Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 09
Namun,
memang orang she Kang ini lihai bukan main. Tubuhnya sudah mencelat ke atas,
tinggi sekali seperti seekor burung terbang, berjungkir balik sampai empat kali
di udara dan ketika dia turun kembali, lengannya sudah sembuh dan kini baru dia
tahu bahwa Siauw-hong benar-benar amat berbahaya kalau diberi kesempatan. Oleh
karena itu, dia lalu menyerang dan mengeluarkan ilmu simpanannya. Dari kedua
tangannya yang terbuka itu menyambar hawa yang mengeluarkan suara bersuitan
seperti gerakan sebatang pedang tajam. Siauw-hong berseru kaget dan cepat
mengelak ke sana-sini.
Di bawah
panggung, menyelinap di antara banyak orang, Siluman Kecil juga kagum sekali.
Dia belum berhasil menemukan nenek penjual sepatu rumput yang dianggapnya
mencuri uangnya itu, maka dia berkesempatan pula menonton pertandingan antara
dua orang yang dikenalnya dengan baik itu, dan terkejutlah Siluman Kecil….
Tidak
disangkanya bahwa mereka, terutama sekali Siauw-hong yang tak mau mengaku siapa
gurunya itu, ternyata adalah orang-orang yang benar-benar amat lihai, bukanlah
ahli-ahli silat sembarangan saja! Dan kini dia memandang dengan penuh perhatian
ilmu silat yang mukjijat dari Kang Swi, maklum bahwa pukulan-pukulan yang
mengandung hawa tajam bersuitan itu benar-benar amat berbahaya sekali. Dia
telah dapat menduga bahwa kalau dilanjutkan, selain Siauw-hong tentu kalah,
juga pukulan itu mungkin saja mencelakakan pengemis muda itu. Dia pasti tidak
akan mendiamkan saja kalau sampai Kang Swi mencelakai Siauw-hong dalam
pertandingan mengadu ilmu itu, pikirnya.
Perkiraan
Siluman Kecil memang tidak salah. Siauw-hong terkejut setengah mati ketika
melihat cara lawan menyerangnya. Hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bersuitan
itu dan ketika dia memberanikan diri menangkis dengan pengerahan sinkang,
lengan bajunya robek-robek bagai terbabat pedang dan kulit lengannya terluka
berdarah seperti disayat pisau tajam! Tentu saja dia meloncat ke belakang dan
menjura. “Saya mengaku kalah!”
Ho-nan
Ciu-lo-mo Wan Lok It yang tadi pun menonton pertandingan itu, merasa kagum dan
juga girang karena dua orang ini benar-benar patut untuk menjadi rekannya dan
menjadi pengawal-pengawal pribadi Gubernur Ho-nan karena kepandaian mereka
boleh diandalkan! Akan tetapi selagi dia ingin memanggil kedua orang itu untuk
menghadap gubernur, kelihatan ada orang meloncat naik ke atas panggung. Melihat
ini, Siauw-hong yang sudah merasa kalah itu segera mundur dan diajak turun oleh
Ho-nan Ciu-lo-mo yang mempersilakan dia menanti di bawah panggung.
Sementara
itu, ketika Kang Swi melihat siapa yang meloncat ke atas panggung untuk
menghadapinya, dia tersenyum lebar. “Aihh, kiranya badut sandiwara itu yang muncul!”
Dia mengejek, dan orang pincang yang gagu itu hanya memandang tajam, kemudian
dengan gerak tangan dia menantang.
Para
penonton yang berada di sekeliling panggung memandang heran, ada pula yang
tertawa. Bagaimana orang bercambang bauk yang baru datang ini demikian berani
mati? Mungkin juga pernah belajar ilmu silat, akan tetapi melihat bahwa dia
hanya seorang gagu dan seorang yang kakinya pincang pula, mana mungkin dapat
melawan pemuda tampan yang ternyata amat lihai itu?
Akan tetapi,
Kang Swi yang juga ingin sekali tahu sampai di mana kelihaian orang gagu dan
pincang yang dia duga menyamar itu, tanpa membuang waktu segera menyambut
tantangan dengan kata-kata nyaring, “Kau majulah!”
Si gagu
sudah menerjang dengan pukulan sembarangan. Akan tetapi, orang-orang yang
memiliki kepandaian tinggi dan yang berada di tempat itu, seperti Siauw-hong,
Kang Swi sendiri, Ciu-lo-mo, Siluman Kecil dan orang-orang lain terkejut karena
mereka ini maklum betapa di balik pukulan sembarangan itu tersembunyi hawa
pukulan yang amat kuat.
Kang Swi
yang menangkis pukulan itu segera mengetahuinya karena tangkisannya yang
dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang-nya ternyata bertemu dengan tenaga
sakti yang amat dahsyat dan yang membuat dia terhuyung! Marahlah pemuda tampan
ini. Sambil berteriak keras dia menerjang, langsung saja dia mengeluarkan ilmu
pukulan yang mengandung hawa tajam bersuitan tadi.
Akan tetapi
sekali ini dia sungguh-sungguh bertemu tanding. Biar pun si gagu itu tidak
mengeluarkan ilmu-ilmu tertentu yang dapat dikenal orang, melainkan hanya
bergerak sembarangan saja, bahkan gerakannya meniru gerakan lawan, namun tetap
saja Kang Swi menjadl kewalahan! Pukulan-pukulannya dengan mudah dapat
dielakkan atau ditangkis tanpa mengakibatkan apa-apa karena hawa pukulan
mukjijat yang tajam itu ternyata lenyap ditelan hawa pukulan dari lawannya,
bahkan beberapa kali dia dibuat terhuyung ke belakang, terpelanting ke samping
atau hampir jatuh terjerumus ke depan. Seolah-olah dia tidak berdaya dan
dipermainkan oleh serangkum tenaga dahsyat yang menguasainya.
Celakanya,
secara aneh sekali tenaga si gagu itu kadang-kadang mengandung hawa panas
membakar dan kadang-kadang dingin membekukan sehingga Kang Swi benar benar
menjadi bingung dan penasaran. Karena jelas bahwa dia kalah angin, dan betapa
pun dia mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya tetap
saja dia terdesak, dia merasa tersinggung kehormatannya, maka Kang Swi meraba
gagang pedangnya dengan maksud menggunakan senjatanya itu.
“Uh-uh-uhhh!”
terdengar si gagu berseru keras dan tiba-tiba saja Kang Swi terpelanting roboh,
dan dia hanya merasa betapa kakinya terangkat dan dia tidak dapat mencegah lagi
tubuhnya terpelanting!
Sorak-sorai
menyambut kemenangan si gagu ini. Akan tetapi Kang Swi menjadi amat marah. Dia
meloncat bangun dan hendak mencabut pedangnya, akan tetapi ternyata Ho-nan
Ciu-lo-mo telah berada di situ dan berkata, “Silakan Ji-wi ikut bersama kami
menghadap gubernur!” Dan ternyata Siauw-hong juga sudah diajak oleh Wan Lok It
ini. Sementara itu, Perwira Su Kiat mengumumkan bahwa kini telah terpilih tiga
orang yang dianggap patut menjadi pengawal-pengawal pribadi di istana gubernur,
yaitu yang pertama adalah si gagu, kedua adalah Kang Swi, dan ketiga adalah
Siauw-hong.
Para
penonton menyambut pengumuman ini dengan sorak-sorai memuji sedangkan tiga
orang yang dipilih itu sudah diajak menghadap gubernur dan berlutut di depan
Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam yang merasa girang memperoleh tiga orang yang
demikian gagah perkasa sehingga hal itu akan lebih memperkuat kedudukannya.
Sang gubernur segera memuji-muji mereka bertiga dan menyatakan bahwa hari itu
juga dia akan mengajak mereka bertiga kembali ke Lok-yang dan mereka itu
langsung saja bertugas sebagai pengawal-pengawal istananya.
Perwira Su
Kiat masih sibuk untuk mengadakan pemilihan calon-calon prajurit dan selagi
para penonton masih memenuhi tempat itu, diam-diam Siluman Kecil menyelinap di
antara banyak orang. Tidak ada orang yang menaruh curiga kepadanya. Siapa yang
akan mencurigai seorang kakek sederhana dan biasa saja, seorang kakek yang
menjadi seorang di antara ribuan orang penonton itu?
Siluman
Kecil melihat seorang yang pakaiannya penuh tambalan seperti pengemis
menyelinap di antara banyak penonton dan hatinya tertarik sekali. Pengemis yang
usianya setengah tua ini pakaiannya penuh tambalan, akan tetapi bersih. Serupa
benar dengan pakaian Siauw-hong sebelum pemuda itu berganti pakaian untuk
mengikuti sayembara, sewaktu Siauw-hong masih menjadi seorang pengemis muda
pula. Pakaian yang agaknya masih baru namun sudah penuh tambalan.
Lebih
tertarik lagi hatinya pada saat dia melihat betapa ada seorang kakek, agaknya
terus membayangi pengemis itu dan ternyata olehnya bahwa kakek ini adalah
Ho-nan Ciu-lo-mo yang sudah dikenalnya. Siapa yang tidak mengenal jagoan Ho-nan
itu? Tentu saja dia sudah mengenal baik Ho-nan Ciu-lo-mo, apa lagi pernah dia
menjadi tamu kehormatan Gubernur Ho-nan ketika dia membersihkan Ho-nan dari
para penjahat sehingga dia memperoleh kehormatan diterima sebagai tamu
kehormatan oleh gubernur dan dia sekalian menitipkan Phang Cui Lan kepada sang
gubernur.
Melihat
betapa Ciu-lo-mo membayangi atau lebih tepat mengejar pengemis setengah tua
itu, Siluman Kecil merasa tertarik sekali dan dia pun cepat membayangi mereka
berdua. Dan benar saja dugaannya. Ketika pengemis setengah tua itu telah keluar
dari pekarangan semacam alun-alun yang penuh dengan penonton itu, dan agaknya
dia maklum bahwa dia dibayangi oleh Ciu-lo-mo, pengemis itu lalu melarikan diri
dengan gerakan cepat sekali. Ciu-lo-mo juga cepat mengejarnya dan diam-diam
Siluman Kecil yang masih menyamar sebagai seorang kakek itu pun mengejar dari
jauh, ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan oleh Ciu-lo-mo terhadap
pengemis itu.
Suasana di
kota agak sunyi karena semua orang tertarik untuk menonton sayembara di depan
istana, maka pengemis itu yang berlari cepat dikejar oleh Ciu-lo-mo juga dapat
bergerak leluasa dan akhirnya yang berkejaran itu menuju ke pintu gerbang kota
di sebelah utara. Pengemis itu ternyata dapat berlari cepat sekali sehingga
sampai sekian lamanya belum juga Ciu-lo-mo mampu menyusulnya. Ketika melihat
betapa pengemis itu akan lolos melalui pintu gerbang, Ciu-lo-mo cepat
mengerahkan khikang-nya dan berteriak memberi perintah kepada para penjaga
pintu gerbang untuk menutupkan pintu gerbang.
“Tutup pintu
gerbang...! Jangan biarkan dia lolos...!” Suaranya menggema sampai jauh dan
para penjaga pintu gerbang dapat mengenali suara Ciu-lo-mo. Apa lagi ketika
para penjaga yang berjaga di menara pintu gerbang melihat dari atas betapa
Ciu-lo-mo datang berlari dari jauh mengejar seorang pengemis yang juga berlari
cepat sekali, mereka cepat-cepat memutar alat yang menggerakkan pintu gerbang
itu. Pintu besi yang amat tebal dan berat itu bergerak perlahan dari kanan
kiri, berderit-derit suaranya ketika bergerak di atas landasan besi.
Karena
tergesa-gesa didorong oleh perintah Ciu-lo-mo, maka empat orang sekaligus maju
memutar alat untuk menggerakkan daun pintu besi yang dua buah dan yang maju
dari kanan kiri itu. Dua buah daun pintu itu sudah hampir tertutup, tinggal dua
jengkal lagi ketika pengemis itu akhirnya tiba di sana. Empat orang penjaga
menghadangnya dengan tombak di tangan, akan tetapi dengan beberapa kali gerakan
kaki tangannya, empat orang penjaga itu terlempar ke kanan kiri dan pengemis
itu bagaikan burung terbang cepatnya sudah menerjang ke arah pintu yang masih
dua jengkal terbuka. Dia menggunakan kedua tangan menahan dua buah daun pintu.
Terjadilah
adu tenaga antara empat orang penjaga yang memutar alat penutup pintu dan si
pengemis. Empat orang itu mengerahkan seluruh tenaga untuk memutar alat yang
tiba-tiba macet itu, akan tetapi sia-sia belaka. Dua orang penjaga maju lagi
dan menyerang si pengemis yang mempertahankan daun pintu dengan golok, akan
tetapi dua kali kaki pengemis itu menendang dan dua orang penjaga itu terlempar
serta terbanting roboh. Kini pengemis itu mengeluarkan suara nyaring dan
tiba-tiba tubuhnya menyelinap melalui renggangan yang sebetulnya terlalu kecil
untuk dilalui tubuhnya itu. Ternyata dia telah mempergunakan ilmu Sia-kut-hoat
yang amat hebat sehingga dia dengan mudah dapat menerobos celah dua daun pintu
itu dan lolos ke luar dari pintu gerbang, tepat pada saat Ciu-lo-mo telah tiba
di situ.
“Tolol! Buka
pintu!” teriak Ciu-lo-mo ketika melihat daun pintu itu kini lantas tertutup
setelah tidak ditahan lagi oleh tangan pengemis.
Mendengar
bentakan ini, empat orang penjaga itu terkejut dan cepat memutar lagi alat
pembuka daun pintu. Ciu-lo-mo lalu menerobos keluar dan melanjutkan
pengejarannya. Para penjaga hanya melongo dan memandang dengan bingung ketika
mereka melihat seorang kakek lain cepat berlari keluar dari pintu gerbang,
tidak lama setelah Ciu-lo-mo lewat. Tentu saja kakek ini adalah Siluman Kecil
yang terus saja membayangi mereka berdua.
Setelah
keluar dari kota, kini pengemis itu berlari makin cepat lagi, akan tetapi
Ciu-lo-mo yang merasa penasaran mengejar secepatnya sehingga setelah tiba di
lereng bukit, dia hampir berhasil menyusul pengemis itu. Tiba-tiba pengemis itu
berhenti, mengeluarkan busur dan meluncurkan anak panah yang meletus ketika
melayang sampai di tempat yang tinggi. Itu adalah tanda rahasia dan tentu saja
Ciu-lo-mo menjadi makin curiga.
Kiranya
sekarang pengemis itu tidak lari lagi, bahkan menyambut kedatangan Ciu-lo-mo
dengan sikap tenang. Mereka berhadapan dan Ciu-lo-mo membentak, “Mata-mata
laknat! Engkau tentu seorang mata-mata, hayo cepat berlutut dan menyerah dengan
baik-baik dari pada harus kupaksa dengan kekerasan!”
“Setan Arak,
siapa yang takut kepadamu?” Pengemis setengah tua itu membentak.
“Mata-mata
hina!” Ho-nan Ciu-lo-mo marah sekali dan guci arak di tangannya langsung
menyambar ganas ke arah kepala pengemis itu.
Pengemis itu
cepat mengelak dan balas menyerang dengan sebuah tongkat pendek yang ujungnya
bercabang. Gerakannya gesit dan juga mengandung tenaga dahsyat maka cepat
Ciu-lo-mo menangkis dengan guci araknya.
Tenaga
mereka seimbang karena benturan dua macam senjata itu membuat keduanya
terjengkang akan tetapi tidak sampai roboh. Melihat hal ini, Ciu-lo-mo tentu
saja terkejut. Tak disangkanya bahwa pengemis itu demikian lihai, maka dia
cepat menubruk dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan guci arak dan dengan
tangan kirinya. Pengemis itu pun bergerak cepat, mengelak, menangkis dan balas
menyerang. Kini terjadilah pertandingan yang seru, dan dari balik sebuah pohon
yang besar, Siluman Kecil hanya menonton tanpa mencampuri pertandingan itu
karena dia pun tidak mengenal siapa adanya pengemis setengah tua yang cukup
lihai itu.
Tiba-tiba
Ciu-lo-mo mengeluarkan suara melengking nyaring dan guci araknya menyambar dari
bawah menghantam ke arah dada lawan. Serangan ini dahsyat sekali dan ketika
pengemis itu menggerakkan tongkatnya untuk menangkis, dia terkejut bukan main
melihat sinar keemasan menyambar ke arah mukanya. Itulah arak yang muncrat dari
dalam guci, yang merupakan senjata rahasia yang amat aneh dan berbahaya.
“Ahhhhh...!”
Pangemis itu menarik kepalanya ke belakang dan gerakan ini membuat tangkisannya
menjadi kurang tepat.
“Trakkkkk...!”
Tongkatnya
patah dan dia terlempar ke belakang. Akan tetapi dia cepat sudah meloncat
bangun dan melempar diri ke kiri sehingga terhindar dari pukulan maut yang
disusulkan oleh Ciu-lo-mo.
“Tahan...!”
Tiba-tiba terdengar bentakan halus.
Pada saat
itu Ciu-lo-mo kembali sudah menyerang, akan tetapi dia merasa betapa ada
serangkum hawa yang amat kuat mendorongnya dari samping membuat dia hampir
roboh dan cepat-cepat dia melompat ke belakang dengan kaget sekali, lalu
mengangkat muka memandang.
Ternyata
yang muncul adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah,
bersama seorang setengah tua yang juga bersikap gagah walau pun pakaian mereka
sederhana. Siluman Kecil yang mengintai dari balik pohon, tadi kagum bukan main
menyaksikan betapa kakek tua itu mendorong Ciu-lo-mo dari jarak cukup jauh
menggunakan tenaga sinkang yang amat hebat, dan dia mengenali kakek ini sebagai
kakek pembeli sepatu rumput dari nenek penjual sepatu rumput, kakek yang
memimpin rombongan beberapa orang. Dia lalu menduga-duga, siapa gerangan kakek
tua yang memiliki kepandaian tinggi ini.
Sementara
itu, Ciu-lo-mo terkejut bukan main ketika dia mengenal laki-laki setengah tua,
karena dia tahu bahwa laki-laki itu bukan lain adalah Panglima Souw Kee An,
komandan Pasukan Garuda yang dulu mengawal Pangeran Yung Hwa! Komandan yang
lolos ketika dikepung dan telah terjerumus ke dalam selokan air di bawah tanah.
Dan kini
komandan Souw Kee An datang bersama kakek tua yang kelihatan lihai ini, maka
tentu saja dia menjadi gentar. Menghadapi pengemis itu saja, dia sudah merasa
agak sukar memperoleh kemenangan, dan dia tahu bahwa kepandaian komandan Souw
itu juga tinggi, setidaknya berimbang dengan dia. Padahal kakek yang tadi
hampir merobohkannya dengan dorongan dari jarak jauh itu sudah jelas merupakan
lawan yang amat berat.
Ciu-lo-mo
tidak akan menjadi orang kepercayaan Gubernur Ho-nan kalau saja dia, di samping
kepandaiannya yang tinggi, tidak cerdik pula. Dia tahu bahwa menggunakan
kekerasan merupakan kebodohan, maka dia cepat menjura ke arah komandan Souw Kee
An dan menebalkan muka berkata ramah, “Ahhh, kiranya Souw-ciangkun yang datang!
Kalau Cu-wi ada keperluan dengan taijin, silakan menghadap selagi taijin masih
berada di Ceng-couw. Saya tadi mengejar dia karena sikapnya mencurigakan dan
saya mengira dia seorang mata-mata musuh.”
“Hemmm,
memang dia mata-mata yang kami suruh menyelidiki ke Ceng-couw!” Tiba tiba kakek
tinggi tegap yang gagah itu berkata, suaranya menggeledek dan penuh wibawa.
“Dan memang kami ingin bicara dengan Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam taijin. Akan
tetapi kami tidak sudi memasuki perangkap yang kalian pasang di Ceng-couw,
seperti yang telah kalian lakukan terhadap Pangeran Yung Hwa. Ciu-lo-mo, cepat
kau sampaikan kepada Gubernur Kui, kalau dia ingin damai, dia harus menemui
kami di sini, bukan di istananya. Kalau tidak, maka terpaksa kami akan
menghancurkan istananya dan menangkapnya sebagai seorang tawanan pemberontak!”
Biar pun dia
tidak berani memperlihatkan sikap secara berterang karena dia merasa
kedudukannya saat itu kalah kuat, namun di dalam hatinya Ciu-lo-mo mengejek
kata kata yang dianggapnya terlalu sombong ini. Tiga orang ini berada di
wilayah Propinsi Ho-nan, akan tetapi berani mengeluarkan kata-kata sesombong
itu!
Agaknya
kakek tua itu dapat juga membaca isi hati Ciu-lo-mo, maka mendadak dia
mengeluarkan suara menggereng seperti seekor singa marah. Suaranya terdengar
demikian keras sehingga bumi sekitar tempat itu seperti tergetar karenanya.
Siluman Kecil sendiri yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi menjadi
terkejut dan diam-diam dia kagum sekali, di dalam hati memuji kekuatan khikang
kakek ini yang ternyata mahir ilmu Sai-cu Ho-kang (Ilmu Auman Singa). Ilmu
seperti ini kalau dipergunakan untuk menyerang lawan, sekali mengaum saja cukup
untuk merobohkan lawan yang kurang kuat dan wibawanya melebihi singa tulen yang
kalau hendak menangkap mangsa didahului dengan auman yang cukup membikin
pingsan atau lumpuh binatang yang akan menjadi korbannya.
Ciu-lo-mo
juga kaget setengah mati, apa lagi ketika dia mendengar suara yang gegap
gempita, suara banyak sekali orang dari balik bukit. Keringat dingin membasahi
leher dan dahi jagoan Ho-nan itu karena dia mengerti apa artinya itu. Kiranya
kakek luar biasa ini bukan hanya datang sendirian, melainkan membawa bala
tentara yang entah berapa banyaknya!
“Di sana
terdapat selaksa prajurit pilihan yang sudah siap untuk menghancurkan daerah
ini dan menangkap Gubernur Ho-nan kalau dia tidak mau hadir di sini. Nah, cepat
kau pergilah!” kata kakek itu dengan sikap penuh wibawa kepada Ciu-lo-mo.
Ciu-lo-mo
bersikap hormat, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kakek ini dapat memimpin
pasukan yang begitu besar, tahu-tahu sudah memasuki Propinsi Ho-nan tanpa ada
penjaga tapal batas yang datang memberi kabar. Hal ini saja sudah membuktikan
bahwa kakek ini memang hebat luar biasa dan bahwa Propinsi Ho-nan terancam
bahaya hebat. Dia menjura dengan hormat dan berkata, “Baiklah, saya akan
menyampaikan pesan itu kepada Kui-taijin. Akan tetapi bolehkah saya mengetahui
siapa gerangan Locianpwe, agar saya dapat memperkenalkan kepada Kui-taijin?”
Kakek itu
tidak menjawab, bahkan memandang pun tidak kepada Ciu-lo-mo. Adalah komandan
Souw Kee An yang menjawab, “Ketahuilah olehmu, Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It.
Beliau ini adalah utusan yang dipercaya oleh Sri Baginda Kaisar untuk menuntut
pertanggungan jawab Gubernur Ho-nan atas peristiwa yang terjadi di Ho-nan tempo
hari. Dunia kang-ouw mengenal beliau sebagai Sai-cu Kai-ong (Raja Pengemis
Singa) dan secara tidak resmi seluruh perkumpulan kai-pang (persatuan kaum pengemis)
memujanya sebagai seorang pemimpin dan pengawas.”
Siapakah
sebenarnya kakek yang hebat ini? Memang kakek ini hanya terkenal di antara para
tokoh dunia pengemis saja, sungguh pun dia tidak pernah berpakaian pengemis.
Kakek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong dan dianggap sebagai raja oleh seluruh
pengemis yang bagaimana rendah sampai tinggi pun ini, dari yang lemah sampai
yang sakti ini, sebenarnya bernama Yu Kong Tek dan memang nenek moyangnya
dahulu merupakan tokoh-tokoh pengemis yang hebat-hebat. Yu Kong Tek ini masih
keturunan dari Yu Jin Tianglo, ketua perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang
yang amat terkenal di jaman Suling Emas!
Yu Jin
Tianglo mempunyai putera Yu Kang, kemudian Yu Kang mempunyai putera Yu Siang Ki
yang menikah dengan Song Goat puteri seorang berilmu yang berjuluk Si Raja Obat
(Yok-ong) dan kemudian suami isteri ini hidup sebagai orang-orang biasa dan
membuka sebuah toko obat. Biar pun Yu Siang Ki sudah tidak mengurus perkumpulan
pengemis, bahkan telah mengundurkan diri dari dunia pengemis, namun dia selalu
masih menghargai kedudukan nenek moyangnya. Oleh karena itu, turun-menurun
keluarga Yu ini masih menggunakan tradisi nenek moyang mereka, yaitu di waktu
muda mengembara sebagai seorang pengemis untuk menggembleng diri lahir batin!
Sampai
kepada Kakek Yu Kong Tek, tokoh ini pun tidak pernah melupakan tradisi nenek
moyangnya dan walau pun dia sekarang sebagai seorang kakek tidak lagi
berpakaian pengemis, namun dia memakai julukan pengemis, yaitu Sai-cu Kai-ong!
Dan biar pun dia tidak langsung menjadi raja pengemis, namun namanya dikenal
dan dihormati oleh seluruh kaum pengemis, dari anggota terkecil sampai dengan
para ketua perkumpulan yang berkepandaian tinggi.
Bagi para
pembaca yang telah membaca cerita Suling Emas dan cerita Mutiara Hitam, tentu
akan bertemu dengan nenek moyang Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek ini. Karena nenek
moyangnya di pihak ayah adalah seorang ahli silat yang sakti, sedangkan dari
pihak ibu adalah seorang ahli pengobatan, maka Yu Kong Tek ini selain mewarisi
ilmu silat tinggi, juga mahir ilmu pengobatan. Dia jarang muncul, namun
akhirnya dapat menjadi kepercayaan kaisar karena komandan Souw Kee An yang
memperkenalkan namanya kepada kaisar.
Semenjak
istana ditinggalkan oleh Puteri Milana, kaisar kehilangan orang kepercayaan
yang memiliki kesaktian, maka banyak ponggawa yang setia memperkenalkan banyak
orang-orang pandai, akan tetapi Sai-cu Kai-ong memperoleh kepercayan kaisar dan
dalam kesempatan ini kepandaian dan kesetiaan tokoh ini diuji oleh kaisar
dengan mengutusnya untuk membereskan kekacauan di Ho-nan.
Ho-nan
Ciu-lo-mo Wan Lok It tidak mengenal kakek ini. Tokoh Ho-nan berambut merah yang
lihai ini hanya pernah mendengar bahwa di kalangan para pengemis terdapat
seorang tokoh yang dijunjung tinggi dan dihormati oleh para pengemis, yang
besar sekali pengaruhnya secara turun-temurun dan ilmu silat keluarga tokoh ini
kabarnya amat hebat, bahkan menurut dongeng, tidak kalah hebatnya oleh ilmu
silat keluarga Suling Emas!
Menurut
dongeng yang didengarnya, antara keluarga tokoh pengemis itu dan keluarga
Suling Emas, dahulu, ratusan tahun yang lalu, memang terdapat hubungan yang
amat erat, bagai keluarga saja. Seperti dikabarkan orang, ilmu keluarga Suling
Emas katanya terjatuh ke tangan keluarga Pulau Es, dan ilmu keluarga pengemis
aneh itu entah terjatuh ke tangan siapa. Apakah benar kakek ini keturunan dari
keluarga pengemis aneh itu? Hatinya penuh ketegangan dan setelah memberi hormat
dan berjanji akan menyampaikan semua kepada majikannya, Ciu-lo-mo lalu pergi
meninggalkan mereka.
Setelah
jagoan Ho-nan yang berambut kemerahan dan membawa guci arak itu pergi, pengemis
setengah tua yang tadi bertanding melawan Ciu-lo-mo segera melangkah maju dan
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek gagah itu. “Suhu!”
Kakek yang
berjuluk Sai-cu Kai-ong itu memandang muridnya dan bertanya, “Bagai mana hasil
penyelidikanmu?”
Pengemis
setengah tua itu adalah murid pertama dari Sai-cu Kai-ong dan dia pun hanya
menggunakan nama julukan saja, sungguh pun dia masih memperkenalkan she-nya (nama
keturunannya), yaitu she Gu. Dia berjuluk Gu Sin-kai (Pengemis Sakti she Gu).
Mendengar pertanyaan gurunya, Gu Sin-kai kemudian menceritakan tentang
pemilihan pengawal yang diadakan oleh Gubernur Ho-nan, sampai dia dicurigai dan
dikejar oleh Ho-nan Ciu-lo-mo tadi.
“Selain itu,
teecu juga melihat suatu keanehan luar biasa, Suhu,” sambungnya. “Teecu melihat
sute, akan tetapi sungguh mengherankan, teecu melihat bahwa sute memasuki
sayembara pula dan dia berhasil dipilih sebagai pengawal gubernur tingkat
ketiga, yaitu sesudah seorang pincang gagu dan seorang kongcu yang tampan.”
Dia kemudian
menceritakan jalannya pertandingan pemilihan pengawal itu, dan Sai-cu Kai-ong
mengerutkan alisnya yang tebal.
“Ahhhhh...!
Memang telah kuberitahukan bahwa dia telah tamat belajar dan dia sudah bebas
untuk menjadi pengemis atau orang biasa, akan tetapi sungguh tidak kuduga
mengapa dia mengangkat diri menjadi pengawal Gubernur Ho-nan yang tersesat
itu!”
Siluman Kecil
yang masih mengintai dan terus mendengarkan menjadi maklum bahwa ternyata
Sai-cu Kai-ong yang gagah perkasa itu adalah guru dari Siauw-hong! Maka dia
merasa tidak enak untuk mengintai terus, apa lagi ketika guru dan murid itu
mulai membicarakan urusan mereka sendiri. Dia tidak perlu mendengarkan terus
karena bagi dia masih banyak urusan menanti, yaitu mencari nenek pencuri dan
kemudian mencari pencuri kitab-kitab pusaka Suling Emas. Maka keluarlah Siluman
Kecil dari tempatnya bersembunyi dan dia berjalan pergi.
“Eh, apakah
dia itu temanmu?” Tiba-tiba Sai-cu Kai-ong bertanya kepada Gu Sin-kai.
“Teecu tidak
mengenal dia, tidak tahu pula bahwa dia berada di sini.”
“Ahhh...!”
Sai-cu Kai-ong mengeluarkan suara gerengan seperti singa dan tahu-tahu tubuhnya
mencelat ke depan.
Karena dia
menaruh curiga kepada kakek yang diam-diam menyelinap pergi dari tempat
persembunyiannya itu, langsung saja Sai-cu Kai-ong mengulurkan tangannya hendak
mencengkeram pundak Siluman Kecil dan menangkapnya untuk diperiksa. Dia sedang
memimpin pasukan dengan tugas amat penting dari kaisar, maka tentu saja kakek
sakti itu harus bersikap waspada terhadap semua gerak-gerik musuh yang mungkin
sudah menyebar banyak mata-mata, dan di antaranya barangkali adalah kakek yang
hendak ditangkapnya itu.
“Wuuuttttt...!”
Tangan Sai-cu Kai-ong seperti cakar singa yang menyambar, cepat dan kuat bukan
main menuju ke pundak kiri Siluman Kecil.
“Plakkkkk!”
Tanpa
menoleh, Siluman Kecil menggerakkan tangannya menangkis sehingga kedua tangan
bertemu di udara. Keduanya tergetar dan Sai-cu Kai-ong yang tubuhnya masih
melayang tadi, cepat berjungkir-balik dan turun ke atas tanah dengan mata
terbelalak lebar! Sungguh tidak disangkanya bahwa orang itu mampu menangkis
cengkeramannya dan bukan hanya mampu, bahkan dia merasa betapa lengannya
tergetar hebat! Juga Siluman Kecil merasa lengannya tergetar, tanda bahwa
Sai-cu Kai-ong memang benar seorang sakti yang memiliki sinkang kuat sekali.
Sai-cu
Kai-ong makin curiga. Orang yang dapat menangkis dengan kekuatan seperti itu,
malah agaknya jauh lebih kuat dari pada Ciu-lo-mo tadi, tentulah seorang yang
benar benar merupakan mata-mata pilihan dari Gubernur Ho-nan dan merupakan
bahaya bagi tugasnya. Maka dengan cepat dia sudah menerjang lagi, kini menambah
tenaga dalam gerakan tangannya. Di lain pihak, ketika tadi dia merasakan betapa
lengannya sendiri tergetar hebat dalam pertemuan tangan tadi, Siluman Kecil
menjadi gembira dan ingin sekali dia menguji kehebatan guru Siauw-hong itu.
Maka ketika melihat kakek gagah itu menyerang dengan cepat dan kuat, dia pun
segera bergerak mengelak dan lalu balas menyerang tidak kalah hebatnya.
“Plakkk!
Plakkk!” Kembali ada pertemuan tenaga yang dahsyat melalui dua pasang telapak
tangan dan keduanya terdorong mundur.
“Uhhhh...!”
Sai-cu Kai-ong makin penasaran, mendengus keras dan menyerang lagi. Akan
tetapi, Siluman Kecil sudah lenyap dari depannya seperti setan dan tahu-tahu
telah menyerangnya dari atas, mencengkeram ke arah batok kepalanya.
“Hebat...!”
Sai-cu
Kai-ong menggerakkan tubuhnya miring dan tangannya menyambar, yang dapat
ditangkis oleh Siluman Kecil yang selanjutnya mengeluarkan ilmunya yang
mukjijat, yaitu gerakan yang amat cepat seperti berkelebatnya kilat, seperti
seekor burung yang beterbangan ke sana-sini dengan kecepatan yang menakjubkan.
Namun, dia harus mengakui puka bahwa daya tahan kakek itu pun hebat sekali
sehingga setelah dia berkelebatan dan bertanding sampai lima puluh jurus,
barulah dia berhasil melubangi ujung lengan baju kakek itu.
“Bukan
main...!” Sai-cu Kai-ong melompat ke belakang dan memeriksa lengan bajunya yang
sudah bolong!
Kalau tidak
menghadapinya sendiri tentu dia takkan percaya. Meski hanya merupakan kekalahan
tipis saja, akan tetapi ternyata bahwa kakek di depannya ini sudah dapat
mengalahkannya! Sungguh sukar dipercaya.
Tidak
mungkin kiranya kalau Gubernur Ho-nan memiliki mata-mata yang seperti itu
kepandaiannya, sedangkan orang kepercayaan gubernur itu saja, si Ciu-lo-mo,
tingkat kepandaiannya baru setingkat dengan muridnya, Gu Sin-kai. Dan di lain
pihak, Siluman Kecil juga kagum karena kembali dia dapat bertemu dengan seorang
yang sakti! Kalau mereka berdua bertanding sungguh-sungguh, dia masih belum
dapat memastikan apakah dia akan dapat mengalahkan kakek ini dengan mudah. Maka
kini dia merasa ragu-ragu untuk maju, hanya menanti gerakan lawannya.
“Sabar,
tahan dulu! Siapakah engkau dan mengapa engkau mengintai di sini?” tanya Sai-cu
Kai-ong sambil memandang kakek di depannya itu penuh perhatian.
Siluman
Kecil menjura dan menjawab, “Maaf, saya tidak sengaja mencampuri urusan
Locianpwe. Saya kebetulan lewat, hanya orang lewat biasa saja... maaf.” Siluman
Kecil menjura lagi dan memutar tubuhnya hendak pergi dari situ.
“Sahabat
yang baik, tunggu dulu!” Sai-cu Kai-ong berseru. Kakek ini sungguh luar biasa,
pikirnya, berwatak demikian sederhana dan merendah, kepandaiannya begitu tinggi
namun masih menyebut dia ‘locianpwe’.
“Setelah
kita bertemu di sini, setelah tanpa disengaja kita saling menguji kepandaian,
apakah sahabat menganggap saya masih terlalu rendah untuk dijadikan kenalan?
Saya disebut orang Sai-cu Kai-ong dan saya merasa kagum sekali kepadamu yang
memiliki kepandaian hebat. Bolehkan saya mengetahui namamu yang terhormat?”
Siluman
Kecil menggeleng kepalanya yang penuh rambut putih menutupi mukanya yang
keriputan. “Saya tidak bernama...saya tidak mempunyai nama...“
Sai-cu
Kai-ong tidak merasa heran mendengar ini. Dia maklum bahwa makin tinggi
kepandaian orang, makin seganlah dia memperkenalkan namanya. Dia sendiri pun
tidak pernah menyebutkan namanya sendiri dan membiarkan orang lain
menamakannya. Tidak pernah nama aslinya, yaitu Yu Kong Tek, dikenal orang.
“Sahabat
yang baik, biar pun engkau tidak sudi memperkenalkan nama, akan tetapi dengan
hormat saya mengundangmu untuk menemani kami. Harap saja engkau orang tua tidak
akan menolak undangan kami.”
Siluman Kecil
sebetulnya tidak suka untuk berkenalan dengan orang banyak. Akan tetapi,
mendengar tentang urusan Pangeran Yung Hwa tadi, dia merasa tertarik sekali dan
sebetulnya ingin juga dia mengetahui bagaimana perkembangan urusan yang
menyangkut diri pangeran itu, maka tanpa banyak cakap dia lalu mengangguk.
Sai-cu Kai-ong girang sekali dan dia lalu bersama Siluman Kecil, diiringkan
oleh Gu Sin-kai dan Panglima Souw Kee An, kembali ke perkemahan para pasukan di
balik bukit, di mana dia menjamu Siluman Kecil dan bercakap-cakap tentang ilmu
silat.
Makin
gembiralah hati Sai-cu Kai-ong mendengar betapa tamunya itu ternyata luas
sekali pengetahuannya tentang ilmu silat. Sebaliknya, Siluman Kecil terkejut
ketika mendengar pengakuan tuan rumah bahwa kakek gagah itu ternyata adalah
keturunan dari para pendiri Khong-sim Kai-pang dan nenek moyangnya menjadi
sahabat-sahabat baik dari keturunan Pendekar Sakti Suling Emas! Siluman Kecil
mendengarkan pula penuturan tentang lenyapnya Pangeran Yung Hwa yang tadinya
menjadi utusan kaisar, lenyap pada saat terjadi keributan besar di taman bunga
istana Gubernur Ho-nan. Yang menceritakan urusan ini adalah Perwira Souw Kee
An.
Menjelang
sore hari itu, penjaga melaporkan bahwa di kejauhan muncul kurang lebih seribu
orang prajurit dari Ho-nan dan utusan pasukan itu datang menyampaikan berita
bahwa Gubernur Ho-nan telah datang untuk menemui pimpinan pasukan kota raja
yang diutus oleh kaisar dan ingin bicara! Mendengar ini, Sai-cu Kai-ong
mengangguk-angguk.
“Baik sekali
kalau dia datang bicara,” katanya di hadapan Siluman Kecil, Souw Kee An, dan Gu
Sin-kai. “Aku pun tidak akan merasa senang kalau harus menggempur Ho-nan dan
mengorbankan banyak prajurit dan rakyat yang tidak berdosa.” Kakek gagah ini
lalu memerintahkan penjaga untuk membawa utusan pasukan gubernur itu menghadap.
Setelah
prajurit yang bermuka pucat itu menghadap, Sai-cu Kai-ong kemudian berkata,
“Sampaikan kepada Gubernur Kui Cu Kam, bahkan saya akan menantinya di puncak
bukit, dan saya mempersilakan dia datang tanpa pasukan, hanya bersama satu
orang pengawal saja. Pergilah!”
Prajurit itu
pergi dan Sai-cu Kai-ong berkata, “Sahabat yang baik, sekarang aku minta
kepadamu untuk menemaniku menemui gubernur.”
“Baik,
Kai-ong,” jawab Siluman Kecil. “Saya pun ingin sekali mendengar bagaimana nasib
pangeran itu.” Siluman Kecil kini menyebut tuan rumah itu Kai-ong, karena
Sai-cu Kai-ong menolak ketika disebutnya locianpwe. Sedangkan Saicu Kai-ong
hanya menyebut Siluman Kecil ‘sahabat’ saja karena Siluman Kecil masih tetap
berkeras tidak mau memperkenalkan namanya.
Berangkatlah
dua orang itu ke puncak bukit. Dan mereka melihat bahwa dari depan, ada dua
orang pula yang mendaki puncak bukit kecil itu dan ternyata mereka itu adalah
Gubernur Kui Cu Kam sendiri yang dikawal oleh seorang kakek yang bertubuh
tinggi besar seperti raksasa, kepalanya botak, mantelnya lebar dan berwarna
merah darah, dan mulutnya selalu menyeringai lebar dengan lagaknya yang
congkak. Orang ini bukan lain adalah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal yang
telah bersekutu dengan Gubernur Ho-nan!
Setelah
empat orang ini saling berjumpa di puncak bukit itu, mereka tidak saling
memberi hormat, melainkan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik. Akhirnya,
Gubernur Ho-nan bertanya, “Menurut pelaporan Ciu-lo-mo, engkau mengundang kami
datang ke sini. Apakah urusannya?”
Dari
suaranya, jelas bahwa gubernur ini marah sekali karena sesungguhnya dia datang
dengan terpaksa karena khawatir mendengar ancaman itu, bahwa kalau dia tidak
mau datang maka Ho-nan akan diserbu. Menurut para penyelidiknya, memang ada
sepuluh ribu orang prajurit kota raja siap di balik puncak bukit ini!
Sai-cu
Kai-ong mengangguk dan berkata, “Gubernur Kui Cu Kam, kami memenuhi perintah kaisar
untuk menuntut agar engkau suka membebaskan Pangeran Yung Hwa dan memberi
penjelasan akan sikapmu yang tidak layak itu!”
Suara Sai-cu
Kai-ong menggeledek dan muka gubernur itu menjadi agak pucat. Akan tetapi, Ban
Hwa Sengjin hanya tersenyum mengejek dan memandang rendah, bahkan dia
menggerak-gerakkan kakinya untuk menghilangkan lumpur dari bawah sepatunya pada
sebongkah batu karang. Nampak bunga api berpijar ketika bawah sepatunya bertemu
dengan batu karang dan ujung batu karang itu pun hancur lebur oleh injakan
sepatunya yang dilapis tapal baja! Tentu saja suara tapal baja mengenai batu
karang itu nyaring dan mengganggu dan memang inilah yang dimaksudkan oleh Ban
Hwa Sengjin untuk memperlihatkan sikap bahwa dia sama sekali tidak memandang
sebelah mata kepada dua orang kakek di depannya itu.
Gubernur Kui
tersenyum dan matanya yang sipit menyambar penuh kecerdikan. “Kalau memang
manusia she Hok dari Ho-pei itu sudah mengadu ke sana, penjelasan dari kami apa
lagi artinya? Tentu keadaan yang sebenarnya sudah diputar balikkan oleh orang
she Hok Gubernur Hopei itu. Di antara dia dan kami memang sudah lama ada
pertikaian mengenai wilayah di perbatasan, dan pertikaian itu lalu meletus
ketika dia mengantar Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar. Keributan antara
dia dan kami serta para pembantu kami kedua pihak tak dapat dicegah lagi. Sudah
tentu saja dia memutar balikkan kenyataan dan mendongeng di kota raja bahwa
pihak kami sengaja hendak mencelakakan Pangeran Yung Hwa. Padahal, pihak orang
she Hok itulah yang sengaja memancing timbulnya keributan di taman istana kami
agar dapat menggunakan sebagai bahan fitnah.”
Sai-cu
Kai-ong mengerutkan alisnya. Dia pribadi tentu saja tidak akan berpihak kepada
Gubernur Ho-nan ini atau kepada Gubernur Ho-pei, dan dia tidak pula mengetahui
apa urusannya antara mereka berdua. Tetapi sebagai utusan, ia hanya akan
melaksanakan apa yang menjadi tugasnya.
“Gubernur
Kui, penjelasanmu tentu akan kami sampaikan kepada Sri Baginda Kaisar.
Sekarang, kami harap engkau suka membebaskan Pangeran Yung Hwa agar beliau
dapat kembali ke kota raja bersama kami.”
Gubernur itu
kembali tersenyum, lalu berkata dengan lantang, “Anggapan bahwa kami menangkap
Pangeran Yung Hwa tentu timbul oleh karena fitnah yang dilontarkan oleh
Gubernur Ho-pei itu. Padahal, kami hanya melindungi Pangeran Yung Hwa karena
kami tahu bahwa pihak Ho-pei tentu berusaha sekuat mungkin untuk dapat membunuh
pangeran itu sehingga kemudian kami pula yang akan dituduh sebagai pembunuhnya.
Pangeran Yung Hwa kami lindungi dan dalam keadaan selamat. Tentu akan kami
bebaskan dan setelah mendengar perjelasan kami ini, maka pengiriman pasukan
dari kota raja itu sungguh tidak pada tempatnya dan harap sekarang juga ditarik
mundur kembali.”
“Hemmm,
mudah saja menarik mundur pasukan. Akan tetapi saya hanya akan menarik mundur
pasukan kalau sudah melihat Pangeran Yung Hwa dibebaskan dan berada di antara
kami.”
“Orang tua
yang tinggi hati! Kami dengar bahwa engkau bukanlah seorang panglima, dan
menurut Ciu-lo-mo, engkau hanyalah seorang kang-ouw yang mempunyai julukan
Sai-cu Kai-ong.”
“Memang
benar demikian,” jawab kakek itu tenang.
“Mengapa
orang seperti engkau tidak mempercayai kami?” bentak gubernur itu, marah bukan
main bahwa seorang ‘raja pengemis’ saja berani tidak percaya kepadanya.
“Tidak ada
soal percaya atau tidak percaya, Kui-taijin. Kami hanya menjalankan tugas yang
akan kami pertahankan sampai detik terakhir. Kami ulangi bahwa kami baru akan
menarik mundur pasukan kalau Pangeran Yung Hwa sudah diserahkan kepada kami.”
Gubernur itu
menoleh kepada Ban Hwa Sengjin dan sampai beberapa lamanya mereka bertemu
pandang, kemudian Gubernur Kui berkata, “Baiklah, kau tunggu saja. Besok akan
kami bebaskan Pangeran Yung Hwa. Hari sudah mulai gelap, kami akan kembali
dulu.”
Setelah berkata
demikian, gubernur itu mengangguk kepada Ban Hwa Sengjin. Koksu dari Nepal yang
bertubuh seperti raksasa itu lalu memondong tubuh Gubernur Kui, lalu dia
berlari cepat sekali menuruni bukit itu. Gerakannya gesit dan larinya seperti
terbang saja.
“Hemmm,
raksasa itu lihai sekali dan gubernur itu amat cerdik,” kata Sai-cu Kai-ong dan
Siluman Kecil mengangguk.
“Saya kira
juga ada sesuatu yang direncanakannya,” kata Siluman Kecil.
Sai-cu
Kai-ong mengajak Siluman Kecil kembali ke perkemahan dan dia mengadakan rapat
kilat di antara para pembantunya. Semua pembantunya juga menyatakan rasa curiga
mereka terhadap Gubernur Kui, maka akhirnya diambil keputusan bahwa Sai-cu
Kai-ong sendiri, dibantu oleh Gu Sin-kai, pergi menyelidiki ke istana Gubernur
Kui di Lok-yang dan atas permintaan Sai-cu Kai-ong, Siluman Kecil mau juga
menemani mereka. Berangkatlah mereka bertiga pada malam hari itu juga menuju ke
Lok-yang.
***************
Malam itu
suasana sangat sunyi di istana gubernuran di kota Lok-yang. Karena menurut
keterangan dari Ho-nan Ciu-lo-mo bahwa Gubernur Kui sedang sibuk dengan urusan
penting dan belum sempat berbicara dengan tiga orang jagoan yang terpilih
sebagai pengawal-pengawal pribadi, maka tiga orang yang memenangkan sayembara
yang diadakan di Ceng-couw itu kini diserahi tugas menjaga keamanan di istana
gubernuran, ditemani oleh Ciu-lo-mo sendiri.
Seperti
diceritakan di bagian depan, yang memang dalam pertandingan itu adalah tiga
orang, yaitu pertama adalah laki-laki pincang yang gagu, yang kedua adalah Kang
Swi pemuda royal itu, dan ketiga adalah Siauw-hong, yaitu pengemis muda yang
tadinya menjadi tukang kuda dari Kang Swi. Setelah menang dalam sayembara, Kang
Swi lalu memberikan keempat ekor kudanya kepada A-cun, kacungnya itu, dan lalu
menyuruh kacungnya itu pergi.
Kang Swi
yang berwatak ugal-ugalan dan manja, juga agak angkuh itu, masih merasa
penasaran karena dia hanya jatuh nomor dua, dinyatakan kalah oleh si pincang
gagu! Padahal, siapakah si gagu itu? Orang yang sama sekali tidak punya nama!
Benar-benar tidak punya nama karena si gagu itu tidak bisa menjawab ketika
ditanyai namanya, dan ketika disuruh tuliskan namanya, dia menggeleng-geleng
kepala dan menggoyang goyangkan tangannya sebagai tanda bahwa dia tak dapat
menulis. Pincang, gagu, dan buta huruf! Akan tetapi toh dianggap pengawal nomor
satu dan dia berada di bawahnya!
Karena malam
itu sunyi dan mereka menanti berita dari gubernur, maka mereka merasa kesal
juga. Setelah makan malam, Ciu-lo-mo lalu mengajak mereka bermain kartu. Akan
tetapi, dalam permainan ini pun si gagu amat bodoh dan sukar diajari sehingga
Kang Swi merasa makin tidak senang.
“Aku berani
bertaruh bahwa kumismu itu palsu, Gagu!” katanya.
Karena tidak
punya nama, maka laki-laki pincang gagu yang menjadi yang nomor satu atau juara
di antara tiga pengawal baru yang terpilih itu, disebut Gagu. Dan si Gagu ini
biar pun tidak pandai bicara, rupanya dapat mengerti semua kata-kata orang yang
ditujukan kepadanya. Akan tetapi ternyata orangnya pendiam, sabar dan sama sekali
tidak mau melayani terhadap goda-godaan dan gangguan-gangguan dari Kang Swi.
“Kang-sicu,
harap kau suka hentikan godaan-godaanmu itu. Jangan sampai dia menjadi marah
dan terjadi keributan antara engkau dan dia,” Ciu-lo-mo akhirnya menegur Kang
Swi yang terus-menerus menggoda Gagu.
“Hemmm,
kalau dia marah aku pun tidak takut,” kata Kang Swi.
“Bukan soal
takut, akan tetapi kalau sampai terjadi keributan di sini, bukankah hal itu
tidak baik sekali?” Ciu-lo-mo menasehatinya.
Akan tetapi,
di dalam hatinya Kang Swi masih merasa penasaran dan marah karena dikalahkan
oleh orang gagu dan pincang ini, maka dia tetap saja membantah. “Mana dia
berani ribut-ribut? Akan kubuka kedoknya kalau dia ribut-ribut. Dia ini orang
palsu, entah darimana dia. Kalau dia berani ribut, akan kuajak keluar dia dan
dalam pertandingan sungguh-sungguh, tentu pedangku mampu membuka kedoknya!”
Ciu-lo-mo
mengerutkan alisnya dan tiba-tiba si gagu menggebrak meja, lalu bangkit berdiri
dan meninggalkan mereka bertiga. Kang Swi juga bangkit, akan tetapi Ciu-lo-mo
berkata, “Kang-sicu, harap kau jangan mencari keributan di sini. Biarlah dia
sendiri dan jangan mengganggu lagi!” Suaranya mulai terdengar keras hingga mau
tidak mau Kang Swi menengok kepadanya.
“Apa yang
dikatakan oleh Ciu-lo-mo memang benar, Kang-kongcu. Sebagai pengawal pengawal
baru, sungguh tidak baik kalau membuat ribut-ribut. Kalau nanti taijin datang
dan mendengar bahwa antara engkau dan si Gagu terjadi keributan, tentu beliau
menjadi marah,” Siauw-hong juga membujuk Kang Swi.
Pemuda
tampan ini mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, seolah-olah dia tidak
takut akan semua akibatnya, akan tetapi akhirnya dia duduk kembali dan mereka
bertiga melanjutkan permainan mereka tanpa mempedulikan si Gagu yang kelihatan
berjalan-jalan perlahan seperti orang yang sedang meronda, memandang ke
sana-sini dengan penuh perhatian. Ketika Ciu-lo-mo menoleh kepadanya, si Gagu
lalu memberi isyarat dengan kedua tangannya bahwa dia hendak meronda dan
berkeliling memeriksa istana itu untuk menjaga keamanan. Ciu-lo-mo dapat
mengerti maksudnya, maka untuk mencegah agar jangan sampai si Gagu itu digoda
terus oleh pemuda she Kang itu, dia mengangguk memberi ijin.
Mula-mula si
Gagu meronda di dekat sekitar tempat itu dan masih kelihatan oleh tiga orang
pengawal yang bermain kartu, akan tetapi ketika dia mendapat kenyataan bahwa
dirinya tidak lagi diperhatikan oleh tiga orang yang makin asyik bermain kartu
setelah tidak ada gangguan dari si Gagu yang kurang pandai bermain, si Gagu
menyelinap dan masuk ke bagian belakang dari istana itu. Dan begitu dia
menyelinap masuk dan tidak nampak lagi oleh tiga orang itu, tiba-tiba tubuhnya
berkelebat dan dengan kecepatan luar biasa dia telah meloncat ke dalam taman
dan mencari-cari! Agaknya dia tidak asing dengan tempat itu, buktinya dia
berlari ke sana-sini dengan cepatnya dan akhirnya tibalah dia di tempat tahanan
yang tersembunyi, yaitu di bagian ujung belakang istana. Dia melihat enam orang
prajurit pengawal berjaga di luar sebuah kamar sambil bercakap-cakap. Si Gagu
lalu keluar dari tempat sembunyinya, dan berjalan seenaknya menghampiri mereka.
Ketika
melihat si Gagu, enam orang prajurit itu lalu cepat berdiri dan memberi hormat.
Mereka tentu saja sudah mengenal si Gagu yang telah diperkenalkan kepada semua
pasukan pengawal, bahkan tiga orang pengawal pribadi gubernur yang baru itu
tadi menjadi bahan percakapan mereka, terutama si Gagu ini yang membuat mereka
amat merasa kagum sekali. Pincang, gagu dan kabarnya buta huruf, akan tetapi
memiliki kepandaian yang amat tinggi sehingga dapat mengalahkan semua peserta
sayembara. Bahkan mereka mendengar bahwa tingkat kepandaian si Gagu ini kiranya
masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Ciu-lo-mo sendiri.
“Selamat
malam, Ciangkun!” kata mereka serentak, bingung harus menyebut apa kepada si
Gagu yang tak bernama ini.
Si Gagu
mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar, kemudian dengan tangannya dia
menuding ke arah kamar dan menunjuk dada sendiri, lalu menunjuk dua orang di
antara mereka. Dengan jelas dia memberi isyarat bahwa dia ingin memeriksa kamar
itu dan minta agar ditemani oleh dua orang di antara mereka. Mereka saling
pandang dengan ragu-ragu, akan tetapi karena si Gagu ini adalah orang baru yang
menjadi pengawal pribadi gubernur, mereka tentu saja tidak berani membantah,
apa lagi ada mereka di situ, dan si Gagu minta diantar oleh dua orang. Dua
orang pengawal lalu mengantarnya membuka pintu kamar dengan kunci dan masuklah
mereka bertiga.
Ternyata
Pangeran Yung Hwa yang berada di dalam kamar itu, kamar yang cukup mewah dan
indah, dan pangeran itu kelihatan sehat-sehat saja, bahkan ketika mereka
memasuki kamar itu, pangeran yang muda itu sedang asyik membaca kitab. Ketika
mendengar pintu dibuka, dia menoleh dan memandang tiga orang yang masuk itu
dengan alis berkerut, kemudian Pangeran Yung Hwa membentak, “Mau apa kalian?
Berani sekali masuk tanpa kupanggil!”
Dua orang
pengawal itu menjura dengan hormat sekali. “Harap Paduka maafkan, Pangeran.
Perwira... ehhh, Gagu yang baru saja diangkat menjadi pengawal ini...“
Tiba-tiba
orang itu menghentikan kata-katanya karena pada saat itu, berbareng dengan
temannya dia sudah roboh pingsan karena ditotok dengan jari-jari tangan si Gagu
di arah tengkuk mereka. Si Gagu cepat menyambar tubuh mereka agar tidak roboh.
Pangeran
Yung Hwa tentu saja terkejut sekali, tetapi tiba-tiba orang yang dinamakan Gagu
itu berkata lirih kepadanya, “Harap Paduka tenang saja, Pangeran. Saya datang
untuk menolong Paduka keluar dari tempat tahanan ini.”
Ternyata si
Gagu itu sama sekali tidak gagu! Bahkan dia dapat bicara dengan halus sekali.
“Akan
tetapi...“ Pangeran Yung Hwa berkata dengan mata terbelalak, bingung dan juga
curiga.
“Sssttttt...“
Si Gagu itu memberi tanda dengan jari di depan bibir, kemudian dia berjalan ke
pintu, membuka pintu sedikit dan memberi isyarat kepada para penjaga di luar
pintu agar dua di antara mereka masuk.
Dua orang
pengawal bergegas masuk, tetapi begitu mereka sampai di dalam, sebelum mereka
sempat berteriak, mereka sudah roboh oleh totokan si Gagu yang amat lihai.
Kembali dia menjenguk keluar pintu dan dua orang penjaga lainnya dipanggilnya
masuk dengan isyarat tangan, dan mereka ini pun dirobohkannya. Enam orang
pengawal itu roboh semua dalam keadaan pingsan tertotok!
“Apa artinya
ini?” Pangeran Yung Hwa bertanya sambil berdiri tegak dan memandang tajam
kepada orang yang tidak dikenalnya itu.
“Maaf,
Pangeran. Kiranya tidak banyak waktu untuk memberi penjelasan. Akan tetapi saya
datang untuk membebaskan Paduka...“
“Ahh, akan
tetapi aku tidak ditahan! Aku malah dilindungi di sini.”
Si Gagu
menjadi terkejut dan memandang heran. “Dilindungi?”
“Benar,
Gubernur Ho-nan telah menyelamatkan aku dan melindungi aku dari ancaman
Gubernur Ho-pei yang hendak memberontak! Aku tidak diperbolehkan kembali karena
khawatir kalau tertimpa bencana, bahkan katanya sampai sekarang orang-orangnya
Gubernur Ho-pei masih mencari-cariku. Dan kau... jangan-jangan... kau...“ Pangeran
itu memandang tajam penuh kekhawatiran.
“Ahh, Paduka
telah kena ditipu! Gubernur Ho-nan itulah yang akan memberontak! Saya
mengalaminya sendiri, juga Gubernur Ho-pei hampir saja tewas! Percayalah kepada
saya, Paduka, dan mari kita lari selagi masih ada waktu.”
“Hemmm,
engkau orang aneh, aku tidak mengenalmu, akan tetapi... memang aku juga selalu
curiga kepada Gubernur Ho-nan. Katanya aku selalu dilindungi dan dijaga, akan
tetapi aku dilarang keluar dari kamar, seperti orang tahanan saja.”
“Memang Paduka
ditawan..., marilah...“ Si Gagu lalu menggandeng tangan Pangeran Yung Hwa
diajak lari keluar dari dalam kamar itu. Dengan cepat dia mengajak pangeran itu
ke ruangan dalam dan dia mencari-cari jalan keluar yang paling aman.
“Sebaiknya
kalau saya menyelidiki dulu keadaan di luar… harap Paduka menunggu...“ bisiknya
dan dia lalu menghampiri jendela ruangan itu, menjenguk ke luar untuk melihat
keadaan. Kemudian perlahan-lahan dia membuka pintu ruangan itu untuk meneliti
keadaan di luar.
“Wuuuttttt...!”
Terkejutlah
si Gagu ketika dia melihat ada bayangan orang menyambar turun dari atas genteng
dan tahu-tahu orang itu telah tiba di depan pintu ruangan. Orang ini adalah
seorang pengemis setengah tua. Si Gagu terkejut sekali melihat munculnya
seorang yang berpakaian pengemis. Juga pengemis itu pun terkejut melihat
seorang laki-laki bercambang bauk berada di dalam tempat itu bersama Pangeran
Yung Hwa yang telah dikenalnya.
“Pangeran,
harap Paduka tenang. Kami datang untuk menolong Paduka!” berkata si pengemis
dan secepat kilat dia sudah menyerang si Gagu!
Tentu saja
si Gagu terkejut dan dia pun cepat mengelak dan balas menyerang, karena dia
sendiri tidak percaya bahwa pengemis ini datang untuk menolong Pangeran Yung
Hwa. Keadaan negara sedang kacau dan banyak terdapat orang-orang yang berniat
membantu pemberontak, maka dia tidak boleh percaya kepada siapa pun juga dalam
hal menolong Pangeran Yung Hwa ini.
Pengemis
setengah tua itu bukan lain adalah Gu Sin-kai, murid dari Sai-cu Kai-ong yang
datang ke istana itu bersama gurunya dan Siluman Kecil. Mereka bertiga sedang
melakukan penyelidikan secara berpencar untuk mencari tempat ditahannya
Pangeran Yung Hwa dan kebetulan sekali Gu Sin-kai melihat si Gagu bersama
Pangeran Yung Hwa di dalam ruangan itu. Tentu saja Gu Sin-kai menganggap si
Gagu itu adalah orangnya gubernur dan langsung saja dia menyerangnya.
Terjadilah pertempuran di dalam ruangan itu.
Pangeran
Yung Hwa sendiri hanya menonton saja dengan bingung. Dua orang yang saling
hantam ini keduanya mengaku datang hendak menolongnya, akan tetapi kedua duanya
tidak dia kenal, maka tentu saja dia tidak tahu harus percaya dan membantu yang
mana. Karena itulah maka dia diam saja dan hanya menanti perkembangan
selanjutnya.
Tetapi
ternyata kepandaian si Gagu terlalu tinggi bagi Gu Sin-kai dan dalam belasan
jurus saja Gu Sin-kai sudah terdesak hebat sekali sampai beberapa kali
terhuyung dan nyaris roboh. Baiknya bagi pengemis ini adalah kenyataannya bahwa
si Gagu tidak mau menurunkan tangan besi, karena kalau demikian, kiranya
pengemis itu sudah roboh sejak tadi.
Tiba-tiba
terdengar suara menggeledek, “Muridku, mundurlah kau!”
Dari luar
menerjang masuk seorang kakek yang gagah perkasa, yang datang-datang terus
menerjang si Gagu dengan pukulan yang mendatangkan angin bersuitan saking
kuatnya tenaga sinkang yang terkandung di dalamnya. Gu Sin-kai cepat melompat
mundur dan hatinya girang melihat kedatangan gurunya, yaitu Saicu Kai-ong.
Seorang
kakek lain yang sebenarnya adalah penyamaran Siluman Keciil, juga sudah tiba di
situ dan Siluman Kecil hanya menonton saja pada saat melihat Sai-cu Kai-ong
bertanding melawan laki-laki penuh cambang bauk itu. Tidak perlu membantu
seorang yang sakti seperti Sai-cu Kai-ong, pikirnya dan di dunia ini jarang ada
orang yang akan mampu menandingi kakek itu.
Akan tetapi,
makin lama dia menjadi makin terheran-heran dan memandang dengan mata
terbelalak kaget dan kagum ketika dia melihat betapa lawan Sai-cu Kai-ong itu
ternyata memiliki gerakan yang cepat dan hebat bukan main! Tentu saja Sai-cu
Kai-ong sendiri merasa terkejut ketika tangkisan lengan lawannya itu membuat
dia terhuyung ke belakang. Dia menjadi penasaran dan menubruk dengan pengerahan
tenaga dahsyat karena dia ingin cepat merobohkan lawan ini agar dapat menolong
Pangeran Yung Hwa.
“Desssss...!”
Pertemuan
tenaga itu amat hebatnya dan akibatnya tubuh Sai-cu Kai-ong terlempar ke
belakang dan ia harus berjungkir-balik beberapa kali baru dapat berdiri dan
memandang kepada lawannya dengan mata terbelalak. Kemudian dia menerjang lagi
dan kali ini Siluman Kecil yang menjadi bengong. Orang itu ternyata dapat
melancarkan pukulan pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang dari Pulau
Es!
“Keparat!”
bentaknya.
Ketika
Sai-cu Kai-ong terdorong mundur lagi dengan muka pucat dan tubuh menggigil
kedinginan, Siluman Kecil sudah menerjang ke depan, disambut oleh si Gagu
dengan sama kuatnya. Keduanya terkejut karena ternyata serangan mereka dapat
dielakkan oleh lawan dengan mudah. Melihat kesaktian lawannya, Siluman Kecil
langsung saja mengeluarkan ilmunya, ilmu yang hebat, yaitu ilmu gerak kilat
yang diberi nama Sin-ho Coan-in (Bangau Sakti Menerjang Awan). Hebat bukan main
pertandingan itu. Tubuh Siluman Kecil mencelat ke sana-sini, namun sungguh
tidak mudah baginya untuk dapat mengalahkan si Gagu yang ternyata benar-benar
sakti dan menyimpan banyak ilmu ilmu mukjijat dan sakti itu.
Sai-cu
Kai-ong yang berdiri menonton berkali-kali menggelengkan kepalanya. Baru
sekarang ini selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang seperti ini
hebatnya. Dia seorang sakti, keturunan dari keluarga yang gagah perkasa, namun
pandang matanya sampai menjadi kabur ketika dia menyaksikan kakek berambut
putih itu bertanding melawan laki-laki bercambang bauk. Sukar mengatakan siapa
yang terdesak karena keduanya berkelebatan seperti dua ekor burung garuda
bertanding di angkasa.
Di seluruh
ruangan itu menyambar-nyambar angin pukulan yang bercampur aduk, sebentar panas
kemudian sebentar dingin sehingga Pangeran Yung Hwa sendiri sudah bersembunyi
di balik meja di sudut ruangan karena tidak tahan menghadapi sambaran sambaran
angin itu. Kulit mukanya terasa sakit semua dilanda hawa yang amat panas dan
kadang-kadang berubah amat dingin itu, bahkan Gu Sin-kai sendiri juga sudah
menjauh sampai mepet dinding ruangan.
Si Gagu
agaknya merasa penasaran bukan main. Selama ini, dia hanya mengeluarkan
sebagian kecil saja kepandaiannya untuk melayani musuh, akan tetapi sekarang
ini, biar pun dia sudah mengeluarkan semua ilmu simpanannya, dia masih tidak
mampu menang, bahkan mulai terdesak karena gerakan kilat lawannya benar-benar
amat hebat. Dengan penasaran dia lalu mengerahkan seluruh tenaga di kedua
tangannya, lalu memukul dengan dorongan kuat.
Siluman
Kecil terkejut bukan main. Dia tahu bahwa pukulan lawannya itu merupakan
pukulan maut yang amat hebat, maka dia pun lalu menerimanya dengan dua tangan
didorongkan ke depan sambil mengerahkan tenaga sakti yang selama ini
dilatihnya, yaitu tenaga sakti yang merupakan penggabungan dari inti tenaga Im
dan Yang.
“Bresssss...!”
Tubuh si
Gagu terlempar seperti sehelai daun tertiup angin dan tubuh Siluman Kecil
terhuyung-huyung sampai jauh ke belakang. Hebat bukan main pertemuan tenaga
itu, terasa oleh semua orang dan dinding ruangan itu sampai tergetar. Tubuh si
Gagu rebah terlentang dan dia mengeluh perlahan, kulitnya luka-luka seperti
terkena air mendidih. Cambang bauk dan kumisnya ternyata palsu semua dan kini
cambang bauk itu copot semua, meninggalkan pemuda yang tampan.
Akan tetapi,
Siluman Kecil juga kehilangan topeng penyamarannya yang dilakukan oleh Kang
Swi. Topeng itu terkupas oleh hawa pukulan lawan sehingga kelihatanlah wajah
yang asli, wajah seorang pemuda yang tampan akan tetapi dengan rambut panjang
berwarna putih semua, wajah Siluman Kecil yang asli….
“Kokoooo...!”
Tiba-tiba Siluman Kecil lari dan menubruk si ‘Gagu’ yang masih terlentang di
atas lantai ruangan itu. “Koko... ahh, Kian Lee koko... kiranya engkau... ya
Tuhan, apa yang telah kulakukan tadi...?” Siluman Kecil merangkul dan memeluk
tubuh si ‘Gagu’ itu dan menangis sejadi-jadinya!
Semua orang
menjadi terkejut bukan main menyaksikan peristiwa yang aneh ini. Sai-cu Kai-ong
sampai melongo karena tidak disangkanya bahwa ‘kakek’ sakti yang menjadi
temannya itu ternyata adalah seorang yang masih amat muda dan yang kini
menangis seperti anak kecil, memeluk bekas lawannya yang juga masih amat muda.
Sementara
itu, si ‘Gagu’ yang ternyata adalah penyamaran Suma Kian Lee, membuka mata
memandang orang yang memeluknya. Luka yang baru dideritanya akibat pukulan
gabungan tenaga Im dan Yang dari Siluman kecil itu hebat sekali, akan tetapi
dia tidak pingsan, bahkan kini dia tidak mengeluh sama sekali, menahan rasa
nyeri yang seolah olah menghancurkan seluruh tulang di dalam tubuhnya.
Mula-mula
dia memandang penuh keraguan ke arah wajah pemuda berambut putih itu, rambut
putih itulah yang meragukannya, akan tetapi kemudian dia pun menggerakkan kedua
lengannya yang lemah, memeluk dan berkata, “Aihhh... Kian Bu adikku... sayang,
betapa sukarnya mencarimu, Bu-te. Engkaukah kiranya si kakek berambut putih
tadi? Bukan main, adikku, kau hebat... sekali..., ahhh, kau maju pesat
sekali... uhhh, adikku, betapa selama bertahun-tahun aku rindu kepadamu,
Bu-te...”
“Koko, ah,
Koko... apa yang telah kulakukan tadi...?” Siluman Kecil yang ternyata bukan
lain adalah Suma Kian Bu, masih menangis melihat keadaan kakaknya.
Pukulannya
tadi hebat sekali, pukulan yang sudah dilatihnya selama bertahun-tahun ini,
pukulan yang mengandung penggabungan dari inti tenaga sakti Im dan Yang. Di
tempat asal mereka, yaitu di Pulau Es, mereka berdua memang telah digembleng
oleh ayah mereka, Si Pendekar Super Sakti, dan telah melatih diri dengan ilmu
inti hawa sakti Im, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, inti dari
hawa sakti Yang. Dan ayah mereka pun telah melatih mereka dengan penggabungan
antara kedua ilmu itu, akan tetapi penggabungan itu hanya merupakan kerja sama,
yaitu menggunakan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang secara bergantian,
atau juga berbareng dengan tangan kanan dan kiri.
Tetapi,
penggabungan kedua tenaga yang berlawanan, sehingga merupakan tenaga yang
mukjijat sekali, yang ketika melatihnya hampir saja mengorbankan nyawanya akan
tetapi ternyata dia telah berhasil menguasai tenaga mukjijat itu. Dan kini,
yang menjadi korban adalah kakaknya sendiri!
“Sudahlah...
jangan kau berduka, adikku... aku... aku mati pun tidak akan penasaran...
engkau tidak bersalah... kita saling menyamar dan tidak mengenal... dan engkau
hebat sekali, Bu-te... ehhh, adikku, mengapa rambutmu menjadi putih semua...?
Apakah untuk menyamar? Bu-te... kalau kau pulang nanti... jangan bilang kepada
Ayah dan Ibu... bahwa... kita saling bertanding...“ Napas Kian Lee
terengah-engah dan agaknya sukar sekali baginya untuk bicara.
“Koko...!”
Kian Bu memeluknya. Sampai dalam keadaan hampir tewas pun kakaknya ini tidak
menyalahkannya, bahkan ingin agar tidak sampai diketahui oleh orang tua mereka
bahwa adiknya yang telah memukulnya seperti itu! “Kian Lee koko... kalau kau
mati... aku pun tidak mau hidup!”
“Ahh, jangan
begitu, Bu-te...“ Kakak dan adik ini berpelukan.
Melihat ini,
Saicu Kai-ong yang sejak tadi melongo dan hanya mendengarkan saja dua orang
pemuda luar biasa itu berangkulan dan bicara, kini melangkah maju dan berkata,
“Biarkan saya memeriksa dan mengobatinya.”
Kian Bu
menoleh kepadanya. “Locianpwe, dia ini kakakku, dan dia hampir tewas oleh
pukulanku sendiri. Kalau Locianpwe dapat menyembuhkannya, aku Suma Kian Bu akan
berterima kasih sekali dan tidak akan melupakan budimu.”
“Suma...?”
Kini Sai-cu Kai-ong terkejut setengah mati. “Kalian berdua she Suma? Ada
hubungan apa dengan majikan Pulau Es, Suma Han?”
“Dia adalah
ayah kami...,“ kata Suma Kian Bu dengan suara lirih dan lemah.
“Ahhh...! Ya
Tuhan, kalian adalah putera Pendekar Super Sakti dan telah saling hantam
sendiri? Minggirlah, biarkan aku memeriksanya dan aku akan berusaha mati-matian
untuk menyelamatkan dia.”
Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara ribut-ribut. Ternyata kini pasukan pengawal telah
mengepung ruangan itu! Melihat munculnya banyak pengawal, otomatis Kian Bu
memondong tubuh kakaknya, sedangkan Sai-cu Kai-ong cepat memondong Pangeran
Yung Hwa.
“Dari mana
datangnya penjahat-penjahat yang bosan hidup berani mengancam di sini?”
Tiba-tiba
terdengar seruan nyaring dan seperti seekor burung melayang tahu-tahu di antara
para pasukan pengawal itu meloncat masuk seorang pemuda tampan yang bukan lain
adalah Kang Swi. Pemuda ini langsung menyerang ke arah Sai-cu Kai-ong untuk
merampas Pangeran Yung Hwa yang dipondong oleh kakek itu.
Akan tetapi,
kakek gagah perkasa itu sudah melompat ke samping dan terdengar Gu Sin-kai
membentak marah lalu kakek pengemis inilah yang menerjang dan menyambut Kang
Swi. Mereka segera bertanding dengan hebat sedangkan para pengawal sudah
menyerbu ke dalam ruangan itu sehingga kakek gagah perkasa dan Kian Bu yang
masing-masing menggendong Pangeran Yung Hwa dan Kian Lee, mengamuk dengan
tamparan satu tangan dan tendangan-tendangan kaki mereka.
Sepak
terjang kakek itu hebat, dan Kian Bu yang marah dan berduka melihat keadaan
kakaknya, juga marah bukan main sehingga tiap tendangan atau tamparan tangannya
tentu langsung merobohkan seorang pengeroyok. Senjata-senjata beterbangan dan
para pengeroyok terlempar ke sana-sini di tengah-tengah teriakan-teriakan mereka.
Akan tetapi,
Gu Sin-kai terdesak hebat oleh Kang Swi yang amat lihai, apa lagi setelah Kang
Swi mencabut pedangnya. Biar pun Gu Sin-kai melawan mati-matian dengan
tongkatnya, namun tetap saja dia menjadi kewalahan karena pedang di tangan Kang
Swi benar-benar amat lihai, mengeluarkan suara bersuitan dan mengandung hawa
yang panas dan tajam. Tiba-tiba Gu Sin-kai berteriak kaget ketika ujung pedang
itu mencium pundaknya sehingga bajunya robek dan pundaknya berdarah.
“Mundurlah,
Gu Sin-kai, biarkan saya yang menghadapinya!” teriak Kian Bu marah dan biar pun
dia menggunakan tangan kirinya untuk memanggul tubuh kakaknya, namun dengan
berani dia menerjang Kang Swi dengan tangan kosong.
“Wuuuuuttt...!”
Angin pukulan dahsyat menyambar ganas ke arah pemuda royal itu.
“Eihhhhh...,
kau...?” Kang Swi berseru kaget sekali, tidak mengira bahwa Siluman Kecil yang
telah menjadi ‘sahabatnya’ itu sekarang menyerangnya demikian ganas. Dia cepat
mengelak, akan tetapi tetap saja sambaran hawa pukulan itu membuat dia terdorong
mundur dan terhuyung-huyung!
“Saudara
Kang Swi, mundurlah! Kau sudah keliru membela orang! Gubernur Ho-nan adalah
seorang pemberontak,” Suma Kian Bu berkata. “Jangan coba kau halangi kami
menyelamatkan Pangeran Yung Hwa!”
“Twako, kini
aku telah menjadi pengawal, aku harus setia kepada tugasku. Kembalikan Pangeran
Yung Hwa dan aku akan membiarkan kalian pergi dengan baik-baik!” kata Kang Swi.
“Bandel,
kalau begitu terpaksa kita harus menjadi lawan!” Kian Bu menerjang lagi.
Kang Swi
menyambut dengan pedangnya yang ditusukkan ke arah lambung Kian Bu, sedangkan
kakinya menendang ke arah lutut Siluman Kecil itu.
“Huhhhhh!”
Kian Bu mendengus, tangannya tidak ditarik mundur melainkan langsung menangkis
pedang itu! Dan dia pun menyambut tendangan lawan dengan tendangan kakinya.
“Tranggg...
dukkk... aihhhhh...!” Kang Swi menjerit
Tubuhnya
terlempar ke belakang, terbanting keras dan dia bangkit duduk dengan mata
terbelalak sambil memijit-mijit kakinya. Tulang keringnya bertemu dengan kaki
Siluman Kecil, bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya menusuk-nusuk tulang
sumsum, sedang pedangnya yang tadi bertemu dengan tangan pendekar itu sudah
terlempar, entah lenyap kemana. Tentu saja dia menjadi bengong dan hampir tidak
percaya bahwa dia dirobohkan hanya dalam segebrakan saja, dan betapa pedangnya
ditangkis oleh tangan kosong saja!
Akan tetapi,
Kian Bu tidak mempedulikannya lagi oleh karena pada saat itu telah muncul
Ho-nan Ciu-lo-mo dan Siauw-hong! Di belakang mereka nampak banyak pengawal lagi
yang memenuhi tempat itu!
Ho-nan
Ciu-lo-mo segera mengenal Kian Lee yang berada di atas pundak Kian Bu, maka
tahulah dia bahwa istana itu telah kebobolan mata-mata dari Ho-pei, akan tetapi
ketika dia melihat Sai-cu Kai-ong, dia terkejut setengah mati. Kiranya orang
tua gagah yang memimpin pasukan besar dari kota raja itu pun telah berada di
situ dan kini sudah memondong Pangeran Yung Hwa. Dia maklum akan siasat
majikannya, maka dia lalu membentak marah, “Penculik-penculik hina, lepaskan
Pangeran Yung Hwa!” bentaknya dan bersama beberapa orang pembantu dia sudah
menerjang maju.
Tetapi Kian
Bu yang tak ingin melihat pangeran itu terancam bahaya, sudah memapaki si muka
dan rambut merah itu dengan tamparan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya
masih terus memondong tubuh kakaknya.
“Wuuuttttt...!”
Ciu-lo-mo
cepat mengelak dan terkejut melihat sambaran tenaga dahsyat itu. Cepat dia
menggerakkan guci araknya menyerang ke arah kepala Kian Bu, sedangkan arak dari
guci itu muncrat menyerang ke arah muka Kian Lee yang setengah pingsan.
“Keparat!”
Kian Bu membentak, dengan gerakan tangannya dia kemudian menangkis dan
sekaligus membuyarkan percikan arak itu dengan tiupan mulutnya.
“Tranggggg!”
Guci arak itu membalik dan nyaris terlepas dari tangan Ciu-lo-mo saking
kerasnya terpental oleh tangkisan itu.
“Hong-ji
(Anak Hong)...!” Terdengar Sai-cu Kai-ong berseru keras pada saat dia melihat
Siauw-hong menyerbu ke dalam.
“Suhu...!”
“Apa kau
sudah gila? Kau mau membantu musuh-musuhku?” Kakek itu membentak lagi sambil
merobohkan seorang pengawal yang menyerangnya dengan golok dari samping dengan
tendangan kakinya yang panjang dan besar.
“Suhu...!”
Siauw-hong memandang bingung. “Teecu... teecu menjadi pengawal dengan baik...“
“Tolol! Yang
kau bantu adalah seorang pemberontak!”
“Ahhhhh...!”
Siauw-hong memandang bingung.
“Hayo kau
bantu kami keluar dari tempat ini, menyelamatkan Pangeran ini!” Kakek itu
kembali berseru.
“Baik,
Suhu!” Siauw-hong berseru dan sekarang dia membalik, sekali bergerak dia telah
merobohkan dua orang pengawal!
Akan tetapi,
kini banyak sekali pengawal yang sudah mengepung tempat itu sehingga tidak ada
lagi jalan keluar yang terbuka. Para pengawal yang tidak kebagian ruangan
berjejal di depan pintu dan jendela, siap dengan senjata di tangan untuk
menggantikan kawan-kawan mereka yang roboh. Melihat ini Kian Bu merasa
khawatir. Betapa pun lihainya mereka, menghadapi begitu banyak lawan di tempat
sempit ini amat berbahaya, pikirnya. Apa lagi amat berbahaya bagi kakaknya yang
terluka parah.
“Mampuslah!”
Dia membentak dan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang ke arah Ciu-lo-mo.
Kakek
pemabuk ini terkejut mendengar suara pukulan yang bercicitan suaranya itu. Dia
cepat menggerakkan guci araknya dengan sepenuh tenaga untuk menangkis.
“Pyarrrrr...!”
Guci arak itu pecah berantakan araknya muncrat berhamburan dan tubuh si muka
dan rambut merah itu roboh terjengkang!
“Siauw-hong,
kau tolong panggul kakakku ini, biar aku membuka jalan" Tiba-tiba Kian Bu
berseru kepada Siauw-hong yang juga masih mengamuk dan melindungi suhu-nya.
“Baik,
Taihiap,”' jawab Siauw-hong dan dia cepat mendekati Kian Bu serta menerima
tubuh Kian Lee yang sudah lemas setengah pingsan itu, lalu dipondongnya.
Melihat ini,
Sai-cu Kai-ong merasa girang. “Hong-ji, kau sudah mengenal pendekar ini?”
tanyanya sambil bergerak ke sana-sini sambil menggerakkan lengan bajunya yang
lebar untuk menghalau senjata-senjata yang datang menyerangnya.
“Tentu saja,
Suhu,” jawab Siauw-hong sambil meloncat ke kiri untuk membiarkan lewat sebatang
tombak yang menusuknya, kemudian tangan kanannya mendorong dan si pemegang
tombak itu langsung menjerit dan roboh terjengkang. “Taihiap ini adalah Siluman
Kecil.”
“Ahhhhh...”
Sai-cu Kai-ong berteriak kaget.
Sungguh dia
telah mendengar banyak hal yang aneh dan mengejutkan. Tadi, pemuda berambut
putih itu mengaku sebagai putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan kini
ternyata menurut penuturan muridnya, pemuda itu adalah juga Siluman Kecil yang
namanya sudah tersohor!
Kini Kian Bu
yang sudah tidak lagi memondong tubuh kakaknya, mengamuk bagaikan seekor naga
sakti. Dia menggunakan ilmunya yang mukjijat, yaitu ilmu Sin-ho-coan-in.
Tubuhnya berkelebatan ke sana-sini dengan cepat dan kedua tangannya menyambar
nyambar ganas sehingga dalam waktu pendek saja, semua pengawal yang berada di
ruangan itu sudah roboh malang melintang seperti disambar petir.
“Mari
keluar, biar aku membuka jalan!” teriaknya dan dia sudah menerjang ke pintu,
dengan sekali dorong saja dia merobohkan enam orang pengawal di luar pintu.
Tentu saja kehebatan pemuda yang rambutnya putih terurai ini mengejutkan
orang-orang, apa lagi ketika mereka mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah
Siluman Kecil!
“Siluman
Kecil...!”
“Celaka, dia
mengamuk. Minggir...!”
Kini para
perwira pengawal dan para anggota pengawal yang sudah pernah melihat bayangan
Siluman Kecil, bahkan pernah menyanjungnya sebagai seorang pendekar perkasa
yang mengamankan Ho-nan, menjadi gentar sekali dan mereka semua lantas mundur.
Memang nama Siluman Kecil sudah terkenal sekali di Ho-nan.
Dia pernah
membersihkan Ho-nan dari gangguan orang-orang jahat, bahkan pernah mengakurkan
semua pihak yang bertentangan dari orang-orang kang-ouw, dan dia pernah
diterima oleh Gubernur Ho-nan sendiri sebagai seorang pahlawan. Dan kini,
Siluman Kecil tengah mengamuk dan membantu orang-orang yang hendak melarikan
Pangeran Yung Hwa. Keraguan dan rasa jeri menghantui hati para pengawal
sehingga mereka tidak banyak melawan atau menghalangi ketika Kian Bu
mempelopori teman temannya keluar dari ruangan itu dan langsung melarikan diri
keluar dari daerah istana gubernuran.
“Siluman
Kecil mengamuk!”
“Siluman
Kecil melarikan Pangeran Yung Hwa!”
Teriakan-teriakan
para pengawal ini membuat para pengawal lain menjadi gentar hatinya dan mereka
tidak banyak melakukan usaha pencegatan sehingga rombongan Kian Bu dapat terus
melarikan diri sampai ke pintu gerbang.
“Buka pintu!
Aku, Siluman Kecil, hendak lewat bersama kawan-kawanku! Janganlah membikin aku
marah!” Kian Bu membentak, suaranya nyaring dan menggema karena memang dia
sengaja mengerahkan khikang-nya dan dia sengaja menggunakan nama julukannya
untuk menggertak agar supaya mereka tidak perlu mengerahkan tenaga dan membuang
waktu untuk menggunakan kekerasan terhadap para penjaga pintu gerbang itu.
Dia harus
cepat-cepat dapat menyelamatkan kakaknya. Jangan-jangan kakaknya yang
dipondongnya lagi itu telah tewas! Dia menunduk, dan melihat bahwa Suma Kian
Lee ternyata masih membuka mata, memandangnya dengan kagum.
“Kau hebat,
adikku... kau hebat...,“ bisik Kian Lee.
“Ahhhhh...!”
Jantung Kian Bu rasanya seperti ditusuk dan bagi pendengarannya, pujian
kakaknya itu seperti ujung pedang menghujam dadanya karena kehebatannya itu
sudah dipergunakan untuk memukul roboh kakaknya sendiri!
“Lekas buka!
Kalau tidak, kubunuh kalian semua!” bentaknya geram untuk menutupi hatinya yang
tersiksa rasanya.
“Baik...
baik, Taihiap!” terdengar jawaban seorang penjaga dan bergegas dia membuka
pintu benteng itu dibantu oleh kawan-kawannya.
Keluarlah
mereka dari tembok kota yang menjadi benteng pertahanan kota Lok-yang. Akan
tetapi, malam telah mulai terganti pagi dan tiba-tiba nampak debu mengebul dan
dari depan datanglah serombongan orang berkuda yang dipimpin oleh seorang
raksasa berkepala botak bermantel merah. Ban Hwa Sengjin koksu dari Nepal tiba
bersama pengawal-pengawal pribadi Gubernur Kui dari Ho-nan!
Kiranya
telah ada berita terdengar oleh Gubernur Kui yang masih berada di Ceng-couw dan
mendengar berita bahwa ada keributan di Lok-yang, maka gubernur minta bantuan
Koksu Nepal yang amat sakti itu untuk memimpin serombongan pengawal cepat-cepat
menuju ke Lok-yang dan kebetulan sekali mereka bertemu dengan rombongan yang
melarikan Pangeran Yung Hwa itu di luar tembok benteng Lok-yang!
“Ha-ha-ha-ha,
kiranya kalian ini hanyalah penculik-penculik yang hina!” bentak Ban Hwa
Sengjin sambil tertawa bergelak penuh ejekan. “Seperti sekumpulan maling
kesiangan saja. Setelah bertemu dengan kami, lebih baik kalian menyerah dari
pada mati konyol!” Biar pun suaranya agak kaku namun ternyata Koksu Nepal ini
pandai sekali berbicara dalam bahasa daerah.
Sai-cu
Kai-ong menjadi marah sekali. “Manusia sombong! Engkau menjadi kaki tangan
pemberontak, padahal kulihat engkau bukanlah orang Han. Agaknya engkau malah
yang membujuk Gubernur Ho-nan untuk memberontak. Sekarang bertemu dengan aku
Sai-cu Kai-ong, berarti ajalmu sudah berada di depan mata! Siapakah engkau,
orang asing?”
“Ha-ha-ha-ha!
Aku adalah sahabat baik dari Gubernur Ho-nan, dan namaku Ban Hwa Sengjin. Kini
aku bertugas menangkap kalian maling-maling kecil. Julukanmu Sai-cu Kai-ong?
Ha-ha-ha, biar pun suaramu seperti seekor sai-cu (singa) akan tetapi engkau
menghadapi aku seperti seekor singa ompong, jembel busuk!”
Dimaki singa
ompong dan jembel busuk yang tentu saja diambil dari julukannya sebagai Kai-ong
(Raja Pengemis), kakek gagah itu menjadi marah bukan main. “Siauw-ji, kau
jagalah beliau,” katanya sambil menunjuk Pangeran Yung Hwa yang sekarang
berdiri di belakangnya, kemudian dengan langkah lebar dia menghampiri Ban Hwa
Sengjin yang dengan sikap tenang telah turun dari atas punggung kudanya.
“Ban Hwa
Sengjin pengecut hina! Kau mengandalkan pasukanmu yang jumlahnya dua puluh
orang lebih ini untuk menggertak kami? Kau kira kami takut?” Sai-cu Kai-ong
membentak.
“Ha-ha,
mereka ini hanya menjadi pengantarku. Dengan tenagaku sendiri aku mampu
merobohkan kalian semua, satu demi satu atau berbareng. Kalau aku sampai tak
dapat mengalahkan kalian, biarlah kalian lewat tanpa kami ganggu.”
Ucapan ini
merupakan kesombongan yang hebat.
“Benarkah itu?
Apakah manusia macam engkau akan dapat menahan diri untuk tidak bersikap curang
dan dapat memegang janji?”
Alis yang
tebal itu jadi berkerut. “Sai-cu Kai-ong, tahan sedikit mulutmu. Kau tidak tahu
dengan siapa kau berhadapan. Aku adalah seorang koksu dari Kerajaan Nepal,
tahu?” bentak Ban Hwa Sengjin.
“Ah, kiranya
begitu?” Sai-cu Kai-ong berseru. Mengertilah kini dia mengapa orang Nepal ini
berada di sini. Kiranya dalam usahanya untuk memisahkan diri dari kaisar,
Gubernur Ho-nan telah mendekati dan mengadakan hubungan rahasia dengan Kerajaan
Nepal di barat!
“Nah,
majulah menyerahkan nyawamu!” Ban Hwa Sengjin melangkah maju dengan tangan
kosong sambil tersenyum mengejek.
“Sambutlah!”
Sai-cu Kai-ong membentak.
Sai-cu
Kai-ong sudah menerjang ke depan dengan gerakan tangkas dan karena dia dapat
menduga akan kelihaian kakek botak ini, maka begitu dia menyerang langsung dia
mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu keluarga turun-temurun dari nenek
moyangnya. Ilmu ini dinamakan Khong-sim-sin-ciang (Ilmu Pukulan Tangan Sakti
Hati Kosong), sesuai dengan nama perkumpulan pengemis yang dahulu dipimpin oleh
nenek moyangnya, yaitu perkumpulan Khong-sim-kai-pang.
Ilmu pukulan
ini amat lihai, kelihatan kosong namun berisi dan memang inti ilmu pukulan ini
berdasarkan kekosongan. Menurut dongeng yang diceritakan turun-temurun dalam
keluarganya, nenek moyangnya adalah orang-orang yang suka sekali mempelajari
Agama To dan dari pelajaran Agama To inilah maka Ilmu Khong-sim-sin-cang itu
diciptakan. Menurut cerita neneknya dahulu, dalam keluarga Yu terdapat ayat
dari Kitab To-tik-khing yang amat mereka junjung tinggi, yaitu pelajaran dari
Nabi Lo Cu tentang kekosongan yang menjadi inti dari segalanya, bahkan yang
berisi tidak akan ada gunanya tanpa ada kekosongan itu seperti disebutkan dalam
ayat ke sebelas dari Kitab To-tik-khing.
Tiga puluh
ruji berpusat pada satu poros roda,
pada tempat
yang kosong terletak kegunaannya.
Dari tanah
liat dibuatlah jembangan,
pada tempat
yang kosong terletak kegunaannya.
Lubang pintu
dan jendela dibuat untuk rumah,
pada tempat
yang kosong terletak kegunaannya.
Selain ayat
dari To-tik-khing itu, juga masih banyak wejangan keluarga turun-temurun yang
mengingatkan mereka akan pentingnya kekosongan, antara lain dinyatakan bahwa di
dalam setiap langkah kaki, jarak yang dilewati antara kedua kaki, yaitu yang
tidak terinjak, yang kosong itulah yang berguna karena tanpa itu tidak akan ada
kemajuan dalam langkah kaki. Juga keindahan dan kenikmatan sebuah lagu tidak
akan terasa lagi tanpa adanya jarak-jarak yang kosong antara satu dan lain
nada!
Serangan
yang dilancarkan oleh Sai-cu Kai-ong hebat bukan main. Kelihatannya sih ringan
dan kosong saja, akan tetapi begitu anginnya menyambar, seorang sakti seperti
koksu dari Nepal itu sendiri sampai mengeluarkan seruan kaget dan cepat-cepat
dia mengelak. Jubahnya yang lebar dan merah itu sampai berkibar terkena
hembusan hawa pukulan yang sifatnya kosong namun berisi penuh dengan kekuatan
dahsyat itu! Dia cepat membalas dengan pukulan yang tak kalah dahsyatnya hingga
Sai-cu Kai-ong juga terkejut dan cepat melompat ke samping karena dia tidak
berani menyambut pukulan yang amat hebat itu.
Terjadilah
pertandingan hebat dan keadaan sekeliling tempat itu disambar oleh hawa hawa
pukulan kuat sekali sehingga dua puluh orang lebih pengawal yang mengiringkan
Ban Hwa Sengjin terpaksa mundur oleh karena kuda mereka meringkik ketakutan dan
gelisah sekali. Bahkan Pangeran Yung Hwa juga segera bersembunyi di balik tubuh
Siauw-hong karena merasa ngeri.
Akan tetapi,
seorang yang sudah menjadi koksu sebuah negara, bahkan kini menjadi utusan
raja, tentu saja adalah orang yang memiliki kepandaian yang boleh diandalkan.
Dahulu, di jaman Kerajaan Beng-tiauw, seorang utusan kaisar seperti Panglima
Besar The Hoo juga merupakan seorang yang luar biasa saktinya, juga semua
utusan raja-raja dari semua negara tentulah merupakan seorang tokoh pilihan
yang berilmu tinggi.
Demikian
pula dengan Ban Hwa Sengjin ini. Ilmu kepandaiannya amat tinggi karena boleh
dibilang dia merupakan tokoh nomor satu yang dikenal orang di negara Nepal,
maka tentu saja dia telah membekali dirinya dengan ilmu-ilmu yang amat hebat.
Tidak hanya ilmu silat, akan tetapi juga dia mahir sekali dalam ilmu sihir dan
ilmu perang, juga ahli dalam soal-soal kenegaraan! Kini, menghadapi seorang
lawan yang sedemikian lihainya seperti Sai-cu Kai-ong, dia merasa gembira dan
dia tidak mau menggunakan ilmu sihirnya selama ilmu silatnya masih belum kalah.
Dan dia selama ini menganggap bahwa tidak mungkin ilmu silatnya dapat
dikalahkan orang lain!
Memang, amat
berbahayalah bagi seorang manusia yang merasa telah mempelajari ilmu sampai
tinggi, apa lagi kalau sudah menerima sanjungan-sanjungan orang lain! Seorang
yang dipuji-puji orang lain, kepalanya menjadi seperti sebuah balon karet yang
ditiup, penuh oleh angin pujian sehingga kepalanya melembung besar dan dia
merasa bahwa dialah orang yang terpandai, terbaik dan segala macam ‘ter’ lagi.
Dan kalau sudah demikian, dia menjadi orang yang setolol-tololnya,
sebodoh-bodohnya dan patut dikasihani. Maka, seorang bijaksana akan selalu waspada
akan semua kekurangan dan kebodohan diri sendiri sampai saat kematian tiba,
karena hanya dengan kewaspadaan ini saja maka dia dapat melihat betapa
bahayanya semua pujian yang diterimanya dalam keadaan bagaimana pun juga.
Akan tetapi
Ban Hwa Sengjin terang tidak bijaksana. Dia sudah dihinggapi penyakit angkuh
dan menganggap diri sendiri orang terpandai di dunia ini. Dan memang ilmu
kepandaiannya hebat dan bahkan Sai-cu Kai-ong yang merupakan ahli waris dari
ilmu keturunan yang amat mukjijat itu ternyata kalah kuat dibandingkan dengan
Ban Hwa Sengjin sehingga setelah lewat seratus jurus, Raja Pengemis itu
terdesak hebat dan dalam satu pertemuan tenaga ketika kedua tangan mereka
bertemu, Sai-cu Kai-ong terlempar ke belakang dan terbanting jatuh. Napasnya
menjadi sesak dan kepalanya pening, tanda bahwa dia telah mengalami luka walau
pun tidak sangat berat, akan tetapi dia harus berdiam diri dan cepat
mengumpulkan hawa murni untuk menyembuhkan lukanya.
Siluman
Kecil atau Suma Kian Bu menyerahkan Kian Lee kepada Siauw-hong. Dia akan maju
sendiri. “Hati-hati, Bu-te. Dia memang lihai sekali, aku sendiri pernah melawan
dia dan hampir aku celaka...,“ bisik Kian Lee kepada adiknya ketika dia
diserahkan kepada Siauw-hong untuk dipondong karena dia tidak kuat untuk
berdiri sendiri.
Kian Bu
mengangguk dengan sikap tenang. “Jangan khawatir, Koko.”
Dengan
langkah lebar dia lalu menghampiri Ban Hwa Sengjin. Koksu Nepal yang sudah
memperoleh kemenangan itu menjadi makin sombong sikapnya. Melihat bahwa yang
maju hanya seorang pemuda, tentu saja dia memandang rendah. Kakek yang berjuluk
Raja Pengemis dan yang benar-benar sakti tadi saja tidak kuat melawannya. Apa
lagi pemuda ini? Masih begini muda, pantas menjadi anaknya, bahkan cucunya,
biar pun rambut pemuda ini sudah putih semua!
“Kau mau
apa?” tanyanya dengan sikap memandang rendah.
“Ban Hwa
Senjin, kalau aku mampu mengalahkanmu, bagaimana?” Kian Bu bertanya.
“Kau?
Mengalahkan aku? Ha-ha-ha, tidak mungkin, orang muda!”
“Kalau aku
kalah, kami semua menyerah kepadamu, Ban Hwa Sengjin. Akan tetapi, bagaimana
kalau kau yang kalah?”
“Ha-ha-ha,
bocah lancang. Dengar baik-baik. Kalau kau mampu mempertahankan diri terhadap
seranganku selama dua puluh jurus saja, biarlah aku mengaku kalah dan kalian
boleh lewatt!
“Engkau
adalah Ban Hwa Sengjin, jagoan besar dan koksu dari Kerajaan Nepal. Akan tetapi
apakah omongan seorang koksu dari Nepal dapat dipercaya sepenuhnya? Apakah
nanti engkau tidak akan menarik kembali omonganmu, menjilat kembali ludah yang
telah dikeluarkan, dan benar-benar kalau aku mampu mempertahankan diri terhadap
seranganmu selama dua puluh jurus, engkau mengaku kalah dan kami semua boleh
lewat?” tanya Siluman Kecil yang sengaja menekankan hal pelanggaran janji itu
agar menyinggung kehormatan koksu yang kelihatan lihai sekali ini.
Dan anak
panah yang dilepaskan berupa kata-kata ini tepat mengenai sasarannya. Wajah Ban
Hwa Sengjin menjadi merah sekali, seluruh muka sampai ke kepalanya yang botak
menjadi merah, semerah mantelnya dan kedua tangannya yang besar itu dikepalkan.
Dia menjadi marah dan tersinggung.
“Bocah
bermulut lancang! Kau kira, aku orang macam apa? Orang-orang seperti aku, janji
lebih berharga dari pada nyawa, mengerti? Akan tetapi, sebaliknya kalau dalam
dua puluh jurus kau tidak mampu mempertahankan diri, kalau kau tidak sampai
kupukul mampus, engkau dan semua temanmu selain harus menyerah dan tunduk, juga
harus mentaati semua perintahku!”
Siluman
Kecil diam-diam merasa girang dan kini dia yakin bahwa tentu si botak tinggi
besar ini tidak akan ada muka lagi untuk melanggar janjinya sendiri. “Baik,
kalau sampai aku roboh sebelum dua puluh jurus, engkau memang pantas menjadi
kakek buyutku yang harus kutaati!”
“Nah,
sambutlah ini jurus pertama!” Ban Hwa Sengjin berseru.
Tubuhnya
yang tinggi besar itu sudah bergerak cepat ke depan, sedemikian cepat
gerakannya sehingga mantelnya yang merah itu sampai berkibar di belakangnya
seperti layar perahu tertiup angin. Kedua tangannya sudah melancarkan serangan
dahsyat sekali, tangan kiri membentuk cakar garuda mencengkeram ke arah batok
kepala Siluman Kecil atau Kian Bu, sedangkan tangan kanannya dengan jari tangan
terbuka menghantam ke arah dada! Cakaran tangan kiri itu kelihatannya amat
menyeramkan dan agaknya kalau mengenai kepala, akan remuklah kepala itu, dan
dilakukan dengan amat cepat sedangkan tangan kanan yang menghantam ke arah dada
itu sebaliknya gerakannya lambat dan perlahan.
Namun, Kian
Bu yang sejak kecil menerima gemblengan ilmu-ilmu yang amat tinggi sudah tahu
bahwa cakaran itu hanya merupakan kembangan saja atau gertakan, sedangkan
serangan yang sesungguhnya dan merupakan inti pukulan adalah yang dilakukan
oleh tangan kiri itu, karena tangan kiri kakek raksasa itu melakukan pukulan
yang mengandung tenaga mukjijat yang dapat disebut Hun-kin Coh-kut (Memutuskan
Otot dan Melepaskan Tulang). Kalau pukulan itu mengenai dadanya dengan tepat,
tentu akan copot semua tulang iganya!
Karena
maklum akan hebatnya serangan jurus pertama ini, Kian Bu cepat melindungi
dirinya dengan Ilmu Silat Sin-coa Kun-hoat (Ilmu Silat Ular Sakti). Kedua
lengannya bergerak cepat dan meliuk-liuk seperti gerakan ular dan tubuhnya juga
dapat meliuk cepat sekali hingga tidak sukarlah baginya untuk mengelak dan
menangkis dua lengan lawan itu dari samping dengan meminjam tenaga pukulan
lawan. Ilmu Silat Sin-coa Kun-hoat ini adalah merupakan satu di antara banyak
ilmu-ilmu silat yang tinggi dari ibunya, yaitu Puteri Nirahai, yang telah
diwariskan kepada Kian Bu. Tentu saja, gerakan ilmu silat yang bagaimana tinggi
pun tidak akan banyak manfaatnya tanpa dilandasi tenaga sinkang yang kuat, maka
gerakan Sin-coa Kun-hoat ini oleh Kian Bu didorong dengan tenaga Hwi-yang
Sin-kang yang panas.
“Plak-plak...!”
Kedua lengan
kakek raksasa botak itu kena ditangkis sehingga menyeleweng karena tangkisan
dari samping itu mendorong tenaga serangannya dan dia merasa kedua lengannya
panas sekali.
“Ehhh...!”
Ban Hwa Sengjin terkejut.
Kalau pemuda
itu hanya dapat mengelak atau menangkis serangannya yang pertama itu, tidaklah
amat mengejutkan bagi dirinya, karena seorang pemuda yang sudah berani
menghadapinya tentulah mempunyai juga sedikit kepandaian. Akan tetapi,
tangkisan pemuda itulah yang membuat dia tanpa disadarinya mengeluarkan seruan
kaget karena dia merasakan adanya tenaga mukjijat yang panas sekali menyerang
dirinya melalui pertemuan kedua lengan itu.
Sebagai
seorang yang sudah berpengalaman banyak, Ban Hwa Sengjin segera dapat mengenal
sifat gerakan lawan. Dia mengenal ilmu silat yang mendasarkan gerakannya dan sifatnya
dengan sifat dan gerakan ular. Semua ilmu silat yang mendasarkan gerakan dan
sifatnya dengan ular adalah gerakan yang memupuk tenaga Khi (hawa) yang dilatih
dengan aturan pernapasan. Karena tenaga Khi inilah maka seekor ular kelihatan
lunak dan lembut tanpa tenaga kalau tubuhnya menyentuh sesuatu, akan tetapi dia
dapat menarik kekuatan hebat luar biasa setiap saat! Seperti baja yang terbaik,
dapat menjadi benda yang paling keras, akan tetapi juga dapat dibuat menjadi
kawat yang paling lembut dan lemas. Gerakan ilmu silat ular amat lemas dan
cekatan, terus-menerus bergerak lembut namun kuat. Kedua jari telunjuk dan jari
tengah mematuk-matuk seperti lidah ular dan merupakan serangan totokan yang
ampuh.
Karena sudah
mengenal sifat Sin-coa Kun-hoat, maka Ban Hwa Sengjin tahu bagai mana harus
menghadapinya. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas, lalu seperti seekor burung
garuda hendak menyerang seekor ular dia menerjang dan menyerang Kian Bu dengan
jurus yang kedua.
Tetapi, Kian
Bu adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Melihat cara penyerangan lawan, dia
pun maklum bahwa menggunakan Sin-coa Kun-hoat untuk menyambut serangan dari
atas itu amat berbahaya, maka secara otomatis dia sudah mengubah gerakan
tubuhnya. Kini dia bergerak menurut Ilmu Silat Pat-mo Kun-hoat, juga ilmu
warisan dari ibunya yang memang kaya dengan segala macam ilmu silat itu.
Gerakannya menjadi kacau-balau tidak karuan, membingungkan lawan akan tetapi di
dalam kekacauan ini terdapat gerakan inti yang amat tertib.
“Des-des-plakkk!”
Kini tubuh
Ban Hwa Sengjin yang masih di udara itu terpental dan dia meloncat turun dengan
mata terbelalak lebar dan muka makin merah karena penasaran dan marahnya.
Ternyata jurus keduanya itu dihancurkan oleh pemuda itu dengan amat mudah dan
aneh sekali, seolah-olah pemuda itu tahu ke mana dia hendak menyerang dan
mendahuluinya dengan tusukan sehingga terpaksa dia menangkis sampai dua kali
dan akhirnya terpental karena tahu bahwa kalau dia tidak cepat-cepat menjauhkan
diri, dia malah yang terancam bahaya, maka dalam pertemuan tangkisan berikutnya
dia telah meminjam tenaga lawan dan melemparkan dirinya ke belakang sehingga
terpental.
“Hemmm, kau
boleh juga!” katanya dengan tenang untuk menutup rasa kagetnya.
Kemudian
sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau terluka, dia sudah
menyerang dan kini dia bergerak cepat sambil memutar tubuhnya seperti gasing!
Itulah ilmunya yang amat diandalkan oleh koksu dari Nepal ini. Ilmu ini adalah
ilmu yang dinamakan Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) yang diumpamakan
seperti mengamuknya angin taufan yang mengandung angin puyuh berputaran,
seperti badai dahsyat yang amat mengerikan. Dan memang hebat bukan main gerakan
dari kakek botak ini.
Tubuhnya
berputaran seperti gasing, kedua lengannya yang panjang bergerak-gerak dan
dalam putaran itu seolah-olah kedua tangan telah berubah menjadi puluhan maut
yang amat cepat tidak terduga dan dari gerakan memutar itu meniup angin yang
seperti angin puyuh ke arah lawan. Hebat bukan main dan bahkan Suma Kian Bu sendiri
sampai terkejut sekali. Selama ini, baru dua kali dia bertemu lawan yang
benar-benar amat hebat, yaitu yang pertama adalah Sin-siauw Sengjin yang
mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar Sakti Suling Emas, dan kedua adalah koksu dari
Nepal inilah. Tentu saja perlawanannya ketika menghadapi kakaknya sendiri tidak
masuk hitungan.
Agaknya Ban
Hwa Sengjin setelah melihat kelihaian lawan selama dua jurus tadi, merasa
khawatir kalau-kalau dia sampai kalah, maka langsung saja dia mainkan ilmu
silat tangan kosong yang menjadi andalannya itu untuk mencoba merobohkan lawan.
Dan memang Kian Bu menjadi kaget sekali. Masih banyak ilmu-ilmu silat tinggi
yang dikuasainya, baik yang diwarisi dari ayahnya mau pun dari ibunya. Namun
dia maklum bahwa menghadapi ilmu silat lawan yang amat aneh dan dahsyat ini,
dia tidak boleh percaya pada ilmu-ilmu silat lain yang dikuasainya, karena hal
itu dapat membahayakan dirinya.
Sukar sekali
untuk menghadapi serangan dari bayangan yang berpusing seperti gasing itu
sehingga dia tidak lagi dapat melihat jelas bagian-bagian tubuh lawan, bahkan
serangan-serangan lawan yang mencuat dari pusingan itu sukar pula diduga-duga.
Maka terdengarlah suara melengking dari mulut Siluman Kecil ini dan tiba-tiba
saja tubuhnya melesat dan lenyap dari pandangan para pengikut Ban Hwa Sengjin
dan yang lain-lain. Demikian cepatnya gerakan Kian Bu yang tubuhnya mencelat ke
sana-sini seperti kilat menyambar-nyambar sehingga sukar diikuti oleh pandangan
mata. Itulah ilmunya yang baru, yaitu ilmu ciptaannya sendiri yang disebut
Sin-ho-coan-in. Dengan gerakan seperti itu, semua serangan dari Ban Hwa Sengjin
menjadi gagal!
Ban Hwa
Sengjin amat terkejut. Setiap kali tubuhnya yang berpusing itu menyerang dengan
pukulan tangan yang cepat tak terduga, tiba-tiba saja tubuh lawan itu melesat
dan lenyap! Dan berturut-turut dia telah menyerang sampai sembilan belas jurus!
Kurang satu jurus lagi dan dia akan kalah! Tahulah dia bahwa dia menghadapi
seorang pemuda yang selain lihai sekali, juga amat cerdik. Pemuda itu sama
sekali tidak mau balas menyerang! Dengan demikian, pemuda itu dapat memusatkan
seluruh perhatian pada perlindungan diri saja sehingga akan dapat melewati dua
puluh jurus dan tidak dapat dirobohkan, berarti menang! Kalau pemuda itu
tergoda untuk balas menyerang, tentu pertahanan dirinya menjadi berkurang
kuatnya, akan tetapi satu kali pun Kian Bu tidak mau membalas serangan lawan.
Tentu saja
Ban Hwa Sengjin menjadi khawatir sekali. Tentu kalah dia kalau dalam jurus
terakhir ini dia tidak mampu mengalahkan atau merobohkan pemuda ini. Dia harus
menggunakan sihirnya! Dari sepasang matanya memancarkan cahaya yang amat aneh
dan berpengaruh. Dia menarik napas panjang, mengumpulkan kekuatan mukjijat lalu
terdengar suara yang dalam dan berpengaruh sekali, mengandung kumandang aneh,
berseru, “Lihat nagaku menerkammu!”
Kian Bu
terkejut bukan main dan terbelalak memandang ke atas ketika tiba-tiba saja dia
melihat seekor naga hitam yang menyemburkan api menyerangnya dari atas udara.
Tentu saja menghadapi ancaman hebat ini, seluruh perhatiannya tercurah ke atas
dan dia tidak tahu bahwa pada saat itu Ban Hwa Sengjin siap melancarkan
serangan jurus terakhir! Semua orang, termasuk Kian Lee, menjadi khawatir
sekali melihat adiknya itu tiba-tiba saja berdiri bengong memandang terbelalak
ke atas, seolah-olah tidak lagi mempedulikan lawannya yang sudah siap untuk
menerjangnya!
Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar suara ketawa, tertawa merdu halus akan tetapi juga nyaring
dan mengandung pengaruh yang mukjijat. Lalu oleh Kian Bu yang seperti baru
sadar ketika mendengar suara ketawa itu, tampak seekor naga merah yang
menyambar dan menerkam naga hitam itu. Terdengar suara keras dan naga hitam itu
lenyap bersama naga merah dan sadarlah Kian Bu bahwa dia berada di bawah
pengaruh sihir. Marahlah Siluman Kecil dan dia mengerahkan seluruh tenaga yang
ada padanya, menggabungkan tenaga Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, lalu
dia menyambut kakek itu yang sudah menyerangnya dengan ganas, serangan dari
jurus terakhir!
“Desssss...!”
Ban Hwa
Sengjin terpental dan terbanting roboh ke atas tanah dalam keadaan pingsan!
Untung dia memiliki tenaga mukjijat karena kalau tidak, tentu dia sudah
mengalami luka luka seperti tersiram air panas seperti yang diderita oleh Kian
Lee. Dia hanya terbanting roboh dan pingsan saja, sebagian besar karena
terpukul oleh kekuatan mukjijatnya sendiri yang dipergunakan untuk menyihir dan
ternyata membalik karena campur tangan wanita yang mengeluarkan suara ketawa
tadi.
Kian Bu
cepat menengok ke kanan dan dia melihat seorang gadis yang luar biasa
cantiknya, yang berdiri lemas seperti batang pohon yang-liu, dan mulutnya
tersenyum mengejek memandang kepadanya, seorang yang cantik manis, pakaiannya
serba indah dan di bawah ketiak kirinya mengempit sebuah payung hitam. Dia
merasa seperti pernah mengenal dara ini, akan tetapi dia lupa lagi di mana.
Karena dia
menduga bahwa tentu gadis ini yang telah menolongnya tadi dari bahaya maut
akibat pengaruh sihir, maka dia lalu menjura ke arah gadis itu sambil berkata,
“Terima kasih!”
Akan tetapi
pada saat itu, Sai-cu Kai-ong sudah cepat berkata, “Mari kita cepat pergi dari
sini!” dan dia sudah mendahului Kian Bu dengan menggendong Pangeran Yung Hwa.
Kian Bu
sadar bahwa memang mereka harus cepat pergi selagi Ban Hwa Sengjin yang lihai
itu tidak berdaya, maka dia pun segera berkata kepada Siauw Hong, “Cepat kau ikuti
Suhu-mu, biar aku yang menjaga dari belakang.”
Siauw Hong
mengangguk dan sambil memondong tubuh Kian Lee, pemuda remaja ini pun cepat
berlari pergi mengejar suhu-nya, sedangkan Kian Bu berlari paling belakang
untuk menjaga dua orang yang memondong Pangeran Yung Hwa dan kakaknya itu. Akan
tetapi setelah melihat Ban Hwa Sengjin roboh, dan mengenal pula Siluman Kecil,
para pengawal Gubernur Ho-nan itu sama sekali tidak berani bergerak dan
membiarkan mereka pergi.
Gadis cantik
jelita yang tadi tersenyum-senyum, sekali berkelebat juga lenyap dari situ.
Gadis ini tentu saja bukan lain adalah Siang In! Seperti kita ketahui, gadis
ini masih terus mencari Syanti Dewi yang lenyap dari puncak Naga Api di
Pegunungan Lu-liang-san, dari sarang Hwa-i-kongcu Tang Hun secara aneh, dan
kebetulan saja dia menyaksikan pertandingan hebat antara Siluman Kecil dan
koksu dari Nepal itu.
Andai kata
koksu itu tidak mempergunakan ilmu sihir, tentu Siang In tidak akan mencampuri
pertandingan hebat itu, bahkan dia sendiri menonton dari kejauhan dengan kagum
sekali karena maklum, bahwa yang sedang bertanding itu adalah dua orang yang
memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya
sendiri.
Akan tetapi
begitu melihat kakek raksasa botak itu mempergunakan ilmu hitam, tentu saja
hatinya tertarik dan dia menjadi penasaran maka tanpa diminta dia lalu turun
tangan membuyarkan pengaruh sihir itu. Bukan sengaja untuk mendukung orang muda
yang rambutnya putih dan aneh itu, melainkan hanya karena dia selalu tertarik
oleh pertunjukan ilmu sihir karena dia sendiri adalah seorang ahli sihir! Dia
pangling terhadap Kian Bu karena pemuda itu kini rambutnya sudah menjadi putih
semua dan dia pun hanya melihat wajah pemuda itu dari jarak yang cukup jauh.
Padahal, telah lama dia mencari pemuda ini!
Akhirnya
tibalah mereka di perkemahan pasukan yang dipimpin oleh Sai-cu Kai-ong dari
kota raja itu. Legalah hati Sai-cu Kai-ong karena kini dia yakin bahwa dia
telah berhasil menyelamatkan Pangeran Yung Hwa dari bahaya maut. Maka begitu
mereka tiba di ruangan dalam dari kemah induk yang ditinggali oleh Sai-cu
Kai-ong, kakek yang gagah perkasa ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
Pangeran Yung Hwa untuk memberi hormat.
Dengan hati
terharu pangeran yang rendah hati dan selalu ramah ini memeluk dan mengangkat
bangun kakek itu sambil berkata, “Locianpwe, jangan menggunakan terlalu banyak
sikap sungkan terhadap saya. Pada saat ini saya hanyalah seorang yang telah
berhutang budi dan nyawa kepada kalian semua. Sebaiknya Locianpwe cepat-cepat
menolong Suma Kian Lee yang terluka parah itu.”
Sai-cu
Kai-ong mengangguk dan merasa girang karena kini dia memperoleh kenyataan akan
kebenaran berita di luaran tentang sikap Pangeran Yung Hwa yang bijaksana dan
baik terhadap siapa saja. Di samping merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya
untuk membantu kerajaan, juga dia merasa girang telah membantu seorang pangeran
yang begitu menyenangkan sikapnya. Cepat dia lalu menghampiri Kian Lee yang
sudah direbahkan di atas pembaringan dan cepat dia melakukan pemeriksaan dengan
teliti. Setelah melakukan pemeriksaan agak lama, Sai-cu Kai-ong lalu berkata
kepada Kian Bu yang mengikuti pemeriksaan itu penuh perhatian.
“Taihiap,
sungguh baru satu kali ini aku melihat kehebatan-kehebatan yang amat luar
biasa. Akibat pukulan darimu amat mengerikan, akan tetapi daya tahan kakakmu
ini juga amat luar biasa. Kalau bukan dia yang mengalami pukulan seperti ini,
agaknya dia akan kehilangan seluruh sumber tenaga murninya dan akan menjadi
seorang penderita cacad selama hidupnya.“
“Ahhh,
Locianpwe...!” Kian Bu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
“Harap Locianpwe sudi mengusahakan agar kakakku dapat sembuh...!” Dia berkata
dengan muka pucat dan hati menyesal bukan main.
Sai-cu
Kai-ong tersenyum dan membangunkan pemuda itu. “Jangan khawatir, Taihiap.
Kakakmu ini memiliki dasar kekuatan yang tidak lumrah manusia berkat sinkang
yang selama hidup belum pernah kusaksikan sedemikian kuatnya sehingga dia hanya
mengalami luka yang tidak membahayakan nyawanya. Tetapi, luka itu kalau kuobati
dengan obat-obat biasa, akan memakan waktu berbulan-bulan. Hanya ada semacam
obat yang kutahu akan dapat menyembuhkannya secara cepat sekali, akan tetapi
aku sangsi apakah kita akan dapat memperoleh obat itu...“
“Di mana
tempatnya? Locianpwe, aku sendiri akan mencari obat itu!” Kian Bu berseru.
Kakek itu
mengerutkan alisnya, “Obat itu adalah semacam jamur yang amat mukjijat dan
tidak ada keduanya di dunia ini. Jamur panca warna yang hanya nampak warnanya
kalau berada di tempat gelap, karena di dalam tempat gelap itu jamur ini
mengeluarkan sinar mencorong dan kelihatanlah warnanya seperti warna pelangi.
Kalau terkena sinar terang, jamur itu menutupkan kelopaknya seperti jamur mati
dan hanya di waktu gelap saja dia mekar, mengeluarkan sinar dan warnanya.”
Kian Bu
mengangguk-angguk. “Sudah saya catat dalam hati tentang keadaan jamur itu,
Locianpwe, lalu di mana tempatnya?”
“Itulah
sukarnya. Aku sendiri belum pernah ke sana, dan hanya mendengar penuturan
seorang pendeta yang pernah tersesat ke sana. Tempat itu agaknya tidak mungkin
didatangi orang. Pernah aku sendiri mencapai tebing itu, akan tetapi tidak
melihat jalan turun saking terjal dan licinnya. Akan tetapi, melihat kesaktian
Taihiap, siapa tahu kalau kalau Taihiap dapat menuruninya. Pendeta yang kini
telah meninggal itu pun hanya karena tersesat saja, karena kecelakaan dan
terguling ke dalam jurang lalu mencoba mencari jalan keluar, maka dapat tiba di
tempat itu dan dia pun sudah tidak tahu lagi bagaimana dia dapat sampai ke
tempat itu. Dialah yang membawa jamur aneh itu dan memberikan kepadaku, sayang
bahwa jamur itu sudah habis kupakai mengobati orang. Tempatnya di tepi Sungai
Huang-ho. Mari kubuatkan gambaran petanya.”
Kakek yang
gagah perkasa itu lalu memberi petunjuk kepada Kian Bu tentang letaknya tebing
yang curam di pegunungan dekat muara Sungai Huang-ho itu sampai pemuda ini
jelas benar akan tempat yang hendak dikunjunginya untuk mencarikan obat bagi
kakaknya. Setelah merasa yakin bahwa dia akan dapat mencari tempat itu, Kian Bu
lalu berpamit kepada kakaknya.
“Lee-ko,
harap tenangkan hatimu. Aku akan mencarikan obat jamur panca warna itu untukmu,
dan percayalah, aku pasti akan bisa mendapatkan jamur itu. Harap kau baik baik
menjaga diri dan biarlah Sai-cu Kai-ong locianpwe yang akan merawatmu.”
Kian Lee
memegang tangan adiknya. “Jangan terlalu lama, Bu-te. Kita belum puas bicara,
bahkan aku belum tahu bagaimana riwayatmu sehingga selama lima tahun ini engkau
menghilang dan tahu-tahu rambutmu telah menjadi putih semua dan ilmu
kepandaianmu meningkat sedemikian hebatnya,” kata Kian Lee dengan pandang mata
penuh kasih sayang kepada adiknya.
“Nanti saja
kalau aku sudah kembali kita bicara sebanyaknya, Koko. Yang terpenting sekarang
adalah obat untukmu.”
“Suma-taihiap,
kalau nanti engkau kembali dan melihat kami sudah tidak berada di sini, berarti
pasukan kami telah ditarik mundur kembali ke kota raja dan aku akan membawa
kakakmu ke tempat tinggalku di puncak Bukit Nelayan untuk beristirahat dan
diobati. Kami mempunyai pondok di sana, di puncak Bukit Nelayan di pinggir
sungai, sebelah selatan kota Pao-teng.”
“Hati-hatilah
mencari obat yang amat sukar didatangi tempatnya itu, Taihiap,” kata Pangeran
Yung Hwa yang hadir pula di situ. “Apakah perlu kiranya kau dikawal oleh
pasukan? Mereka dapat membantumu.“
“Terima
kasih, saya kira tidak perlu,” jawab Kian Bu.
Maka segera
berangkatlah pemuda perkasa ini meninggalkan perkemahan pasukan itu,
menggunakan kepandaiannya berlari cepat sekali menuju ke tempat yang telah
digambarkan oleh Sai-cu Kai-ong kepadanya. Apa pun yang akan dihadapinya, apa
pun yang akan menimpanya, dia harus mendapatkan obat untuk kakaknya itu,
demikian dia mengambil keputusan di dalam hatinya.
***************
Para pembaca
yang pernah mengikuti pengalaman-pengalaman pendekar sakti Gak Bun Beng di
waktu dia masih kecil, yaitu dalam cerita Sepasang Pedang Iblis, mungkin masih
ingat ketika pendekar sakti itu di waktu masih kecil terlempar ke dalam air
Sungai Huang-ho yang amat deras, kemudian dia diseret oleh pusaran air, disedot
ke bawah dan dihanyutkan melalui terowongan aneh sampai dia mendarat di lambung
gunung! Terowongan yang menembus dalam tubuh gunung itu merupakan terowongan
maut dan hanya secara ‘kebetulan’ saja dia dapat selamat dan tiba di tempat
yang luar biasa anehnya, tempat yang penuh dengan binatang setengah kera
setengah anjing (baboon) di mana dia menemukan sepasang pedang iblis dan
kitab-kitab Sam-po Cin-keng yang mukjijat.
Di tempat
luar biasa itulah adanya jamur panca warna yang dimaksudkan oleh Sai-cu
Kai-ong. Dan memang benar seperti yang dituturkan oleh Sai-cu Kai-ong, tempat
itu tidak pernah atau tidak mungkin didatangi manusia. Pendeta Buddha yang
kebetulan dapat tersesat ke situ adalah seorang hwesio pencari daun-daun obat
yang hanya kebetulan saja dapat tiba di situ.
Hwesio ini
ketika sedang mencari obat di tebing dan menginjak sebuah batu telah
tergelincir dan dia terjatuh ke dalam jurang yang amat terjal itu. Akan tetapi
secara aneh, tubuhnya yang pingsan itu ‘diterima’ oleh sebatang pohon yang
tumbuh di tebing. Tubuh itu ditangkap oleh cabang, ranting dan daun-daun pohon
dan pohon kecil itu jebol, terbawa melayang turun dan akhirnya setelah mencelat
ke sana-sini, tubuh itu terjatuh ke air! Itulah air anak sungai yang terbentuk
dari air hujan dan yang mengalir masuk ke air terowongan yang dulu
menghanyutkan pendekar sakti Gak Bun Beng! Dan karena kebetulan yang luar biasa
ini hwesio itu dapat berada di situ.
Setelah
siuman dia lalu mencari jalan keluar, menemukan jamur panca warna yang belum
diketahui khasiatnya dan hanya diambil karena sifatnya yang luar biasa. Setelah
dia berusaha mati-matian sampai berbulan dan sampai lupa jalan, akhirnya dapat
juga dia keluar dari tebing maut itu, melalui perjalanan yang amat jauh dan
yang tidak dapat diingatnya kembali karena perjalanan itu menyusup-nyusup, naik
turun jurang kecil dan memakan waktu sampai sebulan lebih baru dia dapat
‘keluar’ dari sana!
Akan tetapi
Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil bukanlah seorang manusia biasa, melainkan
seorang pemuda yang telah memiliki kepandaian amat hebat. Maka setelah dia tiba
di tempat yang dimaksudkan, dia menjenguk ke tepi tebing dan mengerutkan
alisnya. Memang tidak mungkin bagi seorang manusia untuk menuruni tebing itu,
tepat seperti yang dikatakan oleh Sai-cu Kai-ong. Agaknya keturunan pengemis
sakti pendiri Khong-sim Kai-pang itu telah pula berdiri di tepi tebing ini,
pikir Kian Bu. Dia sendiri kalau dalam keadaan biasa, tentu lebih baik
cepat-cepat menjauhkan diri dari tebing itu, apa lagi harus mencari jalan
turun! Akan tetapi dalam keadaan seperti saat itu, untuk mencarikan obat bagi
kakaknya, jangankan hanya tebing yang curam, biar lautan api pun tentu akan
ditempuhnya!
Dengan
menggunakan ketajaman pandang matanya, Kian Bu dapat mengerti mengapa tidak
mungkin ada orang dapat menuruni tebing itu. Kalau hanya curam saja, asal ada
tempat untuk berpijak kaki dan berpegang tangan, pasti dia akan mampu
menuruninya, betapa terjal sekali pun. Atau biar pun amat terjal, kalau dia sudah
tahu bagaimana keadaan dasar tebing itu, tentu dia pun akan berani
mempergunakan ilmunya Sin-ho Coan-in untuk berloncatan ke bawah dengan
menggunakan dinding tebing sebagai penahan luncuran dan tempat menjejakkan
kakinya. Akan tetapi tanpa mengetahui keadaan dasar tebing, padahal tenaga
luncuran berat tubuhnya tentu akan luar biasa kuatnya dari tempat setinggi itu,
berarti mempertaruhkan nyawa secara konyol.
Dia dapat
pula menggunakan Ilmu Pek-houw-yu-jong (Cecak Bermain-main di Tembok) dengan
sinkang yang mengeluarkan daya sedot pada kaki tangannya yang telanjang untuk
merayap menuruni tebing. Akan tetapi tentu saja ilmu itu hanya dapat digunakan
untuk pendakian yang tidak begitu tinggi atau penurunan yang tidak securam
tebing ini. Dia tentu sudah akan kehabisan tenaga sebelum mencapai seperempat
jarak tebing itu dan kehabisan tenaga berarti akan melayang jatuh dan mati
dalam keadaan tubuh hancur lebur! Menggunakan tali? Mana mungkin mencari tali
yang panjangnya seperti itu? Pula, merayap turun ke tebing menggunakan tali
berarti menggantungkan nyawa pada tali itu, padahal tali itu terikat di atas
tebing. Sekali bacok saja tali di atas tebing itu oleh musuh, nyawanya akan
melayang.
Kian Bu
duduk termenung di tepi tebing dengan alis berkerut. Betapa pun juga, dia tidak
akan menyerah begitu saja! Dia harus mencari akal dan kembali dia menjenguk ke
bawah. Memang terjal bukan main sampai dia tidak dapat melihat jelas keadaan di
bawah sana. Jangankan seorang manusia, bahkan seekor monyet sekali pun kiranya
tidak akan mungkin menuruni tebing ini, pikirnya. Kadang-kadang ada kabut
melayang di bawah sehingga menutupi keadaan bawah tebing sama sekali.
Tiba-tiba
dia melihat seekor burung terbang melayang. Seekor burung walet hitam dan dia
memandang dengan penuh iri. Kalau aku bersayap seperti burung itu! Alangkah
akan mudahnya menuruni tebing ini, pikirnya. Jangankan baru tebing ini, biar
naik ke langit pun tiada sukarnya bagi seekor burung yang bersayap!
Kembali dia
menjenguk ke bawah, bahkan tubuh atasnya condong ke tepi tebing. Dia tidak
melihat bahwa ada bayangan hitam berkelebat di belakangnya. Kalau saja
perhatiannya tidak tercurah sepenuhnya ke bawah tebing dan untuk mencari jalan
turun ke bawah, tentu pendengarannya yang sudah terlatih dan menjadi tajam luar
biasa berkat sinkang-nya itu akan dapat menangkap gerakan si bayangan hitam
ini, betapa pun cekatan dan ringan gerakan si bayangan hitam ini.
“Heiii,
jangan coba bunuh diri...!”
Tiba-tiba
terdengar seruan halus dan nyaring itu yang membuat Kian Bu terkejut bukan
main. Dalam keadaan melamun dan menjenguk ke dalam tebing seperti itu lalu
tiba-tiba mendengar bentakan yang demikian nyaring, benar-benar amat
membahayakan. Orang yang lemah jantungnya tentu akan terperanjat dan dapat saja
langsung terjungkal ke dalam jurang!
Dia cepat
membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak memandang, kemudian dia mengerutkan
alisnya dengan hati mengkal. Kiranya di situ telah berdiri gadis cantik jelita
berpakaian serba hitam yang membawa-bawa ular, yang dahulu pernah menyerangnya
kalang-kabut hanya karena berbeda pendapat tentang diri Cui Lan dan oleh karena
menyangka bahwa dia mengejar-ngejar gadis ini!
Setelah dia
membalik, gadis itu pun terkejut, kemudian tersenyum mengejek. Begitu
tersenyum, seketika tercipta dua buah lesung pipit di kanan kiri bibirnya.
Manis bukan kepalang! Lalu bibir itu merekah membentuk senyum sehingga deretan
gigi kecil yang putih bersih berkilau sesaat di antara belahan bibir yang merah
basah. Cantik sekali!
“Ya
ampuunnn...! Kiranya engkau ini? Aha, kalau begitu lanjutkan usahamu itu,
Siluman Kecil. Lanjutkan selagi aku menjadi saksi di sini. Aihhh, betapa akan
senangnya menjadi orang satu-satunya yang menyaksikan betapa Siluman Kecil yang
tersohor itu ternyata hanyalah seorang laki-laki yang berhati kecil pula
seperti julukannya, seorang pengecut yang mudah patah hati, seorang laki-laki
cengeng yang mudah mendapat dorongan hasrat untuk membunuh diri. Hi-hi-hik,
teruskanlah bunuh diri di depanku, aku akan senang sekali!”
Kian Bu
bangkit berdiri dan memandang dengan melongo, lalu dia maju beberapa langkah,
memandang wajah cantik jelita dan manis itu penuh selidik. Melihat sinar mata
yang mencorong dari pemuda berambut putih itu, diam-diam gadis itu bergidik.
Gadis itu tentu saja adalah Hwee Li, puteri ketua Pulau Neraka!
“Ihhh!
Kenapa kau memandang aku seperti itu?” bentaknya dengan suara dibikin galak
untuk menutupi rasa ngerinya.
Dia
sebenarnya merasa ngeri terhadap pemuda berambut putih ini yang dia tahu
memiliki kepandaian amat tinggi sehingga dia sama sekali tidak akan mampu
menang melawannya. Kalau dia bersikap angkuh dan berani, hal itu hanya
dilakukan agar dia jangan dipandang rendah saja! Memang, biar pun dia sudah
dewasa, Hwee Li masih belum dapat menghilangkan sifat kekanak-kanakannya.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment