Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 08
Laki-laki
tampan dan gagah perkasa itu ternyata memang hanya berlengan satu. Lengan
kirinya buntung, maka lengan baju kirinya itu kosong. Akan tetapi hebatnya,
justeru lengan baju yang kosong inilah yang amat lihai, yang seolah-olah
merupakan ekor naga yang hidup dan mampu menangkap peluru-peluru berbahaya itu.
Dengan sikap tenang, orang itu menggunakan tangan kanannya mengambil
peluru-peluru kecil yang tergantung oleh lengan baju kirinya, memberikannya
kepada Boan-wangwe. sambil berkata dengan suara penuh teguran, “Terimalah
kembali peluru-pelurumu! Akan tetapi jangan begitu kejam lagi untuk
menghamburkan barang-barang beracun yang keji ini di tempat umum. Cepat
lihatlah orang-orang itu yang menjadi korban. Engkau harus mengobati mereka.”
Boan-wangwe
menerima peluru-pelurunya tanpa berkata-kata, masih terkejut sekali menyaksikan
orang-orang yang begini sakti. Si lengan buntung itu melirik ke arah Siluman
Kecil yang sedang berjongkok memeriksa wanita baju hijau dan suheng-nya yang
masih pingsan. Dia sudah memeriksa dan maklum bahwa mereka itu benar saja
menjadi korban racun jarum-jarum halus, akan tetapi racunnya amat aneh dan dia
tidak mampu mengobati mereka.
Melihat
kekejaman orang yang menyebar jarum halus beracun yang amat keji itu, marahlah
Siluman Kecil dan dia menoleh untuk memandang kepada Boan-wangwe dengan geram.
Akan tetapi pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mencorong seperti
mata naga, yaitu mata laki-laki yang buntung lengan kirinya itu. Keduanya
kelihatan terkejut sekali, karena si lengan satu itu pun melihat sinar mata
yang amat tajam berkilat dari mata pemuda berambut putih itu. Dari pandang mata
ini saja keduanya maklum bahwa masing-masing memiliki kesaktian yang hebat,
karena hanya mata orang-orang yang telah memiliki tenaga sakti amat kuat
sajalah yang mengeluarkan sinar seperti itu.
Laki-laki
berlengan buntung itu bukan hanya terkejut melihat sinar mata berkilat dari
Siluman Kecil, juga dia terkejut dan kagum sekali karena sama sekali tidak
mengira bahwa orang berambut putih yang memiliki kepandaian demikian
dahsyatnya, yang memiliki gerakan yang demikian cepat dan mukjijatnya, ternyata
masih amat muda. Hal ini dapat dia lihat dari sebagian muka yang tidak tertutup
oleh rambut putih riap-riapan itu. Tadinya melihat kelihaian orang itu dan
melihat rambutnya yang putih, dia mengira bahwa tentu orang itu sudah tua dan
merupakan seorang locianpwe yang sakti. Siapa mengira bahwa orang itu ternyata
masih amat muda, hanya rambutnya yang sudah berubah putih semua.
Siluman
Kecil sebaliknya terkejut dan kagum karena orang yang lengannya buntung sebelah
itu memiliki sinar mata yang mencorong seperti mata harimau atau naga. Sejenak
mereka beradu pandang, akhirnya keduanya mengangguk, terdorong oleh rasa kagum
dan hormat.
“Sungguh
hebat sekali ilmu kepandaian saudara, terutama ilmu ginkang tadi. Saya amat
kagum melihatnya,” kata laki-laki berlengan sebelah itu.
“Hemmm...
tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kepandaian saudara!” jawab Siluman
Kecil sambil menggerakkan kepala sehingga makin banyak rambutnya yang menutupi
muka, dan dia bangkit berdiri.
“Ah, saudara
terlalu merendahkan diri,” kata Si lengan satu.
“Tidak, saya
berkata sungguh-sungguh. Caraku menghadapi peluru-peluru tadi hanya dengan
mengelak terus sambil mencari kesempatan untuk membekuknya. Akan tetapi saudara
telah langsung menghadapi peluru-peluru tadi dan merampas semua peluru sebelum
meledak. Cara saya tadi menimbulkan korban kepada orang-orang lain ketika
peluru meledak, tentu saja cara saudara lebih tepat dan lebih baik. Ilmu
saudara tadi sungguh mengagumkan!” Kembali Siluman Kecil menjura dengan setulus
hatinya sebab harus dia akui bahwa selain Sin-siauw Sengjin, yaitu kakek yang
mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, belum pernah dia bertemu orang yang
kepandaiannya sehebat si lengan satu ini.
“Ahhh,
saudara terlalu memuji dan terlalu merendahkan diri, sungguh-sungguh makin
mengagumkan hati saya!” kata Si lengan satu sambil memandang penuh selidik dan
benar-benar merasa kagum sekali.
Siluman
Kecil tidak mengacuhkannya lagi dan dengan langkah lebar dia menghampiri
Boan-wangwe, berkata dengan nada mengancam, “Manusia kejam! Kalau engkau tidak
lekas mengeluarkan obat penawar racunmu yang jahat, jangan katakan aku kejam
kalau terpaksa aku akan melumatkan kepalamu!”
“Dan aku pun
tidak akan tinggal diam sebelum kau mengobati mereka sampai sembuh!” kata pula
Si lengan satu sambil menghampiri Boan-wangwe. Bekas bajak sungai yang lihai
ini bukan orang bodoh untuk melawan dua orang sakti ini.
“Baiklah,”
katanya dengan suara berat. “Aku pun tidak bermaksud membunuh orang karena pertempuran
ini hanya disebabkan oleh urusan kecil saja!” Ia lalu mengeluarkan sebuah guci
arak dan setelah dia menggunakan saputangan yang dibasahi dengan obat dari
dalam guci itu untuk menggosok-gosok bagian yang terkena jarum halus dan
meneteskan sedikit obat di lubang hidung mereka yang menjadi korban,
orang-orang yang tadinya pingsan itu berbangkis beberapa kali dan sadar
kembali.
Melihat ini,
Siluman Kecil yang tidak ingin dirinya menjadi pusat perhatian, menyelinap
pergi dengan cepat. Pula, dia ingin cepat-cepat memenuhi tantangan Ang-siocia
dan mencari pencuri pusaka yang agaknya ditinggal oleh Sin-siauw Sengjin itu di
pantai Po-hai. Dia mendengar suara orang berlengan sebelah memanggilnya, akan
tetapi dia malah mempercepat larinya karena justeru dia tidak ingin dikenal
oleh orang gagah itu.
Setelah
semua korban disembuhkan, baru laki-laki berlengan buntung itu membiarkan
Boan-wangwe bersama para anak buahnya pergi meninggalkan warung. Derap kaki
kuda mereka terdengar berisik ketika mereka rneninggalkan warung. Diam-diam
Boan-wangwe menyadari betapa pentingnya golongan mereka untuk bersatu,
mengingat demikian banyaknya orang-orang sakti yang menentang mereka.
Sementara
itu, rombongkan suheng dan sumoi bersama lima orang pengiringnya itu segera
menghaturkan terima kasih kepada si lengan satu, kemudian juga bergegas pergi
meninggalkan warung setelah dengan royal mengganti semua harga makanan dan
mengganti semua harga barang-barang yang rusak akibat pertempuran itu kepada si
pemilik warung.
Tentu saja
pemilik warung menjadi girang sekali dan dalam kesempatan itu dia dapat menarik
keuntungan yang tidak sedikit, karena tentu saja dia naikkan semua harga barang
yang diganti oleh wanita baju hijau itu.
Kini warung
itu menjadi sunyi kembali. Yang tinggal hanyalah laki-laki tampan berlengan
sebelah tadi. Bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi hal-hal hebat di warung
itu, laki laki ini lalu memilih tempat duduk di sudut, di mana meja dan
bangkunya masih utuh dan dia memanggil si pemilik warung. Orang ini bergegas
menghampiri karena maklum bahwa pendekar berlengan satu ini merupakan salah
seorang di antara golongannya, di samping Siluman Kecil yang telah pergi lebih
dulu.
“Taihiap
hendak memerintah apakah?” tanya si pemilik warung dengan sikap merendah.
“Lopek,
harap buatkan masakan untukku. Masakan apa sajakah yang dapat kau sediakan?”
“Wah, untuk
Taihiap saya sanggup masak apa saja. Akan tetapi, warung kami ini teristimewa
menyediakan hidangan-hidangan dari ikan sungai.”
“Nah, kalau
begitu buatkan goreng udang bumbu tomat lima porsi, ikan lele ditim lima porsi,
panggang telur ikan dua porsi, masak kuah daging kepiting lima porsi,
ang-sio-hi dua porsi besar, bakso daging ikan satu panci, masak sirip ikan
campur sarang burung dan telur dua porsi. Jangan lupa bumbu dan acarnya! Dan
bakmi telur lima porsi!”
“Baik...
baik...!” Pemilik warung mengangguk-angguk, sungguh pun di dalam hatinya merasa
heran sekali mengapa ada satu orang memesan masakan demikian banyaknya! Tetapi
tentu saja ia tak berani membantah. Bukankah pendekar ini telah mendatangkan
keuntungan besar sekali baginya, di samping juga menyelamatkannya? Andai kata
tidak dibayar semua masakan yang dipesan itu sekali pun, dia rela memberikannya
sebagai tanda terima kasih! Bergegas dia lari ke dapur untuk memimpin sendiri
masakan besar itu.
Karena di
situ tidak ada tamu lain sedangkan semua tenaga dikerahkan untuk melayani
laki-laki berlengan buntung itu, maka terdengarlah kesibukan di dalam dapur,
suara golok mencacah daging beradu dengan kayu landasan, suara api bergemuruh,
suara minyak mendidih dan alat masak beradu dengan wajan berkerontangan.
Sementara
itu, laki-laki berlengan buntung itu duduk termenung. Siapakah laki-laki ini?
Para pembaca cerita Kisah Sepasang Rajawali tentu sudah dapat menduganya dengan
tepat siapa adanya laki-laki tampan yang berlengan buntung sebelah ini. Dia
adalah Kao Kok Cu, putera sulung Jenderal Kao Liang, murid dari Go-bi Bu Beng
Lojin yang terkenal dengan sebutan Si Dewa Bongkok.
Seperti
telah diceritakan dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, Kao Kok Cu berjodoh
dengan Ceng Ceng atau nama lengkapnya Wan Ceng atau Lu Ceng, yaitu puteri dari
mendiang Wan Keng In dan Lu Kim Bwee, adik angkat dari Puteri Syanti Dewi.
Setelah bertemu dengan Ceng Ceng, mereka menikah dan Kao Kok Cu mengajak
isterinya kembali ke Istana Gurun Pasir, istana tempat tinggal gurunya di gurun
pasir Go-bi, di mana mereka hidup rukun dan damai, penuh kasih sayang dan sudah
menjauhkan diri dari urusan dunia ramai.
Di dalam
cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan bahwa Kao Kok Cu ini sejak
kecil hilang karena tersesat di gurun pasir dan ditolong kemudian dipelihara
dan dididik oleh gurunya. Setelah dewasa, barulah dia kembali ke selatan
mencari orang tuanya dan dalam perjalanan ini dia berjumpa dengan Ceng Ceng,
jatuh cinta dan setelah mengalami banyak lika-liku dalam pengalaman hidup yang
amat hebat, sehingga dia terpaksa menyembunyikan mukanya di balik topeng yang
membuat dia dikenal sebagai Topeng Setan, dan dia kehilangan lengan kirinya ketika
membantu Ceng Ceng mencari obat, yaitu anak ular naga, akhirnya dapat juga dia
dan Ceng Ceng bersatu sebagai suami isteri yang saling mencinta.
Tetapi,
memang segala sesuatu tidak ada yang kekal di dunia ini. Keadaan kehidupan
setiap orang manusia selalu berubah. Yang berada di atas setiap waktu bisa saja
tergelincir ke bawah, sebaliknya yang berada di bawah juga bisa saja
sewaktu-waktu naik ke atas. Oleh karena itu, tentu saja keliru kalau orang
menjadi besar kepala dan sombong selagi dia berada di atas, sama kelirunya
dengan orang yang menjadi putus asa selagi dia berada di bawah.
Hanya orang
yang wajar dan tidak mengharapkan apa-apa saja yang akan selalu merasa gembira
dan bahagia, kalau dia berada di atas, dia tidak khawatir akan tergelincir ke bawah
dan kalau dia berada di bawah, dia pun tidak membabi buta mengejar-ngejar
tempat yang lebih tinggi. Kalau dia berada di atas, dia tidak menginjak yang
berada di bawah, dan kalau dia berada di bawah, dia tidak pula menjilat yang
berada di atas!
Keadaan
suami isteri Kao Kok Cu dan Ceng Ceng, yang menjadi majikan dan keluarga Istana
Gurun Pasir, yang hidup selama beberapa tahun dalam keadaan tenteram dan rukun,
kemudian mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang sehat dan mungil,
menjadi berubah sama sekali ketika putera mereka itu pada suatu hari lenyap
tanpa meninggalkan jejak!
Peristiwa
ini seketika menghancurkan semua ketenangan hidup suami isteri itu, dan mau
tidak mau terpaksa mereka harus meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk pergi
merantau dan mencari putera mereka dan lenyap! Itulah sebabnya mengapa pada
hari itu majikan Istana Gurun Pasir, Kao Kok Cu yang dikenal sebagai Si Naga
Sakti itu berada di kota An-yang, dan kebetulan sekali dia melihat pertempuran
di dalam warung dan membantu Siluman Kecil menundukkan Boan-wangwe.
Untuk lebih
teliti dan mencari jejak putera mereka yang hilang, kemarin dia berpisah dari
isterinya, masing-masing mengambil jalan sendiri dan mereka berjanji akan
bertemu hari ini di An-yang. Dia sendiri sejak kemarin telah menyelidik tanpa
hasil dan sekarang semua peristiwa tadi telah dilupakannya karena pikirannya
sudah penuh lagi dengan urusan lenyapnya puteranya yang membuat pendekar ini
duduk termenung. Bahkan ketika semua hidangan yang dipesannya telah diatur di
atas meja di depannya, pendekar ini masih saja duduk termenung, tidak
mempedulikan masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dengan baunya yang
sedap menyergap hidung dan melayang-layang tercium oleh mereka yang berada di
luar warung.
Melihat
betapa pendekar itu mendiamkan saja masakan yang sudah dipersiapkan dengan
susah payah itu, si pemilik warung yang seperti juga pemilik warung mana saja
di dunia ini ingin sekali melihat tamunya menikmati hidangannya dan sejak tadi
menanti dengan pandang mata berseri-seri penuh kebanggaan, menjadi tidak sabar
dan dia menghampiri pendekar itu. “Taihiap, masakan sudah siap semua. Silakan
Taihiap makan dan menikmatinya selagi masih panas, karena kalau keburu dingin
tentu kurang sedap.”
Akan tetapi,
dengan sikap tak acuh dan kurang bersemangat, Kao Kok Cu menjawab, “Biarlah,
aku memang sedang menanti isteriku. Sebentar lagi dia tentu akan datang. Tidak
mengapalah kalau masakan-masakan itu menjadi sedikit dingin.”
Dengan
mengangkat pundak penuh rasa kecewa si pemilik warung terpaksa mundur dan duduk
di belakang menjaga mejanya, tetapi kini berkurang keheranannya mengapa
pendekar itu memesan masakan begitu banyak. Ternyata pendekar itu sedang
menanti kedatangan isterinya dan tentu juga keluarga lainnya.
Seorang
pengemis kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun memasuki warung itu. Para
pelayan dan pemilik warung itu sudah hampir mengusirnya ketika pendekar itu
dengan ramah berkata, “Anak, kau mau apakah?”
Pengemis itu
cengar-cengir, hidungnya kembang kempis karena bau masakan yang sedap itu
sungguh seperti tangan-tangan jahil yang meremas-remas isi perutnya yang
kosong. “Saya... saya mohon dikasihani, minta sedikit uang pembeli nasi...,”
katanya.
Si Naga
Sakti memandang bengong sejenak, kemudian dia menggeleng kepala. “Aku tidak
pernah membawa uang, dan isteriku yang membawa uang belum datang. Apakah kau
lapar?”
Jembel kecil
itu mengangguk dan matanya memandang ke arah piring-piring berisi masakan yang
masih mengepulkan uap dan yang berjajar menantang di atas meja itu. Kao Kok Cu
lalu berkata sambil melihat kaleng yang dibawa oleh anak pengemis itu.
“Kesinikan kalengmu itu.”
Si pengemis
dengan girang menyerahkan kalengnya dan Kao Kok Cu lalu mengisi kaleng itu
penuh dengan beberapa macam masakan dan bakmi, lalu menyerahkannya kembali
kepada anak itu.
“Terima
kasih... terima kasih...“ Anak itu menyambut kaleng yang telah penuh makanan
dan separuh berlari dia ke luar dari warung itu dengan wajah berseri dan mata
bersinar sinar penuh kegembiraan.
Akan tetapi,
tidak lama kemudian masuklah seorang anak pengemis lainnya sambil menodongkan
kaleng kosongnya. Sekali lagi Kao Kok Cu menerima kaleng kosong itu,
meletakkannya di atas meja dan kembali mengisinya dengan masakan. Anak itu
menghaturkan terima kasih, dan datang pula seorang anak lain. Kiranya peristiwa
itu telah memancing datangnya hampir semua jembel kecil di kota An-yang itu
yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang anak! Tentu saja, setelah
semua orang pengemis kecil itu menerima bagiannya, semua masakan di atas meja
telah habis sama sekali!
Para pelayan
memandang dengan mata terbelalak dan si pemilik warung membanting banting
kakinya, akan tetapi sama sekali dia tidak berani melarang atau mencegah karena
melihat pendekar itu membagi-bagi makanan dengan wajah terharu, kemudian
tersenyum ketika dia memandang anak-anak itu makan sambil tertawa-tawa di emper
warung, dan kadang-kadang mereka menoleh ke dalam, memandangnya seperti mata
anjing-anjing yang baru saja diberi makan dan dibelai oleh majikannya. Pandang
mata yang jelas membayangkan rasa gembira dan terima kasih yang mendalam.
“Terima
kasih, Siauw-ya! Terima kasih, Siauw-ya! Terima kasih, Siauw-ya!” Anak-anak itu
bersorak-sorak dan berteriak-teriak dari luar warung, ada yang bertepuk tangan
dan ucapan terima kasih itu mereka nyanyikan dalam paduan suara penuh
kegembiraan.
Akan tetapi,
Kao Kok Cu hanya tersenyum dan memandang keluar karena dia melihat dua orang
wanita berjalan menuju ke warung itu. Seorang wanita yang cantik jelita dan
gagah perkasa, dan yang paling cantik di antara seluruh wanita di dunia ini
bagi Kao Kok Cu yang mencintanya karena wanita itu adalah Wan Ceng atau Lu
Ceng, atau lebih terkenal dengan sebutan Ceng Ceng, isterinya! Dan wanita kedua
adalah seorang dara remaja yang cantik jelita pula, berpakaian serba hitam
sehingga menonjolkan kulitnya yang putih halus itu. Dara jelita itu adalah Kim
Hwee Li, murid dari isterinya, atau puteri dari Hek-tiauw Lo-mo majikan Pulau
Neraka!
Ketika Ceng
Ceng yang wajahnya agak pucat dan muram karena selalu memikirkan nasib
puteranya dengan hati gelisah itu melihat suaminya menjamu para jembel kecil
demikian banyaknya sehingga semua masakan di atas meja telah ludes, dia
menegur, “Hemmm, apa pula yang kau lakukan ini?”
“Wah,
kedatanganmu terlambat, isteriku. Makanan yang kupesan telah dihabiskan oleh
tamu-tamu kita itu. Engkau terlambat sekali sih!” Dia membalas teguran
isterinya.
Ceng Ceng
mengerutkan alisnya dan memandang kepada suaminya dengan gemas. Kelakuan
suaminya memang aneh, akan tetapi kadang-kadang juga membikin hatinya mengkal,
seperti sekarang ini. Dia berjanji akan bertemu dengan suaminya di kota An-yang
ini, dan setelah bertemu dan perutnya lapar sekali, suaminya menyambutnya
dengan piring-piring kosong karena semua masakan telah diberikan habis kepada
pengemis-pengemis kecil itu! Hati siapa tidak akan mendongkol?
Melihat
gurunya yang cantik itu cemberut dan marah, Hwee Li tertawa dan menutupi
mulutnya dengan tangan seperti menyaksikan hal yang lucu sekali.
“Wah, Suhu
telah membikin pusing lagi kepada Subo! Hi-hi-hik, Suhu harus didenda dengan
minuman tiga cawan arak sebagai tambahan minta ampun kepada Subo! Kalau tidak,
Subo akan marah terus!”
“Hwee Li,
jangan main-main kau!” Ceng Ceng membentak muridnya yang menahan ketawa dan
duduk di dekat meja.
Akan tetapi,
Kao Kok Cu memandang ke luar, kepada seorang pengemis muda yang duduk di emper
rumah di seberang jalan. Dia ingat bahwa pengemis yang satu itu belum
memperoleh bagian tadi, maka dia lalu menegur kepada pengemis-pengemis cilik
yang berada di dekat pintu warung, “Heiii, kenapa temanmu yang di seberang
jalan itu tidak kalian beri bagian makanan?”
“Ah,
Siauw-ya, apakah Siauw-ya maksudkan dia yang duduk di sana itu? Dia adalah
Siauw-ong-ya, mana dia mau? Dia tidak pernah minta-minta, kalau kami beri tentu
kami semua akan dihajar. Kami tidak berani!”
Tentu
jawaban ini membuat Kao Kok Cu, Ceng Ceng dan Hwee Li merasa heran sekali dan
mereka bertiga lalu memandang ke arah pengemis muda yang disebut Siauw-ong-ya
oleh para pengemis kecil itu. Dan seolah-olah tahu bahwa dirinya menjadi pusat
perhatian, pengemis muda itu bangkit berdiri, menghadap ke arah warung dan mulutnya
berkemak-kemik. Tiga orang keluarga sakti itu mendengar dengan jelas suaranya
yang bergema.
“Terima
kasih atas perhatian Siauw-ya kepada saya. Akan tetapi tidak perlu Siauw-ya
mempedulikan saya. Saya sudah merasa bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa
Siauw-ya mau mengasihani kawan-kawan saya.” Kemudian dia berteriak kepada para
pengemis kecil itu, “Hei, anak-anak, hayo haturkan terima kasih sekali lagi dan
cepat pergi, jangan mengganggu terus.”
Anak
pengemis itu ternyata amat mentaati seruan pengemis muda itu. Mereka beramai
ramai menyatakan terima kasih mereka kepada Kao Kok Cu, lalu menjura dan
berlari larian pergi dari tempat itu seperti sekawanan burung yang beterbangan
bebas dan gembira. Pengemis muda itu sendiri pun melenggang seenaknya meninggalkan
emper rumah di seberang jalan itu.
“Hemmm,
lagaknya! Kaum jembel pun ternyata mempunyai raja segala! Dan bocah itu raja
mudanya! Hi-hik, jika tidak melihat sendiri siapa percaya?” Hwee Li berkata
sambil tertawa geli.
“Husss!”
Ceng Ceng menegur muridnya. “Jangan kau bicara sembarangan, Hwee Li. Apakah kau
tidak dapat melihat kenyataan bahwa pengemis muda itu bukanlah orang
sembarangan? Semuda itu dia sudah pandai mengirim suara dari jauh dan
khikang-nya cukup kuat.”
Dengan cepat
Ceng Ceng kemudian memesan makanan kepada pemilik warung yang melayaninya
dengan penuh perhatian.
“Bagaimana
hasil penyelidikanmu? Sudah mencium jejak?” tanya Ceng Ceng kemudian kepada
suaminya.
Kok Cu
menggeleng kepala. “Belum...,“ jawabnya dengan wajah muram dan sepasang matanya
kini melayang jauh, mengikuti anak-anak pengemis yang pergi dari situ.
Isterinya
juga memandang kepada anak-anak itu, maklum akan isi hati suaminya, dan kini
dia mengerti mengapa suaminya tadi menjamu anak-anak pengemis itu. Tentu
suaminya teringat akan anak mereka yang hilang dan sampai sekarang belum dapat
mereka temukan jejaknya, membayangkan betapa anak mereka itu mungkin juga
terlantar dan kelaparan seperti anak-anak pengemis itu! Ceng Ceng merasa
lehernya seperti dicekik dan hanya kekerasan hatinya yang luar biasa sajalah
yang mampu membuat dia menahan jatuhnya air matanya.
Mereka
berdua telah bersusah payah mencari-cari di seluruh padang pasir. Dalam
penyelidikan mereka, anak mereka itu bukan hilang diculik orang karena yang
nampak dari dalam istana mereka sampai di luar, hanya tapak kaki anak mereka,
tidak nampak tapak kaki orang lain. Tapak kaki anak mereka itu menuju ke luar
dan tentu saja tidak lama kemudian tapak kaki itu lenyap diratakan lagi oleh
angin sehingga mereka tidak mampu menemukan jejak anak mereka. Agaknya anak itu
bermain-main di luar, lalu bermain-main terlalu jauh dan tersesat, tidak mampu
pulang kembali.
“Hemmm,
sungguh mengherankan sekali. Kenapa anak kita mengalami peristiwa yang sama
dengan pengalamanku ketika masih kecil? Aku dulu juga hilang di gurun pasir
ketika masih kecil dan ayahku tidak berhasil menemukan. Baru setelah aku
berusia dua puluh lima tahun aku dapat bertemu lagi dengan ayah dan keluargaku.
Jangan-jangan Liong-ji (Anak Liong) juga...“
“Janganlah
engkau bicara demikian, suamiku!” Ceng Ceng cepat memotong kata-kata suaminya
yang menusuk perasaannya dan menimbulkan kekhawatiran besar di dalam hatinya.
“Kita harus mencari sampai dapat dan aku yakin kita akan dapat menemukan
kembali Cin Liong!”
“Ucapan Subo
benar sekali!” Hwee Li berkata dengan wajahnya yang tetap berseri cerah dan gembira.
“Tidak mungkin ada orang lenyap begitu saja seperti ditelan bumi! Kita pasti
akan dapat menemukan kembali Adik Cin Liong, dan teecu (murid) akan menjelajahi
seluruh dunia golongan hitam untuk menyelidiki, kalau-kalau saja di antara
mereka ada yang melihat putera Subo.”
Ucapan dan
sikap Hwee Li amat menghibur suami isteri yang sedang kebingungan dan dilanda
kegelisahan itu namun tetap saja hidangan masakan di depan mereka itu hampir
tidak dapat tertelan kalau mereka mengingat betapa anak mereka yang hilang itu
usianya baru empat lima tahun dan betapa akan sengsaranya bagi anak sekecil itu
untuk merana seorang diri, apa lagi perginya dari Istana Gurun Pasir itu
melalui padang pasir yang luas, panas dan amat berbahaya…..
***************
Pagi yang
cerah. Sinar matahari yang masih menciptakan bayangan-bayangan panjang
memuntahkan cahayanya dengan langsung ke bumi, tanpa halangan awan karena
langit nampak biru muda dan bersih sekali, bersih dan amat tinggi. Sinar
matahari di saat itu mengandung daya hidup yang mukjijzat di dalam kehangatan
yang tidak terlalu panas, namun kehangatan yang dapat menembus apa saja dan
memberi daya hidup kepada bumi dan apa saja yang berada di permukaannya.
Awan-awan
putih yang agaknya menjauh, tidak berani menghalangi berkah yang berlimpahan
itu berarak di angkasa, bergerak perlahan-lahan seperti bermalas-malasan, namun
semua gerakan itu teratur rapi dan selalu berubah bentuknya, seolah-olah ada
tangan gaib yang mengatur awan-awan itu, memilih dan memisah-misahkannya, mengumpul-ngumpulkannya,
untuk digiring ke tempat yang membutuhkan hujan kelak.
Tidak ada
angin berkelisik. Daun-daun yang bermandikan cahaya matahari nampak kekuningan
seperti bermandikan cahaya keemasan, berseri-seri mengelilingi bunga bunga yang
mencuat di sana-sini, dan kupu-kupu bersayap kuning dan putih juga turut
menyemarakkan suasana yang penuh dengan suka cita di pagi hari itu. Berkelompok
kelompok kecil burung-burung terbang lewat di udara tanpa suara, menuju ke
sawah ladang di mana terdapat makanan berlimpah bagi mereka.
Orang-orang
yang berpakaian seperti penduduk dusun membawa bermacam-macam barang dagangan
hasil kebun mereka, berlalu-lalang di jalan raya itu pergi ke dan pulang dari
kota An-yang yang menjadi pasar bagi barang dagangan hasil bumi mereka. Yang
berangkat dan memikul barang dagangan, kelihatan tergesa-gesa dan berjalan
separuh berlari tanpa bicara, akan tetapi yang pulang ke dusun berjalan
seenaknya sambil mengobrol membicarakan hasil penjualan mereka dan belanjaan
mereka.
Siluman Kecil
yang sudah keluar dari pintu gerbang kota An-yang, kini berdiri di luar tembok
kota, memandang air yang mengalir di tepi tembok. Air itu memasuki kota dari
sebelah barat dan keluar dari selatan. Ketika memasuki kota, air itu bersih dan
jernih, akan tetapi setelah keluar dari kota, air itu menjadi keruh, penuh
dengan sampah sampah dan segala kekotoran kota yang dicampakkan ke dalamnya.
Kekeruhan air ini tidak akan berlangsung lama, karena beberapa mil jauhnya
setelah meninggalkan kota, air sungai itu sudah akan menjadi jernih kembali.
Melihat
setangkai daun hijau yang agaknya rontok sebelum waktunya hanyut pula di air
itu, Siluman Kecil mengikutinya dengan pandang matanya dan dia menarik napas
panjang. Keadaannya seperti daun itu. Daun muda yang sudah hanyut seorang diri
mengikuti ke mana air mengalir. Tidak tahu akan apa jadinya dengan dirinya.
Seperti juga dia! Hanya mengikuti jalan peristiwa yang dijumpainya di jalan
hidupnya. Siluman Kecil termenung dan tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh
suara orang wanita yang cukup nyaring.
Kun Cu Souw
Ki Wi Ji Heng.
Put Goan
Houw Ki Gwee!
Siluman
Kecil mengerutkan alisnya. tentu saja dia hafal pula akan ujar-ujar itu karena
dia pernah mempelajari semua pelajaran dari Nabi Khong Cu. Dia masih ingat
bahwa ujar-ujar yang dinyanyikan mulut wanita itu adalah ujar-ujar dalam kitab
Tiong Yong, ayat pertama dari bagian ketiga belas, yang berarti,
‘Seorang
kuncu (budiman) bertindak sesuai dengan kedudukannya, tidak menginginkan
hal-hal di luar dari kedudukannya.’
Siluman
Kecil menarik napas panjang. Dia telah mengalami banyak sekali hal-hal yang amat
pahit dalam kehidupannya.
Kalau
direnungkan secara mendalam, memang karena manusia menginginkan hal-hal yang
tidak ada padanya, menginginkan sesuatu yang belum ada, yang tidak dimilikinya,
yang berada di luar jangkauannya, dan keinginan inilah yang menjadi biang
keladi segala macam penyakit dan kesengsaraan hidup.
Dia menarik
napas panjang lagi…..
Sesungguhnyalah,
bukan hanya seperti yang disadari oleh Siluman Kecil bahwa keinginan menjadi
biang keladi kesengsaraan hidup. Bahkan keinginan itulah yang membuat kita
kehilangan kebahagiaan! Betapa tidak?
Keinginan
membuat mata kita buta terhadap segala keindahan yang telah kita miliki.
Keinginan membuat kita meremehkan dan tidak dapat melihat keindahan yang sudah
berada pada kita. Contohnya : Biar pun kita telah memegang sebutir buah apel di
dalam tangan, namun kalau kita menginginkan buah anggur yang belum ada, mata
kita seperti buta akan kelezatan buah apel yang sudah berada di tangan,
menganggapnya tidak enak dan tidak memuaskan dan yang paling memuaskan adalah
buah anggur yang kita inginkan, yang belum ada itulah!
Karena itu
mari kita mencoba untuk membuka mata dan melihat segala sesuatu yang sudah ada
pada kita, melihat keindahannya, tanpa membanding-bandingkan dengan yang belum
ada, tanpa membayangkan yang lain-lain, maka kita akan dapat melihat keindahan
dan akan terbuka mata kita bahwa sesungguhnya selama ini kita hanya
diombang-ambingkan oleh pikiran kita yang selalu haus akan hal-hal yang belum
ada pada kita! Kita selalu beranggapan bahwa kebahagiaan berada di sana, yang
harus kita kejar-kejar, sama sekali kita tidak pernah mau melihat, apa yang
berada di sini, yang sudah ada pada kita. Kita seperti mengejar-ngejar bayangan
kita, biar dikejar sampai selama hidup pun tidak akan dapat tersusul, kita tidak
pernah mau berhenti dan menyelidiki apa gerangan bayangan itu, lupa bahwa
bayangan itu adalah kita sendiri, karena kitalah yang menciptakan bayangan yang
kita kejar-kejar itu!
Siluman
Kecil sadar kembali dari lamunannya ketika dia mendengar suara tadi bernyanyi
terus.
Cai Shang
Wi, Put Leng He.
Cai He Wi,
Put Wan Shang.
Siluman
Kecil mengangguk-angguk, dan diam-diam menterjemahkan ujar-ujar itu dalam
hatinya. “Dalam kedudukan tinggi, dia tidak menghina yang di bawah. Dalam
kedudukan rendah, dia tidak menjilat yang di atas.”
Betapa
sukarnya mencari seorang kuncu (budiman) seperti itu! Sudah lajim di dunia ini,
orang selalu memandang rendah kepada orang-orang yang lebih rendah kedudukannya
daripada kita. Kita suka menginjak dan meremehkan orang-orang yang berada di
bawah kita, kita merasa jijik kepada kaum jembel, kita menjebikan bibir
terhadap orang-orang miskin dan papa, kita merendahkan mereka yang bekerja
kasar dan yang mempunyai kedudukan jauh lebih rendah dari pada kita.
Sebalikya,
sudah menjadi kesopanan masyarakat bahwa kita selalu bersopan santun pada
orang-orang yang tinggi kedudukannya, kita bermanis muka kepada orang-orang
kaya, kita menjilat-jilat kepada pejabat tinggi. Betapa palsunya kita ini!
Betapa kejamnya kita ini! Namun kita marah kalau dinyatakan bahwa kita tidak
memiliki perikemanusiaan!
Siluman
Kecil makin dalam tenggelam dalam renungannya. Dia mengenal ujar-ujar itu yang
merupakan ayat ketiga dari bagian ketiga belas itu, dan dia masih ingat pula
akan bagian selanjutnya, yang berbunyi, ‘Dia memperbaiki diri sendiri dan tidak
mencari kesalahan orang lain, maka dia tidak mempunyai penyesalan apa pun. Ke
atas dia tidak menyalahkan Thian dan ke bawah dia tidak menyalahkan manusia
lain.’
Setelah
suara itu berhenti bernyanyi, Siluman Kecil menoleh. Timbul keinginan tahunya
untuk melihat siapa gerangan yang di tempat seperti itu menyanyikan ujar-ujar
yang mengandung sari pelajaran amat tinggi itu. Dan dia tertegun. Di bawah
sebatang pohon yang rindang nampak seorang nenek tua sedang duduk di atas tanah
berumput, menghadap barang dagangannya yang bertumpuk di atas tikar terhampar.
Seorang nenek tua penjual sepatu rumput rupanya! Dan nenek itulah yang tadi
bernyanyi.
Memang harus
diakui bahwa ujar-ujar dari Nabi Khong Hu Cu dikenal oleh semua orang yang
pernah bersekolah, sungguh pun sebagian besar orang hanya mengenalnya sebagai
ujar-ujar belaka tanpa menghayati isinya, tanpa meneliti diri sendiri apakah
ujar-ujar yang setiap hari keluar dari mulutnya, terus-menerus
diulang-ulanginya itu ada pula terkandung dalam langkah hidupnya sehari-hari.
Akan tetapi,
mendengar ujar-ujar itu dinyanyikan oleh seorang nenek penjual sepatu rumput,
dinyanyikan di tempat seperti itu, yaitu di luar kota di bawah pohon, sungguh
merupakan hal yang amat janggal didengar. Biasanya, ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu
atau ujar-ujar dari Agama Buddha hanya didengar di sekolah-sekolah, di
kuil-kuil, atau dibicarakan di antara ‘orang-orang pandai’ sebagai bahan untuk
berbantahan dan mempertahankan pendirian dan pentafsiran masing-masing, dan
sebenarnya diperalat untuk membanggakan kepintarannya!
Melihat
nenek itu menghadapi dagangannya dan kelihatan sama sekali tidak laku, terbukti
dari bertumpuknya sepatu rumput itu dan tidak ada seorang pun di antara
orang-orang yang lalu-lalang itu menengok ke arah nenek itu, apa lagi membeli
dagangannya, Siluman Kecil merasa kasihan. Nenek itu kelihatannya miskin,
pandang matanya sayu, dan siapa tahu sudah berapa hari nenek itu tidak makan. Tubuhnya
begitu kurus! Siluman Kecil cepat menghampiri dan berjongkok di depan dagangan
nenek itu.
“Nenek,
apakah ada sepatu yang ukurannya cocok untuk kakiku?” tanyanya, sambil
memandang wajah keriputan itu.
Akan tetapi
dari sinar matanya, Siluman Kecil tahu bahwa nenek itu agaknya tidak mengerti
atau mungkin juga tidak mendengar. Ketika nenek itu menaruh tangan di belakang
daun telinganya, mengertilah dia bahwa nenek ini adalah seorang yang sudah
berkurang pendengarannya atau agak tuli.
“Apakah ada
yang cocok dengan ukuran kakiku?” tanyanya pula dengan suara lebih keras.
“Oh, tentu
ada... ada...! Nah, ini agaknya cocok!” Nenek itu menyerahkan sepasang sepatu
dan memandang wajah Siluman Kecil yang sebagian tertutup rambut putih penuh
perhatian. “Agaknya Kongcu akan pergi ke selatan juga! Memang lebih enak pakai
sepatu rumput, apa lagi di selatan sana banyak hujan. Lebih hangat jika memakai
sepatu rumput.”
Siluman
Kecil mengukur sepatu itu dengan kakinya. Memang cocok. Agaknya pedagang sepatu
ini sudah biasa mengira-ngira ukuran kaki orang yang datang membeli sepatunya.
“Berapa harganya?” Dia bertanya.
“Memang
banyak yang ke sana. Kemarin banyak orang muda yang membeli sepatu saya pula,
mereka hendak pergi ke selatan,” jawab nenek itu dan Siluman Kecil baru sadar
bahwa pertanyaannya yang kurang keras tadi telah didengar lain oleh Si Nenek,
maka jawabannya pun kacau.
Dia
mengeluarkan uang tembaga dan mengangkat sepatu itu. “Harganya berapa?”
“Ohhh...“
Nenek itu tertawa dan nampak mulut yang ompong!
Setelah
nenek itu memberi tahu harga sepatu yang ternyata hanya beberapa potong uang
tembaga, Siluman Kecil membayarnya tanpa menawar. Padahal dia tahu bahwa
biasanya pedagang seperti ini menawarkan dagangannya dengan harga dua kali
lipat dan biasanya pihak pembeli pasti juga menawar harga itu.
Nenek itu
kelihatan girang menerima pembayaran Siluman Kecil dan berkata, “Terima kasih.
Mudah-mudahan Kongcu akan diterima menjadi prajurit.”
“Apa?
Prajurit apa?” Siluman Kecil terheran mendengar itu.
“Eh, apakah
Kongcu bukan hendak pergi ke selatan seperti mereka itu untuk memasuki ujian
penerimaan prajurit?”
“Hemmm, ada
apakah di selatan sana?”
“Kongcu
belum tahu? Kabarnya Gubernur Ho-nan sedang mengadakan ujian untuk menerima
calon-calon prajurit pengawal. Gajinya besar, kedudukannya tinggi, dan mereka
yang terpilih akan dijadikan pengawal gubernur, atau kalau untung malah bisa
diangkat menjadi calon pengawal pribadi.”
Tiba-tiba
percakapan terhenti karena ada serombongan orang menghampiri nenek itu untuk
membeli sepatu rumput. Yang membeli sepatu hanya dua orang, yaitu seorang kakek
bertubuh tinggi tegap dan seorang setengah tua yang sikapnya pendiam dan
matanya bersinar tajam. Sedangkan di belakang dua orang kakek ini terdapat
sepuluh orang lain yang berpakaian ringkas dan sikapnya juga pendiam. Kakek
berusia enam puluhan tahun yang bertubuh tinggi tegap itu melirik ke arah
Siluman Kecil dan pandang matanya tajam penuh selidik. Siluman Kecil
menundukkan muka, pura-pura memilih sepatu dan membiarkan rambutnya yang
panjang itu menutupi mukanya seperti tirai.
Setelah
memilih sepatu dan membayar harganya, kakek itu bertanya kepada si nenek
pedagang sepatu, “Apakah banyak orang yang lewat ke sini dan menuju ke
Ceng-couw, ibu kota Ho-nan?” Suaranya besar, tegas dan berwibawa.
“Banyak
sekali... banyak orang-orang muda yang hendak melamar pekerjaan pengawal.
Agaknya Sicu semua ini juga hendak ke sana?”
Kakek itu
hanya menggumam, kemudian bangkit berdiri dan bersama ternan-temannya
meninggalkan tempat itu.
“Wah,
sungguh banyak sekali yang ingin melamar sebagai pengawal,” kata Si Nenek.
“Tentu ramai sekali di Ceng-couw sana, wah, kalau aku bisa berdagang sepatu di
sana, tentu laris sekali!”
“Kenapa kau
tidak membawa sepatumu dan berdagang di sana saja?” kata Siluman Kecil sambil
bangkit berdiri pula.
“Oh, jadi
Kongcu juga ingin ke sana?” tanya nenek itu yang kembali salah dengar.
Siluman
Kecil mengerutkan alisnya. Repot juga bicara dengan seorang tuli. Dia hanya
mengangguk-angguk sebagai jawaban, tidak mau lagi berteriak-teriak karena
terdengar seperti orang cek-cok saja sehingga tentu akan banyak menarik
perhatian mereka yang lewat di jalan itu. Akan tetapi, jawabannya dengan
anggukan itu membuat si nenek menjadi gembira dan nenek itu pun bangkit berdiri.
“Kalau
begitu, sebaiknya Kongcu naik kuda ke sana! Mungkin besok pagi sudah dimulai
ujian itu dan Kongcu tentu akan ketinggalan kalau berjalan kaki. Di sini
terdapat seorang pedagang kuda yang bagus-bagus dan harganya pun murah. Dia
masih keponakanku sendiri. Saya tinggal bersama dia di sana juga. Marilah
kuantarkan Kongcu ke sana melihat-lihat. Baru kemarin dia pulang membawa dua
ekor kuda peranakan Mongol yang amat baik.”
“Tapi aku
sudah biasa berjalan kaki, Nek. Aku tidak ingin membeli kuda.” Siluman Kecil
hendak melangkah pergi, akan tetapi dia melihat seorang pengemis muda duduk tak
jauh dari tempat itu.
Wajah
pengemis ini menarik hatinya karena wajah itu terlalu tampan untuk seorang
pengemis, dan sinar mata pengemis ini tidak seperti para pengemis lainnya.
Semua pengemis selalu memiliki pandangan mata sayu, baik dibuat-buat atau
tidak, tetapi sinar mata pengemis ini tajam berseri-seri dan sedikit pun tidak
kelihatan duka terbayang di dalamnya! Keadaan ini menimbulkan keharuan di hati
Siluman Kecil dan dia lalu memberikan kelebihan uang pembelian sepatu tadi
kepada si pengemis muda tanpa mengeluarkan kata-kata. Pengemis itu menerima
pemberian ini, membungkuk sedikit sebagai tanda terima kasih, akan tetapi
mulutnya diam saja! Bahkan ada bayangan keangkuhan di sinar matanya!
Siluman
Kecil merasa makin heran dan tertarik.
“Kongcu akan
menyesal setengah mati kalau tidak membeli kuda itu!” Kembali nenek itu
mendesak dan ketika Siluman Kecil menoleh, ternyata nenek itu sudah menggulung
tikarnya dan membungkus semua sepatunya tanda bahwa dia sudah kukut (berkemas
untuk pulang).
“Sudahlah,
Nek. Aku tidak punya uang...ehh, uangku tidak akan cukup untuk membeli seekor
kuda peranakan Mongol yang bagus.”
“Aaahhhh,
Kongcu sungguh merendah! Kongcu mempunyai banyak uang...ehh, maksud saya,
seorang seperti Kongcu yang melakukan perjalanan jauh tentu kaya raya, tentu
Kongcu akan mampu membeli seekor kuda yang baik. Apakah Kongcu tidak rela
memberi sedikit keuntungan kepada keluarga kami?”
Siluman
Kecil terkejut. Dia memang membawa banyak uang, pemberian seorang hartawan yang
pernah ditolongnya sebagai bekal dan terima kasih atas bantuannya. Bagaimana
nenek ini bisa tahu?
Akan tetapi,
mungkin juga sebagai seorang pedagang, nenek ini memiliki pandangan tajam
tentang hal itu. Tertarik juga hatinya. Memang selama ini banyak sekali hal-hal
yang menarik hatinya. Dia selalu tertarik oleh urusan orang-orang lain. Apakah
hal ini menunjukkan gejala bahwa dia sudah tidak tertarik lagi kepada diri
sendiri?
“Baiklah,
Nek. Aku hendak melihat kuda yang kau puji-puji itu. Akan tetapi tidak perlu
kau mengemasi dagangan untuk mengantar aku. Katakan saja di mana adanya tempat
keponakanmu itu, dan aku akan mencarinya sendiri ke sana. Tidak perlu kau harus
mengorbankan daganganmu yang menjadi tidak laku hanya untuk mengantarkan aku.”
“Kongcu,
biar saya yang mengantar Kongcu ke sana. Saya juga tahu tempat pedagang kuda
itu. Bukankah yang Nenek maksudkan itu adalah Paman Ciok pedagang kuda di
sebelah barat jembatan hijau itu?” tiba-tiba pengemis muda itu berkata.
Nenek itu
mengangguk dan mengerling ke arah Siluman Kecil. “Benar di sana...“
“Kalau
begitu, biar ia ini yang mengantarku, Nek. Terima kasih!” kata Siluman Kecil
dan dia lalu pergi bersama si pengemis muda.
Siluman
Kecil makin tertarik kepada pengemis ini. Sungguh tidak seperti pengemis
pengemis umumnya. Memang pakaiannya penuh tambalan, tetapi pakaian itu bersih
dan jelas bahwa pakaian itu belumlah begitu butut sehingga perlu
ditambal-tambal. Agaknya seperti pakaian yang masih baru akan tetapi sengaja
ditambal-tambal! Hal ini tentu saja mencurigakan hatinya dan membuat dia
menjadi tertarik. Jangan-jangan bocah pengemis ini mempunyai maksud tertentu
dan sengaja mendekatinya, pikirnya. Banyak sekali orang-orang yang memusuhinya
di dunia ini, apa lagi sejak dia dikenal sebagai Siluman Kecil dan banyak menolong
orang-orang yang tertindas sehingga otomatis dia dimusuhi oleh mereka yang
ditentangnya. Akan tetapi, tentu saja dia tidak merasa gentar, hanya tertarik
kepada pribadi pengemis cilik ini.
“Siapakah
namamu?”
Pengemis itu
terkejut, akan tetapi lalu menjawab dengan suara tenang, “Nama saya Hong, dan
orang-orang memanggil saya Siauw-hong (Hong Kecil).”
“Kenapa?
Engkau tidak begitu kecil tubuhmu.”
“Entahlah,
Kongcu. Sejak kecil saya disebut Siauw-hong.”
“Hemmm, di
mana tempat tinggalmu?”
“Saya tidak
mempunyai tempat tinggal.”
“Dan ayah
bundamu?”
Siauw-hong
menggeleng kepala. “Tidak punya.”
Siluman
Kecil mengerutkan alisnya, kemudian tiba-tiba dia berhenti, memegang pundak
pengemis cilik itu dan menggunakan jari-jarinya untuk menotok jalan darah dekat
leher, jalan darah kematian. Pengemis itu terkejut, cepat-cepat dia miringkan
tubuh sehingga pegangan itu meleset dan totokan itu luput.
“Ha, sudah
kuduga. Engkau pandai ilmu silat tinggi!” Siluman Kecil berseru.
“Dan Kongcu
adalah Siluman Kecil!” pengemis cilik itu berkata.
“Hemmm,
ternyata engkau bukan bocah pengemis sewajarnya, seperti pakaianmu yang
tambal-tambalan akan tetapi bersih dan masih baru. Hayo katakan, mau apa engkau
membayangi aku?” Siluman Kecil menghardik.
Pengemis
muda itu menjura. “Maafkan saya, Taihiap. Sesungguhnya bukan maksud saya hendak
membayangi, hanya karena sudah lama saya mendengar nama Taihiap dengan penuh
kekaguman, maka begitu melihat Taihiap tadi, saya sudah menduganya dan saya
ingin mengenal dan berdekatan dengan Taihiap. Saya sungguh tidak memiliki
maksud buruk dan hendak mengantar Taihiap kepada rumah pedagang kuda itu.”
“Bagaimana
engkau berpakaian pengemis? Apa maksudnya?”
“Maaf,
memang saya sengaja dan ini merupakan syarat menjadi murid dari guru saya.
Ketahuilah bahwa sejak kecil saya diserahkan oleh kakek saya yang sekarang
entah berada di mana, kepada guru saya itu, dan setelah saya menjadi muridnya,
saya diharuskan berpakaian pengemis untuk memenuhi kebiasaan nenek moyang dari
guru saya.”
“Hemmm,
mengapa begitu?” Siluman Kecil makin tertarik.
“Guru saya
adalah keturunan pengemis, Taihiap. Oleh karena itu, biar pun sekarang guru
saya tidak menjadi pengemis, akan tetapi semua muridnya diharuskan berpakaian
pengemis sebelum tamat belajar untuk menghormati leluhurnya.”
Siluman
Kecil memandang tajam. Dari gerakan anak ini ketika mengelak tadi, dia maklum
bahwa anak ini memiliki dasar ilmu silat tinggi, bukan ilmu silat sembarangan
saja, maka guru anak ini tentulah seorang tokoh besar pula.
“Siapakah
gurumu itu, Siauw-hong?”
“Maaf,
Taihiap, akan tetapi guru saya tidak pernah mau menyebutkan namanya.”
Siluman
Kecil mengangguk-angguk. Dia bisa memaklumi akan hal ini karena memang
demikianlah, makin tinggi pengertian seseorang, makin rendah hati pula wataknya
di samping keanehan-keanehan yang tidak lumrah manusia biasa. Maka dia pun
tidak mau mendesak lagi untuk menghormati pendirian guru pengemis cilik ini.
Akhirnya
mereka tiba di tempat si pedagang kuda. Seorang laki-laki berusia empat puluh
tahun, bermata sipit dan berkumis pendek, menyambut kedatangan mereka dan
ketika mendengar bahwa Siluman Kecil datang untuk melihat kuda keturunan Mongol
itu setelah diberi tahu oleh nenek penjual sepatu rumput, dia tersenyum lebar.
“Memang benar, Kongcu. Dan kalau bukan bibi saya yang memberi tahu, tidak
sembarangan orang akan saya persilakan melihat dua ekor kuda dagangan saya itu.
Kuda simpanan, kuda tunggangan raja-raja di daerah Mongol!”
Sambil
memuji-muji kudanya, orang itu mengantar Siluman Kecil dan Siauw-hong ke
kandang kuda. Dan memang dua ekor kuda itu merupakan kuda-kuda pilihan, tinggi
besar dan jelas kelihatan kuat sekali. Yang seekor berbulu hitam mulus
sedangkan yang kedua berbulu putih. Warna bulu mereka begitu mulus dan terang
sehingga sangat menyolok perbedaan warna bulu mereka. Yang putih adalah kuda
betina sedangkan yang hitam adalah seekor kuda jantan yang kelihatan galak.
“Coba Kongcu
lihat tanda di paha kiri mereka ini!” kata si tukang kuda.
Siluman
Kecil melihat dan di paha kedua ekor kuda itu, di paha belakang yang kiri,
terdapat capnya, yaitu ukiran kepala naga yang tentu saja kasar karena dibuat
dengan menempelkan besi membara yang bergambarkan kepala naga di bagian paha
itu.
“Apa artinya
gambar ini?” tanya Siluman Kecil.
“Itu adalah
tanda bahwa sepasang kuda ini adalah bekas milik raja Mongol, seorang di antara
raja-raja liar di antara suku bangsa Nomad di Mongol sana dan agaknya raja itu
memuja naga. Atau mungkin juga dua ekor kuda ini adalah keturunan Liong-ma
(Kuda Naga) yang terkenal itu. Pendeknya, bukan kuda sembarangan, Kongcu, dan
kalau Kongcu dapat memiliki seekor kuda ini, Kongcu sungguh beruntung. Akan
tetapi, saya anjurkan Kongcu memilih yang putih.”
“Yang
betina? Mengapa?”
“Karena dua
ekor kuda ini memang mempunyai keanehan. Yang putih ini agaknya hanya mau
menjadi jinak kalau dinaiki oleh seorang pria! Sedangkan yang jantan, yaitu
yang hitam ini, hanya mau menjadi jinak kalau dinaiki oleh seorang wanita!”
“Ah, sungguh
luar biasa!” Siluman Kecil berseru dan pengemis kecil itu tertawa.
“Ha-ha-ha,
kalau begitu mereka adalah kuda-kuda yang cabul!” seru Siauw-hong.
“Hushhhh,
jangan sembarangan saja kau, Siauw-kai (Pengemis Cilik)!” Pedagang kuda itu
menghardik.
“Omongannya
itu ada benarnya,” kata Siluman Kecil membela Siauw-hong.
“Tidak,
Kongcu. Sama sekali tidak benar. Dua ekor kuda ini bukanlah kuda cabul, akan
tetapi adalah kuda yang sudah terlatih matang di tempat asalnya. Dengan
wataknya yang aneh itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa tentu kuda hitam
ini dahulu adalah kuda tunggangan seorang permaisuri dan dilatih sedemikian
rupa, sehingga dia tidak mau ditunggangi seorang pria, maka hanya sang
permaisuri sajalah yang dapat menungganginya. Mana boleh kuda tunggangan
seorang permaisuri ditunggangi seorang pria? Dan demikian pula dengan kuda
putih ini, tentu dahulunya menjadi kuda tunggangan seorang raja.”
Siluman
Kecil mengangguk-angguk. Biar pun cerita itu agaknya terlalu dibuat-buat, akan
tetapi masuk akal juga.
“Saya tidak
percaya!” Tiba-tiba Siauw-hong berkata. “Saya yakin bahwa kuda hitam itu lebih
baik karena dia jantan. Lebih baik Kongcu memilih yang jantan saja.”
“Eh, kau
berani tidak percaya kepadaku, Siauw-kai? Kau menyuruh Kongcu naik kuda hitam
kemudian dibantingkan?” bentak si tukang kuda.
“Masa
dibantingkan! Kuda itu kelihatan begitu jinak!” Siauw-hong membantah.
“Kalau tidak
percaya, boleh kau coba naik di punggungnya!” tantang si tukang kuda.
“Baik, akan
saya tunggangi dia!” Siauw-hong menerima tantangan itu.
“Siauw-hong,
apakah kau bisa menunggang kuda?” Siluman Kecil bertanya khawatir.
Siauw-hong
tersenyum dan anak ini kelihatan tampan sekali kalau tersenyum. “Jangan
khawatir, Taihiap, sejak kecil saya sudah biasa menunggang kuda dan entah sudah
ada berapa ratus ekor kuda jantan yang saya tunggangi, maka saya tidak percaya
kalau ada kuda jantan tidak mau ditunggangi seorang pria!”
“Kau bocah
sungguh bermulut besar. Boleh kau coba si Hitam, akan tetapi Kongcu ini menjadi
saksi dan saya tidak mau dipersalahkan kalau nanti kau dibantingkan dan
punggungmu patah,” kata si tukang kuda.
Siauw-hong
tertawa, lalu dia menuntun kuda hitam itu keluar kandang. Kelihatan si Hitam
ini memang cukup jinak dan menurut saja ketika dituntun keluar. Dengan gerakan
cekatan tanda bahwa dia memang biasa menunggang kuda, Siau-whong lalu meloncat
ke atas punggung kuda hitam yang tinggi itu. Dan mulailah si Hitam itu
memperlihatkan keliarannya. Dia meringkik keras, mendengus-dengus marah lalu
berloncatan ke atas, berdiri di atas kedua kaki, meloncat lagi dan membuat
punggungnya jadi melengkung, bergerak ke kanan kiri dan membuat gerakan dengan
punggung untuk melemparkan Siauw-hong yang duduk di atas punggungnya.
Siauw-hong
ternyata memang seorang ahli menunggang kuda. Kalau lain orang yang menunggangi
punggung kuda hitam yang mengamuk itu, tentu takkan dapat bertahan lama dan
sudah terlempar sejak tadi. Akan tetapi Siauw-hong juga memperlihatkan
kelihaiannya. Meski beberapa kali tubuhnya kelihatan hampir terlempar dari
punggung, namun ternyata dia masih dapat turun lagi duduk di atas punggung
sambil memegangi kendali dengan cekatan.
Siluman
Kecil menonton dengan hati tegang. Kembali dia dibuat kagum, sekali ini dibuat
kagum oleh Siauw-hong dan juga oleh kuda itu. Benar-benar seekor kuda yang amat
aneh, terlatih baik sekali dan penuturan pedagang kuda ini ternyata tidak
bohong. Kuda jantan ini benar-benar tidak sudi ditunggangi oleh seorang pria!
Sekarang kuda itu mengeluarkan suara ringkikan yang rendah mirip gerengan
harimau dan tiba-tiba dia membanting diri ke kanan dan membuat gerakan
bergulingan!
“Awas,
Siauw-hong...!” Mau tak mau Siluman Kecil memekik. Dia sudah siap menolong
karena keadaan pengemis muda itu benar-benar amat berbahaya.
“Kuda
iblis...!” Siauw-hong berteriak dan tubuhnya terlempar, tetapi dengan gerakan
pok-sai (salto) dia berhasil turun ke atas tanah dengan kaki lebih dulu. Dia
mengebut ngebutkan pakaiannya dan mengomel, “Taihiap, kuda iblis itu berbahaya
sekali!”
Pedagang
kuda tertawa menyeringai, tetapi tidak berani bicara sembarangan karena dia pun
sekarang tahu bahwa pengemis cilik itu bukan orang sembarangan setelah dia
melihat betapa pengemis itu tadi dapat menyelamatkan diri secara luar biasa.
Dia menuntun kuda hitam yang sudah jinak kembali begitu punggungnya tidak
ditunggangi orang!
“Kuda yang
baik sekali!”
Mereka
bertiga menoleh dan melihat seorang pemuda yang berwajah tampan sekali,
berpakaian mentereng dan bersikap lincah memasuki tempat itu dan memuji si kuda
hitam yang liar tadi, Siluman Kecil memandang penuh perhatian. Pemuda itu
usianya tentu masih amat muda, mungkin baru belasan tahun, tetapi sinar matanya
memandang penuh perhatian, dan melihat pakaiannya yang indah dan serba baru,
mudah diduga bahwa pemuda ini tentulah putera seorang hartawan besar atau
setidaknya putera seorang bangsawan! Tubuhnya kecil, akan tetapi kelihatan
gesit, tanda bahwa pemuda hartawan ini tentu ‘berisi’, yaitu pernah berlatih
silat. Di belakang pemuda ini berjalan seorang anak laki-laki yang membawa
buntalan.
Pedagang
kuda itu bermata tajam, tentu saja dia segera mengenal seorang hartawan. Maka
sambil menuntun kuda hitam dia menghampiri dan menjura, “Kuda yang manakah yang
Kongcu anggap baik?” tanyanya.
“Mana lagi
kalau bukan kuda yang kau tuntun itu,” jawab si pemuda tampan sambil memandangi
kuda hitam dengan mata bersinar-sinar. “Ini kuda Mongol tuan!” serunya sambil
mendekati kuda itu, mengelus leher kuda itu dengan tangannya.
“Apakah
Kongcu ingin membeli kuda?” tanya pula si pedagang kuda.
“Benar, aku
membutuhkan dua ekor kuda untuk aku dan pelayanku ini, karena aku hendak pergi
ke Ceng-couw, untuk memasuki ujian pengawal gubernur!”
Siluman
Kecil merasa tertarik sekali. Benar dugaannya bahwa pemuda ini tentu memiliki
kepandaian silat, kalau tidak tentu tidak akan ikut-ikut memasuki ujian
pengawal.
Pedagang
kuda itu tersenyum lebar dan matanya berseri girang. Hari baik rupanya hari ini
bagi dia. Sepagi itu sudah banyak orang datang hendak membeli kuda!
“Kongcu
tidak salah kalau mencari kuda di sini!” katanya.
“Aku suka
sekali dengan kuda hitam ini, berapa harganya? Akan kubeli dia!” kata si kongcu
yang masih mengelus-ngelus kuda itu.
Si pedagang
kuda kelihatan kaget. “Ohhh, jangan yang ini, Kongcu! Apakah Kongcu tadi tidak
melihat betapa liarnya dia? Kuda ini pantang ditunggangi oleh seorang pria. Dia
adalah bekas tunggangan seorang permaisuri suku Nomad di Mongol, sudah terlatih
untuk menolak kalau ditunggangi seorang pria. Sebaliknya, kuda putih itu
pantang ditunggangi seorang wanita. Maka, kalau Kongcu membutuhkan kuda,
sebaiknya yang putih itu...ehh, kalau belum jadi dibeli oleh Kongcu itu yang
datang lebih dulu.”
Pemuda
tampan itu sekarang memandang kepada Siluman Kecil, menghampiri dan tersenyum,
lalu menjura. Tentu saja Siluman Kecil juga cepat membalas penghormatan orang
itu. “Apakah engkau juga hendak membeli kuda putih itu, Sobat?” Pertanyaan ini
diajukan dengan sikap ramah sekali sehingga biar pun Siluman Kecil tidak ingin
berkenalan dengan orang itu, terpaksa dia menjawab dengan anggukan kepala.
“Agaknya
engkau hendak melakukan perjalanan cepat dan jauh pula, Sobat.”
“Saya...kami
hendak pergi ke selatan...!”
“Ahh! Betapa
kebetulan sekali! Tidak dicari-cari, di sini bertemu dengan seorang teman
seperjalanan! Sobat yang baik, kalau begitu mari kita melakukan perjalanan
bersama. Sungguh menyenangkan sekali! Aku bisa mendapatkan seorang teman untuk
bercakap cakap di perjalanan!”
Siluman
Kecil mengerutkan alisnya. Dia tidak ingin melakukan perjalanan dengan orang
lain yang tidak dikenalnya. Pula, memang selama ini dia selalu menjauhkan diri
dari pergaulan umum.
“Terima
kasih atas kebaikan saudara,” jawabnya. “Akan tetapi saya masih mempunyai
banyak kepentingan lain.”
Penolakan
halus diterima oleh pemuda tampan itu dengan senyum. “Tidak mengapa. Engkau
boleh menyelesaikan semua kepentinganmu lebih dahulu, baru kita berangkat
bersama.”
Siluman
Kecil tidak menjawab lagi, melainkan menoleh kepada pedagang kuda itu. “Paman,
berapakah harganya kuda putih itu?”
“Tiga ratus
tael perak,” jawab si pedagang kuda.
“Wah, masa
ada kuda harganya sekian?” Siauw-hong berseru. “Biasanya, seekor kuda tidak
akan lebih dari seratus tael perak harganya!”
Si pedagang
kuda menyeringai. “Siauw-kai, walau pun omonganmu itu ada benarnya, akan tetapi
dua ekor kuda ini bukanlah kuda biasa! Coba dibayangkan, berapa biayanya
mengambil dua ekor kuda ini dari tempat asalnya! Kongcu, harganya tiga ratus
tael perak, tidak boleh kurang satu tael pun.”
Siluman
Kecil tidak tahu akan harga kuda, akan tetapi terdengar pemuda tampan itu
berkata, “Tiga ratus tael tidaklah mahal untuk seekor kuda seperti itu.”
Mendengar
ini, Siluman Kecil mengerutkan alisnya. Uang baginya bukan apa-apa, apa lagi
uang itu adalah pemberian orang untuk bekal. Dia tidak membutuhkan banyak uang,
justeru hanya memberatkan saja.
Tiba-tiba
dia terkejut bukan main dan baru teringat bahwa dia tidak merasakan sesuatu
yang berat di buntalannya! Karena dia tidak pernah memikirkan uang, dan jarang
sekali membawa uang banyak, maka dia tidak merasakan perbedaan itu! Dia
mengangkat buntalannya, menimbang-nimbang dan jantungnya berdebar. Benar saja,
buntalannya sudah tidak berat lagi! Padahal seingatnya, uang bekal yang
diberikan oleh hartawan itu kepadanya amat berat! Cepat dia membuka buntalannya
dan dia menahan napas. Uang itu telah lenyap! Dia telah diberi beberapa potong
uang emas dan banyak uang perak oleh hartawan itu, yang rasanya cukup banyak
untuk membeli kuda itu. Akan tetapi ternyata uang itu lenyap sama sekali, tidak
ada sisanya barang satu potong pun! Dan dia tidak merasakan kehilangan itu!
“Celaka...!”
serunya.
“Taihiap,
ada apakah...?” Siauw-hong bertanya sambil mendekati.
“Uangku
lenyap!”
“Ahhh...!”
Siauw-hong juga memandang bingung.
Pemuda
tampan itu menghampiri Siluman Kecil dan bertanya, “Sobat, apa yang telah
terjadi?”
Siluman
Kecil menggeleng kepala. “Entah bagaimana, uangku yang berada di dalam buntalan
ini lenyap semua tanpa kusadari. Aku lupa bahwa aku membawa uang, maka ketika
lenyap aku tidak tahu...”
“Hemmm...”
Si pedagang kuda berkata dan alisnya berkerut, matanya memandang penuh
kecurigaan kepada Siluman Kecil dan Siauw-hong.
“Kalau
begitu, biarlah aku yang membayarnya! Hei, pedagang kuda, berikan kuda putih
itu kepada sobatku ini dan kuda hitam itu kubeli, lalu sediakan dua ekor kuda
lain untuk pembantu-pembantu kami!” Pemuda itu cepat mengeluarkan sekantung
uang emas dari buntalannya yang tadi dibawa oleh kacungnya.
“Ah, tidak
usah, Saudara... biar kami jalan kaki saja...,“ kata Siluman Kecil.
“Sobat yang
baik, kita sudah menjadi sahabat dan calon teman seperjalanan, mengapa banyak
sungkan?”
“Aku tidak
mau menerima pemberian dari orang yang tidak kukenal dan...”
“Kalau
begitu perkenankan, aku she Kang, bernama Swi,” katanya.
“Tetapi...”
“Kalau kau
segan menerima pemberianku, biarlah kuda itu kau pinjam saja!”
Siluman
Kecil tidak dapat menolak lagi, merasa tidak enak kalau harus menolak terus
kebaikan orang yang kelihatannya demikian tulus dan ikhlas.
“Kalau
begitu, baiklah, Saudara Kang Swi. Terima kasih atas kebaikanmu,” katanya
sambil menjura.
“Akan tetapi
saya bukanlah pembantu Taihiap ini, saya hanya mengantarnya sampai ke sini
saja,” kata Siauw-hong.
Pemuda
tampan itu menoleh kepadanya. “Aku melihat engkau tadi pandai sekali menunggang
kuda, tentu engkau pandai pula merawat kuda, bukan? Nah, bagaimana kalau kau
kuangkat sebagai perawat kuda? Berapakah gaji yang kau minta, tentu akan
kupenuhi.”
Siauw-hong
mengangkat dadanya dan menjawab, “Saya menerima permintaan Kongcu, tetapi bukan
karena besarnya gaji, melainkan karena saya memang ingin meluaskan pengalaman
ke selatan.”
“Jadi kau
terima?” tanya kongcu itu dengan girang, tetapi ada sinar keheranan melihat
sikap pengemis muda itu, yang demikian angkuh sikapnya. “Paman, cepat pilihkan
dua ekor kuda lain selain si Putih dan si Hitam ini, dan hitung berapa yang
harus kubayar kepadamu.”
Tentu saja
si pedagang kuda menjadi girang bukan main. Sungguh mujur dia. Hari ini bertemu
dengan kongcu yang kaya dan begini royal, membeli kuda tanpa menawar lagi!
Tentu saja dia tidak mau mencelakakan seorang langganan yang begini royal, maka
dia berkata, “Akan saya pilihkan seekor kuda yang terbagus untuk Kongcu...“
“Aku sudah
memilih si Hitam ini!” jawab kongcu itu.
“Ahhh,
jangan, Kongcu! Baru saja Siauw-kai ini hampir terbanting mati oleh kuda itu!”
Siauw-hong
juga berkata, “Sebaiknya Kongcu mengambil lain kuda. Kuda hitam ini adalah kuda
iblis, atau kuda porno...“
“Ehh, kuda
porno (cabul)...?” Kongcu itu bertanya dan memandang Siauw-hong dengan alis
berkerut.
“Habis, kuda
jantan ini hanya mau ditunggangi seorang wanita! Cabul dia!” Siauw-hong berkata
dan memandang kepada kuda hitam itu dengan hidung dikernyitkan.
Kongcu itu
tertawa. “Kalian semua tidak tahu rahasianya. Aku sudah pernah memiliki seekor
kuda seperti ini dan kalau tidak tahu rahasianya, memang jangan harap dapat
menjinakkan dia.”
“Kau hendak
mengatakan bahwa kau dapat menundukkan dia?” Siluman Kecil bertanya penuh
keheranan.
Dia melihat
sendiri tadi betapa Siauw-hong yang merupakan seorang ahli menunggang kuda,
hampir celaka. Apakah pemuda halus yang kaya raya dan royal ini memiliki ilmu
menunggang kuda yang lebih mahir dari pada Siauw-hong? Agaknya tak mungkin. Dia
sendiri pun harus mengakui bahwa dalam menunggang kuda, belum tentu dia mampu
menandingi Siauw-hong dan dia akan berpikir dua kali untuk menunggangi kuda
liar macam si Hitam itu.
“Tentu
saja,” kata pemuda royal itu tersenyum. “Kalau tidak, untuk apa kubeli?”
“Tapi...
tapi dia benar-benar berbahaya sekali,” kata Siluman Kecil.
“Aku
mengerti bagaimana harus menguasainya, harap kau jangan khawatir, Sobat.”
Namun ketika
pemuda tampan itu hendak memegang kendali kuda hitam dari tangan pedagang kuda,
si pedagang berkata ragu, “Wah, bagaimana kalau sampai Kongcu terbanting jatuh
dan... dan celaka? Siapa akan membayar kuda-kuda saya?”
Kongcu itu
tertawa. “Hitunglah dan akan kubayar sekarang juga. Kalau seandainya nanti aku
dibanting mati oleh kuda ini, kau tidak akan rugi apa-apa.”
Wajah
pedagang kuda itu menjadi merah. “Bukan... bukan maksudku begitu... tetapi
sebaiknya Kongcu jangan mencoba-coba untuk menunggang ini, dia sungguh tidak
mau ditunggangi oleh pria.”
Akan tetapi
pemuda itu tidak melayaninya lagi, melainkan mengeluarkan sejumlah uang untuk
membayar empat ekor kuda. Kemudian dia berkata sambil menuntun si Hitam,
“Kalian semua lihatlah bahwa aku tidak sedang main-main. Aku tahu bagaimana
harus menundukkan kuda Mongol yang terlatih ini.”
Setelah
berkata demikian, dia lalu mengusap-usap kepala kuda hitam itu, mendekatkan
mulutnya pada telinga kiri kuda itu dan mengeluarkan kata-kata asing dalam
bahasa Mongol. Mulutnya komat-kamit dan terdengar kata-kata aneh seperti
mantra. Komat... kamit... komat... kamit.
Siluman
Kecil mengerti juga bahasa Mongol, akan tetapi karena bahasa dari suku bangsa
Nomad banyak sekali macamnya, maka dia tidak merasa heran mendengar bahasa yang
mirip bahasa Mongol akan tetapi tidak dimengertinya, yang keluar dari mulut
pemuda tampan itu. Akan tetapi dia melihat betapa kuda hitam itu menggoyang
goyangkan ekornya ke kanan kiri dan kelihatan gembira dan jinak! Kemudian,
dengan gerakan ringan sekali tanda bahwa pemuda tampan itu memiliki ginkang
yang tinggi, pemuda itu meloncat ke atas punggung kuda. Semua orang, terutama
Siuaw-hong, memandang dengan hati berdebar tegang, menduga bahwa tentu si Hitam
itu akan meloncat-loncat, meringkik dan membungkukkan punggung. Akan tetapi
sungguh aneh! Kuda itu tetap berdiri diam dan tenang-tenang saja, bahkan
ekornya masih bergoyang goyang!
Pemuda
tampan itu tertawa. “Nah, masih tidak percayakah kalian kepadaku? Kuda ini
memang terlatih untuk menentang ditunggangi pria, akan tetapi ada rahasianya
untuk menjinakkan dia dan aku mengenal rahasia itu. Sobat, marilah kita
berangkat. A-cun, dan kau, Siauw-kai...“
“Nama saya
Siauw-hong, Kongcu!” kata Siauw-hong, tidak senang disebut Siauw-kai (Pengemis Cilik).
“Dan saya tidak pernah mengemis.”
“Ahhh,
engkau seorang bocah aneh, tidak kalah anehnya dengan kuda ini dan sahabat
itu!” Si pemuda tampan menunjuk ke arah Siluman Kecil yang sudah meloncat naik
ke atas punggung si Putih. Dan memang benar kata-kata si pedagang kuda, Si
Putih itu tenang-tenang saja ketika punggungnya ditunggangi oleh Siluman Kecil,
seorang pria!
Mereka
berempat lalu berangkat meninggalkan si tukang penjual kuda yang terus berdiri
bengong, masih terheran-heran menyaksikan mereka. Baru hari itu dia memperoleh
keuntungan besar di samping keheranannya bertemu dengan orang-orang yang begitu
aneh. Si pengemis yang pandai menunggang kuda, si kongcu yang masih muda akan
tetapi sudah putih semua rambutnya, dan si kongcu royal yang ternyata seorang
ahli yang luar biasa dalam menaklukkan kuda hitam itu! Akhirnya dia
menggeleng-geleng kepala dan berjalan masuk sambil menggenggam uang emas yang
memenuhi saku bajunya.
Sementara
itu, Siluman Kecil yang menunggang kuda si Putih menjalankan kudanya berendeng
dengan pemuda tampan bernama Kang Swi yang menunggang kuda si Hitam. Mereka
menjalankan kuda secara perlahan-lahan karena Siluman Kecil sedang melamun dan
agaknya Kang Swi juga tidak tergesa-gesa. A-cun, kacung dari Kang Swi, dan
Siauw-hong, menjalankan kuda di belakang mereka dan Siauw-hong kelihatan
gembira sekali, sikapnya sama sekali tidak seperti seorang jembel biar pun
pakaiannya tambal-tambalan, melainkan seperti seorang jenderal perang
menunggang kuda dan memeriksa barisan!
Siluman
Kecil mengerutkan alisnya, mengingat-ingat dan memutar otak, mencari-cari ke
mana lenyapnya uangnya yang banyak itu. Sungguh memalukan, juga mengherankan.
Dia bukan seorang anak kecil yang pelupa, bukan pula seorang yang lemah
sehingga uang yang berada di dalam buntalan pakaiannya dapat lenyap begitu
saja! Dia adalah seorang pendekar yang amat terkenal, dijuluki orang Siluman
Kecil, akan tetapi pada kenyataannya uangnya dicuri orang dari dalam
buntalannya tanpa dia ketahui! Sungguh menggemaskan!
Dia mengepal
tinju. Tanpa disadarinya, mulutnya mengeluarkan suara, “Hemmmm!”
Terdengar
suara tertawa ditahan dan ketika dia menoleh, dia melihat Kang Swi melirik ke
arahnya sambil tersenyum-senyum, senyum yang kelihatan seperti orang mengejek.
“Huh, bocah
ini sikapnya manja dan sombong bukan main!” pikirnya. Akan tetapi tentu saja
dia merasa tidak enak kalau memperlihatkan rasa gemasnya karena betapa pun
juga, hartawan muda ini telah membelikan kuda untuknya dan Siauw-hong!
“Tidak
mungkin uang itu lenyap begitu saja,” bisik hatinya dan kembali dia tenggelam
dalam renungan.
Ketika dia
membayar sepatu rumput, uang itu masih ada. Dia ingat benar. Dan sesudah itu,
dia hanya berdekatan dengan si nenek penjual sepatu rumput yang agak tuli dan
pengemis muda, Siauw-hong itu. Siau-whong tidak mungkin mengambil uangnya, biar
pun dia tahu bahwa Siauw-hong juga bukan anak biasa, melainkan seorang anak
yang memiliki kepandaian. Siauw-hong bukan pencuri uangnya. Anak ini kelihatan
jujur dan tidak membawa apa-apa di dalam bajunya yang penuh tambalan itu, dan
semenjak bertemu di tempat penjual sepatu rumput, anak ini tidak pernah
berpisah dari sampingnya. Bukan, bukan Siauw-hong yang mencuri uang itu.
Kalau
begitu, tidak ada orang lain, tentu si nenek itu! Si nenek yang mencurigakan
sekali sekarang, sikapnya yang ramah dan aneh, bicaranya yang membujuk-bujuk,
yang sering harus dia dekati karena tidak mendengar kata-katanya,
gerak-geriknya yang aneh dan akhirnya nenek itu tadi menggulung tikarnya hendak
kukut dan mengantar dia ke tempat pedagang kuda. Dan sekarang dia teringat
betapa nenek itu kadang-kadang tidak mendengar omongannya, akan tetapi
kadang-kadang seperti tidak tuli, sikapnya aneh dan penuh rahasia. Menjual
sepatu rumput di luar kota, di jalan yang hanya dilalui orang-orang dusun yang
tidak akan pernah mau membeli sepatu seperti itu, seolah-olah memang sengaja
menghadangnya!
Teringat
akan semua itu, tiba-tiba dia menghentikan kudanya.
“Ehh, ada
apakah?”
“Saya harus
kembali sebentar!” Siluman Kecil berkata.
“Hemmm, mau
mencari uangmu yang hilang?” Kang Swi bertanya sambil tersenyum simpul. “Tak
ada gunanya. Ke mana engkau hendak mencari uangmu itu di dunia yang begini
luas?” Dia mengebutkan ujung bajunya dengan sikap agung-agungan.
“Siauw-hong,
nenek itu!” Siluman Kecil menoleh kepada pengemis muda dan Siauw-hong juga
mengangguk, seolah-olah baru ingat bahwa mungkin sekali uang majikannya itu
dicuri oleh nenek penjual sepatu rumput yang aneh itu.
“Mungkin
sekali, Taihiap!” kata Siauw-hong.
“Terlambat,
Sobat!” kata kongcu tampan itu sambil menggerak-gerakkan cambuknya. “Dia sudah
pergi. Bukankah kau maksudkan nenek si penjual sepatu rumput yang tuli itu?
Lihat, sepatu yang dipakai A-cun itu adalah sepatu terakhir yang saya beli
darinya,” katanya menunjuk ke belakang dan Siluman Kecil melihat sepatu rumput
yang dipakai oleh kaki kacung itu.
Siluman
Kecil memandang dengan sinar mata penuh selidik kepada Kang Swi. Dia harus
berhati-hati. Pemuda tampan ini tidak kalah anehnya dari pada si nenek penjual
sepatu rumput! Seorang pemuda yang sikapnya begitu baik kepadanya, yang tahu
segala!
“Hemmm,
Saudara Kang, bagaimana kau tahu bahwa nenek itu yang kumaksudkan?”
Kang Swi
tertawa. “Ha-ha, jangan kau memandang kepadaku seperti itu, Kawan! Aku menjadi
takut karenanya! Kau memandang kepadaku seolah-olah akulah si pencuri uangmu
itu! Tentu saja aku tahu. Begitu mudahnya! Jangan engkau memandang ringan
kepadaku. Lihat, engkau memakai sepatu rumput yang baru, dan kau tadi menyebut
nenek, maka setiap orang pun tentu akan dapat menduga nenek yang mana yang kau
maksudkan,” jawabnya dengan sikap tenang sekali.
Siluman
Kecil mengangguk-angguk. “Engkau sungguh cerdik.”
“Sama sekali
tidak. Hanya aku menggunakan otak dan engkau yang terlalu memandang ringan
kepadaku. Bukan hanya itu saja, aku pun dapat menduga siapa adanya engkau,
Sahabatku!”
“Eh?”
Siluman Kecil kembali menatap wajah tampan itu dengan tajam. “Siapa kiranya?”
“Aku berani
bertaruh seribu tael bahwa engkau adalah pendekar yang dijuluki orang Siluman
Kecil.”
Siluman
Kecil cepat menggerakkan kepalanya sehingga rambutnya yang putih itu sebagian
menutupi mukanya. Dia terkejut dan tercengang. Benar-benar pemuda ini aneh dan
cerdik bukan main. Dia harus berhati-hati!
“Bagaimana
kau tahu? Menggunakan otak pula ataukah hanya kira-kira saja?”
“Aku tidak
pernah mau bertindak ceroboh. Segalanya harus kupikirkan masak-masak baru aku
berani mengambil kesimpulan. Dengar alasanku, Sobat. Aku sudah sering mendengar
tentang Siluman Kecil, yang kabarnya masih muda akan tetapi rambutnya sudah
putih semua. Sekarang, aku bertemu dengan engkau. Engkau masih muda, rambutmu
seperti benang-benang perak, gerak-gerikmu penuh rahasia, dan Siauw-kai...
ehhh, Siauw-hong itu menyebutmu Taihiap. Siapa lagi kau kalau bukan Siluman
Kecil yang tersohor itu?”
“Saudara
Kang Swi, engkau memang cerdik sekali,” Siluman Kecil kembali memuji. “Aku
harus kembali dulu untuk mencari nenek itu.”
“Taihiap...
hemmm, setelah benar bahwa engkau adalah Siluman Kecil, aku harus menyebutmu
Taihiap! Taihiap, percuma saja kalau kau hendak mencari nenek itu.”
“Mengapa kau
berkata demikian?”
“Seorang
yang dapat mencuri uangmu tanpa kau ketahui, tentulah bukan orang yang
sembarangan, dan dia tentu tahu bahwa dia telah mencuri uang dari Taihiap, maka
setelah berhasil, apakah dia akan menanti di sana sampai Taihiap kembali ke
sana dan menghajarnya? Kurasa dia tidaklah begitu bodoh, Taihiap, dan sekarang
ini tentu dia sudah pergi jauh sekali, jauh dari kota An-yang. Mencari dia di
sana sama dengan membuang-buang waktu, sedangkan kita harus cepat tiba di
Ceng-couw karena besok ujian itu sudah dimulai!”
Siluman
Kecil terpaksa membenarkan pendapat ini, tetapi mendengar ucapan terakhir itu
dia berkata, “Aku tidak ingin mengikuti ujian itu.”
“Ahhh, tentu
saja tidak. Mana mungkin seorang pendekar sakti seperti Taihiap hendak
merendahkan dlri menjadi seorang pengawal? Akan tetapi, kurasa amat penting
bagi Taihiap untuk pergi secepatnya ke Ceng-couw jika Taihiap hendak
menyelidiki tentang lenyapnya uang Taihiap itu.”
“Ehhh?”
Siluman Kecil memandang heran dan tidak mengerti.
“Taihiap,
setiap orang yang memiliki kepandaian tentu akan tertarik oleh sayembara
memasuki ujian pengawal itu, dan kurasa nenek tuli itu pun tidak terkecuali.
Kurasa di Ceng-couw itulah satu-satunya tempat di mana Taihiap dapat
mengharapkan untuk bertemu kembali dengan dia.”
Siluman
Kecil mengangguk dan memandang kagum. “Kau benar, mari kita berangkat!”
Dan dia pun
membedal kuda putih itu dengan cepat. Kongcu tampan itu tertawa dan membedal si
Hitam untuk mengejar. Keduanya membalapkan dua ekor kuda itu sampai akhirnya
mereka terpaksa berhenti dan menanti dua orang pelayan yang berteriak-teriak
karena tertinggal jauh.
Ternyata
kemudian oleh Siluman Kecil betapa menyenangkan melakukan perjalanan dengan
Kang Swi, pemuda kaya yang royal itu. Mereka selalu makan di rumah makan besar
dan kongcu itu memesan masakan-masakan yang termahal dan terbaik, bersikap
royal sekali dan ternyata dia merupakan seorang dermawan besar. Setiap orang
pengemis yang meminta selalu diberi uang yang tidak tanggung-tanggung
banyaknya. Siauw-hong yang menjadi tukang kuda sampai mengacungkan jempolnya
saking girang dan kagum terhadap Kang Swi.
“Kang-kongcu
benar-benar seorang yang dermawan!” ia memuji. “Saya ikut menyatakan terima
kasih atas kebaikan Kongcu terhadap para pengemis itu.”
Akan tetapi
Kang Swi tersenyum dan tidak kelihatan bangga, malah menjawab, “Aku dapat
mencari uang dengan mudah sekali. Begini banyak uang untuk aku sendiri apa
gunanya? Lebih baik kubagi-bagi kepada mereka yang membutuhkan!”
Siluman
Kecil merasa makin kagum terhadap teman seperjalanan yang amat aneh ini. Memang
bocah itu manja dan agak sombong, pikirnya, tinggi hati dan penuh rahasia, akan
tetapi harus diakuinya bahwa Yang Swi memang berwatak dermawan.
Yang amat
kagum dan senang hatinya adalah Siauw-hong. Baru sekarang dia melihat dengan
mata kepala sendiri betapa di dunia ini banyak pula orang-orang yang berbaik
hati. Dalam beberapa hari saja dia sudah bertemu dengan tiga orang yang selain
gagah perkasa dan aneh, juga amat baik.
Pertama-tama
dia bertemu dengan laki-laki berlengan sebelah yang menjamu para pengemis cilik
dengan royal, kemudian ada Siluman Kecil yang telah tersohor sebagai seorang
pendekar budiman, dan kini pemuda yang sikapnya penuh lagak dan agung-agungan
ini ternyata lebih baik hati lagi.
Kota
Ceng-couw di Propinsi Ho-nan hari itu kelihatan ramai sekali, jauh lebih ramai
dari pada biasanya. Banyak orang luar kota membanjiri kota ini dan pagi-pagi
sekali sudah banyak orang berduyun-duyun memasuki halaman yang luas di depan
istana gubernur. Mereka semua ingin menonton ujian pemilihan calon pengawal dan
prajurit.
Gubernur
Ho-nan, yaitu Kui Cu Kam, tinggal di Lok-yang, yaitu kota yang menjadi ibu kota
Ho-nan, tetapi dia mempunyai istana di Ceng-couw dan di kota inilah pemilihan
prajurit itu diadakan. Seperti telah diketahui, Gubernur Ho-nan ini diam-diam
memiliki keinginan untuk menanam kekuasaannya di Ho-nan, lepas dari kedaulatan
kaisar.
Untuk
keperluan ini, selain bersekongkol dengan semua pihak yang anti kerajaan, juga
dia berusaha mengumpulkan orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi sebanyak
mungkin. Untuk keperluan itu pula maka dia lalu memerintahkan untuk mengadakan
sayembara pemilihan calon pengawal di Ceng-couw itu dan untuk urusan ini, dia
telah menugaskan kepada Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It, jagoannya yang terkenal
lihai itu, untuk membantu pembesar di Ceng-couw dalam mengawasi jalannya
sayembara atau ujian pemasukan pengawal itu.
Karena
banyaknya tamu dari luar kota, bukan hanya mereka yang ingin memasuki sayembara
akan tetapi juga mereka yang ingin menonton, maka kota Ceng-couw menjadi sibuk
sekali. Semua rumah penginapan, besar kecil, penuh dengan tamu, juga semua
warung makan penuh dengan tamu sehingga banyak penduduk kota Ceng-couw hari itu
benar-benar mengalami panen besar!
Karena
banyaknya orang-orang aneh, jagoan-jagoan kang-ouw, memasuki kota Ceng-couw di
hari itu, maka munculnya Siluman Kecil dan Kang Swi bersama dua orang pembantu
mereka, tidak begitu menyolok dan menarik perhatian banyak orang, meski pun dua
ekor kuda mereka, si Hitam dan si Putih, menimbulkan kekaguman banyak orang,
terutama mereka yang mengenal kuda baik.
Akan tetapi,
Kang Swi sejak tadi bersungut-sungut dan marah-marah karena semua rumah
penginapan telah penuh. Sukar bagi mereka untuk memperoleh kamar di rumah penginapan.
Akhirnya Kang Swi turun tangan sendiri, tidak mengandalkan dua orang pelayan
itu untuk menanyakan kamar di rumah penginapan. Dia mendatangi sebuah rumah
penginapan yang besar dan langsung dia menemui pemilik rumah penginapan itu.
“Saudara
Kang, bukankah tadi A-cun dan Siauw-hong sudah menanyakan dan di situ sudah
penuh pula?” Siluman Kecil menegur temannya itu ketika mereka turun dari atas
punggung kuda di depan sebuah rumah penginapan besar.
“Hemmm,
ingin kulihat sendiri apakah benar-benar sudah penuh semua, Taihiap.”
“Sssttttt,
harap Saudara Kang jangan menyebut aku Taihiap di tempat ramai ini, hal itu
hanya akan menarik perhatian orang saja,“ Siluman Kecil berkata.
Kang Swi
tersenyum, senyum pertama sejak dia merengut dan marah-marah karena belum
memperoleh kamar tadi. Matanya lalu berkedip-kedip menggoda, “Kenapa sih?
Bukankah Taihiap memang pendekar sakti yang terkenal itu?”
“Sudahlah,
aku tidak ingin dikenal orang.”
“Kalau
begitu, karena engkau lebih tua dari pada aku, aku akan menyebutmu Twako
(Kakak), akan tetapi siapa namamu?”
“Kau boleh
menyebutku Twako, dan aku...aku tidak punya nama.”
Kang Swi
tertawa lagi. “Engkau sungguh seorang manusia aneh penuh rahasia, Twako. Nah,
aku akan mencari kamar.” Dia lalu berjalan memasuki penginapan besar itu sambil
membawa kantung uangnya. Tak lama kemudian keluarlah dia dengan wajah berseri.
“Aku
berhasil mendapatkan sebuah kamar!” teriaknya.
“Ehh! Tadi
saya sendiri yang menanyakan dan para pengurus itu bilang kamar telah penuh semua!”
Siauw-hong berseru dengan penasaran.
“Tentu saja,
memang penuh semua,” kata Kang Swi.
“Ehh,
Kang-kongcu... kalau begitu...“ Siauw-hong berkata heran.
“Yang kusewa
adalah kamarnya. Kamar pemilik rumah penginapan itu sendiri. Dia mau mengalah
dan bersama isterinya dia rela tidur di gudang malam ini dan menyerahkan
kamarnya untukku.” Dia tertawa dan sikapnya penuh lagak kemenangan.
Diam-diam
Siluman Kecil dapat menduga. “Tentu dengan kekuasaan uang,” pikirnya. Entah
berapa puluh kali lipat dari harga biasa pemuda royal ini menyewa kamar itu.
“Akan tetapi
sayang, kamarnya hanya satu untukku sendiri, dan untuk kalian bertiga terpaksa
aku menyewakan sebuah kandang kosong karena memang sudah tidak ada kamar kosong
lagi. Maaf, Twako.”
“Hemmm...!”
Siluman Kecil menggumam. “Di kandang atau di mana pun tidak ada bedanya
bagiku.”
Pelayan
muncul dan empat ekor kuda itu digiring ke kandang, juga tiga orang laki-laki
itu. Kandang yang disulap menjadi kamar untuk mereka bertiga itu sudah dibersihkan
dan lantainya ditutupi rumput kering. Bau rumput kering dan tahi kuda kering
memang tidak begitu busuk, bahkan mempunyai kesedapan yang khas, akan tetapi
tetap saja hati Siluman Kecil merasa mendongkol juga.
Kurang ajar,
pikirnya. Sungguh sekali ini dia tidak dihargai orang sama sekali! Dia, yang di
mana-mana disambut orang dengan penuh penghormatan, kini tidur di kandang kuda,
sedangkan pemuda royal berpakaian mewah dan banyak uangnya itu tidur sendirian
di dalam kamar besar! Kalau dilanjutkan begini, pada suatu hari aku tentu akan
menampar kepala yang sombong itu, pikirnya. Dan hal itu amat tidak baik karena
pemuda itu, betapa pun juga telah bersikap baik kepadanya, tidak sayang
membelikan kuda untuk dia dan Siauw-hong dengan harga mahal.
“Aku harus
cepat-cepat pergi menghindarinya,” katanya dalam hati.
Dengan hati
mengkal Siluman Kecil meninggalkan A-cun dan Siauw-hong di dalam kandang kuda
itu dan dia keluar. Malam gelap, langit hitam pekat, akan tetapi banyak lampu
dipasang di sekitar penginapan itu. Siluman Kecil melangkah keluar dengan niat
hendak mencari warung untuk makan dan minum arak menghangatkan badan, karena
malam itu dingin sekali sehingga perutnya terasa amat lapar.
“Ahhh...“
Tiba-tiba dia mengeluh dalam hati dan merogoh semua saku bajunya untuk mencari
kalau-kalau ada sisa uang di dalam salah saku bajunya. Namun percuma dan dia
sudah menduganya. Semua sakunya kosong. Dia tidak mempunyai uang sepeser pun!
Mana mungkin membeli makanan dan minuman? Mencuri? Mudah saja baginya, akan tetapi
hal itu tidak sudi dia melakukannya. Minta? Hemmm, sedangkan seorang bocah
jembel seperti Siauw-hong saja tidak sudi mengemis, apa lagi dia!
“Twako! Kau
ada di sini?” Tiba-tiba terdengar teguran orang dan wajah Siluman Kecil
bersungut-sungut di dalam gelap. Pemuda congkak itu sudah berada disampingnya
sambil tersenyum-senyum, seolah-olah mengerti akan kesukarannya, yaitu ingin
makan minum akan tetapi tidak mempunyai uang! Dia hanya mengangguk, tidak ingat
bahwa di dalam kegelapan mungkin saja pemuda she Kang itu tidak dapat melihat
jawabannya tanpa kata itu.
“Twako, mari
kita mencari minuman!” Kang Swi berkata dengan nada suara gembira. Sebelum
Siluman Kecil sempat menjawab, tangannya sudah digandeng dan ditarik oleh
pemuda itu dan diajak memasuki sebuah warung arak yang berada di sebelah rumah
penginapan.
Muka Siluman
Kecil terasa panas. Untung bahwa waktu itu malam, maka penerangan lampu warung
yang kemerahan menyembunyikan perubahan mukanya yang menjadi merah. Bagaimana
dia dapat menolaknya biar pun hatinya merasa amat tidak enak? Pemuda ini boleh
jadi congkak dan agung-agungan, akan tetapi harus diakuinya amat ramah dan
akrab. Mereka memasuki warung itu dan memilih tempat duduk di sudut. Seperti
biasa, secara royal sekali Kang Swi menanyakan masakan-masakan istimewa dari
warung itu dan memesan macam-macam masakan dan arak yang paling baik!
Siluman
Kecil diam-diam menegur diri sendiri, mengapa setelah berhadapan dengan pemuda
ini, melihat sikapnya yang demikian ramah, semua ketidak-senangan hatinya lenyap
sama sekali! Malah dia mendapatkan dirinya makan minum dengan lahapnya, karena
selain perutnya lapar, juga hawa yang dingin dan masakan yang lezat membuat dia
menjadi seorang pelahap! Dan seperti biasa, yang diketahuinya semenjak dia
melakukan perjalanan dengan Kang Swi, pemuda tampan ini makan sedikit sekali.
“Kenapa
makanmu sedikit amat?” Dia pernah bertanya siang tadi.
“Habis,
kalau sebegitu saja sudah kenyang, perlu apa banyak-banyak?” jawab yang
ditanya.
“Pantas
tubuhmu kecil!”
Dan
sekarang, pemuda itu juga makan sedikit saja, biar pun hampir semua masakan
dicobanya. Akan tetapi pemuda itu minum arak dengan lagak seorang jagoan minum.
“Agaknya
engkau kuat minum arak, Kang-hiante,” berkata Siluman Kecil melihat wajah yang
gembira itu.
Kang Swi
tersenyum dan diam-diam Siluman Kecil harus mengakui bahwa pemuda ini memang
tampan sekali. Kalau tersenyum tampak deretan gigi yang putih bersih, kecil dan
rata. Mulutnya berbentuk indah. Seperti mulut wanita saja.
“Ah, kau
kira hanya engkau yang kuat minum, Twako? Mari kita bertanding minum arak, agar
diketahui siapa di antara kita yang lebih kuat.”
“Hmmm,
engkau bisa mabuk nanti,” Siluman Kecil menjawab sambil tersenyum melihat lagak
pemuda yang seperti anak-anak itu.
“Eh, ehh,
engkau memandang rendah. Nah, mari kita coba. Berapa banyak pun engkau minum,
akan kuimbangi, Twako!”
Siluman
Kecil telah dapat menduga bahwa pemuda tampan ini memang bukan orang
sembarangan, dan tentu memiliki kepandaian, akan tetapi karena sikapnya yang
baik dan ramah, tentu saja dia merasa tidak enak kalau harus menguji
kepandaiannya, biar pun dia ingin sekali tahu sampai di mana kelihaiannya. Maka
sekarang dia memperoleh kesempatan untuk menguji kekuatan minum pemuda itu dan
bagi seorang ahli silat tinggi hal ini sudah dapat dipakai ukuran akan kekuatan
tenaga dalam seseorang.
“Baiklah,
aku akan minum tiga cawan berturut-turut.” Siluman Kecil lalu minum tiga cawan
arak berturut-turut.
Sambil
tertawa dan dengan sikap memandang ringan, Kang Swi juga minum tiga cawan arak
dan cara dia minum memang menunjukkan dia seorang ahli, sekali teguk saja
setiap cawan lenyap memasuki perutnya yang kecil.
Siluman
Kecil tersenyum. “Kau memang ahli minum,” katanya dan sekarang dia minum
berturut-turut lima cawan arak! Lalu dia memandang kepada temannya itu yang
juga tersenyum dan tanpa berkata apa-apa pemuda tampan itu lalu dengan gerakan
tangan cepat sekali minum sampai tujuh cawan arak berturut-turut!
“Aku
melebihi dua cawan, Twako,” katanya sambil tersenyum lebar.
Siluman
Kecil terkejut juga. Gerakan tangan pemuda itu demikian cepatnya dan walau pun
sudah menghabiskan tiga dan tujuh cawan arak, akan tetapi sedikit pun jari-jari
tangannya tidak pernah kelihatan gemetar dan jari-jari tangan itu masih tetap
tenang ketika meletakkan kembali cawan kosong di atas meja. Padahal dia yang
baru minum delapan cawan sudah merasakan betapa hawa arak yang keras sudah naik
ke dalam kepalanya yang tentu saja dapat ditekannya keluar dengan tenaga
sinkang-nya. Dia memandang wajah yang tersenyum ramah itu. Tidak enak juga
kalau sampai Kang Swi diujinya terus sehingga menjadi mabuk, pikirnya. Sekarang
pun sudah jelas bahwa dugaannya tidak salah. Pemuda ini memiliki sinkang yang
cukup kuat. Biarlah dia minum lima cawan lagi.
“Kau memang
hebat,” katanya dan kini dia minum lagi lima cawan arak.
Akan tetapi
Kang Swi memegang guci araknya. “Mengapa bersikap sungkan, Twako? Kita
sama-sama kuat minum. Mari kita habiskan arak dari guci masing-masing.” Dan
pemuda tampan itu lalu mengangkat guci araknya, menempelkan bibir guci di
mulutnya yang dibuka, kepalanya ditengadahkan dan guci itu lalu dimiringkan,
araknya dituang dan seperti pancuran memasuki mulutnya yang ternganga sampai
habislah arak dari dalam guci itu. Ketika dia menaruh kembali guci kosong ke atas
meja, jari-jari tangannya masih tidak gemetar sama sekali sungguh pun mukanya
yang putih itu menjadi agak kemerahan dan kepalanya agak bergoyang-goyang!
Siluman
Kecil terkejut. Dia sudah menduga bahwa pemuda tampan itu memang memiliki
sinkang yang kuat, akan tetapi tidak disangkanya sedemikian kuatnya. Maka
gembiralah hatinya karena ternyata teman seperjalanannya ini adalah seorang
yang memiliki kepandaian tinggi. Dia pun lalu minum semua arak dari gucinya.
Setelah
kemasukan arak yang masing-masing tidak kurang dari tiga puluh cawan, Siluman
Kecil melihat betapa wajah yang kemerahan itu makin berseri dan sikap Kang Swi
makin gembira! Kiranya ada pula sedikit hawa arak mempengaruhi pemuda ini dan
diam-diam Siluman Kecil merasa girang karena bagaimana pun juga dialah yang
menang dalam pertandingan ini. Pemuda itu biar pun belum dapat dikatakan mabuk,
akan tetapi caranya bicara dan tersenyum sudah lebih ringan dan lebih gembira
dari biasa, tanda bahwa dia telah dipengaruhi hawa arak.
Mendadak
pemuda itu tertawa sambil memandang keluar. Siluman Kecil juga lantas memandang
dan ternyata yang ditertawakan oleh Kang Swi itu adalah seorang laki-laki yang
jalannya pincang. Orang ini mukanya penuh dengan kumis dan cambang bauk, amat
lebat hampir menyembunyikan semua mukanya sehingga sukar ditaksir berapa
usianya. Begitu masuk, orang ini lantas duduk di sudut bagian depan dan sama
sekali tidak mempedulikan para tamu lainnya yang mulai berdatangan untuk makan
malam. Kemudian, dengan gerak tangannya dia memanggil pelayan. Ketika pelayan
itu sudah berdiri di depannya, si pincang itu membuat gerakan-gerakan tangan
memesan nasi dan arak. Dari gerakannya dan dari suaranya yang hanya ah-ah-uh-uh
itu tahulah Siluman Kecil bahwa orang itu, selain pincang, juga gagu.
“Heh-heh-heh!”
Kang Swi tertawa-tawa melihat tingkah laku si gagu itu ketika memesan makanan
dan minuman, membuat gerakan seperti orang sedang makan dan minum.
Siluman
Kecil mengerutkan alisnya. Bocah ini terlalu lancang dan sembrono, pikirnya,
mentertawakan orang begitu saja, apa lagi cara tertawanya begitu
terpingkal-pingkal seolah-olah pemuda tampan itu melihat suatu hal yang luar
biasa lucunya. Padahal, apakah lucunya seorang gagu memesan makanan dan
minuman? Tentu saja harus menggunakan gerak tangan!
“Hemmm,
Hiante, jangan sembarangan mentertawakan orang!” tegurnya. “Apakah kau tidak
melihat langkahnya tadi biar pun terpincang-pincang? Dan lihat sinar matanya!
Hati-hatilah, jangan menghina orang, kurasa dia bukan orang sembarangan!”
“Ha-ha-ha!”
kembali Kang Swi tertawa dan masih terdengar terkekeh biar pun dia sudah
mendekap mulutnya. “Bagaimana tidak akan tertawa melihat yang selucu itu?
Hi-hik, Twako... apakah kau tidak tahu, heh-heh...“ Kang Swi kembali tertawa
dan menutupi mulutnya sambil memejamkan mata menahan kegeliannya.
Tangis dan
tawa biasanya amat menular. Melihat Kang Swi tertawa terpingkal-pingkal seperti
itu, biar pun dia sendiri masih belum mengerti apa yang ditertawakannya, tanpa
disadarinya Siluman Kecil juga tersenyum dan ikut gembira. “Apa sih yang lucu?”
dia bertanya, kini menjadi ingin sekali untuk mengetahuinya.
“Twako,
hi-hik-hik aku tidak mentertawakan pincangnya atau gagunya, akan tetapi...
heh-heh...“
“Ada apa
sih?”
“Mungkin
orang lain dapatlah dia kelabui, akan tetapi aku!” Kang Swi menepuk dada dengan
lagak sombong. “Di depan hidung seorang ahli seperti aku dia berani main gila,
ha-ha-ha! Kumisnya terlalu ke atas dan agak miring penempelannya, dan
cambangnya terlalu penuh di bagian pipi kiri. Ha-ha-ha, kalau tidak pandai
menyamar, permainan itu sungguh berbahaya!”
Pemuda ini
terus tertawa ha-ha-hi-hi dan Siluman Kecil maklum bahwa biar pun tidak sampai
mabuk, terlalu banyak arak itu membuat Kang Swi menjadi terlalu gembira
sehingga dia khawatir kalau-kalau sampai menimbulkan persoalan. Betapa pun
juga, dia kini memperhatikan orang itu dan setelah mendengar kata-kata Kang Swi
tadi, dia baru dapat melihat hal-hal yang hanya dapat diketahui oleh seorang
ahli itu. Dan agaknya, temannya ini benar! Mencurigakan sekali si pincang itu.
Mendengar orang tertawa, si pincang menengok, akan tetapi karena terhalang oleh
pilar dan pot bunga, dia tidak melihat Siluman Kecil dan Kang Swi.
Siluman
Kecil juga terpaksa ikut tertawa, lalu bertanya lirih, “Apakah kau mengenal
dia?”
Kang Swi
menggeleng kepala sambil tersenyum-senyum, pringas-pringis seperti orang
sinting. Melihat keadaan temannya ini, Siluman Kecil merasa khawatir
kalau-kalau ulahnya yang biasanya memang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan itu
kini ditambah oleh pengaruh arak akan menimbulkan keributan, maka dia lalu
bangkit dan mengajak kembali ke rumah penginapan.
Kang Swi
tidak membantah, dibayarnya harga makanan dengan royal, dan mengatakan bahwa
uang kembalinya agar dibagi-bagi di antara para pelayan, kemudian dia berjalan
bersama Siluman Kecil pergi meninggalkan warung, setelah sekali lagi tertawa ke
arah si pincang, sedangkan Siluman Kecil menyembunyikan mukanya di balik
rambutnya yang putih panjang.
Akan tetapi
ketika mereka tiba di depan rumah penginapan, terdengar teriakan tertahan,
“Siluman Kecil...!”
Siluman
Kecil dan Kang Swi terkejut dan cepat menoleh. Mereka masih sempat melihat dua
orang prajurit dengan mata terbelalak dan muka pucat melarikan diri
tergesa-gesa dari situ, menyelinap di antara orang banyak.
Siluman
Kecil menarik napas panjang dan berbisik, “Sungguh tidak enak sekali. Di sini
banyak orang mengenalku.”
Kang Swi
tersenyum. “Twako, agaknya di kota ini banyak terdapat orang-orang yang
ketakutan melihat wajahmu yang tampan dan gagah...“
“Hemmm,
tidak perlu mengejek!” Siluman Kecil menegur.
“Ahh, aku
salah bicara. Mereka takut mendengar namamu yang tersohor.”
“Sudahlah,
aku pun tidak mempunyai keperluan di sini. Malam ini aku akan pergi saja,” kata
Siluman Kecil.
“Eh-ehh,
apakah kau akan merelakan saja uangmu dibawa lari oleh nenek itu? Kurasa hanya
di tempat keramaian besok sajalah kita dapat menemukan nenek itu.”
“Bukankah
ujian sudah dimulai hari ini?”
“Tidak,
sudah kuselidiki. Hari ini hanya diadakan pemilihan di antara para pelamar,
pemilihan dari mereka yang berkepandaian tinggi untuk dipertandingkan besok,
untuk memperebutkan kedudukan pengawal pribadi gubernur yang hanya akan dipilih
tiga empat orang banyaknya. Selebihnya hanya akan diterima sebagai prajurit
pengawal kalau memenuhi syarat. Jadi besoklah orang-orang kang-ouw akan
bermunculan dan tentu kita akan dapat menemukan nenek itu.”
“Tetapi aku
banyak dikenal orang, hanya akan menimbulkan keributan saja.” Siluman Kecil
yang biasanya menyendiri itu merasa tidak enak kalau mengingat akan hal itu.
“Twako,
Jangan khawatir. Aku tadi mentertawakan penyamaran konyol si pincang itu bukan
karena sombong, tetapi karena aku benar-benar seorang ahli dalam mendandani
orang. Kalau Twako besok kudandani, agaknya orang tuamu sendiri tidak akan
dapat mengenalmu lagi, Twako. Dengan menyamar, Twako akan dapat menonton dengan
leluasa, juga akan dapat mencari nenek penjual rumput itu.”
Siluman
Kecil menghela napas. Dia merasa kalah bicara dengan pemuda lincah ini.
“Baiklah...,“ katanya.
“Dan maafkan
aku, Twako. Bukan sekali-kali maksudku untuk merendahkan Twako dengan
menyewakan kandang kuda, akan tetapi apa boleh buat, kamar telah habis dan
aku... sejak kecil aku tidak bisa tidur sekamar dengan orang lain. Ataukah
Twako yang memakai kamarku itu dan biar aku tidur di luar saja?”
“Ahhh,
tidak...! Jangan...! Pakailah kamar itu sendiri, aku sudah biasa tidur di alam
terbuka. Akan tetapi sungguh mengherankan. Mengapa sih kau tidak bisa tidur
berdua dengan orang lain dalam satu kamar?”
“Sudah sejak
kecil... aku tidak bisa tidur kalau ada orang lain dalam kamarku.“
Siluman
Kecil terseret oleh sikap dan keanehan temannya itu, maka dia lalu menggoda,
“Hemmm, kalau begitu bagaimana kelak kalau kau kawin?”
“Ihhh! Twako
sungguh ceriwis! Siapa yang mau kawin?” Setelah berkata demikian, Kang Swi
berkelebat pergi, memasuki rumah penginapan dengan gerakan cepat.
Siluman
Kecil tersenyum dan menggeleng-geleng kepala. Pemuda itu seperti anak kecil
saja. Siauw-hong agaknya lebih dewasa dari pada Kang Swi. Maka dia pun kemudian
memasuki kandang kuda dari pintu pekarangan samping dan ternyata A-cun dan
Siauw-hong sudah tidur. Siluman Kecil lalu duduk melakukan siulian dan ternyata
enak mengaso di atas tumpukan rumput kering itu dan mendapatkan hembusan angin
semilir yang lembut dan yang dapat memasuki kandang kuda…..
***************
Pada
keesokan harinya, keadaan di kota Ceng-couw menjadi makin ramai. Memang
keramaian sayembara itu terjadi pada hari ini, di mana para pelamar yang
mempunyai kepandaian tinggi akan memperebutkan kedudukan pengawal-pengawal
pribadi dari gubernur. Di antara ratusan orang pelamar, setelah diuji
ketangkasan dan tenaganya kemarin, hanya ada belasan orang saja yang
dicalonkan, dan tentu saja bagi mereka yang belum sempat diuji, kalau memiliki
kepandaian, diperkenankan juga mengikuti pertandingan adu kepandaian itu.
Pekarangan
yang merupakan alun-alun di depan istana gubernur sudah penuh dengan manusia
yang ke semuanya mengelilingi sebuah panggung yang tinggi dan luas, yang
sengaja dibangun untuk keperluan itu. Karena panggung itu tinggi, maka walau
pun mereka yang kebagian tempat agak jauh pun dapat melihat dengan jelas apa
yang terjadi di atas panggung. Dan di tempat duduk kehormatan yang berada di
depan istana, duduklah Gubernur Ho-nan sendiri, yaitu Gubernur Kui Cu Kam,
dikelilingi oleh para pengawalnya dengan ketat untuk menjaga keselamatan
gubernur ini.
Sedangkan
Cui-lo-mo Wan Lok It yang mengatur sayembara pemilihan pengawal itu, sejak
kemarin sudah sibuk dan kini dia kadang-kadang kelihatan di dekat panggung,
kadang-kadang tidak kelihatan karena si rambut merah dan pemabuk ini terkadang
mengadakan perondaan sendiri untuk menjamin kelancaran pemilihan itu, juga
harus menjaga keamanan gubernur yang kebetulan berkenan menyaksikan pula
pemilihan calon pengawal-pengawalnya itu.
Setelah
matahari naik tinggi dan Gubernur Kui Cu Kam telah duduk di tempatnya, bersama
dengan para pembesar-pembesar dan para pembantunya, tambur dan canang dipukul
bertalu-talu sebagai tanda bahwa sayembara akan dimulai. Seperti semut-semut
yang sibuk, orang-orang yang menonton bergerak mendekati panggung.
Kang Swi
yang sudah siap dengan dandanan ringkas dan dengan pedang di punggung, sejak
tadi telah siap dan kini dia mendatangi kandang kuda bersama seorang kakek
keriputan. Kakek tua ini bukan lain adalah Siluman Kecil yang telah ‘disulap’
menjadi kakek oleh tangan Kang Swi yang ternyata memang benar-benar pandai
sekali merias penyamaran itu, dan ternyata pemuda tampan ini sudah membawa
perlengkapan untuk merias dan membuat penyamaran-penyamaran. Ternyata bahwa dia
memang benar seorang ahli, maka tidak mengherankan kalau dia dapat mengetahui
penyamaran si pincang yang gagu itu dan mencela penyamarannya.
Siluman Kecil
menjadi kagum bukan main ketika dia melihat bayangan wajahnya sendiri yang
sudah berubah menjadi seorang kakek itu di dalam cermin. Dia memuji kelihaian
Kang Swi akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja.
“Sekarang
kau tidak khawatir akan dikenal orang lagi, Twako, dan dengan leluasa kau dapat
mencari nenek itu di antara penonton.”
A-cun,
pelayan atau kacung pengiring Kang Swi, lama memandang dengan bengong
terlongong kepada kakek tua yang datang bersama majikannya itu. Dia tidak
berani bertanya kepada majikannya siapa adanya kakek itu, hanya dia merasa
heran dari mana datangnya kakek itu yang memasuki kandang bersama majikannya.
“Ehh, A-cun,
di mana adanya Siauw-hong?” tanya pemuda tampan itu ketika dia tidak melihat si
pengemis muda di situ.
“Dia? Ahh,
sejak tadi dia sudah pergi, Kongcu. Katanya dia hendak nonton keramaian.”
“Hemmm,
kalau begitu engkau tinggallah di sini menjaga kuda-kuda kita, A-cun, kami
hendak pergi nonton keramaian juga,” kata Kang Swi yang segera mengajak Siluman
Kecil pergi. Kang Swi tidak lupa membawa pedangnya yang digantung di
punggungnya sehingga dia kelihatan gagah sebab pagi hari itu dia mengenakan
pakaian yang ringkas.
Setelah tiba
di depan istana gubernur, ternyata di situ telah berkumpul banyak orang dan di
atas panggung itu tengah terjadi pertandingan yang ramai, diikuti oleh
sorak-sorai para penonton yang sudah terdengar dari tempat jauh. Siluman Kecil
lalu memisahkan diri untuk mencari nenek pencuri uangnya dan mereka saling
berjanji akan berjumpa kembali nanti di rumah penginapan. Kang Swi sendiri
kemudian menyelinap di antara penonton untuk mendekati panggung.
Ternyata
pertandingan di atas panggung telah selesai. Seorang yang bertubuh gemuk pendek
dirobohkan oleh seorang pemuda tinggi kurus. Pemuda tinggi kurus ini memang
istimewa sekali. Dia bukan merupakan seorang di antara para calon yang kemarin
terpilih, melainkan seorang yang baru muncul di antara penonton. Akan tetapi
secara berturut-turut dia telah mengalahkan sepuluh orang calon terpilih dan
masing-masing dirobohkan dalam waktu belasan jurus saja!
Si gemuk
pendek yang terakhir itu pun dirobohkannya dalam waktu sepuluh jurus, maka
tentu saja kemenangan-kemenangannya disambut oleh sorak-sorai para penonton
yang merasa kagum terhadap pemuda tinggi kurus berpakaian sederhana itu.
Sekarang, atas perintah Ho-nan Ciu-lo-mo yang dapat menilai kepandaian orang,
pemuda kurus itu dipersilakan untuk beristirahat lebih dulu. Pemuda itu
mengangguk dan turun dari atas panggung, lenyap di antara para penonton.
Ketika Kang
Swi tiba di dekat panggung, pemuda tinggi kurus itu sudah turun sehingga pemuda
tampan dan royal ini tidak sempat melihat wajah pemuda yang sudah menang
sepuluh kali itu. Kini pengatur pertandingan, seorang perwira tinggi besar dan
tua, yaitu bukan lain adalah Su-ciangkun yang bernama Su Kiat, seorang di
antara pengawal Gubernur Ho-nan, setelah menyuruh mundur pemuda tinggi kurus,
lalu memanggil dengan suara nyaring nama seorang calon yang kemarin dipilih.
Muncullah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang bertubuh kecil,
yang muncul di panggung dengan muka agak pucat dan sikap yang sungkan dan jeri.
Memang hati
si kecil ini sudah jeri ketika menyaksikan betapa selain para calon, ternyata
di antara banyak penonton itu terdapat orang pandai seperti pemuda tinggi kurus
tadi. Oleh karena itu, belum juga bertanding, hatinya sudah merasa jeri dan dia
kehilangan kepercayaan kepada dirinya sendiri. Dengan sikap sungkan-sungkan dan
merendah dia lalu berdiri menanti di atas panggung, dengan kedua pundak ke muka
sehingga tubuhnya kelihatan makin kecil lagi.
Sebuah nama
dipanggil lagi dan muncullah orang kedua, juga seorang calon yang kemarin telah
dipilih, yang mukanya kuning pucat dan mulutnya selalu tersenyum masam. Setelah
diberi tanda oleh Perwira Su Kiat, mereka bergebrak dan bertanding. Akan
tetapi, belum sampal dua puluh jurus, si kecil menang dan orang bermuka kuning
pucat itu terlempar ke bawah panggung, disambut sorak-sorai penonton yang
merasa kagum bahwa laki-laki yang pemalu dan bertubuh kecil itu ternyata lihai
juga.
Berturut-turut
maju sampai lima orang calon, akan tetapi semuanya dikalahkan oleh si kecil
yang lihai dan yang kini mulai menemukan kembali kepercayaannya kepada diri
sendiri setelah berturut-turut memperoleh kemenangan. Habislah semua calon yang
terpilih kemarin.
“Kini
kesempatan dibuka kembali kepada para orang gagah yang hadir di antara penonton
dan yang belum sempat didaftar kemarin, untuk turut mengikuti sayembara
pertandingan dan dipersilakan naik ke atas panggung!” kata Perwira Su Kiat
dengan suaranya yang menggeledek.
“Biar saya
mencobanya!” Terdengar jawaban yang tidak kalah nyaringnya dan dari bawah
panggung melayanglah sesosok tubuh yang tinggi besar. Semua penonton tertegun
ketika melihat seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun,
tubuhnya tinggi besar seperti raksasa dan kepalanya gundul, bukan gundul karena
dicukur, melainkan memang gundul karena botak!
Dengan mulut
menyeringai lebar, raksasa gundul ini menghampiri si kecil, lalu berkata, “Anak
yang baik, lebih baik kau meloncat turun saja dengan tubuh utuh dan mengalah kepadaku.”
Biar pun
tadinya si kecil ini merasa jeri, tetapi kini setelah memperoleh kemenangan
berturut-turut selama lima kali, hatinya sudah menjadi besar dan tentu saja dia
marah sekali mendengar dirinya disebut ‘anak yang baik’ oleh raksasa itu.
Terdengar suara ketawa di antara para penonton mendengar ucapan itu dan si
kecil menjadi merah mukanya. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia lalu menyerang
dengan pukulan kedua tangannya. Gerakannya memang gesit bukan main dan
kemenangannya yang berturut turut tadi pun mengandalkan kegesitannya itulah.
“Buk! Buk!
Buk!”
Secara
bertubi-tubi dan cepat bukan main, dua tangan jagoan kecil itu telah melakukan
pukulan, dan anehnya si raksasa gundul itu menerima semua pukulan yang tepat
mengenai perut dan dadanya itu tanpa menangkis atau mengelak, seolah-olah semua
pukulan itu tidak dirasakannya sama sekali! Dan memang semua pukulan si kecil
itu seperti mengenai karet saja, membalik dan selagi si kecil terkejut setengah
mati, tiba-tiba raksasa itu tertawa, tangannya yang besar dengan lengan yang
panjang itu lantas saja menyambar.
“Plakkk!”
Sebuah
tamparan mengenai bawah telinga si kecil dan dia mengeluh kemudian roboh
pingsan! Tentu saja peristiwa mengejutkan ini disambut oleh sorak-sorai para
penonton. Si kecil tadi demikian lihainya, akan tetapi dengan sekali tamparan
saja dia roboh pingsan oleh raksasa gundul itu. Maka dapat dibayangkan betapa
lihainya si raksasa gundul ini! Dan tentu akan ramai sekali kalau raksasa
gundul yang kebal ini diadu dengan pemuda tinggi kurus yang telah menang
sepuluh kali tadi.
Agaknya
Perwira Su Kiat juga berpendapat demikian. Dia sudah mencari-cari dengan
pandang matanya ke arah menyelinapnya pemuda tinggi kurus tadi. Tetapi
tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan seorang pemuda tampan telah
melompat dengan gerakan indah dan ringan ke atas panggung, menghadapi si
raksasa gundul.
Pemuda
tampan ini tersenyum lebar dan memandang si raksasa dengan sinar mata berkilat.
Di punggung pemuda ini kelihatan tergantung sebatang pedang dan pakaian pemuda
ini biar pun ringkas namun amat perlente dan serba indah. Karena pemuda tampan
ini berperawakan kecil ramping, maka berhadapan dengan raksasa gundul nampak
perbedaan yang amat menyolok sekali. Yang satu kecil dan kelihatan halus lemah,
sedangkan yang kedua tinggi besar dan kelihatan kokoh kuat. Sungguh bukan merupakan
lawan yang seimbang!
“Ha-ha, anak
kecil mengapa ikut-ikutan dan ingin bertanding?”
“Lebih baik
pulang, nanti dicari ibumu!”
“Belajar
lagi sepuluh tahun baru datang ke sini!”
Teriakan-teriakan
penonton yang dilontarkan kepada pemuda yang kelihatan masih remaja dan tampan
itu disambut oleh pemuda itu dengah senyum simpul. Pemuda ini bukan lain adalah
Kang Swi, pemuda tampan royal yang datang bersama Siluman Kecil. Dengan sikap
tenang Kang Swi melangkah maju menghadapi si raksasa gundul.
“Heh, kau
anak kecil yang lebih pantas membaca kitab dari pada berada di sini!” Si gundul
berteriak.
“Benar,
turun saja!”
“Buat apa
mengantar nyawa sia-sia!”
“Mati konyol
nanti! Sayang ketampananmu!”
Kang Swi
tersenyum. Senang hatinya. Dia merasa yakin akan dapat mengalahkan raksasa
gundul ini, maka makin hebat orang mengkhawatirkan dirinya, makin baiklah
karena kemenangannya nanti akan terasa lebih nikmat. Dia menjura keempat
penjuru dengan lagak yang angkuh, sehingga Perwira Su Kiat yang juga memandang
rendah pemuda remaja ini lalu berseru, “Hayo kalian berdua cepat memulai!”
Raksasa
gundul itu kemudian melangkah maju. “Bocah sombong, biarlah kau boleh
memukulku, tanpa kulawan pun engkau akan kalah dan kedua tanganmu akan patah
patah dipakai memukul tubuhku.”
Banyak orang
tertawa menyambut ucapan raksasa ini.
“Benarkah?”
Kang Swi bertanya. “Hendak kucoba sampai di mana sih tebalnya kulitmu maka kau
berani berkata demikian. Nah, coba kau terimalah ini!” Tangan kiri Kang Swi
menyambar ke depan secara sembarangan.
“Syuuuttttt,
plakkkkk!”
“Aughhh...!”
Raksasa gundul itu jatuh berlutut dan kedua tangannya memegangi dada yang
terkena tamparan Kang Swi.
Tangan
pemuda halus itu rasanya seperti tusukan pedang tajam yang dapat menembus
kekebalannya, dadanya terasa nyeri bukan main, panas dan perih. Semua penonton
tadinya menyangka bahwa raksasa itu pura-pura saja untuk mempermainkan lawan,
akan tetapi ketika mereka melihat wajah itu berkerut-merut menahan nyeri,
kemudian muka raksasa itu menjadi merah dan matanya melotot marah, mereka
terkejut dan terheran-heran. Benarkah tamparan yang perlahan itu membuat si
raksasa yang kebal itu kesakitan?
Sikap
raksasa gundul itu menjawab keraguan mereka ketika si raksasa mengeluarkan
suara gerengan marah dan tiba-tiba tubuhnya yang tadi berlutut itu menerjang ke
depan. Gerakannya seperti seekor singa marah menerkam kambing, kedua lengan
yang panjang itu dikembangkan, jari-jari tangan membentuk cakar hendak
menerkam, matanya melotot dan mulutnya terbuka mengerikan!
Dengan
gerakan yang indah dan ringan sekali, Kang Swi sudah meloncat ke samping tepat
pada saat kedua tangan lawan sudah hampir dapat mencengkeramnya dan pada detik
itu juga, kaki kanannya menendang ke arah lutut dan tangannya dengan jari
terbuka menyambar ke arah lambung.
“Dukkk!
Plakkk!”
Tak dapat
dicegah lagi, tubuh tinggi besar itu terjelungkup ke depan dengan terpaksa, dan
hidungnya mencium lantai panggung sehingga ketika dia merangkak bangun,
hidungnya berdarah dan mulutnya menyeringai karena selain lututnya terasa nyeri,
juga lambungnya mendadak menjadi mulas! Akan tetapi, dia menjadi makin
penasaran dan marah, apa lagi ketika mendengar para penonton bersorak riuh
rendah.
Tadi, ketika
raksasa itu jatuh berlutut, para penonton masih belum yakin benar akan
kelihaian Kang Swi, akan tetapi robohnya raksasa itu untuk kedua kalinya,
kelihatan jelas oleh para penonton sehingga meledaklah pujian mereka terhadap
Kang Swi. Tidak mereka sangka bahwa pemuda tampan yang masih muda sekali itu
demikian hebatnya, dengan mudah saja dalam dua gebrakan telah merobohkan
raksasa itu dua kali!
“Arghhhhh...!”
Seperti suara seekor singa menggereng, raksasa gundul itu menyerang dan kini
serangannya itu merupakan serangan maut yang mengerikan karena dia bukan hanya
menggunakan kedua tangannya untuk mencengkeram dari kanan kiri, akan tetapi
juga mempergunakan kepalanya yang gundul botak itu untuk menyeruduk ke arah
dada Kang Swi!
“Hemmm...!”
Kang Swi berseru mengejek dan tiba-tiba ketika dia menjejakkan kakinya,
tubuhnya mencelat ke atas dengan gerakan cepat tak terduga sehingga serangan si
raksasa itu luput dan tubuhnya terhuyung ke depan. Kang Swi yang meloncat
tinggi ke atas itu kini sudah meluncur turun sambil membalikkan tubuh dan
kakinya menginjak tengkuk lawan sambil mengerahkan tenaganya.
“Hekkk!”
Tubuh tinggi besar itu terdorong ke bawah dan karena tadi dia menggunakan
tenaga untuk menyeruduk, maka begitu diinjak tengkuknya, tenaga serudukannya
bertambah dan kepalanya kini menyeruduk ke bawah dengan kekuatan dahsyat.
“Brakkkkk...!”
Kepala itu
menancap di lantai papan panggung, masuk sampai ke lehernya dan kedua kakinya
bergerak-gerak di atas panggung! Terdengar suara ketawa di sana-sini dari mulut
mereka yang suka akan tontonan yang menyeramkan, akan tetapi banyak pula yang
meringis dan merasa ngeri, mengira bahwa kepala botak itu pecah atau paling
tidak tentu akan robek-robek.
Kang Swi
mendekati, kakinya menendang.
“Bukkk!”
Tubuh itu
tercabut dan terlempar ke luar panggung, jatuh berdebuk di bawah panggung dalam
keadaan pingsan, dirubung banyak orang dan mereka ini terheran-heran karena
kepala botak itu sama sekali tidak terluka, sungguh pun orangnya pingsan. Maka
meledaklah sorak dan pujian yang dilontarkan orang kepada Kang Swi.
Diam-diam
Perwira Su Kiat terkejut sekali. Hari ini dia telah banyak sekali melihat orang
yang kepandaiannya jauh melampaui tingkatnya! Apa lagi perwira ini, bahkan
Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It sendiri yang merupakan jagoan kepercayaan Gubernur
Ho-nan terkejut melihat kepandaian Kang Swi. Pemuda tampan itu benar-benar
hebat, entah mana lebih lihai dibandingkan dengan pemuda tinggi kurus yang
telah menang sepuluh kali pertandingan tadi.
Maka
Ciu-lo-mo segera memberi isyarat kepada Su Kiat untuk memanggil pemuda tinggi
kurus tadi, dan dia sendiri lalu duduk dan minum arak dari gucinya dengan hati
penuh kegembiraan dan ketegangan hendak menyaksikan pertempuran yang tentu akan
amat menarik antara kedua orang pemuda itu. Sementara itu, Gubernur Kui Cu Kam
sendiri mengangguk-angguk dan memuji, dia merasa senang kalau mendapatkan
seorang pengawal yang lihai dan tampan seperti Kang Swi itu.
“Orang muda
tinggi kurus yang telah menang sepuluh kali tadi, kini dipersilakan naik ke
panggung!” Su Kiat berseru dengan suara lantang.
Dia harus
mengulang panggilannya sampai tiga kali, barulah kelihatan pemuda tinggi kurus
itu naik ke atas panggung. Sikapnya seperti orang yang amat ragu-ragu sehingga
mengherankan hati semua orang. Apakah pemuda tinggi kurus itu takut melawan
pemuda tampan yang telah mengalahkan si raksasa gundul itu?
Kang Swi
sendiri terkejut dan terheran-heran ketika dia memandang wajah pemuda itu
karena ternyata bahwa pemuda kurus itu bukan lain adalah tukang kudanya
sendiri! Siauw-hong! Dia memang sudah menduga bahwa tukang kudanya itu adalah
seorang pengemis muda yang memiliki kepandaian, akan tetapi sungguh sama sekali
tidak disangkanya bahwa Siauw-hong yang hanya kebetulan saja bertemu dengan Siluman
Kecil, kini ikut pula memasuki sayembara dan menurut ucapan perwira itu tadi
telah menang sepuluh kali!
“Harap Ji-wi
enghiong suka memperkenalkan kepada Taijin dan semua tamu yang terhormat!”
terdengar Perwira Su Kiat yang mendapatkan isyarat dari Ciu-lo-mo berseru dari
sudut panggung.
Siauw-hong
dan Kang Swi segera menghadap ke arah tempat kehormatan, menjura ke arah para
pembesar di situ dan terdengarlah Kang Swi berkata dengan suara lantang, “Hamba
bernama Kang Swi!”
Siauw-hong
juga menjura dan berkata, suaranya lirih, tidak selantang suara pemuda royal
itu, “Hamba bernama Siauw-hong!”
Su Kiat lalu
memberi isyarat dengan mengangkat tangannya. “Karena calon-calon lain sudah
habis, maka untuk menentukan siapa pemenangnya, harap ji-wi enghiong suka mulai
dengan pertandingan ini. Silakan!”
“Kongcu...“
Siauw-hong berkata sambil memandang kepada calon lawannya dengan sinar mata
penuh keraguan.
“Hemmm,
kiranya engkau, Siauw-hong?” Kang Swi berkata lirih.
“Benar,
Kongcu”.
Kang Swi
memandang kepada Siauw-hong dengan penuh perhatian dan diam-diam merasa
tertarik sekali. Wajah itu kini tidak kotor seperti biasa, melainkan bersih dan
pakaiannya, biar pun sederhana dan tidak mewah, namun rapi dan tiada
tambalannya seperti kemarin. Wajah itu tampan sekali, biar pun agak kurus.
Dipandang seperti itu, Siauw-hong merasa canggung dan malu.
“Harap
maafkan, Kongcu, sebenarnya... saya sudah tamat belajar maka saya berhak
menanggalkan pakaian pengemis itu. Saya… saya ingin mencari pengalaman, maka
saya memasuki sayembara ini, tidak saya sangka akan berhadapan dengan Kongcu
sebagai saingan.” Dia tersenyum, hanya sebentar saja senyumnya karena dia
segera memandang dengan wajah serius kembali.
Kang Swi
tertawa. “Bagus! Aku senang sekali kalau aku dapat menguji kepandaianmu,
Siauw-hong. Marilah!”
“Silakan
Kongcu mulai,” kata Siauw hong yang bersikap hormat dan merendah.
“Nah,
jagalah seranganku!”
Kang Swi
menerjang maju dengan cepat dan Siauw-hong juga sudah bergerak cepat sekali
mengelak dan balas menyerang. Gerakan pemuda pengemis ini mantap dan cepat,
dari lengannya menyambar hawa pukulan yang membuktikan bahwa dia telah memiliki
kekuatan sinkang yang cukup hebat. Kang Swi si pemuda tampan yang royal itu
terkejut bukan main karena baru terbuka matanya bahwa tukang kudanya itu, yang
dianggap sebelumnya hanya pernah belajar silat saja, ternyata merupakan seorang
ahli silat kelas tinggi! Apa lagi ketika Siaw-hong mainkan ilmu silat yang
penuh mengandung serangan-serangan totokan maut amat aneh dan cepat, dia sampai
terdesak mundur!
Akan tetapi,
pemuda hartawan she Kang ini mempunyai semacam watak yang buruk, yaitu dia
selalu terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri sehingga sedikit congkak dan
memandang remeh kepandaian orang lain. Kini, biar pun sudah jelas padanya bahwa
kepandaian Siauw-hong sama sekali tidak boleh dipandang ringan, namun dia
bersikap sebagai seorang yang tingkatnya lebih tinggi hendak menguji kepandaian
orang yang lebih rendah tingkatnya, maka dia sengaja main mundur dan hendak
‘menguras’ kepandaian orang!
Karena
kekurang hati-hatian yang timbul dari kecongkakan inilah, ketika dia menangkis
sambil mengelak, tanpa dapat dicegahnya lagi lengan dekat sikunya kena tertotok
dan hampir saja dia berteriak karena untuk beberapa detik lamanya, lengan yang
tertotok itu menjadi lumpuh!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment