Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 27
Dia terus
lari mencari-cari dan kini hatinya penuh rasa takut dan juga kagum. Kiranya di
sebelah dalam istana ini luasnya bukan main, seperti sebuah kota saja. Ada
tamannya, ada anak sungai dengan jembatan yang artistik, bangunan-bangunan
kecil yang aneh bentuknya namun indah.
Ceng Ceng
mulai terengah-engah. Lalu dia mengambil keputusan untuk keluar saja dari
istana yang menyeramkan ini. Di luar sana setidaknya ada muridnya, Hwee Li dan
burung rajawali hitam itu. Dan di luar dia akan menanti Topeng Setan, atau
mungkin sekali Topeng Setan sudah keluar lebih dulu karena melihat istana itu
kosong dan menanti dia di luar.
Mulailah
Ceng Ceng berlarian mencari jalan keluar. Akan tetapi celaka! Lorong mana pun
yang diambilnya, tidak membawanya ke luar! Jalan-jalan di situ amat aneh,
berputar-putar dan dia tidak dapat keluar, bahkan memasuki bagian-bagian yang
tadi belum pernah dilalui. Dia tersesat di dalam istana luas kosong itu!
“Paman
Topeng Setan...!” Dia berteriak-teriak karena hari makin gelap, suasananya makin
menyeramkan.
Akan tetapi,
teriakannya itu sekarang bergema dan yang terdengar kembali hanya gema suara
terakhir, “...setaaaann...!”
Bulu
tengkuknya makin meremang. Tengkuknya terasa dingin, seolah-olah setiap saat
tengkuknya akan diraba dan dicekik tangan setan yang dingin! Ceng Ceng makin
panik dan baru sekali ini dia merasa takut, takut karena jalan pikirannya yang
mencipta yang bukan-bukan.
Ceng Ceng
adalah seorang gadis yang dalam beberapa tahun telah digembleng oleh
pengalaman-pengalaman aneh mengerikan, bahkan beberapa kali dia menghadapi
bahaya maut. Namun baru satu kali ini dia merasakan ketakutan yang lain lagi
sifatnya, rasa takut yang timbul karena menghadapi hal yang membingungkan dan
tidak dimengertinya. Lebih baik dia menghadapi seratus orang lawan yang
mengeroyoknya dan dapat dilihatnya. Sekarang ini, dia tidak dapat keluar,
seorang diri dan tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya. Padahal malam
agaknya mulai tiba dan cuaca menjadi makin gelap.
Ceng Ceng
hampir saja menangis. Cuaca menjadi demikian gelapnya sehingga dia tidak berani
lagi berlari-larian, hanya berjalan dengan mata terbelalak seperti mata seekor
kelinci yang terkurung oleh jebakan.
Tiba-tiba
dia menahan napas. Tampak olehnya bayangan orang di seberang jembatan di depan
sana, bayangan hitam yang memegang sebatang lilin bernyala. Cahaya lilin itu
terlalu kecil sehingga dia tidak dapat melihat wajah pemegangnya. Rasa ngeri
dan takutnya lenyap. Pasti bukan setan yang memegang lilin bernyala itu.
Bayangan itu menggunakan api lilin, menyalakan lampu-lampu minyak yang berdiri
di setiap sudut. Gerakannya ketika membuka penutup lampu, menyulut dan
menutupnya kembali amat cepatnya dan api lilin itu bergerak-gerak.
Ceng Ceng
cepat menggerakkan kakinya mengejar. Akan tetapi orang itu makin cepat pula
gerakannya, meloncat ke sana-sini, sulut sana-sini, lari ke depan, sulut lagi
sana-sini, terus dikejar oleh Ceng Ceng dan akhirnya, setelah menyalakan lampu
terakhir, orang itu meniup padam lilinnya dan lenyap!
Ceng Ceng
terpaksa berhenti, memandang ke sana ke mari. Sunyi melengang dan cahaya
lampu-lampu minyak di sekitar tempat itu yang telah disulut oleh orang aneh
tadi menciptakan suasana yang makin menyeramkan. Akan tetapi sedikitnya ancaman
kegelapan sudah tidak ada lagi dan Ceng Ceng berbesar hati. Andai kata muncul
apa pun musuh atau siluman, dia masih dapat menjaga diri di bawah sinar-sinar
lampu yang muram akan tetapi cukup terang itu.
Selagi dia
termangu-mangu, tidak tahu betul apa yang harus dilakukannya, tiba-tiba
terdengar suara gaduh di sebelah kanan, suara orang bertempur! Ceng Ceng cepat
berlari ke arah suara itu, dan akhirnya dia tiba di bawah sebuah bangunan
tingkat dua. Dia melihat ke atas dan ternyata ada dua orang bertempur saling
serang dengan serunya di atas genteng bangunan tingkat dua itu. Yang seorang
adalah kakek-kakek yang bertongkat, melawan seorang laki-laki bermantel lebar
yang menutupi hampir sekujur badannya yang tinggi besar.
Agaknya
laki-laki tinggi besar itu maklum akan kedatangan Ceng Ceng. Dia menoleh dan...
hampir saja Ceng Ceng menjerit. Itulah dia! Laki-laki berjubah lebar itu! Si
pemuda laknat, tak salah lagi!
“Keparat...!”
Mulutnya mendesis dan Ceng Ceng hendak meloncat ke atas.
Akan tetapi
pemuda itu yang menoleh dan melihat Ceng Ceng, nampak terkejut lalu meloncat
jauh ke depan melarikan diri, dikejar oleh musuhnya, kakek bertongkat. Melihat
ini, Ceng Ceng terus melayang ke atas genteng dan mengejar pula ke arah kedua
orang itu tadi berkejaran. Akan tetapi, gerakan mereka cepat bukan main dan di
atas genteng-genteng istana, cuaca tidaklah seterang di bagian bawah yang sudah
diterangi banyak lampu.
Ceng Ceng
terpaksa berhenti ketika dia kehilangan dua bayangan yang dikejarnya itu. Dia
mengerahkan seluruh ketajaman telinga untuk mendengarkan. Benar, di kejauhan
dia mendengar lagi suara orang bertempur. Cepat dia meloncat dan dari atas dia
melihat ada satu orang dikeroyok tiga orang. Yang dikeroyok adalah seorang yang
berjubah lebar tadi, si pemuda laknat, musuh besarnya.
Karena Ceng
Ceng tidak mempedulikan lain-lainnya, hanya mencurahkan seluruh perhatian
terhadap si pemuda laknat, maka dia tidak peduli siapa yang mengeroyok itu dan
dia langsung meloncat dari atas dengan maksud menyerang musuh besarnya sambil
memaki, “Hendak lari ke mana kau?”
Orang
berselubung mantel atau jubah lebar itu menengok dan sekali ini Ceng Ceng dapat
mengenal betul wajah yang gagah perkasa itu, wajah yang dahulu di dalam goa kelihatan
kemerahan dan beringas, akan tetapi sekarang kelihatan terkejut. Orang itu
mengeluarkan suara aneh di lehernya lalu meloncat dan melarikan diri lagi,
dikejar oleh tiga orang musuhnya yang juga amat lihai dan memiliki
gerakan-gerakan cepat bukan main sehingga kembali Ceng Ceng tertinggal jauh
ketika mencoba mengejarnya dan sebentar saja sudah kehilangan bayangan mereka.
Ceng Ceng
makin mendongkol. Terpaksa dia berdiri diam di sebuah taman, sambil
mendengarkan lagi. Jantungnya berdebar tegang. Sekarang dia tidak akan keliru
lagi. Tentu dialah orangnya! Selain wajahnya yang tak mungkin dia lupakan
selama hidupnya itu, juga buktinya begitu melihat dia muncul, orang bermantel
lebar itu melarikan diri. Padahal melihat kelihaiannya menghadapi lawan-lawannya,
tidak mungkin laki-laki itu takut kepadanya. Tentu dia lari karena dia pun
ingat kepadaku, pikir Ceng Ceng.
Jantungnya
berdebar aneh. Ingat padaku? Dia masih ingat padaku? Ingat secara bagai mana?
Kalau dia sendiri tentu saja selama hidupnya akan teringat kepada pemuda itu,
ingat dengan hati penuh kebencian. Akan tetapi bagaimana perasaan pemuda itu
begitu melihat dan mengenalnya? Ingin sekali dia mengetahui perasaan pemuda
itu.
Kembali
terdengar suara orang bertempur. Ceng Ceng menahan kakinya yang sudah hendak
berlari lagi. Tidak, dia harus cerdik sekarang. Dia tidak boleh lari
tergesa-gesa, karena hal ini akan membuat kehadirannya ketahuan dan si laknat
itu tentu akan lari lagi. Maka kini Ceng Ceng menghampiri tempat arah datangnya
suara pertempuran dengan jalan kaki, berindap-indap dan hati-hati agar jangan
sampai diketahui oleh mereka yang sedang bertanding, terutama tentu saja oleh
pemuda musuhnya itu.
Akan tetapi
setelah tiba di tempat itu dan melihat mereka tidak melarikan diri, hatinya
kecewa karena yang bertanding sekali ini bukanlah si pemuda laknat yang memakai
mantel lebar tadi, melainkan seorang kakek yang memegang sebatang sapu lidi
bergagang panjang, dikeroyok oleh dua orang kakek yang bersenjata kebutan dan
yang seorang bersenjata tasbeh.
Dua orang
kakek pengeroyok itu lihai sekali, akan tetapi kakek pembawa sapu lidi itu
tidak kalah lihainya. Terutama sekali ginkang-nya, amat luar biasa sekali
gerakannya, cepat seperti beterbangan sehingga pandang mata Ceng Ceng menjadi
kabur melihat kakek itu berkelebatan dan sapu lidi di tangannya digerakkan
menjadi gulungan sinar yang amat lebar mengelilingi dan menyelimuti dirinya.
Biar pun dua
orang pengeroyoknya itu pun amat lihai sehingga gerakan senjata mereka
mendatangkan angin yang bersiutan, akan tetapi kakek tukang sapu ini tetap
mampu melindungi dirinya, bahkan masih sempat pula menyumpah-nyumpah dengan
suaranya yang agak parau.
“Kurang ajar
sekali! Kalian ini setan-setan dari mana malam-malam begini berani mengacau di
rumah orang?”
“Heh,
pelayan rendah! Kedudukanmu hanya tukang sapu, jangan banyak bicara kau! Hayo
antarkan kami ke gedung pusaka milik Si Bongkok kepada kami!” teriak lawannya
yang bersenjata kebutan.
“Hemm,
kiranya kalian ini maling-maling tidak tahu malu? Benar-benar gagah perkasa,
berani datang merampok selagi tuanku pergi. Kalau bellau berada di sini tak
mungkin kalian berani datang. Dasar pengecut!”
“Pelayan
hina bermulut lancang!” bentak lawan yang memegang tasbeh dan mereka sudah
bertanding lagi makin seru.
Ceng Ceng
yang sedang menonton pertempuran hebat itu dengan hati kecewa karena dia tidak
melihat si pemuda laknat yang dikejarnya, tiba-tiba mendengar ada suara
pertempuran yang lebih ramai di balik tembok kiri. Cepat dia lalu menyelinap
dan menghampiri. Ketika dia sudah tiba di balik tembok itu, dia melihat si
pemuda laknat yang memakai jubah mantel lebar itu dikeroyok oleh lima orang
yang lihai.
Agaknya si
pemuda itu hanya menggunakan ujung mantelnya yang lebar untuk menghadapi
pengeroyokan lima orang lawannya yang bersenjata pedang. Akan tetapi kedatangan
Ceng Ceng yang sudah menyelinap hati-hati itu agaknya diketahuinya pula dan dia
sudah meloncat lagi, menghilang ke dalam sebuah lorong yang agak gelap.
Lima orang
lawannya agaknya telah mengenal kelihaian pemuda itu maka melihat pemuda itu
memasuki lorong gelap, mereka tidak berani mengejar, takut terjebak melainkan
mengambil jalan atas dengan berloncatan ke atas genteng. Akan tetapi Ceng Ceng
tidak mempedulikan apa-apa lagi dan dia sudah mengejar secepatnya ke dalam
lorong gelap itu. Sekali ini dia tidak akan melepaskan musuh besarnya itu,
tekadnya sambil mempercepat larinya. Akan tetapi tiba-tiba dia berteriak kaget
dan terguling di dalam lorong gelap karena ada sesuatu yang membelit kedua
kakinya.
Cepat dia
merenggut benda itu dan ternyata benda itu adalah sehelai jubah lebar seperti
yang dipakai oleh pemuda musuh besarnya tadi! Tentu saja tergulingnya ini
memperlambat pengejarannya dan ketika ia meloncat bangun kembali, bayangan
pemuda itu telah lenyap. Ceng Ceng mendongkol dan sambil melempar mantel itu
dia menyumpah-nyumpah dan melanjutkan pengejarannya sampai keluar dari lorong
gelap.
Setibanya di
luar lorong itu, di dalam halaman yang luas dan cukup terang, Ceng Ceng
termangu-mangu, tidak tahu harus mengejar ke mana karena sudah tidak nampak
lagi bayangan orang yang tengah dicarinya, sedangkan di situ terdapat banyak
sekali jalan simpangan. Selagi dia kebingungan, kembali terdengar suara orang
bertanding di sebelah kiri. Cepat dia menuju ke tempat itu, berindap-indap dan
setelah melewati jembatan kecil, dia melihat seorang kakek yang bersenjata
cambuk sedang berhadapan dengan Topeng Setan!
Ceng Ceng
memandang heran. Agaknya istana yang sunyi itu hanya dihuni oleh tukang sapu
yang lihai dan murid Si Dewa Bongkok, yaitu si pemuda laknat yang memakai
mantel lebar, dan malam ini istana didatangi oleh banyak sekali orang lihai
yang maksudnya tentu akan merampok pusaka-pusaka Istana Gurun Pasir ini. Dan
Topeng Setan agaknya membantu pihak tuan rumah menghadapi rombongan perampok!
Dia sendiri
menjadi bingung. Pemuda laknat musuh besarnya tinggal di istana ini, dan dia
harus memusuhinya. Akan tetapi, perampok-perampok ini, tidak mungkin dia harus
bekerja sama dengan para perampok! Jelas bahwa Topeng Setan sendiri menentang
para perampok dan dia tidak dapat menyalahkan Topeng Setan karena memang sudah
sepatutnya bagi seorang gagah untuk mencegah perbuatan jahat seperti
perampokan. Akan tetapi dia? Tak mungkin dia mau membantu musuh besarnya!
Kakek itu
amat lihai menggerakkan cambuknya, namun dia bukanlah lawan berat bagi Topeng
Setan sehingga ketika ujung cambuknya kena dicengkeram, ujung cambuk itu patah.
Pemiliknya mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang melarikan diri.
Topeng Setan bergerak mengejarnya.
“Paman...!”
Ceng Ceng berteriak.
Topeng Setan
berhenti, membalikkan tubuhnya dan berkata, “Ceng Ceng, istana ini lagi
kemasukan maling-maling dan aku harus membantu. Kau berdiamlah dulu di sini,
aku hendak mengejar mereka.” Setelah berkata demikian, Topeng Setan meloncat ke
atas genteng dan lenyap, agaknya hendak membantu si tukang sapu.
Ceng Ceng
termenung, dia bingung. Lalu dia cemberut. Mengapa Topeng Setan lebih
mementingkan urusan istana ini, urusan tempat tinggal musuh besarnya? Mengapa
Topeng Setan tidak cepat-cepat membantunya menangkap si pemuda laknat? Dengan
hati panas dia lalu mengejar pula.
Terdengar
pertempuran hebat di lapangan yang luas, yang terletak di belakang istana. Ceng
Ceng lari menghampiri dengan penuh harapan. Kalau dia bertemu dengan musuhnya
di situ, tidak peduli Topeng Setan membelanya menghadapi para perampok, dia
tetap akan menyerang si pemuda laknat!
Dengan hati
panas Ceng Ceng sudah mencabut pedangnya dan dengan pedang di tangan dia
menghampiri tempat pertempuran itu. Akan tetapi kembali hatinya kecewa sekali.
Ada sebelas orang yang lihai-lihai mengeroyok dua orang, yaitu kakek tukang
sapu dan Topeng Setan, sedangkan pemuda laknat itu tidak kelihatan di situ!
Masih ada empat orang musuh yang berdiri di luar tempat pertempuran dan
terdengar seorang di antara mereka berkata nyaring, “Mereka berdua telah
dikurung, mari kita mencari sendiri gudang pusaka!”
Empat orang
anggota gerombolan maling itu lalu meloncat, dengan gerakan luar biasa
ringannya tubuh mereka melayang ke atas genteng. Terdengar kakek tukang sapu
tertawa, “Ha-ha-ha, kalian berempat hanya mengantar nyawa!”
Ceng Ceng
tidak mengerti mengapa kakek tukang sapu itu mentertawakan empat orang itu,
tentu saja dia tidak mengira bahwa tukang sapu itu merasa yakin bahwa murid
majikannya yang tadi menghadapi para penyerbu dan yang sekarang tidak nampak,
tentu telah berlaku cerdik dan menjaga keselamatan gudang perpustakaan sehingga
empat orang itu tentu akan tewas di tangan murid majikannya.
Kakek tukang
sapu itu memang gagah berani. Biar pun dia yang telah dibantu oleh Topeng Setan
itu berada dalam keadaan terdesak menghadapi keroyokan sebelas orang yang
rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi dia masih mampu
mentertawakan para lawannya, sedikit pun tidak mengenal takut.
Tiba-tiba
terdengar lengking aneh di atas, diikuti suara tertawa merdu nyaring, suara
ketawa seorang gadis cilik yang menunggang seekor rajawali hitam. Kiranya
rajawali hitam dari Pulau Neraka itu yang tadi mengeluarkan suara melengking
dan kini atas dorongan dan bujukan Hwee Li, gadis itu, si rajawali hitam
raksasa menyambar ke arah empat orang anggota penyerbu yang tadi berlompatan di
atas genteng! Empat orang itu kaget bukan main, cepat mereka menggerakkan
pedang menyerang ke atas.
Akan tetapi
sepasang cakar rajawali hitam itu besar dan kuat sekali, melebihi baja
kerasnya, sehingga dua orang berteriak kaget, pedang mereka terlepas dan tangan
mereka berdarah kena dihantam cakar, orang ketiga terpelanting kena disambar
sayap dan orang keempat berteriak-teriak menutupi mata kanannya yang disambar
ujung sepatu Hwee Li yang tertawa-tawa! Empat orang itu cepat berloncatan turun
kembali dan Hwee Li sambil tertawa menerbangkan rajawalinya ke atas, berputaran
sambil menonton pertempuran hebat yang masih terjadi di halaman luas itu.
Pada saat
itu pula terdengar suara lengking nyaring berkali-kali dan rajawali yang
ditunggangi Hwee Li itu menggerakkan sayapnya, terbang tinggi sekali seperti
terkejut atau ketakutan. Ceng Ceng mengkhawatirkan keselamatan muridnya dan dia
berseru, “Hwee Li, hati-hati kau...!”
Akan tetapi
tiba-tiba nampak di angkasa dua bayangan besar hitam, lalu terdengar kelepaknya
sayap-sayap burung raksasa. Kiranya dua bayangan hitam besar setelah kini tiba
dekat, adalah dua ekor rajawali putih yang besar-besar dan di atas rajawali
putih yang betina duduk seorang kakek yang berkaki satu dan berambut putih
panjang riap-riapan.
“Hemmm...
orang-orang yang tamak di mana-mana menimbulkan kekacauan saja!” Terdengar
kakek berkaki buntung sebelah itu berkata dan tiba-tiba tubuhnya melayang turun
dari atas punggung rajawali itu.
“Pendekar
Siluman...!” Beberapa orang di antara para penyerbu itu berseru kaget dan kini
mereka semua menjadi panik karena melihat betapa pendekar tua berkaki buntung
sebelah itu ketika tiba di bawah telah terpecah-pecah menjadi sepuluh orang
kembar yang menggerakkan tongkat secara hebat, tubuh sepuluh orang Pendekar
Super Sakti itu mencelat ke sana-sini dengan kecepatan seperti kilat karena dia
menggunakan ilmunya yang mukjijat, yaitu Soan-hong-lui-kun!
Melihat ini,
peninglah kepala semua orang itu dan pandang mata mereka menjadi kabur.
“Lari...!”
teriak seorang berpakaian tosu yang memegang kebutan dan tanpa diperintah dua
kali, lima belas orang itu segera meninggalkan ternpat itu dengan kacau-balau
dan ketakukan. Padahal mereka adalah orang-orang yang memiliki tingkat
kepandaian amat tinggi.
Sejenak
kakek tukang sapu itu berdiri terbelalak memandang kepada Pendekar Super Sakti
Suma Han yang berdiri dengan tenang di depannya, kini sudah menjadi satu, tidak
lagi terpecah menjadi sepuluh orang. Kemudian kakek itu membungkuk dengan penuh
hormat kepada Suma Han dan berkata, “Kiranya Taihiap yang berjuluk Pendekar
Super Sakti, tocu (majikan pulau) dari Pulau Es. Hamba mewakili majikan hamba
dan kongcu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Taihiap mengusir
para penjahat. Juga kepada Ji-wi berdua saya menghaturkan terima kasih,”
katanya lebih lanjut dan menjura ke arah Ceng Ceng dan Topeng Setan.
Pendekar
Super Sakti mengangguk. “Pelayan yang baik dan setia,” katanya. “Di manakah
adanya tuanmu? Aku datang karena melihat jejak puteraku, Suma Kian Lee, menuju
ke tempat ini. Apakah dia bersama dengan majikanmu?”
Tukang kebun
itu kembali menjura. “Belum lama ini majikan hamba datang bersama Suma Kongcu,
kemudian majikan hamba mengajak Suma Kongcu ke selatan setelah datang undangan
dan tantangan dari ketiga orang datuk lainnya yang mengadakan pertemuan di
Yin-san, pegunungan sebelah selatan. Kemudian datang Kongcu (Tuan Muda) murid
majikan hamba dan kami berdua diserang oleh gerombolan penjahat tadi. Untung
ada Sam-wi (Anda Bertiga) yang membantu kami.”
Tiba-tiba
Ceng Ceng meloncat ke depan dan menodongkan pedangnya kepada kakek si tukang
sapu yang menjadi terkejut sekali. “Hayo katakan, siapa kongcu-mu itu? Bukankah
dia yang bernama Kok Cu?”
“Benar,
Nona... kenapa...?”
“Di mana
dia? Lekas suruh dia keluar!”
“Eh,
hamba... hamba kira dia menjaga di gedung pusaka, sudah pasti begitu karena dia
amat cerdik, tahu bahwa para penjahat tadi hendak menyerbu gedung pusaka.”
“Nona muda,
segala urusan dapat diselesaikan dengan baik, tanpa kekerasan.” Tiba-tiba
Pendekar Super Sakti berkata dan suaranya yang halus itu membuat Ceng Ceng
meremang bulu tengkuknya.
“Maaf,
Locianpwe,” katanya dan dia menyimpan pedangnya.
“Biar saya
yang mencarinya bersama orang tua ini,” kata Topeng Setan. Tukang sapu
mengangguk dan sekali berkelebat lenyaplah keduanya itu dari halaman.
Setelah mereka
pergi, Pendekar Super Sakti memandang Ceng Ceng penuh perhatian dan bertanya,
“Nona, semenjak pertemuan kita di warung itu, tak pernah kusangka akan bertemu
lagi dengan kau di sini. Sahabatmu yang bertopeng itu hebat sekali. Siapakah
dia?”
“Dia adalah
sahabat dan pelindungku, Locianpwe. Dia adalah Paman Topeng Setan.”
“Paman?
Hemm, kukira dia belum setua itu. Tadinya kami kira dia itu adalah suamimu.
Kepandaiannya hebat. Akan tetapi mengapa kalian sampai di Istana Gurun Pasir
ini? Tidak sembarang manusia dapat sampai di tempat berbahaya ini.”
“Saya...
saya sedang mencari... seorang musuh besar saya,” kata Ceng Ceng gagap.
Jantungnya berdebar dan dia merasa jeri sekali berhadapan dengan pendekar yang
hebat ini, yang juga masih terhitung kakek tirinya! Segala sesuatunya dari
pendekar ini demikian berwibawa dan amat kuat pengaruhnya sehingga dia merasa
tidak enak, takut dan sungkan.
“Hemm, jadi
itukah yang kau katakan urusan pribadi dahulu itu? Kasihan, semuda ini sudah
dicengkeram oleh dendam yang begitu hebat...” Ucapan ini dikeluarkan oleh
pendekar itu dengan lirih seperti bicara kepada dirinya sendiri. “Dan bocah
perempuan yang naik rajawali hitam itu, siapa dia? Engkau tadi berseru
kepadanya.”
“Dia... dia
itu Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo...”
“Ehh! Ketua
Pulau Neraka?” Suma Han kelihatan tercengang juga.
“Benar,
Locianpwe, dan dia... dia menjadi murid saya.”
Jawaban ini
tentu saja membuat Suma Han atau Pendekar Super Sakti yang tidak tahu akan
duduknya perkara menjadi terheran-heran. Akan tetapi pada saat itu, Topeng
Setan dan kakek tukang sapu sudah muncul lagi sehingga percakapan mereka
terhenti.
“Dia tidak
ada lagi di sini, dan di kamarnya aku menemukan suratnya ini,” kata Topeng
Setan kepada Ceng Ceng, sedangkan kakek tukang sapu tadi hanya mengangguk
membenarkan.
“Benar,
Nona. Surat itu ditujukan kepada saya,” katanya.
Ceng Ceng
menerima surat itu dan membaca huruf-huruf yang agaknya ditulis dengan
tergesa-gesa, mengatakan bahwa penulisnya hendak pergi menyusul gurunya ke
selatan, ke Yin-san untuk membantu gurunya menghadapi para datuk lainnya.
“Kalau
begitu, kita menyusul ke Yin-san!” Ceng Ceng berteriak, penuh kekecewaan dan
kemarahan.
“Akan tetapi
Yin-san bukan tempat yang dekat dari sini...” Topeng Setan berkata.
“Tidak
peduli, aku harus menyusulnya!” Ceng Ceng berkata penasaran.
Tiba-tiba
terdengar teriakan dari atas, “Subo... celaka! Kedua ekor pek-tiauw (rajawali
putih) itu mengejar-ngejar burungku! Aku terpaksa mendarat!” Dari atas
menyambar turun burung rajawali hitam dan Hwee Li cepat meloncat turun,
merangkul leher burungnya dan berkata, “Tenanglah, hek-tiauw, semua ini
sahabat, kau tidak boleh nakal.” Dengan susah payah Hwee Li menenangkan
burungnya yang kelihatan marah dan gelisah melihat orang-orang asing itu.
Mendadak
Hwee Li menahan jeritnya ketika menoleh dan melihat Suma Han. Dia menudingkan
telunjuknya kepada pendekar itu dan berkata gagap, “Celaka... aku... aku pernah
mendengar... kau... kau Pendekar Super Sakti...”
Suma Han
tersenyum dan mengangguk. “Anak baik, kau puteri Ketua Pulau Neraka? Sungguh
bahagia sekali ayahmu memiliki seorang puteri seperti engkau.”
Hwee Li
memainkan matanya yang jeli. “Ehhh?! Kau... kau tidak benci padaku, tidak
membunuh aku...?”
Suma Han
tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“...tapi
rajawali putih menyerang rajawaliku. Mereka itu tentu rajawali-rajawali dari
Pulau Neraka dahulu, yang sekarang sudah menjadi besar dan lebih tangkas dari
pada hek-tiauw ini.”
Suma Han
bersuit panjang dan dua ekor rajawali putih itu menyambar turun, akan tetapi
mereka itu mendekam di belakang Suma Han tanpa berani bergerak, sedangkan
rajawali hitam dirangkul Hwee Li karena kelihatan gelisah dan gemetaran.
“Memang ini
dua ekor pek-tiauw dari Pulau Neraka yang dahulu menerbangkan kedua orang
puteraku dari Pulau Neraka.” Kemudian dia menoleh kepada Ceng Ceng dan Topeng
Setan. “Agaknya kita semua mempunyai niat yang sama yaitu ke Yin-san. Aku pun
hendak menyusul Kian Lee yang pergi bersama Dewa Bongkok ke Yin-san. Kalau
kalian hendak ke sana, mari pergunakan pek-tiauw-ku yang seekor lagi. Nona
dapat boncengan dengan muridmu ini di punggung hek-tiauw dan Saudara Topeng
Setan ini boleh memakai pek-tiauw jantan ini.”
Tentu saja
Ceng Ceng dan Topeng Setan menerima penawaran itu dengan gembira. Ceng Ceng
lalu meloncat ke atas punggung hek-tiauw bersama Hwee Li, sedangkan Topeng
Setan meloncat ke punggung pek-tiauw jantan setelah Suma Han naik ke punggung
pek-tiauw betina. Suma Han menerbangkan pek-tiauw betina itu di depan dan
burung yang ditunggangi Topeng Setan segera mengejarnya. Kim Hwee Li yang
gembira sekali memboncengkan gurunya lalu memerintahkan rajawali hitamnya untuk
mengikuti sepasang rajawali putih itu.
Memang hebat
sekali Pendekar Super Sakti. Menunggang burung rajawali saja sudah merupakan
hal yang amat mendebarkan hati penuh ketegangan, apa lagi di waktu malam! Hwee
Li sudah biasa sejak kecil menunggang burungnya, seperti menunggang kuda saja.
Akan tetapi Ceng Ceng merasa ngeri, bahkan Topeng Setan sendiri mau tidak mau
kadang-kadang menahan napas saking tegangnya. Namun Pendekar Super Sakti dengan
enak saja melanjutkan penerbangan itu dan baru pada keesokan harinya menyuruh
rajawalinya menukik turun ke atas sebuah bukit yang sunyi. Mereka memberi
kesempatan kepada tiga ekor burung rajawali untuk beristirahat, dan juga mereka
mencari tempat teduh untuk mengaso dan mengisi perut dengan roti kering yang
dibawa sebagai bekal oleh Topeng Setan dan Ceng Ceng.
Saat
istirahat setelah makan digunakan oleh Pendekar Super Sakti untuk bersemedhi.
Melihat ini, Topeng Setan, Ceng Ceng, dan Hwee Li tidak berani mengganggu,
bahkan Topeng Setan mengajak mereka agak menjauhi di mana Topeng Setan memberi
petunjuk kepada Ceng Ceng untuk menyempurnakan penguasaan tenaga sinkang-nya,
sedangkan Ceng Ceng juga mulai mengajarkan semacam ilmu pukulan kepada Hwee Li.
Akan tetapi
diam-diam Majikan Pulau Es itu melihat betapa Topeng Setan kadang-kadang
melakukan latihan yang aneh, dengan tubuh hampir menelungkup dan begitu Topeng
Setan melakukan gerak silat, batang-batang pohon di sekelilingnya bergoncang
seperti diamuk badai, daun-daun rontok berhamburan. Pendekar Super Sakti
terkejut dan maklum bahwa Topeng Setan benar-benar merupakan seorang yang amat
lihai.
Dia tidak
tahu bahwa itu adalah ilmu yang paling mukjijat dari Istana Gurun Pasir, yaitu
Ilmu Sin-liong-hok-te yang sedang dilatih dan disempurnakan oleh Topeng Setan,
yang akhirnya menguasai ilmu mukjijat itu setelah lengan kirinya buntung. Juga sering
sekali Suma Han yang memiliki penglihatan waspada itu melihat sikap
termangu-mangu dan tenggelam dalam kedukaan hebat dari orang yang wajahnya
disembunyikan di balik topeng itu.
Dia tahu
bahwa Topeng Setan masih muda dan dia makin kagum, juga makin heran karena
antara Ceng Ceng dan manusia aneh ini terselubung rahasia yang luar biasa. Akan
tetapi karena dia merasa tidak ada sangkut pautnya dengan mereka, pendekar
besar yang hanya sedang mencari puteranya ini tidak menaruh perhatian, apa lagi
menanyakan.
Beberapa
hari kemudian, menjelang tengah hari, tibalah mereka di atas Pegunungan
Yin-san. Ketiga ekor burung rajawali itu berputaran di atas pegunungan dan
tiba-tiba Hwee Li yang bermata tajam melihat gerakan orang-orang di atas sebuah
di antara puncak pegunungan itu.
“Subo, itu
di sana ada orang bertempur!” serunya.
Ceng Ceng
memandang ke arah yang ditunjuk muridnya. “Kalau begitu kita melihat ke sana.
Biar mereka nanti pun mengikuti kita kalau melihat kita turun.” Hwee Li
kemudian menepuk-nepuk leher rajawali hitam yang mengerti akan perintah ini.
Dia menukik turun dan melayang cepat sekali.
Akan tetapi
Suma Han atau Pendekar Super Sakti melihat hal lain lagi yang menarik hatinya,
maka rajawali yang ditungganginya disuruhnya turun pula di tempat yang tidak
jauh dari puncak di mana Hwee Li dan Ceng Ceng melihat orang-orang bertempur
itu.
Oleh karena
rajawali yang ditunggangi Topeng Setan, yaitu pek-tiauw jantan, selalu
mengikuti pek-tiauw betina, maka burung ini pun menukik turun mengikuti burung
yang ditunggangi Pendekar Super Sakti. Tak lama kemudian, Suma Han dan Topeng
Setan sudah meloncat turun dari punggung dua ekor rajawali itu yang segera
beterbangan lagi ke atas, agaknya maklum bahwa mereka telah bebas tugas dan
hanya tinggal menanti panggilan majikan mereka. Selama bebas tugas mereka lebih
suka terbang ke atas dan mengintai korban, yaitu binatang-binatang hutan untuk
menjadi mangsa mereka.
Pendekar
Super Sakti berloncatan dengan kaki tunggalnya menuju ke sebuah telaga kecil,
diikuti oleh Topeng Setan. Baru sekarang Topeng Setan mengerti mengapa pendekar
besar itu mendarat di situ. Kiranya dalam telaga itu terdapat seseorang yang
sedang merendam tubuhnya di dalam air, kelihatannya sedang bersemedhi. Seorang
laki-laki muda yang tampan dan gagah. Suma Kian Lee!
Pendekar
Super Sakti melangkah maju mendekati puteranya, mengerutkan alisnya dan berkata
halus, “Kian Lee, keluarlah kau dan biar kuobati lukamu itu.”
Mendengar
suara ayahnya yang diucapkan dengan pengerahan khikang sehingga suara itu
langsung memasuki telinganya dan menggugahnya, Kian Lee membuka mata. Sebelum
menoleh, dia sudah berbisik girang. “Ayah...!”
Lalu dia
menoleh, mengambil pakaian dan mengenakan pakaiannya lalu naik ke tepi telaga,
gerakannya agak lemah dan ternyata setelah dia keluar dari air telaga nampak
tanda telapak jari kehijauan di punggungnya.
Topeng Setan
terkejut sekali dan diam-diam dia kagum. Kenapa Pendekar Super Sakti sudah tahu
bahwa puteranya itu terluka hebat? Dia sendiri sebelum melihat telapak jari di
punggung itu tidak akan mengetahuinya. Dengan hanya mengenakan celananya, Kian
Lee berlutut di depan ayahnya.
Pendekar
Super Sakti memeriksa punggung puteranya itu. “Hemmm... pukulan dengan dasar
yang-kang akan tetapi beracun. Tidak berbahaya akan tetapi kalau disembuhkan di
sini memakan waktu lama,” kata pendekar itu.
Suma Han
lalu berloncatan dengan cepat di sekeliling tubuh puteranya, jari tangannya
menotok dan menampar di beberapa bagian tubuh pemuda itu, kemudian dia pun
duduk bersila di belakang puteranya, menempelkan tangan kirinya ke punggung
yang terpukul, menyalurkan tenaganya yang mukjijat dan tidak lama kemudian,
pada saat dia sudah melepaskan tangannya, tanda telapak tangan kehijauan itu
telah lenyap pula! Makin kagumlah Topeng Setan menyaksikan ini, karena dari
peristiwa ini saja dia sudah dapat membayangkan betapa hebatnya tenaga sinkang
dari kakek buntung ini!
“Sekarang,
pakai bajumu dan ceritakan dengan singkat bagaimana kau sampai tiba di tempat
ini dan terluka,” kata Pendekar Super Sakti.
Kian Lee
menceritakan bahwa sesungguhnya dia ingin pulang ke Pulau Es, akan tetapi
berputar-putar di daerah utara, katanya hendak mencari adiknya yang terpisah
darinya. Tentu saja dia tidak menceritakan tentang sakit hati atau patah
hatinya karena gagal dalam bercinta ketika dia mendapat kenyataan bahwa Ceng
Ceng yang dicintanya itu ternyata adalah keponakannya sendiri!
“Saya
bertemu dengan Locianpwe Go-bi Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama dari
Go-bi)...”
“Siapa dia?”
“Orang-orang
mengenal beliau sebagai Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir...”
“Oh, dia?
Lalu bagaimana?”
“Ketika
beliau mendengar nama Ayah, beliau suka sekali kepada saya dan mengajak saya ke
istananya di gurun pasir. Namun setibanya di sana, Locianpwe itu menerima
undangan pertemuan para datuk besar di Yin-san, maka beliau lalu datang ke sini
dan saya yang ingin meluaskan pengalaman lalu ikut. Beliau sudah memesan agar
saya tidak mencampuri urusan para datuk. Akan tetapi, Ayah, para datuk yang
tiga orang itu bermain curang! Mereka tidak mengadu ilmu untuk menentukan orang
terpandai seperti biasa, melainkan mengeroyok Locianpwe Go-bi Bu-beng Lojin.
Tentu saja saya tidak mau tinggal diam melihat kecurangan itu dan saya maju
membantu. Akibatnya saya terkena pukulan ini dan Locianpwe itu menasehatkan
saya untuk merendam tubuh di sini, karena hawa dingin air telaga ini akan
banyak menolong.”
“Hemmm...
dia benar. Akan tetapi masih kurang dingin. Kau sudah terbebas dari hawa
beracun sekarang, akan tetapi untuk memulihkan kesehatan dan semangatmu yang
kulihat melayu dan muram, sebaiknya kau pulang dulu dan melatih diri dengan
Swat-im Sinkang di rumah.”
“Baik,
Ayah!”
Pendekar
Super Sakti bersuit keras dan dua ekor burung pek-tiauw itu melayang turun.
“Kau bawa pek-tiauw betina pulang ke Pulau Es.”
“Tapi
Ayah...”
“Biar aku
yang akan membantu Dewa Bongkok.”
Kian Lee
maklum dari tegangan suara ayahnya bahwa dia tidak boleh menawar lagi, maka dia
lalu memberi hormat, juga menjura kepada Topeng Setan yang dia tidak mengerti
bagaimana bisa datang bersama ayahnya, kemudian dia meloncat ke atas punggung
pek-tiauw betina yang segera terbang melayang tinggi sekali. Pek-tiauw jantan
mengeluarkan suara aneh, seperti hendak menyusul, akan tetapi Pendekar Super
Sakti menepuk punggungnya dan berkata, “Kau pergilah cari majikanmu, Kian Bu!”
Burung itu seperti mengerti perintah ini, dan dia pun memekik keras dan terbang
melayang, meninggalkan angin yang membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang.
“Mari kita
melihat pertemuan itu,” kata Pendekar Super Sakti kepada Topeng Setan dan
mereka bergerak cepat menuju ke puncak gunung.
Ketika
mereka sudah tiba di puncak, mereka melihat Dewa Bongkok sedang bertempur
dengan hebatnya melawan seorang nenek yang juga amat lihai. Ceng Ceng dan Hwee
Li sudah berada di situ pula, menonton pertempuran dari jarak agak jauh karena
gerakan dua orang itu mendatangkan angin dahsyat sekali sehingga pohon-pohon yang
berdekatan pada tumbang!
Tidak jauh
dari situ terdapat dua orang kakek yang duduk bersila, agaknya mereka itu
terluka dan sedang mengusahakan pengobatan dengan sinkang. Begitu muncul di
situ, terdengar suara bisikan dekat telinga Si Pendekar Super Sakti dan Topeng
Setan. “Ini adalah urusan kami di luar tembok besar, harap kalian jangan
mencampuri.”
Suma Han
mengangguk-angguk dan kagum sekali pada kakek tua renta bongkok yang terkenal
sebagai Si Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir dan yang biasanya
memperkenalkan diri sendiri sebagai Orang Tua Tanpa Nama dari Go-bi itu. Biar
pun dikeroyok tiga, dan sudah melukai dua orang lawan, akan tetapi dia sendiri
pun telah lemah gerakannya, agaknya sudah mengeluarkan tenaga terlalu banyak,
dan lawannya, nenek yang bermata biru dan rambutnya kuning emas, juga amat
lihai sekali, namun toh Si Dewa Bongkok itu masih sempat minta kepada dia dan
Topeng Setan agar jangan mencampuri! Padahal, biar pun yang mengadakan
pertemuan adalah datuk-datuk di luar tembok besar, namun jelas bahwa tiga orang
di antara mereka adalah orang-orang yang menggunakan kecurangan mengeroyok Si
Dewa Bongkok.
“Kenalkah
kau kepada mereka?” Suma Han berbisik kepada Topeng Setan, karena sesungguhnya
selama hidupnya dia belum pernah bertemu dengan empat orang ini, sungguh pun
telah pernah dia mendengar nama Dewa Bongkok penghuni Istana Gurun Pasir.
Topeng Setan
mengangguk, dan hal ini tidak mengherankan hati Suma Han karena dia maklum
bahwa orang ini pun bukan orang sembarangan dan dia melihat kini betapa gerakan
Si Dewa Bongkok yang lengan kirinya juga buntung seperti lengan kiri Topeng
Setan itu mirip sekali dengan latihan yang dilakukan oleh Topeng Setan di waktu
mereka berhenti dan beristirahat dalam perjalanan menuju ke Pegunungan Yin-san
ini. Maka dia dapat menduga bahwa tentu ada hubungan erat antara Topeng Setan
dan Dewa Bongkok.
“Locianpwe,
saya sendiri pun baru pernah mendengar nama dan gambaran tentang mereka. Yang
berambut pirang bermata biru, nenek lihai itu adalah datuk dari daerah barat,
sedangkan yang dua orang lagi dan agaknya sedang bersemedhi itu, adalah
datuk-datuk dari kutub utara dan datuk pantai timur. Nama-nama mereka tidak
dikenal orang, dan mereka itu adalah datuk-datuk di luar tembok besar yang
tidak pernah menyeberang tembok besar, maka tidak terkenal di pedalaman.”
Suma Han
mengangguk-angguk dan memperhatikan jalannya pertandingan. Dia sangat terkejut
karena mendapatkan kenyataan bahwa dua orang yang sedang bertanding itu
benar-benar memiliki tingkat kepandaian yang sudah sempurna dan dia sendiri pun
agaknya hanya dapat mengimbangi mereka saja.
“Dan yang
gagah perkasa dikeroyok dan sekarang menandingi nenek itu tentu Si Dewa Bongkok
majikan dari Istana Gurun Pasir, bukan?” tiba-tiba Suma Han bertanya sambil
menoleh dan memandang Topeng Setan dengan penuh selidik. Diteropong oleh dua
mata yang amat tajam penglihatannya seolah-olah dapat menembus topengnya,
bahkan menjenguk ke dalam dadanya itu, Topeng Setan mengangguk dan menunduk.
Pada saat
itu, terdengar lengkingan keras sekali. Suma Han dan Topeng Setan terkejut
memandang. Kiranya dua orang datuk yang tadi duduk bersila, kini sudah meloncat
dan serentak menyerang Si Dewa Bongkok dari dua jurusan. Suma Han dan Topeng
Setan mengeluarkan teriakan kaget, namun betapa pun lihainya mereka, karena
tadi mereka mengalihkan perhatian, mereka itu terlambat dan tidak dapat turun
tangan mencegah lagi. Dua orang datuk itu sudah menyerang dari kanan kiri, dan
Si Dewa Bongkok yang hanya berlengan satu itu memutar tubuh menyambut.
“Bresss...!”
Dewa Bongkok terlempar, berputaran dan roboh.
Seperti
menerima komando saja, berbarengan Suma Han dan Topeng Setan sudah meloncat ke
depan. Suma Han menggunakan tongkatnya menghadang nenek berambut pirang,
sedangkan Topeng Setan sudah langsung menerjang kedua orang yang tadi secara
pengecut membokong Dewa Bongkok.
“He-he-he-heiiik!
Orang berkaki buntung berambut putih... heiiii, matamu itu... bukankah kau
Pendekar Siluman dari Pulau Es?” bentak Si Nenek sambil mencelat mundur ketika
ujung tongkat Suma Han berkelebat.
“Dan kau
seorang nenek dari barat yang amat curang, bertiga mengeroyok seorang saja.”
“Hi-hi-hik,
kau tahu apa? Kau melindungi Dewa Bongkok?”
“Aku tidak
melindungi siapa-siapa, hanya menentang yang lalim dan curang,” jawab Suma Han
dengan tenang.
“Kalau
begitu mampuslah kau!”
Nenek itu
sudah menerjang lagi, didahului dua sinar emas dan perak yang melayang-layang
ke arah kepala dan dada Suma Han. Pendekar Super Sakti cepat menggerakkan
tongkatnya menghalau sinar emas dan perak itu.
“Tinggg!
Tinggg!”
Dua buah
benda itu ternyata adalah dua buah gelang dari emas dan perak dan kini setelah
kena ditangkis, dua benda itu melayang kembali kepada pemiliknya, yang cepat
menyambarnya kembali dan kini menggunakan dua buah gelang itu di tangannya
untuk menyerang dengan gerakan seperti kilat cepatnya dan yang nampak hanya
sinar emas dan perak berkilauan mengerikan.
Namun
Pendekar Super Sakti sudah siap dengan tongkatnya dan karena dia maklum bahwa
dia menghadapi seorang lawan yang memiliki kesaktian hebat, Suma Han segera
menggunakan ilmunya yang dahsyat, yaitu Soan-hong-lui-kun yang membuat tubuhnya
mencelat ke sana-sini seperti menyambarnya halilintar yang tiada henti, sukar
diduga perkembangan gerakannya sehingga beberapa kali nenek itu terpekik kaget.
Memang
benarlah seperti yang diceritakan secara singkat oleh Topeng Setan kepada
Pendekar Super Sakti tadi. Di luar tembok besar sebelah utara Tiongkok, di luar
perbatasan tanah Mongol, terdapat banyak pertapa dan tokoh-tokoh yang memiliki
ilmu kepandaian amat tinggi. Dan yang paling tinggi kepandaiannya adalah empat
orang datuk-datuk luar tembok besar itu. Setiap lima tahun sekali, empat orang
ini selalu mengadakan pertemuan di tempat-tempat sunyi, untuk saling menambah
pengetahuan dan sekedar menguji hasil ciptaan masing-masing.
Akan tetapi,
setelah tiga kali berturut-turut Si Dewa Bongkok selalu unggul, tiga orang itu
menjadi iri hati. Diam-diam mereka bersepakat untuk dalam pertemuan berikutnya,
merobohkan Si Dewa Bongkok, lalu mengambil pusaka-pusakanya dan mempelajari
ilmu-ilmu yang diciptakannya. Untuk itu, mereka bertiga telah mengutus
anak-anak murid mereka menyelidiki ke Istana Gurun Pasir selagi Dewa Bongkok
mereka undang ke Yin-san. Untung bahwa usaha murid-murid mereka itu digagalkan
berkat bantuan Topeng Setan dan Pendekar Super Sakti. Dan di Yin-san, mereka
ternyata berhasil merobohkan Si Dewa bongkok dengan siasat pengeroyokan yang
curang, dan baiknya dalam saat terakhir itu muncul pula Topeng Setan dan
Pendekar Super Sakti.
Akan tetapi,
kalau Pendekar Super Sakti dapat mengimbangi kelihaian nenek berambut pirang
yang bersenjatakan sepasang gelang emas dan perak, adalah Topeng Setan yang
sekarang sibuk sekali menghadapi pengeroyokan dua orang datuk yang tingkat
kepandaiannya tidak banyak selisihnya dengan tingkat para datuk lainnya itu.
Dia sendiri belum dapat menguasai Sin-liong-hok-te secara sempurna, maka biar
pun kedua lawannya itu telah terluka oleh Si Dewa Bongkok, akan tetapi tetap
saja Topeng Setan terdesak hebat dan menjadi sibuk sekali.
Ceng Ceng
yang menonton pertandingan itu hanya memandang terbelalak. Dia dan Hwee Li
tidak berani bergerak, karena dari tempat jauh saja sudah terasa oleh mereka
sambaran hawa pukulan yang amat mukjijat dari kalangan pertempuran.
Melihat ini,
Hwee Li menjadi tidak sabar lagi. Dia bersuit keras dan burung rajawali
hitamnya menyambar turun.
“Hek-tiauw,
kau bantulah Paman Topeng Setan, cakar dan patuk dua orang kakek itu, hayo
cepat!” teriaknya kepada burungnya.
Hek-tiauw
itu mengeluarkan suara memekik nyaring dan melayang ke atas, terlihat
takut-takut dan ragu-ragu untuk turun karena naluri binatang ini agaknya
memberi tahu kepadanya bahwa orang-orang yang bertanding di bawah itu bukanlah
manusia-manusia biasa.
“Hayo,
hek-tiauw...!” Hwee Li berteriak-teriak.
Terpaksa
burung itu menyambar ke bawah, langsung mencengkeram ke arah kepala seorang
kakek yang kepalanya gundul licin mengkilap mengeluarkan uap dingin. Dia adalah
datuk dari kutub utara dan melihat sambaran bayangan hitam, tangan kirinya
menyampok, sedangkan tangan kanannya tetap saja menghantam ke arah Topeng
Setan, dibarengi dari kiri oleh temannya. Mereka menyerang Topeng Setan dengan
persatuan tenaga seperti yang mereka lakukan ketika merobohkan Si Dewa Bongkok
tadi.
“Plak...!
Bresss...!”
Dalam
sedetik itu terjadi banyak hal. Rajawali hitam kena ditangkis oleh tangan yang
ampuh itu, terlempar mencelat jauh dan terbanting menabrak batang pohon lalu
terjatuh sambil mengeluarkan suara menguik seperti seekor anjing digebuk. Sedangkan
Topeng Setan yang tadi menangkis pukulan dari dua jurusan itu, terhuyung-huyung
kemudian roboh, dari balik topengnya mengalir darah segar yang agaknya keluar
dari dalam mulutnya. Akan tetapi dua orang kakek itu yang terkena tangkisan
Topeng Setan yang mengerahkan tenaga sakti Sin-liong-hok-te, juga
terhuyung-huyung, memuntahkan darah segar dan mereka pun terluka hebat.
“Paman...!”
“Hek-tiauw...!”
Jika Hwee Li
lari menghampiri burungnya, Ceng Ceng lari menghampiri Topeng Setan. Akan
tetapi dua orang kakek itu mengira bahwa Ceng Ceng akan membela Topeng Setan
dan menyerang mereka karena mereka melihat betapa loncatan Ceng Ceng menandakan
bahwa dara itu juga mempunyai kepandaian istimewa. Seorang di antara mereka
langsung mengebutkan ujung bajunya.
“Prattt...!”
pundak Ceng Ceng kena disambar ujung baju dan dia terguling roboh pingsan di
dekat Topeng Setan.
Melihat ini,
Suma Han menjadi tak senang hatinya. Dia mengeluarkan pekik melengking yang
luar biasa dahsyatnya, dan kini tubuhnya berubah menjadi tiga orang Suma Han,
dan dia bersama dua bayangannya itu menyerang tiga orang datuk itu
kalang-kabut. Nenek berambut pirang berteriak kaget dan kesakitan, darah
mengucur dari lehernya yang kena serempet tongkat, sedangkan dua orang datuk
yang sudah terluka ketika mengadu tenaga dengan Topeng Setan, juga
mundur-mundur dengan jeri.
Akhirnya
ketiganya maklum bahwa dalam keadaan terluka, mereka tidak akan menang
menghadapi Dewa Bongkok dan para pembantunya yang istimewa itu, maka dengan
teriakan nyaring melampiaskan kekecewaan hati mereka, tiga orang datuk itu lalu
melarikan diri.
Suma Han
tidak mengejar. Dia melihat Dewa Bongkok bersila mengatur pernapasan, Ceng Ceng
pingsan di samping Topeng Setan yang agaknya sudah tewas, dan Hwee Li merangkul
burungnya yang terluka. Dia menarik napas panjang. Di mana pun juga, biar sudah
menjadi tua bangka-tua bangka dan sudah mengasingkan diri dari keramaian
manusia, tetap saja manusia merupakan makhluk-makhluk yang suka menggunakan
kekerasan. Dan dia, sekali lagi terseret pula! Melihat bahwa bagi Topeng Setan
sudah tidak ada harapan lagi, dan burung hek-tiauw itu hanya terluka ringan dan
menjadi buas tidak mau didekati orang lain kecuali nonanya, Suma Han kemudian
menghampiri Dewa Bongkok.
“Maafkan
kelancangan saya,” bisiknya dan dia pun duduk bersila di belakang kakek bongkok
itu, menempelkan kedua telapak tangannya di punggung yang bongkok sambil
mengerahkan tenaga murni dari tubuhnya untuk membantu kakek itu mengobati
luka-lukanya di sebelah dalam tubuhnya.
“Terima
kasih, sahabat adalah Tocu Pulau Es, bukan?”
Suma Han
mengangguk, dan keduanya lalu diam tak bergerak lagi.
Ceng Ceng
siuman, kemudian ditubruknya Topeng Setan. Dirabanya tubuh yang masih hangat
itu, dipegang nadinya, diraba dadanya. Akan tetapi tidak ada lagi tanda-tanda
hidup pada tubuh tinggi tegap itu!
“Paman...!”
Dia menjerit. “Paman Topeng Setan, jangan kau tinggalkan aku, Paman...!” Dia
menangis dan mengguncang-guncang tubuh itu, tubuh satu-satunya manusia di dunia
ini yang amat disayanginya, amat baik kepadanya dan yang telah mengorbankan apa
saja demi dia. Teringat betapa orang ini telah mati, barulah terasa oleh Ceng
Ceng betapa dia kehilangan besar sekali, betapa dia sesungguhnya... cinta
sekali kepada orang ini.
“Paman...,
aku mana bisa hidup tanpa kau...?” ratapnya dan menangis sesenggukan sambil
memeluki leher mayat itu dan meletakkan mukanya di atas punggung yang bidang
itu. Tak disengajanya tangannya meraba topeng yang kasar dan Ceng Ceng lalu
sadar.
Dia berlutut
dan berkata lirih, “Paman Topeng Setan, engkau telah mengorbankan segalanya
untuk aku. Engkau begitu sayang dan cinta padaku, namun engkau selalu
menyembunyikan wajahmu dariku. Sekarang engkau telah mati... hu-huuukkk...
Paman, kau perkenankanlah aku melihat wajahmu, Paman. Kau... kau maafkan aku,
Paman... hu-hu-huuukk...”
Dengan
jari-jari tangan menggigil Ceng Ceng mengulurkan tangannya meraih topeng di
muka yang rebah miring itu, kemudian dengan amat hati-hati seolah-olah tidak
ingin menyakitkan muka mayat itu, dia menanggalkan topeng itu!
Topeng itu
terbuka direnggutnya, sepasang mata Ceng Ceng terbelalak memandang wajah yang
kini terbuka, wajah yang rebah miring itu, wajah yang tampan dan gagah, dengan
alis yang tebal, hidung yang mancung dan mulut yang tegas membayangkan
kegagahan, wajah... si pemuda laknat yang selama ini dikejar-kejar, dianggap
musuh besarnya, yang hendak dibunuhnya karena amat dibencinya!
“Aiiiihhhh...!”
Ceng Ceng
menjerit, memandang pucat, air matanya menetes turun, tangan kiri dikepal
menutup mulut, matanya terbelalak seperti tidak mau percaya, dan
dikejap-kejapkannya lalu memandang lagi lebih teliti. Akan tetapi wajah itu
tetap tidak berubah, wajah yang pucat dan tak bernyawa lagi dari si pemuda
laknat, yang mengerikan karena di bawah mulut, di atas tanah itu nampak darah
merah yang dimuntahkan akibat hantaman pukulan dahsyat dua orang lawannya.
“Ti...
tidaaaaakkk..., bukan... ohhh, bukan...!” Ceng Ceng kembali menjerit, tubuhnya
menggigil dan dia tergelimpang setelah mengeluh panjang, roboh pingsan lagi
untuk kedua kalinya di samping tubuh Topeng Setan yang ternyata adalah si
pemuda laknat, musuh besar yang dahulu memperkosanya di dalam goa itu.
Ceng Ceng
rebah terlentang di samping tubuh Topeng Setan. Wajahnya pucat sekali tak
ubahnya seperti mayat, kedua pipinya masih basah air mata. Tangan kanannya
masih mencengkeram topeng, sedangkan mulutnya memperlihatkan tarikan muka yang
menanggung kenyerian luar biasa, menanggung penderitaan batin yang amat hebat
sehingga siapa pun yang melihat keadaannya tentu akan merasa kasihan sekali.
Memang hebat
sekali penderitaan batin dara ini. Bertubi-tubi dia mengalami hal-hal yang amat
menyakitkan hati, kesengsaraan dan penderitaan lahir batin yang dideritanya
semenjak dia meninggalkan Bhutan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi ditumpuknya
dalam ingatan, menimbulkan sakit hati dan dendam kebencian.
Sesungguhnya,
nasib berada di tangan kita sendiri. Suka atau duka adalah buatan kita sendiri,
buatan pikiran kita. Sebab dan akibat tidak dapat terpisah dan berada di dalam
genggaman tangan kita sendiri. Adalah ingatan kita, pikiran kita yang
menimbulkan kebencian terhadap sesuatu atau seseorang di dalam hati kita.
Dari mana
timbulnya kebencian? Sesuatu terjadi atas diri kita, sesuatu yang merugikan
kita, kerugian lahir mau pun batin. Kerugian menimbulkan kekecewaan,
menimbulkan kemarahan dan terjadilah rasa benci kepada penyebab timbulnya
kerugian itu. Dan sekali benci sudah menguasai hati kita, hati tidak akan puas
sebelum melihat yang kita benci itu terbalas dan tertimpa mala petaka yang
lebih hebat dari pada yang sudah dijatuhkannya kepada diri kita.
Pikiran yang
mencacat perbuatan orang lain yang dianggap merugikan kita inilah yang
menimbulkan dendam kebencian seperti yang dialami oleh Ceng Ceng. Hidupnya
dicengkeram oleh kebencian kepada seorang setelah terjadi peristiwa perkosaan
atas dirinya di dalam goa itu. Dasar kebencian karena dia merasa dirugikan.
Kemudian dia
bertemu dengan Topeng Setan yang telah melimpahkan banyak sekali budi kebaikan
kepadanya. Hal ini pun membangun suatu rasa sayang di dalam hatinya terhadap
laki-laki bermuka buruk itu, rasa sayang yang juga timbul dari ingatan betapa
orang ini telah banyak menguntungkannya lahir batin!
Jadi
sesungguhnya tidak ada bedanya antara rasa bencinya terhadap si pemuda laknat
yang dianggap telah merugikannya, dan rasa sayangnya terhadap Topeng Setan yang
dianggap sudah menguntungkannya.
Rasa benci
dan sayangnya itu hanyalah penonjolan dari sifat mementingkan diri pribadi.
Selama kita mementingkan diri pribadi, di dalam hidup kita pasti kita akan
menjadi bulan-bulanan dan permainan dari suka duka, puas kecewa, benci sayang,
seperti Ceng Ceng itulah! Dan akhirnya muncullah penderitaan-penderitaan hidup
dan kesengsaraan-kesengsaraan.
Benci
bukanlah kebalikan dari pada cinta! Yaitu cinta sejati, karena cinta yang
menjadi kebalikan benci hanyalah cinta nafsu, cinta yang timbul dari
mementingkan diri pribadi. Cinta semacam ini hanya akan bertahan selama dirinya
disenangkan, dipuaskan, dan dipenuhi kehendaknya. Cinta macam ini selalu
mengandung bayangan benci sebagai kebalikannya, sehingga kalau tidak
disenangkan, tidak dipuaskan, dapat berbalik menjadi benci. Cinta sejati tidak
mempunyai sasaran seperti benci. Kalau sudah tidak ada benci di hati, sama
sekali tidak ada benci, barulah mungkin cinta yang suci ini memperlihatkan
mukanya di dalam batin kita.
Ceng Ceng
yang menggeletak pingsan itu menjadi permainan dari suka duka, dari kekecewaan
melihat bahwa orang yang paling dibencinya itu justru adalah orang yang paling
dicintanya. Dia menjadi permainan dari pikiran sendiri, sehingga kini menderita
pukulan batin yang amat hebat, membuatnya kecewa, penasaran, dan putus harapan.
Mula-mula
dilihatnya Topeng Setan sebagai satu-satunya orang yang dicintanya tewas,
kemudian melihat bahwa yang tewas itu adalah musuh besarnya! Jadi sekaligus dia
kehilangan dua orang manusia yang dianggapnya paling penting di dunia ini, yang
dianggapnya sebagai sebab-sebab pokok mengapa dia masih suka hidup! Sekarang
dia kehilangan segala-galanya, maka hancur leburlah hatinya.
“Kasihan
sekali kau, Nona muda...!”
Suara ini
terdengar seperti datang dari langit oleh Ceng Ceng yang mulai siuman. Tidak
terasa lagi air matanya mengalir turun sebelum dia membuka matanya. Lalu
teringatlah dia akan segala hal. Mendadak dia meloncat sambil membuka matanya,
menoleh ke kanan kiri mencari mayat si laknat tadi.
“Keparat
busuk! Jahanam kau...!” Dia memaki-maki dan menerjang ke sana-sini seperti
orang gila! Dalam kemarahannya yang hebat, yang membanjiri rongga dadanya,
membuat dadanya seperti akan meledak, Ceng Ceng mencak-mencak secara buas dan
otomatis tenaga mukjijat yang didapatnya sebagai khasiat anak naga itu timbul.
“Braaaak...
braaakkkk...!”
Dua batang
pohon kena dihantamnya. Pohon itu batangnya sebesar tubuh manusia, akan tetapi
hantaman tangan Ceng Ceng membuat dua batang pohon itu tumbang.
“Ehhh,
Nona...!” Pendekar Super Sakti yang merasa kasihan dan tadi menolong Ceng Ceng
dan membuatnya sadar itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nona ini
memiliki tenaga yang demikian dahsyatnya.
Akan tetapi
Ceng Ceng yang sudah beringas dan mengamuk dengan buasnya itu tidak
mendengarkan. Dia terus mencak-mencak dengan buasnya, dengan mata terbelalak
dan mulutnya mengeluarkan keluhan-keluhan panjang.
“Haiiiittt...
darrr! Dessss!” Dua bongkah batu yang besar hancur berhamburan terkena
tendangan dan pukulannya.
“Subo...!”
Hwee Li menjerit dan lari menghampiri gurunya, melihat betapa dua kepalan
tangan subo-nya itu berdarah.
Memang
tenaga mukjijat dari Ceng Ceng itu hebat sekali, tetapi kulit kedua tangannya
yang belum terlatih baik, belum dapat dengan sempurna terlindung oleh tenaga
mukjijat, menjadi berdarah ketika dia menghantami pohon dan batu.
Melihat
berkelebatnya tubuh Hwee Li, Ceng Ceng yang sudah buas karena seolah-olah
hendak menghantam si pemuda laknat itu, menggerakkan tangan menyerang Hwee Li!
“Plakkk...
dukkkk!”
Ceng Ceng
jatuh terduduk terkena tangkisan dan totokan Pendekar Super Sakti yang menolong
Hwee Li tadi, dan sekaligus hal ini membuat Ceng Ceng sadar. Seperti linglung
Ceng Ceng memandang ke kanan kiri, mencari-cari, dan bibirnya bergerak perlahan,
terdengar suaranya lirih, “Paman... Paman Topeng Setan...?”
Lalu dia
teringat akan segala peristiwa tadi dan menangislah dia, mengguguk seperti anak
kecil, menutupi mukanya dengan kedua tangannya yang berdarah sehingga air
matanya bercampur dengan darah dari tangannya, membentuk aliran merah muda
menetes-netes ke bawah.
“Subo...!”
Hwee Li merangkul gurunya dan juga menangis, padahal tidak tahu apa yang
ditangiskannya, hanya karena terharu melihat subo-nya begitu berduka.
Melihat dua
orang wanita muda itu berpelukan dan bertangisan, Pendekar Super Sakti menarik
napas panjang, lalu duduk di atas bongkahan batu membiarkan dua orang wanita
itu melanjutkan tangis mereka. Tangis merupakan obat yang paling mujarab bagi
orang-orang yang tertekan hatinya, karena tangis dengan air matanya merupakan
pelepasan dari tekanan itu.
Dia
menggeleng kepala dan menarik napas panjang lagi. Betapa kehidupan manusia
penuh dengan kesengsaraan, penuh dengan kekerasan, penuh dengan pertentangan,
kebencian dan penderitaan hidup di waktu muda. Betapa bodohnya manusia, betapa
bodohnya dia dahulu.
Kebahagiaan
telah berada di dalam diri masing-masing manusia, keindahan terbentang luas di
sekeliling manusia. Akan tetapi manusia menjadi buta, tidak melihat semua
keindahan itu, tidak waspada akan kebahagiaan itu karena mata selalu ditujukan
jauh ke sana, selalu mencari-cari sehingga yang berada di depan hidung tidak
nampak lagi! Yang tidak ada selalu dicari-cari, dirindukan, dianggap yang
paling baik, paling indah, sehingga anggapan ini membuat apa yang sudah ada
kelihatan buruk, bahkan tidak kelihatan lagi!
Manusia
selalu menghargai yang belum diperoleh, memandang remeh yang sudah berada di
dalam tangannya. Inilah sumber dari segala pengejaran yang tidak dapat
dihindarkan lagi pasti akan mendatangkan pertentangan, kekecewaan dan
penderitaan. Pengejaran membuat mata buta, sehingga dalam usaha mengejar segala
sesuatu yang diinginkan itu, manusia tidak lagi memperhatikan jalan, tidak lagi
memperhatikan cara, bahkan segala jalan dan segala cara akan ditempuhnya demi
memperoleh yang dikejar-kejarnya itu. Inilah sumber munculnya segala bentuk
penyelewengan dan kejahatan.
etelah
melihat tangis Ceng Ceng reda, Pendekar Super Sakti lalu berkata dengan
mengerahkan khikang-nya sehingga suaranya dapat menembus segala suara lain dan
memasuki telinga Ceng Ceng dengan getaran pengaruh kuat sekali, “Nona, hentikan
tangismu dan ingat bahwa segala sesuatu tidak cukup hanya ditangisi belaka.
Hentikan pikiranmu yang meremas-remas perasaan hatimu, hentikan perasaan iba
diri yang mencengkeram dirimu dan mari kita bicara dengan hati terbuka.”
Ceng Ceng
terkejut dan kini dia sadar benar-benar. Didorongnya Hwee Li dengan halus,
diangkatnya mukanya memandang pendekar besar itu, lalu dia memandang ke kanan kiri.
Sunyi senyap di situ, tidak ada orang lain kecuali mereka bertiga. Seperti
mimpi saja semua peristiwa yang terjadi tadi.
“Di...
mana...? Di mana mereka semua...?” tanyanya, suaranya lirih dan lemah.
Tiga orang
datuk itu? Mereka telah pergi. Dan Go-bi Bu Beng Lojin, Si Dewa Bongkok dari
Istana Gurun Pasir telah pergi pula, membawa muridnya. Membawa mayat Topeng
Setan atau mayat Kok Cu. Membawa musuh besarnya, sekaligus juga mayat orang
yang paling disayangnya, demikian bisik hati Ceng Ceng. Ia terisak kemudian
menghela napas hanjang. Habislah segala-galanya!
Melihat
gadis itu menunduk dan tak bergerak-gerak, seolah-olah kehilangan semangat dan
gairah hidup, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang. “Nona, sekarang
bagaimana kehendakmu? Engkau hendak ke manakah?”
Sejenak Ceng
Ceng tak dapat menjawab, hanya duduk di atas tanah dan memandang ke depan
dengan pandang mata kosong. Ke mana? Dia harus ke mana? Ke mana lagi kalau
tidak kembali ke Bhutan? Biarlah dia akan menghabiskan sisa hidupnya di tempat
asalnya itu. Tiba-tiba saja dia merasa rindu kepada Bhutan, rindu kepada
kampung halaman di mana dia dahulu tinggal bersama kakeknya.
“Saya akan
pulang ke Bhutan...,” katanya perlahan.
Pendekar
Super Sakti yang belum mengenal Ceng Ceng merasa heran juga mendengar jawaban
ini. “Ehhh, jadi engkau datang dari Bhutan? Siapakah engkau sebenarnya, Nona?”
Ingin Ceng
Ceng berlutut di depan pendekar itu dan mengaku bahwa dia masih cucu tiri
pendekar itu sendiri, akan tetapi dia menggeleng kepalanya. Tidak, tidak perlu
dia memperpanjang riwayat buruk itu, riwayat buruk dari ibunya dan sekarang pun
menurun kepadanya karena riwayatnya tidaklah lebih baik dari pada keadaan
ibunya. Maka dia lalu menjawab dengan perlahan.
“Nama saya
Lu Ceng dan saya adalah adik angkat dari Puteri Bhutan. Saya ingin pulang saja,
kembali ke Bhutan, Locianpwe.”
“Subo, aku
ikut!” Tiba-tiba Hwee Li berkata.
Ceng Ceng
memandang anak perempuan itu. “Hwee Li, engkau akan dicari ayahmu. Sebaiknya
engkau pulang saja dulu kepada ayahmu dan mana burungmu?”
Anak itu
menggeleng kepala kuat-kuat. “Burungku terluka dan sudah kusuruh terbang pergi
mencari ayah agar diobati lukanya. Tidak, Subo. Aku tidak mau kembali kepada
ayah yang tidak sayang kepadaku. Aku mau ikut Subo ke Bhutan.”
Ada hawa
hangat memasuki dada Ceng Ceng. Masih ada orang yang suka kepadanya, yaitu Hwee
Li ini! “Hwee Li, perjalanan ke Bhutan sangat jauh dan berbahaya, dan membawamu
begitu saja tanpa perkenan ayahmu, aku akan dipersalahkan...”
“Tidak,
Subo. Aku yang bertanggung jawab kalau ayah marah.”
Suma Han
berkata, “Nona Ceng, anak ini memang tidak bisa ditinggalkan seorang diri saja
di sini. Biarlah dia ikut bersama kita ke Bhutan, dan kelak kalau aku pulang,
akan kuantar dia kepada ayahnya. Aku tahu di mana adanya Pulau Neraka.”
“Locianpwe
hendak ke Bhutan? Ahhh, saya tidak berani membuat Locianpwe repot mengantarkan
kami berdua...”
“Tidak ada
yang mengantar, kita hanya kebetulan saja sejalan. Aku memang ingin ke barat
untuk menyusul dan mencari Kian Bu. Ibunya sudah gelisah memikirkan anak itu
karena sudah terlalu lama merantau. Apa lagi setelah Kian Lee kembali, Kian Bu
harus pulang juga.”
Tentu saja
Ceng Ceng tak berani membantah, bahkan diam-diam merasa girang karena melakukan
perjalanan dengan pendekar ini merupakan jaminan keselamatannya, dan setelah
Topeng Setan tidak ada lagi, dia dapat minta petunjuk dari pendekar ini untuk dapat
menguasai tenaga mukjijat dalam dirinya.
Maka
berangkatlah tiga orang itu menuruni Pegunungan Yin-san dan terus melakukan
perjalanan menuju ke barat. Dengan adanya Hwee Li yang lincah jenaka, agak
terhibur juga hati Ceng Ceng, sungguh pun kini dia berbeda sekali dengan Ceng
Ceng sebelum dia tiba di Yin-san. Dia sekarang merupakan seorang wanita muda
yang mukanya pucat, wajahnya muram seperti bulan tertutup awan tipis.
***************
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan para tokoh lain, maka biarlah kita lebih dulu
meninggalkan Ceng Ceng yang melakukan perjalanan ke Bhutan bersama Pendekar
Super Sakti dan Hwee Li, dan mari kita menengok pengalaman apa yang ditempuh
oleh para tokoh lainnya dalam cerita ini.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan cerita ini, ada pasukan pengawal dari Bhutan
yang mengawal Puteri Syanti Dewi secara rahasia kembali ke Bhutan. Pengawalan
dilakukan secara rahasia dan Sang Puteri bersembunyi dalam kereta untuk
mencegah terjadinya hambatan-hambatan dan serbuan-serbuan musuh. Tetapi tetap
saja pasukan itu mengalami penyerbuan Tambolon dan kaki tangannya, dan secara
kebetulan saja Tek Hoat yang membantu pasukan itu dapat bertemu dengan Puteri
Syanti Dewi.
Telah kita
ketahui pula betapa Suma Kian Bu tanpa setahu enci-nya, Puteri Milana dan Gak
Bun Beng, diam-diam juga melakukan perjalanan ke barat dan dia berhasil
menyelamatkan Puteri Syanti Dewi dari ancaman Tambolon dan Durganini, akan
tetapi begitu melihat kemesraan antara puteri itu dan Tek Hoat, untuk kedua
kalinya hatinya patah dan dia pergi lagi dengan diam-diam dan dengan hati penuh
duka. Dia tidak berani menghampiri rombongan pasukan Bhutan karena di situ
terdapat Teng Siang In, dara remaja cantik jenaka yang baru saja diciumnya
karena dia tidak dapat menahan diri melihat kecantikan dara bengal yang
menggodanya itu. Diam-diam putera Pendekar Super Sakti itu pergi jauh
meninggalkan hutan itu.
Teng Sian In
juga tidak lama berada di situ, lalu diajak pergi oleh gurunya, yaitu See-thian
Hoat-su, kakek rambut putih bekas suami Durganini yang lihai. Mereka berdua tak
begitu mempedulikan akan hilangnya Puteri Syanti Dewi, karena kehadiran mereka
itu sesungguhnya semata-mata hanya ingin menghalangi sepak terjang Durganini
belaka, yang timbul dari rasa sayang di hati See-thian Hoat-su yang hendak
mencegah bekas isterinya itu melakukan hal-hal yang jahat!
Akan tetapi,
Panglima Jayin dan semua pasukan Bhutan menjadi sibuk dan bingung sekali karena
tidak melihat Sang Puteri. Selagi keadaan mereka menjadi sibuk dan bingung, tiba-tiba
muncullah dua orang yang segera disambut oleh Panglima Jayin yang telah
mengenal mereka, disambut dengan penuh penghormatan karena mereka itu bukan
lain adalah Puteri Milana dan Gak Bun Beng.
Akan tetapi
ketika Puteri Milana dan Gak Bun Beng mendengar bahwa Sang Puteri Bhutan
lenyap, mereka terkejut bukan main. “Ah, bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Puteri Milana menegur.
Panglima
Jayin lalu menceritakan tentang penyerbuan Tambolon dan pasukannya, betapa
keadaan mereka amat terancam akan tetapi berkat bantuan Ang Tek Hoat yang gagah
perkasa, keadaan Sang Puteri masih dapat diselamatkan. Kemudian mereka
tertolong oleh pasukan dari Bhutan dan dalam keributan perang itu, tahu-tahu
Ang Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi telah lenyap.
“Hemmm...!”
Puteri Milana berkata sambil mengerutkan alis dan dia bertukar pandang dengan
Gak Bun Beng. “Pemuda itu benar-benar mencurigakan sekali.”
“Kami pun
berpikir demikian,” Panglima Jayin berkata kepada Gak Bun Beng. “Agaknya kalau
Sang Puteri tidak tertawan oleh Tambolon, tentu dilarikan oleh pemuda itu.”
“Jangan
tergesa-gesa mengambil kesimpulan dahulu,” kata Gak Bun Beng. “Kita harus
menyelidiki persoalan ini, akan tetapi yang terpenting adalah mencari jejak
Sang Puteri.”
“Aku pun
akan membantu mencarinya,” kata Puteri Milana.
“Terima
kasih atas segala kebaikan paduka Puteri dan Taihiap. Tadi pun telah datang
adik paduka Puteri dan agaknya dia pun sedang ikut mencari Sang Puteri Syanti
Dewi.”
Mendengar
ucapan Jayin ini, Milana dan Bun Beng tercengang. “Apa? Kau maksudkan siapa?”
Milana mendesak.
“Adik
paduka, tuan muda Suma Kian Bu.”
“Aihh, anak
itu!” Milana mengomel. “Disuruh pulang malah mendahului ke sini...”
Gak Bun Beng
lalu mengajak Milana ke sisi untuk dapat bicara empat mata. “Moi-moi, kau tentu
sudah dapat menduga bahwa sesungguhnya adik kita itu telah jatuh cinta kepada
Syanti Dewi.”
Milana
mengerutkan alisnya. “Hemm, dia akan menjadi manusia yang bodoh sekali kalau
nekat mencinta seorang yang tidak membalas perasaannya itu. Sebaiknya kita
mencari mereka, mencari jejak Syanti Dewi dan juga jejak Kian Bu. Aku khawatir
mereka terkena perangkap Tambolon yang cerdik dan keji.”
Mereka lalu
menghampiri Panglima Jayin lagi yang tengah mengatur anak buahnya untuk melanjutkan
usaha pencarian mereka. Malam sudah hampir tiba dan keadaan sudah menjadi
gelap, namun usaha pencarian itu masih belum ada hasilnya.
“Sukar
mencari di malam gelap. Akan tetapi harus menyebar anak buah membawa obor dan
mencari terus,” kata Milana. “Kami berdua sendiri akan mencari mereka besok
pagi. Mereka harus ditemukan, kalau tidak aku khawatir akan terjadi apa-apa
atas diri Puteri Syanti Dewi.”
Selagi
mereka mengadakan perundingan, tiba-tiba datang penjaga berlarian melapor bahwa
dari jauh mendatangi sepasukan berkuda yang besar jumlahnya. Tentu saja keadaan
menjadi panik seketika. Pasukan itu sedang disebar melakukan usaha mencari
Puteri Syanti Dewi, maka kini Panglima Jayin memerintahkan para pembantunya
untuk cepat memanggil kembali mereka, siap menghadapi penyerbuan musuh.
Terdengarlah terompet-terompet tanduk ditiup memanggil para prajurit.
Akan tetapi,
ketika pasukan yang baru datang itu tiba, segera ternyata bahwa mereka itu sama
sekali bukanlah pihak musuh, melainkan pasukan besar yang mengawal Raja Bhutan
sendiri yang menjadi tidak sabar setelah mendengar bahwa puterinya itu telah
dapat ditemukan dan dikawal pulang sudah tiba di perbatasan Bhutan. Pasukan
raja itu terdiri dari pengawal-pengawal pilihan, dan juga Raja diiringkan oleh
belasan orang pendeta hwesio yang bertugas di istana Bhutan. Ada pun pasukan
itu dipimpin sendiri oleh Panglima Sangita yang sudah tua.
Tentu saja
Panglima Jayin tergopoh-gopoh menyambut rajanya, diikuti juga oleh Puteri
Milana dan Gak Bun Beng. Ketika kedua orang pendekar ini diperkenalkan oleh
Jayin sebagai puteri cucu Kaisar dan pendekar besar yang telah menyelamatkan
Syanti Dewi, Raja Bhutan menjadi girang sekali dan berkenalan dengan kedua
orang lihai itu. Akan tetapi ketika Jayin membuat laporan panjang lebar tentang
bagaimana dia berhasil mengawal Sang Puteri sampai di situ, lalu terjadi
keributan karena serbuan Tambolon dan pasukannya, kemudian betapa Sang Puteri
lenyap bersama Ang Tek Hoat, Sri Baginda menjadi marah sekali. Mereka semua
menyangka bahwa tentu pemuda aneh itulah yang sudah melarikan Sang Puteri.
“Kerahkan
semua tenaga! Sebar di daerah ini dan cari mereka sampai dapat!” Sri Baginda
mengeluarkan perintah dengan hati kecewa sekali karena tadinya dia sudah merasa
girang akan dapat menyambut kembali puterinya yang hilang.
Kemudian Sri
Baginda mengajak Puteri Milana dan Gak Bun Beng untuk beristirahat dan dijamu
di dalam kemahnya. Namun dengan halus Milana dan Bun Beng menolak, dan
menyatakan bahwa mereka sayang datang terlambat sehingga tidak sempat
melindungi Sang Puteri dan bahwa mereka pun akan membantu untuk menemukan
kembali Sang Puteri yang hilang. Sri Baginda merasa berterima kasih sekali dan
dua orang itu pun lalu mengundurkan diri dan mulailah mencari-cari jejak Sang
Puteri, dan juga jejak Suma Kian Bu seperti yang diceritakan oleh Jayin betapa
pemuda itu pun malah sudah mendahului mereka tiba di tempat itu.
Ke manakah
perginya Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi? Seperti telah kita ketahui, dalam
keadaan terluka parah, di tengah-tengah medan pertandingan yang kacau-balau,
Syanti Dewi yang mengkhawatirkan keadaan Tek Hoat lalu diam-diam setengah
menyeret tubuh pemuda ini menyembunyikan diri di dalam hutan. Dia maklum bahwa
Tambolon hendak menangkapnya, maka tentu saja tidak sudi dia menjadi tawanan
Tambolon lagi dan dia harus melarikan diri dari tempat berbahaya itu. Akan
tetapi, dia tidak tega meninggalkan pemuda yang mati-matian membelanya dan yang
menderita luka hebat itu, maka betapa pun sukarnya, akhirnya dia berhasil juga
membawa dan menyeret pemuda itu memasuki hutan lebat.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, untung sekali bagi Tek Hoat yang menderlta
luka-luka dalam akibat pukulan beracun, dia bertemu dengan Si Dewa Bongkok dan
diobati hingga seketika dia sembuh sama sekali, hanya tinggal memulihkan
tenaganya saja. Dan yang terakhir puteri itu bersama Tek Hoat berada di dalam
sebuah kuil rusak yang berada di tengah hutan lebat, di mana Syanti Dewi
merawat Tek Hoat yang sudah sembuh hanya perlu beristirahat saja untuk
memulihkan tenaganya. Tentu saja Tek Hoat tidak tahu betapa nyawa dia dan
Syanti Dewi telah tertolong oleh Suma Kian Bu yang berhasil mengusir Tambolon
dan Durganini, sedangkan Syanti Dewi juga tidak mau menceritakan tentang Kian
Bu kepada pemuda itu.
Sebetulnya
Tek Hoat menderita pukulan yang amat hebat, pukulan lahir batin. Lahirnya, dia
telah bertubi-tubi menerima pukulan-pukulan beracun dari lawan-lawan tangguh,
tetapi dengan kemukjijatan dan keampuhan tangan Dewa Bongkok, semua lukanya
sudah sembuh dan racun yang menguasai tubuhnya pun sudah lenyap. Hanya pukulan
batin yang dideritanya ketika dia mendengar cerita Syanti Dewi tentang Gak Bun
Beng, membuat tubuhnya lemas, pikirannya bingung, kesadarannya tergoncang hebat
dan hatinya merasa kecewa penuh penyesalan.
Betapa dia
tak akan menyesal mengingat bahwa dia telah melakukan segala kekejaman itu
untuk memburukkan nama musuh besarnya, Gak Bun Beng, dan kini dia mendengar
bahwa Gak Bun Beng itu bukan musuhnya? Hampir saja dia berputus asa, apa lagi
kalau teringat betapa dia telah melakukan penyelewengan-penyelewengan hebat di
dalam hidupnya, dia merasa tidak patut untuk bersanding dengan Puteri Syanti
Dewi, apa lagi mencintanya.
Betapa pun
juga, sikap yang amat manis, perawatan yang dilakukan oleh puteri itu dengan
kesungguhan hati, meluluhkan semua kekerasan hati Tek Hoat akan tetapi
sekaligus juga mengobati luka di batinnya. Jika saja gadis ini bukan puteri
Raja Bhutan! Alangkah akan bahagianya hidup menjadi suami puteri ini. Akan
tetapi, dia seorang pemuda jahat, Si Jari Maut, orang yang rendah dan hina dan
jahat, mana mungkin saling cinta dengan seorang dara seperti Syanti Dewi?
Tidak! Hal itu berarti akan menyeret setangkai bunga yang indah bersih ke dalam
lumpur! Dan belum tentu cerita tentang Gak Bun Beng itu benar. Sebelum dia
mendengar sendiri dari ibunya....
Sudah
beberapa hari mereka bersembunyi di dalam kuil tua itu. Dan tenaga Tek Hoat
sudah mulai pulih kembali. Pada pagi hari itu, Syanti Dewi memasuki kuil
membawa beberapa tangkai bunga hutan berwarna kuning. Melihat dara itu memasuki
kuil, di latar belakangi sinar matahari pagi yang menerobos masuk melalui
genteng-genteng kuil yang pecah, Tek Hoat terbelalak dan memandang seperti
orang terkena sihir.
Dara itu
nampak segar, jelas bahwa puteri itu baru saja mencuci dan menggosok mukanya
dengan air sumber di belakang kuil. Kedua pipinya kemerahan dan masih agak
basah, rambutnya masih agak awut-awutan dengan anak rambut halus berjuntai dan
melintang di sekitar pelipis dan dahinya, sepasang matanya bening dan
berkilauan, bibirnya kelihatan basah dan merah sekali, penuh dan tersenyum
ditahan, nampak lesung pipit di ujung bibir kiri dan sedikit lekuk di dagunya
menambah daya tarik. Seperti bidadari pagi yang turun melalui tangga sinar
matahari!
“Hi-hikk...”
Syanti Dewi menutupi mulutnya. “Tek Hoat, kau kenapa? Apakah kau masih dalam
mimpi?” Puteri itu menegur sambil tersenyum. “Kau memandang aku seperti selama
hidup baru sekali ini kita saling bertemu.”
Tek Hoat
tersadar, menarik napas panjang namun tidak mampu melepaskan pandang matanya
yang melekat pada wajah itu. “Kau... kau cantik jelita luar biasa, Dewi...,”
katanya dengan sejujurnya.
Warna merah
menjalar naik dari leher yang berkulit putih halus itu, terus menjalar ke pipi
dan akhirnya seluruh muka puteri itu menjadi kemerahan.
“Ihh! Kau
memang perayu!” celanya sambil jalan menghampiri. “Kau sekarang sudah kelihatan
sehat, Tek Hoat. Mukamu sudah merah, tidak pucat lagi seperti kemarin.”
Tek Hoat
tersenyum dan turun dari atas jerami kering yang ditumpuknya di situ dan selama
ini dijadikan tempat tidurnya, sedangkan tempat tidur Sang Puteri berada di
sebelah dalam sehingga dia dapat menjaganya. Dia menggerak-gerakkan kedua
lengannya dalam gerakan silat sehingga terdengar suara angin menyambar-nyambar
dahsyat.
“Aku memang
sudah sembuh, berkat perawatanmu yang amat teliti, Dewi. Ahh, betapa besar
budimu dan entah bagaimana aku akan dapat membalasnya. Kalau dalam kehidupan
sekarang aku tidak akan mampu membalasmu, biarlah dalam kehidupanku yang lain
kelak, aku akan menjelma menjadi anjing atau pun kuda untuk mengabdi kepadamu.”
Syanti Dewi
tertawa dan menutup mulutnya. “Wah, lagu lama itu! Apakah kau percaya bahwa di
dalam kehidupanmu yang lain kelak engkau akan menjelma menjadi anjing atau
kuda? Bagaimana kalau kau menjelma menjadi... tikus misalnya? Bagaimana kau
akan mengabdi kepadaku dalam bentuk tikus?”
“Wah, ini...
repot kalau jadi tikus!” Tek Hoat menggaruk belakang telinganya karena bingung.
“Binatang itu hanya pandai merusak!”
“Kalau
begitu, lebih baik jangan janji apa-apa. Tek Hoat, kau tidak perlu berpikir
yang bukan-bukan. Engkau sudah berkali-kali menolong dan menyelamatkan aku,
bahkan dengan pengorbanan dirimu sampai hampir tewas. Engkau sekarang baru saja
sembuh dari luka-luka yang kau derita justru ketika engkau menolongku, dan
sekarang engkau bicara tentang budi?”
Tek Hoat
menghela napas dan menatap wajah yang jelita itu dengan pandang mata mesra.
“Dewi, betapa pun juga aku hanyalah seorang...”
“Cucu dari
Pendekar Super Sakti!”
“Hemm...
kalau betul cerita itu, dan itu pun hanya cucu tiri dan putera seorang penjahat
pemerkosa! Sedangkan engkau... seorang puteri raja, puteri bangsawan yang luhur
dan agung...”
“Tek Hoat,
apakah semua yang keluar dari mulutmu dalam kereta dahulu itu, yang keluar di
waktu kau dalam keadaan tidak sadar sehingga tidak mungkin kau buat-buat,
apakah semua itu palsu belaka...?”
“Aihh,
tidak...!”
“Kalau
begitu, apakah cinta kasih itu mengenal tingkat, mengenal kedudukan, mengenal
kaya miskin?”
“Aku cinta
padamu! Hal ini tidak dapat kusangkal lagi, Dewi. Aku cinta padamu dan aku rela
mati untukmu, akan tetapi kau...”
Syanti Dewi
menarik napas panjang dan membalikkan tubuhnya. “Sudahlah, aku tidak senang
kalau kau bersikap seperti ini. Kau mandilah sana, aku akan mencari buah di
sebelah kanan kuil...” Dan puteri itu lalu berlari kecil meninggalkan Tek Hoat
yang termenung sejenak, kemudian pemuda ini pun keluar dari kuil melalui pintu
belakang, menuju ke sumber air di belakang kuil. Setelah membersihkan diri dia
kembali ke dalam kuil.
“Dewi...
pujaan hatiku...”
Tiba-tiba
dia terbelalak kaget. Ketika dia memasuki kuil, dia melihat bayangan wanita dan
mengira dia Syanti Dewi, akan tetapi ketika dia menegur dengan mesra dan wanita
itu membalik, ternyata wanita itu sama sekali bukan Syanti Dewi, melainkan
Puteri Milana!
Sang Puteri
perkasa ini memandangnya dengan marah! Memang marahlah hati Puteri Milana. Dia
baru saja mendengar dari Bun Beng bahwa adiknya, Suma Kian Bu, jatuh cinta
kepada Syanti Dewi. Sebagai seorang kakak perempuan, tentu saja dia berharap
agar adiknya bahagia dan benar-benar kelak dapat mempersunting Syanti Dewi yang
dianggapnya memang sudah cukup patut menjadi isteri adiknya itu. Akan tetapi di
hutan ini dia mendengar bahwa Syanti Dewi dilarikan oleh Tek Hoat.
Ia sudah
tahu pemuda macam apa adanya Tek Hoat, yang pernah menjadi kaki tangan
pemberontak, bahkan yang telah merusak nama Gak Bun Beng dengan
perbuatan-perbuatan jahat dan menggunakan nama Si Jari Maut alias Gak Bun Beng.
Kini dia menemukan mereka dan begitu pemuda itu masuk, telinganya mendengar Tek
Hoat mengeluarkan kata-kata seperti itu yang tentu ditujukan kepada Syanti Dewi
yang sedang keluar memetik buah-buahan. Tentu saja Milana menjadi marah bukan
main, marah dan cemburu demi adiknya!
“Keparat,
engkau memang manusia busuk!” Puteri Milana memaki dan memandang tajam.
Ang Tek Hoat
adalah seorang yang berhati keras pula. Dia sudah merasa bahwa dia memang bukan
orang baik-baik, akan tetapi dia tidak mau merendah karena kenyataan itu, dan
dia tidak mau orang lain menekan-nekan soal itu yang amat menyakitkan hatinya.
“Sang
Puteri, kalau sudah tahu aku seorang manusia busuk, kenapa paduka datang ke
sini? Aku tidak mengundangmu.”
“Jahanam,
kau keturunan Wan Keng In, malah lebih jahat dari pada ayahmu! Manusia macam
kau memang tidak patut dikasihani lagi!”
“Kalau
paduka berpendapat begitu, dan mau membunuhku, silakan, aku pun tidak takut
terhadap siapa pun, dan tidak takut untuk mati!” Tek Hoat menjawab sambil
melangkah keluar dari dalam kuil yang sempit. Dia maklum bahwa dia berhadapan
dengan seorang yang memiliki ilmu tinggi, maka dia harus mencari tempat yang
lebih luas.
Mengingat
betapa pemuda ini menculik puteri yang dicinta adiknya, ucapan Tek Hoat itu
diterima oleh Milana yang sedang marah sebagai suatu tantangan, maka dengan
cepat dia meloncat keluar pula dan langsung menerjang Tek Hoat dengan pukulan
yang amat dahsyat.
“Plak...
dessss...!”
Keduanya
terhuyung ke belakang. Milana terkejut. Tangkisan pemuda itu benar-benar amat
hebat, dan tingkat tenaga pemuda itu tidak di sebelah bawah tingkatnya sendiri.
Hal ini membuat dia makin penasaran dan wanita perkasa ini sudah menerjang
dengan hebat sekali, gerakannya cepat laksana burung walet dan dahsyat seperti
seekor naga betina mengamuk.
“Manusia
busuk...!” Milana berteriak keras saking penasaran karena belasan jurus
kemudian belum juga dia memperoleh kemenangan, maka dia lalu mengerahkan
Swat-im Sinkang, yaitu Tenaga Sakti Inti Salju dari Pulau Es dan dengan
pengerahan tenaga mukjijat ini dia menghantam.
Jurus yang
dilakukan oleh Milana ini memang dahsyat sekali sehingga tidak dapat dielakkan
lagi, maka terpaksa Tek Hoat menangkisnya kembali dengan pengerahan tenaga Inti
Bumi yang dilatihnya dari kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka.
“Bressss...!”
Kembali
keduanya terpental. Tek Hoat agak menggigil karena merasa betapa hawa dingin
menyusup ke dadanya, akan tetapi dengan pengerahan sinkang dia berhasil
mengusirnya, sedangkan Milana terhuyung-huyung saking hebatnya getaran yang
menyambut pukulan dahsyatnya. Jelas bahwa dalam pertemuan tenaga hebat barusan
tadi, keadaan Puteri Milana kalah unggul!
“Sumoi,
minggirlah!” Tiba-tiba terdengar suara Gak Bun Beng.
Pendekar ini
tentu saja marah sekali melihat Tek Hoat bertanding dengan kekasihnya, dan
pertandingan itu saja sudah meyakinkan hatinya bahwa tentu Tek Hoat sudah
menculik Syanti Dewi, kalau tidak tentu Milana tidak akan menyerangnya.
Sementara
itu, pada saat Tek Hoat melihat Gak Bun Beng, kebenciannya yang telah
ditanamkan oleh ibunya sejak kecil, timbul kembali. Sejak kecil dia sudah yakin
benar bahwa Gak Bun Beng inilah musuh besarnya, pembunuh ayahnya! Biar pun
akhir-akhir ini dia mendengar hal yang sama sekali berbeda dari keterangan
Syanti Dewi, namun dia masih belum dapat menerima sepenuhnya dan kini melihat
Gak Bun Beng membela Milana menghadapinya, timbul kebenciannya dan wajahnya
berubah beringas!
“Bagus,
memang saat inilah yang kutunggu-tunggu!” Tek Hoat menggereng dan dia segera
menerjang ke depan dengan kedua lengan didorongkan, telapak tangan terbuka dan
dari kedua lengannya itu menyambar hawa pukulan Inti Bumi yang amat dahsyat ke
arah Bun Beng.
Bun Beng
pernah mengenal hawa pukulan dari kedua tangan Tek Hoat, maka dia pun tidak
berani memandang rendah. Dia lalu mengerahkan tenaga Inti Bumi dan kedua tenaga
Swat-im Sinkang dan Hui-yang Sinkang, tiga tenaga mukjijat digabung menjadi
satu, disalurkan kepada dua lengannya dan dia pun menangkis.
“Blarrrrr...!”
Dua tenaga
mukjijat yang jauh lebih kuat dari pada ketika Tek Hoat melawan Milana tadi
bertemu dan akibatnya tubuh Ang Tek Hoat terjengkang, sedangkan Bun Beng hanya
melangkah mundur dua tindak. Dalam keadaan biasa pun tingkat Tek Hoat masih
belum mampu menandingi tingkat Bun Beng, apa lagi dalam keadaan baru saja
sembuh dari luka-luka hebat.
Akan tetapi
Tek Hoat yang merasa dadanya sesak itu sudah meloncat bangkit kembali dengan
mata mendelik saking marahnya. Pada saat itu, terdengarlah seruan nyaring,
“Paman Gak Bun Beng...!”
Bun Beng
menoleh dan berseru girang, “Dewi...!”
Syanti Dewi
menjatuhkan buah-buahan yang dibawanya, lalu berlari-larian sambil air matanya
bercucuran akan tetapi mulutnya tersenyum lebar menghampiri Bun Beng yang
saking girangnya melihat puteri itu selamat juga sudah menyambut dengan kedua
lengan terbuka.
“Paman...!”
Syanti Dewi menubruk dan mereka berangkulan.
Syanti Dewi
terisak di atas dada Bun Beng dan pendekar ini mengusap-usap rambut kepala Sang
Puteri. Rasa gembira yang spontan memang tak dapat dipikirkan lebih dulu
sehingga Bun Beng dan Syanti Dewi lupa bahwa di situ terdapat dua orang lain
yang memandang pertemuan mesra dan bahagia ini dengan hati... mendongkol!
Puteri
Milana sudah maklum betapa Syanti Dewi pernah jatuh cinta kepada Gak Bun Beng,
maka terasa agak panas juga perutnya melihat kekasihnya berpelukan itu,
sedangkan Tek Hoat tentu saja merasa dadanya seperti dibakar, apa lagi melihat
bahwa yang dipeluk oleh puteri yang dicintanya itu adalah musuh besarnya! Kalau
Milana diam saja melihat adegan itu karena dia pun maklum bahwa tidak ada
apa-apa yang tidak wajar dalam pertemuan antara dua orang itu, sebaliknya Tek
Hoat tak dapat menahan kemarahannya.
“Gak Bun
Beng manusia pengecut! Hayo kau lawan aku!”
Mendengar
ini, Syanti Dewi terkejut sekali dan melepaskan pelukannya, menoleh dan
memandang Tek Hoat dengan mata terbelalak. “Tek Hoat, jangan gila kau...!”
Akan tetapi
kata-kata Syanti Dewi ini seperti merupakan minyak yang menyiram api kemarahan
di hati Tek Hoat, karena dianggapnya Syanti Dewi membela dan memihak kepada Gak
Bun Beng. Maka begitu melihat Syanti Dewi sudah terlepas dari Bun Beng, serta
merta dia menyerang dengan dahsyat dan ganas.
Tentu saja
Bun Beng yang telah waspada itu cepat meloncat mundur, akan tetapi Tek Hoat
terus mengejar dan menyerangnya dengan dahsyat seperti seekor kerbau gila
mengamuk sehingga mau tidak mau Bun Beng terpaksa harus melayaninya dan mereka
pun saling pukul dan saling tangkis!
“Paman
Gak... jangan bunuh dia... jangan lukai dia... dia telah menyelamatkan aku dari
bahaya...” Syanti Dewi berteriak-teriak dan kelihatan gelisah sekali melihat
pertempuran antara dua orang itu.
Milana
memandang tajam kepada Syanti Dewi dan naluri kewanitaannya membuat dia melihat
sesuatu yang menusuk ulu hatinya. Kiranya Puteri Bhutan ini jatuh cinta kepada
Tek Hoat, pikirnya. Kenyataan ini amat pahit baginya karena dia maklum bahwa
adiknya sudah tidak mempunyai harapan lagi. Kebenciannya kepada Tek Hoat mereda
ketika mendengar pengakuan Syanti Dewi bahwa pemuda itu tidak menculiknya,
bahkan justru menolongnya.
Demikian
pula Gak Bun Beng segera meloncat ke belakang. “Orang muda, tahan dulu!”
“Lebih baik
mati!” Tek Hoat yang masih marah itu tidak peduli, melihat Gak Bun Beng
meloncat mundur dia pun segera menerjang lagi dan mendesak dengan
pukulan-pukulan maut.
Terpaksa Bun
Beng melayaninya dengan bingung. Andai kata tidak ada seruan-seruan yang
meminta kepadanya agar jangan melukai Ang Tek Hoat, tentu Bun Beng dapat
merobohkan lawannya dengan pukulan-pukulan sakti. Akan tetapi kini Bun Beng
tidak mau melakukan hal itu. Dia hanya menjaga diri, menangkis atau mengelak
tanpa membalas. Tentu saja dia mulai menjadi kewalahan karena pemuda itu telah
menjadi nekat dan agaknya hendak mengadu nyawa. Memang Tek Hoat telah menjadi
nekat.
Tadinya pun
Tek Hoat sudah merasa tidak berharga berdekatan dengan puteri yang dicintanya.
Kini munculnya dua orang pendekar hebat itu membuat dia merasa makin tidak
berharga lagi, ditambah pula panasnya hati menyaksikan wanita yang dicintanya
berpelukan demikian bahagia dengan orang yang dibencinya.
Ketika
pertandingan itu masih berlangsung dengan serunya, datang pasukan yang dipimpin
oleh Jayin, yang mendengar bahwa Sang Puteri telah ditemukan. Jayin dan
pasukannya menjadi bingung melihat dua orang itu bertanding. Akan tetapi atas
isyarat Puteri Syanti Dewi, mereka lalu mundur lagi dan tidak berani
mencampuri. Berkali-kali Syanti Dewi minta kepada Tek Hoat untuk menyudahi
serangannya, namun pemuda yang sudah nekat ini seperti tidak mendengar
suaranya.
Melihat ini,
diam-diam Puteri Milana melolos sabuknya dan pada saat untuk ke sekian kalinya
Tek Hoat mengadu tenaga dengan Bun Beng dan pendekar ini menggunakan tenaga
saktinya untuk membuat kedua tangan pemuda itu melekat pada tangannya,
tiba-tiba Milana menggerakkan sabuknya dan sabuk itu seperti hidup
membelit-belit dan mengikat tubuh dan kedua tangannya sehingga Tek Hoat tidak
mampu bergerak lagi.
“Lepaskan
aku dan mari kita bertempur sampai mati! Atau bunuh saja aku!” Tek Hoat
meronta-ronta. “Gak Bun Beng manusia busuk! Engkau yang telah membuat ibuku
menderita selama hidupnya! Terkutuk engkau...!”
Syanti Dewi
menubruk dan memegang kedua lengan Tek Hoat. “Tek Hoat, ingat. Siapa aku? Aku
minta kau diam dan mendengarkan penjelasan. Ke manakah perginya sifatmu yang
baik itu? Apakah kau ingin membuat aku berduka, Tek Hoat?”
Pemuda itu
memandang wajah Sang Puteri, mukanya menjadi pucat, dua titik air mata meloncat
turun dan dia menunduk. “Dewi...” Dia memejamkan matanya dan menggigit
bibirnya.
Mereka kini
duduk di dalam kuil, sedangkan Jayin dan pasukannya menanti di luar. Dengan
sabar dan tenang Gak Bun Beng bercerita kepada Tek Hoat yang telah dilepas
ikatannya dan lengannya dipegang oleh Syanti Dewi. Pegangan puteri ini
sebetulnya malah lebih kuat dari pada ikatan sabuk Puteri Milana, karena Tek
Hoat menjadi jinak dan tidak mengamuk lagi. Dia menunduk dan mendengarkan penuturan
Gak Bun Beng dengan hati tidak karuan rasanya.
Setelah Gak
Bun Beng menceritakan bahwa dia bukanlah musuhnya seperti yang diduga oleh Ang
Siok Bi, ibunya, Milana juga lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Ang
Siok Bi dan betapa ibunya kini pun sudah insyaf akan kekeliruannya yang amat
besar dan mendatangkan akibat yang hebat itu.
“Akan
tetapi... masa ibuku begitu bodoh sehingga mudah saja ditipu oleh penjahat yang
bernama Wan Keng In itu...?” Tek Hoat membantah dengan ragu-ragu.
“Tek Hoat,
kau lihatlah aku!” Puteri Milana tiba-tiba berkata. “Kau sedikit banyak sudah
mengenal aku, bukan? Apakah aku seorang yang mudah ditipu? Dan aku masih
terhitung saudara tiri dari Wan Keng In, juga aku adalah masih sumoi dari
Gak-suheng. Akan tetapi toh aku juga tertipu seperti ibumu sehingga aku
sendiri, bersama ibumu dan wanita lain yang juga menjadi korban Wan Keng In,
kami mengeroyok Gak-suheng sehingga Gak-suheng terjerumus ke dalam jurang dan
disangka mati oleh ibumu. Ibumu lalu pergi dan tak pernah muncul kembali, tak
pernah bertemu dengan kami sehingga belum juga tahu akan kekeliruan sangka itu.
Sampai engkau muncul dan melakukan tindakan yang menjadi akibat fitnah itu.”
“Tek Hoat,
sudah kukatakan kepadamu bahwa Paman Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang
berhati mulia, tidak mungkin melakukan kekejaman seperti itu. Kau telah salah
sangka dan ibumu pun demikian...,” kata Syanti Dewi.
Tiba-tiba
Tek Hoat menutupi mukanya, lalu menjambak-jambak rambutnya. “Dan aku... aku
telah... menodai namanya..., persis seperti yang dilakukan oleh... oleh ayahku
yang jahanam itu!” Dia bangkit dan melotot. “Aku tidak layak hidup! Dewi, aku
tidak layak hidup, apa lagi berdekatan denganmu.”
“Tek
Hoat...!” Melihat pemuda itu seperti orang beringas, Syanti Dewi menubruknya.
“Tek Hoat, jangan... jangan nekat... kau... adalah sebaik-baiknya orang
bagiku...”
“Tidak,
Dewi. Aku orang jahat...” Dia masih meronta.
Bun Beng
bangkit dan memegang kedua pundak pemuda itu, mengguncangnya dan berkata dengan
nada keras, “Tek Hoat, beginikah sikap seorang jantan? Apakah kau begini
pengecut sehingga kau menjadi putus harapan? Semua orang di dunia ini pasti
pernah melakukan penyelewengan. Siapakah di antara kita yang tidak pernah
keliru dalam tindakan dalam hidup kita? Yang penting adalah menyadari kesalahan
itu, karena hanya kesadaran saja yang akan dapat mendatangkan perubahan.
Bersikaplah gagah, tenagamu yang muda masih dibutuhkan oleh manusia dan dunia,
dan terutama sekali, kau lihat, Puteri Syanti Dewi amat membutuhkanmu.”
Tek Hoat
terbelalak memandang kepada Gak Bun Beng, kemudian menoleh ke arah Syanti Dewi,
dan lemaslah seluruh tubuhnya. Dia mengangguk-angguk, menarik napas panjang.
“Baiklah... baiklah..., aku menyerah dan menurut... tapi aku harus mendengar
sendiri keterangan itu dari ibuku...”
Bagaikan
seekor harimau yang telah berubah menjadi seekor domba jinak, Tek Hoat menurut
saja diajak keluar menemui Jayin dan pasukannya, dan dia tidak pernah membantah
ketika diajak oleh Syanti Dewi untuk menemui ayahnya yang menanti dengan cemas
di dalam perkemahannya di hutan.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan ini telah tiba di perkemahan Raja
Bhutan. Mendengar bahwa puterinya sudah ditemukan dalam keadaan selamat, Raja
Bhutan menjadi girang dan tergopoh-gopoh dia keluar dari tendanya menyambut
sendiri.
Syanti Dewi
menjerit dan lari menghampiri ayahnya. Mereka berpelukan dan Syanti Dewi tidak
kuasa mengeluarkan kata-kata, sedangkan Sri Baginda juga mengusap air matanya
dan mengelus-elus kepala puterinya, mendekapnya ketat seolah-olah takut
kehilangan puterinya lagi.
Setelah
mendengar penuturan Panglima Jayin bahwa tiga orang dari timur itu, ialah
Puteri Milana, Gak Bun Beng, dan Ang Tek Hoat telah banyak berjasa dalam usaha
menyelamatkan Puteri Syanti Dewi, Sri Baginda Kerajaan Bhutan merasa berterima
kasih sekali. Dengan wajah berseri dia menghaturkan terima kasih dan mengundang
mereka bertiga untuk berkunjung dan menjadi tamu kehormatan di Kerajaan Bhutan.
Melihat
sikap yang sungguh-sungguh dari Raja Bhutan yang amat berterima kasih itu, Gak
Bun Beng dan Puteri Milana merasa sungkan untuk menolak, sedangkan Tek Hoat
yang hanya tunduk kepada pandang mata Puteri Syanti Dewi juga tidak banyak
cakap lagi.
Pada
keesokan harinya, berangkatlah rombongan Raja Bhutan ini, hendak kembali ke
kota raja, diiringkan oleh tiga orang tamu itu. Gak Bun Beng dan Puteri Milana
saling bemufakat untuk singgah beberapa hari di kota raja Bhutan dan kemudian
melanjutkan usaha mereka mencari Kian Bu yang lenyap jejaknya itu, kemudian
setelah dapat bertemu dengan adik itu, bersama-sama akan pergi menghadap ke
Pulau Es.
Akan tetapi,
jauh di luar dugaan mereka dan dugaan Raja Bhutan sendiri, perjalanan yang
diliputi kegembiraan oleh karena Sang Puteri telah bertemu dengan ayahnya itu
ternyata menghadapi ancaman yang hebat! Rombongan megah yang sedang bergerak
perlahan dan tidak tergesa-gesa melalui sebuah daerah terbuka, dan Raja Bhutan
yang berkuda di sebelah puterinya itu, tiba-tiba terkejut melihat datangnya
seorang prajurit yang berlari-larian dari depan dan serta merta menjatuhkan
diri berlutut di tengah jalan menghadang rombongan itu!
Mula-mula
Panglima Jayin yang menghampiri dan dengan marah menegur prajurit Bhutan yang
membawa tombak itu, akan tetapi begitu mendengar pelaporan prajurit yang
ternyata merupakan seorang kurir atau utusan dari komandan pasukan penjaga kota
raja, Panglima Jayin terkejut sekali dan membawa kurir itu menghadap Sri
Baginda sendiri.
“Mohon
paduka mengampunkan hamba yang datang mengganggu tanpa dipanggil,” utusan itu
berlutut kemudian menjawab pertanyaan Sri Baginda. “Hamba diutus oleh komandan
untuk mengabarkan bahwa kota raja kini sedang dikurung oleh pasukan-pasukan
besar dari para kepala suku liar dan dipimpin sendiri oleh Tambolon. Jumlah
pasukan mereka besar sekali dan kota raja telah dikurung sehingga rombongan
paduka hendaknya tidak melanjutkan perjalanan ke sana karena pintu masuk telah
dikurung semua oleh pihak musuh.”
“Hemm, Si
Tambolon keparat!” Sri Baginda berseru marah. “Apa kehendaknya sekali ini?”
“Maaf, Sri
Baginda. Dengan terang-terangan Tambolon menyatakan bahwa kini dia menuntut
agar Sang Puteri diserahkan kepadanya.”
“Ayah...
kedatanganku ternyata hanya mendatangkan mala petaka saja...!” Syanti Dewi
berseru kaget.
“Hemm,
jangan kau berkata demikian, anakku. Jayin, hentikan rombongan dan segera
kumpulkan semua panglima dan perwira, juga undang tiga orang tamu agung kita
untuk diajak berunding.”
Rombongan
berhenti dan perkemahan didirikan di tempat itu. Kemudian Raja Bhutan
mengadakan perundingan dengan para panglimanya, juga dihadiri oleh Puteri
Syanti Dewi, Puteri Milana, Gak Bun Beng dan Tek Hoat.
Dengan wajah
serius Sri Baginda membicarakan ancaman bahaya yang mengepung Bhutan itu,
kemudian berkata kepada tiga orang tamunya, “Untuk menyelamatkan kerajaan, kami
sangat mengharapkan bantuan Anda bertiga.”
“Bibi
Milana, Paman Gak Bun Beng, saya harap Bibi dan Paman dapat membantu Ayah,”
Syanti Dewi juga berkata dengan suara khawatir melihat ayahnya begitu gelisah.
Puteri
Milana adalah seorang yang ahli dalam hal perang, maka dengan tenang dia lalu
bertanya kepada Panglima Jayin, “Menurut pelaporan, berapakah kira-kira jumlah
para pengepung dan bagaimana keadaan kekuatan para penjaga di kota raja?”
“Menurut
pelaporan, para pengepungan berjumlah banyak sekali dan sudah menduduki empat
penjuru menutup pintu-pintu gerbang yang menghubungkan kota raja dengan daerah
luar,” jawab Panglima Jayin. “Sayang bahwa Panglima Sangita juga berada di sini
mengawal Sri Baginda sehingga para pasukan di kota raja kehilangan panglima
tertinggi. Oleh karena itu, biarlah saya akan berusaha menyelundup ke kota raja
agar dapat memimpin pasukan di sebelah dalam.”
“Usul itu
tepat,” kata Panglima Sangita yang tua. “Biar pun pasukan yang sekarang
mengawal Sri Baginda tidak besar, namun ini merupakan pasukan pengawal
istimewa. Dengan menggempur mereka dari luar dan dalam, biar pun jumlah pasukan
kita kalah besar, akan tetapi tentu akan dapat mengacaukan mereka.”
“Kalau
menurut pendapat saya, yang terpenting adalah menjamin keselamatan keluarga Sri
Baginda dan pertahanan kota raja lebih dulu.” Puteri Milana berkata dengan
tenang. “Kehadiran Sri Baginda di kota raja amat diperlukan, karena hal itu
tentu akan dapat menambah semangat para pasukan. Maka, jika usul saya dapat
diterima, kita harus mengusahakan agar Sri Baginda dan Puteri Syanti Dewi dapat
diselundupkan masuk ke dalam kota raja sehingga dapat memperbesar semangat
pasukan.”
“Akan
tetapi, hal itu tentu akan terlalu berbahaya bagi keselamatan Sri Baginda!”
Panglima Sangita membantah dengan nada khawatir.
“Tidak lebih
berbahaya dari pada berada di luar kota dan hanya dikawal oleh pasukan sebanyak
ini,” Gak Bun Beng berkata. “Baiknya pihak musuh belum tahu bahwa Sri Baginda
dan Sang Puteri berada di luar kota raja. Kalau sudah tahu, saya kira mereka
sekarang pun sudah mengerahkan barisan untuk mengepung dan menyerbu. Tanpa
adanya benteng yang melindungi, menghadapi pasukan musuh yang jauh lebih besar
sungguh berbahaya sekali. Saya setuju sekali dengan usul Puteri Milana untuk
menyelundupkan Sri Baginda dan Puteri Syanti Dewi memasuki kota raja.”
Panglima
Jayin dan Panglima Sangita hanya saling pandang dengan ragu-ragu, karena mereka
tahu betapa berbahaya menerobos kepungan musuh mengantar Sri Baginda memasuki
kota raja yang terkepung itu.
Akan tetapi
Sri Baginda yang kelihatan termenung itu segera dipeluk oleh puterinya dan
berkata, “Ayahanda harus menaruh kepercayaan yang sepenuhnya kepada Bibi Puteri
Milana dan Paman Gak Bun Beng. Mereka adalah manusia-manusia luar biasa yang
saya percaya dapat melakukan apa pun juga.”
Sri Baginda
menghela napas panjang. “Baiklah, kami hanya mengandalkan bantuan Anda bertiga
untuk membantu kami.” Dia tidak melewatkan Tek Hoat karena dia pun sudah
mendengar bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa pula.
“Bagaimana sebaiknya diatur hal ini, Puteri Milana?”
Puteri
Milana mengerutkan alisnya dan memejamkan mata, membayangkan keadaan kota raja
Bhutan yang terkepung musuh yang dipimpin oleh Tambolon, raja liar itu. Dia
belum tahu bagaimana letak dan keadaan kota raja Bhutan, maka sukarlah dia
membayangkan cara bertahan yang paling baik. Akhirnya dia berkata, “Kita
menanti sampai malam ini, dan saya sendiri bersama Gak-suheng dan Panglima
Jayin akan menyelundupkan paduka dan Puteri Syanti Dewi ke dalam kota raja. Ada
pun pasukan pengawal dipimpin oleh Panglima Sangita dan Tek Hoat secara
diam-diam melakukan pengawalan sambil bersembunyi. Syukur kalau penyelundupan
ke dalam kota raja itu tidak ketahuan musuh. Andai kata sampai ketahuan,
pasukan pengawal harus cepat menyerbu dan membikin kacau untuk memecah
perhatian musuh sehingga dapat memudahkan kita masuk ke kota raja.”
“Akan tetapi
setiap pintu gerbang sudah dikepung musuh, bagaimana kita dapat masuk?” Sri
Baginda menyatakan kekhawatirannya.
“Paduka akan
saya pondong, dan biarlah Puteri Syanti Dewi dipondong oleh Sumoi dan kami bawa
paduka berdua meloncat tembok benteng.”
“Wah, begitu
tingginya...?” Sri Baginda terkejut.
“Ayah,
percayalah kepada Paman Gak dan Bibi Milana. Mereka memiliki kepandaian seperti
dewa,” kata Syanti Dewi gembira, sedikit pun tidak merasa takut. “Dan dengan
adanya pengawalan pasukan yang dipimpin oleh Tek Hoat, kita boleh berbesar
hati, Ayah. Kita pasti dapat memasuki kota raja dengan selamat.”
Tek Hoat
tadinya ingin mengajukan keberatan karena dia tidak ingin mencampuri urusan
Kerajaan Bhutan, apa lagi setelah dia kini melihat kenyataan bahwa sungguh
tidak mungkin baginya untuk melanjutkan cinta kasihnya terhadap seorang puteri
seperti Syanti Dewi, puteri Raja Bhutan yang tercinta dan berkedudukan amat
tinggi. Kalau menurut keinginan hatinya, dia ingin mencari ibunya, ingin
kembali kepada ibunya dan mendengar sendiri dari ibunya tentang riwayat ibunya
yang sebenarnya. Akan tetapi, mendengar ucapan Syanti Dewi dan terutama sekali
ketika mereka bertemu pandang, Tek Hoat tidak mungkin dapat menolak dan dia
hanya berkata, “Hamba akan membela dengan taruhan nyawa hamba.”
“Akan tetapi
engkau tidak boleh nekat, Tek Hoat,” Milana berkata mendengar ucapan pemuda
itu. “Engkau sudah pernah memimpin pasukan ketika terjadi keributan di utara,
maka aku percaya bahwa engkau tentu akan dapat membantu Panglima Sangita
mengatur pasukan pengawal itu menjadi barisan terpendam dan hanya bergerak
kalau perlu saja. Menyerbu mati-matian padahal jumlah musuh jauh lebih banyak
hanya merupakan perbuatan nekat yang konyol.”
Tek Hoat
tidak menjawab, akan tetapi mengangguk.
Maka
bersiaplah mereka dan setelah malam tiba, berangkatlah lima orang itu
berindap-indap melalui tempat-tempat gelap menuju ke kota raja yang masih agak jauh
letaknya dari tempat itu. Sangita dan Tek Hoat memimpin pasukan yang disebar
dan melakukan pengawalan rahasia dari kanan kiri dan belakang dan Tek Hoat
sendiri mendahului perjalanan untuk mengadakan penyelidikan tentang keadaan
penjagaan musuh yang mengepung kota raja.
Setelah
Milana dan Gak Bun Beng yang mengawal raja dan puteri, ditemani Panglima Jayin
tiba dekat tembok kota raja, Tek Hoat menyambut mereka dengan laporan bahwa
menurut penyelidikannya, tak mungkin melakukan penyelundupan dekat pintu gerbang
yang sudah dikurung ketat dan di setiap tempat dekat pintu gerbang musuh sudah
memasang barisan yang terdiri dari regu anak panah dan bahkan regu alat-alat
peledak yang tentu akan membahayakan keselamatan raja dan puterinya.
“Akan tetapi
di sepanjang tembok benteng di selatan, melalui sungai yang curam, pengepungan
tidaklah begitu ketat karena daerah itu amat terjal dan sukar sehingga selain
melelahkan bagi musuh juga agaknya mereka anggap tidak penting. Saya kira hanya
melalui tembok selatan itulah penyelundupan dapat dilakukan dengan lebih aman.”
Puteri
Milana mengangguk-angguk. “Tek Hoat, bagus sekali laporanmu ini. Kau cepat
mengerahkan barisan pendam di sekitar tembok selatan dan kau lihat saja. Kalau
kau melihat kami dalam kesukaran, baru kau boleh mengerahkan pasukan untuk
mengacau musuh dan membagi perhatian serta kekuatan mereka. Kalau tidak perlu,
jangan sekali-kali bergerak.”
“Baik,” kata
Tek Hoat dan dia memandang ke arah Puteri Syanti Dewi yang seperti juga Sri
Baginda dan yang lain telah menyamar sebagai orang-orang biasa. Sejenak, di
bawah sinar bintang-bintang di angkasa yang samar-samar, mereka saling pandang,
kemudian Syanti Dewi lalu digendong oleh Milana dan Raja digendong oleh Gak Bun
Beng.
Tembok
benteng itu bertingkat-tingkat, dan di tingkat paling atas terdapat
penjaga-penjaga yang selalu siap dengan anak panah mereka. Sedangkan tembok di
bagian selatan ini terlindung oleh sebatang sungai yang amat curam, dan karena
sukarnya tempat ini, maka pasukan anak buah Tambolon yang mengurung kota raja
hanya menjaga di tepi-tepi sungai sambil bersembunyi.
Oleh karena
itu, maka dengan mudah Gak Bun Beng dan Milana yang menggendong raja dan
puterinya menyusup dan menuruni sungai yang curam itu mendekati tembok, diikuti
oleh Panglima Jayin yang berkepandaian tinggi itu. Akhirnya mereka tiba juga di
dekat tembok dan dengan bingung Panglima Jayin memandang ke atas. Tembok
benteng itu demikian tingginya, bagaimana mungkin membawa Raja dan puteri naik
ke atasnya tanpa diketahui oleh pihak musuh? Dia sendiri tidak akan sanggup
untuk meloncat ke bagian tembok yang paling rendah saja, apa lagi sampai ke
tingkat paling tinggi.
Sunyi sekali
tampaknya di sekeliling tempat itu, akan tetapi Gak Bun Beng dan Puteri Milana
maklum bahwa di belakang mereka, di sungai curam yang kelihatan gelap dan sunyi
itu, tentu terdapat pihak musuh yang siap menyerbu dan menyerang mereka dengan
anak panah kalau sampai kehadiran mereka diketahui.
“Sumoi, biar
aku membawa Sri Baginda naik lebih dulu dan kau melindungi aku dari belakang.
Kalau dilakukan secara berbareng, kita tidak dapat melakukan perlindungan
dengan sempurna.”
“Memang aku
pun berpikir demikian, Suheng. Nah, aku sudah siap. Syanti Dewi, kau
bersembunyi dulu di sini bersama Panglima Jayin sementara kami menyelamatkan
ayahmu ke dalam benteng.”
Panglima
Jayin lalu mengajak Syanti Dewi untuk bersembunyi di dalam rumpun alang-alang
agak menjauh dari tempat itu. Dari tempat persembunyian ini mereka mengintai
dengan hati berdebar penuh ketegangan.
“Sudah siap,
Sumoi?”
“Sudah,
Suheng,” kata Milana sambil mencabut keluar pedangnya.
Tak lama
kemudian Gak Bun Beng yang menggendong Raja Bhutan meloncat ke atas tembok
pertama, disusul oleh Milana yang memegang pedang. Bayangan mereka nampak
seperti dua ekor burung terbang dan dengan penuh kagum Jayin dan Syanti Dewi
melihat betapa mereka telah berhasil hinggap dan berdiri di atas tembok
pertama. Dengan sigap seperti dua ekor kucing saja, dua orang sakti itu kembali
bergerak meloncat ke atas ke tembok tingkat dua.
Tiba-tiba
kelihatan sinar api dari atas tembok tingkat empat dan terdengar ribut-ribut
para penjaga yang telah melihat bayangan mereka dan tentu saja para penjaga itu
mengira bahwa mereka adalah pihak musuh yang hendak menyelundup masuk.
Terdengar tanda bahaya dipukul dan di atas benteng muncul kepala banyak orang
yang menjenguk ke bawah.
Keributan
ini agaknya terlihat oleh pihak musuh. Segera tampak kesibukan di luar tembok
dan anak-anak panah mulai meluncur secara gencar dari luar tembok, ditujukan
kepada dua bayangan itu karena pihak pengepung maklum bahwa ada orang yang akan
menyelundup ke dalam benteng.
“Hati-hati,
Suheng. Aku menjaga serangan dari belakang!” Milana berseru dan pedangnya sudah
diputar cepat dan semua anak panah yang menyerang dari pihak musuh dapat
ditangkisnya dengan mudah. Sedangkan Bun Beng sendiri juga sudah cepat
menggerakkan kedua lengan bajunya untuk menangkis anak panah yang sudah datang
pula dari atas dan depan, yaitu dari pihak penjaga Bhutan! Mereka diserang dari
depan dan belakang!
“Sumoi,
cepat meloncat ke tingkat tiga!” Bun Beng berseru dan dengan pengerahan tenaga
ginkang-nya, dia sudah melayang ke atas diikuti oleh Milana yang memutar
pedangnya.
“Trang-tranggg...!”
Bun Beng
sudah berhasil sampai di atas tembok tingkat ketiga dengan Raja Bhutan di
gendongannya. Milana tetap menjaga di belakangnya dan karena kini datangnya
anak panah dari bawah amat lebat, puteri ini sibuk juga melindungi Raja yang
berada di punggung Bun Beng.
“Haiii...
para penjaga! Yang datang adalah raja kalian!” Bun Beng berteriak ke atas akan
tetapi karena di tingkat paling atas itu para penjaga gempar dan bising, maka
teriakan Bun Bung ini tidak terdengar nyata dan dari atas kini datang pula
serangan anak panah dan batu!
Dengan
tangkas Bun Beng menangkisi semua senjata itu, dan Raja Bhutan sendiri
menyumpah-nyumpah. “Betapa tololnya mereka!” dia memaki.
“Mereka
tidak tahu bahwa paduka yang datang, Sri Baginda. Biarlah saya merayap ke atas,
harap paduka berpegang kuat-kuat.”
“Naiklah,
Suheng. Aku akan melindungimu dari belakang.” Milana berkata. “Cepat, karena
serangan dari bawah makin gencar dan aku melihat mereka itu sudah keluar dari
tempat persembunyian mereka.”
Gak Bun Beng
tidak berani meloncat ke tingkat paling atas, karena selain tingkat itu tinggi,
juga di situ sudah siap para penjaga yang tentu akan menyerang dengan membuta
dan hal ini amat berbahaya. Maka dia lalu menggunakan sinkang-nya, dan mulailah
pendekar ini memanjat tembok itu seperti seekor cecak! Puteri Milana dengan
pedang di tangan tetap melindunginya dan menangkisi semua senjata yang meluncur
dari bawah, sedangkan para penjaga di atas menjadi bingung dan tidak dapat
melihat Bun Beng yang merayap mepet di tembok. Dari atas mereka itu hanya
menyerang Puteri Milana sehingga Sang Puteri harus memperlihatkan kehebatan
permainan pedangnya yang menangkisi hujan anak panah yang datang dari bawah dan
atas.
Ketika tiba
di tingkat paling atas benteng itu, Gak Bun Beng menghadapi ujung-ujung tombak
dan pedang yang sudah nampak dari bawah! Karena suara hiruk-pikuk para penjaga
di atas dan teriakan-teriakan para musuh di bawah, maka seruan Raja Bhutan
sendiri tidak terdengar oleh para penjaga.
Pada saat
itu terdengarlah bentakan-bentakan nyaring dari bawah. Puteri Milana terkejut
ketika melihat ada bayangan orang yang meloncat ke atas tembok tingkat pertama
dengan gerakan yang ringan dan gesit sekali, terus orang itu berloncatan ke
tingkat dua dan agaknya hendak mengejar Gak Bun Beng. Karena dia dihujani anak
panah dari atas dan bawah, dia tidak dapat mencegah orang itu yang kini dengan
loncatan-loncatan cepat telah mengejar Bun Beng yang masih merayap sambil
menggendong Raja Bhutan! Akhirnya Puteri Milana dapat juga memukul runtuh semua
anak panah dan cepat dia pun meloncat ke arah bayangan itu. Namun terlambat!
Bayangan
orang kurus itu telah melayang ke arah Gak Bun Beng yang masih merayap seperti
cecak sambil berseru, “Bunuh Raja Bhutan!”
Bun Beng
terkejut, maklum bahwa ada lawan menyerangnya sambil meloncat ke udara,
serangan yang ditujukan kepada tubuh Sang Raja di atas punggungnya. Maka dia
pun cepat menoleh dan pada saat itu dia mendengar teriakan Milana, “Suheng,
lemparkan beliau ke sini!”
Bun Beng
maklum akan bahaya serangan orang yang agaknya cukup lihai itu, maka tanpa
ragu-ragu lagi dia lalu memegang kedua lengan Raja Bhutan yang merangkul
lehernya, melepaskan rangkulan dan melemparkan tubuh Raja ke arah Milana. Raja
itu tentu saja terkejut sekali dan mengeluarkan keluhan panjang, karena kalau
tubuhnya sampai terjatuh ke bawah sana, tentu akan hancur lebur. Akan tetapi,
sepasang lengan yang kecil kuat, dengan tangan yang halus, menerima tubuhnya
dengan mudah dan tahu-tahu dia sudah berdiri di atas tembok tingkat tiga,
dipegangi oleh Puteri Milana. Tubuh Raja menggigil.
“Harap
paduka tenang...” Milana berkata dan pedangnya menyampok beberapa batang anak
panah.
Sementara
itu, orang kurus yang menyerang tadi telah disambut oleh dorongan tangan Bun
Beng.
“Dessss...!”
Begitu
tangan mereka bertemu, orang itu terpental dan terdengar dia mengeluarkan
lengking kematian yang mengerikan ketika tubuhnya terlempar ke bawah yang gelap
dan amat dalam itu. Bun Beng terpaksa melanjutkan usahanya merayap ke atas. Dia
dipapaki tombak dan pedang namun dengan mudah dia menangkis semua senjata itu
sehingga runtuh dan dia cepat berseru keras, “Kami adalah orang-orang sendiri!
Kami menghantar Sri Baginda naik ke benteng, harap bantu beliau naik!”
Mendengar
ini, barulah terkejut para penjaga. Tadinya mereka juga terheran-heran melihat
ada orang berani naik ke benteng seperti itu dan melihat betapa yang berusaha
naik itu diserang oleh anak panah musuh juga.
Gak Bun Beng
lalu meloncat turun lagi untuk menjemput Sri Baginda dan kini dari atas benteng
dihujankan senjata ke arah musuh yang menyerang dari bawah. Hujan anak panah
ini membuat serangan dari bawah mereda dan dengan mudah Bun Beng membawa Sri
Baginda ke atas tembok yang disambut dengan sorak girang oleh para penjaga.
Milana telah
meloncat turun disusul oleh Bun Beng yang sudah berhasil menyelamatkan Raja
Bhutan. Kini giliran Syanti Dewi dipondong oleh Milana, dan dilindungi oleh Gak
Bun Beng yang membantu Jayin naik pula ke tembok benteng. Berkat perlindungan
Bun Beng, semua anak panah dari bawah dapat diruntuhkan dan akhirnya mereka
semua berhasil tiba di atas benteng dengan selamat. Sorak sorai gemuruh
menyambut kedatangan Raja, puteri dan Panglima Jayin di atas benteng dan
bangkitlah semangat semua prajurit Bhutan, apa lagi setelah menyaksikan
kelihaian Puteri Milana dan Gak Bun Beng.
Malam itu
juga Sri Baginda lalu mengajak dua orang tamu agungnya itu berunding, dan
pimpinan bala tentara diserahkan kepada Puteri Milana yang memang ahli dalam
soal perang. Panglima Jayin menjadi pembantunya dan Milana lalu mengatur
bagaimana penjagaan harus dilakukan menghadapi pengepungan pihak musuh. Dia
juga minta kepada Panglima Jayin agar melepas mata-mata dan penyelidik untuk
mengetahui keadaan musuh, di bagian mana adanya pengepungan yang paling kuat
dan di mana pula yang paling lemah, berapa banyak adanya kekuatan musuh
dibandingkan dengan kekuatan sendiri.
Kerajaan
Bhutan adalah sebuah kerajaan yang beragama Buddha, maka banyak pendeta Buddha
yang bertugas di istana. Mereka ini oleh Milana dimanfaatkan untuk menghibur
para penduduk kota raja, dan juga semua laki-laki yang berada di kota raja
diharuskan ikut pula menjadi tentara suka rela, sedangkan yang wanita diharuskan
mengatur agar ransum yang terdapat di kota raja dapat dihemat pemakaiannya.
Pendeknya, segala persiapan untuk menghadapi musuh yang telah mengurung benteng
kota raja dipersiapkan dengan teliti oleh Puteri Milana dan diatur malam hari
itu juga.
Ternyata
berita bahwa Raja Bhutan dan puterinya secara luar biasa malam tadi dapat
menyelundup ke dalam kota raja, terdengar pula oleh Tambolon yang kehilangan
seorang pembantu cakap yang semalam tewas ketika berusaha menghalangi Bun Beng
dan raja liar ini menjadi marah bukan main. Dia sendiri lalu memimpin
pasukan-pasukannya, mendekati pintu gerbang utama dan berteriak-teriak
menantang perang kalau Raja Bhutan tidak mau menyerahkan puterinya. Tentu saja
Sang Puteri itu hanya untuk menjadi alasan saja, sedangkan tentu saja Tambolon
sebetulnya ingin menguasai Bhutan!
Dari atas
menara benteng, Puteri Milana dan Gak Bun Beng, juga Panglima Jayin dan para
panglima lain, memandang ke bawah. Mereka melihat bahwa Tambolon masih disertai
dua orang pembantunya yang setia, yaitu Si Petani Maut Liauw Ki, dan Si Siucai
Maut Yu Ci Pok, di samping ada pula di situ Hek-tiauw Lo-mo. Dan biar pun tidak
nampak, Milana dan Gak Bun Bung dapat menduga bahwa tentu guru dari Tambolon,
Nenek Durganini yang akhir-akhir ini selalu muncul membantu muridnya, ada pula
di antara barisan musuh itu.
Karena pihak
musuh menantang untuk mengadakan perang terbuka di luar tembok kota raja, tentu
saja pihak Kerajaan Bhutan tidak dapat menolak, maka Gak Bun Beng sendiri
bersama Panglima Jayin dan beberapa orang panglima memimpin pasukan keluar dari
pintu gerbang untuk menyambut musuh. Puteri Milana yang memimpin pertahanan itu
tetap berada di menara benteng untuk melihat keadaan dan mengatur kendali
gerakan barisan Bhutan dari tempat tinggi itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment