Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 24
Siluman
Kecil maklum pula akan kehebatan lawan ini, maka dia tak berani memandang
rendah. Cepat dia mengerahkan ginkang-nya yang istimewa, tubuhnya berkelebatan
seperti cahaya kllat ke sana-sini, menghindarkan diri dari semua serangan,
kemudian membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuhnya. Akan tetapi
kakek botak yang lihai, orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok itu pun dapat
menghindarkan diri dan kadang-kadang menangkis hingga berkali kali terjadi
pertemuan tenaga yang membuat keduanya terpental saking kuatnya tenaga sinkang
yang bersembunyi di kedua tangan masing-masing….
Sementara
itu, Hwee Li juga sudah dikeroyok oleh para pengawal yang banyak jumlahnya itu.
Mereka adalah pengawal-pengawal pribadi koksu dalam upacara resmi, dalam
kedudukannya sebagai koksu, maka tentu saja mereka merupakan orang-orang
pilihan dari koksu sendiri, dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Dalam
keadaan lain, pengawal pribadi dari koksu adalah Gitananda. Biar pun para
pengawal pribadi itu tidak selihai Gitananda, namun mereka itu lebih lihai dari
para pengawal biasa dan karena dikeroyok, setelah berhasil merobohkan lima enam
orang, Hwee Li mulai terdesak dan terkepung dengan ketat.
Kian Bu
dapat melihat keadaan Hwee Li itu dan dia merasa khawatir sekali. Sekali ini dia
tidak dapat merobohkan koksu dengan cepat karena agaknya koksu kini berlaku
hati-hati sekali, memusatkan seluruh kepandaiannya kepada penjagaan diri
sehingga dia tidak sempat membantu Hwee Li. Maka dia lalu berseru, “Enci Hwee
Li, cepat kau larilah!”
Akan tetapi,
Hwee Li sama sekali tidak mampu keluar dari kepungan ketat itu. Biar pun dengan
amukannya dia telah merobohkan dua orang lagi, akan tetapi sekarang para
pengepungnya memperlebar kepungan sehingga sukar bagi Hwee Li untuk merobohkan
mereka dan juga sukar baginya untuk keluar dari kepungan belasan orang itu.
Dara ini adalah seorang yang amat berani dan cerdik. Melihat keadaan dirinya,
dia tidak putus harapan. Dia pun maklum bahwa pada saat itu Kian Bu tidak dapat
membantunya, dan dia maklum pula bahwa kalau sampai datang lagi pasukan musuh,
dia dan Kian Bu tentu akan celaka. Maka dia lalu menggunakan akal.
“Tikus-tikus
merah busuk! Kau tidak ingat siapa aku? Aku adalah tunangan pangeran! Beranikah
kalian menyentuhku? Beranikah kalian menyerangku? Coba kalian bunuh aku, hendak
kulihat hukuman apa yang akan kalian terima dari pangeran!”
Para
pengawal itu tentu saja menjadi terkejut. Mereka memang sudah tahu sejak tadi
bahwa dara cantik ini adalah tunangan dan kekasih pangeran. Mereka hanya
bergerak karena memandang kepada koksu. Akan tetapi setelah kini dara itu
mengingatkan mereka akan hal itu, mereka menjadi ragu-ragu karena mereka pun
tahu bahwa kata kata dara itu bukan merupakan gertakan kosong belaka. Memang
mereka akan celaka dan dihukum berat oleh pangeran kalau mereka sampai melukai
apa lagi membunuh dara ini. Selagi mereka itu ragu-ragu dan bingung, Hwe Li
lalu meloncat dan menerjang keluar dari kepungan, sedangkan para pengawal yang
mengepung itu tidak berani menggerakkan senjata menyerangnya sehingga Hwee Li
dapat dengan mudah keluar dan meloncat jauh.
“Tangkap
dia...!” teriak koksu dan kakek ini lalu mengeluarkan suara melengking untuk
memanggil para pembantunya.
Mendengar
lengking ini, Hwee Li terkejut dan dia meloncat makin jauh, lalu menengok dan
berseru kepada Kian Bu untuk lari.
Kian Bu
memang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kalau dia menghendaki, biar pun dia
tak dapat dengan mudah merobohkan koksu, tetapi jika hanya untuk melarikan diri
dari musuh saja akan dapat dia lakukan dengan amat mudah. Dia tadi tidak mau
melarikan diri karena dia tidak mau meninggalkan Hwee Li yang terdesak musuh.
“Mari kita
lari!” serunya dan dia menggunakan kesempatan selagi koksu melengking tadi
untuk menyerang dengan hebatnya, menggunakan dua tangannya mendorong dengan
pukulannya yang amat ampuh.
“Ehhhhh...!”
Koksu berseru keras karena terkejut melihat datangnya pukulan ini.
Dia sudah
tahu akan kehebatan pemuda ini, maka melihat pukulan yang gerakannya halus,
mendatangkan sambaran angin halus sekali itu, dia tidak berani menerimanya,
bahkan lalu cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri. Ketika
dia sudah berjungkir balik dan memandang, ternyata Kian Bu sudah tidak berada
lagi di depannya.
Akan tetapi
pada saat itu muncul Ngo-ok dan Su-ok diikuti oleh tiga puluhan orang penjaga.
Melihat ini, Hwee Li cepat meloncat ke tempat gelap dan Kian Bu yang hendak
mencegah orang-orang itu mengejar Hwee Li, menyambut mereka dengan terjangannya
sehingga dalam waktu sangat singkat, belasan orang penjaga terpelanting ke
kanan kiri. Setelah melihat Hwee Li lenyap, barulah Kian Bu juga melarikan
diri. Sekali berkelebat dia pun meloncat jauh tinggi di atas genteng dan lenyap
dalam gelap. Akan tetapi dia tidak dapat melihat Hwee Li lagi, tidak tahu ke mana
perginya dara itu. Mereka berdua telah saling terpisah!
Kalau Kian
Bu dan Hwee Li menimbulkan kegemparan sehingga koksu sendiri sampai ikut turun
tangan dan marah-marah karena melihat dua orang itu lenyap lagi, di lain bagian
dari dalam benteng itu terjadi kegemparan lain karena ulah Suma Kian Lee dan
Teng Siang In! Mereka pun berhasil menyelundup masuk ke dalam benteng dan
mereka juga ketahuan oleh pihak penjaga, lalu dihujani anak panah yang dengan
mudah dapat mereka hindarkan. Namun mereka tidak dapat menghindarkan diri dari
pengeroyokan setelah mereka berada di atas tanah di sebelah dalam tembok
benteng. Dan celakanya mereka dikepung oleh banyak sekali orang, lebih dari
lima puluh orang yang dipimpin oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sendiri!
“Siang In,
kau larilah dan biar aku menahan mereka!” Kian Lee berseru keras karena pemuda
ini menghawatirkan keselamatan Siang In.
Akan tetapi,
tentu saja Siang In tidak mau lari meninggalkan Kian Lee menghadapi bahaya
seorang diri saja. “Hi-hi-hik, kau kira aku takut mati? Mari kita lawan mereka
itu!” jawab Siang In sambil memutar payungnya dan merobohkan dua orang prajurit
musuh yang berani mendekat.
Terpaksa
Kian Lee juga mengamuk, tetapi pemuda ini langsung menghadapi Hek-tiauw Lo-mo
dan Hek-hwa Lo-kwi karena dia maklum betapa lihainya dua orang kakek iblis ini
sehingga dia membiarkan Siang In hanya menghadapi pengeroyokan para penjaga
saja.
Mula-mula
Siang In mengamuk dengan enaknya. Payungnya segera berubah menjadi bayangan
hitam yang menutupi tubuhnya dan para pengeroyoknya roboh cerai-berai sehingga
keadaan mereka menjadi kacau-balau. Tetapi, keributan itu segera menarik
perhatian pasukan-pasukan lain sehingga berdatanganlah puluhan orang penjaga
dan pengawal ke tempat itu sehingga Siang In merasa kewalahan juga.
“Siang In,
lari...!”
“Kau juga
tidak!” jawab Siang In yang melihat dengan sudut matanya betapa pemuda itu
dengan gagahnya menghadapi desakan dua orang kakek iblis yang masih dibantu
oleh beberapa orang perwira yang lihai.
“Kau lari
dulu, nanti aku menyusul!” teriak Kian Lee yang merasa jengkel juga melihat
kebandelan dara itu.
“Lee-koko,
tunggulah aku menciptakan asap hitam, baru kita lari!” Dara itu berteriak
nyaring.
Dan
tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan ketika dia mengebutkan
saputangannya, nampaklah asap hitam mengebul dan memenuhi tempat itu. Dara ini
telah mempergunakan ilmu sihirnya! Semua pengeroyok terkejut dan bingung, dan
kesempatan itu dipergunakan oleh Siang In dan Kian Lee untuk melarikan diri.
Akan tetapi
terdengar suara gerengan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan seketika asap
hitam itu membuyar dan lenyap. Kembali dua orang muda itu dikeroyok dan mereka
berdua terpaksa membela diri dan kini mereka terpisah sehingga ketika keduanya
berhasil melarikan diri, mereka sudah tidak dapat saling melihat lagi. Kian Lee
merasa gelisah dan dia berloncatan ke atas genteng mencari-cari Siang In, namun
dara itu lenyap entah ke mana.
Siang In
juga tidak berhasil mencari Kian Lee karena dia terdesak oleh banyaknya
prajurit musuh yang mengejarnya. Dia terpaksa melarikan diri karena tidak
mungkin dia melawan pengeroyok yang demikian banyaknya, baik dengan menggunakan
ilmu silat mau pun ilmu sihirnya. Dia maklum bahwa kalau tokoh-tokoh lihai
sampai bermunculan, dia tentu akan celaka, maka dia cepat melarikan diri
menyelinap di antara pohon-pohon dan bangunan-bangunan sampai akhirnya dia
tidak dikejar lagi.
Dengan napas
terengah-engah dan tubuh basah oleh peluh, dara ini berhenti berlari di
belakang sebuah bangunan sunyi. Aku harus mengaso dulu, pikirnya dan tempat itu
amat sunyi, baik untuk melepaskan lelah mau pun mengumpulkan kembali tenaganya.
Sambil memanggul payungnya, dara ini melangkah pelan ke tempat gelap di
belakang bangunan, dengan maksud untuk beristirahat di tempat gelap itu.
Dia
meletakkan payungnya di atas lantai ruang belakang rumah yang agaknya kosong
itu, kemudian dia duduk bersila di atas lantai yang dingin. Enak sekali rasanya
duduk di lantai dingin itu setelah mengerahkan banyak tenaga dalam pertempuran
tadi, dan sungguh menyenangkan tempat sunyi ini setelah tadi dia dikeroyok
banyak orang. Siang In menarik napas panjang, mulai mengatur pernapasan untuk
memulihkan tenaga. Akan tetapi, hatinya tak dapat tenang, pikirannya selalu membayangkan
wajah Kian Bu dan Hwee Li dan setiap kali dia teringat kepada dua orang itu,
jantungnya berdebar tegang dan hatinya merasa panas sekali. Panas oleh cemburu!
Dia masih
terheran-heran karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Siluman Kecil itu
ternyata adalah Suma Kian Bu, pemuda yang selama ini dicari-carinya, pemuda
yang pernah menciumnya dan yang belum pernah dapat dia lupakan selama dia ikut
dengan gurunya, yaitu See-thian Hoat-su! Dan dia malah pernah bertemu dengan
Siluman Kecil! Sekarang, begitu bertemu dia melihat pemuda yang dicari-carinya
itu berpacaran dengan seorang dara lain yang cantik jelita, galak dan berwatak
rendah, hati siapa takkan menjadi panas? Bayangan Kian Bu dengan Hwee Li selalu
mengganggu pikirannya sehingga dia tidak dapat beristirahat dengan sempurna.
Berulang kali dia menghela napas panjang untuk melepas kemarahan hatinya.
“Byar-byar-byarrr...!”
Tiba-tiba tempat yang gelap itu menjadi terang sekali oleh sinar lampu yang
dinyalakan orang dengan serentak, dan kesunyian dipecahkan suara orang orang
yang tahu-tahu sudah mengurung tempat itu!
Siang In
terkejut, menyambar payungnya dan meloncat berdiri. Kiranya di situ telah
berdiri seorang tosu berwajah bengis, bertubuh tinggi kurus yang memegang
sebatang pedang di tangan kanannya, diikuti oleh tujuh orang prajurit pengawal.
Delapan orang ini sudah mengepung tempat itu!
Tosu ini
bukan lain adalah Hak Im Cu, seorang tosu yang berkepandalan tinggi, seorang di
antara pembantu-pembantu Hw-i-kongcu Tang Hun yang kini telah bersekutu dengan
Koksu Nepal. Ketika tosu ini juga ikut mencari orang-orang yang dikabarkan
mengacau di dalam benteng, diikuti tujuh orang anggota Liong-sim-pang yang kini
sudah menjadi prajurit pengikut Koksu Nepal, dia melihat berkelebatnya tubuh
dara cantik membawa payung itu. Tentu saja dia menjadi curiga karena sepanjang
pengetahuannya, tidak ada seorang dara seperti itu di dalam benteng. Maka cepat
dia mengurung tempat itu dan secara tiba-tiba dia menyalakan lampu-lampu
bersama anak buahnya.
“Hemmm, kiranya
pengacau itu adalah seorang nona muda. Betapa berani mati sekali engkau. Hayo
lekas engkau menyerah sebelum kami menggunakan kekerasan untuk menangkapmu!”
Hak Im Cu membentak marah.
Siang In
menuding dengan payung hitamnya, lalu berkata mengejek, “Kiranya para
pemberontak dan orang-orang Nepal telah berhasil pula memikat hati segala macam
tosu palsu untuk berkhianat kepada negara!”
“Bocah
bermulut lancang!” Tosu tinggi kurus berwajah bengis itu tiba-tiba bergerak ke
depan.
Siang In
mengeluarkan seruan kaget sambil meloncat ke samping, payungnya bergerak untuk
melindungi dirinya. Tidak disangkanya bahwa tosu itu dapat bergerak sedemikian
cepat, tahu-tahu tangan tosu itu sudah menyambar hendak mencengkeram pundaknya.
Kalau dia tidak cepat-cepat menggerakkan payungnya, tentu pundaknya sudah kena
dicengkeram. Tosu itu agaknya maklum akan kelihaian payung di tangan nona itu,
maka dia menarik kembali tangannya, tetapi melanjutkan serangannya dengan
tendangan kilat yang kembali hampir mengenai paha Siang In yang meloncat ke
belakang.
Melihat
betapa dua kali serangannya gagal, Hak Im Cu menjadi marah. Bahkan dalam
penyerangannya kedua itu, bukan saja si nona cantik dapat menghindarkan diri dari
tendangan, melainkan payung itu juga digerakkan secara aneh dan hampir saja
ujung payung yang runcing menusuk perutnya.
“Singggggg...!”
Hak Im Cu menyerang dengan pedangnya dan bersama tujuh orang anggota
Liong-sim-pang dia lalu menerjang dan mengeroyok Siang In.
“Trang-trang-tranggg...!”
Siang In memutar payungnya untuk menangkis banyak senjata tajam yang menyambar
ke arahnya dari berbagai jurusan itu.
Diam-diam
Siang In mengeluh. Dari tangkisan itu tahulah dia bahwa selain tujuh orang
pembantu tosu itu rata-rata memiliki kepandaian lumayan, juga tosu itu sendiri
amat kuat dan merupakan lawan tangguh. Dia tidak melihat jalan untuk meloloskan
diri kecuali menggunakan sihirnya.
“Kalian
adalah laki-laki semua bukan?” Tiba-tiba suara merdu Siang In terdengar di
antara suara beradunya senjata mereka. Biar pun tidak ada di antara mereka yang
menjawab, namun di dalam hati mereka, delapan orang membenarkan ucapan Siang
In. Memang mereka adalah laki-laki, pria sejati!
“Kalian
delapan laki-laki yang suka makan makanan enak, mana mampu bertempur?”
Delapan
orang itu tertarik dan biar pun tangan kaki mereka masih bergerak mengeroyok
dara itu, namun telinga mereka dipasang untuk mendengarkan. Siapa orangnya
tidak suka makanan enak? Dan apa hubungannya makanan dengan bertempur?
“Makanan
enak membuat perut sakit. Perut kalian sakit... aduhhh..., perutku sakit, mulas
sekali...!” Tiba-tiba Siang In meloncat ke belakang, kemudian menggunakan
tangan kiri menekan-nekan perutnya sendiri, dengan wajah membayangkan kenyerian
hebat.
Sungguh aneh
bukan main. Delapan orang itu semua memandang wajah Siang In dan ketika mereka
melihat wajah yang cantik manis itu membayangkan kenyerian, mendengar kata-kata
Siang In itu, tiba-tiba saja mereka semua merasa betapa perut mereka juga sakit
bukan main, mulas dan seperti diremas-remas rasanya!
“Aduh...
perutku...”
“Aduh
mulas... ahhh...!”
“Tak
tertahankan... ingin buang air...!”
Sungguh aneh
dan lucu pemandangan pada waktu itu. Delapan orang itu kini tidak lagi
mengeroyok Siang In, melainkan menekan-nekan perut sendiri dengan muka mereka
membayangkan kesakitan hebat.
Hak Im Cu
sebagai seorang tokoh berkepandaian tinggi dari dunia kang-ouw, tentu saja
melihat ketidak wajaran ini dan dia sudah menduga dengan terkejut sekali bahwa
keadaan itu bukan semestinya dan tentu adalah pengaruh dari ilmu hitam atau
ilmu sihir. Maka dia mengerahkan sinkang-nya melawan rasa mulas di perutnya itu.
Akan tetapi sebelum dia berhasil menolak pengaruh ilmu sihir yang dipergunakan
oleh Siang In, dara yang bermata tajam ini melihat usaha dari tosu itu dan dia
cepat menggerakkan payungnya, menghantam dari samping mengenai leher tosu yang
sedang berusaha membebaskan diri dari pengaruh ilmu sihir.
“Dessss...!”
Tubuh tosu itu terpelanting dan roboh pingsan!
Tujuh orang
lain yang masih tersiksa oleh sakit perut, kini tak dapat menahan lagi dan di
antara mereka sudah ada yang melepas celana mereka, bertelanjang untuk buang
air di situ juga! Melihat ini, tentu saja wajah Siang In menjadi merah sekali,
dia membuang muka dan meludah.
“Ihhh,
sialan!” Dara itu berseru dan cepat melarikan diri dari tempat itu.
Karena dia
melarikan diri dan merasa jijik dan malu, maka otomatis pengaruh sihirnya
lenyap dan tujuh orang itu sadar kembali, perut mereka sembuh seketika dan
mereka baru tahu bahwa mereka tadi dipermainkan oleh dara itu. Marahlah mereka,
apa lagi melihat betapa tosu pimpinan mereka masih pingsan dan sambil berteriak-teriak
mereka melakukan pengejaran.
Siang In
berlari makin cepat. Dia tidak takut menghadapi tujuh orang itu, akan tetapi
dia takut terhadap teriakan-teriakan mereka karena teriakan-teriakan itu dapat
memancing datangnya tokoh-tokoh dalam benteng dan akan celakalah dia kalau
sampai mereka semua muncul. Di antara mereka banyak terdapat orang pandai yang
memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi dari pada dia, bahkan ada pula yang
memiliki ilmu sihir yang akan dapat melawan ilmunya sendiri. Maka dia lalu
cepat menyusup di antara kegelapan bayangan-bayangan rumah dan menghilang dari
kejaran tujuh orang itu.
Siang In
terengah-engah menghapus peluhnya dengan saputangan. Dia tiba di sudut sebuah
rumah yang gelap, terhindar dari pengejaran semua orang. Celaka, pikirnya. Ke
mana perginya Kian Lee? Baru saja dia dapat bernapas panjang melepaskan lelah,
tiba tiba terdengar hiruk-pikuk di belakangnya, suara sepasukan tentara musuh
yang mendatangi tempat itu, mencari-cari. Dia terkejut dan lari lagi menjauhi.
Pada saat dia membelok ke belakang sebuah bangunan besar, hampir saja dia
bertabrakan dengan sesosok bayangan orang yang juga berlari cepat dan membelok
di sudut bangunan itu.
“Heeeiiittttt!”
“Aihhhhh!”
Keduanya
sudah mendorong dengan lengan tangan dan karena dorongan ini, keduanya
terlempar ke belakang. Mereka berjungkir balik, meloncat dan siap menghadapi
musuh yang hampir ditabrak itu, berdiri saling pandang.
“Kau...?”
“Hemmm,
kiranya engkau?”
Dua orang
dara yang sama-sama cantik jelita itu dan sama-sama kaget itu saling pandang.
Kiranya orang yang hampir menubruk Siang In itu adalah Kim Hwee Li!
“Kau perawan
genit dan binal!” Siang In sudah memaki karena rasa cemburu sudah membakar
hatinya begitu dia bertemu dengan dara yang dianggapnya sebagai pacar dari
Siluman Kecil itu.
Di lain
pihak, Hwee Li juga marah sekali melihat dara yang dianggapnya merampas Kian
Lee dari dirinya, maka dengan mata terbelalak melotot dia pun menudingkan
telunjuknya, dengan marah. “Ahh, engkau perempuan tak tahu malu!”
“Engkau yang
tak tahu malu!”
“Engkau
perampas laki-laki!”
“Engkau yang
pengeret hina!”
Mereka
saling maki dan akhirnya tak dapat dicegah lagi keduanya saling serang dan
kembali seperti ketika mereka bertemu di luar tembok benteng, kini pedang dan
payung itu sudah saling serang dengan seru dan hebatnya! Akan tetapi
pertandingan mati matian ini hanya berjalan belasan jurus saja karena tiba-tiba
muncullah pasukan yang belasan orang banyaknya, dipimpin oleh Hwa-i-kongcu
sendiri!
Melihat Hwee
Li, Hwa-i-kongcu tertawa. “Aha, kiranya puteri liar dari Hek-tiauw Lo-mo yang
ikut mengacau di sini!”
Pertempuran
antara Hwee Li dan Siang In otomatis berhenti dan dua orang dara itu serentak
lalu menyerang Hwa-i-kongcu yang menjadi kelabakan karena serangan dua orang
dara itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Tidak berani dia memandang
rendah, maka dia sudah mencabut pula pedangnya yang tipis, diputarnya cepat
untuk melindungi tubuhnya sambil berseru kepada anak buahnya untuk bergerak
menangkap dua orang dara itu. Maka dikeroyoklah Hwee Li dan Siang In yang kini
mau tidak mau terpaksa harus bertempur bahu-membahu dan saling melindungi!
Memang aneh sekali. Mereka itu saling benci dan saling marah satu sama lain,
akan tetapi nyatanya mereka sekarang menghadapi musuh yang sama sehingga mereka
menghadapi lawan secara bersama-sama.
Hwee Li yang
sekarang menimpakan kemarahannya kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun, memutar
pedangnya dengan nekat dan menerjang laki-laki muda pesolek itu dengan dahsyat,
membuat Tang Hun mundur-mundur dan terus didesak oleh Hwee Li. Dara yang gagah
perkasa dan tidak mengenal rasa takut itu tidak tahu betapa sebenarnya ketua
Liong-sim-pang yang cerdik ini memang sengaja memancingnya hingga terpisah dari
Siang In.
Kini Siang
In dikeroyok oleh belasan orang anak buah Liong-sim-pang sedangkan Hwee Li
menghadapi Tang Hun seorang diri dalam pertandingan mati-matian yang amat seru.
Siang In yang sudah merasa lelah itu tidak mau banyak membuang tenaga. Dia
cepat mengerahkan tenaga batinnya dan mengeluarkan suara melengking nyaring
disusul oleh kata-katanya yang merdu namun mengandung pengaruh luar biasa.
“Ahhh,
kalian ini segerombolan laki-laki yang gagah perkasa mengapa mengeroyok seorang
dara yang lemah dan tak berdaya? Kalian merasa malu jika harus mengeroyok
seorang anak perempuan!”
Memang luar
biasa pengaruh kata-kata yang merdu dan lembut itu. Seketika para pengeroyok
itu menahan senjata mereka, memandang kepada Siang In dengan muka merah karena
malu, dan mereka ragu-ragu, tidak tahu harus berbuat apa. Kesempatan ini tidak
disia-siakan oleh Siang In yang sudah meloncat dengan cepatnya, lenyap dari situ,
meninggalkan para pengeroyoknya yang bengong. Akan tetapi setelah Siang In
lenyap, baru mereka sadar bahwa mereka telah membiarkan seorang musuh lolos,
maka mereka menjadi sibuk dan kini mereka semua mengeroyok Hwee Li yang masih
bertanding dengan serunya melawan Hwa-i-kongcu Tang Hun. Melihat ini, Tang Hun
terkejut.
“Mundur
semua! Mana wanita itu tadi?”
“Dia... dia
sudah melarikan diri...” Seorang di antara mereka menjawab.
“Bodoh,
kejar!” teriak Tang Hun dan kini dia menangkis pedang Hwee Li, kemudian dia
membentak, “Nona Hwee Li, hayo kau berlutut!”
Bentakan ini
mengandung kekuatan batin karena Tang Hun telah mempergunakan ilmu sihirnya.
Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua Liong-sim-pang adalah murid dari Durganini,
seorang nenek iblis dari India, ahli sihir, maka tentu saja dia pun pandai
menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi batin lawan.
Seketika
Hwee Li merasa betapa kedua kakinya lemas dan tanpa dapat ditahannya lagi, dia
sudah menjatuhkan diri berlutut. Namun, Hwee Li adalah seorang dara gemblengan
yang sejak kecil digembleng oleh seorang manusia iblis seperti, Hek-tiaw Lo-mo,
bahkan dia lalu menjadi murid seorang wanita sakti seperti Lu Ceng Ceng dan
karena berdekatan dengan suami subo-nya ini yaitu Si Naga Sakti Gurun Pasir,
maka dia bukan merupakan dara biasa yang mudah saja dikuasai sihir. Dia masih
sadar bahwa dia diserang orang dengan sihir, maka dia menggunakan
kecerdikannya. Biar pun dia sudah berlutut, namun dia masih memegang pedangnya
dan kini dia cepat mengangkat muka memandang kepada Tang Hun.
“Hwa-i-kongcu
Tang Hun, engkau tahu siapa aku? Aku adalah tunangan dari Pangeran Bharuhendra!
Beranikah kau kurang ajar kepada calon permaisuri Raja Nepal?”
Ucapan dara
itu sungguh amat mengejutkan hati Tang Hun. Pemuda pesolek ini adalah seorang
yang berilmu tinggi dan tidak mudah baginya untuk merasa terkejut, apa lagi
takut. Akan tetapi, terhadap Pangeran Liong Bian Cu dan Koksu Nepal, apa lagi
setelah tahu bahwa Im-kan Ngo-ok juga menjadi kaki tangan Pangeran Nepal, dia
benar-benar tahu bahwa pangeran itu memiliki kedudukan yang amat kuat dan dia
tahu akan kelemahannya menghadapi mereka. Oleh karena itulah maka dia mau
membonceng kekuasaan itu dan mau bersekutu dengan Pangeran Nepal. Kini, di
ingatkan bahwa Hwee Li adalah tunangan dan calon isteri Pangeran Liong Bian Cu,
dia terkejut bukan main. Memang dia sendiri pun tahu betapa besar cinta kasih
Pangeran Liong Bian Cu kepada dara cantik jelita dan lincah ini, maka
diingatkan demikian, dia termangu.
“Mampuslah!”
Tiba-tiba Hwee Li meloncat dan pedangnya menyambar ke arah dada Tang Hun.
“Aihh...!
Cringgg...!”
Tang Hun
kaget bukan main, sedapatnya dia menangkis pedang itu dengan pedangnya. Akan
tetapi karena serangan itu datangnya tidak tersangka-sangka, pada saat Hwee Li
menggerakkan kakinya menendang dia tidak mampu mempertahankan dirinya lagi.
“Dessss!”
Pahanya kena
ditendang sehingga tubuh Tang Hun terlempar ke belakang. Ketika dia merangkak
bangun sambil meringis oleh karena pahanya terasa nyeri bukan main, dia melihat
bahwa Hwee Li telah lenyap melarikan diri. Terpincang-pincang dia mengejar
sambil menyumpah-nyumpah karena merasa bodoh. Kiranya ketika dia terkejut tadi,
kekuatan sihirnya pun lenyap sehingga dara itu dapat bergerak dan menyerangnya.
Sementara
itu, Kian Bu yang terpisah dari Hwee Li mencari-cari dara itu. Tentu saja tidak
mudah mencari Hwee Li di tempat itu, di mana pasukan musuh sibuk mengejar dan
mencari-cari mereka. Maka Kian Bu mencari Hwee Li sambil juga bersembunyi
sembunyi jangan sampai bertemu dengan para prajurit musuh dan tokoh-tokoh lihai
yang berkeliaran di dalam benteng. Dia tidak begitu khawatir akan keselamatan
Hwee Li karena dia maklum bahwa selain lihai sekali, juga gadis itu amat cerdik
dan menurut ceritanya, gadis itu dicinta oleh Pangeran Liong Bian Cu, maka
keselamatan gadis itu agaknya tidak begitu mengkhawatirkan. Dia harus dapat
mencari sendiri Pangeran Liong Bian Cu untuk cepat dibekuk, karena itulah
kiranya satu-satunya untuk menguasai benteng dan menyelamatkan para tawanan.
Tiba-tiba
dia melihat ribut-ribut di bawah. Dia mendekam di atas wuwungan dan memandang
ke bawah. Di bawah sinar lampu dan obor, dia melihat seorang pemuda sedang
dikeroyok oleh belasan orang prajurit yang dipimpin oleh seorang kakek bertubuh
gorilla yang amat mengerikan. Kiranya kakek itu adalah Su Lo Ti yang memiliki
kepandaian seperti iblis! Dan pemuda yang dikeroyok itu adalah Suma Kian Lee!
Dikeroyok
oleh belasan orang itu, Kian Lee bersilat seenaknya saja dan setiap orang
pengeroyok yang berani mendekat, tentu roboh oleh tamparan atau tendangannya.
Kakek gorilla itu hanya menonton dan berdiri sambil berpangku tangan. Kemudian
dia menurunkan kedua lengannya yang panjang, lalu mengangkat sebelah tangan ke
atas sambil berkata, “Mundur kalian semua!”
Para
pengeroyok itu berloncatan mundur dan menolong teman-teman yang sudah roboh.
Kakek itu melangkah dengan langkah seekor monyet besar, menghadapi Kian Lee
yang memandang kepada kakek gorilla itu dengan sinar mata tajam dan penuh
kewaspadaan. Kian Lee yang sudah pernah bentrok dengan kakek ini maklum betapa
lihai dan berbahayanya orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini, akan tetapi tentu
saja dia sama sekali tidak merasa jeri. Sinar mata yang mencorong dan
mengeluarkan cahaya kehijauan dari kakek itu menandakan bahwa kakek itu telah
menampung tenaga sinkang yang luar biasa. Ketika melihat Kian Lee dan sikapnya
yang berani, kakek itu tersenyum.
“Sungguh
berani mati sekali, sudah pernah lolos dari bahaya sekarang malah berani
mendatangi tempat ini lagi. Sungguh pemuda Pulau Es yang mengagumkan dan patut
dihormati!”
Dari atas
genteng, Kian Bu melihat dengan penuh kecurigaan dan hampir saja dia berteriak
memperingatkan kakaknya ketika kakek gorilla itu menjura. Akan tetapi, Kian Lee
adalah seorang pemuda berwatak tenang namun waspada, maka begitu kakek itu
menjura, dia pun cepat membalas dengan sikap hormat, akan tetapi tidak
melepaskan kewaspadaan.
Benar saja,
begitu kakek itu menjura, ada angin dahsyat menyambar dari kedua tangan kakek
itu ke arah Kian Lee. Pemuda yang sudah siap ini cepat mengerahkan tenaga
Hwi-yang Sin-kang untuk mendorong dan menangkis.
Nampak asap
mengepul ketika dua hawa itu bertemu dan Kian Lee terkejut juga karena ternyata
olehnya betapa kuatnya sinkang dari kakek itu. Maka dia lalu meloncat ke
pinggir menghindarkan adu tenaga secara langsung. Sebaliknya, Twa-ok Su Lo Ti
yang curang luar biasa itu tersenyum.
“Bagus,
tidak kecewa menjadi penghuni Pulau Es. Orang muda, mari kita main-main
sebentar!” Dan kakek itu sudah menerjang dengan dahsyatnya.
Memang hebat
sekali kepandaian orang pertama Im-kan Ngo-ok ini. Angin menyambar nyambar,
bukan hanya dari kedua tangannya berikut lengan baju yang panjang, akan tetapi
juga dari kedua kakinya dan angin yang menyambar itu mengandung hawa yang amat
panas dan mengeluarkan bunyi bercuitan! Kian Lee maklum akan kelihaian lawan,
maka dia pun mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk melawan, menangkis, mengelak
dan balas menyerang.
Namun, tiap
kali mereka berdua mengadu lengan atau mengadu hawa pukulan, selalu Kian Lee
merasa terdorong ke belakang dan dadanya terasa nyeri karena tertekan oleh
tenaga mukjijat yang aneh! Dia makin terkejut, namun dia melawan sekuatnya,
karena dalam keadaan terdesak dan terkepung, tidak mungkin dia akan dapat
meloloskan diri sebelum dia mengalahkan kakek lihai ini.
“Lee-ko, kau
serang bagian bawahnya!” Mendadak terdengar seruan nyaring dan ada bayangan
orang berkelebat dari atas, cepatnya seperti halilintar menyambar dan tahu tahu
Twa-ok Su Lo Ti merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar ke arah ubun ubun
kepalanya. Dan pada saat itu, Kian Lee yang maklum bahwa adiknya sudah muncul
dan membantunya, cepat-cepat melancarkan pukulan Swat-im Sin-ciang yang berhawa
dingin ke arah pusar kakek itu.
“Aughhhhh...!”
Twa-ok Su Lo Ti mengeluarkan gerengan nyaring sampai seluruh tempat itu seperti
tergetar, dan biar pun penyerangan kakak beradik itu dahsyat, dan cepat, namun
dia masih dapat menggunakan lengan kanan menangkis hantaman Kian Bu dan lengan
kirinya menangkis pukulan Kian Lee.
“Dukkk...!
Desss...!”
Tubuh Kian
Lee mencelat ke belakang sedangkan tubuh Kian Bu juga berjungkir balik beberapa
kali. Kakek yang lihai itu hanya tergetar dan terhuyung saja, padahal Kian Bu
sudah menggunakan tenaga gabungan Im dan Yang, yaitu tenaga mukjijat yang
pernah membuat koksu roboh pingsan. Namun kakek gorilla ini hanya tergetar dan
terhuyung, padahal pukulan Kian Bu tadi dibantu oleh pukulan Kian Lee yang juga
amat kuatnya. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya Twa-ok, orang
pertama dari Im-kan Ngo-ok itu.
Twa-ok
memandang dengan kaget. “Ah, kiranya engkau yang disebut Siluman Kecil? Hebat,
hebat! Sungguh orang-orang muda yang hebat,” katanya halus akan tetapi tiba
tiba saja tubuhnya sudah menyerang ke depan, berputar-putar seperti gasing dan
dari gerakan kedua tangannya menyambar tenaga yang amat kuatnya.
Kian Bu dan
Kian Lee cepat menyambut dengan tangkisan dan serangan balasan, namun keduanya
maklum bahwa kakek ini memang benar-benar amat kuat. Kian Bu sendiri yang sudah
banyak menghadapi orang kuat, diam-diam harus memuji dan mengakui bahwa selama
ini baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang benar benar amat menggiriskan.
Tingkat kepandaian kakek bermuka monyet ini lebih tinggi dari pada tingkat
kepandaian Sin-siauw Sengjin, kakek yang menyimpan pusaka pusaka Suling Emas
itu! Akan tetapi sekali ini Kian Bu dibantu oleh kakaknya, Kian Lee yang
kepandaiannya juga sudah meningkat tinggi sekali, maka dua kakak beradik ini
dapat mengimbangi permainan silat yang aneh dari Twa-ok.
Akan tetapi,
mereka harus mengakui bahwa untuk mengalahkan kakek itu bukanlah hal yang
mudah, dan mereka berdua berada di tempat berbahaya. Baru seorang kakek ini
saja sudah sehebat itu, kalau sampai datang yang lain-lain bukankah keselamatan
mereka terancam bahaya?
“Lee-ko,
mari kita pergi!” kata Kian Bu dan tiba-tiba saja pemuda ini menyambar tangan
kakaknya dan sekali bergerak, mereka sudah melesat seperti kilat cepatnya ke
atas genteng, dan dengan beberapa loncatan lagi mereka telah lenyap dari
pandang mata.
Twa-ok tidak
mengejar, melainkan bengong memandang ke atas genteng dan berulang kali dia
menarik napas panjang, lalu dia menggeleng-geleng kepalanya.
“Hebat...
hebat...!” Dia masih tertegun karena harus diakui bahwa selama hidupnya baru
sekarang dia menyaksikan ginkang seperti itu! Dia sendiri maklum dalam hal
ginkang, dia tidak akan menang melawan Siluman Kecil. Dan kalau dia dikeroyok
dua, dia masih ragu-ragu apakah dia pun akan dapat mengalahkan dua orang muda
yang amat hebat itu.
Sementara
itu Kian Bu dan Kian Lee cepat menjauhkan diri, kemudian bersembunyi di
wuwungan rumah yang gelap.
“Ah, kakek
monyet itu benar-benar lihai sekali,” kata Kian Bu.
“Untung
engkau keburu datang, Bu-te. Kalau tidak, kiranya aku tidak akan mampu
mengalahkan dia.”
“Lee-ko,
tempat ini berbahaya sekali. Melawan banyak orang pandai dengan kekerasan tentu
tidak ada gunanya dan kita akan gagal. Sebaiknya kita mencari dan menangkap
Pangeran Liong Bian Cu itu. Sekali dia sudah berada di tangan kita, kita dapat
memaksa Koksu Nepal dan yang lain untuk menyerah.”
Kian Lee
mengangguk. “Pikiran yang baik sekali, Bu-te. Akan tetapi ke mana kita harus
mencarinya?”
“Dia tentu
berada di salah satu di antara rumah-rumah ini. Kita harus mencarinya sampai
dapat. Mari!”
Kakak
beradik ini sama sekali tidak mau menyinggung soal Siang In dan Hwee Li.
Keduanya merasa sungkan karena keduanya menduga bahwa tentu masing-masing
mencinta dara yang melakukan perjalanan bersama itu. Kian Lee menduga bahwa
Kian Bu jatuh cinta kepada Hwee Li, sebaliknya Kian Bu juga menduga bahwa Kian
Lee tentu jatuh cinta kepada dara cantik jelita berpayung itu. Maka keduanya
tutup mulut, tidak berani saling bertanya tentang dara-dara itu, padahal di
dalam hati, mereka itu merasa heran dan bertanya-tanya ke mana perginya dara
yang tadinya bersama masing-masing itu.
Suasana
makin menjadi gempar ketika beberapa kali para penjaga bentrok dengan Kian Lee,
Kian Bu, Siang In, dan Hwee Li yang telah berpencaran dan terpisah-pisah itu.
Seluruh pembantu yang pandai dikerahkan, bahkan Pangeran Liong Bian Cu sendiri
memerintahkan agar para pengacau itu dapat ditangkap hidup-hidup. Bahkan Koksu
Nepal sendiri pun turun tangan, keluar dari kamarnya untuk memimpin para
penjaga melakukan pencarian dan pengejaran.
Para perwira
pasukan yang mengadakan perondaan dan pemeriksaan, juga menjadi makin bingung
ketika mereka melihat ada dua orang Hek-sin Touw-ong berkeliaran! Baru saja
seorang perwira bersama selosin orang prajuritnya bertemu dengan Hek-sin
Touw-ong di belakang sebuah rumah, dan begitu mereka keluar dari lorong dan
berada di depan rumah itu, mereka melihat lagi Hek-sin Touw-ong! Biar pun kakek
itu lihai, tidak mungkin pandai menghilang atau terbang secepat itu.
“Heiii,
Touw-ong! Bagaimana kau bisa muncul di sini? Padahal, baru saja kita saling
jumpa di belakang...“
Akan tetapi
perwira itu tidak melanjutkan kata-katanya karena Hek-sin Touw-ong kedua ini
telah menggerakkan tangan menampar dan perwira itu roboh pingsan! Selagi para
prajurit melongo dan kemudian marah-marah, Hek-sin Touw-ong yang kedua itu
sudah melarikan diri! Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Hek-sin Touw-ong kedua
ini bukan lain adalah Gak Bun Beng! Para prajurit menggotong perwira yang
pingsan dan mereka lari pergi menghadap Koksu Nepal. Ketika mereka bertemu
dengan rombongan koksu, mereka melihat bahwa Hek-sin Touw-ong sudah berada di
situ bersama rombongan koksu!
“Dia... dia
baru saja menyerang dan merobohkan komandan kami!” prajurit-prajurit itu
berseru.
“Kalian
bicara apa? Semenjak tadi aku berada di sini bersama dengan Koksu!” jawab
Touw-ong yang tentu saja mengerti bahwa yang dimaksudkan adalah Bun Beng.
Karena koksu
juga melihat sendiri betapa Touw-ong sejak tadi berada bersamanya, maka dia
marah-marah dan memaki-maki para prajurit dan menyuruh mereka pergi dan membawa
perwira yang pingsan. “Kalian tolol! Tentu musuh yang telah menyerang perwira
kalian, dan sama sekali bukan Touw-ong.”
“Tapi...
tapi hamba melihat betul bahwa Touw-ong...”
“Cukup dan
pergi! Atau kau ingin kupukul roboh juga?” bentak koksu dan para prajurit itu
segera pergi dengan ketakutan. Koksu Nepal marah bukan main. Dia merasa jengkel
bahwa bentengnya diselundupi mata-mata musuh dan sampai sekian lamanya mata
mata musuh belum juga tertangkap.
Ketika dia
mendengar laporan dari Twa-ok yang bertemu dengan Siluman Kecil dan pemuda
Pulau Es, mengertilah koksu bahwa Kian Lee dan Kian Bu adalah dua orang di
antara para mata-mata yang mengacau. Juga dia mendengar dari para pembantu lain
bahwa gadis yang dicinta oleh pangeran, Hwee Li, dan seorang gadis lain yang
mahir limu sihir, juga memasuki benteng dan melakukan pengacauan. Kalau hanya
orang orang muda itu yang mengacau, masa seluruh pasukan di dalam benteng ini
tidak mampu menangkap mereka? Padahal di situ terdapat lm-kan Ngo-ok lengkap,
belum lagi orang-orang pandai seperti Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi,
Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan masih banyak orang-orang pandai lagi!
“Tangkap
mereka!” bentaknya ketika dia bertemu dengan semua pembantunya. “Kalau tidak
dapat menangkap, bunuh saja mereka!”
“Akan
tetapi, jangan sekali-kali melukai atau membunuh Nona Hwee Li!” tiba-tiba
Pangeran Liong Bian Cu berkata dan tidak ada seorang pun berani membantah
perintah ini. Pengejaran di perketat dan semua pengawal dikerahkan untuk
mencari di seluruh tempat dalam benteng seperti menyisir rambut saja.
Akan tetapi
kekacauan makin menghebat pada saat para pengawal itu tiba-tiba melihat
Ang-siocia kembar! Saking bingungnya menyaksikan keributan yang ditimbulkan
oleh empat orang muda yang belum dapat mereka jumpai, Ang-siocia dan Ceng Ceng
meninggalkan tempat mereka dan ikut mencari, tentu saja dengan maksud melihat
siapa orangnya yang menyusup ke dalam benteng dan kalau perlu melindungi
mereka. Mereka lupa sama sekali bahwa wajah mereka adalah serupa dan bahwa
mereka merupakan Ang-siocia kembar! Demikian pula dengan Gak Bun Beng yang
sudah dapat menduga bahwa tentu keributan itu di timbulkan oleh Kian Bu dan
Kian Lee. Pendekar ini pun telah menambah kebingungan para pengejar karena dia
merupakan Hek-sin Touw-ong kedua.
“Benarkah
dugaanmu bahwa satu di antara pengacau itu adalah Siluman Kecil, Lihiap?” tanya
Ang-siocia kepada Ceng Ceng yang berjalan di sebelahnya.
Ceng Ceng
mengangguk. “Siapa lagi kalau bukan dia yang begitu berani mengacau di tempat
seperti ini? Dan aku mendengar sendiri dari mulut Twa-ok yang bertemu dengan
Ji-ok, bahwa dia telah bentrok dengan pemuda lihai berambut putih panjang.
Siapa lagi kalau bukan Paman Kian Bu?”
Jantung
Ang-siocia atau Kang Swi Hwa berdebar kencang. Siluman Kecil berada di situ
pula! Tentu saja dia makin bersemangat untuk dapat menolong dan menyembunyikan
pendekar yang telah menundukkan hatinya itu dan mereka berdua lalu makin giat
mencari. Tiba-tiba mereka bertemu dengan Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang
tinggi dan sombong, yang memimpin belasan orang dan yang memegang golok dengan
sikap angkuh, seolah-olah dialah yang akan berhasil menangkap para pengacau.
Matanya liar
memandang ke kanan kiri dan mendadak matanya terbelalak ketika dia melihat
Ang-siocia dan Ceng Ceng! Dia mengenal Ang-siocia yang dianggap sebagai
pembantu koksu yang lihai. Andai kata dia melihat seorang saja Ang-siocia
berkeliaran, tentu dia tidak akan menaruh curiga karena sudah semestinya kalau
Ang-siocia ikut pula mengejar dan mencari mata-mata musuh. Akan tetapi dia
melihat Ang-siocia kembar! Dan dia tidak pernah mendengar Ang-siocia mempunyai
enci atau adik di situ, apa lagi saudara kembar.
“Heeiii!!
Berhentii!” bentaknya.
Ang-siocia
sudah hafal akan semua pembantu koksu dan dia tahu siapa adanya si jangkung
bergolok ini. Maka dia tersenyum dan berkata, “Jiu-lopek, mau apa engkau menghentikan
aku? Apakah kau sudah berhasil membekuk mata-mata?”
Jiu Koan
memandang kepada Ang-siocia dan Ceng Ceng silih berganti dengan mata bingung.
“Ang-siocia, engkaukah Ang-siocia? Dan siapa pula yang seorang ini?”
Ditanya
demikian, barulah Ceng Ceng ingat bahwa ia menyamar sebagai Ang-siocia dan Kang
Swi Hwa sendiri baru sadar setelah dia menoleh dan menatap wajah Ceng Ceng.
Celaka, pikirnya mengapa dia begitu pelupa dan bodoh! Hal ini tentu karena
ketegangan hatinya mendengar bahwa Siluman Kecil berada di dalam benteng itu.
“Lihiap,
serang!” bisiknya dan dia sudah menerjang maju.
Juga Ceng
Ceng sudah bergerak dan serangannya demikian hebatnya sehingga Jiu Koan tidak
sempat lagi berteriak. Tengkuknya sudah dihantam oleh tangan Ceng Ceng dan dia
roboh tak sadarkan diri lagi. Juga Ang-siocia telah merobohkan dua orang anak
buah Liong-sim-pang, kemudian dua orang wanita itu meloncat dan cepat melarikan
diri, dikejar oleh para anak buah Liong-simpang yang berteriak-teriak.
Di sana-sini
terjadi pertempuran, apa bila ada seorang di antara para pengacau itu kepergok
musuh, akan tetapi karena empat orang muda itu memang lihai, mereka selalu
dapat melarikan diri dan mereka begitu cerdik sehingga tidak pernah para tokoh
lihai pembantu koksu dapat melihat mereka. Akan tetapi, setelah para pembantu
koksu menggunakan siasat bersembunyi sambil mengintai, akhirnya Ang-siocia dan
Ceng Ceng yang merupakan dua orang kembar itu terkepung oleh Twa-ok dan Ji-ok
dibantu oleh beberapa orang penjaga!
Twa-ok dan
Ji-ok berdua sudah mendengar dari para anggota Liong-sim-pang betapa Ang-siocia
telah berkhianat dan menyelundupkan seorang mata-mata yang menyamar seperti
dia, maka begitu bertemu dengan Ang-siocia kembar ini, orang pertama dan kedua
dari Im-kan Ngo-ok langsung saja meloncat keluar dari tempat persembunyian
mereka dan menghadang.
Ceng Ceng
terkejut bukan main saat melihat dua orang yang wajahnya mengerikan itu. Twa-ok
Su Lo Ti yang wajah dan tubuhnya seperti seekor monyet besar sudah sangat
mengerikan, akan tetapi Ji-ok Kui-bin Nionio yang memakai topeng tengkorak
lebih mengerikan lagi. Tentu saja dia tidak merasa takut, karena suaminya
sendiri, Si Naga Sakti Gurun Pasir, dahulu juga memakai topeng setan yang
mengerikan, dan memang nyonya muda yang gagah perkasa ini tidak pernah merasa
takut menghadapi siapa pun juga, apa lagi dia tidak pernah mengenal siapa
adanya dua orang ini dan sampai di mana kelihaian mereka. (baca Kisah Sepasang
Rajawali)
Akan tetapi,
Ang-siocia sudah menjadi amat pucat wajahnya dan dia berbisik, “Lihiap,
celakalah kita sekali ini...“
Twa-ok Su Lo
Ti tersenyum ramah, akan tetapi karena wajahnya seperti monyet, ketika
tersenyum ramah wajahnya itu menyeringai seperti seekor kera marah. “Ha-ha-ha,
engkaulah yang tulen karena wajahmu dapat berubah pucat. Dan yang seorang lagi
adalah Ang-siocia palsu, wajahnya tertutup lapisan topeng. Ang-siocia, memang
sejak lama aku sudah curiga kepadamu dan kepada gurumu, dan sekarang terbukti
bahwa engkau menyelundupkan seorang mata-mata musuh. Betapa berani mati
engkau.”
“Twa-heng,
ingin aku melihat wajah orang kedua ini,” kata Ji-ok Kui-bin Nionio dan tiba
tiba telunjuknya menuding ke arah Ceng Ceng, ke arah wajah pendekar wanita ini.
Terdengar suara mencicit nyaring dan hawa dingin tajam menyambar ke arah wajah
Ceng Ceng.
Wanita ini
terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita tua bertopeng tengkorak itu
demikian hebat kepandaiannya. Cepat dia miringkan tubuhnya dan menggunakan
kekuatan sinkang untuk menangkis. Dia berhasil menghindarkan diri, akan tetapi
tetap saja dia terhuyung, tanda betapa kuatnya sinkang dari wanita muka
tengkorak itu! Di lain pihak, Ji-ok Kui-bin Nionio juga terkejut dan penasaran.
Tidak banyak orang dapat menghindarkan diri dari serangan Kiam-ci (Jari Pedang)
yang amat diandalkan itu.
“Ehhh, kau
boleh juga!” dia mengejek dan sudah hendak menyerang pula. Akan tetapi Twa-ok
mencegahnya.
“Tidak perlu
membuka kedoknya, Ji-moi. Wajah semua wanita pun sama saja, tiada bedanya
dengan kedok. Kulit muka hanyalah topeng yang menutupi keadaan aslinya. Kalau
kulit muka dikupas, yang nampak tentu hanyalah tengkorak seperti yang sedang
kau pakai itu.”
“Kalau
begitu dia tentu harus kita bunuh dulu.”
“Tidak
perlu, aku bisa mengupas kulit muka mereka sehingga nampak tengkoraknya tanpa
membunuh mereka. Kau ingin lihat?”
“Baik, kau
lakukanlah. Ingin aku melihat tengkorak hidup, hi-hik-hik, tentu lucu sekali,
Twa-heng.”
Mendengar
percakapan dua orang aneh itu, Ang-siocia merasa ngeri. Akan tetapi, Ceng Ceng
marah bukan main. Dua orang itu bicara seolah-olah dia dan Kang Swi Hwa hanya
merupakan dua buah boneka yang boleh diperbuat sesuka hati dua orang iblis itu.
“Iblis-iblis
tua bangka yang sombong! Siapa takut padamu?” bentak Ceng Ceng dan nyonya muda
ini sudah menyerang dengan pukulan dahsyat.
Pukulan ini
adalah pukulan Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun) yang dulu
dipelajarinya dari mendiang Ban-tok Mo-li, dan setelah nyonya muda ini minum
darah anak naga dan memiliki kekuatan mukjijat, tentu saja pukulan yang
menggunakan jurus Ban-tok Sin-ciang ini dahsyatnya bukan main. Angin pukulan
yang mengandung hawa panas seperti api berkobar menyambar ke arah kakek gorilla
itu ketika Ceng Ceng menyerangnya.
“Aehhhhh...!”
Twa-ok Su Lo Ti berseru kaget. Dia langsung mengenal pukulan beracun yang
mengandung tenaga amat kuatnya, maka segera dia pun bergerak menangkis sambil
mengerahkan tenaganya.
“Dessss...!”
Tubuh Ceng
Ceng terlempar ke belakang, akan tetapi nyonya muda ini tidak roboh melainkan
berjungkir balik dan turun lagi ke atas tanah dengan selamat, sungguh pun
napasnya agak memburu karena dadanya terguncang hebat. Akan tetapi, sebaliknya
kakek itu pun terhuyung ke belakang. Bukan main kuatnya memang tenaga sakti
yang didapat oleh Ceng Ceng dari sari darah ular telaga yang dinamakan anak
naga itu!
Twa-ok Su Lo
Ti terbelalak kaget dan penuh kagum. Selama hidupnya mengembara di dunia
kang-ouw sebagai orang pertama dari Im-kan Ngo-ok, baru sekarang dia bertemu
tanding seorang wanita muda yang memiliki tenaga demikian kuatnya sehingga
dalam pertemuan tenaga tadi mampu membuat dia terhuyung.
“Hi-hi-hik,
Twa-heng, apakah kau masih bersumbar hendak mengupas kulit mukanya
hidup-hidup?” Ji-ok mengejek. Wanita tua mengerikan ini senang melihat
Twa-hengnya menemukan tandingan yang amat tangguh maka dia mengejek. Akan
tetapi Twa-ok tidak mempedulikannya.
“Siapakah
engkau?” tanyanya sambil memandang kepada Ceng Ceng.
“Siapa
adanya aku tidak perlu kau tahu!” bentak Ceng Ceng dengan angkuh.
Twa-ok
mengangguk-angguk. “Bagus, bagus! Kau kira aku tidak akan dapat mengenal ilmu
silatmu? Nah, kau sambutlah ini dan aku akan mencoba untuk mengenal ilmu
silatmu.”
Setelah
berkata demikian, dua buah lengan panjang itu bergerak dan tahu-tahu dua buah
tangan itu mulur sampai panjang, hendak menangkap Ceng Ceng dari atas dan
bawah. Yang atas mengacam kepala, yang bawah hendak menangkap kaki!
Ceng Ceng
makin kaget. Dari suaminya dia sudah pernah mendengar akan adanya ilmu mukjijat
ini, yang dapat membuat kedua lengan mulur sampai panjang sekali dan ilmu ini
sungguh amat berbahaya. Cepat dia lalu mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua
tangannya untuk menyambut dua lengan panjang itu dengan babatan tangan yang
dimiringkan.
“Wut-wuttt...
plakkk!”
Kembali
tubuh Ceng Ceng terlempar. Ketika kedua tangannya membabat tadi, seperti dua
ekor ular hidup, kedua lengan Twa-ok Su Lo Ti sudah mengelak dan dari samping,
tangan itu menampar ke arah tengkuk Ceng Ceng. Nyonya muda itu cepat mengelak,
akan tetapi tetap saja pundaknya kena ditampar dan dia terlempar dan
terbanting. Baiknya nyonya muda ini memiliki kekebalan, dan dia menggulingkan
tubuhnya lalu meloncat bangun kembali.
Sementara
itu, melihat Ceng Ceng sudah bertempur melawan Twa-ok, dengan nekat Ang-siocia
lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ji-ok dengan senjata itu. Ilmu Kiam-to
Sin-ciang yang dimiliki Ang-siocia sudah lumayan, dan kini dia menggunakan
pedang, maka tentu saja serangannya bukan merupakan hal yang boleh dipandang
ringan begitu saja.
Ji-ok maklum
akan hal ini, maka dia pun tidak berani menerima serangan pedang itu dan cepat
dia bergerak mengelak dan membalas dengan sambaran hawa pedang yang menyambar
dahsyat dari jari-jari tangannya. Menghadapi ini, Ang-siocia kewalahan dan baru
belasan jurus saja baju di lengan kirinya telah robek dan kulit lengannya
tergores hawa yang tajam itu. Dia terkejut dan melompat mundur, ditertawakan
oleh Ji-ok!
Pada saat
yang amat berbahaya bagi kedua orang wanita muda itu, tiba-tiba muncul Koksu
Nepal! Begitu muncul, Koksu Nepal ini cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan
berseru, “Twa-ok! Ji-ok! Jangan layani mereka. Pangeran berada dalam bahaya,
yang penting kita harus lindungi pangeran. Mari...!”
Tiba-tiba
Ang-siocia menyentuh lengan Ceng Ceng dan berbisik, “Kita pergi!” Lalu dia
menarik lengan Ceng Ceng. Nyonya muda ini mengerutkan alisnya, karena biar pun
dia maklum akan kelihaian lawan, dia tidak takut dan ingin melawan terus. Akan
tetapi sikap Ang-siocia yang menarik lengannya, dia pun tidak membantah dan
meloncat bersama Ang-siocia meninggalkan tempat itu.
Twa-ok dan
Ji-ok saling pandang dengan wajah menunjukkan kemarahan. Koksu Nepal sudah lari
ke kiri sambil memberi isyarat kepada mereka untuk ikut, akan tetapi mereka
tidak mau cepat-cepat ikut, karena mereka merasa mendongkol dengan sikap koksu.
Koksu tidak saja mencegah mereka menangkap atau merobohkan dua orang wanita
muda tadi, bahkan koksu telah menyebut mereka Twa-ok dan Ji-ok! Agaknya dalam
keadaan genting seperti itu, Sam-ok menganggap dirinya koksu dan menganggap
mereka berdua bukan sebagai kakak-kakak yang sepatutnya disebut Twa-heng dan
Ji-ci, melainkan menyebut mereka Twa-ok dan Ji-ok. Karena mendongkol inilah
maka keduanya tadi membiarkan saja Ceng Ceng dan Ang-siocia lari dan kini
mereka saling pandang.
“Hemmm,
lagaknya...!” Ji-ok mengomel.
“Sam-te,
memang sudah mabuk pangkat rupanya,” Twa-ok juga mengomel.
“Jangan
pedulikan dia, kalau dia muncul lagi akan kutempiling kepalanya!” Jik-ok makin
marah.
“Akan tetapi
kita di sini untuk membantu pangeran, kalau dia benar dalam bahaya...“
Mereka diam
dan menoleh. Betapa kaget dan marah mereka pada saat melihat koksu muncul lagi
dari belakang, padahal baru saja koksu pergi ke kiri!
“Twa-heng,
Ji-ci, kenapa kalian diam saja di sini?”
“Bagus, ya?
Tadi menyebut Twa-ok dan Ji-ok, kini mengapa berubah dengan sebutan Twa-heng
dan Ji-ci segala?” Ji-ok membentak dan sudah menyerang koksu dengan pukulan
Kiam-ci!
“Plak-plak!”
Dua kali koksu menangkis dan dia mencelat ke belakang.
“Ehh, ehh,
apa-apaan ini? Siapa menyebut kalian begitu?”
Twa-ok
memandang heran. “Bukankah baru saja engkau muncul dan mengajak kami melindungi
pangeran?”
“Siapa? Aku
baru saja datang...“
“Tentu kau
koksu yang palsu!” Ji-ok sudah menyerang lagi dengan dahsyatnya.
Koksu
meloncat ke kanan dan kiri, lalu meloncat ke belakang. “Tunggu, kau keliru,
Ji-ci. Lihat, apakah ini palsu?”
Dia lalu
bersilat, membuat gerakan aneh yang membuat tubuhnya berpusing. Itulah Thian-te
Hong-i, ilmu silat khas dari Ban Hwa Sengjin atau Sam-ok. Melihat ini Twa-ok
dan Ji-ok percaya.
“Wah, kalau
begitu, ada orang yang tadi main-main dan menyamar sebagai engkau, Sam-te,”
kata Ji-ok. Twa-ok lalu menceritakan pertemuan mereka berdua dengan dua orang
Ang-siocia, dan orang kedua itu amat lihainya.
Mendengar
penuturan itu, koksu mengangguk-angguk. “Aku sudah tahu. Guru dan murid maling
itu benar-benar telah mengkhianti kita. Dan Ang-siocia kedua itu tentu adalah
isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Agaknya mereka telah menyelundup ke
sini. Ji-ci, lekas kau pergi ke tempat tawanan dan kau bawa anak Si Naga Sakti
itu ke istana pangeran. Twa-heng, mari ikut aku untuk menjebak dan menangkap
mereka.”
Ji-ok
mengangguk dan berkelebat pergi, sedangkan Twa-ok kemudian mengikuti koksu
meninggalkan tempat itu.
Ke mana
perginya Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu? Dua orang yang memiliki kesaktian hebat
ini kenapa tidak muncul dalam keadaan kacau-balau itu?
Sesungguhnya
mereka berdua pun sedang sibuk dan sesuai dengan rencana siasat Jenderal Kao
Liang, mereka berdua menggunakan kesempatan selagi keadaan kacau balau itu
untuk berusaha menyelamatkan keluarga Jenderal Kao lebih dulu. Seperti kita
ketahui Gak Bun Beng menyamar sebagai Hek-sin Touw-ong, sedangkan Kao Kok Cu
yang lengan kirinya buntung itu memang tidak menyamar. Kini, kedua orang sakti
ini sudah berkelebat pergi menuju ke tempat di mana tawanan berada.
Namun tempat
itu terjaga dengan amat ketat, dan ketika mereka tiba di tempat itu, yang
bertugas menjaga adalah Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek sekali itu
dan Ngo-ok Toat-beng Siansu, tosu kurus yang tingginya dua meter setengah. Di
samping dua orang tangguh dari Im-kan Ngo-ok ini, nampak pula Hek-tiauw Lo-mo
dan Hek-hwa Lo-kwi.
Melihat
ketatnya penjagaan di luar tempat tahanan, Bun Beng menarik tangan Kok Cu ke
tempat gelap. “Penjagaan amat kuat,” bisik Bun Beng.
“Paman Gak,
kita terjang saja. Biar saya saja yang mengamuk sehingga Paman dapat melindungi
para tawanan dan membawa mereka keluar.”
Gak Bun Beng
menggelengkan kepala. “Empat orang kakek itu lihai sekali, dan kakek Nepal yang
berdiri di sudut itu agaknya juga tak boleh dipandang ringan.”
“Kalau tidak
salah, kakek itu bernama Gitananda dan menjadi pengawal pribadi koksu,” bisik
Kok Cu. “Akan tetapi, biarlah saya menghadapi mereka.”
“Aku percaya
kepadamu, Kok Cu. Tetapi tujuan kita adalah mengeluarkan tawanan dan membawa
mereka ke tempat seperti yang telah ditunjuk oleh ayahmu, bukan sekedar melawan
mereka. Jika sampai gagal, tentu akan lebih sukar lagi untuk menyelamatkan
mereka. Kau seorang diri saja masih kurang cukup untuk melindungi aku
mengeluarkan keluargamu yang amat banyak itu. Kalau saja ada Kian Lee atau Kian
Bu...“
Tiba-tiba
kedua orang itu menarik diri ke tempat gelap karena mereka melihat
berkelebatnya orang. Gerakan orang itu cepat bukan main dan melihat orang itu,
Bun Beng cepat bergerak. Dengan loncatan seperti seekor burung saja, dia sudah
keluar dari tempat sembunyinya dan menghadang di depan pemuda yang berkelebat
itu.
“Paman
Gak...!”
“Sssttttt…,
cepat ke sinilah...!”
Orang itu
bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini berada
di dalam tembok benteng, bukan semata-mata hendak membantu pemberontak atau
membantu Koksu Nepal, melainkan karena dia hendak melindungi Syanti Dewi yang
dianggapnya berada di tempat itu sebagai tawanan. Ketika terjadi ribut-ribut
pada malam hari itu, Tek Hoat terus menjaga di luar tempat tinggal sang puteri
dengan setia dan penuh kewaspadaan. Biar pun di situ ada pula Mohinta dan kaki
tangannya yang melakukan penjagaan, namun dia tidak pernah meninggalkan tempat
itu dan siap untuk melindungi Syanti Dewi.
Namun ketika
dia mendengar dari Mohinta dan para penjaga bahwa yang mengacau di dalam
benteng, di antaranya terdapat Kian Lee dan Kian Bu yang dinamakan orang Siluman
Kecil, juga adanya berita bahwa Ang-siocia dan gurunya juga berkhianat,
jantungnya berdebar tegang. Dia tahu bahwa mereka yang disebut sebagai pengacau
pengacau itu sama sekali bukanlah musuh Syanti Dewi, juga bukan musuhnya. Siapa
tahu kalau gerakan mereka itu malah ada hubungannya dengan ditawannya Syanti
Dewi dan bahwa mereka itu bergerak untuk membebaskan para tawanan termasuk juga
Syanti Dewi.
Semenjak
benteng itu diserang oleh barisan kerajaan yang dipimpin oleh Puteri Milana,
yaitu bibinya sendiri, dia sudah merasa gelisah bukan main. Dia tidak sudi
membantu orang Nepal, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat meninggalkan
Syanti Dewi yang menjadi tamu atau tawanan di tempat itu. Yang membuat dia
pusing dan bingung adalah sikap Syanti Dewi kepadanya. Begitu dingin dan lebih
hebat lagi, Syanti Dewi minta kepadanya agar dia membantu orang-orang Nepal….
Dalam
keadaan bimbang inilah akhirnya Tek Hoat meninggalkan tempat di mana dia
berjaga, yaitu di depan tempat tinggal Syanti Dewi dan dia berniat untuk
mencari dan bertemu dengan seorang di antara para pengacau untuk menyelidiki
apa yang mereka kehendaki. Maka ketika tiba-tiba dia melihat Gak Bun Beng, dia
terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa pendekar sakti itu juga telah berada
di dalam benteng!
Dia maklum
bahwa pendekar sakti ini adalah seorang gagah dan budiman, bahkan pernah
menyelamatkan nyawa Syanti Dewi berkali-kali, maka tentu saja dia menaruh
kepercayaan penuh dan cepat dia mengikuti Bun Beng menyelinap ke dalam tempat
gelap. Dan ketika dia melihat Kao Kok Cu berada pula di situ, dia makin
terkejut. Dia maklum akan kelihaian si Topeng Setan ini, maka cepat-cepat dia
menegur adik iparnya ini, karena Ceng Ceng adalah adik tirinya seayah berlainan
ibu.
“Engkau juga
di sini?”
Kao Kok Cu tersenyum.
“Sama dengan engkau.”
“Tek Hoat,
engkau harus ikut membantu kami. Kami akan menyelamatkan keluarga Kao yang
tertawan,” kata Bun Beng.
Tek Hoat
mengerutkan alisnya dan memandang dengan bimbang, lalu dia pun berkata dengan
suara meragu, “Akan tetapi aku... saya harus melindungi dia di sana...”
“Aku tahu,
Tek Hoat, engkau melindungi Syanti Dewi, tetapi bukankah engkau juga tahu bahwa
Syanti Dewi bukanlah tawanan melainkan tamu? Syanti Dewi takkan diganggu,
sebaliknya keluarga Kao terancam keselamatan nyawanya. Dan benteng ini sudah
dikurung oleh barisan kerajaan, dalam beberapa hari lagi pasti akan runtuh.
Engkau harus membantu kami. Kini kau bantulah Kok Cu menyerang mereka yang
menjaga tawanan itu, dan aku akan membawa mereka keluar.”
“Tapi
Syanti...“
“Jangan
khawatir, akulah yang menanggung bahwa kalau benteng ini dibobolkan, dan kalau
benar Syanti Dewi masih berada di sini, aku menjamin keselamatannya.”
Tentu saja
ucapan seorang pendekar seperti Gak Bun Beng itu tidak pernah diragukan oleh
Tek Hoat. Pula, memang sesungguhnya dia tidak suka kepada koksu dan semua
pembantunya dan dia tidak sudi membantu mereka. Kalau saja tidak ingat bahwa
Syanti Dewi perlu dengan perlindungannya, tentu dia tidak sudi tinggal di dalam
benteng itu dan sudah keluar, bahkan ada kemungkinan dia membantu bibinya,
Puteri Milana, untuk menyerbu ke dalam benteng. Maka mendengar ucapan Gak Bun
Beng, dia langsung mengangguk.
“Cepat,
waktunya tinggal sedikit lagi!” kata Gak Bun Beng dengan girang.
Dia telah
mengatur rencana dengan Jenderal Kao dan telah berjanji bahwa sebelum matahari
pagi muncul, dia sudah harus dapat membawa para tawanan itu ke tempat aman,
yaitu di dalam gudang bawah tanah yang telah ditentukan oleh Jenderal Kao
Liang. Dan waktu itu, tengah malam telah lama terlewat. Fajar sudah menjelang
tiba. Gak Bun Beng membisikkan siasatnya kepada Kao Kok Cu dan Tek Hoat,
kemudian, dari tempat persembunyian mereka, tiga orang yang berilmu tinggi ini
meloncat ke depan.
Seperti
sudah direncanakan oleh Bun Beng, maka Gak Bun Beng langsung menyerang Ngo-ok
yang tinggi itu sedangkan Kok Cu mernyerang Su-ok, ada pun Tek Hoat sudah
menerjang ke arah Hek-tiauw Lo-mo.
Perhitungan
Gak Bun Beng memang tepat. Di antara mereka yang berjaga itu orang orang yang
paling lihai adalah Su-ok dan Ngo-ok. Akan tetapi, dua orang dari Im-kan Ngo-ok
itu kini diserang oleh dua orang sakti seperti Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu,
maka biar pun mereka itu cepat menyambut, namun mereka terkena hantaman dengan
hawa pukulan sinkang yang hebat bukan main sampai mereka itu terhuyung-huyung
ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gak Bun Beng untuk mendesak
Ngo-ok dengan ilmu sakti Lo-thian-sin-ciang.
Biar pun Si
Jangkung itu telah mempertahankan diri dan menggerakkan dua lengannya yang
panjang, namun karena diserang secara mendadak oleh seorang yang memiliki
tingkat ilmu yang lebih tinggi dari padanya, dia menjadi bingung dan gugup,
akhirnya pundaknya kena ditampar dan dia terlempar sampai beberapa kaki
jauhnya!
Sepak
terjang Si Naga Sakti Gurun Pasir lebih hebat lagi. Tadi dia melayang seperti
seekor naga dan begitu tangan kanannya yang mencengkeram itu dapat dielakkan
oleh si kate Su-ok yang masih terhuyung karena dorongan hawa pukulan, Kok Cu
menubruk dengan kecepatan kilat dan lengan kirinya yang kosong dan hanya ada
lengan baju saja itu meluncur ke depan, melakukan totokan sampai tujuh kali ke
arah jalan-jalan darah yang paling berbahaya dari lawan.
Su-ok
berteriak kaget dan ketakutan, menggelinding ke sana-sini, dan biar pun dia berhasil
menghindarkan diri dari ancaman maut, tetap saja dia kena ditendang sehingga
tubuhnya menjadi semacam bola dan terlempar lebih jauh dari tubuh Ngo-ok.
Tek Hoat
mengalami kesukaran karena dikeroyok oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi.
Tetapi tiba-tiba Kok Cu membantunya dan dua orang iblis itu menjadi gentar
karena hawa pukulan yang meluncur dari tangan tunggal Kok Cu sudah mendorong
mereka ke belakang dengan dahsyatnya. Juga Gitananda yang memutar tongkatnya,
bertemu dengan Bun Beng yang secara berani menangkis tongkat itu dengan lengan.
“Krakkkk!”
Tongkat itu
patah dan Gitananda meloncat ke belakang dengan muka pucat. Pendeta Nepal ini
lalu berkemak-kemik, mengangkat tangan kiri ke atas dan berteriak nyaring,
“Tiga orang jahat berlututlah kalian!”
Bun Beng dan
Kok Cu telah mencapai tingkat tinggi sekali dalam kekuatan sinkang mereka, maka
walau pun jantung mereka tergetar karena pengaruh sihir ini, dengan menahan
napas mereka dapat menolak pengaruh itu. Ketika Tek Hoat terhuyung dan hampir
berlutut, tiba-tiba Kok Cu mengeluarkan suara melengking seperti seekor naga
marah. Mendadak Tek Hoat dapat meloncat ke depan kakek Nepal, dengan kemarahan
meluap Tek Hoat lalu menusukkan jari tangannya dengan pengerahan tenaga sinkang
ke arah dada Gitananda. Kakek ini terkejut, lalu mendoyongkan tubuh ke belakang
dan menggerakkan tangan kanan menangkis.
“Cusss...
aughhh...!”
Lengan yang
menangkis itu bertemu dengan jari tangan Tek Hoat sehingga lengan itu tertusuk
jari seperti tertusuk pedang saja! Memang hebat sekali jari tangan Tek Hoat ini
dan bukanlah julukan kosong kalau di dunia kang-ouw dia dinamakan Si Jari Maut.
Kiranya pengaruh sihir dari Gitananda tadi membuyar dan lenyap oleh suara
lengkingan yang keluar dari dada Kok Cu.
“Harap
kalian suka menahan mereka!” Bun Beng berseru.
Dan dia
sendiri lalu menerobos dari kepungan, menghampiri pintu tempat tahanan dan
merobohkan setiap orang pengawal yang berani menghalanginya. Dengan kekuatan
tangannya, dibobolnya pintu itu. Pintu besi yang terkunci itu ambrol dan
terbuka.
Keluarga Kao
yang sejak tadi merasa gelisah mendengar suara ribut-ribut, kini terkejut
melihat munculnya seorang laki-laki gagah perkasa. Kini Gak Bun Beng sudah
tidak lagi menyamar sebagai Hek-sin Touw-ong. Semenjak dia pergi bersama Kao
Kok Cu untuk menolong keluarga Kao, dia sudah menanggalkan penyamarannya yang
dianggapnya tidak berguna lagi.
Akan tetapi,
Kao Kok Tiong, putera kedua dari Jederal Kao, segera mengenal Bun Beng.
“Gak-taihiap...!”
serunya girang dan semua keluarga lalu dikumpulkan dan diajak keluar oleh Bun
Beng.
“Cepat, kita
harus pergi ke gudang bawah tanah. Ini perintah Jenderal Kao!” kata Bun Beng.
Kok Tiong
lalu mengatur keluarganya, digiringnya semua keluarga itu keluar dari tempat
tahanan. Ternyata Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gitananda dan semua penjaga
sudah melarikan diri, tidak dapat menahan amukan Kok Cu dan Tek Hoat.
Melihat
ibunya dan semua keluarga keluar, Kok Cu girang dan terharu. Akan tetapi
matanya mencari-cari dan wajahnya berubah. “Mana Cin Liong...?” tanyanya.
Kok Tiong,
adiknya, cepat-cepat berkata, “Baru saja dia dibawa pergi oleh nenek muka
tengkorak, Twako.”
“Ji-ok...!”
Kao Kok Cu berseru kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia sudah mendengar tentang
kekejaman nenek iblis itu dan kini puteranya dibawa pergi oleh Ji-ok.
Melihat
keadaan kakaknya, Kok Tiong berkata dengan suara sedih, “Maafkan bahwa aku
tidak dapat mempertahankan puteramu, Twako. Nenek itu lihai bukan main dan dia
berkata bahwa koksu yang menyuruh dia menjemput Cin Liong.”
Kao Kok Cu
tentu saja tidak dapat menyalahkan adiknya karena dia pun maklum betapa
lihainya Ji-ok yang sama sekali bukanlah tandingan Kok Tiong. Dia lalu berkata
kepada Gak Bun Beng. “Paman Gak, tolong Paman lindungi keluarga kami, aku
sendiri harus cepat mencari Cin Liong.” Setelah berkata demikian dan melihat
Bun Beng yang telah mengangguk, Kok Cu lalu berkelebat pergi dengan cepatnya.
Gak Bun Beng
kini dibantu oleh Tek Hoat mengawal keluarga Jenderal Kao menuju ke gudang
bawah tanah yang memang sudah dipersiapkan oleh Jenderal Kao sebagai tempat
persembunyian keluarganya kalau tiba saatnya. Tanpa ada rintangan, Bun Beng
berhasil mengantar mereka semua memasuki gudang bawah tanah.
“Paman Gak,
sekarang saya harus pergi karena saya harus melindungi Syanti Dewi! Sedapat
mungkin saya harus melarikan dia dari tempat ini sebelum terlambat.”
Gak Bun Beng
mengangguk dan hendak membuka mulut, akan tetapi ditahannya dan dia memandang
tubuh pemuda itu yang sudah berkelebat pergi. Tadinya dia hendak memberi tahu
bahwa yang dilindunginya itu adalah Syanti Dewi palsu, akan tetapi dia ingat
betapa aneh dan beraninya tabiat pemuda ini sehingga kalau sampai diberitahu,
mungkin pemuda ini akan mengamuk di dalam benteng secara nekat dan hal itu sama
artinya dengan bunuh diri. Karena itulah maka dia tidak jadi memberi tahu.
Dengan sikap
gagah Gak Bun Beng menjaga di luar pintu gudang itu bersama Kao Kok Tiong yang
kini timbul kembali semangatnya setelah keluarganya keluar dari tahanan, apa
lagi ketika dia mengetahui bahwa kakaknya yang sakti, juga banyak pendekar
sakti, telah berada di dalam benteng untuk membantu keluarganya. Dia merampas
sebatang pedang dari seorang penjaga dan dengan pedang di tangan dia ikut
menjaga di depan pintu gudang di mana keluarganya bersembunyi.
Ketika Tek
Hoat berlari menuju ke tempat di mana Syanti Dewi berada, yaitu di sebuah
bangunan kecil bagian barat, tiba-tiba dia melihat Kian Lee dan Kian Bu lagi
mengamuk di luar rumah besar seperti istana yang dia tahu adalah tempat tinggal
Pangeran Liong Bian Cu. Kakak beradik yang amat lihai itu dikeroyok oleh Im-kan
Ngo-ok! Tadinya Tek Hoat tidak mau peduli karena baginya yang terpenting adalah
keselamatan Syanti Dewi, dan melihat betapa koksu dan teman-temannya sedang
sibuk mengeroyok dua orang pemuda Pulau Es itu, dia melihat kesempatan baik
untuk melarikan Syanti Dewi.
Akan tetapi,
melihat betapa dua orang kakak beradik yang amat lihai itu terdesak hebat oleh
Im-kan Ngo-ok, sedangkan di situ masih nampak para pembantu koksu lainnya, dia
merasa tidak tega. Dia teringat bahwa dua orang pemuda Pulau Es itu adalah
orang orang gagah luar biasa, dan dia teringat juga bahwa mereka itu
sesungguhnya masih merupakan paman-paman tirinya karena dia adalah cucu kandung
dari lbu Suma Kian Lee. Mendiang ayahnya dan Suma Kian Lee adalah saudara seibu
berlainan ayah. Mana mungkin dia mendiamkan saja mereka yang terancam bahaya di
tangan Im-kan Ngo-ok?
Dia tahu
bahwa dia sendiri bukanlah lawan lima orang iblis Im-kan Ngo-ok itu, akan
tetapi kalau melihat dua orang pemuda Pulau Es itu terancam bahaya dan dia diam
saja, selamanya dia akan merasa menyesal. Apa lagi kalau hal itu terdengar oleh
Syanti Dewi, tentu dia akan dikutuk oleh Puteri Bhutan itu sebagai seorang
manusia yang tidak mengenal peri kemanusiaan!
Teringat
akan ini, dia lalu mengeluarkan teriakan nyaring dan meloncat ke depan,
langsung dia menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah Koksu Nepal.
“Haiiiiittt...!”
Hantaman
yang dilakukan oleh Tek Hoat itu hebat bukan main. Tek Hoat sudah tahu akan
kesaktian koksu atau Sam-ok, maka sekali menyerang dia telah mengerahkan
seluruh tenaganya sehingga angin pukulan dahsyat menyambar ke arah kepala Ban
Hwa Sengjin.
“Ehhh...?”
Kakek botak itu terkejut bukan main.
Tadi bersama
dengan Twa-ok dia sedang mengeroyok dan mendesak Siluman Kecil, sedangkan tiga
orang saudaranya yang lain mendesak Kian Lee. Ketika menghadapi serangan
diahsyat ini, dia berseru keras dan melempar tubuh ke belakang sambil
menggerakkan kedua tangannya untuk melindungi tubuhnya. Dia terluput dari
serangan itu, akan tetapi Kian Bu juga terbebas dari desakan, bahkan dengan
pukulan-pukulan gabungan tenaga Im-yang yang amat dahsyat dia dapat membuat
Twa-ok meloncat ke belakang pula.
Melihat
bahwa yang membantunya adalah Ang Tek Hoat, Kian Bu terkejut dan girang sekall.
“Ah, kiranya engkau membantuku, Tek Hoat?” tanyanya sambil tersenyum lebar.
“Bagus, Tek
Hoat!” Kian Lee yang sudah terdesak itu pun masih mampu mengeluarkan seruan
girang.
Melihat Kian
Lee terdesak hebat oleh tiga orang lawannya, Tek Hoat lalu menerjang dan
menyerang Ji-ok yang mengerikan itu sambil berkata, “Mari kita hancurkan mereka
ini atau kita mati bersama!”
Kakak
beradik dari Pulau Es itu tentu saja merasa girang bukan main mendengar hal
ini. Semangat mereka bangkit kembali dan bersama dengan Ang Tek Hoat mereka
lalu mengamuk dan biar pun lima orang Im-kan Ngo-ok memiliki kepandaian yang
rata-rata amat tinggi, bahkan tingkat kepandaian Twa-ok dan Ji-ok sedikit lebih
tinggi dari pada tingkat mereka, namun tidak mudah bagi Im-kan Ngo-ok untuk
merobohkan mereka bertiga.
“Mari kita
masuk!” Tiba-tiba Kian Lee yang maklum bahwa kalau mereka tidak cepat cepat
dapat menangkap Pangeran Liong Bian Cu, tentu keselamatan mereka akan terancam
hebat. Mendengar teriakan Kian Lee ini, Kian Bu dan Tek Hoat lalu mengikuti
Kian Lee yang sudah lebih dulu meloncat ke dalam istana itu! Anehnya, Im-kan
Ngo-ok tidak menghalangi perbuatan mereka melainkan mengejar dari belakang.
Tiba-tiba
terdengar suara koksu, suara yang dikirim dari jauh melalui kekuatan khikang ke
arah kamar di sebelah kiri yang pintunya terbuka dan besar.
“Pangeran,
hati-hati, tutuplah pintu kamar Paduka.”
Suara ini
terdengar oleh tiga orang muda perkasa itu. Tentu saja girang bukan main hati
Kian Lee dan Kian Bu, maka serentak mereka bersama Tek Hoat menyerbu ke dalam
kamar yang pintunya terbuka itu. Kalau sekali pangeran itu dapat mereka
tangkap, tentu mereka dapat menguasai keadaan.
Tiga orang
muda perkasa itu masih bersikap hati-hati saat mereka menyerbu memasuki pintu
kamar itu. Akan tetapi ketika mereka melihat Pangeran Liong Bian Cu duduk di
atas pembaringan kamar yang amat indah itu, hati mereka girang sekali dan
seperti orang-orang berlomba mereka melompat ke dalam. Tentu saja dalam
perlombaan itu Kian Bu yang menang karena pemuda ini mengerahkan ilmu
ginkang-nya yang luar biasa.
“Bu-te,
hati-hati...!” Tiba-tiba Kian Lee berseru kaget ketika pemuda ini melihat pintu
kamar di belakangnya tiba-tiba tertutup.
Kian Bu
sudah hampir tiba di dekat pembaringan, ketika mendadak pembaringan itu
terjeblos ke bawah dengan cepat sekali bersama tubuh sang pangeran yang tertawa
mengejek. Kian Bu maklum bahwa pangeran itu melarikan diri dengan alat rahasia,
maka dia cepat menyusulkan pukulan dengan tenaga saktinya.
“Blarrrrr...!”
Pembaringan
itu pecah, akan tetapi tubuh sang pangeran sudah meloncat ke bawah dan lubang
di mana ranjang itu lenyap kini telah tertutup kembali. Kian Bu meloncat ke
tempat itu dan menggunakan kakinya untuk menginjak dan menendang, namun
hasilnya sia-sia belaka karena ternyata lantai itu terbuat dari batu yang di
bawahnya dipasangi baja. Mereka bertiga seperti tiga ekor harimau terjebak.
Mereka berlarian ke pintu dan jendeta, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa
jendela dan pintu itu terbuat dari baja yang amat kuat pula! Mereka telah
terjebak dalam sebuah kamar luas yang kuat sekali. Melihat adanya sebuah pintu
kayu kecil di sebelah kiri, yang agaknya menembus ke ruangan lain, Kian Bu lalu
menendangnya.
“Brakkkkk...!”
Pintu kayu
itu jebol dan mereka bertiga siap untuk menerjang ke depan, akan tetapi betapa
kaget hati mereka ketika melihat empat orang menggeletak pingsan di dalam kamar
di belakang pintu itu! Mereka itu adalah Hek-sin Touw-ong, Ang-siocia, Siang
In, dan Hwee Li!
“Ahhhhh...!”
Otomatis
Kian Lee dan Kian Bu meloncat dan berlutut dekat tubuh Siang In dan Hwee Li dan
karena mereka berdua masih menyangka bahwa masing-masing mencinta dara yang
datang bersama mereka. Kian Lee merasa tidak enak kalau harus mendekati Hwee
Li, sungguh pun hatinya merasa berkhawatir sekali akan keselamatan Hwee Li, maka
dia lalu ‘mengalah’ dan tidak ingin menyakitkan hati adiknya. Dia berlutut di
dekat tubuh Siang In.
Melihat ini,
Kian Bu juga makin keras menyangka bahwa kakaknya itu benar-benar telah jatuh
hati kepada Siang In, padahal dia tahu bahwa Hwee Li mencinta kakaknya. Dia
merasa kasihan kepada Hwee Li dan dia pun berlutut di dekat Hwee Ll. Sementara
itu, Tek Hoat cepat memeriksa jendela kamar ini dan ternyata sama juga. Jendela
kamar ini amat kuatnya, terbuat dari pada baja dan terkunci dari luar!
Kian Lee dan
Kian Bu merasa lega bahwa dua orang dara itu hanya pingsan karena asap bius
saja, demikian pula Hek-sin Touw-ong dan Ang-siocia. Setelah mengurut tengkuk
mereka, sebentar saja mereka berempat sudah siuman kembali dan yang lebih dulu
meloncat adalah Hwee Li.
“Mana si
bedebah pangeran dan koksu? Biar kupatahkan batang lehernya!” bentaknya marah,
apa lagi ketika melihat betapa Kian Lee tadi mengurut tengkuk Siang In. Rasa
cemburu bercampur rasa mendongkol karena dia seperti juga yang lain telah kena
dijebak oleh koksu dan pangeran sehingga tertawan di dalam kamar itu.
Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring, “Kembalikan anakku!” Dan terdengar suara hiruk
pikuk ketika pintu besar terbuka dan Ceng Ceng meloncat ke dalam kamar itu.
“Ceng Ceng,
tahan pintu itu!” Tiba-tiba Kian Lee berteriak.
Namun
terlambat karena begitu Ceng Ceng masuk pintu itu telah tertutup kembali! Ceng
Ceng membalik, mendorong dan menendang pintu, namun sia-sia belaka. Pintu itu
terlampau kokoh kuat.
Mereka semua
kini berkumpul di tengah kamar besar itu. Ceng Ceng bercerita betapa dia tadi
berpisah dari Ang-siocia dan karena merasa tidak perlu lagi menyamar dalam
keadaan ribut itu, dan pula karena sudah diketahui musuh betapa Ang-siocia
sudah berkhianat, maka dia menanggalkan penyamarannya. Ketika dia hendak
mencari tempat tawanan, dia melihat Ji-ok mengempit tubuh puteranya berkelebat
ke dalam istana ini.
“Ibuuuuu...
tolonggg...!” Cin Liong menjerit dan Ceng Ceng lalu mengejar.
Akan tetapi
Ji-ok lenyap dan Ceng Ceng yang tiba-tiba melihat pintu istana terbuka, cepat
menerjang masuk. Kiranya dia pun terjebak seperti yang lain.
“Bagaimana
kalian tahu-tahu pingsan di dalam kamar sebelah?” Kian Lee bertanya kepada
Siang In tanpa berani memandang kepada Hwee Li yang dianggapnya telah saling
jatuh cinta dengan Kian Bu.
Akan tetapi
yang ditanya sedang menatap wajah Kian Bu tak pernah berkedip, dan barulah
Siang ln terkejut ketika dia ditanya oleh Kian Lee. Dia menunduk dan menarik
napas panjang. “Si keparat Koksu Nepal itu sungguh amat cerdik dan berbahaya.”
Akan tetapi dia tidak berani bercerita, hanya mengerling ke arah Hwee Li.
Hwee Li
mengerutkan alisnya. Dia juga merasa sungkan dan sukar untuk menceritakan
betapa dia kembali telah bertemu dengan Siang In dan saling serang! Maka dia
lalu bercerita sambil melewati adegan ketika dia bertanding melawan Siang In
itu.
“Kami
berdua... kami dikepung oleh orang-orang yang dipimpin oleh Pangeran Nepal
sendiri. Karena aku gemas dan benci kepadanya, aku menyerang Pangeran Nepal
yang main mundur dan akhirnya kami berdua kena dipancing ke dalam kamar ini.
Pangeran Nepal dan para pengikutnya lenyap melalui pintu-pintu rahasia, dan
ternyata semua itu diatur oleh koksu yang hanya terdengar saja suaranya dari
dalam kamar. Tak lama kemudian muncul Hek-sin Touw-ong dan Enci Swi Hwa yang
hendak menolong kami berdua. Akan tetapi sungguh celaka, mereka itu pun
terjebak dan begitu masuk, mereka tidak dapat keluar kembali.” Dia tidak mau
menceritakan betapa di dalam kamar itu, dia dan Siang In sudah saling maki dan
saling serang kembali sampai muncul guru dan murid itu yang melerai mereka.
“Eh,
bagaimana bisa begitu?” Kian Bu bertanya sambil memandang kepada Ang-siocia
yang sejak tadi juga memandang kepadanya dengan sinar mata penuh perasaan.
“Koksu Nepal
memang lihai bukan main,” Touw-ong bercerita. “Dia sudah tahu bahwa kami berdua
telah memberontak dan berkhianat, akan tetapi dia sengaja pura-pura tidak tahu.
Ketika bertemu dengan kami, dia menyuruh kami menjaga tawanan di dalam kamar
ini. Kami berdua mengintai dan melihat dua orang Nona ini sedang... ehhh...“
Sukar bagi Touw-ong untuk menceritakan betapa dia melihat dua orang nona itu
saling serang!
“Kau dan
muridmu lalu menolong kami akan tetapi terjebak pula!” Hwee Li melanjutkan
cepat.
Touw-ong
mengangguk. “Benar, kami melihat dua orang Nona ini dan cepat kami membuka
pintu dari luar. Akan tetapi begitu kami berdua masuk, pintu tertutup dari luar
dan pada saat itu koksu menyemburkan asap beracun ke dalam kamar. Kami tak
dapat menghindarkan asap itu dan roboh pingsan.”
Kian Bu dan
Kian Lee saling pandang. Koksu Nepal itu benar-benar amat cerdik sekali. Mereka
semua kini telah terjebak di situ, bahkan Ceng Ceng yang lihai juga telah dapat
dipancing masuk ke dalam ruangan.
“Ha-ha-ha,
semua tikus yang mengacau benteng telah terjebak. Orang-orang muda yang bosan
hidup, kalian mau berkata apa lagi sekarang?” Tiba-tiba terdengar suara koksu
dari lubang jendela yan terbuat dari pada baja.
“Kami telah
terjebak oleh akal busukmu, mau bunuh lekas bunuh!” Ceng Ceng yang tidak
kehilangan keberaniannya itu memaki. Tek Hoat memandang saudara tirinya seayah
berlainan ibu itu dengan kagum.
“Ceng Ceng,
engkau masih seperti dulu, benar-benar mengagumkan hatiku,” katanya.
Ceng Ceng
memandang saudaranya ini dan tersenyum. “Dan aku girang sekali melihat engkau
berdiri di pihak kami, bukan menjadi lawan kami, Tek Hoat.”
Melihat dua
orang keponakannya itu, Kian Lee yang pernah jatuh hati secara mendalam dan
mati-matian kepada Ceng Ceng, memegang tangan mereka dan berkata, “Dan aku
girang sekali mempunyai dua orang keponakan seperti kallan. Aku akan merasa
bangga dapat mati bersama kalian.”
Ucapan yang
jujur ini amat mengharukan hati Tek Hoat, apa lagi Ceng Ceng yang maklum akan
isi hati ‘pamannya’ itu sehingga dua titik air mata membasahi mata nyonya muda
itu.
Melihat
adegan yang mengharukan itu, tiba-tiba saja Hwee Li menjadi marah. Kian Lee
agaknya sama sekali tidak mempedulikan dia! Tiba-tiba saja dia menghampiri
jendela dari mana tadi terdengar suara koksu dan dia lantas membentak, “Ehh,
koksu botak menjemukan! Lekas kau beritahukan kepada Pangeran Liong Bian Cu
bahwa aku adalah tunangannya dan aku menuntut agar dia membebaskan aku!”
Akan tetapi
koksu hanya tertawa mengejek dan Hwee Li menjadi makin marah, lalu dia
menjerit-jerit nyaring, “Pangeran Liong Bian Cu, apakah mulutmu berbau tahi dan
tidak dapat dipercaya lagl? Kau bilang mencintaku, kau bilang bahwa aku adalah
calon isterimu, mengapa kau membiarkan aku terjebak dan ditawan seperti ini?
Kalau kau menghinaku, mana aku sudi menjadi isterimu?”
Tiba-tiba
nampak wajah pangeran yang tampan dengan hidung kakatua itu dari balik jendela.
Suaranya halus ketika dia berkata, “Hwee Li, manisku. Mana aku dapat melupakan
engkau? Adalah salahmu sendiri sampai engkau terjebak karena engkau telah
terbujuk musuh dan membantu mereka. Akan tetapi kalau engkau mau bertobat,
tentu saja aku suka mengampunimu, seperti yang telah berkali-kali kulakukan.”
Kian Lee dan
Kian Bu memandang pada Hwee Li dengan alis berkerut penuh kecewa. Apakah puteri
Hek-tiauw Lo-mo ini akhirnya memperlihatkan belangnya dan dalam keadaan
terancam itu lalu timbul kepalsuannya, merengek dan minta diampuni oleh
pangeran? Akan tetapi Kian Bu melihat sendiri betapa selama ini Hwee Li
benar-benar menentang musuh, bahkan mati-matian membela pihak mereka yang
memusuhi orang orang Nepal.
“Pangeran,
mana aku bisa percaya omonganmu kalau engkau tidak mau masuk ke sini? Masuklah
dan jemputlah aku, baru aku percaya kepada omonganmu. Ribuan kali engkau menyatakan
cinta, akan tetapi aku masih belum percaya benar dan sekali ini biar kupakai
sebagai ujian.”
Mendengar
ucapan ini, Siang In mendengus dengan penuh ejekan, akan tetapi Kian Bu dan
Kian Lee saling pandang, maklum akan maksud ucapan Hwee Li yang agaknya hendak
memancing pangeran itu masuk agar dapat ditangkap. Maka kakak beradik ini sudah
siap untuk turun tangan begitu melihat sang pangeran masuk ke dalam ruangan
itu.
Akan tetapi,
dari luar ruangan itu terdengar suara ketawa Koksu Nepal. “Ha-ha-ha-ha! Nona
Hwee Li, engkau kira kami hanya anak-anak kecil yang mudah kau bujuk dan tipu
begitu saja.”
“Hwee Li,
kekasihku, kau keluarlah dari ruangan itu, melalui pintu. Akan tetapi yang lain
jangan ada yang bergerak, dan setelah tiba di luar, aku tentu akan
membebaskanmu dan permintaan apa pun yang kau ajukan akan kupertimbangkan.”
Mendengar
ini, Hwee Li mengerutkan alisnya. Akalnya gagal. Akan tetapi dia masih
mempunyai harapan. “Benarkah bahwa semua permintaanku kau penuhi?”
“Akan
kupertimbangkan,” jawab pangeran.
Tidak ada
lain jalan bagi Hwee Li. Harapan satu-satunya untuk menolong semua orang yang
tertawan hanyalah membujuk pangeran yang benar-benar jatuh cinta kepadanya itu.
Kalau perlu, untuk menyelamatkan mereka, terutama menyelamatkan Kian Lee, dia
siap untuk mengorbankan diri!
“Baiklah,
aku akan keluar.” Dia kemudian menoleh, sekali ini dia menatap Kian Lee dan
berbisik, “Harap kalian jangan bergerak, aku akan membantu kalian, jangan
khawatir.“ Kemudian dia melangkah menuju ke pintu ruangan itu.
“Hwee Li,
engkau jangan mudah terbujuk musuh!” Ceng Ceng berkata, memperingatkan muridnya
karena dia khawatir kalau-kalau muridnya itu akan celaka di tangan Pangeran
Nepal. Hwee Li menoleh dan tersenyum kepada nyonya muda itu.
“Harap Subo
jangan khawatir, aku dapat menjaga diri,” katanya.
Seluruh urat
syaraf di tubuh Kian Lee, Kian Bu, Ceng Ceng, dan Tek Hoat sudah menegang dan
mereka sudah siap menerjang keluar kalau pintu itu terbuka. Akan tetapi ketika
Hwee Li melangkah sampai di belakang pintu, tiba-tiba dia menjerit dan tubuhnya
terjeblos ke bawah. Kiranya lantai di belakang pintu itu dipasangi alat dan
begitu dara itu menginjaknya, lantai itu bergerak meluncur ke bawah membawa
tubuh dara itu bersamanya.
Semua
pendekar yang berada di situ meloncat, akan tetapi lantai itu telah tertutup
kembali dan tubuh Hwee Li sudah lenyap! Ternyata tubuh Hwee Li telah terbawa
turun dan begitu dia tiba di ruangan bawah, di situ telah menanti Pangeran
Liong Bian Cu dan Koksu Nepal! Hwee Li hendak mengamuk, akan tetapi pangeran
itu menubruknya dan pada saat yang sama Koksu Nepal telah mengirim totokan.
Hwee Li tak mungkin dapat melawan dua orang yang amat lihai itu dan di lain
saat dia telah tertotok dan dipondong oleh Pangeran Liong Bian Cu.
“Bunuh
mereka semua! Bakar saja ruangan itu dari luar!” Sang pangeran berteriak dengan
girang setelah dia berhasil menangkap kekasihnya.
Mereka yang
tertawan di dalam mendengar perintah ini dan mereka menjadi bingung. Kembali
mereka berusaha mencari jalan keluar dengan mengetuk-ngetuk tembok, memeriksa
dinding, jendela dan pintu, juga meloncat ke atas untuk mencoba menerobos atap.
Namun semua itu sia-sia karena memang ruangan itu dibuat secara khusus untuk
menjebak lawan-lawan tangguh dan pembuatannya telah direncanakan sendiri oleh
Koksu Nepal.
Dalam
keadaan yang menegangkan urat syaraf itu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan
nyaring disusul suara hiruk-pikuk, “Kebakaran! Kebakaran!”
“Gudang ransum
terbakar!”
“Tolonggggg...!
Lekas bantu padamkan. Ransum terbakar...!”
Mereka yang
terkurung di dalam ruangan itu saling pandang. Kian Lee, Kian Bu, dan Siang In
tidak mengerti apa artinya itu, akan tetapi Ceng Ceng, Ang-siocia dan Hek-sin
Touw-ong tersenyum girang.
“Ah, siasat
Jenderal Kao Liang mulai dijalankan dengan baik!” kata Touw-ong dan dia lalu
duduk bersandar tembok dengan wajah girang.
“Ransum di
sini akan terbakar habis dan benteng ini sudah dikurung! Sebentar lagi tentu
tentara kerajaan akan menyerbu. Ahh, kalau mereka yang jahat ini dapat
dihancurkan, kematian kita pun tidak akan sia-sia!” kata Ang-siocia sambil
memandang kepada Kian Bu. Dia tahu bahwa mereka telah terjebak dan agaknya
tidak ada harapan lagi untuk hidup, maka wanita muda ini tidak ragu-ragu lagi
untuk menyatakan rasa hatinya terhadap Siluman Kecil. “Terutama sekali, aku
rela mati bersama Taihiap,” katanya sambil memandang kepada pendekar itu.
“Bukankah kita pernah melakukan perjalanan bersama yang amat menyenangkan?
Kalau kita mati bersama, berarti sekali lagi melakukan perjalanan bersama Taihiap,
betapa bahagianya rasa hatiku!”
Hek-sin
Touw-ong mengerutkan alisnya. Murid yang dicintanya itu telah dia tetapkan
untuk menjadi jodoh dari Siauw Hong, murid dari Sai-cu Kai-ong yang telah
mengetahui rahasia kewanitaan Ang-siocia yang menyamar pria. Akan tetapi dia
tahu pula bahwa muridnya ini telah jatuh hati kepada Siluman Kecil, maka di
samping rasa tidak puasnya melihat sikap dan mendengar kata-kata muridnya, dia
juga merasa terharu sekali.
Kian Bu
sendiri terkejut mendengar ucapan itu dan melihat sinar mata Ang-siocia yang
penuh kemesraan kepadanya. Baru sekarang dia mengerti bahwa dara cantik ini
ternyata jatuh cinta kepadanya! Otomatis dia menoleh kepada Siang In dan makin
terkejutlah dia ketika melihat sinar mata Siang In penuh dengan api kemarahan.
Dia menjadi bingung dan tidak menjawab kata-kata Ang-siocia, apa lagi karena
pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk dan nyala api, di antara
teriakan-teriakan orang yang kebingungan.
“Darrr...!
Blaaarrrrr...!”
Ledakan-ledakan
yang bertubi-tubi menggetarkan ruangan itu. Dinding bagai bergoyang dan akan
runtuh rasanya, lantai yang dipijak juga tergetar hebat. Lalu terdengar sorak
sorai menggegap-gempita dan terdengarlah suara ribut-ribut luar biasa di
sebelah luar.
“Apa... apa
artinya itu?” Kian Lee bertanya heran.
“Itu… itu
merupakan satu di antara siasat ayah mertuaku!” Ceng Ceng berseru dengan wajah
penuh ketegangan.
Dan memang
yang dikatakannya itu benar adanya. Jenderal Kao Liang telah mengatur rencana
siasatnya dengan rapi. Dia minta kepada Puteri Milana untuk menggunakan
pasukannya mengurung benteng itu dengan ketat, kemudian dengan bantuan Gak Bun
Beng dan Kao Kok Cu, dia melakukan pembakaran-pembakaran pada gudang-gudang
ransum. Dua orang pendekar itu memasang obat-obat bahan bakar di dalam gudang
gudang dan ketika saatnya tiba, Jenderal Kao Liang yang berada di menara dan
gapura terbesar, melepas anak-anak panah berapi ke arah gudang-gudang itu
sehingga dalam beberapa waktu singkat gudang-gudang itu terbakar semua. Api
menjulang tinggi dan sukar dipadamkan karena api telah membakar alat-alat bahan
bakar yang telah ditaruh di dalam gudang-gudang itu.
Kemudian,
dengan menekan tombol-tombol rahasia yang dipasangnya ketika mengatur
pembangunan benteng itu, tombol-tombol rahasia yang hanya diketahuinya sendiri
dan merupakan rencananya semenjak semula, Jenderal Kao Liang mulai meledakkan
dinding-dinding benteng dengan alat-alat peledak yang sudah ditanamnya di
tempat tempat tersembunyi. Bunyi ledakan bertubi-tubi itu meruntuhkan
pintu-pintu gerbang dan dinding-dinding.
Melihat ini,
Puteri Milana yang semenjak tadi sudah siap siaga, cepat memerintahkan
pasukan-pasukannya untuk menyerbu. Waktu itu, matahari mulai mengusir kegelapan
malam dan di antara kabut pagi bercampur asap ledakan dan debu, seperti semut
semut saja pasukan kerajaan menyerbu benteng yang sudah kacau-balau bukan main
oleh kebakaran-kebakaran yang disusul ledakan-ledakan itu.
Dapat
dibayangkan betapa gegernya keadaan dalam benteng itu. Mula-mula semalam suntuk
penghuni benteng sudah dikacaukan oleh pendekar-pendekar muda yang masuk
menyelundup ke dalam benteng, yang dibantu pula oleh Touw-ong dan Ang-siocia
yang berkhianat sehingga terjadi banyak hal yang membingungkan. Kemudian,
menjelang pagi, disusul pula dengan kebakaran-kebakaran pada gudang-gudang
ransum, hal yang amat mengejutkan, dan kini, tanpa mereka ketahui apa sebabnya,
pintu-pintu gapura benteng dan dinding-dinding banyak yang runtuh oleh
ledakan-ledakan dahsyat tadi. Lebih hebat lagi, kini pasukan kerajaan yang
banyak jumlahnya telah menyerbu masuk melalui pintu-pintu dan dinding-dinding
yang runtuh, seperti air bah saja menyerang dengan gegap-gempita.
Koksu Nepal
dan Pangeran Liong Bian Cu terkejut bukan main, tidak tahu apa yang terjadi dan
mereka baru sadar bahwa Jenderal Kao Lianglah yang melakukan semua itu. Mereka
mengira bahwa semua itu terjadi karena kelihaian Puteri Milana yang memang
sudah mereka dengar akan kepandaiannya mengatur pasukan. Tentu saja mereka
menjadi jeri sehingga Koksu Nepal cepat mengeluarkan aba-aba kepada para
pasukannya untuk menahan serbuan musuh. Dia sendiri mengempit tubuh Cin Liong
sedangkan Pangeran Liong Bian Cu memanggul tubuh Hwee Li. Mereka ingin
mempergunakan dua orang tawanan ini sebagai sandera untuk dapat melarikan diri
melalui pintu rahasia apa bila keadaan memaksa dan memerlukan.
“Bakar
ruangan ini!” teriak Koksu Nepal dan perintah ini segera dilaksanakan oleh para
pengawalnya. Kemudian koksu, pangeran, dan dikawal oleh empat orang dari Im-kan
Ngo-ok yang lain, juga para pembantu, cepat meninggalkan tempat itu untuk
membantu para pasukan yang sedang menahan serbuan tentara kerajaan.
Api mulai
berkobar membakar ruangan di mana para pendekar itu terkurung dan agaknya
mereka akan terbakar hangus kalau saja pada saat api sudah mulai berkobar
tinggi, pintu tahanan itu tidak dibuka orang dari luar. Beberapa orang pengawal
roboh oleh terjangan sesosok tubuh yang gerakannya seperti seekor naga dan
orang ini berhasil membuka pintu ruangan. Para pendekar yang sudah mulai putus
asa di sebelah dalam, melihat terbukanya pintu, cepat berloncatan keluar dan
ternyata yang menolong mereka itu adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu!
Bersama Bun
Beng, Kok Cu melaksanakan siasat ayahnya, yaitu membantu ayahnya membakari
gudang-gudang ransum, kemudian karena dia khawatir akan puteranya yang kabarnya
dibawa oleh Ji-ok, dia menyusul ke istana pangeran. Di situ dia melihat ruangan
depan dibakar, maka ia segera dapat menduga bahwa tentu kawan-kawannya
terkurung di dalam ruangan itu. Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu membuka pintu
ruangan yang memang sudah dipalang dari depan sehingga semua orang yang
terkurung dapat diselamatkannya, termasuk isterinya sendiri.
“Di mana Cin
Liong?” tanya Kok Cu kepada isterinya yang sudah memeluknya.
“Dia... dia
tadi dibawa oleh koksu...,” isterinya menjawab penuh kekhawatiran dan menuding
ke depan.
Dari lubang
jendela dia tadi melihat ke mana puteranya dibawa oleh kakek botak itu. Tanpa
banyak cakap mereka semua lalu lari mengejar. Akan tetapi Ang Tek Hoat tidak
ikut mengejar karena dia sudah lari menuju ke tempat tinggal Syanti Dewi.
Keadaan di kanan kiri sudah kacau-balau, perang campuh terjadi di mana-mana dan
banyak rumah rumah yang terbakar.
Ketika Tek
Hoat tiba di depan rumah yang tadinya menjadi tempat tinggal Puteri Syanti
Dewi, jantungnya berdebar penuh ketegangan melihat betapa rumah itu juga sedang
terbakar!
“Dewi...!”
Dia berseru berkali-kali dan mencari-cari jalan untuk memasuki rumah yang
terbakar itu. Akan tetapi dia tidak mungkin dapat masuk.
Tiba-tiba
dia melihat seorang pengawal lari menjauhkan diri. Cepat dia meloncat dan
dengan mudah dia mencengkeram tengkuk orang itu.
“Hayo
katakan, di mana Sang Puteri Bhutan?” bentaknya.
Melihat
wajah pemuda itu pucat sekali, sepasang matanya melotot dan mengeluarkan sinar
bengis, pengawal itu makin ketakutan.
“Dia... dia
sudah sejak tadi... dibawa pergi oleh panglima dari Bhutan bersama orang
orangnya...“
“Mohinta...?”
Orang itu
mengangguk dan lalu Tek Hoat mengendurkan cengkeramannya. “Ke mana dibawanya?”
Orang itu
menggeleng kepala. “Hamba tidak tahu...“
Tek Hoat
melepaskan orang itu dan meloncat pergi. Hatinya panas sekali akan tetapi dia
mengerti bahwa Mohinta tentu melarikan sang puteri keluar dari benteng dan ke
mana lagi dibawanya kalau tidak kembali ke Bhutan? Dia lalu meloncat dan
mencari cari, tentu saja menuju ke pintu depan yang sudah roboh dan di mana
terjadi perang campuh yang amat seru.
Tiba-tiba
dia melihat Koksu Nepal yang mengempit tubuh anak laki-laki kecil, bersama
Pangeran Liong Bian Cu yang memanggul tubuh Hwee Li, diikuti oleh para pembantu
mereka, tergesa-gesa menuju ke arah selatan. Dan dia melihat pula Kao Kok Cu,
Ceng Ceng, dan yang lain-lainnya mengejar mereka. Koksu dan kawan-kawannya itu
cepat memasuki sebuah rumah besar yang kosong, dan para pengejarnya cepat
menyusul.
Melihat ini,
Tek Hoat merasa bahwa dia pun harus membantu mereka karena bukankah Pangeran
Nepal dan Koksu Nepal itu yang menjadi biang keladi sehingga Syanti Dewi
tertawan di tempat itu? Pula, dia maklum akan kelihaian koksu dan para
pembantunya sehingga Kok Cu dan para pendekar lain itu tentu membutuhkan
bantuannya.
“Tek Hoat,
mari bantu kami merampas kembali puteraku!” teriak Ceng Ceng ketika dia melihat
saudaranya itu. Tek Hoat hanya mengangguk dan dia pun ikut pula menyerbu ke
dalam rumah.
Tidak ada
perlawanan dari dalam dan ternyata koksu dan pangeran berdiri tegak, para
pembantunya di belakang mereka dan kedua orang ini tersenyum.
“Berhenti!”
teriak koksu sambil mengangkat tubuh Cin Liong ke atas. “Melangkah maju berarti
anak ini akan kami bunuh lebih dulu!”
Tentu saja
menghadapi para pendekar itu, koksu sama sekali tidak takut karena dia
mempunyai banyak pembantu, apa lagi di situ ada Im-kan Ngo-ok lengkap yang amat
kuat. Akan tetapi, kakek botak ini maklum bahwa biar pun mereka dapat
mengalahkan rombongan pendekar ini, atau setidaknya mengimbangi mereka, namun
dia dan kawan kawannya tidak mungkin dapat melawan puluhan ribu tentara
kerajaan yang tentu akhirnya akan menang karena jumlahnya yang jauh lebih
banyak, sedangkan pasukan pasukannya sudah kehilangan pimpinan.
“Hemmm,
kalau sudah menderita kekalahan kemudian muncullah watak pengecut dan curang!”
Kao Kok Cu mengejek. “Koksu Nepal, aku mendengar bahwa selain engkau menjadi
koksu dari Kerajaan Nepal, juga engkau terkenal sebagai Sam-ok dari Im-kan
Ngo-ok. Sekarang, secara curang engkau telah berhasil menawan puteraku. Oleh
karena itu, marilah kita bertanding secara gagah untuk memperebutkan puteraku
itu. Kalau aku kalah, tentu saja engkau berhak membawa puteraku sebagai
sandera. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menyerahkan puteraku
itu dengan baik baik kepadaku.”
Ban Hwa
Sengjin menyeringai. “Enak saja engkau, Naga Sakti Gurun Pasir! Kami amat
membutuhkan anakmu ini untuk dapat keluar dari sini dengan selamat. Kalau anak
ini kuserahkan kepadamu, lalu kau mengandalkan pasukan yang puluhan ribu
banyaknya, tentu saja kami takkan sanggup meloloskan diri.”
“Dengarlah,
Koksu Nepal. Di antara kita pribadi tidak ada permusuhan, mengapa kami harus
mencegah kalian melarikan diri? Aku berjanji sebagai seorang gagah bahwa kalau
Cin Liong sudah kembali kepadamu, kami tidak akan menghalangi engkau untuk
melarikan diri.”
Ban Hwa
Sengjin berpikir-pikir. Dia dapat percaya omongan seorang pendekar besar
seperti Kao Kok Cu ini. Kalau orang-orang gagah di depannya ini tidak
menghalangi, tentu dia dan teman-temannya dapat melarikan diri melalui pintu
rahasia, karena halangan dari para pasukan saja tentu tidak ada artinya
baginya. Yang berbahaya adalah orang-orang muda perkasa ini turun tangan
mencegah mereka lari.
“Baiklah,
kami dapat percaya omongan Naga Sakti Gurun Pasir! Kau bawa dulu anak ini,
Twa-heng!” katanya dan dia melemparkan tubuh Cin Liong kepada Twa-ok yang
menerimanya sambil tersenyum.
Sebetulnya
diam-diam dia tidak setuju dengan sikap koksu yang menerima tantangan itu
karena kakek gorilla ini maklum betapa lihainya Naga Sakti Gurun Pasir. Kalau
dia sendiri yang maju, barulah lebih banyak harapan untuk menang. Akan tetapi
yang ditantang oleh si lengan buntung itu adalah koksu, maka kalau koksu mewakilkan
kepadanya tentu saja hal itu menjatuhkan nama Ban Hwa Sengjin, sebagai orang
ketiga dari Im-kan Ngo-ok dan juga sebagai seorang Koksu Nepal.
Kini dua
orang sakti itu sudah saling berhadapan. Sikap Kok Cu tenang saja, bahkan
lengan kirinya yang buntung, yang memperlihatkan lengan baju kosong itu,
kelihatan menyedihkan dan menimbulkan rasa iba. Akan tetapi, di lain pihak Ban
Hwa Sengjin kelihatan gelisah dan khawatir, sebagian besar wibawa dan
keangkuhannya lenyap, bahkan dia menoleh ke kanan kiri seperti hendak mencari
perlindungan. Memang di dalam hatinya, kakek botak ini merasa gentar terhadap
pendekar lengan buntung yang sederhana ini karena dia sudah mendengar banyak
hal yang luar biasa tentang Istana Gurun Pasir dan pengnuninya.
“Ban Hwa
Sengjin, majulah!” Kao Kok Cu berkata dengan tenang.
Akan tetapi
kakek botak itu tidak menjawab, melainkan diam saja, memandang tajam dan dia
menggerak-gerakkan kedua lengannya. Terdengar suara berkerotokan dan kedua
telapak tangan Sam-ok atau Koksu Nepal itu mengeluarkan uap kehitaman! Itulah
tanda bahwa si kakek botak ini telah mengerahkan tenaganya yang luar biasa
karena agaknya dia tahu benar bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang
amat tangguh.
Tiba-tiba
dia mengeluarkan suara dahsyat seperti gerengan seekor beruang marah, membuat
tempat itu tergetar dan tubuhnya lalu bergerak meluncur ke depan, lalu
berpusing cepat sekali dan dia mulai menerjang ke arah Kok Cu! Namun, Kok Cu
juga sudah siap sedia. Begitu diserang, dia langsung menggunakan ilmunya yang
paling hebat, yaitu Sin-liong-ciang-hoat, tubuhnya tiba-tiba saja membungkuk
dan lurus ke depan, pangkal lengan kirinya bergerak dan lengan baju yang kosong
itu mengeluarkan bunyi mencicit, kemudian menyambar ke depan menyambut pukulan lawan
dan hendak menggulung tangan lawan!
Ban Hwa
Sengjin atau Lakshapadma menarik kembali tangannya dan mendadak dia melayangkan
kaki kanannya dengan tendangan kilat yang mendatangkan angin dahsyat sekali.
Sepatunya yang berlapis baja itu merupakan senjata ampuh. Jangankan tubuh
manusia, biar dinding batu pun akan ambrol kalau kena hantaman kaki yang
bersepatu baja ini. Namun, tubuh Kok Cu dapat mendoyong ke belakang, lurus ke
belakang dan kembali lengan baju kosong itu meluncur ke depan, menotok ke arah lambung
lawan.
“Prakkkkk!”
Ban Hwa
Sengjin menangkis dengan tangan kirinya dan dia menggunakan pertemuan tenaga
sakti itu untuk berjungkir balik ke belakang, kemudian kembali menggerakkan
tubuhnya berpusing dengan ilmunya yang aneh dan disebut Thian-te-hong-i.
Terjadilah pertandingan yang amat seru dan aneh sekali di mana nampak tubuh
kakek botak itu berpusing seperti gasing dan tubuh Kok Cu seperti rebah lurus
disanggah oleh sebelah kaki, seperti seekor naga yang gerakkannya aneh bukan
main.
Siluman
Kecil mendekati Tek Hoat. Dia merasa makin suka kepada keponakan ini yang
agaknya kini telah berubah, tidak lagi mau membantu kaum pemberontak. Dia
maklum bahwa kehadiran Tek Hoat di dalam benteng itu sama sekali bukan untuk
membantu pemberontak, melainkan untuk melindungi Syanti Dewi. Teringatlah dia
akan rahasia tentang kematian ibu pemuda itu, maka dia berbisik, “Tek Hoat,
tahukah engkau siapa pembunuh ibumu?”
Ang Tek Hoat
terkejut bukan main, matanya terbelalak memandang kepada Kian Bu, dan wajahnya
berubah. Dia menggeleng kepalanya dan pandang matanya penuh selidik menatap
wajah Siluman Kecil. “Tahukah engkau?” Dia balas bertanya.
Suma Kian Bu
mengangguk. “Secara kebetulan aku bertemu dengan Cui Ma yang telah menjadi
gila, dan sebelum dia mati dia sempat menceritakan bahwa yang membunuh ibumu
adalah Mohinta dan kawan-kawannya dari Bhutan...“
“Keparat!”
Tek Hoat berseru demikian kerasnya sehingga mengejutkan semua orang, akan
tetapi dua orang yang sedang bertanding itu tidak mempedulikan dan terus saja
berkelahi. Tek Hoat memandang tajam kepada Kian Bu dengan muka berubah merah,
matanya beringas dan dia mendengarkan ketika Kian Bu menceritakan dengan
singkat pertemuannya dengan Cui Ma, pelayan dari Ang Siok Bi, ibu pemuda itu.
“Kalau
begitu, aku harus mengejarnya sekarang juga!” Ang Tek Hoat berseru dan dia
menangkap tangan Kian Bu. “Paman, terima kasih!” Dengan kecepatan kilat Tek
Hoat melompat keluar dari tempat itu dan tanpa mempedulikan perang yang masih
berjalan seru, dia menyusup di antara tentara yang saling bertempur, terus dia
melarikan diri keluar dari dalam benteng itu.
Perkelahian
antara Ban Hwa Sengjin dan Kao Kok Cu masih terus berlangsung dengan hebatnya.
Kedua pihak yang menonton pertandingan ini merasa tegang sekali, akan tetapi
Ceng Ceng bersikap tenang saja, bahkan dia tidak pernah melepaskan pandang
matanya dari puteranya yang dipondong oleh Twa-ok. Dia merasa sangat yakin akan
kemenangan suaminya, yang dikhawatirkan adalah kalau pihak Im-kan Ngo-ok tidak
akan memegang janjinya. Akan tetapi dia melihat kakek gorilla itu
tersenyum-senyum dan agaknya puteranya tidak diganggunya.
Sebenarnya,
Ban Hwa Sengjin sudah merasa kewalahan sekali menghadapi ilmu silat yang aneh
dari lawannya, juga setiap kali mereka beradu tenaga sakti, dia merasa betapa
dadanya menjadi sesak, tanda bahwa tenaga sinkang dari lawan yang buntung
sebelah lengannya itu benar-benar sangat luar biasa kuatnya. Hal ini tidak aneh
karena Kao Kok Cu telah berhasil memiliki tenaga mukjijat yang timbul karena
penguasaan Ilmu Sin-liong-hok-te dari gurunya, Si Dewa Bongkok yang juga hanya
berlengan sebelah.
Sebagai
orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok, ilmu silat Ban Hwa Sengjin sudah mencapai
tingkat tinggi sekali, apa lagi Ilmu Silat Thian-te Hong-i itu sukar sekali
dilawan. Selain itu, juga dia telah memiliki pengalaman yang amat luas, maka
dia merupakan lawan yang tangguh bagi Kok Cu. Akan tetapi, dengan bekal
kepandaiannya yang luar biasa, yang diperolehnya dari gemblengan Si Dewa
Bongkok, apa lagi dengan tenaga sakti dari Sin-liong-hok-te, kalau dia
menghendaki, Kok Cu tentu akan mampu merobohkan kakek botak itu.
Akan tetapi,
pendekar ini adalah seorang yang memiliki pandangan luas dan tidak mau menuruti
perasaan hatinya. Dia maklum bahwa selama ini dia tidak bermusuhan dengan
Im-kan Ngo-ok, dan bahwa diculiknya puteranya pun sesungguhnya bukan perbuatan
Im-kan Ngo-ok, melainkan merupakan balas dendam dari puteri mendiang
pemberontak Kim Bouw Sin kepada ayahnya. Kalau kini Cin Liong terjatuh ke
tangan Im-kan Ngo-ok, hal itu hanya merupakan kebetulan saja. Pula, selama
puteranya masih berada di tangan mereka, dia tidak boleh ceroboh dengan
membunuh atau melukai berat kepada Koksu Nepal. Oleh karena inilah maka dia
berkelahi dengan hati-hati dan tidak mau merobohkan koksu yang boleh mengakibatkan
kematiannya.
Ketika
mendapat kesempatan yang baik setelah dia berhasil menghindarkan diri dari
tendangan Ban Hwa Sengjin, tiba-tiba tubuh Kok Cu mencelat ke atas dan dari
atas, ujung lengan bajunya yang kiri dan kosong itu meluncur dan menyambar ke
arah ubun ubun kepala yang botak dari lawannya. Inilah cara yang paling tepat
untuk menyerang tubuh lawan yang berpusing itu. Ban Hwa Sengjin terkejut bukan
main. Untuk mengelak amatlah berbahaya, maka dia lalu mengangkat tangan kiri
menangkis sambaran ujung lengan baju itu.
“Prattttt!”
Ujung lengan
baju bertemu dengan tangan Ban Hwa Sengjin. Terasa panas tangan itu dan ujung
lengan baju seperti ekor naga sudah melibat pergelangan tangan Ban Hwa Sengjin
dan tubuh Kok Cu sudah turun kembali. Kini Ban Hwa Sengjin membarengi turunnya
tubuh lawan di depannya itu dengan hantaman telapak tangan kanan ke arah dada
Kok Cu. Pendekar ini pun menggerakkan tangan kanan menyambut.
“Plakkkkk!”
Kelihatannya
perlahan saja dua telapak tangan itu bertemu, akan tetapi akibatnya tubuh Ban
Hwa Sengjin terhuyung setengah melayang ke belakang seperti layangan putus
talinya. Dia berhasil berdiri tegak kembali, akan tetapi mukanya pucat dan
ujung bibirnya mengeluarkan darah segar! Ban Hwa Sengjin sejenak menatap wajah
Kao Kok Cu, kemudian mengangguk dan menjura, lalu menoleh kepada Twa-ok.
“Twa-heng,
harap kembalikan anak itu,” katanya lemah dan begitu mengeluarkan kata kata
ini, beberapa titik darah menetes dari ujung mulutnya. Koksu Nepal itu cepat
memejamkan matanya dan menarik napas panjang. Ji-ok melompat mendekatinya dan
tangan kanan nenek iblis itu ditempelkan ke punggung koksu, lalu mengurut
beberapa kali ke bawah. Nenek itu menolong saudaranya mengobati luka di dalam
tubuh yang ternyata tidaklah terlalu berbahaya, karena bukan langsung dihantam
oleh tenaga sakti lawan, melainkan terkena tenaganya sendiri yang membalik
keras.
Twa-ok
tertawa dan melemparkan tubuh Cin Liong ke arah Kao Kok Cu. Pendekar ini
menggerakkan lengan baju kiri yang menggulung tubuh anak itu, diperiksanya
sebentar lalu diserahkannya anak itu kepada isterinya. Ceng Ceng memeluk dan
menciumi anaknya. Dua titik air mata membasahi pipinya ketika ibu ini akhirnya
bertemu kembali dengan puteranya.
“Ehh, mana,
Lee-ko...?” Tiba-tiba Kian Bu bertanya ketika dia tidak melihat kakaknya berada
di situ lagi. Semua orang juga mencari dengan pandangan matanya, yang bukan
hanya Kian Lee yang tidak nampak, bahkan juga Pangeran Liong Bian Cu telah
lenyap bersama tawanannya, yaitu Hwee Li.
“Aku tadi
melihat dia mengejar Pangeran Nepal,” kata Siang In.
Kiranya tadi
secara diam-diam, menggunakan kesempatan selagi semua orang tertarik menonton
pertandingan yang luar biasa hebat antara Koksu Nepal dan Kao Kok Cu, Pangeran
Nepal itu minta bantuan Gitananda, kakek bersorban yang jenggotnya panjang
sampai ke perut, untuk menggunakan sihirnya melindungi dia melarikan diri
membawa Hwee Li bersama. Semua orang mudah saja seperti terlupa karena
perhatian mereka sedang dicurahkan ke arah pertandingan itu. Hanya Suma Kian
Lee yang tidak terpengaruh oleh karena pemuda ini sejak tadi memperhatikan Hwee
Li.
Maka ketika
Gitananda mengangkat tongkat cendana dan mempergunakan sihir, dia sudah
mengerahkan sinkang-nya melawan dan dia dapat melihat Pangeran Liong Bian Cu
diam-diam membawa Hwee Li pergi dari tempat itu maka dia pun cepat mengejar.
Sedangkan Siang In yang ahli dalam ilmu sihir, segera merasakan pengaruh sihir
yang dilepas oleh Gitananda, maka dia cepat melawan dan dia sempat melihat Kian
Lee mengejar sang pangeran.
Melihat
kekalahan Ban Hwa Sengjin, empat orang Im-kan Ngo-ok yang lain dan juga para
pembantu koksu merasa penasaran. “Ha-ha-ha, Sam-te, biarlah kami menebus
kekalahanmu dan membasmi mereka ini,” kata Twa-ok dan bersama Ji-ok, Su-ok dan
Ngo-ok, dia sudah maju dan hendak mengamuk.
Akan tetapi
tiba-tiba muncul dua orang yang membawa pasukan pengawal berbaju emas yang amat
rapi dan menyeramkan. Mereka itu bukan lain adalah pendekar Gak Bun Beng
bersama isterinya, Milana, yang memimpin empat puluh orang anggota pasukan
pengawal baju emas yang terkenal itu.
Melihat
munculnya suami isteri ini, Im-kan Ngo-ok merasa gentar juga. Di antara para
pendekar tadi, yang lihai sudah ada tiga orang, yaitu Siluman Kecil, Kao Kok Cu
dan Ceng Ceng. Kalau kini muncul pula pendekar sakti Gak Bun Beng, dan Puteri
Milana, maka pihak lawan menjadi terlampau kuat, apa lagi masih dibantu oleh
pasukan yang amat besar. Munculnya Puteri Milana ini berarti bahwa pasukan
Gubernur Ho-nan yang bertahan di situ sudah kalah. Maka koksu yang cerdik itu
maklum bahwa menggunakan kekerasan sama artinya dengan membunuh diri.
Cepat dia
berkata lantang, “Twa-heng dan teman-teman semua! Si Naga Sakti Gurun Pasir
telah menjanjikan untuk membiarkan kita pergi, perlu apa kita yang sudah kalah
ini lebih lama berada di sini? Mari kita pergi!”
Mendengar
ucapan ini, Im-kan Ngo-ok yang lainnya dan para pembantu koksu seperti
Hwa-i-kongcu dan orang-orangnya, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan yang lain
lain mengerti akan maksudnya dan tanpa diperintah dua kali, mereka lalu
mengikuti koksu pergi dari istana itu.
Melihat ini,
Gak Bun Beng menghadang di tengah jalan dengan sikap mengancam, akan tetapi Kao
Kok Cu berkata, “Paman Gak, harap suka membiarkan mereka pergi karena memang
kami telah menjanjikan mereka untuk pergi.”
Gak Bun Beng
mengerutkan alisnya, tetapi terdengar Puteri Milana berkata kepada suaminya,
“Biarkanlah mereka pergi. Memang kerajaan tidak mempunyai permusuhan resmi
dengan Kerajaan Nepal, dan kami hanya perlu menangkap Gubernur Ho-nan yang
memberontak!”
Gak Bun Beng
mengerti bahwa dalam ucapan isterinya ini tentu terkandung maksud yang lebih
dalam. Dan memang sebenarnyalah demikian. Puteri Milana maklum bahwa kerajaan
sedang lemah dan kacau oleh tindakan kaisar tua yang mendengarkan bujukan para
menteri durna sehingga kaisar menaruh curiga kepada semua orang, terutama orang-orang
yang setia seperti Jenderal Kao Liang yang sampai dipecat. Dalam keadaan lemah
itu, biar pun kini pangeran mahkota sudah mulai menaruh perhatian, amatlah
berbahaya kalau menyatakan perang dengan Nepal secara terbuka dengan jalan
menangkap atau membunuh Koksu Nepal. Kini yang terpenting adalah menangkap dan
menghukum Gubernur Ho-nan yang memberontak.
Rombongan
Koksu Nepal tidak mengalami banyak hambatan karena para prajurit tidak ada yang
berani mencoba menghalangi mereka sehingga mereka itu dapat melarikan diri
melalui pintu rahasia dan cepat meninggalkan benteng yang sudah diduduki musuh
itu. Banyak pasukan pemberontak yang tewas, tetapi lebih banyak lagi yang
menyerah setelah melihat para pimpinan mereka melarikan diri.
Dengan tubuh
gemetar dan muka pucat ketakutan, Kui Cu Kam, Gubernur Ho-nan yang memberontak
itu berlutut dan ditawan bersama kaki tangannya.
Puteri
Milana dan para pendekar merasa lega bahwa akhirnya semua keluarga Kao dapat
diselamatkan dan sambil menggiring rombongan gubernur pemberontak mereka keluar
dari dalam istana dengan girang. Hanya Kian Bu yang mengerutkan alisnya dengan
khawatir karena kakaknya tadi pergi entah ke mana, melakukan pengejaran
terhadap Pangeran Liong Bian Cu yang melarikan Hwee Li.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment