengan pukulan-pukulan yang aneh.
“Nona,
berhenti dulu! Mengapa kau menyerangku? Nona...!” Kian Bu lalu mengelak ke
sana-sini dan dia makin terheran ketika memperoleh kenyataan bahwa gerakan
orang ini sungguh jauh berbeda dari pada gerakan nona pemilik garuda. Dara
cantik pemilik garuda itu memiliki gerakan yang berdasarkan gerakan ilmu silat
tinggi, lihai sekali, akan tetapi sebaliknya orang ini menyerangnya dengan
gerakan kasar, hanya gerakannya lebih nekat dan liar.
“Heh-heh-heh,
hi-hik, kau menyebutku Nona? Hi-hi-hik!” Wanita itu terkekeh dan Kian Bu makin
terkejut dan terheran ketika dia mendapat kenyataan dari suara wanita ini bahwa
dia sama sekali bukanlah dara pemilik burung garuda! Akan tetapi cuaca masih
terlalu gelap untuk dapat mengenal orang ini yang hanya tampak bayangannya
saja.
“Siapakah kau?
Dan kenapa kau menyerangku?” tanyanya.
“Hi-hik-hik,
kau adalah pembunuh keji! Kau manusia jahat, masih tanya mengapa aku
menyerangmu? He-heh-heh, aku hendak membunuhmu untuk membalaskan kematian
nyonya majikanku!” Dan wanita itu menyerangnya lagi.
Kian Bu
kembali mengelak ke sana ke mari dengan amat mudahnya karena ternyata kini
bahwa serangan-serangan itu hanya sembarangan saja dan sama sekali tiada
artinya bagi dia. Akan tetapi dia merasa tidak enak untuk merobohkan seorang
wanita, apa lagi seorang wanita yang agaknya tidak waras otaknya.
“Aku tidak
membunuh nyonya majikanmu! Siapa sih nyonya majikanmu itu?” tanya lagi Kian Bu
sambil tetap mengelak ke sana-sini dan terus main mundur.
Wanita itu
terus mengejar dan mendesaknya, melancarkan serangan-serangan nekat dan
membabi-buta.
“Huh, engkau
masih pura-pura lagi bertanya? Nyonyaku tentu saja Ang Siok Bi, siapa lagi? Dan
dia sudah kalian bunuh secara kejam, dan kalian telah melemparkan aku ke
sungai, ke pusaran maut. He-heh-heh, akan tetapi kalian keliru, aku tidak mati
dan sekarang aku akan membalaskan kematian majikanku, hik-hik!”
Kian Bu
mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh
wanita ini. Sementara itu, cahaya matahari mulai menerangi tempat itu dan
akhirnya dia dapat melihat bahwa yang menyerangnya mati-matian itu adalah
seorang wanita yang usianya sudah tiga puluh tahun lebih, rambutnya awut-awutan
dan pakaiannya juga seperti pakaian seorang jembel terlantar, seluruh tubuhnya
menunjukkan bahwa wanita itu telah lama menderita di tempat ini. Sepasang
matanya yang berputar-putar itu menandakan bahwa wanita ini memang tidak waras
lagi otaknya.
Kian Bu
mengelak ke samping dan kini jari tangannya menyambar. Robohlah wanita itu
terkena totokannya. Setelah Kian Bu dapat melihat keadaan wanita itu, maka dia
tidak ragu-ragu lagi untuk merobohkannya dengan totokan yang tidak berbahaya,
hanya membuat kaki tangan wanita itu lumpuh.
Wanita itu
memandang kepada Kian Bu dengan mata terbelalak, kemudian menangis.
“Hu-hu-huukkkk... kiranya engkau adalah Tuan Muda Ang Tek Hoat...! Hu-huuuk,
Tuan Muda, Ibumu telah mati dibunuh orang...!”
Kini Kian Bu
terkejut bukan main mendengar wanita ini menyebut nama Ang Tek Hoat. Tentu saja
dia mengenal nama ini, mengenalnya dengan baik sekali. Bukankah Ang Tek Hoat
ini yang telah menjadi penyebab kehancuran hatinya dan kehidupannya? Dia telah
jatuh cinta kepada Puteri Syanti Dewi, mencinta puteri itu dengan seluruh jiwa
raganya, kemudian hatinya hancur berkeping-keping ketika dia mendapat kenyataan
bahwa puteri yang dicintanya itu ternyata mencinta Ang Tek Hoat, pemuda yang
tadinya amat jahat itu! Pemuda yang sebenarnya masih terhitung keponakannya
sendiri, karena Ang Tek Hoat adalah cucu dari ibu Suma Kian Lee. Dan wanita ini
menyebut Ang Tek Hoat sebagai tuan muda, dan mengatakan bahwa ibu Ang Tek Hoat
mati dibunuh orang!
Kian Bu
maklum bahwa jalan satu-satunya untuk menghadapi seorang yang gila adalah
melayani kegilaannya. Dia disangka Ang Tek Hoat, maka akan percuma saja kalau
dia menyangkal di depan seorang gila. Biarlah dia berpura-pura menjadi Tek Hoat
untuk mendengar tentang kematian ibu Tek Hoat itu.
“Bibi yang
baik, engkau siapakah? Aku sudah lupa lagi,” katanya sambil duduk di atas batu
dan membebaskan totokannya sehingga wanita itu kini dapat bergerak dan duduk
pula di atas batu sambil menangis.
“Ahhh,
Kongcu (Tuan Muda), engkau sudah lupa lagi kepadaku? Aku adalah Cui-ma,
pengasuhmu di waktu kau masih kecil.”
“Hemmm,
Cui-ma, tentu saja aku lupa karena sekarang engkau menjadi seperti ini.
Ceritakanlah, Cui-ma, mengapa engkau bisa berada di sini dan apa yang telah
terjadi dengan... Ibuku?”
Dengan sikap
seorang gila yang mengerikan, kadang-kadang menangis, dan kadang kadang
tertawa, mulailah wanita itu bercerita yang didengarkan oleh Kian Bu dengan
penuh perhatian. Karena cerita itu menyangkut Ang Siok Bi, ibu dari Ang Tek
Hoat, seorang di antara tokoh-tokoh besar cerita ini, maka sebaiknya kalau kita
mengikuti sendiri apa yang telah dialami oleh wanita she Ang itu, dari pada
mendengarkan cerita Cui-ma yang tidak karuan…..
***************
Seperti
telah diceritakan di bagian terdepan dari cerita ini, Ang Siok Bi, ibu dari Ang
Tek Hoat, menyusul puteranya ke Kerajaan Bhutan. Setelah wanita yang bernasib
malang itu mengetahui bahwa dugaannya selama ini keliru, yaitu yang memperkosa
dia waktu dia masih gadis dahulu bukanlah Gak Bun Beng seperti yang selama itu
disangkanya, melainkan Wan Keng In putera dari Lulu, isteri kedua majikan Pulau
Es, maka sakit hatinya berpindah kepada keluarga Pulau Es! Dan untuk membalas
dendamnya kepada keluarga Pulau Es, tentu saja dia merasa tidak mampu dan dia
hendak menyuruh puteranya yang kini telah menjadi seorang sakti untuk membalas
dendamnya kepada keluarga Pulau Es yang lihai itu.
Akan tetapi,
Ang Tek Hoat yang sudah memperoleh kedudukan baik di Bhutan, sebagai panglima
muda dan lebih-lebih lagi sebagai tunangan puteri raja, yaitu Puteri Syanti
Dewi, menolak bujukan ibunya sehingga Ang Siok Bi menjadi marah. Ang Siok Bi
lalu menemui Raja Bhutan dan membuka rahasianya sendiri bahwa calon mantu raja
itu, puteranya yang bernama Ang Tek Hoat adalah seorang anak haram tanpa ayah.
Setelah
meninggalkan kata-kata beracun yang kemudian berakibat hebat itu, Ang Siok Bi
lalu meninggalkan Bhutan, kembali ke tempat tinggalnya di puncak Bukit Angsa,
di lembah Huang-ho di mana dia hidup mengasingkan diri, hanya ditemani oleh
seorang pembantunya yang setia, yaitu Cui-ma, seorang janda yang telah lama
ikut bersama dia. Sebagai teman satu-satunya, tentu saja dia mengajarkan ilmu
silat kepada Cui-ma, sekedar untuk menjaga kesehatan dan untuk dipakai bela
diri apa bila perlu. Cui-ma ini yang selalu menemaninya dalam semua
kesengsaraannya hidup menyendiri itu.
Ketika
melihat Ang Siok Bi pulang dan begitu tiba di pondoknya lantas menangis sejadi
jadinya, penuh kedukaan dan kekecewaan, Cui-ma cepat memeluk dan menghiburnya.
Akan tetapi pelayan dan teman yang setia ini pun ikut menangis pada saat
mendengar cerita nyonya majikannya bahwa betapa Ang Tek Hoat, kongcu yang
ditunggu-tunggu kedatangannya, yang diharap-harapkan akan dapat menghibur hati
ibunya itu, ternyata menolak ajakan ibunya untuk meninggalkan Bhutan.
“Cui-ma,
mulai saat ini kita harus berhati-hati...“ Setelah tangisnya mereda, Ang Siok
Bi berkata, lalu cepat-cepat dia menutupkan daun pintu yang tadi terbuka,
menutupkan pula semua daun jendela pondoknya yang terbuka.
Melihat
sikap nyonya majikannya ini, Cui-ma terkejut dan merasa heran. Tempat itu
biasanya sunyi dan selama ini keamanan mereka tidak pernah terganggu orang mau
pun binatang. Lalu kenapa sekarang nyonya majikannya kelihatan begitu gelisah
dan menutupi daun pintu dan jendela seperti orang ketakutan? Padahal, andai ada
bahaya mengancam sekali pun, apa yang perlu ditakutkan? Bukankah nyonya
majikannya ini memiliki kepandaian yang lihai?
“Toanio,
apakah yang telah terjadi? Siapa yang mengancam keselamatan kita?”
“Panglima
dari Bhutan... kalau tidak salah, Mohinta namanya, putera panglima tertinggi di
Bhutan. Beberapa hari yang lalu aku melihat dia, dan dia bersama orang-orangnya
berusaha untuk menangkap aku. Melihat gelagatnya agaknya dia memiliki tekad
untuk membunuhku. Kita harus siap menghadapi mereka, Cui-ma.”
“Mengapa,
Toanio? Siapa mereka dan mengapa?”
“Mereka
orang-orang Bhutan yang telah menjebak puteraku, mengikat puteraku dan agaknya
mereka itu diperintah oleh raja mereka untuk membunuh aku karena aku dianggap
menghalangi rencana mereka mengikat anakku Tek Hoat...“
Dengan rasa
cemas karena maklum bahwa dia menghadapi orang-orang yang sudah merencanakan
kematiannya, mulai hari itu pula Ang Siok Bi dibantu oleh Cui-ma lalu mengatur
persiapan untuk menghadapi musuh-musuh itu. Ang Siok Bi adalah seorang wanita
yang berani dan berhati baja, maka biar pun dia sering kali kelihatan gelisah,
namun dia membuat persiapan yang teliti, bahkan di balik daun pintu dan
jendelanya dia pasangi alat-alat rahasia yang akan secara otomatis menggerakkan
jarum-jarum hitam yang dipasangnya menyerang siapa saja yang membuka pintu atau
jendela dari luar dengan paksa!
Tiga hari
tiga malam Ang Siok Bi berjaga-jaga, tidak berani tidur, jarang makan dan tidak
pernah berganti pakaian sejak dia pulang. Cui-ma menjadi khawatir sekali
melihat keadaan nyonya majikannya itu. Pada malam yang kedua rumah itu telah
diserbu orang ketika mereka tertidur saking lelahnya. Terdengar suara gedebugan
dan ketika mereka memeriksa pada keesokan harinya, jelas nampak bekas kaki
orang di luar pintu, daun pintu terbuka dan ada darah berceceran di situ. Jelas
bahwa anak panah yang dipasang pada belakang daun pintu telah mengenai
korbannya, yaitu orang-orang yang membuka pintu itu semalam. Sejak itu, Siok Bi
dan Cui-ma tidak lagi berani tidur!
“Cui-ma,
dengar baik-baik. Tidak boleh kita berdua mati di sini. Jika kita berdua
berjaga di sini sampai akhirnya musuh dapat menerjang masuk dan kita berdua
mati, tentu anakku tidak akan tahu apa yang telah terjadi dengan ibunya. Kau
harus pergi dari sini!”
“Ahh, lebih
baik kita pergi berdua saja, Toanio. Mengapa kita harus menanti datangnya musuh
di sini? Marilah kita pergi dan bersembunyi di lain tempat...”
Ang Siok Bi
cepat menggelengkan kepala. “Percuma, mereka sudah membayangi dan mengejarku
sejak dari Bhutan. Hendak bersembunyi ke mana? Tentu akhirnya akan mereka
dapatkan juga. Dan kalau aku mati di tangan mereka, aku ingin mati di rumahku
sendiri dan dapat melakukan perlawanan sebaiknya, dari pada mati di tempat
asing. Kau pergilah, Cui-ma...“
“Tidak,
Toanio. Kalau Toanio tidak mau pergi, biar aku mati bersamamu di sini.”
“Jangan
banyak membantah!” Siok Bi membentak marah. “Aku sudah cukup mengenal
kesetiaanmu. Aku menyuruh kau pergi bukan karena sayang nyawamu atau tak
percaya kepada kesetiaanmu. Justeru kalau engkau setia, engkau harus pergi,
harus hidup dan kelak kau ceritakanlah kepada Ang Tek Hoat anakku bagaimana
ibunya mati dan oleh siapa. Mengertikah engkau? Katakan bahwa yang membayangi
ibunya adalah Mohinta dan anak buahnya, orang-orang dari Bhutan. Mengerti?”
Sambil
menangis akhirnya Cui-ma mentaati perintah majikannya dan sore hari itu juga
pergilah dia meninggalkan rumah sewaktu menjelang senja dan cuaca sudah mulai
gelap. Ang Siok Bi berjaga-jaga seorang diri di dalam kamarnya, matanya menatap
ke arah pintu dan jendela kamarnya secara bergantian. Di balik pintu telah dia
pasangi anak panah dan kalau pintu itu terbuka dari luar, tentu anak panah akan
menyambar ke luar. Sedangkan di jendela kamarnya dia pasangi jarum-jarum
hitamnya yang juga akan menyambar keluar apa bila daun jendela dibuka dengan
paksa dari luar. Dia sendiri rebah terlentang melepaskan lelah dengan pedang
terhunus di atas mejanya.
Malam itu
sunyi sekali. Rasa kantuk hampir tidak tertahankan lagi, namun Ang Siok Bi
mempertahankan rasa kantuk itu dengan mencoret-coret pada kayu pembaringannya,
menggunakan jarum hitamnya menuliskan huruf-huruf kecil di kayu itu dengan cara
menggores-goreskannya.
‘Tiga malam
aku tidak tidur, menanti serangan si pengecut laknat. Kalau ada puteraku di
sini, engkau akan mampus...’
Tiba-tiba
dia menghentikan goresan jarumnya karena dia mendengar sesuatu di luar
kamarnya. Siok Bi cepat meloncat turun dan dengan pedang di tangan, matanya
memandang tajam ke arah jendela dan pintu, juga dia melirik ke atas,
kalau-kalau ada musuh yang datang masuk melalui genteng. Tetapi suara itu
lenyap dan selanjutnya tak ada gerakan apa-apa lagi. Jantungnya berdebar
tegang, akan tetapi lalu dia tenang kembali. Tentu hanya tikus, pikirnya dan
dia merebahkan diri lagi di atas pembaringan, meletakkan pedang di dekat
pembaringan, di atas meja sehingga sewaktu-waktu dia dapat menyambarnya.
Gangguan suara yang mencurigakan itu menambah semangat dan mengusir rasa
kantuknya yang tadi hampir tidak dapat ditahankannya lagi itu.
Dia
membayangkan puteranya, tak terasa air matanya berlinang. Harapan satu-satunya
hanya kepada puteranya. Dia telah menderita tekanan batin belasan tahun
lamanya. Dia merasa sakit hati semenjak ada orang memperkosanya, orang yang
disangkanya semula adalah pendekar sakti Gak Bun Beng akan tetapi yang ternyata
bukan pria yang pernah menjatuhkan hatinya itu, melainkan Wan Keng In, putera
dari Lulu yang kini menjadi isteri kedua dari Pendekar Super Sakti majikan
Pulau Es.
Dan Tek
Hoat, puteranya yang diharap-harapkan akan dapat menebus penghinaan dan
membalaskan sakit hatinya itu, ternyata telah mengecewakan! Bahkan kini dia
dikejar kejar oleh rombongan orang-orang Bhutan yang dipimpin oleh panglima
Mohinta itu!
Jangan-jangan
rombongan itu disuruh pula oleh puteranya! Mungkinkah itu? Dia menggigit bibir
dan teringatlah dia akan dongeng kuno tentang seorang janda yang puteranya
setelah menjadi seorang besar kemudian melupakan ibunya. Bukan hanya melupakan
ibunya yang miskin, bahkan karena tidak ingin orang mengetahui bahwa wanita
janda miskin itu adalah ibunya, si anak yang telah menjadi orang besar itu
menyuruh membunuh ibunya sendiri! Akan demikian pulakah nasibnya? Sedemikian
jahat dan durhakakah puteranya? Membayangkan kemungkinan yang dibantahnya
sendiri ini, Ang Siok Bi tidak dapat menahan lagi tangisnya dan air matanya
bercucuran.
Akan tetapi,
dia merasa mengantuk sekali. Rasa kantuk yang tidak dapat ditahannya lagi dan
karena menangis tadi, maka dia menjadi lengah, tidak melihat betapa ada asap
halus memasuki kamarnya dari lubang di dekat pintu! Setelah asap itu mengenai
mukanya, timbuliah rasa kantuk yang amat hebat, yang tidak dicurigainya karena
selama tiga hari tiga malam boleh dibilang dia tidak berani memejamkan mata.
Dan sekarang, bersedih karena membayangkan kemungkinan puteranya akan berbuat
keji dan durhaka terhadap dirinya, Siok Bi menjadi lemah dan bersikap masa
bodoh, maka dia pun tidak melawan rasa kantuk itu dan akhirnya tertidurlah
wanita ini dengan nyenyaknya.
Tak lama
kemudian ada suara gerakan di atas kamar itu. Genteng dibuka dan sesosok
bayangan melayang masuk. Ketika bayangan itu melihat betapa Siok Bi telah
tidur, dia tertawa di balik sapu tangan yang dipergunakan sebagai kedok
menutupi mulut dan hidungnya, kemudian dia mengeluarkan suara suitan perlahan.
Dari atas genteng lalu melayang turun lagi seorang yang juga memakai kedok sapu
tangan dan orang ini mengangguk-angguk.
“Dia sudah
pulas, Tuan Muda Mohinta,” kata orang pertama dalam bahasa Bhutan.
Laki-laki
kedua yang ternyata adalah Mohinta itu, mencabut pedangnya dan dengan tenang
saja dia menggerakkan tangannya. Pedang meluncur dan menusuk dada Ang Siok Bi,
tepat mengenai ulu hatinya dan menembus sampai ke punggung! Cepat Mohinta
mencabut pedang itu dan tubuh Ang Siok Bi berkelojotan, darah muncrat muncrat
dari dada dan punggungnya, lalu dia terdiam dan tewas tanpa dapat bersuara
lagi, hanya sepasang matanya yang terbelalak memandang kepada dua orang yang
membunuhnya secara curang itu.
Dua orang
laki-laki itu lalu meloncat keluar melalui genteng, di mana terdapat beberapa
orang teman mereka dari pergilah mereka menghilang ditelan kegelapan malam.
Tidak ada seorang pun yang menyaksikan pembunuhan keji itu.
Demikianlah
peristiwa pembunuhan atas diri Ang Siok Bi dan ketika Ang Tek Hoat muncul di
dalam pondok ibunya, dia hanya mendapatkan kerangka ibunya, coretan tulisan di
atas kayu pembaringan, dan pedang ibunya, tanpa dapat mengerti siapa yang telah
membunuh ibunya.
Tentu saja
cerita yang disampaikan oleh Cui-ma kepada Suma Kian Bu tidak lengkap, dan dia
hanya bercerita tentang Ang Siok Bi sampai dia disuruh pergi oleh majikannya di
waktu senja itu, kemudian dia menangis lagi sesenggukan.
“Lalu
bagaimana, Cui-ma? Bagaimana dengan... Ibuku?” Suma Kian Bu mendesah, masih
terus bersandiwara melayani si gila itu yang menyangka dia adalah Ang Tek Hoat
putera dari Ang Siok Bi.
“Karena
tidak berani membantah, sore hari itu aku meninggalkan rumah, tetapi aku tidak
pergi jauh dan pada keesokan harinya, aku kembali lagi ke pondok. Aku tidak
berani membuka pintu atau jendela yang dipasangi senjata rahasia, maka aku
mengintai dan aku melihat nyonya majikan... Ibumu itu hu... huuukkk... dia
telah tewas...“
Kian Bu
terkejut juga, terkejut dan marah walau pun dia tahu bahwa yang diceritakan itu
bukanlah ibunya sendiri.
“Celaka!”
serunya sambil mengepal tinju. “Siapa yang membunuhnya, Cui-ma? Siapa?”
“Tadinya aku
pun tidak tahu siapa... hu-hukkk... akan tetapi tiba-tiba mereka itu muncul dan
menangkapku.”
“Mereka
siapa?”
“Orang-orang
Bhutan itu, yang dipimpin oleh Mohinta, persis seperti diceritakan Toanio
kepadaku. Mereka menangkapku, kemudian membawaku dengan paksa ke sungai dan
melemparkan aku ke pusaran air maut di Huang-ho...“
“Pusaran
maut?”
“Ya, aku
tidak berdaya. Aku dilempar di air dan pusaran air menyedot dan menarikku. Aku
tidak tahu apa-apa lagi dan ketika aku sadar, ternyata aku telah berada di
sini... di tepi sungai yang memasuki terowongan itu...“ Kembali dia menangis.
Suma Kian Bu
tertegun dan terheran-heran. Kiranya di samping hwesio yang tergelincir ke
dalam jurang dan menemukan tempat ini secara aneh, juga dia yang dapat turun
dibantu oleh gadis yang memiliki burung garuda, ada seorang lain yang dapat
tiba di sini secara lebih aneh lagi, yaitu Cui-ma ini. Melalui pusaran air dan
sungai yang memasuki terowongan! Kemudian dia teringat akan keperluannya
sendiri. Mungkin Cui-ma ini mengetahui tentang jamur panca warna!
“Cui-ma,
setelah mendengarkan ceritamu, maukah engkau menolongku?”
“Tentu saja,
Kongcu. Akan tetapi engkau harus membalaskan kematian Ibumu.”
“Sudah pasti
akan kulakukan itu, Cui-ma. Sekarang katakanlah, apa engkau tahu di mana adanya
jamur panca warna yang berada di dalam satu di antara goa-goa ini?” tanya Kian
Bu sambil memandang wanita itu penuh harapan.
“Jamur panca
warna...?” Wanita itu memandang kepada Kian Bu dengan sinar mata tak seliar
tadi. Agaknya pertemuannya dengan pemuda yang disangka putera majikannya itu,
dan cerita yang dituturkan sambil menangis tadi, telah banyak mengurangi
tekanan batinnya.
“Ya, jamur
panca warna untuk obat.” Kemudian Kian Bu teringat bahwa mungkin Cui-ma tidak
mengenal nama jamur itu. “Jamur itu kalau siang biasa saja, akan tetapi kalau
malam mengeluarkan sinar lima macam seperti pelangi dan berada di dalam satu di
antara goa-goa itu.”
Mendadak
Cui-ma nampak ketakutan dan bergidik seperti melihat sesuatu yang sangat
mengerikan. Dia memandang ke kiri, ke arah sebuah goa besar dan berkata,
“Kau... kau maksudkan... ihhhhh... mata-mata iblis itu, mata setan yang kalau
malam mengejar ngejarku... hiiihhhhh, sungguh mengerikan, di goa Tengkorak itu
penuh tengkorak bayi dan anak kecil, di situ terdapat pula mata iblis yang
hidup kalau malam. Aku takut, Kongcu, aku takut...!” Wanita yang mengalami
banyak tekanan dan penderitaan batin itu menjerit dan melompat hendak lari.
Akan tetapi Kian Bu lebih cepat lagi dan sudah memegang lengannya.
“Tenanglah,
Cui-ma, tidak ada apa-apa dan jangan takut. Ada aku di sini. Yang kau maksudkan
dengan goa Tengkorak itu yang mana? Yang besar itu? Yang di depannya ada
tumpukan tiga buah batu besar itu?” Dia menuding ke arah kiri di mana terdapat
sebuah goa yang agak besar.
Wanita itu
menoleh dan memandang ke arah goa itu dan matanya makin terbelalak berputaran.
Agaknya gilanya kumat lagi. “Benar... benar... aku takut... takuttt...!”
Dan dia lalu
menangis terisak-isak dalam pelukan Kian Bu yang merasa kasihan sekali kepada
wanita ini….
“Hemmm,
katanya mencari jamur, kiranya hanya mencari perempuan untuk dicumbu rayu. Huh,
dasar laki-laki cabul!”
Kian Bu
terkejut bukan main. Dia menoleh dan kiranya dara cantik jelita itu telah
berdiri di atas batu dan burung garudanya hinggap di pohon yang tumbuh tinggi
di dinding tebing. Tentu saja sukar mendengarkan suara halus dari gerakan sayap
yang menahan peluncuran mereka tadi dan tahu-tahu gadis itu telah berada di
situ, mengeluarkan kata kata yang mengejek dan dengan pandang mata yang marah
dan mengandung hinaan pula.
“Ahh, jangan
sembarangan bicara!” bentaknya marah, akan tetapi tentu saja dengan perasaan
tidak enak dia melepaskan pelukannya yang tadi dilakukan untuk mencegah Cui-ma
lari dan membiarkan wanita itu menangis.
Tiba-tiba
Cui-ma menjerit nyaring sekali. “Siluman datang hendak mencabut nyawaku!” Dia
menoleh ke arah dara itu, lalu melarikan diri dengan cepat berloncatan ke atas
batu batu yang besar-besar dan berserakan di tempat itu.
“Cui-ma...!”
Kian Bu berteriak mengejar. Akan tetapi seperti orang nekat Cui-ma telah lari
cepat berloncatan membabi-buta. Tiba-tiba dia tergelincir dan terbanting jatuh
ke depan.
“Prakkk!”
terdengar suara dan tubuhnya terguling, tidak bergerak lagi.
“Cui-ma...!”
Kian Bu melompat dan cepat berlutut di atas batu di mana Cui-ma roboh tadi. Dia
memeriksa dan menarik napas panjang, lalu menoleh ke arah dara cantik yang masih
berdiri itu.
“Dia telah
mati...,“ katanya seperti orang mengeluh.
“Mati...?”
Gadis itu cepat berlari menghampiri, terbelalak memandang wanita setengah tua
yang kini kepalanya pecah berlumuran darah.
Kiranya
ketika terjatuh tadi, kepalanya menimpa batu keras dan pecah sehingga dia tewas
seketika! Dan baru sekarang Hwee Li mendapat kenyataan bahwa wanita yang
dipeluk oleh Kian Bu tadi ternyata adalah seorang wanita setengah tua yang
mukanya kotor menjijikkan dan yang agaknya adalah seorang wanita yang tidak
waras otaknya.
“Dia siapa?
Kenapa?” tanyanya sambil memandang kepada Kian Bu.
Tetapi Kian
Bu masih merasa marah, sedih dan kecewa melihat nasib Cui-ma sehingga dia tidak
menjawab pertanyaan gadis itu, malah tidak mempedulikannya lagi dan dia memondong
mayat Cui-ma, dibawanya ke tempat yang ada tanahnya. Dia menggali lubang tanpa
bicara sepatah kata pun, kemudian mengubur mayat Cui-ma di situ, di depan
sebuah goa. Akhirnya dia membersihkan kedua tangannya sambil menghela napas.
“Suma Kian
Bu, kau menganggap dirimu ini siapa sih? Sikapmu begitu sombong!” Hwee Li yang
sejak tadi diam saja dan menonton semua yang dilakukan Kian Bu sambil duduk di
atas batu besar, kini menegur dengan wajah cemberut karena dia merasa sama
sekali tidak diacuhkan oleh pemuda itu.
Kian Bu
menengok dengan alis berkerut. “Engkau telah membuat dia ketakutan dan menjadi
sebab kematiannya, dan kau sama sekali tidak menyesal?”
“Ehh, ehh!
Siluman Kecil, ngawur saja bicaramu! Bagaimana duduk perkaranya maka kau
katakan bahwa aku menjadi sebab kematiannya?” Hwee Li berseru sambil bangkit
berdiri dan bertolak pinggang, wajahnya merah karena marahnya.
“Hemmm,
pemarah benar gadis ini,” pikir Kian Bu. Akan tetapi dia tak mau kalah karena
memang merasa kasihan sekali kepada Cui-ma dan mendongkol melihat kedatangan
gadis itu yang mengejutkan Cui-ma.
“Kau telah
mengejutkan dia, mengira engkau siluman maka dia lari lalu terjatuh. Apa kau tidak
melihat itu?”
“Huh, kalau
dia menganggap aku siluman, apakah itu kesalahanku? Kalau dia takut melihat aku
lalu lari seperti gila, apakah itu juga kesalahanku? Kalau kau yang dekat
dengan dia tidak mampu mencegah dia lari, apakah itu pun kesalahanku? Kalau
memang wajahku jelek sekali seperti siluman sehingga membikin dia takut, apakah
itu juga kesalahanku?” Diberondong oleh ucapan yang nadanya menantang dan
mengejek, namun tak dapat dibantah kebenarannya itu membuat Kian Bu merasa
tidak enak dan serba salah. Memang kalau dipikir benar-benar, tentu saja
munculnya gadis itu tidak salah dan tidak sengaja hendak mengagetkan Cui-ma.
“Kau tidak
berwajah jelek...,“ saking bingungnya dia membantah kalimat terakhir itu.
“Sudah jelas
dia menyangka aku siluman sehingga dia ketakutan! Wajahku jelek seperti
siluman, dan apa dayaku?”
Kalau dia
diserang dengan kata yang mengandung kemarahan, agaknya Kian Bu akan dapat
membalas karena dia pun terhitung seorang yang pandai bicara, bahkan dahulu
sebelum dia menjadi Siluman Kecil, dia adalah seorang pemuda yang lincah jenaka
dan pandai menggoda orang lain dengan kata-kata, akan tetapi sekarang melihat
dara itu memburuk-burukkan diri sendiri, dia menjadi makin tidak enak.
“Tidak,
tidak..., sebaliknya malah, kau cantik sekali...“
“Huh, sudah
keluar pula sifat cabulnya!” Hwee Li mengejek.
Suma Kian Bu
makin bingung. Celaka, gadis ini benar-benar membikin orang menjadi kewalahan
dan mendongkol sekali! “Maksudku, kau tidak jelek dan karena cantik itu agaknya
dia menyangka kau siluman. Tentu saja bukan salahmu, akan tetapi, ahh, aku
kasihan sekali padanya. Nasibnya demikian buruk sampai matinya...“ Dan pemuda
itu memandang ke arah gundukan tanah campur batu yang menjadi kuburan Cui-ma
itu.
Melihat
sikap yang sungguh-sungguh dari pemuda itu, rasa penasaran Hwee Li juga mereda
dan dia bertanya sambil memandang ke arah kuburan itu, “Siapakah dia itu?”
“Namanya
Cui-ma, dia pelayan dari Ang Siok Bi yang telah menjadi gila karena tekanan
batin yang hebat dan dia sampai di sini karena dilempar ke Sungai Huang-ho dan
hanyut oleh pusaran air.”
“Ihhh...!
Siapa yang melakukannya dan kenapa? Siapa pula itu Ang Siok Bi?”
“Dia adalah
ibu Ang Tek Hoat.”
“Ang Tek
Hoat...? Ang Tek Hoat? Serasa pernah aku mendengar nama itu!” Hwee Li
mengerutkan alisnya sambil mengingat-ingat.
“Mungkin
saja. Dia pernah terlibat dalam urusan pemberontakan Pangeran Liong Bin Ong.
Dia terkenal dengan julukannya si Jari Maut, Ang Tek Hoat.”
“Ahhh...!
Benar! Wah, dia terkenal sekali dan orang itu amat menarik. Kau bilang bahwa
wanita tadi adalah pelayan ibu si Jari Maut?”
Melihat
betapa Hwee Li amat tertarik, maka dengan singkat Kian Bu lalu menuturkan
tentang pertemuannya dengan Cui-ma dan tentang cerita Cui-ma bahwa ibu dari Tek
Hoat telah dibunuh oleh orang-orang Bhutan yang dipimpin oleh orang yang
bernama Mohinta, seorang panglima dari Bhutan yang lihai. Hwee Li mendengarkan
dengan penuh perhatian dan dia kembali memandang ke arah kuburan itu.
“Maafkan
aku, tadinya kusangka...“
“Kau sangka
apa?”
“Dari atas
tadi kulihat engkau memeluk seorang wanita, kelihatan kalian seperti sedang
bercinta-cintaan dan bermesra-mesraan.”
Kian Bu
sudah mendapatkan kembali sifatnya yang nakal dan suka menggoda orang. “Andai
kata benar demikian, mengapa?”
Kedua pipi
itu berubah merah dan matanya bersinar marah. “Aku sih tidak peduli! Akan
tetapi karena kau bilang hendak mencarikan obat untuk Suma Kian Lee, dan
melihat kau bermain gila, maka aku sudah menegurmu.”
“Obat? Ahh,
benar! Agaknya aku sudah menemukan tempatnya, berkat petunjuk dari Cui-ma,”
berkata demikian, Kian Bu lalu melangkah menuju ke goa yang ditunjuk oleh
Cui-ma tadi.
Hwee Li
cepat mengikutinya dan mereka berdiri di depan goa besar yang agak gelap karena
sinar matahari tidak dapat langsung masuk ke dalamnya. Akan tetapi lambat laun
mata mereka sudah menjadi biasa dan ketika mereka memasuki goa, kelihatanlah
oleh mereka banyak sekali kerangka kecil di situ.
“Hemmm,
Cui-ma bilang bahwa goa ini penuh tengkorak bayi dan anak kecil. Agaknya inilah
goa Tengkorak itu...,“ kata Kian Bu sambil memandang tengkorak dan tulang
tulang yang berserakan.
“Tidak ada
tengkorak bayi atau anak kecil. Ini adalah tengkorak dan kerangka binatang, semacam
monyet, hanya mukanya seperti anjing. Hemmm, tidak salah lagi, ini adalah
kerangka binatang baboon yang tubuhnya monyet dan mukanya anjing. Ini agaknya
menjadi kuburan mereka.”
“Dan Cui-ma
bilang di sini terdapat mata iblis...,“ kata pula Kian Bu.
Mereka masuk
terus ke dalam goa yang agak panjang itu. Tiba-tiba Hwee Li berseru,
“Ihhhhh...” dan otomatis tangannya memegang tangan Kian Bu.
Pemuda ini
pun terkejut sehingga dia pun membalas pegangan tangan itu. Mereka saling
berpegang tangan dan jantung mereka berdebar tegang. Jauh di sebelah dalam, di
tempat gelap, nampak banyak mata yang mencorong dan bersinar-sinar memandang ke
arah mereka! Bukan mata manusia, bukan pula mata binatang, dan agaknya itulah
mata iblis yang ditakuti oleh Cui-ma.
Tiba-tiba
Hwee Li tertawa dan melepaskan tangannya. “Ahhh, memang benda yang berkilau dan
mengeluarkan sinar, akan tetapi lihatlah, sinarnya tidak pernah bergerak. Bukan
mata, melainkan benda-benda bersinar.”
“Benar
engkau, Nona. Dan agaknya inilah yang kucari-cari. Lihat, bukankah sinarnya
berubah-ubah dan seperti warna pelangi? Inilah jamur panca warna itu! Dan
menurut penuturan Sai-cu Kai-ong, jamur itu hanya mengeluarkan sinar di tempat
gelap, kalau di tempat terang tidak bersinar.”
Kian Bu
mendekat, berjongkok dan menggunakan tangannya mencabuti jamur-jamur itu.
Jamur-jamur itu masih bersinar-sinar di tangannya ketika dia bawa keluar, akan
tetapi setibanya di luar, jamur-jamur itu kehilangan sinarnya dan berubah
sebagai jamur biasa saja!
“Inilah
obatnya, tidak salah lagi!” Kian Bu berseru dan menoleh ke arah kuburan Cui-ma
sambil berkata, “Terima kasih, Cui-ma, engkau telah menyelamatkan kakakku.”
“Belum
tentu,” tiba-tiba Hwee Li berkata. “Kalau kau tidak dapat keluar dari sini dan
cepat-cepat memberikan jamur itu kepada kakakmu, mana bisa dia tertolong? Mari,
kuantar kau naik.”
Hwee Li
mengeluarkan suara melengking dan burung garuda itu menyambar turun lalu
hinggap di atas batu di depan gadis itu. “Siluman Kecil...“
“Namaku Suma
Kian Bu, Nona.”
“Sebaiknya
sekarang kukenal sebagai Siluman Kecil saja. Kau akan kubantu agar dapat naik
ke sana.”
“Terima
kasih, Nona. Akan tetapi...“ Kian Bu meragu karena dia merasa ‘ngeri’ kalau
harus duduk membonceng lagi. Dia tidak berani tanggung kalau tidak akan bangkit
birahinya lagi duduk berhimpitan dengan nona yang amat cantik itu.
“Kau kira
akan membonceng? Aku pun tidak mau...!”
“Kalau aku
duduk di depan...”
“Huh, di
depan pun berbahaya. Seorang cabul seperti engkau!”
“Kalau
begitu kau tinggalkan saja aku di sini, Nona, aku akan mencari jalan ke luar
sedapatku dan aku tidak mau menyusahkanmu.”
“Sombong!”
Hwee Li lalu meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas punggung garudanya
dan burung itu pun terbang ke atas. Hwee Li menjenguk ke bawah sambil
berteriak, “Kau bergantunglah pada ini!” Dan sehelai sabuk sutera merah muda
meluncur ke bawah.
Kian Bu
tersenyum. Memang banyak akalnya nona ini, pikirnya dan karena dia harus
cepat-cepat dapat kembali ke kakaknya, maka dia pun lalu meloncat dan menangkap
ujung sabuk sutera itu, bergantung di udara. Gadis itu mengeluarkan suara
melengking dan burungnya terbang ke atas dengan cepat sekali. Tubuh Kian Bu
tetap bergantung dan diam-diam pemuda perkasa ini merasa ngeri juga. Ia tahu
bahwa nyawanya berada di telapak tangan nona itu karena sekali saja nona itu
melepaskan sabuk, betapa pun tinggi kepandaiannya, dia tidak akan mungkin dapat
menyelamatkan nyawanya lagi.
Untuk keluar
dari tempat itu, belum tentu akan dapat dilakukannya dalam waktu berhari hari
karena dia harus akan mencari-cari jalan lebih dulu, tetapi dengan menggantung
pada sabuk sutera itu, dalam waktu beberapa menit saja dia sudah tiba di atas
tebing dan dia meloncat turun. Burung garuda itu terbang perlahan-lahan,
berputaran di atas kepalanya dan gadis itu menjenguk ke bawah. “Siluman Kecil,
kau cepat bawa obat itu kepada kakakmu!”
Kian Bu
menjura ke arah gadis itu dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil
berkata, “Engkau sungguh amat baik, Nona. Engkau telah menolong aku dan berarti
engkau telah menyelamatkan nyawa kakakku. Aku menghaturkan terima kasih atas
bantuanmu.”
“Aku tidak
membantumu! Kalau tidak ingat kepada kakakmu, apa kau kira masih hidup setelah
apa yang kau lakukan di atas punggung garuda kemarin?”
Wajah Kian
Bu terasa panas dan menjadi merah sekali. “Nona, semua itu terjadi tanpa
kusengaja, apakah kau tidak dapat memaafkan aku?”
“Sudahlah,
cepat pergi dan obati kakakmu.”
“Tapi
tinggalkan dulu namamu, Nona.”
“Aku tidak
ingin menjadi kenalanmu.”
“Akan tetapi
kalau kakakku bertanya siapa adanya dewi kahyangan yang menolongnya bagaimana
aku akan menjawab?”
Disebut dewi
kahyangan, Hwee Li tersenyum. “Engkau memang perayu besar! Katakan saja bahwa
lima enam tahun yang lalu aku pernah mengobati luka di paha kakakmu!” Setelah
berkata demikian dia menepuk punggung garudanya yang terbang cepat ke atas.
Kian Bu
menjadi bengong. Pernah kakaknya dahulu bercerita betapa ketika kakinya terluka
parah, terkena ledakan senjata rahasia Mauw Siauw Mo-li, paha kakaknya yang
terluka itu diobati dan disembuhkan oleh seorang gadis cilik yang bernama Kim
Hwee Li, yaitu puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka! Jadi gadis
cantik jelita itu adalah puteri ketua Pulau Neraka!
“Engkau Kim
Hwee Li dari Pulau Neraka?” Dia berseru nyaring ke arah burung garuda yang
sudah terbang tinggi. Tidak ada jawaban kecuali suara melengking nyaring yang
makin menjauh, entah lengking gadis aneh itu ataukah lengking garuda…..
***************
Kian Bu
melakukan perjalanan cepat sekali, akan tetapi ketika dia tiba di perbatasan
Propinsi Ho-nan di mana tempo hari pasukan kerajaan berada, kini tempat itu
telah menjadi sunyi dan tahulah dia bahwa pasukan itu telah meninggalkan tempat
itu. Dan hal itu memang benar. Setelah Pangeran Yung Hwa selamat sampai di
istana kaisar, kaisar lalu memerintahkan agar pasukan kembali ke kota raja.
Kaisar tidak
ingin melihat timbulnya perang saudara yang baru, karena pasukan lebih
diperlukan untuk menjaga perbatasan dengan negara tetangga dan melindungi tanah
air dari serbuan orang-orang liar terutama dari utara dan barat, dari pada
dipergunakan untuk perang saudara. Ada pun mengenai tanda-tanda dan sikap-sikap
memberontak dari para gubernur, akan diserahkan kepada orang-orang pandai dari
kerajaan untuk mengatasi dan membereskannya.
Setelah
mendapatkan kenyataan bahwa pasukan telah meninggalkan tempat itu, Kian Bu
teringat akan pesan Sai-cu Kai-ong, maka tanpa membuang waktu lagi dia langsung
pergi dengan cepat menyusul ke puncak Bukit Nelayan, yaitu bukit di tepi sungai
sebelah selatan kota Pao-teng di mana Sai-cu Kai-ong tinggal.
Beberapa
hari kemudian, setelah tiba di puncak Bukit Nelayan, benar saja dia bertemu
dengan Sai-cu Kai-ong dan kakaknya juga berada di situ, berbaring di dalam
sebuah kamar dan keadaannya tidaklah separah ketika dia tinggalkan berkat
perawatan yang baik dari seorang ahli pengobatan yang pandai, yaitu Sai-cu
Kai-ong. Kakek itu girang dan kagum sekali menerima jamur panca warna dari Kian
Bu.
“Benar...,
benar inilah jamur yang mukjijat itu... aihhh, Suma-taihiap, sungguh engkau
hebat sekali, dan kakakmu tentu akan sembuh dengan cepat berkat obat ini,” kata
kakek itu sambil membawa masuk jamur itu untuk dibuatkan ramuan obat.
Kian Bu
memandang girang dan menoleh ketika kakaknya berkata, “Bu-te, engkau telah
bersusah-payah untukku. Aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu, adikku.”
Kian Bu
duduk di atas bangku dekat pembaringan kakaknya, wajahnya berseri gembira dan
dia berkata, “Lee-ko, kau tidak semestinya mengucapkan terima kasih kepadaku,
karena yang berjasa mendapatkan jamur mukjijat itu bukanlah aku...“
“Aku tahu,
memang Locianpwe Sai-cu Kai-ong juga telah melimpahkan budi kepadaku, akan
tetapi engkau yang bersusah payah mendapatkannya, padahal menurut cerita
Locianpwe itu, amat sukarlah mendapatkannya dan engkau telah berhasil dalam
waktu singkat.”
“Ah, sama
sekali bukan aku. Kalau tidak ada pertolongan orang itu, kiranya belum tentu
satu bulan lagi aku sudah dapat kembali, bahkan belum tentu bisa mendapatkan
jamur itu.”
“Ah,
begitukah? Siapakah penolong yang budiman itu, adikku?”
“Dia adalah
seorang yang amat kau kenal baik, Koko.”
“Siapa?”
“Pacarmu!”
Kian Lee
terkejut dan mengerutkan alisnya memandang wajah adiknya yang berseri dan
kemudian dia tersenyum. Meski adiknya ini telah mengalami banyak sekali
perubahan, rambutnya putih semua persis seperti keadaan ayah mereka si Pendekar
Super Sakti, wajah adiknya itu sudah nampak dewasa dan ‘matang’, namun ternyata
adiknya masih belum kehilangan sifat kebengalannya!
“Kian Bu,
jangan main-main kau!” katanya menegur karena dia mengira bahwa yang
dimaksudkan oleh Kian Bu itu tentulah Ceng Ceng, atau Lu Ceng, atau kini telah
menjadi isteri Kao Kok Cu putera sulung Jenderal Kao Liang yang dulu berjuluk
Topeng Setan. Ketika mendengar adiknya menyebut ‘pacarmu’, terbayanglah wajah
Ceng Ceng, akan tetapi Kian Lee cepat-cepat mengusir bayangan itu karena maklum
bahwa tidak semestinyalah kalau dia membayangkan wajah isteri orang lain!
Melihat
wajah kakaknya menjadi agak muram, Kian Bu segera teringat dan maklum, maka
cepat-cepat dia menyambung, “Bukan dia maksudku, Lee-ko, akan tetapi dara
cantik jelita yang menjadi pacarmu dalam cinta pertamamu. Hayo, masa kau lupa
lagi siapa yang menerima cinta pertamamu?”
Kian Lee
masih mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa adiknya ini bengal dan suka menggoda
orang, terutama menggoda wanita-wanita muda. Dia sendiri jarang bergaul dengan
wanita, dan selama hidupnya, baru satu kali dia jatuh cinta, jatuh cinta benar
benar dan ternyata yang dicintanya itu, Ceng Ceng, keponakan tirinya sendiri!
Ceng Ceng adalah puteri gelap dari mendiang Wan Keng In, sedangkan Wan Keng In
itu adalah anak kandung dari ibunya sendiri, jadi satu ibu lain ayah dengan
dia! Tentu saja tidak mungkin dia berjodoh dengan Ceng Ceng dan kenyataan itu
sebenarnya banyak menolongnya, karena kalau tidak, tetap saja dia akan patah
hati, malah lebih parah lagi karena ternyata Ceng Ceng mencinta seorang
laki-laki lain, yaitu Kao Kok Cu!
“Aku tidak
mengerti siapa yang kau maksudkan itu, Bu-te,” katanya menggeleng kepala.
Kian Bu
tertawa. “Dia sendiri tidak mau memperkenalkan namanya. Akan tetapi dia adalah
seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali Koko, galak dan lincah,
menunggang seekor garuda, pakaiannya serba hitam dan ilmu kepandaiannya hebat.”
Kian Lee
tetap tidak dapat menduga siapa adanya gadis itu. “Siapakah dia, Bu-te?
Katakanlah, siapa dia dan mengapa kau tadi mengatakan bahwa dia adalah
pacarku.”
“Dia tidak
bilang begitu, Koko, maafkan aku. Akan tetapi dia hanya mengatakan bahwa dia
dahulu pernah menolongmu dan mengobati pahamu yang terluka parah lima enam
tahun yang lalu...”
“Aihhh...!
Dia...?” Tentu saja Kian Lee teringat baik akan peristiwa itu.
Lima tahun
lebih yang lalu dia terluka oleh ledakan senjata rahasia Mauw Siauw Mo-li, dan
dia tentu akan tertawan musuh dan tidak berdaya dalam keadaan luka itu kalau
tidak ditolong oleh seorang gadis cilik yang manis dan mungil, murid keponakan
Mauw Siauw Mo-li sendiri, gadis yang muncul bersama banyak kucing, Kim Hwee Li
atau puteri tunggal dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka! Terbayanglah dia
wajah anak yang cantik itu.
“Benar dia,
tentu kau ingat sekarang bukan, Koko?” tanya Kian Bu sambil tersenyum dan
menyelidiki wajah kakaknya. Dia tahu bahwa kakaknya telah patah hati karena
kasih tak sampai dan dia akan senang kalau kakaknya ini mendapatkan seorang
pacar baru, dan gadis pakaian hitam itu memang hebat!
“Kim Hwee
Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka?” Kian Lee menegaskan.
“Benar,
dialah orangnya yang memungkinkan aku secepat ini memperoleh jamur itu untukmu,
Koko.” Kian Bu lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia mencari jamur
dan bertemu dengan Hwee Li yang memboncengkannya turun ke bawah tebing itu.
Tentu saja dia tidak berani menceritakan tentang peristiwa memalukan dan lucu
ketika dia terserang oleh nafsu birahi yang bangkit ketika dia dibonceng di
belakang tubuh Hwee Li dan betapa Hwee Li menjadi marah-marah dan menyerangnya
sehingga dia terjatuh ke bawah.
“Dia... dia
cinta padamu, Koko.”
“Hushhhhh...!”
Kian Lee membentak dengan muka berubah merah. “Jangan menyalah tafsirkan
kebaikan orang, Bu-te. Apakah karena dia dahulu pernah mengobati pahaku,
kemudian sekarang membantumu mencari jamur panca warna, kemudian kau anggap
kebaikan hatinya itu sebagai tanda jatuh cinta? Kau sungguh terlalu merendahkan
kebaikan orang, Bu-te.”
“Bukan
begitu, Lee-ko. Aku tentu saja tidak akan sembarangan bicara kalau tidak ada
bukti-bukti nyata. Buktinya menyatakan bahwa dia cinta kepadamu.”
“Hemmm, kau
masih bengal seperti dulu, Kian Bu. Hayo, apa buktinya?” Kian Lee mendesak.
“Ketika dia
mengobati pahamu dahulu tentu saja aku tidak dapat membuktikannya, apa lagi
ketika itu dia tentu masih kecil, belum dewasa, maka tidak patut bicara tentang
cinta. Akan tetapi sekarang, hemmm... dia telah menjadi seorang dara dewasa
yang cantik jelita dan manis sekali, Koko...“
“Hal itu
belum menjadi bukti bahwa dia cinta padaku, agaknya padamulah dia jatuh hati,
Bu-te, karena engkau selalu pandai merayu wanita!”
“Tidak,
Lee-ko, dengarlah dulu ceritaku. Kukatakan tadi bahwa dia menolongku dengan
membonceng garudanya turun ke dasar tebing. Nah, ketika dalam penerbangan itu
dia bertanya mengapa kau terluka, dan dia tadinya sudah menunjukkan pula bahwa
hanya karena mendengar Suma Kian Lee terluka saja maka dia mau membantuku.
Ketika aku berterus terang mengatakan bahwa kau terluka oleh pukulanku, sebelum
aku sempat menceritakan bahwa hal itu kulakukan tanpa sengaja dia sudah menjadi
begitu marah dan dia menyerangku sampai aku terjungkal dari atas punggung
garudanya!”
“Ahhh...!”
Kian Lee terkejut sekali
“Untung
burung itu telah terbang rendah dan hampir sampai di dasar tebing sehingga aku
selamat. Akan tetapi bukankah hal itu jelas membuktikan bahwa dia cinta padamu
sehingga ketika dia mendengar engkau luka terpukul olehku dia lalu marah dan
hendak membunuhku?”
“Hemmm, dia
ganas...!” Kian Lee berkata lirih. Tentu saja dia tidak memikirkan gadis itu,
melainkan memikirkan bahaya yang mengancam adiknya.
“Akan tetapi
dia sudah kuceritakan bahwa perkelahian antara kita adalah karena tidak tahu,
maka dia berbaik kembali dan mau mengantarku naik dengan garudanya setelah aku
berhasil menemukan jamur itu.”
“Karena
petunjuk wanita gila itu seperti yang kau ceritakan tadi? Ahh, sungguh hebat
pengalamanmu, adikku. Siapa kira di tempat itu kau bertemu dengan pelayan Ibu
Tek Hoat yang menceritakan peristiwa hebat yang menimpa diri Ang Siok Bi itu.
Entah Tek Hoat sudah mendengar atau belum bahwa ibunya dibunuh oleh Mohinta dan
teman temannya dari Bhutan.”
Percakapan
mereka terhenti karena munculnya Sai-cu Kai-ong yang datang bersama Siauw Hong
dan Gu Sin-kai. Siauw Hong membawa periuk obat yang terisi godokan obat yang
berwarna hijau.
“Ahh,
Suma-taihiap,” kata Sai-cu Kai-ong kepada Kian Bu. “Kakakmu tidak boleh diajak
bicara terlalu banyak. Dia harus banyak istirahat karena luka yang dideritanya
amat hebat. Jamur panca warna ini akan menyelamatkannya, akan tetapi dia harus
banyak beristirahat.”
Kakek ini
lalu mengambil periuk dari tangan Siauw Hong dan memberi minum ramuan jamur
panca warna yang telah digodok dengan obat-obat lain itu kepada Kian Lee.
Rasanya pahit dan baunya tidak sedap, agak amis dan wengur, akan tetapi ada
hawa yang hangat menjalar dari perut setelah Kian Lee menghabiskan obat
semangkok itu.
“Sekarang,
beristirahatlah, Taihiap,” kata Sai-cu Kai-ong kepada Kian Lee. “Setiap hari
Taihiap harus minum obat, ramuan ini tiga mangkok, pagi siang dan sore.” Maka
mulailah Kian Lee minum obat campur jamur mukjijat itu, dilayani oleh Siauw
Hong yang menggodokkan obatnya dan Kian Bu yang menjaganya siang malam.
Pada hari
keempat, pagi-pagi sekali atas perkenan Sai-cu Kai-ong, Suma Kian Bu memondong
tubuh Kian Lee yang belum boleh banyak bergerak itu keluar dari kamar, menuruni
puncak dan menuju ke tepi sungai. Kian Bu menurunkan tubuh kakaknya di atas
rumput hijau. Hawa amat nyaman di pagi hari itu, apa lagi setelah matahari pagi
yang murni dan jernih itu mulai melimpahkan cahayanya yang keemasan.
“Sekarang
tiba saatnya engkau menceritakan semua pengalamanmu, Bu-te. Mengapa selama lima
tahun ini engkau tidak pernah pulang ke Pulau Es dan ke mana saja engkau pergi?
Mengapa pula rambutmu menjadi putih semua seperti itu? Apakah memang karena
engkau mewarisi warna rambut Ayah, ataukah ada terjadi hal lain?”
Mendengar
pertanyaan kakaknya itu, tiba-tiba saja wajah Siluman Kecil itu menjadi muram
kembali. Kalau tadinya semenjak dia mencari obat jamur dan bertemu dengan Hwee
Li, hampir pulih kembali kegembiraannya dan hampir nampak kembali sifat-sifat
Kian Bu yang lincah gembira, kini dia kembali muram seperti wajah Siluman Kecil
selama ini!
Dia menarik
napas panjang dan berkata lirih dan lambat, “Aku telah tenggelam di dalam
kedukaan hebat, Koko. Semenjak aku melihat pencurahan kasih sayang dari Puteri
Syanti Dewi kepada Ang Tek Hoat di dalam hutan, semenjak aku melihat kenyataan
bahwa puteri yang kucinta dengan sepenuh jiwa raga itu ternyata mencinta orang
lain, aku tak dapat menahan guncangan batin karena kecewa dan duka, dan aku
tenggelam di dalam kesedihan seperti hampir gila dan tidak ingat apa-apa
lagi...“
Kian Lee
menarik napas panjang dan memegang tangan adiknya penuh kasih sayang dan belas
kasihan. “Aku tahu, adikku. Aku telah mengenal pula perasaan itu. Sekarang
lanjutkanlah ceritamu.”
“Aku
seolah-olah menjadi bosan hidup. Alam di sekelilingku berubah seperti neraka
dan aku tidak ingin kembali ke Pulau Es, tidak ingin bertemu siapa pun juga
kecuali bertemu dengan malaikat maut yang boleh mencabut nyawaku. Aku pergi
merantau ke mana pun kakiku membawaku, tanpa tujan, tanpa kemauan dan yang ada
hanya perasaan merana dan sengsara.”
“Ahhh,
kasihan sekali kau, Bu-te. Tidak kusangka seorang yang segagah dan selincah
engkau, yang selalu gembira dan nakal, ternyata masih begitu lemah setelah
tertimpa kekecewaan cinta...” Kian Lee memandang dengan sinar mata terharu
sekali.
“Aku sendiri
pun merasa heran, Koko. Tadinya kuanggap bahwa cinta terhadap wanita hanya
merupakan permainan belaka. Akan tetapi cintaku terhadap Syanti Dewi sungguh
lain sama sekali. Puteri itu telah menguasai seluruh jiwa ragaku, setiap bulu
di tubuhku seperti telah mencintainya dan tidak mau berpisah lagi dari sisinya,
maka begitu terjadi perpisahan dan kenyataan bahwa aku tidak dapat
mendekatinya, aku jatuh dan hancur lebur. Akan tetapi biarlah kulanjutkan
ceritaku agar tidak membosankan engkau yang mendengar aku merengek-rengek
tentang cintaku yang gagal, Koko. Dengarlah…..”
Kian Bu lalu
bercerita. Dengan hati patah dan hancur dia lalu berkelana, naik turun gunung,
menyeberangi sungai dan telaga, masuk keluar hutan-hutan besar dan lebat, sama
sekali tidak mempedulikan lagi dirinya sehingga pakaiannya compang-camping,
tubuhnya kurus dan wajahnya pucat, rambutnya terurai riap-riapan tanpa pernah
dibereskan. Karena membiarkan dirinya tenggelam dalam duka sedemikian rupa, dan
mungkin karena ditambah dengan keturunan, dalam waktu beberapa bulan saja sudah
tumbuh rambut putih di kepalanya.
Pada suatu
hari, tanpa disadarinya dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-pei sebelah selatan
dan mendaki sebuah bukit. Karena dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, maka dia
tidak peduli pula akan cegahan orang-orang ketika dia tiba di bawah bukit.
Orang orang itu memperingatkannya agar tidak naik ke bukit itu, karena menurut
mereka, bukit itu berada di bawah kekuasaan kakek dewa yang menghuni di gedung
tua di puncak bukit itu dan kakek dewa itu amat galak, tidak memperkenankan
sembarangan orang mendekati gedungnya.
Akan tetapi
Kian Bu tidak mempedulikan itu semua, bahkan dia seperti sengaja hendak
menempuh bahaya karena baginya pada waktu itu, kalau kematian datang, hal itu
dianggapnya baik sekali! Dia seperti orang nekat dan dengan sembarangan saja
dia lalu mendaki bukit yang sunyi itu pada waktu matahari mulai tenggelam.
Senja kala
mendatangkan sinar layung yang kemerahan di permukaan bukit, membuat segala
sesuatu seperti menyala kekuningan, terang sekali dan sesungguhnya amatlah
indahnya. Namun bagi seorang yang sedang dilanda kedukaan hati dari pikirannya
sendiri, tidak ada apa-apa yang indah, adanya hanya mengesalkan dan menjemukan
hati belaka.
Jelaslah
bahwa indah dan buruk hanyalah penilaian yang sesuai dengan keadaan hati
seseorang belaka. Kenyataannya tidaklah baik atau buruk, melainkan ya sudah
begitu, apa adanya, tidak baik tidak buruk, tidak indah tidak jelek. Hanya
pikiran dan hati sendirilah yang memberi penilaian, sesuai dengan suka dan
tidak suka, menyenangkan dan tidak menyenangkan, menguntungkan dan merugikan.
Ketika malam
mulai datang, gelap menyelimuti cahaya terakhir dari matahari, Kian Bu menghentikan
langkahnya dan duduklah dia di atas batu di pinggiran jurang, melamun,
kadang-kadang merenung ke dalam kegelapan, kadang-kadang pula dia berdongak
memandang langit yang terhias bintang-bintang muda yang berkedap-kedip lemah di
langit yang masih muda warnanya. Pikirannya kosong, melayang-layang tanpa arah
tujuan tertentu, suasana menjadi lengang dan kesepian menyelimutinya,
menimbulkan ketrenyuhan hati yang makin merana.
Dia tidak
tahu di mana dia berada. Sebenarnya pada saat itu dia telah berada di wilayah
Pegunungan Tai-hang-san, di salah sebuah di antara puncak bukit-bukit di
sekitar pegunungan itu. Tiba-tiba terdengar suara suling melengking, memecah
kesunyian malam, menyelinap di antara suara belalang dan jengkerik serta
binatang-binatang kecil yang biasa meramaikan suasana keheningan malam.
Kian Bu
tertarik oleh suara suling itu. Sungguh nyaring sekali suara suling itu,
peniupnya tentu seorang yang pandai. Seperti ada daya tarik luar biasa pada
suara suling itu. Kian Bu lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke arah
suara itu. Sementara itu, bintang bintang di langit mulai nampak lebih terang
karena langit makin tua warnanya, dan bintang-bintang itu kelihatan seperti
permata-permata indah tergantung pada beludru hitam yang bersih. Tidak begitu gelap
keadaan di tempat itu sehingga Kian Bu dapat melihat seorang kakek yang duduk
bersandarkan batang pohon dan meniup suling.
Suara suling
itu terhenti seketika dan kakek itu meloncat, di tangan kanannya nampak
sebatang tongkat dan sebatang suling yang putih berkilau, yang telah diselipkan
di ikat pinggangnya. Kakek itu tinggi kurus dan usianya tentu sudah enam puluh
lima tahun lebih. Sikapnya agung dan gagah ketika dia berdiri dengan kaki yang
terpentang lebar, tongkatnya melintang dan kedua matanya memandang Kian Bu
penuh perhatian dan kecurigaan.
“Siapa kau?
Mau apa naik ke bukit ini yang berada di bawah kekuasaan kami? Hayo cepat kau
pergi dari sini sekarang juga!” bentak kakek itu.
Kian Bu
mengerutkan alisnya. “Apakah engkau ini yang dinamakan orang di bawah sana
sebagai kakek dewa?” tanyanya.
Kakek itu
mendengus dan menggerakkan tongkatnya yang panjang. “Kalau benar mau apa?”
“Hemmm,
kalau benar begitu, namamu saja kakek dewa, akan tetapi sikapnya lebih
menyerupai kakek iblis.”
“Bocah
keparat! Berani engkau memaki Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak)? Hayo
pergi, aku masih sabar dan dapat mengampunimu. Aku tidak mau ribut dengan
seorang bocah masih ingusan.”
Kian Bu yang
memang sedang murung itu, menjadi marah. “Kakek sombong, kalau aku tidak dapat
mengalahkan engkau lebih baik aku mati saja!”
Ucapan yang
sebenarnya keluar dari hati yang kesal itu tentu saja membuat Gin-siauw Lo-jin
menjadi marah bukan main. “Bocah tak tahu diri! Pergi!” bentaknya, dan tangan
kirinya menampar. Dia mengira bahwa Kian Bu adalah seorang pemuda ugal-ugalan
dari bawah gunung, maka dia bermaksud untuk menampar pundaknya agar pemuda itu
takut dan lari. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat pemuda
itu tidak mengelak atau menangkis.
“Plakkk!”
Tubuh kakek itu terhuyung dan hampir roboh! Maklumlah kakek itu bahwa dia
berhadapan dengan seorang pandai yang agaknya memang datang untuk mengacau,
maka sambil berseru keras dia sudah menggerakkan tongkat panjangnya menyerang.
“Wuuuuuttttt...!
Wirrrrr...!”
Kian Bu juga
kaget. Bukan main lihainya tongkat itu, gerakannya teramat cepat dan mengandung
angin pukulan yang dahsyat. Ternyata bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek
yang benar-benar amat lihai, maka dia pun tidak mau mengalah begitu saja. Cepat
dia mengelak dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang seru dan kakek
itu berkali-kali mengeluarkan seruan kaget ketika melihat betapa tongkatnya
membalik dan telapak tangannya panas ketika bertemu dengan lengan pemuda itu.
“Keparat!”
bentaknya.
Dengan
sepenuh tenaganya karena penasaran, dia mengarahkan hantaman tongkatnya pada
kepala Kian Bu. Sekali ini dia menyerang untuk membunuh! Kian Bu menanti sampai
tongkat itu menyambar dekat, kemudian dia menggerakkan kedua lengannya memapaki
dari kanan kiri dengan gerakan menggunting.
“Krekkk-krekkkkk!”
Tongkat panjang itu patah-patah menjadi tiga potong dan bagian tengahnya
terlempar jauh.
“Ehhhhhh...!”
Kakek yang mengaku berjuluk Gin-siauw Lo-jin itu berseru keras saking kagetnya
dan marahnya.
Dia adalah
murid pertama dari Sin-siauw Sengjin (Kakek Dewa Seruling Sakti) yang menjadi
ahli waris dari pendekar sakti Suling Emas, dan tongkatnya itu adalah sebuah
benda pusaka yang selama puluhan tahun berada di dalam tangannya dan belum
pernah terkalahkan. Akan tetapi kini patah menjadi tiga bertemu dengan lengan
pemuda ini! Tentu saja dia menjadi penasaran, malu dan hal ini membuat ia marah
bukan main.
Kemarahan
sudah pasti timbul karena penonjolan kepentingan pribadi tersinggung, dan
penonjolan kepentingan pribadi selalu mengejar kesenangan baik lahir mau pun
batin. Salah satu di antara kesenangan batin adalah bayangan betapa pandainya
diri sendiri. Membayangkan bahwa diri sendiri pandai, gagah perkasa, berkuasa
dan sebagainya adalah menyenangkan dan kalau bayangan ini dirusak oleh
kenyataan, maka akan menjadi marahlah batin.
Demikian
pula halnya kakek Gin-siauw Lo-jin itu. Selama ini dia merasa dirinya sangat
hebat, tongkatnya amat hebat, akan tetapi kenyataan bahwa tongkatnya
patah-patah bertemu dengan lengan pemuda itu membuatnya marah bukan main.
“Bocah
setan, engkau datang mengantar nyawa!” serunya dan nampak berkelebat sinar
putih ketika dia mencabut suling perak dari ikat pinggangnya.
Ketika dia
dan Suma Kian Lee, kakaknya, meninggalkan Pulau Es untuk pergi ke kota raja
mencari enci-nya, yaitu Puteri Milana, oleh ayah ibu mereka di Pulau Es, mereka
dilarang membawa senjata. Dan memang dua orang pemuda Pulau Es itu tidak lagi
membutuhkan senjata. Seorang yang sudah memiliki ilmu kepandaian setingkat
mereka memang sebenarnya tidak memerlukan lagi senjata.
Selain kedua
lengan dan kedua kaki mereka merupakan senjata yang ampuh, bahkan setiap buah
jari tangan mereka merupakan senjata ampuh, juga setiap benda yang mereka
temukan dapat saja mereka pergunakan sebagai senjata. Kini, melihat kakek itu
mencabut suling perak yang tadi ditiupnya, Kian Bu bersikap waspada. Dia adalah
seorang yang sedang tenggelam ke dalam kekecewaan dan kedukaan, tentu saja
melihat orang yang dianggapnya keterlaluan itu dia menjadi marah.
“Sing-sing-singgggg...!”
Sinar perak
berkelebatan seperti kilat yang menyambar-nyambar dahsyat, disertai bunyi
berdesingan yang nyaring.
“Bagus!”
Kian Bu berseru kagum karena memang hebat gerakan suling itu.
Cepat dia
mengelak ke sana-sini dan kemudian terkejutlah dia ketika dia melihat cara
suling itu digerakkan. Dia mengenal gerakan itu. Cepat dia menghindarkan diri
dan karena penasaran dia tidak balas menyerang melainkan mengelak ke sana-sini
untuk mempelajari gerakan lawan lebih lanjut. Tidak salah lagi, itulah gerakan
dari jurus-jurus Pat-sian Kiam-hoat!
Dan ilmu ini
adalah sebuah di antara ilmu-ilmu keistimewaan kakaknya, Suma Kian Lee, yang
mewarisinya dari ibunya, yaitu Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka,
bahkan yang mewarisi kitab-kitab ilmu silat peninggalan pendekar sakti Suling
Emas! Dia sendiri mengenal dan dapat memainkan Ilmu Pat-sian Kiam-hoat karena
selain dia menerima petunjuk dari ibu tirinya itu, juga ibunya sendiri, Puteri
Nirahai adalah seorang wanita yang serba bisa dan telah mempelajari semua Ilmu,
termasuk ilmu dari Suling Emas ini!
Setelah
kakek itu menyerangnya sampai sepuluh jurus dan dia yakin bahwa ilmu yang
dimainkan itu adalah Pat-sian Kiam-hoat, dia meloncat ke belakang sambil
berseru, “Bukankah yang kau mainkan itu Pat-sian Kiam-hoat?”
Kakek itu
tertegun dan memandang kepadanya dengan heran, kemudian tersenyum mengejek
karena mengira bahwa pemuda yang lihai itu merasa takut. “Hemmm, kau sudah
mengenal ilmu silatku yang hebat? Bagus, kalau begitu lekas kau berlutut minta
ampun dan mengenalkan dirimu agar engkau tak akan menjadi setan penasaran tanpa
nama, tewas di ujung suling mautku,” kata kakek itu yang merasa mendapatkan
kembali harga dirinya.
“Hemmm,
maling hina! Dari mana engkau mencuri Ilmu Pat-sian Kiam-hoat?” Kian Bu
membentak marah.
Kakek itu
terkejut dan tentu saja dia menjadi marah sekali. Dikiranya pemuda itu menjadi
gentar mengenai ilmunya, tidak tahu malah menghinanya dan mengatakannya maling!
Terngiang bunyi di dalam telinganya, merah pandang matanya karena darahnya
sudah naik ke kepala saking marahnya.
“Bocah
lancang bermulut busuk, mampuslah!” bentaknya dan dia sudah menggerakkan lagi
suling peraknya, kini dengan gerakan yang lebih dahsyat lagi sampai suling itu
mengeluarkan suara melengking nyaring seperti ditiup mulut!
Kian Bu
cepat mengelak, akan tetapi kini dia mengelak lalu membalas serangan lawan
dengan pukulan Swat-im Sin-ciang.
“Wusssss...!”
Kakek itu
pun mengelak karena kaget sekali betapa hawa yang sedang menyambarnya membawa
rasa dingin yang menyusup tulang, lalu sulingnya kembali menghujankan serangan.
Pertandingan
itu cukup hebat karena memang suling kakek itu amat lihai. Akan tetapi
bagaimana pun juga, dia bertemu dengan pemuda Pulau Es, putera Pendekar Super
Sakti yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali, maka lewat tiga
puluh jurus lebih, hawa sakti dari Hwi-yang Sin-ciang yang panas itu menyambar
dadanya dan Gin-siauw Lo-jin berteriak keras dan roboh terguling dalam keadaan
pingsan dan dengan suling masih tergenggam tangan.
Kian Bu
memandang tubuh yang rebah pingsan itu, diam-diam merasa heran bagai mana kakek
ini dapat menguasai ilmu simpanan dari ibu tirinya yang mewarisi ilmu-ilmu dari
Suling Emas, kemudian dia menghapus peluhnya dan pergi meninggalkan tempat itu.
Dia sudah tidak mempedulikan lagi kakek itu karena sudah mulai tenggelam lagi
dalam kedukaannya.
Akan tetapi
ketika dia berjalan di lereng bukit itu, di bawah sinar bintang-bintang di
langit, peristiwa pertemuannya dengan kakek yang pandai ilmu peninggalan Suling
Emas itu membuat dia ingat kepada Suma Kian Lee, kepada ibu tirinya, kepada
ayah bundanya sendiri dan kepada Pulau Es dan bangkitlah rasa rindu di dalam
hatinya. Teringat kepada mereka semua yang tercinta membuat hatinya makin
merasa prihatin, merasa betapa sunyi hidupnya, betapa sengsara hatinya dan
pemuda ini kemudian menjatuhkan diri duduk di atas rumput, terasa lemah seluruh
tubuh dan dia duduk bersemedhi sampai pagi.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah disadarkan oleh kicau burung yang
riang gembira menyambut datangnya pagi hari yang cerah dan indah. Akan tetapi
tidak terasa keindahan itu di hati Kian Bu yang sedang gundah gulana. Dia
teringat akan kakek yang dirobohkannya semalam dan hatinya segera merasa
menyesal. Tidak ada persoalan hebat antara dia dan kakek itu, akan tetapi dia
telah merobohkannya dan meninggalkannya rebah pingsan. Jangan-jangan kakek yang
sudah tua itu akan tewas karenanya. Dia menyesal sekali. Bukan wataknya untuk
membunuh orang begitu saja, padahal tidak ada persoalan penting di antara
mereka. Teringat akan ini Kian Bu cepat bangkit dan pergi mendaki bukit itu
lagi menuju ke tempat di mana dia berkelahi dengan kakek itu semalam.
Akan tetapi
ketika dia tiba di tempat itu, di situ sunyi saja dan kakek itu sudah tidak ada
lagi di tempat dia rebah semalam. Yang ada hanya burung-burung beterbangan
sambil berkicau riuh-rendah. Padahal dia tahu betul bahwa di situ tempatnya,
bahkan tongkat panjang yang patah-patah milik Gin-siauw Lo-jin pun masih berada
di situ. Agaknya kakek itu sudah siuman lalu pergi dari situ. Kian Bu menarik
napas lega. Baik kalau kakek itu tidak mati!
Tetapi belum
puas hatinya jika belum dapat bertemu untuk menyatakan penyesalannya dan minta
maaf. Lebih baik dia berkenalan dengan kakek itu dan bertanya secara baik baik
tentang Ilmu Silat Pat-sian Kiam-hoat itu. Siapa tahu masih ada hubungan atau
pertalian perguruan antara kakek itu dengan ibu tirinya! Kalau memang benar
demikian, bukankah berarti bahwa dia telah merobohkan kerabat atau kawan
sendiri? Dia merasa makin menyesal dan mulailah dia mencari-cari di sekitar
tempat itu. Akan tetapi sunyi saja di sekeliling situ, sunyi yang amat indah
karena pagi itu memang cerah sekali.
Tiba-tiba
dia mendengar suara orang bersenandung, lapat-lapat terdengar olehnya. Cepat
Suma Kian Bu melangkah menuju ke arah suara itu yang makin lama makin nyata.
Kiranya itu adalah suara wanita yang amat merdu dan kiranya bukan nyanyian yang
disenandungkan itu, melainkan doa yang dinyanyikan dengan suara yang amat merdu
dan halus. Tak lama kemudian nampaklah orangnya yang berdoa itu dan kiranya dia
adalah seorang nikouw (pendeta Buddha wanita) yang sedang memetik daun obat.
Nikouw itu
sudah tua, tentu sudah hampir enam puluh tahun usianya. Tubuhnya masih ramping,
wajahnya masih berkulit halus dan putih, masih nampak nyata bekas-bekas
kecantikan seorang wanita, dan sekarang wajah itu nampak agung dan suci, di
bawah kerudung yang berwarna kuning. Seorang nikouw tua yang berwajah lembut,
yang memetik daun obat sambil berdoa, begitu bahagia nampaknya. Tiada bedanya
antara dia dan burung yang sedang berkicau di atas dahan pohon, asyik dengan
keriangan menyambut pagi yang indah!
Ah, nikouw
itu agaknya tidak asing dengan tempat ini. Tentu dia tahu di mana dia dapat
bertemu dengan Gin-siauw Lo-jin! Berpikir demikian, Kian Bu lalu membalikkan
tubuh hendak menghampiri, akan tetapi pada saat itu, nikouw tadi pun agaknya
sudah selesai memetik daun obat dan melangkah pergi. Dan terkejutlah pemuda
Pulau Es itu. Sekali berkelebat, nikouw tua itu seperti terbang saja cepatnya
meninggalkan tempat itu! Bukan main cepat dan ringannya gerakan kedua kaki
nikouw itu yang seolah-olah dapat terbang di atas rumput, pergi sambil terus
bersenandung!
Tentu saja
Kian Bu menjadi kagum bukan main. Mengapa bermunculan begitu banyak orang
pandai di tempat ini, pikirnya. Gin-siauw Lo-jin itu sudah hebat, bahkan pandai
memainkan ilmu silat tinggi Pat-sian Kiam-hoat. Dan nikouw ini pun bukan main
ilmu ginkang-nya, seolah-olah pandai terbang saja.
Dia menjadi
penasaran dan mengerahkan ginkang-nya untuk lari mengejar. Akan tetapi, dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia tidak mampu
menandingi kecepatan gerakan nikouw itu!
Nikouw itu
seperti terbang di atas rumput-rumput, mendaki bukit dan dia terus mengejar,
mengerahkan seluruh kepandaiannya karena Kian Bu merasa penasaran sekali. Dia
telah dilatih ginkang oleh ayah dan ibunya sendiri, padahal ayahnya adalah
seorang ahli dalam Ilmu Soan-hong-lui-kun, yaitu gerakan kijang yang
kecepatannya tiada keduanya di dunia ini! Biar pun dia sendiri tidak mungkin
dapat mewarisi Ilmu Soan-hong-lui-kun yang hanya dapat dimainkan oleh seorang
yang berkaki tunggal seperti ayahnya, namun dia telah memiliki ginkang yang
hebat, tidak kalah oleh kecepatan ibunya, Puteri Nirahai yang terkenal itu.
Namun, kini dia tidak mampu menyusul nikouw tua itu!
Kian Bu
merasa malu dan heran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya, namun maklumlah
dia bahwa dia benar-benar jauh kalah cepat. Akan tetapi nikouw itu berhenti di
dekat puncak bukit dan mulai memetik daun-daun obat yang lain lagi, tetap
sambil bersenandung seolah-olah larinya yang amat cepat tadi sama sekali tidak
membuatnya lelah, padahal Kian Bu sendiri agak terengah karena mengerahkan seluruh
tenaga. Teringatlah pemuda ini akan niatnya bertanya kepada nikouw itu tentang
Gin-siaw Lo-jin. Kini lebih mantap lagi hatinya bahwa dia harus minta maaf
kepada kakek itu karena ternyata bahwa bukit ini benar-benar dihuni oleh
orang-orang pandai sekali.
“Maafkan
saya, Suthai...“
Nikouw itu
menoleh dan tiba-tiba saja wajahnya berubah pucat dan keranjang terisi daun
obat itu terlepas dari tangannya dan jatuh ke atas tanah, menggelinding sampai
ke dekat kaki Kian Bu! Sejenak nikouw itu hanya berdiri bengong memandang wajah
Kian Bu, lalu dia berkata lirih, “Omitohud...!”
Seruan ini
agaknya menyadarkannya dari kekagetan atau keharuan itu dan dia tersipu sipu
memandang ke arah keranjang yang isinya tumpah semua itu.
“Maaf,
Suthai, saya telah mengagetkan Suthai...,“ kata Kian Bu yang cepat mengambil
keranjang itu dan mengumpulkan dauh-daun yang berserakan, lalu memasukkannya
kembali ke dalam keranjang, serta menyerahkannya kepada nikouw itu penuh
hormat.
Nikouw itu
memandang dengan mata tetap membayangkan keheranan dan penuh rasa tertarik,
memandang Kian Bu sejak tadi dari atas ke bawah, lalu menarik napas panjang dan
bibirnya berkemak-kemik membaca doa yang tidak terdengar.
“Ah,
tidak... sama sekali tidak. Sicu siapakah?” Suara itu halus sekali dan sinar
mata itu penuh kelembutan sehingga Kian Bu seketika merasa suka dan hormat
sekali kepada nikouw tua ini.
Akan tetapi
dia yang sudah melakukan kelancangan merobohkan orang di tempat yang dihuni
orang-orang pandai ini segera menjura tanpa berani memperkenalkan namanya,
melainkan bertanya. “Kalau saya boleh mengganggu kesibukan Suthai, saya ingin
bertanya apakah Suthai tahu di mana saya dapat bertemu dengan Gin-siauw
Lo-jin?”
“Gin-siauw
Lo-jin? Ahhh, di puncak itulah tempat tinggalnya,“ jawab nikouw itu sambil
menuding ke arah puncak bukit, tetapi matanya tetap saja tidak pernah
meninggalkan wajah Kian Bu yang rambutnya panjang terurai dan dibiarkan
awut-awutan itu.
Kian Bu
menjadi girang sekali dan kembali dia menjura, “Banyak terima kasih atas
petunjuk Suthai, dan sekali lagi maaf atas kelancangan saya mengganggu
kesibukan Suthai.”
Setelah
berkata demikian, pemuda itu lalu membalikkan tubuh dan berjalan mendaki
puncak.
“Nanti
dulu... Sicu... siapakah Sicu?” terdengar nikouw itu bertanya.
Kian Bu
menoleh dan merasa tidak enak. Dia telah berbuat salah di tempat itu, bagai
mana harus memperkenalkan nama? Akan tetapi, nikouw itu demikian ramah dan
halus budi, tidak mungkin pula tidak menjawab. “Suthai, saya she Suma...,
maaf!”
Dia lalu
melanjutkan perjalanan dengan cepat naik ke atas puncak. Sama sekali dia tak
tahu betapa jawaban itu membuat nikouw ini kembali menjadi pucat sekali
wajahnya, matanya terbelalak dan tangan kirinya otomatis menyentuh dada kiri.
“Omitohud...
omitohud... omitohud...“ berulang-ulang ia memuji dan tidak mempedulikan lagi
keranjangnya yang jatuh untuk kedua kalinya. Kini dia telah melangkah perlahan
lahan naik ke puncak, sepasang matanya memandang ke arah bayangan Kian Bu dan
mulutnya masih terus menyerukan pujian untuk Sang Buddha.
Sementara
itu, Kian Bu sudah mendaki puncak dengan cepat dan tibalah dia di depan sebuah
rumah yang besar dan kuno. Rumah itu kelihatan sunyi saja seperti tidak ada
penghuninya, akan tetapi ketika dia menghampiri pintu depan, terdengarlah suara
dari dalam, suara yang berwibawa dan mengandung tenaga khikang amat kuat,
“Inikah pemuda yang kau ceritakan itu?”
“Benar,
Suhu.”
Kian Bu
terkejut. Suara yang menyebut ‘suhu’ itu adalah suara Gin-siauw Lo-jin! Dan
kini keluarlah dua orang dari dalam rumah kuno itu yang bukan lain adalah
Gin-siauw Lo-jin bersama seorang kakek yang lebih tua lagi, yang usianya tentu
sudah ada tujuh puluh lima tahun, namun masih bersikap agung dan gagah. Kian Bu
merasa tidak enak sekali melihat dua orang kakek itu memandang padanya dengan
muka membayangkan kemarahan, maka cepat-cepat dia menjura dengan sikap hormat.
“Locianpwe,
saya Suma Kian Bu datang untuk minta maaf atas semua kejadian malam tadi,”
katanya dan ucapan ini ditujukan kepada Gin-siauw Lo-jin.
Akan tetapi
yang menjawabnya adalah kakek yang lebih tua itu, yang berkata dengan suara
kereng, “Orang muda, semalam kau telah mengalahkan muridku yang pertama,
berarti bahwa engkau sungguh sangat lihai. Dan sekarang engkau muncul pula di
sini, sungguh engkau bernyali besar. Apakah engkau hendak menyatakan bahwa
engkau berani pula bertanding ilmu melawan kami yang mewarisi ilmu dari
pendekar maha sakti Suling Emas?”
Kian Bu
mengerutkan alisnya. Dia telah merendahkan diri, telah mengalah dan datang
untuk minta maaf, akan tetapi ucapan dari kakek tua ini sungguh di luar
dugaannya. Tersembunyi kesombongan besar dalam ucapan itu! Dan juga dia merasa
penasaran dan curiga. Bukankah pewaris ilmu-ilmu dari Suling Emas adalah orang
tuanya di Pulau Es? Bukankah kitab-kitab ilmu dari pendekar Suling Emas
terjatuh ke tangan ibu Lulu, ibu tirinya dan bahkan pusaka suling emas menurut
ibunya pernah dipakai sebagai senjata oleh ibunya sendiri? Mengapa kakek ini
sekarang mengaku sebagai pewaris pusaka Suling Emas? Namun, sebagai seorang
pemuda yang terdidik baik, dia masih mampu menahan diri.
“Maaf,
Locianpwe, saya datang bukan untuk mengajak bertanding ilmu dengan siapa pun
juga,” jawabnya dengan suara agak kaku.
“Hemmm,
kalau begitu kau takut?”
Sepasang
mata Kian Bu bersinar dan mengandung kemarahan ketika dia memandang kepada
kakek tua itu. Benar-benar besar kepala dan sombong si tua bangka ini, pikirnya
gemas.
“Tidak ada
persoalan takut atau berani, Locianpwe. Saya datang untuk menyatakan penyesalan
saya atas peristiwa yang terjadi semalam dan saya mau minta maaf.”
“Hayo lekas
berlutut dan minta ampun dengan pai-kwi (menyembah dengan berlutut) sebanyak
delapan kali, baru kami pikir-pikir apakah dapat mengampunimu!” Kakek itu
membentak lagi.
Berkobar
kemarahan di dalam hati Kian Bu. Dia mengangkat dada dan berdiri dengan sikap
menantang. “Saya Suma Kian Bu selama hidup tidak pernah bersikap pengecut! Saya
selalu berani menanggung semua perbuatan saya. Jangan harap Locianpwe akan
dapat melihat saya merendahkan diri seperti itu!”
“Ha, kau
menantang?”
“Terserah
penilaian Locianpwe kepada saya.”
“Orang muda,
engkau memang bernyali besar. Hemmm, engkau tak tahu dengan siapa engkau
berhadapan. Aku adalah Sin-siauw Sengjin, dan dia ini adalah muridku yang
pertama. Aku adalah pewaris dari pendekar maha sakti Suling Emas dan biasanya,
sekali aku turun tangan tentu lawanku akan mati. Tetapi, aku masih menaruh
kasihan kepadamu...“
“Cukup,
Locianpwe. Aku tidak takut akan segala ancaman, tidak takut mati. Akan tetapi
tentang mewarisi pusaka pendekar Suling Emas, hal itu kiranya masih harus
diselidiki lebih dulu! Kalau memang benar pusaka itu ada pada tangan Locianpwe,
maaf kalau saya berani mengatakan bahwa Locianpwe tentu telah mencurinya!”
“Keparat!”
Gin-siauw Lo-jin marah sekali dan sudah menerjang maju dengan pukulan tangan
kanan.
“Desssss...!”
Tubuh
Gin-siauw Lo-jin terpental dan tentu dia sudah terbanting ke atas tanah kalau
saja tangan kiri Sin-siauw Sengjin tidak diulur dan dengan cekatan sekali kakek
ini menangkap leher baju muridnya dan mencegah muridnya terbanting. Gerakan
kakek itu cepat sekali sehingga mengagumkan Kian Bu, sebaliknya Sin-siauw
Sengjin juga terbelalak melihat betapa tangkisan orang muda itu membuat
muridnya terpental!
“Orang muda,
engkau benar-benar berani sekali. Terpaksa aku tidak memandang lagi usia, dan
bersiaplah untuk menandingi pewaris ilmu-ilmu Suling Emas!”
Orang ini
terlalu menonjol-nonjolkan diri sebagai pewaris Suling Emas, pikir Kian Bu
dengan hati mendongkol. Jelas bahwa dia telah mengaku-aku saja, atau kalau
melihat betapa muridnya dapat mainkan Pat-sian Kiam-hoat, agaknya kakek ini
telah mencuri kitab-kitab itu dari Pulau Es!
“Baiklah,
ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu-ilmu yang palsu itu.”
Sin-siauw
Sengjin sudah marah sekali dan karena dia maklum betapa lihainya pemuda itu,
maka dia sudah mencabut suling emas yang terselip di pinggangnya dan menerjang
maju.
“Swinggggg...
singgggg...!”
Kian Bu
terkejut. Sinar emas berkilauan itu memang hebat bukan main dan matanya
terbelalak memandang ke arah suling emas di tangan kakek itu yang tadi hampir
saja mengenai kepalanya kalau saja dia tidak cepat-cepat mengelak. Dari mana
kakek ini mendapatkan senjata pusaka ampuh itu? Apakah benar itu suling emas,
senjata dari pendekar sakti Suling Emas ratusan tahun yang lampau, seperti yang
diceritakan oleh ibunya?
Akan tetapi
dia tidak diberi kesempatan untuk berheran-heran lebih lama lagi karena sinar
emas itu bergulung-gulung dan sudah menerjangnya dari segala jurusan dengan
amat dahsyat! Kian Bu cepat mengelak dan membalas dengan melancarkan pukulan
Hwi-yang Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya. Namun ternyata kakek itu gesit
sekali, juga ketika dengan lengan kiri menangkis, dari lengannya menyambar hawa
sinkang yang amat kuat, bahkan tidak kalah kuatnya dari tenaga sinkang yang
dikuasai oleh Kian Bu sendiri sehingga keduanya terhuyung ke belakang! Kakek
itu makin terkejut, akan tetapi juga Kian Bu merasa kaget dan berhati-hati.
Makin lama,
makin terheran-heranlah Kian Bu melihat betapa kakek itu dengan suling emasnya
memainkan ilmu-ilmu yang dikenalnya sebagai Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai
Kun-hoat, dan akhirnya suling itu mengeluarkan bunyi melengking dan mendengung
dengung seperti ditiup orang ketika kakek itu membuat gerakan corat-coret aneh
sekali.
Kian Bu
mengenal gerakan ini sebagai ilmu mukjijat Hong-in Bun-hoat, ilmu yang amat
ampuh dari pendekar Suling Emas, yang amat sukar dipelajari, bahkan ibu
tirinya, Lulu sendiri pun belum dapat menguasainya secara sempurna! Ilmu ini
didasari kepandaian sastra, kepandaian menulis huruf indah dan dari gerakan
corat-coret huruf inilah maka diciptakan ilmu silat yang amat mukjijat ini.
“Kau... kau
pencuri...!” teriaknya kaget.
Terpaksa dia
harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena kakek itu ternyata
amat lihai. Setiap huruf yang digerakkan oleh sulingnya mengandung tenaga
dahsyat dan mengeluarkan bunyi lengkingan aneh sekali. Beberapa kali Kian Bu
sampai terhuyung karena terdorong oleh hawa yang amat tajam dan aneh. Dia sudah
berusaha untuk membalas dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang
secara berselang-seling, namun kakek yang lihai itu dapat pula menghindarkan
diri.
Bukan main
hebatnya pertandingan itu. Mati-matian dan seru, sama kuat dan seratus jurus
lewat dengan cepatnya. Kian Bu menjadi penasaran dan juga terheran-heran. Tidak
banyak dia menemui lawan berat selama perantauannya, dan ternyata kakek ini
hebat sekali, sungguh pun dia masih tidak percaya bahwa ilmu-ilmu Suling Emas
yang dimainkannya itu adalah ilmu-ilmu yang asli, karena pada dasarnya terdapat
beberapa perbedaan dengan ilmu-ilmu yang dikenalnya sebagai ilmu-ilmu
peninggalan dari Suling Emas.
Menurut
ibunya, kemukjijatan Ilmu Hong-in Bun-hoat terletak pada bunyi suling yang
ketika dimainkan seperti ditiup orang dan mengeluarkan lagu yang amat indah dan
hal ini amat mempengaruhi lawan. Akan tetapi, walau pun suling emas di tangan
kakek ini juga mengeluarkan suara melengking-lengking dan seperti berlagu,
namun sama sekali tidak dapat disebut indah karena bagi telinganya terdengar
sumbang! Betapa pun juga, harus diakuinya bahwa sukar baginya untuk dapat
mengimbangi kecepatan kakek itu dan dia mulai terdesak hebat.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment