Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 13
Pemuda itu
usianya tentu sudah dua puluh tahun lewat, wajahnya yang berkulit putih itu
bentuknya tampan sekali, dan ada keagungan dalam sikapnya. Wajah itu agak
bundar, dengan alis hitam tebal dan hidung mancung. Sepasang matanya
bersinar-sinar penuh gairah hidup, dan mulutnya selalu tersenyum. Bentuk
tubuhnya sedang dengan sikap seorang yang berhati tabah dan merasa lebih tinggi
dari pada orang lain. Pakaiannya serba indah, sungguh pun bentuknya sederhana.
“Paman Chi,
siapakah Nona ini?” Suaranya halus sekali saat iia mengajukan pertanyaan ini
dan dari sikapnya yang agak membungkuk dan pandang matanya, jelas bahwa dia
terheran akan tetapi juga menghormat, sehingga Ceng Ceng juga segera menjura
dengan hormat mengingat bahwa pemuda tampan ini adalah seorang pangeran!
Ceng Ceng
tidak menanti perwira itu menjawab karena dia maklum bahwa perwira itu tentu
saja juga tidak mengenalnya, maka dengan singkat dia berkata, “Apakah Paduka
seorang pangeran?”
Pangeran
Yung Hwa tersenyum dan Ceng Ceng memandang kagum. Begitu tersenyum pemuda ini
kelihatan makin tampan dengan deretan giginya yang putih seperti mutiara.
“Benar, Nona. Aku adalah Pangeran Yung Hwa, dan baru kepadamulah aku berterus
terang.”
“Saya
bernama Lu Ceng, dan tadi saya melihat ada tujuh orang yang mengurung rumah
ini. Saya mendengar percakapan mereka bahwa mereka akan menyerbu dan menangkap
paduka, oleh karena itu saya sengaja datang untuk melindungi paduka.”
Perwira itu
kelihatan terkejut, mengeluarkan suara perlahan di tenggorokannya dan mencabut
pedang dari pinggangnya. Mukanya menjadi pucat dan matanya memandang ke kanan
kiri.
Akan tetapi
Pangeran Yung Hwa tenang saja, senyumnya tidak pernah meninggalkan wajahnya
yang tampan. “Tenanglah, Paman Chi. Nona Lu, kalau boleh aku bertanya, mengapa
Nona menempuh bahaya dan bagaimana pula Nona akan melindungi aku?”
“Mendengar
bahwa paduka adalah seorang Pangeran yang terancam bahaya, sudah semestinya
kalau saya berusaha melindungi dan biar pun sedikit, saya pernah belajar ilmu
dan tidak takut menghadapi tujuh orang itu.”
“Ah, kiranya
Nona adalah seorang pendekar wanita!” Pangeran itu memandang dengan wajah
berseri dan mata bersinar. “Masih begini muda..., betapa mengagumkan! Akan
tetapi... sebaiknya kalau Nona cepat pergi dari sini. Nona masih amat muda,
jika dalam melindungiku sampai Nona tertimpa bencana, aku Yung Hwa selama
hidupku akan menyesal.”
Ceng Ceng
memandang sejenak dan ada perasaan lembut mengelus perasaannya. Pemuda
bangsawan ini benar-benar seorang pemuda yang selain tampan dan halus, juga
amat berbudi, tidak mengingat diri sendiri saja. Betapa jauh bedanya kalau
dibandingkan dengan pemuda-pemuda nakal dan ceriwis yang dijumpainya tiga kali,
pertama kali di pasar kuda, kedua kalinya ketika dia terkurung oleh banyak
pengeroyok di Lembah Bunga Hitam dan mereka berdua membantunya, ketiga kalinya
ketika dia melihat mereka mengejarnya di rumah Jenderal Kao.
Lebih jauh
lagi bedanya kalau dibandingkan dengan Ang Tek Hoat, pemuda jahat yang menjadi
kaki tangan pemberontak itu! Dan makin jauh lagi kalau dibandingkan dengan
pemuda laknat, pemuda tinggi besar yang telah memperkosanya!
“Harap
paduka jangan khawatir, dan sebaiknya Paduka bersembunyi di kamar ini saja.
Paman, harap Paman menjaga beliau dan keluarga Paman juga sebaiknya dikumpulkan
semua di kamar ini. Biar aku sendiri yang menghadapi kalau mereka berani
masuk!” Sambil berkata demikian, Ceng Ceng mencabut pedangnya.
“Singgg...!”
Perwira Chi
berseru kaget melihat berkelebatnya sebatang pedang yang sinarnya begitu
menyilaukan mata dan yang mengandung hawa dingin menyeramkan.
“Lu-siocia
(Nona Lu)...!” Pangeran Yung Hwa berkata. “Sekali lagi kumohon kepadamu, jangan
mempertaruhkan nyawa demi aku. Aku adalah seorang laki-laki dan sudah biasa
akhir-akhir ini menghadapi ancaman bahaya. Akan tetapi kau... tidak boleh
engkau menghadapi bahaya maut untukku, Nona!”
“Awas...!
Trang-cring-cring-cring...!”
Pedang di
tangan Ceng Ceng berkelebatan dan membentuk sinar bergulung-gulung ketika
menangkis datangnya puluhan batang senjata rahasia yang menyambar-nyambar dari
atas genteng di empat penjuru.
“Kau hebat,
Nona... tapi aku tetap saja khawatir...,” Pangeran Yung Hwa memuji ketika
menyaksikan kelihaian Ceng Ceng.
Tetapi
Perwira Chi yang sudah datang bersama anak isterinya dan dua orang pelayan,
mendesaknya agar memasuki ruangan dalam yang tidak berjendela sehingga tidak
dapat diserang dari luar. Kemudian dia menutupkan pintu ruangan itu dan
meloncat keluar dengan pedang di tangan, berdiri di dekat Ceng Ceng sambil
berkata, “Terima kasih, Lihiap. Saya bersedia membantumu dan melindungi Beliau
dengan taruhan nyawa.”
Namun
diam-diam Ceng Ceng merasa khawatir sekali. Tadi ketika dia menggunakan pedang
menangkis, lengan kanannya sampai tergetar hebat, tanda bahwa para musuh yang
melepas senjata rahasia itu memiliki tenaga yang amat kuat! Kalau tujuh orang
yang pandai itu semua menyerbu ke tempat yang sempit ini, terpaksa dia harus
menggunakan racun, dan hal ini bahkan akan membahayakan perwira ini, mungkin
juga membahayakan Pangeran dan keluarga Perwira Chi.
“Paman,
harap Paman masuk saja ke dalam ruangan dan menjaga mereka di dalam, dan jangan
Paman atau siapa saja keluar karena di depan pintu ruangan ini akan kusebari
racun agar tidak ada yang dapat masuk. Percayalah kepadaku!”
Perwira itu
membelalakkan mata. Dia maklum bahwa dara yang muda ini tentu memiliki
kepandaian tinggi, dan memang hatinya akan lebih tenang kalau dia menjaga
Pangeran dan keluarganya di bawah matanya sendiri, maka dia mengangguk dan
membuka pintu, lalu meloncat ke dalam dan menutupkan pintunya kembali.
Ketika pintu
terbuka sebentar itu, Ceng Ceng melihat betapa Pangeran Yung Hwa duduk dengan
tenang dan tersenyum lalu mengangguk kepadanya. Hati dara ini makin kagum.
Dalam keadaan menegangkan seperti itu, Pangeran itu kelihatan tenang saja.
Sungguh sikap yang luar biasa gagahnya bagi seorang pangeran yang lemah.
Setelah
Perwira Chi memasuki ruangan itu dan menutupkan satu-satunya pintu ruangan itu,
Ceng Ceng lalu mengeluarkan bubuk racun berwarna putih dari saku bajunya. Bubuk
racun itu tinggal sedikit, dan sisa ini ditaburkan semua di depan pintu
ruangan, dari pintu sampai dua meter jauhnya sehingga siapa pun yang akan
memasuki ruangan melalui pintu itu tentu akan menginjak bubuk racun yang telah
ditaburkannya dan tidak tampak itu. Kemudian Ceng Ceng lalu meloncat keluar dan
langsung dia melayang ke atas genteng.
Baru saja
tubuhnya mencelat dan hinggap di atas genteng, dari empat penjuru dia diserang
oleh tujuh orang kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong itu. Ceng Ceng yang sudah
siap, tidak menjadi gentar dan cepat dia memutar pedang Ban-tok-kiam untuk
melindungi tubuhnya sedangkan tangan kirinya menyebarkan bubuk racun merah yang
juga tinggal tersisa sedikit dan tadi sudah dipersiapkannya. Bubuk racun merah ini
merupakan racun yang memabokkan dengan keharumannya yang luar biasa, dan
sungguh pun lawan tidak akan tewas oleh racun ini, akan tetapi yang mencium
baunya tentu akan roboh dan lemas, pening dan tidak dapat bertanding lagi.
“Awas
racun...!” Seorang di antara tujuh lawan itu berseru nyaring dan cepat meloncat
mundur.
Kawan-kawannya
juga meloncat mundur, namun seorang di antara mereka terhuyung dan roboh di
atas genteng, setengah pingsan karena dia telah mencium racun itu! Enam orang
yang lain, seorang di antara mereka berpakaian perwira menjadi marah dan
menyerbu lagi setelah mereka menutup hidung mereka dengan kapas yang sudah
dicelup obat penawar.
Melihat ini,
Ceng Ceng makin khawatir. Kiranya mereka itu pun merupakan orang-orang lihai
yang mengerti sedikit banyak tentang racun. Dan kini Ceng Ceng terdesak hebat.
Biar pun dia sudah memutar pedang Ban-tok-kiam sekuatnya dan secepatnya, namun
senjata pedang dan golok itu menekan berat sekali. Dalam belasan jurus saja dia
sudah mandi keringat. Celakanya, dorongan pukulan tangan beracun dari tangan
kirinya agaknya kurang kuat bagi enam orang lawan ini yang menangkis dengan
hawa pukulan sinkang dari jauh sehingga tidak pernah bersentuhan tangan.
“Mampuslah...!”
Ceng Ceng membentak marah.
Pedangnya
menusuk tiga kali yang merupakan serangkaian serangan ke arah tiga orang lawan,
sedangkan kepalanya bergerak ke kanan kiri, dan dari mulutnya yang manis
bentuknya itu meluncur air ludah yang beracun ke arah tiga orang lawan yang
lain!
“Aduhhh...!”
Seorang di
antara mereka, yang memandang rendah serangan ludah itu, dengan tepat terkena
percikan ludah di lehernya dan dia berteriak-teriak sambil memegangi lehernya
yang seperti dibakar rasanya, lalu bergulingan roboh di atas genteng, tidak
dapat bertanding lagi. Akan tetapi pada saat itu, sebuah tendangan kilat
mengenal pinggul Ceng Ceng.
Dara ini
mengeluh, terhuyung dan hanya berkat kecepatan gerak pedangnya saja yang
diputar melindungi diri maka dia terhindar dari bahaya maut ketika kelima orang
itu menerjang secara berbareng ketika dara itu terhuyung.
“Trang-cring-cring-cring...!”
Ceng Ceng
bergulingan di atas genteng sambil menggerakkan pedang Ban-tok-kiam menangkisi
pedang dan golok yang terus mengejarnya. Banyak genteng yang pecah oleh
gerakannya ini dan tubuhnya terus bergulingan karena lima orang lawannya tidak
memberi kesempatan kepadanya untuk loncat berdiri. Dia terdesak benar-benar
sampai bergulingan ke pinggir atas dan nyaris terjatuh ke bawah. Terpaksa dia
menghentikan gerakannya dan terus menangkisi pedang dan golok yang bertubi-tubi
menyerangnya.
Lima orang
itu bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah pengawal-pengawal kelas
satu yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, maka tentu saja mereka
memiliki kepandaian yang tinggi. Selain itu, juga mereka telah berpengalaman di
dunia kang-ouw, maklum bahwa gadis yang dikeroyoknya itu biar pun ilmu silatnya
tidak terlalu hebat, namun memiliki kepandaian tentang racun yang mengerikan.
Karena inilah mereka tidak berani sembarangan menggunakan tangan kiri menyerang
agar tubuh mereka tidak bersentuhan dengan gadis beracun itu, melainkan
menggunakan pedang atau golok mereka untuk menyerang. Tendangan tadi yang
mengenai pinggang Ceng Ceng, tentu akan mencelakakan yang menendang kalau saja
dia tidak memakai sepatu kulit tebal.
“Wuuuutt-plak-plak-plak!”
Lima orang
itu terkejut sekali, terhuyung ke belakang karena sambaran angin dorongan yang
amat kuat. Ketika melihat bahwa yang mendorong mereka itu adalah seorang
laki-laki tinggi besar yang bermuka buruk sekali, mereka terkejut dan maklumlah
mereka bahwa orang ini memiliki sinkang yang amat hebat. Maka mereka lalu
berpencar, ada yang meloncat ke atas wuwungan yang lebih tinggi untuk
bersiap-siap dengan senjata rahasia mereka. Ceng Ceng sendiri terkejut dan
cepat bangkit, menggigit bibir karena pinggangnya terasa nyeri.
Pada saat
itu, laki-laki tinggi besar bermuka buruk itu membuka mulut, mengeluarkan
teriakan melengking yang amat dahsyat, teriakan yang seolah-olah membuat semua
atap di sekitar tempat itu tergetar, genteng-genteng banyak yang merosot dan
lima orang pengeroyok itu mengeluh, senjata mereka terlepas dan tubuh mereka
terguling di atas genteng dalam keadaan pingsan! Ceng Ceng sendiri merasa
betapa tubuhnya seperti kemasukan tenaga yang dahsyat, telinganya seperti akan
pecah rasanya, dan dia terhuyung-huyung.
Akan tetapi
tiba-tiba sebuah tangan yang besar menepuk punggungnya dan dia sadar kembali,
memandang laki-laki tinggi besar itu dengan penuh kagum dan juga seram. Wajah
orang ini sungguh buruk dan menakutkan. Kulit mukanya kasar seperti kulit
punggung buaya, agak hitam kemerahan, mulutnya yang lebar seperti tidak pernah
tertutup, hidungnya besar bengkok dan matanya besar sebelah, rambutnya
riap-riapan dan panjang sedangkan sepasang mata yang besar sebelah itu
mengeluarkan sinar yang aneh. Sungguh wajah yang menakutkan seperti wajah setan
dalam dongeng!
“Kau
pergilah, kenekatanmu tadi berbahaya...” Orang itu berkata dan Ceng Ceng makin
terheran-heran. Mukanya begitu buruk menakutkan, akan tetapi suaranya halus dan
kepandaiannya luar biasa tingginya.
Sejenak Ceng
Ceng termangu, kemudian secara tiba-tiba dia menggerakkan pedangnya menyerang.
Serangan kilat ini dilakukan dengan dahsyat karena mereka berdiri saling
berhadapan dalam jarak dekat. Ban-tok-kiam meluncur ke arah dada orang tinggi besar
itu dan agaknya tidak ada jalan lagi bagi orang tinggi besar untuk dapat
meinghindarkan diri dari bahaya maut ini, apa lagi karena tangan kiri Ceng Ceng
yang mengerahkan tenaga beracun mencengkeram ke arah perut dan kepalanya
digerakkan sedemikian rupa sehingga rambutnya juga menyambar ke arah kedua mata
lawan. Benar-benar serangan tiba-tiba yang amat berbahaya.
“Ahhh...!”
Laki-laki bermuka buruk mengeluarkan seruan kaget, dan hanya mengangkat tangan
kirinya ke depan dan menyambar pedang itu dari samping dan membiarkan rambut
dan tangan kiri Ceng Ceng mengenai sasaran.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan heran hati dara ini ketika tangan kirinya bertemu
dengan perut yang keras seperti baja, membuat jari-jari tangannya tidak dapat
mencengkeram bahkan terasa nyeri, sedangkan rambutnya yang menyambar mata itu
tiba-tiba membuyar ditiup oleh mulut Si Buruk Rupa, dan pedangnya ditangkap
oleh tangan lawan!
Pedangnya,
Ban-tok-kiam yang ampuh, yang mengandung racun mukjijat, ditangkap oleh tangan
begitu saja seolah-olah hanya sebatang pedang kayu yang sama sekali tidak
berbahaya! Dia mengerahkan tenaga membetot, akan tetapi sia-sia, bahkan ketika
laki-laki itu menggerakkan tangan, dia tidak mampu mempertahankan dan pedangnya
terlepas, lalu dilempar di atas genteng oleh laki-laki itu.
“Apakah kau
sudah gila?” laki-laki itu menegur.
Ceng Ceng
segera menjatuhkan dirinya berlutut dan laki-laki itu mendengus heran. “Memang
kusengaja untuk menguji kepandaianmu In-kong, aku mohon kepadamu agar kau suka
menerimaku sebagai murid!”
Mata yang
besar sebelah itu berkedip-kedip penuh keheranan. “Kau... kau seorang yang
aneh, Nona. Selamat tinggal...” Dia membalikkan tubuh membelakangi Ceng Ceng
yang masih berlutut.
“In-kong...!
Jangan pergi dulu,” Ceng Ceng berseru.
Laki-laki
itu berdiri di wuwungan, membelakangi Ceng Ceng dan bersedakap.
“Mau bicara
apa lagi?” terdengar suaranya yang halus.
“In-kong,
aku ingin sekali menjadi muridmu, belajar ilmu yang tinggi untuk kupergunakan
membalas dendamku kepada seorang pemuda laknat yang amat lihai dan selamanya
aku tidak akan melupakan budimu... In-kong...!”
Akan tetapi,
Ceng Ceng hanya dapat bangkit berdiri dengan muka pucat dan hati yang kecewa
sekali karena selagi dia bicara tadi, laki-laki bermuka buruk itu telah
berkelebat dan lenyap, meninggalkannya tanpa menjawab sedikit pun juga. Dengan
kekecewaan hebat Ceng Ceng memungut pedangnya, lalu melayang turun setelah
melihat bahwa tujuh orang itu masih rebah malang melintang dengan pingsan di
atas genteng.
Ketika dia
memasuki rumah dan menghampiri pintu ruangan di mana Pangeran Yung Hwa dan
sekeluarga Perwira Chi bersembunyi, tiba-tiba pintu itu terbuka dan Pangeran
Yung Hwa muncul, memandang kepadanya dengan wajah girang sekali sambil berkata,
“Ah, syukur kepada Thian bahwa kau selamat, Nona...!”
“Haiiii,
jangan keluar...!” Ceng Ceng berteriak kaget ketika melihat Pangeran itu hendak
melangkah keluar.
Seruannya
terlambat, maka dia cepat meloncat seperti seekor burung walet, langsung
menubruk, kemudian merangkul tubuh Pangeran itu yang sudah melangkahkan kakinya
hingga mereka berdua terlempar kembali ke dalam ruangan, bergulingan seperti
saling berpelukan!
Dengan kedua
dengan masih memeluknya, Pangeran Yung Hwa membuka matanya dan memandang
terheran-heran. Ketika Ceng Ceng meronta dia lalu melepaskan kedua lengannya.
“Ah maaf...!” Muka Pangeran itu menjadi merah sekali. Bersama Ceng Ceng dia
bangkit berdiri, melihat dara itu mengebut-ngebutkan pakaiannya.
“Akan
tetapi, mengapa Nona...?”
“Pangeran,
di luar pintu itu tadi sudah kusebarkan racun untuk menghalangi orang luar
memasuki ruangan ini, dan hampir saja engkaulah yang menjadi korban!” Ceng Ceng
mengomel, lupa bahwa dia bicara dengan seorang putera Kaisar sehingga seenaknya
saja dia menyebut ‘engkau’!
Sepasang
mata yang indah dari pangeran itu terbelalak. “Aihhh... kiranya baru saja kau
kembali setelah menyelamatkan nyawaku, Nona Lu!” Dia memandang ke atas lalu
bertanya, “Bagaimana dengan mereka?”
“Semua
pingsan,” jawab Ceng Ceng sederhana.
“Ahhh,
sungguh hebat! Bagaimana aku dapat membalas budimu, Nona Lu?” Yung Hwa berkata
lagi sambil menjura.
“Lihiap,
bagaimana baiknya sekarang?” Perwira Chi yang wajahnya masih pucat itu
tiba-tiba bertanya.
“Kalian
semua harus cepat pergi dari sini, kalau tidak, berbahaya sekali,” jawab Ceng
Ceng.
“Mari kalian
semua ikut dengan aku!” Yung Hwa berkata. “Malam ini juga kita harus masuk ke
istana, barulah aman.”
“Akan
tetapi...,” perwira itu meragu.
“Beliau
berkata benar,” Ceng Ceng memotong. “Memang sebaiknya kalau sekarang juga
kalian semua menyelamatkan diri ke dalam istana. Kiranya tidak akan sukar bagi
Pangeran Yung Hwa untuk memasuki istana.”
“Akan tetapi
kalau ada pencegatan di tengah jalan?” Perwira Chi masih meragu.
“Aku akan
mengawal,” Ceng Ceng menjawab.
“Ah, budimu
makin bertumpuk, Nona Lu!” Pangeran Yung Hwa berseru terharu, akan tetapi Ceng
Ceng cepat membuka pintu dan membersihkan racun dari lantai di depan pintu.
“Aku tidak
yakin apakah sudah bersih betul, sebaiknya kau bawa keluargamu meloncat sampai
dua meter lebih dari pintu, Chi-ciangkun (Perwira Chi)!” Ceng Ceng berkata.
Perwira itu
mengangguk, segera memondong isteri dan anak-anaknya bergantian dan membawa
mereka meloncat.
“Maukah
engkau membantu aku, Nona?” Yung Hwa berkata, matanya memandang tajam penuh
harapan dan penuh selidik.
Wajah Ceng
Ceng menjadi merah, akan tetapi dengan sederhana dia mengangguk dan
mengeluarkan tangannya. “Kau berpeganganlah pada tanganku, Pangeran!”
Setelah
mereka saling berpegang tangan, Ceng Ceng meloncat dan menarik tubuh pangeran
itu ke atas bersamanya.
“Ahhh...!”
Pangeran Yung Hwa memuji dengan kagum dan agaknya dia lupa bahwa dia masih
memegang tangan yang berkulit halus itu, sampai Ceng Ceng dengan halus menarik
tangannya.
“Mari kita
berangkat dan kalau ada pencegatan di jalan, biarkan aku yang menghadapi
mereka, akan tetapi lanjutkan perjalanan kalian ke istana,” Ceng Ceng memesan
dan berangkatlah mereka semua meninggalkan rumah Perwira Chi menuju ke istana.
Di sepanjang
jalan, Pangeran Yung Hwa kelihatan tenang saja, tidak seperti Perwira Chi
sekeluarganya yang nampak gugup dan tegang, tiada hentinya memuji-muji
kelihaian Ceng Ceng.
Tidak ada
halangan sesuatu di jalan sampai mereka tiba di pintu gerbang istana yang
terjaga ketat oleh sepasukan pengawal istana. Ketika mereka melihat Pangeran
Yung Hwa yang mengepalai rombongan kecil itu, tentu saja mereka mengenalnya dan
cepat memberi hormat kepada pangeran yang mereka kenal sebagai seorang pangeran
yang baik budi dan halus itu.
“Mereka ini
adalah tamuku dan malam ini kami perlu sekali menghadap ibuku di istana,” kata
Pangeran Yung Hwa kepada para penjaga yang tidak berani melarang.
“Kalau
begitu, kita berpisah di sini,” kata Ceng Ceng. “Selamat berpisah, Pangeran dan
Chi-ciangkun.”
“Ehh,
ehhh... kau juga harus ikut dengan kami memasuki istana, Lu-siocia!” pangeran
itu berseru.
“Harus...?”
Ceng Ceng memandang dengan sikap angkuh, matanya seolah-olah hendak mengatakan
bahwa tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang mengharuskannya berbuat
sesuatu!
“Ehhh,
maksudku...” Pangeran Yung Hwa mendekati nona itu dan berbisik, “Harap Nona
mengawal kami sampai kami aman berada di tempat tinggal ibuku. Di dalam istana
itu banyak kaki tangan pemberontak.”
Mendengar
ini, Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Memang kalau dia lepaskan mereka di situ
kemudian mereka itu tetap saja terjatuh ke tangan musuh yang tentu menyebar
anak buahnya di dalam lingkungan istana, akan sia-sialah semua pertolongannya.
“Baiklah...!”
katanya dan wajah pangeran itu menjadi berseri, jelas bahwa dia merasa girang
sekali.
Karena
pangeran itu merupakan seorang tokoh istana yang amat dikenal dan disuka oleh
para penjaga, maka mereka tidak menemui halangan. Bahkan semua penjaga yang
melihat pangeran ini menjadi girang sekali. Tersiar luas bahwa Pangeran Yung
Hwa melarikan diri karena kecewa tidak diperkenankan menikah dengan Puteri
Bhutan, dan kini agaknya pangeran itu sudah dingin hatinya dan mau pulang, maka
tentu saja para penjaga ikut merasa girang.
Agaknya biar
pun di lingkungan bangunan istana itu terdapat banyak kaki tangan Liong Bin
Ong, namun pangeran ini belum begitu gila untuk berani turun tangan di
lingkungan istana, karena hal ini akan berbahaya sekali bagi dirinya sendiri.
Maka Pangeran Yung Hwa dan rombongannya dapat tiba di tempat ibunya dengan
selamat tanpa halangan.
Ibu pangeran
itu, seorang wanita setengah tua, selir Kaisar yang masih kelihatan cantik
jelita, menyambut puteranya dengan cucuran air mata saking girangnya. Pertemuan
mengharukan antara ibu dan anak mendatangkan rasa haru pula di hati Ceng Ceng.
“Ahhh, Ibu,
saya sampai lupa. Ini adalah Nona Lu Ceng, seorang pendekar wanita yang telah
berkali-kali menyelamatkan nyawa puteramu.”
Selir kaisar
itu mengangkat muka memandang, dan kemudian tersenyum ramah sambil menghapus
air matanya. Ceng Ceng cepat menjura dengan hormat, lalu berkata, “Saya tidak
berani mengganggu lebih lama lagi, perkenankan saya pergi.”
“Ehh, nanti
dulu, Nona Lu. Mana mungkin malam-malam begini membiarkan aku pergi? Kau bermalam
saja di sini, besok pagi masih belum terlambat untuk pergi.” Pangeran itu
berkata dan ibunya juga menahan sambil melangkah maju dan memegang tangan Ceng
Ceng.
Dara ini
merasa bingung dan sungkan, akan tetapi sikap selir kaisar yang halus dan ramah
itu membuat dia tidak berani menolak lagi. Dia lalu diantar ke sebuah kamar dan
dipersilakan mengaso, dilayani oleh seorang pelayan wanita. Juga perwira Chi
dan keluarganya sudah diberi tempat untuk mengaso dan tidur, sedangkan Pangeran
Yung Hwa dan ibunya bercakap-cakap sampai jauh malam.
Pada
keesokan harinya pagi-pagi sekali Ceng Ceng sudah bangun dan mandi di dalam
kamar mandi yang serba mewah dan indah. Kemudian dia memasuki taman di samping
kamarnya untuk menanti munculnya Pangeran Yung Hwa karena dia ingin segera
pergi dari tempat itu. Akan tetapi baru saja dia memasuki taman, tampak
pangeran itu sudah bangkit dari sebuah bangku menyambutnya.
“Selamat
pagi, Lu-siocia. Kuharap Nona dapat beristirahat dengan cukup semalam.”
“Ah, terima
kasih, Pangeran. Kebetulan sekali karena memang saya ingin mohon diri dari
sini.”
“Duduklah
dulu, Nona Lu Ceng. Duduklah di bangku sini, karena ada sesuatu yang ingin
kusampaikan kepadamu.”
Terpaksa
Ceng Ceng duduk di bangku berhadapan dengan pangeran itu karena melihat sikap
pangeran itu yang sungguh-sungguh.
“Biar pun
baru saja aku berjumpa denganmu, Nona, akan tetapi ada perasaan aneh di hatiku
bahwa kita telah menjadi sahabat yang tidak perlu menyimpan rahasia lagi.
Karena itu aku ingin menceritakan kepadamu mengapa aku sebagai seorang pangeran
kau dapatkan bersembunyi di dalam rumah perwira Chi dan mengapa pula ada
usaha-usaha dari luar untuk menangkap atau membunuh aku.”
Ceng Ceng
selanjutnya tidak ingin mencampuri urusan pangeran itu, juga tidak ingin
mendengarkan ceritanya, akan tetapi mengingat akan sikap halus ibu pangeran ini
dan akan keramahan Si Pangeran sendiri, juga karena dia merasa kagum dan
tertarik kepada pangeran yang tampan dan halus bersikap sederhana, tidak angkuh
seperti biasanya kaum bangsawan, merasa tidak tega untuk menolak sehingga dia
hanya dapat mengangguk.
“Mula-mula
adalah kesalahanku sendiri. Aku tergila-gila kepada Syanti Dewi, Puteri
Bhutan... eh, kau kenapa?” Pangeran yang sambil bercerita selalu menatap wajah
Ceng Ceng melihat betapa tiba-tiba dara itu membelalakkan matanya dan wajah
yang tadinya diam dan dingin itu seperti mengeluarkan cahaya dan kedua pipinya
kemerahan.
Namun Ceng
Ceng segera dapat menguasai hatinya yang tadi terkejut mendengar pangeran itu
terang-terangan menyatakan tergila-gila kepada kakak angkatnya, Syanti Dewi.
“Tidak apa-apa, lanjutkanlah...,” jawabnya.
“Akan tetapi
ayahku, Sri Baginda Kaisar menolak permintaanku untuk dilamarkan puteri itu,
bahkan menjodohkan puteri Bhutan itu dengan Paman Pangeran Liong Khi Ong yang
sudah setengah abad usianya demi politik. Hatiku sakit dan aku lalu kabur dari
istana, melarikan diri. Sikapku membikin marah Paman Pangeran Liong Khi Ong dan
Liong Bin Ong, aku dikejar-kejar dan nyaris tewas. Aku dilindungi dan
disembunyikan oleh pamanku, saudara ibuku di luar kota raja dan di situ aku
mendengar akan rencana pemberontakan yang diatur oleh kedua orang paman
Pangeran Liong itu. Bahkan pencegatan rombongan Puteri Syanti Dewi yang
diboyong itu pun kabarnya dilakukan oleh sekutu para pemberontak. Maka aku lalu
kembali ke Istana, akan tetapi di tengah jalan aku terlihat oleh kaki tangan
pemberontak dan tentu aku sekarang telah tewas kalau tidak ada engkau yang
muncul dan menyelamatkan nyawaku, Nona Lu Ceng!”
“Sudahlah,
Pangeran. Hal itu tidak perlu dibicarakan lagi. Kakek adalah seorang bekas
pengawal dahulu, maka sudah sepatutnya kalau aku melindungi seorang pangeran
yang terancam bahaya oleh orang-orang jahat yang memberontak. Sekarang ijinkan
aku memohon diri untuk melanjutkan perjalananku.” Ceng Ceng bangkit berdiri.
“Engkau
hendak ke manakah, Nona Lu?”
Ceng Ceng
termenung. Dia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Akan tetapi segera
terbayang olehnya pemuda tingi besar yang memperkosanya, pemuda laknat yang
menjadi musuh besarnya, “Aku... aku mencari seseorang...”
“Keluargamu?”
“Bukan...”
“Sahabatmu...?”
“Bukan!”
“Habis
siapakah dia? Biarlah aku akan membantumu dan menyuruh para pengawal
mencarinya.”
“Terima
kasih, Pangeran. Ini urusan pribadi. Aku akan pergi sekarang...”
Ceng Ceng
sudah melangkah hendak pergi, akan tetapi pangeran itu bangkit berdiri dan
berkata, “Nanti dulu, Nona Lu!”
Ceng Ceng
mengerutkan alisnya dan membalikkan tubuhnya, dia memandang penuh selidik. “Ada
urusan apa lagi?”
“Tadi sudah
kukatakan bahwa ada sesuatu yang akan kusampaikan kepadamu.”
“Engkau
sudah menceritakan semua.”
“Bukan...
bukan itu... akan tetapi, ahhh, maafkan aku karena engkau begitu tergesa-gesa
hendak pergi, terpaksa aku terus terang saja. Nona Lu Ceng, aku... begitu
bertemu denganmu... aku... aku cinta padamu, Nona!”
Ceng Ceng
benar-benar terkejut bukan main, matanya terbelalak memandang dengan mulut agak
terbuka karena dia sama sekali tidak pernah menyangka akan mendengar ucapan
seperti itu dari mulut pangeran yang amat tampan itu!
“Maaf, Nona.
Aku bersungguh-sungguh dalam hal ini. Aku bahkan telah membicarakan dengan ibu,
dan beliau sudah setuju. Nona Lu, aku cinta padamu dan kalau saja Nona setuju,
aku ingin meminangmu sebagai isteriku...”
“Ahhhh...!”
Ceng Ceng menundukkan mukanya yang tiba-tiba menjadi merah sekali. Selama
hidupnya, baru satu kali ini ada pria mengaku cinta secara demikian
terang-terangan, bahkan sekaligus melamarnya sebagai isterinya.
“Maafkan,
Nona Lu Ceng. Memang ini tidak semestinya, memang sepatutnya aku mengajukan
pelamaran kepada orang tuamu, akan tetapi karena aku tidak tahu di mana kau
tinggal, siapa orang tuamu, dan karena kau begitu tergesa-gesa hendak pergi,
aku takut kalau-kalau kita tidak akan saling bertemu kembali, maka aku
memberanikan diri...”
Tiba-tiba Lu
Ceng menangis terisak-isak menutupi mukanya dan dia menjatuhkan diri duduk di
atas bangku. Disebutnya orang tuanya oleh pangeran itu membuat hatinya seperti
ditusuk, mengingatkan dia akan semua nasibnya dan betapa tidak ada orang tua
mau pun kakeknya yang dapat dia sandari, yang dapat menghiburnya.
“Ahhh,
maafkan aku, Nona Lu. Agaknya aku telah melukai hatimu... tetapi percayalah,
aku tidak bermaksud menghinamu... semua pernyataanku tadi keluar dari hatiku
yang murni...”
Ceng Ceng
mengusap air matanya, lalu memandang. Dilihatnya pangeran itu telah menjatuhkan
diri berlutut di depannya! Seorang pangeran putera kaisar, telah berlutut di
depannya! Berlutut kepadanya! Dara ini terlalu muda untuk mengerti bahwa cinta
asmara memang dapat membuat seorang pria melakukan apa saja sehingga kalau
seorang pangeran sampai berlutut di depan dara yang dicintanya, hal itu sama
sekali tidaklah aneh! Maka dia segera meloncat berdiri dan membalikkan
tubuhnya.
“Pangeran,
harap jangan berlutut!”
Pangeran
Yung Hwa bangkit berdiri, wajahnya berseri. “Engkau tidak marah kepadaku?”
Ceng Ceng
kembali menghadapi pangeran itu, kini memandang dengan sinar mata penuh selidik
karena masih sukar baginya untuk dapat percaya bahwa pangeran yang amat tampan
ini, putera kaisar, benar-benar jatuh cinta padanya dan meminangnya untuk
menjadi isterinya!
“Tidak, aku
tidak marah, hanya aku merasa heran sekali, Pangeran.”
“Heran?
Ha-ha-ha, Nona Lu! Seorang dara seperti engkau ini, biar dewa sekali pun pantas
untuk jatuh cinta, apa lagi hanya seorang pangeran putera selir macam aku!”
Ucapan ini
benar-benar mengelus rasa hati Ceng Ceng dan mengangkat harga dirinya setinggi
langit. “Pangeran Yung Hwa, apakah engkau sudah lupa lagi kepada Puteri Syanti
Dewi yang kau katakan sendiri telah membuat engkau tergila-gila tadi?”
“Ah, dia?
Aku telah insyaf setelah aku melarikan diri keluar dari istana, Nona. Aku hanya
tergila-gila kepada bayangan, kepada gambaran belaka. Selamanya aku belum
pernah bertemu dengan Syanti Dewi dan aku hanya tergila-gila mendengar berita
orang tentang kecantikannya, tentang kebaikannya. Akan tetapi engkau... engkau
adalah seorang dara dari darah daging, yang hidup, bukan bayangan mati. Setelah
aku berjumpa denganmu, tidak ada lagi bayangan Syanti Dewi di dalam hatiku,
yang ada hanya engkau, Nona.”
Makin nyaman
rasa hati Ceng Ceng mendengarkan semua kata-kata itu. Dia seperti merasa dalam
mimpi yang amat indah, dan dia pejamkan matanya karena hampir tidak percaya
bahwa ini bukan mimpi. Pangeran yang tampan dan halus itu, yang di balik
kehalusan dan kelemahannya memiliki keberanian dan kegagahan luar biasa pula
saat menghadapi bahaya, telah jatuh cinta padanya, meminangnya sebagai isteri!
Tubuhnya
gemetar semua ketika tahu-tahu merasa ada dua lengan yang memeluknya. Dari
balik bulu matanya, dia melihat bahwa Pangeran Yung Hwa telah merangkulnya
dengan mesra, betapa dekat muka yang halus tampan itu, yang kini menjadi
kemerahan dan mata yang indah itu memandang kepadanya penuh cinta kasih mesra,
membuat Ceng Ceng hampir pingsan! Ketika merasa betapa napas yang panas dari
hidung pangeran itu meniup pipinya, dia mengelak sedikit dan kemudian berbisik,
“Akan tetapi, Pangeran... aku... aku hanya seorang gadis perantau...”
Ceng Ceng
sudah tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena kini pangeran itu telah
mempererat dekapannya, telah mencium pipinya dengan hidung sambil membisikkan
kata-kata indah di dekat telinganya.
“Ceng-moi...
bagiku engkau adalah seorang bidadari... engkau mulia seperti Kwan Im Pouwsat
sendiri... dan engkau gagah perkasa seperti pendekar wanita Hoan Lee Hwa (dalam
cerita Sie Jin Kwi) dan aku... aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku,
Moi-moi...”
“Ahhh...
tapi... tapi aku...” Kembali Ceng Ceng tak mampu melanjutkan karena kini bibir
pangeran itu telah menutup mulutnya dengan ciuman yang hangat dan mesra, yang
dilakukan dengan penuh getaran batinnya.
Sejenak Ceng
Ceng terlena seperti pingsan dalam pelukan pangeran itu, dia menerima ciuman
yang melupakan segala hal itu. Tiba-tiba terbayang wajah pemuda laknat dan
teringatlah dia akan keadaan dirinya. Dia meronta dan pangeran itu berseru
kaget, tentu saja pelukannya terlepas dan dia tidak mampu menahan gerakan Ceng
Ceng yang meronta tadi.
Wajah Ceng
Ceng pucat sekali, matanya menjadi liar. “Tidak...! Tidak...! Tidak...!” Gadis
itu setengah menjerit.
“Aih,
Moi-moi... kekasihku... ada apakah...?” Pangeran itu berseru kaget dan
melangkah dekat, akan tetapi Ceng Ceng melangkah mundur menjauhi.
“Jangan
sentuh aku! Jangan...!” jeritnya.
“Aduh,
Ceng-moi, kenapakah? Apakah salahku? Aku cinta padamu...”
“Tidak boleh
begitu!”
“Mengapa?
Terasa olehku betapa engkau pun membalas cintaku, Ceng-moi. Kenapa tidak
boleh?”
Sepasang
mata itu kembali mencucurkan air mata karena dia teringat kembali akan keadaan
dirinya yang telah ternoda, yang telah diperkosa oleh Si Pemuda Laknat. Akan
tetapi betapa mungkin dia menceritakan hal itu kepada orang lain, apa lagi
kepada pangeran ini? Lebih baik mati!
“Pangeran,
ketahuilah bahwa Enci Syanti Dewi adalah kakak angkatku. Oleh karena itu,
engkau tidak boleh cinta padaku. Nah, selamat tinggal!” Dengan isak tertahan
Ceng Ceng meloncat ke atas genteng dan melarikan diri.
“Ceng-moi...!”
Pangeran itu berseru memanggil, namun Ceng Ceng tidak mau menoleh lagi, bahkan
lalu mempercepat loncatannya sehingga sebentar saja dia sudah lenyap
meninggalkan Pangeran Yung Hwa yang menjadi bengong dan pucat, sinar matanya
layu kehilangan gairah hidup.
Air mata
masih mengalir perlahan di kedua pipi Ceng Ceng ketika dara ini berjalan
perlahan keluar dari pintu gerbang sebelah selatan kota raja. Hatinya diliputi
bermacam perasaan. Terharu mengingat akan cinta kasih Pangeran Yung Hwa yang
dia percaya sungguh-sungguh mencintanya, kecewa bahwa dia terpaksa tidak dapat
menyambut cinta kasih pangeran itu, dan keadaan ini selain mendatangkan duka,
juga menambah sakit hatinya terhadap Si Pemuda Laknat karena pemuda itulah yang
menjadi biang keladi semua kedukaan dan kesengsaraan hatinya. Sungguh pun dia
sendiri belum tahu apakah dia juga mencinta pangeran itu, namun kalau tidak
terjadi mala petaka menimpa dirinya, agaknya tidak akan sukar bagi dara mana
pun juga untuk membalas cinta kasih seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa itu.
Hatinya menjadi
panas dan murung mengingat pemuda tinggi besar, Si Laknat yang dicarinya itu.
Ke mana dia harus mencari? Inilah yang membuat dia murung dan kesal karena dia
tidak tahu di mana adanya musuh besar yang diburunya itu.
Dengan
langkah gontai tanpa tujuan tertentu dan pikiran melayang-layang, tanpa dia
sadari lagi Ceng Ceng telah melakukan perjalanan sehari penuh tanpa berhenti.
Hari telah menjelang malam, senja yang cepat gelap karena langit tertutup awan.
Ceng Ceng tiba di luar dusun sebelah selatan kota raja di mana terdapat sebuah
sungai, yaitu Sungai Yung-ting. Seperti orang kehilangan semangat, tubuhnya
lemas karena sehari penuh tidak makan atau minum, Ceng Ceng naik ke atas
jembatan yang menyeberang sungai itu.
Dalam cuaca
yang remang-remang, dia melihat sebuah benda di pinggir jembatan itu, dan
ketika dia mendekat, ternyata benda itu adalah sebuah pot bunga. Benda yang
tidak semestinya berada di jembatan, dan hal ini menarik perhatiannya, membuat
dia berhenti dan mengamati pot bunga itu dengan heran. Tidak ada seorang pun
manusia di jembatan itu, hanya dia seorang diri.
Terasa aneh
sekali berada di jembatan besar itu seorang diri, seperti tergantung di
angkasa, dan pot bunga itu menambah keanehan suasana yang dirasakannya. Pot
bunga itu terbuat dari besi tebal, tentu berat sekali, apa lagi ditambah
beratnya tanah di dalamnya. Hal ini menandakan bahwa orang yang membawanya ke
tempat ini tentu seorang yang memiliki tenaga besar. Akan tetapi tidak tampak
seorang pun manusia di situ.
“Hei, Nona
cilik! Mau apa engkau longak-longok di situ? Lekas pergi kalau tidak ingin
mampus menjadi setan air!”
Suara ini
terdengar dari kolong jembatan, seperti suara setan karena tidak kelihatan
bayangan orang. Kalau saja bukan Ceng Ceng, seorang laki-laki pun tentu akan
takut mendengar suara kasar itu dan tentu akan lari terbirit-birit, menyangka
bahwa yang bersuara mengancam itu tentulah setan sungai atau setan jembatan.
Namun Ceng
Ceng adalah seorang gadis yang pemberani, apa lagi setelah dia pernah hidup di
neraka bawah tanah bersama subo-nya, Ban-tok Mo-li Ciang Si (Iblis Betina
Selaksa Racun), tidak sesuatu pun di dunia ini yang ditakutinya. Pada saat itu,
hatinya sedang mengkal dan kesal, maka begitu mendengar suara itu, mendadak
saja darahnya naik dan dia menjadi marah sekali. Ditendangnya pot bunga itu
dengan kaki kanannya sambil mengerahkan sinkang tentunya karena dia tahu bahwa
pot besi itu amat berat. Pot besi itu terlempar keluar jembatan!
Tetapi, Ceng
Ceng tidak mendengar suara benda itu terjatuh ke air, seolah-olah benda itu
lenyap di tengah udara begitu saja. Selagi dia termangu-mangu dan dengan heran
menjenguk dari jembatan sambil berusaha menembus kegelapan di bawah dengan
matanya, tiba-tiba terdengar suara suitan orang dan tampaklah berkelipnya lampu
dari tepi sungai. Penerangan seperti kunang-kunang ini bergerak ke tengah
sungai dan di dalam cuaca remang-remang itu tampaklah sebuah perahu. Kembali
terdengar suara orang, suara yang kasar tadi, akan tetapi kini suara itu
terdengar halus penuh hormat!
“Kami
persilakan Li-hiap untuk menerima penyambutan kami dan meloncat ke perahu.”
Tentu saja
Ceng Ceng tidak sudi memenuhi permintaan ini. Biar pun dia tidak takut, akan
tetapi dia tidaklah sebodoh itu, mau saja dijebak orang yang tidak dikenalnya.
“Huhh!” Dia
mendengus dan hendak melangkah pergi melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi
kakinya berhenti bergerak lagi ketika mendengar suara orang tadi, kini penuh
ejekan sungguh pun masih tetap menghormat.
“Apakah kami
telah keliru? Apakah seorang calon bengcu (pemimpin rakyat) mengenal rasa
takut? Apa sih bahayanya meloncat dari jembatan ke perahu jika memang memiliki
kepandaian yang tinggi? Harap Lihiap tidak menduga yang bukan-bukan! Kami
sengaja menyambut Lihiap dan maafkan kelancangan kami tadi karena kami tidak
menyangka bahwa calon bengcu yang ditunggu-tunggu dari selatan adalah seorang
wanita muda!”
Bergolak
darah di tubuh Ceng Ceng ketika dia dikira takut tadi. Kemudian dia tertarik
mendengar kata-kata selanjutnya. Mengertilah dia bahwa dia disangka orang lain.
Pot bunga itu adalah semacam tanda rahasia bagi orang yang diundang dan
penyambutan undangan kiranya adalah dengan menendang pot bunga itu! Secara
tidak disengaja dia telah menyambut undangan mereka!
Siapa tahu,
pemuda laknat itu berada bersama dengan mereka! Agaknya mereka itu adalah kaum
sesat seperti pernah dia mendengar cerita kakeknya, golongan hitam atau kaum
sesat yang akan mengadakan pemilihan pimpinan atau bengcu dan dia dianggap
seorang calon bengcu. Pemuda laknat itu sudah pasti merupakan seorang tokoh
kaum sesat pula, maka sangat boleh jadi dia akan menjumpainya di tempat
orang-orang ini. Teringat akan kemungkinan besar ini, tanpa meragu lagi dia
lalu mengayun tubuhnya meloncat ke bawah, ke atas perahu yang menjemputnya!
Biar pun
dalam hal ilmu silat mungkin kepandaian Ceng Ceng belum termasuk hitungan,
namun gadis ini memiliki ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang cukup baik,
maka ketika meloncat dan hinggap di perahu tidak menimbulkan banyak guncangan.
Dua orang laki-laki tinggi besar menyambutnya di perahu dengan sikap
menghormat,
“Selamat
datang, Lihiap. Terpaksa kami menyambut secara begini karena pasukan pemerintah
kini sering kali melakukan perondaan dengan ketat. Silakan Lihiap mengaso di
dalam perahu. Kami terpaksa menyamar sebagai nelayan-nelayan biasa.”
Ceng Ceng
adalah seorang dara yang memiliki kecerdasan. Dia sudah yakin sekarang bahwa
dua orang ini keliru menyambut orang yang diharapkan kedatangannya, orang yang
dianggap sebagai seorang calon bengcu. Maka dia pun tidak banyak cakap karena
dia ingin melihat ke mana dia akan dibawa dan mungkin sekali di tempat itu dia
akan bertemu dengan musuh besar yang dicari-carinya itu. Akan tetapi untuk
mengetahui lebih banyak, dia menegur setengah bertanya, berdasarkan kata-kata
seorang di antara mereka tadi setelah dia duduk dan perahu digerakkan dengan
cepat.
“Bagaimana
kalian sampai tidak menyangka? Apa kalian tidak memperoleh keterangan cukup
tentang orang yang harus kalian sambut?”
Seorang di
antara mereka menggunakan dayung, mendayung perahu yang meluncur cepat sekali
hingga diam-diam Ceng Ceng merasa ngeri, teringat dia akan pengalaman pahitnya
dahulu ketika dia bersama Syanti Dewi dihanyutkan perahu sehingga akhirnya
perahu bertumbukan dan dia bersama Syanti Dewi tenggelam dan hanyut sehingga
terpisah sampai sekarang.
Semenjak
itu, dia merasa ngeri kalau mengingatnya dan sekarang dia pun naik sebuah
perahu yang didayung cepat sekali, maka tentu saja hatinya lalu menjadi tegang
dan khawatir, namun tidak ada perubahan pada wajahnya. Orang kedua segera
menjawab, sikapnya tetap menghormat, dan agaknya dia memang suka bicara maka
dia bercerita banyak sehingga menyenangkan hati Ceng Ceng yang memang hendak
memancing keterangan dari orang lain.
“Maaf,
Lihiap. Memang kami telah memperoleh keterangan dari Pangcu, namun kami semua
anggota Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi) tidak ada yang pernah bertemu
dengan kelima orang Loan-ngo Mo-li (Lima Iblis Betina dari Sungai Loan), hanya
mendengar bahwa Lihiap berlima adalah orang-orang yang memiliki kepandaian
tinggi dan Lihiap sendiri sebagai orang pertama dari Loan-ngo Mo-li diundang
oleh Pangcu kami untuk memasuki sayembara perebutan kedudukan bengcu. Tentu
saja kami mengira bahwa Loan-ngo Mo-li adalah lima orang wanita yang tidak
semuda Lihiap, apa lagi Lihiap sebagai orang pertama...” Orang laki-laki tinggi
besar itu tidak berani melanjutkan kata-katanya ketika melihat Ceng Ceng
memandang seperti orang marah.
Memang dara
ini menjadi marah ketika dia disangka orang pertama dari Lima Iblis Betina!
Tetapi karena dia tahu itu, maka dia menekan kemarahannya, hanya melangkah ke
tengah perahu di mana terdapat bilik bambu sambil berkata, “Sudahlah, aku
hendak mengaso!”
Di dalam
bilik perahu itu Ceng Ceng memutar otak. Jelas bahwa dia sudah melibatkan diri
dalam urusan kaum sesat yang berbahaya! Akan tetapi ketika teringat kemungkinan
untuk menemukan jejak musuh besarnya, atau setidaknya dia akan dapat bertanya
tanya kepada kaum sesat yang tentu mengenal orang itu, hatinya lega dan dia
dapat tidur nyenyak di dalam bilik perahu yang sempit itu.
Pada
keesokan harinya, dia terbangun oleh cahaya matahari yang menembus celah-celah
bilik. Dia membuka jendela bilik kecil dan menggunakan tangannya mengambil air
untuk mencuci muka dan tangannya, kemudian dia keluar dari bilik. Dua orang
laki-laki yang sedang mendayung perahu, mengangkat muka dan jelas kelihatan
betapa mereka tercengang dan memandang kagum.
Mereka telah
terheran-heran melihat betapa orang yang mereka jemput adalah seorang wanita
muda, dan kini mereka menjadi makin heran dan kagum sekali melihat wajah dara
yang demikian cantik jelita, wajah yang bersinar kemerahan ditimpa matahari
pagi sehabis digosok-gosok ketika mencuci muka tadi. Di lain pihak, Ceng Ceng
merasa tak senang dipandang seperti itu, apa lagi yang memandangnya adalah dua
orang laki-laki tinggi besar yang kini kelihatan berwajah kejam, kasar dan
kurang ajar!
“Kalian
melihat apa?” bentaknya marah. Suaranya melengking tinggi menggetarkan dan dua
orang itu cepat-cepat menundukkan mukanya.
Seorang di
antara mereka, yang kumisnya tebal sekali, berkata, “Maaf, Lihiap. Kami hanya
mempunyai bekal roti kering dan arak kasar, kalau Lihiap suka...”
“Aku lapar!
Aku ingin makan daging ikan.”
“Akan
tetapi... kami tidak membawa pancing atau jala...”
“Tolol! Biar
aku yang menangkap ikan, kalian yang memanggangnya nanti!” Ceng Ceng lalu duduk
di pinggir perahu. “Bawa perahu ke pinggir, di bawah pohon sana di sana tentu
banyak ikannya.”
Dua orang
itu tidak membantah dan benar saja, di bawah pohon yang rindang itu terdapat
banyak ikan lee-hi atau semacam itu. Ceng Ceng memasukkan tangan kirinya ke
dalam air di dekat perahu, digoyang-goyang perlahan sehingga menarik beberapa
ekor ikan besar. Setelah ikan-ikan itu dekat, Ceng Ceng mengerahkan sinkang-nya
sehingga hawa beracun di dalam tubuhnya berkumpul di tangan, getaran-getaran
hebat terjadi dan dua ekor ikan yang terdekat terkena hawa beracun tangannya,
menjadi mabok dan diam saja ketika ditangkap oleh gadis ini!
Ceng Ceng
melempar dua ekor ikan itu ke dalam perahu sambil berkata, “Nah, kalian
panggang ikan-ikan ini! Seekor untukku!” Setelah berkata demikian, dia
meninggalkan mereka dan duduk di kepala perahu yang sudah dijalankan lagi oleh
seorang di antara mereka sedangkan orang yang berkumis tebal sudah sibuk dengan
ikan-ikan tadi. Mereka tadi terkejut dan melongo, dan kini mereka yakin akan
kelihaian gadis cantik ini!
Ceng Ceng
memang sengaja memperlihatkan kepandaiannya, kepandaian yang tidak dimengerti
oleh dua orang itu, yang mengira bahwa gadis itu menggunakan ilmu aneh untuk menangkap
ikan. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa gadis di hadapan mereka adalah
seorang dara beracun yang amat berbahaya, murid tunggal dan pewaris tunggal
dari Ban-tok Mo-li yang belum ada tandingannya dalam hal ilmu tentang racun!
Hari telah
siang ketika perahu itu menyentuh tepi sungai di sebuah lembah yang penuh
dengan batu-batu besar dan pohon-pohon liar. Ketika Ceng Ceng bersama dua orang
laki-laki itu meloncat ke darat dari perahu, dia melihat banyak orang di lembah
itu. Dia bersikap hati-hati dan waspada, maklum bahwa dia berada di antara kaum
sesat yang agaknya telah berkumpul di tempat ini untuk mengadakan pemilihan
seorang bengcu, yaitu orang yang dianggap patut untuk memimpin mereka semua.
Berdasarkan
cerita Si Kumis Tebal, memang dugaannya ini benar. Hari ini, semua tokoh kaum
sesat yang tinggal di sekitar kota raja berkumpul di lembah itu atas undangan
penyelenggara pertemuan itu, yaitu perkumpulan Tiat-ciang-pang yang merupakan
satu perkumpulan kaum sesat yang paling besar dan paling terkenal di sekitar
daerah kota raja, karena para anggotanya adalah golongan perampok dan pencopet!
Mereka ini menganggap diri mereka sebagai golongan sesat yang lebih ‘terhormat’
dan lebih tinggi dari pada tingkat golongan sesat yang lain.
Terutama
sekali terhadap golongan pencuri, Tiat-ciang-pang memandang rendah. Bagi mereka
pekerjaan kaum pencuri bersifat kotor dan pengecut. Pencuri mengambil barang
orang yang sedang tidur, sedang tidak berdaya dan pekerjaan ini dianggap kotor
dan hina oleh kaum pencopet dan perampok yang bergabung dalam perkumpulan Tiat
ciang-pang! Berbeda dengan mereka, demikian pendapat mereka. Mereka adalah para
pencopet dan perampok, yang mengambil atau merampas barang orang yang sadar,
yang dapat berjaga diri yang dapat melawan. Pekerjaan mereka lebih menunjukkan
kejantanan!
Memang
demikianlah sifat kita manusia pada umumnya. Kita amat kritis terhadap orang
lain karena dalam memandang orang lain, mata kita selalu mencari cacat-cacatnya
dalam segala perbuatan orang lain. Kita amat pandai untuk menunjukkan kesalahan
orang lain dan dalam menilai orang lain, kita biasanya membutakan mata terhadap
kebaikannya akan tetapi menonjolkan cacat-cacatnya!
Kita tidak
pernah memandang seperti itu kepada diri kita sendiri. Sebaliknya, kita
membutakan mata terhadap cacat-cacat kita dan menonjolkan kebaikan kita. Kalau
toh kita terpaksa melihat kesalahan kita, kita akan selalu siap membela diri,
siap mencarikan alasan untuk membela kesalahan kita itu agar tidak menjadi
kesalahan lagi! Senjata kita untuk itu selalu adalah pembelaan diri, bahwa kita
melakukan suatu hal yang tidak baik karena terpaksa dan sebagainya. Kita semua
pada hakekatnya ingin baik, ingin menjadi baik, ingin menjadi budiman, ingin
menjadi orang yang bajik. Akan tetapi betapa mungkin hal ini terjadi?
Dalam
keadaan diri kotor ingin tampak bersih, hal ini sama sekali tidak mungkin.
Segala usaha palsu akan dilaksanakan untuk menutupi kekotorannya itu agar
kelihatan bersih. Akan tetapi, ditutupi dengan apa pun, tentu saja akan tetap
tinggal kotor! Yang penting bukanlah keinginan untuk bersih, melainkan
kesadaran akan kekotoran dirinya!
Kesadaran
ini timbul dari pengertian, dan pengertian ini datang bersama pengenalan diri
sendiri. Kesadaran dan pengertian akan melenyapkan kekotoran itu dan saat
lenyapnya kekotoran, hilang pula keinginan untuk bersih. Pengertian timbul pada
kewaspadaan saat ini, pengertian adalah saat demi saat yang mendatangkan
tindakan seketika.
Pengertian
yang disimpan akan menjadi pengetahuan yang mati, seperti segala macam
pengetahuan yang hanya menjadi barang lapuk di dalam gudang ingatan. Pengertian
dari kewaspadaan adalah kesadaran akan segala sesuatu di luar dan di dalam diri
kita setiap saat! Bukan aku yang mengerti, bukan aku yang waspada, bukan aku
yang sadar! Begitu ada aku, di situ terdapat penilaian, perbandingan dan
pemilihan. Si aku menimbulkan pengejaran akan kesenangan, penolakan akan yang
tak menyenangkan. Maka segala perbuatan akan bersumber kepada si aku, maka jauh
dari kebenaran.
Tiat-ciang-pang
(Perkumpulan Tangan Besi) yang merasa diri sebagai perkumpulan ‘orang-orang
gagah’ itu memiliki anggota kurang lebih seratus orang banyaknya, semua terdiri
dari pencopet dan perampok yang rata-rata memiliki kepandaian cukup hebat.
Ketuanya adalah seorang perampok tunggal yang memiliki kepandaian tinggi,
terutama sekali ilmunya yang dinamakan Tiat-ciang-kang (Ilmu Tenaga Tangan
Besi) yang membuat kedua tangannya seperti besi kerasnya, dapat dipergunakan
sebagai senjata, bahkan menghadapi lawan yang tidak terlalu kuat, kedua tangan
ketua ini dapat dipergunakan untuk menangkis senjata tajam!
Ketua
Tiat-ciang-pang ini berjuluk Tiat-ciang (Si Tangan Besi) dan bernama Tong Hoat,
dan Lembah Sungai Yung Ting itu menjadi pusat berkumpulnya para anggota Tiat-ciang-pang.
Setelah masuk menjadi anggota perkumpulan ini, para pencopet dan perampok yang
telah memiliki kepandaian itu baru diperkenankan untuk melatih diri dengan Ilmu
Tangan Besi. Tentu saja tidak mudah memiliki ilmu ini secara sempurna karena latihan-latihannya
yang amat berat dan sebagian besar yang melatih ilmu ini tidak kuat, atau yang
dapat berhasil pun hanya sekedar dapat membuat lengan mereka lebih kuat dan
keras dari biasanya. Tidak ada yang berhasil mencapai tingkat seperti yang
dimiliki oleh ketua mereka, Tiat-ciang Tong Hoat sendiri.
Mungkin
karena merasa bahwa mereka adalah kaum sesat yang ‘terhormat dan gagah’, maka
timbullah semacam keangkuhan di dalam hati Tong Hoat, ketua perkumpulan itu,
sehingga mereka memiliki pegangan atau pendirian sebagai orang-orang ‘gagah’
yang tidak mau tunduk kepada golongan pemberontak yang pernah membujuk mereka
untuk bersekutu! Karena ada pertentangan dan perpecahan di antara kaum sesat
itulah, gara-gara bujukan pihak pemberontakan yang berusaha untuk merangkul
mereka, maka hari ini diadakan pertemuan untuk mengadakan pemilihan bengcu yang
dipelopori oleh Tiat-ciang-pang. Selain untuk memperlihatkan kekuatannya,
Tiat-ciang-pang juga ingin untuk menyatukan dan membersihkan golongan sesat
dari pengaruh pemberontakan dengan jalan memilih seorang bengcu.
Tong Hoat
sendiri maklum bahwa di antara golongan kaum sesat ini terdapat banyak orang
pandai. Karena merasa bahwa belum tentu dia seorang diri dapat menangkan
kedudukan bengcu ini, maka dia teringat kepada seorang tokoh yang dia tahu amat
tinggi kepandaiannya, yaitu orang pertama dari Loan-ngo Mo-li atau Lima Iblis
Betina Sungai Loan. Dia mengundang Song Lan Ci, demikian nama wanita lihai itu,
dan karena pada waktu itu terdapat banyak mata-mata, baik dari pihak pemerintah
mau pun dari pihak pemberontak, maka ia menyuruh dua orang kepercayaannya
menyambut dengan tanda-tanda rahasia seperti yang telah dia janjikan dengan
Song Lan Ci.
Kehadiran
wanita lihai ini adalah untuk memperkuat kedudukannya, atau kalau perlu, dari
pada kedudukan bengcu jatuh ke tangan orang yang memihak pemberontak, lebih
baik jatuh ke tangan tokoh wanita ini. Dan dia merasa yakin bahwa Song Lan Ci
akan suka membantunya, mengingat bahwa di antara dia dan wanita itu terdapat
hubungan yang cukup erat! Pernah dua tahun yang lalu, secara kebetulan dia
bertemu dengan Song Lan Ci yang sedang dikepung oleh musuh-musuhnya, dikeroyok
banyak orang dan berada dalam keadaan terdesak. Melihat seorang wanita cantik
dan gagah perkasa dikeroyok banyak orang laki-laki, Tong Hoat segera maju
membantu sehingga para pengeroyok dapat dipukul mundur dan terjalinlah
perkenalan dan persahabatan di antara mereka.
Ceng Ceng
mengikuti dua orang penjemputnya itu untuk menghadap Ketua Tiat-ciang-pang.
Ketika berjalan menuju ke sebuah pondok yang agak jauh dari tempat perhentian
perahu, mereka berjalan melewati banyak sekali orang-orang golongan sesat yang
sedang menanti di sekitar tempat itu. Ceng Ceng mencari-cari dengan matanya
kalau-kalau musuh besarnya berada di antara mereka itu.
Akan tetapi
dia tidak melihat munculnya, dan agaknya akan aneh sekali kalau musuh besarnya
itu, seorang pemuda tinggi besar yang tampan dan gagah, berada di antara
orang-orang ini. Orang-orang yang jorok dan menimbulkan kengerian di hatinya.
Ada di antara mereka yang sedang bermain kartu dan bertaruhan besar sehingga
tempat itu menjadi bising dengan suara mereka.
Itu adalah
golongan para penjudi yang hidupnya hanya diisi dengan kegemaran ini, berjudi
dan mempertaruhkan segala miliknya. Ada pula yang sedang minum arak sambil
tertawa-tawa dan mereka ini semua telah dalam keadaan mabok atau setengah
mabok. Inilah golongan pemabok yang hidupnya hanya mengejar kesenangan dibuai
alam khayal ketika mabok. Golongan lain yang memisahkan diri mereka agak aneh.
Mereka ini
terdiri dari orang-orang yang sebagian besar sudah tua dan tubuh mereka kurus,
bermuka pucat. Mereka ini berkelompok dan kelihatan tenang-tenang saja, akan
tetapi di antara mereka itu tampak asap bergulung-gulung ke atas seolah-olah di
tempat itu terjadi kebakaran kecil. Ceng Ceng mendengus dan cuping hidungnya
bergerak gerak ketika dia mencium bau yang memuakkan.
Tahulah dia
bahwa kelompok ini adalah golongan pecandu madat dan penggemar asap beracun
semacam ini. Hidup mereka tak ada bedanya dengan golongan-golongan lain,
mengejar kesenangan membiarkan dirinya diayun di angkasa oleh asap madat! Ada
pula golongan lain yang pakaiannya mewah dan pesolek, sikap mereka genit dan
ketika Ceng Ceng lewat, mereka itu tersenyum-senyum, bersuit, ada pula yang
mengeluarkan kata-kata cabul sungguh pun mereka tidak langsung menujukan
kata-kata itu kepada Ceng Ceng. Inilah golongan hidung belang yang kerjanya
setiap hari hanya memikirkan kecabulan dan mengejar-ngejar wanita cantik.
Lengkaplah
semua golongan sesat berada di tempat itu. Maling, pencopet, perampok, pemadat,
pemabok, hidung belang, penjudi, semua berkumpul di situ dan merasa betah
karena seperti berada di antara keluarga sendiri! Ceng Ceng merasa ngeri
seolah-olah dia telah memasuki suatu masyarakat yang aneh dan asing baginya.
Pintu pondok
terbuka dari dalam ketika diketok oleh dua orang penjemput itu. Mereka masuk
melewati beberapa orang pengawal yang memandang tajam, lalu memasuki sebuah
ruangan di mana duduk seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih dan
sikapnya masih gagah. Di depannya duduk pula empat orang laki-laki lain yang
agaknya menjadi tamunya. Ketika dua orang pembantu Ketua Tiat-ciang-pang itu
melaporkan bahwa orang yang dijemput telah tiba, dan laki-laki itu memandang
Ceng Ceng, dia mengerutkan alisnya. Kemudian mempersilakan empat orang
sekutunya itu keluar, juga dua orang pembantunya yang menjemput Ceng Ceng
disuruhnya keluar.
Setelah
mereka berada berdua saja di ruangan itu, laki-laki yang bukan lain adalah
Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat itu, bangkit berdiri dan menjura ke arah Ceng Ceng.
Ceng Ceng memandang tajam, melihat bahwa setelah berdiri, laki-laki itu
bertubuh agak pendek dan gendut, namun sikapnya gagah dan berwibawa.
“Silakan
duduk, Nona. Bagaimana kabarnya dengan Loan-ngo Mo-li, terutama sekali dengan
Nona Song Lan Ci?” Tong Hoat bertanya dengan ramah.
Ceng Ceng
mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak mengenal siapa adanya
Loan-ngo Mo-li atau Song Lan Ci sekali pun.”
Mendengar
jawaban ini, berubah wajah Tong Hoat dan dia meloncat berdiri, sejenak
memandang ke luar seolah-olah dia hendak bertanya kepada dua orang pembantunya
yang sudah disuruhnya keluar tadi, kemudian dia memandang wajah Ceng Ceng penuh
perhatian dan keraguan. “Nona, apa yang kau katakan ini? Bukankah engkau diutus
oleh Nona Song...”
“Aku tidak
mengenal dia!”
Tong Hoat
menjadi makin curiga dan dia memandang marah. “Kalau begitu, siapa engkau dan
mengapa engkau berani memalsukan orang yang kuundang?”
Ceng Ceng
mengangkat mukanya dan memandang dengan berani. “Siapa adanya aku, tidak ada
sangkut-pautnya denganmu! Aku tidak mengenal orang-orang yang kau sebut namanya
tadi, juga aku tidak mempunyai urusan dengan Tiat-ciang-pang. Aku datang ke
sini karena saat aku lewat di jembatan, aku menendang pot bunga dan aku
disambut oleh dua orangmu yang membawa perahu. Nah, sekarang aku berada di sini
dan aku bukan orang yang kau undang. Habis, engkau mau apa?”
Mendengar
ucapan Ceng Ceng dan melihat sikap gadis itu, Tong Hoat terheran-heran, akan
tetapi dia dapat menduga bahwa tentu dara muda yang cantik ini bukan orang
sembarangan. Kalau sampai bocor rahasia ini dan ketahuan oleh pihak lawan bahwa
dia telah keliru memanggil orang, tentu selain akan mendatangkan ejekan dan
menjadi bahan tertawaan, juga lawan akan melihat kelemahan Tiat-ciang-pang.
Kembali dia
memandang ke arah Ceng Ceng. Seorang wanita muda yang telah berani menempuh
bahaya ketika dijemput dua orang pembantunya seperti dara ini, tentu memiliki
kepandaian yang tinggi, pikirnya. Kalau tidak demikian halnya, tentu dua orang
pembantunya akan mengetahui kekeliruan mereka dan sudah bertindak. Maka timbul
pikirannya untuk menyambut orang yang keliru dipanggil ini sebagai seorang
kawan, dari pada sebagai lawan dalam keadaan menghadapi pihak lawan yang
menjadi kaki tangan pemberontak. Dia lalu tertawa dan duduk kembali.
“Ha-ha-ha-ha,
ini namanya jodoh! Memang kita berjodoh untuk menjadi sahabat, Nona. Kuharap
engkau suka memaafkan ketololan dua orang pembantuku. Namun sungguh kami merasa
mendapat kehormatan besar memperoleh kunjungan seorang wanita gagah seperti
Nona. Ketahuilah bahwa aku adalah pangcu (ketua) dari Tiat-ciang-pang dan satu
di antara kegemaranku adalah bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia
kang-ouw.”
Ceng Ceng
memutar otaknya. Orang ini adalah ketua perkumpulan yang agaknya besar dan
berpengaruh. Dia telah datang ke tempat itu, sebaiknya jika dia bersahabat
dengan ketua ini. Dengan bantuan ketua ini, agaknya akan lebih mudah baginya
untuk dapat menyelidiki di mana adanya musuh besarnya.
“Kalau
memang engkau berniat baik, Pangcu, aku pun datang bukan untuk mencari musuh
baru. Namaku adalah Lu Ceng, dan seperti kukatakan tadi, aku tidak mempunyai
sangkut-paut dengan orang-orang yang kau undang, juga tak ingin mencampuri
urusan pemilihan bengcu di sini.”
Tong Hoat
kembali tersenyum, lalu bangkit dan menjura. “Aku merasa terhormat sekali, Nona
Lu Ceng. Aku adalah Tong Hoat yang juga dikenal sebagai Tiat-ciang (Si Tangan
Besi), ketua dari Tiat-ciang-pang. Sebelum kita nanti bicara lebih jauh,
sebagai tanda perkenalan dan penghormatanku, aku mempersilakan Nona minum arak
penghormatan ini!” Ketua itu menuangkan secawan arak lalu memberikan cawan itu
kepada Lu Ceng.
Ceng Ceng
menerima tanpa banyak cakap, lalu membawa cawan itu ke dekat bibirnya. Sekali
cium saja mengertilah dia bahwa arak itu dicampuri obat bius! Hatinya marah
bukan main dan ingin dia melemparkan cawan dan araknya itu ke muka ketua
Tiat-ciang-pang.
Tetapi
kemarahan ini ditahannya. Dia hendak melihat apa yang akan terjadi selanjutnya,
pula dia malah ingin memperlihatkan bahwa dia tidak takut akan segala macam
obat bius. Jangankan baru obat bius yang merupakan racun yang lemah saja, biar
minuman itu dicampuri racun yang akan menghanguskan isi perut orang lain, dia
masih akan berani meminumnya. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu minum habis arak
itu dengan sekali teguk, dipandang dengan sepasang mata bersinar-sinar oleh
Tong Hoat.
“Bagus,
ternyata engkau seorang yang gagah, Nona. Agaknya engkau telah mendengar dari
kedua orangku bahwa hari ini kami di sini menyelenggarakan pertemuan di antara
golongan kami untuk memilih seorang bengcu...” Ketua itu menghentikan
kata-katanya saking herannya melihat Ceng Ceng sama sekali tidak kelihatan
terpengaruh oleh obat bius yang biasanya amat kuat dan manjur itu.
Apa lagi
ketika dia melihat Ceng Ceng bangkit berdiri dan menyambar guci arak yang
istimewa itu di mana terdapat arak yang sudah dicampuri obat bius, kemudian
tanpa banyak cakap Ceng Ceng lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawannya
sampai dua kali dan terus meminumnya, ketua ini memandang bengong! Satu cawan
arak itu cukup untuk membius dua tiga orang dewasa, dan tiga cawan arak itu
akan berubah menjadi racun yang mematikan!
“Eh, sudah
cukup arak itu, Nona...!” Dia menegur.
“Hemm,
engkau kiranya seorang tuan rumah yang pelit!” Ceng Ceng pura-pura marah, lalu
melemparkan guci itu ke atas.
Guci
berputaran ke atas, lalu turun perlahan ke atas meja seperti diletakkan oleh
tangan yang tidak kelihatan, dan sedikit pun tidak ada arak yang tumpah dari
dalam guci. Tong Hoat memandang dan demonstrasi lontaran yang mempergunakan
tenaga sinkang ini sama sekali tidak membuat dia terheran karena dia sendiri
pun agaknya akan mampu melakukannya. Akan tetapi yang membuat dia
terheran-heran adalah karena nona muda itu telah menghabiskan tiga cawan arak
bercampur obat bius dan kelihatannya masih enak-enak saja!
“Lekas, Nona
Lu! Kau minumlah obat penawar racun ini!” Dia mengeluarkan sebutir pel dari
dalam bungkusan. “Lekaslah sebelum terlambat...!” katanya dengan nada khawatir
sekali.
Ceng Ceng
memandang tajam dan tidak menerima obat itu. Dia merasa makin heran akan sikap
Ketua Tiat-ciang-pang ini. Tadi sengaja hendak meracuninya dengan obat bius,
dan sekarang bingung memberikan obat penawarnya!
“Kenapa
ribut-ribut?” bentaknya sambil bangkit berdiri. “Bukankah kau sengaja menaruh
racun ke dalam arak itu dan ingin melihat aku roboh pingsan?”
Ketua itu
makin terkejut mendengar ini. Kiranya nona muda ini malah sudah tahu bahwa yang
diminumnya adalah arak yang bercampur racun, akan tetapi masih diminumnya juga,
bukan hanya satu cawan seperti disuguhkannya, melainkan mengambil sendiri dan
minum sampai tiga cawan! Apa artinya ini?
“Nona Lu...
maafkan aku. Memang, tadinya aku hendak mengujimu. Kalau kau mudah saja
terjebak dan pulas oleh obat bius, maka engkau bukanlah orang yang dapat aku
harapkan bantuannya. Akan tetapi engkau tidak apa-apa, dan engkau minum lagi
dua cawan! Hal ini di luar perhitunganku dan aku tidak ingin melihat engkau
celaka karena racun. Maka kau minumlah obat penawar ini!”
Ceng Ceng
tersenyum. Kemarahannya lenyap seketika. Kiranya ketua ini hanya ingin
mengujinya! Sambil tersenyum dia menghampiri guci tadi, menuangkannya lagi
sampai tiga kali ke dalam cawannya dan minum berturut-turut tiga kali lagi!
Setelah itu, dia mengusap bibirnya dengan sapu tangan, memandang ketua itu dan
berkata, “Pangcu, baru enam cawan yang dicampuri obat bius seperti ini, apa sih
artinya?”
Melihat ini,
Tong Hoat menjadi kagum dan terheran-heran. Dia menjadi girang dan segera
menjura dengan dalam. “Aihh, kiranya mataku sudah lamur saking tuanya, tidak
melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata, tidak melihat kedatangan
seorang yang memiliki kesaktian hebat! Nona Lu, engkau benar-benar
menggirangkan dan mengagumkan hatiku, dan kami Tiat-ciang-pang akan berterima
kasih sekali apa bila Nona sudi membantu kami!”
Ceng Ceng
duduk kembali, lalu berkata tenang, “Aku ingin mendengar dulu dalam hal apa aku
dapat membantumu, Pangcu.”
“Membantu
memperkuat kedudukanku agar kita dapat merampas kedudukan bengcu, Nona Lu.”
“Hemmm...
bagaimana mungkin aku membantu engkau mengejar kedudukan untukmu, Pangcu? Aku
tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pribadi orang lain...”
“Jangan
salah mengerti, Nona Lu. Aku tidak haus akan kedudukan. Aku sudah menjadi
pangcu dari Tiat-ciang-pang, itu pun sudah cukup memusingkan. Siapa sudi
menjadi bengcu yang hanya akan menghadapi banyak pekerjaan yang memusingkan
belaka? Kalau aku ingin merampas kedudukan itu hanyalah untuk menyelamatkan
seluruh golongan hek-to (jalan hitam)!”
“Menyelamatkan
bagaimana?”
“Agar jangan
sampai mereka itu dibawa menyeleweng!”
Hampir saja
Ceng Ceng tertawa keras mendengar ini. Pangcu ini ingin menjaga agar kaum
sesat, manusia-manusia yang terang sudah hidup menyeleweng itu tidak dibawa
nyeleweng! Betapa lucu dan anehnya!
“Aku tidak
mengerti, Pangcu. Menyeleweng bagaimana yang kau maksudkan?”
“Dengar
baik-baik, Nona. Kaum pemberontak diam-diam sudah merajalela di seluruh pelosok
dan kini mereka itu berusaha untuk menguasai dan mempengaruhi kaum hek-to. Biar
pun kami tergolong orang-orang dari hek-to, namun kami memiliki kehormatan.
Urusan mencopet dan merampok adalah urusan pekerjaan, akan tetapi menjadi
pemberontak adalah suatu kerendahan dan merupakan perbuatan hina! Kami dari
Tiat-ciang-pang menentangnya mati-matian. Karena tidak ingin melihat golongan
hek-to diperalat oleh seorang bengcu yang menjadi kaki tangan pemberontakan, maka
mati-matian kami hendak mempertahankannya agar kedudukan bengcu tidak sampai
terjatuh ke tangan seorang kaki tangan pemberontak!”
Ceng Ceng
mengangguk-angguk. Mengertilah dia kini akan persoalannya, dan diam-diam dia
merasa heran dan kagum juga mengapa seorang ketua perkumpulan kaum sesat ini
memiliki jiwa patriot juga! Tentu saja Ceng Ceng siap sedia untuk membantu
kerajaan menghadapi pemberontak. Betapa pun juga, dia adalah keturunan dari
orang-orang yang setia kepada negara!
“Baiklah,
kalau begitu aku akan membantu, Pangcu. Akan tetapi ingatlah baik-baik, aku
bukan membantu engkau pribadi atau membantu Tiat-ciang-pang, melainkan membantu
untuk menentang kaki tangan pemberontak! Nah, sekarang jelaskan, siapa dan
pihak manakah yang menjadi kaki tangan pemberontak di antara golongan hek-to?”
“Di antara
kami kaum sesat telah terpecah belah menjadi empat kelompok,” Ketua
Tiat-ciang-pang itu menuturkan. Dan selanjutnya dengan panjang lebar ia lalu
menceritakan keadaan kaum sesat yang berkumpul di tempat itu.....
Di antara
empat kelompok kaum sesat itu, kelompok pertama tentu saja perkumpulan
Tiat-ciang-pang diketuai oleh Tong Hoat yang merasa bahwa perkumpulannya adalah
perkumpulan penjahat-penjahat yang berjiwa gagah dan patriotik, yang menentang
usaha pihak pemberontak untuk menarik kaum sesat sebagai sekutunya. Kelompok
kedua adalah kelompok yang dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk menguasai
dunia kaum sesat membujuk mereka yang belum mau menggabungkan diri, dan
kelompok ini terdiri dari para pencuri, dipimpin oleh seorang maling terkenal
yang berjuluk Tangan Malaikat!
Kelompok
ketiga hanya terdiri dari belasan orang bajak yang dipimpin oleh dua orang
kakak beradik she Ma dan mereka ini adalah orang-orang yang bermuka dua atau
orang-orang yang licik, yang berjanji suka membantu pemberontak asal mereka
diberi kedudukan sebagai bengcu! Sedangkan kelompok keempat adalah para
penjudi, ialah sisanya yang tetap tidak memihak mana pun, bahkan menganggap
bahwa urusan pemberontakan terhadap pemerintah bukanlah urusan mereka.
Melihat
perpecahan di antara kaum sesat ini maka Tong Hoat memelopori diadakannya
pertemuan pada hari itu untuk memilih bengcu. Tentu saja kesempatan ini
dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk dapat menguasai mereka, bahkan
Pangeran Liong Bin Ong sendiri segera mengirim utusan untuk menjamin agar
pihaknya berhasil menguasai golongan hitam yang merupakan kekuatan yang cukup
besar.
Ceng Ceng
mendengarkan penuturan ini dengan penuh perhatian, dan kemudian dia berkata,
“Kalau begitu, seperti telah kukatakan tadi, Pangcu, urusan antara golonganmu
tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku. Akan tetapi, kalau aku melihat bahwa
kaki tangan pemberontak ingin menguasai golonganmu untuk kepentingan
pemberontakan, tentu aku akan turun tangan menentangnya.”
Tong Hoat
sudah merasa cukup puas dengan janji ini dan tidak lama kemudian dia mengajak
Ceng Ceng keluar karena pertemuan akan segera dimulai. Empat kelompok itu sudah
berkumpul di sekeliling lapangan luas di tepi sungai, dan jelas tampak bahwa
kelompok terbesar adalah kelompok Tiat-ciang-pang. Juga kelihatan jelas bahwa
empat kelompok itu masing-masing memiliki jagoan-jagoan yang berdiri di depan
tiap-tiap kelompoknya. Di tengah-tengah lapangan rumput yang mereka kelilingi
itu terdapat sebuah bangunan panggung yang luasnya tidak kurang dari sepuluh
meter persegi. Panggung itu dijaga di bawahnya oleh para anggota
Tiat-ciang-pang yang bertindak sebagai pengundang atau tuan rumahnya.
Dengan
gerakan ringan seperti seekor burung garuda melayang, Tong Hoat sudah meloncat
ke atas panggung. Dia menjura keempat penjuru, lalu berkata lantang, “Cu-wi
(Saudara Sekalian) yang terhormat tentu sudah maklum bahwa pertemuan ini
diadakan untuk melakukan pemilihan seorang bengcu. Kita semua membutuhkan
seorang bengcu. Kita semua membutuhkan seorang pemimpin di jaman kacau ini agar
dapat mengadakan ketertiban antara kita semua. Karena kita adalah orang-orang
yang mengandalkan kekuatan tangan kaki untuk dapat hidup, maka pemilihan bengcu
pun didasarkan atas tingkat kekuatan tangan dan kaki. Siapa yang terpandai di
antara kita, dari golongan mana pun dia datang, berhak untuk menjadi bengcu dan
memimpin kita semua. Kami persilakan orang gagah yang ingin memasuki pemilihan
untuk naik ke panggung.” Tong Hoat lalu menjura lagi dan melompat turun
membiarkan panggung itu kosong lagi untuk menanti munculnya para calon bengcu.
Tak lama
kemudian berkelebat dua bayangan orang yang meloncat ke atas panggung. Ceng
Ceng yang menyelinap di antara para anggota Tiat-ciang-pang dan mencari-cari
musuhnya dengan harapan kalau-kalau dia akan dapat menemukan pemuda laknat di
antara para kaum sesat ini, melihat bahwa yang berada di atas panggung adalah
dua orang laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima puluh tahun, bertubuh
tinggi besar dan keduanya memiliki sikap yang kasar seperti tukang-tukang
pukul.
Seorang di
antara mereka mengeluarkan setumpuk kartu dari sakunya, mengocok kartu itu
sambil tersenyum dan berkata kepada teman-temannya, “Wah, mudah-mudahan saja
ada lawan yang tebal kantong!”
Dari sikap
ini Ceng Ceng sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah dua orang penjudi
ulung. Namun orang kedua hanya tersenyum, kemudian dia menjura ke empat penjuru
dan berkata, “Kami adalah dua saudara seperguruan dan golongan kami paling
tidak suka melihat urusan politik. Pemerintah mau pun pemberontak bukanlah
sekutu kami. Di antara golongan kami, kami berdua menjadi calon bengcu dan
kalau saja kami berdua berhasil menduduki kursi bengcu, kami berdua akan
mengatur agar semua kaum kita tidak mencampuri urusan pemerintah mau pun
pemberontak.”
“Ho-ho-ho,
manusia-manusia sombong!” Terdengar bentakan dan kelihatan dua sosok bayangan
orang melayang ke atas panggung. Mereka adalah dua orang kakak beradik she Ma
seperti yang telah diceritakan oleh Tong Hoat kepada Ceng Ceng. Dengan lagak
sombong kedua orang she Ma yang bertubuh tinggi kurus itu memperkenalkan diri.
“Kami dua
orang kakak beradik Ma Ciang dan Ma Kai tidak hendak menjanjikan apa-apa lebih
dulu seperti dua orang sombong ini. Jika kami telah berhasil menjadi bengcu,
baru akan kami adakan peraturan yang harus diturut oleh semua kawan.”
Orang kedua
dari kakak beradik Ma ini lalu menghampiri dua orang pertama sambil membentak,
“Hayo kalian turun lagi sebelum kami paksa untuk turun!”
“Ha-ha-ha!”
Penjudi yang mempermainkan kartu-kartunya tertawa lepas. “Kami sudah mendengar
akan kelihaian kakak beradik she Ma, tukang-tukang todong yang disegani. Akan
tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut. Dalam memperebutkan kedudukan
bengcu, hak kami pun sama besarnya dengan kalian atau siapa juga. Lebih baik
kalian yang turun dari pada mendapat malu dan kalah oleh kami berdua,
ha-ha-ha!”
“Cet-cet-cett-cettt...!”
Penjudi itu tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya.
Empat helai
kartunya melayang dan menyambar papan, dan di situ empat helai kartu itu
menancap sampai setengahnya lebih. Semua orang melongo dan merasa kagum juga
ngeri. Ternyata hebat sekali penjudi ini. Kartu-kartunya pun dapat dipergunakan
sebagai senjata rahasia yang demikian ampuh. Mengenai papan yang keras saja
menancap sampai dalam, jika mengenai tubuh orang tentu akan hebat akibatnya,
tidak kalah oleh senjata rahasia apa pun.
Akan tetapi
Ma Ciang tertawa bergelak ketika dia mencabut sebuah di antara empat helai
kartu yang menancap di papan itu. “Ha-ha-ha, dasar ular-ular kartu, tentu
pandai bermain gila dengan kartu-kartunya!” Dia meremas kartu itu dan terdengar
bunyi seperti barang keras patah-patah. Ternyata kartu terbuat dari besi tipis
dan digambari seperti kartu, bukan kartu kertas biasa!
Dua orang
penjudi itu menjadi marah dan telah mencabut senjata pedang mereka yang
tersembunyi di balik baju, kemudian maju menerjang. Akan tetapi kakak beradik
she Ma telah siap, dengan gerakan lincah mereka mencelat ke belakang dan
mencabut golok mereka. Maka terjadilah pertandingan mati-matian antara dua
orang penjudi dan dua orang perampok itu. Suara senjata pedang bertemu golok
terdengar sangat nyaring dan sinarnya berkelebat mengerikan.
Ceng Ceng
menonton dan menahan napas. Mendadak hatinya terasa tegang. Melihat pertempuran
bukan merupakan tontonan aneh baginya, akan tetapi dia melihat seorang pemuda
yang muncul di antara para anggota golongan sesat itu dan hatinya tegang sekali
ketika dia mengenal pemuda itu. Seorang pemuda tampan yang menyelinap di antara
banyak orang, hanya sebentar saja tampak olehnya namun segera pemuda itu lenyap
kembali, agaknya berdiri di bagian belakang dan sengaja menyembunyikan diri.
Pemuda itu
bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Melihat kehadiran pemuda yang dia tahu amat
lihai ini, dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang hebat. Ceng
Ceng yang cerdik dapat menduga bahwa tentu pemuda itu mewakili kaum pemberontak
untuk menguasai golongan sesat.
Melihat
munculnya Tek Hoat, otomatis Ceng Ceng juga menyelinap ke belakang para anggota
Tiat-ciang-pang agar pemuda itu tak melihatnya. Dari belakang beberapa orang
dia mengintai dan mencari-cari, namun bayangan Tek Hoat sudah tidak kelihatan
lagi. Teriakan kesakitan membuat Ceng Ceng menoleh dan memandang ke atas
panggung.
Ternyata dua
orang penjudi itu terhuyung dan terluka oleh golok kedua orang kakak beradik
she Ma dan sekarang kedua orang perampok tunggal itu menggunakan kaki menendang
lawan yang sudah terluka. Dua orang penjudi langsung terlempar ke bawah
panggung dan cepat ditolong oleh kawan-kawan mereka yang segera mengundurkan
diri karena setelah dua orang jagoan mereka kalah, mereka tidak mempunyai
harapan lagi untuk kemenangan bagi golongan mereka.
Dua orang
saudara Ma masih berdiri di atas panggung memegang golok mereka sambil
tersenyum-senyum memandang keempat penjuru. Beberapa kali mereka mengajukan
tantangan kepada calon bengcu lain untuk menguji kepandaian, namun tidak
kelihatan ada yang meloncat naik. Hal ini memang disengaja oleh para kaki
tangan pemberontak yang dipimpin oleh Si Tangan Malaikat setelah dia mendapat
perintah dari pemuda yang mewakili utusan Pangeran Liong Bin Ong.
Tek Hoat
memang sangat cerdik. Kalau orang-orangnya sendiri yang maju dan merebut
kedudukan bengcu, hal itu akan terlalu mencolok dan kurang baik, kecuali jika
memang terpaksa. Kalau sekarang dua orang saudara Ma yang dia tahu merupakan
orang-orang bermuka dua, dapat menjadi bengcu, hal itu lebih baik. Mudah untuk
mempengaruhi dua orang ini dengan jalan menyogok dengan uang. Yang penting bagi
dia, atau bagi pemberontak adalah agar kaum sesat jangan sampai dikuasai oleh
Tiat-ciang-pang yang anti pemberontak dan mempunyai kesetiaan kepada kerajaan.
Oleh karena inilah, maka dia memerintahkan agar anak buahnya, termasuk Si
Tangan Malaikat, jangan menyambut tantangan dua orang saudara Ma, bahkan boleh
menyumbang suara untuk mengangkat mereka sebagai bengcu!
Ma Ciang dan
Ma Kai yang melihat bahwa mereka tidak disambut orang, menjadi heran dan juga
girang. Ma Ciang lalu berkata lantang, “Saudara sekalian, rekan-rekan yang
terhormat! Kalau memang tidak ada lagi calon lainnya yang merasa cukup kuat
untuk mengalahkan kami, maka kami minta agar kalian memberi suara dan
mengangkat kami sebagai bengcu dan wakilnya!”
“Setuju...!”
“Kita
mengangkat kedua saudara Ma sebagai bengcu dan wakilnya!”
Keadaan
menjadi ribut sekali karena suara mereka yang memberikan suaranya, tentu saja
didukung oleh semua anak buah para pemberontak yang menyelundup di antara
mereka. Hanya golongan yang tadi kalah saja yang diam dan hanya menonton dengan
wajah muram, sedangkan golongan Tiat-ciang-pang tiada seorang pun yang
bersuara.
“Lu-siocia
(Nona Lu), lihatlah betapa anak buah pemberontak telah mendukung mereka,
sedangkan dua orang itu adalah orang-orang bermuka dua yang mudah saja dibeli.
Apakah Nona tidak akan turun tangan?” bisik Tong Hoat Ketua Tiat-ciang-pang
kepada Ceng Ceng.
Ceng Ceng
menggelengkan kepalanya. “Tadi sudah kukatakan bahwa aku tidak akan mencampuri
urusan pemilihan bengcu, dan aku hanya turun tangan kalau anak buah pemberontak
sendiri yang naik ke panggung, itu pun kalau engkau sudah tidak mampu
mengatasinya, Pangcu.”
Ketua itu
mengangguk. “Baiklah, aku hanya dapat mengharapkan bantuan Nona untuk membela
negara karena aku pun bukan seorang yang haus akan kedudukan bengcu.” Setelah
berkata demikian, Tong Hoat berteriak keras mengatasi suara gaduh mereka yang
sedang menyokong suara kepada dua orang saudara Ma.
Teriakannya
ini membuat semua orang ini diam, apa lagi ketika mereka melihat Ketua
Tiat-ciang-pang sudah meloncat naik ke atas panggung. Kedua orang saudara Ma
memang sudah sejak tadi menanti munculnya jagoan dari Tiat-ciang-pang ini, maka
kini mereka menghadapi Tong Hoat sambil tersenyum.
Ma Ciang
berkata, “Aihhh, kiranya Pangcu sendiri sebagai tuan rumah yang memberi
penghormatan kepada kami! Apakah Pangcu dan semua anggota Tiat-ciang-pang tidak
rela kalau kami yang terpilih menjadi bengcu?”
Ma Kai juga
turut berkata, “Agaknya pangcu dari Tiat-ciang-pang juga menginginkan kedudukan
bengcu!”
Tong Hoat
memandang tajam dan suaranya terdengar lantang oleh semua orang ketika dia
menjawab, “Saya adalah pangcu dari Tiat-ciang-pang dan saya sama sekali tidak
haus akan kedudukan bengcu. Kalau kami mempelopori pertemuan dan mengadakan
pemilihan bengcu ini adalah karena kami melihat adanya perpecahan di antara
kami. Sekarang, Ji-wi telah menang dari dua orang saudara dari golongan penjudi
tadi. Akan tetapi, seorang bengcu dan wakilnya harus orang-orang yang memiliki
ilmu kepandaian cukup tinggi untuk dapat diandalkan oleh golongan kita semua.
Karena itu, terpaksa karena tidak ada lagi yang mau naik, saya sendiri yang akan
menguji apakah Ji-wi sudah tepat dan pantas untuk menjadi bengcu dan wakilnya.
Kalau memang cukup kuat dan lihai, tentu saja kami juga akan setuju jika Ji-wi
diangkat menjadi pimpinan.”
“Bagus!
Dengan lain kata-kata Pangcu menantang kami berdua! Kai-te (Adik Kai), hayo
kita coba kelihaian pangcu dari Tiat-ciang-pang ini!”
Setelah
berkata demikian, Ma Ciang dan Ma Kai memutar-mutar golok mereka di atas kepala
dan bergerak mengelilingi Ketua Tiat-ciang-pang itu.
“Tidak adil!
Tidak adil!” tedengar teriakan dari para anggota Tiat-ciang-pang.
“Dua orang
mengeroyok satu orang sudah tidak adil!”
“Apa lagi
kalau menggunakan golok mengeroyok seorang bertangan kosong!”
Teriakan-teriakan
ini terdengar susul-menyusul dan disokong pula oleh golongan yang tadinya
diwakili oleh dua orang penjudi. Golongan ini memang tidak mendukung atau
menentang pemberontakan, akan tetapi melihat Ketua Tiat-ciang-pang akan
dikeroyok dua, mereka merasa tidak senang.
Ma Ciang dan
Ma Kai menjadi malu juga. Wajah mereka merah dan sambil tertawa Ma Ciang
menyimpan goloknya diturut oleh adiknya, lalu berkata, “Baiklah, kalau pangcu
dari Tiat-ciang-pang ngeri melihat darah, kami akan melayani dengan tangan
kosong pula, kecuali kalau Pangcu jeri menghadapi kami bersama.” Ucapan ini pun
lantang terdengar oleh semua orang.
Tong Hoat
mengerutkan alis. Dia maklum bahwa kedua orang ini hanya besar mulutnya belaka.
Biar pun mereka menggunakan golok, dia pun tidak takut, apa lagi bertangan
kosong. Melihat gerakan mereka tadi ketika melawan dua orang jagoan pertama,
dia sudah dapat menilai tingkat mereka dan merasa pasti akan dapat mengalahkan
mereka berdua, bersenjata mau pun tidak.
“Silakan
Ji-wi maju, saya sudah siap menghadapi Ji-wi maju bersama!” teriaknya.
Ma Ciang dan
Ma Kai menjadi girang. Mereka mengira bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini telah
berhasil mereka bakar hatinya sehingga malu untuk mundur. Sambil menggereng
seperti dua ekor harimau kelaparan, mereka menerjang ke depan, mencengkeram dan
memukul.
Tong Hoat
sudah bersiap. Tubuhnya bergerak mengelak dan menangkis, lalu mengirim pukulan
balasan.
“Dukkk!
Dukkk!”
Dua orang
bersaudara Ma terhuyung ke belakang, meringis kesakitan. Lengan mereka terasa
sakit sekali saat beradu dengan lengan Tong Hoat yang tentu saja mengerahkan
ilmunya Tangan Besi! Akan tetapi dua orang itu bukan menjadi jera, bahkan
menjadi penasaran dan marah, lalu menerjang lagi dengan lebih dahsyat yang
disambut dengan tenang oleh Tong Hoat.
Lega hati
Ceng Ceng menyaksikan jalannya pertandingan itu. Dia yakin bahwa Ketua
Tiat-ciang-pang yang benar-benar lihai ilmu silatnya bertangan kosong itu akan
dapat mengalahkan kedua orang lawannya dengan mudah sehingga dia tidak perlu
turun tangan membantu. Setelah melihat munculnya Tek Hoat, dia menjadi makin
ragu untuk mencampuri urusan pemilihan bengcu ini. Kecuali kalau Tek Hoat
sendiri yang maju, terang bahwa pihak pemberontak ingin menguasai golongan ini
dan kalau demikian halnya, dia tentu akan turun tangan! Sekarang, melihat Tong
Hoat mendesak kedua orang lawannya, perhatiannya kembali ditujukan untuk
mencari musuh besarnya dan dia mulai bergerak perlahan mencari-cari di antara
para hadirin yang banyak jumlahnya itu.
Pertandingan
di atas panggung masih berjalan dengan seru. Kedua orang saudara Ma dengan
bernapsu mencoba untuk mengalahkan Ketua Tiat-ciang-pang, tetapi karena memang
kalah tingkat dan kalah kuat, mereka terdesak terus dan setiap kali Tong Hoat
menangkis dengan pengerahan tenaga, mereka tentu terdorong dan terhuyung ke
belakang dan menyeringai kesakitan, tanda bahwa dalam pertemuan lengan itu
mereka jauh kalah kuat.
Betapa pun
kedua orang itu mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua
kepandaiannya, tetapi belum sampai lima puluh jurus akhirnya mereka harus
mengakui keunggulan Tong Hoat. Dalam kesempatan yang terbuka, Ketua
Tiat-ciang-pang ini menggunakan kekuatan tangan besinya menampar dan
berturut-turut mereka terlempar dari atas panggung. Walau pun Ketua
Tiat-ciang-pang yang masih mengingat akan hubungan antara golongan tidak
memukul keras sehingga mereka tidak sampai terluka parah, namun keduanya tidak
berani nekat naik lagi karena maklum bahwa mereka bukanlah lawan Ketua
Tiat-ciang-pang itu.
“Bagus!
Tiat-ciang-pang mengundang orang hanya untuk memamerkan kepandaian sendiri!”
Terdengar seruan orang dan dari bawah panggung tampak seorang laki-laki tinggi
kurus meloncat naik ke panggung.
Ketika semua
orang memandang, mereka berbisik-bisik dengan hati tegang karena maklum bahwa
tentu akan terjadi pertandingan yang amat hebat antara pendatang baru yang
mereka kenal baik ini menghadapi Ketua Tiat-ciang-pang. Orang tinggi kurus ini
bukan lain adalah tokoh besar golongan maling yang berjuluk Tangan Malaikat!
Kini Tangan Malaikat hendak menantang Tangan Besi, tentu saja akan terjadi
pertandingan ramai!
Sebetulnya
telah lama terdapat kebencian antara dua golongan ini, yaitu golongan para
maling yang bertentangan dengan golongan pencopet dan perampok yang bergabung
dalam perkumpulan Tiat-ciang-pang. Hal ini adalah karena Tiat-ciang-pang
memandang rendah golongan maling, bahkan tak mau menerima seorang pencuri
sebagai anggota, maka tentu saja golongan ini merasa terhina dan menaruh
dendam.
Ketika tokoh
maling yang berjuluk Tangan Malaikat itu yang bernama Lauw Sek, datang dari selatan
dan bergabung dengan golongan maling, mereka merasa menemukan seorang jagoan
dan secara tidak resmi mengangkat Lauw Sek sebagai pimpinan mereka. Lauw Sek Si
Tangan Malaikat ini dengan mudah saja terpikat oleh kaum pemberontak, dan
diam-diam Lauw Sek membawa teman-temannya untuk bersekutu dengan kaki tangan
pemberontak yang ingin menguasai kaum sesat. Lauw Sek adalah seorang yang
memiliki kepandaian cukup tinggi maka dia berani memakai julukan Tangan
Malaikat yang menyatakan bahwa selain pandai ilmu silat, juga dia adalah
seorang ahli mencopet dan mencuri.
Namun,
selama ini ia tidak begitu bodoh untuk mencari perkara dengan Tiat-ciang-pang
yang merupakan perkumpulan besar dan banyak anggotanya. Kini, dalam pertemuan
resmi ini, dimana diadakan pula pemilihan bengcu, apa lagi karena didukung oleh
kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, dia menjadi berani untuk menentang dan
menghadapi orang yang selama ini memang dibenci oleh dia dan kawan-kawannya.
Kini kedua
orang yang diam-diam saling membenci itu berhadapan di atas panggung. Tong Hoat
juga membenci orang ini karena memang dia selalu memandang rendah kaum pencuri
yang dianggapnya pengecut besar, apa lagi setelah dia mulai mengetahui bahwa
Tangan Malaikat dan kawan-kawannya sudah merendahkan diri untuk diperalat oleh
kaum pemberontak.
“Memang
hanya kaum pengecut saja yang mau menjadi pengkhianat,” katanya dengan pandang
mata mengejek. “Kalau golongan kita dipimpin oleh seorang pengecut dan
pengkhianat, hancurlah kita semua!”
Muka Lauw
Sek menjadi merah sekali sebab ucapan itu biar pun tak langsung ditujukan
kepadanya, akan tetapi jelas bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini menghinanya di
depan banyak orang.
“Hemm,
pangcu dari Tiat-ciang-pang, agaknya menurut pandanganmu, tidak ada orang lain
yang lebih pantas menjadi bengcu selain engkau, ya? Hendak kulihat sampai di
mana tingginya kepandaianmu dan apakah tangan besimu itu benar-benar keras
seperti besi!” Setelah berkata demikian Lauw Sek sudah maju menerjang dengan
dahsyat, menggunakan kedua tangannya yang bergerak cepat sekali hingga
tampaknya seolah-olah dia memiliki enam buah lengan!
Tong Hoat
maklum bahwa kepandaian orang ini tidak boleh disamakan dengan dua orang
saudara Ma tadi, maka dia pun cepat menggerakkan tubuh dan kedua tangannya
menangkis sambil membalas dengan pukulan yang tidak kalah dahsyatnya.
Cepat sekali
gerakan dua orang itu, yang kelihatan hanyalah bayangan banyak tangan,
kadang-kadang dikepal, kadang-kadang terbuka, saling pukul dan saling tangkis
dan terdengar suara bersiutnya hawa pukulan kedua belah pihak yang agaknya
mempunyai kecepatan yang berimbang. Lauw Sek yang berhati besar karena merasa
mempunyai dukungan amat kuat, bernafsu sekali untuk mengalahkan lawan, maka
gerakannya cepat dan serangannya bertubi-tubi seperti air membanjir.
Sebaliknya
Tong Hoat bersikap hati-hati dan tenang. Gerakannya mantap, kokoh kuat
membendung banjir serangan itu dan tiap kali menangkis, dia mengerahkan ilmu
yang diandalkannya, yaitu Tangan Besi. Berkali-kali dua pasang lengan itu
bertemu dengan dahsyat, kadang-kadang mengeluarkan bunyi berdetak seolah-olah
dua tulang yang kuat saling beradu, namun keduanya tidak kelihatan terdorong
dan agaknya sama kuatnya.
Meski pun
Lauw Sek kelihatan juga kuat dan pantas berjuluk Tangan Malaikat, karena
kelihatannya dia tidak terpengaruh oleh benturan tangan yang amat kuat dari
Tong Hoat, akan tetapi sebetulnya dia merasa betapa kedua lengannya nyeri dan
makin lama makin hampir tak tertahankan olehnya. Setiap kali bertemu dengan
lengan lawan, dia merasa seolah-olah tulang lengannya retak dan maklumlah dia
bahwa biar pun dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah jauh oleh lawan, namun
harus dia akui bahwa Tong Hoat benar-benar memiliki lengan yang kuat dan keras
seperti besi! Diam-diam dia mengeluh dan teringatlah dia akan pesan pemuda
sakti utusan Pangeran Liong Bin Ong yang berpesan agar dia berhati-hati
menghadapi tangan besi lawan, dan pemuda yang dia tahu amat sakti itu telah
meminjamkan sebuah sarung tangan kepadanya.
Sarung
tangan itu dia simpan di dalam saku bajunya, sebab dia tidak mau memakainya.
Akan tetapi setelah sekarang memperoleh kenyataan betapa lihainya Ketua
Tiat-ciang-pang, teringatlah dia akan pesan pemuda itu dan segera dia melompat
mundur sambil tertawa. Dikeluarkannya sarung tangan berwarna hitam itu dan
dipakainya di tangan kanan. Tercium bau yang wangi-wangi aneh memabokkan.
Tong Hoat
tidak mengenal sarung tangan itu. Dia hanya dapat menduga bahwa sarung tangan
itu tentu merupakan senjata yang ampuh, akan tetapi karena bukan merupakan
senjata tajam, dia memandang rendah.
“Hemmm,
apakah lenganmu sudah terasa nyeri maka engkau menggunakan sarung tangan itu?”
dia mengejek.
Lauw Sek
tersenyum. “Tanganmu memang keras seperti besi, tetapi jangan mengira aku
takut. Tangan besimu akan mencair kalau bertemu dengan sarung tangan ini!”
Tek Hoat
tentu saja tidak percaya dan dia sudah menerjang lagi. Dia tadi sudah hampir
memperoleh kemenangan karena pihak lawan sudah terus didesaknya. Kini dengan
pengerahan tenaga pada kedua lengannya, dia menyerang tanpa mempedulikan sarung
tangan hitam yang melindungi tangan kanan dan sebagian dari lengan kanan Lauw
Sek.
“Plak-plak!
Dukkk...!”
Tong Hoat
meloncat ke belakang dengan kaget sekali, lalu menggosok-gosok lengan kirinya
yang bertemu dengan lengan kanan bersarung tangan dari lawannya. Lengan kirinya
terasa gatal-gatal dan panas sekali! Wajahnya berubah. Tahulah dia kini bahwa
sarung tangan itu ternyata ampuh sekali dan tentu mengandung racun yang amat
jahat!
“Kau
curang...!” serunya.
“Ha-ha-ha,
Pangcu. Kau takut...?” Lauw Sek tertawa mengejek dan siap menyerangnya kembali.
“Pangcu
harap mempergunakan obat dari Lihiap ini, dilumurkan pada kedua tangan!”
Tiba-tiba terdengar seruan ini dan seorang anggota Tiat-ciang-pang telah
melemparkan sebuah bungkusan ke arah ketuanya.
Mendengar
ini Tong Hoat menerima dengan girang dan tahulah dia bahwa nona Lu Ceng
diam-diam telah membantunya. Mengingat betapa nona itu dapat menghabiskan
beberapa cawan arak bercampur racun tanpa akibat apa-apa, dia maklum bahwa
pendekar wanita itu adalah seorang ahli racun, maka dia cepat membuka bungkusan
itu. Di dalamnya terdapat cairan kental seperti lumpur, berwarna kuning. Cepat
dia membalurkan semua obat itu pada tangan dan lengannya. Rasa gatal dan panas
pada tangan kanannya lenyap seketika, dan kedua lengannya terasa dingin.
“Majulah,
siapa takut sarung tangan beracunmu?” Dia membentak dan menyerang lagi.
Terjadilah
pertandingan mati-matian. Lauw Sek selalu menggunakan tangan kanannya yang
memakai sarung tangan, namun sekarang lawannya menangkis dan menerima tanpa
ragu-ragu lagi dan setiap kali mereka bertemu lengan dan tangan, dan karena
memang dia kalah kuat tenaganya, maka dia yang merasa kedua lengannya
sakit-sakit. Seratus jurus telah lewat dan pertandingan itu makin seru.
Tetapi kini
Lauw Sek main mundur dan selalu menghindarkan pertemuan kedua lengan karena
kedua lengannya sudah bengkak-bengkak dan nyeri bukan main. Kesempatan baik
dipergunakan oleh Tong Hoat ketika Lauw Sek yang sudah tidak berani menangkis
itu berusaha mengelak dari pukulan lawan. Tong Hoat menggerakkan kedua kakinya,
mainkan ilmu tendangan berantai dan akhirnya Lauw Sek terkena sebuah tendangan
kaki kiri yang membuat tubuhnya terlempar ke bawah panggung!
Sorak-sorai
dan tepuk tangan menyambut kemenangan Tong Hoat, tidak saja dari para anggota
Tiat-ciang-pang, akan tetapi juga dari mereka yang tadi dikalahkan oleh dua
orang saudara Ma. Namun di bawah sorak-sorai yang diselingi oleh
teriakan-teriakan yang menyatakan mengangkat Tong Hoat sebagai bengcu itu,
tampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan Ketua Tiat-ciang-pang
itu telah berdiri seorang pemuda tampan yang bertubuh sedang saja dan
kelihatannya tidak seperti seorang yang lihai.
Pakaian
pemuda ini sederhana saja, dengan jubah atau baju luar yang berwarna biru tua,
celana kuning dan baju dalam putih. Biar pun pakaiannya terbuat dari kain yang
mahal dan baru, tetapi potongannya biasa dan sederhana saja sehingga dia
kelihatan hanya seperti seorang pemuda pekerja yang sederhana dari kota.
Rambutnya yang hitam panjang merupakan kuncir yang besar mengkilap, bergantung
di punggungnya. Kulit mukanya putih, membuat ketampanan wajahnya makin
mencolok. Sinar matanya tajam berapi dan bibirnya yang tersenyum simpul seakan
mengejek.
Melihat
pemuda ini, Ceng Ceng cepat mendekati panggung dan memandang dengan penuh
perhatian dan ketegangan karena dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah
Ang Tek Hoat!
“Tiat-ciang-pangcu,
apa syaratnya bagi seorang bengcu yang dipilih dalam pertemuan ini?” Ang Tek
Hoat bertanya, suaranya lantang namun halus dan tenang. “Bukankah syaratnya
adalah orang yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara kita semua?”
Tong Hoat
memandang pemuda itu penuh selidik, akan tetapi dia merasa belum pernah melihat
pemuda ini. Kalau pemuda ini merupakan seorang tokoh kaum sesat di sekitar kota
raja, tentu dia mengenalnya. Maka tentu pemuda ini seorang anggota biasa saja,
atau kalau dia seorang pandai, tentu datang dari daerah lain.
“Benar
demikian, orang muda. Engkau siapakah dan datang dari mana?”
Tek Hoat
tersenyum. “Aku she Ang dan ingin memasuki pemilihan bengcu ini. Jika aku dapat
mengalahkan engkau, apakah aku dipilih menjadi bengcu dan semua golongan hitam
di daerah ini lalu tunduk kepada semua perintahku?”
Tong Hoat
mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal pemuda ini dan siapa tahu pemuda ini
adalah kaki tangan pemberontak. Akan tetapi tentu saja dia tidak berhak
melarang, dan teringat kepada Nona Lu yang sanggup untuk menentang kaki tangan
pemberontak kalau mereka hendak menguasai golongan hitam untuk bersekutu.
“Orang muda
she Ang, tentu saja siapa pun boleh mencoba kepandaian untuk menjadi bengcu.
Akan tetapi, sekarang keadaan negara sedang kacau, dikacau oleh usaha
orang-orang yang hendak memberontak terhadap pemerintah yang sah. Oleh karena
itu, seorang bengcu harus pula dapat melindungi semua anggotanya agar jangan
sampai terseret ke dalam pemberontakan, karena pekerjaan itu adalah amat hina.
Biar pun kita disebut golongan hitam atau kaum sesat, namun kita masih
mempunyai kehormatan untuk tidak menjadi pengkhianat bangsa dan negara!”
Tek Hoat
tersenyum lebar. “Pangcu, saya kira urusan itu terserah kepada bengcu yang
telah dipilih, bukan? Dialah yang akan memutuskan tentang segala persoalan dan
peraturan, dan hal itu merupakan urusan belakang. Sekali lagi, kalau saya mampu
mengalahkan pangcu, berarti saya menjadi bengcu?”
Tong Hoat
menggeleng kepalanya. “Belum tentu, selama masih ada calon lain engkau harus
dapat mengalahkan semua calon.”
“Itu adalah
hal yang mudah. Bagaimana kalau lawan saya sampai tewas?”
Tong Hoat
mengerutkan alisnya dan timbullah kemarahannya. Sikap pemuda ini sama sekali
tak memandang mata padanya, seolah-olah sudah yakin akan kemenangannya. Biar
pun sikap pemuda itu tenang saja, namun kata-katanya amat memandang rendah dan
membayangkan kesombongan hebat!
“Terluka
atau mati adalah resiko dalam pertandingan silat!”
“Bagus,
kalau begitu biarlah aku merobohkan Pangcu dulu, baru merobohkan lain orang
yang berani naik ke sini.”
Tentu saja
ucapan ini membuat Tong Hoat marah sekali, akan tetapi di antara para anggota Tiat-ciang-pang
ada yang tertawa geli dan menganggap pemuda itu seorang yang sudah miring
otaknya karena bicara sedemikian mudahnya hendak merobohkan pangcu mereka dan
merampas kedudukan bengcu.
Akan tetapi
Ceng Ceng memandang dengan penuh kekhawatiran. Dia maklum bahwa nyawa Ketua
Tiat-ciang-pang itu terancam bahaya hebat, akan tetapi tentu saja dia tidak
hendak mencampurinya. Yang membuat dia khawatir adalah melihat betapa Tek Hoat
kini sudah turun tangan sendiri dan kalau sampai pemuda ini yang menjadi bengcu,
tentu saja semua kaum sesat di daerah itu akan diseretnya menjadi kaki tangan
pemberontak! Dan dia harus menghalangi usaha pemuda ini! Biar pun sedikit, dia
harus memperlihatkan kesetiaannya kepada kerajaan sebagai keturunan kakeknya,
seorang bekas pengawal yang setia! Dia harus menentang para pemberontak!
Sementara
itu, Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat sudah menerjang pemuda yang membakar hatinya
itu. Serangannya dahsyat sekali, kedua tangannya bergantian mengirim pukulan
dengan disertai pengerahan tenaga sinkang sekuatnya, mengerahkan Ilmu
Tiat-ciang yang paling kuat. Karena marahnya, ketua ini ingin sekali pukul
merobohkan pemuda sombong ini.
Pemuda ini
jelas bukan anggota golongan daerah situ, maka membunuhnya pun bukan merupakan
hal terlalu besar. Terhadap rekan sedaerah, dia masih sungkan membunuh, akan
tetapi pemuda yang sombong itu boleh jadi adalah kaki tangan pemberontak, maka
membunuhnya bahkan amat baik, tentu akan membikin jeri calon lain.
Dengan
pikiran demikian, maka begitu menerjang maju, Tong Hoat telah mengeluarkan
jurus yang paling hebat. Bagai halilintar kedua tangannya menyambar
susul-menyusul, yang kanan memukul ke arah lambung lawan, yang kiri dengan jari
terbuka mendorong ke arah dada disertai tenaga Tiat-ciang yang dahsyat.
“Bukk!
Desss!”
Dua pukulan
itu dengan tepat mengenai sasaran, akan tetapi tubuh pemuda itu sama sekali
tidak bergoyang. Bahkan Tong Hoat seketika menjadi pucat mukanya ketika merasa
betapa kedua tangannya bertemu dengan tubuh yang kerasnya melebihi baja, yang membuat
kedua pukulannya membalik dan lengan tangannya seperti dibakar.
Pada saat
itu, Tek Hoat menggerakkan tangan kirinya dan ujung jari-jari tangannya
menyentuh dada Ketua Tiat-ciang-pang itu. Tanpa mengeluarkan suara apa pun Tong
Hoat terjengkang, kedua tangannya dikembangkan, matanya melotot dan dia roboh
seperti sebatang balok, roboh di atas papan panggung dan tidak dapat bergerak
lagi!
Sejenak
semua orang menahan napas. Keadaan menjadi sunyi. Semua mata melotot terbelalak
penuh kekagetan dan keheranan melihat kepada pemuda itu. Sukar bagi mereka
untuk dapat percaya betapa seorang lihai seperti Ketua Tiat-ciang-pang itu
roboh oleh seorang pemuda tak terkenal dalam hanya satu gebrakan saja. Lebih
aneh lagi karena mereka melihat betapa pukulan kedua tangan Tiat-ciang-pangcu
itu, yang terkenal memiliki Ilmu Tangan Besi, dengan tepat mengenai dada dan
lambung pemuda itu, namun bukan pemuda itu yang roboh, melainkan Si Ketua yang
lihai itu! Hanya Ceng Ceng yang sudah mengenal kelihaian Tek Hoat, tidak menjadi
heran sungguh pun dia menjadi makin kagum dan yakin akan kehebatan ilmu
kepandaian Tek Hoat.
“Ilmu
setan!”
“Bunuh
siluman itu!”
Teriakan-teriakan
ini terdengar dari mulut para anggota Tiat-ciang-pang dan enam orang tokoh
Tiat-ciang-pang yang merupakan pembantu-pembantu utama dari pangcu, sudah naik
ke atas panggung. Akan tetapi, orang-orang yang berdiri di sekitar panggung itu
hanya melihat pemuda itu tersenyum dan menggerakkan dua tangannya bergantian
dan... berturut-turut enam orang itu roboh pula terjengkang di atas papan
panggung tanpa dapat bergerak lagi!
Keadaan
menjadi geger. Dua orang penjudi yang tadi dikalahkan dua orang saudara Ma
menjadi penasaran dan marah. Mereka bersama belasan orang anggota
Tiat-ciang-pang dan sahabat-sahabat baik Tong Hoat sudah meloncat naik ke atas
panggung dengan senjata-senjata tajam di tangan, langsung menerjang dan
mengeroyok pemuda itu.
Ceng Ceng
melihat sambil tersenyum. Dia tahu bahwa semua orang itu mengantar nyawa secara
percuma saja. Dan apa yang terjadi di atas panggung memang amat mengerikan dan
mengherankan semua orang yang menonton di bawah. Pemuda itu dengan sikap
tenang-tenang saja menghadapi semua serangan orang yang menyerbu dengan senjata
tajam seperti hujan menyambar ke arah tubuhnya.
Tiba-tiba
saja tubuhnya berkelebat dan para pengeroyok itu terkejut dan bingung karena
tubuh pemuda itu telah lenyap dari tengah mereka. Tiba-tiba, seperti halilintar
cepatnya Tek Hoat membagi-bagi tamparan dengan jari-jari tangannya dan dalam
waktu singkat saja lebih dari lima belas orang sudah roboh. Tubuh mereka
bergelimpangan malang-melintang memenuhi papan panggung.
“Apakah
masih ada lagi orang yang tak mau menerima aku sebagai bengcu?” Pemuda itu
berseru, suaranya lantang sekali, terdengar sampai jauh di bawah panggung.
“Kalau ada yang masih penasaran dan ingin menguji kepandaian, silakan naik.”
Tentu saja
semua orang kini telah yakin akan kesaktian pemuda itu dan tidak ada yang
begitu bodoh untuk mengantarkan nyawa, bahkan suasana menjadi sunyi sekali
sampai beberapa lamanya. Pemuda itu lalu menggunakan kaki tangannya, menendangi
dan melempar-lemparkan tubuh para korbannya ke bawah panggung. Melihat
orang-orang yang jumlahnya lebih dari dua puluh itu terlempar ke atas tanah dan
tidak bergerak lagi, para anggota Tiat-ciang-pang cepat mengadakan pemeriksaan.
Terdengarlah teriakan-teriakan tertahan ketika mereka melihat bahwa semua tubuh
itu telah tidak bernyawa lagi dan di dahi semua mayat itu tampak bekas jari
tangan yang menghitam!
“Si Jari
Maut...!”
Terkejutlah
semua orang yang berada di situ. Bahkan dua orang saudara Ma dan Si Tangan
Malaikat sendiri juga terkejut, tidak mengira bahwa pemuda utusan Pangeran
Liong Bin Ong itu adalah Si Jari Maut yang namanya sudah dikenal lama dan
ditakuti semua orang, biar pun jarang yang pernah melihat mukanya. Kiranya
inilah orangnya! Rasa kagum dan girang bahwa mereka kini akan dipimpin oleh
seorang penjahat yang terkenal amat lihai, membuat semua orang, bahkan termasuk
anggota-anggota Tiat-ciang-pang, berseru keras, “Hidup bengcu kita yang baru!”
“Hidup Si
Jari Maut...!”
Tek Hoat
tersenyum dan mengangkat dua lengannya ke atas. Suasana menjadi hening dan
tidak ada seorang pun yang berani mengeluarkan suara. Setelah memandang ke
empat penjuru, Ang Tek Hoat lalu berkata dengan suara nyaring, “Kalian telah
melihat sendiri bahwa aku adalah satu-satunya orang yang menang dalam semua
pertandingan di atas panggung ini. Oleh karena itu, apakah kalian setuju
mengangkat aku sebagai bengcu?”
“Setuju...!”
Semua orang berteriak.
Akan tetapi
di antara gemuruh suara yang menyatakan setuju ini, terdengar suara melengking
yang mengatasi semua suara itu, “Tidak setuju...!”
Tentu saja
suara melengking ini mengejutkan sekali, membuat semua orang terdiam dan
menoleh ke kanan kiri untuk mencari suara wanita yang melengking itu. Tek Hoat
juga berdiri di tengah panggung dan matanya bergerak liar ketika dia melihat
sesosok bayangan orang melayang naik ke atas panggung.
Dia sudah
marah sekali dan sudah siap menghadapi orang yang hendak menentangnya itu. Akan
tetapi ketika secara tiba-tiba itu dia melihat bahwa yang meloncat naik dan
kini berdiri di depannya adalah seorang gadis cantik dan yang bukan lain adalah
Ceng Ceng, wajahnya berubah dan dia cepat-cepat memutar tubuhnya, membalik dan
tidak mau berhadapan muka dengan Ceng Ceng! Hal ini adalah karena secara
otomatis dia teringat akan janji dan sumpahnya, dan tanpa disadarinya sendiri
tahu-tahu dia sudah memutar tubuh dengan jantung berdebar tegang.
Gerakan Tek
Hoat ini tentu saja melegakan dan menyenangkan hati Ceng Ceng dan dia cepat
mengeluarkan sehelai sapu tangan yang memang sejak tadi sudah dipersiapkan,
lalu berkata, “Hemm, sapu tanganmu telah berada di tanganku, jangan sekali-kali
kau berani memandangku!”
“Aku... aku
tidak akan memandangmu...” berkata Tek Hoat yang masih dipengaruhi oleh
kekagetan dan masih gugup.
Ceng Ceng
adalah seorang yang amat cerdik. Dia maklum bahwa sekarang setelah menjadi
bengcu, tentu saja Tek Hoat akan menjaga namanya sebagai seorang gagah, bukan
orang yang suka melanggar sumpah dan janji! Tetapi dia tidak boleh percaya
kepada seorang seperti pemuda ini yang tidak segan-segan merendahkan diri menjadi
kaki tangan pemberontak. Maka dia lantas berkata dengan lantang, ditujukan
kepada semua orang yang berada di bawah,
“Haiii,
Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Laki-laki ini yang bernama Ang Tek Hoat,
dia telah bersumpah bahwa setiap kali bertemu dengan aku, dia akan memejamkan
mata atau tidak akan memandangku. Sapu tangannya ini yang menjadi saksi mati!
Tidakkah benar kata-kataku, hai... Ang Tek Hoat?”
Tek Hoat tak
dapat menyangkal dan terpaksa dia menganggukkan kepalanya. “Benar dan aku sudah
memenuhi janji. Nah, pergilah!”
Ceng Ceng
tertawa akan tetapi menutupi mulutnya. Dia gembira sekali karena tiba-tiba dia
memperoleh pikiran yang amat baik, yang dianggapnya akan membuat dia mampu
mencari musuh besarnya. Dia ingin menjadi bengcu!
“Nanti dulu,
Tek Hoat! Engkau harus menyerahkan kedudukan bengcu kepadaku, dan kau tidak
boleh membangkang!”
“Apa...? Ah,
untuk apa kedudukan bengcu bagimu?”
“Tidak perlu
engkau tahu. Pendeknya, kedudukan bengcu harus diserahkan kepadaku. Bagaimana?
Apakah kau berani tidak taat kepadaku dan melanggar sumpahmu sebagai seorang
pengecut yang menjilat ludah sendiri?”
Diam-diam
hati Tek Hoat mendongkol sekali. Hemmm, kau tunggu saja, pikirnya. Bocah nakal.
Akan tiba saatnya aku membalas semua ini! Kalau saja sapu tangan itu dapat
dirampasnya. Kalau saja dia bisa melupakan janji dan sumpah itu. Dia sendiri
merasa heran dan tidak mengerti mengapa dia begitu lemah kalau menghadapi gadis
ini.
“Baiklah,
sesukamulah,” jawabnya.
“Harus kau
umumkan kepada mereka bahwa aku adalah bengcu, dan engkau adalah pembantuku!”
kata pula Ceng Ceng. Dia sengaja hendak menggunakan pengaruhnya untuk dua
tujuan. Pertama, dia mencegah kaum sesat dipengaruhi pemberontak, dan kedua,
dia hendak menggunakan kedudukan sebagai bengcu itu untuk mengerahkan
orang-orangnya mencari pemuda laknat, musuh besarnya!
Tek Hoat
menghela napas panjang. Sementara ini, dia terpaksa harus tunduk kepada gadis
ini. Memang, kalau dia menghendaki tentu saja dia dapat menyerang dan
merobohkan gadis ini, tidak mentaati perintahnya. Akan tetapi, kalau hal itu
dia lakukan, dan dia sangsi apakah dia bisa melakukannya karena dia selalu
merasa lemah terhadap gadis ini, dia tentu akan dianggap sebagai seorang
laki-laki pengecut yang melanggar sumpahnya sendiri terhadap seorang gadis. Dan
dalam kedudukannya sebagai seorang ketua, hal itu tentu akan mencemarkan
namanya!
“Cu-wi
sekalian, dengarlah baik-baik! Aku yang telah mengalahkan semua calon dan yang
telah kalian angkat menjadi bengcu, mulai saat ini menyerahkan kedudukan bengcu
kepada Nona...” tiba-tiba dia menoleh kepada Ceng Ceng dan hendak bertanya,
“Ehhh...!” Akan tetapi teringat bahwa dia tidak boleh memandang, dia cepat
membuang muka lagi sambil bersungut-sungut dan bertanya, “Aku lupa lagi...
siapakah namamu?”
“Bodoh!
Namaku Lu Ceng.”
Tek Hoat
kembali berseru nyaring, “Kedudukan bengcu kuserahkan kepada Nona Lu Ceng dan
mulai saat ini dialah yang menjadi bengcu, sedangkan aku hanya menjadi
wakilnya...”
“Bukan wakil
melainkan hanya pembantu!” Ceng Ceng menghardik.
“Bukan
wakilnya, hanya pembantunya...!”
Tentu saja
semua orang terheran-heran menyaksikan semua ini. Seorang yang memiliki
kesaktian seperti itu, yang memiliki jari maut yang begitu mengerikan dan
kepandaian yang demikian tinggi, kenapa berubah menjadi seekor domba saja
berhadapan dengan gadis ini?
Namun ada
beberapa orang yang tidak hanya terheran saja, melainkan juga penasaran sekali.
Tentu ada rahasia yang mereka tidak mengerti, yang memaksa pemuda utusan
Pangeran Liong Bin Ong itu menjadi takut dan taat kepada gadis muda dan cantik
itu. Tidak mungkin karena kalah pandai, dan tentu karena sumpah dan janji yang
tidak berani dilanggarnya. Mereka itu adalah dua orang saudara Ma dan Si Tangan
Malaikat. Mereka berunding sebentar, kemudian mereka mengambil keputusan untuk
membantu Tek Hoat dan menyerang gadis yang mengacaukan semua rencana itu.
“Perempuan
setan, jangan banyak lagak engkau di sini!” teriak Si Tangan Malaikat dan
bersama dua orang saudara Ma, dia meloncat ke atas panggung, langsung
menghadapi Ceng Ceng yang menyambut kedatangan tiga orang ini dengan senyum
mengejek dan diam-diam gadis murid Ban-tok Mo-li mengerahkan ilmunya.
“Kalian
sudah bosan hidup? Mampuslah!” bentaknya dan tiga orang itu tentu saja menjadi
marah, masing-masing telah mencabut senjatanya dan hendak menyerbu.
Melihat ini,
Tek Hoat hanya melirik akan tetapi apa yang terjadi kemudian sungguh amat
mengejutkan hatinya, dan tentu saja juga amat mengejutkan semua orang yang
melihat.
Ketika tiga
orang itu menyerbu, tiba-tiba Ceng Ceng meludah tiga kali ke arah mereka.
Serangan aneh ini cepat dan tidak tersangka-sangka sama sekali. Tiga orang
kasar itu tentu saja tidak takut menghadapi serangan ludah seorang gadis cantik
seperti Ceng Ceng, maka mereka pun tidak menunda serangan mereka dan terus
maju. Akan tetapi, tiba-tiba tiga orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan
ketiganya melepaskan senjata roboh ke atas papan dan bergulingan, lalu
berkelojotan dan tak lama kemudian tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi!
Mereka telah menjadi korban ludah beracun dari Ceng Ceng, satu di antara
ilmu-ilmu luar biasa yang diperolehnya dari Ban-tok Mo-li!
Melihat ini,
tahulah Tek Hoat bahwa gadis ini benar-benar seorang yang amat ahli dalam soal
racun. Dahulu ketika Ceng Ceng muncul, gadis ini pun telah memperlihatkan
kelihaiannya dengan menyebar racun untuk menghalangi pengejaran, dan sekarang
kembali telah membuktikan kelihaiannya dalam hal racun.
Lumayan juga
mempunyai teman selihai ini, pikirnya. Lagi pula, selain dia tidak ada niat
sama sekali untuk mengganggu Ceng Ceng, hal yang amat aneh baginya, juga dia
mengharapkan untuk kelak dapat menguasai hati Syanti Dewi melalui gadis ini.
“Engkau
hebat...!” katanya memuji tanpa memandang.
“Dan aku
perkenankan engkau memandangku sekarang,” kata Ceng Ceng. “Tidak enak kalau
mempunyai pembantu yang selalu membelakangiku! Akan tetapi engkau harus taat
dalam segala hal!”
Tek Hoat
tersenyum geli. Lu Ceng ini benar-benar seorang bocah, tetapi telah memiliki
kepandaian beracun yang demikian mengerikan, pikirnya. Dia mengangkat muka,
lalu memandang dan memperoleh kenyataan bahwa biar pun gadis ini sekarang makin
manis, kecantikannya makin matang, tetapi terbayang sesuatu yang amat
mengerikan, sesuatu yang dingin dan penuh kebencian! Akan tetapi anehnya,
begitu memandang, timbul pula rasa iba dan sayang di dalam hatinya terhadap
gadis ini, hal yang sama sekali tidak dimengertinya mengapa demikian.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment