Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 07
Biar pun
yang mereka tumpangi hanya sebuah rakit yang terbuat dari kayu dan bambu yang
diikat secara kasar dan tergesa-gesa, namun karena yang memegang dayung adalah
Kian Lee dan Liang Wi Nikouw, maka rakit itu dapat meluncur cepat, memasuki
sungai bersama dengan orang-orang lain yang berserabutan meloloskan diri dari
ancaman air yang membanjiri lembah. Banyak perahu dan rakit yang bermacam-macam
terapung di situ. Di depan rakit mereka meluncur perahu besar yang ditumpangi
oleh rombongan Boan-wangwe yang memang menggunakan perahu besar yang oleh anak
buahnya sudah dipersiapkan itu. Tentu saja dengan cara ‘membeli’ dari para anak
buah Kui-liong-pang. Dalam keadaan ribut-ribut itu pun pengaruh dan kekuasaan
uang masih nampak sehingga rombongan yang kaya raya ini masih mampu memperoleh
perahu yang terbesar dan terbaik dengan cara menyogok bagian pengurus
perahu-perahu dari Kui-liong-pang.
Tentu saja
para tamu yang tidak pernah melihat dan mengenal Cui Lan dan Hok-taijin, tidak
memperhatikan empat orang di atas rakit itu, yang mereka anggap juga tamu-tamu
yang sama-sama melarikan diri.
“Minggir...!”
Seruan yang keras sekali ini terdengar dari belakang rakit!
Suma Kian
Lee, Liang Wi Nikouw, Cui Lan dan Hok-taijin terkejut dan memandang sebatang
balok besar yang meluncur dengan cepatnya ke arah mereka dari belakang. Di atas
balok besar ini duduk Toat-beng Sin-to Can Kok Ma, si perampok tunggal yang
tinggi besar dan tangannya memegang sebatang golok besar yang menyeramkan oleh
karena golok ini di dekat punggungnya mempunyai sembilan buah lubang sedangkan
di gagang golok dipasangi tali panjang yang melibat-libat lengan kakek itu.
Melihat
betapa balok yang ditumpanginya itu hampir menabrak rakit di depannya, si Golok
Sakti ini cepat menggunakan kakinya mendorong rakit Kian Lee sehingga rakit itu
menjadi miring hampir terbalik! Cui Lan menjerit dan Hok-taijin cepat memeluk
gadis itu dan karena ini maka keduanya terguling-guling di atas permukaan
rakit! Mereka tentu terlempar ke air kalau saja Kian Lee tidak cepat-cepat
menggunakan tangan kanannya menepuk air sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang
Sin-kang yang sangat hebat. Air muncrat tinggi sekali dan rakit itu seperti
terdorong oleh tenaga raksasa, menjadi tegak kembali sehingga Hok-taijin dan
Cui Lan tidak jadi terlempar ke air karena mereka sudah berhasil berpegang pada
bambu rakit.
Akan tetapi,
air yang muncrat tadi mengenai beberapa orang anak buah Boan-wangwe yang
mendayung perahu besar di depan. Mereka berteriak-teriak kaget dan kesakitan
ketika air yang muncrat itu mengenai muka mereka karena terasa seperti
jarum-jarum menusuk dan panas sekali! Marahlah beberapa orang itu dan seorang
di antara mereka yang merupakan tukang pukul dari Boan-wangwe dan tentu saja
memiliki kepandaian yang lumayan, memaki dan meloncat ke arah rakit di sebelah.
Akan tetapi
pada saat itu nampak sinar hitam meluncur dan sinar seperti tali panjang itu
mengenai kaki orang yang meloncat, terus membelit kaki itu dan ketika benda
panjang hitam itu bergerak, tubuh orang itu terlempar kembali ke atas papan
perahu besar di mana dia bengong terlongong memandang gadis berpakaian hitam
yang berada di atas sebuah perahu kecil dan gadis itu menyimpan kembali ular
panjang yang melingkar di lengannya. Orang tadi terlalu kaget, terlalu ngeri
karena tahu bahwa dia tadi sudah dilemparkan kembali oleh gadis itu dengan
menggunakan ular panjang yang sangat mengerikan itu!
Sebelum
orang-orangnya Boan-wangwe dapat melampiaskan kemarahan mereka, rakit Kian Lee
sudah meluncur melewati perahu besar itu, dan ketika Kian Lee memandang, dia
melihat gadis berpakaian hitam yang dia ingat bukan lain adalah Hwee Li, sedang
tersenyum kepadanya. Kian Lee mengangguk untuk menyatakan terima kasihnya dan
mempercepat dayungnya sehingga rakit itu meluncur cepat meninggal perahu besar
di mana orang-orangnya Boan-wangwe masih memandang marah. Akan tetapi tetap
saja dia tidak dapat menyamai kecepatan perahu Hwee Li yang meluncur seperti
terbang di permukaan air sungai dan sebentar saja sudah lenyap jauh di depan.
Ketika Kian
Lee melihat bahwa perahu besar milik Boan-wangwe itu kini juga melaju pesat
dengan menambah barisan pendayung, dia cepat-cepat meminggirkan rakitnya sampai
jauh agar perahu besar itu lewat lebih dulu karena dia tidak ingin ribut-ribut
di situ, apa lagi tanpa sebab-sebab yang patut diributkan. Yang penting baginya
adalah menyelamatkan Cui Lan dan Hok-taijin dan kini mereka sudah berhasil
diselamatkan, maka dia tidak boleh mencari perkara lagi sebelum kedua orang ini
dapat dia antarkan sampai ke daerah Ho-pei.
Mereka
menumpang di atas rakit sejak semalam sampai pada keesokan harinya dan baru
setelah menjelang sore, Kian Lee menghentikan rakitnya di sebuah dusun nelayan
di tepi sungai. Mereka lalu mendarat dan mencari sebuah warung nasi untuk
mengisi perut karena mereka berempat sudah merasa lapar sekali.
Mereka
memasuki sebuah warung yang cukup besar, akan tetapi keadaan di warung itu
sunyi sekali, padahal dusun itu cukup ramai karena merupakan pasar ikan.
Setelah mengambil tempat duduk dan memesan makanan, dan tentu saja masakan
sayur tanpa daging untuk Liang Wi Nikouw, Kian Lee kemudian melepaskan pandang
matanya ke sekelilingnya dan baru dia melihat bahwa tempat itu baru saja
mengalami keributan. Masih banyak meja kursi yang patah-patah ditumpuk di
pinggir, juga mangkok piring yang pecah. Teman-temannya juga melihat ini dan
mereka menduga-duga apa yang telah terjadi di warung ini.
Ketika
pelayan datang mengantar makanan yang mereka pesan, Kian Lee bertanya, “Ehh,
Lopek, apakah yang sudah terjadi maka banyak meja kursi hancur dan mangkok
piring pecah-pecah?” Dia menuding ke arah tumpukan barang-barang rusak itu.
“Aihhh, kami
telah mengalami hari sial kemarin, Kongcu,” kata pelayan itu. “Tidak saja
barang-barang rusak, akan tetapi sejak peristiwa yang terjadi kemarin itu,
warung kami menjadi sepi karena tidak ada orang berani makan di sini. Baru
Kongcu berempat saja yang berani makan di sini dan itulah rejeki kami.”
“Ehh, apakah
yang terjadi?” Kian Lee makin tertarik.
“Kemarin
seperti biasa, orang-orang dari Boan-wangwe yang biasa mengumpulkan hasil ikan
di dusun ini, sebanyak sepuluh orang, makan di sini. Mereka itu memang orang
orang kasar, namun Boan-wangwe selalu membayar apa yang mereka makan, maka kami
pun melayani dengan senang hati. Mendadak masuk pula serombongan tentara yang
jumlahnya belasan orang. Tentu saja kami makin sibuk dan kekurangan tenaga, jadi
untuk melayani terlalu lama. Kedua rombongan itu berebut minta didahulukan dan
terjadilah pertempuran di sini antara mereka. Wah, bukan main ramainya sampai
meja kursi hancur dan mangkok piring beterbangan dan pecah-pecah. Akhirnya
pihak tentara itu mengundurkan diri dan pergi. Kami tentu akan mohon
kebijaksanaan Boan-wangwe untuk mengganti kerugian kami, akan tetapi ternyata
Boan-wangwe sedang pergi entah ke mana.”
Hok-taijin
tentu saja tertarik sekali mendengar adanya sepasukan tentara. Tentara siapakah
itu? Kalau tentara dari Gubernur Ho-nan, berarti dia masih dikejar-kejar dan
dicari-cari sampai di sini.
“Tahukah
engkau tentara dari propinsi mana mereka itu?” tanyanya kepada si pelayan.
“Mana saya
tahu? Tentu saja tentara pemerintah, entah dari propinsi mana.”
“Apakah
pihak tentara itu kalah?” Kian Lee bertanya lagi karena dia tahu bahwa orang
orang dari Boan-wangwe seperti mereka yang berada di atas perahu besar semalam,
adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.
“Sebetulnya
sih masih ramai, entah pihak mana yang menang atau kalah karena kami hanya
berani menonton sambil bersembunyi. Tentu akan terjadi hal-hal mengerikan dan
tentu akan banyak yang mati karena mereka mulai mengeluarkan senjata tajam
masing masing. Baiknya ketika mereka sudah mulai menggerakkan senjata, muncul
seorang pendekar yang melerai. Bukan main pendekar ini, tubuhnya terbang
seperti burung dan semua senjata itu dirampasnya! Sambil bergerak merampas
senjata dia berseru agar mereka menghentikan pertempuran. Dia hanya datang,
bergerak merampas senjata, lalu pergi lagi, menghilang begitu saja sehingga
kami tidak lagi dapat atau sempat melihat mukanya. Yang tampak hanya rambutnya
yang sudah putih semua, padahal dia masih muda dan...”
“Siluman
Kecil!” Cui Lan menjerit tanpa disadarinya dan dia lalu bangkit berdiri sampai
sepasang sumpitnya terjatuh ke atas lantai.
“Benar...!”
kata Liang Wi Nikouw sambil memandang Cui Lan.
Gadis ini
segera sadar kembali dan menjadi tersipu-sipu, cepat dia mengambil kembali
sepasang sumpitnya sambil membungkuk dan pada saat dia membersihkan sepasang
sumpit itu, mukanya menjadi merah sekali.
“Munculnya
pendekar itu menghentikan pertempuran dan para prajurit itu lalu pergi,
demikian pula orang-orangnya Boan-wangwe tidak berani melanjutkan pertempuran
setelah melihat betapa senjata-senjata mereka demikian mudahnya dirampas
pendekar itu. Sedangkan para prajurit itu menurut kabar bermalam di dusun ini
dan heiii…, itulah mereka! Mereka datang lagi ke sini...!” Pelayan itu cepat
pergi meninggalkan tamunya untuk masuk ke dalam dan melaporkan kepada
majikannya tentang kedatangan para prajurit yang kemarin itu.
Ia tidak
tahu bahwa empat orang tamunya itu pun terkejut sekali dan Kian Lee bersama
Liang Wi Nikouw sudah bersiap-siap untuk melawan kalau pasukan itu ternyata
anak buah Gubernur Ho-nan. Akan tetapi ketika rombongan itu sudah memasuki
warung dan dipimpin oleh seorang perwira yang sudah setengah tua, tiba-tiba
Hok-taijin berseru girang.
“Ciangkun,
ke sinilah!” teriaknya kepada perwira itu.
Perwira
setengah tua itu terkejut, lalu menoleh dan sejenak dia memandang kepada
Hok-taijin dengan melongo. Akan tetapi akhirnya dia pun mengenal gubernurnya
dan cepat dia maju berlutut sambil memberi hormat. “Ah, Taijin! Siapa kira
hamba dapat bertemu dengan Taijin di sini!” serunya dengan girang. Semua anak
buahnya ketika mengenal pula bahwa kakek berpakaian petani yang berdiri di
depan mereka itu bukan lain adalah Hok-taijin, segera berlutut pula memberi
hormat.
Perwira itu
dipersilakan duduk dan dia bercerita bahwa pasukannya mendapat perintah dari
atasannya untuk mencari-cari Gubernur Hok yang kabarnya lenyap saat mengiringi
Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar ke Propinsi Ho-nan.
“Semua
pasukan disebar, akan tetapi tidak juga berhasil,” perwira itu berkata. “Siapa
tahu, di tempat yang tak kami sangka-sangka sama sekali ini, hamba berjumpa
dengan Taijin.” Perwira itu berhenti sebentar untuk menenangkan jantungnya yang
berdebar penuh ketegangan setelah dia bertemu dengan gubernur yang
dicari-carinya dengan susah payah itu. “Marilah Taijin, hamba antar Taijin
kembali pulang. Apakah Taijin ingin naik kereta, ataukah kuda?”
“Cui Lan,
apakah engkau biasa menunggang kuda? Kalau tidak biasa, biar kita naik kereta
saja,” tanya Hok-taijin kepada Cui Lan.
Gadis itu
tadinya melamun, karena pikirannya masih tertarik oleh berita tentang Siluman
Kecil yang muncul di dusun ini. Betapa inginnya dia berjumpa dengan pendekar
yang amat dipujanya itu. Alangkah besar rasa rindu di hatinya ingin memandang
wajahnya, mendengar suaranya, merasakan sinar matanya yang aneh tapi lembut.
“Ehh...
saya... hemmm, saya pun biasa naik kuda...,“ jawabnya gagap.
“Bagaimana
pula kabarnya dengan Pangeran Yung Hwa, Ciangkun?” Suma Kian Lee bertanya.
Perwira itu
memandang kepada Hok-taijin dan pembesar ini mengangguk.
“Kau boleh
menceritakan apa pun juga kepada Suma-taihiap ini,” katanya. “Kalau tidak ada
dia dan nona ini dan juga nikouw ini, kiranya engkau hanya dapat menemukan
mayatku.”
Perwira itu
terkejut dan cepat memberi hormat kepada mereka bertiga, kemudian menjawab
kepada Kian Lee, “Kami tidak mendengar berita tentang Pangeran Yung Hwa. Tidak
ada kabar apa-apa dan kami tidak ada yang berani melapor ke kota raja sebelum
gubernur pulang.”
Kian Lee
kemudian berkata kepada gubernur itu, “Hok-taijin, kalau begitu sungguh
mengkhawatirkan sekali keadaan Pangeran Yung Hwa. Sekarang, Taijin telah
bertemu dengan pasukan Taijin, maka kiranya tidak perlu lagi saya mengantar
sampai ke ibu kota. Tentu daerah ini termasuk Propinsi Ho-pei dan Taijin telah
berada di daerah sendiri. Biarlah Taijin dan Nona Phang dikawal oleh pasukan,
sedangkan saya sendiri hendak menyelidiki keadaan Pangeran Yung Hwa...“
Pada saat
itu, Kian Lee memandang kepada Cui Lan dan kebetulan sekali gadis ini pun
memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu, bertaut sebentar dan Kian Lee
melihat dengan jelas betapa gadis itu merasa amat berat untuk berpisah, agaknya
tidak senang untuk ikut bersama pembesar itu ke istana gubernur. Mengapa? Dia
merasa heran sendiri. Betapa pun juga, dia merasa amat suka dan kagum kepada
gadis ini, dan tentu saja rasa suka ini membuat dia pun merasa tidak senang
untuk saling berpisah. Akan tetapi, tidak mungkin mereka akan terus berkumpul.
Tak mungkin! Dia tidak tahu bahwa memang Cui Lan sebetulnya ingin terus bersama
dengan dia untuk mencari Siluman Kecil.
“Benar, dan
pinni pun harus kembali,” kata Liang Wi Nikouw.
“Suthai...,“
Cui Lan berkata akan tetapi ditahannya.
Nikouw yang
sudah tua dan bijaksana ini dapat menangkap apa yang terkandung dalam hati
gadis itu, maka dengan tenang dia berkata, “Tentunya engkau ingin agar pinni
menyampaikan kepada dia bahwa engkau ikut bersama Hok-taijin ke Ho-pei, Nona?”
Kedua pipi
gadis itu menjadi merah dan matanya menjadi basah. Dia mengangguk dan
menggumam, “Terima kasih, Suthai... “
Suma Kian
Lee dan Liang Wi Nikouw lalu berpamit dan segera mereka berpisah dan
meninggalkan tempat itu, dlikuti pandang mata Hok-taijin dan Cui Lan.
“Suma-taihiap!”
Tiba-tiba kakek itu berseru memanggil.
Kian Lee
cepat membalik dan menghampiri kakek itu yang sudah bangkit. “Ada pesan apa
yang hendak disampaikan oleh Taijin?”
Hok-taijin
melangkah maju dan memegang tangan pemuda itu. “Suma-taihiap, betapa besar aku
hutang budi kepadamu! Betapa inginku untuk membalas segala kebaikanmu itu.
Sudikah engkau datang ke rumah kami dan menjadi tamuku yang terhormat agar kami
dapat menyatakan terima kasih kami kepadamu?”
Kian Lee
tersenyum. Dia tahu bahwa pembesar ini, adalah seorang tua yang baik budi.
“Baiklah, Taijin. Kelak, jika sudah tidak terlalu banyak urusan yang harus
kuselesaikan, saya pasti akan berkunjung kepada Taijin.”
Mereka pun
berpisah dan Hok-taijin lalu dikawal oleh para prajuritnya, bersama Cui Lan
pergi ke rumah penginapan untuk bermalam di situ semalam sambil membuat segala
persiapan. Pembesar yang bijaksana ini melihat bahwa jumlah prajurit pengawal
itu hanya dua puluh orang, maka dia mengambil keputusan untuk tetap menyamar sebagai
seorang petani.
Pada esok
harinya, Hok-taijin dan pengawalnya melanjutkan perjalanan. Rombongan ini
bergerak perlahan dan belum lama mereka meninggalkan kota, mereka mendengar
derap kaki banyak kuda lari dari arah belakang. Perwira pengawal memberi
aba-aba agar pasukannya berhenti dan menepi, membiarkan belasan orang berkuda
itu lewat.
Cui Lan
melihat bahwa belasan orang yang berpakaian sebagai pendekar itu tergesa gesa
lewat sehingga kuda mereka menimbulkan debu yang mengebul tinggi. Cui Lan memandang
kagum. Sudah banyak ia bertemu orang-orang gagah, pendekar-pendekar budiman.
Sudah banyak ia menerima pertolongan para pendekar, terutama sekali dari Kian
Lee yang dianggapnya seorang pemuda yang amat baiknya, paling baik di dunia ini
sesudah Siluman Kecil tentunya! Dan karena dia merasa betapa setiap langkah
kuda yang ditungganginya itu makin menjauhkan dia dari dusun di mana Siluman
Kecil pernah muncul, hatinya merasa sedih.
Tak lama
kemudian, kembali terdengar derap kaki kuda dari belakang. Ketika mereka
menoleh, kelihatan tiga ekor kuda membalap dari belakang. Perwira itu
menyerukan aba-aba agar semua kuda berhenti karena jalan itu sempit, agar tiga
orang yang datang membalapkan kuda itu dapat lewat lebih dulu. Mereka berhenti
dan memandang tiga orang penunggang kuda yang bertubuh tegap itu. Kuda terdepan
ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar yang memboncengkan seorang anak
laki-laki di depannya.
“Heiiiii...
Enci Lan...!!” Tiba-tiba anak itu berseru.
Tiga orang
penunggang kuda itu menoleh dan mereka pun melihat Cui Lan, lalu mereka menahan
kuda mereka.
“Ahhh,
kiranya engkau, Hong Bu...!” Cui Lan berseru girang sekali dan cepat dia turun
dari kudanya. Tiga orang laki-laki itu bukan lain adalah Sim Hoat, Sim Tek, dan
Sim Kun, tiga orang pemburu di tengah hutan yang pernah menolong Cui Lan, dan
anak itu adalah Sim Hong Bu, putera dari Sim Hoat.
“Sam-wi
Twako, kalian baik-baik saja?” Cui Lan menegur dan tiga orang itu menjura
kepada Cui Lan, juga kepada Hok-taijin yang mereka tahu adalah seorang sahabat
dari nona ini. Mereka menghormati Cui Lan yang mereka anggap sebagai sahabat
baik dari Siluman Kecil.
“Terima
kasih, Nona,” jawab Sim Kun, saudara termuda yang paling ramah dan pandai
bicara dibandingkan dengan dua orang kakaknya yang kasar dan kaku.
“Eh, kalian
hendak ke manakah? Kelihatan tergesa-gesa amat. Dan siapa pula mereka yang tadi
melewati kami? Ada belasan orang berkuda yang juga kelihatan tergesa-gesa
melewati kami menuju ke depan,” Cui Lan bertanya.
Mendengar
ini, Sim Hoat tertawa girang. “Ha-ha-ha, kiranya saudara-saudara kita pun sudah
berangkat!” katanya kepada dua orang adiknya yang juga kelihatan gembira.
“Sebetulnya
ada urusan apakah?” Cui Lan bertanya lagi, penuh perhatian tentu saja karena
orang-orang ini termasuk sahabat-sahabat dari Siluman Kecil dan dia justeru
mengharapkan berita dari Siluman Kecil!
Kini
Hok-taijin juga sudah turun dari kudanya dan ikut mendengarkan, sedangkan para
prajurit tetap menanti di atas kuda sambil berjaga-jaga karena mereka itu
betapa pun juga merasa curiga pada tiga orang yang kelihatannya kasar-kasar
seperti gerombolan perampok itu. Heran sekali mereka melihat gubernur mereka
dan gadis yang cantik itu dan yang diperkenalkan oleh sang gubernur sebagai
anak angkatnya kelihatan begitu bebas bergaul dengan segala macam orang kasar
seperti tiga orang penunggang kuda itu.
“Kami hendak
membantu penolong kami, Pendekar Siluman Kecil.”
“Ehhhhh...?”
Cui Lan berseri wajahnya dan dia maju selangkah. “Apa yang terjadi?” tanyanya
penuh gairah.
“Kami hanya
mengetahui urusan itu sebagai kabar angin saja, akan tetapi bagaimana pun juga,
kami ingin membantu beliau,” kata Sim Kun. “Entah benar entah tidak kabar angin
itu, kami pun tidak tahu.”
“Ceritakanlah,
kami ingin sekali mendengarnya, bukan Gihu?” Cui Lan menoleh kepada ayah
angkatnya dengan sinar mata penuh permohonan. Kakek itu mengangguk. Betapa pun
juga, ketika dikejar oleh tentara Ho-nan, dia dan Cui Lan telah ditolong oleh
para pemburu ini pun berkat nama Siluman Kecil, pikirnya.
“Menurut
kabar angin di antara kawan-kawan yang seperti semacam dongeng tentang diri
Siluman Kecil, kurang lebih lima tahun yang lalu, di dalam pengembaraannya
beliau bertemu dengan musuh yang amat sakti yang tinggal mengasingkan diri di
atas bukit di depan sana. Orang sakti itu tinggal bersama murid-muridnya dan
pelayan-pelayannya yang kesemuanya juga lihai-lihai sekali. Dan menurut dongeng
itu, kabarnya orang sakti ini adalah pewaris dari ilmu-ilmu pendekar sakti
Suling Emas ratusan tahun yang lalu. Entah apa sebabnya, lima tahun yang lalu
telah terjadi pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dan orang sakti itu,
dan kabarnya beliau terluka parah oleh suling sakti dari lawan itu dan hampir
saja beliau tewas. Akan tetapi beliau dapat diselamatkan dan diobati oleh
seorang pendeta wanita, dan biar pun dapat sembuh, namun luka-luka hebat itu
membuat rambut beliau menjadi putih semua! Nah, kabarnya beliau membuat
perjanjian dengan orang sakti itu untuk saling mengadu ilmu lagi lima tahun
kemudian dan hari ini adalah hari perjanjian itu. Kami yang berhutang budi
kepada Pendekar Siluman Kecil, tidak dapat berdiam diri saja dan kami semua beramai-ramai
pergi ke tempat itu untuk membantu beliau.”
Setelah
selesai bercerita, cerita yang seperti dongeng dan yang hanya mereka dengar
sepotong-sepotong itu, mendadak hati Cui Lan ingin sekali ikut bersama mereka
untuk menyaksikan pertandingan itu, atau sesungguhnya lebih tepat lagi kalau
dikatakan bahwa ia ingin pergi untuk menjumpai orang yang dipujanya itu. Akan
tetapi tentu saja dia tidak berani dan malu untuk menyatakan hal ini kepada
ayah angkatnya. Maka ketika tiga orang bersama anak laki-laki itu berpamitan
untuk melanjutkan perjalanan mereka, Cui Lan melangkah maju beberapa tindak
mengikuti mereka sampai ke tempat mereka menambatkan kuda mereka. Air matanya
membasahi bulu matanya ketika dia mendengar mereka berpamit lagi dan melompat
ke atas kuda mereka.
“Selamat
tinggal, Enci Cui Lan!” terdengar Hong Bu berteriak.
Cui Lan yang
tadinya menunduk untuk menyembunyikan air matanya, kini berdongak mendengar
seruan suara Hong Bu. Terkejutlah dia ketika pandang matanya bertemu dengan
pandang mata Sim Kun yang ternyata masih berada di situ dan memandangnya dengan
sinar mata aneh, lembut, hangat dan mesra! Cui Lan terkejut dan gugup, cepat
dia membalikkan tubuhnya dan dia mendengar Sim Kun berkata, “Selamat berpisah,
sampai jumpa kembali!” lalu terdengar derap kaki kuda dilarikan cepat ke depan.
Mereka
melanjutkan perjalanan dan Cui Lan kelihatan termenung. Melihat ini, Hok-taijin
bertanya, “Anakku, kenapa kau kelihatan diam? Apakah engkau masih terkesan oleh
cerita tadi?”
Memperoleh
kesempatan itu Cui Lan lalu berkata, “Benar sekali, Gihu. Gihu tentu tahu
mengapa orang-orang kasar itu sampai begitu setia, mereka semua telah berhutang
budi kepada Pendekar Siluman Kecil. Saya pun hutang nyawa kepadanya, bahkan
lebih dari itu, dan mendengar dia hendak bertanding melawan orang sakti, saya…
saya ingin sekali menonton, Gihu.”
Hok-taijin
mengerutkan alisnya. “Hemmm, berbahaya sekali, Cui Lan. Orang-orang yang tidak
mempunyai kepandaian silat seperti kita ini, apa gunanya bagi dia? Tidak dapat
membantu seperti para pemburu itu, bahkan kita dapat terancam bahaya maut.
Jangan kau khawatir, kalau kita sudah tiba di rumah, aku akan mengirim utusan
mengundang Pendekar Siluman Kecil dengan hormat agar sudi berkunjung ke rumah
kita.”
Terhibur
juga hati Cui Lan mendengar janji ini, sungguh pun hatinya masih ingin sekali
untuk pergi ke bukit itu. Akan tetapi, selain tidak berani memaksa, juga dia
merasa malu terhadap ayah angkatnya dan para prajurit, maka dia melanjutkan
perjalanan itu dengan diam saja dan termenung.
Lewat tengah
hari, udara panas sekali dan Hok-taijin mengajak mereka beristirahat di sebuah
lapangan terbuka dekat hutan di kaki bukit yang penuh dengan hutan-hutan besar.
Perwira itu lalu mengeluarkan perbekalan dan Hok-taijin dan Cui Lan lalu makan.
Lezat bukan main makan di tempat terbuka itu, sungguh pun yang dimakan hanya
roti kering dan daging panggang dibantu oleh air jernih. Setelah keduanya
selesai makan, Hok-taijin memberi kesempatan kepada para pengawalnya untuk
makan pula. Kakek ini duduk bersandar pohon dan segera terasa kantuk datang
menyerangnya ketika tubuh lelah dan perut kenyang itu dihembus angin sejuk.
Cui Lan
berjalan-jalan di sekitar tempat itu mencari kembang. Mendadak dia mendengar
suara orang bersenandung, suara yang amat merdu dan gembira. Ketika dia menuju
ke tempat itu, dia melihat seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian serba
hitam dan ringkas, pakaian yang ketat sehingga memperlihatkan bentuk tubuhnya
yang padat dan indah, sedang rebah terlentang di antara rumput-rumput hijau
sambil bersenandung.
Cui Lan
ingin segera pergi lagi karena dia tidak ingin mengganggu orang yang sedang
beristirahat dengan enaknya itu, akan tetapi tiba-tiba ada sinar hitam
menyambar di dekat kakinya. Ketika dia melihat ke bawah, hampir dia menjerit
karena ternyata bahwa sinar hitam itu adalah seekor ular yang hitam panjang dan
yang kini berada di depan kakinya dengan kepala yang terangkat dan
bergoyang-goyang seperti menari-nari, atau seperti memberi isyarat kepadanya
agar jangan pergi!
Cui Lan
memandang dengan muka pucat, akan tetapi memang pada dasarnya gadis ini seorang
yang tabah. Dia tidak jadi menjerit dan perlahan-lahan dia menggeser kakinya
untuk menjauhi.
“Hi-hik, si
Hek-coa (Ular Hitam) itu suka kepadamu dan dia ingin agar kau duduk di sini
bercakap-cakap dengan aku!”
Cui Lan
cepat menoleh dan dia melihat gadis berpakaian hitam tadi sudah duduk dan
tersenyum. Bukan main cantiknya! Baru sekarang dia dapat melihat betapa gadis
itu mempunyai kecantikan yang luar biasa, cantik jelita dan manis sekali, apa
lagi kini sedang tersenyum. Dia memandang kagum dan melihat gadis berpakaian
hitam dan ular yang kini melilit lengan gadis itu, teringatlah dia akan gadis
di dalam perahu yang telah melempar kembali orang dari perahu besar yang
meloncat ke rakit mereka.
“Kau...
bukankah kau gadis dalam perahu...“
Gadis itu
memang Hwee Li adanya. Dia mengangguk dan menepuk rumput di dekatnya. “Duduklah
di sini, enak, lunak seperti duduk di kasur saja. Jangan takut, ularku ini
tidak jahat. Aku melihat engkau bersama rombongan prajurit dan si orang tua,
akan tetapi mana pemuda yang bersamamu di perahu itu?”
“Ah, dia
telah pergi...“ Cui Lan menahan kata-katanya karena dia tidak hendak bercerita
tentang urusan Pangeran Yung Hwa kepada seorang asing. Lalu cepat disambungnya
dengan pertanyaan, “Engkau siapakah? Aneh sekali ada seorang gadis cantik
seperti engkau bermain-main dengan seekor ular seperti itu.”
“Seekor? Ada
dua! Lihat di atasmu!”
Cui Lan
mengangkat mukanya dan dia menahan jeritnya ketika melihat seekor ular yang
amat panjang, bergantung di cabang pohon dengan ekornya dan kini kepala ular
itu dekat sekali di atas kepalanya! Bahkan lidah yang merah itu hampir saja
menjilat-jilat dahinya!
Hwee Li
tertawa dan dengan gerakan tangan dia membuat ular itu menarik diri lagi ke
atas cabang dan ular yang di lengannya itu pun dia suruh pergi merayap naik ke
atas pohon, berkumpul dengan temannya.
“Namaku Kim
Hwee Li. Kau juga cantik manis, siapa namamu, Enci?”
“Namaku
Phang Cui Lan.” Cui Lan merasa suka kepada gadis itu dan duduk di atas rumput.
Memang enak sekali duduk di situ, rumputnya tebal dan lunak seperti kasur dan
tempat itu sejuk di bawah pohon besar. “Hwee Li nama yang indah sekali. Mengapa
kau berada di sini seorang diri saja, Hwee Li? Seorang gadis seperti engkau
seorang diri saja, sungguh aneh.”
“Apa
anehnya? Memang aku hanya sendiri saja di dunia ini, eh, tidak sendiri,
melainkan bertiga dengan sepasang ular hitamku itu. Aku ingin nonton keramaian di
bukit sana.”
Cui Lan
terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. “Apakah kau maksudkan...
keramaian... pertandingan antara Pendekar Siluman Kecil dengan orang sakti...?”
Kini Hwee Li
yang terkejut. “Apa? Kau tahu pula tentang itu? Kau kenal Siluman Kecil?”
Cui Lan
mengangguk. “Tentu saja aku mengenalnya,” dan pandang matanya sekarang
merenung, membayangkan pendekar itu.
“Benarkah?
Hebat! Namanya sudah tersohor di seluruh daerah ini, dan kau seorang gadis yang
lemah telah mengenalnya! Kau lebih aneh dari aku, Cui Lan! Kau seorang lemah
akan tetapi kenalanmu pemuda-pemuda hebat! Baru yang di perahu itu saja sudah
hebat, sekarang kau bilang kenal dengan Siluman Kecil! Kau benar-benar membuat
aku merasa iri.”
Terpaksa Cui
Lan tersenyum mendengar ini. Gadis ini sikapnya seperti telah menjadi
sahabatnya selama bertahun-tahun saja, demikian ramah dan akrab. Seketika
timbul rasa sayang di dalam hatinya. “Ahh, Hwee Li, seorang gadis seperti
engkau ini, yang cantik seperti Dewi Kwan Im, apa sih sukarnya kalau hendak
berkenalan dengan pemuda-pemuda yang paling hebat di dunia ini?”
“Benarkah?
Ehh, orang macam apa sih sebetulnya Siluman Kecil itu?”
“Orang macam
apa...?” Cui Lan menengadah dan memejamkan matanya. Terbayang wajah pemuda
pendekar itu dan dia menarik napas. “Orang yang hebat...! Seorang pendekar yang
masih amat muda, akan tetapi rambutnya telah putih semua, seperti benang-benang
perak halus mengkilap...“
“Hemmm, kau
makin menambah keinginanku untuk nonton pertandingan itu. Kabarnya malam ini
Siluman Kecil akan muncul dan melawan Sin-siauw Sengjin di puncak bukit itu.”
“Sin-siauw
Sengjin? Siapakah dia?”
“Seorang
tokoh yang maha sakti. Seorang yang terasing akan tetapi seluruh tokoh dunia
kang-ouw tidak ada yang berani mengganggunya, dan kabarnya dia hidup seperti
dewa. Hemmm, aku berani bertaruh potong leher...“
“Potong
leher?” Cui Lan terkejut.
“Nanti dulu,
belum habis. Leher ayam maksudku! Siluman Kecil sekali ini tentu akan jatuh
namanya. Mana mungkin dia bisa menang? Hi-hi-hik, kedua ekor ularku ini paling
suka minum darah, apa lagi kalau darah orang sakti seperti Siluman Kecil itu.
Hemmm, mereka tentu akan senang sekali.”
Pucat wajah
Cui Lan. “Apa... apa... maksudmu...?”
“Hi-hik,
pandang matamu begitu ketakutan dan ngeri seperti seekor kelinci. Ah, memang
matamu indah sekali, Cui Lan, seperti mata kelinci! Jangan khawatir, aku tidak
akan mencampuri urusan mereka, akan tetapi aku tahu bahwa pasti Siluman Kecil
akan tewas dan ular-ularku akan menikmati darahnya kalau dia sudah roboh.”
“Ihh...
kau... kau kejam sekali!” Cui Lan bangkit berdiri, sepasang matanya menyinarkan
api dan kedua pipinya merah, telunjuknya menuding ke arah muka Hwee Li. “Kau
sungguh kejam, dan aku... aku akan menggunakan batu menghancurkan kepala dua
ekor ular-ularmu kalau mereka berani melakukan hal itu!”
“Ehhh...?”
Hwee Li memandang dengan mata terbelalak. “Wahh...! Kau cinta padanya,
hi-hi-hik! Kau cinta padanya!”
Lemas lagi
rasa tubuh Cui Lan dan dia menjatuhkan diri di atas rumput. Dia kemudian
mengangguk. “Aku memang cinta padanya...“
“Kalau
begitu, mengapa tidak nonton bersama aku? Dengan adanya kekasihnya di sana, hal
itu akan membesarkan hatinya!”
“Aku bukan
kekasihnya, jangan bicara seperti itu, Hwee Li.”
“Ihhh?
Bagaimana sih kau ini? Baru saja kau mengaku cinta padanya dan kau tidak mau
kusebut kekasihnya?”
“Aku cinta
padanya, memang, dengan sepenuh jiwa ragaku. Akan tetapi apakah dia cinta
padaku... hemmm, hal itu aku... aku tidak tahu...“
“Hi-hik,
jangan khawatir. Laki-laki mana yang tidak akan membalas cinta seorang dara
seperti engkau? Dia pasti cinta padamu. Pasti! Mari kau ikut aku nonton ke
sana, Cui Lan.”
Cui Lan
menengok ke arah rombongan ayah angkatnya. Agaknya mereka sudah mulai berkemas
dan ayahnya sudah bangkit berdiri.
“Aku... aku
tidak bisa, di sana ada ayah angkatku... aku harus pergi bersama mereka.”
“Huh, betapa
tidak enaknya hidup seperti engkau ini. Hati ingin nonton ke gunung, akan
tetapi kenyataannya terpaksa harus pergi. Kau seperti burung dalam sangkar
saja. Dan kau gadis yang memiliki keberanian hebat sungguh pun kau lemah.”
“Aku ingin
sekali, akan tetapi mereka tentu melarang dan kita tidak bisa memaksa.”
“Siapa
bilang? Baru dua puluh orang prajurit macam itu, biar ditambah dua puluh lagi
masih belum cukup untuk melawan aku!”
“Ah, aku
tidak ingin kau bertempur dengan mereka. Orang tua itu adalah ayah angkatku
yang amat baik.”
“Kalau
begitu tidak perlu bertempur. Aku dapat melarikan engkau dari sini tanpa dapat
mereka kejar!”
“Benarkah?
Akan tetapi aku harus berpamit! Aku tidak boleh menyusahkan hati ayah
angkatku.”
“Nah,
berpamitlah!” Hwee Li lalu menggerakkan tangan dan dua ekor ularnya meluncur
turun ke arah kedua lengannya, terus melingkar di situ. Kemudian dia
mengiringkan Cui Lan berjalan menghampiri rombongan itu.
Melihat Cui
Lan datang bersama seorang dara cantik berpakaian hitam yang dikenalnya sebagai
gadis yang membantu mereka di atas sungai, Hok-taijin memandang kagum, akan
tetapi dia segera mengerutkan alisnya dan wajahnya berubah pucat ketika melihat
dua ekor ular melingkar di kedua lengan yang putih mulus itu.
“Gihu, ini
adalah Kim Hwee Li, seorang sahabat... dan dia... dia mengajak saya pergi
nonton adu kepandaian di bukit. Gihu, perkenankanlah, dan jangan khawatlr, saya
pasti akan menyusul Gihu... setelah selesai nonton...“
“Akan
tetapi, Cui Lan...!” Hok-taijin berkata penuh keraguan.
“Mari kita
pergi, Cui Lan!”
Tiba-tiba
Cui Lan merasa pinggangnya dibelit sesuatu dan tubuhnya terbang ke atas! Ketika
dia tidak melayang lagi, ternyata dia telah berada di atas cabang pohon,
dirangkul oleh lengan Hwee Li dan ayah angkatnya bersama para prajurit berada
jauh di bawah pohon besar itu!
“Pejamkan
mata, kita pergi sekarang,” bisik Hwee Li.
“Gihu,
maafkan, saya pergi dulu...!”
Cui Lan
berseru ke bawah dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah, jauh dari situ dan
selanjutnya dia seperti terbang di atas tanah bersama Hwee Li, pinggangnya
dipeluk oleh gadis yang luar biasa itu. Angin yang bertiup kencang membuat
kedua telinganya mendengar suara gemuruh dan Cui Lan merasa ngeri. Dia
mendengar suara ayahnya lapat-lapat memanggil namanya, lalu tidak mendengar
apa-apa lagi kecuali suara angin bertiup kencang dan pohon-pohon berlarian
cepat di kanan kirinya. Dia memejamkan matanya.
Tidak lama
kemudian dia mendengar suara Hwee Li, “Kita sudah jauh meninggalkan mereka.
Nah, mari kita mendaki bukit itu.”
Cui Lan
membuka mata. Kiranya mereka telah berada di kaki bukit, di antara banyak
pohon-pohon liar dan dia menengok ke sana-sini, namun sama sekali tidak melihat
lagi rombongan Gihu-nya, bahkan dia tidak mendengar suara mereka. Hanya suara
burung yang berbondong-bondong terbang datang untuk berlindung di dalam
pohon-pohon besar melewatkan malam, karena matahari telah condong ke barat.
Cui Lan
memandang Hwee Li. “Engkau sungguh seorang gadis yang hebat, Hwee Li. Kiranya
engkau juga seorang pendekar sakti.”
“Hi-hi-hik,
enak juga dipuji orang seperti engkau. Tahukah engkau, Cui Lan, ketika aku
memelukmu dan meraba tulang-tulangmu, aku mendapat kenyataan bahwa andai kata
engkau mempelajari ilmu silat, agaknya engkau malah dapat mencapai tingkat yang
lebih tinggi dari pada aku. Bakatmu baik dan nyalimu besar.”
Akan tetapi
tentu saja Cui Lan menganggap kata-kata Hwee Li itu sebagai kelakar saja dan
dia tidak ambil peduli. Mereka lalu melanjutkan perjalanan mendaki bukit itu.
Cui Lan terheran-heran melihat betapa tempat ini sangat sunyi. Bukankah tadi
terdapat banyak penungang kuda yang katanya juga menuju ke tempat ini? Akan
tetapi mengapa di situ sunyi saja, tak pernah mereka bertemu dengan seorang
manusia pun? Dengan hati-hati Hwee Li mengajaknya mendaki terus, berjalan di
antara rumpun ilalang yang tinggi-tinggi, ada yang setinggi manusia.
“Hati-hati,
Hwee Li...“ bisik Cui Lan.
Gadis ini
maklum betapa berbahayanya tempat seperti itu. Jika ada orang atau harimau
bersembunyi di dalam ilalang, tentu tidak kelihatan dan mereka itu dengan mudah
dapat menerkam mangsa yang lewat.
“Hi-hik-hik,
jangan khawatir, Cui Lan. Dua ekor ularku ini leblh tajam pendengarannya,
penciumannya dan pandang matanya dari pada seekor anjing.”
Baru saja
Hwee Li berkata demikian, salah seekor di antara dua ekor ular yang melilit di
kedua lengan dara itu meluncur ke samping, memasuki rumpun ilalang dengan
ekornya masih melilit lengan kiri Hwee Li. Tampak ilalang di sebelah itu
bergerak-gerak keras dan terdengar suara menguik. Tidak lama kemudian, kepala
ular itu sudah kembali dan moncongnya yang lebar telah menggigit seekor anak
babi yang telah tewas.
“Hi-hik-hik,
mengagetkan saja kau. Hayo lepas!” Hwee Li menggerakkan lengan kirinya dan ular
itu melepaskan bangkai babi itu, lalu melingkar lagi di lengan Hwee Li.
Cui Lan
bergidik ngeri. “Bagaimana kalau yang bersembunyi di situ tadi adalah seorang
manusia?” bisiknya.
“Ularku tahu
dengan nalurinya. Kalau manusia itu berniat busuk, tentu akan digigit dan
dibunuhnya. Sekali gigitan saja membuat racun yang mematikan membunuh orang
itu, akan tetapi kalau orang itu tidak mempunyai niat jahat, ular-ularku pun
tidak akan mau sembarangan membunuh orang tanpa perintahku.”
Hari telah
menjadi gelap ketika mereka tiba di puncak bukit. Akan tetapi bulan segera
muncul dari balik bukit di sebelah timur dan sinarnya cukup menerangi tempat
itu. Cui Lan dan Hwee Li duduk di atas batu dan memandang ke depan. Di puncak
itu, di antara batu-batu gunung yang besar-besar, berdiri sebuah bangunan kuno
yang kelihatan megah dan angker. Di sekeliling rumah itu sunyi saja, tidak
terdengar apa-apa dan bahkan tak ada sedikit pun lampu penerangan, seolah-olah
bangunan itu adalah sebuah rumah kuno yang kosong tidak dihuni orang.
“Agaknya
kosong...,“ Cui Lan berkata.
“Sssttttt...
mari kita mendekat dan setelah kita nanti bersembunyi, kau sama sekali tidak
boleh mengeluarkan suara, tidak boleh berisik,” Hwee Li berbisik.
Cui Lan
mengangguk, jantungnya berdebar tegang karena sikap Hwee Li yang begitu
berhati-hati mendatangkan ketegangan di dalam hatinya. Sikap gadis perkasa itu
seolah membayangkan bahwa mereka berada di tempat yang aneh dan berbahaya
sekali.
Mereka
merangkak dan setelah dekat dengan rumah besar itu, mereka bersembunyi di balik
batu besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat dengan jelas ke arah pintu
depan gedung kuno itu. Bulan makin naik tinggi dan sinarnya yang keemasan
membuat tempat itu indah sekali dan tentu sangat menyenangkan kalau saja
suasananya tidak begitu menyeramkan.
Malam makin
larut dan Cui Lan mulai menggigil kedinginan. “Cepat telan ini...,” Hwee Li
berbisik dan menyerahkan sebutir pil kuning.
Cui Lan
menelannya dan pil itu terasa manis dan harum. Tak lama kemudian tubuhnya
terasa hangat sekali, seakan-akan dia baru saja minum beberapa cawan arak. Dia
menyentuh tangan Hwee Li dengan rasa terima kasih dan dara berpakaian hitam itu
tersenyum. Giginya berkilat putih tertimpa sinar bulan.
Tiba-tiba
mereka menyelinap karena kaget melihat sinar-sinar lampu menyala di gedung itu.
Keadaan tetap sunyi dan lampu-lampu penerangan itu seolah-olah dinyalakan oleh
tangan setan. Tidak nampak seorang pun di sekitar gedung besar itu.
Dari jauh
sekali, dari arah depan rumah, terdengarlah suara orang, suara yang bening
halus, “Locianpwe, saya datang memenuhi perjanjian kita lima tahun yang lalu!”
Suara itu biar pun halus namun mengandung gema mengaung dan setelah suara itu
lenyap, gemanya masih terdengar, lalu sunyi sekali, sunyi yang mencekam dan
menegangkan hati.
Terdengar
suara orang berdehem di dalam gedung itu, kemudian terdengar suara seorang
laki-laki yang parau, “Silakan masuk!”
Cui Lan
terkejut dan terheran bukan main karena entah dari mana datangnya dan bagaimana
serta kapan, tahu-tahu di depan pintu gedung itu kini telah berdiri seorang
kakek membawa tongkat. Agaknya kakek inilah yang tadi mengeluarkan kata-kata
itu. Kakek ini berdiri seperti arca, tidak bergerak-gerak dan memandang ke
depan gedung, ke arah jalan kecil yang menuju ke bawah bukit. Tentu saja Cui
Lan dan Hwee Li juga memandang ke arah itu, menduga-duga dari mana akan
munculnya orang yang tadi mengeluarkan suara, yang mereka duga tentulah Siluman
Kecil adanya.
“Sssttttt...!”
Tiba-tiba Hwee Li menyentuh lengan Cui Lan dan menunjuk ke depan.
Cui Lan
membelalakkan matanya agar supaya dapat memandang lebih teliti. Dia hanya
melihat sebuah titik putih naik dari bawah, dan melihat sebuah titik putih itu
semakin membesar. Akhirnya nampaklah bayangan putih seorang manusia bergerak
dengan amat cepatnya, seakan-akan orang itu terbang di atas pucuk rumpun
ilalang! Kedua kakinya bergerak di antara pucuk ilalang yang bergoyang
perlahan. Cepat sekali dan tahu-tahu orang itu telah berdiri di depan gedung
dan menjura ke arah kakek yang memegang tongkat.
Hwee Li
mengerahkan kekuatan pandang matanya, dia memperhatikan orang yang namanya
begitu terkenal sebagai seorang pendekar penuh rahasia yang hanya dikenal
sebagai Siluman Kecil. Ternyata orangnya masih muda dan wajahnya sangat tampan,
rambutnya dibiarkan terurai dan melambai-lambai ditiup angin, rambut yang
berwarna putih dan yang mengkilap seperti perak tertimpa sinar keemasan dari
bulan purnama. Pakaiannya sederhana dan juga terbuat dari bahan putih semua!
Kakek
bertongkat itu sejenak memandang, seolah-olah hendak meneliti apakah benar ini
orang yang sedang ditunggu-tunggunya, kemudian dia balas menjura dan dengan
tangannya dia mempersilakan orang itu masuk. Pintu terbuka sendiri seperti
digerakkan oleh tangan yang tak nampak. Laki-laki berambut putih itu mengangguk
dan melangkah hendak memasuki pintu, tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan
dari depan gedung.
“Anakku...!”
Seorang
nikouw tua melompat ke luar dari balik sebuah batu besar dan biar pun jarak
antara batu dan depan gedung itu cukup jauh, namun dengan satu kali melompat
saja nikouw itu telah berada di situ! Diam-diam Hwee Li meleletkan lidahnya
tanda kaget dan kagum.
“lbu...!”
Siluman Kecil menoleh ke arah wanita itu.
Cui Lan dan
Hwee Li saling pandang dan sinar mata mereka bicara banyak. Mereka berdua
terheran-heran sekali melihat kenyataan bahwa si pendekar sakti yang berjuluk
Siluman Kecil itu adalah putera seorang nikouw tua!
“Ibu,
mengapa kau menyusulku?” tanya Siluman Kecil dengan suara halus dan penuh
hormat.
“Hemmm, aku
mana bisa tega membiarkan kau menemui sendiri musuhmu? Aku harus ikut, apa pun
yang akan terjadi!”
Siluman
Kecil membalik dan memandang kepada kakek pemegang tongkat, seperti hendak
bertanya apakah ibunya diperbolehkan ikut masuk. Kakek itu mengangguk dan
mempersilakan dengan tangan. Ibu dan anak itu lalu melangkah memasuki pintu,
diikuti oleh kakek bertongkat dan daun pintu pun tertutup sendiri tanpa ada yang
menutupkan.
“Diakah...?”
Hwee Li berbisik.
Cui Lan
mengangguk, dadanya bergelombang, air matanya berlinang.
Sementara
itu, orang muda berambut putih dan nikouw tua yang masuk bersama kakek
bertongkat, tiba di ruangan dalam dan di situ nampak duduk seorang kakek tua
renta yang rambut, jenggot, kumis dan alisnya telah putih semua. Kakek ini
bertubuh tinggi besar dan biar pun mukanya sudah nampak tua, namun sepasang
matanya tetap bercahaya penuh semangat dan mulutnya tersenyum lembut. Di kanan
kirinya nampak beberapa orang laki-laki yang duduk dan ada pula yang berdiri.
Mereka itu adalah murid-muridnya dan kakek bertongkat itu adalah murid pertama.
Kakek bertongkat ini menjatuhkan diri berlutut.
“Suhu, dia
datang memenuhi janji!” katanya.
Siluman
Kecil juga menjura dengan hormat sedangkan nikouw tua itu merangkap kedua
tangan di depan dada tanpa bergerak atau bicara. “Dengan perkenan Locianpwe,
saya kembali hendak memperlihatkan kebodohan saya,” katanya dengan sikap
merendah.
Kakek itu
tersenyum, akan tetapi alisnya yang putih itu berkerut. “Orang muda, kami telah
mendengar bahwa selama lima tahun ini engkau telah memperoleh kemajuan pesat
sekali, bahkan telah berbuat banyak sehingga memperoleh julukan Siluman Kecil.
Kami merasa girang bahwa kami masih hidup saat ini sehingga dapat rnengagumi
kemajuanmu. Akan tetapi sayang, engkau yang dahulu berjanji akan datang sendiri
kini ternyata membawa kawan-kawan yang banyak sekali jumlahnya. Apakah maksudmu
dengan perbuatan itu?”
Siluman
Kecil mengangkat muka memandang hingga mata mereka saling bertemu dan beradu
pandang. “Locianpwe, menyalahi janji dan membawa kawan-kawan merupakan
pantangan besar bagi saya. Apakah Locianpwe menganggap bahwa Ibu saya yang
menyusul ini merupakan pelanggaran?”
Kakek itu
menggerakkan tangan seperti mencela. “Ahhh, kalau muncul dengan terang terangan
masih tidak apa. Akan tetapi apa artinya banyak kawanmu yang bersembunyi di
sekitar tempat ini?”
“Ohhh...!
Maksud Locianpwe mereka yang bersembunyi di sekitar luar gedung ini? Ahh, sungguh
saya tidak mengerti. Malah saya kira bahwa mereka itu adalah murid-murid
Locianpwe yang sengaja menyambut dan mengawasi saya!”
“Hemmm,
sungguh aneh. Mari kita suruh mereka keluar.” Kakek itu turun dari kursinya,
kemudian bersama dengan Siluman Kecil dan nikouw tua itu mereka semua keluar,
diiringkan oleh murid-murid kakek itu yang dipimpin oleh kakek pemegang
tongkat.
Kini mereka
berdiri di luar gedung, di halaman yang luas. Hwee Li dan Cui Lan masih
sembunyi dan memandang dengan mata terbelalak. Girang hati Hwee Li melihat
mereka keluar karena dia khawatir kalau pertandingan dilakukan di dalam gedung,
berarti dia tidak dapat nonton! Dan kini, mereka berada di halaman sehingga dia
akan dapat nonton dengan enaknya karena tempat sembunyinya itu tidak berapa
jauh.
Akan tetapi,
dia merasa heran karena dua orang yang kabarnya akan bertanding itu tidak
berdiri berhadapan, melainkan berjajar dan keduanya menghadap ke luar gedung,
menoleh ke kanan kiri. Kemudian terdengar suara Siluman Kecil yang bening dan
halus nyaring, “Cu-wi sekalian yang bersembunyi di luar gedung, harap suka
memperlihatkan diri!”
Mendengar
suara Siluman Kecil ini, maka berloncatan keluarlah para pemburu dan beberapa
orang lain yang memang diam-diam datang mengunjungi tempat itu dengan niat
untuk membantu Siluman Kecil yang kabarnya akan bertanding melawan musuhnya
yang amat sakti. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang yang muncul
dari berbagai tempat persembunyian mereka!
Melihat
bahwa mereka adalah teman-temannya yang pernah ditolongnya, diam-diam Siluman
Kecil menjadi terkejut sekali dan segera dia menegur, “Mau apa kalian berada di
sini? Siapa yang menyuruh kalian datang ke sini?”
Semua orang
itu menjura dengan hormat ke arah Siluman Kecil dan seorang di antara mereka
lalu menjawab, “Kami mendengar bahwa Taihiap hendak bertanding dengan seorang
lawan yang tangguh, maka kami sengaja datang hendak membantu.”
Mendengar
jawaban yang terus terang ini, Sin-siauw Sengjin (Kakek Suling Sakti) jadi
tersenyum lebar.
“Aku tidak
menghendaki bantuan dari siapa pun!” Siluman Kecil berseru dengan muka merah
karena merasa malu kepada pihak tuan rumah. Akan tetapi Sin-siauw Sengjin
menggerakkan tangan dan berkata halus.
“Cu-wi telah
terlanjur datang, boleh saja menyaksikan pertandingan.” Kemudian kakek ini
memandang ke kanan kiri dan berkata lagi, suaranya halus akan tetapi menembus
sampai jauh seperti hembusan angin, “Cu-wi sekalian yang masih bersembunyi,
silakan keluar saja!”
Kini
bermunculanlah dua puluh lebih orang yang tidak dikenal oleh Siluman Kecil.
Pendekar ini merasa heran dan kagum bahwa Kakek Suling Sakti ini ternyata telah
mengetahui akan semua orang yang bersembunyi itu. Dan lebih-lebih heran hatinya
ketika mendengar kakek itu berkata sambil memandang kepada dua orang kakek yang
berdiri dengan penuh wibawa, “Hemmm, kiranya saudara-saudara ketua yang
terhormat dari Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai juga hadir!”
Semua orang
menjadi terkejut, termasuk Hwee Li dan juga murid-murid kakek itu sendiri
ketika mendengar si Suling Sakti menyebut dua nama perkumpulan yang besar dan
amat terkenal itu. Juga Siluman Kecil cepat memandang kepada dua orang tua itu,
diam-diam merasa heran juga mengapa ketua-ketua perkumpulan silat yang besar
itu datang pula di tempat itu.
Ketua
Bu-tong-pai dan ketua Kun-lun-pai menjura ke arah Sin-siauw Sengjin, kemudian
ketua Kun-lun-pai mengelus jenggotnya dan berkata, “Harap Sengjin maafkan atas
kehadiran kami tanpa diundang. Sesungguhnya, tadinya kami hanya ingin
menyaksikan ilmu asli dari Pendekar Suling Emas yang terkenal di seluruh kolong
langit ratusan tahun yang lalu, yang menjadi dongeng di dunia persilatan. Akan
tetapi Sengjin telah melihat kehadiran kami, harap maafkan kelancangan kami.”
Mendengar
ucapan ini, kakek pemegang tongkat yang menjadi murid pertama dari Sin-siauw
Sengjin, memandang kepada gurunya dan dari pandang mata gurunya dia mendapat
perkenan. Maka majulah dia dan dengan suara halus akan tetapi bernada menantang
dia pun berkata, “Apakah Cu-wi sekalian ingin menguji ilmu-ilmu itu? Kalau
benar demikian, silakan maju, tidak perlu Suhu yang turun tangan, cukup dengan
saya yang akan memperlihatkan kepada Cu-wi.”
Dua orang
ketua itu adalah orang-orang besar yang memimpin partai persilatan besar, tentu
saja mereka memiliki kedudukan tinggi dalam dunia persilatan. Mereka tentu
tidak sudi mencuri lihat ilmu orang lain. Hanya karena mendengar bahwa
Sin-siauw Sengjin sebagai pewaris ilmu-ilmu Suling Emas hendak bertanding,
mereka tak dapat menahan keinginan tahu mereka untuk menonton, biar dengan
sembunyi-sembunyi.
Akan tetapi,
kini setelah menerima tantangan, berarti mereka memperoleh kesempatan untuk
melihat dan sekaligus menguji sendiri ilmu-ilmu itu, tentu saja mereka
menyambut dengan gembira. Ketua Butong-pai lalu memberi isyarat kepada
sute-nya, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bermuka kuning. Tosu ini
adalah orang kedua dari Bu-tong-pai, tokoh kedua setelah sang ketua sendiri.
Namanya Kim Thian Cu dan sebagai tokoh kedua, tentu saja dia memiliki
kepandaian yang tinggi.
Dengan
langkah tenang, Kim Thian Cu menggerakkan kedua lengan jubah pendetanya yang
lebar dan tersenyum menghadapi kakek pemegang tongkat itu, lalu dia menjura.
“Silakan!”
Kakek itu
juga memandang dengan sinar mata penuh selidik, sikapnya tenang halus seperti
gurunya. Dia bertanya, “Kalau boleh saya bertanya, siapakah julukan Totiang?”
“Pinto Kim
Thian Cu, tosu yang bodoh dari Bu-tong-pai,” kata tosu itu sambil menjura.
Kakek itu
lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian melangkah maju pula dan
menjura. “Kim Thian Cu totiang, sebagai pihak tuan rumah, saya hanya melayani.
Silakan Totiang yang memulai, dan sebelumnya ketahuilah bahwa saya yang rendah
pengetahuan akan mempergunakan ilmu tangan kosong dari Suhu.”
Sebagai
seorang tokoh Bu-tong-pai, Kim Thian Cu tentu saja telah memiliki pengalaman
mendalam dan sekali pandang saja dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan lawan
tangguh, maka dia tidak bersikap sungkan lagi. “Pinto mulai, sambutlah!”
Dan begitu
dia bergerak, Kim Thian Cu sudah mengeluarkan ilmu silat simpanan dari
Bu-tong-pai yang hanya dikeluarkan kalau menghadapi lawan yang amat tangguh
saja. Kedua tangannya membentuk cakar garuda dan ketika digerakkan,
terdengarlah angin bersiutan dan sepuluh jari tangannya itu berubah menjadi
keras seperti baja! Itulah ilmu Kiauw-ta Sin-na yang amat lihai dari
Butong-pai, yang ke semuanya ada seratus dua puluh jurus.
Biar pun dia
sendiri sudah menduduki jabatan wakil ketua atau tokoh kedua, Kim Thian Cu
sendiri hanya mengenal delapan puluh jurus saja dari ilmu kuno ini! Dan begitu
menyerang, ia telah mengeluarkan salah satu jurus yang paling ampuh, dengan
tangan kiri mencengkeram ke ubun-ubun kepala sedangkan tangan kanan yang
tadinya seperti cakar, ketika ditusukkan ke arah pusar lawan berubah menjadi
lurus seperti pedang! Serangan ini hebatnya bukan kepalang, yang mencengkeram
ubun-ubun seperti badai dahsyatnya, yang menusuk pusar seperti kilat menyambar.
“Bagus...!”
Kakek yang tinggi kurus itu berseru dan cepat tubuhnya yang bergerak, dua
tangannya menangkis kedua serangan itu.
“Dukkk!...
Dukkkkk!”
Dua pasang
lengan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang, akan tetapi kalau murid
Sin-siauw Sengjin itu hanya terhuyung dua langkah, Kim Thian Cu terhuyung
sampai lima langkah! Hal ini saja membuktikan bahwa tenaga wakil ketua
Bu-tong-pai itu kalah kuat.
Kim Thian Cu
menjadi penasaran. Dia tahu bahwa dalam hal tenaga sinkang dia kalah kuat, maka
dia mengandalkan ginkang-nya dan ilmu Silat Kiauw-ta Sin-na dan mulailah dia
menerjang dengan cepat dan kuatnya. Kakek tinggi kurus itu lalu mengeluarkan
seruan keras, menyambut serangan wakil ketua Bu-tong-pai dengan ilmu silat
tangan yang gerakannya aneh sekali akan tetapi dahsyat seperti badai laut
mengamuk! Tubuh kakek tinggi kurus itu berputaran dan kedua lengannya seperti
berubah menjadi belasan buah sehingga hujan serangan dari Kim Thian Cu dapat
ditangkisnya semua, bahkan dia membalas dengan serangan yang tidak kalah
hebatnya!
Giok Thian
Cu mengerutkan alisnya, maklum bahwa sute-nya tak akan mampu menang. Sayang
bahwa sute-nya belum menguasai jurus-jurus yang paling rumit dari Kiauw-ta
Sin-na sehingga menghadapi lawan yang demikian tangguh menjadi amat sukar untuk
mendesaknya. Tetapi tentu saja dia tidak mau mencampuri, hanya memandang dengan
penuh perhatian untuk mempelajari gerakan lawan yang menggunakan semacam ilmu
silat tangan kosong yang aneh. Gerakan tangan kakek tinggi kurus itu
kadang-kadang seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan tangan yang lebar itu
dikebut-kebutkan sedemikian cepatnya sehingga memang menyerupai kipas saja!
Akan tetapi, setiap gerakan tangan itu selain mendatangkan angin seperti kipas,
juga mengandung tenaga yang amat kuat menyambar lawan!
Tepat
seperti dugaan ketua Bu-tong-pai ini, belum sampai tiga puluh jurus, Kim Thian
Cu terhuyung ke belakang dan kedua lengannya tergantung seperti lumpuh.
Ternyata kedua pundaknya telah kena totokan kakek itu. Ketua Bu-tong-pai cepat
meloncat ke depan dan sekali menekan kedua pundak sute-nya, Kim Thian Cu pulih
kembali kedua lengannya. Dia lalu menjura ke arah kakek tadi sambil berkata,
“Pinto mengaku kalah.”
“Hebat...
hebat...!” Giok Thian Cu ketua Bu-tong-pai menjura ke arah kakek itu sambil
tersenyum. “Sungguh hebat dan bukan hanya dongeng kosong belaka ilmu keturunan
dari Pendekar Suling Emas. Kalau boleh pinto mengetahui nama Sicu dan nama ilmu
pukulan luar biasa tadi...“
Kakek itu
tersenyum dan balas menjura. “Saya berjuluk Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling
Perak) dan menjadi murid pertama dari Suhu. Ada pun tentang ilmu-ilmu yang saya
mainkan, saya tidak berhak menyebutkannya kepada siapa juga, yang berhak adalah
Suhu.”
Giok Thian
Cu mengangguk-angguk. “Bagus, memang ilmu sehebat itu tidak boleh sembarangan
diketahui orang. Pinto kagum sekali. Nama Pendekar Suling Emas yang sudah
ratusan tahun merupakan dongeng dan terpendam itu, hari ini muncul sebagai
kenyataan yang mengagumkan dan tentu akan menggegerkan dunia persilatan. Sute
Kim Thian Cu telah mengaku kalah, dan kalau saja boleh, pinto sendiri akan
menguji kehebatan ilmu-ilmu peninggalan Pendengar Suling Emas. Tidak tahu
apakah Sin-siauw Sengjin sendiri yang berkenan maju ataukah mewakilkan kepada
muridnya?” Sambil berkata demikian, ketua Bu-tong-pai ini mengeluarkan sebatang
pedang dari dalam jubahnya dan kini berdiri tegak dan memegang pedang di depan
dada dengan kedua tangan dirangkap tanda penghormatan.
Gin-siauw
Lo-jin membalas penghormatan itu dengan mencabut sebatang suling perak dari
dalam jubahnya. “Maaf, Totiang. Biarlah saya mencoba-coba mewakili Suhu untuk
menyambut penghormatan Totiang.”
Giok Thian
Cu sekali lagi menghormat, kemudian berseru halus, “Lihat pedang!” dan nampak
sinar hijau berkelebat menyambar ke arah lawan.
“Bagus!”
Sekali lagi kakek itu berseru memuji dan nampak sinar terang putih berkilauan
menyambar ke depan, menyambut sinar hijau itu.
“Tranggggg...!”
Kedua belah
pihak merasakan lengan kanan mereka tergetar hebat dan tahulah mereka bahwa
tenaga sinkang mereka berimbang. Maklum akan kelihaian lawan, Giok Thian Cu
juga tidak bersikap sungkan lagi, langsung saja dia mengeluarkan ilmu pedang
simpanannya yang paling lihai, yaitu ilmu Pedang Sin-hong Kiam-sut (Ilmu Pedang
Burung Hong Sakti) sehingga pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar
hijau yang indah sekali.
Mendadak
Gin-siauw Lo-jin yang terkesiap dan terdesak oleh gulungan sinar hijau itu
mengeluarkan suara melengking nyaring dan sulingnya juga lenyap, berubah
menjadi gulungan sinar perak yang sangat luas dan aneh sekali gerakannya. Bukan
saja hanya bergulung-gulung menjadi sinar perak, juga dari suling perak itu
lalu terdengar suara mengaung yang aneh dan menyakitkan telinga lawan! Gulungan
sinar perak itu kini membuat gerakan coret-moret seperti membentuk huruf-huruf
di udara dan setiap coretan mengandung tenaga dahsyat yang menyerang lawan.
“Hebat...!
Liang Sim Tosu, ketua Kun-lun-pai yang sudah tua itu menggeleng-gelengkan
kepala saking kagumnya. “Mungkin inilah Ilmu Hong-in Bun-hoat yang disebut
dalam dongeng Suling Emas...“
Memang hebat
sekali gerakan Gin-siauw Lo-jin. Dalam waktu, kurang dari tiga puluh jurus,
sinar perak itu telah menggulung dan menekan sinar hijau sehingga sinar hijau
dari pedang di tangan ketua Bu-tong-pai itu menjadi makin sempit. Akhirnya
terdengar seruan, “Siancai...!”
Kedua
gulungan sinar itu tiba-tiba berhenti. Ketua Bu-tong-pai telah menyimpan
kembali pedangnya dan sambil tersenyum pahit dan dengan muka agak pucat dia
memandang ke arah kedua lengan bajunya yang telah berlubang bekas tusukan
suling perak! Tentu saja dalam pertandingan sungguh-sungguh, bukan di lengan
baju jatuhnya serangan tusukan itu, melainkan di tempat yang berbahaya.
“Sungguh
hebat, pinto mengaku kalah.”
“Ah, Kim
Thian Cu dan Giok Thian Cu toyu terlalu merendah, kepandaian mereka hebat
sekali, akan tetapi harus diakui bahwa ilmu-ilmu peninggalan Pendekar Suling
Emas memang amat luar biasa. Pinto juga menjadi gatal tangan dan ingin sekali
menguji, jika dibolehkan.”
Liang Sim
Tosu sudah melangkah maju sambil mengeluarkan sepasang poan-koan-pit berwarna
putih dan hitam yang dipegang oleh kedua tangan dan disilangkan di depan dada.
Gin-siauw
Lo-jin masih memegang suling peraknya dan dia pun lalu membalas dengan
penghormatan dan menjawab, “Kalau Totiang masih penasaran dan hendak menguji,
silakan maju.”
Liang Sim
Tosu cepat menggerakkan kedua poan-koan-pit hitam dan putih yang tadi
disilangkan, yang kanan berwarna hitam menuding ke langit, yang kiri berwarna
putih menuding ke bumi, kemudian dia berkata, “Gin-siauw Lojin, harap jaga
seranganku!”
Tiba-tiba
nampak sinar hitam dan putih berkelebatan dan semakin lama semakin cepat
sehingga kemudian nampak dua sinar hitam dan putih itu saling sambar dan saling
belit, kemudian bersatu menjadi segulungan sinar yang berwarna abu-abu meluncur
ke arah kakek yang memegang suling perak.
“Bukan
main...!” Gin-siauw Lo-jin berseru kaget dan cepat dia menggerakkan suling
peraknya sehingga nampak sinar berkilauan menangkis.
“Cring-tranggg...!”
Kini
Gin-siauw Lo-jin yang terhuyung dan ketua Kun-lun-pai itu sudah menerjang lagi,
serangan halus akan tetapi luar biasa kuatnya dan sepasang poan-koan-pit itu
memang amat lihaihya, kadang-kadang seperti dua sinar berlawanan yang saling
menggunting, namun kadang-kadang bersatu menjadi sinar abu-abu yang amat kuat,
yang hitam mengandung tenaga Im lemas dan yang putih mengandung tenaga Yang
yang kuat dan panas. Kiranya kedua buah poan-koan-pit itu mengandung tenaga Im
dan Yang, dua unsur yang berlawanan tetapi kalau bersatu mempunyai daya yang
luar biasa kuatnya. Juga kedua poan-koan-pit itu dapat melakukan
totokan-totokan yang bertubi-tubi ke seluruh jalan darah terpenting di tubuh
lawan….
Gin-siauw
Lo-jin maklum bahwa dia menghadapi lawan yang amat lihai, maka dia cepat
mainkan Hong-in Bun-hoat dengan suling peraknya. Ilmu ini memang mukjijat,
karena dahulu Pendekar Suling Emas menerima ilmu ini langsung dari manusia dewa
Bu Kek Siansu, dan biar pun ilmu ini dimainkan dengan menuliskan huruf-huruf di
udara, namun setiap gerakan mengandung daya serang yang amat mukjijat, di
samping juga dapat menjadi daya tahan yang rapat seperti tembok yang kokoh kuat
sehingga kini, gulungan sinar perak itu dapat membendung semua serangan
poan-koan-pit yang luar biasa itu.
Pertandingan
itu amat cepat dan seru, membuat kedua mata Cui Lan menjadi kabur dan kepalanya
pening sehingga dia mengalihkan pandang matanya ke arah Siluman Kecil yang
berdiri dengan tegak, tenang dan penuh perhatian. Sebaliknya, Hwee Li menonton
dengan wajah berseri-seri. Girang sekali hati gadis ini dapat melihat
pertandingan yang demikian hebatnya.
“Ahhhhh...!”
Gin-siauw Lo-jin berseru dan terhuyung-huyung sampai lima langkah ke belakang.
Meski ilmu Hongin Bun-hoat yang dimainkannya bisa membendung serangan lawan,
namun karena memang kalah kuat dalam tenaga sinkang, dia sering kali tergetar
dan terhuyung.
“Gin-siauw,
mundurlah karena engkau sudah kalah.” Tiba-tiba terdengar suara halus.
Gin-siauw
Lo-jin cepat meloncat mundur, menyimpan suling peraknya dan menjura ke arah
Liang Sim Tosu. “Saya mengaku kalah.”
Liang Sim
Tosu tersenyum lebar. “Bukan main... terus terang saja pinto hanya menang dalam
hal tenaga, akan tetapi tentang ilmu silat, wah, pinto masih bingung menghadapi
ilmu tadi.”
Kini
Sin-siauw Sengjin melangkah maju. “Ketua dari Kun-lun-pai terlalu merendah.
Ilmu Im-yang Poan-koan-pit yang Totiang mainkan tadi memang hebat sekali, akan
tetapi betapa pun hebatnya, masih belum dapat menandingi Hong-in Bun-hoat yang
sudah dilatih dengan sempurna. Untuk membuktikan ini, harap Totiang maju dan
mencoba suling kami!”
Tampak sinar
emas menyilaukan mata dan ternyata tangan kakek tua renta ini telah memegang
sebatang suling yang terbuat dari pada emas. Semua mata memandang dan jantung
mereka berdebar. Itulah suling emas yang terkenal sekali dalam dongeng dunia
persilatan, senjata dari Pendekar Suling Emas yang terkenal itu!
“Wah-wah-wah...
kalau aku bisa mendapatkan suling itu...,“ terdengar Hwee Li berbisik.
“Hemmm, kau
begitu murka menginginkan emas?” Cui Lan mencela.
“Aihhh, kau
mana tahu...“
Mereka
menghentikan bisik-bisik itu ketika sekarang ketua Kun-lun-pai itu telah mulai
menyerang dengan poan-koan-pit di tangannya. Namun kakek tua renta itu
kelihatan tidak mengubah kedudukan kakinya, hanya tampak sinar emas berkelebat
dan setiap kali sepasang poan-koan-pit itu kena ditangkisnya, ke mana pun
sepasang sinar hitam putih itu menyambar!
“Sekarang
jagalah, Totiang!” Kakek tua renta itu berseru.
Kini nampak
sinar emas yang panjang dan luas sekali seperti seekor naga melayang ke atas,
kemudian menyambar turun dengan gerakan coret-coret seperti membentuk huruf.
Terdengar suara trang-tring-trang-tring dan nampak bunga api berhamburan. Namun
belum sampai dua puluh jurus, terdengar ketua Kun-lun-pai mengeluh dan sepasang
poan-koan-pit telah terpukul lepas dari kedua tangannya!
Seorang
murid Kun-lun-pai cepat-cepat mengambilkan senjata gurunya itu dan ketua
Kun-lun-pai segera menjura penuh hormat. “Itukah Hong-in Bun-hoat yang terkenal
dalam dongeng? Hebat bukan main dan pinto mengaku kalah.”
Kakek itu
tersenyum. “Pukulan tangan kosong yang dimainkan oleh murid kami tadi adalah
Lo-hai-kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) yang diambil dari ilmu aslinya,
yaitu Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Dan yang barusan dimainkan
oleh suling kami adalah sebagian dari Hong-in Bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan
Hujan).”
Semua orang
memandang kagum sekali. Kakek itu menjura ke empat penjuru dan berkata, “Biar
pun kami mengakui bahwa ilmu-ilmu ini adalah warisan yang kami dapat dari
mendiang Pendekar Sakti Suling Emas, akan tetapi jangan Cu-wi mengira bahwa
kami telah menguasai seluruhnya! Hemmm, kami selamanya menyembunyikan diri
karena merasa bahwa kami belum dapat menguasai setengahnya saja dari ilmu-ilmu
itu.” Semua orang makin kagum mendengar ini.
“Locianpwe,
saya sudah menunggu!” Tiba-tiba terdengar suara bening yang melengking nyaring
dan ternyata suara ini adalah suara Siluman Kecil yang telah berdiri di tengah
halaman itu dengan tegak, sepasang matanya memandang dengan sinar tajam.
Kakek tua
renta itu menghela napas panjang, lalu menghampiri pemuda itu. Sejenak mereka
saling pandang dan kakek itu berkata, “Aahhh, sudah setua ini baru sekarang
kami bertemu dengan seorang pemuda yang benar-benar amat hebat kepandaiannya.
Sicu, sekarang kami melihat bahwa engkau benar-benar tidak membawa teman dan
ternyata engkau seorang yang memenuhi janji. Lima tahun yang lalu engkau
mengaku kalah dan dapat sembuh kembali untuk memenuhi janji malam ini. Nah,
kami telah siap, majulah!”
Pemuda
berambut putih itu memungut sebatang ranting di atas tanah, kemudian dia
menggerakkan ranting itu di depan dadanya. Terdengar suara mencicit nyaring,
lalu dia menghentikan gerakannya dan berkata, “Locianpwe, saya hanya menuntut
yang benar. Kalau Locianpwe suka mengakui kesalahan dan mengembalikan pusaka
kepada yang berhak, saya pun tidak akan mendesak.”
“Hemmmm,
orang muda. Puluhan tahun kami memilikinya, mana mungkin mudah saja
melepaskannya. Kami sudah siap, majulah! Kebetulan sekali banyak tokoh kang-ouw
yang menjadi saksi pertandingan antara Sin-siauw Sengjin dan Siluman Kecil.”
“Locianpwe
mengerti bahwa saya hanya mempertahankan kebenaran!” kata Siluman Kecil sambil
menggerakkan rantingnya dan memandang suling emas di tangan kakek itu. “Nah,
maafkan aku!”
Tiba-tiba
saja bagi mata kebanyakan orang yang hadir, tubuh Siluman Kecil itu berubah
menjadi bayangan berkelebat dan lenyap! Sukar sekali mengikuti gerakannya
dengan pandang mata, hanya tahu-tahu saja kakek itu sudah menggerakkan suling
emasnya menanggkis.
“Tringgggg...!”
Kini semua
orang melihat betapa Siluman Kecil telah berubah menjadi bayangan putih yang
berkelebatan, mencelat ke sana-sini dengan kecepatan yang memusingkan kepala
mereka yang memandangnya, dan kakek itu pun sudah memutar sulingnya sehingga
suling itu lenyap berubah menjadii gulungan sinar emas.
Memang hebat
sekali kakek renta itu. Gulungan sinar kuning emas itu melingkar-lingkar
seperti seekor naga emas beterbangan di angkasa dan bermain-main di angkasa
yang gelap, kadang-kadang mengeluarkan sinar kilat menyambar-nyambar dan
terdengar suara suling itu mengeluarkan suara seperti ditiup oleh seorang anak
kecil yang sedang belajar main suling. Sumbang dan tidak teratur. Padahal,
menurut dongeng tentang Pendekar Suling Emas, kala pendekar itu mainkan suling emas
sebagai senjata, maka akan terdengar suling itu seperti ditiup dengan lagu yang
merdu! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa memang Sin-siauw Sengjin belum
menguasai ilmu itu secara sempurna seperti yang telah diakuinya tadi.
Pertandingan
itu semakin lama semakin hebat. Terlalu cepat gerakan mereka, apa lagi gerakan
Siluman Kecil yang luar biasa sekali, seolah-olah dia beterbangan kesana-sini
sehingga kakek itu harus berputaran pula untuk menghadapinya karena musuhnya
yang serba putih itu seolah-olah telah berubah menjadi enam orang yang
menyerangnya dari empat penjuru!
Sudah hampir
dua ratus jurus berlangsung, namun belum juga ada yang roboh. Semua orang yang
menonton pertandingan itu sudah banyak yang tidak kuat, lalu terpaksa
memejamkan mata. Hanya orang-orang lihai seperti ketua Bu-tong-pai dan
Kun-lun-pai itu saja, termasuk Hwee Li, yang masih mampu mengikuti terus dengan
mata tanpa berkedip saking tertariknya. Cui Lan sudah sejak tadi menunduk dan
bibirnya berkemak kemik karena gadis ini telah berdoa untuk kemenangan Siluman
Kecil!
Tiba-tiba
terdengar suara melengking nyaring dan suara ini membuat beberapa orang pemburu
jatuh terjungkal dan pingsan. Untunglah Hwee Li sudah menempelkan telapak
tangannya di tengkuk Cui Lan sehingga pada saat suara itu membuat kepala Cui
Lan pening, rasa hangat yang menjalar keluar dari telapak tangan Hwee Li
mencegah gadis itu roboh pingsan pula.
Dan terjadi
perubahan pada pertandingan yang sukar diikuti oleh pandangan mata itu.
Beberapa kali terdengar Kakek Sin-siauw Sengjin berseru kaget dan akhirnya
gerakan mereka terhenti, kakek itu melompat jauh ke belakang, mukanya pucat,
serta dahinya berkeringat dan napasnya agak terengah ketika dia memandang
kepada Siluman Kecil yang berdiri tegak dan keadaannya masih biasa saja.
“Aku mengaku
kalah... sekali... ini...“
“Kalau
begitu Locianpwe harus mengembalikan...“
“Tidak!
Menurut perjanjian, kalau kami kalah, kami semurid kami harus meninggalkan
tempat ini. Akan tetapi, kau pernah kalah sekali, dan kami kalah sekali,
berarti masih sama. Tunggu setahun lagi, kalau dalam pertandingan penentuan itu
kami kalah, kami akan mengembalikan semua dan menyerahkan nyawa kami. Dan
karena kami yang kalah sekali ini, kelak setahun lagi kami yang akan mencarimu,
Siluman Kecil. Nah, selamat tinggal!”
Kakek tua
renta itu lalu melangkah pergi perlahan-lahan dengan muka lesu, diiringkan oleh
para muridnya yang dipimpin oleh Gin-siauw Lojin yang membawa tongkatnya dan
membawa bungkusan besar. Tiada orang yang berani menahan mereka, juga Siluman
Kecil diam saja hanya mengikuti mereka dengan pandang matanya. Dia maklum bahwa
kalau dia mengambil kekerasaan, dan dikeroyok oleh mereka, sukar baginya untuk
mencapai kemenangan. Lagi pula, kakek itu memang benar. Dia belum dapat
dikatakan menang karena pernah kalah sekali dan menang sekali. Penentuannya
adalah pada pertandingan ketiga dan yang terakhir, pertandingan sampai mati!
“In-kong
(Tuan Penolong)...!” Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dan seorang gadis
cantik berlari-lari menghampiri Siluman Kecil. Gadis itu adalah Cui Lan yang
saking girangnya melihat orang yang dipujanya itu keluar sebagai pemenang dan
selamat, telah lupa akan keadaan, meninggalkan Hwee Li dan lari menghampiri
dengan kedua lengan dibentangkan seperti orang hendak memeluk! Seorang gadis
lain berpakaian serba hitam menyusul di belakangnya.
Siluman
Kecil menoleh dan ketika dia melihat Cui Lan, dia mengerutkan alisnya dan
berkata dengan suara mengandung teguran, “Ah, kau juga di sini, Nona?”
Melihat sikap
Siluman Kecil itu seperti marah dan menegurnya, sungguh jauh bedanya dengan
sikapnya sendiri yang penuh kegembiraan dan kerinduan, Cui Lan tertegun dan
merasa seolah-olah pipinya ditampar sehingga dia sadar akan keadaan dirinya,
sadar betapa dia telah memperlihatkan perasaan hatinya di depan Siluman Kecil
dan banyak orang.
Seketika
mukanya menjadi merah sekali, kemudian berubah pucat. Dengan gagap dia
berbisik, “In-kong... saya...“
Akan tetapi,
dengan dahi berkerut Siluman Kecil seolah-olah tidak mendengarnya dan tidak
mempedulikannya, malah pendekar itu menoleh ke arah gedung yang baru saja
ditinggalkan penghuninya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia meloncat ke arah
pintu gedung itu, akan tetapi pada saat itu sehelai benda hitam panjang seperti
tali meluncur ke arah kakinya.
“Hemmm...!”
Siluman Kecil mendengus marah, kakinya bergerak menendang ke arah benda hitam
itu.
Akan tetapi
benda itu dapat mengelak, dan menyambar ke atas, ujungnya mematuk ke arah
pinggang pendekar itu. Siluman Kecil mengelak, menahan loncatannya tidak jadi
memasuki pintu dan ketika tubuhnya turun, tanpa disangkanya ujung benda yang
lain menyambutnya dengan patukan yang amat cepat.
“Ahhhhh...!”
Siluman Kecil menangkis akan tetapi kembali benda panjang itu meliuk dan ketika
lengannya lewat, ujung benda itu mematuk kembali.
“Brettt...!”
Siluman
Kecil melangkah ke belakang dan memandang dengan muka memperlihatkan kekagetan
karena ujung lengan bajunya telah berlubang! Kagetlah dia karena tidak
disangkanya bahwa benda panjang yang dia tahu adalah seekor ular hitam panjang
itu demikian gesit dan lihainya. Dia lalu mengangkat muka memandang gadis berpakaian
hitam yang memegangi ujung atau ekor ular hitam panjang itu yang kini telah
melingkar kembali ke lengannya.
“Laki-laki
tak berperasaan!” Hwee Li memaki marah sambil memandang pada Siluman Kecil
dengan sepasang mata berkilat.
Siluman
Kecil menjadi bimbang. Tadi ada sesuatu yang menarik perhatiannya dan dia
menoleh lagi ke arah pintu gedung, akan tetapi gadis pembawa ular itu pun
menarik perhatiannya pula, maka berkatalah dia kepada nikouw tua yang sejak
tadi hanya menonton saja dengan sikap tenang, ”Ibu, tolong Ibu lihat apa yang
berada di dalam rumah itu, aku melihat ada orang di dalamnya.”
Nikouw tua
itu mengangguk, lalu melangkah memasuki pintu gedung yang dapat didorongnya
terbuka dengan mudah.
Sementara
itu, Siluman Kecil kini menghadapi Hwee Li, memandang dengan penuh perhatian
akan tetapi karena ada awan tipis menutupi bulan dan lampu penerangan di situ
pun tidak berapa terang, maka wajah Hwee Li tidak begitu tampak jelas. “Nona,
aku seperti pernah melihatmu, akan tetapi entah di mana, siapakah kau?”
Hwee Li
mencibirkan bibirnya. “Laki-laki kejam. Sudah jelas bahwa yang kau kenal baik
adalah Cui Lan, akan tetapi kenapa matamu memandang orang lain?”
“Ehhh, bocah
sombong! Engkau sungguh kurang ajar sekali!” teriak Sim Kun, orang termuda dari
tiga orang pemburu keluarga Sim itu. Melihat pendekar pujaannya dimaki dan
dimarahi oleh gadis ini, tentu saja hatinya menjadi panas, apa lagi ketika nama
Cui Lan dibawa-bawa. Setelah membentak, Sim Kun lalu menyerangnya dengan golok
yang telah dicabutnya.
“Huhh, orang
kasar!” Hwee Li mendengus sambil mengelak, akan tetapi kini Sim Hoat dan Sim
Tek juga sudah turun tangan menyerang sehingga Hwee Li dikeroyok tiga orang
Saudara Sim itu.
Selagi
Siluman Kecil hendak melerai karena dia melihat kelihaian gadis pakaian hitam
itu, terdengar suara teriakan dari dalam gedung. Siluman Kecil mengenal suara
nikouw tua, maka tanpa mempedulikan lagi gadis berpakaian hitam yang sedang
bertempur melawan tiga orang Saudara Sim, dia bergegas masuk, segera diikuti
pula oleh ketua Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai yang ingin melihat apa yang terjadi
di dalam gedung itu.
Ternyata
kamar belakang gedung itu telah porak poranda, meja kursi berserakan dan semua
isi lemari awut-awutan. Nikouw tua itu telah tertawan oleh seorang gadis cantik
berpakaian merah muda. Tangan kiri gadis itu mencengkeram punggung baju nenek
itu sedangkan tangan kanan memegang pedang yang ditempelkan di lehernya.
“Berhenti
semua! Jangan mendekat atau... kubunuh nenek ini! Rumah ini sudah kukuras
habis... hi-hi, kau datang terlambat, Siluman Kecil!” Gadis cantik itu
memandang kepada Siluman Kecil dan dua orang kakek ketua dengan mata
bersinar-sinar, sikapnya penuh keberanian dan pedang berkilauan yang berada di
tangan kanannya tidak tergetar sedikit pun juga. Gadis ini bukan lain adalah
Ang-siocia yang pernah turut menghadiri undangan Kui-liong-pang mewakili
gurunya, yaitu Hek-sin Touw-ong si Raja Maling dari perbatasan!
“Siancai...
di tempat begini ada maling!” Ketua Bu-tong-pai menggerakkan tangannya hendak
menerjang, tetapi lengannya cepat dipegang oleh Siluman Kecil yang khawatir
akan keselamatan nikouw tua itu.
“Kau
lepaskan dia...!” Siluman Kecil berkata halus kepada Ang-siocia.
Ang-siocia
tersenyum, nampak deretan giginya yang putih dan ujung lidahnya yang runcing
merah menyapu bibirnya dengan cepat “Berjanjilah dulu, Siluman Kecil, bahwa
jika aku melepaskan nenek ini, kalian semua tidak akan menyerangku dan
membiarkan aku pergi membawa kitab-kitab ini!” Dia menuding ke arah bungkusan
kain kuning yang agaknya berisi kitab-kitab dan diletakkanya di depan kakinya.
“Maling hina
yang curang!” Ketua Bu-tong-pai membentak marah. Kalau tidak dicegah oleh
Siluman Kecil, tentu dia sudah menerjang gadis itu.
“Totiang
adalah ketua Bu-tong-pai, mengapa tidak bisa bersikap tenang seperti seorang
pendeta yang memiliki kedudukan tinggi?” Nona berpakaian serba merah itu
mengejek. “Siluman Kecil, bagaimana?”
“Baiklah,
kau boleh pergi membawa barang-barang yang kau curi itu. Akan tetapi aku pasti
akan mencarimu!” ucapannya terdengar halus, akan tetapi mengandung ancaman yang
menyeramkan.
“Hi-hik,
tentu saja. Dan agar kau tidak bingung-bingung mencari, aku akan menantimu di
ujung Pantai Pohai, di teluk sebelah utara. Nah, selamat tinggal!”
Gadis cantik
berpakaian merah lalu melepaskan nikouw tua, menyambar bungkusan dengan tangan
kiri, dan dengan tangan kanan masih membawa pedang dia kemudian meloncat ke
luar melalui jendela kamar belakang itu, lalu lenyap ke dalam kegelapan malam.
“Aku akan
segera ke sana!” Siluman Kecil berseru, tangannya bergerak ke arah jendela dan
nampak benda kecil menyambar ke luar jendela.
“Ihhhhh...!”
Terdengar gadis itu menjerit di luar jendela, lalu terdengar suaranya agak
gemetar karena benda itu hanyalah sebuah kancing baju putih yang tahu-tahu
telah menyusup ke dalam rambut kepalanya! Kalau saja sasarannya diubah sedikit
saja tentu dia sudah menggeletak tanpa nyawa!
“Siluman
Kecil, aku dan Suhu menantimu di sana!”
Keadaan lalu
sunyi kembali dan Siluman Kecil menggandeng tangan nikouw tua keluar dari dalam
gedung itu. Di luar masih terjadi pertempuran, akan tetapi sambil tertawa tawa
Hwee Li mempermainkan tiga orang lawannya, melecuti muka dan tubuh mereka
dengan ekor dua ularnya sehingga mereka babak belur, dan terdengar Cui Lan
berseru, “Jangan bunuh orang... jangan lukai orang...!”
Melihat ini,
Siluman Kecil melompat ke depan. Cepat bukan main gerakannya itu dan nampak
bayangannya yang putih itu berkelebat.
“Aihhhhhh...!”
Hwee Li menahan jerltannya ketika melihat Siluman Kecil menerjangnya dengan
kecepatan yang amat hebat.
Tiap orang
she Sim itu segera mengudurkan diri melihat Siluman Kecil kini sudah menghadapi
gadis berpakaian hitam yang amat hebat itu. Dan sekarang semua orang
menyaksikan pertandingan yang amat aneh dan juga indah dipandang.
Gadis itu
ternyata juga sudah menggunakan ginkang yang luar biasa cepatnya untuk
mengimbangi kecepatan Siluman Kecil dan tubuh mereka lenyap berubah menjadi
bayangan hitam dan putih yang saling serang dan saling terjang, kadang-kadang
sukar dibedakan lagi karena dua bayangan itu seperti telah menjadi satu.
Tiba-tiba terdengar Hwee Li menjerit dan nampak bayangan hitam melesat dan
lenyap di telan kegelapan malam.
Siluman
Kecil berdiri termangu, memandang ke arah lenyapnya bayangan hitam tadi.
Kemudian dia sadar bahwa banyak orang memandangnya. Dia membalikkan tubuh dan
tanpa disengaja tepat sekali dia bertemu pandang dengan Cui Lan. Sejenak dua
sinar mata itu saling pandang, melekat dan akhirnya Siluman Kecil menundukkan
mukanya, jantung berdebar dan merasa tidak enak. Dia lalu berkata kepada nikouw
tua yang berdiri di situ, “Ibu, aku harus pergi mengejar maling tadi. Aku
pergi!” Begitu dia berkata ‘pergi’, tubuhnya berkelebat dan nampak bayangan
putih meluncur cepat ke depan dan lenyap dari situ.
Semua orang
tertegun dan tanpa banyak cakap mereka pun bubar dan meninggalkan tempat yang
baru saja terjadi hal-hal yang sangat menegangkan hati mereka itu. Peristiwa
itu tidak akan dapat mereka lupakan sebagai pengalaman yang menegangkan dan
akan menjadi buah bibir di dunia kang-ouw sampai bertahun-tahun lamanya.
Begitu
melihat Siluman Kecil pergi tanpa pamit kepadanya, tanpa sepatah pun kata
kepadanya, bahkan seperti tidak mempedulikannya sama sekali, Cui Lan menunduk,
air matanya meleleh tanpa dapat ditahannya pula. Kini jelaslah baginya bahwa
pendekar yang dipuja-pujanya itu, dicintanya, sama sekali tidak memperhatikan
dia. Barulah dia sadar bahwa sesungguhnya tidak mungkin dia mengharapkan yang
bukan-bukan.
Siluman
Kecil adalah seorang pendekar besar yang dipuja oleh banyak orang, apa lagi
setelah dapat memenangkan kakek tadi, sampai-sampai ketua partai-partai besar
pun menghormatinya. Sedangkan dia? Dia hanya seorang gadis dusun, seorang bekas
pelayan! Seperti kilat memasuki benaknya bahwa dia adalah puteri angkat seorang
gubernur, akan tetapi ingatan ini cepat diusirnya karena dia pun telah bersalah
kepada ayah angkatnya ltu, telah pergi tanpa perkenan.
Ayah
bundanya sudah tiada, tidak ada sanak keluarga, orang satu-satunya yang dia
pandang dan harapkan, malah kiranya sama sekali tidak mempedulikannya, apa lagi
mencintanya. Air matanya makin deras mengucur sampai dia tidak tahu bahwa
tampat itu telah sunyi, semua orang telah pergi kecuali dia sendiri dan nikouw
tua tadi, ibu dari Siluman Kecil yang sejak tadi memandangnya dengan sinar mata
penuh rasa iba dan terharu.
Nenek ini
saking terharunya mengusap dua butir air mata yang menghias bulu matanya. Dia
tahu benar apa yang terjadi di dalam hati gadis cantik ini. Jelas bahwa dara
ini jatuh cinta kepada Siluman Kecil, akan tetapi anaknya itu agaknya tidak
membalas cintanya. Dia lalu menghampiri Cui Lan. Dipegangnya lengan gadis itu.
Cui Lan menoleh dan barulah dia merasa terkejut bahwa di situ telah sunyi, dan
bahwa nenek yang tadi disebut ibu oleh Siluman Kecil itu memegang lengannya.
“Anak yang
baik, marilah engkau ikut bersamaku. Mungkin ada kecocokan antara kita karena
kulihat bahwa pengalamanmu agaknya sama dengan peristiwa yang menimpa diriku di
waktu aku muda dahulu. Mari kutunjukkan jalan Tuhan kepadamu.”
Ucapan ini
seperti membuka bendungan di hati Cui Lan sehingga tangisnya makin mengguguk
ketika dia membiarkan dirinya digandeng dan dibawa pergi perlahan-lahan
meninggalkan puncak itu.
Para pembaca
yang pernah mengikuti cerita-cerita terdahulu seperti cerita Suling Emas,
Pendekar Super Sakti, Sepasang Pedang Iblis dan lain-lain tentu telah mengenal
siapa adanya Pendekar Sakti Suling Emas dan apa yang terjadi dengan
pusaka-pusaka peninggalannya. Di dalam cerita Pendekar Super Sakti telah
diceritakan bahwa senjata pusaka suling emas peninggalan Pendekar Sakti Suling
Emas itu yang terakhir berada di tangan Puteri Nirahai, dipergunakan oleh
Puteri Nirahai untuk bertanding melawan Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang
akhirnya menjadi suaminya.
Ada pun
mengenai kitab-kitab peninggalan Pendekar Suling Emas yang berisikan pelajaran
ilmu-ilmu silat tingkat tinggi dan mukjijat seperti Kim-kong Sin-hoat, Pat-sian
Kiam-hoat, Lo-hai San-hoat, dan Hong-in Bun-hoat dan kipas pada saat terakhir
telah terjatuh ke tangan Lulu dan dibawanya ke Pulau Neraka di mana dia
akhirnya menjadi ketua Pulau Neraka sebelum dia juga menjadi isteri Suma Han si
Pendekar Super Sakti.
Jadi, baik
suling emas yang terjatuh ke tangan Puteri Nirahai mau pun kipas dan kitab
kitab yang terjatuh ke tangan Lulu, semua telah menjadi milik keluarga Pulau
Es, yaitu Suma Han si Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Akan tetapi
mengapa kini tiba-tiba berada di tangan kakek yang mengaku bernama Sin-siauw
Sengjin itu?
Hal ini akan
diceritakan kelak kalau sudah tiba waktunya untuk memperlancar jalannya cerita
karena di dalamnya terdapat rahasia-rahasia yang sementara ini belum dapat
dibuka atau diceritakan. Sabar ya…..
***************
Bayangan
putih yang seperti terbang melayang dengan kecepatan luar biasa berlari dengan
ilmu Jouw-sang-hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) itu akhirnya berhenti di
suatu lapangan terbuka yang penuh rumput hijau di bawah sebuah bukit. Bulan
masih bersinar terang setelah awan-awan yang menutupnya tadi lewat. Lapangan
rumput itu seperti laut kehijauan, indah bukan main.
Siluman
Kecil berdiri di tepi lapangan rumput, menunduk dan melamun. Pikirannya agak
kacau oleh karena pertemuannya dengan Cui Lan tadi. Dia tadi sengaja tidak mau
memperhatikan dan bersikap acuh tak acuh terhadap dara itu, disengajanya agar
dara itu dapat terbuka matanya bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta
kasih dara itu. Tentu saja dia tahu bahwa sejak dahulu ketika dia menolong dara
itu, Cui Lan telah jatuh cinta kepadanya dan selalu memujanya dan
merindukannya. Dia merasa suka dan kasihan sekali kepada Cui Lan, akan tetapi
bagaimana pun juga, dia tidak dapat mencinta dara itu. Dia tidak dapat mencinta
siapa-siapa lagi di dunia ini!
Dia mengerti
betapa duka dan merananya orang yang tidak dibalas cintanya, dia terlalu
mengerti akan kedukaan ini karena dia sendiri telah mengalaminya! Dia pun
pernah mengalami seperti Cui Lan, mencinta seseorang secara mati-matian, penuh
harapan dan bayangan yang muluk-muluk dan mesra-mesra, akan tetapi kenyataan
amat pahit menghantam hatinya, bahwa orang yang dicintanya itu tak membalas
perasaan hatinya.
Beberapa
tahun yang lalu dia hidup merana, bahkan bosan hidup, tidak ingin hidup lagi
sampai dia tiba di pucak bukit itu, bertanding melawan Sin-siauw Sengjin, dan
terluka hampir mati. Akan tetapi dia tidak mati, agaknya dia masih diharuskan
hidup lebih lama untuk memperpanjang hukumannya, yaitu penderitaan batin karena
dia tidak dapat melupakan kedukaan hatinya.
“Ihhhh...!
Kau lagi...?!”
Bentakan
marah ini mengejutkan dan membuyarkan semua lamunannya. Di depannya telah
berdiri gadis berpakaian serba hitam tadi, gadis yang membawa ular yang tadinya
menyerangnya!
“Hemmm...“
Dia hanya menggumam.
“Hemmm apa?
Kau adalah laki-laki tidak berperasaan, kau laki-laki kejam yang suka
menghancurkan hati wanita! Kau tidak mempedulikan orang yang mencintamu malah
mengejar wanita lain!” Dara itu telah mencak-mencak marah dan menudingkan
telunjuk yang berkuku runcing terpelihara ke arah hidung Siluman Kecil.
Siluman
Kecil mengerutkan dahinya dan memandang tajam. “Bocah lancang mulut, apa yang
kau maksudkan itu?”
“Huh,
mentang-mentang rambutmu sudah putih semua kau lantas boleh menyebut aku bocah,
ya? Kau kira aku tidak tahu bahwa sebetulnya kau masih muda, tidak berbeda
banyak dengan aku?”
Siluman
Kecil merasa kewalahan juga menghadapi dara yang begini galak. Dia menarik
napas panjang. “Yaaah, terserah. Sekarang cepat kau katakan, apa maksudmu
dengan kata-katamu itu tadi?”
“Maksudnya?
Maksudnya sudah jelas masih pakai tanya-tanya segala! Engkau kejam terhadap Cui
Lan. Kau tinggalkan gadis itu begitu saja, tidak tahu bahwa hatinya seperti
disayat-sayat rasanya. Engkau…, setelah kau jatuhkan hatinya dengan
pertolonganmu, dengan kegagahanmu, dengan ketampananmu, lalu kau sia-siakan
begitu saja. Lebih celaka lagi, kau malah meninggalkan dia dan mengejar aku!
Mau apa kau mengejarku? Mau pamerkan kepandaianmu? Mau membunuh aku?”
Siluman
Kecil beberapa kali membuka mulut akan tetapi terpaksa menutupkannya kembali
karena dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membela diri. Kata-kata
yang keluar dari mulut yang manis itu seperti memberobotnya anak panah yang
dilepas dari busur sakti! Dia kini menghela napas lega setelah dara itu
menghentikan serangan-serangannya dan dia mengangkat muka memandang gadis yang
bertolak pinggang itu, sikapnya sama sekali tidak takut bahkan menantang,
padahal sudah jelas bahwa gadis itu telah dikalahkannya, sungguh pun harus dia
akui bahwa tidak mudah mengalahkan dara yang ternyata memiliki ilmu silat yang
amat tinggi dan aneh itu. Baru sekarang Siluman Kecil merasa serba salah dan
canggung.
“Aku tidak
mengejarmu, Nona.” Akhirnya dia berkata singkat.
“Dusta kau!”
Dan tiba-tiba gadis berpakaian hitam itu telah menyerangnya kalang-kabut.
Siluman
Kecil cepat mengelak ke sana ke mari sambil berkata, “Nona, aku tidak ingin
berkelahi!”
Akan tetapi
Hwee Li tak memberi kesempatan kepadanya dan terus mendesak dengan
pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat dan amat berbahaya. Siluman
Kecil menjadi repot juga dan terpaksa dia meloncat tinggi dan jauh untuk
menghindar, lalu dia melarikan diri karena memang dia tidak ingin berkelahi
hanya karena perbedaan pendapat tentang diri Cui Lan dan tentang kejar-mengejar
itu.
“Mau lari ke
mana kau?” Hwee Li membentak dan mengejar.
Namun pada
saat itu muncul bayangan orang di balik pohon dan terdengar bentakan halus
menegur dara berpakaian hitam itu.
“Hwee Li,
jangan kurang ajar. Kembalilah!”
“Eh,
Subo...!” Gadis berpakaian hitam itu berseru kaget dan girang.
Siluman
Kecil cepat lari akan tetapi dia masih sempat menengok dan melihat bahwa yang
disebut subo oleh gadis itu adalah seorang wanita yang sangat cantik dan dia
seperti pernah melihat wajah itu.
Akan tetapi
dia tidak ingin bentrok dengan wanita cantik itu yang tentu memiliki ilmu
kepandaian yang lebih hebat lagi dari pada si dara galak, apa lagi karena
memang tidak ada permusuhan apa-apa di antara mereka. Maka Siluman Kecil lalu
mempercepat gerakannya dan tubuh yang berpakaian dan berambut putih itu
kelihatan melayang cepat sekali di atas lapangan rumput, diikuti oleh pandang
mata dua orang wanita guru dan murid itu penuh kekaguman.
Fajar telah
menyingsing ketika Siluman Kecil tiba di pintu gerbang kota An-yang, di dekat
tapal batas Propinsi Ho-nan dan Ho-pei sebelah utara. Di depan pintu gerbang
telah menanti banyak orang, yaitu sebagian besar adalah orang-orang luar kota
An-yang yang hendak memasuki kota itu, menanti sampai dibukanya pintu gerbang
oleh para penjaga.
Munculnya
Siluman Kecil tentu saja mendatangkan rasa heran di antara mereka, karena
keadaan pendekar ini memang aneh. Pakaiannya putih dan rambutnya juga terurai
putih, sebagian menutupi mukanya sehingga menyembunyikan sebagian besar wajah
yang tampan. Akan tetapi, di antara semua orang itu, ada seorang wanita muda
yang selalu memandangnya dengan alis berkerut dan sinar mata yang tajam penuh
selidik, kelihatan jelas bahwa wanita ini mencurigai dan memperhatikan semua
gerak-geriknya.
Siluman
Kecil tentu saja merasa tidak senang dan tidak enak, akan tetapi dia diam saja
dan berdiri di sudut yang agak gelap. Wanita itu berpakaian serba hijau,
menuntun seorang anak kecil berusia empat tahun, dan wanita itu sendiri berusia
kurang lebih dua puluh tahun dengan wajah yang cukup cantik dan membayangkan
kegagahan.
Ketika pintu
gerbang dibuka tak lama kemudian, Siluman Kecil cepat menyelinap masuk dan
mencari sebuah warung makan untuk sarapan dan menghangatkan badan di pagi hari
yang cukup dingin itu. Sebuah warung baru saja dibuka dan masih kosong belum
ada tamunya seorang pun. Cepat dia memasuki warung ini dan memesan masakan
bubur ayam dan air teh panas. Akan tetapi, selagi pelayan menyiapkan
pesanannya, masuklah tiga orang laki-laki muda ke dalam warung dan mereka itu
bercakap-cakap dengan suara lantang.
“Lo-ciang,
kenapa engkau tidak ikut memasuki pemilihan jago itu? Siapa tahu, engkau akan
terpilih dan kelak menjadi seorang panglima besar, seorang jenderal sehingga
aku yang menjadi sahabatmu tentu takkan kau lupakan, ha-ha-ha!”
“Enak saja
kau bicara, A-seng! Yang dipilih adalah orang-orang yang punya ilmu tinggi
untuk menjadi pengawal gubernur sendiri, dan yang terpandai akan memperoleh
kedudukan istimewa. Maka tentu akan muncul banyak sekali orang sakti. Aku ini
apa? Hanya bisa sekedar menggerakkan tangan seperti monyet menari! Kalau saja
aku mempunyai kepandaian seperti pendekar Siluman Kecil yang disohorkan orang
itu, nah...!”
Siluman
Kecil memutar duduknya membelakangi mereka, dan ketika pelayan datang
mengantarkan bubur dan air teh yang dipesannya, dia mulai makan bubur yang
masih mengebul panas itu. Tiga orang laki-laki itu masih bercakap-cakap ramai
akan tetapi tiba-tiba percakapan mereka terhenti ketika ada rombongan orang
memasuki warung itu. Siluman Kecil melirik dan melihat bahwa wanita muda
berpakaian hijau yang tadi dijumpainya di pintu gerbang menuntun seorang anak
kecil, akan tetapi kini tidak lagi menuntun anak itu, memasuki warung
diiringkan oleh lima orang laki-laki yang bersikap hormat seolah-olah mereka
adalah pengawal-pengawal wanita itu.
Begitu
mengambil tempat duduk, tak jauh dari tempat Siluman Kecil, dengan suara
lantang wanita itu memanggil pelayan, kemudian berkata setelah melirik ke arah
tiga orang laki-laki muda dan Siluman Kecil, “Pelayan, hidangkan masakan yang
paling istimewa dari warungmu ini, dan arak yang hangat dan paling baik.
Suguhkan kepada semua tamu atas namaku, aku yang akan membayar semua yang
dimakan para tamu di pagi hari ini!”
Tiga orang
laki-laki muda itu menoleh dan mereka menjadi gembira, lalu bangkit berdiri dan
menjura ke arah wanita itu. Seorang di antara mereka berkata, “Kouwnio, banyak
terima kasih atas kebaikanmu!” Wanita itu hanya membalas penghormatan mereka
sambil tersenyum dan tiga orang laki-laki itu kembali duduk dengan sikap
gembira.
Akan tetapi
Siluman Kecil tentu saja merasa sungkan dan dia berkata dari tempat duduknya,
“Harap Twanio tidak perlu repot, saya hanya makan bubur dan air teh, dan akan
saya bayar sendiri. Terima kasih atas kebaikanmu.”
“Ahh, tidak
mengapa, sobat. Hari ini adalah hari ulang tahunku dan sudah biasa setiap ulang
tahun, aku membayar makanan semua tamu di suatu warung seperti ini,” kata
wanita itu dengan sikap gembira.
Melihat
sikap dan mendengar kata-kata ini Siluman Kecil dapat menduga bahwa wanita ini
sudah biasa hidup di dunia kang-ouw sehingga tidak canggung lagi berhadapan
dengan orang, bahkan laki-laki asing. Dia tidak mau berbantah dan agar tidak
menarik perhatian wanita ini yang sejak di pintu gerbang tadi memandangnya
penuh kecurigaan, maka dia tidak membantah lagi dan ketika hidangan disajikan
oleh pelayan, dia makan dengan diam-diam dan berusaha sedapat mungkin untuk
menyembunyikan mukanya.
Wanita itu
sendiri pun tidak memperhatikannya lagi dan makan minum bersama lima orang
laki-laki yang mengiringkannya tadi, sedangkan tiga orang laki-laki muda yang
merupakan rombongan lain tadi agaknya mempergunakan kesempatan selagi ada orang
yang mau membayar makanan mereka, memesan lagi masakan-masakan dan minuman
arak, agaknya ingin mabuk-mabukan di atas biaya orang lain!
Siluman
Kecil cepat menyelesaikan makannya dan selagi dia hendak bangkit, tiba-tiba dia
melihat ada seorang pemuda memasuki warung. Hatinya tertarik sekali melihat
pemuda ini yang berkulit putih dan berambut coklat tua, seorang pemuda
berbangsa asing atau sebangsa orang barat yang akhir-akhir ini banyak
dilihatnya di kota-kota besar.
“Sumoi...!”
Pemuda asing itu berseru sambil menghampiri meja rombongan wanita berbaju hijau
tadi.
“Ahhh,
Suheng, kau baru datang?” Wanita itu pun berseru ketika pemuda asing itu
menghampiri mejanya.
Lima orang
pengiring wanita itu kelihatan bersikap hormat, berdiri dan mempersilakan
pemuda asing itu duduk, mengambilkan bangku kosong dan tidak mengeluarkan kata
kata. Pemuda asing itu lalu berbisik kepada wanita berbaju hijau, “Sumoi, dia
kulihat di luar dusun... sedang menuju ke sini... sendirian.”
Wanita muda
itu kelihatan terkejut, akan tetapi lalu berkata, “Hemmm, tidak kusangka begitu
cepat dia datang. Akan tetapi kita tidak usah mempedulikan kedatangannya.
Betapa pun juga kita belum pernah mengenal dia. Kita duduk saja di sini
merayakan berhasilnya usahaku, Suheng. Oh ya, mari kuperkenalkan engkau kepada
tamu-tamu kita yang kujamu untuk merayakan hari ulang tahunku.”
Dia bangkit
berdiri dan menghadap ke arah meja tiga orang pemuda tadi.
“Cu-wi, ini
Suheng saya, dan Cu-wi bertiga adalah...“ Wanita itu memperkenalkan.
“Saya Ma Kok
Ciang!”
“Saya Kam
Seng!”
“Saya Kam
Tiong!”
Tiga orang
pemuda itu memperkenalkan diri dengan suara lantang. Pemuda asing itu menjura
dengan hormat dan mengikuti sumoi-nya menghadap ke arah Siluman Kecil.
“Sobat,
Suheng-ku ingin berkenalan denganmu. Bolehkah kami mengenal namamu yang
terhormat?” Wanita baju hijau itu bertanya kepada Siluman Kecil.
Pendekar ini
menundukkan muka, membiarkan rambutnya menutupi mukanya. Sebetulnya dia tidak
ingin berkenalan dengan siapa pun juga. Akan tetapi baru saja dia telah makan
hidangan orang, maka tidaklah enak kalau tidak menjawab. Lebih baik
memperkenalkan diri dan cepat pergi dari situ, pikitnya.
“Namaku...?
Hemmm, panggil saja aku Siluman Kecil,” jawabnya pendek.
“Ughhh-ukkkhhhhh!”
Seorang di antara tiga pemuda itu terbatuk-batuk karena makanan yang sedang ditelannya
itu menyangkut di kerongkongannya ketika dia mendengar ini. Mereka terbelalak
menoleh ke arah Siluman Kecil yang hanya dapat mereka lihat punggungnya.
Sedangkan
wanita baju hijau dan suheng-nya itu pun memandang dengan mata terbelalak
kaget, akan tetapi kerut alis mereka menunjukkan bahwa mereka itu masih
ragu-ragu. Memang sejak berjumpa di pintu gerbang, wanita baju hijau itu sudah
menaruh curiga kepada Siluman Kecil dan sudah menduganya bahwa pemuda yang
berambut putih dan bersikap aneh itu tentu bukan orang sembarangan. Bahkan di
dalam warung ini si wanita baju hijau sengaja mencari jalan untuk berkenalan
dengan pemuda rambut putih itu. Akan tetapi begitu mendengar bahwa dia itu
adalah Siluman Kecil, tentu saja dia meragu dan tidak mudah percaya begitu
saja.
Silumah
Kecil sendiri setelah memperkenalkan namanya sudah hendak bangkit dan pergi,
akan tetapi pada saat itu terdengar suara gemuruh dan derap kaki kuda menuju ke
depan warung. Seorang pelayan yang tadi berada di luar tergopoh-gopoh memasuki
warung dan langsung menemui pemilik warung yang duduk di belakang meja.
“Celaka, rombongan pembunuh dari perkampungan nelayan itu datang!”
Pemilik
warung menjadi pucat mukanya dan semua pelayan juga lari bersembunyi. Melihat
ini, Siluman Kecil tidak jadi pergi dan duduk kembali dengan tenangnya,
menunduk dan mereguk arak di dalam cawan araknya. Wanita baju hijau itu,
bersama suheng-nya dan lima orang pengiringnya, juga tiga orang laki-laki muda
yang sudah agak mabuk, semua menengok ke arah pintu warung.
Dengan
menimbulkan suara hiruk-pikuk masuklah dua puluh orang lebih yang bersikap
gagah dan kasar, dipimpin oleh seorang kakek yang pakaiannya gemerlapan mewah,
pakaian seorang hartawan besar. Dengan matanya yang kelihatan makin sipit
karena teraling sepasang pipi yang gemuk, kakek ini menyapu ruangan warung
dengan pandang matanya, kemudian dengan gerakan kepala dia memberi perintah
kepada tangan kanannya sebagai pemimpin rombongan, yaitu seorang laki-laki
bermuka hitam yang bertubuh tinggi. Laki-laki hitam ini dengan lantang lalu
berkata kepada pemilik warung yang masih duduk di belakang meja dengan muka
pucat dan agaknya dia telah lumpuh saking takutnya sehingga tidak sempat pula
menyembunyikan dirinya seperti yang dilakukan oleh para pelayan.
“Haaai! Pemilik
warung, sudah berbulan-bulan engkau tidak pernah menyerahkan hasil tangkapan
ikan kepada kami, ya?” kata Si Muka Hitam dengan muka menyeringai dan nada
suara menggertak.
Pemilik
warung itu menelan ludah beberapa kali untuk mengusir rasa takut yang tiba tiba
mencekik lehernya sebelum dapat menjawab, “Saya... saya adalah pengusaha
warung... harap maafkan... saya tidak lagi menangkap ikan...“
“Bohong!” Si
Muka Hitam menghardik, suaranya keras sekali membuat si pemilik warung menjadi
makin ketakutan. “Siapa yang tidak tahu bahwa engkau adalah bekas nelayan yang
pandai? Engkau masih mempunyai lima buah perahu dan engkau menyuruh
orang-orangmu mencari ikan-ikan tetapi hasil ikan-ikan yang baik dan besar kau
suruh bawa ke sini, hanya yang kecil-kecil saja kau suruh menjual kepada kami.
Berani kau menyangkal?”
Gemetar
seluruh tubuh pemilik Warung itu. Tidak disangkanya bahwa Boan-wangwe, ‘raja’
kaum nelayan itu sedemikian cerdiknya, dapat tahu setiap langkah perbuatannya.
“Maaf... ampunkan saya... saya membutuhkan ikan-ikan baik untuk warung saya...“
“Ha-ha-ha!”
Sekarang Boan-wangwe, hartawan itu, tertawa. “Sudahlah! Sekarang kau keluarkan
hidangan dari ikan-ikan yang terbaik, keluarkan semua persediaan masakan dan
minuman untuk kami dan kami akan melupakan pelanggaran yang kau lakukan itu.
Akan tetapi suruh pergi semua tamu dari sini, kami tidak ingin diganggu.”
“Heiii,
pelayan! Tambah araknya!” Tiba-tiba terdengar suara si pemuda asing, seolah
olah dia sama sekali tidak melihat atau mendengar apa yang terjadi di situ.
Tukang
warung itu tergopoh-gopoh mendatangi meja wanita baju hijau itu, lalu berdiri
membongkok-bongkok dan berkata gugup, “Harap Cu-wi sudi memaafkan saya... harap
sudi meninggalkan saja warung ini dan... dan Cu-wi tidak usah membayar harga
semua makanan dan minuman tadi...“
“Hemmm, apa
artinya ini?” Pemuda asing itu membentak, sikapnya marah.
“Maaf,
Siauw-ya... warung ini... kini harus melayani Boan-wangwe dan orang-orangnya,
saya tidak bisa menerima tamu lain, semua telah diborong oleh Hartawan Boan...“
“Tidak
peduli yang memborong itu hartawan atau jembel, raja atau petani, dewa atau
setan yang bernama Boan atau anjing kera, kami sudah datang lebih dulu dan
harus dilayani lebih dulu!” Pemuda asing itu membentak marah. “Hayo tambah lagi
araknya!”
“Ba...
baik...“ Pemilik warung itu menjadi makin ketakutan dan seperti seekor anjing
dipukul dia mundur dan mengkeret, lalu berdiri di belakang mejanya dengan
bingung, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Sementara
itu, Si Muka Hitam pimpinan rombongan pengikut Boan-wangwe itu, telah melangkah
maju sambil memberi isyarat kepada orang-orangnya. Meja wanita baju hijau itu
dikurung, akan tetapi wanita baju hijau itu bersama suheng-nya dan lima orang
pengiringnya masih tetap duduk mengelilingi meja dengan sikap tenang.
Boan-wangwe
sendiri, kakek berpakaian mewah itu, hanya tersenyum lalu dengan enaknya duduk
di atas bangku di sudut sambil menonton, mengeluarkan huncwe (pipa tembakau)
dan mengisinya dengan tembakau, lalu menyulutnya dengan api, semua ini
dilakukan dengan tenang seenaknya seperti orang yang hendak menikmati tontonan
yang menarik. Siapakah kakek ini?
Di bagian
depan telah kita ketahui bahwa kakek ini adalah seorang bekas bajak laut yang
berkepandaian tinggi, dan yang sekarang ini telah menjadi seorang hartawan,
seorang pedagang ikan yang melakukan pemerasan terhadap semua nelayan, melepas
uang panas, dan juga memaksa semua orang nelayan untuk menjual hasil tangkapan
mereka kepadanya, tentu saja dengan harga murah dan dia mempunyai banyak anak
buah yang disebarnya di belasan buah dusun-dusun di sepanjang Sungai Huangho.
Hartawan she
Boan ini dikenal sebagai ‘raja’ kaum nelayan, dan ia merupakan seorang tokoh
kaum sesat yang tidak saja kaya raya dan berani mengeduk saku demi untuk
membantu segolongannya, tetapi juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, di waktu ketua Huangho
Kui-liong-pang mengundang para kaum sesat untuk mengadakan pertemuan di lembah,
Boan-wangwe juga tidak ketinggalan dan menjadi seorang di antara para tamu
kehormatan.
“Orang bule!
Agaknya engkau sudah bosan hidup! Hayo lekas engkau dan teman temanmu merangkak
keluar kalau tidak ingin kami seret ke luar sebagai mayat!” bentak Si Muka
Hitam.
Akan tetapi
pemuda asing itu bersama sumoi-nya masih enak-enak menggunakan sumpit dengan
tangan kanan untuk menyumpit daging ini atau sayur itu, membawa ke mulut dan
memakannya dengan tenang. Mendengar bentakan itu, pemuda asing yang dimaki
orang bule itu menoleh, lalu berkata acuh tak acuh, “Hendak kulihat siapa yang
akan mampu menyeret aku keluar!”
“Keparat!”
Si Muka Hitam membentak.
Dia
merupakan salah seorang di antara pembantu-pembantu Boan-wangwe dan dalam
perjalanan ini dia bahkan memimpin rombongan itu, maka tentu saja dia marah
bukan main mendengar tantangan si pemuda asing. Sambil memaki dia menghantam ke
depan, tangan kanan mencengkeram pundak, tangan kiri menjotos ke arah tengkuk.
Serangan maut ini kalau mengenal sasaran tentu akan membuat yang diserang roboh
dan tewas seketika dengan kepala remuk.
“Plak-plakkk...
aughhhhh...”
Si Muka
Hitam itu terlempar ke belakang dan roboh terbanting keras! Ternyata dengan
tangan kanan masih memegang sumpit dan melanjutkan makannya, pemuda asing itu
tanpa menoleh telah menggerakkan tangan kirinya, menangkis dua tangan lawan dan
mendorong, membuat Si Muka Hitam terjengkang dan roboh!
Tentu saja
hal ini membuat semua anak buah Boan-wangwe menjadi marah. Sambil
berteriak-teriak mereka bergantian menerjang pemuda asing itu. Akan tetapi
sungguh hebat sekali pemuda ini. Dia terus melanjutkan makan minum, ditemani
sumoi-nya yang seolah-olah tidak mempedulikan suheng-nya dikeroyok, dan lima
orang pengiringnya pun hanya memandang saja dengan sikap siap siaga. Akan
tetapi, sambil melanjutkan makan hidangan di depannya dengan sumpit, pemuda
asing itu menggunakan tangan kirinya, menangkis, menampar, menyodok, merampas
senjata dan berturut-turut para pengeroyoknya itu ada yang terpelanting, ada
yang terjengkang dan jatuh tumpang tindih!
Boan-wangwe
yang melihat keadaan anak buahnya ini mengerutkan alisnya dan dia menggigit
ujung huncwenya, matanya memandang marah akan tetapi dia masih duduk karena
melihat anak buahnya masih bangun lagi dan masih mengurung, kini semua mencabut
senjata mereka.
Lima orang
pengiring wanita baju hijau kelihatan bangkit berdiri, meraba gagang pedang di
pinggang, akan tetapi wanita baju hijau itu menggeleng kepala. Mereka memandang
penasaran, akan tetapi ternyata mereka taat sekali karena mereka sudah duduk
kembali sambil memandang pemuda asing yang kini sudah menghabiskan hidangan di
dalam mangkoknya. Setelah hidangannya habis, pemuda asing ini bangkit berdiri
dengan muka kesal, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi para pengepungnya.
“Kalian
sungguh manusia-manusia yang menjemukan!” katanya perlahan dan pemuda ini
menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, kemudian kedua tangan itu diputar
putar di depan dada.
“Suheng,
jangan...!” Wanita baju hijau berseru kaget.
Akan tetapi
kedua tangan pemuda itu sudah terlanjur digerakkan, mendorong ke depan dan biar
pun dia mendengar seruan mencegah dari sumoi-nya dan sudah mengurangi tenaganya,
tetap saja terdengar teriakan-teriakan kaget dan kesakitan dari dua puluh orang
lebih itu. Mereka tidak roboh, melainkan menggigil kedinginan, gigi mereka
saling beradu hingga berbunyi berkeretakan, mulut mereka pun mengeluarkan
suara.
“Hu-hu-hu-huuu...,”
dan mereka berusaha mengusir rasa dingin dengan memeluk tubuh sendiri. Keadaan
mereka sungguh lucu dan aneh sekali.
Siluman
Kecil merasa terkejut bukan main. Dia melihat betapa keringat-keringat yang
tadi membasahi tubuh dua puluh orang lebih itu, kini tampak membeku, berubah
seperti tepung-tepung salju menempel di tubuh mereka. Bukan main, pikirnya.
Seperti Swat-im Sin-ciang dari Pulau Es, akan tetapi bahkan lebih ganas! Juga
Boan-wangwe terkejut dan kini dia bangkit berdiri.
“Huh!”
Pemuda asing itu mendengus. “Kalau saja Sumoi tidak mengasihani kalian, tentu
sekarang kalian telah menjadi patung-patung beku tak bernyawa lagi.”
Boan-wangwe
sekarang mengeluarkan semua abu dan tembakau dari huncwenya dan dengan perlahan
dia mencabut ujung huncwe yang ternyata bersusun dan kini huncwe itu memanjang
sampai selengan panjangnya. Kiranya huncwe itu selain dapat dipakai sebagai
penghisap tembakau, juga merupakan senjata yang aneh dan ampuh! Tangan kirinya
merogoh saku dan keluar lagi menggenggam peluru-peluru kecil yang segera
dimasukkan ke dalam mulutnya!
Kemudian,
dengan mengeluarkan suara menggeram, Boan-wangwe menggerakkan kakinya. Tubuhnya
yang agak gendut itu ternyata memiliki gerakan ringan dan cepat sekali,
melayang melalui atas kepala orang-orangnya yang masih kedinginan, langsung
menyerang pemuda asing itu dengan huncwe-nya yang panjang!
“Wuuuttttt...
singgggg...!”
Sambaran
huncwe itu mengejutkan si pemuda asing yang dari suaranya saja maklum bahwa dia
menghadapi senjata ampuh yang digerakkan oleh tenaga sakti yang kuat. Maka dia
cepat melompat ke samping sambil mengelak, sambil mencabut pedangnya, kemudian
balas menusuk yang dapat ditangkis oleh Boan-wangwe.
“Tranggggg!...
Cringgggg...!”
Dua kali
pedang bertemu huncwe dan nampaklah api berhamburan. Keduanya menarik senjata
masing-masing untuk memeriksa. Lega hati mereka melihat betapa senjata mereka
tidak rusak walau pun tadi mereka merasakan getaran hebat mengiris telapak
tangan mereka.
Para anak
buah Boan-wangwe kini mundur dan anehnya, mereka semua kini duduk di atas
lantai di sudut ruangan itu, tidak ada seorang pun yang berdiri dan mereka
menonton pertandingan hebat antara majikan mereka dan pemuda asing itu penuh
perhatian.
Siluman
Kecil juga menonton dengan hati tertarik. Kembali dia merasa kagum karena
ternyata bahwa pemuda yang berkulit putih dan berambut coklat itu selain
memiliki pukulan yang mirip Swat-im Sin-ciang, juga memiliki ilmu pedang yang
amat lihai sehingga biar pun Boan-wangwe juga memiliki gerakan lihai sekali,
cepat kuat dan aneh, namun kakek ini kelihatan terdesak oleh ilmu pedang si
pemuda asing.
“Hyaaaaattttt...!”
Tiba-tiba
pedang itu meluncur dengan gerakan memutar seperti seekor naga bermain di
angkasa, bergulung-gulung dengan cepat sekali. Boan-wangwe menggerakkan
huncwe-nya menangkis dan memutar huncwe untuk mengimbangi kecepatan pedang,
namun tetap saja dia masih kalah cepat.
“Brettttt...!”
Untunglah
dia masih sempat menarik lengannya sehingga yang terbabat putus hanya ujung
lengan bajunya saja. Akan tetapi hal ini cukup membuat dia terkejut sampai
mukanya berubah dan tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan menempelkan ujung
huncwe ke mulutnya.
“Awas,
Suheng...!” Wanita baju hijau itu berseru.
Pemuda asing
itu sudah waspada ketika dari ujung huncwe itu menyambar sinar-sinar kehitaman
yang mengeluarkan bunyi bersuitan. Melihat benda-benda kecil menyambar ke
arahnya, pemuda itu mengelak dan dengan pedangnya dia menangkis.
“Tringgg...
tarrrrr-tarrrrr!”
Dua buah
peluru kecil yang kena disampok pedang itu meledak dan pemuda asing itu
berteriak kaget lalu roboh. Ternyata peluru itu mengandung jarum-jarum lembut
sekali yang agaknya beracun, yang berhamburan keluar ketika peluru itu meledak
dan ada yang mengenai pemuda bule itu.
“Suheng...!”
Wanita baju hijau itu berteriak.
Dengan marah
dia lalu meloncat ke arah Boan-wangwe, gerakannya ketika meloncat membuktikan
bahwa dia memiliki ginkang yang amat hebat. Seperti seekor burung walet
menyambar saja ketika dia meloncat. Akan tetapi Boan-wangwe sudah cepat
menggerakkan huncwenya menangkis ketika melihat sinar pedang meluncur cepat.
“Tranggggg...!”
Kembali
nampak bunga api berhamburan dan Boan-wangwe harus cepat memutar huncwe-nya
karena wanita baju hijau itu ternyata memiliki ilmu pedang yang bahkan lebih
hebat dari pada suheng-nya! Dan selain itu, lima orang pengiringnya kini sudah
mencabut pedang semua dan mengeroyoknya!
Boan-wangwe
maklum bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran dengan senjata, jangankan
dikeroyok enam, melawan wanita baju hijau itu saja sudah kewalahan, maka dia
kembali melompat ke belakang dan menggunakan huncwe dan peluru-peluru kecil
untuk menyerang lawan. Huncwe yang sudah berubah menjadi senjata sumpitan itu
lalu menyemburkan banyak sekali peluru-peluru kecil.
Wanita baju
hijau terpaksa harus menangkis, demikian pula lima orang pengiringnya dan
terdengar bunyi ledakan-ledakan kecil. Wanita itu menjerit dan bersama lima
orang pengiringnya, juga tiga orang muda yang sudah mabuk dan yang tadi
menonton sambil duduk di atas kursi mereka, roboh semua tak sadarkan diri.
Mereka semua, sejumlah sembilan orang itu, roboh pingsan terkena serangan
jarum-jarum halus yang tak tampak oleh mata, yang berhamburan keluar dari dalam
peluru-peluru kecil yang pecah dan meledak.
“Ha-ha-ha,
kini baru kalian tahu rasa!” Boan-wangwe tertawa bergelak. “Berani kalian
menentang Huncwe Maut Boan Kwi, ha-ha-ha!” Sekarang pergilah kalian ke neraka!”
Dengan
iringan suara ketawa anak buahnya yang baru sekarang berani berdiri dengan
tubuh masih ada yang menggigil kedinginan, Boan-wangwe melangkah lebar sambil
membawa huncwe-nya, hendak membunuh tujuh orang bekas lawannya itu. Kini baru
Siluman Kecil mengerti mengapa anak buah Boan-wangwe tadi semua duduk di atas
lantai. Kiranya mereka itu tahu bahwa majikan mereka akan menggunakan huncwe
mautnya dan mereka sudah lebih dulu bersembunyi dari sambaran-sambaran peluru
yang berisi jarum-jarum halus itu!
Ketika
Boan-wangwe sudah mengangkat huncwe untuk memukul kepala si pemuda bule yang
masih pingsan, tiba-tiba ada angin menyambar dari kanan. Dia terkejut sekali,
akan tetapi ketika dia menggerakkan huncwe ke kanan, pukulan itu lenyap dan
kini hawa pukulan menyambar dari kiri! Boan-wangwe terkejut dan bingung,
mengangkat tangan kirinya menangkis.
“Plakkk...!
Nyesssss...!”
Boan-wangwe
tertegun dan matanya berkejap-kejap heran, menikmati rasa yang amat nyaman dan
enak yang dirasainya ketika tangannya bertemu dengan tangan orang yang
menghantamnya itu. Tadi dia masih tergetar oleh benturan-benturan tenaga dari
si pemuda bule yang mendatangkan rasa dingin sekali, dan sekarang, benturan
tenaga ini mendatangkan rasa hangat dan nyaman, nikmat, seolah-olah dia baru
saja diserang hawa dingin lalu mendapatkan kehangatan dari perapian atau
selimut hangat yang halus. Sukar dilukiskan rasanya, amat enak dan menyenangkan.
Akan tetapi ketika dia memandang ke arah lengan kirinya yang tadi terbentur
dengan lengan lawan dan yang mendatangkan rasa nyaman itu, dia terbelalak dan
hampir saja menjerit. Ternyata lengan bajunya hancur lebur dan kulit tangannya
rusak seperti habis disiram minyak mendidih.
“Celaka...!”
serunya dan dia cepat menoleh ke kiri.
Di situ
telah berdiri seorang pemuda berpakaian putih dan berambut putih pula. Pemuda
berambut putih! Muka Boan-wangwe berubah jadi pucat, jantungnya berdebar penuh
ketegangan. Apakah ini orangnya yang disebut-sebut di dalam pertemuan di lembah
itu? Inikah dia si Siluman Kecil? Bulu tengkuknya meremang. Tak mungkin tokoh
yang menggegerkan dunia kang-ouw itu masih begini muda!
Siapa pun
adanya orang ini, jelas orang ini memiliki ilmu pukulan yang seperti ilmu
iblis! Mengerikan sekali! Maka Boan-wangwe tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi.
Cepat dia meloncat ke belakang dan menggunakan huncwe-nya sebagai sumpitan.
Siluman Kecil sudah siap waspada karena dia tadi telah menyaksikan sendiri
betapa lihai dan berbahayanya senjata sumpitan itu. Dia harus mengelak kalau
dia ingin selamat, sama sakali tidak boleh menangkis, karena justeru di situlah
letak bahayanya peluru-peluru kecil itu. Sekali ditangkis, peluru akan meledak
dan jarum-jarum halus yang agaknya beracun akan menyerangnya tanpa dapat
dielakkannya lagi karena selain terlalu dekat juga terlalu halus tidak dapat
dilihat nyata.
Maka begitu
ada suara bersuitan dan ada sinar-sinar hitam menyambar, Siluman Kecil lalu
menggerakkan tubuhnya dan dia pun sudah berloncatan ke sana-sini dengan
kecepatan yang amat luar biasa. Seperti kilat menyambar-nyambar saja layaknya.
Setiap kali berloncatan, dia hanya menggunakan satu kaki saja untuk mengenjot
tubuhnya, seperti seekor burung bangau berdiri dengan satu kaki. Kaki yang
sebuah lagi ditekuk ke belakang. Akan tetapi, loncatannya itu demikian
tiba-tiba dan tubuhnya dapat melejit ke sana-sini, mencelat ke kanan kiri,
depan belakang, atas bawah seperti sebuah bola saja melambung ke sana-sini.
Cepatnya bukan main karena tubuhnya seolah-olah tidak lagi berloncatan,
melainkan melenting ke sana-sini karena memantul kembali.
Pertunjukkan
ginkang yang diperlihatkan oleh Siluman Kecil ini benar-benar amat luar biasa
sekali. Tubuhnya seperti telah menjadi banyak loncat ke sana sini, jungkir
balik, melayang ke atas, menyentuh atap dan menukik turun seolah-olah kepalanya
akan menyentuh lantai, lalu membuat salto sampai lima enam kali berturut-turut,
berbalik kembali ke atas, selalu meluncur di antara hujan peluru kecil itu.
Kakinya menotol ke sana-sini, menjejak dinding tembok, hinggap di atas meja, di
atas bangku, melayang lagi ke atas kepala Boan-wangwe, bahkan pernah kaki itu
menyentuh pundaknya dan menggunakan pundak lawan untuk mencelat ke lain bagian,
terus mengelak.
Warung itu
menjadi sasaran ledakan-ledakan peluru yang mengenai tembok, meja dan bangku
sehingga kini semua pelayan termasuk pemilik warung yang bersembunyi, tidak
urung terkena jarum halus dan semua roboh pingsan di atas lantai di mana mereka
bersembunyi!
Pada saat
itu pula muncul seorang laki-laki yang masih muda, usianya kurang lebih tiga
puluh tahun. Dia sudah tiba di ambang pintu dan memandang ke dalam dengan mata
terbelalak.
“Hebat!”
serunya ketika dia melihat tubuh Siluman Kecil yang melayang-layang. “Ahh...!”
Dia berteriak kaget ketika melihat peluru-peluru kecil yang meledak itu pecah
dan menyebar jarum-jarum lembut yang beracun. Dia melihat banyak orang rebah di
lantai akibat serangan jarum-jarum halus itu.
“Tahan...!”
Laki-laki ini berseru, suaranya melengking nyaring dan tubuhnya mendoyong ke
depan, hampir menelungkup, dan mendadak badannya meluncur ke depan, cepat
sekali, lengan bajunya yang kiri berkibar-kibar dan bergerak-gerak ke kanan
kiri seperti seekor ular yang hidup. Dan semua peluru yang kesasar dan
menyambar ke arahnya, semua lenyap seperti tertelan atau tergulung oleh lengan
baju itu, kemudian dengan gerakan yang bukan main gesitnya, dia mendekati
Boan-wangwe dan ujung lengan baju yang seperti ekor naga itu bergerak-gerak di
depan sumpit dan menggulung semua peluru yang disemburkan keluar, sampai
akhirnya habislah peluru yang berada di mulut Boan-wangwe.
Boan-wangwe
terkejut bukan main. Pelurunya sudah habis. Tidak ada lagi yang boleh
diandalkannya untuk menghadapi lawan-lawan yang amat sakti ini. Baru menghadapi
pemuda rambut putih yang disangkanya tentu Siluman Kecil itu saja, dia sudah
kewalahan dan tak mungkin bisa menang, sekarang muncul lagi orang aneh ini yang
dengan lengan baju yang kosong dapat membikin peluru-pelurunya yang ampuh dan
berbahaya itu mati kutu sama sekali…..
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment