Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 22
Ketika dia
mendengar pendekar itu mengeluarkan suara melengking halus, dia merasa betapa
jantungnya berdebar dan suaranya yang menggetar dan yang ditujukan ke arah
burung rajawali di atas itu membuyar. Dia terkejut dan cepat menengok,
memandang ke arah pendekar itu ketika mendengar pendekar itu bicara kepadanya.
Dan pada saat itu, sehabis ucapan pendekar dari Pulau Es itu, dia mendengar
suara sayap burung dan ketika dia memandang kembali ke depan, dia melihat
seekor rajawali sudah terbang meluncur hendak menyambarnya!
“Ha-ha-ha,
burung yang baik, hendak terbang ke manakah engkau?” katanya dan dia cepat
menggerakkan kedua tangannya, di goyang-goyang di depan mukanya dengan tubuh
agak membongkok.
Burung
rajawali yang sedang terbang itu tertahan terbangnya. Biar pun dia menggerak
gerakkan kedua sayapnya, mencakar-cakar dan memekik-mekik, akan tetapi burung
itu tetap saja tidak mampu terbang pergi, seolah-olah kakinya terikat oleh tali
yang tidak nampak!
“Ha-ha-ha,
burung yang baik, aku butuh beberapa lembar bulumu untuk kujadikan sapu. Hayo
lepaskan beberapa ekor bulumu, burung rajawali yang baik!” Kakek bermuka
gorilla itu menggerak-gerakkannya jari tangannya ke arah burung yang tidak
mampu terbang pergi dan benar saja, beberapa lembar bulu panjang dari ekor dan
sayapnya jatuh berguguran ke bawah.
Pada saat
itu, kepala dusun dan para penghuni dusun itu sudah maju dekat. Mereka tertarik
sekali melihat betapa kakek tua yang buntung itu berhadapan dengan nenek iblis
dan betapa kini muncul pula seorang kakek seperti gorilla. Saking tertariknya,
mereka tidak ingat lagi bahwa nenek itu telah melakukan hal yang keji, dan
mereka lupa akan takutnya.
Tiba-tiba
Ji-ok berseru, “Eh, Twako, apa yang kau lakukan itu? Lihat baik-baik, itu bukan
rajawali! Engkau telah dipermainkan orang!”
Mendengar
ucapan Ji-ok ini, Twa-ok cepat menahan napas, mengerahkan sinkang-nya dan
mengeluarkan suara gerengan seperti monyet. Dia adalah seorang yang telah
mempelajari ilmu sihir dan kebatinan, maka begitu dia mengerahkan kekuatan
batinnya, kini matanya dapat melihat jelas dan ternyata burung rajawali yang
dipermainkannya tadi bukan lain hanyalah sepotong ranting pohon dengan
daun-daunnya, dan yang berguguran tadi adalah daun-daun dari ranting itu!
Kiranya tadi Suma Han telah melemparkan sepotong ranting, dan menyulapnya
menjadi rajawalinya yang kini telah terbang tinggi menurut perintah majikannya!
“Hemmm...!”
Kakek yang menjadi orang pertama dari Im-kan Ngo-ok mendengus dan begitu dia
menghentikan kedua tangannya, ranting itu pun meluncur jatuh ke atas tanah.
Tadi ranting itu ditahan oleh tenaga kedua tangannya yang mempermainkannya, dan
andai kata burung rajawali yang tadi dipermainkan dengan hawa sakti kedua
tangannya, tentu rajawali itu sudah tewas!
Pada saat
Twa-ok dan Ji-ok menoleh ke arah kakek buntung itu. Mereka hanya melihat
bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu lenyap dari depan mereka. Keduanya
kaget bukan main. Bagaimana mungkin seorang berkaki buntung sebelah bisa
bergerak secepat itu? Seperti kilat menyambar saja! Dan memang hal ini tidak
mengherankan kalau mereka mengetahui bahwa Pendekar Super Sakti memang telah
mempergunakan kesaktiannya untuk menghadapi mereka.
Pada saat
mereka berdua menoleh, ternyata kakek buntung itu telah berdiri di depan
rombongan penghuni dusun, membelakangi orang-orang itu seperti hendak
melindungi mereka. Melihat ini, Twa-ok cepat-cepat menjura dengan hormat ke
arah Suma Han. Pendekar Super Sakti sudah siap dan waspada, karena dia harus
melindungi semua orang ini. Akan tetapi ternyata kakek bermuka gorilla itu
tidak melakukan penyerangan, dan hanya menjura dan mengangkat kedua tangan ke
depan dada secara wajar.
“Aihhh,
sudah puluhan tahun kami mendengar nama besar Pendekar Siluman, Majikan Pulau
Es, dan ternyata nama besar itu bukanlah kosong belaka. Akan tetapi, setelah
puluhan tahun tidak muncul di dunia kang-ouw, kini begitu muncul telah
memamerkan permainan sulapnya yang sungguh mengagumkan, apakah kiranya tidak
dipertunjukkan di tempat yang keliru?” Dengan kata-kata yang halus ini, Twa-ok
hendak mengejek permainan sihir tadi, sungguh pun dia telah terpedaya.
Suma Han
hanya memandang dengan sikap tenang dan sungguh-sungguh. “Aku pun telah
mendengar nama besar Im-kan Ngo-ok dan sungguh beruntung sekali sekarang dapat
berjumpa dengan Twa-ok dan Ji-ok, dua orang tertua dari Im-kan Ngo-ok yang
memiliki kepandaian hebat. Akan tetapi, sungguh mengherankan mengapa Twa-ok dan
Ji-ok yang tersohor itu hanya seperti anak-anak kecil yang mempermainkan
binatang binatang yang tidak bersalah, membunuhi delapan ekor lembu dan hendak
mencelakai burung rajawali?”
“Wah,
bukankah orang-orang tua itu hanyalah anak-anak kecil yang besar badannya?”
Twa-ok
menjura lagi. Akan tetapi sekali ini, ketika dia mengangkat kedua tangannya
tiba-tiba ada hawa pukulan yang dahsyat bukan main menyambar ke arah Suma Han!
Sejak tadi memang Suma Han sudah bersiap sedia dan waspada selalu, maka kini
dia telah mendahului, menggerakkan tangan kanannya mendorong ke depan,
menyambut pukulan jarak jauh dari Twa-ok itu dengan ilmu pukulan Hwi-yang
Sin-ciang. Pada saat itu, Ji-ok yang curang juga sudah cepat menudingkan
telunjuknya, mengerahkan Ilmu Kiam-ci untuk menyerang ke arah kakek buntung
itu. Tongkat di tangan kiri Suma Han diangkat dan menyambut serangan Ji-ok ini
dan sekaligus Suma Han telah menyambut serangan kedua orang itu, telapak tangan
kanannya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang mendatangkan hawa panas sedangkan
tongkat di tangan kirinya menyambar hawa Swat-im Sin-ciang yang amat dingin!
Perlu
diketahui bahwa dalam usia enam puluh tahun lebih itu, Suma Han telah memiliki
tenaga sinkang yang sukar diukur lagi dalamnya, maka kedua ilmunya itu sudah
mencapai tingkat yang hampir sempurna dan luar biasa kuatnya. Maka, sekaligus
dia dapat membagi dirinya, menyambut serangan Twa-ok dengan hawa sakti panas
dan serangan Ji-ok dengan hawa sakti dingin.
Orang
pertama dan kedua dari Im-kan Ngo-ok itu terkejut bukan main ketika mereka
merasa betapa ada hawa yang panas sekali dan dingin sekali menyambut mereka.
Dan ketika mereka berdua mengerahkan tenaga dan mendesak, secara tiba-tiba saja
terdengar Suma Han mengeluarkan suara menggetar dari dalam dada dan mendadak
Twa-ok agak menggigil dan Ji-ok berseru kaget. Kiranya, begitu mengeluarkan
suara menggetar tadi, Pendekar Super Sakti telah mengubah hawa saktinya, kalau
tadi yang kanan panas dan yang kiri dingin, kini berubah sama sekali, yang
menghadapi Twa-ok berubah dingin dan yang melawan Ji-ok berubah panas. Kedua
orang datuk kaum sesat itu terkejut dan cepat-cepat mereka melangkah mundur
sambil menghentikan serangan mereka! Suma Han juga tidak mendesak dan
menghentikan pula tenaga saktinya. Kemudian, Suma Han mengetukkan tongkatnya ke
atas tanah. Batu yang terkena ketukan itu mengeluarkan bunyi keras dan nampak
api berpijar saking kerasnya ujung tongkatnya menumbuk batu.
“Twa-ok dan
Ji-ok, dengarlah baik-baik. Aku sengaja meninggalkan pulau bukan sekali kali
untuk bermusuhan dengan siapa pun juga, tapi untuk mencari putera-puteraku dan
mengajak mereka pulang. Akan tetapi jangan mengira bahwa aku akan membiarkan
orang-orang menghinaku atau mengganggu orang lain di depan mataku!”
Ucapan itu
halus, akan tetapi mengandung wibawa yang hebat dan gagah, dan dua orang tokoh
Im-kan Ngo-ok itu terbelalak memandang ketika melihat betapa tubuh Suma Han
perlahan-lahan berubah menjadi besar seperti raksasa! Akan tetapi mereka segera
sadar bahwa Pendekar Siluman itu mempergunakan kekuatan batinnya, maka cepat
mereka menunduk, berkemak-kemik dan menguatkan batin, sehingga ketika mereka
memandang lagi, tubuh pendekar itu sudah biasa lagi, hanya kelihatan berwibawa
dan menimbulkan rasa jeri di dalam hati mereka.
Twa-ok bukan
seorang bodoh. Dia tadi bersama Ji-ok telah mengadu tenaga dan kalau terjadi
pertandingan, belum tentu dia dan Ji-ok akan mampu menandingi Pendekar Super
Sakti yang benar-benar amat lihai ini. Kalau saja tiga orang saudaranya yang
lain berada di situ, tentu dia akan nekat menggunakan kekuatan untuk menyerang
dan mengeroyok. Akan tetapi, tugasnya masih banyak dan dia menganggap belum
tiba saatnya untuk mempertaruhkan keselamatannya mengadu nyawa dengan seorang
tokoh besar seperti Majikan Pulau Es ini. Maka dia lalu tersenyum dan menjura
lagi, pemberian hormat yang wajar.
“Maaf, maaf,
kalau belum mengadu tenaga belum saling mengenal kata orang!” Dia
mengangguk-angguk. “Pendekar Super Sakti memang lihai sekali, kami berdua amat
kagum. Akan tetapi kalau Taihiap bermaksud mencari puteramu Siluman Kecil,
kurasa belum tentu dia akan mau pulang ke Pulau Es.”
Mendengar
disebutnya nama Siluman Kecil, Suma Han tertarik. “Siluman Kecil? Siapa yang
kau maksudkan?”
“Ha-ha-ha,
apakah Taihiap juga hendak merahasiakan keadaan puteramu yang penuh rahasia
itu? Bukankah puteramu itu bernama Suma Kian Bu, biar pun usianya masih muda
namun rambutnya sudah putih semua, di dunia kang-ouw dijuluki Siluman Kecil?”
Suma Han
hanya mengangguk-angguk. Tentu saja dia tidak tahu bahwa kini di dunia kang-ouw
Suma Kian Bu dijuluki orang Siluman Kecil, dan tidak tahu pula bahwa rambut
puteranya itu telah menjadi putih semua!
“Dia tidak
mungkin mau pulang setelah dia hidup penuh kesenangan bersama seorang dara
cantik jelita...” Twa-ok sengaja menghentikan kata-katanya yang merupakan
pancingan dan dia memperhatikan wajah pendekar itu.
Akan tetapi
dia belum mengenal baik siapa adanya Suma Han, seorang pendekar yang amat hebat
kekuatan batinnya sehingga kalau dia hendak ‘membaca’ keadaan hati pendekar
itu, dia kecelik. Tidak ada tanda apa-apa pada wajah yang berwibawa itu,
kecuali sepasang matanya saja yang menyambar dan membuat seorang manusia iblis
seperti Twa-ok Su Lo Ti sendiri sampai bergidik. Bukan mata manusia, pikirnya.
“Kalau kau
hendak memberi tahu, segera lanjutkanlah. Kalau tidak, aku pun tidak akan
memaksakan keterangan apa pun darimu, Twa-ok.”
Wajah kakek
bermuka gorilla itu menjadi merah karena malu. “Dia ke mana pun berdua dengan
Nona Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Agaknya mereka
itu saling mencinta... ha-ha-ha, begitulah orang muda.”
Mendengar
ini, sesungguhnya hati Suma Han terkejut bukan main, terkejut, penasaran dan
tidak senang, akan tetapi wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu sehingga Twa-ok
tidak tahu apakah bidikannya itu mengenai sasaran ataukah tidak.
“Twa-ok,
mari kita coba lagi, aku masih penasaran. Tidak mungkin kita berdua kalah oleh
kakek buntung!” Ji-ok berkata, akan tetapi Twa-ok menggeleng kepalanya.
“Ji-moi,
engkau seperti seorang gadis bodoh saja. Kalau kau mau main-main dengan dia,
nah, lakukanlah, akan tetapi aku tidak ikut campur. Dan engkau sudah membunuh
delapan ekor lembu milik orang dusun. Sungguh lancang, Ji-moi, sungguh kasihan
sekali orang-orang dusun itu.”
Kakek
bermuka gorilla itu lalu menoleh kepada orang-orang kampung yang dikepalai oleh
kepala dusun itu, kemudian menjura sambil berkata, “Kami mohon maaf atas
kelancangan kami dan bukan maksud kami hendak merugikan kalian yang sudah hidup
serba kekurangan. Oleh karena itu, biarlah kami mengganti harga delapan ekor
lembu ini...“ Kakek itu merogoh saku jubahnya yang lebar, lalu mengeluarkan
beberapa potongan uang perak, dikepalnya uang itu lalu diletakkannya di atas
batu dekat bangkai bangkai lembu. “Dan daging-daging tembu ini kami berikan
kepada kalian untuk dipakai berpesta.” Dia lalu menghampiri bangkai-bangkai
lembu itu dan menepuk-nepuk perut perut lembu yang gemuk. “Lembu gemuk, daging
lezat...“ katanya berkali-kali sampai semua lembu ditepuk-tepuknya. Kemudian
dia berkata kepada Ji-ok, “Ji-moi, hayo kita pergi!”
Tanpa pamit
lagi kedua orang datuk kaum sesat itu berkelebat dan lenyap dari situ. Suma Han
sejak tadi mengikuti gerak-gerik kakek muka gorilla itu, dan hatinya lega
ketika dia tidak melihat kakek itu menyerang orang-orang dusun seperti yang
telah dikhawatirkannya. Dia tadi sudah siap sedia untuk turun tangan melindungi
orang-orang dusun itu apa bila kakek muka gorilla dan nenek muka tengkorak itu
menyerang mereka.
Melihat
kesudahan dari peristiwa itu, kepala dusun menjadi girang bukan main. Bukan
saja lembu-lembunya diganti dengan uang perak yang dari jauh saja sudah nampak
cukup banyak untuk pengganti harga lembu-lembunya, akan tetapi juga kakek dan
nenek aneh yang semula disangka siluman jahat itu malah mengembalikan bangkai
bangkai lembu agar dagingnya dapat mereka makan! Dan daging delapan ekor lembu
yang gemuk-gemuk itu merupakan bahan makanan yang amat lezat dan banyak bagi
orang-orang dusun yang mungkin hanya setahun sekali pernah menikmati daging
lembu!
Maka dia
lalu berseru, “Saudara-saudara, kita telah kejatuhan rejeki, tak usah sungkan
sungkan, mari kita bagi-bagi daging lembu-lembu itu!”
Para
penduduk dusun itu bersorak girang dan kepala dusun itu pun sudah lari ke arah
batu di mana Twa-ok tadi menaruh beberapa potong uang perak.
“Jangan
sentuh perak itu dan jangan dekati lembu-lembu itu!” Tiba-tiba terdengar suara
nyaring dan semua orang terkejut ketika melihat bahwa kakek berkaki buntung
sebelah tadi kini sudah berdiri menghadang antara mereka denngan
bangkai-bangkai lembu dan uang di atas batu itu.
Tentu saja
kepala dusun dan anak buahnya menjadi terkejut dan marah. Kiranya kakek buntung
ini malah yang jahat! Nenek bermuka tengkorak yang mereka sangka siluman itu
bersama temannya yang bermuka monyet, ternyata malah orang-orang yang amat
baik, karena biar pun telah membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi selain
lembu lembu itu dibayarnya dengan cukup, juga daging lembu-lembu itu diberikan
kepada orang dusun. Sebaliknya kakek berkaki buntung sebelah ini malah agaknya
yang akan merampas atau merampok uang dan daging lembu itu!
“Orang tua,
apa maksudmu? Apakah kau hendak merampok semua itu?” Kepala dusun bertanya dan
dia sudah memegang tombaknya erat-erat, sedangkan para penduduk dusun itu pun
sudah mempersiapkan senjata mereka.
Kalau tadi
saja menghadapi siluman yang berwajah mengerikan mereka tidak takut, apa lagi
menghadapi kakek berkaki buntung sebelah ini! Tentu saja semua pertandingan adu
tenaga sakti antara kakek buntung ini dan kedua orang kakek dan nenek yang
menyeramkan tadi tidak ada seorang pun yang mengetahui, dan mereka hanya
mengira bahwa kakek tua ini adalah seorang biasa saja.
Ditegur
seperti itu, Suma Han menarik napas panjang. “Ahhh, kalian tidak tahu akan
bahaya yang mengancam nyawa kalian. Ketahuilah bahwa pada permukaan uang perak
itu telah dilumuri racun dan sekali saja kalian menyentuhnya, kalian akan
tewas. Dan bangkai-bangkai lembu itu pun telah mengandung racun.”
Semua orang
terkejut akan tetapi tidak percaya. “Bohong... bohong...! Dia ingin memiliki
sendiri semua itu!” terdengar mereka berteriak-teriak.
Suma Han
melihat ada beberapa ekor burung gagak terbang datang dan hinggap di atas
cabang pohon yang berdekatan. Dia tahu bahwa burung-burung itu tertarik oleh
bangkai-bangkai lembu, maka dia lalu berkata, “Kalian lihatlah sendiri!”
Dia
menggunakan tongkatnya mencongkel daging di punggung seekor lembu, lalu
melontarkan gumpalan daging itu ke arah gagak-gagak yang bertengger di cabang
pohon. Tiga ekor burung gagak cepat menyambut daging itu dan memperebutkannya.
Akan tetapi, begitu mereka menelan sedikit potongan daging, tiga ekor burung
itu tiba tiba berkaok nyaring, lalu tubuh mereka terbanting ke atas tanah,
berkelojotan dan mati!
Semua orang
terkejut bukan main! Ternyata tiga ekor burung gagak itu telah mati keracunan!
Tubuh mereka kini menggigil ketakutan dan mereka memandang kepada Suma Han
dengan muka pucat.
“Daging
lembu-lembu ini sudah tidak dapat dibersihkan lagi. Maka harap kalian cepat
mengubur mereka di sini juga agar racun itu tidak menjalar ke mana-mana.
Tentang uang perak itu, jangan khawatir, aku setua ini tidak lagi membutuhkan
perak dan emas, dan aku akan mencoba untuk membersihkan racun yang berada di
situ.”
Kini kepala
dusun percaya penuh dan dia lalu mengerahkan orang-orangnya untuk menggali
lubang besar, kemudian mereka menyeret kaki mayat lembu-lembu itu dan
menguburnya di dalam lubang besar dan menutupnya dengan tanah. Sementara itu,
Suma Han mengerahkan sinkang ke telapak kedua tangannya, lalu mengambil uang
perak itu dan mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang. Kepala dusun itu melihat dengan
mata terbelalak betapa dari uang perak itu mengepul uap hijau!
Setelah
‘membakar’ racun yang melumuri perak itu sampai habis, barulah Suma Han
meletakkan uang perak itu ke atas batu sambil berkata, “Sekarang kau boleh
mengambil perak ini tanpa bahaya. Dan kuperingatkan kalian, kalau kalian
melihat dua orang itu atau seorang di antara mereka, lebih baik kalian
menyingkir dan sama sekali jangan mendekati mereka. Nah, aku pergi!”
Melihat
kakek itu melangkah pergi dibantu tongkatnya, kepala dusun dan anak buahnya
segera berlutut dan kepala dusun itu berseru, “Harap Locianpwe sudi
meninggalkan nama besar Locianpwe untuk kami ingat.”
Suma Han
menoleh, menarik napas panjang ketika melihat mereka berlutut, dan berkata,
“Aku hanya seorang tua bangka yang sebelah kakinya buntung.” Setelah berkata
demikian, dia melangkah terus, diikuti pandang mata para penduduk dusun itu
dengan terbelalak sampai akhirnya kakek yang berjalan dengan agak terpincang
itu lenyap dari pandang mata mereka.
Seperti kita
ketahui, Twa-ok dan Ji-ok itu sedang menjalankan tugas dan diperintahkan oleh
Pangeran Nepal melalui koksu, yaitu untuk mencari Siluman Kecil dan Hwee Li,
juga Puteri Syanti Dewi dari Bhutan. Mereka itu mencari-cari jejak tiga orang
itu tanpa hasil sampai akhirnya tiba di dusun itu. Saking jengkelnya karena
tidak juga berhasil menemukan tiga orang buronan itu, Ji-ok yang berwatak aneh
dan keji itu mencari perkara dan hendak melampiaskan kemendongkolan hatinya
dengan membunuhi semua orang dusun di tempat itu! Dan andai kata tidak secara
kebetulan Suma Han lewat di situ, sudah tentu seluruh penghuni dusun itu akan
menjadi korban kekejaman wanita yang merupakan Si Jahat Nomor Dua dari Im-kan
Ngo-ok itu.
Suma Han
telah memanggil burung rajawalinya dan sekarang dia sudah melanjutkan
penerbangannya untuk mencari putera-puteranya. Dia sudah tidak ingat lagi
kepada dua orang jahat itu, akan tetapi ucapan Twa-ok tentang Pendekar Siluman
Kecil benar benar menggores di hatinya. Siluman Kecil! Kian Bu kini berjuluk
Siluman Kecil? Hampir dia tertawa. Mengapa puteranya itu memakai julukan
seperti itu? Dia sendiri, di luar kehendaknya, dijuluki orang-orang dari dunia
sesat sebagai Pendekar Siluman, julukan yang sesungguhnya amat tidak
disukainya. Akan tetapi kini puteranya malah berjuluk Siluman Kecil! Dan
rambutnya sudah putih semua? Benarkah itu? Diam-diam hati pendekar sakti ini
merasa tegang.
Apa yang
telah menimpa diri puteranya yang nakal itu sehingga rambutnya menjadi putih
semua dan berjuluk Siluman Kecil? Benar-benar pendekar yang sakti luar biasa
ini merasa amat heran dan dia tertawa seorang diri mengingat kemungkinan akan
kebenaran berita itu. Kalau benar, mengapa Kian Bu menuruni rambutnya yang
putih? Dan lebih aneh pula, dia sendiri dijuluki orang Pendekar Siluman, kenapa
justeru puteranya itu pun mempunyai julukan Siluman Kecil? Benar-benar luar
biasa dan sama sekali tidak diduga-duganya. Akan tetapi ketika dia teringat
berita yang mengatakan bahwa puteranya gulang-gulung dengan puteri Hek-tiauw
Lo-mo, alisnya yang sudah putih itu berkerut. Puteranya bermain gila dengan
puteri Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka yang dia tahu bukan merupakan manusia
baik itu? Hal ini sungguh tidak menyenangkan dan harus dicegah!
Ketika
Pendekar Super Sakti ini teringat akan berita tentang puteranya, maka dia pun
membayangkan pula dua orang tokoh golongan sesat yang baru saja dijumpainya
itu. Biar pun Suma Han adalah seorang pendekar yang sudah berpuluh-puluh tahun
dan entah sudah berapa ribu kali berkecimpung di dunia kang-ouw dan bertemu
dengan para datuk kaum sesat, namun teringat akan kekejaman Twa-ok dan Ji-ok,
dia bergidik juga.
Ji-ok si
nenek iblis itu jelas adalah amat jahat dan kejam, akan tetapi Twa-ok yang
licik itu ternyata lebih berbahaya dan lebih kejam pula. Biar pun jahat dan
keji, Ji-ok tidak menyembunyikan kekejamannya, sebaliknya Twa-ok bersikap baik,
lemah lembut dan ramah, akan tetapi diam-diam dia merencanakan untuk membunuh
semua orang dusun itu secara sangat mengerikan. Pada lahirnya, dia bersikap
baik, memberikan daging semua lembu, bahkan memberi uang pengganti, tetapi
ternyata semua itu dijadikan jebakan untuk membunuh para penduduk dusun.
Akan tetapi
segera dia melupakan lagi wajah kedua orang datuk sesat itu dan kembali dia
memikirkan putera-puteranya. Ke mana dia harus mencari Suma Kian Bu dan Suma
Kian Lee? Mencari mereka ke kota raja pun percuma, pikirnya. Kalau dulu, sudah
pasti dua orang puteranya itu pergi ke kota raja atau kalau tidak berada di
kota raja, agaknya dia akan dapat mencarinya dengan bertanya kepada puterinya,
yaitu Puteri Milana yang dulu berada di kota raja. Akan tetapi, sekarang Milana
tidak lagi berada di kota raja, dan sudah pergi meninggalkan kota raja bersama
suaminya yang baru, Gak Bun Beng, dan dia sendiri tidak pernah tahu di mana
adanya mereka itu. Tidak, dia tidak akan mencari ke kota raja. Dan sekarang dia
sudah mempunyai pegangan, yaitu hendak mencari Pendekar Siluman Kecil yang
tentu akan lebih mudah dicari dari pada mencari Suma Kian Bu, karena tentu
orang-orang kang-ouw lebih mengenal julukan itu dari pada nama aslinya.
Andai kata
Pendekar Super Sakti tidak berpendapat demikian dan langsung pergi ke kota raja,
tentu dia akan dapat berjumpa dengan puteranya itu karena ketika itu Milana
telah memenuhi undangan dari Pangeran Mahkota Yung Cheng. Akan tetapi tentu
saja pendekar itu tidak mengetahuinya…..
***************
Kita
tinggalkan dulu Pendekar Super Sakti yang melayang-layang di atas punggung
burung rajawali itu, pertanda bahwa dunia persilatan tentu akan mengalami geger
dengan munculnya kakek yang sakti ini dan kita tengok apa yang terjadi di kota
raja pada waktu itu.
Seorang
pemuda tampan dan gagah memasuki kota raja dengan tergesa-gesa. Pakaian pemuda
ini kelihatan kusut dan agak kotor berdebu, wajahnya juga muram dan penuh
kekhawatiran, agak pucat dan dia nampak lelah sekali seperti orang yang
melakukan perjalanan jauh dengan tergesa-gesa dan jarang berhenti mengaso.
Ketika dia
memasuki kota raja, dia kelihatan lega, akan tetapi kekhawatiran tidak pernah
menghilang dari pandang matanya ketika dia memasuki sebuah rumah makan karena
semenjak kemarin dia belum makan. Memang selama beberapa hari ini dia seperti
lupa makan dan minum dan lupa tidur saking tegang dan khawatir hatinya.
Masuknya
pemuda ini ke rumah makan, tidak menarik perhatian banyak orang. Di kota raja
memang banyak terdapat seorang muda seperti dia ini, usianya kurang lebih
sembilan belas tahun, gagah dan tampan, kelihatan terpelajar dengan gerak-gerik
yang halus, namun pakaiannya yang kusut dan kotor itu menunjukkan bahwa dia
adalah seorang di antara pemuda-pemuda terpelajar kota yang miskin.
Akan tetapi,
orang akan keliru kalau menyangka demikian. Tidak, pemuda ini sama sekali
bukanlah pemuda miskin, bahkan dia seorang pemuda yang tadinya menjadi putera
seorang yang berkedudukan tinggi sekali. Dan kenyataan ini agaknya tidak lepas
dari pandang mata seorang tua berusia lima puluh tahun yang duduk di sudut rumah
makan itu dan makan mi goreng dengan lahapnya.
Ketika kakek
ini melihat munculnya pemuda tampan itu, tiba-tiba saja dia menghentikan
sepasang sumpitnya yang tadi dengan cekatan mengantar bakmi ke mulutnya, bahkan
dia hampir tersedak dan cepat mendorong makanan yang menyesak di tenggorokannya
itu dengan minuman. Semua ini dikerjakan dengan mata yang tidak pernah berkedip
memandang kepada pemuda itu yang duduk menghadapi meja kosong dengan muka pucat
dan memesan makanan kepada pelayan. Kemudian, kakek ini cepat membayar
makanannya dan pergi meninggalkan rumah makan dengan tergesa-gesa.
Pemuda itu
sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi, dan setelah makanan yang
dipesannya dihidangkan, dia makan dengan tenang dan lambat-lambat, cara makan
seorang yang terpelajar dan yang selalu mengendalikan perasaannya. Akan tetapi,
rasa lapar membuat dia makan dengan lahapnya, dan pada saat itu, yang menjadi
perhatiannya hanyalah makanan di depannya, dan untuk sejenak itulah dia
melupakan segala hal yang selama ini mengganggu hati dan pikirannya.
Dia sama
sekali tidak tahu betapa ketika dia sudah selesai makan, di luar rumah makan
itu terdapat enam orang, yaitu kakek yang tadi makan bakmi bersama lima orang
lain, berdiri di luar rumah makan dengan sikap mencurigakan dan jelas bahwa
mereka itu sedang memperhatikan gerak-gerik pemuda itu. Agaknya enam orang itu
memang menanti sampai pemuda itu selesai membayar harga makanan dan minuman,
kemudian menarik napas lega karena perutnya tidak lapar lagi dan tenaganya agak
pulih, pemuda itu lalu melangkah keluar rumah makan.
Pada saat
dia berada di luar rumah makan itulah dia terkejut ketika tiba-tiba enam orang
yang tidak dikenalnya menghampirinya, membuat gerakan mengurung dan seorang di
antara mereka, seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun,
berkata lirih dengan nada suara mengancam, “Kao Kok Han, menyerahlah engkau dan
ikut bersama kami!”
Pemuda itu
bukan lain adalah Kao Kok Han, putera bungsu dari Jenderal Kao Liang. Seperti
telah kita ketahui, pemuda ini bersama ayahnya dan kakaknya, Kao Kok Tiong,
pergi menyelidiki ke sepanjang lembah Sungai Huang-ho untuk mencari jejak
keluarga mereka yang diculik orang. Ketika Jenderal Kao Liang dihadang oleh
utusan-utusan dari Pangeran Liong Bian Cu, yang dikepalai oleh Hoa-gu-ji tokoh
Kui-Tiong-pang, untuk memaksa Jenderal Kao menyerahkan diri dengan
memperlihatkan cincin Nyonya Kao Liang dan tusuk konde Nyonya Kao Kok Tiong,
Jenderal Kao menyuruh putera bungsunya ini untuk cepat pergi ke kota raja dan
mencari putera sulungnya, yaitu Si Naga Sakti Kao Kok Cu dan menyampaikan
berita penangkapan atas dirinya itu. Jenderal Kao Liang bersama Kao Kok Tiong
lalu dibawa pergi dan Kok Han sendiri dengan cepat lalu melarikan diri dan
melakukan perjalanan jauh itu dengan hati risau.
Saking
khawatirnya karena melihat betapa keluarganya yang terculik secara aneh masih
belum diketahuinya nasibnya dan sekarang bahkan ayahnya dan kakaknya juga
ditawan orang sedangkan dia belum dapat bertemu dengan kakak sulungnya, pemuda
ini sama sekali tidak teringat bahwa kembalinya ke kota raja sama artinya
dengan kembali ke goa singa. Dia sekeluarga telah diusir dengan halus dari kota
raja di mana diam-diam banyak terdapat musuh-musuh ayahnya, maka kini dia
kembali ke kota raja, tentu saja banyak orang akan mengenalnya.
Baru setelah
enam orang itu menghadang dan hendak menangkapnya, Kok Han terkejut dan insyaf
bahwa dia berada di tempat yang berbahaya! Teringatlah dia akan musuh-musuh
ayahnya, maka dia dapat menduga bahwa enam orang ini tentulah utusan seorang di
antara musuh-musuh ayahnya itu. Kok Han mewarisi ketabahan ayahnya, maka biar
pun dia sudah dikepung, dia tidak menjadi gentar dan dengan sinar mata tajam
dan suara tenang dia menghampiri mereka dan berkata, “Siapakah kalian? Apa sebabnya
kalian hendak menangkapku?”
“Tidak perlu
banyak cakap, lebih baik engkau ikut bersama kami dengan tenang dan kau boleh
bicara, dengan majikan kami,” kata seorang di antara mereka yang mukanya hitam
dan sikapnya bengis sekali.
Kok Han
mengerutkan alisnya, sikapnya masih tenang. “Siapakah majikan kalian? Dan
bagaimana kalau aku tidak sudi menyerah?”
“Bocah
sombong, kami akan menggunakan kekerasan dan engkau akan menyesal!” bentak si
muka hitam sambil meraba gagang goloknya, sikapnya kereng sekali.
Kini Kok Han
menjadi marah. Hatinya sedang tertekan kekhawatiran teringat akan keadaan
keluarganya, dan juga sedang bingung karena dia tidak tahu ke mana harus
mencari kakak sulungnya di dalam kota raja yang besar itu, dan kini dia
diganggu orang. Apa lagi karena dia tahu bahwa orang-orang ini adalah kaki
tangan musuh-musuh ayahnya yang mungkin juga menjadi biang keladi malapetaka
yang menimpa keluarga ayahnya, maka pemuda ini menjadi marah bukan main.
Mukanya yang pucat itu berubah merah dan dia menatap wajah enam orang itu
dengan mata terbelalak.
“Penjahat-penjahat
hina! Kami keluarga dari bekas Panglima Kao Liang tidak mengenal takut, apa
lagi terhadap kaki tangan segala macam pembesar durna yang memusuhi kami!” Dia
berseru dengan keras dan nyaring sehingga terdengar sampai jauh dan dengan
gerakan cepat Kok Han sudah menerjang ke depan.
Enam orang
itu terkejut, lebih terkejut mendengar bentakan itu dari pada menghadapi
serangan pemuda itu, sehingga dua orang di antara mereka kena dipukul oleh Kok
Han dan mereka terpelanting ke atas tanah. Empat orang yang lain sudah menubruk
dan menyerang Kok Han yang melawan dengan nekat. Terjadilah perkelahian di
depan rumah makan itu, mengejutkan semua orang, dan seperti biasanya setiap
kali ada perkelahian, orang-orang hanya menjauhkan diri atau menonton saja
hingga tempat itu segera terkurung oleh banyak orang yang menonton.
Biar pun dua
orang yang dipukulnya tadi kini sudah bangkit kembali dan dia dikeroyok oleh
enam orang, namun Kok Han adalah seorang pemuda yang sejak kecil digembleng
oleh ayahnya dan memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan baik. Maka kini dia
mengamuk dan enam orang itulah yang sering menerima pukulan dan tendangan oleh
pemuda ini sehingga jatuh bangun.
Enam orang
itu menerima perintah untuk menangkap Kok Han, maka mereka tadi tidak
mempergunakan senjata. Akan tetapi ketika mereka mendapat kenyataan betapa
lihainya pemuda itu, kini mereka mulai mencabut senjata masing-masing dan para
penonton menjadi gempar dan cepat menjauhkan diri. Namun Kao Kok Han tidak
menjadi gentar. Dia berdiri tegak di tengah-tengah, memandang kepada enam orang
yang telah mengelilinginya dengan senjata pedang dan golok di tangan itu. Kok
Han diam-diam meraba gagang pedangnya dan mengambil keputusan untuk membela
diri sekuatnya.
“Tahan...!”
Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan enam orang itu berhenti bergerak, lalu
menjura ke arah kakek berusia enam puluh tahun yang muncul di antara para
penonton itu.
Ketika Kok
Han menoleh, wajahnya berubah pucat. Kakek itu adalah seorang panglima yang
berpakaian preman dan dia mengenal benar Panglima Chang ini, seorang panglima
tua yang menjadi musuh besar ayahnya karena ayahnya pernah membongkar praktek
kecurangan dan korupsi dari Panglima Chang ini sehingga panglima ini pernah
mengalami hukuman turun pangkat sampai beberapa tingkat! Dia maklum bahwa
campur tangan panglima yang tentu diam-diam amat membenci ayahnya itu merupakan
hal yang tidak menguntungkan baginya. Dugaannya memang benar karena panglima
itu lalu melangkah maju dan tertawa mengejek.
“Hemmm,
kiranya bocah anak dari bekas jenderal pengkhianat! Ehh, bocah she Kao, di mana
adanya ayahmu yang khianat itu? Apakah engkau diutus untuk memata-matai
kerajaan?”
Tentu saja
Kok Han tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Saking marahnya dia sampai
melupakan sopan santun lagi dan terhadap panglima tua ini dia mendamprat,
“Kakek tua bermulut busuk! Ayahku adalah seorang gagah sejati, bukan
pengkhianat macammu!”
Memang
inilah yang dikehendaki oleh Panglima Chang ini. Agar semua orang mendengar
bahwa dia dimaki dan dihina oleh pemuda ini sehingga dia dapat turun tangan dengan
ada alasannya. Maka dia lalu berkata keras, “Ahhh, bocah sombong! Engkau berani
menghina dan memaki aku, Panglima Chang? Biar pun aku berpakaian preman, akan
tetapi aku masih mampu untuk menangkapmu. Ayahmu adalah seorang pengkhianat,
kalau tidak mana mungkin dia sampai dihentikan dan diusir? Dan kau hendak
memberontak pula dengan menghina seorang panglima?”
“Manusia she
Chang yang hina! Siapa tidak mengenal kepalsuanmu?” Kok Han kembali membentak,
makin marah.
“Cu-wi
sekalian mendengar betapa bocah ini sudah menghinaku. Terpaksa aku harus
menghajarmu!” Setelah berkata demikian, kakek ini lalu bergerak maju, tangannya
menyambar dan ujung lengan bajunya yang lebar itu telah menyerang ke depan dan
menotok ke arah pundak Kok Han!
Kao Kok Han
maklum bahwa kakek ini tidak boleh disamakan dengan enam orang pengeroyoknya
tadi. Kalau enam orang tadi hanya kaki tangan pembesar yang hanya mengandalkan
kekasaran dan kekerasan belaka seperti tukang-tukang pukul bayaran, kakek ini
adalah seorang panglima yang memiliki kepandaian tinggi. Maka begitu melihat
tangan kakek itu bergerak dan ujung lengan bajunya menyerang ke arah pundaknya,
dia cepat melangkah mundur mengelak. Akan tetapi, lengan baju yang luput
sambarannya itu disusul oleh cengkeraman jari-jari tangan ke arah leher pemuda
itu.
“Ehhh!” Kok
Han berseru kaget dan cepat dia membuang tubuh ke atas ke belakang dan pada
saat itu, sambil tertawa kakek itu sudah menendang.
Kok Han yang
sedang membuang tubuh atas ke belakang itu tentu saja menjadi makin kaget. Dia
terpaksa menjatuhkan diri, akan tetapi gerakannya kurang cepat sehingga
betisnya masih tersentuh ujung sepatu. Dia bergulingan dan meloncat bangun,
betis kakinya terasa nyeri, akan tetapi Kok Han tidak peduli dan dia sudah
mencabut pedangnya.
Kakek itu
memandang sambil tersenyum lebar. “Bagus, kau malah membawa senjata untuk
membunuh orang? Nah, majulah!”
Hati yang
diliputi kedukaan dan kekhawatiran mudah menjadi marah dan nekat. Melihat kakek
yang menjadi musuh besar ayahnya, yang mengeluarkan kata-kata menghina ayahnya,
dan kini menantangnya, biar pun dia maklum bahwa kakek ini lihai sekali,
membuat Kok Han lupa diri dan dia menjadi marah bukan main. Orang yang marah
lupa segala, lupa akan kesadaran dan yang ada hanyalah kebencian di dalam
hatinya yang perlu dilampiaskan dengan ucapan atau tindakan kasar dan keras
untuk menyakiti orang yang dibencinya.
Sambil
berseru keras, Kok Han menerjang dengan pedangnya. Tetapi, Chang-ciangkun sudah
siap dengan sebatang cambuk kulit berwarna hitam yang tadi dipakainya sebagai
ikat pinggang.
“Tar-tar-tarrr...!”
Tiga kali
ikat pinggang cambuk itu meledak. Pedang itu bukan saja sudah ditangkisnya,
malah dua kali cambuk itu sudah mematuk dan Kok Han meloncat ke belakang sambil
mengusap pangkal lengan kanannya dan juga pundaknya yang berdarah. Bajunya di
dua bagian itu telah robek berikut kulitnya! Bukan main lihainya permainan
cambuk kakek itu!
Panglima
Chang tertawa bergelak. Girang bukan main hatinya. Sudah belasan tahun lamanya
semenjak rahasianya dibongkar oleh Jenderal Kao sehingga dia tidak hanya
mengalami penurunan pangkat, akan tetapi juga merasa dibikin malu dan terhina,
telah menahan-nahan hatinya yang penuh dendam terhadap Jenderal Kao. Akan
tetapi karena jenderal itu amat lihai dan juga amat kuat kedudukannya, dia
tidak dapat berbuat apa pun juga. Kini dia memperoleh kesempatan, berhadapan
dengan putera jenderal musuh besarnya itu, dan dia boleh menghajar anak ini
sebagai pengganti Jenderal Kao seenaknya karena bukankah banyak saksinya betapa
pemuda itu menghinanya?
Mereka kini
berhadapan sebagai dua orang yang bertanding karena mempertahankan kehormatan
masing-masing! Dia tidak akan cepat-cepat membunuh putera Jenderal Kao ini,
hendak dihajarnya sampai habis-habis kulitnya dengan cambuknya, barulah dia
akan menangkapnya sebagai tuduhan mata-mata yang hendak memberontak! Kalau
sudah begitu, puaslah dia dapat membalas dendam sakit hatinya terhadap Jenderal
Kao Liang!
“Ha-ha-ha,
bocah pelarian sombong! Bocah hijau macam engkau ini berani melawan
Chang-ciangkun? Ha-ha-ha, hayo kau berlutut minta-minta ampun dan bersumpah
tujuh turunan tidak akan berani melawanku lagi, baru aku akan mengampunimu!”
“Tar-tar-tarrr!”
Kok Han
cepat memutar pedangnya, akan tetapi cambukan ketiga mengenai lengan kanannya
yang memegang pedang sehingga lengan itu berdarah. Akan tetapi dia tidak
melepaskan pedangnya, apa lagi harus berlutut minta ampun!
“Manusia
hina, lebih baik seribu kali mampus dari pada menyerah kepada pembesar durna
macam engkau!” Dia memutar pedangnya dengan cepat dan menerjang lagi seperti
seekor harimau terluka dan yang tidak mengenal bahaya lagi.
“Tar-tar-tar-suuuuuttttt...!”
Karena
jari-jari tangannya yang memegang pedang kena dihajar cambuk, maka ketika ujung
cambuk itu membelit pedang dan ditarik, Kok Han tidak dapat mempertahankan
pedangnya lagi yang sudah terampas oleh kakek Chang. Kakek itu tertawa bergelak
dan mengambil pedang itu, sekali dia menggerakkan kedua tangan terdengar bunyi
nyaring dan pedang itu telah dapat dipatahkannya lalu dilempar ke atas tanah!
Kok Han
terkejut bukan main akan tetapi dia menjadi bertambah marah. Dengan nekat dia,
menerjang maju lagi dengan tangan kosong, hanya untuk disambut oleh ujung
cambuk yang melibat kedua kakinya dan ketika cambuk ditarik, pemuda itu tentu
saja terguling ke atas tanah!
“Tar-tar-tarrr!”
Cambuk itu
sekarang meledak-ledak di atas kepala Kok Han, mematuk-matuk dan
menyengat-nyengat. Kok Han hanya dapat menutupi dan melindungi kepala dan
mukanya, akan tetapi tentu saja tidak lagi mampu mengelak dari sambaran cambuk
yang bertubi-tubi itu sehingga pakaiannya menjadi robek-robek berikut kulit
tubuhnya sehingga pakaiannya mulai berlepotan darah. Akan tetapi pemuda itu
meloncat bangun lagi dan hendak menyerbu ke depan.
Melihat
kenekatan pemuda ini, diam-diam Panglima Chang terkejut juga. Akan tetapi
hatinya sudah puas, sudah dapat mencambuki putera musuh besarnya itu di tengah
jalan. Kini dia memutar cambuknya dan bermaksud untuk merobohkan pemuda itu
dengan totokan ujung cambuknya, untuk diserahkan kepada enam orang tadi yang
dia tahu adalah anak buah seorang jaksa yang juga menjadi musuh besar Jenderal
Kao, dan tentu saja jaksa itu akan menuntut pemuda ini sebagai seorang
pengkhianat atau pemberontak.
Akan tetapi,
begitu dia meluncurkan ujung cambuknya ke arah jalan darah di leher pemuda itu
untuk menotoknya, mendadak cambuk itu terhenti di tengah udara. Dia
membetot-betot, akan tetapi sia-sia belaka dan ketika dia melihat, ternyata
ujung cambuknya itu telah dipegang oleh seorang wanita cantik yang tahu-tahu
telah berdiri di sebelah belakangnya. Wanita itu paling banyak berusia dua
puluh empat tahun, cantik jelita dengan sepasang mata yang amat tajam, akan
tetapi rambutnya kusut dan wajahnya membayangkan kemuraman seolah-olah wanita
muda secantik itu telah menderita tekanan batin yang hebat dan pada saat itu
wanita ini kelihatan marah sekali sehingga sinar matanya seperti mengeluarkan
api.
“Siapa kau?
Perempuan lancang, hayo lepaskan cambukku, berani kau mencampuri urusan
Panglima Chang?” bentaknya sambil dia mencoba membetot cambuknya sekali lagi.
Akan tetapi,
tiba-tiba saja tangan kiri wanita itu bergerak ke depan, ke arah mukanya dan
dua jari tangan yang kecil mungil menusuk ke arah kedua mata panglima itu
dengan gerakan yang amat cepat dan sedemikian kuatnya sehingga sebelum jari
tangan datang, lebih dulu ada angin menyambar ke muka panglima itu!
Chang-ciangkun terkejut bukan main melihat serangan yang amat hebat ini karena
kalau dia kurang cepat, tentu sepasang matanya akan menjadi buta! Maka dia lalu
menggerakkan tangan kirinya untuk menangkis dan sekalian menangkap lengan
tangan wanita itu.
“Plakkk!”
“Ahhh!”
Chang-ciangkun berseru kaget ketika tiba-tiba tangan yang menusuk matanya itu
mengubah gerakan dan menampar ke arah tangan kanannya dan yang memegang gagang
cambuk. Tangannya menjadi lumpuh rasanya dan ketika ujung cambuk ditarik oleh
wanita itu, dia tidak mampu mempertahankan lagi. Cambuk itu telah dirampas!
“Jahanam
busuk, berani kau mencambuki adik iparku? Mestinya engkau kubunuh untuk itu,
akan tetapi biarlah kuambil dulu kedua telingamu!”
“Tar-tar-tarrr!”
Cambuk itu
segera meledak-ledak di udara saat diputar oleh wanita itu. Chang-ciangkun
marah bukan main.
“Bangsat
perempuan, engkau harus dihajar!” bentaknya dan dia sudah cepat mencabut
pedangnya.
Akan tetapi,
wanita cantik itu menggerakkan tangannya dan cambuk itu menyambar ke bawah
seperti kilat cepatnya. Chang-ciangkun terkejut dan mencoba untuk menangkis
dengan pedangnya, akan tetapi tangkisannya itu luput dan ujung dari cambuk itu
masih terus meluncur ke bawah, ke arah telinga kirinya.
“Prattt!
Aduhhhhhhh...!” Chang-ciangkun menjerit dan menggunakan tangan kiri untuk
mendekap telinganya. Daun telinganya yang kiri telah putus dan terlempar ke
atas tanah, seperti dikerat dengan pisau tajam saja ketika disambar oleh ujung
cambuk tadi!
“Dan
sekarang telinga kananmu!” Wanita itu membentak dan kembali cambuknya
menyambar.
Chang-ciangkun
sudah terkejut dan ketakutan setengah mati. Tahulah dia bahwa wanita ini lihai
bukan main, dan kini dia pun memutar pedangnya melindungi tubuhnya. Namun,
seperti sinar kilat saja, ujung cambuk itu sudah mendesing-desing dan menyambar
nyambar, kemudian mencari jalan masuk melalui sinar pedang, menyambar ke arah
telinga kanan.
“Prattt!
Aughhhhh...!” Chang-ciangkun menjerit dan melempar pedangnya untuk dapat
menggunakan tangan kanan mendekap pinggir kepala kanan yang sudah tidak berdaun
telinga lagi itu. Darah bercucuran dari kedua tempat bekas sepasang daun
telinga yang telah putus.
Cambuk itu
masih meledak-ledak di udara. “Sekarang engkau mampus! Ataukah lebih dulu
kusayat hidungmu?” Wanita cantik itu mengancam dengan suara bengis.
Mendengar
ini Chang-ciangkun terisak dan kedua kakinya menggigil, lalu dia jatuh berlutut
dan dengan suara setengah menangis dia minta-minta ampun! Takutnya bukan main
karena dia maklum bahwa nyawanya berada di tangan wanita itu.
“Sudah,
isteriku, jangan bunuh dia!” tiba-tiba terdengar suara halus dan Ceng Ceng,
wanita itu, lalu menoleh. Ketika dia melihat Kao Kok Cu si Naga Sakti sudah
berada di sebelahnya, dia menarik napas panjang dan membuang cambuknya.
“Twako...!
Twaso...!” Kok Han berseru dengan girang bukan main.
Tadi pada
saat dia melihat twaso-nya (kakak ipar terbesar) datang menolongnya dan
menghajar Chang-ciangkun, dia sudah merasa girang bukan main. Sekarang melihat
munculnya kakaknya, tentu saja dia amat girang, melupakan penderitaannya dan
dia lalu menghampiri sambil berseru girang memanggil mereka.
“Mari kita
pergi dari tempat ini,” kata Kao Kok Cu dengan tenang.
Tanpa
mempedulikan Panglima Chang yang masih berlutut sambil menangis, dan para
penonton yang memandang kepada mereka dengan mata terbelalak, tiga orang itu
lalu meninggalkan tempat itu menuju ke rumah penginapan di mana Kao Kok Cu dan
isterinya bermalam.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Si Naga Sakti Gurun Pasir ini bersama
isterinya telah berhasil melapor kepada Pangeran Yung Hwa sehingga pangeran itu
memanggil kakaknya, yaitu Pangeran Mahkota Yung Cheng yang berada di Kuil
Siauw-lim-si. Akhirnya pangeran mahkota pulang ke kota raja dan berhasil
mengundang datang Puteri Milana yang segera tiba di kota raja. Mendengar
perkembangan ini, Kao Kok Cu dan isterinya merasa lega karena mereka merasa
yakin bahwa dengan pimpinan Puteri Milana, tentu usaha kaum pemberontak akan
dapat dihancurkan.
Mereka mulai
melakukan penyelidikan sendiri untuk mencari jejak hilangnya keluarga ayah
mereka. Akan tetapi mereka belum juga berhasil dan pada hari itu, secara
kebetulan sekali Ceng Ceng melihat Kok Han sedang dihajar oleh Panglima Chang.
Tentu saja nyonya muda ini menjadi marah sekali dan hampir saja dibunuhnya
panglima itu kalau saja suaminya tidak cepat datang mencegahnya. Akan tetapi
hatinya sudah puas karena dia telah memberi hajaran keras, membuntungi kedua
daun telinga pembesar yang sewenang-wenang itu.
Setelah
mereka tiba di rumah penginapan, Kok Cu lalu memeriksa luka-luka adiknya dan
merasa lega bahwa luka-luka itu tidak berbahaya, hanya merupakan pecah-pecah
pada kulit belaka. Dia cepat memberi obat kepada adiknya dan Kok Han lalu
berganti pakaian. Semua ini dikerjakan sambil bercakap-cakap dan Kok Han
menceritakan semua yang telah terjadi, betapa ayahnya dan kakaknya, Kok Tiong,
ditawan oleh tokoh Kui-liong-pang di lembah Huang-ho, juga bahwa keluarga Kao
tentu juga ditawan di lembah.
“Hoa-gu-ji,
tokoh Kui-liong-pang itu memperlihatkan cincin ibu dan hiasan rambut ji-soso
(kakak ipar kedua), maka ayah dan ji-ko tidak berani melawan dan bukti itu
jelas menyatakan bahwa semua keluarga tentu ditawan di lembah.”
Kao Kok Cu
mengepal tinjunya. “Mari kita serbu ke sana!” teriak Ceng Ceng tidak sabar
lagi.
Anak mereka
diculik orang, belum juga berhasil mereka temukan, dan sekarang semua keluarga
suaminya ditawan orang! Nyonya muda ini benar-benar merasa berduka dan marah
bukan main. Memang di waktu belum menikah dahulu, Ceng Ceng adalah seorang
gadis yang berhati baja, keras dan ganas, apa lagi dia pernah menjadi murid
dari Ban-tok Mo-li, maka begitu kini dilanda duka yang bertubi-tubi, kekerasan
hatinya pun muncul kembali sehingga tadi dia memberi hajaran yang ganas sekali
kepada Chang-ciangkun. (baca Kisah Sepasang Rajawali)
Akan tetapi
Kao Kok Cu yang biasa bersikap tenang dalam segala macam keadaan itu, biar pun
hatinya juga terasa panas mendengar betapa ayahnya juga ditawan musuh, lalu
berkata dengan nada suara halus dan tegas, “Kita pergi menghadap Puteri Milana
lebih dulu untuk melaporkan keadaan lembah yang mencurigakan itu. Aku mempunyai
perasaan bahwa ditangkapnya ayah dan semua keluarga ini tentu ada hubungannya
dengan usaha para pemberontak itu, entah apa kehendak mereka.”
Maka pada
hari itu juga, Kao Kok Cu, Kao Kok Han, dan Ceng Ceng pergi menghadap Panglima
Puteri Milana yang ketika itu sedang membuat persiapan dengan bala tentara yang
hendak dipimpinnya untuk menghancurkan usaha para pemberontak. Hati Puteri
Milana girang sekali ketika dia melihat siapa orangnya yang minta menghadap dia
itu. Segera dia mengenal Ceng Ceng.
“Kau... Ceng
Ceng...?” seru puteri itu sambil melangkah maju dan memegang tangan wanita itu.
“Akan tetapi kenapa kau nampak muram seperti ini? Apa yang telah terjadi?”
Berjumpa
dengan wanita agung yang masih menjadi bibi tirinya itu, dan melihat sikap yang
ramah, hampir saja Ceng Ceng menitikkan air matanya. Akan tetapi dia segera
teringat dengan siapa dia berhadapan. Puteri Milana adalah seorang wanita
perkasa, puteri Pendekar Super Sakti, yang selain memiliki ilmu kepandaian
silat yang tinggi sekali, juga memiliki kepandaian ilmu perang yang hebat. Maka
tidak patutlah kalau sampai dia menangis di depan wanita perkasa itu.
“Ahh, dan
engkau adalah Kao-taihiap yang dahulu berjuluk Si Topeng Setan itu, bukan?
Hebat, aku sudah lama mendengar julukanmu yang baru, yaitu Naga Sakti Gurun
Pasir, Taihiap!” kata pula Milana sambil memandang wajah pria yang menimbulkan
rasa kagum di hatinya itu.
“Paduka
terlalu memuji,” kata Kao Kok Cu. “Dia ini adalah adik saya, Kao Kok Han, dan
dia datang membawa berita tentang keadaan lembah Huang-ho yang mencurigakan,
maka kami mengambil keputusan untuk menghadap Paduka Puteri Milana untuk...“
“Ahhh, Kao
Kok Cu! Bukankah engkau ini suami Ceng Ceng? Isterimu adalah masih keponakanku,
maka engkau harus menyebut bibi kepadaku, jangan begitu merendah, membikin aku
merasa tidak enak saja. Pula, aku sekarang bukan lagi puteri istana, melainkan
tenaga bantuan dari luar yang diminta oleh Pangeran Mahkota Yung Ceng.”
Melihat
sikap yang terbuka dan ramah ini, diam-diam Kok Cu merasa kagum sekali dan dia
bersama isterinya lalu bercerita tentang keadaan keluarga Jenderal Kao yang
hilang diculik orang, juga tentang putera mereka yang juga lenyap diculik
orang.
Puteri
Milana menarik napas panjang dan memotong, “Aihhh, demikianlah memang kehidupan
orang-orang gagah dan orang-orang ternama, di mana-mana mempunyai banyak musuh
dan sewaktu-waktu tentu ada saja perbuatan musuh curang untuk mencelakai kita.
Sungguh aneh sekali, siapa orangnya yang begitu berani menculik keluarga yang
demikian banyaknya dari Jenderal Kao Liang? Dan menculik putera kalian dari
Gurun Pasir! Sungguh berani mati sekali!”
“Bukan itu
saja, Bibi,” kata Ceng Ceng. “Bahkan adik Kok Han baru saja datang dan
menceritakan bahwa ayah mertuaku dan adik Kok Tiong juga terpaksa pergi
mengikuti musuh karena mereka membawa bukti bahwa keluarga Kao telah mereka
tawan.” Lalu Kok Han menceritakan kembali pengalamannya kepada Milana yang
mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah Kok Han selesai bercerita, Kok Cu
berkata kepada Milana, suaranya sungguh-sungguh.
“Sebetulnya,
urusan keluarga kami ini adalah urusan kami sendiri dan kami tidak akan berani
mengganggu Bibi yang sudah cukup repot menanggulangi para pemberontak dengan
tugas Bibi yang mulia itu. Bahkan kami sendiri, mendengar akan adanya usaha
pemberontakan, tanpa diminta tentu akan membantu Bibi sekuat tenaga, kalau saja
tidak ada urusan pribadi yang cukup hebat ini. Akan tetapi, kami merasa bahwa
ada pertalian antara diculiknya keluarga ayah dengan usaha pemberontak. Kalau
memang para penculik itu hanya memusuhi ayah secara pribadi, mengapa mereka
menawan semua keluarga, tidak membunuhnya? Juga mereka kini menawan ayah, tentu
ada kehendak mereka yang tersembunyi, dan keadaan lembah itu sungguh
mencurigakan. Karena itulah maka kami sengaja melapor kepada Bibi.”
Milana
mengangguk-angguk. “Memang aku pun mempunyai kecurigaan demikian, Kok Cu.
Setelah memimpin pasukan menggempur Ho-nan, tentu aku memimpin pasukan
menyelidiki ke lembah itu.”
“Terserah
kepada kebijaksanaan Bibi Milana, akan tetapi kami tidak dapat membantu usaha
mulia Bibi itu karena kami hendak lebih dulu menyelidiki ke lembah. Hanya adik
saya Kok Han ini kiranya akan dapat menyumbangkan tenaganya, mewakili ayah
untuk membantu Bibi menghadapi para pemberontak.”
Kok Han yang
memang sebetulnya telah diberi tahu oleh kakaknya, segera berkata dengan gagah,
“Semenjak muda ayah telah menghabiskan waktu dan tenaganya untuk membela
negara, maka karena kini ayah tidak dapat membantu, biarlah saya mewakili ayah
untuk membela negara, Bibi Milana. Harap bantuan saya yang tidak berharga ini
dapat diterima.”
Milana
memandang kagum dan mengangguk-angguk. “Keluarga Kao memang terkenal keluarga
gagah perkasa dan setia kepada negara sampai turun-temurun, sayang sekali
istana tidak sadar akan hal ini dan tenaga sehebat itu kini dihentikan dan
dikeluarkan dari istana. Baiklah, Kao Kok Han, kau membantu kami.”
Setelah
meninggalkan Kok Han bersama Milana agar pemuda itu dapat membantu Milana
menghadapi pemberontak, Kok Cu dan Ceng Ceng lalu meninggalkan kota raja,
menuju ke lembah untuk melakukan penyelidikan lebih dulu. Mereka memang sengaja
meninggalkan Kok Han di kota raja bersama Milana, bukan hanya memberi
kesempatan kepada adik itu untuk ikut membela negara menghancurkan pemberontak,
akan tetapi juga karena mereka berdua akan lebih leluasa untuk melakukan
penyelidikan berdua saja, mengingat bahwa tingkat kepandaian Kok Han belum
dapat diandalkan untuk menghadapi lawan-lawan yang tangguh.
Kao Kok Han
lalu ikut bersama Milana untuk menyusun dan menggembleng pasukan pasukan yang
akan dipimpin untuk menggempur para pemberontak dan putera bungsu dari Jenderal
Kao ini oleh Milana diserahi pimpinan atas sebuah pasukan istimewa. Milana
sengaja melaporkan tentang putera Jenderal Kao yang membantu ini dan pangeran
mahkota menerima laporan dengan girang.
“Memang
ayahanda kaisar lemah sekali, mau mendengarkan omongan dan bujukan
pembesar-pembesar khianat sehingga Jenderal Kao yang gagah perkasa menjadi
korban. Kalau saja tidak terjadi hal itu, kalau saja Jenderal Kao masih
bertugas di sini, kiranya pemberontakan itu tidak akan sampai berlarut-larut
dan sudah dihancurkannya sebelum menjadi kuat. Sekarang puteranya ikut mewakili
ayahnya membantu, sungguh menggirangkan hatiku!” kata pangeran itu.
Beberapa
hari kemudian, Milana sudah siap dengan pasukannya dan ketika dia sudah
bersiap-siap untuk memimpin pasukannya, secara tidak terduga-duga muncullah
Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li!
“Enci
Milana...!” begitu menghadap panglima wanita itu, Suma Kian Bu berseru dengan
suara girang sekali karena dia memang sudah merasa amat rindu kepada kakaknya
itu.
Sejenak
Milana tertegun, memandang kepada pemuda berambut putih panjang yang berdiri di
depannya itu. Rambut itulah yang membuatnya tertegun dan ragu-ragu akan tetapi
tiba-tiba dia meloncat turun dari kursinya, berlari menghampiri pemuda itu.
“Bu-te...!
Kian Bu... benar-benar engkaukah ini...?”
“Enci
Milana...!”
Milana
merangkul adiknya, mereka saling berangkulan untuk menumpahkan rasa rindu
masing-masing. Enci dan adik sekandung ini saling pandang dan di kedua mata
Milana nampak air mata membasahi matanya.
“Kian Bu...
kau... kenapakah kau? Rambutmu ini...“
Kian Bu
tersenyum dan melangkah mundur setelah kakaknya melepaskan rangkulan. “Enci,
lupakah Enci bahwa rambut ayah juga putih semua?”
“Tapi...
tapi ayah...“
Milana sudah
mendengar dari ibunya bahwa putihnya rambut ayahnya adalah karena penderitaan
hati yang amat hebat selagi ayahnya masih muda, maka teringatlah dia akan
keadaan adik kandungnya ini, tentang kegagalan cinta kasih adiknya itu dengan
Puteri Syanti Dewi! Hatinya seperti ditusuk rasanya dan kembali dia melangkah maju
dan merangkul leher adiknya sambil memejamkan mata supaya jangan sampai air
matanya keluar.
“Enci yang
baik, apakah buruknya rambut putih?” Kian Bu berkata untuk menghibur hati
enci-nya, tetapi kata-kata itu bahkan dirasakan seperti menikam hati wanita perkasa
itu.
“Aihhh,
sungguh mengharukan sekali, Kian Bu. Pertemuan mengharukan antara enci yang
mencinta dan adiknya...“
Mendengar
suara wanita yang nyaring dan bernada seperti mengejek ini, Milana cepat
melepaskan rangkulannya dan memandang. Dia tadi memang melihat bahwa adiknya
datang bersama seorang dara berpakaian hitam yang amat cantik jelita, akan
tetapi pertemuannya dengan adiknya itu membuat dia lupa kepada dara itu dan
kini setelah dara itu mengeluarkan suara yang demikian mengejek, dia cepat
memandang dengan alis berkerut, sinar matanya tajam menyambar dengan penuh
selidik kepada dara yang berdiri dengan sikap tenang dan lagak yang angkuh itu.
Memang Hwee
Li, dara itu, marah sekali menyaksikan pertemuan antara enci dan adik yang
demikian mengharukan dan mereka berdua itu seolah-olah sudah melupakan dia,
seolah-olah dia tidak ada di situ! Maka dia sengaja mengeluarkan kata-kata
mengejek tadi. Bagi Hwee Li, dia memang tidak mengenal apa artinya takut, apa
artinya sopan santun. Biar di dalam istana sekali pun, di depan kaisar sekali
pun, dia tetap akan mengeluarkan apa pun yang berada dalam pikirannya melalui
mulut tanpa sungkan sungkan dan ragu-ragu lagi….
"Siapakah
dia ini?" Milana bertanya.
Kian Bu yang
juga mendengar ucapan Hwee Li tadi cepat-cepat memperkenalkan gadis itu kepada
enci-nya. “Enci, dia ini adalah Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo...“
“Ehhh...? Hek-tiauw
Lo-mo dari Pulau Neraka? Pantas! Dia puteri dari iblis jahat itu! Kenapa kau
ajak dia ke sini, Bu-te?” Milana menjadi merah mukanya dan matanya melotot
memandang kepada Hwee Li, siap untuk menerjang dan menyerang gadis itu.
“Dia... dia
bukan musuh, Enci, bahkan dia telah beberapa kali menolongku, menolong Lee-ko.
Dia adalah sahabat baikku, Enci, dan dia bukanlah puteri Hek-tiauw Lo-mo,
maksudku bukan anak kandungnya, hanya anak angkat...“
“Anak angkat
pun bukan, bahkan tua bangka iblis itu adalah musuh besarku, pembunuh dari ibu
kandungku!” Hwee Li melanjutkan.
Agar jangan
menimbulkan salah sangka karena sikap Hwee Li yang kasar itu, Kian Bu
cepat-cepat menceritakan semua hal mengenai Hwee Li kepada enci-nya, betapa dia
pernah tertawan di dalam benteng dan diselamatkan oleh Hwee Li, kemudian dia
menceritakan tentang keadaan di dalam benteng lembah. Dalam penuturan ini, Hwee
Li yang mengetahui lebih banyak tentang lembah, juga menambah cerita Kian Bu
dan setelah bercakap-cakap, Milana mendapat kenyataan betapa Hwee Li adalah
seorang dara yang polos, jujur dan terbuka, juga pemberani dan tidak suka untuk
berpalsu-palsu dengan sopan santun buatan.
Ketika
mendengar keadaan di dalam benteng lembah, Milana sangat terkejut. Betapa
benteng itu dibangun oleh Jenderal Kao yang dipaksa oleh karena seluruh
keluarganya tertawan di situ, betapa putera Kao Kok Cu dan Ceng Ceng juga
berada di situ. Malah Puteri Syanti Dewi juga turut tertawan di lembah dan
mereka telah gagal dalam usaha mereka untuk menyelamatkan Syanti Dewi.
Akan tetapi
yang paling mengejutkan hati Milana adalah keadaan di lembah yang telah menjadi
benteng amat kuat itu. Apa lagi ketika dia mendengar bahwa Pangeran Liong Bian
Cu, keturunan dari Pangeran Liong Khi Ong yang memberontak, sekarang telah
mengumpulkan orang-orang sakti dan memaksa Jenderal Kao membentuk barisan amat
kuat di benteng yang kuat pula itu, maklumlah dia bahwa keadaannya benar-benar
amat gawat.
“Ah, sungguh
celaka! Kiranya keturunan dua orang Pangeran Liong yang memberontak itu telah
menimbulkan pemberontakan pula yong lebih berbahaya. Karena benteng itu
didirikan di antara Propinsi Ho-nan dan Ho-pei, maka keadaannya jadi lebih
berbahaya dari pada pemberontakan kedua pangeran Liong beberapa tahun yang
lalu. Kao Kok Cu dan Ceng Ceng juga baru saja datang melapor, maka sebaiknya
kalian berdua juga cepat pergi menyusul mereka, membantu mereka yang
menyelidiki lembah. Aku akan mengerahkan pasukan, lebih dulu menyerbu Ho-nan
untuk menaklukkan Gubernur Ho-nan karena dari sanalah sumbernya tenaga bantuan
kepada para pemberontak.”
Kian Bu dan
Hwee Li tidak lama tinggal di kota raja. Mereka lalu berangkat lagi untuk
kembali ke lembah, untuk membantu Kok Cu dan Ceng Ceng karena mereka pun maklum
bahwa tempat itu sangat berbahaya, membutuhkan bantuan orang-orang sakti dan
juga membutuhkan serbuan pasukan yang kuat sekali untuk dapat menghancurkan
pemberontakan-pemberontakan dan juga menyelamatkan semua orang yang tertawan di
situ.
Setelah
kedua orang muda itu pergi, Milana kemudian mengirim utusan, cepat-cepat
memberitahukan kepada suaminya tentang keadaan yang berbahaya itu. Dia menulis
surat kepada suaminya, menceritakan semuanya dan mengharapkan suaminya untuk
turun tangan pula membantu, agar suaminya langsung menuju ke lembah karena dia
hendak memimpin pasukan menyerbu Propinsi Ho-nan lebih dulu…..
***************
Pagi yang
amat sunyi di tepi Sungai Huang-ho. Kao Kok Cu dan Ceng Ceng, isterinya, duduk
di atas batu-batu besar yang memenuhi sepanjang tepi sungai itu. Batu-batu
sebesar kerbau yang halus dan keputihan. Bagian tepi sungai ini sunyi sekali,
karena jalan menuju ke situ tertutup oleh semak-semak belukar dan hutan-hutan
yang lebat. Sudah lama juga, tidak kurang dari satu pekan lamanya, suami isteri
itu berada di tepi Sungai Huang-ho. Dari tempat yang mereka pergunakan sebagai
tempat melewatkan malam ini dapat nampak tembok benteng lembah yang kokoh kuat.
Mereka berdua bercakap-cakap.
Semenjak
terjadinya peristiwa penyerbuan, kini tembok benteng itu oleh Pangeran Liong
Bian Cu diperkuat penjagaannya, tidak hanya penjagaan di setiap pintu gerbang
dan perondaan di sepanjang tembok benteng, akan tetapi juga di atas tembok
dipasangi alat-alat rahasia, jebakan-jebakan dan juga banyak disembunyikan
pasukan-pasukan panah dan orang-orang pandai untuk mencegah masuknya mata-mata
musuh. Suami isteri ini telah menyelidiki selama beberapa hari dan mendapat
kenyataan bahwa tempat itu memang kokoh kuat, dan juga penuh dengan orang-orang
yang memiliki kepandaian tinggi.
Ceng Ceng
sudah tidak sabar menanti lebih lama lagi. Suaminya mempunyai ilmu kepandaian
yang amat tinggi, dan dia sendiri pun tidak akan mudah dikalahkan orang.
Mengapa suaminya belum juga mau menyerbu masuk, padahal keluarga suaminya semua
berada di dalam benteng itu?
“Kalau
menyelinap secara diam-diam tidak mungkin, marilah kita serbu saja dari pintu
gerbang. Apa sih sukarnya merobohkan puluhan orang penjaga di sana? Kalau kita
sudah berada di dalam, kita akan bertindak melihat suasana dan keadaan. Kalau
mereka mau diajak bicara baik-baik, kita tuntut dibebaskannya seluruh keluarga,
kalau mereka berkeras, kita turun tangan saja mengamuk!” Ceng Ceng berkata
sambil duduk di atas batu dan matanya yang tadi melamun memandang ke arah
tembok benteng, kini memandang suaminya dengan alis berkerut. Dia sudah tidak
sabar lagi untuk lebih lama menanti.
Kok Cu
menggeleng kepalanya. “Isteriku, dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana
keselamatan seluruh keluarga terancam, amat tidak bijaksana kalau kita
menggunakan kekerasan begitu saja. Memang tentu mudah bagi kita untuk menyerbu
masuk, akan tetapi kalau tempat itu penuh dengan pasukan musuh, dan banyak pula
terjaga oleh orang-orang pandai, bagaimana kita akan dapat membebaskan semua
keluarga ayah itu? Sebelum kita bergerak, kalau mereka itu mengancam
keselamatan keluarga ayah, apa yang dapat kita lakukan? Harap kau bersabar.
Kita menanti kesempatan baik, kalau ada di antara anggota pasukan yang keluar
dan dapat kita tangkap, kita akan dapat memaksanya menceritakan semua keadaan
sehingga kita dapat melakukan tindakan yang tepat.”
Ceng Ceng
hendak membantah, tetapi suaminya memberi isyarat dengan matanya dan ketika
Ceng Ceng mencurahkan perhatian, dia pun kemudian mendengar suara yang
mencurigakan di sebelah belakang, dari dalam hutan kecil yang lebat itu. Suami
isteri ini masih duduk dengan tenang, akan tetapi waspada dan semua syaraf di
tubuh mereka menegang. Keduanya makin yakin bahwa penjagaan di sekitar tembok
benteng itu memang amat kuat dan cermat sehingga agaknya kehadiran mereka telah
diketahui oleh pihak musuh!
Dugaan
mereka ini ternyata benar, segera terdengar suara sebelum orangnya nampak.
“Ha-ha-ha, Ngo-te, sungguh akhir-akhir ini Sam-ko menjadi penakut sekali. Hanya
dua orang laki-laki dan wanita muda di sini. Sepasukan orang saja cukup untuk
menangkap mereka, mengapa mesti menyuruh kami? Ha-ha-ha, ini namanya menangkap
dua ekor ikan teri menggunakan jala yang besar! Ha-ha-ha!”
Lalu
terdengar suara kedua, suara orang yang agaknya malas bicara, “Su-ko, kuku ibu
jari perempuan itu untukku!”
“Ha-ha-ha,
dia cantik juga, Ngo-te. Engkau memang beruntung hari ini!”
Ceng Ceng
dan Kok Cu masih duduk ketika nampak dua bayangan berkelebat. Mereka berdua
terkejut. Melihat cara bayangan itu berkelebat sedemikian cepatnya, suami
isteri ini maklum bahwa yang datang bukanlah orang-orang biasa, melainkan dua
orang yang termasuk orang-orang yang berilmu tinggi sekali, bukan tokoh-tokoh
kang-ouw umum saja yang mampu bergerak seperti itu. Maka suami isteri ini cepat
bangkit berdiri dan memandang kepada dua orang itu dengan mata terheran-heran
karena yang berdiri di depan mereka adalah dua orang yang amat aneh bentuk
tubuhnya.
Yang seorang
amat jangkung hingga Kao Kok Cu sendiri yang sudah termasuk seorang pria yang
tinggi, agaknya hanya sampai di bawah pundak kakek jangkung itu! Dan yang
seorang lagi, yang kepalanya gundul, berpakaian hwesio, adalah seorang yang
amat gendut akan tetapi juga amat pendek, begitu pendeknya sehingga
paling-paling sampai di dada Ceng Ceng tingginya. Benar-benar seorang tosu
jangkung dan seorang hwesio pendek yang aneh, karena keadaan tubuh keduanya amat
berlawanan, yang seorang tinggi kurus dan yang kedua gendut pendek.
Sebaliknya,
Su-ok Siauw-siang-cu dan Ngo-ok Toat-beng Siansu sama sekali tidak mengenal
suami isteri itu, karena biar pun namanya terkenal di seluruh dunia persilatan
sebagai seorang tokoh sakti seperti dalam dongeng, namun Kok Cu dan isterinya
jarang sekali meninggalkan Istana Gurun Pasir. Ketika melihat betapa cantiknya
Ceng Ceng, seketika kumatlah penyakit Ngo-ok Toat-beng Siansu dan dia sudah
memandang kepada Ceng Ceng dengan penuh nafsu, terutama memandang kepada ibu
jari tangan Ceng Ceng dengan kukunya yang mengkilap dan terpelihara baik-baik
itu.
“Su-ko, aku
tidak tahan lagi. Kau lihatlah pertunjukan yang menarik!” kata si jangkung
dengan suara serak. Yang dimaksudkan dengan pertunjukan menarik adalah betapa
dia dengan cara sadis memperkosa wanita di depan Su-ok, kemudian mencabut kuku
ibu jari wanita yang telah diperkosanya lalu dibunuhnya.
“Heh-heh-heh,
senang sekali, aku suka menonton. Kau juga, lengan buntung?” tanya si gendut
pendek kepada Kok Cu. Senang karena dia melihat si lengan buntung ini akan
dipaksa menyaksikan isterinya diperkosa sampai mati secara kejam sekali oleh si
jangkung.
Tetapi Kok
Cu diam saja, wajahnya yang tampan sama sekali tidak memperlihatkan apa-apa,
juga Ceng Ceng hanya berdiri memandang si jangkung, hanya sepasang matanya yang
mengeluarkan sinar kilat dan diam-diam Ceng Ceng sudah mengerahkan tenaganya
yang mukjijat dan kedua tangannya yang berkulit putih halus itu tanpa diketahui
orang kini telah berubah menjadi dua tangan maut yang mengandung Ilmu Ban-tok
Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun)!
Tiba-tiba si
jangkung melangkah maju dan Kok Cu berbisik kepada isterinya, “Berhati
hatilah.” Lalu suami ini malah menyingkir dari samping isterinya.
Ceng Ceng
berdiri dengan kedua kaki terpentang dan sepasang matanya tidak pernah
meninggalkan si jangkung yang memandang kepadanya dengan mata seperti terpejam.
Setelah jarak di antara mereka tinggal kurang dari dua meter, si jangkung
berhenti dan kedua mata sipit itu bergerak-gerak mengamati tubuh Ceng Ceng dari
atas ke bawah, lalu dia mengangguk-angguk puas, dan begitu kakinya yang panjang
melangkah dan tubuhnya bergerak, tahu-tahu ada dua lengan panjang sekali
menyambar dari kanan kiri, menubruk ke arah kedua pundak Ceng Ceng!
Ngo-ok yang
jangkung itu tentu saja memandang rendah kepada Ceng Ceng dan mengira bahwa
wanita cantik yang menjadi calon korbannya ini sekali tubruk saja tentu akan
menyerah dan dapat dipeluknya. Akan tetapi sekali ini, Si Jahat Nomor Lima ini
benar-benar kecelik sekali. Wanita cantik yang ditubruknya dengan menggunakan
dua lengan panjangnya itu sama sekali tidak mengelak atau meloncat mundur,
bahkan Ceng Ceng melangkah maju dan kedua tangannya dihantamkan ke arah dada
dan lambung Ngo-ok!
“Wuuuttttt...!”
Melihat
pukulan yang mengeluarkan suara aneh dan nampak sinar menghitam dari tangan
itu, Ngo-ok terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa pukulan itu adalah pukulan
yang mengandung racun amat hebatnya. Tidak percuma dia menjadi datuk kaum
sesat, maka tentu saja dia segera mengenal pukulan ini. Dia mengeluarkan suara
teriakan serak dan tubuhnya ditarik ke belakang, terpaksa kedua tangannya
ditarik pula untuk melindungi tubuhnya.
“Duk!
Dukkk!”
Kedua lengan
Ceng Ceng dapat ditangkisnya, akan tetapi akibatnya, tubuh si jangkung
terlempar ke belakang dan kedua lengannya terasa panas sekali! Dan pada saat
itu, Ceng Ceng sudah melangkah maju pula dan melancarkan pukulan-pukulan
saktinya.
“Aaahhhhh...!”
Si jangkung
kaget setengah mati dan cepat dia sudah berjungkir balik dengan kepala di bawah
dan kaki di atas, tangan dan kakinya sibuk menangkisi pukulan-pukulan Ceng Ceng
yang menjadi agak bingung juga melihat tubuh yang tiba-tiba membalik itu.
Melihat ini,
maklumlah Su-ok bahwa orang-orang muda yang disangkanya lemah ini ternyata
adalah orang-orang pandai. Mengertilah dia sekarang mengapa koksu telah
memerintahkan dia dan Ngo-ok untuk menangkap dua orang ini. Maka tanpa banyak
cakap lagi, dia pun sudah meloncat ke depan Kok Cu, tubuhnya berjongkok dan
karena tidak ingin membuang waktu untuk segera merobohkan laki-laki berlengan
buntung lalu membantu Ngo-ok, si pendek gendut ini begitu menyerang telah
menggunakan Ilmu Pukulan Katak Buduk yang amat lihai itu.
Angin
pukulan dahsyat disertai bau amis menyambar ke arah Kok Cu. Akan tetapi
pendekar sakti ini bersikap tenang saja. Ketika pukulan itu sudah datang dekat,
tiba-tiba lengan kiri yang buntung, yang hanya tinggal lengan bajunya saja itu
segera bergerak menyambar ke depan lalu bergoyang-goyang dan pukulan Katak
Buduk itu membuyar! Dan tiba-tiba tangan kanan pendekar itu sudah menyelonong
ke atas kepala Su-ok, mengancam hendak mencengkeram kepala yang botak itu!
Su-ok
terkejut, cepat melempar dirinya ke atas batu dan menggelundung, lalu meloncat
dan menyerang lagi dengan pukulan Katak Buduk. Akan tetapi sekali ini, Kok Cu
menerima pukulan itu dengan dorongan tangan kanannya. Pertemuan dua tenaga
dahsyat itu hebat bukan main dan akibatnya, Su-ok terpental ke belakang dan
dadanya terasa sesak!
“Tahan...!”
katanya terengah. “Apakah... apakah Sicu ini Si Naga Sakti Gurun Pasir?”
Mendengar
pertanyaan ini, Ngo-ok mengeluarkan seruan aneh dan dia pun cepat meloncat ke
belakang sambil membalikkan tubuhnya lagi, memandang dengan kaget kepada laki-laki
buntung lengan kirinya itu. Kok Cu mengangguk.
“Bukankah
kalian ini Su-ok dan Ngo-ok dari Im-kan Ngo-ok? Hemmm... jadi kalian inikah
yang telah menculik keluarga ayahku?” Di dalam suara itu terkandung ancaman
hebat dan sepasang mata itu kini mencorong, membuat dua orang datuk kaum sesat
itu diam diam menjadi jeri sekali.
Su-ok lalu
berkemak-kemik, mengerahkan tenaga khikang untuk menggunakan Ilmu
Coan-im-jip-bit, yaitu mengirim suara dari jauh untuk memberi tahu kepada
koksu. Juga Ngo-ok membantunya sehingga dua orang aneh itu hanya berdiri
seperti patung, dan hanya bibir mereka yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan
suara. Tentu saja Kok Cu tahu artinya ini dan dia hanya tersenyum mengejek
karena dia tahu bahwa dua orang itu belum mahir benar dalam ilmu ini.
Dugaan
pendekar ini memang benar. Su-ok dan Ngo-ok demikian kaget dan gentar mendengar
bahwa si lengan buntung ini adalah Naga Sakti Gurun Pasir, maka mereka tidak
berani menyerang lagi dan segera mengirim berita kepada koksu melalui ilmu
mengirim suara dari jauh. Tak lama kemudian, terdengarlah lapat-lapat suara
koksu yang ditujukan kepada pendekar itu dan isterinya.
“Koksu
Negara Nepal mengundang Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya untuk memasuki
benteng lembah!”
Mendengar
ini, Kao Kok Cu lalu mengangkat mukanya menghadap ke arah banteng. Dadanya yang
bidang itu mekar dan tiba-tiba terdengar suaranya, tidak keras akan tetapi
suara itu mengandung getaran hebat dan suara itu dapat mencapai tempat jauh
sekali, “Kami datang memenuhi undangan Koksu Nepal!”
Su-ok dan
Ngo-ok saling pandang dengan muka pucat. Barusan cara Naga Sakti itu
mengeluarkan suaranya saja sudah menunjukkan bahwa pendekar ini memiliki tenaga
sinkang yang jauh lebih kuat dari pada mereka. Orang yang sudah dapat berteriak
seperti itu, menunjukkan kekuatan sinkang yang sukar diukur lagi berapa
dalamnya! Untung bahwa mereka tadi tidak lancang terus menyerang karena
keduanya maklum bahwa mereka bukanlah tandingan Si Naga Sakti dan isterinya
ini.
“Heh-heh-heh,
maafkan kami...heh-heh, kami tidak tahu bahwa Sicu adalah Si Naga Sakti dari
Gurun Pasir. Heh-heh, koksu sudah mengundang Ji-wi, mari kita antarkan...,“
kata Su-ok yang pandai bicara dengan sikap ramah, sedangkan Ngo-ok hanya makin
cemberut saja karena untuk ke sekian kalinya kembali dia gagal memperoleh
seorang wanita yang telah membangkitkan birahinya!
“Kalian
jalanlah lebih dulu,” kata Kok Cu dengan sikap dingin.
Dua orang
kakek itu lalu berkelebat cepat. Mereka sengaja menggunakan ginkang mereka
untuk bergerak cepat agar suami isteri itu tertinggal di belakang dan agar suami
isteri itu minta kepada mereka jangan terlalu cepat. Akan tetapi ketika mereka
menoleh, mereka melihat betapa suami isteri itu sudah berada dekat sekali di
belakang mereka tanpa kelihatan mengerahkan tenaga sedikit pun juga, padahal
mereka berdua sudah berusaha sekuat tenaga untuk meninggalkan mereka.
Karena
mereka berjalan dengan pengerahan tenaga ginkang, sebentar saja mereka telah
tiba di pintu gerbang. Di sini, dua orang kakek itu berjalan dengan langkah
biasa dan ketika meiewati pintu gerbang yang terjaga oleh pasukan yang kuat,
Su-ok dan Ngo-ok mengangkat dada dan berjalan dengan lagak dua orang panglima
yang menang perang atau dua orang yang telah berhasil ‘menawan’ seorang
pendekar sakti seperti Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya! Mereka lalu mempersilakan
Kok Cu dan isterinya untuk berjalan di depan.
Kok Cu dan
Ceng Ceng juga tidak takut. Mereka melihat betapa tembok benteng itu tebal dan
terjaga kuat dan diam-diam mereka terkejut menyaksikan betapa benteng itu
berlapis-lapis dan luar biasa kuatnya. Memang tidak mudahlah bagi pasukan untuk
menyerbu tempat ini, apa lagi kalau penjagaan dilakukan sedemikian ketatnya.
Juga nampak
pasukan yang berjaga-jaga secara teratur sekali, ada pasukan tombak, pasukan
golok, pasukan pedang dan pasukan panah. Di atas tembok juga berjajar
pasukan-pasukan yang siap menangkis setiap penyerbuan dan diam-diam Kok Cu
menahan napas. Hebat memang penjagaan di benteng ini dan dia merasa lega bahwa
pasukan pemerintah dipimpin oleh seorang ahli seperti Puteri Milana. Biar pun
demikian, dia masih menyangsikan apakah pasukan pemerintah akan dapat membobol
benteng yang sedemikian kuatnya ini.
Lalu dia
terkejut dan mulai mengerti! Agaknya ayahnya yang berdiri di belakang semua
ini! Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang mampu menciptakan benteng sekuat dan
sehebat ini? Ahhh, tentu ayahnya dipaksa, dan oleh karena keluarga ayahnya
menjadi tawanan, maka ayahnya kemudian menurut saja untuk menyelamatkan
keluarganya! Benarkah dugaannya ini? Dia masih ragu-ragu. Tak mungkin ayahnya mau
membantu musuh, lebih baik mati, demikian tentu pendirian ayahnya.
Suami isteri
pendekar itu makin terkejut ketika mengenal orang-orang pandai di dalam
benteng, di antaranya mereka melihat Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lokwi, tiga orang
tua yang mereka duga tentulah Twa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok karena mereka sudah
pernah mendengar bagaimana rupanya Im-kan Ngo-ok. Masih banyak pula orang-orang
yang kelihatan memiliki kepandaian tinggi akan tetapi yang tidak mereka kenal.
Mereka semua itu dipimpin oleh Sam-ok yang berpakaian sebagai seorang pembesar,
yang bertubuh raksasa berkepala botak, mengenakan mantel merah dan pakaiannya
mewah. Inilah tentu Koksu Nepal, pikir Kok Cu sambil memandang penuh perhatian.
Ketika
melihat orang-orang yang bermacam-macam bentuknya itu menyambut, Kok Cu lalu
bertanya, “Apakah kami berhadapan dengan Koksu Nepal yang mengundang kami?”
Ban Hwa
Sengjin, yaitu Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok, atau Koksu Negara Nepal, menjura
dengan sikap hormat. Diam-diam dia merasa kagum bukan main kepada pendekar
lengan buntung ini. Sejak tadi dia sudah memperhatikan dan memang pria
berlengan buntung sebelah ini patut menjadi seorang pendekar sakti. Dia masuk
bersama isterinya dengan tangan kosong dan suami isteri itu melangkah dengan
gagahnya, tenang dan sedikit pun tidak kelihatan gentar. Sikap ini bukan hanya
mengagumkan hati Sam-ok, akan tetapi iuga mencengangkan semua tokoh yang
sebelumnya memang sudah gentar mendengar nama Naga Sakti Gurun Pasir itu.
“Selamat
datang di benteng kami, Sicu,” kata koksu. “Tidak salah perkiraan Sicu, saya
adalah Koksu Nepal...“
“Hemmm,
kalau begitu Sam-ok dan Im-kan Ngo-ok?” mendadak Ceng Ceng bertanya karena dia
melihat betapa Im-kan Ngo-ok berdiri berjajar, di sebelah kanan koksu itu
nampak nenek Ji-ok dan kakek Twa-ok, sedangkan Su-ok dan Ngo-ok berdiri di
sebelah kiri koksu.
“Li-enghiong
berpemandangan awas benar!” kata koksu memuji. “Tidak salah, selain sebagai
Koksu Nepal, saya juga menjadi Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok. Ji-wi telah melihat
sendiri betapa kuatnya keadaan kami, dengan bantuan semua tokoh yang pandai
dari dunia kang-ouw.”
“Apa
maksudmu mengundang kami?” Kok Cu bertanya singkat dan tegas.
“Sicu, kami
atas nama Pangeran Bharuhendra dari Nepal menyampaikan undangan kepada Sicu
berdua, mengajak Sicu berdua untuk bekerja sama...“
“Hemmm, apa
hubungannya Pangeran Nepal dengan kami? Mengapa pula pangeran dari Nepal
membuat benteng di sini? Apakah Pangeran Nepal berhubungan dengan mereka yang
hendak memberontak terhadap kaisar?”
Semua orang
saling pandang. Pendekar ini bicaranya tegas dan terus terang, penuh keberanian
dan keangkuhan.
Akan tetapi
koksu tersenyum. “Sicu, hendaknya Sicu rnenyadari keadaan. Pangeran Bharuhendra
adalah juga Pangeran Liong Bian Cu, putera dari mendiang Pangeran Liong Khi
Ong, yang hanya melanjutkan cita-cita besar ayahnya, yaitu menumbangkan
kekuasaan sekarang yang lemah dan lalim untuk membentuk suatu pemerintahan yang
kokoh kuat dan bijaksana. Banyak orang yang sudah membantu perjuangan ini...”
“Hanya
pengkhianat-pengkhianat saja yang mau membantu pemberontakan!” cela Ceng Ceng.
“Kami tidak
sudi bekerja sama dengan pemberontak!” sambung Kok Cu.
“Sicu,
ingatlah. Apakah Sicu juga masih hendak bersetia kepada kaisar yang begitu
sewenang-wenang, memecat dan mengusir orang yang berjasa besar seperti ayahmu,
Jenderal Kao itu? Ingat, bahkan ayahmu pun kini sudah bekerja sama dengan kami.
Lihat benteng ini, ayahmulah yang membangun! Lihat pasukan-pasukan itu.
Ayahmulah yang membentuk dan melatih sehingga keadaan kami begini kuat.”
“Tidak!
Ayahku kalian paksa maka sudi melakukan semua ini!” bentak Kok Cu marah dan
kini matanya mencorong seperti mata seekor naga sakti sehingga semua orang
menjadi gentar sekali. “Dan pula, siapa percaya bahwa ayahku berada di sini
membantu kalian?” Dengan ucapan ini Kok Cu memang hendak melihat bukti bahwa
ayahnya masih dalam keadaan selamat.
“Sicu
agaknya belum percaya kepada kami? Lo-mo, harap kau panggil Jenderal Kao ke
sini!” Mendengar perintah ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk dan pergi. Jantung
Kok Cu berdebar tegang.
Tidak lama
kemudian Hek-tiauw Lo-mo datang kembali, dan bersama dia datang pula Jenderal
Kao Liang. Kok Cu membalikkan tubuh dan memandang kepada ayahnya, sukar
dibayangkan bagaimana perasaan hati pendekar sakti ini karena pada wajahnya
yang tampan dan keras itu tidak terbayang sesuatu. Ceng Ceng juga memandang
kepada ayah mertuanya dengan muka berubah agak pucat, akan tetapi juga wanita
ini yang sudah pandai menguasai perasaannya, tidak berkata apa-apa.
Agaknya
Jenderal Kao itu tadi tidak diberi tahu oleh Hek-tiauw Lo-mo mengapa dia
dipanggil. Tadinya ia berjalan dengan langkah tenang saja di samping Hek-tiauw
Lo-mo menuju ke tempat itu. Akan tetapi begitu dia melihat puteranya itu,
tiba-tiba langkahnya terhenti dan matanya terbelalak memandang ke arah wajah
Kok Cu, wajahnya berubah pucat sekali dan tiba-tiba saja dia membalikkan
tubuhnya, membelakangi puteranya itu untuk menyembunyikan air mata yang keluar
dari sepasang matanya. Dia tidak mau dilihat puteranya mengeluarkan air mata,
akan tetapi kakek ini tidak dapat menahan tangisnya ketika melihat puteranya
karena berbagai perasaan mencengkeram hatinya. Ada rasa haru, duka, dan juga
malu bahwa puteranya tentu telah melihat, mendengar betapa dia kini telah
menghambakan diri kepada pemberontak! Lalu dengan langkah perlahan dan kepala
menunduk, Jenderal Kao pergi lagi meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh lagi.
Kok Cu
mengerti dan merasa terharu sekali. Dia tahu betapa hancur hati ayahnya, dan
dia tahu pula bahwa ayahnya melakukan hal itu karena terpaksa, karena tidak
ingin melihat keluarganya tersiksa atau terbunuh! Dia tahu bahwa tentu koksu
itu, Orang Jahat Nomor Tiga dari Im-kan Ngo-ok yang dia tahu tentu tidak
segan-segan melakukan apa saja yang paling keji sifatnya, untuk memaksa ayahnya
dengan jalan mengancam para keluarga yang sudah tertawan di tempat itu. Maka
setelah ayahnya pergi dan lenyap di tikungan, dia kemudian membalik dan kembali
menghadapi koksu dan para pembantunya dengan sinar mata penuh tantangan.
“Koksu,
engkau telah berhasil memperdayai ayahku, memaksa ayahku untuk bekerja untukmu
dengan ancaman keluarga ayah. Akan tetapi jangan harap engkau akan dapat
membujuk aku untuk membantu pekerjaanmu yang terkutuk ini!” katanya dengan
suara tenang dan tegas dan di dalam suara itu saja koksu ini telah mengerti
benar bahwa memang tidak mungkin dapat membujuk seorang yang berhati keras dan
teguh seperti Naga Sakti Gurun Pasir itu.
“Apa pun
yang kau tuduhkan, kenyataan adalah bahwa ayahmu, Jenderal Kao Liang, telah
bekerja sama dengan kami,” kata Koksu Nepal. “Oleh karena itu sekali lagi, kami
harap agar engkau dan isterimu suka bekerja sama dengan kami, Sicu. Andai kata
tidak secara suka rela, tentu engkau akan melakukannya dengan bijaksana,
melihat keadaan yang tak mungkin dapat diubah lagi. Sicu dan Li-enghiong,
kalian lihat siapakah yang di sana itu!” Koksu Nepal itu menuding ke belakang
dua orang suami isteri itu yang segera membalikkan tubuhnya memandang.
Hampir saja
Ceng Ceng mengeluarkan teriakan ketika dia melihat siapa yang berada di sana, berdiri
dengan sepasang mata terbelalak, dijaga oleh Hek-tiauw Lo-mo berdua Hek-hwa
Lo-kwi yang tentu akan turun tangan dengan keji kalau sampai suami isteri ini
bergerak. Juga Kok Cu memandang dengan sepasang mata terbelalak ketika dia
melihat puteranya di situ. Sungguh sama sekali tidak pernah mereka sangka bahwa
putera mereka yang terculik itu ternyata juga berada di situ pula!
Sekarang
mengertilah Kok Cu betapa makin berat penanggungan ayahnya. Dengan seluruh
keluarga, termasuk puteranya pula di tangannya, tentu saja koksu memiliki
senjata yang amat ampuh dan kuat untuk memaksa ayahnya melakukan apa pun juga.
Betapa pun, dia menganggap ayahnya terlalu lemah! Apa artinya pengorbanan
ayahnya itu kalau dia harus melakukan sesuatu yang demikian hina? Bukankah noda
dan aib yang dilakukan ayahnya itu akan mencemarkan nama seluruh keluarganya.
Mengapa ayahnya tidak melihat hal ini?
“Ayah...!
Ibu...!” Cin Liong berseru dan air matanya lalu bercucuran dari kedua mata anak
itu. Akan tetapi dia telah diancam tidak boleh mendekati orang tuanya.
Seperti
diremas-remas rasa jantung Ceng Ceng. Seperti hendak terbang dia mendekati
puteranya, mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa. Akan tetapi ketika dia
merasa betapa lengannya dipegang oleh suaminya, datang pula kekuatan di hatinya
dan dia menelan ludah, lalu memandang kepada puteranya dengan batin yang lebih
tenang.
“Cin Liong,
kau tenanglah dan jangan menangis. Pada suatu hari, ayah ibumu pasti akan dapat
membawamu pulang!” kata Kok Cu, suaranya tenang sekali dan sama sekali tidak
mengandung kekhawatiran sehingga semua orang yang menyaksikannya menjadi kagum
bukan main.
Koksu
memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang mengajak Cin
Liong pergi lagi, akan tetapi tiba-tiba anak itu membalikkan tubuhnya dan
berkata lantang, “Ayah, yang menculikku adalah laki-laki berambut keemasan dan
wanita baju hijau itu!” Anak itu menudingkan telunjuknya kepada laki-laki dan
wanita yang berdiri tidak jauh dari Koksu Nepal, akan tetapi dua orang kakek
iblis itu sudah memondong dan menariknya pergi dari situ.
Akan tetapi
teriakan Cin Liong itu cukup bagi Ceng Ceng untuk memutar tubuh dan memandang
kepada Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan, dengan sinar mata seperti hendak menelan
bulat-bulat kedua orang itu sehingga dua orang itu merasa agak ngeri juga.
“Kenapa
kalian menculik puteraku? Kenapa?” bentak Ceng Ceng, sinar matanya berapi api.
Baik Liong
Tek Hwi mau pun Kim Cui Yan tidak menjawab, hanya memandang kepada koksu karena
mereka tahu bahwa yang dapat menanggulangi dua suami isteri yang sakti ini
hanyalah koksu.
“Sicu dan
Li-enghiong, Ji-wi hendak mengetahui sebabnya? Nah, dengarlah baik-baik. Kongcu
ini adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Bin Ong, sedang sumoi-nya ini
adalah puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin! Nah, tentu Ji-wi tahu betapa
keluarga Kim Bouw Sin dihukum dan dibasmi karena Jenderal Kao, dan juga betapa
Pangeran Liong Bin Ong gagal dan tewas, satu antara lain juga karena Jenderal
Kao. Semua orang menaruh dendam kepada Jenderal Kao Liang, oleh karena itulah
maka terjadi penculikan-penculikan terhadap keluarga Kao dan juga terhadap
puteramu, Sicu. Akan tetapi, kami bukanlah orang-orang yang buta oleh dendam
dan sakit hati. Tidak, kami adalah orang-orang yang mementingkan perjuangan.
Oleh karena itu, Sicu, maka sampai sekarang pun keluarga Kao dan puteramu masih
dalam keadaan selamat semua, tidak ada seorang pun yang mengalami luka atau
tewas.”
“Koksu,
engkau dan semua orang yang bersangkutan tentu tahu belaka bahwa tidak ada
permusuhan pribadi antara ayahku dan ayah mereka. Kematian Kim Bouw Sin atau
Pangeran Liong bukan karena bermusuhan dengan ayahku. Ayahku adalah seorang
panglima yang bertugas membasmi pemberontakan sedangkan mereka itu adalah
pemberontak-pemberontak. Kalau sampai mereka kalah dan tewas, hal itu tentu
saja tidak boleh disalahkan kepada ayahku. Andai kata ayahku tewas dalam
melaksanakan tugas, tentu aku pun tidak menaruh dendam pribadi kepada lawannya
di medan perang! Oleh karena itu, sekarang aku datang bersama isteriku dan aku
menuntut agar ayahku dan semua keluarga dibebaskan sekarang juga, untuk mana
kami tentu akan berterima kasih sekali.”
“Hemmm,
Kao-sicu, permintaanmu itu tentu saja tak mungkin kami laksanakan,” kata koksu.
“Perjuangan kami belum selesai. Kami terpaksa saja menahan keluarga Kao agar
Jenderal Kao suka membantu kami sampai kami berhasil. Dan setelah berhasil,
tentu akan kami bebaskan semua, bahkan akan memberi ganjaran dan penghargaan
atas jasa-jasa keluarga Kao kepada kami.”
“Koksu
keparat! Hayo kau maju lawan aku. Kita bertanding dengan taruhan keluarga Kao!”
Tiba-tiba Ceng Ceng membentak nyaring dan melangkah maju dengan kedua tangan
terkepal.
Akan tetapi
Sam-ok atau Koksu Nepal adalah seorang datuk sesat yang sudah banyak
pengalaman. Dia tentu saja tidak jeri menghadapi Ceng Ceng, akan tetapi melihat
kehadiran Si Naga Sakti Gurun Pasir di situ, dia tidak mau dipancing untuk
bertanding satu lawan satu. Dia tahu bahwa di situ tidak ada seorang pun yang
akan sanggup menandingi Si Naga Sakti. Bahkan Twa-ok sendiri pun agaknya tidak
akan menang.
“Li-enghiong,
kami menghargai sekali kegagahanmu. Akan tetapi ketahuilah bahwa urusan tawanan
bukan urusan pribadiku, melainkan urusan seluruh isi benteng. Kalau engkau dan
suamimu hendak menggunakan kekerasan, tentu kalian akan berhadapan dengan kami
semua berikut seluruh pasukan kami!”
Kembali Ceng
Ceng merasa tangannya dipegang oleh suaminya dan ia teringat bahwa menggunakan
kekerasan tidak akan ada gunanya, maka dia mundur, biar pun matanya masih
berapi-api ditujukan kepada koksu.
“Baiklah,
kami akan mundur dan kami akan berusaha menggunakan kepandaian kami untuk dapat
membebaskan keluarga kami dari tempat ini. Akan tetapi kalau sampai ada seorang
saja di antara keluarga Kao yang celaka selagi mereka menjadi tawanan di tempat
ini, maka Im-kan Ngo-ok yang bertanggung jawab dan kelak tentu akan berhadapan
dengan kami! Camkanlah ini!”
Setelah
berkata demikian, Kok Cu mengajak isterinya meninggalkan tempat itu. Koksu dan
semua orang memandang dengan hati ngeri, dan dua orang suami isteri itu
melangkah pergi diikuti oleh pandang mata mereka semua.
Melihat ini,
Hek-hwa Lo-kwi yang sejak tadi sudah memandang dengan marah dan yang sudah
mengumpulkan anak buah Kui-liong-pang yang jumlahnya tidak kurang dari dua
puluh orang, cepat memberi aba-aba dan majulah dua puluh lima orang
Kui-liong-pang, yaitu mereka yang termasuk tokoh-tokohnya yang berkepandaian,
dipimpin oleh Khiu Sek, bekas pangcu dari Kui-liong-pang dan Hoa-gu-ji, tokoh
kedua dari Kui-liong-pang yang kemudian keduanya menjadi pembantu-pembantu
Hek-hwa Lo-kwi.
Hek-hwa
Lo-kwi penasaran sekali karena dia sudah mengenal Ceng Ceng dan tahu bahwa biar
pun wanita itu lihai, namun dia sanggup melawannya, apa lagi kalau dibantu oleh
anak buahnya, biar pun di situ ada Si Naga Sakti!
Melihat
Hek-hwa Lo-kwi dan anak buahnya menghadang, Si Naga Sakti tenang saja, akan
tetapi Ceng Ceng sudah mendamprat, “Hek-hwa Lo-kwi iblis tua bangka bosan
hidup! Mau apa kau menghadang kami?”
“Ha-ha-ha!”
Hek-hwa Lo-kwi tertawa. “Kalian dua orang manusia yang sombong sudah memasuki
lembah kami, tentu tidak akan mudah keluar begitu saja!” Lalu kakek ini
melambaikan tangan kepada para anak buahnya dan berkata, “Tangkap mereka!”
Kok Cu masih
sempat berbisik kepada isterinya, “Jangan membunuh!” dan isterinya yang sedang
marah itu terpaksa mengangguk karena Ceng Ceng juga teringat betapa nyawa anak
mereka dan keluarga Kao berada di tangan musuh.
Ketika dua
puluh lima orang itu menyerbu dengan senjata mereka, suami isteri itu bergerak
maju dan terjadilah pertempuran yang amat luar biasa.
Yang
mula-mula menubruk maju adalah Khiu Sek dan Hoa-gu-ji. Dua orang tokoh pertama
dan kedua dari Kui-liong-pang sesudah Hek-hwa Lo-kwi ini sesungguhnya cukup
lihai. Khiu Sek adalah seorang bertubuh kecil yang permainan cambuknya lihai
sekali. Cambuk hitam bercabang di tangannya itu adalah senjatanya yang
istimewa. Ada pun Hoa-gu-ji, sesuai dengan julukannya, yaitu Kerbau Belang,
memiliki tenaga besar. Tubuhnya tinggi kurus dan dia memegang senjata yang
istimewa pula, yaitu sebatang dayung panjang yang amat berat.
Dua orang
tokoh Kui-liong-pang ini adalah penjahat-penjahat yang biasa menghina wanita.
Mereka memang sudah mendengar nama besar Si Naga Sakti, maka mereka hendak
menyerahkan lawan berat itu kepada ketua baru mereka, sedangkan mereka sendiri
memilih yang lunak dan menyenangkan, yaitu Ceng Ceng. Maka dengan ganas dan
sangat dahsyat, keduanya sudah menerjang Ceng Ceng.
Akan tetapi,
apa yang terjadi benar-benar membuat semua orang terkejut setengah mati. Mereka
melihat dua orang tokoh Kui-liong-pang itu menyerang dari kanan kiri, dan
ternyata wanita itu sama sekali tidak mengelak, bahkan dia menggunakan
lengannya yang berkulit putih halus dan kecil itu untuk menangkis dayung,
sedangkan sambaran cambuk itu didiamkannya saja. Tetapi setelah cambuk menyambar
dekat kepalanya, dia tiba-tiba saja merendahkan tubuhnya, tangannya yang tadi
menangkis sudah bertemu dengan dayung dan terus tangan itu menangkap dayung,
menariknya sehingga dayung bertemu cambuk dan dilibat oleh ujung cambuk.
Tentu saja
kedua orang tokoh Kui-liong-pang yang sudah berpengalaman itu cepat menarik
senjata masing-masing, akan tetapi pada saat yang hanya beberapa detik saja
ketika kedua senjata mereka bertemu itu telah dipergunakan oleh Ceng Ceng untuk
melepaskan dayung, menggerakkan kedua tangan ke bawah dan tubuhnya meluncur ke
bawah seperti hendak menelungkup.
“Plak!
Plak!”
Kedua
tangannya berhasil menghantam paha dua orang lawan itu secara bergantian dengan
jari-jari tangan terbuka, kemudian dia sudah berjungkir balik dan meloncat bangun
lagi, tidak mempedulikan dua orang yang mengaduh-aduh dan memegang paha yang
terpukul tadi karena Ceng Ceng bukan menggunakan pukulan sembarangan saja,
melainkan menggunakan pukulan yang disertai dengan sinkang yang amat kuat dan
panas!
Memang berkat
darah anak naga, yaitu ular luar biasa yang pernah dimakannya, hawa beracun di
tubuhnya telah hilang. Namun hal ini bukan berarti bahwa kepandaiannya tentang
pukulan beracun hilang pula. Maka dua orang tokoh Kui-liong-pang yang kena
pukulannya di paha itu merasa betapa bagian yang terpukul itu selain panas juga
gatal gatal dan mereka berloncatan seperti dua ekor monyet menari-nari.
Tentu saja
semua orang menjadi terkejut. Kepandaian dua orang itu, biar pun bagi para
tokoh sakti di situ tidaklah terlalu tinggi, akan tetapi bagi orang-orang
kang-ouw, mereka telah termasuk orang-orang yang tangguh. Kini, dalam
segebrakan saja mereka telah dibuat tidak berdaya oleh nyonya muda yang cantik
itu.
Pada saat
itu, Hek-hwa Lo-kwi telah menyerang Kao Kok Cu. Seperti telah diketahui,
Hek-hwa Lo-kwi belum lama ini menyempurnakan semacam ilmu yang dikuasainya,
yaitu ilmu pukulan beracun yang bernama Pek-hiat-hoatlek. Memang bekas pelayan
dari Dewa Bongkok ini adalah seorang yang ahli tentang racun, dan ilmu
pukulannya yang baru itu amatlah jahat dan kejinya. Dan melihat bahwa pemuda
lengan buntung itu adalah murid dari bekas majikannya, maka begitu menyerang
dia telah menggunakan ilmu barunya itu!
Akan tetapi
dia sama sekali tidak tahu bahwa tingkat kepandaian Kok Cu sudah amat tinggi,
bahkan tak lagi berselisih jauh dibandingkan dengan kepandaian gurunya sendiri!
Maka menghadapi serangan yang luar biasa itu, yang mendatangkan angin dahsyat
dan yang mengepulkan uap putih, Kok Cu bersikap tenang-tenang saja dan beberapa
kali dia mengelak karena dia sedang memperhatikan isterinya.
Ceng Ceng
kini mengamuk seperti seekor singa betina. Dia menerjang ke kanan kiri,
menghantam atau menendang siapa saja yang berdekatan sehingga gegerlah dua
puluh lebih anggota Kui-liong-pang itu. Terdengar teriakan susul-menyusul
dibarengi robohnya beberapa orang yang tidak dapat bangkit lagi setelah terkena
tamparan atau tendangan dari nyonya yang sedang marah itu. Andai kata Ceng Ceng
tidak ingat akan pesan suaminya, tentu mereka yang dirobohkannya itu akan tewas
semua, termasuk dua orang tokoh Kui-liong-pang tadi. Akan tetapi dia tahu akan
maksud suaminya. Dia tidak boleh membunuh agar semua orang tahu akan kelihaian
mereka berdua dan juga akan iktikad baik mereka sehingga keluarga yang ditawan
takkan mengalami gangguan.
Setelah
melihat betapa isterinya baik-baik saja dan tidak melanggar pesannya, Kok Cu
kemudian mencurahkan perhatiannya terhadap lawannya. Dia harus memperlihatkan
kelihaiannya! Dia maklum bahwa serangan Hek-hwa Lo-kwi ini selain dimaksudkan
untuk mencegahnya keluar, juga untuk mengujinya dan semua mata dari Im-kan
Ngo-ok tentu sedang mengikuti gerakan-gerakannya dengan teliti.
Oleh karena
itu, tiba-tiba pendekar sakti ini mengeluarkan suara melengking yang amat
dahsyat, yang menggetarkan semua orang, bahkan beberapa orang yang kurang kuat
segera terguling roboh dan mereka yang kuat pun tergetar hebat sampai
terguncang jantung mereka, kemudian tiba-tiba tubuh dari pendekar itu meluncur
ke depan seperti seekor naga ke arah Hek-hwa Lo-kwi. Kakek iblis ini terkejut
dan cepat dia menyambut dengan pukulan Pek-hiat hoat-lek yang dahsyat. Pendekar
berlengan tunggal itu sama sekali tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan
kanannya mendorong.
“Desssss...!”
Tubuh
Hek-hwa Lo-kwi terpental sampai jauh, terbanting roboh pingsan! Kemudian, Kok
Cu membantu isterinya mengamuk dan dalam waktu yang singkat sekali, semua orang
Kui-liong-pang sudah roboh dan kedua orang suami isteri itu melanjutkan
perjalanan mereka menuju ke pintu gerbang pertama dari dalam, di mana terdapat
banyak penjaga, akan tetapi karena tidak ada komando dari atas, para penjaga
itu pun diam saja dan tidak ada yang berani mengganggu ketika Kok Cu dan Ceng
Ceng lewat. Setelah melalui beberapa lapis tembok benteng yang berpintu
gerbang, akhirnya suami isteri itu dapat keluar dari pintu gerbang paling luar
dan mereka melangkah cepat meninggalkan benteng itu.
Setelah
mereka jauh meninggalkan benteng dan memasuki sebuah hutan yang sunyi, mereka
berhenti dan Ceng Ceng lalu menjatuh diri di atas rumput di bawah pohon sambil
menangis! Kok Cu berdiri memandang isterinya dan untuk beberapa saat lamanya
dia membiarkan isterinya menumpahkan semua kedukaannya melalui tangis. Dia tahu
betapa isterinya itu sudah berbulan-bulan ditekan oleh penderitaan batin yang
hebat, yang amat mengkhawatirkan keadaan putera mereka. Dan sekarang isterinya
menangis karena guncangan batin, karena perasaan marah, khawatir dan juga
girang melihat bahwa puteranya itu ternyata masih hidup dalam keadaan sehat,
akan tetapi berada di tangan musuh dan mereka tidak berdaya untuk membebaskan
putera mereka itu!
Tiba-tiba
Ceng Ceng menghantamkan tangannya ke batang pohon di sampingnya.
“Braaakkkkk!”
pohon itu tumbang!
“Kubunuh
mereka semua! Kubunuh seorang demi seorang jika sampai Liong-ji mereka
ganggu...!” teriaknya dengan kalap.
Kini Kok Cu
merangkul isterinya dan berkata tenang, “Mereka takkan berani, isteriku. Mereka
justeru akan menjaga baik-baik semua keluarga kita sebagai sandera, mereka
takkan berani mengganggu anak kita...“
Ceng Ceng
memandang wajah suaminya, lalu mengeluh dan ibu muda ini menjadi terkulai lemas
dan pingsan di dalam pelukan suaminya! Terlampau hebat kemarahan, ketegangan
dan kekhawatiran selama ini menekan hatinya. Kok Cu dengan tenang merawat
isterinya sehingga guncangan perasaan itu tidak sampai mengakibatkan hal yang
buruk atas diri wanita itu.
Setelah Ceng
Ceng siuman kembali dan sudah agak tenang, Kok Cu lalu berkata, “Kita tentu
saja dapat menyerbu ke sana dan mengamuk, tetapi apa artinya kalau akhirnya
mereka bahkan membunuh keluarga kita? Kita harus sabar, menanti kesempatan baik
dan kesempatan itu baru akan tiba apa bila Bibi Milana telah menyerbu benteng
itu. Selagi keadaan kacau dan semua kekuatan dikerahkan untuk menghadapi
serbuan pasukan Bibi Milana, kita menyelinap ke dalam dan kita bebaskan
keluarga kita.”
“Akan
tetapi, benteng itu sedemikian kuatnya. Kiranya tidak akan mudah saja bagi Bibi
Milana untuk membobolnya. Apa lagi... yang mengatur dan menjaga adalah...
adalah...” Tak sampai hatinya untuk menyebut nama mertuanya.
Kok Cu
mengangguk-angguk. “Memang ayah adalah seorang ahli siasat perang yang takkan
mudah dilawan begitu saja oleh Bibi Milana. Akan tetapi, aku tidak percaya
kalau ayah benar-benar hendak berkhianat. Hanya karena tidak tega melihat
keluarga celaka maka ayah sengaja pura-pura menyerah, akan tetapi tentu ayah
mempunyai suatu rencana lain yang menjadi rahasianya. Kita harus bersabar dan
menunggu, kiranya tidak akan lama Bibi Milana datang bersama pasukannya.”
Demikianlah,
suami isteri pendekar itu menunggu di tempat persembunyian di sekitar tembok
benteng dan Ceng Ceng terpaksa menurut karena ia maklum bahwa pendapat suaminya
itu memang tepat. Akan tetapi, suaminya harus setiap hari menghiburnya dan di
dalam keadaan menderita batin ini, sepasang suami isteri menjadi makin rapat,
makin dekat dan makin mesra hubungannya karena dalam hati mereka timbul rasa
iba satu kepada yang lain. Juga di dalam diri masing-masing mereka menemukan
hiburan yang setidaknya meringankan penderitaan batin masing-masing itu…..
***************
Barisan yang
besar di bawah panji Puteri Milana itu bergerak dengan teratur dan tertib
sekali memasuki wilayah Propinsi Ho-nan. Tidak seperti biasanya kalau ada
pasukan besar lewat dengan tujuan perang, sekali ini pasukan-pasukan berjalan
tertib dan tidak pernah terjadi pelanggaran-pelanggaran. Biasanya, dusun-dusun
yang dilalui oleh pasukan tentu akan menderita karena ada saja ulah anggota
pasukan yang melakukan pelanggaran-pelanggaran dan kekerasan-kerasan. Hal ini
adalah karena adanya disiplin yang kuat, ketertiban yang tidak perlu ditekankan
lagi oleh para pimpinannya, karena semua dewan pimpinan sendiri juga amat
tertib.
Ketertiban
di dalam kelompok atau golongan haruslah dimulai dari atas. Biasanya, yang di
atas selalu menekankan dan menghendaki agar kaum bawahan berdisiplin dan
tertib, sedangkan mereka sendiri yang merasa berkuasa tidak memperhatikan
disiplin dan ketertiban diri mereka sendiri. Hal ini adalah tak mungkin karena
manusia itu condong untuk mencontoh dan yang dicontoh selalu tentulah yang
berada di atas. Kalau sang pemimpin korup, mana mungkin anak buahnya tidak
korup? Dan untuk melenyapkan sifat buruk dari bawahan, yang di atas haruslah
melenyapkan lebih dulu sifat buruknya sendiri.
Jika atasan
bersih, barulah dia berhak dan dapat menunjukkan kekotoran bawahannya dan
membersihkannya. Sebaliknya, kalau dia sendiri kotor, mana mungkin dia mampu
membersihkan bawahannya? Tentu dia sendiri juga merasa sungkan dan malu karena
si bawahan tentu hanya akan mentertawakannya saja dan melawan dengan menunjuk
kekotorannya pula.
Pasukan dari
kota raja ini hanya mengalami sedikit perlawanan saja dari pasukan yang
dipimpin oleh Gubernur Ho-nan. Ketika para komandan di Ho-nan mendengar bahwa
pasukan itu selain amat besar dan kuat juga dipimpin oleh Puteri Milana,
sebelum bertempur nyali mereka sudah menjadi kecil dan semangat mereka menjadi
lemah.
Hal ini
tentu saja juga menjalar kepada anak buah mereka sehingga ketika Milana
menggerakkan pasukannya dan mulai terjadi pertempuran, anak buah pasukan Ho-nan
hanya bertempur dengan setengah hati saja, kemudian mereka melarikan diri
mundur, terus digiring dan ditekan oleh pasukan kota raja. Akhirnya pasukan
kerajaan memasuki Ibu Kota Propinsi Ho-nan.
Juga di sini
perlawanan amat tidak berarti karena belum apa-apa gubernurnya sudah ketakutan.
Kesombongan-kesombongan yang sudah diperlihatkan oleh para komandan ternyata
tidak ada kenyataannya ketika musuh sudah berada di depan pintu. Yang nekat
melakukan perlawanan segera roboh dan disapu bersih dalam waktu singkat saja
sehingga akhirnya sebagian besar pasukan yang sebetulnya merupakan pasukan
kerajaan pula yang dibawa menyeleweng dan memberontak oleh gubernur, menakluk
dan menyerah. Sebagian lagi masih terus mengawal Gubernur Kui Cu Kam melarikan
diri, meninggalkan Lok-yang menuju ke lembah Huang-ho di mana terdapat
sekutunya dalam benteng yang kuat.
Setelah
menduduki kota Lok-yang, Milana lalu memberi kesempatan kepada pasukan
pasukannya untuk beristirahat. Dia memerintahkan untuk membiarkan para anak
buah pasukan berpesta makan minum sepuasnya, tetapi melarang siapa pun
mengganggu penduduk sehingga para penduduk kota Lok-yang yang sudah ketakutan
dikarenakan membayangkan bahwa tentu mereka akan dirampok habis-habisan oleh
para tentara kerajaan, menjadi lega dan berterima kasih.
Dengan suka
rela para penduduk, terutama yang kaya, lalu mengeluarkan kekayaan mereka untuk
menjamu dan menyenangkan hati pasukan kerajaan yang telah menang perang. Mereka
tahu bahwa semua ini berkat pimpinan Puteri Milana yang terkenal itu. Dan
anehnya, begitu sadar bahwa kebersihan mereka dikagumi penduduk, para anggota
pasukan itu sendiri merasa sungkan dan enggan melakukan pelanggaran, karena
kebersihan mereka itu merupakan kebanggaan mereka! Dan kebanggaan ini pun
mendatangkan suatu perasaan senang yang luar biasa.
Milana
sendiri beristirahat di dalam kamarnya, di bekas rumah gedung gubernur. Ketika
seorang pengawal memberi laporan bahwa suaminya, pendekar Gak Bun Beng datang
menyusul, Milana cepat menyambut suaminya dengan hati girang. Mereka kemudian
bercakap-cakap di dalam kamar. Kiranya begitu menerima berita isterinya, Gak
Bun Beng menitipkan kedua putera kembarnya, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat
Kong, kepada kepala dusun di lereng bukit, dan dia sendiri cepat menyusul
isterinya ke kota raja. Ketika mendengar berita bahwa pasukan isterinya sudah
menyerbu ke Ho-nan, dia pun cepat menyusul dan malam itu dia dapat bertemu
dengan isterinya di rumah Gubernur Ho-nan yang telah ditinggalkan oleh
penghuninya yang lari mengungsi ke lembah.
Ketika
Milana menceritakan kepada suaminya tentang penuturan Suma Kian Bu dan Kim Hwee
Li tentang kekuatan di lembah Huang-ho yang ternyata dipimpin oleh pangeran
dari Nepal yang dibantu oleh banyak orang pandai, bahkan bentengnya dibangun
dan dipimpin oleh Jenderal Kao Liang yang terpaksa menyerah karena semua
keluarganya ditawan, Bun Beng menjadi terkejut bukan main.
“Aihhh,
kalau begitu berbahaya sekali! Jadi pangeran dari Nepal itu adalah putera dari
pangeran tua Liong yang memberontak dahulu itu? Ah, dia melanjutkan
pemberontakan ayahnya?”
“Dan agaknya
dia tidak kalah licik dan cerdiknya dibandingkan ayahnya. Buktinya dia telah
dapat memaksa Jenderal Kao untuk membantunya, dan menurut Kian Bu, dia dibantu
oleh orang-orang pandai yang berilmu tinggi, sedangkan Koksu Nepal yang memimpin
benteng itu sendiri juga memiliki kepandaian hebat. Oleh karena itulah maka aku
sengaja mengundangmu, karena untuk menyerbu benteng yang dipimpin oleh Jenderal
Kao, dan mendengar betapa banyaknya orang pandai di dalam benteng itu, terus
terang saja, tanpa engkau di sampingku, aku merasa agak jeri juga.”
Ketika Bun
Beng mendengar bahwa juga Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya,
Ceng Ceng, sudah lebih dulu pergi menyelidik ke benteng, dan bahwa putera
mereka pun menjadi tawanan, mendengar pula betapa Kian Bu juga sudah menyelidik
ke sana, dia lalu mengambil keputusan untuk mendahului pasukan.
“Sebaiknya
aku pun pergi dulu menyelidik ke sana, karena sesungguhnya aku belum percaya
benar bahwa orang seperti Jenderal Kao Liang itu dapat berkhianat dan sudi
membantu musuh yang memberontak, betapa pun dia tertekan dan betapa terancam
pun keselamatan keluarganya. Dia bukanlah seorang lemah.”
Milana juga
setuju dengan usul suaminya itu dan semalam itu Bun Beng bermalam di kamar
isterinya. Suami isteri ini saling melepaskan rindu mereka dan saling
menasehati agar berhati-hati karena keduanya akan menghadapi bahaya dalam
penyerbuan ke lembah itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment