Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 20
Ketika
mendengar teguran twako mereka, Ngo-ok dan Su-ok menjadi merah mukanya, akan
tetapi pada saat itu, Ji-ok Kui-bin Nionio sudah berkata dengan suaranya yang
nyaring melengking, “Hai, Twako! Yang mendekati ilmumu hanya aku saja, marilah
kita berlomba mempermainkan dua orang iblis ini!”
“Hemmm, kau
boleh lihat, Ji-moi. Dua ekor kera ini boleh kita jadikan alat percobaan!”
Memang
menggelikan sekali mereka itu. Ji-ok Kui-bin Nionio yang memakai topeng
tengkorak dan lebih mirip iblis dari pada manusia itu paling suka menamakan
orang lain iblis, dan sebaliknya Twa-ok Su Lo Ti yang mukanya benar-benar mirip
kera itu paling suka memaki orang lain monyet!
Demikianlah
watak dan sifatnya orang-orang yang tidak pernah mau mengenal diri sendiri.
Kalau saja mereka itu, seperti kita, mau pula untuk belajar hidup setiap hari,
belajar mengerti hidup dengan mengamati diri sendiri, mengenal diri sendiri
setiap saat, maka kiranya mereka tidak akan mencela dan memaki orang lain.
Kalau kita mencela orang lain, ini sudah pasti terjadi karena kita menganggap
diri sendiri sebagai orang baik, setidaknya lebih baik dari pada dia yang kita
cela. Akan tetapi benarkah demikian?
Mari kita
bercermin setiap hari, bukan hanya bercermin untuk melihat wajah kita setiap
hari, melainkan terutama sekali bercermin setiap saat dengan mengamati diri
sendiri dalam hubungan kita setiap hari dengan orang lain atau dengan benda,
dengan pikiran dan apa saja, yaitu mengamati setiap saat segala macam pikiran
kita, perasaan kita, gerak-gerik kita lahir batin. Bukan mengendalikan diri
sendiri. Bukan mengoreksi diri sendiri, bukan mencari kesalahan diri sendiri,
karena semua itu merupakan bentuk bentuk perlawanan dan pemaksaan belaka yang
akhirnya ternyata adalah permainan pikiran yang berpamrih menghendaki sesuatu
yang lebih! Mengamati saja, memandang saja, dengan penuh perhatian, tanpa
mencela atau memuji, tanpa pamrih sama sekali. Dapatkah?
Tiba-tiba
Ji-ok Kui-bin Nionio dan Twa-ok Su Lo Ti bergerak hampir bersamaan, meloncat ke
depan dan ketika kedua orang ini menggerakkan tangan ke depan, Ngo-ok dan Su-ok
terpaksa minggir dan melompat ke belakang karena ada suara angin mencicit
keluar dari gerakan mereka berdua itu.
Hek-tiauw
Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang tadi dipermainkan oleh Ngo-ok dan Su-ok, kini
tiba-tiba merasa ada angin menyambar dahsyat. Keduanya cepat membalik dan
berusaha menangkis dengan pengerahan tenaga sinkang, akan tetapi tiba-tiba saja
tangan mereka yang menangkis itu seperti lumpuh dan tanpa mereka ketahui bagai
mana caranya, tahu-tahu tengkuk mereka telah dipegang dan tubuh mereka telah
diangkat ke atas lalu dilontarkan! Ji-ok menangkap Hek-tiauw Lo-mo dan
melontarkan kakek raksasa itu ke arah Twa-ok, sebaliknya Twa-ok telah
mencengkeram tengkuk Hek-hwa Lo-kwi dan kini melontarkan tubuh kakek ini ke
arah Ji-ok!
Ji-ok
menerima tubuh Hek-hwa Lo-kwi, memandang wajah kakek ini sambil berkata,
“Wajahmu tidak buruk!” Padahal wajah Hek-hwa Lo-kwi seperti tengkorak hidup!
Agaknya
karena mirip tengkorak itulah maka dia dipuji, akan tetapi tahu-tahu tubuh
kakek ini sudah melayang lagi ke udara, berbareng dengan tubuh Hek-tiauw Lo-mo
yang juga melayang kembali ke arah Ji-ok. Demikianlah, dua orang pertama dan
kedua dari Im-kan Ngo-ok itu telah mempermainkan tubuh Hek-tiauw Lo-mo beserta
Hek-hwa Lo-kwi seperti dua orang anak kecil bermain bola saling mengoperkan
tanpa dua orang kakek iblis itu mampu melawan!
Tentu saja
dua orang kakek iblis yang berkepandaian tinggi itu berusaha melawan, akan
tetapi setiap kali mereka menggerakkan tangan untuk memukul, lengan mereka
menjadi lumpuh karena mereka jauh kalah cepat, lebih dulu ditotok lumpuh untuk
beberapa menit lamanya dan dilontar-lontarkan di antara dua orang manusia aneh
itu! Tentu saja dua orang kakek itu marah bukan main, marah, penasaran dan merasa
terhina dan malu sekali!
Akan tetapi
dalam adu ilmu secara aneh ini nampak betapa Ji-ok masih kalah setingkat,
buktinya, tubuh dua orang kakek iblis itu lebih gencar melayang ke arah Ji-ok
sehingga nenek ini menjadi kewalahan! Baru saja dia melontarkan tubuh seorang
kakek kembali kepada Twa-ok, tubuh kakek kedua sudah datang menyambar, dan
sambaran itu makin lama makin berat terasa olehnya, tanda bahwa Twa-ok menambah
tenaga lontarannya!
“Ahhh, Twako
dan Ji-ci, harap suka hentikan main-main itu!” Tiba-tiba terdengar suara orang
berseru keras dan kaget. “Mereka itu adalah pembantu-pembantu kita sendiri!”
“Ha-ha,
Sam-ko telah mengkhawatirkan orang-orangnya!” Terdengar si gendut pendek Su-ok
tertawa.
Akan tetapi
mendengar suara Koksu Nepal ini, dua orang yang sedang bermain-main itu lalu
melontarkan tubuh dua orang kakek itu ke arah Ban Hwa Sengjin! Koksu Nepal ini
mengebutkan kedua tangannya dan tubuh dua orang kakek itu meluncur turun ke
atas tanah.
Setelah kini
tidak tertotok lagi, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi berseru keras,
berjungkir balik dan turun ke atas tanah dalam keadaan berdiri dan tidak
terbanting. Mereka memandang kepada Twa-ok dan Ji-ok dengan mata marah,
kemudian mereka mengeluarkan suara menggereng dan siap untuk menerjang maju.
“Sudahlah,
Lo-mo dan Lo-kwi. Mereka ini adalah saudara-saudaraku sendiri!” Koksu ini
berkata kepada dua orang pembantu itu.
“Mereka itu
menghina kami!” berkata Hek-tiauw Lo-mo dengan marah.
“Tidak ada
orang boleh mempermainkan kami seperti itu!” Hek-hwa Lo-kwi juga berkata dengan
geram.
“Sudahlah,
dua orang kakakku ini memang gemar bermain-main dan andai kata mereka tidak
tahu bahwa kalian adalah orang-orang sendiri, apakah kalian kira saat ini
kalian masih dapat hidup?” kata pula Ban Hwa Sengjin dengan suara
sungguh-sungguh.
Dua orang
kakek iblis itu terpaksa membenarkan pendapat ini karena kalau mereka tadi
menghendaki, dua orang itu tentu sudah dapat membunuh mereka berdua dengan amat
mudahnya. Diam-diam mereka bergidik menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian empat
orang di antara Ngo-ok itu.
“Ahh, Koksu
yang mulia, sungguh tidak melanggar janji. Sayangnya masih ada orang orang yang
mengintai kami, apakah Koksu sengaja menyambut kami dengan mata mata yang
menyelidik?” tanya Twa-ok Su Lo Ti, suaranya masih halus seperti tadi.
“Heh-heh-heh,
agaknya Koksu sudah kurang percaya kepada kita, Twako!” kata Ji-ok Kui-bin
Nionio sambil tertawa.
Koksu Nepal
itu mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya. “Hemmm, hemmm... mengapa Twako
dan Ji-ci menyebut koksu kepadaku? Tidak seperti Su-te dan Ngo-te yang masih
bersikap biasa!”
“Ha-ha-ha,
mungkin karena pakaianmu, Sam-ko!” kata Su-ok sambil bergelak tertawa,
sedangkan Ngo-ok hanya berdiri diam saja dengan muka muram dan mulut cemberut
seperti orang ngambek.
“Pakaianku,
mengapa? Ah, pakaian mewah ini? Tentu saja aku harus menyesuaikan diri dengan
kedudukanku. Hendaknya Twako dan Ji-ci ingat bahwa aku adalah koksu, yang
memimpin negara yang rakyatnya berjuta orang! Aku harus dapat menjaga nama dan
kehormatan.”
“Lalu
bagaimana dengan mata-mata yang mengintai itu?” tanya pula Twa-ok, masih halus
suaranya akan tetapi jelas nampak tidak senang.
“Mata-mata
yang mana yang Twako maksudkan? Aku datang, tidak tahu tentang mata mata,”
tanya Ban Hwa Sengjin.
“Hi-hik,
kalau begitu bukan mata-mata yang dipasang oleh Sam-te, Twako!” kata Ji-ok.
“Aku tidak
melihat orang lain!” kata Su-ok.
“Twako dan
Ji-ci lihai, aku pun tidak melihat orang!” kata Ngo-ok, kini dia pun tertarik
dan menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dan membuka kedua matanya yang sipit
dan seperti mau tidur terus saja itu.
“Heh-heh,
Twako, kalau begitu mari kita sekali lagi bertanding ilmu, siapa yang dapat
merobohkan mata-mata itu lebih dulu, dia lebih unggul!” kata Ji-ok dan nenek
yang tidak peduli akan segala kecurangan ini sudah mendahului, tiba-tiba saja
tangannya bergerak dan terdengar suara mencicit ketika jari telunjuk tangannya
menyambar hawa dingin ke arah semak-semak.
Twa-ok Su Lo
Ti juga sudah bergerak, tangan kanannya mendorong ke arah sebatang pohon.
“Krakkkkk!”
Biar pun
kakek bermuka gorila itu bergerak belakangan, tetapi akibat hantamannya telah
lebih dulu mengenai sasaran dan pohon itu roboh. Dari balik pohon itu
berkelebat bayangan orang yang cepat bukan main dan dengan kibasan lengan
bajunya, bayangan itu telah dapat menangkis tenaga dahsyat yang dilepas oleh
Twa-ok Su Lo Ti tadi! Bahkan kini bayangan itu mencelat ke belakang semak-semak
yang diserang oleh pukulan jarak jauh dengan ilmu mukjijat Kiam-ci (Jari
Pedang) dari nenek bertopeng tengkorak itu.
“Syeeettttt...!”
Cabang
ranting dan daun semak-semak itu berhamburan, akan tetapi tubuh Siang In telah didorong
sampai terguling-guling oleh Kian Lee sehingga dara ini terbebas dari maut!
Kiranya sejak tadi Kian Lee dan Siang In telah tiba di tempat itu dan diam-diam
mereka melakukan pengintaian dengan hati-hati sekali.
Orang-orang
seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, juga yang lebih lihai lagi seperti
Ngo-ok dan Su-ok, tidak melihat tempat persembunyian mereka. Ban Hwa Sengjin
juga tidak melihat karena memang kakek botak ini baru tiba, tetapi ternyata
Twa-ok dan Ji-ok dapat mengetahuinya. Hal ini saja sudah membuktikan, alangkah
lihainya orang pertama dan orang kedua dari Im-kan Ngo-ok itu!
Serangan
kedua orang itu memang hebat bukan main karena mereka tadi menyerang untuk
membunuh dan karena mereka mempergunakan serangan itu untuk menguji kepandaian
masing-masing antara orang pertama dan orang kedua, tentu saja mereka telah
mengerahkan tenaga agar lebih dulu merobohkan lawan. Akan tetapi siapa kira,
serangan mereka keduanya tidak berhasil dan kini muncullah seorang pernuda yang
gagah dan tampan sekali bersama seorang dara yang amat cantik jelita dari dua
tempat yang mereka serang tadi, berdiri berdampingan dengan gagah perkasa dan
penuh keberanian!
Diam-diam
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang mengenal Kian Lee terkejut sekali.
Mereka maklum akan kelihaian pemuda putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es
itu, akan tetapi karena mereka masih merasa mendongkol kepada empat orang dari
Im-kan Ngo-ok, maka mereka diam saja, hendak melihat apa yang selanjutnya akan
terjadi.
Di lain
pihak, Kian Lee juga kaget sekali ketika mengenal orang-orang yang amat lihai
itu. Dia sudah mengenal Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, akan tetapi dua
orang kakek iblis ini tidak membuat dia jeri. Hanya ketika mengenal Ban Hwa
Sengjin, diam diam dia merasa khawatir akan keselamatan Siang In karena dia
tahu betapa lihainya Koksu Nepal ini. Dan biar pun dia belum mengenal empat
orang aneh yang lain itu, namun dari gerakan-gerakan mereka tadi saja dia sudah
tahu bahwa mereka itu pun merupakan lawan-lawan yang amat tangguh!
Sementara
itu, Ngo-ok Toat-beng Siansu yang sejak tadi diam saja dan seperti orang
mengantuk atau orang murung dan ngambek, tiba-tiba kini membelalakkan matanya
yang sipit, memandang kepada Siang In dan seketika mulutnya mengeluarkan air
liur yang keluar dari ujung kiri mulutnya, hampir menetes turun akan tetapi
sudah cepat disedotnya kembali ke dalam mulutnya. Dia mulai menyeringai,
kemudian dia berkata, “Berikan kuku ibu jarimu kepadaku!”
Dan
tiba-tiba saja dia sudah menubruk dengan gerakan mengejutkan ke arah Siang In!
Karena langkahnya panjang, dan lengannya yang panjang sudah menyambar hendak
menangkap tangan Siang In, maka gerakannya itu cepat bukan main dan hampir saja
lengan dara itu dapat ditangkapnya!
“Ihhhh!”
Siang In menjerit dan tubuhnya mencelat ke belakang dengan hati penuh jijik
melihat orang jangkung ini.
Akan tetapi
Ngo-ok yang melihat betapa sambarannya yang pertama dapat dielakkan, tahu bahwa
dara yang luar biasa cantiknya itu ternyata memiliki kepandaian yang boleh
juga, sudah menerjang lagi, kini kedua lengannya yang panjang itu seperti
sepasang capit kepiting menyerang dari atas, tinggi sekali dan kedua tangannya
menyambar turun ke bawah, dari kanan kiri menutup semua jalan lari dari Siang
In!
Teng Siang
In adalah murid terkasih dari See-thian Hoat-su, maka selain ilmu sihir, tentu
saja dia banyak mewarisi ilmu silat tinggi yang lihai dari gurunya itu.
Menghadapi serangan yang amat aneh dan dahsyat ini, dia terkejut akan tetapi
tidak menjadi gugup. Payungnya sudah menyambar dan tubuhnya bergerak cepat, dia
sudah mengelak dari sambaran tangan kiri, payungnya menangkis tangan kanan
lawan dan secepat kilat dia balas menyerang dengan tendangan Soan-hong-twi!
“Dukkkk!”
Biar pun
payung di tangan Siang In membalik, namun tangan kanan kakek jangkung itu dapat
tertangkis dan sekarang secara tiba-tiba saja kaki yang kecil mungil itu telah
menyambar ke arah pusar Ngo-ok! Betapa pun lihainya Ngo-ok Toat-beng Siansu,
akan tetapi dia tidak mau coba-coba menerima tendangan yang jelas dilakukan
dengan pengerahan sinkang kuat itu dengan pusarnya karena hal ini amat berbahaya.
Maka si jangkung ini cepat menekuk tubuhnya melengkung ke belakang sehingga
tendangan itu luput! Karena tubuh itu jangkung dan panjang sekali, maka dengan
melengkung tengahnya ke belakang, dia sudah dapat mengelak dan tendangan
pertama dari Siang In jauh dari sasarannya.
Akan tetapi
ilmu tendangan Soan-hong-twi dari dara itu hebat bukan main. Walau pun
tendangan pertama luput, tetapi tendangan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya
datang bertubi-tubi menghujani bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari si kakek
jangkung!
Kini kakek
itu agak repot juga. Tubuhnya yang panjang itu melengkang-lengkung ke sana-sini
untuk mengelak dan beberapa kali kedua tangannya juga menangkis sehingga
perkelahian itu kelihatan ramai. Semua orang menonton dan tiada yang mempedulikan
Kian Lee karena mereka tidak ingin ketinggalan menonton perkelahian itu!
Namun segera
nampak keunggulan Ngo-ok. Setelah si jangkung ini dapat memulihkan
ketenangannya menghadapi serangan tendangan dari dara itu, mulailah dia
menangkis, kaki Siang In membalik dan dara itu menyeringai kesakitan. Maklumlah
Siang In bahwa lawannya memang hebat, maka tiba-tiba saja dia mengerahkan
kekuatan sihirnya dan cepat dia membentak, “Lihat siapa aku!”
Mendengar
ini, otomatis Ngo-ok memandang ke arah wajah dara itu dan pada saat itu Siang
In berseru nyaring, suaranya mengandung getaran hebat dan aneh, “Aku adalah
ibumu, kau tidak lekas berlutut?”
Tiba-tiba
Ngo-ok mengeluarkan suara aneh, matanya terbelalak memandang wajah dara yang
cantik jelita itu. Siapa tidak akan menjadi kaget dan heran kalau tiba-tiba
melihat ibunya yang telah puluhan tahun meninggal dunia itu kini berdiri di
depannya dalam keadaan segar bugar? Seluruh tubuh Ngo-ok menggigil dan dia
menjatuhkan dirinya berlutut! Pada saat itu, Siang In mengirim tendangan
Soan-hong-twi.
“Duk-plak-desss...!”
Tubuhnya
yang jangkung itu terguling-guling. Pada saat itu terdengar suara melengking
nyaring, suara yang dikeluarkan oleh Ji-ok Kui-bin Nionio. Siang In terkejut
karena suara ini menggetarkan jantungnya dan sekaligus membuyarkan kekuatan
sihirnya atas batin Ngo-ok. Ngo-ok yang bergulingan terkena tendangan
bertubi-tubi itu, kini meloncat bangun dan menggosok-gosok matanya karena
melihat bahwa ‘ibunya’ sudah lenyap dan yang adalah dara cantik yang telah
menendanginya seenaknya!
“Arghhh...!”
Dia menggereng, maklum bahwa dia telah dipermainkan dengan sihir, maka
tiba-tiba saja tubuhnya sudah berjungkir-balik dan kini bagaikan badai
mengamuk, tubuh yang membalik itu telah menyerang kalang-kabut ke arah Siang
In!
Dara ini
terkejut bukan main. Untuk menggunakan sihirnya, amat sukar karena mencari
wajah orang itu pun sudah amat sukar. Empat kaki dan tangan itu bergerak-gerak
aneh, semua menyambar ke arahnya dengan cepat bukan main dan betapa pun dia
berusaha mengelak dan menangkis, tetap saja dia kena ditampar dan ditendang.
Tamparan ketiga yang mengenai tengkuknya membuat dia terlempar dengan kepala
pening dan tahu-tahu dia telah dirangkul Kian Lee dan sudah menggerakkan tangan
menangkis tamparan berikutnya dari tangan panjang itu.
“Desssss...!”
Kini tubuh
yang berjungkir balik itu terlempar oleh tangkisan Kian Lee! Ngo-ok terkejut
bukan main dan cepat dia bangkit berdiri sambil memandang dengan penuh
perhatian kepada Kian Lee. Tak disangkanya betapa tangkisan itu mengandung hawa
panas yang seperti hendak membakar seluruh langannya tadi, maka saking kagetnya
dia telah membalik dan menghentikan serangannya. Siang In yang masih pening
kini duduk di atas tanah sambil memijit-mijit tengkuknya yang kena ditampar
tadi.
Melihat
Ngo-ok, Su-ok dan Ji-ok hendak maju, tiba-tiba Twa-ok Su Lo Ti berteriak,
“Biarkan dia menghadapi aku! Dia sudah menjadi lawanku sejak pertama tadi!”
Mendengar
teriakan halus ini, tiga orang adik angkatnya itu tak berani maju, sedangkan
Ban Hwa Sengjin yang juga mengenal Kian Lee hanya memandang dengan tenang. Dia
merasa girang dengan munculnya saudara-saudaranya, sebab itu berarti memperkuat
kedudukannya dan kini dia hendak menikmati tontonan menarik, betapa suheng-nya
atau juga twako-nya itu akan menandingi pemuda yang dia tahu amat lihai ini.
Dia merasa yakin bahwa suheng-nya sudah pasti akan mampu mengalahkan pemuda
ini, maka hatinya tidak khawatir dan dia hanya menonton dengan tenang.
Juga
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menonton dengan jantung berdebar tegang.
Mereka mengenal kelihaian putera Pendekar Super Sakti, maka mereka kini ingin
melihat sampai di mana kelihaian kakek seperti monyet besar itu.
Kian Lee
maklum bahwa dia menghadapi banyak lawan tangguh. Tidak disangkanya bahwa sejak
para penculik putera Ceng Ceng itu menuju ke lembah di mana dia akan bertemu
dengan begini banyak orang lihai yang aneh-aneh dan belum pernah dijumpainya.
Karena sudah terlanjur ketahuan, maka dia harus menghadapi segala bahaya, untuk
membela diri dan juga untuk menyelamatkan Siang In, karena dari sikap dan
ucapan-ucapan mereka maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan datuk-datuk dari
kaum sesat yang amat jahat dan kejam sehingga kalau sampai dia dan Siang In
tertawan, maka keadaan dan keselamatan dara yang cantik jelita itu pasti
terancam hebat!
Maka melihat
betapa kakek yang seperti gorila itu sekarang mulai melangkah maju
menghampirinya, dia sudah siap dan diam-diam dia telah mengerahkan sinkang-nya
untuk menghadapi segala kemungkinan sambil matanya menatap tajam wajah lawan
dan gerak-gerik lawan yang aneh.
Dia melihat
kakek itu berdiri biasa saja, dengan kedua kaki agak terpentang dan agak
ditekuk, punggungnya membongkok dan kedua lengan panjang itu bergantung ke
bawah, persis sikap seekor monyet besar! Kemudian, perlahan-lahan kedua tangan
itu diangkat ke depan, dengan jari-jari terbuka dan telapak tangan menghadap
keluar, juga gerakan ini tiada ubahnya seekor monyet!
Kian Lee
belum pernah menyaksikan pasangan kuda-kuda ilmu silat seperti itu, kecuali
kalau kuda-kuda itu dilakukan oleh seekor monyet yang hendak menyerang musuh!
Akan tetapi dia tetap waspada dan ketika kakek itu menggerakkan tangan kiri
yang mukanya menghadapi kepadanya itu, dia siap.
“Wirrrrrrr...!”
Angin yang
dahsyat keluar dari tangan kiri kakek itu dan angin ini berpusing seperti angin
puyuh, menyambar ke arah Kian Lee, disusul oleh sebuah tangan yang tiba-tiba
‘mulur’ sehingga biar pun jarak antara kakek itu dan dia ada dua meter jauhnya,
bahkan lebih, tangan itu masih dapat mencapainya dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun
kepalanya!
Hebat, pikir
Kian Lee! Akan tetapi dia tidak menjadi gentar. Melihat betapa angin pukulan
tangan kiri itu berhawa dingin, dia lalu mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang
dan dengan tangan kanannya dia menangkis cengkeraman itu sambil memperkuat
kedudukan kuda-kuda kakinya.
“Dukkkkk!”
“Ehhh...?”
Kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan tangannya yang mulur tadi kini
mengkeret kembali. Akibat pertemuan kedua lengan itu, cengkeraman kakek itu
dapat tertangkis akan tetapi kuda-kuda kaki Kian Lee agar tergeser sedikit,
tanda betapa kuatnya tenaga sinkang kakek gorila itu!
Hanya
sebentar saja kakek itu terheran dan kaget karena kini tangan kanannya yang
bergerak ke depan, juga mulur seperti tangan kirinya tadi. Kini tangan kanan
itu didahului angin yang mengeluarkan suara mendesis-desis dan Kian Lee merasa
betapa tangan yang sekarang menampar ke arah lehernya itu mendatangkan hawa
panas membakar! Dia pun tidak mau kalah, cepat mengerahkan Ilmu Hwi-yang
Sin-ciang dan kembali dia menangkis.
“Desssss...!”
Pertemuan
kedua lengan sekali ini lebih hebat lagi, keras lawan keras sehingga kini tubuh
Kian Lee terhuyung ke belakang, akan tetapi kakek itu menjadi makin kaget dan
matanya yang seperti mata monyet itu mendelik. Hampir dia tidak dapat percaya
bahwa ada seorang pemuda yang berhasil menangkis serangan tangan kiri dan
kanannya, dan yang juga menggunakan hawa Im-kang yang amat kuat kemudian tenaga
Yang-kang yang juga amat dahsyat!
“Kau...
kau... dari Pulau Es?” tanyanya kaget, karena dia telah mendengar bahwa hanya
orang-orang dari Pulau Es saja yang mempunyai kemampuan untuk menguasai dua
macam tenaga Im dan Yang secara berselang-seling seperti itu.
Sekarang
Hek-tiauw Lo-mo mendapatkan kesempatan untuk mengejek, “Ha-ha-ha, baru
puteranya saja sudah mengejutkan semua orang, apa lagi kalau ayahnya yang
datang, agaknya si kaki buntung itu tidak ada yang berani melawannya!”
Wajah kakek
gorila itu berseri dan mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi dan taring yang
menyeramkan, akan tetapi dia segera kembali bersikap lemah lembut. “Ahaa,
kiranya kau benar-benar putera Pendekar Siluman dari Pulau Es? Bagus, sudah
lama memang aku ingin mencoba kelihaian Pulau Es.”
Setelah
berkata demikian, tiba-tiba kakek ini menggerakkan tubuhnya berpusing! Makin
lama makin cepat tubuhnya berpusing, seperti seorang penari ballet yang mahir.
Sukar sekali dilihat ke mana dia menghadap, tetapi tubuh yang berpusing itu
mengeluarkan angin yang dahsyat, juga berpusing sehingga orang-orang yang
berdekatan cepat mundur. Tubuh itu sekarang menerjang ke arah Kian Lee dan dari
pusingan itu nampak menyambar kaki atau tangan yang mencuat dengan cepat dan
dahsyat secara tiba-tiba, tidak tentu mana yang diserangnya sehingga sukar
untuk dijaga.
Akan tetapi,
Kian Lee adalah putera Pendekar Super Sakti. Biar pun dia maklum bahwa lawannya
ini hebat bukan main kepandaiannya, bahkan lebih hebat dari pada tingkat
kepandaian Koksu Nepal, dan hal ini dapat diukurnya ketika dia dua kali
menangkis pukulannya tadi, namun dia tidak menjadi gentar. Kian Lee adalah
seorang pemuda yang tenang dan waspada, maka kini dia mempergunakan
ketenangannya itu untuk membentuk benteng pertahanan yang kokoh kuat. Dia tidak
bergerak, hanya diam saja penuh kewaspadaan, hanya setiap kali ada kaki atau
tangan menyambar saja maka dia bergerak untuk mengelak atau menangkis dengan
pengerahan seluruh tenaga, kadang kadang tenaga Swat-im Sin-ciang,
kadang-kadang tenaga Hwi-yang Sin-ciang.
Akan tetapi,
kakek itu memang benar-benar hebat. Agaknya dia hendak menguras ilmu dari
pemuda itu, maka dia sengaja mempermainkan Kian Lee. Hal ini dirasakan pula
oleh Kian Lee yang mulai menjadi pening juga ketika kakek itu berputaran di
sekeliling tubuhnya. Sukar baginya untuk menyerang dan hanya mempertahankan
diri saja tentu lama-lama dia takkan dapat bertahan terus.
“Haiiittttt...!”
Tiba-tiba
dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya mencelat ke sana sini
ketika Kian Lee mulai membalas dengan serangan-serangannya. Akan tetapi,
terdengar kakek itu tertawa girang dan kakek itu menandinginya tanpa menyerang
lagi, hanya mengelak ke sana-sini dengan tubuh masih berpusing. Melihat ini,
sadarlah Kian Lee bahwa pihak lawan akan mempelajari ilmu silatnya, maka dia
lalu menyimpan kembali jurus-jurus Toat-beng Bian-kun, satu di antara ilmu silat
tinggi yang dikuasai pemuda itu. Dia baru mengeluarkan beberapa jurus dan
melihat betapa ilmu silatnya ini tidak akan berhasil merobohkan lawan, bahkan
mungkin akan dapat dipelajari dan dicuri oleh kakek iblis ini sehingga kelak
akan merugikan pihak Pulau Es.
Setelah
memancing terus tanpa hasil kakek itu menjadi jengkel juga, maka dia berseru
keras sekali, dari tubuhnya yang berpusing itu menyambar hawa pukulan dahsyat
bukan main.
Kian Lee
yang sudah siap waspada itu menggunakan kedua tangannya menangkis, akan tetapi
tetap saja tubuhnya terpental dan terbanting keras di atas tanah dan dia tak
dapat bangkit karena kepalanya terasa pening!
“Lee-koko...!”
Siang In menjerit dan cepat menubruk pemuda itu, kemudian dara ini
mengembangkan payungnya, memandang kepada mereka sambil berteriak nyaring,
“Kami berdua pergi!”
Ngo-ok dan
Su-ok terkejut, demikian pula Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi karena benar
saja, tiba-tiba dara cantik dan pemuda itu lenyap dari situ! Tetapi kembali
Ji-ok sudah mengeluarkan suara melengking nyaring, suara lengking yang
mengandung khikang amat kuatnya dan kini mereka berempat melihat betapa pemuda
itu digandeng dan dibantu oleh dara itu sedang berjalan pergi meninggalkan
tempat itu dengan diam diam!
Siang In
yang menyangka bahwa sihirnya sekali ini berhasil, melihat betapa orang orang
tua yang buruk rupa itu berdiri diam tak bergerak, maka dia merasa girang
sekali dan menarik lengan tangan Kian Lee agar cepat-cepat pergi dari tempat
itu. Setelah dia merasa aman, dia menoleh dan tidak lagi melihat mereka,
hatinya lega sekali, akan tetapi tiba-tiba dia mendengar sesuatu. Dia
mengangkat mukanya dan... tujuh orang tua aneh itu kembali sudah berdiri di
situ, mengurung dia dan Kian Lee!
“Ohhh...
tidak...!” Dia menjerit dan kembali dia mengerahkan sihirnya, menggerakkan
payungnya yang terbuka menutupi tubuh mereka berdua sambil berseru nyaring
sekali, “Kami berdua pergi!”
Kembali
terdengar Ji-ok Kui-bin Nionio mengeluarkan suara melengking dan Siang In
cepat-cepat mengajak Kian Lee pergi, dibiarkan saja oleh tujuh orang tua itu.
Ketika Siang In dan Kian Lee tiba di atas lapangan rumput, kembali terdengar
suara dan tujuh orang kakek itu telah mengurung mereka berdua!
“Percuma,
In-moi, mereka tak terpengaruh sihirmu,“ dengan perlahan Kian Lee berkata. Dia
tahu apa yang terjadi. Sihir dari Siang In selalu dibuyarkan oleh suara
lengking dari nenek bertopeng tengkorak itu yang agaknya kebal terhadap
pengaruh sihir nona itu.
“Huh, kau
mau lari ke mana? Kuku ibu jari tanganmu harus menjadi milikku!”
Kembali
Ngo-ok Toat-beng Siansu berseru dan lengannya yang panjang menyambar Siang In
yang sudah lemah dan masih pening oleh tamparan tadi, berusaha mengelak, akan
tetapi dia kalah cepat dan pundaknya sudah kena dicengkeram, kemudian tubuhnya
diangkat tinggi sekali oleh tangan itu sampai dia menjerit ketakutan. Kakek itu
memang sudah amat tinggi, kini lengannya yang panjang itu mengangkat tubuh
Siang In ke atas, tentu tingginya lebih dari tiga meter dari tanah!
“Huh!” Kini
tangan kiri kakek itu sudah mencengkeram ke arah pakaian Siang In, siap untuk
merobeknya karena Ngo-ok ini akan memperlihatkan kekejamannya yang luar biasa,
yaitu memperkosa dara itu di depan mata semua orang begitu saja sebelum disiksa
dan dicabuti kukunya, dibeset-beset kulit dagingnya sampai mati seperti biasa!
Sam-ok atau
Ban Hwa Sengjin sudah mengenal kebiasaan Ngo-ok ini, maka tiba-tiba dia berkata
dengan suara yang nyaring berwibawa, “Ngo-te, jangan lakukan itu! Kau lepaskan dia!”
Sejenak si
jangkung itu menentang pandang mata koksu, mukanya yang sudah muram itu makin
keruh dan seperti akan menangis. Mula-mula dia seperti hendak menentang, akan
tetapi akhirnya dia melemparkan tubuh Siang In.
“Brukkkk...!”
Dara itu merangkak mendekati Kian Lee yang masih lemah dan pening.
“Sam-ko, apa
artinya sikapmu ini?” Ngo-ok menuntut dengan suara marah.
“Ha-ha-ha-ha-ha,
setelah menjadi koksu, Sam-ko telah berubah rupanya! Telah menjadi lemah dan
menaruh kasihan. Ha-ha-ha! Betapa lucunya, ada seorang anggota Ngo-ok yang
menaruh kasihan! Ha-ha-ha-ha, kalau begitu memang sepatutnya disebut koksu
saja!”
“Sute,
jangan bicara sembarangan kau!” Tiba-tiba koksu berkata, suaranya terdengar
nyaring. “Aku sama sekali tidak lemah seperti yang kalian kira! Akan tetapi aku
ingin bertanya lebih dulu, kalian berempat ini sudah sudi datang ke sini atas
undangan dan permintaanku, sebetulnya mau apakah? Apakah hanya mau
mempermainkan anak yang tidak ada artinya ini? Ataukah mau membantu gerakan
kami yang besar, yang kelak akan dapat mengangkat nama kita sebagai Ngo-ok
sehingga nama kita menjadi termasyur dan harum sampai selama-lamanya?”
“Tentu saja
kita semua ingin sangat membantumu, Sam-te. Kalau tidak, perlu apa kita
meninggalkan tempat klta yang aman dan enak!” kata Twa-ok.
“Benar,
tanpa dasar itu, perlu apa aku berkeliaran ke sini?” kata pula Ji-ok.
“Ha-ha-ha,
benar juga. Aku pun begitu, akan tetapi aku tetap tidak mengerti, mengapa kau
melarang Ngo-te untuk bermain-main dengan gadis ini agar aku dapat menonton
dengan enak!”
“Ya,
pertanyaan itu harus dijawab!” kata Ngo-ok.
“Kalian tahu
bahwa aku adalah seorang koksu yang memimpin pergerakan besar yang dikepalai
oleh Pangeran Bharuhendra dari Nepal! Ini urusan besar, urusan negara,
mengertikah kalian? Karena kita adalah orang-orang penting yang memegang puncak
pimpinan, maka kita harus mementingkan urusan negara dan pergerakan lebih dulu.
Urusan pribadi adalah urusan kecil dan kelak kalau sudah selesai pergerakan
ini, biar Ngo-ok mau mempermainkan puteri-puteri cantik sehari sampai seratus
orang, siapa peduli? Akan tetapi kalau kini dia melakukan hal itu, lalu
terlihat oleh semua anak buah, apa akan kata mereka? Tentu akan merendahkan
nama puncak pimpinan dan juga memberi contoh buruk sehingga akan ditiru oleh
para pasukan. Kalau pasukan melakukan hal seperti itu, menuruti nafsu belaka,
apa gunanya mereka dalam perang? Tentu pergerakan kita akan gagal!”
Ngo-ok
bersungut-sungut, akan tetapi dia mengangguk dan tangannya mengeluarkan seuntai
kuku yang bermacam-macam bentuknya, akan tetapi semua kuku yang diuntai itu
adalah kuku wanita-wanita yang telah menjadi korbannya. “Sayang... sudah
kuhitung kemarin... empat ratus kurang satu! Kalau ditambah kukunya, genap
empat ratus...“
Siang In
mengkirik dan mau muntah menyaksikan kuku-kuku yang diuntai itu dan tanpa
disadari dia menggenggam semua kuku jarinya, seolah-olah hendak menyembunyikan
kuku-kuku itu agar jangan dicabut!
“Ha-ha-ha,
omongan Sam-ko sebagai koksu memang hebat!” seru Si pendek gundul mengacungkan
ibu jari tangan kanannya ke atas tinggi-tinggi, akan tetapi karena tubuhnya
cebol, tetap saja ibu jarinya tidak mencapai perut si jangkung Ngo-ok. “Lalu,
ingin sekali aku melihat bagaimana keputusan seorang koksu negara besar
terhadap dua orang mata-mata musuh yang tertangkap. Ha-ha-ha, aku mendengar
bahwa seorang koksu amat bijaksana dan keputusannya ditaati semua orang, adil
dan memuaskan. Ha-ha-ha, yang mulia Koksu, hukuman apakah yang harus dijatuhkan
kepada dua orang mata-mata ini? Ataukah mereka itu akan dibebaskan begitu
saja?”
Akan tetapi
Ban Hwa Sengjin tidak mempedulikan ejekan dari Su-ok itu, dan dengan sikap
kereng dan berwibawa dia lalu menghadapi Kian Lee yang masih menunduk pening
dan Siang In yang mulai merasa ngeri menyaksikan sikap orang-orang aneh yang
luar biasa lihainya itu. Ketika tadi mendengar bahwa pemuda itu adalah putera
dari Pulau Es, Ban Hwa Sengjin terkejut dan dia pun tidak berani main-main.
Bermusuhan dengan Pulau Es merupakan suatu hal yang amat berbahaya, pikirnya.
Akan tetapi, setelah pemuda ini menentang mereka, lebih baik kalau dibunuh saja
agar jangan sampai ada yang tahu dan kalau tidak ada saksinya, tentu Pendekar
Super Sakti tidak akan tahu pula ke mana lenyapnya puteranya ini dan siapa yang
membunuhnya! Akan tetapi, dia adalah seorang koksu, tidak bisa membunuh secara
begitu saja, dan dia harus memperlihatkan wibawanya!
“Heh, kalian
dua orang muda yang sudah lancang menjadi mata-mata dan menentang kami,
dengarlah baik-baik keputusanku! Menurut patut, memang sudah semestinya kalian
dihukum mati dan patut pula kalau Ngo-ok Toat-beng Siansu mempermainkan kalian
lalu membunuh kalian. Akan tetapi, kami adalah orang-orang yang tahu akan
peraturan, tahu akan hukum, maka kalian akan dijatuhi hukuman menurut aturan!
Akan tetapi, tidak ada hukuman tanpa pembelaan, maka kalian kuberi kesempatan
untuk menentukan hukuman kalian. Kalian boleh mengeluarkan pendapat terakhir
dan kalau pendapat kalian itu tepat, hukuman kalian akan lebih ringan!”
Sampai di
sini, Ban Hwa Sengjin tersenyum-senyum dan memandang kepada para saudaranya
untuk melihat reaksi mereka. Empat orang saudaranya itu memandang kagum, Siang
In memandang penuh harapan, sedangkan Kian Lee masih menunduk saja.
“Orang tua,
lekaslah katakan hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada kami? Dan apakah benar
engkau ini seorang pembesar tinggi?” Siang In bertanya, bingung menyaksikan
sikap mereka yang aneh-aneh itu.
Ban Hwa
Sengjin tersenyum lebar. “Nona cilik, ketahuilah olehmu bahwa aku adalah Ban
Hwa Sengjin, aku adalah koksu dari negara Nepal yang agung, dan bahwa
keputusanku merupakan hukum yang harus dilaksanakan. Nah, kalau kalian
mengeluarkan pendapat yang keliru dan tidak tepat, kalian akan kuserahkan
kepada Ngo-ok Toat-beng Siansu agar menyiksa kalian sampai mati, dan mungkin
saja kuku ibu jarimu itu akan melengkapi koleksinya, Nona!”
Siang In
bergidik ngeri melihat wajah si jangkung itu makin muram, dan wajah si pendek
terkekeh geli, sedangkan nenek muka tengkorak dan kakek gorila itu memandang
seperti patung, sedikit pun tidak bergerak atau berkedip.
“Dan kalau
pendapat kami benar kau akan membebaskan kami?” Siang In bertanya penuh
harapan. Dia akan dapat mengandalkan kecerdikannya untuk mencari kata-kata yang
benar atau tepat agar dapat selamat.
Akan tetapi
dengan muka kereng Ban Hwa Sengjin berkata, suaranya lantang sekali, “Mana ada
aturan membebaskan orang yang bersalah? Kalau pendapat kalian benar, kalian
memperoleh keringanan, yaitu bukan dihukum mati, melainkan dihukum potong
hidung dan kedua telinga agar semua orang selamanya akan tahu bahwa kalian
telah berani melakukan dosa terhadap Koksu Nepal!”
Mendengar
ini, Su-ok Siauw-siang-cu bertepuk tangan memuji dan tertawa gembira.
“Ha-ha-ha-ha-ha, kiranya Sam-ok Ban Hwa Sengjin masih mempertahankan gelarnya!”
Memang,
begitu berkumpul dengan saudara-saudaranya, kumat lagilah watak Sam-ok ini. Dia
mempermainkan orang, memberi harapan, akan tetapi hanya untuk di ‘banting’
dengan keputusan hukuman yang mengerikan itu, hanya untuk membuktikan bahwa
kejahatan dan kekejamannya masih belum berubah dan dia masih patut menjadi
Sam-ok! Tentu saja luar biasa kejamnya menghukum orang-orang muda yang begitu
tampan dan begitu cantik jelita dengan potong hidung dan telinga, hukuman yang
bahkan lebih berat dari pada mati!
Mendengar
ini, biar pun mukanya masih keruh, Ngo-ok sudah menggosok-gosok kedua tangannya
yang panjang dan menjilat-jilat bibirnya yang basah karena kembali dia telah
mulai mengilar. Kini agaknya dia akan memperoleh kesempatan untuk menonjolkan
kekejamannya di depan saudara-saudaranya! Kali ini untuk melaksanakan
‘hukuman’, jadi demi negara dan pergerakan!
Mendengar
ucapan Koksu Nepal itu, marahlah Suma Kian Lee. Dia masih pening dan belum
dapat bangkit untuk melawan, namun dia mengangkat muka dan memandang kakek
raksasa yang botak itu. “Ban Hwa Sengjin, bagus sekali omonganmu! Engkau
sebagai seorang Koksu Negara Nepal telah merencanakan pemberontakan dengan
Gubernur Ho-nan, siapa yang tidak tahu akan hal itu? Sekarang aku telah
terjatuh ke tanganmu, mau bunuh hayo bunuhlah, siapa sih yang takut mati? Tidak
perlu lagi engkau mengeluarkan segala omongan kosong!”
Akan tetapi
Siang In memegang lengan pemuda itu dan cepat dia mendahului koksu itu,
berkata, “Koksu, aku mendengar bahwa pangkat koksu amatlah tinggi dalam sebuah
negara, dan bahwa kata-kata koksu merupakan keputusan yang harus ditaati,
hampir sama kuat dengan kata-kata keputusan raja sendiri. Sekali seekor koksu
mengeluarkan kata-kata, maka kata-katanya itu merupakan keputusan yang tidak
boleh dibantah, tidak boleh ditarik mundur kembali. Pendeknya, seorang koksu
berbeda dengan seekor anjing keparat yang curang dan yang suka makan tahi,
bukan?”
Siang In
sengaja berkata-kata dengan nyaring dan panjang lebar ketika dia melihat
datangnya rombongan pasukan penjaga. Itulah pasukan penjaga pintu gerbang
benteng Kui-liong-pang yang tertarik oleh suara ribut-ribut dan puluhan orang
prajurit kini mengepung tempat itu dan tentu saja ikut mendengarkan.
Muka Koksu
Nepal itu sudah menjadi merah karena dia merasa dihina. “Bocah lancang mulut,
apa maksudmu?”
“Maksudku,
Koksu, bahwa seorang koksu adalah seorang yang tentu memegang kata katanya yang
dianggap lebih berharga dari pada nyawa, bukan seorang yang suka menjilat
kembali kata-katanya seperti anjing yang suka makan tahi. Koksu, aku hendak
bertanya apakah engkau biasa suka makan tahi?”
Sepasang
mata itu mendelik dan Kian Lee menjadi heran dan bingung. Akal apa yang hendak
dipergunakan Siang In maka dara ini bisa begitu nekat membakar hati koksu
sedemikian rupa yang mendekati penghinaan paling besar?
“Ha-ha-ha-ha!
Baru ini aku mendengar seorang koksu dipermainkan bocah cilik, ditanya apakah
biasa makan tahi? Hi-hik, Ngo-te, bagaimana sih rasanya tahi orang? Mungkin
enak juga, ya?”
“Bocah
perempuan bosan hidup, jika kau bermaksud menghinaku...!” Ban Hwa Sengjin
hampir tak dapat menahan kesabarannya lagi karena dia melihat betapa di antara
para prajurit juga ada yang menutupi mulut tanda bahwa mereka juga merasa geli.
Siang In
mengangkat kedua tangan ke depan. “Sabar... sabarlah, Koksu yang mulia! Aku
tidak menghina, aku hanya bertanya, karena aku pun tentu saja tak percaya bahwa
Koksu suka menjilat ludah sendiri, suka menarik janjinya sendiri. Seorang koksu
negara tidak mungkin menarik kata-katanya sendiri, juga seorang locianpwe
tingkat atas, baik dari dunia terang mau pun gelap, kiranya akan menjaga nama
dan tidak sudi menarik janjinya sendiri.”
“Sudah tentu
saja tidak! Lebih baik mati dari pada menarik janji sendiri!” kata koksu yang
cerdik itu. “Aku berjanji, dengarkan kalian semua! Aku berjanji kepada Nona ini
dan kepada pemuda ini bahwa mereka boleh mengajukan pendapat yang terakhir.
Kalau pendapat mereka itu tidak tepat dan keliru atau bohong, mereka akan di
jatuhi hukuman mati dan pelaksanaannya akan diserahkan kepada Ngo-ok Toat-beng
Siansu! Sebaliknya kalau pendapat mereka itu tepat, benar dan tidak bohong,
mereka akan dihukum dengan potong hidung dan kedua telinga, tidak dibunuh. Nah,
kata-kataku ini siapa yang berani membangkang atau menarik kembali?”
Siang In
kini bangkit berdiri, tangan kanannya masih menggandeng tangan Kian Lee yang
masih duduk di atas tanah. Dengan wajah berseri dia berkata lantang, “Koksu
yang terhormat, maukah engkau bersumpah bahwa engkau akan menepati janjimu?”
Ban Hwa
Sengjin makin marah, mengepal tinju dan tentu dia sudah menghantam remuk kepala
anak perempuan itu di saat itu juga kalau saja tidak ada begitu banyak orang
yang menonton.
“Tidak perlu
sumpah, aku mempertaruhkan kedudukanku sebagai koksu dan sebagai orang ketiga
dari Im-kan Ngo-ok!” teriaknya berang.
“Sudahlah,
In-moi, biar aku yang menyatakan pendapatku sebagai ucapan terakhir seorang
gagah...”
“Sssttttt...!
Kau tidak boleh bicara apa-apa, Koko. Akulah yang bertanggung jawab dan aku
yang mewakili kita berdua,” kata Siang In.
Melihat dara
dan pemuda itu bisik-bisik, Ban Hwa Sengjin ingin melampiaskan rasa
mendongkolnya karena merasa dihina dan dipermainkan oleh dara itu. “Kami masih
mempunyai banyak urusan penting, dan urusan orang-orang seperti kalian berdua
adalah urusan kecil yang harus segera diselesaikan. Hayo ucapkan pendapat
kalian yang terakhir. Kami memberi waktu hitungan sampai dua puluh. Su-ok, kau
hitunglah!”
Kakek pendek
gendut itu tertawa dan dasar orang licik bukan main, dia lalu menghitung dengan
kecepatan membalap, “Satu-dua-tiga...” dan selanjutnya, tetapi hitungannya
sedemikian cepatnya sehingga sebentar saja dia sudah menghitung sampai lima
belas.
Kian Lee
memandang dara itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan.
“Berhenti!”
tiba-tiba Siang In berseru nyaring, “Dengarkan pendapat kami yang terakhir!”
Kakek pendek
gendut itu berhenti dan suasana menjadi sunyi bukan main, sunyi yang amat
menegangkan karena setiap orang seolah-olah menahan napas ingin mendengar apa
yang akan menjadi pendapat atau ucapan terakhir dari dara itu. Suma Kian Lee
juga menahan napas karena pemuda ini berpikir, apa artinya mengucapkan pendapat
terakhir? Apa pun pendapatnya, tidak ada pilihan lain, kalau ucapan itu tepat
dihukum potong hidung dan telinga, kalau tidak tepat dibunuh. Lebih baik
mengatakan sesuatu yang dapat memukul atau menusuk hati mereka dan biarlah
dibunuh, karena hidup pun apa gunanya kalau dipotong hidung dan telinganya? Apa
lagi bagi seorang dara seperti Siang In!
Tiba-tiba
Kian Lee merasa kasihan sekali kepada dara itu dan tanpa disadarinya dia
menggenggam tangan dara itu lebih erat lagi. Dia tahu nasib apa yang menanti
Siang In. Kalau dipotong hidung dan telinganya, dara itu akan menjadi seorang
yang berubah menakutkan, dan itu lebih hebat dari pada mati. Kalau dihukum
bunuh, tentu akan dihina dan diperkosa lebih dulu oleh si jangkung tanpa dia
mampu menolongnya. Maka dia sudah mengambil keputusan, sebelum dijatuhkan
hukuman kepada dia dan Siang In, dia akan menggunakan tenaga terakhir untuk
membunuh dara itu! Lebih baik dia membunuh dara itu dari pada dara itu
mengalami penghinaan yang hebat!
Siang In
menoleh dan memandang kepada Kian Lee karena merasa tangannya digenggam erat,
dia tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya kepada pemuda itu! Bukan main!
Dalam keadaan seperti itu, dara ini masih pandai bergurau! Lalu dara itu
mengangkat mukanya dan berdiri tegak, lalu berkata dengan suara lantang
sehingga terdengar oleh semua orang yang berada di situ.
“Koksu,
dengarlah baik-baik kata-kata terakhir kami berdua yang tidak boleh diubah oleh
siapa pun juga, yaitu begini: Kami berdua akan dihukum mati!”
Suasana
masih hening dan ketika dara itu telah mengucapkan kata-katanya yang amat
singkat dan lantang itu dan semua orang saling pandang. Mengapa dara itu, hanya
meninggalkan kata-kata terakhir seperti itu? Kami berdua akan dihukum mati!
Cuma sebegitu, apa artinya?
“Ha-ha-ha!
Jadi hanya itu yang menjadi pendapat atau pesan terakhir kalian? Bagus, memang
sebaiknya begitu karena kami masih banyak urusan. Nah, Ngo-ok, engkau kuserahi
tugas untuk menghukum mati mereka berdua!”
Tiba-tiba
Siang In berseru. “Ah, jadi ternyata Koksu dari Nepal adalah seorang yang biasa
makan tahi?”
Semua orang
terkejut sekali dan Ban Hwa Sengjin terkejut dan marah. “Kau sudah mau mampus
masih berani menghina orang! Dasar anak perempuan setan...!”
Sementara
itu, Ngo-ok sudah meloncat ke depan, tangannya yang panjang sudah digerakkan
dan pada saat itu, Kian Lee juga mengerahkan tenaganya untuk turun tangan
membunuh Siang In agar jangan mengalami penghinaan.
“Dukkkk!”
Tiba-tiba
Ji-ok Kui-bo Nionio menangkis lengan Ngo-ok sampai Ngo-ok menyeringai dan
meloncat mundur.
“Tahan
dulu!” Ji-ok Kui-bin Nionio berkata, “Sam-te, aku tidak ingin melihat engkau
menjadi seorang pemakan tahi!”
“Eh, apa
ini? Apa maksudmu?” Ban Hwa Sengjin memandang terlongong, menyangka bahwa Ji-ok
itu agaknya tentu kena sihir sehingga mengulangi kata-kata Siang In. Akan
tetapi Ji-ok menggeleng-geleng kepalanya.
“Sam-te,
engkau sudah menjadi koksu, mengapa masih begitu kurang luas pikiranmu?
Bagaimana bunyi janji tadi? Kau bilang bahwa jika kata-kata terakhir mereka itu
benar, mereka akan dihukum potong hidung dan telinga, tidak dihukum mati. Nah,
dara itu bilang bahwa mereka berdua akan dihukum mati! Kalau sekarang engkau
menjatuhkan hukuman mati, berarti kata-katanya itu benar! Dan kalau
kata-katanya benar, dia tidak boleh dihukum mati, melainkan dihukum potong
hidung dan telinga seperti janjimu. Mengapa kau hendak melanggar janjimu?”
“Ohhh...!”
Koksu Nepal menjadi merah sekali mukanya dan mengangguk. “Ahh, benar juga.
Kalau mereka dihukum mati, ucapan gadis ini jadi benar dan mereka tidak boleh
dihukum mati. Untunglah engkau mengingatkan aku, Ji-ci. Terima kasih! Heh,
Ngo-ok, terpaksa membikin kecewa hatimu. Hayo kau laksanakan hukuman kedua,
yaitu potong hidung dan telinga!”
Ngo-ok tentu
saja kecewa sekali karena kini setelah ada puluhan orang prajurit di situ,
ingin dia memperkosa gadis ini agar namanya makin tersohor, sebagai seorang
paling kejam! Akan tetapi dia tidak berani membangkang perintah.
“Huh,
kiranya Koksu Nepal hanya seorang yang biasa makan tahi busuk!” kembali
terdengar Siang In berseru.
Ngo-ok sudah
bergerak ke depan, tangannya menyambar.
“Dessss...!”
Kini
lengannya ditangkis oleh lengan Twa-ok dan karena tenaga Twa-ok lebih hebat
maka Ngo-ok yang sial itu kini terlempar dan terhuyung.
“Ehh, ehh…
apa sih salahku?” teriak orang yang sial ini.
“Sam-te,
sekarang aku yang tidak ingin melihat Sam-te menjadi seorang pemakan tahi!”
kata Twa-ok, seperti mengulang kata-kata Siang In sehingga sang koksu dari
Nepal makin bengong terlongong.
“Apa... apa
maksudmu, Twako...?”
“Sam-te, kau
tidak boleh menghukum mereka dengan potong hidung dan telinga atau hukuman
kedua...!” Kakek seperti gorila itu berkata dengan suaranya yang halus. “Kalau
kau melakukan itu, berarti engkau melanggar janjimu tadi!”
“Ehhh, mana
mungkin? Kalau menjatuhkan hukuman ke satu, hukuman mati, baru namanya
melanggar janji karena kata-kata mereka itu benar dan mereka tidak boleh
dihukum mati, harus dihukum potong telinga dan hidung, hukuman kedua. Bukankah
kata-kata mereka itu benar dan harus dihukum yang kedua itu?”
“Mana bisa?”
bantah Twa-ok. “Mereka berkata bahwa mereka akan dihukum mati. Nah, kalau
sekarang kau menjatuhkan hukuman kedua, yaitu potong hidung dan telinga,
berarti bahwa kata-kata terakhir mereka itu tidak benar. Dan menurut janji,
kata-kata yang tidak benar dijatuhi hukuman mati!”
Ban Hwa
Sengjin menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak. “Kalau begitu hukum
mati!”
“Tak
mungkin! Kalau dihukum mati mereka berkata benar dan harus dihukum potong!”
bantah Ji-ok.
“Kalau
begitu hukum potong...!” kata pula Ban Hwa Sengjin.
“Tidak bisa!
Kalau dihukum potong berarti kata-kata mereka bohong dan untuk itu mereka harus
dihukum mati!”
Ban Hwa
Sengjin menjatuhkan dirinya di atas batu dan memegangi kepala dengan kedua
tangan, bingung sekali. Dihukum mati salah, dihukum potong pun salah!
Sementara
itu, Kian Lee memandang kepada Siang In dengan penuh kekaguman. Tak disangkanya
bahwa dara ini benar-benar memiliki kecerdikan yang amat hebat! Dalam keadaan
berbahaya seperti itu, dalam waktu sesingkat itu, dapat menemukan akal yang
demikian luar biasa, agaknya tidak masuk di akal akan tetapi memang benar dan
tepat! Dengan akal itu, Ban Hwa Sengjin dibikin mati kutu, tidak berdaya karena
hukuman apa pun yang dijatuhkannya, berarti dia melanggar janji dan... makan
tahi! Empat orang dari Im-kan Ngo-ok juga bengong dan penuh kagum, juga
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, demikian pula puluhan orang prajurit itu
bengong, ikut memikirkan.
Siang In
tersenyum. “Boleh kau pikirkan lagi, Koksu. Kami kini bebas, kecuali kalau kau
mau makan tahi lebih dulu!” Setelah berkata demikian, Siang In menarik tangan
Kian Lee dan diajak pergi dari tempat itu dengan sikap tenang sekali.
Dan lima
orang Im-kan Ngo-ok yang ditakuti oleh semua orang dunia hitam itu hanya memandang
dengan bengong saja tanpa mampu berbuat sesuatu! Bahkan Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi juga tidak berani berkutik karena kalau mereka turun tangan
mencegah, sama halnya dengan mendorong Koksu Nepal untuk ‘makan tahi’ yang
berarti menjadi anjing penjilat janjinya sendlri! Tentu saja pasukan yang
mendengar semua itu pun tidak ada yang berani bergerak tanpa perintah koksu.
Setelah
pemuda dan dara itu pergi jauh dan tidak nampak lagi, barulah terdengar suara
Ngo-ok Toat-beng Siansu mengomel, “Inilah kalau Sam-ok berubah menjadi pembesar
negeri yang menjaga nama dan kehormatan! Rugi kita! Ru - gi...!”
“Ha-ha-ha,
gadis itu otaknya cerdas sekali! Ha-ha-ha, Sam-ko yang terkenal cerdik masih
kena diakalinya! Ha-ha-ha!” Si gendut pendek terpingkal-pingkal geli.
Memang watak
lima orang Ngo-ok ini luar biasa sekali. Girang kalau melihat orang lain
menderita! Agaknya memang mereka itu sengaja melakukan hal-hal yang paling
buruk di dunia ini agar sesuai dengan julukan mereka sebagai Si Jahat dari
Akhirat!
Muka koksu
sebentar pucat sebentar merah, kedua tangannya mengepal dan sepasang matanya
beringas, akan tetapi di hadapan sekian banyaknya orang, tentu saja dia tidak
sudi dianggap anjing penjilat janjinya kembali! Apa lagi, dia adalah seorang
yang amat cerdik. Mendengar bahwa pemuda itu adalah putera Pendekar Super
Sakti, dia juga harus hati-hati dan biarlah dia mendapat malu sedikit karena
diakali gadis itu, akan tetapi hitung-hitung dia membebaskan putera Pendekar
Super Sakti dan mencegah munculnya seorang musuh yang menggiriskan hatinya.
“Sudahlah!
Salahku sendiri, juga bocah-bocah itu dibunuh atau tidak pun apa sih artinya
bagiku? Mari kita ke lembah, ada urusan lebih penting yang harus kita
selesaikan!”
Maka
pergilah tujuh orang kakek sakti itu diikuti oleh pasukan memasuki lembah
kembali dengan hati mendongkol.
Sementara
itu, Kian Lee yang hanya nanar dan lemas seketika, akan tetapi tidak sampai
terluka parah, dalam waktu tidak lama pun sudah pulih kembali kesehatannya.
Mereka berdua merasa lega bahwa para kakek sakti itu tidak melakukan
pengejaran, dan Kian Lee seperti masih belum dapat mempercayai bahwa mereka
dapat lolos dari bahaya sedemikian mudahnya.
Kian Lee
berhenti dan berkata kepada Siang In sambil memandang penuh kagum, “Adik Siang
In yang hebat! Sungguh masih sukar aku untuk dapat percaya betapa dengan
mudahnya kita dapat terlepas dari bahaya maut! Dan hampir aku tidak percaya
bahwa engkau yang begini muda dapat mengakali orang-orang sakti seperti mereka
itu. Dalam waktu begitu singkat engkau telah memperoleh akal yang demikian
mengagumkan!”
Siang In
tersenyum, senang hatinya dipuji seperti itu tentu saja! Akan tetapi dia
seorang dara yang jujur, maka dia menahan ketawanya dan berkata, “Ahh,
Lee-koko, siapa sih yang pintar? Aku sama sekali tidak pintar, hanya koksu itu
yang tolol!”
“In-moi,
akalmu itu benar-benar hebat dan menandakan bahwa engkau memang pintar sekali,
mengapa merendahkan diri? Dengan akalmu itu, memang koksu menjadi tidak berdaya
dan mati kutu sama sekali, karena menjatuhkan hukuman kepada kita dengan cara
apa pun, tetap saja berarti dia melanggar janji. Bukan main!”
“Hi-hi-hik,
memang demikianlah, Koko. Akan tetapi itu sama sekali bukanlah akalku, karena
aku hanya menirunya dari dongeng kuno yang pernah kubaca! Jadi bukan akalku,
melainkan akal kuno yang pernah dipergunakan orang untuk menyelamatkan diri
dari hukuman seorang raja lalim yang menjatuhkan peraturan hukuman yang seperti
itu.”
“Ahhh,
begitukah?” Kian Lee terheran.
Siang In
tertawa. “Itulah hasilnya orang suka membaca, asalkan bukan sembarangan
membaca, melainkan memperhatikan isinya dengan seksama. Dari bacaan itu kita
dapat memperoleh banyak manfaatnya, Koko. Koksu itu saja yang tolol tidak
mengenal akal kuno yang kupergunakan, hi-hi-hik!”
Suma Kian
Lee tertawa juga, mentertawakan kebodohan koksu, akan tetapi diam-diam makin
kagum kepada dara ini yang sudah memperlihatkan ketabahan dan kecerdikan luar
biasa, yang telah berhasil menyelamatkan nyawa mereka, akan tetapi tidak
menjadi sombong, sebaliknya malah membuka rahasia kecerdikannya dengan jujur
bahkan kecerdikannya itu hanyalah meniru dari akal dalam dongeng kuno belaka!
Akan tetapi
kegembiraan segera mereda ketika dia teringat akan peristiwa tadi dan melihat
betapa gawatnya keadaan. Agaknya Koksu Nepal itu telah mengumpulkan orang-orang
pandai di lembah itu!
“In-moi, aku
harus menyelidiki keadaan di lembah! Aku harus tahu apa yang sedang dilakukan
oleh koksu itu...“
”Ahhh, hal
itu berbahaya sekali, Lee-ko! Baru empat orang teman koksu tadi saja sudah memiliki
kepandaian yang amat mengerikan, dan di sana terdapat banyak pula pasukan anak
buah koksu. Mana mungkin engkau seorang diri akan dapat menghadapi mereka
semua!” Siang In memandang khawatir, tidak lagi bersendau-gurau mendengar niat
pemuda itu yang hendak menyelidiki sarang dari koksu yang lihai dan dibantu
oleh banyak orang pandai itu.
“Aku bukan
bermaksud melawan mereka, In-moi, tetapi hendak menyelidiki keadaan mereka,
lalu aku harus segera melaporkan ke kota raja. Sudah menjadi kewajibanku untuk
mencegah bahaya yang mengancam kota raja. Agaknya ada apa-apa di lembah itu,
agaknya koksu sedang merencanakan gerakan besar yang berbahaya bagi kota raja.”
“Kalau
begitu memang baik sekali, Lee-ko, akan tetapi aku ikut!”
“Baru saja
kau terlepas dari ancaman bahaya dahsyat, Siang In, moi-moi, lebih baik kau
jangan ikut, terlalu berbahaya bagimu.”
Siang In
mengerutkan alisnya. “Biar pun aku bodoh, kiranya sedikit banyak aku akan dapat
membantumu, Lee-ko, dan dengan pergi dua orang, kalau ada bahaya kita dapat
saling membantu, bukan?”
Kian Lee
tidak dapat membantah atau melarang lagi, apa pula kalau diingat bahwa andai
kata tidak ada Siang In di waktu dia menghadapi para kakek sakti tadi, tentu
dia telah tewas. “Baiklah, In-moi. Kita pergi berdua, karena memang aku pun
hanya hendak menyelidiki keadaan luarnya saja. Akan tetapi kita harus berhati-hati
karena sekali lagi kita bertemu dengan mereka, kiranya mereka tidak akan mau
membiarkan kita lolos lagi.”
Siang In
menjadi gembira, sekali. Timbul kembali kenakalan dan kejenakaannya. “Wah,
kalau cuma menghadapi tua bangka-tua bangka tolol macam itu saja, aku menyimpan
banyak macam akal untuk mengelabui mereka, Lee-ko!”
“Akal dari
dongeng kuno?”
Siang In
terkekeh dan menutupi mulutnya sehingga terpaksa Kian Lee juga tersenyum. Dekat
dengan seorang dara seperti Siang In ini, tidak mungkin orang dapat berdiam
diri saja tanpa ketularan kegembiraannya. Maka berangkatlah dua orang itu
dengan hati hati, menyelinap dan sembunyi-sembunyi, menuju ke benteng lembah
untuk menyelidiki keadaan benteng itu!
***************
Pangeran
Liong Bian Cu girang bukan main ketika melihat munculnya Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi membawa dua orang tawanan, yaitu Kian Bu dan Hwee Li! Akan
tetapi dia tidak melihat adanya burung garuda, maka pangeran ini merasa
khawatir dan bertanya, “Bagus, Ji-wi telah berhasil menangkap mereka kembali.
Akan tetapi di mana adanya burung garuda itu?”
Hek-tiauw
Lo-mo mengerutkan alisnya dan berkata dengan suaranya yang parau, “Celaka, anak
durhaka ini telah melukainya dan sekarang saya membiarkan burung itu mengobati
lukanya sendiri dan beristirahat di hutan, di luar benteng.”
Keterangan
itu melegakan hati Pangeran Liong Bian Cu dan dia menghampiri Hwee Li dengan
wajah berseri. “Sayang, beruntung sekali engkau dapat bebas dari mata-mata
ini!”
Akan tetapi
Hwee Li cemberut dan Hek-tiauw Lo-mo lalu berkata, “Bocah ini kalau dibiarkan
terlalu bebas bisa berbahaya, Pangeran. Maka sebaiknya kuatur penjagaan di
sekitar kamar dia dan sang puteri sekarang juga.”
“Dan saya
mohon ijin untuk membunuh pemuda yang telah melukai saya ini! Saya terluka oleh
pukulannya dan setelah dia sekarang tertawan, hati saya tidak akan pernah puas
sebelum membalas dendam ini dengan nyawanya!” kata Hek-hwa Lo-kwi yang memegang
lengan Kian Bu atau Siluman Kecil yang terbelenggu.
Pangeran
Liong Bian Cu memang merasa agak jeri kepada Siluman Kecil, apa lagi mendengar
bahwa pemuda rambut putih ini adalah putera Pendekar Super Sakti, maka dia
tidak berani sembarangan. Sekarang, mendengar bahwa Hek-hwa Lo-kwi hendak
membunuhnya karena dendam pribadi, berarti dia bebas dari pemuda yang
ditakutinya itu.
“Kalau
engkau mau membunuhnya karena urusan pribadimu, terserah, Lo-kwi. Akan tetapi
harus kau bereskan juga agar tidak ada bekas-bekasnya!”
Hek-hwa
Lo-kwi tertawa. “Ha-haha, jangan khawatir, Pangeran!”
Pada saat
itu, sang pangeran sedang menjamu saudara misannya, yaitu Liong Tek Hwi dan Kim
Cui Yan. Ketika dua orang ini melihat betapa Siluman Kecil menjadi tawanan,
mereka terkejut bukan main. Mereka pernah diselamatkan oleh pemuda rambut putih
itu, maka kini melihat betapa pemuda itu tertawan dan akan dibunuh, tentu saja
mereka terkejut.
“Kanda
Pangeran, jangan bunuh dia!” Tiba-tiba Liong Tek Hwi berseru dan bangkit dari
tempat duduknya. “Dia adalah Siluman Kecil, pendekar ternama...”
Liong Bian
Cu tersenyum. “Benar, adikku, dia adalah Siluman Kecil, akan tetapi dia adalah
juga putera Pendekar Siluman, dan dia adalah cucu kaisar, dan dia adalah mata
mata yang menyelidiki ke benteng kita! Sekarang, dia telah membikin sakit hati
kepada Locianpwe Hek-hwa Lo-kwi ini, maka terserah kepada Hek-hwa Lo-kwi kalau
hendak membunuhnya!”
Bukan main
herannya hati kedua orang murid Kim-mouw Nionio mendengar bahwa Siluman Kecil
adalah cucu kaisar dan putera Pendekar Siluman dari Pulau Es. Akan tetapi
selagi mereka tercengang, Kian Bu sudah berkata kepada mereka dengan nada tak
senang, “Hemmm, melihat bahwa kalian adalah sekutu dari pangeran pemberontak
ini, aku tidak sudi kalian bela!”
Hek-hwa
Lo-kwi sudah cepat mendorongnya pergi dari situ bersama Hek-tiauw Lo-mo yang juga
memegang lengan tangan Hwee Li dan setengah menyeret dara itu meninggalkan
ruangan.
Pangeran
Liong Bian Cu tertawa dan minum araknya kemudian memperkenalkan dua orang kakek
yang baru saja pergi itu pada saudara misannya. Lalu dia menambahkan, “Kau lihat
gadis itu tadi, adikku? Aku... aku telah mengambil keputusan untuk menikah
dengan dia.”
Sementara
itu, Kim Cui Yan sejak tadi bengong saja memandang ke arah perginya Hwee Li.
Melihat wajah Hwee Li, Kim Cui Yan merasa seperti pernah mengenal dara cantik
berpakaian hitam itu, akan tetapi biar pun dia mengingat-ingatnya, tetap saja
dia tidak dapat mengingat kapan dia pernah mengenal dara itu. Hal ini tidak
mengherankan karena wajah Hwee Li memang mirip benar dengan wajah mendiang ibu
kandungnya, dan di waktu dia berusia kurang lebih lima enam tahun, Kim Cu Yan
tentu saja sering melihat ibu tirinya, yaitu Ibu kandung Hwee Li yang menjadi
selir ayahnya! Jadi, bukan Hwee Li yang pernah dikenalnya, melainkan ibu
kandung dari dara baju hitam itu.
Seperti
dapat kita duga, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang baru datang menghadap
Pangeran Liong Bian Cu di sore hari itu dan membawa Kian Bu dan Hwee Li sebagai
tawanan, sebetulnya bukan lain adalah Hek-sin Touw-ong si Raja Maling bersama
muridnya, Ang-siocia atau Kang Swi Hwa! Dengan penyamaran mereka yang tepat
sekali, bahkan Pangeran Liong Bian Cu yang cerdik itu pun sama sekali tidak
mengenal mereka. Saking girangnya melihat Hwee Li dapat kembali, pangeran itu
tidak menaruh curiga akan sikap tergesa-gesa dari dua orang kakek iblis itu
yang tidak mau lama-lama berhadapan dengan dia.
“Kakanda
Pangeran!” Liong Tek Hwi berkata lagi, “Kuharap engkau tidak membiarkan Siluman
Kecil dibunuh karena ketahuilah bahwa dia pernah menyelamatkan nyawaku dan
Sumoi. Tidak mungkin aku berdiam lebih lama lagi di sini kalau dia dibunuh
dengan sepengetahuanku. Harap kau memaklumi perasaan kami ini!” Pemuda berkulit
putih itu sudah bangkit berdiri, diturut oleh sumoi-nya.
Pangeran
Liong Bian Cu mengangguk-angguk. “Baiklah, biar segera kusuruh pengawal memberi
tahu kepada Lo-kwi agar pemuda itu ditahan saja dulu dan jangan dibunuh
sekarang.” Pangeran Liong Bian Cu bertepuk tangan dan muncullah seorang
Panglima Nepal dan pangeran itu lalu memberi perintah dengan cepat dalam bahasa
Nepal.
Orang yang
berkulit coklat kehitaman itu berlutut dengan kaki kanan, lalu membalikkan
tubuh dan berjalan cepat meninggalkan ruangan itu untuk menyusul Hek-hwa Lo-kwi
dan menyampaikan perintah majikannya.
Sementara
itu, setelah berhasil menipu Pangeran Liong Bian Cu, empat orang itu, ialah
Ang-siocia yang menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo, si Raja Maling yang menyamar
sebagai Hek-hwa Lo-kwi, dan kedua orang ‘tawanan’ mereka, yaitu Kian Bu dan
Hwee Li, cepat meninggalkan ruangan itu dan dengan Hwee Li bertindak sebagai
penunjuk jalan, pergilah mereka ke ruangan belakang!
Sementara
itu, cuaca di luar sudah mulai gelap dan tergesa-gesa empat orang itu menuju ke
ruangan di mana keluarga Kao ditahan. Karena di tempat ini terdapat banyak
penjaga, maka kembali Hwee Li dan Kian Bu pura-pura menjadi tawanan yang
dikawal oleh dua orang kakek itu sehingga para penjaga tidak menaruh curiga
apa-apa.
Ketika
melihat betapa banyaknya keluarga Kao yang berada di dalam tahanan itu, Kian Bu
terkejut bukan main, demikian pula Ang-siocia dan gurunya. Mana mungkin dapat
menyelamatkan begitu banyak orang dari tempat sekuat benteng itu? Tetapi mereka
telah berhasil menyelundup masuk, maka harus mencari jalan untuk menyelamatkan
mereka, dan Siluman Kecil sudah mencari-cari dengan pandang matanya ke dalam
ruangan tahanan di balik pintu jeruji besi itu.
“Mana
puteri...?” bisiknya tanpa menggerakkan bibir kepada Hwee Li sehingga yang
dapat mendengar hanya Hwee Li seorang.
Hwee Li lalu
memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi palsu yang segera
membawa mereka pergi dari situ. Para penjaga tidak ada yang menaruh curiga.
Mereka sudah mengenal watak aneh dari dua orang kakek iblis itu, apa lagi
Hek-tiauw Lo-kwi adalah ketua dari Kui-liong-pang, pemilik tempat itu. Mereka
hanya menduga bahwa tawanan baru yang berambut putih itu tentu sengaja disuruh
melihat keluarga Kao yang ditawan. Dan ketika di antara mereka ada yang
mengenal pemuda rambut putih itu sebagai Siluman Kecil, mereka hanya dapat
memandang heran dan setelah empat orang itu pergi, bisinglah tempat itu karena
mereka berbisik-bisik bahwa Siluman Kecil yang selama ini menggemparkan daerah
lembah Huang-ho, kini telah menjadi tawanan pula!
“Lekas bawa
kami kepada sang puteri...,“ bisik Kian Bu setelah menjauhi tempat itu. “Kita
harus tolong sang puteri, sedangkan keluarga Kao sedemikian banyaknya.”
“Kalau bisa
menolong mereka seorang satu saja sudah baik,” kata Ang-siocia.
“Tunggu aku
mencoba untuk mengeluarkan seorang di antara mereka, agaknya putera Jenderal
Kao itu lebih baik diselamatkan dulu supaya dia dapat membantu kita,” kata
Hek-sin Touw-ong.
“Nanti
dulu,” cegah Hwee Li. “Bisa menimbulkan kecurigaan kalau membebaskan mereka,
apa lagi kurasa tidak akan ada di antara mereka yang mau dibebaskan kalau tidak
semua. Lebih baik kita membebaskan Puteri Syanti Dewi lebih dulu, lalu kita
membikin kacau agar penjagaan itu bubar...!”
“Aku sudah
siap dengan bahan bakarnya!” mendadak Hek-sin Touw-ong berkata sambil
mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya. Memang kakek ini selalu
mempersiapkan segala sesuatu, seperti seorang tukang sulap.
Dengan
hati-hati Hwee Li lalu mengajak mereka menuju ke kamar sang puteri yang berada
di sebelah dalam, di samping kiri bangunan induk yang menjadi tempat tinggal
pangeran. Akan tetapi, dari jauh saja sudah nampak bahwa tempat itu terjaga oleh
Mohinta dan anak buahnya, dibantu pula oleh belasan orang prajurit Nepal karena
puteri itu merupakan seorang tawanan penting bagi negara Nepal! Ada pun Mohinta
sendiri tidak pernah mau meninggalkan wanita yang dicintanya ini.
“Harap
kalian tinggal di sini, biar aku dan ayahku ini saja yang masuk,” kata Hwee Li
berbisik kepada Kian Bu dan Hek-hwa Lo-kwi.
Melihat
kedatangan empat orang itu, para penjaga sudah memandang dengan penuh
perhatian, terutama sekali kepada Kian Bu karena tentu saja mereka tidak
menaruh curiga apa-apa terhadap Hwee Li dan dua orang kakek iblis itu. Biar pun
demikian, andai kata tidak bersama Hwee Li, dan seorang di antara dua orang
kakek iblis itu yang masuk sendiri, tentu para penjaga itu akan melarangnya.
Akan tetapi tidak ada yang berani melarang Hwee Li karena dara ini adalah calon
isteri sang pangeran!
Maka dengan
tenang saja Hwee Li masuk ke dalam rumah itu bersama ‘ayahnya’ yang berjalan
dengan gagah. Tidak ada yang tahu betapa di sebelah dalam Hek-tiauw Lo-mo ini
Kang Swi Hwa mengeluarkan keringat dingin dan panas karena selain tegang, dia
juga merasa gerah sekali dalam penyamarannya itu, dan mukanya yang ditambal
bahan penyamaran itu terasa gatal, kakinya yang memakai ganjal terasa kaku dan
sakit-sakit!
“Hwee
Li...!” Puteri Syanti Dewi berseru girang dan lari menyambut lalu merangkul
Hwee Li ketika dara ini memasuki kamarnya. “Ah, betapa girangku melihatmu...
akan tetapi...“
Puteri itu
mundur kembali ketika melihat Hek-tiauw Lo-mo muncul di belakang dara baju
hitam itu. Dia merasa takut sekali kalau melihat Hek-tiauw Lo-mo yang sudah
lama dikenalnya itu, semenjak perantauannya yang pertama beberapa tahun yang
lalu dan dia sudah tahu benar betapa jahatnya iblis tua yang menjadi ayah dari
Hwee Li ini. Melihat ini Hwee Li tersenyum dan memegang tangan puteri itu.
“Jangan
takut, Bibi Syanti Dewi, dia ini adalah seorang sahabat baik, seorang gadis
cantik yang menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo untuk menolongmu.”
“Maafkan
jika saya mengejutkan anda, Puteri. Sudah lama mendengar akan kecantikan anda,
dan ternyata anda seperti bidadari...,“ kata Ang-siocia atau Kang Swi Hwa
dengan suara biasa yang merdu dan halus.
Syanti Dewi
terkejut dan juga girang, di samping rasa herannya bagaimana seorang gadis
dapat menyamar sebagai seorang kakek raksasa seperti Hek-tiauw Lo-mo.
“Akan
tetapi, bagaimana kita dapat...,” tanyanya ragu.
“Jangan
khawatir, di luar masih ada Siluman Kecil atau Suma Kian Bu dan juga Hek-sin
Touw-ong yang akan membantu kita.”
“Suma Kian
Bu...?” Wajah puteri itu agak berubah ketika mendengar nama ini, nama seorang
pemuda yang takkan pernah dilupakannya selama hidupnya, pemuda yang selalu
menimbulkan rasa iba di hatinya kalau dia teringat, oleh karena dia tahu betapa
pemuda perkasa itu amat mencintanya dan cintanya itu terpaksa ditolaknya
sehingga dia menghancurkan hati pemuda itu. Seorang pemuda perkasa yang sudah
berkali-kali menolongnya, putera dari Pulau Es, dan amat mencintainya, namun
terpaksa ditolaknya karena cintanya hanya untuk Tek-Hoat seorang!
Hwee Li
tidak tahu akan rahasia antara sang puteri dan Siluman Kecil, maka dia hanya
mengira bahwa Syanti Dewi girang mendengar nama itu karena tentu saja puteri
ini sudah mengenalnya. “Marilah, Bibi, sekarang juga kita pergi. Kita tidak
banyak waktu...” Hwee Li memegang tangan puteri itu dan menariknya bersama
Hek-tiauw Lo-mo lalu keluar dari dalam kamar itu.
Para penjaga
dan juga para pengawal Bhutan yang berada di situ tidak menaruh curiga melihat
sang puteri keluar bersama Hwee Li, karena memang antara dua orang wanlta
cantik ini terdapat persahabatan yang amat akrab. Akan tetapi, baru saja tiga
orang ini keluar dari kamar dan Kian Bu berdiri seperti terpesona ketika
melihat sang puteri, sebaliknya Syanti Dewi juga memandang pemuda itu dengan
mata terbelalak saking kagetnya menyaksikan perubahan pada diri Kian Bu,
terutama rambutnya, selagi mereka saling pandang dengan penuh perasaan terharu,
tiba-tiba datang seorang pengawal bangsa Nepal yang menghampiri Hek-hwa Lo-kwi
palsu.
“Pangcu,
atas perintah dari pangeran, tawanan ini agar dibawa kembali ke sana, tidak
boleh dibunuh dulu.”
Hek-sin
Touw-ong yang menyamar sebagai Hek-hwa Lo-kwi terkejut. “Eh, ada urusan
apakah?” tanyanya cemas.
“Entahlah,
akan tetapi pangeran mengutus saya untuk memberi tahu kepada Pangcu agar
tawanan ini dibawa kembali ke sana.”
Hek-sin
Touw-ong menjadi bingung dan hatinya merasa tidak enak sekali. Orang macam
Pangeran Nepal itu bukanlah orang sembarangan dan tentu memiliki kecerdikan
luar biasa. Hal ini dapat dilihatnya ketika dia tahu melihat sepasang mata
Pangeran Nepal itu. Mengelabui orang seperti itu dengan penyamarannya memang
mungkin dapat, akan tetapi hanya sekelebatan saja. Kalau dia harus menghadap
dan banyak bicara dengan pangeran itu, tentu penyamarannya akan dikenal. Apa
lagi kalau Siluman Kecil diserahkan kepada pangeran itu, tentu akan berbahaya
malah.
Dalam
keadaan bingung dia menengok ke arah Hek-tiauw Lo-mo palsu. Dia hendak
mengandalkan kecerdikan muridnya ini. Akan tetapi, berada di tempat asing itu
dan menghadapi banyak orang pandai, bahkan Ang-siocia yang biasanya cerdik itu
menjadi bingung dan khawatir.
Dalam
keadaan seperti itu Hwee Li yang cepat berkata. “Dia ini musuh besar kami,
harus dibunuh! Dan kami akan mengajak sang puteri untuk menyaksikan pelaksanaan
pembunuhan terhadap musuh besar ini! Mari, Bibi Syanti!” Dia menggandeng tangan
puteri itu dan memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi untuk
cepat pergi dari situ. Hek-hwa Lo-kwi kemudian mendorong tubuh Siluman Kecil
yang dibelenggunya itu ke depan dengan kasar.
Para penjaga
menjadi bingung, juga utusan orang Nepal ltu menjadi bingung. Dia merasa
ragu-ragu untuk memaksa Hek-hwa Lo-kwi yang menjadi pangcu (ketua) dari
Kui-liong-pang dan sebenarnya adalah tuan rumah di lembah itu. Juga dia tahu
baik bahwa Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang tokoh pembantu dari majikannya,
sedangkan Hwee Li adalah tunangan sang pangeran dan puteri itu adalah Puteri
Bhutan, seorang tamu agung!
Akan tetapi
baru saja lima orang itu bergerak, Mohinta yang sejak tadi memandang dan
mendengarkan saja sudah berteriak, “Tahan!” Dia meloncat maju menghadang.
“Mohinta,
manusia pengkhianat!” bentak Syanti Dewi penuh kebencian. Dia sudah tahu akan
kehadiran Mohinta di tempat itu dan dia amat benci kepada Panglima Bhutan ini
yang menurut Hwee Li telah berniat memberontak dan bersekutu dengan orang
Nepal. “Engkau mau apa? Minggir!”
Akan tetapi
Mohinta tersenyum dan menggeleng kepala. “Lekas kau melapor kepada Sang
Pangeran Bharuhendra!” teriak Mohinta kepada pengawal Nepal tadi, lalu dia
menghadapi lima orang itu. “Sebelum ada keputusan dari sang pangeran, kalian
berlima tidak boleh meninggalkan tempat ini!”
Mohinta
memang cerdik sekali. Tentu saja dia sudah tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi adalah dua orang tokoh besar yang sakti dan yang menjadi
pembantu pembantu Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu. Akan tetapi melihat
betapa mereka hendak membawa pergi Syanti Dewi, dia lantas merasa curiga dan
tidak mau memperkenankan mereka membawa pergi sang puteri begitu saja. Dia
sampai berada di situ adalah demi sang puteri ini, maka tidak boleh orang
membawanya pergi di luar pengawasannya.
Melihat
orang Nepal tadi kini membalik dan berlari cepat menuju ke tempat tinggal
Pangeran Liong Bian Cu yang seperti istana di tengah-tengah lembah itu, terkejutlah
Hwee Li.
“Cepat!”
serunya dan dia sudah menerjang Mohinta.
Panglima
Bhutan ini terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo palsu
telah menendang sehingga dia roboh terguling! Hwee Li cepat menyambar tangan
Syanti Dewi dan diajaknya berlari menuju ke pintu belakang lembah. Gegerlah
keadaan di situ, apa lagi setelah Mohinta meloncat bangun kembali dan
berteriak-teriak dengan suara keras, “Tangkap pemberontak! Kepung! Tahan,
mereka hendak melarikan Sang Puteri Bhutan dan tawanan!”
Para
pengawal serentak maju mengepung dan menghadang. Melihat ini, Siluman Kecil
menggerakkan kedua tangannya dan patahlah belenggu tangannya. Para pengawal
mengeroyok dan terjadilah pertempuran. Terdengar pengawal memukul tanda bahaya
dan keadaan menjadi makin geger!
Dengan mudah
saja Siluman Kecil, Hwee Li, Ang-siocia, Hek-sin Touw-ong dan juga Puteri
Syanti Dewi sendiri yang membantu merobohkan para pengawal itu. Namun kini
nampak puluhan orang pengawal dan prajurit datang berlarian, juga para anak
buah Kui-liong-pang dan muncul orang-orang pandai seperti Hwai-kongcu Tang Hun
dan tiga orang pembantunya yang lihai, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok,
Hai-liong-ong Ciok Gu To dan masih banyak lagi para pembantu Pangeran Nepal
yang datang berlarian ke tempat itu.
“Cepat kita
lari!” Hwee Li berseru sambil menyambar tangan Syanti Dewi dan mereka semua
sudah melarikan diri dikejar oleh puluhan orang pengawal.
Namuni suatu
tanda bahaya itu telah menggerakkan para penjaga di sebelah belakang dan kini
ke mana pun mereka melarikan diri, selalu mereka dihadang oleh puluhan orang,
bahkan mulai nampak pasukan dengan teratur sekali menjaga dan menghadang semua
jalan.
“Celaka!
Suhu, lekas lepas api!” teriak Ang-siocia sambil mengamuk ketika kembali mereka
sudah dikeroyok.
Hek-hwa
Lo-kwi palsu, yaitu penyamaran Hek-sin Touw-ong, cepat meloncat ke atas genteng
dan dari situ dia melemparkan empat buah benda keempat penjuru. Terdengar
ledakan-ledakan disusul oleh berkobarnya api yang membakar rumah-rumah yang
dilempari bahan peledak itu. Suasana menjadi makin kacau-balau dan lima orang
itu kembali dikepung dan dikeroyok.
Akan tetapi,
para anggota Kui-liong-pang tidak ada yang berani mengeroyok ketua mereka! Dan
juga banyak orang tidak berani menghadapi Hek-tiauw Lo-mo, apa lagi menyerang
Hwee Li yang menjadi tunangan sang pangeran. Maka pengepungan itu hanya untuk
mencegah mereka melarikan diri saja, dan hanya Siluman Kecil saja yang
dikeroyok oleh banyak orang. Tetapi justeru ini yang mencelakakan para
pengeroyok karena setiap gerakan pemuda ini pasti merobohkan beberapa orang
sekaligus.
Hwee Li juga
dikepung dan dara ini mengamuk dengan hebat. Karena gugup maka dara ini tidak
tahu bahwa sebetulnya, kalau dia tidak bergerak, tidak akan ada orang yang
berani menyerangnya! Akan tetapi karena dia mengamuk, maka para pengepung itu
bergerak hanya untuk membela diri saja. Dara ini lupa bahwa sebetulnya tidak
mungkin ada seorang pun di antara mereka yang berani melukai kekasih sekaligus
tunangan Pangeran Nepal!
Syanti Dewi
yang tadinya mendapatkan harapan untuk lolos dari tempat itu, kini begitu melihat
bahaya, tidak mau tinggal diam. Selama dia berkumpul dengan Hwee Li di tempat
itu, dia telah mempelajari ilmu silat dari dara ini sehingga dia telah
memperoleh kemajuan. Maka pada waktu melihat beberapa orang anak buah Mohinta
berusaha menangkapnya, dia pun mengamuk dan kaki tangannya telah merobohkan
beberapa orang.
Pengeroyokan
menjadi makin rapat, sungguh pun keadaan amat kacau oleh kebakaran kebakaran
itu. Tiba-tiba Syanti Dewi menjerit dan ketika Hwee Li menoleh, ternyata puteri
itu telah dipeluk oleh Mohinta. Kiranya Mohinta yang cerdik ini telah
menyelinap dengan diam-diam, dan ketika melihat kesempatan selagi Syanti Dewi
mengamuk, dia sudah menubruk dari belakang dan merangkul puteri itu.
“Keparat,
lepaskan Bibi Syanti!” Hwee Li membentak dan menerjang maju, akan tetapi dia
cepat menahan gerakannya dan meloncat mundur dengan muka pucat ketika melihat
betapa Mohinta menodongkan pisau runcing ke leher Syanti Dewi.
“Mundur kau!
Atau kubunuh dia!” bentak Mohinta yang cerdik. Melihat ini, tentu saja Hwee Li
menjadi pucat dan dia menjadi marah, kemudian mengamuk dan sekaligus merobohkan
empat orang pengepung.
“Kita gagal!
Lari...!” Hwee Li berteriak karena maklum bahwa dia tidak mungkin dapat
menolong Syanti Dewi dan kini paling perlu adalah menyelamatkan diri lebih
dulu.
Akan tetapi
hampir saja Hwee Li celaka ketika Hwa-i-kongcu Tang Hun yang sudah tiba di situ
menubruk dari samping. Memang pemuda yang menjadi ketua Liong-sim-pang ini
lihai bukan main. Biar pun Hwee Li dapat mengelak, akan tetapi karena dara ini
baru saja mengamuk dan mencurahkan perhatian kepada empat orang yang dirobohkan
itu, elakannya kurang cepat dan tangannya yang kiri dapat dicengkeram oleh
Hwai-kongcu!
Hwee Li
mengerahkan tenaga meronta, akan tetapi cengkeraman itu seperti jepitan baja
yang amat kuat dan Hwa-i-kongcu tersenyum menyeringai sambil berkata, “Nona,
sang pangeran akan berterima kasih kalau aku dapat menahanmu sehingga tidak
sampai melarikan diri...“
“Wuuuttttt,
desss...!”
Tubuh
Hwa-i-kongcu terlempar dan bergulingan. Dia dapat meloncat bangun lagi, tapi
kepalanya nanar. Untung dia tadi masih menangkis ketika mendengar sambaran
angin dahsyat dari kiri. Ternyata Siluman Kecil sudah menerjangnya tadi untuk
menolong Hwee Li dan akibat dari tangkisannya itu, dia sampai terlempar dan
pandang matanya berkunang, kepalanya menjadi pening. Tang Hun terkejut setengah
mati, tidak mengira bahwa sedemikian ampuh dan dahsyatnya serangan dari Siluman
Kecil maka dia hanya memandang dengan mata terbelalak dan hati gentar, tidak
berani bergerak lagi!
Melihat
keadaan yang gawat ini, Hek-si Touw-ong lalu berseru, “Lari ke atas...!”
Dan dia
sudah mendahului meloncat ke atas genteng. Tiga orang temannya cepat
berloncatan ke atas dan pada saat itu, Hek-sin Touw-ong melemparkan dua buah
benda yang meledak di bawah sehingga para pengeroyok dan pengejar menjadi mawut
dan kacau-balau. Mereka terus berloncatan dan Hek-sin Touw-ong mengobral bahan
peledaknya, melempar-lemparkannya di seluruh tempat sehingga terdengar ledakan
ledakan bertubi-tubi dan nampak rumah-rumah di seluruh lembah dalam benteng itu
kebakaran!
Untung bahwa
para penjaga di pintu gerbang masih bingung dan ragu-ragu melihat Hek-tiauw
Lo-mo dan terutama Hek-hwa Lo-kwi palsu itu. Mereka masih belum tahu bahwa
kedua orang kakek itu adalah palsu, bahkan yang tadi mengeroyok pun tidak ada
yang tahu bahwa mereka itu palsu, dan mereka hanya mengira bahwa dua orang
kakek itu hendak berkhianat dan memberontak saja. Inilah yang membuat para
penjaga menjadi ragu-ragu dan mereka tidak menghadang dengan sepenuh hati
karena mereka memang jeri terhadap dua orang kakek itu, dan tidak ada pula yang
berani menyerang Hwee Li yang mereka kenal sebagai tunangan sang pangeran. Dan
karena ini, maka empat orang itu berhasil keluar dari dalam benteng itu tanpa
banyak kesukaran, sungguh pun mereka merasa kecewa sekali karena tidak berhasil
melarikan Syanti Dewi, apa lagi keluarga Jenderal Kao Liang. Benteng itu
terlalu kuat dan penjagaan terlalu ketat.
Tidak ada
seorang pun yang tahu bahwa di waktu api berkobar-kobar di dalam benteng itu,
nampak bayangan berkelebatan yang sukar diikuti pandang mata. Bayangan ini
cepatnya bukan main sehingga tidak ada orang yang melihatnya. Apa lagi setelah
api berkobar-kobar, asap membubung tinggi di mana-mana, bayangan itu seperti
setan saja berkelebatan di antara genteng-genteng dan api-api berkobar, dari
atas dia merupakan seorang wanita cantik sekali yang berpakaian mewah. Kini
wanita itu mengintai ke bawah dan melihat Mohinta yang masih merangkul Syanti
Dewi yang meronta-ronta berusaha melepaskan diri.
Wanita ini
bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui! Wanita cantik jelita ini pernah
bertemu dengan Siluman Kecil dan dia amat tertarik kepada pendekar yang namanya
sudah menggemparkan dunia kang-ouw itu. Akan tetapi ketika dia mengadu ilmu
silat dengan pendekar itu, dia terkejut sekali dan diam-diam dia maklum bahwa
dia sendiri pun takkan mampu menandingi pendekar itu. Akan dicobanya lagi kalau
dia mempunyai kesempatan berjumpa dengan pendekar itu.
Betapa pun
juga, pendekar itu hanyalah seorang sute-nya! Dia sudah mendengar bahwa
Pendekar Siluman Kecil berguru, bahkan dianggap putera oleh gurunya, yaitu Kim
Sim Nikouw di lereng Bukit Tai-hang-san, maka pendekar itu masih terhitung
sute-nya juga. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Pendekar Siluman Kecil itu
adalah putera Pulau Es! Andai kata dia tahu akan hal ini, tentu Bu-eng-kwi Ouw
Yan Hui tidak akan merasa penasaran dikalahkan oleh pemuda itu. Betapa pun
juga, dia merasa senang juga mendapatkan kenyataan bahwa dalam hal ginkang, dia
masih menang dibandingkan dengan pendekar perkasa itu.
Dalam
perjalanannya itu, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui juga mendengar akan berkumpulnya
tokoh-tokoh besar di dalam lembah Huang-ho. Hal ini menarik perhatiannya dan
dia lalu menuju ke benteng itu. Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya
ketika dia melihat Siluman Kecil menjadi tawanan dua orang kakek bersama
seorang dara yang cantik berpakaian hitam! Dia sendiri tidak tahu bahwa dua
orang kakek itu adalah palsu, karena dia melihat empat orang itu ketika mereka
sedang memasuki pintu gerbang. Karena amat tertarik melihat ‘sute-nya’ itu
menjadi tawanan, diam-diam Bu-eng-kwi lalu membayangi. Mudah saja bagi ahli
ginkang seperti dia untuk berloncatan naik melalui tembok benteng tanpa
diketahui orang.
Akan tetapi
begitu menyaksikan keadaan benteng itu, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui menjadi terkejut
bukan main dan dia kagum. Benteng ini amat hebat, pikirnya! Amat kuatnya
sehingga merupakan benteng perang yang kokoh dan sukar diserbu pasukan dari
luar! Penjagaannya demikian ketat sehingga kalau dia tidak memiliki ginkang
yang luar biasa, tentu amat sukar untuk dapat memasukinya, apa lagi pasukan
yang hendak masuk lewat pintu gerbang yang berlapis-lapis itu! Dia sendiri
menjadi bingung setelah naik ke atas tembok dan terpaksa menyelinap dan bersembunyi
agar jangan ketahuan penjaga. Dia tidak tahu ke mana dibawanya Siluman Kecil
dan gadis berbaju hitam tadi oleh dua orang kakek yang kelihatan seperti iblis
itu.
Selagi dia
bingung dan tidak tahu harus mencari ke mana, dan dia hanya menggunakan ginkang-nya
yang luar biasa, yaitu semacam ilmu yang dikuasai oleh Siluman Kecil, yang
disebut Jouw-san-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput), dia berkelebatan di
atas genteng-genteng bangunan itu dengan amat hati-hati sehingga tidak ada
seorang pun yang mengetahuinya, tiba-tiba dia melihat Siluman Kecil, gadis
cantik dan dua orang kakek yang menawan mereka tadi keluar dari bangunan induk!
Dia menjadi girang sekali dan diam-diam dia membayangi dari atas.
Kemudian dia
menyaksikan keributan yang terjadi, disusul pertempuran dan kebakaran kebakaran
yang dilakukan oleh kakek bermuka tengkorak itu dengan senjata-senjata bahan
peledaknya. Kini tahulah dia bahwa Siluman Kecil bukan ditawan, melainkan
pura-pura ditawan dan betapa dua orang kakek itu malah menjadi kawan-kawan dari
Siluman Kecil dan gadis cantik itu!
Ketika dia
melihat Puteri Syanti Dewi, Ouw Yan Hui terpesona dan kagum sekali. Belum
pernah dia melihat seorang wanita secantik itu dan begitu melihatnya, seketika
dia tertarik dan merasa suka seketika! Akan tetapi, agaknya wanita aneh ini
tidak akan bertindak sesuatu dan tidak sudi mencampuri urusan orang lain yang
tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya, kalau saja dia tidak melihat Puteri
Syanti Dewi dipeluk dan diseret oleh Panglima Bhutan itu secara paksa memasuki
sebuah rumah.
Melihat
puteri jelita itu dipaksa orang, mendadak timbul kemarahan wanita ini. Dan
memang menjadi pantangan bagi Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui melihat seorang wanita
diperlakukan secara kasar oleh seorang pria. Ketika dia melihat lima orang
penjahat Ngo-giam-lo-ong dari selatan melarikan seorang gadis, Ouw Yan Hui juga
mengejarnya dan akhirnya membunuh mereka di dalam hutan karena lima orang
penjahat itu telah memperkosa gadis itu sampai mati, seperti yang telah dilihat
oleh Siluman Kecil.
Kini
melihat, puteri cantik jelita yang amat menarik hatinya itu diseret dan
dirangkul secara paksa oleh seorang Panglima Bhutan, dia marah sekali dan
bagaikan seekor burung garuda yang marah, dia mengeluarkan suara melengking
nyaring dan tubuhnya sudah menyambar dari atas ke bawah, menukik turun
menerjang Mohinta yang sedang berkutetan dengan Syanti Dewi. Mohinta hendak
memaksa puteri itu masuk kembali agar jangan sampai terancam bahaya dilarikan
orang, sedangkan Syanti Dewi yang ingin melarikan diri bersama Hwee Li
meronta-ronta.
Ketika
Mohinta mendengar berdesirnya angin dari atas, dia memandang dan alangkah
kagetnya ketika dia melihat seorang wanita seperti seekor burung saja
menyerangnya. Dia mengira bahwa yang menyerangnya itu tentu Hwee Li karena dia
pun tahu bahwa tunangan sang pangeran itu lihai sekali.
“Mundur!”
bentaknya dan seperti tadi dia mengancamkan pisaunya ke leher Puteri Syanti
Dewi.
Kalau saja
yang menyerangnya itu adalah Hwee Li, tentu Hwe Li tidak akan berani
melanjutkan serangannya, karena khawatir kalau-kalau nyawa Syanti Dewi
terancam. Akan tetapi Ouw Yan Hui sama sekali tidak peduli akan hal ini. Dia
marah kepada orang Bhutan itu dan dia tidak peduli akan keselamatan Syanti Dewi
yang tidak dikenalnya. Maka dia tak menghentikan serangannya dan tubuhnya terus
meluncur dan menyerang Mohinta dengan hebatnya!
Mohita
terkejut bukan main. Tentu saja dia pun mengancam Syanti Dewi bukan untuk
membunuhnya sungguh-sungguh. Maka kini melihat wanita itu masih nekat dan terus
menyerang, dia terpaksa melepaskan Syanti Dewi dan menggunakan pisaunya untuk
memapaki wanita yang menyerangnya itu, karena kini dia melihat bahwa wanita itu
sama sekali bukan Hwee Li tunangan Pangeran Bharuhendra!
“Plakkk...
tringgg...!”
Untuk kedua
kalinya malam itu, tubuh Mohinta yang sial itu terlempar dan terhuyung. Saat
dia meloncat bangun, ternyata bagaikan seekor burung garuda saja, wanita cantik
berpakaian mewah itu telah berkelebat pergi sambil memanggul tubuh Syanti Dewi!
“Hei,
berhenti...!” Mohinta berseru.
Cepat dia
mengambil pisaunya yang tadi terlepas karena tangkisan wanita itu. Dia ingin
menyambit, akan tetapi khawatir kalau mengenai tubuh Syanti Dewi, maka dia lalu
berteriak-teriak minta bantuan dan dia sendiri lalu mengejar. Akan tetapi
kemanakah dia hendak mengejar. Wanita itu hanya dengan beberapa kali lompatan
saja telah lenyap di antara api dan asap yang memenuhi tempat itu.
Mula-mula
Syanti Dewi meronta karena terkejut sekali melihat dirinya dibawa loncat secepat
itu ke atas. Akan tetapi ketika dia melihat betapa dia di panggul seorang
wanita cantik dan dibawa ‘terbang’ melalui api yang bernyala-nyala dan asap
tebal, sehingga nampaknya setiap saat dia dapat terbakar dijilat lidah api
merah, dia merasa ngeri sekali.
Melihat
bahwa wanita itu adalah seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya, dia
berkata, “Lepaskan aku...!”
“Huh,
lepaskan? Benarkah?” Wanita itu lalu melepaskan tubuh Syanti Dewi yang berdiri
di atas tembok benteng, dikelilingi api dan asap! Syanti Dewi terbelalak ngeri.
“Ehh,
ohhh... tolong...!” teriaknya.
“Hemmm!” Ouw
Yan Hui mengejek dan dia menyambar lagi, memanggul tubuh Syanti Dewi yang
saking ngerinya menjadi hampir pingsan itu, dipanggul di atas pundak kanannya
lalu dia berloncatan lagi amat cepatnya seperti terbang saja!
Beberapa
kali Syanti Dewi membuka mata, akan tetapi terpaksa memejamkan kembali matanya
ketika melihat betapa dia dibawa lari terus di atas rumah yang terbakar dan
terus ke tembok-tembok benteng yang berlapis-lapis itu untuk kemudian
berloncatan keluar dari benteng seperti seekor burung terbang saja! Hampir
Syanti Dewi menjerit ngeri ketika Ouw Yan Hui meloncat dari atas wuwungan
tempat penjagaan di atas tembok benteng yang tebalnya hanya satu meter itu,
padahal di kanan kiri tembok itu api masih berkobar! Akan tetapi sebenarnya
puteri ini tidak perlu khawatir. Dengan mudah Ouw Yan Hui meloncat dan hinggap
di atas tembok dengan kaki kanannya, gerakannya seperti orang menari saja.
Kemudian,
dari atas tembok ini Ouw Yan Hui meloncat ke luar kemudian terus berlari di
dalam kegelapan malam, menyusup di antara pohon-pohon di dalam hutan di luar
benteng itu…..
***************
Malam telah
sangat larut dan mereka telah berada jauh sekali dari benteng di lembah
Huang-ho ketika Ouw Yan Hui berhenti berlari, menurunkan tubuh Syanti Dewi.
Mereka berada di lereng sebuah bukit, di dalam hutan kecil yang amat sunyi.
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui membuat api unggun dan mereka berdua duduk di dekat api
unggun, saling berhadapan dan sejak tadi mereka tidak saling bicara. Kini,
mereka berdua duduk saling berpandangan, dihalangi oleh api unggun yang
menyinari wajah dua orang wanita itu dengan cahaya yang kemerahan.
Keduanya
terkejut dan kagum. Setelah kini berada di tempat yang diterangi oleh api
unggun, duduk berhadapan dan berdekatan, mereka dapat melihat wajah masing
masing dengan jelas dan keduanya merasa kagum bukan main oleh kecantikan masing
masing.
Syanti Dewi
memandang wanita yang duduk di depannya itu dengan penuh perhatian. Sukar menaksir
berapa usia wanita ini, akan tetapi dia merasa pasti bahwa wanita ini jauh
lebih tua dari pada dia, sungguh pun melihat wajahnya, tentu orang akan
menaksir bahwa usia wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun.
Seraut wajah yang bulat seperti bulan, dengan dagu runcing, kedua pipinya halus
penuh kemerahan amat mulusnya, sepasang mata yang jernih dan lembut, sungguh
pun di balik kelembutan itu mengandung sifat dingin yang menyeramkan.
Rambutnya
digelung seperti model gelung puteri istana, dihias dengan hiasan rambut dari
emas permata yang indah dan tentu mahal sekali harganya, berbentuk burung hong.
Telinganya memakai perhiasan yang bermata besar dengan sinar berkilauan.
Hidungnya kecil mancung, cuping hidungnya mudah kembang kempis, mulutnya kecil
akan tetapi selalu terbuka secara menantang, mulut yang membayangkan birahi
yang besar, sungguh pun kalau dikatupkan lalu nampak betapa wanita ini dapat
berwatak kejam. Alisnya seperti dilukis saja, demikian pula sinom rambut dan
anak rambut di pelipisnya. Wajah yang cantik jelita dan manis bukan main, tidak
kalah oleh wanita puteri-puteri istana!
Dan tubuh
itu padat dan penuh lekuk lengkung menggairahkan, tubuh seorang wanita yang
sudah matang. Sungguh sukar membayangkan betapa di dalam tubuh yang penuh daya
tarik kewanitaan ini dapat tersembunyi tenaga dahsyat dan ilmu yang demikian
tinggi.
Perhiasan
wanita itu, pakaiannya yang mewah dan rapi, gelang-gelang di tangannya,
sepatunya, semua menunjukkan bahwa wanita ini pantasnya seorang puteri istana
atau seorang puteri yang kaya raya. Bahkan Puteri Milana yang pernah
dikenalnya, puteri istana sakti itu, tidak pernah bersolek semewah wanita ini!
Syanti Dewi memandang penuh keheranan dan menduga-duga gerangan wanita yang
telah menyelamatkan dirinya dari dalam benteng itu, menyelamatkannya ataukah
menculiknya?
Di lain
pihak, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui juga terkejut, kagum dan terpesona sehingga
sejenak dia tidak dapat berkata-kata, hanya terus menatap wajah Syanti Dewi
penuh kekaguman dan perhatian. Selama hidupnya, belum pernah dia melihat wajah
yang demikian sempurna kecantikannya!
Tadinya dia,
seperti yang dibanggakan oleh gurunya, yaitu Maya Dewi, adalah seorang wanita
yang memiliki kecantikan wanita Tiongkok yang sempurna! Dan gurunya itu, Maya
Dewi, adalah seorang wanita yang memiliki kecantikan wanita India yang paling
sempurna! Akan tetapi kini, berhadapan dengan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui melihat
kecantikan yang membuat dia terpesona! Kecantikan dara ini begitu wajar, bahkan
pakaiannya yang sederhana, rambutnya yang awut-awutan, matanya yang terbelalak
lebar penuh kekhawatiran, bibirnya yang agak pucat dan agak gemetar karena
cemas, tidak mengurangi kecantikannya!
Diam-diam
Ouw Yan Hui merasa penasaran sekali! Setiap kali bertemu dengan wanita cantik
di mana pun juga, dia selalu merasa besar hati karena yakin akan kecantikannya
sendiri yang sukar dicari bandingnya, akan tetapi kini, duduk berhadapan dengan
dara yang ditolongnya ini di antara api unggun, dia tiba-tiba merasa bimbang!
“Siapa
engkau? Siapa namamu?” tiba-tiba Ouw Yan Hui bertanya dan suaranya juga halus
merdu, seperti suara seorang dara muda, suara halus yang ‘basah’.
“Namaku
Syanti Dewi.”
“Ehhh??
Engkau bangsa apakah?”
“Aku datang
dari Bhutan”
“Hemmm,
engkau tentu bukan gadis kampung biasa. Hayo ceritakan, siapa sebenarnya engkau
yang mengaku dari Bhutan ini?”
Syanti Dewi
mengerutkan alisnya. Tidak senang dia melihat sikap orang yang angkuh dan kaku
ini, juga sinar mata yang tiba-tiba menjadi dingin sekali dan menyeramkan itu.
Syanti Dewi menegakkan kepalanya dan dengan sikap yang agung dia lalu berkata,
“Aku adalah Puteri Bhutan!”
Kini Ouw Yan
Hui yang mengerutkan alisnya. Kiranya seorang puteri istana! Dia makin
tertarik. Sudah terlalu lama dia menyembunyikan diri tidak mencampuri urusan
dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah mendengar tentang Puteri Bhutan yang
sudah banyak menggegerkan dunia kang-ouw ini.
“Kau puteri
Raja Bhutan, kenapa meninggalkan istanamu dan jauh-jauh berkeliaran sampai di
sini?”
Syanti Dewi
tidak mau menjawab, hanya memandang ke dalam api unggun. Sejenak Ouw Yan Hui
menatap wajah itu, lalu dia tersenyum seorang diri. Dara ini benar-benar
seorang puteri yang agung dan angkuh, pikirnya. Cocok benar dengan dia!
Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan Syanti Dewi mengangkat muka memandang,
mengikuti gerakannya.
“Kau bisa
silat?” kembali Ouw Yan Hui bertanya.
Syanti Dewi
menggeleng kepala.
Ouw Yan Hui
tersenyum mengejek, karena dia tadi melihat pula betapa puteri ini melawan dan
sempat pula merobohkan beberapa orang prajurit sebelum dia ditangkap oleh
Panglima Bhutan itu.
“Aku hendak
membunuhmu, hendak kulihat apakah kau demikian pengecut untuk menerima kematian
tanpa membela diri!” Setelah berkata demikian, Ouw Yan Hui lalu meloncat dan
menendang ke arah tubuh Syanti Dewi untuk membuat tubuh puteri itu terlempar ke
dalam api unggun.
“Ihhh!”
Syanti Dewi meloncat dan mengelak, gerakannya cepat juga karena selama ini dia
telah memperoleh banyak kemajuan.
Semenjak dia
dahulu diberi petunjuk oleh Ceng Ceng, kemudian oleh pendekar sakti Gak Bun
Beng, kemudian baru-baru ini oleh Hwee Li, sang puteri ini telah memperoleh
kemajuan pesat dan kalau hanya beberapa orang laki-laki biasa saja jangan harap
dapat menandinginya.
“Bagus!” Ouw
Yan Hui berseru dan mulailah wanita ini melancarkan serangan bertubi tubi
dengan pukulan-pukulan maut!
Tentu saja
Syanti Dewi marah sekali. Tadinya memang dia tidak tahu apa maksudnya wanita
cantik ini membawanya lari keluar dari benteng, dan dia tidak tahu apakah
wanita ini kawan atau lawan. Siapa kira, kini wanita itu hendak membunuhnya,
setelah bersusah-payah membawanya ke luar dari benteng. Gila! Jangan-jangan
memang gila wanita cantik ini, pikir Syanti Dewi dan bulu tengkuknya meremang
ngeri. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau dibunuh begitu saja tanpa melawan
dan sambil mengelak atau menangkis, dia pun menyerang pula dengan dahsyat untuk
merobohkan wanita ini agar dia dapat melarikan diri.
Diam-diam
Ouw Yan Hui terkejut juga menyaksikan beberapa gerakan pukulan yang menunjukkan
bahwa dara ini pernah mempelajari ilmu silat tinggi! Hanya latihannya belum
matang dan memang jiwa puteri ini adalah lemah lembut sesuai dengan
kedudukannya, maka serangan balasannya juga tidak mengandung kedahsyatan. Mula
mula, Ouw Yan Hui yang hanya ingin menguji sampai di mana kepandaian Syanti
Dewi, bergerak dengan lambat untuk mengimbangi lawan. Setelah dia puas menguji
dan memperoleh kenyataan bahwa puteri ini tak mengecewakan, mulailah dia
mempercepat gerakannya dan mulailah Syanti Dewi menjadi bingung.
Mendadak
saja wanita cantik itu lenyap dan tahu-tahu selagi dia bingung, wanita itu
menowel pinggulnya dari belakangnya. Dia membalik dan cepat menyerang, akan
tetapi kembali wanita itu lenyap untuk muncul secara aneh di belakangnya, di
kanan atau kirinya. Syanti Dewi berpusing-pusing dan akhirnya dia roboh karena
pening dan duduk terengah-engah di dekat api unggun.
“Bunuhlah
kalau mau bunuh, aku tidak takut mati dan aku tidak dapat melawanmu!” katanya
dengan kepala ditegakkan penuh keagungan.
Ouw Yan Hui
makin kagum. Puteri ini selain memiliki ilmu silat yang boleh juga, ternyata
tidak cengeng seperti puteri-puteri lain, tidak menangis, bahkan sikapnya tabah
sekali menghadapi ancaman kematian, seperti sikap seorang pendekar wanita
tulen! Dia pun duduk kembali seperti tadi.
“Tadi sempat
kulihat Siluman Kecil berusaha menyelamatkanmu dari benteng. Apakah hubunganmu
dengan dia?”
Syanti Dewi
terkejut dan tanpa dapat dicegahnya lagi, kedua pipinya yang tadi sudah merah
karena marah dan lelah itu menjadi makin merah. Teringat dia akan cinta kasih
Suma Kian Bu padanya. Sukar baginya untuk menjawab, maka dia hanya menggeleng
kepala, lalu akhirnya dapat juga berkata, “Hanya teman baik, aku pun baru tahu
ketika dia muncul, setelah lima tahun lebih tidak saling jumpa.”
Syanti Dewi
lalu menatap wajah yang cantik itu, lalu dia pun bertanya dengan suara
mengandung penasaran. “Dan engkau siapakah? Aku tidak minta pertolonganmu akan
tetapi engkau meloloskan aku keluar dari benteng, hanya untuk kau hina. Apa
maksud ini semua?”
Ouw Yan Hui
tersenyum. “Aku paling benci melihat pria, apa lagi yang mengganggu wanita.
Ketika kau diganggu Panglima Bhutan tadi, aku segera ingin menolongmu. Dan kau
cantik sekali. Aku tidak bermaksud menghinamu.”
“Dan tadi
engkau menyerangku, mempermainkan aku...“
“Hemmm, kau
tidak tahu, Syanti Dewi. Aku hanya ingin menguji kepandaianmu sampai di mana.”
“Siapakah
engkau sebenarnya?” Syanti Dewi tertarik sekali.
Wanita ini
aneh, cantik jelita, dan berilmu tinggi. Seketika lenyap rasa penasaran dan
marahnya karena dipermainkan tadi. Meski dia sendiri bukan terhitung seorang
wanita kang-ouw, akan tetapi selama beberapa tahun ini kehidupan Syanti Dewi
penuh dengan pengalaman, dan sudah banyak sekali dia bertemu dengan orang-orang
kang-ouw yang lihai-lihai dan yang aneh-aneh, maka dia dapat memaklumi keanehan
wanita ini.
“Orang
menyebutku Bu-eng-kwi (Iblis Tanpa Bayangan), akan tetapi namaku adalah Ouw Yan
Hui. Aku juga bukan orang sembarangan, Syanti Dewi. Kalau engkau seorang Puteri
Bhutan, maka aku adalah seorang ratu, ratu dari pulauku sendiri!” Ouw Yan Hui
tersenyum dan kalau dia sedang tersenyum, memang dia cantik sekali, sedikit pun
tidak membayangkan bahwa dia adalah seorang wanita iblis yang amat lihai.
Syanti Dewi
menjadi heran. “Dan apa yang hendak kau lakukan kepadaku?”
“Apa yang
kau harapkan?”
“Agar kau
membebaskan aku, membiarkan aku pergi setelah kau berhasil meloloskan aku dari
benteng itu. Dan aku, Syanti Dewi, selamanya tidak akan melupakan budi kebaikan
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui.”
“Dan ke mana
kau hendak pergi?”
“Ke mana
saja kakiku membawaku. Aku... aku mencari dua orang.”
“Siapa
mereka?”
“Yang
pertama adalah Teng Siang In, gadis sahabatku yang membawaku pergi dari Bhutan,
dan kedua adalah... Ang Tek Hoat, dia... dia tunanganku!”
“Hemmm!” Ouw
Yan Hui mengerutkan alisnya. Dia merasa sayang bahwa seorang dara secantik
Puteri Bhutan ini mau saja menyerahkan hatinya kepada seorang pria! Pria di
dunia ini tidak ada yang baik, tidak ada yang bisa dipercaya!
“Dengan
kepandaian silatmu yang biasa saja ini, dan dengan adanya demikian banyak orang
pandai di dunia, apa lagi mereka yang berada di dalam benteng tentu akan
mengejar dan mencarimu, mana mungkin kau melakukan perjalanan seorang diri
saja? Baru satu dua hari saja engkau tentu akan terjatuh ke tangan orang jahat
lagi.”
“Aku tidak
takut.”
“Akan tetapi
aku tidak mau melepasmu ke dalam bahaya.”
“Lalu apa
yang akan kau lakukan terhadap diriku, Bu-eng-kwi?”
Ouw Yan Hui
memandang penuh perhatian dan Syanti Dewi menambah kayu dalam api unggun
sehingga apinya berkobar lagi. Dia tidak takut kepada wanita cantik ini karena
dia dapat menduga bahwa wanita ini hanya lihai dan aneh, akan tetapi agaknya
tidak jahat dan pasti tidak akan mengganggunya.
“Apa yang
akan kulakukan? Hemmm, tergantung keadaanmu, Syanti Dewi. Aku akan mengambil
keputusan kalau sudah mendengar riwayatmu, mengapa engkau seorang puteri dari
Bhutan sampai bisa berada di sini dan menjadi tawanan di dalam benteng itu.”
Syanti Dewi
menarik napas panjang. Wanita ini aneh, lihai sekali, dan betapa pun juga
wanita ini telah menolongnya melepaskan dia dari dalam benteng yang amat kokoh
kuat itu. Maka sebaiknya dia mengaku terus terang agar jangan membikin marah
hati wanita aneh ini.
Dengan
singkat Syanti Dewi lalu menceritakan semua pengalamannya, semenjak dia lolos
dari istana ayahnya di Bhutan, dibantu oleh Teng Siang In, untuk menyusul dan
mencari tunangannya, yaitu Ang Tek Hoat. Betapa dia jatuh ke tangan
Hwa-i-kongcu Tang Hun ketua dari Liongsiam-pang dan akan dipaksa menjadi
isterinya, lalu betapa dia diperebutkan dan akhirnya dia terjatuh ke tangan
Gitananda, kakek pembantu dari Koksu Nepal itu dan akhirnya terjatuh ke tangan
Pangeran Nepal dan ditawan di dalam benteng itu. Betapa kemudian Hwee Li, yang
tadinya juga menjadi tawanan di benteng itu dan dijadikan tunangan oleh
Pangeran Nepal secara paksa, sudah mencoba untuk menolongnya, dibantu oleh Suma
Kian Bu dan dua orang lain yang menyamar sebagai dua orang kakek iblis.
“Suma Kian
Bu? Siapa dia?” Ouw Yan bertanya.
Kini Syanti
Dewi yang memandang heran. “Bukankah kau tadi sudah menyebutnya dengan sebutan
aneh, kalau tidak salah, Siluman Kecil?”
“Ah, jadi
Siluman Kecil itu bernama Suma Kian Bu? Suma...? Seperti pernah kudengar nama
keturunan ini...“
“Tentu saja.
Suma Kian Bu adalah putera dari Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman
dari...“
“Pulau
Es...?” Sepasang mata yang masih indah itu terbelalak dan wajah Ouw Yan Hui
agak berubah saking kagetnya mendengar bahwa Siluman Kecil adalah putera dari
Pulau Es!
Kini Syanti
Dewi mengangguk bangga. “Benar, dia adalah putera dari pendekar sakti Suma Han,
majikan dari Pulau Es. Sungguh kasihan sekali Suma-taihiap...“
Tiba-tiba
Syanti Dewi menghentikan kata-katanya, terkejut bahwa begitu menyebut nama ini,
tanpa disadarinya dia teringat lagi akan hubungannya dengan pemuda itu dan
begitu saja menyatakan perasaan hatinya yang selalu merasa iba kepada putera
Pulau Es itu. Apa lagi begitu dia teringat betapa hebat perubahan terjadi atas
diri pemuda itu. Semua rambutnya telah menjadi putih! Dia merasa bahwa dialah
yang berdosa, dialah yang menjadi biang keladi dan bertanggung jawab atas
kedukaan yang diderita pemuda itu sampai rambutnya putih semua!
Ucapan dan
sikap Syanti Dewi ini membangkitkan keinginan tahu dari Ouw Yan Hui. “Apa
maksudmu? Mengapa kasihan?” dia mendesak, maklum bahwa ada sesuatu yang
dirahasiakan oleh Puteri Bhutan itu.
Ada dua
macam kebanggaan yang menyelinap di lubuk hati hampir setiap orang wanita
normal. Pertama adalah pernyataan bahwa dia muda dan cantik, dan kedua adalah
bahwa dia dicinta oleh pria! Apa lagi kalau pria yang mencintanya itu adalah
seorang pria pilihan, bukan pria sembarangan! Makin banyak pria tergila-gila dan
jatuh cinta kepadanya, akan makin bangga dan besarlah hatinya.
Betapa pun
pandainya seorang wanita, betapa pun majunya, betapa pun dia hendak menutupinya
dan merahasiakannya, namun di lubuk hatinya tentu akan terasa suatu kebanggaan
besar kalau dia mengetahui bahwa dirinya dicinta oleh pria, dikagumi oleh pria.
Andai kata dia tidak dapat membalas cinta kasih pria itu, dan dengan sikapnya
menyatakan ketidak-senangan hatinya, namun di sebelah dalam hatinya ada
perasaan bangga itu, bahkan penonjolan sikap penolakannya itu adalah usaha yang
tidak disadarinya untuk lebih meninggikan harga dirinya lagi, bahwa dia masih
terlalu ‘tinggi’ untuk pria yang tidak dibalas cintanya itu.
Syanti Dewi,
biar pun dia seorang puteri, tidak terlepas dari sifat yang menjadi naluri
kewanitaan ini. Kebanggaanlah yang mendorongnya untuk mengaku kepada Ouw Yan
Hui. Melihat betapa wanita cantik yang lihai itu terkejut mendengar bahwa
Siluman Kecil adalah putera Pulau Es, kebanggaan hati karena kenyataannya bahwa
pemuda luar biasa itu jatuh cinta kepadanya membuat dia lupa dan seperti dengan
sendirinya dia menjawab, “Aku kasihan kepadanya karena dia mencintaku tanpa
dapat kubalas...“
Kembali
Syanti Dewi terkejut dan menghentikan kata-katanya yang sudah terlambat. Dia
merasa menyesal juga telah membuka rahasia itu, tetapi di samping penyesalannya
ini, dia mengerling untuk melihat sikap wanita itu sewaktu mendengar
pengakuannya ini.
Dan memang
wanita cantik itu tertarik sekali, pandang matanya penuh kagum dan heran, juga
alisnya bergerak-gerak, bibirnya komat-kamit tanpa bersuara. Akhirnya, Ouw Yan
Hui berkata “Dan kau menolak cinta putera Pulau Es itu karena engkau telah
jatuh cinta kepada... siapa pula nama tunanganmu tadi?”
“Ang Tek
Hoat. Benar, aku telah saling jatuh cinta dengan Ang Tek Hoat!” jawab Syanti
Dewi dengan tegas dan memang suara ini adalah suara hatinya.
“Tetapi Ang
Tek Hoat itu meninggalkanmu dan kau, perempuan bodoh ini, mengejar dan
mencari-carinya dari Bhutan sampai ke sini?” Pandang mata Ouw Yan Hui berkilat
karena dia merasa marah dan penasaran sekali! Dan sebelum Syanti Dewi menjawab,
dia melanjutkan dengan suara yang kedengaran marah, “Dan kau percaya saja
kepada laki-laki itu? Laki-laki yang sudah meninggalkanmu begitu saja? Kau,
seorang puteri yang begini muda, begini cantik jelita, yang akan disembah oleh
laksaan laki-laki, kau begini merendahkan diri, begini menjual murah, merantau
dan bersengsara hanya oleh seorang laki-laki yang tak dapat dipercaya
mulutnya?”
Syanti Dewi
terkejut melihat kemarahan ini. Dia menggeleng kepala. “Tidak, dia.... dia amat
gagah dan baik... hanya dia terpaksa meninggalkan Bhutan, karena ayah marah
kepadanya...“
“Huh!
Laki-laki di dunia ini, di mana pun sama saja. Mahluk yang berhati palsu, tidak
dapat dipercaya sama sekali. Apa kau kira Ang Tek Hoat itu pun laki-laki yang
dapat dipercaya? Semua laki-laki di dunia ini adalah jahat dan palsu!”
“Tetapi...
tapi dia baik sekali...”
“Itulah
kalau wanita sudah jatuh cinta! Dan kau akan kecelik kelak, akan kecewa dan
merana seperti aku...“
Syanti Dewi
terkejut sekali, melihat kepada wanita yang tiba-tiba kelihatan berduka itu.
“Apakah yang telah terjadi denganmu... Enci Ouw Yan Hui?”
Pertanyaan
dari Puteri Bhutan ini terdengar begitu wajar, begitu halus karena memang
merupakan suara dari hatinya yang mengandung penuh rasa iba sehingga Ouw Yan
Hui merasa tersentuh perasaannya. Dia menunduk, lalu berkatalah dia dengan
suara gemetar.
“Aku
mencinta dia, suamiku itu... apa lagi aku dalam keadaan mengandung untuk yang
pertama kalinya... akan tetapi... malam itu... aku melihat suamiku bermain
cinta, berjinah di dalam kamar seorang wanita tetangga...“
“Ahhh...!”
Syanti Dewi mengeluh penuh rasa iba dan penasaran.
“Kubunuh
dia! Kubunuh mereka! Aku menjadi buronan! Hemmm, anak yang kukandung terlahir
mati, kebetulan malah. Huhh, sekarang, jangan harap ada pria akan mampu
mempermainkan aku, kalau perlu akulah yang mempermainkan mereka! Syanti Dewi,
jangan kau menjual dirimu demikian murah. Kau harus yakin dulu akan hati orang
bernama Ang Tek Hoat itu! Uji dia sampai habis-habisan, dan engkau dapat
melakukan hal itu jika engkau memiliki kepandaian.”
“Akan tetapi
dia lihai sekali...“
“Apa artinya
kelihaiannya kalau engkau dapat bergerak seperti aku? Pria mana yang akan mampu
menangkapku? Aku bebas, aku tidak dapat ditundukkan siapa pun, dan aku dapat
memperlakukan pria sesuka hatiku! Syanti Dewi, kalau kulepaskan engkau
sekarang, akhirnya engkau hanya akan menjadi permainan pria. Lupakah engkau
betapa sudah berkali-kali engkau terjatuh ke tangan pria-pria jahat? Kalau
engkau berkepandaian, tak mungkin mereka itu dapat memandang rendah kepadamu.”
“Maksudmu...?”
“Kau ikutlah
bersamaku. Aku akan mengajarkan ginkang yang akan membuat engkau dapat bergerak
seperti aku, sehingga tidak akan ada seorang pun pria di dunia ini yang dapat
berbuat sesuka hatinya kepadamu, tanpa kau kehendaki. Engkau akan menjadi
bagaikan seekor burung di angkasa yang dapat dipandang, dikagumi, akan tetapi
tidak dapat ditangkap tangan!”
Syanti Dewi
termenung. Dia masih belum tahu di mana adanya Tek Hoat. Dan kalau dia
mengingat bahwa orang-orang di dalam lembah itu, Pangeran Nepal, Mohinta, dan
semua anak buah Pangeran Nepal yang amat banyak dan amat lihai, tentu akan
mengejar dan mencarinya, dia menjadi ngeri juga. Apa lagi janji yang diberikan
Ouw Yan Hui ini amat menarik hatinya. Kalau dia pandai ‘terbang’ seperti itu,
tentu selain tidak akan mudah ditangkap orang jahat, juga akan lebih mudah baginya
untuk mencari Tek Hoat.
Untuk
sementara ini lebih banyak selamatnya dari pada ruginya kalau dia ikut bersama
dengan wanita cantik itu, maka dia mengangguk. “Baiklah, aku mau ikut
bersamamu, Enci.”
********************
“Sialan!
Pangeran Nepal bedebah! Kalau dapat dia oleh tanganku, hemmm, akan kupatahkan
batang hidungnya yang panjang bengkok itu!” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa
mengomel panjang pendek sambil melempar-lemparkan penyamarannya sebagai
Hek-tiauw Lo-mo. “Sudah payah-payah aku setengah mati menyamar seperti setan
dan hampir berhasil, eh, tahu-tahu si hidung kakatua itu membikin gagal saja.”
Tiba-tiba dia menoleh kepada Hwee Li seperti orang teringat akan sesuatu dan
cepat berkata, “Ah, maafkan aku, Adik Hwee Li, bukan maksudku menyinggung engkau.”
Kim Hwee Li
tadinya tersenyum mendengar omelan Swi Hwa, akan tetapi mendengar ucapan ini
dia mengerutkan alisnya dan bertanya, “Mengapa kau minta maaf kepadaku, Enci
Hwa?”
“Aku telah
memaki dan mengancam mematahkan batang hidung... ehh, tunanganmu.”
Sepasang
mata Hwee Li langsung memancarkan sinar marah. “Hemmm, sekali lagi kau menyebut
dia tunanganku, hidungmu sendiri yang akan kupatahkan!” katanya.
Ang-siocia
tertawa. Dia kecewa dan penasaran oleh kegagalan itu, akan tetapi tadi dia
melihat Hwee Li masih dapat tersenyum-senyum, maka dia sengaja menggoda dara
itu yang kini juga menjadi marah, maka legalah hatinya.
“Tidak ada
yang harus dipersalahkan,” terdengar Hek-sin Touw-ong berkata sambil menggeleng
kepala. Dia pun sudah melemparkan semua penyamarannya. “Benteng itu kokoh kuat
bukan main. Masih untung kita dapat menyelamatkan diri keluar dari sana. Hemmm,
hebat sekali benteng itu dan penjagaannya amat kuat. Kalau saja Hek-tiauw
Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan orang seperti Koksu Nepal itu berada di lembah, mana
mungkin kita dapat menyelamatkan diri?”
“Ucapan
Touw-ong memang tepat. Benteng itu tidak mungkin dapat ditembus tanpa bantuan
pasukan yang kuat. Dan tanpa penyerbuan oleh pasukan, tidak mungkin
menyelamatkan keluarga Jenderal Kao dan Puteri Syanti Dewi.” Kian Bu diam
sejenak, teringat akan puteri itu hatinya menjadi gelisah sekali. “Sekarang
juga aku akan pergi ke kota raja untuk minta bantuan dan melaporkan keadaan di
dalam benteng yang siap untuk memberontak itu.”
“Aku ikut!”
Hwee Li sudah memotong cepat.
“Sayang kami
tak dapat membantu,” kata Hek-sin Touw-ong. “Kami mempunyai urusan kami
sendiri. Taihiap, kami ingin mohon pertolonganmu sedikit, yaitu, dapatkah
Taihiap memberi tahu kepada kami, di mana adanya orang muda yang bernama Siauw
Hong itu?”
“Siauw
Hong?” Kian Bu memandang kepada guru dan murid itu, dan melihat betapa
Ang-siocia menundukkan mukanya. Dia tidak tahu akan peristiwa yang terjadi
antara Siauw Hong dan Ang-siocia. “Maksudmu pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu?
Tentu saja dia berada di Bukit Nelayan di lereng Pegungungan Tai-hang-san itu.”
Kian Bu
tidak mau banyak bercerita tentang Siauw Hong, pemuda yang ternyata adalah
keturunan dari keluarga Suling Emas yang hebat itu. Karena hal itu amat
dirahasiakan tadinya oleh kedua belah pihak yang bersangkutan, yaitu Sai-cu
Kai-ong dan Sin-siauw Sengjin, maka dia pun tidak mau membuka rahasia itu dan hanya
mengatakan bahwa Siauw Hong yang telah diketahuinya bernama Kam Hong, keturunan
langsung dari keluarga Suling Emas, kini berada bersama gurunya, Sai-cu Kai-ong
di Tai-hang-san.
“Terima
kasih, Suma-taihiap. Kami akan pergi ke Tai-hang-san,” kata Hek-sin Touw-ong
dengan singkat pula.
Mereka lalu
mengucapkan selamat berpisah. Hwee Li memegang tangan Swi Hwa. “Enci Hwa,
jangan kau lupa padaku, ya? Aku kagum sekali akan ilmu penyamaranmu dan kalau
ada waktu kelak aku ingin belajar menyamar seperti engkau.”
“Mana
mungkin aku dapat melupakan orang seperti engkau, Adik Hwee Li? Engkau
mempunyai seorang ayah yang jelek sekali...“
“Hanya ayah
paksaan!”
“Dan engkau
mempunyai tunangan yang lebih jahat lagi...“
“Juga
tunangan paksaan!”
“Akan tetapi
engkau sendiri amat cantik jelita, lihai dan manis, adikku. Sebetulnya, kalau
tidak bersama Suhu, aku… aku akan suka sekali melakukan perjalanan bersamamu!”
Sambil berkata demikian, mata dara ini mengerling kepada Suma Kian Bu oleh
karena sesungguhnya yang membuat hatinya merasa berat adalah berpisah dari
Siluman Kecil yang amat dikaguminya itu.
Maka
berpisahlah empat orang itu. Ang-siocia yang merasa berat berpisahan dengan
Hwee Li dan terutama Kian Bu, terpaksa ikut bersama suhu-nya untuk mencari
Siauw Hong! Sedangkan Hwee Li pergi bersama Suma Kian Bu menuju ke kota raja
karena Kian Bu melihat bahaya besar mengancam keamanan kerajaan dengan adanya
bencana di lembah Huang-ho itu…..
***************
Sementara
itu, kebakaran di dalam benteng itu akhirnya berhasil dipadamkan juga. Pangeran
Bharuhendra atau Liong Bian Cu marah bukan main karena mendengar berita bahwa
Puteri Syanti Dewi hilang diculik orang dan terutama sekali bahwa Hwee Li, dara
yang dicintanya itu pun telah melarikan diri.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment