Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 25
Ketika
rombongan Puteri Milana keluar dari istana, tiba-tiba terdengar suara ledakan
yang amat dahsyat dan mengejutkan semua orang. Mereka terkejut sekali karena
perang telah selesai dan tidak perlu lagi diadakan peledakan lain untuk
menghancurkan benteng. Mereka semua memburu keluar dan terdengar teriakan yang
memilukan, "Ayaaahhh"..!
Mendengar
bahwa teriakan itu adalah suara Kao Kok Cu, semua orang cepat berlari
menghampiri tempat ledakan. Yang meledak hancur dan kini terbakar adalah menara
di mana tadi Jenderal Kao Liang berdiri serta mengatur ledakan-ledakan dan
pembakaran pembakaran. Kini menara itu telah terbakar dan api menyala-nyala
dengan hebatnya. Dan di tengah-tengah menara yang sudah runtuh, di antara api
yang bernyala-nyala, nampak berdiri tegak seorang laki-laki tua yang gagah
perkasa, berdiri dengan tegak dan memandang ke arah benteng yang sudah hancur
dengan wajah berseri akan tetapi kedua matanya mengalirkan air mata. Orang tua
gagah itu bukan lain adalah Jenderal Kao Liang!
“Ayaaah...!”
Kao Kok Cu berseru.
Dan
berbareng dengan tubuh isterinya yang sudah menurunkan Cin Liong, pendekar ini
melayang naik seperti berlomba dengan Ceng Ceng untuk menolong kakek itu.
Namun, mereka terpaksa berjungkir balik dan turun kembali karena mereka
disambut oleh api yang berkobar-kobar!
“Kembalilah,
Kok Cu dan Ceng Ceng! Aku bukanlah seorang pengecut, dan aku sudah bersumpah
untuk mempertahankan benteng dengan nyawaku!” terdengar Jenderal Kao Liang
berseru dengan suara mengguntur. “Selamat tinggal semua!”
Tangannya
bergerak dan terdengar lagi ledakan dahsyat, nampak sinar api berkilauan hebat
dan tempat itu hancur sama sekali. Tubuh sang jenderal lenyap bersama sisa
menara yang hancur oleh ledakan itu!
Ceng Ceng
menangis mengguguk dan merangkul suaminya. Terdengar jerit tangis saat para
keluarga Kao keluar dari tempat mereka dan mereka hanya dapat menangis sambil
memandang ke arah api yang berkobar. Isteri sang jenderal dan beberapa orang
keluarga wanita roboh pingsan. Kao Kok Cu juga tak dapat menahan air matanya
dan dia menundukkan mukanya, berdoa untuk roh ayahnya yang gagah. Dia tahu apa
yang telah dilakukan ayahnya dan mengapa. Dia tidak dapat menyalahkan keputusan
yang diambil oleh ayahnya itu.
Ayahnya
telah berkhianat kepada negara, demi menyelamatkan keluarganya. Setelah
keluarganya selamat, ayahnya melaksanakan rencana yang telah diaturnya semenjak
hari pertama dia dipaksa membangun benteng, yaitu menghancurkan seluruh benteng
itu. Menghancurkannya bersama dia karena dia sudah berjanji kepada pangeran dan
Koksu Nepal bahwa dia akan mempertahankan benteng itu dengan nyawanya. Dan
memang dia mempertahankan dengan taruhan nyawanya di samping dia menebus dosa
pengkhianatannya kepada negara! Jenderal Kao Liang tewas sebagai seorang
panglima yang gagah perkasa, yang mempertahankan benteng buatannya dan yang
dipimpinnya dengan mengorbankan nyawanya.
Hati Kian Bu
yang gelisah memikirkan Kian Lee, menjadi semakin berduka menyaksikan peristiwa
yang menimpa keluarga Kao itu. Dia tidak mampu menghibur, bahkan tidak mampu
berkata apa-apa lagi. Yang banyak memberi hiburan kepada keluarga itu adalah
Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana. Melihat bahwa tenaganya tidak lagi
diperlukan, dan karena tidak mau mengganggu keluarga yang sedang dilanda duka
itu dengan pamit, dia lalu mendekati Puteri Milana dan berkata, “Enci Miiana,
aku akan pergi mencari Lee-ko.”
Milana
memandang kepada adiknya ini. “Ke mana dia?”
“Katanya
mengejar Pangeran Llong Bian Cu yang melarikan Nona Hwee Li.”
Milana
mengangguk. “Hati-hati kau, Bu-te, dan jangan terlalu lama, kalau sudah jumpa
dengan Kian Lee kalian harus mengunjungi kami di puncak Telaga Warna di
Beng-san. Atau kalian susul kami di kota raja karena kami harus lebih dulu
pergi ke kota raja bersama pasukan dan tawanan.”
“Baik, Enci
Milana.” Kian Bu lalu pergi meninggalkan benteng itu, tidak tahu bahwa
diam-diam ada orang yang membayanginya dan orang ini bukan lain adalah Teng
Siang In! Dan tidak lama setelah Siang In pergi, nampak seorang lain yang juga
diam-diam pergi dari situ dan orang ini adalah Kang Swi Hwa atau Ang-siocia…..
***************
Oleh karena
para tokoh dalam cerita kita ini mulai berpencaran lagi setelah benteng
pemberontak dapat dihancurkan, dan karena masing-masing mengalami hal-hal yang
amat hebat dan menarik, maka sebaiknya kalau kita mengikuti perjalanan mereka
satu demi satu. Pertama-tama kita mengikuti perjalanan Ang Tek Hoat yang telah
lebih dulu meninggalkan benteng ketika mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi telah
dilarikan oleh Panglima Bhutan, yaitu Mohinta dan anak buahnya.
Ketika
mendengar dari Siluman Kecil Suma Kian Bu bahwa yang membunuh ibunya adalah
Mohinta, hati pemuda ini penuh dengan dendam dan kemarahan hebat. Kematian
ibunya tak pernah dapat dilupakannya, dan dia telah dengan susah payah mencari
siapa mereka atau dia yang membunuh ibunya. Akhirnya dia sudah hampir putus asa
untuk dapat membongkar rahasia itu karena tidak ada bukti atau saksi yang dapat
menuntunnya kepada si pembunuh. Tak disangkanya bahwa dia akan mendengar
keterangan yang demikian jelasnya dari Suma Kian Bu, paman tirinya sendiri.
Kini dia
mengerti dan dapat membayangkan keadaan ibunya. Tentu Mohinta dan anak buahnya
itu menemukan ibunya seorang diri dalam pondoknya dan panglima muda yang keji
itu telah membunuh ibunya. Akan tetapi dia ingin tahu mengapa Mohinta membunuh
ibunya. Dia akan menangkap Mohinta dan memaksanya mengaku mengapa Mohinta
membunuh ibunya, setelah itu baru dia akan membalas kematian ibunya. Sakit hati
karena dendam membuat pemuda ini selalu membayangkan dan merencanakan
penyiksaan yang paling hebat untuk musuh besar pembunuh ibunya itu!
Dendam
merusak dan meracuni batin manusia. Kenyataan ini nampak dalam kehidupan kita
sehari-hari. Betapa dendam dan amarah menguasai hati kita setiap hari. Dendam
melahirkan kekerasan dan kekejaman. Dendam menciptakan permusuhan yang tiada
habisnya. Betapa semenjak kita masih kecil, nafsu amarah dan dendam ini sudah
menguasai lubuk hati kita sepenuhnya.
Kita akan
marah-marah kalau kita diganggu, kalau keluarga kita diganggu, kalau negara
kita di ganggu, kalau bangsa kita diganggu, kalau milik kita lahir batin diganggu.
Dan kita akan membalas! Membalas berlipat ganda! Sejak masih kanak-kanak sudah
nampak nafsu dendam ini. Dipukul sekali baru akan puas kalau membalas dua kali!
Hati yang marah baru akan puas kalau sudah menumpahkan kemarahannya berupa
makian, balas menghina, memukul dan sebagainya lagi.
Betapa nyata
nampak kalau kita mau membuka mata memandang, bahwa satu di antara hal yang
mendorong kita mendendam adalah karena kita selalu ingin menang dari orang
lain, tidak mau kalah dalam hal apa pun juga! Kalau orang melakukan kekerasan
kepada kita, kita pun tidak mau kalah keras! Kita khawatir disangka takut,
disangka pengecut, dianggap tidak berani! Inilah yang mendorong kita menyambut
kekerasan orang dengan kekerasan yang lebih hebat lagi.
Dan
bagaimana kalau ada orang bersikap baik kepada kita? Kita pun tidak mau kalah,
tidak mau kalah baik, ingin dianggap lebih baik lagi. Buktinya? Kalau anda
bermusuhan atau saling marah dan membenci dengan lain orang, cobalah anda
mengubah diri dan bersikap manis dan baik. Akan nampak oleh anda betapa orang
itu pun sebaliknya akan mengambil sikap yang lebih manis dan lebih baik pula
dari pada sikap anda. Sebaliknya, kalau dia bersikap keras dan congkak, anda
akan bersikap lebih keras dan lebih congkak lagi!
Kemudian
kita melihat bahwa kemarahan itu mengakibatkan hal-hal buruk sekali dalam
kehidupan, menimbulkan permusuhan, pertentangan dan kesengsaraan, maka lalu
muncullah ajaran agar kita belajar sabar! Kita marah dan kita dianjurkan
bersabar. Hal ini, seperti terbukti dalam kehidupan kita sehari-hari, sama
sekali tidak ada artinya, tidak ada gunanya!
Dalam
keadaan marah, kita lalu mengendalikan perasaan, menekan kemarahan, dan memaksa
diri untuk menjadi sabar. Memang, pada saat itu dapat kita menekan kemarahan
dan menjadi sabar, namun kesabaran seperti itu adalah kesabaran palsu,
kemarahan itu tidak padam, hanya ditekan dan ditutupi belaka. Seperti api dalam
sekam, kelihatannya saja tidak menyala namun sesungguhnya masih membara dan
sewaktu-waktu akan berkobar lagi.
Maka
nampaklah dalam kehidupan kita betapa apa bila belajar sabar itu sama sekali
tidak ada gunanya karena kemarahan yang ditekan-tekan itu akan terus-menerus
dan selalu muncul dan muncul lagi untuk ditekan dan dikendalikan lagi. Maka
terjadilah perang batin, konflik batin antara kemarahan sebagai kenyataan dan
sabar sebagai hal yang kita kehendaki.
Kita lupa
bahwa kemarahan tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar sabar atau
dengan keinginan untuk tidak marah! Kotoran tidak mungkin dapat dilenyapkan
dengan belajar bersih! Yang penting adalah berani menghadapi kenyataan. Dan
kenyataan pada diri kita adalah kemarahan itulah. Itulah faktanya. Kita marah!
Kita keras, kita pendendam, kita kejam. Inilah kenyataannya! Tidak perlu kita
lari dari pada kenyataan ini dan bersembunyi di balik selimut kesabaran,
kebaikan dan sebagainya. Semua itu hanya palsu dan munafik belaka. Pada
hakekatnya, pada dasarnya, pada intinya, kita masih pendendam, masih pemarah.
Lalu, apakah
kita harus membiarkan saja kenyataan bahwa kita adalah pendendam dan pemarah?
Sudah tentu tidak! Kita melihat dengan jelas bahwa harus terjadi perubahan pada
diri kita, pada batin kita. Akan tetapi perubahan itu tak mungkin terjadi kalau
hanya dengan jalan menentang kemarahan itu dan ingin menggantikan kedudukannya
dengan kesabaran dan kebaikan. Kita harus berubah!
Lalu
bagaimana caranya untuk melenyapkan kemarahan? Tidak ada caranya, karena kalau
disebutkan suatu cara, itu pun palsu dan merupakan penipuan belaka, merupakan
pelarian seperti belajar sabar dan mengendalikan perasaan tadi. Apakah
kemarahan itu? Siapa yang marah? Berbedakah kita dengan kemarahan itu? Kitalah
yang marah. Kitalah kemarahan itu sendiri! Kemarahan tidak terpisah dari kita!
Kitalah
sumber kemarahan, kitalah pembuat kemarahan, dan kitalah biang keladinya.
Karena itu, kalau kemarahan tiba, tidak perlu kita lari, tidak perlu pula kita
sembunyi, sebaliknya, kita hadapi kemarahan itu, kita pandang dengan penuh
kewaspadaan, dengan penuh perhatian! Pernahkah anda melakukan hal ini?
Biasanya, kalau kita marah, kita menjadi mata gelap, kita kehilangan kesadaran,
kita tidak ingat apa-apa lagi, yang ada hanyalah nafsu ingin melampiaskan
kemarahan. Bukankah demikian?
Pernahkah
dan maukah kita mencoba untuk menghadapi kemarahan itu sebagai suatu fakta,
kita perhatikan kemarahan kita itu, penuh kewaspadaan dan ingin kita melihat
apa yang terjadi kalau begitu! Karena kemarahan itu pada hakekatnya adalah kita
sendiri, maka dengan pengamatan penuh kewaspadaan itu, dengan penuh perhatian
itu, kemarahan pun tidak ada! Sebaiknya kita mencoba dalam kehidupan kita
sehari-hari yang penuh coba dan goda ini.
Dan kalau
sudah tidak ada kemarahan lagi dalam batin kita, perlukah kita belajar sabar?
Kalau kita tidak marah, perlukah kita menekan dan mengendalikan perasaan? Dan
kalau tidak ada kemarahan, tidak ada benci, apa yang timbul dalam batin kita?
Mungkin mata batin kita baru akan melihat apa artinya cinta kasih itu.
Tek Hoat
dimabuk dendam. Dalam keadaan dendam dan marah, dia merencanakan siksaan
sehebat-hebatnya kepada orang yang amat dibencinya, yaitu Mohinta. Dia membuat
perhitungan dan dugaan bahwa Mohinta tentu melarikan Syanti Dewi menuju ke
barat, ke Bhutan. Dan memang dugaannya itu tepat.
Beberapa
hari kemudian setelah dia meninggalkan benteng melakukan pengejaran, dia
menemukan jejak mereka. Kiranya Mohinta dan anak buahnya itu melakukan
perjalanan cepat dengan menggunakan sebuah kereta dan rombongan itu menunggang
kuda, melakukan perjalanan yang cepat. Demikianlah keterangan yang didapat oleh
Tek Hoat dalam penyelidikannya. Maka dia lalu melakukan pengejaran secepatnya
dan beberapa hari kemudian dia berhasil menyusul rombongan itu!
Begitu
melihat Mohinta menunggang kuda memimpin anak buahnya yang mengawal kereta,
jantung Tek Hoat berdebar kencang dan menurutkan dorongan hatinya, ingin dia
seketika menerjang dan menangkap Mohinta dan membebaskan Syanti Dewi yang dia
duga tentu berada di dalam kereta itu. Akan tetapi, pemuda ini dapat menahan
dirinya. Nanti saja, pikirnya sambil mengintai dari balik pohon, aku harus
melihat Syanti Dewi lebih dulu. Nanti kalau rombongan itu melewatkan malam, dia
akan turun tangan. Maka Tek Hoat hanya mengintai sambil berjongkok di balik
sebatang pohon, membiarkan kereta yang dikawal orang-orang Bhutan itu lewat.
Dia lalu
membayangi terus dan akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah dusun yang tidak
berapa besar, dusun di antara bukit-bukit yang jauh dari kota. Dengan pengaruh
uangnya dan juga pengaruh sikap anak buahnya yang galak, Mohinta dapat menyewa
rumah kepala dusun itu untuk dijadikan tempat bermalam. Karena menerima uang
sewa yang cukup besar dan juga jeri melihat sikap rombongan orang Bhutan itu,
kepala dusun mengalah dan membawa keluarganya keluar dari rumah, bermalam di
rumah seorang penduduk dusun.
Tek Hoat
mengintai terus dan jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat Syanti Dewi
melangkah turun dari dalam kereta. Akan tetapi, perasaan tidak senang menyusup
di hatinya ketika dia melihat puteri pujaan hatinya itu tersenyum genit kepada
Mohinta yang membantunya turun dari kereta, bahkan puteri itu kemudian
bergandengan tangan dengan Mohinta memasuki rumah kepala dusun yang mereka sewa
untuk semalam.
Tek Hoat
melongo sampai lama setelah kedua orang itu memasuki rumah. Perasaan hatinya
nyeri rasanya seperti ditusuk pedang. Sikap Syanti Dewi begitu mesra terhadap
Mohinta. Senyum itu! Kerling mata itu! Begitu genitnya, padahal seingatnya, tak
pernah Syanti Dewi bersikap segenit itu, bahkan kepadanya sekali pun. Cemburu
menguasai hatinya, cemburu dan penasaran. Jadi begitukah keadaan sebenarnya
mengapa Syanti Dewi bersikap dingin kepadanya ketika mereka dipertemukan oleh
Koksu Nepal? Syanti Dewi telah berpaling kepada Mohinta dan agaknya bertukar
hati dengan panglima muda Bhutan itu?
Dengan hati
penuh dendam dan cemburu yang membuat kepalanya pening, malam itu Tek Hoat
mendekati rumah kepala dusun. Biar pun rumah itu terjaga, namun mudah saja bagi
Tek Hoat untuk menyusup dan memasuki rumah itu sehingga akhirnya dia berhasil
juga mengintai ke dalam kamar besar rumah itu. Dan apa yang dilihat dan
didengarnya membuat pemuda ini hampir saja jatuh pingsan!
Di bawah
sinar lampu remang-remang, dia melihat Mohinta yang tidak lagi memakai pakaian
panglima, melainkan mengenakan pakaian tidur yang tipis, duduk di atas kursi
dan Puteri Syanti Dewi duduk di atas pangkuannya dengan sikap manja sekali!
Dengan hati hampir meledak saking panasnya Tek Hoat melihat betapa kedua lengan
Mohinta memeluk tubuh itu dan tangan Mohinta dengan cara yang dianggapnya
kurang ajar memegang-megang dada sang puteri! Akan tetapi puteri itu tidak
marah, malah merangkul leher Mohinta dan mereka berdua berciuman dengan cara
yang membuat Tek Hoat yang mengintai itu bergidik karena ciuman itu dilakukan
dengan mulut ke mulut dan amat mesranya.
Melihat
panglima itu yang mengingatkan dia akan kematian ibunya saja sudah membuat Tek
Hoat marah bukan main, apa lagi melihat betapa musuh besarnya itu sekarang
merampas pula kekasihnya, hampir Tek Hoat tidak dapat menahan sabar dan ingin
dia menerjang lewat jendela. Akan tetapi, kedua orang itu kini sudah bicara
berbisik-bisik dan Tek Hoat menahan hatinya untuk mendengarkan lebih dulu
percakapan mereka sebelum dia menerjang masuk.
“Ahhh,
Sayang... engkau sungguh manis, dan aku sungguh cinta padamu...,“ terdengar
Mohinta berbisik sambil membelai-belai tubuh puteri itu.
“Hemmmmm...”
Sang Puteri merintih manja dan menggeliat di atas pangkuan Panglima Bhutan itu.
“Aku pun cinta padamu... Panglima... akan tetapi benarkah kelak aku akan
menjadi permaisurimu...?”
Tek Hoat
terbelalak dan merasa heran bukan main mendengar bisikan Syanti Dewi itu dan
timbullah keinginan tahunya untuk mendengarkan terus.
“Tentu saja,
Manis. Tetapi kita harus berhasil dulu, dan untuk itu aku mengandalkan
bantuanmu. Engkau harus membantuku menundukkan raja tua itu...”
“Ihhh, aku
takut...“ Puteri itu berbisik manja sambil menyandarkan muka di atas dada
Mohinta.
Mohinta
memeluknya. “Tidak usah takut. Pasukan-pasukanku sudah siap dan engkau hanya
pura-pura saja menjadi tawananku, dan kalau kuancam engkau di depan raja,
engkau tahu bahwa aku pun hanya pura-pura saja agar raja mau tunduk dan
menyerah kepadaku. Kemudian, jika aku sudah menjadi raja, engkau tentu menjadi
permaisuriku. Hemmm... engkau manis benar malam ini...“ Mohinta kembali
menciumnya dan Tek Hoat sudah mundur dan tidak mau melihat lagi. Akan tetapi
dia tidak menerjang jendela itu, malah dia menjauhkan diri dan meninggalkan
tempat itu.
Tak lama
kemudian, pemuda ini telah rebah di dalam gubuk di tengah sawah di luar dusun,
tempat para petani mengaso dan berteduh dari sinar matahari. Dia termenung.
Tidak, dia tidak akan membunuh Mohinta sekarang ini, dia harus sabar menanti
sampai mereka tiba di Bhutan. Jelas bahwa Mohinta merencanakan sedang
pemberontakan terhadap raja, dan Mohinta hendak menggunakan Syanti Dewi sebagai
sandera untuk menundukkan Raja Bhutan!
Kalau saja
benar-benar Syanti Dewi menjadi sandera, menjadi tawanan, tentu sekarang juga
dia membebaskan puteri itu dan membunuh Mohinta. Akan tetapi, yang membuat dia
penasaran adalah karena melihat kenyataan betapa puteri itu sama sekali bukan
menjadi tawanan, bahkan menjadi sekutu dari Mohinta untuk merampas kedudukan
ayahnya sendiri! Dia sungguh merasa heran bukan main, bertanya-tanya dalam hati
apa yang telah terjadi dengan Syanti Dewi sehingga puteri itu demikian berubah,
tidak hanya menjadi genit dan aneh, akan tetapi juga menjadi jahat sehingga
kini mau bersekutu dengan seorang pemberontak untuk merampas kedudukan ayahnya
sendiri! Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal bukan main dan terbayanglah kembali
sikap Syanti Dewi ketika dipertemukan dengannya oleh koksu. Terdengar
berdengung di dalam telinganya ucapan Syanti Dewi kepadanya waktu itu.
“Ang Tek
Hoat, engkau telah pergi tanpa pamit, bahkan telah menimbulkan kemarahan di
hati ayahku, oleh karena itu sesungguhnya sudah tidak ada apa-apa lagi antara
kita...“
Tek Hoat
memejamkan matanya, hatinya seperti ditusuk rasanya. Jadi agaknya sang puteri
telah memutuskan hubungan antara mereka dan kini bahkan telah berganti pacar!
Dia makin penasaran. Andai kata berganti pacar, mengapa sang puteri begitu
tidak tahu malu dan tidak mengenal susila, mau saja diperlakukan seperti itu
oleh Mohinta? Dan mengapa pula sudi diajak bersekutu untuk menjatuhkan Raja
Bhutan?
“Aku harus
menentang mereka!” Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk dan mengepal tinju. “Aku
akan sabar menanti, tidak membunuh Mohinta dulu. Aku harus menggagalkan rencana
busuk mereka dan membuka kedok mereka di depan Raja Bhutan! Biar Raja Bhutan
menjadi terbuka matanya dan melihat betapa seorang anak haram seperti aku jauh
lebih berharga dari pada panglima mudanya, bahkan lebih berharga dari pada
puterinya sendiri!”
Pikiran ini
membuat Tek Hoat akhirnya dapat tidur di dalam gubuk dan pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali dia sudah membayangi lagi rombongan Mohinta itu. Dia tidak
akan membunuh Mohinta di tengah jalan. Tidak, dia akan membongkar dulu kedok
mereka, rahasia mereka yang busuk di depan raja, menghancurkan siasat dan
rencana pemberontakan kotor mereka, barulah dia akan membunuh Mohinta, pembunuh
dari ibunya itu. Tentang Syanti Dewi... ahhh, dia tidak berani memikirkan masa
depannya dengan puteri itu, sungguh pun dia tahu bahwa selama hidupnya tidak
mungkin dia melupakan puteri itu, dan apa pun yang terjadi dengan diri puteri
itu, cintanya tetap mendalam dan akan terus menyala di dalam hatinya.
Ketika
rombongan itu sudah tiba di perbatasan barat, Tek Hoat lalu mendahuluinya dan
dia hendak pergi lebih dulu ke Bhutan untuk menghadap raja dan memberitahukan
tentang rencana pemberontakan Mohinta itu. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan
rombongan itu, dia melihat pasukan yang cukup besar, tidak kurang dari seribu
orang jumlahnya, nampak menyambut rombongan itu dan tahulah dia bahwa pasukan
itu adalah pasukan yang dipimpin oleh panglima tua Sangita yang agaknya telah
bersekongkol pula dengan puteranya dan lebih dulu sudah tahu akan kedatangan
puteranya bersama Syanti Dewi. Maka Tek Hoat lalu bergegas mendahului mereka
menuju ke Bhutan, melintasi perbatasan yang terdiri dari gunung-gunung.
Selagi dia
berjalan cepat melalui padang rumput setelah keluar dari sebuah hutan, pada
jalan mendaki, tiba-tiba terdengar suara ketawa orang dan ketika dia menoleh,
ternyata yang tertawa itu adalah Hek-tiauw Lo-mo yang muncul keluar dari balok
pohon besar.
“Ha-ha-ha,
pengkhianat muda, kiranya kita dapat saling jumpa di sini!” kata kakek itu
sambil memandang dengan penuh ejekan.
Tek Hoat
mengerutkan alisnya. Dia sedang tergesa-gesa dan dirinya tidak sudi banyak
bicara dengan kakek iblis itu. “Hek-tiauw Lo-mo, mau apa engkau menghadangku?”
bentaknya.
“Ha-ha-ha,
kita sama-sama petualang. Aku sedang mencari puteriku. Apakah engkau
melihatnya?”
“Andai kata
melihatnya juga, apa kau kira aku sudi memberi tahu padamu? Pergilah, jangan
ganggu aku!”
Bagaimana
Hek-tiauw Lo-mo dapat melakukan perjalanan secepat itu, mendahului Tek Hoat?
Kiranya kakek iblis ini telah mendapatkan kembali burung garudanya dan
melarikan diri dari dalam benteng itu dengan menunggang garuda. Ketika terjadi
ribut ribut oleh penyerbuan tentara kerajaan dan koksu bersama para pembantunya
diberi kesempatan untuk melarikan diri oleh Kao Kok Cu, Hek-tiauw Lo-mo
tiba-tiba melihat burung garudanya terbang berputaran tinggi di atas benteng
yang kebakaran itu sambil mengeluarkan suara ketakutan. Ternyata burung yang
ditinggalkan oleh Hwee Li di dalam hutan itu tengah mencari majikan-majikannya
dan ketika melihat benteng itu kebakaran dan melihat banyak manusia bertempur,
binatang ini menjadi ketakutan dan hanya berani terbang berputaran di atas
tempat itu.
Hek-tiauw
Lo-mo lalu mengeluarkan suara melengking panjang memanggil burungnya. Garuda
itu mengenal suara majikannya, menukik turun dan kakek iblis itu kemudian
meninggalkan semua rekannya, menunggang garuda untuk mencari puterinya karena
dia mendengar bahwa puterinya telah dilarikan oleh Pangeran Nepal. Dia melakukan
pengejaran ke barat, namun tidak berhasil menemukan puterinya itu. Dia
menghadang dan bersembunyi di padang rumput, menanti munculnya Pangeran Nepal
yang menculik Hwee Li, akan tetapi sebaliknya yang muncul malah Tek Hoat yang
segera dihadangnya untuk ditanya.
Mendengar
jawaban itu, Hek-tiauw Lo-mo menjadi marah. “Jari Maut, engkau sungguh manusia
yang sombong sekali. Kalau aku sekarang menyerang dan membunuhmu juga, sudah
sepatutnya karena engkau telah mengkhianati kami di dalam benteng itu.”
“Persetan
dengan bentengmu, persetan dengan koksu dan Pangeran Nepal! Aku di sana karena
hendak melindungi Puteri Bhutan, bukan hendak mengekor orang Nepal seperti
engkau!”
Tiba-tiba
Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. “Puteri Bhutan? Ha-ha-ha, Puteri Bhutan? Engkau
memang sombong dan saat ini aku senang, maka aku akan membunuhmu.”
Sebetulnya
Tek Hoat tidak mau melayani kakek iblis yang dianggapnya gila itu. Pertama
karena memang dia tidak mempunyai urusan apa-apa dengan kakek itu, kedua karena
dia sedang tergesa-gesa hendak mendahului rombongan Mohinta menuju ke Bhutan
sehingga dia tidak ingin menghabiskan waktunya untuk melayani penghuni Pulau
Neraka itu. Akan tetapi ketika melihat kakek itu mengeluarkan sebatang pedang
yang mengeluarkan sinar berkilat menyeramkan, wajah pemuda ini berubah dan
matanya terbelalak.
“Cui-beng-kiam...!”
serunya dan matanya melekat kepada pedang di tangan kakek itu.
“Ha-ha-ha,
engkau masih mengenalnya? Benar, ini Cui-beng-kiam yang akan minum darah
tuannya sendiri, ha-ha-ha!”
Dan
terbayanglah semua peristiwa beberapa tahun yang lalu oleh Tek Hoat. Tadinya
pedang Cui-beng-kiam itu adalah pedangnya, yang dimilikinya bersama ilmu-ilmu
peninggalan Cui-beng Koai-ong, seorang datuk dari Pulau Neraka. Akan tetapi,
dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan betapa pedang itu telah terampas oleh
Hek-tiauw Lo-mo yang sebagai ketua Pulau Neraka berhak pula memiliki pedang
itu.
Ketika Ang
Tek Hoat menjadi panglima di Bhutan dan berdekatan dengan kekasihnya, yaitu
Puteri Syanti Dewi, dia telah melupakan pedang itu, bahkan tidak pernah dia
bertanya lagi ketika dia bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo. Tingkat kepandaiannya
yang sudah tinggi itu membuat dia tidak terlalu membutuhkan bantuan sebatang
pedang, biar pun pedang sedahsyat dan seampuh Cui-beng-kiam. Akan tetapi,
sekarang kakek itu mengeluarkan Cui-beng-kiam untuk mengancamnya. Tentu saja
Ang Tek Hoat menjadi marah bukan main. Begitu melihat Cui-beng-kiam, bangkitlah
semangatnya dan kalau tadinya dia tidak bernafsu melayani Hek-tiauw Lo-mo, kini
timbul kemarahannya dan tekadnya untuk melawan kakek itu dan untuk merampas
kembali Cui-beng-kiam!
“Keparat,
kembalikan pedangku!” bentaknya dan dia sudah langsung menerjang dengan
tamparan-tamparan maut dari jari-jari tangannya yang ampuh.
Hek-tiauw
Lo-mo tertawa dan cepat-cepat menggerakkan pedang Cui-beng-kiam untuk membabat
ke arah kedua tangan pemuda itu. Tek Hoat menarik tangannya dan dia menggunakan
kecepatan gerakannya untuk menyerang lagi. Terjadilah pertempuran yang amat
hebat antara dua orang sakti ini.
Hek-tiauw
Lo-mo sedang merasa murung dan jengkel karena hilangnya Hwee Li. Dia memang
telah menyetujui untuk menyerahkan Hwee Li kepada Pangeran Nepal, akan tetapi
tentu saja penyerahannya itu berdasarkan pamrih agar dia dapat mengangkat diri
sendiri menjadi mertua pangeran. Kini, usaha pangeran untuk bersekutu dengan
Gubernur Ho-nan mengalami kegagalan dan pangeran itu telah melarikan puterinya.
Tentu saja dia menjadi marah dan dia tidak akan melepaskan Hwee Li yang cantik
jelita itu begitu saja tanpa ada keuntungan untuk dirinya sendiri.
Kemurungannya itu kini ditimpakannya kepada Ang Tek Hoat dan dia menggunakan
pedang Cui-beng-kiam, menyerang dengan amat ganasnya untuk membunuh pemuda ini
menggunakan pedang pemuda itu sendiri.
Akan tetapi,
Ang Tek Hoat atau yang sebenarnya ber-she Wan seperti she ayah kandungnya, kini
telah memiliki kematangan dalam ilmu silatnya. Pemuda ini mainkan Ilmu Silat
Pat-mo Sin-kun yang digabung dengan Pat-sian Sin-kun, ilmu silat yang pernah
dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo. Sebetulnya ilmu gabungan ini adalah ciptaan
dari Puteri Nirahai, isteri pertama dari Pendekar Super Sakti yang dipelajari
oleh Sai-cu Lo-mo. Akan tetapi, Tek Hoat telah dapat melatihnya dengan sempurna
karena dia memiliki tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan
Cui-beng Koai-ong. Oleh karena itu, dalam hal ilmu gabungan Pat-sian Sin-kun
dan Pat-mo Sin-kun, pemuda ini telah mencapai tingkat yang tinggi sekali,
sebanding dengan tingkat yang dimiliki penciptanya, bahkan mungkin lebih kuat
karena tenaga Inti Bumi!
Menghadapi
serangan-serangan pedang dari Hek-tiauw Lo-mo, Tek Hoat tidak merasa gentar.
Dengan ilmu silatnya yang mengandalkan gerakan cepat itu, dia selalu dapat
menghindarkan diri dari tusukan atau bacokan pedang, bahkan dapat membalas
dengan pukulan-pukulan maut. Dan yang membuat Hek-tiauw Lomo terkejut sekali
adalah penggunaan totokan dengan Ilmu Toat-beng-ci, yaitu ilmu totok dengan
jari maut yang mengangkat nama Tek Hoat menjadi si Jari Maut.
Betapa pun
juga, yang dilawan oleh Tek Hoat adalah seorang kakek iblis yang amat tangguh,
maka tidaklah mudah bagi pemuda ini untuk dapat menangkan perkelahian itu.
Bahkan dia harus bersikap hati-hati sekali karena dia maklum betapa ampuhnya
pedang Cui-beng-kiam yang mengandung racun, juga memiliki hawa yang menyeramkan
ini.
Seratus
jurus telah lewat dan Hek-tiauw Lo-mo yang tadinya tertawa-tawa itu kini tidak
dapat lagi tertawa. Bahkan dia mulai marah dan penasaran sekali karena sebegitu
lamanya belum juga dia berhasil merobohkan lawannya yang masih muda. Mulailah
dia membantu pedangnya dengan pukulan-pukulan tangan kirinya yang ampuh pula,
yaitu Hek-coa-tok-ciang. Tangan kirinya mengeluarkan uap hitam dan bau yang
amis ketika dilancarkan untuk menghantam ke arah Tek Hoat. Akan tetapi pemuda
ini maklum akan bahaya pukulan itu dan selalu dapat menghindarkan sambil
membalas dengan totokan totokan mautnya.
“Mampuslah!”
Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berteriak nyaring dan Cui-beng-kiam meluncur dengan
kecepatan luar biasa ke arah dada Tek Hoat.
Pemuda ini
terkejut karena pada saat itu dia sedang mengelak dari sambaran pukulan tangan
kiri lawan. Tidak disangkanya bahwa pukulan dahsyat itu tadi hanya pancingan
belaka dan ketika dia mengelak, tubuhnya disambut oleh tusukan pedang. Cepat
dia miringkan tubuhnya, maklum bahwa dia berada dalam keadaan berbahaya maka
dia pun lalu menggerakkan tangannya membalas dengan tusukan jari tangan ke arah
lambung lawan.
“Brettt!”
“Brettt!”
Mereka
melangkah mundur dan masing-masing meraba pinggir dada dan lambung yang
ternyata hampir saja terkena serangan masing-masing dan baju di bagian itu yang
robek! Tek Hoat menggunakan kesempatan itu, ketika meloncat mundur tubuhnya
rebah ke atas tanah dan mendadak kedua kakinya meluncur ke arah lawan dengan
kekuatan yang amat dahsyat. Itulah tendangan yang menggunakan tenaga Inti Bumi
sekuatnya. Angin yang kencang menyambar ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Kakek iblis
ini terkejut dan hendak meloncat ke belakang untuk mengelak, akan tetapi kurang
cepat gerakannya itu karena ujung kaki Tek Hoat telah mengenai tangannya yang
memegang pedang Cui-beng-kiam.
“Dessss...
ahhhh...!”
Pedang itu
terlepas dari pegangannya tanpa dapat dicegahnya lagi karena tangannya seperti
dihantam palu godam raksasa saja dan seperti lumpuh rasanya.
Tubuh Tek
Hoat berkelebat cepat dan dia telah menyambar pedang Cui-bengkiam yang melayang
terlepas dari tangan lawan tadi dan kini dia berdiri dengan pedang itu di
tangan, wajahnya beringas dengan tersenyum mengejek amat menyeramkan. Namun,
Hek-tiauw Lo-mo yang tadi merasa terkejut itu kini menjadi bertambah marah.
“Bocah
setan!” dengusnya dan kini tangan kanannya sudah memegang sebatang golok
gergaji yang merupakan senjatanya yang ampuh, sedangkan tangan kirinya memegang
jala tipis yang dikepal dan siap dipergunakan.
Tek Hoat
menghadapi dengan penuh kewaspadaan, karena biar pun kini Cui-beng-kiam telah
berada di tangannya kembali, dia maklum bahwa dengan golok gergaji dan jala
tipis di tangan, kakek ini malah lebih berbahaya lagi. Mereka sudah saling
berhadapan dengan mata beringas, siap menerjang seperti dua ekor ayam jago
berlagak dan hendak bertanding mati-matian.
Akan tetapi
pada saat itu terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali dari arah timur.
Kedua orang itu maklum akan datangnya banyak orang, dan Tek Hoat maklum bahwa
itu adalah pasukan yang menyambut Mohinta, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo nampak gentar
karena dia pun tidak ingin bertemu dengan pasukan yang disangkanya adalah
pasukan kerajaan yang melakukan pengejaran. Maka dua orang itu otomatis
melompat saling menjauhkan diri dan tak lama kemudian Tek Hoat melihat seekor
burung garuda terbang dari dalam hutan, dan kakek iblis itu duduk di atas
punggungnya. Dia pun tidak mempedulikannya lagi dan cepat melanjutkan
perjalanannya, mendahului pasukan itu menuju ke Bhutan…..
***************
Kapal yang
berlabuh di tepi pantai pulau itu amat besar, indah dan megah. Perabot
perabotnya amat mewah dan pantasnya kapal itu milik seorang raja yang kaya
raya. Rantai kapal yang nampak berjuntai ke bawah dan ujungnya mengikat tiang
besi di pantai itu terbuat dari pada perak! Kapal itu bergoyang-goyang perlahan
terdorong air yang berombak sehingga nampak berlenggang-lenggok seperti seorang
dara yang cantik dan pesolek. Cat kapal itu masih baru agaknya memang sering
dicat seperti seorang dara yang sering membedaki wajahnya sehari beberapa kali.
Anak buah
kapal yang hilir-mudik di atas kapal itu semua terdiri dari wanita-wanita
cantik dan muda. Paling tua kurang lebih tiga puluh tahun dan mereka itu
bergerak dengan gesit dan lemah gemulai, membuat kapal itu nampak lebih elok
lagi. Apa lagi pakaian para anak buah kapal itu rata-rata mewah, dari
sutera-sutera halus beraneka warna, dan kalau kita mendekati mereka, biar pun
mereka itu bekerja kasar seperti pelaut-pelaut biasa, sigap dan kuat, namun
kulit tangan mereka halus dan tubuh mereka berbau sedap karena memakai bedak
wangi dan minyak wangi! Sungguh sebuah kapal yang indah, mewah, dan aneh.
Pulau itu
bukan lain adalah Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) yang menjadi tempat tinggal
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, wanita berusia empat puluh tahun lebih yang masih
nampak cantik jelita seperti baru berusia dua puluh lima tahun itu. Dan kapal
itu adalah kapalnya, sebuah kapal yang memang mewah sekali, yang dibangun
dengan biaya amat mahal. Akan tetapi memang wanita ini memiliki harta kekayaan
yang luar biasa besarnya, harta karun yang didapatkan di pulau, harta karun
yang ditinggalkan oleh bajak-bajak laut jaman dahulu, penuh dengan emas permata
yang tak ternilai besarnya.
Seperti
telah kita ketahui dari cerita ini di bagian depan, Puteri Bhutan, Syanti Dewi,
kini tinggal di Kim-coa-to dan menjadi murid dari Bu-eng-cu Ouw Yan Hui. Puteri
Bhutan itu berkenan menarik hati Ouw Yan Hui yang menyayangnya karena
kecantikan dan kelembutan puteri itu, dan Ouw Yan Hui lalu melatih ilmunya yang
hebat, yaitu ilmu ginkang yang luar biasa kepada Syanti Dewi.
Selama
setengah tahun lamanya Syanti Dewi dilatih menangkap burung-burung dalam
ruangan tertutup dan kini dia telah menjadi seorang puteri yang memiliki ilmu
ginkang istimewa. Selain ilmu-ilmu meringankan tubuh yang membuat sang puteri
pandai berlari seperti terbang, menggunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di
Atas Rumput), juga Syanti Dewi diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi oleh
gurunya.
Syanti Dewi
sekarang jauh bedanya dengan Syanti Dewi beberapa bulan yang lalu. Dia telah
menjadi seorang wanita yang lihai, dan kecantikannya makin menonjol karena
berdekatan dengan Ouw Yan Hui, dia bukan hanya ketularan kepandaian ilmu silat,
melainkan juga ketularan sifat pesoleknya, dan juga sifat dingin dan
pendiamnya!
Syanti Dewi
yang dulu lembut dan halus budi, peramah dan seratus prosen penuh sifat
kewanitaan dan keibuan, kini menjadi seorang wanita yang wajahnya selalu dirias
rapi, cantik jelita seperti bidadari. Pakaiannya berganti-ganti dengan pakaian
yang amat indah, kadang-kadang berpakaian seperti seorang Puteri Bhutan,
kadang-kadang seperti seorang Puteri India, dan kadang-kadang seperti seorang
Puteri Kerajaan Ceng atau seorang Puteri Mancu. Namun, memakai pakaian apa pun
juga, tetap saja Syanti Dewi nampak cantik jelita seperti bidadari.
Kalau dulu
Syanti Dewi murah senyum dan wajahnya selalu cerah, sinar matanya lembut
berseri-seri, kini di depan orang lain dia tidak pernah senyum dan sinar
matanya tajam menusuk, juga mengandung keangkuhan. Hanya di depan Ouw Yan Hui
atau anak buah di Pulau Ular Emas saja dia mau tersenyum, bahkan di waktu
berlatih ginkang bersama gurunya dia suka tertawa-tawa dan agaknya kembalilah
lagi sifat gembiranya seperti dahulu. Akan tetapi, di depan orang lain, dia
bersikap angkuh, dingin dan pendiam seperti juga Ouw Yan Hui!
Hubungannya
dengan Ouw Yan Hui bukan seperti hubungan guru dan murid, melainkan lebih
condong seperti hubungan sahabat. Ouw Yan Hui juga amat sayang kepada muridnya
ini karena dia melihat kecantikan yang asli dan yang membuat dia selalu merasa
muda kembali.
Pagi hari
itu, para anak buah kapal yang jumlahnya belasan orang itu telah sibuk
membersihkan kapal dan mempersiapkan kapal itu karena tocu (majikan pulau)
mereka yang bagi mereka merupakan seorang ratu itu telah memberi perintah bahwa
menjelang tengah hari nanti dia dan muridnya akan berpesiar dengan kapal itu.
Wanita-wanita muda yang berada di kapal itu bekerja dengan cekatan, akan tetapi
hari yang cerah dengan matahari pagi yang sehat itu membuat mereka menjadi
gembira dan sambil bekerja mereka itu bernyanyi-nyanyi.
Tiba-tiba
mereka menghentikan nyanyian mereka, bahkan sejenak menghentikan pekerjaan
mereka dan semua mata memandang ke tengah laut di mana mereka melihat tocu
mereka berkejaran dengan Syanti Dewi. Dan memang merupakan penglihatan yang
mentakjubkan sekali dua orang wanita yang sedang berkejaran di tengah laut itu!
Para anak
buah Pulau Ular Emas rata-rata juga memiliki kepandaian silat, dan rata-rata
memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi, tidak ada seorang pun di antara
mereka pernah diberi kesempatan melatih ginkang di atas lautan oleh tocu mereka
dan kalau mereka menyaksikan tocu mereka berlatih ginkang di atas air, mereka
benar-benar merasa kagum dan ngeri.
Bu-eng-cu
Ouw Yan Hui memang telah menciptakan alat untuk berlatih ginkang secara
istimewa di atas laut. Alat ini sederhana saja, yaitu merupakan dua batang
bambu pendek yang diikatkan di bawah kedua kaki merupakan alas kaki atau
sebetulnya merupakan alat penampung karena bambu-bambu itu membuat tubuhnya
terapung di atas air. Akan tetapi, untuk mencegah agar jangan sampai tubuhnya
terguling, cara menginjak bambu-bambu itu harus dapat mengatur keseimbangan
tubuh secara luar biasa. Di samping ini, juga kedua kaki harus digerakkan
cepat, meluncur bergantian ke depan sehingga dari jauh nampak seolah-olah
wanita cantik itu pandai berjalan di permukaan air!
Cara
berlatih seperti ini membuat tubuh Ouw Yan Hui ringan dan cekatan sekali
sehingga kalau dia melepaskan bambu dan berlari di atas daratan, maka
kecepatannya seperti seekor kijang berlari saja. Dan Syanti Dewi yang rupanya
memiliki bakat baik untuk ilmu ginkang, kini mulai dilatih dengan dua potong
bambu di bawah kakinya itu dan ternyata dalam waktu singkat saja Syanti Dewi
sudah mulai pandai berlari-lari mempergunakan dua potong bambu itu di atas air,
bahkan sudah berani menerjang ombak bergelombang di tengah laut!
Pagi hari
itu guru dan murid ini pun melakukan latihan tingkat terakhir untuk Syanti
Dewi. Mereka berkejaran di atas permukaan laut, di antara ombak-ombak yang
mengganas sambil tertawa! Hebatnya, biar pun mereka berdua berlatih di atas
laut, di antara ombak-ombak bergelombang, mereka itu mengenakan pakaian yang
istimewa, bersih dan mewah! Apa lagi Syanti Dewi! Agaknya puteri ini memang
disayang dan dimanja oleh gurunya sehingga gurunya membuatkan banyak sekali
pakaian untuknya.
Di pagi hari
itu, Syanti Dewi mengenakan pakaian puteri India di tubuhnya yang
menggairahkan. Rambutnya yang hitam, halus dan panjang sampai ke pinggul itu
dibiarkan terurai lembut dan hanya diikat dengan ikat kepala yang terbuat dari
pada emas dan yang dihias sebuah permata besar yang bergantung di dahinya,
berkilauan tertimpa sinar matahari. Rambut itu berkibar di belakang tubuhnya
bersama ujung kain sari yang membungkus tubuhnya dan yang ujungnya disampirkan
di pundak kirinya.
Bajunya yang
pendek model India itu membiarkan pinggangnya dan sebagian perutnya telanjang
sehingga nampak kulit yang putih kuning dan halus menggairahkan, kadang kadang
tertutup sari yang tipis dan tembus pandang, kadang-kadang terbuka sehingga
pinggang telanjang ini merupakan daya tarik yang istimewa. Kain sarinya
melambai lambai tertiup angin kencang.
Wajahnya
demikian segar kemerahan karena dia harus mengerahkan banyak tenaga saat
berloncatan di atas ombak-ombak dahsyat itu, mengelak ke sana-sini menghindar
hempasan ombak sambil mengatur keseimbangan tubuhnya. Kedua lengan memainkan
peranan penting dalam latihan seperti ini, karena berguna untuk menjaga dan
mengatur keseimbangan tubuh. Kedua lengan itulah yang bekerja keras, kadang-kadang
yang kanan naik yang kiri turun dan sebaliknya, seperti orang menari. Dan
karena kedua lengan Puteri Bhutan itu dihias gelang-gelang emas maka setiap
gerakan tangannya menimbulkan bunyi berkerincing, seolah-olah memperlengkap
suara air mengalun menjadi semacam musik pengiring tariannya yang luar biasa
itu.
Sepasang
sepatunya yang kecil terbuat dari kulit mengkilap, bentuknya agak tinggi
menutupi mata kakinya dan sepatunya itu diikat pada sepotong bambu, sehingga
dua potong bambu menjadi penyambung kedua kakinya seperti dua buah perahu
kecil. Dengan bantuan pengapung bambu itu berlarilah Syanti Dewi, bagaikan peri
atau Dewi Laut sendiri bermain-main di antara gelombang lautan yang dahsyat.
Tidak jauh
di belakang, meluncur tubuh Ouw Yan-Hui, guru dan sahabatnya, dengan gerakan
yang lebih ringan dan lebih cekatan dari pada Syanti Dewi, akan tetapi tidak
seindah gerakan Syanti Dewi yang seperti orang menari-nari menjaga keseimbangan
tubuhnya itu. Seperti biasanya, Bu-eng-cu Ouw Yan Hui juga memakai pakaian
mewah dan indah, rambutnya digelung rapi dan dia kelihatan seperti Dewi Kwan Im
Pouwsat sendiri, demikian agung dan ayunya.
“Enci Hui,
mari kita berlomba ke kapal!” Syanti Dewi berseru gembira.
“Baik, kau
larilah dulu, nanti kukejar!” jawab Ouw Yan Hui.
Maka
berlarianlah dua orang wanita cantik itu semakin cepat sehingga para anak buah
kapal layar itu memandang makin kagum karena kini dua orang wanita itu seperti
terbang saja di atas permukaan laut. Dan Bu-eng-cu Ouw Yan Hui diam-diam merasa
kagum karena kemajuan pesat dari Puteri Bhutan. Meski dia akhirnya dapat
menyusul dan mendahului Syanti Dewi menyambar tali tangga dan naik ke kapal,
namun hanya sedikit saja selisihnya dan ternyata bahwa kecepatan moridnya itu
sudah hampir menyamainya!
“Bibi Maya
Dewi...!” Syanti Dewi mendengar seruan Ouw Yan Hui yang telah lebih dulu naik
ke kapal. “Kapan Bibi datang...?”
Syanti Dewi
cepat naik ke kapal dan dia melihat seorang wanita India yang amat cantik. Usia
wanita itu kurang lebih tiga puluh tahun, rambutnya masih hitam, halus
mengkilap dan dibiarkan terurai ke belakang. Kepalanya dihias seuntai pengikat
rambut terbuat dari permata merah dan hiasan permata yang berjuntai di dahinya
amat besar, biru berkilauan. Wajahnya segar dan cantik, dengan sepasang mata
lebar berseri-seri. Juga tubuhnya masih nampak padat, kulit perut dan pinggang
yang nampak antara baju dan celana, sedikit tertutup sari tipis itu masih halus
dan putih bersih. Lehernya mengenakan kalung dari permata pula, dan kedua
lengannya dihias gelang emas bertumpuk. Wanita yang cantik sekali, agung, dan
berpakaian indah! Inikah ‘bibi Maya’ yang pernah disebut oleh Ouw Yan Hui itu?
Memang cantik, akan tetapi tidak secantik Ouw Yan Hui, juga tidak semuda Ouw
Yan Hui!
“Aku baru
saja datang, Yan Hui, dengan perahu kecil. Kabarnya engkau mempunyai seorang
murid yang hebat... ahhh, diakah orangnya?” Wanita itu memandang kepada Syanti
Dewi yang baru saja naik ke kapal.
“Benar,
Bibi. Inilah dia, Syanti Dewi dari Bhutan, muridku, juga sahabatku yang
tercinta!” Dengan gembira Ouw Yan Hui menghampiri Syanti Dewi dan merangkul
pundak sahabat ini, diajak mendekat sambil berbisik di dekat telinga Puteri
Bhutan itu, “Syanti, Bibi Maya Dewi ini sudah berusia enam puluh tahun lebih!”
“Ahhh...!”
Kini Syanti Dewi melongo memandang kepada wanita itu. “Tidak mungkin!” Dia
mengeluarkan kata-kata ini dengan keras karena memang dia terkejut dan terheran
heran bukan main. Wanita yang cantik jelita itu, yang tak mungkin lebih dari
tiga puluh tahun usianya, adalah seorang nenek berusia enam puluh tahun?
“Mari kita
masuk ke bilik, Bibi Maya. Mari Syanti, kita bicara di dalam.”
Tiga orang
wanita cantik itu masuk ke dalam bilik kapal dan para anak buah kapal segera
melanjutkan pekerjaan mereka. Setelah tiba di dalam bilik kapal, Ouw Yan Hui
memeluk wanita itu dan mencium kedua pipinya dengan mesra, dibalas pula oleh
nenek Maya Dewi yang cantik itu dengan penuh kemesraan pula. Syanti Dewi
memandang dengan melongo dan hanya mengira bahwa memang demikianlah kebiasaan
kedua orang wanita itu saling memberi salam.
“Syanti
Dewi, inilah Bibi Maya Dewi seperti yang pernah kuceritakan kepadamu dulu. Dia
hebat sekali, bukan? Usianya sudah enam puluh tahun lebih, dan lihatlah
wajahnya yang cantik, lihatlah tubuhnya yang padat dan mulus seperti tubuh
seorang dara! Hayo kau lekas memberi hormat kepada Bibi Maya Dewi, Syanti.”
Syanti Dewi
cepat menjura dan memberi hormat dengan sembah, yaitu dengan cara merangkapkan
kedua tangan yang terbuka dan dibawanya kedua tangan itu ke depan hidungnya.
Akan tetapi, wanita itu lalu melangkah maju dan merangkulnya. “Tak perlu segala
penghormatan itu, Dewi. Lebih baik biarkan aku menciummu sebagai salam
perkenalan.” Wanita itu lalu merangkul lehernya dan mencium kedua pipinya
dengan mesra. Karena menyangka bahwa memang demikian cara wanita ini memberi
salam, maka Syanti Dewi dengan tersenyum juga membalas dan menggunakan
hidungnya menyentuh pipi nenek itu. Dia mencium bau harum minyak wangi yang
keras.
Tetapi,
betapa terkejut rasa hati puteri ini ketika tiba-tiba mulut wanita itu mengecup
bibirnya dan jari-jari tangan wanita itu mengelus dadanya! Hampir dia menjerit
dan cepat dia menarik dirinya lepas dari rangkulan wanita itu, mukanya berubah
merah sekali dan sepasang matanya yang lebar dan jernih itu terbelalak.
Ouw Yan Hui
segera memegang lengannya. “Aihhh, Bibi Maya mengejutkan hati adik Syanti
dengan salamnya.”
Wanita itu
memejamkan matanya. “Hemmm, sedap sekali bau keringatmu, Dewi yang jelita.
Engkau sungguh seorang anak yang manis sekali, dan betapa akan hebatnya kalau
kecantikanmu yang seperti dewi kahyangan itu dibikin abadi sehingga selamanya
engkau akan tetap tinggal cantik jelita seperti ini!”
Rasa kaget
sudah mereda dari hati Syanti Dewi dan dia masih mengira bahwa memang cara
nenek itu memberi salam adalah luar biasa anehnya, bukan saja memeluk dan
menciumi pipi, bahkan mengecup bibir dan menggerayangi dada! Sekarang mendengar
ucapan wanita itu, dia terheran dan bertanya, “Apa... apa maksudmu...?”
Ouw Yan Hui
sudah merangkulnya dan baru kini Syanti Dewi merasa betapa rangkulan sahabat
dan gurunya ini teramat mesra. Biasanya dia tidak merasakan hal ini dan
menganggapnya sebagai rangkulan seorang sahabat baik, tetapi setelah dia
mengalami rangkulan dan ciuman nenek Maya Dewi tadi, dia merasa betapa
rangkulan-rangkulan Ouw Yan Hui juga amat mesranya sehingga dia merasa bulu
tengkuknya dingin.
“Adik
Syanti, lupakah engkau akan keherananmu melihat aku yang sudah berusia empat
puluh tahun lebih masih kelihatan muda? Dan Bibi Maya ini sudah berusia enam
puluh tahun lebih! Dialah yang menjadi guruku dalam hal ilmu mempercantik diri
dan ilmu awet muda. Dia dapat membuat kecantikanmu ini menjadi abadi, Syanti
Dewi. Dengan cara pengobatannya dan caranya memelihara kecantikan, maka engkau
akan tetap kelihatan secantik sekarang ini tiga empat puluh tahun lagi.”
“Ahhh...!
Mana mungkin? Rambutku akan beruban dan putih...”
“Hi-hik,
lihat rambutku, Dewi. Apakah kalah hitam dan kalah halus panjang dari pada
rambut orang muda?” Maya Dewi membelai rambutnya sendiri. “Dan lihat betapa
tidak ada sehelai pun rambut uban!”
“Tapi...
tapi...”
“Apakah
engkau tidak ingin tetap cantik dan muda selamanya, Syanti?” tanya Ouw Yan Hui.
“Tentu...
tentu saja...,” Syanti Dewi menjawab bingung. Wanita mana di dunia ini yang
tidak ingin awet muda dan tetap cantik selamanya dan tidak dirusak oleh usia
tua?
“Kalau
begitu bersiaplah! Aku akan membuatmu tetap cantik selama hidupmu, Dewi. Sayang
kalau kecantikan seperti yang kau miliki itu kelak habis dimakan keriput dan
uban, atau ditelan oleh lemak. Yan Hui, suruh orang-orangmu mempersiapkan semua
keperluan merendam Dewi dalam air ramuan!”
Tak lama
kemudian sibuklah para pelayan mempersiapkan sebuah bak air atau lebih patut
disebut gentong karena bentuknya seperti gentong besar dan dicat sangat indah.
Gentong besar ini diisi air jernih oleh para pelayan itu, kemudian mereka semua
disuruh keluar dari bilik dan mulailah nenek Maya Dewi menuangkan ramuan obat
di dalam air itu. Tercium bau harum semerbak dan air jernih itu berubah menjadi
agak kemerahan.
Sambil
memejamkan mata membaca mantera-mantera dalam bahasa India Kuno, Maya Dewi lalu
menaburkan bubuk kuning ke dalam gentong atau guci besar berisi air kemerahan
itu dan tiba-tlba saja air itu mendidih! Syanti Dewi memandang dengan mata
terbelalak dan penuh keheranan, juga kekaguman. Tentang ilmu-ilmu ajaib seperti
ini, dia sudah banyak mendengar dan melihat di negerinya, akan tetapi baru
sekarang dia melihat betapa ada ilmu yang membuat orang menjadi awet muda dan
cantik sehingga seorang nenek berusia enam puluh tahun lebih masih kelihatan
secantik itu.
“Sekarang
tanggalkanlah semua pakaianmu, Dewi,” kata nenek itu dengan suara halus dan
mesra.
“Menanggalkan
pakaian...?” Syanti Dewi menjawab dan mukanya menjadi merah sekali. Belum
pernah selamanya dia menanggalkan pakaiannya, kecuali di depan para pelayan
pribadinya di lstana Bhutan, akan tetapi para pelayan wanita itu adalah
pelayan-pelayan yang telah mengenalnya sejak dia masih anak-anak sehingga dia
tidak merasa malu lagi.
“Aihhh, Adik
Syanti, mengapa meragu? Di sini tidak ada orang lain, yang ada hanya aku dan
Bibi Maya. Mengapa malu? Hayolah, kubantu kau...”
Karena
bujukan halus ini akhirnya Syanti Dewi membiarkan dirinya ditelanjangi dan
dengan muka merah sampai ke lehernya akhirnya dia berdiri telanjang bulat di
depan kedua orang wanita itu yang memandangnya dengan sepasang mata penuh kagum
dan takjub.
“Bukan
main...” Nenek itu seperti merintih dan beberapa kali menelan ludah.
“Adikku yang
manis, engkau hebat...” Ouw Yan Hui berbisik dan dari kedua matanya turun dua
butir air mata! Begitu terharu wanita ini menyaksikan kejelitaan yang seolah
olah tanpa cacat di depannya itu.
“Apa... apa
yang harus kulakukan, Enci...?” Syanti Dewi bertanya halus dengan suara agak
gemetar sambil berusaha menutupi bagian depan tubuhnya dengan rambut dan
tangan.
“Kau
masuklah ke sini, masuklah ke dalam guci ini, Sayang...“ Nenek itu berkata
dengan suara gemetar pula. “Aku akan memijati tubuhmu dan engkau selamanya
takkan pernah menjadi tua.”
Karena sudah
terlanjur dan juga memang dia amat tertarik untuk dapat tetap muda selamanya,
Syanti Dewi lalu mendekati guci. Melihat air itu mendidih, dia bergidik, lalu
menyentuh air itu dengan tangannya. Aneh! Biar pun air itu kelihatan mendidih,
namun ternyata dingin sekali! Maka dia lalu menggunakan kedua tangan menekan bibir
guci, mengangkat tubuhnya dan masuk ke dalam guci, berjongkok sampai air itu
mencapai lehernya.
“Sekarang,
kendurkan seluruh uratmu, jangan melawan dan biarkan pijitanku mengatur jalan
darahmu,” kata nenek itu.
Kemudian
Syanti Dewi merasa ada jari-jari tangan menyusuri tubuhnya, dari leher, ke
pundak, ke dada, terus ke bawah. Mula-mula terasa geli seperti digelitik, akan
tetapi lambat-laun ada rasa nyaman dan nikmat dan dia membiarkan tubuhnya
dipijiti dan makin lama dia merasa seolah-olah terapung di angkasa. Dia
memejamkan kedua matanya, memeluk pundak dan menyilangkan kedua lengan depan
dada, sampai dia mendengar suara Ouw Yan Hui.
“Sudah,
Bibi, engkau membuat aku tidak kuat menahan...!”
Syanti Dewi
membuka matanya dan melihat Ouw Yan Hui berdiri dengan muka merah sekali, mata
hampir terpejam dan tubuh wanita itu menggigil. Selagi dia masih merasa
terheran-heran, Maya Dewi berkata kepadanya, “Pejamkan matamu, Dewi, dan aku
akan memandikanmu dengan air keramat Sungai Gangga!”
Syanti Dewi
menurut saja. Dia memejamkan matanya dan nenek itu lalu menuangkan air dari
sebuah poci air. Terasa dingin sekali air itu menimpa ubun-ubun kepala Syanti
Dewi. Teringat bahwa air itu adalah air keramat dari sungai suci, yaitu Sungai
Gangga itu, Syanti Dewi menggigil. Sebagai seorang puteri dari Bhutan, tentu
saja dia mengenal Sungai Gangga yang dianggap sebagai sungai yang suci di India
itu. Dia mendengar betapa nenek itu mengucapkan mantera ketika air itu
bercucuran menimpa ubun-ubun kepalanya.
Setelah
menuangkan air suci itu, kembali nenek Maya Dewi mengurut punggung Syanti Dewi,
dari tengkuk sampai ke pinggul. Nikmat rasanya diurut seperti itu, dan akhirnya
selesailah ‘pengobatan’ dengan mandi air keramat itu. Syanti Dewi diperbolehkan
keluar dan dibantu oleh Ouw Yan Hui, dia mengeringkan tubuhnya dan mengenakan
kembali pakaiannya. Rambutnya yang masih basah dibiarkan terurai.
“Bagus! Kini
di dunia ada tiga orang wanita yang tidak akan mengenal usia tua!” kata Maya
Dewi dengan wajah berseri dan dia memandang kepada Syanti Dewi dengan mata
bersinar-sinar. “Dan engkaulah yang tercantik di antara kita bertiga, Dewi!
Engkau kelak akan dikagumi seluruh manusia di dunia ini, dipuja dan dianggap
sebagai dewi kahyangan!”
“Kita harus
rayakan peristiwa ini! Mari, marilah kita berpesta dan biarkan kapal ini
dilayarkan ke tengah lautan,” kata Ouw Yan Hui.
Maya Dewi
mengangguk-angguk. “Benar sekali, sebaiknya jika Syanti Dewi melanjutkan
pengobatan di tengah lautan, jauh dari keramaian dunia.”
“Apakah...
apakah pengobatan itu masih harus dilanjutkan lagi...?” tanya Syanti Dewi yang
merasa enggan dan malu mengenangkan cara pengobatan seperti tadi.
“Tentu saja,
akan tetapi mandi air keramat hanya satu kali tadi cukuplah. Mandi air keramat
itu dimaksudkan untuk mencuci bersih semua kekotoran yang ada pada dirimu. Akan
tetapi engkau adalah seorang perawan, Dewi, dan tubuhmu masih bersih, maka
mandi satu kali saja cukuplah bagimu. Selanjutnya engkau hanya akan minum pil
pengawet muda dan harus kupijit dan urut beberapa hari lamanya.”
Mereka
bertiga keluar dari bilik dan pesta pun dimulailah bersama bergeraknya kapal
meninggalkan pulau itu menuju ke tengah lautan, secara perlahan-lahan
digerakkan oleh hembusan angin lembut pada layar-layar kapal. Masakan-masakan
yang masih mengepulkan uap dihidangkan di atas meja dan tiga orang wanita
cantik itu mulai makan minum.
Nenek Maya
Dewi menyerahkan sebutir pil merah kepada Syanti Dewi. “Kau telanlah ini
bersama secawan arak merah, Dewiku.”
Syanti Dewi
menurut dan ternyata pil itu menambah manisnya arak. “Apakah saya harus pantang
makan sesuatu?”
“Tidak ada
pantangan makanan apa-apa, hanya...“
“Bibi Maya,
biarkan Adik Syanti Dewi, membiasakan diri lebih dulu.” Tiba-tiba Ouw Yan Hui
memotong dan nenek itu tidak melanjutkan keterangannya, akan tetapi Syanti Dewi
juga tidak menduga lain dan mulailah mereka makan masakan-masakan lezat.
Kehidupan di
atas kapal pesiar itu amat mewah. Kapal menjelajahi pulau-pulau yang indah,
taman-taman laut yang memperlihatkan pemandangan indah dengan ikan-ikan
beraneka warna di waktu air tenang. Akan tetapi Syanti Dewi merasa tersiksa apa
bila dia harus membiarkan dirinya diurut dan dipijiti oleh Maya Dewi. Jari-jari
tangan nenek itu benar-benar amat nakal dan kalau sudah mengurut, memijit,
jari-jari itu membelai belai, membuat Syanti Dewi menggigil dan semua bulu di
tubuhnya meremang. Kalau tidak ingat bahwa nenek itu adalah seorang wanita,
tentu dia sudah memberontak, bahkan memukulnya! Kalau dia memprotes, nenek itu
menghiburnya.
“Memang
harus begini, Dewi. Kalau tidak, bagian ini akan mengendur kelak setelah usiamu
bertambah.”
Dengan
alasan seperti itu, terpaksa Syanti Dewi membiarkan saja nenek itu menjelajahi
semua bagian tubuhnya dengan gerakan-gerakan jari tangan yang amat kurang ajar!
Kadang-kadang dia seperti terlena, seperti tenggelam karena betapa pun juga,
gerakan gerakan itu mendatangkan rasa nikmat yang sangat aneh dan menakutkan
sehingga kadang-kadang dia terpaksa meronta dan jari-jari itu mengurangi
gerakan-gerakannya. Hemmm….
Tiga hari
kemudian, kapal itu melakukan pelayaran kembali ke Kim-coa-to, dan malam itu
Syanti Dewi secara kebetulan lewat di depan bilik Ouw Yan Hui dan mendengar
secara aneh dari dalam bilik itu. Suara orang mendengus-dengus dan
terengah-engah, seperti suara orang yang sedang kesakitan hebat. Dia sudah
hendak mengetuk pintu, akan tetapi tiba-tiba dibatalkannya niat mengetuk pintu
itu karena dia mendengar bahwa suara terengah-engah itu adalah suara dua orang
manusia!
Keheranannya
mendorongnya untuk menyelinap ke arah jendela bilik dan mengintai. Dan apa yang
dilihatnya membuat dia bengong sejenak, mengintai lagi dan bengong lagi. Dia
melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi, dua orang wanita cantik itu dengan telanjang
bulat sedang bergulat di atas pembaringan!
Syanti Dewi
merasa bulu tengkuknya meremang dan cepat-cepat dia melangkah mundur, akan
tetapi perasaan heran membuat dia masih mendekati jendela. Dia tidak mengerti
apa yang sedang dilakukan oleh dua orang itu. Tentu saja dia cukup mengerti,
dari kitab-kitab yang dibacanya, tentang hubungan jasmani antara pria dan
wanita. Namun selama hidupnya belum pernah dia mendengar akan hubungan seperti
itu antara wanita dan wanita pula! Dugaannya tidak menjurus ke situ dan dia
hanya terheran-heran saja.
Kemudian dia
mendengar mereka bercakap-cakap dalam bisikan-bisikan. “Dia sungguh bodoh dan
hatinya keras...,“ terdengar suara Maya Dewi. Mereka berdua bicara dalam bahasa
India yang tidak dimengerti oleh para anak buah Pulau Kim-coa-to, akan tetapi
dimengerti baik oleh Syanti Dewi.
“Engkau
harus sabar, Bibi. Ingat, dia masih perawan, dia masih murni dan belum tahu
apa-apa...! Sebaiknya menanti kalau kita sudah berada di pulau dan dengan
obat... shhhhh...“ Tiba-tiba suara Ouw Yan Hui terhenti dan Syanti Dewi lalu
sengaja berjalan dan bersenandung, kebiasaannya kalau dia berjalan-jalan di dek
kapal seorang diri.
Pada
keesokan harinya, kapal berlabuh di Kim-coa-to dan mereka bertiga turun dari
kapal memasuki istana di tengah pulau, istana yang megah dan mewah.
“Tinggal
satu malam ini lagi dan pengobatanmu sudah selesai, Dewi. Malam ini aku akan
menjagamu karena pengobatan itu harus diulangi sampai nampak ada tanda bahwa
semuanya telah berhasil baik,” kata Maya Dewi.
Syanti Dewi
tidak menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk, akan tetapi di dalam hatinya
mulai timbul kecurigaan bahwa agaknya ada sesuatu yang dia tidak mengerti sama
sekali, sesuatu yang aneh dan mengerikan…..
“Kau
minumlah secawan arak ini. Inilah pengobatan terakhir, Dewi. Dan malam ini aku
akan menemanimu semalaman, maka selesailah sudah pengobatan ini dan engkau
selamanya akan menjadi seorang wanita yang paling cantik di dunia ini! Besok
aku akan meninggalkan Kim-coa-to. Minumlah.”
Syanti Dewi
menerima cawan arak itu dan minum arak merah. Tercium bau harum yang lain dari
biasanya, akan tetapi tanpa ragu-ragu diminumnya sampai habis arak itu.
“Ke manakah
Bibi akan pergi?” tanyanya biasa saja sambil menaruh cawan kosong ke atas meja.
“Aku?”
Wanita itu tersenyum dan untuk ke sekian kalinya Syanti Dewi kagum melihat
deretan gigi putih yang masih rapi itu, seperti gigi orang muda saja. “Ahhh,
aku hidup seperti bayangan, ke mana saja hati ini menghendaki. Mungkin aku akan
terus ke India dan kalau benar demikian, akan lamalah kita dapat berjumpa
kembali, Dewi. Akan tetapi, aku tak akan dapat melupakan engkau, karena sungguh
mati, engkaulah dara tarcantik yang pernah kutemui selama hidupku dan aku
girang sekali dapat membuat kecantikanmu ini abadi, Syanti Dewi.”
“Terima
kasih atas kebaikan Bibi Maya.”
Malam itu,
seperti biasanya, Maya Dewi memijati tubuh Syanti Dewi dan mengurut-urut
punggungnya. Syanti Dewi merasa mengantuk sekali dan akhirnya dia tidak dapat
menahan kantuknya, dia pulas selagi punggungnya masih diurut oleh nenek yang
cantik itu.
Syanti Dewi
bermimpi. Dia merasa seperti dikejar oleh seorang manusia bermuka iblis
mengerikan. Dia sudah mempergunakan ginkang-nya yang dia pelajari dari Ouw Yan
Hui, namun iblis itu amat cepat larinya dan akhirnya dia tersusul dan dia
diterkam dari belakang. Syanti Dewi meronta dan melawan, namun iblis itu
terlampau kuat baginya dan iblis itu berusaha untuk memperkosanya.
Syanti Dewi
mempertahankan diri sekuatnya dan akhirnya dia menjerit, “Tek Hoattt...!” karena
dalam keadaan berbahaya itu dia teringat kepada kekasihnya.
Dengan tubuh
penuh keringat Syanti Dewi sadar dari mimpi. Dia mengeluh karena merasa betapa
tubuhnya dipeluk orang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia membuka
mata melihat bahwa dia dalam keadaan telanjang bulat. Dia merasa betapa dada
yang bulat besar dari nenek ini menekan dadanya dan mulut nenek itu menciumnya,
mencium mulutnya dengan penuh dengusan nafsu birahi! Sejenak Syanti Dewi merasa
seperti dihanyutkan dalam arus air yang amat kuat, bahkan ada dorongan hati
aneh yang membuat dia condong membalas ciuman itu! Dia merasa betapa tubuhnya
hangat dan panas-panas, betapa ada gairah di dalam hatinya untuk diperlakukan
dengan mesra oleh seseorang, dan tanpa disadarinya sendiri dia pun merangkul
leher nenek itu sambil mengeluh.
“Syanti...,
Dewiku... kau sungguh cantik, hemmm...!”
Ketika
merasa betapa tangan nenek itu menggerayanginya, betapa tubuhnya ditindih,
Syanti Dewi teringat kepada Tek Hoat, teringat kepada adegan antara Ouw Yan Hui
dan Maya Dewi dan dia menahan jeritnya, lalu menggunakan tangan untuk mendorong
pundak Maya Dewi. Dia mendorong sambil mengerahkan tenaga sehingga tak dapat
dicegah lagi tubuh Maya Dewi terlempar dari atas pembaringan!
“Aduhhh...
ahh, apa yang kau lakukan ini, Dewi...?” Maya Dewi merangkak bangun dan kini
berdiri dalam keadaan telanjang bulat di depan Syanti Dewi.
Dara ini
memandang dengan mata terbelalak. Biar pun dari di dalam tubuhnya masih
bergelombang gairah nafsu yang tidak normal, akan tetapi melihat wanita itu
berdiri telanjang bulat, dengan mulut setengah terbuka mendengus-dengus, mata
setengah terpejam, kedua tangan dikembangkan seperti hendak memeluknya, dia
merasa ngeri bukan main!
“Bibi...
jangan begitu...!” Dia terengah-engah, menyambar pakaiannya dan bergegas
mengenakan pakaiannya.
“Dewiku...
ke sinilah... aihhh, aku sayang padamu, Dewi, aku cinta padamu, marilah kau
layanilah aku, Dewi...!”
Rayuan ini
membuat Syanti Dewi menjadi semakin ngeri dan dia cepat meloncat untuk
menghindarkan terkaman Maya Dewi yang seperti sudah menjadi mabuk itu, kemudian
dia lari keluar dari dalam kamar.
“Dewiku...
kembalilah... kembalilah kau...!” Maya Dewi mengejar, akan tetapi wanita ini
hanya lihai dalam ilmu mempercantik diri dan mempergunakan ramuan untuk membuat
dirinya awet muda saja, namun dalam hal ilmu silat, apa lagi ilmu berlari
cepat, tentu saja dia tidak dapat melawan Syanti Dewi yang sudah lari cepat dan
lenyap dari situ.
Dengan napas
terengah-engah dan muka pucat, ngeri dan takut seperti dikejar setan, Syanti
Dewi berlari terus keluar dari istana Ouw Yan Hui itu, tidak mempedulikan
teguran dan pertanyaan para anak buah Ouw Yan Hui, lalu dia mendorong sebuah
perahu kecil ke air, mendayung perahu ke tengah dan memasang layar. Selama ini
dia sudah mempelajari ilmu mengemudikan perahu layar, maka sebentar saja karena
angin sedang bertiup kencang, perahunya meluncur ke tengah laut meninggalkan
Kim-coa-to. Dia hanya ingat akan arah daratan besar, maka tanpa mempedulikan
sesuatu dia menujukan perahunya ke kanan, meninggalkan pulau itu.
Angin yang
bertiup kuat itu membuat rambutnya terurai ke belakang dan udara yang dingin
mulai mengusir hawa panas yang membuat tubuhnya menjadi tidak karuan rasanya,
yang mendorong gairah nafsu aneh dari dalam hatinya. Dia bergidik dan mulai
menggigil. Mengertilah dia kini bahwa arak terakhir yang diminumnya malam tadi
bukan obat, melainkan arak yang mengandung racun perangsang! Akan tetapi, tetap
saja dia tidak mengerti dan terheran-heran mengapa seorang wanita seperti Maya
Dewi itu bisa tergila-gila kepadanya, seorang wanita pula. Mengapa seorang
wanita ingin membujuk rayu seorang wanita lain, bahkan kelihatan begitu bernafsu,
seolah-olah hendak mengajaknya bermain cinta, hendak memperkosanya!
Syanti Dewl
bergidik. Tentu nenek itu telah berubah gila, pikirnya. Kalau tidak gila, mana
mungkin ada wanita timbul birahinya melihat wanita lain?
Tentu Eenci
Yan Hui akan mencariku, pikirnya. Dan teringat kepada Yan Hui, dia teringat
pula akan adegan yang dilihatnya dalam kamar Ouw Yan Hui, yaitu ketika dia
melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dalam keadaan bugil sedang bergulat! Apakah
yang mereka telah lakukan? Syanti Dewi makin ngeri dan bergidik, akan tetapi
dia menjadi makin bingung. Apakah mereka berdua itu sudah gila? Dia tahu bahwa
Ouw Yan Hui adalah seorang pembenci pria, akan tetapi mengapa main gila seperti
itu dengan sesama wanita? Mungkinkah itu? Syanti Dewi merasa makin bingung…..
***************
Kita
tinggalkan dulu Syanti Dewi yang melarikan diri dari Pulau Kim-coa-to di waktu
tengah malam dengan menggunakan perahu layar kecil itu dan marilah kita
mengikuti perjalanan Kim Hwee Li yang dilarikan oleh Pangeran Liong Bian Cu,
dan Suma Kian Lee yang mengejar larinya pangeran dari Nepal itu.
Setelah
berhasil lari keluar dari dalam benteng sambil memondong tubuh Kim Hwee Li yang
telah lemas ditotoknya, Pangeran Liong Bian Cu atau Bharuhendra, tiba di luar
pintu rahasia dan di tempat itu memang telah siap menanti beberapa orang
pengawal pribadinya. Cepat Pangeran Nepal ini minta seekor kuda, kemudian
meloncat ke atas punggung kuda itu dan membalapkannya ke arah barat, ke
pegunungan yang penuh dengan hutan-hutan lebat.
Di tengah
sebuah hutan di lereng gunung, terdapat sebuah rumah kecil mungil yang
tersembunyi di antara pohon-pohon. Inilah rumah yang dibangun oleh Pangeran
Liong Bian Cu pula, untuk keperluan peristirahatan di waktu dia melakukan olah
raga berburu binatang di waktu dia masih berkuasa di dalam benteng. Rumah itu
biasanya terjaga oleh belasan orang prajurit, akan tetapi agaknya para prajurit
itu telah mendengar akan bobol dan runtuhnya benteng sehingga ketika Pangeran
Liong Bian Cu tiba di situ, dia mendapatkan rumah yang kosong, tidak nampak
seorang pun penjaga.
“Pengecut-pengecut
rendah, gentong-gentong nasi kosong menjemukan…!” Pangeran Liong Bian Cu memaki
dengan perasaan sebal melihat betapa tempat itu telah ditinggal pergi oleh para
penjaga. Sambil memondong tubuh Hwee Li, dia membuka daun pintu depan dengan
kakinya, kemudian memasuki rumah yang cukup mewah biar pun kecil itu.
“Pangeran,
kau lepaskan aku...!”
Liong Bian
Cu merebahkan tubuh Hwee Li ke atas dipan panjang di sudut ruangan itu, lalu
dia sendiri duduk di atas kursi dekat dipan, menarik napas panjang beberapa
kali dengan hati murung. Gerakannya telah gagal sama sekali.
“Engkau
tahu, Hwee Li, bahwa aku cinta sekali kepadamu, maka tentu saja tak mungkin aku
melepaskanmu. Engkau harus menjadi isteriku, Sayang, baik aku berhasil atau pun
gagal.”
Hening
sejenak dan Hwee Li yang masih belum dapat menggerakkan kaki tangannya itu
mengerutkan alisnya, mencari akal. Tetapi agaknya sukar baginya untuk
membebaskan diri karena kini pangeran yang murung dan kecewa itu telah mengenal
segala siasat dan akalnya, maka tentu pangeran itu akan hati-hati.
“Lalu apa
yang akan kau lakukan terhadap diriku, Pangeran?” tanyanya, suaranya mengandung
keluhan dan kedukaan hebat yang sengaja dilakukan untuk meruntuhkan hati
pangeran yang dia tahu amat mencintanya itu.
“Kita
beristirahat dulu di sini malam ini, dan besok tentu ada anak buahku yang akan
datang menjemput. Kau tahu betapa aku cinta padamu, Hwee Li, dan engkau akan
kuajak ke Nepal di mana kita akan menikah dengan resmi.”
“Tidak, aku
tidak mau!” Hwee Li berkata sambil memandang dengan mata terbelalak.
Pangeran itu
menghela napas panjang. “Mau atau tidak, engkau harus menjadi isteriku, Sayang!
Kalau selagi bertunangan engkau tidak dapat belajar mencintaku, biarlah setelah
menjadi isteriku engkau belajar membalas cinta kasihku. Engkau akan hidup mulia
di Nepal, Hwee Li.”
“Tidak...
ahhh, aku tidak mau... aku tidak dapat hidup bersamamu, Pangeran. Kau
kasihanilah aku, kau bebaskan aku, Pangeran...“ Hwee Li yang tak melihat jalan
keluar itu kini menangis!
Pangeran
Liong Bian Cu bangkit dari atas kursi dan kini dia menghampiri Hwee Li, duduk di
tepi dipan.
“Jangan
dekati aku, jangan sentuh aku... hu-hu-hu... aku akan membunuh diri kalau kau
jamah tubuhku...”
Pangeran itu
nampak berduka sekali. “Kim Hwee Li, mengapa engkau bersikap begini menusuk
peraaaanku dan menyedihkan hatiku? Aku tidak akan mengganggumu, aku sungguh
cinta padamu, dan aku tidak ingin menguasai hati dan tubuhmu secara paksa. Aku
ingin engkau membalas cintaku, Hwee Li. Lupakah engkau bahwa engkau adalah
puteri seorang sekutu mendiang ayahku? Ayahku dan ayahmu adalah sekutu yang
baik, kenapa kita tidak dapat melanjutkan persahabatan antara mereka secara
lebih erat lagi?”
“Tidak...
hu-hu-hu... tidak, aku tidak cinta padamu...“
“Hemmm, aku
adalah seorang pangeran, Hwee Li. Apa yang kukehendaki harus tercapai. Engkau
harus menjadi isteriku, baik engkau cinta padaku atau tidak!” Suara pangeran
itu terdengar keras dan tegas.
“Kau... kau
sungguh pengecut! Mengapa engkau hendak memaksa seorang wanita yang tidak
mencintamu?” Hwee Li berkata sambil terisak.
“Hemmm,
seorang pria berhak memilih jodohnya, Hwee Li. Dan aku selamanya akan
mempertahankan dirimu dengan taruhan nyawaku. Bagiku, engkau lebih berharga
dari pada segalanya, dari pada nyawaku. Tanpa adanya engkau, hidupku akan
hampa. Aku bukan pengecut, dan aku siap untuk memperebutkan dirimu dengan siapa
pun juga di dunia ini!”
“Bagus,
Liong Bian Cu! Aku datang untuk merampas Hwee Li dari tanganmu dan kalau memang
engkau bukan pengecut, mari kau lawan aku!”
Liong Bian
Cu terkejut dan cepat mengangkat mukanya. Kiranya di ambang pintu telah berdiri
seorang pemuda tampan yang berpakaian sederhana, dan pemuda itu bukan lain
adalah Suma Kian Lee! Hwee Li yang masih rebah tertotok, menjadi girang bukan
main ketika melihat munculnya pemuda pujaan hatinya itu. Akan tetapi segera dia
teringat kepada Siang In, dengan cepat mulutnya berubah cemberut, mukanya
berubah merah, sinar matanya berapi-api.
Sementara
itu, Liong Bian Cu sudah bangkit dan menghampiri Kian Lee yang juga sudah
melangkah memasuki ruangan.
“Mau apa
engkau ke sini? Hemmm, apakah janji para pendekar sekarang tidak dapat
dipercaya lagi? Perang telah selesai, dan kami pun telah menerima janji untuk
dapat diperbolehkan pergi dengan aman...“
“Aku datang
menyusulmu bukan karena urusan negara, Pangeran, melainkan karena urusan
pribadi. Engkau melarikan dan menculik Hwee Li, karena itu aku menentangmu.
Kembalikan dia kepadaku, bebaskan dia, baru aku akan membiarkan engkau pergi
dengan aman.”
Pangeran
Liong Bian Cu memandang keluar penuh perhatian dan setelah dia mendapat
kenyataan bahwa pemuda ini memang datang sendirian saja, hatinya merasa lega.
Dia masih mampu mengandalkan kepandaiannya dan dia tidak takut melawan pemuda
ini.
“Kim Hwee Li
adalah tunanganku, calon isteriku, calon isteri Pangeran Nepal. Engkau sungguh
tidak tahu malu mencampuri urusan kekeluargaan orang lain! Ayahnya telah
menyerahkan dia kepadaku untuk menjadi isteriku. Engkau ini mempunyai hak
apakah untuk mencampuri?” bentaknya.
“Hak seorang
gagah yang tidak ingin melihat seorang wanita dipaksa dan diperkosa! Aku sudah
pasti tidak akan berani mencampuri kalau dia suka menjadi isterimu dengan hati
rela. Akan tetapi engkau telah menculik dan melarikannya.”
“Kurang
ajar! Ayahnya sendiri sudah meresmikan pertunangan kami, engkau ini orang luar
berani mencampuri?”
Kian Lee
tersenyum. “Mana mungkin ada orang menotok tunangannya sendiri sehingga tidak
berdaya? Biarkan dia sendiri yang menjawab bahwa dia dengan suka rela ikut
bersamamu, baru aku mau pergi dan tidak mengganggu lagi.”
“Habis kau
mau apa?”
“Pangeran
Liong Bian Cu, kita berdua adalah sama-sama jantan dan suka menjunjung
kegagahan. Oleh karena itu, aku tantang engkau untuk memperebutkan nona itu.
Kalau aku kalah, baru engkau boleh memaksa dan membawa lari dia. Akan tetapi
kalau engkau yang kalah, engkau harus menghentikan niat busukmu itu dan
membebaskan dia.“
“Keparat...!”
Liong Bian Cu sudah menjadi marah sekali dan dia telah menggerak gerakkan kedua
tangannya, digosok-gosoknya kedua telapak tangannya dan diam-diam dia
mengerahkan tenaga Im-yang Sin-ciang, ilmunya yang sangat diandalkan karena
memang ampuh sekali itu.
Melihat ini
dari tempat dia rebah, Hwee Li mengerutkan alisnya. Dia mengenal Im-yang
Sin-ciang dari pangeran itu, dan tahu betapa dahsyatnya pukulan dengan ilmu
itu. Dia amat khawatir akan keselamatan Kian Lee yang agaknya masih belum sadar
akan bahaya maut yang mengancam. Tetapi karena dia masih teringat dan
membayangkan Siang In, perasaan cemburu memenuhi hatinya dan kemarahannya
terhadap Kian Lee membuat dia diam saja, hanya menonton dengan mata terbelalak.
Hampir dia
berteriak ngeri ketika tiba-tiba Pangeran Nepal itu mengeluarkan bentakan
nyaring dan menyerang ke arah Kian Lee dengan hantaman tangan kirinya yang sudah
diisi penuh tenaga Im-yang Sin-ciang!
“Mampuslah...
haaaiiiittttt!”
Kaki kirinya
melangkah ke depan, dengan tubuh miring pangeran itu telah menghantam dengan
tangan kirinya yang dibuka, dan dari telapak tangan kiri itu menyambar hawa
pukulan dahsyat sekali ke arah dada Suma Kian Lee. Namun, pemuda sakti dari
pulau Es ini tentu saja sama sekali tidak merasa gentar menghadapi serangan
dahsyat itu. Dia mengenal pukulan sakti yang ampuh, akan tetapi dia sama sekali
tidak mengelak atau mundur, bahkan dia bergerak maju ke depan dan menggerakkan
tangan kanan untuk menangkis dari samping ke arah lengan kiri lawan yang
menyambar ke arah dadanya, tentu saja sambil mengerahkan tenaga Swat-im
Sin-ciang yang dingin.
“Dukkkk!”
Pertemuan
dua tenaga itu membuktikan betapa pangeran itu masih tidak mampu menandingi
kekuatan pemuda Pulau Es dan serangannya tadi bukan hanya dapat digagalkan,
bahkan tubuhnya menjadi condong ke depan ketika lengannya tertangkis. Namun
Pangeran Nepal yang marah itu sudah menyusulkan serangan bertubi-tubi dengan
Ilmu Pukulan Im-yang Sin-ciang kepada lawannya.
Tingkat
kepandaian Kian Lee memang lebih tinggi dari pada lawannya, dan tenaga
sinkang-nya selain lebih murni juga lebih besar, maka tentu saja tidak sukar
bagi Kian Lee untuk menghadapi serangan bertubi-tubi itu yang kesemuanya dapat
dielakkannya atau ditangkisnya.
Akan tetapi,
Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Sam-ok atau Ban Hwa Sengjin, Koksu
Nepal, maka tingkat kepandaiannya sudah cukup tinggi untuk dapat dikalahkan
dalam waktu singkat oleh Kian Lee. Dia terus menyerang dan mendesak karena dia
sudah bertekad untuk memenangkan perebutan ini. Dia maklum bahwa menghadapi
pemuda ini, tak mungkin baginya untuk melarikan diri sambil membawa Hwee Li.
Dia harus lebih dulu merobohkan pemuda ini kalau dia ingin berhasil membawa
Hwee Li kembali ke Nepal.
Akan tetapi
gerakan Kian Lee tenang dan kuat sekali, setiap serangan lawan yang
ditangkisnya tentu membuat lawan terhuyung. Melihat betapa semua serangannya
tadi sudah gagal, Liong Bian Cu menjadi makin marah. Tiba-tiba dia mengeluarkan
suara melengking panjang dan mengucapkan beberapa kata-kata mantera dalam
bahasa Nepal, disertai dorongan kedua tangannya. Dua telapak tangannya itu
berubah menjadi merah dan putih. Yang kanan merah mengepulkan asap panas dan
yang kiri menjadi pucat putih kebiruan mengeluarkan hawa dingin sekali. Inilah
puncak dari llmu Im-yang Sin-ciang yang dilakukan untuk menyerang, dibarengi
dengan kekuatan ilmu hitam yang dipelajarinya dari ahli-ahli sihir di Nepal
seperti Gitananda.
Kian Lee
terkejut bukan main karena lengking yang disertai mantera aneh itu membuat
jantungnya tergetar dan pandang matanya gelap seolah-olah kepalanya disambar
kilat dan dia terhuyung. Padahal pada saat itu lawannya telah melakukan pukulan
jurus paling bahaya dari ilmu Im-yang Sin-ciang!
Akan tetapi,
Suma Kian Lee adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang sejak kecil
sudah menerima gemblengan sempurna dari ayah bundanya dan selama bertahun-tahun
ini dia telah mengalami banyak pertempuran yang mematangkan dirinya. Oleh
karena itu, menghadapi bahaya ini, dia sebagai putera Pendekar Super Sakti
segera maklum bahwa lawan mempergunakan kekuasaan mukjijat. Maka ia cepat
mengerahkan tenaga murni dari pusarnya, menahan napas dan membentak dengan
suara dahsyat. Seketika lenyaplah pengaruh aneh yang membuatnya pening itu dan
pada saat itu dia cepat mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan lawan.
“Desssss...!”
Pertemuan
dua pasang tangan itu hebat bukan main. Seakan-akan udara di sekitar tempat itu
dipenuhi dengan getaran amat kuat karena Suma Kian Lee telah menyambut hantaman
Im-yang Sin-ciang itu dengan gabungan kedua tenaga itu pula, yaitu tangan
kirinya yang menyambut tangan kanan yang merah dari lawan itu diisi dengan
Swat-im Sin-kang yang dingin, sedangkan tangan kiri lawan yang dingin putih kebiruan
itu disambutnya dengan Hwi-yang Sin-kang di tangan kirinya yang mengandung hawa
panas. Maka sekali ini mereka menggunakan keras lawan keras dan akibatnya tubuh
pangeran itu terlempar ke belakang seperti setangkai daun kering tertiup angin
dan terbanting roboh tak sadarkan diri lagi!
Kian Lee
juga merasa betapa tubuhnya terguncang hebat, namun dia tidak mengalami luka
karena tenaganya memang lebih besar. Karena dia ingin melihat akibat dari adu
tenaga sakti itu, sekali melompat dia sudah becada di dekat tubuh Liong Bian Cu
yang rebah miring.
“Jangan
bunuh dia...!”
Kian Lee
yang sedang membungkuk untuk memeriksa keadaan Liong Bian Cu itu terkejut
sekali mendengar seruan ini dan dia cepat menghampiri Hwee Li, kemudian menotok
dara itu untuk membebaskannya.
Begitu
terbebas dari totokan, Hwee Li memulihkan jalan darahnya dan segera berlari
menghampiri tubuh Liong Bian Cu yang masih menggeletak miring tak bergerak.
Dara itu berlutut di dekat tubuh itu dan mengguncang pundaknya sambil berseru
memanggil, “Pangeran...! Pangeran...!”
Suaranya
mengandung isak tertahan, lalu dia menoleh ke arah Kian Lee sambil berkata
penuh penyesalan, “Engkau... engkau telah membunuhnya!”
Kian Lee
mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak mengerti akan sikap aneh dara itu.
Bukankah Hwee Li sudah diculik dan dilarikan oleh Liong Bian Cu, dan dara itu
amat membenci pangeran itu? Bukankah dia telah menyelamatkan Hwee Li dari
ancaman pangeran dari Nepal itu?
“Dia orang
kuat, dia tidak akan mati, dia hanya terluka oleh tenaganya sendiri yang
membalik,” katanya sederhana sambil berdiri termangu-mangu.
Dara itu
demikian cantiknya, dan timbul rasa aneh di dalam hatinya yang membuat Kian Lee
bengong dan bingung. Mengapa ada rasa tidak enak dan tidak senang, mengapa dia
seperti merasa iri hati melihat dara itu mengkhawatirkan keselamatan Liong Bian
Cu, berlutut dan seperti hendak menangis? Inikah yang dinamakan cemburu atau
iri hati?
“Pangeran...!”
Tubuh itu
bergerak dan mencoba untuk bangkit, kemudian, dibantu oleh Hwee Li, Liong Bian
Cu dapat duduk dan sejenak dia memandang kepada Suma Kian Lee. “Engkau
hebat..., hemmm..., mengapa engkau tidak membunuhku tadi?”
“Aku tidak
bermusuhan denganmu.”
Liong Bian
Cu kini memandang kepada Hwee Li. “Engkau ternyata seorang gadis yang baik
sekali. Meski pun engkau selalu menolakku, bahkan sudah beberapa kali hampir
membunuhku, kini melihat aku terancam maut, engkau memperlihatkan kebaikanmu.
Ahh, Hwee Li... Hwee Li, benar-benarkah engkau tidak dapat membalas cintaku?
Baru saja engkau memperlihatkan sayang...“
Tiba-tiba
Hwee Li bangkit berdiri dan dengan muka pucat dia memandang kepada Pangeran
Nepal itu, lalu menggeleng kepala. “Tidak, aku tidak cinta padamu, Pangeran.
Aku tadi teringat akan segala kebaikanmu kepadaku...“
Liong Bian
Cu menarik napas panjang. “Mudah-mudahan kelak akan tiba saatnya engkau ada
sedikit rasa cinta padaku, dan aku akan selalu menantimu di Nepal, Hwee Li.
Tidak peduli engkau masih perawan ataukah sudah janda, aku akan selalu membuka
tangan untuk menerimamu sebagai isteriku... nah, selamat tinggal, Hwee Li,
hati-hatilah engkau dalam memilih jodoh...” Dia menoleh kepada Kian Lee,
mengangguk kepada pemuda itu, kemudian memaksa dirinya untuk melangkah keluar
dari dalam rumah itu, bergegas pergi memasuki kegelapan malam yang mulai tiba.
Mereka kini
berdiri dan saling berhadapan, saling berpandangan. Kemudian kerut di antara
kedua alis dara itu mendalam, dan suaranya kaku ketika terdengar dia berkata,
“Engkau... engkau hampir saja membunuhnya!”
Suara yang
kaku dan mengandung penyesalan dan teguran itu dirasakan seperti ujung pedang
menusuk jantung oleh Kian Lee. Dia pun mengerutkan alisnya, merasa betapa dara
itu keterlaluan. Jelas bahwa dia susah payah mengejar Liong Bian Cu untuk
menolongnya dan setelah menyelamatkannya, apa yang diperlihatkan oleh dara Ini?
Tidak saja Hwee Li telah memperlihatkan sikap khawatir dan menyayang kepada
Liong Bian Cu, sebaliknya malah menegurnya dengan suara kaku dan pandang mata
penuh penyesalan! Panaslah rasa hati Kian Lee saat itu. Panas dan sakit!
“Ah, kalau
aku tahu, tentu aku akan membiarkan dia memukul roboh dan membunuhku, kalau
kau... lebih senang demikian, Nona.”
Sepasang
mata itu terbelalak, mulutnya terbuka dan beberapa kali mulut itu bergerak akan
tetapi tidak ada suara yang keluar. Kemudian terdengar sedu-sedan dan Hwee Li
meloncat dan lari keluar dari dalam rumah itu sambil menangis.
“Hemmm...?”
Kian Lee berdiri bengong dan memandang keluar sampai bayangan dara itu lenyap
di antara pohon-pohon hutan yang mulai menghitam oleh kegelapan malam yang
mulai tiba.
Kian Lee
lalu teringat akan bahaya yang mungkin saja mengancam diri dara itu lagi. Siapa
tahu kalau-kalau pangeran dari Nepal itu masih berada di sekitar tempat itu,
dan kalau saja pangeran itu dilindungi oleh kelima orang Ngo-ok, akan sukarlah
bagi dia untuk menyelamatkannya kembali. Karena itu, Kian Lee lalu meloncat
keluar dan melakukan pengejaran.
Akan tetapi
karena hutan itu gelap, dia terpaksa berjalan perlahan-lahan dan mencari cari,
namun sampai semalam suntuk dia berkeliaran keluar masuk hutan, dia tidak
berhasil menemukan Hwee Li. Makin gelisah rasa hati Kian Lee dan sambil
berjalan mencari-cari tanpa arah tertentu, dia mengenangkan semua yang terjadi
dan menjadi bingung memikirkan rasa hatinya sendiri! Apakah yang telah terjadi
dengan dia? Mengapa dia makin dalam mengenangkan Hwee Li, bahkan sukar
melupakan dara yang masih seperti kanak-kanak itu? Bahkan rasa nyeri di hatinya
akibat asmara gagal dengan Ceng Ceng rasanya telah sembuh sama sekali.
Mula-mula
dia makin tertarik kepada Hwee Li setelah dara itu untuk kedua kalinya
menolongnya, atau membantu Kian Bu mencarikan obat untuknya. Pertolongan
pertama kali oleh dara itu adalah ketika dara itu baru berusia dua belas atau
tiga belas tahun, dan hal itu tidak terlalu mengesankan. Baru sekarang
peristiwa itu teringat olehnya. Kini dara itu telah merupakan seorang dara
remaja dan sudah dewasa, walau usianya baru tujuh belas atau delapan belas
tahun, dan bukan main cantik jelitanya. Dia mulai tertarik ketika Hwee Li
mengunjunginya di Bukit Nelayan, di istana kuno tempat tinggal Sai-cu Kai-ong.
Akan tetapi,
rasa tertarik ini putus sama sekali ketika dia melihat hubungan antara Hwee Li
dan Kian Bu yang demikian erat dan mesra, dan dia melihat kecocokan antara
kedua orang itu, sama lincah gembira dan jenaka, dan dia merasa betapa akan
tepatnya kalau keduanya dijodohkan. Semenjak itu, dia mengusir perasaan di
hatinya terhadap Hwee Li!
Dan
sekarang? Dia tidak dapat menahan dorongan hatinya ketika melihat Hwee Li
dilarikan Liong Bian Cu, maka dengan nekat dia lalu melakukan pengejaran, tidak
peduli bahwa pangeran dari Nepal itu mungkin sekali dikawal oleh banyak orang
pandai yang akan sukar ditundukkannya. Dan dia berhasil menolong Hwee Li. Akan
tetapi, apa jadinya? Dara itu marah-marah karena dia merobohkan Liong Bian Cu
dan sekarang meninggalkannya sambil menangis, dan dia seperti orang gila
mencari terus semalam suntuk tanpa hasil.
Menjelang
pagi, cuaca demikian gelapnya karena bintang-bintang di langit tertutup awan
tebal, dan hawa udara amat dinginnya menembus pakaian dan menyusup ke
tulang-tulang, namun Kian Lee tidak merasakan itu semua. Dia terpaksa
menghentikan pencariannya, karena dalam cuaca sedemikian gelapnya, andai kata
Hwee Li berada hanya beberapa puluh kaki jauhnya di depannya sekali pun, dia
tidak akan dapat melihatnya. Dia duduk di bawah pohon dan melamun dengan hati kesal
dan bingung.
Makin
dikenang, makin khawatirlah dia akan keselamatan Hwee Li, dan perasaan cintanya
terhadap dara yang setengah liar itu, yang selama ini ditekan-tekan dan coba
diusirnya setelah dia menduga bahwa dara itu mencinta Kian Bu, muncul dan amat
menggodanya! Kian Lee memejamkan matanya dan hatinya terasa perih. Haruskah dia
patah hati dalam asmara untuk kedua kalinya? Perasaan cintanya terhadap Ceng
Ceng terpaksa harus diusirnya oleh kenyataan bahwa Ceng Ceng adalah
keponakannya sendiri. Apakah kini dia harus mengusir rasa cintanya terhadap
Hwee Li karena dara itu ternyata mencinta adiknya?
Suma Kian
Lee duduk bertopang dagu dan merenung bingung. Mengapa cinta selalu
mendatangkan penderitaan batin? Banyak sudah dia mendengar betapa manusia menderita
oleh cinta. Ayahnya sendiri, menurut penuturan ibunya, belasan tahun menderita
karena harus berpisah dari orang-orang yang dicintanya. Kemudian dia mendengar
pula tentang cinta yang membuat sengsara kakaknya, yaitu Puteri Milana yang
terpaksa harus berpisah pula dari orang yang dicintanya, yaitu Gak Bun Beng.
Lalu adiknya, Suma Kian Bu, yang gagal pula dalam cintanya terhadap Puteri
Syanti Dewi sehingga adiknya itu pun menderita pula. Dan dia sendiri yang
merana akibat gagalnya cinta kasihnya terhadap Ceng Ceng. Sekarang, kembali dia
harus menderita karena cintanya terhadap Hwee Li! Haruskah semua manusia yang
jatuh cinta menderita?
Betapa
banyaknya, bahkan sebagian besar di antara manusia, masih belum mau membuka
mata batinnya dan berpegang pada pendapat seperti Kian Lee itu bahwa cinta
kasih mendatangkan penderitaan! Atau lebih lengkap lagi, menurut pendapat umum
berdasarkan pengalaman, cinta kasih mendatangkan kebahagiaan kalau berhasil dan
mendatangkan kesengsaraan kalau gagal!
Adakah itu
cinta kasih kalau mengandung keberhasilan dan kegagalan? Di mana terdapat
perhitungan hasil atau gagal, untung atau rugi, di situ sudah jelas terdapat si
aku yang selalu mengejar kesenangan dan keuntungan, si aku yang selalu
menentang kesusahan dan kerugian, si aku yang bersenang dan tertawa kalau
untung, si aku yang berduka dan menangis kalau rugi. Jelaslah bahwa yang dapat
menyenangkan atau menyusahkan, yang dapat menguntungkan atau merugikan kalau
berhasil atau gagal, bukanlah cinta kasih, melainkan pengejaran kesenangan
belaka.
Cinta
seperti yang dimaksudkan oleh Kian Lee dan oleh kita pada umumnya itu jelas
akan mendatangkan suka duka, banyak duka dari pada sukanya, akan mendatangkan
kebosanan dan kekecewaan, mendatangkan konflik dalam kehidupan. Karena itu,
maka sesungguhnya perasaan itu bukan cinta kasih, melainkan pengejaran
kesenangan melalui nafsu birahi, melalui pengikatan diri, melalui kebanggaan,
melalui penguasaan dan monopoli, perasaan bahwa yang cantik atau tampan itu
adalah miliknya sendiri, adalah sumber dari pada semua kesenangannya.
Itulah
sebabnya mengapa Kian Lee selalu terperosok ke dalam penderitaan batin, ke
dalam kesengsaraan setiap kali dia merasa bahwa cintanya gagal! Padahal, kalau
memang benar hati ini mencinta seseorang, sungguh-sungguh mencinta, sudah pasti
bahwa kita selalu ingin melihat orang yang kita cinta itu berbahagia, bukan?
Kita tentu selalu ingin melihat si dia berbahagia, baik dia itu menjadi jodoh
kita atau pun bukan!
Cinta kasih
meniadakan si aku yang ingin senang sendiri! Kalau sudah tidak ada lagi aku
ingin senang atau aku kecewa menderita, baru mungkin bicara tentang cinta kasih
kepada orang lain. Kalau kita membuka mata melihat diri sendiri, dan di dalam
diri sendiri jelas sudah tidak ada dendam, kebencian, sakit hati, kemarahan,
iri hati, cemburu dan pementingan diri sendiri, barulah mungkin hati ini
mencinta. Kalau sudah begitu, maka asmara dan birahi mengalami perubahan besar
sekali, bukan merupakan pendorong utama yang mutlak, melainkan merupakan bagian
dari kesatuan maha besar yang dinamakan cinta kasih.
Fajar mulai
menyingsing dan bumi diselimuti kabut tebal. Mulai nampak kabut memutih
bergerak seperti asap di permukaan bumi, makin lama makin meninggi seolah-olah
terusir atau terdesak oleh hawa dari bumi bersama dengan datangnya cuaca
terang. Pagi bersemi dengan suburnya, dan bumi bermandikan cahaya keemasan.
Cahaya matahari pagi mulai berseri di antara daun-daun pohon dan dunia pun
bangunlah, kehidupan baru mulai, diawali dengan kokok ayam dan kicau burung yang
menyambut kehadiran matahari.
Setelah
cuaca cukup terang, Kian Lee lalu memanjat pohon besar dan dari puncak pohon
dia memandang ke sekeliling, mencari-cari. Akhirnya dengan girang dia melihat
sesosok tubuh wanita berjalan perlahan ke arah utara dan dia mengenal pakaian
hitam yang dipakai Hwee Li. Cepat dia meloncat turun dan berlari mengejar.
“Hwee
Li...!” Kian Lee berseru memanggil setelah dia dapat menyusul.
Mendengar
suara ini, Hwee Li terkejut, menoleh, lalu lari secepatnya seperti seekor
kijang dikejar harimau! Kian Lee tertegun sebentar, kemudian dia pun mengejar
dengan cepat.
“Hwee Li...!
Tunggu dulu...!” teriaknya sambil mempercepat larinya karena dara itu dapat
berlari cepat bukan main. Karena memang ilmu kepandaian Kian Lee jauh lebih
tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Hwee Li, maka sebentar saja pemuda itu
dapat menyusulnya, melampauinya dan menghadang di tengah jalan.
Terpaksa
Hwee Li berhenti dan dengan muka merah dan mata bersinar-sinar penuh kemarahan
dia memandang dan bertolak pinggang, lalu membentak kaku, “Mau apa engkau
menghadang di depanku?”
Dibentak
seperti itu, Kian Lee terkejut dan gugup. “Aku ingin tahu, mengapa kau marah
marah kepadaku, Hwee Li?”
“Pergilah
kau kepada perempuan tukang tenung itu, mengapa mengejar-ngejar aku? Pergi!
Pergi kau...!” Suara Hwee Li sudah mengandung isak lagi dan terasa olehnya
betapa jantungnya seperti mau meledak rasanya, betapa hawa panas sudah memenuhi
dadanya.
Kian Lee
masih belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh Hwee Li. Dia menyangka bahwa
dara itu marah karena dia telah memukul roboh pangeran dari Nepal itu, dan
sangkaan ini mendatangkan perasaan tidak enak di dalam hatinya.
“Hwee Li...
Nona... harap jangan marah dahulu dan jelaskanlah, mengapa engkau melarangku
membunuh Pangeran Nepal? Mengapa engkau marah melihat aku hampir membunuhnya
dan merobohkannya? Apa sebabnya?”
Sepasang
mata yang lebar itu tiba-tiba menunduk dan terdengar bercampur isak, “Dia...
betapa pun jahatnya dia... dia sungguh-sungguh mencintaku... ahhh...!”
Tiba-tiba Hwee Li menjatuhkan diri di bawah pohon itu dan menangis
terisak-isak.
Kian Lee
menjadi makin bingung melihat dara itu sesunggukan. Ingin dia menghibur, ingin
dia merangkul karena dia merasa kasihan sekali. Dia pun lalu duduk di atas batu
di sebelah kiri dara itu, akan tetapi Hwee Li lalu membuang muka dan
membalikkan tubuh sehingga pemuda itu duduk di belakangnya. Air mata mengalir
dari celah-celah jari kedua tangannya dan pundaknya berguncang.
“Dan kau...
kau mencinta dia...?” Dengan lirih Kian Lee bertanya, memancing, hatinya
was-was.
Sambil
menangis Hwee Li menggoyang-goyang kepala dan pundaknya keras-keras, kemudian
suara di antara isaknya terdengar penuh kemarahan, “Engkau bodoh! Engkau
buta...! Dia... dialah satu-satunya orang di dunia ini yang sungguh sungguh…
cinta kepadaku... biar pun dia jahat dan aku tidak suka kepadanya...
hu-hu-huuhhh, akan tetapi... selain dia... tidak ada orang lain lagi yang cinta
padaku... hu-hu-huuuhhh...!”
Tangisnya
makin menjadi-jadi sehingga Kian Lee menjadi bingung, menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, dan dia amat
terkejut mendengar gadis itu memakinya bodoh dan buta. Akan tetapi dia tidak
setuju mendengar pengakuan gadis yang katanya di dunia ini hanya Liong Bian Cu
seorang yang mencintanya dan selain pangeran itu tidak ada orang lain yang
cinta kepadanya.
“Engkau
keliru, Hwee Li..., bukan hanya pangeran itu yang mencintamu, bukan, bahkan
cintanya masih harus diragukan. Akan tetapi aku...“
“Kau
mencinta perempuan iblis tukang tenung itu! Kau pergilah kepadanya...!”
“Ehhh?
Perempuan iblis? Tukang tenung? Apa sih maksudmu?” Kian Lee benar-benar tidak
mengerti dan bertanya dengan alis berkerut.
Hwee Li
menurunkan dua tangannya, menggunakan saputangan sutera untuk menyusut air mata
yang menetes dari kedua mata dan dari hidungnya. Hidung kecil mancung itu
menjadi merah sekali, akan tetapi bagi Kian Lee, hal itu menambah kemanisan
Hwee Li.
“Jangan kau
pura-pura tidak mengerti! Perempuan iblis tukang tenung yang selalu berdua
bersamamu... ahhh, kalau jumpa, akan kubunuh dia...!”
Kian Lee
teringat akan sikap Hwee Li terhadap Siang In, betapa Hwee Li tanpa sebab
memusuhi dan menyerang Siang In. Selama ini dia sudah merasa heran dan bertanya
tanya di dalam hati mengapa Hwee Li begitu membenci Siang In, padahal kenal pun
tidak. Kini mengertilah dia dan setelah dia mengerti, dia menjadi semakin
heran!
“Ahhh...!
Jadi kiranya... itukah sebabnya mengapa engkau marah-marah dan membenci Siang
In? Hwee Li, Teng Siang In bukanlah seorang perempuan iblis tukang tenung...“
“Tentu saja!
Bagimu yang sudah tergila-gila, yang sudah berlutut di bawah pengaruh sihirnya,
dia adalah bidadari dari kahyangan, ya? Engkau yang sudah jatuh cinta...“
Kembali Hwee Li terisak.
Kian Lee
jadi melongo. Cemburu! Itukah gerangan yang menyebabkan Hwee Li marah marah
kepadanya dan kepada Siang In?
“Hwee Li,
harap jangan menyangka yang bukan-bukan! Aku sama sekali tidak jatuh cinta
kepada Siang In, dan juga Siang In tidak cinta kepadaku dia bukanlah seorang
dara yang jahat...“
Dengan mata
masih basah Hwee Li memandang kepada Kian Lee, menatap wajah pemuda itu dengan
sinar mata penuh selidik, kemudian dia berkata dengan suara meragu, “...
tidak... tidak saling mencinta...? Tapi... tapi kalian nampak begitu rukun dan
mesra, melakukan perjalanan berdua...“
“Tentu saja,
karena kami saling mengenal dengan baik dan dia adalah seorang gadis yang
bijaksana. Kami tidak saling mencinta! Akan tetapi, nanti dulu, Hwee Li... aku
merasa heran sekali mengapa engkau begitu marah dan begitu membenci Siang In
hanya karena engkau mengira dia dan aku saling mencinta? Mengapa?” Suara Kian
Lee tergetar dan sepasang matanya kini menatap wajah dara itu dengan tajam,
penuh selidik.
Sejenak
mereka saling berpandangan dan Hwee Li yang biasanya amat berani dan lincah,
kini merasa betapa sepasang mata itu menembus jantungnya, seperti hendak
menguak dan menjenguk isi hatinya, mengetahui semua rahasia hatinya, maka dia
tidak tahan lagi dan menunduk. Air mata mengalir dari sepasang matanya,
perlahan-lahan seperti butiran-butiran mutiara terlepas dari untaiannya,
menggelinding turun satu-satu melalui sepasang pipinya yang kemerahan.
“Karena...
karena... aku tidak ingin melihat engkau saling mencinta dengan wanita lain...
tidak semenjak subo... kau tidak boleh mencinta wanita lain...“
“Hemmm...“
“Kecuali...
kecuali aku...“
“Hwee
Li...!”
Dara itu
mengangkat mukanya dan mereka saling pandang, mata Hwee Li masih basah dan
wajah itu kelihatan demikian cantik jelita bagi Kian Lee sehingga pemuda ini
merasa terharu sekali. Dia mendekat dan memegang kedua pundak dara itu,
kemudian menariknya sehingga mereka berdua berdiri, saling berpandangan.
“Hwee Li...,
apakah maksudmu? Apa yang akan baru kau katakan? Mengapa engkau berpendirian
demikian...?” Karena ingin sekali mendapatkan keyakinan maka Kian Lee mendesak
dengan pertanyaan ini.
Sepasang mata
yang basah itu bersinar lembut, lenyap sinar lincah kekanak-kanakan seperti
biasanya itu, terganti dengan sinar lembut mesra seorang wanita dewasa yang
jatuh cinta.
“Kian Lee
koko, apakah benar engkau belum mengerti atau belum dapat menduga isi hatiku? Semenjak
beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih kecil dan menolong merawat luka di
kakimu, semenjak itu aku tidak lagi dapat lupa kepadamu, Koko. Aku
merindukanmu, mengharapkan untuk dapat bertemu denganmu. Akan tetapi engkau
lenyap, kembali ke Pulau Es dan aku tidak berani dan tidak dapat menyusulmu ke
sana. Akhirnya aku berhasil menjumpaimu di Bukit Nelayan dan membantu untuk
mencari obat guna menyembuhkanmu dan yang terakhir aku melihat engkau berdua
bersama dara itu! Betapa hancur hatiku, betapa panas perasaanku, dan sekarang
engkau masih bertanya apa yang kumaksudkan?”
Kian Lee
merasa terharu sekali, terharu dan juga girang, tetapi masih ada keraguan di
dalam hatinya. “Akan tetapi... kukira tadinya, melihat engkau bersama adikku,
kukira engkau saling mencinta dengan Kian Bu, maka aku sengaja mundur dan...“
“Sungguh
bodoh engkau, Lee-koko... ah, kalau begitu engkau sama bodohnya dengan aku!
Kita berdua telah salah menduga, aku mengira bahwa engkau dan Siang In saling
mencinta, sebaliknya engkau malah menduga aku dan Kian Bu saling mencinta pula.
Padahal... padahal Kian Bu tahu betul betapa aku... aku cinta kepadamu seorang,
Koko sampai dia kuharuskan menyebutku enci...“
“Hwee
Li...!” Kian Lee merasa demikian girang dan terharu mendengar pengakuan dara
ini hingga dia tak kuasa menahan getaran hatinya, langsung dia meraih dan
merangkul dara itu.
Hwee Li
menarik napas panjang, terisak dan dia menyandarkan kepalanya di dada yang
tegap itu, memejamkan kedua matanya. Dengan jari-jari tangan gemetar Kian Lee
mendekap kepala itu, kemudian dia mengelus rambut yang hitam lebat dan panjang
itu dengan penuh kasih sayang yang meluap-luap dari perasaan hatinya.
“Hwee Li...
Moi-moi... sungguh tak kusangka..., sungguh tidak kukira bahwa engkaulah
orangnya yang akan dapat mendatangkan sinar terang dalam hidupku yang gelap...
tak kusangka seorang dara seperti engkau sudi melimpahkan cinta kepada diriku.
Aku... aku juga cinta padamu, Moi-moi, bukan semenjak engkau menolongku yang
pertama kali dahulu, kuanggap ketika itu bahwa engkau masih seorang dara remaja
setengah anak-anak. Tetapi ketika aku mendengar dari Kian Bu bahwa engkau yang
mencarikan obat untukku, kemudian... dalam pertemuan kita ketika aku sakit,
melihat engkau sudah dewasa dan... dan demikian cantik jelita, aku... sudah
jatuh hati. Akan tetapi, aku hampir tidak berani mengakui hal itu kepada diri
sendiri, aku sudah hampir jera... hampir kapok untuk jatuh cinta.”
Hwee Li
membuka matanya, menengadah dan dari bawah dia menatap wajah pemuda yang sejak
dahulu menjadi pujaan hatinya itu. “Lee-ko, aku tahu dan karena engkau pernah
gagal dalam asmara, engkau pernah kecewa dalam cintamu terhadap subo... karena
itulah aku makin kasihan padamu, ingin menghiburmu, ingin aku menggantikan
tempat subo di dalam hatimu. Karena itulah aku tidak ingin wanita lain
menguasaimu, kecuali aku sendiri, sebagai pengganti subo...“
“Hwee Li...“
Kian Lee menghela napas panjang. “Engkau tahu akan urusanku dengan... dengan
Ceng Ceng?”
Hwee Li
tersenyum dan menggerakkan kepala dengan manja dalam pelukan pemuda itu. “Aku
sudah menjadi muridnya, bukan? Dan subo amat cinta kepadaku, tentu saja aku
sudah dapat menduganya dan akhirnya subo menceritakan kepadaku...“
“Ahhh...
akan tetapi urusan itu telah lewat, Hwee Li. Dia adalah keponakanku sendiri,
dan... sekarang aku sudah mendapatkan gantinya, yang lebih hebat dan lebih
segala galanya dari pada semua wanita di dunia ini, yaitu engkau...“ Kian Lee
menunduk dan hendak mencium bibir yang berjebi ketika mendengar pujiannya itu.
Akan tetapi Hwee Li mengelak dan melepaskan diri dari rangkulan Kian Lee.
Sambil
membereskan rambutnya yang agak kusut, Hwee Li tersenyum, memandang kepada Kian
Lee. Sejenak mereka berpandangan, lalu dara itu menundukkan muka,
kemalu-maluan! Aneh sekali rasanya melihat seorang dara seperti Hwee Li dapat
juga menunduk malu-malu seperti itu! Kian Lee menguluarkan kedua tangan dan
otomatis Hwee Li melangkah maju dan kembali dia sudah dipeluk oleh Kian Lee.
Akan tetapi ketika Kian Lee mendekapnya erat dan mendekatkan muka hendak
menciumnyra, kembali dia meronta dan melepaskan diri!
“Kenapa,
Li-moi? Kenapa... kau menolak? Bukankah kita saling mencinta...?”
Dara itu
menarik napas panjang, lalu dia memegang tangan Kian Lee, digandengnya pemuda
itu dan diajaknya duduk di atas batu di bawah pohon. Sambil duduk, dia tetap
memegang tangan Kian Lee sehingga jari-jari tangan mereka saling genggam,
saling mengeluarkan getaran hangat yang timbul dari jantung mereka yang
berdebar penuh gairah kemesraan.
“Lee-koko,
harap kau maafkan aku. Percayalah, tiada kebahagiaan lebih besar bagiku selain
dekat denganmu dan betapa selama ini aku merindukan kasih sayangmu dan...
pelukanmu. Akan tetapi... semenjak apa yang kualami... semenjak saat itu... aku
telah bersumpah di dalam hatiku sendiri, aku bersumpah bahwa aku tidak akan
membiarkan diri dicium oleh pria mana pun juga kecuali oleh suamiku! Engkau...
ah, betapa aku cinta padamu, Koko, akan tetapi... karena sumpahku itu, maka aku
pun dengan berat hati terpaksa tidak berani melanggarnya sebelum engkau...
menjadi suamiku... kau… kau maafkanlah aku, Lee-ko...“
Kian Lee
mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia merasa bangga dan sangat girang akan
pendirian dara yang dicintanya itu, akan tetapi mendengar bahwa sumpah itu
dilakukan semenjak suatu saat tertentu, semenjak apa yang dialami oleh dara
itu, dia menjadi ingin tahu.
“Moi-moi,
mengapa engkau mengucapkan sumpah itu? Dan semenjak apakah? Apakah yang telah
kau alami sehingga engkau mengucapkan sumpah itu?”
“Dahulu, aku
selalu merindukanmu, dalam mimpi aku mendambakan pelukanmu yang mesra,
merindukan ciumanmu, akan tetapi... semenjak saat jahanam itu... pangeran dari
Nepal itu... menciumku, semenjak saat itulah aku bersumpah...“
“Ahhh...!”
Wajah Kian Lee sebentar menjadi pucat lalu berubah merah sekali, sepasang
matanya mengeluarkan sinar berkilat.
Hwee Li
terkejut melihat wajah dan sinar mata itu. “Kenapa, Koko...?”
“Dan kau
senang?”
“Senang apa
maksudmu?”
“Kau senang
di... ciumnya?”
Hwee Li
cepat memegang tangan pemuda itu. “Ehhh, kau ini kenapa sih, Koko? Bagaimana
engkau bisa mengatakan bahwa aku senang diciumnya? Aku benci bukan main, aku
muak dan jijik, akan tetapi aku tidak berdaya, aku tertawan dan tidak mampu bergerak.”
“Hemmm, dan
selain diciumnya, kau diapakannya lagi?” Pandang mata pemuda itu penuh selidik,
matanya membayangkan kemarahan besar yang disebabkan oleh iri hati dan cemburu.
“Diapakan?
Aihhhhh... kau maksudkan apakah dia memperkosaku? Tidak, Koko. Dia itu sungguh
cinta kepadaku, maka dia tidak mau memperkosa, dia menghendaki aku menyerahkan
diri secara suka rela. Akan tetapi aku benci sekali karena ciumannya dan karena
itu aku bersumpah tidak akan mau dicium siapa pun selain suamiku.”
“Kalau
begitu, aku akan mencarinya dan membunuhnya, karena dia telah menghinamu!” Kian
Lee mengepal tinju, makin panas hatinya membayangkan betapa bibir pangeran itu
mengecup bibir kekasihnya ini.
“Baik
sekali, dan aku pun akan senang membagi beberapa kali pukulan sebelum kau
membunuhnya!” Hwee Li berkata penuh semangat.
Kian Lee
tercengang dan kini dia memandang dengan penuh keheranan. “Ehhh, bagaimana pula
ini? Bukankah kemarin engkau mencegah atau melarangku ketika kau mengira aku
hendak membunuhnya? Dan kini engkau malah hendak membantuku membunuhnya!”
Hwee Li
menggenggam jari-jari tangan Kian Lee dan tersenyum. “Tentu saja, kemarin aku
masih mengira bahwa engkau tidak mencintaku, melainkan mencinta gadis lain.”
“Kalau
begitu?”
“Aku marah
kepadamu, dan karena kusangka dia satu-satunya pria yang mencintaku dengan
sepenuh hatinya, maka aku tidak suka melihat engkau membunuhnya.”
“Dan
sekarang?”
“Sekarang,
engkau mencintaku, Lee-koko, dan persetan dengan segala pangeran dari Nepal,
dan kalau perbuatannya terhadap diriku membuat marah hatimu, maka dia harus
mampus. Dan memang dulu pun sudah beberapa kali dia hampir mati di tanganku.”
Dara itu lalu menceritakan semua pengalamannya selama dia ditahan di dalam
benteng Pangeran Liong Bian Cu, betapa dia telah mempergunakan berbagai akal
untuk membunuh pangeran itu dan nyaris dia berhasil.
Kian Lee
mendengarkan dengan penuh perhatian, penuh kagum dan kini dia pun dapat
mengerti betapa besar rasa cinta kasih di dalam hati pangeran itu terhadap Hwee
Li. Timbullah rasa kasihan di dalam hatinya terhadap pria itu karena dia sudah
merasakan betapa sengsaranya derita batin ditanggung seorang pria yang tidak
dibalas cintanya.
“Hwee Li,
setelah kita sekarang bertemu di sini, engkau hendak pergi ke manakah?”
“Dan engkau
sendiri hendak ke mana, Koko?” Hwee Li balas bertanya.
Kian Lee
memejamkan matanya sebentar, pikirannya bekerja keras. Terdapat hal-hal yang
meruwetkan pikirannya sehubungan dengan kenyataan bahwa dia dan Hwee Li saling
mencinta. Dia harus mengakui bahwa dia memang benar mencinta dara ini, akan
tetapi dia pun melihat pula kenyataan betapa di dalam cinta mereka berdua itu
terdapat banyak hal yang menghalang.
Pertama, dia
melihat kenyataan betapa watak dara ini liar, dan ganas sekali di samping
kelincahan dan kejenakaannya. Hal ini merupakan kewajibannya kelak untuk dapat
membimbingnya agar dara itu dapat menghentikan sifat liar yang dia tahu tentu
timbul karena dara ini adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo. Dan dia pun melihat
mengapa dia tertarik sekali kepada Hwee Li. Tidak lain karena dara ini memiliki
sifat dan watak yang hampir sama dengan watak Ceng Ceng di waktu masih gadis
dahulu. Ceng Ceng juga memiliki watak yang liar dan ganas semenjak menjadi
murid Ban-tok Mo-li.
Akan tetapi,
persoalan pertama ini tidak begitu memusingkannya karena dia tetap yakin bahwa
dengan cinta kasihnya, dia akan mampu mengubah watak ganas itu. Hal yang kedua
adalah perbedaan yang amat menyolok antara orang tuanya dan orang tua dara ini.
Dia merasa sangsi sekali apakah ayahnya dan ayah Hwee Li akan menyetujui kalau
mereka berdua saling berjodoh! Dia tahu akan kekerasan hati ayahnya terhadap
kejahatan, dan ayah dara yang dicintanya ini adalah seorang pentolan atau datuk
dari kaum sesat!
“Bagaimana,
Lee-koko? Engkau belum menjawab pertanyaanku!” Tiba-tiba Hwee Li merangkul
pundaknya dengan sikap manja dan ini menyentakkan Kian Lee kembali kepada
kenyataan.
Dia
memandang wajah itu, merasa betapa lembut, halus dan hangat tangan dara itu
merangkulnya, merasa getaran yang tersalur melalui jari-jari tangan itu dan
melalui sinar mata bening itu, dan tiba-tiba dia sudah mengambil keputusan pada
saat itu juga untuk menghadapi segala macam kesukaran apa pun untuk membela
cinta kasih antara mereka. Sekali ini dia tidak mau gagal lagi! Apa pun yang
terjadi, yang merupakan penghalang tali perjodohan antara dia dan Hwee Li, akan
ditantangnya. Dia sudah merasakan betapa pahit dan nyerinya gagal dalam ikatan
cinta, maka sekali ini dia tidak mau gagal lagi.
“Hwee Li,
aku akan pergi ke bekas benteng pemberontak untuk menemui Kian Bu, kemudian aku
akan mengajaknya pulang ke Pulau Es.”
“Aku ikut
denganmu, Koko!”
Melihat
sikap dara itu yang penuh semangat, Kian Lee merasa girang sekali. Hidup di
samping dara ini tentu akan penuh kegembiraan, penuh semangat dan seolah-olah
Hwee Li merupakan cahaya yang setiap saat menyinari kehidupannya. Dia merangkul
pinggang yang ramping itu, menarik tubuh Hwee Li sehingga merapat ke tubuhnya
dan dengan mesra dia mencium dahi Hwee Li. Tadinya dara itu terkejut, akan
tetapi melihat betapa kekasihnya hanya mencium dahinya, dia terengah dan
memeluk dengan erat.
“Baik,
Moi-moi, memang aku ingin memperkenalkan engkau kepada... ibuku.” Dia tidak
berani menyebut ayahnya karena diam-diam dia merasa ngeri membayangkan ayahnya
menerima kedatangannya dengan calon isterinya yang ternyata adalah puteri
Hek-tiauw Lo-mo!
Hwee Li
tersenyum manis. “Aku girang sekali, Koko. Aku memang ingin sekali bertemu dan
berkenalan dengan ibumu. Aku sudah mendengar dari adik Kian Bu bahwa ibumu di
waktu masih muda menjadi ketua Pulau Neraka.”
“Benar,
Li-moi.”
“Ah, betapa
hebat ibumu! Dan aku pun sudah banyak mendengar tentang ayahmu yang sakti itu.
Aku akan merasa bangga dan gembira sekali bisa menghadap ayah bundamu, Koko.
Mari kita cepat berangkat mencari adik Kian Bu!”
Mereka pun
pergi meninggalkan hutan di pegunungan itu dan diam-diam Kian Lee merasa geli
juga melihat kenyataan dan liku-liku kehidupan yang serba aneh. Dara yang
dicintanya ini mengangkat diri menjadi kakak dan menyebut adik kepada Kian Bu,
padahal sudah tentu saja Kian Bu jauh lebih tua dari pada Hwee Li. Dan yang
lebih ruwet lagi, kekasihnya ini adalah murid dari Ceng Ceng, wanita yang
pernah dicintainya, bahkan cinta pertamanya, dan lebih dari itu, keponakannya!
Yang lebih hebat lagi, dia adalah putera majikan Pulau Es, sedangkan Hwee Li
adalah puteri ketua Pulau Neraka, padahal, menurut sejarahnya, terdapat
permusuhan antara kedua pulau itu. Akan tetapi, ada hal yang membesarkan
hatinya, yaitu keadaan ibunya. Ibunya juga pernah menjadi ketua Pulau Neraka,
oleh karena itu, sudah pantaslah kalau dia berjodoh dengan gadis Pulau Neraka
ini!
Sambil
bergandeng tangan dan mendengarkan Hwee Li bercerita dengan sifatnya yang
gembira, Kian Lee tersenyum penuh harapan, penuh kebahagiaan. Kelincahan dara
ini hampir sama dengan Siang In, akan tetapi ada sesuatu pada diri Hwee Li yang
amat menarik hatinya, yang sukar dikatakan apa daya tarik keistimewaan yang
tidak ada pada wanita lain dan hal seperti ini selalu dirasakan oleh
orang-orang yang sedang jatuh cinta!
Cinta
asmara,
Betapa penuh
rahasia betapa kuat penuh kuasa,
mencengkeram
seluruh raga dan jiwa,
menerbangkan
manusia ke sorga,
menghempaskan
manusia ke neraka!
Cinta
asmara,
Terkadang
suci dan mulia, penuh kelembutan indah dan mesra,
mendatangkan
suka cita!
Terkadang
kotor bernoda penuh cemburu benci dan hina,
mendatangkan
duka nestapa!
Penggambaran
tentang cinta seperti itu semenjak ribuan tahun yang lalu telah menjadi sasaran
penulisan sajak para seniman. Cinta dipuja-puja kalau sedang mendatangkan
nikmat hidup karena berhasil, sebaliknya cinta dikutuk kalau sedang
mendatangkan derita hidup karena gagal. Cinta dianggap mendatangkan
kebahagiaan, juga dianggap mendatangkan kesengsaraan.
Penggambaran
seperti itu jelas didasari oleh penilaian untung rugi, enak atau tidak enak,
pendeknya didasari oleh pendapat demi kesenangan diri sendiri, baik kesenangan
lahir mau pun kesenangan batin yang sesungguhnya tak dapat dipisah-pisahkan.
Kalau jasmani dan rohani kita merasa nikmat oleh cinta, maka kita memuja-muja
cinta sebagai jembatan yang membawa kita ke sorga. Sebaliknya kalau jasmani dan
terutama rohani kita merasa menderita karena kecewa oleh kegagalan cinta, maka
kita mengutuknya sebagai jalan yang membawa kita ke neraka.
Akan tetapi,
kalau mendatangkan penderitaan batin, adakah itu cinta kasih? Yang mendatangkan
penderitaan batin bukanlah cinta kasih, melainkan pikiran yang selalu berpusat
kepada kepentingan diri sendiri. Pikiran yang berupa si aku yang mengejar
kesenangan diri sendiri inilah yang menciptakan segala suka dan duka, di dalam
apa yang dinamakan cinta sekali pun! Baik cinta, mau pun hal-hal seperti hujan,
panasnya matahari, dan sebagainya, bisa saja dianggap sebagai berkah atau pun
malapetaka oleh si aku yang selalu mengejar dan mencari kesenangan.
Kita,
sebagai akibat dari si aku masing-masing yang selalu mengejar kesenangan, telah
merumuskan cinta kasih, sebagai sesuatu yang tidak terpisah dari si aku dan
membagi bagi cinta kasih sesuai dengan ‘tempatnya’ yang semua sarat dengan
kepentingan kita masing-masing. Maka muncullah istilah cinta terhadap Tuhan,
cinta terhadap negara, cinta terhadap orang tua, cinta terhadap isteri, cinta
terhadap pacar, cinta terhadap anak, dan sebagainya lagi, termasuk cinta
terhadap sahabat.
Cinta kasih
dipecah-pecah dan dibagi-bagi. Akan tetapi, selama cinta kasih itu menjadi
milikKu atau milikMu atau milikNya, maka yang dinamakan cinta kasih itu bukan
lain hanyalah nafsu mencapai kesenangan belaka. Cinta seperti itu tidak dapat
dihindarkan lagi pasti dikuasai oleh untung rugi bagi si aku dan dalam keadaan
seperti itu, cinta sama artinya dengan yang menyenangkan aku. Itulah sebabnya
mengapa orang tua yang tadinya mengaku cinta kepada anaknya berubah membenci
anak itu oleh karena hatinya dikecewakan oleh si anak yang tidak menurut
kepadanya dan sebagainya, pokoknya si anak tidak menyenangkan lagi hatinya!
Demikian
pula cinta seperti itu terhadap isteri, terhadap sahabat, terhadap partai, atau
terhadap apa saja. Selama masih mendatangkan kesenangan atau yang dianggap bisa
menyenangkan lahir mau pun batin, maka cinta semacam itu masih subur. Akan
tetapi, begitu yang dicinta itu sudah tidak lagi mendatangkan kesenangan,
bahkan sebaliknya mendatangkan kekecewaan, lenyaplah perasaan cinta itu dan
mungkin saja terganti oleh perasaan benci.
Ini pula
yang menjadi sebab mengapa manusia selalu ingat kepada Tuhan sewaktu berada
dalam duka nestapa, sewaktu berada dalam ketakutan, dalam kesengsaraan. Harapan
untuk memperoleh hiburan, memperoleh pertolongan, yang merupakan jalan ke arah
kesenangan, inilah yang membuat kita berpaling kepada Tuhan. Dan kita akan
melupakan Tuhan apa bila kebutuhan akan hiburan, akan pertolongan, akan
janji-janji kesenangan itu tidak ada. Dalam keadaan senang, kita tidak ingat
kepada Tuhan, sebaliknya dalam keadaan susah di waktu kita membutuhkan hiburan,
kita teringat kepada Tuhan dan kita menganggap bahwa kita mencinta Tuhan.
Akan tetapi,
benarkah yang demikian itu, kesemuanya itu, dapat dinamakan CINTA KASIH?
Bukankah semua itu hanya merupakan jembatan dan sarana untuk mendapat
kesenangan belaka? Sehingga dengan demikian, semua itu adalah palsu belaka?
Tentu saja
kita sebagai manusia hidup sudah sewajarnya kalau menikmati kesenangan dan kita
memang berhak menikmati kesenangan dalam kehidupan. Tetapi, mengejar ngejar
kesenangan jelas akan menuntun kita kepada kemunafikan dan kepalsuan. Uang
merupakan satu di antara alat untuk menikmati kesenangan lahiriah dalam
kehidupan, hal itu tak dapat disangkal oleh siapa pun juga. Akan tetapi kita
dapat melihat jelas pula betapa pengejaran terhadap uang itulah yang
menimbulkan adanya pencurian, perampokan, penipuan, penggelapan, korupsi, dan
segala tindakan lain yang merugikan orang lain. Demikian pula dengan segala
macam bentuk kesenangan.
Penulis
tidak menganjurkan agar kita menolak atau menjauhi kesenangan, lalu hidup
sebagai pertapa di tengah hutan, sama sekali tidak. Melainkan mengajak kepada
kita semua untuk membuka mata dan melihat yang berkecamuk di dalam hati dan
pikiran kita sendiri. Melihat kenyataan yang terjadi di dalam diri kita
sendiri, di dalam dunia. Setelah melihat kenyataan tentang cinta kasih yang
dibagi-bagi dan yang sebenarnya bukanlah cinta kasih itu, timbul pertanyaan,
Apakah adanya cinta kasih?
Betapa
mungkin menguraikan cinta kasih! Betapa mungkin menggambarkan Tuhan! Betapa
mungkin menerangkan kebenaran! Sudah jelas bahwa di mana ada pikiran atau si
aku yang berkuasa, yang mencengkeram cinta kasih sebagai miliknya, maka tidak
akan ada cinta kasih. Oleh karena itu, selama masih ada si aku yang selalu
mengejar kesenangan, si aku yang ingin menjadi orang baik, si aku yang ingin
benar, si aku yang ingin memperoleh yang baik-baik dan yang enak-enak saja,
maka tidak mungkin bicara tentang cinta kasih! Tidak mungkin.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment