Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 21
Mendengar
betapa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi secara aneh telah berkhianat,
membantu Siluman Kecil dan bahkan telah menculik Puteri Syanti Dewi pula, dan
juga membakar benteng, kemarahannya memuncak akan tetapi karena kedua orang
kakek iblis yang dianggapnya berkhianat itu telah tidak ada lagi, maka
kemarahannya lalu dia timpakan kepada Jenderal Kao Liang!
“Ternyata
engkau seorang yang tidak dapat memegang janji!” bentaknya ketika jenderal tua
ini dihadapkan kepadanya. “Engkau telah menipu kami! Engkau tidak sungguh
sungguh dalam pembuatan benteng ini sehingga mudah saja dikacau orang! Padahal
yang mengacau hanya empat orang, yaitu Hek-tiauw Lo-mo si keparat dan anaknya,
Hek-hwa Lo-kwi si pengkhianat, dan Siluman Kecil. Benteng macam apa yang kau buat
ini?”
Jenderal Kao
Liang memandang kepada Pangeran Nepal itu dengan sikap tenang. “Pangeran, sama
sekali bukan salahku! Coba ada datang pasukan besar menyerbu, sudah pasti aku
akan dapat menahan mereka dengan bentengku dan dengan pasukan penjaga benteng.
Jangan harap pasukan musuh akan dapat dengan mudah membobol bentengku ini! Akan
tetapi, tadi yang menimbulkan kekacauan adalah orang-orang yang berkepandaian
tinggi, orang-orang sakti dari dunia kang-ouw. Benteng ini bukan dibuat untuk
menghadapi orang kang-ouw, melainkan untuk menghadapi pasukan musuh. Tentu saja
pasukan yang terdiri dari orang-orang biasa tidak mampu menghadapi ahli ahli
silat yang memiliki kepandaian luar biasa itu. Adalah kesalahan Pangeran
sendiri yang memusuhi orang-orang pandai di dunia kang-ouw. Mengapa menyalahkan
aku?”
Melihat
sikap Jenderal Kao Liang itu, Pangeran Liong Bian Cu menjadi semakin marah.
Dengan geram dia lalu memberi aba-aba dan beberapa orang pengawal pribadinya
cepat maju dan menangkap Jenderal Kao! Jenderal itu hanya memandang dengan
tersenyum pahit, sikapnya tenang sekali dan memandang rendah. Sudah lama dia
kehilangan perhatiannya terhadap keselamatan dirinya sendiri sehingga baginya
tidak ada lagi rasa takut. Melihat sikap ini, Pangeran Liong Bian Cu menjadi semakin
marah. Dia lalu memerintahkan para pengawalnya untuk menyeret jenderal itu ke
pintu gerbang dan mencambukinya sebagai hukuman atas kelalaiannya sehingga
benteng itu sampai dapat diserbu dan dimasuki oleh musuh!
Dengan
penerangan obor dan lampu karena malam mulai tiba, Jenderal Kao, yang
dibelenggu kedua tangannya itu diseret menuju ke lapangan terbuka di dekat
pintu gerbang. Para pengawal Nepal itu telah mengikatnya pada balok kayu yang
berbentuk salib, mengikat kaki dan tangannya pada balok itu. Seorang pengawal
lain telah membuka baju atasnya dan pengawal algojo sudah mempersiapkan
cambuknya, menanti tanda dari Pangeran Nepal itu yang juga mengikuti sampai di
tempat itu.
Tanda itu
diberikan dengan mengangkat tangan kiri dan menganggukkan kepala ke arah algojo
itu. Dengan menyeringai puas algojo itu menghampiri Jenderal Kao. Tidak ada
kesenangan yang lebih memuaskan bagi algojo ini dari pada kalau dia sedang
melaksanakan tugas menghajar atau membunuh orang hukuman. Dalam pelaksanaan
hukuman ini, tanpa mempedulikan siapa korbannya, dia menemukan kenikmatan dan
kesenangan yang luar biasa yang mendatangkan perasaan puas dan lega, penyaluran
dari rasa dendamnya terhadap manusia lain!
Setelah
menerima tanda dari sang pangeran, algojo ini tidak segera mau menjatuhkan
pukulan cambuk pertama, melainkan mengayun-ayunkan cambuknya di udara, di atas
kepalanya dan matanya berkilat memilih bagian punggung yang paling lunak untuk
dijadikan sasaran lecutan pertama. Biasanya dia paling senang menikmati lecutan
pertama ini, melihat betapa korbannya menegang dan menjerit, melihat darah
pertama nampak memanjang di kulit punggung korbannya. Seperti seorang yang
ingin menikmati makanan lezat, sebelum memakannya dia hendak memuaskan hatinya
dulu dengan memandanginya, menghemat gerakannya agar kenikmatan itu dapat
dikunyahnya lebih lama lagi.
“Wirrr...
siuuuuuttttt...!”
Akhirnya
cambuk itu yang berputar makin cepat, kini turun meluncur dan menyambar ke arah
punggung Jenderal Kao yang sudah siap sedia untuk menghadapi segala macam
siksaan, bahkan kematian sekali pun, dengan tenang dan dia tidak akan
menyenangkan hati para musuh dan penyiksanya dengan keluhan sedikit pun juga.
Akan tetapi,
algojo yang sudah meringis seperti seekor harimau yang sedang menubruk
mangsanya itu, tiba-tiba mengeluarkan seruan kaget dan heran. Cambuknya
tertahan di udara! Dia mengerahkan tenaga, tetapi tetap saja cambuknya tidak
dapat meluncur terus, dan ketika dia menengok, bukan main kagetnya melihat
betapa ujung cambuknya itu telah ditangkap oleh tangan seorang kakek botak yang
bukan lain adalah Ban Hwa Sengjin atau juga yang dikenalnya sebagai Pendeta
Lakshapadma, koksu dari Nepal!
“Mundur
kau!” Koksu itu berkata dan sang algojo tentu saja tidak berani membantah.
Walau pun
dia akan melakukan tugas menurut perintah Pangeran Bharuhendra, akan tetapi
kakek botak ini adalah guru negara, dan juga merupakan guru dari sang pangeran
itu. Dia membungkuk dengan hormat, menggulung cambuknya dan setelah melepaskan
kerling kecewa ke arah Jenderal Kao, dia lalu mengundurkan diri.
Pangeran
Liong Bian Cu memandang kepada Ban Hwa Sengjin yang datang bersama dengan
Hek-hwa Lo-kwi, Hektiauw Lo-mo, kakek yang seperti gorilla, nenek bermuka
tengkorak, hwesio gundul katai, dan kakek yang tingginya luar biasa itu. Pangeran
ini belum pernah bertemu dengan empat orang dari Im-kan Ngo-ok itu, akan tetapi
dia sudah pernah mendengar nama mereka. Dalam keadaan lain tentu dia akan
merasa girang dan menyambut mereka dengan keramahan, akan tetapi pada saat itu,
Pangeran Liong Bian Cu sedang marah bukan main. Dia marah melihat Hek-tiauw
Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, maka dia tidak mempedulikan lagi betapa perintahnya
menghajar Jenderal Kao tadi dihentikan oleh koksu, dan kini dia melangkah maju
dan menudingkan telunjuknya secara bergantian kepada dua orang kakek raksasa
itu.
“Hek-tiauw
Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dua orang pengkhianat besar! Kalian masih berani
muncul di hadapanku? Koksu, kenapa dua orang manusia pengkhianat ini tidak
ditangkap dan diberi hukuman yang berat?” Pangeran itu menoleh kepada gurunya
dengan pandang mata penuh penasaran.
Tentu saja
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi segera saling pandang dengan penuh
keheranan, dan koksu itu kemudian berkata, “Harap Paduka tenang, Pangeran.
Kenapa Paduka marah-marah, hendak menghukum cambuk kepada Jenderal Kao, dan
kenapa pula Paduka marah kepada mereka berdua ini? Dan kami melihat tadi di
dalam benteng terjadi kebakaran-kebakaran. Apakah yang telah terjadi?”
“Musuh telah
memasuki benteng dengan bantuan dua orang pengkhianat ini! Dan selain melakukan
pembakaran-pembakaran, juga musuh yang dibantu dua orang pengkhianat ini telah
melarikan Puteri Syanti Dewi!” Pangeran Liong Bian Cu berkata marah.
“Ini dia
orangnya!” teriak seorang pengawal yang tadi kena dirobohkan oleh Hek-tiauw
Lo-mo palsu sehingga sampai sekarang pun dia masih terpincang-pincang, sekarang
jari tangannya menuding ke arah kakek raksasa dari Pulau Neraka itu dengan
penuh kebencian.
“Mereka
inilah yang tadi membantu melarikan Puteri Syanti Dewi!” Tiba-tiba terdengar
Mohinta berseru. “Dengan bantuan para pengawal, saya sudah dapat menyingkirkan
Sang Puteri dan dua orang pengkhianat ini bersama pemuda berambut putih itu
dan... puteri Hek-tiauw Lo-mo mengamuk, dikeroyok oleh para pengawal. Akan
tetapi tiba-tiba saya diserang secara menggelap, tentu oleh seorang di antara
mereka ini dan Sang Puteri dilarikan!”
“Koksu,
cepat tangkap mereka!” bentak Liong Bian Cu dengan marah.
Dia sudah
kehilangan kekasihnya, juga kehilangan Puteri Bhutan yang amat penting baginya,
dan ditambah lagi kenyataan betapa dua orang pembantunya ini melakukan
pengkhianatan!
Akan tetapi,
Ban Hwa Sengjin bersikap tenang saja. “Pangeran, tidak baik membiarkan diri
terseret oleh kemarahan. Marilah kita bicarakan hal ini dengan tenang, karena
di sini terjadi keanehan dan kesalah pahaman besar. Kerugian kita yang paling
besar adalah kalau musuh sampai berhasil membuat kita semua saling mencurigai
kemudian terjadi perpecahan sehingga melemahkan kedudukan kita sendiri.” Koksu
lalu melepaskan belenggu kaki tangan Jenderal Kao dan mengajaknya untuk
melakukan perundingan pula di sebelah dalam.
Liong Bian
Cu terheran-heran mendengar ucapan gurunya itu, tetapi dia dapat melihat
kebenaran kata-kata gurunya bahwa perpecahan antara dia dan para pembantunya
sungguh amat merugikan dan dapat melemahkan kedudukannya sendiri. Maka dengan
menahan kemarahan dan penasaran, dia pun lalu tidak bicara apa-apa lagi
melainkan melangkah menuju ke dalam gedungnya, langsung menuju ke ruangan tamu
yang luas, diikuti oleh Ban Hwa Sengjin, empat orang dari Im-kan Ngo-ok, Jenderal
Kao Liang, Mohinta, Hwa-i-kongcu dan beberapa orang pembantu utama lagi.
Mereka semua
duduk mengelilingi meja besar dan karena Pangeran Liong Bian Cu dan para
pembantunya sedang berada dalam keadaan tegang, maka Ban Hwa Sengjin juga tidak
memakai banyak peraturan dan dia tidak memperkenalkan empat orang rekannya itu,
melainkan segera minta penjelasan dari Liong Bian Cu tentang peristiwa yang
terjadi di dalam benteng.
Liong Bian
Cu lalu menceritakan semua yang telah disaksikannya sendiri dan yang dilengkapi
oleh pelaporan semua pembantunya, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ban
Hwa Sengjin dan dengan penuh keheranan oleh Hek-tiauw Lo-mo berdua Hek-hwa
Lo-kwi. Dua orang kakek raksasa ini marah bukan main dan mereka dapat menduga
siapa adanya kedua orang yang telah menyamar sebagai mereka itu!
Maka,
setelah Pangeran Liong Bian Cu selesai menceritakan semua peristiwa yang
terjadi dalam benteng, Hek-tiauw Lo-mo berseru, “Si keparat itu! Siapa lagi
kalau bukan Hek-sin Touw-ong dan muridnya!”
“Benar, guru
dan murid itulah yang telah menyamar sebagai kita dan membikin kacau di dalam
benteng!” Hek-hwa Lo-kwi juga berseru marah.
Liong Bian
Cu terkejut sekali dan memandang kepada mereka bergantian dengan alis berkerut,
karena masih belum hilang rasa penasaran dan marahnya kepada dua orang tokoh
yang tadinya dianggap sebagai pengkhianat-pengkhianat ini. “Apa pula maksud
kalian?”
“Pangeran,
mereka berdua ini sama sekali tidak pernah kembali ke dalam benteng, karena
mereka telah dirobohkan musuh dan baru kembali ke sini bersama kami tadi. Yang
memasuki benteng bukanlah mereka, melainkan dua orang yang telah menyamar
sebagai mereka. Dan menurut cerita Paduka, dua orang palsu yang pandai itu
bukan hanya dapat mengelabui para penjaga dan para pengawal, bahkan mereka
telah berani menghadap Paduka dalam penyamaran mereka dan Paduka sendiri sampai
tidak dapat melihat bahwa mereka adalah dua orang musuh yang menyamar sebagai
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Dan mengapa Paduka tadi hendak menjatuhkan
hukuman kepada Jenderal Kao?”
Liong Bian
Cu masih terheran-heran mendengar bahwa dua kakek yang menghadapnya tadi sambil
membawa tawanan Siluman Kecil dan membawa kembali tunangannya itu bukanlah
Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi, menjadi bingung dan ketika dia ditanya
tentang hukuman terhadap Jenderal Kao, dia menjawab, “Koksu, kuanggap bahwa
dialah yang bertanggung jawab sehingga benteng ini dengan mudah dapat diserbu
musuh yang mengacau dan mendatangkan kebakaran di banyak rumah dalam benteng
ini. Akan tetapi dia tidak mau mengakui kesalahannya bahkan mengatakan bahwa
benteng ini dibangun untuk menghadapi serbuan pasukan besar, bukan
penyelundupan beberapa orang sakti, dan ia berani menyalahkan kami yang
dianggap memusuhi orang orang kang-ouw.”
Koksu Nepal
itu mengangguk-angguk dan dia memandang kepada Jenderal Kao yang semenjak tadi
hanya mendengarkan sambil menundukkan muka saja. Kemudian kakek botak ini
berkata, “Pangeran, alasan Jenderal Kao memang benar. Untuk menghadapi
penerobosan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, haruslah dipergunakan
kesaktian pula untuk melawannya pula. Dan dengan girang saya beritahukan kepada
Pangeran bahwa sekarang sahabat-sahabat saya ini telah datang untuk membantu
kita. Andai kata tadi sewaktu musuh menyelundup ke sini ada seorang saja di antara
kami berlima, sudah pasti mereka itu tidak akan dapat bergerak seenaknya.
Pangeran, dan juga para rekan dan sahabat, perkenalkanlah empat orang sahabat
saya ini.”
Dengan
bangga Ban Hwa Sengjin memperkenalkan empat orang itu dan para tokoh yang baru
pertama kali ini bertemu dengan mereka, memandang dengan hati terkejut dan
penuh kekaguman, juga kengerian karena sesungguhnya mereka sudah pernah
mendengar nama Im-kan Ngo-ok! Melihat mereka, para tokoh ini seolah-olah
melihat iblis-iblis yang keluar dari dalam neraka, iblis-iblis yang tadinya
hanya mereka dengar seperti dalam cerita dongeng saja!
“Pangeran,
seperti saya katakan tadi, kalau musuh mempergunakan pasukan, maka saya percaya
bahwa Jenderal Kao dengan bentengnya akan mampu menghalau setiap pasukan musuh
yang bagaimana besar pun juga. Akan tetapi karena musuh yang datang adalah
orang-orang yang menggunakan ilmu kepandaian, maka biarlah saya minta bantuan
Su-ok dan Ngo-ok untuk melakukan pengejaran.” Pangeran Liong Bian Cu hanya
mengangguk.
“Su-te dan
Ngo-te, harap kalian suka sedikit melelahkan diri dan melakukan pengejaran
terhadap para pengacau yang telah membikin pusing kepala Sang Pangeran. Kalian
sudah mendengar bahwa dua orang yang menyamar itu adalah Hek-sin Touw-ong dan
muridnya, dan tentu kalian tahu di mana adanya mereka itu.”
Kakek cebol
dan kakek tinggi itu bangkit berdiri, dan mengangguk kepada Liong Bian Cu.
Kalau kakek tinggi itu hanya cemberut saja, adalah kakek gundul pendek yang
tertawa dan berkata kepada Ban Hwa Sengjin, “Ahhh, Koksu, kalau saja kami tidak
mengingat betapa Pangeran telah dibikin pusing oleh penjahat-penjahat itu,
tentu kami malas untuk pergi karena kami baru saja datang belum disambut dengan
makanan lezat dan arak wangi!”
Pangeran
Liong Bian Cu merasa tidak enak sekali dan dia sudah hendak menyuruh pengawal
memerintahkan pelayan mengeluarkan hidangan, namun Ban Hwa Sengjin sambil
tertawa menjawab, “Su-te, jangan khawatir. Mengejar orang-orang macam raja
maling itu saja bersama muridnya, apa sih sukarnya bagi kalian? Sebelum masakan
masakan itu dingin, tentu kalian sudah datang kembali membawa mereka sebagai
tawanan dan masih belum terlambat bagi kalian untuk makan minum sepuasnya
nanti!”
Si pendek
dan si tinggi itu kemudian menggerakkan tubuh dan dalam sekelebatan saja mereka
telah lenyap dari tempat itu! Semua orang merasa kagum sekali, bahkan diam diam
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi harus mengakui bahwa sekarang mereka
mendapatkan saingan yang amat berat! Pangeran Liong Bian Cu menjadi girang dan
terhibur melihat datangnya orang-orang pandai yang membantunya, maka dia cepat
memerintahkan pelayan untuk mengeluarkan hidangan untuk menyambut Twa-ok Su Lo
Ti dan Ji-ok Kui-bin Nionio.
“Harap
Pangeran mengijinkan saya untuk kembali ke kamar saya,” kata Jenderal Kao
Liang. Pangeran Liong Bian Cu mengangguk dengan sikap tidak begitu
mempedulikan. Jenderal tua ini lantas meninggalkan ruangan di mana pangeran itu
mulai berpesta dengan gembira bersama para pembantunya.
Dengan hati
berat Jenderal Kao Liang kembali ke dalam kamarnya lalu dia merebahkan diri
terlentang di atas pembaringannya. Kedua matanya yang sejak tadi terbelalak
memandang ke langit-langit dalam kamarnya tak pernah berkedip itu,
perlahan-lahan menjadi basah! Setelah berkumpul, akhirnya dua butir air mata
bergerak keluar dari sepasang matanya dan jatuh menimpa bantal. Hanya dua butir
air mata, akan tetapi hal ini sudah merupakan suatu hal yang amat luar biasa.
Jenderal Kao
adalah seorang laki-laki sejati yang pantang menitikkan air mata. Lebih baik
mengucurkan peluh dan darah dari pada air mata bagi jenderal yang gagah perkasa
ini. Akan tetapi, pada saat ini hatinya tersiksa bukan main rasanya. Pangeran
Nepal itu mendatangkan kelima Im-kan Ngo-ok! Negara berada dalam bahaya. Dan
dia malah menjadi kaki tangan pangeran pemberontak itu! Ahhh, kalau saja
keluarganya dapat lolos dari tempat itu, berada dalam keadaan selamat, tentu
dia tidak akan merasa begini tersiksa. Dia tentu akan dapat melaksanakan segala
rencananya yang telah dipersiapkannya semenjak dia membangun benteng itu secara
terpaksa sekali untuk menyelamatkan nyawa semua keluarganya! Akan tetapi,
agaknya tidak ada jalan bagi keluarganya untuk dapat lolos dari tempat itu.
Bahkan Siluman Kecil, atau Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti itu sendiri
tidak berdaya…..
***************
“Suhu, aku
tidak mau!”
Seperti
seorang anak kecil yang ngambek, Kang Swi Hwa berhenti di tepi jalan dan duduk
di atas batu besar, sepasang alisnya bertemu, mulutnya cemberut dan matanya
hampir menangis.
Hek-sin
Touw-ong memandang kepada muridnya itu dan tersenyum melihat murid yang
dicintanya itu mogok berjalan! Biar pun mukanya berwarna hitam, namun muka raja
maling ini membayangkan kelembutan, apa lagi kalau dia berhadapan dengan
muridnya itu.
“Hayaaa...“
Dia menarik napas panjang dan duduk pula di atas batu tak jauh dari tempat
duduk muridnya. “Swi Hwa, berkali-kali kau mengatakan tidak mau. Ehh, muridku
yang baik, tahukah engkau apa yang paling berharga bagi seorang wanita?”
“Aku tahu,
aku tahu, berapa kali Suhu menanyakan itu? Yang paling berharga adalah
kehormatan.”
“Nah, engkau
sudah tahu! Dan engkau tahu apa yang telah terjadi antara engkau dan pemuda
bernama Siauw Hong itu.”
“Akan
tetapi, tidak terjadi apa-apa antara dia dengan aku, hanya dia melihat bahwa
aku seorang wanita.”
“Hemmm,
muridku yang baik. Tidak ada wanita yang membiarkan tubuhnya dilihat, apa lagi
disentuh oleh seorang pria yang bukan suaminya. Dan Siauw Hong itu… dia telah
menyentuhmu. Memang hal itu dilakukannya tanpa sengaja, bahkan dia bermaksud
menyelamatkanmu dari bahaya maut. Mengingat bahwa dia murid Sai-cu Kai-ong,
maka kuanggap bahwa hal itu memang telah diatur oleh Thian, dan agaknya Tuhan
sendiri yang telah menjodohkan engkau dengan dia, muridku. Bagi seorang wanita terhormat,
tubuhnya hanya boleh disentuh oleh suaminya, dan kalau ada pria lain yang
melakukan hal itu, pria itu harus dibunuhnya!”
“Kalau
begitu, aku akan membunuhnya!” Kang Swi Hwa masih mengambek.
“Dan engkau
akan menjadi seorang yang paling tidak kenal budi, bahkan seorang yang membalas
kebaikan dengan kejahatan. Dia telah menolongmu, menyelamatkanmu, dan kau
hendak membunuhnya?”
“Habis, mau
bagaimana? Hanya ada dua pilihan kata Suhu, membunuhnya atau kawin dengan dia.
Aku tidak mau kawin dengan dia, maka aku akan membunuhnya.”
“Swi Hwa,
muridku yang baik. Mengapa engkau berkeras tidak mau menikah dengan dia? Apakah
dia seorang pemuda yang berwajah buruk? Ataukah tubuhnya cacat?”
“Tidak,
tidak sama sekali, Suhu. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah...“
“Nah, kalau
begitu, mengapa menolak?”
“Dia hanya
seorang pengemis, Suhu! Dan aku tidak mungkin menikah dengan seorang pengemis!”
Kakek itu
tertawa bergelak. Melihat ini, Ang-siocia yang tadinya selalu menundukkan
mukanya, kini dia mengangkat muka memandang gurunya, mukanya merah dan sinar
matanya marah. “Suhu, hatiku sedang mengkal, sekarang Suhu malah tertawa-tawa,
mentertawakan aku! Apanya yang lucu?”
“Ha-ha-ha,
Swi Hwa, memang aku mentertawakan engkau. Engkau sungguh tidak mau bercermin!”
“Bercermin?”
Tangan kiri Swi Hwa dengan jari-jarinya yang lentik halus itu otomatis
meraba-raba rambut kepala dan mukanya. “Setiap hari aku bercermin. Apakah
mukaku coreng-moreng, rambutku awut-awutan?”
Kakek itu
makin geli tertawa, lalu dia memandang kepada muridnya yang dianggapnya seperti
anaknya sendiri itu. “Swi Hwa, maksudku bukan bercermin untuk melihat wajah,
melainkan bercermin untuk mengenal dirimu sendiri. Engkau terlalu memandang
rendah pengemis, dan agaknya lupa siapakah kita ini! Engkau hanyalah murid
seorang maling, apakah maling lebih tinggi derajatnya dari pada seorang
pengemis?”
Makin merah
wajah Swi Hwa, merah karena penasaran dan marah. “Akan tetapi kita adalah
maling bukan sembarang maling! Suhu adalah Raja Maling! Mana bisa lantas disamakan
dengan pengemis...?”
“Hemmm, Swi
Hwa, apa kau lupa bahwa pemuda itu juga bukan sembarang pengemis, melainkan
murid dari Raja Pengemis Sai-cu Kai-ong? Dan apakah engkau tahu? Sai-cu Kai-ong
itu adalah seorang... sahabat baikku, setidaknya adalah seorang bekas sahabat
baikku. Maka, muridnya tentu saja bukan merupakan seorang yang asing sama
sekali.”
Swi Hwa
masih cemberut. Dia membayangkan wajah Siauw Hong. Seorang pemuda yang tampan
memang. Akan tetapi, ketika dia mengenal Siauw Hong dan Siluman Kecil, bahkan
lalu melakukan perjalanan bersama, dia menganggap Siaw Hong sebagai seorang
pemuda remaja yang belum dewasa benar, bahkan sering kali dia menyuruh Siauw
Hong, sebagai pelayan! Betapa jauhnya kalau dibandingkan dengan Siluman Kecil,
pendekar yang sakti itu, pria yang sudah matang dan amat mengagumkan hatinya.
“Tidak, Suhu, aku tidak mau! Aku tidak suka!”
“Agaknya
engkau masih kukuh bahwa engkau jatuh cinta kepada pendekar Siluman Kecil.
Benarkah itu, Swi Hwa?”
Wajah itu
menjadi makin merah dan dia menunduk.
“Swi Hwa,
aku adalah seorang tua yang sudah dapat melihat tanda-tanda orang yang jatuh
cinta. Dan dalam pertemuan kita dengan Siluman Kecil, aku tidak yakin bahwa
engkau mencinta dia. Engkau hanya kagum saja kepadanya dan memang sudah sepatutnya
orang kagum kepada pendekar yang berkepandaian tinggi itu. Akan tetapi, dia
bukan jodohmu, muridku.”
“Tapi, Suhu,
bagaimana mungkin perjodohan dilangsungkan tanpa cinta kasih?”
“Mengapa
tidak mungkin? Perjodohan antara dua orang muda yang tidak saling mencinta bisa
saja kelak mendatangkan rasa cinta kasih yang amat mendalam, dan sebaliknya
mungkin saja apa yang dinamakan cinta kasih antara dua orang muda sebelum
perjodohan akan menjadi luntur setelah mereka memasuki pintu gerbang
pernikahan. Pula, aku tidak melihat tanda-tanda, baik dari sikapnya,
kata-katanya mau pun pandang matanya bahwa pendekar itu mencintamu, Swi Hwa.
Dan bagaimana mungkin engkau mengikat perjodohan dengan seorang pendekar besar
dan aneh seperti dia? Apa lagi mengingat dia adalah putera Pendekar Super Sakti
dari Pulau Es? Ah, tempat dia berpijak lebih tinggi dari pada bintang di
langit, muridku, agaknya lebih sukar berjodoh dengan dia dari pada dengan
seorang pangeran sekali pun untukmu.”
Mendengar
ini, Swi Hwa makin menunduk dan wajahnya membayangkan kecewa dan duka sekali.
Kini teringatlah dia akan hubungan antara Siluman Kecil dengan Hwee Li. Ah,
gurunya benar! Agaknya Siluman Kecil terlalu tinggi untuknya. Dia, hanya
seorang maling, pantasnya hanya berjodoh dengan seorang pengemis! Tanpa terasa
lagi air matanya bercucuran didorong oleh rasa iba diri.
Kakek itu
menyentuh tangan muridnya. “Hidup ini memang penuh dengan kepahitan kepahitan
yang ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan, muridku. Kekecewaan bisa timbul
karena harapan-harapan kita yang tidak tercapai, dan harapan-harapan selalu
memang lebih indah dari pada kenyataan...”
Tiba-tiba
ucapan Hek-sin Touw-ong itu terhenti karena guru dan murid ini mendengar suara
aneh, suara ketawa yang terdengar teramat kerasnya seolah-olah orang yang
tertawa itu berada di dekat mereka, padahal mereka tidak melihat seorang pun
manusia di situ. Pagi hari itu sunyi saja. Mereka berdua telah melarikan diri
semalaman, dan baru pagi ini mereka berhenti di tempat itu setelah semalam
suntuk mereka tidak melihat ada orang mengejar mereka.
“Ha-ha-ha,
sekali ini aku mengaku kalah kepadamu, Ngo-te! Matamu memang awas sekali dan
benar saja, mereka berada di sini!”
Hek-sin
Touw-ong dan Swi Hwa meloncat berdiri dan siap menghadapi bahaya. Swi Hwa sudah
mencabut pedangnya, dan gurunya yang tidak pernah berpedang lagi berdiri dengan
penuh kewaspadaan. Maklumlah kakek pandai ini bahwa ada orang bicara
mempergunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh, orangnya masih jauh akan
tetapi suaranya sudah tiba di situ, tanda bahwa ada orang pandai agaknya
mengejar mereka.
Tak lama
kemudian, nampaklah dua orang yang bentuk tubuhnya amat aneh datang dengan
kecepatan yang mengejutkan hati guru dan murid itu.
Gurunya
menggeleng kepala. “Mereka sudah mengetahui kita di sini, dan percuma saja
melarikan diri. Kau berhati-hatilah, Swi Hwa,” bisik gurunya sambil memandang
dengan penuh perhatian ke depan. Bayangan dua orang itu cepat sekali gerakannya
dan sebentar saja mereka sudah tiba di depan guru dan murid itu.
Setelah dua
orang kakek yang bentuk tubuhnya amat luar biasa dan berlawanan itu tiba di
depan mereka, Swi Hwa memandang penuh perhatian. Biar pun masih muda, dara ini
sudah banyak pengetahuannya di dunia kang-ouw dan sudah banyak bertemu dengan
tokoh-tokoh besar, akan tetapi betapa pun dia mengingat-ingat, belum pernah dia
bertemu dengan dua orang kakek aneh ini, yang seorang tingginya hanya sampai di
pundaknya, tetapi kakek kedua tingginya bukan main sehingga dia harus
menengadah kalau hendak memandang wajahnya. Kakek yang pendek gundul itu
tersenyum-senyum lebar, akan tetapi yang membuat Swi Hwa merasa ngeri adalah
kakek tinggi itu, karena biar pun kakek tinggi itu hanya cemberut saja, namun
matanya yang sipit itu seolah-olah hendak menelanjanginya dengan pandang
matanya!
“Su-ko, yang
tua untukmu karena aku perlu dengan yang muda!” tiba-tiba si tinggi kurus
bermata sipit itu berkata.
Sebelum
suaranya yang menyeramkan itu habis, tangannya yang berlengan panjang sekali
itu tahu-tahu sudah menjangkau ke arah pundak Swi Hwa! Gerakannya itu amat
mengerikan karena jarak antara dia dan Swi Hwa cukup jauh, terlalu jauh bagi
orang yang berlengan bagaimana panjang pun untuk bisa menjangkaunya. Akan
tetapi kakek tinggi itu tidak melangkahkan kakinya, dan lengannya seperti dapat
diulur lebih panjang dari pada semestinya. Gerakan yang mengerikan sekali!
“Ihhh...!”
Swi Hwa berseru kaget dan juga jijik saat melihat lengan itu seperti seekor ular
panjang hidup meluncur ke arah pundaknya.
Dia
cepat-cepat menarik kaki melangkah mundur, akan tetapi hebatnya, tangan itu
terus mengejarnya, sebuah tangan yang lebar dengan jari-jari yang panjang dan
besar, kotor dan kukunya panjang hitam! Swi Hwa kaget setengah mati dan agaknya
sukar baginya untuk dapat mengelak. Pada saat itu, Hek-sin Touw-ong yang
mengenal ilmu luar biasa dari si jangkung itu, yaitu ilmu mengulur lengan yang
tidak mudah dipelajari, kecuali oleh mereka yang telah menguasai ilmu melepas
tulang, maklum bahwa muridnya terancam bahaya. Dia cepat menggerakkan tangan
kirinya.
“Cusssss...!”
Tangan kiri
Hek-sin Touw-ong yang digerakkan ini bukan sembarang tangan, melainkan tangan
yang mengandung Ilmu Kiam-to Sin-ciang sehingga tangan itu seperti berubah
tajam bagaikan pedang atau golok, bahkan hawa pukulannya saja dapat membabat
putus benda keras!
“Wusss...
ahaaa...!”
Si jangkung
terkejut sekali dan walau pun lengannya tidak terluka karena dia sudah menarik
kembali lengannya sambil mengerahkan sinkang untuk melindungi lengan itu, akan
tetapi tetap saja lengan bajunya terobek oleh hawa yang menyambar dari Kiam-to
Sin-ciang tadi.
Si pendek
gundul tertawa. “Ha-haha, engkau mendapat malu, Ngo-te! Jangan terlalu
memandang rendah kepada Hek-sin Touw-ong yang kabarnya juga memiliki Kiam-to
Sin-ciang. Dan engkau sama sekali tidak boleh main hakim sendiri, ingat bahwa
tugas kita hanya untuk menawan mereka ini!”
Si jangkung
hanya cemberut, akan tetapi matanya terus mengincar Swi Hwa dan gadis ini diam-diam
bergidik. Dia tadi melihat betapa gurunya menggunakan ilmu ini. Lengan si
jangkung tadi jelas terkena sambaran hawa sakti itu, akan tetapi lengan itu
sama sekali tidak terluka dan hanya lengan bajunya saja yang terobek! Tahulah
dia bahwa si jangkung yang luar biasa itu memiliki kepandaian yang amat tinggi.
Biar pun
wajahnya tidak menunjukkan perasaan, namun di dalam hatinya, Si Raja Maling
juga menjadi terkejut bukan main. Tadi dia sudah menduga-duga, akan tetapi kini
melihat kelihaian si jangkung, melihat bentuk tubuh mereka dan cara kedua orang
itu saling memanggil, yaitu Ngo-te dan Su-ko (adik kelima dan kakak keempat),
dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu kedua orang inilah tokoh-tokoh dari Im-kan
Ngo-ok yang telah puluhan tahun lamanya tidak pernah terdengar lagi turun ke
dunia ramai.
Hampir dia
tidak percaya karena memang selama dia menjelajahi dunia kang-ouw, Raja Maling
ini tidak pernah berjumpa dengan mereka dan menganggap bahwa nama mereka itu
hanya merupakan dongeng di antara orang-orang kang-ouw saja. Dan kini, melihat
keadaan kedua orang ini yang ternyata bukan hanya mengenalnya, bahkan mengenal
pula Ilmu Kiam-to Sin-ciang, dia yakin bahwa tentu mereka ini adalah orang
keempat dan kelima dari Im-kan Ngo-ok. Maka cepat dia menjura dengan hormat
kepada datuk-datuk kaum sesat itu sambil berkata dengan suara halus merendah.
“Siauwte
yang bodoh pernah mendengar nama besar dari Su-ok Siauw-siang-cu dan Ngo-ok
Toat-beng Siansu, tidak tahu apakah dua nama besar itu adalah nama Ji-wi?”
Tosu
jangkung bermata sipit itu hanya cemberut, akan tetapi hwesio cebol gendut itu
tertawa. ”Ha-ha-ha, kiranya Si Raja Maling juga dapat mengenal kami, itu
menunjukkan bahwa engkau memang bukan orang sembarangan!”
Hek-sin
Touw-ong menjura lagi. “Maaf kalau siauwte yang bodoh kurang menghormat, karena
sungguh mati kami berdua tidak pernah mimpi akan dapat jumpa dengan tokoh tokoh
besar seperti Ji-wi (Anda berdua). Setelah kami mendapat kehormatan bertemu
dengan Ji-wi, siauwte mohon bertanya ada keperluan apakah gerangan maka Ji-wi
memberi kehormatan kepada kami dengan kunjungan ini?”
“Su-ko,
mulutnya terlalu manis!” Tiba-tiba tosu tinggi kurus itu mencela.
Akan tetapi
hwesio cebol itu hanya tersenyum lebar. Girang sekali hatinya. Memang sudah
menjadi watak Si Jahat Keempat dari Im-kan Ngo-ok ini untuk beramah-tamah
dengan orang untuk kemudian mencelakai orang yang diajaknya beramah-tamah itu!
“Hek-sin
Touw-ong, sudah lama kami mendengar nama besarmu dan ternyata engkau memang
seorang yang lihai sekali. Kiam-to Sin-ciang tadi amat hebat, dan engkau
mempunyai seorang murid yang cantik jelita dan pandai. Sungguh beruntung sekali
hidupmu. Aku Su-ok Siauw-siang-cu ikut merasa girang melihat keberuntunganmu
dan sayang di sini tidak ada arak untuk menghaturkan selamat kepadamu.
Ha-ha-ha!”
Si Raja
Maling mengerutkan alis. Dia hanya pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok akan
tetapi tidak mengenal watak mereka seorang demi seorang, maka dia pun tidak
tahu akan watak Su-ok ini. Dia sendiri adalah salah seorang tokoh besar di
dalam dunia kang-ouw, maka teritu saja dia tidak mudah tertipu oleh sikap
ramah-tamah yang luar biasa itu. Maka dia hanya menjura sambil berkata, “Terima
kasih atas kebaikan Su-ok Siauw-siang-cu Lo-enghiong.”
Akan tetapi,
Ngo-ok Toat-beng Sian-cu tidak sabar menyaksikan sikap ramah-tamah dari kawannya
itu, maka dia berkata singkat, “Hek-sin Touw-ong, hayo lekas menyerah untuk
kami tangkap dan bawa kembali ke benteng lembah, di mana engkau bersama muridmu
mengacau malam tadi!”
Hek-sin
Touw-ong tidak terkejut mendengar ini, karena memang dia sudah menduga bahwa
dua orang sakti dari kaum sesat ini tentu muncul sehubungan dengan perbuatan
mereka di benteng lembah semalam. Dia sama sekali tidak pernah menduga dan sama
sekali tidak tahu bahwa Koksu Nepal adalah orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok!
“Kami tidak
akan menyerah kepada siapa pun juga!” Tiba-tiba Kang Swi Hwa berkata dengan
nada suara keras dan dia sudah melintangkan pedangnya di depan dada. Tidak
seperti gurunya, dara ini belum pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok, maka dia
pun tidak merasa gentar sama sekali sungguh pun dia tahu bahwa dua orang kakek
itu tentu merupakan orang-orang lihai dan lawan-lawan tangguh.
“Ha-ha-ha,
Hek-sin Touw-ong dan muridnya ini memang amat hebat!” kembali hwesio cebol itu
tertawa dan memuji. “Siapa yang dapat mengira bahwa kalian berdua dapat
menyamar sebagai dua orang iblis Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lokwi! Ha-ha-ha!
Melihat Hek-sin Touw-ong menyamar sebagai seorang di antara mereka masih tidak
mengherankan, akan tetapi bagaimana engkau bisa menyamar sebagai seorang iblis
seperti mereka itu, Nona? Mengagumkan, sukar untuk dapat dipercaya! Eh, Nona
Cilik, aku berani bertaruh bahwa engkau tidak akan mampu menyamar sebagai aku
atau sebagai Ngo-te ini!”
Di dalam
hatinya, Kang Swi Hwa mengejek. Kalau ada alat-alatnya, tentu saja dia akan
mampu menyamar sebagai mereka, sungguh pun untuk menyamar sebagai Su-ok dia
harus menekuk lututnya dan untuk menyamar sebagai Ngo-ok dia harus menggunakan
jangkungan, yaitu dua potong kayu untuk menyambung kakinya agar dia dapat
menjadi jangkung seperti tosu itu. Akan tetapi dia tidak mau melayani kelakar
ini dan hanya memandang dengan sinar mata marah.
“Ha-ha-ha,
Hek-sin Touw-ong, kepandaian kalian amat hebat dan mengagumkan hati Pangeran
Nepal. Oleh karena itu, beliau mengutus kami berdua untuk mengundang kalian
sebagai tamu terhormat ke dalam benteng, mungkin akan memberi hadiah atas
permainan sandiwara kalian yang amat berhasil itu. Marilah, Touw-ong, marilah
kami iringkan ke benteng di lembah sana.” Sikap hwesio cebol itu masih manis sekali,
terlalu manis malah.
Akan tetapi
Hek-sin Touw-ong kini sudah maklum bahwa keramahan hwesio cebol ini adalah
wataknya dan cirinya yang khas, sama sekali bukan keramahan yang timbul dari
hati yang beriktikad baik. Maka dia pun tidak mau melayani, melainkan memandang
dengan tajam.
“Ji-wi tidak
perlu berpura-pura. Memang sesungguhnya kami berdua yang semalam mengunjungi
benteng. Kami telah gagal, nah, sekarang Ji-wi datang menyusul kami dan betapa
pun juga kami tidak akan mau kembali ke sana, baik itu merupakan undangan mau
pun paksaan.”
Ucapan ini
halus akan tetapi juga merupakan tantangan.
“Su-ko,
kenapa cerewet? Tangkap mereka!” bentak Ngo-ok Toat-beng Siansu sambil menubruk
ke arah Swi Hwa.
“Ngo-te,
awas, jangan kau lukai dia, kita harus menangkap mereka hidup-hidup. Jangan sampai
membuat Sam-ko dan pangeran menjadi marah!” Si cebol berseru, kemudian secepat
kilat dia pun sudah menerjang kepada Hek-sin Touw-ong!
Swi Hwa
menggerakkan pedangnya, memutar pedang itu untuk membabat dua tangan panjang
yang mengancamnya dari kanan kiri itu. Sinar pedangnya bergulung-gulung dan
membentuk lingkaran yang berhawa tajam sekali karena dara ini sudah memainkan
pedang dengan pengerahan Ilmu Kiam-to Sin-siang yang dipelajarinya dari
gurunya.
Biar pun dia
lihai bukan main, Ngo-ok tidak mau sembarangan mempertaruhkan kedua lengannya,
atau sedikitnya tentu lengan bajunya akan hancur kalau terkena sambaran sinar
pedang itu, maka dia menggunakan kegesitannya untuk menarik kembali tangan yang
hendak terbacok, kemudian membalas dengan kedua tangan itu meluncur dari
sana-sini seperti dua ekor ular terbang yang berusaha menangkap atau menotok
dara itu. Bulu tengkuk dara itu meremang saking ngerinya ketika beberapa kali
tangan telanjang si jangkung itu menyampok pedangnya dan terdengar bunyi
berdencing nyaring ketika pedangnya bertemu dengan jari tangan itu, seolah-olah
tangan itu terbuat dari pada baja yang amat kuat!
Sementara
itu, Hek-sin Touw-ong sudah bertanding dengan hebatnya melawan Su-ok
Siauw-siang-cu. Hek-sin Touw-ong yang maklum bahwa dia menghadapi lawan pandai
dan bahwa dia dan muridnya terancam bahaya maut, telah mengeluarkan ilmunya
yang amat hebat, yaitu Kiam-to Sin-ciang dan mengerahkan ginkang-nya untuk
berkelebatan dengan cepatnya. Dia harus dapat merobohkan lawannya yang gemuk
pendek ini sebelum dia dapat membantu muridnya. Dia tahu bahwa muridnya
bukanlah tandingan si jangkung itu, dan maklum bahwa kalau dia dan muridnya
sampai tertangkap dan dibawa kembali ke lembah, tentu mereka berdua akan celaka
dan menerima hukuman berat atas perbuatan mereka semalam yang mengacau dan
membakar benteng di lembah Huang-ho itu.
Bunyi angin
bersuitan dan mendesis-desis ketika kedua tangan Raja Maling ini bergerak
melancarkan serangan Kiam-to Sin-ciang. Demikian hebatnya ilmu itu sehingga
orang keempat dari Im-kan Ngo-ok sendiri tidak berani secara lancang menerima
pukulan itu dengan tubuhnya. Su-ok bergulingan menghindarkan diri, kemudian dia
meloncat dan tubuhnya yang pendek itu menjadi makin pendek ketika dia
berjongkok dan perutnya yang gendut itu makin menggembung terisi penuh hawa
mukjijat! Kemudian, dari tenggorokan dan perutnya berbunyi suara.
“Kok-kok-kok!”
dan itulah ilmunya yang amat luar biasa, ilmu pukulan Katak Buduk!
Ketika
Hek-sin Touw-ong kembali menggerakkan kedua tangan dan dari kedua telapak
tangannya itu menyambar hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang yang mengandung angin
tajam sekali, Su-ok lalu mendorong dengan kedua tangannya yang pendek ke depan.
Angin pukulan dahsyat menyambar dari kedua tangannya dan begitu angin pukulan
ini bertemu dengan hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang.
Tubuh
Hek-sin Touw-ong terjengkang dan dia tentu sudah roboh terbanting kalau saja
dia tidak cepat-cepat meloncat ke kiri dan terhindar dari dorongan hawa dahsyat
yang mendorong pukulannya yang tadi membalik itu! Bukan main terkejutnya hati
Si Raja Maling! Kini kakek pendek itu tertawa-tawa, kemudian bergulingan dan
mengejarnya seperti seekor binatang trenggiling dan melakukan serangan dari
atas tanah secara tidak terduga-duga! Dan setiap kali Touw-ong menggunakan
Kiam-to Sin-ciang, selalu kakek pendek itu menggunakan pukulan sakti Katak
Buduk membuat Kiam-to Sin-ciang kehilangan kehebatannya dan selalu terdorong
kembali!
Perkelahian
antara Ang-siocia atau Kang Swi Hwa dan kakek tosu jangkung Ngo-ok tak
berlangsung terlalu lama. Agaknya Ngo-ok merasa jengkel juga menyaksikan
kenekatan dara itu, maka dia lalu mengerahkan tenaganya dan begitu pedang di
tangan nona itu menusuknya, dia menggunakan jari-jari tangannya menangkis dan
terus mencengkeram dan pedang itu sudah kena dicengkeramnya!
“Krek-krekkk!”
Pedang itu
dicengkeram patah-patah dan dilemparkan ke samping, kemudian sebelum Swi Hwa
sempat mengelak, tengkuknya sudah dicengkeram dan tubuhnya diangkat ke atas!
Swi Hwa hampir pingsan ketika merasa betapa jari-jari tangan yang panjang dan
besar sudah mencengkeram baju di dadanya dan hendak mencabik dan merenggutnya.
Tanpa terasa lagi dia menjerit.
Jeritan itu
menolongnya karena Su-ok sudah menggelinding dekat dan menendang lutut Ngo-ok.
Hampir saja Ngo-ok tertendang roboh kalau dia tidak cepat meloncat tinggi
sekali sambil membawa tubuh Swi Hwa yang seperti hampir pingsan rasanya dibawa
melambung tinggi itu.
“Ngo-te,
kuperingatkan kau, jangan ganggu dia!” bentak Su-ok.
“Ehh, kau
mengiri? Apa pedulimu?” bantah Ngo-ok.
“Tolol kau,
Ngo-te. Jika kau mengganggunya dan Sam-ko marah, juga Pangeran, tentu Twako dan
Ji-ci juga marah dan jika mereka semua marah, apa kau kira hanya engkau saja
yang akan dihajar? Aku pun ikut bertanggung jawab, mengerti? Jangan ganggu dia
sebelum kita menyerahkan kedua orang guru dan murid ini kepada Pangeran. Kalau
kau nekat, aku sendiri akan menggempurmu!”
“Huh,
menyebalkan!” Ngo-ok berseru marah dan kecewa, jari tangannya menotok dan
seketika tubuh Swi Hwa menjadi lumpuh dan ketika dia dilemparkan ke atas tanah,
dara itu tak dapat bergerak lagi.
Hek-sin
Touw-ong tadi sudah merasa khawatir menyaksikan betapa muridnya tertawan, akan
tetapi legalah hatinya ketika dia melihat Su-ok menyelamatkannya dari ancaman
malapetaka yang amat mengerikan. Melihat muridnya sudah terbebas dari
malapetaka, Raja Maling itu lalu menyerang lagi, kini tidak menyerang kepada
Su-ok, melainkan kepada Ngo-ok saking marahnya melihat betapa si jangkung itu
tadi sudah hampir saja menghina muridnya.
“Cusss-cusssss...
wuuut-wuuuttt... brettt...!”
Ujung baju
Ngo-ok terobek oleh hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang dan tubuh si jangkung sampai
terhuyung ke belakang. Hal ini adalah karena dia sama sekali tidak menyangka
akan kehebatan serangan dari Si Raja Maling itu, maka dia tadi terdesak dan
lupa untuk mengelak, melainkan menangkis sehingga biar pun dia tidak terluka,
namun bajunya robek dan tubuhnya terhuyung ke belakang.
Si jangkung
mengeluarkan suara aneh dan tiba-tiba tubuhnya berjungkir balik, kepala di
bawah dan kaki di atas kemudian secara aneh sekali tubuh yang membalik ini
sudah menyerang kalang-kabut kepada Hek-sin Touw-ong!
Raja Maling
ini sudah banyak menghadapi lawan lihai dan aneh-aneh, akan tetapi belum pernah
dia diserang orang yang berjungkir balik seperti ini. Dia agak bingung karena
kedua tangan yang panjang itu menyerangnya dari bawah dan begitu dia
menggunakan kedua tangan untuk menangkis, tiba-tiba dari angkasa meluncur turun
dua batang kaki yang menyerangnya secara hebat, mengancam ubun-ubun kepala dan
tengkuknya!
“Jangan
bunuh dia, Ngo-ok, manusia bandel!” bentak Su-ok.
Bentakan ini
menyelamatkan nyawa Hek-sin Touw-ong karena Ngo-ok teringat bahwa dia sama
sekali tidak boleh membunuh kalau dia ingin selamat kembali ke benteng, maka
kakinya yang menotok ke arah ubun-ubun itu mengubah gerakan menotok ke leher
dan ketika Hek-sin Touw-ong mengangkat tangan menangkis, kaki kirinya sudah menotok
tengkuk.
“Dukkk!”
Tubuh
Hek-sin Touw-ong roboh dalam keadaan pingsan oleh totokan ujung kaki yang amat
tepat dan amat kuat itu.
“Bagus!
Engkau telah maju pesat, Ngo-te. Engkau telah dapat merobohkan guru dan murid
itu tanpa membunuh mereka. Hebat kau, aku kagum sekali!” kata Su-ok sambil
tertawa.
Tosu
jangkung itu memandang kepada Su-ok, kemudian menyeringai dan meludah ke
samping kiri. “Cuhhh!”
Dia hanya
memandang kepada tubuh Swi Hwa yang terlentang di atas tanah dengan sinar mata
penuh gairah dan kekecewaan. Kembali dia terhalang untuk melampiaskan gelora
nafsunya, terutama sekali untuk memenuhi koleksi kuku-kuku ibu jari wanita yang
sudah berjumlah empat ratus kurang satu itu!
“Mari kita
cepat kembali, Ngo-te. Jangan sampai masakan-masakan untuk kita menjadi dingin.
Nah, kau panggul si tua itu, biar aku yang membawa nona ini!” kata Su-ok yang
tahu bahwa dia tidak boleh mempercayakan tubuh wanita muda itu kepada Ngo-ok,
maka cepat dia menyambar tubuh Swi Hwa dan mengempitnya sambil berkelebat cepat
pergi dari tempat itu.
Ngo-ok
meludah kembali dengan hati mengkal, kemudian menggunakan ujung kakinya untuk
mencokel tubuh Hek-sin Touw-ong ke atas, menyambarnya dengan tangan kiri,
memanggulnya dan dia pun berlari cepat menyusul Su-ok menuju ke benteng di
lembah Huang-ho.
Pangeran
Liong Bian Cu merasa girang dan kagum bukan main ketika melihat Su-ok dan
Ngo-ok telah kembali membawa Hek-sin Touw-ong dan Kang Swi Hwa. Akan tetapi
tentu saja hati pangeran ini masih kecewa, marah dan juga berduka karena Hwee
Li, dara yang dicintanya itu, dan Puteri Syanti Dewi, tawanan yang amat penting
baginya, belum ditemukan kembali.
Sejenak dia
memandang kepada tubuh Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa yang sudah dilemparkan ke
atas lantai, lalu sang pangeran itu menarik napas panjang dan berkata, “Aih,
sayang sekali bahwa yang ditemukan hanya dua orang pengacau ini. Apa gunanya
kecuali hanya menghukum mereka? Kami akan lebih gembira kalau yang dapat dibawa
kembali adalah Hwee Li dan Puteri Bhutan....“
Ban Hwa
Sengjin maklum bahwa diam-diam sang pangeran kecewa sekali atas hasil
pengejaran Su-ok dan Ngo-ok. Dia pun maklum betapa pentingnya Syanti Dewi bagi Nepal,
dan betapa pangeran itu amat mencinta Hwee Li. Maka dia lalu berkata, “Harap
Paduka tenangkan hati. Sudah saya katakan tadi bahwa menghadapi orang pandai
harus pula mempergunakan kesaktian dan setelah kini saudara-saudaraku berada di
sini, kita tidak perlu khawatir. Kiranya bukan merupakan tugas yang terlalu
berat untuk menemukan dan membawa kembali dua orang dara itu, Pangeran. Twako
dan Ji-ci, sekarang aku mengharap bantuan kalian untuk mencari dua orang dara
itu. Yang seorang bernama Hwee Li, seorang dara berusia delapan belas tahun,
berpakaian serba hitam, suka bermain dengan ular-ular beracun, anak angkat dari
Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka, wajahnya cantik jelita dan wataknya periang,
jenaka dan agak... agak liar. Dan dara yang kedua adalah seorang Puteri Bhutan,
usianya dua puluh satu tahun, cantik sekali, lemah lembut dan halus, bernama
Syanti Dewi. Kalau tidak keliru, dua orang dara itu tentu bersama dengan
seorang pemuda yang terkenal dengan julukan Siluman Kecil, bernama Suma Kian
Bu, putera dari Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.”
“Ahhh...!”
Hampir berbarengan kakek gorilla dan nenek tengkorak itu berseru kaget
mendengar ucapan terakhir itu.
“Ya, benar,
Twako dan Ji-ci. Pemuda itu adalah putera dari Pulau Es, maka kalian kini
memperoleh kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian. Harap kalian dapat
segera mencari dan membawa kembali dua orang puteri itu ke sini dan untuk jasa
itu, Pangeran Nepal pasti tidak akan melupakannya.”
“Tentu
saja!” Pangeran Liong Bian Cu bangkit berdiri dan menjura. “Pertolongan Ji-wi
Locianpwe amat berharga dan saya pasti tidak akan melupakan budi Ji-wi itu.”
Kakek
gorilla itu saling pandang dengan nenek bertopeng tengkorak, lalu terdengar
kakek itu berkata dengan suaranya yang tenang dan lembut, “Ji-moi, mari kita
pergi!” Baru saja dia berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan orangnya sudah
lenyap!
Nenek muka
tengkorak memandang kepada koksu dan berkata, “Sam-te, tugas kami cukup berat,
namun menegangkan dan menggembirakan. Mungkin saja kami gagal, akan tetapi kami
percaya bahwa kau, Su-te dan Ngo-te tidak akan membiarkan kami penasaran.”
“Jangan
khawatir, Ji-ci!” kata Koksu Nepal dan percakapan sekali ini terjadi seperti
dua orang saudara dan memang koksu itu bicara sebagai Sam-ok, bukan sebagai
koksu. Akan tetapi jawabannya belum selesai ketika tubuh Ji-ok Kui-bin Nionio
sudah lenyap pula dari tempat itu!
Hek-sin
Touw-ong yang tadinya pingsan, sudah sejak tadi siuman, tetapi kakek ini pura
pura masih pingsan. Diam-diam dia memperhatikan keadaan di situ dan
mendengarkan semua percakapan. Dia terkejut sekali melihat betapa Im-kan Ngo-ok
telah berkumpul semua di dalam benteng itu! Dan mendengarkan mereka bicara,
tahulah kakek ini bahwa Koksu Nepal yang lihai itu bukan lain adalah Sam-ok,
orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok! Tahulah dia bahwa dia dan muridnya tak mungkin
dapat lolos dari tempat yang dihuni demikian banyaknya orang-orang pandai itu!
Hanya dengan akal saja dia akan dapat menyelamatkan muridnya.
Dia sendiri
adalah seorang yang sudah tua, hidup bukan lagi merupakan suatu hal yang
terlalu berharga baginya, dan kematian bukan merupakan suatu hal yang
menakutkan. Akan tetapi Swi Hwa! Dia tidak boleh mati dalam usia semuda itu!
Dan terbayanglah di depan mata kakek ini semua yang telah terjadi atas diri
anak itu dan dia merasa berdosa sekali!
Dia telah
menculik anak itu, memisahkan anak itu dari semua keluarganya! Semua itu
dilakukan hanya untuk melampiaskan dendam dan kemarahannya. Dan setelah sekian
lama dipeliharanya, maka dia mencinta anak itu seperti anaknya sendiri. Dan
sekarang, anak itu akan mati! Semua adalah gara-gara dia, dan anak itu tidak
boleh mati karena menjadi muridnya!
“Ahhh...!”
Dia mengeluh dan pura-pura baru siuman dari pingsannya, bangkit duduk dan
memandang ke kanan kiri. “Ahhh... Ji-wi Lo-enghiong Su-ok dan Ngo-ok sungguh
tak boleh dibuat permainan, dan sekarang aku yang dijadikan permainan! Mengapa
orang segolongan sendiri menyusahkan kami guru dan murid?”
Tiba-tiba
Hek-sin Touw-ong pura-pura kaget melihat sang pangeran dan Koksu Nepal.
“Celaka! Kenapa kami dibawa ke sini?”
Ban Hwa
Sengjin memandang dengan muka kereng. “Hek-sin Touw-ong, apa yang sudah kau
lakukan bersama muridmu ketika menyamar sebagai Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa
Lo-kwi, mengacau di dalam benteng?” bentaknya.
Pada saat
itu, Swi Hwa sudah bergerak pula dan dara ini meloncat berdiri, akan tetapi
gurunya cepat menarik tangannya, diajak berlutut, “Lekas berlutut, kita berada
di depan Pangeran dan Koksu Nepal yang mulia!”
Swi Hwa
heran menyaksikan sikap gurunya, akan tetapi ketika dia melihat bahwa dia telah
berada di dalam benteng, terkurung oleh orang-orang pandai yang sekian
banyaknya, dia tidak membantah dan cepat dia berlutut sambil menundukkan
mukanya.
“Koksu yang
mulia, Locianpwe Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang sakti tentu sudah bisa maklum
mengapa orang-orang seperti kita melakukan suatu tindakan. Sesuai dengan
kebijaksanaan golongan kita kaum hitam, tentu saja kami berdua guru dan murid
juga melakukan hal itu demi kepentingan kami sendiri, yaitu menerima hadiah dan
juga atas tekanan dari Pendekar Siluman Kecil. Tadinya kami kira bahwa benteng
ini hanya menjadi tempat orang-orang yang dimusuhi oleh Pendekar Siluman Kecil
yang minta bantuan kami, sama sekali kami tak tahu bahwa banyak tokoh dan datuk
dari golongan kita sendiri berkumpul di sini. Kami berdua tidak mati pun sudah
sangat untung, hanya mengalami kegagalan saja. Harap Locianpwe memaklumi
keadaan kami.”
Dengan
ucapan itu Hek-sin Touw-ong hendak menyatakan bahwa dia dan muridnya sama
sekali tak berniat memusuhi Im-kan Ngo-ok yang dianggap orang-orang dari satu
golongan, yaitu golongan hitam atau kaum sesat, dan bahwa penyerbuannya semalam
di dalam benteng adalah karena penekanan Siluman Kecil dan juga hadiah yang
diberikannya, jadi dasarnya hanya ‘pekerjaan’ saja, bukan permusuhan pribadi.
Ban Hwa
Sengjin sudah mengenal kakek muka hitam ini sebagai raja maling, tentu saja
merupakan tokoh hitam pula di dunia kang-ouw, maka dia pun tak merasa benci.
Hanya karena kedudukannya sebagai koksu dan karena guru dan murid ini telah
mengacau benteng maka dia harus bertindak.
“Tidak perlu
banyak cakap. Kalian telah mengacaukan tempat ini, baik sebagai musuh atau
bukan tidak ada bedanya. Sekarang katakan, di mana adanya Siluman Kecil dan
Nona Hwee Li? Di mana pula adanya Puteri Syanti Dewi?”
Pertanyaan
terakhir itu amat mengejutkan hati guru dan murid itu. Jelas bahwa mereka
berempat gagal untuk melarikan Syanti Dewi, juga gagal untuk melarikan seorang
pun dari keluarga Jenderal Kao, bagaimana sekarang Koksu Nepal ini menanyakan
tentang Puteri Bhutan itu? Apakah puteri itu berhasil melarikan diri di waktu
ribut-ribut semalam? Karena maklum bahwa mereka berdua tidak berdaya dan bahwa
agaknya gurunya yang biasanya tidak banyak cakap itu kini hendak menggunakan
‘kepandaiannya’ bicara, maka Swi Hwa diam saja dan menyerahkan semua jawaban
kepada suhu-nya.
“Kami telah
gagal melarikan Syanti Dewi seperti yang dikehendaki oleh Siluman Kecil,” jawab
Touw-ong dengan tenang. “Setelah kegagalan itu, maka kami lalu berpencar, saya
melarikan diri bersama murid saya, hal yang agak mudah karena kami berdua
menyamar sebagai...” dia menoleh ke arah Hek-tiauw Lo-mo, dan Hek-hwa Lo-kwi,
“... kedua orang gagah itu, sedangkan Siluman Kecil melarikan diri bersama Nona
Hwee Li. Setelah itu, kami berdua tidak lagi bertemu dengan mereka. Tentang
Puteri Bhutan, sungguh kami tidak tahu karena telah gagal membawanya, bahkan
kalau tidak salah, ketika itu sang puteri sudah dibawa masuk kembali oleh seorang
Panglima Bhutan...“
Penuturan
ini memang cocok sekali dengan laporan para pengawal yang melakukan
pengeroyokan, maka Ban Hwa Sengjin berpendapat bahwa tentu Siluman Kecil yang
telah berhasil melarikan sang puteri. Hanya Siluman Kecil yang memiliki kepandaian
tinggi sekali, bahkan dia sendiri karena kurang hati-hati, pernah roboh pingsan
oleh Siluman Kecil itu. Sedangkan Touw-ong bersama muridnya ini tentu hanya
memiliki kepandaian biasa saja, buktinya mudah tertawan oleh Su-ok dan Ngo-ok.
“Pangeran,
saya kira Raja Maling ini tidak membohong dan memang mereka ini tidak tahu di
mana adanya Sang Puteri dan juga Nona Hwee Li. Lalu apa yang harus kita lakukan
terhadap mereka?”
Pangeran itu
mengerutkan alisnya. “Dia ini telah mengacau benteng, juga melakukan
pembakaran, dan bersama muridnya telah menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi. Apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?” Ucapan pangeran
itu seperti bertanya kepada semua orang yang ada di ruangan itu. Hatinya memang
mengkal sekali kalau mengingat bahwa perbuatan kedua orang ini telah
menyebabkan hilangnya Syanti Dewi, sungguh pun Hwee Li memang sudah lolos
sebelum mereka berdua ini datang mengacau dengan penyamaran mereka.
“Serahkan
saja mereka pada kami berdua!” tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berkata dengan marah.
“Bunuh saja
mereka!” kata pula Hek-hwa Lo-kwi.
“Siksa
mereka agar mengaku di mana adanya Sang Puteri Syanti Dewi!” kata Mohinta.
“Saya yakin bahwa dia yang menyerang saya dan melarikan sang puteri, tentu
seorang kawan dari mereka ini!”
“Koksu,
harap serahkan gadis ini kepadaku sebagai pengganti yang tempo hari!” tiba tiba
Ngo-ok berkata dan menoleh kepada Swi Hwa.
Tiba-tiba
Hek-sin Touw-ong tertawa. “Sungguh mengherankan. Di dalam rimba sekali pun,
tidak ada harimau makan harimau dan serigala makan serigala! Kalau golongan
hitam tidak saling membantu, mana mungkin menghadapi golongan putih yang kuat?
Kami guru dan murid memang telah melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu
hanya karena kami tidak tahu bahwa di sini terdapat banyak orang-orang
segolongan, dan kami tertipu dan tertekan oleh Siluman Kecil! Kalau kami
dianggap sebagai golongan putih hendak dihukum, silakan. Siapa yang takut mati?
Akan tetapi, sungguh menggelikan sekali kalau terdengar di dunia kang-ouw
betapa ada kawan makan kawan sendiri! Pangeran, kami guru dan murid adalah
orang-orang yang mencari rejeki menggunakan kemampuan kami. Kalau Paduka
memaafkan kami dan memberi kami pekerjaan, kiranya kami dapat mempergunakan
kepandaian kami untuk keuntungan Paduka!”
Pangeran
Liong Bian Cu yang sedang marah itu memang tertarik oleh kepandaian guru dan
murid ini. Masih belum dapat dia melenyapkan keheranannya betapa Hek-tiauw
Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang menghadapnya kemarin sore itu adalah penyamaran
dari guru dan murid ini! Kini, mendengar omongan kakek bermuka hitam itu, dia
berkata, “Orang berdosa, apa lagi yang hendak kau sampaikan kepada kami?
Pekerjaan apa yang dapat kami berikan kepada kalian yang telah melakukan dosa
besar itu?”
“Pangeran,
harap jangan percaya kepada omongannya!” Lo-mo berkata marah.
“Lo-mo,
jangan ganggu pembicaraan Pangeran dengan pesakitan!” Ban Hwa Sengin menegur
dan Hek-tiauw Lo-mo melotot marah, akan tetapi tidak berani berkata apa-apa
lagi.
“Pangeran,
saya masih heran mendengar akan lenyapnya sang puteri. Sedangkan saya bersama
murid saya, juga pendekar Siluman Kecil yang demikian sakti bersama Nona Hwee
Li, tidak mampu melarikan sang puteri, bagaimana dalam keadaan ribut-ribut
kebakaran itu ada orang yang mampu melarikannya? Hal itu hanya berarti bahwa
ada orang lain yang melarikan sang puteri, dan menurut pendapat saya, orang itu
tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada kepandaian Siluman
Kecil.”
Semua orang
tertegun dan bengong mendengar ini. Juga Ban Hwa Sengjin menjadi terkejut dan
diam-diam dia memperhatikan karena dugaan yang diajukan oleh Raja Maling itu
memang masuk di akal. Akan tetapi, siapakah orang yang lebih tinggi dari
Siluman Kecil? Padahal Siluman Kecil itu sudah demikian lihainya!
“Jangan ngawur!”
bentaknya. “Siapakah orangnya yang dapat lebih lihai dari Siluman Kecil dan
mengapa pula dia melarikan sang puteri?”
Hek-sin
Touw-ong memang cerdik dan dia tidak kekurangan akal untuk mengemukakan
dugaan-dugaan yang dapat diterima, semua itu dilakukannya untuk menyelamatkan
muridnya dari ancaman hukuman mati. “Ketika kami dimintai bantuan oleh Siluman
Kecil, rencana kami adalah melarikan Puteri Bhutan dan juga keluarga Jenderal
Kao Liang. Akan tetapi melihat keluarga jenderal itu demikian banyaknya, Siluman
Kecil lalu hendak melarikan sang puteri saja. Akan tetapi hal itu pun gagal
dilakukan karena kami ketahuan. Dalam keributan itu, ternyata sang puteri
benar-benar lenyap. Hal ini tentu dilakukan oleh seorang yang amat lihai dan
mengingat bahwa keluarga Jenderal Kao berada di sini sebagai tahanan, maka
siapa lagi orang yang lebih lihai dari pada Siluman Kecil itu selain putera
sulung Jenderal Kao yang terkenal dengan julukan Si Naga Sakti Gurun Pasir?”
“Ahhh...!
Benar juga dugaannya!” tiba-tiba terdengar suara wanita berseru dan wanita yang
bangkit dari tempat duduknya itu bukan lain adalah Cheng-yan-cu Kim Cui Yan!
Liok Tek Hwi
juga berkata kepada Pangeran Liong Bian Cu, “Kiranya dugaannya itu tidak salah.
Tadi pun aku sudah menduga bahwa tentu dia yang datang melarikan sang puteri.”
Ban Hwa
Sengjin berubah wajahnya dan alisnya berkerut. “Si Naga Sakti Gurun Pasir?” Dia
sudah mendengar nama ini, nama yang amat terkenal bukan karena pendekar itu
sendiri, melainkan karena tempat tinggalnya, yaitu Istana Gurun Pasir yang
menjadi tempat tinggal Si Dewa Bongkok, guru dari Naga Sakti itu! Benarkah
pendekar yang sama tenarnya dengan nama pendekar Pulau Es itu telah datang?
“Ahhh, kalau
benar dia yang datang, kenapa dia tidak melarikan puteranya, melainkan puteri
itu?” Terdengar Kim Cui Yan membantah.
“Benar juga
pendapatmu itu, Sumoi.”
“Kita harus
cepat menyelidiki hal ini,” kata Pangeran Liong Bian Cu. “Kita harus dapat
menyelidiki tentang putera sulung Jenderal Kao Liang itu, mencari keterangan
dari keluarganya.”
“Akan tetapi
mereka semua itu keras hati dan tidak takut mati, mana mereka mau membocorkan
rahasia Si Naga Sakti?” Ban Hwa Sengjin meragu.
“Kalau
Paduka suka memaafkan kami berdua guru dan murid, maka saya dapat
menyelidikinya dengan menyamar sebagai Jenderal Kao dan bicara dengan mereka!”
tiba-tiba Hek-sin Tow-ong yang melihat kesempatan baik terbuka itu segera
berkata. “Tentu mereka akan membuka semua rahasia tentang putera sulung dari
jenderal itu. Akan tetapi tentu saja lebih dulu saya harus mengenal mereka,
satu-satu, dan apa hubungan mereka dengan jenderal itu.”
Pangeran dan
koksu saling pandang dan diam-diam koksu memberi persetujuan dengan anggukan
kepalanya. Memang tidak ada untungnya kalau hanya membunuh kedua orang guru dan
murid ini, dan kalau dapat mempergunakan mereka sebagai pembantu, memanfaatkan
kepandaian mereka menyamar, agaknya akan banyak berguna dan menguntungkan.
Pula, mereka itu bukanlah musuh-musuh golongan, bahkan orang-orang segolongan
dan perbuatan mereka semalam di benteng itu hanya terdorong oleh pekerjaan
mereka sebagai maling yang menghendaki keuntungan dalam setiap perbuatan mereka!
Demikianlah,
setelah mempelajari gerak-gerik Jenderal Kao dan mengenal semua keluarga
jenderal itu, Si Raja Maling kemudian menyuruh muridnya yang melakukan
penyamaran. Dia telah percaya benar akan kepandaian Swi Hwa dalam hal menyamar,
bahkan kelincahan dara itu membuat Swi Hwa tidak kalah pandai dari pada sang
guru dalam meniru gerak-gerik orang lain. Selain ini, Raja Maling ini juga
ingin menonjolkan jasa muridnya karena sesungguhnya semua ini dilakukannya
untuk menyelamatkan sang murid dari hukuman berat. Dan usaha yang dilakukan
oleh Swi Hwa memang berhasil baik sekali
Semua
keluarga jenderal itu tidak ada yang tahu bahwa yang bercakap-cakap dengan
mereka di luar pintu jeruji besi itu bukanlah Jenderal Kao Liang! Bahkan isteri
sang jenderal sendiri tidak mengenal kepalsuan ini. Mereka saling bercakap
tentang lolosnya Puteri Bhutan, dan Swi Hwa sebagai Jenderal Kao menyatakan
dugaannya kepada keluarganya bahwa mungkin yang melarikan sang puteri adalah
Kao Kok Cu, putera sulungnya atau Si Naga Sakti itu.
Akan tetapi
keluarganya membantah. Tidak mungkin, kata mereka, karena kalau benar Naga
Sakti yang datang, tentu puteranya, Kao Cin Liong, yang akan diselamatkannya
lebih dulu, atau juga ayah ibunya, bukan puteri dari Bhutan itu! Dari
percakapan ini, Swi Hwa mendengar tentang semua riwayat Jenderal Kao Liang, dan
juga betapa jenderal itu telah menyuruh puteranya yang ketiga, yaitu Kao Kok
Han, untuk mencari Naga Sakti dan memberi tahu tentang segala malapetaka yang
menimpa keluarga Kao.
Semua yang
diketahui dari hasil percakapan ini, oleh Swi Hwa dan gurunya kemudian
dilaporkan kepada Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya, melihat betapa dara itu
dalam melakukan penyamaran sungguh amat mengagumkan, pangeran ini dan koksu
lantas menerima mereka berdua sebagai pembantu-pembantu mereka karena Pangeran
Liong Bian Cu memang ingin mengumpulkan sebanyak mungkin orang pandai, terutama
dari golongan hitam untuk membantunya.
Dan
sesungguhnya Hek-sin Touw-ong juga termasuk seorang di antara tokoh-tokoh yang
memang sudah diincarnya untuk membantunya, bahkan ketika terjadi pertemuan di
lembah ini antara para tokoh hitam, Hek-sin Touw-ong juga diwakili oleh
Ang-siocia, muridnya itu. Mengingat akan semua inilah, maka pangeran dan koksu
memaafkan pengacauan mereka berdua di dalam benteng semalam, dan menarik mereka
sebagai pembantu dan sekutu…..
***************
"Bagaimana
kita menyeberang lautan yang lebar tanpa tepi itu, Enci?" Syanti Dewi
bertanya ketika dia bersama Ouw Yan Hui berdiri di pantai yang sunyi pada siang
hari itu, melihat air laut yang bergelombang, luas dan sampai ke kaki langit
tidak nampak ada tepi atau pulau itu.
“Dengan
kapal tentu saja. Kapalku sudah menantiku di sini,” jawab wanita cantik itu
sambil tersenyum.
Kemudian Ouw
Yan Hui mengeluarkan sebatang anak panah kecil dari dalam buntalan pakaiannya,
memukulkan ujung anak panah itu ke atas batu dan anak panah itu pun
terbakarlah, mengeluarkan asap berwarna biru! Kemudian, tanpa gendewa, hanya
menggunakan jari-jari tangannya yang kecil meruncing itu saja, dia melontarkan
anak panah itu ke udara. Nampak sinar biru meluncur ke atas, dan asap biru
nampak nyata. Itulah tanda rahasia, pikir Syanti Dewi kagum. Dan sesaat
kemudian, nampak sinar asap biru meluncur di sebelah barat.
“Nah, itulah
mereka!” kata Ouw Yan Hui dengan wajah girang sambil memandang ke barat.
Syanti Dewi
juga ikut memandang, dan tidak lama kemudian muncullah sebuah kapal yang amat
indah. Kapal layar itu besar sekali dan indah, dan nampak beberapa orang anak
buah menurunkan sebuah perahu kecil yang didayung oleh empat orang dengan cepat
menuju ke pantai. Setelah perahu itu tiba di pantai, barulah nampak oleh Syanti
Dewi bahwa empat orang anak buah kapal yang mendayung perahu itu adalah wanita
wanita cantik dan muda yang memakai pakaian ringkas hingga dari jauh tidak
kelihatan bahwa mereka itu wanita.
“Tocu telah
pulang!” Mereka berseru dengan girang dan mereka lalu menjatuhkan diri berlutut
di depan Ouw Yan Hui yang mereka sebut tocu (majikan pulau).
Ouw Yan Hui
hanya tersenyum, kemudian menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajak naik ke
dalam perahu kecil yang segera didayung dengan cepat oleh keempat orang wanita
itu menuju ke kapal besar.
Setelah tiba
di kapal dan naik, Syanti Dewi melihat bahwa semua anak buah kapal itu adalah
wanita, muda-muda dan rata-rata memiliki wajah yang cantik, atau setidaknya
bersih. Dan begitu sang tocu naik ke atas kapal, mereka semua menjatuhkan diri
berlutut dengan wajah gembira dan penuh hormat kepada Ouw Yan Hui! Mereka
bersikap seolah-olah Ouw Yan Hui adalah ratu mereka! Dan kapal itu ternyata
amat mewah.
“Hei, kalian
semua lihatlah baik-baik. Nona ini adalah adikku, juga muridku, dan kalian
harus bersikap hormat dan ramah kepadanya, dan menyebutnya siocia.”
Semua orang
yang masih berlutut itu cepat memberi hormat kepada Syanti Dewi dan menyebut,
“Siocia!” dengan suara nyaring sehingga Syanti Dewi merasa canggung sekali.
Dia memang
sudah biasa dihormati orang, sebagai puteri istana Bhutan, akan tetapi di
tempat ini dia merasa amat canggung menerima penghormatan seperti itu. Dan
secara otomatis, keagungannya sebagai seorang puteri seketika timbul. Ia
mengangkat sedikit tangannya sambil menganggukkan kepala sebagai tanda menerima
penghormatan itu.
Terdengar
suara bisik-bisik memuji kecantikan puteri ini ketika Ouw Yan Hui memberi
isyarat agar kapal segera dilayarkan. Sibuklah semua anak buah kapal itu dan
Syanti Dewi mengagumi ruangan-ruangan yang mewah dari kapal itu ketika Ouw Yan
Hui mengajaknya masuk ke dalam bilik kapal yang cukup luas. Di situ pun mereka
disambut oleh para pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka segera sibuk
melayani sang tocu, menyediakan air hangat untuk mandi, pakaian yang indah dan
bersih, dan ada pula yang sibuk mempersiapkan hidangan.
Ouw Yan Hui
mandi dan bertukar pakaian, pakaian yang bahkan lebih indah dari pada yang
dipakainya tadi, dan sehabis mandi, wanita itu nampak makin cantik saja. Syanti
Dewi dipersilakan mandi pula dan puteri ini kembali mengagumi kamar mandi tocu
itu di dalam kapal yang indah dan lengkap. Air hangat dalam kolam air yang
berbau harum membuat tubuhnya terasa segar dan dua orang pelayan melayaninya
dengan pakaian yang serba baru! Pakaian itu adalah pakaian Ouw Yan Hui yang
memerintah pelayan untuk memberikan kepada Syanti Dewi, dan karena bentuk tubuh
kedua orang wanita cantik ini memang tidak berbeda jauh, maka pakaian Ouw Yan
Hui dapat pula dipakai oleh Syanti Dewi dengan pantas.
Kemudian
Sang Puteri Bhutan dipersilakan makan bersama nyonya rumah yang juga menjadi
gurunya itu. Hidangannya juga serba mewah, tidak kalah lezat oleh masakan di
restoran-restoran besar. Sekarang tahulah Syanti Dewi bahwa Ouw Yan Hui selain
gagah perkasa dan lihai sekali, juga amat kaya raya!
Syanti Dewi
tidak tahu arah mana yang ditempuh oleh kapal itu. Akan tetapi, cuaca telah
berubah gelap dan para awak kapal menyalakan lampu-lampu kapal, dan kapal itu
masih terus berlayar. Ouw Yan Hui mempersilakan Syanti Dewi untuk tidur. Mereka
tidur sekamar, di mana terdapat dua buah tempat tidur.
Syanti Dewi
baru merasa demikian aman dan senang setelah untuk beberapa pekan lamanya hidup
dengan penuh ketegangan dan kekhawatiran sehingga dia dapat tidur dengan
nyenyak sekali, tanpa diusik mimpi dan tanpa bangun sampai suara musik dan
nyanyian membangunkannya. Cepat dia menengok dan ternyata bahwa Ouw Yan Hui
telah pergi, karena tempat tidurnya kosong dan dari jendela bilik kapal yang
ditutup tirai biru tipis itu menyorot cahaya matahari pagi! Hari telah pagi!
Betapa nyenyaknya dia tidur!
Seperti telah
mengikuti semua gerak geriknya, begitu dia duduk datanglah seorang pelayan yang
berkata dengan sikap hormat dan suara halus, “Siocia, air untuk mandi telah
siap. Siocia menghendaki air hangat atau air dingin?”
“Dingin
saja,” jawab Syanti Dewi dan pelayan itu lalu membungkuk.
“Sudah siap
di kamar mandi, Siocia.”
“Ke manakah
perginya... Tocu?”
“Tocu sudah
menanti di geladak kapal, sedang menonton tari-tarian yang menyambut kedatangan
beliau.”
Ah, jadi
suara musik dan nyanyian itu adalah tari-tarian yang khusus diadakan untuk
menyambut kedatangan Ouw Yan Hui? Bukan main! Syanti Dewi tergesa-gesa pergi ke
kamar mandi, diikuti oleh pelayan yang menanti di luar kamar mandi dengan
pakaian baru yang sudah dipersiapkan.
Setelah
selesai mandi dan melihat betapa pakaian yang diperuntukkan bagi dia amat
bagusnya, dia berseru, “Ahh, untuk apa pakaian begini indah dan mewah?”
“Atas
perintah Tocu, Siocia. Untuk menghadiri penyambutan ini!” jawab pelayan dengan
tegas dan singkat, agaknya memang sudah dipersiapkan jawaban ini.
Syanti Dewi
cepat-cepat mengenakan pakaian indah itu, dibantu oleh pelayan. Setelah
selesai, seorang pelayan lain datang menghadap dan memberi hormat. “Tocu minta
kepada Siocia untuk makan pagi di geladak sambil menikmati pesta sambutan.”
Hampir
Syanti Dewi tertawa. Bukan main penolongnya ini! Agaknya mempunyai kehidupan
yang amat mulia dan mewah dan menyenangkan, tiada ubahnya seorang puteri atau
seorang ratu saja! Dia pun lalu berjalan keluar dari kamar, didahului oleh
pelayan tadi dan ketika dia tiba di geladak kapal itu, Syanti Dewi kembali
merasa kagum bukan main.
Kiranya
kapal itu telah berlabuh di pantai sebuah pulau yang subur sekali, penuh dengan
pohon-pohon dan bunga-bunga yang agaknya teratur rapi, seperti sebuah taman
yang amat besar, luas dan indah. Sejauh mata memandang, tidak nampak rumah
melainkan pohon-pohon dan bunga-bunga belaka! Seperti pulau sorga dalam dongeng
saja!
Dan di
pantai nampak belasan orang wanita cantik sedang menari-nari amat indahnya,
lemah gemulai, dengan melambaikan selendang-selendang yang beraneka warna,
dengan gerakan berirama sehingga selendang-selendang yang beraneka warna itu
seperti bunga-bunga yang berkembang dan mekar. Mereka menari sambil menyanyi,
diiringi musik yang dimainkan oleh wanita-wanita pula. Tidak ada seorang pun
pria di situ, semua wanita belaka, dari yang berpakaian pelayan, berpakaian
penjaga atau prajurit, sampai para penari dan pemain musik, semua perempuan dan
jumlah mereka amat banyak, tak terhitung oleh Syanti Dewi yang berdiri bengong.
“Ah, engkau
sudah bangun, Syanti? Mari, duduklah di sini. Enak makan di sini, mandi cahaya
matahari pagi sebelum panas sambil menikmati tarian dan nyanyian!”
Syanti Dewi
menengok dan dia melihat Ouw Yan Hui duduk menghadapi meja yang penuh dengan
hidangan yang sudah lengkap dan masih mengepul panas. Beberapa orang pelayan
berdiri di dekat situ dengan sikap hormat dan seorang di antara mereka menarik
bangku yang memang sudah dipersiapkan untuk Syanti Dewi.
“Terima
kasih, Enci” kata Syanti Dewi yang lalu duduk dan pelayan sibuk mengambilkan
hidangan dan minuman untuk puteri itu.
Mereka
berdua lalu makan pagi sambil menikmati tontonan yang sengaja diadakan untuk menyambut
pulangnya Ouw Yan Hui.
“Enci,
apakah setiap kali kau bepergian, pulangnya disambut seperti ini?” Syanti Dewi
bertanya.
Wanita
cantik itu tersenyum. “Ah, engkau tidak tahu, Syanti. Dalam beberapa tahun ini
aku tidak pernah meninggalkan pulau ini. Karena itulah maka anak buahku merasa
girang melihat aku pulang, agaknya mereka itu khawatir karena sudah beberapa
pekan lamanya aku tidak pulang. Mereka itu menganggap aku sebagai ratu mereka,
Syanti.”
“Enci,
engkau memang pantas menjadi ratu! Pulau ini milikmu?”
Wanita itu
mengangguk. “Begitulah. Pulau ini kosong tiada orangnya, dan punghuninya
hanyalah ular-ular beracun, bahkan di sini terdapat ular beracun paling hebat
yang kulitnya seperti emas, dan dinamakan Kim-coa. Tidak ada nelayan berani
mendarat di sini, maka aku lalu tinggal di sini, membersihkan pulau ini yang
kuberi nama Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Ternyata tanah di pulau ini subur
sekali, maka setelah lewat belasan tahun, kau lihat pulau ini telah berubah
menjadi tempat yang menyenangkan sekali, dan aku hidup bersama lima puluh orang
anak buahku di tempat ini dengan bahagia.”
“Belasan
tahun? Engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun? Tentu engkau datang
ke tempat ini ketika masih amat kecil, Enci. Bagaimana dalam usia kanak-kanak
engkau dapat menaklukkan ular-ular beracun dan dapat berlayar sampai di tempat
terpencil ini? Dan... menurut ceritamu, kau pernah bersuami... ehh, apakah
kalian dulu juga tinggal di sini? Kalau begitu kurasa di sini tidak ada
tetangga... ataukah yang kau maksudkan wanita pengganggu itu seorang di antara
pelayan-pelayanmu ini?”
Ouw Yan Hui
tersenyum geli. “Ahhh, dugaanmu meleset jauh sekali, Syanti. Tentu saja dahulu
aku tidak tinggal di sini. Justeru karena peristiwa terkutuk itu, setelah
membunuh mereka, aku menjadi buronan dan aku melarikan diri dengan perahu,
sampai akhirnya tiba di sini!”
“Tapi...
tapi kau tadi bilang bahwa engkau telah tinggal di sini selama belasan
tahun...”
Ouw Yan Hui
mengangguk. “Sudah tujuh belas tahun.”
Syanti Dewi
terbelalak. “Mana mungkin? Tentu ketika itu engkau baru berusia paling banyak
delapan tahun, Enci...”
“Ketika
pertama kali aku mendarat di, pulau ini, usiaku sudah sebaya denganmu, Syanti,
sekitar dua puluh dua tahun.”
“Ahhh...!
Tapi... tapi...“ Syanti Dewi benar-benar terkejut dan heran, menatap wajah
wanita itu penuh selidik, wajah yang membayangkan usia yang tidak akan lebih
dari dua puluh lima tahun.
“Kau kira
berapakah usiaku, Syanti? Sudah empat puluh tahun.”
”Tidak
mungkin!” Puteri Bhutan itu berseru.
Bu-eng-kwi
Ouw Yan Hui tersenyum lebar, malah hampir tertawa. “Baru melihat aku saja
engkau sudah terheran-heran, apa lagi kalau engkau bertemu dengan Bibi Maya.”
“Siapakah
Bibi Maya?”
“Dia adalah
guruku, guru dalam ilmu awet muda. Kelak engkau akan dapat bertemu dengan dia
kalau kebetulan dia berkunjung ke sini. Sekarang, marilah kita mendarat.
Kasihan para pelayan di istanaku yang sudah lama menanti-nanti.”
Keheranan
demi keheranan, kekaguman demi kekaguman memenuhi hati Syanti Dewi semenjak dia
dilarikan oleh Ouw Yan Hui dari dalam benteng di mana dia menjadi tawanan
sampai dia mendarat di Kim-coa-to.
Pulau itu
tidak berapa besar, akan tetapi tentu saja sudah cukup besar untuk ditinggali
oleh Ouw Yan Hui bersama lima puluh orang anak buahnya itu. Merupakan sebuah
perkampungan berikut ladang yang ditanami tumbuh-tumbuhan obat, sayur dan pohon
pohon buah. Terdapat belasan pondok-pondok yang menjadi tempat tinggal para
anak buah majikan Pulau Ular Emas itu. Di tengah-tengah pulau, dari pantai
tidak nampak karena tertutup oleh pohon-pohon besar, berdiri sebuah bangunan
yang tidak terlalu besar, akan tetapi amat megah dan mewah. Pantas saja kalau
Ouw Yan Hui menyebut rumahnya itu istana karena memang indah seperti istana
raja saja! Dan di belakang istana itu terdapat sebuah taman yang indah sekali,
merupakan inti dari pulau yang sudah merupakan taman besar itu.
Benar saja
seperti yang telah diduganya ketika dia makan pagi bersama Ouw Yan Hui di atas
geladak kapal dan tidak melihat adanya seorang pun pria, ternyata di atas pulau
itu memang sama sekali tidak ada prianya. Semua adalah wanita-wanita, dan tidak
ada wanita yang sudah tua, paling tua berusia tiga puluh tahun dan rata-rata
memiliki wajah bersih dan tubuh yang ramping dan padat? Seperti dunia wanita saja!
Akan tetapi, setelah segala pengalamannya yang mengerikan terjatuh ke tangan
orang-orang jahat, kini berada di antara wanita-wanita itu saja Syanti Dewi
merasa aman.
Hanya satu
hal yang membuat Syanti Dewi tidak pernah berhenti terheran-heran, yaitu melihat
kecantikan wajah Ouw Yan Hui dan kepadatan tubuh wanita itu. Usia sudah empat
puluh tahun. Sungguh sukar untuk dapat dipercaya. Di negerinya, di Bhutan,
memang terdapat ilmu untuk membuat wanita awet muda, akan tetapi tidak seperti
ini, sudah berusia empat puluh tahun namun wajahnya tidak lebih tua dari dua
puluh lima tahun dan tubuhnya malah seperti seorang dara remaja saja! Padahal
wanita berusia empat puluh tahun ini sudah pernah bersuami, bahkan pernah pula
mengandung dan melahirkan!
Setelah tinggal
di Pulau Kim-coa-to, mulailah Ouw Yan Hui melatih ginkang kepada Syanti Dewi.
Mula-mula Syanti Dewi disuruh mengejar-ngejar kupu-kupu dalam taman! Seperti
permainan kanak-kanak saja. Mula-mula hanya disuruh mengejar seekor kupu kupu
terbang dan menangkapnya, akan tetapi dari seekor kupu-kupu dia lalu disuruh
menangkap dua ekor kupu-kupu sekaligus, lalu tiga ekor dan seterusnya. Dia
dilatih untuk bersemedhi, mengatur pernapasan, dan bagaimana cara dia harus
mengerahkan sinkang di waktu berloncatan mengejar kupu-kupu.
Jangan
dikira mudah mengejar kupu-kupu, terutama kupu-kupu yang bersayap kuning, yang
amat lincah dan pandai mengelak. Pertama kali mengejarnya, seekor kupu-kupu
saja baru dapat ditangkapnya setelah Syanti Dewi bermandi keringat dan mengejar
ngejarnya sampai berjam-jam lamanya. Akan tetapi, setelah memperoleh kemajuan
dan mulai memiliki gerakan yang lincah dan gesit sekali, Syanti Dewi dapat
menangkapnya dengan sekali lompat, dan setelah lewat dua bulan, dia dapat
menangkap lima ekor kupu-kupu hanya dengan beberapa kali loncatan saja!
Setelah itu,
Ouw Yan Hui lalu mengajarnya untuk menangkap burung terbang!
“Aihh, Enci
Hui, mana mungkin aku dapat menangkap burung terbang? Aku tidak punya sayap
seperti burung!” Syanti Dewi berkata penuh keraguan.
“Kau
lihatlah aku!” kata wanita itu sambil memandang ke atas, ke arah pohon-pohon di
mana terdapat beberapa ekor burung berwarna coklat dengan dada putih. “Aku akan
menangkap burung-burung itu!”
Tiba-tiba
tubuhnya lenyap, berkelebat ke atas, dan dengan mata terbelalak Syanti Dewi
melihat bayangan wanita itu berkelebatan di antara cabang-cabang pohon lalu
disusul suara burung-burung mencicit ketakutan. Sesosok bayangan berkelebat
turun dan tahu tahu wanita luar biasa itu telah melompat turun, di masing-masing
tangannya terdapat dua ekor burung yang tadi beterbangan di antara daun-daun
pohon itu!
“Hebat,
Enci! Kau hebat bukan main!” Syanti Dewi berseru.
“Kalau kau
tekun berlatih, engkau pun akan dapat menangkap burung-burung seperti itu. Mari
kita latihan di lian-bu-thia dengan burung-burung ini!”
Syanti Dewi
diajak ke ruangan latihan silat yang tertutup rapat dan di situ Ouw Yan Hui
melepaskan empat ekor burung kecil tadi. Burung itu beterbangan di dalam
ruangan itu, akan tetapi tidak dapat keluar karena jendela dan pintunya sudah
ditutup rapat. Atas petunjuk Ouw Yan Hui, mulailah Syanti Dewi mengejar-ngejar
empat ekor burung itu. Dia menggunakan kegesitannya dan kelincahannya yang
diperoleh selama berlatih menangkap kupu-kupu, tetapi sampai sehari itu, belum
juga dia berhasil menangkap seekor pun di antara burung-burung itu! Ternyata
jauh sekali bedanya antara gerakan kupu-kupu dengan gerakan burung yang jauh
lebih gesit dan cepat itu!
Kembali
Syanti Dewi harus dengan tekun melatih semedhi dan pernapasan, dan tiada
bosan-bosannya dia berlatih mengejar dan menangkap burung-burung. Ouw Yan Hui
selalu menggantikan burung-burung itu dengan burung-burung baru yang segar dan
lebih gesit, akan tetapi dengan ketekunannya yang luar biasa, bahkan
kadang-kadang di waktu malam Syanti Dewi berlatih seorang diri di dalam
lian-bu-thia, akhirnya Puteri Bhutan itu berhasil juga menangkap burung
terbang, mula-mula hanya seekor, akan tetapi beberapa bulan kemudian dia dapat
menangkap empat lima ekor burung yang dilepas oleh Ouw Yan Hui di dalam ruangan
silat itu!
“Bagus,
engkau memang berbakat dan untungnya engkau pernah mempelajari dasar dasar ilmu
silat tinggi dari pendekar pendekar sakti, sehingga engkau dapat dengan mudah
menguasai dasar-dasar ginkang. Setelah engkau menguasai kecepatan gerak, kita
boleh mulai berlatih di luar untuk memperoleh keringanan tubuh sehingga engkau
dapat mulai belajar Ilmu Jouw-sang-hui-teng yang akan membuat engkau dapat
berlari seperti terbang cepatnya dan belajar meloncat tinggi seperti melayang.
Akan tetapi ilmu ini tidak mudah, Syanti, engkau harus belajar dengan tekun
sekali.”
Mulailah
Syanti Dewi berlatih di bawah petunjuk Ouw Yan Hui. Latihan ini dilakukan di
tempat-tempat sunyi, tidak boleh dilihat oleh para anak buah. Dan kadang-kadang
Ouw Yan Hui mengajak Syanti Dewi untuk naik perahu kecil berdua saja di tengah
lautan, kemudian mengajak Puteri Bhutan itu untuk mandi di laut, bertelanjang
bulat karena memang di tengah laut itu sunyi sekali. Seperti dua orang peri
laut kedua orang wanita cantik jelita itu berkecimpung di antara ombak-ombak
dan di sini Ouw Yan Hui mengajarkan ginkang yang amat tinggi tingkatnya kepada
Syanti Dewi!
Tanpa
disadarinya sendiri, Syanti Dewi telah mempelajari ilmu yang amat hebat, ilmu
yang mengubah dirinya sama sekali, dari seorang puteri yang biar pun mengenal
ilmu silat namun tergolong lemah di antara tokoh-tokoh kang-ouw, menjadi
seorang wanita yang memiliki gerakan seperti kilat, memiliki ginkang yang sukar
dicari tandingannya. Akan tetapi bukan hanya perubahan ini saja yang terjadi
pada dirinya, akan tetapi tanpa disadarinya pula, karena setiap hari bergaul
dengan Ouw Yan Hui dan selalu meniru contoh-contoh yang diberikan wanita itu
dalam berlatih ilmu, maka secara otomatis watak aneh dari Ouw Yan Hui juga
menular kepada Syanti Dewi!
Puteri
Bhutan itu kini makin cantik, atau makin pesolek, makin angkuh dan tinggi hati,
juga keramahan pada wajahnya lenyap, berubah menjadi dingin! Akan tetapi karena
dinginnya ini bukan terpengaruh batinnya, melainkan pengaruh dari luar, maka
gadis yang sudah dewasa ini, yang sangat rindu akan belaian kasih sayang pria
pujaannya, sebetulnya menyimpan gairah yang berapi-api, sehingga karena
dibungkus oleh sifat dingin yang ditularkan Ouw Yan Hui maka Syanti Dewi kini
seperti gunung berapi yang tertutup salju…..
***************
Di sebelah
timur daratan Tiongkok terdapat banyak sekali pulau-pulau besar dan kecil.
Terutama agak ke utara, terdapat pulau-pulau kecil yang tak terhitung
banyaknya, pulau-pulau yang masih terasing dan masih banyak yang kosong. Di
ujung utara, di tempat terpencil dan jauh sekali dari kehidupan ramai, terdapat
sebuah pulau di antara pulaa-pulau lain, yaitu pulau yang terkenal di dalam
dongeng para tokoh kang-ouw, yang dinamakan Pulau Es!
Jarang ada
tokoh kang-ouw yang pernah melihat pulau ini, karena selain sukar sekali
didatangi, juga kebanyakan orang kang-ouw takut untuk mendekati pulau ini, takut
kepada penghuninya yang lebih terkenal dari pada pulau itu sendiri. Penghuni
Pulau Es atau majikan dari Pulau Es terkenal dengan julukan Pendekar Siluman
atau Pendekar Super Sakti. Baru menyebut namanya saja, semua orang dari
golongan hitam atau kaum sesat sudah menggigil ketakutan.
Para pembaca
cerita Pendekar Super Sakti dan cerita-cerita lanjutannya tentu sudah mengenal
siapa adanya Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman ini. Namanya adalah
Suma Han, dan kini Suma Han atau Pendekar Super Sakti telah berusia lanjut,
sudah lebih dari enam puluh tahun. Pendekar sakti ini tinggal dengan tenang dan
tenteramnya di Pulau Es, bersama dua orang isterinya yang tercinta, yaitu
Puteri Nirahai dan Lulu, dua orang wanita yang amat mencinta suami mereka, amat
setia dan juga merasa amat bahagia hidup bertiga di atas pulau itu bersama
suami dan madu mereka.
Akan tetapi,
sungguh merupakan kenyataan bahwa ketenteraman, ketenangan atau kedamaian hidup
sama sekali bukan tergantung dari pada tempat atau keadaan di luar diri kita,
melainkan sepenuhnya tergantung dari keadaan batin kita sendiri! Betapa pun
sunyi tempat di mana kita tinggal, namun kalau batin kita tidak hening, kalau
batin kita sibuk dan bising, maka kesunyian tempat itu tidak ada artinya!
Oleh karena
itu, bukan hanya teori belaka kalau dikatakan bahwa seorang yang bertapa di
puncak gunung yang sunyi akan menderita karena kebisingan batinnya, sebaliknya
orang yang berada di tengah kebisingan akan dapat menikmati keheningan
batinnya. Sungguh pun tak dapat disangkal bahwa keadaan di luar itu ada
pengaruhnya juga terhadap batin, akan tetapi segala sesuatu berpusat pada batin
kita sendiri. Masalah timbul dari dalam batin, timbul dari penanggapan pikiran
terhadap peristiwa yang terjadi.
Segala macam
hal yang terjadi dalam hidup ini merupakan suatu fakta, dan apakah kejadian itu
menjadi masalah ataukah tidak, sepenuhnya tergantung dari pikiran yang
menanggapinya. Kalau pikiran menanggapi, tentu saja timbul masalah karena
pikiran selalu memperhitungkan rugi untung, dan setelah masalah timbul, tentu
saja terdapat penderitaan dan kekhawatiran.
Demikian
pula halnya dengan Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Bukan hanya
Pendekar Super Sakti saja yang merupakan seorang manusia sakti, dengan ilmunya
yang tinggi sukar dicari bandingnya, bahkan kedua orang isterinya juga
merupakan wanita-wanita yang amat lihai. Kedua orang wanita itu, baik Puteri
Nirahai mau pun Lulu, pernah menggegerkan dunia persilatan pada puluhan tahun
yang lalu. Akan tetapi, kesaktian mereka dan kehidupan mereka di Pulau Es yang
amat sunyi itu, tetap saja bukan merupakan jaminan akan kedamaian hidup mereka
di waktu usia mereka sudah mulai tua itu.
Selama
beberapa bulan ini terasa sekali oleh Pendekar Super Sakti betapa hatinya
tertindih oleh kegelisahan dan kemarahan. Dia marah kepada dua orang puteranya,
yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Terutama sekali kepada Suma Kian Bu,
putera dari Nirahai, yang sudah meninggalkan Pulau Es selama enam tahun dan
belum pernah pulang!
Puteranya
yang lain, yaitu Suma Kian Lee, putera Lulu, enam tahun yang lalu juga pergi
meninggalkan Pulau Es bersama adiknya itu, tetapi Kian Lee sudah pulang, bahkan
memperdalam ilmunya di Pulau Es selama beberapa tahun. Sekarang, Kian Lee telah
diutusnya untuk pergi mencari adiknya, dan sudah hampir setahun lamanya Kian
Lee belum pulang sehingga tidak ada berita tentang kedua orang puteranya itu.
Tentu saja hal ini membuat hati pendekar sakti itu menjadi gelisah dan marah.
Apa lagi
kegelisahannya itu bertambah dengan adanya sikap dari dua orang isterinya.
Mereka berdua itu selalu kelihatan berwajah muram, kadang-kadang marah-marah
dan berduka karena mereka merasa rindu dan khawatir sekali. Terutama Puteri
Nirahai yang telah enam tahun tak melihat puteranya. Sebagai wanita-wanita
gagah, mereka pantang untuk memperlihatkan kedukaan mereka, tetapi mereka
menjadi marah-marah karena melihat suami mereka seperti tidak mempedulikan
kepergian dua orang anak mereka itu. Mereka memperlihatkan rasa tidak suka hati
mereka kepada suami mereka dengan wajah muram.
Ketika pada
suatu malam, kedua isterinya yang melayani makan itu hanya duduk diam saja
menghadapi dia makan, dan tidak ikut makan, Pendekar Super Sakti menghela napas
panjang dan mendorong mangkok nasinya ke samping.
“Nah,
katakanlah, apa yang kalian kehendaki? Tidak baik menyimpan dendam di dalam
hati,” katanya dengan halus dan penuh kasih sayang karena memang sesungguhnya
pendekar ini masih menaruh hati cinta yang mendalam terhadap kedua orang
isterinya itu.
Setelah
melihat sikap halus dari suami mereka itu, dua orang isteri yang juga amat
kagum dan mencinta suami mereka, berbalik merasa kasihan.
“Kami besok
hendak pergi meninggalkan pulau,” tiba-tiba Lulu, yang kini telah menjadi
seorang nenek berusia hampir enam puluh tahun itu, namun masih memiliki raut
wajah yang cantik, berkata penuh semangat. Memang wanita ini tidak pernah
kehilangan semangatnya sejak dahulu sampai sekarang.
“Kami harus
pergi menyusul dan mencari anak-anak kita,” Puteri Nirahai menerangkan dengan
tenang. “Kau harus ingat, suamiku, mereka berdua itu telah cukup umur, telah
berusia dua puluh satu dan dua puluh tahun. Kami ingin melihat mereka itu
menjadi suami dari isteri yang baik. Sudah tiba waktunya bagi kita untuk
mempunyai menantu.”
“Hemmm...,
bagaimana mungkin wanita-wanita yang sudah mulai lanjut usianya seperti kalian
berdua ini hendak melakukan perjalanan yang demikian jauh dan berbahaya?”
Pendekar Super Sakti berkata halus, penuh kekhawatiran.
“Habis,
kalau engkau yang menjadi ayahnya diam saja, terpaksa kami yang menjadi ibu
mereka turun tangan. Mendiamkannya saja mereka pergi tanpa berita lebih lama
lagi, kami bisa mati karena gelisah!” Lulu berkata.
Suma Han
menghela napas panjang, lalu meraih kembali mangkok nasinya. “Baiklah, nanti
kita bicarakan hal itu, untuk itu kalian tidak perlu mogok makan, membahayakan
kesehatan sendiri.”
Dua orang
isterinya itu saling pandang, timbul harapan mereka bahwa sekali ini suami
mereka akan menaruh perhatian, maka mereka pun lalu mengisi mangkok dengan nasi
dan makan bersama suaminya. Mereka makan tanpa berkata-kata, seperti biasa kalau
mereka makan, dengan mencurahkan seluruh perhatian mereka kepada apa yang
mereka lakukan saat itu.
Setelah
selesai makan dan ketika dua orang isterinya menyingkirkan mangkok piring,
Pendekar Super Sakti duduk termenung. Sudah lama dia tinggal bertiga saja
bersama dua orang isterinya sejak dua orang puteranya pergi, enam tahun yang
lalu. Semua anak buah atau pelayan dan pembantu di Pulau Es, telah dia suruh
pulang ke tempat asal masing-masing meninggalkan Pulau Es, sehingga dia tinggal
bertiga saja dengan dua orang isterinya. Dia telah membagi-bagikan sebagian
harta kepada para anak buah itu yang dengan hati berat meninggalkan Pulau Es,
karena mereka maklum bahwa pendekar sakti itu dalam usia tuanya ingin hidup
mengasingkan diri di tempat sunyi itu, tidak ingin mencampuri urusan dunia
ramai lagi, maka tidak membutuhkan bantuan para anak buah itu lagi. Akan tetapi
kini, timbul urusan kedua orang puteranya sehingga mau tidak mau dia harus pula
memikirkan.
Beberapa
kali pendekar itu menarik napas panjang. Betapa hidup ini selalu menjadi
permainan keinginan. Sejak kecil sampai sudah setua dia masih juga belum dapat
bebas dari keinginan-keinginan. Kalau pun sekarang, dalam usia tua dia sudah
tidak menginginkan apa-apa untuk dirinya sendiri yang sudah tua, keinginan itu
bukannya mati, melainkan meluas menjadi keinginan untuk melihat anak-anaknya
berbahagia!
Dan untuk
memperjuangkan kebahagiaan anak-anaknya, maka dia mau pun kedua orang isterinya
mau melakukan apa saja! Hidup penuh dengan ikatan, sehingga tidak mungkin dapat
bebas selama dirinya masih terikat, terikat kepada keluarga, kepada harta
benda, kepada kedudukan, kepada nama! Ah, dia tidak boleh membiarkan kedua
orang isterinya itu pergi ke daratan besar. Kalau mereka pergi, tentu mereka
akan menimbulkan onar, terutama sekali Lulu, tentu akan terjadi geger di dunia
kang-ouw, dan belum tentu mereka berdua akan kembali ke Pulau Es! Tidak, dia
tidak boleh membiarkan mereka pergi, dia yang harus pergi sendiri!
Betapa
kebanyakan dari kita masih belum melihat betapa cinta kasih kita terhadap
anak-anak kita adalah palsu belaka! Betapa sesungguhnya kita, secara halus dan
tentu saja tidak akan ada yang mau mengakuinya, hanya ingin mempergunakan
anak-anak kita sebagai jembatan atau perabot untuk memperoleh kesenangan bagi
diri kita sendiri, yaitu melihat anak-anak kita taat, berbakti kepada kita,
lalu kelak menjadi seorang yang terpandang di masyarakat, pendeknya menjadi
seorang anak kita yang mengangkat tinggi nama kita! Menjadi seorang anak yang
dapat kita banggakan, dapat kita sandari, dan dapat kita andalkan!
Mulut kita
mengatakan bahwa kita ingin membahagiakan anak, akan tetapi mata kita tidak ada
yang melihat dengan waspada betapa kita telah membentuk anak-anak kita menjadi
boneka sesuai dengan selera kita, membentuk kebahagiaan-kebahagiaan mereka yang
sesuai dengan perumusan kita tentang kebahagiaan. Karena itu, karena kebodohan
kita, karena ketamakan kita, maka kita sama sekali bukan membahagiakan mereka,
melainkan sebaliknya kita melempar anak-anak kita ke dalam kehidupan yang penuh
dengan konflik dan kesengsaraan tiada hentinya. Karena perumusan kita tentang
bahagia adalah kaya raya, mulia, terhormat, terpandang, padahal semua ini tiada
lain hanya mendatangkan iri hati dan konflik antara sesama manusia, dan konflik
ini tak dapat tiada mendatangkan penderitaan batin. Kita hendak mengikat
anak-anak kita dengan apa yang kita namakan cinta, padahal sesungguhnya
hanyalah pamrih untuk memuaskan hati sendiri belaka.
Kalau kita
benar mencinta anak-anak kita, kiranya kita tidak akan membiarkan anak anak
kita bersaingan, bermusuhan, berebutan, dan terutama sekali takkan membiarkan
anak-anak kita berperang! Saling bersaing dalam sekolah, lalu saling berebutan
dalam mencari nafkah, juga saling bermusuhan dalam mencari kedudukan dan
kemuliaan, kemudian saling membunuh dalam perang. Kita mengajarkan semua itu
dan toh kita mengaku cinta kepada anak-anak kita!
Kita lupa
bahwa kalau kita mencinta anak-anak kita, selayaknya kalau kita memberi
kebebasan kepada mereka, dengan pengamatan yang penuh perhatian, menunjukkan
bahaya-bahaya agar mereka mengerti, menunjukkan kesesatan-kesesatan agar mereka
tidak sampai memasukinya, dan menuntun mereka, bukan memaksa mereka melalui
jalan tertentu, dengan penuh kasih sayang, bukan dengan cinta yang berpamrih
memuaskan diri sendiri melalui anak-anak!
Semalam
suntuk Pendekar Super Sakti bersama dua orang isterinya bercakap-cakap tentang
kedua orang anak mereka.
“Kian Lee
dan Kian Bu bukan kanak-kanak lagi, mereka sudah dewasa,” kata Pendekar Super
Sakti antara lain kepada dua orang isterinya. “Dan mereka pun telah memiliki
kepandaian cukup sehingga mereka tentu mampu menjaga diri sendiri. Tentang
jodoh, kalian tentu mengerti bahwa mereka berhak untuk memilih calon jodoh
mereka masing masing sendiri, dan tidak baik kalau kita yang mencarikan jodoh
untuk mereka.”
“Akan
tetapi, lupakah kau bahwa Kian Bu sudah meninggalkan pulau ini selama enam
tahun? Kalau tidak ada apa-apa dengan dia, tidak mungkin dia seolah-olah lupa
kepada orang tuanya! Dan menurut penuturan Kian Lee ketika pulang, agaknya Kian
Bu juga menderita kekecewaan dalam percintaannya. Ahh, aku khawatir kalau-kalau
terjadi apa apa dengan dia.”
“Aku pun
tidak akan memaksa dia berjodoh dengan orang yang tidak dicintanya,” Lulu juga
membantah. “Akan tetapi, dia dan Kian Bu harus pulang dulu ke sini, baru kita
bicara tentang perjodohan mereka. Kian Lee berjanji akan mencari dan mengajak
pulang Kian Bu, akan tetapi mengapa sampai sekarang tidak ada kabar beritanya?
Dan menurut penuturannya, di dunia ramai banyak bermuncullan tokoh-tokoh kaum
sesat. Biar pun kedua orang anak kita itu sudah memiliki kepandaian tinggi,
akan tetapi mereka itu belum banyak pengalaman, tentu berbahaya kalau berhadapan
dengan datuk-datuk sesat.”
“Baiklah,
kalian jangan khawatir. Aku sendiri memang sudah mengambil keputusan untuk
pergi menyusul mereka. Karena kita sekarang sudah tidak mempunyai pembantu
lagi, maka aku akan pergi sendiri sambil melihat-lihat keadaan di dunia ramai.
Aku akan membawa Tiauw-ko (Rajawali) yang sudah tua itu. Mudah-mudahan saja dia
masih kuat menyeberangkan aku ke daratan besar.”
Demikianlah,
pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pendekar Super Sakti telah memanggil
burung rajawali yang sudah tua pula. Burung ini hanya satu-satunya burung
rajawali yang masih berada di pulau itu, dan ketika burung tua itu meluncur
turun dan hinggap di depan pendekar itu bersama kedua orang isterinya, Suma Han
memandang kepada burung itu dengan terharu.
“Tiauw-ko,
maafkan aku. Sudah setua ini kau masih harus membantuku menyeberang lautan.
Membikin lelah engkau saja, Tiuaw-ko!” berkata pendekar ini sambil
menepuk-nepuk punggung burung itu yang mengeluarkan suara menguik-nguik seperti
seekor anjing setia.
“Hati-hati
dalam perjalanan!” kata Nirahai.
“Dan jangan
lama-lama, cepat ajak pulang Kian Lee dan Kian Bu,” kata pula Lulu.
Suma Han
tersenyum, memandang kepada dua orang isterinya dengan penuh kasih sayang,
diam-diam merasa kasihan meninggalkan dua orang isterinya itu berdua saja di
atas pulau yang sunyi itu. Dia membiarkan dua orang isterinya memegang kedua
tangannya, kemudian setelah meremas tangan mereka dengan jari-jari tangan yang
masih menggetarkan kasih yang mendalam, Suma Han lalu melepaskan pegangan
tangannya dan sekali dia menggerakkan kaki tunggalnya, tubuhnya sudah mencelat
ke atas punggung burung rajawali.
“Selamat
tinggal, aku pergi takkan lama!” katanya. “Tiauw-ko, mari kita berangkat.”
Burung itu
lalu menggerakkan sepasang sayapnya dan terbanglah dia ke atas. Suma Han
membalas lambaian tangan kedua orang isterinya itu dengan gerakan tongkatnya,
dan sebentar saja dia sudah tidak lagi dapat melihat isterinya, hanya melihat
pulau itu yang nampak kecil dari atas, keputih-putihan. Dari bawah, Lulu dan
Nirahai hanya melihat titik hitam dari rajawali itu untuk kemudian lenyap
ditelan awan.
Setelah
dibawa terbang di antara awan-awan di udara, Pendekar Super Sakti kembali
merasakan kegembiraan yang luar biasa dan bangkitlah semangatnya seperti pada
puluhan tahun yang lalu! Teringatlah dia akan semua pengalamannya yang lalu dan
terbayanglah di depan matanya wajah-wajah para tokoh dunia persilatan. Apakah
mereka itu masih hidup? Dan apakah mereka itu pun seperti dia, mengasingkan
diri dari dunia ramai?
Ah, kalau
para tokoh kaum sesat bermunculan, tentu kepergiannya sekali ini tidaklah
begitu mudah untuk menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan. Dia sudah tidak
bergairah untuk mempergunakan kepandaian melawan seorang dalam perkelahian, dia
sudah bosan harus bertanding melawan orang lain. Akan tetapi, apakah dia
mungkin dapat membiarkan kejahatan merajalela dan membiarkan kesewenang-wenangan
terjadi di depan matanya? Biarlah, dia tidak akan bergerak kalau tidak
terpaksa. Biarkan pendekar-pendekar muda menggantikan tempatnya untuk menentang
kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan, pendekar-pendekar muda dan gagah
seperti dua orang puteranya itu.
Pendekar
Super Sakti tidak memaksa rajawalinya untuk terbang terus. Dia tahu bahwa
rajawalinya itu telah tua, setua dia dan sudah banyak berkurang tenaganya. Di
sendiri tidak tahu apakah tenaganya juga banyak berkurang karena selama ini dia
tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengukur tenaganya. Melihat rajawali
itu terengah engah, dia lalu menyuruh burung itu menukik turun sehingga
beberapa kali dia dan burungnya beristirahat di sebuah pulau kosong. Akhirnya,
sampai juga dia di pantai daratan besar. Setelah beristirahat lagi dan
melewatkan malam itu di pantai yang sunyi, pada keesokan harinya Pendekar Super
Sakti melanjutkan perjalanannya menunggang rajawali yang terbang tinggi menuju
ke selatan.
Pada suatu
hari, pada waktu burung itu terbang rendah di atas sebuah hutan di luar
pedusunan, Pendekar Super Sakti merasa tertarik sekali ketika melihat
serombongan orang berbondong-bondong memasuki hutan itu. Melihat pakaian
orang-orang itu, dia mengenal mereka sebagai penghuni dusun, petani-petani
miskin. Akan tetapi para petani itu kelihatan marah-marah, membawa benda-benda
tajam dan pisau, kapak, cangkul dan sebagainya, seperti sepasukan orang yang
tak teratur sedang melakukan penyerbuan. Dia menepuk punggung rajawali yang menukik
ke bawah, kemudian dia meloncat jauh ke depan sehingga dia menghadang rombongan
penduduk dusun itu.
Ketika
orang-orang dusun yang jumlahnya belasan orang itu melihat seorang kakek
berkaki buntung memegang tongkat berdiri tegak dengan sikap tenang, mereka
tertegun dan berhenti, akan tetapi mereka semua bersikap siap dengan senjata
dipegang yang erat-erat.
“Sahabat-sahabat
sekalian hendak ke manakah? Apa yang terjadi maka kalian kelihatan begitu
marah?” tanya Suma Han dengan suara halus dan agak gemetar karena terharu.
Baru
sekarang semenjak bertahun-tahun lamanya dia bertemu dengan manusia lain
kecuali dua orang isterinya, dan melihat betapa begitu bertemu dia sudah
melihat manusia yang agaknya hendak bertempur, maka dia merasa kasihan dan
terharu sekali. Betapa kehidupan manusia penuh dengan kekerasan, penuh
permusuhan.
“Siapakah
engkau? Apakah engkau sahabat dari nenek siluman itu?” tanya seorang di antara
mereka, seorang laki-laki yang memegang tombak dan agaknya memimpin rombongan
orang itu.
“Nenek
siluman yang mana? Aku tidak melihatnya dan tidak mengenalnya,” kata Suma Han
dengan heran.
“Kalau
begitu, Paman, jangan ikut-ikut. Kami akan mengeroyok dan membunuh nenek
siluman bermuka tengkorak itu!” berkata pula si pemegang tombak. “Kami adalah
penduduk dusun di sana, dan aku adalah kepala dusunnya. Kami hendak membunuh
nenek siluman!”
“Nanti dulu,
sabarlah. Mana ada siluman di dunia ini, dan andai kata ada setan, masa dia
keluar di siang hari? Sesungguhnya, apakah yang telah terjadi?” tanya Suma Han
yang merasa bahwa tentu terjadi kesalah pahaman di sini sehingga dia khawatir
kalau orang-orang dusun ini akan kesalahan membunuh orang.
Melihat
keadaan Pendekar Super Sakti yang sangat aneh itu, kepala dusun dan orang
orangnya agaknya jeri juga. Kakek berkaki sebelah ini tidak mereka kenal,
rambutnya putih panjang dan halus, wajahnya begitu berwibawa dan dari mana
kakek ini datang?
Karena jeri,
kepala dusun kemudian bercerita, “Seorang anak dari dusun kami sedang
menggembala delapan ekor lembu di dalam hutan, lalu muncul nenek iblis itu yang
menggunakan tangannya memukul pecah kepala seekor lembu. Penggembala itu
marah-marah, akan tetapi apa yang dilakukan oleh nenek itu? Dia malah memukuli
semua lembu sampai delapan ekor lembu itu tewas semua! Anak itu lalu lari
ketakutan dan melapor kepada kami, maka kini kami hendak menyerbu ke dalam
hutan dan menangkap atau membunuh nenek siluman itu.”
Diam-diam
Pendekar Super Sakti terkejut. Seorang nenek dapat memukul pecah kepala lembu
begitu saja? Mukanya seperti tengkorak? Tentu bukan orang sembarangan, dan
kalau memang benar nenek itu demikian jahatnya, maka amatlah berbahaya bagi
orang-orang dusun ini untuk menyerbunya.
“Di manakah
nenek itu?” tanyanya.
“Di tengah
hutan ini!” kepala dusun menuding ke depan.
“Kalau
begitu, harap kalian jangan tergesa-gesa, biarkan aku menemuinya lebih dulu.
Kalau kalian tergesa-gesa, jangan-jangan kalian juga akan dibunuhnya seperti
lembu lembu itu!”
Ucapan Suma
Han ini membuat wajah mereka menjadi pucat, karena sebenarnya mereka memang
sudah merasa ngeri dan jeri mendengar penuturan anak penggembala itu akan wajah
si nenek yang amat mengerikan. Mereka tadi hanya berani karena semangat mereka
dibakar oleh kepala dusun yang merasa marah karena kehilangan lembu-lembunya.
Dialah pemilik lembu-lembu itu.
Kini melihat
kakek berkaki sebelah itu membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan bantuan
tongkatnya, mereka mengikuti dari belakang, akan tetapi agak jauh karena mereka
juga curiga kepada kakek aneh ini di samping rasa takutnya terhadap nenek itu.
Dan tak lama
kemudian, Suma Han melihat seorang wanita yang duduk di atas sebuah batu sambil
makan benda putih lunak yang masih berdarah. Tiba-tiba saja dia menjadi muak,
karena dia dapat menduga bahwa yang dimakan oleh nenek itu tentulah otak lembu
yang mentah! Otak yang mentah dan masih berdarah, diambil dari kepala seekor
lembu. Dan muka nenek itu sungguh mengerikan! Bukan muka, melainkan kedok,
kedok tengkorak asli! Dan nenek itu kelihatan tenang-tenang saja, padahal nenek
itu tentu tahu akan kedatangan banyak orang itu yang kini berhenti di tempat
agak jauh, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak penuh kengerian.
Dengan sikap
tenang, Suma Han melangkah dan menghampiri tempat itu dan dari jauh dia sudah
melihat bangkai delapan ekor lembu yang gemuk-gemuk dan yang malang melintang
di tempat itu, satu di antaranya telah hancur kepalanya sehingga tidak
kelihatan lagi, agaknya itulah yang diambil otaknya oleh nenek itu, sedangkan
tujuh ekor yang lain juga mati dengan kepala pecah, sungguh pun belum hancur
seperti yang seekor itu.
Masih baik
nenek ini tidak membunuh orang, pikir Suma Han. Tentu ada hal-hal yang menyebabkan
nenek ini marah-marah dan membunuh semua lembu itu, padahal andai kata dia
membutuhkan otak lembu, tentu hanya seekor saja yang dibunuh, tidak semua. Kini
Suma Han telah berdiri di depan nenek yang masih makan otak berdarah itu, hanya
dalam jarak lima meter.
Sudah tentu
nenek itu dapat melihatnya, tapi agaknya nenek itu tak mempedulikannya dan
sengaja pura-pura tidak melihat, masih enak-enak makan otak itu dengan mulut
tengkoraknya yang amat lebar, di balik mana terdapat mulutnya sendiri yang
kecil. Gigi gigi di depan tengkorak itu kelihatan berlepotan darah dan otak,
dan kembali Suma Han menjadi muak. Sudah terlalu lama dia tidak melihat
kebuasan dan kejahatan manusia, hidup dengan tenang dan tenteram di Pulau Es,
kini menyaksikan tingkah seorang aneh di dunia kang-ouw yang begini mengerikan
dia menjadi muak.
Suma Han
menanti sampai nenek itu menghabiskan sisa otak yang dimakannya. Dia berdiri
tanpa bergerak, bersandar kepada tongkatnya dan memandang dengan sinar lembut,
diam-diam dia merasa kasihan mengapa ada seorang wanita yang mau hidup seperti
itu, mukanya ditutup tengkorak asli, seolah-olah hendak bersembunyi dari dunia,
ataukah hendak memperingatkan dunia bahwa di balik wajah setiap orang manusia,
apa pun kedudukannya, tiada lain hanyalah sebuah tengkorak yang mengerikan
seperti itu?
Apakah nenek
ini hendak menyindirkan bahwa di akhir semua kehidupan yang beraneka ragam,
yang mendatangkan segala macam peristiwa itu, tiada lain hanyalah ada maut yang
menanti? Suma Han tidak dapat menafsirkan apa yang dimaksudkan oleh nenek itu
dengan mengenakan kedok tengkorak asli di depan mukanya. Dan tentang otak
mentah yang dimakannya, dia tahu bahwa memang di dalam otak berdarah itu
terkandung obat penguat bagi nenek tua ini.
Kini wanita
tua itu sudah selesai makan dan agaknya dia pun mulai memperhatikan Suma Han,
buktinya mata di balik tengkorak itu berkilauan dan bergerak dari atas ke
bawah, terutama sekali memperhatikan kaki yang buntung sebelah itu. Akan tetapi
karena nenek itu tidak bicara atau bergerak, Suma Han lalu bertanya dengan
suara halus, “Sobat, maafkan kalau aku mengganggumu. Akan tetapi mengapakah
engkau membunuh delapan ekor lembu yang tidak bersalah apa-apa ini?”
Terdengar
suara mendengus di balik kedok itu, dan mata di balik kedok itu berputar liar
seperti mata setan, kemudian terdengar suaranya nyaring melengking dengan mulut
tengkorak bergerak-gerak aneh, “Kubunuh mereka agar anak itu melapor ke dusun,
agar semua orang dusun datang ke sini!”
Suma Han
mengerutkan alisnya yang putih. Jawaban yang aneh!
“Kalau
mereka sudah datang ke sini?” dia mendesak dengan suara masih halus.
“Sialan!
Mereka tidak datang ke sini, yang datang malah engkau ini kakek buntung menyebalkan!
Kalau mereka datang, tentu dengan enak aku akan membunuh mereka semua, akan
tetapi yang datang hanya engkau kakek buntung, dibunuh pun tidak ada harganya!”
Diam-diam
Suma Han terkejut juga. Kiranya nenek ini adalah seorang yang amat jahat!
Demikian jahatnya sehingga bukan hanya membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi
tak membunuh si penggembala hanyalah dengan maksud untuk memancing datangnya
semua orang dusun untuk dibunuhnya!
“Sobat yang
baik, apakah kesalahan semua orang dusun itu maka engkau hendak membunuh
mereka?”
“Huh, semua
orang kalau bisa akan kubunuh! Peduli apa mereka bersalah atau tidak? Kau pun
seharusnya dibunuh, tetapi terlalu enak bagimu kalau kau dibunuh. Engkau sudah
tua bangka, kakimu buntung pula, dan wajahmu membayangkan penderitaan. Heh-heh,
engkau tentu menderita sekali dan sisa hidupmu yang tinggal tidak berapa lama
itu, biarlah kau lewatkan dalam siksaan dan penderitaan. Kalau dibunuh
sekarang, sungguh terlalu enak bagimu!”
Suma Han
tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan orang sejahat ini! Dia teringat
bahwa di dunianya kaum sesat terdapat Im-kan Ngo-ok, Si Lima Jahat dari Akhirat
yang kabarnya mempunyai watak yang luar biasa jahatnya.
“Hemmm,
sobat baik, apa gunanya engkau sengaja melakukan kejahatan seperti itu? Apakah
manfaatnya bagimu kalau kau membunuhi orang-orang yang tidak berdosa?”
“Gunanya?
Manfaatnya? Ha, tentu saja untuk mengisi kenyataan pada sebutan Ji-ok Kui-bin
Nionio, ha-ha-ha!”
Suma Han
mengangguk-angguk. Kiranya nenek ini adalah orang kedua dari Im-kan Ngo-ok.
Ahhh, pasti hebat juga kalau Im-kan Ngo-ok yang kabarnya sudah tidak pernah
meninggalkan dunia mereka sendiri itu kini turun ke dunia ramai!
“Hai, kau
ini siapakah?” Tiba-tiba nenek itu berseru, seolah-olah baru terkejut melihat
betapa kakek buntung itu sedikit pun tidak kelihatan jeri kepadanya.
“Aku? Aku
hanya seorang tua bangka buntung seperti katamu tadi, tidak ada apa apanya yang
patut diperhatikan!” jawab Suma Han yang tidak ingin memperkenalkan diri, juga
tidak ingin mencari perkara karena maksudnya pun bukan hendak memusuhi nenek
ini melainkan hendak melindungi agar orang-orang dusun itu tidak sampai celaka.
Kalau tadi dia tidak curiga dan para penghuni dusun itu sudah mendahuluinya
tiba di sini, tentu mereka itu sudah menggeletak mati seperti bangkai-bangkai
lembu itu!
“Kalau
buntung keduanya mungkin akan patut diperhatikan orang!” Tiba-tiba nenek itu
berkata dan telunjuk kanannya menuding ke depan, ke arah kaki kanan Suma Han
yang tidak buntung.
Suma Han
terkejut. Wanita ini benar-benar amat jahat sekali, begitu kejam dan ganas
melebihi semua tokoh hitam yang pernah ditemuinya di waktu dia masih
berkecimpung di dunia kang-ouw dahulu.
“Cusssss...!”
Hawa yang
dingin sekali menyambar ke arah kakinya dan tahulah pendekar ini bahwa wanita
berkedok tengkorak itu telah menguasai ilmu pukulan luar biasa yang digerakkan
dengan Im-kang, yang amat berbahaya karena hawa yang menyambar dari gerakan
telunjuk itu bukan main dahsyatnya, seperti tusukan pedang saja. Dan memang
Ji-ok telah mengeluarkan ilmunya yang hebat, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang) untuk
membikin buntung kaki yang tinggal satu itu!
Tentu saja
setelah dia sendiri diserang, Suma Han tidak dapat lagi menyembunyikan
kepandaiannya, karena dia harus membela diri. Tangan kirinya yang memegang
tongkatnya itu bergerak cepat dan dia telah menudingkan tongkatnya ke depan, ke
arah telunjuk Ji-ok yang menuding ke arah kakinya itu.
“Wirrrrrrr...!”
Ji-ok
mengeluarkan jerit tertahan ketika sambaran hawa dari telunjuknya itu kembali
dan membuat tangannya terasa tergetar hebat. Cepat dia menyimpan tenaganya,
kemudian mengerahkan telunjuknya lagi dan kini menunjuk ke arah dada kakek
buntung kakinya itu! Kembali Suma Han memapakinya dengan tongkat yang
ditudingkan dan untuk kedua kalinya Ji-ok tergetar hebat, bahkan kini sampai
mundur selangkah. Mata di balik kedok itu mengeluarkan sinar berapi. Baru dia
percaya bahwa kakek buntung itu benar benar telah mampu menangkis serangan
Kiam-ci sampai dua kali, bahkan yang kedua kalinya membuat dia terdorong ke
belakang!
“Siapakah
engkau?!” bentaknya.
Suma Han
kembali menarik napas panjang. “Seorang tua bangka yang sebelah kakinya
buntung,” jawabnya tenang.
“Kau...
rambutmu putih, kaki kirimu buntung, kau... kau Pendekar Super Sakti dari Pulau
Es...?” Ji-ok berseru kaget bukan main.
“Ha-ha-ha,
Ji-moi, apakah kau tidak mengenalnya? Lihat rajawali di atas itu! Siapa lagi
kalau bukan Pendekar Siluman yang datang bersama rajawalinya?”
Suma Han
kagum mendengar suara yang datang dibawa angin ini. Seorang yang amat lihai,
pikirnya, akan tetapi dia tidak menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara,
melainkan tetap memandang nenek berkedok itu karena dia tahu betapa bahayanya
orang-orang seperti nenek ini yang suka bertindak curang. Dia tetap tenang dan
waspada, tidak ingin mencari permusuhan, akan tetapi tentu saja dia pun harus
menjaga diri terhadap datuk-datuk jahat seperti Im-kan Ngo-ok.
Nama lima
orang manusia iblis itu sudah amat terkenal dan agaknya kalau ada yang satu,
tentu ada pula yang lain. Buktinya, suara tadi tentulah suara Twa-ok, yaitu Si
Jahat Pertama, dapat dikenal dari cara dia memanggil nenek itu dengan Ji-moi
(adik kedua). Siapa lagi yang menyebut nenek itu adik kedua kalau bukan Twa-ok,
orang pertama dari Im-kan Ngo-ok? Tegang juga rasa hati Suma Han. Orang kedua
saja sudah memiliki pukulan sakti yang dahsyat dari jari telunjuknya tadi, apa
lagi orang yang pertama!
Dugaannya
memang benar, dan ketika ada angin berkesiur, muncullah kakek yang seperti
gorilla atau monyet besar itu, dengan langkahnya yang kaku dan kedua lengannya
tergantung di bawah lutut! Suma Han memandang dengan penuh perhatian, akan
tetapi juga penuh kewaspadaan.
“Ji-moi,
sudah lama aku ingin sekali melihat rajawali dari Pulau Es. Biar kupanggil dia
ke sini!” kata kakek bermuka orang utan itu dengan sikapnya yang lemah lembut
dan suaranya yang halus.
Kemudian dia
mengangkat kedua tangannya ke atas, ke arah rajawali yang terbang berputaran di
atas pohon-pohon sambil mengeluarkan suara yang menggetar tinggi. Burung
rajawali itu seperti kaget dan tiba-tiba terbangnya menjadi kacau.
Melihat ini,
Suma Han merasa khawatir akan keselamatan burungnya yang sudah tua itu, maka
dia lalu mengeluarkan suara melengking halus, suara yang menjadi tanda bagi
rajawalinya untuk terbang tinggi menjauhi tempat itu, kemudian dengan suara
yang tenang dia berkata, “Sobat, apakah engkau hendak bermain-main dengan
rajawali? Nah, dia sudah datang menyambarmu!”
Twa-ok Su Lo
Ti adalah seorang Jahat Nomor Satu, biar pun dia bersikap lembut dan bersuara
halus, tapi di dalam hatinya selalu terkandung keinginan untuk mencelakakan
orang lain secara halus namun keji! Tadi begitu melihat Ji-ok berhadapan dengan
Majikan Pulau Es, dia tidak langsung menghadapi pendekar yang amat terkenal
itu, melainkan lebih dulu hendak meruntuhkan tunggangannya, yaitu burung
rajawali. Biar pun dia tidak langsung memusuhi Pendekar Siluman, melainkan
secara halus hendak mencelakai burungnya, namun jelas bahwa perbuatannya ini
selain amat kejam, juga menunjukkan bahwa dia lebih dulu ingin mengganggu dan
menyusahkan lawannya sebelum berhadapan secara langsung….
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment