Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 26
Akhirnya
senja telah tiba. Biar pun di luar hutan itu orang masih dapat melihat keadaan,
akan tetapi di tengah hutan besar yang lebat itu, di mana pohon-pohon raksasa
dengan daun-daunnya yang lebat merupakan atap yang menghalangi sinar matahari
yang telah condong ke barat, sudah amat gelap sehingga tidak mungkin
melanjutkan perjalanan.
“Kita
berhenti dulu di sini...” Syanti Dewi berkata terengah-engah, sebagian karena
lelah memapah tubuh Tek Hoat, akan tetapi terutama sekali karena tegang takut
dikejar Tambolon.
Tek Hoat
menjatuhkan diri terguling, rebah di atas rumput. Syanti Dewi yang sudah lelah
itu lalu membuat api unggun dan tak lama kemudian dia sudah duduk berlutut di
dekat tubuh Tek Hoat yang rebah kelelahan.
“Dewi...
Syanti Dewi... mengapa engkau begini bersusah payah untukku...” Tek Hoat
mengeluh, hatinya terharu sekali.
“Janganlah
mengucapkan kata-kata seperti itu, Tek Hoat. Sudah berkali-kali engkau
menyelamatkan aku dengan taruhan nyawamu, apa artinya bantuanku ini selagi
engkau dalam keadaan sakit?”
Hening
sejenak. “Tujuh hari lamanya aku di kereta itu... dan selama itu engkau berada
di bilik kereta depan?”
Puteri itu
tersenyum dan mengangguk. Wajahnya memang sudah kelihatan merah oleh sinar api
unggun, sehingga kalau toh sepasang pipinya berubah merah pun tidak akan
kentara.
“Akan tetapi
mengapa? Mengapa engkau bersembunyi?”
“Engkau
tahu, Tek Hoat. Banyak pihak jahat ingin menghalangiku kembali ke Bhutan.
Setelah aku dilarikan oleh Bibi Puteri Milana dari istana, aku bertemu dengan
ayah angkatku, Jenderal Kao Liang. Aku diberi dua losin orang pengawal dan di
tengah jalan malah tertawan oleh Tambolon. Setelah engkau menyelamatkan aku dan
mengantarku ke rumah Perdana Menteri Su, aku lalu ditemukan dengan Paman
Panglima Jayin dari Bhutan. Agar perjalananku aman, maka aku lalu disuruh oleh
Paman Jayin agar bersembunyi di dalam kereta besar itu, dan tidak boleh
memperlihatkan diri kepada siapa pun juga. Bilik belakang itu adalah tempat
alat-alat keperluanku. Akan tetapi engkau muncul pula dan karena engkau telah
terluka ketika membantu kami, maka aku memerintahkan Paman Jayin untuk
menolongmu ke dalam bilik belakang. Ketika kau masih pingsan... aku merawatmu.
Akan tetapi sesudah engkau siuman dan aku lalu masuk kembali ke bilik depan.”
Jantung Tek
Hoat berdebar tegang ketika dia teringat akan semua pengalamannya di dalam
bilik kereta itu. “Dan aku... aku mengigau tentang dirimu, aku... aku
bernyanyi... menyebut-nyebut namamu... kau... kau mendengar semua itu...?”
Kembali
Syanti Dewi tersenyum dan mengangguk. Karena keadaan Tek Hoat itulah maka
mula-mula Syanti Dewi tertarik sekali, merasa kasihan dan timbul perasaan kasih
di dalam hatinya terhadap pemuda ini. Dalam keadaan tidak sadar pemuda ini
dengan jelas menyatakan cinta kasih yang mendalam terhadap dirinya dan hatinya
merasa terharu sekali.
“Kalau
begitu...” Tek Hoat tidak mampu melanjutkan.
“Mengapa,
Tek Hoat?”
“Kalau
begitu aku telah melakukan dosa besar terhadapmu, Syanti Dewi.”
“Hemm,
mengapa?”
“Engkau
seorang puteri yang agung, seorang puteri kerajaan yang mulia, seorang dara
yang cantik jelita dan berbudi mulia, sedangkan aku...”
“Kau adalah
penolongku berkali-kali, sejak kau menyamar sebagai tukang perahu.”
“Tidak, aku
adalah seorang yang jahat sekali, Dewi...”
“Lagi-lagi
kau merendah. Sikapmu itu sungguh-sungguh tak menyenangkan, Tek Hoat.
Penyesalan diri secara berlebihan tak ada gunanya sama sekali kecuali
mendatangkan perasaan muak kepada orang lain. Yang penting adalah menyadari
bahwa dirinya telah bertindak keliru. Kesadaran ini akan mendatangkan
perubahan, bukan hanya sekedar penyesalan kosong belaka!”
“Maaf, akan
tetapi kau... kau sungguh tidak tahu siapa aku?”
“Siapa
bilang aku tidak tahu siapa engkau, Tek Hoat? Aku malah tahu lebih banyak
tentang dirimu dari pada engkau sendiri! Dulu ketika engkau hendak meninggalkan
aku di istana Perdana Menteri Su, aku tak sempat lagi menceritakan hal ini.
Sesungguhnya, aku lebih tahu dari pada engkau sendiri tentang dirimu.”
Tek Hoat
memandang terbelalak heran. “Apa yang kau maksudkan, Dewi?”
Hati Syanti
Dewi terharu. Pemuda itu kini menyebutnya Dewi dan satu-satunya orang yang
menyebutnya demikian hanyalah Gak Bun Beng. Baginya ada persamaan antara pemuda
ini dengan Gak Bun Beng!
“Maksudku,
aku telah bertemu dengan ibumu yang bernama Ang Siok Bi! Dan aku telah
mendengar ibumu bicara dengan Bibi Puteri Milana sehingga terbukalah rahasia
yang agaknya belum kau ketahui sendiri tentang dirimu.”
Tentu saja
Tek Hoat terkejut bukan main dan bagaikan diserang ular dia bangkit duduk,
tidak peduli akan tubuhnya yang lemas sehingga hampir dia terguling. “Kau
berjumpa dengan ibuku? Di mana? Kapan? Dan apa yang dibicarakannya dengan
Puteri Milana?”
Syanti Dewi
tersenyum. Dia melihat gairah dan kerinduan membayang di mata pemuda itu ketika
menyebut ibunya dan giranglah hatinya menyaksikan ini karena dia tahu bahwa
pemuda ini mencinta ibunya.
“Sebelum aku
menceritakan semua itu, aku ingin tahu terlebih dahulu, apakah engkau mengenal
nama Gak Bun Beng?”
Tiba-tiba
wajah pemuda itu menjadi muram. “Tentu saja! Sampai mati pun aku tidak akan
melupakan nama itu!”
“Dan engkau
tadinya mengira dia sudah mati, bukan?”
“Benar, akan
tetapi aku girang bahwa dari Puteri Milana aku mendengar bahwa dia masih hidup.
Aku harus dapat mencarinya dan bertemu muka dengan dia!” Kata-kata ini
dikeluarkan dengan nada keras.
“Aku tahu,
engkau masih menganggap dia musuh besarmu. Untung terbuka rahasia itu sehingga
aku mengetahui, karena kalau tidak, dan engkau masih terus menganggap dia musuh
besarmu... hal itu... akan amat mendukakan hatiku, Tek Hoat. Ketahuilah bahwa
dia itu sesungguhnya bukanlah musuh besarmu, bahwa Gak Bun Beng adalah
semulia-mulianya manusia, seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang patut
dihormati dan dikagumi...”
“Dewi! Apa
maksudmu?”
“Dengarlah
baik-baik apa yang kudengar dari pembicaraan antara ibumu dan Bibi Milana.
Sebelum bertemu dengan Bibi Milana, Ibumu sendiri, Bibi Ang Siok Bi itu, juga
menganggap Gak Bun Beng sebagai musuh besarnya yang sudah mati. Akan tetapi
ternyata Gak Bun Beng belum mati, bahkan sama sekali bukan musuh besarnya.
Katakanlah lebih dulu, Tek Hoat, apa yang diceritakan oleh ibumu tentang ayahmu
dan tentang Gak Bun Beng?”
“Ibu
menyatakan bahwa ayahku bernama Ang Thian Pa dan bahwa ayahku itu dibunuh oleh
penjahat Gak Bun Beng yang juga telah berhasil dibunuh oleh Ibu. Dan ternyata
sekarang bahwa Gak Bun Beng masih hidup...”
“Dia sama
sekali bukan penjahat, melainkan seorang pendekar besar berhati mulia! Ibumu
dahulu salah duga, Tek Hoat, dan beginilah menurut percakapan antara ibumu dan
Puteri Milana. Dahulu di waktu masih gadis, ibumu telah diperkosa oleh seorang
penjahat muda yang dilakukan dalam gelap dan penjahat muda itu mengaku bernama
Gak Bun Beng karena Gak Bun Beng adalah musuh besarnya... ehhh, kenapa kau?”
Syanti Dewi terkejut melihat pemuda itu memegangi kepalanya.
“Tidak,
tidak apa-apa, teruskan!” Tek Hoat berkata. Kepalanya seperti dihantam palu
godam mendengar permulaan cerita itu, karena dia seolah-olah diejek dan
disindir, teringat akan perbuatannya sendiri yang melakukan segala kejahatan
menggunakan nama Gak Bun Beng pula!
“Nah, tentu
saja ibumu menganggap Gak Bun Beng sebagai musuh besarnya dan pada suatu hari,
bersama wanita-wanita lain yang menjadi korban pemuda jahat yang menyamar
sebagai Gak Bun Beng, ibumu dan beberapa orang wanita itu berhasil mengeroyok
Gak Bun Beng sampai pendekar itu terjerumus ke dalam jurang yang dalam dan
disangka mati. Ibumu lalu pergi dan tak pernah muncul kembali sehingga dia
tidak tahu bahwa Gak Bun Beng belum tewas. Di antara para pengeroyok itu
terdapat Bibi Milana. Bibi Milana akhirnya mengetahui bahwa Gak Bun Beng tidak
berdosa, dan penjahat yang sesungguhnya, telah tewas menebus dosanya. Namun
ibumu agaknya tidak atau belum tahu sehingga ketika melahirkan engkau, dia
hendak menanam bibit kebencian di hatimu terhadap Gak Bun Beng yang disangka
pemerkosanya.”
Dengan wajah
pucat sekali Tek Hoat memandang Syanti Dewi. Andai kata bukan puteri itu yang
bercerita seperti ini, bukan wanita yang dipujanya, dicintanya dan tentu saja
dipercayanya, tentu dia akan marah dan akan membunuh yang bercerita itu.
“Dewi...
Dewi... demi Tuhan...! Benarkah itu...?”
“Aku
mendengar sendiri, dan perlu apa aku membohongimu?”
“Lalu...
lalu bagaimana...? Lalu siapa orang itu? Siapa... pemerkosa Ibu dan... ayahku
itu...?”
“Dia bernama
Wan Keng In, putera tiri dari Pendekar Super Sakti sendiri. Jadi engkau masih
cucu tiri Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan engkau bukan she Ang, karena
itu she Ibumu melainkan she Wan.”
“Dan... dan
Ang Thian Pa... ahhh, bisa jadi dialah kakekku... bekas ketua Bu-tong-pai...
ahh, Ibuuu...!” Tek Hoat menjerit lalu terguling dan pingsan.
Tentu saja
Syanti Dewi menjadi sibuk sekali, mengguncang-guncang tubuh pemuda itu dan
memanggil-manggil.....
***************
Panglima
Jayin dan para anak buahnya, juga pasukan yang baru tiba dan berhasil
menyelamatkan mereka, dibantu pula oleh See-thian Hoat-su dan Teng Siang In,
setelah Tambolon dan anak buahnya melarikan diri, bingung karena Puteri Syanti
Dewi dan Tek Hoat tidak berada di dalam kereta!
“Celaka,
kita kena diperdaya musuh!” Jayin berseru dan dia kemudian menyebar
orang-orangnya untuk mencari ke sana-sini.
“Hemmm,
nenek gila itu sungguh keterlaluan. Tidak salah lagi, tentu mereka telah
berhasil menawan Sang Puteri dan pemuda itu. Pemuda itu terluka hebat, tentu
tidak mampu melawan. Awas kau, Durganini, sekali ini aku tidak akan
mengampunimu kalau sampai terjadi apa-apa dengan Sang Puteri!” See-thian
Hoat-su membanting-banting kakinya.
“Suhu,
mengapa tidak semenjak tadi-tadi kau merobohkan nenek itu dan baru sekarang
mengancam setelah dia pergi dan berhasil menculik Sang Puteri?” Muridnya
menegur dan kakek itu hanya menunduk dan menarik napas panjang. Harus diakuinya
bahwa dia lemah terhadap bekas isterinya itu sehingga kini mengakibatkan mala
petaka.
“Betapa pun
juga, kita harus berusaha mencari dan mengejar mereka,” Panglima Jayin yang
merasa khawatir sekali akan keselamatan puteri junjungannya berkata.
Tiba-tiba
terdengar Siang In berseru nyaring, “Heiiiii...! Kiranya kau laki-laki genit
juga berada di sini...!”
Semua orang
menengok dan ternyata yang muncul adalah Suma Kian Bu! Seperti telah kita
ketahui, baik Kakek See-thian Hoat-su mau pun Panglima Jayin dan empat orang
pembantunya pernah berkenalan dengan Suma Kian Bu, bahkan sama-sama menjadi
tawanan Tambolon, kemudian sama-sama melarikan diri di atas rakit dan melawan
anak buah Tambolon. Tentu saja kemunculan pemuda perkasa ini amat menggirangkan
semua orang. Akan tetapi Siang In yang girang sekali bertemu kembali dengan
pemuda ini, tidak memberi kesempatan kepada orang-orang lain untuk menyambut
Kian Bu.
Dia sudah
lari menghampiri Kian Bu dengan kegembiraan meluap dan tak terbendung lagi dia
memegang lengan tangan Kian Bu sambil bicara dengan asyik, sama sekali tidak
memberi kesempatan kepada Kian Bu untuk bernapas lagi! Siang In teringat akan
pertemuannya yang pertama dengan Kian Bu, maka sambil tertawa cekikian menutupi
mulutnya dia kemudian menceritakan dengan suara nyerocos tiada hentinya tentang
pengalamannya, betapa dia menjadi murid See-thian Hoat-su dan lain sebagainya.
“Kau ingat
pertemuan kita dahulu? Wah, aku sudah kangen sekali kepada Pek-liong, kudaku
yang hebat itu. Engkau menyebutnya keledai, ya? Salah! Dia itu kuda, kuda
peranakan keledai, jadi masih kuda juga namanya! Dan aku sekarang sudah lebih
pandai meniru gayamu dahulu itu! Hayo kita ke sana, kuperlihatkan kepadamu!”
Siang In menowel dagu Kian Bu begitu saja di depan banyak orang lalu menarik
tangan Kian Bu pergi dari situ.
Semua orang
tersenyum-senyum dan See-thian Hoat-su tertawa bergelak melihat kepolosan sikap
dara remaja yang masih kekanak-kanakan itu. Wajah Kian Bu menjadi merah sekali.
Pemuda ini menyeringai dan serba salah, akan tetapi kalau dia berkeras menolak,
dia merasa tidak tega. Dara itu begitu polos, begitu jenaka dan kekanak-kanakan
sehingga di balik semua lagaknya itu tidak tersembunyi maksud-maksud tertentu,
melainkan wajar terbawa oleh kegembiraannya. Maka dia pun membiarkan dirinya
ditarik menjauhi semua orang sehingga tidak tampak lagi oleh mereka.
“Nah,
kaulihat. Bukankah begini lagak wanita genit memikat itu?” Siang In mulai
beraksi, mengitari tubuh Kian Bu, berlagak, mengerling, tersenyum simpul,
manisnya bukan main, melebihi orang yang ditirunya sendiri, yaitu Mauw Siauw
Mo-li. Dia menowel, menyodok, mencubit dengan wajah menengadah, begitu
menantang, begitu menggoda agar Kian Bu memuji kepandaiannya.
Akan tetapi,
dara itu sama sekali tidak tahu bahwa yang dihadapinya sekarang ini bukanlah
Kian Bu yang dahulu lagi! Bukan Kian Bu yang masih hijau dan kekanak-kanakan
pula. Kian Bu yang sekarang adalah seorang laki-laki bukan kanak-kanak lagi,
sudah digembleng dalam buaian asmara dan permainan cinta oleh Lauw Hong Kui si
Siluman Kucing, sudah diperkenalkan dengan madunya asmara yang memabokkan,
sudah pernah menghamba kepada nafsu birahi.
Kini,
melihat bibir yang manis, merah merekah itu setengah terbuka menantang sekali,
tersenyum simpul melihatkan sedikit gigi putih dan ujung lidah, melihat cuping
hidung yang mancung itu agak kembang-kempis dan mata itu menyambar-nyambar
dengan kerlingan memikat, dada yang mulai membusung itu mengalun naik turun,
pinggang yang ramping berliuk dan pinggulnya bergerak-gerak memutar ke kanan
kiri, dua kuncir rambut yang hitam panjang itu menari-nari di belakang
pinggulnya saking panjangnya, jantung Kian Bu sudah berdebar seperti mau pecah.
“Kau...
menggemaskan...!” Dia berbisik dan ketika dara itu dengan sikap manja
dibuat-buat seperti hendak merangkul leher dengan kedua lengan, menyentuh
pundaknya, dia segera menyergap, merangkul dan mencium mulut itu dengan
bibirnya, dikecupnya dengan penuh kemesraan dan penuh semangat, sampai lama
tidak dilepaskannya.
Siang In
gelagapan seperti seekor anak ayam jatuh ke air, tidak dapat bernapas dan
meronta-ronta, dari kerongkongannya hanya keluar suara ah-ah-uh-uh karena
mulutnya tersumbat, kedua kakinya menyepak-nyepak seperti seekor kuda marah.
Setelah akhirnya Kian Bu melepaskannya, dia memandang pemuda itu dengan
sepasang mata yang terbelalak lebar, seperti mata seekor kelinci ketakutan,
kemudian tangan kanannya menyambar ke depan.
“Plak-plak-plak!”
Tiga kali pipi kiri Kian Bu ditamparnya sampai ada tapak tangan merah di atas
pipi itu.
“Kau...
kau... jahat! Kau menjijikkan...!” Gadis itu lalu menangis dan membalikkan
tubuh lagi sambil meludah cah-cih-cuh ke kanan kiri!
Tentu saja
semua orang terkejut dan terheran-heran melihat dara itu berlari keluar dari
gerombolan pohon sambil menangis, kemudian menubruk dan merangkul gurunya
sambil menangis tersedu-sedu.
“Ehhh, ada
apa? Apa yang terjadi?” See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi gadis itu hanya
membanting-banting kedua kakinya tanpa mau memberi tahu dan terus menerus
menangis.
“Kenapa,
Siang In? Dan di mana Suma Kongcu?” tanya pula gurunya, akan tetapi gadis cilik
itu hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan keras dan masih terus menangis, menyembunyikan
mukanya di baju suhu-nya.
Jayin
mengejar ke tempat dari mana gadis itu tadi lari keluar, akan tetapi dia tidak
melihat Kian Bu lagi. Kemudian dia memperoleh keterangan dari seorang anak
buahnya bahwa pemuda itu setelah mendengar keterangan darinya tentang semua
peristiwa yang baru terjadi, bahwa mungkin Syanti Dewi dan Tek Hoat dilarikan
oleh Tambolon dan anak buahnya karena Tek Hoat dalam keadaan terluka hebat,
lalu pergi dan mengatakan hendak mengejar dan mencari mereka!
Jayin lalu
kembali dan menceritakan hal ini kepada See-thian Hoat-su. Setelah Siang In
mendengar bahwa Kian Bu telah pergi, barulah dia menghentikan tangisnya dan dia
lalu duduk termenung-menung menunjang dagunya, dengan mulut cemberut dan
bersungut-sungut, kadang-kadang menelan ludah.
Sementara
itu, Kian Bu cepat lari dari tempat itu. Dia merasa malu dan menyesal sekali
mengapa dia sampai lupa diri dan berbuat seperti itu terhadap seorang dara
remaja seperti Siang In! Dia merasa serba salah, maka dia pergi dari situ,
bertemu dengan seorang pembantu Jayin dan menanyakan urusan. Ketika mendengar
bahwa Syanti Dewi terculik musuh, dia amat terkejut dan khawatir sekali. Betapa
pun juga, cintanya terhadap Puteri Bhutan itu masih melekat di kalbunya, bahkan
luka oleh penolakan puteri itu masih belum sembuh.
Diam-diam
dia harus mengakui bahwa luka itulah yang membuat dia mudah tergoda oleh Lauw
Hong Kui. Andai kata cinta kasihnya diterima dan dibalas oleh Syanti Dewi,
jangankan baru seorang Hong Kui, biar ada tujuh bidadari turun dari kahyangan
untuk menggodanya, tentu dia tidak akan runtuh! Dan godaan Hong Kui sebagai
akibat patah hatinya terhadap Syanti Dewi itu mendatangkan akibat yang hebat,
membuat dia lemah menghadapi wanita sehingga di depan Siang In tadi pun dia
tidak dapat menahan diri!
Kini, Syanti
Dewi yang dicintanya diculik orang! Dia lalu menyusup-nyusup ke dalam hutan
yang lebat itu karena dia menduga bahwa agaknya menghadapi pasukan besar
Bhutan, Tambolon tentu membawa lari puteri itu dan bersembunyi di dalam hutan
lebat ini.
Hutan itu
makin lebat dan makin gelap saja. Malam itu terpaksa Kian Bu bermalam di atas
pohon besar. Pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi barulah dia
terbangun. Tubuhnya terlalu lelah sehingga tidur di atas pohon itu terasa amat
nikmat, membuat dia pulas sampai hampir siang baru terbangun oleh suara yang
terdengar di bawah pohon. Ketika dia memandang ke bawah, dapat dibayangkan
betapa kagetnya melihat Tambolon dan nenek hitam yang lihai itu berjalan
perlahan dan menengok ke kanan kiri.
“Tidak salahkah
kau, Tambolon?” Terdengar nenek itu mengomel. “Awas, akan kujewer telingamu
kalau puteri itu tidak berada di sini.”
“Tidak
mungkin salah, Subo. Di dalam keributan, puteri itu menghilang. Kemana lagi
kalau tidak ke hutan lebat ini, dan tadi kita menemukan jejak mereka dan
sedikit darah. Agaknya puteri itu lari bersama Tek Hoat yang sudah terluka.”
“Hehh,
pemuda itu memang hebat!”
“Tapi sudah
terluka parah, Subo. Terkena guratan kuku Subo dua kali, mana bisa dia bertahan
hidup? Dan masih terkena pukulan dan tendangan. Andai kata dia belum mampus
pun, tentu tidak akan mampu melawan lagi.”
Mereka
melanjutkan perjalanan, menyusup-nyusup perlahan-lahan sambil memandang ke
kanan kiri. Dua orang itu tidak tahu betapa diam-diam Kian Bu membayangi mereka
dari jauh dan dengan hati-hati sekali. Kian Bu berani bergerak kalau kedua
orang itu bergerak sehingga suara keresekan kaki mereka menginjak daun-daun
kering menyembunyikan suara berisik dari kakinya sendiri. Kalau mereka
berhenti, dia pun cepat berhenti
Tiba-tiba
nenek itu berhenti dengan mendadak. “Aku mendengar suara orang!” bisiknya.
Tambolon terkejut, memasang telinga, akan tetapi tidak mendengar apa-apa.
“Tidak ada
suara, Subo.”
“Tolol! Tadi
aku mendengar, suaranya dari belakang.”
Tambolon
membalik dan memandang ke belakang. Sunyi-sunyi saja. Diam-diam dia mengomeli
subo-nya yang dianggapnya sudah pikun. Mana mungkin ada orang di belakang?
Kalau ada tentu sudah mereka lewati dan mereka lihat tadi.
“Tidak ada
siapa-siapa, Subo. Mari kita lanjutkan. Aku dapat menduga ke mana mereka
pergi.”
“Ke mana?”
“Aku sudah
mengenal betul hutan ini. Satu-satunya sumber air di hutan ini adalah di depan,
di bawah pohon pek yang besar. Dan kalau Tek Hoat terluka parah, tentu mereka
membutuhkan air. Agaknya ke sanalah mereka.”
“Benarkah?
Jangan salah, Tambolon, aku sudah gelisah, duri-duri ini tidak enak sekali
mencakar-cakar kaki!” nenek itu mengomel lagi.
Diam-diam
Kian Bu makin berhati-hati. Nenek ini boleh jadi sudah pikun, akan tetapi
ternyata masih memiliki kepekaan seorang ahli silat tinggi yang walau pun tidak
mendengar dengan telinganya, mampu menangkap dengan kepekaannya. Kembali dia
mengikuti sampai agak jauh, makin lama makin mendalam di hutan yang amat lebat.
“Ssssttt...!”
Tiba-tiba Tambolon mengeluarkan suara desis ini.
Mereka
berdua mendekam dan Tambolon menuding ke depan. Dari jauh Kian Bu melihat hal
ini, maka dia cepat mendaki pohon besar, tidak berani meloncat, khawatir
kalau-kalau melanggar daun kering. Dia mendaki tanpa mengeluarkan suara dan
dari atas dia melihat ke arah yang ditunjuk oleh Tambolon. Jantungnya berdebar
tegang.
Tak salah
lagi, wanita cantik jelita yang menuruni jalan menurun ke arah sumber air itu,
yang pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan namun masih tampak luar biasa
cantiknya, adalah Syanti Dewi yang dicari-carinya. Dara bangsawan itu menuruni
jalan berbatu yang licin sambil membawa sebuah periuk air butut dari tanah,
sama sekali tidak tahu bahwa ada bahaya mengancam di belakangnya.
Tentu saja
Tambolon menjadi girang sekali melihat Puteri Bhutan ini. Puteri jelita ini merupakan
orang yang sangat berharga baginya, karena kalau puteri ini berada di
tangannya, seakan-akan di dalam tangannya dia memegang kekuasaan atas Raja
Bhutan. Maka dia lalu berjalan berindap-indap menuruni jalan itu, lupa kepada
gurunya yang ditinggalkan begitu saja dan Nenek Durganini yang pikun itu telah
mulai melenggut dan mengantuk di tempatnya karena dia memang sudah lelah
sekali.
Bagaikan
seekor harimau yang mengintai dan mendekati calon mangsanya, Tambolon
berjingkat-jingkat mendekati, kemudian mengambil ancang-ancang dan
diterkamnyalah Puteri Syanti Dewi yang sedang mengambil air dengan periuk butut
itu.
“Bressss...!”
“Aihhhh...!”
Yang menjerit itu adalah Syanti Dewi ketika tiba-tiba dia mendengar gerakan
orang dan ketika menoleh dia melihat Tambolon menubruknya.
Akan tetapi
pada saat itu dari samping juga meloncat seorang pemuda yang bukan lain adalah
Suma Kian Bu sehingga bertemulah pemuda ini dengan Tambolon di tengah udara.
Tubuh Tambolon terbanting ke samping dan raja liar ini terkejut bukan main
ketika melihat bahwa yang barusan menghalanginya adalah pemuda tampan yang
sudah diketahuinya amat lihai itu.
“Keparat,
berani engkau menghalangiku?” bentaknya.
“Tambolon,
manusia kejam! Sekali ini aku akan membunuhmu!” bentak Suma Kian Bu.
“Bu-koko...!”
Syanti Dewi berseru girang ketika dia mengenal pemuda itu, akan tetapi dia
khawatir sekali. Cepat diraihnya periuk yang sudah terisi air itu dan dia
menjauhkan diri dari mereka yang sudah saling serang dengan dahsyatnya itu.
“Syanti
Dewi, kau larilah cepat...!” Kian Bu berseru sambil mengelak ketika pedang
Tambolon menyambarnya, dan secepat kilat dia menghantam dengan pengerahan
Swat-im Sinkang yang amat dingin.
Tambolon
terkejut, tidak berani menerima pukulan yang dahsyat dan berhawa dingin itu,
mengelak sambil menyabetkan pedangnya dari samping, juga menggerakkan tangan
kirinya mencengkeram. Namun kembali Kian Bu dapat mengelak dengan mudah karena
baginya, semua gerakan Tambolon masih terlampau lambat.
Dengan marah
pemuda itu terus mainkan ilmu silat tangan kosong yang amat tinggi mutunya.
Sebagai putera tersayang dari Puteri Nirahai, tentu saja dia banyak mewarisi
ilmu-ilmu silat tangan kosong yang banyak dikenal ibunya. Sebentar dia mainkan
Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti), kemudian dirubah dengan jurus-jurus dari
Pat-mo-kun (Silat Delapan Iblis) yang telah digabung dengan Pat-sian-kun (Silat
Delapan Dewa).
Dengan
ilmu-ilmu silat tinggi yang diubah-ubah ini, biar pun dia memegang pedang,
Tambolon yang kasar itu menjadi bingung dan beberapa kali dia kena ditendang
dan digampar, dan hanya mengandalkan tubuhnya yang kekar dan kebal itu saja
maka dia masih belum roboh. Akan tetapi beberapa kali tamparan tangan Kian Bu
yang mengandung Swat-im Sinkang membuat dia menggigil dan jerilah raja liar
ini.
“Subo,
tolong...! Subo...!”
Akan tetapi
nenek itu tidur mendengkur dengan mulut terbuka, giginya ompong semua sehingga
ilarnya tidak ada yang menahan lagi, mengalir turun melalui ujung bibirnya.
“Suboooo...!”
Tambolon berteriak.
“Desss...!”
Tubuhnya
terpental dan terguling-guling terkena tendangan Kian Bu dan raja liar ini
terus sengaja menggulingkan dirinya ke dekat subo-nya, tidak peduli pakaiannya
sudah menjadi kotor semua.
“Subo...
Subo... bangun, bangun..., tolonglah aku!” Sekarang ia mengguncang-guncang
tubuh subo-nya.
“Aaaahhhh,
plak-plak! Aduh...!”
Memang
sedang sialan Tambolon sekali ini. Karena terkejut dibangunkan secara keras,
Nenek Durganini terbangun dalam keadaan bingung dan tanpa memilih bulu lagi
kedua tangannya menampar sehingga kedua pipi Tambolon kena ditampar sampai
bengkak-bengkak!
“Subo, ini
aku...! Itu di sana barulah musuhku...!” Tambolon berteriak sambil memegangi
mukanya yang bengkak dan terasa nyeri bukan main. Hampir copot giginya karena
tamparan nenek itu.
“Apa...?
Heeii..., kaukah itu? Siapa? Mana...?” Nenek itu masih juga bingung karena
semangatnya masih tertinggal di luar setengahnya.
“Itu dia
musuh kita, Subo. Bunuhlah dia!” Tambolon menuding.
Kini Nenek
Durganini baru dapat melihat Kian Bu. Timbullah kemarahannya karena dia merasa
terganggu tidurnya yang amat menyenangkan tadi, terbongkok-bongkok dia lalu
menghampiri Kian Bu.
“Keparat,
kau berani mengganggu tidurku, ya? Kau sudah bosan hidup barangkali?!” Nenek
itu menggerakkan tongkatnya.
“Wirrr...
siuuut...!” Tongkat itu menghantam ke arah kepala Kian Bu.
Pemuda ini
sudah mengerti bahwa nenek ini amat lihai dan pandai ilmu sihir, maka dia cepat
menangkis dengan lengannya sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kiang.
“Plakkk!”
“Aihhh...
dingin... dingin bukan main...!” Nenek itu menggigil, kemudian dia
berkemak-kemik dan melontarkan tongkatnya. “Coba kau lawan ini, orang muda yang
banyak tingkah!”
Suma Kian Bu
sudah tahu bahwa nenek ini adalah seorang ahli sihir, maka dia sudah
mengerahkan sinkang-nya. Ayahnya sendiri adalah seorang yang terkenal dengan
julukan Pendekar Siluman, memiliki kekuatan gaib, akan tetapi kekuatan gaib
ayahnya itu bukanlah ilmu yang dapat diturunkan kepada orang lain, melainkan
kekuatan pembawaan yang tidak dapat diajarkan. Namun, sebagai seorang putera
pendekar sakti, tentu saja dia tahu bahwa dengan pengerahan sinkang dia dapat
melawan pengaruh sihir.
Dia sudah
mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi ternyata dia masih kalah kuat dan
terpengaruh juga. Tongkat yang dilontarkan itu tiba-tiba berubah menjadi seekor
naga hitam yang mulutnya mengeluarkan api dan matanya mencorong menakutkan.
Kalau orang lain, tentu sudah lemas dan tidak berani melawan. Akan tetapi Kian
Bu, biar pun kalah kuat dan matanya masih melihat tongkat sebagai naga, sama
sekali tidak menjadi gentar dan dia menyambut terkaman naga itu dengan hantaman
kedua tangannya yang mengandung tenaga Hwi-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api)
di tangan kanan dan tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju) di tangan
kiri.
“Blarrrr...
darrrrr...!”
Bukan main
hebatnya gabungan dua tenaga ini yang merupakan inti dari ilmu orang-orang
Pulau Es. Biar pun naga itu hanyalah jadi-jadian dan hasil ilmu sihir dari
Nenek Durganini, namun karena nenek itu tidak kuat menghadapi penggabungan
tenaga sakti itu, naga itu lenyap dan ternyata tongkat hitam itu telah
terbanting ke atas tanah dalam keadaan patah-patah!
“Aihhhh...!”
Nenek itu menjerit dengan suara tinggi sekali hingga terdengar amat tajam
seperti mengiris jantung. “Bocah lancang..., lihat ini...!”
Kian Bu yang
menjadi besar hati karena melihat pukulannya memusnahkan ilmu sihir tadi
kemudian memandang dan inilah kesalahannya. Dia disuruh memandang dan dia
memandang, maka seketika dia terkejut sekali karena melihat nenek itu seperti
bukan lagi Nenek Durganini, melainkan Puteri Nirahai, ibunya sendiri!
“Ibu...!”
Dia berteriak, menggosok-gosok matanya.
“Hi-hi-hik,
aku memang ibumu. Ke sinilah, Nak...!”
Kian Bu lari
menghampiri.
“Desss...!”
Pemuda itu
terpelanting dan kepalanya terasa pening ketika dia menerima hantaman tangan
kurus yang bertenaga mukjijat itu. Untung dia tadi dalam kagetnya karena
‘ibunya’ memukul, masih sempat miringkan kepalanya sehingga yang terkena hanya
tengkuknya, bukan kepalanya.
Kian Bu
kaget dan bingung. Mengapa ibunya memukulnya sedemikian rupa? Dia memandang dan
masih saja ibunya yang berdiri di situ.
“Ibu...!”
“Hayo
berlutut kau!” Ibunya berkata dan Kian Bu berlutut.
“Subo,
pergunakan pedangku!” Tambolon berteriak dan melemparkan pedangnya yang
diterima oleh Nenek Durganini yang oleh Kian Bu masih kelihatan sebagai ibunya
itu. Pemuda ini bingung. Mengapa Tambolon menyebut ibunya subo?
Pada saat
itu, tiba-tiba turun hujan dari atas langit. Memang sejak tadi cuaca sudah
mendung dan beberapa air hujan pertama menimpa kepala Kian Bu.
“Cessss...!”
Dingin
sekali rasanya air hujan itu menimpa kepalanya dan mata Kian Bu terbelalak.
Kiranya yang disangka ‘ibunya’ itu adalah Nenek Durganini yang buruk dan yang
kini sudah mengangkat pedang hendak membacok kepalanya. Secara otomatis Kian Bu
mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang dan sambil melompat dia mengirim pukulan.
“Blarrrrr...!”
Pedang di
tangan nenek itu terpental dan nenek itu sendiri terhuyung ke belakang. Kian Bu
meloncat ke belakang dan siap menghadapi dua orang lawannya itu. Sementara itu,
hujan turun dengan derasnya. Dan tiba-tiba nenek itu menangis.
“Aduhh...
hu-hu-hu... celaka... Tambolon... Tambolon...! Mana payung? Mana payung? Wah,
aku bisa masuk angin kehujanan... huuuuhhh, bisa kumat penyakit tulangku...
hu-huuu-huuhhh...” Terseok-seok nenek itu lari mencari tempat untuk meneduh, di
bawah sebatang pohon besar!
Suma Kian Bu
tidak memperhatikan guru dan murid itu lagi. Dia mencari-cari dengan pandang
matanya, kemudian dia lari mengejar ke arah larinya Syanti Dewi dengan hati
penuh kekhawatiran terhadap dara bangsawan itu. Hujan masih turun dengan
derasnya dan akhirnya dia melihat sebuah kuil bobrok di tengah-tengah hutan.
Cepat-cepat dia menghampiri kuil rusak itu dan berindap-indap masuk, lalu dia
cepat menyelinap dan bersembunyi di balik pilar. Apa yang dilihatnya?
Di sana, di
sebelah dalam kuil tua itu, dilihatnya Tek Hoat rebah terlentang, agaknya
menderita sakit. Pundak dan lehernya dibalut, dan Syanti Dewi dengan sikap
mesra dan penuh kasih sayang sedang memberi minum kepada pemuda itu!
“Dewi... ah,
kau bilang Tambolon dan Durganini...? Ahh... aku harus melawan mereka... aku
harus melindungimu...” Terdengar Tek Hoat berkata dan pemuda itu memaksa hendak
bangkit.
Akan tetapi
Syanti Dewi memegang pundaknya. “Jangan, Tek Hoat, engkau baru saja sembuh,
tenagamu belum lagi pulih, mana mungkin engkau melawan mereka? Sama dengan
membunuh diri. Biarlah, kita bersembunyi di sini. Kalau Thian menghendaki,
mereka tentu tidak akan mampu menemukan kita. Kalau memang dikehendaki bahwa
kita akan mati di tangan mereka, biarlah kita mati bersama...”
Penglihatan
dan pendengarannya di waktu itu seperti ujung pedang tajam meruncing
menusuk-nusuk jantungnya. Kian Bu menjadi makin patah hati. Kiranya Syanti Dewi
menolak cintanya karena puteri itu mencinta Tek Hoat! Dia lalu keluar lagi dan
lari ke tempat tadi. Tidak! Syanti Dewi tidak akan dapat diketemukan mereka!
Tidak seorang pun di dunia ini boleh mengganggu kebahagiaan puteri itu.
Dilihatnya
nenek itu masih mengeluh panjang pendek kehujanan di bawah pohon dan Tambolon
sedang duduk bersila mengumpulkan tenaga dan luka-lukanya akibat pertandingan
berturut-turut melawan orang-orang muda yang perkasa, yaitu melawan Tek Hoat
kemudian menghadapi Kian Bu tadi.
“Iblis keji,
kalian harus mampus!”
Kian Bu
berteriak seperti orang gila karena dia dilanda kekecewaan, patah hati yang
membuat dia marah bukan main, apa lagi dianggapnya dua orang ini mengancam
keselamatan Syanti Dewi. Dengan terjangan kilat dia membuat Nenek Durganini dan
Tambolon yang tidak menduga-duga itu terlempar ke belakang dan
terguling-guling. Melihat kedahsyatan pemuda ini, Tambolon dan Nenek Durganini
menjadi jeri dan mereka lalu melarikan diri tunggang langgang.
Tadinya
Tambolon hendak melawan, mengandalkan gurunya. Akan tetapi nenek itu sudah
habis semangatnya bertempur tertimpa hujan basah kuyup, seperti batang kering
tertimpa hujan, menjadi lemas dan dia hanya mengomel panjang pendek sambil
melarikan diri pontang-panting bersama muridnya, meninggalkan hutan itu
jauh-jauh sambil berteriak-teriak memanggil anak buah mereka.
Kian Bu
tidak mengejar. Sejenak pemuda yang patah hati ini berdiri tegak seperti
patung, tidak peduli akan turunnya hujan deras yang menyiram tubuhnya. Lalu
dengan langkah gontai dia bergerak, tersaruk-saruk dan pergi tanpa tujuan
tertentu. Hanya satu hal yang terasa di dalam dadanya, hatinya tertekan hebat.
Tidak dipedulikan pula kulit-kulitnya lecet akibat pertempuran dan akibat
duri-duri runcing merobek celana di pahanya. Pahanya berdarah, dibiarkannya
saja darah bercampur air hujan, seolah-olah darah itu mengucur dari dalam
hatinya. Semangatnya melayang-layang dan dia merasa kesedihan yang luar biasa
menguasai hatinya, membuat dua butir air matanya keluar dan bercampur dengan
air hujan mengalir terus ke dagunya.
Kilat
menyambar-nyambar dan hujan yang turun deras itu menimbulkan suara aneh,
seperti bisikan, seperti nyanyian, mungkin terdengar riang gembira bagi yang
sedang bersuka, namun bagi Kian Bu terdengar amat menyedihkan.
Bukanlah
cinta kasih kalau menimbulkan duka dan kecewa. Bukanlah cinta kasih kalau
merupakan pengejaran nikmat dan suka. Bukan cinta kasih kalau mengandung dendam
dan benci, marah, iri dan dengki. Hati yang patah bukanlah karena cinta,
melainkan karena tidak tercapai apa yang diinginkannya, karena kecewa, karena
itu bukanlah cinta namanya yang menimbulkan hati yang patah dan luka. Lalu
apakah cinta kasih itu? Kalau kesemuanya itu tidak ada di dalam batin, kalau
kita bebas dari semua itu, bersih dari semua itu, bukan dibebaskan atau
dibersihkan, melainkan bebas karena semuanya itu sudah diinsyafi benar-benar,
di dalam kebebasan itulah cinta kasih baru mungkin ada.....
****************
“Paman,
kenapa engkau meninggalkan aku?” Ceng Ceng menegur Topeng Setan pada saat
akhirnya dia dapat menyusul orang itu.
Topeng Setan
diam saja, tidak menjawab, melainkan menarik napas panjang dan melangkah terus
dengan lebar. Karena kakinya panjang langkahnya pun lebar sehingga sibuklah
Ceng Ceng harus mengimbangi kecepatannya. Satu langkah dari kaki Topeng Setan
berarti dua langkah dari Ceng Ceng, kadang-kadang malah tiga langkah karena
langkahnya kecil-kecil.
“Paman,
kenapakah? Apakah Paman marah kepadaku?” Ceng Ceng bertanya lagi, kini dengan
khawatir dia memegang lengan Topeng Setan.
Mereka sudah
pergi jauh dan tiba di sebuah tempat sunyi. Topeng Setan berhenti dan memandang
Ceng Ceng, agaknya sukar untuk mengeluarkan kata-kata. Kemudian dia menjawab,
“Bagaimana aku bisa marah kepadamu, Ceng Ceng? Tidak, aku hanya ingin
meninggalkanmu, karena aku insyaf bahwa tempatmu di sanalah, bersama mereka
itu. Engkau seorang gadis terhormat, seorang gadis perkasa, engkau tidak
semestinya bersama dengan aku.”
“Aih, Paman,
mengapa? Bukankah selama ini kita bersama-sama? Kita bersusah payah bersama,
menghadapi maut bersama dan engkau... engkau telah melakukan segala itu
untukku? Mana mungkin aku dapat kau tinggalkan begitu saja. Tidak, ke mana pun
engkau pergi, aku ikut, Paman. Aku tidak mau tinggal dengan siapa pun juga.”
“Eh, aku
mendengar tadi kau... kau hendak diambil mantu oleh jenderal tadi...”
“Jenderal
Kao? Ah, dia itu orang yang jujur dan terbuka. Mungkin dia hanya berkelakar
saja.”
Tiba-tiba
Topeng Setan memegang lengan gadis itu. “Ceng Ceng, tahukah kau siapa putera
sulung jenderal itu?”
“Entah, aku
tidak tahu dan aku tidak mau tahu! Apakah aku ini seekor anjing, kucing atau
kuda saja mau dijodohkan secara demikian mudah dengan orang yang tak pernah
kulihat? Tidak, aku tidak sudi, biar pun dia itu putera Jenderal Kao yang
kuhormati dan kusayang itu. Dan aku tidak mau berpisah dari engkau, Paman.”
“Ehhh...?
Aku tidak mempunyai tempat tinggal, aku orang miskin dan perantau yang
sengsara, masa engkau seorang gadis muda akan menjadi seorang terlantar seperti
aku?”
“Tidak! Mari
kuajak kau ke barat, Paman. Kita ke Bhutan. Puteri Syanti Dewi juga sudah
pulang ke Bhutan, dan aku adalah adik angkatnya. Setidaknya, di sana aku masih
mempunyai rumah peninggalan kakekku. Marilah kita ke sana, Paman...”
“Dan
bagaimana dengan... dia...?”
“Dia siapa?”
“Musuh
besarmu!”
“Ohhh...,
dia? Kalau aku dapat bertemu dengan dia, kubunuh dia!”
“Kalau tidak
bertemu?”
“Sudah saja,
kuanggap dia sudah mampus.”
“Ceng Ceng,
benar-benarkah engkau tidak dapat menerima uluran cinta kasih dari Pangeran
Yung Hwa?”
Ceng Ceng
menggeleng kepala. “Aku sudah tidak berharga lagi, dan sudah kuceritakan
kepadamu, Paman. Aku mau hidup sendirian saja, ah, maksudku dengan Paman kalau
Paman sudi menganggap aku sebagai anak sendiri.”
“Hemmm...”
“Bagaimana,
Paman? Sukakah Paman mengantar aku ke Bhutan?”
“Ke mana pun
engkau pergi, aku akan mengantarmu, Ceng Ceng.”
“Paman amat
baik kepadaku, hanya karena aku mengingatkan Paman akan... wanita itu? Apakah
Paman tidak dapat melupakan dia?”
“Sampai mati
pun aku tidak akan melupakan dia, Ceng Ceng.”
“Kenapa
Paman membunuhnya?”
Topeng Setan
menunduk dan Ceng Ceng menyesal telah mengajukan pertanyaan itu. “Maaf, Paman.
Tak perlu dijawab pertanyaanku itu.”
“Aku telah
gila, aku telah mabok... tidak sadar, akan tetapi penyesalan seumur hidup
terasa, Ceng Ceng...” Suara Topeng Setan gemetar dan Ceng Ceng ikut terharu.
“Marilah
kita lanjutkan perjalanan. Dunia begini indah, mengapa kita harus mengenang
yang sudah-susah?”
Di sepanjang
perjalanan Ceng Ceng berusaha untuk bersikap gembira. Dia kemudian menceritakan
pengalaman ketika ditawan oleh Tambolon. “Ketika itu, aku memiliki tenaga yang
amat dahsyat, Paman. Entah mengapa, tetapi sekarang telah berkurang kedahsyatan
tenaga itu. Betapa pun, masih jauh lebih kuat dari pada sebelum itu. Paman
lihat!” Ceng Ceng menghampiri sebongkah batu dan mengayun tangannya yang halus.
“Darrrrr...!”
Batu itu pecah berkeping-keping!
Topeng Setan
mengangguk-angguk. “Itu adalah berkat khasiat anak ular naga, Ceng Ceng. Untung
sekali, engkau kehilangan racun di seluruh tubuhmu yang kau dapat dari Ban-tok
Mo-li dan sebagai gantinya engkau memperoleh kekuatan sinkang yang dahsyat dari
khasiat anak ular naga itu.”
“Kau ajarkan
aku ilmu silat agar aku kelak dapat membantumu kalau ada musuh kuat menentang
kita, dan agar aku dapat melawan musuh besarku yang juga amat lihai itu,
Paman.”
“Baik, Ceng
Ceng, perlahan-lahan akan kuajarkan segala ilmuku kepadamu.” Topeng Setan tidak
mau menceritakan akan ilmu baru yang belum lama ini dikuasainya, yaitu tenaga
Sin-liong-hok-te dan Ilmu Silat Sin-liong-ciang-hoat.
Ketika pada
suatu hari Ceng Ceng menyatakan keheranannya melihat sinar mata Topeng Setan
yang kini berbeda dari biasanya, mencorong dan berapi, dia menjawab sederhana,
“Mungkin hanya penglihatanmu saja, Ceng Ceng, atau mungkin karena aku
kehilangan lenganku.”
Biar pun
sedang menuju ke barat, akan tetapi Ceng Ceng tidak pernah menghentikan
kebiasaannya mencari musuh besarnya dengan cara bertanya-tanya kepada para
pemilik warung atau rumah penginapan, para pelayan yang diajaknya
bercakap-cakap. Mereka melakukan perjalanan seenaknya, bahkan kadang-kadang
menyimpang untuk menikmati suatu tempat di pegunungan yang terkenal indah
pemandangannya.
Pada suatu
hari, selagi Ceng Ceng dan Topeng Setan duduk makan di warung makan, kembali
Ceng Ceng menggunakan kesempatan ini untuk bertanya-tanya tentang seorang
pemuda tinggi besar bernama Kok Cu, barangkali para pelayan dan pemilik warung
itu ada yang pernah melihatnya. Akan tetapi tidak ada di antara mereka yang
pernah melihatnya, dan pemilik warung yang melihat dara cantik jelita itu
demikian ramah dan tidak pemalu, berani mengajak mereka bercakap-cakap dengan
sikap manis, menjadi suka sekali dan dia lalu bercerita bahwa ada berita bahwa
besok pagi rombongan pasukan Jenderal Kao akan lewat di dusun itu.
Ceng Ceng
pura-pura tidak mengenal nama ini sungguh pun diam-diam dia menjadi girang
pula. “Siapakah jenderal itu dan mengapa pasukannya mau lewat di sini?”
tanyanya, sedangkan Topeng Setan juga mendengarkan dengan penuh perhatian
sungguh pun dia tidak ikut bicara.
“Saya
sendiri pun tidak tahu jelas urusannya, hanya mendengar berita saja,” jawab
pemilik warung itu.
Selanjutnya
dia menceritakan tentang berita itu karena semua orang di dusun ini mengenal
baik siapa adanya Jenderal Kao yang dahulu sering kali memimpin pasukan
mengadakan pembersihan di daerah ini dan membasmi gerombolan-gerombolan jahat
pengganggu rakyat. Menurut berita itu, karena jasa-jasanya membasmi
pemberontak, Jenderal Kao diangkat menjadi panglima perang. Akan tetapi sebelum
berkedudukan di kota raja sebagai panglima besar itu, jenderal ini lebih dulu
akan mentertibkan kembali pasukan-pasukan yang menjaga tapal batas, disamping
memimpin sendiri pembersihan dan penumpasan sisa-sisa kaki tangan pemberontak
yang melarikan diri ke pedalaman.
Selagi Ceng
Ceng dan pemilik warung itu enak mengobrol didengarkan oleh Topeng Setan,
tiba-tiba terdengar derap langkah orang dan dari luar warung itu masuklah
seorang pemuda tampan yang bertubuh jangkung. Melihat wajah pemuda ini, Ceng
Ceng seketika menjadi pucat wajahnya dan dia bangkit berdiri. Juga Topeng Setan
yang melihat pemuda itu kelihatan kaget sekali.
Muka Ceng
Ceng yang pucat seketika berubah merah sekarang, matanya terbelalak seperti
mengeluarkan sinar bernyala penuh kebencian, tangan kanannya menekan dan
mencengkeram ujung meja tanpa disadarinya. Terdengar bunyi berkerotokan dan
meja itu hancur.
“Ah-ehh-ehhh...!”
Pemilik warung yang tadi bercakap-cakap dengan mereka dan oleh Ceng Ceng
diundang duduk semeja, terguling dan jatuh tunggang-langgang ketika terdesak
meja yang miring dan matanya terbelalak melihat mejanya itu remuk.
“Keparat...!”
Ceng Ceng mengeluarkan suara lirih seperti menggereng dan tubuhnya sudah
melesat ke pintu bagaikan kilat.
Hati siapa
tidak akan marah ketika dia melihat munculnya orang yang selama ini
dicari-carinya? Pemuda yang baru masuk itu bukan lain adalah si pemuda laknat,
pemuda tinggi yang dulu telah memperkosanya! Pemuda yang telah merusak
hidupnya. Biar pun pemuda itu kini agak kurus, tidak setegap dulu, akan tetapi
dia tidak akan pangling melihat wajahnya!
Pada saat
tubuh Ceng Ceng melesat ke pintu, sesosok bayangan lain juga meluncur lebih
cepat lagi. Ceng Ceng sudah menyerang ke arah pemuda itu, serangan yang amat
dahsyat. Namun tiba-tiba tangannya yang sudah terulur ke depan itu tiba-tiba
menjadi lemas dan tubuhnya terbanting ke kiri seperti dilanda ombak yang
menghantamnya dari samping kanan. Hampir saja dia jatuh tunggang-langgang, akan
tetapi bayangan yang amat cepat dan yang menyerangnya itu kini telah
menyambarnya dan merangkulnya sehingga dia tidak terbanting jatuh. Ceng Ceng
marah bukan main, marah dan heran melihat bahwa yang menyerang dan kini
merangkulnya itu bukan lain adalah Topeng Setan sendiri!
“Eh,
kau...?” Keheranan lebih menguasai hatinya melihat kenyataan betapa orang yang
paling dipercayanya, yang selama ini membantunya, bahkan pembantunya mencarikan
musuh besarnya itu, kini malah menghalang-halanginya menyerang dan membunuh
musuh besarnya itu!
“Tenanglah,
tenang dan telitilah lebih dulu, Ceng Ceng,” bisik Topeng Setan. “Lihatlah
baik-baik, jangan sampai kau kesalahan membunuh orang lain!”
“Siapa
bilang aku salah lihat? Dialah orang itu! Tidak salah lagi, wajah itu sampai
mati pun aku tidak akan lupa!”
“Hemmm,
nanti dulu. Aku pernah kau suruh melukis orang itu, katamu usianya sudah
dewasa, kurang lebih dua puluh lima tahun. Akan tetapi pemuda itu... hemm,
masih remaja! Dan seingatku, kau bilang bibirnya agak tebal, tidak setipis
bibir pemuda ini, lihatlah dulu yang benar...”
Ceng Ceng
memandang lagi dengan penuh perhatian ke arah pemuda itu yang tadi menjadi
kaget dan heran menyaksikan seorang wanita cantik ribut-ribut dengan seorang
laki-laki yang mukanya buruk sekali. Dan baru sekarang dia harus membenarkan
pendapat Topeng Setan, karena memang bukan pemuda remaja inilah pemuda yang
memperkosanya dahulu.
“Akan tetapi
dia juga tinggi, dan wajahnya... wajahnya...” Ceng Ceng tiba-tiba terbelalak
dan tidak melanjutkan kata-katanya ketika melihat seorang pemuda lain masuk
pula, seorang pemuda tinggi kurus yang wajahnya juga mirip sekali dengan gambar
dari musuh besarnya itu.
Pemuda ini
melangkah tenang ke arah meja di mana sudah duduk pemuda pertama dan pemuda
yang kedua ini masuk bersama dengan seorang kakek rambut putih panjang terurai
yang kakinya cuma satu, akan tetapi gerakannya gesit sekali seolah-olah kakinya
tidak buntung sebelah.
“Itu...
dia...” Ceng Ceng kembali menjadi beringas memandang pemuda kedua yang baru
masuk. Badannya gemetar, tangannya otomatis bergerak memukul.
Topeng Setan
terkejut sekali. Karena tidak disangka-sangkanya dan gerakan gadis itu cepat
sekali, kini gadis ini benar-benar memiliki gerakan yang amat ringan dan cepat,
dan pukulan yang diarahkan kepada pemuda itu dengan tangan terbuka amat
dahsyatnya. Sinkang mukjijat yang timbul dari khasiat anak ular naga itu memang
ajaib sehingga ketika Ceng Ceng mengerahkan tenaga memukul, dari tangannya yang
terbuka itu menyambar uap dan angin pukulannya mengeluarkan suara bersuitan!
“Hemmm...!”
Suara ini keluar dari mulut kakek rambut putih yang kakinya buntung sebelah.
Dia menengok
ke arah Ceng Ceng, mengangkat tangan kiri ke atas dan... bukan main anehnya,
uap dan angin pukulan dahsyat dari tangan Ceng Ceng itu menyeleweng dan ‘tersedot’
ke arah kakek ini dan seolah-olah amblas menghilang ke lubang lengan baju kakek
itu! Ceng Ceng menjerit kaget dan menarik kembali tangannya.
Semua orang
yang menyaksikan hal ini terkejut, tak terkecuali Topeng Setan karena dia
maklum bahwa kepandaian kakek buntung kakinya ini benar-benar amat hebatnya,
sukar diukur tingginya. Dia tahu pula bahwa kakek sakti ini bukan orang
sembarangan, biar pun jelas bahwa Ceng Ceng melakukan serangan maut kepada
pemuda yang datang bersamanya, kakek itu ternyata hanya memunahkan saja pukulan
Ceng Ceng tanpa kekerasan sama sekali.
“Sabarlah...
kau... salah lagi,” Topeng Setan memegang lengan Ceng Ceng. “Lihat baik-baik,
dia itu malah lebih jauh berbeda lagi dari orang yang kugambar itu..., juga
lebih muda... jauh sekali. Kau ingatlah baik-baik...” Topeng Setan berkata
berbisik-bisik.
Ceng Ceng
terbelalak memandang pemuda yang kini bersama kakek itu pun berhenti melangkah
dan memandang dengan heran kepadanya. Setelah pemuda itu menoleh dan
memandangnya, baru Ceng Ceng mengakui bahwa memang bukan ini pemuda laknat
musuhnya itu. Akan tetapi wajah itu...!
“Tapi...
tetapi... ahhh, bagaimana ini...? Paman... aku... aku bingung...,” dia merintih
dengan penuh kekecewaan dan rasa penasaran.
Badannya
menjadi limbung dan lemas, seluruh tenaganya terasa habis karena kecewa
mendapat kenyataan bahwa dua orang pemuda itu memang benar bukan pemuda laknat
yang dicari-carinya, keringat dingin mengalir keluar dan dia mengeluh panjang,
lalu jatuh pingsan!
Topeng Setan
menjadi bingung tidak karuan. Kalau Ceng Ceng pingsan terkena pukulan, dia
tentu akan bersikap tenang dan dapat menolongnya cepat-cepat. Akan tetapi dia
tahu bahwa gadis ini pingsan karena tekanan batin dan dia bukanlah seorang
tabib yang dapat menyembuhkan dan mengobati penderita itu. Dengan bingung dia
merebahkan tubuh Ceng Ceng di atas salah satu bangku panjang dan
menggoyang-goyang tubuhnya.
Pada saat
itu, selagi semua orang merubung Ceng Ceng dengan bingung, muncullah seorang
nenek yang agaknya masih serombongan dengan dua orang pemuda yang menimbulkan
kegemparan di hati Ceng Ceng tadi, tetapi yang masuknya belakangan. Melihat
banyak orang merubung seorang gadis yang pingsan, nenek ini segera mendekati.
“Aihh,
kenapa ada orang menderita begini semua orang hanya merubung saja?” Nenek itu
mengomel dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu memondong tubuh Ceng Ceng dan
membawanya ke dalam. “Apakah ada kamar di sini?” tanyanya sambil melangkah
masuk.
Pemilik
warung yang tadi bercakap-cakap dengan Ceng Ceng dan jatuh kerengkangan kini
cepat menghampiri. “Ada... ada... mari, silakan, Toanio,” katanya mengantar.
Topeng Setan
melihat cara nenek itu memondong dan melangkah, tahulah dia bahwa nenek itu pun
bukan orang sembarangan. Dia khawatir akan keadaan Ceng Ceng dan melangkah
untuk mengejar, akan tetapi tiba-tiba lengannya disentuh tangan orang. Ketika
dia menengok, dia melihat kakek berambut putih panjang dan berkaki satu itu
berkata tenang dan halus kepadanya.
“Jangan kau
khawatir, biarkan isteriku mengurusnya. Isteriku lebih ahli dalam hal itu. Aku
ingin bicara denganmu, Sobat.”
Topeng Setan
menjadi tidak enak hati untuk memaksa. Tidak baik memperlihatkan kecurigaan
kepada orang-orang yang berniat baik itu, apa lagi dia maklum bahwa kakek dan
nenek itu bukanlah orang sembarangan. Maka dia mengangguk dan duduk di bangku
terdekat, tanpa mengeluarkan kata-kata.
Dua orang
pemuda yang mukanya mirip pemuda laknat musuh besar Ceng Ceng itu adalah
putera-putera Jenderal Kao Liang yang ikut dengan rombongan ayahnya. Mereka itu
adalah Kao Kok Tiong, dan adiknya yang bersama Kao Kok Han. Biar pun masih
remaja namun memang tubuh mereka tinggi-tinggi seperti ayah mereka, dan sejak
kecil putera-putera Jenderal Kao Liarg ini tentu saja telah terdidik dan memiliki
ilmu silat yang lumayan.
Ada pun
kakek berambut putih yang buntung sebelah kakinya itu bukan lain adalah Si
Pendekar Super Sakti, sedangkan nenek yang menolong Ceng Ceng itu adalah
isterinya yang kedua, yaitu Nenek Lulu. Kebetulan saja suami isteri pendekar
dari Pulau Es ini bertemu dengan pasukan Jenderal Kao dalam perjalanan mereka
mencari putera mereka, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu yang sudah terlalu
lama meninggalkan Pulau Es tanpa ada beritanya.
Ketika suami
isteri pendekar sakti ini sudah mendengar banyak keterangan tentang dua orang
putera mereka yang banyak berjasa dalam membantu pemerintah membasmi
pemberontak, mereka girang sekali akan tetapi kemudian menjadi gelisah juga
ketika mendengar tentang halnya puteri mereka, yaitu Puteri Milana yang kini
melarikan diri dari istana. Juga bahwa dua orang puteranya mungkin sedang
menuju ke barat pula untuk menyelamatkan Puteri Syanti Dewi yang akan
dipulangkan ke Bhutan.
Ketika suami
isteri ini hendak melanjutkan pencarian mereka, kedua orang putera Jenderal Kao
Liang yang juga hendak mendahului pasukan melihat-lihat ke dusun di depan,
segera mengajak suami isteri yang mereka hormati dan kagumi itu untuk
mengadakan perjalanan bersama. Untuk menghormati Jenderal Kao, Pendekar Super
Sakti tidak keberatan maka demikianlah, kakek dan nenek sakti ini datang ke
dusun itu bersama dua orang putera Jenderal Kao.
Topeng Setan
hanya mendengarkan saja penjelasan Pendekar Super Sakti. Pendekar yang
berpemandangan tajam sekali ini dapat menduga bahwa orang di balik topeng ini
adalah seorang yang luar biasa, yang memiliki kepandaian mukjijat, kentara dari
sinar matanya yang mencorong. Akan tetapi dia dapat menduga pula bahwa orang
ini sedang dilanda tekanan batin yang amat hebat sehingga lebih senang
menyembunyikan diri di balik topeng setan itu.
Topeng Setan
merasa tidak tenang dan resah menghadapi Pendekar Super Sakti yang sinar
matanya seolah-olah dapat menembus hatinya dan menjenguk isi hatinya itu. Belum
pernah dia bertemu orang yang sinar matanya seperti ini. Gurunya memiliki sinar
mata mencorong, akan tetapi pendekar buntung kaki ini sinar matanya seperti
dapat menembus segala sesuatu! Sebentar-sebentar dia melirik ke arah dua orang
kakak beradik putera-putera Jenderal Kao Liang dan kadang-kadang dia menengok
ke pintu di mana nenek tadi memasuki kamar bersama Ceng Ceng.
Tiba-tiba
pintu kamar itu terbuka dan Topeng Setan segera meloncat berdiri. Nenek itu
tersenyum dan biar pun usianya sudah hampir enam puluh tahun, ternyata Nenek
Lulu ini masih jelas membayangkan betapa cantiknya dia di waktu mudanya.
“Apakah
engkau suaminya...?” Secara langsung nenek itu bertanya kepada Topeng Setan.
Ditanya
secara langsung seperti itu, Topeng Setan merasa seperti ditodong ujung pedang
yang runcing dan dia gelagapan.
“Anu...
anu... itu... ehh, benar... ahhh, bukan...!”
Sungguh aneh
sekali. Orang yang biasanya tenang dan kokoh kuat seperti batu karang dan yang
lihainya bukan kepalang itu kelihatan tergagap menghadapi pertanyaan ini.
Pendekar Super Sakti sendiri menjadi terheran-heran dan timbul kecurigaannya.
Dia dapat menduga bahwa orang di balik topeng buruk itu masih belum tua, akan
tetapi mengapa menyembunyikan mukanya di balik topeng? Mengapa segala macam
rahasia itu? Dan mengapa pula orang ini kelihatan tertekan batinnya dan
sekarang dalam menjawab pertanyaan yang mudah itu menjadi gagap?
“Jangan
khawatir,” nenek itu berkata. “Dia cuma menderita kaget dan bingung,
keselamatannya takkan terancam, sungguh pun menyesal sekali bahwa kandungannya
gugur karena memang telah mati beberapa hari yang lalu. Katakan saja kepada
suaminya agar dia beristirahat dan menjaga diri baik-baik, jangan biarkan dia
terlalu lemah...”
Topeng Setan
terkejut bukan main, suaranya menggigil ketika dia memotong, “Apa... apa...
maksud Locianpwe...?”
Pendekar
Super Sakti tersenyum. Menghadapi keadaan yang bagaimana pun, bagi kakek ini
wajar dan biasa saja, dan dia selalu tenang. “Isteriku hanya ingin mengatakan
bahwa karena sesuatu hal yang tidak kami ketahui, kandungan wanita muda itu
telah gugur, akan tetapi kesehatannya baik-baik saja. Yang penting adalah
kesehatan calon ibu itu, bukan?” Nenek Lulu tersenyum dan mengangguk.
“Ya
Tuhan...!” Topeng Setan berteriak.
Kakek dan
nenek itu saling pandang ketika melihat Topeng Setan melesat ke dalam kamar itu
bagai kilat cepatnya. Kecepatan Topeng Setan itu demikian hebatnya, bahkan
hampir secepat Ilmu Soan-hong-lui-kun dari kakek yang sangat terkenal sukar
dicari tandingannya itu. Nenek Lulu yang melihat ini menggeleng-geleng
kepalanya saking kagum.
“Suamiku,
aku berani bertaruh bahwa engkau tentu akan menemui kesukaran jikalau
seandainya harus bentrok dengan dia. Kulihat kepandaiannya tidak di sebelah
bawah tingkat Bun Beng. Padahal dia masih begitu muda!”
“Engkau
benar, isteriku. Heran, siapakah dia? Mari kita lihat.”
Nenek Lulu
menggelengkan kepala. “Urusan mereka mana boleh kita tahu? Biar kita menanti di
sini sambil memesan makan minum. Bukankah kita masuk ke warung ini untuk makan
dan minum? Lihatlah, dua orang muda Kao sudah menanti-nanti kita.” Mereka lalu
menghampiri meja di mana Kao Kok Tiong dan Kao Kok Han sudah duduk dan
memandang peristiwa itu dengan penuh keheranan.
Sementara
itu, dengan tubuh menggigil dan jantung berdebar tidak karuan, Topeng Setan
sudah memasuki kamar itu. “Ceng Ceng... ah, Ceng Ceng...!” Dia berseru.
Gadis itu
sudah duduk di pinggir pembaringan, mukanya pucat sekali memandang kepada
gumpalan-gumpalan darah menghitam di atas lantai depan pembaringan. Ketika
mendengar suara Topeng Setan, dia menengok dan memandang.
“Paman...!”
Dia bangkit berdiri dan menubruk Si Buruk Rupa itu. “Paman, aku... aku bingung
sekali... aku... aku...” Dia menangis.
Topeng Setan
gemetar menahan perasaan. “Ceng Ceng, sungguh tidak kusangka... kau... kau
mengandung sampai keguguran... ya Tuhan...!”
“Akan tetapi
aku telah tertolong, Paman. Nenek yang baik itu menolongku, katanya keguguran
ini sudah terjadi beberapa hari dan kini tinggal keluar saja. Sekarang aku
ingat... agaknya khasiat anak ular naga...”
“Ya
Tuhan..., betapa hebat penderitaanmu, Ceng Ceng...” Dalam suara Topeng Setan
terdengar isak tertahan.
“Tidak
apa-apa, Paman. Malah kebetulan! Siapa sih yang sudi mempunyai anak dari
manusia biadab itu? Andai kata tidak gugur karena anak ular naga itu... andai
kata aku tahu bahwa aku telah mengandung selama beberapa bulan, tentu akan
kugugurkan sendiri!”
“Ahhh, jadi
kau... kau sendiri tidak tahu bahwa... bahwa kau... mengandung, Ceng Ceng?”
“Tidak,
Paman. Bagaimana aku bisa tahu?” jawab dara ini yang memang masih bodoh dalam
hal itu dan semenjak kecil tidak ada yang memberi tahu kepadanya karena dia
hidup hanya dengan kakeknya.
“Jangan
khawatir... jangan sedih... mari kutunjukkan padamu pemuda yang kejam dan bejat
moralnya itu. Mari kuajak kau mencarinya sampai dapat. Aku bersumpah, sampai
dapat!” Topeng Setan melepaskan rangkulannya, merobek sebagian lebar jubahnya,
kemudian dia menggunakan jubah itu untuk mengambil gumpalan-gumpalan darah di
lantai sampai bersih.
Melihat ini,
Ceng Ceng terkejut dan terheran-heran. “Aihhh, Paman. Kotor itu...! Mengapa kau
lakukan itu? Untuk apa...?”
Topeng Setan
membungkus rapi gumpalan darah kental yang menghitam itu, lalu menyimpannya di
dalam saku jubah, suaranya sungguh-sungguh dan agak gemetar, “Ceng Ceng,
bagaimana pun juga ini adalah calon manusia, bukan? Dan dia sama sekali tidak
berdosa, tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan si jahanam keji, maka dia
patut dikuburkan sebagai calon manusia yang tidak berdosa...”
Tiba-tiba
Ceng Ceng terisak, menutupi mukanya dan berbisik, “Kau benar... dia itu...
senasib dengan aku... hanya aku berhasil menjadi manusia dan dia tidak,
gara-gara anak ular naga...”
“Sudahlah,
Ceng Ceng. Aku bersumpah akan mengajak engkau mencari si jahanam itu sampai
dapat. Akan tetapi lebih dulu mari kupertemukan engkau dengan... keluargamu.”
“Apa...?
Siapa...?” Ceng Ceng tentu saja terkejut sekali mendengar ini.
“Pendekar
Super Sakti, kakekmu, dan... nenek tadi adalah isterinya. Mereka berada di
luar...”
“Nenek
tadi...? Dia... dia... nenekku sendiri...?”
“Kau
tanyalah sendiri kepada mereka, Ceng Ceng. Kau punya hak bertemu dengan
keluargamu.”
“Tidak...!
Tidak, Paman. Aku malu bertemu dengan keluargaku, atau dengan siapa pun,
sebelum... sebelum aku bertemu dengan si laknat itu...”
“Kalau
begitu, mari kau ikut aku bersamaku, akan kubawa engkau bertemu dengan dia,
agar engkau puas dan dapat membunuhnya sesuka hatimu!” Setelah berkata
demikian, Topeng Setan memondong tubuh Ceng Ceng yang masih lemah itu dan
melesat keluar melalui jendela kamar itu.
Bagaikan
seekor burung garuda, Topeng Setan sudah melesat ke atas genteng, akan tetapi
begitu dia berada di atas genteng warung itu, tahu-tahu di depannya telah
berdiri Pendekar Super Sakti dengan sikap tenang dan sinar mata tajam!
“Hemmm,
beginikah caranya orang baik-baik pergi, seperti pencuri-pencuri saja atau
seperti orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat?” Dengan suara halus
Pendekar Super Sakti menegur.
Topeng Setan
kaget bukan main. Dia tahu bahwa memang cara mereka pergi tanpa pamit ini
sangat tidak patut, dan hal ini dia lakukan hanya untuk menghindarkan pertemuan
dan pembicaraan yang berkepanjangan. Siapa kira, Pendekar Super Sakti itu
demikian hebatnya sehingga tahu-tahu telah menghadang di atas genteng.
“Harap...
harap Locianpwe maafkan kami... ehhh, maafkan saya, sesungguhnya sama sekali
saya tidak bermaksud buruk...”
Ceng Ceng melorot
turun dari pondongan Topeng Setan lalu langsung menjatuhkan diri berlutut di
depan pendekar kaki satu itu. “Harap Locianpwe sudi mengampuni kami kalau-kalau
dianggap bersalah. Akan tetapi, karena tergesa-gesa dengan suatu urusan pribadi
yang amat penting, kami mengambil jalan ini, karena tidak ingin mengganggu
Locianpwe sekalian. Saya... saya berterima kasih kepada Nenek... kepada
Locianpwe yang menolong saya tadi...”
Pendekar
Super Sakti tersenyum. Kalau dia tadi menghadang adalah karena dia merasa
curiga dan dia mengira bahwa Topeng Setan manusia aneh penuh rahasia itu hendak
memaksa si gadis yang baru keguguran itu lari, khawatir kalau-kalau manusia
aneh itu menggunakan kekerasan terhadap si wanita muda. Kini melihat bahwa
wanita muda itu sendiri yang bicara dia menjadi lega dan maklum bahwa pelarian
mereka berdua itu adalah kehendak mereka berdua. Dia mengelus jenggotnya dan
tersenyum lebar. Tertarik sekali hatinya terhadap dua orang yang merupakan
sepasang manusia aneh penuh rahasia ini!
“Sudahlah,
kalau kalian tidak ingin bertemu dan bicara dengan kami pun tidak mengapa. Akan
tetapi karena aku sudah menghadang di sini dan bertemu kalian, aku ingin
bertanya apakah kalian pernah bertemu dengan puteraku yang bernama Suma Kian
Lee?”
Topeng Setan
dan Ceng Ceng tentu saja tahu siapa pemuda yang dimaksudkan itu. Topeng Setan
tidak menjawab, akan tetapi Ceng Ceng yang menjawab, “Saya sudah mengenalnya
dengan baik, Locianpwe. Bahkan dia telah pernah menolong saya.”
“Bagus!
Tahukah engkau di mana dia sekarang? Dia meninggalkan pulau dengan adiknya,
Suma Kian Bu. Aku sudah mendengar bahwa Suma Kian Bu pergi ke barat menyusul
dan melindungi Syanti Dewi, namun tidak ada yang tahu ke mana perginya Kian
Lee.”
“Maaf,
Locianpwe. Saya sendiri pun tidak tahu ke mana dia. Pertemuan kami yang
terakhir adalah di kota raja.”
“Hemm...,
sayang...”
“Ceng Ceng,
mari kita pergi.”
Topeng Setan
menjura dengan hormat kepada Si Pendekar Super Sakti, kemudian menggandeng
tangan gadis itu dan diajak meloncat turun lalu pergi dari situ dengan
cepatnya. Sampai lama Pendekar Super Sakti berdiri di atas genteng,
termangu-mangu, bukan hanya kecewa bahwa dia tidak dapat mendengar tentang Kian
Lee, akan tetapi juga terheran-heran melihat dua orang muda itu.
Ceng Ceng
memandang dengan terharu dan juga terheran-heran ketika dia melihat saja Topeng
Setan mengubur bungkusan gumpalan darah itu dan menimbuninya dengan tanah. Dia
melihat betapa Topeng Setan termenung di depan gundukan tanah kecil itu,
kemudian tiba-tiba Topeng Setan kelihatan beringas dan dengan kepalan tangannya
dia menghantam batu karang di sebelah kanannya.
“Darrrrr...!”
Batu karang itu hancur lebur dan debu mengepul tinggi.
“Paman...!
Ada apakah, Paman?”
“Si keparat!
Si jahanam keji! Aku akan menunjukkan dia kepadamu, Ceng Ceng. Kau benar, dia
harus disiksa sepuas hatimu!”
“Paman, ke
manakah kita akan mencari dia? Sudah sekian lamanya, berbulan-bulan semenjak
peristiwa itu aku mencarinya, namun sia-sia belaka.”
“Satu-satunya
tempat untuk kita mencarinya adalah di utara, di Istana Gurun Pasir, di tempat
gurunya. Bukankah kau menceritakan bahwa dia itu murid Dewa Bongkok dari Istana
Gurun Pasir? Nah, kita ke sana!”
Sebetulnya,
hati Ceng Ceng sudah mulai reda untuk mencari pemuda itu. Hatinya sudah mulai
tawar dan ingin dia beristirahat, ingin dia hidup tenang tenteram bersama
Topeng Setan, satu-satunya sahabatnya yang setia dan dapat dipercaya itu. Akan
tetapi dia pun tahu bahwa sebelum dia bertemu dengan pemuda laknat itu,
hidupnya akan selalu diselimuti mendung dan kegelapan, dia akan selalu merasa
menjadi orang yang kotor dan hina dan ternoda. Noda ini hanya dapat ditebus
dengan darah pemuda laknat itu, dengan nyawa pemuda jahanam itu!
Mulailah
mereka dengan perjalanan jauh itu. Akan tetapi karena kini setelah kandungan
Ceng Ceng yang diam-diam tak diketahuinya selalu merupakan gangguan itu telah
keguguran, kesehatannya cepat pulih kembali. Diam-diam gadis ini merasa girang
juga bahwa kandungannya yang sama sekali tidak dikehendakinya itu telah
keguguran. Andai kata dia tahu bahwa dia mengandung, tentu dia akan merasa
makin tersiksa!
Keparat!
Benar Topeng Setan, pemuda laknat itu benar-benar harus disiksa sampai mampus!
Kesehatannya telah pulih dan semua racun yang mengeram di tubuhnya akibat
latihan dari Ban-tok Mo-li telah bersih dari tubuhnya, berkat khasiat anak ular
naga, tetapi khasiat itu pun selain menggugurkan kandungannya, juga
mendatangkan kekuatan sinkang yang cukup dahsyat, yang takkan dapat
diperolehnya dalam latihan selama sepuluh tahun!
Maka
perjalanan itu dapat dilakukan dengan cepat dan setelah mereka tiba di sebelah
utara kota raja, mulailah Ceng Ceng bertemu dengan tempat-tempat yang membuat
dia terkenang akan semua pengalamannya ketika mencari Syanti Dewi dahulu itu.
“Paman,
apakah engkau tahu, di mana adanya Istana Gurun Pasir?”
Topeng Setan
mengangguk. “Perjalanan itu sukar sekali, melalui gurun pasir selama tiga hari
tiga malam. Paling sukar adalah kalau bertemu dengan badai, oleh karena itu,
kita harus membawa perbekalan cukup.”
Membayangkan
kesukaran perjalanan itu, Ceng Ceng bergidik. Entah bagaimana, kini berkurang
banyak gairahnya untuk mencari pemuda laknat itu. Kalau dulu, dia tidak akan
berpikir dua kali, walau pun harus menyeberangi lautan api umpamanya, akan
ditempuhnya juga asal dia dapat menemukan musuh besarnya itu. Sekarang dia agak
ragu-ragu, apa lagi mengingat bahwa si pemuda laknat itu saja sudah demikian
lihainya, apa lagi di sana ada gurunya dan mungkin orang-orang lain!
“Sebelum
kita menyeberangi gurun pasir, aku ingin melihat-lihat tempat-tempat yang
pernah kukunjungi dulu, Paman. Lebih dulu, aku ingin pergi menengok sumur maut
di mana aku dulu ketika menolong Jenderal Kao terjungkal, kemudian menjadi
murid mendiang Ban-tok Mo-li di neraka bawah tanah. Setelah itu, aku ingin
pergi dulu ke tempat-tempat lain, antaranya mengunjungi benteng di mana dulu
Jenderal Kao tinggal.”
Topeng Setan
tidak menjawab, hanya mengangguk. Agaknya bagi orang aneh ini, perintah Ceng
Ceng merupakan pegangan hidupnya! Tidak pernah dia membantah kehendak gadis
itu!
Agaknya
Topeng Setan mengenal betul daerah ini, lebih kenal dari pada Ceng Ceng yang
baru satu kali berkunjung ke situ. Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di
sumur maut yang berada di tengah lautan pasir itu. Sunyi senyap tempat itu dan
seperti dahulu, banyak tulang berserakan di sekitar tempat itu.
Ceng Ceng
mendekati sumur itu dan melongok ke bawah. Gelap dan hitam pekat. Dia bergidik.
Pantas saja dia dianggap mati oleh Jenderal Kao setelah terjungkal ke dalam
tempat seperti itu. Bulu kuduknya berdiri ketika dia mengenangkan betapa dia
terjungkal ke dalam sumur dan diselamatkan oleh seekor ular besar.
Ceng Ceng
duduk di dekat sumur, mengenangkan segala peristiwa masa lalu. Tempat ini
merupakan tempat yang bersejarah baginya. Sunyi senyap melengang, tidak ada
kehidupan tampak di sekitar mereka berdua. Hanya pasir-pasir yang bergerak
seperti berlomba lari berhembus angin semilir.
Topeng Setan
juga duduk agak jauh dari Ceng Ceng, kelihatannya termenung seolah-olah tempat
itu merupakan tempat yang mempunyai kenangan tersendiri baginya. Ceng Ceng
bangkit dan mengitari sumur di mana terdapat tumpukan batu-batu besar.
Tiba-tiba dia melihat sesuatu.
“Heiii, apa
ini? Ada tulisan orang!”
Mendengar
ini, Topeng Setan mengangkat mukanya dan bangkit lalu menghampiri. Bersama-sama
mereka lalu membaca tulisan-tulisan yang agaknya belum lama dibuat orang itu.
Kenyataan
lebih pahit dari pada bayangan,
lebih kejam
dari pada kenangan,
cinta hanya mendatangkan
penderitaan!
“Ohhh...!”
Ceng Ceng berseru ketika membaca tulisan itu.
“Hemm, ada
orang laki-laki yang pernah datang di sini, mungkin tinggal beberapa hari di
sini dan menuliskan sajak-sajak ini...” Topeng Setan berkata perlahan.
Ketika mereka
memeriksa lebih teliti, kiranya ada banyak di antara batu-batu yang berserakan
itu bekas ditulisi yang semua bernada keluh-kesah tentang cinta tak sampai.
“Heiii...
ini... seperti gambarmu, Ceng Ceng!” Tiba-tiba Topeng Setan berteriak heran.
Ceng Ceng
melompat mendekat. Mereka berdua memandang coretan wajah seorang wanita di atas
permukaan batu kapur putih yang rata itu. Coretan itu menggunakan batu
kemerahan dan biar pun hanya merupakan coretan kasar, akan tetapi mudah dilihat
dan dikenal sebagai bentuk wajah Ceng Ceng.
“Benarkah
gambar ini seperti aku?” Ceng Ceng bertanya ragu.
“Tak salah
lagi, dan dia pandai benar melukis!”
“Kalau
begitu engkau mendapat saingan, Paman!” Ceng Ceng menggoda.
“Aku...?
Ahhh, banyak benar dia menulis...” Topeng Setan meneliti semua tulisan yang
semua membayangkan kegagalan cinta itu.
Akan tetapi
Ceng Ceng sudah duduk termenung di depan sajak pertama. Lama dia termenung,
kemudian dia berseru. “Ah, ini tentu dia...!”
Topeng Setan
kaget, menengok. “Dia?”
“Ya, siapa
lagi kalau bukan dia yang kita cari-cari!”
“Ohhh...!
Tapi... tapi...” Topeng Setan tidak melanjutkan kata-katanya.
Ceng Ceng
kembali membaca sajak itu. Mukanya berubah merah sendiri. Kalau begitu, dia...
dia cinta padaku? Demikian pikirnya dengan bingung dan dia membayangkan
kembali, mengenangkan kembali peristiwa di dalam goa itu. Pemuda yang gagah dan
tampan itu mukanya beringas, jelas bahwa tidak sewajarnya, seperti keracunan
hebat. Pemuda itu menubruknya di luar kesadarannya! Dan pemuda itu jatuh cinta
kepadanya? Mana mungkin?!
Dugaan Ceng
Ceng itu membuat dia merasa makin bingung. Dia membenci pemuda itu dan pemuda
itu mencintanya? Akan tetapi benarkah dia membenci pemuda itu? Setiap kali
mengenang peristiwa di goa itu, dia seperti terlena, seperti terbuai,
seperti... seperti timbul perasaan rindu ingin bertemu dengan pemuda itu! Akan
tetapi perasaan halus yang samar-samar ini segera ditutupnya dengan kemarahan
dan kebencian, dengan dendam dan sakit hati.
“Kalau
begitu, kita sudah memperoleh jejaknya, Paman! Dia tentu tidak jauh lagi dan
berada di sekitar tempat ini. Dugaan Paman benar bahwa kita harus mencari ke
sini!” Ceng Ceng berteriak, jantungnya berdebar. Aneh, debar jantungnya itu
menunjukkan kegirangan! Girang bahwa dia akan dapat membalas dendam, ataukah
girang karena dia akan dapat berjumpa dengan pemuda itu?
Mereka lalu
meninggalkan tempat itu, menuju ke benteng di mana dahulu Jenderal Kao Liang
tinggal dan di mana dahulu Ceng Ceng tinggal pula. Ketika mereka tiba di sebuah
dusun yang terpencil, mereka mendengar berita bahwa baru setengah bulan yang
lalu ketika para suku liar merampok desa itu, datang seorang bintang penolong
yang amat lihai, seorang pemuda yang tidak dapat dilihat jelas mukanya karena
pemuda itu datang mengamuk, membasmi para perampok liar dan lenyap lagi. Akan
tetapi, di waktu malam orang melihat pemuda itu sebagai sesosok bayangan yang
berjalan sendirian di luar dusun sambil meniup suling, atau kadang-kadang juga
suka bernyanyi, menyanyikan lagu-lagu yang bernada sedih.
Mendengar
ini, Ceng Ceng lalu bertanya kepada kepada kampung terpencil itu di mana pemuda
itu tinggal.
“Mengapa
Ji-wi (Anda Berdua) mencari in-kong (tuan penolong) itu?”
“Kami adalah
sahabatnya,” jawab Ceng Ceng.
Jawaban ini
membuat Kepala Kampung cepat menghormat mereka dan dia sendiri lalu
mengantarkan mereka berdua keluar kampung di mana terdapat sebuah gubuk di tepi
sungai yang membelah padang rumput itu. Akan tetapi pemuda itu tidak ada lagi.
Yang ada hanya bekas-bekasnya, coret-coretan yang sama dengan di sumur maut,
akan tetapi di sini terdapat juga bekas-bekas pemuda itu berlatih silat yang
amat hebatnya. Beberapa batang pohon tumbang dan hangus, dan batu-batu besar
pecah berantakan. Tempat sekitar gubuk itu seperti bekas diamuk gajah.
“Hebat...
dia hebat...” Topeng Setan mengangguk-angguk.
Ceng Ceng
memegang tangan Topeng Setan. “Sudah kukatakan jika dia berilmu tinggi, Paman.
Apakah sekiranya engkau akan mampu melawannya? Membantuku untuk menghadapinya?”
“Dia siapa?”
“Siapa lagi
kalau bukan pemuda laknat itu!”
“Hemm...
kita lihat sajalah nanti.”
Karena jelas
bahwa pemuda yang mereka cari itu sudah pergi dari situ dan tidak ada orang
tahu ke mana perginya, Ceng Ceng dan Topeng Setan berpamit dari orang-orang
dusun itu kemudian melanjutkan perjalanan ke benteng pertahanan terakhir dari
tentara kerajaan di perbatasan itu.
Ketika
Topeng Setan dan Ceng Ceng muncul di pintu gerbang, beberapa orang penjaga yang
ternyata adalah bekas anak buah Jenderal Kao, terkejut bukan main. Mereka
memandang dengan mata terbelalak ketika gadis cantik yang muncul itu tersenyum
dan berkata, “Apakah paman-paman masih ingat kepadaku? Aku Ceng Ceng!”
Mereka yang
ingat kepadanya tentu saja terkejut sekali dan bahkan ketakutan, mengira bahwa
yang datang adalah setan atau roh gadis yang telah mati di dalam sumur maut
itu. Apa lagi kedatangannya bersama dengan seorang manusia berwajah setan!
“Nona...
Nona... bukankah dahulu sudah... ehhh... tewas di sumur maut?” Seorang penjaga
tua memberanikan diri bertanya, telunjuknya yang menuding kepada gadis itu
menggigil.
Ceng Ceng
tertawa. “Memang aku disangka mati, akan tetapi untungnya Thian masih
melindungiku dan aku tidak mati, Paman. Aku masih hidup. Dan aku ingin mampir
ke benteng ini. Siapakah yang menjadi komandan di sini sekarang?”
“Bukan
Jenderal Kao lagi, Nona...”
“Aku tahu,
belum lama ini aku berjumpa dengan Jenderal Kao di barat. Siapa yang menjadi
komandan di sini?”
“Thio-goanswe
(Jenderal Thio),” jawab penjaga itu.
“Hemm,
siapakah dia?”
“Dia adalah
Panglima Thio Luk Cong yang kini menggantikan kedudukan Jenderal Kao.”
“Ahh,
Panglima Thio Luk Cong yang dulu menjadi komandan di Ang-kiok-teng? Aku sudah
mengenalnya pula!” Ceng Ceng berseru.
Mereka
berdua lalu disambut, dibawa menghadap kepada komandan benteng itu dan Jenderal
Thio yang tahu bahwa gadis ini dan pembantunya telah membantu Jenderal Kao
ketika membasmi pemberontak, segera menyambut dan menjamu mereka.
Dengan
gembira mereka makan minum dan Ceng Ceng menceritakan pengalaman-pengalamannya
dahulu ketika dia menolong Jenderal Kao dan terjerumus ke dalam sumur maut
sehingga disangka mati. Dia dengan terus terang menceritakan betapa dia
ditolong oleh seekor ular besar dan oleh Ban-tok Mo-li diangkat menjadi murid,
dan betapa akhirnya dia berhasil keluar dari neraka di bawah tanah itu.
Jenderal Thio dan beberapa orang perwira tinggi yang menemani mereka makan
minum mendengarkan dengan penuh kagum.
“Sungguh
aneh sekali ceritamu itu, Lihiap (Pendekar Wanita)!” Seorang perwira muda
berseru kagum. “Dan di sini juga baru-baru ini terjadi hal yang lebih aneh
lagi... ehhh...” Tiba-tiba dia menoleh kepada Jenderal Thio dengan gugup karena
merasa bahwa dia telah kelepasan bicara.
Jenderal
Thio tertawa sambil mengangguk-angguk. “Ciong-ciangkun, kita berhadapan dengan
sahabat-sahabat baik, tidak ada halangannya menceritakan keanehan itu pada
mereka ini.”
Perwira itu
lalu bercerita dengan hati gembira. Dia masih muda dan tentu saja dia amat
kagum akan kecantikan dan kegagahan Ceng Ceng dan sebagai seorang pemuda yang
normal, tentu saja ingin dia beraksi dan ingin menarik perhatian. Dan ceritanya
memang aneh sekali.....
Kurang lebih
seminggu yang lalu, terjadi hal yang amat mengherankan dan juga menakutkan hati
para prajurit dan para perwira di benteng itu. Di benteng itu terdapat sebuah
menara yang amat tinggi, tetapi menara ini sudah tua dan tidak dipergunakan
lagi setelah menara-menara baru yang lebih baik dan berada di pojok-pojok
benteng dibangun, dan tidak ada yang berani naik ke menara tua itu karena anak
tangganya sudah banyak yang runtuh dan sudah tua. Berbahaya sekali naik ke
sana, bahkan tidak mungkin sampai di puncaknya karena anak tangga ke puncak itu
pun sudah runtuh semua. Akan tetapi pada suatu malam terdengar suara orang
meniup suling di puncak menara itu dan kadang-kadang terdengar suara laki-laki
bernyanyi dengan nada sedih!
Biar pun
para prajurit adalah orang-orang yang tidak mengenal takut dan sudah biasa
menghadapi maut di medan perang, akan tetapi menghadapi keanehan ini mereka
merasa ngeri dan takut! Apa lagi karena menara ini terkenal sebagai tempat
angker yang ada setannya karena dahulu pernah ada seorang prajurit yang tewas
ketika sedang berjaga di puncak menara, tewas tanpa diketahui sebabnya.
Kadang-kadang di tengah malam tampak ada bayangan berkelebat ke atas puncak
atau turun dari puncak, bayangan yang demikian cepat gerakannya, sehingga tidak
mungkin kalau bayangan manusia. Semua prajurit di benteng itu mengira bahwa itu
tentulah bayangan hantu, bayangan roh penasaran dari prajurit yang mati berjaga
itu.
“Keanehan
itu terjadi setiap malam sampai tiga hari yang lalu,” demikian perwira muda itu
melanjutkan ceritanya, tersenyum gembira penuh lagak ketika dia melihat betapa
Ceng Ceng amat tertarik dan tanpa berkedip memandang kepadanya! Tentu saja Ceng
Ceng tertarik sekali oleh cerita itu karena dia menyangka tentu bayangan itu
adalah pemuda yang dicarinya.
“Apakah
sekarang dia masih berada di atas menara?” otomatis dia bertanya.
Perwira muda
itu menggeleng kepala. “Sayang, hal itu berakhir tiga hari yang lalu. Pada tiga
hari yang lalu, di benteng ini muncul pula seorang kakek yang luar biasa
anehnya, punggungnya bongkok sekali...”
“Ahhh...!”
Ceng Ceng dan Topeng Setan berbareng mengeluarkan seruan kaget ini karena
mereka sudah menduga siapa adanya kakek bongkok itu.
“Dia datang
dan bertanya kepada kami apakah kami melihat muridnya, seorang pemuda tinggi
besar yang tampan... Dia datang di waktu lewat senja dan pada saat itu
terdengar suara melengking dari atas menara, suara orang meniup suling dengan
nada yang merawankan hati. Kami semua ketakutan, akan tetapi kami hendak
mempermainkan kakek bongkok itu. Kami mengatakan bahwa murid yang dicarinya itu
berada di atas menara!”
“Hemmm...”
Topeng Setan menggeram.
“Kami
tadinya hanya ingin main-main saja, tetapi siapa kira. Kakek yang kelihatannya
bongkok dan lemah itu tiba-tiba menggerakkan lengan bajunya yang lebar dan...
dia terbang ke atas!”
“Terbang...?”
Ceng Ceng juga tertarik sekali dan tak disadarinya dia bertanya.
“Ya,
terbang! Dia terbang ke atas puncak menara yang amat tinggi itu! Tentu saja
kami semua menjadi bengong dan ketakutan. Kiranya kakek itu pun adalah seorang
hantu yang mencari kawannya! Suara suling itu berhenti dan tidak lama kemudian
tampak dua sosok bayangan berkelebat, melayang turun dari puncak menara itu dan
lenyap entah ke mana. Nah, sejak saat itu, tiga hari yang lalu, hantu-hantu itu
tidak pernah muncul lagi.” Perwira itu bergidik, merasa ngeri sendiri
menceritakan peristiwa itu.
Keadaan
menjadi sunyi senyap. Jenderal Thio yang sudah berpengalaman luas lalu berkata,
“Tentu saja cerita itu mungkin berlebihan, Nona. Menurut pendapatku, yang
berada di menara itu adalah seorang kang-ouw yang aneh dan berilmu tinggi, dan
bukan tidak mungkin bahwa kakek yang datang itu adalah gurunya.”
Ceng Ceng
mengangguk-angguk. “Mungkin sekali... bahkan, kuyakin begitulah!”
Topeng Setan
menoleh kepadanya dan Ceng Ceng juga memandangnya. “Bagaimana pendapatmu,
Paman?” Tiba-tiba Ceng Ceng bertanya kepada orang bertopeng itu.
“Huh? Oh,
mungkin sekali begitulah,” akhirnya dia berkata seperti orang baru sadar dari
lamunannya.
Setelah
mendengar cerita itu, Ceng Ceng melamun. Agaknya tidak keliru lagi, tentu
pemuda laknat itulah pemuda yang bersuling, bernyanyi dan menulis sajak-sajak
cinta gagal itu! Siapa lagi kalau bukan dia? Akan tetapi sekarang pemuda itu
telah berkumpul dengan gurunya, Si Dewa Bongkok yang lihai dan tentu diajak
pulang ke Istana Gurun Pasir. Jadi tepat dugaan Topeng Setan bahwa mencari
pemuda itu harus di tempat tinggal gurunya.
Akan tetapi,
pemuda itu sendiri sudah begitu lihai. Apa lagi kini ditambah gurunya dan
mungkin tokoh-tokoh lain di dalam Istana Gurun Pasir. Ceng Ceng melirik ke arah
‘pembantunya’ yang duduk melamun sambil memegang cawan arak karena mereka semua
sudah selesai makan. Jagonya inilah yang diharapkannya, karena kalau dia
seorang diri yang harus membalas dendam, baru menghadapi pemuda laknat itu saja
tidak mungkin dia menang. Jagoannya ini makin lihai saja. Entah bagaimana
agaknya tiap hari tambah maju saja ilmu kepandaian orang ini. Dapatkah Si Buruk
Rupa ini menandingi Dewa Bongkok dan muridnya? Dapatkah Si Buruk Rupa ini
diandalkannya? Si Buruk Rupa... ah, buruk?
Belum tentu!
Pamannya ini belum tentu buruk, kalau bentuk tubuhnya sih gagah perkasa
melebihi semua pria yang pernah dilihatnya! Ahh, apa pula yang dipikirkannya
ini? Ceng Ceng diam-diam memaki dirinya sendiri. Paman Topeng Setan ini sudah
seperti ayahnya sendiri, gurunya sendiri, pelindungnya yang amat setia.
Betapa pun
juga, mungkin karena pengaruh arak wangi yang amat lezat suguhan Jenderal Thio,
Ceng Ceng melirik ke arah Topeng Setan, memandang dengan tajam ke arah topeng
itu, menerka-nerka bagaimana bentuk wajah di balik topeng itu. Bagaimana sih
rupa di balik topeng itu? Tiba-tiba pandang matanya seperti terasa oleh Topeng
Setan. Dia menoleh dan balas memandang. Dua pasang mata bertemu dan Ceng Ceng
tersipu-sipu melengos ketika pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang
mencorong itu.
Pada
keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan mereka meninggalkan benteng itu.
Mereka berdua menolak ketika Jenderal Thio menawarkan dua ekor kuda untuk
mereka, akan tetapi karena didesak-desak, akhirnya mereka menerima bekal
buntalan yang terisi kain, roti kering, dan beberapa potong uang emas dan
perak. Bekal seperti ini ada perlunya juga. Maka mereka tidak malu-malu kucing
lagi untuk menerimanya, karena diberikan dengan hati yang tulus ikhlas.
Ketika
mereka tiba di dusun dekat Lembah Bunga Hitam, di mana orang-orang golongan
beracun yang dipimpin Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek dulu tinggal, Ceng Ceng berhenti.
Hatinya terharu mengingat tempat ini. Setelah dia keluar dari sebuah sumur,
yang merupakan terowongan tembusan sumur maut, dia tiba di tempat ini dan
melihat seorang pemuda tinggi besar, tampan dan gagah di dalam kerangkeng! Dia
menuju ke sumur itu dan duduk termangu-mangu di situ, tidak mempedulikan Topeng
Setan yang memandangnya dengan sedih.
Masih
terbayang oleh Ceng Ceng betapa dia menolong pemuda itu, melarikan
kerangkengnya dan bersembunyi di dalam gua. Dia berusaha membebaskan pemuda itu
dari dalam kerangkeng dan teringat dia betapa pemuda itu berkeras melarangnya!
Betapa anehnya. Pemuda itu melarangnya membuka kerangkeng! Akan tetapi dia
memaksa dan akhirnya kerangkeng terbuka dan...
“Ahhhhh...!”
Topeng Setan
terkejut mendengar jerit tertahan ini. Dia cepat melompat mendekat dan Ceng
Ceng baru sadar betapa dalam melamun tadi dia sampai mengeluarkan jeritan.
“Kenapa,
Ceng Ceng?”
“Tidak
apa-apa, Paman, aku hanya melamun dan teringat peristiwa dahulu. Di sinilah
tempatnya, Paman. Di sinilah aku menolong pemuda laknat itu. Dia berada di sana
itu, di dalam kerangkeng dan dijaga oleh beberapa orang anak buah Lembah Bunga
Hitam. Aku keluar dari sumur ini di mana aku bersembunyi, dan aku melawan
mereka, lalu aku membawa lari kerangkeng itu di mana pemuda laknat itu masih
terkurung.”
Topeng Setan
mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
Tempat itu sekarang
sunyi, tidak ada seorang pun manusianya dan pohon-pohon di situ tumbuhnya tidak
sehat seperti dimakan penyakit atau daun-daunnya dimakan ulat. Padahal itu
adalah akibat dari perang racun antara golongan Lembah Bunga Hitam dan golongan
Pulau Neraka yang masing-masing mempergunakan racun-racun jahat.
“Ceng Ceng,
apakah sebelumnya engkau sudah mengenal pemuda itu?”
“Sama sekali
belum. Selama hidupku, baru satu kali itu aku melihat dia, yaitu di dalam
kerangkeng itu.”
“Hemm...
kalau begitu... kalau begitu mengapa engkau menolongnya? Apakah kau tahu
mengapa dia di dalam kerangkeng?”
Ceng Ceng
mengerutkan alisnya, menyesal mengapa dia dahulu menolong pemuda itu! “Aku
tidak tahu, akan tetapi melihat dia dikerangkeng seperti binatang itu, aku...
aku merasa kasihan. Maka aku kemudian menolongnya. Aku dikejar dan aku
melarikan kerangkeng itu ke sana, jauh ke sana di mana aku membawa kerangkeng
itu sembunyi di dalam goa.”
Topeng Setan
menggeleng kepala. “Sunggguh aneh. Engkau baru saja mengenalnya, engkau tidak
tahu pula mengapa dia dikerangkeng, dan kau sudah berani melarikannya dan
menentang orang Lembah Bunga Hitam. Apakah yang mendorongmu senekat itu
sehingga kau berani menentang bahaya untuk menolong orang yang tidak kau
kenal?”
Ceng Ceng
termangu, lalu mengangguk-angguk. Terhadap Paman Topeng Setan ini, ia takkan
menyimpan rahasia apa-apa lagi. Semua peristiwa itu pun sudah dituturkannya.
Orang ini seperti ayahnya sendiri dan dia akan menceritakan apa pun, yang
paling rahasia sekali pun.
“Pertanyaanmu
aneh, akan tetapi patut dipikirkan, Paman. Sudah kukatakan tadi bahwa mula-mula
aku merasa kasihan kepadanya, kemudian, melihat wajahnya yang tampan dan gagah
aku... eh, terus terang saja, aku menjadi tertarik kepadanya. Dia sebetulnya
gagah sekali, Paman. Belum pernah aku melihat pria segagah dia, sangat gagah
dan tampan...”
“Tampan mana
jika dibandingkan dengan... Suma Kian Lee atau Pangeran Yung Hwa misalnya?”
tiba-tiba Topeng Setan bertanya.
“Hemmm...
Paman Kian Lee dan Pangeran Yung Hwa juga tampan sekali, akan tetapi
sesungguhnya, menurut pendapat hatiku, tidak ada yang dapat melawan daya tarik
pemuda itu. Dia gagah dan tampan, aku tertarik sekali, akan tetapi siapa nyana,
di balik ketampanan dan kegagahannya itu ternyata bersembunyi moral yang
bejat!”
Hening
sejenak dan Topeng Setan menundukkan mukanya, agaknya berpikir-pikir. Ceng Ceng
terbenam ke dalam lamunannya sendiri. Sesaat kemudian, Topeng Setan bertanya,
“Lalu bagaimana, Ceng Ceng?”
“Setelah
bersembunyi di dalam goa, aku lalu berusaha membuka kerangkengnya untuk
membebaskannya, akan tetapi dia menolak dengan keras...”
“Ehhh?”
Topeng Setan terkejut. “Dia menolak? Mengapa? Dia akan kau bebaskan dan dia
menolak? Mengapa?”
“Dia menolak
dengan keras ketika hendak kubuka kerangkeng itu. Pemuda itu mukanya merah
padam dan beringas menakutkan, matanya merah dan agaknya dia berada dalam
keadaan keracunan.”
“Hemmm...
lalu bagaimana?”
“Aku paksa
membuka kerangkengnya. Dia terbebas dan... dan... dia menubrukku, dia memeluk
dan menciumiku...”
“Hemmm,
bedebah...!”
“Akan tetapi
dia mengeluh dan meloncat bangun, lalu dia memandangku dengan mata merah,
seperti orang berjuang keras dengan dirinya sendiri, meragu dan seperti hendak
menyerang diri sendiri. Akhirnya dia meloncat keluar dari dalam goa! Aku masih
rebah dengan jantung berdebar dan tubuh lemas. Pemuda itu kuat bukan main
sehingga ketika ditubruknya tadi aku sama sekali tidak mampu melawan...”
“Hemm, dia
lari katamu? Dia tidak mengganggumu lagi?”
“Itulah yang
tadinya kusangka. Hatiku sudah lega. Akan tetapi, tiba-tiba saja dia muncul di
depan goa, lalu dia menubrukku, aku meronta dan berusaha melawan sekuat tenaga,
akan tetapi sia-sia saja. Dia amat kuat dan dia... dia lalu menggagahi aku,
dia... dia memperkosaku... Paman, ahhh, Paman...”
“Anjing
keparat! Jahanam busuk! Kau memang layak mampus!” Tiba-tiba Topeng Setan
menampar kepalanya sendiri.
“Plakkk...!”
Dan dia roboh terpelanting.
“Paman...!”
Ceng Ceng terkejut dan menubruk. “Ehhh, Paman, mengapa...? Mengapa Paman
menampar kepala sendiri?”
Topeng Setan
menyeringai kesakitan. Kalau saja dia tidak mempunyai tenaga mukjijat dari
Sin-liong-hok-te, sebelum ilmu mukjijat ini dikuasainya, tentu dia sudah mampus
sekarang terkena tangannya yang tadi memukul untuk membunuh! Dia sadar dan
berkata, “Tidak apa-apa. Saking marahku tadi aku sampai lupa diri! Aku
bersumpah, kau akan bertemu dengan dia, kau akan berkesempatan untuk melakukan
hukuman sendiri kepadanya, Ceng Ceng. Terlampau enak baginya kalau dia mampus
sebelum menerima siksaan dan hukumanmu. Aku akan menyerahkan dia ke depan
kakimu!”
“Tapi...
tapi... bukankah itu sukar sekali, Paman? Dia telah dibawa pulang oleh Si Dewa
Bongkok, apakah Paman mampu melawan mereka?”
“Akan
kuusahakan sampai titik darah terakhir agar engkau dapat menghukum si laknat
itu, Ceng Ceng!”
“Paman...
Paman... engkaulah orang termulia di dunia ini!” Ceng Ceng menjatuhkan dirinya
merangkul kaki Topeng Setan dan berlutut.
Dada yang
bidang itu naik turun bergelombang ketika dia menunduk dan memandang kepala
dara yang berlutut di depan kakinya itu. Dengan halus dia lalu membangunkan
Ceng Ceng.
“Sudahlah,
mari kita melanjutkan perjalanan ke Istana Gurun Pasir, Ceng Ceng.”
“Nanti dulu,
Paman. Aku... aku ingin sekali... menengok tempat itu. Sekali lagi...”
“Tempat apa?
Di mana?”
“Goa itu...”
“Ya Tuhan!”
Topeng Setan berteriak dan memegangi kepalanya. “Kau... kau malah ingin melihat
tempat itu, tempat di mana perbuatan terkutuk, di mana kelaknatan itu terjadi?”
“Aku ingin
melihatnya sekali saja, Paman.” Ceng Ceng mengangguk dan menunduk, malu kepada
diri sendiri mengapa dia tidak menjauhi tempat itu dengan jijik, sebaliknya
malah hendak menengoknya, seolah-olah tempat itu merupakan tempat kenangan yang
indah!
Topeng Setan
menghela napas dan menurut saja, mengikuti gadis itu menuju ke goa jauh di
depan. Ketika tiba di depan goa, Ceng Ceng memandang ke sekeliling, lalu
memejamkan matanya dan terbayanglah peristiwa itu. Dia menggigit bibir dan
membuka kembali matanya, lalu dia melangkah perlahan-lahan memasuki goa besar
itu. Tiba-tiba dia berhenti, mukanya berubah pucat dan matanya terbelalak
memandang ke depan.
“Ada apa,
Ceng Ceng?” Topeng Setan yang juga berhenti itu bertanya, suara orang ini agak
gemetar, agaknya Topeng Setan yang sakti itu pun merasa seram memasuki goa ini!
“Sssttt...
Paman... ada asap... tentu ada orangnya, jangan-jangan dia... harap Paman
waspada dan suka membantuku!”
Ceng Ceng
berindap masuk ketika melihat ada asap mengepul dari dalam goa itu. Tidak salah
lagi, pikirnya. Dengan hati berdebar penuh ketegangan Ceng Ceng berindap-indap
memasuki bagian yang paling dalam dari goa itu dan... ternyata tempat itu
kosong tidak ada orangnya. Hanya kelihatan ada bekas api unggun yang masih
berasap dan ada beberapa potong pakaian wanita yang agaknya habis dicuci dan
dibentangkan di situ.
Tiba-tiba
Topeng Setan berbisik, “Ssssttt... mari keluar, ada suara orang di luar!”
Mendengar
ini, Ceng Ceng cepat membalik dan mengikuti temannya itu keluar goa dan mereka
cepat bersembunyi di balik sebuah batu besar di depan goa itu. Kini Ceng Ceng
juga mendengar suara itu, suara seorang wanita, “Aihhh, kelinci gemuk, kau
berani datang mengantar nyawa, ya?”
Tentu saja
Ceng Ceng terkejut sekali dan sudah siap menghadapi lawan sambil melirik Topeng
Setan yang kelihatan tenang-tenang saja itu. Suara wanita itu disusul suara
senandung merdu dan kini suara itu makin dekat. Tak lama kemudian, Ceng Ceng
yang mengintai dengan hati tegang itu melihat seorang dara muda muncul dan
sepasang mata Ceng Ceng terbelalak, mulutnya tersenyum ketika dia mengenal
bahwa dara itu bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo!
Dara cilik
itu sedang berjalan sendirian sambil bersenandung, wajahnya yang cantik itu
kemerah-merahan dan berseri-seri, kedua tangannya memondong seekor kelinci
putih gemuk yang agaknya dia tangkap di jalan tak jauh dari tempat itu.
“Aihhh,
kiranya engkau, bocah nakal!” Ceng Ceng yang entah mengapa dia sendiri tidak
tahu menjadi lega hatinya karena tidak bertemu dengan si pemuda laknat, kini
keluar dan menegur, diikuti oleh Topeng Setan dari belakang.
Hwee Li
terkejut bukan main sampai melemparkan kelinci ke bawah dan cepat dia menengok,
sepasang matanya yang lebar jeli itu terbelalak.
“Ehhh,
kiranya Subo!” Teriaknya dan dia lari menghampiri Ceng Ceng dan memegang tangan
gadis itu dengan sikap manja. “Subo, sudah terlalu lama aku menanti, mengapa
Subo tidak lekas-lekas mengajarkan ilmu tentang racun kepadaku?”
Ceng Ceng
memang merasa suka kepada dara remaja ini, bukan hanya karena dia pernah
ditolong dan dibebaskan, juga karena melihat dara ini cantik manis sekali dan
berwatak polos dan periang serta jenaka, jauh berbeda dengan ayahnya yang kejam
dan jahat. Maka dirangkulnya gadis cilik itu. “Kelak kalau aku sudah ada waktu,
Hwee Li. Bagaimana engkau bisa berada di sini? Dengan siapa? Dan apakah kau
tinggal di dalam goa itu?”
Dara remaja
itu cemberut, kelihatannya dia jengkel sekali. “Ayah selalu meninggalkan aku,
Subo. Aku mencari jejaknya sampai ke sini, akan tetapi dia hilang lagi. Siapa
tidak menjadi gemas mempunyai ayah seperti dia yang tak mempedulikan anaknya?
Semua ini gara-gara Bibi Lauw Hong Kui yang selalu menyeret Ayah ke dalam
petualangan-petualangan itu. Subo, kau ajak aku, ya... ehhh, siapa dia ini?
Tentu jahat sekali, Subo.” Hwee Li memandang kepada Topeng Setan dan kelihatan
takut.
“Dia ini
Paman Topeng Setan, tidak perlu kau takut dan jangan mengatakan jahat karena
dia adalah seorang pendekar besar,” jawab Ceng Ceng.
Akan tetapi
Hwee Li masih memandang dengan penuh keraguan. “Seorang pendekar biasanya
berwajah gagah, tidak seperti ini. Akan tetapi karena dia memakai topeng, aku
percaya bahwa di balik topeng itu tentu tersembunyi wajah yang gagah tampan,
boleh aku membuka topengmu?”
Dengan sikap
lincah Hwee Li menghampiri Topeng Setan dan hendak membuka topeng itu. Tentu
saja Topeng Setan melangkah mundur dan melindungi topengnya.
“Hwee Li,
jangan kurang ajar kau! Mundur!” Ceng Ceng membentak dan Hwee Li segera mundur
dengan cemberut.
“Boleh jadi
dia pendekar besar, akan tetapi dia tidak adil dan penakut!” Dara remaja ini
memandang kepada Topeng Setan dengan sikap menantang.
“Hemmm, Nona
cilik, mengapa kau mengatakan aku tidak adil dan penakut?” Topeng Setan
bertanya.
“Engkau
tidak adil karena kau bisa melihat dan mengenal wajahku dan wajah semua orang,
tetapi sebaliknya aku tidak bisa melihat wajahmu. Apakah itu adil namanya? Dan
biar pun Subo mengatakan kau seorang pendekar besar, mana bisa disebut gagah
dan tidak penakut kalau kau selalu bersembunyi di belakang topeng?”
Menghadapi
dara cilik yang lincah dan pandai bicara ini, Topeng Setan kewalahan dan tidak
mampu menjawab. Ceng Ceng yang melihat ini segera maju menolong pendekar itu.
“Hwee Li, diam kau, jangan cerewet. Aku tak akan mengajakmu kalau kau cerewet!”
Wajah dara
cilik itu menjadi girang sekali. Dia cepat memegang lengan Ceng Ceng dan
berkata, “Subo mau mengajakku? Ah, terima kasih, dan aku tidak akan berani
nakal dan banyak cerewet lagi!”
Ceng Ceng
baru teringat bahwa dia sudah kelepasan bicara. Mengajak bocah ini hanya akan
menghambat perjalanan saja. Akan tetapi dia sudah terlanjur bicara, maka dia
lalu membelokkan persoalan dengan bertanya, “Jadi engkau sendirian di sini?
Pakaian siapa di dalam goa itu?”
Nona cilik
itu tertawa, nampak deretan giginya yang putih seperti mutiara. “Pakaianku,
Subo. Tadi kucuci, sudah kotor sih! Lalu aku merasa lapar dan... ehhh, mana
kelinciku yang gemuk tadi?” Dia teringat kelincinya dan mencari-cari. Tentu
saja binatang itu sudah sejak tadi melarikan diri tidak dapat ditemukan lagi.
“Wah,
celaka, rugi besar aku...” Dara remaja itu membanting kakinya jengkel.
“Kau lapar,
Nona? Kami membawa bekal roti kering dan daging dendeng kering...,” kata Topeng
Setan menawarkan.
“Benarkah?
Wah, ternyata kau baik sekali, Paman,” katanya melihat Topeng Setan pergi
menghampiri belakang batu besar di mana tadi dia menaruh buntalannya, dan segera
kembali membawa roti kering dan dendeng.
Setelah
makan roti kering dan minum air, Hwee Li lalu berkata, “Subo, sekarang Subo
hendak mengajak aku ke mana?”
Ceng Ceng
mengerutkan alisnya. Dia tadi sudah terlanjur berkata hendak mengajak bocah
ini! “Kami berdua mempunyai urusan yang amat penting dan juga amat berbahaya,
Hwee Li. Karena itu, kau menanti saja di goa ini untuk beberapa lamanya.
Setelah urusan kami selesai, aku pasti akan menjemputmu di sini.”
“Ah, aku
sudah bosan di sini sendirian saja, Subo. Ajaklah aku seperti yang sudah Subo
katakan tadi!”
Ceng Ceng
merangkul pundak ‘muridnya’ itu. “Sungguh menyesal sekali, muridku yang baik!
Kami menghadapi urusan yang sangat penting dan kami tergesa-gesa, kalau engkau
kuajak sekarang, tentu akan memperlambat perjalanan...”
“Wah, Subo
tidak perlu memikirkan hal itu. Aku tidak akan ketinggalan biar Subo dan Paman
ini menggunakan ilmu lari cepat seperti terbang sekali pun. Pendeknya, asal
Subo memperbolehkan aku ikut, Subo tidak perlu menggandeng atau menggendongku,
dan aku pasti akan dapat mengikuti Subo, bahkan bisa pula mendahului kalau
perlu!”
Topeng Setan
terkejut mendengar kata-kata yang sombong dan sikap yang jumawa itu. “Ehh, Nona
cilik, jangan main-main. Benarkah engkau akan dapat mengikuti kecepatan lari
kami?”
“Mengapa
tidak? Ehh, apa Paman pandai terbang?”
“Terbang?”
“Ya, terbang
di angkasa.”
“Tentu saja
tidak bisa!”
“Nah, kalau
begitu apa sukarnya mengikuti Paman dan Subo? Aku akan mengkuti kalian sambil
terbang!”
“Hwee Li,
jangan main-main kau!” Ceng Ceng menegur. “Masa kau bisa terbang?”
Anak
perempuan yang manis itu tertawa. Ceng Ceng tidak mungkin bisa marah. Bocah ini
sama sekali tidak pantas menjadi puteri Hek-tiauw Lo-mo yang menyeramkan itu.
Begini manis dan wajar.
“Subo, tentu
saja aku tidak bisa terbang karena aku tidak mempunyai sayap. Akan tetapi
burungku bisa dan ke mana-mana aku naik burungku itu.”
“Ehh, mana
burung itu?”
“Dia galak
sekali, kalau kupanggil sekarang mungkin akan menyerang Subo dan Paman ini.
Nanti kalau Subo berdua sudah pergi, dia kupanggil dan aku akan mengikuti Subo.
Bolehkah?”
Ceng Ceng
kini tidak dapat menolak lagi. “Sesukamulah. Akan tetapi engkau tidak boleh
nakal dan harus menurut semua omonganku.”
“Baik, Subo,
baik. Ahhh, Subo manis sekali!”
Mau tidak
mau Ceng Ceng tersenyum. Bocah ini memang menyenangkan dan andai kata dia masih
memiliki ilmu-ilmunya yang beracun dari Ban-tok Mo-li pun dia tidak akan mau
menurunkannya kepada bocah manis ini, karena ilmu itu terlalu keji.
“Nah, kami
akan melanjutkan perjalanan. Kalau burungmu tidak dapat membayangi kami,
sebaiknya kau kembali saja ke sini dan dalam perjalanan pulang aku tentu akan
menjemputmu di sini.”
Gadis cilik
itu hanya mengangguk dan memandang ketika subo-nya dan Topeng Setan melanjutkan
perjalanan menuju ke utara. Setelah mereka itu pergi jauh, barulah dia bersuit
nyaring dan berkali-kali. Tak lama kemudian terdengar jawaban dari atas dan
seekor burung rajawali hitam yang amat besar menyambar turun.
Hwee Li tadi
tidak membohong ketika mengatakan bahwa burungnya ini galak dan suka menyerang
orang asing. Burung itu adalah hek-tiauw (rajawali hitam) dari Pulau Neraka
yang oleh ayahnya ditinggalkan kepadanya untuk melindungi puterinya itu dan
untuk mengantarnya kembali ke Pulau Neraka kalau dikehendaki oleh Hwee Li. Akan
tetapi ternyata bocah ini tidak suka pulang ke Pulau Neraka, lebih senang
berkeliaran ke mana-mana dan mengejar-ngejar ayahnya.
Setelah
mengambil pakaiannya dari dalam goa, Hwee Li meloncat ke atas punggung rajawali
hitam. “Terbanglah, hek-tiauw dan ke sana...!”
Dia menepuk
leher burung itu yang segera meloncat dan membentangkan sayapnya, terbang cepat
ke atas menuju ke utara, yaitu arah yang ditunjuk oleh nona cilik itu.
Ceng Ceng
yang berlari cepat bersama Topeng Setan mengharap agar ‘muridnya’ itu tidak
benar-benar mengejarnya.
“Heran
sekali, engkau mempunyai murid seperti dia, puteri Ketua Pulau Neraka pula.
Akan tetapi memang tidak bisa dielakkan lagi karena seperti telah kau ceritakan
dahulu, dia telah menolong membebaskanmu, Ceng Ceng. Kulihat dia seorang bocah
yang cerdik dan luar biasa sekali.”
“Memang,
tetapi sekarang aku tidak bisa mengajak dia, tentu hanya akan menimbulkan
kelambatan dan kerepotan saja. Mudah-mudahan dia tidak benar-benar mempunyai
burung dan dapat menyusul seperti yang dibualkan.”
Hening
sejenak, kemudian tiba-tiba Topeng Setan tertawa. “Kau terlalu memandang rendah
muridmu itu. Lihat!” Dia menuding ke atas. Ceng Ceng mengangkat mukanya
memandang dan benar saja, di atas mereka kelihatan seekor burung rajawali hitam
besar sedang terbang lewat dengan cepat sekali.
“Subo...!
Hiiiii!!” Hwee Li bersorak dan melambaikan tangannya. Burung itu terbang
berputar-putar dan terus mengikuti ke arah perginya Topeng Setan dan Ceng Ceng.
“Luar biasa
puteri Hek-tiauw Lo-mo itu!” Ceng Ceng berkata. “Mudah-mudahan saja dia tidak
akan membikin keributan.”
Namun
ternyata Hwee Li tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan keributan dalam
perjalanan itu. Kalau malam tiba dan melihat subo-nya dan Topeng Setan
beristirahat, dia pun menyuruh burungnya turun agak jauh dari situ, lalu
membebaskan burungnya dan dia sendiri lalu menghampiri subo-nya, membantu
subo-nya membuat api unggun, mencari binatang hutan untuk dipanggang dan
dimakan bersama. Keesokan harinya, setelah subo-nya dan Topeng Setan berangkat,
dia memanggil hek-tiauw-nya dan kembali naik ke atas punggung burung yang
segera menerbangkannya mengikuti gurunya.
Akhirnya,
pada suatu siang, tibalah Ceng Ceng dan Topeng Setan di depan sebuah istana
setelah melalui perjalanan melintasi gurun pasir selama setengah hari lamanya.
Sungguh aneh sekali, di tengah gurun seperti ini, di tengah lautan pasir,
terdapat sebuah bangunan besar yang begitu megah, kelihatan sunyi sekali dan
karenanya kelihatan ‘angker’ dan keramat.
“Hati-hati,
Paman...” Ceng Ceng berbisik sambil melambaikan tangan ke atas.
Hwee Li
menyuruh burungnya menukik turun, kemudian setelah dekat Ceng Ceng berkata
kepada muridnya sambil mengisyaratkan dengan tangannya, “Kau pergi agak jauh,
jangan ikut turun di sini! Tunggu sampai kami keluar!”
“Baik,
Subo...!” Hwee Li menjawab dengan suara agak mengkal karena dari atas, istana
itu kelihatan aneh dan indah, dan sebetulnya dia ingin sekali turut masuk. Akan
tetapi karena dilarang subo-nya, maka dia lalu menyuruh burungnya terbang
tinggi di atas dan berputaran di sekeliling istana itu.
“Mari kita
masuk, Paman...” Ceng Ceng berkata kepada Topeng Setan setelah melihat burung
dan muridnya itu melayang tinggi dan jauh.
Topeng Setan
mengangguk dan mengikuti gadis itu yang melangkah masuk dengan hati-hati
sekali. Istana itu kuno sekali, akan tetapi buatannya kokoh kuat dan amat
indah, terbuat dari batu-batu berwarna sehingga kelihatan aneh dan mencolok di
tengah gurun pasir yang tandus. Akan tetapi anehnya pula, di belakang dan
samping kiri istana itu terdapat tanaman-tanaman berupa pohon-pohon dan
bunga-bunga, cukup segar dan indah!
Mereka
berdua memasuki gang-gang dan lorong-lorong di dalam istana itu. Berliku-liku
jalannya lorong-lorong itu, diapit-apit tembok tinggi yang penuh ukir-ukiran,
berupa lukisan-lukisan dan huruf-huruf yang tidak dimengerti artinya oleh Ceng
Ceng. Istana ini ternyata luar biasa luasnya, akan tetapi sungguh mengherankan
hati Ceng Ceng mengapa dia tidak bertemu dengan seorang pun di dalamnya.
Padahal
istana itu mempunyai banyak sekali kamar-kamar, ruangan-ruangan dan
halaman-halaman di mana terdapat tanaman-tanaman aneh, pohon-pohon yang tua
sekali akan tetapi kate, tingginya hanya dua tiga kaki, diatur seperti sebuah
taman yang indah dan di tengahnya terdapat kolam ikan emas dengan air memancar
dari tengah-tengahnya! Dan melihat betapa bersihnya tempat itu, terawat baik,
mustahil kalau tidak ada penghuninya.
“Heran
sekali, mengapa kosong, Paman? Apakah penghuninya sedang pergi?” Ceng Ceng
berbisik.
“Hemm...
mungkin begitu...” jawab Topeng Setan, suaranya juga lirih setengah berbisik.
Ceng Ceng
bergidik. Topeng Setan biasanya begitu tabah menghadapi apa pun, akan tetapi
sekarang mendengar suaranya seperti seorang yang merasa ngeri dan jeri! Apa
lagi dia. Dia sudah merasa seram dan longak-longok memandang ke sana-sini.
“Sregggg...!
Sregggg...!”
Ceng Ceng
terperanjat sampai terloncat ketika kesunyian melengang itu mendadak dipecahkan
suara yang amat nyaring ini, suara orang menyapu lantai dengan sapu lidi. Suara
itu terdengar dari halaman yang baru saja mereka lewati, halaman di depan
gedung perpustakaan, seperti yang tertulis di depan pintunya tadi.
Mendengar
suara ini, giranglah hati Ceng Ceng. Tentu itu adalah seorang perawat atau
pelayan rumah besar ini dan dapat ditanyai tentang Kok Cu si pemuda laknat.
Maka secara otomatis kakinya bergerak, berlari cepat menuju ke halaman depan
gedung perpustakaan itu.
Akan tetapi
begitu dia tiba di tempat itu, suara sapuan itu berhenti dan di situ kosong
tidak nampak seorang pun manusia. Hanya dia melihat onggokan daun dan debu di
sudut, bekas sapuan, padahal tadi ketika mereka lewat di sini, daun-daun itu
masih berserakan. Ceng Ceng berdiri termangu-mangu dan memandang ke kanan kiri.
Tampak jelas
bekas goresan sapu lidi di halaman yang cukup luas itu. Sungguh aneh bukan
main! Halaman seluas itu, bagaimana mungkin disapu dalam waktu secepat itu? Dia
baru saja mendengar suara menyapu dan terus lari menghampiri, akan tetapi
tempat itu telah selesai disapu orang dan si penyapu ajaib itu telah lenyap.
Bulu
tengkuknya meremang. Hanya iblis saja yang mampu bekerja secepat ini, atau
kalau manusia, tentu memiliki kepandaian yang tak dapat diukur tingginya.
Keadaan yang sunyi itu, peristiwa yang amat aneh itu, menambah keseraman tempat
yang demikian luas dan kosong. Ceng Ceng terlongong dan memandang ke arah bekas
tempat yang disapu.
Corat-coretan
bekas sapuan itu aneh, tidak seperti biasa, melainkan malang melintang akan
tetapi sangat teratur, setiap goresan bekas sapu lidi demikian panjang dan rata,
lalu ujung-ujung goresan itu makin menipis dan lenyap akan tetapi semua tempat
bersih seolah-olah semua kotaran itu terdorong oleh tenaga mukjijat, bukan oleh
lidi-lidi yang dijadikan satu menjadi sebatang sapu.
Melihat
jarak goresan-goresan itu, awal dan akhir gerakannya, Ceng Ceng terkejut sekali
karena gerakan-gerakan itu bukanlah gerakan orang menyapu biasa sambil
membongkok sedikit, melainkan gerakan orang bermain silat yang aneh! Agaknya
orang atau setan yang menyapu halaman ini, tadi menyapu sambil bersilat! Semua
‘serangan’ ditujukan ke sudut halaman sehingga semua kotoran berkumpul dan
menumpuk secara tepat di tempat itu. Bukan main!
“Sreggg!
Sreggg!”
Ceng Ceng
terloncat kaget dan kini lebih cepat dari tadi, dia meloncat dan berlarian ke
arah suara orang menyapu di bagian depan, di halaman depan ruangan semedhi.
Akan tetapi setibanya di tempat itu, dia hanya melihat berkelebatnya bayangan
orang yang cepat sekali meninggalkan lapangan yang sudah disapu itu!
Dia hendak
mengejar, akan tetapi kembali sudah terdengar suara orang menyapu, kini di
sebelah kiri. Dia lari mengejar ke tempat itu, hanya untuk mendapatkan halaman
lain yang sudah bersih dan hanya tinggal ada bekas-bekasnya saja seperti tadi.
Sampai lima enam kali dia dipermainkan suara orang menyapu ini sehingga dia
merasa mendongkol bukan main. Agaknya orang itu bukannya menyapu, melainkan
sengaja mempermainkan aku, demikian bisik hatinya yang panas.
Dan
dibandingkan dengan orang itu, kepandaiannya sendiri agaknya tidak ada artinya.
Akan tetapi dia tidak takut. Kalau dia bertemu dengan pemuda laknat musuh
besarnya itu di sini, dia sudah siap untuk menghadapinya dan menyerangnya
mati-matian. Dia kini telah memiliki tenaga mukjijat, khasiat anak naga itu.
Di dalam
perjalanan, dia sudah memperoleh petunjuk-petunjuk dari Topeng Setan sehingga
kini sedikit demi sedikit Ceng Ceng sudah mampu memanfaatkan tenaga mukjijatnya
itu, sungguh pun belum seluruhnya dan belum sempurna. Menurut keterangan Topeng
Setan, kalau dia sudah mampu menguasai seluruh tenaga mukjijat itu, maka di
dunia ini jarang ada yang akan mampu menandingi kekuatan sinkang-nya.
“Paman...”
Dan Ceng Ceng terkejut sekali, baru teringat sekarang bahwa sejak tadi dia
meninggalkan Topeng Setan dan sejak tadi kawannya itu tidak ada lagi di
belakangnya!
“Ahh, di
mana dia...?” Ceng Ceng memandang ke kanan kiri.
Dia sampai
lupa pada Topeng Setan karena digoda oleh tukang sapu yang dikejarnya ke sana
ke mari. Dia lalu mencari ke mana-mana, akan tetapi istana itu luas bukan main,
banyak sekali lorongnya sehingga dia sudah lupa lagi di mana tempat dia
meninggalkan kawannya itu tadi. Dia seolah-olah telah ‘dipancing’ untuk
meninggalkan Tapeng Setan. Celaka, pikirnya, tentu pihak musuh sengaja
menggunakan siasat memecah-belah mereka berdua sehingga tidak dapat saling
menjaga dan saling menolong!
“Paman...!”
Dia mulai berteriak memanggil sambil berlari ke sana-sini, hatinya penuh
ketegangan.
Dia memasuki
setiap lorong, membuka setiap kamar yang amat banyak jumlahnya. Akan tetapi
semua kamar kosong. Kosong dan sunyi melengang. Dia merasa panik dan seram,
bulu tengkuknya meremang. Hari sudah mulai gelap agaknya, ataukah karena istana
itu amat tinggi maka matahari yang sudah mulai condong ke barat itu terhalang
sinarnya? Dia sendirian saja di istana yang angker ini, dan menghadapi
tembok-tembok yang kokoh kuat dan tinggi itu, dia merasa dirinya amat kecil.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment