Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 18
"Benar-benar
dia putera Majikan Pulau Es!" teriak Hek-tiauw Lo-mo sambil menerjang ke
depan. "Tangkap mata-mata musuh!"
Mendengar
ini Pangeran Liong Bian Cu terkejut bukan main. Jika benar bahwa Siluman Kecil
adalah putera Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es,
cucu kaisar sendiri, maka jelaslah bahwa kehadirannya ini berbahaya bukan main!
“Tangkap dia!”
perintahnya sambil melangkah mundur ke tempat aman.
Sementara
itu, Hwee Li telah menerjang maju dengan kepalan tangannya, menghantam dada
Kian Bu yang masih keheranan itu dengan tangan kanan. Pemuda ini tentu saja
merasa amat heran melihat sikap Hwee Li. Gadis ini jelas mencinta kakaknya dan
ketika membantunya mencari obat, Hwee Li bersikap manis kepadanya. Kenapa
sekarang gadis ini membuka rahasianya sehingga dia terancam bahaya?
Dia cepat
mengelak dan hendak balas mendorong, ketika dia mendengar bisikan gadis. itu,
“... kau tangkaplah aku...!”
“Wuuuttttt...!”
Dorongannya
diperlemah, namun tetap saja tubuh Hwee Li terdorong ke belakang dan tentu akan
terjengkang dan terbanting kalau saja dia tidak berjungkir-balik ke belakang
dengan amat lincahnya.
Sementara
itu, Hek-tiauw Lo-mo telah menyerang Kian Bu dengan golok gergajinya dari
depan, sedangkan dari kiri Hek-hwa Lo-kwi telah ikut menyerangnya dengan
tangannya yang kini berubah hitam sampai ke siku, tanda bahwa tangan itu
mengerahkan tenaga mukjijat yang mengandung racun berbahaya sekali.
Akan tetapi,
Kian Bu cepat bergerak dan tubuhnya berkelebatan ke sana-sini, dengan mudahnya
dia dapat menghindarkan diri dari dua serangan maut itu. Namun, ke mana pun dia
meloncat, dia selalu dipapaki serangan dari semua orang yang telah rapat
mengepungnya. Di sebelah dalam kepungan itu, dia dikeroyok oleh Hek-tiauw
Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gitananda, Hwee Li, Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok,
Hai-liong-ong Ciok Gu To, tokoh-tokoh Kui-liong-pang beserta para pembantu
Mohinta. Sedangkan di sebelah luarnya dia dikepung oleh puluhan orang anak buah
pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang! Dengan demikian, betapa pun dia
melesat ke sana-sini, tetap saja dia tidak mampu lolos dari kepungan itu.
Akan tetapi,
yang membuat Kian Bu makin bingung dan ragu adalah sikap Hwee Li dan bisikan
dara itu tadi! Dia tidak mengerti dan menjadi ragu-ragu apa lagi melihat betapa
dara itu terus mendesaknya, bahkan menjadi penyerang terdepan seolah-olah dara
itu amat benci kepadanya dan hendak mengadu nyawa! Akan tetapi, tentu saja dia
tidak tega melukainya, maka gerakan Kian Bu menjadi kurang gesit dan ketika
akhirnya dia berhasil merobohkan lima enam orang pengeroyoknya, tiba-tiba sinar
hitam yang amat lebar menimpanya dan tahu-tahu dia telah tertangkap oleh jala
hitam tipis yang dilepas oleh Hek-tiauw Lo-mo.
Kian Bu
meronta, namun jala itu memang aneh sekali sifatnya. Amat lemas dan halus tipis
sekali hingga dapat dikepal dalam genggaman tangan, akan tetapi uletnya
melebihi baja dan mempunyai sifat mengkerut sehingga kalau yang terperangkap
itu meronta, malah makin ketat melibat!
Tiba-tiba
Hwee Li menubruknya. “Mampuslah kau, mata-mata hina-dina!” bentaknya.
Kini semua
orang pengepung berteriak-teriak girang melihat pemuda itu telah tertawan. Dan
di antara bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan ini, Kian Bu mendengar suara
Hwee Li yang halus sekali, “... tolol, cepat tangkap aku, jadikan sandera...!”
Kini
mengertilah pendekar muda yang sakti itu. Kiranya sejak tadi Hwee Li
menunjukkan jalan keluar yang amat cerdik. Tetapi apa gunanya menangkap Hwee
Li? Bukankah gadis itu sendiri agaknya tidak leluasa bergerak, buktinya tadi
dicurigai ayahnya sendiri dan ditangkap lengannya? Dalam keadaan yang berbahaya
itu, dia tidak mau banyak membantah, ketika melihat Hwee Li menghantam ke arah
kepalanya dengan kepalan tangan kanan, menghantam sekuatnya, dia sengaja
menerimanya dengan bahunya.
“Desss...!”
Tubuh Kian Bu terguling-guling di dalam gulungan jala itu.
“Ha-ha-ha-ha,
bagus Hwee Li anakku, bagus! Hantam dia sampai mampus!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa
sambil memegangi ujung tali jala.
Tadinya Hwee
Li terkejut melihat betapa Kian Bu sengaja menerima hantamannya dengan bahu,
akan tetapi dara ini memang cerdik sekali, maka dia segera mengerti akan maksud
Kian Bu. Pemuda itu membiarkan dirinya terpukul agar tidak ada orang yang akan
mencurigainya nanti. Maka cepat dia menubruk dan memukul lagi. Benar saja
dugaannya, sekali ini Kian Bu mengulur tangannya dan menangkap pergelangan
tangannya, terus secepat kilat jari tangan pemuda itu menotok jalan darah thian-hu-hiat
dan seketika dia menjadi lemas.
“Ayah...,
tolong...“ Hwee Li berteriak lirih dengan tubuh lemas dan lengannya masih
dipegang oleh Kian Bu.
“Keparat,
cepat lepaskan anakku!” Hek-tiauw Lo-mo mendekati dengan golok gergaji di
tangan, juga Hek-hwa Lo-kwi dan lain-lain tokoh yang berkumpul di situ
melangkah maju.
“Berhenti!
Mundur semua atau gadis ini akan kubunuh lebih dulu!” Kian Bu menghardik dan
jari tangannya telah terjulur keluar dari celah-celah jala itu, menempel di
tengkuk Hwee Li.
Hek-tiauw
Lo-mo dan semua orang terkejut, maklum bahwa sekali menggerakkan jari
tangannya, pemuda itu memang akan dapat menewaskan Hwee Li tanpa ada yang akan
sanggup menolongnya karena jari tangan itu telah menempel di jalan darah yang
mematikan. Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia laiu menerjang
maju dengan goloknya.
“Keparat!
Kalau engkau berani membunuh anakku, maka aku akan menyiksamu dan akan
mencincang tubuhmu!” Agaknya dia tidak peduli akan ancaman terhadap anaknya itu
dan masih hendak melanjutkan serangannya.
Tentu saja
Kian Bu menjadi bingung sekali dan mulai menyesali akal yang digunakan oleh
Hwee Li, yang ternyata, seperti telah disangsikannya tadi, telah gagal. Orang
macam Hek-tiauw Lo-mo yang berwatak seperti iblis itu mana mempunyai rasa
sayang kepada anak sendiri? Dia sudah berniat melepaskan Hwee Li dan sedapat
mungkin mempertahankan nyawanya ketika tiba-tiba terdengar seruan berwibawa.
“Locianpwe,
tahan dulu!”
Hek-tiauw
Lo-mo menahan gerakan goloknya dan melangkah mundur. Baru teringat dia bahwa
hampir saja dia membahayakan nyawa anaknya. Dia sendiri memang tak peduli
apakah Hwee Li akan mati atau hidup, akan tetapi dia lupa bahwa tentu saja ada
orang yang amat mempedulikan hal itu, dan orang ini tentu saja adalah Pangeran
Liong Bian Cu yang amat mencinta Hwee Li!
Kini
pangeran itu muncul dan memandang kepada Kian Bu yang masih tertawan dalam jala
dan yang memegang lengan Hwee Li yang tertotok lemas dan menempelkan jari
tangannya di tengkuk dara itu. Dia memandang penuh kekhawatiran, kemudian
berkata dengan gagap, “Suma-sicu, harap kau suka melepaskan dia.”
Hwee Li
menoleh ke arah pangeran itu dan berkata lirih, “Lekas..., lekas... Pangeran...
kenapa kau tidak cepat menolong tunanganmu ini...? Lekas... ahhhhh...“
Mengertilah
kini Kian Bu. Kiranya Hwee Li adalah tunangan pangeran berhidung betet ini!
Hatinya menjadi girang. Memang Hwee Li merupakan seorang sandera yang amat
berharga. Akan tetapi di samping kegirangan hatinya, juga timbul keheranan.
Jika Hwee Li menjadi tunangan pangeran itu, mengapa Hwee Li bersikap begini dan
agaknya hendak menolongnya? Dia tidak mengerti, akan tetapi dia pun tidak mau
banyak pusing menikirkan hal itu.
“Mudah saja
melepaskan dia, Pangeran, akan tetapi aku pun berhak minta dibebaskan pula,”
katanya.
“Tentu saja!
Kau lepaskanlah tunanganku itu, dan kami akan membebaskanmu.”
“Hemmm,
kedudukan kalian adalah jauh lebih kuat, maka sepatutnyalah kalau aku yang
lebih dulu minta dibebaskan, baru kemudian aku akan membebaskan Nona ini.”
“Kau... kau
tidak percaya kepada omonganku?” Pangeran Liong Bian Cu membentak marah, tetapi
kemudian menarik napas panjang, dan berkata kepada Hek-tiauw Lo-mo, “Locianpwe,
harap kau suka melepaskan jalamu itu dan biarkan dia bebas.”
Hek-tiauw
Lo-mo bersungut-sungut, memandang kepada Kian Bu dengan mata lebar dan melotot
penuh kemarahan, akan tetapi dia tidak berani membantah dan dengan beberapa
kali gerakan, jala yang menyelimuti tubuh Kian Bu itu ditariknya terlepas.
Memang jala itu merupakan senjata yang amat aneh, tali pengikatnya berada di
tangan kakek ini, maka dia dapat menggerakkan jala itu sesuka hatinya.
Kian Bu
cepat bangkit berdiri dan masih memegang pergelangan tangan Hwee Li. Dia
mengangguk kepada pangeran itu dan berkata, “Biarlah sekarang aku pergi saja
dan nanti setelah sampai di luar daerah ini aku pasti akan membebaskan
tunanganmu ini, Pangeran.”
Tanpa
menanti jawaban, Kian Bu lalu memondong tubuh Hwee Li, kemudian meloncat dengan
kecepatan bagai terbang saja keluar dari tempat itu. Hek-tiauw Lo-mo bergerak
hendak mengejar, demikian pula Hek-hwa Lo-kwi, akan tetapi pangeran itu
mengangkat tangan mencegah mereka, lalu berkata lirih, “Jangan ceroboh, Adinda
Hwee Li berada dalam kekuasaannya!”
“Ahhh, tapi
siluman itu! Bagaimana kalau dia tidak membebaskan Hwee Li?” Hek-tiauw Lo-mo
berkata dengan alis berkerut.
“Kita harus
membayangi dia!” Hek-hwa Lo-kwi juga mengangguk-angguk.
Sang
pangeran menjadi bingung sekali, dia berjalan hilir-mudik dengan kedua tangan
di belakang pinggulnya, wajahnya agak pucat. Dia amat mencinta Hwee Li dan
sekarang kekasihnya itu terancam bahaya tanpa dia berani mengerahkan
orang-orangnya karena kekasihnya itu berada dalam ancaman seorang musuh yang
amat lihai.
“Kenapa
tidak menggunakan garuda saja...?” Tiba-tiba Gitananda berkata.
“Ah, benar!
Hanya dengan cara itu Ji-wi Locianpwe dapat membayanginya dan menjaga
keselamatan Adinda Hwee Li!”
Hek-tiauw
Lo-mo mengangguk dan wajahnya berseri. “Kenapa aku melupakan garuda itu?” Dia
mencela diri sendiri. “Lo-kwi, hayo kau bantu aku menghadapi Siluman Kecil!”
Hek-hwa
Lo-kwi sejak dahulu memang selalu tidak mau mengalah terhadap Hek-tiauw Lo-mo,
maka kini mendengar ajakan itu, dia membuang muka. “Urusan anakmu sendiri,
mengapa kau hendak merepotkan orang lain? Katakan saja kalau engkau tidak
berani menghadapi siluman itu sendirian saja!”
“Siapa tidak
berani? Biar ditambah engkau sekali pun, aku tidak takut!” Hek-tiauw Lo-mo
menghardik.
Melihat dua
orang pembantunya yang kukoai (aneh wataknya) itu mulai cekcok sendiri,
Pangeran Liong Bian Cu cepat berkata, “Harap Hek-hwa locianpwe suka membantu
Hek-tiauw Locianpwe menyelamatkan Adinda Hwee Li.”
Barulah dua
orang kakek iblis itu tidak berani banyak ribut lagi dan tak lama kemudian
mereka telah menunggang di atas punggung burung garuda besar itu yang mulai
mengibaskan sayapnya dan terbang ke atas, memasuki udara yang gelap. Pangeran
Liong Bian Cu kemudian memerintahkan kakek Gitananda untuk memimpin sepasukan
pengawal melakukan pengejaran lewat jalan darat, dan Jenderal Kao mendapat
tugas menjaga benteng dengan ketat agar jangan sampai dapat diselundupi musuh
lagi.
Dengan
pengerahan tenaga dan kepandaiannya, bagaikan terbang cepatnya Kian Bu
melarikan diri keluar dari benteng melalui pintu gerbang tanpa ada yang mencoba
untuk menghalanginya. Para penjaga yang sudah menerima perintah itu hanya
memandang dengan bengong melihat pemuda itu berlari cepat memondong tubuh dara
tunangan pangeran itu keluar dari pintu gerbang dan menghilang di dalam gelap.
Hwee Li
sendiri memejamkan mata karena ngeri. Dia sudah biasa menunggang garuda yang
terbang tinggi di angkasa dan juga cepat sekali, akan tetapi kini berada dalam
pondongan pemuda rambut putih ini yang berlari tidak lumrah cepatnya, dia
merasa ngeri juga.
Setelah jauh
meninggalkan lembah itu dan tiba di padang rumput yang sunyi, yang diterangi
oleh sinar bulan sepotong dan dibantu oleh bintang-bintang di langit, barulah
Kian Bu membebaskan totokan yang membuat tubuh Hwee Li lemas tadi, kemudian
menurunkannya dari pondongan. Dia menjura kepada dara itu sambil berkata,
“Nona, sekali lagi engkau telah menolongku, kalau dulu engkau menolongku
mencarikan obat untuk kakakku, sekarang engkau malah menolong aku dan
membebaskan aku dari cengkeraman maut. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih
atas budimu yang besar itu.”
”Siapa
berterima kasih kepada siapa? Akulah yang harus berterima kasih kepadamu,” kata
Hwee Li.
“Tidak,
engkau yang telah melepas budi besar kepadaku, Nona, dua kali malah, dan yang
terakhir ini sungguh engkau telah menyelamatkan aku dari cengkeraman maut. Aku
berhutang nyawa kepadamu.”
“Hi-hi-hik,
berhutang nyawa? Lalu kapan kau akan membayar hutangmu itu?”
Kian Bu
gelagapan, akan tetapi memang pada dasarnya dia adalah seorang pemuda yang berwatak
gembira, maka kini bertemu dengan seorang dara lincah seperti Hwee Li, kumat
kembali wataknya itu. “Ahhh, biarlah aku akan selalu membayangimu dan menanti
saat balk. Kalau engkau terancam bahaya maut, aku akan segera menolongmu
sehingga dengan demikian aku akan dapat membayar hutangmu itu.”
“Hemmm...,”
Hwee Li lalu duduk di atas rumput.
Indah sekali
suasana di padang rumput itu. Angin malam semilir menggerakkan ujung-ujung
rumput yang seperti air laut sedang bergelombang lembut. Bau sedap harum rumput
bercampur tanah mendatangkan rasa nyaman dan membuat orang ingin menarik napas
dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya. Sinar bulan lembut menyentuh mesra.
Semuanya nampak serba lembut, tidak ada kekerasan yang terbawa dalam sinar
matahari siang.
“Kau benar-benar
ingin membalas budi kepadaku?”
“Benar!
Sungguh, Nona, hanya aku tidak tahu dengan cara bagaimana aku harus membalas
kebaikan hatimu dan budi yang telah berkali-kali kau lepaskan kepadaku itu.”
“Kalau ada
sebuah permintaanku, benar engkau mau memenuhinya?”
“Benar,
pasti akan kupenuhi permintaanmu itu, asal dapat membalas budimu dengan itu.”
“Nah, mulai
sekarang, jangan lagi menyebut nona kepadaku.”
“Ehhh...?”
Kian Bu melongo. Masa hanya sedemikian sederhana permintaannya? Dan apa
maksudnya? Apakah dia harus menyebut namanya saja? Namanya Hwee Li, nama yang
indah dan enak diucapakan. “Lalu... menyebut apa?” tanyanya, ragu.
“Kau harus
menyebut aku enci (kakak perempuan).”
“Hehhh...?
Tapi... tapi aku lebih tua dari pada engkau...! Usiaku sudah dua puluh tahun
lebih, dan engkau paling banyak delapan belas...“
“Tujuh
belas!” potong Hwee Li dengan cepat.
“Nah, baru
tujuh belas malah!”
“Hemmm, baru
permintaan sedemikian saja engkau sudah banyak cerewet. Katakan saja engkau
tidak mau! Apa lagi untuk membayar hutang nyawa segala...!” Hwee Li
bersungut-sungut dan memalingkan muka dari pemuda itu.
“Ah, tentu
saja aku mau. Enci Hwee Li, jangan marah. Aku akan menyebutmu enci, cici, kakak
ataukah enso (kakak ipar)...?”
“Ihhh! Tak
tahu malu!” Hwee Li membentak dan mukanya berubah merah sekali, akan tetapi
karena sinar bulan juga mengandung warna kemerahan, maka perubahan warna muka
ini tidak dapat kentara.
Sebaliknya,
Kian Bu termenung dan hatinya terharu, dia tidak mau menggoda lagi. Jelaslah
bahwa permintaan dara ini membuktikan bahwa dara ini benar-benar mencinta
kakaknya! Dia merasa girang dan terharu. Ah, derita batin kakaknya tentu akan
terobati kalau kakaknya memperoleh dara cantik jelita dan lincah jenaka ini
sebagai kekasih dan calon isteri!
“Maafkan
aku, Enci Hwee Li, aku berjanji tidak akan menyebutmu so-so lagi...“
Hwee Li
menoleh dan matanya yang indah itu melotot. “Berjanji tidak akan menyebut akan
tetapi terus-menerus mengulang! Kau menantang, ya?”
“Ehh,
ohhh... tidak..., maafkan. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti apa yang kau
maksudkan ketika mengatakan bahwa engkau yang harus berterima kasih kepadaku.
Engkau sudah berkali-kali menolongku, kalau sekarang mengatakan bahwa engkau
yang harus berterima kasih, bukankah itu artinya mengejekku?”
“Huh, kau
tidak tahu. Apa kau kira aku begitu ceroboh dan usil untuk mempertaruhkan
nyawaku menolongmu kalau hal itu tidak penting bagiku?”
“Maksudmu...?”
“Bukan aku
yang menolongmu, melainkan engkaulah yang telah membebaskan aku dari kurungan
benteng itu. Aku adalah seorang tawanan pula di sana, mengertikah engkau?”
Tentu saja
Kian Bu menjadi terkejut bukan main. Tadi dia mendengar bahwa dara jelita ini
adalah tunangan dari Pangeran Nepal itu, dan sekarang mengaku sebagai tawanan.
“Tawanan? Bukankah ayahmu juga berada di sana? Kalau Hek-tiauw Lo-mo menjadi
pembantu pangeran itu, mana mungkin engkau menjadi tawanan?”
“Hek-tiauw
Lo-mo bukan ayahku, melainkan musuh besarku!”
“Ehhhhh...?”
Kan Bu memandang dengan mata terbelalak.
“Dia... dia
bahkan musuh yang telah membunuh ibuku...“ Hwee Li menunduk, hatinya berduka
teringat akan riwayatnya itu.
“Ahhh...!
Kalau begitu kionghi (selamat) kepadamu, Enci!” Dan Kian Bu benar-benar telah
bangkit berdiri dan memberi selamat dengan mengangkat kedua tangan ke depan
dada sambil membungkuk di depan dara itu.
Hwee Li
meloncat berdiri. “Engkau... engkau manusia kejam! Engkau siluman liar!” Dan
tiba-tiba dara itu telah menerjang dan menyerang Kian Bu dengan hebatnya!
Begitu menyerang, tangannya meluncur langsung menotok ke arah jalan darah di
leher Kian Bu, sedangkan kakinya yang kecil itu cepat sekali menyusul dengan
tendangan yang juga merupakan totokan dengan ujung sepatu mengarah lambung!
“Ehhh...!
Plakkk! Ohhh...! Plekkk!”
Kian Bu
terhuyung-huyung ke belakang karena dia menangkis tanpa mengerahkan sinkang-nya
sehingga dia terdorong oleh tenaga totokan dan tendangan itu. Dengan penasaran
dan marah karena serangannya yang tiba-tiba dan amat cepat itu dapat ditangkis,
bahkan tangan dan kakinya terasa nyeri, Hwee Li telah menerjang lagi, seperti
seekor naga mengamuk saja. Namun sekali ini Kian Bu telah siap, dan dengan
mudah pemuda ini terus-menerus mengelak.
“Ehh, nanti
dulu... wah, Enci... ehhh, Cici-ku yang baik... tahan dulu...!” Melihat Hwee Li
terus menyerang, tiba-tiba tubuh Kian Bu melesat jauh dan lenyap!
Hwee Li
termangu-mangu, dan merasa heran, lalu bersungut-sungut, “Tak tahu aturan, adik
macam apa dia itu! Orang menceritakan ibunya dibunuh orang malah memberi
selamat!”
“Wah, engkau
salah sangka, Enci Hwee Li...“ Tiba-tiba Hwee Li membalikkan tubuhnya dan
kiranya pemuda berambut putih itu telah berdiri di belakangnya!
Kian Bu
cepat mengangkat kedua tangan ke atas tanda takluk, kemudian tergesa-gesa
menyambung ucapannya sebelum dara yang galak itu sampai menyerangnya lagi,
“Dengarkan dulu! Aku memberi selamat kepadamu bukan untuk itu, melainkan
mendengar bahwa engkau bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo! Sejak dahulu pun aku sudah
tidak percaya, masa iblis jelek menakutkan macam Hek-tiauw Lomo bisa mempunyai
seorang anak yang cantik molek dan manis jelita seperti engkau...“
“Wah, engkau
memang seorang adik yang bejat moralnya!”
“Lhoh,
kenapa lagi?”
“Engkau
memuji-muji kecantikan cici-mu, hemmm, ada maksud kotor apa di dalam hatimu?”
Kian Bu
tersenyum. “Aihhh, segala yang kuucapkan ternyata kau anggap salah saja.
Sudahlah aku minta maaf. Aku tadi memberi selamat saking girang hatiku
mendengar bahwa engkau bukanlah puteri Hek-tiauw Lo-mo, maka aku memberi
selamat dan saking girang hatiku sampai aku tadi lupa bahwa ibumu telah
terbunuh oleh iblis itu! Hemmm, jangan khawatir, aku akan membantumu
membalaskan dendam orang tuamu itu, Enci Hwee Li. Lalu..., siapakah orang
tuamu, kalau aku boleh bertanya?”
Akan tetapi
Hwee Li sudah duduk lagi dan tidak menjawab, hanya menunduk. Keadaan menjadi
sunyi, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kian Bu memang merasa
girang, karena kalau dara ini bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo, berarti dara ini
makin pantas menjadi jodoh kakaknya. Betapa pun cantiknya dan baiknya, kalau
dia ini puteri Hek-tiauw Lo-mo, wah, agak sukar juga karena setidaknya, orang
tua mereka di Pulau Es tentu tidak akan sudi berbesan dengan iblis Pulau Neraka
itu. Akan tetapi, melihat Hwee Li tidak menjawab pertanyaannya tentang orang
tuanya, dia pun tidak berani mendesak, karena dia mengira bahwa tentu dara itu
masih merasa berduka atas kematian orang tuanya di tangan Hek-tiauw Lo-mo.
Di lain
pihak, Hwee Li juga tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia menyuruh Kian Bu
menyebutnya enci karena memang dia merasa bahwa pemuda ini adalah adik Kian
Lee, maka sudah sepantasnya menyebut enci, bukan enso (kakak ipar) karena
memang belum waktunya! Dan kini, sukar baginya untuk mengaku bahwa dia adalah keturunan
mendiang Kim Bouw Sin, panglima di perbatasan yang pernah menjadi pemberontak
itu! Bagaimanakah keluarga Suma akan memandangnya kalau mereka mendengar bahwa
dia adalah keturunan pemberontak Kim Bouw Sin? Padahal, dia tahu bahwa keluarga
Pulau Es adalah keluarga pahlawan, bahkan ibu Kian Bu, Siluman Kecil ini,
adalah seorang puteri istana kaisar! Maka, dia tidak berani mengaku di depan
Kian Bu siapa adanya orang tuanya yang sesungguhnya.
Melihat Hwee
Li menunduk seperti orang berduka itu, Kian Bu mengira bahwa dara itu teringat
akan orang tuanya, maka dia lalu mengalihkan percakapan. “Enci Hwee Li, jadi
engkau telah ditahan secara paksa di dalam benteng itu? Akan tetapi aku
mendengar bahwa engkau... ehh, engkau adalah tunangan pangeran itu!”
“Tidak sudi!
Dia memaksa aku menjadi tunangannya, dia dan iblis tua bangka itu dan para
pembantunya. Akan tetapi, siapa sudi menjadi isterinya?”
“Ehhh,
kenapa? Bukankah pangeran itu gagah dan tampan, seorang pangeran kerajaan
pula?”
“Tampan? Dia
me... memuakkan...!”
Hwee Li
teringat betapa dia pernah diciumi oleh pangeran itu dalam keadaan tak dapat
menghindar. “Terutama... hidungnya! Dan matanya! Seperti burung hantu... ihhh,
sangat menjijikkan!” Dan Hwee Li meludah karena dia teringat akan ciuman-ciuman
dahulu itu.
Kian Bu
tidak mau mengukur isi hati dara itu lagi. Hatinya girang karena selain dara
ini ternyata bukan puteri dari iblis Pulau Neraka itu, juga ternyata Hwee Li
bukanlah tunangan pangeran dari Nepal itu, melainkan dipaksa sebagai
tunangannya. Sekarang tahulah dia mengapa Hwee Li menolongnya.
Memang benar
pengakuan dara ini tadi bahwa Hwee Li bukan semata-mata hendak menolongnya,
melainkan juga ingin menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri dari
dalam benteng. Memang perhitungan dara itu amat cerdik. Karena ‘membiarkan’
dirinya ditawan dan dijadikan sandera oleh Kian Bu, maka biar pun tokoh-tokoh
lain tak peduli, namun pangeran itu ternyata merasa khawatir akan keselamatan
tunangannya dan membiarkan Kian Bu lolos membawa Hwee Li.
“Kalau begitu,
Enci Hwee Li, apakah engkau tidak akan kembali ke sana setelah berhasil lolos
bersamaku?” Akhirnya Kian Bu bertanya.
“Kembali ke
sana? Apakah engkau gila? Terang aku tidak akan kembali ke sana, akan tetapi
aku terpaksa harus kembali ke sana.”
“Ehhh?
Engkau memang aneh, Enci.” Kian Bu memandang heran. “Setelah berhasil lolos,
mengapa hendak kembali lagi ke sana? Tadi katanya engkau membenci sang
pangeran?”
“Hushhh, aku
bukan hendak kembali untuk dia. Pertama-tama, aku harus berhasil membalaskan
sakit hati ibuku terhadap iblis tua bangka dari Pulau Neraka itu.“
“Hemmm,
tidak mudah! Dia lihai sekali.”
“Takut apa?
Dengan adanya engkau di sampingku yang membantuku, apakah kau kira aku tidak
mampu membekuk batang lehernya?”
“Aku...?
Ahhh, akan tetapi... belum tentu aku akan kembali ke sana.”
Hwee Li
meloncat bangun, berdiri dan menghadapi Kian Bu dengan kedua tangan menekan
pinggangnya yang ramping. Dia membanting kaki kanannya dua kali, tanda bahwa
dia merasa kesal dan marah. “Engkau ini seorang adik macam apa? Engkau harus
kembali ke sana bersamaku, membantu aku!”
Terlalu
sekali bocah ini, pikirnya. Belum apa-apa lagaknya sudah begini memerintah dan
memaksa. Bagaimana kalau kelak dia benar-benar menjadi kakak iparku? Wah, kakaknya,
Kian Lee harus bekerja keras untuk menundukkan si liar ini!
“Bagaimana
kalau aku tidak sanggup?” Dia tidak jadi mengatakan tidak mau, khawatir nona
itu akan marah-marah dan menyerangnya lagi seperti tadi.
Betapa pun
juga, dia tidak dapat lupa bahwa nona ini pernah menyelamatkan nyawa kakaknya
ketika menolongnya mencarikan jamur mukjijat itu, lalu telah menyelamatkan
nyawanya sendiri ketika dia tertawan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu
tadi.
“Engkau
harus sanggup dan engkau harus mau!” jawab Hwee Li. “Tanpa kuminta sekali pun
engkau pasti akan kembali ke sana!”
“Ehh,
bagaimana engkau begitu pasti, Enci...?” Kian Bu terheran.
“Karena
ketahuilah bahwa keluarga Jenderal Kao Liang juga menjadi tawanan di tempat
itu. Dia sendiri, isterinya, puteranya, cucu-cucunya dan keluarganya. Aku tahu
bahwa engkau tentu akan mencoba untuk menolong mereka.”
Kian Bu
menunduk dan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa kecewa sekali kalau dia
mengingat akan jenderal yang dahulu sangat dikagumi dan dihormatinya itu. Masih
berkumandang di telinganya betapa jenderal itu sendiri menolak ketika dia
menuntut pembebasan keluarga jenderal itu, apa lagi setelah melihat kenyataan
betapa jenderal itu benar-benar telah menjadi pembantu pangeran dari Nepal,
seorang musuh negara!
Maka dia
menggeleng kepalanya. “Tidak, aku tidak akan mencampuri urusan Jenderal Kao...“
“Akan tetapi
dia melakukan semua itu karena terpaksa, Kian Bu!” Hwee Li berkata dan kini dia
telah duduk kembali. “Jangan kau mengira bahwa Jenderal Kao telah menjadi
seorang pengkhianat! Keluarganya ditawan dan semua diancam akan disiksa di
depan matanya kalau dia tidak menurut, kalau dia tidak mau membangun benteng
itu.”
“Huh,
laki-laki macam apa itu? Seorang gagah tidak akan mementingkan diri sendiri dan
keluarganya. Untuk menyelamatkan keluarga lalu menjual diri kepada musuh negara
hanya dapat dilakukan oleh orang yang lemah dan pengecut.”
“Akan tetapi
dia tidak berkhianat! Dia hanya berjanji untuk membangun benteng dan memimpin
pertahanan di benteng itu, dia tidak berjanji untuk menyerang kerajaan. Dia
terpaksa, Kian Bu, siapa orangnya yang dapat bertahan melihat keluarganya
terancam bahaya maut dan siksaan? Selain itu, di sana masih ada seorang lain
yang ditahan dan yang pasti akan coba kau selamatkan. Dia adalah Bibi Syanti
Dewi!”
“Bibi...?
Kau menyebutnya bibi?” Kian Bu bertanya heran.
“Tentu saja!
Habis disuruh menyebut apa?”
“Dia usianya
tidak berselisih banyak denganmu.”
“Dasar kau
yang tolol! Apakah sebutan orang itu tergantung dari usianya? Andai kata dia
lebih muda dari pada aku sekali pun, tetap saja aku menyebut bibi kepadanya.
Dia adalah kakak angkat dari guruku, habis suruh aku menyebut apa kepadanya?”
Kian Bu makin
terheran dan juga bingung. Bocah ini adalah murid dari Ceng Ceng, dan Ceng Ceng
adalah seorang keponakannya, puteri dari mendiang kakak tirinya! Ceng Ceng
sendiri menyebut paman kepadanya, jadi semestinya Hwee Li yang menjadi murid
Ceng Ceng ini harus menyebutnya susiok-kong (paman kakek guru)! Akan tetapi,
malah dia diharuskan menyebut enci kepada dara ini yang sebenarnya masih
terhitung murid cucu keponakannya! Dan bagaimana kalau kakaknya sampai berjodoh
dengan dara ini? Bukankah hal itu berarti menikah dengan cucu keponakan
sendiri? Dan anak mereka kelak? Bukankah anak itu masih cucu buyut keponakan?
Wah, dia menjadi bingung sendiri. Persetan segala macam sebutan-sebutan itu!
“Bagaimana,
Kian Bu. Engkau tentu akan menyelamatkannya, bukan? Tadi engkau mati-matian
datang seorang diri memasuki benteng untuk menolong Bibi Syanti...“
Kian Bu
menggeleng kepala. “Sekarang tidak perlu lagi. Dia adalah Puteri Bhutan, dan di
sana terdapat Panglima Bhutan yang tentu saja berhak untuk melindunginya. Dan
kalau dia berada di sana sebagai tamu...“
“Wah, engkau
ini berjuluk Siluman Kecil, namamu menggemparkan seluruh dunia, ehh, kiranya
hanya seorang bocah yang bodoh belaka! Siapa bilang Bibi Syanti menjadi tamu?
Dia pun diculik oleh kakek Gitananda dan menjadi tawanan di sana. Memang si
Mohinta yang tak tahu malu itu tadinya hendak minta dibebaskannya Bibi Syanti
Dewi, akan tetapi pengkhianat hina-dina itu malah bersekutu dengan pangeran
blo'on itu...”
“Ehh, kok
ada pangeran blo'on segala?”
“Maksudku,
pangeran hidung kakatua itu. Mohinta telah bersekutu, menjadi kaki tangan
Pangeran Nepal dan mereka berjanji untuk menggunakan Bibi Syanti sebagai
sandera untuk menundukkan Kerajaan Bhutan! Dan kelak Mohinta dijanjikan akan
dikawinkan dengan Bibi Syanti Dewi... Coba, apa kau rela?”
“Ahhh...!”
Kian Bu loncat berdiri dan mengepal tinjunya, mukanya menjadi merah sekali
tanda bahwa Siluman Kecil ini telah marah bukan main. Mereka berani
mempermainkan Syanti Dewi? Berarti harus berhadapan dengan dia!
Melihat
pemuda itu termenung dan mengepal tinju, kelihatan marah sekali, Hwee Li
memandangnya dan tiba-tiba sepasang matanya memandang sayu. “Kian Bu... dia...
dia... Bibi Syanti Dewi...“ Dia tidak melanjutkan kata-katanya.
Ketika Kian
Bu cepat menoleh kepadanya, dia lalu menunduk. Ketika berada di dalam benteng,
antara dia dan Syanti Dewi terdapat hubungan yang amat akrab dan di dalam
percakapan yang penuh kepercayaan, Syanti Dewi pernah menceritakan semua
pengalamannya, betapa Kian Bu menderita karena terpaksa ditolak cintanya dan
betapa puteri itu merasa kasihan dan berdosa terhadap pemuda Pulau Es yang amat
baik itu, betapa sang puteri tidak dapat membalas cintanya karena sang puteri
telah mencinta orang lain! Ketika Hwee Li bertanya siapa adanya orang lain itu,
sang puteri tidak mau menjelaskan. Kini Hwee Li melihat sendiri betapa Kian Bu
masih mencinta puteri yang menolak cintanya itu, dan dia merasa kasihan, tidak
dapat melanjutkan kata-katanya.
“Dia
kenapa...?” Kian Bu mendesak bertanya, suaranya agak gemetar.
“Dia... harus
ditolong, kalau tidak, bukan hanya Bibi Syanti Dewi yang akan celaka, dipaksa
menikah dengan Mohinta itu, bahkan kerajaan ayahnya tentu juga akan celaka
akibat pemberontakan Mohinta yang dibantu oleh Pangeran Nepal.”
“Ha-ha-ha-ha,
lihat Lo-mo, anakmu itu sungguh tidak tahu malu!” Tiba-tiba terdengar suara
orang dari atas.
Kian Bu
cepat memandang ke atas, demikian pula Hwee Li dan di langit yang sudah mulai
remang-remang menanti datangnya fajar itu nampak seekor burung garuda besar
yang ditunggangi oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi!
“Tutup
mulutmu yang berbau busuk itu, Lo-kwi, atau kugampar kau sampai jatuh ke
bawah!” Hek-tiauw Lo-mo membentak. Burung garuda itu menukik turun dan dengan
cepat dua orang kakek itu sudah meloncat ke atas tanah di depan Kian Bu,
sedangkan garuda itu sudah terbang lagi ke atas.
“Hemmm,
begini sajakah Siluman Kecil yang terkenal hebat itu?” Hek-hwa Lo-kwi mengejek
sambil menghadapi Kian Bu. “Ternyata, hanya seorang hina yang tidak dapat
memegang janjinya sendiri!”
“Huh,
manusia dari Pulau Es mana bisa dipercaya omongannya?” Hek-tiauw Lo-mo
menyambung sambil menyeringai penuh kebencian.
Bagi bekas
tokoh Pulau Neraka ini, segala yang berbau Pulau Es amat dibencinya. Dan biar
pun dia tahu bahwa putera Pendekar Super Sakti ini memiliki kepandaian hebat,
bahkan telah berjuluk Siluman Kecil yang namanya menggemparkan di sepanjang
lembah Huang-ho, namun dia tidak merasa takut. Pernah dia menyaksikan
kepandaian pemuda ini ketika jaman pemberontakan dua orang Pangeran Liong
beberapa tahun yang lalu dan dia merasa masih sanggup menandinginya. Apa lagi
kini di sampingnya ada Hek-hwa Lo-kwi yang membantunya. Tentu saja dia belum
tahu tentang kemajuan Kian Bu yang telah memperoleh ilmu mukjijat itu.
“He,
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dua ekor anjing tua bangka tak tahu malu!”
tiba-tiba Hwee Li membentak sehingga Kian Bu merasa tidak enak sendiri.
Bocah ini
memaki ayahnya dengan sebutan anjing tua bangka tak tahu malu. Biar pun
Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya sendiri, biar pun mungkin saja telah membunuh
orang tua Hwee Li, namun harus diakui bahwa semenjak kecil Hwee Li dirawat dan
dididiknya, maka makian itu sungguh terlalu kasar dan tak enak didengar.
“Kalian
jangan menuduh orang sembarangan saja, ya? Orang gagah seperti dia ini mana
bisa disamakan dengan raksasa-raksasa biadab macam kalian yang mengingkari
janji dan bersikap khianat? Dia telah memegang janjinya, dia telah membebaskan
aku seperti yang dijanjikan kepada pangeran brengsek itu! Hanya akulah yang
tidak mau kembali ke sana. Tahukah kalian?”
Dasar
Hek-tiauw Lo-mo memang seorang kasar yang sama sekali tidak mempunyai perasaan
halus, maka makian-makian yang dilontarkan oleh mulut Hwee Li kepadanya itu
sama sekali tidak membekas. Dia hanya tertawa bergelak.
Akan tetapi
Hek-hwa Lo-kwi yang tak pernah merasa suka kepada rekannya ini segera
membentak, “Lo-mo, perlu apa banyak cerewet lagi? Hayo kita bunuh bocah siluman
ini dan seret anakmu pulang ke benteng!”
Setelah
berkata demikian, Hek-hwa Lo-kwi sudah menggosok-gosok kedua tangannya dan aneh
sekali, seketika seluruh tubuhnya menjadi putih seperti kapur. Itulah ilmunya
yang baru, yang dilatihnya di lembah bersama para pengikutnya, yaitu sisa-sisa
anak buahnya yang masih hidup ketika dia dahulu menjadi ketua Lembah Bunga
Hitam. Ilmunya ini dia namakan Pek-hiat-hoat-lek (Ilmu Sihir Darah Putih), ilmu
pukulan yang mengandung hawa mukjijat dan racun yang amat berbahaya. Selama
berbulan-bulan dia menanam diri di dalam rumah tempurung dan diikuti oleh para
anak buah bekas perkumpulan Lembah Bunga Hitam yang sudah tinggi ilmunya. Akan
tetapi tentu saja para anak buahnya itu tidak dapat mencapai tingkat tinggi
yang dicapai oleh Hek-hwa Lo-kwi ini.
“Biarlah kau
hajar Siluman Kecil yang sombong itu Lo-kwi. Di benteng aku pernah menangkap
dia, sekarang tunjukkanlah kepandaianmu, hendak kulihat apakah kau juga mampu
menangkapnya, biar aku yang membekuk batang leher betina liar ini!”
Hek-tiauw
Lo-mo memang licik sekali wataknya. Memang benar ketika Kian Bu berada di dalam
benteng, dia berhasil menangkap pemuda itu menggunakan senjata jalanya yang
istimewa, akan tetapi hal itu hanya dapat terjadi karena Kian Bu menghadapi
pengeroyokan banyak orang pandai. Kalau berhadapan satu lawan satu, jangan harap
bekas ketua Pulau Neraka ini akan mampu menangkap Kian Bu! Kini, dia sengaja
mengejek Hek-hwa Lo-kwi, dan dia sendiri sudah maju menubruk Hwee Li.
Di dalam
lubuk hatinya, Hwee Li merasa amat membenci kakek yang pernah menjadi ayahnya
ini. Orang ini adalah musuh besarnya yang telah memperkosa ibu kandungnya
sampai mati! Maka, kini melihat bahwa dia tidak mendapat jalan lain kecuali
melawan, dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan diam-diam dia telah
mempersiapkan dirinya.
Selama
beberapa tahun dia sedikit banyak telah menerima ilmu-ilmu tentang racun dari
gurunya. Dia maklum bahwa kalau mempergunakan ilmu silat, tentu saja dia tidak
akan mampu melawan bekas ayahnya ini. Ular-ularnya telah dirampas oleh mereka
ketika dia menjadi tawanan di dalam benteng, juga semua senjata rahasia telah
dirampas orang. Dia pun tidak memegang senjata apa-apa, maka begitu melihat
Hek-tiauw Lo-mo maju menubruk, dia cepat menghindarkan diri, meloncat jauh ke
kiri sedangkan tangannya menyambar tanah di bawah kakinya.
Kini kedua
tangannya mengepal segenggam tanah bercampur pasir dan dia telah mengerahkan
sinkang-nya. Di dalam kepalan tangannya, tanah dan pasir itu berubah menjadi
hitam dan telah mengandung racun yang amat hebat! Itulah satu di antara ilmu
racun yang diterimanya dari gurunya. Gurunya adalah Ceng Ceng atau Nyonya Kao
Kok Cu, murid mendiang Ban-tok Mo-li si Iblis Betina Selaksa Racun! Dan memang
dia berguru kepada Ceng Ceng hanya untuk mempelajari tentang racun seperti
telah dijanjikan oleh gurunya itu.
Melihat
tubrukannya dihindarkan oleh dara itu, Hek-tiauw Lo-mo tertawa. Tugasnya jauh
lebih ringan dari pada tugas Hek-hwa Lo-kwi yang harus menghadapi Siluman Kecil
seorang diri, maka dia pun tidak mau tergesa-gesa. Dia hendak membiarkan
Hek-hwa Lo-kwi setengah mati dulu menghadapi lawan tangguh itu, dan dia akan
seenaknya saja menangkap bekas anaknya ini yang dianggapnya merupakan pekerjaan
mudah. Nanti kalau temannya yang dibencinya itu sudah benar-benar membutuhkan
bantuan, barulah dia akan merobohkan Hwee Li dan membantunya.
“Heh-heh-heh,
bocah kurang ajar, kau kira dapat melepaskan diri dariku? Kalau tidak mengingat
pangeran, tentu aku sudah menelanjangimu dan mempermainkanmu seperti aku
mempermainkan ibumu dahulu, baru kulobangi kepalamu! Ha-ha-ha!”
Hampir Hwee
Li menjerit saking marah dan bencinya mendengar kata-kata itu, akan tetapi dia
menahan kemarahannya, dia menggerakkan kaki berputar-putar dan mundur mundur
menjauhi lawan, akan tetapi sepasang matanya mengincar tajam, mencari
kesempatan kalau lawan lengah akan diserangnya dengan ‘senjata’ istimewa di
dalam genggaman kedua tangannya itu.
Sementara
itu, Hek-hwa Lo-kwi juga sudah mulai menyerang Kian Bu. Dengan suara melengking
nyaring, dia telah bergerak ke depan, kedua tangannya mengeluarkan suara
seperti angin puyuh mengamuk, dan dari dua telapak tangannya itu menyambar bau
wengur yang mengeluarkan sinar putih.
Kian Bu
terkejut. Hebat ilmu pukulan itu, pikirnya. Ada serangkum hawa yang amat tajam
dan berbau wengur menyambar. Dia maklum bahwa bukan hanya hawa itu yang dapat
melukai orang, tetapi juga bau itu dapat merobohkan lawan karena mengandung
racun berbahaya. Tetapi dia sudah cepat mengelak dan membalas dengan pukulan
dari samping, dengan telapak tangan didorongkan ke depan sambil mengerahkan
tenaga Hwi-yang Sin-kang.
Tenaga
berhawa panas membakar ini menyambar dari samping ke arah tubuh Hek-hwa Lo-kwi.
Demikian cepat gerakan Kian Bu sehingga pukulan itu tidak mungkin dapat
dielakkan lawan lagi. Satu-satunya jalan bagi lawan hanyalah menangkis dan hal
ini pun dilakukan oleh Hek-hwa Lo-kwi tanpa ragu-ragu lagi. Dia membalik ke
kiri menghadapi pemuda itu dan menggerakkan kedua tangannya ke depan untuk
menyambut pukulan Kian Bu. Serangkum angin dahsyat menyambar dan segulung sinar
putih nampak bertemu dengan hawa pukulan Kian Bu yang tidak kelihatan itu.
“Nyesssss...!”
Kian Bu
terkejut bukan main. Hawa pukulannya yang mengandung hawa panas itu seperti
terjun ke dalam air dingin saja rasanya, seperti api yang disiram air dingin.
Nampak asap hitam mengepul di antara mereka ketika kedua pukulan itu bertemu
dan Kian Bu merasa betapa hawa pukulan Hwi-yang Sin-ciang itu membalik, seperti
seekor naga yang kembali ke goa karena takut bertemu lawan yang kuat!
Namun,
pemuda ini sudah menguasai sinkang dari Pulau Es itu dengan sempurna, maka dia
dapat menyimpan kembali hawa itu tanpa melukai dirinya sendiri. Dia melihat
tubuh kakek bermuka tengkorak itu juga tergoyang, berarti bahwa hawa pukulan
kakek itu pun membalik. Oleh karena itu dia merasa penasaran. Siluman Kecil ini
belum mau mempergunakan pukulan gabungan Im dan Yang dari Pulau Es yang
dilatihnya atas petunjuk Kim Sim Nikouw, karena pukulannya itu dianggapnya
terlalu berbahaya sehingga membahayakan nyawa lawan, padahal dia tidak mau
membunuh lawan ini.
Bahkan dia
sekarang merasa ngeri sendiri mengingat betapa pukulan gabungannya yang amat
hebat itu hampir saja menewaskan kakaknya sendiri, maka diam-diam dia berjanji
di dalam hatinya bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak mau mengeluarkan
pukulan gabungan itu. Kini, melihat betapa Hwi-yang Sin-ciang dapat ditangkis
lawan dan tidak berhasil, dia lalu mengganti sinkang-nya menjadi Swat-im
Sin-kang dan dia lalu memukul lagi, sekali ini dengan pukulan hawa dingin,
yaitu Swat-im Sin-ciang. Serangkum angin yang mengandung hawa dingin melebihi
salju menyambar ke depan. Kakek itu memandang tajam.
“Bagus...!”
Hek-hwa Lo-kwi berseru girang.
Seperti juga
tadi, dia telah menggerakkan dua tangan mendorong ke depan. Serangkum angin
dahsyat didahului sinar putih bergulung-gulung menyambar serangan Kian Bu itu.
Kembali kakek itu menggunakan ilmu pukulannya yang sakti, yaitu
Pek-hiat-hoat-lek dan kembali dua macam hawa pukulan sakti bertemu di udara.
“Cesssss...!”
Dan sekali
lagi nampak asap mengepul, akan tetapi asap itu tidak hitam seperti tadi,
melainkan berupa uap putih. Seperti juga tadi, Kian Bu merasa betapa hawa sakti
yang digunakannya membalik, membuat tubuh atasnya bergoyang. Akan tetapi dia
melihat Hek-hwa Lo-kwi terhuyung ke belakang beberapa langkah. Dia sudah merasa
girang ketika dengan heran dia melihat kakek itu meloncat bangun sambil tertawa
girang.
Mendadak
Kian Bu berteriak, “Celaka...!” dan dia pun terhuyung. Kepalanya terasa pening
dan matanya berkunang, dadanya terasa gatal-gatal dan sesak! Tahulah dia bahwa
dia telah terkena racun yang amat hebat.
Memang
itulah kelihaian Pek-hiat-hoat-lek! Ketika tadi Kian Bu menggunakan Hwi-yang
Sin-ciang untuk menyerang, kakek itu menangkis dengan ilmunya yang mukjijat,
yang mengandung racun amat hebat. Dia sudah merasa penasaran dan heran melihat
pemuda itu tidak apa-apa, tetapi dia segera tahu bahwa pemuda itu tadi
menggunakan inti tenaga panas, maka tentu hawa beracun dari pukulannya telah
terbakar dan buyar oleh hawa panas itu. Ketika pemuda itu kini memukul kembali
dengan penggunaan tenaga dingin, dia merasa girang dan menangkis sambil
mengerahkan seluruh tenaganya. Dan sekali ini dia berhasil!
Memang dalam
hal tenaga sinkang dia masih kalah setingkat oleh Kian Bu, akan tetapi pemuda
Pulau Es ini tidak tahu bahwa ketika tenaga saktinya membalik, tenaga itu sudah
mengandung racun dari Pek-hiat-hoat-lek! Kalau tadi hawa beracun itu terbakar
oleh panasnya Hwi-yang Sin-kang, kini hawa beracun itu malah menjadi kuat
terbawa oleh Swat-im Sin-kang yang kembali dan otomatis tertarik ke dalam tubuh
dan melukai dadanya! Hek-hwa Lo-kwi maklum bahwa pukulannya yang beracun itu
telah melukai lawan, maka sambil tertawa dia lalu menubruk maju dengan
pukulan-pukulan itu yang dilakukan dengan bertubi-tubi.
Memang hebat
sekali ilmu mukjijat ini. Angin berpusing-pusing dan sinar putih nampak
bergulung-gulung mengejar Kian Bu. Akan tetapi pemuda itu pun sudah menjadi
marah. Cepat tubuhnya berkelebatan dan dia sudah menggunakan Ilmu
Sin-ho-coan-in yang membuat tubuhnya menyambar-nyambar bagai kilat saja,
mencelat ke sana sini sampai tidak dapat diikuti oleh pandang mata saking
cepatnya. Hek-hwa Lo-kwi terkejut dan menjadi bingung, namun dia terus
mengejar.
Kian Bu
tidak banyak mengerahkan lweekang untuk melakukan pukulan mautnya, yaitu
penggabungan Yang-kang dan Im-kang itu, karena dadanya telah terluka dan
terkena hawa beracun. Kalau dia mengerahkan lweekang terlalu kuat, maka tentu
racun itu akan menjalar dan lukanya akan menjadi parah. Maka kini dia
mengandalkan kecepatannya dan berusaha untuk menotok lawan. Namun, dia harus
berlaku hati-hati dan gerakannya menjadi kurang gesit karenanya, tidak seperti
biasa, sungguh pun kecepatan itu masih membuat Hek-hwa Lo-kwi menjadi bingung.
“Dia sudah
terluka! Lo-mo, hayo cepat kau bantu aku. Sialan kau!” Hek-hwa Lo-kwi
berteriak-teriak.
Hek-tiauw
Lo-mo tentu saja telah melihat hal itu. Diam-diam dia juga merasa girang dan
kagum terhadap kelihaian ilmu pukulan kawan yang tidak disukainya itu. Maka dia
lalu menubruk Hwee Li yang sejak tadi hanya dikejar-kejar dan didesaknya itu.
Hwee Li tak dapat mengelak, lalu menyambut dengan tendangan dan pukulan.
“Dukkkk!”
Tendangan
kakinya mengenai perut bekas ayahnya, tetapi tendangan itu membalik dan kakinya
terasa nyeri. Cepat dia meloncat ke belakang, kedua tangannya diayun ke depan
dan sinar-sinar hitam menyambar ke arah muka dan dada Hek-tiauw Lo-mo. Itulah
‘senjata’ tanah dan pasir yang telah berubah menjadi senjata beracun itu. Dia
memang menanti saat baik dan kinilah saatnya. Bukan hanya karena dia telah
terdesak, akan tetapi juga melihat Hek-tiauw Lo-mo menubruknya sambil tertawa
dan kelihatan lengah.
Akan tetapi
Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang tokoh besar yang memiliki kepandaian yang amat
tinggi tingkatnya. Diserang secara mendadak seperti itu, dia tidak menjadi
gugup, bahkan suara ketawanya tidak berhenti, dia hanya menggerakkan kedua
lengan yang tadinya hendak menubruk itu, kini digerakkan cepat sehingga ujung
kedua lengan bajunya yang lebar itu bergerak seperti bendera berkibar dari mana
menyambar angin yang keras dan senjata rahasia hitam yang lembut terdiri dari
tanah dan pasir itu tentu saja menjadi buyar dan tertiup ke kanan kiri.
Sebelum Hwee
Li dapat mengelak, lututnya telah kena ditendang sehingga dia jatuh
terpelanting. Sebuah totokan kilat menyusul dan gadis itu tidak mampu bergerak
lagi, hanya memaki-maki kalang-kabut, “Iblis tua bangka keparat! Anjing babi
monyet tua mau mampus!”
Akan tetapi
Hek-tiauw Lo-mo hanya tertawa dan kini tiba-tiba dia menubruk ke samping,
menyerang Kian Bu sambil mencabut keluar dua senjatanya yang hebat, yaitu golok
gergaji di tangan kanan dan jala hitam itu dikepalnya di tangan kiri. Goloknya
berkelebat menyambar ke arah leher pemuda itu.
Namun, tubuh
Kian Bu berkelebat lenyap dan biar pun kini dia dikeroyok oleh dua orang kakek
yang amat lihai itu, namun mereka berdua tidak pernah dapat memukul atau
membacoknya. Tubuhnya berkelebatan terlalu cepat, dan tempat itu luas sekali
hingga leluasalah bagi Kian Bu untuk memainkan ilmunya yang berdasarkan ginkang
sempurna itu. Akan tetapi setelah kini dikeroyok dua, tipislah harapannya untuk
dapat merobohkan dua orang lawannya. Dia sama sekali tidak berani mengerahkan
sinkang terlalu kuat, padahal kalau hanya mengandalkan ilmu silat biasa saja,
sukarlah merobohkan dua orang raksasa ini.
Dan rasa
gatal dan sesak di dadanya makin menghebat, apa lagi melihat betapa Hwee Li
telah roboh tertotok, hatinya menjadi agak gelisah dan hal ini makin
mengacaukan gerakannya! Hampir saja dia kena disabet golok Hek-tiauw Lo-mo
ketika dia melirik Hwee Li, maka dia cepat melempar diri ke belakang dan kini
dia tidak mau membagi perhatiannya.
Sebetulnya,
kalau dia mau pergi dan melarikan diri, dengan mengandalkan ilmu Sin-ho
Coan-in, dengan mudah dia dapat meninggalkan dua orang kakek itu dan mereka
tidak mungkin dapat mengejar larinya, biar mereka itu menunggang garuda sekali
pun. Akan tetapi, dia tidak bisa meninggalkan Hwee Li. Maka kini Kian Bu
mencari kesempatan untuk dapat menolong Hwee Li dan membawanya pergi dari situ
secepatnya.
Akan tetapi,
dua orang kakek itu adalah tokoh-tokoh terkemuka yang selain lihai ilmu mereka,
juga amat cerdik. “Ha-ha-ha, Lo-mo, dia sudah terluka, jangan sampai dia
melarikan anakmu yang puthauw (tidak berbakti) itu!” kata Hek-hwa Lo-kwi dan
setelah berkata demikian, dia menyerang lagi dengan pukulan beracunnya.
Untuk ke
sekian kalinya, Kian Bu tak berani menangkis dan hanya mengelak. Hek-hwa Lo-kwi
lalu mengeluarkan sebotol benda cair berwarna kuning dan menuangkan benda cair
itu di sekeliling tubuh Hwee li yang rebah. Nampak asap mengepul dan tanah yang
terkena benda cair itu mendidih!
Melihat ini,
agaknya Hek-tiauw Lomo tidak mau kalah. Dia mengeluarkan segenggam paku
berwarna hijau dari saku jubahnya yang lebar, lalu sekali tangannya bergerak,
paku-paku itu menancap di sekeliling tempat Hwee Li rebah dan anehnya,
paku-paku itu menancap berdiri dengan ujungnya yang runcing di atas sehingga
siapa pun yang akan menolong Hwee Li harus melalui asap beracun dan juga
paku-paku beracun itu.
Kian Bu
menjadi makin khawatir. Kalau tidak dihalangi oleh dua orang ini, tentu saja
dia tidak merasa berat untuk mengeluarkan Hwee Li dari kurungan asap dan paku
itu. Merobohkan mereka sementara ini tidak mungkin karena dia tidak dapat
mengerahkan lweekang-nya yang terlalu kuat. Melarikan diri tanpa membawa Hwee
Li juga dia tidak mau melakukannya, maka dia menjadi serba salah!
Tiba-tiba
terdengar suara parau, “Benarkah katamu bahwa dia itu Siluman Kecil?”
Pertanyaan
parau ini dijawab oleh suara merdu seorang gadis, “Mana bisa keliru, Suhu? Teecu
mengenalnya dengan baik.”
Kian Bu yang
sedang berloncatan ke sana-sini menghindarkan terjangan dua orang itu, cepat
melirik. Dia melihat seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bermuka
hitam dan berpakaian sederhana berwarna hitam pula, telah berdiri di situ
bersama seorang gadis cantik yang pakaiannya serba merah muda, di punggungnya
membawa sebatang pedang yang dihias ronce merah tua. Dia segera mengenal gadis
itu yang bukan lain adalah Ang-siocia, gadis maling yang pernah mencuri
pusaka-pusaka dari rumah Sin-siauw Sengjin itu!
Tentu saja
Kian Bu sama sekali tidak pernah mimpi bahwa gadis ini, yang dikenalnya sebagai
Ang-siocia, sebetulnya bukan lain adalah Kang Swi yang pernah menemaninya dalam
perjalanan menuju ke Ho-nan, si kongcu royal itu, dan juga gadis inilah nenek
penjual sepatu yang telah mencuri uangnya sekantung!
“Hemmm,
aneh...!” berkata kakek bermuka hitam itu yang bukan lain adalah Hek-sin
Touw-ong si Raja Maling Sakti Hitam, guru dari Ang-siocia yang bernama Kang Swi
Hwa itu. “Gerakannya demikian hebat dan lincah, dua orang iblis tua ini sama
sekali tak akan mampu memukulnya roboh. Hebat bukan main, tetapi mengapa dia
tidak balas menyerang?” Setelah menonton pertempuran itu, Hek-sin Touw-ong
berkata dengan heran.
Dia melihat
gerakan pemuda berambut putih itu memang luar biasa sekali. Dia sendiri yang di
juluki Raja Maling dan memiliki ginkang yang cukup tinggi, telah menjadi silau
menyaksikan gerakan yang secepat itu. Akan tetapi mengapa pemuda itu tidak
balas menyerang, padahal kalau pemuda itu menggunakan lweekang dan balas
menyerang, mengandalkan kecepatan gerakannya, dua orang kakek itu mana mampu
mengelak atau menangkis? Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kian Bu telah
menderita luka dan keracunan di dadanya, juga dia tidak menyangka bahwa
kecepatan Kian Bu itu belum sepenuhnya, baru sekitar tiga perempat bagian saja
karena gerakannya sudah menjadi berkurang kecepatannya karena lukanya.
“Suhu, tentu
ada sebabnya dia tidak dapat membalas. Dan lihat gadis itu... ahhh, dia agaknya
terluka, tidak mampu bergerak... dan dia dikurung asap aneh dan paku-paku
hijau.” Kang Swi Hwa mendekati Hwee Li.
“Awas,
Hwa-ji, jangan kau menyentuh paku atau terlalu dekat dengan asap itu!” gurunya
memperingatkan karena dia merasa curiga.
Hwee Li juga
melihat munculnya dua orang ini. Dia tidak mengenal mereka, tetapi dari sikap
mereka, dia dapat menduga bahwa mereka, terutama kakek itu, tentu memiliki
kepandaian. Dan melihat sikap mereka, agaknya mereka itu bukan orang-orang
jahat dan bukan pula sekutu dua orang iblis tua itu.
“Heiii,
kalian ini apakah orang-orang pengecut, ataukah orang-orang jahat yang menjadi
kaki tangan dua orang kakek iblis jahanam ini?” tanya Hwee Li dengan suara
lantang.
Kakek itu
mengerutkan alis dan Swi Hwa yang juga berwatak galak lalu mendamprat, “Kau ini
bocah bermulut lancang dan rusak! Rasakan saja sekarang, memang sudah pantas
sekali kalau kau mengalami nasib seperti itu. Huh! Mengatakan orang pengecut
dan jahat! Manusia seperti engkau ini yang agaknya jahat dan pengecut!”
“Swi Hwa,
jangan sembrono dan jangan melayani orang!” gurunya memperingatkan, karena dia
masih kagum sekali terhadap gerakan orang muda yang telah lama dia kenal
namanya sebagai Siluman Kecil itu.
“Kalau
kalian bukan pengecut dan bukan orang jahat, mengapa tidak lekas membantu dia
yang dikeroyok oleh dua orang iblis tua bangka itu? Mereka hendak memperkosa
aku dan dia itu telah membelaku, kalau kalian diam saja berarti kalian membantu
dua iblis jahat itu!” Hwee Li berkata lagi.
“Hemmm, kau
bocah bermulut jahat ini memang sepatutnya mengalami nasib seperti itu! Aku
malah ingin menontonnya!” Kang Swi Hwa balas membentak.
“Wah, kau
perempuan cabul...!” Hwee Li memaki dan kehabisan akal. Lalu dia berkata kepada
Hek-sin Touw-ong, “Orang tua yang baik, aku melihat engkau bukan orang lemah,
apakah kau tidak berani menghadapi Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu?”
“Apa? Mereka
itu adalah...“
“Benar,
Suhu. Kakek yang mukanya seperti tengkorak itu adalah ketua Kui-liong-pang di
lembah. Dialah Hek-hwa Lo-kwi yang kini menjadi kaki tangan Pangeran Nepal itu.
Dan gadis berpakaian hitam galak itu bukan lain adalah puteri dari Hek-tiauw
Lo-mo ketua Pulau Neraka, maka jangan dipercaya omongannya. Mana mungkin
Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi ayahnya sendiri itu hendak memperkosanya?” kata
Kang Swi Hwa.
Seperti kita
ketahui, ketika diadakan pertemuan para tokoh kang-ouw, Swi Hwa atau Ang-siocia
ini juga hadir mewakili gurunya yang tidak berkenan hadir. Dan di dalam
pertemuan di lembah itu, dia juga bertemu dengan Hwee Li yang mewakili ayahnya
yang juga tidak dapat hadir.
“Aihhh,
kiranya engkau ini si maling betina itu? Wah, celaka, kiranya kalian ini maling
maling besar dan kecil, tentu saja cocok sekali dengan iblis-iblis itu!
Mampuslah kalian dimakan api neraka!” Hwee Li memaki-maki dan putus harapan.
Baru sekarang dia mengenal Ang-siocia. Kalau gadis itu datang bersama gurunya
yang dikenalnya sebagai maling tua atau raja maling itu, dan yang dulu datang
menghadiri pertemuan di lembah, tentu mereka ini juga menjadi anak buah dari
pangeran pula!
Akan tetapi,
Hek-sin Touw-ong sudah mencegah muridnya membuka mulut lagi. Dia merasa amat
heran. Memang aneh yang dia hadapi ini. Muridnya tidak mungkin bisa keliru.
Gadis itu jelas ditotok orang. Sepantasnya, jika gadis itu benar-benar puteri
dari Hek-tiauw Lo-mo yang mainkan golok gergaji secara lihai itu, tidak mungkin
gadis itu dirobohkan oleh ayahnya sendiri, apa lagi hendak diperkosa seperti
yang diceritakan oleh gadis baju hitam itu.
Jadi, tentu
pemuda berambut putih itulah yang telah menotoknya. Dan kalau pemuda rambut
putih itu yang menotok dan hendak memperkosanya, barulah benar dan masuk di
akal. Akan tetapi, dia mengenal nama Siluman Kecil sebagai seorang pendekar
besar yang amat terkenal, masa sekarang ternyata hanyalah seorang jai-hwa-cat
(penjahat pemerkosa wanita) yang rendah saja?
“Ha, apakah
Lote ini adalah Hek-sin Touw-ong?” Tiba-tiba Hek-hwa Lo-kwi yang merasa
penasaran sebab dia dan Hek-tiauw Lo-mo sampai kini belum juga mampu merobohkan
Kian Bu, berkata.
“Kebetulan
sekali, marilah bantu kami menangkap Siluman Kecil ini yang sudah berani
melarikan tunangan Pangeran Liong Bian Cu. Mari bantu kami merobohkan dia dan
membawa kembali tunangan pangeran itu ke lembah!”
“Tunangan
pangeran...?” Kang Swi Hwa berkata lirih penuh keheranan, kemudian dia
mengangguk-angguk. “Ahhh, kiranya dia ini telah diangkat menjadi tunangan
pangeran. Cocok sekali!”
“Cocok
hidungmu!” Hwee Li membentak dan matanya melotot. “Boleh kau gantikan saja
kalau kau sudah ingin sekali menjadi kekasihnya. Kalau aku sih tidak sudi!”
Kang Swi Hwa
tidak menjawab. Seperti juga gurunya, dia bingung menghadapi keadaan yang serba
runyam dan bertentangan itu. Gadis itu adalah tunangan pangeran, puteri Hek-tiauw
Lo-mo, akan tetapi kini tertawan dan tertotok, dan gadis itu malah membantu
Siluman Kecil agaknya…..
Melihat
betapa guru dan murid itu bengong saja, memandang kepadanya dan kepada
pertempuran itu seperti orang-orang tolol, Hwee Li menjadi mendongkol sekali.
Melihat betapa kakek bermuka hitam itu tidak segera melayani ajakan Hek-hwa
Lo-kwi, timbul harapannya dan dia lalu berkata nyaring, “Hek-sin Touw-ong, biar
pun julukanmu Raja Maling, kulihat engkau tidak sejahat muridmu itu. Ketahuilah
bahwa aku dipaksa dan ditawan di lembah oleh pangeran brengsek dari Nepal itu
yang dibantu oleh anjing-anjing tua termasuk Hek-tiauw Lo-mo ayah palsu dan
bukan ayahku itu. Aku dapat diloloskan oleh Siluman Kecil, akan tetapi dikejar
dan entah mengapa, dia agaknya belum juga mampu merobohkan dua ekor anjing tua
bangka itu. Maka, kalau engkau masih mengaku sebagai orang tua yang gagah, yang
pantas kusebut locianpwe, harap kau suka membantunya. Lekaslah, Locianpwe!”
“Ha-ha, kita
adalah orang segolongan, kalau membantu Pangeran Nepal tentu kelak kita akan
memperoleh kedudukan besar. Mari bantu kami menangkap Siluman Kecil yang
sombong ini, Hek-sin Toauw-ong!” kata pula Hek-hwa Lo-kwi.
“Swi Hwa,
kau bebaskan totokannya, akan tetapi hati-hati, jangan menginjak paku dan
jangan menyedot asap itu!” tiba-tiba Hek-sin Touw-ong berkata dan dia lalu
meloncat ke dalam gelanggang pertempuran, tangan kirinya mengirim serangan
dengan tangan dimiringkan seperti pedang dan menyambar ke arah Hek-hwa Lo-kwi.
Si muka
tengkorak ini terkejut dan marah sekali melihat si Raja Maling itu ternyata
malah membantu Siluman Kecil. Dia cepat menggerakkan tangan untuk menangkis dan
mengelak.
“Srattttt!”
Dan ujung lengan bajunya putus seperti terbabat pedang yang amat tajam!
“Ahhhh...!”
Hek-hwa Lo-kwi terkejut bukan main.
Kiranya
maling tua ini memiliki ilmu pukulan yang demikian hebatnya. Teringatlah dia
akan kepandaian murid raja maling ini, yang pernah mendemonstrasikan Ilmu
Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok). Jika murid perempuan itu memperlihatkan
ilmu itu menggunakan pedang, sekarang si raja maling ini menggunakan tangan
seperti pedang! Dia lalu balas menyerang dan karena Hek-sin Touw-ong juga
maklum akan kelihaian ketua Kui-liong-pang ini, maka dia pun cepat mengelak dan
balas menyerang.
Segera
terjadi pertempuran hebat, saling menyerang di antara dua orang kakek ini.
Masuknya Hek-sin Touw-ong ke dalam pertempuran ini benar-benar amat menolong
Kian Bu. Tentu saja dia tidak akan dapat dirobohkan oleh dua orang lawannya,
akan tetapi dia pun sama sekali tidak mungkin dapat merobohkan mereka berdua
tanpa mengerahkan sinkang. Kini, setelah Hek-hwa Lo-kwi meninggalkannya dan dia
hanya menghadapi Hek-tiauw Lo-mo seorang, Kian Bu mempercepat gerakannya
sehingga Hek-tiauw Lo-mo menjadi bingung.
Dia seperti
seekor biruang besar yang menghadapi seekor lebah, dia menyerang ke
sekelilingnya dan lebah itu beterbangan mengelilinginya. Beberapa kali jala
hitamnya menyambar di antara sinar goloknya yang bergulung-gulung, namun tak
pernah berhasil karena gerakan Kian Bu terlalu cepat. Tiba-tiba Kian Bu yang
mendapat kesempatan meloncat ke belakang tubuh kakek itu, mengulurkan tangan
kemudian menotok tengkuk Hek-tiauw Lo-mo.
“Dukkkk...!”
Tubuh
Hek-tiauw Lomo terguling, akan tetapi karena Kian Bu tidak berani mengerahkan
terlalu banyak tenaga dalam totokannya tadi, kakek raksasa itu tidak lumpuh
sama sekali, hanya sebagian saja dan dia masih berusaha memulihkan jalan
darahnya. Kian Bu cepat menyusulkan sekali totokan lagi sehingga robohlah kakek
itu dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak mampu bergerak lagi!
Sementara
itu, Kang Swi Hwa sudah mendekati tempat Hwee Li rebah. Nona ini boleh jadi
lihai dalam ilmu silat, terutama sekali dalam ilmu mencopet dan ilmu
penyamaran, tetapi tentang racun, pengertiannya baru kelas nol. Maka dia
menghampiri lingkaran asap dan barisan paku hijau itu dengan ragu-ragu. Jangan
menginjak paku dan jangan menyedot asap itu, pesan gurunya. Dengan hati-hati
sekali Swi Hwa menghampiri lingkaran itu. Melihat bahwa lingkaran asap dan
paku-paku itu hanya memisahkan tempat dara pakaian hitam itu rebah dengan
tempat dia berdiri sejauh kurang lebih tiga meter saja, maka dia lalu
menggunakan ginkang-nya dan melompat melewati lingkaran asap dan paku yang
berjajar.
Hwee Li
melihat itu semua dan tersenyum. Mampuslah, pikirnya! Akan tetapi dia diam
saja. Dara ini semenjak kecil dirawat dan dididik oleh seorang manusia ganas
dan kejam macam Hek-tiauw Lo-mo, maka tentu saja dia pun mempunyai watak yang
ganas dan tidak mengenal kasihan, sungguh pun sering pula timbul sifat-sifat
baiknya yang banyak tertutup oleh pendidikan Hek-tiauw Lo-mo.
Apa lagi
setelah dia ikut bersama gurunya yang baru, yaitu Ceng Ceng, sering kali dia
menerima teguran-teguran dan petunjuk-petunjuk, juga dia melihat sifat-sifat
dan watak watak Ceng Ceng bersama suaminya sebagai pendekar-pendekar besar yang
gagah perkasa, maka banyak kegagahan yang menular pula kepadanya. Akan tetapi
kadang kadang timbul keganasannya yang dia bawa dari Pulau Neraka, apa lagi
kalau dia sedang marah. Dan saat itu dia memang sedang marah. Dia ditotok
orang, tak mampu bergerak, lalu muncul gadis baju merah yang menggemaskan
hatinya.
Swi Hwa
berhasil meloncat ke dekat Hwee Li. Dia mencium sesuatu yang aneh dan kepalanya
merasa agak pening, akan tetapi dia tidak tahu sebabnya. “Bocah galak, akhirnya
toh engkau membutuhkan pertolonganku...,“ kata Swi Hwa akan tetapi begitu dia
bicara, rasa pening di kepalanya bertambah.
Hwee Li
menjebikan bibirnya yang merah. “Huh, siapa membutuhkan pertolonganmu? Kau
lihat saja, bukan aku yang membutuhkan pertolonganmu, melainkan engkaulah yang
akan mampus kalau tidak ada aku yang menolongmu!”
Tentu saja
Swi Hwa menjadi marah. Ingin dia menampar muka yang cantik itu. Akan tetapi
gurunya telah memerintahkan dia untuk membebaskan totokan yang membuat gadis
baju hitam ini tidak dapat bergerak. Dia tidak berani membangkang terhadap
perintah gurunya. Pula, dia kini tahu bahwa gadis ini ternyata bukanlah anak
Hek-tiauw Lo-mo, bukan sekutu si pangeran bahkan dipaksa untuk menjadi isteri
pangeran itu. Malah gadis ini ditolong oleh Siluman Kecil! Hal ini sedikit
banyak membuat dia mengiri juga.
“Huh,
manusia macam engkau ini mana pantas ditolong orang?” dia bersungut-sungut akan
tetapi kembali kepalanya seperti dihantam orang rasanya kalau dia bicara. Maka
dia tidak mau bicara lagi dan cepat dia menggerakkan tangan hendak membebaskan
totokan yang melumpuhkan Hwee Li.
“Nanti
dulu!” kata Hwee Li. “Totokan ini dilakukan oleh Hek-tiauw Lo-mo, orang macam
engkau mana mampu membuyarkannya? Hayo kau totok jalan darah in-thai-hiat. Yang
keras, karena ilmu totok iblis tua itu adalah Su-sat-jiu, tidak mudah
dibuyarkan!”
Sikap dan
kata-kata Hwee Li benar-benar membuat Swi Hwa menjadi dongkol bukan main. Bocah
ini benar-benar sombong, pikirnya. Akan tetapi karena ia tentu akan makin
diejek dan makin dipermainkan kalau dia gagal membuyarkan totokannya, maka dia
lalu menotok dengan pengerahan lweekang-nya ke arah jalan darah in-thai-hiat di
punggung Hwee Li.
“Dukkk...!”
Totokan itu
keras sekali, membuat punggung Hwee Li terasa sakit akan tetapi segera dapat
bergerak lagi. Akan tetapi sebaliknya, Swi Hwa mengeluh dan roboh terguling
dalam keadaan pingsan!
Hwee Li
bangkit berdiri, mengurut-urut lengan dan kakinya yang terasa kaku sambil
memandang kepada Swi Hwa dengan senyum mengejek.
Tiba-tiba
terdengar seruan Hek-sin Touw-ong, “Hei, apa yang terjadi dengan Swi Hwa?” Dia
hendak melompati lingkaran asap itu, akan tetapi Hwee Li cepat mencegahnya
dengan teriakan, “Touw-ong, jangan meloncat ke sini! Dia juga keracunan setelah
meloncat ke sini, biar aku membawanya ke luar!”
Kiranya
Hek-hwa Lo-kwi juga sudah dapat dirobohkan dengan totokan. Ketika Kian Bu tadi
berhasil merobohkan Hek-tiauw Lo-mo, dia melihat betapa pertempuran antara
Hek-hwa Lo-kwi dan Raja Maling itu masih berlangsung dengan amat hebatnya. Si
Raja Maling itu memang lihai sekali. Ilmu Kiam-to Sin-ciang membuat kedua
tangannya seperti golok dan pedang, bahkan hawa pukulannya saja telah berubah
menjadi seperti sinar pedang yang mampu merobohkan lawan tangguh.
Sebaliknya,
Hek-hwa Lo-kwi juga mengeluarkan ilmu barunya yang mukjijat itu, yaitu
Pek-hiat-hoat-lek yang telah berhasil membuat Kian Bu terluka dan keracunan.
Kian Bu mengkhawatirkan keselamatan si Raja Maling, mengingat akan jahatnya
Ilmu Pukulan Darah Putih itu, maka dia cepat meloncat dan mempergunakan
kecepatannya untuk menotok jalan darah di tengkuk Hek-hwa Lo-kwi. Kakek itu
mengeluh dan terpelanting, dan saat itu dipergunakan oleh Hek-sin Touw-ong
untuk menyusulkan totokannya sendiri yang dilakukan dengan kekuatan penuh sehingga
Hek-hwa Lo-kwi roboh dan pingsan.
Mendengar
ucapan Hwee Li, Hek-sin Touw-ong terkejut dan ragu-ragu.
“Harap turut
saja kata-katanya, Locianpwe, dia memang ahli dalam hal racun,” kata Kian Bu
dan dia sendiri pun cepat duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya untuk
mengumpulkan hawa murni dan melawan hawa beracun yang melukai dadanya.
Hwee Li
mengempit tubuh Swi Hwa, menggunakan sapu tangan untuk menutupi mulut dan
hidung gadis baju merah itu dengan mengikatkan sapu tangan di depan muka gadis
itu, kemudian dia melompat keluar melalui atas lingkaran asap yang mulai
mengecil dan padam itu. Akan tetapi, begitu dia melihat Kian Bu duduk bersila
sambil memejamkan kedua matanya, Hwee Li terkejut sekali dan dia melepaskan
tubuh Swi Hwa yang masih pingsan itu ke atas tanah, kemudian tergopoh-gopoh dia
menghampiri Kian Bu tanpa mempedulikan lagi kepada Swi Hwa. Tentu saja Hek-sin
Touw-ong menjadi bingung dan sibuk memeriksa dan mencoba membuat sadar muridnya
yang pingsan itu.
“Kian Bu,
kau... kau kenapa? Apakah kau terluka?” Hwee Li berlutut di dekat Kian Bu dan
bertanya dengan penuh kekhawatiran.
Kian Bu
membuka matanya, tersenyum. “Hek-hwa Lo-kwi mempunyai pukulan aneh, tanpa
kuketahui lebih dahulu terkena hawa beracun dari pukulannya..., tetapi perlahan
lahan dapat kuusir dengan sinkang...“
“Ahhh? Kau
terkena Pek-hiat-hoat-lek! Aku tahu macam apa pukulan iblisnya itu! Dan kau
bilang perlahan-lahan? Aku mempunyai obat penawar segala racun, buatan Subo
yang amat ces-pleng (manjur) sekali!” Gadis itu segera mengeluarkan buntalan
besar dari dalam saku bajunya dan membuka buntalan itu, memilih-milih obat.
Kemudian dia mengeluarkan sebungkus obat pulung berbentuk bundar-bundar kecil
seperti tahi kambing dan memberikan dua butir kepada Kian Bu.
“Kau telan
ini dan tentu hawa itu akan mudah terusir!” katanya.
Kian Bu
maklum akan kelihaian dara ini tentang segala jenis racun, maka dia percaya,
menerima dua butir obat pulung seperti tahi kambing itu dan menelannya
sekaligus. Rasanya agak pahit, akan tetapi mengandung manis dan baunya tidak
seperti tahi kambing, melainkan agak harum. Begitu dua butir obat pulung itu memasuki
perutnya, terdengar perutnya berkeruyuk dan ada hawa panas berkumpul di situ.
Kian Bu kaget dan girang sekali. Tak disangkanya obat tahi kambing itu
benar-benar hebat sekali, maka dia lalu menggunakan sinkang-nya, perlahan-lahan
mendorong hawa panas itu ke arah dadanya.
Benar saja,
hawa panas yang terdorong sinkang-nya itu seolah-olah seperti api yang membakar
hawa beracun yang menyesakkan dadanya. Hawa beracun itu menjadi asap dan
membubung naik melalui hidung dan mulutnya dan dia mencium bau yang amis
bercampur bau harum obat tadi. Kian Bu adalah seorang pendekar muda yang sakti,
memiliki sinkang yang amat hebat. Andai kata dia tidak diberi obat sekali pun
dengan sinkang-nya dia tentu akan mampu mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi
hal itu akan memakan waktu agak lama karena dia harus berhati-hati mengerahkan
sinkang-nya. Kini, obat yang manjur itu membuat dia dalam waktu singkat dapat
mengusir hawa beracun dari pukulan Pek-hiat-hoat-lek.
“Taihiap...,
Lihiap..., harap Ji-wi (Anda berdua) sudi menolong muridku ini!” mendadak
Hek-sin Touw-ong berkata sambil mendekati Kian Bu dan Hwee Li setelah dia
melihat pemuda itu kini membuka mata dan tersenyum, mukanya juga tidak sepucat
tadi tanda bahwa pemuda itu telah sehat kembali.
Hek-sin
Touw-ong adalah seorang tokoh kang-ouw yang pandai, akan tetapi tentang urusan
racun dia pun tidak banyak tahu, maka melihat keadaan muridnya dia merasa
khawatir bukan main. Telah dicobanya dengan segala kekuatannya untuk
menyadarkan muridnya, akan tetapi usahanya sia-sia belaka dan wajah Swi Hwa
kini malah menjadi kebiruan, maka dia menjadi gelisah dan tanpa sungkan-sungkan
dia lalu minta tolong kepada Siluman Kecil dan puteri Hek-tiauw Lo-mo itu.
Hwee Li yang
melihat Kian Bu telah sembuh, lalu bangkit berdiri dan menghampiri Swi Hwa.
“Touw-ong,
muridmu ini mulutnya jahat sekali, maka sudah sepantasnya dia menerima hajaran
ini, Kuharap saja lain kali engkau suka menjaga agar mulutnya jangan suka
menghina orang!”
“Enci Hwee
Li, jangan kurang ajar, harap lekas kau sembuhkan dia!” Kian Bu berkata dengan
alis berkerut.
“Hemmm, baru
saja kusembuhkan kau sudah lupa lagi, ya? Engkau ini adik macam apa berani
bicara kasar kepada enci-nya!”
Dalam
keadaan biasa, tentu Hek-sin Touw-ong akan merasa heran sekali mendengar ucapan
mereka berdua itu, akan tetapi karena dia amat khawatir melihat muridnya, dia
tidak mempedulikan hal lain dan cepat berkata kepada Hwee Li, “Nona yang baik,
harap Nona sudi menolong muridku dan aku Hek-sin Touw-ong tidak akan pernah
melupakan kebaikanmu ini.”
Wajah Hwee
Li berseri-seri dan mulutnya yang manis itu tersenyum, matanya bersinar sinar
penuh kebanggaan. Biar pun hanya seorang maling, namun kakek ini adalah Raja
Maling! Seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal, namanya menjulang tinggi di
seluruh perbatasan Ho-nan dan Ho-pei, juga di seluruh pantai Po-hai. Dan kini
raja ini, biar pun raja maling, telah minta tolong kepadanya dengan ucapan yang
demikian halus dan menghormat! Tentu saja dia bangga sekali!
“Aku akan
mengobatinya dan pasti cepat sembuh. Aku mengenal racun-racun itu. Racun yang
membakar tanah itu adalah racun yang amat berbahaya, cairan itu kalau mengenai
kulit akan membuat kulit, daging dan tulang hancur sama sekali, kecuali rambut
saja yang cairan itu tidak mampu menghancurkan. Dan baunya juga berbahaya,
karena asap racun itu dapat memabukkan orang. Iblis tua muka tengkorak itu
memang paling suka memakai racun cuka busuk seperti itu! Dan tentang paku yang
digunakan oleh ayah... ehh, oleh tua bangka Pulau Neraka itu hanyalah mainan
kanak-kanak saja bagiku. Kau lihat!”
Dia kemudian
menghampiri paku-paku itu setelah asap beracun itu kini padam, dan menggunakan
kedua tangannya, sembarangan saja dia mencabuti paku-paku itu dan
melempar-lemparkannya ke samping. Paku-paku itu mengeluarkan bunyi bercuitan,
menancap pada batang dua pohon yang berdekatan. Dan seketika, pohon-pohon itu
menjadi layu, daun-daunnya melayu dan rontok, menjadi gundul dan mati dalam waktu
sebentar saja!
Wajah
Hek-sin Touw-ong menjadi pucat. “Bukan main! Ahh, Nona yang baik, tolonglah
muridku ini...“
“Tapi dia
tadi bicara kasar kepadaku...,“ Hwee Li berlagak jual mahal!
“Hwee... eh,
Enci Hwee Li! Cepat kau obati dia!” Kian Bu berkata dengan suara keras.
Hwee Li
mengerling kepadanya. “Hmmm, agaknya engkau sudah jatuh tergila-gila pada
seorang gadis berpakaian merah muda, ya? Aihhh, siapa tahu Siluman Kecil
kiranya paling suka pada pakaian merah, hemmm...!”
“Enci Hwee
Li, jangan main-main begitu! Orang sedang terancam bahaya maut, kenapa kau
main-main seperti itu? Ingat, kedatangan mereka berdua ini telah menyelamatkan
kita. Engkau tidak membalas budi malah menggoda orang!”
Hwee Li
bersungut-sungut ditegur oleh Kian Bu, dan makin segan saja untuk turun tangan
mengobati Swi Hwa. Melihat ini, Hek-sin Touw-ong yang sudah berpengalaman itu
segera dapat mengenal watak si gadis yang aneh, ganas dan manja ini, maka dia
lalu berkata, “Nona, aku berjanji akan menegur muridku dan selanjutnya dia
tidak akan berani lagi bersikap kasar terhadapmu.” Kakek itu lalu menjura
kepada si gadis galak dan berkata, “Kalau muridku telah berlaku salah, biarlah
aku sebagai gurunya mintakan maaf kepadamu!”
Hwee Li
memang seorang dara yang aneh. Dia memang dahulunya selalu dimanja oleh
Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi pada dasarnya dia mempunyai watak yang baik dan
ramah. Kini, melihat kakek itu begitu menghormat kepadanya, dia cepat-cepat
menjura dan berkata dengan muka merah sekali, “Aihhh, Touw-ong... jangan begitu.
Sebetulnya aku pun telah bersikap kasar, kau maafkanlah aku yang muda. Biar
kuobati muridmu sekarang juga.”
Dia lalu
berlari menghampiri Swi-Hwa yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan
itu. Diambilnya obat bubuk dari bungkusannya, lalu diambilnya pula sebotol obat
cair seperti arak. Dengan tutup guci arak yang berbentuk cangkir itu, dia
kemudian menuangkan arak obat ke dalamnya, mencampurnya dengan obat bubuk itu.
Nampak cairan seperti arak itu mengeluarkan suara mendesis dan asap mengepul dari
dalam cangkir tutup guci.
Kemudian,
Hwee Li membuka sebuah bungkusan lain dan menaburkan sedikit bubuk merah ke
dalam hidung Swi Hwa, Semua gerakannya ini diikuti penuh perhatian oleh Hek-sin
Touw-ong dan Kian Bu. Diam-diam pemuda berambut putih itu merasa kagum dan juga
geli menyaksikan sikap Hwee-li yang benar-benar menjadi seorang tukang obat
atau seorang yang hendak bermain sulap sebelum menjual obatnya! Jari-jari
tangannya begitu cekatan dan sikapnya begitu pasti.
“Haaa...
cinggggg...!” Tiba-tiba Swi Hwa berbangkis dan dia menjadi setengah sadar.
Kesempatan
ini dipergunakan oleh Hwee Li untuk mengangkat kepala gadis itu dan mencekokkan
obat dari cangkirnya. Terdengar suara clegak-cleguk karena Swi Hwa terpaksa
menelan obat itu, kemudian Hwee Li merebahkan kembali kepala gadis itu dan
bangkit berdiri, membereskan bungkusan obatnya dan menoleh pada Hek-sin
Touw-ong sambil tersenyum.
“Kini dia
sudah sembuh, sudah terbebas dari cengkeraman maut racun itu,” katanya
seenaknya, lalu menoleh dan memandang kepada dua orang kakek yang masih rebah
tak mampu bergerak karena tertotok jalan darah mereka.
“Ehhh, akan
tetapi... mengapa dia belum sadar, Nona?” Hek-sin Touw-ong bertanya dengan
suara yang nadanya masih khawatir.
Hwee Li
menoleh ke arah Swi Hwa dengan sikap tak acuh, lalu berkata, “Dia belum kentut,
sih!”
“Ehh,
apa...?” Kakek itu bertanya sambil membelalakkan matanya, bingung dan tidak
mengerti, mengira dara berpakaian hitam itu masih marah.
“Racun itu
sudah buyar, akan tetapi kalau dia belum kentut, dia tidak akan sadar. Kalau
dia sudah kentut, itu tandanya dia sembuh benar-benar dan sadar...“ Sambil
berkata demikian, Hwee Li kini melangkah menghampiri Hek-tiauw Lo-mo.
“Enci,
benarkah kata-katamu itu?” tanya Kian Bu sambil mengikutinya, khawatir kalau
gadis itu melakukan hal-hal yang tak dikehendakinya. Akan tetapi baru saja Kian
Bu bertanya demikian, dari sebelah belakangnya terdengarlah suara itu.
“Puiiittttt...!”
Suara kentut
yang nyaring. Nyaring dan merdu! Hampir Kian Bu tertawa. Mengapa kentut seorang
dara cantik juga cantik terdengarnya? Bisa merdu? Bukan main!
“Suhu...!”
”Ah,
syukurlah, kau telah sembuh, Swi Hwa. Dengar, yang menyembuhkanmu adalah Nona
berbaju hitam itu, maka jangan sekali-kali kau bersikap kasar kepadanya. Kalau
tidak ada dia...“ Selanjutnya Kian Bu tidak lagi mendengarkan kata-kata kakek
Raja Maling itu kepada muridnya karena perhatiannya tertumpah kepada Hwee Li.
Gadis ini
menghampiri Hek-tiauw Lo-mo, berdiri dan memandang sebentar dengan sepasang
mata terbelalak dan berapi-api, kemudian dia mengambil golok gergaji milik
bekas ayahnya itu dan tanpa berkata apa pun dia lalu mengayun golok itu ke arah
leher Hek-tiauw Lo-mo.
“Singgggg...
trakkk...!”
Golok itu
terpental oleh hantaman batu kecil yang dilontarkan oleh Kian Bu, sabetannya
menceng dan hanya mengenai pundak Hek-tiauw Lo-mo sehingga pundak kiri kakek
itu terluka dan mengeluarkan darah. Akan tetapi Hwee Li juga tidak mampu
memegang gagang golok lebih lama lagi karena hantaman batu itu membuat
tangannya tergetar hebat dan terpaksa dia melepaskan golok dan menoleh kepada
Kian Bu dengan mata berapi karena marahnya.
“Kau... kau
malah membantu dia?” bentaknya marah.
Kedua
tangannya siap dengan pasangan kuda-kuda, siap untuk bersilat dan menyerang
Kian Bu! Kakinya memasang kuda-kuda dengan satu kaki kiri berdiri tegak, kaki
kanan diangkat ke lutut seperti jurus Kim-ke-tok-lip, dan tangan kanan dengan
telapak ke atas ditarik ke depan pusat, tangan kiri terbuka miring di depan
dada. Dia telah memasang kuda-kuda jurus Jeng-pai-kwan-im (Memuja Kwan Im
Dengan Tangan Miring), berdiri menghadapi Kian Bu dengan sikap marah!
Kian Bu
sejak tadi sudah merasa curiga dan menduga bahwa tentu gadis itu akan melakukan
serangan kepada Hek-tiauw Lo-mo. Kalau orang lain yang melakukan serangan dan
membunuh kakek iblis itu, agaknya dia tidak akan mencampurinya dan akan
membiarkan saja. Memang kakek iblis Pulau Neraka ini adalah seorang manusia
yang berwatak iblis, sudah sepantasnya kalau dibunuh seratus kali pun!
Akan tetapi,
dia teringat bahwa Hwee Li adalah seorang yang sejak kecil dirawat dan dididik
oleh kakek itu, dan betapa kakek itu amat menyayangi Hwee Li. Maka, kalau dia
membiarkan gadis itu membunuh Hek-tiauw Lo-mo, berarti dia membiarkan gadis itu
menjadi seorang manusia bong-im-pwe-gi (manusia yang tidak ingat budi orang
lain). Padahal, dia merasa suka sekali kepada Hwee Li, bahkan diam-diam
mengharapkan agar gadis yang dia tahu mencinta kakaknya ini kelak akan menjadi
jodoh kakaknya. Tentu saja dia tidak membiarkan gadis itu menjadi seorang
manusia durhaka dan dia telah menghalangi gadis itu membunuh Hek-tiauw Lo-mo.
“Enci Hwee
Li, tidak sepantasnya kalau engkau membunuh dia!” Kian Bu menegur, suaranya
tegas dan berwibawa.
Hwee Li
membalikkan tubuhnya menghadap Hek-tiauw Lo-mo dengan cara mengubah kedudukan
kakinya, sikapnya menyerang, akan tetapi dia mengerling ke arah Kian Bu, lalu
menggeser lagi kakinya menghadapi pemuda itu, kembali memasang kuda-kuda, siap
untuk menyerang. Semua gerakannya dilakukan dalam gerak silat hingga nampak
lucu sekali, akan tetapi wajahnya sungguh-sungguh dan matanya berapi-api.
“Kau tahu
apa tentang pantas atau tidak?” Akhirnya dia berkata lantang. “Kau tahu apa
tentang balas-membalas? Hutang luka dibayar luka, hutang nyawa dibayar nyawa,
hutang kebaikan dibayar kebaikan! Dia telah membunuh ibu kandungku, maka aku
harus membunuhnya! Apakah kau hendak menghalangiku?”
Kian Bu
menghela napas panjang. “Sama sekali bukan aku hendak menghalangimu
membunuhnya, melainkan menghalangimu menjadi seorang yang tidak mengenal budi,
seorang yang bong-im-pwe-gi, dan yang namanya akan dikutuk manusia di seluruh
dunia selama-lamanya!”
“Eihhh...?”
Saking heran dan penasaran, Hwee Li lupa akan kuda-kuda silatnya dan kini dia
melangkah biasa menghampiri Kian Bu, lalu berdiri di depan pemuda itu dengan
kedua tangannya bertolak pinggang sehingga jari-jari kedua tangannya melingkari
pinggangnya dan saling bertemu karena pinggangnya kecil ramping seperti
pinggang lebah kemit (lebah hitam coklat yang pinggangnya kecil sekali).
“Aku hendak
membunuh orang yang telah membunuh ibuku dan kau bilang aku seorang yang tidak
mengenal budi, seorang yang bong-im-pwe-gi? Kian Bu, apa artinya ucapanmu itu?”
tanyanya, lebih heran dari pada marah karena dia tidak percaya bahwa pendekar
sakti ini mau mempermainkannya.
“Enci,
bukankah kau tadi mengatakan bahwa hutang luka dibayar luka, hutang nyawa bayar
nyawa, dan hutang kebaikan...”
“Bayar
kebaikan!” sambung Hwee Li saat melihat pemuda itu berhenti seolah-olah lupa
lanjutannya.
“Nah,
belasan tahun lamanya Hek-tiauw Lo-mo telah merawat dan mendidikmu dengan
segala rasa kasih sayang, bukankah itu berarti bahwa engkau sudah hutang
kebaikan kepadanya? Engkau harus membayar hutang kebaikan itu dengan kebaikan,
Enci. Sebaliknya engkau hendak membunuhnya, bukankah itu berarti bahwa Enci
akan menjadi orang yang tidak ingat budi?”
Hwee Li
tertegun dan melongo, bingung. Akhirnya dia berkata ragu, “Akan tetapi dia
telah membunuh ibuku...“
“Heh, siapa
membunuh ibumu? Dia mati sendiri, tidak kubunuh!” terdengar Hek-tiauw Lo-mo
berkata. Dia adalah seorang manusia iblis, maka biar pun tadi nyaris tewas dan
kini pundaknya terluka, dia tidak kelihatan gentar sedikit pun juga.
“Tutup
mulutmu yang busuk!” Hwee Li memaki. “Engkau memaksa dia, biar pun tidak
membunuh dengan tanganmu, akan tetapi engkau yang menyebabkan ibuku mati! Kian
Bu, dia menyebabkan kematian ibu, kalau aku tidak membalas, bagaimana kelak aku
dapat menghadapi arwah ibuku di alam baka?”
“Enci,
sebaiknya engkau memenuhi semua peraturan balas-membalas itu. Engkau memang
berhak membalas kematian ibumu, akan tetapi engkau pun harus membalas
kebaikannya terhadap dirimu. Kalau sekarang kau balas kematian ibumu dan kau
membunuhnya, mana bisa engkau membalas kebaikannya terhadap dirimu selama
belasan tahun itu? Sebaliknya, kalau engkau lebih dulu membalas kebaikannya,
lalu kelak engkau membalas kematian ibumu dan membunuhnya, juga belum
terlambat.” Kian Bu menggunakan segala akalnya untuk mencegah gadis ini
membunuh Hek-tiauw Lo-mo. Dia memang bisa saja menggunakan kepandaian untuk
mencegah pembunuhan itu, akan tetapi hal itu tentu akan menjadi kurang baik.
Sebaiknya kalau dia dapat menginsyafkan gadis ini dengan omongan saja.
“Benar
sekali, Adik Hwee Li. Omongannya itu benar sekali! Tak mungkin seorang gadis
gagah perkasa dan baik budi seperti engkau sampai tidak membalas budi kebaikan
orang!” Tiba-tiba terdengar suara merdu dan ternyata yang bicara itu adalah Swi
Hwa.
Tadi gadis
ini telah siuman dan benar saja, dia telah sembuh sama sekali. Dia sudah
mendengar penuturan gurunya bahwa yang menyelamatkan dia adalah Hwee Li.
Kemudian dia mendengar percakapan antara Hwee Li dan Kian Bu, atau pemuda yang
dikenalnya sebagai Siluman Kecil. Dia ikut merasa terharu mendengar bahwa ibu
gadis itu mati karena Hek-tiauw Lo-mo. Jadi terang bahwa gadis itu bukanlah
anak iblis jahat itu. Juga mendengar bahwa Hwee Li disebut ‘enci’ oleh Siluman
Kecil, lenyap rasa iri dan tidak senangnya terhadap Hwee Li. Tadinya dia
mengira bahwa gadis secantik jelita itu tidaklah mengherankan kalau menjadi
pacar Siluman Kecil dan dia merasa iri karena memang dahulu pernah dia kagum
sekali terhadap Siluman Kecil.
Hwee Li yang
mendengar ucapan ramah itu kemudian cepat melirik ke arah Swi Hwa. Kemarahannya
terhadap Swi Hwa sudah lenyap dan kini beralih kepada Kian Bu yang hendak
menghalangi dia. Akan tetapi uraian Kian Bu yang diperkuat oleh Swi Hwa itu
membuat dia menjadi bingung dan ragu-ragu.
“Kalau begitu,
apa kau minta agar aku membalas segala kebaikannya selama belasan tahun ini? Ia
telah memondong dan menimangku, apakah aku pun harus menggendong dan
menimang-nimangnya? Apakah aku harus merawatnya sampai belasan tahun?” Dia
makin penasaran.
Kian Bu
tertawa. “Tidak usah sejauh itu, Enci Hwee Li. Cukup kalau engkau tidak
membunuhnya sekarang, berarti engkau telah melepas kebaikan yang boleh menebus
semua kebaikannya itu. Kalau kelak ada kesempatan dan engkau membunuhnya,
bukankah berarti hari ini engkau telah menebus kebaikannya itu?”
“Waaahhhhh,
terlalu enak buat dia!” Hwee Li berkata dengan alis berkerut. “Kalau begitu,
apakah kita harus membebaskan dua orang monyet tua ini dan minta maaf dan
menghaturkan selamat jalan kepada mereka, membekali uang untuk mereka sebagai
bekal biaya perjalanan?” Karena jengkel Hwee Li lalu mengeluarkan kata-kata
yang berlebihan itu.
Swi Hwa
adalah seorang yang terdidik. Dia tahu bahwa kejengkelan hati nona yang
berpakaian hitam itu betapa pun juga harus dipuaskan. Maka dia lalu maju dan
berkata, “Adik Hwee Li, jika aku boleh mengusulkan, mereka itu tidak perlu
dibunuh agar engkau tidak dianggap tak kenal budi, akan tetapi perbuatan mereka
pun harus dihukum. Mereka tertotok, bagaimana kalau mereka itu dikubur hidup-hidup
di tempat ini?”
“Wah,
cocok!” Hwee Li bersorak. Dia merasa mendapat teman untuk menentang Kian Bu,
dan dia sudah mendekati Swi Hwa dan memegang lengannya. “Kau memang orang
cerdik, Enci. Nah, Siluman Kecil, kau bisa bicara apa menghadapi dua orang dara
yang cerdik seperti kami?”
Siluman
Kecil memandang Swi Hwa dengan heran, akan tetapi dia sempat melihat dara
berpakaian merah itu berkedip kepadanya, maka dia mengangkat pundak dan
berkata, “Terserah, asal kalian tidak membunuhnya.”
“Adik Hwee
Li, terang bahwa kau tidak bisa membunuhnya sebelum kau membalas kebaikannya.
Nah, kini kau membebaskan dia dari kematian, itu berarti telah membalas
kebaikannya. Sekarang, mari kita kubur mereka, mengubur hidup-hidup asal jangan
sampai mereka mati.”
“Loh!
Dikubur hidup-hidup mana bisa tidak mampus?” tanya Hwee Li bingung.
“Kita kubur
tubuhnya saja biar kepalanya di atas tanah. Bukankah dengan demikian mereka
akan tersiksa sekali? Mereka tertotok, kalau sudah tiba saatnya terbebas dari
totokan, tentu orang-orang selihai mereka itu akan mampu membebaskan diri
sendiri. Sementara itu, biar mereka tahu rasa. Dengan demikian engkau telah
melaksanakan dua macam pembalasan budi, budi baik dibalas baik dan budi busuk
dibalas busuk.”
Hwee Li
girang sekali dan bersorak, bertepuk tangan seperti anak kecil mendapatkan
mainan baru yang menarik. “Bagus sekali, Enci. Hayo kita kerjakan, kau bantulah
aku.”
Dua orang
dara yang sama cantik manisnya itu lalu mengerahkan tenaga mereka untuk menggali
lubang di atas tanah. Mereka adalah gadis-gadis remaja yang cantik dan halus,
tetapi jangan kira bahwa tangan yang berkulit halus itu tidak mampu menggali
lubang yang besar dengan cepat. Tangan-tangan halus itu mengandung Iweekang
yang hebat sehingga sebentar saja mereka masing-masing telah menggali sebuah
lubang. Sekarang keduanya menyeret tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi,
melempar mereka ke dalam lubang lalu menutupi lubang itu sehingga dua orang
kakek iblis itu dikubur sampai ke leher mereka!
Tentu saja
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah dan memaki maki
kalang-kabut. Mereka adalah dua orang kakek sakti dan kalau hanya ditanam
seperti itu saja, mereka tidak merasa takut. Biar dikubur seluruh tubuh mereka
pun mereka tidak merasa jeri dan tentu akan dapat mempertahankan nyawa. Akan
tetapi yang membuat mereka marah besar adalah penghinaan itu! Mereka
dipermainkan oleh dua orang gadis remaja!
“Hi-hik,
biar mereka digerayangi dan digigiti semut-semut dan cacing-cacing sebelum mereka
dapat membebaskan diri!” kata Hwee Li bertepuk-tepuk tangan.
Kian Bu dan
Hek-sin Touw-ong mendiamkan saja kedua orang gadis itu. Mereka maklum akan akal
Swi Hwa untuk meredakan kemarahan Hwee Li. Setelah dua orang itu selesai
mengubur dua orang kakek tadi, mereka kini duduk berhadapan di atas rumput. Swi
Hwa merangkul Hwee Li dan berkata sambil tertawa, “Adik Hwee Li yang gagah dan
cantik, aku berterima kasih sekali kepadamu atas pertolonganmu tadi dan harap
kau maafkan sikapku yang kasar karena aku belum mengenal siapa engkau.”
Hwee Li
memang seorang gadis aneh. Kalau dia diganggu, dia akan berubah menjadi iblis
jahat. Kalau dia dijahati, dia akan lebih jahat lagi. Akan tetapi kalau dia
dibaiki, dia akan lebih-lebih baik lagi. Maka kini dia mencium pipi halus dari
Swi Hwa dan berkata, “Akulah yang telah bersikap kasar. Kau maafkan aku, Enci
yang baik, dan engkau pun tadi telah menolongku, maka akulah yang menghaturkan
terima kasih kepadamu.”
Sementara
itu, matahari telah terbit dan Hwee Li menjauh dari mereka kemudian bersuit
panjang dan nyaring disusul suara melengking memanggil-manggil. Tak lama
kemudian terdengar lengking panjang sebagai jawaban dan dari atas udara
menyambar turun burung garuda tadi. Burung ini memang sudah biasa dengan Hwee
Li, malah dia merasa girang karena dia lebih senang melayani Hwee Li yang
selalu bersikap manis kepadanya, dari pada melayani Hek-tiauw Lo-mo yang suka
bersikap kasar dan kejam kepadanya.
Hwee Li
mengelus kepala burung itu dan berkata, “Paman garuda, kau baik saja bukan?
Nah, kau boleh beristirahat dulu, nanti aku mungkin akan membutuhkan
bantuanmu.”
Garuda itu
mengeluarkan suara nguk-nguk seperti seekor anjing jinak, lalu terbang ke atas
pohon. Hwee Li lalu kembali ke tempat tiga orang yang sedang bercakap-cakap
itu. Kian Bu menceritakan bahwa dia baru saja keluar dari dalam benteng lembah,
atas pertanyaan Hek-sin Touw-ong.
“Sekarang
kami berdua harus kembali ke sana untuk coba menyelamatkan keluarga Kao dan
Puteri Bhutan.” Dia menutup ceritanya dengan singkat karena dia tidak mau
banyak menyebut nama puteri itu. Setelah dia mendengar penuturan Hwee Li bahwa
Syanti Dewi juga menjadi tawanan, maka hatinya telah bertekad bulat untuk
menolong puteri itu, biar pun keadaan di dalam benteng itu amat berbahaya.
Kalau perlu, dia siap mengorbankan nyawanya demi me-nolong puteri itu!
“Suhu, mari
kita ikut membantu mereka ini!” Tiba-tiba Swi Hwa berkata kepada gurunya dan
kakek itu pun mengangguk-angguk tanda setuju biar pun alisnya berkerut karena
dia merasa sangsi apakah mereka berempat akan sanggup menembus benteng yang
dihuni demikian banyaknya orang pandai dan di mana terdapat banyak pula anak
buah Kui-liong-pang.
Akan tetapi,
sebelum kakek itu mengeluarkan suara, Kian Bu telah lebih dulu berkata dengan
suara yang menyatakan ketidak senangan hatinya, “Terima kasih atas kebaikan
Nona hendak membantu kami, akan tetapi kami rasa tidak perlu kalian membantu
kami, karena... karena... hemmm...“ Kian Bu merasa tidak enak hati untuk
melanjutkan kata katanya.
Dahulu
Ang-siocia ini telah mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Sengjin. Urusan itu
pun belum diselesaikan, dan bukankah nona ini menantang dia untuk menyusul ke
pantai Po-hai? Dengan demikian, antara mereka tiada hubungan persahabatan,
bahkan ada urusan yang membuat mereka berdiri sebagai pihak yang bertentangan.
Akan tetapi, melihat sikap guru dan murid yang baik itu tadi, dia merasa tidak
enak kalau harus mengemukakan hal itu.
Ang-siocia
ini telah mencuri pusaka Sin-siauw Sengjin, bukan pusakanya! Dan kalau
Ang-siocia mencuri, hal itu tentu saja bukan merupakan suatu keanehan oleh
karena memang dia murid Raja Maling! Sebetulnya hanya kecil saja
sangkut-pautnya dengan dirinya, karena pencurian itu dilakukan sehabis dia
memenangkan pertandingan melawan Sin-siauw Sengjin. Urusan kecil itu mana dapat
disamakan dengan perbuatan guru dan murid ini yang sekarang telah menolongnya,
bahkan dapat dikatakan telah menyelamatkan Hwee Li pula?
“Aihhh, Kian
Bu. Kenapa kau menolak? Enci ini... ehhh, siapa namamu tadi, Enci?”
Swi Hwa
tersenyum. “Namaku Swi Hwa, she Kang...,“ katanya sambil mengerling ke arah
Siluman Kecil.
Mendengar
nama ini, Kian Bu mengerutkan alisnya. Kenapa dia merasa seperti tidak asing
dengan nama itu? Seolah-olah nama itu sudah dikenalnya benar, padahal dia tahu
betul bahwa baru satu kali saja dia bertemu dengan Ang-siocia ini, yaitu ketika
gadis ini mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Sengjin. Ketika itu, dia mengira
bahwa nona ini she Ang, tidak tahunya, sebutan ‘Ang’ itu bukan she, melainkan
berarti merah dan tentu karena nona ini selalu memakai pakaian berwarna merah.
“Enci Swi
Hwa ini lihai sekali, dan gurunya lebih lagi. Di benteng itu terdapat banyak
sekali orang pandai dan berbahaya, maka bantuan Enci Swi Hwa dan gurunya
amatlah baik dan menguntungkan bagi kita. Kenapa engkau menolak?”
“Aku percaya
bahwa mereka ini lihai sekali, akan tetapi...,“ dia memandang kepada Swi Hwa
dan ada sinar tidak senang menyorot dari pandang mata pendekar itu.
Swi Hwa
tersenyum dan menjura kepada Kian Bu, katanya halus, “Ahh, tentu Taihiap masih
mendendam karena uangnya pernah kuambil dahulu itu, ya? Ketahuilah, Taihiap,
aku mengambil uangmu karena ingin memperkenalkan engkau kepada Suhu. Nah, ini
uangmu itu, lengkap dengan kantungnya, kukembalikan kepadamu disertai ucapan
maaf sebesarnya!” Seperti bermain sulap saja, sekali meroboh sakunya, Swi Hwa
telah mengeluarkan sebuah pundi-pundi berisi uang dan menyerahkannya kepada
Kian Bu. “Tidak ada satu sen pun berkurang, Taihiap!”
Kian Bu
mengenal pundi-pundi uangnya dan dia terkejut, juga terheran. Jadi, kiranya
kantung uangnya dahulu itu pun dicuri oleh gadis maling ini? Bukan main!
Bagaimana hal itu dapat dilakukannya padahal dia sama sekali tidak pernah
merasa bertemu dengan nona ini dalam perjalanan? Sambil melongo, diterimanya
kantung itu dan dia lalu berkata, “Terima kasih, Nona. Memang ini pundi-pundi
uangku. Akan tetapi bukan soal kecil inilah yang membuat aku meragu, akan
tetapi...“
Tiba-tiba
Hek-sin Touw-ong maju menjura kepada Siluman Kecil dan berkata, “Taihiap,
muridku yang jahat ini pernah bercerita bahwa dia telah mengambil pusaka-pusaka
dari dalam rumah Sin-siauw Sengjin mendahului Taihiap, tentu hal itulah yang
membuat Taihiap meragu, bukan?”
Hati Kian Bu
terasa tidak enak, namun dia mengangguk. “Muridmu telah mengundang aku untuk
berkunjung ke pantai Po-hai, akan tetapi kebetulan kita bertemu di sini.” Kian
Bu mengingatkan tantangan Ang-siocia.
“Harap
Taihiap sudi melupakan urusan itu karena ketahuilah bahwa kitab-kitab pusaka
yang ditinggalkan oleh orang tua itu dan diambil oleh muridku yang bodoh adalah
kitab kitab palsu. Dan tentang undangan muridku, biarlah di sini aku mintakan
maaf kepada Taihiap...“ Dia menjura dan Kian Bu cepat-cepat mengangkat tangan
membangunkan orang tua itu. Dia sudah menduganya demikian, maka diam-diam dia
mentertawakan Ang-siocia yang memperoleh kitab-kitab palsu.
“Sudahlah,
urusan yang lalu biarlah lalu karena semua itu hanya urusan kecil saja. Aku
merasa girang bahwa kita sekarang bertemu sebagai sahabat. Akan tetapi, urusan
kami di dalam benteng ini adalah amat berbahaya, maka sungguh tidak enak kalau
sampai membuat Ji-wi ikut-ikut terancam bahaya.”
“Aku ada
rencana yang baik sekali!” Tiba-tiba Swi Hwa berkata dengan sinar mata
bercahaya. “Kalau rencanaku dijalankan, bukan saja kita dapat memasuki benteng
itu seperti masuk ke dalam rumah sendiri, tetapi juga agaknya mudah saja
menyelamatkan keluarga Kao dan Puteri Bhutan itu tanpa ada bahaya dan tanpa
pertempuran!”
Hwee Li
sudah merasa girang sekali mendengar ini. “Bagaimana rencanamu itu, Enci?”
“Engkau
lihat dua orang kakek itu, Adik Hwee Li? Nah, biarkan mereka itu membawa
Taihiap ini dan engkau pulang ke dalam benteng sebagai tawanan, bukankah dengan
begitu mudah saja bagi kalian untuk memasuki benteng?”
“Ahhhhh...!”
Kian Bu sampai mengeluarkan seruan saking kaget dan herannya.
Dia
memandang gadis pakaian merah itu dengan alis berkerut. Sudah gilakah gadis
ini, pikirnya. Juga Hwee Li yang biasanya cerdik itu, memandang terbelalak
kepada Swi Hwa.
“Enci,
jangan main-main...!”
Swi Hwa
tertawa geli. “Siapa main-main, adikku sayang? Apakah kau mempunyai cara yang
lebih baik dari pada itu? Bayangkan saja. Kedua orang kakek ini menunggang
garuda itu membawa kalian berdua sebagai tawanan. Nah, siapa yang akan berani
menghalangi mereka di dalam benteng?”
“Tapi...
tapi, itu rencana gila! Susah-susah kita tangkap, lalu kini kau mengusulkan
agar kita melepaskan dua orang iblis itu dan membiarkan mereka menangkap kami
berdua?” Hwee Li sudah mulai marah karena merasa dipermainkan.
Namun
jawaban Swi Hwa mengusir kemarahannya dan membuat dia makin terheran heran,
demikian pula Kian Bu. “Siapa yang suruh kau membebaskan mereka, adikku?
Biarkan mereka digerogoti semut-semut merah! Aku belum gila untuk menyuruh kau
membebaskan dia.”
“Ehhh,
bagaimana kau ini? Tadi kau katakan...“
Swi Hwa lalu
mendekati dan merangkul Hwee Li, berkata lirih berbisik-bisik agar tidak
terdengar oleh dua orang kakek iblis yang hanya kelihatan kepalanya saja di
atas tanah itu dan yang memandang ke arah mereka dengan mata melotot. “...aku
dan Suhu yang menyamar sebagai mereka dan membawa kalian ke dalam benteng...“
Kian Bu
terkejut sekali. Sungguh permainan yang amat berbahaya! Menyamar sebagai
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi? Mungkin Hek-sin Touw-ong dapat menyamar
sebagai salah satu di antara mereka, akan tetapi nona itu?
“Ahh, mana
bisa hal itu dilakukan? Sebelum kita memasuki benteng, tentu Ji-wi telah
ketahuan dan kalau Ji-wi mengalami celaka, kami akan merasa tidak enak sekali,”
katanya.
Juga Hwee Li
tak dapat menerima rencana itu. “Enci Swi Hwa, harap jangan kau main-main. Kita
bukan menghadapi kumpulan anak-anak kecil yang mudah kau permainkan dengan
penyamaran. Kita bukan sedang bermain di atas panggung sandiwara...“
“Wah, wah!
Kalian memandang rendah kepandaian guruku, ya?” Swi Hwa berdiri sambil bertolak
pinggang dan kelihatan marah.
Gurunya
kemudian menyentuh lengannya, memandang penuh teguran dan Swi Hwa menurunkan
kedua tangannya kembali dan membuang sikapnya yang marah.
“Apa yang
dikatakan oleh muridku ini memang benar. Akal itu memang amat baik dan kami
kira kami dapat melakukan penyamaran itu sebaik-baiknya.”
“Suhu,
mereka tentu tidak percaya. Lebih baik kita buktikan. Mari kita bersembunyi di
sana sebentar, Suhu.”
Gadis
berpakaian merah itu lalu menarik tangan gurunya, diajak pergi ke belakang
semak-semak belukar tak jauh dari situ sambil membawa buntalannya yang agak
besar. Hwee Li hanya saling pandang dengan Kian Bu, terheran-heran dan tidak
percaya, akan tetapi juga tertarik sekali.
Tempat guru
dan murid itu menyelinap lenyap adalah semak-semak belukar yang menyambung
dengan pohon-pohon. Tak lama kemudian, terdengarlah dari sebelah kiri, dari
balik pohon-pohon, suara seorang nenek-nenek yang agak gemetar menawarkan
dagangannya, “Sepatuuuuu... sepatu rumpuuuuut...! Barang baik harga murah lekas
beliiiii...!”
“Eh? Di
dalam tempat sunyi seperti ini ada orang jualan sepatu rumput?” tanya Hwee Li
dan dia memandang heran kepada seorang nenek yang datang terbongkok-bongkok
membawa beberapa buah sepatu rumput.
Akan tetapi
Kian Bu memandang kepada nenek itu dan mukanya berubah. “Dia...? Dia... adalah
nenek itu...!”
Teringatlah
dia akan nenek penjual sepatu rumput di daerah Ho-nan itu. Jantungnya berdebar.
Nenek ini yang dituduhnya mengambil uangnya sekantung. Dan uang itu tadi
dikembalikan oleh Ang-siocia!
“Kau kenapa,
Kian Bu? Kau kenal dia...?” Hwee Li bertanya.
Akan tetapi
Kian Bu yang masih bingung itu memandang dan selagi dia hendak lari
menghampiri, nenek itu telah lenyap di balik semak-semak!
Melihat
sikap Kian Bu, Hwee Li makin heran. “Kian Bu, siapakah nenek-nenek itu tadi?”
Akan tetapi
yang ditanya hanya memandang bengong ke arah semak-semak. Jadi gadis berpakaian
merah itukah kiranya yang menyamar sebagai nenek-nenek itu dahulu? Bukan main!
Dan dia sudah bicara dengan nenek itu berhadapan sampai cukup lama, namun dia
sama sekali tidak tahu, bahkan uangnya sekantong pun dicurinya atau dicopetnya
tanpa dia merasa. Benar-benar hebat gadis itu. Hebat ilmu penyamarannya, juga
lihai ilmu copetnya!
“Hai,
bukankah itu engkau, Twako? Apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak saling
jumpa!”
Kian Bu
terkejut dan menoleh ke kanan, juga Hwee Li memandang. Dia melihat seorang
pemuda tampan yang bersikap gembira sekali keluar dari pohon di sebelah
kanannya, sikapnya jelas telah lama mengenal Kian Bu.
“Ehh, kau di
sini, Kang-kongcu...?” kata Kian Bu.
Tentu saja
dia mengenal Kang Swi, pemuda royal yang menjadi teman seperjalanannya menuju
ke Ho-nan tempo hari. Akan tetapi, pemuda itu sudah menyelinap pergi lagi.
“Tunggu,
Kang-kongcu...!” Kian Bu hendak menghampiri dan mendadak dia tersentak kaget
bukan main ketika teringat akan nama itu.
Kang Swi!
Dan Ang-siocia bernama Kang Swi Hwa! Ahhh, pantas saja tadi pada saat
Ang-siocia memperkenalkan diri sebagai Kang Swi Hwa kepada Hwee Li, dia merasa
seperti mengenal baik nama itu. Kang Swi dan Kang Swi Hwa! Kiranya satu orang!
Dia makin kagum dan terheran. Nona itu ternyata telah menyamar sebagai
nenek-nenek penjual sepatu, kemudian menyamar sebagai pemuda Kang Swi tanpa dia
ketahui sama sekali! Penyamaran sebagai nenek penjual sepatu yang mencopet
uangnya itu sudah hebat, akan tetapi penyamarannya sebagai pemuda Kang Swi
lebih hebat pula!
Dia telah
berhari-hari melakukan perjalanan bersama ‘pemuda’ itu, melihat Kang Swi
memasuki sayembara, sampai pertempuran yang terjadi ketika mereka bertempur
memperebutkan Pangeran Yung Hwa. Dan sama sekali dia tidak tahu bahwa ‘pemuda’
itu adalah Ang-siocia pula yang menyamar. Pantas saja ketika mereka kehabisan
kamar penginapan, ‘pemuda’ itu tidak mau tidur sekamar dengan dia!
Hwee Li
masih bingung. “Eh, Kian Bu, siapakah nenek-nenek penjual sepatu itu tadi? Dan
siapa pula pemuda yang menegurmu tadi? Agaknya engkau mengenal mereka, akan
tetapi begitu muncul dan melihatmu, mereka terus pergi.”
Wajah Kian
Bu menjadi merah. Dia merasa malu sendiri mengapa dia sampai dapat dipermainkan
oleh gadis itu! “Mereka... mereka tadi adalah penyamaran Nona itu...“
“Enci Swi
Hwa? Ah, benarkah?” Hwee Li tertegun, akan tetapi pada saat itu, dari arah
belakangnya terdengar suara tertawa.
Hwee Li
hampir menjerit mendengar suara ketawa bekas ayahnya itu. Dia cepat-cepat
membalikkan tubuhnya dan terbelalak memandang kakek raksasa yang kini berdiri
di depannya.
“Ha-ha-ha,
anakku Hwee Li yang cantik manis, anakku sayang, marilah engkau ikut ayahmu
kembali ke Pulau Neraka...!”
“Tidak,
tidak...! Engkau bukan ayahku! Engkau... heeeee?”
Hwee Li
teringat, memutar tubuhnya dan melihat betapa kepala Hek-tiauw Lo-mo masih
berada di tempat yang tadi, di mana dia menguburkan tubuh kakek itu bersama
kakek Hek-hwa Lo-kwi sampai ke leher! Cepat dia membalik dan memandang lagi,
tetapi jelas bahwa Hek-tiauw Lo-mo benar-benar berdiri di depannya! Bulu
tengkuknya meremang dan dia menjerit, “Kau iblis tua bangka! Kau setan...!” Dan
dia segera bergerak hendak menyerang.
Akan tetapi,
Kian Bu memegang tangannya dan menahannya. “Nanti dulu, Enci Hwee Li. Lihat
dulu baik-baik siapa dia...“
“Ha-ha-ha,
anak durhaka kau! Hendak melawan ayah sendiri? Berani engkau melawan Hek-tiauw
Lo-mo? Ha-ha-ha!” Dan sekarang raksasa itu tertawa, nampak giginya yang
bertaring dan tangan kanannya sudah mencabut golok gergajinya, sedangkan tangan
kirinya memegang jala hitam tipis.
“Sudah
kulihat jelas, dia memang iblis tua itu!” Hwee Li berkata sambil memandang
terbelalak kepada raksasa di depannya.
“Ehhh,
Lo-mo, mengapa banyak membuang waktu? Kita tangkap dua bocah ini dan kita seret
ke depan Pangeran Liong Bian Cu, bukankah kita akan memperoleh hadiah yang amat
besar dan kedudukan tinggi kelak? Ha-ha-ha, mari kita tangkap mereka!”
Hwee Li
terkejut sekali memandang kakek bermuka tengkorak yang baru saja muncul.
Hek-hwa Lo-kwi! Tak salah lagi. Dia cepat menoleh dan melihat betapa kepala
Hek-hwa Lo-kwi masih nampak di sana! Bagaimana dua orang kakek iblis ini
tahu-tahu mampu membebaskan diri sedangkan kepalanya masih kelihatan di sana?
Dia makin bingung dan kini hanya dapat memandang dengan mata terbelalak lebar
seperti melihat setan di tengah hari!
“Ha-ha-ha,
Lo-kwi. Lihat, bukankah anakku ini sekarang sudah besar dan cantik sekali?
Pantas Pangeran Nepal itu sampai terkentut-kentut kegilaan kepadanya.
Ha-ha-ha!” Hek-tiauw Lo-mo berkata lagi.
Tiba-tiba
Kian Bu menjura kepada dua orang kakek itu sambil berkata, “Kepandaian menyamar
dari Locianpwe dan Nona sungguh membuat saya merasa amat kagum dan takluk!”
Mendengar
ini, baru Hwee Li sadar. Akan tetapi dia masih belum percaya dan ketika
Hek-tiauw Lo-mo melangkah dekat, dia otomatis mundur-mundur karena jeri.
“Hi-hi-hik,
Adik Hwee Li, apakah sekarang engkau merasa takut kepadaku? Sikapmu ini sangat
menyenangkan, Adik Hwee Li. Nah, apakah sekarang engkau percaya akan kemampuan
Enci-mu ini dan Suhu?”
“Kau...
kau... Enci Swi Hwa...!” Kini barulah Hwee Li percaya setelah mendengar suara
gadis itu.
Akan tetapi
dia masih terheran-heran bukan main. Kang Swi Hwa adalah seorang gadis cantik
yang tingginya hampir sama dengan dia. Bagaimana sekarang telah mengubah diri
menjadi seorang kakek raksasa yang tinggi besar itu? Dengan berindap-indap dia
menghampiri Hek-tiauw Lo-mo palsu itu dan meneliti. Memang serupa! Bahkan wajah
yang seperti raksasa bertaring itu pun sama. Tubuh tinggi besar pun serupa.
Kulitnya kehitaman juga sama. Hanya kini nampak olehnya betapa tangan Hek-tiauw
Lo-mo palsu ini terlalu kecil, tidak sebesar tangan bekas ayahnya, sungguh pun
aneh sekali, tangan Swi Hwa yang tadinya berkulit halus itu kini menjadi kasar
sekali. Dia makin terheran-heran, lalu berjalan mengelilingi Hek-tiauw Lo-mo
palsu itu seperti seorang pedagang sapi sedang memeriksa seekor sapi yang
hendak dibelinya.
“Bagaimana,
Adik Hwee Li? Apakah masih ada kekurangannya?”
Hwee Li
berhadapan dengan Swi Hwa dan memegang tangannya, akan tetapi cepat
dilepaskannya kembali dengan jijik. Orang ini terlalu mirip Hek-tiauw Lo-mo
sehingga menimbulkan jijik kepadanya. “Bagus sekali, Enci. Hanya sayang ada
satu perbedaan menyolok.”
“Tanganku
terlalu kecil?”
“Bukan itu
saja, terutama sekali... baunya!”
“Baunya?”
“Ya, kau
tadi berbau sedap harum, sekarang pun masih harum. Padahal, seingatku bau iblis
tua itu amat apek!”
“Ha-ha-ha,
Lo-mo, agaknya engkau tadi habis mandi minyak wangi, maka baumu jadi harum!
Hati-hati, lebih baik kau hilangkan bau harum itu dengan menggosok rambutmu
dengan bunga tahi ayam!” Terdengar Hek-hwa Lo-kwi berkata.
Hwee Li
bergidik. Kakek ini memang Hek-hwa Lo-kwi, sedikit pun tiada bedanya! Maka
kagumlah dia. Kagum bukan main dan dia pun menjura.
“Hek-sin
Touw-ong, aku benar-benar kagum sekali. Kalian memang hebat!”
Hek-sin
Touw-ong dan Swi Hwa kini menanggalkan aksi mereka dan bicara dengan suara
mereka sendiri. ”Nah, setelah kalian percaya, marilah kalian membiarkan kami
berdua membawa kalian ke dalam benteng sebagai tawanan. Dengan cara ini, tentu
akan mudah untuk mengelabui mereka, dan terbuka kesempatan kita untuk menolong
mereka yang ditawan,” kata Hek-sin Touw-ong.
“Nanti dulu,
Locianpwe. Aku masih penasaran...“ Kian Bu sekarang memandang kepada Hek-tiauw
Lo-mo palsu alias Swi Hwa itu. “Jadi kalau begitu nenek penjual sepatu itu...“
“Akulah yang
menyamar, Taihiap. Maafkan aku, kalau tidak begitu, mana bisa aku mencopet
kantung uangmu?” kata Swi Hwa sambil tertawa. Lucu sekali melihat raksasa
Hek-tiauw Lo-mo bersikap seperti itu dan mengeluarkan suara begitu merdu.
“Dan...
Kang-kongcu itu...?”
“Hi-hik,
maaf bahwa aku telah mempermainkanmu, Taihiap. Akulah Kang Swi dan aku memang
sedang bertualang mencari pengalaman, maka mendengar soal sayembara itu, aku
ingin memasuki dan meluaskan pengetahuan.”
“Akan
tetapi... engkau telah membantu Gubernur Ho-nan, Nona, dan tahukah engkau bahwa
gubernur itu adalah seorang pengkhianat yang agaknya telah bersekutu dengan
Pangeran Nepal?”
Hek-tiauw
Lo-mo palsu itu mengangguk-angguk. “Tadinya aku memang tidak tahu apa apa.
Tahuku hanya aku telah diterima menjadi pengawal dan tentu saja aku bertindak
sebagai pengawal. Setelah aku tahu duduknya perkara, terus saja aku
meninggalkan Ho-nan. Tak sudi aku menjadi kaki tangan pengkhianat dan
pemberontak.”
Kian Bu
mengangguk-angguk dengan hati lega. “Kalau begitu baiklah, mari kita cepat
berangkat.”
“Akan tetapi
tidak mungkin menunggang garuda kalau berempat,” kata Hwee Li. “Terlalu berat
bagi garuda dan juga punggungnya tidak dapat menampung empat orang. Pula, kalau
garuda kembali ke sana tentu akan sukar bagi kita untuk meloloskan diri kalau
kalau ada bahaya mengancam, maka biarlah kita jalan kaki saja dan biarkan
garudaku terbang di atas benteng agar dia siap kalau sewaktu-waktu kupanggil.”
Semua orang
setuju dan Hwee Li lalu membisiki telinga garuda yang dipanggilnya turun,
kemudian menepuk lehernya. Garuda itu terbang ke angkasa dan empat orang itu
berangkat meninggalkan tempat itu….
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment