Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 16
Akan tetapi
betapa kaget dan kecewanya, juga marah sekali, ketika dia tiba di tempat di
mana dia tadi meninggalkan Swi Hwa yang roboh tertotok, dia melihat Ma Khong
dan Ma Ti Lok sedang hendak menggagahi dara itu dan mereka telah merobek
pakaiannya sehingga gadis itu tadi menjerit.
Terasa
pening kepala Tek Hoat saking marahnya.
“Bedebah...!”
Dia berseru dan tubuhnya meluncur ke depan. Dua kali jari tangannya bergerak
dan dua tubuh Ma Khong dan Ma Ti Lok terpelanting, berkelojotan dan tewas
seketika dengan dahi mereka ada tanda jari hitam!
“Tek Hoat,
kau terlalu!” Hong Kui membentak marah. “Kau membunuh teman sendiri!”
“Mereka
layak mampus! Engkau juga!” Tek Hoat menghardik dan memandang marah.
“Keparat
kau, manusia tidak mengenal budi!” Lauw Hong Kui tidak lagi dapat menahan
kemarahannya dan dia menyerang dengan pedangnya.
Akan tetapi,
dengan cepat Tek Hoat mengelak dan mendorong dengan tangan kirinya. Angin kuat
menyambar dan Hong Kui terhuyung ke belakang. Wanita ini makin marah dan
meloncat keluar dari dalam rumah.
“Keluarlah
kau kalau jantan!” tantangnya.
Tek Hoat
yang kecewa dan marah itu meloncat mengejar. Ketika tiba di luar, Hong Kui
menggerakkan tangannya dan sebuah benda hitam menyambar ke arah Tek Hoat.
Pemuda ini maklum bahwa itulah senjata rahasia yang paling ampuh dari Mauw
Siauw Mo-li. Lawan yang kurang hati-hati dan berani menangkis senjata rahasia
ini, tentu akan celaka, setidaknya tentu akan terluka. Maka dia mengelak dan membiarkan
benda itu lewat.
“Darrr...!”
Benda itu meledak ketika terbanting ke atas lantai dan dinding di dekatnya
jebol.
Dua kali
lagi Mauw Siauw Mo-li menyambitkan senjata-senjata rahasia peledaknya, namun
semua dielakkan oleh Tek Hoat dan pemuda ini secepat kilat telah mengirim
serangan dengan hantaman kedua tangannya dengan menggunakan tenaga dahsyat Inti
Bumi. Mauw Siauw Mo-li berusaha mengelak, namun tetap saja dia terhuyung dan
sebelum dia dapat menyelamatkan dirinya, sebuah tendangan kaki Tek Hoat mengenai
pinggulnya.
“Bukkk!
Aughhh!” Wanita itu menjerit dan tubuhnya terbanting ke atas lantai. Dia
bangkit dan menggosok-gosok bukit pinggulnya yang terasa nyeri.
“Kau kejam
sekali, Tek Hoat. Kubunuh kau kalau aku mendapat kesempatan!” teriaknya marah.
“Mo-li,
kalau aku tidak ingat bahwa engkau telah membantuku selama ini, jangan harap
kau dapat pergi dari sini dengan masih bernyawa. Sekarang, pergilah dan jangan
berani memperlihatkan mukamu yang tak tahu malu itu kepadaku lagi!” Tek Hoat
berkata.
“Uhhh...!”
Bedebah, manusia sombong kau!” Mauw Siauw Mo-li memaki, memandang dengan mata
mendelik, akan tetapi dia tidak berani bergerak menyerang. Akhirnya dia
membalikkan tubuhnya dan lari sambil berteriak melengking nyaring, semakin lama
suaranya makin jauh sampai hanya terdengar seperti suara kucing terpijak
ekornya.
Semua ini
terlihat oleh Hek-sin Touw-ong. Dia melihat pula betapa Tek Hoat cepat lari
menghampiri muridnya, menotok membebaskan gadis itu, lalu Tek Hoat menghampiri
dia dan membebaskan pula totokannya.
Hek-sin
Touw-ong bangkit berdiri, mengurut kedua lengannya yang terasa kaku, lalu dia
memandang kepada pemuda itu dengan penuh keheranan.
“Kau... kau
Si Jari Maut?” tanyanya.
Tek Hoat
mengangguk. “Maafkan kalau aku telah mengganggumu, Touw-ong. Akan tetapi,
tadinya aku mengira bahwa engkau telah menculik Puteri Bhutan.”
“Puteri
Bhutan?” Kakek itu berkata dan mengerutkan alisnya. “Sungguh aneh, betapa
banyak orang mencari Puteri Bhutan!”
“Apa
maksudmu...?”
“Swi Hwa,
jangan!” tiba-tiba kakek itu berteriak dan dengan tenang Tek Hoat miringkan
tubuhnya, membiarkan pedang yang ditusukkan oleh Swi Hwa itu lewat di samping
tubuhnya, kemudian dia menggunakan jari tangannya membabat ke bawah.
“Trakkk!”
Pedang itu patah dan Swi Hwa menjerit karena tangannya terasa nyeri dan gagang
pedang itu terlepas.
“Swi Hwa,
jangan sembrono kau!” kembali Touw-ong membentak. Gadis itu meloncat ke samping
gurunya sambil memegangi tangan kanannya dan memandang kepada Tek Hoat dengan
mata berapi dan penuh kemarahan.
“Hek-sin
Touw-ong, apa maksudmu mengatakan bahwa banyak orang mencari Puteri Bhutan?”
“Baru-baru
ini, See-thian Hoat-su kakek ajaib penghuni Goa Tengkorak juga datang ke sini
dan menanyakan apakah aku melihat Puteri Bhutan dilarikan orang. Ketika aku
mengatakan bahwa aku tidak melihatnya, dia lalu pergi. Dan sekarang, engkau dan
Mauw Siauw Mo-li datang mencari Puteri Bhutan pula.”
Hati Tek
Hoat kecewa sekali. “Aku telah dibohongi oleh wanita jalang itu. Jadi engkau
benar tidak pernah melihat puteri itu, Touw-ong?”
“Guruku
sudah bilang tidak melihatnya, mengapa banyak cerewet lagi?”
Tek Hoat
menarik napas panjang. Dia maklum mengapa gadis ini marah-marah, karena betapa
pun juga, kedua orang Saudara Ma itu tadinya datang bersama dia sebagai
kawan-kawannya.
“Sudahlah,
maafkan aku kalau kalian tidak tahu!” Berkata demikian, sekali berkelebat Tek
Hoat sudah lenyap dari depan mereka.
“Jahat
dia...!” Swi Hwa berkata.
“Sssttt...!”
Gurunya memegang tangan muridnya agar jangan bergerak. Kemudian dia menoleh
kepada mayat kedua orang she Ma itu, menggelengkan kepala dan berkata, “Sungguh
hebat sekali kepandaian Si Jari Maut. Pantas saja dia terkenal sekali, kiranya
memang dia amat hebat. Entah tenaga apa yang dia pergunakan tadi sehingga aku
sendiri kewalahan menghadapinya. Sayang ada wanita iblis tadi yang ikut
membantu, kalau tidak, aku ingin sekali bertanding dengan pemuda hebat itu.”
“Siapa sih
Puteri Bhutan yang dicarinya itu, Suhu?”
“Entah. Ah,
sungguh aneh sekali peristiwa ini, Swi Hwa. Engkau mencuri barang-barang dari
tiga orang sakti, akan tetapi yang datang bukannya Jenderal Kao, Siluman Kecil
atau Sin-siauw Sengjin, melainkan Si Jari Maut dan Mauw Siauw Mo-li! Untung
masih baik kesudahannya. Ahhh, peristiwa ini semakin mendorong hatiku untuk
cepat-cepat menjumpai Saicu Kai-ong...“
Kakek itu
lalu menolong para anak buahnya yang tertotok, pingsan dan ada pula yang
terluka. Kemudian mereka mengurus mayat dua orang penyerbu itu. Beberapa hari
kemudian, Hek-sin Touw-ong bersiap-siap untuk menghubungi Sai-cu Kai-ong, tokoh
yang sebetulnya telah lama menjadi sahabatnya, akan tetapi yang selama belasan
tahun ini tidak pernah lagi berhubungan dengan dia…..
***************
Kita kembali
melihat keadaan di lembah Huang-ho, di dalam markas besar perkumpulan
Kui-liong-pang yang kini dipergunakan oleh Pangeran Liong Bian Cu sebagai
benteng. Telah diceritakan di bagian depan betapa Jenderal Kao Liang sendiri
telah berada di dalam cengkeraman Pangeran Liong Bian Cu, membuat jenderal
gagah perkasa itu tidak berdaya karena seluruh keluarganya berada di dalam
tangan Pangeran Nepal itu. Apa lagi ketika jenderal ini melihat betapa Puteri
Bhutan, anak angkatnya, juga menjadi tawanan di tempat itu. Terpaksa dia
bekerja sungguh-sungguh dan membangun tempat itu menjadi sebuah benteng yang
amat kuat. Dia sudah berjanji dan sebagai seorang gagah dia akan memegang
janjinya, yaitu membuat tempat itu menjadi benteng yang tidak akan dapat
dibobolkan musuh dan dia sendiri yang akan mengatur penjagaan mempertahankan
benteng itu di saat yang perlu!
Ketika
benteng itu masih belum selesai benar dibangun di bawah pimpinan Jenderal Kao,
tempat itu telah mengalami serangan dan telah membuktikan kehebatan Jenderal
Kao dalam mempertahankan tempat itu. Serangan ini datang di waktu malam hari,
terdiri dari lima puluh orang yang dipimpin tiga orang kakek yang amat lihai.
Peristiwa
itu terjadi di malam terang bulan dan biar pun benteng itu belum selesai
dibangun, namun tali-tali rahasia yang dipasang oleh Jenderal Kao telah
membunyikan genta memberi tahu bahwa ada serombongan orang datang dari utara
menuju ke lembah itu! Tali-tali rahasia itu menjadi satu dengan akar-akar dan
ranting-ranting pohon sehingga ketika dilanggar oleh rombongan orang itu,
menggerakkan genta di dalam benteng dan segera para penjaga bersiap dan melakukan
penjagaan ketat, diatur sendiri oleh Jenderal Kao Liang yang sudah melatih anak
buah Kui-liong-pang dan anak buah Pangeran Nepal itu menjadi pasukan yang
tangkas dan hebat! Semua ini ditonton dengan kagum oleh Liong Bian Cu, Hek-hwa
Lo-kwi, Hek-tiauw Lo-mo, Gitananda, dan Ban hwa Sengjin yang lebih banyak
tinggal di dalam gedung, bersikap tenang akan tetapi dia selalu menerima
laporan dari Gitananda akan segala yang terjadi di luar kamarnya.
Siapakah
para penyerbu itu? Mereka ini bukan lain adalah para anggota Liong-sim-pang
yang dipimpin sendiri oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun, dibantu oleh tiga orang kakek
lihai, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-swi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong Ciok Gu To.
Seperti kita ketahui Hwa-i-kongcu Tang Hun merasa amat kecewa, penasaran dan marah
sekali ketika Syanti Dewi yang akan menjadi isterinya itu tiba-tiba lenyap di
tengah-tengah pesta pernikahannya! Dia merasa kecewa karena kehilangan calon
isteri yang cantik jelita, akan tetapi yang lebih menyakitkan hatinya lagi, dia
merasa malu.
Dia telah
mengundang banyak tamu, di antaranya banyak tokoh-tokoh kang-ouw dan banyak
pembesar penting, dan ditengah pesta itu, pengantin wanitanya diculik orang
begitu saja! Hal ini merupakan tamparan hebat bagi mukanya, kehormatannya, dan
dia tidak akan berhenti sebelum bisa mendapatkan kembali pengantinnya. Oleh
karena itu, dia mengerahkan seluruh anak buah Liong sim-pang untuk melakukan
penyelidikan dan pencarian. Bahkan dia mengandalkan harta bendanya yang besar
untuk disebarkan di antara orang-orang kang-ouw agar mereka suka membantunya
dan tidak lupa dia menjanjikan hadiah yang akan dapat membuat orang mendadak
menjadi kaya raya kalau bisa menemukan jejak puteri itu!
Karena
usahanya yang mati-matian ini, maka boleh dibilang semua orang kang-ouw tahu belaka
bahwa Hwa-ikongcu Tang Hun menjanjikan hadiah besar itu, maka semua orang
memasang mata dan telinga untuk ikut mencari. Akan tetapi, ketika Syanti Dewi
berada bersama See-thian Hoat-su, lalu terampas oleh Gitananda dan
disembunyikan di tempat rahasia, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya
sehingga sia-sia saja Tang Hun mencari dan mengerahkan banyak orang. Setelah
puteri itu oleh Gitananda dibawa ke lembah Huang-ho dan puteri itu kelihatan
oleh semua anggota Kui-liong-pang dan para anak buah Hek-tiauw Lo-mo dan
Pangeran Nepal, ada saja yang kemudian membocorkan berita ini sehingga akhirnya
sampai juga ke telinga Hwa-i-kongcu Tang Hun.
Tentu saja
Tang Hun menjadi marah sekali dan juga girang karena akhirnya dia tahu di mana
adanya pengantinnya itu. Mendengar bahwa Puteri Bhutan itu ditawan oleh
perkumpulan Kui-liong-pang, dia lalu mengumpulkan semua anak buahnya, dan
dibantu oleh tiga orang kakek lihai itu dia memimpin sendiri pasukannya menuju
ke lembah Huang-ho dan malam itu dia menyerbu Kui-liong-pang. Sama sekali dia
tidak tahu bahwa tempat itu kini sedang dibangun sebagai benteng yang kokoh
kuat oleh bekas panglima besar Jenderal Kao, dan lebih lagi dia tidak menyangka
bahwa kedatangan mereka telah diketahui dan Jenderal Kao, yang merupakan seorang
ahli perang amat pandai itu, dan yang telah mempersiapkan sambutan hangat atas
penyerbuannya!
Dengan
hati-hati sekali tiga orang kakek lihai yang membantu Tang Hun itu memimpin
pasukan memasuki lembah dari utara. Hak Im Cu, kakek tosu, seorang di antara
tiga pembantu itu, bertugas sebagai penunjuk jalan, oleh karena tosu ini pernah
datang mengunjungi lembah ketika di situ diadakan pertemuan antara orang-orang
kang-ouw. Tentu saja Hak Im Cu tidak dapat mengambil jalan rahasia, seperti
pada waktu dia mengunjungi tempat itu dulu, melainkan mengambil jalan liar yang
telah diperhitungkan sebagai jalan paling aman untuk menyerbu lembah itu.
Satu-satunya halangan adalah sungai yang mengurung lembah itu, sungai yang
terjadi ketika .lembah itu dibanjiri air ketika diadakan pertemuan dahulu. Akan
tetapi mereka telah siap dengan alat-alat untuk berenang dan menyeberang.
Ketika
mereka tiba di tepi sungai, giranglah hati mereka bahwa di situ tidak terdapat
penjagaan sehingga mereka dapat menyeberang dengan mudah, menggunakan
perahu-perahu darurat. Dan betapa girang hati mereka ketika melihat bahwa pagar
tembok di seberang sungai itu ternyata masih baru dibangun dan belum selesai
sehingga tempat itu terbuka. Yang lebih menggirangkan lagi, tidak ada penjagaan
di situ sehingga setelah bersembunyi dan mengintai sampai lama, kemudian yakin
bahwa tempat itu sunyi tidak ada penjaga, mereka lalu bergerak merayap dan
memasuki daerah lembah. Atas pimpinan Tang Hun sendiri, mereka lalu
berindap-indap dan memecah diri menjadi kelompok-kelompok terpisah menghampiri
rumah besar yang mereka kira tentu menjadi bangunan pusat di mana berdiam ketua
Kui-liong-pang dan di mana puteri itu dikeram!
Tang Hun
telah mendengar bahwa ketua Kui-liong-pang adalah seorang kakek sakti berjuluk
Hek-hwa Lo-kwi, yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Akan
tetapi, dengan adanya tiga orang kakek sakti yang membantunya, tentu saja dia
tidak merasa takut. Apa lagi setelah kini dia bersama pasukannya mampu
mengepung rumah besar itu, mempersiapkan anak panah dan api yang mereka
nyalakan secara serentak, merupakan obor-obor yang bernyala terang dan
menerangi seluruh tempat itu, Tang Hun merasa yakin bahwa dia akan dapat
memaksa tuan rumah mengembalikan pengantinnya. Dengan sikap garang dia berdiri
tegak dengan kedua kaki terpentang, diapit oleh tiga orang kakek dan para
pengawalnya, menghadap ke pintu depan dari rumah besar itu lalu berteriak
lantang, “Hek-hwa Lo-kwi, ketua Kui-liong-pang! Keluarlah dan mari kita
bicara!”
Di antara
cahaya obor yang amat banyak dan amat terang, semua mata ditujukan ke arah daun
pintu besar itu dan tiba-tiba daun pintu terbuka dari dalam. Muncullah beberapa
orang dari sebelah dalam pintu itu dan Tang Hun memandang dengan terheran-heran
ketika melihat bahwa yang memimpin rombongan orang itu adalah seorang kakek
botak berjubah merah yang bersikap penuh wibawa, berpakaian indah dan sikapnya
seperti seorang bangsawan tinggi.
Di kanan dan
kiri kakek botak ini berjalan dua orang kakek lainnya yang keadaannya
mengerikan dan menyeramkan. Yang di sebelah kiri adalah kakek tinggi kurus
bermuka tengkorak yang dia duga tentulah Hek-hwa Lo-kwi karena dia sudah
mendengar akan kakek yang berpakaian serba hitam, mukanya yang seperti
tengkorak itu putih seperti kapur. Sedangkan yang berada di sebelah kanan kakek
botak itu adalah seorang kakek raksasa yang amat buas kelihatannya. Dia tidak
tahu bahwa itulah Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi dia segera mengenal kakek
berkulit hitam, bersorban dan jenggotnya panjang sampai ke perut, memegang
sebatang tongkat itu. Itulah Gitananda, kakek Nepal yang dulu hadir pula di
dalam pesta pernikahannya. Gitananda berjalan di belakang kakek botak itu!
Tetapi Tang
Hun tidak mempedulikan mereka semua itu dan dia hanya memandang kepada Hek-hwa
Lo-kwi dan sambil mengangkat dada dia berkata, “Hek-hwa Lo-kwi, karena engkau
adalah ketua dari tempat ini...“
“Hwa-i-kongcu,
biar pun aku adalah ketua dari Kui-liong-pang, akan tetapi pada saat ini yang
memimpin kami adalah Ban-hwa Sengjin, koksu dari Nepal ini, yang mewakili
Pangeran Liong Bian Cu. Kau boleh bicara dengan beliau!” kata Hek-hwa Lo-kwi
sambil menunjuk ke arah kakek berkepala botak yang bersikap dingin dan tenang
itu.
Tang Hun
mengerutkan alisnya, merasa bahwa belum apa-apa dia sudah keliru dan salah
duga. Akan tetapi mendengar itu, tentu saja perhatiannya kini beralih pada
kakek botak yang kini juga bertanya kepadanya, suaranya tenang dan jelas biar pun
masih ada nada asing.
“Jadi engkau
adalah Hwa-i-kongcu Tang Hun ketua dari Liong-sim-pang di puncak Naga Api di
Pegunungan Lu-liang-san? Selamat datang, Tang-kongcu, ada keperluan apakah
engkau datang bersama pasukanmu di waktu malam begini tanpa memberi tahu lebih
dulu kepada kami?”
Tang Hun
merasa serba salah. Kiranya kakek ini adalah koksu dari Nepal! Nama ini mulai
terkenal akhir-akhir ini, bahkan ketika dia mengadakan pesta pernikahan, dia
mengirim undangan kepada koksu itu yang berada di gubernuran Ho-nan, dan koksu
itu diwakili oleh kakek Gitananda. Juga ketika mendengar bahwa kakek ini adalah
Ban-hwa Sengjin koksu dari Nepal, tiga orang kakek yang mengiringkan
Hwa-i-kongcu menjadi kaget bukan main. Tetapi, karena sudah terlanjur menyerbu
dan kini sudah mengurung rumah itu, Hwa-i-kongcu Tang Hun yang ingin merampas
kembali pengantinnya, tetap bersikap angkuh dan tidak mau kalah wibawa.
Dia menjura
dengan sikap hormat. “Ah, kiranya Ban-hwa Sengjin koksu dari Nepal yang
memimpin tempat ini? Sungguh kebetulan sekali! Sengjin tentu telah mengetahui
akan peristiwa yang terjadi di tempat tinggal saya pada waktu pesta pernikahan
saya, karena kalau tidak salah, wakil Sengjin yang sekarang juga berdiri di
belakang Sengjin, yaitu Kakek Gitananda, pada waktu itu juga hadir. Terjadilah
keributan pada waktu itu dan pengantin wanita diculik orang.”
“Hemmm, kami
sudah mendengar akan hal itu. Lalu mengapa?” tanya koksu itu dengan sikap tidak
acuh.
Sikap itu
membuat Tang Hun merasa tidak enak. Kalau koksu ini sudah tahu, tentu tahu pula
bahwa dia datang untuk menuntut dikembalikannya Syanti Dewi, akan tetapi koksu
itu pura-pura tidak tahu saja!
“Maaf,
Ban-hwa Sengjin,” katanya dan keangkuhannya mulai menurun karena dia
benar-benar merasa gentar menghadapi koksu yang berwibawa ini dan tempat itu
terlalu sunyi sehingga mencurigakan. “Karena saya mendengar bahwa pengantin
saya berada di lembah ini, maka saya datang bersama teman-teman saya untuk
menjemput calon isteri saya itu. Harap saja Sengjin mengingat persahabatan
antara kita dan suka menyerahkan pengantin saya kepada saya.”
Ban-hwa
Sengjin mengangkat mukanya, sikapnya makin angkuh dan dia berkata dengan suara
yang nadanya menantang, “Memang Puteri Bhutan berada di sini dan kami tak
bersedia menyerahkan dia kepadamu, Tang-kongcu. Sebaiknya Kongcu cepat membawa
pasukan Kongcu pergi dari tempat ini!”
Tang Hun
mengerutkan alis. Jantungnya berdebar tegang. Kiranya benar pengantinnya berada
di tempat ini! Hatinya girang akan tetapi juga tegang karena sikap Koksu Nepal
ini agaknya hendak menentangnya!
“Ban-hwa
Sengjin! Puteri itu adalah calon isteri saya, pengantin saya. Sudah sepatutnya
kalau dikembalikan kepada saya!”
“Kami tidak
bersedia menyerahkan beliau kepadamu. Habis engkau mau apa?” Inilah tantangan!
Hwa-i-kongcu
yang mengandalkan bantuan tiga orang kakek sakti dan anak buahnya, tentu saja
mulai menjadi marah. Biar pun kakek botak ini adalah Koksu Nepal yang kabarnya
amat lihai dan berkuasa, akan tetapi pada saat itu dialah yang berada dalam
kedudukan menang. Tempat itu telah dikurungnya! Dan dia pun masih mengandalkan
gurunya yang biar pun tidak ikut di dalam pasukan itu, namun secara aneh dan
diam diam, gurunya tentu melindunginya pula!
“Ban-hwa
Sengjin, harap suka memikirkan baik-baik. Ketahuilah bahwa kalian semua telah
terkepung. Lihat betapa pasukan kami telah siap dengan anak panah dan api,
sekali saja saya memberi aba-aba, rumah ini akan dibakar dan kalian semua akan
dihujani anak panah. Saya tidak menghendaki hal itu terjadi, maka sebaiknya
supaya puteri itu cepat diserahkan kepada kami dan kami akan pergi sekarang
juga.”
“Benarkah
itu? Apakah bukan engkau dan pasukanmu yarig sudah berada dalam kepungan kami?
Tang-kongcu, tengoklah di belakang kalian dan di atas.” Kakek botak itu berkata
sambil menudingkan jari telunjuknya ke belakang pasukan Tang Hun dan ke atas
genteng rumah dan pohon-pohon.
Hwa-i-kongcu
Tang Hun cepat menengok, demikian pula tiga orang kakek pembantunya dan mereka
terkejut bukan main. Ternyata di belakang mereka terdapat pasukan yang lengkap
dengan anak panah yang sudah ditodongkan ke arah mereka, dan selain pasukan
itu, juga kini muncul banyak orang-orang di atas genteng dan di pohon-pohon
sekitar tempat itu, semua mementang gendewa dan menodongkan anak panah ke arah
mereka. Karena mereka membawa obor, maka mereka merupakan sasaran empuk sekali
sedangkan pihak musuh yang bersembunyi itu memang amat sukar diserang!
Wajah
Hwa-i-kongcu menjadi pucat sekali. “Bagaimana, Hwa-i-kongcu? Apakah masih akan
dilanjutkan persiapan pertempuran ini? Kalau kami memberi aba-aba, sekali serbu
saja akan habislah anak buahmu. Apakah tidak lebih baik kalau kita bicara
sebagai sahabat?”
Hwa-i-kongcu
memandang pada tiga orang kakek pembantunya. Mereka pun kelihatan gentar
sekali, maka tahulah pemuda ini bahwa dia benar-benar sudah kalah sebelum
perang!
“Sudahlah,
mari kita bicara sebagai sahabat, Sengjin!”
Mendengar
ini, Hek-hwa Lo-kwi tertawa bergelak, dan Ban-hwa Sengjin berkata ke arah
tempat gelap, “Kao-goanswe, pihak lawan telah menjadi kawan, sebaiknya tarik
mundur pasukanmu!”
Dari tempat
gelap itu muncul seorang laki-laki tua yang tinggi tegap dan gagah sekali.
Dengan gerakan yang gagah dia mengangkat sebatang pedang ke atas dan tanpa
bersuara, lenyaplah pasukan yang mengepung tempat itu tadi, juga mereka yang
muncul di atas genteng dan di pohon-pohon juga lenyap dalam gelap.
Diam-diam
Hwa-i-kongcu terkejut bukan main. Kiranya pihak musuh sudah siap sedia dan dia
bersama pasukannya benar-benar telah terjebak.
“Hwa-i-kongcu,
kalau benar-benar kau datang sebagai sahabat, harap perintahkan anak buahmu
untuk melemparkan senjata mereka,” kata Ban-hwa Sengjin.
Hwa-i-kongcu
Tang Hun tidak melihat jalan lain. Melawan berarti bunuh diri, karena mereka
telah dikurung. Maka dia lalu mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru
lantang, “Buang senjata kalian semua! Kita datang sebagai sahabat!”
Pasukannya
tadi pun melihat bahwa merekalah yang terkepung, bukan mereka yang mengepung,
maka mereka tadi sudah merasa gentar sekali. Kini mendengar perintah majikan
mereka, semua orang membuang gendewa dan anak panah, bahkan banyak pula yang
melolos pedang dan golok, lalu melemparkannya ke atas tanah.
Melihat ini
Ban-hwa Sengjin mengangguk-angguk puas. “Tang-kongcu, engkau sungguh dapat
melihat gelagat. Tidak tahukah engkau bahwa engkau telah berada di tepi jurang
maut? Engkau belum mengenal tempat ini dan tidak mengetahui keadaan kami, maka
berani memandang rendah. Ketahuilah bahwa pemimpin penjagaan benteng kami ialah
Jenderal Kao Liang, bekas panglima besar kerajaan. Apakah kau belum mendengar
nama besarnya?”
Tang Hun
mengangguk-angguk, hampir tidak percaya. Benarkah Jenderal Kao Liang kini
berkerja sama dengan mereka ini?
“Engkau
sudah melihatnya namun masih belum percaya. Kau kira siapakah panglima yang
menjebak dan mengurungmu tadi? Marilah, mari kita bicara di ruangan tamu, dan
kami akan memberi penjelasan agar engkau tahu bahwa bersahabat dengan kami akan
menguntungkan pihakmu.” Lalu dia memandang. “Suruh pasukanmu beristirahat dan
bermalam di dalam rumah ini. Mereka akan menerima hidangan sekedarnya.”
Dengan
perasaan yang makin terheran-heran Hwa-i-kongcu mendapatkan kenyataan bahwa
rumah besar yang di kurungnya itu adalah rumah kosong! Sama sekali bukanlah
bangunan induk, tempat tinggal para pimpinan tempat itu! Melainkan rumah besar
yang berada di depan. Dengan mengiringkan rombongan tuan rumah, diterangi oleh
obor obor besar yang dipegang oleh barisan selosin orang, Hwa-i-kongcu dan tiga
orang kakek pembantunya lalu meninggalkan pekarangan rumah besar itu setelah
menyuruh semua anak buahnya menanti di situ.
Dan mereka
kini masuk ke dalam lembah, melalui tembok yang tebal dan terjaga kuat,
kemudian melewati pagar-pagar tembok lain dan baru setelah melewati tujuh lapis
pagar tembok yang semua terjaga dan memiliki liku-liku yang aneh dan tidak
mudah dilalui orang luar yang belum mengenal rahasia tempat itu, mereka tiba di
pusat lembah itu. Dan Tang Hun mengeluarkan seruan tertahan saking kagumnya. Di
tengah-tengah itu, barulah terdapat bangunan-bangunan seperti istana dan
keadaan di situ terang benderang karena banyaknya lampu penerangan yang
dipasang di seluruh tempat.
Melalui
barisan penjaga yang kelihatan gagah dan bertubuh tegap, mereka memasuki
ruangan depan sebuah rumah besar. Seorang yang berpakaian perwira menyambut
rombongan ini dan setelah memberi hormat kepada Ban-hwa Sengjin, dia berkata,
“Pangeran menanti rombongan di ruangan tamu!”
Ban-hwa
Sengjin menoleh kepada Tang Hun. “Hemmm, pangeran berkenan menerima Kongcu, hal
ini baik sekali! Silakan.”
Makin
terbelalak mata Hwa-i-kongcu Tang Hun ketika dia memasuki ruangan tamu. Dia
sendiri adalah seorang kaya raya dan rumahnya seperti istana. Namun
dibandingkan dengan keadaan rumah besar ini, dia merasa iri. Mewah sekali
keadaan di rumah ini dan ketika mereka memasuki sebuah ruangan yang besar, dia
melihat seorang pemuda yang berpakaian indah telah duduk seorang diri di situ,
di kepala sebuah meja besar. Dia tidak mengenal pemuda itu, akan tetapi melihat
kulitnya dan wajahnya, dia menduga bahwa pemuda itu tentu seorang peranakan
Nepal.
Ketika dia melihat
Ban-hwa Sengjin memberi hormat dengan membungkuk, sedangkan Gitananda yang
semenjak tadi diam saja memberi hormat sambil berlutut, juga Hek-hwa Lo-kwi dan
kakek raksasa yang lain itu semua turut memberi hormat, sedangkan para pengawal
juga memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki kemudian mundur dengan tertib,
dia menduga bahwa tentu pemuda ini bukan orang sembarangan dan agaknya dialah
yang disebut pangeran oleh perwira tadi.
Hak Im Cu,
tosu tinggi kurus, seorang di antara tiga orang pembantunya yang menjadi
penunjuk jalan ke lembah itu karena dia pernah mengunjungi lembah ini ketika di
situ diadakan pertemuan, berbisik di belakangnya, “Kongcu, beliau adalah
Pangeran Liong Bian Cu, cucu Raja Nepal.”
Ban-hwa
Sengjin mendengar bisikan itu, tersenyum dan berkata, “Benar, hendaknya Cu-wi
ketahui bahwa beliau adalah Pangeran Liong Bian Cu, cucu Sri Baginda Raja
Nepal.”
Mendengar
ini, Hwa-i-kongcu Tang Hun dan tiga orang pembantunya cepat-cepat maju memberi
hormat dengan menjura sampai dalam. Pangeran Liong Bian Cu tersenyum ramah dan
mengangguk kemudian menggerakkan lengan kanannya mempersilakan. “Duduklah,
Tang-kongcu dan Sam-wi Lo-enghiong. Duduklah sebagai tamu terhormat dan mari
kita bicara sebagai sahabat-sahabat!”
Tang Hun dan
tiga orang pembantunya segera duduk. Tiga orang pembantu Tang Hun itu bukanlah
sembarang orang. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi dan
sudah mengalami banyak hal yang hebat. Namun keadaan di ruangan itu membuat
mereka kagum dan juga berhati-hati, karena belum pernah mereka menjadi tamu
pangeran dan koksu dari negara Nepal yang serba asing. Mereka memandang ke arah
pangeran yang tampan namun aneh itu, dan kepada Ban-hwa Sengjin yang duduk di
sebelah kanan pangeran.
Gitananda
yang matanya tajam seperti mata burung rajawali itu, dan sangat cekung, berdiri
di belakang Ban-hwa Sengjin seperti pengawal dan memang sesungguhnya, Gitananda
bertugas sebagai pembantu dan pengawal koksu itu. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa
Lo-kwi duduk di sebelah kiri Pangeran Liong Bian Cu, dan pada saat itu, dari
luar datang seorang laki-laki tua yang melangkah lebar dengan gagah, setelah
tiba di dekat meja, dia langsung memberi hormat kepada Pangeran Liong dengan
menjura dan menganggukkan kepala, pemberian hormat yang singkat dan tidak
terlalu merendah, kemudian dia mengambil tempat duduk di kursi paling kiri,
duduk diam seperti patung.
Itulah
lenderal Kao Liang dan Hwa-i-kongcu melihat dengan pandang mata kagum akan
tetapi juga terheran-heran. Dia tentu saja sudah mendengar akan nama besar
jenderal ini. Seorang panglima sejati yang sejak turun-temurun sangat setia
kepada kerajaan, gagah perkasa dan pandai, sudah membasmi entah berapa banyak
pemberontakan. Akan tetapi sekarang jenderal itu duduk semeja dengan seorang
Pangeran Nepal dan agaknya bekerja kepada pangeran ini!
Sementara
itu, Pangeran Liong Bian Cu yang sudah mendengar semua laporan tentang
penyerbuan Tang Hun, kini sambil tersenyum memandangi empat orang tamunya satu
demi satu. Dia melihat Tang Hun sebagai seorang pemuda yang berwajah tampan,
pesolek dan cerdik.
Pemuda ini
usianya sudah tiga puluh tahun namun masih kelihatan amat muda, bajunya
kembang-kembang indah, sepasang matanya tajam berpengaruh. Rambut kepalanya
terhias sebuah hiasan rambut seekor naga kecil dengan sepasang mata mutiara
mencorong, juga di bajunya yang berkembang terhias mainan emas terukir
berbentuk naga yang sama. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang
gagangnya terukir indah, terhias emas dan permata, sarungnya ukir-ukiran burung
hong dan liong, ronce roncenya merah dari bulu halus. Seorang kongcu yang
hebat, pikir pangeran ini. Kalau saja kepandaiannya sehebat keadaan
lahiriahnya, dia dapat menjadi pembantu yang baik, pikirnya pula. Kemudian dia
melayangkan pandang matanya kepada tiga orang pembantu kongcu itu.
Tosu itu
usianya kurang lebih enam puluh tahun. Wajahnya bengis tubuhnya tinggi kurus,
pakaiannya sederhana dan pedangnya tergantung di punggung, gagangnya menonjol
di belakang pundak kanan. Kelihatannya sederhana saja, akan tetapi melihat
sinar matanya dan gerak-gerik tubuhnya yang amat ringan, dapat diduga bahwa
tosu ini tentu pandai sekali ilmu silatnya. Dugaan itu memang benar karena Hak
Im Cu, tosu itu, memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali ginkang-nya yang
membuat dia dapat bergerak seperti terbang saking ringan dan cepatnya.
Orang kedua
ialah seorang kakek yang usianya juga sudah enam puluhan tahun, tinggi besar
dengan muka kehitaman. Gerak-geriknya kasar namun tubuhnya membayangkan tenaga
yang amat kuat. Memang Ban-kin-kwi Kwan Ok ini, sesuai dengan julukannya, yaitu
Setan Bertenaga Selaksa Kati, adalah seorang yang amat kuat dan mempunyai
tenaga gajah. Dia pun seperti Hak Im Cu, menjadi pembantu Hwa-i-kongcu karena
dia dapat bergelimang dalam kemewahaan dan kekayaan.
Ada pun
pembantu ketiga adalah seorang kakek gundul pendek gemuk, namun melihat
pakaiannya, biar pun kepalanya gundul, dia bukanlah seorang hwesio. Kepalanya
itu gundul karena penyakit kulit kepala, bukan digundul. Kakek yang usianya
juga sudah enam puluh tahun lebih ini juga bukan orang sembarangan, melainkan seorang
yang ahli dalam ilmu bermain di air, dan selain itu, juga dia memiliki sinkang
yang kuat, seorang ahli lweekeh yang tangguh.
Setelah puas
memandangi empat orang tamunya, sementara itu pelayan mulai datang menyuguhkan
arak dan kue-kue. Atas isyarat Pangeran Nepal itu, seorang pelayan segera maju
dan dengan sikap menghormat pelayan ini lalu menuangkan arak di dalam
cawan-cawan di depan rombongan tuan rumah dan empat orang tamu itu.
“Silakan
minum Tang-kongcu dan para Lo-enghiong!” kata Liong Bian Cu sambil mengangkat
cawannya, diikuti oleh Koksu Nepal, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi dan
Jenderal Kao Liang. Gitananda tidak pernah minum arak, pula dia adalah seorang
pengawal pribadi koksu, maka dia tentu saja tidak ikut berpesta melainkan
berdiri di belakang koksu itu dengan tenang dan sikap penuh kewaspadaan.
Setelah para
tamunya minum arak, Pangeran Nepal itu kemudian memandang kepada Hwa-i-kongcu
dan bertanya, “Sekarang, harap Tang-kongcu suka mengatakan kepada kami dengan
terus terang akan maksud kunjungan Kongcu yang amat mendadak ini.”
Hwa-i-kongcu
Tang Hun memandang pada pangeran itu. Pangeran Nepal itu demikian ramah
sikapnya, maka timbul kembali harapannya. Siapa tahu, pangeran yang ramah ini
akan dapat memaklumi keadaannya, maka cepat dia menjawab dengan sikap amat
menghormat, “Harap Paduka suka memberi maaf kepada kami bahwa kami berani
datang berkunjung tanpa lebih dulu minta ijin Paduka. Sesungguhnya, telah
beberapa lama saya kehilangan calon isteri saya yang lenyap pada saat sedang
diadakan pesta pernikahan kami di tempat kediaman kami, yaitu di Puncak Naga
Api. Kemudian kami mendengar bahwa isteri saya itu berada di sini, oleh karena
itu saya datang dengan rombongan, bermaksud untuk menjemput pengantin saya.”
Setelah berkata demikian, wajah pemuda yang tampan dan pesolek itu memandang
kepada Pangeran Nepal itu dengan penuh harapan.
Pangeran itu
tersenyum dan bertanya, “Tang-kongcu, siapakah nama pengantinmu itu?”
“Namanya...
Syanti Dewi...”
Mendadak
pandangan mata pangeran itu menjadi tajam sekali dan jantung Tang Hun berdebar.
Pangeran ini memiliki sepasang mata yang aneh, tajam dan menyeramkan. Sorbannya
yang besar itu tengahnya, di atas dahi, dihias dengan sebuah mutiara yang besar
dan bercahaya, berkilau-kilauan agak kebiruan. Mutiara yang amat besar dan amat
jarang terdapat. Akan tetapi agaknya, dari dua buah mata yang kehitaman itu
mencorong sinar yang lebih menyilaukan dari pada mutiara itu.
“Tang-kongcu,”
kini suara pangeran itu berbeda dengan tadi, tidak lagi ramah dan halus melainkan
kaku dan dingin, “Tahukah engkau siapa adanya Syanti Dewi?”
Mendengar
pertanyaan itu Tang Hun terkejut dan kini dia baru melihat betapa ada tiga
pasang mata yang memandang dengan sinar mata tajam dan penuh ancaman, yaitu
tiga pasang mata dari pangeran itu sendiri, Koksu Nepal dan kakek Gitananda!
Dengan gugup dia menjawab, “Saya... saya hanya mendengar dia dari Bhutan
dan...“
“Dia adalah
Puteri Syanti Dewi, puteri tunggal dari Raja Bhutan! Dan tahukah kau apa
artinya ini? Berarti engkau hendak menghina Bhutan dan karena Bhutan serumpun
dengan Nepal, maka engkau seolah-olah hendak menghina Nepal!”
“Tidak...
bukan begitu maksud saya,” Tang Hun berkata cepat. “Sebetulnya saya tidak
tertarik oleh kebangsaannya, melainkan oleh pribadinya, maka...“
“Cukup,
Tang-kongcu!” Tiba-tiba terdengar suara Ban-hwa Sengjin, Koksu Nepal itu.
“Hendaknya Tang-kongcu membuang jauh-jauh pikiran itu kalau Kongcu ingin
selamat. Puteri Syanti Dewi dari Kerajaan Bhutan adalah menjadi tamu agung kami
di sini, apakah Kongcu berani hendak menghina dan mengganggu beliau?”
Tang Hun
terkejut bukan main. Tidak pernah terpikir olehnya sedemikian jauhnya. Dia
memang mendengar bahwa Syanti Dewi berasal dari Bhutan dan kabarnya seorang
puteri, akan tetapi hal itu tidak begitu penting baginya, apa lagi karena bagi
dia dan sebagian besar di antara bangsanya, bangsa-bangsa asing di barat
hanyalah bangsa bangsa yang derajatnya rendah! Baginya yang terpenting adalah
kecantikan Syanti Dewi yang membuatnya tergila-gila. Dia tidak peduli apakah
dara itu puteri raja ataukah puteri pengemis! Tetapi ternyata persoalannya
tidaklah sesederhana yang disangkanya dan dia kini dianggap melakukan
penghinaan terhadap bangsa Bhutan dan Nepal!
“Ah, maafkan
saya..., saya tidak tahu sama sekali akan hal itu... dan setelah mendengar
penjelasan Paduka Pangeran dan Koksu, tentu saja saya tahu diri dan tidak akan
melanjutkan keinginan saya.”
“Bagus!
Ternyata Tang-kongcu adalah seorang yang bijaksana dan dapat diajak
bersahabat!” Pangeran Liong Bian Cu berseru girang. “Kami pun jauh-jauh datang
dari barat sekali-kali bukan mencari lawan, melainkan mencari kawan untuk
bersama-sama menghadapi Kerajaan Ceng. Bagaimana Tang-kongcu, dapatkah kami
mengharapkan bantuan Kongcu dan Liong-sim-pang?”
Wajah Tang
Hun yang tadinya agak muram karena lenyapnya harapan hatinya untuk dapat
memperisteri Syanti Dewi, kini berseri. Dia melihat kesempatan yang baik sekali
untuk mencari kedudukan dan tentu saja menambah besarnya kekayaannya. Sekarang,
biar pun kaya raya namun dia tidak memiliki kedudukan, bukan bangsawan
melainkan orang biasa. Agaknya hal inilah yang tidak memungkinkan dia menikah
dengan seorang puteri! Berbeda tentu kalau dia memiliki kedudukan tinggi di
samping harta kekayaan, kekuasaan dan kepandaiannya.
“Tentu saja
saya merasa terhormat sekali dan suka membantu perjuangan Paduka Pangeran.
Memang telah lama saya mendengar betapa kaisar yang tua amat lemah, kekacauan
terjadi di mana-mana dan bahkan kabarnya Gubernur Ho-nan...“ Tiba-tiba dia
berhenti dan memandang Jenderal Kao Liang yang duduk sambil menundukkan mukanya
seolah-olah sama sekali tidak ingin mencampuri percakapan itu dan tidak ingin
mendengarkan pula.
Melihat ini,
Pangeran Nepal itu tertawa. “Lanjutkan, Tang-kongcu, dan jangan khawatir
terhadap Jenderal Kao karena dia pun menjadi korban kelaliman kaisar yang
menjadi boneka di bawah pengaruh pembesar-pembesar jahat.”
Tang Hun
menarik napas panjang. “Saya hanya mendengar desas-desus saja bahwa Gubernur
Ho-nan juga memperlihatkan sikap menentang kaisar dan banyak komandan di
perbatasan yang tidak merasa puas...”
“Berita itu
memang benar, Kongcu. Bahkan kami juga telah mengadakan persekutuan dengan
Gubernur Ho-nan.”
“Ahh, bagus
sekali...!”
“Kami hanya
menanti saat yang tepat saja untuk mulai dengan gerakan kami, gerakan serentak
dari segenap penjuru untuk menyerbu kota raja. Maka kalau engkau suka membantu,
Tang-kongcu, kami akan menerima dengan kedua tangan terbuka.”
“Tentu saja
saya akan membantu, akan tetapi… apakah imbalannya kelak?” Tang Hun adalah
seorang yang cerdik, maka melihat betapa pangeran ini sudah bersikap terbuka
kepadanya, dia maklum bahwa dia tidak akan dapat melepaskan diri dari pengaruh
pangeran ini. Setelah dipercaya mendengarkan pengakuan itu semua, tentu
Pangeran Nepal itu tidak akan mau melepaskan dia begitu saja dalam keadaan hidup,
kecuali kalau dia menyatakan kesanggupannya untuk membantu, akan tetapi dia pun
bersikap terbuka dan lebih dulu menanyakan imbalan atau ganjarannya kelak!
Koksu Nepal
mengangguk-angguk dan matanya melirik ke arah Tang Hun. “Hemmm, Tang-kongcu
memang seorang yang cerdik. Akan tetapi sekali lagi, jangan Kongcu mengharapkan
diri Puteri Bhutan, karena ketahuilah bahwa di samping beliau menjadi tamu
agung kami, juga Puteri Bhutan adalah seorang sandera yang tidak ternilai
harganya. Melalui Sang Puteri itu kami bermaksud menundukkan Bhutan. Maka,
siapa pun yang mengganggu sandera kami itu, berarti menghalangi perjuangan
kami.”
“Ahh, Koksu.
Setelah mendengar penjelasan tadi, saya sudah membuang pikiran untuk
mendapatkan Sang Puteri itu.”
“Bagus,
kalau begitu Tang-kongcu boleh melegakan hati. Jika perjuangan kita bersama ini
berhasil baik kelak, tentu kami tidak akan melupakan Kongcu dan andai kata
Kongcu menghendaki kedudukan, Kongcu tinggal memilih saja!” kata Pangeran Liong
Bian Cu dengan suara dan wajah serius.
Tang Hun
menjadi girang sekali dan menghaturkan terima kasih. Kemudian dia berkata,
“Setelah saya menjadi pembantu pergerakan Pangeran, tentu saja semua anak buah
Liong-sim-pang juga ikut pula membantu. Pangeran boleh mengandalkan mereka
sebab mereka adalah orang-orang yang telah dilatih dan masing-masing prajurit
mempunyai kepandaian silat yang lumayan. Akan tetapi tiga orang pembantu saya
ini harap diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian mereka.”
Pangeran
Nepal itu kini memandang kepada tiga orang kakek itu penuh selidik, lalu dia
berkata dengan suara dingin, “Sebagai pembantu-pembantu pribadi, harus dipilih
orang yang benar-benar lihai seperti Tang-kongcu sendiri. Segala orang yang
hanya memilki kepandaian biasa saja cukup bergabung di dalam pasukan
Liong-sim-pang sebagai komandan-komandan pasukan. Kami khawatir gagal kalau
dibantu oleh sembarangan orang saja.”
“Ehh, harap
Paduka jangan memandang rendah kepada mereka bertiga ini, Pangeran! Tingkat
kepandaian mereka tidak lebih rendah dari pada tingkat kemampuan saya sendiri!”
Tang Hun berseru dengan khawatir. Dia mengenal tiga orang pembantunya itu
sebagai orang-orang kang-ouw yang mempunyai keangkuhan hingga ucapan Pangeran
Nepal itu tentu saja amat merendahkan dan menghina.
Akan tetapi,
tiga orang pembantunya itu juga bukan orang-orang bodoh. Mereka adalah
orang-orang pengelana di dunia kang-ouw yang sudah makan asam garam di dunia
kang-ouw, sudah banyak pengalaman dan dapat menilai orang-orang pandai. Melihat
keadaan Pangeran Nepal itu dan para pembantunya, mereka maklum bahwa mereka
berada di goa naga dan biar pun mereka merasa dipandang rendah, namun mereka
tidak menjadi marah karena mereka tahu bahwa sang pangeran ini belum mengenal
mereka!
“Apa yang
dikatakan oleh Pangeran sungguh tepat. Pinto hanyalah seorang tosu miskin yang
tidak bisa apa-apa, hanya mengandalkan sebatang pedang untuk hidup, mana bisa
diandalkan?” Setelah berkata demikian, Hak Im Cu, tosu berwatak bengis bertubuh
tinggi kurus itu mencabut pedangnya. Melihat ini, Ban-hwa Sengjin dan Gitananda
memandang dengan mata memancarkan sinar aneh, akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi dan
Hek-tiauw Lo-mo, dua orang kakek iblis dari dunia hitam itu, hanya memandang
tak acuh.
“Yaaah,
pinto hanya dapat mengandalkan pedang untuk mencari sesuap nasi beserta
lauk-pauknya!”
Pada saat
itu, baru saja pelayan-pelayan datang menghidangkan nasi dan sayur mayur
memenuhi meja itu. Kini, begitu Hak Im Cu bangkit dan menggerakkan pedangnya,
nampak sinar berkelebatan dan seolah-olah ada bayangan puluhan batang pedang
menyambar-nyambar dan disusul dengan mulut tosu itu mengganyang semua masakan
yang ‘dipungut’ oleh ujung pedangnya!
Pedang-pedang
itu digunakan seperti sebatang sumpit, ditusukkan ke dalam mangkok mangkok dan
piring-piring yang ada masakannya, demikian cepatnya sehingga pedang berubah
menjadi bayangan puluhan batang dan biar pun mangkok yang berdiri di ujung,
yang agaknya menurut ukuran tak mungkin dapat dicapai pedang, dapat juga
dijumput! Tiba-tiba tosu itu menghentikan gerakannya dan sudah duduk kembali,
mulutnya masih mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya.
Ban-hwa
Sengjin mengangguk-angguk dan Pangeran Liong Bian Cu bertepuk tangan memuji.
“Bagus, kepandaian Totiang hebat sekali dan patut menjadi pembantu kami!”
Memang
demonstrasi tadi biar pun kelihatan sederhana namun sudah membuktikan bahwa
tosu ini memiliki ilmu pedang yang hebat dan ginkang yang luar biasa. Hanya
dengan ginkang luar biasa saja dia mampu bergerak sedemikian cepatnya sehingga
seolah-olah dia tidak meninggalkan tempatnya ketika dia bangkit berdiri,
padahal tanpa bergerak dari situ tidak akan mungkin dia dapat mengambil makanan
di ujung meja yang terletak agak jauh. Cara dia menusuk setiap makanan dengan
ujung pedang dan membawanya ke mulut, demikian cepat, dan tidak ada sedikit pun
kuah yang tercecer!
“Pinto Hak
Im Cu hanya seorang biasa dan terima kasih atas kepercayaan Paduka,” Hak Im Cu
berkata sambil mengangguk.
Pangeran
Liong Bian Cu tentu saja girang sekali melihat bahwa para pembantu Tang Hun itu
ternyata adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka dia menoleh kepada
dua orang kakek lain yang duduk di jajaran tamu itu. “Hak Im Cu totiang telah
memperlihatkan kepandaian dan mengagumkan sekali, harap Ji-wi Locianpwe jangan
sungkan dan suka pula memperlihatkan kepandaian untuk menggembirakan pertemuan
ini.”
Ban-kin-kwi
Kwan Ok yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam itu lalu bangkit berdiri
dan menjura ke arah Pangeran Nepal itu. “Saya Kwan Ok hanyalah seorang kasar
dan bodoh, hanya mengandalkan tenaga sehingga dijuluki orang Ban-kin-swi. Kalau
Paduka memperkenankan, saya akan coba mengangkat arca singa di sudut itu.”
Pangeran
Liong Bian Cu memandang dengan mata terbelalak. Arca singa di sudut itu adalah
arca yang sangat berat, dan untuk mengangkatnya dibutuhkan tenaga gabungan
paling sedikitnya enam orang laki-laki dewasa yang kuat. Maka dia tersenyum
sambil mengangguk dan kakek raksasa itu lalu menghampiri arca singa, diikuti
pandang mata semua orang. Hanya Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo yang cuma
melirik dan bersikap tidak peduli.
Setelah
menghampiri arca, Ban-kin-swi Kwan Ok menyingsingkan dengan bajunya, kemudian
membungkuk dan kedua tangannya memegang arca itu, digoyang-goyang seperti
hendak menaksir beratnya. Kemudian tiba-tiba dia membentak keras dan hanya
dengan tangan kanan memegang kaki belakang arca itu, dia mengangkat arca itu
naik ke atas kepalanya! Melihat ini, Pangeran Liong Bian Cu kagum dan tahulah
dia bahwa Ban-kin-swi benar-benar seorang yang memiliki tenaga gajah! Kakek itu
kini melempar lemparkan arca itu ke atas, dilempar, disambut lagi dan
mempermainkan benda berat itu seolah-olah baginya hanya merupakan sebuah bola
yang ringan saja. Kemudian dia menurunkan arca itu di tempatnya dan menghampiri
meja dengan napas dan muka biasa, hanya di dahinya terdapat sedikit peluh.
“Bagus...!
Kini Pangeran Liong Bian Cu berseru memuji dan merasa gembira. Senang juga
hatinya memperoleh pembantu-pembantu yang sehebat ini. “Kwan-lo enghiong patut
pula menjadi pembantu kami.” Pangeran ini lalu menoleh kepada kakek ketiga,
yaitu Hai-Liong-ong Ciok Gu To, kakek berkepala gundul botak yang bertubuh
gemuk pendek itu.
Kakek gundul
yang suka tertawa ini tersenyum lebar, kemudian memandang kepada Hwa-i-kongcu
Tang Hun. “Heh-heh-heh, saya hanya seorang tua bangka nelayan yang hanya pandai
berenang. Karena tak memiliki kepandaian apa-apa, saya mengandalkan nasib ke
tangan Tang-kongcu. Oleh karena itu sekarang pun saya hanya turut kepada
Tang-kongcu saja yang sudah menanam banyak budi dan kebaikan terhadap saya.
Tang-kongcu, saya menyerahkan urusan dengan Pangeran Liong ini kepada Kongcu
dan untuk itu, saya menghaturkan terima kasih dengan secawan arak!” Sambil
berkata demikian, kakek gundul gemuk ini lalu bangkit berdiri, menyambar guci
arak di atas meja dengan tangan kanan, menyambar cawan arak di depan Tang Hun
dengan tangan kiri, kemudian dia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan.
Semua orang
memandang dan Pangeran Liong terkejut melihat betapa arak di cawan sudah penuh,
namun masih dituang juga sehingga arak itu terus menaik melebihi bibir cawan.
Hebatnya, arak itu tidak sampai meluber tumpah! Kelebihan arak di atas bibir
cawan itu membulat seperti telur, bergoyang-goyang namun tidak tumpah. Kini
kakek itu menyerahkan cawan yang araknya terlalu penuh itu kepada Tang Hun.
“Ha-ha-ha,
Hai-liong-ong Ciok Gu To lo-enghiong sungguh membikin saya merasa amat sungkan
dan malu!” Tang Hun juga bangkit berdiri dan menerima cawan itu dengan tangan
kanan.
Semua orang
memandang dengan tegang karena maklum bahwa Ciok Gu To telah mempergunakan
sinkang yang amat kuat untuk ‘menahan’ sehingga arak yang terlalu penuh itu
tidak sampai meluber, maka kalau sampai cawan itu berganti tangan, tentu
araknya akan meluber tumpah dan mengotori lengan baju Tang Hun.
Akan tetapi,
sama sekali tidak terjadi hal seperti itu. Kalau Tang Hun menerima cawan itu
dan Ciok Gu To melepaskan tangannya, cawan itu berada tangan kanan Tang Hun dan
araknya sama sekali tidak tumpah bahkan kini Tang Hun sengaja memiringkan cawan
itu dan arak di dalam cawan tetap saja tidak tumpah! Padahal, arak itu sudah
hampir keluar dari dalam cawan, seperti telur direbus lunak akan tetapi
tertahan oleh sesuatu. Pertunjukan ini saja sudah membuktikan bahwa dalam hal
tenaga sinkang, pemuda pesolek ini bahkan lebih kuat dari pada Hai-liong-ong
Ciok Gu To!
“Biarlah
arak ini saya minum demi keselamatan Pangeran!” kata Tang Hun sambil
mengacungkan cawan, kemudian sekali tenggak arak itu lenyap ke dalam perutnya.
Liong Bian
Cu bertepuk tangan memuji. Hatinya girang bukan main dan dia merasa sudah puas
dengan semua demonstrasi ringan itu, karena sebagai seorang ahli dia pun sudah
dapat menilai bahwa empat orang itu jelas bukan orang-orang sembarangan dan
akan merupakan pembantu-pembantu yang amat baik. Maka dia lalu mempersilakan
mereka semua makan minum dalam suasana yang amat gembira.
Selagi
mereka berpesta gembira, dan hanya Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo saja yang
bersikap biasa dan sama sekali tidak menghormati tamu, juga Jenderal Kao Liang
yang makan minum dengan sikap tak peduli, muncullah kepala pengawal yang
berlutut dan melapor kepada Pangeran Liong bahwa rombongan orang Bhutan yang
dipimpin oleh Panglima Mohinta mohon menghadap.
Pangeran
Liong Bian Cu mengerutkan alisnya, saling memandang dengan Ban-hwa Sengjin,
kemudian dia berkata kepada Hek-hwa Lo-kwi dan Hek-tiauw Lo-mo.
“Harap Ji-wi
Locianpwe suka menemani para tamu bersama Jenderal Kao Liang. Kami bersama
Koksu ada kepentingan lain untuk menerima tamu.”
Hek-hwa
Lo-kwi dan Hek-tiauw Lomo mengangguk. Jenderal Kao Liang diam saja dan Liong
Bian Cu lalu bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu, didampingi koksu
yang dikawal oleh Gitananda yang setia.
Panglima
muda dari Bhutan, Mohinta itu, telah menanti di ruangan tamu bersama tujuh
orang pengikutnya yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi
dari Bhutan. Bagaimana tokoh Bhutan muda itu dapat tiba di tempat ini?
Seperti kita
ketahui, setelah Syanti Dewi berhasil melarikan diri dari Bhutan bersama Siang
In, panglima muda yang mencinta Syanti Dewi dan mengharapkan puteri itu menjadi
isterinya ini segera melakukan pengejaran dan dia menyebar banyak sekali
penyelidik. Dia melakukan pengejaran dengan para penyelidiknya menuju ke timur
dan dia selalu didampingi oleh tujuh orang pembantu yang semuanya memiliki
kepandaian cukup tinggi itu untuk mencari jejak Syanti Dewi.
Seperti yang
dituturkan oleh Cui Ma, bekas pelayan Ang Siok Bi ibu dari Ang Tek Hoat kepada
Kian Bu dan Hwee Li, pelayan yang menjadi gila karena ketakutan dan karena duka
itu, dalam pengejarannya mencari jejak Syanti Dewi, akhirnya Mohinta malah
menemukan tempat sembunyi Ang Siok Bi. Mengingat bahwa Ang Siok Bi adalah ibu
Ang Tek Hoat yang dibencinya, maka Mohinta lalu turun tangan membunuh wanita
yang malang itu.
Dia terus
melakukan penyelidikan, mendengar bahwa Syanti Dewi terjatuh ke tangan
Hwa-i-kongcu Tang Hun ketua Liong-sim-pang di Puncak Naga Api. Dia menyusul ke
sana, akan tetapi terlambat karena mendengar bahwa puteri yang dicarinya itu
telah diculik orang lagi dari tempat itu. Mohinta mencari terus, tanpa mengenal
lelah. Dia bukan hanya mencinta puteri yang memang amat cantik jelita itu, akan
tetapi di samping cintanya ini terdapat pula keinginan yang mendorong dia
berusaha memperisteri Syanti Dewi, yaitu kalau dia dapat menjadi mantu raja,
tentu kelak dia mempunyai harapan besar untuk menjadi Raja Bhutan! Ambisi
inilah yang membuat dia tidak mengenal lelah mencari Syanti Dewi dan tidak akan
berhenti sebelum puteri itu terdapat olehnya.
Setelah
mencari-cari siang malam dan mengerahkan seluruh pembantunya yang banyak
tersebar di daerah Ho-pei dan Ho-nan, di mana untuk terakhir kalinya dia
mendengar akan jejak Syanti Dewi, akhirnya dia mendengar bahwa puteri itu telah
tertawan oleh Pangeran Bharuhendra dari Nepal! Berita ini mengejutkan hati
Mohinta! Tertawannya Puteri Syanti Dewi oleh pangeran cucu Raja Nepal itu
benar-benar amat mengejutkan dan mengkhawatirkan hatinya.
Dia maklum
siapa adanya Pangeran Bharuhendra yang juga bernama Liong Bian Cu itu, seorang
Pangeran Nepal yang berilmu tinggi dan berkuasa besar. Bahkan dia mendengar
bahwa pangeran itu ditemani oleh guru negara, yaitu pendeta Lakshapadma yang
juga disebut Ban-hwa Sengjin, bahkan kabarnya Gitananda, pendeta yang amat
lihai itu pun menemani Sang Pangeran Nepal. Hilanglah harapannya untuk merampas
Syanti Dewi dengan menggunakan kekerasan.
Akan tetapi
Mohinta adalah seorang muda yang cerdik dan dia segera memperoleh akal yang
amat baik, bukan hanya untuk mendapatkan kembali puteri cantik yang sudah
membuatnya tergila-gila itu, akan tetapi bahkan mendapatkan jalan untuk
menguasai Bhutan mengandalkan bantuan Nepal yang selama ini menjadi musuh
Bhutan!
Ketika
Pangeran Bharuhendra yang kita kenal sebagai Liang Bian Cu itu muncul bersama
pendeta Lakshapadma yaitu Ban-hwa Sengjin, Koksu Nepal dan diikuti oleh
Gitananda, Mohinta dan tujuh orang pengikutnya cepat menjatuhkan diri berlutut
dan memberi hormat. Kemudian Mohinta bangkit sebagai seorang militer dan
berkata, “Harap Paduka sudi memaafkan kalau hamba dan para pengikut berani
mengganggu Paduka di tengah malam begini.”
Pangeran
Liong Bian Cu memandang dengan penuh perhatian, lalu berkata, “Duduklah dan
ceritakan siapa engkau, serta apa pula yang menjadi maksudmu datang kepadaku.
Harap bicara secara jujur dan terbuka karena kalau tidak demikian, saat ini
juga kami akan menyuruh pengawal membunuh kalian.”
Mohinta lalu
menceritakan niatnya, yaitu bahwa dia disuruh oleh Raja Bhutan untuk mencari
Syanti Dewi dan bahwa dia tahu di mana adanya puteri itu. Akan tetapi dia siap
untuk membantu Pangeran Nepal untuk menguasai Bhutan dengan menggunakan Puteri
Syanti Dewi sebagai sandera.
“Dengan
adanya puteri itu di tangan kita, Paduka tidak perlu mengerahkan bala tentara
untuk menyerbu Bhutan. Cukup hamba yang akan menggulingkan raja dengan bantuan
Paduka dan selanjutnya, hamba yang tanggung bahwa Bhutan akan tunduk terhadap
Nepal dan memenuhi segala tuntutan dan perintah dari Nepal.” Demikian antara
lain Mohinta berkata.
Semua
penuturannya didengarkan oleh Pangeran Liong Bian Cu dan Ban-hwa Sengjin.
Kemudian Koksu Nepal itu berkata dengan suara tenang, dalam bahasa Nepal yang
dimengerti oleh Mohinta karena ada persamaan bahasa antara mereka.
“Mohinta,
engkau sudah bersiap untuk mengkhianati rajamu sendiri! Engkau sudah berniat
hendak membantu kami yang selama ini dianggap musuh oleh Kerajaan Bhutan. Tentu
ada pamrih tertentu tersembunyi di dalam pengkhianatanmu ini. Apakah pamrih
itu? Apakah yang kau inginkan dalam persekutuan antara engkau dan kami?”
Wajah Mohinta
menjadi merah, jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi dia maklum akan
kelihaian dan kecerdikan Koksu Nepal itu, maka dia tahu pula bahwa membohongi
terhadap mereka amatlah berbahaya. Menghadapi orang-orang Nepal yang amat kuat
ini, jalan satu-satunya hanyalah mendekati, bukan memusuhi.
“Maaf,
Koksu. Sudah tentu dalam setiap tindakan terdapat pamrih yang mendorongnya.
Benarlah wawasan Koksu bahwa ada pamrih dalam hati saya jika saya menawarkan
diri untuk membantu Nepal menggulingkan Raja Bhutan. Pertama, saya ingin
memperoleh Puteri Syanti Dewi sebagai isteri saya kalau kita berhasil. Kedua,
saya mengharapkan kebijaksanaan dan ganjaran dari Raja Nepal agar saya dapat
menggantikan kedudukan raja di Bhutan.”
Pangeran
Liong Bian Cu tersenyum. “Hemmm, besar sekali ambisimu, orang muda. Lalu, untuk
semua anugerah yang kau harapkan itu, apa saja yang dapat kau berikan kepada
kami?”
“Ayah hamba
adalah kepala panglima di Bhutan. Biar pun ayah hamba tidak akan mencampuri
urusan pemberontakan, bahkan mungkin menentang, akan tetapi hamba dapat
menguasai sebagian besar dari bala tentara yang dipimpin oleh ayah. Dan hamba
adalah seorang kepercayaan dari raja, maka kalau hamba yang berkuasa di Bhutan,
tentu hamba dapat membantu Paduka untuk menghadapi Kaisar Ceng, Tibet, dan lain
lain.”
Tiba-tiba
Ban-hwa Sengjin mengangkat tangan memberi isyarat kepada mereka semua untuk
diam, lalu sekali berkelebat kakek ini telah meloncat ke jendela, membuka daun
jendela. Akan tetapi tidak ada siapa pun di balik jendela itu, maka dia lalu
menutupkan lagi daun jendela dan kembali ke ruangan.
“Aman,”
katanya, “Tadinya saya kira mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.”
Mereka lalu
melanjutkan perundingan. Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Hwee Li
berbisik-bisik di dekat telinga Puteri Syanti Dewi di dalam kamar puteri itu
dan Syanti Dewi mendengarkan dengan wajah pucat. Tadi memang Hwee Li yang
mencuri dengar ketika Liong Bian Cu mengadakan perundingan dengan Mohinta, dan
karena dara ini mengerti bahasa mereka, maka dia dapat mendengar kesanggupan Mohinta
untuk menggulingkan Raja Bhutan dan bersekongkol dengan Pangeran Nepal itu.
Mendengar penuturan yang dibisikkan oleh Hwee Li, Syanti Dewi terkejut dan
marah sekali. Akan tetapi apa yang kini dapat dilakukannya terhadap Mohinta?
Dia sendiri berada di situ sebagai seorang tawanan.
“Bibi Syanti
Dewi, apakah kau ingin agar aku memukul remuk kepala Mohinta itu?” tanya Hwee
Li ketika dia melihat wajah puteri itu pucat dan tubuhnya agak menggigil.
“Jangan,
Hwee Li. Hal itu berbahaya sekali. Kau sendiri seorang tawanan.”
“Aku yakin
mudah saja bagiku untuk membunuh pengkhianat itu, Bibi. Dan kalau Liong Bian Cu
menjadi marah kepadaku, biarlah, malah kebetulan, biar dia benci padaku dan
mengurungkan niatnya yang gila untuk menikah dengan aku!”
Syanti Dewi merangkulnya.
“Tenanglah, Hwee Li. Kita semua berada di dalam keadaan yang amat gawat. Lihat
betapa Jenderal Kao Liang sendiri tidak berdaya, keluarganya masih ditawan di
sini semua. Lihat betapa benteng ini dibuat amat kuatnya dan Liong Bian Cu
mengumpulkan banyak orang pandai. Bahkan orang-orang Liong-sim-pang itu pun
menjadi sahabat mereka! Akan ada peristiwa besar, kegegeran besar dan ancaman
berbahaya bagi kerajaan bangsamu. Jangan pikirkan urusanku, urusan kecil saja.
Baik sekali engkau telah mendengarkan tadi sehingga aku tahu akan isi perut
pengkhianat Mohinta itu. Kalau tiba saatnya Bhutan terancam, aku dapat
bertindak dengan tepat. Yang penting, kita harus dapat lolos dari sini, Hwee
Lee, itulah yang penting, bukan membunuh orang rendah macam Mohinta itu.”
Hwee Li
mengangguk dan berbisik, “Ahhh, kalau tidak terjadi sesuatu yang mukjijat,
bagaimana mungkin kita dapat lolos? Penjagaan terlampau ketat, orang-orang
sakti terlampau banyak di sini dan setelah benteng ini selesai dibangun oleh
Jenderal Kao yang amat ahli dalam hal itu, lenyaplah harapan kita untuk dapat
lolos dan keluar dari dalam benteng.”
“Kita tidak
boleh putus harapan. Banyak sekali teman-teman kita yang gagah perkasa di luar
benteng. Aku yakin bahwa sewaktu-waktu mereka tentu akan muncul, seperti pada
waktu yang sudah-sudah. Mereka tidak akan membiarkan kita celaka.”
“Hemmm,
mereka siapa?” tanya Hwee Li.
“Pertama-tama
tentulah Siang In yang cantik dan cerdik, dan... Tek Hoat...“
“Dan Siluman
Kecil! Juga Suma Kian Lee! Ah, kenapa aku lupa bahwa mereka itu tentu tidak
akan diam saja melihat kita ditawan orang-orang jahat?”
“Dan di sana
masih ada pula adikku, Candra Dewi atau Ceng Ceng, dan suaminya yang amat
sakti...”
“Ahh, kenapa
aku pun lupa kepada Subo dan Suhu? Hi-hik, betapa tolol aku. Tentu saja Subo
dan Suhu akan dengan mudah mengobrak-obrik mereka semua ini!”
“Dan masih
ada lagi Bibi Puteri Milana! Dan pendekar sakti Paman Gak Bun Beng, dan
keluarga Pulau Es...“
“Wah-wah,
kita mengharap terlampau jauh dan terlalu banyak, Bibi. Bagaimana kalau tidak
ada seorang pun di antara mereka yang mempedulikan kita dan tidak ada yang
datang menolong?”
“Mustahil...
akan tetapi... setidaknya harapan itu menghibur hati kita...,“ jawab Syanti
Dewi sambil menarik napas panjang lalu duduk termenung, ditemani oleh Hwee Li
yang di tempat itu menjadi temannya yang paling baik, paling akrab sehingga
dapat saling menghibur.
Memang benar
seperti yang dikatakan oleh dua orang dara itu. Setelah Liong-sim-pang
bersekutu dengan Pangeran Liong Bian Cu, pembangunan benteng itu menjadi makin
lancar karena anak buah Liong-sim-pang ikut dikerahkan pula untuk membantunya.
Dan juga Hwa-i-kongcu Tang Hun tidak sayang-sayang atau segan-segan untuk membantu
dengan keuangan, membeli bahan-bahan bangunan secara royal.
Mohinta dan
para pengawalnya juga tinggal di benteng lembah itu, akan tetapi dia selalu
bersembunyi dan tidak mau bertemu dengan Syanti Dewi karena dia menganggap
belum waktunya untuk bicara dengan puteri itu, sungguh pun hatinya merasa amat
rindu terhadap dara yang dianggapnya pasti akan menjadi isterinya itu.
Rencananya bersama Pangeran Nepal untuk memberontak dan menggulingkan Raja
Bhutan, yaitu ayah dari Puteri Syanti Dewi, membuat dia merasa tidak enak untuk
bertemu dan bicara dengan Syanti Dewi karena puteri yang menjadi tawanan itu
tentu akan merasa heran dan akan mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang
sukar dijawabnya, di antaranya mengapa dia justeru berada di situ dan menjadi
teman dari Pangeran Nepal dan yang menawan puteri itu.
Hwee Li
adalah seorang dara yang amat cerdik. Setelah usahanya yang gagal untuk
membunuh Liong Bian Cu, dan melihat betapa pangeran itu tidak mendendam dan
tetap mencintanya, dia tahu bahwa usahanya telah mencapai puncak dan jalan
buntu. Dia tidak boleh mencoba lagi karena kalau sampai dia menimbulkan rasa
benci dalam hati pangeran itu, dia tidak akan tertolong lagi. Kalau hanya
dibunuh saja bukan apa-apa baginya, tetapi dia merasa ngeri kalau membayangkan
betapa dengan kekuasaannya, pangeran itu bisa saja memaksanya dan
memperkosanya.
Dia kini
mengandalkan cinta kasih pangeran itu untuk berada dalam keadaan aman dan tidak
terancam keselamatannya. Dia yakin bahwa karena cintanya, pangeran itu tidak akan
memaksanya menyerahkan diri sebelum menikah, dan sebagai seorang pangeran
negara besar, tentu pangeran itu akan melaksanakan pernikahannya di negerinya,
di Nepal. Maka masih banyak waktu baginya dan masih banyak harapan untuk
meloloskan diri, asal dia pandai membawa diri dan tidak memancing kebencian
pangeran itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak boleh bersikap terlalu manis
karena kalau sampai pangeran itu memuncak rindu dan birahinya terhadap dia,
bisa berabe dan berbahaya!
Karena sikap
Hwee Li yang tidak memberontak lagi, juga Syanti Dewi bersikap tenang dan
sabar, maka kini mereka diperbolehkan untuk mengunjungi keluarga Jenderal Kao
Liang di dalam rumah tahanan mereka. Pertemuan yang amat akrab dan mengharukan
dan kini pertemuan-pertemuan itu merupakan hiburan besar bagi kedua pihak.
Kao Kok
Tiong sering kali nampak termenung di rumah tahanan itu, diam-diam dia amat
mengkhawatirkan keadaan ayahnya. Jenderal ini tidak boleh menemui keluarganya,
hanya diperbolehkan melihat dari jauh bahwa keluarganya selamat dan
diperlakukan dengan baik. Kok Tiong maklum betapa hati ayahnya tersiksa hebat.
Ayahnya terpaksa membantu pemberontak! Demi keselamatan keluarganya!
Dia tahu
bahwa andai kata ayahnya belum dipecat dan kini masih menjadi Panglima Kerajaan
Ceng, sampai mati pun ayahnya tidak akan tunduk kepada pemberontak. Biar andai
kata seluruh keluarganya disiksa dan dibunuh di depan hidungnya, ayahnya pasti
takkan sudi untuk membantu pemberontak. Dan sekarang, karena dia bukan Panglima
Ceng lagi, dia terpaksa tunduk, untuk menyelamatkan keluarganya, akan tetapi
tentu saja dengan batin tersiksa. Kok Tiong sendiri sangat dicurigai oleh
Pangeran Nepal sehingga dia dimasukkan dalam rumah tahanan keluarganya, tidak
diperkenankan keluar dan bicara dengan ayahnya.
Keadaan
seperti itu lewat sampai berbulan-bulan dan benteng besar yang dibangun atas
petunjuk Jenderal Kao Liang itu, yang dikerjakan siang malam, mulai mendekati
kesempurnaannya. Hati para tawanan itu jadi semakin gelisah, harapan mereka
untuk memperoleh pertolongan dari luar semakin menipis, sungguh pun belum habis
sama sekali. Selama waktu-waktu itu, untuk menghibur diri, Syanti Dewi
memperdalam ilmu silatnya dari Hwee Li, sebaliknya, Hwee Li mempelajari banyak
hal dari sang puteri, dari menyulam, melukis, menari dan bernyanyi.
***************
Pelayan
rumah penginapan itu buruk sekali mukanya. Tek Hoat sendiri sampai merasa heran
dan kasihan mengapa ada seorang pria demikian buruk mukanya, rusak oleh
penyakit cacar. Selain muka itu hitam dan bopeng, berlubang-lubang seperti
kulit pohon dimakan rayap, juga matanya besar sebelah, hidungnya berbentuk
besar dan melengkung, bibirnya tebal sekali dan basah, dahinya sempit seperti
dahi monyet. Pendeknya, muka yang sama sekali tidak ada manisnya, biar pun tidak
menakutkan, namun sukar menimbulkan rasa suka di hati, apa lagi karena sepasang
mata itu mempunyai sinar yang liar seperti mata seekor anjing kelaparan.
Akan tetapi
pelayan itu ternyata ramah sekali. Setelah Tek Hoat membayar uang sewa kamar di
meja pengurus, peraturan yang harus ditaati semua tamu, yaitu pembayaran di
muka, pelayan itu lalu mendapat tugas untuk mengantar Tek Hoat di kamar yang
disewanya dan melayaninya. Setelah pelayan itu sambil menyeringai dan
membungkuk bungkuk mempersilakan dia mengikutinya, baru diketahui oleh Tek Hoat
bahwa pelayan itu pincang kakinya dan ketika dia memperhatikan, ternyata kaki
kirinya cacat, ada luka yang sudah mulai mengering di dekat tumit sehingga dia
tidak dapat memakai sepatu, melainkan memakai sandal kayu yang mengeluarkan
bunyi teklak-teklik ketika dia berjalan timpang.
“Heh-heh, di
sinilah kamar Kongcu. Sunyi, karena kebetulan malam ini kurang tamu, Kongcu.
Lihat, kamar di kanan kiri Kongcu juga kosong, jadi... heh-heh, aman deh!”
Tek Hoat
yang memasuki kamar itu, yaitu sebuah kamar sederhana dengan sebuah pembaringan
cukup besar untuk seorang saja, sebuah meja dan tempat air untuk cuci muka,
cepat menengok dan memandang muka buruk itu ketika mendengar ucapan itu.
“Cukup aman?
Apa pula maksudmu?” tanyanya sambil menaksir usia orang. Sukar menaksir usia
wajah yang buruk itu. Mungkin tiga puluh, mungkin pula sudah lima puluh tahun
lebih.
“Heh-heh-heh,
aman, tidak akan ada yang mengganggu atau mendengar suara dari dalam kamar
ini.”
“Suara?
Suara apa yang kau maksudkan?” Tek Hoat bertanya lagi sambil mengerutkan
alisnya.
Kembali
orang itu menyeringai, lalu mengambil baskom tempat air yang berwarna biru itu.
Dia berjalan ke pintu membawa baskom itu, lalu menoleh dan menyeringai sambil tertawa.
“Tentu saja orang yang berpacaran mengeluarkan suara, bukan? Dan tentu akan
merasa sungkan kalau di sebelah ada orang lain yang ikut mendengarkan.”
Tek Hoat
hendak membantah, akan tetapi pelayan itu sudah keluar sambil berkata, “Saya
akan mengambilkan air hangat untuk Kongcu.”
Tek Hoat
menjatuhkan diri duduk di atas pembaringan dan termenung. Hatinya masih terasa
kesal dan mengkal karena sampai saat itu dia belum berhasil menemukan jejak
kekasihnya, yaitu Syanti Dewi. Makin terasalah kini betapa dia amat mencinta
Syanti Dewi, betapa sebetulnya dia hanya mempunyai semangat hidup karena puteri
itulah.
“Heh-heh-heh...!”
Suara ketawa yang jelek ini menggugahnya dari lamunan dan pelayan itu sudah
masuk lagi ke kamarnya membawa sebaskom air yang masih mengepulkan uap.
Melihat air
ini, Tek Hoat segera menghampiri baskom yang tadi telah diletakkan di atas
bangku, lalu mengeluarkan sebuah saputangan lebar dari buntalannya dan mencuci
mukanya. Terasa segar sekali air hangat itu ketika dia menggosok-gosokkan air
di muka dan lehernya. Lenyaplah semua kemuraman yang amat mengganggunya tadi.
“Heh-heh-heh,
Kongcu tampan sekali, sungguh cocok kalau berpacaran...“
Tek Hoat
mengusap mukanya dengan keras, menggosok-gosok kulit mukanya sampai berwarna
merah sekali. Setelah pikirannya kosong, setelah semua kenangan tentang Syanti
Dewi lenyap oleh air panas dan oleh gosokan keras pada mukanya, dia merasa
betapa segala sesuatu yang dihadapinya menjadi lebih menarik. Dia biasanya
tidak pedulian, tidak mengacuhkan segala hal dan orang lain. Akan tetapi baru
dia merasa betapa pelayan ini amat menarik hatinya dan menimbulkan ingin
tahunya.
“Paman
pelayan, jangan kau bicara yang bukan-bukan tentang suara pacaran dan lain lain
itu. Aku berada di dalam kamar ini sendirian tanpa kawan.”
“Heh-heh,
karena itulah Kongcu, maka saya menganggap bahwa sayang sekali seorang pemuda
tampan seperti Kongcu sendirian saja di kamar ini untuk melewatkan malam yang
dingin.”
“Hemmm, aku
memang sendirian. Habis bagaimana?”
“Ahhh, si
Teratai Emas itu tentu merupakan lawan dan kawan yang amat cocok bagi Kongcu!
Cantik jelita dan harum dia! Dan tidak sembarangan mau diajak orang, akan
tetapi kalau Kongcu yang mengajaknya... hemmm, ditanggung puas!”
Sepasang
mata Tek Hoat terbelalak. “Apa maksudmu?”
Dia amat
rindu kepada Syanti Dewi dan sekarang ditawari wanita untuk menemaninya!
Padahal, bujukan dan rayuan seorang wanita cantik seperti Mauw Siauw Mo-li itu
pun ditolaknya mentah-mentah!
“Maksud saya?
Heh-heh, maksud saya... Kongcu muda dan tampan, malam ini di kamar sendiri, dan
kamar-kamar di sekitar kamar ini kosong... heh-heh, dan Teratai Emas itu
sungguh cantik... tentu akan mesra sekali...“
Tek Hoat
sekarang mengerti dan dia cepat memberikan beberapa potong uang kepada pelayan
itu. “Pergilah!” katanya singkat karena dia tidak ingin diganggu lagi.
Dia tidak
melihat betapa pelayan buruk rupa itu memandang ke arah tangannya yang menerima
uang itu dengan girang sekali, mengangguk-angguk lalu pergi dari situ. Tek Hoat
lalu menutupkan daun pintunya. Tubuhnya terasa enak setelah dia mencuci muka,
leher, kedua lengan dengan dengan air hangat. Dia sudah makan tadi, dan
tubuhnya lelah. Kini terasa segar dan nyaman, membuat dia merasa mengantuk
sekali.
Direbahkannya
tubuhnya di atas pembaringan, terlentang dan menerawang langit-langit kamar itu
yang berwarna putih. Wajah Syanti Dewi membayang! Makin dipandang, makin
rindulah hatinya. Cuaca mulai gelap karena matahari mulai tenggelam sehingga
sinarnya tidak menerangi kamar itu melalui lubang jendela. Akan tetapi dia
merasa malas untuk bangkit dan menyalakan lilin, membiarkan saja kamar itu
menjadi makin remang-remang gelap.
“Tok! Tok!
Tok!”
Tek Hoat
tergugah lagi dari keadaan yang hampir pulas. Sialan, pikirnya, siapa lagi yang
mengganggu?
“Siapa?”
tanyanya, memandang ke arah daun pintu yang hampir tidak kelihatan karena kamar
itu sudah mulai gelap.
“Saya,
Kongcu...“
Si pelayan
buruk rupa sialan lagi!
“Ada apa
lagi?”
“Ssssst,
penting Kongcu. Sudah datang...!”
Tek Hoat
yang masih setengah sadar setengah layap-layap itu tidak ingat apa-apa lagi
tentang sore tadi. Dia merasa heran dan ingin tahu. “Masuklah, daun pintunya
tidak terpalang,” katanya.
Bunyi daun
pintu berderit ketika dibuka dari luar. Nampak dua sosok tubuh sebagai bayangan
memasuki kamar itu. Yang satu adalah bayangan tubuh pelayan muka buruk, dan
yang satu lagi bayangan tubuh yang kecil ramping. Tek Hoat menjadi curiga dan
biar pun dia masih rebah terlentang, namun dia siap siaga.
“Aih, begini
gelapnya, Kongcu. Kenapa lilin yang tersedia di atas meja tidak dinyalakan?
Biar saya nyalakan!” Pelayan itu menyalakan api dan lilin dinyalakan. Cuaca
remang-remang mulai terusir dan dengan mata terbelalak Tek Hoat memandang dan
melihat bahwa orang yang kedua itu adalah seorang wanita muda yang amat cantik!
Pantas saja ada bau harum ketika pintu kamarnya tadi dibuka.
“Kongcu,
inilah dia, Kim Lian (Teratai Emas)... heh-heh!” Pelayan itu bergegas keluar
dan menutupkan daun pintu dari luar.
Wanita itu
mengambil tempat lilin, menaruhnya di sudut meja dekat pembaringan, lalu
memutar tubuh menghadapi Tek Hoat. Begitu dia melihat wajah Tek Hoat, sepasang
matanya yang indah itu terbelalak dan dia cepat menghampiri.
“Aihhhhh...
kiranya Kongcu benar-benar tampan sekali...! Girang hatiku mempercayai omongan
A-khiu bahwa Kongcu amat tampan!” Wanita itu kemudian duduk di tepi
pembaringan, memandang wajah Tek Hoat, lalu tubuh atas pemuda itu yang
telanjang, kemudian sambil tersenyum wanita itu menjatuhkan dirinya di atas
dada Tek Hoat dan mendekatkan mulutnya hendak mencium bibir pemuda itu. Bau
harum menyesak hidung pemuda itu.
Tek Hoat
miringkan mukanya dan mendorong kedua pundak wanita itu sehingga hampir saja
gadis itu terjengkang. “Perempuan tak tahu malu! Perempuan tak mengenal
susila!” bentaknya marah sambil menyambar bajunya, terus dipakainya baju itu
dan dia loncat turun ke atas lantai, pandang matanya keras dan muak.
Gadis itu
menundukkan mukanya. Seorang gadis yang cantik sekali, usianya paling banyak
dua puluh tahun, rambutnya digelung indah mengkilap, terhias bunga teratai dari
emas, tubuhnya ramping dan lemah gemulai gerak-geriknya, wajah dan tubuh yang
terpelihara baik-baik, terbungkus pakaian dari sutera merah muda yang
berkembang, menambah kecantikannya. Kemudian dia mengangkat mukanya yang
menjadi merah.
“Kongcu,
perlukah seorang wanita seperti saya untuk merasa malu? Haruskah seorang wanita
seperti saya untuk mengenal susila?” tanyanya dengan suara halus bernada
menegur sehingga Tek Hoat tertegun. Akan tetapi lalu pemuda ini dapat menduga
ke adaan wanita itu, maka dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil
bersungut sungut.
“Huh,
kiranya seorang pelacur! Sampah masyarakat!”
Sepasang mata
yang bening indah itu mengeluarkan sinar. Tarikan muka yang manis itu
membayangkan rasa penasaran seperti orang yang tersinggung kehormatannya, dan
mulut yang bibirnya berbentuk indah itu berkata, suaranya halus tapi terdengar
dingin, “Kongcu, saya memang seorang pelacur, akan tetapi bukan sampah
masyarakat.”
Hati Tek
Hoat mulai diserang kemurungan lagi dan dia menjadi kesal. Dengan kasar dia
menoleh dan memandang wajah cantik itu, kecantikan yang makin membuat dia marah
karena wajah cantik itu ternyata diobral kepada siapa saja yang mampu membayar!
“Bukan
sampah masyarakat? Huh, perbuatanmu sangat kotor dan hina! Engkau adalah
perempuan perusak rumah tangga, perusak pria, penyebar penyakit, engkau adalah
perempuan terkutuk, lebih kotor dari pada sampah!”
Sepasang
mata itu masih terbelalak, akan tetapi perlahan-lahan tanpa berkedip, dari
bawah mata itu menetes-netes turun beberapa butir air mata yang berkilauan
tertimpa cahaya api lilin, menimpa sepasang pipi yang halus kemerahan dan
mengalir ke bawah. Mata itu masih terbelalak menentang wajah Tek Hoat.
“Kongcu...
engkau boleh tidak senang kepada saya... akan tetapi... mengapa engkau menghina
saya? Apakah dosaku kepadamu? Apakah salahku kepada kaum pria? Hak apakah yang
ada pada Kongcu untuk menghina saya seperti itu, untuk menusuk-nusuk perasaan
hati saya dengan kata-kata keji itu?”
Tek Hoat
menjadi bengong. Wajah yang cantik itu tetap halus, mengingatkan dia akan wajah
lembut Syanti Dewi! Betapa miripnya dara ini dengan Syanti Dewi! Sama muda,
sama cantik, dan apakah bedanya? Mungkin berbeda karena Syanti Dewi adalah
puteri raja dan seorang wanita bangsawan, apa lagi wanita yang amat dicintanya.
Sedangkan wanita ini adalah seorang yang pekerjaannya sebagai pelacur. Namun
keduanya juga wanita, juga perempuan. Ada perasaan malu dan menyesal mengapa
dia tadi bersikap demikian menghina. Melihat wanita ini menangis tanpa
dibuat-buat, sepasang mata yang terbelalak seperti mata seekor kelinci yang tak
berdaya itu, tiba-tiba saja Tek Hoat merasa kasihan sekali. Di depannya ini
adalah seorang wanita! Sama dengan Syanti Dewi, sama dengan mendiang ibunya,
seorang manusia!
“Ehhh...
hemmm... maafkan aku...“
Pelacur itu
mencoba untuk tersenyum sambil menghapus air matanya dengan sehelai saputangan,
lalu dia berkata, “Tidak apa-apa, Kongcu. Aku sudah biasa dihina orang, dan
agaknya aku dapat mengerti bahwa tentu Kongcu pernah dibikin sakit hati oleh
wanita, oleh pelacur, maka sekarang menumpahkan kemarahan dan dendam Kongcu
kepada diriku.”
Tek Hoat
menggeleng kepala dan menarik napas panjang, menunduk sebentar lalu mengangkat
kembali mukanya, akan tetapi dia tidak memandang kepada wanita itu. Dia
teringat akan Siluman Kucing dan agaknya iblis betina itulah yang membuat dia
tadi marah dan menghina wanita ini. Iblis betina itu lebih jahat lagi dari pada
pelacur ini! Lalu dia memandang wanita itu yang juga memandangnya. Harus
diakuinya bahwa wanita muda ini amat cantik, tidak kalah cantiknya kalau
dibandingkan dengan Siluman Kucing.
“Namamu Kim
Lian?” akhirnya dia bertanya.
Wanita itu
mengangguk. “Nama asliku telah kupendam di antara kehinaan yang sudah menguruk
diriku, Kongcu. Karena aku suka memakai hiasan teratai emas ini, maka aku
dipanggil Kim Lian oleh mereka.” Lalu dia menunduk. Dagunya nampak meruncing
halus kalau dia menunduk, manis sekali.
“Kim Lian,
engkau menjadi pelacur tentu karena ingin memperoleh uang, bukan?”
“Satu di
antaranya alasan itulah.”
Tek Hoat
mengeluarkan beberapa keping uang perak dari buntalannya, kemudian melemparkan
perak itu di atas pembaringan dekat pelacur itu. “Nah, ambillah uang ini
sebagai pembayaran biar pun aku tidak akan menyentuhmu.”
Kim Lian
kelihatan terkejut, menoleh kepada uang itu kemudian kepada Tek Hoat, lalu
kepada uang itu lagi dan kepada Tek Hoat. Air matanya makin banyak bercucuran,
akhirnya dia turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri, berlutut di depan
kaki pemuda itu sambil menangis!
“Kongcu...
engkau menghancurkan hatiku dengan sikap ini... lebih baik kau maki saja
aku..., Kongcu... kau maki dan pukul aku saja...“
Tek Hoat
makin bengong. Dia merasa heran sekali mengapa hatinya tersentuh oleh sikap
wanita ini. Seorang pelacur! Mungkin karena dia merasa yakin bahwa pelacur yang
satu ini tidak berpura-pura dalam semua sikapnya! Ketika memuji ketampanannya
tadi, ketika marah dan ketika berduka sekarang ini, semua adalah wajar dan
tidak dibuat-buat. Itulah mungkin yang menggerakkan hatinya sehingga dia merasa
kasihan sekali.
“Bangkitlah!”
katanya sambil memegang kedua pundak pelacur itu, menariknya berdiri.
Pelacur itu
bangkit berdiri dan Tek Hoat juga turut berdiri. Pelacur itu hanya setinggi
dagunya. Mereka saling pandang. Pelacur itu masih terisak ketika memandangnya.
“Sudah,
jangan menangis, aku hanya ingin bertanya-tanya, dan kuharap engkau suka
menjawabnya. Uang itu sebagai pembayaran jawaban-jawabanmu.”
“Kongcu...
Kongcu tidak memandangku dengan hina lagi?” Wanita itu terisak.
Tek Hoat
merasa makin tertusuk. Betapa tidak berdayanya wanita ini, berdiri sendiri di
dunia yang kejam, tidak ada yang melindunginya dari penghinaan semua orang!
Hatinya merasa terharu dan dia mendekatkan mukanya, mencium dahi perempuan itu,
ciuman karena iba, bukan ciuman sayang, bukan pula ciuman birahi, lalu dia
perlahan-lahan mendorong wanita itu sehingga terduduk kembali di atas
pembaringan. Dia sendiri lalu duduk di atas bangku di depan pembaringan.
“Nah, Kim
Lian, kita bicara sebagai dua orang sahabat. Aku kasihan kepadamu dan harap kau
suka menjawab sejujurnya. Kenapa engkau menjadi pelacur? Siapa yang memaksamu
menjadi seorang pelacur, melakukan pekerjaan yang rendah dan hina ini?”
Agaknya Kim
Lian sudah dapat menguasai dirinya kembali dan ciuman pada dahinya tadi
menyentuh hatinya, membuat dia percaya kepada pemuda aneh ini yang sikapnya
amat luar biasa terhadap dirinya, sikap yang selama ini belum pernah dia lihat
di antara para langganannya yang tak terhitung banyaknya itu. Maka dia pun tahu
bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda luar biasa yang amat baik hatinya
terhadap dirinya, dan dia mengambil keputusan untuk bersikap jujur dan untuk
menumpahkan seluruh isi hatinya kepada pemuda ini.
“Kongcu,
pertanyaan Kongcu itu banyak sekali jawabannya. Mengapa aku menjadi pelacur?
Mungkin karena keadaan karena terpaksa atau juga karena kusengaja! Yang
memaksaku adalah kaum pria dan mungkin juga diriku sendiri.”
“Hemmm,
jawabanmu merupakan teka-teki, Kim Lian.”
“Bukan,
Kongcu, melainkan jawaban sejujurnya. Adalah kaum pria yang mendorongku untuk
menjadi pelacur ini dan untuk itu sebaiknya Kongcu mendengar riwayatku secara
singkat. Aku adalah anak keluarga miskin. Ibu kandungku mati ketika aku masih
kecil. Ayah kawin lagi dan dalam keadaan miskin itu, atas desakan ibu tiriku
untuk menyelamatkan mereka dan anak-anak lain dari bahaya kelaparan, aku dijual
kepada seorang kaya. Sejak kecil aku menjadi pelayan dalam rumah keluarga kaya
itu sampai aku mulai dewasa dan majikanku, laki-laki tua itu, pada suatu malam
memaksa aku, memperkosa aku dengan ancaman dan dengan ganjaran. Aku tidak
berdaya. Sampai aku mengandung dan majikan perempuan marah-marah lalu
menghadiahkan aku kepada seorang pegawai pria dari mereka. Aku menjadi isteri
pegawai itu, akan tetapi sering kali majikan laki-laki tua itu masih datang
untuk menikmati tubuhku setahu suamiku! Setelah aku melahirkan seorang anak
yang mati ketika lahir, majikan laki-laki itu pun meninggal dunia dan suamiku
mulai bersikap kasar kepadaku. Aku sering dipukul, dan aku dipaksa untuk
melacurkan diri. Aku lari minggat meninggalkan dia. Kemudian aku terjatuh ke
tangan beberapa orang pria yang pada pertemuan pertama kelihatan amat mencinta,
akan tetapi setelah mereka puas menikmati tubuhku dan menjadi bosan, aku
dicampakkan begitu saja! Entah berapa kali aku merasa sakit hati kepada pria,
Kongcu. Akhirnya aku bertemu dengan seorang wanita tua bekas pelacur, aku
mendapat nasehat dari padanya untuk membalas kaum pria, untuk menyerahkan badan
bukan hati dan untuk menikmati hidup sambil memperoleh hasil yang mudah. Nah,
mulai hari itu aku menjadi pelacur sampai sekarang, terkenal dengan nama Kim
Lian.”
Tek Hoat
berdiam diri saja mendengarkan penuturan singkat itu. Dia merasa kasihan, dan
setelah gadis pelacur itu mengakhiri penuturannya, dia menarik napas panjang
dan berkata, “Kim Lian, di antara segala pekerjaan di dunia ini yang begitu
banyak, kenapa engkau memilih pekerjaan pelacur?”
“Kongcu,
pekerjaan apa lagi yang dapat dilakukan oleh seorang wanita lemah dan tidak
terpelajar seperti aku ini? Yang kumiliki hanyalah kewanitaanku, kecantikan dan
kemudaanku! Menjadi pelayan rumah tangga orang? Sudah kulakukan beberapa kali,
akan tetapi hasilnya hanyalah gangguan dari majikan laki-laki, tua mau pun
muda! Dan dalam pekerjaan sebagai pelacur ini, aku memperoleh dua hal, pertama,
uang yang banyak dan mudah. Kedua, kebutuhan nafsu badan sebagai seorang wanita
muda yang sehat dan normal.”
Tek Hoat
mengerutkan alisnya. “Apa artinya uang yang didapatkan dengan jalan hina? Dan
untuk kebutuhan kedua, mengapa engkau tidak berumah tangga saja, menikah dengan
seorang pria dan hidup sebagai ibu rumah tangga yang terhormat?”
Sepasang
mata itu memandang dengan penasaran. “Kongcu, bagaimana mungkin ada seorang
wanita berumah tangga dan menikah kalau tidak ada seorang pria pun yang
menghendakinya? Dan pria manakah yang sudi menikah dengan aku? Tidak mungkin
wanita memilih pria lalu melamar sebagai suaminya, seperti yang mudah saja
dilakukan oleh pria! Dunia ini memang berat sebelah dan tidak adil, Kongcu,
engkau pun tentu mengetahui akan hal itu!”
Makin lama
dia bicara dengan pelacur muda ini, makin tertariklah hati Tek Hoat. Banyak
kenyataan terbuka di depan matanya.
“Akan
tetapi, pekerjaanmu ini merupakan dosa besar. Engkau berdosa karena engkau
menggoda kaum pria, menyeret mereka ke dalam perbuatan hina, hubungan gelap
yang membuat mereka mengkhianati kesetiaan suami isteri, dan engkau juga
merusak orang muda yang belum beristeri.”
Tiba-tiba
gadis itu tertawa dan suara ketawanya membuat Tek Hoat merasa tertusuk
jantungnya, karena sukar dibedakan apakah suara itu merupakan tawa ataukah
tangis! Kemudian gadis itu berkata, suaranya lantang, “Kongcu yang baik, bicara
tentang godaan, siapakah yang menggoda dalam hal ini? Priakah atau wanita semacam
kami? Siapa yang menyeret ke dalam perbuatan hina? Siapakah yang
khianat-mengkhianati dalam hubungan antara kami dengan pria-pria itu? Kongcu,
kami dan kaum pria sama sama membutuhkan, akan tetapi kebutuhan kami jauh lebih
suci dari pada kebutuhan mereka! Kami membutuhkan uang untuk hidup, membutuhkan
kepuasan birahi sebagai mana patutnya. Berilah kami seorang suami yang baik dan
uang untuk hidup, tidak akan ada seorang wanita pun yang menjadi pelacur,
kecuali kalau dia gila! Akan tetapi kaum pria itu, sudah mempunyai isteri,
bahkkan sudah mempunyai selir-selir, masih saja melacur! Siapakah yang hina?
Siapakah yang rendah? Mereka itu membutuhkan kami, membutuhkan hiburan yang ada
pada diri kami, sedangkan kami membutuhkan kesenangan dan uang. Mereka membeli
dan kami menjual. Coba tidak ada kaum pria yang mengejar-ngejar dan
mencari-cari kami untuk membeli, mana mungkin pula kami menjual diri?”
“Tapi, Kim
Lian, kenyataan dalam hidup adalah bahwa semua orang pria mau pun wanita
memandang rendah dan hina kepada pekerjaanmu ini.”
“Biarlah!
Akan tetapi buktinya, kami kaum pelacur tidak pernah mengkhianati siapa pun,
kami bebas bermain cinta dengan laki-laki mana pun juga yang menghendaki kami
tanpa paksaan, tanpa sembunyi-sembunyi karena kami tidak mengkhianati
siapa-siapa. Merekalah, kaum prialah yang mengkhianati isteri-isteri mereka,
yang mencari kami dengan sembunyi-sembunyi dan berani membayar berapa saja
kalau sudah tergila-gila kepada kami.” Gadis pelacur itu berhenti sebentar,
lalu berkata lagi, “Seluruh pria tentu ingin melihat agar semua wanita di dunia
ini, kecuali ibunya, isterinya, atau pun anak perempuannya dan keluarga
perempuannya, menjadi pelacur semua! Supaya semua wanita suka melayaninya di
atas pembaringan, agar semua wanita bersedia dan mau memuaskan nafsu birahi mereka.
Betapa palsu, licik dan munafiknya kaum pria!”
Tek Hoat
melongo. Benarkah ini? Dia pun seorang pria. Benarkah apa yang dikatakan oleh
pelacur ini? Bahwa semua pria menghendaki semua wanita, kecuali orang-orang
tertentu, yaitu keluarganya, bersikap bagai pelacur? Hatinya condong mengatakan
‘ya’ kalau dia berani memandang diri sendiri, memandang sampai ke sudut
tergelap dari batinnya. Akan tetapi dia merasa ‘ngeri’ untuk mengakui ini.
“Kim Lian,
kata-katamu terlalu keras, agaknya karena dendam sakit hati kepada kaum pria.
Tetapi, bukankah pekerjaanmu melacur ini mencemarkan kaum wanita? Bukankah
pekerjaanmu ini dikutuk oleh kaum wanita?”
Kembali Kim
Lian tertawa, suara ketawa yang aneh, setengah menangis dan setengah ketawa,
lalu dia berkata lagi, suaranya lebih halus, penuh kepahitan, “Mungkin sekali,
Kongcu. Dan biarlah mereka itu mengutuk dan mencemoohkan kami kaum pelacur.
Kami tahu mengapa mereka mengutuk kami, dan kami kasihan kepada mereka.”
“Ehh, apa
pula ini? Engkau kasihan kepada mereka yang mengutukmu dan kau tahu mengapa?”
“Memang
ruwet lika-likunya, Kongcu. Akan tetapi aku, yang telah matang digembleng oleh
hidup, yang telah direbus oleh api kepahitan, aku dapat melihatnya.
Wanita-wanita itu mengutuk kami karena mereka merasa dirugikan...“
“Dirugikan?”
“Ya,
dirugikan karena suami, anak mereka, keluarga mereka yang pria lari kepada kami
dan menjauhi mereka. Karena kami dianggap mencemarkan dan memalukan mereka.
Kemudian karena mereka merasa iri kepada kami.”
“Iri?” Tek
Hoat berseru kaget. “Kaum wanita baik-baik bisa iri kepada pelacur? Apakah
maksudmu?”
“Benar, iri
hati! Mungkin di bawah sadar mereka, akan tetapi jelas ada perasaan iri hati
yang tidak mereka sadari sendiri itu. Lihatlah, wanita mana yang tidak suka
bersolek, yang tidak suka mempercantik diri? Mereka mempercantik diri karena
dua sebab, pertama agar dipuji oleh umum, terutama sekali oleh kaum pria dan
diiri hatikan kaum wanita lainnya. Mereka itu, di luar sadarnya berusaha untuk
menarik hati kaum pria sebanyaknya! Makin banyak pria yang kagum dan
tergila-gila kepadanya, maka makin senanglah hatinya.”
“Ah,
masa...?”
“Keadaan
membuktikan demikian dan mungkin itu sudah merupakan naluri wanita, Kongcu.
Setiap mahluk betina selalu akan berlagak di depan jantan, tentu karena naluri
untuk menarik perhatian. Karena itu, melihat betapa kami kaum pelacur dapat
menarik perhatian banyak pria, bahkan dapat menghibur mereka dalam permainan
cinta, bahkan menerima perhatian pria yang rela memberi hadiah dan uang di
samping perlakuan cinta, tanpa disadari mereka itu, kaum wanita merasa iri dan
karena iri ini tidak dapat dinyatakan secara terbuka, maka perasaan iri itu
berubah menjadi benci! Dan lalu muncullah penghinaan mereka terhadap kami!
Tentu saja selain itu, juga mereka mendendam karena kami dianggap merusak nama
baik kaum wanita pada umumnya.”
Tek Hoat
memandang penuh perhatian dan makin terheran-heran. “Kim Lian, engkau seorang
pelacur, engkau seorang yang buta huruf, akan tetapi heran sekali, kurasa
jarang ada orang pandai yang dapat dan berani berpandangan seperti yang baru
kau nyatakan itu. Sekarang ada satu hal lagi, Kim Lian. Sebagai pelacur, engkau
dan kaummu dianggap sebagai penyebar penyakit kotor! Hal ini mau tidak mau
harus kau akui dan tidak dapat kau sangkal lagi!”
Sejenak
gadis pelacur yang cantik itu menarik napas panjang. “Memang, hukum rimba
mengatakan bahwa segala macam sebab kesalahan selalu ditimpakan kepada mereka
yang lemah dan yang kalah! Kaum pria mau mencari enaknya sendiri saja, benarnya
sendiri saja! Penyakit itu hanya merupakan akibat, Kongcu. Sebabnya adalah
hubungan-hubungan gelap itu. Dan siapakah yang mulai dengan pelacuran? Sudah
kukatakan tadi, kalau tidak ada pria yang hendak melacur, apakah di dunia ini
ada pelacur? Dan tentang penyakit, siapakah yang menularkan dan siapa yang
ditularkan? Dari siapakah pelacur terserang penyakit kalau tidak ketularan oleh
seorang langganannya, yaitu seorang pria? Ahhh, Kongcu, persoalan penyakit ini
sama saja dengan persoalan siapa yang keluar lebih dulu, telur ataukah
ayamnya!”
Tek Hoat
bungkam. Beberapa kali dia hendak berkata, akan tetapi tidak dapat keluar dan
akhirnya dia hanya dapat menelan ludah. Baru sekarang ini dia mendengar hal-hal
seperti itu. Sungguh berlainan dengan segala macam filsafat yang pernah
dibacanya tentang susila, tentang kejahatan dan kebaikan dan lain-lain. Kini
dia dihadapkan dengan keadaan yang telanjang, tanpa aling-aling lagi, tanpa
pulasan dan dia melihat ketelanjangan yang murni, melihat baik buruknya. Dan
dia terpesona, juga... bingung! Dirogohnya buntalannya, diambilnya beberapa
keping uang lagi dan ditambahkan pada uang di atas pembaringan.
“Ambiliah
semua uang itu, Kim Lian. Dan pulanglah engkau. Terima kasih atas segala
keteranganmu. Percakapan kita membuka mataku dan aku tak berani lagi memandang
rendah kepada kaum pelacur karena aku mulai melihat apakah diriku ini tidak
lebih rendah dari pada engkau, Kim Lian.”
Kim Lian
turun dari pembaringan, mengambil semua uang itu dari atas pembaringan,
menghampiri Tek Hoat yang sudah berdiri dan meletakkan uang itu di atas meja.
“Aku tidak bisa menerima uangmu, Kongcu. Bukan karena aku tidak melayanimu
seperti mestinya di atas pembaringan. Biar pun tidak melayanimu, kalau engkau
menghinaku, memandang rendah kepadaku, tentu akan kuperas kau sampai habis uangmu
dengan akal bagai mana pun juga. Akan tetapi, engkau begitu jujur, dan
percakapan ini telah melegakan dadaku, aku telah menumpahkan segala beban
hatiku kepadamu. Engkau telah memberi aku sesuatu yang jauh lebih berharga dari
pada uang ini ditambah sepuluh kali lipat, Kongcu. Aku akan pergi, Kongcu,
hanya... kalau boleh..., aku ingin menyatakan terima kasihku kepadamu dengan
caraku sendiri.”
Ang Tek Hoat
makin terharu. Benar-benar bukan gadis sembarangan dia ini, pikirnya, “Silakan,
Kim Lian, sungguh pun yang patut berterima kasih adalah aku kepadamu.”
Kim Lian
menghampiri makin dekat, lalu merangkul leher Tek Hoat, menarik leher itu
sehingga kepala Tek Hoat menunduk, lalu dia berdiri di atas ujung jari-jari
kakinya dengan mengangkat tumitnya sehingga bibirnya bertemu dengan bibir Tek
Hoat ketika dia mencium mulut pemuda itu. Ciuman yang amat mesra, yang
dilakukan dengan sepenuh perasaannya, kecupan seorang wanita yang menyerahkan
diri sebulatnya kepada seorang pria, ciuman yang selama hidupnya baru satu kali
itu dilakukan oleh Kim Lian terhadap seorang pria!
Terdengar
suara isak naik dari dada Kim Lian, dia melepaskan ciumannya lalu berlari ke
pintu, membuka daun pintu, lalu berhenti, menoleh dengan air mata membasahi
pipi sambil berkata, “Pria seperti engkau inilah yang menjunjung tinggi
martabat wanita, Kongcu, patut dibanggakan oleh ibumu, oleh semua wanita, patut
menerima cinta kasih wanita. Aku selamanya tidak akan dapat melupakan wajahmu,
Kongcu. Selamat tinggal.” Dan daun pintu itu ditutup kembali, lalu terdengar
langkah-langkah kaki yang diseret dan ringan dari pelacur itu yang pergi
setengah berlari.
Tek Hoat
menjatuhkan diri di atas bangku, duduk termenung. Dia pria seperti itu?
Menjunjung tinggi martabat wanita? Patut dibanggakan oleh ibunya dan semua
wanita? Dia? Terbayang kembali segala perbuatannya di waktu dahulu,
penyelewengannya, perjinaannya dengan isteri orang.
“Ahhh...!”
Dia menutupi kedua matanya dengan tangannya, memejamkan mata dan telinganya
terus-menerus, mendengar pujian Kim Lian.
“Tidak...!”
Kini kedua tangan itu pindah ke telinganya. Jantungnya seperti ditusuk-tusuk
rasanya dan kalau saja hatinya tidak sudah membeku atau membaja, tentu Tek Hoat
akan menangis menggerung-gerung di saat itu. Dia merasa dirinya kotor sekali,
hina dan jauh lebih rendah dari pada Kim Lian si pelacur!
“Kongcu...
heh-heh-heh...”
Tek Hoat
tergugah dan dia menoleh. Wajah buruk pelayan itu menyeringai.
“Kongcu,
saya bertemu dengan Kim Lian, dia menangis dan tidak mau bicara. Ahh, dan
Kongcu duduk sendiri dengan pakaian lengkap. Apakah Kongcu tidak suka dengan
dia? Begitu cantik dan manis, begitu menggairahkan, seperti buah apel yang
sudah masak... hemmmmm...“ Dan si buruk rupa itu menjilat-jilat bibirnya
seperti orang yang mengilar! “Kalau saya semuda dan setampan Kongcu, dan
beruang, hemmm, kalau saya diberi kesempatan... heh-heh...“
Tek Hoat
melemparkan beberapa potong uang kepada pelayan itu. Uang itu jatuh ke atas
lantai dan dipunguti oleh si pelayan. “Pergilah! Pergilah cepat, kalau tidak,
kubunuh kau!”
Pelayan itu
terkejut, memandang dengan muka ketakutan, lalu dia mengangguk dan lari keluar,
lupa menutupkan pintu kamar itu saking kaget dan takutnya. Tek Hoat tidak
peduli dan kembali duduk dengan kedua tangan menopang dahi di kanan kiri,
matanya dipejamkan.
“Tek
Hoat...!”
Pada saat
itu, Ang Tek Hoat sedang membayangkan wajah Syanti Dewi dan timbul keraguan di
dalam hatinya, apakah orang semacam dia itu patut menjadi suami Puteri Bhutan
itu. Maka begitu saat mendengar suara lembut ini, jantungnya seperti berhenti
berdetak.
“Syanti...!”
Dia berbisik dan mutar tubuhnya.
Seorang
wanita berdiri di pintu kamarnya, wanita cantik yang bertubuh ramping. Akan
tetapi bukan Syanti Dewi, melainkan... Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui, si
Siluman Kucing! Dan anehnya, kedua mata Siluman Kucing itu merah dan basah oleh
air mata!
“Mo-li...!”
Tek Hoat berkata lirih dan dia agak terkejut melihat kehadiran siluman betina
ini dalam saat yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.
Siluman
Kucing menutupkan daun pintu, kemudian dia melangkah maju dan tiba-tiba dia
menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki Tek Hoat! Pemuda ini terbelalak dan
siap siaga, karena dia maklum akan kelihaian dan kelicikan siluman ini. Akan
tetapi dia terheran-heran karena Lauw Hong Kui kini benar-benar menangis di
depan kakinya!
“Tek Hoat...
maafkan aku... ahhh, betapa aku kagum melihatmu, Tek Hoat. Gadis itu demikian
cantik, akan tetapi engkau tidak mengganggunya dan memberi uang. Engkau
benar-benar seorang pria yang jantan, Tek Hoat. Betapa aku rindu kepadamu.
Setelah kau pergi meninggalkan aku, baru terasa olehku, dunia seperti kosong,
sunyi... ahhh, engkau boleh memukulku, Tek Hoat, engkau boleh membunuhku, akan
tetapi jangan kau benci padaku, jangan kau tinggalkan aku... aku haus akan
cintamu, Tek Hoat, kau kasihanlah kepadaku...“
Tek Hoat
menahan senyumnya. Perempuan memang mahluk yang aneh, pikirnya dan dia teringat
akan semua percakapannya dengan Kim Lian tadi. Benarkah Mauw Siauw Mo-li haus
akan cintanya? Benarkah seorang wanita seperti iblis ini mengenal apa artinya
cinta? Ataukah hanya menjadi budak nafsu belaka? Ingin dia tertawa,
mentertawakan Mauw Siauw Mo-li, akan tetapi teringat akan kata-kata Kim Lian,
dia merasa tidak tega. Biar pun iblis, Mauw Siauw Mo-li ini juga seorang
wanita! Sama dengan Kim Lian! Seorang manusia yang berperasaan!
Mungkin
karena biasanya dapat menundukkan pria dengan mudah, maka setelah bertemu
dengan dia dan justeru karena dia tidak dapat ditundukkannya, maka Mauw Siauw
Mo-li menjadi tergila-gila dan jatuh cinta! Mungkin tersinggung perasaannya
karena ucapan Kim Lian tadi, semua wanita ingin digilai laki-laki, sungguh pun
hal ini bukan berarti bahwa wanita itu gila laki-laki. Akan tetapi ingin
digilai, ingin dipuji, ingin dikagumi laki-laki mana pun juga. Dan karena dia
tidak tergila-gila kepada Mauw Siauw Mo-li, hal ini justeru malah membuat
wanita ini tersinggung perasaannya dan merasa tidak puas, dan baru akan merasa
senang kalau Tek Hoat yang kokoh kuat dan angkuh itu bertekuk lutut.
Demikiankah?
“Mo-li,
bangkitlah dan jangan seperti anak kecil. Mari kita duduk dan bicara. Aku
maafkan segala kesalah pahaman antara kita. Betapa pun juga, engkau sudah
banyak membantuku dan kita sudah melakukan perjalanan bersama cukup lama hingga
boleh dibilang kita adalah sahabat.”
“Ahhh,
terima kasih, Tek Hoat!”
Mauw Siauw
Mo-li bangkit berdiri dan duduk di atas pembaringan, karena di situ hanya
terdapat sebuah saja bangku yang diduduki Tek Hoat. Sejenak mereka
berpandangan. Di bawah sinar api lilin yang kemerahan, memang harus diakui oleh
Tek Hoat bahwa Mauw Siauw Mo-li memang cantik. Mungkin Kim Lian tadi lebih
manis, akan tetapi Mauw Siauw Mo-li lebih matang!
“Mo-li,
kenapa engkau menyusulku sampai di sini?” Akhirnya Tek Hoat bertanya karena
tidak tahan melihat sinar mata wanita itu yang seolah-olah akan membakarnya
dengan nafsu membara, sepasang mata yang seolah-olah hendak menelannya
bulat-bulat.
“Kenapa?
Ahhh, engkau tidak tahu betapa aku hampir mati tersiksa hatiku setelah engkau
pergi. Aku merasa kesepian dan dunia ini serasa hampa setelah kepergianmu, Tek
Hoat. Tidak pernah aku menyangka bahwa aku akan tergila-gila kepadamu. Tidak
pernah aku membayangkan betapa cinta dapat begini menyiksa. Apa lagi ketika aku
teringat betapa kita berpisah sebagai musuh. Ah, tidak, Tek Hoat, aku tidak tahan
maka aku menyusulmu.”
“Hemmm,
Mo-li, siapa bisa percaya akan rayuanmu? Engkau terkenal sebagai seorang wanita
yang bisa mendapatkan pria mana pun yang kau inginkan. Seorang wanita seperti
engkau ini, mana mungkin bisa jatuh cinta dengan sungguh-sungguh? Engkau
hanyalah menjadi hamba nafsu birahimu sendiri...“
“Cukup,
harap jangan lanjutkan, Tek Hoat. Aku mengaku bahwa memang hidupku yang lalu
penuh dengan petualangan dan aku sudah biasa memandang rendah kaum pria yang
kuanggap sebagai permainanku. Akan tetapi sekarang baru aku merasa bahwa aku
sesungguhnya seorang manusia biasa, seorang wanita yang juga mempunyai hati dan
perasaan. Aku cinta padamu, Tek Hoat, dan aku tersiksa sekali ketika kita
saling berpisah.”
Tek Hoat
tidak tahu apakah dia merasa terharu ataukah geli mendengar kata-kata wanita
ini. Siluman Kucing yang biasa mempermainkan pria sampai pria itu tewas, entah
sudah berapa banyaknya pria ini yang tewas olehnya, diajaknya bermain cinta dan
sekaligus dibunuhnya, wanita yang seperti iblis betina cantik ini, jatuh cinta
kepadanya? Sungguh menggelikan dan sukar untuk dipercaya. Akan tetapi, dia pun
tahu bahwa Mauw Siauw Mo-li adalah seorang wanita berkepandaian tinggi yang
telah merupakan seorang tokoh di dunia kaum sesat sehingga memiliki keangkuhan
besar, maka kiranya tidak mungkin mau merendahkan diri dengan pengakuan cinta
dan kelemahannya itu kalau tidak ada kesungguhan di baliknya. Apa lagi bahwa
wanita ini sudah mengaku sendiri betapa biasanya dia menganggap kaum pria
sebagai permainannya dan baru sekarang perasaan wanitanya membisikkan bahwa dia
jatuh cinta!
“Mo-li, kita
hanya sahabat biasa, bahkan itu pun bukan, hanya kenalan yang kebetulan bertemu
di tempat Yang-liu Nionio, ketua Hek-eng-pang yang menjadi muridmu itu. Ada
waktunya bertemu, berkumpul, tentu ada waktunya pula untuk berpisah. Kita hanya
bersimpang jalan dan jalan hidup kita tidak sama.”
Mauw Siauw
Mo-li mengangguk, akan tetapi pandang matanya masih terus menatap wajah pemuda
itu seolah-olah dia hendak menyihirnya. “Aku pun mengerti bahwa ada waktunya
bertemu ada pula waktunya berpisah, Tek Hoat. Akan tetapi aku akan terus
menderita kalau harus berpisah denganmu seperti itu, sebagai musuh!”
“Aku telah
memaafkan segala kesalah pahaman antara kita, Mo-li. Kita bukan musuh…“
“Akan tetapi
aku ingin berpisah denganmu sebagai seorang kekasih, Tek Hoat.” Dan wanita itu
kembali menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat, merangkul pinggang pemuda
itu dan membenamkan mukanya di atas pangkuan Tek Hoat! Kembali dia menangis!
“Tek Hoat, kasihanilah aku... bersikaplah sedikit manis kepadaku untuk dapat
kujadikan kenangan selama hidupku...“
Sikap dan
kata-kata wanita itu menyentuh perasaan Tek Hoat. Kedua lengan yang merangkul
pinggangnya itu begitu mesra, mengusap punggungnya, dan wajah cantik yang tadi
bersembunyi di atas pangkuannya itu kini diangkat tengadah, memandangnya dari
bawah, dengan sepasang mata agak berair dan sayu mesra, cuping hidungnya agak
kembang-kempis, bibirnya tergetar, rambutnya yang hitam panjang awut-awutan,
sebagian anak rambut menutup dahi dan telinganya. Dari tubuhnya keluar bau khas
wanita, bau betina yang merangsang dan di bagian tubuh yang tersentuh oleh
tubuh wanita itu terasa panas dan tergetar. Seorang wanita yang cantik dan
masak.
Tek Hoat
menunduk, memandang wajah itu, nampak jelas rambut alis itu yang tumbuh dengan
indahnya, seperti rumput yang teratur sekali, seperti lukisan yang amat tepat
dan bagus. Mata itu, hidung itu, mulut itu!
“Engkau
memang seorang wanita yang cantik sekali, Mo-li...,“ akhirnya dia berkata,
ucapan yang bukan pujian kosong belaka melainkan pengakuan yang keluar dari
lubuk hatinya.
Sepasang
mata itu terbelalak seperti orang heran, kemudian bersinar-sinar dan wajah yang
berkulit putih kemerahan dan halus itu berseri. “Aihhh... benarkah itu? Tek
Hoat, kuminta kepadamu, dalam saat seperti ini... aku bersungguh-sungguh,
jangan kau goda aku, jangan kau permainkan aku, benarkah kata-katamu itu?”
“Kau memang
cantik sekali.”
“Akan
tetapi, orang menyebutku iblis betina...!
“Mungkin kau
iblis betina, akan tetapi iblis betina yang cantik,” Ang Tek Hoat membelai
rambut panjang yang sanggulnya terlepas itu, “Dan rambutmu amat halus mengkilap
dan panjang.”
Makin
berseri wajah itu dan bibir yang memang bentuknya manis itu tersenyum. “Ahhh,
Tek Hoat, jangan mempermainkan aku...! Aku lebih tua darimu, aku sudah tua
sekali, sudah hampir nenek-nenek...“
Tek Hoat
juga tersenyum. Dalam percakapan seperti ini, dia menemukan dalam diri Mauw
Siauw Mo-li itu seorang manusia wanita biasa! Sama sekali bukan wanita iblis
yang jahat dan keji, melainkan seorang wanita yang kalau dipuji oleh pria lalu
menjadi bahagia hatinya, menjadi manja dan memancing pujian-pujian berikutnya!
“Usia tidak
penting, yang nyata engkau adalah seorang wanita cantik yang kelihatannya tidak
lebih dari dua puluh tahun usianya...“
Rangkulan
kedua lengan itu mengetat di pinggang Tek Hoat. “Benarkah itu? Tek Hoat...,
ahhh, benarkah bahwa akhirnya ada pula rasa sayang di dalam hatimu terhadapku?
Benarkah bahwa kau juga... cinta kepadaku, Tek Hoat? Ahhh, betapa hatiku
menanti jawabanmu seperti rumput kering menantikan turunnya hujan...“
Tek Hoat
tersenyum dalam hatinya. Teringat dia akan perasaan hatinya terhadap Syanti
Dewi! Tiap kali dia berhadapan dengan kekasihnya itu dan bercakap-cakap, terus
saja timbul sifat romantisnya, timbul pula keinginannya untuk bernyanyi,
bersajak atau setidaknya menggunakan kata-kata yang indah-indah! Kini Mauw
Siauw Mo-li agaknya pun tidak terluput dari dorongan suasana hati itu.
Kata-katanya mulai indah-indah dan muluk-muluk!
“Mo-li,
terus terang saja, aku hanya mencinta seorang di dunia ini. Akan tetapi aku
suka kepadamu, Mo-li, dan aku tidak berbohong ketika kukatakan bahwa engkau
seorang wanita yang cantik sekali.”
Tangan kanan
wanita itu melepaskan rangkulan di pinggang dan kini mengusap dagu Tek Hoat
dengan mesra dan manja. “Aku masih belum percaya benar... apanya yang cantik
pada diriku yang telah tua ini...?” Jelas bahwa wanita ini yang sedang dibuai
cinta memancing-mancing pujian lebih banyak lagi!
“Wajahmu,
alismu, matamu, hidungmu, mulutmu dan... hemmm, bentuk tubuhmu juga amat indah
menggairahkan...“
“Hi-hik...!”
Mauw Siauw Mo-li meloncat berdiri dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan
gerakan lemah gemulai seperti orang menari. “Engkau menduga-duga saja, untuk
menyenangkan hatiku. Engkau kejam, Tek Hoat, engkau hanya mengejek dan
mempermainkan aku yang benar-benar tergila-gila kepadamu, yang mencintamu
seperti yang belum pernah kurasakan terhadap pria yang mana pun!” Dalam
hatinya, Lauw Hong Kui merasa bahwa dia berbohong karena sebelum ini pernah dia
merasakan cinta yang sama seperti ini, yaitu terhadap Suma Kian Bu.
“Tidak, aku
tidak mempermainkanmu ketika aku memuji kecantikanmu, Mo-li.”
“Dan
tubuhku?”
“Hemmm...
dan tubuhmu.”
“Menggairahkan
katamu?”
Wajah Tek
Hoat menjadi merah, akan tetapi dia mengangguk. “Ya, menggairahkan.”
Mauw Siauw
Mo-li tertawa. Memang manis dia kalau tersenyum atau tertawa, sekilas pandang
memperlihatkan giginya yang rata dan putih, akan tetapi suara ketawanya
menyeramkan, dengan suara tenggorokan yang ditahan.
“Hi-hik!
Engkau hanya menduga-duga saja. Engkau belum pernah melihat tubuhku, bagaimana
bisa mengatakan bahwa bentuk tubuhku indah menggairahkan?”
Wajah Tek
Hoat makin menjadi merah. “Mudah dilihat dan diduga...” Dia menjawab juga.
Mauw Siauw
Mo-li melangkah maju, memegang kedua tangan pemuda itu, menariknya perlahan
sehingga Tek Hoat juga berdiri. Mauw Siauw Mo-li lalu merangkulkan kedua
lengannya pada leher pemuda itu, mendekatkan mukanya sampai napasnya terasa
oleh pipi Tek Hoat dan dia berbisik setelah mengeluarkan suara erangan kecil
seperti kucing diusap kepalanya, “Tek Hoat, aku ingin kau tidak menduga-duga,
melainkan melihatnya sendiri bentuk tubuhku. Kau bukalah...“
Akan tetapi
Tek Hoat yang mulai terseret oleh rayuan dan suasana romantis yang ditimbulkan
oleh sikap dan kata-kata Mauw Siauw Mo-li, menggeleng kepala sungguh pun dia
masih tersenyum.
“Hi-hi-hik,
kau malu-malu? Engkau memang seorang pemuda hebat. Keras, angkuh, berkuasa,
berwibawa, tidak mudah tunduk, mau menang selalu, dan kadang-kadang amat lembut
seperti sekarang ini! Dan engkau tidak mudah terayu oleh wanita! Ahhh, betapa
hebat dan kagum sekali hatiku, Tek Hoat. Baiklah, biar aku sendiri yang akan
membuka pakaian ini, agar engkau tidak hanya menduga-duga saja dalam menilai
tubuhku.” Mauw Siauw Mo-li lalu mendorong tubuh pemuda itu dengan lembut
sehingga Tek Hoat terduduk di atas pembaringan. Pemuda ini memandang dan
jantungnya lalu berdebar tegang.
Mauw Siauw
Mo-li adalah seorang wanita cantik yang sudah mahir sekali berlagak dan bergaya
untuk memikat hati pria. Dia sudah mengenal betul sifat-sifat pria pada umumnya
dan dengan mudah dia dapat pula menjajagi perasaan hati Tek Hoat. Dengan
gerakan yang lemah gemulai, genit namun tidak menjemukan, mulailah wanita ini
melepaskan kancing bajunya satu demi satu, gerakannya lambat, ragu-ragu, dengan
jari-jari tangan gemetar buatan, dengan kerling mata dan senyum bibir malu-malu
seperti seorang perawan yang baru pertama kalinya berhadapan dengan pria.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment