Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 15
DALAM waktu
satu tahun saja, Puteri Milana yang sudah berusia tiga puluh lima tahun itu
melahirkan dua orang anak kembar, dua orang anak laki-laki yang sehat dan
tampan. Tentu saja mereka merasa bahagia sekali, akan tetapi Puteri Milana
menjadi repot juga karena tiba-tiba saja dia harus mengurus dua orang anak!
Padahal dia adalah seorang puteri istana yang lebih biasa bermain pedang dari
pada mengurus anak. Namun, karena Gak Bun Beng yang menjadi suaminya itu penuh
kasih sayang kepadanya dan membantunya, maka kedua orang itu mengurus anak-anak
mereka dengan baik, dengan cara gotong royong.
Gak Bun Beng
adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Dia
memiliki bermacam-macam ilmu silat yang amat tinggi, di antaranya adalah ilmu
ilmu silat dari Siauw-lim-pai, ilmu-ilmu sinkang Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang
Sin-kang dari Pulau Es. Ilmu Silat Sam-po Cin-keng yang mukjijat, tenaga sakti
Inti Bumi yang didapatnya dari gembong Pulau Neraka yaitu Bu-tek Siauw-jin, dan
dia bahkan pernah menerima ilmu mukjijat dari Koai-lojin, yaitu Ilmu Lo-thian
Kiam-sut yang sangat sukar ditemukan tandingannya.
Akan tetapi
Puteri Milana juga bukan orang sembarangan. Sebagai puteri dari Pendekar Super
Sakti, tentu saja dia mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari ayahnya dan ibunya,
bahkan dia memiliki kelebihan dari suaminya yang sakti itu dalam hal ilmu
perang. Dia mewarisi ilmu perang dari ibunya, bahkan ilmu ini diperdalamnya
ketika dia berada di istana, dan ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan
oleh dua orang pamannya, yaitu kedua orang Pangeran Liong, dia telah memimpin
pasukan untuk membasmi pemberontak-pemberontak di perbatasan utara itu.
Memiliki
ayah dan ibu seperti ini, sudah barang tentu kalau dua orang anak kembar itu
semenjak kecil menerima gemblengan dari ayah bundanya sehingga mereka pun
tumbuh menjadi anak-anak yang luar biasa. Selain menggembleng anak-anak mereka
dengan dasar-dasar ilmu silat tinggi, juga pendekar Gak Bun Beng dan Puteri
Milana tidak lupa untuk memberi pelajaran ‘bun’ (sastra) kepada dua orang anak
itu agar mereka kelak tidak menjadi orang-orang buta huruf yang hanya akan
mengandalkan kekuatan badan dan menjadi orang-orang kasar.
Pondok
mereka yang sederhana itu, bersama sebidang tanah yang kini telah mereka olah
menjadi kebun sayur dan bunga, berada di puncak, di tepi telaga dan terkurung
oleh jurang dan bukit-bukit. Tempat ini aman dan tenteram sekali, dan tidak
mungkin didatangi orang dari jurusan lain kecuali melalui telaga. Hanya dengan
menyeberangi telaga itulah orang dari jurusan atau tempat lain di seberang
telaga dapat mengunjungi pondok suami isteri pendekar ini.
Oleh karena
itu, jarang sekali ada orang datang ke tempat itu, dan hanya setelah dua orang
anak kembar mereka mulai besar dan mengerti, suami isteri ini kadang-kadang
mengajak dua orang anak mereka untuk mengunjungi dusun-dusun di seberang telaga
agar mereka jangan sampai terasing dari hubungan antara manusia. Para penghuni
dusun-dusun di seberang telaga mengenal suami isteri dan dua orang anak
kembarnya ini, yang mereka anggap sebagai orang-orang luar biasa yang
mengasingkan diri.
Setelah Gak
Jit Kong dan Gak Goat Kong, nama dua orang anak kembar itu, berusia enam tahun,
mereka telah menjadi anak-anak luar biasa yang memiliki kepandaian jauh
melebihi anak-anak biasa. Orang tua mereka memberi nama dengan mengambil huruf
Jit (Matahari) dan Goat (Bulan) untuk menunjukkan kekembaran mereka.
Akan tetapi
dua orang anak itu pun mulai mengerti keadaan dan mereka mulai merasa heran dan
penasaran, juga tidak puas melihat betapa mereka hidup terasing di tempat itu,
padahal di dusun-dusun di seberang telaga terdapat banyak manusia lain. Mereka
telah pandai membaca dan dari kitab-kitab yang mereka baca, mereka tahu bahwa
yang hidup mengasingkan diri hanyalah pertapa-pertapa atau orang-orang jahat
yang menjadi buronan. Padahal ayah bunda mereka bukan pertapa. Apakah ayah
bunda mereka buronan? Agaknya tidak mungkin.
Rasa
penasaran ini membuat mereka pada suatu malam, sehabis makan malam, mengajukan
pertanyaan kepada ayah bunda mereka.
“Ayah,
mengapa kita hidup di tempat sunyi dan terasing ini? Mengapa kita tidak tinggal
di tempat yang banyak ditinggali manusia lain seperti di dusun-dusun itu?” kata
Jit Kong.
“Kenapa kita
tidak pernah pergi melakukan perjalanan mengunjungi kota-kota besar dan kota
raja seperti yang sering Ibu ceritakan? Katanya Ibu adalah cucu kaisar, kenapa
sekarang tinggal di tempat sunyi begini?” Goat Kong menyambung. Karena Jit Kong
lahir lebih dulu, maka Goat Kong ini terhitung adik, akan tetapi dia tidak
pernah mau menyebut kakak kepada Jit Kong.
Suami isteri
itu saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata ini Milana sudah menyerahkan
jawaban-jawaban itu kepada suaminya. Maka Gak Bun Beng kemudian memegang tangan
kedua orang puteranya, menarik mereka dan merangkul mereka, lalu berkata,
“Ketahuilah, anak-anakku. Kita memang sengaja tinggal di tempat sunyi, jauh
dari keramaian. Bukankah tempat ini indah sekali dan kita hidup bahagia? Di
tempat-tempat ramai, terutama sekali di kota-kota besar, terdapat banyak
keributan, terdapat banyak orang-orang jahat yang suka mengganggu orang lain.”
“Akan tetapi
kita tidak perlu takut!” Jit Kong berkata.
“Benar,
perlu apa kita belajar silat kalau takut orang jahat?” Goat Kong menyambung.
Gak Bun Beng
tersenyum dan diam-diam dia bangga melihat sifat gagah itu ada pada diri dua
orang puteranya. “Sama sekali kita tidak takut, anak-anakku. Akan tetapi perlu
apakah kita mendekati tempat-tempat di mana orang-orang saling bermusuhan? Di
sini kita hidup tenang dan damai.”
“Akan tetapi
aku ingin melihat banyak orang di kota besar!” kata Jit Kong.
“Dan aku
ingin melihat kaisar!” kata Goat Kong.
Melihat
suaminya kewalahan menghadapi desakan dua orang anaknya, Milana lalu turun
tangan membantu dan berkata, “Jit Kong dan Goat Kong, kalian masih terlalu
kecil untuk pergi ke tempat ramai dan bertemu dengan orang-orang jahat.
Belajarlah baik baik dan kalau kalian kelak sudah dewasa, sudah memiliki
kepandaian tinggi, baru tiba saatnya kalian boleh mengunjungi tempat-tempat
ramai itu. Aku sendiri yang akan membawa kalian ke kota raja dan menghadap
kaisar.”
“Benar kata
Ibumu,” Bun Beng menyambung dengan hati lega. “Dan ingatlah, di dunia ini
banyak berkeliaran manusia-manusia jahat. Oleh karena itu, kalian pun tidak
boleh mengunjungi dusun-dusun di seberang tanpa ayah ibumu. Mengertikah
kalian?”
Dua orang
anak itu mengangguk, tetapi saling lirik karena hati mereka sesungguhnya tidak
merasa puas. Betapa pun juga, janji ibu mereka itu amat menarik hati dan mereka
makin rajin berlatih ilmu silat sehingga ayah bunda itu merasa girang sekali.
Pada suatu
pagi, seperti biasanya, Jit Kong dan Goat Kong bermain-main di telaga,
mendayung sebuah perahu kecil. Mereka seharusnya mencari ikan, akan tetapi
karena semenjak pagi tadi mereka memancing namun belum juga memperoleh hasil,
mereka lalu bermain-main dan mandi di telaga. Mereka menanggalkan pakaian
mereka di atas perahu dan dari perahu itu mereka terjun ke air yang jernih,
berenang ke sana-sini sambil tertawa-tawa, berkejaran, menyelam dan saling
siram dengan air.
“Hayo kita
berlomba mengejar perahu kita!” Jit Kong berkata sambil tertawa-tawa dan
mengusap air dari mukanya.
“Baik, dan
yang kalah nanti harus mendayung perahu sampai ke pinggir ketika pulang!” jawab
Goat Kong.
Mereka lalu
berenang ke arah perahu mereka, kemudian secara bersama-sama mereka mengerahkan
tenaga menggunakan tangan mereka mendorong perahu yang meluncur cepat ke tengah
telaga. Mereka lalu berenang secepatnya mengejar dan berlomba. Keduanya memang
pandai renang, terlatih sejak masih kecil. Akan tetapi, sejak kecil Jit Kong
memang memiliki dasar tenaga lebih besar, akan tetapi Goat Kong memiliki dasar
gerakan yang lebih cepat, maka ketika berlomba mengejar perahu ini, gerakan
Goat Kong lebih cepat sehingga kakaknya tertinggal setengah badan ketika dia
lebih dulu memegang perahu dan meloncat ke dalamnya sambil berpegang kepada
bibir perahu.
“Aku
menang...!” soraknya, mentertawai Jit Kong.
“Kau
berenang seperti ikan saja!” Jit Kong kini juga meloncat ke dalam perahu.
Mereka tertawa-tawa.
Akan tetapi,
tiba-tiba Goat Kong memegang tangan kakaknya. “Jit Kong, lihat! Ada perahu...!”
Jit Kong
cepat memutar tubuh dan memandang. Benar saja. Ada sebuah perahu yang didayung
cepat ke tengah telaga, datang dari seberang dan agaknya menuju ke tempat
tinggal mereka.
“Wah, lihat
pakaian mereka!” Jit Kong berbisik.
Dua orang
anak ini mendekam di atas perahu mereka dan memandang. Perahu itu ditumpangi
oleh dua orang yang berpakaian seperti tentara, bertubuh tinggi besar dan
mereka mendayung perahu dengan kuat sehingga perahu itu meluncur cepat sekali.
“Pakaian
mereka seperti gambar tentara...,“ bisik Goat Kong.
“Celaka,
agaknya Ayah benar-benar seorang buruan dan mereka tentu datang hendak
menangkap Ayah,” kata Jit Kong. Dua orang anak itu saling pandang dengan mata
terbelalak dan muka berubah pucat.
“Kita harus
halangi mereka...,“ bisik Goat Kong. Kakaknya mengangguk dan bagaikan dua ekor
ikan saja, dua orang anak yang masih telanjang itu lalu meluncur ke dalam air
dan berenang cepat menghadang perahu yang meluncur dari depan itu. Ketika
perahu meluncur dekat, keduanya cepat menyelam.
Dua orang
yang berpakaian perwira itu mendayung perahu dan memandang ke arah perahu kecil
itu dengan heran. Perahu kecil itu kosong, tidak ada orangnya dan di dalam
perahu terdapat tumpukan pakaian!
“Eh, tadi
seperti kulihat ada dua orang bocah di perahu itu,” kata perwira yang tua, yang
rambutnya sudah putih semua.
“Benar,
Souw-ciangkun, saya tadi pun melihatnya. Entah di mana mereka sekarang,” kata
perwira yang lebih muda, yang bertubuh tinggi besar.
“Ehhh...!”
“Heiiiii...!”
Mereka
berdua berteriak dengan kaget karena tiba-tiba saja perahu mereka itu miring!
Mereka berusaha untuk menekan perahu, akan tetapi percuma saja karena tiba-tiba
perahu itu terbalik dan mereka ikut terjatuh ke dalam air.
“Tolooooonggg...!”
Perwira tua yang disebut Souw-ciangkun tadi berteriak.
Dia adalah
seorang perwira yang gagah perkasa, akan tetapi di darat. Kalau di air, dia
sama sekali tidak bisa apa-apa, karena berenang pun dia tidak mampu, maka tentu
saja dia menjadi ketakutan dan gelagapan, kedua tangannya meraih-raih udara
kosong dan mulutnya berteriak minta tolong sebelum kepalanya tenggelam.
Perwira
tinggi besar itu dapat berenang, tetapi juga tidak ahli. Maka ketika dia
berenang mendekati dan mencoba untuk menolong temannya, perwira tua itu malah
menangkap lengannya dengan panik dan hal ini menghalangi temannya untuk
berenang sehingga keduanya tenggelam!
Jit Kong dan
Goat Kong yang sudah kembali ke perahu mereka, memandang ke arah dua orang yang
sedang bergumul itu dengan mata terbelalak.
“Kita tidak
boleh membunuh orang,” kata Jit Kong.
“Ya, dan
mereka itu tidak pandai renang,” sambung Goat Kong.
“Kalau
dibiarkan, tentu mereka akan mati.”
“Karena itu,
kita harus menolong mereka.”
Kedua orang
anak itu lalu terjun ke air, menyelam dan berenang ke arah dua orang perwira
yang sudah mulai lemah gerakan-gerakan mereka itu, sebentar timbul sebentar
tenggelam seperti dua ekor ayam terjatuh ke air. Ketika kedua orang anak itu
berhasil menjambak rambut mereka dan membawa mereka berenang ke perahu kecil
itu, mereka berdua sudah tidak bergerak lagi, perut mereka agak kembung dan
mereka tidak sadarkan diri.
Melihat
mereka pingsan, Jit Kong dan Goat Kong terkejut dan amat ketakutan. “Celaka,
mereka sudah mati!” teriak Jit Kong.
“Hayo cepat
bawa pulang, biar diobati Ayah!” kata Goat Kong.
“Tapi...
tapi kita tentu akan mendapat marah. Kita telah membunuh orang!”
“Biar pun
begitu, kita harus memberikan tanggung jawab. Seorang gagah selalu akan
mempertanggung jawabkan semua perbuatannya.”
Semua ucapan
yang keluar dari mulut dua orang anak itu adalah hasil ajaran orang tua mereka.
Maka, biar pun mereka merasa sangat takut dan mengira bahwa dua orang itu telah
mati sehingga mereka akan menerima kemarahan ayah mereka, namun mereka tidak
ragu-ragu lagi untuk cepat mendayung perahu pulang dan setibanya di tepi
telaga, Jit Kong sudah meloncat dan lari secepatnya menuju ke pondok, sedangkan
Goat Kong menjaga perahu di mana dua orang perwira itu masih menggeletak tak
bergerak dengan wajah pucat.
Tak lama
kemudian Gak Bun Beng datang berlarian bersama isterinya, mengikuti Jit Kong
yang datang memberi tahu kepada mereka tentang dua orang perwira itu. Ketika
melihat mereka menggeletak pingsan, Bun Beng cepat menelungkupkan mereka dan
memaksa air keluar dari dalam perut mereka, kemudian mengurut dada dan punggung
sampai mereka siuman kembali.
Begitu
mereka siuman dan perwira yang sudah berusia lanjut dan rambutnya putih semua
itu melihat Milana, dia segera mengenalnya dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut
di depan puteri itu. “Ahhh, sungguh beruntung sekali hamba, akhirnya dapat
bertemu dengan Paduka Puteri!”
Kakek ini
memang merasa terkejut, terheran-heran dan juga girang bukan main karena sama
sekali tidak disangkanya bahwa dia akan dapat bertemu dengan orang yang
dicari-carinya itu! Mereka berdua adalah dua di antara para perwira yang diutus
oleh Pangeran Yung Ceng untuk mencari Puteri Milana.
Dari para
penghuni dusun di seberang mereka mendengar bahwa di tempat itu tinggal dua
orang suami isteri pertapa yang masih muda dan aneh, bersama dua orang anak
mereka. Mendengar betapa suami isteri ‘pertapa’ ini sudah mengasingkan diri
selama beberapa tahun, dua orang utusan itu merasa heran dan mereka lalu
menggunakan sebuah perahu untuk pergi menyelidiki. Akan tetapi mereka bertemu
dengan Jit Kong dan Goat Kong sehingga hampir saja mereka mati tenggelam di
telaga.
“Siapakah
kalian?” Milana bertanya sambil mengerutkan alisnya, sama sekali tidak
menyangka bahwa ada orang yang akan mengenalnya sebagai puteri istana.
“Maaf, hamba
telah berani datang mengganggu. Hamba adalah Souw Ciat, dan dia ini adalah
Ciang Sim To,” kata perwira tua sambil menunjuk kepada temannya yang juga sudah
menjatuhkan diri berlutut ketika mendengar ucapan Souw Ciat. Baru sekarang dia juga
mengenal Milana yang berpakaian sederhana seperti seorang wanita petani biasa
itu.
“Hamba
berdua adalah perwira-perwira pengawal dari istana, hamba diutus oleh sri
baginda kaisar mencari Paduka Puteri Milana yang mulia.”
Mendengar
ini, Gak Bun Beng lalu berkata, “Sebaiknya mari kita ke pondok dan di sana kita
dapat bicara dengan baik.”
Dua orang
perwira itu kini pun teringat kepada pendekar ini yang pernah menjadi tokoh
terkenal di kota raja, maka Souw-ciangkun lalu menjura, diikuti oleh temannya,
kepada pendekar itu sambil berkata, “Terima kasih atas kebaikan Taihiap.”
Mereka
berempat diikuti oleh dua orang anak kembar, segera menuju ke pondok di mana
Jit Kong dan Goat Kong menyalakan perapian sehingga dua orang perwira itu dapat
menghangatkan tubuh mereka dan mengeringkan pakaian mereka. Kemudian, kedua
orang anak kembar yang sudah biasa bekerja membantu ibu mereka itu lalu
menghidangkan arak kepada dua orang tamu itu yang memandang kepada mereka
berdua dengan sinar mata terheran-heran dan juga penuh curiga.
“Kalau tidak
berkat pertolongan dua orang Kongcu ini, tentu kami telah tewas,” kata Ciang
Sim To kepada Bun Beng.
Pendekar itu
menarik napas panjang. “Kami telah mendengar penuturan kedua orang putera kami,
Ji-wi Ciangkun, dan harap Ji-wi suka memaafkan mereka yang masih anak-anak
sehingga belum dapat membedakan orang. Mereka mengira bahwa Ji-wi datang dengan
niat buruk, maka mereka telah lancang menggulingkan perahu dan menangkap
Ji-wi.”
“Jit Kong,
Goat Kong, hayo cepat minta maaf kepada kedua Ciangkun ini!” Milana berkata
kepada kedua orang putera kembarnya.
Jit Kong dan
Goat Kong cepat melangkah maju menghadap dua orang perwira itu, menjura dan
mengangkat kedua tangan di depan dada, membungkuk dan berkata, “Harap Ji-wi
Ciangkun sudi memaafkan kami berdua.” Mereka mengeluarkan kata-kata yang sama
dan hampir berbareng, tanda bahwa ucapan itu keluar dari hati mereka sendiri
dan bukan saling mengikuti saja.
Souw-ciangkun
dan temannya cepat membalas dan perwira tua ini berkata kagum, “Ah, sungguh
hebat sekali! Ji-wi Kongcu ini masih begini muda, akan tetapi telah memiliki
kepandaian hebat sehingga kami dua orang perwira bangkotan telah dibuat tidak
berdaya! Haha-ha, betapa bahagianya hati hamba menyaksikan putera-putera Paduka
yang begini tampan dan gagah perkasa!”
“Ji-wi
Ciangkun, sekarang ceritakanlah tentang tugas Ji-wi mencari aku, dan mengapa
pula kaisar mengutus Ji-wi,” kata Milana.
Pangeran
Yung Ceng demikian bersemangat untuk menemukan dan memanggil Puteri Milana
sehingga setiap rombongan tentu dibawai surat untuk Sang Puteri. Demikian juga
Souw-ciangkun tidak ketinggalan membawa sepucuk surat. Untung bahwa surat itu
disimpannya di dalam kantung kulit sehingga tidak basah ketika dia terjatuh ke
air telaga tadi.
Dengan sikap
hormat dia menyerahkan surat itu kepada Milana yang segera membuka dan
membacanya. Tidak salah memang. Surat itu adalah surat dari pamannya, putera
kaisar yang masih amat muda itu. Biar pun Yung Ceng dan Yung Hwa jauh lebih
muda dari pada Milana, namun dua orang pangeran muda ini termasuk pamannya,
karena mereka adalah putera-putera kaisar, sedangkan dia sendiri adalah cucu
kaisar. Di dalam surat itu, jelas Pangeran Yung Ceng mengharapkan kedatangannya
di istana karena di istana telah timbul hal-hal yang membutuhkan bantuan Puteri
Milana untuk ditanggulangi.
Milana
mengerutkan alisnya. “Yang mengutus Ji-wi bukan sri baginda kaisar, melainkan
putera mahkota,” tegurnya.
“Harap
Paduka maafkan hamba berdua,” jawab Souw Ciat. “Karena sri baginda kaisar telah
menyerahkan pedang kekuasaan kepada pangeran mahkota, maka kekuasaan beliau
tiada bedanya dengan kekuasaan sri baginda kaisar, maka hamba menganggap bahwa
yang mengutus hamba juga dari baginda kaisar sendiri.”
“Hemmm,
apakah yang terjadi di istana maka kaisar menyerahkan pedang kekuasaan kepada
Paman Pangeran Yung Ceng?”
Souw-ciangkun
lalu menceritakan keadaan di kota raja dengan jelas. Sebagai seorang panglima
pengawal yang setia dia ikut merasa lega dan gembira atas tindakan pangeran
mahkota itu maka dia dapat bercerita dengan jelas tentang
diberantasnya-penyelewengan penyelewengan oleh Pangeran Yung Ceng, betapa para
thaikam ditangkapi dan dihukum, dan banyak pula pembesar korup yang dihukum.
“Ah, mengapa
terjadi hal demikian? Apakah kesalahan para thaikam itu?” tanya Milana dengan
heran.
“Mereka
telah menguasai istana dan selalu membujuk sri baginda kaisar melakukan
pemecatan-pemecatan terhadap pembesar-pembesar yang setia. Bahkan Jenderal Kao
Liang yang telah menjadi panglima besar itu pun dipecat.”
“Ehhh...?!”
berita ini amat mengejutkan hati Milana dan Bun Beng.
Mereka
berdua mengenal siapa adanya Jenderal Kao Liang, seorang yang amat setia dan
tangguh, yang sangat besar jasanya terhadap kerajaan, yang sudah berkali-kali
menyelamatkan kerajaan dari ancaman pemberontakan-pemberontakan, bahkan yang
terakhir, lima enam tahun yang lalu, juga menyelamatkan negara dari
pemberontakan dua orang Pangeran Liong.
“Dia
dipecat?” Milana menegaskan dengan hati penasaran.
“Bukan
dipecat begitu saja, melainkan dipensiun dan diperkenankan mengundurkan diri
dan pulang ke kampung halaman. Akan tetapi semua orang tahu belaka bahwa hal
itu adalah merupakan pemecatan dan pengusiran secara halus.” Souw-ciangkun
memberi penjelasan.
“Kalau Paman
Pangeran Mahkota sudah melakukan tindakan tegas itu dan para pembesar lalim
telah dibasmi, perlu apa lagi menyuruh Ji-wi mencari aku?” tanya Milana yang
merasa enggan untuk pergi ke kota raja mencampuri urusan pemerintah.
Souw-ciangkun
lalu menceritakan tentang ancaman pemberontakan yang agaknya akan dicetuskan
oleh Gubernur Ho-nan. “Maafkan hamba, sesungguhnya hamba tidak tahu jelas akan
persoalannya, dan tentu saja pangeran mahkota tidak menceritakan kepada hamba.
Akan tetapi karena hamba melaksanakan tugas mencari Paduka, maka hamba
memperlengkapi diri dengan pengetahuan akan hal-hal itu sehingga kalau Paduka
bertanya hamba sudah dapat memberi penjelasan. Mengenai pemberontakan yang
agaknya akan dilakukan oleh Gubernur Ho-nan, dimulai ketika Pangeran Yung Hwa
menjadi utusan kaisar mengunjungi Propinsi Ho-nan.” Souw-ciangkun lalu
menceritakan segala yang telah didengarnya tentang peristiwa yang terjadi atas
diri Pangeran Yung Hwa dan Gubernur Ho-pei. Sedangkan Milana dan Bun Beng
mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Malah
akhir-akhir ini terdapat pula berita bahwa Gubernur Ho-nan agaknya hendak
bersekutu dengan mata-mata dari Nepal, dan mengumpulkan banyak orang pandai di
lembah Sungai Huang-ho. Oleh karena itulah agaknya maka pangeran mahkota hendak
minta bantuan Paduka.”
Milana
saling pandang dengan suaminya. Mereka maklum bahwa keadaan tentu amat gawat,
maka sampai Pangeran Yung Ceng mencari Milana. Meski mereka sekeluarga telah
menjauhkan diri dan tidak mau berurusan dengan persoalan dunia, akan tetapi
mendengar adanya ancaman terhadap kerajaan, tergerak juga hati Milana.
“Baiklah,
Souw-ciangkun. Kalian berdua sudah berhasil menemukan aku dan sudah
menyampaikan surat Paman Pangeran Yung Ceng. Sekarang kembalilah kalian ke kota
raja, dan permintaan dari istana itu akan kami pertimbangkan.”
Souw-ciangkun
memandang dengan wajah berseri, lalu bertanya, “Apakah Paduka tidak menitipkan
surat jawaban kepada pangeran mahkota melalui hamba?”
“Tidak usah.
Sampaikan saja secara lisan bahwa aku telah menerima surat beliau dan bahwa
permintaan itu akan kami pertimbangkan. Begitu saja. Sekarang, harap kalian
suka pergi meninggalkan tempat ini dan jangan memberitahukan kepada orang lain
kecuali pangeran mahkota tentang kami dan tempat tinggal kami.”
Dua orang
perwira pengawal itu memberi hormat, minta diri dan mereka diantar oleh Bun
Beng sendiri yang menggunakan perahunya karena perahu mereka tadi entah hanyut
ke mana. Mereka diantar sampai ke seberang telaga, lalu pendekar itu kembali
pulang dan segera dia memperbincangkan persoalan panggilan dari kota raja itu
bersama isterinya.
Akhirnya,
oleh karena Milana berkeras untuk membela kerajaan yang terancam bahaya sebagai
puteri istana, diambillah keputusan bahwa puteri itu akan berangkat sendiri ke
kota raja melihat keadaan. Gak Bun Beng tinggal di rumah bersama putera mereka.
Pada keesokan harinya, berangkatlah Milana yang berganti pakaian ringkas dan
membawa pedangnya sehingga kini dia berubah dari seorang wanita petani menjadi
seorang pendekar wanita yang cantik dan gagah…..
***************
“Ohhh...
hu-hu-huuuhhhhh...!”
Dia menangis
menutupi matanya dengan kedua tangan, terisak-isak dan menjatuhkan dirinya di
atas rumput tebal di bawah pohon dalam hutan sunyi itu. Dia masih mengenakan
pakaian pria, pakaian seorang pemuda dan dengan pakaian itu dia telah
menggunakan nama Kang Swi, memasuki sayembara dan berhasil menjadi perwira
pengawal Gubernur Ho-nan. Akan tetapi, sungguh dia tidak sangka bahwa
rahasianya terbuka secara demikian memalukan!
Dalam
keadaan pingsan, pemuda yang bernama Siauw Hong itu telah meraba dadanya! Dia
tahu bahwa Siauw Hong telah menolongnya, telah menyembuhkannya dari luka berat.
Akan tetapi dia tidak peduli. Pemuda itu telah meraba dadanya! Dia harapkan
pukulannya itu akan membunuh Siauw Hong! Kalau tidak, percuma saja dia menyamar
setelah rahasianya kini terbuka.
“Hu-hu-huuuhhhhh...
sialan...!” Pemuda yang ternyata adalah seorang dara itu kembali menangis. Akan
tetapi, betapa pun keras dia menangis, di tempat sunyi itu siapa yang akan
mendengarnya atau menghiburnya?
Kita
mengenal pemuda itu sebagai Kang Swi, pemuda royal yang melakukan perjalanan
bersama Siluman Kecil atau Kian Bu dan Siauw Hong ke kota raja Ho-nan dan
bersama Siauw Hong memasuki sayembara dan berhasil diangkat menjadi perwira
pengawal Gubernur Ho-nan. Tetapi, ketika dia bertemu dengan Kim Cui Yan yang
menangkap Jenderal Kao Liang dan dia menolong jenderal itu, dia berkelahi
melawan Kim Cui Yan yang amat lihai dan terkena pukulan Swat-im Sin-ciang
sehingga roboh pingsan. Lalu, ketika Siauw Hong menolong bekas sahabatnya itu,
Siauw Hong lalu mendapatkan kenyataan bahwa ‘pemuda’ royal itu adalah seorang
wanita muda!
Memang
demikianlah sesungguhnya. Kang Swi hanyalah merupakan satu di antara penyamaran
gadis yang selain pandai ilmu silatnya, juga ahli dalam hal ilmu menyamar dan
‘ilmu’ mencuri itu! Gadis ini bukan lain adalah Ang-siocia (Si Nona Merah),
julukan yang didapatnya karena dia suka berpakaian merah muda. Seperti telah
kita ketahui, Ang-siocia yang cantik ini adalah murid dari Hek-sin Touw-ong yang
terkenal sebagai raja pencuri yang tinggal di pantai Po-hai. Dan seperti telah
kita ketahui pula, ketika Siluman Kecil atau Kian Bu bertanding melawan
Sin-siauw Sengjin, untuk menebus kekalahannya lima tahun yang lalu dan akhirnya
berhasil mengalahkan kakek itu, nona ini muncul dan kemudian mencuri
barang-barang pusaka peninggalan Suling Emas yang ditinggalkan oleh Sin-siauw
Sengjin setelah dia mengakui kekalahannya terhadap Siluman Kecil.
Gadis ini
bukan hanya merupakan murid yang tersayang dari Hek-sin Touw-ong, akan tetapi
juga anak angkatnya yang amat dicinta oleh kakek raja maling itu. Oleh karena
itu, maka hampir seluruh ilmu kepandaian kakek itu diajarkan kepada Ang-siocia
yang bernama Kang Swi Hwa itu. Oleh karena terlalu disayang ini agaknya, maka
setelah digembleng sejak kecil, Swi Hwa menjadi seorang gadis yang manja,
keras, bicaranya tajam, dan menonjolkan sifat kewanitaannya dengan berani
sehingga kelihatannya agak genit.
Namun dia
cantik sekali dan amat cerdas otaknya sehingga semua pelajaran yang diterimanya
dapat dia kuasai, terutama sekali ilmu mencuri dan menyamar. Setelah menguasai
ilmu penyamaran itu, di dalam saku-saku bajunya tidak pernah tertinggal
alat-alat menyamar sehingga dia dapat menyulap dirinya dalam waktu singkat
menjadi orang yang dikehendakinya, bahkan dengan mudahnya dia dapat menyamar
sebagai pria tanpa ada yang dapat menduganya.
Pada saat
dia mewakili ayahnya menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Hek-hwa Lo-kwi di
lembah Sungai Huang-ho, kita telah mengenal kelihaian Kang Swi Hwa atau
Ang-siocia ini. Biar pun belum selihai gurunya atau ayah angkatnya, akan tetapi
ilmu Kiam-to Sin-ciang yang dikuasainya amat dahsyatnya. Dalam keadaannya itu,
sebagai seorang dara yang berkepandaian tinggi, mempunyai seorang ayah angkat atau
guru yang amat sayang dan memanjakannya, memberinya kebebasan seluasnya
sehingga dia diperbolehkan pergi ke mana pun, dan tidak pernah kekurangan
karena sebagai raja maling tentu saja ayahnya mampu memberikan apa pun yang
diinginkannya, dari perhiasan yang termahal sampai pakaian terindah atau barang
apa pun yang ada di dunia ini. Apa lagi setelah dia pandai, dia boleh
mengandalkan kepandaiannya sendiri untuk memiliki barang apa saja yang
diinginkannya, dengan jalan mencurinya tentu saja!
Akan tetapi,
betapa pun juga Swi Hwa adalah seorang manusia biasa, seorang dara yang mulai
dewasa. Maka pada suatu saat perasaan wanita dan kedewasaannya ini bergerak dan
membuat dia bertekuk lutut! Saat itu adalah ketika dia melihat Kian Bu atau
Siluman Kecil bertanding melawan Sin-siauw Sengjin. Melihat pemuda berambut
putih itu, melihat sepak terjangnya ketika mengalahkan Sin-siauw Sengjin yang
begitu lihai, Swi Hwa atau Ang-siocia menjadi tertarik sekali dan dia sendiri
tidak tahu apakah itu yang dinamakan cinta, akan tetapi yang jelas, dia merasa
kagum dan tertarik dan ingin sekali dia berkenalan dengan Siluman Kecil,
mendekatinya dan mengenal pemuda luar biasa itu dari dekat!
Inilah
sesungguhnya yang menyebabkan gadis ini mendahului Siluman Kecil, mencuri
barang-barang pusaka di dalam rumah Sin-siauw Sengjin! Dan dia maklum bahwa dia
tidak akan mungkin melawan Siluman Kecil, maka dia menggunakan nikouw tua itu
untuk membuat Siluman Kecil tidak berdaya dan tidak berani menyerangnya. Dia
lalu menantang agar Siluman Kecil datang ke tempatnya, yaitu tempat tinggal
gurunya, di pantai Po-hai teluk sebelah utara. Maksudnya memancing Siluman
Kecil ke sana adalah selain hendak menguji kepandaian pemuda itu melawan
gurunya, juga dia ingin sekali berkenalan dengan pemuda itu berdua saja, tanpa
ada banyak orang.
Akan tetapi,
karena dia tidak melihat Siluman Kecil tergesa-gesa mengejarnya ke pantai
Po-hai, hatinya kecewa dan dia menggunakan lain akal. Melihat Siluman Kecil
atau Kian Bu melakukan perjalanan menuju ke Ho-nan dan membawa uang, hal yang
tidak mungkin terlepas dari ‘mata malingnya’ yang terlatih baik, dia lalu
menyamar sebagai nenek penjual sepatu!
Ang-siocia
inilah sesungguhnya yang menjadi nenek penjual sepatu rumput dahulu itu!
Penyamarannya memang hebat sekali sehingga Kian Bu sama sekali tidak menyangka.
Dan dengan ilmu mencurinya yang luar biasa, dia berhasil mencopet uang dari
dalam bungkusan Kian Bu tanpa diketahui oleh pendekar yang memiliki kesaktian
hebat dan berjuluk Siluman Kecil itu!
Kemudian,
Ang-siocia atau Swi Hwa cepat mengubah penyamarannya dan sekali ini dia
menyamar sebagai seorang kongcu yang royal dan ramah. Tidak sukar penyamaran
ini, karena sesuai dengan sifatnya yang memang lincah dan ramah, pandai bicara
dan jenaka. Dan giranglah hatinya bahwa dia berhasil menarik hati Siluman Kecil
sehingga dapat melakukan perjalanan bersama dengan pendekar itu dan juga dengan
Siauw Hong.
Akan tetapi,
hatinya merasa amat kecewa ketika dia bertemu dengan Siluman Kecil sebagai
musuh pada waktu dia membantu pihak Gubernur Ho-nan memperebutkan Pangeran Yung
Hwa. Dia memasuki sayembara kemudian menjadi pengawal sekali-kali bukan karena
dia memihak Gubernur Ho-nan, melainkan karena pertama dia hendak mencari
pengalaman dalam petualangannya meninggalkan tempat tinggal gurunya, dan kedua
karena dia ingin menarik perhatian Siluman Kecil dengan jalan memamerkan
kepandaiannya.
Setelah
keributan itu di mana dia berada di pihak yang bermusuhan dengan Siluman Kecil,
dengan hati kecewa sekali dia lalu meninggalkan gubernuran, meninggalkan
jabatannya tanpa pamit setelah dia melihat Siauw Hong, Siluman Kecil, bahkan si
Gagu yang aneh itu semua pergi. Dan ketika dia mencari Kian Bu, dia bertemu
dengan wanita baju hijau yang menawan Jenderal Kao Liang, kemudian dia dipukul
pingsan dan rahasianya bahwa dia adalah seorang wanita diketahui oleh Siauw
Hong!
Kini
Ang-siocia atau Swi Hwa telah berhenti menangis dan duduk termenung di bawah
pohon. Entah mengapa, semenjak dia ditolong oleh Siauw Hong dan ‘diraba’
dadanya ketika pemuda itu menolongnya menyembuhkan lukanya dengan menyalurkan
sinkang, terjadi keanehan di dalam hatinya terhadap Siauw Hong, pemuda yang
tadinya selalu dia anggap sebagai seorang bocah yang masih hijau itu!
Membayangkan wajah tampan pengemis muda itu, sikapnya yang sederhana dan
pendiam, tubuhnya yang agak tinggi, dia kini merasa malu. Semenjak Siauw Hong
meraba dadanya, seolah-olah pemuda itu telah berubah sama sekali dalam pandang
matanya!
Sebetulnya,
dara inilah yang dulu mencuri harta pusaka keluarga Jenderal Kao ketika terjadi
perebutan. Ketika itu, dia melihat betapa ada tiga rombongan atau golongan
orang yang seolah-olah memperebutkan pusaka itu dan menguasai keluarga Jenderal
Kao, bahkan rombongan pertama yang terdiri dari pasukan kota raja yang menyamar,
berusaha keras untuk membasmi dan membunuhi keluarga Kao.
Akan tetapi
di situ masih ada dua rombongan lain yang berebutan, dan bahkan seolah olah
bermusuhan sendiri, yaitu golongan dari Hek-eng-pang perkumpulan wanita-wanita
liar dan Kwi-liong-pang. Di dalam pertempuran-pertempuran hebat itu di mana
terjatuh banyak korban di kedua pihak, dia melihat pula serombongan orang yang
dipimpin oleh orang asing menculik dan melarikan semua keluarga Jenderal Kao.
Dia mengenal
pemimpin rombongan itu sebagai orang Nepal kaki tangan Liong Bian Cu, Pangeran
Nepal itu. Akan tetapi karena dia tidak mempunyai hubungan dengan semua itu,
dia tidak mempedulikannya, dan dia hanya mempergunakan kepandaiannya untuk
mencuri harta pusaka Jenderal Kao. Hal ini dilakukannya karena memang sebagai
murid seorang ‘raja maling’ tentu saja dia tidak mau mendiamkan harta pusaka
dijadikan perebutan tanpa bertindak apa-apa, dan selain itu juga dia bermaksud
untuk mengangkat nama. Menang dalam perebutan di antara gerombolan-gerombolan
itu berarti mengangkat nama gurunya dan namanya sendiri.
Semakin
dikenang, semakin berduka, kecewa dan penasaran rasa hati dara itu. Melihat
Siluman Kecil yang telah menarik perhatiannya itu tak mengejarnya langsung ke
Po-hai, dia lalu berbalik membayangi pendekar aneh itu, berkali-kali menyamar
dan berusaha menarik perhatiannya. Akan tetapi Siluman Kecil agaknya sama
sekali tidak tertarik kepadanya, bahkan telah memukulnya dalam keributan itu
sehingga dia terluka. Dan kemudian, bukan saja dia tidak menarik perhatian
pendekar itu sama sekali, bahkan akhirnya ‘menarik perhatian Siauw Hong yang
mengetahui rahasianya!’
Yang
menggemaskan, mengapa kini wajah Siauw Hong selalu terbayang di depan matanya?
Setiap kali dia mencoba membayangkan wajah Siluman Kecil yang amat dipujanya,
wajah aneh tampan dengan rambutnya yang putih dan matanya yang tajam
bersinar-sinar itu, selalu saja wajah pendekar sakti ini berubah menjadi wajah
Siauw Hong!
Dengan hati
penasaran Ang-siocia lalu mengambil keputusan untuk pulang ke Po-hai saja
karena dia pun sudah terlalu lama meninggalkan gurunya. Dia pulang membawa
banyak hasil curiannya, antara lain harta pusaka Jenderal Kao Liang,
pusaka-pusaka peninggalan Suling Emas, dan sekantung uang milik Siluman Kecil.
Bukan barang barang biasa, melainkan milik orang-orang ternama dan tentu
suhu-nya akan merasa gembira dan kagum serta bangga akan hasil karyanya itu…..
***************
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Ang Tek Hoat sehingga tentu banyak pula yang
bertanya-tanya apa jadinya dengan tokoh yang hidupnya diombang-ambingkan oleh
keadaan yang selalu berubah-ubah itu.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Ang Tek Hoat yang patah hati dan dirundung
kecewa, penasaran dan berduka itu seolah-olah menjadi tidak peduli lagi akan
hidupnya, tidak peduli lagi apakah yang dia lakukan dalam hidup selanjutnya itu
benar atau salah. Dia dipaksa berpisah dari kekasihnya di Bhutan, kemudian
kehancuran dan kepatahan hati ini ditambah lagi oleh pukulan amat hebat, yaitu
kematian ibunya yang belum juga dapat dia ketahui siapa pembunuhnya.
Rasa kecewa
dan duka ini membuat dia mudah terseret ke dalam pergaulan yang tidak benar
sehingga dia tidak ragu-ragu untuk membantu orang-orang dari golongan sesat,
bahkan dia telah membantu Hek-eng-pangcu Yang-liu Nionio untuk menyerbu dan
mencoba membasmi perkumpulan Kwi-liong-pang yang menjadi musuh Hek-eng-pang.
Dan dalam usaha inilah maka dia bertemu dan terpaksa bekerja sama dengan guru
ketua Hek-eng-pang ini, yaitu Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, Siluman Kucing
yang amat lihai namun jahat seperti iblis betina di balik wajahnya yang cantik
dan tubuhnya yang menggairahkan biar pun usianya sudah mendekati empat puluh
tahun.
Tek Hoat
tidak peduli lagi apa yang diperbuatnya itu, karena dia pun tidak mengenal
Kwi-Liong-pang dan tidak mau tahu akan permusuhan antara dua perkumpulan itu.
Kalau dia membantu Hek-eng-pang adalah karena dia mempunyai kepentingannya
sendiri, yaitu hendak minta bantuan Hek-eng-pang yang terdiri dari perkumpulan
wanita untuk merampas kembali Syanti Dewi yang dia dengar terjatuh ke tangan
Liong-sim-pang di puncak Naga Api.
Seperti
telah kita ketahui, usahanya yang dibantu oleh Hek-eng-pang itu gagal sama
sekali. Syanti Dewi lenyap entah ke mana diculik oleh orang lain dari tangan
Hwa-i-kongcu, ketua Liong-sim-pang. Ketika dia hendak meninggalkan
Hek-eng-pang, dia terbujuk oleh Mauw Siauw Mo-li untuk mengadakan perjalanan
bersama mencari Syanti Dewi. Karena Siluman Kucing itu mengatakan bahwa dia
mungkin mengetahui jejak Syanti Dewi yang lenyap, terpaksa Tek Hoat mau
melakukan perjalanan bersama wanita iblis yang cantik itu, tidak tahu bahwa
wanita itu tentu saja bukan sekali-kali ingin membantunya mendapatkan kembali
Syanti Dewi, melainkan karena merasa tertarik oleh ketampanannya, kemudaannya,
dan kegagahannya!
Memang
Siluman Kucing itu tidak membohong ketika dia mengatakan bahwa dia melihat
wanita yang bertanya-tanya tentang seorang dara cantik yang dibawa dengan paksa
oleh seseorang. Wanita muda yang bertanya-tanya itu adalah Siang In. Maka dia
pun mengajak Tek Hoat untuk mengikuti jejak Siang In. Namun, penyelidikannya
tidak berhasil dan hanya karena kecerdikan dan kepandaian Mauw Siauw Mo-li
dalam pembicaraan saja maka Tek Hoat masih percaya kepadanya dan tetap
melanjutkan perjalanannya bersama wanita cantik ini.
Akan tetapi,
akhirnya dia mulai merasa curiga karena sampai berhari-hari mereka berdua
melakukan perjalanan, belum juga mereka berdua berhasil menemukan jejak Syanti
Dewi yang hilang. Yang jelas adalah sikap Mauw Siauw Mo-li yang selalu ingin
menarik perhatiannya dan yang selalu membujuknya dengan sikap dan kata-katanya
untuk bermain cinta! Pengalaman mereka dalam rumah makan melawan lima orang
kasar itu pun jelas merupakan siasat Mauw Siauw Mo-li untuk menjebak Tek Hoat
dalam umpan dan pancingannya agar pemuda itu bangkit birahinya dan mau melayani
hasrat nafsunya untuk bermain cinta.
Akan tetapi
sekali ini, Mauw Siauw Mo-li kecewa. Dahulu, lima enam tahun yang lalu, dia
pernah berhasil memikat dan menjatuhkan hati seorang pendekar muda putera
majikan Pulau Es, yaitu Suma Kian Bu. Hal itu terjadi bukan hanya karena Mauw
Siauw Mo-li ketika itu masih belum tua benar dan lebih cantik menarik,
melainkan semata-mata karena Kian Bu merupakan seorang pemuda yang berwatak
romantis dan masih hijau dan bodoh sehingga dia seperti seekor lebah, terpikat
dan melekat dalam perangkap penuh madu.
Akan tetapi
Tek Hoat lain lagi. Dia memang masih muda, akan tetapi pemuda ini pernah
terjerumus ke dalam dunia sesat, sudah banyak pengalaman dalam hal permainan
cinta dan semenjak dia jatuh hati kepada Syanti Dewi, pemuda ini tahu benar
bahwa semua permainan cinta itu hanyalah pemuasan nafsu belaka yang makin
dituruti makin haus dan menghendaki lebih. Dia dapat membedakan antara cinta
kasihnya yang murni dan bersih terhadap Syanti Dewi dan ‘cinta’ yang
bergelimang nafsu birahi dengan wanita wanita lain, maka dia pun segera
mengenal cinta kasih macam itu yang terkandung dalam hati Mauw Siauw Mo-li
terhadap dirinya. Karena itu, dia selalu menghindarkan diri dan setiap kali
darah mudanya bergelora oleh rayuan yang lihai dari wanita matang itu, dia
menggunakan kekerasan hatinya untuk menekan nafsu birahinya.
Telah
diceritakan betapa semenjak peristiwa di rumah makan itu, sikap Tek Hoat lebih
hati-hati lagi dan dia mulai menaruh kecurigaan, tetapi karena dia sudah
mendengar berita tentang Syanti Dewi, dia mempertahankan perasaannya dan
bersama Lauw Hong Kui, yaitu si Siluman Kucing, berangkatlah dia menuju ke
pantai Lautan Po-hai di timur.
Setelah tiba
di pantai lautan itu pada suatu pagi, mereka berdiri di pantai yang sunyi dan
memandang ke teluk yang amat luas itu. “Pantai Teluk Po-hai begini luas, ke
mana kita harus mencari mereka?” kata Tek Hoat, nada suaranya penuh kegelisahan
karena memang dia merasa gelisah sekali kalau memikirkan kekasihnya.
Dia masih
belum mengerti mengapa Syanti Dewi meninggalkan Bhutan dan terjatuh ke tangan
ketua Liong-sim-pang dan mengapa pula sekarang diculik dan dilarikan orang.
Gelisah dia memikirkan kekasihnya itu. Dia dapat menduga bahwa tentu kekasihnya
itu melarikan diri dari Bhutan untuk mencarinya. Kalau teringat akan dugaan
ini, hatinya menjadi terharu sekali dan cinta kasihnya terhadap Syanti Dewi
makin mendalam, akan tetapi segera dia dihimpit oleh rasa gelisah yang hebat.
Mauw Siauw
Mo-li tersenyum dan menoleh kepadanya, menatap wajah yang tampan itu, lalu dia
berkata, “Engkau tidak percuma melakukan perjalanan mencari puteri itu
bersamaku, Tek Hoat.” Sudah lama dia memanggil pemuda itu dan bicara dengan
sikap ramah dan akrab, seolah-olah mereka telah menjadi sahabat karib. Dan Tek
Hoat pun tidak peduli akan sikap ini.
“Apa
maksudmu? Tahukah engkau ke mana kita harus mencari?”
Lauw Hong
Kui memperlebar senyumnya dan mengangguk, lalu membereskan anak rambut di
dahinya yang kusut dan melambai-lambai tertiup angin laut. Memang cantik sekali
dia dan pandai dia menonjolkan kecantikannya di saat yang tepat. “Tentu saja
aku tahu, atau setidaknya dapat menduga dengan tepat. Aku tidak asing di daerah
ini, Tek Hoat. Kalau dugaanku tidak meleset, dan biasanya tidak, agaknya yang
melakukan penculikan itu tentulah si Raja Maling!”
“Raja
Maling?” Tek Hoat bertanya, memandang wajah yang cantik dan terias baik-baik
itu penuh perhatian.
“Lihat,
angin begini besar dan membuat rambutku kusut. Rambutku awut-awutan, ya?”
tanyanya sambil mengatur rambut dengan jari-jari tangannya yang kecil dan
panjang. Terpaksa Tek Hoat memandang rambut itu dan memang indah sekali rambut
yang panjang halus itu melambai-lambai tertiup angin.
“Katakan,
siapa dia dan di mana tempatnya?” Dia berkata setelah sejenak dia tertegun.
Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui tersenyum manis sehingga deretan giginya yang
putih dan kecil itu nampak berkilat.
“Engkau
sungguh tidak menghargai kecantikan orang!” Dia menartk napas panjang. “Dia itu
adalah Hek-sin Touw-ong, si Raja Maling Sakti Hitam, seorang kakek yang amat
sakti dan yang bertapa di pantai Po-hai sebelah utara.”
Ang Tek Hoat
mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa memang banyak terdapat manusia manusia yang
berilmu tinggi di dunia ini, maka walau pun dia sendiri belum pernah mendengar
atau berjumpa dengan kakek raja maling itu, dia percaya bahwa tentu dia seorang
yang sangat lihai. Tidak sembarang orang akan dipuji kepandaiannya oleh Siluman
Kucing ini, yang dia tahu juga lihai sekali.
“Bagaimana
engkau dapat menyangka bahwa dialah yang menculik Syanti Dewi?” dia mendesak,
tidak mau percaya begitu saja.
Siluman
Kucing bertolak pinggang dengan lagak dan gaya memikat sekali. Pinggangnya
makin nampak ramping kalau dia bertolak pinggang seperti itu, apa lagi angin
yang nakal membuat bajunya tersingkap-singkap agak terbuka. “Tentu saja aku
menduga demikian, pemuda yang tampan! Menurut jejak yang kita ikuti, puteri
Bhutan itu dibawa lari seorang kakek dan larinya menuju ke pantai Po-hai, dan
sampai di laut lenyaplah jejaknya dan tidak ada orang yang tahu biar pun kita
sudah bertanya-tanya sampai mulut terasa lelah. Dan di pantai ini, hanya ada
satu-satunya kakek yang berilmu tinggi, yaitu si Raja Maling. Jadi siapa lagi
kalau bukan dia yang melakukan penculikan itu? Melarikan seorang puteri dari
dalam benteng Liong-sim-pang yang sangat kuat itu bukanlah hal mudah, bahkan
engkau sendiri yang dibantu oleh muridku dan anak buah Hek-eng-pang pun gagal.
Akan tetapi kakek itu seorang diri saja mampu mencuri dan menculiknya. Siapa
lagi kalau bukan perbuatan si Raja Maling?”
Tek Hoat
mengangguk-angguk, harapannya timbul kembali. “Kalau begitu, mari kita cepat
mengejarnya ke sana, Mo-li!”
“Hi-hi-hik,
mengapa tergesa-gesa, Tek Hoat? Takkan lari gunung dikejar, perlu apa kau
terburu-buru?”
“Mo-li, Raja
Maling itu tentulah bukan gunung, melainkan seorang maling yang dapat bergerak
dan lari, dan aku khawatir kalau-kalau dia akan mengganggu Syanti Dewi!”
“Aihhh, Tek
Hoat. Kau gelisah sekali seolah-olah di dunia ini tidak ada wanita lain saja. Apakah
aku bukan wanita pula dan apakah aku tidak cantik?” Mauw Siauw Mo-li sudah
mendesak dan merangkulkan kedua lengannya yang panjang itu ke leher Tek Hoat.
Kedua lengan itu melingkar-lingkar seperti seekor ular, merayap ke atas dan
membelai rambut di tengkuk Tek Hoat, lalu menjambaknya perlahan dengan gemas.
“Mo-li,
jangan begitu...!” Tek Hoat berkata dengan alis berkerut.
Kalau dia
tak membutuhkan bantuan wanita ini untuk menemukan kembali kekasihnya, tentu
dia sudah bersikap kasar dan mendorong wanita ini. Namun, Mauw Siauw Mo-li
malah mendekapkan tubuhnya sehingga melekat ke tubuh Tek Hoat, menggoyang
goyang tubuhnya sehingga menggesek tubuh pemuda itu dengan gaya memikat sekali,
mukanya didekatkan ke mulut Tek Hoat.
Harus diakui
bahwa Lauw Hong Kui adalah seorang wanita cantik yang bertubuh menggairahkan
sekali. Dia sudah matang dan pandai merayu pria. Dan biar pun Tek Hoat bukan
seorang pemuda hijau seperti Suma Kian Bu lima tahun yang lalu, namun tetap
saja dia adalah seorang yang masih muda dan berdarah panas dan biar pun dia
tidak sudi membalas cinta seorang wanita seperti Siluman Kucing ini, namun
dipeluk seperti itu dan merasakan gesekan dan geseran tubuh yang hangat dan
padat itu tidak urung jantungnya berdebar juga.
Sebagai
seorang wanita yang sudah banyak pengalaman, debar jantung di dalam dada pemuda
itu diketahui dan terasa oleh Hong Kui. Memang dia sengaja merapatkan dadanya
ke dada pemuda itu untuk menangkap tanda ini. Begitu dadanya merasa denyut
jantung yang mengencang itu, cepat dia meraih kepala pemuda itu, ditarik ke
bawah karena Tek Hoat lebih tinggi dari pada dia sehingga muka mereka bertemu
dan Hong Kui lalu mencium mulut pemuda itu dengan bibirnya. Ciuman yang amat
mesra, yang dilakukan dengan gelora nafsu birahi dan sepenuh perasaannya,
ciuman yang panas dengan napas yang mendengus-dengus.
Tek Hoat
terkejut sekali. Harus diakuinya bahwa wanita ini menyalakan sesuatu di dalam
hatinya, akan tetapi dia teringat bahwa tidak semestinya dia melayani wanita
ini dan tidak menuruti gelora birahinya yang dibangkitkan oleh Siluman Kucing
yang amat pandai ini. Akan tetapi pada saat itu, mau tidak mau dia menikmati
dan merasakan ciuman hangat itu, merasa betapa sepasang bibir yang lunak itu
bergerak-gerak, kemudian dia mendengar suara merintih seperti suara seekor
kucing, dan terasa betapa lidah yang lunak menjilat-jilat, seperti lidah seekor
kucing yang manja!
Sejenak Tek
Hoat terlena, akan tetapi ketika bayangan wajah Syanti Dewi berkelebat di depan
matanya yang dipejamkan, tiba-tiba saja dia merenggutkan dirinya terlepas dari
pelukan. Dengan muka pucat, mata terbelalak, napas agak terengah, dia memandang
wanita itu. Hong Kui juga memandangnya dengan mata setengah terpejam, mulut
agak terbuka, mulut yang basah merah dengan gigi putih mengintai di antara
ujung lidah meruncing, napasnya tersendat-sendat, senyumnya memikat, kedua
lengan dibuka menantang.
“Tek Hoat...
Tek Hoat... ke sinilah...“ Suaranya tergetar dan penuh dengan daya tarik.
“Mo-li! Aku
tidak sudi memenuhi kehendakmu yang gila ini!” Tiba-tiba Tek Hoat yang sudah
sadar itu membentak marah.
Suara pemuda
itu cukup untuk mengguncang Mauw Siauw Mo-li bahwa pemuda itu sudah tak lagi
dapat dikuasainya pada saat itu, maka dia pun tersadar dan memandang pemuda itu
dengan sinar mata tajam. “Tek Hoat, engkau sungguh tidak mengenal budi!”
celanya. “Aku sudah payah membantumu mencari puteri itu, bahkan sekarang pun
aku yang mengetahui tempat kakek itu, tetapi engkau sedikit pun tidak mau
menyenangkan hatiku dan memberi air cinta untuk hatiku yang sedang dahaga.
Engkau kejam! Dan kalau engkau menolak cintaku, aku pun tidak sudi lagi
menunjukkan tempat Raja Maling itu padamu!”
Tiba-tiba
sinar mata Tek Hoat menjadi keras dan mengancam sehingga Mauw Siauw Mo-li
sendiri menjadi terkejut.
“Mauw Siauw
Mo-li! Enak saja kau bicara. Kalau kini engkau tidak mau menunjukkan tempat
itu, aku akan memaksamu!”
“Ehhh...?”
Wanita itu membelalakkan mata. “Aku sudah membantumu dan kau sekarang hendak
memaksa? Sungguh tidak tahu aturan engkau ini!”
“Mo-li,
ingat. Siapa yang dulu membujuk aku untuk melakukan perjalanan bersamamu? Siapa
yang berjanji akan menemukan kembali Syanti Dewi? Engkau sudah membawa aku
sampai di sini, dan kalau engkau sekarang meninggalkan aku, berarti engkau
telah menipuku! Dan aku bukan orang yang mudah saja ditipu tanpa membalas!”
“Kau kira
aku takut?”
Tek Hoat
tersenyum mengejek. “Tentu saja tidak. Aku tahu siapa adanya Mauw Siauw Mo-li.
Tetapi aku yakin akan dapat menghajarmu, Mo-li. Senjata rahasia peledakmu itu
tidak menakutkan Si Jari Maut!”
Sikap yang
gagah, pandang mata yang tajam penuh ancaman, ditambah nama julukan Jari Maut
itu mengingatkan kepada Mauw Siauw Mo-li bahwa pemuda ini memang lihai bukan
main, dan kalau sudah marah, kekejamannya amat mengerikan sehingga dia mendapat
julukan Si Jari Maut. Memang dia tidak takut, tetapi dia melihat bahayanya
kalau sampai memusuhi pemuda ini. Dan pula, dia masih belum putus asa. Tadi,
bukankah jantung pemuda perkasa ini berdebar dan bukankah ketika mulut mereka
bertemu tadi, terasa olehnya betapa bibir pemuda itu membalas kecupannya? Akan
tiba saatnya pemuda yang keras hati ini akan bertekuk lutut dan menyerahkan
diri dalam pelukannya, dan betapa akan manis dan nikmatnya penyerahan itu
setelah berkali-kali ditolaknya. Maka dia pun tersenyum kembali dan sepasang
matanya kehilangan sinar kemarahannya.
“Hemmm, kita
sudah lama bersahabat, sudah jauh melakukan perjalanan bersama. Akan luculah
kalau tiba-tiba kita berhadapan sebagai musuh. Baik, Tek Hoat, aku akan terus
membantumu, dan kalau sampai aku membantumu berhasil mendapatkan kembali puteri
itu, bagaimana sikapmu kepadamu?”
“Aku akan
menganggapmu sebagai seorang sahabat baik dan aku akan berterima kasih
kepadamu, Mo-li.”
“Hanya itu
saja? Apa yang akan kau lakukan untuk membuktikan terima kasihmu?”
“Heemmm...
aku tidak tahu. Mungkin aku akan membalasmu dan menolongmu kalau sewaktu-waktu
kau membutuhkan bantuan.”
“Aku hanya
membutuhkan bantuanmu agar engkau suka bersikap manis kepadaku, Tek Hoat. Tak
tahukah engkau bahwa aku sangat suka kepadamu? Kalau sudah berhasil, kau balas
saja dengan sikap manis dan memenuhi hasrat cintaku, ya?”
Tek Hoat
tidak sudi menjanjikan itu, akan tetapi dia tidak ingin banyak bicara tentang
itu lagi, maka dia menjawab, “Kita lihat saja nanti, Mo-li. Yang penting
sekarang, hayo kau tunjukkan tempat tinggal Raja Maling yang menculik Syanti
Dewi.”
“Nanti dulu,
Tek Hoat. Engkau masih muda dan engkau sembrono. Biar pun engkau memiliki
kepandaian tinggi, akan tetapi dalam hal ini engkau sama sekali tidak boleh
sembrono. Hek-sin Touw-ong adalah seorang tua yang amat lihai. Aku sendiri
sudah pernah menandinginya dan dalam hal kesaktian dia agaknya tidak kalah
olehmu. Bahkan dulu suheng-ku, Hek-tiauw Lo-mo, pernah bentrok dengan dia dan
suheng selalu memperingatkan kepada anak buahnya agar jangan sampai bentrok
dengan Raja Maling itu. Suheng sendiri merasa segan untuk bermusuhan dengan
kakek sakti itu, maka dalam hal ini, kita tidak boleh sembrono menyerbu ke sana
begitu saja karena hal itu mungkin sekali membuat kita celaka dan puteri itu
tidak akan tertolong pula.”
“Hemmm, aku
tidak takut. Habis kalau kita tidak menyerbu ke sana, bagaimana kita dapat
menolong Syanti Dewi?”
“Tentu kita
tidak akan membiarkan saja, kita akan menyerbu ke sana. Akan tetapi tidak
sekarang. Aku akan mencari kawan-kawanku di pantai ini. Mereka akan membantu
kita dan dengan bantuan mereka, maka aku baru berani mengajakmu menyerbu.
Bukankah ketika kau berusaha menolong puteri itu dari benteng Liong-sim-pang,
engkau pun membutuhkan bantuan Hek-eng-pang?”
“Ketika itu
lain lagi keadaannya, Mo-li. Liong-sim-pang adalah benteng dan selain kuat,
juga mempunyai banyak anggota, maka aku membutuhkan bantuan Hek-eng-pang. Akan
tetapi sekarang, kita hanya menghadapi seorang kakek...“
“Hemmm, kau
tidak tahu kakek macam apa yang kita hadapi. Kita harus menggunakan bantuan
kawan-kawanku itu agar mereka memancingnya keluar dari sarangnya hingga engkau
akan mudah merampas kembali puteri itu.”
Tek Hoat
mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia tidak menyukai cara yang curang ini, akan
tetapi yang terpenting baginya adalah menyelamatkan Syanti Dewi, maka dia tidak
mau mengecewakan wanita iblis yang hendak membantunya ini, maka dia tidak ingin
membantah lagi.
“Mari kita
mencari kawan-kawanku itu!”
“Siapakah
mereka?”
“Siapakah
mereka? Ha-ha-ha, mereka pun amat terkenal di wilayah ini, Tek Hoat, sungguh
pun sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan Raja Maling. Mereka adalah
raja-raja di perairan Teluk Po-hai! Marilah!”
Ang Tek Hoat
pergi mengikuti wanita itu menuju ke utara dan memasuki hutan di pantai Po-hai.
Hutan itu sunyi sekali dan tak nampak seorang pun manusia sehingga kelihatan
menyeramkan sekali. Belum lama mereka memasuki hutan itu, mendadak terdengar
suitan-suitan nyaring di sana-sini. Suara-suara suitan itu susul-menyusul dan
agaknya saling menjawab, makin lama makin dekat sehingga akhirnya terdengar di
sekeliling mereka, dari depan, belakang, kanan dan kiri. Mereka telah dikepung
oleh suara-suara itu. Tek Hoat bersikap waspada, akan tetapi Mauw Siauw Mo-li
tertawa-tawa saja.
“Lihat,
betapa cepatnya mereka itu tahu akan kedatangan kita dan telah berkumpul
mengurung. Bukankah berguna sekali bantuan-bantuan seperti mereka itu?”
Tiba-tiba terdengar
seruan nyaring, “Berhenti kalian berdua yang berjalan dalam hutan! Kalian telah
memasuki daerah kami tanpa ijin!”
Mauw Siauw
Mo-li dan Tek Hoat berhenti, dan wanita itu berseru nyaring, “Lo Kwa, bukankah
engkau yang bicara itu? Keluarlah, jangan main kucing-kucingan!”
Ucapan
wanita ini diikuti suasana sunyi, agaknya semua orang yang mengurung tempat itu
menjadi terkejut dan heran. Lalu terdengar seruan yang mengandung keheranan dan
juga kegembiraan, “Lauw-lihiap...!”
Bermunculanlah
kini belasan orang laki-laki dari empat penjuru, berloncatan keluar dari
balik-balik pohon dan semak-semak. Mereka itu rata-rata adalah laki-laki kasar
dan tinggi besar, nampaknya kuat dan keras. Mereka dipimpin oleh seorang
laki-laki yang usianya antara tiga puluh lima tahun, bertubuh tegap dan
berwajah tampan akan tetapi mukanya tertutup brewok.
“Lihiap...!”
Pemimpin gerombolan ini melangkah maju dan menjura kepada Lauw Hang Kui sambil
tersenyum lebar.
Diam-diam
Ang Tek Hoat terheran-heran melihat mereka itu menyebut lihiap (pendekar
wanita) kepada Siluman Kucing ini. Dia tidak tahu bahwa julukan itu hanyalah
julukan yang diberikan oleh mereka yang menganggap wanita ini sebagai iblis,
akan tetapi gerombolan bajak-bajak laut dari Po-hai yang bersarang di dalam
hutan ini merupakan sahabat-sahabatnya yang tentu saja menganggapnya sebagai
seorang wanita perkasa yang patut disebut lihiap!
Lauw Hong
Kui menghampiri laki-laki tampan itu, kemudian mengangkat tangan kirinya dan
mengusap dagu yang penuh jenggot itu. “Aihhh, Lo Kwa, hampir aku tidak dapat
mengenalimu lagi. Ihhh, aku baru mau bicara berdua denganmu kalau kau sudah
membuang semua brewokmu yang menggelikan itu!” katanya dengan sikap genit dan
manja.
Orang she
Kwa yang tadi disebut Lo Kwa (Kwa yang Tua) itu tertawa dan menangkap lengan
Hong Kui, ditariknya dan hendak dipeluknya wanita itu. Tetapi sambil tersenyum
manja Hong Kui melepaskan dirinya dan berkata, “Kau cukur dulu semua brewokmu!”
Orang she
Kwa itu tertawa dan semua anak buahnya juga tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha,
kedatanganmu mendatangkan cahaya kegembiraan di hutan yang gelap ini,
Lauw-lihiap!” kata orang she Kwa itu.
“Akan tetapi
aku adalah Siluman Kucing, apakah kalian tidak takut?” Lauw Hong Kui berkata
sambil bertolak pinggang, senyumnya lebar dan dia kelihatan gembira sekali,
merasa berada di antara teman-teman baiknya.
“Hidup
Lauw-lihiap!”
“Selamat
datang, Mauw Siauw Mo-li!”
“Biar besok
pagi aku mampus, aku rela asal semalam suntuk boleh membelai kucing!”
“Aku pun
bersedia!”
Riuh-rendah
suara mereka dan pernyataan kagum mereka dinyatakan secara terang terangan,
bahkan ada yang mengeluarkan pernyataan kasar dan tidak sopan, akan tetapi
semua itu agaknya sudah biasa di antara mereka dan Lauw Hong Kui juga
menyambutnya dengan tersenyum saja.
“Akan
kulihat nanti siapa di antara kalian yang patut untuk menghiburku,” katanya.
Tek Hoat
merasa muak juga, dan diam-diam dia merasa malu juga, kenapa dia pernah merasa
tertarik dan timbul birahinya terhadap wanita ini. Padahal wanita ini
benar-benar merupakan siluman yang tak tahu malu, seorang wanita yang biasa
mempermainkan pria seperti kucing mempermainkan tikus lebih dulu sebelum
diterkam dan dibunuhnya!
“Lo Kwa, di
mana para Ong-ya?”
Pertanyaan
ini membuat Tek Hoat menjadi maklum bahwa orang she Kwa ini hanya seorang
bawahan saja, dan kini iblis betina ini menanyakan para ong-ya, yaitu para raja
bajak!
“Semua
sedang berada di sarang, Lihiap. Tentu mereka akan menjadi gembira sekali
mendengar akan kedatanganmu. Marilah kita ke sana, ataukah kita berdua
bersenang senang dulu?” kata orang she Kwa itu sambil memandang dengan mata
mengandung penuh gairah.
“Hushhh,
brewokmu itu menggelikan. Dan mungkin kelak kalau ada waktu bagiku, boleh kita
bersenang-senang. Mari antar aku kepada para Ong-ya.”
“Tapi, dia
ini...?” Orang she Kwa itu menuding ke arah Tek Hoat dengan pandang mata tidak
senang dan penuh curiga.
Diam-diam
Tek Hoat merasa mendongkol juga. Sejak tadi sama sekali tidak diacuhkan dan
kini dicurigai. Kalau tidak ingat akan kepentingannya, tentu sekali pukul dia
sudah membunuh bajak-bajak ini.
Agaknya Hong
Kui dapat mengerti juga akan kegemasan hati Tek Hoat dengan melihat wajah dan
sinar matanya, maka dia lalu berkata, “Dia ini adalah sahabatku yang akan
menjadi tamu agung kalian. Jangan kau main-main, Lo Kwa, dialah yang berjuluk
Si Jari Maut!”
“Ahhhhh...?”
Agaknya orang she Kwa ini sudah pernah mendengar julukan ini, maka dia
memandang dengan mata terbelalak dan mukanya berubah pucat.
“Maaf, kami
tidak tahu...,“ katanya.
“Sudahlah,
mari kita jalan,” kata Tek Hoat tidak sabar.
Di sepanjang
perjalanan memasuki hutan itu, dengan ramahnya Hong Kui bercakap cakap dengan
orang she Kwa dan beberapa orang anak buah bajak yang muda-muda, beramah-tamah
dan kadang-kadang mereka berkelakar dengan omongan-omongan yang kotor sehingga
Tek Hoat merasa makin muak.
Tibalah
mereka kini di tengah hutan yang berada di tepi tebing yang agak tinggi. Dari
sini nampak Teluk Po-hai terbuka luas di depan. Memang tempat ini merupakan
tempat yang paling indah dan juga paling tepat untuk dijadikan sarang para
bajak laut itu karena dari tepi tebing mereka dapat melihat keadaan di seluruh
Teluk Po-hai, melihat perahu-perahu yang seperti semut-semut kecil hitam di
teluk itu. Dari sini mereka dapat melihat dan mengenal kapal-kapal besar yang
patut mereka hadang dan mereka bajak, juga mereka dapat mengadakan pengawasan
terhadap anak buah mereka. Tempat yang amat cocok untuk menjadi sarang bajak
laut….
Bajak laut
itu terdiri dari tiga puluh orang lebih, dipimpin oleh dua orang kakak beradik
yang disebut twa-ong dan ji-ong sebagai ketua atau raja pertama dan kedua.
Mereka itu bernama Ma Khong dan Ma Ti Lok, dua orang kakak beradik yang
bertubuh tinggi besar, kokoh kuat, dan memiliki ilmu golok yang cukup hebat
sehingga mereka sejak belasan tahun telah terkenal sebagai kepala-kepala bajak
yang ditakuti dan disegani. Kini mereka hanya mau membajak kapal-kapal asing,
tidak mau mengganggu perahu perahu nelayan dan pedagang pedalaman karena mereka
tidak berani menghadapi hukuman pemerintah. Akan tetapi hal ini malah
menguntungkan mereka karena para pedagang dan nelayan tidak segan-segan untuk
‘membagi hasil keuntungan’ kepada mereka asal para bajak itu tidak mengganggu
pekerjaan mereka itu.
Ketika
melihat munculnya Hong Kui, Ma Khong dan Ma Ti Lok menjadi gembira bukan main,
demikian pula para anak buah mereka. Tek Hoat dapat mudah saja menduga bahwa di
antara Hong Kui dan dua orang kakak beradik yang gagah dan cukup tampan itu
tentu terdapat hubungan gelap, dan juga dengan banyak anak buah mereka termasuk
orang she Kwa tadi.
Dugaan itu
memang benar. Lauw Hong Kui adalah seorang wanita yang gila laki-laki, seorang
wanita yang diperhamba oleh nafsu birahinya sehingga menjadi tidak normal lagi.
Dia merasa tersiksa kalau terlalu lama tidak ditemani pria, maka ketika dia
melakukan perjalanan bersama Tek Hoat yang tidak mau melayaninya, dia merasa amat
tersiksa.
Dan wanita
yang seperti iblis betina ini memiliki kebiasaan yang mengerikan pula, yaitu
dia akan membunuh setiap orang pria yang sudah memuaskannya semalam suntuk,
yaitu pria yang asing baginya karena dia tidak mau kalau pria itu akan menceritakan
semua pengalamannya dan membuat namanya sebagai seorang wanita tercemar. Akan
tetapi, tentu saja dia tidak akan membunuh pria-pria yang menjadi sahabatnya,
yang akan merahasiakan dan menjaga namanya seperti para bajak yang telah
menjadi teman-temannya sejak belasan tahun yang lalu ini.
Ada pula
yang dibunuhnya secara tidak disengaja, yaitu kalau dia bertemu dengan seorang
pria yang benar-benar memuaskan hatinya dan amat menyenangkannya sehingga dia
akan terus merayu pria ini, dan memaksanya bermain cinta sampai pria itu tewas!
Dan dengan ilmunya yang luar biasa, Siluman Kucing ini bisa saja memaksa pria
melayani dan memuaskan nafsunya yang tak kunjung padam itu sampai pria itu
mati.
Ketika Hong
Kui memperkenalkan Ang Tek Hoat sebagai Si Jari Maut, dua orang kepala bajak
itu bersikap hormat kepada pemuda ini. Mereka kemudian mengadakan pesta
perjamuan untuk menyambut kedatangan Hong Kui dan Tek Hoat. Mereka makan minum
dengan gembira dan beberapa kali Tek Hoat memberi isyarat kepada Hong Kui untuk
cepat menceritakan maksud kedatangan mereka. Akan tetapi Hong Kui akhirnya
berbisik kepadanya, “Tidak perlu tergesa-gesa, nanti setelah makan minum
selesai.”
Tek Hoat
merasa mendongkol, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat memaksa. Setelah
ruangan itu dibersihkan dan mereka duduk mengobrol, barulah Hong Kui berkata
kepada dua orang kepala bajak itu, “Twa-ong dan Ji-ong, sebetulnya kedatangan
kami ini selain terdorong oleh rasa rindu hatiku terhadap semua teman di sini,
juga kami bermaksud minta bantuanmu untuk urusan sahabatku Si Jari Maut ini,
urusan yang amat penting.”
Ma Khong dan
Ma Ti Lok memandang kepada Tek Hoat penuh perhatian. Pemuda sakti ini pun balas
memandang mereka. Ma Khong adalah seorang laki-laki bertubuh besar dan agak
pendek, usianya kurang lebih empat puluh tahun, matanya lebar dan memiliki
kumis lebat. Adiknya, Ma Ti Lok, berusia tiga puluh lima tahun, tubuhnya kekar
dan jangkung, mukanya bersih tak ada brewoknya karena tercukur rapi, rambutnya
panjang dan hitam dijalin menjadi kuncir besar. Seperti juga kakaknya, tubuhnya
berotot dan nampaknya kuat sekali.
Di lain
pihak, kedua orang kepala bajak itu memandang Tek Hoat dengan ragu-ragu, karena
mereka merasa sukar untuk percaya apakah pemuda yang kelihatan amat muda dan
lemah ini benar-benar Si Jari Maut yang demikian menggemparkan? Tentu saja
mereka bukan tidak percaya bahwa mungkin saja seorang pemuda yang kelihatan
lemah memiliki kepandaian hebat, karena mereka tahu bahwa Lauw Hong Kui,
seorang wanita yang cantik jelita itu pun kepandaiannya hebat bukan main, masih
jauh melebihi kepandaian mereka sendiri.
“Urusan
apakah itu, Lihiap?” tanya Ma Khong akhirnya sambil memandang wanita itu.
“Ketahuilah,
Ang-taihiap ini mempunyai seorang sahabat baik, seorang wanita yang terculik
dan karena penculiknya membawanya ke daerah Po-hai, maka kami minta bantuan
kalian untuk merampas kembali sahabat Ang-taihiap ini.”
Dua orang
kepala bajak itu saling pandang, lalu tersenyum lebar dan berkatalah Ma Khong.
“Ahhh, itu urusan kecil sekali, Lihiap. Tentu saja kami mau membantu. Siapakah
penculik itu yang berani mati sekali, berani mengganggu sahabat Si Jari Maut,
padahal ada Lihiap pula di samping Si Jari Maut?”
“Jangan
bilang bahwa urusan ini kecil, Twa-ong, sebelum kalian mengetahui siapa
penculik itu.”
“Siapakah
dia?” tiba-tiba Ma Ti Lok bertanya sambil memandang tajam penuh selidik.
“Kalau orang
biasa, agaknya kami tidak perlu minta bantuan kalian. Menurut dugaanku,
penculik itu bukan laln adalah Hek-sin Touw-ong...“
“Ahhhhh...!”
Dua orang Saudara Ma itu melonjak kaget dan bangkit berdiri dari bangku mereka
dan muka mereka berubah pucat. “Tidak mungkin...!”
“Apanya yang
tidak mungkin? Dia yang menculik ataukah kalian yang membantu kami?” tanya Lauw
Hong Kui.
“Kedua-duanya...!”
kata Ma Khong yang sudah duduk kembali dan dia belum pulih kembali
ketenangannya karena dia bersama adiknya benar-benar terkejut mendengar
disebutnya nama Hek-sin Touw-ong Itu. “Yang pertama, tidak mungkin Touw-ong
sudi melakukan penculikan terhadap seorang wanita, dan keduanya, andai kata
benar dia yang melakukannya, tidak mungkin bagi kami untuk mencampurinya. Kami
selamanya tidak pernah dan tidak akan mencampuri urusan Touw-ongya karena
locianpwe itu pun tidak pernah mengganggu kami,” jelas bahwa Ma Khong kelihatan
jeri sekali terhadap nama itu.
“Kalian
tidak tahu siapa wanita yang diculiknya itu, Twa-ong dan Ji-ong. Dengarlah,
wanita yang diculiknya itu, sahabat dari Ang-taihiap ini, adalah seorang puteri
dari Kerajaan Bhutan, bukan sembarang wanita belaka. Baru-baru ini, puteri itu
terjatuh ke tangan ketua Liong-sim-pang di puncak Naga Api di Lu-liang-san,
tempat yang amat kuat seperti benteng dan Liong-sim-pang dipimpin orang-orang
pandai dan mempunyai banyak sekali anak buah. Namun, seorang kakek mampu
menculiknya dari tempat itu dan jejaknya menuju ke pantai Po-hai. Siapa lagi
kalau bukan Hek-sin Touw-ong yang melakukan penculikan itu?”
Mendengar
ini, kedua orang kepala bajak itu saling pandang dan mengerutkan alis, berpikir
keras. “Agaknya tidak mungkin Touw-ong yang melakukan penculikan,” kata Ma Ti
Lok. “Biar Touw-ongya dan puterinya berilmu tinggi dan tentu saja bukan
merupakan pantangan bagi mereka untuk mencuri apa saja yang mereka sukai, namun
agaknya tak masuk di akal kalau Touw-ongya menculik wanita, walau pun wanita
itu seorang puteri kerajaan sekali pun!”
“Benar,”
kata pula Ma Khong. “Agaknya bukan dia...”
“Habis siapa
lagi kalau bukan dia? Hanya dia seorang saja kakek berilmu tinggi yang berada
di pantai Po-hai,” kata Hong Kui.
“Ah, bukan
hanya dia,” kata Ma Khong. “Ada seorang lagi dan kurasa dia inilah yang
melakukan penculikan. Ya benar, tidak salah lagi. Tentu kakek aneh itu yang
bertapa di tepi pantai sebelah ujung utara, di tempat yang sangat sukar
didatangi orang, yaitu di Goa Tengkorak.”
“Hemm, siapa
dia?” tanya Hong Kui.
“Seorang
kakek tua renta yang kabarnya aneh dan lihai bukan main, bahkan orang orang
pernah melihat dia menghilang seperti setan, dan... berjalan di atas air!”
“Bohong...!”
kata Hong Kui.
“Mungkin bohong
mereka itu, akan tetapi jelas bahwa kakek itu amat lihai, mungkin juga pandai
bermain sihir, dan karena kami pun tidak mengenal benar siapa dia dan orang
macam apa adanya dia, maka besar kemungkinan dialah yang melakukan penculikan,”
kata Ma Khong.
“Kalian
berdua tentu suka membantu kami, bukan? Kumaksudkan, membantu aku!” tanya Hong
Kui sambil mengerling tajam.
“Tentu...
tentu...!” Mereka berdua menjawab serentak.
“Kalau
begitu, harap kalian membawa anak buah dan mengantar kami mencari kakek aneh di
Goa Tengkorak itu untuk menyelidiki.”
“Baik,”
jawab mereka.
“Dan jika
kemudian ternyata bahwa bukan kakek aneh itu yang menculik Puteri Bhutan,
kalian harus membantu kami menyelidiki keadaan Hek-sin Touw-ong.”
“Akan
tetapi... ini... ini...” Ma Khong dan Ma Ti Lok menjawab penuh keraguan dan
jelas membayangkan perasaan takut-takut.
“Kalian tak
mau membantu aku?” Hong Kui mendesak dan kini senyumnya menantang.
“Kami tentu
saja mau membantu Lihiap!” tiba-tiba Ma Ti Lok berkata.
“Benar, kami
suka membantu Lihiap, dan harap Lihiap suka menghargai bantuan kami ini yang
sesungguhnya kami lakukan dengan nekat demi rasa sayang kami kepada Lihiap.
Sungguh kami tidak berani main-main terhadap Touw-ong, akan tetapi demi
Lihiap... kami mau melakukan segalanya, asal Lihiap tidak melupakan kami dan
malam ini...“
Lauw Hong
Kui tertawa. “Hi-hik, kalian sungguh bodoh! Pernahkah aku Lauw Hong Kui
melupakan kebaikan orang? Kalian adalah sahabat-sahabatku yang baik, dan aku
sudah rindu kepada kalian. Akan tetapi nanti kalau urusan ini sudah selesai
dengan baik, tunggu saja dan lihatlah betapa aku adalah seorang yang tahu
terima kasih, yang mengenal budi dan kutanggung kalian berdua tidak akan
menyesal telah membantu aku. Akan tetapi nanti kalau sudah berhasil, karena malam
ini... hemmm, aku ingin dilayani oleh dia itu.” Tiba-tiba Lauw Hong Kui
menuding ke arah seorang pelayan pria yang sejak tadi memang menarik
perhatiannya.
Tek Hoat
ikut memandang bersama dua orang kepala bajak itu. Pria yang ditunjuk oleh Lauw
Hong Kui itu adalah seorang pria muda, usianya paling banyak enam belas tahun,
akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan wajahnya tidak tampan namun gagah dan
membayangkan kejantanan. Dia berpakaian sederhana sebagai seorang pelayan,
namun kesederhanaan pakaiannya itu tidak menyembunyikan tubuhnya yang mulai
dewasa, kekar dan kuat. Sepasang matanya lembut dan sejak tadi dia memandang
kepada Lauw Hong Kui penuh kekaguman karena sudah banyak dia mendengar dari
kawan-kawannya di tempat itu tentang kehebatan wanita ini, hebat ilmu silatnya,
hebat pula kepandaiannya merayu pria.
“Ah, si
A-cun itu? Dia seorang yang baru di sini, baru belajar. Belum ada dua tahun dia
ikut kami..., ehhh, dia masih bodoh dan hijau...“
“Hi-hik,
justeru kebodohan dan kehijauannya itu menarik hatiku dan malam ini dia akan
melayani aku. Ada pun kalian berdua, tunggu sampai selesai urusan yang kalian
bantu, tentu kalian akan mendapatkan bagian sepenuhnya.” Wanita itu lalu
bangkit berdiri, menoleh kepada Tek Hoat dan berkata, “Tek Hoat, kau
bercakap-cakaplah dulu dengan mereka, aku akan pergi dan mengaso.” Dia lalu
menghampiri pemuda pelayan yang di sebut A-cun tadi, menggandeng tangannya dan
berkata, “Marilah, kau tunjukkan aku di mana bagian-bagian yang paling indah di
daereh ini.”
Pelayan muda
itu memandang dengan mata terbelalak, kelihatan bingung dan gugup, akan tetapi
dia tidak membantah ketika ditarik dan diajak pergi oleh Hong Kui, diikuti
suara ketawa dua orang kepala bajak itu yang memandang dengan mata mengandung
iri.
Malam itu,
Tek Hoat rebah di atas pembaringan dalam kamar tamu dengan hati gelisah
memikirkan Syanti Dewi. Benarkah kakek yang aneh seperti setan itu yang
menculik kekasihnya? Ataukah si Raja Maling? Jantungnya seperti ditusuk-tusuk
rasanya ketika dia membayangkan keadaan Syanti Dewi yang menderita bermacam
kesengsaraan. Melakukan perjalanan jauh dari Bhutan, mungkin menyusulnya, dan
tiba di tangan orang-orang jahat, bahkan hampir dikawin oleh Hwa-i-kongcu
secara paksa dan kini entah berada di tangan siapa dan di mana dan bagaimana
keadaannya. Semua ini terjadi karena ibunya yang muncul di Bhutan!
Ahh, dia
tidak akan menyalahkan ibunya yang telah meninggal. Ibunya yang meninggal dalam
keadaan demikian menyedihkan, terbunuh oleh orang dan sampai kini pun dia belum
berhasil memecahkan rahasia pembunuhan terhadap ibunya itu. Dia terpaksa
menunda penyelidikannya ketika muncul persoalan Syanti Dewi. Dia harus lebih
dulu menyelamatkan kekasihnya itu, baru ia akan melanjutkan usahanya mencari
pembunuh ibunya.
Malam itu
sunyi sekali di hutan itu. Akan tetapi bagi para anggota bajak yang beringas di
malam hari itu dan mengadakan penjagaan di sekitar sarang mereka, kadang-kadang
mereka itu mendengar suara yang aneh, suara seperti rintihan seekor kucing,
yang terdengar jauh di luar hutan itu. Mereka hanya saling berbisik-bisik dan
tertawa, akan tetapi tidak berani mendekati tempat dari mana suara itu
terdengar, karena mereka maklum bahwa itulah suara Siluman Kucing yang sedang
mempermainkan korbannya, yaitu A-cun yang masih muda remaja itu.
Baru pada
keesokan harinya, setelah mereka melihat Mauw Siauw Mo-li dengan wajah berseri
dan segar, rambut kusut dan bibir tersenyum datang menggandeng A-cun, mereka
para penjaga itu, atas isyarat wanita itu, menghampiri dan mereka memapah A-cun
yang keadaannya payah, hampir pingsan, pucat dan seperti orang mabuk itu.
Mereka cepat menggotong pemuda remaja itu ke kamarnya dan membiarkan pemuda
remaja itu tidur setelah memaksa pemuda itu minum obat yang diberikan Mauw
Siauw Mo-li.
Tek Hoat
yang mendengar akan hal ini sama sekali tidak mengambil peduli. Begitu dia
terbangun dan membersihkan badan, dia lalu mencari dua orang kepala bajak itu
dan bertanya tentang usaha mereka menyelidiki ke Goa Tengkorak. Ternyata Hong
Kui sudah siap pula bersama dua orang kepala bajak. Biar pun semalam suntuk
tidak tidur, wanita itu kelihatan segar dan wajahnya berseri, bibirnya
tersenyum, dan hanya mukanya agak pucat. Dia telah memperoleh kepuasan setelah
berhari-hari melakukan perjalanan bersama Tek Hoat, setelah banyak malam
dilewatkan dengan gelisah sendirian tanpa kawan, dan ternyata pemuda remaja
anak buah bajak itu bukan hanya memenuhi harapannya, bahkan melampaui yang diharapkannya
sehingga dia merasa gembira dan puas.
Mereka
melakukan perjalanan berempat dan agar dapat melakukan perjalanan cepat, Ma
Khong dan Ma Ti Lok mengajak mereka naik perahu dan menyusuri tepi pantai
menuju ke utara. Ketika perahu itu melewati tebing yang amat tinggi, Ma Khong
menuding ke atas tebing dan berkata, “Di sanalah tempat tinggal Hek-sin
Touw-ong. Tidak kelihatan dari sini, di atas tebing itu terdapat sebuah rumah
gedung yang menjadi tempat tinggalnya. Terus terang saja, kami sendiri belum pernah
pergi ke tempat itu. Siapa pula orangnya yang berani mendekati tempat tinggal
Touw-ongya? Mudah mudahan saja dugaan kami benar bahwa kakek aneh di ujung
pantai itu yang menculik Puteri Bhutan itu sehingga kita tidak perlu mendatangi
Touw-ong.”
Setelah hari
menjadi sore, baru mereka mendarat di ujung utara dari pantai teluk itu dan
mereka menuju ke daerah yang penuh dengan batu dan goa, daerah yang merupakan
tebing dan pegunungan batu kapur. Tidak lama kemudian, tibalah mereka di depan
sebuah goa yang bentuknya memang seperti tengkorak manusia, goa yang sangat
menyeramkan. Akan tetapi sunyi saja di tempat itu dan ketika mereka
memasukinya, mereka mendapatkan goa itu kosong. Memang ada tanda-tanda bahwa
goa itu pernah ditinggali manusia, bahkan agaknya belum lama penghuninya
meninggalkan tempat itu.
Mereka
memeriksa Goa Tengkorak itu dan tiba-tiba Tek Hoat berdiri termenung di depan
dinding goa sebelah kiri, memandang dan membaca tulisan yang diukir dengan
indahnya di dinding batu itu. Dia melihat guratan-guratan huruf kecil-kecil itu
dengan teliti dan diam-diam dia merasa kagum karena dari bekasnya dia dapat
menduga bahwa orang itu menggurat-guratkan jari tangannya untuk menuliskan
huruf-huruf itu! Dia membaca dengan hati tertarik.
‘Sayang,
sungguh amat sayang…, belum pernah aku bertemu seseorang yang setelah melihat
kesalahan sendiri, lalu benar-benar menyesalkan kesalahannya itu dan benar
benar memperbaiki dirinya sendiri!’
Tek Hoat
membaca tulisan itu berkali-kali dan termenung. Dia merasa seperti pernah
mendengar kata-kata itu, akan tetapi karena pelajarannya tentang sastra memang
tidak begitu mendalam, maka dia lupa lagi di mana dan bilamana.
“Hi-hi-hik,
orang tolol yang menuliskan itu. Mana di dunia ini ada orang yang mampu melihat
kesalahan sendiri?”
Akan tetapi
Tek Hoat tidak mempedulikan ejekan Mauw Siauw Mo-li itu dan dia malah
termenung. Keluhan orang yang menuliskan kata-kata di dinding batu itu memang
merupakan kenyataan. Adalah mudah melihat kesalahan sendiri, akan tetapi
sukarlah untuk memperbaiki diri sendiri sungguh pun dari penglihatan itu selalu
timbul penyesalan. Sesungguhnya, tulisan itu adalah petikan dari ujar-ujar
dalam kitab Lun Gi bagian kelima dan pasal kedua puluh tujuh, ujar-ujar dari
Nabi Khong Cu dan kata-kata itu berasal dari Nabi Khong Cu sendiri.
Memang sudah
menjadi kebiasaan kita untuk merasa menyesal setelah kita melihat kesalahan
sendiri. Akan tetapi, biasanya penyesalan itu bukan datang karena benar benar
kita menyadari akan kesalahan sendiri, melainkan penyesalan yang timbul karena
akibat buruk yang timbul karena kesalahan perbuatan kita itu! Jadi, sama sekali
bukan penyesalan akan perbuatan kita yang salah, melainkan penyesalan karena
kita dirugikan oleh perbuatan itu sebagai akibatnya.
Misalnya,
kita melakukan sesuatu perbuatan yang salah, yaitu mencuri. Akibatnya, kita
tertangkap dan dihukum. Menyesallah kita, akan tetapi penyesalan ini timbul
karena jatuhnya hukuman itulah atas diri kita. Oleh karena keadaan seperti
inilah maka di lain kesempatan, kita dapat saja mengulangi perbuatan itu asal
saja tidak terlihat ancaman hukumannya. Itulah sebabnya maka Nabi Khong Cu
tidak pernah melihat orang yang melihat kesalahan sendiri lalu benar-benar
menyesalkan perbuatannya dan benar-benar memperbaiki dirinya sendiri. Perbaikan
diri sendiri yang dimaksudkan tidak mengulangi lagi perbuatannya yang salah
itu.
Mempelajari
atau menghafal ayat-ayat suci saja sesungguhnya tidak ada artinya sama sekali
bagi jalannya kehidupan. Yang penting adalah menyelami sedalam-dalamnya segala
hal yang berhubungan dengan kahidupan kita. Kalau kita melakukan suatu
kesalahan tidak hanya cukup untuk disesalkan saja, melainkan kita hadapi secara
menyeluruh. Kita selidiki diri kita sendiri mengapa kita melakukan kesalahan
itu, apa yang mendorongnya dan apa yang menimbulkan terjadinya hal itu. Kalau
kita selalu waspada akan gerak-gerik diri sendiri setiap saat, maka akan timbul
kesadaran yang menyeluruh, bukan kesadaran sepintas lalu yang didapat dari
membaca ayat.
Kesadaran
membaca ayat hanya terbatas pada saat membaca ayat itu saja, untuk kemudian
dilupakan lagi sehingga di waktu kita memikirkan atau melakukan sesuatu menurut
pikiran, ayat-ayat itu sama sekali terpendam dan terlupa. Dan biasanya, ayat
ayat itu yang kesemuanya amat muluk-muluk dan baik, hanya teringat oleh kita
kalau kita ingin menasehati orang lain saja, sebaliknya sama sekali terlupa
kalau kita melakukan segala sesuatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Ayat-ayat
itu seperti nyanyian-nyanyian merdu yang hanya mampu menggerakkan hati nurani
kita pada saat kita mendengarnya atau membacanya, dan apakah artinya itu bagi
kehidupan kita kalau hanya dinikmati sepintas lalu saja tanpa adanya
penghayatan dalam hidup?
Mengetrapkan
ayat-ayat suci di dalam kehidupan sehari-hari pun hanya merupakan kepalsuan
yang dipaksa-paksakan belaka, mungkin dengan tujuan agar kita dipuji, agar kita
menjadi orang baik dan sebaiknya. Kebaikan tidak mungkin dilatih, karena kalau
kebaikan itu muncul karena dilatih, maka dia bukan kebaikan lagi melainkan
kepalsuan. Kebaikan adalah kewajaran, tidak dilatih tidak dibuat-buat, tidak
mencontoh ini atau itu, melainkan keadaan bebas dari kekotoran. Kalau kebusukan-kebusukan
sudah tidak ada maka muncullah kebaikan, wajar seperti kalau awan-awan gelap
sudah sirna maka nampaklah sinar matahari. Melatih kebaikan hanya akan
menciptakan manusia-manusia munafik.
Yang
penting, mengenal diri sendiri lahir batin, mengenal kekotoran-kekotoran dan
kebusukan-kebusukan diri sendiri dengan mengamatinya setiap saat, dengan
waspada setiap saat akan segala gerak-gerik lahir batin diri sendiri.
Pengamatan seperti ini adalah tanpa pamrih sama sekali, tanpa pengejaran akan
sesuatu, tanpa ingin menjadi baik, tanpa adanya aku yang berpamrih, tanpa
adanya aku yang mengejar dan menginginkan apa pun. Yang ada hanya batin
mengamati diri sendiri, gerak-geriknya setiap saat yang menimbulkan segala
macam perbuatan, tanpa ada keinginan mengubah, memperbaiki, mengendalikan, dan
keinginan-keinginan ini tentu tidak ada kalau yang mengamati tidak ada pula!
Sampai lama
mereka berempat memeriksa keadaan di dalam goa Tengkorak, akan tetapi tetap
saja mereka tidak menemukan sesuatu. Tidak ada bekas-bekas yang menunjukkan
bahwa Syanti Dewi pernah berada di dalam goa itu.
“Jelas bahwa
bukan penghuni goa ini yang menculiknya. Tentu Hek-sin Touw-ong!” kata Tek
Hoat.
“Kalau
begitu kita akan menyelidiki ke rumah Raja Maling itu,” kata Mauw Siauw Mo-li.
Dua orang
Saudara Ma itu kelihatan gentar. “Kalau begitu kita sebaiknya pulang dulu, kami
akan mengerahkan anak buah kami.”
“Tidak
perlu,” kata Tek Hoat sambil mengerutkan alisnya. “Kita berempat sudah cukup.
Kalian hanya menunjukkan saja jalan menuju ke gedung itu, setelah bertemu
dengan Hek-sin Touw-ong, serahkan saja kepadaku untuk menghadapinya.”
“Tapi...
tapi dia amat sakti, dan puterinya juga amat lihai. Kami... kami tidak berani.
Kalau engkau gagal, Taihiap, kami pun tentu akan celaka.”
“Jangan
takut, Twa-ong. Ang-taihiap cukup kuat untuk menghadapi Touw-ong, dan selain
itu ada aku di sini, bukan?” kata Hong Kui. Karena takut kepada wanita itu,
akhirnya dua orang itu terpaksa menurut.
Malam itu
mereka bermalam di dalam goa Tengkorak.
Hong Kui
tidak mempedulikan dua orang kepala bajak yang membuat api unggun di dalam goa
itu. Dia mendekati Tek Hoat dan berusaha merayu pemuda ini. Akan tetapi Tek
Hoat menjadi merah mukanya dan marah. Hampir saja dia memukul wanita tak tahu
malu itu dan akhirnya dia keluar, lebih suka tidur di luar goa yang dingin dari
pada di dalam goa di mana dia menghadapi godaan Hong Kui yang amat
mengganggunya.
Tak lama
kemudian dia mendengar suara dua orang kepala bajak itu tertawa-tawa, dan
menjelang tengah malam, kembali dia mendengar rintihan suara kucing itu yang
amat memuakkan hatinya. Dia pergi menjauh dari goa, tidur di antara batu-batu
karang, menerawang ke langit yang penuh bintang dan mengenangkan semua
kehidupannya yang telah lalu. Timbul perasaan malu di dalam hatinya.
Teringat
akan tulisan di dinding batu, sekarang dia melihat betapa dia telah memenuhi
kehidupan yang lalu dengan segala hal yang amat memalukan dan jahat. Betapa dia
dapat mengubah itu semua setelah dia bertemu dengan Syanti Dewi, bahkan di
Bhutan dia telah menjadi seorang terhormat, sebagai panglima dan calon suami
Syanti Dewi. Cinta kasihnya terhadap Syanti Dewi selain membuat dia hidup
bahagia, juga membuat dia hidup bersih, jauh dari pikiran kotor sama sekali.
Bahkan dia mulai menganggap dirinya berharga dan patut menjadi cucu tiri
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es dan menjadi calon suami Syanti Dewi yang
berbudi mulia.
Akan tetapi
terjadi perubahan. Dia terusir dengan cara yang amat merendahkan dari Bhutan.
Dia lalu meninggalkan Syanti Dewi dan kebahagiaannya hancur, kehidupannya
hancur dan hatinya juga remuk-redam. Dia menjadi tidak peduli akan
kehidupannya, apa lagi setelah melihat ibunya terbunuh. Dia tidak peduli lagi
apakah dia hidup melalui jalan kotor atau bersih. Dia tidak peduli!
Akan tetapi
sekarang, kembali dia terombang-ambing antara kehancuran hidupnya dan
pertemuannya kembali dengan Syanti Dewi. Bagaimana jika mereka bertemu kembali?
Apakah dia masih berharga untuk puteri itu? Apakah puteri itu dapat
mencintanya? Dia mulai merasa menyesal! Penyesalan yang timbul karena
kekhawatirannya akan kehilangan Syanti Dewi lagi! Dia telah melalui jalan kotor
dan sesat!
Dengan hati
gelisah, akhirnya dia dapat pulas juga dan dapat-lapat seperti dalam mimpi dia
mendengar rintihan suara kucing itu yang amat dibencinya. Dia sudah mengambil
keputusan untuk tidak membiarkan dirinya diseret ke dalam lumpur kehinaan oleh
Mauw Siauw Mo-li! Dia harus membuktikan bahwa dirinya masih berharga untuk
mencinta Syanti Dewi!
***************
“Suhu, lihat
apa yang kudapatkan ini!” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa berkata bangga di depan
kakek itu sambil membuka buntalan besar yang dibawanya masuk ke dalam gedung
besar di tebing itu, buntalan yang tadi diseret masuk oleh dua orang pelayan
yang menyambut kedatangannya bersama beberapa orang pelayan lain.
Rumah itu
merupakan gedung besar dan sama sekali tidak pantas menjadi rumah seorang yang
berjuluk Raja Maling! Rumah itu teratur rapi, biar pun tidak terlalu mewah
namun amat menyenangkan dengan hiasan-hiasan dinding berupa lukisan-lukisan dan
huruf-huruf indah. Pot-pot kembang kuno menghias di sudut-sudut ruangan,
lantainya bersih dan kesemuanya menunjukkan bahwa rumah itu terpelihara dan
penghuninya suka akan kebersihan.
Ada kurang
lebih sepuluh orang pelayan bekerja di luar dan dalam rumah, kesemuanya walau
pun berpakaian pelayan namun sebetulnya adalah anak buah Hek-sin Touw-ong dan
mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan ilmu
mencuri yang lihai. Akan tetapi tentu saja sekarang mereka tidak lagi mencuri,
setelah menjadi anak buah dan pelayan dari Raja Maling itu.
Kakek yang
berjuluk Hek-sin Touw-ong itu adalah seorang lakl-laki tua berusia enam puluh
tahun lebih. Mukanya hitam seperti dicat, sesuai dengan julukannya si Raja
Maling Bermuka Hitam. Sebenarnya, sudah sejak bertahun-tahun yang lalu kakek
ini menjalankan pekerjaannya sebagai Raja Maling, yaitu ketika dia masih
beroperasi di perbatasan Ho-nan dan Ho-pei. Namanya amat terkenal di daerah itu
dan semua kaum pencuri tunduk kepadanya dan menganggapnya sebagai datuk atau
raja.
Karena
kepandaiannya yang hebat, dan oleh karena semua pencuri menganggapnya sebagai
raja, kemudian karena mukanya hitam, maka dia memperoleh julukan Hek-sin
Touw-ong. Akan tetapi sesungguhnya dia bukanlah maling sembarang maling! Dia
hanya mau melakukan pencurian di dalam istana-istana saja! Dan biar pun mukanya
hitam, ternyata hatinya tidaklah sehitam mukanya.
Kakek yang
terkenal dengan julukan Raja Maling ini terkenal dermawan dan suka menolong
orang-orang yang menderita kekurangan dan kesengsaraan. Pernah dia mencuri satu
peti besar terisi ratusan tail uang emas milik gubernur di Ho-nan dan
menggunakan seluruh uang itu untuk membeli ratusan ton gandum untuk dibagikan
kepada rakyat yang kelaparan di daerah lembah Huang-ho di perbatasan antara
Ho-nan dan Ho-pei pada saat Sungai Huang-ho mengamuk dan membanjiri!
Perbuatannya ini menimbulkan kegemparan. Selain dia dimusuhi oleh para
pembesar, juga perbuatannya itu menimbulkan rasa kagum dalam hati para
pendekar.
Ketika kakek
itu mendengar akan kedatangan muridnya, dia cepat keluar menyambut di ruangan
tengah dengan wajah berseri-seri. Kakek ini amat sayang kepada muridnya, bahkan
murid itu juga sekaligus menjadi anak angkatnya, sungguh pun Swi Hwa masih
belum dapat mengubah sebutan ‘suhu’ kepadanya. Sudah berbulan-bulan muridnya
pergi merantau, dan kini muridnya pulang dan membawa ‘oleh-oleh’ yang demikian
banyaknya. Ketika buntalan dibuka dan kakek itu melihat tumpukan perhiasan emas
permata, uang dan juga kitab-kitab, dia terbelalak dan menatap wajah muridnya
dengan alis berkerut.
“Swi Hwa,
apa yang telah kau lakukan? Dari mana engkau memperoleh semua benda berharga
ini?”
Biar pun dia
berjuluk Raja Maling, akan tetapi kakek ini selalu melarang muridnya untuk melakukan
pencurian, apa lagi pencurian kecil-kecilan yang akan merendahkan nama mereka,
sungguh pun muridnya sudah pandai sekali dalam hal ilmu mencuri dan ilmu
menyamar.
Gadis itu
tertawa. “Suhu, harap jangan mengira, bahwa aku sembarangan saja mencuri segala
macam benda. Benda-benda ini bukan benda-benda sembarangan, juga bukan milik
orang-orang sembarangan pula.”
“Hemmm,
kantung itu terisi uang tidak berapa banyak dan kau bilang bahwa itu bukan
benda sembarangan?” Gurunya mencela dan menegur.
“Benar, Suhu.
Hanya sekantung uang yang tidak berharga. Akan tetapi tahukah Suhu dari siapa
aku mengambil kantung ini? Hemmm, Suhu tentu tidak akan pernah dapat
menerkanya. Kantung ini kuambil dari buntalan yang dibawa oleh pendekar Siluman
Kecil!”
“Wahhhhh...!”
Suhu-nya terbelalak dan memandang kepada muridnya dengan heran.
Tentu saja
dia sudah mendengar akan nama pendekar yang baru muncul dalam waktu beberapa
tahun ini, yang namanya amat terkenal di antara para tokoh besar dunia hitam,
bahkan amat disegani. Dia pernah mendengar betapa ilmu kepandaian pendekar
Siluman Kecil itu amat hebat dan kini muridnya berani mencopet kantung uangnya!
Melihat
kekagetan dan keheranan suhu-nya, Swi Hwa menjadi bangga dan senang, maka dia
lalu menuding ke arah peti terbuka yang terisi barang-barang perhiasan emas
permata.
“Dan Suhu
lihat peti itu! Isinya adalah harta pusaka dari keluarga yang amat terkenal
pula. Keluarga panglima besar kota raja, Jenderal Kao Liang!”
“Ehhh...?”
Sepasang mata Raja Maling itu semakin terbelalak lebar ketika mendengar laporan
itu.
Nama
Jenderal Kao malah lebih terkenal lagi dari pada nama Siluman Kecil. Siapa yang
tidak mengenal nama jenderal yang amat hebat itu? Baru mendengar namanya saja
orang menjadi gentar dan segan, akan tetapi muridnya ini berani mencuri harta
pusaka keluarga jenderal itu!
Hati Swi Hwa
semakin besar dan bangga. “Dan kitab-kitab ini, Suhu. Tentu Suhu tidak akan
dapat menerka dari mana aku mencurinya. Kitab-kitab ini adalah milik si tua
renta yang amat lihai itu, Sin-siauw Sengjin...“
“Apa...?!”
Sekali ini kakek itu hampir berteriak dan mukanya berubah, lalu tiba-tiba dia
tertawa bergelak dan membuka-buka kitab itu. “Ha-ha-ha-ha-ha! Lucu...! Lucu
sekali! Muridku, anakku, hayo cepat kau ceritakan bagaimana engkau dapat
melakukan semua itu, terutama sekali kitab-kitab palsu ini!”
“Palsu?” Swi
Hwa mengerutkan alisnya. “Bagaimana Suhu tahu bahwa ini palsu? Aku mengambilnya
langsung dari rumah Sin-siauw Sengjin sendiri setelah dia dikalahkan oleh
Siluman Kecil.”
Kembali
kakek itu terkejut. “Sin-Siauw Sengjin dikalahkan oleh Siluman Kecil? Bagai
mana pula itu? Ahhh, Swi Hwa, ceritakan... ceritakan...!”
Melihat
kegembiraan gurunya, Swi Hwa lalu menceritakan semua pengalamannya. Mula-mula
dia menceritakan tentang keluarga Jenderal Kao Liang yang membawa keluarganya
pulang ke kampung halamannya di selatan, kemudian betapa muncul beberapa
kelompok gerombolan yang hendak membunuh dan hendak merampok keluarga itu.
Dalam keributan ketika para kelompok gerombolan itu saling bertempur sendiri,
dia lalu menggunakan kesempatan itu untuk merampas peti terisi harta pusaka itu
dan melarikannya. Kemudian dia menceritakan tentang penyamarannya sebagai
tukang penjual sepatu dan berhasil mencopet kantung uang milik Siluman Kecil, dan
akhirnya dia menceritakan pula bagaimana dia telah mencuri kitab-kitab pusaka
milik Sin-siauw Sengjin. Akan tetapi tentang dia masuk menjadi pengawal
Gubernur Ho-nan dan tentang rahasianya yang terbuka oleh Siauw Hong, dia sama
sekali tidak berani menceritakan kepada suhu-nya.
Kakek itu
mendengarkan penuturan muridnya dan berkali-kali dia berseru kagum. Apa lagi
ketika dia mendengar tentang pertandingan antara Siluman Kecil dan Sin-siauw
Sengjin sampai kakek Suling Sakti itu kalah, berulang kali dia mengeluarkan
suara heran dan memuji. “Hebat... hebat sekali orang muda yang berjuluk Siluman
Kecil itu. Tadinya kukira bahwa Sin-siauw Sengjin tidak ada lawannya. Kiranya
dia kalah oleh seorang pemuda. Ha-ha-ha-ha!” Kelihatan kakek ini girang sekali
mendengar tentang kekalahan Suling Sakti itu.
“Suhu, tadi
Suhu mengatakan bahwa kitab-kitab ini palsu, padahal Suhu sendiri belum
memeriksanya dengan teliti. Benarkah itu?”
“Ha-ha,
tentu saja, Swi Hwa. Aku sudah mengenal baik siapa kakek tua bangka itu! Kalau
kitab-kitab peninggalan Suling Emas dapat dicuri orang begitu saja, tentu ilmu
ilmu itu tidak akan menjadi rahasia sampai sekarang. Kau boleh bakar
kitab-kitab itu, karena semua itu palsu, apa lagi kalau telah dia tinggalkan
begitu saja.”
“Betapa pun
juga, aku telah merampasnya dari dalam rumahnya, Suhu.”
“Ha-ha-ha,
itulah yang sangat menggirangkan hatiku. Kalau saja dia mendengar bahwa
rumahnya kemasukan maling dan maling itu adalah engkau, muridku, ha-ha-ha...
ingin aku melihat mukanya, ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa-tewa, akhirnya lalu
berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Muridku, anakku, apa yang telah kau
lakukan ini benar-benar hebat dan amat mengagumkan hatiku. Aku girang dan puas
mempunyai murid seperti engkau. Tetapi engkau telah bermain-main dengan api,
anakku. Kurasa perbuatanmu ini akan berekor dan siapa tahu akan ada orang-orang
pandai yang mencarimu di sini untuk merampas kembali benda-benda ini. Oleh
karena itu, sebaiknya kalau kita segera menyembunyikan di tempat aman.”
“Di goa
rahasia di tebing?”
Kakek itu
mengangguk dan mereka lalu membawa benda-benda itu ke tepi tebing, lalu mereka
merayap turun melalui tebing yang sangat curam itu dan menyembunyikan
benda-benda itu di dalam sebuah goa di tebing yang tertutup oleh batu dan
tumbuh tumbuhan sehingga kalau bukan mereka yang sudah mengenal tempat itu,
kiranya tidak mungkin orang lain akan dapat mencari dan menemukan tempat itu.
Malam itu,
di meja makan, Swi Hwa dengan hati-hati lalu menceritakan pengalamannya kepada
gurunya. Tanpa menyinggung perasaan hatinya yang mula-mula tertarik kepada
Siluman Kecil, dia akhirnya menceritakan juga tentang petualangannya saat
memasuki sayembara di Ho-nan.
“Ehhh, Swi
Hwa, apa yang kau lakukan itu? Mau apa engkau memasuki sayembara untuk menjadi
pengawal?” tegur gurunya.
Swi Hwa
memang amat dimanja oleh gurunya ini dan sejak kecil dia menganggap gurunya
sebagai ayah sendiri. Oleh karena inilah, maka biar pun ketika datang tadi dia
tidak berani bercerita tentang semua itu, namun akhirnya dia bercerita juga
karena dia tidak dapat menahan semua itu di dalam hatinya dan dia tidak
mempunyai orang lain untuk diajak bicara.
“Suhu, aku
hanya ingin meluaskan pengalaman saja. Apa lagi aku terbawa oleh orang orang
lain yang melakukan perjalanan bersamaku. Dan Siluman Kecil juga melakukan
perjalanan bersama, maka aku pun ingin memperlihatkan kepandaian.”
“Hemmm...
kau seorang wanita sungguh terlalu berani beraksi di depan umum.” Lalu dia
memandang tajam. “Apakah sebabnya maka kau ingin agar orang-orang mengetahui
kepandaianmu?”
“Suhu, tentu
saja dengan maksud untuk mengangkat nama Suhu!”
“Ehhh, bocah
lancang! Apa kau mengaku bahwa kau muridku?”
Ditegur
begitu oleh gurunya, Swi Hwa terkejut. “Aku... aku... hanya mengaku sebagai
wakil Suhu dalam pertemuan di lembah Huang-ho...“
“Itu memang
atas kehendakku. Engkau kusuruh mewakili aku menghadiri pertemuan itu di sana.
Akan tetapi tidak di tempat umum!”
“Suhu,
maafkan, aku... aku hanya mengakui nama dan nama Suhu di depan... ehhh, Siluman
Kecil ketika aku mengambil kitab-kitab Sin-siauw Sengjin.”
Gurunya
menarik napas panjang. “Kau sungguh mencari penyakit. Nah, karena sudah
terlanjur, bagaimana nanti sajalah, akibatnya kita hadapi bersama. Lanjutkan
ceritamu.”
Setelah
mulai menuturkan tentang sayembara itu, Swi Hwa tentu saja tidak dapat menutupi
apa-apa lagi dan kata-kata pun mulai lancar keluar dari mulutnya. Dibukanya
segala peristiwa itu kepada suhu-nya. Betapa dia terlibat dalam urusan
perebutan Pangeran Yung Hwa yang ditawan oleh Gubernur Ho-nan, betapa dia
terpukul oleh Siluman Kecil.
“Ahhh,
engkau benar-benar sembrono sekali, muridku. Untung engkau tidak sampai
terpukul mati oleh pendekar itu,” kata kakek itu dengan mata terbelalak,
terheran-heran akan petualangan muridnya yang berani itu.
Swi Hwa lalu
menceritakan bahwa perkelahian itu membuat dia tidak suka lagi tinggal di
gubernuran, apa lagi karena teman-temannya telah pergi, yaitu si gagu yang
ternyata adalah kakak sendiri dari Siluman Kecil, Siauw Hong, Siluman Kecil dan
seorang kakek gagah perkasa yang dia mendengar dari para pengawal adalah
seorang tokoh bernama Sai-cu Kai-ong yang memimpin pasukan untuk menyelamatkan
Pangeran Yung Hwa.
Mendengar
nama ini, Hek-sin Touw-ong menjadi makin heran, matanya terbelalak dan dia
berseru, “Sai-cu Kaiong...? Ahhh... betapa aneh dan kebetulan...!”
”Apa
maksudmu, Suhu?”
Gurunya
menarik napas panjang. “Tidak apa-apa, aku kenal dengan tua bangka itu, kelak
engkau pun akan tahu sendiri. Teruskan, teruskan, ceritamu makin menarik.”
“Setelah aku
pergi meninggalkan gubernuran Ho-nan oleh karena aku tidak ingin lagi
melanjutkan sebagai pengawal gubernur, setelah terjadi peristiwa perebutan
Pangeran Yung Hwa itu, aku bertemu dengan Jenderal Kao Liang yang sedang
diserang oleh seorang wanita berpakaian hijau yang amat lihai. Melihat jenderal
yang sudah kudengar kegagahannya itu roboh, aku merasa kasihan dan aku lalu
membantunya, kuserang wanita baju hijau yang lihai itu, Suhu.”
Gurunya
mengangguk-angguk. “Sekali ini kau benar, muridku. Pertama, karena engkau telah
melakukan kesalahan terhadap jenderal itu dengan mencuri harta pusakanya, maka
sudah selayaknya engkau menebusnya dengan membantunya, apa lagi engkau belum
mengenal wanita penyerangnya itu.”
“Akan tetapi
dia lihai bukan main, Suhu! Pukulan Kiam-to Sin-ciang yang kupergunakan tidak
merobohkannya...“
“Ahhh,
ilmumu belum cukup tinggi untuk dapat menggunakan Kiam-to Sin-ciang dengan
sempurna.”
“Pada saat
itu, muncul pula Siluman Kecil dan Siauw Hong. Mereka melerai, akan tetapi aku
sudah terpukul oleh wanita baju hijau itu sehingga aku roboh pingsan dan tidak
ingat apa-apa lagi...”
”Ahhh,
begitu hebat dia? Siapakah wanita itu?”
“Aku tidak
tahu, Suhu. Usianya lebih tua dua tiga tahun dari pada aku, pakaiannya serba
hijau, wajahnya cantik dan sikapnya dingin. Pukulannya itu hebat bukan main,
aku merasa betapa seluruh tubuhku seperti dimasuki salju yang dinginnya
menyusup tulang sumsum dan menyerang rongga dada sehingga aku tidak kuat dan
roboh tidak ingat apa-apa lagi.”
Kakek itu
mengerutkan alisnya. “Dingin...? Hemmm, tentu dia memiliki ilmu pukulan
berdasarkan tenaga Im yang sangat kuat. Lalu bagaimana, Swi Hwa? Kemudian apa
yang terjadi denganmu?”
Mendadak
wajah gadis itu menjadi merah sekali. Dia sudah kepalang basah, sudah
menceritakan segala-galanya kepada gurunya, maka sukarlah untuk menyembunyikan
peristiwa yang terjadi atas dirinya, apa yang dilakukan oleh Siauw Hong itu.
Teringat akan ini tiba-tiba saja gadis itu merasa amat malu dan terhina, lalu
menangis!
Tentu saja
Hek-sin Touw-ong menjadi terkejut sekali. Dia memandang muridnya dengan sinar
mata penuh selidik, lalu dia bertanya, “Apakah yang menimpa dirimu, muridku?
Mengapa engkau menangis?” Suaranya mengandung kekhawatiran karena mendengar
muridnya roboh pingsan lalu kini menangis itu, dia menyangka bahwa
jangan-jangan terjadi hal yang buruk atas diri muridnya.
Swi Hwa
menyusut air matanya dan setelah tangisnya mereda dan hatinya mulai tenang
kembali, dia melanjutkan ceritanya, “Pukulan itu membuat aku pingsan, Suhu. Aku
tidak tahu apa-apa lagi. Ketika aku siuman kembali, aku telah berada di bawah
pohon, di atas rumput terlentang dan... dan...“
“Ya?
Bagaimana?” Gurunya bertanya dengan tangan terkepal karena hatinya tegang
menanti lanjutan cerita muridnya itu.
“Ketika aku
siuman kembali, aku melihat dia duduk di dekatku dan... dan tangannya
diletakkan di… di atas dadaku, Suhu...“ Gadis itu menundukkan mukanya yang
menjadi merah sekali.
“Dia? Dia
siapa?”
“Siauw
Hong...“
“Keparat!
Berani benar dia!” Kakek itu membentak marah.
“Suhu tentu
mengerti betapa kaget dan malu rasanya hatiku. Tangannya itu meraba dadaku di
balik bajuku... maka aku kemudian bangkit dan memukulnya sekuat tenaga sehingga
dia terlempar dan mungkin dia mampus!”
“Bagus!
Benar itu! Kalau dia belum mampus, biar aku yang akan mencarinya dan memukulnya
sampai mampus benar-benar! Laki-laki keparat dia itu! Siapa sih Siauw Hong
itu?”
“Dia adalah
pemuda yang melakukan perjalanan bersama aku dan Siluman Kecil, yang juga
memasuki sayembara dan diterima menjadi pengawal, akan tetapi ketika terjadi
keributan perebutan Pangeran Yung Hwa, dia membantu Siluman Kecil.”
“Hemmm, jadi
dia memiliki kepandaian juga, ya? Orang macam apa dia berani berbuat kurang
ajar seperti itu?”
“Dia... dia
masih muda, mungkin tidak lebih tua dari pada aku, Suhu, dan dia dikenal
sebagai pangeran pengemis...“
“Pengemis??”
Gurunya makin penasaran. Anak angkatnya, muridnya yang tersayang itu diganggu
oleh seorang pemuda pengemis?
“Ya, dia
seorang pengemis aneh, dan ternyata kemudian bahwa dia adalah murid dari kakek
pengemis aneh yang memimpin pasukan memperebutkan Pangeran Yung Hwa itu, Suhu.”
”Siapa?
Murid siapa?” Muka kakek itu berubah.
Swi Hwa
terkejut melihat perubahan muka gurunya. “Dia murid Sai-cu Kai-ong...“
“Ahhhhh...!
Ya Tuhan...!”
“Ada apakah,
Suhu? Mengapa Suhu demikian kaget?”
Kakek itu
masih terbelalak, kemudian dia memegang lengan gadis itu dengan cepat sehingga
gadis itu menjadi kaget dan takut kalau-kalau gurunya marah. Belum pernah
gurunya marah kepadanya, akan tetapi sikapnya sekarang benar-benar mengagetkan
hatinya.
“Hayo
katakan, apakah dia melakukan hal itu, meraba dadamu, untuk berbuat kurang ajar
dan melanggar susila? Apakah dia berusaha... memperkosamu?”
Sekarang Swi
Hwa yang memandang dengan mata terbelalak. “Memperkosa? Apa maksudmu, Suhu?
Sama sekali tidak! Dia meraba dadaku untuk menyembuhkan aku, terasa olehku dia
menyalurkan sinkang yang sangat kuat dan mengusir hawa dingin akibat pukulan
gadis pakaian hijau itu.”
“Ahhh...!”
Kakek itu tertegun dan menjadi melongo. “Jadi dia malah menolongmu? Kalau dia
menyelamatkanmu dengan mengobati lukamu, mengapa pula kau menghantamnya
sampai... mungkin dia mati?”
Wajah Swi
Hwa menjadi merah dan dia menunduk. “Habis... habis dia... meraba dadaku dan
aku malu karena rahasiaku terbuka. Tadinya dia dan mereka semua mengira aku
seorang pemuda sejati Suhu, aku selalu menyamar. Ketika aku melihat dia meraba
dadaku, di balik baju, tentu saja aku merasa malu dan marah karena rahasiaku
terbuka dan aku lalu memukulnya, kemudian aku melarikan diri, dan pulang ke
sini.”
Kakek itu
menggaruk-garuk belakang telinganya yang tidak gatal. “Ahh, aku menjadi
bingung, Swi Hwa. Sebentar aku marah, sebentar aku khawatir, dan kemudian aku
terheran dan bingung lagi. Jadi pemuda yang mengobatimu dan juga yang berani
meraba dadamu itu adalah murid Sai-cu Kai-ong?”
“Benar,
Suhu.”
Kakek itu
menarik napas panjang. “Aaahhhhh... kekuasaan Thian sungguh amat hebat dan luar
biasa, penuh rahasia ajaib...“
“Maksud
Suhu?”
“Swi Hwa,
engkau adalah seorang gadis yang sudah cukup umur. Sudah menjadi kewajibanku
sebagai guru dan ayah angkatmu untuk memikirkan perjodohanmu...“
“Ah, Suhu!
Harap jangan bicara tentang itu!” Swi Hwa berseru dan mukanya menjadi merah
sekali. Dia teringat kepada Siluman Kecil, pemuda yang amat dikagumi itu, akan
tetapi hatinya kecewa dan tawar kembali melihat betapa Siluman Kecil sama
sekali tidak memperhatikannya, bahkan memusuhinya!
“Swi Hwa,
hanya ada tiga peristiwa dalam kehidupan manusia yang kuanggap penting, bahkan
yang diakui kepentingannya oleh semua orang, menjadi pusat perhatian dan
didatangi sanak keluarga dan handai-taulan. Pertama adalah kelahiran, kedua
adalah pernikahan dan ketiga kematian. Usiamu sudah hampir sembilan belas
tahun, sudah cukup untuk memikirkan tentang jodoh. Dan setelah kau menceritakan
tentang pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu, hemmm... timbul pikiranku untuk
menyelidikinya lebih jauh dan melihat kalau-kalau dia berjodoh denganmu.”
“Suhu...!”
“Swi Hwa,
bagi seorang wanita terhormat dan bersusila, merupakan pantangan besar untuk
membiarkan tubuhnya diraba oleh laki-laki, kecuali oleh suaminya tentu saja!
Siapa berani merabanya berarti telah melakukan penghinaan dan hanya layak
ditebus dengan nyawa. Oleh karena itu, pemuda bernama Siauw Hong yang telah
meraba tubuhmu itu pun hanya mempunyai dua pilihan, pertama menjadi jodohmu
atau kedua dia harus dibunuh!”
“Tapi...
tapi... dia telah menolongku, Suhu, dia telah mengobatiku.”
“Nah, itulah
sebabnya mengapa aku pun hendak menyelidiki dia. Aku pun lebih condong untuk
menjodohkan dia denganmu, apa lagi mengingat bahwa dia adalah murid seorang
seperti Sai-cu Kai-ong yang biar pun berkepala besar dan berhati baja, namun
kurasa tentu dapat memilih seorang murid yang baik.”
“Akan
tetapi, Suhu, aku belum...!”
“Ssshhhhh...!”
gurunya memberi isyarat agar muridnya diam dan dia lalu meloncat ke luar dari
kamar itu, diikuti oleh Swi Hwa yang juga mendengar suara ribut-ribut di luar
rumah itu.
Ketika
mereka tiba di luar rumah, mereka terkejut bukan main melihat para pelayan
mereka telah menggeletak di sana-sini dalam keadaan tertotok, pingsan atau
terluka! Pelayan-pelayan mereka adalah orang-orang yang cukup lihai, akan
tetapi bagaimana dalam waktu singkat saja mereka roboh semua?
Hek-sin
Touw-ong yang baru muncul itu mendadak meloncat ke samping ketika dia melihat
bayangan orang berkelebat dan sinar hijau menyambarnya. Dia mengelak dan
memandang. Ternyata yang menyerangnya adalah seorang wanita cantik yang
pesolek, dari pakaiannya tersebar bau semerbak harum dan pedangnya yang
bersinar hijau itu lihai sekali.
Segera dia
mengenal wanita ini dan dia berseru marah, “Mauw Siauw Mo-li, mau apa kau?
Berani benar kau mengacau di tempatku?”
“Tek Hoat,
cepat...!” Mauw Siauw Mo-li sudah berseru;
Dan tanpa
mempedulikan pertanyaan Hek-sin Touw-ong, dia sudah menerjang lagi dan mengirim
serangan-serangan kilat kepada lawannya. Hek-sin Touw-ong adalah seorang yang
berilmu tinggi, akan tetapi karena dia maklum bahwa adik seperguruan Hek-tiauw
Lo-mo ini adalah seorang yang amat lihai maka dia tidak berani sembrono
menyambut serangan pedang itu, melainkan mengelak lagi dan mulai membalas
dengan tendangan kilat yang dapat dielakkan pula oleh wanita itu.
Sementara
itu, Tek Hoat yang datang bersama Mauw Siauw Mo-li sudah berkelebat ke sebelah
dalam rumah. Dia melihat bayangan merah berkelebat dan di dalam keadaan
remang-remang itu dia pun mengira bahwa wanita itu adalah Syanti Dewi. Bukan
main girang rasa hatinya.
“Syanti
Dewi...!” Dia berseru dan meloncat menghampiri, hendak memeluk dara itu.
“Wuuuttttt...
wirrrrr...!”
Tek Hoat
terkejut bukan main karena dara yang dikira Syanti Dewi itu mengelak dan cepat
menghantamnya dengan tangan kiri yang mengandung hawa tajam dan kuat sekali.
Dia cepat meloncat ke belakang dan memandang. Kiranya dara itu sama sekali
bukanlah Syanti Dewi, sungguh pun harus diakuinya bahwa dara itu juga cantik
jelita.
Dara itu
adalah Ang-siocia atau Swi Hwa yang tentu saja menjadi marah sekali melihat
pemuda ini datang-datang hendak memeluknya. Dari tempat itu dia melihat
suhu-nya telah bertanding melawan seorang wanita cantik yang mainkan pedang
bersinar hijau secara hebat sekali, dan dia dapat melihat pula para pelayan
suhu-nya telah rebah di sana-sini. Tahulah dia bahwa ada orang-orang jahat
menyerbu, maka dia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Tek Hoat dengan sengit
dan dahsyat.
Tek Hoat
terkejut dan kagum juga menyaksikan kehebatan ilmu pedang gadis cantik ini,
akan tetapi karena dia sudah tidak sabar lagi ingin cepat-cepat menemukan
kembali Syanti Dewi yang disangkanya diculik oleh Hek-sin Touw-ong dan
disembunyikan di gedung itu, cepat mengerahkan kepandaiannya, memapaki serangan
Swi Hwa dengan dorongan tangan kirinya yang mengandung tenaga sakti Inti Bumi.
“Aihhh...!” Swi
Hwa menjerit, ketika tubuhnya dilanda angin dahsyat yang amat kuat dan membuat
dia terjengkang, dan sebelum dia sempat bergerak, pundaknya telah ditotok
secara luar biasa sekali dan dia lantas menjadi lemas, tidak dapat berdaya lagi
seperti kehilangan tenaganya.
“Hayo
katakan, di mana adanya Syanti Dewi?” Tek Hoat menghardik. Akan tetapi gadis
itu melotot kepadanya penuh kemarahan.
“Tidak
tahu!” Gadis itu menjawab dengan keras pula.
Dua bayangan
berlari datang dan mereka itu adalah Ma Khong dan Ma Ti Lok. Kedua orang ini
tadinya gentar sekali ketika mendatangi rumah gedung milik Hek-sin Touw-ong
itu, akan tetapi setelah mereka melihat bagaimana dengan amat mudahnya Ang Tek
Hoat dan Lauw Hong Kui merobohkan para penjaga atau pengawal itu, kemudian melihat
Lauw Hong Kui sudah bertempur dengan hebat lawan Hek-sin Touw-ong sedangkan Tek
Hoat dengan amat mudahnya merobohkan murid Raja Maling, hati mereka menjadi
besar dan mereka lalu berlari memasuki gedung itu.
Melihat
mereka, Tek Hoat lalu berkata, “Hayo bantu aku mencari ke dalam gedung. Geledah
semua kamar sampai kalian mendapatkan puteri yang disembunyikan itu!” Setelah
berkata demikian, dia sendiri sudah mendahului mereka lari memasuki gedung
untuk mencari Syanti Dewi.
Banyak sudah
kamar dimasukinya, akan tetapi dia tidak juga menemukan Syanti Dewi.
“Syanti
Dewi...! Syanti...! Ini aku, Tek Hoat...!” Dia berteriak-teriak akan tetapi
tidak pernah ada jawaban. Dia melihat pula kedua orang Saudara Ma itu ikut
mencari-cari, namun belum juga berhasil.
Tiba-tiba
dia mendengar teriakan keras yang dikenalnya sebagai suara Hong Kui, “Tek
Hoat..., tolonggggg...!”
Cepat Tek
Hoat berloncatan dan lari ke luar. Ternyata Hong Kui terdesak hebat oleh kakek
bermuka hitam yang benar-benar amat lihai itu. Bahkan pedang wanita itu telah
terlempar ke atas lantai dan kini Hong Kui terdesak mundur, setiap pukulan
tangan kakek itu mengeluarkan bunyi mencicit nyaring dan biar pun Hong Kui
sudah mengelak ke sana-sini dengan cepat, namun tetap saja lengan kiri dan
pundak kanannya keserempet pukulan sakti itu sampai berdarah seperti terluka
oleh pedang tajam. Itulah pukulan Kiam-to Sin-ciang yang mukjijat!
“Wuuuttttt...!”
Tek Hoat
sudah menghantam ketika dia tiba di tempat itu. Melihat ada sambaran angin
dahsyat dari samping, kakek itu meninggalkan Hong Kui dan menyambut pukulan itu
dengan tangkisan lengannya sambil dikerahkannya tenaga Kiam-to Sin-ciang yang
membuat kedua lengannya kuat dan mengandung hawa tajam seperti pedang atau
golok itu.
“Plakkkkk!”
Benturan dua
tenaga mukjijat yang amat hebat itu membuat kakek itu terpelanting, akan tetapi
Tek Hoat kaget melihat kulit lengannya lecet berdarah!
“Ahhhhh...!”
Hek-sin Touw-ong terkejut setengah mati.
Baru kali
ini dia bertemu dengan seorang pemuda yang bukan hanya dapat menghadapi tenaga
Kiam-to Sin-ciang tanpa membuat lengannya terluka hebat, akan tetapi juga mampu
membuat dia terpelanting dan hampir roboh! Dengan marah dia lalu menerjang dan
terjadilah perkelahian hebat antara Tek Hoat dan kakek muka hitam itu. Hong Kui
yang tadi terdesak hebat, kini sudah mengambil kembali pedangnya dan dengan
marah dia mengeroyok kakek itu untuk menebus kekalahannya dan membalas
luka-luka yang dideritanya di lengan dan pundak.
Kakek itu
kini sudah kewalahan dan bingung menahan serangan yang mengandung tenaga Inti
Bumi yang dahsyat itu apa lagi ketika Tek Hoat mulai mempergunakan Ilmu
Toat-beng-ci, melakukan totokan-totokan dengan satu jari, dia terkejut bukan
main dan teringat akan nama seorang muda yang menggemparkan dunia kang-ouw.
“Si Jari
Maut...!” teriaknya.
Tetapi pada
saat itu pedang bersinar hijau di tangan Hong Kui telah menyambar ganas ke arah
lehernya. Cepat dia menghindarkan diri dengan mengelak dan merendahkan
tubuhnya, akan tetapi karena pada saat itu Tek Hoat juga sudah menyerangnya,
maka sebuah totokan mengenai punggungnya dan kakek itu mengeluh, roboh
terguling dalam keadaan tidak mampu bergerak lagi. Kalau orang lain yang
terkena totokan Tek Hoat itu, tentu akan tewas seketika. Namun kakek itu cukup
tangguh sehingga dia tidak tewas, hanya tertotok dan lumpuh.
“Hek-sin
Touw-ong, hayo katakan di mana adanya Syanti Dewi!” Tek Hoat mengancam dengan
jari tangan di atas ubun-ubun kepala kakek itu.
Hek-sin
Touw-ong adalah seorang yang keras hati dan tidak takut mati. Dirobohkan oleh
pemuda itu sudah merupakan hal yang amat memalukan, maka dia menjawab dengan
jengkel, “Mau bunuh, lekas bunuh, tidak perlu banyak cakap!”
“Aku tidak
akan membunuhmu, aku mencari Syanti Dewi. Kau tidak berhak menculiknya dan
menyembunyikannya. Hayo katakan, di mana Syanti Dewi? Di mana?!” Tek Hoat
berteriak-teriak seperti orang gila.
“Aku tidak
tahu!” jawab kakek itu dan membuang muka dengan gerakan lemah karena kedua kaki
tangannya lumpuh.
Tek Hoat
bangkit berdiri dan menarik napas panjang, memandang kepada Hong Kui. “Aku
tidak melihat Syanti Dewi di dalam,” katanya dengan hati kecewa bukan main.
“Hemmm, biar
pun tidak ada Syanti Dewi, akan tetapi di dalam rumah maling ini tentu banyak
barang berharga. Sebaliknya kubunuh saja dia!”
Hong Kui
lalu menggerakkan pedangnya membacok ke arah leher Hek-sin Touw-ong. Kakek itu
membelalakkan mata, menanti datangnya maut dengan mata terbuka.
“Wuuuttttt...
tranggggg...!”
“Eh, Tek
Hoat, mengapa kau?” Hong Kui meringis dan memegangi pergelangan tangan kanannya
yang terasa nyeri karena tadi terpukul oleh pemuda itu sehingga pedangnya
terlempar dan berkerontangan di atas lantai.
“Kau tidak
boleh sembarangan membunuh, tidak boleh selagi aku di sini!” bentak Tek Hoat
yang merasa mendongkol sekali karena ternyata petunjuk dari wanita itu tidak
menghasilkan dia menemukan kembali Syanti Dewi. Dia merasa tertipu.
Pada saat
itu, terdengar jerit wanita dari dalam. Mendengar ini, Tek Hoat cepat berlari
masuk, diikuti oleh Hong Kui yang sudah menyambar kembali pedangnya. Jantung
pemuda itu berdebar tegang karena dia mengira bahwa itu adalah suara jeritan
Syanti Dewi.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment