Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 17
Tek Hoat
benar-benar menghadapi rayuan maut yang amat hebat. Jantungnya berdebar tak
karuan saat dia melihat pakaian itu tanggal satu persatu dengan cara
penanggalan demikian memikat, setiap potong pakaian diloloskan dari tubuh
secara perlahan, sedikit demi sedikit sampai akhirnya Mauw Siauw Mo-li berdiri
tanpa penutup tubuh sama sekali bermandikan sinar api lilin yang kemerahan dan
bergoyang-goyang membentuk bayang-bayang aneh di dinding. Meongggg.
"Ihhh...
hi-hi-hik, matamu seperti mengeluarkan api, Tek Hoat...," bisiknya halus.
Wanita ini
lalu mengangkat kedua lengannya ke atas, menggunakan jari-jari tangannya untuk
membereskan rambut di kepalanya yang awut-awutan. Gerakan ini benar-benar
merupakan gerakan khas wanita di bagian mana pun di dunia ini dan pengangkatan
kedua lengan ke atas itu menonjolkan keindahan bentuk tubuh wanita, dadanya
makin menonjol, kerampingannya makin nampak dan tubuhnya makin polos, dan
terbuka.
Ang Tek Hoat
adalah seorang pemuda normal yang biasa saja. Menyaksikan semua pertunjukan
ini, napasnya agak memburu dan mukanya merah sekali.
“Hi-hik, kau
kenapa, Tek Hoat?” Mauw Siauw Mo-li lalu melangkah maju, langkahnya perlahan
dan seperti orang menari, kemudian tahu-tahu dia telah duduk di pangkuan pemuda
itu, merangkulkan kedua lengannya ke leher Tek Hoat dan tahu-tahu pula Tek Hoat
merasa betapa mulutnya dicium oleh bibir yang panas dan lembut.
Belum pernah
selama hidupnya dia dicium wanita seperti ini! Semua bagian mulut wanita itu
hidup dan membelai mulutnya. Tek Hoat hanyut dan terseret oleh gelombang nafsu
yang ditimbulkan oleh Mauw Siauw Mo-li secara hebat itu dan hampir Tek Hoat
tenggelam. Seluruh perasaannya terpusat pada ciuman wanita itu dan belaian
tangan Mauw Siauw Mo-li yang mulai menggerayangi tubuhnya dan jari-jari tangan
wanita itu mulai menyentuh kancing-kancing bajunya.
Pada saat
Tek Hoat mendengar suara aneh dari kerongkongan wanita itu, suara seperti
seekor kucing mengerang-erang, dia merasa seperti disambar petir. Teringatlah
dia bahwa yang memeluknya di atas pembaringan ini bukan Syanti Dewi! Dia tadi
seperti dalam mimpi, seolah-olah Syanti Dewi yang memeluk dan menciumnya,
sungguh pun dia tadi merasa terheran-heran karena seingatnya, Syanti Dewi tidak
pernah bersikap ‘menyerang’ sehebat itu dalam pencurahan kasih sayang. Memang
pernah dia mencium kekasihnya itu, akan tetapi sungguh berbeda sekali sikap dan
gerak sambutan Puteri Bhutan itu dengan Mauw Siauw Mo-li. Syanti Dewi adalah
lambang kesucian dan kehalusan, akan tetapi wanita ini amat ganas!
Erangan
seperti suara kucing itu menyadarkan Tek Hoat dan kalau tadi dia menutupkan
kedua matanya, kedua tangannya membalas pelukan dan dia membiarkan mulutnya
diciumi secara luar biasa itu, kini dia membuka matanya dan ternyata bahwa
lilin telah padam sehingga kamar itu menjadi gelap sekali. Kiranya dengan
gerakan tangannya, Mauw Siauw Mo-li telah memadamkan lilin di atas meja.
Dengan susah
payah akhirnya Tek Hoat dapat melepaskan bibirnya dari cengkeraman mulut Mauw
Siauw Moli. Terdengar napas mendengus-dengus, napasnya sendiri dan napas wanita
itu setelah ciuman dilepaskan. Rintihan Mauw Siauw Mo-li makin panas, tangannya
merenggut lepas tiga buah kancing baju Tek Hoat sekali tarik.
“Nanti
dulu... Mo-li, nanti dulu...“
“Tek
Hoat...“ Mauw Siauw Mo-li menahan ketika Tek Hoat hendak bangkit duduk. Dia tak
melanjutkan kata-katanya karena sudah mengerang lagi seperti seekor kucing.
Bulu tengkuk Tek Hoat meremang mendengar suara ini.
“Nanti dulu,
Mo-li. Dengar, aku hendak... hendak ke belakang dulu...,“ katanya.
“Ehhh...?
Hi-hi-hik... baiklah, tetapi jangan lama-lama, kekasih...“ Kedua tangannya lalu
melepaskan pelukan.
Tek Hoat
bangkit duduk dan turun dari pembaringan, sudah setengah telanjang. Tidak ingat
lagi dia kapan Mauw Siauw Mo-li telah hampir menelanjanginya itu.
Namun
sebelum dia melangkah, Mauw Siauw Mo-li mengerang. “Tek Hoat... katakan
dahulu... benarkah kau menganggap aku cantik menarik?”
“Ya, aku
tidak berbohong.”
“Dan kau
suka kepadaku?”
“Aku suka
sekali...”
“Kalau
begitu, coba kau cium aku...“
Di dalam
gelap Tek Hoat tersenyum, kemudian dia menghampiri pembaringan dan membungkuk,
menggunakan tangannya meraba dan setelah dia menyentuh pundak wanita itu, dia
lalu mendekatkan mukanya dan mencium mulut wanita yang panas itu dengan mesra.
Dicium semesra itu, Mauw Siauw Mo-li mengerang dan merangkul, hendak menarik
lagi Tek Hoat ke atas pembaringan.
“Nanti dulu,
sebentar, aku takkan lama, Mo-li...“ Tek Hoat melepaskan rangkulan dua tangan
itu, meraba-raba di atas meja dan tak lama kemudian dia membuka daun pintu dan
keluar dari kamar itu, menuju ke belakang, ke kamar kecil!
Terlalu lama
bagi Mauw Siauw Mo-li menanti di dalam kamar, tetapi membayangkan penyerahan
diri pemuda yang membuatnya tergila-gila itu membuat dia bersabar menanti
dengan tubuh panas semua karena api birahi telah membakarnya berkobar kobar.
Terdengar daun pintu terbuka, sesosok bayangan masuk dan daun pintu ditutup
lagi.
“Ahhhhh...
kekasih... pujaanku... ke sinilah... cepat sini...!” Mauw Siauw Mo-li berbisik.
Bayangan itu menghampiri pembaringan dan segera disambar oleh kedua tangan Mauw
Siauw Mo-li, ditariknya ke atas pembaringan.
Di luar
jendela kamar itu, Ang Tek Hoat berdiri dan tersenyum. Tangannya memegang
segulungan pakaian, pakaian Mauw Siauw Mo-li yang diam-diam dibawanya keluar
tadi. Saat tadi dia dibelai dan dirayu oleh wanita itu, hampir saja dia
terseret dan tenggelam. Akan tetapi, suara mengerang seperti kucing itu
menyadarkannya bahwa dia berada dalam pelukan Siluman Kucing! Maka timbullah
akalnya untuk mempermainkan wanita ini.
Dia
pura-pura hendak ke belakang, akan tetapi diam-diam dia menambah minyak dalam
api birahi itu dengan bersikap manis dan memberi ciuman, dan disambarnya semua
pakaian Mauw Siauw Mo-li, lalu dibawa keluar. Setelah tiba di luar kamar, Tek
Hoat menggunakan kepandaiannya, mendatangi kamar pelayan berwajah bopeng dan
buruk sekali itu. Pelayan ini masih belum tidur dan menjadi terkejut ketika
tiba-tiba pintunya terbuka dan pemuda yang dilayaninya tadi berdiri di situ.
“Sssttttt...
Paman, cepat kau ikut aku!”
Pelayan itu
mengenal Tek Hoat sebagai tamu yang royal dengan hadiah, akan tetapi juga
galak, maka dia cepat turun dari pembaringan.
“Ada apa,
Kongcu?”
“Kau mau...
ehhh, bermain dengan seorang wanita cantik? Lebih cantik dari Kim Lian tadi?”
“Aihhh,
jangan main-main, Kongcu. Orang seperti saya mana ada uang untuk...“
“Tak usah
bayar, aku sudah membayarnya. Aku lelah, dan kau wakili aku, tapi diam diam
saja jangan keluarkan suara, ya? Kau harus begini...“ Tek Hoat berbisik-bisik
di dekat telinga pelayan itu yang membelalakkan mata, terkekeh kemudian
mengangguk-angguk.
Dengan
tergesa-gesa pelayan itu lalu ditarik oleh Tek Hoat sampai ke depan pintu
kamarnya, dalam keadaan tidak berpakaian sama sekali! Kemudian, setengah
didorong, pelayan itu memasuki kamarnya yang gelap dan pelayan itu segera
disambut oleh kedua lengan Mauw Siauw Mo-li yang mulus dan tubuhnya yang
hangat. Mauw Siauw Mo-li sedang terbakar nafsu birahi, dalam gelap itu mana
dapat membedakan orang?
Apa lagi
seperti nafsu lain, nafsu birahi hanyalah merupakan permainan dari dirinya
sendiri belaka. Jika nafsu birahi telah berkobar, bantuan dari luar untuk
pemuasan nafsu tidaklah merupakan hal yang mutlak penting. Apa lagi semua
indera dari Mauw Siauw Mo-li seolah-olah telah menjadi tumpul dan buta hingga
dia tak lagi dapat membedakan orang. Di dalam gelap itu dia segera menggelut
pelayan bopeng yang merasa terkejut, heran, juga amat girang karena dia
seolah-olah menjadi seperti seorang kelaparan yang diberi hidangan lezat dan
banyak sehingga dia pun makanlah dengan lahap dan rakusnya!
Dari luar
jendela Ang Tek Hoat tersenyum mendengar erangan seperti kucing itu, dan bisikan-bisikan
yang menyatakan kagum dan pujian terhadap dirinya oleh Mauw Siauw Mo-li. Maka
dia lalu meloncat pergi sambil tersenyum lebar. Mudah-mudahan saja besok Mauw
Siauw Mo-li akan sadar bahwa cinta tidak dapat dipaksa-paksakan, pikirnya. Kini
berkurang rasa bencinya terhadap Mauw Siauw Mo-li. Dia tahu bahwa wanita itu
telah menjadi hamba dari nafsu birahinya, yang merupakan semacam penyakit yang
mendalam sehingga selama hidupnya, wanita itu akan menjadi tersiksa oleh
penyakit itu, hidupnya tidak akan dapat tenteram, nafsu birahinya seperti api
yang berkobar dan makin lama makin berkobar, membara dan membakar
segala-galanya tanpa pernah mengenal kepuasan. Dalam diri wanita itu seperti
telah dicengkeram oleh racun yang amat dahsyat!
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah kegelapan dalam kamar terusir oleh
sinar matahari pagi yang menerobos masuk ke dalam kamar melalui lubang-lubang
di atas jendela, terdengar teriakan panjang mengerikan dari dalam kamar Tek
Hoat. Teriakan ini keluar dari mulut pelayan bopeng, disusul oleh suara
maki-makian yang marah dari Mauw Siauw Mo-li. Ketika wanita ini terbangun dan
mendapatkan dirinya dalam pelukan seorang laki-laki yang berwajah buruk sekali,
dia lalu menjerit dan melemparkan pelayan itu dengan sekali gerakan saja ke
atas lantai!
Pelayan itu
terkejut dan berteriak, tetapi teriakkannya memanjang mengantar nyawanya ketika
Mauw Siauw Mo-li sudah meloncat dan sekali tangannya terayun, pelayan itu roboh
dengan kepala pecah! Mauw Siauw Mo-li mencari pakaiannya dan ketika melihat
bahwa pakaiannya hilang, dia memaki-maki dengan kemarahan meluap-luap. Tahulah
dia bahwa dia telah dipermainkan oleh Ang Tek Hoat! Dua titik air mata meloncat
keluar dari matanya, akan tetapi sekarang kemarahannya mengatasi kekecewaannya
dan dia memaki-maki dan menendang, membanting dan menghancurkan seisi kamar
itu.
“Tek Hoat
keparat! Jahanam besar kau! Kubunuh kau...!”
Tiba-tiba
pintu kamar itu terketuk orang keras-keras dari luar dan terdengar suara ribut
ribut. Itu adalah suara para pelayan lain, dan para pengurus rumah penginapan
dan para tamu yang mendengar teriakan mengerikan tadi. Mauw Siauw Mo-li
terkejut dan bingung. Dia telanjang bulat!
“Braaaaakkkkk...!”
Pintu dijebol banyak orang dari luar.
Melihat ini,
Mauw Siauw Mo-li terpaksa meloncat keluar dari jendela dalam keadaan telanjang
bulat. Akan tetapi, ternyata di luar jendela telah banyak orang pula, bahkan ada
petugas keamanan mengurung tempat itu. Tentu saja semua ini adalah perbuatan
Tek Hoat yang memberi tahu orang-orang dan petugas itu bahwa di dalam kamarnya
terdapat siluman yang suka membunuh orang!
Beberapa
orang yang melihat wanita cantik jelita dan telanjang bulat itu menjadi
terkejut, akan tetapi ketika melihat pelayan bopeng rebah di atas lantai
berlumur darah mukanya dan telah tewas, mereka menjadi marah.
“Tangkap
siluman!”
“Dia
membunuh orang!”
“Bunuh saja
dia! Awas, hadang dia, jangan sampai kabur!”
Banyak orang
menyerbu ke dalam kamar, akan tetapi tentu saja dengan sekali gerakan Mauw
Siauw Mo-li telah berhasil merobohkan beberapa orang, lalu dia menerobos ke
luar jendela, menendang dan memukul roboh mereka yang berani menghalanginya dan
dengan beberapa kali lompatan di atas genteng-genteng rumah orang, lenyaplah
wanita telanjang bulat yang cantik itu!
Tentu saja
peristiwa itu segera menjadi ‘dongeng’ yang banyak diceritakan orang yang
rnenganggap bahwa wanita cantik itu pasti benar-benar siluman! Kalau manusia,
mana mungkin ada seorang wanita yang demikian cantiknya suka bermain cinta
dengan seorang laki-laki yang demikian buruknya seperti pelayan itu, yang
selain buruk, juga sudah setengah tua dan miskin? Dan pelayan itu dibunuhnya.
Siapa lagi wanita itu kalau bukan siluman?
Sementara
itu, Mauw Siauw Mo-li menjadi marah dan sakit hati sekali terhadap Tek Hoat.
Akan tetapi ke manakah dia harus mencari Tek Hoat? Pemuda itu sudah pergi jauh,
dan selain itu, andai kata dia dapat bertemu dengan pemuda itu, apa yang dapat
dia lakukan terhadapnya? Dia tahu bahwa Tek Hoat memiliki kepandaian yang amat
tinggi dan dia tidak akan menang melawan pemuda itu. Ingin dia menangis kalau
mengingat betapa dia gagal mendapatkan diri pemuda itu.
Bagaikan
sepotong daging, pemuda itu sudah berada di dalam mulutnya, tinggal menelannya
saja, akan tetapi daging itu terloncat keluar dari dalam mulutnya dan dia bukan
hanya gagal mendapatkannya, bahkan sebaliknya dia dipermainkan! Hatinya sakit
sekali dan dalam keadaan seperti ini, Mauw Siauw Mo-li berjanji dalam hati
sendiri untuk mencari jalan agar kelak dia dapat membalas penghinaan itu…..
***************
Lereng Bukit
Tai-hang-san memiliki pemandangan alam yang amat indah. Terutama sekali di
lereng gunung di mana berdiri Kuil Kwan-im-bio itu. Sungguh bagian lereng
gunung ini merupakan tempat yang subur sekali tanahnya karena sumber air di
dekat puncak mengalir melalui lereng ini. Segala macam tanaman rempah-rempah
yang mengandung khasiat pengobatan dan racun ampuh dan bunga-bunga indah dan
aneh aneh yang tidak terdapat di daerah lain, justeru tumbuh di tempat ini.
Mungkin
terpengaruh oleh cara hidup para nikouw (pendeta wanita) yang mendiami Kuil
Kwan-im-bio itu, cara hidup penuh ketenteraman, ketenangan dan kedamaian, maka
para penduduk di dusun-dusun sekitar daerah lereng ini pun hidup tenteram dan
tenang. Bahkan binatang-binatang hutan yang terdapat di lereng itu,
burung-burung yang berkembang biak dengan amannya, kelihatan jinak dan tidak
takut kepada manusia karena manusia yang tinggal di sekitar daerah itu tidak
pernah ada yang mengganggu mereka.
Kuil
Kwan-im-bio yang berada di lereng itu dipimpin oleh Kim Sim Nikouw, seorang
pendeta wanita yang lemah lembut dan manis budi, yang dikenal oleh seluruh
penduduk pegunungan itu sebagai seorang pendeta yang suka menolong mereka yang
sedang dilanda kesusahan, dikenal sebagai seorang ahli pengobatan dan juga
seorang yang biar pun kelihatan lemah akan tetapi sesungguhnya merupakan
seorang yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga tidak ada orang jahat
pernah berani mencoba-coba untuk mengganggu daerah itu.
Akan tetapi,
Kim Sim Nikouw tidak pernah mau memperlihatkan kepandaiannya, apa lagi untuk
berkelahi, bahkan dia selalu mengalah dan bersikap manis terhadap siapa pun
juga sehingga banyak orang yang terjatuh olehnya bukan dengan kekerasan atau
kepandaian silat, melainkan oleh sikapnya yang manis budi. Kejatuhan seperti
ini bukan merupakan kejahatan yang mengandung dendam dan sakit hati, sebaliknya
malah kejatuhan seperti ini mengandung daya tarik yang membangkitkan rasa
sayang di dalam hati semua orang terhadap nikouw tua ini.
Usia Kim Sim
Nikouw sudah mendekati enam puluh tahun namun wajahnya masih nampak berkulit
halus dan kemerahan, tanda sehat dan segar, masih jelas nampak bekas kecantikan
wajahnya. Memang nikouw ini dahulu adalah seorang wanita yang amat cantik dan
tangkas. Dan ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali karena dia bukan lain
adalah bekas suci dari Pendekar Super Sakti yang kini menjadi Majikan Pulau Es.
Biar pun nikouw ini kelihatan lemah dan manis budi, namun sesungguhnya di waktu
mudanya dia pernah menjadi murid seorang datuk kaum sesat yang bertangan kejam
sekali.
Bahkan
nikouw ini memiliki pula pukulan yang dinamakan Toat-beng Sin-ciang (Tangan
Sakti Pencabut Nyawa), di samping tenaga dingin Swat-im Sin-kang yang amat
mukjijat. Akan tetapi, belum pernah ada orang yang menyaksikan nikouw itu
mempergunakan pukulan mengerikan dan tenaga mukjijat itu, kepandaian yang oleh
nikouw itu sendiri tidak disukainya. Akan tetapi yang pernah nampak oleh orang
lain adalah kepandaian berlari cepat dari nikouw ini.
Kim Sim
Nikouw selama puluhan tahun telah menciptakan ilmu meringankan tubuh yang amat
hebat sehingga dia dapat berlari seperti terbang cepatnya dan kedua kakinya
seolah-olah menginjak ujung rumput-rumput di atas tanah. Ilmu ciptaannya ini adalah
Ilmu Jouw-sang-hui-eng (Ilmu Terbang di Atas Rumput) dan ada pula
gerakan-gerakan yang luar biasa cepatnya dan yang diberinya nama Ilmu Sin-ho
Coan-in (Bangau Sakti Terjang Awan).
Sikap dan
sifat Kim Sim Nikouw memang membuat dia pantas sekali menjadi ketua Kuil
Kwan-im-bio, karena dewi yang dipuja-puja di kuil itu sendiri, yaitu Kwan Im
Pouwsat, adalah dewi lambang dari kebijaksanaan dan belas kasih, penolong dan
pengampun. Murid-muridnya, yaitu para nikouw yang berada di kuil itu, semua
tunduk kepadanya, taat bukan karena takut melainkan dikarenakan mencinta
pendeta wanita ini. Dan para nikouw itu hanya menjadi muridnya dalam hal
keagamaan saja. Satu-satunya nikouw yang menjadi muridnya dalam hal ilmu silat
hanyalah seorang, yaitu Liang Wi Nikouw yang usianya malah lebih tua dari
padanya! Liang Wi Nikouw telah berusia enam puluh lima tahun sedangkan Kim Sim
Nikouw kurang lebih enam puluh tahun!
Akan tetapi,
semenjak beberapa bulan ini, Kim Sim Nikouw membawa pulang seorang dara remaja
yang usianya baru delapan belas tahun, seorang dara yang bersikap lemah lembut,
berwajah cantik dan gerak-geriknya halus. Dara ini bukan lain adalah Phang Cui
Lan, puteri mendiang kepala kampung Cian-li-cung di dekat Lok-yang, dara yatim
piatu yang hidup sebatang kara dan yang pernah menjadi dayang atau pelayan dari
keluarga Gubernur Ho-nan.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan cerita ini, dayang yang muda dan cantik ini,
biar pun merupakan seorang wanita lemah, namun dia memiliki keberanian yang
amat mengagumkan dan dengan cara luar biasa dia telah berhasil menyelamatkan
Gubernur Ho-pei dari ancaman bahaya ketika Gubernur Ho-pei ini tertawan oleh
Gubernur Ho-nan yang hendak memberontak. Dan telah dituturkan pula betapa Cui
Lan diangkat anak oleh Gubernur Ho-pei dan diajak pulang ke Ho-pei. Akan tetapi
di tengah jalan, Cui Lan bertemu kembali dengan satu-satunya pria yang selalu
dipujanya dan yang diam-diam dicintanya, yaitu Siluman Kecil yang bertanding
melawan kakek pembawa suling emas. Sikap Siluman Kecil yang tidak
mempedulikannya membuat hati dara ini hancur dan terluka.
Kembali
terbukti betapa cinta kasih yang sesungguhnya bukanlah cinta kasih murni,
melainkan cinta kasih yang mengikat, yang mengandung pamrih, yang disebut cinta
kasih akan tetapi sebenarnya hanya merupakan pengejaran kesenangan diri
pribadi, selalu pasti mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan! Betapa banyak
terjadi di dalam dunia ini cinta-cinta yang mendatangkan korban tak terhitung
banyaknya dan bermacam-macam lika-likunya. Cinta seperti itu yang mendatangkan
korban di antara manusia telah terjadi semenjak ribuan tahun, sedang terjadi
pula sekarang ini dan mungkin akan terus terjadi selama manusia tidak menyadari
betapa palsunya cinta kasih seperti itu.
Betapa
banyaknya kaum muda-mudi yang saling tertarik, bersumpah saling mencinta ketika
mereka masih diombang-ambingkan oleh pengejaran untuk menyenangkan dirinya
sendiri itu. Kemudian, setelah datang badai berupa sesuatu yang membuat hati
mereka tidak senang, lunturlah cinta kasih itu, bahkan tak jarang cinta mereka
berubah menjadi kebencian! Cinta kasih macam itu tak dapat tiada tentu akan
mendatangkan kepahitan, patah hati, kekecewaan, kebosanan, cemburu, dan
sebagainya. Karena cinta kasih seperti itu isinya penuh dengan pamrih dan
harapan, bayangan untuk kesenangan pribadi, maka apa bila ternyata bahwa cinta
kasih itu tidak mendatangkan kesenangan lagi, bahkan merugikan dan menyakitkan,
cinta kasih itu berubah menjadi penderitaan dan kesengsaraan batin.
Demikian
pula dengan Phang Cui Lan. Dia mencinta Siluman Kecil, cinta yang didorong oleh
rasa kagumnya terhadap Siluman Kecil yang pernah menolongnya. Cintanya yang
berselubung harapan agar dia menjadi milik pria itu, agar pria itu membalas
cintanya, agar supaya dia selalu dapat berdampingan dengan pria itu karena hal
ini akan sangat menyenangkan hatinya. Demikianlah gambaran yang
diharap-harapkannya. Dan oleh karena itu, karena melihat kenyataan betapa
pendekar yang dipujanya itu sama sekali tidak mempedulikannya, sama sekali tak
menerima apa lagi membalas cintanya, Phang Cui Lan mengalami pukulan batin yang
hebat dan yang membuatnya merana. Untung baginya bahwa dalam keadaan itu dia
bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang menaruh kasihan kepadanya dan mengajak dara
itu tinggal di kuilnya.
Kim Sim
Nikouw merasa tertarik dan sayang kepada Cui Lan, karena dia dapat melihat
persamaan nasib antara dia dan dara itu. Dia sendiri di waktu mudanya juga
mengalami patah hati yang amat membuatnya sengsara, yaitu ketika cintanya
terhadap Pendekar Super Sakti tidak berhasil membuat dia berjodoh dengan
pendekar itu. Dia pun pernah mengalami derita batin karena cinta gagal, maka
kini menyaksikan keadaan Cui Lan, timbul rasa iba di dalam hatinya. Dara itu
pun seorang yang yatim piatu seperti dia, dan gagal pula dalam cintanya. Dulu
dia gagal dalam cintanya terhadap Pendekar Super Sakti dan kini Cui Lan gagal
terhadap putera pendekar itu.
Hati Cui Lan
banyak terhibur dan terobati setelah dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Bahkan
dara ini yang telah mengalami banyak hal-hal pahit dan maklum bahwa sebagai
seorang wanita muda yang lemah dia terancam oleh berbagai kejahatan di dunia
ramai, kini mulai mempelajari ilmu silat dari ketua Kwan-im-bio itu di samping
menerima wejangan-wejangan kebatinan yang dapat dia pergunakan untuk mengatasi
penderitaan batinnya.
Akan tetapi,
bukan menjadi maksud hati Kim Sim Nikouw untuk sekedar mengobati luka di hati
Cui Lan, agar dara itu dapat melupakan kedukaannya dan melupakan Kian Bu. Sama
sekali tidak! Nikouw ini melihat kenyataan bahwa menghibur hati yang sengsara
dengan cara memaksa diri menjadi nikouw bukanlah merupakan jalan yang baik,
karena dia sendiri sudah merasakan betapa sampai sekarang pun hatinya
kadang-kadang terluka dan perih kembali! Oleh karena itu, dia tidak ingin melihat
Cui Lan mencontoh perbuatannya.
Tidak, Cui
Lan adalah seorang dayang amat cantik dan baik, hal ini sudah diketahuinya
benar selama beberapa hari saja setelah dara itu ikut bersamanya. Dara ini baik
sekali, cukup baik dan cukup berharga untuk menjadi mantu Pendekar Super Sakti!
Karena itu, diam-diam dia akan turun tangan, dia yang akan menjadi wali dan
wakil orang tua dara ini untuk menjodohkan Cui Lan dengan Kian Bu!
Cui Lan
sendiri hanya dapat menduga-duga saja siapakah sebenarnya nikouw yang kini
menjadi gurunya ini. Dia hanya tahu bahwa nikouw ini bernama Kim Sim Nikouw dan
menjadi ketua Kuil Kwan-im-bio, akan tetapi dia tidak tahu apa hubungan nikouw
ini dengan Siluman Kecil. Ketika dia mengintai bersama Hwee Li, dia mendengar
betapa Siluman Kecil menyebut nikouw ini ‘ibu’. Akan tetapi dia tidak berani
menanyakan hal ini kepada subo-nya.
Pada suatu
hari, setelah kurang lebih tiga bulan dia berguru kepada Kim Sim Nikouw, dan
untuk ke sekian kalinya dia mengajukan permintaan agar diterima menjadi nikouw
karena di dunia baru ini dia merasa seperti menemukan ketenteraman batin. Kim
Sim Nikouw kembali menolaknya dan berkata kepada dara yang berlutut di depannya
itu.
“Cui Lan,
ketahuilah bahwa engkau tidak berjodoh untuk menjadi pendeta.”
Cui Lan
mengangkat mukanya yang tadi menunduk dan memandang kepada subo-nya dengan
sinar mata penuh permohonan. “Akan tetapi, Subo, kini teecu telah merasa
tenteram dan senang sekali hidup sebagai seorang pendeta. Apakah Subo hendak
mengatakan bahwa teecu masih terlalu kotor untuk menjadi nikouw?”
“Omitohud...!
Sama sekali tidak demikian muridku.”
“Kalau
begitu, mengapakah, Subo? Harap Subo suka memberi penerangan kepada teecu.”
“Engkau
ingin tahu mengapa aku melarangmu menjadi nikouw, Cui Lan? Karena... karena
pinni menyayangmu seperti anak sendiri, karena pinni tidak ingin engkau yang
begini muda menyia-nyiakan hidupmu dan tidak menikmati hidupmu. Karena pinni
tidak ingin engkau menjadi korban dari cinta gagal yang akan membuat hidupmu
selalu merana dan sengsara, biar pun hal itu akan kau tutupi dengan jubah
pendeta sekali pun!”
Wajah Cui
Lan berubah, agak pucat ketika dia memandang kepada nikouw itu dengan sinar
mata terbelalak. “Apa... apa maksud Subo...?”
Nenek itu
memandang pada muridnya dengan sepasang matanya yang bersinar lembut namun
tajam dan agaknya mampu menjenguk isi hati yang dipandangnya, “Cui Lan, engkau
masih mencinta Siluman Kecil, bukan?”
Wajah Cui
Lan berubah menjadi merah dan dia menunduk, akan tetapi lalu menarik napas
panjang dan sampai lama baru menjawab, “Teecu... cinta padanya dan selama hidup
teecu akan tetap mencintanya, Subo. Akan tetapi apa artinya semua itu? Tidak
ada gunanya dan karena itulah maka teecu mengambil keputusan untuk menggunduli
kepala dan masuk menjadi nikouw saja. Harap Subo suka mengabulkan permintaan
teecu ini...“
“Tahukah
engkau siapa sebetulnya Siluman Kecil itu?”
Phang Cui
Lan memandang gurunya. “Teecu tidak tahu, Subo. Dia... dia diliputi penuh
rahasia... dan teecu pernah mendengar betapa dia menyebut Subo dengan sebutan
ibu... ahhh, bukan sekali-kali teecu bermaksud untuk menanyakan hal ini kepada
Subo, teecu tidak berhak mengetahui...“
“Anak baik,
engkau amat sopan dan baik. Akan tetapi jangan khawatir. Dia bukanlah puteraku
sungguh pun dia sudah kuanggap sebagai anakku sendiri dan dia pernah mempelajari
beberapa macam ilmu dari pinni. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan itu,
melainkan bahwa dia itu putera dari Majikan Pulau Es, putera dari Pendekar
Super Sakti, dan namanya adalah Suma Kian Bu.”
Cui Lan
mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. Dia sama sekali tidak pernah mengenal
nama Pendekar Super Sakti atau Majikan Pulau Es, akan tetapi nama Suma Kian Bu
tidak asing baginya, terutama she Suma itu. Kemudian dia teringat, “Ah, teecu
pernah mengenal seorang pendekar perkasa yang sangat berbudi dan bernama Suma
Kian Lee...“
“Ehhh? Suma
Kian Lee? Dia adalah kakak dari Suma Kian Bu atau Siluman Kecil!”
“Ohhhhh...!”
Cui Lan terbelalak dan kini dia mengerti mengapa dia merasa kagum dan suka
sekali kepada Suma Kian Lee, bukan hanya karena Kian Lee merupakan seorang
pemuda tampan yang gagah perkasa dan berbudi mulia, akan tetapi sekarang dia
melihat bahwa memang terdapat persamaan antara kedua orang pemuda itu! Banyak
sekali persamaan malah. Memang wajah mereka agak berbeda, memiliki ketampanan
masing-masing, akan tetapi kini nampak olehnya bahwa memang terdapat persamaan
yang kuat sekali, entah di dalam sinar matanya, atau dalam sikap mereka yang
gagah.
“Dan
ketahuilah bahwa pinni adalah sahabat baik dari ayah mereka. Pendekar Super
Sakti. Bukan hanya sahabat baik sekali, Cui Lan, bahkan dia itu dahulu adalah
sute-ku sendiri. Pinni menganggap Kian Bu sebagai anak sendiri dan pinni
melihat engkau memang pantas menjadi jodohnya, Cui Lan...”
“Subo...!”
Cui Lan menjerit dan mukanya berubah makin merah. “Dia... dia tidak suka kepada
teecu...!”
“Ah, mana
mungkin ada orang tidak suka kepadamu, Cui Lan? Dan anakku Kian Bu itu bukanlah
pembenci orang.”
“Akan tetapi
dia... dia... agaknya tidak dapat menerima perasaan teecu, Subo.” Dia berhenti
sebentar. “Dia... dia tidak mencinta teecu... tidak mungkin dia sudi berjodoh
dengan teecu.”
“Jangan
khawatir, muridku. Aku cukup mengenal anakku Kian Bu. Bukannya dia tidak
mencintamu, akan tetapi mungkin ada hal lain yang membuat dia agaknya sengaja
menjauhimu. Akan tetapi, biarlah pinni yang akan menemuinya dan kalau perlu
pinni yang akan membicarakan urusan perjodohan antara engkau dan Kian Bu dengan
ayahnya, Pendekar Super Sakti. Kalau pinni yang bicara, pinni yakin akan ada
perhatian dari keluarga mereka.”
Tiba-tiba
Cui Lan tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya, air mata yang
terdorong oleh bermacam perasaan. Ada kesedihan, ada keharuan, akan tetapi juga
ada kegirangan yang timbul oleh harapan baru. Hampir dia tidak percaya bahwa
dia kelak akan dapat menjadi jodoh Siluman Kecli. Akan tetapi siapa tahu?
Nasibnya berada di tangan subo-nya. Dia lalu memberi hormat sampai dahinya
menyentuh lantai. “Subo... teecu menyerahkan mati hidup teecu di tangan Subo,
dan teecu hanya akan mentaati segala perintah Subo...“
Kim Sim
Nikouw menarik napas panjang dan menggerakkan tangannya, dengan lembut dia
mengusap rambut kepala muridnya itu. Tidak lama kemudian dia berkata, “Aihhh,
betapa cinta kasih di dunia ini mendatangkan banyak korban di antara manusia!
Pinni akan berusaha sungguh-sungguh, Cui Lan, karena pinni tidak menghendaki
engkau mengalami nasib seperti wanita-wanita yang gagal dalam bercinta sehingga
akhirnya hidup menderita selamanya. Pinni sendiri kebetulan telah menemui
kebahagiaan dalam penghambaan diri kepada Pouwsat, akan tetapi betapa banyaknya
orang yang hanya menggunakan agama sebagai pelarian belaka? Apa lagi kalau
pinni teringat kepada suci-mu Yan Hui... hemmm, pinni merasa ngeri...“ Wajah
nikouw itu menjadi muram ketika menyebut nama Yan Hui itu.
Cui Lan yang
telah mereda keharuannya dan telah mengusap kering air matanya itu memandang
subo-nya, hatinya tertarik. “Subo, siapakah Suci (Kakak Seperguruan) yang
bernama Yan Hui itu?” tanyanya.
Kembali Kim
Sim Nikouw menarik napas panjang. “Ketahuilah bahwa belasan tahun yang lalu,
hampir dua puluh tahun yang lalu, pinni belum mendidik Liang Wi Nikouw suci-mu
itu sebagai murid, pinni tadinya tidak berniat untuk menurunkan ilmu silat
kepada siapa pun karena pinni menganggap bahwa ilmu silat hanyalah ilmu yang
dipergunakan orang untuk menunjukkan kekerasan belaka. Akan tetapi pada suatu
hari, pinni bertemu dengan seorang gadis cantik jelita yang memiliki kepandaian
tinggi dan dia pinni temui hampir membunuh diri di dalam kamar kuil ini ketika
pada suatu malam dia bermalam di sini. Pinni mencegah dia membunuh diri dengan
memutuskan tali penggantung lehernya. Dara itu bernama Ouw Yan Hui, cantik
jelita dan berilmu tinggi. Melihat betapa pinni menggagalkan maksudnya membunuh
diri, setelah dia siuman kembali, dia menjadi marah dan menyerang pinni. Kami
lalu bertanding dan ternyata ilmunya memang hebat! Kalau saja pinni tidak
memiliki ilmu ginkang yang telah pinni latih secara tekun sekali sehingga dalam
hal kecepatan pinni dapat mengatasinya, agaknya pinni tidak akan menang
menghadapinya.” Sampai di sini nikouw itu berhenti dan memejamkan mata
mengingat-ingat.
“Akan tetapi
pinni tidak mau melukai orang, apa lagi membunuh orang. Maka perlahan lahan
pinni menasehatinya dengan pelajaran agama dan akhirnya dia sadar dan insyaf,
lalu dia menangis dan berlutut mohon menjadi murid pinni. Seperti juga engkau,
dia ingin menjadi nikouw. Tetapi pinni yang melihat ada ganjalan hati yang
membuatnya keras luar biasa, tidak mau menerimanya, hanya menerimanya sebagai
murid. Pinni mengajarkan ginkang itu kepadanya dan ternyata dia berbakat
sekali. Dalam waktu tiga tahun saja ginkang-nya bahkan sudah melampaui tingkat
pinni sendiri!”
“Ah, dia
tentu hebat...!” Cui Lan berseru kagum.
“Memang dia
hebat! Yan Hui seorang wanita yang hebat sekali. Akan tetapi dia pun menjadi
rusak oleh patah hati karena cinta gagal!”
“Ohhh...!”
Cui Lan berseru kaget dan kasihan.
“Sebetulnya
dia sudah bersuami dan dia amat mencinta suaminya itu. Akan tetapi, selagi dia
mengandung tua, suaminya itu menyeleweng dan dia menangkap basah suaminya yang
berjina dengan seorang gadis tetangganya. Yan Hui tidak mampu menahan
kemarahannya dan dia membunuh suaminya dan gadis itu, menjadi buronan dalam
keadaan mengandung tua. Dengan sengsara dia melarikan diri, melahirkan anak
seorang diri di dalam kuil tua dan anak itu mati ketika dilahirkan. Dia sendiri
hampir saja mati, dan biar pun akhirnya dia dapat memulihkan kembali
kesehatannya, akan tetapi hatinya telah terluka. Dalam keadaan seperti itulah
pinni bertemu dengan dia, ketika dia hendak membunuh diri.”
Cui Lan
makin tertarik. “Sungguh kasihan sekali dia, Subo. Di mana sekarang adanya suci
itu?”
Kim Sim
Nikouw menghela napas panjang. “Dia tinggal di Pulau Ular Emas, di mana dia
hidup sebagai seorang ratu yang amat mewah. Dia berhasil menemukan harta pusaka
yang disimpan kaum bajak jaman dahulu di pulau itu. Aihhh... sungguh
menyedihkan. Dia menjadi seorang wanita yang mabuk oleh dendam, menjadi
pembenci kaum pria... menyedihkan sekali, dia berubah menjadi seorang yang
kejam, seperti iblis. Pinni tidak berdaya, karena dengan ginkang yang sudah melebihi
pinni tingkatnya, mana pinni mampu menghadapinya? Kiranya, hanya Kian Bu saja
yang akan sanggup menghadapi suci-mu itu... ahh, sudahlah, hati pinni merasa
tidak enak kalau membicarakan suci-mu Yan Hui itu karena pinni merasa betapa
pinni telah menambah sayap pada seekor harimau betina yang haus darah! Karena
itulah, Cui Lan, maka pinni tidak ingin melihat engkau menjadi seorang wanita
yang putus asa karena cinta yang gagal. Pinni akan berusaha agar engkau dapat
berjodoh dengan Kian Bu karena pinni yakin bahwa baik engkau mau pun Kian Bu
kelak akan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia.”
“Teecu
merasa amat berterima kasih atas budi kecintaan Subo kepada teecu,” jawab Cui
Lan dan semenjak percakapan itu, dara ini berlatih makin tekun dan wajahnya mulai
berseri karena timbul harapan baru dalam hatinya…..
***************
Gadis itu
memang cantik bukan main. Bukan hanya wajahnya yang cantik jelita dengan raut
muka yang sempurna, kulitnya berwarna putih kemerahan, terutama sekali di kedua
pipinya dan dahinya yang halus seperti lilin diraut. Akan tetapi juga tubuhnya
yang tinggi ramping itu amat lemas dan memiliki kepadatan dan lekuk lengkung
yang tidak dapat disembunyikan oleh pakaiannya yang serba indah.
Aneh sekali
melihat seorang dara cantik jelita berjalan seorang diri memasuki hutan itu,
dengan tangan kiri memegang gagang payung yang terbuka dan yang melindunginya
dari sengatan matahari yang terik itu. Setelah memasuki hutan yang penuh pohon
dan teduh sekali, dia menurunkan payungnya, menutup payung itu dan mengempitnya
di ketiak lengan kiri tanpa menunda langkahnya yang satu-satu dan yang membuat
tubuhnya melenggang-lenggok dengan patutnya. Memang seorang dara yang cantik
manis dan menggairahkan. Namun pada wajah yang manis itu terbayang kemurungan
hati.
Memang hati
Siang In, gadis itu, sedang murung. Sudah lama sekali dia berputar-putar
mencari jejak Syanti Dewi tanpa hasil! Dia merasa bertanggung jawab atas
hilangnya Puteri Bhutan itu, karena sesungguhnya dialah yang membantu puteri
itu melarikan diri dari istana Kerajaan Bhutan. Akhir-akhir ini dia mendengar
bahwa jejak puteri itu menuju ke pantai Po-hai, akan tetapi telah berhari-hari
dia mencari-cari di seluruh pantai, tetap saja tidak ada hasilnya.
Dalam
perantauannya mencari jejak Syanti Dewi yang kini lenyap seperti ditelan bumi
itu, Siang In banyak mendengar tentang keributan dan pergolakan di tapal batas
Propinsi Ho-nan. Dia mendengar pula tentang peristiwa yang menimpa diri
Pangeran Yung Hwa, betapa pangeran itu tertolong dari Ho-nan oleh pendekar yang
namanya dia dengar di mana-mana, yaitu Siluman Kecil.
Ketika dia
mendengar penuturan orang-orang kang-ouw di sepanjang perjalanan bahwa Siluman
Kecil adalah seorang pemuda lihai sekali yang rambutnya sudah putih semua, dia
teringat akan pemuda yang bertanding melawan kakek raksasa botak bermantel
merah yang amat lihai itu. Teringat dia ketika dia membantu pemuda itu karena
melihat betapa kakek raksasa itu mempergunakan ilmu sihir dalam pertandingan.
Jadi pemuda itukah yang berjuluk Siluman Kecil dan yang namanya amat terkenal
di seluruh tapal batas propinsi, bahkan terdengar sampai ke tempat-tempat
terpencil di pantai Po-hai pula? Dia merasa kagum. Memang, dia teringat betapa
pertandingan itu membuktikan akan kelihaian pemuda rambut putih itu. Dan kini
dia mengerti bahwa lawan pemuda itu adalah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal!
Dunia begini
kacau, pikirnya. Pembesar-pembesar melakukan pemberontakan sehingga timbul
pergolakan. Tokoh-tokoh dunia hitam seperti iblis-iblis yang merayap keluar
dari goa-goa tempat persembunyian mereka untuk mendatangkan kekacauan dan
mengail di air keruh. Dalam keadaan sekacau ini, tentu saja akan makin sukarlah
untuk mencari Syanti Dewi. Dia makin murung.
Kalau saja
dia tidak ingat bahwa dia yang mengajak dan membantu puteri itu minggat dari
Bhutan, tentu dia tidak akan peduli lagi, tidak mau melanjutkan penyelidikannya
untuk mencari Syanti Dewi. Karena Syanti Dewi, maka dia sampai mengesampingkan
urusannya sendiri, yaitu mencari pemuda yang selama ini selalu merupakan
gangguan dalam hatinya, dalam perasaannya hingga merupakan duri dalam daging.
Pemuda yang kadang-kadang menimbulkan rasa gemas sampai benci, kadang-kadang
menimbulkan rasa gembira, malu sampai terasa bahagia, pemuda yang pernah
menciumnya! Suma Kian Bu! Dia terpaksa mengesampingkan pencariannya terhadap
pemuda itu karena urusan Syanti Dewi.
Apa lagi
ketika dia yang sudah hafal akan keadaan pantai Po-hai itu mencari-cari tanpa
hasil, kemudian malah mendapatkan Goa Tengkorak, tempat pertapaan gurunya di
pantai Po-hai juga kosong dan tidak ada pesan apa pun dari gurunya, hatinya
makin menjadi murung. Sungguh pun pada wajah yang cantik jelita dan manis itu
tidak pernah kelihatan kegembiraan, sikapnya selalu lincah berseri, penuh
kegembiraan, sikapnya selalu lincah jenaka, bibirnya selalu tersenyum hingga
sukarlah membayangkan wajah seperti ini dapat berduka atau muram.
Satu-satunya
yang membuktikan betapa murung hati dara ini adalah cara ia melakukan
perjalanan itu. Sama sekali dia tidak mempedulikan kanan kiri, bahkan juga
tidak lagi mempedulikan ke mana kakinya melangkah dan sama sekali dia tidak
pernah berhenti melangkahkan kaki memasuki hutan itu. Sampai matahari telah
jauh condong ke barat, sinarnya tidak lagi dapat menembus daun-daun pohon sehingga
keadaan dalam hutan mulai gelap, sampai kedua kakinya terasa amat lelah dan
perutnya lapar, barulah dara ini merasa betapa sejak pagi tadi dia belum makan
apa-apa!
“Uhhh...!”
Dia melempar payungnya ke atas rumput di bawah pohon besar, diikuti oleh
pinggulnya yang mendarat dengan lunaknya ke atas rumput tebal dan Siang In
sudah merebahkan diri di atas rumput berbantal kedua lengannya, matanya
menerawang daun-daun yang masih menguning tertimpa sinar matahari senja.
Perhatiannya
segera tercurah kepada suara burung-burung yang bercuitan, burung burung yang
berkelompok datang beterbangan di atas pohon itu, hingga di ranting ranting dan
dahan-dahan, bersahutan-sahutan kemudian tiba-tiba mereka terbang pergi. Suara
sayap mereka terdengar nyata dan sebentar saja mereka sudah jauh, hanya
terdengar suara mencicit mereka lapat-lapat. Akan tetapi tak lama kemudian
burung burung itu datang lagi memenuhi pohon. Agaknya mereka masih sangsi dan
terkejut melihat ada manusia di bawah pohon yang menjadi tempat mereka bermalam
itu.
Tiba-tiba
Siang In membuat gerakan cepat dan tubuhnya yang tadi rebah terlentang itu,
tahu-tahu sudah meloncat dan bangkit duduk, alisnya berkerut dan pendengarannya
dicurahkan kepada suara yang sayup sampai dihembus angin lalu. Demikian penuh
perhatian dia akan suara itu sehingga andai kata dia seekor kelinci, tentu daun
telinganya bergerak-gerak. Suara orang! Ada orang di tempat sesunyi ini dan di
waktu matahari mulai terbenam! Tentu hal ini amat mencurigakan!
Dengan
langkah-langkah ringan sekali. Siang In sudah melangkah berindap-indap ke arah
datangnya suara, payungnya telah dipegang gagangnya, siap menghadapi segala
kemungkinan. Suara itu makin jelas, suara seorang saja yang membaca sajak!
Sungguh mengherankan. Di tempat sunyi seperti itu, bukan suara harimau atau
monyet atau binatang buas lain yang didengarnya, melainkan suara seorang
laki-laki membaca sajak! Sungguh tidak umum, tidak lumrah! Orang gila agaknya.
Akan tetapi kata-katanya jelas dan lantang, dan isi kata-kata itu amat menarik
hatinya, membuatnya berdiri termangu-mangu dan biar pun dia belum melihat
orangnya, dia telah mendengar semua isi sajak yang diucapkannya dengan suara
lantang itu.
Bahagia…
hanya sebuah kata!
penuh daya
tarik, penuh rahasia
dikejar, dia
lari
dicari, dia
sembunyi
makin
dibutuhkan makin manja!
Bahagia…
hanya sebuah kata!
Harta benda
bukanlah bahagia
nafsu birahi
bukan bahagia
dia bukan
pula kebesaran nama
bukan pula
kedudukan mulia
tak mungkin
didapat melalui pengejaran
seperti
halnya kesenangan!
Yang
mengejar bahagia
selamanya
takkan bahagia!
Yang tidak
butuh bahagia
adalah orang
yang benar-benar bahagia!
Itulah
hakekat bahagia,
hanya sebuah
kata belaka!
Siang In
bengong terlongong mendengar ini. Mimpikah dia? Di tempat seperti ini dapat
bertemu dengan seorang manusia pun sudah merupakan suatu hal yang langka, suatu
hal yang aneh. Dan andai kata bertemu orang pun, pantasnya orang itu hanyalah
seorang pencari kayu, seorang pemburu binatang buas atau paling hebat juga
seorang perampok! Akan tetapi, dia mendengar orang membaca sajak tentang
bahagia! Dan isi kata-kata yang dirangkai seperti sajak itu amat mengesankan
hatinya.
Mendengar
itu, dia termenung, bahkan lalu duduk di atas batu besar di tempat itu dan
tidak pernah pikirannya dapat melepaskan isi sajak itu. Dia seperti terkena
pesona, terkena sihir oleh kata-kata itu dan tanpa disadarinya sendiri, dia pun
kini termenung menung mencari arti dari kata aneh itu. BAHAGIA! Sesungguhnya,
apakah bahagia itu? Semua orang di dunia ini seolah-olah berlumba untuk mencari
kebahagiaan. Bahkan segala sesuatu ditujukan ke arah pencapaian kebahagiaan
itu.
‘Yang
mengejar bahagia selamanya tidak akan bahagia!’
Demikian
bunyi baris antara sajak tadi. Benarkah ini? Kalau tidak dikejar, mana bisa
dapat? Untuk mendapatkan sesuatu, tentu saja harus dilalui pengejaran, demikian
suara hati Siang In membantah. Orang gilakah yang membaca sajak tadi? Dia
sendiri pernah membaca banyak kitab kuno, akan tetapi dia tidak pernah
mendengar sajak seperti itu. Sajak orang sinting, kata-kata yang dirangkai
seperti teka-teki.
Teringat dia
akan kitab kuno yang menceritakan tentang aliran Agama Beng yang paling suka
mempermainkan kata-kata sebagai jembatan untuk menyelami kehidupan dan
filsafatnya, misalnya ‘kuda putih bukanlah kuda’, ‘anjing putih adalah hitam’,
dan sebagainya.
Semua itu
menyimpan maksud agar kita tidak terpengaruh oleh keadaan luar seperti warna,
sikap, kedudukan, harta, kepintaran dan sebagainya yang semuanya itu hanya
keadaan lahiriah belaka. Kuda putih, yang penting bukanlah putihnya, tetapi
kudanya. Keadaan lahiriah itu berubah selalu, dan tak menentukan isinya! Agar
faktor bendanya, dalam hal ini tentu saja manusianya, yang penting bukan segala
keadaan lahiriahnya.
Apakah
pembaca sajak itu seorang di antara sisa-sisa penganut kebatinan Beng itu? Akan
tetapi kabarnya kini sudah tidak ada lagi sisa pengikut aliran itu yang sudah
amat kuno, yang hidup di sekitar jaman Dinasti Cou (abad ke 4 sebelum Masehi).
Ataukah dia seorang tosu? Mungkin, pikir Siang In. Pendeta beragama To memang
banyak aneh, dan kadang-kadang pendeta agama ini suka mengambil
filsafat-filsafat lain aliran ke dalam agamanya. Betapa pun juga, siapa pun
adanya orang itu, sungguh amat aneh dan menarik hatinya.
Akan tetapi,
sebagai seorang kang-ouw, Siang In juga maklum bahwa orang yang membaca sajak
di dalam hutan seperti itu tentu bukan orang sembarangan, maka dia pun bersikap
hati-hati, dia tidak berani muncul begitu saja memperlihatkan diri, namun
berindap-indap mengintai dari balik sebatang pohon yang besar. Sepasang matanya
mencoba untuk mencari orang yang tadi bersajak dengan suara cukup jelas itu.
Di dalam
cuaca yang remang-remang dan telah mulai agak gelap itu dia tidak dapat melihat
adanya seorang pun manusia di situ. Maka dia lalu bergerak maju pula, dengan
pengerahan ginkang-nya sehingga daun kering yang terpijak kakinya pun sama
sekali tidak mengeluarkan suara, seperti langkah seekor kucing saja layaknya.
Siang In
terus mencari-cari, namun ternyata dia tidak dapat menemukan orang yang tadi
membaca sajak itu. Sedangkan malam mulai tiba. Tiba-tiba bulu tengkuknya mulai
meremang. Setankah yang dia dengar membaca sajak tadi? Kalau manusia, tidak
mungkin orang itu mampu bergerak secepat itu dan dapat menghilang begitu saja
dari pencariannya. Padahal tadi jelas terdengar suaranya tidak jauh dari tempat
dia bersembunyi. Kalau bukan setan, kalau manusia, tentu manusia itu memiliki
kepandaian yang hebat bukan.
Dia tidak
lagi melanjutkan pencariannya, mengira bahwa tentu setan atau orang itu tadi
hanya lewat saja di hutan itu dan kini telah pergi jauh. Mulailah dia teringat
lagi akan perutnya yang lapar ketika perutnya berbunyi. Bunyi perutnya
berkeruyuk itu sampai mengagetkan hatinya, karena pada saat itu dia sedang
mengerahkan seluruh perhatian pada pendengarannya.
“Ihhh, tak
tahu malu!” Siang In menepuk perutnya sendiri ketika dia terkejut mendengar
bunyi berkeruyuk itu.
Karena
menganggap bahwa di hutan itu pasti tidak ada orang lain, karena kalau ada
tentu dia sudah dapat menemukannya, maka Siang In lalu mulai mencari sesuatu
untuk dapat dimakan. Tetapi hutan itu penuh dengan pohon liar, sama sekali
tidak terdapat sebatang pun pohon yang mengeluarkan buah yang dapat dimakan.
Dia mencari-cari, selain buah juga mencari binatang hutan yang dapat ditangkap
dan dimakan dagingnya, namun hasilnya sia-sia belaka karena malam telah tiba
dan cuaca mulai gelap.
“Sialan!”
Dia memaki. “Sialan setan yang bersajak tadi!” gerutunya karena dia terpaksa
harus melewatkan malam dengan perut lapar dan dia menimpakan kesalahan kepada
si pembaca sajak tadi. Kalau dia tidak mencari-cari orang itu, tentu dia dapat
mencari makanan selagi cuaca masih belum gelap tadi, pikirnya dengan hati
kesal.
Siang In
lalu mencari tempat yang kering di bawah pohon, duduk dan bersandar batang
pohon melepaskan lelah. Dalam keadaan sendirian di tengah hutan yang gelap itu,
dengan perut menderita gigitan rasa lapar, Siang In melamun dan terkenang akan
keadaan dirinya. Tiba-tiba jantungnya seperti ditusuk rasanya, rasa sedih
menyelimuti hatinya.
Teringatlah
Siang In akan keadaannya yang sebatang kara itu. Semenjak dia masih kecil,
orang tuanya telah meninggal dunia. Dia tadinya hidup berdua dengan enci-nya
yang bernama Teng Siang Hwa, hidup berdua di Lembah Pek-thouw-san. Akan tetapi,
enci-nya itu tewas ketika berhadapan dengan anak buah raja liar Tambolon hingga
dia menjadi sebatang kara sampai bertemu dengan See-thian Hoat-su yang
mengambilnya sebagai murid. Dia tidak mempunyai siapa pun di dunia ini, hanya
gurunya itu. Akan tetapi kakek aneh yang menjadi gurunya itu pun tidak pernah
mau tinggal diam, bahkan kini pun tidak berada di tempat pertapaannya, di Goa
Tengkorak di pantai Po-hai. Entah ke mana perginya gurunya itu. Hanya ada
gurunya, kakek tua itu dan... Siang In melihat bayangan wajah di depan mata
hatinya.
Wajah
seorang pemuda yang tampan, gagah, lincah jenaka dan suka menggoda orang. Wajah
yang selama ini sering dijumpainya dalam mimpi. Wajah pemuda yang selama ini
dicari-carinya sampai dia bertemu dengan Syanti Dewi sehingga pencariannya itu
tertunda karena urusan Syanti Dewi. Wajah Suma Kian Bu, pemuda yang pernah
mencium bibirnya! Semua peristiwa itu terbayang di dalam benaknya dan
membuatnya merasa amat kesepian. Dia menghela napas dan memejamkan kedua
matanya, ingin mengusir semua kenangan itu, akan tetapi sinar mata tajam dan
nakal, senyum yang menarik dari wajah pemuda itu malah terbayang makin jelas!
Tiba-tiba
Siang In membuka mata dan bangkit duduk dengan tegak, cuping hidungnya
kembang-kempis seperti cuping hidung seekor kelinci. Memang hidungnya mencium
bau sesuatu, bau yang sedap dan gurih, bau daging panggang!
“Kruuuyuuuuukkk...!”
“Ihhhhh!”
Siang In menepuk perutnya yang kecil dan kosong itu. Akan tetapi dia tidak
dapat mencegah air liurnya membasahi mulut. Terpaksa dia menelan ludahnya
karena seleranya timbul secara tiba-tiba.
Berindap-indap
dia melangkah setelah menyambar buntalan dan payungnya, kemudian menghampiri
tempat dari mana dia mencium bau sedap gurih itu. Dia harus berhati-hati
sekali. Biar pun kini di langit nampak bulan yang sinarnya merah kehijauan di
dalam hutan itu, namun keadaan masih gelap karena lebatnya hutan itu. Hanya bau
sedap itu yang menjadi penunjuk jalan. Akhirnya dia keluar dari hutan itu dan
ternyata di luar hutan itu terdapat sebuah padang rumput yang luas dan nampak
indah sekali karena bermandikan cahaya bulan tanpa terganggu bayangan pohon.
Dan agak jauh di tengah tengah padang itu, dia melihat api unggun di antara
semak-semak dan dari sanalah datangnya bau sedap gurih tadi.
Siang In
mempergunakan kepandaiannya, menyusup di antara semak-semak kemudian
menghampiri tempat itu. Setelah dekat, dia bersembunyi di balik semak-semak
bunga dan mengintai. Sinar api unggun menambah terang tempat yang sudah
disinari cahaya bulan itu. Di depan api unggun duduk seorang yang rambutnya
riap-riapan. Tertimpa sinar api dan sinar bulan, rambut panjang riap-riapan itu
mengkilap dan seperti benang benang perak. Wajahnya agak menunduk, memandang
pada daging paha kijang yang sedang dipanggangnya.
Kembali
Siang In menelan ludah. Akan tetapi dia termangu dan tidak berani bergerak.
Jantungnya berdebar tegang. Bukankah orang itu adalah Siluman Kecil? Melihat
rambut panjang riap-riapan yang keputihan itu!
Pernah dia
melihat Siluman Kecil, pada waktu pendekar aneh itu bertanding melawan seorang
kakek botak yang amat lihai. Ketika itu, dia turun tangan membantu Siluman
Kecil karena melihat kakek botak mempergunakan sihir, dan dia hanya membuyarkan
ilmu hitam itu. Akan tetapi, ketika itu, dia hanya melihat Siluman Kecil dari
jarak jauh dan tidak dapat melihat wajah pendekar yang amat terkenal itu dengan
jelas. Benarkah orang yang berjongkok dekat api unggun dan sedang memanggang
dua buah paha kijang besar gemuk itu Siluman Kecil? Siapa pun adanya orang itu,
tidak lagi menarik perhatian Siang In benar karena dia lagi-lagi sudah tertarik
oleh gumpalan-gumpalan daging yang sedang dipanggang itu.
Bibirnya
sudah bergerak, mulutnya sudah hampir dibuka untuk menegur orang itu, untuk
minta kebaikan orang itu agar suka membagi sedikit daging kepadanya ketika
cepat Siang In menutupkan mulutnya kembali dan menahan napas. Dia melihat
munculnya seorang bayangan lain, kemunculan bayangan ini sedemikian cepatnya
sehingga dia merasa bulu tengkuknya meremang. Seperti setan saja yang pandai menghilang
dan kini tahu-tahu menampakkan diri, demikian cepatnya gerakan orang itu.
Kini sinar
api unggun dari bawah menyorot ke arah muka bayangan itu dan Siang In melihat
seraut wajah wanita yang amat cantik, kemerah-merahan tertimpa sinar api unggun
itu. Bayangan wajah seorang wanita yang sukar ditaksir berapa usianya. Saking
cantiknya masih kelihatan muda, akan tetapi wajah itu sedemikian penuh
kematangan sehingga sudah barang tentu juga tidak bisa dikatakan muda lagi.
Pakaiannya
terlihat amat mewah, seperti puteri istana saja, rambutnya digelung malang
melintang penuh dengan hiasan emas dan ratna mutu manikam yang gemerlapan. Akan
tetapi bajunya itu berlengan besar dan longgar seperti jubah pendeta, dan juga
tangan kanannya memegang sebatang hudtim (kebutan pertapa) yang berbulu halus
dan panjang, gagangnya terbuat dari benda putih berkilauan halus, entah terbuat
dari gading gajah ataukah tulang ikan besar. Yang amat mengagumkan, akan tetapi
sekaligus juga menyeramkan adalah sepasang mata wanita itu. Sepasang mata itu
indah sekali memang, akan tetapi di dalam keindahan itu bersembunyi kebengisan
dan kekejaman luar biasa, sinar mata yang tajam seperti menusuk ulu hati dan
menjenguk segala isi hati orang!
“Hai!
Kamu...!” Suara wanita itu halus merdu ketika menegur laki-laki berambut riap
riapan yang sedang memanggang daging. Lagaknya demikian tinggi hati dan angkuh,
seolah-olah dia seorang ratu yang sedang menegur hambanya saja. “Apakah kamu
melihat lima orang lelaki bersenjata golok besar keluar dari dalam hutan ini?”
Pria yang
sedang memanggang paha kijang itu masih tetap menunduk, sama sekali tidak
menjawab, apa lagi menjawab, mengangkat muka memandang pun tidak. Dia hanya
melanjutkan pekerjaannya dan membesarkan api unggun dengan menambah kayu kering
sehingga sinar api unggun makin terang, apinya makin bernyala tinggi. Namun
sebagian besar muka orang itu tertutup oleh rambut putihnya yang berjuntai ke
bawah sehingga sukar dikenali.
Melihat
orang yang ditanya itu diam saja, berkerut sepasang alis yang hitam kecil itu
dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar berkilat. “Heiii, laki-laki jembel,
apakah kau tuli? Apakah kau gagu? Hayo jawab!” Wanita itu membentak dan hudtim
di tangan kanan itu digoyang-goyangnya.
Terdengar
suara bersuitan dan diam-diam Siang In menjadi kaget bukan main. Tenaga sinkang
dari wanita ini hebat sekali, baru menggoyangkan sedikit hudtim itu saja sudah
mengeluarkan suara bersuitan seperti itu! Dengan hati penuh ketegangan Siang In
mengintai dan ingin sekali tahu jawaban laki-laki itu, yang disangkanya adalah
pendekar sakti Siluman Kecil. Akan tetapi, laki-laki yang sedang memanggang
paha kijang itu sama sekali tidak mengangkat muka apa lagi menjawab, hanya
membolak-bolik daging yang dipanggangnya agar tidak sampai hangus, dan kini
terdengar dia bernyanyi atau membaca sajak dengan suara yang berirama!
Siapa bicara
kasar menyakitkan hati orang,
akan
memperoleh jawaban yang kasar pula!
Kelakuan
kasar menyakitkan hati,
hanya akan
menimpa diri sendiri!
Akan tetapi
si bodoh dan tolol,
berbuat
jahat tanpa melihat akibat!
Seperti si
tolol api…
akhirnya
membakar diri sendiri!
Mendengar
itu, Siang In teringat akan suara orang yang pernah didengarnya membaca sajak
tentang bahagia tadi. Tahulah dia bahwa orang yang tadi membaca sajak tentang
bahagia adalah si pemanggang daging ini. Dua sajak yang dinyanyikannya sekarang
ini pun bukan sajak main-main. Dia mengenalnya sebagai ujar-ujar yang terdapat
dalam kitab-kitab para hwesio, dalam kitab Agama Buddha, kalau dia tidak salah
ingat, dalam kitab Dhammapada bagian Hukuman.
Wanita yang
memegang hudtim itu pun agaknya terkejut dan agaknya mengenal pula sajak-sajak
itu, maka sekarang dia melangkah maju dan memandang wajah orang yang
tersembunyi di balik rambut putihnya. Melihat rambut putih itu, tiba-tiba
wanita itu berseru, “Ahhh, apakah engkau ini yang dijuluki orang Siluman
Kecil?”
Pria itu
memang bukan lain adalah Siluman Kecil atau Suma Kian Bu! Seperti telah
diceritakan di bagian depan, Siluman Kecil atau Suma Kian Bu terakhir berada di
tempat kediaman raja pengemis Sai-cu Kai-ong. Bahkan di istana kuno milik
Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek di puncak Bukit Nelayan itu dia bertemu dengan Ceng
Ceng yang terhitung adalah keponakannya sendiri, dengan Jenderal Kao Liang dan
dua orang puteranya, bahkan dia melihat pula munculnya Sin-siauw Sengjin yang
mewarisi kepandaian Suling Emas.
Dia
mendengarkan percakapan mereka itu dari sebelah dalam, dan dia merasa enggan
untuk keluar, karena dia segan bertemu dengan Sin-siauw Sengjin yang pernah
menjadi lawannya. Akan tetapi, ketika mendengar penuturan Ceng Ceng tentang
Syanti Dewi yang diculik orang, Kian Bu terkejut bukan main dan dia sudah cepat
meninggalkan tempat itu tanpa pamit, hanya meninggalkan surat untuk kakaknya
dan dia sudah pergi untuk mencari dan menolong Syanti Dewi, satu-satunya wanita
yang pernah dicintanya dan masih dicintanya itu. Dia mencari jejak Syanti Dewi
di sekitar pantai Po-hai, namun dia tidak dapat menemukan jejak itu dan pada
senja hari itu, setelah merobohkan seekor kijang, dia sedang asyik memanggang
paha kijang ketika dia melihat munculnya wanita cantik yang angkuh dan galak
itu.
Ketika
mendengar pertanyaan yang nadanya meremehkan itu, Kian Bu hanya miringkan
mukanya dan melirik ke atas, lalu menjawab tak acuh, seperti melayani seorang
anak anak yang mengajukan pertanyaan yang tidak penting pula, “Kalau benar,
kenapa sih?”
“Sialan!
Engkau harus mampus dua kali untuk itu!”
Kini wanita
itu telah menerjang dengan hebat, hudtim di tangannya berubah menjadi gulungan
sinar putih yang amat lebar dan terdengarlah bunyi bersuitan nyaring memekakkan
telinga pada waktu sinar putih itu bergulung-gulung menyambar ke arah Siluman
Kecil.
Namun
Siluman Kecil sudah meninggalkan dua paha kijang tadi dan sebagai gantinya kini
tangannya telah memegang sebatang ranting. Dengan kecepatan kilat, dia pun
mengelak sambil balas menotok dengan rantingnya ke arah tengkuk lawan. Namun,
wanita itu ternyata dapat bergerak dengan cepat luar biasa sehingga ketika Kian
Bu menotoknya, sebelum totokan tiba, dia sudah melesat ke kanan dan kembali
gulungan sinar putih itu menyambar dahsyat.
“Hei,
siapakah engkau perempuan galak ini?” Kian Bu menghardik.
Akan tetapi,
wanita itu hanya menjawab dengan kebutannya yang bergerak makin dahsyat, makin
lama makin cepat sehingga kini bayangan wanita itu pun tergulung sinar putih
dan tidak kelihatan lagi, dan dari dalam gulungan sinar itu terdengar suaranya
mendengus penuh ejekan dan kebencian, “Huh!”
Biar pun
cuaca amat gelap dan hanya diterangi oleh bulan, namun Kian Bu masih dapat
melihat kehebatan serangan hudtim itu, disamping keheranannya mengapa wanita
yang tak dikenalnya ini memusuhinya dan begitu bertemu ingin membunuhnya.
Wanita itu
mendengus dan suaranya dingin sekali ketika berkata, “Semua laki-laki di dunia
ini berhati palsu dan bicaranya mengandung racun seperti ular-ular belang! Akan
tetapi selama ini yang kubunuh hanyalah cacing-cacing yang tidak ada gunanya.
Orang macam engkau inilah baru seekor ular sendok yang berbahaya. Aku bosan
juga membunuhi cacing-cacing kotor, sekarang bertemu dengan ular jahat dan
berbahaya macammu, tidak boleh terlepas dari tanganku!” Setelah berkata
demikian, tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan hudtim-nya dan sinar putih
menyambar dengan cepat dan dahsyat sekali ke arah leher Kian Bu!
“Wuuutttttt...!”
Kian Bu
sudah cepat mengelak dan tubuhnya tidak berada lagi di depan api unggun. Dan
api unggun itu seketika padam tertiup hawa pukulan kebutan itu! Melihat ini,
diam diam Siang In memandang kagum bukan main dan jantungnya berdebar. Kiranya
pria itu benar Siluman Kecil adanya! Dan gerakan Siluman Kecil tadi pun luar
biasa, ketika kebutan menyambar dari jarak dekat. Tubuhnya seperti dapat
menghilang saja.
“Huh,
agaknya engkau juga sudah menguasai Ilmu-ilmu Sin-ho-koan (Ilmu-ilmu Bangau
Sakti). Hmmm, aku telah mendengar bahwa engkau si ular jantan ini berhasil
membujuk Kim Sim Nikouw sehingga engkau dapat mencuri ilmu-ilmu itu pula.”
Wanita itu hanya mengejek dan cepat menerjang lagi.
“Hemmm,
kalau begitu engkau adalah seekor ular betina! Baik, kau ingin mengadu ilmu?
Nah sambutlah!” Kian Bu sekarang tidak lagi mau mengalah dan cepat dia
menggerakkan rantingnya, selain menangkis juga membalas serangan.
Dalam satu
gerakan saja, rantingnya telah mengirim totokan yang mengarah sedikitnya tujuh
jalan darah di tubuh lawan, sedangkan tangan kirinya juga tidak mau menganggur,
melainkan melancarkan dorongan-dorongan yang mengandung hawa pukulan mukjijat,
berselang-selang dari pukulan-pukulan sakti Pulau Es, yaitu Swat-im-sin-jiu dan
juga Hwi-yang-sin-ciang. Maka menyambarkan hawa panas dan hawa dingin
berganti-ganti ke arah wanita itu sehingga wanita itu berkali-kali mengeluarkan
pekik kaget. Kian Bu yang tidak mengenal wanita ini tidak merasa bermusuh
dengannya, masih tidak tega untuk mengeluarkan ilmu pukulannya yang paling
ampuh, yaitu pukulan penggabungan sinkang yang bersifat Im dan Yang, pukulan
yang hampir saja pernah menewaskan nyawa kakaknya sendiri itu.
Kian Bu
segera mendapatkan kenyataan bahwa biar pun dalam hal ilmu pukulan dan tenaga
sinkang, dia mempunyai kelebihan dari wanita itu, namun dia diam-diam harus
mengakui bahwa dalam hal ginkang, dia masih kalah setingkat! Hal ini tentu saja
membuat dia terkejut bukan main dan teringatlah dia akan cerita Kim Sim Nikouw
yang menjadi ibu angkatnya.
“Tahan dulu!
Bukankah engkau ini orang she Ouw?”
“Huhhh!
Laki-laki palsu yang cerewet!”
Kian Bu
merasa tidak enak. Dia masih ragu-ragu apakah benar wanita ini adalah orang she
Ouw seperti yang pernah dia dengar dari ibu angkatnya. Kalau benar demikian,
dia menjadi serba salah. Mau mengeluarkan jurus maut, orang ini masih terhitung
saudara seperguruan dengan dia. Kalau tidak, agaknya sukar baginya memperoleh
kemenangan karena wanita ini benar-benar amat lihai sekali.

Tiba-tiba
terdengar jerit seorang wanita, suara jeritan yang hanya terdengar lapat-lapat
saja karena amat jauh. Namun bagi telinga Kian Bu dan wanita itu, suara ini terdengar
amat jelas. Sedangkan Siang In yang mengintai itu hampir tidak mendengarnya
sama sekali.
“Huh,
mengingat Kim Sim Nikouw, biarlah kutitipkan dulu kepalamu di atas lehermu!”
kata wanita itu dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan sinar emas yang amat
cepat menyambar ke arah leher Kian Bu.
Selain
merasa terkejut menyaksikan gerakan wanita ini yang jelas menguasai ilmu-ilmu
Sin-ho-koan pula, dan juga pandang mata Kian Bu awas sekali. Dia terkejut bukan
main ketika melihat bahwa sinar emas yang menyerangnya itu adalah seekor ular
yang kulitnya seperti emas berkilauan! Cepat dia mengelak dan rantingnya
menyambar ke depan untuk memukul ular itu.
“Wuuuttttt...
syiiittttt...!”
Kian Bu
tertegun. Ular itu dapat mengelak dan sabetannya luput! Padahal, sabetan
rantingnya tadi belum tentu dapat dielakkan oleh seorang ahli silat umum saja!
Dan kini, seperti dapat terbang saja, tubuh ular itu menggeliat dan ternyata
dia sudah membalik dan menyerang lagi ke arah muka Kian Bu.
“Ehhhhh!”
seru pemuda itu.
Saat ular
itu lewat di dekat mukanya yang dia condongkan ke belakang untuk mengelak, dia
mencium bau harum yang amis. Ular itu berbisa dan berbahaya sekali! Akan tetapi
kini wanita tadi sudah menyambut kembali ularnya yang seperti burung bisa
terbang itu, lalu kakinya meloncat dan dalam sekelebatan saja wanita itu telah
lenyap dari tempat itu. Kian Bu merasa penasaran, juga dia cepat mempergunakan
gerakan Sin-coan-in, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, tahu-tahu sudah
jauh sekali dan dia mengejar dengan Ilmu Jouw-sang-hui-teng ke arah timur….
Siang In
memandang bengong. Dia hanya melihat dua orang itu berkelebat dan lenyap,
kemudian di timur dia hanya melihat dua titik putih seperti bintang jatuh, lalu
lenyap! Siang In menarik napas panjang, penuh kekaguman. Dia tadi dapat melihat
wajah wanita itu dengan jelas, akan tetapi dia tidak pernah dapat melihat wajah
Siluman Kecil. Sudah dua kali dia bertemu dengan pendekar sakti yang terkenal
sekali itu, namun kedua kalinya dia tidak berkesempatan untuk berkenalan,
bahkan melihat wajahnya pun belum, atau sedikitnya tidak jelas sama sekali
karena dilihatnya dari samping, itu pun masih tertutup sebagian oleh rambut
putih.
Siang In
muncul dari tempat sembunyinya dan menghampiri tempat bekas pertempuran tadi.
Dilihatnya api unggun telah padam, akan tetapi dua paha kijang masih berada di
situ, ditusuk bambu dan sudah matang. Melihat paha kijang, perutnya menjadi
lapar lagi dan tanpa mempedulikan siapa yang memiliki daging paha kijang itu,
dia lalu mengambil dua paha itu dan mulai menggerogotinya. Sedap sekali! Kiranya
Siluman Kecil itu pandai memanggang paha kijang, pikirnya. Diberi bumbu pula
dan diberi garam. Bukan main!
Siang In
cepat membawa dua buah paha kijang yang sudah matang itu kembali ke dalam
hutan. Dengan lahap dia makan daging itu. Sudah habis sepotong, dia mulai
dengan yang kedua, akan tetapi kini kelahapannya berkurang. Daging paha itu
besar sekali dan menghabiskan sepotong pun sudah amat kenyang. Akhirnya dia tak
mampu menghabiskan paha kedua dan melemparkannya ke samping. Perutnya kenyang
dan tenaganya pulih, akan tetapi rasa kenyang itu menimbulkan kantuk sehingga
tak lama kemudian Siang In sudah tertidur pulas di bawah pohon!
Sementara
itu, Kian Bu yang melakukan pengejaran menjadi penasaran bukan main. Tak
disangkanya bahwa wanita itu amat hebat larinya, memiliki ginkang yang mencapai
tingkat sempurna sehingga dia sendiri tertinggal jauh dan sebentar saja
bayangan wanita itu sudah lenyap dan dia berdiri termangu-mangu karena tidak
tahu ke arah mana larinya bayangan yang lenyap itu. Dia merasa menyesal sekali.
Betapa pun cepat larinya wanita itu, kalau dia mengejarnya di waktu siang,
tentu dia akan tahu ke arah mana larinya.
Kini, hanya
sinar bulan remang-remang saja yang membantunya maka dia kehilangan jejak. Dia
hanya ingin mendapat kepastian dari wanita itu apakah benar wanita itu murid
ibu angkatnya. Namun dia segera teringat. Bukankah wanita itu tadi
meninggalkannya ketika mendengar jerit wanita dari jauh itu? Dan jerit itu
datang dari arah lereng bukit di depan. Teringat akan ini, Kian Bu melanjutkan
larinya menuju ke bukit yang nampak remang-remang di depan.
Setelah tiba
di lereng bukit itu, kembali Kian Bu menjadi bingung. Dia memperhatikan dan
mendengar-dengarkan, namun tidak terdengar suara apa pun. Akhirnya, dengan
untung-untungan dia memasuki sebuah hutan kecil. Bulan bersinar sepenuhnya
tanpa terhalang mega sehingga sinarnya cukup terang juga.
Tiba-tiba
dia melihat tubuh lima orang berserakan di atas tanah, di depan sana. Dia
teringat betapa wanita lihai tadi sedang mencari-cari lima orang laki-laki yang
bergolok panjang. Jangan-jangan...! Dia cepat berlari menghampiri dengan penuh
kewaspadaan.
Ketika dia
tiba di tempat itu, dia mengerutkan alisnya. Di situ nampak mayat seorang
wanita muda yang cantik dan empat orang laki-laki tinggi besar yang kelihatan
kasar dan bengis wajah mereka. Akan tetapi empat orang laki-laki itu tewas
dalam keadaan mengerikan. Mereka rebah dengan pakaian hancur dan tubuh penuh
luka-luka berjalur jalur merah, seolah-olah seluruh tubuh mereka disayat-sayat dengan
pisau tajam!
Kian Bu
teringat akan hudtim yang mempunyai bulu-bulu putih halus itu dan dia merasa
ngeri. Betapa kejamnya wanita itu, dan agaknya dalam kemarahan dan kebencian
yang amat hebat, wanita itu telah mencambuki empat orang laki-laki ini dengan
bulu-bulu kebutannya yang kalau digerakkan dengan tenaga sinkang hebat tentu
berubah menjadi benda yang amat menyeramkan, dapat dipakai seperti puluhan buah
pedang tajam yang menyayat-nyayat kulit daging!
Dengan
perasaan muak Kian Bu kemudian mendekati mayat wanita muda cantik yang agaknya
masih utuh tubuhnya itu. Akan tetapi ketika dia mendekat, memandang jelas, dia
lalu membuang muka dan mengutuk. Wanita itu setengah telanjang dan dari keadaan
tubuhnya yang berlepotan darah, Kian Bu dapat menduga bahwa wanita muda ini
tentu telah menjadi korban perkosaan yang amat keji dan buas!
Tiba-tiba,
bagaikan seekor kijang melompat tubuh Kian Bu melesat ke kiri dan di lain saat
dia telah menyambar tengkuk seorang laki-laki dan melemparkannya ke atas tanah,
di dekat mayat-mayat itu. Kiranya tadi dia mendengar ada gerakan di kiri dan
cepat dia menyambar, dan ternyata di tempat itu terdapat seorang laki-laki yang
bersembunyi. Laki-laki ini tubuhnya juga sudah tersayat-sayat, pakainya
robek-robek dan mukanya membayangkan ketakutan sampai bola matanya berputaran
memandang ke kanan kiri, kemudian dia bangkit berlutut dan mengangguk-angguk ke
depan kaki Kian Bu sambil mengeluarkan suara seperti orang menangis, ”...
ampunnn... ampunkan saya...” Tubuhnya menggigil.
“Siapa kau?”
Kian Bu membentak dengan suara bengis.
“Saya...
saya... bernama Giam Hok... harap Taihiap sudi mengampuni saya...,“ orang itu
meratap dengan memelas. “Harap Taihiap sudi menolong dan menyelamatkan saya...
nama Taihiap sudah terkenal di seluruh kang-ouw... harap lindungi saya dari...
dari iblis betina itu... hu-huuhhh...”
Kian Bu
mengerutkan alisnya. Orang ini telah mengenalnya sebagai Siluman Kecil, dan
memang namanya banyak dikenal di kalangan dunia hitam! Dia melihat wajah orang
ini mirip dengan wajah empat orang laki-laki yang sudah tewas di situ. Maka
teringatlah dia akan lima orang saudara she Giam yang terkenal di wilayah
selatan.
“Hemmm,
apakah engkau dan empat orang ini adalah Ngo Giam-lo-ong dari selatan yang
tersohor itu?”
Orang itu
mengangguk-angguk, kemudian dia memandang ke arah mayat empat orang saudaranya
itu dan menangis mengguguk. Kian Bu meraba dagunnya dan mengerutkan alisnya.
Dia sudah pernah mendengar akan nama Ngo Giam-lo-ong (Lima Dewa Maut) ini.
Bukan tergolong manusia-manusia yang baik, bahkan sering kali mengandalkan
kekerasan, memaksakan kehendak sendiri dan berlaku sewenang-wenang. Maka dia
pun tertarik sekali. Siapakah pembunuh empat di antara mereka? Wanita cantik
itukah? Dan mengapa?
“Siapa yang
melakukan pembunuhan terhadap empat orang saudaramu?” tiba-tiba dia bertanya,
suaranya bengis penuh wibawa sehingga orang yang sudah habis nyalinya karena
takut terhadap orang yang membunuh saudara-saudaranya itu dan kini makin jeri
setelah mengenal Siluman Kecil, menjadi makin ketakutan dan menggigil seluruh
tubuhnya.
“Yang
membunuh adalah... dia... Bu-eng-kui...”
Kian Bu
mengerutkan alisnya. Dia belum pernah mendengar nama julukan Bu-eng-kui (Setan
Tanpa Bayangan) itu. Akan tetapi julukan itu memang tepat bagi wanita yang
memiliki gerakan sedemikian gesitnya itu.
“Dia seorang
wanita?”
“Begitulah...
yang saya dengar...“ Orang yang bernama Giam Hok itu menjawab dengan wajah
ketakutan.
“Dan namanya
Ouw Yan Hui?”
“Saya
mendengar kabar bahwa dia she Ouw... akan tetapi tidak tahu jelas...“
“Apa artinya
kata-katamu ini?” Kian Bu membentak marah. “Saudara-saudaramu ini jelas dibunuh
orang, dan melihat keadaan tubuhmu, agaknya engkau pun nyaris tewas pula, dan
sekarang kau bilang hanya mendengar kabar, apakah engkau tidak melihat pembunuh
saudara-saudaramu ini?”
“Dia... dia
bergerak seperti setan… hampir tak dapat saya lihat... bayangan berkelebat
kadang-kadang ada kadang kadang tidak dan… yang terdengar hanya bunyi bersuitan
dari sinar putih bergulung-gulung dan kami... kami sudah disayat-sayat...
baiknya dia menyangka saya telah mati pula dan dia melesat pergi. Saya... saya
masih hidup dan cepat bersembunyi sampai Taihiap datang tadi...“
“Dan
bagaimana kau dapat menduga bahwa dia itu yang berjuluk Bu-eng-kui dan she
Ouw?” Kian Bu mendesak lagi.
“Kami...
saya... sudah lama mendengar mengenai Bu-eng-kui yang sangat kejam dan
mengerikan itu... dan bahwa dia she Ouw... hidup di Kim-coa-to (Pulau Ular
Emas). Tapi saya belum pernah bertemu dengan dia...“
“Kau belum
pernah bertemu dengan dia, dan tadi pun tidak dapat kau melihat wajahnya, akan
tetapi bagaimana kau tahu dia itu Bu-eng-kui Ouw Yan Hui?”
“Karena...
karena sebelum berkelebat pergi, saya pura-pura menggeletak mati, dan dia
mengeluarkan suara ketawa mengejek dan berkata: Bu-eng-kui tak dapat mengampuni
segala cacing busuk!”
Kian Bu
mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu wanita yang menyerang tadi itulah
yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan mengerikan ini. Bu-eng-kui Ouw Yan
Hui, murid dari ibu angkatnya, berarti masih terhitung suci-nya sendiri! Hmmm,
seorang pembenci pria yang amat kejam dan ganas!
“Mengapa
kalian berlima diserangnya? Hayo katakan, mengapa?”
“Kami...
kami tidak melakukan kesalahan, kami tidak pernah bermusuhan dengan dia...,
entah mengapa, dia datang-datang menyerang dengan ganas, seperti setan yang
tidak kelihatan, kami tidak diberi kesempatan untuk bicara...“
“Jangan
membohong! Atau aku akan menyempurnakan perbuatannya atas dirimu yang masih
belum selesai itu! Hayo katakan, siapa mayat wanita muda itu?”
“Dia...
dia...“
“Hayo
katakan, siapa dia dan bagaimana dia mati?” Kian Bu menghardik.
“Dia adalah
tawanan kami...“
“Hemmm,
jahanam-jahanam busuk kalian ini! Dan kalian telah memperkosanya sampai mati,
ya?”
Orang itu
mengangkat muka dan memandang kepada wajah yang tampan akan tetapi menyeramkan
karena dikurung rambut putih itu, terutama sekali sepasang mata yang seperti
mata naga itu amat menakutkan hatinya. Dia mendengar bahwa Siluman Kecil adalah
seorang pendekar sakti yang suka mengampuni orang, bahkan banyak orang golongan
hitam yang tunduk kepadanya. Mendengar nama julukan ‘siluman’ itu, tentu
pendekar sakti ini juga seorang dari golongan hitam, maka Giam Hok dengan terus
terang mengakui, karena menganggap bahwa hal itu tentu tidak aneh bagi
pendengaran seorang tokoh kaum sesat seperti Siluman Kecil.
“Kami
berlima memang sedang bersenang-senang dengan tawanan kami, dan sudah menjadi
hak kami untuk menikmati gadis yang menjadi tawanan kami ketika dia datang
dan...“
“Desssss...!
Aughhh...!”
Tubuh Giam
Hok terpental dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Kian Bu berdiri
dengan alis berkerut. Dia tadi menendang tubuh di depannya itu saking muak dan
marahnya.
“Jahanam
busuk kau!” katanya memaki.
Cepat dia
menghampiri mayat gadis itu, memondongnya dan membawanya pergi dari tempat itu,
tidak mempedulikan Giam Hok lagi yang mengaduh-aduh dan berkelojotan. Tendangan
itu bukan dimaksudkan untuk membunuh dan orang ini tidak mati, akan tetapi
karena dia telah terluka berat oleh sayatan kebutan Bu-eng-kui, kini ditambah
dengan tendangan Kian Bu, tentu saja dia menjadi tiga perempat mati!
Setelah
mengubur jenazah itu dengan sederhana di dalam hutan, Kian Bu lalu kembali ke
tempat tadi untuk mencari paha kijang yang telah dipanggangnya. Akan tetapi,
betapa pun dia mencari, dua paha kijang itu telah lenyap! Dia menjadi heran
sekali, juga penasaran dan bersungut-sungut. Perutnya lapar sekali dan
paha-paha kijang tadi kelihatan amat enak! Apakah digondol binatang hutan?
Agaknya tidak mungkin, karena binatang liar tentu tidak doyan makanan daging
yang sudah dipanggang itu. Dia lalu memasuki hutan dengan maksud mencari kijang
lain atau kelinci.
Tak lama
kemudian, dia sudah berdiri memandangi gadis cantik yang tidur berbantalkan
buntalan pakaian. Bukan hanya gadis cantik yang tidur nyenyak itu yang menarik
perhatiannya, melainkan sepotong paha kijang yang tinggal separuh dan yang
berada di atas rumput.
“Sialan...!”
Kian Bu menggeleng-geleng kepalanya.
Cuaca yang
terlalu gelap membuat dia tidak mengenal wajah gadis yang tidur nyenyak itu,
maka dia pun lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat
tanpa mengeluarkan suara sehingga tidak mengganggu Siang In yang masih tidur
nyenyak.
Sambil
berjalan, dia teringat kepada gadis setengah telanjang yang telah mati karena
diperkosa dan yang tadi mayatnya telah dia kubur. Dia teringat akan pakaian
dalam gadis itu yang koyak-koyak dan kini teringatlah dia bahwa gadis itu
bukanlah bangsa Han, setidaknya bukan pakaian gadis Han-lah yang dipakainya
itu. Timbul keinginan tahunya. Dari manakah lima orang itu memperoleh gadis
asing yang diperkosanya dan tewas tadi? Cepat dia kembali ke bukit yang
ditinggalkan. Fajar telah menyingsing dan cuaca telah mulai terang ketika dia
tiba di tempat tadi.
Dilihatnya
Giam Hok sedang mengubur jenazah keempat orang saudaranya dengan susah-payah
dan sambil menangis. Diam-diam Kian Bu merasa kasihan juga. Betapa pun
jahatnya, orang ini telah menerima hukuman yang amat berat. Bayangkan saja!
Tadinya dia berlima dengan saudaranya, terkenal di dunia kang-ouw sebagai Lima
Dewa Maut dari selatan, dan kini dalam waktu semalam saja, empat orang
saudaranya telah tewas semua dalam keadaan mengerikan, dia sendiri pun
luka-luka dan kini dia mengubur jenazah empat orang saudaranya itu sambil
menangis sedih!
Setelah Giam
Hok selesai menguruk lubang kuburan empat orang saudaranya, Kian Bu muncul.
Melihat Kian Bu, Giam Hok cepat bangkit berdiri dan kini timbul keberaniannya.
Ia bertolak pinggang dan berkata, “Siluman Kecil adalah nama yang bergema di
seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar sakti yang suka memberi
kesempatan pada para anggota golongan hitam. Akan tetapi kalau sekarang telah
berubah dan hendak membunuh aku, marilah, jangan kepalang. Memang aku pun tidak
mempunyai harapan lagi, lebih baik menyusul saudara-saudaraku.”
Kian Bu
menarik napas panjang, kemudian melangkah dekat. Jantung Giam Hok sudah
berdebar keras. Dia maklum akan kelihaian iblis berambut putih ini, maka biar
pun dia menantang maut, tidak urung jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi
Kian Bu tidak menggerakkan tangan, melainkan menunduk, menutupi muka dengan
rambut putihnya. Dari celah-celah rambut itu sepasang matanya yang mencorong
tajam itu mengerling.
“Giam Hok
loheng,” katanya ramah. “Jangan mengira yang bukan-bukan. Walau engkau memang
sudah layak dibunuh sepuluh kali, akan tetapi aku bukanlah seorang yang haus
darah.”
“Kalau
begitu, mengapa Taihiap datang lagi menemui saya?” Sikap Giam Hok berubah.
Ucapan seorang seperti pendekar ini tentu saja dapat dipercayainya, maka timbul
lagi harapannya untuk hidup.
“Aku datang
hanya untuk bertanya kepadamu asal-usul wanita yang tewas tadi. Dari manakah
engkau memperolehnya atau menawannya?”
Mendadak
sikap Giam Hok menjadi berubah lagi, dan dia kelihatan takut sekali. Dia
menoleh ke kanan kiri dan seolah-olah ingin melarikan diri. Melihat ini Kian Bu
menjadi heran dan tertarik.
“Giam-loheng,
jangan takut. Ceritakan sebenarnya. Dari mana kalian memperoleh dia? Kulihat
dia bukan seperti orang sini.” Dia berhenti sebentar dan menyambung, “Dia
seperti orang dari... Bhutan. Benarkah?”
Memang
keadaan pakaian wanita itulah yang amat menarik perhatian Kian Bu. Pakaian itu
mengingatkan dia kepada Puteri Syanti Dewi! Karena itulah maka dia sampai mau
menemui lagi orang she Giam itu.
Akan tetapi
Giam Hok menggelengkan kepalanya. “Saya tidak tahu... hanya dia... dia itu
sesungguhnya adalah seorang di antara dayang-dayang yang tadinya melayani
ehhh...“ Kembali Giam Hok berhenti dan memandang ke kanan kiri, ketakutan.
“Orang she
Giam!” Kian Bu membentak tak sabar lagi. “Selagi ada aku di sini, yang engkau
takuti siapa lagikah?”
Giam Hok
menjadi makin gugup, akan tetapi setelah menelan ludah beberapa kali, dia dapat
berkata dengan muka pucat, “Dia adalah seorang di antara dayang-dayang yang
melayani Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal.”
Kian Bu
terkejut. Dia pernah bertemu dengan koksu dari Nepal, kakek botak yang amat
lihai itu dan kini dia mendengar tentang Pangeran Nepal yang dayangnya tadi
ditawan dan diperkosa sampai mati oleh lima orang iblis she Giam itu. Pantas
saja pakaiannya mirip dengan pakaian Syanti Dewi, karena memang negera Nepal
hampir sama dengan negara Bhutan, merupakan negeri-negeri tetangga di sebelah
barat, di Pegunungan Himalaya.
“Hei,
bagaimana kalian bisa memperoleh seorang dayang Pangeran Nepal?” tanyanya,
tertarik.
Giam Hok
menarik napas panjang dan berkata, “Itulah yang menjadi gara-gara sampai empat
orang saudaraku tewas semua.” Lalu dia bercerita dengan suara sedih, “Kami
berlima mendengar bahwa Pangeran Nepal kini berada di lembah Huang-ho, di
sarang Kui-liong-pang dan kami mendengar bahwa pangeran itu royal sekali
terhadap orang orang kang-ouw yang suka bersahabat dengan dia. Kami lalu
mengunjungi lembah itu dan memang benar, Pangeran Liong itu mengumpulkan banyak
orang pandai, bahkan kabarnya hendak membangun lembah itu menjadi benteng yang
amat kuat. Akan tetapi sungguh menggemaskan, terhadap kami lima orang
Giam-lo-ong dia telah memandang rendah dan kami diberi pekerjaan mengepalai
orang-orang yang menggali parit untuk dibangun sebagai dasar dari tembok
benteng. Kami merasa penasaran akan tetapi tidak berani membantah karena
pangeran itu selain sakti juga dibantu oleh banyak orang orang yang luar biasa
tinggi kepandaiannya. Maka kami bersikap sabar, sampai kami mendapat kesempatan
melarikan diri sambil membawa seorang dayang cantik dari pangeran itu yang kami
anggap sebagai hadiah. Hemmm, dayang itu memang cantik jelita dan tubuhnya
berbau sedap, sayang dia tidak kuat dan lebih celaka lagi, ketika kami sedang
lari, kami berjumpa dangan Bu-eng-kui. Untungnya kami masih dapat melarikan
diri ke dalam hutan, berlindung di kegelapan malam. Akan tetapi, ketika kami
sedang menikmati hadiah kami itu, kembali muncul si Setan Tanpa Bayangan
sehingga akibatnya... beginilah...”
Kian Bu
tertarik sekali mendengar cerita akan Pangeran Nepal yang berada di lembah
Huang-ho, di sarang perkumpulan Kui-liong-pang itu. Mau apa seorang Pangeran
Nepal main-main di tempat ini? Bahkan mau membangun sebuah benteng? Hadirnya
Koksu Nepal yang lihai itu di istana Gubernur Ho-nan saja sudah amat
mencurigakan hatinya, apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa gubernur itu
memang bermaksud buruk dan hendak membangkang terhadap kekuasaan kerajaan.
Suma Kian Bu
adalah putera Majikan Pulau Es, dia adalah putera dari Puteri Nirahai yang
berdarah keluarga kaisar. Maka tentu saja di dalam batinnya terdapat perasaan
setia terhadap kerajaan sehingga berita tentang pangeran asing itu menarik
hatinya dan menimbulkan kecurigaannya.
Melihat
wajah Siluman Kecil itu kelihatan tertarik sekali, maka Giam Hok kemudian
melanjutkan, “Memang aneh-aneh yang terjadi di lembah itu, Taihiap. Pangeran
Nepal itu dibantu oleh banyak orang pandai dan luar biasa. Bahkan saya melihat
kakek raksasa yang amat menyeramkan, yang kabarnya adalah kakek majikan Pulau
Neraka yang kesaktiannya melebihi iblis sendiri, akan tetapi yang mempunyai
seorang anak perempuan yang seperti bidadari...“
“Ahhh...!”
Kian Bu benar-benar tertarik.
Kiranya
Hek-tiauw Lo-mo telah berada di sana pula, dan puterinya itu, Kim Hwee Li, juga
diajak ke tempat itu. Apa maksudnya tokoh jahat itu berada di sana dan apa
artinya semua itu? Jangan-jangan di sana sudah menjadi sarang mereka yang
merencanakan pemberontakan! Memang tempat itu baik sekali, di perbatasan antara
Propinsi Ho-nan dan Ho-pei! Dia harus menyelidikinya!
“Taihiap...
ahhh...!” Giam Hok melongo karena pemuda yang tadinya masih berada di depannya
itu tahu-tahu telah lenyap entah ke mana perginya…..
***************
Lembah
Huang-ho yang menjadi benteng pertahanan Kui-liong-pang itu benar-benar amat
hebat! Jenderal Kao Liang sungguh-sungguh telah memenuhi janjinya terhadap
Pangeran Liong. Sebagai seorang gagah perkasa, Jenderal Kao memenuhi janjinya,
membuatkan sebuah benteng yang kokoh kuat dan yang tidak akan mudah diserbu
oleh musuh. Benteng itu terletak di lembah sungai yang mengalir di belakang
benteng dan amat sukarlah untuk menyerbu benteng melalui sungai karena sungai
itu lebar sekali dan di bagian itu merupakan bagian yang mengandung banyak
pusaran air.
Selain
berbahaya bagi perahu-perahu yang berani mendatangi benteng dari belakang, juga
sebelum musuh berhasil mendekati, tentu pihak penjaga benteng sudah dapat
menghujankan anak panah ke perahu-perahu itu. Kanan kiri benteng itu terlindung
oleh tebing yang amat curam, juga dari kanan kiri ini sukar sekali musuh dapat
menyerbu. Jalan satu-satunya adalah dari depan, akan tetapi tentu saja jalan
ini sudah diperketat penjagaannya sehingga dari jarak beberapa li sebelum tiba
di benteng, musuh sudah akan nampak dan dapat dikepung karena jalan menuju ke benteng
itu melalui jalan terusan yang di kanan kirinya terapit tebing-tebing curam.
Pasukan musuh yang melalui terowongan atau jalan yang terapit tebing ini sama
dengan membunuh diri, karena tentu saja penyerangan dari atas kedua tebing di
kanan kiri itu akan sukar sekali mereka tangkis atau balas.
Akan tetapi,
biar pun tidak dapat disangkal pula bahwa tempat itu merupakan tempat berbahaya
dan sukar ditembus oleh pasukan, namun bukanlah merupakan tempat yang tidak
mungkin didatangi oleh seorang pendekar berkepandaian tinggi seperti Siluman
Kecil, Suma Kian Bu yang datang sendirian saja! Menjaga penyelundupan pasukan
besar tentu saja mudah, akan tetapi sama sekali tidak mudah bagi para penjaga
untuk dapat melihat Kian Bu yang menyelinap masuk dengan pengerahan ilmu
meringankan tubuhnya yang membuat dia dapat bergerak seperti burung terbang
itu!
Kian Bu juga
tidak kurang hati-hati. Dia maklum bahwa tempat itu amat berbahaya, apa lagi
karena di situ terdapat orang-orang yang amat sakti seperti Hek-tiauw Lo-mo dan
Koksu Nepal itu. Maka dia tidak berani muncul di siang hari dan menyelundup ke
lembah itu, melainkan menanti sampai malam tiba. Bagaikan seekor burung saja
ringannya, tubuh Kian Bu berloncatan, mula-mula melalui pohon, sampai ke puncak
pohon dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke atas, berjungkir-balik beberapa
kali, makin lama makin tinggi sampai dia mencapai puncak tembok benteng! Sukar
membayangkan ada seorang manusia dapat berloncatan sampai setinggi itu. Orang
lain, betapa pun lihainya, tentu akan menggunakan tali untuk memanjat naik.
Memang tingkat ginkang yang dimiliki atau dikuasai oleh Kian Bu sudah amat
tinggi sehingga untuk waktu itu, jarang ada yang dapat menandinginya.
Akan tetapi,
begitu kakinya menyentuh dasar puncak tembok, tiba-tiba saja terdengar suara
kelenengan di tempat penjaga yang berada di setiap sudut tembok benteng. Kian
Bu terkejut bukan main dan cepat memeriksa bawah kakinya. Kiranya, di atas
tembok itu terbentang tali yang amat halus dan karena malam hari itu gelap,
maka dia tidak melihat kawat halus itu. Apa lagi di waktu malam, bahkan andai
kata dia meloncat ke tempat itu di siang hari, belum tentu dia dapat melihat
kawat halus yang warnanya sama dengan kawat tembok itu. Dan kakinya hanya
menyentuh kawat itu sedikit saja, namun ternyata sudah cukup bagi alat rahasia
ini untuk membunyikan kelenengan di pondok penjaga. Memang perlengkapan yang
dipasang sebagai penjagaan keselamatan yang diatur oleh Jenderal Kao Liang itu
hebat sekali.
Begitu ada
suara kelenengan, maka segera terdengar suara suitan-suitan bersambung sambung,
tidak terlalu keras sehingga tak akan meributkan penduduk di sebelah dalam
benteng atau di lembah itu, namun cukup untuk memberitahu kepada seluruh
penjaga yang bertugas di sekeliling benteng!
Kian Bu
menjadi bingung. Dia masih berada di atas tembok, dan sekarang dia sudah
ketahuan oleh penjaga. Cepat dia lalu meloncat ke sebelah dalam tembok, hinggap
di atas atap rumah penjaga dan mendekam di balik wuwungan tinggi, mengintai ke
depan. Nampak olehnya betapa para penjaga menjadi sangat sibuk dan banyak
sekali pasukan pasukan kecil hilir-mudik dengan obor-obor di tangan.
Celaka,
pikirnya, benteng ini benar-benar amat rapi penjagaannya dan melihat pakaian
seragam itu, agaknya benteng ini penuh dengan pasukan-pasukan terlatih! Padahal
tidak demikian sesungguhnya. Orang-orang yang membentuk pasukan-pasukan kecil
dengan pakaian seragam itu hanyalah anak buah Kui-liong-pang yang mulai
terdidik sebagai pasukan-pasukan penjaga. Hingga saat Kian Bu datang, belum ada
rencana Gubernur Ho-nan untuk menempatkan barisan yang dikuasainya ke dalam
benteng yang menjadi tempat tinggal Liong Bian Cu, pangeran dari Nepal itu.
Dari tempat
sembunyinya, Kian Bu melihat berkelebatnya bayangan orang-orang. Dia semakin
terkejut. Ternyata banyak sekali orang pandai di dalam benteng ini. Ketika dia
melihat Hek-tiauw Lo-mo berlompatan dari genteng ke genteng bangunan lain untuk
ikut mencari penyelundup, dia diam saja dan tetap bersembunyi di tempat gelap.
Dari arah lain dia melihat pula bayangan yang juga amat ringan, dan ternyata
bahwa orang itu adalah seorang kakek tua yang wajahnya amat menyeramkan
tertimpa sinar lampu dan obor, muka tengkorak yang menakutkan sekali,
pakaiannya serba hitam, dan muka tengkorak yang putih seperti kapur itu kelihatan
jelas sekali di atas pakaiannya yang hitam. Itulah Hek-hwa Lo-kwi!
Kemudian
datang pula seorang laki-laki tinggi besar yang kepalanya tertutup sorban dan
jenggotnya sampai ke perut, memegang sebatang tongkat panjang kayu cendana.
Kakek bersorban ini gerakannya juga amat hebat sehingga Kian Bu menjadi semakin
kaget. Yang kelihatan saja sudah ada tiga orang sakti di situ! Ternyata cerita
Giam Hok itu benar juga! Tiga orang kakek itu berhenti tak jauh dari tempat dia
bersembunyi, dan kemudian mereka bercakap-cakap, maka dia lalu mengerahkan
pendengarannya untuk menangkap percakapan mereka.
“Jangan
memperbolehkan para penjaga memukul tanda bahaya lebih dulu!” terdengar kakek
bersorban berkata dengan suaranya yang kaku. “Jangan sampai mengagetkan pangeran
kalau belum jelas persoalannya.”
“Penjaga-penjaga
tolol itu! Belum apa-apa sudah ribut sendiri. Hemmm, Lo-kwi, anak buahmu itu
benar-benar tidak becus!” berkata Hek-tiauw Lo-mo.
Hek-hwa
Lo-kwi memandang marah. “Yang tidak becus adalah Jenderal Kao itu! Alat
rahasianya yang menimbulkan geger! Jangan-jangan hanya seekor kucing saja yang
melanggarnya hingga kelenengan berbunyi. Jangan lancang mengatakan anak buahku
yang tidak becus, Lomo. Bahkan anak buahku memperlihatkan kesigapan sehingga
ada tanda sedikit saja mereka sudah siap!”
“Ataukah
panik karena ketakutan?” Hek-tiauw Lo-mo mengejek.
“Kau berani
menghina anak buahku?” hardik Hek-hwa Lo-kwi dengan alis berkerut.
Melihat dua orang
kakek ini yang memang sering kali saling berbantahan dan saling tidak mau
kalah, kakek Nepal bersorban itu cepat menengahi dan berkata, “Sudahlah,
sesungguhnya tidak ada yang bersalah dalam hal ini. Andai kata benar hanya
kucing yang melanggar, maka hal itu membuktikan bahwa hasil kerja Jenderal Kao
memang hebat sehingga tempat ini tidak mungkin didatangi musuh tanpa ketahuan.
Dan anak buah Kui-liong-pang juga sudah membuktikan kesigapan mereka hingga
membuktikan pula baiknya disiplin yang ditanamkan oleh Jenderal Kao. Hanya
jangan sampai hal ini didengar oleh pangeran. Kalau hanya masuknya kucing yang
melanggar alat rahasia itu sampai mengagetkan pangeran, kita semua tentu akan
menerima teguran keras.”
“Kucing atau
tikus yang melanggarnya, kita tidak boleh lengah. Andai kata ada orang pandai
masuk, dia tentu hanya mempunyai tujuan untuk coba-coba melarikan tawanan,”
kata Hek-hwa Lo-kwi.
“Ahhh,
sekali ini kau benar, Setan Tua! Sebaiknya kita membagi tugas. Aku mengawasi
anakku, engkau mengawasi puteri dan biar Gitananda ini yang memperkuat
penjagaan Jenderal Kao di sana,” kata Hek-tiauw Lo-mo.
Kakek
bersorban itu yang bukan lain adalah kakek Gitananda pembantu Koksu Nepal,
mengangguk dan ketiga orang itu lalu melayang, turun dalam tiga jurusan. Kian Bu
termenung dan termangu-mangu. Kiranya di tempat ini terdapat tawanan-tawanan
dan di antaranya adalah keluarga Jenderal Kao! Akan tetapi, menurut percakapan
tadi, benteng ini adalah buatan Jenderal Kao, juga tali kawat halus berupa alat
rahasia tanda bahaya yang terlanggar kakinya tadi. Apa artinya ini semua?
Namun, dia segera melupakan semua itu karena perhatiannya sepenuhnya tertarik
oleh ucapan Hek-tiauw Lo-mo yang menyebut-nyebut tentang ‘puteri’ dan menyuruh
Hek-hwa Lo-kwi untuk mengawasi sang puteri. Siapakah itu? Jantungnya berdebar
tegang. Apakah yang dimaksudkan itu adalah Puteri Syanti Dewi?
“Besar
kemungkinannya demikian,” pikirnya. “Menurut Ceng Ceng, Syanti Dewi sudah
meninggalkan Bhutan dan kini diculik serta dilarikan orang. Bukan tidak aneh
kalau Syanti Dewi berada di sini, menjadi tawanan orang-orang Nepal!” Setelah
berpikir demikian, dia lalu dengan hati-hati berlari menuju ke arah larinya
Hek-hwa Lo-kwi untuk menyelidiki dan kalau memang benar Syanti Dewi yang
menjadi tawanan di tempat ini, dia akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk
menolong puteri itu untuk keluar dari benteng ini!
Akan tetapi,
Kian Bu menjadi bingung karena dia sudah kehilangan bayangan Hek-hwa Lo-kwi dan
dia mendekam di atas wuwungan sebuah bangunan terbesar karena dia mengira bahwa
agaknya kakek itu tadi lenyap di tempat ini dan agaknya sudah meloncat turun.
Dia bersembunyi di balik wuwungan dan melihat bahwa kini para pasukan sudah
mulai tenang, agaknya mereka itu pun menganggap bahwa yang melanggar tanda
bahaya tadi hanyalah seekor kucing saja.
Akan tetapi
jauh di bawah, dia melihat bayangan seorang tinggi besar yang dengan suara
lantang berkata kepada para pasukan, “Malam ini tidak ada istirahat! Semua
harus berjaga secara bergiliran sampai pagi! Baik kucing mau pun apa saja yang
melanggar alat tanda bahaya, kita harus tetap berjaga!”
Kian Bu
terkejut ketika dia mengenal suara itu. Jenderal Kao Liang! Hampir dia tidak
dapat menahan suaranya untuk memanggilnya. Akan tetapi dia cepat sadar, sungguh
pun dia hampir tidak percaya. Jenderal Kao kini memimpin pasukan menjaga
benteng itu? Dan Jenderal Kao ini kini menjadi pembantu atau kaki tangan
seorang pangeran asing yang agaknya bersekutu dengan Gubernur Ho-nan yang akan
memberontak? Sungguh tidak masuk di akal dan sukar sekali untuk dapat
dipercaya. Padahal nama Jenderal Kao telah terkenal sebagai seorang pahlawan
yang amat setia kepada kerajaan!
Akan tetapi
dia segera teringat akan ucapan Hek-tiauw Lo-mo tadi yang menyinggung adanya
keluarga Kao yang harus dijaga. Jelas bahwa keluarga Kao Liang yang dikabarkan
lenyap diculik orang itu ternyata diculik oleh kaki tangan Pangeran Nepal dan
berada di sini menjadi tawanan! Mengertilah dia, sungguh pun pengertian itu
juga menimbulkan keheranan di dalam hatinya. Tentu keluarga jenderal itu telah
ditawan dan dijadikan sandera untuk memaksa sang jenderal menuruti permintaan
musuh supaya jenderal itu suka membangun benteng dan mengatur penjagaan benteng
itu. Yang mengherankan hatinya adalah mengapa jenderal itu suka melakukan perbuatan
yang sifatnya mengkhianati negara ini hanya demi menyelamatkan keluarganya.
Diam-diam
Kian Bu merasa khawatir. Kalau keluarga jenderal itu menjadi tawanan, dan juga
Syanti Dewi seperti yang diduganya, maka takkan mudahlah untuk menyelamatkan
mereka dan meloloskan mereka dari tempat ini. Harus diakuinya bahwa benteng ini
amat kuat. Dia yang sudah memiliki ginkang istimewa saja masih mengalami
kesukaran dan dapat diketahui kehadirannya. Mereka yang biar pun berkepandaian
tinggi, kalau tidak memiliki ginkang istimewa, kiranya akan sukar memasuki
benteng ini. Dan di dalam benteng masih terdapat begitu banyak orang pandai.
Sekarang pun dia tahu bahwa dia tidak bisa mempergunakan kekerasan, karena mana
mungkin dia akan berhasil kalau harus menghadapi pengeroyokan begitu banyak
orang pandai yang masih dibantu oleh pasukan pula?
“Aku harus
menolong Syanti Dewi,” pikirnya dengan hati bulat. “Apa pun yang terjadi, aku
harus menyelamatkan dia.”
Jantungnya
berdebar kalau dia teringat kepada puteri itu. Bayangan wajah yang cantik
jelita dan lembut itu membangkitkan semangatnya dan Kian Bu lalu cepat bergerak
menyelidiki bangunan besar di mana Hek-hwa Lo-kwi tadi menghilang. Dia
memandang ke bawah. Sunyi di pekarangan belakang gedung itu, maka dia lalu
melayang turun dengan maksud untuk menyelidiki tempat itu dari bawah. Dengan
gerakan yang amat cepat dan ringan, kedua kakinya sudah hinggap di atas tanah
tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan
yang amat mengejutkan hatinya.
“Hei,
berhenti! Siapa di situ?”
Bukan main
kagetnya hati Kian Bu mendengar bentakan ini. Tadi tidak kelihatan ada seorang
pun manusia di bawah ini, mengapa begitu kakinya menyentuh tanah lalu ada orang
yang menegurnya? Bayangan orang itu muncul dari balik sebuah pintu, maka dia
menduga bahwa tentu tempat itu ada alat rahasianya lagi. Akan tetapi, dia cepat
mempergunakan kepandaiannya, tubuhnya sudah kembali mencelat ke atas dengan
kecepatan kilat.
Dia mendekam
di atas genteng, mendengar langkah kaki beberapa orang di bawah dan terdengar suara
orang sedang mengomel, “A-ban, siapa yang kau tegur tadi? Tidak ada bayangan
seorang pun di sini!”
“Ahh, jelas
kulihat tadi bayangannya. Kenapa dia bisa lenyap lagi?”
Kian Bu
cepat berloncatan di atas genteng menuju ke samping gedung itu untuk turun dari
bagian lain. Akan tetapi mendadak terdengar bentakan yang nyaring, “Maling
hina, menyerahlah!” Dan sebuah lengan panjang yang besar, dengan tangan
membentuk cakar, dan dari kuku-kukunya yang panjang keluar bau amis dan gerakan
tangan itu mengandung sambaran angin besar, telah meluncur hendak mencengkeram
pundaknya dari belakang.
Kian Bu
maklum bahwa tangan itu adalah tangan orang yang memiliki ilmu tinggi, dan juga
kuku-kuku tangan itu mengandung racun berbahaya, maka dia mempergunakan
kelincahannya, melesat ke belakang dan menyerong ke kanan sehingga cengkeraman
itu luput. Dia tidak mau melayani dan terus lari ke depan.
Raksasa yang
menyerangnya itu bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi. Ketika tadi dia mendengar
teguran penjaga di belakang gedung, dia tahu bahwa ada orang di sekitar tempat
itu, maka diam-diam dia lalu meloncat naik ke atas genteng dan ketika melihat
berkelebatnya bayangan orang, dia langsung saja menerkam. Tetapi Hek-hwa Lo-kwi
terkejut bukan main. Terkaman mautnya itu dapat dielakkan sedemikian mudahnya
oleh maling itu! Dan kini maling itu dapat berlari sedemikian cepatnya.
“Hendak lari
ke mana kau?” bentaknya dan dia pun mengejar dengan cepat.
Kian Bu
cepat melarikan diri dan meloncat ke atas genteng rumah lain. Gerakannya memang
cepat bukan main sehingga sebentar saja Hek-hwa Lo-kwi telah kehilangan
jejaknya. Akan tetapi, baru saja kakinya menginjak wuwungan sebuah bangunan
lain, tiba-tiba terdengar suara berkerining di dalam bangunan itu, disusul
bentakan kasar yang parau dan keras sekali, “Anjing dari mana berani mengantar
nyawa? Ha-ha-ha!” Dan dari sebuah jendela, melayang keluar sesosok bayangan
orang tinggi besar yang langsung naik ke atas genteng. Begitu melihat bayangan
ini, Kian Bu mengenalinya. Orang itu bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, musuh
lamanya!
Kian Bu
hendak lari lagi, akan tetapi tiba-tiba ada sinar meluncur ke arah lambungnya.
Cepat dia mengelak dan melihat bahwa sinar itu adalah sebatang tombak tulang
ikan, senjata ampuh dari kakek raksasa itu, dia mengelak sambil menendang
dengan ujung kakinya yang mengenai batang tombak. Tombak itu terpental, akan
tetapi tidak sampai terlepas dari tangan kakek raksasa itu. Namun terpentalnya
tombak itu cukup bagi Kian Bu untuk menjejaknya kakinya dan tubuhnya sudah
melesat dengan cepat sekali dari situ.
“Ha-ha-ha,
kau hendak lari? Tak mungkin!” Hek-tiauw Lo-mo mengejar sambil tertawa, suara
ketawa untuk menutupi rasa penasaran dan kagetnya karena maling itu ternyata
mampu mengelak dari senjatanya yang ampuh, bahkan tendangan kaki orang itu
hampir saja membuat tombaknya terlepas dari pegangannya!
Tentu saja
Kian Bu tidak merasa jeri menghadapi dua orang kakek sakti itu, akan tetapi
kedatangannya bukan untuk bertanding dengan mereka, tetapi untuk membebaskan
Syanti Dewi. Jika dia melayani mereka, tentu akan muncul yang lain dan akan
sukarlah baginya untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi yang belum diketahuinya
berada di mana itu, bahkan belum diketahuinya dengan pasti apakah benar Puteri
Bhutan itu berada di tempat itu sebagai tawanan.
Maka dia
cepat berlari dan ketika dia melihat bayangan Hek-hwa Lo-kwi mendatangi dari
depan sedangkan Hek-tiauw Lo-mo mengejar dari belakang, dia lalu melarikan diri
ke kanan. Akan tetapi baru saja dia melompat ke atas genteng bangunan di
sebelah kanan, mendadak muncul belasan orang pasukan yang melepaskan anak panah
ke arahnya. Kiranya tempat itu telah dijaga dengan barisan panah dan terpaksa
dia lalu menggunakan ginkang-nya untuk mengelak ke sana-sini sambil
menggerakkan kedua tangan menyampok anak panah yang tak dapat dielakkannya.
Melihat bahwa di depan telah dihadang, dia lalu membalikkan diri lagi dan
berlari ke jurusan kiri, tempat yang agak terang karena di situ terdapat sebuah
bangunan yang amat megah, agaknya merupakan bangunan induk dan tempat itu
terang sekali, bahkan di atas genteng juga terang karena ada lampu-lampu besar
digantung di tingkat atas.
Celaka,
belum juga dia tahu di mana adanya Syanti Dewi, kalau benar dara itu ditawan di
situ, dia telah ketahuan. Lebih baik aku menyelamatkan diri lebih dulu, baru
kemudian mencari akal untuk menyerbu tempat ini, jika perlu minta bantuan
kakaknya atau teman teman lain! Berpikir demikian, melihat jalan kanan kiri,
dan belakang sudah dihadang musuh, Kian Bu meloncat ke atas bangunan yang megah
dan terang itu.
Dia
mengerahkan ginkang-nya dan menggunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng, sehingga kedua
kakinya seolah-olah tidak menyentuh genteng dan tubuhnya melesat ke depan,
kemudian jarak antara bangunan ini dan bangunan megah itu diloncatinya dengan
gerakan yang membubung ke atas, lalu tubuhnya berjungkir-balik beberapa kali
dan akhirnya dengan ringan kedua kakinya hinggap di atas wuwungan gedung megah
yang terang benderang itu.
“Kraaakkkkk...!”
Tiba-tiba
genteng yang diinjaknya itu, yang diinjak dengan ringan sekali, mengeluarkan
suara keras dan terbuka, disusul menyambarnya puluhan batang amgi (senjata
gelap) berupa jarum, paku, piauw, pisau dan sebagainya lagi! Kian Bu sejak tadi
tidak pernah kehilangan kewaspadaannya, maka begitu genteng-genteng itu terbuka
dan dari dalam menyambar sinar-sinar senjata gelap itu, dia sudah mendahuluinya
meloncat turun dari atas genteng dan karena tidak ada tempat lain yang dapat
diloncatinya, terpaksa dia melayang turun ke bawah, sebuah ruangan terbuka yang
amat terang dan sunyi, tidak nampak seorang pun manusia.
“Pyarrrrr...!”
Sebelum
tubuhnya turun ke lantai ruangan terbuka itu, lebih dulu Kian Bu melemparkan
sebuah genteng yang tadi disambarnya ketika dia meloncat. Genteng itu menimpa
lantai dan pecah berantakan, namun tidak ada akibat apa-apa, maka barulah Kian
Bu berani turun dan hinggap di dekat pecahan genteng itu. Ternyata ruangan yang
lantainya dari batu ini tidak dipasangi alat rahasia, tetapi kesunyian tempat
itu amat menyeramkan karena begitu kosong, begitu terang dan begitu sunyi!
Sebelum Kian
Bu bergerak, telinganya mendengar sesuatu, mendengar suara gerakan gerakan di
sekeliling tempat itu. Kini bermuncullanlah orang-orang di sekeliling ruangan
terang itu, makin lama makin banyak dan ternyata bahwa tempat itu telah terkepung!
Tidak kurang dari lima puluh orang bersenjata lengkap mengepung tempat itu dan
kini tempat itu telah tertutup oleh pagar manusia!
Kian Bu
berdiri dengan dua kaki terpentang lebar, kedua lengannya tergantung di kanan
kiri tubuhnya, mukanya agak menunduk dan sebagian tertutup oleh rambutnya yang
panjang riap-riapan dan berwarna putih. Dia kelihatan seperti sebuah arca saja
karena tidak pernah bergerak, akan tetapi mendatangkan perasaan ngeri di dalam
hati para pengepungnya. Hanya sepasang mata di balik tirai rambut putih itu
saja yang bergerak memandang ke kanan kiri, dengan sikap tenang namun jelas
bahwa setiap jalur urat syarafnya menegang dan dalam keadaan siap siaga. Pemuda
berambut putih ini kini terlihat jelas sekali karena penerangan di situ menjadi
makin terang dan semua mata ditujukan kepada Kian Bu.
“Siluman
Kecil...!”
Kian Bu
mendengar bisikan-bisikan yang keluar di sana-sini di antara para pengepung
itu. Tahulah dia bahwa para prajurit atau anak buah pasukan itu bukanlah
orang-orang asing karena ternyata telah mengenalnya. Memang, para penjaga yang
kini menjadi pasukan berseragam itu adalah anak buah Kui-liong-pang, maka tentu
saja mereka mengenal Siluman Kecil karena biar pun jarang di antara mereka ada
yang pernah melihatnya, setidaknya mereka telah mendengar nama pendekar itu dan
keadaannya yang aneh menyeramkan.
“Aha,
kiranya tempat kami mendapatkan kehormatan, dikunjungi oleh seorang tokoh besar
yang namanya menggemparkan dunia persilatan. Sicu, benarkah engkau yang
dijuluki orang Siluman Kecil?”
Kian Bu
mengerling ke kiri dan melihat bahwa dari sebuah pintu muncul beberapa orang
tinggi besar mengiringkan seorang pemuda tinggi tegap yang tampan. Pemuda itu
memakai pakaian yang serba indah gemerlapan, kepalanya tertutup sorban yang dihiasi
permata besar dan bulu burung dewata. Tubuhnya tinggi tegap, kulitnya
kecoklatan, matanya yang cekung itu mempunyai biji mata yang amat tajam seperti
mata burung hantu, hidungnya panjang melengkung ke bawah seperti paruh betet,
rambutnya hitam agak kemerahan, hampir menyamai kulitnya. Usia pemuda ini
sekitar tiga puluh tahun dan pembawaannya ramah, akan tetapi juga penuh dengan
wibawa. Agaknya inilah Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu dari
Nepal itu, pikirnya.
Kian Bu
memperhatikan orang-orang yang berjalan di belakang pangeran ini. Pertama tama
dia mengenali Hek-tiauw Lo-mo, kakek yang menjadi majikan Pulau Neraka itu.
Sejak dia berusia belasan tahun, dia sudah mengenal kakek ini, bahkan dia
bersama kakaknya, Kian Lee, pernah menjadi tawanan kakek itu di Pulau Neraka.
Dan setelah dia dewasa, dalam peristiwa pemberontakan dua orang Pangeran Liong,
dia pun pernah bertemu dengan lawan ini. Bukan itu saja, tadi pun dia telah
bertanding segebrakan melawan kakek ini yang kini makin lihai saja. (baca
cerita Kisah Sepasang Rajawali)
Namun
sebaliknya, kakek yang seperti raksasa itu agaknya tidak lagi mengenal Kian Bu,
dan kini memandang dengan penuh perhatian karena hati kakek ini tertarik sekali
ketika mendengar bahwa orang yang disangkanya maling dan yang tadi ternyata
memiliki kepandaian amat tinggi itu ternyata adalah Siluman Kecil, nama tokoh
yang dalam waktu beberapa tahun ini menggemparkan dunia persilatan dengan sepak
terjangnya yang hebat sehingga nama itu ditakuti oleh seluruh tokoh kaum sesat
dan disegani oleh semua tokoh golongan putih pula.
Di samping
Hek-tiauw Lo-mo berdiri Hek-hwa Lo-kwi, kakek bermuka tengkorak yang menjadi
majikan lembah itu atau ketua dari Kui-liong-pang. Juga dia melihat kakek
bersorban yang jenggotnya panjang sampai ke perut dan memegang tongkat kayu
cendana. Selain tiga orang kakek ini, nampak pula banyak orang-orang yang
terlihat berkepandaian dan yang tidak dikenalnya.
Memang
banyak yang datang mengepung ‘maling’ itu, di antaranya terdapat Khiu Sek, atau
yang oleh para anggota Kui-liong-pang lebih dikenal dengan sebutan Khiu-pangcu,
bekas ketua Huang-ho Kui-liong-pang sebelum Hek-hwa Lo-kwi muncul di situ.
Hadir pula Hoa-gu-ji yang memegang senjata dayung panjang. Seperti juga
Khiu-pangcu, Hoa-gu-ji yang tinggi kurus ini pun merupakan tokoh
Kui-liong-pang. Masih ada lagi tiga orang kakek yang bukan orang-orang biasa,
karena mereka itu adalah para pembantu Hwa-i-kongcu, tokoh-tokoh Liong-sim-pang
yang kini sudah bergabung dan bersekutu dengan Pangeran Nepal. Mereka bertiga
itu adalah Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-Liong-ong Ciok Gu To. Di
samping tiga orang tokoh Liong-sim-pang ini, masih terdapat pula beberapa orang
yang berpakaian sebagai orang-orang Bhutan, mereka ini adalah para pembantu
Mohinta, panglima muda dari Bhutan itu.
Kian Bu
maklum bahwa dia kini dikepung oleh orang-orang pandai. Hanya Koksu Nepal saja
yang tidak dilihatnya berada di situ, namun orang-orang ini sudah cukup tangguh
kalau mereka maju semua untuk mengeroyoknya.
Mendengar
pertanyaan yang diajukan oleh pangeran dari Nepal itu, yang bertanya dengan
sikap ramah, Kian Bu yang cerdik maklum bahwa pangeran ini agaknya sedang
mencari dan mengumpulkan tenaga yang kuat untuk membantunya! Dia teringat akan
sikap dua orang Pangeran Liong yang dulu memberontak. Dua orang pangeran tua
itu pun selalu berusaha mengumpulkan orang-orang kang-ouw untuk membantu mereka
dalam usaha pemberontakan mereka. Kini, Pangeran Nepal ini agaknya juga
bersikap ramah untuk berusaha menariknya agar suka menjadi kaki tangannya!
Tetapi sebagian perhatiannya ditujukan ke arah sekelilingnya, untuk mencari
kemungkinan meloloskan diri andai kata terpaksa harus menggunakan kekerasan.
Hatinya merasa tidak enak sekali ketika dia melihat tubuh Jenderal Kao Liang
yang tinggi besar itu berdiri di sudut, memimpin pasukan itu dengan sikapnya
yang gagah dan tidak peduli, seolah-olah tidak mengenalnya!
Dengan
menggerakkan jari-jari kakinya, tanpa mengangkat kaki, Kian Bu telah memutar
tubuhnya menghadapi pangeran itu. Sejenak mereka berdua saling pandang dan sang
pangeran bergidik juga melihat mata dari balik tirai rambut putih itu menyambar
dengan ketajaman yang menusuk perasaan.
“Hebat orang
ini,” pikirnya, “kalau saja aku dapat menaklukkannya!”
“Tidak
keliru dugaan itu. Bukankah aku berhadapan dengan Pangeran Bharuhendra dari
Nepal?” tanya Kian Bu dengan suara lirih namun terdengar jelas sekali oleh
semua yang hadir.
Semua orang
terkejut dan pangeran itu juga tercengang, tetapi dia tersenyum lebar dan
wajahnya kehilangan kebengisannya kalau tersenyum. Memang dia cukup tampan,
bahkan amat tampan bagi ukuran orang Nepal yang menyukai hidung melengkung.
“Ha-ha-ha,
sungguh Sicu amat mengagumkan! Dugaan Sicu benar sekali, akan tetapi aku lebih
dikenal di sini sebagai Pangeran Liong Bian Cu. Tentu Sicu dapat menduga bahwa
ayahku adalah mendiang Pangeran Liong Khi Ong, ibuku seorang Puteri Nepal.
Ha-ha-ha, sungguh girang sekali kami dapat berkenalan dengan Sicu dan merasa
terhormat bahwa tempat kami ini mendapat kunjungan dari Sicu. Kami harap saja
Sicu datang sebagai sahabat, karena memang sudah lama kami telah mendengar nama
besar Sicu, hanya tidak tahu bagaimana kami dapat menghubungi Sicu. Silakan,
Sicu, marilah kita bicara di dalam sebagai sahabat-sahabat.”
Jelaslah
bagi Kian Bu. Memang telah diduganya demikian. Dia akan disuruh membantu
seorang anak pemberontak, seorang pangeran asing yang tak salah lagi tentu
memiliki niat yang tidak baik terhadap pemerintah? Tidak sudi! Dia bukan
seorang pengkhianat, bukan pula seorang pemberontak. Dia mengerling ke arah
Jenderal Kao Liang dan melihat betapa kebetulan sekali jenderal itu memandang
kepadanya. Orang tua itu cepat menundukkan muka dan kelihatan berduka sekali.
Kesempatan
itu dipergunakan oleh Kian Bu untuk menegur jenderal yang dianggapnya pengecut
dan pengkhianat itu. “Pangeran, saya datang bukan sebagai musuh, karena saya
tidak mempunyai urusan pribadi dengan Pangeran, akan tetapi melihat betapa
Koksu Nepal bersekutu dengan Gubernur Ho-nan, saya mendapatkan kesan kurang
baik terhadap orang-orang Nepal. Maaf, Pangeran, bukan maksud saya menyinggung
Paduka, tetapi saya bukanlah seorang rendah dan hina yang dapat diajak
bersahabat kalau yang mengajaknya itu termasuk golongan pembecontak.“
“Uhhh...“
Suara ini lirih saja, akan tetapi Kian Bu maklum bahwa suara itu keluar dari
tenggorokan Jenderal Kao Liang. Ketika dia mengerling, jenderal itu sudah
mundur dan menyelinap di antara para pasukan.
Pangeran
Liong Bian Cu dan para pembantunya terlalu marah demi mendengar ucapan Kian Bu
itu sehingga mereka tidak mendengar suara yang keluar dari tenggorokan jenderal
itu, karena dalam waktu yang bersamaan mereka pun sudah mengeluarkan suara
menggereng marah. Namun, Pangeran Liong Bian Cu benar-benar amat cerdik. Dia
dapat menekan kemarahannya, memberi isyarat dengan tangan kepada para
pembantunya agar jangan turun tangan lebih dulu, kemudian dia merangkap kedua
tangan di depan dada, menghadapi Kian Bu dan berkata sambil tersenyum, “Hebat
sekali! Sicu masih muda, sudah mengangkat nama besar, dan ternyata memiliki
jiwa pahlawan pula! Kalau Sicu berkeberatan untuk datang sebagai sahabat kami,
lalu kami harus menganggap Sicu datang ini sebagai apakah?”
Diam-diam
Kian Bu kagum juga atas ketenangan pangeran itu. Bahkan para pembantu pangeran
itu sudah memandang kepadanya dengan marah, akan tetapi sang pangeran ini
sendiri sama sekali tidak kelihatan marah! Dia pun balas menjura dengan hormat
dan berkata halus.
“Maaf,
Pangeran. Memang kedatanganku ini lancang dan untuk itu aku mohon maaf. Aku
datang bukan sebagai musuh dan bukan pula sebagai sahabat, melainkan sebagai
seorang yang mendengar adanya hal yang tidak semestinya dan karenanya terpaksa
aku datang untuk minta kepada pangeran agar suka membereskan yang tak
semestinya itu.”
“Hemmm, Sicu
mendengar apakah?”
“Bahwa
Pangeran telah menawan seorang wanita yang bernama Syanti Dewi, maka aku minta
agar Pangeran suka membebaskan dia!” katanya dengan suara tegas.
“Ahhh...!”
terdengar suara bentakan marah.
Sang
pangeran menoleh. Yang membentak itu adalah Mohinta sendiri, putera panglima
tua di Bhutan. Seperti kita ketahui, Mohinta dan para pembantunya telah tiba di
dalam benteng itu dan menjadi sekutu Pangeran Nepal itu pula.
Sang
pangeran lalu tersenyum dan berkata kepada Kian Bu, “Sicu, perkenalkanlah,
inilah dia Saudara Mohinta, panglima muda dari Bhutan yang bertanggung jawab
atas keselamatan Puteri Syanti Dewi. Lebih baik dialah yang menjawab
permintaanmu tadi, karena dia lebih berhak.”
Mohinta lalu
melangkah maju menghadapi Kian Bu yang memandang padanya dengan penuh
perhatian. “Siluman Kecil, tahukah engkau siapa adanya nama yang kau sebut
tadi?” tanya Mohinta dengan marah.
“Syanti
Dewi? Dia adalah Puteri Bhutan...,“ jawab Kian Bu.
“Nah, dia
adalah Puteri Bhutan dan junjungan kami! Pada saat ini, hanya akulah yang
bertanggung jawab atas keselamatan Sang Puteri. Beliau berada di sini sebagai
tamu agung, bagaimana engkau berani menuduh yang bukan-bukan? Hak apakah yang
ada padamu untuk menguruskan diri beliau?”
Tentu saja
Kian Bu merasa terdesak. Kalau benar orang ini adalah tokoh Bhutan, tentu saja
dia tidak berhak mencampuri. Akan tetapi, dia tentu saja tidak mau mengalah
secara mudah. “Aku adalah seorang sahabat baiknya. Bukan aku tidak percaya, akan
tetapi aku baru yakin akan kebenaran ucapanmu itu kalau aku sudah dapat
berhadapan dan bicara dengan dia sendiri. Persilakan dia keluar dan bicara
sendiri denganku.”
“Keparat!
Kau kira dia wanita macam apa, mudah saja diajak bicara oleh segala macam orang
sepertimu?” Mohinta mendamprat dan sudah langsung menerjang maju dengan kepalan
tangannya untuk menghantam muka Siluman Kecil.
Pemuda
rambut putih ini diam saja, sama sekali tidak mengelak, akan tetapi ketika
kepalan tangan Mohinta sudah dekat sekali dengan mukanya, tiba-tiba tangan
kirinya bergerak menangkis.
“Krekkkkk!”
“Aughhhhh...!”
Mohinta
terpelanting dan memegangi lengan kanannya yang patah tulangnya! Para
pembantunya maju dengan senjata terhunus, akan tetapi Pangeran Liong Bian Cu
yang tersenyum menyaksikan semua itu mengangkat tangan membentak mereka agar
mundur.
“Aku tahu
jelas orang macam apa adanya Puteri Syanti Dewi. Dia seorang wanita yang
bijaksana agung dan berbudi mulia, tidak seperti kau, manusia rendah yang
sombong!” Kian Bu membentak ke arah Mohinta yang sudah dibantu orang-orangnya
untuk bangkit berdiri. “Mengingat bahwa engkau adalah orang Bhutan, maka aku
memandang nama Puteri Syanti Dewi mengampuni nyawamu.”
Gerakan Kian
Bu tadi cepat bukan main, akan tetapi tidak mengejutkan para tokoh yang hadir
karena mereka semua tahu bahwa kepandaian Mohinta masih jauh terlalu rendah
untuk menyerang seorang tokoh seperti Siluman Kecil.
Pangeran
Liong Bian Cu tertawa lagi. “Hebat sepak terjangmu, Sicu. Akan tetapi harus kau
ketahui bahwa urusan Puteri Bhutan tentu saja kita harus tunduk kepada
peraturan Bhutan dan di sini, yang berkuasa mengenai hal itu adalah Panglima
Mohinta. Selain itu, apakah masih ada keperluan lain yang mendorong
kedatanganmu ini?”
“Selain
menuntut agar Syanti Dewi dibebaskan, juga aku menuntut agar keluarga Kao yang
ditawan di sini, dibebaskan semua!”
Kembali
semua orang terkejut. Alangkah beraninya pemuda ini! Tetapi sang pangeran
tersenyum saja, lalu berkata tidak acuh, “Engkau menduga yang bukan-bukan,
Sicu. Puteri Syanti Dewi dari Bhutan merupakan tamu agung kami yang selalu
dikawal oleh Panglima Mohinta sendiri, sedangkan keluarga Kao juga merupakan
keluarga yang menjadi tamu kami, bahkan minta perlindungan kami dari pengejaran
pasukan istana yang memusuhi mereka.”
“Hemmm, aku
tidak percaya! Biar aku menemui mereka dan bertanya sendiri!”
“Sikapmu
terlalu keras dan engkau terlalu tidak mempercayai orang, Sicu. Persoalan
keluarga Kao sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kao-goanswe, maka biarlah dia
saja yang menghadapimu dan menjawabmu.”
Begitu
mendengar ucapan sang pangeran, Jenderal Kao yang tadinya menyelinap di antara
para pasukan, kini melangkah maju dua tindak dan berkata, suaranya lantang akan
tetapi matanya memandang kosong, tidak menatap wajah Kian Bu, “Siluman Kecil,
harap kau jangan mencampuri urusan kami sekeluarga Kao!” Setelah berkata
demikian, dia mundur lagi dan berdiri di antara para prajurit dengan muka
menunduk, kelihatan berduka sekali.
Kian Bu
merasa heran bukan main. Timbul keraguan apakah benar orang tua itu adalah
jenderal gagah perkasa yang pernah dikenalnya itu? Ataukah hanya orang yang
mirip mukanya? Sikapnya demikian aneh dan jelas bahwa orang itu bertindak bukan
atas kemauan sendiri, melainkan terpaksa atau tertekan. Benar-benar hatinya
merasa tidak puas sekali. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan?
Betapa pun
juga, dia harus membenarkan bahwa Puteri Bhutan tidak bisa dijumpakan kepada
seorang laki-laki asing, dan dalam hal itu tentu saja Panglima Butan yang
mengawalnya memiliki hak penuh untuk menolak permintaannya. Kemudian mengenai
keluarga Kao, kalau Jenderal Kao Liang sendiri sudah mengatakan demikian, dia
dapat berbuat apakah? Dia merasa ragu-ragu, bingung, memandang ke kanan kiri
seperti hendak menanyakan pendapat orang lain, kemudian dia mengangkat kedua
bahunya dan berkata, “Ahhh... kalau begitu, kehadiranku tidak dibutuhkan orang
lagi. Biarlah aku pergi saja...”
Dia
melangkah pergi, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu melangkah maju
dan memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap di depan dada. “Sicu, setelah
semua urusan beres, maka biarlah dalam kesempatan ini kami mengundang Sicu
untuk duduk di dalam dan bercakap-cakap sebagai seorang tamu yang terhormat.”
Kian Bu
menahan langkah kakinya. Tentu saja di dalam hatinya dia merasa tidak sudi
untuk bersahabat dengan pangeran asing yang mungkin bersekutu dengan pihak
pemberontak ini, akan tetapi dia teringat akan Syanti Dewi. Hatinya bimbang
ragu, ingin dia bertemu dengan puteri itu dan melihat dengan mata kepala
sendiri bahwa puteri itu selamat, mendengar dengan telinganya keterangan dari
mulut puteri itu sendiri bahwa sang puteri tidak terancam bahaya. Kalau dia
menerima undangan Pangeran Nepal ini, mungkin saja dia memperoleh kesempatan
untuk bertemu dengan Syanti Dewi, akan tetapi kalau dia memenuhi undangan itu,
bukankah berarti bahwa dia telah menerima kebaikan dari seorang musuh negara?
Selagi dia
meragu, tiba-tiba terdengar suara nyaring bening, “Tangkap dia...!”
“Ehhh, mau
apa kau?” Terdengar suara Hek-tiauw Lo-mo.
Kian Bu
menoleh dan dia melihat seorang dara cantik jelita berpakaian sutera serba
hitam, sedang dipegangi lengan kirinya oleh Hek-tiauw Lo-mo. Dara itu meronta
dan menudingkan telunjuknya ke arah Kian Bu sambil berseru, “Tangkap dia!
Pangeran, dia adalah mata-mata kerajaan! Dia adalah Suma Kian Bu, putera dari
Pendekar Super Sakti, dia masih cucu dari kaisar sendiri! Karena itu, dia
tentulah mata-mata kerajaan, maka harus ditangkap!”
Kian Bu
tertegun mengenal dara itu yang bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari
Hek-tiauw Lo-mo. Mendengar seruan puterinya ini, Hek-tiauw Lo-mo juga menjadi
girang dan melepaskan pegangan tangannya. Dia sudah mengeluarkan senjatanya
yang ampuh, yaitu sebatang golok gergaji di tangan kanan. Kini Kian Bu
menggerakkan kepala sehingga rambut putihnya semua terbang ke belakang
kepalanya dan nampak mukanya yang tampan. Hek-tiauw Lo-mo segera mengenali
wajah ini dan dia pun amat terkejut. Kiranya putera Pendekar Super Sakti yang
dikenal orang sebagai pendekar aneh yang berjuluk Siluman Kecil.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment