Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 12
Siapakah
pemuda tampan berkuda yang hampir menubruk Kian Bu dan Kian Lee? Melihat
she-nya, tentu pembaca sudah dapat menduga siapa orangnya. Dia memang Ang Tek
Hoat, pemuda yang menjadi amat lihai setelah dia mewarisi kitab-kitab dari para
datuk Pulau Neraka yang dibawa oleh tokoh Pulau Neraka Kong To Tek.
Seperti
telah dituturkan di bagian depan, pemuda itu telah menghambakan diri kepada
Pangeran Liong Bin Ong, pangeran yang mengusahakan pemberontakan tersembunyi
terhadap Kaisar, bersama adiknya, Pangeran Liong Khi Ong. Telah kita ketahui
bahwa Tek Hoat berhasil menyelamatkan Ceng Ceng dari perahu yang terguling dan
dia tidak mau mengganggu dara itu karena maklum bahwa Ceng Ceng adalah adik
angkat Puteri Syanti Dewi yang diam-diam telah merampas hatinya! Tadinya dia
mengharapkan akan dapat menemukan puteri itu melalui Ceng Ceng, akan tetapi
kemudian mendongkollah hatinya ketika mendapatkan kenyataan bahwa dara itu pun
sama sekali tidak tahu di mana adanya Syanti Dewi. Apa lagi sikap Ceng Ceng
amat mengganggunya.
Maka, ketika
dia mengadakan pertemuan dengan Pangeran Liong Khi Ong di sungai dalam hutan
itu dan kembali ke tempat dia meninggalkan Ceng Ceng dia melihat bahwa dara itu
telah lenyap, dia pun tidak begitu mempedulikan. Agaknya lebih baik kalau dia jauh
dari dara yang galak dan berbahaya itu, pikirnya. Dia pun lalu mulai
mencari-cari Syanti Dewi, bukan hanya memenuhi perintah Pangeran Liong Khi Ong,
akan tetapi juga untuk kepentingan hatinya sendiri karena pemuda ini sudah
jatuh hati kepada Puteri Bhutan yang lemah lembut itu!
Akan tetapi,
usahanya telah gagal. Tak ada seorang pun tahu di mana adanya Syanti Dewi.
Hanya dia memperoleh keterangan tentang adanya seorang pria setengah tua
bersama seorang dara cantik dan asing melakukan perjalanan ke utara. Maka dia
hendak menyusul dan mencari ke utara setelah lebih dulu dia menghadap Pangeran
Liong Bin Ong dan menceritakan semua hasil pekerjaannya.
Pangeran ini
malah memberi tugas yang amat penting baginya, yaitu untuk memimpin rombongan
kaki tangan pangeran itu menghadang, menculik atau membunuh Jenderal Kao Liang
yang sedang menuju ke kota raja memenuhi panggilan Kaisar!
Demikianlah,
pemuda berkuda yang mengadakan perundingan dengan lima orang kaki tangan
pemberontak itu adalah Ang Tek Hoat. Sama sekali pemuda ini tidak menyangka
bahwa gerak-geriknya sudah diketahui oleh dua orang pemuda laln, dua orang
putera dari Pulau Es yang amat lihai!
Jenderal Kao
Liang sudah merasa tak enak hatinya semenjak dia meninggalkan kereta. Sebagai
seorang panglima perang yang hidupnya selalu berhadapan dengan bahaya maut,
agaknya di dalam dirinya sudah terdapat ketajaman perasaan apa bila dia
terancam bahaya. Maka di samping kekecewaannya dan penyesalannya akan peristiwa
yang menimpa dirinya, dipanggil oleh Kaisar tanpa sebab dan secara tiba-tiba
itu, diam-diam dia telah mempersiapkan diri untuk menjaga dirinya baik-baik,
karena dia hampir merasa yakin bahwa di balik panggilan Kaisar ini tentu
tersembunyi sesuatu yang mengancam keselamatan dirinya.
Pagi-pagi
rombongan itu mulai meninggalkan dusun, diantar dan ditonton oleh semua
penduduk dusun itu, dan tentu saja, seperti kebiasaan di jaman itu, bahkan
kebiasaan di jaman dahulu sampai sekarang, para pembesar setempat tidak
melupakan ‘kewajiban’ mereka untuk membekali apa-apa yang berharga untuk
pembesar utusan Kaisar yang mulia berikut seluruh perwira dan pasukan
pengawalnya, dengan harapan tentu saja bahwa jasa baik mereka ini akan
memperoleh imbalan dari atasan atau setidaknya pujian yang akan memperkuat
kedudukan mereka sebagai pemimpin dusun itu!
Akan tetapi,
mereka itu sama sekali tidak berani memberi sesuatu kepada Jenderal Kao dan
kedua orang pengawalnya, karena mereka sudah cukup mengenal akan watak jenderal
ini yang pasti akan marah keras kalau ada pembesar setempat memberi apa-apa
kepadanya secara tidak wajar dan tidak semestinya.
Dengan
gembira, kecuali Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya yang maklum dan dapat
merasakan kedukaan pemimpin mereka, rombongan itu meninggalkan dusun menuju ke
bukit di depan. Setelah melewati bukit yang melintang di depan itu, mereka akan
tiba di daerah yang makmur dan ramai, di mana banyak terdapat kota dan dusun
yang akan menyambut mereka dengan penuh penghormatan dan perjalanan tidaklah
begitu sukar lagi seperti di daerah padang pasir ini.
Masih
teringat oleh utusan Kaisar dan para pengikutnya betapa di kota-kota dan
dusun-dusun di seberang perbukitan itu, ketika mereka berangkat ke utara,
mereka disambut dengan segala kehormatan dan keramahan. Masih terasa oleh
mereka akan keramahan beberapa orang pembesar setempat, sedemikian ramahnya
mereka sehingga selain hidangan makanan lezat dan bekal perak dan emas, juga di
waktu bermalam mereka disuguhi wanita-wanita cantik untuk menemani dan
menghibur mereka! Sungguh suatu pelayanan istimewa yang dipergunakan oleh para
pembesar dalam menjamu tamu-tamu agungnya, pelayanan yang juga sudah ada
semenjak jaman kuno sampai sekarang!
Hari itu
cuaca panas sekali. Matahari memuntahkan cahayanya dengan bebas tanpa
penghalang. Rombongan itu bersama kuda mereka mandi keringat mendaki
perbukitan. Berkali-kali pembesar utusan Kaisar mengeluh panjang pendek.
Baju-baju bulu tebal yang mereka terima sebagai hadiah kepala dusun dan yang
indah dan mahal, yang tadi mereka pakai ketika meninggalkan dusun itu dengan
penuh kebanggaan, kini mulai dirasa mengganggu. Pembesar itu sudah menanggalkan
baju bulunya, meletakkannya di atas pelana kuda di depannya, bahkan membukai
kancing bajunya untuk mengurangi kegerahan. Demikian pula para perwira dan
pasukan pengawal.
Hanya
Jenderal Kao dan dua orang pengawalnya yang tetap saja tidak berubah. Mereka
adalah prajurit-prajurit sejati yang sudah biasa akan segala penderitaan badan,
sudah biasa akan serangan panas hebat dan dingin membeku. Biar pun muka dan
leher mereka penuh keringat, namun mereka tidak pernah mengeluh, dan menganggap
hal ini wajar saja.
“Setan
keparat, panasnya!” Pembesar gendut utusan Kaisar mengeluh dan menyeka muka dan
leher dengan sapu tangan sutera yang sudah basah kuyup. “Dimakan setan aku
kalau pernah menderita kepanasan seperti ini. Dasar keparat! Hayo kita mengaso
di depan sana, di lapangan rumput yang teduh itu!” Ia menunjuk ke depan dan
rombongan itu mempercepat jalannya kuda mereka menuju ke pohon besar sehingga
tempat itu cukup teduh.
Akan tetapi
baru saja mereka semua turun dari kuda di bawah pohon, tiba-tiba Jenderal Kao
Liang meloncat bangun lagi dan berseru, “Awas...!”
Semua orang
terkejut dan memandang. Ternyata tempat itu telah dikurung oleh belasan orang,
dipimpin oleh seorang pemuda tampan dan dua orang kakek aneh, yang seorang
berbaju bulu tebal bermuka putih, yang seorang lagi bertelanjang baju bermuka
merah.
“Hei, kalian
mau apa...?!” Baru saja seorang pengawal membentak demikian, dia sudah roboh
berkelojotan karena perutnya pecah disambar golok seorang di antara mereka!
Tentu saja
kejadian ini membuat semua orang sangat terkejut. Para pengawal segera mencabut
senjata masing-masing, enam orang perwira pengawal meneriakkan aba-aba dan
pasukan itu cepat membentuk lingkaran melindungi pembesar gendut dan Jenderal
Kao.
Pembesar itu
berdiri dengan muka pucat, lalu membusungkan dada dan berkata dengan lantang,
“Heiii, kalian orang-orang gagah, dengarkanlah baik-baik! Aku adalah seorang
utusan istimewa dari Kaisar! Jangan kalian berani mengganggu rombongan kami
karena hal itu berarti pemberontakan!”
Terdengar
suara terkekeh-kekeh yang diikuti oleh suara ketawa semua orang yang mengurung
tempat itu, kecuali Si Pemuda Tampan. Yang terkekeh itu adalah dua orang kakek
aneh tadi. Kakek bermuka merah, bertubuh kurus kering dan bertubuh telanjang
bagian atasnya sambil terkekeh meloncat dan tahu-tahu tubuhnya melayang melalui
kepala para pengawal, dan turun di dekat pembesar utusan Kaisar.
“Memberontak?
Heh-heh, memberontak!” katanya sambil mengeluarkan sebatang pecut baja yang
tadinya melingkari pinggangnya.
“Pemberontak!
Tangkap mereka!” Pembesar gendut itu berteriak, akan tetapi tiba-tiba terdengar
suara meledak, pecut itu menyambar dan pembesar gendut tadi menjerit dan roboh
dengan kepala hampir remuk!
“Manusia
jahat!” Jenderal Kao membentak, dia sudah mencabut pedang dan menerjang ke
depan dengan pedangnya, menyerang kakek telanjang.
“Singg...
tarr... cringgg...!” Jenderal Kao terkejut dan terhuyung ke belakang. Pertemuan
senjata itu membuat lengannya tergetar hebat, tanda bahwa kakek itu memang
lihai bukan main.
“Lam-thian
Lo-mo, tinggalkan dia untukku!” teriak Si Pemuda Tampan dan tubuhnya sudah
melayang ke atas.
Sementara
itu, pasukan pengawal sudah bergerak dan terjadilah perang kecil yang seru di
antara para pengepung dan para pengawal. Enam perwira itu pun mengamuk dengan
senjata mereka. Dua orang kakek kembar itu bukan lain adalah Siang Lo-mo yang
amat lihai.
Mendengar
seruan pemuda tampan yang bukan lain adalah Tek Hoat itu, Lam-thian Lo-mo
tertawa dan meninggalkan Jenderal Kao, lalu bersama saudaranya yang berbaju
bulu mereka berdua mengamuk dan merobohkan para pasukan dengan mudahnya. Mereka
segera dikurung oleh enam orang perwira pengawal.
Sementara
itu, Tek Hoat telah meloncat tinggi ke arah Jenderal Kao sambil membentak,
“Jenderal Kao, kau ikut bersamaku!”
Dari kanan
kiri, dua orang pengawal pribadi jenderal itu menyambut dengan pedang mereka,
menusuk dari kanan kiri ke arah tubuh pemuda tampan yang tidak bersenjata itu.
Tek Hoat mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, dan dengan dua tangan
telanjang dia menyambut datangnya dua pedang dari kanan kiri, menangkap pedang
tajam itu dan sekali dia mengerahkan tenaga, pedang-pedang itu patah! Dua orang
pengawal terkejut sekali, tetapi tampak dua sinar terang menyambar dan dua
orang itu menjerit dan roboh terjengkang, dada mereka tertembus oleh potongan
pedang mereka sendiri yang disambitkan oleh Tek Hoat.
Bukan main
kagetnya hati Jenderal Kao menyaksikan hal itu. Kedua orang pengawal pribadinya
adalah orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi, namun mereka
dirobohkan secara demikian mudah dan aneh oleh pemuda ini.
“Siapa kau?
Mengapa kau menyerang kami?” Jenderal Kao bertanya.
Pemuda itu
tersenyum, tidak menjawab, hanya melangkah maju menghampiri Jenderal Kao,
sikapnya ini bahkan menimbulkan ancaman yang terasa mengerikan. Mendadak
terdengar seruan halus, “Kao-goanswe, tenanglah, serahkan saja pemberontak she
Ang ini kepada kami!”
Dua bayangan
orang berkelebat menyambar. Yang seorang turun di depan Jenderal Kao
melindungi, yang seorang lagi langsung menghantam dengan tangan kosong ke arah
lambung Tek Hoat sambil berteriak, “Manusia sombong, rasakan perhitunganku
ini!” Pemuda yang menyerang ini bukan lain adalah Suma Kian Bu, dan dia pun
telah mengerahkan sinkang memukul lambung lawan.
“Eihhh...!
Desss...!”
Tangkisan
Tek Hoat membuat keduanya terpental dan keduanya terkejut setengah mati. Kian
Bu terkejut karena baru sekarang dia bertemu dengan lawan yang sedemikian
kuatnya, yang membuat pukulannya yang mengandung sinkang Hwi-yang Sin-ciang
tadi membalik karena bertemu dengan hawa pukulan yang amat kuat. Di lain pihak
Tek Hoat juga terkejut karena tangkisannya tadi membuat lengannya tergetar dan
terserang oleh hawa yang amat panas.
Tahulah dia
bahwa pemuda di depannya ini adalah seorang yang amat lihai. Heran juga dia,
mengapa dua orang pemuda ini telah mengenal namanya. Akan tetapi karena pada
saat itu dia menghadapi tugas yang amat penting, yaitu menculik Jenderal Kao,
dia tidak mempedulikan hal ini.
“Siang
Lo-mo, harap kalian hadapi bocah ini!” teriaknya.
Pak-thian
Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo meloncat ke depan dan cambuk baja mereka
meledak-ledak mengancam Kian Lee dan Kian Bu. Dalam waktu singkat kedua orang
kakek kembar ini tadi sudah merobohkan keenam orang perwira yang mengeroyoknya
dengan amukan cambuk mereka!
“Bagus, dulu
kami tak sempat membunuh kalian!” teriak Kian Bu yang cepat menerjang maju
menghadapi cambuk di tangan Lam-thian Lo-mo.
“Tar-tar-tar...
wuuuuttt... desss...!”
Lam-thian
Lo-mo mengeluarkan seruan kaget. Sambaran cambuknya tadi dua kali dapat
dielakkan pemuda itu dan yang ketiga kalinya bahkan ditangkis oleh tangan kiri
pemuda itu, sedang tangan kanan pemuda itu memukulnya dengan dahsyat. Ketika
menangkis dengan tangan kirinya, dia merasakan hawa yang amat dingin menyusup
ke lengannya!
Juga Kian
Lee yang berhadapan dengan Pak-thian Lo-mo, langsung mengirim pukulan yang
paling ampuh, yaitu pukulan Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), ilmu
khas dari Pulau Es. Pukulannya ini membuat cambuk Pak-thian Lo-mo terpental dan
kakek ini terhuyung karena terdorong oleh hawa pukulan yang selain mengandung
hawa dingin sekali, juga amat kuat.
“Pulau
Es...!” Siang Lo-mo berseru hampir berbareng.
“Dulu kalian
menyerang pulau kami, sekarang kalian membantu pemberontak. Manusia-manusia
jahat!” Kian Lee membentak dan dua orang kakak beradik ini kembali telah
menyerang dengan hebatnya. Siang Lo-mo terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya untuk menghadapi dua orang pemuda Pulau Es itu, bahkan berteriak
memanggil teman-temannya untuk membantu mereka.
Sementara
itu, Tek Hoat telah menerjang Jenderal Kao. Jenderal ini yang maklum akan
kelihaian pemuda yang memimpin penyerbuan itu, cepat menggerakkan pedangnya
menyambut dengan serangan dahsyat. Namun dengan amat mudahnya Tek Hoat mengelak
beberapa kali, kemudian tiba-tiba tangan kirinya bergerak ke depan dan uap
hitam menyambar. Jenderal Kao terkejut, sudah cepat mengelak, namun maslh ada
bau uap hitam itu tersedot olehnya.
Tiba-tiba
dia merasa pening dan dia tidak dapat menghindarkan lagi ketika pergelangan
tangannya tercium ujung sepatu Tek Hoat yang tadi telah menggunakan uap
beracun. Pedang jenderal itu terlempar dan di lain saat dia telah roboh
tertotok oleh Tek Hoat yang amat lihai. Andai kata pemuda ini tidak
mempergunakan uap beracun yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Jenderal
Kao, kiranya tidaklah begitu cepat dia dapat merobohkan jenderal yang perkasa
ini.
Namun Tek
Hoat sudah merasa khawatir kalau-kalau tugasnya gagal ketika melihat munculnya
dua orang pemuda yang amat lihai itu, maka dia mengeluarkan kelihaiannya
menggunakan racun, atau pukulan beracun yang dapat mengeluarkan uap hitam, satu
di antara ilmu-ilmu yang dia pelajari dari kitab-kitab para datuk Pulau Neraka.
Cepat bagaikan seekor burung walet, Tek Hoat sudah menyambar tubuh jenderal itu
dan biar pun jenderal itu bertubuh tinggi besar, akan tetapi dengan ringannya
Tek Hoat dapat memanggulnya dan membawanya lari seperti kijang melompat.
Melihat hal
ini, Kian Lee dan Kian Bu terkejut sekali. Mereka mendengar dari Milana bahwa
Jenderal Kao memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan tadi pun mereka sudah melihat
gerak-gerik jenderal itu memang cukup hebat, akan tetapi mereka sama sekali
tidak menyangka bahwa dalam beberapa jurus saja jenderal itu telah dapat
dirobohkan dan ditawan oleh pemuda yang amat lihai itu!
Mereka tentu
saja hendak mengejar dan menolong jenderal yang telah duculik, tetapi Siang
Lo-mo dan beberapa orang pembantunya sudah mengepung dan menyerang mereka
berdua dengan hebat. Kini Siang Lo-mo sudah ingat kepada dua orang pemuda ini.
Beberapa tahun yang lalu, ketika mereka dan beberapa orang tokoh dunia
persilatan golongan sesat menyerbu Pulau Es, dua orang pemuda ini juga membantu
keluarga Pendekar Super Sakti sehingga mereka semua dipukul mundur dan terpaksa
melarikan diri dari Pulau Es.
Dari pukulan
yang mengandung hawa dingin luar biasa, pukulan khas dari Pulau Es karena
kiranya tidak ada tokoh dunia persilatan yang mampu mempergunakan pukulan
seperti itu kecuali keluarga Pulau Es, mereka dapat mengenal Kian Lee dan Kian
Bu. Maka Siang Lo-mo lalu mengerahkan seluruh kepandaian dan para pembantunya
untuk mengepung dua orang pemuda berbahaya ini.
Kian Lee dan
Kian Bu juga maklum bahwa tidak mungkin seorang di antara mereka meninggalkan
arena pertempuran untuk mengejar pemuda yang menculik Jenderal Kao. Pihak
pengeroyok yang dipimpin oleh Siang Lo-mo ini cukup kuat dan berbahaya maka
perlu dilayani oleh mereka berdua. Kalau seorang di antara mereka pergi
mengejar penculik Jenderal Kao, berarti meninggalkan saudaranya terancam
bahaya.
“Kalian
memang pantas dibasmi habis!” Kian Bu berteriak marah sekali.
Kini
gerakannya seperti seekor burung rajawali mengamuk. Biar pun dia dan kakaknya
tidak bersenjata, namun mereka memiliki gerakan yang amat tangkas dan cepat
sekali, bahkan tidak kalah cepatnya oleh gerakan cambuk-cambuk baja di tangan
Siang Lo-mo! Kian Lee dan Kian Bu mengamuk hebat dan dalam gebrakan
selanjutnya, mereka telah merobohkan empat orang pengeroyok dan memaksa Siang
Lo-mo untuk melangkah mundur sampai tiga tindak.
“Lee-ko,
kita basmi mereka!” seru Kian Bu yang sudah marah.
“Tidak,
Bu-te. Mari ikut aku, kita harus menolong Jenderal Kao!” Kian Lee berkata.
Mereka
menggunakan kesempatan selagi para pengeroyok mundur karena gentar menghadapi
sepak terjang mereka, untuk meloncat cepat seperti sepasang rajawali sakti,
meninggalkan lapangan pertandingan secara berbareng.
“Wir-wirrr...!”
“Sing-singgg...!”
“Siuuut...!”
Senjata-senjata
rahasia yang bermacam-macam, ada piauw, paku, jarum dan peluru baja menyambar
ke arah Kian Lee dan Kian Bu. Namun kedua orang muda itu tidak peduli, hanya
melindungi tubuh mereka dengan sinkang, sehingga ketika senjata-senjata kecil
itu mengenai tubuh belakang mereka, senjata-senjata itu runtuh ke tanah seperti
membentur arca baja saja. Hal itu membuat para pembantu Siang Lo-mo memandang
dengan bengong dan terbelalak kaget dan jeri.
“Hanya setan
yang tahu bagaimana bisa muncul dua bocah Pulau Es di sini!” Pak-thian Lo-mo
mengomel. “Hayo kejar mereka!”
Semua
pengawal kaisar telah roboh, termasuk pembesar utusan kaisar dan para perwira,
juga dua orang pengawal pribadi Jenderal Kao. Namun pihak Siang Lo-mo juga
tinggal enam orang lagi, delapan orang bersama mereka, dan kini mereka
melakukan pengejaran. Akan tetapi enam orang pembantu mereka mengejar dengan muka
pucat dan hati jeri, apa lagi mendengar bahwa dua orang pemuda itu adalah
orang-orang dari Pulau Es, nyali mereka sudah terbang sebagian.
Hati Siang
Lo-mo menjadi lega ketika melihat betapa dua orang muda itu mengejar ke arah
jurusan yang keliru, bukan ke jurusan di mana Tek Hoat melarikan Jenderal Kao
seperti yang telah direncanakan semula. Maka dua orang kakek ini bersama
teman-temannya juga terus mengejar seenaknya, apa lagi karena memang dalam hal
ilmu berlari cepat, mereka kalah jauh oleh dua orang muda yang berlari seperti
sepasang rajawali sedang terbang itu.
Kian Lee dan
Kian Bu memang sudah kehilangan jejak Tek Hoat. Penculik Jenderal Kao itu tadi
berlari juga amat cepatnya, sehingga ketika dua orang pemuda Pulau Es itu
menghadapi pengeroyokan Siang Lo-mo dan teman-temannya, Tek Hoat telah lari
jauh dan lenyap.
Kian Lee dan
Kian Bu mengejar tanpa arah. Mereka menduga bahwa tentu Jenderal Kao dibawa
oleh penculiknya menghadap kepada pemberontak, dan mengingat akan percakapan
mereka dengan Milana bahwa pemberontak secara diam-diam dipimpin oleh Pangeran
Liong, mereka menduga bahwa tentu Jenderal Kao dilarikan oleh penculik lihai
itu ke kota raja. Karena ini, maka mereka pun melakukan pengejaran terus menuju
ke kota raja. Sama sekali mereka tidak pernah menyangka bahwa Tek Hoat membawa
jenderal itu ke puncak pegunungan itu, di tempat tersembunyi di dalam hutan
yang sunyi, dan akhirnya memasuki sebuah kuil tua di hutan lebat itu.
Kian Lee dan
Kian Bu mempercepat larinya karena mereka mengambil keputusan bahwa apa bila
mereka tidak berhasil mengejar penculik Jenderal Kao, mereka akan segera
melaporkan hal ini kepada enci mereka, Puteri Milana.
***************
Ceng Ceng
merasa betapa tubuhnya lemas, hampir habis tenaga karena kelelahan dan juga
amat laparnya. Dia memasuki hutan di dekat puncak pegunungan kecil itu dan
melihat sebuah kuil tua di tengah hutan, dia lalu memasukinya dan menjatuhkan
dirinya dengan lemas di atas lantai kuil yang tidak terpelihara dan penuh
dengan lumut karena atap di atas tempat itu sudah berlubang sehingga air hujan
dan sinar matahari dapat menerobos masuk dan menciptakan lumut. Dia mengeluh
perlahan dan memejamkan matanya. Dia tidak mampu untuk menangis lagi. Sudah
habis tangisnya, sudah terkuras kering air matanya. Teringat dia betapa sejak
peristiwa hebat yang terjadi di dalam goa itu, sampai saat ini, dia tidak
pernah makan atau minum!
Tubuhnya
menggigil, gemetar dan perutnya mengeluarkan bunyi. Dia membiarkannya saja,
bahkan kemudian merebahkan diri. Begitu lemas tubuhnya, pening kepalanya dan
kosong perasaannya. Ketika dia pejamkan matanya, terasa tubuhnya seperti
melayang-layang. Aku kelaparan, pikirnya, tubuhku lemas kepalaku pening. Akan
tetapi betapa nikmatnya begini, betapa nikmatnya rebah untuk tidak bangkit
kembali. Betapa enaknya mati, dari pada hidup menanggung aib dan malu,
menanggung derita yang amat hebat.
Tiba-tiba
dia membuka matanya dan seperti ada kekuatan baru, dia meloncat dan berdiri,
mengepal tinjunya, matanya bersinar-sinar dan muka yang pucat itu kini bersinar
kemerahan seperti dibakar.
“Tidak...!
Tidaaaakkk...!” Dia berteriak dan baru sadar bahwa dia berteriak-teriak ketika
mendengar gema suaranya sendiri. Bibirnya bergerak-gerak, akan tetapi kini dia
tidak berteriak lagi. “Aku tidak boleh mati! Aku harus hidup, aku harus mencari
dia, aku harus membunuh dia, baru aku boleh mati!”
Timbul
kembali semangat dan gairahnya untuk hidup ketika di dalam himpitan kedukaan
itu dia teringat akan sakit hatinya, seolah-olah di dalam kegelapan dia melihat
titik terang. Apa lagi sekarang dia memperoleh harapan baru untuk mencari
pemuda laknat yang telah menghancurkan harapan hidupnya setelah dia mendengar
cerita pelayan Si Dewa Bongkok. Pemuda itu katanya menuju ke kota raja!
Jangankan hanya ke kota raja, biar pergi ke neraka sekali pun akan dikejar dan
dicarinya.
Gairah baru
yang timbul itu membuat Ceng Ceng berlari keluar dari kuil dan tak lama
kemudian dia sudah kembali lagi membawa seekor bangkai kelinci dan beberapa
macam buah yang dipetiknya di hutan. Dia memillh tempat yang bersih di dalam
kuil tua, kemudian memanggang daging kelinci dan mengisi perutnya yang sudah
amat lapar.
Setelah
perutnya kenyang, tenaganya pulih maka dia mulai mengantuk karena matanya pun
sangat membutuhkan istirahat. Dia membersihkan kolong meja di belakang sebuah
arca Jilaihud yang besarnya melebihi manusia itu, arca yang tidak terpelihara
dan sudah berlumut karena tertimpa hujan dan cahaya matahari. Seperti seekor
kucing malas, Ceng Ceng merebahkan diri di belakang arca dan melingkar,
sebentar saja dia sudah tertidur.
Ceng Ceng
tidak tahu sama sekali akan apa yang terjadi di luar kuil, tak lama kemudian
dia tidur pulas. Dari dalam hutan, di luar kuil itu, muncullah Ang Tek Hoat
yang masih mengempit tubuh Jenderal Kao Liang, diiringi oleh dua orang lain,
yaitu seorang nenek yang berwajah kejam dan seorang laki-laki tua berkepala
gundul berpakaian pendeta berwarna kuning yang sudah kumal. Hwesio tua bertubuh
tegap itu memegang sebatang toya dan mereka berdua mengiringkan Tek Hoat dengan
wajah yang serius. Mereka ini termasuk kaki tangan pemberontak yang
diperbantukan kepada Tek Hoat di samping Siang Lo-mo yang amat lihai itu.
Setelah tiba
di depan kuil, Tek Hoat melepaskan kempitan lengannya sehingga tubuh jenderal
itu terjatuh ke atas tanah. Jenderal Kao tidak mampu melawan lagi karena kedua
kakinya telah ditotok oleh pemuda lihai itu sehingga lumpuh dan dia hanya mampu
menggerakkan tubuh dari pinggang ke atas.
“Uhhhh...!”
Dengan sukar jenderal itu berhasil bangkit duduk, memandang kepada Tek Hoat
sambil tersenyum mengejek kemudian berkata, “Orang muda, engkau lihai sekali,
Sayang engkau menjadi kaki tangan pemberontak. Setelah kau berhasil menawanku,
tidak lekas membunuh mau menanti apa lagi?”
Tek Hoat
tidak menjawab, hanya memandang tajam, kemudian dia mengeluarkan dari balik
jubahnya yang lebar itu sehelai kertas putih, pit dan bak, kemudian menyodorkan
alat-alat tulis itu kepada Jenderal Kao sambil berkata, “Jenderal Kao, engkau
sudah menjadi taklukan dan tawanan kami. Akan tetapi mati atau hidupmu adalah
engkau sendiri yang menentukannya. Kami memberimu dua pilihan, yaitu engkau
memilih hidup ataukah mati.”
Tek Hoat
menghentikan sebentar kata-katanya, sementara Jenderal Kao mendengarkan dengan
sikap tidak peduli. Kemudian dia melanjutkan, “Kalau engkau memilih hidup,
tulislah pengakuan di atas kertas ini bahwa engkau merencanakan pemberontakan
dan bahwa Panglima Kim Bouw Sin telah berani menentang usaha pemberontakanmu
maka kau lalu menangkapnya. Nah, pengakuanmu itu berarti hidup bagimu karena
engkau akan kubebaskan. Kalau engkau menolak, berarti engkau memilih mati.”
Tiba-tiba
jenderal itu tertawa bergelak. Suara ketawanya bergema sampai jauh dan
terdengar menyeramkan bagi Tek Hoat dan kedua orang pembantunya. Dengan sinar
mata berapi dan wajah membayangkan kegagahan, jenderal yang sudah tidak berdaya
itu menjawab, “Orang muda, siapa pun adanya engkau dan betapa lihai pun engkau,
jangan harap untuk dapat membujuk aku untuk melakukan perbuatan rendah itu
dengan ancaman kematian. Aku orang she Kao adalah seorang laki-laki sejati yang
tidak gentar menghadapi kematian. Bagiku, seribu kali lebih baik mati dalam kebenaran
dari pada hidup bergelimang kehinaan. Andai kata aku memiliki sepuluh nyawa
sekali pun akan kurelakan semua dari pada harus melakukan apa yang kau minta
itu, apa lagi nyawaku hanya satu. Kau hendak bunuh, bunuhlah. Dunia tidak akan
berubah dengan matinya seorang manusia!”
Tek Hoat
memandang kagum akan tetapi juga mendongkol. Tugasnya adalah memaksa jenderal
ini membuat surat pengakuan itu, karena Pangeran Liong Bin Ong amat membutuhkan
surat seperti itu untuk menyatakan kebersihan dirinya dan melemparkan kekotoran
pemberontak kepada Jenderal Kao Liang sehingga dengan demikian dia akan dapat
melanjutkan usaha kotornya dengan aman. Kini, menghadapi sikap jenderal yang
benar-benar amat jantan, timbul rasa kagum di hati Tek Hoat.
Akan tetapi
dia teringat akan tugasnya sendiri, teringat akan cita-citanya sendiri untuk
meraih kedudukan setinggi mungkin melalui pengabdiannya kepada Pangeran Liong,
maka dia lalu berkata dengan suara dingin, “Baiklah, engkau sendiri yang
memilih mati dan jangan kau mengira akan dapat mati dengan mudah dan enak
saja.”
Dia menoleh
kepada hwesio dan nenek itu sambil berkata, “Bikin api unggun yang besar. Kita
bakar dia hidup-hidup, hendak kulihat apakah dia masih begitu tenang menghadapi
kematian!” Dengan sikap ini Tek Hoat masih ingin menakut-nakuti jenderal itu
dengan harapan Jenderal Kao akan menurut. Akan tetapi jenderal itu bersikap
tetap tenang, bahkan dia tersenyum melihat dua orang itu mulai membuat api
unggun.
Melihat
sikap jenderal itu, Tek Hoat menjadi makin kagum. Dia lalu duduk di atas anak
tangga kuil tua, menghadapi jenderal yang duduk di atas tanah itu dan berkata,
“Jenderal Kao, mengapa engkau mati-matian membela Kaisar? Engkau bahkan siap
mengorbankan nyawamu! Betapa bodohnya engkau! Apakah kau tidak melihat bahwa
engkau hanya diperbudak saja oleh Kaisar dan keluarganya, oleh mereka yang
duduk di atas? Engkau diperas tenagamu, kesetiaanmu, engkau hidup di tempat
terasing, setiap hari terancam bahaya, selalu berperang dan semua itu hanya
untuk mengamankan dan menyenangkan kehidupan para atasan yang hanya tahu
berfoya-foya belaka. Betapa bodoh untuk mengorbankan diri sendiri demi
kesenangan dan kelangsungan hidup makmur orang-orang lain!”
Jenderal Kao
memandang pemuda itu sejenak, sinar matanya tajam sekali. “Orang muda, aku
tidak mengenalmu akan tetapi engkau adalah seorang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Akan tetapi sayang engkau terlalu mementingkan dirimu
sendiri sehingga engkau tidak lagi dapat membedakan mana yang benar dan mana
yang tidak benar, engkau tidak segan-segan melakukan perbuatan rendah hanya
untuk memenuhi keinginan dirimu yang mengejar kesenangan belaka. Agaknya engkau
tidak tahu dan tidak mengerti mengapa aku bersikap seperti ini. Sama sekali
bukan maksudku ingin menyenangkan dan menjaga kelangsungan hidup makmur Kaisar
dan keluarganya, melainkan demi kebenaran. Aku seorang jenderal, seorang
komandan pasukan yang tahu akan tugas dan kewajibanku dan ini adalah benar,
maka aku siap membela dengan jiwa ragaku, bukan sekali-kali demi Kaisar, sungguh
pun beliau merupakan satu di antara manusia yang telah melepas budi kepadaku.”
“Hemm, kau
keras hati, Jenderal Kao. Sayang bahwa aku terpaksa akan membakarmu
hidup-hidup. Betapa murahnya nyawamu, hanya seharga pengakuan di atas kertas.”
“Terserah, aku
siap untuk mati. Hanya kalau boleh, sebelum mati aku ingin menyatakan terima
kasih dan penghormatanku yang terakhir kepada mereka yang telah melepas budi
kepadaku ketika aku masih hidup.”
Tek Hoat
makin kagum. Jenderal ini selain gagah perkasa, juga ternyata merupakan seorang
jantan yang tidak melupakan budi orang sampai saat terakhir. Berat baginya
untuk menolak, maka dia mengangguk.
“Aku akan
bersembahyang di depan arca Jilaihud, menyembahyangi arwah mereka.” Sambil
merangkak, menggunakan kekuatan kedua lengannya saja, jenderal itu naik anak
tangga menghampiri meja besar, yaitu meja sembahyang yang sudah butut di depan
arca Jilaihud. Tek Hoat mengikutinya dari belakang, siap dan waspada menjaga
jangan sampai tawanannya ini meloloskan diri.
Dari dalam
saku baju dalamnya, jenderal itu mengeluarkan beberapa helai gambar.
Pertama-tama adalah gambar kaisar tua, yaitu ayah Kaisar sekarang yang
dianggapnya sebagai orang pertama yang telah melimpahkan budi kepadanya dan
kepada ayahnya dan kakeknya. Kemudian dia mengeluarkan gambar-gambar kakeknya,
ayahnya, dan ibunya, dan yang terakhir sekali dia mengeluarkan sehelai gambar
lain yang membuat Tek Hoat terheran-heran. Gambar ini adalah gambar wajah
seorang wanita remaja yang cantik jelita. Gambar itu pun diletakkannya di atas
meja, tetapi di sudut dan terpisah dari gambar-gambar yang lain.
Ceng Ceng
sudah sadar dari tidurnya ketika mendengar suara ribut-ribut tadi. Dia
mengintai dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat bahwa yang
ribut-ribut itu adalah Jenderal Kao Liang yang menjadi tawanan dari pemuda yang
amat dikenalnya, pemuda nakal yang pernah menolongnya dari dalam sungai, Ang
Tek Hoat!
Dia tidak
mengenal dua orang yang lain, akan tetapi dapat menduga bahwa hwesio tua dan
nenek berwajah bengis itu tentulah pembantu-pembantu Tek Hoat, berarti kaki
tangan pemberontak! Tentu saja dia ingin sekali keluar dan menolong Jenderal
Kao, tetapi melihat jenderal itu lumpuh kedua kakinya, dia menahan diri. Ceng
Ceng adalah seorang gadis yang cerdik sekali, maka ia tidak hanya menurutkan
hatinya menghadapi peristiwa itu.
Dia maklum
bahwa kalau dia muncul begitu saja, tidak akan ada gunanya karena pemuda itu
lihai bukan main. Ingin menyelamatkan Jenderal Kao, jangan-jangan malah dia
sendiri yang tertawan. Maka ia menanti kesempatan yang baik dan hanya mengintai
ketika Jenderal Kao mendekati meja besar di depan arca untuk menyembahyangi
leluhurnya.
Hampir saja
dia menjerit ketika dia melihat dan mengenal gambar gadis di atas meja itu.
Gambar itu adalah gambar wajahnya! Dialah yang disembahyangi oleh jenderal itu,
di samping kaisar tua dan leluhurnya. Mengertilah kini Ceng Ceng. Tentu
jenderal itu menganggapnya telah mati dan mengingat betapa dulu dia menolong
sehingga jenderal itu tidak terjeblos ke dalam sumur maut, maka jenderal itu
menganggapnya sebagai penolongnya dan selalu menyimpan gambarnya yang agaknya
disuruh buat seorang ahli lukis yang pandai. Tak terasa lagi dua titik air mata
membasahi pipi Ceng Ceng. Dia merasa terharu sekali, keharuan yang membuat dia
hampir nekat untuk menerjang ke luar.
“Heiiiii...!”
Tiba-tiba Tek Hoat berseru keras ketika pemuda ini juga mengenal gambar Ceng
Ceng. “Kiranya gambar dia...?”
Dan hal yang
aneh sekali terjadi. Pemuda itu cepat membuang muka, membalikkan diri dan tidak
berani memandang gambar Ceng Ceng! Hal ini adalah karena pada dasarnya, Tek
Hoat adalah seorang laki-laki yang juga menjunjung tinggi kegagahan. Dia pernah
bersumpah kepada Ceng Ceng bahwa setiap kali bertemu dengan gadis itu dia tidak
akan memandangnya. Sekarang, begitu melihat gambar wajah gadis itu, otomatis dia
terdorong oleh janji sumpah itu dan dia membuang muka.
Ceng Ceng
yang bersembunyi di balik arca besar itu melihat keadaan Tek Hoat dan dia
mengambil keputusan untuk menerjang ke luar menolong Jenderal Kao yang sedang
berlutut terhadap gambar-gambar itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara
keras dan dinding di dekat jenderal jebol disusul masuknya sesosok tubuh
seorang pemuda yang tinggi besar.
Ceng Ceng
terbelalak memandang. Mukanya pucat seketika dan jantungnya berdebar tegang.
Matanya mengeluarkan sinar berapi, bibirnya tertarik beringas, kedua tangan
dikepal, napasnya agak terengah-engah. Tentu saja dia mengenal wajah pemuda
tinggi besar ini. Pemuda laknat yang telah memperkosanya!
Melihat
munculnya seorang pemuda tinggi besar yang asing, hwesio tua pembantu Tek Hoat
yang tadi membuat api unggun cepat menerjang dengan tongkatnya karena dia
menduga bahwa tentu pemuda ini datang untuk menolong Jenderal Kao. Serangannya
dahsyat sekali, toya di tangannya mengeluarkan suara mengiuk ketika memecahkan
angin dan menyambar ke arah kepala pemuda tinggi besar itu. Akan tetapi pemuda
itu tidak mengelak, melainkan menggerakkan lengan kirinya menangkis.
“Dukkk...!”
“Ehhhh...!”
Hwesio Itu
terpental dan terhuyung sampai lima langkah, terpaksa menggunakan kedua tangan
untuk memegangi toyanya yang hampir terlepas dari pegangannya! Pemuda tinggi
besar itu menggerakkan kepala dengan sikap gagah sekali dan rambutnya yang amat
panjang, gemuk dan hitam berputar melingkari lehernya dan dia berdiri bersiap
melindungi Jenderal Kao yang masih berlutut dengan kedua tangan terkepal dan
mata memandang tajam ke arah tiga orang lawan itu.
Tek Hoat
terkejut dan maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh. Sambil bertolak
pinggang kiri, telunjuk kanannya menuding dan dia membentak dengan suara
nyaring, “Siapa kau berani mencampuri urusan kami?”
Akan tetapi
pada saat itu, terdengar lengking nyaring dan dari balik arca besar meloncat
sesosok tubuh manusia yang langsung menerjang dan menyerang pemuda tinggi besar
itu dengan kedua tangan terbuka, kedua tangan yang melancarkan pukulan-pukulan
beracun yang amat ampuh. Dari kuku-kuku jari tangan itu menyambar angin dahsyat
dan tercium bau harum yang aneh, tanda bahwa kuku-kuku itu mengandung racun
amat hebat.
“Wut-wut-plak-plak,
bretttt...!”
Pemuda
tinggi besar itu terkejut, maklum bahwa dia diserang orang dengan
pukulan-pukulan dan cengkeraman beracun yang amat berbahaya, maka dia sudah
mengelak dan kemudian menangkis dengan lengannya, tetapi tetap saja ujung
lengan bajunya yang digulung di bawah sikunya tercengkeram dan robek.
“Huh...
pemberontak hina...!” Pemuda tinggi besar itu menghardik, suaranya nyaring dan
besar, matanya bernyala memandang wajah orang yang menyerangnya, wajah yang
hitam dan hanya tampak matanya saja yang bersinar-sinar penuh kebencian.
Ceng Ceng
tadi telah melumuri mukanya dengan kotoran dan hangus hitam di belakang arca
besar sebelum dia melompat ke luar tadi. Dia melakukan hal ini karena tadinya
dia ragu-ragu melihat betapa pemuda laknat itu ternyata datang untuk menolong
Jenderal Kao! Kalau saja dia tidak merasa enggan dan malu terhadap Jenderal
Kao, tentu dia tidak akan menyembunyikan mukanya.
Namun,
terjadi perang di dalam hatinya. Sebagian dia harus bersyukur dan membantu
pemuda yang datang menolong Jenderal Kao, tetapi sebagian lagi mengingat akan
kebenciannya dia harus menyerang dan sedapat mungkin membunuh pemuda laknat
itu! Maka ketika kebenciannya yang menang, dia menutupi mukanya agar tidak
dikenal oleh Jenderal Kao.
“Mampuslah!”
Ceng Ceng membentak, kemudian dia menubruk lagi ke depan dengan menggunakan
seluruh sinkang untuk mendorong semua racun di tubuhnya ke dalam kedua
tangannya.
“Dukk!
Dess...! Aahh...!” Pemuda itu mengeluh dengan kaget ketika merasakan lengan
tangannya yang menangkis menjadi panas dan gatal, tanda bahwa dia terkena racun
yang amat ampuh.
Akan tetapi
di lain pihak, Ceng Ceng tidak kuat menahan tangkisan pemuda yang luar biasa
kuat tenaga sinkang-nya itu sehingga dia terbanting ke kiri dan roboh
bergulingan. Ketika dia meloncat bangun lagi, pemuda tinggi besar itu sudah
memondong tubuh Jenderal Kao dengan lengan kiri.
“Hendak lari
ke mana kau?” Nenek pembantu Tek Hoat meloncat ke depan dan nenek ini sudah
menyerang dengan tangan kosong yang dibentuk seperti cengkeraman kuku garuda.
Terdengar suara bersiutan ketika kedua cakar itu menyambar-nyambar, yang satu
hendak meraih dan merampas Jenderal Kao, yang lain mencengkeram ke arah leher
pemuda tinggi besar.
Akan tetapi,
dengan gerakan indah dan gesit pemuda itu mengelak, lalu menggunakan tangan
kanan menyambar ke depan, menangkap pergelangan tangan yang berbentuk cakar itu
dan sekali sendal, tubuh nenek itu terjungkal dan terguling-guling sampal jauh!
“Wuuuutttt...!
Singggg...!”
“Aihhhh...!”
Pemuda tinggi besar itu cepat meloncat dan mukanya agak berubah.
Ternyata Tek
Hoat telah menyerang dengan sebatang pedang yang mendatangkan hawa mengerikan.
Itulah pedang Cui-beng-kiam yang amat hebat, pedang peninggalan dari Datuk
Pulau Neraka yang amat sakti. Karena melihat betapa pemuda tinggi besar itu
ternyata lihai sekali dan Jenderal Kao telah dipanggulnya, Tek Hoat yang tidak
ingin melihat tugasnya gagal telah mengeluarkan pedang simpanannya, langsung
menyerang pemuda itu.
Melihat
betapa pemuda tinggi besar yang memanggul tubuh Jenderal Kao itu masih dapat
mengelak dengan sigapnya, Tek Hoat menjadi amat penasaran. Tadinya pemuda ini
menganggap dirinya sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang tidak ada
lawannya. Akan tetapi ternyata pemuda tinggi besar ini hebat sekali
kepandaiannya dan kalau saja jenderal itu dapat dirampasnya, Tek Hoat akan
merasa malu dan kehilangan muka terhadap dua orang pembantunya itu.
Bahkan Siang
Lo-mo sendiri mengakui keunggulannya dan dua orang tokoh besar itu tidak
keberatan ketika ditunjuk oleh Pangeran Liong Bin Ong untuk ‘membantu’ dia
karena mereka sudah mengenal kelihaian Tek Hoat. Kalau sampai kini seorang
pemuda saja mampu merampas Jenderal Kao, benar-benar dia akan merasa malu
sekali.
“Jahanam,
jangan harap akan bisa lolos dari sini...!” Tek Hoat menghardik marah sekali
dan tubuhnya berkelebat cepat mengejar ke depan. Gerakannya amat ringan dan
cepat.
Pemuda
tinggi besar itu kembali terkejut. Tak disangkanya bahwa pemuda tampan yang
menculik jenderal itu ternyata bukan main lihainya. Dia hanya melihat bayangan
berkelebat didahului sinar pedang Cui-beng-kiam yang mendirikan bulu roma.
Pemuda tinggi besar itu maklum bahwa serangan ini bukan main hebatnya, pedang
meluncur menusuk lehernya, sedangkan tangan kiri pemuda itu meraih untuk
merampas jenderal di pundaknya.
“Haiiittt...!”
Pemuda tinggi besar itu tiba-tiba mengeluarkan suara melengking amat keras
menggetarkan hati Tek Hoat yang cepat mengerahkan khikang-nya dan melanjutkan
serangannya. Pemuda tinggi besar itu menggerakkan kepalanya. Dari rambutnya
yang panjang, yang tadi melingkar di lehernya itu, mendadak mencuat ke depan
menangkis pedang.
“Plakkk!”
Ujung rambut
itu terus membelit pedang seperti ekor ular yang hidup. Tek Hoat terkejut
sekali, lalu merubah cengkeraman tangan kirinya menjadi pukulan yang disertai
sinkang kuat.
“Dessss...!”
Lengan kanan
pemuda tinggi besar itu menangkis dan akibatnya membuat keduanya terkejut dan
terhuyung sampai lima langkah jauhnya! Pedang yang terlibat ujung rambut
terlepas. Tek Hoat menjadi merah mukanya. Hatinya makin penasaran dan kembali
dia meloncat ke depan dan menyerang pemuda tinggi besar yang masih memanggul
tubuh Jenderal Kao dengan tangan kirinya itu.
Pedang
Cui-beng-kiam berkelebat dan kembali disambut oleh ujung rambut yang tebal dan
panjang. Sekarang Tek Hoat menggunakan tangan kiri mendorong dengan telapak
tangan terbuka dan hawa sinkang yang amat dahsyat menyambar ke depan. Dia telah
mengerahkan sinkang yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Bu Tek Siauw-jin
yang disebut Tenaga Inti Bumi. Dahsyatnya bukan kepalang dan debu mengepul
tinggi ke arah pemuda tinggi besar itu.
“Hebat...!”
Pemuda tinggi besar itu berseru kagum.
Kembali
tangan kanannya menangkis dengan dorongan yang sama ke depan dan kini yang
bertemu di udara hanyalah dua tenaga sakti yang tidak kelihatan, akan tetapi
yang memiliki kekuatan dahsyat. Pada saat itu, hwesio pembantu Tek Hoat sudah
menyerang dengan toyanya, menghantam punggung pemuda tinggi besar. Tentu saja
pemuda yang memiliki kepandaian tinggi ini tahu akan datangnya serangan toya,
akan tetapi karena dia sedang bertanding sinkang dengan lawannya yang amat
tangguh dia terpaksa menerima gebukan itu.
“Bukkk...!”
Pemuda
tinggi besar itu mengeluh sedikit, tubuhnya tergetar lalu tiba-tiba dia
meloncat jauh ke belakang lalu melarikan Jenderal Kao yang masih terpondong di
pundak kirinya.
“Jangan
lari... ahhhh...!” Tek Hoat terkejut sekali karena tiba-tiba orang yang mukanya
hitam itu telah menyerangnya dengan kedua tangan yang mengandung hawa beracun!
Tek Hoat
mengelak dengan loncatan ke samping. Dia menjadi bingung. Jelas bahwa orang
bermuka hitam ini tadi menyerang pemuda tinggi besar ltu mati-matian, akan
tetapi mengapa kini berbalik menyerangnya?
“Apakah kau
gila?! Siapa kau?” bentaknya.
Melihat
orang itu tetap menyerangnya dengan ganas, Tek Hoat menjadi marah. Tentu saja
dia tidak takut akan serangan orang itu dan untuk memperlihatkan kelihaiannya,
dia menangkis dengan lengan kiri sambil mengerahkan tangannya.
“Desss...!”
Untuk kedua
kalinya, tubuh Ceng Ceng terlempar dan terbanting sampai bergulingan. Tubuhnya
sakit-sakit rasanya, akan tetapi di lain pihak Tek Hoat terkejut merasakan
lengannya panas dan gatal-gatal seperti habis menyentuh ular berbulu yang
beracun!
“Keparat,
kau berani menggunakan racun...?” Tek Hoat menghardik. Kini dia melangkah maju,
pedang Cui-beng-kiam tergetar di tangan kanannya.
Melihat ini,
maklumlah Ceng Ceng bahwa dia tidak akan mampu menang menghadapi Tek Hoat yang
amat lihai itu. Maka dia cepat menggosok kedua pipinya dan meloncat berdiri.
“Lihat,
siapa aku? Berani kau melanggar sumpah memandang aku?”
Sejenak Tek
Hoat terbelalak, memandang bingung ketika mendapat kenyataan bahwa wajah yang
tersembunyi di balik kotoran hangus itu adalah wajah seorang dara yang cantik.
Akan tetapi ketika dia melihat sehelai sapu tangan dikeluarkan oleh gadis itu,
teringatlah dia.
“Kau...?!”
Serunya kaget dan heran sekali, akan tetapi otomatis dia lalu membalikkan
tubuhnya membuang muka!
Ceng Ceng
mempergunakan kesempatan ini untuk meloncat keluar dari kuil tua setelah dia
menyebar tiga macam racun bubuk yang dahulu dibawanya keluar dari dalam
terowongan bawah tanah. Lalu dia menggunakan ilmunya berlari cepat,
meninggalkan pemuda yang masih membelakanginya itu.
Tek Hoat
adalah seorang yang amat lihai. Walau pun matanya tidak melihat, namun
telinganya dapat menangkap gerakan Ceng Ceng dan dia tahu bahwa dara itu telah
meloncat pergi. Cepat dia membalik dan merasa menyesal mengapa dia dahulu
begitu mudah bersumpah sehingga kini dia mengalami kesukaran dari gadis liar
itu.
“Lari ke
mana kau?!” bentaknya karena dia mulai merasa marah, merasa tertipu dan
dipermainkan oleh gadis itu yang mempergunakan sumpahnya sebagai senjata.
Akan tetapi
terkejutlah dia ketika mencium bau yang luar biasa kerasnya, dan melihat tanah
di depannya mengeluarkan asap seperti terbakar! Tahulah dia bahwa gadis itu,
entah bagaimana, kini sudah menjadi seorang ahli racun yang sangat berbahaya.
Dia berseru keras, menahan napas dan cepat meloncat tinggi-tinggi melampaui
tanah yang mengandung racun itu. Dia menoleh dan bergidik. Racun-racun itu amat
hebat, selain dapat membuat batu-batu hancur, juga ada yang mengeluarkan bau
keras mukjijat yang memabokkan. Maka dia mengambil keputusan untuk membiarkan
Ceng Ceng pergi dan dia lalu berlari cepat hendak mengejar pemuda tinggi besar
yang telah melarikan Jenderal Kao dan yang tadi telah dikejar oleh dua orang
pembantunya.
Kurang lebih
satu li jauhnya, ketika dia berada di luar hutan, Tek Hoat tiba-tiba berhenti
dan berdiri termenung memandang mayat dua orang yang menggeletak di atas tanah.
Mayat hwesio dan nenek pembantunya tadi! Dia mengerutkan alisnya dan diam-diam
dia merasa menyesal sekali mengapa pembantu-pembantunya begitu tidak becus,
sedangkan orang-orang yang membantu Jenderal Kao adalah orang-orang pandai,
seperti pemuda tinggi besar itu, dan dua orang pemuda tampan yang telah muncul
secara tidak terduga-duga ketika dia dan para pembantunya menyerbu rombongan
Jenderal Kao.
Tak lama
kemudian terdengar derap kaki banyak kuda dan ternyata yang muncul adalah
rombongan Siang Lo-mo yang juga tidak berhasil merobohkan dua orang pemuda itu.
Siang Lo-mo menyesal sekali mendengar bahwa Jenderal Kao yang telah berhasil
diculik itu terampas musuh, maka bersama Tek Hoat mereka lalu menuju ke kota
raja untuk melapor kepada Pangeran Liong Bin Ong akan kegagalan mereka.....
***************
Sementara
itu, pemuda tinggi besar itu berlari cepat sekali, menyimpang dari jalan raya
yang menuju ke kota raja dan menjelang senja dia berhasil membebaskan totokan
di tubuh jenderal itu.
“Dari sini
ke pintu gerbang kota raja tidak jauh lagi. Engkau terluka, orang muda. Marilah
ikut bersamaku ke kota raja,” kata Jenderal Kao sambil memandang wajah yang
gagah itu dengan rasa kagum dan suka.
Pemuda itu
menggeleng kepala. “Silakan Tai-ciangkun pergi ke kota raja. Kini sudah aman.
Kita harus berpisah di sini.” Setelah berkata demikian, pemuda itu membalikkan
tubuhnya dan hendak pergi.
“Nanti
dulu...!” Jenderal Kao memegang lengan pemuda itu, “Engkau terluka, perlu
perawatan...”
Pemuda itu
menoleh, menggeleng kepala. “Aku tidak apa-apa, Ciangkun, harap jangan
khawatir. Yang perlu, Ciangkun harus cepat melarikan diri ke kota raja, dan
biarlah aku yang menghadang mereka yang hendak mengejarmu.” Setelah berkata
demikian, pemuda itu melangkah pergi.
“Bagaimana
engkau dapat pergi begitu saja setelah menyelamatkan aku? Setidaknya
beritahukan kepadaku siapa namamu!” Jenderal Kao berseru penasaran.
Pemuda itu
berhenti, menoleh dan menjawab, “Saya dengar dari para penghuni dusun bahwa
Ciangkun adalah Jenderal Kao yang budiman dan terkenal, sehingga siapa pun
sudah sepatutnya membantu kalau Ciangkun berada dalam kesulitan. Ada pun aku...
aku seorang kelana yang tidak punya nama. Selamat berpisah, Tai-ciangkun!”
Pemuda itu berkelebat dan lenyap di balik pohon-pohon di dalam hutan.
Jenderal Kao
termenung sejenak, menarik napas panjang lalu terpaksa melanjutkan perjalanan
ke kota raja. Dia harus melaporkan semua pengalamannya, akan tetapi dia
menyesal sekali mengapa pemuda yang amat dikaguminya, amat menarik hatinya itu
tidak mau memperkenalkan diri.
Juga dia
masih terheran-heran melihat munculnya orang yang mukanya hitam, yang tadinya
menyerang mati-matian kepada pemuda penolongnya, kemudian malah balik
melindunginya dari pengejaran para penculik. Juga ketika rombongannya diserbu
kaki tangan pemberontak, muncul dua orang pemuda remaja yang amat lihai.
Benar-benar telah muncul banyak orang aneh yang berilmu tinggi, pikirnya.
Mengapa
tiba-tiba saja dunia ini penuh dengan orang-orang muda yang berkepandaian tinggi
sekali dan berwatak aneh? Harus diakuinya bahwa pemuda yang menculiknya, yang
masih amat muda, juga telah memiliki ilmu kepandaian yang mengejutkan dan
mengerikan. Melihat adanya orang-orang seperti dua orang kakek aneh dan pemuda
lihai itu berada di pihak pemberontak, tahulah dia bahwa keadaannya sudah
berbahaya dan haruslah pihak Kaisar cepat-cepat turun tangan.
Dia akan
merundingkan hal ini dengan Puteri Milana, karena hanya puteri yang sakti
itulah yang dia harapkan akan dapat memperingatkan Kaisar dan mengatur kekuatan
dari dalam untuk menghancurkan pemberontak dan kaki tangannya. Sambil
melanjutkan perjalanan secepatnya, jenderal yang gagah perkasa ini beberapa
kali mengepal tinju.
Sejak muda
dia mengabdikan diri kepada kerajaan dan telah mengalami banyak hal. Dia hanya
mengenal satu cara untuk mengamankan dunia, untuk mengamankan negara, yaitu
dengan kekerasan, dengan tegas menghukum yang jahat dan dengan mati-matian
membela yang benar. Maka kini hanya ada satu niat yang tercurah di dalam perhatian
hati dan pikirannya, yaitu menumpas pihak pemberontak dengan kekerasan,
membasmi mereka tanpa mengenal ampun lagi, karena hanya jalan inilah yang
dianggapnya paling tepat untuk mengamankan negara.
Betapa
banyaknya orang berpendapat seperti Jenderal Kao, yaitu bahwa keamanan dan
kedamaian hanya dapat dicapai melalui kekerasan dan dengan cara membasmi mereka
yang menentang. Ada pula orang berpendapat bahwa kedamaian hanya dapat tercapai
dengan jalan anti kekerasan dan mengajar orang-orang supaya hidup baik dan
bajik.
Kedua
pendapat yang kelihatannya berlawanan ini sebetulnya sama saja, yaitu ingin
merubah keadaan kehidupan manusia di dunia yang semenjak ribuan tahun sampai
sekarang selalu penuh dengan pertentangan, kekacauan, permusuhan dan kebencian
ini. Yang pertama adalah ingin membentuk dunia yang damai dengan cara
kekerasan, yang kedua ingin membentuk dunia yang damai dengan cara lain. Kita
semua lupa agaknya bahwa dunia adalah masyarakat, dan masyarakat adalah
hubungan antara manusia, yaitu kita-kita ini juga. Merubah dunia atau merubah
masyarakat tidak akan mungkin apa bila kita-kita ini, masing-masing manusia,
tidak berubah lebih dulu.
Pemberontakan
demi pemberontakan, revolusi demi revolusi, sepanjang perkembangan sejarah,
telah terjadi di seluruh pelosok dunia. Namun, pemberontakan itu disusul oleh
pemberontakan lain, pembaharuan disusul oleh pembaharuan yang lain, revolusi
disusul oleh revolusi lain. Setiap bentuk revolusi lahiriah hanya mendatangkan
permusuhan dan pertumpahan darah, saling bunuh-membunuh dan akhirnya hanya
menanam bibit kebencian pada pihak yang kalah, dan menanam bibit kekuasaan
kepada pihak yang menang.
Di bagian
yang menang timbullah perpecahan-perpecahan lagi karena memperebutkan pahala
atas jasa-jasa mereka di dalam perjuangan yang lalu. Dan tentu saja di dalam
perebutan ini pun akan terdapat yang menang dan yang kalah. Yang menang akan
menduduki puncak pimpinan, sedangkan yang kalah, yang tidak kebagian akan
menjadi penasaran dan sakit hati, akan timbul keluhan dan tuntutan akan
ketidak-adilan dan segera muncullah pemberontakan-pemberontakan yang baru dari
mereka yang merasa di kesampingkan, mereka yang merasa berhak namun tidak
memperoleh bagian.
Sumber
segala kekacauan ini, segala perebutan ini, baik perebutan kekuasaan mau pun
perebutan harta benda, terletak pada diri pribadi masing-masing manusia
sendiri. Maka tidak mungkin menyalahkan kepada masyarakat karena kita sendiri
yang membentuk masyarakat. Dunia akan berubah, masyarakat akan berubah kalau
diri kita masing-masing berubah! Segala macam pemberontakan, revolusi,
pembaharuan sosial, akan gagal selama diri sendiri masing-masing tidak berubah
lebih dulu. Kalau manusianya sudah berubah, otomatis masyarakat dan dunia akan
mempunyai wajah lain! Tidak sekacau dan sekejam ini, di mana kebencian dan
permusuhan tampak setiap saat di mana pun juga, di mana di satu pihak orang
hidup berkelebihan di lain pihak ada yang kelaparan.
Segala macam
tindakan dalam hidup akan menjadi palsu dan rusak bila ditunggangi oleh si aku,
karena tindakan itu tak lain tak bukan hanyalah merupakan cara bagi si aku
untuk mencapai tujuannya! Dan si aku ini amatlah cerdik dan liciknya, amatlah
lihainya seperti Kauw Cee Thian Si Raja Monyet yang terkenal di dalam cerita
See-yu yang pandai berpian-hoa (berganti rupa) sampai menjadi tujuh puluh dua
macam. Bisa saja si aku ini bersembunyi di balik istilah-istilah muluk seperti
tanah air, negara dan bangsa, bendera pusaka, Tuhan, kemerdekaan, perdamaian,
kebahagiaan, dan sebagainya yang muluk-muluk lagi.
Namun kalau
kita mau membuka mata melihat sesungguhnya apa yang berkecamuk di dalam batin
dan pikiran kita, akan tampak oleh kita bahwa semua itu hanya digunakan oleh si
aku untuk mencapai tujuan yang menguntungkan bagi si aku, baik keuntungan
lahiriah mau pun keuntungan batiniah. Maka segala istilah itu lalu dibubuhi
kata-kata ‘ku’, menjadi negaraku, bangsaku, Tuhanku, dan sebagainya yang
merupakan bentuk lain dari pada si aku sendiri! Maka muncullah pertentangan
yang tak dapat dihindarkan lagi antara negaraku dan negaramu, kebenaranku dan
kebenaranmu, agamaku dan agamamu, Tuhanku dan Tuhanmu, dan sebagainya.
Mungkin
usaha seperti yang direncanakan oleh Jenderal Kao itu akan berhasil seperti
yang dibuktikan dalam sejarah, namun hasil ini untuk sementara. Dan seperti
dibuktikan oleh sejarah pula, pemberontakan-pemberontakan di jaman Pemerintah
Ceng timbul tenggelam seperti juga di jaman pemerintah-pemerintah terdahulu.
Tiap pemberontakan menentang kekuasaan yang bercokol tentu diberi nama yang
indah-indah dan gagah seperti perjuangan demi rakyat, demi bangsa, bahkan ada
kalanya menarik nama Tuhan tanpa segan-segan lagi sampai pemberontakan itu
berhasil menumbangkan kekuasaan yang ada. Akan tetapi setelah kekuasaan baru
timbul, disusul oleh pemberontakan yang lain, yang lebih seru, dengan
menggunakan rakyat, bangsa atau Tuhan sebagai topeng, namun pada hakekatnya
sama saja sungguh pun mungkin istilah-istilahnya yang berbeda sesuai dengan
jamannya.
Jenderal Kao
Liang melanjutkan perjalanannya ke kota raja dengan hati-hati. Dia maklum bahwa
pihak pemberontak tentu tidak akan membiarkan dia lolos begitu saja dan tentu
akan berusaha untuk menangkapnya kembali. Dia tidak takut akan bahaya yang
mengancam dirinya, akan tetapi dia lebih mengkhawatirkan keadaan negara.
Ia harus
berusaha sekuat tenaga agar jangan sampai tertangkap pemberontak sebelum dia
tiba di kota raja, sebelum dia menyampaikan semua pengalamannya kepada Kaisar
atau setidaknya Puteri Milana. Mengertilah jenderal ini bahwa kalau sampai dia
tertawan atau terbunuh, tentu pihak pemberontak akan memutar balikkan
kenyataan, melaporkan kepada Kaisar bahwa dialah yang akan memberontak dan
dengan demikian kedudukan para pimpinan pemberontak di kota raja menjadi aman
dan mereka dapat menyusun kekuatan. Tidak, dia tidak boleh tertangkap kembali.
Maka jenderal ini hanya melakukan perjalanan di waktu malam, kalau siang dia
bersembunyi dan pakaian perangnya pun sudah dibuangnya dan dia hanya memakai
pakaian biasa seperti seorang penduduk biasa.
Dengan cara
demikian, setelah lewat dua malam, pagi-pagi sekali, akhirnya sampailah
jenderal ini di kota raja, dengan menumpang pada seorang pedagang sayur-sayuran
yang mengangkut dagangannya dengan gerobak. Setelah masuk di kota raja,
jenderal ini tidak banyak membuang waktu lagi, langsung saja dia menuju ke
istana Puteri Milana dan kepada para pengawal yang menjaga di depan, dia minta
berjumpa dengan puteri itu.
Para
pengawal yang mengenal jenderal ini cepat melapor kepada majikan mereka dan
tidak lama kemudian, Jenderal Kao Liang yang disuruh menunggu di kamar tamu
telah disambut oleh Puteri Milana, Panglima Han Wi Kong suami puteri itu, serta
dua orang pemuda tampan yang segera dikenali oleh jenderal itu.
Melihat dua
orang pemuda ini, Jenderal Kao cepat berseru, “Bukankah Ji-wi yang telah datang
menolong ketika rombongan kami diserang pemberontak?”
“Sayang kami
tidak berhasil menyelamatkanmu, Goanswe,” kata Kian Lee.
“Siang Lo-mo
dan para pembantunya dapat kami pukul mundur, akan tetapi Goanswe telah
dilarikan orang,” kata Kian Bu.
“Sudahlah,
kita harus bergembira bahwa ternyata Kao-goanswe dapat menyelamatkan diri dan
tiba di sini. Kao-goanswe, mereka ini adalah adik-adikku, Suma Kian Lee dan Suma
Kian Bu dari Pulau Es,” kata Milana.
“Ahhh...
pantas... kiranya putera-putera dari Pendekar Super Sakti!” jenderal itu
berseru kaget, heran dan kagum sekali.
“Goanswe,
silakan duduk,” Han Wi Kong mempersilakan jenderal itu dan mereka lalu duduk
mengitari meja. Jenderal Kao menceritakan semua pengalamannya, didengarkan oleh
mereka berempat dan Puteri Milana mengerutkan alisnya.
Setelah
jenderal itu selesai bercerita, Milana mengangguk-angguk. “Sudah pasti sekali
bahwa tentu Pangeran Tua yang menjadi biang keladi ini semua. Agaknya dia
berhasil membujuk Kaisar untuk memanggilmu, Goanswe, dan sementara itu dia
telah menaruh kaki tangannya di tengah jalan. Untung bahwa kau dapat lolos
berkat pertolongan pemuda tak dikenal itu.”
“Nanti saya
akan menghadap Kaisar untuk membuka rahasia mereka itu!” Jenderal Kao berkata
penuh rasa penasaran.
“Sebaiknya
jangan begitu. Masih belum waktunya untuk menentang mereka secara terbuka sebab
kita belum memperoleh bukti pemberontakannya. Biarkan saya saja yang
menyampaikan semua ini kepada Kaisar, sedangkan Goanswe sebaiknya dengan
diam-diam kembali ke utara, biar dikawal dan ditemani dua orang adikku ini.
Yang penting adalah agar supaya Kim Bouw Sin si panglima pemberontak itu jangan
sampai lolos. Dia merupakan saksi dan bukti yang amat kuat untuk membongkar
pemberontakan Pangeran itu. Kao-goanswe sendiri pasti maklum betapa kuat
kedudukan kedua orang Pangeran Liong. Pengaruh mereka besar dan tentu saja
Kaisar merasa segan untuk menentang adik-adiknya itu. Tanpa bukti dan saksi
yang cukup, berbahaya menentang mereka secara terbuka.”
“Akan tetapi
kalau dibiarkan saja, makin lama kedudukan mereka makin kuat dan amat
berbahayalah bagi negara.” Jenderal itu membantah.
“Karena itu,
tugas kita adalah dua. Pertama, dengan kekuatan pasukan yang dipimpin oleh
Goanswe, kita harus menindas pemberontakan di mana pun, dan aku yang akan
membantu dari dalam untuk membersihkan mereka dari kota raja. Kedua, kita harus
mengumpulkan bukti dan saksi sebanyaknya dan sekuatnya untuk disampaikan kepada
Kaisar agar pembersihan dapat dilakukan dengan sah. Maka kalau Goanswe terlalu
lama di sini dan meninggalkan pasukan, saya khawatir kalau-kalau pasukan yang
di utara dapat dipengaruhi dan dikuasai pemberontak.”
Jenderal Kao
menepuk meja. “Bagus sekali! Memang apa yang Paduka kemukakan itu tepat semua
dan harus dilaksanakan. Baiklah, hari ini juga saya akan kembali ke utara setelah
saya menjumpai keluarga saya. Memang, yang terpenting adalah agar manusia
rendah Kim Bouw Sin itu tidak sampai lolos!”
“Kedua adik
saya Kian Lee dan Kian Bu akan mengawal dan menemani Goanswe,” kata Milana
sambil mempersilakan Jenderal itu minum teh panas yang dihidangkan oleh
pelayannya.
“Hati saya
akan menjadi tenang kalau begitu,” kata Sang Jenderal karena dia sudah
menyaksikan sendiri kelihaian dua orang muda ini, apa lagi setelah sekarang dia
tahu bahwa mereka adalah putera-putera Pendekar Super Sakti!
“Kami akan
menemani Goanswe dan sehidup semati dalam perjalanan sampai ke benteng di
utara,” kata Kian Lee.
“Akan tetapi
sebaiknya kita berangkat meninggalkan kota raja malam nanti...,” kata Kian Bu.
“Eh, mengapa
harus menanti sampai malam?” Kian Lee berkata.
Kian Bu
mengejap-ngejapkan matanya kepada kakaknya itu, akan tetapi Kian Lee tetap
tidak mengerti. “Mengapa? Katakan saja, mengapa harus malam nanti baru
berangkat? Tidak usah pakai bahasa rahasia, kita di sini berada di antara orang
sendiri,” kata Kian Lee.
“Aihhh, masa
Lee-ko tidak mengerti? Tidak enak kalau harus kukatakan begitu saja.”
“Adik Kian
Bu, jangan membikin kami penasaran karena ingin tahu. Mengapa kau mengusulkan
demikian?” Panglima Han Wi Kong ikut bicara.
“Waah, kalau
begitu terpaksa saya bicara akan tetapi harap Kao-goanswe lebih dulu maafkan
saya,” Kian Bu berkata.
“Eh, tentu
saja... katakanlah apa yang terkandung di hatimu, Siauw-sicu (Orang Muda
Gagah),” jenderal itu berkata sambil tersenyum.
“Kao-goanswe
baru saja tiba dari utara, baru saja terbebas dari ancaman bahaya maut, dan
baru saja hendak menjumpai dan berkumpul dengan keluarganya di kota raja. Lalu
bagaimana kami berdua bisa tega untuk mendesaknya agar cepat-cepat meninggalkan
mereka? Maka sebaiknya malam nanti kita berangkat.”
Milana
tersenyum, Kian Lee menjadi merah mukanya karena marah pada kelancangan
adiknya, Han Wi Kong mengangguk-angguk dan Jenderal Kao tertawa bergelak sambil
memegang pundak Kian Bu. “Siauw-sicu, engkau jujur dan memperhatikan
kepentingan orang lain. Sungguh bagus sekali!”
“Bu-te, kau
memang nakal!” Milana menegur akan tetapi sambil tersenyum. Sedangkan Kian Lee
memandang adiknya itu dengan mata penuh teguran.
Jenderal Kao
berkata, “Memang saya setuju dengan usul itu, bukan sekali-kali karena saya
ingin terlalu lama melepas rindu terhadap keluarga. Saya sudah tua, dan
berpisah dengan keluarga sudah merupakan hal yang tidak asing lagi bagi saya.
Akan tetapi memang sebaiknya kalau malam nanti baru kita berangkat agar tidak
menarik perhatian pihak pemberontak. Biarlah mereka menyangka bahwa saya masih
menjadi buronan dan sebaiknya kalau tahu-tahu saya telah berada kembali di
benteng agar mereka tidak sempat lagi mengusahakan lolosnya Kim Bouw Sin.”
“Memang
tepat sekali, Kao-goanswe. Kim Bouw Sin merupakan saksi yang sangat penting,”
Milana berkata.
“Tetapi ada
lagi orang yang lebih penting dan yang amat membutuhkan perlindungan saya, yang
terpaksa saya tinggalkan ketika utusan Kaisar datang,” Jenderal itu berkata.
“Dia itu adalah Puteri Bhutan, Syanti Dewi.”
“Ehhh...?”
Milana berseru kaget dan heran sekali. “Bagaimana dia yang dikabarkan hilang
itu bisa berada di utara? Menurut para penyelidikku, Syanti Dewi berhasil lolos
dari kepungan pemberontak dengan dikawal oleh seorang gadis perkasa, akan
tetapi lalu hilang, dan kabarnya ditolong oleh seorang nelayan tua ketika
Syanti Dewi dan pengawalnya itu hanyut di sungai.”
“Memang
demikianlah,” jawab jenderal itu. “Dan nelayan tua itu adalah Gak Bun Beng
taihiap yang mengantarnya ke benteng saya.”
“Ahhh...!”
Seruan yang keluar dari mulut Milana agak tergetar, namun dia sudah dapat
menguasai hatinya yang berdebar keras, sedangkan suaminya, Panglima Han Wi
Kong, diam saja pura-pura tidak melihat keadaan isterinya ketika mendengar
disebutnya nama Gak Bun Beng.
“Sedangkan
gadis perkasa yang mengawalnya itu adalah adik angkat Sang Puteri sendiri, yang
juga telah mendahului datang ke benteng utara akan tetapi... dia tewas ketika
menyelamatkan saya. Gak-taihiap meninggalkan Puteri Syanti Dewi kepada saya
dengan harapan untuk melindunginya dan kalau waktunya tiba mengantarnya ke kota
raja atau kembali ke Bhutan. Akan tetapi terpaksa dia saya tinggalkan ketika
utusan Kaisar tiba. Saya amat mengkhawatirkan keadaan puteri yang sudah saya
anggap seperti anak saya sendiri itu. Nah, sekarang saya harus singgah
menjenguk keluarga di rumah dulu, kemudian saya akan cepat kembali ke utara dan
saya bergembira sekali ditemani oleh Ji-wi Siauw-sicu yang lihai ini.”
Semua orang
mengangguk setuju dan tak lama kemudian, dengan kereta milik Milana sendiri
sehingga tak akan ada yang berani mengganggunya, Jenderal Kao bersembunyi di
dalam kereta yang membawanya ke gedung tempat tinggal keluarganya, di ujung
kota raja sebelah timur. Kian Lee dan Kian Bu mengawal di belakang kereta
dengan menunggang kuda sehingga orang-orang yang telah mendengar bahwa mereka
adalah adik-adik dari Puteri Milana, jadi juga masih cucu dari Kaisar, menduga
bahwa yang berada di dalam kereta tentulah Puteri Milana yang mereka kagumi.
Kereta itu
memasuki halaman gedung keluarga Jenderal Kao dan setelah jenderal itu turun
dan menyelinap masuk diikuti oleh Kian Lee dan Kian Bu yang disambut dan
dipersilakan menunggu di ruangan tamu, kereta itu kembali ke istana Puteri
Milana. Tentu saja terjadi pertemuan yang amat mengharukan dan penuh dengan
kegembiraan dan pelepasan rindu antara Jenderal Kao dan keluarganya.
Sementara
itu Kian Lee dan Kian Bu kembali lebih dulu ke istana kakak mereka untuk
membuat persiapan sebagai bekal di perjalanan. Menjelang senja, baru mereka
berdua datang ke gedung keluarga Jenderal Kao dan untuk menanti datangnya malam
kedua orang muda ini asyik bermain siang-ki (catur) di ruangan tamu yang luas.
Jenderal Kao
keluar sebentar menemui mereka dan mengatakan bahwa mereka akan berangkat
setelah malam menjadi gelap dan keadaan di luar menjadi sunyi. Dia sudah
mengatur dengan kepala penjaga malam itu sehingga mereka akan dapat keluar dari
pintu gerbang utara tanpa banyak halangan dan dengan diam-diam. Dua orang kakak
beradik itu menyetujui, kemudian melanjutkan permainan catur mereka.
Setelah
malam mulai sunyi, tampak sesosok bayangan manusia berkelebat cepat sekali naik
ke atas genteng gedung itu dari arah kiri. Gerakannya lincah, ringan dan
cekatan dan dia berindap-indap mengintai ke bawah gedung dari atas genteng.
Bayangan hitam ini bukan lain adalah Ceng Ceng! Seperti telah diceritakan di
bagian depan, dara ini telah berhasil lolos dari kuil setelah dia membikin Tek
Hoat tidak berdaya dengan sapu tangan dan sumpah pemuda itu, lalu melarikan
diri sambil menyebar racun sehingga Tek Hoat tidak mengejarnya. Ceng Ceng lalu
menuju ke kota raja dengan hanya satu tujuan, yaitu mencari pemuda laknat itu.
Di tengah
perjalanan inilah dia melihat Jenderal Kao Liang. Hatinya girang sekali karena
pemuda laknat yang menjadi musuh besarnya itu tentu mempunyai hubungan dengan
jenderal ini, bahkan yang terakhir dia melihat pemuda itu menolong Jenderal
Kao. Akan tetapi, untuk keluar begitu saja menemui jenderal ini, dia tidak
sanggup.
Pertama, dia
masih ingat akan kebaikan jenderal ini kepadanya, bahkan melihat betapa dalam
menghadapi kematian, jenderal ini masih ingat kepadanya dan bersembahyang
kepada arwahnya! Kedua, dia kini merasa tidak seperti dulu lagi, selalu timbul
perasaan rendah diri dan malu bertemu dengan orang-orang yang dikenalnya dahulu
sebagai sahabat-sahabat baik. Ketiga, setelah pemuda itu menolong Jenderal Kao,
tentu saja pemuda itu menjadi sekutu jenderal ini.
Bagaimana
dia dapat menjumpai jenderal ini dan menanyakan pemuda yang hendak dibunuhnya
itu? Tidak, sebaiknya dia membayangi jenderal ini yang tentu akhirnya akan
membawanya bertemu dengan pemuda laknat itu!
Demikianlah,
dengan hati-hati, Ceng Ceng membayangi Jenderal Kao dari jauh, sampai jenderal
itu memasuki kota raja. Ketika jenderal itu memasuki istana Puteri Milana, dia
tidak berani ikut masuk karena malam telah terganti pagi dan istana itu dijaga
ketat. Apa lagi setelah dia memperoleh keterangan bahwa istana itu milik Puteri
Milana, dia makin tidak berani masuk! Kakeknya dulu telah berpesan kepadanya
untuk membawa Syanti Dewi kepada Puteri Milana.
Sekarang,
tanpa Syanti Dewi, bahkan dengan diri yang sudah ‘kotor’, bagaimana dia berani
berhadapan dengan Puteri Milana yang dipuji-puji dan dijunjung tinggi namanya
oleh mendiang kakeknya? Maka dia menanti sambil bersembunyi di luar dan ketika
dia melihat kereta yang dikawal oleh dua orang pemuda tampan yang juga telah
dikenalnya, diam-diam dia membayangi pula. Girang hatinya ketika dia dapat
melihat Jenderal Kao turun dari kereta itu memasuki gedung. Apa lagi ketika dia
mencari keterangan dan mendengar bahwa gedung itu adalah tempat tinggal
keluarga Jenderal Kao Liang, dia segera menanti dan mengintai sampai datangnya
malam.
Ceng Ceng
telah meloncat naik ke atas genteng gedung itu. Kini timbul tekad di hatinya
bahwa kalau dia tidak bisa menemukan pemuda laknat itu di dalam gedung Jenderal
Kao, dia akan menampakkan diri dengan menutupi sebagian mukanya dengan sapu
tangan, kemudian menanyakan kepada jenderal itu tentang si pemuda tinggi besar.
Tetapi Ceng
Ceng sama sekali tidak menyangka bahwa gerak-geriknya telah sejak tadi diikuti
oleh dua pasang mata yang memandang dengan penuh keheranan, kecurigaan, juga
kegelian. Yang memandang ini adalah Kian Lee dan Kian Bu. Mereka berdua tadi
masih asyik bermain catur di ruangan tamu dan tentu saja pendengaran mereka
yang sudah terlatih secara hebat itu segera dapat menangkap suara tidak wajar
dari atas genteng.
Keduanya
saling pandang, mengangguk dan di lain saat mereka telah mengintai dari balik
wuwungan, mengawasi gerak-gerik Ceng Ceng dengan heran. Kedua orang pemuda ini
tidak turun tangan karena mereka terheran-heran mengenal wajah Ceng Ceng ketika
ada sinar lampu dari bawah menyorot ke atas tepat menimpa wajah cantik itu.
“Dia...!”
Kian Lee berbisik dan jantungnya berdebar. Sejak bertemu dengan Ceng Ceng di
pasar kuda, hatinya sudah tertarik sekali oleh kecantikan dara ini dan
sekarang, gadis yang sering kali dikenangnya itu berada di atas gedung Jenderal
Kao dengan gerak-gerik mencurigakan sekali.
“Sssttt...”
Kian Bu menegur.
“Bu-te,
jangan... janganlah tergesa-gesa turun tangan... kita jangan sampai keliru,
kita membayanginya saja...,” bisik Kian Lee.
Kian Bu
menahan senyumnya. Rasakanlah, pikirnya. Setiap menghadapi wanita cantik, sikap
kakaknya ini selalu dingin. Baru sekarang kakaknya kelihatan gugup dan tegang
melihat seorang gadis cantik! Akan tetapi dia mengangguk setuju karena dia pun
tidak ingin salah tangan sebelum tahu apa maksud kedatangan gadis yang aneh
itu.
Kini Ceng
Ceng yang sama sekali tidak pernah mengira bahwa dirinya dibayangi oleh dua
orang pemuda yang amat lihai, berlutut di atas genteng dan mengintai ke bawah,
lalu melayang turun dengan amat ringannya, berindap-indap menghampiri jendela
dan mengintai dari balik jendela dengan melubangi kertas jendela. Dari lubang
kecil itu dia melihat Jenderal Kao duduk menghadapi meja bersama seorang wanita
setengah tua yang masih cantik dan lemah lembut, dan dua orang anak laki-laki,
bercakap-cakap dalam suasana yang mesra. Ceng Ceng dapat menduga bahwa tentu
jenderal itu bercakap-cakap dengan isteri dan putera-puteranya. Dia melirik ke
sana-sini, namun tidak tampak pemuda laknat yang dicarinya. Hatinya kecewa
sekali.
Dia sudah
terlanjur masuk, penasaran kalau sampai tidak menemukan orang yang dicarinya.
Diambilnya segulung kertas, kertas yang telah direndam obat yang dapat
menimbulkan asap beracun yang membius orang. Dia ingin membius mereka yang
berada di dalam kamar itu agar tertidur semua baru dia akan menggeledah dan
mencari. Kalau tidak berhasil menemukan pemuda itu, baru dia akan memakai
topeng dan memaksa Jenderal Kao memberitahukan di mana adanya si laknat itu.
Akan tetapi,
baru saja dia hendak membakar kertas itu pada lampu yang tergantung di situ,
tiba-tiba terdengar bentakan Kian Lee, “Nona, apa yang hendak kau lakukan itu?”
Melihat
menyambarnya dua sosok bayangan orang yang bagaikan sepasang burung rajawali
melayang dari luar itu, Ceng Ceng terkejut bukan main. Tidak ada jalan keluar
baginya untuk lari karena dua orang pemuda lihai itu melayang dari luar, maka
cepat dia mendorong daun jendela dan terpaksa dia meloncat ke dalam, di mana
Jenderal Kao dan anak isterinya berada! Saking gugupnya, lupalah dia untuk
menutupi mukanya dengan sapu tangan dan baru dia teringat setelah dia telah
berada di dalam kamar itu dan Jenderal Kao sudah memandang kepadanya dengan
mata terbelalak dan muka pucat, tanda bahwa jenderal itu telah mengenalinya!
Maka cepat
dia mengeluarkan bubukan putih dari sakunya, meremas-remasnya dengan tangan
kanan dan tampaklah asap putih tebal mengebul dan menyelimuti dirinya.
“Kau...
kau... Nona Ceng...,” Jenderal Kao hanya dapat berkata demikian karena hatinya
tergoncang hebat. Ceng Ceng cepat menggunakan asap tebal sebagai selimut dan
melompat lari melalui jendela di seberang lain dari kamar itu.
“Bangsat,
hendak lari ke mana kau?” Dua orang putera Jenderal Kao yang berada di situ
hendak meloncat mengejar.
“Jangan...
mengganggunya...! Biarkan dia pergi...!” Jenderal Kao membentak dan dua orang
pemuda yang usianya belasan tahun itu dengan kaget menahan gerakan mereka.
Dari jendela
dari mana Ceng Ceng masuk tadi berkelebat dua sosok bayangan dan Kian Lee
bersama Kian Bu sudah berada di dalam kamar itu. Lega hati mereka melihat bahwa
keluarga Jenderal Kao selamat, maka cepat mereka berlari ke arah jendela di
seberang yang sudah terbuka.
“Ji-wi
Siauw-sicu (Kedua Orang Gagah Muda), harap jangan mengejar dia...!” kembali
Jenderal Kao berseru keras kepada dua orang pemuda Pulau Es ini sehingga mereka
kaget dan heran, lalu membalik dan memandang kepada jenderal itu.
“Dia... dia
tadi..., dia bukan manusia melainkan arwah! Aihhh, sungguh kasihan Nona
Ceng...!” Jenderal itu lalu menoleh kepada dua orang puteranya. “Lekas kau
suruh pelayan mempersiapkan meja sembahyang. Aku harus menyembahyangi rohnya
agar tidak penasaran dan dapat tenang...”
Dua orang
putera Jenderal Kao itu, yang bernama Kao Kok Tiong berusia enam belas tahun
dan Kao Kok Han berusia tiga belas tahun, mengangguk dan meninggalkan kamar
untuk melakukan perintah ayah mereka. Kedua orang pemuda ini, seperti juga ayah
mereka, sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu silat dan ilmu perang.
Mereka memiliki kepandaian yang lumayan dan amat taat serta tunduk kepada ayah
mereka, sikap prajurit-prajurit yang amat baik!
“Kao-goanswe,
dia bukan arwah, dia manusia biasa,” Kian Bu berkata.
Jenderal itu
menggeleng kepala dan memandang dua orang pemuda itu, wajahnya masih pucat
sekali dan pandang matanya sayu. “Aku belum menceritakan tentang dia secara
panjang lebar kepada kalian dan kepada Puteri Milana. Akan tetapi, kalau tidak
ada Nona Lu Ceng atau Candra Dewi itu, sekarang aku tentu sudah menjadi setan
penasaran di dalam sumur maut.”
Ketika dua
orang puteranya kembali bersama pelayan yang membawa meja dan segala keperluan
sembahyang, jenderal itu menceritakan tentang usaha pemberontak yang
menjebaknya di sumur maut dan betapa Lu Ceng telah menyelamatkan nyawanya
dengan pengorbanan dirinya.
“Akan
tetapi, kami berdua pernah berjumpa dengan dia, Goanswe! Bahkan kami membantu
dia menghadapi segerombolan orang liar yang merupakan ahli-ahli tentang racun
di Lembah Bunga Hitam!” Kian Bu kembali membantah. “Dan memang dia amat berubah
dibandingkan dengan dahulu, dia menjadi liar dan ganas, akan tetapi...” Dia
tidak melanjutkan karena di ujung bibirnya sudah terdapat kata-kata pujian
terhadap gadis itu.
“Yang kalian
jumpai tentulah orang lain, Siauw-sicu. Tidak mungkin dia, karena aku melihat
dengan mata sendiri betapa dia terjerumus ke dalam sumur maut, bahkan
Gak-taihiap yang mencoba untuk menyelidikinya, sudah pingsan ketika baru tiba
di tengah sumur.”
“Akan tetapi
dia tadi...” Kian Bu mencoba membantah.
“Yang muncul
tadi jelas adalah arwahnya. Sungguh gadis yang amat baik... sampai mati pun
masih berusaha menemui dan melindungiku. Dia menghilang bersama asap putih,
dia... dia arwah Nona Ceng... akan terus berkeliaran dan penasaran kalau tidak
aku sembahyangi.”
“Tapi...”
Kian Lee
menyentuh tangan adiknya sehingga Kian Bu tidak banyak bicara lagi. Dengan hati
tidak karuan rasanya, bingung dan juga penasaran, Kian Lee melihat betapa
jenderal itu mengeluarkan sehelai gambar nona yang telah menarik hatinya itu,
memasang gambar itu pada meja sembahyang, kemudian dia menyalakan lilin dan
berkata kepada isteri dan kedua orang puteranya, “Kalian lihat baik-baik wajah
itu. Dialah yang telah menyelamatkan nyawaku dengan mengorbankan diri dan
nyawanya sendiri. Dialah mendiang Nona Lu Ceng atau Nona Candra Dewi dari
Bhutan.”
Sebelum
jenderal itu mengajak isteri dan dua orang puteranya bersembahyang, tiba-tiba
muncul seorang penjaga yang memberi hormat kepada jenderal itu dan melapor
bahwa di luar datang seorang tamu yang berkeras menyatakan hendak bertemu dengan
keluarga Jenderal Kao Liang.
Jenderal Kao
mengerutkan alisnya dan sepasang matanya memandang penjaga itu dengan marah,
“Engkau mengatakan bahwa aku berada di sini?”
Penjaga itu
cepat memberi hormat dengan berlutut. “Tentu saja tidak, Taijin. Saya telah
menegurnya bahwa malam seperti ini bukan waktunya orang bertemu, dan saya malah
mengatakan bahwa tuan rumah, yaitu Jenderal Kao Liang, bertugas di benteng
utara. Akan tetapi dia berkeras minta bertemu dengan keluarga jenderal, katanya
ada urusan yang amat penting. Sikap orang itu mencurigakan dan andai kata
paduka tidak ada di sini, tentu saya akan mengerahkan teman-teman untuk
mengusirnya dengan kekerasan. Akan tetapi karena paduka berada di sini, saya
tidak berani lancang dan terpaksa melapor...”
Wajah yang
tadinya marah itu kini berseri. “Bagus! Kau melakukan tugasmu dengan baik.
Kalau begitu, antarkan dia masuk!”
“Ayah...!”
Kao Kok Tiong berseru khawatir. “Biarkan aku yang menemuinya.”
Ayahnya
menggeleng kepala. “Orang yang datang malam-malam begini tentu hanya mempunyai
dua maksud, yaitu kalau baik tentu dia membawa kabar yang amat penting bagiku,
sebaliknya kalau buruk tentu dia berbahaya sekali. Maka biar dia langsung ke
sini dan kuhadapi sendiri.”
Kian Lee dan
Kian Bu mengangguk setuju dan menganggap sikap jenderal ini amat bijaksana.
Mereka berdua pun merasa curiga sekali karena orang yang datang bertamu malam
hari begitu, apa lagi dalam keadaan yang penuh ketegangan karena kehadiran
Jenderal Kao di sini adalah suatu rahasia, memang merupakan kejadian yang aneh
dan amat mencurigakan. Mereka berdua sudah siap menghadapi segala kemungkinan,
karena mereka menduga bahwa orang yang datang itu lebih banyak membawa bahaya
dari pada membawa kebaikan
Tak lama
kemudian terdengar derap langkah dua orang menuju ke kamar itu. Semua orang
memandang ke pintu dengan hati tegang. Penjaga itu muncul, memberi hormat dan
melapor, “Tamu telah datang menghadap!” Jenderal Kao memberi isyarat supaya
penjaga itu mundur. Penjaga itu melangkah keluar dan muncullah tamu yang
dinanti-nanti itu.
“Aha,
kiranya engkau yang datang, orang muda yang gagah?” Jenderal Kao berseru girang
sekali ketika melihat bahwa tamu yang muncul itu bukan lain adalah pemuda
tinggi besar yang pernah menolongnya dari tangan penculiknya ketika dia hendak
dibakar hidup-hidup di dalam kuil tua. Sambil memegang lengan pemuda tinggi
besar itu, Jenderal Kao menoleh kepada kedua orang pemuda Pulau Es dan kepada
anak-anak dan isterinya, “Inilah dia pemuda gagah perkasa yang telah
menyelamatkan nyawaku, akan tetapi yang sama sekali tidak mau menyebutkan
namanya! Mari masuk, dan duduklah.”
Pemuda
tinggi besar itu kelihatan canggung dan sungkan. Dia menjura kepada jenderal
itu dan semua orang, kemudian berkata kepada Jenderal Kao, “Harap Tai-ciangkun
sudi memaafkan kedatanganku yang amat mengganggu ini. Sebetulnya, terpaksa
sekali aku datang mengganggu...”
“Aihhh!
Engkau adalah seorang pemuda perkasa, penolongku yang budiman, bagai mana bisa
mengucapkan kata-kata mengganggu?”
“Sungguh,
kalau tidak sangat terpaksa saya tidak akan datang ke sini, Tai-ciangkun.
Kedatanganku ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan peristiwa yang lalu
di antara kita. Akan tetapi karena aku mendengar bahwa Tai-ciangkun adalah
komandan di utara, maka aku datang untuk minta keterangan tentang diri seorang
perwira yang belasan tahun yang lalu bertugas di sana, dan tentu dia adalah
anak buah Tai-ciangkun. Aku sedang mencari-cari orang itu, maka aku harap
Tai-ciangkun berbaik hati untuk memberi tahu kepadaku di mana adanya orang
itu.”
Jenderal Kao
mengerutkan alisnya dan mengangguk. “Tentu saja aku akan berusaha sedapat
mungkin untuk membantumu, orang muda. Siapakah adanya orang yang kau cari itu?”
“Iiihhh...”
Jerit tertahan dari isteri jenderal ini membuat semua orang memandang
kepadanya. Wanita ini sedang memandang pemuda itu dengan mata terbelalak dan
muka pucat.
“Kenapa
kau?” Jenderal itu membentak heran. Isterinya hanya menggeleng kepala lalu
menutupi mukanya.
“Nah, orang
muda, katakan siapa orang yang kau cari itu?”
“Aku... aku
tidak tahu namanya...” Pemuda itu menjawab gagap dan kelihatan bingung.
Memang dia
bingung sekali. Ketika dia masih kecil dan tersesat di gurun pasir, dia
mengalami penderitaan yang amat mengerikan, seolah-olah melihat maut mendekati
dirinya sedikit demi sedikit sehingga berkali-kali dia pingsan dan siuman
kembali, batinnya mengalami tekanan yang amat hebat dan berat. Ketika dia
ditemukan oleh suhu-nya, Si Dewa Bongkok, yang diingat hanyalah namanya
sendiri, bahkan she-nya (nama keluarganya) pun dia sudah lupa, apa lagi nama
ayahnya. Akan tetapi samar-samar dia masih ingat bahwa ayahnya adalah seorang
perwira dan mengingat bahwa dia tersesat di gurun pasir utara, maka tentu
ayahnya itu seorang perwira di benteng utara. Kao Liang memandang tajam dengan
alis berkerut, penuh iba dan penasaran.
“Orang muda
yang baik, bagaimana aku bisa membantumu kalau kau tidak tahu nama orang yang
kau cari itu? Apakah dia musuhmu?”
“Dia... dia
adalah ayahku... akan tetapi aku tidak tahu namanya... hanya kuingat bahwa dia
adalah seorang perwira...”
Tiba-tiba
Nyonya Kao bangkit dari tempat duduknya, wajahnya masih pucat dan dia
menghampiri pemuda tinggi besar itu, langsung bertanya dengan bibir gemetar,
“Kau... kau... siapa namamu...?”
Tentu saja
sikap dan perbuatan nyonya ini mengherankan semua orang. Pemuda tinggi besar
itu memandang Nyonya Kao dengan ragu-ragu, kemudian menjawab lirih, “Nama saya
Kok Cu...”
“Kok
Cu...?!” Teriakan ini keluar dari mulut empat orang, yaitu Jenderal Kao
sendiri, isterinya, dan dua orang puteranya.
“Kok Cu
anakku...!” Nyonya Kao sudah menubruk dan merangkul leher pemuda tinggi besar
itu sambil menangis.
“Kok Cu, ya
Tuhan... engkau ini...?” Jenderal Kao juga sudah mencengkeram pundak pemuda
tinggi besar itu, mukanya pucat, matanya terbelalak dan bibirnya bergetar
menahan keharuan hatinya.
“Twako...!”
Kao Kok Tiong memegang lengan kakak sulungnya.
“Twako...!”
Kok Han juga mendekat.
Tentu saja
Kok Cu, pemuda tinggi besar yang berambut panjang terurai itu, terkejut
setengah mati dan sejenak dia terlalu bingung. Kenyataan yang dihadapinya
terlalu mengejutkan dan sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. Siapa
menyangka bahwa pembesar gagah perkasa yang ditolongnya di tengah perjalanan
itu, yang kemudian dia ketahui Jenderal Kao yang dijunjung tinggi seluruh
rakyat di daerah utara, ternyata adalah ayah kandungnya sendiri! Sukar untuk
menerima dan mempercayai kenyataan yang amat mengejutkan ini.
“Ayah dan
ibuku...? Ah, bagaimana...?” Dia dipeluki empat orang yang sudah menangis
saking bahagia dan terharu itu.
Jenderal Kao
melihat kebingungan pemuda itu. “Mari kita semua duduk. Nah, Kok Cu, dengarlah
baik-baik. Ketika engkau dan ibumu kubawa ke utara, pada suatu hari engkau
lenyap ketika sedang bermain-main di luar benteng. Pada waktu itu terjadi badai
yang amat besar, maka kami semua mengira bahwa engkau tentu telah terseret
badai dan terkubur dalam gurun pasir karena berhari-hari kami mengerahkan
pasukan mencarimu tanpa hasil. Ketika itu engkau baru berusia sepuluh tahun.
Adikmu Kao Kok Tiong ini baru berusia setahun, dan adikmu yang bungsu Kao Kok
Han belum terlahir. Memang ketika itu aku belum lagi menjadi jenderal, akan
tetapi sudah menjadi komandan dari benteng kecil di utara.” Jenderal itu lalu
menuturkan dengan jelas sehingga Kok Cu baru tahu bahwa dia adalah bermarga
keluarga Kao.
“Ayah...,
Ibu...!” Akhirnya dia menjatuhkan dirinya berlutut di depan kedua orang tuanya
itu. Ibunya memeluknya dan Jenderal Kao tertawa bergelak, menenggak araknya
sambil menoleh kepada Kian Lee dan Kian Bu.
“Ha-ha-ha-ha,
susah dan senang memang sudah menjadi pakaian manusia hidup! Suka dan duka
bersilih ganti menjadi bumbu manis dan pahit dalam hidup! Ji-wi Siauw-sicu, di
dalam keprihatinan yang sangat hebat bertemu dengan anak yang hilang, bukankah
ini merupakan hiburan yang amat menggembirakan?”
“Kao-goanswe,
kami berdua menghaturkan kionghi (selamat) kepadamu!” Kian Lee berkata sambil
membungkuk bersama adiknya.
“Terima
kasih, terima kasih...!”
“Mengapa
kalian begitu bodoh?” Nyonya Kao yang masih merangkul puteranya itu berkata.
“Apakah kalian tidak melihat betapa miripnya dia dengan ayahnya? Lihat saja,
bentuk badannya, mulutnya, hidungnya! Begitu melihatnya, aku sudah
menduganya... aihh, Kok Cu, kedatanganmu menambah umur ibumu...” Wanita itu
tertawa dengan air mata bercucuran.
“Ayah...,”
Sebutan yang amat asing ini keluar dari bibir pemuda tinggi besar itu dengan
kaku. “Siapakah dua orang sahabat yang gagah ini?”
“Hayo
kuperkenalkan! Mereka ini adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu, dua orang
pemuda sakti putera dari Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, adik-adik dari
Puteri Milana, cucu dari Kaisar...”
“Cukuplah
semua kementerengan itu, Kao-goanswe!” Suma Kian Bu berteriak sambil mengangkat
kedua tangannya ke atas.
“Saudara Kao
Kok Cu, terimalah ucapan selamat kami!” Kian Lee berkata.
Kok Cu balas
memberi hormat dan ketika ayahnya menceritakan akan pertolongan kedua orang
pemuda itu ketika ayahnya terancam bahaya, dia pun menghaturkan terima
kasihnya. Pemuda tinggi besar ini sikapnya tenang, agak kasar karena tidak
biasa berbasa-basi, bahkan hampir buta huruf, akan tetapi memiliki pribadi yang
menarik, jujur, terbuka, dan tidak berpura-pura, sungguh pun terlalu dalam
untuk diukur, seakan-akan menyimpan rahasia yang gelap dengan sikap diamnya.
“Ibu, saya
melihat persiapan sembahyang... siapakah...”
“Hai, Kok
Cu, ayahmu telah terlalu banyak menerima budi kebaikan orang!” Jenderal Kao
berkata sambil memegang tangan puteranya dan menariknya ke depan meja
sembahyang. “Kami sekeluarga sedang menyembahyangi arwah seorang penolong yang
budiman. Engkau sebagai putera sulungku, harus mengetahui mereka yang telah
melepas budi kepada kita, agar kelak kalau ayahmu tidak mampu membalas budi
mereka, engkau sebagai anak sulungku akan selalu mengingatnya.”
Jenderal ini
bersama isterinya dan tiga orang puteranya kini mulai bersembahyang,
mengacungkan hio (dupa biting) dengan penuh hormat kepada gambar yang dipasang
di meja sembahyang.
Melihat
betapa gambar gadis yang amat menarik hatinya itu disembahyangi seperti telah
mati, Kian Lee merasa jantungnya seperti ditusuk dan dia memejamkan matanya.
Ketika tangan Kian Bu menyentuh lengannya, dia sadar dan membuka mata.
“Mereka itu
salah duga...” Kian Bu berbisik. “Dia belum mati.”
Kian Lee
mengangguk dan menghela napas panjang. “Akan tetapi tidak perlulah kita
menyangkal dan berdebat dengan mereka...”
“Ahhh...!”
Semua orang
menjadi terkejut melihat pemuda tinggi besar, Kok Cu, yang tadinya ikut
bersembahyang meloncat ke belakang seperti diserang ular kakinya, mukanya pucat
dan dia memandang kepada gambar di atas meja sembahyang.
“Hei, kau
kenapa, Kok Cu?” Jenderal Kao menegur. Mereka telah selesai sembahyang dan
tentu saja mereka terkejut menyaksikan sikap pemuda itu.
“Ayah,
siapa... siapa yang kita sembahyangi ini? Gambar siapa itu?” Dia menunjuk ke
arah gambar Ceng Ceng di atas meja.
“Aku belum
menceritakan tentang dia kepadamu, Kok Cu. Mari duduk, akan kuceritakan padamu.
Dia bernama Lu Ceng, seorang gadis perkasa yang telah mengorbankan diri dan
tewas dalam usahanya menyelamatkan nyawa ayahmu. Kalau tidak ada dia ini,
kiranya hari ini engkau tidak akan dapat bertemu dengan ayah kandungmu.” Lalu
Jenderal Kao menceritakan semua peristiwa yang terjadi di sumur maut. Setelah
dia selesai bercerita, dia bertanya, “Kenapa kau kelihatan kaget melihat gambar
mendiang Nona Lu Ceng?”
Kok Cu
menundukkan mukanya. Hanya dia yang tahu betapa hatinya seperti diremas-remas
bagai ditusuki jarum-jarum beracun. Teramat perih dan penuh penyesalan hebat,
membuat dadanya sesak dan mukanya pucat.
Terbayang di
depan matanya peristiwa di dalam goa, tampak jelas olehnya betapa dia telah
melakukan hal yang amat hina di luar kehendaknya, betapa di suatu saat dia
seperti telah berubah menjadi seekor binatang buas, menjadi setan yang amat
jahat. Betapa pun dia melawan, dia tidak dapat mengusai nafsu birahinya yang
didorong oleh racun-racun yang sangat hebatnya sehingga terjadilah perbuatannya
yang keji sekali, memperkosa seorang dara cantik jelita dan gagah perkasa, dara
yang muncul untuk menolongnya!
Dia telah
membalas pertolongan orang dengan perbuatan yang sejahat-jahatnya,
sekeji-kejinya yang dapat diderita seorang wanita, yaitu memperkosa wanita yang
menjadi penolongnya itu! Kini, hatinya lebih parah lagi ketika mendapat
kenyataan bahwa dara itu pun telah menyelamatkan nyawa ayahnya tanpa
mempedulikan keselamatan nyawa sendiri! Manusia macam apa dia ini! Dan ayahnya
adalah seorang panglima besar yang amat gagah, seorang yang dijunjung tinggi
oleh seluruh rakyat di utara, ibunya seorang wanita yang demikian lemah lembut
dan halus budi pekertinya, kedua orang adiknya pun demikian tampan dan gagah.
Dia... ah, dia lebih keji dari binatang, lebih jahat dari pada setan. Dia tidak
layak menjadi putera Jenderal Kao Liang, tidak layak berada di antara keluarga
terhormat itu!
“Kok Cu, kau
kenapa? Mengapa wajahmu pucat begitu?” Ibunya bertanya.
“Kok Cu, kau
tadi kelihatan amat kaget ketika melihat gambar mendiang Nona Lu Ceng.
Mengapa?” Jenderal Kao bertanya pula.
“Ayah,
Ibu... aku amat terkejut karena... karena aku pernah bertemu dengan Nona
ini...” jawabnya. “Dia... dia belum mati, Ayah.”
“Nah, apa
kata kami tadi, Kao-goanswe? Nona itu memang belum mati. Saudara Kao Kok Cu,
ketahuilah bahwa baru saja nona itu malah muncul di kamar ini!” Kian Bu berseru
saking girangnya bahwa mereka berdua memperoleh teman untuk menjadi saksi bahwa
nona itu belum mati!
Tetapi dia
sendiri terkejut melihat betapa mata Kok Cu terbelalak liar dan memandang ke
kanan kiri seolah-olah pemuda itu ketakutan mendengar bahwa gadis itu tadi
berada di tempat itu!
Jenderal Kao
Liang menghela napas panjang. “Aku sendiri pun kalau bisa mohon kepada Thian
agar dia masih hidup! Dan mudah-mudahan begitulah! Akan tetapi, bagaimana
mungkin orang dapat bertahan hidup setelah terjerumus ke sumur maut itu? Dan
andai kata benar dia hidup, mengapa dia tadi tidak menjumpai aku? Antara dia
dan aku sudah seperti ayah dan anak sendiri. Mengapa kalau dia masih hidup, dia
bersikap demikian penuh rahasia?”
Tidak ada
orang yang dapat menjawabnya, dan kedua saudara Suma terpaksa harus mengakui
keanehan ini di dalam hati mereka. Akan tetapi Kok Cu mempunyai dugaan lain.
Tentu saja nona itu berubah sikapnya setelah mengalami peristiwa terkutuk itu,
setelah menderita karena kebiadabannya! Siapa tahu nona itu kini telah menjadi
gila karenanya!
“Kok Cu,
sekarang kau ceritakan pengalamanmu semenjak kau lenyap di dalam badai,”
perintah Jenderal Kao.
Seperti
orang dalam mimpi karena semua pikirannya masih hanyut terbawa lamunannya
terhadap nona yang diperkosanya, Kok Cu menceritakan pengalamannya dengan
singkat, betapa dia ditolong oleh seorang manusia sakti berjuluk Si Dewa
Bongkok penghuni dari Istana Gurun Pasir, diambil murid dan baru sekarang
diperkenankan meninggalkan istana itu.
“Selain
berusaha mencari ayah dan ibu yang sudah kulupa namanya, aku pun memikul tugas
dari suhu untuk mencari kitab yang hilang tercuri orang. Dalam pengejaran
mencari kitab itulah aku tertipu dan tertangkap di Lembah Bunga Hitam, dan aku
bertemu dengan Nona Lu Ceng di sana...” Pemuda itu menghentikan ceritanya, bulu
tengkuknya meremang karena dia teringat akan perbuatannya terhadap dara itu dan
baru saja mendengar bahwa nona itu telah memasuki rumah orang tuanya.
“Kok Cu,
kalau aku tidak salah menghitung, usiamu tentu sudah dua puluh enam tahun
sekarang. Engkau telah memiliki kepandaian tinggi, itu bagus sekali karena aku
dapat mengusahakan tempat bagimu di dalam barisan, dan setelah engkau
memperoleh kedudukan, kami akan mencari jodoh untukmu.”
“Benar
sekali ucapan ayahmu, Kok Cu. Aku sudah sering bermimpi menimang-nimang seorang
cucu!” ibunya menambahkan.
“Maaf Ayah,
dan Ibu. Terpaksa malam ini juga aku minta diri karena harus memenuhi dulu
perintah Suhu. Setelah urusan ini selesai barulah aku akan kembali ke sini dan
menghabiskan sisa usiaku untuk berbakti kepada Ayah dan Ibu.”
Ibunya
hendak membantah, akan tetapi Jenderal Kao memberi isyarat kepada isterinya,
lalu berkata, “Engkau benar! Kalau tidak ada suhu-mu, tentu engkau sudah tewas
di padang pasir. Budi suhu-mu sampai mati pun takkan dapat dibalas lunas, maka
satu-satunya perintah itu harus kau laksanakan dengan sebaiknya sampai
berhasil. Akan tetapi..., besok pagi-pagi aku sendiri akan kembali ke utara
bersama kedua orang Suma Siauw-sicu ini. Apakah engkau tidak bisa menanti
sampai besok dan kita semalam ini bercakap-cakap di sini?”
“Maaf, Ayah.
Karena aku harus mengikuti petunjuk dan jejak, malam ini pun aku harus
melanjutkan perjalanan mencari kembali kitab suhu itu...”
Akhirnya
ayah dan ibunya tidak dapat mencegah lagi dan setelah memberi hormat kepada
semua orang, sekali berkelebat lenyaplah tubuh tinggi besar itu melalui
jendela. Semua orang, termasuk kedua orang kakak beradik Suma, merasa kagum
sekali.
Seperti
setan cepatnya Kok Cu meninggalkan gedung orang tuanya. Hatinya rasanya tidak
karuan. Dia girang dan merasa berbahagia sekali karena berhasil bertemu dengan
ayah bunda dan adik-adiknya, akan tetapi perasaan ini bercampur dengan perasaan
menyesal dan berduka. Dia merasa tidak patut menjadi anggota keluarga yang
mulia dan terhormat itu.
Ia merasa
telah mengotori nama besar dan kehormatan ayahnya dengan perbuatannya terhadap
Lu Ceng, dara yang dianggap sebagai bintang penolong keluarganya! Dan baru
saja, menurut ayahnya, Lu Ceng telah datang ke tempat orang tuanya. Hal ini
berarti bahwa gadis itu telah berada di kota raja! Dengan pikiran
melayang-layang, pemuda itu meloncat dari genteng sebuah rumah ke genteng lain,
tanpa tujuan namun hati dan pikirannya penuh dengan bayangan Lu Ceng!
***************
Ceng Ceng
menangis di dalam kamar penginapan, sampai mengguguk akan tetapi dia menutupi
mukanya dengan bantal agar tidak ada suara tangisnya keluar dari kamar itu.
Makin diingat, makin hancur rasa hatinya. Tidak mungkin dia dapat bertemu
dengan Jenderal Kao yang telah menyembahyanginya itu. Dia tidak pantas bertemu
dengan jenderal gagah perkasa itu, merasa betapa dirinya sudah kotor. Dan pula,
jelas bahwa pemuda laknat yang dicarinya tidak berada di tempat itu, tidak
berada bersama Jenderal Kao. Kalau ada, tentu tadi dia sudah melihatnya.
Ingin sekali
dia mengunjungi istana Puteri Milana yang dijunjung tinggi oleh mendiang
kakeknya, siapa tahu Syanti Dewi telah berada di situ. Akan tetapi bagaimana
dia mampu bertemu muka dengan seorang puteri yang demikian mulia? Dan dia
merasa malu juga bertemu dengan Syanti Dewi karena sekali bertemu dengan kakak
angkatnya itu, tentu dia tidak lagi dapat menyimpan rahasianya, tentu dia akan
menceritakan segalanya dan hal ini hanya berarti mati membunuh diri saking
malunya.
Teringat
olehnya akan nasibnya yang amat buruk. Sejak kecil tidak melihat ayahnya,
bahkan ibunya meninggalkannya menjadi seorang anak yatim piatu di dalam asuhan
kakeknya. Dan kakeknya...
“Aihh,
Kongkong...!” Dia merintih dan tangisnya makin menjadi-jadi ketika dia teringat
kepada kakeknya yang tewas secara menyedihkan itu.
Teringat
pula dia akan peristiwa yang paling hebat, yang sekaligus menghancurkan
hidupnya, peristiwa di dalam goa yang menimbulkan dendam yang sedalam lautan,
kebencian yang setinggi langit. Hidupnya kini hanya untuk satu tujuan saja,
mencari dan membunuh pemuda laknat yang telah memperkosanya itu!
“Ahhh...!”
Dia mengepal tinju dan menggigit gigi. Dia tahu bahwa pemuda laknat itu
memperkosanya di bawah pengaruh racun yang hebat. Akan tetapi hal ini tidak
mengurangi kebenciannya, tidak mengurangi dendamnya. Kalau diingat betapa dia
telah berusaha menolong pemuda itu! Menolongnya, membebaskannya dari ancaman
maut, dari dalam kerangkeng, akan tetapi pemuda itu malah membalasnya dengan
perbuatan yang lebih keji dari pada kalau membunuhnya! Pemuda itu telah
mendatangkan siksa dan derita hebat sehingga dia dalam keadaan mati tidak hidup
pun tidak.
Betapa
dendam memainkan peran penting di dalam kehidupan manusia, bahkan dendam
mencengkeram sebagian besar dari kehidupan manusia sehingga di seluruh pelosok
dunia terjadilah pertentangan, permusuhan, benci-membenci dan akhirnya membesar
menjadi perang antara bangsa, perang antara negara.
Dendam yang
menimbulkan kebencian bersumber kepada si aku. Si aku yang dirugikan lahir mau
pun batin, melahirkan kemarahan dan dendam, kebencian, maka timbullah kekerasan
dari dendam dan kebencian ini. Aku diganggu dan dirugikan, keluargaku diganggu,
hartaku, namaku, kedudukanku, kepercayaanku, bangsaku, maka aku pun menjadi
marah, dendam dan benci! Segala hal yang tampak mau pun yang tidak tampak, yang
menjadi kepunyaan si aku, tidak boleh diganggu. Kalau yang diganggu itu
keluarga, harta benda, kedudukan, agama, bangsa dan negara orang lain, biasanya
kita tidak peduli. Maka si akulah yang menjadi sumber timbulnya dendam dan
kekerasan yang mengikutinya.
Di mana
terjadi pertentangan dan permusuhan yang disusul dengan bentrokan, tentu ada
yang kalah dan ada yang menang. Pihak yang kalah atau lebih tepat lagi, pihak
yang dirugikan, tentu akan mendendam dan selalu rindu akan kesempatan untuk
membalas dendam itu. Setelah kesempatan tiada maka terjadilah kekerasan yang
lain lagi dan hal ini menimbulkan dendam kepada pihak yang kalah, baik
perorangan mau pun kelompok, mau pun negara. Maka dendam-mendendam tidak
habisnya di dunia ini, di antara manusia, di antara bangsa dan negara.
Jika dendam
masih mencengkeram manusia tidak mungkin ada perdamaian dalam hidup manusia.
Selama dendam belum lenyap dari batin manusia, segala macam usaha ke arah
perdamaian akan sia-sia belaka. Akan tetapi, apa bila dendam dan kebencian
tidak lagi bertahta di dalam batin manusia, apakah akan ada permusuhan, apakah
akan ada perang lagi? Kiranya tidak perlu orang bersusah payah mengadakan usaha
perdamaian lagi karena tidak akan ada lagi permusuhan dan perang!
Jika dendam
kebencian masih bernyala di hati dan pikiran kita, maka segala usaha kita untuk
berdamai dengan musuh yang kita benci merupakan kepalsuan dan hanya akan
menghasilkan perdamaian palsu belaka. Hanya setelah kita bebas dari dendam
kebencian, baru kita dapat hidup damai dengan orang lain, dan tidak perlu lagi
usaha perdamaian itu karena kita tidak mempunyai musuh siapa pun, tidak
mendendam mau pun membenci siapa pun!
Yang penting
harus disadari bahwa sumber segala dendam kebencian terletak kepada si aku,
yaitu si pikiran yang menciptakan si aku. Kita selalu ingin merubah yang di
luar, untuk disesuaikan demi kesenangan dan keenakan si aku, kita lupa bahwa
sumber segala kekacauan terletak kepada si aku.
Diri
sendirilah yang harus berubah, si sumber yang harus berubah. Dan perubahan akan
terjadi apa bila ada pengertian dan pengenalan diri sendiri, melihat dengan
mata terbuka akan kekotoran yang memenuhi diri sendiri. Melihat tanpa pamrih,
tanpa keinginan apa pun, tanpa ingin merubah, tanpa ingin memperbaiki, menambah
atau mengurangi. Dari penglihatan ini timbul pengertian karena penglihatan
tanpa pamrih ini merupakan kewaspadaan, menimbulkan kesadaran penuh dan
otomatis akan timbul tindakan-tindakan dari pengertian dan kesadaran itu yang
akhirnya akan menimbulkan perubahan.
Sayang bahwa
Ceng Ceng tidak sadar akan semua kenyataan sederhana itu. Dia merasa sengsara,
diracuni oleh dendam dan kebencian sehingga seperti seorang yang mabok, dia
kadang-kadang menangis, kadang-kadang beringas dan beberapa kali dia
hampir-hampir mengambil keputusan nekat untuk membunuh diri!
Tiba-tiba
dia bangkit duduk, tidak bergerak dan perhatiannya tertarik oleh suara burung
malam yang lapat-lapat di atas genteng. Bagi telinga biasa, tentu akan
menganggap bahwa itu adalah suara burung malam tulen. Namun pendengaran Ceng
Ceng yang terlatih menangkap sesuatu yang aneh dalam suara itu, apa lagi ketika
dia mendengar suara berkeresekan di atas genteng rumah penginapan,
kecurigaannya timbul.
Ditiupnya
lilin di dalam kamarnya, disambarnya buntalan pakaian dan pedang Ban-tok-kiam,
dibereskan kembali pakaiannya yang kusut, kemudian dia membuka jendela dan
meloncat keluar jendela, menuju ke belakang rumah penginapan dan meloncat ke
atas genteng. Dari situ tampak olehnya dua orang yang berpakaian hitam bergerak
di atas genteng bagian depan rumah itu, maka dia cepat mendekati dan
membayangi. Dua sosok bayangan itu melayang turun dengan gerakan yang ringan
sekali. Ceng Ceng mengintai dari atas dan mendengarkan percakapan singkat
mereka.
“Sudah
pastikah engkau, Twako?”
“Sudah jelas
dia, siapa lagi? Pangeran itu masuk dengan menyamar sebagai pedagang sayur dan
sekarang disembunyikan oleh perwira itu di rumahnya.”
“Kalau
begitu kita harus cepat menangkapnya sebelum dia sempat menghadap istana!”
“Memang
perintahnya begitu, akan tetapi kita menunggu teman-teman yang dikirim ke sini
untuk membantu kita.”
Tidak
terlalu lama mereka menunggu karena segera muncul lima orang laki-laki yang
memiliki gerakan ringan dan cepat. Setelah berbisik-bisik dan berunding, tujuh
orang itu lalu berlari ke jurusan utara. Ceng Ceng cepat mengejar dan terus
membayangi tujuh orang itu tanpa turun tangan karena dia ingin tahu apa yang
hendak dilakukan oleh mereka itu. Yang jelas, mereka itu mempunyai niat buruk
terhadap diri seorang pangeran. Dia teringat akan Puteri Milana yang
dipuji-puji mendiang kakeknya. Puteri Milana juga keluarga Kaisar, maka tentu
masih ada hubungan dengan Pangeran ini. Maka sepantasnyalah kalau dia
menyelidiki dan melindungi Pangeran itu.
Siapakah
tujuh orang itu dan siapa pangeran yang hendak mereka tangkap? Tujuh orang itu
adalah kaki tangan Pangeran Tua Liong Khi Ong yang menyamar sebagai orang-orang
biasa dan memang banyak terdapat kaki tangan pangeran ini berkeliaran di kota
raja. Sungguh pun mereka tidak berani banyak bergerak karena di kota raja
terdapat banyak pula anak buah Puteri Milana, namun mereka ini merupakan
penyelidik-penyelidik dari Pangeran Liong Khi Ong. Ada pun pangeran yang hendak
mereka tangkap adalah Pangeran Yung Hwa.
Telah
diceritakan di bagian depan bahwa Pangeran Yung Hwa adalah pangeran putera
Kaisar dari selir, seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang amat tampan dan
halus gerak-geriknya, seorang ahli sastra yang halus budi bahasanya dan
romantis jiwanya. Pangeran Yung Hwa ini pernah mendengar berita tentang
kecantikan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan sehingga dia tergila-gila oleh berita
itu.
Tidaklah
mengherankan kalau seorang seperti pangeran muda ini tergila-gila kepada
seorang dara yang belum pernah dilihat sebelumnya, tergila-gila hanya karena
mendengarkan berita tentang puteri itu! Memang jiwa seorang yang suka akan seni
seperti Pangeran Yung Hwa amat romantis, amat peka dan halus, mudah tergerak
dan mudah terpesona.
Mendengar
tentang Puteri Syanti Dewi yang kabarnya ahli dalam hal seni sastra, tari dan
lukis, pandai pula meniup suling dan mainkan alat tetabuhan lain, bahkan
kabarnya pandai pula menari pedang, di samping memiliki kecantikan yang luar
biasa seperti seorang dewi dari kahyangan, hatinya tergerak dan sekaligus dia
telah jatuh cinta! Karena tergila-gila dan tidak dapat pula menahan rindunya,
dia menghadap ayahnya, yaitu Kaisar, dan mengajukan permohonan agar dia
dilamarkan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu!
Akan tetapi
Kaisar yang telah dipengaruhi oleh adik tirinya, Pangeran Liong Bin Ong,
berpendapat lain. Kaisar menolak permintaan puteranya ini, bahkan melamar
Puteri Bhutan itu untuk dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang sudah
berusia lima puluh tahun dan telah mempunyai banyak selir! Mendengar ini,
remuklah hati Pangeran Yung Hwa dan dengan berani dia menulis sajak memaki-maki
pamannya itu sebagai seorang tua yang tak tahu malu, yang mata keranjang dan
lain-lain untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Kemudian dia lolos dari
istana melarikan diri.
Pangeran
Liong Khi Ong tentu saja marah sekali kepada keponakannya ini karena sajak yang
memaki-makinya itu dipasang di kuil besar dekat istana sehingga sebentar saja
banyak orang yang tahu dan dia menjadi buah tertawaan orang. Dengan seijin
Kaisar yang memang sudah mendengar akan hal itu dan hendak menghukum puteranya,
Pangeran Liong Khi Ong mengerahkan pasukan untuk menangkap kembali Pangeran
Yung Hwa yang minggat.
Di bagian
depan dari cerita ini telah diceritakan betapa Pangeran Yung Hwa yang sedang
melarikan diri dalam kereta dan dikejar oleh pasukan Pangeran Liong Khi Ong,
secara kebetulan bertemu dengan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi yang menyamar,
lalu pangeran muda itu mendapat pertolongan Gak Bun Beng sehingga lolos dari
bahaya. Akan tetapi tentu saja dia tidak pernah menduga bahwa dara cantik yang
berada bersama penolongnya itu bukan lain adalah Puteri Bhutan yang menjadi
gara-gara semua keributan itu!
Dengan
bantuan seorang pamannya, yaitu saudara dari ibunya yang menjadi selir Kaisar,
dia bersembunyi di luar kota raja. Ketika dia mendengar dari pamannya akan
gerakan pemberontakan yang agaknya dikendalikan dari kota raja oleh kedua orang
pangeran tua, Yung Hwa amat terkejut. Ia segera melakukan
penyelidikan-penyelidikan, kemudian pada malam hari itu, dengan bantuan
pamannya dia berhasil menyelundup masuk ke kota raja dengan niat menghadap
ayahnya untuk minta ampun dan untuk menyampaikan hasil-hasil penyelidikannya
tentang gerakan pemberontakan dua orang pangeran tua.
Pangeran
Yung Hwa tidak tahu bahwa penyeludupannya itu telah diketahui oleh kaki tangan
Pangeran Liong Khi Ong yang cepat melapor kepada pangeran tua itu. Pangeran
Liong Khi Ong segera memerintahkan tujuh orang kaki tangannya itu untuk
menangkap Pangeran Yung Hwa.
Ketika Ceng
Ceng melihat betapa tujuh orang itu yang harus diakuinya memiliki gerakan yang
ringan dan gesit sekali dan diketahuinya merupakan lawan-lawan yang berat,
mengepung sebuah rumah di ujung kota, dia lalu langsung menghampiri pintu rumah
itu dan mengetuknya. Dia maklum bahwa perbuatannya itu diintai oleh tujuh orang
itu dengan penuh keheranan dan perhatian, namun dia tidak peduli dan mengetuk
terus dengan kuat sampai terdengar suara seorang laki-laki dari sebelah dalam,
“Siapakah di luar?”
“Aku ingin
berjumpa dengan Pangeran,” kata Ceng Ceng.
Hening
sejenak di belakang pintu itu, kemudian penutup lubang digeser dan tampak
sebuah mata mengintai dari balik lubang. Ketika orang di balik pintu itu
melihat bahwa yang mengetuk pintu hanyalah seorang dara cantik dan sendirian
pula, sinar matanya membayangkan kelegaan hati.
“Nona,
engkau siapakah dan apa maksud kedatanganmu?”
“Biarkan aku
masuk, aku ingin berjumpa dengan Pangeran. Dia terancam bahaya dan aku ingin
melindunginya.”
Sinar mata
itu kelihatan terkejut dan heran, lalu nampak ragu-ragu. Pengintai ini adalah
Perwira Chi yang melindungi sekaligus menyembunyikan Pangeran Yung Hwa sebelum
Pangeran itu sempat menghadap ayahnya di istana Kaisar.
“Bukalah
sebelum terlambat,” Ceng Ceng berbisik. “Rumah ini sudah mereka kurung!”
Perwira itu
makin kaget dan cepat dia membuka daun pintu, membiarkan Ceng Ceng menyelinap
masuk dan cepat menutupkan kembali pintunya.
“Di mana
dia?” Ceng Ceng bertanya.
Laki-laki
berusia empat puluh tahun lebih itu mengangguk dan memberi isyarat kepada dara
itu untuk mengikutinya ke sebelah dalam rumahnya. Dalam perjalanan menuju ke
ruangan dalam ini, Ceng Ceng bertemu dengan isteri Perwira Chi dan tiga orang
anaknya yang masih kecil-kecil, berusia di bawah sepuluh tahun, dan dua orang
pelayan. Mereka kelihatan takut-takut dan memandang kepada Ceng Ceng dengan
muka pucat.
Ketika Ceng
Ceng mengikuti orang itu masuk ke sebuah ruangan, seorang pemuda bangkit dari
duduknya dan menyambut kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik. Begitu
berhadapan, diam-diam Ceng Ceng harus mengakui bahwa baru sekali ini dia
berjumpa dengan seorang pemuda yang demikian tampannya.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment