Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 06
Kini
jelaslah sudah bahwa pelayan-pelayan wanita itu adalah serombongan orang yang
menyamar untuk menculik sang puteri! Dan ternyata mereka itu terdiri dari
orang-orang lihai, sama sekali bukan lawan para pengawal Hwa-i-kongcu atau
anggota-anggota Liong-sim-pang biasa saja. Hanya tiga orang lihai tadi yang
dapat mengatasi mereka dan mulailah ada beberapa orang wanita pelayan roboh dan
selebihnya lalu melarikan diri, dikejar oleh tiga orang itu dan para anak buah
Liong-sim-pang….
Tamu-tamu
makin panik dan sebagian besar menyelamatkan diri dengan sembunyi di balik
semak-semak atau pohon-pohon di dalam taman, dan ada pula yang begitu saja
memasuki kamar-kamar, tidak peduli kamar siapa, ada pula yang menyelinap ke
dalam dapur, tidak peduli pakaian dan mukanya penuh hangus. Hanya yang
berkepandaian saja membantu para anggota Liong-sim-pang melakukan pengejaran
pada rombongan wanita pelayan yang ternyata merupakan gerombolan penculik itu.
Ternyata
orang-orang Hek-eng-pang amat cerdik, dan sebelum melakukan penculikan,
sebagian di antara mereka telah mengatur ‘jalan lari’ untuk kawan-kawannya.
Sekarang, mereka mengikuti jalan yang mereka buat, dan dipimpin oleh
Hek-eng-pangcu sendiri, yaitu Yang-liu Nionio, mereka berserabutan memasuki
taman melalui jalan yang sudah direncanakan semula.
“Penculik-penculik
hina, hendak lari ke mana kalian?” Hak Im Cu mengejar dan tosu ini paling cepat
larinya karena dia memang seorang ahli ginkang yang hebat.
“Liong-li,
bawa dia ini!” Yang-liu Nionio berteriak dan melemparkan tubuh Syanti Dewi yang
sudah ditotoknya itu ke arah muridnya itu. Liong-li menyambut tubuh itu dan
terus melarikan diri, sedangkan Yang-liu Nionio menyambut serangan pedang Hak
Im Cu dengan ranting yang-liu yang tadi dipegangnya.
“Singgg...
trakkkkk!” Pedang itu tertahan oleh ranting dan keduanya lalu bertempur seru.
Sementara
itu, melihat pengantin wanita dilarikan seorang pelayan dan belasan pelayan
lain, para pengawal cepat mengejar. Liong-li lari bersama teman-temannya,
meloncati jalan di antara semak-semak. Para pengawal atau anak buah
Liong-sim-pang mengejar.
“Blarrrrr...!”
Terjadi
ledakan keras dan empat orang anak buah Liong-sim-pang terlempar ke sana sini
oleh ledakan itu. Kiranya di situ sudah dipasang jebakan semacam ranjau oleh
orang-orang Hek-eng-pang yang tadi meloncati tempat itu. Anak buah
Liong-sim-pang yang tidak tahu tentu saja berlari biasa dan menginjak ranjau
itu.
Bersama
bunyi ledakan, Yang-liu Nionio diikuti oleh beberapa orang anak buahnya juga
lari karena Ban-kin-kwi Kwan Ok dan Hai-liong-ong Ciok Gu To telah tiba di
situ. Melihat adanya tiga orang yang amat lihai ini, Yang-liu Nionio mengajak
anak buahnya lari dan mereka menyelinap di semak-semak belukar di luar taman.
“Keparat
jangan lari!” Hak Im Cu memaki dan mengejar.
Akan tetapi
tiba-tiba semak-semak itu terbakar dan nyalanya demikian besar karena ternyata
semak-semak itu telah disiram minyak. Terpaksa tiga orang lihai ini tidak
berani menerjang api dan harus mengambil jalan memutar. Mereka melihat wanita
tua cantik memegang ranting itu bersama lima orang wanita pelayan lain
menyeberangi jembatan di luar taman. Tentu saja dengan cepat mereka mengejar.
Wanita-wanita
itu telah tiba di seberang jembatan dan baru saja Hak Im Cu dan kawan kawannya
tiba di jembatan dan meloncat ke atasnya, tiba-tiba jembatan itu ambruk! Tentu
saja ini pun buatan para anggota Hek-eng-pang. Untung bahwa yang berada di
jembatan itu adalah Hak Im Cu bertiga yang tentu saja dapat meloncat kembali ke
belakang dan tidak sampai ikut terjatuh bersama jembatan itu.
Hak Im Cu
dan teman-temannya, juga para anak buah Liong-sim-pang cepat mengejar para
wanita yang telah tiba di tembok yang mengelilingi tempat markas Liong-sim-pang
itu. Dengan gerakan-gerakan yang sangat ringan mereka meloncat ke atas tembok,
didahului oleh Liong-li yang memondong tubuh Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha,
kalian hendak lari kemana?” Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan kiranya di
atas tembok, di menara penjagaan, telah nongkrong seorang tinggi besar
bersorban yang bukan lain adalah Gitananda, tokoh aneh dari Nepal tadi!
“Liong-li,
lari...!” Yang-liu Nionio berteriak dan dia sendiri menggunakan ranting
yang-liu, langsung menubruk dan menyerang kakek Nepal itu.
Si kakek
Nepal terkejut karena tahu bahwa serangan nenek cantik ini cepat dan kuat bukan
main, maka dia pun menggerakkan tongkatnya menangkis dan mereka segera
bertempur di dalam menara penjagaan itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh
Liong-li untuk berloncatan pergi ke tempat di mana Tek Hoat dan para anak buah
Hek-eng-pang yang lain sudah siap dengan kuda mereka.
Hak Im Cu
dan kawan-kawannya tidak mempedulikan nenek yang masih bertanding melawan orang
Nepal itu, oleh karena bagi mereka yang terpenting adalah merampas kembali
pengantin wanita yang terculik. Maka mereka lalu mengerahkan para anak buah
Liong-sim-pang untuk mengejar melalui pintu gerbang sedangkan mereka bertiga
sendiri melakukan pengejaran dari atas dengan berlompatan.
Melihat
bahwa anak muridnya dan para anak buah Hek-eng-pang sudah berhasil keluar dari
tembok, Yang-liu Nionio cepat mendesak kakek Nepal dengan gerakan ranting
yang-liu dan ketika kakek itu menangkis dengan tongkatnya, tangan kirinya melakukan
pukulan atau cengkeraman mautnya, yaitu Hek-eng-jiauw-kang yang hebat bukan
main. Dari jari-jari tangannya yang dibentuk seperti kuku garuda itu menyambar
hawa dahsyat sekali.
“Ehhhhh...!”
Gitananda terkejut dan cepat meloncat ke belakang, akan tetapi dia melihat
nenek cantik itu pun meloncat jauh dan melarikan diri di dalam gelap.
Karena malam
itu gelap dan penerangan dari atas tembok tidak seberapa besar, maka kakek
Nepal yang hanya menjadi tamu ini tak mau membahayakan dirinya. Dia maklum bahwa
mengejar seorang lawan pandai di tempat gelap amatlah berbahaya, maka dia pun
melakukan pengejaran seenaknya saja, dengan sikap amat berhati-hati.
Kini
terjadilah kejar-kejaran di luar tembok dan di tempat terbuka di daerah
Pegunungan Lu-liang-san, di malam gelap itu. Akan tetapi sebentar saja, para
wanita yang memang sebelumnya sudah mengatur jalan dengan cerdiknya, dapat
melarikan diri di tempat gelap dan terus dikejar oleh para anggota
Liong-sim-pang yang dipimpin oleh Hak Im Cu dan kedua orang temannya, bahkan
kemudian Hwa-i-kongcu, pengantin pria yang gagal itu pun melakukan pengejaran
sendiri…..
***************
Kita
tinggalkan dulu para penculik Syanti Dewi yang melarikan diri dan dikejar oleh
anggota Liong-sim-pang, dan juga secara diam-diam dikejar pula oleh seorang
gadis cantik, yaitu Siang In dan mari kita kembali mengikuti keadaan Suma Kian
Lee yang menjadi tawanan Hek-eng-pang.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Suma Kian Lee tidak berdaya dan menjadi
setengah tawanan dari Hek-eng-pang dikarenakan Hek-eng-pang mengancam akan
membunuh Cui Lan dan Gubernur Hok kalau dia melawan. Akan tetapi munculnya Ang
Tek Hoat membuka rahasianya dan akhirnya, dalam pertandingan melawan Tek Hoat
dia dikeroyok dan roboh pingsan.
Ketika Kian
Lee sadar kembali, dia telah berada di dalam sebuah kamar dan dijaga oleh empat
orang wanita anggota Hek-eng-pang yang cantik-cantik. Begitu siuman, dia lalu
bangkit duduk dan siap untuk mengamuk. Akan tetapi seorang wanita cantik yang
dia tahu merupakan seorang di antara kepala-kepala pasukan di Hek-eng-pang,
muncul dan langsung berkata, “Harap kau suka tenang, Kongcu. Kalau tidak,
terpaksa kedua orang kawanmu itu kami bunuh!”
Teringat
akan Cui Lan dan Hok-taijin, Suma Kian Lee tenang kembali dan dia bangkit duduk
kemudian berkata, “Sesungguhnya, apakah yang kalian kehendaki dariku?” Dia
memandang ke kanan kiri dan bertanya lagi, “Mana ketua kalian itu? Dan mana
pula Tek Hoat? Suruh mereka bicara dengan aku!”
“Pangcu
sedang pergi dan aku yang diberi tugas untuk minta agar kau mengaku saja
semuanya, Suma-kongcu. Bukankah sudah jelas bahwa yang merampas harta keluarga
Kao adalah seorang pemuda yang dikenal pula sebagai Suma-kongcu dan menjadi
saudaramu? Nah, sekarang, demi keselamatan dua orang kawanmu itu, terutama dara
cantik jelita yang selalu menanyakan keadaan dan mengkhawatirkan keselamatanmu
itu, yang agaknya adalah... ehhh, kekasihmu.“
“Jangan
bicara sembarangan!” Kian Lee menghardik dan mukanya berubah merah.
Dia tahu
betapa lembut dan halus perasaan Phang Cui Lan, dan betapa dara itu masih
mengkhawatirkannya, akan tetapi hal itu bukan berarti dara itu cinta kepadanya
karena hati dan cinta kasih dara itu telah ditumpahkan kepada Siluman Kecil!
“Maaf, Kongcu.
Sekarang, demi keselamatan mereka, harap Kongcu berterus terang saja. Di mana
adanya harta itu dan supaya dikembalikan kepada kami untuk ditukar dengan dua
orang kawanmu.”
“Kalian
adalah orang-orang bodoh yang suka menuduh orang secara ngawur saja!” Kian Lee
berkata dengan nada menyesal. ”Aku bukanlah orang-orang macam kalian yang suka
membohong, apa lagi menghendaki barang orang lain. Sesungguhnya, aku sama
sekali tidak tahu tentang harta itu. Kalau kau tak keberatan, ceritakanlah
kepadaku apa yang telah terjadi?”
Wanita
cantik itu tersenyum, seolah-olah dia tahu bahwa Kian Lee berpura-pura. Lalu
dia menarik napas panjang dan berkata, “Kongcu, engkau membuat tugas kami
menjadi lebih berat lagi. Mengapa masih pura-pura tidak tahu kalau yang
melakukan ini adalah saudaramu sendiri?”
Kian Lee
menahan kesabarannya. “Aku memang mempunyai saudara yang kini sedang
kucari-cari, tetapi saudaraku bukanlah perampok atau penculik! Nah, sudah
kukatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa dalam hal ini. Kau mau menjelaskan atau
tidak terserah!”
Melihat
sikap ini, wanita itu menjadi ragu-ragu dan dia pun bercerita, “Kami mendengar
bahwa keluarga Jenderal Kao Liang telah mengundurkan diri dan hendak pulang ke
kampung membawa harta yang besar. Karena rombongannya akan lewat tidak jauh
dari sini, maka pangcu kemudian memerintah kami untuk menghadang dan merampas
harta pusaka itu. Kami sudah hampir berhasil, akan tetapi ternyata banyak pihak
lain yang juga mengandung niat yang sama dengan kami. Mereka adalah orang-orang
lembah, yaitu perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang yang selalu menjadi musuh
besar kami. Kemudian dalam perebutan harta pusaka keluarga Kao itu muncul pula
pengawal-pengawal kerajaan yang menyamar, dan kami mendengar pula nama
Suma-kongcu. Karena kami tidak berhasil merampas harta, juga pihak
Kui-liong-pang tidak pula, sedangkan para pengawal itu telah kami hancurkan,
maka tinggal Suma-kongcu itulah yang mencurigakan dan tentu dia yang telah
merampas harta pusaka keluarga Kao.”
“Hemmm, dan
di mana adanya keluarga Kao sendiri?”
Wanita itu
tersenyum dan mencibirkan bibirnya yang merah. “Mereka terculik dan kami tidak
tertarik oleh hal itu. Kami hanya mementingkan harta pusaka dan karena jelas
bahwa harta itu dirampas oleh Suma-kongcu, sedangkan engkau adalah saudaranya,
maka kami mengharap bantuanmu untuk mengembalikan harta itu kepada kami sebagai
penukaran diri dua orang kawanmu.”
Akan tetapi
Kian Lee sudah tidak mempedulikan omongan wanita itu lebih lanjut karena dia
sudah melamun! Kini mengertilah dia mengapa hal-hal aneh itu terjadi kepadanya.
Jenderal Kao dan kedua orang puteranya menyerangnya, tentu mereka itu pun sudah
mendengar bahwa Suma kongcu yang tentu saja kalau memang benar demikian adalah
adiknya, Kian Bu, yang mencuri harta mereka dan menculik keluarga mereka.
Pantas saja jenderal itu dan dua orang puteranya menyerang dia! Tentu ini
fitnah belaka! Tidak mungkin adiknya, Suma Kian Bu, kini telah berubah menjadi
garong! Apa lagi menjadi penculik!
Ini tentu
fitnah! Dan dia berkewajiban untuk membongkar rahasia ini. Dia harus dapat
menemukan keluarga Jenderal Kao dan menemukan harta yang dirampas orang, bukan
hanya untuk membantu keluarga Jenderal Kao itu melainkan juga untuk
membersihkan nama adiknya dari fitnah. Akan tetapi sebelum dapat mencari keluarga
Jenderal Kao dan harta pusakanya itu, lebih dulu dia harus dapat meloloskan
diri dari tempat ini tanpa membahayakan Cui Lan dan Gubernur Hok.
Ahh, betapa
banyaknya hal yang masih harus dia kerjakan, betapa banyaknya halangan
dihadapinya dalam perjalanannya kali ini. Masih ada lagi tugas yang juga amat
penting, yaitu menyelidiki dan membebaskan Pangeran Yung Hwa!
“Biarkan aku
bicara sendiri dengan Tek Hoat dan dengan ketua kalian,” akhirnya dia berkata.
“Terjadi salah duga atau fitnah keji dalam hal ini,” hanya demikian jawabnya
dan akhirnya wanita itu pun meninggalkannya, mengatakan bahwa ketua
Hek-eng-pang yang pergi bersama Si Jari Maut belum pulang.
Sampai hari
menjadi malam, ketua Hek-eng-pang dan Si Jari Maut belum juga pulang dan malam
ini terjadilah peristiwa hebat di puncak Gunung Cemara. Di waktu malam gelap
itu, secara tiba-tiba orang-orang lembah, yaitu musuh besar perkumpulan
Hek-eng-pang, datang menyerbu! Mereka ini adalah orang-orang Huang-ho
Kui-liong-pang yang datang secara tidak terduga-duga dan menyerang perkampungan
Hek-eng-pang dengan hebat, membakari rumah di situ.
Pihak
Hek-eng-pang tentu saja melakukan perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena
sebagian besar di antara mereka pergi bersama ketua mereka, maka jumlah mereka
kalah banyak, dan juga tanpa adanya ketua mereka, para anggota Hek-eng-pang ini
lemah semangatnya. Akhirnya mereka melarikan diri cerai-berai mencari
keselamatan, meninggalkan rumah-rumah mereka yang menjadi lautan api!
Tentu saja
Kian Lee yang terkejut oleh penyerbuan ini, cepat meninggalkan tempat
tahanannya. Para wanita yang menjaga kamar tahanan juga sudah tidak ada lagi
dan di dalam keributan itu, Kian Lee tidak mau ikut campur, tetapi langsung
saja dia mencari Cui Lan dan Gubernur Hok. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika
dia tiba di tempat tahanan dua orang itu, dia melihat dua orang penjaganya,
yaitu wanita-wanita anggota Hek-eng-pang yang ditugaskan menjaga dan menodong
mereka telah menggeletak tewas dan di dalam kamar itu tidak lagi nampak
bayangan Cui Lan dan Hok-taijin. Kian Lee lalu berlari ke sana-sini
mencari-cari, akan tetapi dia tidak dapat menemukan jejak dua orang itu.
Ketika
melihat orang-orang Huang-ho Kui-liong-pang meninggalkan Gunung Cemara sambil
bersorak-sorak seperti barisan tentara menang perang, Kian Lee diam-diam
membayangi mereka. Tetapi, gerombolan orang-orang dari lembah itu menggunakan
perahu-perahu melanjutkan perjalanan mereka dan terpaksa Kian Lee lalu
membayangi terus di sepanjang pantai sungai.
Sampai pagi
hari, perahu-perahu itu terus meluncur dan Kian Lee juga terus menerus
membayanginya. Tibalah mereka di sebuah dusun di pinggir sungai dan
perahu-perahu itu berhenti mendarat. Namun tidak semua anggota Kui-liong-pang
mendarat sehingga Kian Lee tidak tahu di mana adanya Cui Lan dan Gubernur Hok,
di perahu yang mana. Selagi dia ragu-ragu dan menduga-duga, siap untuk menyerbu
dan menolong Cui Lan dan Gubernur Hok, tiba-tiba dia dikejutkan oleh teriakan
orang di belakangnya.
“Ehh, inilah
dia pemuda itu!”
Kian Lee
cepat menengok dan dia melihat Ho-nan Cui-lo-mo Wan Lok It, tokoh jagoan dari
Gubernur Ho-nan itu, yang gendut dan rambutnya merah, tak pernah melepaskan
guci araknya! Bersama kakek ini, ada pula belasan orang anak buahnya dan
agaknya mereka tiba di dusun ini dalam usaha mereka mencari-cari Gubernur Hok
dan juga dia sendiri. Kian Lee terkejut dan diam-diam dia mengharapkan agar
Gubernur Hok dan Cui Lan jangan keluar dari tempat mereka, karena kalau sampai
ketahuan, tentu akan ditangkap dan sukar baginya untuk melindungi mereka.
Ciu-lo-mo
sudah menerjang dengan guci araknya sebagai senjata, dibantu belasan orang itu
yang sudah mengurung Kian Lee. Pemuda ini menganggap bahwa andai kata Cui Lan
dan Gubernur Hok ditawan orang-orang lembah, keadaan mereka lebih aman dari
pada kalau ditawan oleh orang-orang ini, karena orang-orang lembah itu belum
tahu siapa adanya Hok-taijin, sedangkan orang-orang ini adalah kaki tangan
Gubernur Ho-nan.
Maka dia
lalu melompat merobohkan dua orang anak buah Si Setan Arak Tua dari Ho-nan itu
dan melarikan diri, untuk memancing mereka menjauhi perahu-perahu itu yang
diduganya menawan Cui Lan dan Hok-taijin. Benar saja, Cui-lomo dan anak buahnya
cepat melakukan pengejaran. Setelah berjarak cukup jauh, barulah Kian Lee
membalik dan menghadapi mereka dengan tenang, menanti kedatangan mereka dan
mengambil putusan untuk memberi hajaran kepada mereka.
Tetapi,
begitu orang-orang itu tiba di depannya dan sebelum mereka menyerangnya
terdengar bentakan halus, “Omitohud...! Tahan senjata... pinni hendak
bicara...!”
Semua orang
menengok ke arah datangnya suara itu dan muncullah seorang nikouw (pendeta
wanita) tua yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil dan
mukanya pucat, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar yang membuat Kian Lee
mengenal bahwa nikouw itu bukan sembarang orang. Nikouw itu memegang sebatang
tongkat panjang dan dengan pandang mata menyelidik, dia bertanya kepada Ho-nan
Ciu-lo-mo dengan suara nyaring, “Apakah kalian orang-orang Kui-liong-pang?”
Ciu-lo-mo
Wan Lok It memandang marah, akan tetapi karena dia berhadapan dengan seorang
nikouw, dia menahan kemarahannya dan berkata, “Harap Lo-suthai jangan menduga
sembarangan dan mengira kami adalah orang-orang dari perkumpulan kotor itu.
Kami adalah pasukan dan utusan dari Kui-taijin, yaitu Gubernur Ho-nan!”
Ciu-lo-mo mengangkat dada untuk membanggakan kedudukannya sebagai utusan
gubernur.
Akan tetapi
sungguh celaka. Ketika nikouw itu mendengar bahwa dia adalah utusan Gubernur
Ho-nan, wajah nikouw itu menjadi merah dan sinar matanya menunjukkan kemarahan.
“Bagus! Sungguh kebetulan sekali. Justeru kalian inilah orang-orang yang harus
pinni cari. Hayo lekas katakan, di mana adanya Phang Cui Lan? Apa yang terjadi
dengan dia?”
Ho-nan
Cui-lo-mo Wan Lok It adalah seorang jagoan Ho-nan yang sama sekali tidak
mengenal nikouw ini. Maka tentu saja dia tidak menjadi takut, bahkan dia
menghadapi kemarahan nenek ini dengan muka tidak senang. Apa lagi sekarang
nenek itu menyebut nama Phang Cui Lan, yaitu gadis pelayan istana gubernur yang
telah berkhianat dan membantu larinya Gubernur Ho-pei, musuh dari Gubernur
Ho-nan.
“Hemmm...
nikouw tua...,“ katanya, kini berkurang nada hormatnya. “Apa maksudmu
menanyakan gadis pelayan yang berkhianat itu?”
Nikouw itu
makin marah. “Kau ini siapa? Dan apa kedudukanmu di gubernuran?”
Ditanya
demikian, Wan Lok It menepuk dadanya. “Belum mengenal aku? Inilah Ho-nan
Ciu-lo-mo Wan Lok It. Aku adalah pengawal pribadi Gubernur Ho-nan! Gadis
bernama Phang Cui Lan itu adalah seorang pengkhianat, apa maksudmu menanyakan
gadis itu?”
“Omitohud! Sungguh
kebetulan sekali. Tentu orang-orang macam engkau inilah yang membujuk gubernur
untuk mencelakai gadis itu. Pinni telah mendengar bahwa gadis itu dikejar-kejar
oleh orang-orangnya gubernur, bahkan hendak membunuhnya. Benarkah begitu?”
“Benar
sekali! Dan apakah engkau tahu di mana dia bersembunyi? Kalau kau berani
melindunginya, engkau juga akan celaka!”
“Omitohud,
sungguh berani mati! Ehhh, Setan Arak, Nona Phang itu adalah seorang sahabat
pendekar Siluman Kecil yang dititipkan Gubernur Ho-nan, dan sekarang berani
kalian hendak membunuh dia! Bukankah dengan demikian gubernur tidak menghargai
beliau? Awas, kalau sampai terjadi sesuatu dengan nona itu, gubernur dan semua
kaki tangannya tentu tidak akan bebas dari hukuman!”
Kian Lee
merasa kagum dan heran mendengar ucapan nikouw itu. Kiranya nikouw tua yang
lihai dan berwibawa ini juga merupakan seorang pembantu dari pendekar yang
terkenal dengan sebutan Siluman Kecil! Dia kagum karena selain pendekar itu
memiliki banyak pembantu dan namanya amat dikenal dan disegani semua orang,
juga ternyata bahwa pendekar itu mempunyai rasa setia kawan yang besar, dan
juga semua kawan kawannya demikian tunduk dan setia kepadanya. Betapa banyaknya
orang yang setia kepada pendekar itu, dari seorang gadis cantik jelita dan
halus budi seperti Cui Lan, sampai kepada orang-orang kasar seperti para
pemburu yang menolongnya keluar dari terowongan saluran air itu dan nikouw tua
yang menimbulkan rasa hormat ini.
Namun orang
yang sudah biasa mengandalkan kepandaiannya sendiri, kedudukannya dan banyak
kawan seperti Cui-lo-mo tidak merasa takut menghadapi nikouw itu, bahkan dia
menjadi marah sekali. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Siluman Kecil
yang kabarnya muncul seperti siluman, membasmi orang-orang jahat akan tetapi tidak
pernah dapat dilihat dengan nyata orangnya itu, yang pernah pula membasmi
penjahat yang mengganggu Propinsi Ho-nan dan juga dihormati oleh gubernur
sendiri. Tetapi dia sendiri belum pernah melihat sendiri kelihaiannya, maka
tentu saja dia tidak mau tunduk begitu mudah, apa lagi yang muncul hanya
seorang nikouw tua sepertl itu, yang berani mengeluarkan kata-kata keras
bernada mengancam terhadap gubernur beserta kaki tangannya!
“Ehhh,
nikouw tua! Hati-hati engkau bicara, atau kau kutangkap sebagai seorang kaki
tangan pengkhianat!”
“Hemmm,
Setan Arak. Kalau kau berani, boleh coba kau tangkap pinni!” jawab nikouw itu.
“Bagus!
Engkau yang menantang, jangan nanti persalahkan aku dan mengatakan aku tidak
menghormat seorang pendeta wanita tua!” Ho-nan Cui-lo-mo lalu menerjang maju
dengan gucinya, menyerang nikouw itu.
“Trang-trang-tringgggg...!”
Tongkat
nikouw itu menangkis guci dan ketika ada arak muncrat dari guci itu ke arah
mukanya, nikouw itu hanya meniup dan arak itu pecah dan buyar. Kemudian
tongkatnya membalas. Ternyata serangan balasan nikouw itu pun kuat sekali
hingga mengejutkan Ho-nan Ciu-lo-mo. Maklum bahwa nenek itu ternyata merupakan
lawan yang cukup tangguh, dia lalu meneriaki anak buahnya untuk maju
mengeroyok.
“Sungguh
tidak tahu malu!” Kian Lee membentak dan pemuda ini telah melompat maju,
mengamuk dan dalam beberapa gebrakan saja para anak buah dari gubernuran itu
cerai-berai dan kacau-balau, bahkan Si Setan Arak sendiri terdorong mundur oleh
hawa pukulan yang keluar dari tangan Kian Lee.
Wan Lok It
bukan orang bodoh. Dia memang sudah tahu bahwa pemuda itu lihai, akan tetapi
dengan mengandalkan belasan orang anak buahnya yang merupakan pengawal pengawal
pilihan dari gubernuran, hatinya lantas menjadi besar dan dia tadi hendak
menangkap pemuda itu. Namun siapa tahu, di situ muncul nikouw yang juga lihai
dan dengan majunya nikouw itu bersama si pemuda yang lihai, tentu saja dia dan
kawan kawannya merasa kewalahan dan akhirnya larilah mereka sambil menyeret
teman teman yang terluka.
Nikouw itu
memandang kepada Kian Lee dengan kagum kemudian berkata memuji, “Omitohud!
Pinni sungguh keliru dan tidak melihat Gunung Thai-san menjulang tinggi di
depan mata. Kongcu memiliki kepandaian yang amat tinggi dan tadi pinni sudah
berani mengkhawatirkan keselamatan Kongcu. Sungguh menggelikan!”
Kian Lee
menjura kepada nikouw tua itu dan berkata, “Suthai membela Nona Phang, hal itu
saja sudah menunjukkan bahwa Suthai adalah seorang sahabat. Kini saya pun
sedang mencari dia dan hendak menolongnya dari cengkeraman orang-orang jahat.”
“Ohhhhh...
begitukah? Di mana dia dan bagaimana Kongcu bertemu dengan dia?”
“Marilah
kita mengejar perahu-perahu yang tadi berlabuh di dusun sana, Suthai. Kalau
tidak salah, Nona Phang dan seorang... paman dibawa di dalam salah sebuah di
antara perahu-perahu itu. Mari kita mengejar dan nanti saya ceritakan kepada
Suthai tentang pertemuan antara kami.”
Kian Lee dan
nikouw tua itu mengejar dan ternyata bahwa perahu-perahu itu telah lama pergi.
Kiranya begitu melihat keributan di darat, perahu-perahu itu tidak jadi singgah
dan melanjutkan perjalanan cepat-cepat hingga tidak nampak lagi. Kian Lee lalu
mengajak nikouw itu mengejar dengan cepat di sepanjang pinggir sungai.
Dalam
perjalanan ini dia menceritakan bagaimana dia bertemu dengan Phang Cui Lan dan
dengan singkat dia lalu bercerita bahwa Cui Lan bersama dengan seorang kakek
melarikan diri dari gubernuran Ho-nan, dikejar-kejar dan dia sendiri terjerumus
ke dalam terowongan saluran air. Diceritakannya betapa dia telah ditolong oleh
Cui Lan yang mengerahkan teman-temannya para pemburu sehingga dia selamat.
“Ahhh...
kiranya Kongcu yang ditolong itu? Pinni mendengar dari para pemburu tentang
itu, dan dari mereka itulah pinni jadi tahu bahwa nona Phang dikejar-kejar dan
hendak dibunuh, maka sekarang pinni mewakili beliau untuk menegur gubernur
Ho-nan dan untuk menyelamatkan Nona Phang.”
”Maksud
Suthai beliau Si Siluman Kecil?” Kian Lee bertanya.
“Siapa
lagi?” Nenek itu mengangguk. “Lalu bagaimana, harap Kongcu lanjutkan.”
“Saya
mengantar Nona Phang untuk mengungsi ke Ho-pei, akan tetapi di tengah jalan
kami ditangkap oleh gerombolan Hek-eng-pang. Karena mereka itu mengancam hendak
membunuh Nona Phang, terpaksa saya menyerah. Dan malam tadi, Hek-eng-pang
diserang oleh gerombolan lain yang menjadi musuh mereka. Saya dapat terbebas,
akan tetapi ketika saya mencari Nona Phang, dia telah lenyap. Mungkin sekali
ditawan oleh gerombolan yang melarikan diri dengan perahu-perahu itu. Sayang,
sebelum saya berhasil mendapatkan apakah Nona Phang berada di perahu itu,
muncul si Setan Arak yang mengenal saya ketika terjadi keributan di gubernuran
Ho-nan dan dia menyerang saya sehingga perahu-perahu itu sempat pergi.”
Nikouw itu
mendengarkan dengan penuh perhatian. ”Ahhh, kalau begitu Kongcu telah banyak
membela dan melindungi Nona Phang dan dengan demikian maka bolehlah dibilang
Kongcu adalah seorang sahabat juga dari beliau.”
Mereka
melanjutkan perjalanan dengan cepat, akan tetapi belum juga dapat menyusul
perahu-perahu itu. Hati Kian Lee makin tertarik kepada tokoh yang berjuluk atau
dijuluki Siluman Kecil itu.
“Suthai,
siapakah sebenarnya Siluman Kecil itu? Siapa namanya dan dia datang dari mana?”
Tiba-tiba
nikouw tua itu berhenti dan memandang kepada Kian Lee dengan sinar mata penuh
selidik dan kecurigaan. Akan tetapi melihat sikap Kian Lee tenang-tenang dan
biasa saja, dia menjawab, “Pinni juga tidak tahu banyak. Yang pinni ketahui
hanyalah bahwa beliau sering kali datang ke kuil kami dan bercakap-cakap dengan
Subo. Beberapa hari yang lalu beliau datang dan setelah bercakap-cakap dengan
Subo, pinni dipanggil dan diserahi tugas untuk menyelidiki keadaan Nona Phang.”
Nikouw itu menghentikan ceritanya dan jelas bahwa dia enggan untuk banyak
bicara tentang tokoh itu. Tentu saja sikap ini bahkan makin menarik hati Kian
Lee.
“Telah lama
saya mendengar nama besar Siluman Kecil. Ingin sekali saya bertemu dengan
orangnya dan berkenalan,” katanya.
“Hemmm,
tidak mudah!” Nikouw itu menggelengkan kepala dan mereka melanjutkan
perjalanan. “Sungguh sangat sukar bertemu dan berkenalan dengan beliau, mungkin
sama sukarnya dengan mendaki puncak Thai-san! Beliau tidak suka bertemu orang,
bahkan dengan sahabat-sahabat yang amat dipercayanya pun jarang bertemu.”
Setelah itu,
nikouw tua yang mengaku berjuluk Liang Wi Nikouw itu tak mau lagi bicara
tentang Siluman Kecil. Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat, namun
anehnya, mereka tidak juga dapat menyusul rombongan perahu itu. Akan tetapi
mereka terus mengejar dengan cepat sekali.
Hari telah
sore. Matahari telah condong ke barat dan sinarnya kehilangan teriknya yang
hebat. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw tiba di daerah yang berbatu-batu, batu
karang yang tajam meruncing dan sukar dilewati. Namun berkat ginkang mereka,
keduanya masih dapat melanjutkan perjalanan, sungguh pun dengan hati-hati dan
meloncat dari batu ke batu.
Terdengar
suara air bergemuruh. Kiranya dibagian yang berbatu-batu itu merupakan tebing yang
curam sekali dan air sungai itu kini menjadi air terjun yang amat terjal.
Keduanya mendekati dan menjenguk ke bawah. Tinggi sekali tempat itu dan air
sungai itu terjun ke tempat yang dalamnya sampai ratusan meter! Air yang
menghantam batu batu di bawah berubah menjadi uap dan dari atas kelihatan gelap
seolah-olah mereka berdiri di atas awan.
Jauh sekali
di bawah, di sekitar air terjun yang tertutup awan air itu, nampak dikelilingi
tebing yang amat curam dan agaknya tidak mungkin di datangi manusia. Dan di
antara tebing-tebing itu, seolah-olah dikelilingi tebing yang curam, terdapat
tanah datar yang luas dan nampaklah beberapa petak rumah yang dlingkari tembok
seperti benteng yang berdiri di tanah datar itu.
“Ahh, ada
perkampungan di sana!” Nikouw itu berkata.
“Dan agaknya
perahu-perahu yang lenyap itu telah disembunyikan dan sangat boleh jadi bahwa
perkampungan di bawah itulah perkampungan orang-orang yang menyerang Gunung
Cemara, yang disebut orang-orang lembah atau pun Perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang.”
“Akan
tetapi, sungai ini bukan Sungai Huang-ho,” nikouw itu berkata heran.
“Memang
bukan, akan tetapi saya rasa merupakan cabang Sungai Huang-ho dan mereka itu
adalah bajak-bajak Sungai Huang-ho, maka memakai nama demikian. Kalau saya
tidak salah menduga, Suthai, di sanalah adanya Nona Phang dan Paman Hok.”
“Siapa Paman
Hok itu?”
Kian Lee
tidak mau sembrono membuka rahasia Gubernur Ho-pei, maka dia menjawab, “Seorang
pekerja di Gubernuran Ho-nan yang membantu Nona Phang melarikan diri.”
“Kita harus
dapat turun ke sana untuk menyelidiki,” kata Liang Wi Nikouw.
“Memang
benar, akan tetapi bagaimana kita dapat turun ke sana?”
Mereka lalu
mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada jalan turun yang merupakan
jalan manusia, juga mereka tidak berhasil menemukan jalan rahasia. Jalan turun
satu satunya menuju ke perkampungan di bawah sana itu hanya menuruni tebing
curam itu!
“Nona Phang
harus ditolong!” kata si nikouw tua. “Kalau terpaksa, kita harus mendaki tebing
dan turun ke sana.”
Kian Lee
mengangguk. “Tebing ini biar pun curam, namun terdiri dari batu karang yang
runcing dan kuat. Kita dapat merayap turun. Akan tetapi kalau dilakukan di
waktu cuaca masih terang, amat berbahaya, Suthai. Kalau kita sedang merayap
lalu diserang dari bawah atau dari atas, bagaimana kita dapat menyelamatkan
diri? Lebih baik menanti sampai cuaca mulai gelap. Nah, baru kita merayap
turun.”
Nikouw itu
mengangguk-angguk. “Kongcu benar dan cerdik, biarlah kita menanti sampai
gelap.”
Mereka lalu
mencari tempat duduk untuk menanti datangnya gelap dan mereka mencari batu yang
agak datar di antara batu-batu karang yang kasar dan runcing itu. Dengan duduk
bersila di atas batu yang datar, mereka mengaso, melepaskan lelah dan menanti
sampai matahari tenggelam di barat. Liang Wi Nikouw sudah duduk bersila dan
tidak lama kemudian tenggelam dalam semedhi.
Tiba-tiba
batu itu bergerak. Bahkan bergeser! Cepat-cepat Kian Lee menyambar lengan
nikouw itu, dibawanya meloncat turun dan mereka lalu bersembunyi di balik batu
karang yang besar, dan mengintai dengan mata terbelalak heran dan kaget. Batu
yang tadi mereka duduki itu terus bergeser, terdengar suara berderit dan
ternyata di bawah batu itu terdapat sebuah lubang yang besar. Sebuah mulut
terowongan! Kiranya batu yang mereka jadikan tempat mengaso itu merupakan
sebuah pintu rahasia!
Terdengar
suara orang dan muncullah belasan orang dari dalam lubang, dikepalai oleh
seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh kecil dan pendek.
Orang ini sikapnya tenang dan angkuh, tanda bahwa ia adalah orang yang memiliki
kekuasaan di antara teman-temannya itu. Dan kenyataannya memang demikianlah.
Dua orang
anak buahnya cepat-cepat membersihkan permukaan batu yang menjadi pintu itu
dengan sapu tangan, mengebut bersih debu yang menempel di atas batu itu dan
mempersilakan kakek bertubuh kecil pendek itu untuk duduk di situ. Sedangkan
dua belas orang anak buah itu hanya duduk sembarangan saja di sekitar tempat
itu.
“Ji-pangcu
(Ketua kedua), apakah para tamu sudah akan datang?” seorang yang duduk paling
dekat bertanya.
Kakek kecil
itu mengangguk. Dengan mata disipitkan dia memandang ke depan, seperti merenung
jauh. “Tadi sudah ada tanda rahasia bahwa mereka akan datang, maka kita harus
bersiap-siap menyambutnya di sini.”
Kian Lee dan
Liang Wi Nikouw masih bersembunyi di balik batu karang besar sambil mendekam,
mengintai dan mendengarkan dengan perasaan tegang. Mereka sudah bersepakat
untuk tidak akan sembarangan turun tangan sebelum dapat menyelamatkan Nona
Phang dan ‘paman’ Hok, karena kalau mereka itu belum diselamatkan lebih dulu,
tentu sukar bagi mereka untuk turun tangan.
Tak lama
kemudian, dari jauh terdengar suara suitan nyaring sekali. Orang yang disebut
Ji-pangcu itu bangkit berdiri, kemudian dia pun mengeluarkan suara melengking
nyaring sebagai sambutan. Diam-diam Kian Lee menilai bahwa orang tua yang
pendek kecil ini memiliki khikang yang cukup tangguh, maka dia makin
berhati-hati.
Terdengar
kini suara kaki kuda berderap dan tak lama kemudian, muncullah seorang kakek
yang diiringkan oleh dua puluh orang yang berpakaian seperti jago-jago silat.
Kakek itu bersikap gagah dan segera disambut oleh Ji-pangcu. Setelah saling
menjura, kakek pemimpin rombongan ini mengeluarkan sehelai kartu yang cepat
diterima oleh Ji-pangcu.
Setelah
membaca tulisan di atas kartu itu, Ji-pangcu segera menjura lagi dan berkata
dengan hormat, “Kiranya Boan-wangwe (Hartawan Boan) yang datang! Selamat datang
di Lembah Kui-liong-pang!”
Kakek yang
disebut Hartawan Boan ini memandang kakek kecil pendek dengan penuh perhatian,
kemudian tertawa, “Ha-ha-ha, biar pun baru sekarang saling berjumpa, tetapi
kami telah mendengar nama besar dari Khiu-pangcu (Ketua Khiu). Benarkah dugaan
kami?”
Kakek pendek
kecil itu pun lalu tertawa. “Tepat sekali dugaan Boan-wangwe. Silakan masuk!”
Ji-pangcu
atau juga disebut Khiu-pangcu itu mempersilakan dengan tangan kanannya dan
masuklah Hartawan Boan bersama anak buahnya melalui pintu terowongan itu,
diantar oleh salah seorang di antara dua belas anak buah yang berjaga di luar
pintu terowongan itu.
Boan-wangwe
itu sebenarnya adalah seorang bekas kepala bajak yang amat terkenal, lihai dan
juga berpengaruh. Akan tetapi kini dia tidak pernah menjadi pembajak lagi
karena dia sudah menjadi seorang pedagang besar, dagangannya adalah... ikan
yang dihasilkan oleh sungai cabang Huang-ho itu. Akan tetapi dia sendiri
bukanlah nelayan dan semua nelayan dari belasan desa di sepanjang sungai itu
harus menjual ikan hasil tangkapan mereka kepada Boan-wangwe! Tentu saja dengan
harga rendah! Dan tidak ada seorang pun berani menentangnya.
Boan-wangwe
selain terkenal mempunyai banyak tukang pukul jagoan, juga terkenal murah hati
dalam hal memberi pinjaman dengan bunga-bunga yang mencekik leher. Dan hampir
semua nelayan sudah mempunyai hutang padanya. Dia bersedia memberi hutang
berupa jala, perahu dan lain-lain keperluan dengan janji bahwa semua hasil
tangkapan nelayan itu harus disetorkan kepadanya dengan pengganti sedikit uang
lelah! Pendeknya, hartawan she Boan bekas kepala bajak ini merupakan seorang
pemeras hebat di sepanjang sungai itu dan kekuasaannya seperti raja saja di
kalangan para nelayan.
Kian Lee dan
nikouw tua itu mengintai terus dan tak lama kemudian, kembali terdengar suitan
nyaring dan seperti juga tadi, Ji-pangcu menjawab dengan suara melengking. Kiranya
suitan nyaring itu adalah tanda rahasia dari penjaga di sebelah depan untuk
memberi tahu akan datangnya tamu. Muncullah rombongan kedua dan rombongan ini
terdiri dari sepuluh orang yang mengawal dua orang yang memikul sebuah tandu.
Cara mereka datang juga amat aneh dan mengagumkan karena dua orang pemikul
tandu itu memikul sambil berloncatan dengan tubuh ringan dan gesit bukan main,
demikian pula sepuluh orang pengikut atau pengiring itu, semuanya menggunakan
ginkang yang mengagumkan berloncatan dengan ringan sekali seolah-olah yang
datang ini adalah sekumpulan burung yang aneh atau sekumpulan kucing yang
berloncatan dari batu ke batu dengar gerakan yang cepat sekali!
Setelah tiba
di depan Ji-pangcu, tandu atau joli diturunkan dan keluarlah seorang gadis yang
cantik sekali, berpakaian serba merah muda yang mentereng dan di punggungnya
terdapat sebatang pedang yang gagang dan sarungnya terukir indah, dihias dengan
ronce-ronce merah tua.
Melihat
gadis cantlk ini, Ji-pangcu segera menyambut sambil tertawa. “Selamat datang,
Ang-siocia! Kiranya Siocia yang datang mewakili Hek-sin Touw-ong (Raja Maling
Sakti Hitam)?”
Nona itu
tersenyum manis dan menjura. “Benar, Khiu-pangcu. Suhu sedang banyak urusan
maka mengutus aku untuk mewakilinya.” Dia mengeluarkan sebuah kartu nama
seperti tadi dan segera diperkenankan masuk dengan penuh keramahan dan diantar
pula oleh seorang anak buah Kui-liong-pang.
Senja mulai
mendatang dan cuaca makin gelap. Akan tetapi, setelah malam tiba, bulan muncul
sore-sore dan langsung menjadi pengganti dari matahari sehingga meski pun cuaca
tidak seterang siang hari, namun cukup terang karena langit bersih dari awan
mendung. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw masih bersembunyi karena maklum bahwa
tentu masih ada tamu-tamu lain, buktinya Ji-pangcu masih menanti di situ
bersama anak buahnya. Mereka diam-diam merasa heran sekali karena tidak
mengerti apa yang terjadi di lembah bawah sana hingga orang-orang aneh
berdatangan mengunjunginya.
Tidak lama
kemudian, muncullah seorang laki-laki tinggi besar, tanpa pengawal. Juga
kedatangannya didahului oleh suitan tanda rahasia. Ji-pangcu cepat menyambutnya
dan ternyata pendatang baru ini adalah kenalan lama karena mereka berjabat
tangan dan bersendau-gurau. Oleh Ji-pangcu, orang itu disebut Toat-beng Sin-to
Can Kok Ma (Golok Sakti Pencabut Nyawa), seorang perampok tunggal yang
terkenal. Seperti yang lain-lain, perampok tunggal tinggi besar ini
diperkenankan masuk setelah menyerahkan surat pengenal atau surat berupa kartu
rahasia. Kemudian banyak lagi orang-orang aneh berdatangan dan mereka semua itu
agaknya merupakan orang-orang golongan hitam atau kaum sesat yang rata-rata
memiliki sikap aneh dan kepandaian tinggi. Ada pula serombongan yang datang
dengan perahu-perahu mereka.
Kemudian,
sampai lama tidak ada lagi tamu datang dan Kian Lee diam-diam menduga bahwa
agaknya kini semua tamu sudah datang. Demikian pula dengan Ji-pangcu dan anak
buahnya, mereka mulai tidak sabar dan kelihatan ingin segera masuk ke dalam
terowongan itu karena menanti di situ berarti dikeroyok nyamuk yang banyaknya
bukan main.
Tiba-tiba
terdengar suara riak air dan muncullah beberapa buah perahu dari dalam air! Dan
belasan orang berlompatan dari permukaan air sambil menyeret perahu mereka.
Hebatnya, pemimpin mereka, seorang kakek yang rambutnya awut-awutan dan terdiri
dari dua warna, meloncat sambil mengempit perahunya dengan kedua kaki, bagai
orang menunggang kuda dan kini perahu itu mendarat dengan empuknya di atas batu
karang, seolah-olah batu karang itu hanya kasur saja!
Kian Lee
terkejut sekali. Orang ini pun kepandaiannya hebat, pikirnya. Namun sebelum
hilang kagetnya, dia melihat bayangan hitam meluncur turun dari atas dan hampir
saja pemuda ini berseru saking herannya. Dia mengenal benda itu, yang sama
dengan burung Rajawali Pulau Es. Benda yang meluncur itu, yang orang lain hanya
kelihatan sebagai tanda hitam yang meluncur turun, dikenal oleh Kian Lee
sebagai seekor burung juga, burung yang besar sekali, akan tetapi bukan
rajawali, melainkan garuda yang agak berbeda dengan Rajawali Pulau Es, akan
tetapi sama besarnya! Dan ketika burung itu melayang setinggi pohon, tiba-tiba
dari atas punggung burung itu melayang turun sesosok bayangan manusia dan
dengan enaknya orang ini hinggap di atas batu karang di depan Khiu pangcu.
“Kau boleh
pergi!” Suara itu merdu sekali, ditujukan kepada burung yang masih tetap
melayang-layang dan burung itu memekik kegirangan, lalu terbang pergi. Ternyata
dia adalah seorang gadis yang berpakaian serba hitam yang luar biasa cantiknya,
demikian cantiknya sampai Khiu-pangcu dan anak buahnya menjadi bengong!
Dengan
gerakan sembarangan gadis itu melayang pergi. Tampak sebuah tali yang panjang
berwarna hitam meluncur turun dari burung itu dan kini tali itu tepat mengenai
tangan si gadis dan melingkar-lingkar. Khiu-pangcu dan anak buahnya makin
terkejut. Ternyata benda itu bukan tali melainkan dua ekor ular hitam! Akan
tetapi dua ekor ular yang panjang bukan main, sungguh pun besarnya hanya
sebesar ibu jari kaki.
Gadis itu
menengok ke kanan kiri dan pada saat sinar bulan menimpa wajahnya yang
benar-benar luar biasa cantiknya itu, Suma Kian Lee terkejut dan berbisik
lirih, “Ahhh... dia...?”
Liang Wi
Nikouw berbisik, “Engkau kenal padanya, Kongcu?”
“Tidak...
ehh, rasanya sudah pernah melihatnya...“
“Pinni pun
belum pernah jumpa, akan tetapi melihat burung itu, dan ular-ular itu, pinni
pernah mendengar Subo bercerita tentang ketua Pulau Neraka dan puterinya.
Agaknya dialah puteri dari Pulau Neraka yang tadinya pinni kira hanya dongeng
belaka.”
Makin yakin
kini hati Kian Lee. Tidak salah lagi, gadis itu adalah Hwee Li! Puteri dari
Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Ahhh, lima tahun tidak bertemu, kiranya
Hwee Li telah menjadi seorang gadis yang luar biasa... cantiknya dan juga
lihainya. Namun cara gadis itu muncul, dan ular-ular itu membuat Kian Lee
bergidik ngeri.
Kakek yang
mengepalai rombongan perahu itu, setelah melompat turun dari atas batu karang
dan meninggalkan perahunya di situ, cepat menghormat kepada Khiu-pangcu,
agaknya tidak mempedulikan gadis yang baru turun dari burung garuda tadi, dan
dia menyerahkan kartu undangan seperti yang lain-lain tadi. Akan tetapi pada
saat yang hampir bersamaan, gadis itu pun sudah melemparkan kartu undangan itu
ke arah Khiu pangcu. Kartu undangannya berputar seperti hidup kemudian
menyambar turun ke arah tangan Khiu-pangcu yang sedang diulur untuk menerima
kartu undangan yang sedang diserahkan oleh kakek pemimpin rombongan perahu.
“Plakkk!
Ahhhhh...!”
Khiu-pangcu
terkejut karena mendadak saja ada kartu undangan menimpa tangannya yang diulur
dan berbareng dia menerima pula kartu undangan yang diserahkan oleh kakek itu.
Kini kakek
yang mengerutkan alisnya menyaksikan perbuatan nona itu, melangkah ke arah
lubang terowongan, namun ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu nona cantik itu
pun sudah mendahuluinya hendak memasuki lubang terowongan! Kiranya nona ini
tidak mau didahului orang!
“Ah, aku
yang datang lebih dulu!” Kakek itu menjadi penasaran dan kakinya menendang
sebongkah batu besar yang berat sekali. Batu itu meluncur dan menghalang di
depan si gadis cantik sehingga menutupi lubang.
“Brakkkkk!”
Gadis itu
menggerakkan tangan kirinya ke arah batu dan batu sebesar perut kerbau hamil
itu pecah berantakan! Dengan mata melotot, gadis itu pun menendang sebongkah
batu besar yang langsung menyambar ke arah kakek itu. Kakek itu mendengus,
bukan menyambut dengan tangan atau mengelak, melainkan menyambut dengan
kepalanya!
“Dukkk!”
Batu karang besar itu kena disundul kepalanya dan lalu mencelat ke kiri, jauh
sekali dan pecah berhamburan menimpa batu karang lain!
“Huhh,
hendak kulihat sampai di mana kerasnya kepalamu!” Gadis itu sudah melangkah
maju dan kakek itu pun dengan marah sudah siap menandinginya.
“Bocah tak
tahu aturan!” bentaknya.
Khiu-pangcu
cepat-cepat melerai di antara mereka dan segera menjura. “Harap Ji-wi suka
menghabiskan perkara kecil ini di antara orang-orang sendiri. Nona, sahabat ini
adalah Tiat-thouw Sin-go (Buaya Sakti Berkepala Besi), dan bernama Thio Sui
Lok, ketua Sin-go-pang (Perkumpulan Buaya Sakti). Dan Saudara Thio, Nona ini
mewakili Locianpwe Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka. Oleh karena itu, harap
saudara suka mengalah.”
Biar pun
hatinya masih penasaran, tetapi mendengar nama Hek-tiauw Lo-mo, terkejut juga
hati si Kepala Besi itu dan dia diam saja, namun matanya masih bersinar marah.
“Silakan, Nona,” kata Khiu-pangcu.
Sambil
mendengus dan mengerling ke arah rombongan perahu itu, tak lupa tersenyum
mengejek, nona cantik jelita itu lalu memasuki pintu terowongan dan menghilang.
“Sombong...,
dasar bocah sombong...!” Thio Siu Lok yang selamanya dihormat orang dan baru
sekarang menerima perlakuan yang tidak menghormat, bersungut-sungut akan tetapi
akhirnya dia masuk juga bersama anak buahnya.
Melihat
sikap Hwee Li, Kian Lee menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. Masih
teringat dia betapa dahulu, dia terluka oleh senjata rahasia peledak dari
Siluman Kucing Mauw Slauw Mo-li yang menjadi bibi guru gadis itu sendiri,
kemudian dia telah diselamatkan, disembunyikan dan diobati oleh seorang gadis
cilik yang jenaka dan cerdik. Gadis cilik itu adalah Hwee Li yang kini telah
menjadi seorang gadis dewasa, akan tetapi masih saja belum hilang sifatnya
seperti kanak-kanak yang bengal dan suka menggoda orang. Namun dia harus
mengakui bahwa gadis itu sekarang sangat lihai. Pukulannya yang menghancurkan
batu tadi benar-benar mengejutkan dan mengerikan.
Kini agaknya
para tamu telah datang semua, atau demikian persangkaan Khiu-pangcu karena
buktinya dia meninggalkan tempat itu dan masuk melalui terowongan sambil
meninggalkan pesan kepada belasan orang anak buahnya agar suka berjaga di situ
kalau-kalau masih ada tamu yang datang terlambat.
“Kalau
kalian sudah mendengar tanda dari bawah, barulah kalian semua masuk dan tutup
pintu terowongan,” demikian pesan pangcu kedua dari Huang-ho Kui-liong-pang itu
kepada para anak buahnya yang berjumlah dua belas orang.
“Baik,
jangan khawatir, Ji-pangcu!” jawab seorang di antara mereka yang kumisnya kecil
panjang berjuntai ke bawah lucu sekali. Agaknya si kumis panjang ini adalah
kepala regu penjaga itu.
Kian Lee
melihat kesempatan baik ini, kemudian berbisik kepada Liang Wi Nikouw itu yang
mengangguk-angguk. Kian Lee lalu mengambil beberapa butir batu kerikil kecil
dan menggunakan jari tangannya menyentil sebutir batu kerikil ke arah siku
seorang penjaga yang berdiri dekat kepala regu kumis panjang itu, pada saat si
kumis panjang sedang membetulkan sepatunya. Batu kerikil itu tepat menotok siku
si penjaga dan otomatis lengannya bergerak ke depan.
“Plakkk!”
Tanpa dapat dicegah lagi tangannya memukul ke depan dan mengenai kepala si
kumis panjang.
“Eh, setan!
Kau berani menempiling kepalaku, hehh?” Si penjaga tak dapat menjawab karena
dia sendiri tidak mengerti mengapa tangannya secara tiba-tiba tanpa dapat
dikendalikannya lagi tadi bergerak menampar kepala si kumis di depannya itu. Si
kumis panjang marah dan mengayun tangannya menampar pipi bawahannya.
“Plokkkkk!”
Pipi yang
digablok itu menjadi merah, akan tetapi anehnya, pada saat pipinya digablok,
penjaga itu mengerahkan kaki kanannya ke depan, padahal bukan niatnya demikian.
Ternyata Kian Lee telah menyentil sebutir kerikil lain yang mengenai sambungan
lutut penjaga itu sehingga secara otomatis kakinya menendang ke depan.
“Ngekkkk...!”
Kebetulan sekali gerakan kaki itu membuat lutut si penjaga menghantam
selangkangan si kepala penjaga berkumis panjang.
“Aduhhhhh...!”
Si kumis panjang menggunakan tangan kiri mendekap selangkangannya dan meringis
kesakitan, marahnya bukan kepalang dan dengan tangan kiri mendekap selangkangan
sambil terpincang-pincang, dia menggunakan tangan kanannya secara serabutan
memukuli penjaga itu.
Seorang
penjaga lain yang menyaksikan perkelahian ini cepat meloncat untuk melerai.
Akan tetapi selagi dia meloncat, sebutir kerikil menyambar dan mengenai
punggungnya. Seketika tubuhnya menjadi lemas, dia kehilangan tenaganya dan
tanpa dapat dicegah lagi dia menubruk si kepala penjaga yang sedang marah.
“Bresssss...!”
“Ehh,
keparat...! Kalian mengeroyok! Pemberontakan!” Kepala penjaga itu kini menjadi
marah sekali dan dia mengamuk, setiap ada anak buahnya mendekat tentu
dipukulnya karena dia menyangka bahwa mereka itu hendak mengeroyoknya.
Kacau-balau
di depan pintu terowongan itu. Semua penjaga berusaha menenangkan si kepala
penjaga yang mereka sangka kemasukan roh jahat! Dan karena keributan ini,
mereka sama sekali tidak melihat betapa ada dua sosok bayangan yang amat cepat
gerakannya telah berkelebat menyelinap masuk ke dalam lubang terowongan itu
tanpa memperlihatkan kartu undangan!
Kian Lee dan
Liang Wi Nikouw berjalan memasuki terowongan dengan cepat, namun dengan
hati-hati sekali. Lorong terowongan itu menurun dan agak gelap karena hanya
diterangi oleh lampu-lampu minyak yang dipasang di sepanjang dinding
terowongan. Setiap sepuluh meter terdapat seorang penjaga yang berdiri dengan
tombak di tangan. Penjaga pertama yang mendengar ada keributan di luar, lupa
akan tugasnya memeriksa kartu undangan.
“Apakah yang
terjadi di luar?” tanyanya.
“Di luar ada
pemberontakan. Cepat saudara ke luar!” kata Kian Lee.
Penjaga itu
terkejut dan cepat berlari ke luar. Kian Lee dan Liang Wi Nikouw terus saja
berjalan masuk. Kepada penjaga kedua dan ketiga, Kian Lee berhasil menarik
perhatian mereka dengan berita pemberontakan itu sehingga mereka pun bergegas
berlari keluar menyeret tombak mereka.
Akan tetapi
penjaga keempat yang berada di sebuah tikungan, menghardik, “Harap Ji-wi
perlihatkan kartu undangan Ji-wi!” Penjaga ini agaknya sudah merasa kesal
berjaga terus di situ, maka biar pun sikapnya masih menghormat namun suaranya
sudah tidak ramah lagi terhadap para tamu.
Kian Lee
pura-pura merogoh saku dan mendekati penjaga itu. Tangannya keluar dari saku
bukan untuk menyerahkan kartu undangan, melainkan untuk bergerak cepat sekali
menotok sehingga penjaga itu roboh sebelum sempat berteriak. Kian Lee dan Liang
Wi Nikouw terus masuk makin dalam dan kini para penjaga makin berkurang, jarak
penjaga makin jauh sehingga mudah bagi Kian Lee untuk merobohkan setiap orang
penjaga tanpa ada yang mengetahuinya.
Akhirnya
mereka keluar dari terowongan dan tiba di tempat terbuka, di lembah itu yang
ternyata penuh dengan bangunan rumah-rumah yang dibagi menjadi dua kelompok,
dipisahkan oleh sebuah lapangan yang luas yang terletak di tengah-tengah. Kian
Lee dan Liang Wi Nikouw menyelinap di antara bangunan-bangunan itu sambil
memeriksa keadaan dengan hati-hati sekali. Dengan isyarat tangannya, Kian Lee
mengajak nikouw tua itu untuk meloncat naik ke atas wuwungan sebuah bangunan
besar dan dari atas wuwungan ini mereka mengintai. Sinar bulan cukup terang
sehingga mereka dapat meneliti keadaan di lembah itu.
Kelompok bangunan
di sebelah kiri terdiri dari rumah-rumah biasa dengan kebun-kebun yang rimbun
dan subur, di mana selain terdapat banyak pohon-pohon yang berbuah, juga
terdapat sayur-sayuran dan bunga-bungaan. Akan tetapi kelompok kedua yang
berada di sebelah kanan itu sangat aneh bentuknya. Rumah-rumah di kelompok ini
bangunannya seperti tempurung yang tertelungkup dan tidak nampak pintu atau
jendela biasa, hanya kelihatan sebuah lubang yang agaknya merupakan pintu.
Anehnya, di sekitar rumah-rumah luar biasa ini tidak terdapat sebatang pun
pohon atau tumbuh tumbuhan. Bahkan tanahnya kelihatan putih kering ditimpa
sinar bulan, retak-retak seperti tanah kapur.
Dari
wuwungan itu nampak para tamu berkumpul di lapangan, yaitu lapangan luas di
antara dua kelompok rumah itu. Selain penerangan yang didapat dari sinar bulan,
juga di situ dipasangi banyak lampu dan lentera besar sehingga cuaca cukup
terang. Para tamu yang banyak juga jumlahnya telah berkumpul di situ, duduk di
kursi yang diatur menjadi lingkaran besar yang ke semuanya menghadap ke tengah
lapangan di mana terdapat semacam panggung yang menjadi tempat duduk pihak tuan
rumah dan para tamu kehormatan.
Kian Lee
mencari-cari dengan pandang matanya, akan tetapi dia tidak menemukan Cui Lan
dan Hok-taijin di antara para tamu. Kembali dia memandang ke arah panggung dan
melihat Khiu-pangcu dan beberapa orang lain yang tidak dikenalnya. Banyak orang
aneh di situ, di antaranya terdapat seorang yang bertubuh tinggi tegap, usianya
tidak lebih dari tiga puluh tahun, kulitnya gelap coklat, hidungnya mancung
agak melengkung dan matanya cekung ke dalam, alisnya tebal, dan jelas bahwa dia
bukanlah orang Han asli, melainkan ada miripnya dengan orang India.
Di
belakangnya duduk banyak pengawalnya, rata-rata bertubuh tinggi dan lengannya
berbulu. Kian Lee menduga bahwa mereka ini tentu orang-orang Nepal, melihat
dari pakaian dan juga sorban mereka. Hanya orang muda berpakaian indah di depan
itulah yang tidak bersorban. Selain mereka, masih banyak terdapat orang-orang
aneh yang dilihatnya tadi memasuki terowongan.
Dengan
hati-hati Kian Lee lalu mengajak Liang Wi Nikouw turun dan mempergunakan
kesempatan selagi para tamu masih hilir-mudik karena agaknya pertemuan itu
belum dimulai, untuk menyelinap masuk di antara para tamu dan memilih tempat
duduk di bagian para tamu perorangan yang tidak merupakan rombongan. Dengan
demikian, maka mereka bercampur dengan tamu-tamu yang tidak saling mengenal
sehingga mereka pun tidak menarik perhatian, sungguh pun ada beberapa orang di
antara mereka yang memandang ke arah Liang Wi Nikouw dengan curiga.
Namun Liang
Wi Nikouw yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa dia menghadiri pertemuan
orang-orang dari golongan hitam, maka sengaja dia tersenyum-senyum dan
‘memasang’ muka bengis, sehingga semua orang menduga bahwa dia pun seorang
anggota kaum sesat yang bersembunyi di balik kedok nikouw! Dia dan Kian Lee
lalu menanti dengan hati berdebar, tidak tahu apa yang akan terjadi dan mengapa
demikian banyaknya tokoh-tokoh lihai dari golongan hitam berkumpul di situ.
Akan tetapi
yang dicari-cari oleh Kian Lee sejak tadi adalah Cui Lan dan Hok-taijin dan
selagi dia menduga-duga di mana kiranya dua orang itu ditahan, tiba-tiba
terdengar bunyi canang dipukul di tengah-tengah lapangan itu. Semua orang
memperhatikan ke tengah lapangan karena bunyi canang itu menandakan bahwa
pertemuan mulai dibuka.
Bulan
bersinar terang tanpa halangan awan, menimpa muka semua tamu yang diangkat
memandang ke arah panggung untuk menanti siapa yang akan muncul sebagai pembuka
acara dan terutama sekali untuk melihat wajah tuan rumah. Tiada seorang pun di
antara para tamu itu yang pernah bertemu dengan ketua Huang-ho Kui-liong-pang,
sungguh pun mereka semua telah mendengar bahwa ketua itu adalah seorang yang
luar biasa lihainya, seorang aneh yang baru kurang lebih dua tahun ini menjadi
ketua Kui-liong-pang.
Tadinya,
ketua dari Kui-liong-pang adalah Khiu-pangcu itulah. Akan tetapi semenjak
munculnya tokoh aneh yang berilmu tinggi itu bersama belasan orang anak buahnya
yang rata-rata juga berilmu tinggi, Khiu Sek lalu menggabungkan diri dan tokoh
luar biasa itu diangkat menjadi ketua pertama sedangkan dia sendiri cukup puas
menjadi ketua kedua saja. Maka kini semua tamu ingin sekali melihat bagaimana
macamnya ketua yang kabarnya merupakan seorang tokoh luar biasa itu.
Tetapi
ternyata yang bangkit berdiri dari kursinya dan kini berjalan ke tengah
panggung adalah Khiu Sek atau Khiu-pangcu sendiri. Setelah menjura keempat
penjuru, memberi hormat kepada semua tamu kehormatan yang duduk di panggung,
Khiu-pangcu lalu berkata, “Cu-wi sekalian yang terhormat. Pertama-tama atas
nama pangcu kami dan seluruh perkumpulan Kui-liong-pang, kami menghaturkan
selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Cu-wi sekalian. Sebelum maksud
undangan kami kepada Cu-wi kami bentangkan secara jelas, lebih dahulu kami
ingin memperkenalkan perkumpulan kami kepada Cu-wi.”
Selanjutnya,
dengan suara lantang Khiu-pangcu lalu memperkenalkan perkumpulannya, betapa dua
tahun yang lalu perkumpulannya menjadi makin kuat setelah memperoleh seorang
ketua baru yang amat sakti. Betapa kemudian rombongan dari Gunung Cemara,
perkumpulan wanita Hek-eng-pang menjadi iri dan timbul bentrokan di antara
mereka sehingga terjadi pertempuran besar.
“Karena
munculnya seorang tokoh rahasia yang hanya kami kenal dengan sebutan Siluman
Kecil, pertempuran itu dapat dihentikan dan ketua kami berkenan mengampuni
Hek-eng-pang. Akan tetapi akhir-akhir ini mereka kembali mencari gara-gara
dengan mencoba untuk merebut mangsa kami, yaitu harta pusaka dari keluarga
Jenderal Kao Liang yang mengundurkan diri.” Kembali Khiu Sek menceritakan lagi
semua peristiwa mengenai perebutan harta pusaka keluarga Jenderal Kao itu.
“Gara-gara
ikut campurnya pihak Hek-eng-pang yang hendak merebut mangsa kami, maka semua
usaha menjadi gagal dan baru-baru ini kami telah mengirim pasukan untuk
menghukum Hek-eng-pang dan membakar tempat mereka! Betapa pun juga, mangsa kami
itu telah lolos dan harta pusaka itu lenyap tanpa bekas. Kami dan Hek-eng-pang
yang bentrok sendiri tidak ada yang mendapatkannya.”
“Hi-hi-hik!”
Suara tertawa merdu seorang wanita itu memecahkan kesunyian sehingga terdengar
jelas sekali.
Semua orang
menengok ke arah suara ini, juga Khiu-pangcu dengan alis berkerut menoleh ke
arah gadis cantik jelita yang berpakaian serba merah muda itu, karena yang
tertawa adalah gadis cantik ini. Biar pun dia sudah tidak tertawa lagi, akan
tetapi gadis ini masih menutupi mulutnya dengan tangan, dan matanya berseri
menahan kegelian hatinya….
Merah muka
Khiu Sek karena dia merasa ditertawakan. Akan tetapi, sebagai seorang tuan
rumah, dia berusaha keras menahan kemarahannya dan dengan suara lantang dia
menegur, “Harap Ang-siocia suka menjelaskan mengapa mentertawakan kami?” Lalu
ditambahkannya untuk memperkenalkan nona itu kepada para tamu, “Cu-wi sekalian,
yang baru saja tertawa adalah Ang-siocia, murid yang mewakili gurunya hadir di
sini, yaitu Hek-sin Touw-ong!”
Mendengar
nama Hek-sin Touw-ong, semua orang memandang kagum. Raja Maling itu terkenal
sekali, dan baru kini mereka melihat bahwa Raja Maling yang menyeramkan itu
mempunyai seorang murid yang sedemikian cantiknya, yang pakaiannya serba merah
muda dan rapi sehingga kelihatan seperti seorang gadis bangsawan saja!
Melihat dia
diperkenalkan dan ditegur, Ang-siocia, gadis she Ang yang hanya dikenal sebagai
Nona Ang (Ang-siocia) itu, bangkit berdiri dan berkata lantang, sama sekali tak
kelihatan jeri, “Itulah jadinya kalau dua ekor anjing memperebutkan tulang!
Keduanya babak-bundas akan tetapi tulangnya dibawa kabur orang lain!”
Tentu saja
Khiu-pangcu menjadi makin marah dan penasaran. Tadi dia ditertawakan dan
sekarang dirinya malah disamakan dengan anjing! Akan tetapi dia masih menahan
kemarahannya, hanya bertanya dengan suara yang nadanya kaku dan dingin, “Kalau
menurut pendapatmu, bagaimana baiknya, Nona?”
“Menurut
pendapatku? Tentu saja lebih baik kalau kedua ekor anjing itu berdamai dan
tulang itu dimakan bersama-sama, dengan demikian berarti menambah persahabatan
dan perut keduanya bisa kenyang, hi-hi-hik!”
Semua orang
tertawa dan Khiu-pangcu sendiri tersenyum, kemarahannya lenyap dan dia menjura
kepada semua orang. “Apa yang diucapkan oleh Ang-siocia tadi memang benar dan
tepat sekali. Karena itu pula maka pangcu kami mengirim undangan kepada Cu-wi
sekalian, yaitu untuk menyatukan semua golongan dari kita para pencari nafkah
yang mengandalkan modal kepandaian silat seperti kita semua ini. Dan dengan
adanya persatuan di antara kita, maka diharapkan tidak akan terjadi lagi
bentrokan-bentrokan yang mengakibatkan kelemahan golongan kita sendiri. Kita
dianggap golongan hitam, nah, kalau tidak ada persatuan di antara kita, tentu
golongan putih yang menyebut diri mereka sendiri para pendekar itu akan merasa
girang sekali dan mereka akan mudah untuk memusuhi dan mengalahkan kita.”
Segera
terdengar suara teriakan-teriakan menyatakan persetujuan mereka. Hal ini tidak
mengherankan karena seperti pada umumnya, manusia di dunia ini tidak ada yang
dapat melihat keadaan sendiri, tidak dapat menyadari akan kesalahan dan
kejahatan sendiri sehingga kaum itu pun tidak merasa bahwa mereka adalah
penjahat-panjahat! Mereka menganggap bahwa ‘pekerjaan’ mereka itu adalah usaha
mencari nafkah, dan para pendekar yang memusuhi mereka adalah yang
sejahat-jahatnya orang karena merintangi pekerjaan mereka! Tentu saja usul
persatuan ini mereka sambut dengan gembira karena memang sudah terlalu sering
mereka ditentang dan di kejar-kejar oleh para pendekar.
“Akan
tetapi, siapa yang akan memimpin kita?” terdengar suara lantang bertanya.
Khiu-pangcu
mengangkat kedua tangan untuk menenangkan suasana yang menjadi hiruk-pikuk itu.
Setelah semua orang diam dia lalu berkata, “Yang berhak memimpin kita sudah
tentu adalah orang yang memiliki kepandaiannya paling tinggi di antara golongan
kita semua.”
“Kalau
guruku berada di sini tentu kursi pimpinan jatuh di tangannya!” terdengar gadis
cantik berpakaian merah itu berseru.
Khiu-pangcu
tersenyum lebar. “Nona, dan Cu-wi sekalian, hendaknya maklum bahwa kursi
pimpinan itu tidak diperebutkan sekarang. Untuk itu tentu saja harus diadakan
undangan khusus sehingga yang hadir adalah tokoh-tokoh pertama dari golongan
kita. Sekarang yang penting bagi kita adalah bahwa semua pihak setuju untuk
berdiri di bawah satu golongan. Dengan demikian, semua hasil karya kita dapat
kita pergunakan bersama dan mereka yang hasilnya besar dapat menolong mereka
yang sedang sepi pasarannya. Dan kalau seorang di antara golongan kita diusik
oleh golongan putih, kita harus saling membantu dan memusnahkan pihak musuh.
Dengan demikian, bukankah kedudukan kita menjadi kuat dan tidak ada sembarang
pendekar yang berani untuk mengganggu?”
“Benar...!”
“Setuju...!”
Kembali
suasana menjadi berisik sekali. Tiba-tiba, terdengar suara tertawa yang amat
nyaring, suara yang mengatasi semua suara berisik itu, suara ketawa yang
menggema dan mengaung menggetarkan jantung. Terang bahwa itu adalah suara
ketawa yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya.
Semua orang
terkejut dan serentak menoleh ke tengah lapangan karena suara ketawa itu
terdengar dari mulut seorang peranakan Nepal yang muda dan duduk di kursi
bagian tamu kehormatan itu. Tentu saja semua orang terkejut dan marah, karena
suara ketawa itu terdengar seperti meremehkan, dan kiranya yang mentertawakan
mereka hanya seorang peranakan Nepal!
Khiu-pangcu
juga merasa penasaran, segera menghadapi pemuda peranakan Nepal itu dan dengan
suara hormat karena orang itu merupakan tamu agung, tetapi bernada teguran, dia
bertanya, “Apakah Kongcu (Tuan Muda) tidak menyetujui persatuan ini?”
Pemuda
jangkung berkulit coklat itu bangkit berdiri dan menjura, lalu terdengar dia
berkata dengan suara lantang, “Kami sangat menyetujui, harap Khiu-pangcu tidak
salah sangka. Hanya saja kami merasa sangat kecewa dan kasihan melihat
cara-cara kalian mencari nafkah yang begitu remeh.”
“Haiiiii!!”
Semua orang berseru marah karena tersinggung oleh ucapan itu, bahkan ada yang
sudah bangkit berdiri dengan sikap mengancam.
Hanya
tokoh-tokoh besar lainnya, seperti Ang-siocia, lalu gadis cantik jelita yang
sama sekali tidak mengacuhkan semua itu dan bermain-main dengan ularnya, kepala
bajak sungai yang tadi ribut dengan gadis pembawa ular, yaitu Tiat-thouw
Sin-go, perampok tunggal Toat-beng Sin-to, raja kaum nelayan Boan-wangwe,
mereka ini tetap duduk diam dan bersikap tenang, sesuai dengan kedudukan mereka
yang tinggi.
“Harap Cu-wi
jangan salah paham,” berkata peranakan Nepal itu dengan sikap tenang sekali.
Sekarang dia berdiri di panggung dan menghadapi semua tamu dengan penuh wibawa.
“Saya tidak memandang rendah kepada Cu-wi, hanya ingin menyatakan bahwa apa
yang Cu-wi lakukan dan kerjakan itu sungguh tak sesuai dengan jerih payah Cu-wi
sekalian. Cu-wi bersusah payah mencari mangsa, menunggu mereka lewat dan
menanti datangnya kesempatan, menghadapi bahaya maut, dan semua itu Cu-wi
lakukan hanya untuk sejumlah barang yang tidak berarti, bahkan kadang-kadang
gagal seperti yang diceritakan oleh Khiu-pangcu ketika memperebutkan harta
pusaka keluarga Jenderal Kao itu. Bukankah cara bekerja seperti itu amat remeh
dan tidak memadai?”
Toat-beng
Sin-to Can Kok Ma, si perampok tunggal yang tinggi besar itu agak merasa
tersinggung juga. Dia memandang dengan mata melotot, lalu berkata dengan suara
yang lantang dan kasar karena memang dia terkenal seorang yang kasar, jujur
tidak mau menggunakan banyak aturan, “Apakah kau mempunyai usul yang lebih
baik?”
Pemuda
peranakan Nepal itu menoleh kepada si tinggi besar ini sambil tersenyum, lalu berkata,
“Tentu saja dan usulku amatlah baik, tentu saja kalau Cu-wi sekalian setuju.
Akan tetapi usul saya ini usul yang amat penting dan gawat, maka hanya akan
saya terangkan kalau semua pimpinan sudah hadir, tidak seperti sekarang ini.
Baru pihak tuan rumah saja, yang keluar hanyalah wakilnya, yaitu Khiu-pangcu,
bukan ketuanya sendiri, mana bisa disebut lengkap untuk mendengarkan usul kami
yang amat penting dan menyangkut masa depan kita semua ini?”
Khiu-pangcu
menjura kepada orang itu. “Maaf, pangcu kami kini sedang menyelesaikan ilmunya
yang baru sehingga selama ini tidak pernah keluar dan mewakilkan segala sesuatu
kepada saya. Andai kata pangcu kami sudah dapat keluar, apakah kiranya
perempuan-perempuan dari Gunung Cemara itu masih berani banyak tingkah? Itulah
sebabnya maka pangcu kami tidak dapat hadir.”
Mendadak
terdengar suara ledakan keras dan rumah tempurung terdepan meledak. Rumah itu
hancur berantakan dan keluarlah seorang kakek yang berpakaian hitam, agak
terhuyung dengan mukanya yang putih pucat seperti kapur. “Khiu Sek, jangan
mengecewakan tamu, ini aku sudah datang!”
Kini dari
rumah-rumah tempurung itu bermunculan pula orang-orang yang mukanya putih
seperti kapur dan itulah para pengikut ketua baru ini yang menyeramkan. Mereka
itu semua agak terhuyung karena terlampau lama berdiam di rumah tempurung itu
untuk memperdalam ilmu mereka sesuai dengan petunjuk sang ketua.
Melihat
kakek ini, Kian Lee berdebar dan dia memandang dengan mata terbelalak karena
tentu saja dia mengenali kakek ini. Dia itu bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi,
ketua dari Lembah Bunga Hitam, tokoh sesat yang amat sakti dan yang merupakan
ahli racun yang luar biasa itu! Di dalam cerita kisah Sepasang Rajawali telah
diceritakan tentang diri kakek ini yang dahulunya adalah seorang pelayan dari
Dewa Bongkok dan yang kemudian melarikan diri karena tersangkut dalam pencurian
kitab pelajaran ilmu yang mukjijat.
Semua orang
memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang mereka dapat menyaksikan ketua
dari Kui-liong-pang yang ternyata amat menyeramkan itu. Ilmu apa gerangan yang
dipelajari oleh kakek ini sehingga tadi rumah tempurung itu meledak dan hancur
berantakan?
Khiu-pangcu
bersama semua anak buah Kui-liong-pang menjatuhkan diri berlutut untuk memberi
hormat kepada pangcu mereka, sedangkan para tamu juga bangkit berdiri untuk
menghormat. Kian Lee yang juga ikut bangkit berdiri melihat betapa Hwee Li
masih enak-enak saja duduk bermain-main dengan ularnya, seolah-olah kemunculan
kakek itu sama sekali tidak diketahuinya! Benar-benar bocah itu masih seperti
dulu, aneh dan bengal!
Hek-hwa
Lo-kwi kini menghampiri tempat duduk yang telah disediakan untuknya sambil
mengangguk ke kanan kiri kepada para tamu, kemudian dia menghadapi peranakan
Nepal itu sambil berkata, suaranya menggetar dan mengandung gema yang meraung
aneh, “Nah, sebelum Sicu ceritakan apa usul yang amat penting itu, hendaknya
lebih dulu memperkenalkan diri. Maaf kalau kami tidak mengenal Sicu.”
Pemuda
peranakan Nepal itu menjura dengan hormat dan berkata, “Sungguh beruntung
sekali kami semua dapat bertemu dengan Pangcu yang telah kami kenal namanya
yang besar. Dan kami menghaturkan selamat atas berhasilnya Pangcu mempelajari
ilmu baru. Perkenankan kami memperkenalkan diri kami.”
Dengan suara
halus dan lantang sehingga semua orang dapat mendengarnya, orang muda peranakan
Nepal itu lalu memperkenalkan dirinya dan mendengar penuturannya, Kian Lee
menjadi tertarik sekali dan mendengarkan penuh perhatian. Kiranya pemuda itu
adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong!
Dalam cerita
Kisah Sepasang Rajawali dituturkan betapa Pangeran Liong Khi Ong dan kakaknya,
Pangeran Liong Bin Ong, telah mengadakan persekutuan untuk mengadakan
pemberontakan, namun akhirnya pemberontakan itu gagal dan kedua orang pangeran
tua itu telah tewas.
Liong Khi
Ong mempunyai seorang selir berbangsa Nepal, dan sebenarnya selir ini masih
seorang puteri Nepal, anak Raja Nepal yang juga lahir dari seorang selir dan
yang dihadiahkan kepada Pangeran Liong Khi Ong sebagai tanda persahabatan
antara Nepal dan Kerajaan Ceng-tiauw yang pada waktu itu luas sekali daerahnya
sehingga merupakan negara besar yang dihormati negara-negara tetangga termasuk
Nepal.
Dan dari
selir Nepal inilah Liong Khi Ong mempunyai putera, yaitu pemuda ini yang
memakai nama Liong Bian Cu. Ketika Liong Khi Ong tewas, pemuda ini bersama
ibunya melarikan diri ke barat, kembali ke Nepal di mana dia memperdalam ilmu
kepandaiannya dengan menjadi murid dari Ban-hwa Sengjin, yaitu koksu (guru
negara) Nepal yang lihai itu.
Setelah
memperkenalkan diri dan para tamu memandang dengan kagum karena tidak menyangka
bahwa peranakan Nepal ini ternyata adalah putera dari mendiang Pangeran Liong
Khi Ong yang amat terkenal di kalangan dunia hitam karena dahulu pangeran itu
banyak menerima tenaga bantuan kaum sesat, bahkan ketua Kui-liong-pang ini pun
mengenalnya dengan baik, maka pemuda itu lalu menceritakan usulnya dengan suara
lantang.
“Dari pada
kita bekerja secara kecil-kecilan dengan resiko besar, lebih baik sekalian kita
melakukan pekerjaan yang besar. Sudah basah kepalang mandi! Dari pada kita
dikejar kejar pemerintah dan orang-orang dari golongan putih, kita mendahului
mereka! Kita kumpulkan kawan-kawan yang banyak sehingga menjadi barisan yang
kuat, lalu kita serbu kota demi kota, kita sita seluruh kekayaannya, dan kita
duduki kotanya. Bukankah itu lebih cepat dan berhasil dari pada kita menunggu
lewatnya mangsa seperti seekor harimau kelaparan menunggu lewatnya seekor
kelinci? Kita taklukkan kota demi kota dan kita paksa penduduknya yang laki-laki,
muda-muda dan kuat-kuat untuk menjadi anggota kita, yang menolak kita bunuh
semua! Wanita-wanitanya yang cantik kita bagi bagi. Dengan demikian, akhirnya
kita akan menjadi suatu kekuatan yang amat besar dan daerah kita akan makin
luas. Jika sudah kuat benar, kita hancurkan para gubernur. Kita kuasai propinsi
dan tujuan terakhir adalah kota raja. Kita mendirikan kerajaan sendiri,
kerajaan kaum hitam!”
Sejenak
suasana menjadi sunyi karena mereka yang mendengarkan rencana itu terlalu kaget
dan heran. Bahkan Hek-hwa Lo-kwi sendiri kelihatan menunduk, merenung dan
mengelus jenggotnya. Kemudian meledaklah kebisingan di situ karena semua orang
bicara sendiri, saling berdebat, ada yang setuju, ada yang menolak dan ada juga
yang ketakutan.
Akhirnya
Hek-hwa Lo-kwi mengangkat tangan kanan ke atas dan semua orang diam. Lalu
terdengar ucapan kakek ini, “Usul yang dikemukakan oleh Liong-sicu bukan hal
remeh dan main-main, bahkan hal yang amat baik. Memang pekerjaan kita selalu
dibayangi oleh bahaya. Tentu saja makin besar bahayanya, makin besar pula
hasilnya, dan kalau kita bersatu, mengapa takut bahaya? Aku sendiri setuju
dengan usul itu dan akan mendukung pelaksanaannya!”
Ucapan ini
disambut oleh tepuk tangan dan sorak-sorai dari mereka yang tadi setuju,
sedangkan yang menolak dan yang ragu-ragu terseret dan hanyut oleh suara setuju
ini sehingga mereka pun menjadi besar hati.
Kini Liong
Bian Cu, pemuda peranakan itu mengangkat tangan dan semua orang berhenti
membuat berisik. “Apakah ada di antara Cu-wi yang mengajukan usul lain?”
Terdengar
suara merdu nyaring dan gadis berpakaian merah muda, yaitu Ang-siocia, telah
berdiri dan berkata, “Bicara memang mudah saja, akan tetapi pelaksanaannya
tidaklah semudah menggoyangkan lidah dan bibir!” Memang dara ini biasa bicara
dengan tajam. “Kota-kota itu tentu dijaga dan dilindungi oleh pasukan prajurit
yang sudah terlatih dan pandai berperang. Mana bisa orang-orang kita yang tidak
terdidik perang seperti mereka itu dapat menyerbu kota dan menang pula?
Kepandaian kita hanyalah kepandaian pribadi untuk dipakai dalam pertempuran
perorangan atau paling hebat hanya menghadapi keroyokan belasan sampai puluhan
orang. Mana mungkin dapat berguna dalam perang antara ribuan orang dan pula
pihak pasukan pemerintah tentu diperlengkapi dengan senjata dan perlengkapan
yang lebih sempurna?”
Hek-hwa
Lo-kwi mengangguk-angguk. “Alasan yang baik dan kuat sekali. Bagaimana
jawabanmu, Liong-sicu?”
“Tidak perlu
khawatir!” tiba-tiba seorang kakek berusia enam puluh tahun, bersorban dan
jenggotnya panjang sampai ke perut, tangannya memegang tongkat kayu cendana,
berseru.
Dia ini
adalah Gitananda, orang Nepal yang pernah menghadiri pesta pernikahan gagal
dari Hwa-i-kongcu Tang Hun di puncak Naga Api. Memang Gitananda adalah seorang
di antara utusan-utusan Kerajaan Nepal yang mencari kemungkinan menghubungi
orang-orang yang hendak memberontak terhadap Kerajaan Ceng-tiauw, dan sekarang
Gitananda bertugas untuk mengawal dan menemani Liong Bian Cu. “Hendaknya Cu-wi
sekalian maklum bahwa Kongcu kami ini adalah seorang ahli perang yang tentu
akan mampu mendidik kawan-kawan dan membentuk barisan-barisan yang kuat!”
Liong Bian
Cu bangkit dan menjura keempat penjuru. “Saya tidak ingin memamerkan diri, akan
tetapi terus terang saja, sebagai putera mendiang Ayah yang juga ahli dalam
siasat perang, tentu saja saya sudah rnempelajari ilmu perang dan saya pasti
dapat membentuk pasukan-pasukan istimewa yang terlatih baik. Dan tentang
perlengkapan, jangan khawatir karena Raja Nepal adalah kakek saya. Cu-wi
sekalian tak perlu gelisah, dan saya berjanji bahwa kalau kelak kita berhasil,
Cu-wi sekalian tentu akan menjadi pembesar-pembesar tinggi yang hidup terhormat
dan mulia!”
“Nanti
dulu!” Tiba-tiba Hek-hwa Lokwi berkata sambil bangkit berdiri dan memandang ke
sekeliling. “Aku ingin sekali mendengar pendapat sahabat lamaku, Hek-tiauw
Lo-mo ketua Pulau Neraka. Ataukah dia tidak hadir dan tidak mengirim wakilnya?”
Semua orang
yang mendengar nama ini terkejut, dan Tiat-thouw Sin-go ketua para pembajak itu
mengerling ke arah gadis cantik jelita berpakaian serba hitam yang masih duduk
bermain-main dengan ularnya tadi.
“Akulah
wakilnya!” tiba-tiba gadis itu berkata sambil bangkit berdiri.
Semua orang
menoleh dan menahan napas menyaksikan seorang gadis yang demikian cantik
moleknya. Wajahnya putih halus kemerahan, dengan rambut yang disanggul indah
sekali, dihias dengan batu-batu permata mahal, sepasang matanya seperti bintang
pagi, jernih dan lebar akan tetapi mengandung sinar yang tajam menyeramkan.
Hidungnya mancung serta mulutnya selalu tersenyum, amat manis dan jelita.
Tubuhnya kelihatan ramping padat dengan lekuk lengkung yang menggairahkan, yang
sukar disembunyikan oleh pakaian sutera serba hitam itu. Akan tetapi yang
membuat orang menjadi merasa ngeri dan kehilangan gairah adalah ketika melihat
dua ekor ular yang melingkar-lingkar di kedua lengan yang halus mulus itu.
“Hemmm!”
Hek-hwa Lo-kwi menatap dengan tajam, akan tetapi memandang rendah kepada gadis
muda itu. “Kalau engkau wakilnya, Nona, apa yang akan dikatakan oleh Hek-tiauw
Lo-mo tentang usul tadi?”
Gadis itu
yang bukan lain adalah Kim Hwee Li itu, puteri Hek-tiauw Lo-mo, tersenyum
sehingga sekelebatan nampak rongga mulutnya yang merah terhias kilatan gigi
putih. “Apa yang hendak dikatakan? Aku tidak tahu. Aku hanya diutus untuk
mendengarkan saja tanpa membuka mulut dan akan kusampaikan semua ini
kepadanya.”
Hek-hwa
Lo-kwi berkata kepada Liong Bian Cu, “Dahulu Hek-tiauw Lo-mo pernah membantu
Ayahmu, Liong-sicu. Kiranya sekarang pun dia akan setuju dengan usulmu itu.”
“Mudah-mudahan
begitu,” Liong Bian Cu berkata dan matanya masih terus memandang kepada Hwee
Li, agaknya peranakan Nepal ini tertarik sekali kepada gadis yang luar biasa
cantiknya itu.
“Tentu saja
dia mau kalau kelak setelah berhasil dia yang menjadi rajanya!” kata Hwee Li
sambil duduk dan bermain main dengan ularnya.
Kian Lee
tidak dapat lagi menahan senyumnya. Bukan main gadis ini. Berani sekali dan
sikapnya seolah-olah memandang mereka semua itu seperti semut saja! Akan
tetapi, dia sendiri masih gelisah memikirkan Cui Lan dan Hok-taijin. Sebaiknya
kalau dia sekarang mulai menyelidiki di mana adanya dua orang yang dicarinya
itu. Akan tetapi, mengingat bahwa yang hadir di situ adalah orang-orang yang
berilmu tinggi sehingga akan berbahaya bagi dua orang kawannya itu kalau sampai
ketahuan, dia terpaksa memberi isyarat kepada Liang Wi Nikouw untuk bersabar.
Mereka ini
tentu tidak tahu siapa Hok-taijin, sehingga gadis dan kakek itu hanya merupakan
tawanan yang tidak penting, yang mereka ambil dari Gunung Cemara ketika mereka
membasminya. Kalau sampai dia turun tangan dan ketahuan, tentu mereka akan
sadar bahwa dua orang itu merupakan orang-orang penting dan kalau sampai mereka
tahu bahwa kakek itu adalah Gubernur Ho-pei, maka akan berbahayalah!
Hidangan
mulai dikeluarkan dan sambil bercakap-cakap membicarakan rencana besar yang
diusulkan oleh Liong Bian Cu, mereka makan minum. Sementara itu, para tokoh
yang penting di atas panggung kehormatan mulai berunding sambil makan minum dan
akhirnya diputuskan bahwa sebelum diadakan pemilihan pemimpin yang harus
seorang yang terpandai di antara mereka, yang akan merupakan seorang bengcu
(pemimpin rakyat), untuk sementara dibentuklah panitia pimpinan atau pengawas
yang terdiri dari Hek-hwa Lo-kwi sendiri, Toat-beng Sin-to Can Kok Ma,
Boan-wangwe, dan Tiat-thouw Sin-go beserta Gitananda sebagai wakil pihak orang
Nepal. Ketika hal ini diumumkan, semua orang setuju.
Makan minum
dilanjutkan dan Liong Bian Cu yang menganggap mereka semua itu sebagai
calon-calon pembantunya untuk melanjutkan ‘perjuangan’ mendiang ayahnya dalam
kegembiraannya ingin sekali melihat kelihaian mereka. Maka setelah minum
beberapa cawan arak yang cukup menghangatkan hatinya, dia bangkit berdiri dan
berkata lantang.
“Cuwi
sekalian! Kita telah bersepakat untuk bersatu dan kita merupakan kesatuan
orang-orang yang gagah dan memiliki kepandaian! Oleh karena itu, dalam
pertemuan ini sudah selayaknya kalau kita memperlihatkan kepandaian
masing-masing, bukan untuk menyombongkan diri melainkan sebagai perkenalan. Dan
pertunjukan ini akan saya mulai lebih dulu dengan memperlihatkan sedikit
kemampuan saya yang saya pelajari dari guru saya yang terhormat, yaitu Ban-hwa
Sengjin, koksu dari Nepal!”
Tentu saja
ucapan ini disambut dengan gembira oleh semua orang. Mereka adalah orang-orang
yang suka berkelahi, suka akan ilmu silat, maka setiap pertunjukan silat tentu
saja menggembirakan hati mereka. Apa lagi karena mereka maklum bahwa di antara
mereka terdapat banyak sekali orang-orang pandai.
Dengan
langkah lebar Liong Bian Cu yang oleh orang-orangnya disebut Liong-kongcu itu
menghampiri sebuah batu besar yang berada di tempat itu. Batu itu sebesar
kerbau, tentu berat sekali. Akan tetapi dengan mudah dan ringan Liong-kongcu
mengangkatnya dan melontarkannya tinggi ke atas. Dia menggosok kedua telapak
tangannya, kemudian cepat dia menggerakkan kedua lengannya dan kedua tangannya
dengan jari-jari terbuka memukul dan mendorong ke arah batu itu.
Terdengarlah
suara bercuitan dari tangan kanannya dan dari tangan kirinya keluar suara
mendesis. Di sekitar tempat dia berdiri menyambar-nyambar hawa yang panas dan
dingin. Yang panas keluar dari tangan kanannya sedangkan yang dingin keluar
dari tangan kirinya. Ketika kedua tangan itu bergerak memukul, batu itu tidak
dapat meluncur jatuh, melainkan terapung di udara seperti tertahan oleh tenaga
mukjijat, dan batu itu mulai terputar, semakin lama semakin cepat sehingga
mengeluarkan suara mengaung seperti gasing. Tak lama kemudian nampak debu
mengepul, pecahan batu dan pasir berhamburan ke mana-mana.
Liong-kongcu
tersenyum, menghentikan gerakan kedua tangannya dan meloncat ke belakang ketika
batu itu jatuh berdebuk ke atas tanah. Dan semua orang melongo ketika melihat
betapa batu yang tadinya kasar itu kini telah menjadi halus seperti dibubut,
bentuknya bulat seperti telur!
Kian Lee
yang sejak tadi memandang penuh perhatian, diam-diam memuji. Itulah tenaga
Im-yang Sin-ciang yang cukup hebat. Sungguh pun tentu saja tidak dapat
dibandingkan dengan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang, namun pemuda itu
sudah boleh juga dan hal itu tidak mengherankan karena pemuda itu, menurut
pengakuannya tadi adalah murid dari koksu dari Nepal, yaitu Ban-hwa Sengjin
yang pernah dia jumpai di istana Gubernur Ho-nan!
Pemuda ini mulai
mengerti apa tugas orang-orang Nepal ini. Dia dapat menghubung-hubungkannya
dengan kehadiran Ban-hwa Sengjin koksu dari Nepal di istana Gubernur Ho-nan,
lalu kehadiran mereka ini di sini, hendak membentuk barisan pemberontak! Apa
lagi ketika mendengar bahwa Liong-kongcu ini adalah putera mendiang Pangeran
Liong Khi Ong, maka tentu saja apa yang dilihat dan didengarnya semua itu
tidaklah terlalu mengherankan. Suatu persekutuan pemberontak agaknya hendak
bangkit lagi bertujuan mengacaukan negara.
Para tamu
bersorak memuji kelihaian pemuda peranakan itu, dan Liong-kongcu kini memandang
ke arah Hwee Li sambil tersenyum bangga. Akan tetapi senyumnya hilang dan
alisnya berkerut ketika dia melihat gadis berpakaian hitam yang menggoncangkan
hatinya itu sama sekali tak ikut bersorak memuji, bahkan bibirnya tersenyum
mengejek, seolah-olah apa yang dipertunjukkannya tadi tidak ada artinya sama
sekali bagi nona itu.
Selagi
Liong-kongcu hendak minta kepada Hwee Li agar memperlihatkan kelihaiannya,
tiba-tiba dia didahului oleh Ang-siocia yang sudah bangkit berdiri dan
menghampirinya. “Hik-hik, sungguh lumayan juga kepandaianmu. Ingin sekali aku
bertanding denganmu karena ilmu kita hampir bersamaan. Engkau memiliki pukulan
tajam, aku pun juga. Akan tetapi aku akan mempergunakan pedang, lihatlah!”
Dia mencabut
sebatang pedang yang tadi tergantung di punggungnya, pedang yang bersarung dan
bergagang indah, yang dihias ronce merah tua di gagangnya. Kemudian gadis
berpakaian merah muda ini mengeluarkan suara melengking panjang. Pedangnya lalu
bergerak dengan cepat, bertubi-tubi ke arah batu yang bulat halus seperti telur
itu.
Cepat sekali
gerakan pedangnya, sampai nampak sinar menyilaukan mata dan ketika sinar itu
lenyap, ternyata pedangnya telah kembali memasuki sarungnya di punggung nona
itu dan dengan tenang dia berdiri memandang ke arah batu. Batu itu tiba-tiba
roboh terpotong-potong seperti irisan kue keranjang! Tipis dan lebar. Tentu
saja semua orang melongo dan bertepuk tangan memuji.
“Hi-hi-hik,
hampir sama bukan?” kata Ang-siocia kepada Liong-kongcu. “Kalau guruku yang
melakukannya, tidak usah memakai bantuan pedang, cukup dengan telapak tangan
saja. Itulah pukulan Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok).”
Ang-siocia
terkekeh lagi dengan bangga, kemudian dia menghampiri batu yang sudah
terpotong-potong itu dan menggunakan kakinya untuk mencukil dan melemparkan
batu itu ke arah sungai yang mengalir tak jauh dari tempat itu, sebuah sungai
yang menjadi sambungan dari air terjun. “Lebih baik batu-batu ini dilempar ke
sungai!”
Tentu saja
perbuatannya ini tak lain mengandung maksud untuk mendemonstrasikan kekuatan
kakinya dan memang hebat sekali. Potongan-potongan batu itu beterbang ke depan.
“Heiii,
jangan dibuang! Sayang...!”
Nampak
bayangan berkelebat cepat sekali mendahului batu-batu itu dan ketika dia
membalik, dia menggunakan tangannya menuding dan menangkapi potong-potongan
batu yang seperti roda bentuknya itu lalu menumpuknya kembali di atas tanah.
Semua orang memandang tumpukan batu itu dan terdengar seruan-seruan kagum
karena batu batu yang bentuknya seperti roda itu kini telah berlubang tepat di
tengah-tengahnya, sehingga bentuknya seperti gilingan tahu dan ternyata bahwa
ketika menangkap batu batu itu, kakek ini menggunakan jari tangannya melubangi
batu-batu itu tepat di tengah-tengah. Kakek ini bukan lain adalah Tiat-thouw
Sin-go, yang ternyata bukan hanya kepalanya yang keras melebihi batu, melainkan
juga jari tangannya amat kuat. Tentu saja perbuatannya itu pun dimaksudkan
untuk mendemonstrasikan kepandaiannya dan kembali semua tamu memuji.
Akan tetapi
sebelum orang lain mendemonstrasikan kepandaiannya, tiba-tiba terdengar
teriakan-teriakan keras dan disusul suara canang dipukul bertalu-talu tanda
bahaya dan nampaklah beberapa orang penjaga datang berlari-lari dengan muka
pucat menghadap pangcu mereka. Ketika melihat bahwa Hek-hwa Lo-kwi sudah hadir
di situ, mereka itu serta merta menjatuhkan diri berlutut.
“Celaka...
Pangcu...!”
“Tolol!
Pengecut!” Khiu-pangcu memaki. “Hayo lekas lapor, ada apa?!”
“Di luar
pintu terowongan... orang-orang Gunung Cemara datang menyerbu...!”
“Huh, begitu
saja ribut!” Khiu-pangcu membentak.
“Tapi,
Ji-pangcu. Mereka itu dipimpin oleh ketua mereka, Yang-liu Nionio dan dua orang
yang luar biasa lihainya. Tanpa menyentuh orang, mereka berdua telah merobohkan
dan membunuh banyak kawan kita! Mereka adalah seorang pemuda tampan dan seorang
gadis cantik yang mengeluarkan suara seperti kucing... huuuh-huhhh...!” para
penjaga itu menggigil ketakutan.
“Hemmm,
sungguh orang-orang Hek-eng-pang tak boleh diberi ampun kali ini!” Hek-hwa
Lo-kwi membentak marah sekali dan meloncat turun dari atas panggung, kemudian
dengan langkah lebar dia pergi menuju ke pintu terowongan, diikuti oleh para
tamu yang ingin melihat apa yang selanjutnya akan diperbuat oleh ketua yang
baru saja keluar dari pertapaannya itu. Juga mereka ini mengharapkan akan
menyaksikan pertandingan yang hebat antara Hek-hwa Lo-kwi melawan tokoh-tokoh pimpinan
Hek-eng-pang.
Akan tetapi
belum juga mereka memasuki pintu terowongan, tiba-tiba terdengar suara
ledakan-ledakan keras di sebelah luar terowongan itu dan nampak api mengebul di
atas tebing arah mulut terowongan di atas. Semua orang terkejut sekali, apa
lagi ketika mendengar gemuruhnya suara air menyaingi suara gemuruh air terjun.
Cepat mereka semua mundur kembali menjauhi pintu terowongan dan tak lama
kemudian, dari pintu terowongan itu menyembur air yang amat kuat dan derasnya.
Beberapa orang penjaga terowongan terlontar seperti daun-daun kering
dihanyutkan air bersama dengan semburan air yang deras itu.
Semua orang
menjadi panik karena maklum bahwa entah secara bagaimana, pihak musuh telah
berhasil membobolkan sungai di atas dan mengalirkan airnya memasuki mulut
terowongan di atas hingga menggenangi lembah itu! Tentu saja terjadi kepanikan
hebat. Orang-orang cepat mencari perahu-perahu yang banyak terdapat di situ.
Akan tetapi karena banyaknya orang dan kurangnya perahu, mereka banyak tidak
kebagian dan terpaksa mereka menebang pohon-pohon dan bambu-bambu untuk
dijadikan pengapung atau semacam rakit. Air makin meninggi dan keadaan makin
kacau. Mereka yang telah berhasil memperoleh perahu sudah cepat-cepat
menyelamatkan diri melalui sungai.
Di dalam suasana
yang kacau-balau dan hiruk-pikuk itu, Kian Lee bertindak cepat sekali. Dia
melihat Hoa-gu-ji, tokoh Kui-liong-pang tinggi kurus yang tadi mengepalai para
pelayan yang mengeluarkan hidangan. Kian Lee menduga bahwa orang ini tentu
seorang di antara para anggota pimpinan, maka begitu melihat kesempatan,
secepat kilat dia menubruk dan merobohkan orang tinggi kurus ini dengan
totokan, kemudian menyeretnya ke tempat gelap.
Hoa-gu-ji
adalah seorang yang mempunyai kepandaian cukup lihai, maka dapatlah dibayangkan
alangkah kaget dan herannya melihat betapa ada orang yang mampu merobohkannya
demikian mudahnya! Dia tadi hanya melihat seorang pemuda tampan mendekatinya
dan tahu-tahu tubuhnya menjadi lemas dan ketika dia hendak berteriak, pemuda
itu menepuk tengkuknya dan lenyaplah suaranya! Kini Hoa-gu-ji benar-benar
merasa ketakutan ketika dia diseret di tempat gelap dan dia melihat bahwa di
situ telah menanti seorang nikouw tua yang tadi dilihatnya menjadi seorang di
antara para tamu di situ.
“Hayo cepat
katakan, di mana adanya dua orang tawanan yang kalian bawa dari Gunung Cemara!”
Kian Lee membentak sambil menyentuh ubun-ubun kepala orang itu dan dengan
tangan kiri membebaskan totokan pada lehernya sehingga orang itu dapat
mengeluarkan suara lagi.
“Ta... tawanan...
yang mana...?” Hoa-gu-ji bertanya, jantungnya berdebar tegang karena jari-jari
tangan yang menyentuh ubun-ubunnya itu benar-benar merupakan ‘todongan maut’
baginya, maka dia tidak berani main-main.
“Seorang
gadis dan juga seorang laki-laki tua yang kalian bawa dari tempat tahanan
Hek-eng-pang. Cepat jawab!”
“Ahhh...
mereka itu?”
Setelah
jelas bahwa orang ini mengetahui tentang dua orang temannya, Kian Lee lalu
membebaskan totokan pada tubuh Hoa-gu-ji dan sambil mencengkeram leher bajunya,
dia menghardik, “Hayo antarkan kami ke sana!”
Hoa-gu-ji
mengangguk-angguk. Dia maklum bahwa dia tidak berdaya karena selain pemuda ini
luar biasa lihainya, juga teman-temannya sedang sibuk menyelamatkan diri dari
serangan air yang membanjiri lembah. Akan tetapi, Kian Lee menjadi repot juga
karena air sudah mulai naik sampai ke paha.
“Kita membuat
rakit dulu!” kata Liang Wi Nikouw.
Nenek ini
kemudian mengumpulkan kayu dan bambu yang banyak hanyut di situ, bekas
orang-orang tadi membuat rakit. Dibantu oleh Hoa-gu-ji, mereka membuat rakit
dengan cekatan, lalu cepat mereka menuju ke kelompok bangunan yang sudah
digenangi air setinggi perut. Akhirnya tibalah mereka di sebelah kamar tahanan
dan dengan hati lega Kian Lee melihat Cui Lan dan Hok-taijin berpegang kepada
ruji-ruji besi tempat tahanan itu dengan muka pucat dan ketakutan karena air
sudah terus naik!
“Kongcu...
syukur engkau cepat datang...!” Cui Lan terisak penuh kegembiraan melihat
munculnya pemuda itu.
Untung lampu
di atas tempat tahanan masih belum padam sehingga keadaan di situ cukup terang.
Kian Lee cepat menotok lumpuh Hoa-gu-ji dan membawanya loncat naik ke atas
wuwungan rumah dan melemparkan tubuh itu di atas wuwungan karena dia yakin
bahwa air tidak mungkin sampai naik ke wuwungan. Kemudian bersama Liang Wi
Nikouw dia membongkar pintu tahanan dan menolong gadis dan pembesar itu naik
rakit dan mereka lalu mendayung rakit itu keluar dari situ. Di luar air sudah
naik sampai ke dada orang. Bangunan-bangunan kecil roboh terlanda air, akan
tetapi bangunan besar di mana tadi Kian Lee melemparkan Hoa-gu-ji ke atas
wuwungan cukup kokoh dan tentu akan dapat bertahan.
“Ahhh...
Taihiap... sungguh kami sudah hampir putus asa...” Hok-taijin berkata. “Untung
aku bersama dengan Cui Lan, anakku yang gagah perkasa ini... dialah yang selalu
membesarkan hatiku... kalau tidak, mungkin aku sudah menjadi gila...“
Kian Lee
memandang kepada Cui Lan dengan sinar mata kagum, sementara gadis itu menunduk
dengan air mata berlinang.
“Cui Lan,
ini adalah Liang Wi Nikouw yang diutus oleh Siluman Kecil untuk menyelidiki
keadaanmu dan menolongmu,” kata Kian Lee sambil memandang gadis itu.
Seketika
wajah yang menunduk itu bergerak, diangkat dan biar pun air matanya masih
berlinang, namun bibirnya tersenyum dan wajahnya berseri. “Aihhh...? Suthai
yang baik, benarkah itu?”
Nikouw itu
mengangguk dan tersenyum.
“Di mana
dia? Bagaimana dengan dia? Baik-baik sajakah dia?” tanyanya seperti air hujan.
Nikouw itu
mengangguk-angguk lagi. “Dia mengkhawatirkan keadaanmu, Nona, maka mengutus
pinni menyelidiki. Kiranya engkau benar-benar terancam bahaya, untung ada
pemuda perkasa ini yang menolong.”
Karena
mereka masih berada dalam bahaya, maka Cui Lan tidak berani banyak bertanya
lagi. Juga dia merasa malu untuk banyak bertanya tentang pendekar luar biasa
itu, maka dia kini hanya menunduk sedangkan Kian Lee yang dibantu oleh nikouw
yang biar pun sudah tua namun masih kuat itu untuk mendayung rakitnya menuju ke
sungai, di mana juga terdapat kesibukan dari mereka yang menyelamatkan dirinya.
Sementara
itu, jauh di atas tebing nampak tiga orang berdiri menonton semua keributan di
lembah. Tentu saja tidak kelihatan jelas benar karena hanya dibantu dengan
sinar bulan. Akan tetap melihat lampu-lampu bergerak ke sana sini dengan kacau
dan teriakan-teriakan orang di bawah terdengar sampai di atas, tiga orang itu
cukup puas dan menonton sambil tersenyum.
Mereka itu
bukan lain adalah Hek-eng-pangcu Yang-liu Nionio, Ang Tek Hoat, dan Mauw Siauw
Moli. Bagaimana mereka bisa berada di sana? Mari kita ikuti perjalanan Tek Hoat
yang kita tahu melakukan usaha menculik Syanti Dewi dari puncak Naga Api,
tempat tinggal Hwa-i-kongcu itu…..
********************
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, setelah Ang Tek Hoat berhasil membantu
Yang-liu Nionio ketua Hek-eng-pang merobohkan Kian Lee, pemuda itu lalu dibantu
oleh Yang-liu Nionio dan beberapa orang anak buahnya untuk pergi ke puncak Naga
Api menculik Syanti Dewi yang menjadi tawanan di sana dan hendak dipaksa
menikah dengan Hwai-kongcu Tang Hun, murid dari Durganini yang kaya raya dan
lihai itu.
Dan walau
pun Hek-eng-pang mengorbankan beberapa orang anggotanya, akhirnya mereka
berhasil melarikan Syanti Dewi yang oleh Yang-liu Nio-nio dilemparkan kepada
muridnya, Liong-li dan kemudian dibawa keluar di mana telah menanti Ang Tek
Hoat bersama beberapa orang anak buah Hek-eng-pang yang siap dengan beberapa
ekor kuda yang baik.
Tentu saja
Tek Hoat menjadi girang sekali melihat bahwa kekasihnya telah berhasil
diselamatkan. Akan tetapi dia teringat akan perlakuan Raja Bhutan ayah puteri
itu terhadap dirinya dan penghinaan lima tahun yang lalu itu masih membuat hatinya
terasa panas, apa lagi kalau dia teringat betapa sengsaranya hatinya selama ini
yang selalu terkenang dengan penuh kerinduan kepada wanita yang dicintanya itu.
Maka, setelah kini dengan susah payah dia dapat bertemu kembali dengan $yanti
Dewi, dia tidak mau lekas-lekas memperkenalkan diri lebih dulu.
Karena cuaca
masih gelap sekali, mudah baginya untuk tidak memperkenalkan diri dan tidak
membuka suara. Dia hanya menerima puteri yang tertotok itu dari tangan
Liong-li, kemudian dengan mendudukkan wanita yang dicintainya itu di atas
punggung kuda, dia melompat di belakang Syanti Dewi dan membalapkan kuda
secepatnya, diikuti oleh Yang-liu Nionio, Liong-li dan lain anak buah
Hek-eng-pang, menuju kembali ke Gunung Cemara. Untuk membingungkan para
pengejarnya, mereka lalu berpencar menjadi tiga rombongan dan Tek Hoat masih
tetap bersama Yang-liu Nionio dan Liong-li, sedangkan rombongan lain bertugas
untuk menghilangkan jejak ketua dan rombongannya ini.
Tentu saja
Hwa-i-kongcu Tang Hun yang dibantu oleh tiga orang sakti Hak Im Cu, Ban-kin-kwi
Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To terus melakukan pengejaran, akan tetapi
mereka ini dibikin bingung dan akhirnya juga berpencar menjadi dua rombongan
yang membelok ke kanan kiri, tidak tahu bahwa puteri itu dilarikan terus ke
depan oleh Ang Tek Hoat dan rombongannya. Hal ini adalah karena jejak kaki kuda
mereka telah dihapus oleh anak buah Hek-eng-pang yang cerdik itu.
Hanya ada
satu orang yang tidak mudah diakali oleh anak buah Hek-eng-pang. Orang ini
adalah Siang In! Ketika terjadi keributan di tempat pesta, Siang In yang pergi
meninggalkan rombongan penari itu cepat-cepat mencari-cari dan ketika jelas
bahwa Syanti Dewi diculik orang, dia pun cepat melakukan pengejaran. Dia amat
cerdik, sudah menduga bahwa tentu rombongan penculik itu membawa keluar Syanti
Dewi, maka dia telah mendahului pergi ke kandang kuda, mencuri seekor kuda dan
menggunakan kesempatan selagi ribut-ribut itu menjalankan kudanya keluar dari
benteng yang terjaga.
“Aku sri
panggung rombongan penari, hendak membantu mencari pengantin puteri yang
terculik!” katanya dan karena penjaga tadi melihat betapa dara cantik jelita
ini pandai main sulap, mereka membiarkan Siang In keluar.
Dara ini
mengintai dan melihat ada rombongan orang membawa kuda menanti di luar tembok,
maka dia pun bersembunyi. Saat para penculik wanita rombongan orang-orang
Hek-eng-pang itu keluar dan membawa lari Syanti Dewi, dia pun membalapkan
kudanya membayangi dari jauh. Dia cukup hati-hati dan dapat menduga bahwa
orang-orang itu tentu memiliki kepandaian, maka dia tidak berani sembrono turun
tangan di situ, apa lagi dia tahu bahwa tentu pihak Hwa-i-kongcu tidak akan
tinggal diam dan melakukan pengejaran, sehingga andai kata dia berhasil
merampas Syanti Dewi dari tangan para penculik, dia pun tidak akan terlepas
dari tangan Hwa-i-kongcu dan para pembantunya yang lihai itu. Untuk menggunakan
sihirnya, dia teringat akan orang Nepal yang lihai tadi, maka sekali ini dia
harus bersikap hati-hati sekali.
Sementara
itu, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ang Tek Hoat memeluk pinggang Syanti Dewi
yang duduk di depannya. Pelukan yang penuh kemesraan dan seluruh kerinduan
hatinya dicurahkan pada sentuhan mesra itu. Namun dia tetap membisu dan hanya
membalapkan kudanya bersama Yang-liu Nionio dan Liong-li.
Hatinya lega
karena tidak terdengar derap kaki banyak kuda mengejarnya. Hanya kadang-kadang
terdengar derap kaki seekor kuda di belakang, akan tetapi tentu saja hal ini
dianggap ringan. Andai kata benar ada satu orang yang mengejar, tentu saja bukan
merupakan halangan. Dia sendiri masih belum berani menggunakan terlalu banyak
tenaga sebagai akibat luka dalam ketika bertanding melawan Kian Lee, akan
tetapi Liong-li dan terutama Yang-liu Nionio yang menunggang kuda di dekatnya
bukanlah orang-orang yang lemah.
Karena tidak
ada pengejar, hati mereka tenang dan mereka berhenti di dalam sebuah kuil tua
yang berada di tepi jalan untuk membiarkan kuda mereka mengaso. Tanpa banyak
cakap Tek Hoat memondong tubuh Syanti Dewi dan merebahkan dara itu di atas lantai
dalam kuil, kemudian dia membebaskan totokannya dan meninggalkannya pergi.
Syanti Dewi
mengeluh dan kemudian menangis terisak-isak. Malam hampir lewat dan waktu itu
sudah menjelang subuh. Sudah terdengar kokok ayam jantan di kejauhan. Udara
dingin sekali. Syanti Dewi menggigil, akan tetapi Tek Hoat hanya berdiri di
luar, bermacam perasaan teraduk di hatinya. Dia merasa rindu, merasa girang,
merasa kasihan, akan tetapi juga mendongkol dan marah. Ingin dia memeluk,
membisikkan kata-kata cinta, menciumi wanita yang selama ini amat dirindukannya
itu. Ingin dia menghiburnya, membuatnya gembira dan tertawa, karena dia yakin
bahwa tentu Syanti Dewi akan merasa girang sekali bertemu dengan dia.
Dia tahu
bahwa puteri itu belum dapat menduga siapa adanya orang yang menolongnya bebas
dari tangan Hwa-i-kongcu! Akan tetapi karena rasa sakit di hatinya oleh ayah
gadis itu, dia masih ‘menjual mahal’ dan mengambil keputusan untuk menjumpai
Syanti Dewi pagi nanti kalau cuaca sudah terang. Dia akan muncul begitu saja
mengagetkan hati puteri itu. Tersenyum dia membayangkan betapa Syanti Dewi
tentu akan menjerit, dan lari memeluknya kalau puteri itu tiba-tiba melihat dia
muncul di dalam kamar kuil rusak itu!
Ada pun
Yang-liu Nionio dan Liong-li lalu membuat api unggun di dalam kuil, tidak mau
mencampuri urusan Tek Hoat bersama Syanti Dewi. Mereka membicarakan tentang
beberapa orang anggota mereka yang diduga tewas dalam penyerbuan itu, dan juga
membicarakan tentang orang-orang pandai yang muncul di dalam pesta
Hwa-i-kongcu.
Tidak lama
kemudian, sinar matahari pagi mulai mengusir kabut dan hawa dingin dan
tiba-tiba Hek-eng-pangcu bersama muridnya itu mendengar suara teriakan Tek Hoat
dari sebelah dalam kuil. Mereka terkejut dan cepat melompat ke dalam dan mereka
melihat Tek Hoat dengan muka pucat berdiri di ambang pintu, memandang ke arah
puteri yang telah mereka culik semalam. Puteri itu duduk bersimpuh di atas
lantai sambil menangis dan Si Jari Maut yang biasanya tenang dan gagah perkasa
itu kini berdiri dengan mata terbelalak memandang puteri itu, mukanya pucat
sekali.
“Celaka...!”
Tek Hoat berseru marah.
“Kenapa? Apa
yang terjadi...?” Yang-liu Nionio bertanya.
“Bodoh!
Tolol semua! Dia bukan...“
“Bukan apa?”
“Dia bukan
puteri itu!” Ang Tek Hoat mengepal tinju sambil memandang kepada ketua
Hek-eng-pang dengan mata melotot. “Kalian telah tertipu! Ini bukan Puteri
Syanti Dewi!”
“Tapi...!”
Yang-liu Nionio membantah, terheran-heran. Dia sendiri yang menculik wanita ini
dari dalam kamar pengantin wanita. Tidak bisa salah lagi.
Liong-li
cepat meloncat dan menarik pundak wanita yang mengempis itu. ”Diam kau! Hayo
ceritakan siapa engkau dan di mana adanya pengantin puteri!” hardiknya sambil
mengguncang-guncang pundak wanita muda yang cantik itu.
“Ampunkan
saya...“ Wanita itu meratap. “Saya adalah seorang pelayan dari Kongcu dan malam
tadi... ada… ada seorang kakek muncul dan menyeret saya, mengancam akan
membunuh kalau saya berteriak, lalu mendadak saya menjadi lumpuh, bahkan untuk
mengeluarkan suara pun tidak mampu... dan… kakek itu melucuti pakaian saya dan
memaksa saya memakai pakaian ini... saya tidak tahu apa-apa... dan tiba-tiba
saja saya dilarikan sampai di sini...“
“Di mana
pengantin puteri?” Tek Hoat membentak, tidak sabar.
“Saya tidak
tahu... harap ampunkan saya... saya tidak tahu apa-apa...“
“Hemmm,
siapa kakek itu? Bagaimana macamnya?”
“Saya hanya
tahu dia kakek tua, entah siapa...“
“Sialan!”
Yang-liu Nionio meludahi muka wanita itu, tangannya bergerak dan wanita itu
roboh tak berkutik lagi karena kepalanya telah pecah oleh ketukan jari tangan
ketua Hek-eng-pang yang merasa dipermainkan dan menjadi marah sekali. Dia telah
bekerja bersusah payah, telah kehilangan beberapa orang anggota perkumpulannya
pula, dan hasilnya adalah puteri palsu!
Pada saat
itu terdengar suara dari luar, “Heiii, Ang Tek Hoat! Biarkan aku bertemu dan
bicara dengan Enci Syanti Dewi! Aku belum puas kalau belum mendengar dari
mulutnya sendiri bahwa dia suka ikut dengan orang seperti engkau! Enci Syanti,
ini aku, Siang In. Keluarlah dulu dan kita bicara sebentar!”
“Huh!” Tek
Hoat mendengus marah dan dia menyambar punggung baju mayat pelayan yang telah
dibunuh oleh Yang-liu Nionio dan Liong-li yang terkekeh mengejek ke arah Siang
In.
Siang In
terkejut bukan main melihat tubuh wanita yang disangkanya Syanti Dewi itu
terlempar ke arahnya. Dia mengelak dan tubuh itu terbanting ke atas tanah.
Cepat dia memeriksa dan menahan napas lega. Kiranya bukan Syanti Dewi yang
dibawa kabur oleh Tek Hoat!
“Hemmm...
kalau begitu, siapa yang menculik Syanti Dewi! Ke mana perginya? Orang lihai
macam Tek Hoat dan nenek cantik itu masih dapat ditipu orang. Dan kalau melihat
Hwa-i-kongcu dan orang-orangnya sudah melakukan pengejaran dan pencarian ke
mana-mana, jelas bahwa Enci Syanti Dewi benar-benar telah lenyap. Akan tetapi
siapa yang membawanya dan kemana?”
Dengan hati
penasaran Siang In lalu melompat ke atas kudanya dan kembali ke daerah puncak
Naga Api untuk menyelidiki hilangnya Syanti Dewi yang penuh rahasia itu.
Demikianlah,
dengan marah dan kecewa Ang Tek Hoat kembali ke Gunung Cemara bersama Yang-liu
Nionio dan Liong-li. Dan ketika mereka tiba di sana, mereka melihat bahwa Gunung
Cemara telah dibasmi dan dibakar oleh musuh, yaitu orang-orang dari lembah
perkumpulan Huang-ho Kui-liong-pang! Tentu saja Yang-liu Nionio menjadi marah
dan berduka sekali ketika para anggota Hek-eng-pang yang tadinya melarikan diri
itu berdatangan sambil menangis.
“Orang muda!
Kau lihat apa yang terjadi dengan kami karena kami pergi membantumu. Tempat
kami dibasmi musuh. Kalau kau tidak membantu kami melakukan pembalasan,
sungguh-sungguh aku harus menyebutmu seorang yang tidak mengenal budi!” ketua
yang sedang marah dan sakit hati itu berkata kepada Tek Hoat.
Ang Tek Hoat
juga merasa sangat tidak senang dengan peristiwa itu. “Jangan khawatir, Pangcu.
Aku tentu akan membantumu.”
“Bagus!
Kalau begitu, kelak kami pun akan melakukan penyelidikan, siapa yang telah
menculik pengantin puteri dari puncak Naga Api itu,” Yang-liu Nionio berkata.
“Akan tetapi, karena anak buahku banyak yang tewas, aku harus minta bantuan
dari Subo.” Dia lalu menulis sepucuk surat dan menyuruh Liong-li naik kuda yang
kuat untuk cepat minta bantuan gurunya yang dia tahu berada di istana
gubernuran di Propinsi Ho-nan.
Sepekan
kemudian muncullah Mauw Siauw Mo-li di tempat itu. Tentu saja Ang Tek Hoat
menjadi terkejut melihat wanita cantik yang genit ini, karena dia sudah
mengenalnya dahulu ketika dia membantu pemberontakan Pangeran Liong Khi Ong.
Juga Mauw Siauw Mo-li terkejut dan girang bertemu dengan pemuda tampan yang
gagah ini.
“He-he-heh,
bukankah engkau Tek Hoat Si Jari Maut? Aku mendengar bahwa engkau telah menjadi
seorang panglima dan mantu raja di Bhutan! Bagaimana sekarang dapat berkeliaran
di sini?”
Tek Hoat
cemberut dan tidak menjawab pertanyaan itu, dia hanya berkata, “Hemmm, kiranya
engkau guru dari Yang-liu Nionio? Sungguh tak kusangka!”
“Pangcu,
bagaimana engkau dapat bergaul dengan pemuda ini? Ketahuilah, dia pernah
menjadi musuhku beberapa tahun yang lalu, hi-hik-hik!” katanya kepada muridnya
yang lebih tua dari pada dia itu, maka dia menyebutnya pangcu!
Yang-liu
Nionio terkejut bukan main. “Ahh... teecu tidak tahu... dia... dia telah
membantu teecu dan sekarang pun hendak membantu teecu lagi menghadapi
orang-orang dari Kui-liong-pang.”
Mauw Siauw
Mo-li tertawa dan memandang wajah Tek Hoat yang tampan dan muram itu sambil
berkata, “Tidak mengapa. Ada waktunya menjadi musuh, ada waktunya pula menjadi
sahabat, bukan? Nah, ceritakan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang
Kui-liong-pang yang bosan hidup itu.”
Yang-liu
Nionio lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa perkumpulannya bermusuhan
dengan Kui-liong-pang dan akhir-akhir ini berebutan pusaka keluarga Jenderal
Kao dan betapa ketika dia pergi membantu Tek Hoat untuk menculik pengantin dari
Hwa-i-kongcu, orang-orang Kui-liong-pang lalu datang membasmi dan membakar
tempat itu.
“Hemmm,
sungguh-sungguh mereka itu harus mampus. Jangan khawatir, aku akan membantumu
membasmi mereka. Akan tetapi, sungguh mati aku merasa heran sekali mengapa
engkau pergi menculik pengantin puteri, Ang-sicu?” tanyanya kepada Tek Hoat,
memandang heran.
Tek Hoat
sebenarnya tidak suka kepada wanita yang cabul dan genit ini, dan pandang mata
wanita itu kepadanya pun sudah membuat dia merasa muak. Akan tetapi dia tahu
pula bahwa Mauw Siauw Mo-li adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi
sekali dan selama Syanti Dewi masih belum dapat olehnya dan terancam
keselamatannya di tangan orang-orang sesat, dia perlu bantuan orang-orang
seperti wanita ini. Maka dengan terus terang dia menjawab, “Pengantin puteri
itu adalah Puteri Syanti Dewi.”
“Ehhh...?”
Mauw Siauw Mo-li membelalakkan matanya dan wanita yang usianya sudah empat
puluh tahun ini masih belum kehilangan daya tariknya. Dengan rasa bingung dia
lalu bertanya, “Bagaimana ini? Bukankah dia sudah kembali ke istana Bhutan?”
Ang Tek Hoat
menggelengkan kepalanya. Dia tidak suka menceritakan riwayatnya yang
menyedihkan dan memalukan itu kepada orang lain, apa lagi kepada seorang wanita
seperti Mauw Siauw Mo-li ini. Maka dia menjawab singkat, “Aku pergi dari
Bhutan, dia menyusul dan tertawan oleh Hwa-i-kongcu, akan dipaksa menjadi
isterinya.”
Mauw Siauw
Mo-li mengangguk-angguk, akan tetapi di dalam hatinya merasa heran sekali. Dia
mendengar bahwa pemuda ini telah menjadi menantu raja, berarti sudah memperoleh
kedudukan yang mulia, akan tetapi mengapa sekarang berkeliaran lagi ke sini dan
wajahnya begitu murung? Sungguh dia tidak mengerti sama sekali, akan tetapi dia
pun tidak berani mendesak karena tahu bahwa pemuda yang tampan dan lihai ini
mempunyai watak yang amat aneh.
Demikianlah,
Tek Hoat dan Mauw Siauw Mo-li lalu bersama Yang-liu Nionio dan semua sisa anak
buah Hek-eng-pang pergi ke lembah yang menjadi sarang Kui-liong-pang dan atas
usul Tek Hoat yang melihat keadaan di situ, Mauw Siauw Mo-li lalu menggunakan
senjata peledaknya untuk membobol tempat itu sehingga air sungai menyerbu
lembah melalui terowongan yang juga telah diledakkan.
Kini mereka
bertiga memandang dengan hati puas ke bawah, ke arah lembah yang kebanjiran itu
sehingga seluruh penghuni dan para tamunya harus bergegas-gegas menyelamatkan
diri dengan perahu-perahu dan rakit-rakit darurat. Setelah itu, tanpa berkata
apa-apa lagi Tek Hoat lalu membalikkan tubuh sambil berkata, “Aku pergi!”
“Terima
kasih, dan kami akan menyebar anak buah kami untuk menyelidiki di mana adanya
pengantin puteri itu!” kata Yang-liu Nionio. Tek Hoat tidak menjawab dan terus
berkelebat pergi.
“Nanti dulu,
Ang-sicu!” Bayangan lain juga berkelebat pergi dan ternyata Mauw Siauw Mo-li
mengejarnya.
Tek Hoat
mengerutkan alisnya, akan tetapi dia membalik dan memandang tokoh sesat itu
sambil bertanya, “Engkau mau apa?”
“Ang-sicu,
tiga hari yang lalu ketika aku meninggalkan Lok-yang menerima undangan muridku,
ketika tiba di dusun Khun-kwa, aku berpapasan dengan seorang gadis yang
bertanya-tanya kepada orang-orang di jalan tentang seorang kakek yang membawa
seorang gadis dengan paksa. Aku merasa curiga kepada gadis itu karena aku
merasa seperti pernah melihatnya, maka kemudian aku bersembunyi dan mengintai.
Ketika aku mendengar gadis itu menceritakan ciri-ciri gadis yang dibawa dengan
paksa oleh kakek itu, aku teringat bahwa gadis yang diculik itu tentulah
gadismu yang dahulu kau pertahankan mati-matian, yaitu Syanti Dewi.”
Tentu saja
Tek Hoat menjadi tertarik sekali dan wajahnya memancarkan harapan baru. Dia
melangkah dekat dan bertanya, “Mo-li, siapa yang menculik dia?”
Wanita itu
tersenyum lebar dan memang dia masih manis sekali. “Mana aku tahu? Akan tetapi,
kalau kau mau pergi bersama aku mencarinya, mungkin saja kita dapat temukan
gadis itu dan dari dia kita tentu akan mendapat tahu siapa yang menculik
puterimu itu. Dengan kerja sama antara kita, apa pun akan dapat kita lakukan
dengan berhasil, bukan?”
Tek Hoat
yang amat mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya tidak dapat menolak dan
berkata singkat, “Baiklah, mari kita pergi!”
Mauw Siauw
Mo-li tersenyum dan berjalan pergi di samping pemuda tampan itu. Dia menoleh
dan berkata kepada muridnya, “Engkau bawa anak buahmu menyingkir dan
bersembunyi dulu sebelum mendapatkan tempat baru yang baik. Aku pergi dulu!”
Maka
berangkatlah wanita cantik yang hatinya sejak dahulu memang sudah tergerak oleh
ketampanan dan kegagahan Tek Hoat ini bersama Tek Hoat yang terpaksa harus
menerimanya sebagai teman seperjalanan dalam usahanya mencari kembali Syanti
Dewi yang lenyap….
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment