Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 11
"Subo,
teecu akan membalaskan sakit hatimu terhadap Siang Lo-mo!” bisiknya sambil
mengepal tinju. Dia cepat mengusir bayangan subo-nya dan melanjutkan
perjalanannya dengan cepat karena dari atas dia melihat genteng-genteng rumah
penduduk dusun di bawah sana.
Dia berhenti
di luar dusun itu ketika melihat anak sungai yang airnya jernih sekali. Timbul
keinginan hatinya untuk mandi dan minum. Atau setidaknya dia harus mencuci
mukanya di air yang jernih itu, karena kalau mandi dia khawatir dilihat orang.
Cepat dia menuruni anak sungai itu, akan tetapi baru saja kedua tangannya
menyentuh air, tiba-tiba terdengar orang berseru penuh kekhawatiran, “Heiii...!
Nona..., jangan sentuh air itu... Lekas kau keluar dari situ!”
Tentu saja
Ceng Ceng merasa heran sekali. Jika orang itu melarangnya, tentu dia akan
marah. Tetapi orang itu jelas bukan melarang, melainkan memperingatkannya
seolah olah orang itu merasa ngeri dan takut akan sesuatu.
“Mengapa
tidak boleh, Lopek?” tanyanya ketika laki-laki setengah tua itu sudah tiba
dekat sambil berlarian.
“Aihh, Nona,
harap cepat keluar. Air sungai itu beracun!”
“Hemm,
beracun?” Ceng Ceng tertarik sekali dan memandang air itu, lalu membawa
tangannya yang basah ke depan hidungnya, bahkan lalu menjilatnya. Memang
beracun, pikirnya, akan tetapi hanya tipis dan lemah saja kekuatan racun itu,
agaknya karena sudah tercampur air yang amat banyak itu.
“Biarlah aku
ingin mencuci muka dan minum!” jawab Ceng Ceng seenaknya dan dia lalu mencuci
mukanya, bahkan kemudian menyendok air dengan kedua telapak tangan dan
diminumnya. Hemmm, menyegarkan rasanya.
“Nona!
Jangan... ahhh, anakku pun sekarang hampir mati karena minum air ini, dan di
kampung kami sudah ada enam orang yang tewas. Mengapa Nona begini nekat?”
Ceng Ceng
makin tertarik dan dia lalu meloncat ke darat. Sekali loncat saja dia telah
tiba di depan laki-laki tua itu yang memandang terbelalak kemudian menjatuhkan
diri berlutut!
“Kiranya
Nona adalah seorang pendekar wanita yang sakti...! Nona tidak takut racun dan
Nona melompat seperti terbang... kalau begitu, saya mohon dengan hormat,
sudilah kiranya Nona menolong kami, mengobati puteraku dan beberapa orang lain
yang belum tewas akan tetapi yang menderita sakit hebat karena air sungai ini.”
Ceng Ceng
mengangguk. “Baik, akan kucoba untuk menyembuhkan mereka. Mari!”
Kakek itu
girang sekali dan cepat mengajak Ceng Ceng memasuki perkampungan itu, langsung
menuju ke sebuah rumah yang paling besar dan paling indah di dusun itu. Kiranya
orang tua itu adalah hartawan yang paling kaya di dusun itu, dan dia lalu
dengan singkat menceritakan kepada isterinya yang masih menangis bahwa nona
muda ini hendak mengobati putera mereka. Ibu yang cemas ini cepat mengajak Ceng
Ceng memasuki sebuah kamar dan di atas pembaringan rebahlah seorang anak
laki-laki berusia sepuluh tahun yang membengkak mukanya dan panas badannya.
Ceng Ceng
menghampiri, dan sebentar saja dia sudah tahu bahwa anak ini memang keracunan,
racun yang sama dengan yang dia dapatkan di dalam anak sungai tadi. Racun yang
sama sekali tidak berbahaya kalau saja orang tahu cara pengobatannya. Cepat dia
menotok jalan darah di dada kiri anak itu dan menyuruh Sang Ibu mengambil abu
dapur, merendam abu itu di dalam air, lalu memberikan air itu setelah abunya
mengendap, untuk diminumkan anaknya.
Setelah
ditotok dan minum obat sederhana ini, anak itu benar saja sembuh, bengkak pada
mukanya mengempis dan napasnya tidak memburu lagi, panas tubuhnya pun menurun!
Tentu saja hartawan itu menjadi girang sekali dan orang lain yang menderita
keracunan yang sama lalu dibawa ke rumah gedung itu dan semua diobati oleh Ceng
Ceng dan dapat diselamatkan nyawanya.
Rumah itu
penuh dengan penduduk dan mereka semua berlutut menghaturkan terima kasih
kepada Ceng Ceng, dipimpin oleh kepala dusun itu yang masih adik kandung
sendiri dan Si Hartawan tadi.
Ceng Ceng
berkata, “Harap Cu-wi sekalian bangkit dan jangan berlebihan. Aku hanya ingin
tahu mengapa air sungai itu beracun, apakah biasanya tidak begitu?”
“Tentu saja
tidak, Lihiap (Pendekar Wanita),” jawab Si Kepala Dusun setelah semua orang
bangkit. “Sejak turun-temurun, anak sungai itu memiliki air yang jernih dan
bersih dan yang menjadi air minum seluruh penduduk dusun. Akan tetapi sejak
tiga hari yang lalu, tiba-tiba saja airnya mengandung racun yang jahat itu
sehingga ada enam orang penduduk kami tewas, yang lain sakit dan tentu akan
tewas pula kalau tidak ada Lihiap yang menolong.”
“Hemm,
sungguh aneh,” kata Ceng Ceng. “Racun seperti itu adalah buatan orang dan tak
mungkin dapat meracuni sungai kalau tidak sengaja dilakukan orang.”
“Kami
mendengar berita bahwa di selatan sana keadaan dusun-dusun lebih parah lagi
karena mengamuknya racun yang entah datang dari mana. Kami tadinya tidak
percaya sampai air sungai itu menjadi beracun,” jawab Si Kepala Dusun.
“Terpaksa kini kami menggunakan air dari sumber di atas bukit untuk keperluan
kami.”
“Dan Cu-wi
tahu mengapa sebabnya semua itu?”
“Tidak,
Lihiap, kami tidak tahu.”
“Hemmm,
kalau begitu tentu ada apa-apa di selatan sana. Aku akan pergi ke sana
menyelidikinya.”
Mendengar
ucapan ini, semua orang memandang dengan muka berubah.
“Ada apakah
di selatan?” Ceng Ceng bertanya melihat sikap mereka itu.
Si Kepala
Kampung memandang ke kanan kiri seperti orang ketakutan, lalu berkata lirih,
“Sebaiknya kalau Lihiap jangan mengambil jalan ke selatan. Kurang lebih lima
puluh li dari tempat ini terdapat tempat yang dinamakan Lembah Bunga Hitam, dan
tempat itu amat berbahaya...”
“Mengapa...?”
“Penghuni
Lembah Bunga Hitam adalah golongan yang amat ditakuti di sekitar daerah ini,
dan sudah banyak yang menjadi korban keganasan mereka, namun tidak ada yang
berani melawan karena mereka itu amat lihai...”
Ceng Ceng
tersenyum. “Tak usah Cu-wi khawatir, aku mampu menjaga diriku.”
Akan tetapi
kepala kampung dan hartawan itu, juga para penduduk, menahan Ceng Ceng pergi
seketika. Mereka lebih dulu ingin menjamu Ceng Ceng untuk menyatakan terima
kasih mereka. Bahkan melihat betapa pakaian yang dipakai dara itu sudah amat
lapuk, Si Hartawan sudah cepat menyiapkan pakaian baru untuk Ceng Ceng, dan
setelah dara itu dipaksa untuk makan minum bersama mereka, lalu seekor kuda
yang besar dihadiahkan pula kepada dara itu.
Ceng Ceng
juga tidak menolak pemberian itu, menerima dengan gembira dan berterima kasih.
Dia memang amat membutuhkan pakaian bersih, dan kuda itu pun dapat berguna
baginya.
Maka dengan
diantar oleh para penduduk sampai di pintu dusun, dara ini berangkat
melanjutkan perjalanannya menuju ke selatan. Akan tetapi baru kurang lebih
sepuluh li kudanya dilarikan ke selatan, tiba-tiba di luar sebuah hutan dia
melihat penduduk dusun berbondong-bondong pergi mengungsi ke utara.
Keadaan
mereka sungguh menyedihkan. Terlihat muka mereka pucat akibat ketakutan,
pakaian kumal, penuh luka, ada yang menggendong anak, ada pula yang menggandeng
dua anak di kanan kiri, ada yang menggendong buntalan pakaian dan memikul
barang-barang yang sempat mereka bawa lari ngungsi.
Ceng Ceng
meloncat turun dari kudanya dan memegang kendali kuda, memandang orang-orang
itu yang agaknya tidak mempedulikannya, bahkan agaknya memandang kepadanya
dengan penuh curiga dan penuh kebencian. Akhirnya dia bertanya kepada dua orang
laki-laki setengah tua yang berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap, “Ji-wi
Lopek (Paman Tua Berdua) agaknya kalian semua mengungsi dengan tergesa gesa dan
ketakutan, apakah yang terjadi di selatan?”
Dua orang
laki-laki itu berhenti dan memandang kepada Ceng Ceng dengan penuh keheranan.
“Apakah Nona hendak maksudkan bahwa Nona belum tahu akan apa yang sedang dan
telah terjadi, dan saat ini Nona hendak melakukan perjalanan ke selatan?” tanya
yang berjenggot pendek.
“Benar,
Lopek. Akan tetapi, apakah sebenarnya yang sedang terjadi? Mengapa Lopek
sekalian melarikan diri dan pergi mengungsi?”
“Aihhh,
tadinya kami mengira tentu Nona adalah salah seorang di antara mereka! Kalau
ternyata bukan, harap Nona cepat membalikkan kuda dan ikut melarikan diri
bersama kami sebelum terlambat.”
“Sebelum
terlambat?”
“Ya, lihat.
Kami adalah petani-petani, akan tetapi sekarang terpaksa melarikan diri tanpa
membawa seekor pun binatang peliharaan. Kuda Nona masih sehat, maka lekas-lekas
Nona bawa pergi sejauhnya ke utara kalau ingin selamat.”
Tentu saja
Ceng Ceng menjadi makin tertarik. Jelas bahwa telah terjadi sesuatu yang amat
hebat di selatan, yang akibatnya telah menggegerkan dusun di utara tadi di mana
air sungai mendadak menjadi beracun.
“Lopek,
tolong jelaskan. Apa yang sedang terjadi?”
“Geger
hebat, dunia akan kiamat, Nona! Sejak tiga hari yang lalu, terjadi pertempuran
hebat di Lembah Bunga Hitam antara golongan penghuni lembah dan musuh-musuh
mereka. Pertandingan yang mengerikan, dan akibatnya bagi para penghuni dusun di
sekitar lembah, lebih mengerikan lagi. Bayangkan saja, ternak-ternak kami mati,
air pun keracunan, hawa udara beracun, semua tanaman layu dan agaknya tanah pun
menjadi beracun. Dua golongan ahli-ahli racun perang menggunakan racun-racun
mengerikan. Banyak di antara penduduk dusun sekitar tempat itu mati konyol,
maka kami semua cepat melarikan diri mengungsi. Nah, sekarang sebaiknya Nona
cepat memutar arah perjalanan Nona, atau kalau ada keperluan ke selatan,
sebaiknya mengambil jalan memutari pegunungan di selatan itu agar tidak
melewati Lembah Bunga Hitam.”
Ceng Ceng
menjadi tertarik sekali. Dia lantas meloncat ke atas punggung kudanya dan
berkata, “Terima kasih, Lopek. Saya akan meninjau keramalan itu!” Lalu dia
membedal kudanya ke selatan.
“Ah, sayang
kuda sebaik itu akan mati konyol!” terdengar seorang berkata.
“Nona itu
lebih sayang lagi, begitu muda remaja dan cantik jelita!” kata orang kedua.
Akan tetapi
mereka tidak tahu bahwa Ceng Ceng, murid yang telah mewarisi ilmu dari nenek
yang menjadi datuk racun, Ban-tok Mo-li, tentu saja tertarik sekali mendengar
bahwa ada dua golongan ahli-ahli racun sedang bertanding dan tentu saja dia
tidak merasa takut sama sekali.
Makin dekat
lembah itu, semakin banyak Ceng Ceng bertemu dengan para rombongan pengungsi.
Setelah Lembah Bunga Hitam tinggal berjarak lima belas li lagi jauhnya, dia memberikan
kudanya kepada rombongan pengungsi terakhir, karena dia maklum bahwa hawa udara
yang mulai bau wangi-wangi aneh itu amat berbahaya bagi kudanya. Dia
melanjutkan perjalanan menuju ke Lembah Bunga Hitam dengan berlari-lari.
Dusun-dusun
sudah kosong dan semakin dekat dengan Lembah Bunga Hitam, semakin mengerikanlah
keadaannya. Dusun-dusun telah ditinggalkan penghuninya yang masih hidup,
meninggalkan banyak mayat manusia yang berserakan di mana-mana. Pohon pohon
layu semua, dan daunnya rontok menjadi gundul mengerikan. Bangkai-bangkai
berserakan di atas tanah, mulai dari bangkai binatang buas yang galak dan kuat
seperti beruang hutan sampai kijang dan kelinci, mulai dari belalang dan
jangkrik sampai segala macam kadal, coro, kecoa, dan semut. Juga anak-anak
sungai dan selokan-selokan penuh dengan bangkai katak, ikan, yuyu, belut dan
sebagainya. Semua bangkai mulai membusuk, maka dapat dibayangkan betapa
hebatnya bau di sepanjang jalan dan dusun-dusun itu. Merupakan daerah mati,
daerah yang menyeramkan di mana maut memperlihatkan taring dan kukunya yang
tajam meruncing.
Makin dekat
ke Lembah Bunga Hitam, makin mengerikan keadaannya, bahkan banyak tanah yang
hangus seperti terbakar, ada tanah yang merekah retak-retak dan masih
mengeluarkan asap, ada air hitam menetes-netes dari pohon seperti darah, air
yang mengandung racun ganas!
Di samping
kengerian yang dihadapinya, Ceng Ceng juga merasa tertarik bukan main karena
segala macam racun yang diajarkan oleh subo-nya selama ini, sekarang dapat dia
melihatnya dalam bentuk aslinya, melihat kenyataannya. Dia mengenal dari
bentuk, warna, dan baunya, dan untuk setiap racun yang terdapat di situ, Ceng
Ceng mengenal pula cara menolaknya, bahkan tubuhnya yang sudah dilatih dan
diisi dengan hawa beracun boleh dikatakan kebal terhadap segala macam racun.
Ketika Ceng
Ceng memasuki perkampungan terakhir yang berada tepat di luar Lembah Bunga
Hitam, perkampungan yang tadinya dihuni oleh anak buah Lembah Bunga Hitam
tingkat terendah, dusun ini ternyata juga sudah kosong sama sekali dan di sini
jelas nampak bekas-bekas pertandingan yang mengerikan karena banyak berserakan
mayat-mayat yang membusuk, bahkan ada pula yang sudah tinggal rangkanya saja,
padahal pertandingan baru berjalan tiga hari yang lalu.
Memang ada
beberapa macam racun ganas yang kalau mengenal tubuh orang lantas menggeroti
kulit daging dengan cepatnya sehingga dalam waktu satu hari satu malam saja
hanya menyisakan kerangkanya, karena yang lain-lainnya telah mencair dan habis.
Selain mayat-mayat ini, terlihat pula binatang-binatang berbisa yang juga kebal
terhadap racun-racun lain. Tampak kelabang, kalajengking, ular-ular berbisa
segala jenis yang berkeliaran dan makan bangkai-bangkai binatang lain. Ada pula
beberapa ular jenis ular merah hitam tampak memperebutkan daging membusuk tubuh
seorang manusia!
Ceng Ceng
bergidik, apa lagi ketika dia melihat seorang anak perempuan berusia kurang
lebih sepuluh tahun rebah miring di atas tanah kering. Hatinya merasa ngeri dan
kasihan akan tetapi juga terheran-heran melihat betapa mayat anak kecil ini
masih utuh, hanya agaknya tidak lama lagi utuhnya karena di sekelilingnya
terdapat banyak sekali ular berbisa yang seolah-olah menanti saat baik untuk
nanti memperebutkan daging yang masih lunak dan masih utuh itu.
Tidak, pikir
Ceng Ceng. Aku tak mungkin membiarkan mayat anak itu dimakan ular-ular jahanam
itu! Harus kuselamatkan mayat itu, akan kukubur baik-baik. Dia menghampiri
mayat itu dan tiba di luar lingkaran ular-ular yang mengerumuni mayat anak kecil
itu.
Tiba-tiba
terdengar suara tawa yang membuat bulu tengkuk Ceng Ceng bangun berdiri saking
ngerinya karena suara ketawa itu keluar dari mulut mayat anak perempuan itu!
‘Mayat’ itu kini bangkit duduk. Wajahnya cantik mungil akan tetapi pucat sekali
seperti mayat, dan sepasang matanya bersinar-sinar, mulutnya yang tertawa-tawa
itu tiba-tiba kini berdesis-desis seperti suara ular. Suara mendesis ini
disambut oleh suara mendesis dari empat penjuru, dan bukan hanya ular-ular yang
tadi berkerumun di situ saja yang bergerak, juga dari arah lain berdatangan
banyak ular besar kecil yang mendesis-desis dan merayap secepatnya ke tempat
itu, seolah memenuhi penggilan anak perempuan itu!
Tiba-tiba,
desis yang keluar dari mulut anak perempuan itu berubah dan terkejutlah Ceng
Ceng ketika dia melihat betapa semua ular itu kini membalik dan seperti marah
menyerbu ke arahnya! Sebentar saja ular-ular besar kecil, semuanya beracun,
dipimpin oleh tujuh ekor ular sendok yang ‘berdiri’ dan dengan leher berkembang
menyembur-nyembur, mengurungnya dan anak perempuan itu kini sudah bangkit
berdiri dan menari-nari kegirangan sambil tertawa-tawa, seolah-olah seorang
anak kecil yang memperoleh permainan menarik sekali.
Mengertilah
Ceng Ceng bahwa dia berhadapan dengan seorang bocah yang luar biasa, tentu anak
dari golongan sesat yang amat lihai.
“Hemmm...!”
bentaknya dan dia melangkah maju ke arah tujuh ekor ular sendok yang paling
galak. Tujuh ekor ular itu menyerangnya dengan berbareng, mematuknya. Ceng Ceng
menggerakkan kedua lengannya setelah menyingsingkan lengan bajunya supaya
jangan tergigit robek. Tujuh ekor ular itu tentu saja tertarik dan semuanya
lalu mematuk ke arah kedua lengan yang berkulit putih itu.
Ketika Ceng
Ceng mengangkat kedua lengannya, tujuh ular ekor cobra itu bergantungan pada
lengannya dan kini Ceng Ceng menggerakkan tangannya, mencengkeram kepala
ular-ular itu yang menggigit lengannya, lalu sekali mengerahkan tenaganya,
kepala tujuh ekor ular itu hancur dan bangkai ular itu dia lemparkan ke bawah.
Sementara itu, ular-ular yang lain sudah menyerbu, akan tetapi gigitan mereka
sama sekali tidak mempengaruhi apa-apa pada tubuh dara itu, bahkan dia lalu
menggerakkan kaki tangan dan menginjaki kepala ular, menangkapi dan membanting
sehingga ular-ular itu menjadi morat-marit dan kacau balau, banyak yang mati,
sisanya lalu ketakutan dan mulai menjauhkan diri.
Anak
perempuan yang tadi menari-nari kegirangan, sekarang menghentikan tariannya,
memandang dengan mata terbelalak, kemudian melangkah maju. “Kau... kau... dapat
mengalahkan ular-ularku...?”
Ceng Ceng
menangkap kepala seekor ular yang sebesar lengannya dan panjangnya lebih dari
satu meter, menggerakkan bangkai ular itu ke arah anak perempuan tadi.
“Plak!
Plak!” Biar pun anak perempuan itu berusaha mengelak, tetap saja ekor ular itu
menyabet kedua pipinya. Anak itu menangis dan menutupi mukanya!
Dingin
kembali hati Ceng Ceng yang tadinya panas. Dia menghampiri dan mengelus kepala
anak luar biasa itu. “Kau siapa dan mengapa kau di sini seorang diri?” tanyanya
dengan suara halus.
Anak itu
mengangkat mukanya memandang. Cantik benar wajah anak ini, hanya sayang
kepucatan wajahnya mengerikan, seolah-olah tidak ada darah mengalir di bawah
kulit itu.
“Engkau...
engkau tidak akan membunuh aku?” tanya anak itu.
Ceng Ceng
tersenyum. “Ihh, mengapa aku harus membunuhmu?”
“Enci,
engkau orang aneh, tak seperti yang lain. Ayah tentu akan senang sekali bertemu
denganmu.”
“Siapa
ayahmu, dan engkau siapa?”
“Namaku Kim
Hwee Li, dan ayahku adalah Hek-tiauw Lo-mo!”
Berkata
demikian, anak itu memandang dengan sikap bangga. Akan tetapi kembali dia
terheran-heran dan kecewa karena agaknya wanita yang dapat mengalahkan ular
ularnya itu sama sekali tidak kelihatan kaget. Memang Ceng Ceng selama hidupnya
belum pernah mendengar nama Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua Rajawali Hitam) itu,
tentu saja dia tidak menjadi kaget. Dia tidak tahu bahwa iblis tua itu bukan
lain adalah raja atau Ketua Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian hebat
bukan main!
“Di manakah
ayahmu? Mengapa kau ditinggalkan di sini seorang diri?”
“Ayahku baru
sibuk perang dengan orang-orang Lembah Bunga Hitam, mengatur anak buahnya. Aku
bosan melihat perang selama tiga hari, maka aku pergi sendiri bermain main di
sini. Di sini sepi tidak ada orang hidup, tidak ada lagi orang bertempur. Enci,
apa kau tidak takut kepada ayahku? Ayahku ditakuti semua orang. Baru mendengar
namanya saja, orang sudah lari ketakutan, akan tetapi kenapa engkau tidak
lari?”
“Aku tidak
takut kepada siapa pun juga.”
“Bagus!
Kiranya engkau ada di sini, Hwee Li. Dan kau bertemu dengan seorang bocah
sombong! Ha-ha-ha, jangan ditiru sikap sombongnya itu, karena sikap itu hanya
akan mencelakakan.”
Ceng Ceng
cepat membalikkan tubuhnya dan dia terkejut. Selama hidupnya belum pernah dia
bertemu dengan seorang manusia seperti ini, amat menyeramkan. Laki-laki itu
usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar seperti
raksasa dan ketika tertawa tadi, mulutnya terbuka memperlihatkan dua buah gigi
panjang meruncing seperti taring singa. Kedua lengannya yang tidak tertutup
karena bajunya berlengan pendek itu penuh bulu yang kaku seperti jarum hitam,
matanya liar dan mengandung sinar kejam dan buas seperti mata singa sedang
marah. Diam-diam Ceng Ceng merasa heran bukan main. Orang yang buruk seperti
setan ini memiliki seorang anak perempuan yang demikian manis dan mungilnya!
Sungguh tidak patut!
“Jadi engkau
adalah ayah dari Hwe Li! Hemm, seorang anak kecil dibiarkan bermain main
sendiri di tempat seperti neraka ini. Sungguh ayah yang tidak dapat mendidik
dan menjaga anak!” Ceng Ceng berkata untuk membalas ejekan kakek raksasa itu,
sedikit pun tidak mengenal takut.
“Wah-wah,
Nona muda. Apa anakku tidak mengatakan siapa adanya ayahnya?”
“Sudah,
Ayah. Akan tetapi enci ini hebat, dia tidak takut kepada Hek-tiauw Lo-mo!”
tiba-tiba Hwe Li berseru.
Muka kakek
itu berubah merah dan kedua matanya melotot lebar ketika memandang Ceng Ceng.
“Kau tidak tahu siapakah Hek-tiauw Lo-mo?”
“Aku tidak
tahu dan tidak ingin tahu. Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku sama sekali!”
“Keparat
sombong! Engkau tentu orang pihak Lembah Bunga Hitam!”
“Aku tidak
mengenal Lembah Bunga Hitam. Aku kebetulan lewat di sini dan melihat akibat
perang yang kotor dan keji, aku melihat anak kecil yang tidak terdidik
baik-baik menyerangku dengan ular-ular beracun.”
“Ha-ha-ha,
engkau nona muda yang cantik, mulutmu kecil akan tetapi suaramu besar. Kau
tidak takut kepada Pulau Neraka?”
“Aku tidak
peduli dan tidak kenal Pulau Neraka!”
“Ha-ha-ha!
Dan kau juga tidak takut kepada Lembah Bunga Hitam?”
“Persetan
dengan Lembah Bunga Hitam!”
“Ha-ha-ha-ha!”
Ketua Pulau Neraka itu tertawa bergelak dan menjadi makin tertarik. Kalau tadi
dia mendengar bahwa Pulau Neraka tidak ditakuti, dia agak mendongkol, akan
tetapi sekarang mendengar bahwa dara muda jelita ini juga tidak takut kepada
Lembah Bunga Hitam yang menjadi lawannya, dia tertawa girang. “Ingin aku
melihat muka Si Tua Bangka Hek-hwa Lo-kwi (Setan Tua Bunga Hitam) kalau
mendengar bahwa Lembah Bunga Hitam tidak ditakuti oleh seorang bocah perempuan.
Ha-ha-ha!”
“Ayah, Enci
ini tentu saja tidak takut. Dia lihai sekali. Ular-ularku banyak yang mati dan
sama sekali tidak berdaya menghadapinya!” tiba-tiba Hwe Li berkata.
“Apa...?!”
Ketua Pulau Neraka menjadi terkejut dan gembira. “Ah, kiranya seorang nona muda
yang lihai juga, ya? Tempat ini menjadi gelanggang pertandingan mengadu racun
dan kau masih berani datang ke sini, bahkan kau telah mengalahkan ular-ular
berbisa itu? Hemm, agaknya kau tidak takut racun, ya?”
Ceng Ceng
tersenyum mengejek, teringat akan mendiang subo-nya yang menjadi datuk ilmu
racun! “Hemm, racun adalah makananku sehari-hari!” katanya, bukan semata-mata
untuk bersombong karena memang selama berada di neraka bawah tanah bersama
subo-nya, boleh dibilang setiap hari dia disuruh makan racun! Itulah cara
subo-nya membuat dia kebal akan racun, dan tentu saja menelan racun itu
disertai ramuan obat dan totokan-totokan pada jalan darah tertentu.
Akan tetapi
Hek-tiauw Lo-mo menerimanya sebagai suatu kesombongan besar. Dia adalah Ketua
Pulau Neraka yang terkenal sebagai tempat racun, dan dia adalah seorang ahli,
maka mendengar kesombongan ini dia menjadi marah. “Bagus, kalau begitu makanlah
ini!” Tangannya bergerak dan uap hitam menyambar dari tangan itu ke arah muka
Ceng Ceng.
Ceng Ceng
dapat mencium bau uap beracun itu, maka dia langsung tahu racun apa yang digunakan
kakek itu untuk menyerangnya. Dia tetap tersenyum, hanya miringkan sedikit
kepalanya agar tidak terkena hawa pukulan yang menyambar dari tangan itu, dan
uap hitam menyelimuti mukanya.
Terdengar
suara kakek itu tertawa bergelak. Uap hitam itu saja sudah cukup untuk
merobohkan seorang lawan tangguh, roboh dan pingsan, dan dia pun merasa yakin
bahwa dara muda ini akan roboh pingsan pula. Akan tetapi, suara ketawanya
berhenti dan dia terbelalak kaget ketika melihat setelah asap membuyar, gadis
itu tetap saja berdiri tegak, mukanya tetap berseri, juga matanya masih
bersinar-sinar, sama sekali tidak ada tanda-tanda keracunan padahal gadis itu
tidak menahan pernapasannya dan jelas telah menyedot uap hitam itu.
“Kau dapat
bertahan? Makanlah ini!”
Kakek itu
kembali membentak dan kini dia membanting sesuatu di depan Ceng Ceng. Benda
bulat putih itu meledak dan muncratlah cairan hijau yang mengeluarkan bau
memuakkan. Cairan ini muncrat dan ketika mengenai tanah mengeluarkan suara
desis dan mengeluarkan asap seolah-olah tanah yang terkena benda cair ini
terbakar!
Ceng Ceng
mengelak agar pakaiannya tidak terkena benda itu, akan tetapi kedua tangannya
menyampok benda cair yang muncrat. Kedua tangan itu berlepotan benda cair hijau
itu. Kembali Hek-tiauw Lo-mo terbelalak kaget. Benda cair itu adalah racun yang
amat jahat. Segala benda, apa lagi kulit daging, akan hancur membusuk terkena
benda ini, akan tetapi kedua tangan nona itu yang berlepotan benda cair
ternyata tidak apa-apa. Bahkan Ceng Ceng lalu membentak, “Kau makanlah
sendiri!” Kedua tangan nona itu bergerak dan benda cair yang berlepotan di
tangannya memercik ke arah muka Hek-tiauw Lo-mo!
“Uhhhh...!”
Hek-tiauw Lo-mo berteriak kaget sekali, tetapi dia pun dapat menghindarkan diri
dari percikan cairan hijau itu. Diam-diam dia menjadi terkejut sekali. Dia
sendiri kalau harus menghadapi racun hijau pencabut nyawa itu harus menggunakan
obat penawar lebih dulu karena racun ini terlalu berbahaya. Akan tetapi gadis
itu dapat menangkisnya begitu saja, dengan seenaknya seolah-olah racun hijau
itu bukan apa-apa! Dia menjadi penasaran. Mungkinkah gadis ini memiliki
keahlian tentang racun yang melebihi dia? Tak mungkin!
“Kau hebat
akan tetapi cobalah ini!” Kini Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua telapak
tangan mendorong ke depan dengan cepat sekali.
Ceng Ceng
maklum bahwa itu merupakan pukulan beracun, maka dia yang melihat betapa
cepatnya gerakan kakek ini, cepat mendorong kedua tangannya pula memapaki.
Melihat ini, Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. Gadis itu berani memapaki
pukulannya yang mengandung lima racun inti, pukulan ganas yang disebut
Ngo-tok-toat-beng-ciang (Pukulan Tangan Lima Racun Pencabut Nyawa)! Padahal
pukulannya ini amatlah ampuhnya, dahsyat dan jarang, bahkan belum pernah ada
yang mampu menerimanya kecuali Ketua Lembah Bunga Hitam tentunya.
“Ha-ha-ha,
sekarang engkau mampus, bocah sombong!” teriaknya. Di samping hawa beracun yang
amat ganas ini, juga dia mengandalkan kekuatan sinkang-nya yang mendorong hawa
beracun itu sehingga daya serang racun itu tidak perlu disangsikan lagi
kedahsyatannya.
“Plak!
Plakk!”
“Aihhh...?!”
Sekarang
Hek-tiauw Lo-mo benar-benar kaget. Tidak saja gadis itu berani menerima
pukulannya dan jelas bahwa Ngo-tok-toat-beng-ciang tidak berbekas apa-apa, juga
gadis itu ternyata memiliki sinkang yang cukup tinggi sehingga mampu menangkis
pukulannya tadi.
Lebih lagi,
dia merasa betapa telapak tangannya gatal-gatal tanda bahwa telapak tangan
gadis itu mengandung racun yang luar biasa dan agaknya tak dapat ditahan oleh
kulit telapak tangannya yang kebal karena terisi ilmu pukulan beracun tadi!
Cepat dia memasukkan kedua tangan ke dalam sakunya di mana sudah terdapat
batu-batu mustika penawar racun, agar kedua tangan itu tidak sampai keracunan
hebat.
Ceng Ceng
tersenyum mengejek, “Bagaimana, Hek-tiauw Lo-mo?” katanya.
“Bocah
sombong, kiranya engkau setan cilik beracun pula! Akan tetapi jangan kira
Hek-tiauw Lo-mo kalah olehmu dalam keahlian racun. Cobalah kau bebaskan dirimu
dari lingkaran racun api ini kalau mampu!” Tiba-tiba kakek itu bergerak lari
memutari tempat Ceng Ceng berdiri.
Dara itu
terkejut juga menyaksikan betapa cepatnya kakek itu bergerak. Tadi dia sudah
merasakan kehebatan tenaga sinkang kakek itu, kini dia menyaksikan ginkang yang
amat hebat sehingga diam-diam dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang
yang benar-benar amat sakti. Namun dia tidak menjadi gentar. Kalau hanya
diserang dengan segala macam racun saja dia tidak akan takut! Maka sambil
berdiri dengan tenang dia memandang lawan yang sambil berlari cepat
mengelilinginya itu ternyata telah menaburkan semacam bubuk putih di atas tanah
di sekitarnya.
“Ha-ha-ha!
Hendak kulihat bagaimana kau menghadapi racun api yang mengelilingimu!”
Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan masih terus melangkah di sekeliling Ceng Ceng,
agaknya siap untuk menyerang apa bila dara itu melompat ke luar dari lingkaran
itu.
Ceng Ceng
memandang ke bawah. Dia tahu racun macam apa itu yang kini mulai membara dan
perlahan-lahan api itu memakan tanah dan merayap mendekatinya sehingga dengan cepat
lingkaran api itu menjadi makin menyempit. Sebentar lagi tentu lingkaran itu
akan mencapai kakinya dan membakarnya!
Dari dalam
neraka di bawah tanah, ketika dia pergi meninggalkan tempat itu, Ceng Ceng
telah membawa semua persediaan racun-racun ampuh milik subo-nya. Maka kini dia
mengeluarkan sebungkus obat bubuk berwarna hitam, menjumput obat itu dan
menaburkan di sekeliling tubuhnya dengan sikap tenang.
Hek-tiauw
Lo-mo memandang dengan penuh perhatian, dan mukanya berubah ketika dia melihat
betapa api dari racun yang ditaburkannya tadi, ketika tiba di tempat yang sudah
ditaburi obat bubuk hitam oleh Ceng Ceng, menjadi padam seketika! Padahal obat
bubuk putihnya tadi adalah racun yang dapat membakar apa saja!
“Hemm,
sekarang menangislah kau!” Hek-tiauw Lo-mo membentak, tidak menggunakan ilmu
sihir karena dia hendak menonjolkan keahliannya menggunaan racun, melainkan melemparkan
bubuk hitam seperti uap ke arah muka Ceng Ceng.
Dara ini
mengenal pula bubuk yang membuat orang dapat menangis itu, akan tetapi karena
dia tahu bahwa dirinya sudah kebal terhadap racun ini yang termasuk golongan
menengah, tidak berapa kuat, dia tidak mengelak, hanya memejamkan mata sambil
menerjang ke depan dan kini dia membalas dengan meludah ke arah Hek-tiauw
Lo-mo! Bukan meludah biasa, karena ludahnya itu memercik lebar seperti hujan
menyerang lawan.
Hek-tiauw
Lo-mo yang hanya menyangka bahwa nona itu karena marahnya meludah untuk
menghinanya, mengelak akan tetapi ketika punggung tangannya terkena percikan
ludah, dia berteriak kaget,
“Aduhhh...!
Ihhh, keparat, sampai ludah-ludahnya pun beracun!” teriaknya kaget, cepat dia
menggosok punggung tangan kirinya dengan batu mustika pemunah racun. Namun,
tetap saja kulitnya terdapat titik-titik hitam sebagai bekas racun ludah itu!
Hek-tiauw
Lo-mo memandang dengan mata terbelalak lebar. Maklumlah dia bahwa dia
berhadapan dengan seorang ahli racun yang benar-benar amat lihai, bahkan
mungkin melebihi kehebatan ilmunya tentang racun!
“Hebat...
hebat... siapa mengira bahwa di dunia terdapat seorang ahli racun yang masih
begini muda dan hebat! Aihhh, orang pandai harus mengenal batas kemampuannya
dan mengakui keunggulan seorang ahli. Agaknya pengetahuanmu dalam hal racun
tidak kalah olehku, Nona. Akan tetapi ingin aku melihat sampai di mana
kehebatan ilmu silatmu!” Setelah berkata demikian, kakek itu menerjang maju,
kini menggunakan ilmu silatnya untuk menerjang Ceng Ceng.
Kali ini
Ceng Ceng menjadi kelabakan! Tentu saja dia menjadi repot sekali menghadapi
serangan seorang ahli seperti Hek-tiauw Lo-mo yang sudah memiliki tingkat ilmu
silat yang amat tinggi! Padahal Ceng Ceng hanya memiliki kepandaian yang belum
berapa tinggi, hanya berkat latihan dari kakeknya, sedangkan di waktu dia
menjadi murid Ban-tok Mo-li, dalam waktu hanya tiga bulan itu dia lebih banyak
melatih diri dengan ilmu tentang racun dan pukulan-pukulan beracun serta
kekebalan terhadap racun. Kalau dia diserang dengan racun dia dapat menghadapi
dengan enak saja, kini diserang dengan ilmu silat tinggi, dia menjadi sibuk dan
biar pun dia berusaha menghindarkan diri dengan elakan, tangkisan, bahkan
sedapat mungkin membalas, namun dalam waktu dua puluh jurus saja dia sudah
dapat dirobohkan dalam keadaan tertotok lemas dan lumpuh kaki tangannya!
“Ha-ha-ha-ha,
kiranya ilmu silatmu tidak seberapa tinggi, tidak akan mampu menandingi seorang
pembantuku di Pulau Neraka!” kata kakek itu. “Namun ilmu pengetahuanmu tentang
racun hebat maka sayang kalau kau dibunuh. Hwee Li, bawa dia pulang, suruh para
paman menjaga baik-baik agar dia tidak sampai lolos. Aku masih banyak urusan
mengatur penyerbuan ke lembah!” Setelah berkata begitu, sekali berkelebat lenyaplah
tubuh kakek raksasa itu.
Ceng Ceng
menjadi terkejut dan kagum sekali. Dia tidak merasa penasaran dikalahkan oleh
kakek tadi karena memang kepandaian kakek itu agaknya tidak kalah oleh tingkat
kedua orang kakek kembar sekali pun!
Anak
perempuan itu menghampiri Ceng Ceng yang masih rebah telentang dalam keadaan
kaki tangannya lumpuh dan lemas, tersenyum manis dan matanya berseri-seri penuh
sikap menggoda. “Wah, kau mengecewakan aku, Enci. Ketika kau mengalahkan semua
ularku, kau hebat dan aku kagum, akan tetapi ternyata melawan Ayah, sebentar
saja kau roboh seperti orang yang amat lemah.”
Sejak kakek
yang lihai tadi pergi, Ceng Ceng sudah memutar otaknya mencari akal. Tidak
mungkin dia yang baru saja terbebas dari maut di dalam neraka bawah tanah, kini
harus mandah saja terjatuh ke tangan kakek sakti itu. Dia harus mencari akal
agar dapat lolos lagi dari bahaya maut. Sudah terlalu sering dia dicengkeram
bahaya maut yang ganas sekali. Ketika bersama Syanti Dewi terkepung dan
dikejar-kejar, ketika hanyut ke dalam sungai, kemudian ketika dia terjungkal ke
dalam sumur maut, lalu jatuh ke tangan nenek gila Ban-tok Mo-Li, bahkan ketika
dia hendak dibunuh oleh Siang Lo-mo. Semua bahaya itu dapat dihindarkannya,
maka kini pun dia harus dapat membebaskan diri!
“Hwee Li,
jadi engkau adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo?”
“Ya, aku
puteri tunggalnya. Ayahku adalah Ketua Pulau Neraka. Ilmu kepandaian Ayah
hebat, ya?”
Ceng Ceng
mencibirkan mulutnya, “Huh, hebat apa? Tidak lihatkah engkau tadi betapa dia
kalah oleh aku dalam hal keahlian tentang racun!”
Anak
perempuan itu mengangguk. “Ya, tapi akhirnya engkau toh kalah dan dirobohkan,
kau mengecewakan hatiku, Enci.”
“Hwee Li,
engkau suka akan kegagahan?”
“Tentu
saja!”
“Ayahmu
memang tinggi ilmu silatnya, namun dia belum lihai kepandaiannya tentang racun.
Andai kata aku memiliki tingkat ilmu silat seperti dia, apakah dia tidak sudah
tewas sekarang dan kalah olehku?”
Hwee Li
agaknya seorang anak yang cerdas. Dia mengangguk dan berkata, “Akan tetapi ilmu
silatmu amat rendah, Enci...”
“Memang
harus kuakui itu. Akan tetapi keahlianku tentang racun jauh melebihi ayahmu.
Hwee Li, apakah kau kelak ingin menjadi seorang yang terpandai di dunia, tanpa
ada yang mengalahkanmu?”
“Tentu saja!
Ayahku bilang, kalau aku berlatih dengan tekun dan kelak mewarisi semua ilmu
ayahku, aku tentu akan menjadi seorang paling pandai nomor satu di dunia.”
“Ayahmu
bohong! Andai kata ayahmu memiliki ilmu silat nomor satu di dunia, tetap saja
dia tidak dapat membikin kau menjadi ahli nomor satu kelak, karena kalau kau
bertemu dengan ahli racun nomor satu di dunia, kau akan celaka. Kau baru
benar-benar bisa menjadi orang paling pandai kalau selain mewarisi ilmu silat
ayahmu engkau juga mewarisi ilmu tentang racun dariku!”
Anak itu
mengerutkan alisnya dan mengangguk, “Omonganmu benar juga, Enci.”
“Tentu saja
benar. Jika kau mau menjadi muridku kelak untuk mempelajari ilmu tentang racun,
kau akan menjadi ahli racun nomor satu di dunia, tidak ada yang melawan lagi.”
“Sebabnya?”
“Karena aku
adalah murid dan pewaris ilmu-ilmu dari datuk ahli racun Ban-tok Mo-li...”
“Aihhhh...!
Ayahku sudah lama menyebut-nyebut nama ini, mengatakan sayang bahwa wanita ahli
racun nomor satu di dunia itu lenyap.”
“Memang
lenyap bagi dunia umum, akan tetapi tidak bagiku. Aku menjadi muridnya dan
pewaris ilmu-ilmunya dan karena sekarang dia telah meninggal dunia, aku adalah
ahli nomor satu di dunia, dan kelak engkau yang akan mewarisi kalau engkau suka
menjadi muridku.”
“Tentu saja
aku suka sekali!” jawab Hwee Li dengan wajah girang.
“Kalau
begitu, kau kuterima sebagai murid dan kelak setelah kau tamat belajar ilmu
silat dari ayahmu, aku akan mulai mengajarmu tentang ilmu racun. Tapi lebih
dulu kau harus bebaskan aku agar aku dapat menerima penghormatan sebagai
muridku.”
Hwee Li
memang cerdik sekali. Dia memandang ragu. “Akan tetapi, bagaimana kalau kelak
kau melanggar janji dan kau gunakan janji ini hanya untuk menipu aku agar kau
dapat bebas?”
Ceng Ceng
memaki di dalam hatinya akan kecerdikan anak ini. “Bodoh!” bentaknya. “Apakah
ayahmu sebagai ahli nomor satu dalam ilmu silat juga suka membohongi orang dan
melanggar janji?”
“Tentu saja
tidak.”
“Nah, aku
pun sebagai ahli racun nomor satu, mana sudi melanggar janji? Hayo cepat kau
bebaskan aku, apakah kau bisa menotok?”
“Aku sudah
belajar ilmu menotok dari Ayah, akan tetapi aku tidak tahu bagaimana harus
membebaskan totokan Ayah pada tubuhmu.”
“Mudah saja,
asal engkau sudah dapat menggunakan jari tanganmu untuk menotok. Kau totoklah
jalan darah di bawah tengkukku, dengan dua jari.”
Hwee Li
mendorong tubuh Ceng Ceng menjadi miring, kemudian dia menotok tempat itu.
“Dukk!”
Ceng Ceng
menyeringai kesakitan. “Kurang ke atas sedikit...,” keluhnya.
Hwee Li
kembali menotok, agak ke atas. Mula-mula totokan anak mungil ini tak berhasil
membebaskan Ceng Ceng, malah mendatangkan rasa nyeri. Namun setelah diulang
ulang sampai lima kali, akhirnya totokan itu ada hasilnya dan kedua lengan Ceng
Ceng dapat digerakkan sedikit akan tetapi jalan darahnya belum mengalir dengan
sempurna. Dia lalu mengerahkan sinkang-nya mendorong dari dalam dan berhasillah
dia. Setelah kedua lengannya bebas, dia mengumpulkan tenaga lalu menotok bawah
punggungnya sendiri untuk membebaskan kedua kakinya.
“Aihhh...!”
Dia bangkit duduk sambil mengelus-elus tempat yang ditotok Hwee Li tadi.
“Sekarang
aku menjadi muridmu, Enci.”
“Ya, kau
lakukanlah upacara pengangkatan guru, berlutut dan memberi hormat delapan
kali!”
Hwee Li lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan Ceng Ceng yang sudah bangkit berdiri,
memberi hormat sampai delapan kali sambil menyebut, “Subo...!”
Begitu
selesai memberi hormat, anak itu cepat meloncat bangun dan berkata, “Subo,
sekarang tiba giliranmu untuk mengucapkan janji kepadaku!”
Ceng Ceng
tersenyum. Memang dia sudah merasa suka kepada anak kecil ini dan andai kata
kelak mereka dapat saling jumpa kembali, agaknya dia tidak akan keberatan untuk
menurunkan ilmu kepada anak yang cerdas ini. Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun
berkata, “Aku berjanji...”
“Nama Subo
siapa, harap sebutkan agar aku tidak lupa.”
Ceng Ceng
tersenyum dan memandang kagum. Anak ini kelak akan menjadi seorang yang hebat,
pikirnya. “Aku Lu Ceng, berjanji bahwa kelak, kalau Kim Hwee Li telah tamat
mempelajari ilmu silat dari ayahnya, aku akan mengajarkan ilmu tentang racun
kepadanya sebagai muridku yang baik.”
Hwee Li
tertawa girang. “Subo, mari sekarang kita pergi ke tempat yang dijadikan
benteng ayahku dan para anak buah Pulau Neraka. Aku tanggung tidak akan ada
yang berani mengganggumu setelah mereka tahu bahwa engkau adalah guruku.”
“Tidak, Hwee
Li. Aku harus pergi dulu, kelak kita akan bertemu kembali.”
Anak itu
menghela napas. “Akan tetapi ingatlah Subo. Kalau aku sudah tamat belajar dari
Ayah dan Subo tidak datang mencariku, aku yang akan pergi mencarimu.”
Ceng Ceng
tersenyum, memegang dagu yang manis itu. “Engkau muridku yang baik, tentu kelak
kita akan saling berjumpa. Percayalah. Nah, selamat tinggal, Hwee Li!” Ceng Ceng
lalu cepat meloncat jauh dan berlari pergi dari situ, menuju ke selatan. Dia
harus cepat pergi karena kalau sampai ayah anak itu datang kembali, belum tentu
dia akan dapat menghindarkan diri dengan mudah dari kekuasaan kakek yang sakti
itu.
Biar pun dia
melakukan perjalanan cepat, namun Ceng Ceng selalu bersikap hati-hati sekali
karena dia maklum bahwa dia makin mendekati daerah berbahaya, yaitu Lembah
Bunga Hitam. Jalan mulai mendaki dan tidak tampak lagi ada dusun. Keadaan amat
sunyi melengang, sunyi yang menegangkan karena di dalam kesunyian ini
seolah-olah maut mengintai di mana-mana, di balik batu, di atas pohon, di dalam
jurang.
Dan memang
maut mengintai di mana-mana berupa binatang berbisa, racun-racun yang tersebar
dan tercecer di mana-mana, jebakan-jebakan yang berisi ular, paku-paku berkarat
dan beracun yang dipasang orang di mana-mana di tempat yang tidak
tersangka-sangka. Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng dapat terhindar dari semua
itu dan akhirnya tibalah dia di luar pintu gerbang sebuah dusun yang kelihatan
amat sunyi melengang, di mana pohon-pohonnya banyak yang rontok dan mengering,
rumah-rumah tembok kokoh kuat tanpa penghuni.
Dia memasuki
pintu gerbang itu dan jantungnya berdebar tegang. Memang sangat menyeramkan
keadaan di dusun itu. Inilah agaknya Lembah Bunga Hitam, karena mulai tampak
olehnya rumpun tanaman yang bunganya hitam kecil-kecil dan mengeluarkan bau
yang jelas mengandung racun yang amat berbahaya! Dengan hati-hati Ceng Ceng
berjalan terus dan tiba-tiba dia meloncat, menyelinap di balik semak-semak
karena dia melihat ada beberapa orang di depan.
Dari tempat
persembunyiannya dia mengintai dan betapa herannya melihat sebuah kerangkeng
yang berisi seorang laki-laki yang kepalanya tersembul di luar kerangkeng, kaki
tangannya terbelenggu dan laki-laki itu mukanya merah sekali. Kerangkeng itu
bentuknya seperti kerangkeng yang biasa dipakai untuk mengangkut seorang
tawanan. Ada empat orang yang menjaga di dekat kerangkeng, seorang lagi berdiri
agak jauh, mungkin orang kelima ini menjaga kalau-kalau ada musuh yang muncul
dari arah selatan.
Ceng Ceng
merasa tertarik sekali, lalu dia menyelinap di balik pohon dan semak-semak,
mendekati. Tak jauh dari tempat itu dia melihat sebuah sumur tua, dan tiba-tiba
sekali, hampir tidak tampak olehnya kalau saja dia tidak sedang memperhatikan
sumur itu, dia melihat bayangan berkelebat cepat sekali memasuki sumur itu!
Timbul keheranan dan kecurigaannya.
Mungkin dia
salah lihat, pikirnya, akan tetapi sumur itu merupakan tempat yang tepat untuk
mengintai dan bersembunyi, dan tidak ada jeleknya untuk memeriksa apakah benar
bayangan tadi memasuki sumur. Dia menyelinap makin dekat dan akhirnya dia
meloncat ke dalam sumur tua, berpegang pada bibir sumur yang terbuat dari
batu-batu besar. Mudah saja baginya untuk bersembunyi di situ, karena dari jauh
tadi pun sudah tampak betapa dinding sumur besar itu terbuat dari tumpukan
batu-batu yang tidak rata.
Ketika dia
menjenguk ke bawah, tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri karena kembali dia
melihat bayangan orang berkelebat, sekarang di dasar sumur itu dan lenyap.
Benarkah ada orangnya di bawah sana yang gelap dan hitam itu? Ataukah dia sudah
salah lihat? Agaknya tidak mungkin ada orang di dalam sumur ini, pikirnya dan
perhatiannya segera ditujukan lagi ke luar sumur, ke arah kerangkeng di mana
seorang laki-laki terbelenggu itu. Kini nampak jelas wajah laki-laki yang
tertawan itu. Wajah yang gagah bukan main dan masih muda, tapi kulit muka itu
merah seperti terbakar dan matanya menyorotkan sesuatu yang amat aneh.
Tiba-tiba
Ceng Ceng merasa jantungnya berdebar tegang. Pemuda tampan itu seperti pernah
dijumpainya! Tampan dan gagah! Tidak salah, pernah dia berjumpa dengan pemuda
yang berada di dalam kerangkeng itu. Kalau tak salah..., ya, di dalam pasar
kuda! Ketika dia menjual-belikan kuda, bersama Panglima Souw Kwee It, di dalam
pasar itu terdapat dua orang pemuda yang menarik perhatiannya. Dua orang pemuda
tampan. Tentu seorang di antara mereka itulah yang kini berada di dalam
kerangkeng ini. Teringat akan sikap dua orang pemuda itu, yang memandang kagum
kepadanya ketika di pasar dahulu, timbul keinginan hati Ceng Ceng untuk
menolong pemuda di dalam kerangkeng ini.
Empat orang
penjaga yang dekat dengan kereta itu bertubuh biasa saja, akan tetapi sinar
mata mereka seram, membayangkan kekejaman hebat. Juga sikap mereka aneh, yang
seorang malah tidak bersepatu, dan kadang-kadang mereka itu sama sekali tidak
bergerak seperti arca. Tiga orang duduk di atas tanah, seorang berdiri dan
seorang lagi berdiri jauh dari kerangkeng. Kalau aku serang mereka dan terjadi
pertempuran, tentu kawan-kawan mereka akan berdatangan dan kalau banyak orang
datang mengeroyok, akan gagallah usahaku menolong. Lebih baik dengan mendadak
kubebaskan dia, agar dapat melarikan diri, pikir Ceng Ceng.
Ceng Ceng
lalu bergerak naik dan meloncat keluar dari dalam sumur dengan hati-hati
sekali, lalu dia mengeluarkan ginkang-nya berloncatan ke arah kerangkeng itu.
Dia terkejut karena melihat betapa lima orang penjaga itu sama sekali tidak
bergerak, seolah-olah mereka itu benar-benar telah berubah menjadi arca betul!
Akan tetapi dia tidak mau peduli lagi, cepat menghampiri kerangkeng.
“Ehh...
ohh... mau apa kau...?” Pemuda yang berada di dalam kerangkeng melihat Ceng
Ceng menghampirinya.
Mendongkol
juga hati Ceng Ceng mendengar pertanyaan ini. “Tidak apa-apa,” jawabnya dingin.
“Hanya ingin membebaskan kau dari dalam kerangkeng ini, tentu saja kalau kau
mau.”
“Tidak...!
Tidak...! Jangan lakukan itu, lekas kau lari dari sini kalau kau sayang
jiwamu!”
Ceng Ceng
menjadi makin dongkol lagi. Wataknya memang keras dan suka melawan, makin
dikerasi dia makin berani dan nekat.
“Manusia tak
mengenal budi! Aku nekat hendak menolong kau malah menolak. Aku tetap hendak
menolongmu, hendak kulihat kau mau bisa menolak atau tidak!” Dia sudah
menggerakkan tangan hendak membongkar kerangkeng itu, tetapi tiba-tiba
terdengar seruan keras dan lima orang penjaga itu sudah datang berlari-lari
lalu menyerangnya kalang kabut!
“Nona, siapa
pun adanya engkau, lekas larilah!” Kembali pemuda di dalam kerangkeng berteriak
keras.
Akan tetapi,
andai kata tadinya Ceng Ceng berniat untuk lari, mendengar kata-kata ini saja
sudah cukup baginya untuk merubah niatnya itu. Dia menghunus pedang
Ban-tok-kiam, memutar pedang itu dan menangkis serangan lima orang yang
menggunakan senjata golok dan pedang. Terdengar suara nyaring dan lima orang
itu meloncat ke belakang, seorang di antara mereka terus roboh terkena hawa
beracun dari Ban-tok-kiam.
“Pedang
hebat...!” Empat orang yang lain memuji karena sebagai anggota Lembah Bunga
Hitam tentu saja mereka mengenal senjata beracun yang amat berbahaya itu.
“Baik, kalau
kalian sudah mengenal pedangku agar tidak mati penasaran. Majulah!” Ceng Ceng
memegang sambil mengerling ke arah pemuda dalam kerangkeng dengan senyum
mengejek dan menantang. Kerling dan senyumnya seperti berkata, “Aku tetap
hendak melawan, kau mau apa?!”
Akan tetapi
mendadak Ceng Ceng melongo karena dia melihat empat orang lawannya itu sama
sekali tidak bergerak lagi, seperti tadi, seolah-olah berubah menjadi patung!
Melihat ini, dia tidak membuang waktu lagi, cepat dia menghampiri kerangkeng
untuk membebaskan pemuda itu.
“Jangan,
Nona. Lekaslah kau pergi. Mereka itu terkena hawa beracun yang membuat mereka
sebentar sadar sebentar tidak seperti itu. Lekas pergi, kalau sampai ketahuan
ketua lembah, lari pun akan terlambat bagimu!”
Ceng Ceng memandang
dengan cemberut. “Kau ini cerewet benar, sih! Kau tidak ingin keluar dari
kerangkeng, akan tetapi aku justeru ingin membebaskanmu!”
“Jangan...
jangan... aku... aku keracunan... pergilah saja, Nona!” pemuda itu kembali
berkata, wajahnya makin merah dan matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan
api.
“Uh,
cerewet! Tranggg...!” Ceng Ceng terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata
terbelalak. Dia tadi menggunakan pedangnya membacok pinggiran kerangkeng, akan
tetapi kerangkeng itu tiba-tiba miring dan pedangnya bertemu dengan bagian yang
dilapis baja.
Pemuda di
dalam kerangkeng itu ternyata tadi telah menggerakkan dirinya sehingga
kerangkeng itu miring dan selain pinggiran baja, juga dia telah menangkis
pedang itu dengan belenggu!
“Manusia tak
mengenal budi! Kau bersikap hendak mempertahankan diri supaya tidak bisa bebas,
ya? Dan aku pun berkeras hendak menghancurkan kerangkeng ini!” Dia mendesak
lagi.
“Trang-trang-trakk...!”
Ceng Ceng
kaget. Pedangnya menembus bagian kayu dari kerangkeng itu, akan tetapi selalu
bertemu dengan belenggu baja. Pemuda ini ternyata berkepandaian tinggi, kalau
tidak, mana mungkin dalam keadaan terbelenggu, di dalam kerangkeng pula, dapat
menangkis pedangnya? Pula, pedangnya adalah pedang Ban-tok-kiam, bagaimana pemuda
itu mampu menangkis begitu saja dan setiap tangkisannya membuat lengan kanannya
tergetar hebat? Akan tetapi, hal ini malah menambah kemarahannya!
Tiba-tiba
empat orang itu bergerak lagi dan berseru keras menerjang. Akan tetapi,
tiba-tiba secara beruntun mereka roboh terjengkang kemudian tidak bergerak
lagi, entah mengapa.
“Nona, lekas
pergi... ketua lembah datang...!” Pemuda di dalam kerangkeng itu berseru.
Ceng Ceng
memandang dan melihat gerombolan orang yang jumlahnya paling sedikit ada dua
puluh orang berlari-lari datang. Dia tidak takut, akan tetapi maklum bahwa dia
tidak akan menang menghadapi begitu banyak orang. Yang membuat dia mendongkol
adalah bahwa kekalahannya itu membuat dia tidak akan berhasil membebaskan Si
Pemuda!
Memang
terjadi perubahan aneh di dalam watak Ceng Ceng setelah dia menjadi murid
Ban-tok Mo-li dan setelah kini tubuhnya mengandung racun! Perubahan yang
membuat dia keras hati, keras kepala, dan aneh tidak lumrah. Dia bukan takut
kalau dia kalah dan terluka atau tewas, namun khawatir kalau-kalau tidak
berhasil membebaskan pemuda itu yang makin diinginkannya begitu pemuda itu
menolaknya.
“Kau pergi
bersamaku!” katanya dan dia lalu mendorong kerangkeng yang beroda itu
secepatnya pergi dari tempat itu!
“Wah-wah-wah...
mana bisa melarikan diri kalau mendorong kereta? Kau bocah bandel, keras
kepala! Lepaskan kerangkeng, dan larilah!” pemuda itu meronta-ronta sehingga
terasa berat sekali kerangkeng itu. Namun, makin dimarahi, makin marah pulalah
hati Ceng Ceng dan dia makin nekat mendorong kereta itu keluar dari dusun itu.
Ceng Ceng
mendengar pemuda itu mengomel akan tetapi tidak meronta-ronta lagi. Dia pun
merasa heran mengapa dua puluh lebih orang tadi tidak juga dapat menyusulnya
padahal larinya dengan cara mendorong kerangkeng itu tidak dapat dikatakan
cepat? Huh, kalau begitu Ketua Lembah Bunga Hitam hanya mempunyai nama kosong
belaka, pikirnya. Tetapi dia mempercepat larinya, lalu membelokkan kerangkeng,
memasuki daerah di mana pegunungan itu mempunyai banyak batu-batu besar dan
banyak goa-goa. Akhirnya dia mendorong kerangkeng memasuki sebuah di antara
goa-goa itu.
“Hemmm,
hendak kulihat siapa di antara kita yang menang. Aku yang akan membuka
kerangkeng atau engkau yang hendak tetap mempertahankan diri di dalam
kerangkeng seperti binatang!” kata Ceng Ceng dan mulailah dia menggunakan
pedangnya untuk membacok-bacok kerangkeng.
Pemuda itu
kini mukanya makin merah, matanya melotot ketakutan, akan tetapi tidak
mengeluarkan kata-kata lagi, hanya sering kali dia mendengus dan mengeluh
seolah-olah menderita sakit hebat. Ceng Ceng pun tahu bahwa pemuda ini
keracunan, dan justeru karena itulah dia ingin membebaskannya, agar dia dapat
memeriksanya dan memberinya obat.
Sambil
mendengus dan berusaha mengelakkan kerangkengnya dari sabetan pedang, pemuda
itu memandang Ceng Ceng dengan mata berapi penuh kemarahan, kadang-kadang
menggerakkan belenggunya untuk menangkis. Bahkan satu kali pemuda itu dapat
menggerakkan kerangkengnya secara keras sekali sehingga tubuh Ceng Ceng
terdorong dan roboh telentang! Tentu saja dara itu menjadi makin marah,
menyimpan pedangnya, lalu menubruk kerangkeng yang sudah patah-patah itu dan
akhirnya dia berhasil merenggut dan kerangkeng itu cerai-berai. Pemuda itu
terguling ke luar dan bebas dari kerangkeng, akan tetapi dengan kaki tangan
terbelenggu yang disambung rantai panjang.
“Oughhhh...!”
Pemuda itu mendengus keras, tubuhnya mencelat dan dengan gerakan luar biasa
sekali dia telah meloncat bangun.
Ceng Ceng
memandang bengong dan penuh takjub dan kagum. Pemuda itu memiliki tubuh seperti
seekor singa jantan yang amat kokoh kuat dan tegap, tinggi besar dan pakaiannya
yang compang-camping itu memperlihatkan sebagian kulit tubuh yang putih dengan
otot-otot yang kekar. Seorang jantan sejati yang memiliki tubuh amat kuat dan
mengagumkan. Belum pernah selama hidupnya Ceng Ceng melihat seorang pria
seperti ini, maka dia terlongong kagum.
Dan sekarang
jelas baginya bahwa pemuda ini sama sekali bukan seorang di antara dua orang
pemuda yang pernah dijumpainya di pasar kuda. Bukan, pemuda ini jauh lebih tua
dari mereka. Pemuda ini tentu sudah lewat dua puluh tahun uslanya, dan pada
wajahnya nampak garis-garis tanda bahwa semasa mudanya pemuda ini mengalami
banyak kesukaran hidup. Wajah yang tampan dan gagah namun tertutup oleh warna
merah mengerikan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi dan kini
memandang kepada Ceng Ceng dengan aneh.
“Oughhhh...!”
Kembali dia mengeluh.
Tubuhnya
gemetar, matanya dipaksa-paksa untuk dipejamkan, kedua tangan mengepal tinju
dan belenggu di kaki tangannya berbunyi berkerincingan. Agaknya pemuda itu
sedang menderita hebat, bahkan seperti terjadi pergulatan hebat di sebelah
dalam dirinya.
Ceng Ceng
yang sudah meloncat bangun dan memandang penuh perhatian itu, lalu memandang
penuh selidik dan biar pun dia belum memeriksa langsung, memandang keadaan
pemuda itu dia sudah dapat menduga dan berseru, “Kau keracunan, racun yang
membuat darahmu menjadi panas dan... ehh... haili...!” Ceng Ceng berteriak
kaget karena tiba-tiba pemuda itu menubruknya!
“Gila
kau...!” Ceng Ceng membentak sambil mengelak ke kiri.
Akan tetapi
begitu tubrukannya luput, pemuda itu sudah dapat membalik dan menubruk lagi
dengan gerakan yang bukan main cepatnya. Ceng Ceng kembali mengelak, akan tetapi
dia kalah cepat maka dia membarengi dengan tangkisannya pada kedua lengan
tangan yang hendak menangkapnya itu.
“Dukkk...
ihhhh...!”
Ceng Ceng
terhuyung dan menjadi marah sekali. Dia telah mengerahkan sinkang-nya ketika
menangkis tadi, namun dia masih saja terhuyung tanda bahwa pemuda itu selain
memiliki gerakan cepat, juga memilik tenaga yang amat kuat!
“Keparat!”
Dia memaki, marah sekali.
Orang yang
telah ditolongnya dan dibebaskannya itu membalas dengan serangan. Dengan
kemarahan memuncak, kini Ceng Ceng membalas dengan pukulan keras dan beruntun,
cepat sekali kedua tangannya menyambar ke arah pelipis dan menurun ke lambung
dari kanan kiri, dan selain cepat dan kuat, dia juga mengerahkan tenaga yang
mengandung racun.
“Ouhhhh...!”
Kembali laki-laki itu mengeluarkan suara keluhan dalam.
Akan tetapi
dengan sigapnya, biar pun kaki tangannya dibelenggu, dia dapat mengelak dan
menangkis semua pukulan serangan Ceng Ceng. Dara itu makin terkejut karena dia
memperoleh kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini hebat bukan main, biar pun
dibelenggu kaki tangannya namun agaknya tidak kalah oleh Hek-tiauw Lo-mo!
Ketika dia menerjang lagi dan kedua tangannya memukul dada dan perut, pemuda
itu tidak mengelak sama sekali.
“Dukkk!
Desss!”
Dada dan
perut pemuda itu terkena pukulannya yang mengandung racun, akan tetapi ada hawa
sinkang kuat yang membuat kedua tangannya terpental kembali dan kedua lengannya
seperti lumpuh seketika. Dan sebelum dia sempat bergerak lagi, tahu-tahu kaki
pemuda itu telah menyambar kakinya sendiri dan sekali lagi Ceng Ceng roboh
terguling!
“Keparat,
kau sudah bosan hidup!” bentaknya sambil meloncat bangun dan dengan pedang Ban-tok-kiam
di tangan dia menyerang lagi.
Akan tetapi
sebelum dia sempat menusuk, tiba-tiba pemuda itu sudah mendahuluinya, dengan
gerakan aneh sekali kedua lengannya bergerak, rantai belenggu mengeluarkan
bunyi berdencing nyaring menulikan telinga, lenyap bentuk rantainya dan berubah
menjadi sinar hitam yang menyambar dahsyat didahului oleh angin pukulan yang
amat kuat ke arah kepala Ceng Ceng.
Tentu saja
Ceng Ceng menjadi terkejut sekali melihat serangan maut yang amat dahsyat ini.
Secepatnya dia mengelak ke samping, tetapi tiba-tiba lengan tangannya yang
memegang pedang menjadi lemas, pedangnya terlepas dan jatuh ke lantai goa
karena entah bagaimana caranya, pergelangan tangannya telah kena ditotok oleh
jari tangan pemuda itu.
“Aihhhhh...!”
Ceng Ceng menjerit.
Akan tetapi
kembali sinar hitam rantai belenggu menyambar ke bagian tubuhnya. Dia membuat
gerakan mengelak ke belakang, namun tiba-tiba dia sudah roboh tertotok dalam
keadaan lemas dan telentang di atas lantai. Dan pemuda itu dengan mata
mengeluarkan sinar mengerikan lalu menubruknya, memeluk dan menciumi mukanya.
Dapat
dibayangkan betapa ngeri dan takut rasa hati Ceng Ceng, bercampur dengan rasa
malu yang membuat dia hampir pingsan. Dia tidak mampu melawan lagi, tubuhnya
sudah lemas dan menjadi lebih lemas dan gemetar saking tegangnya ketika dia
merasa betapa hidung dan bibir yang amat panas itu, yang mendengus-denguskan
napas yang memburu, merayapi seluruh mukanya. Lehernya, pipinya, telinganya,
matanya, dahinya, hidungnya dan kemudian bibirnya diciumi oleh pemuda itu!
Jerit tertahan mencekik leher Ceng Ceng.
Selama
hidupnya, belum pernah dia dicium pria, apa lagi dicium bibirnya seperti itu,
ciuman penuh nafsu yang seolah-olah membetot semangat dari tubuhnya! Dalam
keadaan setengah pingsan Ceng Ceng memejamkan matanya ketika bibir yang panas
itu mencium mulutnya, kemudian mendadak muka orang itu terangkat dan menjauh.
Dia memaksa
diri memicingkan mata dan melihat betapa pemuda itu berlutut, menutupi muka dan
seperti orang menangis! Pemuda itu mendengus aneh dan meloncat berdiri,
menurunkan kedua tangannya, memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh
duka, lalu sekali meloncat dia lenyap berberkelebat ke luar goa!
Ceng Ceng
mengeluarkan keluhan panjang dan air matanya bergerak menuruni kedua pipinya.
Hatinya lega bukan main. Nyaris dia mengalami hal yang amat mengerikan dan yang
hanya dapat dia bayangkan di dalam mimpi buruk saja. Ngeri dia membayangkan hal
itu, dan kegelapan hatinya untuk sementara menghapus bayangan pengalaman tadi
ketika dia diciumi oleh pemuda itu. Akan tetapi dia masih tidak berdaya, dia
masih tidak mampu menggerakkan kaki tangannya. Dia tidak tahu apakah bahaya
sudah tidak ada lagi.
Baru saja dia
terbebas dari bahaya yang lebih mengerikan dari pada kematian, akan tetapi
bagaimana kalau para pengejar, ketua lembah dan orang-orangnya secara tiba-tiba
muncul di situ selagi dia masih belum mampu bergerak? Bagaimana kalau
orang-orang lembah yang ganas dan kejam itu mengganggunya?
“Uhuuuhhh...”
Ceng Ceng terisak penuh rasa takut. Selama hidupnya baru tadi ketika dia
dipeluk dan diciumi dia merasa ngeri dan ketakutan yang lebih hebat lagi. Sukar
untuk membayangkan dia diganggu oleh orang-orang lembah. Lebih hebat dari pada
tadi!
“Keparat
kau... keparat kau...!” Dia memaki-maki pemuda itu yang meninggalkan dia dalam
keadaan seperti itu. Dia telah menolong pemuda itu, kenapa pemuda itu berbalik
memperlakukannya seperti itu? Dan kini meninggalkannya dalam keadaan tertotok
dan sama sekali tidak berdaya?
“Hekkk...!”
Napas Ceng Ceng terhenti dan matanya memandang terbelalak ke luar goa.
Tampak
bayangan orang di luar goa, bayangan yang perlahan-lahan datang mendekat!
Bayangan orang lembah? Makin dekat bayangan itu makin ngeri rasa hati Ceng
Ceng. Dia berusaha mengerahkan sinkang-nya untuk membebaskan diri dari totokan,
namun sia-sia belaka. Dia tidak berani bersuara, bahkan napas pun ditahannya
agar jangan mengeluarkan bunyi.
Akhirnya
bayangan itu muncul di depan goa dan ternyata adalah pemuda tadi! Rambutnya
awut-awutan, mukanya merah dan matanya kembali mengeluarkan sinar aneh yang
berapi-api. Dengan langkah satu-satu pemuda itu menghampiri Ceng Ceng, langkah
yang seolah-olah terjadi di luar kehendaknya.
“Jangan...
ahhh, jangan...” Ceng Ceng merintih perlahan sambil memandang dengan muka penuh
ketakutan.
Pemuda itu
kelihatan bingung, lalu menjadi makin beringas dan sudah berlutut di dekat Ceng
Ceng. Sampai hampir pecah rasa dada Ceng Ceng karena jantungnya berdebar sangat
keras penuh ketegangan. Pemuda itu menggerakkan tangannya sehingga rantai
belenggu berdencingan, lalu jari-jari tangannya mengelus pipi Ceng Ceng.
Dara ini
mengeluh dan memejamkan matanya lagi, kemudian dikeraskan hatinya dan dia
membuka mata lalu memaki, “Keparat laknat! Apa yang akan kau lakukan? Tidak
malukah engkau? Aku tadi telah berusaha menolongmu dan kau membalasnya dengan
penghinaan seperti ini? Manusia macam apa engkau? Laki-laki macam apakah engkau
ini?”
Kemarahan
mengusir semua rasa takut dan ngeri. Kini Ceng Ceng memandang dengan mata
bersinar-sinar. Pemuda itu seperti terpukul oleh dampratan itu, dia bangkit
berdiri lagi, meragu dan tiba-tiba tangannya bergerak menampar kepalanya
sendiri, kemudian membalikkan tubuh dan terhuyung pergi ke pintu goa. Hati Ceng
Ceng menjadi lega.
Tiba-tiba
wajah Ceng Ceng menjadi pucat. Sampai di pintu goa, pemuda itu berhenti,
perlahan-lahan membalikkan tubuhnya, memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar
mata penuh gairah birahi, mengeluarkan suara keluhan dalam di kerongkongannya
dan lalu... meloncat seperti seekor harimau menerkam ke arah tubuh Ceng Ceng!
Ceng Ceng menjerit akan tetapi mulutnya tersumbat ciuman dan ketika jari-jari
tangan pemuda itu bekerja, Ceng Ceng merintih dan pingsan tidak ingat apa-apa
lagi.
Apa bedanya
manusia dengan binatang kalau kesadarannya lenyap? Kesadaran lenyap berarti
menghilangkan pengertian, dan yang tertinggal hanyalah kekerasan berdasarkan
dorongan kebutuhan jasmaniah belaka, seperti binatang. Naluri yang ada hanyalah
naluri kebutuhan badan.
Demikian
pula dengan keadaan pemuda itu. Terpengaruh oleh racun yang amat hebat, yang
bagi orang lain tentu mendatangkan akibat maut yang tidak mungkin mampu
dihindarkan lagi, pemuda ini kehilangan kesadarannya. Biar pun dia sudah
berusaha melawannya dengan sedikit ingatan yang masih ada, namun hawa racun itu
akhirnya menang, merampas seluruh kesadarannya dan membuat dia bertindak
seperti binatang dan menurutkan dorongan kebutuhan jasmani yang pada saat itu
dikuasai oleh nafsu birahi yang amat dahsyat sebagai akibat pengaruh racun yang
memenuhi tubuhnya. Maka terjadilah hal yang tak mungkin dapat terelakkan lagi
oleh Ceng Ceng dan tak mungkin dapat dipertahankan lagi oleh pemuda itu.
Beberapa
lama kemudian, tampak pemuda itu melangkah keluar dari goa, berkali-kali
menampar kepalanya sendiri, dengan wajah muram namun tidak liar lagi, dan
mulutnya mengeluarkan kata-kata berulang-ulang, “Terkutuk...! Terkutuk...!”
Jauh lebih
lama kemudian, Ceng Ceng mengeluh dan siuman. Ternyata dara itu sudah
dibebaskan dari totokan. Tubuhnya terasa sakit-sakit dan ada sesuatu yang tidak
wajar. Ceng Ceng teringat akan semua pengalamannya sebelum dirinya pingsan.
Ingatan ini amat mengejutkan hatinya, apa lagi setelah dia melihat betapa
pakaiannya terbuka dan terdapat noda darah di pahanya, tiba-tiba dia menjerit
dan roboh pingsan lagi!
Perlahan-lahan
dara yang tertimpa malapetaka itu siuman, lalu merintih dan menangis dengan
sedih sekali. Dia mencengkerami tanah dan batu, memukul-mukul tanah dan
menangis makin sedih. Makin dikenang, makin dibayangkan, semakin sakit rasa
hatinya karena dia kini sudah merasa yakin bahwa dia telah diperkosa oleh
pemuda itu.
Tiba-tiba
dia meloncat berdiri, tidak mempedulikan pakaiannya yang terbuka. Kedua
tangannya dikepal, lalu disambarnya pedang Ban-tok-kiam yang masih berada di
lantai goa. “Jahanam...! Keparat busuk...! Manusia laknat...! Iblis keji, aku
bersumpah akan membunuhmu! Aku pasti akan menyiksamu, akan kusayat-sayat
tubuhmu, kuhancurkan kepalamu, kuremukkan semua tulang di tubuhmu!” Dia
memaki-maki dengan air mata bercucuran, kemudian sambil menangis dia
membetulkan pakaiannya dan lari keluar dari goa dengan pedang terhunus di
tangannya.
Timbul
kebenciannya yang hebat kepada pemuda itu, kepada laki-laki pada khususnya,
kepada manusia pada umumnya. Tanpa dia sadari, saat itu terjadilah perubahan
hebat pada dirinya. Di lubuk hatinya tumbuh perasaan benci yang amat berat,
yang meracuni seluruh darahnya, yang mengakibatkan watak yang kejam di dalam
dirinya. Peristiwa hebat yang mengguncangkan seluruh batinnya itu menambah
hebat perubahan yang memang mulai terjadi di dalam dirinya akibat ilmu tentang
racun yang sifatnya kejam semenjak dia menjadi murid Ban-tok Mo-li.
Dengan
semangat berapi-api untuk mencari dan mengadu nyawa dengan pemuda itu, Ceng
Ceng kembali memasuki dusun yang menjadi sarang Lembah Bunga Hitam. Dari jauh
sudah tampak olehnya serombongan orang yang jumlahnya sembilan, dan orang-orang
itu menjadi terkejut ketika melihat seorang gadis dengan pedang di tangan
berlari cepat mendatangi dan langsung menyerang mereka dengan ganas!
Dengan
kemarahan dan kebencian meluap di dalam hatinya, Ceng Ceng merobohkan dua
orang, lalu menghadapi pengeroyokan tujuh orang anggota lembah. Pedang
Ban-tok-kiam merupakan senjata ampuh yang membuat jeri para pengeroyoknya.
Seorang di
antara mereka lalu bersiul-siul dan datanglah lebah-lebah beterbangan. Lebah
putih yang beracun! Melihat ini, Ceng Ceng yang masih memutar pedangnya, cepat
mengeluarkan bubuk hijau dan menanti sampai lebah-lebah itu datang mendekat.
Disebarnya bubuk hijau itu di sekeliling dirinya dan lebah-lebah yang terkena
serbuk hijau ini sebagian jatuh dan mati, sebagian lagi mabok dan tidak dapat
dikendalikan lagi oleh anggota lembah yang bersiul-siul!
Sebaliknya,
Ceng Ceng lalu mengeluarkan serbuk merah. Sambil menyerbu ke depan dan
menaburkan serbuk merah ini ke udara, kemudian dengan gerakan pedangnya yang
diputar-putar sehingga mendatangkan angin, dia berhasil membuat serbuk merah
yang kini berubah menjadi semacam uap merah dan langsung menyambar ke arah para
pengeroyoknya!
Orang-orang
lembah yang kesemuanya adalah ahli-ahli racun, ternyata tidak mengenal uap
merah ini. Mereka hanya menjauhkan diri lalu menghampiri Ceng Ceng dari arah
lain agar tidak terkena serbuk merah. Namun mereka mencium bau tajam dan celaka
bagi mereka yang terdekat, karena kelihaian racun serbuk merah ini adalah
justru pada baunya.
Begitu
mencium bau keras ini, dua orang lantas menjadi pening dan terhuyung-huyung,
kemudian berseru, “Celaka!” lalu meninggalkan gelanggang pertempuran.
Sementara
itu, Ceng Ceng sudah kembali menerjang. Pedangnya berhasil merobohkan seorang
lagi karena hawa beracun yang keluar dari pedang itu, sedangkan ludahnya
merobohkan dua orang lain!
“Mampuslah
kalian, keparat! Mampuslah!” Berkali-kali mulutnya berkata demikian sebab dia
membayangkan para pengeroyok itu sebagai pemuda yang telah memperkosanya, atau
setidaknya mereka itu dianggap wakil pemuda itu yang harus dibalasnya. Oleh
karena itu, sepak terjangnya mengerikan, dan dia mengamuk seperti seekor
harimau kelaparan.
Tetapi
berbondong-bondong datanglah orang-orang lembah yang tadinya meninggalkan
lembah itu untuk melakukan perang melawan orang-orang Pulau Neraka. Oleh karena
menyangka bahwa gadis itu tentulah seorang di antara orang-orang Pulau Neraka,
mereka lalu menyerbu dan mengeroyok.
Ceng Ceng
tidak peduli dan sama sekali tak gentar menghadapi pengeroyokan banyak orang
ini. Dia mengamuk terus, menggerakkan pedangnya yang ampuh dan menyebar
racun-racunnya, melakukan pukulan-pukulan beracun bahkan juga menyerang dengan
ludahnya. Banyak di antara para pengeroyoknya roboh menjadi korban dan akhirnya
terdengar bentakan keras, “Mundur semua!”
Ceng Ceng
kini berhadapan dengan seorang kakek tua yang amat mengerikan. Kakek ini
usianya tentu telah berusia enam puluh tahun lebih, tinggi kurus dan mukanya
hanya kelihatan tengkorak terbungkus kulit belaka. Pakaiannya serba hitam.
Matanya hampir hitam seluruhnya karena bagian putihnya juga berwarna gelap,
kemerahan mengarah warna hitam sehingga kalau dia memandang orang, amatlah
mengerikan.
“Nona,
siapakah kau? Apakah kau seorang Pulau Neraka?”
“Banyak
cerewet! Engkau tentunya Ketua Lembah Bunga Hitam, bukan? Nah, majulah!” bentak
Ceng Ceng yang sudah menerjang maju dengan pedangnya menyerang kakek itu. Kakek
itu bertangan kosong, dan seketika dia menggerakkan kedua tangannya.
“Cringgg...!”
terdengar suara, dan tangan kanan Ceng Ceng tergetar.
Kiranya
kakek itu sudah menggunakan kuku jari tangannya menyentil dan sentilan ini saja
sudah membuat pedangnya tergetar dan hampir terlepas dari pegangan! Hal ini
cukup menjadi bukti bahwa kepandaian kakek ini hebat sekali, tenaga sinkang-nya
juga jauh lebih tinggi dan kuat dari pada tenaganya sendiri. Namun tidak ada
sedikit pun rasa gentar di dalam hati dara yang sudah terbakar hangus oleh rasa
dendam yang amat hebat itu. Baginya mati bukanlah apa-apa lagi dan yang terasa
hanyalah kebencian, kebencian yang bernyala makin besar dan membakar semua
perasaan ini.
Dengan
kenekatan yang luar biasa dia menyerang kakek bermuka tengkorak itu dengan
pedangnya. Ketua Lembah Bunga Hitam itu tertawa dan menghadapi Ceng Ceng dengan
tangan kosong saja, akan tetapi biar pun demikian, segera dia membuat dara itu
kalang-kabut karena memang kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi.
Ceng Ceng
kembali mengalami pertandingan seperti ketika dia melawan Ketua Pulau Neraka,
dan merasa dipermainkan tanpa dapat mendesak lawan sama sekali. Biar pun dia
juga membantu pedangnya dengan pukulan beracun tangan kirinya, dan bahkan
menggunakan rambutnya serta ludahnya yang beracun, akan tetapi tetap saja dia
dipermainkan dan didesak hebat.
“Ha-ha-ha,
bocah lancang, ilmu kepandaianmu lumayan dan pengetahuanmu tentang racun hebat.
Lekas kau berlutut dan menjadi muridku, dan aku akan mengampunkan
kesalahanmu...”
“Mampuslah!”
Ceng Ceng membentak dan menusukkan pedangnya dengan nekat dan dahsyat.
“Pedang
baik...!” kakek itu mengelak. “Tapi kau keras kepala!”
Pada saat
pedang meluncur lewat, kakek itu menggerakkan kakinya yang merupakan tendangan
berputar, sama sekali tidak diduga oleh Ceng Ceng sehingga lambung dara ini
terkena tendangan. Dia terjengkang dan terbanting keras. Akan tetapi sebelum
kakek itu menyusul dengan serangan lain yang tentu akan merupakan bahaya bagi
Ceng Ceng, mendadak terdengar suara lembut yang datangnya dari arah sumur tua
yang pernah dipakai oleh Ceng Ceng untuk bersembunyi mengintai ketika pemuda
yang telah memperkosanya itu menjadi tawanan dalam kerangkeng!
“Thio Sek,
apakah kau sudah melupakan Istana Gurun Pasir...?”
Ceng Ceng
mendapat kesempatan untuk meloncat berdiri karena tiba-tiba, mendengar suara
itu, Ketua Lembah Bunga Hitam terkejut setengah mati, mengeluarkan suara lirih
dan berdiri bengong seperti orang melihat setan di tengah hari.
“Thio Sek,
majikan kita menanti engkau datang menyerahkan kitab dan nyawa!” kembali suara
aneh dan halus itu terdengar dari dalam sumur.
Ketua lembah
memandang ke arah sumur, mukanya amat pucat hingga dia makin mirip dengan mayat
hidup, kemudian terdengar keluhan aneh dari dalam kerongkongannya dan dia
membalikkan tubuhnya, mencelat jauh dan lari secepatnya, dalam sekejap mata
saja sudah lenyap dari situ. Anak buahnya yang melihat keadaan ketua mereka
ini, juga serentak lari pergi terbirit-birit dengan ketakutan.
Ceng Ceng
masih berdiri dengan pedang Ban-tok-kiam di tangannya. Hatinya jadi lega karena
baru sekarang dia sadar bahwa dia telah terbebas dari ancaman bahaya maut,
ditolong oleh suara dari sumur itu. Teringatlah saat dia pernah melihat
bayangan samar-samar di dasar sumur. Timbullah rasa ingin tahunya. Tentu ada
seorang aneh di dalam sumur itu. Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri
sumur itu, menjenguk ke dalam. Akan tetapi tidak tampak apa-apa lagi, bahkan
bayangannya pun tidak ada. Tentu orang itu sudah pergi, pikirnya. Betapa
lihainya orang itu.
Suara
sorak-sorai mengejutkannya. Dia cepat membalik dan melihat tujuh orang laki-laki
memasuki pintu gerbang dusun itu sambil bersorak. Orang-orang ini semua
memegang senjata di tangan kanan dan seekor ular berbisa di tangan kiri, sikap
mereka buas dan seperti orang-orang yang gila. Apa lagi ketika mereka melihat
Ceng Ceng, mereka segera menyerbu dengan kata-kata yang membuat dada Ceng Ceng
seperti dibakar, karena mereka mengeluarkan kata-kata kotor terhadap dirinya!
“Ha-ha, nona
manis kesepian sendiri!”
“Engkau
tentu sudah lama rindu kepada laki-laki!”
“Kami datang
untuk menghiburmu, Nona!”
“Kalau kami
bertujuh masih terlampau sedikit, teman-teman kami di belakang masih banyak!”
Ceng Ceng
yang sedang berduka dan marah itu, tentu saja kebenciannya terhadap pria makin
meledak. Sambil mengeluarkan seruan seperti lengking seekor binatang yang
dahsyat, dia menyerbu. Tangan kirinya telah siap dengan segenggam bubuk putih
yang tadi dia keluarkan dari saku bajunya, pedangnya diputar-putar di atas
kepala. Tujuh orang itu tentu saja memandang rendah, mereka menyambut dan
mengurung sambil tertawa.
“Yang
memegang lebih dulu, mendapat giliran lebih dulu, ha-ha-ha!” Akan tetapi suara
ketawa mereka terhenti seketika karena selagi mereka menangkis pedang Ceng Ceng
yang menyambar-nyambar, dara ini menyebar bubuk putih ke udara.
Terdengar
teriakan-teriakan kaget karena bubuk putih yang dipandang rendah itu begitu
tampak oleh mereka, menimbulkan rasa pedas di mata mereka sehingga air mata
mengalir ke luar dan pandangan mata mereka menjadi kabur. Dalam keadaan seperti
ini, mudah saja Ceng Ceng menggerakkan pedangnya dan empat orang roboh dan
tewas seketika disambar Ban-tok-kiam!
Tiga orang
lain terkejut bukan main. Mereka meloncat ke belakang, menggosok-gosok mata
mereka. Celaka, makin digosok makin pedas dan gatal, bahkan kini mata mereka
mulai membengkak! Seorang di antara mereka cepat mengeluarkan sebuah tanduk
menjangan dan meniupnya sehingga terdengarlah suara mengaung. Ada pun dua orang
temannya sudah menerjang Ceng Ceng yang mengejar mereka.
Ular di
tangan kiri mereka mendesis-desis dan ketika mereka lontarkan, dua ekor ular
itu menyambar Ceng Ceng. Gadis ini mengangkat lengan kirinya menangkis dan dua
ekor ular itu dengan tepat menggigit dan bergantung kepada lengan kiri itu. Dua
orang itu girang sekali karena menyangka bahwa tentu gadis yang sudah tergigit
dua ekor ular mereka itu akan roboh.
Akan tetapi
dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat Ceng Ceng mengibaskan
lengan kirinya sehingga dua ekor ular itu terbanting ke atas tanah dan
berkelojotan! Agaknya bukan gadis itu yang keracunan, sebaliknya dua ekor ular
itulah, karena hawa beracun yang dikerahkan gadis itu dari lengan yang tergigit
membuat dua ekor ular itu seperti dibakar kepanasan. Selagi dua orang itu masih
bengong, Ceng Ceng sudah meloncat, pedang Ban-tok-kiam menyambar. Mereka
berusaha menangkis, namun terlambat, apa lagi karena hawa beracun dari pedang
itu sudah membuat mereka lemas. Robohlah dua orang ini dengan leher hampir
buntung!
Orang
terakhir itu masih meniup tanduk menjangan berkali-kali. Dalam ngeri dan
takutnya menyaksikan kehebatan dara itu, dia mencurahkan seluruh perhatiannya
untuk meniup suling memanggil teman-temannya. Akan tetapi suara mengaung dari
tanduk yang ditiup itu segera terhenti dan dia pun roboh di bawah tusukan
pedang Ceng Ceng yang menembus perutnya!
Barulah agak
puas hati Ceng Ceng setelah berhasil membunuh tujuh orang itu. Akan tetapi baru
saja dia mencabut kembali pedang Ban-tok-kiam dari dalam perut lawan terakhir
setelah dia membiarkan pedang itu ‘meminum darah’ agak lama di dalam tubuh
orang itu, terdengar suara hiruk-pikuk. Dia menoleh dan dapat dibayangkan
betapa kaget hatinya ketika dia melihat seorang kakek perkasa dengan langkah
lebar menghampiri tempat itu. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo Ketua
Pulau Neraka, diikuti oleh belasan orang anak buahnya!
“Keparat!
Bocah setan, lagi-lagi kau! Kau berani membunuh tujuh orang anak buahku?
Sekarang terpaksa aku tidak dapat mengampunimu lagi!” Kakek itu berseru marah
bukan main setelah dia melihat mayat tujuh orang anak buahnya menggeletak di
sekitar tempat itu.
Baru
sekarang Ceng Ceng tahu bahwa tujuh orang yang tadinya disangka adalah anak
buah Lembah Bunga Hitam, ternyata adalah anak buah Pulau Neraka yang menjadi
musuh Lembah Bunga Hitam! Akan tetapi dia tidak takut. Tanpa menjawab dia sudah
menerjang ke depan, disambut oleh Hek-tiauw Lo-mo yang dalam kemarahannya telah
mengeluarkan sebuah di antara senjata-senjatanya yang ampuh, yaitu sebuah jala
tipis yang digulung dan dikepal dalam tangannya. Dia ingin menangkap gadis itu,
sebelum dibunuh dia akan menyiksanya dan akan diperasnya agar gadis itu dapat
menyerahkan ilmunya yang hebat tentang racun kepadanya.
Ceng Ceng
yang menerjang ke depan hanya melihat bayangan hitam melebar seperti payung
menerkamnya. Dia kaget dan memutar pedangnya menangkis. Terdengar suara
berdencingan dan pedangnya bertemu dengan benda yang keras akan tetapi ulet dan
bayangan itu terus menerkamnya, tidak terhalang oleh putaran pedangnya.
Tahu-tahu dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah jala tipis yang
lebar dan ke mana pun dia bergerak, dia tidak dapat membebaskan diri dari dalam
jala itu!
Dia melihat
kakek raksasa itu sambil tertawa memegang tali jala dari tempat yang jauhnya
ada tiga empat meter. Kemarahannya timbul dan dia menjadi nekat. Biar pun
berada di dalam jala, dia meloncat dengan maksud menerjang kakek itu dan
menyerang dengan pedangnya dari balik jala. Akan tetapi tiba-tiba kakek itu
membetot dan Ceng Ceng yang merasa kakinya diangkat, kehilangan keseimbangan
tubuhnya dan terguling roboh di dalam jala. Ia mengamuk, meronta, memutar
pedangnya, tetapi sia-sia belaka, seperti seekor ikan besar dalam jala, semua
gerakannya terbatas dan hanya gerakan sia-sia belaka.
Hek-tiauw
Lo-mo tertawa dan belasan orang anak buahnya juga tertawa girang melihat gadis
yang liar dan buas itu telah tertawan. Akan tetapi, suara ketawa mereka
terhenti ketika terdengar suara orang mengejek, “Aih, Lee-ko, orang-orang di
sini sungguh tidak tahu malu, ya? Belasan orang laki-laki mengeroyok seorang
wanita muda, aturan mana yang dipakai ini? Sungguh curang, licik dan tidak tahu
malu!”
Semua orang
menengok dan Hek-tiauw Lo-mo amat terkejut melihat dua orang pemuda tampan
tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya. Kalau sampai ada dua orang asing dapat
muncul di tempat itu tanpa diketahui oleh dia sendiri dan anak buahnya, maka
hal ini hanya membuktikan bahwa yang datang adalah orang-orang luar biasa! Akan
tetapi, melihat bahwa mereka hanyalah dua orang pemuda remaja yang masih amat
muda sekali, dia memandang rendah. Dengan tangan kiri memegang tali jala di
mana Ceng Ceng tertawan, dia membentak, “Eh, dari mana datangnya dua bocah
lancang ini dan siapakah kalian?”
Ceng Ceng
juga sudah berhenti meronta dan dari dalam jala dia memandang ke luar. Matanya
terbelalak lebar. Kini dia mengenal dua orang pemuda itu. Tidak salah lagi. Dua
orang itu adalah dua orang pemuda yang pernah berjumpa dengan dia di pasar
kuda! Dua orang pemuda yang tampan, yang seorang di antaranya ceriwis, pandang
matanya nakal dan mulutnya selalu tersenyum penuh gairah, sedangkan yang kedua
pendiam dengan sinar mata yang tajam dan tenang.
Ceng Ceng
sendiri memandang rendah. Kalian mencari mampus, pikirnya. Tentu dua orang
pemuda ini akan tewas di tangan Ketua Pulau Neraka dan anak buahnya yang lihai.
Akan tetapi dia tidak peduli. Biarlah mampus semua laki-laki di dunia ini, apa
lagi dua orang pemuda tampan ini mengingatkan dia akan pemuda laknat yang
dicarinya dan dibencinya. Mampuslah kalian! Mampuslah kalian semua laki-laki di
dunia!
Ceng Ceng
memandang dan kini mereka telah mulai bertanding. Dua orang pemuda itu tadinya
bersikap tenang saja. Akan tetapi pemuda yang lebih muda, yang tersenyum-senyum
dan bermata nakal, memandang Ketua Pulau Neraka dan berkata, “Aih, kiranya
Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya. Pantas saja tidak segan melakukan kecurangan,
kiranya Ketua Pulau Neraka yang seperti iblis. Masih baik kita keburu datang
untuk mencegah perbuatanmu yang buruk!”
Mendengar
ini Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya menjadi terkejut bukan main. Jarang ada
orang yang mengenal Ketua Pulau Neraka, apa lagi hanya dua orang pemuda remaja
ini
“Kalian
siapa, bocah lancang?” bentaknya.
“Kami adalah
orang-orang yang akan menghabiskan riwayatmu, Hek-tiauw Lo-mo. Kami adalah
Sepasang Rajawali Putih!”
Mendengar
julukan yang tak pernah didengar sebelumnya ini, Hek-tiauw Lo-mo sangat
mendongkol. Tentu kedua bocah ini sengaja menggunakan julukan Rajawali Putih
untuk mempermainkannya, karena dia sendiri berjuluk Hek-tiauw Lo-mo (Iblis Tua
Rajawali Hitam).
“Keparat,
bersiaplah untuk mampus!” bentaknya tanpa peduli lagi akan nama mereka dan dia
sudah memberi isyarat kepada para anak buahnya.
Belasan
orang itu segera maju mengepung dua orang pemuda itu yang tetap bertangan
kosong. Akan tetapi begitu mereka menyerbu ke depan, dua orang pemuda itu lalu
mengeluarkan suara melengking seperti dua ekor rajawali, dan Ketua Pulau Neraka
menjadi bengong dan kaget melihat betapa dua orang pemuda itu kini bergerak
secepat burung-burung rajawali. Mereka berkelebat ke sana-sini dan
berturut-turut robohlah empat orang anak buah Pulau Neraka tanpa mereka itu
ketahui bagaimana mereka dirobohkan karena cepatnya gerakan dua orang pemuda
itu!
Ceng Ceng
sendiri memandang kagum. Kini ia melihat Ketua Pulau Neraka melepaskan tali
jala dan maju sendiri menyerbu, setelah melolos sebatang cambuk baja lemas yang
tadinya membelit pinggangnya yang besar. Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras
ketika cambuk itu menyambar-nyambar ganas mengikuti berkelebatnya bayangan dua
orang pemuda itu. Hebat memang tenaga Hek-tiauw Lo-mo dan cambuk panjang itu
dahsyat sekali. Namun dengan lincah, dua orang pemuda itu dapat mengelak dengan
loncatan-loncatan yang tampaknya tubuh mereka itu meloncat ke sana-sini seperti
kilat menyambar.
Ceng Ceng
meronta setelah melihat tali jala tidak dipegang lagi oleh Hek-tiauw Lo-mo.
Dari dalam jala dia menarik tali yang mengikat jala kemudian perlahan-lahan dia
dapat membebaskan diri, Setelah bebas, dengan pedang diputar ganas dia menyerbu
dan menyebar racun di antara para anak buah Pulau Neraka.
Melihat ini,
Hek-tiauw Lo-mo menjadi khawatir sekali. Baru sekarang dia memperoleh kenyataan
betapa dua orang pemuda itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Ketika dia
menggunakan sinkang sekuatnya di kanan kiri mendorong ke depan, pemuda yang
lebih tua menyambut dorongan tangan itu dengan tangan kanannya.
“Dukkk!”
Hek-tiauw
Lo-mo meloncat mundur, mukanya menjadi pucat. Ia mengenal ilmu sinkang Swat-im
Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) yang membuat lengan kirinya terasa dingin
sekali.
“Pulau
Es...!” Serunya dan kini matanya terbelalak lebar.
Dia ingat
akan dua orang putera Majikan Pulau Es yang pernah ditawannya dan dua orang
anak itu berhasil melarikan diri dengan menunggang dua ekor burung rajawali
putih. “Kiranya kalian...”
Dua orang
pemuda itu memang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Mereka hanya tersenyum dan
kini Hek-tiauw Lo-mo maklum bahwa kalau sampai ayah atau ibu dua orang pemuda
itu ikut datang, dia dan anak buahnya akan celaka. Maka dia bersuit nyaring
lalu meloncat ke belakang, dan larilah Ketua Pulau Neraka ini diikuti oleh sisa
anak buahnya.
Kian Lee dan
Kian Bu tidak mengejar. Kian Bu berpaling memandang Ceng Ceng yang masih
berdiri dengan pedang di tangan.
“Syukur kau
telah selamat, Nona,” kata Kian Bu yang lebih berani menghadapi seorang wanita
dari pada kakaknya. “Dan selamat berjumpa untuk yang kedua kalinya. Kita saling
bertemu untuk pertama kali di pasar kuda itu. Ingat, bukan? Perkenalkan, namaku
adalah Suma Kian Bu dan ini adalah kakakku, Suma Kian Lee. Dan bolehkah kami
mengetahui namamu?”
Tiba-tiba
Ceng Ceng menggerakkan pedangnya ke kiri.
“Crekkk!”
dan roboh kembalilah anggota Pulau Neraka yang tadinya hendak bangkit duduk.
Orang yang tadinya menderita luka itu, roboh dan tewas karena pedang
Ban-tok-kiam membacok lehernya hampir putus!
Melihat ini,
Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee terkejut sekali. Kian Lee mengerutkan alisnya,
sedangkan Kian Bu memandang bengong. Dia kagum akan kecantikan dan kegagahan
dara ini, akan tetapi mengapa dara ini sekarang menjadi seorang manusia yang
begini buas dan kejam, jauh sekali bedanya dengan dahulu ketika mereka jumpa di
pasar kuda?
Dahulu, dara
ini berwajah cantik manis dan berseri, agaknya selalu riang dan sinar matanya
menari-nari, bibirnya selalu tersenyum. Namun sekarang, biar pun cantiknya
masih sama, bahkan bertambah karena kelihatannya kecantikannya makin matang,
tubuhnya makin padat berisi, gerak-geriknya makin lincah, namun di balik wajah
yang cantik jelita itu terbayang sifat yang dingin membeku, kebencian yang
membayang dari pandang matanya, bibirnya ditarik seperti orang yang kesakitan
dan menderita hebat, dan perbuatannya tadi amatlah kejam dan mengerikan.
Membacok mati seorang bekas lawan yang sudah tidak berdaya seperti itu hanya
dapat dilakukan oleh seorang yang berhati kejam dan penuh kebencian!
Segala macam
kekacauan, kejahatan dan permusuhan di dunia ini bersumber kepada pikiran.
Pikiran adalah si aku yang berkembang karena ingatan. Pengalaman-pengalaman
yang menyenangkan dan menyusahkan ditumpuk di dalam ingatan dan menjadi pupuk
bagi pikiran yang menciptakan si aku. Si aku yang ingin mengulang kembali
kesenangan yang pernah dinikmatinya. Si aku yang ingin menghindari kesusahan
yang pernah diderita. Maka muncullah rasa khawatir, rasa takut kalau-kalau akan
mengalami lagi hal yang menyusahkan dan kalau-kalau tidak akan dapat mengalami
hal yang menyenangkan.
Rasa takut
ini mendorong kita untuk melakukan segala macam kekerasan di dalam kehidupan,
bersumber kepada si aku yang pandai sekali mencari-cari akal sebagai alasan
untuk melindungi diri sendiri, atau mempertahankan pendiriannya yang dianggap
benar. Kalau si aku dirugikan, lahir mau pun batin, maka aku akan menaruh benci
dan dendam, dan menggunakan alasan bahwa yang merugikan aku itu adalah jahat
dan perlu dibasmi! Jika si aku diuntungkan, lahir mau pun batin maka aku akan
mencintanya dan membaikinya, dengan menggunakan alasan bahwa yang menguntungkan
aku itu adalah baik dan perlu didekati.
Kita memuja
dan menyembah-nyembah para dewa, para nabi, bahkan Tuhan, karena kita yakin
bahwa mereka itu menguntungkan kita, setidaknya menguntungkan batiniah dan
menimbulkan harapan, menjadi pegangan, jelasnya mendatangkan harapan keuntungan
lahir batin bagi kita, maka kita memuja dan menyembahnya. Sebaliknya, kita
membenci dan mengutuk setan dan iblis, karena kita yakin pula, sungguh pun
keyakinan ini hanya merupakan jiplakan dari tradisi belaka, bahwa setan dan
iblis atau hantu itu merugikan kita, lahir mau pun batin. Jelasnya, yang kita
anggap baik, yaitu yang menguntungkan kita lahir mau pun batin, akan kita
puja-puja.
Sebaliknya,
yang kita anggap jahat, yaitu yang merugikan kita lahir atau batin, akan kita
kutuk dan benci. Jelas, bahwa rasa suka atau benci kita bukan karena keadaan si
benda di luar diri kita, melainkan karena diputuskan oleh pertimbangan kita
sendiri, yaitu merugikan atau menguntungkan. Rasa suka atau benci melahirkan
anggapan kita tentang baik dan jahat, yang menguntungkan kita adalah baik dan
yang merugikan kita adalah jahat.
Kenyataan
ini sudah berlangsung ribuan tahun di dalam kehidupan manusia dan telah
dianggap sebagai alat yang ‘lumrah’ sehingga kita tidak lagi melihat
kejanggalan atau kepalsuannya. Si aku ini bisa melebar dan membesar, menjadi si
kami, menjadi harta benda-ku, keluarga-ku, partai-ku, suku bangsa-ku,
bangsa-ku, negara-ku, Tuhan-ku, agama-ku dan selanjutnya. Dan selama si aku ini
menguasai, pertentangan dan kekacauan sudah pasti timbul, karena pertentangan
muncul di antara si aku dan si kamu.
Seorang
manusia akan dianggap sebagai orang sejahat-jahatnya oleh pihak musuh akan
tetapi manusia ini pula akan dianggap sebagai orang sebaik-baiknya oleh pihak
kawan. Seseorang bisa dianggap sebagai ‘pahlawan’ oleh negaranya, akan tetapi
orang ini pula akan dianggap sebagai ‘penjahat’ oleh negara lain yang
bermusuhan. Jadi sebutan pahlawan atau penjahat itu bukan tergantung dari
keadaan si orang itu sendiri, melainkan tergantung dari negara yang
bersangkutan, dirugikan atau diuntungkankah negara itu.
Pertentangan
di luar diri adalah pencerminan dari pertentangan yang terjadi di dalam diri
sendiri. Di dalam diri sendiri terdapat kemarahan yang bertentangan dengan si
aku yang ingin sabar, terdapat cemburu yang bertentangan dengan si aku yang
ingin mencinta, terdapat keadaan apa adanya yang bertentangan dengan keadaan
yang kukehendaki yang lain dari apa adanya. Keadaannya begini, aku ingin
begitu. Si aku menjadi makin subur dipupuk oleh pikiran.
Si aku
adalah pikiran itu sendiri. Dan pikiran adalah masa lalu, pikiran adalah
kenangan atau ingatan masa lalu. Bebas dari masa lalu, bebas dari pikiran,
berarti bebas dari si aku tukang mengacau kehidupan ini. Pikiran hanya baik
kalau dipergunakan di dalam tugas yang tak dapat dihindarkan lagi, untuk
bekerja, bicara, dan segala pelaksanaan pekerjaan sehari-hari. Namun sekali
pikiran bercampur tangan memasuki perhubungan antara manusia, akan rusaklah
keadaannya.
Ceng Ceng
telah diracuni oleh pikirannya sendiri karena dia selalu teringat akan
peristiwa yang menimpa dirinya. Dirinya telah diperkosa, berarti telah
dirugikan secara hebat oleh seseorang, maka kenangan akan hal ini mendatangkan
kebencian yang amat hebat dan kebencian ini meracuni dirinya, membuat dia
membenci semua manusia, terutama kaum pria!
Tentu saja
dia mengerti bahwa dia telah diselamatkan oleh Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.
Andai kata dua orang yang menolongnya itu wanita, agaknya dia tidak akan
segan-segan untuk menghaturkan terima kasihnya. Akan tetapi karena dua orang
penolongnya adalah pria, masih muda-muda pula sehingga mengingatkan dia akan
pemuda yang memperkosanya, kebenciannya terhadap kaum pria lebih besar dari
pada rasa terima kasihnya. Mendengar kata-kata Kian Bu dia malah menjadi gemas
dan membacok mati anggota Pulau Neraka yang belum tewas, kemudian dia
membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi kepada dua orang
pemuda yang telah menyelamatkannya tadi!
“Heiii...!
Eh, Nona...!” Kian Bu berteriak.
Tetapi Ceng
Ceng tidak menjawab, menoleh pun tidak, bahkan kini dara ini melarikan diri
dengan cepat, seluruh perhatiannya sudah dipusatkan ke depan untuk mencari
pemuda laknat yang telah memperkosanya!
“Heiiii...!”
Kian Bu berteriak lagi.
“Sudahlah,
Bu-te. Orang tidak mau melayanimu, mengapa kau memaksa?” Kian Lee berkata,
kemudian dengan alis berkerut pemuda ini berkata, “Aku melihat dia itu seperti
orang yang menanggung penderitaan hebat. Sungguh kasihan dia...”
“Ehhh...?
Gadis sombong dan angkuh seperti itu, yang telah kita tolong dan selamatkan
nyawanya dari ancaman bahaya maut akan tetapi sepatah kata pun tidak sudi
melayani kita bicara, engkau malah menaruh kasihan kepadanya?”
“Bu-te,
jangan tergesa-gesa menjatuhkan pendapat akan seseorang yang belum kita kenal
keadaannya. Gadis itu patut dikasihani...”
Kian Bu
menghela napas. “Kau memang aneh, Lee-ko. Banyak dara lincah jenaka, yang
wajahnya seperti bulan purnama selalu berseri, yang matanya seperti bintang pagi
bersinar-sinar, yang mulutnya selalu tersenyum cerah seperti matahati pagi,
engkau tidak pedulikan. Akan tetapi satu ini, yang kejam dan dingin seperti...
seperti...”
“Cukup,
Bu-te! Mari kita lanjutkan perjalanan kita,” Kian Lee berkata singkat lalu pergi
dari situ. Kian Bu membelalakkan mata, menggoyang pundak lalu terpaksa
mengikuti kakaknya.
***************
Bagaimana
dua orang pemuda ini dapat berada di tempat itu sehingga secara kebetulan dapat
menyelamatkan Ceng Ceng? Seperti telah kita ketahui, Kian Lee dan Kian Bu
berada di kota raja dan di dalam pesta yang diadakan oleh Pangeran Liong Bin
Ong, dua orang pemuda Pulau Es ini telah bertemu dengan kakak mereka, Puteri
Milana.
Mereka
diajak pulang oleh Puteri Milana dan setelah kakak beradik itu bercakap-cakap
penuh kegembiraan dan keharuan, akhirnya beberapa hari kemudian Milana
mengambil keputusan untuk mengirim dua orang adiknya ini menjumpai Jenderal Kao
Liang di utara. Puteri ini maklum betapa pihak pemberontak telah menyusun
kekuatan. Tidak ada orang lain yang lebih dapat dipercaya dari pada Kian Lee
dan Kian Bu untuk membawa suratnya kepada Jenderal Kao yang dia tahu merupakan
satu-satunya orang yang terkuat dan menguasai bala tentara besar, juga amat
setia kepada kepada Kaisar.
Dia lalu
menulis surat untuk Jenderal Kao Liang, mengajak jenderal itu untuk
bersama-sama menumpas pemberontak, menggunakan pengaruh kedudukannya dan
kekuatan pasukannya. Demikianlah maka pada hari itu Kian Lee dan Kian Bu tiba
di dekat Lembah Bunga Hitam, melihat keadaan dusun yang keracunan, mendengar
dari para pengungsi akan mala petaka yang menimpa dusun mereka.
Sebagai dua
orang putera Pendekar Super Sakti, walau pun mereka bukan ahli-ahli menggunakan
racun, namun dengan dasar sinkang yang amat kuat dan bersih, kedua orang pemuda
ini tentu tidak takut menghadapi pengaruh racun dan mereka tertarik mendengar
kabar tentang pertandingan antara ahli-ahli racun di Lembah Bunga Hitam, maka
keduanya lalu memasuki lembah itu dan secara kebetulan dapat menolong Ceng Ceng.
Setelah
mereka berdua mendapat kenyataan bahwa satu di antara dua pihak yang bertanding
itu adalah gerombolan penghuni Pulau Neraka dipimpin sendiri oleh Hek-tiauw
Lo-mo, keduanya tidak suka mencampuri lagi, apa lagi melihat betapa Ceng Ceng
yang mereka tolong itu tidak mempedulikan mereka. Mereka menganggap bahwa
tempat itu adalah tempat orang-orang dari golongan sesat, juga gadis yang
ditolongnya itu, maka mereka kemudian meninggalkan Lembah Bunga Hitam untuk
melanjutkan perjalanannya ke utara, ke perbatasan untuk mencari Jenderal Kao di
bentengnya.
***************
Yang tidak
mengenalnya dan tidak mengetahui keadaannya, tentu akan mengira bahwa gadis
cantik yang pakaiannya kusut rambutnya awut-awutan itu sedang menderita sakit
jiwa. Akan tetapi yang tahu akan keadaan Ceng Ceng pada saat itu, tentu akan
merasa kasihan sekali. Sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar penuh gairah
hidup itu kini tampak merah dan agak membengkak, muka yang biasanya berseri
dengan kedua pipi kemerahan dan segar, seperti setangkai bunga yang sedang
mekar, kini menjadi pucat dan layu.
Bibir yang
biasanya selalu kemerahan dan membasah itu, yang siap melontarkan senyum manis,
bahkan selalu kelihatan mengarah senyum, sekarang kelihatan kering dan
cemberut, kadang-kadang tergetar jika tangis melanda hatinya. Air matanya sudah
mengering, sumbernya telah hampir kehabisan karena terlampau banyak dia
menangis. Tiap kali dia teringat akan mala petaka yang menimpanya di dalam goa
itu, air matanya bercucuran dan dadanya terisak-isak sampai sukar untuk
bernapas.
Tiga hari
sudah dia meninggalkan Lembah Bunga Hitam. Lupa makan lupa tidur, terus
melakukan perjalanan ke selatan tanpa tujuan karena memang dia tidak tahu ke
mana harus mencari pemuda laknat yang amat sangat dibencinya itu, pemuda yang
telah memperkosanya. Sekarang tujuan hidupnya hanya satu, yaitu mencari dan
mengadu nyawa dengan pemuda laknat itu! Sebetulnya tubuhnya lemas dan lunglai,
karena sudah tiga hari tiga malam dia tidak makan tidak tidur. Jalannya
tersaruk-saruk dan kadang-kadang terdengar keluhan atau rintihan dari mulutnya.
Matahari
telah naik tinggi dan panas terik menyengat kulit. Ceng Ceng berhenti di dalam
bayangan batu karang dan menyeka keringatnya sambil mengeluh. Tubuhnya seperti
merintih-rintih minta beristirahat, namun kekerasan hatinya melarang karena dia
tidak akan berhenti sebelum bertemu dengan pemuda laknat itu!
“Nona,
perlahan dulu...” Tiba-tiba terdengar suara halus ketika dia memaksa kedua
kakinya melangkah maju lagi.
Suara itu
sudah cukup untuk membuat darah Ceng Ceng seperti bergolak. Suara laki-laki!
Dia menahan langkahnya, tangan kiri dikepal dan tangan kanan meraba gagang
Ban-tok-kiam, bersiap-siap untuk membunuh orang! Langkah-langkah ringan dan
halus menghampirinya dari belakang.
“Nona,
hatiku ikut hancur menyaksikan keadaanmu...”
Ceng Ceng
bergerak cepat, membalik dan tampak sinar terang berkelebat ketika Ban-tok-kiam
telah dicabutnya. Ternyata yang berhadapan dengan dia adalah seorang kakek yang
usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, rambut dan jenggotnya sudah putih
semua, pakaiannya sederhana namun bersih, gerak-geriknya halus dan penuh
hormat, sinar matanya lembut dan dia memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar
mata penuh perasaan iba.
“Mampuslah
kau, keparat!” Ceng Ceng menjerit, sementara pedang Ban-tok-kiam sudah
menyambar ke arah leher kakek itu.
“Hemmmm,
sabarlah, Nona!” kakek itu mengelak dengan gerakan halus, namun cepat sehingga
pedang Ban-tok-kiam lewat di samping tubuhnya.
Ketika
pedang itu menyambar lagi, tahu-tahu dengan gerakan aneh yang sama sekali tidak
dikenal Ceng Ceng, kakek ini telah memegang pergelangan tangan kanan Ceng Ceng
sehingga dara ini merasakan lengan kanannya lumpuh dan untung pedangnya masih
belum terlepas.
“Tenanglah,
Nona. Aku tak berniat buruk. Aku hanya akan menuturkan tentang pemuda yang
telah kau keluarkan dari kerangkeng itu.”
“Aihhh...!”
Ceng Ceng yang kini sudah dilepas tangannya, cepat melompat mundur dan
memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. “Kau mau bilang apa? Cepat
katakan!” bentaknya.
Kakek itu
menarik napas panjang. “Aku tidak menyalahkan sikapmu ini, Nona, sungguh pun
sikap ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagimu, apa lagi bagi lain orang.
Kita harus berani menghadapi kenyataan, berani membuka mata melihat apa yang
telah terjadi dan menimpa kita sehingga kita tidak menjadi mata gelap oleh
dendam. Marilah kita duduk di bawah pohon itu, dan aku akan menceritakan siapa
adanya pemuda yang kau bebaskan dari kerangkeng itu dan mengapa pula dia melakukan
perbuatan terkutuk itu. Maukah Nona mendengarkan?”
Tentu saja
Ceng Ceng ingin sekali mendengar. Dia tidak akan mungkin dapat mencari pemuda
itu jika tidak diketahuinya siapa. Dia lalu mengangguk, menyimpan pedangnya dan
mengikuti kakek itu duduk di atas batu di bawah naungan pohon sehingga hawa di
tempat itu agak sejuk dan nyaman.
“Perkenalkan,
Nona. Namaku adalah Louw Ki Sun, dan aku adalah pelayan dari guru pemuda tinggi
besar itu.”
“Kakek, aku
tidak mau berkenalan dengan kau. Kalau kau tahu tentang pemuda laknat itu,
lekas beritahukan kepadaku siapa dia dan di mana aku dapat mencarinya!”
Kakek itu
mengangguk-angguk. “Baiklah, engkau tentu akan mengetahui siapa adanya pemuda
itu. Sudah kukatakan tadi, aku adalah pelayan dari suhunya, dan agar jelas
bagimu dan juga jelas mengapa dia melakukan perbuatan itu, sebaiknya kalau
engkau mendengarkan semua penuturanku dengan sabar.” Kakek yang bernama Louw Ki
Sun itu lalu bercerita.....
Di tengah
gurun pasir yang amat luas di utara terdapat sebuah istana yang amat aneh
letaknya dan tidak ada orang yang dapat mendatangi tempat ini karena merupakan
rahasia. Pula, siapa percaya bahwa di tengah gurun pasir terdapat sebuah istana
yang megah? Istana ini di kalangan Bangsa Mongol terkenal dengan sebutan Istana
Gurun Pasir, dan pada waktu itu tiada seorang pun bangsa Mongol yang berani
mendekatinya karena istana itu dihuni oleh seorang tokoh yang luar biasa, aneh,
dan juga amat sakti.
Penghuni Istana
Gurun Pasir itu tidak pernah meninggalkan istananya, maka tidak terkenal di
dunia ramai. Istana itu sendiri adalah sebuah istana kuno, yang pada ratusan
tahun yang lalu dibangun oleh Raja Mongol untuk mengasingkan permaisurinya yang
telah ‘dipensiun’ karena dituduh berjinah dengan seorang pelayan pria. Dibangun
di tengah gurun pasir, akan tetapi anehnya, di tempat itu terdapat sumber air!
Sumber air di tengah gurun pasir, benar-benar tidak masuk akal, namun
kenyataannya demikianlah!
Permaisuri
yang malang ini tinggal bertahun-tahun di tempat itu bersama para pelayannya
sampai dia mati, dan turun-temurun para pelayan itu tinggal di situ sampai
lama-kelamaan jumlah mereka habis. Kini yang tinggal hanyalah Si Dewa Bongkok,
yaitu tokoh aneh penghuni istana itu, seorang kakek yang tubuhnya besar dan
pendek bongkok, bersama dua orang kakek pelayan yang bernama Thio Sek dan Louw
Ki Sun.
Suatu hari,
Si Dewa Bongkok yang sedang berlatih di tengah gurun pasir menemukan seorang
anak laki-laki yang berada dalam keadaan hampir mati. Jelas bahwa anak itu
telah tersesat dan menderita hebat sekali selama berhari-hari di padang pasir
dan merupakan suatu hal ajaib kalau anak itu masih dapat bertahan setelah
mukanya bengkak-bengkak, matanya melotot merah dan lidahnya terjulur ke luar,
seluruh tubuhnya hitam dan kulitnya retak-retak! Si Dewa Bongkok cepat membawa
anak itu ke istana dan berkat kepandaiannya yang tinggi, anak itu dapat
diobatinya sampai sembuh. Melihat keadaan anak itu dan kenyataan bahwa anak itu
berbakat baik sekali, Si Dewa Bongkok yang selamanya tidak pernah menerima
murid itu lalu mengangkatnya sebagai muridnya, murid tunggal.
Seperti
biasa, latihan-latihan yang diberikan oleh manusia sakti ini kepada muridnya
amatlah berat. Pada suatu hari, Si Dewa Bongkok mengajak muridnya ke tengah
gurun pasir bagian yang paling panas dan di situ dia melatih sinkang kepada
muridnya itu. Sampai tiga hari tiga malam dia melatih muridnya di tempat itu,
tidak tahu bahwa terjadi geger di istananya.....
“Ketika
majikanku sedang melatih muridnya itu, yang menjaga istana hanya aku dan Thio
Sek,” Lauw Ki Sun lalu menyambung ceritanya yang didengarkan dengan penuh
perhatian oleh Ceng Ceng. “Tiba-tiba datanglah seorang yang lihai dan yang
berusaha untuk mencuri kitab-kitab pusaka milik majikanku. Tentu saja aku
melawannya. Tetapi celaka, kiranya orang yang memiliki kepandaian tinggi itu
diam-diam telah bersekongkol dengan Thio Sek. Tentu saja menghadapi mereka
berdua, aku kalah dan aku tidak berhasil mencegah mereka melarikan diri sambil
membawa salah sebuah kitab pusaka tentang racun dalam pukulan, catatan dari
majikanku. Mereka melarikan diri karena mereka takut kalau-kalau majikanku
keburu datang, dan membawa pergi kitab itu.” Kakek itu menarik napas panjang.
Ceng Ceng
mengerutkan alisnya. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah pemuda laknat yang
memperkosanya, maka hal-hal lain membuat dia hanya menjadi marah karena dia
tidak peduli sama sekali. “Apa hubungannya dengan iblis laknat itu?” bentaknya.
“Sabarlah,
Nona. Ketahuilah bahwa pencuri itu kini telah menjadi Ketua Pulau Neraka
berjuluk Hek-tiauw Lo-mo, sedangkan rekanku pelayan itu adalah...”
“Ketua
Lembah Bunga Hitam. Aku sudah menduganya, tapi tentang pemuda itu...”
“Benar, Thio
Sek telah berjuluk Hek-hwa Lo-kwi Ketua Lembah Bunga Hltam. Sudah
bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil. Dan sampai hari ini, secara tidak
sengaja aku bertemu dengan mereka...”
“Pemuda
laknat itu...” Ceng Ceng memotong.
“Pemuda itu
adalah Kok Cu, murid majikanku yang ditemukan di gurun pasir itu. Dia
terpengaruh hebat oleh penderitaan badai di lautan pasir, hanya teringat akan
namanya saja, yaitu Kok Cu, tidak tahu siapa nama keluarganya. Setelah dia
tamat belajar, dia diperkenankan meninggalkan istana untuk mencari orang
tuanya, sekalian ditugaskan untuk mencari kitab yang tercuri. Karena merasa
bertanggung jawab akan kehilangan kitab itu, maka diam-diam aku pun
membayanginya untuk membantu. Kebetulan sekali, di Lembah Bunga Hitam ini
terjadi pertempuran dan ternyata yang bertempur adalah dua orang pencuri itu.
Agaknya, menurut penyelidikanku, mereka telah bertengkar dan memperebutkan
kitab. Mereka sama kuat dan akhirnya mendapatkan masing-masing separuh dari
kitab itu. Kini mereka saling bermusuhan untuk merampas kitab yang separuh
lagi. Biar pun Kok Cu telah memiliki kepandaian tinggi, lebih tinggi dari aku
sendiri, namun dia kurang pengalaman sehingga dapat terjebak dan terkena
racun-racun yang amat jahat. Biar pun dia telah memiliki kekebalan yang luar
biasa sehingga racun-racun itu tidak sampai menewaskannya, akan tetapi... dia
seperti mabok, dia tidak sadar dan... dan ketika terjadi peristiwa di goa itu,
dia... dia sama sekali tidak mampu menguasai dirinya, Nona.”
“Keparat!
Kau tahu akan semua itu dan kau diam saja!” Ceng Ceng sudah meloncat dan
mencabut lagi Ban-tok-kiam.
Kakek itu
pun meloncat dan cepat mengangkat tangannya, “Sabarlah, Nona. Ketika aku sampai
di Lembah Bunga Hitam, Kok Cu telah tertangkap dan dimasukkan kerangkeng dalam
keadaan keracunan hebat. Aku berada di dasar sumur ketika engkau tiba, kemudian
kau menolong dan melarikan kerangkeng itu dan kau dikejar oleh Ketua Lembah
Bunga Hitam dan anak buahnya. Melihat ini, aku lalu muncul dan menyambut
mereka, mencegah mereka melakukan pengejaran terus kepadamu, karena aku hanya mengira
bahwa Nona tentu sudah berhasil menyelamatkan Kok Cu. Siapa tahu bahwa di dalam
goa telah terjadi hal yang amat hebat itu...! Aku baru tahu setelah Kok Cu lari
dari dalam goa itu seperti orang gila saking menyesalnya...”
“Aku tidak
peduli! Di mana dia sekarang? Aku akan membunuhnya, mencincang hancur
tubuhnya!”
“Mana aku
tahu, Nona? Dia telah melarikan diri seperti orang gila, bahkan ketika aku
menjumpainya, dia seperti tidak mengenalku atau tidak mau peduli, terus lari
dengan cepat meninggalkan aku. Mungkin dia ke kota raja karena dia lari ke
selatan...!”
“Aku akan
mengejarnya!” Ceng Ceng berteriak dan cepat dia lari meninggalkan kakek itu
dengan pedang tetap di tangan.
Louw Ki Sun
menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang. Kemudian melangkah
perlahan-lahan, kembali ke arah utara untuk melaporkan kepada majikannya karena
untuk bertindak sendiri terhadap Lembah Bunga Hitam dan Pulau Neraka, dia tidak
mampu.
***************
Kian Lee dan
Kian Bu memasuki warung di dusun itu. Dari penduduk dusun yang mereka lalui
sepanjang perjalanan mereka, benteng Jenderal Kao Liang tidak jauh lagi, berada
di balik bukit yang melintang di depan, di sebelah utara dusun-dusun yang
mereka tanyai tentang benteng itu. Betapa Jenderal Kao amat terkenal dan
dihormati serta dipuji oleh para penduduk dusun. Begitu mendengar bahwa dua
orang pemuda ini mempunyai hubungan dengan Jenderal Kao, sikap mereka menjadi
penuh hormat dan ramah tamah.
“Lee-ko,
wajahmu kembali muram seperti matahari tertutup mendung. Kenapakah, Lee-ko?”
“Bu-te,
harap jangan bergurau,” Kian Lee menegur adiknya.
Kian Bu
menghela napas, namun pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah
kakaknya. Dia terlalu sayang kepada kakaknya ini sehingga setiap perubahan pada
wajah kakaknya tampak jelas olehnya karena perhatiannya tak pernah lengah.
“Lee-ko,
kali ini aku tidak bersendau-gurau. Telah beberapa hari aku melihat perubahan
wajahmu, akan tetapi aku tak menyinggungnya, khawatir kalau hal itu akan
menambah kekeruhan pikiranmu. Tetapi aku tahu bahwa engkau menyusahkan sesuatu.
Alismu selalu berkerut, pandang matamu jauh dan kosong, dan engkau, bahkan
tidak lagi dapat menghadapi sendau-gurauku. Semua ini terjadi semenjak kita
berjumpa dengan Nona di Lembah Bunga Hitam itu.”
“Bu-te...!”
“Sekali lagi
aku tidak bergurau kali ini, Koko. Aku melihat perubahan itu pada wajahmu.”
Kian Lee
menundukkan mukanya dan menarik napas panjang, kemudian berkata lirih, “Memang
benar, Adikku. Aku selalu memikirkan dia karena aku merasa menyesal dan kasihan
sekali kepadanya.”
“Hemm, kita
tidak mengenal dia, Lee-ko. Lagi pula, melihat bahwa dia hadir di tempat
menyeramkan itu, melihat pula betapa dia membunuh orang tanpa berkedip mata,
dia tentulah seorang di antara tokoh-tokoh dunia hitam, seorang wanita sesat
yang berhati kejam...”
“Tidak,
Bu-te. Apakah kau lupa ketika kita bertemu dengan dia di pasar kuda dahulu?
Masih terbayang olehku betapa wajahnya cerah dan sama sekali tidak membayangkan
sinar kejam. Akan tetapi di lembah itu... ahhh, bagaikan bumi dengan langit
bedanya. Inilah yang membuat aku menyesal dan kasihan, Adikku, karena aku dapat
menduga bahwa pasti terjadi sesuatu yang amat hebat dengan dia!”
Hening
sejenak, tiba-tiba Kian Bu memegang lengan kakaknya di atas meja. “Lee-ko,
engkau telah jatuh cinta!”
Kian Lee
merenggut lengannya dan memandang dengan mata terbelalak. “Jangan main gila
kau!” bentaknya lirih.
Kian Bu
menggeleng kepalanya perlahan dan tersenyum. “Tidak, Lee-ko. Akan tetapi kau
pikir saja sendiri. Engkau kenal pun belum dengan gadis itu, tahu namanya pun
belum, akan tetapi engkau sudah menaruh perhatian sedemikian rupa sampai engkau
melamun dan kelihatan muram. Engkau merasa sedih melihat keadaannya, apa lagi
namanya ini kalau bukan jatuh cinta?”
“Jangan
engkau main-main, Bu-te. Terus terang saja aku memang amat tertarik kepada dia,
merasa kasihan sekali kepadanya, akan tetapi hal ini belum berarti bahwa aku
jatuh cinta karena aku sendiri tidak tahu bagaimana rasanya orang jatuh cinta.
Sudahlah, jangan kau menggodaku dengan pembicaraan yang tidak ada gunanya ini.”
Kian Bu
masih tidak mau terima dan hendak membantah, akan tetapi pada saat itu
terdengar suara berisik dan tampak di luar pintu warung itu para penduduk dusun
hilir mudik dan nampak sibuk sekali. Berbondong-bondong penduduk datang
memasuki dusun itu, mungkin dari luar dusun dan wajah mereka rata-rata gembira
seolah-olah mereka sedang menghadapi suatu peristiwa yang menggembirakan.
Ketika
pelayan warung datang menghidangkan bakmi yang mereka pesan, Kian Bu bertanya,
“Twako, apakah ribut-ribut itu? Dan mengapa semua orang keluar ke jalan raya?”
“Ada kabar
gembira, Kongcu (Tuan Muda). Baru saja terdapat berita bahwa rombongan panglima
akan lewat di dusun ini. Tentu saja semua penduduk di sini, bahkan penduduk
dusun-dusun sekitar sini, semua keluar dari rumah untuk menyambut panglima yang
kami cinta dan hormati!”
Dua orang
kakak beradik itu merasa heran mengapa penduduk dusun begitu cinta kepada
seorang panglima pasukan tentara. Biasanya, penduduk hanya mempunyai satu
perasaan saja terhadap pasukan tentara, yaitu perasaan takut dan hormat yang
timbul karena takut. Akan tetapi cinta?
“Apakah
panglima itu baik sekali terhadap penduduk, Twako?” Kian Lee turut bertanya
karena dia pun merasa heran sekali.
“Baik? Aih,
Kongcu, beliau adalah pelindung kami, pelindung rakyat kecil di daerah utara
ini. Kalau tidak ada beliau, entah apa jadinya dengan kami yang setiap hari
selalu diganggu oleh suku bangsa liar dan bahkan oleh tentara sendiri yang
bertugas di perbatasan, yaitu sebelum beliau berada di sini. Sekarang, kami
hidup tenteram dan damai, semua berkat beliau yang bijaksana.”
“Mengangumkan
sekali!” Kian Lee berseru.
“Pernah
dulu, di waktu kami di dusun-dusun kehabisan makanan karena musim kering
terlalu panjang, beliau membagi-bagikan ransum pasukan kepada rakyat sehingga
biar pun pasukannya agak mengurangi makan, akan tetapi rakyat tertolong dari
bahaya kelaparan. Mengingat kebaikannya, di waktu panen yang berhasil baik,
tanpa diminta rakyat sering mengirim hasil bumi ke benteng sehingga selalu
terdapat hubungan baik antara rakyat dan tentara yang dipimpinnya. Memang, di
dunia ini kiranya hanya dapat dihitung dengan jari tangan pembesar sebaik
Jenderal Kao Liang itu.”
“Jenderal
Kao...?” Kian Bu berseru amat kagetnya. Kiranya Jenderal Kao Liang yang
dibicarakan pelayan ini! Dan mereka berdua sedang dalam perjalanan untuk
menemui jenderal itu. “Jadi diakah yang akan disambut oleh rakyat ini?”
“Benar,
kabarnya beliau hendak pergi ke kota raja dan lewat jalan ini.” Pelayan itu
menghentikan kata-katanya dan berlari ke luar karena sudah terdengar suara
riuh-rendah menandakan bahwa rombongan jenderal itu telah memasuki dusun!
“Ah,
bagaimana ini, Lee-ko? Kita mengunjunginya, akan tetapi dia malah akan pergi ke
kota raja!” Kian Bu berkata kepada kakaknya.
“Mari kita
melihatnya, Bu-te, dan tentu saja kita harus memutar haluan pula, kembali ke
kota raja karena kalau dia sudah pergi ke kota raja, surat ini tidak perlu
lagi. Dia tentu akan bertemu pula dengan Enci Milana,” kata Kian Lee tenang.
Keduanya
lalu lari ke luar pula dari warung itu untuk menonton rombongan Jenderal Kao
yang dielu-elukan oleh rakyat di sepanjang tepi jalan. Ketika kedua orang kakak
beradik ini keluar dan berdiri di pinggir jalan bersama-sama para penduduk
dusun yang semua memandang sambil tersenyum ramah dan melambaikan tangan, ada
yang memberi hormat, akan tetapi semua pandang mata menyinarkan kekaguman dan
penghormatan, dengan mudah mereka berdua menduga siapakah di antara rombongan
itu yang bernama Jenderal Kao Liang.
Jenderal
yang tinggi besar, bertubuh tegap kuat seperti seekor singa tua, duduk di atas
kudanya dengan tegak. Jenderal ini diapit oleh dua orang pengawal pribadinya.
Hanya dua orang pengawal pribadi itulah anak buahnya, karena tidak ada pasukan
pengiring yang terdiri dari anak buahnya sendiri. Di belakangnya tampak seorang
pembesar gendut, utusan Kaisar yang ditemani oleh enam orang perwira pengawal
Kaisar sendiri yang berpakaian gemerlapan indah. Setelah ini barulah berbaris
pasukan pengawal Kaisar yang jumlahnya dua losin orang, semua berpakaian
seragam dan naik kuda yang besar-besar.
Tampak
sekali perbedaan pada wajah jenderal yang dicinta rakyat itu dengan wajah para
perwira pengawal Kaisar. Pembesar utusan Kaisar itu bersama enam pengawal
perwira kelihatan berseri-seri wajahnya melihat sambutan penghuni dusun yang
dilewati rombongan mereka. Dengan tersenyum-senyum, kadang-kadang mengerling
penuh gaya kepada wanita-wanita muda yang ikut menyambut, mereka ini mengangkat
dada, mengurut kumis dan menegakkan kepala. Mereka bangga bukan main
menyaksikan penyambutan itu, merasa diri mereka amat ‘penting’ dan menjadi
pusat perhatian dan penyambutan rakyat.
“Lee-ko,
lihat, dia begitu muram...” bisik Kian Bu.
Memang benar
demikian. Berbeda dengan utusan Kaisar dan para perwira pengawal istana yang
menyambut dan membawanya ke kota raja untuk menghadap Kaisar yang memanggilnya,
Jenderal Kao Liang kelihatan muram wajahnya, sama sekali tidak bergembira.
Wajahnya yang gagah dan angker itu bahkan agak pucat, seolah-olah dia
menghadapi hal yang amat tidak menyenangkan hatinya. Dia tidak kelihatan
gembira dan bersemangat seperti biasanya, kini kelihatan lesu dan lemas di atas
kudanya. Untuk sekedar menerima penghormatan rakyat yang sebetulnya semua
ditujukan kepadanya seorang, jenderal ini hanya melambaikan tangan ke kanan dan
kiri.
Memang
Jenderal Kao sedang merasa berduka. Hatinya risau sekali. Dia sedang amat
dibutuhkan di perbatasan untuk mengadakan pembersihan dari pengaruh pemberontak
di dalam pasukan penjaga di perbatasan, dan semua itu harus dihadapinya sendiri
secara langsung karena dia maklum akan bahayanya pengaruh itu.
Dia harus
yakin benar bahwa tidak ada kaki tangan pemberontak Kim Bouw Sin yang
menyelundup, dan dia masih pula sedang merencanakan untuk membawa pemberontak
itu ke kota raja agar diadili di sana di samping membuat laporan lengkap kepada
pemerintah. Namun tiba-tiba Kaisar memerintahkan dia menghadap ke istana dengan
segera dan dia tidak diperkenankan membawa pasukan pengawal, kecuali dua orang pengawal
pribadinya yang juga bertugas sebagai pelayannya itu. Bahkan utusan Kaisar itu
lalu menggunakan kekuasaannya untuk mengangkat seorang panglima di benteng itu
untuk menjadi komandan sementara.
Yang amat
menggelisahkan hati Jenderal Kao sama sekali bukanlah keadaan dirinya sendiri,
melainkan ada dua hal, yaitu pertama-tama Syanti Dewi yang terpaksa harus
ditinggalkannya di benteng, dan kedua adalah Kim Bouw Sin, yang masih menjadi
tahanan. Dia khawatir sekali kalau dia tidak berada di benteng itu, kaki tangan
Kim Bouw Sin akan bergerak dan membebaskan bekas pemberontak itu.
Dia tidak
mempedulikan keadaan dirinya sendiri sungguh pun dia merasa curiga akan
peristiwa panggilan Kaisar ini. Betapa pun juga, ada sedikit cahaya terang
baginya kalau dia mengingat bahwa di kota raja terdapat Perdana Menteri Su dan
Puteri Milana, dua orang tokoh yang ia percaya adalah orang-orang yang setia
kepada negara dan dapat diandalkan untuk menghadapi pihak pemberontak yang dia
sudah tahu, secara rahasia dipimpin oleh dua orang Pangeran Tua Liong.
Kian Lee dan
Kian Bu hendak meninggalkan warung itu setelah membayar, akan tetapi ketika
mereka berdua tiba di pintu warung hampir saja mereka bertabrakan dengan tiga
orang yang baru turun dari atas kuda dan mereka bertiga itu memasuki warung
dengan tergesa-gesa sehingga hampir menabrak dua orang kakak beradik itu. Akan
tetapi, tiga orang itu dapat mengelak dengan gerakan yang gesit, kemudian tanpa
mempedulikan Kian Lee dan Kian Bu, mereka terus memasuki warung.
Gerakan
mereka yang amat gesit itu tentu saja menarik perhatian dua orang pemuda Pulau
Es ini sehingga mereka menengok dan memandang. Tentu saja mereka berdua
terheran-heran melihat betapa tiga orang itu tidak duduk di atas bangku-bangku
warung seperti lajimnya tamu yang hendak makan, melainkan terus menyelonong ke
dalam melalui pintu tembusan kecil. Pelayan yang melihat mereka pun diam saja,
seolah-olah hal itu tidak merupakan hal yang aneh.
Kian Lee dan
Kian Bu saling berpandangan, merasa heran. Akan tetapi karena mereka tidak
mengenal tiga orang itu, mereka tidak mengambil perhatian lagi lalu keluar dari
dalam warung. Baru beberapa langkah mereka meninggalkan pintu warung, kembali
ada dua orang yang sikapnya mencurigakan, dengan gesit telah menyelinap
memasuki warung sambil menoleh ke kanan kiri. Dan ketika Kian Bu yang menaruh
curiga itu memperhatikan, dua orang ini pun terus masuk ke bagian belakang
warung itu seperti halnya tiga orang terdahulu!
“Ehh,
Lee-ko, dua orang itu pun masuk ke dalam!” Kian Bu berbisik sambll menyentuh
lengan kakaknya.
“Biarkanlah,
Bu-te. Kita tidak perlu mencampuri urusan orang. Yang penting kita harus
membayangi rombongan Jenderal Kao,” jawab Kian Lee yang biar pun tertarik nanun
terpaksa menekan perasaannya karena ada tugas yang lebih penting bagi mereka,
yaitu membayangi Jenderal Kao yang kelihatan berduka untuk melindungi sahabat
baik dari kakak mereka itu.
Rombongan
Jenderal Kao yang berkuda itu sudah lewat jauh dan hampir keluar dari dusun
itu, maka dua orang kakak beradik ini tergesa-gesa menyusul. Tentu saja karena
di situ terdapat banyak orang, mereka tidak mau memperlihatkan kepandaian
mereka menggunakan ilmu berlari cepat, hanya berjalan biasa secepatnya agar
tidak menarik perhatian orang.
“Awas,
Bu-te...!” Tiba-tiba Kian Lee berseru ketika dari jalan simpangan ada seorang
penunggang kuda membalapkan kudanya.
Kuda itu
besar dan baik sekali, penunggangnya seorang pemuda tampan yang sikapnya agak
ugal-ugalan sehingga seolah-olah dia tidak peduli bahwa kudanya membalap dan
akan menabrak dua orang pemuda yang sedang berjalan di depan itu.
Tentu saja
mudah sekali bagi Kian Bu dan Kian Lee untuk bergerak ke samping dan
menghindarkan diri ditabrak kuda. Terdengar suara ketawa mengejek dari pemuda
yang menunggang kuda itu, yang ternyata pada saat itu pun sudah berhasil
menyimpangkan kudanya dengan gerakan seorang ahli.
“Jahanam
kau, manusia sombong!” Kian Bu membentak dan sudah mengepal kedua tinjunya
untuk mengejar dan menyerang.
“Sssttt...
jangan layani dia, Bu-te...!” Kian Lee memegang lengan adiknya yang marah-marah
itu. “Tugas kita lebih penting dari pada urusan remeh itu.”
Kian Bu
bersungut-sungut, akan tetapi dia dan kakaknya menjadi makin terheran-heran
melihat betapa pemuda penunggang kuda itu dengan sigapnya meloncat turun dari
atas kudanya di depan warung, kemudian bergegas memasuki warung itu.
“Aihh, ini
terlalu aneh. Pasti ada hubungannya dengan rombongan Jenderal Kao...” Kian Lee
berbisik. “Sebaiknya kita selidiki, akan tetapi harap kau jangan menimbulkan
gara-gara, Bu-te.”
Mereka lalu
menyelinap di antara banyak orang menghampiri warung itu secara diam-diam dari
belakang. Sementara itu, hari pun mulai gelap. Kedua orang kakak beradik itu
menanti sampai keadaan menjadi sunyi, bersembunyi tidak jauh dari warung.
“Kita
terpaksa menanti sampai gelap, Bu-te.”
“Bagaimana
kalau rombongan jenderal itu meninggalkan kita terlampau jauh?”
“Tidak,
mereka tentu akan berhenti di dusun besar selatan yang telah kita lewati pagi
tadi dan akan bermalam di sana. Malam ini kita bisa mengejar dan menyusul
mereka di sana.”
Setelah
suasana menjadi sunyi dan cukup gelap, dua orang kakak beradik ini
berindap-indap menghampiri warung dan akhirnya mereka berhasil mengintai dari
balik jendela di ruangan belakang warung itu. Ternyata bahwa enam orang itu
sedang bercakap-cakap dengan suara perlahan, duduk mengelilingi sebuah meja.
Melihat sikap mereka, jelas bahwa pemuda berkuda yang hampir menabrak mereka
tadi merupakan orang penting, dan agaknya dialah yang memimpin perundingan itu.
Dengan amat hati-hati dan tidak mengeluarkan suara, karena maklum bahwa orang
itu bukanlah orang sembarangan, Kian Lee dan Kian Bu mengintai dan mendengarkan
percakapan mereka.
Dapat
dibayangkan betapa terkejut hati kedua orang kakak beradik ini ketika mendengar
percakapan enam orang itu. Dari percakapan itu mereka mengerti bahwa enam orang
ini adalah kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong dan mereka ini sedang
merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap Jenderal Kao Liang! Juga dari
percakapan mereka, atas penjelasan pemuda tampan yang kudanya hampir menabrak
mereka tadi, Kian Lee dan Kian Bu mendengar betapa panggilan Kaisar terhadap
Jenderal Kao Liang juga diatur oleh Pangeran Liong Bin Ong!
Pangeran ini
membujuk Kaisar untuk memanggil dan memeriksa Jenderal Kao, karena menurut
Pangeran Liong Bin Ong, Jenderal Kao kini telah menguasai seluruh pasukan inti,
maka menjadi amat berbahaya. Buktinya, jenderal itu sudah sering kali mengambil
langkah-langkah pengamanan tanpa melapor ke kota raja lebih dulu sehingga
seluruh kekuasaan atas semua pasukan boleh dibilang berada di tangannya.
Kalau orang
seperti itu sampai memberontak, tentu sukar untuk dibendung, demikian alasan
Pangeran Liong kepada Kaisar sehingga Kaisar merasa khawatir juga, maka lalu
mengutus pembesar memanggil Jenderal Kao ke kota raja. Kesempatan ini digunakan
oleh Pangeran Liong Bin Ong yang maklum akan kekuatan pasukan pengawal yang
menjemput Jenderal Kao untuk menyiapkan keenam orang itu sebagai penculik dan
pembunuh!
“Akan
tetapi, Ang-taihiap!” seorang di antara mereka membantah kepada pemuda tampan
itu. “Dia dikawal oleh dua losin orang pengawal Kaisar, enam orang perwira
pengawal, dan jenderal itu sendiri kabarnya memiliki kepandaian tinggi, belum
lagi dua orang pengawal pribadinya...”
“Apakah
engkau takut?!” tiba-tiba pemuda itu membentak.
Kian Lee
bersama adiknya terkejut. Pemuda itu tadinya bersikap halus, tetapi ketika
membentak, suaranya mengandung getaran yang amat kuat dan orang itu pun gemetar
ketakutan.
“Tidak...
tidak, Taihiap... hanya saya ingin berhati-hati agar jangan sampai gagal...”
“Hmm, kau
kira kami begitu bodoh dan ceroboh? Selain kita berenam, masih ada Siang Lo-mo
dan teman-temannya yang akan muncul di hutan itu. Mereka sudah menanti di sana.
Tentang Jenderal Kao, serahkan saja kepadaku.”
“Jadi kita
besok pagi-pagi mengejar dan membayangi dari belakang, setibanya di hutan di
lereng bukit di selatan itu kita serbu...”
“Kalian
bantu Siang Lo-mo dan teman-temannya menghadapi yang lain, sedangkan Jenderal
Kao aku sendiri yang akan menghadapinya. Mengerti?” Pemuda yang disebut
Ang-taihiap (Pendekar Besar she Ang) itu berkata lagi.
Kian Lee dan
Kian Bu dengan hati-hati mundur menjauhkan diri dari rumah makan. Kian Lee
sengaja mengajak adiknya pergi karena dia maklum akan watak adiknya yang keras.
Tadi sudah dilihatnya wajah adiknya berubah merah. Setelah agak jauh, Kian Bu
benar saja memprotes.
“Lee-ko!
Sudah jelas persekutuan busuk itu hendak berbuat jahat, mengapa tidak kita
basmi sekarang saja?”
“Sssttt,
Bu-te. Urusan ini bukanlah urusan pribadi, tetapi urusan kerajaan yang terancam
pemberontakan. Mereka belum melakukan apa-apa, bagaimana kita bisa menentang
mereka? Buktinya belum ada, maka sebaiknya kita sekarang menyusul rombongan
Jenderal Kao dan melindunginya. Kalau besok di hutan itu mereka turun tangan,
barulah kita menghadapi mereka.”
Kian Bu
mengangguk-angguk. “Kau benar, Lee-ko. Juga aku ingin bertemu lagi dengan Siang
Lo-mo, musuh besar kita itu. Dahulu di Pulau Es aku belum sempat menampar
kepala botak mereka dan sekarang terbuka kesempatan baik!”
“Bu-te,
kuharap engkau berhati-hati dan jangan memandang rendah lawan. Siang Lo-mo yang
telah berani menyerbu Pulau Es bukanlah lawan ringan, dan kulihat pemuda yang
she Ang itu pun bukan orang sembarangan. Engkau tentu mendengar kekuatan
suaranya tadi.”
Kian Bu
mengangguk dan kelihatan gemas. “Orangnya muda, tampan dan gagah, akan tetapi
sudah menjadi kaki tangan pemberontak. Dan dia tadi hampir saja menubrukku
dengan kuda. Awas dia, besok aku akan membikin perhitungan!”
Kakak
beradik itu lalu meninggalkan dusun dan melakukan perjalanan cepat sekali
mengejar rombongan Jenderal Kao Liang. Tepat seperti yang diduga oleh Kian Lee,
rombongan itu sedang bermalam di dusun besar, di tempat kepala dusun sendiri
yang menyambut Jenderal Kao dengan penuh penghormatan.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment