Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 23
Pada
keesokan harinya, Bun Beng bertemu dengan Kao Kok Han dan dari pemuda ini dia
mendengar lagi penuturan yang lebih jelas tentang Jenderal Kao. Setelah
berpamit dari isterinya, Bun Beng lalu berangkat, melakukan perjalanan
secepatnya menuju ke lembah Huang-ho, mendahului pasukan yang pada hari itu
juga diatur oleh Milana untuk berangkat ke benteng di lembah itu….
Malam terang
bulan yang indah sekali, apa lagi di tempat sunyi di tebing pinggir Sungai
Huang-ho yang penuh dengan batu-batu besar dan bersih itu, tempat persembunyian
Kok Cu dan Ceng Ceng. Biar pun musuh pernah menemukan mereka di situ, namun
suami isteri ini tidak takut dan mereka tetap menanti di situ, yaitu tempat
yang paling menyenangkan bagi mereka di sepanjang tepi sungai, karena dari situ
mereka dapat melihat tembok benteng, dan tempat ini selain indah, juga amat
sunyi dan bersih. Hanya kini mereka selalu berjaga dengan bergilir, tidak
pernah lengah karena maklum akan kelihaian musuh-musuh yang berada di dalam
benteng.
Malam itu
terang bulan, karena bulan sedang purnama. Di permukaan bumi tidak ada angin,
akan tetapi di angkasa awan-awan berarak dengan cepat, tanda bahwa di atas sana
terdapat angin yang menggerakkan awan-awan sehingga kadang-kadang awan putih
tipis menyembunyikan bulan yang menjadi agak suram cahayanya. Akan tetapi
karena awan itu bergerak cepat, hanya sebentar saja bulan muncul lagi dengan
lebih berseri.
Kao Kok Cu
nampak duduk bersila di atas sebuah batu besar, sedang tenggelam dalam siulian
(semedhi) yang hening.
Semedhi akan
kehilangan artinya jika di dalamnya tersembunyi pamrih untuk mencapai atau
memperoleh sesuatu. Semedhi adalah keadaan hening dan bersih, bersih dari
segala macam pamrih, hening karena berhentinya segala pikiran. Keheningan
barulah benar-benar hening kalau datang tanpa diundang, kalau ada tanpa
diadakan, kalau tidak dibuat agar supaya hening. Di waktu segala keinginan dan
pamrih berhenti, maka keheningan akan ada dan itulah semedhi yang sesungguhnya.
Bukan acuh tak acuh, bukan tidur duduk, melainkan sadar dan waspada akan segala
sesuatu, di luar dan di dalam diri, mengamati apa adanya tanpa keinginan, untuk
mengubah, menerima atau pun menolak, tanpa menilai, tanpa membenarkan atau
menyalahkan. Tanpa ‘aku’ yang bersemedhi, itulah semedhi yang sebenarnya.
Ceng Ceng
juga duduk tidak jauh dari suaminya, akan tetapi dia tidak dapat duduk diam
karena pikirannya selalu teringat akan puteranya, akan keluarga suaminya. Dia
merasa gelisah karena sudah hampir sepekan dia dan suaminya duduk menanti di
tempat itu. Sampai berapa lama dia harus menanti, membiarkan puteranya terancam
bahaya di dalam tangan musuh-musuh yang dia tahu adalah orang-orang yang amat
kejam dan jahat itu? Dia tidak dapat beristirahat seperti suaminya, makin lama
semakin merasa gelisah sehingga akhirnya dia turun dari atas batu dan
berjalan-jalan di sepanjang tepi sungai. Malam itu memang indah sekali, namun
sayang, bagi seorang yang sedang kacau batinnya oleh kegelisahan seperti Ceng
Ceng, tidak ada apa pun yang kelihatan indah di dunia ini.
Tiba-tiba
sepasang mata Ceng Ceng mengeluarkan sinar dan tubuhnya yang tadinya kelihatan
lemas itu tiba-tiba saja menjadi cekatan. Dia melihat sesuatu yang tentu saja
menimbulkan kecurigaannya. Melihat bayangan manusia berkelebat tak jauh dari
situ. Tentu musuh yang datang! Atau mata-mata musuh yang mengintai!
Kemarahannya bangkit dan dengan gerakan ringan dan cepat sekali Ceng Ceng sudah
bergerak melakukan pengejaran, menyelinap di antara pohon-pohon dan batu-batu.
Akan tetapi bayangan itu dapat bergerak amat cepat dan sekali berkelebat,
bayangan itu menyusup dan lenyap di balik semak-semak belukar.
Ceng Ceng
makin curiga, akan tetapi karena dia maklum akan kelihaian orang-orang di dalam
benteng dan dia yakin bahwa yang nampak bayangannya tentulah orang dari dalam
benteng, dia bersikap hati-hati sekali dan menyelidik dengan jalan memutar.
Bulan kadang-kadang tertutup awan sehingga cahayanya menjadi remang-remang
saja. Dengan langkah satu-satu dan amat waspada, Ceng Ceng memutari semak-semak
di mana dia melihat bayangan tadi lenyap. Seluruh perhatian dicurahkannya
melalui pendengaran dan penglihatannya.
Tiba-tiba
ada sambaran angin dari belakang dan ketika secepat kilat dia membalik, dari
sudut matanya Ceng Geng melihat bayangan orang menyerangnya dengan totokan yang
cepat dan hebat. Akan tetapi Ceng Ceng memang sejak tadi sudah siap sedia, maka
diserang seperti itu dia tidak menjadi gugup. Dia miringkan tubuh mengelak dan
tangannya membalas dengan tamparan kilat ke dada penyerangnya itu.
Orang itu
terkejut bukan main, agaknya tak mengira bahwa yang diserangnya itu selain
dapat mengelak, juga dapat membalas dengan tamparan yang sedemikian hebatnya,
terbukti dari sambaran angin yang menandakan sinkang yang dahsyat. Maka dia pun
menggerakkan lengannya menangkis.
“Dukkkk...!”
Keduanya
terhuyung ke belakang dan mereka kaget bukan main mengetahui betapa kuatnya
lawan. Ceng Ceng cepat memandang, akan tetapi karena bulan masih tertutup awan,
cuaca remang-remang dan dia hanya melihat seorang pria yang berdiri di depannya,
seorang pria yang memiliki sepasang mata yang tajam bersinar.
“Manusia
curang, siapakah engkau? Mengakulah sebelum engkau mati tanpa nama!” bentak
Ceng Ceng dengan marah sekali.
Orang itu
kelihatannya terkejut mendengar suara ini. “Ehhh...? Kau...?!“ Pada saat itu
awan telah meninggalkan bulan dan cahaya bulan yang terang menyinari wajah
kedua orang yang saling pandang itu. Keduanya kini kelihatan makin kaget.
“Kau Ceng
Ceng...!”
“Tek
Hoat...!”
Memang orang
itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini
terus-menerus mengikuti jejak Puteri Syanti Dewi setelah dia gagal merampas
Syanti Dewi dari puncak Naga Api sarang dari perkumpulan Liong-sim-pang yang
diketuai oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun. Dia dibantu oleh Siluman Kucing Mauw Siauw
Mo-li yang katanya tahu di mana harus mencari Syanti Dewi. Akan tetapi
sebetulnya Siluman Kucing itu pun tidak tahu, hanya menduga-duga saja dan
sebenarnya wanita cabul itu bermaksud untuk mendekati pemuda ini dan kalau
mungkin mencengkeram pemuda lihai ini untuk menjadi korban nafsu birahinya.
Akan tetapi,
seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat yang mulai sadar akan
kesesatannya itu, apa lagi setelah dia berjumpa dengan seorang pelacur yang
sudah membuka matanya, dia malah mempermainkan Siluman Kucing dan
meninggalkannya pergi untuk mencari sendiri jejak Syanti Dewi. Akhirnya dia
mendengar tentang keadaan di lembah Huang-ho dan dia menaruh hati curiga.
Dia pernah
menyerang lembah itu sebagai sarang dari perkumpulan Kui-liong-pang untuk
memenuhi permintaan ketua Hek-eng-pang, bersama dengan Siluman Kucing yang
menjadi guru dari ketua Hek-eng-pang, hingga mereka akhirnya dapat membobol
bendungan air dan membuat lembah itu tenggelam dalam genangan air bah setelah
tanggul atau bendungannya itu dijebolkan oleh alat-alat peledak dari Mauw Siauw
Mo-li.
Kini dia
mendengar berita angin bahwa lembah itu telah berubah menjadi benteng yang
kuat. Dia merasa curiga sekali dan ingin tahu, maka dia lalu menyelidiki ke
lembah. Siapa tahu kalau-kalau Syanti Dewi yang seperti lenyap ditelan bumi itu
berada di tempat itu, pikirnya. Hal ini memasuki pikirannya ketika dia
mendengar bahwa banyak tokoh kaum sesat kabarnya juga berada di dalam benteng itu.
Andai kata Syanti Dewi tidak berada di situ, setidaknya dia akan dapat bertanya
kepada para tokoh sesat itu dan tentu ada di antara mereka yang tahu di mana
adanya Syanti Dewi dan siapa yang telah menculiknya.
Malam itu
dia tiba di dekat benteng lembah dan selagi dia berjalan dan hendak mulai
dengan penyelidikannya, dia melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali
dan mengejarnya. Maka kemudian dia menyelinap dan menyerang bayangan itu untuk
menotoknya, karena dia menduga bahwa bayangan itu tentulah mata-mata dari dalam
benteng. Akan tetapi betapa kagetnya ketika bayangan itu sedemikian lihainya,
dan makin kagetlah dia pada saat cahaya bulan menyinari wajah yang cantik itu,
wajah dari Ceng Ceng, saudara tirinya seayah berlainan ibu!
Ibu dari
Ceng Ceng adalah Lu Kim Bwee, sedangkan ibu dari Tek Hoat bernama Ang Siok Bi.
Ketika kedua orang wanita itu masih gadis, mereka telah tertimpa malapetaka dan
aib. Mereka itu dicemarkan oleh seorang laki-laki yang berilmu tinggi sehingga
keduanya mengandung. Dari kandungan itulah terlahir Ceng Ceng dan Tek Hoat.
Karena
mereka terlahir sebagai akibat perkosaan, maka mereka berdua menggunakan she
ibu mereka masing-masing. Ceng Ceng menggunakan she Lu sedangkan Tek Hoat
menggunakan she Ang. Ayah kandung mereka, yaitu pria yang mencemarkan ibu
masing-masing itu bukanlah orang sembarangan, karena dia adalah putera tiri
dari Pendekar Super Sakti yang bernama Wan Keng In.
Ketika masih
kecil, baik Ceng Ceng mau pun Tek Hoat tidak tahu akan rahasia itu karena ibu
masing-masing tidak mau menceritakan aib itu kepada anak masing-masing. Baru
setelah kedua orang anak ini menjadi dewasa, di dalam cerita Kisah Sepasang
Rajawali, mereka bertemu dan bahkan mereka hampir saling jatuh cinta. Kemudian
terbukalah rahasia itu dan keduanya baru tahu bahwa mereka berdua sesungguhnya
adalah saudara tiri, seayah berlainan ibu! Dan keduanya sesungguhnya adalah she
Wan.
“Ahhh,
kusangka engkau seorang mata-mata dari benteng!” seru Tek Hoat.
Ceng Ceng
cemberut. “Engkaulah yang kukira mata-mata dari dalam benteng!”
Keduanya
kemudian tersenyum dan saling pandang. Memang keduanya mempunyai perasaan suka
satu sama lain, apa lagi setelah mereka tahu bahwa mereka adalah saudara
seayah. Dalam pandang mata mereka itu terdapat keharuan karena memang keduanya
tidak mempunyai saudara lain, bahkan tidak bersanak kadang lagi.
“Bagaimana
keadaanmu...?” Keduanya bicara berbareng dan dengan pertanyaan yang sama.
Kemudian keduanya tersenyum dan pada saat itu muncullah Kao Kok Cu.
Di dalam
siulian tadi, Kok Cu mendengar suara isterinya, maka dia pun cepat meloncat
turun dan mencari. Dia merasa heran sekali melihat isterinya berhadapan dengan
seorang pria dan ketika dia tiba di situ, segera dia mengenal Tek Hoat.
“Ahh,
kiranya engkau, Tek Hoat!” katanya.
Tek Hoat
memandang wajah Kok Cu penuh perhatian. Di dalam Kisah Sepasang Rajawali
diceritakan bahwa antara Tek Hoat dan Kao Kok Cu sesungguhnya terdapat hubungan
yang tidak asing lagi, akan tetapi sesungguhnya baru sekarang inilah Tek Hoat
sempat mengenal dan memandang wajah Kok Cu, karena dahulu Kok Cu selalu memakai
topeng yang amat buruk sehingga dia pun hanya dikenal sebagai Si Topeng Setan.
Setelah memandang wajah suami Ceng Ceng itu dia menarik napas panjang.
“Ah, kiranya
engkau adalah seorang yang gagah dan tampan, Topeng Setan!” katanya. “Aku
girang sekali bahwa saudaraku ini memperoleh seorang suami hebat seperti
engkau.”
Akan tetapi
hanya sebentar saja Tek Hoat kelihatan gembira dengan pertemuan ini. Segera
wajahnya muram kembali, apa lagi karena dia teringat betapa keadaannya jauh
dibandingkan dengan Ceng Ceng yang berbahagia dengan suaminya, sedangkan dia,
sampai sekarang pun belum juga dapat mengetahui di mana adanya Syanti Dewi.
“Bagaimana
engkau sampai tiba di sini?” tanya Ceng Ceng.
“Aku memang
perantau yang bisa berada di mana saja. Akan tetapi kalian? Mau apa di sini?”
Tek Hoat balas bertanya karena dia tidak suka menceritakan keadaan dirinya.
“Ahh, engkau
tidak tahu, Tek Hoat. Malapetaka besar menimpa keluarga kami,” kata Ceng Ceng
dan dia lalu bercerita tentang keluarga Kao dan juga puteranya yang diculik
orang dan ditawan di dalam benteng itu.
Kok Cu tidak
sempat mencegah isterinya bercerita, apa lagi dia merasa kurang enak karena dia
maklum bahwa isterinya sangat suka kepada saudara tirinya itu. Dia melihat
betapa Ang Tek Hoat mendengarkan dengan penuh perhatian dan kadang-kadang
mengeluarkan seruan kaget mendengar betapa orang-orang pandai seperti Hek-tiauw
Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, bahkan Im-kan Ngo-ok yang terkenal itu semua berkumpul
di dalam benteng! Bukan tidak mungkin Syanti Dewi berada di situ pula sebagai
tawanan, pikirnya. Dia tidak dapat memikirkan hal lain kecuali Syanti Dewi.
Setelah Ceng
Ceng selesai bercerita, Tek Hoat menegur, “Kalau begitu, kenapa kalian tidak
segera masuk dan menolong mereka yang tertawan?”
“Ah, kami
sudah masuk, akan tetapi kami melihat betapa keluarga kami terancam, maka kami
hendak menanti saat baik untuk menolong mereka,” jawab Ceng Ceng, akan tetapi
jawaban ini seolah-olah tidak didengar oleh Tek Hoat. Dia lalu bangkit berdiri,
dan berkata kepada suami isteri itu.
“Aku pergi
dulu...!”
“Engkau
hendak ke mana?” Kok Cu menegur.
“Aku akan
mencoba masuk ke dalam benteng itu!”
“Tek Hoat,
jangan...!” Ceng Ceng berkata. “Keadaannya amat berbahaya, engkau akan celaka
di sana sebelum berhasil...“
“Aku tidak
takut!” jawab Tek Hoat dengan sikapnya yang keras kepala.
Ceng Ceng
merasa terharu sekali. Dia mengira bahwa Tek Hoat kini telah berubah menjadi
seorang yang berwatak pendekar gagah, yang merasa penasaran mendengar tentang
ditawannya Cin Liong dan keluarga Kao lainnya, dan bermaksud untuk nekat
memasuki benteng dan menolong keluarga yang tertawan itu.
“Tek Hoat,
tidak perlu kau mengorbankan nyawa dengan sia-sia. Keluarga kami terlalu banyak
untuk dapat kau selamatkan seorang diri saja. Sebaiknya tunggu kesempatan dan
kelak bergerak bersama kami.”
Sebetulnya,
niat dari Tek Hoat itu amat cocok dengan niat di hati Ceng Ceng yang juga sudah
tidak sabar lagi menanti kesempatan, dan ingin dia mengajak suaminya untuk
bersama dengan Tek Hoat malam itu juga menyerbu benteng. Akan tetapi ucapan Tek
Hoat sungguh tidak diduganya sama sekali.
“Aku harus
mencari Syanti Dewi, sekarang juga!” Setelah berkata demikian, sekali
berkelebat Tek Hoat sudah lenyap dari situ.
Ceng Ceng
termangu-mangu, kemudian mengepal tinjunya dan merasa mendongkol sekali. “Ahhh,
kiranya dia hendak mencari Enci Syanti Dewi? Hemmm, tidak sempat kutanya dia
mengapa dia meninggalkan Enci Syanti Dewi di Bhutan dan sekarang pura pura
ribut mencarinya, hemmm...,“ Ceng Ceng marah dan mendongkol karena kecewa.
Tadinya dia kira Tek Hoat mau membela keluarga suaminya, tidak tahunya pemuda
itu sama sekali tidak memikirkan tentang keluarga Kao, dan keinginannya
memasuki benteng itu tidak lain hanya untuk mencari Syanti Dewi.
Kok Cu
maklum akan kejengkelan hati isterinya, dia merangkul isterinya dan berkata,
“Kasihan dia. Dia menderita tekanan batin yang hebat sekali, hal itu dapat
kulihat dari wajahnya.”
“Hemmm,
mungkin dia kembali menjadi jahat lagi...,“ kata Ceng Ceng, membayangkan
kembali cerita tentang ayah kandungnya, seorang manusia yang amat jahat!
Dia merasa
beruntung bahwa dia menjadi isteri seorang bijaksana seperti Kok Cu, karena
kalau dia teringat akan pengalamannya dahulu, setelah menjadi murid Ban-tok
Mo-li, mungkin saja dia pun menjadi seorang tersesat yang jahat, seperti
mendiang ayah kandungnya. Dan mendadak dia bergidik, lalu menyembunyikan
mukanya dalam rangkulan lengan kanan suaminya…..
***************
Malam telah
larut, lewat tengah malam. Bulan purnama telah condong ke barat dan malam itu
dingin serta sunyi sekali. Akan tetapi, sesosok bayangan berkelebatan seperti
setan di bawah tembok benteng. Bayangan orang itu bukan lain adalah Tek Hoat
yang telah meninggalkan Ceng Ceng dan suaminya. Ceng Ceng tidak melihat Syanti
Dewi di dalam benteng, akan tetapi siapa tahu? Dan seandainya dia tidak
menemukan Syanti Dewi di situ, tidak pula bisa memperoleh kabar tentang puteri
itu, setidaknya dia akan dapat menuntut agar putera Ceng Ceng dibebaskan.
Dia tidak
perlu banyak berjanji kepada suami isteri itu, akan tetapi kalau di sana tidak
ada Syanti Dewi, dia tentu akan membebaskan putera Ceng Ceng! Saudara tirinya
itu kelihatan demikian gelisah, dan diam-diam dia merasa amat kasihan kepada
Ceng Ceng. Dia tidak takut biar pun di sana ada Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi
dan yang disebut Im-kan Ngo-ok yang tidak dikenalnya itu. Biar semua iblis dan
setan berkumpul di sana, dia tidak takut!
Ketika dia
mulai mendekati tembok benteng, Tek Hoat yang berpenglihatan tajam itu mengerti
bahwa ada bayangan yang mengikutinya. Orang yang membayanginya itu juga amat
cepat gerakannya. Mula-mula dia menduga bahwa bayangan itu tentulah Ceng Ceng
atau Kok Cu, akan tetapi setelah dia melihat sekelebatan, dia tahu bahwa
bayangan itu bukan Ceng Ceng, karena orang itu tinggi besar tidak seperti
bentuk tubuh Ceng Ceng dan lengannya lengkap tidak seperti lengan Kok Cu.
Namun karena
bayangan itu hanya mengikutinya, maka dia pun tak mempedulikan dan melanjutkan
gerakannya meloncat naik ke atas tembok benteng seperti seekor burung garuda
terbang saja. Loncatannya tidak mungkin dapat mencapai di atas tembok yang
demikian tingginya, akan tetapi seperti seekor cecak terbang, dia hinggap di
tembok dan menggunakan kaki tangannya menempel tembok, kemudian terus merangkak
ke atas menggunakan sinkang-nya yang membuat telapak tangannya menyedot dan
menempel dinding, menahan tubuhnya. Dengan cepat dia merayap seperti seekor
cecak dan akhirnya dia dapat mencapai pinggiran tembok dan meloncat naik ke
atas tembok benteng yang tinggi itu.
Akan tetapi
baru saja dia berdiri, kakinya telah menginjak alat jebakan dan dari bawah
menyambar belasan batang anak panah ke arah tubuhnya! Namun, Tek Hoat telah
siap waspada dan begitu mendengar bunyi berdesir dari bawah, dia telah meloncat
ke atas dan mengelak, lalu turun lagi di atas dinding tembok di depan. Kiranya
semenjak benteng itu kebobolan, Im-kan Ngo-ok telah memasang jebakan-jebakan di
atas tembok benteng dan satu di antara alat jebakan itu tadi terinjak oleh Tek
Hoat.
Tek Hoat
terus berloncatan di atas tembok benteng yang berlapis-lapis itu, dari tembok
pertama ke atas tembok kedua. Dia melihat bayangan di belakangnya masih tetap
mengikutinya, akan tetapi dia tidak peduli dan terus meloncat ke tembok sebelah
dalam. Tiba-tiba dia terkejut sekali ketika tembok yang diinjaknya bergoyang
dan melesak ke bawah! Karena secara tiba-tiba tubuhnya terjeblos ke bawah,
tentu saja dia tidak dapat meloncat lagi ke atas dan ketika dia memandang ke
bawah, ternyata di bawahnya telah menanti ujung-ujung tombak yang meruncing.
Dari atas,
ujung-ujung tombak itu kelihatan menyeramkan dan orang yang terjatuh ke tempat
itu tentu akan tembus-tembus tubuhnya oleh puluhan batang tombak itu. Untuk
meloncat ke lain tempat sudah tidak mungkin lagi, maka mau tidak mau Tek Hoat
harus terus meluncur ke bawah! Dia cepat mengerahkan ginkang-nya dan ketika
ujung-ujung tombak itu telah dekat sekali, dia menggunakan ujung kakinya
menotol ujung tombak dan mengenjot ke atas untuk mematahkan tenaga luncuran
tubuhnya, kemudian dia turun lagi dan hinggap dengan kedua kakinya ke atas
ujung dua batang tombak.
Akan tetapi
tombak itu terpasang kuat sekali, terpaksa dia mengerahkan tenaganya dan
mematahkan tenaga luncuran tubuhnya, kemudian dia turun lagi dan hinggap dengan
kedua kakinya ke atas ujung dua batang tombak seperti seekor burung saja!
Dengan berjongkok tangannya mencabut sebatang tombak. Akan tetapi tombak itu
terpasang kuat sekali, terpaksa dia mengerahkan tenaganya dan mematahkan gagang
tombak itu, lalu dia mengenjot tubuhnya meloncat ke atas. Ketika dia tidak
mencapai atas tembok, dia menggunakan tombak patahan tadi untuk menyodok
dinding dan dengan tenaga sodokan ini dia dapat berpoksai lagi ke atas.
sehingga akhirnya dapat juga dia hinggap di atas tembok kembali.
“Bagus sekali...!”
Pujian ini terdengar dari bayangan yang masih mengikutinya dari jauh. Akan
tetapi Tek Hoat tidak peduli lagi dan melanjutkan penyelidikannya, meloncat
terus ke tembok sebelah dalam lagi.
Sekarang Tek
Hoat telah tiba di lapisan tembok benteng yang paling dalam. Tiba-tiba
terdengar suara berdering-dering ketika kakinya menyangkut tali rahasia dan Tek
Hoat melihat pasukan berbondong-bondong datang ke sebelah dalam tembok. Bahkan
ada pasukan dua puluh orang lebih yang menghujankan anak panah ke arah dia
berdiri di atas tembok. Akan tetapi, Tek Hoat sama sekali tidak menjadi gentar,
dia malah terus meloncat ke dalam sambil memutar tombak yang dicabutnya dari
tempat jebakan tadi dan semua anak panah dapat ditangkisnya dan runtuh ke
bawah. Dengan ringan kakinya menginjak tanah di tengah-tengah lapangan di
sebelah dalam benteng itu dan sebentar saja dia sudah terkurung oleh pasukan
penjaga yang banyak sekali. Akan tetapi, pemuda ini berdiri tenang dan sepasang
matanya bersinar-sinar menyeramkan.
Tidak ada anggota
pasukan yang berani menyerang karena selain tidak ada perintah dari atasan,
juga mereka maklum bahwa yang datang ini adalah seorang pemuda yang lihai
sekali, seperti Si Naga Sakti dan isterinya yang juga datang ke benteng ini
beberapa hari yang lalu. Menghadapi orang-orang sakti seperti ini bukanlah
tugas mereka dan memang benar saja, tak lama kemudian terdengar aba-aba dari
komandan mereka untuk membuka jalan dan nampaklah Koksu Nepal dan para
pembantunya menghampiri tempat itu dan berhadapan dengan Tek Hoat yang
memandang kepada rombongan ini dengan sikap tenang dan sinar mata tajam penuh
selidik.
“Ha-ha-ha,
dia adalah Si Jari Maut! Semenjak tadi aku sudah mengenalinya!” Tiba-tiba
terdengar suara dan muncullah Hek-hwa Lo-kwi. Juga Hek-tiauw Lo-mo yang turut
datang bersama Koksu Nepal segera mengenal pemuda itu.
“Ang Tek
Hoat si Jari Maut, mau apa kau berkeliaran ke sini?” bentaknya.
Tek Hoat
memandang kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, lalu terdengar dia berkata
dengan sikap angkuh dan tenang, “Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, apakah
kalian menjadi pimpinan di sini ataukah hanya sebagai pembantu-pembantu belaka?
Kalau begitu, siapakah pemimpinnya? Aku mau berbicara dengan pemimpin benteng
ini.”
Begitu
mendengar julukan Si Jari Maut, biar pun dia belum pernah mendengar julukan
yang memang belum lama terkenal di dunia kang-ouw ini, namun koksu sudah merasa
kagum. Orang yang mendapat pujian dari dua orang kakek iblis itu tentulah bukan
orang biasa, dan pemuda ini masih begini muda, dan cekatan pula, buktinya dapat
melalui jebakan-jebakan dengan begitu mudah. Maka dia lalu melangkah maju dan
tersenyum lebar.
“Kami, koksu
dari Nepal, adalah yang mewakili Pangeran Bharuhendra memimpin benteng ini.
Ang-sicu sudah memerlukan malam-malam datang ke tempat ini, ada keperluan
apakah?” tanyanya dengan sikap ramah.
Sinar bulan
tenggelam, akan tetapi sebagai gantinya, banyak obor dinyalakan untuk membantu
penerangan lampu yang banyak tergantung di tempat itu sehingga Tek Hoat dapat
mengamati wajah banyak orang itu. Kini dia berhadapan dengan Ban Hwa Sengjin
dan setelah sejenak memandang wajah kakek ini dengan penuh selidik, dia lalu
berkata dengan lantang, “Kiranya yang memimpin adalah koksu dari Nepal! Sungguh
hebat benteng ini, dan kulihat banyak orang-orang pandai membantu di sini.
Koksu, aku sama sekali tidak mau mencampuri urusan pemberontakan. Aku datang
untuk urusan pribadi, yaitu aku mencari Puteri Bhutan...”
“Ahhh,
Puteri Syanti Dewi?” Koksu Nepal itu memotong sambil tersenyum lebar.
“Benar!” Jantung
Tek Hoat berdebar keras. “Bukankah dia berada di sini? Aku datang untuk mencari
dia!”
“Ah, tentu
saja sang puteri berada di sini, Ang-sicu. Beliau berada di sini sebagai tamu
agung!”
Tek Hoat
mengerutkan alisnya. “Hemmm, siapakah yang tidak tahu bahwa Nepal selamanya
tidak pernah bersahabat dengan Bhutan?”
Mendengar
ini, Koksu Nepal terkejut dan tiba-tiba Gitananda berbisik dalam bahasa Nepal
kepada koksu itu. Wajah koksu itu menjadi berseri. “Aha, kiranya engkau adalah
panglima muda yang amat terkenal di Bhutan, yang pernah akan menjadi mantu Raja
Bhutan itu? Ah, sungguh kebetulan sekali! Agaknya engkau telah meninggalkan
Bhutan dan tidak tahu bahwa antara Bhutan dan Nepal telah terjadi persahabatan.
Buktinya, Puteri Syanti Dewi kini menjadi tamu kami, diantar oleh panglimanya.”
Dia lalu bicara kepada Gitananda untuk memanggil Mohinta.
Tek Hoat
terkejut melihat munculnya panglima muda Bhutan itu di situ. Sebaliknya, ketika
melihat Tek Hoat, Mohinta menjadi marah sekali dan bersama para pengikutnya,
dia sudah melolos senjata dan hendak menyerang. Akan tetapi koksu mengangkat
tangannya dan memberi isyarat kepada Mohinta untuk mundur.
“Ang-sicu,
kau lihat sendiri, Panglima Mohinta dari Bhutan sendirilah yang mengawal Sang
Puteri Syanti Dewi dan menjadi tamuku. Kita semua adalah merupakan satu
keluarga, mengingat bahwa Sicu juga sudah berjasa untuk Bhutan. Nah, sekarang
katakanlah, apa maksud kedatanganmu? Sebagai kawan ataukah sebagai lawan?”
Semua orang
terkejut dan merasa heran mendengar ucapan koksu yang mengaku bahwa Puteri
Bhutan itu berada di situ sebagai tamu. Padahal, bukankah puteri itu telah
terculik orang dan sampai kini belum diketahui di mana adanya? Akan tetapi
tidak ada orang yang tahu akan kelicikan koksu ini. Dia memang sengaja
mengatakan bahwa Syanti Dewi masih berada di situ, karena dia mempunyai rencana
yang dianggapnya baik sekali untuk dapat menahan pemuda yang lihai ini agar
dapat membantunya.
“Terserah
kepada koksu akan menganggap aku sebagai kawan atau lawan. Maksud kedatanganku
sudah jelas, yaitu aku ingin melihat Puteri Syanti Dewi dalam keadaan selamat.”
“Ha-ha-ha,
permintaan yang amat mudah, Ang-sicu. Tentu engkau bisa maklum bahwa
keselamatan sang puteri sepenuhnya berada di tangan kami. Kalau Sicu mau
membantu kami, sudah pasti sang puteri akan selamat...“
“Sudah
kukatakan bahwa aku tidak hendak mencampuri urusan pemberontakanmu!” Tek Hoat
memotong cepat.
“Baiklah,
setidaknya asal engkau suka berjanji bahwa engkau tidak akan membantu pihak
musuh kami dan bahwa engkau suka melindungi Puteri Syanti Dewi di sini.”
“Tentu saja
aku akan suka melindunginya dari siapa pun juga!” jawab Tek Hoat. “Akan tetapi
biarkan aku lebih dulu bertemu dengan dia.”
“Ang-sicu, hendaknya
Sicu maklum bahwa setelah Sicu berada di dalam benteng, maka kamilah yang
menentukan segala sesuatu, karena betapa pun lihainya Sicu, seorang diri saja
tidak berdaya terhadap kami. Sicu baru saja datang, tentu tidak baik kalau
bertemu dengan sang puteri. Akan tetapi tunggulah satu dua hari, kalau memang
Sicu benar-benar mau tinggal di sini melindunginya dan memperlihatkan iktikad
baik bahwa Sicu bukan mata-mata musuh kami, barulah Sicu akan dapat bertemu
dengan Puteri Syanti Dewi.”
Tek Hoat
memandang ke sekeliling. Dia melihat bahwa selain Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa
Lo-kwi, juga terdapat banyak orang yang kelihatan berilmu tinggi. Semua tokoh
ini sudah berbahaya, apa lagi ditambah dengan banyak pasukan dan keadaan
benteng yang kokoh kuat, memang kalau dia menggunakan kekerasan hal itu adalah
bodoh sekali. Apa lagi setelah ada kepastian bahwa Syanti Dewi berada di situ
dan dalam keadaan selamat, apa lagi yang dikehendakinya? Dia harus bersabar
sampai dia benar-benar bertemu dengan Syanti Dewi. Setelah bertemu barulah dia
akan mencari akal bagaimana untuk dapat membawa keluar puteri itu dari benteng
ini. Kalau hal ini tidak mungkin, setidaknya dia berdekatan dengan wanita yang
dicintanya itu dan dapat melindunginya dari gangguan siapa pun juga dengan taruhan
nyawanya.
“Baiklah,
asal benar-benar dia berada di sini, aku akan melindunginya di sini dan tidak
akan mencampuri urusan kalian dengan musuh-musuh kalian,” katanya.
Tek Hoat
lalu diberi sebuah kamar dan diam-diam gerak-geriknya selalu diikuti. Pemuda
ini pun tidak memperlihatkan sikap mencurigakan karena dia hanya menanti sampai
dia dapat dipertemukan dengan kekasihnya. Satu dua hari, kata koksu. Baik, dia
akan bersikap baik selama dua hari sampai dia benar-benar melihat sang puteri
dalam keadaan selamat.
Sementara
itu, kalau semua orang merasa heran, koksu dengan tenang lalu memanggil
pembantunya yang amat ahli dalam hal itu, yaitu Ang-siocia dan gurunya, yaitu
Hek-sin Touw-ong. Adanya dua orang yang pandai melakukan penyamaran inilah yang
membuat koksu tanpa ragu-ragu mengatakan kepada Tek Hoat bahwa Syanti Dewi
memang berada di situ sebagai tamu!
“Pemuda
selihai itu sebaiknya kalau berpihak kepada kita,” kata koksu kepada para
pembantunya setelah Ang-siocia hadir bersama gurunya, “atau setidaknya, dalam
menghadapi masa gawat ini, sebaiknya kalau dia di sini dan tidak membantu
musuh. Karena itulah aku menggunakan dalih adanya Puteri Syanti Dewi untuk
menahan dia di sini, dan untuk melaksanakan akal ini, aku mengharapkan bantuan
Ang-siocia, dan tentu saja Hek-sin Touw-ong.”
Dara itu
saling pandang dengan gurunya. Semenjak berada di dalam benteng, mereka itu
tidak pernah melihat kesempatan untuk melarikan diri karena biar pun mereka itu
dianggap pembantu-pembantu, akan tetapi seperti juga Jenderal Kao, mereka
adalah pembantu-pembantu yang dicurigai sehingga selalu terjaga dan tidak
pernah dibolehkan keluar dari benteng.
“Memang hal
itu mudah dilakukan karena kami melihat di sini banyak wanita Nepal yang
potongan wajahnya agak mirip dengan sang puteri sehingga mudahlah untuk
meriasnya sampai tidak akan ada bedanya dengan wajah sang puteri sendiri,” kata
Touw-ong.
“Menghias
mukanya memang mudah sekali, juga pakaian dan gerak-geriknya, akan tetapi
meniru suaranya harus dilakukan oleh seorang yang mengenal betul cara sang
puteri bicara,” kata Ang-siocia. “Kalau benar Ang Tek Hoat itu dahulu adalah
tunangan sang puteri, tentu dia akan dapat mengenal cara wanita itu bicara.”
“Bagus!”
kata Ban Hwa Sengjin berseru girang. “Soal cara bicara dan lagaknya, di sini
terdapat Mohinta yang akan mampu melatihnya karena dia tentu hafal akan
kebiasaan sang puteri bicara dan bersikap.”
Mohinta
mengangguk-angguk, sungguh pun di dalam hatinya dia tidak setuju kalau Tek Hoat
diterima sebagai sekutu di tempat itu. Menurut keinginannya, pemuda itu
sebaiknya dibunuh saja! Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani membantah
kehendak Koksu Nepal yang bertindak demi kepentingan benteng.
Mudah saja
bagi Ang-siocia dan gurunya untuk menyulap seorang dayang Nepal yang menjadi
pelayan Pangeran Bharuhendra, menjadi Puteri Syanti Dewi. Biar pun baru satu
kali guru dan murid ini melihat Syanti Dewi, namun ingatan mereka kuat sekali,
dan pula di situ terdapat Mohinta dan para bekas dayang yang melayani sang
puteri sehingga mereka ini dapat memberi petunjuk.
Dalam waktu
satu dua jam saja berubahlah seorang dayang menjadi Puteri Syanti Dewi dari
Bhutan! Dari rambut sampai ke kakinya, persis sekali! Kini tinggal melatih
dayang itu untuk bersikap dan bicara seperti Syanti Dewi dan hal inilah yang
lebih sukar sehingga membutuhkan waktu dua hari di bawah pimpinan Mohinta, baru
dayang itu dapat meniru dan agak mirip dengan gerak-gerik dan cara bicara
Puteri Bhutan itu. Oleh karena itu, Koksu Nepal memesan kepada dayang itu untuk
bicara seperlunya saja dan wanita ini sudah dilatih sampai hafal betul apa yang
harus diucapkannya kalau dia sebagai Puteri Syanti Dewi bertemu dengan Ang Tek
Hoat!
Demikianlah,
setelah dua hari lamanya menanti di situ, akhirnya Ang Tek Hoat ditemui oleh
koksu dan kakek ini tertawa lebar. “Ha-ha-ha, girang hati kami melihat bahwa
engkau ternyata tidak memperlihatkan sikap yang buruk, Sicu. Maka, sekarang
kami memenuhi janji untuk mempertemukan engkau dengan Puteri Bhutan. Tentu saja
hanya terbatas, pokoknya Sicu dapat membuktikan bahwa dia selamat di sini dan
dapat bicara sepatah dua patah kata.”
Tek Hoat
tidak lagi memperhatikan syarat itu karena hatinya sudah berdebar penuh
ketegangan dan juga kegirangan. Sejak dia meninggalkan Bhutan, hatinya
menderita hebat oleh rasa rindunya kepada Syanti Dewi dan dia sudah merasa
putus asa karena tidak mungkin dia akan dapat bertemu lagi dengan kekasihnya
itu. Maka ketika dia mendengar bahwa Syanti Dewi meninggalkan Bhutan dan berada
di timur, dia mencari cari sampai akhirnya sekarang tiba saatnya dia akan
bertemu muka, berhadapan dan bicara dengan kekasihnya itu! Jantungnya
berdebar-debar dan dia hanya dapat mengangguk kepada Ban Hwa Sengjin dengan perasaan
berterima kasih.
Mereka
menuju ke satu bagian di dalam benteng itu dan dari dalam sebuah pintu di
pondok besar, muncullah Syanti Dewi dengan gerak-geriknya yang lemah lembut dan
harus diiringkan oleh beberapa orang dayang. Ketika Syanti Dewi melihat Tek
Hoat, dia mengeluarkan seruan tertahan dan berhenti melangkah, lalu memandang
dengan mata terbelalak kemudian menundukkan mukanya, lalu jari-jari tangannya
mempermainkan ujung bajunya. Kebiasaan sang puteri kalau sedang merasa tegang,
kebiasaan yang amat dikenal oleh Tek Hoat!
“Dewi...!”
Tek Hoat berseru lirih dan melangkah maju, lehernya seperti dicekik rasanya
karena terharu dan juga girang. Ternyata kekasihnya itu benar-benar dalam
keadaan selamat dan hal ini amat menggirangkan hatinya! “Terima kasih kepada
Thian bahwa engkau masih dalam keadaan sehat dan selamat!” Hanya demikianlah
Tek Hoat dapat berseru dengan girang sekali.
“Ang Tek
Hoat,” terdengar sang puteri berkata dengan suara agak gemetar, tanpa
mengangkat mukanya. “Mau apakah engkau minta bertemu dengan aku...?” Dalam
suara itu terkandung kedukaan dan kemarahan.
Tek Hoat
mengerutkan alisnya. Biasanya, Puteri Syanti Dewi menyebutnya koko atau kanda,
kini menyebut namanya begitu saja. Dia dapat mengerti bahwa tentu sang puteri
ini marah kepadanya, dan dia dapat mengerti mengapa puteri ini marah kepadanya.
“Dinda Syanti
Dewi, engkau tahu... betapa berat hatiku berpisah... dan betapa kaget hatiku
mendengar engkau berada di sini, meninggalkan Bhutan. Aku hanya ingin melihat
engkau selamat dan bahagia...“ Tek Hoat mengeluarkan isi hatinya tanpa malu dan
sungkan lagi sungguh pun di situ terdapat empat orang dayang dan juga terdapat
Ban Hwa Sengjin. Bahkan dia melihat bayangan beberapa orang berkelebatan tak
jauh dari situ. Dan memang diam-diam empat orang Im-kan Ngo-ok lainnya
bersiap-siap tidak jauh dari tempat itu, menjaga kalau-kalau Tek Hoat melihat
penyamaran itu.
Puteri palsu
itu sengaja menyebut Tek Hoat dengan namanya saja karena hal ini sudah
diperhitungkan baik-balk oleh Mohinta yang mengatur percakapan itu! Maka
berkatalah puteri itu sesuai dengan hafalannya, “Ang Tek Hoat, engkau telah
pergi tanpa pamit, bahkan telah menimbulkan kemarahan di hati ayahku, oleh
karena itu sesungguhnya sudah tidak ada apa-apa lagi antara kita. Akan tetapi
kalau engkau memperlihatkan bantuan untuk menghadapi musuh dari Pangeran Nepal,
baru aku mau mengenalmu lagi. Nah, sampai jumpa pula... dan semoga kau
berhasil!” Setelah berkata demikian, puteri palsu itu membalikkan tubuhnya dan
diiringkan oleh para dayang dia masuk, kembali ke dalam pondok.
“Syanti...!
Syanti Dewi...!” Tek Hoat berseru akan tetapi sesuai dengan petunjuk yang telah
diterimanya, puteri itu tidak mau berhenti atau menoleh. Daun pintu ditutupkan
oleh para dayang dan ketika Tek Hoat melangkah ke depan, Ban Hwa Sengjin sudah
mendekatinya dan menegurnya.
“Sicu,
pondok ini khusus untuk sang puteri, tidak ada pria yang boleh masuk. Marilah
kita bicara. Saya kira sang puteri sudah cukup jelas bicara.”
Seperti
orang yang kehilangan semangat Tek Hoat mengikuti Koksu Nepal dan dengan ucapan
Syanti Dewi masih terngiang di telinganya, apa lagi kata-kata terakhir “semoga
kau berhasil!” berkesan di dalam hatinya. Dia mendengarkan bujukan-bujukan
Koksu Nepal dan akhirnya dia menyetujui untuk melindungi sang puteri di dalam
benteng itu dan akan membantu menghalau musuh yang membahayakan keselamatan
Syanti Dewi sedapat mungkin!
Selagi koksu
membujuk Tek Hoat, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan datanglah penjaga
melapor bahwa pasukan Gubernur Ho-nan datang berlari-larian, nampaknya
ketakutan dan mengalami kekalahan! Mendengar ini, Ban Hwa Sengjin cepat pergi
melapor kepada Pangeran Bharuhendra yang cepat keluar dan pintu gerbang dibuka
lebar untuk menyambut datangnya sang gubernur bersama pasukannya yang melarikan
diri dari Lok-yang itu.
Dengan muka
pucat dan napas terengah-engah Gubernur Kui Cu Kam menceritakan betapa pasukan
besar yang dipimpin oleh Puteri Milana telah menggempur Lok-yang dan telah
menduduki semua kota, dan tentu akan segera menyerbu ke lembah.
Dalam
pertemuan ini, dengan singkat Tek Hoat diperkenalkan kepada sang pangeran oleh
Koksu Nepal. Pangeran Liong Bian Cu sudah mendengar laporan lengkap tentang Tek
Hoat, maka ia pun menyatakan kegirangannya jika pemuda itu suka membantunya.
Kemudian, pangeran memerintahkan supaya semua pembantunya dikumpulkan dan diadakanlah
persidangan kilat untuk mengatur rencana dan siasat menghadapi musuh yang sudah
mengancam.
Kepada
Jenderal Kao Liang yang juga diharuskan hadir, sang pangeran berkata, “Sekarang
tiba saatnya engkau memperlihatkan kepandaianmu dan memenuhi janjimu, Jenderal
Kao!”
Jenderal
yang tua itu dengan wajah muram mengangguk. “Saya akan memperlihatkan bahwa
janji saya akan tetap saya penuhi, dan tidak akan ada pasukan mana pun yang
mampu membobol benteng ini!” Jenderal Kao Liang lalu berpamit mundur untuk mulai
mengatur penjagaan dan membagi-bagi tugas kepada para komandan bawahannya.
Pangeran
Liong Bian Cu lalu mengajak Gubernur Kui Cu Kam untuk bicara di dalam,
sedangkan persidangan itu dilanjutkan oleh Koksu Nepal yang membagi-bagi tugas
kepada para tokoh pembantunya untuk memperkuat kedudukan benteng di sebelah
dalam, karena kedudukan di sebelah luar seluruhnya menjadi tanggung jawab
Jenderal Kao Liang.
Sibuklah
semua orang yang menanti dengan jantung berdebar tegang karena para pasukan
gubernur yang melarikan diri ke benteng itu bercerita betapa kuatnya pasukan
kota raja yang dipimpin oleh Puteri Milana yang memang terkenal pandai sekali
dalam hal memimpin pasukan itu. Puteri Milana ini memang mengingatkan kaum tua
kepada Puteri Nirahai, ibunya, yang dahulu juga merupakan seorang panglima
besar yang amat pandai. Tek Hoat juga memperoleh bagian dalam pembagian kerja
itu, yaitu dia harus melindungi bagian bangunan di mana juga tinggal Puteri
Syanti Dewi. Tentu saja pemuda ini menerima tugas itu dengan girang dan dia pun
bersungguh-sungguh, karena dia akan melindungi sang puteri dengan taruhan
nyawanya.
Pada
keesokan harinya, muncullah pasukan kerajaan yang telah dinanti-nanti dengan
hati penuh ketegangan oleh semua orang di benteng itu! Pasukan yang besar dan
berbaris rapi, dipimpin oleh Puteri Milana. Dari atas menara di tembok benteng
sudah nampak debu mengepul tinggi ketika pasukan itu datang dari jauh, kemudian
makin lama nampaklah barisan itu seperti serombongan semut yang bergerak dengan
teratur. Jantung mereka yang memandang dari atas menara berdebar tegang karena
gerakan pasukan besar itu memang amat menyeramkan.
Di atas
tebing bukit yang tinggi dari mana orang dapat melihat tembok benteng di
kejauhan, Puteri Milana memberi isyarat kepada pasukannya untuk berhenti.
Pembawa bendera menggerak-gerakkan bendera sebagai isyarat dan barisan itu pun
berhenti.
Puteri Milana
menunggang seekor kuda besar berbulu hitam, diiringkan oleh beberapa orang
panglima dari kota raja. Gagah dan cantik sekali puteri ini, seorang wanita
berusia empat puluh tahun namun kelihatan masih muda, dengan wajah yang cantik
dan matang, kelihatan angker dan mendatangkan rasa hormat ketika dia duduk
dengan tenang di atas kuda yang besar itu, memegang kendali dengan tangan kiri.
Pakaiannya
tertutup oleh baju perang bersisik baja berwarna kuning emas, sehelai mantel
merah menutupi pundak dan punggungnya. Rambutnya disanggul ke atas dan ekor
rambut berjuntai ke belakang diikat dengan pita kuning. Sebatang pedang dengan
sarung pedang terukir indah tanda bahwa pedang itu adalah pedang kebesaran dari
kota raja, dari istana, tergantung dipinggang kirinya. Hati setiap orang
prajurit tentu akan penuh semangat kalau memandang kepada pemimpinnya seperti
itu!
Milana
membagi-bagi barisannya dalam pasukan-pasukan yang diberi nama Pasukan
Serigala, Pasukan Harimau, Pasukan Naga, dan lain nama binatang yang perkasa pula.
Para komandan masing-masing pasukan memakai lukisan binatang yang menjadi tanda
pasukannya, demikian pun setiap pasukan membawa bendera lambang pasukan berupa
gambar binatang itu. Hal ini untuk memudahkan mereka saling mengenal dan sifat
setiap pasukan disesuaikan pula dengan lambang binatang yang menjadi nama
mereka.
Setelah
semua pasukan berhenti, Milana mengamati keadaan benteng yang nampak dari jauh
dan kelihatan sunyi itu. Dia sudah mempelajari keadaan tempat di sekitar
benteng itu dari gambar yang dibuat oleh para penyelidik, maka kini dia
memandang untuk mempelajari keadaan itu sesuai dengan gambar yang pernah
dipelajarinya. Memang sebuah benteng yang amat kuat, pikirnya. Dan hatinya
terasa perih kalau dia teringat bahwa benteng itu dibuat atas petunjuk Jenderal
Kao Liang! Keadaan benteng yang angker, sunyi dan kelihatan kokoh kuat itu
benar-benar menggiriskan hati, berbeda dengan benteng-benteng lain di mana
kelihatan anggota pasukan penjaga hilir-mudik dan kelihatan sibuk. Tidak,
benteng ini seperti kosong saja, bahkan dari luar tak nampak seorang pun
penjaga.
Milana masih
duduk di atas pelana kudanya dan memandang ke arah benteng dengan alis berkerut
dan sinar mata melamun. Dari sebelah kanannya datang seorang Panglima Pasukan
Serigala yang melapor dengan suara tegas, “Laporan, Panglima! Para penyelidik
melaporkan bahwa benteng itu tak dapat diserang dari belakang karena
membelakangi tebing sungai yang penuh rawa-rawa liar dan berbahaya. Kanan dan
kirinya tertutup jurang yang dalam. Laporan selesai!”
Milana
mengangguk-angguk. “Hemmm, jadi cocok dengan keterangan dalam gambar. Kalau
begitu, siapkan pasukan, jalan satu-satunya hanyalah menyerang dari depan untuk
mencoba sampai di mana ketangguhan lawan. Akan tetapi, kalau ternyata pihak
lawan kuat sekali, jangan memaksakan diri, tunggu tanda untuk mundur agar
jangan sampai kehilangan banyak anak buah menjadi korban!”
Komandan itu
lalu mundur dan Milana memberi perintah kepada pemegang bendera isyarat untuk
menyampaikan perintahnya. Pemegang bendera itu berdiri di atas batu besar dan
menggerakkan benderanya dengan gerakan-gerakan tertentu agar terbaca oleh semua
komandan. Perintah dari Panglima Puteri Milana adalah agar Pasukan Serigala
maju menyerang pintu gerbang depan benteng itu sedangkan pasukan pasukan lain
hanya bersiap di kanan kiri sesuai dengan kedudukan mereka tanpa ikut
menyerang, hanya melindungi kalau-kalau Pasukan Serigala terdesak agar membantu
mereka mundur dengan selamat.
Pasukan
Serigala yang terdiri dari sepuluh ribu orang itu lalu dikerahkan dan mulailah
pasukan ini menyerang dan menyerbu benteng dari pintu gerbang depan. Setelah
jarak mereka mulai dekat dan sejauh sasaran anak panah, tiba-tiba dari atas
tembok benteng itu berhamburan datang anak panah dan batu-batu bagaikan hujan
menyambut mereka! Hal seperti ini tidak mengejutkan pasukan yang sudah
berpengalaman itu dan memang sudah mereka duga lebih dulu. Maka mereka pun
cepat mengangkat perisai masing masing untuk melindungi diri dan mereka terus
menyerbu sambil bersorak-sorak, dan pasukan-pasukan bagian panah lalu membalas
dengan melepaskan anak panah mereka ke tembok benteng, tubuh mereka dilindungi
oleh teman yang mengangkat perisai besar. Hiruk-pikuk bunyi anak panah dan batu
menimpa perisai-perisai itu.
Puteri
Milana menyaksikan penyerbuan Pasukan Serigala itu dengan seksama sambil
memandang ke arah atas tembok benteng. Dari menara tembok itu dia melihat
bendera merah dikibarkan dan tiba-tiba anak panah dan batu yang meluncur
bagaikan hujan dari atas tembok itu berhenti. Pasukan Serigala masih menyerbu
terus, kini sudah mulai menaiki lereng menuju ke pintu gerbang.
“Perintahkan
mereka mundur!” Tiba-tiba Milana berseru dan pemegang bendera lalu memberi
isyarat, disusul bunyi tambur sebagai perintah kepada pasukan itu.
Namun
terlambat, karena tiba-tiba saja pintu gerbang terbuka dan dari dalam pintu
gerbang itu keluar batu-batu besar bergulingan ke bawah lereng, juga dari atas
tembok dilempar-lemparkan batu-batu sebesar kepala orang ke bawah sehingga
batu-batu ini pun bergulingan ke bawah menyambut pasukan musuh!
Diserang
secara bertubi-tubi dan mendadak ini, Pasukan Serigala menjadi terkejut. Mereka
berusaha menyingkir dan berloncatan ke sana-sini, akan tetapi banyak pula di
antara mereka yang tertimpa dan tertumbuk batu-batu besar sehingga ramailah
suara mereka yang diserang oleh batu-batu ini. Terpaksa mereka mundur secara
tidak teratur dan dalam penyerbuan pertama ini Pasukan Serigala kehilangan dua
ratus orang lebih. Milana melihat dari atas dan nampak olehnya betapa pintu
gerbang tertutup kembali dan bendera merah di atas menara itu bergerak-gerak
memberi tanda. Tembok benteng musuh kembali menjadi sunyi dan tidak nampak
seorang pun prajuritnya!
Milana
menarik napas panjang. Hebat, pikirnya. Benar-benar Jenderal Kao Liang telah
bekerja untuk musuh! Baik, dia pun harus melawan dengan kekerasan!
Dia memberi
kesempatan agar Pasukan Serigala memulihkan tenaga dan mengatur kembali
keberesan pasukan itu. Kemudian terdengar aba-abanya nyaring, “Lepaskan panah
berapi!”
Pasukan anak
panah lalu berindap-indap memencar dari depan, kanan dan kiri, dan tak lama
kemudian berluncuranlah anak panah yang membawa api menuju ke benteng itu. Akan
tetapi, karena benteng itu berlapis-lapis, maka anak-anak panah berapi itu
hanya mengenai tembok benteng di sebelah dalam, tidak mengenai
bangunan-bangunan di dalam benteng. Betapa pun juga, hujan anak panah berapi
itu membuat para prajurit di dalam benteng terpaksa berlindung dan memadamkan
api begitu anak panah itu menimpa tembok sebelah dalam. Sementara itu,
diam-diam Milana lalu memberi perintah kepada pasukan untuk menggali
lubang-lubang naik ke lereng itu.
Kemudian,
tiba-tiba Puteri Milana memerintahkan tiga pasukan, yaitu Pasukan Harimau,
Pasukan Naga, dan Pasukan Singa untuk menyerbu dari kanan kiri dan tengah,
didahului oleh pasukan yang mengerjakan penggalian-penggalian itu. Kembali
hujan anak panah dan batu, yang dibalas oleh serangan anak panah dari pasukan
kerajaan. Seperti juga tadi, ketika pasukan penyerbu sudah mulai naik ke lereng,
batu-batu besar berjatuhan dari atas dan keluar dari pintu gerbang. Akan tetapi
kini pasukan-pasukan itu sudah siap. Cepat mereka bertiarap ke dalam
lubang-lubang itu sehingga batu-batu yang menggelundung itu melewati tubuh
mereka. Ada pula yang terkena, akan tetapi tidak begitu banyak dan sebagian
besar pasukan selamat dan setelah hujan batu mereda, mereka terus mendaki naik
sambil menggali lubang-lubang berikutnya.
Siasat
Milana ini berhasil dan akhirnya tiga pasukan itu dapat bergabung dan sambil
bersorak-sorak mereka lari menuju ke depan. Akan tetapi, tiba-tiba mereka
disambut oleh teriakan yang mengejutkan dan dari dalam tanah di depan tembok
benteng itu terbuka lubang-lubang dan ternyata di situ terdapat pasukan-pasukan
pendam yang sudah lama menanti. Begitu keluar dari tempat persembunyian mereka,
pasukan pendam ini melepaskan anak panah dari kanan kiri, sedangkan pasukan
inti menyerbu dari tengah, dan kini pintu gerbang terbuka dan bersama dengan
bunyi tambur dan teriakan-teriakan menggegap-gempita, keluarlah pasukan besar
menyerbu dari tengah, menghimpit pasukan kerajaan dari kanan kiri dan tengah.
Terjadilah
pertempuran yang hebat, akan tetapi pasukan kerajaan sama sekali tidak mampu
untuk mendesak musuh. Bahkan mereka yang coba untuk mendekati tembok, menerima
siraman-siraman air panas dari atas tembok sehingga mereka terpaksa mundur
kembali! Melihat ini, kembali Milana memerintahkan mundur semua pasukan.
Serangan yang kedua itu pun gagal dan ternyata lebih dari seribu orang anak
buah pasukan tewas!
Setelah dua
kali kegagalan ini, dan melihat betapa tembok benteng itu kembali sunyi, Milana
lalu menarik mundur pasukannya dan membiarkan mereka mengaso. Dia sendiri lalu
mengadakan perundingan dengan para panglima kerajaan menghadapi benteng musuh
yang demikian kuatnya.
Dia tahu
atau dapat menduga bahwa yang menggerakkan bendera merah di menara itu tentulah
Jenderal Kao, atau setidaknya tentulah pembantu jenderal yang pandai itu. Untuk
menyerbu secara nekat dan membobolkan benteng dengan kekerasan, agaknya lebih
dulu akan mengorbankan banyak sekali prajurit dan hasilnya pun belum dapat
menyakinkan, mengingat betapa kuatnya penjagaan di benteng itu.
Malam tiba
dan Milana masih melakukan perundingan dan mencari siasat bersama para panglima
pembantunya, terus mencari-cari kemungkinan untuk menyerbu dengan lain cara…..
***************
Sementara
itu, pendekar Gak Bun Beng yang mendahului pasukan isterinya, sedang
menyusup-nyusup melalui hutan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho dan dia melihat
Kok Cu dan Ceng Ceng yang bersembunyi di tepi sungai. Dia lalu muncul di depan
suami isteri pendekar itu.
Kok Cu dan
isterinya terkejut sekali ketika tiba-tiba melihat bayangan berkelebat. Orang
yang datang ini sama sekali tidak mereka ketahui, tanda bahwa orang ini hebat
sekali ilmunya. Akan tetapi ketika Ceng Ceng melihat siapa adanya orang itu,
dia girang bukan main.
“Paman Gak
Bun Beng...!” serunya ketika melihat pria yang berdiri sambil tersenyum di
depannya itu.
Juga Kok Cu
menjadi girang dan cepat dia memberi hormat. Melihat pendekar ini, hati Ceng
Ceng menjadi besar dan cepat dia bertanya, “Paman, kapankah pasukan Bibi Milana
akan menyerbu ke sini?”
“Dalam satu
dua hari ini, kini telah berangkat setelah menduduki Lok-yang.”
“Ahhh,
Paman. Benteng itu kuat bukan main, dipimpin oleh...,“ Ceng Ceng tidak mampu
melanjutkan karena merasa tidak enak kepada suaminya.
“Aku sudah
tahu. Jenderal Kao Liang, ayah mertuamu itu terpaksa oleh karena semua
keluarganya ditawan, bukan? Tentu ada apa-apanya ini. Aku akan menyelidiki
lebih dulu ke dalam, dan sebaiknya kalian menanti sampai pasukan kerajaan
menyerbu. Ehhh, apakah kalian tidak bertemu dengan Suma Kian Bu? Dia telah
lebih dulu meninggalkan kota raja menuju ke sini!”
Kok Cu dan
Ceng Ceng saling pandang dengan heran lalu menggeleng kepala. “Kami bertemu
dengan Ang Tek Hoat yang mencari Puteri Syanti Dewi dan dia memasuki lembah,
entah apa jadinya dengan dia.” Ceng Ceng kemudian menceritakan tentang
pertemuan mereka dengan Tek Hoat. Mendengar hal ini, Gak Bun Beng mengerutkan
alisnya.
“Sungguh
aneh sekali, mengapa Syanti Dewi kembali dapat terbawa-bawa dalam pemberontakan
ini dan dia berada di lembah? Ahh, benteng di lembah itu mengandung banyak
rahasia, dan hal ini makin mendorongku untuk lebih dulu masuk menyelidiki ke
sana.”
“Keadaan
mereka kuat sekali... Paman Gak,” kata Kok Cu yang merasa agak kaku menyebut
paman kepada pendekar itu, akan tetapi karena memang pendekar itu adalah suami
dari Puteri Milana, bibi dari isterinya, maka dia pun menyebut paman. “Di sana
terdapat Im-kan Ngo-ok, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan banyak lagi tokoh
tokoh kaum sesat. Karena putera kami juga tertawan di sana, maka kami terpaksa
menahan diri dan mencari kesempatan untuk dapat menyelundup masuk dan menolong
semua keluarga ayah.” Lalu Si Naga Sakti ini bercerita tentang puteranya yang
juga terculik dan tahu-tahu sudah dibawa oleh penculik itu ke dalam benteng dan
menjadi tawanan bersama keluarga ayahnya pula.
Mendengar
ini, Gak Bun Beng menggelengkan kepalanya dengan kagum dan juga penasaran
sekali. “Ahhh, agaknya Pangeran Liong Bian Cu putera Pangeran Liong Khi Ong
yang ternyata juga menjadi Pangeran Nepal ini ternyata lebih cerdik dan
berbahaya dari pada ayahnya dahulu. Untuk mencapai cita-citanya, dia tidak
segan-segan menggunakan segala macam kecurangan untuk memaksa Jenderal Kao
membantunya dan membuatmu tidak berdaya pula dengan menguasai puteramu.”
“Kalau hanya
seorang anggota keluarga saja yang ditawan, kami berdua tentu sanggup untuk
menyelamatkannya, akan tetapi anggota keluarga sedemikian banyaknya, tidak
mungkin menggunakan kekerasan menolong mereka semua,” kata Kok Cu dengan
penasaran.
“Paman Gak,
kalau Paman sudah berhasil memasuki benteng, harap Paman sudi mengamat-amati
keadaan putera kami, Kao Cin Liong.”
Gak Bun Beng
mengangguk. Dia maklum bahwa bagi Kok Cu tak mungkin mengajukan permintaan
seperti itu karena selain puteranya, juga ayah bundanya, dan keluarga ayahnya
semua tertawan di sana, akan tetapi bagi Ceng Ceng sebagai seorang ibu, tentu
saja yang diingat hanyalah keselamatan puteranya.
“Jangan
khawatir, tentu saja aku akan berusaha sedapat mungkin agar mereka itu tidak
sampai terancam.” Bun Beng lalu bangkit berdiri. “Nah, sebaiknya memang kalau
kalian menanti sampai pasukan kerajaan menyerbu sehingga dalam kekacauan itu
mereka tidak begitu memperhatikan kalian. Sebelum itu, kehadiran kalian di sana
hanya membahayakan keselamatan keluarga kalian yang ditawan. Sampai jumpa,”
Setelah berkata demikian, Gak Bun Beng lalu meloncat pergi. Diam-diam Ceng Ceng
merasa berbesar hati setelah bertemu dengan pendekar itu karena dengan adanya
bantuan pendekar sakti itu, keselamatan puteranya lebih terjamin.
Ke manakah
perginya Kian Bu dan Hwee Li? Mereka itu beberapa hari lebih dulu dari Gak Bun
Beng meninggalkan kota raja menuju ke benteng di lembah Huang-ho, kenapa
setelah Bun Beng sudah tiba di situ, dua orang muda ini belum kelihatan
bayangannya? Ternyata mereka berdua itu mengambil jalan memutar. Mereka berdua
sudah mengerti benar akan kekuatan di dalam benteng, dan sedikit banyak Hwee Li
sudah mengenal keadaan di sekeliling benteng itu.
Maka mereka
lalu mencari akal, yaitu hendak menyelidiki benteng itu dari samping, melalui
jurang yang amat curam dan sukar, oleh karena itu mereka menggunakan waktu
berhari-hari untuk mencari jalan melalui tempat yang amat sukar dan tak mungkin
dilalui oleh pasukan atau manusia biasa itu. Sampai beberapa hari lamanya Kian
Bu dan Hwee Li mencari-cari jalan rahasia yang menurut Hwee Li terdapat di
sekitar jurang itu, namun tanpa hasil. Kian Bu mencela Hwee Li, mengatakan
bahwa mungkin tidak ada jalan rahasia itu dan Hwee Li menjadi uring-uringan.
“Aku belum
gila,” jawabnya marah. “Kalau tidak ada, perlu apa aku bersusah payah mengambil
jalan ini? Memang pintu rahasia itu belum kulihat di sebelah sini, akan tetapi
aku sudah tahu di sebelah dalamnya menembus di taman, di belakang rumpun bambu
kuning.”
Mereka duduk
di atas batu, menyeka peluh karena hari amat panas dan mereka sudah lelah
sekali.
Mendadak
Kian Bu meloncat berdiri. “Aku pergi dulu sebentar...,“ bisiknya, matanya terus
mengincar ke kiri, di mana terdapat semak-semak belukar.
“Mau apa?
Ada apa?” Hwee Li bertanya.
“Sssttt,
kulihat berkelebatnya bayangan kelinci gemuk di sana tadi. Perutku lapar, aku
akan menangkapnya untuk makan.” Kian Bu lalu berjingkat-jingkatan bergerak
cepat tanpa suara mencari kelinci yang baru saja dilihatnya. Sebentar saja
bayangan pemuda itu sudah lenyap di balik semak-semak.
Hwee Li
merasa panas hatinya karena agaknya keterangannya tentang jalan atau pintu
rahasia itu tak dipercaya oleh Kian Bu. Dia bangkit berdiri, membanting-banting
kakinya dan mulailah dia mencari lagi, mencari sendiri karena hatinya merasa
penasaran sekali. Ditelitinya setiap batu, setiap rumpun alang-alang atau
semak-semak. Sampailah dia di tepi jurang dan tiba-tiba dia tertegun memandang
ke kanan, kemudian cepat tubuhnya bergerak memutar, matanya terbelalak dan
mukanya perlahan-lahan berubah merah, tanda bahwa dia mulai marah sekali
melihat apa yang sedang terjadi di seberang jurang itu!
Apakah yang
sedang dilihatnya? Yang menimbulkan kemarahan hati Hwee Li ternyata adalah Suma
Kian Lee dan Teng Siang In! Seperti telah kita ketahui, dua orang muda ini pun
setelah lolos dari tangan Im-kan Ngo-ok lalu pergi menyelidiki benteng. Akan
tetapi karena mereka maklum bahwa menyelidiki dari depan amatlah berbahaya,
mereka lalu mengambil jalan memutar dan menyelidiki dari samping, melalui
jurang jurang seperti yang dilakukan oleh Kian Bu dan Hwee Li.
Ketika
mereka harus menyeberangi sebuah jurang yang amat berbahaya, keduanya
menggunakan akal. Untuk meloncati jurang itu tidaklah mungkin karena di
seberang sana terdapat semak-semak berduri sehingga tidak diketahui bagaimana
keadaan tanah di tepi jurang di seberang. Oleh karena itu, Kian Lee lalu
mengumpulkan akar-akar yang panjang dan kuat, disambung-sambungnya, kemudian
dia mengikatkan ujungnya pada sebuah batu sebesar kepala orang dan melontarkan
batu itu ke seberang sampai akar yang merupakan tambang itu melibat pada
sebatang pohon dan ditariknya sehingga menegang dan cukup kuat untuk dipakai
sebagai jembatan menyeberang.
Dan keduanya
sedang menyeberangi tali dari akar yang kuat itu ketika Hwee Li melihat mereka.
Biar pun Siang In memiliki ginkang yang amat tinggi dan baginya merupakan
pekerjaan amat mudah untuk menyeberang dan berjalan di atas tali itu, jangankan
hanya sepanjang itu, meski lima kali lebih panjang pun sanggup dilakukannya,
akan tetapi dara ini ternyata merupakan seorang yang mudah merasa ngeri kalau
berada di tempat yang curam, maka begitu dia mulai melangkah dan melihat ke
bawah, dia menjerit tertahan, “Aihhh... aku... aku ngeri...!” Dan dia lalu
menggerakkan payungnya, dibukanya payung itu dan dipergunakannya untuk membantu
keseimbangan tubuhnya! Padahal kalau dia tidak merasa ngeri, sambil berlari
biasa pun dia sanggup melintasi jurang itu melalui tambang.
Melihat
wajah dara itu mendadak menjadi pucat, Kian Lee menjadi tidak tega dan juga
khawatir kalau-kalau saking ngerinya dara itu menjadi pingsan dan hal itu tentu
saja amat berbahaya. Karena itulah, dia pun kemudian berjalan di belakang dara
itu dan memegang tangan kiri Siang In sehingga Siang In menyeberangi tali akar
itu dengan tangan kanan memegang payung dan tangan kiri digandeng oleh Kian
Lee. Dan pemandangan inilah yang membuat wajah Hwee Li menjadi merah saking
marahnya. Cemburu menyesakkan dadanya. Dia melihat Kian Lee bergandeng tangan
demikian mesranya dengan seorang dara cantik yang memegang payung, seorang dara
yang genit! Tanpa disadarinya, tangan kanannya sudah menyambar sebuah batu
sebesar kepala orang!
Menurut
hatinya yang panas karena cemburu, ingin dia melontarkan batu itu untuk
menyambit tali itu agar putus, akan tetapi dia teringat bahwa kalau tali itu
putus, bukan hanya dara itu yang akan terjatuh ke dalam jurang, akan tetapi
juga Kian Lee! Maka ketika dia melihat betapa di ujung jurang itu terdapat
tempat dangkal penuh lumpur, yaitu setelah hampir tiba di tepi jurang, dia
menanti sampai dua orang itu berada di atas genangan lumpur itu, lalu dia
menyambitkan batu di tangannya.
“Crottttt...!”
Batu itu
menimpa air lumpur dan tentu saja air lumpur itu muncrat ke atas dan Siang In
yang berada di depan itu paling banyak terkena lumpur pakaiannya. Tentu saja
kedua orang itu terkejut bukan main. Ketika Siang In menoleh dan melihat bahwa
yang menyambitkan batu sehingga air lumpur memercik ke pakaiannya itu adalah
seorang gadis pakaian hitam yang cantik manis dan yang berdiri sambil bertolak
pinggang dan sengaja mentertawakannya dengan mengejek, menjadi panas perutnya.
Dia lupa akan kengeriannya, melepaskan tangan Kian Lee dan dengan sekali lompat
dia telah tiba di tepi jurang melampaui semak-semak berduri, lalu langsung dia
berlari menghampiri Hwee Li!
“Bocah
setan, engkaukah yang melempari lumpur itu tadi?” bentak Siang In marah sekali.
Payungnya masih terbuka dan kini ujungnya yang runcing itu ditodongkan ke
depan. “Kalau kutusukkan payungku ini, mampus kau karena kelancanganmu itu!”
“Ehh, ehh,
engkau mau membunuh aku? Bocah iblis, mudah saja kau bicara! Sebelum payung
bututmu itu bergerak, lehermu sudah putus oleh pedangku ini!” Setelah berkata
demikian, sekali tangan kanannya bergerak Hwee Li telah mencabut pedangnya!
“Bocah
siluman gunung! Kau sudah berbuat kurang ajar, melempar lumpur sampai pakaianku
kotor semua, masih berani membuka mulut lancang dan kotor? Sungguh selama
hidupku belum pernah aku bertemu dengan anak kurang ajar macam engkau!” Siang
In menjadi makin marah.
“Engkau
siluman jurang! Memang pantas berlepotan lumpur! Memang aku melempar batu ke
lumpur, habis kau mau apa? Apakah tempat ini milikmu? Aku mau melempar ke mana
pun aku suka, kau peduli apa?” Hwee Li menantang.
“Bocah ingusan
kau harus dihajar!”
Siang In
marah sekali, tangan kirinya sudah bergerak menampar ke arah pipi Hwee Li.
Tamparannya itu cepat bukan main, seperti kilat menyambar, tetapi Hwee Li
adalah seorang ahli silat tinggi, maka dengan miringkan tubuh saja dia dapat
menghindarkan diri dan kontan keras tangan kirinya juga bergerak menampar ke
arah pipi Siang In.
“Syuuuuuttt...!”
Siang In cepat melangkah mundur untuk mengelak.
“Ehh, tahan
dulu...! Jangan berkelahi, tahan dulu...!” Kian Lee datang dan pemuda ini tentu
saja segera mengenal Hwee Li dan dia berteriak melerai ketika melihat betapa
dua orang dara itu sudah saling tampar dan kini bahkan menggerakkan senjata
mereka!
Melihat
munculnya Kian Lee yang melerai, hati Hwee Li menjadi makin panas dan dalam
nada suara Kian Lee itu dia menangkap sikap Kian Lee yang membela dan berpihak
pada wanita yang cantik itu. Cemburunya naik ke kepala. Dia membelalakkan
matanya, memandang kepada dara itu. Benar cantik sekali, dan pakaiannya juga
indah. Seorang gadis pesolek yang sinar matanya genit! Melototlah dia kepada
Kian Lee, seperti hendak ditelannya bulat-bulat pemuda itu. Bulat-bulat….
"Kau...!
Kau boleh sekalian maju membelanya, boleh dikeroyok dua aku tidak akan surut
selangkah pun!” bentaknya dan pedangnya sudah digerakkan menyerang Siang In.
“Bocah
bermulut lancang dan kurang ajar!” Siang In juga sudah marah sekali dan dia
menganggap dara berpakaian hitam itu benar-benar tidak tahu sopan santun serta
sombong sekali, maka dia cepat menggerakkan payungnya dan menangkis.
“Cringgg...
Tranggg...!”
Bunga api
berpijar ketika ujung payung bertemu dengan ujung pedang dan berkali-kali
mereka sudah mengadu senjata dan saling serang dengan hebatnya!
“Eh-eh, apa
yang terjadi ini...?” Tiba-tiba Kian Bu telah datang dengan loncatan kilat, di
tangan kirinya dia memegang seekor kelinci gemuk.
“Bu-te...!”
“Ohhh,
Lee-ko...!” Kian Bu girang bukan main melihat kakaknya, akan tetapi matanya
terbelalak memandang kepada dua orang dara yang sedang bertanding hebat itu.
Dia kagum
juga melihat Siang In yang dapat mengimbangi gerakan pedang Hwee Li yang ganas,
dan melihat gadis itu memainkan payungnya dengan gaya yang demikian indah
seperti orang menari, teringatlah dia. Gadis berpayung! Tentu saja! Mana
mungkin dia dapat melupakan seorang gadis seperti Siang In? Apa lagi seorang
gadis yang pernah diciumnya? Gadis itu kini makin dewasa dan makin cantik
jelita!
Karena
bingung dan khawatir melihat pertandingan dengan senjata itu, Kian Bu tanpa
disadarinya sendiri melepaskan kelinci yang tadi dengan susah payah ditangkapnya
dan dia mendekati tempat pertempuran itu sambil berseru, “Nanti dulu! Tahan
senjata! Aihhh, berbahaya sekali...!”
Siang In
meloncat ke belakang dan tentu saja dia segera mengenal Siluman Kecil! Dan
setelah kini dia melihat wajah Siluman Kecil, hampir dia menjerit! Itulah dia
orang yang dicarinya selama ini! Suma Kian Bu! Tapi dia itu Siluman Kecil.
Lihat rambutnya yang putih semua!
“Kau...
Siluman Kecil ataukah Suma Kian Bu...?” tanyanya dengan suara tertahan-tahan
dan mukanya berubah agak pucat.
Kian Bu
tersenyum dan menjura. “Kedua-duanya, boleh pilih yang mana pun...“
Kini tahulah
Siang In bahwa orang yang selama ini dicari-carinya bukan lain adalah Siluman
Kecil! Dan Siluman Kecil kini agaknya bersama dara cantik berpakaian hitam ini,
buktinya kini Siluman Kecil berdiri di dekat dara berpakaian hitam itu,
kelihatan memihaknya. Sungguh aneh sekali, dia merasa betapa hatinya panas
bukan main, panas dan marah.
“Bagus! Kau
boleh maju sekalian mengeroyokku!” katanya dan dengan hebat dia sudah menerjang
maju dengan payungnya, menyerang Hwee Li.
“Siluman
jahat!” Hwee Li juga memaki dan pedangnya bergerak menangkis, lalu dia balas
menyerang yang juga dapat ditangkis oleh Siang In.
Terjadilah
pertandingan yang amat seru, sengit, namun sedemikian indah gerakan kedua orang
dara yang sama cantiknya ini sehingga dua orang kakak beradik dari Pulau Es itu
sampai melongo dan amat tertarik. Terdapat persamaan gerakan dari kedua orang
dara itu, keduanya seperti sedang menari-nari, bukan sedang berkelahi, apa lagi
karena senjata Siang In adalah sebatang payung yang dapat terbuka dan tertutup.
Dan gerakan Hwee Li juga indah sekali. Hal ini tidaklah aneh karena selama dia
tinggal bersama Puteri Syanti Dewi, Hwee Li diajari menari oleh Puteri Bhutan
itu dan memang Hwee Li suka sekali menari sehingga gerakan silatnya tanpa
disadarinya sendiri telah kemasukan gerak tari yang indah, namun tidak
kehilangan keganasannya!
Kakak
beradik itu saling pandang dari jauh dan keduanya mengangguk, seolah-olah
dengan pandang mata mereka itu keduanya sudah sepakat untuk membiarkan dua
orang dara yang sama cantik jelita dan sama pandainya menari dan bersilat itu
melanjutkan pertandingan mereka dan mereka berdua diam-diam menjaga untuk
melindungi dan mencegah kalau sampai ada bahaya mengancam keduanya dari
perkelahian itu!
Siang In
yang sudah menjadi marah dan kini juga penuh dengan hati panas melihat betapa
Kian Bu yang dicari-carinya selama ini ternyata berduaan dengan dara cantik
ini, membuat kemarahannya bertumpuk-tumpuk, kini mengeluarkan kepandaiannya
yang istimewa, permainan payungnya yang didapatnya dari gurunya, yaitu
See-thian Hoat-su kakek yang bertapa di Goa Tengkorak. Memang senjata payung
adalah senjata yang istimewa dan karena keanehannya ini maka membingungkan
lawan. Apa lagi ketika payung itu terbuka tertutup seperti permainan pedang
yang dilindungi tameng, bahkan batangnya yang bengkok itu dipergunakan oleh
Siang In untuk mengait leher lawan, sejenak Hwee Li menjadi terdesak dan
dibikin kacau permainan pedangnya. Akan tetapi tentu saja Siang In tidak dapat
merobohkannya, apa lagi menerobos lingkaran sinar pedang yang hebat itu, hanya
mampu mendesak dara pakaian hitam itu.
“Serang
gagang payungnya, serang bagian tengah tubuhnya!” Tiba-tiba Kian Bu berkata
lirih namun terdengar jelas oleh Hwee Li dan juga tentu saja oleh Siang In.
Mendengar
ini, Hwee Li melihat lowongan itu dan begitu gagang pedang menyambar ke arah
gagang payung, Siang In menjadi sibuk dan cepat dia menarik payungnya ke
belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwee Li dengan baik.
“Haiiittttt...!”
bentaknya dan dia menekuk lengan kirinya, menyikut perut Siang In!
“Ihhhhh...!”
Siang In terkejut dan mengangkat kakinya mengelak.
Nyaris
perutnya kena disikut! Hwee Li menang angin dan terus mendesak dengan pedangnya
sehingga Siang In terpaksa mundur-mundur sambil memutar payungnya yang terbuka
seperti perisai. Kini berbalik terdesaklah Siang In dan hatinya makin panas,
makin sakit melihat kenyataan betapa Kian Bu, pemuda yang selama ini dicari
carinya sampai dia jauh-jauh pergi ke Bhutan, pemuda yang seringkali membuatnya
bangun dari tidur karena mimpi, pemuda yang pernah menciumnya, selain gulang
gulung dengan dara pakaian hitam yang cantik jelita ini, juga membantu dara ini
dan memberi petunjuk sehingga hampir saja dia mati! Betapa kejam hati pemuda
itu! Siang In merasa kedua matanya panas dan dia menahan air matanya ketika dia
terus memutar payungnya melindungi tubuhnya dari serangan pedang yang amat
ganas dari lawannya.
Mendadak
terdengar Kian Lee berkata, “Pertahanan bawahnya lemah, pergunakan tendangan
untuk menghalau desakan!”
Juga suara
Kian Lee ini jelas terdengar oleh kedua orang dara itu. Siang In menjadi girang
dan cepat dia menggunakan kedua kakinya menendang secara bertubi-tubi dengan
Ilmu Tendangan Soan-hong-twi. Kedua kakinya bergerak dengan cepat sekali dan
payungnya tetap menahan pedang Hwee Li di bagian atas. Terkejutlah Hwee Li.
Terkejut dan juga marah bukan main. Kian Lee telah membantu perempuan ini!
Hampir dia menjerit dan menangis! Jelas bahwa Kian Lee mencinta perempuan
cantik ini, tentu Kian Lee telah terpikat oleh kegenitan wanita ini! Dia
terpaksa mundur lagi agar jangan sampai terkena tendangan.
Pertandingan
itu menjadi makin seru dan makin indah, juga lucu. Kadang-kadang Kian Bu
memberi petunjuk kepada Hwee Li, dan sebaliknya Kian Lee memberi petunjuk
kepada Siang In. Sebetulnya, kedua orang kakak beradik ini memberi petunjuk
tanpa maksud untuk mencelakakan seorang di antara kedua dara itu, melainkan
merasa sudah sepatutnya memberi petunjuk teman seperjalanan yang terdesak.
Biar pun
mereka memberi petunjuk, namun di dalam hati mereka tidak berpihak, bahkan
selalu menjaga untuk segera turun tangan mencegah kalau sampai ada yang
terancam bahaya terluka. Tetapi, tanpa mereka sadari, sikap mereka ini makin
menghancurkan hati dua orang dara itu yang terus bertanding mati-matian dengan
hati dibakar cemburu dan kebencian!
Kalau dibuat
perbandingan tingkat kepandaian silat antara dua orang dara itu, harus diakui
bahwa tingkat kepandaian Hwee Li sedikit lebih tinggi dari pada tingkat
kepandaian Siang In. Hwee Li semenjak kecil sudah digembleng oleh seorang yang
amat tinggi kepandaiannya seperti Hek-tiauw Lo-mo. Sebagai anak angkat yang
dicintanya, tentu saja kakek iblis itu menurunkan semua ilmunya kepada Hwee Li.
Kemudian,
Hwee Li menjadi murid dari Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir.
Sungguh pun menurut janjinya dahulu Hwee Li hanya akan berguru tentang racun
dan pukulan beracun, akan tetapi karena Ceng Ceng kini tidak lagi menyukai ilmu
itu, guru ini telah menurunkan ilmu-ilmu silat, bahkan telah ‘membersihkan’
ilmu silat dari kaum hitam yang dipelajari oleh dara itu dari ayah angkatnya.
Maka
tidaklah mengherankan apa bila dalam pertempuran ini, akhirnya Hwee Li yang
dapat mendesak Siang In dengan sinar pedangnya yang memang hebat sekali itu.
Sifat dari ilmu pedang yang dimainkan oleh Hwee Li masih amat ganas dan
dahsyat, sungguh pun Ceng Ceng sudah banyak menyuruhnya membuang bagian-bagian
yang terlalu ganas dan keji.
Karena
memang kalah dalam hal mainkan senjata, akhirnya Siang In yang sudah marah dan
tak mau kalah itu kemudian menggunakan kekuatan sihirnya. Dia berkemak-kemik,
mengerahkan kekuatan batinnya dan memandang dengan sepasang matanya yang
bersinar-sinar, lalu terdengar dia bersuara seperti orang bersenandung, “Nona
pakaian hitam yang galak, engkau sudah lelah dan menyerahlah kepada nonamu,
berlututlah...“
Aneh sekali,
mendengar senandung ini, tiba-tiba saja Hwee Li merasa tubuhnya lemas dan
kehilangan tenaga. Pada saat itu, hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut
kalau saja tidak terdengar suara Kian Bu yang mengeluarkan bunyi melengking
panjang. Suara lengking yang aneh dan perlahan, akan tetapi penuh getaran dan
seketika Hwe Li merasa biasa kembali dan pedangnya kembali menjadi ganas.
Kembali Siang In merasa hatinya tertusuk, karena untuk ke sekian kalinya Kian
Bu membantu Hwee Li.
Tadinya,
kedua kakak beradik ini hanya ingin menonton permainan silat yang indah itu dan
saling membantu supaya tidak sampai ada yang celaka, akan tetapi lambat-laun
mereka berdua terseret pula dan masing-masing merasa heran.
Kian Lee
mulai memandang dengan terheran-heran dan dengan hati penuh pertanyaan. Adiknya
itu membela Hwee Li mati-matian, dan mereka berdua juga sudah melakukan
perjalanan bersama, kelihatan begitu mesra! Dan memang adiknya itu mempunyai
watak yang cocok sekali dengan Hwee Li. Ah, mengapa dia begitu bodoh? Tidak
salah lagi, adiknya itu, Kian Bu, tentu jatuh cinta kepada puteri Hek-tiauw
Lo-mo ini!
Dia tidak
tahu bahwa diam-diam Kian Bu juga menduga demikian. Kakaknya melakukan
perjalanan bersama dengan Siang In dan kakaknya membantu Siang In mati-matian.
Siang In memang cantik jelita dan demikian menarik, maka sudah sepatutnyalah
kalau kakaknya itu jatuh cinta kepada dara itu. Diam-diam dia merasa bersyukur
sungguh pun ada perasaan aneh menyelinap di dalam hatinya.
Mengapa
tidak kepada Hwee Li kakaknya mencinta? Dia tahu benar bahwa Hwee Li cinta
kepada kakaknya! Hwee Li telah begitu berterus terang kepadanya bahwa dara ini
amat mencinta Kian Lee, kakaknya. Dan kini melihat gejala-gejalanya, agaknya
Kian Lee jatuh hati kepada dara berpayung yang memang sejak dulu pandai bergaya
itu, cantik jelita, manis dan memikat sehingga sukar mencari keduanya dara
seperti Siang In!
“Cukuplah,
In-moi, cukuplah... kita adalah orang-orang sendiri, tidak perlu berkelahi...!”
Akhirnya Kian Lee meloncat di antara kedua orang dara itu dan melerai. Juga
Kian Bu meloncat di depan Hwee Li.
Melihat
betapa Kian Lee menyebut ‘ln-moi’ demikian mesranya kepada dara itu, Hwee Li
tak dapat menahan lagi kemarahannya dan dia lalu membalikkan diri dan lari dari
situ sambil terisak menangis! Melihat ini, Kian Bu menjadi khawatir sekali dan
juga mengejar dengan cepat. Akan tetapi Hwee Li tidak mau berhenti dan terus
berlari, biar pun dihibur dan dibujuk oleh Kian Bu untuk berhenti.
“In-moi,
mereka itu bukanlah orang lain...“
Akan tetapi
baru berkata sampai di sini, Siang In yang hatinya makin panas melihat Kian Bu
mengejar Hwee Li, juga membalikkan tubuhnya dan lari sambil menangis pula. Kian
Lee terkejut dan cepat mengejar. Demikianlah, dua orang gadls itu melarikan
diri ke jurusan yang berlawanan, dikejar oleh kedua orang pemuda itu yang tidak
sempat untuk bicara lagi. Dua orang pemuda yang menjadi bingung sekali.
Setelah
napasnya hampir putus karena berlari terus sambil menangis, akhirnya Siang In
berhenti dan menjatuhkan dirinya di atas rumput. Muka dan lehernya penuh peluh
dan mukanya agak pucat. Kian Lee juga duduk di atas rumput, hatinya menyesal
sekali mengapa pertandingan itu berakibat sedemikian berlarut-larut.
“Jadi...
jadi Siluman Kecil itu adalah adikmu, Suma Kian Bu itu?” Akhirnya Siang In
berkata dengan terengah-engah.
“Benar,
sudahkah engkau mengenalnya?” Kian Lee balas bertanya.
“Dan dara
itu..., siapakah dia?”
“Ahh, dia
itu bernama Kim Hwee Li, dia... puteri dari Hek-tiauw Lo-mo.”
“Hemmm,
pantas! Dan adikmu itu... Siluman Kecil itu agaknya jatuh cinta kepadanya, ya?”
Kian Lee
merasa sukar untuk menjawab. Dia tidak tahu dengan pasti, tetapi melihat betapa
tadi Kian Bu membantu dara pakaian hitam itu...! “Yah, agaknya begitulah,”
jawabnya tanpa dipikir panjang karena apa salahnya menjawab demikian, pikirnya.
“Mari kita jumpai mereka.”
“Tidak sudi!
Kalau aku bertemu dengan perempuan itu, akan kubunuh dia!” tiba-tiba Siang In
berkata, suaranya penuh kebencian.
Kian Lee
terkejut bukan main dan mengangkat muka memandang wajah yang cantik itu dengan
penuh selidik. Tidak biasa Siang In marah-marah seperti ini! Maka dia pun
mengambil keputusan untuk tidak mempertemukan kedua orang dara yang sedang
diamuk kemarahan itu.
Memang Hwee
Li telah berlaku keterlaluan, pikirnya, melemparkan batu itu sehingga pakaian
Siang In menjadi kotor. Dia tidak mengerti mengapa dara itu berbuat seperti
itu. Dia menarik napas panjang karena menduga bahwa Hwee Li masih berwatak
kekanak kanakan dan mungkin ketularan watak Hek-tiauw Lo-mo! Sayang, pikirnya.
Dara itu tidak jahat seperti ayahnya, mudah-mudahan saja Kian Bu akan dapat
mendidik dan menuntunnya ke jalan benar.
Sementara
itu, Hwee Li akhirnya juga berhenti karena kehabisan napas. Dia duduk menangis.
Kian Bu duduk di depannya, tidak dapat membuka mulut karena dia tahu bahwa Hwee
Li marah bukan main. “Dia... dia telah jatuh cinta kepada gadis siluman itu!”
teriaknya dan kembali dia menangis.
Kian Bu
menarik napas panjang. Dia sendiri juga meragukan kakaknya, mungkin saja
kakaknya jatuh cinta kepada Siang In. Memang dara itu amat cantik jelita!
“Belum tentu, hanya dugaan saja...,“ katanya menghibur Hwee Li.
Dia tahu
kini bahwa Hwee Li marah-marah karena cemburu, “Lebih baik kita jumpai mereka
dan kita bicara dengan baik-baik. Gadis itu bukan musuh...“
“Hemmm,
agaknya engkau sudah kenal dia. Siapakah dia?”
“Namanya
Teng Siang In, dia murid dari See-thian Hoat-su...“
“Hemmm,
kakek tukang sihir itu? Pantas saja dia menjadi siluman! Kalau aku bertemu
dengan dia, harus kubunuh siluman itu!”
Melihat
kemarahan dan kebencian Hwee Li, Kian Bu beranggapan bahwa memang belum
waktunya menemui kakaknya dan Siang In, karena kalau hal itu terjadi, sukarlah
untuk menahan gadis ini mengamuk! “Kalau begitu, mari kita melanjutkan
perjalanan. Kalau engkau tidak dapat menemukan jalan rahasia itu, sebaiknya
kita langsung saja naik ke atas tembok benteng.”
Pada saat
Kian Bu bicara dengan Hwee Li dan Kian Lee bicara dengan Siang In itulah
tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk dari jauh. Itulah suara pasukan-pasukan
dari kerajaan yang mulai menyerbu benteng dan seperti kita ketahui, penyerbuan
dua kali dalam sehari yang diatur oleh Puteri Milana itu mengalami kegagalan…..
***************
Kali ini
Puteri Milana merasa pusing bukan main. Benar-benar dia dibuat tidak berdaya
oleh Jenderal Kao karena segala usahanya untuk menggempur benteng itu selalu
gagal dan anak buahnya selalu dipukul mundur. Agaknya siasat apa pun yang
digunakannya, telah diketahui belaka oleh Jenderal Kao sehingga tidak ada
hasilnya sama sekali.
Ketika
beberapa hari kemudian kembali dia mengusahakan penyerbuan besar-besaran. Di
antara hujan anah panah, terlihat sebatang anak panah yang diikat sehelai
surat. Seorang prajurit memungut anak panah ini dan cepat menyerahkan surat
yang dibawa oleh anak panah itu. Puteri Milana cepat membacanya dan ternyata
surat itu adalah tulisan dari Jenderal Kao Liang sendiri!
Panglima Puteri
Milana!
Jangan
menyerang. Kepung saja rapat-rapat. Kami akan bakar gudang ransum. Tunggu
gerbang dan menara meledak, baru serbu. Kalau tidak menurut ini, takkan
berhasil.
Jenderal Kao
Liang
Puteri
Milana merasa girang membaca surat ini, akan tetapi juga meragu. Apa maksud
jenderal itu? Bagaimana kalau berita yang dikirim ini palsu? Akan tetapi,
Jenderal Kao menyebut ‘kami’, siapa tahu jenderal itu telah berhubungan dengan
suaminya yang dia percaya tentu telah berhasil menyelundup ke dalam benteng.
Memang tidak
salah dugaan panglima wanita ini. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu tidak
begitu sukar bagi Gak Bun Beng untuk menyelundup masuk dengan cara merayap
tembok dan menghindarkan diri dari jebakan-jebakan yang dipasang di atas
tembok. Dia tidak begitu sembrono sehingga dia dapat menyelinap masuk ke dalam
benteng itu tanpa diketahui oleh seorang pun. Benarkah tidak diketahui oleh
seorang pun?
Kiranya
tidak demikian, karena betapa pun lihainya Bun Beng, tetap saja dia tidak tahu
bahwa tanpa disadarinya sendiri kakinya menginjak alat rahasia yang akibatnya
hanya Jenderal Kao seorang yang mengetahui akan kedatangannya! Jenderal ini
ketika membangun benteng dan membuat alat-alat jebakan dan alat-alat rahasia,
diam-diam memasang semacam alat rahasia yang kalau dilanggar oleh penyelundup,
hanya dia seorang yang mengetahuinya. Dan begitu mengetahui, dia sudah cepat
berhubungan dengan Hek-sin Touw-ong dan Ang-siocia secara rahasia pula!
Bagaimana
pula ini? Ternyata Ang-siocia dan suhu-nya yang amat cerdik itu, dengan
kepandaian mereka menyamar dan mendandani orang, telah dapat menarik hati koksu
dan mereka berdua selamat dan diampuni dari dosa-dosa mereka ketika mereka
menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dahulu itu, bahkan mereka
lalu diangkat sebagai pambantu-pambantu yang selalu diawasi gerak-geriknya.
Mereka, seperti juga Jenderal Kao, tidak boleh keluar, akan tetapi kecerdikan
Ang-siocia tidak memungkinkan koksu dan kaki tangannya mengetahui betapa guru
dan murid ini secara diam-diam mengadakan hubungan rahasia dengan Jenderal Kao
Liang!
Touw-ong dan
Ang-siocia segera tahu akan duduknya semua perkara, dan tahu pula bahwa
jenderal itu membantu pihak pemberontak hanya karena terpaksa oleh keadaan,
yaitu karena semua keluarganya tertawan. Maka, dengan cerdik Ang-siocia
kemudian menghubungi jenderal ini yang segera menaruh kepercayaan besar kepada
mereka dan diam-diam dua orang ini menjadi pembantu-pembantu Jenderal Kao Liang
yang seperti telah diduga oleh puteranya sendiri dan oleh Gak Bun Beng dan para
orang gagah lainnya, diam-diam mempunyai rencana yang hebat terhadap para
pemberontak yang telah memaksanya berkhianat itu!
Maka, ketika
Jenderal Kao tahu akan kedatangan orang pandai, karena hanya orang pandai
sekali sajalah yang tidak sampai melanggar jebakan-jebakan, hanya tanda rahasia
untuk dirinya sendiri, cepat dia memberi tanda rahasia kepada Ang-siocia dan
gurunya untuk ‘menyambut’ kedatangan orang pandai itu dan dia menunjukkan di
mana tempat orang pandai itu datang yang diketahuinya dari alat rahasia yang
oleh Bun Beng telah dilanggar itu.
Demikianlah,
dapat dibayangkan betapa kagetnya Bun Beng ketika baru saja dia melayang turun
di tempat yang amat sunyi, di taman yang indah dalam benteng itu, suara wanita
yang halus menegurnya, “Selamat datang, sahabat!”
Baru saja
berhenti bicara mulut Ang-siocia, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena
orang itu dengan kecepatan kilat telah menotoknya tanpa ia mampu bergerak sama
sekali. Ang-siocia terkejut bukan main dan dengan tidak berdaya sama sekali dia
merasa betapa tubuhnya dipondong dan dibawa ke belakang sebuah gudang, di mana
terdapat lampu penerangan. Orang itu memeriksanya di bawah lampu dan ketika
melihat bahwa dia benar-benar seorang wanita muda yang cantik, orang itu
kembali membawanya menyelinap ke dalam gelap lalu membuka totokannya, akan
tetapi jari-jari tangan yang kuat menempel di tengkuknya dan orang itu berkata,
“Jawablah baik-baik. Kalau berteriak, sekali tekan kau akan mati!”
“Sialan
dangkalan...!” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa itu mengomel dan merengut,
mengerling kepada laki-laki setengah tua yang lihainya bukan alang kepalang
itu.
Laki-laki
itu adalah Bun Beng dan dia merasa sungkan juga harus menggunakan kekerasan
terhadap seorang wanita yang ternyata adalah seorang gadis muda yang cantik.
Akan tetapi dia berada di sarang musuh, di dalam benteng yang berbahaya dan
kedatangannya yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati itu
ternyata telah ketahuan oleh gadis ini! “Hayo kau cepat bawa aku kepada
Jenderal Kao, dan jangan sampai ketahuan oleh penghuni lain dari benteng ini.
Awas, nyawamu berada di tanganku!”
Akan tetapi
jawaban gadis itu benar-benar mencengangkan Bun Beng. “Justeru aku menyambutmu
adalah atas perintah Jenderal Kao Liang yang sudah mengetahui akan
kedatanganmu. Akan tetapi ternyata kau bukan manusia baik-baik, melainkan
seorang yang kasar dan kejam. Tidak, aku tidak mau membawamu kepada Jenderal
Kao, karena agaknya engkau berniat buruk. Biar pun kau seribu kali membunuh
aku, aku Ang-siocia yang sudah berani memasuki sarang naga dan harimau ini
tentu tidak takut mampus!” Marah sekali Ang-siocia, bukan hanya karena dia
diancam dan diperlakukan dengan kasar, akan tetapi melihat kenyataan betapa dia
sama sekali tidak berdaya, tidak berkutik ketika ditangkap dan di bawa ke
tempat terang lalu diseret lagi ke tempat gelap, dibebaskan totokannya dan kini
tengkuknya diancam. Seperti ayam yang sama sekali tidak berdaya! Padahal
biasanya dia amat mengandalkan kepandaiannya!
“Ahhh,
maafkan aku... siapakah engkau?” Bun Beng bertanya.
“Hemmm,
orang kasar. Engkaulah yang harus lebih dulu memperkenalkan diri, baru aku akan
mempertimbangkan apakah engkau pantas untuk kubawa kepada Jenderal Kao ataukah
tidak.”
Menghadapi
gadis yang ternyata berani mati ini, Bun Beng merasa tidak berdaya. Akan tetapi
dia sudah amat tertarik, karena kalau gadis ini adalah pembantu Jenderal Kao,
bahkan tadi menyatakan bahwa gadis ini sudah berani memasuki goa harimau dan
naga, maka berarti bahwa gadis ini bukanlah kaki tangan dari musuh!
“Namaku
adalah Gak Bun Beng, Jenderal Kao tentu mengenalku.”
Sepasang
mata yang jeli itu terbelalak. “Gak... Gak-taihiap...?” Ang-siocia berseru
dengan kaget sekali. “Ahhh, maafkan aku yang tidak mengenal Taihiap, mari kita
cepat pergi dari sini, menemui suhu. Taihiap harus cepat menyamar, sesuai
dengan rencana kami atas perintah Jenderal Kao,” bisiknya.
Tanpa
ragu-ragu lagi Ang-siocia menggandeng tangan pendekar itu dan dibawanya pergi
menyelinap melalui semak-semak dan memasuki pintu belakang sebuah pondok.
Mereka tiba di dalam sebuah kamar dan di situ telah menanti seorang kakek yang
mukanya hitam. Kakek itu segera menjura dan berkata, “Selamat datang,
Gak-taihiap, kami sungguh lega dan girang sekali melihat Taihiap datang.”
Bun Beng
memandang penuh perhatian akan tetapi dia tidak mengenal kakek dan gadis ini,
walau pun kini dia dapat melihat wajah mereka dengan jelas. Gadis itu
benar-benar seorang gadis muda yang cantik dan lincah, nampak gagah dan berani,
sedangkan kakek itu biar pun mukanya hitam, namun memiliki sepasang mata yang
tajam.
Bun Beng
segera menjura kepada mereka. “Agaknya Ji-wi telah mengenalku, akan tetapi maaf
kalau aku tidak mengenal siapa Ji-wi dan apa hubungan Ji-wi dengan Jenderal
Kao.”
Sebelum guru
dan murid itu sempat menjawab, terdengar pintu depan diketuk orang! Guru dan
murid itu kelihatan terkejut dan terdengar Touw-ong bertanya, “Siapa di luar?”
“Touw-ong,
apakah Ang-siocia di dalam?”
Mendengar
suara Ngo-ok, guru dan murid itu makin kaget dan Bun Beng dengan tenang dan
waspada mengamati gerak-gerik mereka.
“Aku di
sini. Ada apakah, Siansu?” tanya Ang-siocia.
“Aku disuruh
oleh koksu untuk memanggilmu, Ang-siocia. Ada urusan penting hendak
dibicarakan. Sekarang juga!” terdengar suara dari luar itu.
Ang-siocia
memandang gurunya yang mengangguk, dan gadis itu lalu melangkah menuju ke depan
untuk membuka pintu depan. “Dia itu Ngo-ok Toat-beng Siansu, saya harus
membayangi dan melindungi murid saya, harap Taihiap tunggu di sini!”
Tentu saja
Bun Beng belum percaya sepenuhnya kepada guru dan murid yang belum dikenalnya
itu, maka dia berkata, “Biar aku yang membayangi.”
Touw-ong
terkejut bukan main dan seperti yang dialami oleh muridnya tadi, tiba-tiba saja
dia merasa tubuhnya telah lemas karena tertotok! Sebetulnya, tingkat kepandaian
Touw-ong sudah cukup tinggi dan kiranya tidaklah akan demikian mudah bagi Bun
Beng untuk menotok kakek itu dengan sekali gerakan saja, akan tetapi gerakan
Bun Beng tadi sama sekali tidak disangka-sangka oleh kakek itu sehingga dia
hanya melihat tangan pendekar itu berkelebat dan tahu-tahu dia telah roboh
lemas. Akan tetapi Si Raja Maling ini tidak menjadi heran karena dia sudah
mendengar nama besar pendekar Gak Bun Beng ini sebagai seorang pendekar yang
luar biasa tinggi ilmunya.
Ang-siocia
sudah membuka pintu dan mengikuti kakek tinggi seperti pohon bambu itu keluar
dari pondok. Nona ini memang sengaja bersicepat agar Ngo-ok tidak melongok ke
dalam di mana terdapat seorang asing. Dia tidak tahu betapa Bun Beng malah
telah merobohkan gurunya dan kini bagaikan bayangan setan telah mengikutinya
dengan diam-diam dari jarak tidak terlalu jauh, akan tetapi dengan amat
hati-hati karena Gak Bun Beng sudah terkejut sekali ketika mendengar dari Si
Raja Maling tadi bahwa si jangkung itu adalah Ngo-ok Toat-beng Siansu.
Tentu saja
dia pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok dan tidak disangkanya sama sekali dia
akan melihat seorang di antara mereka berada di tempat ini. Memang dia dan
Milana belum mendengar bahwa Im-kan Ngo-ok berada di dalam benteng lembah,
bahkan Kian Bu dan Hwee Li sendiri pun belum tahu maka kedua orang muda ini
tidak menceritakan tentang adanya Im-kan Ngo-ok itu kepada Milana. Baru dari
Ceng Ceng dan suaminya dia mendengar tentang mereka.
Di tempat
yang sunyi, tiba-tiba Ang-siocia berhenti dan menegur si jangkung yang berjalan
di depannya, “Ehh, kita mau ke mana?”
“Ke sana!
Koksu menanti di sana,” jawab si jangkung itu sambil menuding ke arah sebuah
pondok.
“Aneh,
kenapa koksu tidak menanti di tempat tinggalnya sendiri?” Ang-siocia mengomel
akan tetapi dia melangkah terus bersama si jangkung.
Setelah
mereka tiba di depan pondok yang sunyi itu, tiba-tiba si jangkung membuka pintu
dan berkata, “Mari kita menemui koksu.” Dia lalu memegang lengan gadis itu dan
menariknya masuk, menutupkan kembali pintu itu, lalu dia menyeringai.
Ang-siocia
terkejut bukan main. Pondok itu kosong dan melihat sikap si jangkung itu,
jelaslah apa kehendaknya. “Mau apa kau? Mana koksu? Biarkan aku keluar!”
teriaknya, akan tetapi tiba-tiba tangannya sudah disambar oleh tangan Ngo-ok.
“Nona, sudah
lama aku tergila-gila kepadamu!”
“Eh,
lepaskan aku!” bentak Ang-siocia, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya terangkat
ke atas dan dipegang oleh sebelah tangan saja, dia tidak berdaya melepaskan
diri sama sekali, sedangkan tangan yang lain dari si jangkung itu bergerak
hendak merenggut pakaian Ang-siocia.
Dara itu
terkejut setengah mati, kakinya menendang ke depan, ke arah perut si jangkung
itu.
“Desss...!
Hukkk...!”
Ngo-ok
melepaskan tubuh Ang-siocia dan tubuhnya terhuyung ke belakang, matanya
terbelalak memandang ke arah gadis itu. Tak disangkanya bahwa tendangan nona
itu sedemikian kuatnya sehingga perutnya seketika terasa mulas! Dia tidak tahu
bahwa sebenarnya yang menghantam perutnya bukanlah kaki atau tendangan
Ang-siocia melainkan sambaran angin pukulan yang dilakukan oleh Gak Bun Beng
dari luar pondok.
Pendekar ini
mengintai dari jendela dan pada saat Ang-siocia menendang, dia telah
membantunya dengan pukulan jarak jauh, tepat mengenai perut si jangkung yang
amat lihai itu. Orang lain yang disambar angin pukulan jarak jauh dari Gak Bun
Beng, tentu akan remuk isi perutnya, akan tetapi Ngo-ok hanya merasa mulas saja
sebentar!
Marahlah
Ngo-ok dan kini dia memandang kepada Ang-siocia dengan mata disipitkan dan
mukanya berubah menyeramkan.
“Tunggu!”
Ang-siocia yang cerdik cepat berseru. “Ingat, aku telah menerima janji dari
Sam-ok atau koksu bahwa kalau perjuangan ini selesai, aku akan diambil selir
olehnya. Kau sama sekali tidak boleh ganggu aku!”
Mendengar
ini, Ngo-ok terkejut, akan tetapi dia lalu menyeringai. “Kalau begitu, aku takkan
membunuhmu, hanya mendahuluimu apa salahnya? Heh, tendanganmu boleh juga.”
Ang-siocia
sudah merasa heran sendiri betapa tendangannya tadi dapat membuat terlepas
pegangan kakek jangkung itu, bahkan membuatnya terhuyung. Akan tetapi kini
melihat kakek itu melangkah maju, dia menjadi gentar. “Kalau kau memaksaku, aku
akan menceritakan kepada koksu, hendak kulihat apakah dia tidak akan marah dan
menghukummu!”
Mendengar
ini, Ngo-ok menjadi ragu-ragu. Dia kena digertak dan dia mulai melihat bahaya
kalau dia memaksa. “Ah, Nona Manis, mari layani aku sebentar... aku tidak akan
menyakitimu...“
Akan tetapi
Ang-siocia sudah lari ke pintu. “Kalau kau tidak menyentuhku, aku tidak akan
bicara apa-apa kepada koksu!” katanya sehingga ketika Ngo-ok hendak mengejar, si
jangkung ini kembali tertegun dan meragu.
Ang-siocia
terus berlari cepat dan teringat akan ini, Ngo-ok mengejar, akan tetapi begitu
keluar dari pintu pondok, dia jatuh menelungkup! Dia cepat bangkit dan
mencaci-maki ambang pintu, akan tetapi diam-diam dia merasa heran sekali
bagaimana dia, seorang ahli berlari cepat dengan kaki yang panjang dan langkah
yang tinggi, dapat tersandung pada ambang pintu sampai jatuh menelungkup?
“Setan...!”
dia mengomel lalu pergi dari situ. Dia sama sekali tidak tahu bahwa yang
membuatnya jatuh menelungkup tadi bukanlah ambang pintu melainkan Gak Bun Beng!
Ang-siocia
memasuki pondoknya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat
gurunya rebah dalam keadaan tertotok. Selagi dia hendak menolong, tiba-tiba
dari belakangnya, Gak Bun Beng sudah memegang lengannya dan pendekar ini lalu
bertanya, “Apa artinya janji koksu mengambilmu sebagai selir itu?”
Ang-siocia
menjadi terkejut bukan main dan seketika mukanya menjadi merah. Pendekar ini
tadi telah membayanginya dan melihat segalanya! Teringatlah dia akan
tendangannya yang ampuh tadi dan dia menduga bahwa tentu pendekar sakti inilah
yang tadi telah membantunya. Bun Beng memandang tajam dan tidak peduli melihat
nona itu marah, bahkan dia mengerahkan tenaga ketika Ang-siocia meronta untuk
melepaskan tangannya sehingga pegangannya makin erat dan nona itu tidak
berhasil melepaskan diri.
“Benarkah
engkau menjadi calon selir Koksu Nepal?” tanyanya dengan suara mendesak, sinar
matanya tajam penuh selidik. Kalau benar gadis ini, yang memang cantik dan
lincah, menjadi calon selir koksu, maka gadis ini berarti kaki tangan musuh!
Kalau
menuruti hatinya, ingin Ang-siocia memaki dan mengejek, menyatakan kalau dia
menjadi calon selir koksu, pendekar itu mau apa? Akan tetapi dia tahu akan
gawatnya keadaan, apa lagi melihat gurunya dalam keadaan tertotok tak berdaya,
maka biar pun hatinya terasa panas sekali, dia menjawab juga dengan marah.
“Kalau aku
tidak menggertak Ngo-ok yang gila itu, mana aku bisa lolos? Siapa sih yang sudi
menjadi selir manusia macam Koksu Nepal?” Dia berkata setengah berteriak saking
marahnya karena dia dicurigai.
“Sssttttt....
jangan keras-keras berteriak!” Bun Beng yang kini menjadi sibuk mendengar dara
itu berteriak, karena kalau sampai terdengar orang tentu berbahaya.
“Biar aku
berteriak! Biar diketahui semua orang, aku tidak sudi menjadi selir koksu!”
“Sudahlah,
aku bersalah telah mencurigarmu, Nona,” berkata Gak Bun Beng sambil melepaskan
pegangannya.
Ang-siocia
cemberut dan mengurut-urut lengannya yang terasa nyeri karena dipegang
erat-erat tadi. “Habis Gak-taihiap terlalu tidak percaya kepada orang sih! Dan
mengapa Suhu menjadi begini?”
“Maaf,
maaf... sekarang aku baru percaya,” kata Gak Bun Beng dan pendekar ini segera
membebaskan totokannya yang membuat tubuh Si Raja Maling menjadi lumpuh itu.
Touw-ong
dapat bergerak lagi dan dia pun memandang kepada pendekar itu dengan alis
berkerut. “Sungguh aneh sikap Taihiap yang terlalu tidak percaya kepada kami
guru dan murid,” katanya setengah menegur.
Gak Bun Beng
kembali minta maaf dan Ang-siocia yang tahu bahwa gurunya merasa tak senang
lalu cepat berkata, “Sudahlah, Suhu. Gak-taihiap merasa berada di benteng
musuh, maka tentu saja dia terlalu berhati-hati. Tadi aku hampir celaka oleh
Ngo-ok yang ternyata memancingku keluar dengan niat jahat. Untung ada
Gak-taihiap yang diam-diam membantu, kalau tidak, tentu muridmu ini sudah
celaka, Suhu.” Ang-siocia lalu menceritakan tentang pengalamannya yang hendak
diperkosa oleh Ngo-ok dan betapa Gak Bun Beng telah menolong dengan ilmunya
yang tinggi.
Mendengar
ini, lenyaplah rasa mendongkol di dalam hati Touw-ong. Dia lalu menjura kepada
Gak Bun Beng.
“Ahh, terima
kasih saya haturkan kepada Gak-taihiap yang telah menyelamatkan murid saya...“
Gak Bun Beng
menggoyang tangannya dengan tidak sabar. “Sudahlah, kita adalah orang sendiri,
menghadapi musuh yang sama, maka perlu apa banyak sungkan lagi? Lebih baik
Ji-wi menceritakan kepada saya tentang keadaan di dalam benteng ini dan
siapa-siapa saja yang tertawan, siapa pula yang menjadi pembantu koksu, siapa
di antara mereka yang lihai.”
“Sebelum
kita bicara, kurasa lebih baik kalau Gak-taihiap menyamar pula, agar tidak
sampai mudah ketahuan musuh. Gak-taihiap dapat mendengarkan kami bercerita
sambil melakukan penyamaran yang akan dikerjakan oleh Suhu.”
Mendengar
kata-kata muridnya yang cerdik ini, Touw-ong mengangguk. “Memang sebaiknya
demikian. Bentuk tubuh Taihiap tidak banyak selisihnya dengan saya, dan saya
cukup dikenal di sini, kalau Taihiap menyamar sebagai saya, tidak akan dapat
diganggu dan Taihiap dapat bergerak dengan leluasa pula.”
Gak Bun Beng
setuju dan Touw-ong mulai ‘mengerjakan’ muka dan pakaian Gak Bun Beng sehingga
pendekar ini mulai dibentuk menjadi Touw-ong yang kedua! Sambil mengerjakan
penyamaran itu, Touw-ong dibantu oleh muridnya lalu menceritakan semua keadaan
di dalam benteng yang didengarkan penuh perhatian oleh pendekar itu. Bun Beng
mendengar betapa Puteri Syanti Dewi tadinya juga tertawan di situ kini telah
lolos secara aneh, tanpa ada yang tahu siapa yang menculiknya. Kemudian dia
mendengar betapa pemuda Ang Tek Hoat si Jari Maut juga berada di dalam benteng,
betapa pemuda itu telah tertipu dan mengira bahwa Syanti Dewi masih berada di
situ sebagai tawanan.
“Kami yang
merias seorang dayang menyerupai Syanti Dewi,” kata Ang-siocia sambil tertawa.
“Yang dikira Syanti Dewi itu adalah seorang perempuan Nepal dan Ang Tek Hoat
percaya sepenuhnya.”
Gak Bun Beng
mengerutkan alisnya, “Hemmm, bocah itu wataknya aneh, juga memiliki kepandaian
yang amat lihai. Lebih baik biarkan saja dia begitu, biarkan dia tertipu yang
akan membuat dia tenang. Kalau dia tahu bahwa dia tertipu tentu dia akan
membuat geger dan hal ini bisa membocorkan rahasia kita.”
Kemudian
guru dan murid itu bercerita tentang usaha mereka yang sudah berhasil menghubungi
Jenderal Kao Liang.
“Sungguh
kasihan sekali jenderal yang gagah perkasa itu,” kata Touw-ong, “Dia seperti
seekor naga yang telah terjebak dalam kurungan. Seluruh keluarganya tertawan,
maka mau tidak mau dia harus menuruti semua permintaan koksu. Akan tetapi,
jenderal yang gagah perkasa itu tentu saja tidak mau tunduk begitu saja hanya
untuk menyelamatkan keluarganya. Dia memiliki rencana yang amat hebat dan
besar, dan hanya di dalam tangannya sajalah terletak siasat yang akan
menghancurkan pemberontak ini, akan tetapi kepada kami pun dia tidak mau
membuka rencana siasatnya itu.”
Touw-ong
kemudian melatih Bun Beng untuk bergaya dan bicara seperti dia supaya
penyamarannya menjadi sempurna, baru pendekar sakti ini dibawa oleh Ang-siocia
untuk menemui Jenderal Kao Liang. Ketika bertemu dengan Gak Bun Beng sepasang
mata jenderal yang gagah perkasa itu menjadi basah. Dia tidak banyak bicara,
hanya memegang tangan pendekar itu dan suaranya tergetar ketika dia berkata,
“Girang bukan main rasa hatiku dapat bertemu dengan Gak-taihiap di sini.
Sekarang makin yakinlah hatiku bahwa aku akan dapat menghancurkan mereka ini
dan keluargaku akan dapat diselamatkan!”
Gak Bun Beng
menekan tangan jenderal itu. “Percayalah, Goanswe, saya pasti akan membantu
sampai keluargamu semua selamat.”
Mereka tidak
berani terlalu lama bicara karena mereka tahu bahwa biar pun Jenderal Kao
Liang, Touw-ong dan Ang-siocia bebas dalam benteng itu, akan tetapi mereka
sesungguhnya adalah orang-orang yang selalu diawasi secara diam-diam oleh koksu.
Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong lalu berpamit dan pergi lagi
kembali ke tempat tinggal Touw-ong bersama Ang-siocia.
Bukan hanya
Jenderal Kao yang berbesar hati dengan kehadiran Gak Bun Beng, juga Touw-ong
dan muridnya merasa girang sekali. Mereka lalu mengadakan perundingan secara
diam-diam untuk mengatur siasat kalau saat yang baik bagi mereka untuk bergerak
sudah tiba.
Koksu Nepal
merasa girang bukan main melihat hasil baik dari pertahanan Jenderal Kao
terhadap penyerbuan tentara kerajaan yang dipimpin oleh Milana. Berkali-kali
serangan dari pasukan kerajaan itu dapat dihalau dan dipukul mundur. Dan pada
malam itu, saking girangnya, Koksu Nepal bersama-sama para saudaranya dalam
gerombolan Im-kan Ngo-ok, kemudian mengadakan pesta kemenangan untuk
menghormati dan menyenangkan hati Jenderal Kao Liang. Pesta besar diadakan dan
semua pembantu diundang.
Gak Bun Beng
yang menyamar sebagai Touw-ong menggantikan tempat Touw-ong yang juga tidak
ketinggalan diundang, mendatangi tempat pesta bersama Ang-siocia. Pada
kesempatan ini Bun Beng dapat melihat sendiri semua anggota Im-kan Ngo-ok. Juga
dia dapat memperhatikan pula Ang Tek Hoat, pemuda lihai yang berwatak aneh dan
keras, keturunan dari Wan Keng In itu. Juga dia melihat Syanti Dewi palsu yang kelihatan
sengaja di jauhkan dari para tamu lain oleh Koksu Nepal. Diam-diam Gak Bun Beng
merasa kagum kepada Touw-ong dan muridnya karena harus diakuinya bahwa dia
sendiri pun tidak akan menduga bahwa wanita itu adalah Syanti Dewi yang palsu!
Juga di dalam pesta itu, Koksu Nepal memberi kesempatan kepada Jenderal Kao
untuk bertemu dengan para keluarga jenderal itu yang diperbolehkan menghadiri
pesta.
Karena Koksu
Nepal benar-benar merasa bersyukur dan gembira, bahkan dia mulai percaya
kejujuran Jenderal Kao mempertahankan benteng, maka dalam kesempatan itu sang
jenderal diperbolehkan untuk beramah-tamah dengan keluarganya. Akan tetapi,
pertemuan dalam pesta itu sungguh mengharukan hati Gak Bun Beng.
Jenderal Kao
Liang tidak dapat menahan keharuan hatinya. Di depan begitu banyaknya orang,
yaitu tokoh-tokoh pembantu dari Koksu Nepal, juga di mana hadir pula Pangeran
Bharuhendra atau Pangeran Liong Bian Cu, jenderal tua ini merangkul isterinya,
lalu anak-anaknya dan semua anggota keluarganya seorang demi seorang. Ada
beberapa tetes air mata menitik turun dari kedua matanya.
Adegan yang
mengharukan ini dipecahkan oleh suara Pangeran Liong Bian Cu.
“Kao-goanswe,
pekerjaanmu sungguh baik sekali. Dan kalau sampai kita memperoleh kemenangan,
tentu engkau dapat segera pulang ke kampung bersama keluargamu. Akan tetapi
sayang, kita sekarang agaknya terancam bahaya. Kita telah dikepung musuh dan
agaknya musuh hendak memperketat kepungan, membikin putus hubungan antara kita
dengan dunia luar benteng.”
Jenderal Kao
Liang lalu meninggalkan keluarganya, menghadapi pangeran itu dan berkata,
“Harap Pangeran tidak berkecil hati. Saya dapat menghadapi kepungan itu.”
“Ha-ha-ha,
hal itu tidak perlu dikhawatirkan, Pangeran. Berkat siasat Jenderal Kao Liang
yang sudah lama memperhitungkan kemungkinan bahaya ini, gudang-gudang kita
telah penuh dengan ransum kering yang akan cukup untuk kita pakai selama satu
tahun! Dan tidak mungkin musuh dapat bertahan mengepung kita selama itu dan
sudah tentu pula Kao-goanswe telah memiliki siasat lain untuk menghadapi
pengepungan musuh,” kata Ban Hwa Sengjin atau Lakshapadma, koksu dari Nepal
itu.
“Kong-kong,
kenapa pula Kong-kong menangis? Ayah dan lbu selalu bilang bahwa Kong-kong
adalah seorang yang gagah perkasa, dan ayah ibu bilang bahwa seorang yang gagah
pantang menangis. Mengapa Kong-kong menangis?” Tiba-tiba terdengar suara
nyaring ini yang membuat semua orang memandang kepada Cin Liong, karena bocah
itulah yang mengeluarkan suara nyaring ini. Jenderal Kao sendiri menoleh dan
mukanya menjadi merah sekali ketika dia memandang kepada cucunya itu.
Diam-diam
Gak Bun Beng memandang kagum kepada anak itu. Dia dapat menduga bahwa tentu
anak itulah yang oleh Ang-siocia diceritakan sebagai anak dari Si Naga Sakti
Gurun Pasir, putera dari Kao Kok Cu dan Ceng Ceng! Seorang bocah yang hebat,
pikirnya. Dan dia dapat mengerti betapa perih perasaan hati seorang gagah
seperti Jenderal Kao mendengar teguran seperti itu keluar dari mulut cucunya
yang masih kecil!
Melihat
keadaan yang menegangkan yang ditimbulkan oleh kata-kata anak kecil itu, Koksu
Nepal lalu mengambil tindakan halus. Dia lalu menyuruh pengawal mengantar
kembali semua keluarga Kao, juga termasuk Syanti Dewi palsu, untuk kembali ke
tempat mereka dan meninggalkan ruangan pesta itu. Ang Tek Hoat yang sejak tadi
belum berhasil mendekati Syanti Dewi merasa kecewa, akan tetapi dia tidak
melakukan sesuatu. Bagi pemuda ini, sudah cukuplah kalau dia dapat melihat
kekasihnya itu dalam keadaan sehat dan selamat.
Pesta
dilanjutkan sampai lewat tengah malam. Jenderal Kao minum sampai mabuk, dan
melihat ini, Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong lalu bersama
Ang-siocia merangkul Jenderal Kao dan membawanya kembali ke kamarnya. Dalam
perjalanan mengantar Jenderal Kao ini sampai tiba di kamarnya, mereka
berunding.
Perundingan
singkat itulah yang membuat Panglima Milana akhirnya dapat menemukan surat
pemberitahuan dari Jenderal Kao ketika pada keesokan harinya kembali Milana
mengerahkan pasukannya menyerbu. Anak panah mengandung surat itu adalah anak
panah yang diluncurkan oleh Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong dan
yang dalam perang anak panah itu ikut pula membantu ‘menahan’ musuh. Maka sudah
terjadi permufakatan antara mereka berempat untuk membakar gudang-gudang ransum
sesuai dengan rencana yang diatur oleh Jenderal Kao. Mereka diharuskan menanti
tanda yang akan diberikan oleh jenderal itu.
Ketika
terjadi penyerbuan yang terakhir itu, Kao Kok Cu dan Ceng Ceng menggunakan
keadaan yang ribut untuk menyelundup masuk. Suami isteri ini adalah orang-orang
yang berkepandaian tinggi, maka tidak sukar bagi mereka berdua untuk
menyelundup masuk benteng lewat tembok tinggi di samping kiri agak jauh dari
tempat penyerbuan pasukan kerajaan.
Ang-siocia
yang memang ditugaskan oleh Jenderal Kao untuk selalu meneliti tanda tanda
rahasia, menyambut datangnya kawan-kawan, dapat melihat kedatangan suami isteri
ini yang tanpa mereka sadari telah menginjak alat-alat rahasa pribadi Jenderal
Kao sehingga Ang-siocia dapat mengetahui kedatangan mereka dan menyambut. Maka
terkejutlah suami isteri itu pada saat mereka meloncat turun dan menyelinap di
antara kegelapan bayangan pohon, tiba-tiba ada sesosok tubuh ramping berkelebat
disusul suara Ang-siocia yang halus.
“Kao-taihiap
dan Lihiap, cepat ke sinilah...“
Suami isteri
itu memandang tajam, alis mata mereka berkerut penuh curiga. Melihat sinar mata
pendekar itu mencorong, Ang-siocia bergidik dan cepat dia mendekati sambil
berbisik, “Harap Taihiap jangan curiga, saya adalah utusan dari Jenderal Kao.
Cepat, ke sinilah...“
Kao Kok Cu
dan Ceng Ceng kemudian cepat mengikuti Ang-siocia menuju ke sebuah kandang kuda
dan mereka memasuki sebuah kamar sederhana di belakang kandang kuda itu. “Harap
kalian bersembunyi dulu di sini sampai keributan dari perang di luar itu
selesai, nanti Ji-wi akan dapat bertemu dengan suhu, yaitu Hek-sin Touw-ong,
Gak Bun Beng taihiap, dan dengan Jenderal Kao sendiri.”
Mendengar
ucapan itu, giranglah hati Kao Kok Cu dan isterinya. Akan tetapi Ceng Ceng yang
sudah tidak sabar lagi menanti berkata, “Jadi engkau adalah murid Touw-ong dan
engkau bekerja sama dengan ayah mertuaku?”
Ang-siocia
mengangguk. “Nama saya Kang Swi Hwa dan saya bersama suhu secara terpaksa
menjadi pembantu-pembantu di sini.” Lalu dengan singkat dia menceritakan betapa
dia dan suhu-nya bertemu dengan Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li, dan betapa mereka
berdua membantu dua orang muda itu berusaha untuk membebaskan Syanti Dewi
sehingga akhirnya mereka berdua tertawan.
“Untuk
menyelamatkan diri, terpaksa kami berdua pura-pura menakluk dan membantu Koksu
Nepal. Namun diam-diam kami mengadakan hubungan dan membantu Jenderal Kao
Liang.”
Hati Ceng
Ceng girang sekali. Dia memegang tangan Ang-siocia dan berkata, “Adik yang
baik, kalau begitu harap kau cepat membawaku bertemu dengan puteraku!”
Ang-siocia
mengangguk. “Harap kau suka bersabar, Enci. Dalam keadaan ribut seperti ini,
koksu telah memerintahkan para pengawal untuk menjaga para tawanan dengan
ketat. Sebaiknya nanti saja jika keadaan sudah mereda, Enci tentu akan dapat
bertemu dengan putera Enci yang gagah itu. Akan tetapi Enci harus menyamar,
jangan khawatir, aku mempunyai akal untuk mengaturnya.”
Kao Kok Cu
juga menasehati isterinya agar bersabar dan menanti saat baik, karena sekali
saja mereka itu gagal sehingga diketahui musuh, hal ini mungkin sekali akan
membahayakan semua keluarga mereka.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, penyerangan tentara kerajaan di bawah
pimpinan Puteri Milana kembali mengalami kegagalan dan setelah menerima surat
yang dikirimkan oleh Jenderal Kao melalui anak panah yang dilancarkan diam-diam
oleh Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong, Milana lalu menarik mundur
pasukannya, lalu membagi-bagi pasukannya untuk melakukan pengepungan dengan
ketat.
Gak Bun Beng
lalu dipanggil oleh Ang-siocia untuk menemui suami isteri itu. Mereka berunding
dan Ceng Ceng lalu dirias oleh Ang-siocia, menyamar menjadi dia sendiri. Tak
lama kemudian di ruangan itu telah ada dua orang Ang-siocia yang kembar segala
galanya!
“Sebaiknya
Kao-taihiap bersembunyi saja di sini, menyamar sebagai pembantu penjaga
kandang,” kata Touw-ong dan Si Naga Sakti Gurun Pasir ini mengangguk karena dia
pun tahu bahwa dia tidak mungkin dapat menyamar. Lengan kirinya yang buntung
itu tidak memungkinkan dia menyamar sebagai orang lain.
Jenderal Kao
Liang sendiri merasa girang mendengar bahwa puteranya yang amat diandalkannya,
yaitu Kok Cu, bersama isterinya, telah tiba di dalam benteng. Betapa pun rindu
rasa hatinya, namun dia tidak mau bertemu dengan putera atau mantunya. Amat
berbahaya untuk membiarkan Kok Cu muncul di depan umum, karena puteranya itu
pernah membikin geger di situ. Dia hanya memesan melalui Gak Bun Beng yang
menyamar sebagai Touw-ong dan yang dapat mudah menghubunginya, memesan agar
mereka semua jangan sekali-kali melakukan gerakan lebih dulu secara lancang.
“Kalian
harus menanti sampai terjadi pembakaran gudang-gudang ransum secara berhasil.
Musnahnya gudang ransum akan menghancurkan pertahanan mereka, dan setelah itu
barulah aku akan memberi tanda kepada Puteri Milana untuk melakukan penyerbuan
besar-besaran,” demikian pesan Jenderal Kao Liang yang telah mengatur rencana.
Anehnya, jenderal ini tidak pernah mau membuka siasatnya secara terperinci
sehingga orang-orang gagah itu hanya dapat menduga-duga saja siasat apa yang
akan digunakan oleh jenderal itu untuk menghancurkan pertahanan benteng yang
demikian kuatnya itu di samping membakar gudang-gudang ransun.
Puteri
Milana mentaati pesan dari Jenderal Kao Liang. Dia lalu mengatur pasukannya,
mengepung benteng itu dengan ketat dan tidak melakukan penyerbuan lagi, hanya
kadang-kadang saja dia membiarkan pasukan-pasukan itu mengacau benteng dengan
hujan anak panah, kemudian mundur dan kembali menjaga dengan ketat sehingga
pihak musuh di dalam benteng tidak akan mungkin dapat mengadakan hubungan
dengan luar benteng. Namun, hati puteri perkasa itu makin tidak sabar setelah
menanti sampai beberapa hari, belum juga terjadi kebakaran di dalam benteng dan
belum juga ada tanda dari Jenderal Kao untuk membolehkan dia melakukan
penyerbuan.
Gak Bun
Beng, Milana, Hek-sin Touw-ong, Ang-siocia, Kao Kok Cu, dan Ceng Ceng dapat
menanti dengan sabar sampai Jenderal Kao Liang memberi isyarat, dan mereka
semua itu percaya penuh akan kelihaian sang jenderal mengatur dan menjalankan
siasatnya. Akan tetapi ada beberapa orang muda yang tidak tahu akan hal ini dan
tidak dapat menanti! Malam itu terjadilah kegemparan besar di dalam benteng
ketika empat orang muda menyelundup masuk dan membuat semua penjaga di dalam
benteng menjadi geger! Mereka itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Teng
Siang In yang menyelundup masuk dari dinding timur, dan Suma Kian Bu bersama
Kim Hwee Li yang menyelundup masuk dari dinding barat!
Mula-mula
terdengar teriakan-teriakan para penjaga di dekat dinding benteng sebelah timur
oleh karena ada tanda rahasia yang terpijak orang di atas tembok. Para penjaga menghujankan
anak panah pada dua sosok bayangan orang yang bergerak cepat bukan main, namun
semua anak panah itu luput dan dua sosok bayaangan orang itu cepat lenyap dalam
kegelapan malam di sebelah dalam benteng! Waktu itu sudah lewat tengah malam,
sebagian besar penjaga sudah mengantuk, maka tentu saja mereka menjadi gempar
ketika tiba-tiba terdengar tanda bahaya. Juga para tokoh lihai yang berada di
dalam benteng itu serentak bangun dan melakukan pengejaran dan pencarian.
Namun, dua sosok bayangan orang yang dikabarkan menyelundup ke dalam benteng
itu telah lenyap.
Selagi para
tokoh dan penjaga mencari-cari, tiba-tiba terdengar tanda bahaya di sebelah
barat, menandakan bahwa ada pihak musuh menyelundup masuk melalui dinding barat
pula. Maka keadaan menjadi makin gempar, para penjaga lari ke sana sini, para
tokoh berkelebatan ke sana-sini mencari-cari karena dikabarkan bahwa dari
dinding sebelah barat ini pun menyelundup masuk dua sosok bayangan manusia yang
memiliki gerakan luar biasa gesitnya. Gegerlah seluruh benteng. Koksu sendiri
sampai terbangun dari tidurnya kemudian dia sendiri bersama para saudaranya
memimpin pengejaran dan pencarian terhadap empat orang penyelundup yang
dikabarkan oleh para penjaga amat lihai itu.
Tentu saja
sukar bagi empat orang muda itu untuk dapat menyembunyikan diri terus terusan
di dalam benteng setelah para penjaga dan para tokoh yang berkepandaian tinggi
itu mencari dengan penuh semangat. Beberapa kali mereka kepergok oleh para
penjaga yang mencari-cari sehingga mereka terpaksa mempergunakan kepandaian dan
lari lagi, dikejar-kejar dan lenyap lagi sehingga keadaan menjadi makin
kacau-balau.
Suma Kian Bu
dan Kim Hwee Li melarikan diri ke sebelah dalam. Berkat adanya Hwee Li yang
mengenal baik seluruh tempat di dalam benteng, maka mereka berdua lebih mudah
untuk bersembunyi. Hwee Li hendak mengajak Kian Bu untuk pergi mencari dan
menangkap Pangeran Liong Bian Cu.
“Kita bekuk
dia dan dengan dia menjadi sandera, kurasa kita akan dapat menaklukkan mereka
semua,” kata Hwee Li. “Kau tangkap dia dan betapa pun lihainya, aku yakin
engkau akan dapat menang dan membuat dia tidak berdaya, Kian Bu. Kemudian kita
seret dia keluar dan ancam koksu dan yang lain agar suka membebaskan Jenderal
Kao dan keluarganya.”
“Hemmm, mana
mungkin begitu mudah? Kalau koksu menolak?”
“Apa?
Menolak? Kita ketuk kepala si hidung kakatua itu sampai dia minta-minta ampun.
Dia adalah seorang Pangeran Nepal, mustahil koksu tidak akan melindunginya dan
mengalah. Kita kan hanya minta tukar orang?”
“Hemmm, kau
benar juga, tapi hati-hatilah, karena pangeran itu tentu terjaga kuat. Jangan
kau bertindak ceroboh sehingga belum kita berhasil, engkau akan tertangkap
lebih dulu.”
“Cerewet
amat sih, kau ikut aku saja. Mari...!”
“Tangkap penjahat...!”
Tiba-tiba terdengar bentakan dan seorang perwira meloncat ke depan menyergap
mereka, diikuti oleh enam orang prajurit. Teriakannya ini diikuti oleh
teriakan-teriakan enam orang prajurit itu sehingga keadaan menjadi gaduh.
“Sialan!
Diam kau!” Hwee Li berseru, tubuhnya mencelat ke depan, ke arah perwira itu dan
sebelum perwira itu sempat melindungi dirinya, Hwee Li sudah menampar.
Telapak
tangan kirinya yang berkulit halus dan hangat itu mengenai telinga kiri si
perwira dan terasa olehnya bagaikan kilat menyambar, panas dan membuat matanya
melihat seribu bintang runtuh. Dia terpelanting dan roboh tak sadarkan diri!
Ketika Hwee Li membalikkan tubuh untuk menerjang enam orang prajurit itu, dia
melihat betapa enam orang itu telah roboh semua oleh Kian Bu, padahal dia tadi
tidak mendengar apa apa. Entah apa yang dilakukan oleh Kian Bu kepada enam
orang itu sehingga mereka roboh tanpa mengeluarkan suara dalam waktu secepat
itu.
“Kau boleh
juga!” Hwee Li memuji. “Mari...!”
Keduanya
lalu meloncat dan menyusup di dalam kegelapan di antara bayang-bayang pohon dan
rumah-rumah di dalam benteng. Tempat itu segera menjadi gempar ketika beberapa
orang penjaga menemukan tujuh orang yang roboh pingsan itu, roboh tanpa
terluka. Akan tetapi pemuda dan dara yang merobohkan mereka itu telah pergi
jauh. Bukan pergi untuk menjauhkan diri dari bahaya, sebaliknya malah karena
tiba-tiba saja muncul koksu sendiri di depan mereka. Koksu Nepal yang
diiringkan oleh sepasukan pengawal pribadinya yang berjumlah dua losin orang!
Bukan main marahnya koksu ketika melihat bahwa dua orang yang membikin kacau
benteng itu bukan lain adalah Siluman Kecil dan Kim Hwee Li.
“Kiranya
kalian datang kembali mengantar nyawa?” bentaknya.
“Kian Bu,
kau hadapi si botak menjemukan ini, biar aku menghajar pasukan tikus merah
itu!” Para pengawal pribadi koksu memang memakai seragam merah, sesuai dengan
si kakek botak yang juga memakai mantel merah. Kian Bu tidak sempat menjawab
karena pendeta Lakshapadma atau Ban Hwa Sengjin itu memang sudah menerjang ke
depan dan menggerakkan kedua lengannya yang amat panjang itu.
”Hemmmm...!”
Kian Bu mendengus dan dia sudah menggerakkan tangan menyambut dengan pukulan
saktinya.
Namun, Koksu
Nepal yang sudah pernah merasakan kelihaian pemuda ini, tidak mau mengadu
tenaga, melainkan menggerakkan tubuhnya berpusing dan tubuh itu segera berubah
menjadi tubuh yang berlengan banyak sekali karena dia berpusing seperti gasing.
Semua tangan yang menjadi banyak itu menyerang dan mengirim pukulan, tamparan,
dan totokan-totokan maut ke arah tubuh Kian Bu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment