Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 11
Maklum bahwa
kalau dilanjutkan, tentu dia yang akan celaka akibat kalah cepat oleh gerakan
suling, maka Kian Bu kemudian mengambil keputusan untuk menggunakan pukulannya
yang paling ampuh dan paling hebat. Kalau dia tidak dapat merobohkan lawan,
tentu dia yang akan roboh. Gulungan sinar emas itu terlalu cepat baginya!
Maka
tiba-tiba pemuda ini lalu mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking nyaring,
kemudian kedua tangannya mendorong ke depan dengan inti tenaga sinkang yang
bertentangan, yaitu yang kanan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang
panas sedangkan sedetik kemudian yang kiri mendorong dengan pukulan Swat-im
Sin-ciang. Bukan main hebatnya dua pukulan ini yang sedemikian hebatnya
sehingga pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang panas itu mampu untuk memukul hangus
lawan, sedangkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dingin dapat membikin beku
darah dalam tubuh lawan.
“Ihhhhh...!”
Kakek itu berseru keras.
Dia pun
mendorongkan kedua lengannya untuk menahan serangan hawa pukulan mukjijat itu,
dan sulingnya dia sambitkan ke depan pada saat dia mendorongkan kedua
tangannya. Suling Emas itu meluncur melalui bawah lengan kiri Kian Bu seperti
kilat menyambar.
“Desssss...
tukkkkk...!”
Tubuh kakek
itu terlempar ke belakang dan dia menggigil, sedangkan Kian Bu sendiri
terpelanting dan roboh terguling karena suling itu dengan kuatnya telah menotok
ketiak kirinya sehingga dia roboh dan merasa betapa separuh tubuhnya yang kiri
menjadi lumpuh sama sekali!
“Ughhh...
ughhh...!” Sin-siauw Sengjin terbatuk dan dia muntahkan darah segar, akan
tetapi dia segera memejamkan mata dan mengatur pernapasan sehingga sebentar
saja pulih kembali kekuatannya. Dia membuka mata dan menghampiri Kian Bu yang
masih rebah miring dengan sinar mata penuh keheranan dan penasaran. Suling Emasnya
yang menggeletak di atas tanah, lalu dipungutnya kembali dan diamat-amatinya.
“Saya...
saya... mengaku kalah, akan tetapi... tunggu lima tahun lagi... saya pasti akan
mencari Locianpwe dan membuat perhitungan... ahhhhh...,“ Kian Bu mengeluh
karena totokan itu hebat bukan main dan agaknya bukan hanya menghentikan jalan
darahnya, melainkan merusak banyak jalan darah di tubuhnya yang sebelah kiri.
Mendengar
ucapan Kian Bu itu, Sin-siauw Sengjin mendengus, lalu dia berkata, “Orang muda
ini terlalu berbahaya...,” seperti berkata kepada muridnya atau kepada dirinya
sendiri, lalu nampak sinar emas berkelebat dan sulingnya sudah menyambar ke
arah tubuh Kian Bu yang sudah tidak berdaya itu.
Kian Bu
berusaha menangkis dengan tangan kanannya yang masih dapat digerakkan, namun
suling yang mengarah ke kepala itu tertangkis meleset dan masih mengenai
tengkuknya.
“Desss...!”
Kian Bu mengeluh dan roboh pingsan!
“Omitohud...!”
Sesosok bayangan berkelebat dan demikian cepat gerakan bayangan ini sehingga
tahu-tahu nikouw itu telah berada di situ, berlutut dan memeluk tubuh Kian Bu
yang sudah tidak bergerak lagi, dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir
darah!
Kakek itu
dan muridnya terkejut, akan tetapi segera mengenal siapa adanya orang yang
demikian cepat gerakannya itu. Sin-siauw Sengjin kemudian berkata, “Kiranya Kim
Sim Nikouw dari Kwan-im-bio. Hemmm, mengapa kau mencampuri urusan kami?”
“Siancai…
siancai… siancai...!” Kim Sim Nikouw berkata halus. “Seorang yang gagah perkasa
seperti Locianpwe, mengapa bisa berlaku rendah, menyerang orang yang sudah
tidak berdaya lagi? Mengapa di hari tua tidak mencari jalan terang, melainkan
menambah kegelapan yang kelak hanya akan menggelapkan perjalanan sendiri?
Omitohud... semoga semua manusia sadar akan dosa-dosanya... Omitohud...!”
Wajah kakek
itu menjadi pucat, lalu merah dan tanpa berkata apa-apa dia memasuki rumah
gedungnya, diikuti oleh muridnya. Terdengar daun pintu dibanting keras dan
nikouw itu lalu memondong tubuh Kian Bu dan dibawa pergi. Agak berat juga
baginya memondong tubuh pemuda itu, maka lalu dipanggulnya. Dengan gerakan kaki
yang cepatnya luar biasa, nikouw itu lalu berlari seperti terbang menuju ke lereng
sebelah barat dari Gunung Tai-hang-san, tidak begitu jauh dari puncak bukit
itu.
Perlahan-lahan
Kian Bu membuka matanya akan tetapi lalu ditutupnya kembali karena pandang
matanya berkunang dan dia melihat cahaya merah kuning biru menari-nari
menyilaukan matanya. Sentuhan jari tangan halus di dahinya dirasakan hangat dan
menenangkan, lalu dibukanya kembali kedua matanya. Tubuhnya lemah sekali dan
dia segera teringat akan keadaan dirinya. Dia teringat bahwa dia telah roboh
oleh Sin-siauw Sengjin. Tubuhnya mati sebelah!
Kini pandang
matanya berusaha menembus kesuraman itu dan nampaklah segores wajah yang
lembut, sepasang mata yang memandangnya penuh kasih sayang. Mata ibunya? Siapa
lagi orangnya yang memiliki mata sebening dan seindah itu, semesra itu memandangnya
kalau bukan mata ibunya? Siapa lagi yang dapat mengangkatnya dari jurang maut
kalau bukan tangan ibunya? Jari tangan siapa yang menyentuh demikian halus dan
lembutnya di dahinya tadi, yang mengusir semua kepeningan kalau bukan jari
tangan ibunya?
“Ibuuuuu...,”
Dia memanggil dengan suara bisikan panjang.
Mulut itu
tersenyum dan sepasang mata yang bening itu menjadi basah! Ibunya menangis?
Belum pernah dia melihat mata ibunya menjadi basah. Ibunya bukan orang cengeng,
melainkan seorang wanita perkasa yang belum pernah dilihatnya menangis!
Kian Bu
membuka lebar matanya dan kini dia dapat melihat lebih terang. Kiranya bukan
ibunya yang duduk di tepi pembaringannya, melainkan seorang nikouw berkerudung
kain kuning. Seorang nikouw yang pernah dijumpainya di lereng bukit, nikouw
pemetik daun obat yang memiliki ginkang amat luar biasa itu, yang seolah-olah
pandai terbang!
“Suthai...,”
Kian Bu memanggil lirih.
“Omitohud...
terima kasih kepada kemurahan Sang Buddha...! Engkau sudah siuman, Suma-sicu?
Aihhh, betapa khawatir hati pinni (aku) melihat engkau menggeletak begitu lama
seperti... seperti... sudah tak bernyawa lagi...,” Nikouw itu menghapus dua
titik air mata dari bawah matanya dengan ujung lengan bajunya yang panjang dan
lebar.
Pada saat
Kian Bu hendak bangkit duduk, dia mengeluh karena tubuhnya yang separuh tidak
dapat digerakkan. Nikouw itu lalu cepat mencegah dengan menggerakkan tangan dan
memegang pundaknya, merapatkan duduknya.
“Jangan
bergerak dulu... lukamu amat parah dan hebat...”
“Ouhhhhh...!”
Kian Bu mengeluh lagi. Kini pandang matanya sudah terang dan pulih kembali dan
dia teringat akan semuanya. “Sudah berapa lama saya berada di sini, Suthai?”
“Sudah tiga
hari tiga malam engkau rebah tak bergerak, seperti mati. Syukur pagi hari ini
kau siuman, itu pertanda baik sekali.”
“Jadi...
Suthai yang menolong saya...?”
Nikouw itu
menaruh telunjuk ke depan mulut. “Sssttt... janganlah banyak bicara dulu, anakku.
Kau harus banyak beristirahat dan memulihkan kembali kesehatanmu. Jangan
khawatir, selama berpuluh tahun ini tidak percuma pinni mempelajari ilmu
pengobatan. Pukulan keji Sin-siauw Sengjin tidak akan membunuhmu. Pinni yang
membawamu ke sini, anakku, dan sekarang beristirahatlah.”
Nikouw itu
cepat mengambil sebuah mangkok dari meja dan membantu Kian Bu untuk bangkit
duduk dengan merangkul pundak pemuda itu dan memberinya minum tajin dari
mangkok itu sampai habis.
“Nah, kau
tidurlah sekarang, aku akan mengumpulkan dan memasak obat untukmu,” kata nikouw
itu setelah merebahkan kembali Kian Bu dan menyelimutinya. Kian Bu memaksa
senyum dan memejamkan matanya, sebentar kemudian dia pun sudah tidur pulas.
Beberapa
hari kemudian, Kian Bu sudah sadar benar, namun tubuhnya masih setengah lumpuh.
Meski dia sudah dapat bangkit duduk namun dia belum dapat turun dan belum dapat
menggerakkan kaki dan tangan kirinya. Ketika pagi hari itu dia melihat nikouw
itu datang dan seperti biasa melayaninya untuk makan bubur, buang air dan
sebagainya, Kian Bu tak dapat menahan rasa keharuan dan terima kasihnya. Ingin
dia menjatuhkan diri berlutut di depan nikouw itu, namun kaki kirinya tidak
mengijinkannya. Melihat setiap hari nikouw itu merawatnya, membuangkan air
kencing dan kotorannya, membersihkan tubuhnya, menyuapkan makanan, memberi
obat, sungguh tak ubahnya seperti seorang ibu sendiri! Dan nikouw itu selalu
menyebutnya ‘anakku’!
“Nah,
sekarang bahaya telah lewat!” pada pagi hari itu nikouw tua itu berkata dengan
wajah berseri. “Engkau sudah tidak terancam maut lagi dan kini tinggal
memulihkan tenaga.”
“Akan tetapi
kaki tangan kiri saya belum dapat bergerak...”
“Jangan
khawatir. Memang pukulan-pukulan itu hebat sekali, dapat menghancurkan seluruh
rangkaian urat-uratmu. Untung Swat-im Sin-kang di tubuhmu melindungimu, anakku.
Pinni yakin engkau akan sembuh kembali sama sekali.”
“Betapa,
besar budi Suthai kepada saya...” Kian Bu berkata dan matanya terasa panas
karena dia merasa terharu sekali.
Nikouw tua
itu kini duduk di tepi pembaringan dan memegang lengannya. “Sekarang engkau
sudah tidak terancam bahaya. Bolehlah kita bicara. Suma Kian Bu, katakanlah
sejujurnya, siapa nama ayahmu?”
“Ayah? Ayah
bernama Suma Han...”
“Han Han...
ahhh, sudah kuduga... wajahmu, sikapmu... dan Swat-im Sin-ciang itu...!
Dugaanku tidak salah... ahhh, Han Han...” Dan nikouw itu menghapus air matanya,
mulutnya tersenyum ketika dia memandang pemuda itu melalui air matanya. “Engkau
puteranya! Hemmm, sudah pinni duga dan engkau juga anakku, Suma Kian Bu, engkau
anakku...”
“Apa
maksudnya ini, Suthai?” Kian Bu bertanya penuh keheranan. Dia adalah anak Suma
Han dan Puteri Nirahai, mengapa nikouw ini mengaku dia sebagai anaknya?
Nikouw itu
kembali menghapus air matanya dan melihat betapa mulutnya tersenyum di antara
tangisnya, mengertilah Kian Bu bahwa tangis wanita itu bukan karena berduka,
melainkan karena terharu dan gembira!
“Jangan
salah mengerti anakku. Tentu saja engkau anak dari Suma Han dan... ehhh, siapa
ibumu?”
“Ibu adalah
Puteri Nirahai.”
“Hemmm,
pantas... pantas...! Kuulangi lagi, janganlah kau salah mengerti. Tentu saja
engkau anak ayah bundamu itu, dan aku... aku hanyalah bekas sahabat baik
ayahmu, bahkan dahulu... dahulu sekali… puluhan tahun yang lalu, saat namaku
masih Kim Cu, di antara ayahmu dan aku masih ada pertalian saudara seperguruan.
Karena itu aku mengenal pukulan Swat-im Sin-ciang yang kau gunakan tadi. Dan
dahulu... dahulu... sekali... aku dan ayahmu senasib sependeritaan, dan aku...
aku mencintanya. Namun nasib memisahkan kami, dan kini nasib pula yang
mempertemukan aku dengan engkau, puteranya! Karena engkau adalah puteranya,
maka engkau seakan-akan juga anakku sendiri, Kian Bu.”
Kian Bu
mendengarkan penuh keharuan. Nikouw ini pada waktu mudanya tentu cantik jelita.
Dan mencinta ayahnya! Akan tetapi mereka dipisahkan oleh nasib!
“Bagaimana
keadaan ayahmu, Kian Bu?” tanya nikouw itu sambil mengusap air mata untuk ke
sekian kalinya.
“Baik,
Suthai. Baik sekali. Ayah dan ibu dan semua keluarga berada di Pulau Es, dan
saya... telah beberapa lama meninggalkan Pulau Es.”
“Jadi ayahmu
hidup bahagia?”
Kian Bu
mengangguk.
“Terima
kasih kepada Sang Buddha yang maha kasih!” Nikouw itu berseru. “Betapa
bahagianya mendengarkan dia dalam keadaan sehat dan bahagia!”
Kian Bu
memandang wanita itu dan ada sesuatu yang membuatnya terharu sekali, dan yang
memaksanya bertanya, “Di wakktu muda dahulu, Suthai... mencinta ayahku?”
Nikouw itu
memandangnya, mengangguk dan menarik napas panjang. “Sampai detik ini tak
pernah aku berhenti mencintanya.”
“Dan ayah...
apakah ayah juga membalas cinta kasih Suthai?”
Nikouw itu
tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Dia suka dan kasihan kepadaku, akan
tetapi cinta? Mungkin sekali, ya, aku yakin bahwa dia tidak mencintaku seperti
aku mencintanya...”
“Dan Suthai
tidak menderita sengsara? Tidak berduka, bahkan bergembira mendengar berita
tentang ayah?” Kian Bu makin terheran.
“Puluhan
tahun aku telah menderita, akan tetapi sudah lama pinni sadar bahwa semua
penderitaan itu bukanlah akibat cinta, melainkan akibat dari iba diri. Seorang
yang mencinta, barulah benar-benar dikatakan bahwa cintanya itu murni, apa bila
dia merasa bergembira kalau melihat orang yang dicintanya itu bahagia, baik
orang itu menjadi jodohnya atau pun tidak. Pinni gembira mendengar dia bahagia,
Han Han seorang yang amat baik...,” dan dia berhenti sebentar. “Entah berapa
puluh tahun setiap hari pinni bersembahyang mohon belas kasihan dari Kwan Im
Pouwsat agar kehidupan Han Han diberkahi dan dia dapat hidup berbahagia.
Ternyata doa pinni telah terkabul, dia hidup berbahagia dan mempunyai putera
yang seperti engkau. Tentu saja pinni merasa gembira sekali...”
“Ahhh,
betapa mulia hatimu, Suthai. Cintamu terhadap ayah demikian suci murni... dan
sekarang Suthai telah menyelamatkan nyawa saya... ahh, bagaimana saya akan
dapat membalas semua budi Suthai ini, budi Suthai yang telah dilimpahkan dalam
cinta kasih yang demikian suci murni terhadap ayah dan dalam pertolongan kepada
saya?”
“Budi?
Membalas budi? Omitohud... manusia selalu mengikat dan melibatkan diri dalam
budi dan dendam, itulah biang segala pertentangan! Tetapi, karena hal itu telah
menjadi kebiasaan dalam kehidupan manusia dan telah dianggap sebagai tingkat
kemanusiaan, maka supaya hatimu jangan merasa penasaran dan jangan merasa
berhutang budi, baiklah kau balas dengan cara... mau kuanggap sebagai anakku.
Ketahuilah Kian Bu, ketika engkau baru siuman tempo hari dan menyebut ibu
kepadaku, aku seperti lupa diri, lupa bahwa aku adalah seorang nikouw, dan aku
merasa seakan-akan engkau adalah anakku sendiri.”
Kian Bu
menggigit bibirnya. Bukan main wanita tua ini! Demikian halus perasaannya,
demikian mulia hatinya dan siapakah yang tidak akan merasa bangga kalau
mempunyai seorang ibu seperti wanita tua ini? Tanpa ragu-ragu dia lalu
menggerakkan tangan kanannya menyentuh dada sambil berkata, “Ibu...”
Kim Sim
Nikouw merangkulnya dan menangis!
Sampai lama
nikouw itu menangis sambil memeluk Kian Bu, lalu dia dapat menekan perasaannya,
duduk dan dengan muka basah air mata namun bibirnya tersenyum dan sinar matanya
bercahaya, dia mengelus dahi pemuda itu. “Terima kasih, anakku, terima kasih.
Percayalah, aku akan menyembuhkanmu, engkau akan dapat bergerak lagi seperti
sedia kala.”
“Terima
kasih, Ibu. Akan tetapi sungguh aneh, aku belum mengetahui nama Ibu.”
Kian Bu
tertawa, Kim Sim Nikouw juga tertawa dan suasana menjadi gembira.
“Dulu aku
bernama Kim Cu, anakku, akan tetapi sekarang aku adalah Kim Sim Nikouw, ketua
dari Kwan-im-bio ini dengan beberapa orang nikouw pembantu yang menjadi
murid-muridku pula dalam hal keagamaan dan melayani orang-orang yang datang
untuk bersembahyang ke kuil ini.”
“Aku ingin
sekali cepat sembuh, Ibu.”
“Jangan
khawatir, akan tetapi kita harus bersabar, anakku. Kiranya tidak percuma aku
mempelajari pengobatan selama puluhan tahun ini.”
“Aku harus
cepat sembuh agar dapat mencari Sin-siauw Sengjin,” kata Kian Bu sambil
mengepal tinju kanannya.
Kim Sim
Nikouw mengerutkan alisnya dan memandang wajah anak angkatnya itu. “Kau
mendendam karena kekalahan itu dan hendak membalasnya?”
Kian Bu juga
memandang dan ketika bertemu pandang mata yang sinarnya lembut dan penuh
teguran itu, dia cepat-cepat menggeleng kepalanya, “Tidak, Ibu. Bukan karena
kekalahan itu, melainkan karena aku harus merampas kembali kitab-kitab
peninggalan pendekar sakti Suling Emas yang telah dicurinya.”
Kim Sim
Nikouw membelalakkan matanya. “Apa maksudmu?”
“Jelas bahwa
Sin-siauw Sengjin itu seorang penipu atau seorang pencuri. Dia dapat memainkan
ilmu-ilmu dari Suling Emas, padahal sepanjang pengetahuanku, ilmu-ilmu itu
terjatuh ke tangan ibu tiriku yang berada di Pulau Es. Tentu dia telah
mencurinya, atau mungkin juga dia memalsukan ilmu-ilmu itu. Maka, setelah
sembuh aku harus menghadapinya lagi dan membongkar rahasia ini.”
Nikouw itu
mengerutkan alisnya. “Ahh, dia amat lihai. Bahkan Hwi-yang Sin-ciang dan
Swat-im Sin-ciang yang kau pergunakan pun tidak mampu mengalahkannya.”
“Betapa pun,
setelah sembuh, akan kucoba lagi menandinginya, Ibu.”
“Kau dapat
belajar, anakku! Dan jangan kira bahwa ibumu ini selama ditinggalkan oleh
ayahmu puluhan tahun ini hanya menganggur saja! Tidak, aku telah mempelajari
teori ilmu-ilmu baru, anakku.”
“Aku telah
melihat bahwa ginkang ibu amat luar biasa.”
“Itu satu di
antaranya. Aku telah mempelajari ilmu meringankan tubuh itu dan telah
menciptakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput), akan tetapi
itu belum dapat diandalkan untuk menandingi kakek itu. Dahulu aku bersama
ayahmu pernah mempelajari Ilmu Swat-im Sin-ciang dari Ma-bin Lo-mo, dan aku
tahu bahwa ayahmu telah pula mempelajari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang yang menjadi
lawannya. Biar pun aku bukan ahli Hwi-yang Sin-ciang, namun aku tahu akan
sifat-sifatnya dan aku telah mencoba untuk menggabungkan kedua sinkang yang
berlawanan itu. Aku sendiri tidak berhasil melatihnya, tetapi menurut
perhitunganku, maka baik Hwi-yang Sin-ciang mau pun Swat-im Sin-ciang tidak
akan mampu menandinginya.”
“Ah, kalau
begitu Ibu harus mengajarkannya kepadaku!” Kian Bu berseru dengan girang
sekali, akan tetapi alisnya lalu berkerut karena ketika dalam kegirangannya itu
dia mencoba bergerak, ternyata kaki tangan kirinya masih lumpuh. “Ah, mana
mungkin aku dapat belajar dalam keadaan begini?”
“Kau harus
bersabar, anakku. Keadaanmu memang parah dan kurasa dalam waktu setahun barulah
boleh diharapkan engkau akan sembuh. Dan mempelajari Jouw-sang Hui-teng
bukanlah hal yang mudah, memerlukan waktu lama, latihan dan ketekunan. Apa lagi
melatih penggabungan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sendiri sudah
mencoba sampai belasan tahun, namun belum juga berhasil.”
“Ahhh, kalau
begitu akan sukar sekali! Dan aku ingin secepatnya menemui Sin-siauw Sengjin!”
“Hemmm,
lupakah kau bahwa engkau berjanji akan menemuinya lagi setelah lewat lima
tahun?”
“Apa? Apakah
maksudmu, Ibu?” Kian Bu berseru kaget.
Nikouw itu
tersenyum. “Agaknya pukulan kakek itu hebat sekali hingga engkau sampai tidak
ingat lagi apa yang kau ucapkan. Engkau telah berjanji kepadanya bahwa engkau
mengaku kalah dan dalam waktu lima tahun lagi engkau akan membuat perhitungan.”
“Ahh, kenapa
begitu lama?”
“Malah
sebaiknya begitu, anakku. Engkau bisa menunggu sampai sembuh sama sekali, lalu
engkau masih banyak waktu untuk berlatih dan meningkatkan kepandaianmu agar
kelak kalau engkau menghadapinya, engkau tidak akan kalah lagi. Pula, janji
seorang pendekar pasti tidak akan diingkari sendiri, bukan?”
Suma Kian Bu
menarik napas panjang dan terpaksa dia membenarkan kata-kata ibu angkatnya itu
dan semenjak hari itu, dia dirawat dan diobati oleh Kim Sim Nikouw yang amat
tekun itu…..
“Demikiahlah,
Lee-ko, riwayatku semenjak kita saling berpisah dan itu pula sebabnya mengapa
aku tidak pernah pulang ke Pulau Es.” Kian Bu mengakhiri ceritanya. “Selama
kurang lebih tiga tahun itu aku memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan
ibu angkatku itu, Kim Sim Nikouw, dan selain aku dapat sembuh sama sekali, aku
juga dapat menguasai Jouw-sang-hui-teng. Dari ilmu ginkang yang sudah diajarkan
oleh ibu angkatku ini, aku lalu menciptakan Ilmu Sin-ho-coan-in (Bangau Sakti
Menerjang Mega), yaitu ginkang istimewa itu kugabungkan dengan dasar-dasar
gerakan dari ilmu ayah Soan-hong-lui-kun.”
Semenjak
tadi Kian Lee mendengarkan penuh perhatian, dengan hati terharu dan kagum.
“Dan
pukulanmu yang membuat tubuh seperti disiram air panas itu...?” tanyanya kagum.
“Itulah
hasil dari melatih diri menggabungkan dua tenaga Hwi-yang Sin-ciang dengan
Swat-im Sin-ciang, yang teorinya diberikan oleh ibu angkatku. Memang amat sukar
dan berbahaya sekali melatih penggabungan itu sehingga engkau dapat melihat
sendiri rambutku.”
“Hemmm,
rambutmu lalu menjadi putih semua?” Kian Lee memandang kepala adiknya itu. “Itu
disebabkan melatih sinkang mukjijat itu?”
“Sebagian
dari sebab itu, sebagian pula mungkin karena akibat pukulan Sin-siauw Sengjin,
dan sebagian pula karena kedukaan yang menyiksaku selama itu. Setelah selesai
berlatih selama tiga tahun dan berhasil, aku masih harus menanti dua tahun lagi
untuk memenuhi janjiku terhadap Sin-siaw Sengjin. Maka dalam waktu dua tahun
itu aku berusaha untuk menentang kejahatan di sekitar daerah Ho-nan sehingga
banyak orang kang-ouw mulai mengenalku dan memberi julukan Siluman Kecil
kepadaku.”
Kian Lee
mengangguk-angguk. “Sudah lama aku mendengar dan mengenal namamu itu, Bu-te.
Semenjak aku mendengar nama itu memang aku sudah ingin sekali bertemu dengan
orangnya, sungguh pun aku sama sekali tidak menyangka bahwa engkaulah orangnya.
Pertama-tama, aku ingin bertemu karena ketika aku terancam bahaya, orang orang
yang tunduk kepadamulah yang menolongku, dipimpin oleh Nona Phang Cui Lan. Dan
kedua kalinya aku ingin sekali bertemu dengan Siluman Kecil untuk menegurnya.”
Kian Bu
memandang kepada kakaknya dengan heran. “Menegurnya?”
“Benar, dan
sekarang aku akan langsung menegurmu, Bu-te. Aku mengenalmu sebagai seorang
yang suka menggoda orang, terutama sekali kepada wanita. Akan tetapi apa yang
kau lakukan terhadap Nona Cui Lan sungguh keterlaluan!”
“Ehh, ada
apa dengan dia?” Kian Bu bertanya dengan mata terbelalak.
“Dia seorang
gadis yang begitu baik, lemah lembut, halus budi pekertinya, hatinya penuh
dengan cinta kasih yang murni terhadap dirimu, namun engkau melupakan dia
begitu saja dan membiarkan dia merana. Bagaimana engkau dapat bersikap demikian
kejam terhadap seorang gadis yang sebaik dia, Bu-te?”
Kian Lee
lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Cui Lan di istana Gubernur
Ho-nan, kemudian tentang keberanian gadis itu ketika menolong Gubernur Ho-pei
dan ketika mengerahkan teman-teman untuk menyelamatkannya, tentang pengakuan
gadis itu kepadanya, akan cinta kasihnya terhadap Siluman Kecil yang dinyatakan
dalam nyanyiannya yang penuh kerinduan.
Mendengar
semua penuturan Kian Lee yang disertai teguran keras itu, Kian Bu lalu
menundukkan mukanya dan berulang kali dia menarik napas panjang. Setelah Kian
Lee berhenti bercerita dan menegurnya, dia berkata, “Justeru karena aku tahu
bahwa dia mencintaku maka aku sengaja menjauhkan diriku, Koko. Aku sudah tahu
dari semula ketika aku menolongnya bahwa gadis itu jatuh cinta kepadaku, maka
aku sengaja menjauhkan diri bahkan bersikap tidak manis kepadanya dengan maksud
agar dia membenciku karena hanya itulah yang kukira dapat mengobati cintanya
yang hanya sepihak. Koko yang baik, salahkah aku kalau Cui Lan jatuh cinta
kepadaku? Salahkah aku kalau aku tidak dapat membalas cintanya? Salahkah aku
kalau sampai saat ini pun aku masih mencinta Syanti Dewi dan tidak mungkin
jatuh cinta kepada orang lain? Koko, apakah hanya untuk tidak merusak hati Cui
Lan aku harus pura-pura membalas cintanya dan bersikap palsu?”
Kian Lee
menjadi terharu dan memegang tangan adiknya yang wajahnya menjadi agak pucat.
Dia menghela napas.
“Tentu saja
tidak, adikku. Asal kau tidak mempermainkannya, dan mendengar ceritamu, agaknya
memang engkau tidak pernah menggodanya dan bukan salahmu kalau dia mencintamu
tanpa dapat kau balas karena engkau mencinta orang lain. Aihh, mengapa kita
berdua menjadi korban cinta dan mengalami banyak kesengsaraan karena cinta?
Sungguh kasihan sekali Nona Phang Cui Lan, dan kasihan pula engkau, adikku...”
“Lee-ko,
tidak perlu engkau mengasihani dia atau aku. Dan setelah aku bertemu dengan ibu
angkatku, Kim Sim Nikouw, baru terbuka mataku bahwa memang selama ini kita
berdua amat lemah, bahkan sampai saat ini pun aku masih melihat kelemahanku
sendiri dalam persoalan cinta. Kita sebenarnya bukanlah mencinta orang lain,
tetapi mencinta diri sendiri, Koko. Karena itulah maka kita menderita ketika
orang yang kita cinta tidak membalas cinta kita, dan kita berduka karena kita
kehilangan orang yang kita cinta. Cinta kasih seperti yang terdapat dalam hati
ibu angkatku, itulah baru cinta kasih yang suci murni namanya, dan sungguh ayah
kita berbahagia sekali dicinta oleh seorang seperti ibu angkatku itu.”
“Memang luar
biasa sekali Kim Sim Nikouw seperti yang kau ceritakan itu, adikku. Dan agaknya
seperti dia pulalah Nona Phang Cui Lan, dan mudah-mudahan dapat pula mengatasi
tekanan batinnya karena cinta tidak terbalas seperti nikouw itu. Dan aku girang
mendengar bahwa engkau tidak menggodanya, Bu-te.”
“Ahh, aku
bukan lagi adikmu yang suka menggoda orang seperti lima tahun yang lalu,
Lee-ko. Aku sudah cukup banyak menderita karena wanita, dan agaknya akan sukar
bagiku untuk jatuh cinta lagi kepada wanita lain.”
Biar pun
mulutnya berkata demikian, namun tanpa disadarinya sendiri, tahu-tahu wajah
Hwee Li yang sangat cantik itu terbayang di depan matanya! Dia cepat melawan
ini dengan kata-kata, “Dan aku akan mencontoh ibu angkatku, aku akan berbahagia
sekali kalau mendengar bahwa Syanti Dewi dapat hidup berbahagia di samping
orang yang dicintanya, yaitu Ang Tek Hoat. Kasihan dia, mungkin dia belum tahu
bahwa ibunya telah tewas oleh orang-orang Bhutan.” Dia lalu menceritakan lagi
tentang wanita gila, bekas pelayan dari Ang Siok Bi, ibu Ang Tek Hoat itu.
Mendengar
penuturan ini, Kian Lee menarik napas panjang. “Sungguh aku khawatir sekali
bahwa kenyataannya tidak seperti yang kau harapkan itu, adikku.”
“Apa
maksudmu, Lee-ko?”
“Tentang
kebahagiaan Syanti Dewi di samping Tek Hoat itu. Belum lama ini telah aku
bertemu dengan Ang Tek Hoat, dan agaknya dia telah tersesat lagi. Dia membantu
orang-orang jahat, bahkan dia tidak segan-segan untuk mengeroyok aku di tempat
kediaman penjahat-penjahat.”
Kian Lee
lalu menceritakan semua pengalamannya, mengenai perjalanannya mencari adiknya
itu, lalu pertemuannya dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang
menyerangnya dan menuduhnya mencuri harta pusaka Jenderal Kao dan juga menculik
keluarganya. Kemudian tentang pengalamannya ketika dia berada di istana
Gubernur Ho-nan, dan selanjutnya ketika dia mengawal Phang Cui Lan dan Gubernur
Ho-pei sampai pertemuannya dengan Tek Hoat dan dia dikeroyok dan dirobohkan.
Mendengar
cerita kakaknya itu, bermacam perasaan mengaduk di hati Kian Bu. Dia terharu
sekali mendengar akan sepak terjang Phang Cui Lan yang patut dipuji, dan dia
marah dan khawatir mendengar betapa Ang Tek Hoat membantu Hek-eng-pangcu, dan
betapa Tek Hoat telah menjatuhkan fitnah kepada dirinya yang dikatakan merampas
harta benda keluarga Kao Liang. Akan tetapi kekhawatirannya lebih besar dari
pada kemarahannya terhadap Tek Hoat, yaitu khawatir tentang diri Syanti Dewi.
“Apakah yang
telah terjadi dengan Syanti Dewi?” katanya dengan alis berkerut. “Andai kata
Syanti Dewi berada di sisi Ang Tek Hoat, tidak mungkin orang itu melakukan
penyelewengan! Kalau Tek Hoat sudah kumat lagi gilanya, hal itu tentu berarti
bahwa Syanti Dewi tidak lagi berada di dekatnya. Tentu telah terjadi sesuatu!”
Dia mengepal tinju dan kelihatan gelisah. “Dan aku sendiri yang akan menghajar
Tek Hoat kalau dia menghancurkan kehidupan Syanti Dewi!”
“Tenanglah,
Bu-te. Dalam keadaan seperti kita sekarang ini yang belum tahu semua
persoalannya, tidak baik untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan dan
dugaan-dugaan, apa lagi mengandung kemarahan di dalam hati terhadap seseorang.
Bahkan aku sendiri yang sudah dia jatuhkan dalam pengeroyokan, aku masih ingin
tahu mengapa dia melakukan hal itu, karena aku yakin bahwa tentu ada sesuatu
yang mendorongnya berbuat demikian.”
“Hemmm, aku
sudah tahu bahwa dia jahat, Koko. Tetapi...” Kian Bu tidak melanjutkan
kata-katanya karena dia maklum bahwa Tek Hoat adalah keponakan kakaknya ini,
keponakan langsung dari ibunya, karena Tek Hoat adalah cucu kandung dari ibu
Kian Lee. Karena teringat akan hal ini maka dia diam saja.
Mereka
kemudian saling menceritakan pengalaman masing-masing selanjutnya. Kian Bu
bercerita tentang pembalasannya yang berhasil terhadap Sin-siauw Sengjin, dan
tentang pusaka-pusaka Suling Emas yang agaknya sebagian telah sempat dicuri
oleh Ang-siocia dan menurut tantangan gadis itu, dia akan menanti di pantai
Po-hai di teluk sebelah utara.
“Hemmm,
banyak persoalan yang harus kita hadapi, adikku. Urusan Jenderal Kao Liang
masih belum beres, muncul pula urusan warisan Suling Emas yang juga harus kita
jernihkan.”
“Akan tetapi
engkau belum sehat benar, Lee-ko. Biarlah kita menanti sampai engkau sudah
sehat benar, dan nanti kita bersama menyelidiki persoalan-persoalan itu sampai
beres. Nah, itu dia tabibmu sudah menyusul!”
Benar saja,
muncullah Sai-cu Kai-ong. “Wah, jangan lama-lama membiarkan diri ditiup angin
sejuk, Kian Lee taihiap!” Kakek itu segera menegur. “Mari kita pulang dan sudah
waktunya Taihiap minum obat!” Kemudian dia berkata kepada Kian Bu, “Dan aku
membutuhkan beberapa macam ramuan obat yang telah habis dan obat-obat itu hanya
bisa dibeli di kota besar. Maka, kuharap engkau suka menemani Siauw Hong untuk
mencari dan membelikan ramuan obat untuk kakakmu itu, Kian Bu taihiap.”
“Tentu saja
saya akan suka sekali pergi, Locianpwe. Akan tetapi, Locianpwe, kami dua kakak
beradik yang sudah menerima banyak budi Locianpwe, menganggap Locianpwe sebagai
paman sendiri, maka harap buang saja sebutan taihiap kepada kami,” kata Kian
Bu.
“Benar apa
yang dikatakan adikku, Locianpwe,” sambung Kian Lee.
“Ha, kalau
begitu kalian harus membuang sebutan locianpwe dan sebut saja paman kepadaku.”
Mereka bertiga tertawa dan Kian Lee lalu dipondong lagi oleh adiknya, kembali
ke tempat tinggal kakek itu yang seperti istana kuno dikelilingi tembok tebal
seperti benteng.
Ketika tiba
di pintu gerbang dan melihat kedua orang kakak beradik itu memandang kagum, Sai-cu
Kai-ong berkata, “Biarlah kelak kalau Kian Lee telah sembuh, kalian akan kubawa
berkeliling dan melihat-lihat rumah peninggalan nenek moyangku ini.”
Mereka
memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang anak buah Sai-cu
Kai-ong yang berpakaian pengemis dan setelah perlahan merebahkan kakaknya di
atas pembaringan dalam kamar, Kian Bu lalu berangkat bersama Siauw Hong
mencarikan obat-obat yang dibutuhkan oleh kakek itu…..
***************
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Puteri Syanti Dewi yang bernasib malang itu.
Kita melihat dia yang terakhir berada di dalam gedung dari Hwa-i-kongcu Tang
Hun, majikan Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san dekat
belokan Sungai Huang-ho. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tang Hun
sastrawan yang juga ahli silat dan sihir murid Durganini ini tergila-gila
kepada Syanti Dewi dan memaksa puteri itu untuk menikah dengan dia.
Akan tetapi
di tengah-tengah keramaian pesta pernikahan itu, secara aneh sekali Syanti Dewi
telah hilang tanpa diketahui jejaknya! Bahkan Siang In, dara jelita yang gagah
perkasa dan pandai ilmu sihir yang berusaha menolong dan membebaskan Syanti
Dewi, juga tidak tahu ke mana perginya puteri itu. Bukan dia saja, malah Ang
Tek Hoat, yang dengan bantuan anak buah Hek-eng-pang berusaha membebaskan
Syanti Dewi, juga hanya dapat membebaskan Syanti Dewi palsu, sedangkan dia pun
tidak tahu ke mana lenyapnya Syanti Dewi yang asli!
Ke manakan
perginya Syanti Dewi? Dan bagaimana caranya dia dapat lenyap dari penjagaan
yang amat ketat itu, bahkan lenyap dari pengejaran seorang dara perkasa seperti
Siang In, dan dari pencarian seorang sakti seperti Ang Tek Hoat yang masih
dibantu oleh banyak anak buah Hek-eng-pang? Mari kita ikuti pengalaman Syanti
Dewi semenjak dia berada di dalam kamar sebagai calon pengantin itu…..
Seperti kita
ketahui, Syanti Dewi merasa gembira dan lega ketika bertemu dengan Siang In
yang mengunjunginya di dalam kamarnya. Kalau dalam beberapa hari itu dia selalu
termenung berduka, tidak mau mandi, tidak mau makan, tidak mau berganti
pakaian, setelah Siang In mengunjunginya dan tahu bahwa gadis yang luar biasa
itu akan menolong dan membebaskannya, kegembiraan membuat dia seketika merasa
lapar sekali dan dia segera memesan makan minum kepada pelayan-pelayannya
sehingga para pelayan itu menjadi heran dan juga girang sekali.
Dari dapur
yang khusus didatangkan hidangan-hidangan, diantar oleh seorang koki tua agak
gemuk yang berwajah riang dan dibantu oleh para pelayan yang menghidangkan
masakan-masakan istimewa di atas meja dalam kamar sang puteri atau calon
pengantin wanita itu. Syanti Dewi yang memang sudah lapar itu cepat makan dan
minum, akan tetapi terkejutlah dia ketika tiba-tiba dia mendengar suara
berbisik di telinganya, “Perut kosong jangan terlalu cepat diisi, dan jangan
terlalu banyak.”
Dia menoleh
ke kanan kiri. Di situ hanya ada lima enam orang pelayan wanita, dan koki itu
ternyata masih berdiri di sudut tanpa dipedulikan oleh para pelayan. Pada saat
dia bertemu pandang dengan kakek yang berpakaian koki itu, secara mendadak
kakek itu mengedipkan sebelah matanya. Syanti Dewi terkejut dan dia seperti
sudah mengenal wajah koki itu.
Tahulah dia
bahwa suara bisikan yang didengarnya tadi, tentu adalah suara koki itu yang
entah bagaimana dapat menjadi bisikan di dekat telinganya tanpa didengar oleh
para pelayan agaknya. Tetapi sebagai seorang yang sudah banyak bergaul dengan
orang-orang yang memiliki kesaktian hebat, seperti pendekar sakti Gak Bun Beng,
bekas tunangannya Ang Tek Hoat, puteri sakti Milana, dan banyak lagi orang dari
golongan hitam yang berilmu tinggi, Syanti Dewi tidak lagi merasa heran dan
tahulah dia bahwa koki itu adalah seorang yang berilmu tinggi!
“Harap kau
suruh mereka itu keluar, kecuali pelayan yang berbaju biru itu,” kembali
terdengar bisikan tadi.
Syanti Dewi
tentu saja tidak mempercayai suara itu begitu saja, biar pun dia seperti pernah
mengenal wajah koki itu, akan tetapi anehnya, ada pengaruh mukjijat yang
membuat dia tidak dapat menolak lagi! Seperti di luar kehendaknya sendiri, dia
lalu berkata, “Kalian semua keluarlah, kecuali engkau yang baju biru. Aku tidak
suka makan ditunggui banyak orang.”
Para pelayan
itu tersenyum dan mereka pun lalu pergi meninggalkan kamar itu, tanpa
mempedulikan koki tua yang masih berdiri seperti arca di sudut kamar.
“Kau
tutupkan daun pintunya, kunci dari dalam.” Kembali Syanti Dewi berkata kepada
pelayan baju biru seperti bukan atas kehendaknya sendiri. Pelayan baju biru
yang cantik itu mengangguk, lalu menutupkan daun pintu dan menguncinya,
kemudian dia kembali duduk di dekat sang puteri untuk melayaninya.
Kini kakek
yang berpakaian koki itu melangkah maju mendekati meja, dipandang penuh
perhatian dan dengan hati mulai curiga oleh Syanti Dewi. Agaknya baru sekarang
pelayan baju biru itu melihat kakek ini. Dia terkejut dan heran. “Ihhh, kau
masih di sini? Tidak boleh, hayo cepat keluar...”
Akan tetapi
tiba-tiba tangan kakek itu bergerak ketika melihat kenyataan pelayan itu lari
ke pintu, dan tahu-tahu dia telah menjambak rambut pelayan itu, diseretnya
mendekati meja di mana Syanti Dewi masih bengong, lalu terdengar kakek itu
berkata lirih namun dengan nada penuh ancaman, “Jangan berteriak, jangan banyak
ribut, kalau tidak akan kuhancurkan kepalamu! Kau diam dan menurut saja kalau
ingin selamat!”
Tiba-tiba
sebuah totokan di tengkuk pelayan tua membuatnya lemas dan tidak dapat bergerak
lagi, hanya matanya saja yang terbelalak memandang dengan penuh rasa takut.
Dicobanya untuk mengeluarkan suara, akan tetapi sekali tekan pada leher wanita
itu oleh jari tangan kakek aneh tadi, si pelayan tidak dapat mengeluarkan
suaranya sama sekali seperti orang gagu!
“Hemmm, apa
artinya ini? Siapa engkau?” Syanti Dewi bangkit berdiri dan memandang tajam.
“He-he-he,
kau lupa lagi kepadaku, Puteri?” Kakek itu melepaskan penutup kepalanya seperti
yang biasa dipakai oleh koki untuk mencegah rambut kepalanya rontok dan masuk
ke dalam masakan. Kini kelihatan kepalanya yang botak dan sedikit rambutnya
yang putih. Biar pun sudah lima tahun tidak berjumpa lagi dengan kakek ini dan
biar pun kakek ini sekarang agak gendut perutnya, tapi melihat wajah yang
tersenyum-senyum itu teringatlah Syanti Dewi.
“Ah, bukankah
Locianpwe ini guru Siang In? Locianpwe See-thian Hoatsu...?” tanyanya dengan
heran.
“Ha-ha-ha,
ternyata ingatanmu kuat sekali, Puteri! Benar, Siang In adalah muridku.”
Hati Syanti
Dewi girang sekali. Beberapa tahun yang lalu ketika dia dikejar-kejar oleh Raja
Tambolon dan anak buahnya, dia pernah ditolong dan diselamatkan oleh kakek yang
pandai ilmu sihir ini dan dari percakapannya dengan Siang In dia tahu bahwa
kakek ini adalah guru Siang In. Maka tentu saja dia menjadi girang dan kini
menaruh kepercayaan kepada kakek ini.
“Locianpwe,
baru saja Siang In juga datang dan berjanji hendak membawaku keluar dari
sini...”
“Itulah
sebabnya mengapa aku datang sendiri, Puteri Syanti Dewi. Keadaan di sini amat
berbahaya dan terlalu banyak orang pandai menghendaki dirimu. Rencana Siang In
tentu akan gagal kalau aku tidak cepat turun tangan. Sekarang kau diamlah saja
dan menurut segala petunjukku.”
Syanti Dewi
tidak terkejut mendengar itu sebab dia maklum bahwa dia berada di tempat
berbahaya, maka dia lalu mengangguk.
“Cepat kau
tanggalkan pakaian luarmu,” bisik kakek itu, dan ketika Syanti Dewi melihat
kakek itu mulai menanggalkan pakaian luar pelayan yang ditotoknya itu,
mengertilah dia maksudnya dan tanpa ragu-ragu lagi dia membalikkan tubuhnya dan
menanggalkan pakaian luarnya. Dia tidak perlu merasa malu dalam keadaan seperti
itu, apa lagi yang melihat dia dalam pakaian dalam yang tipis itu hanya seorang
kakek sakti yang sudah amat dipercaya.
“Aih,
sukarnya...!” Kakek itu mengomel ketika dia mencoba untuk mengenakan pakaian
luar Syanti Dewi pada pelayan itu sehingga Syanti Dewi yang cepat sudah
mengenakan pakaian luar pelayan itu segera membantunya. Kakek itu memang
cerdik. Yang tadi dipilihnya adalah seorang pelayan yang selain cantik juga
memiliki bentuk tubuh yang hampir sama dengan bentuk tubuh Syanti Dewi sehingga
ketika pakaian mereka saling ditukar, dapat pas sekali.
Setelah
selesai, kakek itu lalu berbisik, “Cepat kau atur rambutnya seperti sanggul
rambutmu dan tambah bedak di mukanya biar wajahnya seputih wajahmu.”
Syanti Dewi
cepat melakukan semua perintah itu, kemudian See-thian Hoat-su sendiri
menggunakan alat penghias yang terdapat di dalam kamar itu untuk mengubah
bentuk bibir, alis serta mata Syanti Dewi dengan menggunakan pemerah bibir dan
penghitam. Sebentar saja, ketika dia selesai dan Syanti Dewi melihat
bayangannya sendiri dalam cermin, puteri ini hampir tertawa geli melihat betapa
dia sudah berubah menjadi seorang wanita yang bermata sipit, alisnya tebal dan
mulutnya lebar, mukanya ada beberapa totol hitam yang melenyapkan semua
kemanisannya.
“Mari
cepat...,” kata kakek itu dan dia segera menarik pelayan yang sudah mengenakan
pakaian Syanti Dewi, mendudukkannya di atas kursi, lalu dia memandangnya dengan
sinar mata penuh pengaruh yang amat kuat sambil berkata, “Kau tidak akan dapat
bicara semalam ini dan akan menurut saja apa yang dilakukan orang-orang kepada
dirimu!” Setelah menanamkan kata-kata ini melalui sihir ke dalam benak pelayan
itu, See-thian Hoat-su lalu menggandeng tangan Syanti Dewi dan di bawa
menyelinap ke luar melalui jendela, tidak lupa untuk lebih dulu meniup padam
lilin yang bernyala di atas meja.
Akan tetapi
baru saja mereka meloncat ke luar dan menutupkan daun jendela, Syanti Dewi
menahan seruan kaget dan memegang lengan kakek itu. Dua orang pengawal berjalan
dengan langkah tegap ke arah mereka! Tetapi, kakek itu sudah menggerakkan kedua
tangannya ke arah dua orang pengawal itu. Mereka memandang, terkejut dan
berdiri seperti patung dengan mata terbelalak, sama sekali tidak dapat bergerak
sampai kakek itu menggandeng tangan Syanti Dewi dan menariknya pergi dari situ.
Setelah
kakek dan puteri itu lenyap, barulah keduanya sadar, saling pandang dan merasa
terheran-heran.
“Ehh, kenapa
kita berdiri bengong di sini?” tanya yang seorang.
“Heran, aku
merasa seperti baru saja terjadi sesuatu, akan tetapi ternyata tidak ada
apa-apa. Seperti mimpi saja,” kata yang kedua.
“Hemm,
agaknya kita tadi sudah terlalu banyak minum arak.” Dan mereka melanjutkan
perondaan mereka.
Sementara
itu, See-thian Hoat-su mengajak Syanti Dewi bersembunyi di tempat gelap, di
ruangan dekat dapur yang penuh dengan pot-pot bunga dan pohon-pohon katai.
Hwa-i-kongcu Tang Hun memang mempunyai kegemaran mengumpulkan bunga-bunga dan
pohon-pohon katai yang aneh dan indah dalam pot-pot kuno dan dikumpulkan di
ruangan itu. Bukan ruangan tertutup, akan tetapi cukup gelap dan Syanti Dewi
merasa heran sekali mengapa penolongnya itu mengajaknya bersembunyi, dan di
tempat terbuka seperti itu.
“Kenapa kita
tidak lari...?” bisiknya.
“Sssttttt...
kita tunggu sampai terjadi keributan,” jawab See-thian Hoat-su.
Syanti Dewi
hendak bertanya mengapa mereka bersembunyi di tempat terbuka seperti itu, akan
tetapi dia mengurungkan niatnya bicara karena pada saat itu muncul tiga orang
yang berjalan ke arah tempat itu. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap, dan
ternyata mereka adalah dua orang tamu yang agaknya melihat-lihat, diantar oleh
salah seorang pengawal.
“Ini adalah
kumpulan-kumpulan bunga-bunga aneh dan pohon-pohon katai yang disayang sekali
oleh Kongcu,” si pengawal menerangkan.
Mereka
melihat-lihat bunga itu, bahkan seorang dari mereka mendekati Syanti Dewi dan
mencium-cium, mendengus-dengus.
“Hemmm,
wangi...!” katanya. “Sayang agak gelap tempat ini sehingga kita tidak dapat
mengagumi bunga-bunga ini dengan jelas.”
“Besok saja
kita melihat-lihat lagi ke sini,” kata tamu kedua dan mereka berjalan pergi.
Syanti Dewi
sudah gemetar saking tegang dan gelisahnya. Rambutnya tadi dicium-cium oleh
orang itu dan dia disangka bunga! Dia terheran-heran, akan tetapi ketika dia
menoleh kepada kakek itu yang terkekeh geli, mengertilah dia bahwa peristiwa
aneh itu adalah akibat permainan sihir kakek ini. Tentu tiga orang yang tadi
datang telah melihat mereka berdua seperti bunga dalam pot, maka rambutnya
dicium oleh seorang di antara mereka. Teringatlah dia akan permainan sihir dari
Siang In yang membuat dara itu kelihatan seperti sebuah kursi bagi orang lain!
“Kenapa kita
harus menunggu sampai terjadi keributan, Locianpwe?” Dia berbisik.
Kakek itu
menarik napas panjang. “Siang In terlalu sembrono. Dia tidak melihat bahwa di
sini hadir orang dari Nepal yang memiliki kekuatan sihir lebih hebat dari pada
dia. Kalau kita lari sekarang dan ketahuan, banyak bahayanya akan gagal karena
di depan orang itu tentu saja tidak mungkin mengandalkan kekuatan sihir.”
Saat yang
dinanti-nanti oleh kakek See-thian Hoat-su itu ternyata tidak lama. Tiba-tiba
terdengarlah canang dipukul bertalu-talu tanda bahaya dan disusul
teriakan-teriakan nyaring. Dari tempat sembunyi itu, mereka melihat
berkelebatnya banyak wanita-wanita pelayan dan melihat pula seorang pelayan
wanita tua yang cantik memondong Syanti Dewi palsu tadi dengan gerakan ringan
sekali. Lalu terdengar keributan di ruangan pesta, disusul padamnya lampu-lampu
dan ributnya suara orang bertempur!
“Sekarang...!”
Kakek itu berbisik dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya melarikan
diri melalui jalan belakang.
“Heiii,
siapa...?” Akan tetapi dua orang itu sudah jatuh terjungkal oleh kakek
See-thian Hoat-su sebelum dua orang pengawal itu dapat melihat jelas. Dengan
cepat See-thian Hoat-su lalu memondong tubuh Syanti Dewi dan dibawanya
melompati pagar tembok di taman belakang. Tanpa banyak halangan karena semua
orang sedang sibuk berkelahi dan mengejar-ngejar penculik Syanti Dewi palsu,
See-thian Hoat-su dapat membawa pergi puteri itu dari puncak Bukit Naga Api.
Setelah
pergi jauh, Syanti Dewi berkata, “Locianpwe, bagaimana dengan Siang In? Kenapa
kita tidak menanti dia?”
Kakek itu
menurunkan tubuh Puteri Bhutan dan menyeka peluhnya, lalu memandang ke angkasa
yang indah penuh bintang. “Ahhh, dia kini bukan anak kecil lagi, tentu dapat
menjaga diri sendiri.”
“Akan
tetapi... tentu dia akan mencari-cari Locianpwe dan saya...”
“Dia tidak
tahu bahwa aku berada di sini, dan biarlah dia mencarimu untuk meluaskan
pengalamannya, ha-ha-ha!” Kakek yang aneh itu tertawa.
Syanti Dewi
tak membantah lagi. Kakek ini mempunyai watak yang luar biasa anehnya dan dia
tahu bahwa memang orang-orang sakti di dunia kang-ouw ini mempunyai watak yang
kadang-kadang mendekati watak orang gila!
“Lalu...
lalu kita akan pergi ke mana, Locianpwe?” tanyanya penuh keraguan.
“Ke tempatku
di pantai Po-hai. Akhirnya Siang In tentu akan ke sana pula kalau dia tidak
berhasil mencarimu. Dan kulihat engkau diperebutkan banyak orang, Puteri, maka
untuk sementara waktu ini, kiranya akan lebih aman kalau kau berada di sana
bersamaku.”
Syanti Dewi
tidak membantah lagi. Dia meninggalkan Bhutan bersama Siang In, dan biar pun
dia berniat mencari Tek Hoat, namun mencari seorang diri saja mana mungkin
berhasil? Di bagian dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat yang
amat lihai, dan tanpa seorang teman seperjalanan yang sakti seperti Siang In,
dia merasa ngeri dan tidak sanggup untuk mencari Tek Hoat sendirian saja. Pula,
kini dia ikut bersama guru dari Siang In, berarti dia berada di tangan yang
aman dan tentu banyak harapan akan berjumpa kembali dengan gadis ahli sihir
itu.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, peristiwa penculikan atas diri Syanti Dewi
dari gedung Hwa-i-kongcu Tang Hun itu menimbulkan kegegeran hebat.
Rombongan
Hek-eng-pang yang dipimpin oleh Yang-liu Nionio sendiri berhasil menculik
Syanti Dewi tanpa mereka sadari bahwa yang mereka culik adalah yang palsu.
Mereka telah mengorbankan banyak anak buah dan Syanti Dewi telah diserahkan
kepada Ang Tek Hoat yang melarikannya, akan tetapi kemudian ternyata Syanti
Dewi itu hanyalah seorang pelayan! Seperti kita ketahui, saking marahnya
Yang-liu Nionio lalu membunuh pelayan itu dan kemudian mayatnya dilemparkan
kepada Siang In oleh Tek Hoat yang merasa gemas dan berkhawatir akan diri
kekasihnya.
Siang In
sendiri juga terkejut ketika melihat mayat yang disangkanya Puteri Bhutan itu
ternyata hanya seorang pelayan. Tahulah, dia bahwa Syanti Dewi telah lenyap
tanpa dia ketahui siapa penculiknya. Jelas bukan Tek Hoat, bukan pula salah
satu wanita dari rombongan Hek-eng-pang, namun jelas sudah lenyap dari rumah
Hwa-i-kongcu. Habis, siapakah yang telah menculiknya? Dia merasa penasaran
sekali dan mulai melakukan pengejaran dan penyelidikan.
Sementara
itu, seperti telah diceritakan pula di bagian depan, dalam pesta pernikahan
Hwa-i-kongcu itu terdapat pula seorang tamu yang amat lihai, bahkan tamu itu
telah membuyarkan kekuatan sihir dari Siang In ketika gadis yang menyamar
sebagai penari dan pemain sulap ini memperlihatkan kepandaiannya. Orang itu
adalah Gitananda, kakek tokoh Nepal yang tinggi besar, bersorban dan jenggotnya
panjang sampai ke perut itu.
Seperti kita
ketahui, Gitananda juga mencoba untuk menahan diri Yang-liu Nionio yang
dianggapnya telah menculik pengantin perempuan, akan tetapi Yang-liu Nionio
yang dibantu banyak anak buahnya itu dapat meloloskan diri dan Gitananda tidak
berani melakukan pengejaran dalam gelap karena dia tahu bahwa hal itu amat
berbahaya, mengingat bahwa rombongan penculik itu terdiri dari orang-orang
pandai.
Gitananda
adalah seorang di antara pembantu-pembantu Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal
yang mengemban tugas untuk menghubungi pembesar-pembesar yang condong untuk
menentang kekuasaan kaisar. Koksu Nepal yang cerdik itu maklum bahwa untuk
memperkuat kedudukannya, dia harus menghubungi tokoh-tokoh kang-ouw di dunia
timur ini, dan sedapat mungkin berbaik dengan tokoh-tokoh dari golongan hitam.
Oleh karena
itulah, maka dia menyebar para pembantunya, dan ketika mendengar akan
pernikahan di puncak Naga Api, yaitu pernikahan dari Hwa-i-kongcu Tang Hun yang
didengarnya sebagai ketua Liong-sim-pang, seorang pemuda yang selain kaya raya,
juga amat lihai, bahkan akhir-akhir ini kabarnya menjadi murid Durganini, tentu
saja dia tidak mau melewatkan kesempatan baik itu dan mengutus Gitananda
mewakilinya dan menghadiri pesta itu. Durganini adalah seorang nenek ahli sihir
dari India dan Ban Hwa Sengjin sudah mengenalnya.
Sebetulnya,
ketika Gitananda mendengar bahwa yang menjadi pengantin puteri adalah Syanti
Dewi dari Bhutan, dia terkejut sekali. Betapa akan senangnya koksu kalau sampai
dia bisa mendapatkan puteri itu. Puteri itu dapat dipergunakan untuk memaksa
Pemerintah Bhutan tunduk kepada Nepal! Tetapi tentu saja dia tidak boleh
membikin marah Hwa-i-kongcu, lebih-lebih Durganini, maka Gitananda juga tak mau
mengganggu pengantin puteri.
Akan tetapi
ketika terjadi penculikan atas diri pengantin puteri, tentu saja Gitananda
melihat kesempatan yang sangat baik! Puteri itu diculik orang, kalau saja dia
mampu merampasnya kembali dari tangan penculik. Bukan untuk diserahkan kembali
kepada Hwa-i-kongcu, sungguh pun hal itu akan berarti melepaskan Liong-sim-pang
sebagai sahabat. Kiranya akan lebih penting lagi diri Puteri Bhutan itu bagi
Nepal, dari pada persahabatan Liong-sim-pang. Pula, kalau dia bisa mendapatkan
puteri itu di luar tahu Liong-sim-pang, bukankah tetap akan menjadi sahabat untuk
dapat bekerja sama sewaktu-waktu jika keadaan membutuhkan karena Hwa-i-kongcu
sudah melihat sendiri betapa dia telah membantu untuk melawan para penculik,
biar pun tidak berhasil.
Dia harus
dapat mengejar penculik dan merampas kembali Puteri Bhutan, tentu saja tanpa
diketahui oleh Hwa-i-kongcu! Maka setelah para penculik itu kabur, Gitananda
melakukan pengejaran dengan seenaknya karena dia perlu untuk diam-diam kembali
ke kamarnya, lalu pergi lagi turun dari puncak ke tempat yang sunyi.
Pada esok
harinya, pagi-pagi sekali Gitananda melepaskan seekor burung berwarna hijau
yang paruhnya merah, burung kecil yang menjadi burung peliharaannya, amat
terlatih dan merupakan burung yang amat cerdik. Dengan dalih ingin memeriksa
kamar pengantin wanita yang terculik malam tadi, dia berhasil memasuki kamar
pengantin dan berhasil pula memperoleh sehelai saputangan yang tadinya dipakai
oleh Syanti Dewi, dari seorang pelayan yang disogoknya dengan sepotong emas!
Kini dia melepaskan burung itu yang membawa robekan saputangan di antara
paruhnya yang merah dan kuat.
“Carilah
sampai dapat!” teriak Gitananda sambil melepaskan burung itu.
Burung hijau
itu terbang seperti kilat cepatnya ke atas, tinggi sekali, lalu mulai terbang
tinggi berputar membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin luas.
Binatang yang cerdik itu mulai mencari-cari, menggunakan nalurinya mengandalkan
benda yang berada di paruhnya. Sepasang matanya yang kecil melirak-lirik ke
bawah, tajam sekali.
Gitananda
menanti sampai hampir menjelang tengah hari. Tiba-tiba dia bangkit dari
duduknya di atas rumput ketika dia melihat sinar hijau melayang telah kembali!
Benar saja, burung hijau itu terbang sampai tiba di atas tempatnya berdiri,
lalu melepaskan robekan saputangan dan mengeluarkan suara mencicit.
“Burung yang
baik, kau telah menemukan dia?”
Burung itu
mencicit dan terbang ke atas lagi. Gitananda lalu mengikutinya dan burung itu
sengaja terbang tidak terlalu cepat sehingga Gitananda yang memiliki ilmu
berlari cepat itu dapat mengikutinya dari bawah! Dan burung itu terbang menuju
ke timur! Jenggotnya yang panjang berkibar-kibar, ujung sorbannya juga berkibar
sehingga kakek ini nampak gagah dan juga aneh, seperti seorang dewa dalam
dongeng.
Sementara
itu, See-thian Hoat-su yang sedang berjalan seenaknya bersama Syanti Dewi,
ketika keluar dari sebuah hutan kecil, tiba-tiba melihat seekor burung hijau
yang terbang berputaran di atas mereka. Mula-mula Syanti Dewi yang melihat
burung itu. Dara bangsawan ini sedang memandang ke atas, seolah-olah hendak
mencari berita dari awan-awan di angkasa di mana adanya Ang Tek Hoat pada saat
itu.
“Eh, burung
apakah itu demikian aneh?” katanya sambil menuding ke atas.
See-thian
Hoat-su juga memandang ke atas dan dia mengerutkan alisnya. Biar pun usianya
jauh lebih tua, akan tetapi kakek ini memiliki sepasang mata yang terlatih baik
sekali dan dia dapat mengerahkan kekuatan pandang matanya untuk melihat jauh
sehingga burung itu nampak jelas olehnya.
“Puteri,
katakan, apakah engkau mempunyai sehelai saputangan kuning?” tiba-tiba dia
bertanya sambil memandang ke arah burung hijau yang terbang berputaran itu.
“Saputangan
kuning...?” Tentu saja Syanti Dewi merasa kaget dan heran mendengar pertanyaan
tiba-tiba yang janggal itu.
“Ya... ya,
saputangan sutera kuning. Apakah engkau memakai benda itu ketika berada di
puncak Naga Api, di tempat tinggal Hwa-i-kongcu?”
“Benar...
akan tetapi kutinggalkan di kamar...”
“Ah,
celaka...! Benar, dia tentu burung mata-mata!” teriak See-thian Hoat-su dengan
kaget, apa lagi ketika dia melihat burung itu tiba-tiba saja meluncur cepat
sekali ke barat, tentu akan melapor kepada majikannya bahwa dia telah menemukan
orang yang dicarinya!
“Kita harus
cepat pergi dari sini!” Berkata demikian, kakek itu memondong tubuh Syanti Dewi
dan dibawanya berlari cepat sekali sehingga Syanti Dewi memejamkan matanya
karena merasa ngeri.
Saking
khawatirnya kalau-kalau dia akan tersusul oleh para pengejarnya yang dia tahu
tentu terdiri dari orang-orang pandai sehingga membahayakan keadaan Syanti
Dewi, maka See-thian Hoat-su tidak mempedulikan pandangan para penghuni
dusun-dusun yang dilewatinya. Tentu saja orang-orang dusun itu terkejut dan
terheran-heran melihat seorang dara cantik jelita dipondong dan dibawa lari
oleh seorang kakek botak yang larinya seperti setan!
Lebih-lebih
lagi keheranan mereka ketika tidak beberapa lama kemudian, muncul pula seorang
kakek berkulit hitam, tinggi besar, kepalanya memakai sorban, jenggotnya
panjang sampai ke perut dan dengan suara kaku dan asing kakek ini bertanya
kepada mereka apakah mereka melihat seorang dara yang cantik jelita, yang
kulitnya putih kemerahan, matanya lebar seperti sepasang bintang, sikapnya
lemah lembut, halus budi dan agung, lewat di dusun itu.
“Ah, kami
melihat seorang dara cantik jelita, akan tetapi dia dipondong dan dibawa lari
seorang kakek botak...”
“Yaaa!
Itulah dia! Ke mana mereka pergi?” Gitananda bertanya dengan girang karena dia
tidak merasa ragu lagi bahwa itulah dara yang dicarinya dan benar saja, agaknya
Sang Puteri Bhutan itu dilarikan seorang penculik!
Kini para
penghuni dusun merasa ragu-ragu karena mereka kurang percaya kepada orang asing
bersorban yang bicaranya kaku ini, akan tetapi Gitananda cepat berkata,
“Agaknya kalian belum tahu. Kakek botak itu adalah seorang penjahat besar,
seorang penculik! Dan dara yang diculik itu adalah seorang puteri! Puteri Raja
Bhutan dan aku adalah seorang petugas yang akan menolong sang puteri. Harap
kalian cepat memberi tahu, ke mana mereka itu pergi?”
Tentu saja
para penghuni dusun merasa kasihan sekali kepada sang puteri dan berpihak
kepada orang asing ini yang hendak menolong sang puteri yang terculik penjahat,
maka berebutlah mereka memberi tahu ke mana arah larinya kakek botak yang
memondong dan menculik sang puteri. Setelah mendengar bahwa kakek botak itu
melarikan sang puteri menuju ke timur, Gitananda cepat melakukan pengejaran
bersama burung hijaunya. Maka ramailah para penghuni dusun itu membicarakan
peristiwa yang aneh itu sehingga cerita tentang kakek botak yang seperti iblis
menculik Puteri Bhutan lalu dikejar oleh kakek seperti dewa hitam tersiar luas
di dusun itu dan bahkan keluar sampai ke dusun-dusun lain.
Sementara
itu, See-thian Hoat-su yang memondong tubuh Syanti Dewi melakukan perjalanan
cepat sekali menuju ke timur dan akhirnya, beberapa hari kemudian setelah
melakukan perjalanan yang hampir tidak pernah ditundanya kecuali kalau malam
gelap sekali dan untuk makan, tibalah kakek ini bersama Syanti Dewi di Goa
Tengkorak. tempat pertapaan See-thian Hoat-su selama bertahun-tahun ini….
Syanti Dewi
merasa lega ketika kakek itu mengatakan bahwa mereka telah tiba di tempat
pertapaan yang tersembunyi, dan dia lalu memeriksa tempat itu. Tempat yang amat
indah akan tetapi juga menyeramkan. Goa besar itu dalamnya seperti sebuah rumah
saja, amat lebar dan dibagi-bagi menjadi beberapa buah kamar, bahkan ada tempat
dapurnya yang terisi perabot dapur lengkap. Goa itu terletak di antara batu-batu
karang yang besar-besar sehingga tersembunyi, dan menghadap ke luar Teluk
Po-hai.
Suara ombak
memecah di batu-batu karang terdengar setiap saat siang dan malam, merupakan
dendang yang tiada hentinya sehingga menciptakan suasana yang aneh dan berbeda
sekali dari suasana di darat dan pegunungan. Angin bersilir terus jarang
berhenti, dan di atas goa itu adalah sebuah bukit batu karang yang di bagian
atasnya ditumbuhi bermacam pohon yang tahan hidup di tepi pantai. Di sebelah
kiri goa terdapat air tawar yang bercucuran dari celah-celah batu yang pecah
oleh akar-akar pohon, air yang merupakan berkah bagi penghuni goa karena
memudahkan pengambilan air tawar yang amat dibutuhkan. Goa itu sendiri kalau
dilihat dari jauh memang berbentuk seperti tengkorak manusia.
“Jangan
terlalu jauh meninggalkan goa,” kata See-thian Hoat-su yang memanggil kembali
Syanti Dewi yang berjalan-jalan di sekitar tempat itu sampai ke pantai Po-hai.
“Sekarang belum aman benar. Siapa tahu orang yang mempunyai burung hijau dapat
mengejar sampai ke sini. Siapa pun mereka, jangan harap akan dapat merampasmu
dari sampingku, Puteri. Akan tetapi kalau kau berkeliaran terlalu jauh, dan
mereka menculikmu, tentu saja aku tidak tahu dan tidak berdaya untuk mencegah
mereka.”
Mendengar
itu, Syanti Dewi tidak lagi berani pergi jauh dan mulailah puteri ini bekerja
membersihkan goa, kemudian memasak air dan menanak nasi yang semua bahannya
terdapat di tempat itu. Biar pun dia seorang puteri raja, namun pengalaman
beberapa tahun yang lalu ketika dia meninggalkan Kota Raja Bhutan membuat dia
tidak canggung melakukan pekerjaan rumah, bahkan untuk hidup secara sederhana
sekali. Melihat kecekatan puteri ini, diam-diam See-thian Hoat-su merasa kagum
sekali. Seorang puteri raja namun demikian gapah memainkan sapu dan pengebut
bulu ayam, dan demikian cekatan untuk bergaya di dalam dapur!
Malam itu
Syanti Dewi menyalakan lilin sebagai penerangan di dalam goa. Heran dia mengapa
di sebelah dalam goa itu tidak ada angin, padahal kalau dia berdiri di depan
goa, angin bersilir tiada hentinya. Namun di dalam goa, api lilin tidak
bergoyang sedikit pun, tanda bahwa di situ tidak dimasuki angin sama sekali!
Tentu saja dara ini tidak tahu bahwa hawa bersifat seperti air, hanya akan
mengalir masuk tempat yang berlubang dan ada tembusannya. Goa itu merupakan
lubang yang rapat di bagian belakangnya sehingga telah penuh dengan hawa dan
tidak memungkinkan lagi hawa lain dari luar mengalir masuk.
Setelah
mereka makan dengan sederhana, yaitu hanya nasi dengan lauk panggang ikan yang
ditangkap oleh See-thian Hoat-su dari teluk, makan malam sederhana yang amat
lezat karena hati tenang dan perut lapar ditambah tubuh yang lelah, mereka lalu
mengaso. Saking lelahnya setelah berlari sambil memondong Syanti Dewi beberapa
hari lamanya, sebentar saja See-thian Hoat-su sudah tidur mendengkur.
Namun Syanti
Dewi tidak dapat tidur. Hatinya gelisah memikirkan nasibnya. Memang benar bahwa
dia telah selamat dan aman di tangan guru Siang In, akan tetapi kapankah dia
dapat berjumpa dengan Siang In? Dan terutama sekali, kapankah dia akan dapat
bertemu dengan Tek Hoat dan bagaimana sikap Tek Hoat kalau berhadapan dengan
dia? Teringat akan semua pengalamannya, Syanti Dewi menarik napas panjang. Apa
lagi yang akan dialaminya selanjutnya?
Baru
beberapa bulan yang lalu dia masih menjadi seorang puteri di istana ayahnya,
hidup bahagia sekali dan menghadapi masa depan gilang gemilang, dengan Ang Tek
Hoat sebagai tunangannya yang gagah perkasa dan amat dicintanya, dan pernikahan
antara mereka hanya tinggal menanti saatnya saja. Akan tetapi tiba-tiba saja
terjadi malapetaka yang amat hebat, yaitu datangnya ibu kandung Tek Hoat yang
membikin marah ayahnya dengan pengakuannya yang menggemparkan, yaitu bahwa Ang
Tek Hoat adalah seorang anak haram.
Ayahnya
marah dan memutuskan pertunangan itu sehingga Tek Hoat merasa malu dan lolos
dari Bhutan! Dia menarik napas panjang. Dia amat mencinta Tek Hoat, mencinta
pribadinya. Apa artinya riwayat hidup keluarga pemuda itu baginya? Dia dulu pun
sudah tahu bahwa Tek Hoat pernah menjadi orang tersesat, bahkan membantu
pemberontak. Akan tetapi, bukankah pemuda itu sudah sadar dan kembali ke jalan
benar? Betapa pun juga, dia mencinta Tek Hoat, dan dia tidak peduli apa pun
yang menjadi latar belakang riwayat hidup ayah dan ibu pemuda itu.
“Syanti
Dewi...!” Tiba-tiba dia mendengar suara halus datang dari luar Goa Tengkorak.
Suara
seorang wanita yang halus memanggilnya! Mimpikah dia? Syanti Dewi bangkit duduk
dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika dia melirik ke arah kamar di
sebelah kamarnya, dia masih mendengar suara dengkur See-thian Hoat-su. Dia
harus berhati-hati. Bukankah kakek itu mengatakan bahwa boleh jadi orang-orang
jahat yang hendak merampasnya kembali datang ke tempat itu?
“Enci Syanti
Dewi...!” Kembali terdengar bisikan yang terdengar olehnya seperti desis seekor
ular.
Siapakah
dia? Siang In? Hanya Siang In yang menyebutnya enci Syanti Dewi! Akan tetapi
mungkinkah Siang In? Dia curiga sekali. Kalau benar Siang In, mengapa harus
memanggilnya dengan suara lirih dari luar goa? Bukankah goa ini adalah tempat
tinggal See-thian Hoat-su, kakek yang menjadi gurunya sendiri? Mengapa gadis
itu tidak mau langsung masuk saja menemuinya dan memanggil dari luar secara
mencurigakan?
Syanti Dewi
sudah banyak mengalami hal-hal hebat dan tahulah dia bahwa orang-orang jahat di
dunia kang-ouw amat licik dan curang, dan oleh karena itu dia tetap saja diam
mendengarkan, tidak mau tergesa-gesa keluar. Kembali sunyi keadaannya, sunyi
yang menegangkan hati Puteri Bhutan itu. Tidak lama kemudian, terdengarlah lagi
suara itu, kini agak keras biar pun masih dengan suara mendesis agar tidak
terlalu nyaring dan terdengar oleh kakek yang sedang tidur.
“Kalau benar
bahwa yang berada di dalam itu Puteri Syanti Dewi, harap ke luar, adikmu Candra
Dewi berada di sini!”
Syanti Dewi
terkejut, jantungnya berdebar keras. Candra Dewi! Ceng Ceng! Dia tidak
ragu-ragu lagi karena dia mengenal suara itu. Turunlah dia dari atas
pembaringan dan dengan berindap-indap dia keluar dari kamarnya, terus berjalan
keluar goa yang gelap karena penerangan hanya ada di dalam kamarnya dan di
kamar See-thian Hoat-su saja.
Di luar goa
juga gelap, remang-remang karena hanya diterangi bintang-bintang di langit. Dia
melihat sesosok tubuh seorang wanita berdiri di luar goa itu. Syanti Dewi tidak
berani segera ke luar, mengintai dulu dan jantungnya berdebar penuh kegirangan
ketika dia mengenal bahwa orang itu memang Candra Dewi atau Ceng Ceng adanya!
Wanita itu
memang benar Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau nyonya Kao Kok Cu si Naga Sakti dari
Gurun Pasir! Dahulu, ketika dia masih tinggal di Bhutan, Ceng Ceng diakui adik
oleh Syanti Dewi dan diberi nama Candra Dewi. Seperti telah diceritakan di
bagian depan, wanita perkasa ini bersama suaminya, si Naga Sakti dari Gurun
Pasir Kao Kok Cu, terpaksa meninggalkan tempat mereka yang terasing dari dunia
ramai, jauh di utara di gurun pasir, memasuki dunia ramai di selatan untuk
mencari putera mereka yang hilang! Mereka mencium jejak putera mereka itu
dibawa orang ke selatan, namun sampai sekian lamanya belum juga mereka berhasil
menemukan kembali Kao Cin Liong, putera mereka yang berusia lima tahun itu.
Kini Ceng Ceng kembali melakukan penyelidikan dengan terpisah dari suaminya,
karena dengan melakukan penyelidikan terpisah, lebih banyak harapan untuk
mendapatkan kembali jejak yang hilang itu.
Di dalam
perjalanannya melakukan penyelidikan dan mencari puteranya itulah Ceng Ceng
mendengar desas-desus di dalam dusun-dusun yang dilaluinya tentang seorang
puteri yang terculik oleh seorang penjahat dan dikejar-kejar oleh seorang kakek
seperti dewa. Ketika dia mendengar bahwa ada ‘Puteri Bhutan’ dilarikan iblis
dan dikejar dewa, dia masih belum menduga bahwa itu adalah Syanti Dewi. Akan
tetapi ketika dia teringat bahwa beberapa hari yang lalu dia melihat Mohinta,
putera panglima tua di Bhutan yang pernah dikenalnya, berkeliaran dengan
beberapa orang pembantunya, mulailah dia curiga. Jangan-jangan Syanti Dewi yang
lagi-Iagi menimbulkan geger di tempat ini!
Karena
hatinya merasa penasaran, dia lalu melakukan pengejaran pula dan akhirnya dia
tiba di depan Goa Tengkorak pada malam hari itu. Tetapi dia tidak berani
lancang menyerbu ke dalam, maka dia lalu menggunakan tenaga khikang-nya untuk
memanggil, karena wanita sakti ini yakin bahwa kalau mendengar suaranya, tentu
Syanti Dewi akan keluar, kalau memang benar Syanti Dewi puteri yang terculik
itu.
“Adik
Ceng...!” Syanti Dewi yang kini tidak ragu-ragu lagi itu berseru sambil lari
keluar.
“Enci
Syanti...!”
Dua orang
wanita ini saling rangkul.
“Aihhh,
kiranya benar engkau, Enci Syanti!”
“Adik
Candra... betapa girangnya hatiku bertemu denganmu...“
Pada saat
itu, dari balik batu besar meloncat sesosok bayangan yang tinggi besar dan
bayangan ini langsung menerkam ke arah Ceng Ceng. Wanita perkasa ini
cepat-cepat mendorong tubuh Syanti Dewi, “Enci, menjauhlah!” katanya dan dia
cepat membalik, menggerakkan lengannya untuk menangkis karena mengelak sudah
tidak sempat lagi. Serangan bayangan hitam itu cepat bukan main.
“Desssss...!”
Tangkisan
Ceng Ceng yang dilakukan dengan cepat itu mengandung tenaga sinkang mukjijat.
Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali dituturkan betapa nyonya ini di waktu
belum menikah dahulu, bersama Topeng Setan yang ternyata adalah Kao Kok Cu yang
sekarang menjadi suaminya, telah berhasil memperoleh anak naga yang
diperebutkan seluruh orang kang-ouw di Telaga Sungari, walau pun untuk itu Kao
Kok Cu telah mengorbankan sebelah lengannya yang dicaplok oleh naga di telaga
itu.
Setelah Ceng
Ceng minum darah anak naga untuk mengobati luka dan penyakit yang dideritanya,
tidak saja dia sembuh dari lukanya di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi juga
dia telah memperoleh tenaga mukjijat dari khasiat darah anak naga itu. Tentu
saja setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, dia telah dilatih oleh suaminya
yang sakti itu dan kini dia telah dapat menguasai tenaga mukjijat itu dengan
baiknya, di samping ilmunya yang sudah memperoleh kemajuan pesat sekali.
Tubuh
Gitananda, kakek tinggi besar yang menyerangnya itu, sampai terlempar jauh
ketika lengan mereka saling bertemu dengan kerasnya. Kakek itu terkejut bukan
main, sama sekali tidak mengira bahwa wanita yang diserangnya memiliki sinkang
sedemikian dahsyatnya.
Tadi kakek
ini hanya mengintai dan menanti kesempatan baik untuk merampas Syanti Dewi. Dia
tidak berani sembrono menyerbu ke dalam goa dan hanya menanti saat baik selagi
puteri itu keluar sendiri. Munculnya seorang wanita yang memanggil-manggil dari
luar goa membuat dia terheran-heran, akan tetapi giranglah hatinya melihat
Syanti Dewi benar-benar keluar dari dalam goa dan cepat dia lalu menerjang
wanita itu dengan maksud merobohkannya kemudian melarikan Syanti Dewi. Tetapi,
dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika wanita itu menangkis dengan tenaga yang
demikian hebatnya sehingga tubuhnya terlempar ke belakang sampai jauh!
Pada saat
itu terdengar bentakan nyaring dan Ceng Ceng harus cepat mengelak karena dari
dalam goa sudah muncul seorang kakek yang menyerangnya kalang-kabut dengan
pukulan-pukulan yang mendatangkan angin berputaraan. Tahulah dia bahwa lawannya
adalah seorang yang lihai, maka Ceng Ceng lalu membalas dengan
tamparan-tamparan kedua tangannya yang ampuh. Terjadilah pertempuran yang amat
seru dan dahsyat di depan goa, di dalam cuaca yang remang-remang itu dan mereka
berdua lebih mengandalkan ketajaman pendengaran mereka untuk mengikuti gerakan
lawan dari pada ketajaman pandangan mata yang tentu saja amat berkurang di
dalam cuaca remang-remang itu.
Syanti Dewi
tadi merasa terkejut sekali ketika dia didorong ke pinggir oleh Ceng Ceng, dan
dia melihat betapa Ceng Ceng tadi diserang oleh kakek tinggi besar. Kemudian,
melihat Ceng Ceng diserang kakek botak dari dalam goa, dia terkejut. Kakek itu
adalah See-thian Hoat-su! Dia segera melangkah maju dan bibirnya telah bergerak
untuk berseru agar mereka berhenti berkelahi karena mereka bukanlah musuh, akan
tetapi tiba-tiba ada bayangan hitam menyambar. Syanti Dewi berusaha untuk
mengelak, akan tetapi tingkat kepandaian silatnya jauh sekali dibandingkan
dengan tingkat Gitananda dan sekali kakek itu menepuk tengkuknya, tubuh Syanti
Dewi menjadi lemas dan pingsanlah puteri itu. Gitananda cepat memondongnya dan
menyelinap pergi di dalam kegelapan malam.
Ceng Ceng
dan See-thian Hoat-su yang sedang bertanding dengan hebat itu sama sekali tidak
melihat bahwa Syanti Dewi dirobohkan dan dibawa pergi orang lain. Mereka masih
saling serang dengan hebat dan sungguh-sungguh karena mereka mendapatkan
kenyataan bahwa lawan masing-masing amat lihai.
“Plak-plakkk!”
Untuk ke
sekian kalinya kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan tubuh Ceng Ceng
terdorong mundur, akan tetapi See-thian Hoat-su juga merasa betapa tubuhnya
tergetar hebat! Dia terkejut sekali, maklum bahwa wanita yang dilawannya
memiliki sinkang yang amat mukjijat dan kalau saja pertandingan itu dilanjutkan
beberapa kali mengadu tenaga seperti itu, amatlah berbahaya bagi jantungnya
yang dapat tergetar dan rusak!
Maka dia
kemudian mulai berkemak-kemik, hendak menggunakan ilmu sihirnya untuk
mengalahkan lawannya. Kalau saja cuaca tidak segelap itu, dengan pengaruh
pandang matanya agaknya dengan mudah dia akan dapat menguasai lawan ini. Akan
tetapi cuaca amat gelap dan dia kini hendak menggunakan sihir, akan tetapi
justeru pada saat itu lawannya mendesaknya dengan pukulan-pukulan ampuh
sehingga belum beranilah kakek ini membagi tenaganya untuk menggunakan sihir
oleh karena sekali saja terkena pukulan wanita itu tanpa dilawan dengan sinkang
sepenuhnya, akan sangat berbahaya baginya.
Sementara
itu, Ceng Ceng juga makin terkejut dan heran. Disangkanya bahwa yang menculik
Puteri Bhutan itu seorang penjahat biasa saja. Kiranya puteri itu benar Syanti
Dewi dan penculiknya ternyata adalah seorang yang berkepandaian tinggi! Hal ini
membuat dia menjadi marah bukan main dan dia sudah mencabut sebatang pedang
yang mengeluarkan sinar mengerikan, hijau kehitaman. Itulah pedang Ban-tok-kiam
(Pedang Selaksa Racun) yang bukan main ampuhnya.
Di dalam
cerita Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa Ceng Ceng menerima pedang
itu dari seorang iblis betina berjuluk Ban-tok Mo-li dan betapa pedangnya itu
pernah terampas oleh Tambolon dan kawan-kawannya yang tewas dalam perang oleh
Tek Hoat dan para orang gagah, Ceng Ceng akhirnya berhasil memperoleh pedangnya
kembali dan semenjak dia menikah, pedang itu selalu disimpannya saja dan tidak
pernah dipergunakannya.
Hanya ketika
puteranya lenyap, dan dia bersama suaminya meninggalkan Istana Gurun Pasir
untuk mencarinya, dia membawa Ban-tok-kiam, hanya untuk berjaga-jaga saja
karena dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, sebenarnya dia tidak usah
memerlukan bantuan pedangnya. Akan tetapi, melihat ada orang menculik Syanti
Dewi dan orang itu sedemikian lihainya, Ceng Ceng menjadi marah dan mencabut
Ban-tok-kiam yang mengerikan itu.
“Ihhhhh...!”
See-thian Hoat-su adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, juga seorang ahli
sihir yang amat pandai, akan tetapi dia bergidik juga ketika melihat berkelebatnya
cahaya hijau kehitaman yang mendirikan bulu roma itu.
“Penculik
hina dina!” Ceng Ceng lalu memaki. “Engkau telah berani menculik kakakku,
Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, maka engkau pun akan tewas di tanganku!”
Berkata demikian, wanita perkasa itu sudah menerjang dan terdengar suara
bercicit nyaring ketika Ban-tok-kiam meluncur ke depan mencari korban dengan
ganasnya!
“Heiii...
nanti dulu...!” See-thian Hoat-su mencelat ke belakang, berjungkir balik sampai
empat kali dan ketika dia turun, dia mengangkat kedua lengan ke atas sambil
berseru, “Nanti dulu, nanti dulu!”
“Kau mau
bicara apa lagi?” Ceng Ceng membentak, matanya memandang tajam dan mengeluarkan
sinar seperti mata seekor naga berapi hingga kembali See-thian Hoat-su terkejut
dan merasa ragu-ragu apakah dia akan mampu menguasai lawan yang memiliki mata
seperti itu dengan sihirnya.
“Engkau
mengaku kakak kepada Syanti Dewi? Dan menuduh aku menculiknya? Aneh… sungguh
aneh sekali. Heiii, Sang Puteri, ke sinilah dan coba jelaskan keanehan ini! Benarkah
aku penculik? Dan benarkah dia ini adikmu?”
Akan tetapi,
tentu saja tak ada jawaban terhadap teriakan See-thian Hoat-su itu karena
Syanti Dewi sudah tidak berada di tempat itu lagi. Mendengar kata-kata kakek
itu, Ceng Ceng juga terkejut, lalu dia menoleh dan mencari Syanti Dewi.
“Enci Syanti
Dewi...! Enci Syanti, di mana kau? Keluarlah!” teriaknya pula.
Akan tetapi
sia-sia belaka. Mereka berdua berteriak memanggil-manggil dan mencari cari,
namun Puteri Bhutan itu lenyap tanpa meninggalkan jejak.
“Celaka...!”
See-thian Hoat-su membanting-banting kakinya. “Selagi kita berdua saling
hantam, ada orang ketiga yang datang dan membawanya lari!”
Ceng Ceng
terkejut dan membenarkan dugaan itu. “Dia tentu belum lari jauh. Mari kita
berpencar dan mengejar!” Tanpa menanti jawaban, tubuhnya berkelebat lenyap dari
situ. See-thian Hoat-su juga meloncat dan mencari-cari.
Sia-sia saja
mereka berdua mengejar dan mencari sampai malam berganti pagi. Akhirnya mereka
kembali ke depan goa dan saling berjumpa di depan goa dengan alis berkerut.
Kini mereka dapat saling memandang dengan jelas dan Ceng Ceng merasa seperti
pernah melihat wajah kakek botak berambut putih itu.
“Siapakah
Locianpwe? Dan bagaimanakah Locianpwe dapat membawa Enci Syanti ke sini?”
tanyanya sambil memandang tajam.
See-thian
Hoat-su bersungut-sungut. “Kalau kau benar-benar adiknya, mengapa datang
malam-malam seperti pencuri? Kalau datangmu biasa saja di waktu siang hari,
tentu aku tidak menyerangmu dan Sang Puteri tidak akan lenyap. Akan tetapi
sudahlah! Aku adalah See-thian Hoat-su, dan siapakah Nona yang masih muda akan
tetapi memiliki kepandaian hebat sekali dan memiliki pedang yang demikian
mengerikan?”
Ceng Ceng
membelalakkan matanya. “Aihhh! Kiranya Locianpwe See-thian Hoat-su!” Tentu saja
dia pernah mendengar nama ini, bahkan pernah pula melihat orangnya ketika
terjadi perang melawan Tambolon dan pasukannya, karena kakek inilah yang
merobohkan nenek Durganini dan membawanya pergi.
“Saya adalah
adik angkat dari Enci Syanti Dewi, yaitu dahulu ketika saya masih tinggal di
Bhutan. Sekarang saya telah menjadi isteri dari suami saya yang dikenal sebagai
si Naga Sakti dari Gurun Pasir.”
“Aaahhhhh...!”
Kiranya begitukah? Pantas saja kepandaianmu hebat sekali, Toanio! Dan maafkan
kalau aku menyerangmu tadi karena kusangka engkau adalah penculik yang
membayangi kami sampai di sini.”
“Sayalah
yang harus minta maaf, Locianpwe, dan saya menyesal sekali karena saya tahu
sekarang, bahwa saya salah duga dan saya yang menyebabkan lenyapnya Enci Syanti
Dewi. Tidak salah lagi, tentu ini perbuatan dewa hitam itu!”
“Dewa hitam?
Apa pula maksudmu, Toanio?” See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi melihat
wajah nyonya muda itu nampak lesu dan muram, juga kelihatan lelah sekali, dia
cepat berkata, “Mari kita bicara di dalam, Toanio. Agaknya banyak hal yang
perlu saling kita tuturkan.”
Memang Ceng
Ceng merasa lesu dan muram wajahnya, hal ini karena dia selama ini berada dalam
kecemasan memikirkan nasib puteranya yang lenyap dan belum juga dapat dia
temukan. Kini ditambah lagi menghadapi urusan Syanti Dewi lenyap diculik orang,
tentu saja dia merasa semakin gelisah dan berduka. Maka ketika kakek itu
mempersilakan dia masuk ke dalam goa besar, dia hanya mengangguk dan mereka
lalu memasuki tempat itu.
Setelah
duduk berhadapan, Ceng Ceng lalu menceritakan betapa dia mendengar tentang
Syanti Dewi dari orang-orang dusun di sepanjang jalan yang menceritakan bahwa
mereka melihat seorang dara cantik dipondong dan dilarikan oleh seorang kakek,
dan betapa kemudian muncul seorang kakek hitam bersorban yang memberi tahu
mereka bahwa puteri itu adalah Puteri Bhutan yang diculik oleh seorang jahat.
Penghuni dusun lalu menyebar luaskan berita itu dengan cerita bahwa Puteri
Bhutan diculik setan dan dikejar oleh seorang dewa hitam yang hendak menolong
sang puteri.
“Mendengar
puteri itu disebut Puteri Bhutan, saya sudah merasa tertarik sekali, dan menduga
bahwa Enci Syanti Dewi yang dimaksudkan, maka saya pun lalu melakukan
pengejaran. Ketika saya memanggil Enci Syanti Dewi keluar, kami bertemu dan
sempat berangkulan. Pada saat itulah saya diserang orang dari belakang. Saya
mendorong Enci Syanti Dewi ke pinggir dan menangkis serangan orang itu sehingga
dia terlempar ke belakang. Akan tetapi lalu Locianpwe muncul dan menyerang
saya. Karena mengira bahwa tentu Locianpwe adalah sekutu dari penyerang pertama
itu, maka saya tidak mempedulikan dia lagi dan melayani Locianpwe yang ternyata
lebih lihai. Siapa kira, agaknya orang itulah yang disebut dewa hitam dan yang
mempergunakan kesempatan selagi kita bertempur, lalu dia melarikan Enci
Syanti.”
See-thian
Hoat-su mengerutkan alisnya yang putih. “Orang hitam bersorban? Siapa gerangan
dia? Apakah dia datang dari pesta itu dan terus membayangiku?”
“Pesta apa
yang Locianpwe maksudkan?” Ceng Ceng bertanya.
Kakek itu
menarik napas panjang. “Sebaiknya kuceritakan dari permulaannya,” katanya.
“Ketika itu aku sedang bertapa dan mengundurkan diri di goa ini setelah muridku
yang bernama Siang In kuperbolehkan untuk merantau dan meluaskan pengalaman.
Akan tetapi tiba-tiba datanglah nenek gila yang pernah menjadi isteriku itu...“
dia berhenti dan menghela napas panjang.
“Nenek
Durganini...?” Ceng Ceng bertanya menegaskan, karena sesungguhnya dia sudah
tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah nenek itu.
“Siapa lagi
kalau bukan dia?” Nenek gila itu mengganggu aku yang sedang siulian,
datang-datang mengamuk dan hampir saja membunuhku kalau aku tidak segera sadar
dari siulian. Dia datang dan marah-marah, katanya dia mendengar dari muridku
bahwa aku hendak menghajarnya, maka dia datang dan menantang-nantang! Aku
maklum bahwa tentulah muridku yang bengal itu yang menjadi gara-gara, akan
tetapi aku pun mengerti bahwa tentu ada sebabnya yang amat memaksa maka Siang
In sampai menggunakan akal itu untuk memancing Durganini datang ke sini. Maka
aku berhasil menyabarkan hatinya dan si nenek gila itu mulai bercerita tentang
Syanti Dewi.”
“Ahhh...?
Sungguh heran mengapa Enci Syanti yang sudah pulang ke negerinya itu tiba-tiba
dapat berada di sini lagi.”
“Aku pun
baru mendengar tentang itu dari Puteri Syanti Dewi ketika aku membawanya lari
ke sini. Akan tetapi biarlah kulanjutkan ceritaku. Durganini menceritakan bahwa
dia telah mempunyai seorang murid baru, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari
Liong-sim-pang yang tinggal di puncak Bukit Naga Api di Pegunungan
Lu-liang-san. Secara kebetulan saja Tang Hun ini bertemu dengan muridku, Siang
In, yang melakukan perjalanan bersama Puteri Syanti Dewi. Tang Hun jatuh cinta
dan menangkap Syanti Dewi dan hendak dijadikan isterinya. Siang In tidak mampu
melindunginya karena di situ terdapat isteriku si nenek gila itu, maka Siang In
lalu menggunakan akal, membohongi nenek itu dan mengatakan aku berada di sini
dan hendak menghajarnya.” Kakek itu menarik napas panjang dan tersenyum geli
teringat akan kenakalan muridnya.
“Nenek gila
itu paling benci mendengar aku mengancamnya, maka dia lalu lari ke sini dan
mengamuk. Dia menceritakan bahwa Syanti Dewi hendak diperisteri oleh Tang Hun
dan mendengar ini, aku mengkhawatirkan keadaan muridku dan juga puteri itu. Aku
lalu meninggalkan nenek gila itu dan pergi ke puncak Naga Api menyelidik.
Ternyata cerita itu benar dan aku melihat betapa banyak orang bersiap-siap
hendak menculik Syanti Dewi, di antaranya adalah muridku yang berusaha menolongnya.
Akan tetapi karena aku melihat banyak orang lihai di situ, maka aku sendiri
turun tangan dan membawa Sang Puteri lari sampai ke sini. Aku hendak menanti
datangnya Siang In di sini, akan tetapi ternyata engkau datang lebih dulu dan
Syanti Dewi terculik lagi.”
Ceng Ceng
mengerutkan alisnya. “Dan bagaimana Enci Syanti Dewi meninggalkan negaranya dan
berada di tempat ini?”
“Dia
menceritakan kepadaku ketika dalam perjalanan menuju ke sini. Katanya terjadi
keributan di negerinya, Raja Bhutan, yaitu ayahnya memutuskan tali pertunangan
ltu sehingga tunangannya, Ang Tek Hoat pergi dari Bhutan. Puteri Syanti Dewi
ingin sekali menyusul, kebetulan Siang In datang mengunjunginya dan muridku
itulah yang sudah membantunya lolos dari istana Bhutan dan hendak mencari Tek
Hoat, akan tetapi sebelum dapat bertemu telah ditangkap oleh ketua
Liong-sim-pang.”
“Hemmm,
sungguh kasihan Enci Syanti. Siapa kiranya yang kini menculiknya malam tadi?”
Kakek itu
mengepal tinjunya. “Salahku! Aku kurang hati-hati, Akan kuselidiki sampai
dapat. Akan tetapi, Toanio, engkau yang tinggal di lstana Gurun Pasir, tempat
rahasia yang seperti hanya terdapat dalam dongeng, mengapa pula kau berada di
sini, kalau aku boleh bertanya?”
Ceng Ceng
menarik napas panjang, teringat akan puteranya yang lenyap. “Sudah
berbulan-bulan saya dan suami saya meninggalkan Istana Gurun Pasir dan
menjelajahi Tiong-goan, Locianpwe. Kami suami isteri juga sedang tertimpa
malapetaka. Putera kami telah hilang.”
“Hilang?”
“Ya, hilang
tanpa meninggalkan jejak. Tentu diculik orang pula, seperti halnya Enci Syanti
Dewi. Kami telah mencari dan kadang-kadang menemukan jejaknya, akan tetapi lalu
hilang lagi sehingga sampai kini kami belum berhasil.”
“Aihhh,
manusia mana yang berani main gila menculik puteri si Naga Sakti dari Gurun
Pasir? Iblis pun akan berpikir panjang untuk melakukan hal itu,” kata See-thian
Hoat-su dengan heran. Nama besar si Naga Sakti ditakuti oleh seluruh dunia
kang-ouw seperti juga nama besar lainnya, misalnya Pendekar Super Sakti dari
Pulau Es. Juga Naga Sakti tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw, bagaimana
ada orang yang berani menculik puteranya?
“Buktinya
ada yang menculiknya!” kata Ceng Ceng gemas. “Kalau saja aku dapat menangkap
penculik hina itu!” Dan dia mengepal tinjunya.
See-thian
Hoat-su sendiri bergidik mendengar ancaman yang terkandung dalam suara itu. Dia
tadi sudah merasakan kelihaian nyonya muda ini, apa lagi pedangnya yang
mengerikan itu. Baru nyonyanya sudah demikian hebat, entah bagaimana si Naga
Sakti sendiri! Benar-benar si penculik itu mencari penyakit!
“Aku akan
mencari Puteri Syanti Dewi, akan tetapi juga akan membuka mata dan telinga
untuk membantumu mencari puteramu, Toanio. Berapakah usianya dan bagai mana
ciri-cirinya?”
“Banyak
terima kasih atas kebaikan hati Locianpwe,” kata Ceng Ceng yang sebagai seorang
ibu, hatinya gelisah sekali dan tentu akan terasa bersyukur kalau ada orang
membantunya menemukan puteranya. “Nama putera kami itu adalah Kao Cin Liong,
usianya sekitar lima tahun, mukanya bundar putih dan matanya lebar, di bawah
telinga kirinya terdapat sebuah tahi lalat kecil. Hanya itu ciri-cirinya.”
“Baik, aku
akan membuka mata dan telinga. Sekarang pun aku akan berangkat hendak mencari
jejak Syanti Dewi sambil mendengarkan tentang puteramu.”
“Terima
kasih, Locianpwe.”
Mereka
keluar dari dalam goa dan keduanya lalu pergi mengambil jalan terpisah. Di
sepanjang jalan See-thian Hoat-su mengeluh panjang pendek. Dia sudah tua
sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya, sudah bosan dengan urusan
dunia yang hanya menimbulkan banyak persengketaan dan permusuhan. Tadinya,
setelah muridnya Siang In meninggalkannya dia menganggap bahwa tugasnya telah
selesai, bahwa dia boleh menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan tenang dan
tenteram di dalam tempat pertapaannya, di Goa Tengkorak dan hidup penuh damai
dengan diri sendiri dan dengan alam di tempat sunyi itu sampai dia mati. Siapa
kira, belum ada setahun saja dia sudah terseret lagi dalam urusan dunia! Dan
setelah kini melihat Syanti Dewi diculik orang dari tangannya, tentu saja dia
akan selalu merasa bersalah dan menyesal sebelum dia dapat menyelamatkan Puteri
Bhutan itu kembali.
“Uuuuuhhh,
sialan kau, tua-tua tidak dapat menikmati hidup damai...“ gerutunya, namun
tetap saja dia melanjutkan perjalanan sambil mencari-cari jejak Puteri Bhutan
itu. Dari jejak-jejak kaki di dekat goanya, dia melihat jejak kaki itu menuju
ke utara, maka dia pun tidak membuang waktu dan mengejar ke utara.
***************
Warung nasi
itu penuh dengan orang yang makan siang. Warung itu terkenal menjual nasi tim
dan masakan-masakan yang cukup lezat dan terutama sekali murah harganya
dibandingkan dengan harga makanan di restoran-restoran lain, maka selalu penuh
dengan tamu, apa lagi di waktu siang dan malam, waktunya orang-orang makan
siang dan makan malam.
Siang itu
hawanya panas bukan main, apa lagi di dalam restoran kecil atau warung nasi
itu, seolah-olah merupakan pertanda bahwa di situ akan terjadi hal-hal yang
hebat. Selagi banyak orang makan minum sambil bercakap-cakap, masuklah seorang
wanita dan seorang pemuda. Wanita yang usianya mendekati empat puluh tahun
namun masih kelihatan muda, cantik jelita dengan lirikan mata dan gerak bibir
tersenyum genit. Pakaiannya serba indah dan pesolek, bibirnya yang memang bagus
sekali bentuknya itu kemerahan oleh gincu, juga kedua pipinya ditambahi bedak
dan pemerah pipi, di punggungnya tergantung pedang.
Wanita ini
memasuki restoran dengan lenggang yang lemah gemulai, kedua bukit pinggulnya
yang terbungkus ketat oleh celana biru dari sutera itu menari-nari ketika dia
melenggang, membuat beberapa orang yang sedang makan mi terpaksa harus
menjulur-julurkan lehernya karena mi panjang yang ditelannya itu nyasar, mata
mereka melotot dan melekat kepada buah pinggul yang menari-nari. Pemuda di
sebelah wanita itu masih muda, baru dua puluh tiga tahun kurang lebih, tampan
dengan muka yang membayangkan kekerasan, agak muram dengan mata tajam dingin,
mulutnya tertarik seperti orang mengejek, dan sikapnya tidak mempedulikan siapa
pun.
Wanita itu
adalah Lauw Hong Kui, tokoh sesat yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li atau Siluman
Kucing, dan yang berjalan di sebelahnya adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah
diceritakan di bagian depan dari kisah ini, mereka meninggalkan sarang
perkumpulan Hek-eng-pang untuk mencari jejak Syanti Dewi. Seperti kita ketahui,
Ang Tek Hoat yang dibantu oleh Yang-liu Nionio, ketua Hek-eng-pang, telah
menyerbu puncak Naga Api dan berusaha merampas Puteri Syanti Dewi dari tangan
Hwa-i-kongcu Tang Hun.
Akan tetapi,
ternyata yang mereka rampas dan mereka kira Syanti Dewi itu sebenarnya hanyalah
seorang pelayan! Mereka sama sekali tidak tahu bahwa mereka menjadi korban
kenakalan kakek See-thian Hoat-su yang telah membawa lari Syanti Dewi. Dan
ketika Ang Tek Hoat hendak pergi meninggalkan Yang-liu Nionio, Mauw Siauw Mo-li
mengatakan bahwa dia melihat ada seorang gadis mencari-cari Puteri Syanti Dewi
dan menawarkan bantuannya kepada Tek Hoat untuk membantu pemuda itu mencari
kekasihnya.
Demikianlah,
hari itu mereka tiba di kota di mana Mauw Siauw Mo-li berjumpa gadis yang
mencari-cari Syanti Dewi, dan memasuki restoran di mana dia beberapa hari yang
lalu melihat gadis itu. Dan Mauw Siauw Mo-li memang tidak berbohong. Di
restoran ini, beberapa hari yang lalu ketika dia pergi mengunjungi muridnya,
Yang-liu Nionio, dia memang melihat seorang gadis cantik yang mencari-cari
Syanti Dewi dan gadis ini bukan lain adalah Siang In yang masih terus
menyelidiki dan mencari sahabatnya itu.
Tentu saja
Mauw Siauw Mo-li bukanlah seorang yang demikian baik hatinya untuk membantu
orang lain tanpa ada pamrih lain di dalam hatinya. Begitu dia bertemu kembali
dengan Ang Tek Hoat, pemuda yang pernah membangkitkan gairah birahinya lima
tahun yang lalu, maka timbuliah hasratnya untuk mendekati pemuda tampan dan
gagah ini. Maka dia menawarkan bantuannya yang hendak dipergunakan menjadi
jalan agar dia dapat mendekati Si Jari Maut, pendekar muda yang pernah
menggemparkan dunia persilatan itu.
Akan tetapi
selama tiga hari tiga malam ini, dia sama sekali belum berhasil ‘mendekati’ Ang
Tek Hoat yang bersikap dingin dan tak acuh kepadanya! Bahkan pagi hari tadi,
ketika mereka melewatkan malam di hutan dan pagi tadi dia sengaja mandi di
sumber air dengan bertelanjang bulat dan berusaha menarik perhatian Tek Hoat,
pemuda itu malah marah-marah dan berdiri membelakanginya, sedikit pun tak
pernah mau melirik, apa lagi mengagumi keindahan bentuk tubuhnya! Diam-diam
Mauw Siauw Mo-li menjadi gemas dan marah sekali, hatinya terasa sakit sekali.
Tidak mengindahkan dan tidak menyatakan kagum terhadap keindahan tubuhnya
merupakan penghinaan! Dan kalau saja bukan Tek Hoat, tentu dia sudah akan
membunuh pria yang berani menghinanya seperti itu.
Akan tetapi
terhadap Tek Hoat dia tidak berani main-main karena dia maklum betapa lihainya
pemuda ini dan betapa berbahayanya untuk memusuhi Si Jari Maut di tempat sunyi
itu tanpa pembantu. Maka dia menahan kesabarannya dan mengambil keputusan untuk
berhati-hati dan bersikap cerdik menghadapi pemuda ini, akan perlahan-lahan
memasang jaringnya untuk menjebak Tek Hoat ke dalam pelukannya.
Semua mata
para tamu yang terdiri dari kaum pria itu tidak ada yang tidak memandang kepada
Mauw Siauw Mo-li, atau setidaknya tentu mengerling kagum. Seorang wanita yang
cantik manis dan sudah matang! Tetapi Mauw Siauw Mo-li tidak mempedulikan
mereka, melainkan tersenyum bangga dan sadar akan kekaguman yang membanjiri
dirinya dan matanya memandang ke arah seorang pelayan gendut lalu dia menggapai
ke arah pelayan itu.
Pelayan itu
sedang membawa baki melayani beberapa orang tamu. Ketika dia melihat Mauw Siauw
Mo-li menggapai kepadanya, dia cepat-cepat menyerahkan baki berisi masakan
kepada seorang rekannya dan dia sendiri tergesa-gesa menghampiri wanita cantik
itu dan terbongkok-bongkok dan tersenyum-senyum dengan sikap penuh hormat dan
penjilatan.
“Ahhh...
apakah Toanio dan Kongcu yang terhormat ingin makan? Mari, saya pilihkan tempat
yang kosong dan enak bagi Ji-wi (Anda berdua).”
Mauw Siauw
Mo-li mengangguk dan pelayan itu dengan terbongkok-bongkok lalu mengantar
mereka ke sudut di mana terdapat meja kosong yang cepat dibersihkannya dengan
kain yang selalu tergantung di pundaknya.
“Toanio
hendak pesan apa? Dan Kongcu?” tanyanya ramah.
“Keluarkan
mi, daging dan sayur terbaik untuk dua orang, kemudian harus engkau sendiri
yang melayani kami karena kami ingin bicara denganmu.”
Pelayan itu
membelalakkan matanya yang kecil sipit, tetapi lalu tersenyum-senyum dan
mengangguk-angguk seperti seekor ayam sedang makan beras. “Baik, Toanio,
baik...“ dan dia lalu mengundurkan diri untuk memenuhi pesanan Mauw Siauw Mo-li
itu.
“Dialah yang
ketika itu ditanyai oleh gadis yang kumaksudkan, maka aku minta dia yang
melayani klta,” bisik wanita cantik itu kepada Tek Hoat yang hanya mengangguk.
Pelayan itu
datang membawa masakan dan arak yang dipesan, kemudian setelah mengatur semua
itu di atas meja, dia berdiri tak jauh dari situ sambil tersenyum-senyum dan
siap untuk melayani dua orang ini kalau-kalau membutuhkan sesuatu.
Mauw Siauw
Mo-li mengajak Tek Hoat makan minum tanpa berkata-kata. Baru setelah dia merasa
kenyang dan menyusut bibirnya yang merah dan berminyak itu dengan sapu tangan,
dia memberi isyarat kepada pelayan itu untuk mendekat. Si pelayan mendekat dan
membongkokkan tubuhnya agar kepalanya lebih dekat dengan wanita itu untuk
mendengarkan apa yang hendak dikatakan wanita itu.
“Aku ingin
bertanya kepadamu tentang sesuatu dan kau harus menjawab sejujurnya dan
sebenarnya. Kalau kau memberi keterangan yang menyenangkan, jangan khawatir,
aku akan memberi hadiah kepadamu. Tapi jika kau berbohong atau menyembunyikan
sesuatu, pedangku tidak akan segan-segan untuk menyembelih lehermu.”
“Uhhhhh...!
Ti... tidak... mana saya berani...“ Pelayan gendut itu berkata dan tubuhnya
menggigil.
Mauw Siauw
Mo-li terkekeh sehingga empat orang pria yang duduk di meja yang tidak jauh
dari situ menoleh semua. Melihat wanita cantik itu terkekeh genit dan matanya
mengerling penuh daya tarik kepada mereka, empat orang laki-laki yang melihat
pakaiannya tentu terdiri dari kongcu yang beruang itu juga tersenyum-senyum.
Bahkan seorang di antara mereka yang termuda, usianya paling banyak tiga puluh
tahun, pakaiannya rapi dan indah, mengedipkan mata kepada Mauw Siauw Mo-li.
Sambil terkekeh genit wanita ini membalas dengan kedipan mata kanan sehingga
laki-laki itu kelihatan girang bukan main lalu minum araknya. Mereka berempat
lalu tertawa-tawa dan berbisik-bisik. Tek Hoat melihat ini semua dengan hati
muak, akan tetapi dia pura pura tidak tahu dan diam saja, hanya memandang
kepada pelayan gendut itu.
Setelah
sedikit gangguan main mata dengan empat orang pria itu, Mauw Siauw Mo-li
kembali menghadapi pelayan dan mulailah dia bertanya, “Beberapa hari yang lalu
aku juga makan di sini...“
“Ahhh, saya
ingat, Toanio. Saya ingat, maka ketika Toanio datang tadi, saya cepat menyambut
karena saya merasa pernah melihat Toanio...,“ pelayan itu cepat berkata.
“Dan pada
waktu itu, engkau melayani seorang gadis cantik berbaju sutera merah indah dan
membawa payung. Dia bertanya kepadamu tentang seorang gadis cantik yang dibawa
dengan paksa oleh seorang kakek.” Mauw Siauw Mo-li membiarkan pelayan itu
mengerutkan alis mengingat-ingat.
Ketika dia
membayangi gadis yang dijumpainya di tepi jalan di dusun Khun-kwa tak jauh dari
kota ini, dia terus mengikuti gadis itu sampai gadis itu memasuki rumah makan
di kota ini. Akan tetapi karena pada waktu itu terdapat banyak sekali tamu dan
suasana amat berisik, maka dia tidak dapat mendengarkan percakapan antara gadis
itu dan pelayan gendut ini dengan jelas, hanya melihat si gendut ini
menggerak-gerakkan tangan. Pada waktu itu dia tidak begitu memperhatikan,
bahkan tidak mempedulikan urusan itu, akan tetapi setelah dia berniat membantu
Tek Hoat, barulah dia teringat bahwa yang dimaksudkan oleh gadis itu tentulah
Puteri Syanti Dewi.
“Ahhh,
sekarang saya ingat, Toanio. Benar..., gadis membawa payung...“
“Nah,
dengarlah. Aku juga ingin mencari gadis yang dibawa oleh kakek itu. Ke manakah
mereka?” Lalu dia menambahkan, “Awas, jangan berbohong kau!”
“Aihhh, mana
saya berani berbohong? Saya akan menceritakan kepada Toanio seperti yang saya
ceritakan kepada nona itu, seperti yang saya ketahui. Memang ada kakek dan
gadis seperti yang dimaksudkan itu makan di sini, akan tetapi tentu saja saya
tidak tahu ke mana mereka pergi. Hanya di waktu makan, saya mendengar kakek itu
menyebut-nyebut pantai Laut Po-hai. Hanya itulah yang saya ketahui dan demikian
pula saya ceritakan kepada gadis itu, Toanio.”
“Pantai
Lautan Po-hai?” Tek Hoat mengulang dan alisnya berkerut. “Kalau begitu, aku
akan menyusul ke sana!” katanya dan alisnya berkerut makin dalam ketika dia
melihat Mauw Siauw Mo-li sudah tersenyum-senyum dan bermain mata lagi dengan
laki-laki berbaju kuning di meja lain itu. Ternyata Siluman Kucing ini tidak
mendengarkan atau mempedulikan keterangan si pelayan sama sekali, tetapi asyik
bermain mata dengan laki-laki itu!
Tiba-tiba
laki-laki itu yang agaknya sudah setengah mabuk dan tidak kuat menyaksikan
permainan mata dan bibir Mauw Siauw Mo-li, berdiri dan dengan langkah yang agak
terhuyung dia menghampiri meja wanita itu, berpegang pada ujung meja dan dengan
berdiri tidak lurus, agak tergoyang-tergoyang, dia tersenyum lebar kepada Mauw
Siauw Mo-li.
“He-he-he,
engkau... he-he, cantik seperti bidadari... mari kita makan minum bersama...
he-he-he, tentu kita berdua akan senang sekali...”
“Prattt...!”
Laki-laki
itu menjerit dan menutupi mukanya yang disiram kuah panas oleh Mauw Siauw
Mo-li. Bukan hanya karena kuah itu panas yang membuat laki-laki itu kini
bergulingan dl atas lantai sambil menjerit-jerit, akan tetapi karena kuah itu
dilemparkan dengan pengerahan tenaga sakti oleh Mauw Siauw Mo-li yang kini
tertawa terkekeh-kekeh dan suara ketawa ini mengandung suara seekor kucing! Tek
Hoat mengerutkan alisnya, akan tetapi duduk saja dengan tenang.
Tentu saja
tiga orang laki-laki lain yang duduk di meja sebelah menjadi terkejut dan marah
sekali melihat teman mereka bergulingan seperti itu. Mereka menyangka bahwa
teman mereka itu dipukul atau terkena senjata lain karena kalau hanya kuah,
tidak mungkin teman mereka sampai menderita seperti itu. Serentak mereka
bangkit dan lari menghampiri meja Mauw Siauw Mo-li.
“Kau apakan
teman kami?” bentak mereka.
“Hi-hik, dia
terlalu mabuk dan kalian juga!”
Kini
berhamburanlah mangkok-mangkok beserta sumpit-sumpit dari atas meja di depan
wanita itu dan terdengar suara berteriak-teriak kesakitan dan tiga orang
laki-laki ini pun terpelanting dan roboh bergulingan seperti teman mereka yang
pertama. Muka mereka luka-luka, ada yang tertusuk sumpit matanya, ada pula yang
pecah pelipisnya terkena sambaran mangkok yang menghantam kepala sampai pecah
mangkok itu sehingga pecahannya melukai muka. Tentu saja restoran itu segera
menjadi geger dan para tamu banyak yang lari keluar.
Melihat ini,
hati Tek Hoat terasa muak dan dia lalu bangkit berdiri, terus keluar dari
tempat itu tanpa mempedulikan Mauw Siauw Mo-li lagi. Wanita ini cepat memburu.
“Ehh, nanti
dulu, Ang-sicu...!” Dia mengejar, akan tetapi Tek Hoat tidak menengok lagi,
bahkan tidak peduli ketika Mauw Siauw Mo-li melangkah di sampingnya dan mereka
keluar dari kota itu.
Setelah
mereka jauh meninggalkan pintu gerbang kota, dan melihat Tek Hoat sama sekali
tidak mempedulikannya, Mauw Siauw Mo-li lalu berkata, “Ang-sicu, apakah kau
marah kepadaku?”
Tek Hoat
tidak menjawab dan ketika untuk kedua kalinya Mauw Siauw Mo-li bertanya sambil
memegang tangannya, Tek Hoat malah mengibaskan tangan itu terlepas dan
membalik, matanya memancarkan sinar berkilat. “Pergilah dan jangan membikin aku
merah!” hardiknya. Dia sudah siap untuk menyerang!
“Eh, ehh,
Ang Tek Hoat!” Mauw Siauw Mo-li berkata dengan alis berkerut. “Berhari-hari aku
selalu bersikap hormat dan baik kepadamu, akan tetapi mengapa engkau sama
sekali tidak memandang sebelah mata kepadaku? Lupakah engkau bahwa aku berada
di sampingmu karena hendak membantumu mencari Syanti Dewi?”
Tek Hoat
menghela napas. Benar juga, betapa pun wanita ini telah berusaha membantu
menemukan kembali jejak Syanti Dewi. Kembali dia menarik napas panjang dan agak
mereda kemarahannya. ”Sepak terjangmu membuat aku kesal dan marah.”
Mauw Siauw
Mo-li tersenyum. Mulut yang bibirnya merah basah itu terbuka sehingga nampak
deretan gigi yang rapi dan putIh, rongga mulut yang merah seperti daging mentah
yang masih segar. Melihat pemuda itu reda kemarahannya, hati wanita ini menjadi
gembira kembali.
“Sepak
terjangku yang manakah yang tidak menyenangkan hatimu?” tanyanya halus,
sikapnya merendah.
Ang Tek Hoat
merasa tidak enak hatinya. Mengapa dia mempedulikan benar apa yang sudah
dilakukan oleh wanita ini? “Perbuatanmu terhadap empat orang di restoran itu
memuakkan hatiku!” akhirnya dia berkata dengan terus terang menyatakan isi
hatinya.
“Ehhh??
Hi-hik, Ang-sicu yang baik. Mereka adalah laki-laki tak berharga yang sudah
sepantasnya dihajar! Perlukah orang-orang macam mereka itu diperlakukan dengan
baik dan dihormati?”
Mereka
saling pandang sejenak dan Tek Hoat mendengus lalu membuang muka. “Aku tidak
membela mereka atau siapa pun juga. Akan tetapi, engkau telah bermain mata
dengan mereka, lalu menyiksa mereka. Siapa tidak menjadi sebal melihatnya?”
Senyum itu
melebar, mata yang masih indah itu terbelalak dan dari kerongkongannya
terdengar suara lembut seperti suara seekor kucing kalau dibelai. “Jadi
engkau... engkau memperhatikan semua itu? Dan hatimu tidak senang melihat aku
bermain mata dengan mereka?” Pandang mata itu kini penuh selidik.
Wajah Tek
Hoat menjadi merah.
“Sudahlah!
Aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan, akan tetapi di depanku selama kita
melakukan perjalanan bersama, kau tidak boleh bertindak seperti itu yang hanya
menimbulkan kekesalan hatiku.”
“Aihhh...
Sicu. Sungguh aneh sekali mendengar ini dari mulutmu. Bukankah aku kini
berhadapan dengan Si Jari Maut? Bukankah dalam hal kekerasan, aku sendiri masih
boleh berguru kepada Si Jari Maut? Kita berdua adalah orang-orang dari golongan
hitam, tindakan kekerasan merupakan kesenangan kita, kepandaian dan kekerasan
merupakan hukum kita. Ataukah terjadi hal mukjijat di mana Si Jari Maut telah
berubah menjadi lemah dan lunak, si harimau ganas yang gagah perkasa telah
berubah menjadi seekor domba yang jinak?”
“Sudahlah!
Jangan sebut-sebut tentang Si Jari Maut... Aku benci kepadanya! Aku benci...!”
Tek Hoat lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya ke timur.
Mauw Siauw
Mo-li tersenyum dan mengikutinya terus tanpa berani bicara apa-apa lagi sampai
mereka berdua berhenti di dalam hutan karena malam telah tiba dan malam itu
gelap sekali tiada bulan, hanya ada sedikit bintang yang tidak cukup terang
untuk memungkinkan mereka melakukan perjalanan melewati hutan lebat itu.
Seperti
biasa, Tek Hoat tidak pernah mau repot-repot dan setelah bersemedhi beberapa
lama lalu tidur sambil bersandar pada batang pohon, dan kembali Mauw Siauw
Mo-li yang bekerja mengumpulkan kayu dan daun kering, membuat api unggun dan
duduk melamun. Sampai lama wanita ini memandang ke arah Tek Hoat yang sudah
tidur pulas karena kehangatan api unggun mendatangkan kantuk pada matanya yang
dibayangi kedukaan dan kekhawatiran dan pada tubuhnya yang lelah.
Berkali-kali
Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, mengamati wajah yang ditimpa api unggun
itu, wajah seorang pemuda yang kelihatan masih remaja kalau sedang tidur
memejamkan mata seperti itu. Lenyaplah garis-garis kekerasan di wajah Tek Hoat.
Di waktu tidak tidur, maka tarikan dagu yang mengeras, dan pandang matanya yang
memancarkan ketajaman yang menusuk, serta bayangan muram pada wajah yang
kelihatannya tidak acuh, semua itu membuat wajah Si Jari Maut menjadi matang
dan menyeramkan.
Akan tetapi
di waktu tidur seperti itu, lenyaplah sifat-sifat Si Jari Maut dan wajah itu
membayangkan seorang pemuda yang patut dikasihan! Teringat betapa selama
berhari hari dia tak berhasil ‘mendekati’ pemuda ini, Mauw Siauw Mo-li menarik
napas panjang penuh penyesalan, kekecewaan dan juga penasaran. Jarang ada pria
yang sanggup bertahan terhadap rayuan mautnya. Baru kerling dan senyumnya saja
tadi telah membuat empat orang laki-laki di restoran itu tergila-gila. Dan
rayuan-rayuannya dahulu pernah menundukkan putera dari Pendekar Siluman!
Kalau dia
mengenang kembali peristiwa itu, terdapat rasa kebanggaan yang luar biasa di
dalam lubuk hatinya. Entah sudah berapa ratus, berapa ribu orang pria yang
jatuh bertekuk lutut di depan kakinya, yang mabuk kepayang dalam pelukan dan
belaiannya, namun kalau dia terkenang kepada Suma Kian Bu, putera Pendekar
Super Sakti dari Pulau Es, jantungnya berdebar penuh kebanggaan! Betapa
bangganya mengenangkan betapa pemuda Pulau Es itu, yang tampan sekali dan gagah
perkasa, pernah mabuk kepayang di dalam pelukan dan belaiannya, pernah menjadi
kekasihnya. Dialah yang memperoleh perjakanya pemuda sakti itu!
Kembali dia
memandang wajah Tek Hoat. Pemuda ini tidak banyak selisihnya dengan Suma Kian
Bu. Sama muda, sama tampan, dan sama gagah perkasa. Perbedaannya yaitu, kalau
Suma Kian Bu adalah seorang tokoh dari golongan putih yang selalu menentang
kejahatan, adalah Ang Tek Hoat sebaliknya, seorang tokoh hitam yang mengerikan,
yang berjuluk Si Jari Maut! Jadi lebih cocok dengan dia!
“Aihhh...
mengapa engkau begitu angkuh...?” keluhnya, membayangkan betapa akan nikmatnya
kalau malam itu dia dapat terbuai dalam pelukan pemuda itu.
Sudah
berhari-hari dia tak pernah berdekatan dengan pria, padahal Tek Hoat si pemuda
ganteng ini setiap hari berada di sampingnya. Sungguh keadaannya seperti seekor
kucing kelaparan yang dekat dengan daging segar, akan tetapi tidak dapat
menerkam daging yang menggairahkan itu!
Tiba-tiba
Mauw Siauw Mo-li mendengar suara yang tidak wajar. Dia lalu bangkit dan melirik
ke arah Tek Hoat. Masih tidur nyenyak pemuda itu. Dengan gerakan ringan dan
tanpa mengeluarkan suara, Mauw Siauw Mo-li meninggalkan api unggun, menyelinap
di antara pohon-pohon yang gelap. Tak lama kemudian dia melihat lima orang
laki-laki dan di antara mereka terdapat dua yang dikenalnya, karena dua orang
ini adalah dua orang di antara empat orang yang tadi dihajarnya di restoran.
Mauw Siauw Mo-li tersenyum.
Dia sedang
‘haus’ dan kini datang lima orang laki-laki. Setidaknya ada dua orang di antara
mereka yang masih cukup muda dan tidak buruk. Lumayan untuk memuaskan
kehausannya yang datang menyiksa karena selalu dekat dengan Tek Hoat yang tidak
mempedulikannya. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan sesuatu dan senyumnya
melebar. Mengapa tidak? Mungkin ini merupakan jalan dan siasat yang amat baik,
pikirnya. Cepat dia membuka kancing bajunya luar dalam sehingga dadanya
kelihatan terbuka dan sebagian dari bukit-bukit dadanya nampak. Lalu dia
berjalan memapaki lima orang itu.
“Ohhh...!”
Dia menahan seruannya ketika sudah berhadapan dengan mereka.
Lima orang
laki-laki itu terkejut, akan tetapi seorang dari mereka yang mengenal Mauw
Siauw Mo-li berseru, “Ini dia siluman itu!”
Dan mereka
berlima lalu menyerbu Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini mengelak ke sana-sini dan
menangkis, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan mengenal pundaknya dan dia
terhuyung. Lima orang itu menerkam dan Mauw Siauw Mo-li mempertahankan diri
mati matian sehingga pakaiannya koyak-koyak.
“Tolonggg...!
Toloonggggg... Ang-sicu...!” Terdengar dia menjerit-jerit.
Tek Hoat
terbangun dan terkejut mendengar jeritan itu. Otomatis dia meloncat dalam
keadaan sadar sepenuhnya dan di lain saat dia telah berlari cepat menuju ke
arah datangnya suara itu. Dan ketika dia tiba di tempat itu, apa yang
dilihatnya membuat Tek Hoat mengerutkan alis saking marahnya. Dia melihat Mauw
Siauw Mo-li rebah terlentang di atas tanah, pakaiannya tidak karuan dan di
sana-sini terbuka, sedangkan lima orang laki-laki sedang memegangi tubuh yang
meronta-ronta itu! Dia tidak tahu betapa di dalam gelap itu, Mauw Siauw Mo-li
masih sempat melirik ke arah Tek Hoat.
“Uhhh...
uhhhhh... keparat kalian... iiihhhhh, tolooonggggg...!”
“Jahanam...!”
Tubuh Tek Hoat mencelat ke tempat itu, kemudian kaki tangannya cepat
bergerak-gerak, jari tangannya seperti senjata ampuh menyambar-nyambar lima
kali dan lima orang laki-laki itu terlempar ke sana-sini dan roboh tak dapat
bangkit kembali, di dahi dan muka yang tercium jari-jari tangan itu kini
terdapat bekas tapak tangan menghitam dan tubuh mereka tidak bernyawa lagi!
“Uuuhhhhh...
hu-huuuk, Sicu...!” Mauw Siauw Mo-li mengeluh, bangkit berdiri lalu lari
menubruk Tek Hoat sambil menangis. Kedua lengannya merangkul leher pemuda itu
dan mukanya menangis di atas dada Tek Hoat.
Pemuda ini
tertegun dan bengong memandang ke arah lima orang laki-laki yang telah menjadi
mayat itu. Dia menuduk, lalu memandang ke arah muka yang tersembunyi di dadanya
sambil bertanya, “Kenapa... apa yang terjadi...?”
Akan tetapi
tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mengangkat mukanya dan menyambut muka pemuda yang
menunduk itu dengan ciuman pada mulutnya!
Sejenak
saking kagetnya Tek Hoat tak dapat berbuat apa-apa dan sepenuhnya merasakan
ciuman yang berapi-api itu. Bibir Mauw Siauw Mo-li terasa basah dan panas
sekali. Akan tetapi ketika Tek Hoat merasakan lidah wanita itu menjilat-jilat,
dia cepat melepaskan rangkulan wanita itu dan melangkah mundur, memandang
kepada wajah yang merah itu, mata yang meredup seperti mengantuk, cuping hidung
yang kembang kempis, pernapasannya yang memburu, terengah-engah dan mulut yang
agak terbuka itu.
“Apa yang
kau lakukan ini?” dia membentak.
“Tek Hoat...
ahhh, Tek Hoat...” Mauw Siauw Mo-li mengembangkan kedua lengannya, akan memeluk
lagi, namun Tek Hoat memandangnya dengan bengis dan melangkah mundur lagi.
“Mo-li, apa
yang kau lakukan ini?” kembali dia membentak.
“Tek Hoat...
ahhh, betapa besar rasa bahagia dan terima kasihku... sebab engkau telah
menyelamatkan aku dari pada penghinaan... lihatlah pakaianku... dan mereka...
mereka jahanam-jahanam itu...“ Mauw Siauw Mo-li meraba dadanya yang hampir
telanjang sama sekali, menggerakkan jari-jarinya seperti membelai dadanya
sendiri.
Tek Hoat
membuang muka. “Huh, kau... kau telah menipuku, Mo-li!” Tek Hoat berseru marah
dan kini dia memandangi lima orang yang telah menjadi mayat itu. “Kau pura pura
kalah oleh mereka, memancingku agar aku turun tangan.”
“Tidak...
tidak... aku... aku hampir...“
“Cukup! Tak
perlu bersandiwara lagi! Mereka itu hanyalah laki-laki lemah, sekali serang
mereka roboh dan tewas. Engkau yang berkepandaian tinggi, jangankan baru
dikeroyok lima orang seperti ini, biar ada lima puluh orang engkau tidak akan
kalah. Akan tetapi engkau sengaja mengalah dan aku... si tolol... aku terlebak!
Dasar engkau wanita iblis! Siluman betina kejam!”
Tiba-tiba
Mauw Siauw Mo-li terkekeh genit. “Hi-hi-hik, dan engkau Si Jari Maut telah
memperlihatkan kehebatanmu! Lihat tapak jarimu di dahi dan pipi mereka, Tek
Hoat. Bukankah engkau masih Si Jari Maut dan aku adalah Mauw Siauw Mo-li? Kita
berdua memang cocok sekali bukan? Kita satu golongan dan pantas menjadi kawan
akrab, bukan? Mana aku cocok dengan laki-laki macam mereka, yang lemah? Kita seperti
sajak dengan nyanyian, apakah tidak terasa olehmu betapa saat ini tubuh kita
saling membutuhkan, betapa nikmat ciuman tadi, Tek Hoat?”
“Wuuuuuttttt...!”
Jari tangan
Tek Hoat menyambar, akan tetapi dengan gesit Mauw Siauw Mo-li dapat mengelak
dari sambaran jari tangan maut itu.
“Perempuan
tak tahu malu!” Tek Hoat memaki karena marah sekali, marah yang ditimbulkan
oleh penyesalan mengapa dia tadi menyambut ciuman itu dengan sepenuh hatinya,
mengapa tadi bibirnya menyambut dengan kecupan penuh rangsangan nafsu birahi!
Tadi, pada saat mulutnya bertemu dengan mulut Mauw Siauw Mo-li, seluruh
kerinduannya terhadap Syanti Dewi tertumpahkan dan tersalurkan dalam ciuman itu
dan tentu saja hal itu terasa oleh Mauw Siauw Mo-li.
“Hi-hi-hik,
Tek Hoat. Tak perlu engkau mengingkari suara hatimu sendiri, kebutuhan
jasmanimu sendiri. Marilah, Tek Hoat, marilah ke dalam pelukanku. Sudah lama
aku tergila-gila dan rindu kepadamu!”
“Wuuuttttt...
brakkkkk!”
Sebatang
pohon roboh oleh hantaman tangan Tek Hoat, lalu pemuda ini membalikkan tubuhnya
dan dengan muka panas dia meninggalkan hutan itu. Mauw Siauw Mo-li mengejarnya,
namun Tek Hoat tidak mau berhenti dan terus melangkah maju, meraba raba dalam
gelap, melawan hambatan duri-duri dan cabang-cabang pohon yang menjuntai ke
bawah, tersaruk-saruk dalam kegelapan malam. Pada keesokan harinya, dia
berhasil keluar dari hutan itu.
“Tek Hoat
tunggu...!” Terdengar teriakan dari belakang.
“Keparat...!”
Tek Hoat berhenti dan membalikkan tubuh, matanya bernyala dan dia mengambil keputusan
untuk membunuh wanita itu.
Mauw Siauw
Mo-li menghampiri dan ketika dia melihat sikap Tek Hoat, melihat sinar maut
dalam pandang mata pemuda itu, dia berhati-hati dan tidak mau terlalu mendekat.
Tangannya sudah siap di pinggangnya, di mana tersimpan senjata rahasianya yang
amat hebat, yaitu bahan peledak.
“Tunggu, Tek
Hoat. Aku tidak akan main-main lagi, aku bicara sungguh-sungguh. Dengarlah,
engkau tidak akan berhasil menemukan Syanti Dewi tanpa bantuanku. Kau kira di
mana engkau akan dapat menyusul Syanti Dewi?”
Bicara
tentang Syanti Dewi, tentu saja Tek Hoat menjadi tertarik sungguh pun dia masih
marah. “Di pantai Po-hai, di mana lagi? Dan aku tidak butuh bantuanmu.”
“Hemmm,
jangan sombong kau, Tek Hoat. Pantai Po-hai merupakan pantai yang amat luas,
apakah kau hendak menjelajahi seluruh pantai di sepanjang teluk itu? Sampai
berapa tahun kau akan berhasil? Sebaliknya, kalau kau mau menerima bantuanku,
aku tahu dan mengenal seorang kakek yang tinggal di pantai Pohai, seorang kakek
yang lihai, dan aku berani bertaruh bahwa agaknya kakek itulah yang dimaksudkan
orang, kakek yang singgah di restoran itu bersama Syanti Dewi.”
Tentu saja
Tek Hoat menjadi tertarik sekali, akan tetapi dia masih curiga dan tidak mau
percaya begitu saja. “Mo-li, kalau engkau mempermainkan aku sekali ini, demi
Tuhan, aku tentu akan membunuhmu!”
“Hi-hik, kau
kira aku wanita macam apa mudah saja kau bunuh? Pula, perlu apa aku main-main
denganmu kalau aku benar-benar cin... ehh, suka kepadamu?”
“Kalau
begitu, katakan siapa kakek itu dan di mana tempat tinggalnya?!”
“Hemm, nanti
dulu, jangan mau enaknya saja. Telah kukatakan bahwa aku suka sekali kepadamu,
Tek Hoat. Engkaulah satu-satunya pria yang cocok berada di sampingku,
sebagai... apa pun, pendeknya, sebagai sahabat. Oleh karena itu, tidak mungkin
aku memberi tahu kepadamu lalu engkau pergi meninggalkan aku begitu saja. Kalau
kau mau berbaik denganku, mau melakukan apa yang kuminta, aku akan mengantarmu
ke tempat kakek itu dan aku akan membantumu mencari sampai kita dapat menemukan
kembali Puteri Syanti Dewi. Bagaimana?”
Tek Hoat
mengerutkan alisnya, berpikir-pikir. Dia tidak mungkin dapat memaksa wanita ini
untuk mengaku. Andai kata dia dapat mengalahkan Mauw Slauw Mo-li sekali pun,
agaknya wanita seperti dia itu tidak akan mau mengaku biar dibunuh sekali pun.
Lebih menguntungkan berbaik dengan orang seperti ini dari pada memusuhinya, apa
lagi dia memang amat membutuhkan petunjuknya agar dapat menemukan kembali
Syanti Dewi yang hilang.
“Baiklah,
Mo-li, akan tetapi engkau pun tahu bahwa orang macam aku takkan menuruti
permintaanmu begitu saja kalau permintaan itu tidak cocok dengan rasa hatiku.
Seperti juga engkau, aku pun tidak takut mati. Kita bersahabat, cukup sekian
saja, jangan mengharapkan yang bukan-bukan.”
Mauw Siauw
Mo-li adalah seorang wanita yang sudah banyak mengenal pria, sudah memiliki
banyak sekali pengalaman, maka jawaban ini tidak mengecilkan hatinya. Dia
maklum bahwa dalam hubungan antara pria dan wanita, yang penting adalah
keakraban lebih dulu, karena dari keakraban ini mudah sekali berubah menjadi
cinta!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment