Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 03
DEMIKIANLAH,
sejak hari itu, Tek Hoat tinggal di dalam goa bersama Kong To Tek yang
melayaninya dan yang selalu menjaga di luar goa di waktu Tek Hoat sedang
berlatih ilmu silat. Untuk kedua kalinya, pemuda ini berganti nama, kini
namanya Wan Keng In, biar pun hanya terhadap kakek gundul itu!
Dengan penuh
ketekunan dia mempelajari semua ilmu yang berada di dalam dua kitab itu, dan
melatih diri siang malam, kalau siang berlatih gerakan silatnya, kalau malam
berlatih sinkang dan bersemedhi menurut petunjuk di dalam kitab-kitab itu. Dia
melarang Kong To Tek untuk menimbulkan ribut di luaran, dan semua hartanya
digunakan untuk persedian makan dan pakaian mereka berdua.
Kita
tinggalkan dulu Tek Hoat yang tekun mempelajari ilmu yang mukjijat, ilmu yang
amat hebat dan yang kelak akan menggegerkan dunia, menemukan secara kebetulan
saja karena pembawa pusaka itu, Kong To Tek, telah menjadi gila dan tidak
mengenal orang lagi, mengira Tek Hoat adalah Wan Keng In. Untuk melancarkan
jalannya cerita, sebaiknya kalau kita kembali ke barat, ke daerah Kerajaan
Bhutan, mengikuti pasukan Pemerintah Bhutan yang sibuk mencari rajanya yang
terancam bahaya.
Karena
mengkhawatirkan keselamatan rajanya, maka Panglima Jayin sendiri memimpin
seribu orang prajurit, ditemani oleh panglima pengawal dari rombongan utusan
kaisar, malam-malam berangkat juga meninggalkan kota raja. Pasukan sebanyak
seribu orang itu berderap dalam sebuah barisan panjang keluar dari kota raja.
Obor yang bernyala terang dibawa oleh para prajurit dan diangkat tinggi-tinggi
itu dari jauh kelihatan seperti ribuan kunang-kunang di tengah sawah, atau
seperti bintang-bintang yang bertaburan di langit hitam. Kalau mereka berlari
untuk mengimbangi derap langkah kaki kuda yang cepat, maka dari jauh obor-obor
itu menciptakan pemandangan yang lebih indah, seperti seekor naga api merayap.
Barisan
panjang itu naik turun bukit dan masuk keluar hutan, akhirnya mereka tiba di
sebuah padang rumput yang amat luas. Tiba-tiba Panglima Jayin memberi aba-aba
dan pasukannya berhenti. Jauh di sebelah utara tampak banyak kunang-kunang
bertebaran yang dapat diduga tentulah sebuah barisan lain.
“Agaknya
itulah barisan musuh yang mengganggu raja,” kata Jayin perlahan kepada pengawal
kaisar yang menunggang kuda di sebelahnya. “Bagaimana pendapatmu,
Tan-ciangkun?”
“Kita harus
berhati-hati. Musuh yang sudah menduga akan kedatangan kita tentu telah
mengadakan persiapan dan jebakan. Karena itu, sebelum ciangkun turun tangan,
sebaiknya kalau kita melakukan penyelidikan lebih dulu dan menilai kekuatan dan
kedudukan musuh.”
Panglima
Jayin sependapat dengan Tan-ciangkun. Dia mengangguk-angguk kemudian berkata,
“Tan-ciangkun, karena sekarang kita bertugas untuk menyelamatkan raja, maka aku
tidak berani menyerahkan penyelidikan ini kepada anak buahku. Aku akan pergi
melakukan penyelidikan sendiri, dan harap Tan-ciangkun suka mengawani aku.”
“Tentu saja.
Mari kita pergi.”
Jayin lalu
menyerahkan pimpinan kepada wakilnya dan memesan agar pasukan menanti tanda
dari dia. Kalau sampai besok pagi tidak ada tanda dari dia, pasukan boleh
menyerbu saja ke depan menyerang musuh. Setelah memberikan nasehat dan
perintahnya, Panglima Jayin dan pengawal kaisar itu berangkat. Mereka
menggunakan ilmu berlari cepat.
Kaki mereka
yang berlari di padang rumput itu tidak menimbulkan suara dan seolah-olah
mereka terbang ke depan, berkelebat seperti dua orang iblis di tengah malam
gelap. Hanya bintang-bintang di langit saja yang menjadi penerangan bagi
mereka, dengan cahayanya yang suram.
Tak lama
kemudian, dua orang gagah itu tiba di tempat di mana terdapat api-api bernyala
itu. Mereka tertegun ketika melihat bahwa obor yang ratusan banyaknya itu
ternyata tidak dipegang orang! Bukan pasukan musuh yang memegang obor yang
dilihat mereka dari jauh tadi, melainkan obor-obor bambu yang gagangnya ditancapkan
di atas tanah, dan ratusan buah obor yang bernyala ini mengurung sebuah rumah
kecil dari tembok yang sederhana dan sunyi, sebuah rumah terpencil yang
kelihatan terang oleh banyak obor itu.
“Hemmm, aneh
sekali. Mari kita menyerbu ke dalam, kita periksa isi rumah itu,” kata Panglima
Jayin.
“Ssttttt,
hati-hati, ciangkun. Lihat baik-baik. Obor-obor itu teratur seperti bentuk
barisan pat-kwa. Aku merasa curiga sekali. Ini bukanlah sembarang obor-obor
saja, melainkan sebuah benteng! Ini tentulah buatan orang pandai. Kalau kita
lancang masuk, kita akan terjebak, mungkin bisa masuk takkan bisa keluar lagi.
Biarlah aku memeriksanya dulu.”
Panglima
Bhutan itu mengangguk dan Tan Siong Khi si jenggot panjang cepat melompat dan
berlari mengelilingi benteng obor itu. Benar seperti dugaannya, barisan obor
itu merupakan benteng yang kokoh kuat dan banyak mengandung rahasia. Dia
sendiri akan sangsi untuk memasuki benteng obor ini, karena tentu banyak bahaya
maut mengancamnya. Dia telah tiba kembali di tempat Panglima Jayin menantinya
dengan hati tegang.
“Benar,
sukar menembus benteng obor ini. Pula, kita harus berhati-hati. Kalau tidak
sudah jelas dan penting, mengapa kita harus memasuki dan menyelidiki rumah itu?
Kita tidak tahu jebakan apa yang menanti kita di sana...”
Tiba-tiba
terdengar langkah orang, banyak sekali. Dua orang gagah ini cepat membalikkan
tubuh, Panglima Jayin sudah mencabut pedangnya dan pengawal Tan Siong Khi sudah
siap menghadapi bahaya. Dan ternyata yang muncul itu orang-orang Mongol dan
Tibet yang ganas dan kasar, yang kini sedang menyerang kedua orang itu sambil
berteriak-teriak.
Hujan
senjata datang menyerbu kedua orang gagah itu. Panglima Jayin mengamuk dengan
pedangnya, sedangkan Tan-ciangkun yang gagah perkasa itu menghadapi para pengeroyoknya
dengan tangan kosong. Senjatanya hanyalah kaki tangannya ditambah jenggotnya
yang panjang. Akan tetapi jenggot ini tidak kalah hebatnya oleh pedang di
tangan Panglima Jayin dan terpelantinglah beberapa orang pengeroyok terdepan,
roboh oleh kelebatan pedang Jayin dan hantaman jenggot yang melecut-lecut!
Akan tetapi
pihak pengeroyok terlalu besar jumlahnya dan mereka itu terdiri dari
orang-orang kasar yang tidak takut mati. Bagaikan segerombolan serigala buas,
kurang lebih seratus orang itu mengeroyok Jayin dan Tan Siong Khi maka setelah
merobohkan belasan orang, kedua orang gagah ini mulai terdesak hebat, bahkan
keduanya sudah terluka di pundak karena sambaran golok para pengeroyok.
“Jayin-ciangkun,
terpaksa kita masuk ke benteng obor!” kata Tan-ciangkun dan dia mendahului
meloncat masuk.
Ketika
melihat betapa para pengeroyok itu agaknya jeri dan tidak berani mengejar
temannya, Panglima Jayin juga ikut melompati sebuah obor yang tingginya sama
dengan manusia itu. Hampir saja pakaiannya terbakar, maka dengan hati-hati dia
lalu menyelinap di antara obor-obor itu mendekati Tan Siong Khi.
Dengan
hati-hati sekali mereka masuk selangkah demi selangkah, akan tetapi ternyata
jalan menjadi buntu dengan obor-obor menghadang di depan, dan hawa panas dari
obor-obor itu membuat mereka berkeringat, asap dari obor membuat napas menjadi
sesak.
Para
pengeroyok tadi sekarang menyerang mereka dari luar benteng obor dengan
menggunakan anak panah! Tentu saja kedua orang gagah itu menjadi semakin sibuk!
Baru barisan obor itu saja membuat mereka kewalahan dan tidak tahu ke mana
harus melangkah, kini diserang lagi oleh hujan anak panah. Repotlah mereka
mengelak dan karena tempat mereka berpijak terkurung obor dan sempit, terpaksa
Tan Siong Khi menggunakan jenggot dan jubahnya yang dipegang di tangan kanan
untuk menangkis, sedangkan Jayin menangkis dengan pedangnya. Keadaan mereka
berbahaya sekali karena kalau penyerangan itu dilanjutkan, dalam waktu singkat
mereka tentu akan terkena anak panah dan kalau roboh terjilat api, tentu mereka
akan terbakar hidup-hidup!
Dalam
keadaan yang sangat gawat itu, tiba-tiba terdengar suara yang jelas sekali,
seolah-olah orang yang bicara itu berada di dekat mereka, suara yang penuh
wibawa dan halus tenang. “Ke kiri melalui tiga obor...!”
Mendengar
suara ini, dua orang gagah itu saling pandang, kemudian mereka segera melangkah
ke kiri sampai melalui tiga batang obor.
“Maju
melalui sebatang obor...,” kembali terdengar suara itu. “Lalu ke kanan melalui
empat batang obor...!”
Dituntun
oleh suara itu, dua orang gagah itu bergerak sambil terus menangkisi anak
panah. Suara itu terus menuntun mereka sampai akhirnya mereka dapat masuk makin
jauh dan tidak ada lagi anak panah dapat mencapai mereka. Tak lama kemudian,
suara yang memimpin itu membawa mereka tiba di depan pintu rumah di tengah-tengah
kelilingan benteng obor!
Pintu rumah
terbuka dan tampaklah panglima pertama dari Bhutan, yaitu Panglima Sangita yang
mengawal raja berburu. “Masuklah cepat, dan untung kalian masih dapat
tertolong.”
Dua orang
itu cepat masuk dan daun pintu ditutup lagi oleh Panglima Sangita. Begitu
memasuki rumah, dua orang gagah itu terkejut dan girang sekali melihat bahwa
Raja Bhutan telah berada di situ, duduk di atas sebuah kursi dalam keadaan
sehat dan selamat. Dan di depan raja itu berdiri seorang laki-laki yang aneh.
Laki-laki
yang rambutnya panjang riap-riapan, rambut yang sudah putih semua, wajahnya
masih kelihatan segar tidak setua rambutnya, sepasang matanya tajam
bersinar-sinar aneh penuh wibawa, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi,
pakaiannya sederhana dan kelihatannya seperti orang biasa saja. Yang paling
menyolok adalah keadaan kakinya. Kaki kirinya buntung sebatas paha, dan dia
berdiri bersandar pada sebatang tongkat butut. Juga sikapnya amat menyolok
karena dia seolah-olah tidak bersikap hormat kepada Raja Bhutan, melainkan
bersikap biasa saja berdiri bersandar tongkat di depan tubuh dan meja di
belakangnya.
Melihat
rajanya, dengan girang Jayin lalu menjatuhkan diri berlutut, dan Tan-ciangkun
juga berlutut di depan Raja Bhutan.
“Hamba
menghaturkan selamat bahwa paduka masih dalam keadaan selamat!” kata panglima
itu dengan girang dan bersyukur.
“Berkat
pertolongan orang gagah ini,” kata Raja Bhutan sambil menunjuk ke arah
laki-laki berkaki buntung itu. “Kami dan Panglima Sangita sudah dikepung musuh
dalam rumah ini, dan Panglima Sangita mempertahankan diri mati-matian.
Tiba-tiba muncul orang gagah ini yang memukul mundur musuh, kemudian membuat
benteng obor sehingga musuh tidak dapat masuk ke sini. Bangkitlah kalian dan
mari kita rundingkan bagaimana baiknya agar kami dapat pulang ke kota raja.”
Setelah
mendapat perkenan raja, kedua orang itu bangkit. “Sri baginda, sahabat ini
adalah pengawal kaisar bernama Tan Siong Khi, dia datang bersama rombongan
utusan kaisar.”
“Ahhh,
sungguh menyesal, Tan-ciangkun. Urusan itu terpaksa ditunda karena kami
tertahan di sini. Hal itulah yang membuat kami banyak pikiran dan ingin lekas
dapat kembali ke kota raja.”
Tiba-tiba
mereka semua dikejutkan oleh Tan Siong Khi yang begitu melihat pria buntung
itu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan laki-laki itu! Baru sekarang dia
melihat laki-laki itu, karena tadi dia berlutut menghadap Raja Bhutan.
“Harap
taihiap sudi memaafkan saya yang terlambat tahu. Kiranya taihiap yang telah
menyelamatkan raja!” Sikap Tan Siong Khi merendah dan juga penuh hormat dan
kagum.
Laki-laki
buntung itu menahan senyumnya, berkata halus, “Tan-ciangkun, apa perlunya
segala kesungkanan ini? Raja Bhutan sendiri tidak memperkenankan kau berlutut,
apa lagi hanya aku! Bangkitlah dan mari duduk membicarakan cara untuk
menyelamatkan raja dari tempat ini.”
Raja Bhutan
dan dua orang panglimanya tentu saja terheran-heran. Panglima Tan Siong Khi
adalah seorang berkedudukan tinggi, selain menjadi pengawal kepercayaan kaisar,
juga menjadi pemimpin rombongan utusan kaisar untuk memboyong puteri Bhutan.
Tetapi pengawal itu berlutut di depan laki-laki buntung yang gagah perkasa ini!
Tentu saja
mereka tidak tahu, karena laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti di
Tiongkok. Dia bukan lain adalah Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman,
Majikan Pulau Es yang bernama Suma Han. Tentu saja bukan tidak ada sebabnya
mengapa seorang pengawal kaisar sampai memberi penghormatan dengan berlutut.
Pendekar
Siluman ini adalah mantu kaisar! Isterinya, Puteri Nirahai adalah puteri kaisar
yang amat terkenal. Bahkan puteri pendekar luar biasa ini, Puteri Milana,
sekarang menjadi seorang puteri di kota raja, cucu kaisar dan telah menikah
dengan seorang panglima muda yang berkedudukan tinggi, yaitu Panglima Han Wi
Kong. Maka sepatutnyalah kalau pengawal ini berlutut di depan mantu kaisar ini,
bukan hanya karena kedudukannya, juga karena kepandaiannya yang amat hebat, yang
membuat Pengawal Tan tunduk dan kagum!
“Harap
paduka rundingkan rencana penyelamatan paduka dengan tiga orang gagah ini, saya
sendiri hendak meneliti keadaan di luar.” Tiba-tiba pendekar itu berkata dan
terpincang-pincang dia menuju ke pintu, membuka pintu dan berdiri di samping
pintu, termenung memandang keluar ke arah benteng obor yang dibuatnya.
Ketika
melihat raja dan panglimanya dikepung siang tadi, dia sudah cepat menolong,
akan tetapi sukarlah mengalahkan ratusan orang Mongol dan Tibet itu. Tentu saja
dia tidak mau memihak dan membunuhi mereka, maka untuk menyelamatkan raja dalam
sementara waktu, dia lalu membuat benteng obor itu.
Raja Bhutan
lalu mengajak kedua panglimanya dan Tan-ciangkun untuk berunding.
“Betapa pun
juga, besok hari kami harus sudah berada di kota raja. Urusan puteri kami
amatlah penting, dan jika makin terlambat, tentu akan tidak menyenangkan hati
kaisar. Ahh, salahku sendiri mengapa pergi berburu menghadapi urusan besar. Dan
mengapa manusia-manusia biadab itu tidak dibasmi sejak dahulu!”
“Mereka itu
jumlahnya lebih tiga ratus orang, mungkin kini sudah ditambah lagi dan mereka
bersembunyi mengurung tempat ini,” kata Panglima Sangita yang berusia lima
puluh tahun itu.
“Pasukan
kita masih menanti agak jauh, dan sudah hamba pesan untuk bergerak pada besok
pagi-pagi. Kalau pasukan kita datang, tentu dengan mudah menghancurkan mereka,”
berkata Panglima Jayin.
“Bagus kalau
begitu!” kata raja. “Kita menanti sampai besok pagi.”
“Sayang
sekali, obor-obor ini tidak akan dapat bertahan sampai besok pagi. Sebentar
lagi juga padam karena kehabisan minyak,” tiba-tiba terdengar suara halus
tenang, suara Pendekar Siluman dan suara ini pula yang tadi ‘menuntun’ Jayin
dan Tan Siong Khi sampai di rumah itu. Mereka terheran, kecuali Tan-ciangkun,
betapa orang buntung itu dapat mendengarkan percakapan mereka, padahal dia
sendiri jauh di ambang pintu depan dan kelihatan termenung memandang keluar.
“Ah, kalau
begitu bagaimana?” Raja bertanya khawatir.
“Bagaimana
kalau kita bertiga menerjang keluar, kemudian seorang di antara kita lari
memanggil pasukan?” Jayin mengusulkan.
“Tidak
baik,” kata Tan-ciangkun. “Kita bertiga tentu takkan dapat melawan mereka, dan
kalau kita bertiga roboh, berarti sia-sia belaka. Lawan terlalu banyak. Andai
kata kita bertiga dapat menyelamatkan diri, bagaimana dengan sri baginda?”
Kini semua
mata yang diliputi kekhawatiran itu tertuju kepada Pendekar Siluman yang masih
berdiri membelakangi mereka.
“Taihiap,
bagaimana baiknya?” Tiba-tiba sri baginda berkata kepada Pendekar Siluman.
“Harap taihiap suka menolong kami, dan kelak hadiah apa yang taihiap minta
tentu akan kami penuhi!”
Tan-ciangkun
cepat memberi isyarat dengan gelengan kepala kepada Raja Bhutan, dan raja ini
agaknya maklum akan kesalahannya, maka dia cepat berkata lagi, “Maksud kami,
kami tidak akan melupakan budi kebaikan taihiap yang amat berharga itu.”
Tubuh yang
berkaki satu itu berputar dan sepasang mata yang lembut namun tajam sekali
berkata, seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri, tidak menjawab langsung
ucapan Raja Bhutan itu, “Dapatkah disebut perbuatan baik apa bila perbuatan itu
dilakukan dengan pamrih sesuatu sebagai pendorongnya? Tidak ada pamrih baik
atau buruk, yang ada hanya pamrih saja, keinginan untuk memperoleh sesuatu,
baik berupa harta benda, kedudukan, nama besar, atau keinginan untuk menjadi
baik dengan perbuatan baik. Perbuatan seperti itu bukan baik, melainkan palsu
dan munafik. Perbuatan barulah benar apa bila dilakukan tanpa disadari sebagai
suatu perbuatan baik, tanpa dorongan kewajiban atau apa saja, melainkan wajar
dan polos penuh kasih.”
Raja Bhutan
tercengang, juga merasa terpukul. Kiranya laki-laki yang cacat ini, selain
memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga memiliki kebijaksanaan luar biasa!
“Taihiap,
bagaimana sebaiknya untuk dapat menyelamatkan Sri Baginda Bhutan yang menjadi
calon besan kaisar kita?” Tiba-tiba si jenggot Tan Siong Khi bertanya.
“Kita
menunggu sampai api obor padam.” Pendekar Siluman berkata tenang sambil terpincang-pincang
masuk dan kembali dia bersandar pada meja. “Dalam keadaan gelap, lebih mudah
bagi kalian bertiga untuk menerjang keluar dan menyelamatkan diri. Aku akan
berusaha untuk membawa sri baginda keluar.” Setelah berkata demikian Pendekar
Siluman bersandar kepada meja dan tongkatnya, memejamkan kedua matanya
seolah-olah tidur sambil berdiri!
Melihat
sikap ini, tidak ada yang berani menegur atau membantah. Raja mengangguk dan
kedua orang panglima itu segera menjaga di luar pintu, menunggu sampai obor
kehabisan minyak dan padam seperti yang direncanakan Pendekar Siluman tadi.
Raja,
Tan-ciangkun dan Pendekar Siluman masih berada di dalam rumah. Rumah kecil ini
memang merupakan bangunan yang khusus dibangun di situ untuk tempat raja
beristirahat apa bila sedang melakukan olah raga berburu binatang. Maka biar
pun kecil, cukup kuat dan lengkap.
Keadaan
menjadi tegang. Api unggun dalam tempat api yang bernyala di depan raja hampir
padam dan raja tidak mempedulikannya. Ketegangan menghilangkan rasa dingin.
Tiba-tiba raja terkejut, juga Tan-ciangkun kaget menengok ketika tiba-tiba
pintu luar dibuka oleh Panglima Sangita yang berteriak.
“Sudah ada
di antara obor yang padam!”
Semua mata
kini memandang kepada Pendekar Siluman, mengharapkan petunjuk. Karena memang
mereka semua, termasuk Raja Bhutan, hanya mengandalkan kemampuan pendekar itu
untuk dapat keluar dari tempat itu dengan selamat. Sikap pendekar yang selalu
tenang itu menimbulkan harapan besar.
Dia
menghadapi tiga orang gagah itu, dua Panglima Bhutan dan seorang pengawal
kaisar, lalu berkata, “Kalian bertiga tunggu dan lihat baik-baik. Kalau semua
obor di sebelah kiri pintu sudah kupadamkan semua, kalian boleh menerobos
keluar ke arah kiri. Dalam keadaan gelap, pihak musuh tentu tidak berani
sembarangan mengeroyok, khawatir mengenai kawan sendiri. Selagi mereka sibuk
menyalakan obor, kalian harus cepat-cepat meninggalkan tempat itu, selalu
bersatu merobohkan lawan, saling membantu dan saling melindungi, akan tetapi
jangan sampai terpancing dan terlibat dalam pertandingan karena kalau obor
sudah terpasang semua kalian semua tentu tidak akan dapat lolos lagi. Jumlah
musuh terlalu banyak dan mereka adalah orang-orang yang tidak kenal menyerah.”
Tiga orang
itu mengangguk, akan tetapi Panglima Jayin bertanya tidak sabar karena bagi
hamba setia seperti dia, yang terpenting adalah keselamatan rajanya, “Bagaimana
dengan sri baginda?”
“Sri baginda
adalah bagianku untuk mengawalnya keluar. Beliau akan menanti kalian di tempat
pasukan kalian berada.”
Ucapan ini
mengherankan mereka bertiga. Sikap pendekar ini demikian tenang, dan demikian
pasti! Benarkah pendekar itu akan berhasil membawa raja ke tempat pasukan lebih
dulu dari pada mereka?
“Sebelum
kita mulai, aku hendak bertanya lebih dulu kepada kedua Panglima Bhutan. Aku
sedang mencari kedua orang puteraku yang bernama Suma Kian Lee dan Suma Kian
Bu. Apakah Ji-wi pernah melihat atau mendengar nama mereka di daerah Bhutan?”
Dua orang
Panglima Bhutan itu saling pandang lalu menggelengkan kepala. Pendekar Siluman
menghela napas panjang, lalu berkata, “Aku hanya minta apa bila sewaktu waktu
Ji-wi (anda berdua) mendengar mereka berada di sini, agar suka membujuk mereka
untuk pulang ke Pulau Es dan menerima mereka sebagai sahabat.”
“Tentu saja,
taihiap!” Tiba-tiba raja menjawab. “Kami akan mengerahkan pasukan penyelidik
untuk mencari mereka.”
“Terima
kasih.” Pendekar Siluman membungkuk, kemudian melanjutkan bertanya kepada
Tan-ciangkun, “Apakah Tan-ciangkun juga tidak mendengar tentang mereka di
sepanjang perjalanan?”
“Sayang
sekali tidak, taihiap.”
Kembali
pendekar itu menarik napas panjang. “Tidak mengapa, biarlah. Mari kita mulai.
Harap paduka juga ikut keluar dan selalu dekat dengan saya, sri baginda.”
Mereka
berlima segera membuka pintu dan keluar. Benar saja, sudah ada sebagian obor
yang padam, sebagian pula sudah hampir padam, akan tetapi keadaan masih terang
oleh nyala obor.
Sekilas
tampak beberapa bayangan bergerak-gerak di seberang. Tentu keadaan itu
menimbulkan ketegangan juga di pihak musuh. Mereka sudah mengurung sejak siang
tadi dan betapa pun mereka berusaha, mereka tidak mampu memasuki benteng obor,
bahkan sudah ada beberapa orang yang menjadi korban dan mati terbakar. Kini
obor mulai padam dan agaknya mereka sudah bersiap-siap untuk menerjang ke rumah
itu jika semua obor sudah padam.
Orang yang
berada di dalam rumah kecil itu amat penting bagi mereka. Kalau bisa menawan
Raja Bhutan, tentu mereka dapat memaksa Kerajaan Bhutan untuk menakluk kepada
mereka! Atau setidaknya, tentu mereka yang berada di Bhutan bersedia untuk
menukar raja dengan harta dalam jumlah besar!
Tiga orang
gagah itu terbelalak penuh kagum ketika melihat betapa hanya dengan dua genggam
tanah yang disambit-sambitkan, Pendekar Siluman berhasil memadamkan semua obor
di sebelah kiri. Akan tetapi mereka tidak berhenti untuk mengagumi kelihaian
ini, melainkan cepat berlari maju ke depan dan menerjang keluar seperti yang
dipesankan oleh Pendekar Siluman.
Dua orang
Panglima Bhutan bersenjatakan pedang sedangkan Tan-ciangkun sudah mencabut
sebatang bambu obor dan mereka bergerak cepat sekali, menyelinap di antara
bambu-bambu obor yang sudah padam. Tak lama kemudian terdengarlah ribut ribut
di sebelah seberang, tanda bahwa tiga orang gagah itu sudah tiba di seberang
benteng obor dan sudah mulai membuat jalan darah untuk lolos dari kepungan
musuh.
Suma Han Si
Pendekar Super Sakti sudah memadamkan obor di sebelah kanan dengan sabitan
tanah pula. Kemudian dengan tenang dia berkata, “Harap paduka suka duduk di
punggung saya.”
Tanpa
ragu-ragu Raja Bhutan lalu merangkul leher penolongnya dan digendong seperti
seorang anak kecil. Kemudian Raja Bhutan terpaksa memejamkan matanya karena
ngeri ketika merasa betapa tubuhnya meloncat ke depan, terus dibawa berloncatan
oleh Pendekar Siluman melalui atas bambu-bambu obor itu.
Seperti juga
tiga orang gagah itu, ketika tiba di seberang, Pendekar Siluman disambut oleh
orang-orang Mongol dan Tibet. Akan tetapi karena keadaan gelap dan mereka belum
sempat menyalakan obor, mudah saja bagi Pendekar Siluman untuk merobohkan
beberapa orang terdepan dengan tongkatnya, kemudian tubuhnya meloncat ke atas,
melalui kepala mereka, bahkan kadang-kadang menginjak pundak seseorang dipakai sebagai
landasan untuk meloncat lagi.
Gegerlah
semua musuh ketika mereka menghadapi orang yang pandai ‘menghilang’ ini, dan
tak lama kemudian Pendekar Siluman sudah berhasil lolos dari kepungan dan
berlari cepat membawa Raja Bhutan ke pasukan Kerajaan Bhutan yang masih menanti
kembalinya dua orang penyelidik itu, dan bersiap-siap untuk menyerbu begitu
malam berganti pagi.
Tentu saja
kedatangan raja mereka itu disambut dengan pekik sorak gemuruh. Akan tetapi
raja sudah berseru keras, “Cepat serbu ke sana! Dua orang panglima dan
Tan-ciangkun masih di sana dikeroyok musuh!”
Kemudian
barisan segera membawa delapan ratus orang prajurit menyerbu, sedangkan yang
dua ratus ditinggalkan untuk mengawal raja kembali ke kota raja. Dalam
keributan ini, diam-diam Pendekar Siluman telah lolos dan ketika raja
mencarinya, dia sudah pergi jauh sekali!
Setelah pagi
tiba, pasukan kerajaan kembali dengan membawa kemenangan. Hampir tiga perempat
jumlah musuh dapat terbasmi dan mereka kembali dipimpin oleh dua orang panglima
dan juga bersama Tan-ciangkun. Dengan gembira mereka lalu mengawal Raja Bhutan
kembali ke kota raja. Raja bersyukur sekali akan tetapi dia juga merasa
menyesal mengapa pendekar yang telah menyelamatkannya itu pergi tanpa pamit.
Diam-diam
dia kagum sekali, berterima kasih dan juga ingin sekali dia mendapat kesempatan
bertemu lagi dengan pendekar berkaki satu itu. Tan-ciangkun yang sudah tahu
akan sifat dan watak Pendekar Super Sakti, hanya tersenyum dan dialah yang
menjadi bulan-bulan pertanyaan Raja Bhutan. Selama dalam perjalanan kembali ke
kota raja, Tan-ciangkun terpaksa harus menceritakan segala yang diketahuinya
mengenai diri Pendekar Siluman dan Raja Bhutan makin kagum ketika mendengar
bahwa pendekar yang amat sakti itu ternyata masih mantu dari kaisar sendiri!
Tentu saja
Suma Han atau Pendekar Super Sakti tidak dapat menemukan kedua orang puteranya.
Dia mencari terlampau jauh! Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa dua
orang puteranya itu berada di Pulau Neraka, dan memang sesungguhnya dua orang
pemuda tanggung itu pun tidak mempunyai niatan pergi ke Pulau Neraka. Menurut
dugaan Nirahai dan Lulu, dua orang isterinya, juga dugaannya sendiri, dua orang
anak itu tentu telah pergi ke kota raja di daratan besar untuk mencari Milana.
“Kalau
begitu, biarlah mereka mencari pengalaman,” kata Pendekar Siluman kepada dua
isterinya, karena sesungguhnya dia merasa segan untuk meninggalkan Pulau Es,
meninggalkan kedua orang isterinya tercinta, meninggalkan kehidupannya yang
sudah tenteram di pulau itu, jauh dari pada segala keramaian dan keributan
dunia ramai. Dia sudah merasa muak dengan kehidupan manusia di dunia ramai, di
mana orang selalu mengejar keinginan akan kesenangan jasmani dan rohani dan
dalam pengejaran ini mereka tidak segan-segan untuk saling menyerang, saling
membunuh antara sesama manusia.
“Mereka
sudah cukup besar, sudah lima belas tahun usia mereka, hampir enam belas tahun.
Juga mereka sudah memiliki kepandaian lumayan, tidak perlu lagi kita
mengkhawatirkan diri mereka seperti mengkhawatirkan anak kecil.”
“Akan
tetapi, mereka ini masih hijau, masih belum berpengalaman. Kalau bertemu dengan
orang jahat, tentu mereka menghadapi mala petaka, sedangkan di daratan sana
begitu banyaknya orang-orang jahat!” kata Nirahai.
“Dan banyak
orang-orang golongan hitam yang mendendam kepada keluarga kita. Kalau mereka
mengaku datang dari Pulau Es, tentu mereka akan dimusuhi banyak orang.” Lulu
menyambung.
“Hemm, kalau
tidak sekali waktu menghadapi bahaya, mana bisa matang?” Pendekar Super Sakti
membantah.
Nirahai dan
Lulu berkata hampir berbareng, keduanya cemberut, “Kalau tidak mau menyusul,
biarlah aku yang pergi mencari!”
Suma Han
menarik napas panjang. Takkan ada menangnya bagi dia kalau berdebat melawan
kedua orang isterinya yang pandai bicara ini. Sebelum terlahir kedua orang anak
itu, kedua isterinya selalu taat, tunduk, dan mencurahkan seluruh kasih sayang
dan perhatian mereka kepadanya seorang. Akan tetapi begitu mereka mempunyai
anak, dia menjadi ‘orang ke dua’!
“Dan pula,
sudah lama sekali engkau tidak menjenguk ke kota raja. Bukankah kasihan sekali
Milana kalau tidak pernah kau tengok? Kita tidak tahu bagaimana keadaan anak
kita itu di kota raja.” Suara Nirahai menggetar penuh keharuan dan Pendekar
Super Sakti sudah khawatir kalau-kalau isterinya ini mencucurkan air mata.
“Baiklah,
aku akan mencari dua orang anak bengal itu!” katanya cepat-cepat.
Berangkatlah
Pendekar Super Sakti mencari dua orang puteranya. Mula-mula dia mencari ke kota
raja dan benar saja, seperti yang dikatakan Nirahai, begitu melihat ayahnya,
Milana menjerit dan menubruk ayahnya, menangis terisak-isak seperti anak kecil!
Suma Han merasa terharu juga akan tetapi dia dapat menahan hatinya dan sambil
mengelus rambut puterinya yang masih tetap cantik jelita ini, dia berkata, “Milana,
mengapa kau menangis? Bukankah hidupmu bahagia di sini?”
Suaminya,
Panglima Han Wi Kong setelah menghormat kepada ayah mertuanya, menjawab, “Dia
cukup bahagia, ayah, hanya tentu saja dia amat rindu kepada ayah dan ibu di
Pulau Es.”
“Hemm,
seperti anak kecil saja kau, Milana.” Suma Han lalu duduk dan bercakap-cakap
dengan puterinya dan mantunya. Dia menyayangkan bahwa mereka belum mempunyai
turunan, dan mendengar ini wajah kedua orang itu menjadi muram. Tentu saja
mereka tidak berani menceritakan rahasia hati mereka.
Sudah lama
sekali mereka menjadi suami isteri pada lahirnya saja, padahal sebenarnya
mereka tidak lagi tidur sekamar! Milana menyatakan terus terang bahwa dia tidak
bisa juga untuk belajar mencinta suaminya dan dia pun rela kalau suaminya itu
mengambil selir berapa saja yang dikehendakinya! Namun sampai sebegitu lama,
suaminya tetap belum mau mempunyai selir, hal yang sungguh merupakan suatu
keganjilan bagi kehidupan para bangsawan di masa itu.
“Ayah,
mengapa tidak mengajak Kian Lee dan Kian Bu?” Milana bertanya untuk mengalihkan
percakapan mengenai kehidupannya yang tidak menyenangkan hatinya itu.
Pendekar
Super Sakti menarik napas panjang, “Hemmm..., justeru karena mereka berdua,
bocah-bocah bengal itulah, maka kehidupanku yang sudah tenang tenteram
terganggu. Aku meninggalkan Pulau Es justru untuk mencari mereka yang minggat
dari Pulau Es! Menurut dugaan kami, mereka pergi ke sini mencarimu. Apakah
mereka tidak ada datang ke sini?”
Milana dan
suaminya menggelengkan kepala. “Tidak ada, ayah. Aihhh, ke mana mereka pergi?
Ayah, kalau sudah dapat ditemukan, biarlah Kian Bu tinggal di sini saja
bersamaku. Setidaknya, untuk beberapa bulan...”
“Hal itu
mudah diatur. Aku harus menemukan mereka lebih dulu. Aihhh, ke mana gerangan
mereka? Menurut dugaan kami, tidak ada lain tempat yang sekiranya boleh mereka
datangi kecuali di sini. Jangan-jangan ada sesuatu yang menarik hati mereka...”
Suma Han mengerutkan alisnya.
“Ah!
Jangan-jangan rombongan utusan ke Bhutan itu...!” Tiba-tiba Panglima Han Wi
Kong berseru.
“Benar!
Boleh jadi! Rombongan itu menarik perhatian memang,” kata Milana.
“Rombongan
utusan ke Bhutan?” Suma Han bertanya.
“Pamanda
kaisar akan berbesan dengan Raja Bhutan,” kata Milana menceritakan, “yaitu
pangeran muda putera selir ke tiga dari pamanda kaisar. Pinangan sudah diterima
setahun yang lalu, dan rombongan utusan pamanda kaisar itu, dipimpin oleh
pengawal Tan Siong Khi, berangkat ke Bhutan untuk memboyong puteri Raja Bhutan
yang cantik jelita bernama Syanti Dewi. Rombongan itu sudah berangkat dua
minggu yang lalu.”
Suma Han
mengangguk-angguk. Memang kaisar yang lama, yaitu ayah puteri Nirahai, telah
lama meninggal dunia dan kedudukannya telah diganti oleh Pangran Putera Mahkota
yang masih paman dari Milana. Kaisar ini merupakan kaisar ke dua dari Kerajaan
Mancu.
Tiba-tiba
Suma Han menepuk tangannya.
“Aihh...!
Bhutan...? Bukankah dekat dengan Pegunungan Himalaya? Kian Lee paling senang
mendengar ibunya bercerita tentang Pegunungan Himalaya yang disohorkan menjadi
pusat pertapaan manusia pandai, bahkan dewa-dewa dikabarkan tinggal di sana!
Pernah anak itu ketika masih kecil menyatakan bahwa dia ingin sekali melihat sendiri
seperti apa itu Pegunungan Himalaya. Mungkin juga kalau begitu. Mungkin mereka
di jalan ketemu dengan rombongan utusan itu, mendengar bahwa mereka menuju ke
Bhutan dekat Himalaya dan mereka berdua mendekati rombongan itu.”
“Bisa jadi
begitu!” Panglima Han Wi Kong berseru. “Yang memimpin rombongan Tan-ciangkun.
Dia sudah mengenal gakhu (ayah mertua), kalau adik Kian Lee dan Kian Bu mengaku
bahwa mereka itu putera Majikan Pulau Es, sudah tentu saja Tan-ciangkun akan
menerima mereka dengan kedua tangan terbuka.”
“Hemm, kalau
begitu biarlah aku menyusul ke Bhutan,” kata Suma Han dengan tetap.
“Ayah,
bolehkah aku ikut?” Tiba-tiba Milana berkata.
Suma Han
memandang tajam. “Kau? Ikut? Ahhh, mana bisa. Engkau bukan seorang dara remaja
yang suka merantau lagi seperti dulu, Milana.”
Milana
menunduk. “Aku... aku ingin sekali seperti dulu...”
Suma Han
mengerutkan alisnya. Apa yang terjadi dengan puterinya ini? Apakah puterinya
tidak mengalami kebahagiaan dalam pernikahannya? Aihhh, betapa hidup ini penuh
dengan derita dan kekecewaan.
Dia
menggeleng kepala. “Tidak, aku akan pergi sendiri. Aku pergi bukan untuk
pesiar. Kelak adik-adikmu dan ibu-ibumu biar datang mengunjungimu di sini.
Biarlah mereka di sini sampai beberapa bulan.”
Ucapan ini
menghibur hati Milana. Akan tetapi ketika ayahnya berangkat, tiba-tiba dia lari
mengejar dan merangkul ayahnya di depan rumah yang seperti istana. “Ayah...”
“Eh, ada
apakah, Milana?”
“Ayah...,”
suaranya lirih sekali, agak gemetar dan parau, “Pernahkah ayah mendengar tentang...
dia...?”
Suma Han
memejamkan matanya. Dia merasa seolah-olah jantungnya ditusuk ujung pedang
beracun. Dia menggeleng kepala tanpa membuka matanya yang dipejamkan, dan
berbisik, “Aku tidak pernah mendengar... entah di mana... kau... kau tidak
perlu lagi memikirkannya, anakku...”
Suma Han
memaksa dirinya melepaskan rangkulannya dan membalik, melompat pergi dan baru
berani membuka kedua matanya yang menjadi basah. Dia tidak menengok akan tetapi
dia pun tahu bahwa anaknya itu tadi mencucurkan air mata, terasa olehnya beberapa
tetes jatuh menimpa dadanya. Anaknya itu hidup menderita! Pernikahannya yang
dipaksa itu tidak mendatangkan bahagia.
Anaknya
masih selalu mengenangkan Gak Bun Beng! Ahh, mengapa penderitaan batin akibat
cinta yang sudah ditanggungnya selama bertahun-tahun dahulu kini menimpa pula
diri puterinya? Kasihan Milana!
Demikianlah
usaha Pendekar Super Sakti mencari kedua orang puteranya sehingga dia sampai ke
Negeri Bhutan. Namun perjalanannya itu tidak sia-sia karena biar pun dia tidak
berhasil menemukan Kian Lee dan Kian Bu, dia telah menyelamatkan Raja Bhutan
yang terancam oleh musuh-musuhnya.
***************
Sementara
itu, Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu meringkuk di dalam kamar tahanan di Pulau
Neraka. Mereka diperlakukan dengan baik, akan tetapi dijaga ketat dan kaki
tangan mereka selalu terbelenggu dengan rantai baja yang kokoh kuat. Mereka
dapat berjalan dan dapat makan sendiri, akan tetapi tentu saja tidak mungkin
untuk melarikan diri dari pulau itu dengan kaki tangan menyeret rantai panjang
itu.
Satu bulan
sudah mereka ditahan. Pada suatu hari, selagi mereka menjemur diri di luar
kamar tahanan, Kian Lee menyikut adiknya. “Lihat itu...!”
Mereka
mendongak dan melihat tiga titik hitam yang berada di angkasa, makin lama makin
besar dan setelah dapat tampak, ternyata dua titik putih dari satu titik hitam
itu adalah dua ekor burung putih dan seekor burung hitam yang besar sekali.
“Ihh, burung
apa itu begitu besar, Lee-ko?”
“Entahlah.
Agaknya burung garuda seperti yang dulu pernah dimiliki ayah menurut cerita
ayah.”
Melihat
kakak beradik ini berbisik-bisik dan menunjuk ke atas, penjaga yang melihatnya
tertawa. “Kalian mau tahu? Itulah seekor Hek-tiauw (Rajawali Hitam) tunggangan
to-cu kami, dan yang dua ekor adalah Pek-tiauw yang masih muda dan menjadi peliharaannya.
Mereka datang membawa daging manusia untuk kami, he-he!”
Sambil
mengeluarkan bunyi melengking nyaring, tiga ekor rajawali itu turun ke dalam
kebun di luar rumah-rumah di pulau itu dan kedua orang kakak beradik itu
melihat betapa rajawali hitam yang amat besar itu mencengkeram punggung baju
seorang laki-laki muda gemuk yang menggigil ketakutan. Laki-laki itu dilepas
dan jatuh bergulingan di atas tanah, lalu berlutut dan minta-minta ampun.
Akan tetapi
dua orang anggota Pulau Neraka telah melompat maju, menangkap dan
membelenggunya, menyeretnya ke dalam untuk dihadapkan kepada Hek-tiauw Lo-mo.
Kian Lee dan Kian Bu mendengar suara ketawa kakek raksasa ketua Pulau Neraka
itu, kemudian melihat lagi tawanan itu diseret keluar.
Dengan mata
terbelalak penuh kengerian, kedua orang pemuda remaja itu melihat tawanan itu
ditelanjangi, digantung kedua tangannya dan dibelek perutnya dengan golok tajam
dan dikeluarkan isi perutnya! Hampir mereka tak dapat bertahan menyaksikan
kekejaman dan mendengar suara teriakan tawanan itu. Kemudian mereka berdua
hampir muntah melihat mayat orang itu dipotong-potong, kemudian dimasak dan
dipanggang!
“Lee-ko...
aku... aku takut...” Suma Kian Bu berbisik, berdiri menggigil dan mukanya pucat
sekali.
Suma Kian
Lee juga berdebar ngeri, dan dia maklum bahwa kalau adiknya yang tak pernah
mengenal takut itu kini menyatakan takut, maka keadaannya sudah gawat sekali.
“Bu-te...
kita harus dapat meloloskan diri... sekarang juga...,” bisiknya sambil
merangkul adiknya. Mereka berdua maklum bahwa nasib mereka juga besar
kemungkinan akan sama dengan tawanan yang gemuk itu!
Kedua orang
pemuda remaja itu menanti kesempatan baik dan ketika ketua Pulau Neraka sedang
berpesta pora menikmati daging manusia sambil minum arak, kemudian sisanya
dibagi-bagikan kepada para anak buahnya, mereka berdua menyelinap ke dalam
kebun. Di situ mereka melihat tiga ekor burung rajawali sedang makan isi perut
manusia! Dua ekor burung yang putih bulunya dan masih muda, memperebutkan usus
yang panjang, saling tarik dan saling betot sambil mengeluarkan bunyi
cecowetan.
“Bu-te,
sekarang...!” bisik Suma Kian Lee dan keduanya lalu menghampiri dua ekor burung
itu. Dengan gerakan yang amat gesit, keduanya mengerahkan ginkang mereka dan
meloncat ke atas punggung burung yang tinggi.
Dua ekor
burung rajawali putih itu terkejut, meronta karena mengira bahwa mereka
diserang dan ditubruk musuh. Mereka berusaha untuk melemparkan orang yang
berada di punggung mereka dan dalam kemarahan mereka, usus yang diperebutkan
tadi sudah dilupakan lagi. Namun, kedua orang muda itu tetap mendekam di atas
punggung mereka sambil merangkul leher burung dengan ketatnya.
“Rajawali,
terbanglah!” Suma Kian Bu membentak. “Kalau tidak, kucabuti semua bulu
lehermu!” Berkata demikian, pemuda bengal ini mencabuti beberapa helai bulu
dari leher burung yang ditungganginya.
Burung itu
menjerit kesakitan, mengembangkan sayapnya lalu terbang ke atas. Burung yang
ditunggangi Suma Kian Lee yang juga kebingungan dan ketakutan, segera mencontoh
perbuatan temannya dan terbang pula!
“Yahuuu...!”
Suma Kian Bu bersorak kegirangan. “Lee-ko! Kita terbang seperti dewa...!”
Teriaknya pula sambil menoleh ke arah rajawali kedua yang ditunggangi kakaknya.
“Hati-hati,
Bu-te, lihat kita dikejar...!”
Kian Bu
menoleh ke bawah dan benar saja. Dia melihat rajawali hitam sudah terbang pula
ke atas dan di punggung burung besar itu duduk... Hek-tiauw Lo-mo! Kakek itu
kelihatan marah sekali, menggerak-gerakkan kedua tangannya menyuruh dua orang
muda itu kembali. Rajawali hitam yang ditungganginya juga mengeluarkan suara
melengking-lengking seperti mengundang kedua orang temannya. Dua ekor rajawali
putih itu bimbang dan tiba-tiba membalik dan terbang menghampiri rajawali
hitam!
“Heiii, dua
bocah yang bosan hidup! Kalian berani mencoba melarikan diri? Awas kau, sekali
ini aku tak akan mengampuni kalian lagi. Kalian akan kupanggang hidup-hidup!”
Rajawali
hitam itu sudah dekat sekali dan tiba-tiba rajawali putih yang ditunggangi Suma
Kian Bu mengeluarkan pekik nyaring dan... menerjang rajawali hitam dengan
ganasnya!
“Eh-eh,
heiiitttt... kurang ajar!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah melihat rajawali
putih itu mengabruk rajawali hitam yang ditungganginya.
Tetapi dari
belakangnya, rajawali putih kedua yang ditunggangi Kian Lee juga datang
menyerbu dengan ganas! Apakah yang terjadi? Mengapa kedua rajawali putih itu
menyerang temannya sendiri?
Ternyata
Kian Bu yang bengal itu menjadi khawatir sekali menyaksikan kedatangan rajawali
hitam yang ditunggangi ketua Pulau Neraka yang menyeramkan itu. Dalam
kegelisahannya, timbul akalnya dan dia kemudian mencabuti bulu di leher, bahkan
mencengkeram leher rajawali yang ditungganginya.
Rajawali itu
kesakitan dan marah-marah, sedemikian marahnya hingga dia mengamuk membabi
buta. Karena tidak dapat membalas orang yang mendekam di punggungnya, dia lalu
menumpahkan kemarahannya kepada rajawali hitam!
Ada pun Kian
Lee yang mendekam di punggung rajawali putih kedua membisikan kata-kata halus
kepada rajawali itu, minta kepada binatang itu agar menolongnya, “Rajawali yang
baik, kau tolonglah kami berdua...”
Tentu saja
rajawali yang ditungganginya itu tidak mengerti arti kata-kata Kian Lee, akan
tetapi melihat temannya menerjang rajawali hitam, dia pun membantu dan
menyerang dari belakang. Segera terjadi pertandingan yang seru dan mengerikan
hati kakak beradik itu antara tiga ekor burung rajawali itu! Siapa tidak akan
merasa ngeri kalau burung yang ditunggangi masing-masing itu menukik,
menerjang, membalik dan membuat gerakan-gerakan yang luar biasa. Sekali saja
mereka terjatuh, tentu mereka akan terbanting dari tempat yang luar biasa
tingginya itu dan tubuh mereka akan remuk!
Hek-tiauw
Lo-mo marah bukan main. Dia memaki-maki, tangannya ikut membantu rajawalinya
memukul ke arah kedua ekor rajawali putih, akan tetapi karena gerakan rajawali
yang ditungganginya membuat dia pun harus berpegang kuat-kuat, maka gerakannya
tidak leluasa dan pukulannya meleset selalu.
“Bedebah!
Keparat! Kalian berani melawan? Kusembelih kalian!” bentaknya berkali-kali akan
tetapi akhirnya dia terpaksa harus menangkis karena keroyokan dua ekor rajawali
putih yang masih muda dan kuat itu membuat rajawalinya sendiri kewalahan dan
beberapa patukan dan cakaran kesasar menyerang dirinya!
Dia merasa
menyesal mengapa tadi tergesa-gesa tidak membawa senjatanya. Tadinya dia sedang
makan minum dan terkejut mendengar pekik rajawalinya, maka dia lari keluar
tanpa membawa senjatanya ketika anak buahnya berteriak melapor bahwa dua orang
pemuda tawanan itu lari. Pula, dia memandang rendah mereka, sama sekali tidak
mengira bahwa dua ekor burung rajawali itu akan membalik dan melawannya!
Setelah
terkena patukan beberapa kali dan kepalanya terluka berdarah, rajawali hitam
menjadi panik dan jeri, dan akhirnya sambil berteriak panjang dia membalik dan
pergi. Betapa pun Hek-tiauw Lo-mo membentak dan membujuknya, rajawali hitam itu
tidak mau melanjutkan pengejarannya dan dua ekor rajawali putih sudah terbang
lagi dengan kecepatan yang membuat kedua orang muda itu berpegang semakin erat.
Akan tetapi
makin lama, mereka menjadi terbiasa dan tidak terlalu ngeri lagi, bahkan Suma
Kian Bu sudah pula mulai bergembira dan bersorak-sorak.
“Aduhh...
indahnya pemandangan di bawah. Lihat, Lee-ko, tuh di sana, pulau itu, aduh
indahnya! Berwarna-warna, biru hijau kuning... dan pepohonan itu demikian
kecil!”
Jarak antara
kedua ekor rajawali itu memang tidak jauh dan sepasang rajawali itu memang amat
akrab, maka mereka dapat saling bercakap-cakap, biar pun mereka harus berteriak
agar dapat terdengar.
“Bu-te, kita
harus kembali ke Pulau Es!” Kian Lee berteriak.
“Benar,
Lee-ko, mari kita cari. Tentu akan lebih mudah mencari dari atas.”
Rajawali
yang ditunggangi Kian Bu agaknya memang lebih nakal dari pada yang ditunggangi
Kian Lee. Rajawali itu menukik ke bawah, kemudian terbang berputaran dengan
kecepatan yang luar biasa. Kian Bu yang banyak akalnya mulai mempelajari cara
menunggang burung raksasa ini. Dia mencoba dengan menarik bulu leher kanan.
Kalau merasa leher kanannya sakit, terpaksa burung itu menggerakkan kepala ke
kanan, ekornya mengimbanginya dan otomatis terbangnya membelok ke kanan.
Demikian
pula kalau Kian Bu menarik bulu di leher kiri. Dapat dibayangkan betapa girang
rasa hati Kian Bu dan mulailah dia ‘menyetir’ burungnya mencari Pulau Es.
Burung yang ditunggangi Kian Lee selalu mengikuti ke mana terbangnya kawannya
sehingga bagi Kian Lee tidak sukar lagi menentukan arah.
“Ah, di sana
itu, Bu-te...!” Tiba-tiba Kian Lee berteriak ketika melihat sebuah pulau yang
berwarna putih dan berkilauan. Tentu saja belum pernah dia melihat Pulau Es
dari angkasa, akan tetapi biasanya kalau dia sedang bermain di puncak bukit
kecil di tengah pulau, dia melihat permukaan pulau yang rendah juga berwarna
putih dan berkilau seperti itu.
“Benar, mari
kita pulang, Lee-ko!” Kian Bu juga sudah melihat pulau itu dan dia memutar
burungnya menuju ke sana.
Tak lama
kemudian, kedua ekor burung rajawali itu terbang berputaran di atas pulau dan
kedua orang anak itu berteriak-teriak kegirangan ketika mengenalnya. Memang
benar pulau itu adalah tempat tinggal mereka, Pulau Es!
“Ayaaaaaaahhhhh...!
Ibuuuuu...!” Suma Kian Bu berteriak-teriak dari atas.
Tak lama
kemudian tampaklah Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya keluar dari
dalam Istana Pulau Es dan ketiga orang itu memandang ke atas dengan penuh
keheranan melihat sepasang rajawali itu berputaran di atas pulau.
“Kian Lee!
Kian Bu!” Terdengar suara Pendekar Super Sakti melengking nyaring. “Lekas
kalian turun...!”
Dua ekor
burung itu tetap terbang berputaran dan betapa pun kedua orang muda itu
berusaha, tetap saja sepasang rajawali itu tidak mau turun. Tentu saja mereka
tidak mau turun di pulau yang asing karena mereka merasa takut.
“Ayah! Kami
tidak dapat menyuruh mereka turun...!” Kian Lee berseru keras ke bawah.
“Kalian
totok pangkal leher mereka di antara kedua sayap, dan tekan kepala mereka ke
bawah!” Terdengar lagi Pendekar Super Sakti berseru.
Dua orang
pemuda remaja itu mentaati perintah ayah mereka dan benar saja, setelah mereka
menotok dan menekan kepala tunggangan masing-masing, dua ekor rajawali itu
mengeluarkan lengking nyaring dan gerakan mereka menjadi lemah.
Pada saat
itu Pendekar Super Sakti mengeluarkan suara melengking seperti suara
burung-burung itu, akan tetapi lebih nyaring lagi sampai suara lengkingnya
bergema di semua penjuru. Mendengar suara ini, sepasang rajawali itu kelihatan
terkejut, kemudian menukik ke bawah dan terbang menghampiri Pendekar Super
Sakti, hinggap di atas tanah depan pendekar itu dan kelihatan bingung dan
takut-takut. Kian Lee dan Kian Bu cepat meloncat dari atas punggung sepasang
rajawali.
“Kian
Lee...!”
“Kian
Bu...!”
Dan dua
orang ibu itu lari menghampiri dan memeluk putera masing-masing dengan hati
lega. Selama ini kedua orang ibu itu dicekam kegelisahan hebat karena putera
mereka pergi sampai lama tanpa ada beritanya.
“Hemm,
kalian pergi tanpa pamit sampai berbulan. Apa artinya perbuatan kalian itu?”
Suara
Pendekar Super Sakti terdengar penuh wibawa, menyembunyikan kemarahan. Hal ini
terasa sekali oleh kakak beradik itu, maka keduanya lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan ayah mereka dan hampir berbareng kedua orang anak itu
berkata, “Aku telah bersalah, ayah.”
“Hayo
ceritanya semuanya, ke mana kalian pergi dan dengan maksud apa,” kata pula
Pendekar Super Sakti dengan marah dan kedua orang isterinya hanya memandang dengan
hati khawatir. Mereka pun tahu kalau suami mereka marah dan memang sudah
sepantasnya karena kedua orang anak itu pergi tanpa pamit dan telah membuat
hati orang tua mereka bingung dan gelisah.
Biar pun
kalau berada di luar Kian Bu jauh lebih bengal dari pada kakaknya, namun
menghadapi ayah mereka, Kian Bu paling takut, maka dia hanya menoleh kepada
kakaknya, seolah-olah hendak menyerahkan semua jawaban kepada kakaknya. Kian
Lee seperti biasanya selalu bersikap tenang, juga kini di depan ayah mereka yang
dia tahu sedang marah, dia bersikap tenang sungguh pun jantungnya dicekam rasa
jeri. Suaranya tenang dan jelas ketika dia mulai menceritakan ‘petualangan’
kakak beradik itu, betapa mereka berdua tadinya berniat mencari kakak mereka
Milana yang berada di kota raja, akan tetapi betapa mereka tersesat jalan
sampai tiba di Pulau Neraka.
Mendengar
disebutnya Pulau Neraka, tiga orang suami isteri itu terkejut, terutama sekali
Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka. “Kalian sampai di Pulau Neraka?”
serunya dengan alis berkerut. “Apa yang terjadi di sana?”
“Kami berdua
tidak sengaja mendarat di Pulau Neraka.” Kian Lee melanjutkan, “dan di sana,
kami dijadikan tawanan oleh ketuanya.”
“Hemmm,
siapa ketua Pulau Neraka?” Suma Han bertanya.
Kian Lee
lalu menceritakan tentang Hek-tiauw Lo-mo yang suka makan daging manusia dan
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
“Ah, agaknya
pulau itu kini dikuasai oleh seorang biadab!” Nirahai berseru heran.
Mendengar
suara ibunya, Kian Bu mulai berani membuka mulut. “Wah, dia mengerikan sekali,
Ibu! Untung Lee-ko dan aku dapat melarikan diri dibantu oleh sepasang rajawali
putih itu. Kami dikejar oleh ketua Pulau Neraka yang menunggang rajawali hitam,
untung saja sepasang rajawali ini membela kami dan menerbangkan kami sampai ke
sini!” Dia lalu menceritakan pengalamannya ketika dikejar Hek-tiauw Lo-mo,
ceritanya asyik sekali disertai gerakan kaki tangan sehingga Nirahai dan Lulu
mendengarkan dengan tertarik.
“Biarlah
kubebaskan dulu engkau dari belenggu itu!” Nirahai menghampiri Kian Bu
sedangkan Lulu menghampiri Kian Lee. Mereka berniat mematahkan belenggu yang
mengikat kaki tangan anak-anak mereka dengan rantai besi panjang itu.
“Jangan buka
belenggu itu!” Tiba-tiba Suma Han berkata.
Kedua orang
isterinya terkejut dan menengok, memandang suami mereka. Dengan suara tenang
namun penuh kepastian Suma Han berkata lagi, “Mereka adalah dua orang anak yang
telah membikin bingung dan gelisah hati orang tua, juga telah mendatangkan
kekacauan di Pulau Neraka tanpa sebab. Mereka harus dihukum dan sepantasnyalah
belenggu-belenggu itu untuk mereka. Hayo kalian naik ke puncak dan bersemedhi
di sana selama dua hari dua malam. Pergi!” Suma Han mendekati ke dua orang
puteranya dan tangan kirinya menampar dua kali, mengenai punggung mereka.
“Bukk!
Bukk!”
Kedua orang
anak itu tersungkur, kemudian bangkit berdiri memandang ayah mereka dengan mata
terbelalak, menggigit bibir, menahan nyeri, kemudian mereka saling pandang dan
melangkah lebar menuju bagian yang paling tinggi di pulau itu, yang mereka
sebut puncak.
Lulu dan
Nirahai saling pandang dengan alis berkerut. Ketika kedua anak itu sudah tak
tampak lagi, barulah Nirahai berkata, nadanya memprotes, “Mengapa mereka...?”
“Harus
dihukum, biar mereka tahu dan kelak mereka akan memperhitungkan setiap tindakan
mereka, tidak sembrono dan asal berani saja,” kata Pendekar Super Sakti dengan
suara tegas sehingga kedua orang isterinya tidak berani membantah.
Mereka
berdua hanya memandang dengan hati terharu melihat dua ekor rajawali itu
mengeluarkan suara seperti orang menangis ketika memandang ke arah perginya dua
orang muda itu. Kemudian sepasang rajawali itu terbang ke atas dan berputaran
di atas Pulau Es.
Pada malam
kedua diam-diam Lulu menyelinap ke puncak dan membawakan makanan dan minuman
untuk mereka berdua. Ketika tiba di puncak, Lulu melihat bahwa sepasang
rajawali ini seolah-olah sedang menjaga Kian Lee dan Kian Bu yang duduk bersila
seperti patung, muka dan tubuh mereka penuh salju putih sehingga mereka seperti
sudah berubah menjadi manusia salju.
Lulu harus
mengurut dan mengguncang sampai lama dan barulah Kian Lee sadar dari
semedhinya. Melihat ibunya, Kian Lee hanya menggelengkan kepalanya dan hendak
memejamkan matanya kembali.
“Lee-ji,
bangunlah dulu. Kau harus makan dan minum dulu, baru boleh bersemedhi lagi.
Ingat, tubuhmu takkan kuat bertahan dan kau bisa terancam sakit. Juga adikmu
Kian Bu.”
Karena
dibujuk terus, akhirnya Kian Lee menurut, membangunkan adiknya dan kedua orang
muda ini lalu makan dan minum sekadarnya untuk mengisi perut yang kosong dan
menghangatkan tubuh. Setelah makan minum, mereka melanjutkan semedhi dan
terpaksa Lulu meninggalkan mereka.
Pada
keesokan harinya, dua hari dua malam telah lewat dan pagi-pagi sekali Pendekar
Super Sakti dan dua orang isterinya telah berada di puncak. “Bangunlah kalian,
masa hukuman telah habis!” Suma Han berseru dan suaranya yang disertai khikang
kuat itu seolah-olah menembus keadaan dua orang muda yang sedang semedhi itu
sehingga mereka terbangun dan cepat bangkit. Keduanya terhuyung dan menjatuhkan
diri berlutut di depan ayah mereka.
Suma Han
memandang kedua puteranya itu, lalu berkata dengan wajah berseri, “Sekarang,
kerahkan hawa panas yang berputaran di tian-tan (pusar) kalian, dorong ke arah
pergelangan tangan dan coba renggutkan belenggu itu agar patah.”
Dua orang
muda itu menurut. Memang selama mereka bersemedhi, mereka terlindung oleh hawa
panas yang berputaran di seluruh tubuh mereka, seperti keadaan mereka kalau
berlatih sinkang di waktu hujan salju di Pulau Es. Kini mereka mengerahkan
tenaga panas itu ke arah kedua lengan, mengerahkan sinkang dan merenggut.
“Krekk!
Krekk!” Patahlah belenggu di kedua tangan mereka!
Lulu dan
Nirahai girang sekali menyaksikan kemajuan putera-putera mereka, akan tetapi
Suma Han mengerutkan alisnya dan berkata lantang.
“Haiii...!
Apakah selama dua hari dua malam ini kalian pernah berhenti bersemedhi,
kemudian makan dan minum?”
Kakak
beradik itu saling pandang, lalu menunduk. Berat rasa hati Kian Lee kalau harus
mengaku bahwa ibunya telah membujuknya, dan untuk membohong dan mengatakan
tidak pun dia tidak berani.
“Semalam aku
datang dan menyuruh mereka makan dan minum,” tiba-tiba Lulu berkata. “Hati
siapa yang akan tega menyaksikan anak-anaknya disiksa?”
Suma Han
menggeleng-gelengkan kepalanya dan mengepal-ngepal tangannya sendiri. “Aihhh...
kelemahan hati wanita memang sering kali menimbulkan kegemparan dan juga
kegagalan.”
Lulu
memandang suaminya dan wajahnya berubah. “Eh... apa... maksudmu...?”
“Sebelum
mengirim mereka ke puncak, aku telah membuka saluran hawa di tubuh mereka. Aku
melihat bahwa mereka sedang dalam keadaan baik sekali, berhati besar dan baru
saja mengalami ketegangan hebat. Pula, saatnya amat cocok untuk mereka melatih
dan menerima kekuatan Inti Salju. Kalau tidak terganggu, kiranya saat ini
mereka sudah berhasil mengumpulkan sinkang yang sepuluh kali lebih kuat dari
pada sekarang!”
“Ohhhh...!”
Lulu memegangi dahinya dengan penuh penyesalan. “Mengapa kau tidak bilang lebih
dulu sebelumnya?”
“Tidak baik
kalau diberi tahu lebih dulu, akan menimbulkan ketegangan dan harapan sehingga
dapat menggagalkan latihan. Akan tetapi sudahlah, memang sudah demikian
kenyataannya. Yang jelas sekarang mereka harus berlatih dengan giat sekali.
Kian Lee, Kian Bu, kalian tahu betapa ilmu kepandaian kalian masih jauh dari
pada mencukupi sehingga sekali merantau meninggalkan pulau, kalian menjadi
tawanan orang dan hampir saja celaka. Mulai hari ini, kalian harus rajin
berlatih dan sebelum sempurna ilmu kepandaian kalian, kalian tidak boleh
meninggalkan pulau tanpa pamit. Tidak perlu memikirkan kakak kalian. Milana dalam
keadaan selamat di kota raja dan kelak kalau ilmu kepandaian kalian sudah
mencukupi, tentu kalian boleh mengunjunginya.”
Dua orang
pemuda remaja itu mengangguk-angguk dan untuk menyatakan penyesalan mereka,
mulai hari itu mereka seperti berlomba dalam kegiatan berlatih ilmu sehingga
memperoleh kemajuan yang pesat. Ada pun sepasang rajawali putih dari Pulau
Neraka itu menjadi kian jinak dan menjadi kesayangan mereka. Sering kali dua
orang pemuda itu, juga ayah dan para ibu mereka, menunggangi rajawali sekedar
untuk terbang di udara, di atas Pulau Es.
Beberapa
bulan kemudian, barulah kedua orang pemuda itu maklum betapa mereka telah
membikin repot ayah mereka ketika mereka pergi tanpa pamit. Baru mereka tahu
akan hal ini ketika malam hari itu, setelah mereka semua makan malam, Pendekar
Super Sakti menceritakan kepada putera-puteranya betapa dia mencari mereka
sampai ke daratan besar, bahkan sampai ke Negara Bhutan, jauh di barat!
“Mengapa
ayah menyusul sejauh itu ke Bhutan?” tanya Kian Bu dengan heran.
“Sebetulnya
aku hanya menduga saja kalian ikut rombongan utusan dalam petualangan kalian,
tetapi kalau tidak ada terjadi suatu hal, aku pun tidak akan menyusul sejauh
itu.”
Pendekar itu
lalu menceritakan betapa ketika dia mengunjungi puterinya, Milana, dari Han Wi
Kong suami Milana, dia mendengar bahwa kaisar membutuhkan orang pandai untuk
menyelidiki keadaan di barat, sekalian mengawal rombongan utusan yang kelak
akan memboyong puteri. Hal ini karena ada kekhawatiran di istana bahwa kini di
barat mulai timbul pemberontakan-pemberontakan dari suku-suku bangsa dan
kerajaan-kerajaan kecil yang sudah mulai memperlihatkan permusuhan.
Mendengar
ini, Suma Han lalu menghadap kaisar yang masih terhitung mertuanya sendiri itu
dan dia menyanggupi untuk menjadi penyelidik. Karena itulah maka Pendekar Super
Sakti ini bahkan mendahului rombongan utusan menuju ke Bhutan dan ketika
mendahului rombongan itu, dia tahu bahwa kedua puteranya tidak ikut dalam
rombongan. Dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Pendekar Super Sakti
berhasil menyelamatkan Raja Bhutan dan ancaman bahaya kepungan para musuhnya.
Seperti
biasanya kalau mendengarkan cerita-cerita ayahnya, sekarang mendengarkan
pengalaman ayah mereka di Bhutan, kedua orang pemuda itu tertarik sekali dan
hati mereka ingin sekali memperoleh kesempatan merantau ke daratan besar yang
menurut cerita ayahnya merupakan tempat yang amat luar biasa, penuh ketegangan
dan penuh keanehan itu. Keinginan ini mendorong semangat mereka untuk berlatih
ilmu silat lebih giat lagi.
***************
"Kong-lopek,
mau apa kau? Jangan mengganggu, aku sedang mencoba membuat ramuan obat seperti
yang ditulis dalam kitab oleh mendiang suhu Cui-beng Koai-ong...”
“Aiiih...
kongcu! Jangan main-main dengan obat itu. Aku masih ingat, bukankah obat itu
yang namanya obat perampas ingatan? Obat itu mengerikan sekali... masakah
kongcu sendiri tidak ingat?”
Tentu saja
Tek Hoat tidak mengerti dan tidak ingat apa-apa karena dia memang bukanlah Wan
Keng In dan bahkan tidak pernah melihat orang yang kini dianggap gurunya, yaitu
mendiang Cui-beng Koai-ong itu! Akan tetapi, pemuda yang amat cerdik ini
tertawa dan berkata, “Tentu saja aku ingat, Kong-lopek. Mengapa engkau begitu bodoh?
Ingatanku tentu lebih kuat dari pada ingatanmu!”
“Tentu
saja... tentu saja, kongcu. Karena itu, harap jangan kongcu main-main dengan
ramuan racun obat ini...”
“Hemmm, aku
ingin mencoba kekuatan ingatanmu, Kong-lopek. Coba ceritakan, apa yang kau ingat
dahulu sehingga kau menganggap obat ini begitu luar biasa dan amat menakutkan?”
Kakek yang
ingatannya sudah tidak terlalu waras lagi itu menghela napas dan berkata sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul dan memutar-mutar kedua bola matanya.
“Hebat sekali obat itu... siapa yang bisa melupakan peristiwa yang terjadi di
Pulau Neraka ketika itu? Bukankah engkau sendiri yang menerima obat buatan
suhu-mu itu, kongcu? Bukankah obat itu telah memperlihatkan keampuhannya yang
mukjijat? Puteri Pendekar Siluman sendiri... ahhh, dia sampai lupa daratan,
hilang ingatannya karena kau beri minum obat beracun itu. Kemudian, lebih hebat
lagi, murid Pendekar Siluman yang terkenal sebagai seorang wanita gagah perkasa
dan kabarnya sudah kebal akan segala macam racun, bahkan dia telah menjadi
murid susiok-mu Bu-tek Siauw-jin dan oleh susiok-mu telah diberi makan racun
sehingga dia makin kebal racun, ternyata masih dikalahkan oleh suhu-mu! Nona
yang kebal itu pun menjadi korban dari obat perampas ingatan yang amat mukjijat
itu! Dan untuk itu, gurumu girang bukan main karena hal itu membuktikan bahwa
dalam hal racun, gurumu lebih lihai dari pada susiok-mu.”
Mendengar
ini, bukan main girangnya hati Tek Hoat. Kalau sampai puteri dan murid Pendekar
Super Sakti dibuat tidak berdaya oleh ramuan obat beracun ini, tentu kelak akan
berguna sekali baginya! Dia tertawa dan menepuk-nepuk pundak kakek gundul ini.
“Ha-ha-ha-ha, kau ternyata masih dapat ingat semua itu, Kong-lopek! Justru
karena khasiat obat itu, maka sekarang aku ingin sekali dapat membuat sendiri.
Dahulu aku hanya menerima dari mendiang suhu, dan aku tidak pernah diajari
membuat obat ini. Sekarang catatan pembuatan obat itu ada di kitab ini, maka
aku ingin sekali mencoba membuatnya.”
Kong To Tek,
kakek gundul bekas tokoh Pulau Neraka itu menggeleng-geleng kepala, menarik
napas panjang dan berkata, “Terserah kepadamu, kongcu. Tetapi aku merasa
ngeri... hemm, obat itu hebat sekali dan amat berbahaya...” Dia lalu pergi
meninggalkan pemuda yang disangkanya Wan Keng In majikan mudanya itu sambil
menggeleng-geleng kepalanya.
Tek Hoat
tersenyum lebar dan melanjutkan pekerjaannya mempraktekkan pelajaran membuat
obat perampas ingatan seperti yang dibacanya dari kitab peninggalan Cui-beng
Koai-ong ini. Ini bukanlah sembarang obat! Selain membutuhkan ramuan
bahan-bahan obat yang sukar dicari dan hanya bisa didapatkannya dengan bantuan
Kong To Tek, juga harus dicampuri dengan rambut dan kuku orang mati yang hanya
bisa dia dapatkan dengan menggali kuburan!
Selain itu,
apa bila hendak mempergunakannya, mencampurkannya dalam makanan atau minuman
orang yang hendak dirampas ingatannya, ada pula manteranya yang harus dibaca.
Ternyata bahwa obat perampas ingatan ini bukan racun biasa, melainkan racun
yang mengandung kekuatan mukjijat dari ilmu hitam!
Sampai
hampir sebulan lamanya dia mempersiapkan ramuan obat perampas ingatan itu dan
akhirnya dia berhasil. Dengan wajah berseri-seri dia lalu memandang bubukan
berwarna putih yang berada di depannya.
“Terima
kasih Cui-beng Koai-ong,” bisiknya sambil menengadah. “Aku telah mewarisi
sebuah lagi dari pada ilmu-ilmu yang kau tinggalkan!”
Kemudian
pemuda itu termenung. Obat mukjijat itu telah dibuatnya sesuai dengan yang
ditulis dalam kitab. Akan tetapi bagaimana cara membuktikannya bahwa buatannya
itu memang telah benar? Bagaimana cara membuktikannya bahwa obat perampas
ingatan buatannya itu akan ampuh kalau dipergunakan? Jalan satu-satunya harus
dicobakan kepada seseorang!
Akan tetapi
kepada siapa? Berkelebatnya bayangan Kong To Tek di luar goa membuat dia
tersenyum. Siapa lagi yang akan dicobanya untuk membuktikan kemanjuran obat itu
kalau bukan Kong To Tek! Sambil tersenyum-senyum dia lalu membungkus dua macam
obat itu, yang putih adalah obat perampas ingatan dan yang merah adalah obat
penawarnya, dan dia membawa dua bungkusan itu ke dalam goa.
Obat merah
dia campur dengan arak dan diminumnya sendiri, sedangkan yang putih dia
masukkan ke dalam guci arak di mana masih ada sisa arak. Selama tinggal di
dalam goa, Kong To Tek yang mencarikan segala keperluan mereka, termasuk arak
wangi.
“Kong-lopek...!”
Kemudian dia memanggil sambil menanti di depan goa, guci arak dan dua cawan
kosong di tangannya.
Tak lama
kemudian muncullah kakek gundul itu, pringas-pringis seperti biasanya. “Kau
perlu apakah, kongcu?”
“Kong-lopek
aku telah berhasil membuat obat perampas ingatan itu!” Tek Hoat berkata sambil
tersenyum girang.
Namun Kong
To Tek mengerutkan alisnya dan mendengus. “Uhhh, obat mengerikan seperti itu,
untuk apakah kongcu?”
Tek Hoat
tertawa. “Ha-ha-ha-ha, aku sudah dapat membuat rahasia peninggalan suhu,
bukankah itu menggirangkan sekali? Kong-lopek, kita harus rayakan ini! Hayo
temani aku minum arak untuk merayakan hasil baik ini!”
Dia
menuangkan arak dari guci ke dalam dua cawan kosong dan ternyata sisa arak itu
hanya tepat dua cawan saja, lalu menyerahkan yang secawan kepada Kong To Tek.
Tentu saja kakek ini menerima dengan girang tanpa curiga karena selain dia
percaya penuh kepada orang yang dianggapnya Wan Keng In putera ketuanya itu,
juga dia melihat bahwa pemuda itu juga minum dari cawan ke dua yang diisi dari
guci yang sama.
“Terima
kasih, lopek. Sekarang pergilah beristirahat, aku sendiri sudah lelah sekali.”
Kakek gundul
itu mengangguk-angguk dan diam-diam Tek Hoat memperhatikan gerak-geriknya.
Melihat betapa kakek itu berulang kali menguap tanda mengantuk, dia girang
sekali. Cocok dengan tulisan dalam kitab. Orang yang terkena racun itu tentu
akan merasa mengantuk sekali dan setelah orang itu tertidur, maka terjadilah
perubahan pada ingatannya, racun itu bekerja dan kalau orang itu bangun, dia
tidak akan ingat hal-hal yang telah lalu sama sekali!
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tek Hoat sudah bangun dan menghampiri Kong
To Tek yang masih tidur di bagian luar goa yang besar itu. Kakek gundul itu
tidur mendengkur dengan keras sekali, tanda bahwa tidurnya amat pulas. Akan
tetapi Tek Hoat sudah tidak sabar lagi, mengguncang-guncang pundak kakek itu.
“Lopek!
Kong-lopek, bangunlah...!”
“Hemmm...
ahhh... masih mengantuk... ehhh, siapa kau...?” Kakek gundul itu membuka mata,
menggosok-gosok kedua matanya dan memandang ke kanan kiri, lalu kembali
memandang lagi kepada Tek Hoat, kemudian meloncat bangun dengan kaget dan
heran.
“Di mana
aku...? Siapa kau ini orang muda...? Ah, mengapa aku bisa berada di sini?”
Kakek itu kelihatan seperti orang bingung dan Tek Hoat tersenyum girang sekali.
Sikap kakek itu saja jelas membuktikan bahwa obat perampas ingatan itu
benar-benar amat manjur dan hebat!
“Lopek,
apakah benar-benar engkau tidak ingat apa-apa lagi?”
“Orang muda,
siapakah engkau? Dan aku... hemm... siapa pula aku dan di manakah tempat ini?
Mengapa aku tidur di goa?”
Kini Tek
Hoat tidak ragu-ragu lagi, akan tetapi untuk lebih yakin, dia sengaja menguji.
“Lopek, masa engkau lupa akan namanya sendiri? Namamu adalah... Ang Tek Hoat,
masa engkau lupa?”
Kakek itu
menggaruk-garuk kepalanya yang gundul. “Ang Tek Hoat...? Hmm, terdengar asing,
tetapi mungkin itulah namaku. Ya, benar, namaku Ang Tek Hoat, dan engkau siapa,
orang muda?”
Tek Hoat
menahan ketawanya. “Aku? Namaku Kong To Tek!”
“Kong To
Tek? Nama itu tidak asing bagiku. Hemm, kalau begitu tentu engkau sudah kukenal
lama, Kong To Tek.”
Tek Hoat
tertawa. “Tentu saja, lopek! Kita adalah sahabat-sahabat lama!”
Seharian itu
Tek Hoat memperhatikan gerak-gerik Kong To Tek yang hanya duduk di depan goa
sambil termenung, agaknya kebingungan dan wajahnya membayangkan keraguan hebat.
Ternyata kakek ini sama sekali tidak ingat akan masa lalu, dan yang
diketahuinya hanyalah bahwa dia bernama Ang Tek Hoat dan pemuda itu bernama
Kong To Tek! Dia seolah-olah seorang yang sama sekali baru!
Setelah kini
merasa yakin akan kemanjuran ramuan perampas ingatan itu, pada malam harinya,
ketika mereka berdua makan, Tek Hoat mencampurkan obat penawar racun itu ke
dalam minuman Kong To Tek. Seperti malam kemarin, kakek itu sehabis makan dan
minum obat penawar, tertidur dengan nyenyaknya.
Ketika pada
keesokan harinya mereka terbangun, Tek Hoat ingin menggoda Kong To Tek. Dia
akan memberitahu bahwa kakek itu telah dijadikan kelinci percobaan dengan hasil
baik sekali. “Eh, lopek Ang Tek Hoat, kau baru bangun?” tegurnya menggoda.
Akan tetapi,
segera Tek Hoat meloncat bangun dan memandang tajam. Sikap kakek itu aneh
sekali, lain dari biasanya. Matanya tidak bergerak liar lagi, bahkan mata itu
kini memandang kepadanya penuh selidik dan suaranya terdengar penuh wibawa,
“Orang muda, siapa engkau? Namaku bukanlah Ang Tek Hoat, melainkan Kong To Tek,
tokoh Pulau Neraka! Siapa engkau berani memasuki goa rahasia yang menjadi
tempat persembunyianku ini?”
Tentu saja
Tek Hoat kaget setengah mati. Dia meloncat keluar dan kini mereka saling
berhadapan di bawah sinar matahari pagi, di depan goa besar itu.
“Kong-lopek,
jangan main-main. Bukankah engkau sudah mengenalku? Aku adalah Wan Keng In...”
“Bohong...!”
Tiba-tiba Kong To Tek membentak marah sekali. “Biar pun wajahmu mirip sekali
dengan Wan-kongcu, akan tetapi engkau sama sekali bukan Wan Keng In! Engkau
jauh lebih muda, dan kalau dia masih hidup, tentu dia patut menjadi ayahmu.
Orang muda, jangan kau main-main dengan aku! Siapa kau? Hayo mengaku, dan mau
apa engkau berada di sini?” Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat sekali.
“Kau... kau... sudah lamakah berada di sini?”
“Aihhh,
Kong-lopek, aku adalah Wan Keng In pewaris pusaka suhu Cui-beng Koai-ong dan
Bu-tek Siauw-jin...”
“Pedang
itu...!” Kong To Tek menuding ke arah pedang Cui-beng kiam yang berada di
punggung Tek Hoat. “Kembalikan! Pedang itu milikku, dan juga kitab-kitab
pusaka... di mana kitab-kitab itu? Kau sudah mengambilnya pula? Keparat, hayo
kembalikan!” Dia menubruk maju hendak merampas pedang, tetapi sebuah tendangan
kaki dari samping membuat dia terjengkang.
“Aihhhh...!
Engkau melawan? Engkau berani kepada Kong To Tek tokoh Pulau Neraka? Bocah, kau
sudah bosan hidup!”
Tek Hoat
menjadi terheran-heran dan bingung. Mengapa terjadi perubahan yang hebat pada
diri kakek itu? Akhirnya dia dapat menduga sebabnya. Mungkin karena racun
perampas ingatan itu. Setelah minum obat penawarnya, agaknya pikiran atau
ingatan kakek itu malah sembuh sama sekali, pulih seperti dahulu ketika belum
gila sehingga kakek itu teringat akan segala-galanya! Celaka, pikir Tek Hoat,
kalau begini berbahaya sekali. Orang ini harus dibunuhnya!
“Bocah
keparat, pencuri pusaka! Kau harus mampus!” Dan kakek gundul itu sudah
menerjang dengan terkaman seperti seekor singa kelaparan.
“Engkaulah
yang akan mampus, Kong To Tek!” Tek Hoat miringkan tubuh ke kiri dan dari kiri
tangan kanannya menampar ke depan.
“Wuuuuttt...
dessss...!”
“Aihhhh...!”
Kong To Tek berteriak, karena sakit dan kaget melihat betapa pemuda yang
dipandangnya rendah itu ternyata lihai sekali sehingga dua kali dia
terjengkang. Tenaga sinkang yang menyambar dari tangan pemuda itu membuka kedua
matanya sehingga dia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian hebat.
“Bagus!
Kiranya engkau seorang penjahat cilik!” Dia memaki dan kini Kong To Tek mulai
mengerahkan tenaga dari pusarnya. Kepandaian kakek ini memang hebat.
Dahulu dia
merupakan tokoh ke dua sesudah ketua di Pulau Neraka, dan ilmunya yang paling
diandalkan adalah sinkang dari perut yang membuat perutnya mengeluarkan bunyi
seperti katak tertimpa hujan, dan kalau dia sudah mengerahkan tenaga
sinkang-nya ini, dari mulutnya menyambar uap beracun pula! Apa lagi setelah dia
mempelajari kitab-kitab Cui-beng Koai-ong dari gambar-gambarnya, latihan itu
membuat dia makin kuat dan lihai!
“Wuuusssshh...!”
Mulutnya menyemburkan uap putih ke arah muka Tek Hoat, tubuhnya merendah
seperti berjongkok dan kedua kakinya lalu bergerak aneh ke depan sambil
berjongkok, kemudian mendadak kedua lengannya bergerak melakukan serangan dari
bawah dengan hebat dan hawa pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya ke arah
Tek Hoat.
Kalau Tek
Hoat belum melatih diri dengan ilmu-ilmu dari dalam kedua kitab peninggalan dua
orang datuk Pulau Neraka itu selama hampir dua tahun ini, kiranya dengan ilmu
yang dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo saja dia tidak akan mampu menandingi tokoh
gundul dari Pulau Neraka ini. Akan tetapi selama hampir dua tahun ini, di dalam
goa itu Tek Hoat telah tekun mempelajari ilmu-ilmu kesaktian yang amat hebat
sehingga ilmu kepandaiannya menjadi hebat sekali, sama sekali tidak dapat
dipersamakan dengan dua tahun yang lalu. Namun, karena dia belum pernah mencoba
ilmu-ilmu barunya, melihat serangan kakek gundul itu, dia terkejut bukan main
dan cepat dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri.
“Haiiiiittt...!”
Kong To Tek
meloncat dari kedudukannya berjongkok tadi, tubuhnya meloncat ke atas dan kedua
lengannya bergerak-gerak, yang kanan menonjok ke arah ulu hati Tek Hoat
sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala!
Akan tetapi
kini Tek Hoat sudah siap sedia. Melihat datangnya serangan yang amat dahsyat
itu, dia berlaku cepat, mengangkat tangan kanan menangkis ke atas sambil mengerahkan
tenaga sinkang, sedangkan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka mendorong
ke depan, menerima pukulan tangan kanan lawan.
“Plak!
Dessss...!”
Untuk ketiga
kalinya tubuh Kong To Tek terdorong dan kemudian terjengkang! Kakek itu
mendengus keras dan meloncat bangun lagi. Ternyata ujung mulutnya mengucurkan
darah, tanda bahwa benturan tenaga dalam tadi sedemikian hebatnya sehingga dia
mengalami luka di dalam tubuhnya!
Melihat
hasil tangkisannya, besarlah hati Tek Hoat. Kini dia menghadapi terjangan lawan
dengan pandang mata mengejek dan sama sekali tidak merasa jeri lagi karena dia
telah memperoleh kepercayaan tebal kepada kepandaian sendiri. Ketika kakek itu
menerjang dan menyerangnya bertubi-tubi, sambil tersenyum mengejek dia mengelak
dan menangkis, kadang-kadang balas memukul. Tiap kali dia membalas, kakek
gundul itu pasti terdorong oleh pukulannya yang biar pun tidak mengenai tubuh
lawan, namun hawa pukulannya amatlah hebatnya, tidak kuat kakek itu menahannya.
“Kong To
Tek, sekali ini terpaksa aku harus membunuhmu!” bentak Tek Hoat dan tiba-tiba
tampak sinar berkilauan ketika dia telah mencabut Cui-beng-kiam!
Melihat
pedang ini, Kong To Tek kelihatan gentar, tetapi juga marah. Sambil menerjang
maju, dia membentak, “Kembalikan Cui-beng-kiam kepadaku!”
Terjangannya
dahsyat sekali karena dia menggunakan jurus-jurus dari Ilmu Silat
Liong-jiauw-pok-cu (Cakar Naga Menyambar Manusia). Kedua tangannya membentuk
cakar dan bergerak-gerak mencengkeram untuk merampas pedang sedangkan dari
perutnya terdengar bunyi berkokokan tanda bahwa dia mengerahkan sinkang-nya
yang amat kuat, mulutnya mengeluarkan uap putih.
Melihat
terjangan ini, Tek Hoat bergerak ke kanan kiri cepat sekali sehingga tubuhnya
seolah-olah berubah menjadi banyak, dan dari kanan kiri menyambarlah gulungan
sinar pedang Cui-beng-kiam yang ampuh.
“Singgggg...!
Crak! Crokk!”
Terdengar
suara pekik melengking dan Kong To Tek roboh terguling, kedua lengannya buntung
sebatas siku terbabat pedang Cui-beng-kim yang ampuh!
Melihat
tubuh itu berkelojotan dan bergulingan di atas tanah, Tek Hoat tersenyum untuk
menekan perasaan hatinya yang menyesal. Bagaimana pun, kakek itu telah
melakukan banyak kebaikan kepadanya!
“Hemmm,
terpaksa aku membunuhmu, Kong-lopek. Hidupmu berbahaya bagiku setelah pulih
kembali ingatanmu!”
Sambil
meringis menahan rasa nyeri yang amat hebat, Kong To Tek bertanya, “Orang
muda... siapakah engkau...?”
“Namaku Ang
Tek Hoat. Secara kebetulan saja aku bertemu denganmu, lopek. Kau menyangka aku
bernama Wan Keng In dan engkau menyerahkan pusaka para datuk Pulau Neraka
kepadaku. Tentu saja aku tak dapat menolak datangnya keuntungan ini, dan
sekarang pulih pula ingatanmu, maka kau berbahaya bagiku.”
“Aughhh...
kau... kau... memang mirip sekali dengan Wan-kongcu... Ahhh, agaknya roh Wan
Keng In memasuki dirimu... dan agaknya Wan-kongcu muncul kembali untuk bisa
membalas musuh-musuhnya...”
“Siapa sih
orang yang bernama Wan Keng In itu?” Tek Hoat bertanya, ingin juga dia
mengetahui siapa orang yang katanya mirip dengan dia itu.
“Dia... dia
bekas majikanku... dia adalah kongcu dari Pulau Neraka, putera ketua Pulau
Neraka...”
Tek Hoat
mengangguk-angguk kagum. “Dan siapa itu musuh-musuhnya?”
“Musuhnya
adalah... Gak Bun Beng... dan... dan Tocu Pulau Es...”
Tek Hoat
merasa terkejut bukan main mendengar disebutnya dua nama itu! Gak Bun Beng juga
musuh besarnya! Dan... Tocu Pulau Es!
“Apakah kau
maksudkan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”
“Benar...
dia... dia lihai...”
“Dan Gak Bun
Beng, penjahat itu sudah dibunuh mati oleh ibuku!” kata pula Tek Hoat.
Kong To Tek
membelalakkan mata. Darah bercucuran dari kedua lengan yang buntung itu.
Mukanya pucat karena banyak kehilangan darah. Keadaannya sungguh mengerikan dan
tubuhnya sudah mulai lemah. Namun agaknya dia terkejut mendengar pengakuan Tek
Hoat itu dan dia bertanya. “Siapa... siapa ibumu...?”
Biar pun Tek
Hoat tidak suka menceritakan keadaan keluarganya, akan tetapi melihat bahwa
kakek ini tidak akan hidup lebih lama lagi, dia mengaku, “Ibuku... hemmm, ibuku
seorang pendekar wanita puteri dari ketua Bu-tong-pai. Ayahku bernama Ang Thian
Pa dan ibuku bernama Siok Bi...” Tek Hoat langsung menghentikan kata-katanya
ketika melihat Kong To Tek bangkit duduk dan matanya terbelalak memandangnya.
Lengan
tangan yang hanya tinggal sepotong itu bergerak ke atas, dan seolah-olah
menuding sehingga Tek Hoat merasa ngeri juga. “Jadi kau... kau... kau anak Siok
Bi...? Ahhh... ah, tidak salah lagi... kau... kau puteranya... auhhh!” Tubuh
itu terguling.
“Apa katamu?
Kong-lopek, apa maksudmu?” Tek Hoat mengguncang-guncang tubuh itu, akan tetapi
Kong To Tek telah menjadi mayat.
Tek Hoat
bangkit berdiri, lalu termenung. Apa yang dimaksudkan oleh kakek ini tadi?
Agaknya kakek ini mengenal ibunya! Dan dia puteranya? Putera siapa? Sayang
kakek itu sudah mati. Ah, mengapa dia memusingkan hal itu? Mungkin hanya igauan
orang dalam sekarat. Jelas dari penuturan ibunya bahwa ayahnya bernama Ang
Thian Pa dan bahwa ayahnya terbunuh oleh Gak Bun Beng, tetapi musuh besar itu
telah dibunuh ibunya pula.
Pada hari
itu juga, Tek Hoat meninggalkan mayat Kong To Tek dan goa di mana selama dua
tahun dia melatih diri. Dia membawa Cui-beng-kiam dan dua buah kitab yang
isinya telah dipelajarinya akan tetapi belum semua sempat dilatihnya karena
memang amatlah sukar melatih ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab itu.
Dia akan
pulang ke Lembah Huang-ho, ke Bukit Angsa di mana tinggal ibunya yang tentu
sudah merindukannya. Dia akan menuturkan pertemuannya dengan Kong To Tek itu
kepada ibunya dan barangkali ibunya akan dapat mengerti tentang sikap aneh
kakek gundul itu sebelum mati.....
***************
Karena
adanya halangan yang hampir merupakan mala petaka dan yang menimpa diri Raja
Bhutan, maka dengan alasan bahwa negaranya masih terancam bahaya dan puterinya
masih terlalu muda, Raja Bhutan menyuruh rombongan kaisar pulang dengan surat
permohonan kepada kaisar agar pernikahan puterinya itu diundur sampai dua tahun
lagi!
Hal ini
dilakukan Raja Bhutan yang mendengarkan kata-kata penasehatnya di istana. Pada
waktu itu, ketahyulan masih amat kuatnya menguasai hati semua orang, bahkan
keluarga kerajaan sendiri tidak terlolos dari pengaruh tahyul dan tradisi.
Segala sesuatu dilakukan berdasarkan ‘perhitungan’ bulan bintang, dan segala
peristiwa dianggap sebagai ‘tanda-tanda’ untuk menentukan sesuatu di masa
depan.
Karena itu,
pernikahan puteri raja tentu saja dilakukan atas dasar ‘perhitungan’ para ‘ahli
nujum’ pula. Maka peristiwa yang hampir mencelakakan raja diperhitungkan dengan
pernikahan puteri, dihitung pula hari kelahiran Puteri Syanti Dewi, kemudian
diputuskan bahwa selama dua tahun mendatang merupakan hari-hari buruk bagi Raja
Bhutan, maka tidak dibenarkan kalau mengawinkan puteri itu sebelum lewat dua
tahun!
Kaisar
menerima surat permohonan itu dan kemudian dapat menyetujuinya setelah dia
mendengar akan peristiwa yang terjadi di Bhutan. Kaisar sendiri tidak terluput
dari kepercayaan itu, apa lagi setelah para ahli nujumnya sendiri juga
memperhitungkan bahwa memang kedatangan Puteri Bhutan dalam waktu dekat akan
menimbulkan bahaya bagi kerajaan sendiri! Demikianlah, maka acara memboyong
Puteri Syanti Dewi dari Bhutan itu diundur sampai dua tahun!
Terjadi
perubahan besar dalam kehidupan Lu Ceng, atau Ceng Ceng. Semenjak pertemuannya
dengan Puteri Syanti Dewi, dia diminta tinggal di dalam istana dan tentu saja
dia dihormat pula oleh semua penghuni istana karena dia sekarang telah menjadi
seorang puteri! Dia adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi, maka dengan
sendirinya diapun menjadi seorang puteri istana! Bahkan Raja Bhutan telah
menganugerahinya dengan nama baru, nama seorang puteri, yaitu Candra Dewi!
Biar pun dia
telah dianggap seorang puteri istana, sikap Ceng Ceng masih biasa saja, bahkan
dia pun hanya mau mengenakan pakaian puteri kalau ada upacara resmi saja. Untuk
sehari-hari, dia tetap mengenakan pakaian yang ringkas seperti biasa, dan
rambutnya yang panjang, dikuncir seperti kebiasaan gadis-gadis dusun! Setiap hari
dia menemani Sang Puteri Syanti Dewi yang suka sekali mempelajari ilmu silat
sehingga mereka berdua berlatih bersama. Dari adik angkatnya ini sang puteri
memperoleh banyak petunjuk karena memang tingkat kepandaian Ceng Ceng jauh
lebih tinggi dari pada dia.
Waktu
berjalan dengan amat cepatnya. Apa lagi bagi Ceng Ceng yang selalu hidup
gembira bersama Puteri Syanti Dewi dan para puteri lain di istana. Setiap hari,
kalau tidak berlatih silat tentu berlatih tari-tarian, bernyanyi,
bersenang-senang atau membaca kitab-kitab kuno berisi dongeng-dongeng indah.
Dua tahun tak terasa telah lewat dan pada suatu hari, datanglah rombongan
utusan kaisar yang sekali ini benar-benar hendak memboyong Sang Puteri Syanti
Dewi!
Tidak ada
lagi alasan bagi Raja Bhutan untuk menolak. Selama dua tahun ini, kaisar telah
mengirim banyak bantuan, baik berupa pasukan mau pun perlengkapan untuk
mengusir para gerombolan pemberontak sehingga Kerajaan Bhutan tidak begitu
dirongrong lagi oleh mereka.
Pesta besar
diadakan untuk menyambut rombongan ini dan kali ini, kembali rombongan itu
dipimpin oleh Tan-ciangkun (Perwira Tan), yaitu Tan Siong Khi yang gagah
perkasa dan memiliki jenggot panjang yang indah bentuknya!
Untuk
menghormati para utusan kaisar, juga sekaligus merayakan hari diboyongnya
Puteri Syanti Dewi yang sudah berusia delapan belas tahun, dan juga pesta
perpisahan dengan sang puteri, maka malam hari itu selain diadakan pesta makan
minum, juga diadakan pesta tari-tarian tradisionil dari para penari Bhutan.
Dalam pesta
ini, Sang Puteri Syanti Dewi keluar pula, duduk di atas sebuah kursi yang
khusus disediakan untuk keluarga raja. Tentu saja Ceng Ceng tidak mau
ketinggalan dan dia menemani puteri yang telah menjadi kakak angkatnya itu.
Akan tetapi, karena sekali ini dia akan bertemu dengan orang-orang dari
kerajaan suku bangsanya sendiri, dia tidak mau mengenakan pakaian puteri
Bhutan, dan hanya mengenakan pakaian biasa biar pun masih baru. Ceng Ceng atau
Candra Dewi itu berdiri di dekat kursi Puteri Syanti Dewi sambil menonton pertunjukan
tari-tarian.
Melihat
wajah para utusan yang gagah perkasa, terutama sekali si jenggot panjang yang
kini tampak makin gagah biar pun sudah makin tua, Ceng Ceng ingin sekali
menyaksikan kepandaian mereka. Dia masih teringat betapa dahulu, dua tahun yang
lalu, dia pernah mengadu kuncirnya dengan jenggot panjang itu dan merasa betapa
rambutnya terjambak seperti akan copot rasanya!
Dan dia
mendengar dari kakeknya bahwa si jenggot itu ternyata adalah seorang pengawal
pribadi kaisar yang amat lihai! Kini, melihat mereka dan terutama sekali si
jenggot panjang, timbul keinginan di hati Ceng Ceng.
“Kak
Syanti...,” dia berbisik.
Syanti Dewi
menengok. “Ada apakah, Candra?”
Dengan suara
berbisik-bisik Ceng Ceng lalu mengajukan usulnya, yaitu agar sang puteri minta
kepada ayahnya untuk membujuk para utusan yang gagah perkasa itu agar menghibur
dan meramaikan pesta dengan pertunjukan ilmu silat mereka yang terkenal tinggi!
Syanti Dewi memang suka sekali akan ilmu silat, maka mendengar usul adik
angkatnya ini, dia cepat mengajukan permintaannya kepada raja.
Sebetulnya
raja merasa agak enggan juga mengajukan permintaan agar para tamu
memperlihatkan kelihaian mereka, akan tetapi karena tidak tega menolak
keinginan puterinya yang akan pergi meninggalkannya itu, terpaksa dia menyuruh
pengawalnya menghubungi Tan-ciangkun untuk menyampaikan permintaannya.
Tan Siong
Khi bermata tajam. Dia melihat ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada Syanti
Dewi. Pengawal kaisar ini tentu saja masih ingat kepada nona yang disangkanya
pengacau itu dan yang kini dia dengar telah menjadi adik angkat puteri yang
akan diboyongnya ke Tiongkok. Maka diam-diam dia agak memperhatikan dan melihat
ketika Ceng Ceng tadi berbisik kepada sang puteri kemudian sang puteri bicara
dengan Raja Bhutan. Setelah Raja Bhutan mengutus pengawal menghubunginya dan
menyampaikan permintaan raja, tahulah Tan-ciangkun bahwa permintaan itu adalah
gara-gara si gadis yang lihai dan bengal itu. Dia tersenyum dan
mengangguk-angguk, lalu berunding dengan para temannya, yaitu para perwira yang
memiliki kepandaian tinggi.
Tidak lama
kemudian suasana pesta menjadi makin meriah. Seorang demi seorang, majulah para
Perwira Mancu Kerajaan Ceng untuk memperlihatkan kepandaian mereka bermain
silat. Bermacam-macam senjata telah mereka pergunakan, dan rata-rata ilmu
kepandaian mereka memang amat tinggi bagi para Perwira Bhutan sehingga tepuk
tangan penuh kagum menyambut setiap permainan silat dari rombongan utusan itu.
Kemudian,
sebagai orang terakhir, tiba giliran Tan-ciangkun sendiri. Pengawal kaisar yang
lihai dan biar pun berpakaian biasa namun sesungguhnya dialah yang memimpin
rombongan utusan itu, maju dengan kedua tangan kosong. Setelah dia memberi
hormat dengan bertekuk lutut ke arah Raja Bhutan dan keluarganya, dia meloncat
bangun, menggulung kedua lengan bajunya sehingga naik ke bawah siku. Kemudian
dia mengangkat kedua tangan memberi hormat berkeliling, dan berkata dengan
suara lantang.
“Maafkan
kami yang telah berani memperlihatkan kepandaian yang dangkal, karena kami
hanya memenuhi perintah sri baginda untuk ikut meramaikan pesta ini. Kami tahu
bahwa di Bhutan terdapat banyak sekali orang pandai yang jauh melampaui tingkat
kami. Saya sendiri tidak memiliki kepandaian apa-apa dan saya merasa agak
sayang juga terpaksa harus menghentikan minum anggur Bhutan yang demikian lezatnya!
Karena itu, saya harap cu-wi maafkan kalau saya hendak melanjutkan minum anggur
yang lezat itu.” Setelah berkata demikian, kakek berjenggot panjang ini
menggerakkan kepalanya.
“Wirrrr...!”
Jenggotnya yang panjang itu menyambar ke depan, ke arah guci anggur yang tadi
dihadapinya dan tiba-tiba anggur itu melayang ke atas, dilibat ujung jenggot
yang panjang!
Guci itu
diputar-putar di udara dan dipermainkan oleh jenggot panjang itu, kemudian,
ujung jenggot melibat guci dan membawa guci itu menukik ke bawah sehingga
anggur yang berada di dalam guci dan masih tinggal seperempat itu tertumpah ke
bawah.
Kakek ini
membuka mulutnya dan anggur itu persis memasuki mulutnya sehingga kelihatannya
dia minum anggur dari guci dengan dilayani oleh jenggotnya! Bukan main hebatnya
demonstrasi ini dan semua orang bertepuk tangan memuji! Ceng Ceng sendiri
diam-diam juga merasa kagum karena biar pun memainkan guci dengan ujung rambut
merupakan hal yang tidak begitu sukar, namun jenggot yang dapat tegak
‘memegang’ guci yang cukup berat itu membuktikan sinkang yang amat kuat!
Kini guci
anggur itu sudah habis isinya, hanya tinggal menetes-netes memasuki mulut
Tan-ciangkun, sedangkan lengan kanan yang tangannya terkepal itu menggigil,
menandakan bahwa kakek itu mengerahkan tenaga sinkang yang kuat untuk membuat
jenggotnya tegak kaku menahan guci, kemudian di bawah tepuk sorak memuji, kakek
ini memainkan guci kosong dengan jenggotnya. Guci dilontarkan ke atas, tinggi
sampai hampir menyentuh langit-langit, kemudian ketika meluncur turun
diterimanya lagi dengan ujung jenggot dan diputar-putar sampai kelihatannya
menjadi banyak saking cepatnya.
Setelah Tan
Siong Khi mengakhiri permainannya, semua orang lantas bertepuk tangan memuji.
Baru jenggotnya saja sudah demikian kuat dan ampuh, apa lagi dengan kaki
tangannya! Tan-ciangkun menjura ke sekeliling, kemudian memberi hormat kepada
Raja Bhutan dan terdengar suaranya lantang, “Terima kasih hamba haturkan atas
pujian sri baginda, padahal permainan hamba tidak ada artinya, apa lagi kalau
dibandingkan dengan kepandaian tokoh-tokoh Bhutan yang lihai. Sekarang hamba
mohon agar paduka sudi memberi kesempatan kepada tokoh-tokoh Bhutan untuk
memperlihatkan kepandaian untuk memeriahkan pesta ini.”
Raja Bhutan
mengangguk-angguk dan menoleh ke kanan kiri. Dia tahu bahwa para pengawalnya
juga rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Akan tetapi tiba-tiba
Tan-ciangkun berkata lagi, “Hamba tahu bahwa nona yang menjadi adik angkat sang
puteri memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali!”
Memang
sengaja Tan-ciangkun berkata demikian untuk menyatakan kemendongkolan hatinya.
Kalau tidak gara-gara nona muda itu yang mengusulkan, tentu dia dan
kawan-kawannya tidak harus memamerkan kepandaian seperti serombongan tukang
jual obat atau penari silat di pasar-pasar!
Mendengar
ini, Raja Bhutan cepat menengok ke arah Ceng Ceng sambil tersenyum lebar dan
berkata, “Aih, sampai lupa aku! Candra Dewi, kau majulah dan perlihatkan
kepandaianmu!”
Ceng Ceng
terkejut sekali, tidak mengira bahwa dia diperintah raja untuk bersilat! Tentu
saja dia tidak berani membantah. Dia sudah berlutut menyembah sambil
mengeluarkan kata-kata kesanggupan dengan lirih, matanya melirik gemas kepada
Tan-ciangkun yang hanya tersenyum. Kemudian dara itu melompat ke tengah
ruangan, mencabut keluar sepasang pisau belati yang sebelumnya merupakan hui-to
(golok terbang), yaitu senjata rahasia yang disabitkan, dan mulailah dia
bersilat dengan sepasang belati itu.
Gerakannya
indah sekali, cepat dan bertenaga sehingga para penonton menjadi kagum karena
kelihatannya dara itu sedang menari-nari dengan indahnya, namun
gulungan-gulungan kecil dari sinar putih yang seperti selendang kecil
digerak-gerakkan itu mengandung cakar maut yang dapat membunuh lawan!
Tepuk sorak
bergemuruh menyambut dengan kagum ketika Ceng Ceng sudah merubah permainannya,
tepuk sorak yang disertai suara ketawa di sana-sini karena selain lucu juga
luar biasa sekali permainan yang kini dilakukan oleh Ceng Ceng. Apa yang
terjadi? Dara ini telah menggunakan kuncirnya yang sudah dibagi dua untuk
bermain silat! Sepasang kuncirnya itu seolah-olah telah berubah menjadi dua
ekor ular hitam yang hidup dan ujung kedua kuncir membelit hui-to kemudian dia
bergerak-gerak dengan cepat, menggoyang kepalanya sehingga sepasang kuncir itu
memainkan sepasang hui-to itu seperti tadi Tan-ciangkun memainkan jenggotnya.
Tentu saja Ceng Ceng berbuat demikian untuk mengejeknya!
Setelah Ceng
Ceng mengakhiri permainannya, tentu saja dia disambut dengan tepuk sorak
gemuruh, juga Tan-ciangkun ikut bertepuk tangan sambil tersenyum karena dia pun
ikut bangga. Betapa pun juga, dia tahu bahwa dara itu bukanlah Bangsa Bhutan,
melainkan bangsanya sendiri dan ilmu silat yang dimainkan oleh Ceng Ceng itu
adalah ilmu silat dari pedalaman. Dia sudah mendengar bahwa dara yang cantik
jelita itu adalah cucu dari kakek Lu Kiong yang dahulu pernah memegang
pekerjaan seperti dia, yaitu pernah menjadi pengawal kaisar puluhan tahun yang
lalu.
Setelah
beberapa orang perwira dan pengawal Raja Bhutan juga memperlihatkan ilmu
kepandaian masing-masing, pesta itu berakhir sampai jauh malam, bahkan sudah
lewat tengah malam. Semua orang pergi ke kamar masing-masing untuk
beristirahat. Ceng Ceng mengawal kakak angkatnya masuk ke kamar pula. Semenjak
menjadi adik angkat Syanti Dewi, Ceng Ceng tidur sekamar dengan puteri itu.
Menjelang
pagi, Ceng Ceng terbangun oleh suara tangis. Bergegas dia bangkit duduk,
menggosok-gosok matanya dan mencoba untuk melihat di dalam kamar yang telah
digelapkan itu. Kiranya yang menangis adalah Syanti Dewi!
“Eh, enci
Syanti... kau... kenapakah?” Ceng Ceng cepat meloncat turun dan menyalakan
lilin di atas meja. Dilihatnya puteri itu menelungkup sambil menangis
terisak-isak.
“Enci
Syanti, mengapa kau menangis?” Kembali Ceng Ceng bertanya sambil duduk di
pembaringan puteri itu dan mengusap pundaknya.
Puteri itu
menengok, lalu bangkit berdiri merangkul Ceng Ceng sambil menangis makin sedih.
“Adikku... aihhh... adikku Candra...!”
Ceng Ceng
membiarkan puteri itu menangis di pundaknya sampai agak mereda, lalu dia
berkata, “Kakakku yang baik, beginikah sikap seorang gagah? Biar pun kita
wanita, namun kita menjunjung kegagahan dan tangis merupakan hal yang
dipantang, kecuali kalau ada persoalan yang tak terpecahkan dan amat hebat.
Apakah yang telah terjadi? Kalau ada persoalan, bicarakanlah denganku, dan
marilah kita pecahkan bersama. Tidak ada di dunia ini persoalan yang tidak akan
dapat kita pecahkan berdua, bukan?”
Putri itu
menghapus air matanya dan memandang adik angkatnya. Tangisnya sudah reda dan
melihat wajah adiknya menimbulkan kepercayaan dan hiburan besar baginya. Dia
menghela nafas panjang berkali-kali sebelum bicara, kemudian sambil memegang
tangan adik angkatnya dia berkata, “Candra, hati siapa yang tak akan menjadi
kecewa, penasaran dan duka? Tadi aku mendengar dari seorang pelayan yang memang
kusuruh melakukan penyelidikan di antara rombongan utusan, dan aku mendengar
berita yang sangat mengecewakan sebelum tidur tadi.”
“Berita
apakah?”
“Berita
keterangan tentang Pangeran Liong Khi Ong...”
“Aihhh,
tentang calon suamimu?” Ceng Ceng menahan ketawanya. “Bukankah berita itu
menggembirakan?”
“Siapa
bilang menggembirakan? Ternyata ia adalah seorang laki-laki yang usianya telah
lima puluh tahun... hu-huuukkk...” Putri itu menangis lagi.
Ceng Ceng
merangkul dan menghiburnya. “Lima puluh tahun belum tua bagi seorang laki-laki,
apa lagi kalau dia seorang pangeran,” dara ini mencoba menghibur sebisanya.
“Tapi...
tapi... dia mempunyai banyak selir...,” kembali puteri itu terisak.
“Aihh, enci
Syanti, apa anehnya tentang itu? Dia seorang pangeran, tentu saja banyak
selirnya. Akan tetapi engkau akan menjadi isterinya, mengepalai semua
selirnya.”
“Tapi... tapi...
aku tidak suka, Candra. Aku merasa seolah-olah berangkat mati saja...
kehilangan kebebasanku... menjadi budak belian!”
“Ihhhh...!
Mengapa kau berkata begitu, enci Syanti?” Ceng Ceng berseru kaget.
“Mengapa
tidak? Apa bedanya aku dengan budak belian? Aku dibeli, dibeli dengan kedudukan
dan nama, aku kehilangan kebebasan, harus menurut menjadi isteri siapa saja!
Aku... aku ingin menjadi isteri orang yang kupilih sendiri, adik Candra...!”
Kembali puteri itu menjatuhkan diri menelungkup, memeluk bantal dan menangis.
Ceng Ceng
duduk termenung. Dia dapat menyelami perasaan kakak angkatnya dan tak dapat
membantah kebenaran kata-katanya. Memang kaum wanita sama dengan budak belian.
Diharuskan menjadi isteri siapa saja, menjadi isteri seorang pria yang belum
pernah dilihatnya. Apa bedanya dengan budak belian? Hanya diberi pakaian indah
dan penghormatan, namun pada hakekatnya, nasib mereka dalam hal perjodohan
tiada bedanya dengan budah belian! Diam-dian hatinya memberontak pula.
“Enci
Syanti, kalau begitu, mengapa tidak engkau tolak saja?”
Puteri itu
terkejut sekali, lalu bangkit duduk. Dia memandang adiknya, menarik napas
panjang dan menggelengkan kepalanya. “Dahulu, dua tahun yang lalu, aku sama
sekali tidak pernah memikirkan ini. Kuterima saja perintah ayah karena memang
biasanya demikian, seorang puteri dikawinkan dan aku boleh disebut beruntung
menjadi calon isteri seorang pangeran putera kaisar yang besar! Tetapi, setelah
pernikahan diundur dua tahun, selama ini timbul penasaran di dalam hatiku
mengapa aku harus menikah, mengikatkan hidupku selamanya dengan orang yang sama
sekali belum pernah kulihat? Aku masih menghibur diri dengan anggapan bahwa
seorang pangeran putera kaisar tentulah seorang pria yang gagah perkasa,
tampan, muda dan pendeknya memenuhi impianku tentang seorang kekasih. Siapa
tahu... berita itu... dia sudah tua dan banyak selirnya... hu-hu-huuukkk...”
Ceng Ceng
menggaruk-garuk belakang telinganya, bingung. “Kalau begitu, bagaimana baiknya,
enci Syanti? Kau tolak saja sekarang, bagaimana?”
“Ahhh, kau
tidak tahu, adikku. Kalau aku menolak, tentu ayah akan memaksaku karena hal itu
selain akan mencemarkan nama keluarga Kerajaan Bhutan, juga berbahaya sekali,
dapat menyeret negara ke dalam perang.”
“Ohhhh...!”
Ceng Ceng terkejut sekali. “Habis, bagaimana baiknya? Kalau begitu, mari
kita... melarikan diri saja. Malam ini juga, biar aku menemanimu, enci...”
Mau tidak
mau puteri itu tersenyum masam mendengar ajakan ini. Ajakan yang ugal-ugalan.
Mana mungkin puteri raja minggat? Selain percuma karena tentu akan dapat
ditangkap, juga amat memalukan. “Tidak bisa, adikku, tidak mungkin itu.”
“Habis
bagaimana? Apakah kau akan menerima nasib begitu saja?”
“Apa boleh
buat. Aku harus menerima nasib, akan tetapi hatiku tentu akan terhibur sekali
kalau kau suka menemaniku ke Kerajaan Ceng di timur sana.”
“Tentu saja
aku mau! Aku malah ingin sekali ke sana! Baik, aku akan menemanimu.”
“Akan
tetapi, apakah kakekmu akan memperkenankan?”
“Dia harus
menyetujui!” Ceng Ceng berkata cemberut. “Aku berasal dari timur sana, sudah
sepatutnya kalau dia mengajakku kembali ke sana. Sekarang ada kesempatan baik.
Aku ikut denganmu, enci Syanti!”
Demikianlah,
keputusan diambil malam itu juga dan pada keesokan harinya, sang puteri memberi
tahukan ayahandanya bahwa Candra Dewi akan ikut bersamanya ke timur. Raja
Bhutan tak dapat menolak dan kakek Lu Kiong segera diberitahu tentang hal itu.
Kakek ini
terkejut, akan tetapi dia pun tidak berani menghalangi kehendak sang puteri,
bahkan diam-diam dia harus mengakui bahwa sudah sepatutnya kalau dia membiarkan
cucunya itu kembali ke timur. Akan tetapi karena dia mengkhawatirkan
keselamatan cucunya, dia lalu menyatakan hendak ikut mengawal rombongan sang
puteri.
Tentu saja
keputusan kakeknya ini menggirangkan hati Ceng Ceng, karena betapa pun juga dia
merasa kasihan dan tidak tega kalau harus meninggalkan kakeknya yang sudah tua
itu sendirian di Negara Bhutan.
Persiapan
untuk keberangkatan Puteri Syanti Dewi dilakukan dan keadaan di istana sibuk
sekali. Besok pagi-pagi rombongan yang memboyong puteri itu akan berangkat,
pasukan istimewa yang khusus sebanyak lima ratus orang akan mengawal rombongan
sampai perbatasan, di mana pasukan Kerajaan Ceng akan menyambut dan mengambil
alih tugas pengawalan.
Barang-barang
berharga milik sang puteri dikumpulkan sampai berpeti-peti banyaknya. Ceng Ceng
sendiri memperoleh kesempatan untuk pulang ke rumah kakek, membantu kakeknya
yang juga berkemas dan dibantu oleh murid-murid kakeknya. Wajah para murid itu
kelihatan murung karena mereka tahu bahwa sekali ini gurunya pergi untuk tidak
kembali lagi ke Bhutan, karena gurunya sudah amat tua.
Sementara
itu, tanpa disangka-sangka, di pintu penjagaan benteng, yaitu di pintu gerbang
besar, terjadi keributan. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih,
berpakaian sederhana dan berkuncir panjang, bertangan kosong, sedang ribut
mulut dengan para penjaga. Dari pakaiannya mudah dikenal bahwa orang ini datang
dari timur, seorang bangsa Han. Karena di kota raja Bhutan sedang ada
kesibukan, maka tentu saja para penjaga itu menghadang orang yang tidak dikenal
ini sambil menghardik, “Siapakah engkau dan ada keperluan apa hendak memasuki
kota raja?”
Laki-laki
itu mengerutkan alisnya. “Hemm, begitukah sikap para penjaga kota raja di
Bhutan? Seorang penduduk sini pun tidak akan mengalami gangguan, apa lagi
seorang pendatang dari luar yang dapat disebut seorang tamu! Aku datang sebagai
tamu, sebagai utusan dan aku ingin menghadap sri baginda!”
Namun kepala
penjaga tertawa mengejek. Orang itu pakaiannya biasa saja, sama sekali bukan
pakaian seorang berpangkat atau perwira, tentu saja dianggap menggelikan dan
membohong ketika mengaku sebagai tamu dan utusan, dan bahkan menimbulkan
kecurigaan. Orang begini hendak menghadap raja! Tentu berniat tidak baik, pikir
kepala penjaga itu.
“Jangan main
gila kau!” bentaknya. “Kau kira mudah saja menghadap sri baginda! Hayo cepat
pergi, keluar dari tempat ini atau terpaksa akan kami tangkap sebagai mata-mata
musuh!”
Orang itu
memandang tajam dan tersenyum. “Kepala penjaga, jangan membuka mulut besar dan
sembarangan. Lebih baik kau laporkan kepada atasanmu, kepada Panglima Jayin
bahwa ada seorang tamu datang hendak bertemu! Kalau masih belum cukup
meyakinkan, katakan bahwa yang datang membawa bunga suci!”
Ucapan ini,
apa lagi kalimat terakhir, membuat kepala penjaga menjadi makin marah. Dia
melangkah maju dan mendorong dada orang itu sambil berkata, “Engkau masih
banyak membantah? Pergilah!”
Akan tetapi,
kepala penjaga itu kaget sekali karena dia seperti mendorong sebuah gunung
karang saja! Orang itu sama sekali tidak bergerak, maka dengan marah dia lalu
memukul dada laki-laki berbaju hitam itu.
“Dukkk!”
Bukan tubuh orang itu yang roboh terkena pukulan keras, sebaliknya kepala
penjaga itu berteriak dan roboh terpelanting seperti dibanting saja!
“Kau berani
melawan?” Dua orang penjaga menyerang dengan tombak mereka dari depan dan
belakang.
Akan tetapi,
dengan gerakan gesit sekali laki-laki berbaju hitam itu mengelak. Kedua
tangannya bergerak menyambar tombak, tangan kiri menangkap tombak dari depan,
tangan kanan menangkap tombak dari belakang dan sekali dia mengangkat, dua
orang penjaga itu terangkat ke atas seolah-olah hanya seperti daun saja
ringannya! Tentu saja mereka terkejut dan berteriak, akan tetapi tubuh mereka
segera melayang ke depan dan jatuh terbanting cukup keras, membuat mereka hanya
dapat bangkit duduk dengan kepala pening dan mata berkunang!
Para penjaga
yang lain datang dan segera menyerang laki-laki yang lihai itu sehingga
terjadilah pertandingan keroyokan di depan pintu gerbang. Laki-laki itu
menghadapi mereka dengan tenang, hanya menggunakan kaki tangannya untuk
menangkis dan merobohkan para pengeroyok tanpa melakukan pembunuhan. Beberapa
orang penjaga sudah lari untuk melapor kepada Panglima Jayin.
“Tahan
senjata, mundur semua!” Tiba-tiba terdengar suara Panglima Jayin yang sudah
cepat datang ke tempat itu. Para penjaga mundur dan saling membantu karena
mereka sudah menderita cidera tangan.
Panglima
Jayin melangkah maju, berhadapan dengan laki-laki itu. Orang itu segera menjura
dan merangkapkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka dan saling jalin di
depan dada, dengan ibu jari saling tindih. Melihat bentuk jari-jari tangan di
depan dada ini, Panglima Jayin mengerutkan alisnya dan berkata, nadanya
menegur, “Apakah Pek-lian-kauw telah mengalihkan permusuhannya kepada Negara
Bhutan?” Pertanyaan ini mengandung teguran dan juga tantangan.
“Ah, ahhh...
tidak sama sekali, harap tai-ciangkun suka maafkan. Saya hanya seorang utusan
yang bertugas menyampaikan surat dari Raja Muda Tambolon untuk sri baginda di
Bhutan.”
“Hemmm...
apa lagi sekali ini? Setelah dua tahun yang lalu kalian mencoba hendak menawan
raja kami?”
“Saya
sendiri tidak tahu, hanya ditugaskan menyampaikan surat. Harap tai-ciangkun
suka menghadapkan saya kepada sri baginda.”
“Tidak
mungkin! Sri baginda sedang sibuk...”
“Ha-ha,
dengan keberangkatan pengantin? Sayang sekali, puteri cantik harus diberikan
sebagai hadiah kepada...”
“Tutup
mulutmu! Apa hubungannya denganmu? Ayo lekas serahkan surat itu kepadaku, atau
kau boleh pergi lagi!” Panglima Jayin membentak marah.
Orang itu
tersenyum tenang saja. “Begitu pun baik. Pokoknya surat ini harus terbaca oleh
sri baginda di Bhutan.”
Dia
mengeluarkan sebuah sampul panjang dan sekali dia menggerakkan tangannya, surat
itu melayang ke arah Panglima Jayin. Perwira tinggi besar ini menyambut dan
terkejutlah dia ketika merasa betapa tangannya tergetar hebat pada saat
menerima surat yang disambitkan itu. Dari ini saja dia sudah tahu bahwa orang
ini memiliki sinkang yang amat kuat dan dia bukanlah tandingan orang ini!
“Ha-ha-ha,
tai-ciangkun aku mohon diri!”
“Haii,
tunggu sebentar, sobat! Tidak kusangka bahwa Pek-lian-kauw berkeliaran sampai
di tempat sejauh ini!” Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di
situ telah muncul Tan Siong Khi yang telah meloncat ke depan dan menghadang
orang berbaju hitam itu. Orang itu memandang tajam, kemudian mengeluarkan suara
mendengus dari hidungnya seperti orang mengejek.
Sedangkan
Panglima Jayin cepat berkata. “Tan-ciangkun, harap jangan ganggu dia. Dia hanya
seorang utusan yang menyampaikan surat!” Panglima ini tentu saja memegang
peraturan umum bahwa seorang utusan sama sekali tidak boleh diganggu, maka dia
menghalangi Tan Siong Khi melarang orang itu pergi.
“Sayang
sekali...!” Tan Siong Khi berkata.
“Huhhh!”
Laki-laki berjubah hitam itu mendengus lagi dan sekali meloncat, tubuhnya
melayang tinggi.
“Enak saja
kau pergi...!” Tan Siong Khi menggerakkan kakinya dan tubuhnya mencelat ke
atas, agaknya hendak menghadang tubuh orang itu yang sedang melayang.
Akan tetapi,
tiba-tiba orang itu berseru keras dan tubuhnya yang sedang meloncat itu
berjungkir balik tiga kali dan dapat meloncat lebih tinggi melampaui kepala Tan
Siong Khi! Hebat dan indah sekali gerakan ini, membuktikan kemahiran ginkang
yang luar biasa.
“Bukan
main...!” Jayin berkata kepada Tan Siong Khi setelah orang itu pergi jauh. “Dia
lihai sekali, kuat sinkang-nya dan lihai ginkang-nya, merupakan lawan yang
lihai.”
Tan-ciangkun
tertawa. “Akan tetapi dia pun tidak akan menganggap kita orang lemah!”
“Apa
maksudmu, Tan-ciangkun?” tanya Jayin.
Tetapi Tan
Siong Khi hanya tersenyum. Tadi ketika tubuh pesuruh Raja Muda Tambolon itu
sedang melayang di atasnya, dia menggerakkan kepalanya dan jenggot panjangnya
melayang dan menyambar ke atas, merobek celana di selangkangan kaki orang itu.
Kalau dia mau, tentu saja bukan celana yang robek, melainkan bagian tubuh yang
lebih penting lagi dan yang mematikan!
“Raja Muda
Tambolon ini makin menggila saja,” katanya sambil berjalan memasuki pintu
gerbang bersama Tan-ciangkun. “Dia telah menghimpun semua kekuatan mereka yang
bermaksud memberontak kepada Kerajaan Ceng, yaitu orang-orang dari Tibet, Turki
dan Mongol. Dia sendiri adalah peranakan Tibet dan Mongol, dan khabarnya
memiliki ilmu kepandaian yang mukjijat. Entah apa maksudnya kali ini, dan
anehnya mengapa yang menjadi utusan adalah orang Pek-lian-kauw.”
“Agaknya
perkumpulan agama yang tersesat dan menjadi tukang berontak itu kena pula
dibujukkan dan menjadi sekutunya,” kata Tan Siong Khi dan Jayin menganggukkan
kepalanya.
Memang
dugaan ini tidak meleset. Di perbatasan antara wilayah Kerajaan Ceng, yaitu di
luar Sin-kiang, gerombolan ini berkumpul dan makin lama menjadi kekuatan yang
cukup besar. Pada waktu itu, baik Tibet, Turki, Mongol dan semua raja muda yang
menguasai wilayah-wilayah kecil masing-masing telah ditundukkan dan dihancurkan
oleh Kerajaan Ceng. Namun, ada beberapa tokoh-tokoh mereka yang belum mau
tunduk dan akhirnya mereka ini dapat dihimpun oleh Raja Muda Tambolon untuk
bersekutu dan bersama-sama memperkuat diri dalam persiapan mereka menyerang Kerajaan
Ceng dan merampas wilayah-wilayah mereka kembali.
Ketika Raja
Bhutan membaca surat yang dibawa oleh Jayin, dia berkerut dan kelihatan
gelisah. Akhirnya dia mengundang semua pembantu dan orang kepercayaannya untuk
membicarakan hal itu. Bahkan Tan-ciangkun juga disuruh hadir karena Raja Bhutan
tentu saja mengharapkan bantuan dan perlindungan dari Pemerintah Ceng yang akan
menjadi besannya.
“Isi surat
dari Tambolon ini membujuk agar Bhutan tidak melanjutkan hubungan kekeluargaan
dengan Pemerintah Mancu, dan mereka mengajak kami untuk bersekutu. Kami
memanggil kalian bukan untuk minta pendapat mengenai permintaan mereka itu,
karena sudah jelas bahwa kami tidak akan menghentikan hubungan kekeluargaan
kami dengan Kerajaan Ceng dan kami tidak sudi diajak bersekutu oleh kaum
pemberontak bekas orang-orang pecundang dan pelarian itu. Akan tetapi perlu
kita bicarakan tentang penjagaan dan pembelaan diri yang perlu kita adakan
karena mereka tentu tidak akan tinggal diam setelah kami tidak menghiraukan
permintaan mereka.”
Suasana
menjadi hening, dan akhirnya terdengar Tan Siong Khi berkata, “Harap paduka
bertenang hati. Hamba mengerti bahwa pemboyongan puteri paduka pasti akan
mengalami gangguan dan halangan di jalan, mungkin akan dihadang oleh mereka,
akan tetapi hamba dan para pengawal akan melindungi sang puteri dengan taruhan
nyawa hamba sekalian!”
“Kami
mengerti, Tan-ciangkun. Hanya perlu diadakan perubahan, karena bukan hanya
rombongan itu yang mungkin akan diganggu, akan tetapi juga Bhutan mungkin akan
diserang. Karena itu, kami rasa tidak baik kalau Panglima Jayin sendiri yang
mengawal. Dia perlu untuk memperkuat pertahanan di sini. Namun, pengawalan
harus diperkuat. Inilah yang membingungkan hati kami.”
“Harap
paduka tidak gelisah,” akhirnya Panglima Jayin berkata. “Sudah dipersiapkan
pasukan istimewa, lima ratus orang banyaknya dan hamba tidak perlu ikut karena
sudah ada suhu Lu Kiong yang memperkuat pengawalan. Apa lagi ada Tan-ciangkun
dan para pengawal dari rombongan pemboyong. Kiranya rombongan itu sudah
terkawal cukup kuat, dan kalau mereka itu berani menyerang ke sini, kita pun
telah siap untuk memukul hancur mereka! Para pemberontak itu tidak memiliki
pasukan besar, kabarnya paling banyak dua ribu saja. Terlalu banyak pasukan
merupakan bunuh diri bagi mereka karena tentu tidak akan kuat memberi ransum.
Biarkan saja mereka datang, hamba bersumpah akan membasmi mereka sampai habis!”
Kata-kata
penuh semangat dari Panglima Jayin ini melegakan hati sri baginda, dan mereka
lalu merundingkan tentang keberangkatan sang puteri, dan tentu saja juga
penjagaan-penjagaan yang perlu diadakan.
Sementara
itu, Ceng Ceng yang sudah mendengar tentang kedatangan utusan pemberontak,
berkata kepada Syanti Dewi, “Enci Syanti, betapa pun juga, kurasa jauh lebih
baik menjadi isteri seorang Pangeran Kerajaan Ceng dari pada jatuh ke tangan
pemberontak yang liar dan ganas itu. Bayangkan saja kalau kau dijodohkan dengan
seorang raja pemberontak! Selalu akan hidup di medan perang, bahkan selalu
menjadi orang pelarian, dan mereka itu tentu merupakan orang-orang ganas dan
liar yang amat menyeramkan.”
Syanti Dewi
mengangguk. “Aku akan menyesuaikan diri, adikku. Kurasa, apa pun yang akan
terjadi atas diriku, aku masih akan terhibur oleh kehadiranmu di sampingku.”
Bunyi musik
paduan suara terompet, tambur dan canang riuh gembira diseling ledakan-ledakan
mercon mengantar dan mengiringkan keberangkatan rombongan Puteri Syanti Dewi
sampai di luar pintu gerbang. Ketika rombongan sudah mulai meninggalkan kota
raja, dari jauh masih terdengar suara riuh gembira ini di belakang mereka. Dari
dalam jolinya, Syanti Dewi mengusap air matanya yang bercucuran. Betapa takkan
pilu hatinya meninggalkan orang tua, keluarga dan tempat kelahirannya itu untuk
selamanya? Sedikit sekali kemungkinan dia akan dapat berkunjung ke Bhutan
setelah dia menjadi isteri Pangeran Liong Khi Ong!
Ceng Ceng
yang berada sejoli dengan puteri itu menghiburnya. Berbeda dengan sang puteri,
dara ini kelihatan gembira sekali, wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar.
Tentu saja dia girang karena memperoleh kesempatan untuk kembali ke negeri di
mana dia dilahirkan, dan kepergiannya ini juga bersama kongkong-nya yang berada
di luar bersama para pengawal.
Joli itu
tidak dipikul, melainkan merupakan kereta kecil ditarik oleh empat ekor kuda.
Beberapa orang pelayan wanita pribadi naik sebuah kereta ke dua, kemudian di
sebelah belakang masih ada pula sebuah kereta besar penuh dengan peti-peti
bawaan sang puteri. Para pengawal mengapit tiga buah kereta itu di depan,
belakang, kanan dan kiri sehingga sang puteri terkurung rapat dan aman.
Pasukan itu
megah dan gagah, dikepalai oleh panglima wakil Jayin dan ditemani oleh kakek Lu
Kiong yang gagah perkasa, diiringkan pula oleh Tan Siong Khi dan
teman-temannya. Mereka semua berkuda, dan di sepanjang perjalanan, rombongan
ini menjadi tontonan yang mengagumkan dan mengherankan para penduduk dusun.
Dan untuk
menenteramkan hati sang puteri, atas perintah panglima komandan pasukan, di
sepanjang jalan para prajurit itu bersama-sama menyanyikan lagu-lagu
ketentaraan yang terdengar megah dan gagah. Memang megah sekali menyaksikan
rombongan ini. Bendera kebesaran berkibar-kibar tertiup angin, suara nyanyian
lima ratus mulut itu menggegap gempita, diseling ringkik kuda.
Perjalanan
selama berhari-hari dilakukan dengan aman dan selamat. Tidak tampak ada
penghalang sedikit pun sampai mereka tiba di dekat perbatasan antara wilayah
Bhutan dan Propinsi Tibet. Lima hari telah lewat dan memang perjalanan itu agak
lambat sebab melalui Pegunungan Himalaya, dan pasukan Bhutan itu agaknya
ogah-ogahan melepas puteri junjungan mereka sehingga memperlambat perjalanan.
Betapa pun juga ada perasaan berat untuk melepas puteri itu ke daerah Ceng,
karena setelah nanti bertemu dengan pasukan penjemput di daerah Tibet, pasukan
Bhutan akan kembali ke Bhutan dan menyerahkan pengawalan itu kepada pasukan
Ceng.
Pada hari
kelima rombongan tiba di kaki gunung. Tampaklah padang pasir membentang luas di
depan. Diduga bahwa pasukan penjemput sudah berada dekat, di balik gunung pasir
di depan. Karena itu rombongan berhenti di hutan terakhir, sebab lebih baik
menanti datangnya pasukan penjemput di daerah yang masih sejuk ini karena
perjalanan selanjutnya akan melalui daerah pegunungan yang sukar dan
berbatu-batu sampai lembah Sungai Brahmaputera di sebelah utara perbatasan
Bhutan.
Pasukan
dihentikan dan semua turun dari kuda masing-masing. Di hutan itu terdapat mata
air yang jernih, airnya mengalir menjadi sebatang anak sungai kecil menuju ke
utara dan agaknya anak sungai ini akan memuntahkan airnya di Sungai
Brahmaputera. Tentu saja setibanya di sungai besar itu, airnya tidak sejernih
ketika keluar dari mata airnya di hutan itu.
Mendengar
dendang anak sungai itu, Sang Puteri Syanti Dewi turun dari jolinya dan ingin
sekali membasuh mukanya dengan air yang jernih. Maka berjalanlah Syanti Dewi
ditemani Ceng Ceng dan dikawal sendiri oleh panglima pasukan dan kakek Lu
Kiong, menuju ke tengah hutan dari mana terdengar suara riak air sungai itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment