Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 06
Siapakah
adanya tiga orang tosu yang gerak-geriknya penuh rahasia itu? Dan siapa pula
rombongan hartawan yang hendak diganggunya? Untuk mengetahui ini, kita harus
mengenal dulu keadaan pemerintahan pada saat itu.
Ternyata
bahwa seperti juga di setiap pemerintahan, pada waktu itu banyak terdapat
orang-orang yang membenci Pemerintah Mancu yang mulai memperbaiki keadaan
pemerintahannya, bahkan berusaha sedapatnya untuk menarik simpati hati rakyat
dengan usaha memperbaiki nasib rakyat kecil.
Betapa pun
juga, tetap saja ada di antara mereka yang penasaran dan menghendaki agar
pemerintah penjajah itu lenyap dari tanah air mereka. Golongan ini yang tidak
berani berterang melakukan penentangan terhadap pemerintah yang kuat lalu
menyusup ke mana-mana dan di antaranya ada yang menyusup ke dalam tubuh alat
negara yang berupa pasukan pemerintah!
Apa lagi
pada waktu itu, kesempatan baik tiba bagi mereka yang diam-diam membenci
Pemerintah Mancu. Kaisar Kang Hsi sudah tua dan seperti biasanya yang terjadi
dalam sejarah kerajaan setiap kali sang raja sudah tua maka timbullah perang
dingin di antara para pangeran yang bercita-cita mewarisi kedudukan kaisar yang
amat diinginkan itu.
Biar pun
putera mahkota yang ditunjuk untuk kelak menggantikan kaisar sudah ada, yaitu
Pangeran Yung Ceng, namun banyak pangeran-pangeran yang lebih tua usianya,
putera-putera selir, merasa iri hati dan selain ada yang menginginkan kedudukan
kaisar, juga banyak yang memperebutkan pangkat-pangkat tinggi sebagai pembantu
kaisar kelak.
Di antara
mereka yang berambisi merampas kedudukan terdapat seorang pangeran tua,
pangeran yang paling tua di antara para pangeran. Pangeran tua ini bernama
Pangeran Liong Bin Ong, usianya sudah lima puluh tahun lebih karena dia
dilahirkan dari seorang selir ayah Kaisar Kang Hsi. Jadi dia adalah adik tiri
Kaisar Kang Hsi. Diam-diam Liong Bin Ong mengadakan hubungan dengan orang-orang
kang-ouw yang membenci pemerintah, bahkan mengadakan kontak dengan suku bangsa
liar di luar tembok besar, terutama bangsa Mongol yang masih menaruh dendam
kekalahannya terhadap Mancu.
Di antara
golongan-golongan yang mengadakan persekutuan pemberontakan ini ada terdapat
perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yang para pemimpinnya terdiri
dari tosu-tosu yang sudah menyeleweng dari Agama To dan mempergunakan agama
demi tercapainya ambisi pribadi berkedok agama, yaitu ambisi politik.
Tiga orang
tosu yang pada malam itu dipermainkan oleh Kian Lee dan Kian Bu adalah
angauta-anggota Pek-lian-kauw yang ditugaskan oleh pimpinannya untuk melakukan
penyelidikan karena Pek-lian-kauw mendengar bahwa pemerintah pusat sedang mulai
menaruh curiga terhadap persekutuan itu dan kabarnya mengirim utusan kepada
Jenderal Kao Liang yang bertugas sebagai komandan yang menjaga tapal batas
utara. Di dalam kabar yang diterima ini, pesuruh dari pemerintah pusat menyamar
dan selain mengirim berita, juga membawakan biaya dalam bentuk emas dan perak.
Tiga orang tosu itu bertugas untuk mengawasi dan kalau dapat merampas semua
itu.
Ada pun
hartawan yang sedang melakukan perjalanan itu memang datang dari kota raja
bersama kedua orang isterinya dan dikawal oleh para piauwsu bayaran yang kuat,
akan tetapi dia hanyalah seorang hartawan yang hendak pulang ke kampung
halamannya saja di utara. Sama sekali dia tidak mengira bahwa dia disangka oleh
para pemberontak sebagai utusan dari kota raja!
Demikianlah,
dengan hati merasa lega juga bahwa semalam itu tidak terjadi gangguan terhadap
mereka, para piauwsu kembali mengiringkan dua buah kereta itu melanjutkan
perjalanan. Dusun yang dituju oleh hartawan itu sudah tidak jauh lagi, terletak
di balik gunung di depan kira-kira memerlukan perjalanan setengah hari lebih.
Akan tetapi,
belum lama mereka bergerak meninggalkan kuil kuno itu, tiba-tiba kusir kereta
pertama yang duduknya agak tinggi melihat debu mengepul di depan. “Ada orang
dari depan...!” serunya dan semua piauwsu terkejut, siap dan mengurung kedua
kereta itu untuk melindungi.
“Berhenti
dan berjaga-jaga!” Piauwsu berjenggot putih memberi aba-aba dan dua buah kereta
itu lalu berhenti, semua piauwsu meloncat turun dari kuda dan merasa tegang
namun siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Mereka adalah piauwsu-piauwsu
yang sudah bertahun-tahun melakukan tugas itu, sudah terbiasa dengan hidup
penuh kekerasan dan pertempuran.
Tak lama
kemudian, muncullah tiga orang tosu itu dan di belakangnya tampak sepuluh orang
tinggi besar yang menunggang kuda. Dilihat dari cara mereka menunggang kuda
saja dapat dipastikan bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa melakukan
perjalanan jauh dengan berkuda, dan sikap mereka jelas membayangkan kekerasan,
kekejaman dan juga ketangkasan ahli-ahli silat. Yang lebih mengesankan bagi
para piauwsu adalah tiga orang tosu itu, yang datang dengan jalan kaki, berlari
cepat di depan rombongan berkuda.
Para piauwsu
yang sudah berpengalaman itu tidak gentar menghadapi sepuluh orang berkuda yang
tinggi besar dan kasar itu, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa tiga orang
tosu itulah justru yang harus dihadapi dengan hati-hati. Oleh karena itu,
pimpinan piauwsu yang tua dan berjenggot putih, segera melangkah maju
menghadapi tiga tosu itu dan menjura penuh hormat.
“Kami dari
Hui-houw Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Harimau Terbang) di Shen-yang
menghaturkan salam persahabatan kepada sam-wi totiang dan cu-wi sekalian.
Maafkan bahwa dua kereta yang kami kawal memenuhi jalan sehingga merepotkan
cu-wi saja. Kalau cu-wi hendak lewat, silakan mengambil jalan dulu!” Kata-kata
penuh hormat dan merendah ini memang biasanya dilakukan oleh para piauwsu jika
menghadapi gerombolan yang tidak dikenalnya, karena bagi pekerjaan mereka,
makin sedikit lawan makin banyak kawan makin baik.
Tiga orang
tosu itu tidak segera menjawab, melainkan mata mereka mencari-cari penuh
selidik, memandangi semua anggota piauwsu, bahkan dua orang kusir kereta pun
tidak luput dari pandang mata mereka yang penuh selidik sehingga para piauwsu
menjadi ngeri juga. Pandang mata tiga orang tosu itu mengandung wibawa dan
agaknya mereka marah. Tentu saja tidak ada orang yang tahu bahwa tiga orang
kakek pendeta ini mencari siapa, karena selain para piauwsu, tidak ada orang
yang menyelundup di dalam rombongan itu.
Mereka masih
terpengaruh oleh peristiwa gangguan ‘setan’ semalam! Akan tetapi ketika melihat
bahwa semua orang yang mengawal kereta adalah piauwsu-piauwsu biasa yang sejak
kemarin mereka bayangi, wajah mereka kelihatan lega dan kini si tahi lalat
mewakili suheng-nya menjawab, “Kami tidak ingin lewat, kami sengaja menghadang
kalian.”
Berubah
wajah para piauwsu dan tangan mereka sudah meraba gagang pedang masing-masing.
Melihat gerakan ini tiga orang tosu itu tertawa dan tosu tertua sekarang
berkata, “Kami tldak ada permusuhan dengan Hui-houw Piauw-kiok!”
Mendengar
ini pimpinan piauwsu kelihatan girang karena sekarang sudah tampak olehnya
gambar teratai di baju tiga orang tosu itu, di bagian dada. Tiga orang pendeta
itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan hal ini saja sudah membuat hatinya
keder karena sudah terkenallah bahwa orang-orang Pek-lian-kauw memiliki
kepandaian yang tinggi. Akan tetapi biasanya orang Pek-lian-kauw tidak
melakukan perampokan, maka para piauwsu selain lega juga menjadi heran mengapa
tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu menghadang perjalanan mereka.
“Kami pun
tahu bahwa para locianpwe dari Pek-lian-kauw adalah sahabat rakyat jelata dan
tidak akan mengganggu perjalanan kami. Akan tetapi, sam-wi totiang menghadang
kami, tidak tahu ada keperluan apakah? Pasti kami akan membantu dengan suka
hati sedapat kami.”
“Kami akan
menggeledah kereta yang kalian kawal!” kata si tahi lalat yang agaknya sudah
tidak sabar lagi.
Berubahlah
wajah pimpinan piauwsu. Sambil menahan marah dia mengelus jenggotnya. Betapa
pun juga, dia adalah wakil ketua piauw-kiok dan telah terkenal sebagai seorang
yang memiliki kepandaian tinggi. Selain itu sebagai wakil piauw-kiok dia rela
bertaruh nyawanya demi nama baik piauw-kiok dan demi melindungi barang atau
orang yang dikawalnya.
“Harap
sam-wi totiang suka memandang persahabatan dan tidak mengganggu kawalan kami,”
katanya tenang.
“Kami tidak
mengganggu, hanya memeriksa dan tentu saja kalian akan bertanggung jawab kalau
kami mendapatkan apa yang kami cari,” kata tosu tertua.
“Apakah yang
sam-wi cari?” tanya piauwsu.
“Bukan
urusanmu!” jawab si tahi lalat. “Suheng, mari kita segera menggeledah, perlu
apa melayani segala piauwsu cerewet?”
Pimpinan
piauwsu melangkah maju menghadang di depan kereta itu, lalu mengangkat muka dan
memandang dengan sinar mata berapi penuh kegagahan. “Sam-wi totiang perlahan
dulu! Sam-wi tentu maklum bahwa seorang piauwsu yang sedang bertugas mengawal
menganggap kawalannya lebih berharga dari pada nyawanya sendiri. Oleh karena
itu, betapa pun menyesalnya, kami terpaksa tidak dapat membenarkan sam-wi
melakukan penggeledahan terhadap barang-barang dan orang-orang kawalan kami.”
Si tahi
lalat membelalakkan matanya lebar-lebar. “Apa? Kau hendak menentang kami? Kami
bukan perampok, akan tetapi sikap kalian bisa saja membuat kami mengambil
tindakan lain!”
“Kami juga
tak menuduh sam-wi perampok, akan tetapi kalau kehormatan kami sebagai piauwsu
disinggung, apa boleh buat, terpaksa kami akan melupakan kebodohan kami dan
mengerahkan seluruh tenaga untuk melindungi dua kereta ini.”
“Wah,
piauwsu sombong, keparat kau!” Si tahi lalat sudah hendak bergerak, akan tetapi
lengannya dipegang oleh suheng-nya.
“Piauwsu,
kalau dua orang sute-ku bergerak, apa lagi dibantu oleh kawan-kawan kita di
belakang ini, dalam waktu singkat saja kalian semua yang berjumlah dua losin
ini tentu akan menjadi mayat di tempat ini. Kami bukan hendak merampok tanpa
alasan dan bukan hendak menyerang orang tanpa sebab, akan tetapi sekarang kami
hanya akan menggeledah. Kalau engkau merasa tersinggung kehormatanmu sebagai
piauwsu, nah, sekarang antara engkau dan pinto mengadu kepandaian. Kalau pinto
kalah, kami akan pergi dan kami tidak akan mengganggu kalian lebih jauh lagi.
Akan tetapi kalau kau kalah, kau harus membolehkan kami melakukan
penggeledahan.”
Piauwsu tua
itu mengerutkan alis berpikir dan mempertimbangkan usul dan tantangan tosu itu.
Memang resikonya besar sekali jika dia membiarkan anak buahnya bertempur
melawan rombongan Pek-lian-kauw itu. Dia dan anak buahnya tentu saja tidak
takut mati dalam membela dan melindungi kawalan mereka. Bagi seorang piauwsu,
mati dalam tugas melindungi kawalan adalah mati yang terhormat! Akan tetapi,
perlu apa membuang nyawa kalau para tosu ini memang hanya ingin menggeledah?
Pula, dia
sudah mendengar bahwa orang-orang Pek-lian-kauw hanya mengurus soal
pemberontakan, siapa tahu hartawan yang dikawal ini menyembunyikan sesuatu,
atau membawa sesuatu yang merugikan dan mengancam keselamatan Pek-lian-kauw?
Jika dia menang, dia percaya bahwa mereka tentu akan pergi karena dia sudah
mendengar bahwa orang-orang Pek-lian-kauw, biar pun kadang-kadang amat kejam,
namun selalu memegang janji dan karenanya memperoleh kepercayaan rakyat. Kalau
dia kalah, dua kereta hanya akan digeledah. Andai kata mereka menemukan sesuatu
yang dicarinya, hal itu masih dapat dirundingkan nanti. Resikonya masih amat
kecil kalau dia menerima tantangan, dibandingkan dengan resikonya kalau dia
menolak.
“Baiklah,
kalau aku kalah, sam-wi boleh menggeledah. Sebaliknya kalau aku menang, harap
cu-wi suka melepaskan kami pergi,” katanya sambil mencabut golok besarnya,
senjata yang diandalkan selama puluhan tahun sebagai piauwsu. “Saya sudah
siap!”
Sebelum tosu
tertua maju, tosu ketiga sudah berkata, “Suheng dan ji-suheng, biarkan aku yang
maju melayani. Sudah sebulan lebih aku tidak latihan, tangan kakiku gatal-gatal
rasanya!”
Si tahi
lalat dan suheng-nya mengangguk dan tersenyum, lalu melangkah mundur. Tosu ketiga
yang tubuhnya kecil kurus, mukanya pucat seperti seorang penderita penyakit
paru-paru itu melangkah maju dengan sigap. Dia adalah seorang pecandu madat,
maka tubuhnya kurus kering dan mukanya pucat, akan tetapi ilmu silatnya lihai.
Agaknya racun madat yang dihisapnya tiap hari itu tidak mengurangi
kelihaiannya, bahkan menurut cerita orang, setiap kali habis menghisap madat,
dia menjadi lebih ampuh dari biasanya, dan jurus-jurus silatnya mempunyai
perkembangan yang lebih aneh dan lihai!
Tosu itu
menghampiri piauwsu berjenggot putih, tersenyum dan memandang ke arah golok di
tangan si piauwsu, lalu berkata, “Eh, piauwsu, yang kau pegang itu apakah?”
Piauwsu itu
tentu saja menjadi heran. Dia mengangkat goloknya lalu berkata, “Apakah totiang
tidak mengenal senjata ini? Ini sebatang golok yang menjadi kawanku semenjak
aku menjadi piauwsu.”
Tosu kecil
kurus itu mengangguk-angguk, “Aahhh, pinto tadi mengira bahwa itu adalah alat
penyembelih babi. Heii, piauwsu, kalau kau hendak menyembelih aku apakah tidak terlalu
kurus?”
Mendengar
ucapan yang nadanya berkelakar dan mengejek ini, rombongan anak buah
Pek-lian-kauw tertawa tanpa turun dari kudanya, sementara rombongan piauwsu
juga tersenyum masam karena tadi pihak mereka diejek oleh tosu kecil kurus yang
kelihatan lemah namun amat sombong itu!
“Totiang,
kurasa sekarang bukan waktunya untuk berkelakar. Kalau totiang mewaklli
rombongan totiang maju menghadapiku harap totiang segera mengeluarkan senjata
totiang, dan mari kita mulai,” kata pimpinan piauwsu yang menahan kemarahannya.
“Senjata...
he-he-he, twa-suheng dan ji-suheng, dia tanya senjata! Eh, piauwsu, apakah kau
tidak melihat bahwa pinto telah membawa empat batang senjata yang masing-masing
sepuluh kali lebih ampuh dari pada alat pemotong babi di tanganmu itu?”
Piauwsu tua
itu sudah cukup berpengalaman maka dia mengerti apa artinya kata-kata yang
bernada sombong itu. “Hemm, jadi totiang hendak melawan golokku dengan keempat
buah tangan kaki kosong? Baiklah, totiang sendiri yang menghendaki, bukan aku,
maka kalau sampai totiang menderita rugi karenanya, harap jangan salahkan aku.”
“Majulah,
kau terlalu cerewet!” kata tosu kecil kurus itu dan dia berdiri seenaknya saja,
sama sekali tidak memasang kuda-kuda. Sikapnya ini jelas memandang rendah
kepada lawan.
Melihat
sikap tosu itu, piauwsu ini juga tidak mau sungkan-sungkan lagi. Cepat dia lalu
mengeluarkan teriakan dan goloknya menyambar dengan derasnya.
“Wuuuuttt...
sing-sing-sing-singgg...!”
Hebat memang
ilmu golok dari piauwsu itu karena sekali bergerak, setiap kali dengan cepat
dielakkan lawan, golok itu sudah menyambar lagi, membalik dan melanjutkan
serangan pertama yang gagal dengan bacokan berikutnya. Demikianlah, golok itu
terus menyambar-nyambar tanpa putus bagaikan seekor burung garuda, dari kanan
ke kiri dan sebaliknya, tak pernah menghentikan gerakan serangannya.
“Wah-weh...
wutt, luput...!” Tosu kurus kering itu mengelak ke sana-sini dengan cekatan
sekali dan walau pun dia juga terkejut menyaksikan serangan yang bertubi-tubi
dan berbahaya itu, namun dia masih mampu terus-menerus mengelak sambil membadut
dan berlagak.
Golok itu
bergerak dengan cepat dan teratur, sesuai dengan ilmu golok Siauw-lim-pai yang
sudah bercampur dengan gerak kaki ilmu silat Hoa-san-pai, kadang-kadang menusuk
akan tetapi lebih banyak membacok dan membabat ke arah leher, dada, pinggang,
lutut dan bahkan kadang-kadang membabat mata kaki kalau lawan mengelak dengan
loncatan ke atas. Suara golok membacok angin mengeluarkan suara
berdesing-desing menyeramkan dan sebentar kemudian, golok itu lenyap bentuknya
berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang indah dan yang mengejar ke mana pun
tosu itu bergerak.
Namun
hebatnya, tosu itu selalu dapat mengelak, bahkan kini kadang-kadang dia
menyampok dengan kaki atau tangannya. Hanya orang yang sudah tinggi ilmunya
saja berani menyampok golok dengan kaki atau tangan, karena sedikit saja
sampokan itu meleset, tentu mata golok akan menyayat kulit merobek daging
mematahkan tulang!
“Kau boleh
juga, piauwsu!” kata si tosu.
Tiba-tiba
tosu itu mengeluarkan suara melengking keras. Tubuhnya lenyap bentuknya, berubah
menjadi bayangan yang cepat sekali menari-nari di antara gulungan sinar golok.
Si piauwsu terkejut ketika merasa betapa jantungnya berhenti beberapa detik
oleh pekik melengking tadi, dan sebelum dia dapat menguasai dirinya yang
terpengaruh oleh pekik yang mengandung kekuatan khikang tadi, tahu-tahu lengan
kanannya tertotok lumpuh, goloknya terampas dan tampak sinar golok berkelebat
di depannya, memanjang dari atas ke bawah.
“Bret-brett-brettt...!”
Terdengar
suara kain terobek dan ketika tosu itu melempar golok ke tanah, tampak piauwsu
itu berdiri dengan pakaian bagian depan terobek lebar dari atas ke bawah
sehingga tampaklah tubuhnya bagian depan! Tentu saja dia terkejut dan malu
sekali, cepat dia menutupkan pakaian yang terobek itu, dan dengan muka merah
dia menjura dan memungut goloknya, “Saya mengaku kalah. Silakan totiang bertiga
kini melakukan penggeledahan!”
Terdengar
suara berbisik di antara para piauwsu, tetapi pimpinan piauwsu itu berteriak,
“Saudara-saudara harap mempersilakan sam-wi totiang melakukan penggeledahan di
dalam kereta!”
Selagi
piauwsu kepala ini menutupi tubuhnya yang setengah telanjang itu dengan pakaian
baru yang diambilnya dari buntalannya di punggung kuda dan memakainya dengan
cepat, ketiga orang tosu itu sambil tertawa-tawa lalu mendekati kedua kereta
itu. Si tahi lalat terpisah sendiri dari kedua orang saudaranya. Kalau tosu
pertama dan ketiga menghampiri kereta depan, adalah si tahi lalat ini
menghampiri kereta belakang di mana duduk si hartawan bersama kedua orang
isterinya!
Sambil
menyeringai ke arah wanita muda baju merah, si tahi lalat yang menyingkap tirai
itu berkata, “Kalian sudah mendengar betapa kepala piauwsu kalah dan kami
berhak untuk menggeledah. Heh-heh-heh!”
Hartawan itu
dengan muka pucat ketakutan cepat-cepat menjawab, “Harap totiang suka
menggeledah kereta depan karena semua barang kami berada di kereta depan.”
“Ha-ha, dua
orang saudaraku sudah menggeledah ke sana, akan tetapi yang kami cari itu
mungkin saja disembunyikan di dalam pakaian, heh-heh. Karena itu, pinto
terpaksa akan melakukan penggeledahan di pakaian kalian.”
Tentu saja
dua orang wanita itu menjadi merah mukanya dan isteri tua cepat berkata,
“Totiang yang baik, kami orang-orang biasa hendak menyembunyikan apakah? Harap
totiang suka memaafkan kami dan tidak menggeledah, biarlah saya akan sembahyang
di kelenteng memujikan panjang umur bagi totiang.”
Si tahi
lalat tersenyum menyeringai, “Heh-heh, tidak kau sembahyangkan pun umurku sudah
panjang. Kalau terlalu panjang malah berabe, heh-heh!”
Wanita
setengah tua itu terkejut dan tidak berani membuka mulut lagi melihat lagak
pendeta yang pecengas-pecengis seperti badut dan pandang matanya kurang ajar
sekali ditujukan kepada madunya yang masih muda itu.
“Orang
menggeledah orang lain harus didasari kecurigaan. Aku pun tidak mau berlaku
kurang ajar kepada kalian berdua, akan tetapi wanita ini menimbulkan kecurigaan
hati pinto, karenanya pinto harus menggeledahnya!”
“Aihhh...!”
Wanita muda itu menjerit lirih, tentu saja merasa ngeri membayangkan akan
digeledah pakaiannya oleh tangan-tangan tosu bertahi lalat yang mulutnya
menyeringai penuh liur itu.
“Lihat, dia
ketakutan! Tentu saja pinto menjadi lebih curiga lagi!” kata tosu bertahi lalat
itu serius. “Harap kalian turun dulu, jangan mengganggu pinto sedang bekerja!”
Setelah
didorongnya, suami isteri setengah tua itu tergopoh-gopoh turun dari kereta,
meninggalkan wanita muda itu sendirian saja. Wanita itu duduk memojok dan
tubuhnya gemetaran ketika memandang tosu itu naik ke kereta sambil tersenyum
menyeringai.
“Aku... aku
tidak membawa apa-apa...! Aku... tidak punya apa-apa...”
“Ah, bohong!
Segala kau bawa, kau mempunyai begini banyak! Heh-heh, kau harus diam dan
jangan membantah kalau tidak ingin pinto bertindak kasar!” Dan sepuluh jari
tangan itu seperti ular-ular hidup merayap-rayap menggerayangi seluruh tubuh
wanita muda itu
Suaminya dan
madunya yang berada di luar kereta hanya mendengar suara wanita itu merintih,
merengek dan mendengus, kadang diselingi terkekeh genit dan suaranya yang
mencela, “Ehh... ihhh... hi-hik, jangan begitu totiang...!”
Suara ini
bercampur dengan suara tosu itu yang terengah-engah dan kadang-kadang terkekeh
pula, kadang-kadang terdengar suaranya, “Hushh, jangan ribut... kau diamlah
saja ku... ku... geledah...”
Sementara
itu, dua tosu yang lain telah memeriksa kereta pertama. Akan tetapi mereka
tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, kecuali hanya peti-peti berisi
pakaian dan beberapa potong perhiasan dan uang emas milik hartawan itu.
“Hemm,
sia-sia saja kita bersusah payah. Para penyelidik itu benar-benar bodoh seperti
kerbau. Orang biasa dicurigai!” Tosu kurus kering mengomel.
“Mana
ji-sute?” Tosu tertua bertanya.
“Ke mana
lagi si mata keranjang itu kalau tidak ke kereta kedua?”
“Hemm...
marilah kita lekas pergi, setelah salah duga, tidak baik terlalu lama menahan
mereka. Para piauwsu itu tentu akan menyebarkan berita kurang baik tentang
Pek-lian-kauw.”
Keduanya
meninggalkan kereta pertama dan menghampiri kereta kedua. Ketika mereka berdua
membuka pintu kereta, tosu pertama menyumpah. “Ji-sute, hayo cepat kita pergi!”
“Ehh...
uhhh... baik, suheng!”
Tetapi agak
lama juga barulah si tahi lalat itu keluar dari kereta. Pakaiannya kedodoran,
rambutnya awut-awutan dan napasnya agak terengah-engah. Saat dua orang hartawan
dan isterinya naik ke atas kereta, mereka melihat wanita muda itu sedang
membereskan pakaiannya dan rambutnya, mukanya merah sekali dan dia tersenyum
kecil, mengerling ke arah suaminya yang cemberut. Pintu kereta ditutup dari
dalam dan segera terjadi maki-makian dan keributan antara si suami yang
memaki-maki bini mudanya dan si bini muda yang membantah dan melawan, diseling
suara isteri tua yang melerai mereka.
Akan tetapi,
ketika kedua tosu itu menghampiri kereta kedua, para pengikutnya yang
kasar-kasar itu sudah turun dan beberapa orang dari mereka ikut memeriksa
kereta pertama, kemudian beberapa buah peti mereka bawa ke kuda mereka.
Melihat ini
piauwsu yang terdekat segera meloncat dan menegur, “Heii, mengapa kalian
mengambil peti itu? Kembalikan!”
Jawabannya
adalah sebuah bacokan kilat yang membuat piauwsu itu roboh mandi darah. Gegerlah
keadaannya yang memang sejak tadi sudah menegangkan itu. Kedua pihak memang
sejak tadi sudah hampir terbakar, hampir meledak tinggal menanti penyulutnya
saja. Kini, begitu seorang piauwsu mandi darah, semua piauwsu serentak bergerak
menyerbu dan terjadilah pertempuran yang sejak tadi sudah ditahan-tahan.
Melihat ini,
biar pun hatinya menyesal, ketiga orang tosu itu terpaksa turun tangan. “Jangan
kepalang, kalau sudah begini, bunuh mereka semua agar tidak meninggalkan jejak
kita!” kata si tosu tertua.
Memang
terpaksa dia harus membunuh seluruh piauwsu dan kusir serta penumpang kereta,
karena kalau tidak, tentu mereka akan menyebar berita bahwa Pek-lian-kauw
mengganggu dan merampok. Hal ini tentu akan menimbulkan kemarahan ketua mereka
dan merekalah yang harus bertanggung jawab, mungkin mereka akan dibunuh sendiri
oleh ketua mereka karena hal itu amat dilarang karena dapat memburukkan nama
Pek-lian-kauw di mata rakyat yang mereka butuhkan dukungannya.
“Bunuh
semua, jangan sampai ada yang lolos!” tiga orang tosu itu berteriak-teriak
sambil mengamuk. Siapa saja yang berada di dekat tiga orang tosu yang bertangan
kosong ini, pasti roboh.
Tiba-tiba
tampak berkelebatnya dua sosok bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah
muncul Kian Lee dan Kian Bu. Mereka sudah sejak tadi membayangi dan mengintai
dari jauh. Mereka melihat lagak para tosu dan karena wanita muda itu sama
sekali tidak minta tolong, bahkan ada terdengar suara ketawanya di antara
rintihan dan rengeknya, Kian Lee yang ditahan-tahan oleh adiknya itu sengaja
tidak ingin turun tangan dan mendiamkannya saja. Juga ketika terjadi adu
kepandaian tadi, dia tidak berbuat apa-apa karena memang pertandingan itu sudah
adil, satu lawan satu.
Tetapi
melihat pertempuran pecah dan mendengar aba-aba dari mulut tosu itu, Kian Lee
dan Kian Bu hampir berbareng melompat dan lari cepat sekali ke medan
pertempuran. Sekali mereka bergerak, robohlah empat orang di antara sepuluh
orang tinggi besar pengikut Pek-lian-kauw itu dan terdengar Kian Bu berteriak,
“Cu-wi piauwsu, harap kalian hadapi enam orang hutan itu, biarkan kami
menghadapi tiga orang pendeta palsu ini!”
Melihat
munculnya dua orang muda yang segebrakan saja merobohkan empat orang tinggi
besar itu, semua piauwsu terheran-heran dan tentu saja dapat dibayangkan betapa
kaget hati mereka ketika mengenal kedua orang itu yang bukan lain adalah si
penculik nyonya muda dan penolongnya! Bagaimana mereka dapat datang bersama dan
kini membantu mereka menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw?
Akan tetapi,
mereka tidak ada waktu untuk bertanya dan kini semua para piauwsu yang bersama
pemimpinnya masih berjumlah delapan belas orang karena yang enam orang telah
roboh, maju menyerbu dan mengeroyok enam orang sisa pasukan pengikut
Pek-lian-kauw yang tinggi besar itu. Biar pun pada umumnya tingkat kepandaian
orang Pek-lian-kauw itu lebih tinggi sedikit, namun karena mereka harus
menghadapi para piauwsu dengan perbandingan satu lawan tiga, mereka segera
terdesak.
Sementara
itu, Kian Lee dan Kian Bu sudah menghadapi ketiga tosu yang memandang pada
mereka dengan mata terbelak dan dengan ragu-ragu. Kian Bu segera tersenyum dan
bertanya, “Apa kabar, sam-wi totiang? Aihhh, kenapa sam-wi bau air kencing?”
Mendengar
kata-kata ini, ketiga orang tosu itu kontan berteriak marah sekali karena mereka
tahu bahwa dua orang pemuda inilah yang mengganggu mereka semalam dan yang
telah menyamar sebagai ‘setan’. Biar pun semalam mereka mendapatkan bukti
betapa lihainya dua orang itu, namun begitu melihat mereka berdua hanyalah
pemuda-pemuda tanggung, tiga orang tosu itu menjadi besar hati. Sampai di mana
sih tingkat kepandaian orang-orang muda seperti itu? Mereka tentu saja tidak
merasa gentar sedikit pun dan sambil mengeluarkan suara teriakan seperti
harimau buas, si tahi lalat telah lebih dahulu menerjang maju dan mencengkeram
dengan dua tangan membentuk cakar ke arah kepala Kian Bu!
Pemuda ini
sama sekali tidak mengelak. Akan tetapi setelah kedua tangan yang seperti cakar
itu dekat dengan kepalanya, secepatnya ia menangkis hingga sekaligus tangan
kirinya menangkis dua tangan lawan yang menyeleweng ke samping, kemudian
secepat kilat tangan kanannya bergerak selagi tubuh lawan masih berada di
udara.
“Plak!
Crettt! Aduuhh...!”
Tosu bertahi
lalat di dagunya itu berteriak kaget dan kesakitan, lalu mencelat mundur
berjungkir balik sambil mendekap hidungnya yang keluar ‘kecap’ terkena sentilan
jari tangan Kian Bu. Biar pun tosu itu sudah mahir sekali menggunakan sinkang
membuat tubuhnya kebal, akan tetapi kekebalannya tidak dapat melindungi
hidungnya yang agak terlalu besar dan buntek itu, maka sekali kena disentil
jari tangan yang kuat itu, sekaligus darahnya muncrat ke luar.
Tosu kurus
kering juga sudah menerjang Kian Lee. Karena tosu ini lebih berhati-hati dan
tidak sembrono seperti sute-nya, dia menyerang dengan jurus pilihan dari
Pek-lian-kauw, bahkan dia mengerahkan sinkang yang mendorong hawa beracun
menyambar ke luar dari telapak tangannya. Hampir semua tokoh Pek-lian-kauw yang
sudah agak tinggi tingkatnya, semua mempelajari ilmu pukulan beracun ini, yang
hanya dapat dipelajari oleh kaum Pek-lian-kauw.
Ilmu pukulan
ini ada yang memberi nama Pek-lian-tok-ciang (Tangan Beracun Pek-lian-kauw) dan
memang amat dahsyat karena begitu tosu itu memukul dengan kedua tangan terbuka,
tidak saja dapat melukai lawan di sebelah dalam tubuhnya dengan hawa pukulan
sinkang itu, akan tetapi hawa beracun itu masih dapat mencelakai lawan yang
dapat menahan sinkang. Berbahayanya dari pukulan ini adalah karena hawa beracun
itu tidak mengeluarkan tanda apa-apa, berbeda dengan pukulan tangan beracun
lain yang dapat dikenal, yaitu dari baunya atau dari uap yang keluar dari
tangan sehingga lebih mudah dijaga.
Kian Lee
agaknya tidak tahu akan pukulan beracun ini, maka dengan seenaknya dia
menyambut dengan kedua telapak tangannya pula. Melihat ini, si tosu kurus
kering dan twa-suheng-nya yang belum turun tangan menjadi girang, mengira bahwa
pemuda itu pasti terjungkal, karena andai kata dapat menahan tenaga sinkang
dari pukulan itu, pasti akan terkena hawa beracun.
“Duk!
Plakk!”
Terjungkallah
tubuh si tosu kurus kering! Kejadian aneh ini tentu saja membuat tosu pertama
menjadi kaget setengah mati karena hal yang terjadi adalah kebalikan dari apa
yang disangka dan diharapkannya. Dia melihat tubuh sute-nya yang roboh
bergulingan menggigil kedinginan, terheran-heran mengapa sute-nya bisa begitu.
Akan tetapi
tak ada waktu untuk memeriksa. Dia segera menerjang maju dengan marah sekali
sambil meloloskan sabuk sutera di pinggangnya. Sabuk pendek ini memang selalu
dilibatkan di pinggang dan merupakan senjatanya yang ampuh sungguh pun jarang
sekali dia mempergunakannya karena biasanya, kedua tangannya saja sudah cukup
untuk merobohkan seorang lawan. Akan tetapi sekarang, melihat betapa
ji-sute-nya dalam segebrakan telah remuk hidungnya dan sam-sute-nya juga telah
roboh dan menggigil kedinginan, dia maklum bahwa kedua orang muda itu
kepandaiannya amat hebat dan tanpa sungkan-sungkan lagi dia lalu meloloskan
senjatanya itu.
Juga si tahi
lalat yang sudah hilang puyengnya karena hidungnya remuk itu, setelah menghapus
darah dari mulutnya yang ternoda oleh darah yang menitik dari bekas hidung,
sudah mengeluarkan senjatanya pula. Berbeda dengan suheng-nya, senjata tosu ini
ada dua macam, yaitu seuntai tasbeh dan setangkai kembang teratai putih yang
entah diberi obat apa sudah menjadi keras seperti besi! Tadinya kedua senjata
ini tersimpan di dalam saku bajunya yang lebar dan kini sudah berada di kedua
tangannya.
“Wah-wah-wah,
setelah menghadapi kesukaran baru kau ingat kepada tasbehmu dan kembang, ya?
Apakah kau hendak membaca doa dan memuja dewa dengan kembang itu?” Kian Bu
mengejek.
“Keparat,
mampuslah kau di tanganku!” Si tahi lalat membentak.
Tasbehnya
sudah menyambar ganas ke arah dahi Kian Bu sedangkan kembang teratai itu
menyambar leher. Serangan ini berbahaya sekali karena merupakan serangan palsu
atau ancaman. Kelihatannya memang ganas, akan tetapi keganasan ini hanya untuk
mengelabui perhatian lawan karena pada detik selanjutnya, selagi perhatian
lawan tertuju untuk menghadapi dua serangan ganas itu, kakinya menyambar dan
menendang ke arah anggota kelamin yang merupakan satu di antara pusat kematian
bagi seorang laki-laki!
“Cuuuutt-wuuuttt...
wessss!”
Namun sekali
ini yang dihadapi oleh si tahi lalat adalah putera Pendekar Super Sakti!
Menghadapi serangan ini, dengan amat tenangnya Kian Bu tersenyum dan memandang
saja. Ketika dua senjata itu sudah datang dekat, dia hanya menggerakkan
tubuhnya sedikit saja, dan pada saat kedua senjata itu ditarik secara
berbareng, tahulah dia bahwa dua serangan itu hanyalah merupakan gertak sambal
saja, maka dengan tenang dia menanti serangan intinya. Ketika melihat
berkelebatnya kaki tosu itu menendang ke arah alat kelaminnya, Kian Bu
tersenyum dan pura-pura terlambat mengelak.
“Desss!”
Tepat sekali kaki itu menendang bawah pusar dan Kian Bu terjengkang roboh,
mukanya pucat dan matanya mendelik dan napasnya terhenti.
“Hua-ha-ha-ha!
Kiranya engkau hanya begini saja! Tidak lebih keras dari pada tahu!” Sambil
berkata demikian, si tahi lalat itu melangkah maju, mengangkat kakinya dan
mengerahkan sinkang, hendak menginjak hancur kepala Kian Bu.
“Wuuutttt!
Plak! Tekkk... wadouww...!” Tosu itu memekik, kedua senjatanya terlepas dan dia
berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil kegirangan, namun air matanya
bercucuran, mulutnya megap-megap dan mendesis-desis seperti orang sedang
kepedasan, kedua tangannya mendekap alat kelaminnya dan kaki kanannya diangkat,
kaki kiri berloncat-loncatan! Apa yang terjadi?
Tentu saja
Kian Bu tadi menerima tendangan itu dengan sengaja! Sebagai seorang putera
Pendekar Super Sakti yang telah memiliki sinkang luar biasa sekali tingginya,
pada saat kaki lawan datang, dia sudah mengerahkan sinkang-nya menyedot seluruh
alat kelaminnya masuk ke rongga perut sehingga tendangan itu hanya mengenai
kulitnya yang dilindungi oleh hawa sinkang di sebelah dalam.
Akan tetapi
dia pura-pura jatuh dan semaput! Pada saat kaki tosu itu datang hendak
menginjak kepalanya, dia cepat menangkap kaki itu, menariknya sehingga tubuh
tosu itu merendah, kemudian dengan jari tangannya dia ‘menyentil’ alat kelamin
tosu itu, mengenai sebutir di antara bola kelaminnya, dan tentu saja
mendatangkan rasa nyeri yang sukar dilukiskan di sini.
Hanya mereka
yang pernah terpukul bola kelaminnya sajalah yang akan tahu bagai mana rasanya.
Kiut-miut berdenyut-denyut terasa di seluruh tubuh, merasuk di otot-otot dan
tulang sumsum, terasa oleh setiap bulu di badan, membuat kepala rasanya
mot-motan dan ulu hati seperti diganjal, nyeri dan linu, pedih cekot-cekot dan
segala macam rasa nyeri terkumpul jadi satu membuat tosu itu pingsan tidak
sadar pun tidak, hidup tidak mati pun belum!
Dalam keadaan
seperti itu, tentu saja kedua senjatanya terlepas tanpa disadarinya lagi,
bahkan dia masih berjingkrakan seperti seekor monyet diajari menari ketika Kian
Bu sambil tertawa mengalungkan tasbeh di leher tosu itu dan menancapkan tangkai
kembang di rambutnya!
Sementara
itu tosu tertua yang menyerang Kian Lee pun kecelik. Sabuknya menyambar seperti
seekor ular hidup, mula-mula melayang-layang ke sana-sini untuk mengacaukan
perhatian lawan. Tetapi, melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak membuat
gerakan mengelak, bahkan memandang gerakan sabuk itu tanpa gentar sedikit pun
juga, sabuk itu melayang turun dan menotok ke arah ubun-ubun kepala Kian Lee.
Kalau saja pemuda ini belum yakin akan kemampuan dan kekuatan sinkang lawan,
tentu saja dia tidak begitu gegabah berani menerima totokan ujung sabuk ke arah
bagian kepala yang lemah ini. Akan tetapi perhitungannya sudah masak, dan dia
menerima saja totokan itu.
“Takkkk!”
Ujung sabuk
tepat mengenai ubun-ubun kepala pemuda itu, tetapi sabuk itu membalik dan
hebatnya, bukan sembarangan saja membalik, melainkan mengandung kekuatan
dahsyat dan sabuk itu menyerang ubun-ubun kepala tosu itu sendiri tanpa dapat
ditahannya. Kaget setengah mati tosu itu dan cepat dia miringkan kepala
sehingga totokan sabuk itu meleset.
Akan tetapi
dia masih penasaran. Disangkanya hal itu hanyalah kebetulan saja karena kuatnya
dia menggerakkan sabuk dan kuatnya pemuda itu menahan totokannya. Biar pun dia
kaget dan juga heran, namun kembali dia menggerakkan sabuknya dan sekali ini
sabuknya meluncur dan menotok ke arah mata kanan Kian Lee! Secepat itu pula,
tangan kirinya bergerak ke depan mencengkeram ke arah pusar. Sukar dibandingkan
yang mana antara kedua serangan ini yang lebih berbahaya. Sudah jelas bahwa
totokan ujung sabuk ke arah mata itu sedikitnya dapat membuat sebelah mata
menjadi buta! Akan tetapi cengkeraman tangan yang amat kuat itu ke pusar, kalau
sampai pusar dapat dicengkeram dan terkuak, tentu isi perut akan ambrol dan
terjurai keluar semua!
Kian Lee
yang senantiasa bersikap tenang itu sedikit pun tidak menjadi gugup, bahkan
dengan tenangnya tanpa berkedip dia menanti sampai ujung sabuk dekat sekali
dengan mukanya, lalu tiba-tiba tangannya menyampok dan mengirim kembali ujung
sabuk itu ke muka lawan, sedangkan perutnya menerima cengkeraman itu, bahkan
menggunakan sinkang untuk membuat perutnya lunak seperti agar-agar sehingga
tangan lawan terbenam masuk, tetapi setelah tangan lawan memasuki perutnya, dia
mengerahkan sinkang untuk menyedot dan tangan itu tidak dapat ditarik kembali
oleh pemiliknya.
Bukan main
kagetnya tosu itu, dia harus membagi perhatiannya menjadi dua, sebagian untuk
menarik kembali tangannya yang terjepit di perut lawan, dan kedua kalinya untuk
menguasai sabuknya sendiri yang menjadi ‘liar’ dan menyerang dirinya sendiri.
“Plakk!
Krekkk!”
Tubuh tosu
itu terjengkang dan dia mengerang kesakitan karena selain pipinya terobek
kulitnya oleh hantaman ujung sabuknya sendiri, juga tulang ibu jari dan
kelingkingnya patah-patah terkena himpitan di dalam perut pemuda luar biasa
itu!
“Tahan semua
senjata! Cu-wi piauwsu, biarkan mereka pergi semua!” Kian Lee berseru. Suaranya
lantang sekali, penuh dengan kekuatan khikang sehingga mereka yang masih
bertanding itu terkejut dan menahan senjata masing-masing.
Melihat
betapa tiga orang tosu itu sudah dibuat tidak berdaya oleh kedua orang pemuda
aneh itu, kepala piauwsu itu tidak berani membantah, lalu berkata kepada sisa
pengikut Pek-lian-kauw, “Kalian tahu sendiri kami tidak berniat untuk memusuhi
Pek-lian-kauw, melainkan pimpinan kalian yang terlalu mendesak kami. Nah,
pergilah dan bawa teman-temanmu!”
Sisa pihak
Pek-lian-kauw yang maklum bahwa melawan pun tiada gunanya, lalu saling tolong
dan naik ke atas kuda. Tiga orang tosu yang tadinya ketika datang menggunakan
ilmu lari cepat di depan rombongan kuda, sekarang dalam keadaan setengah
pingsan dipangku oleh mereka yang masih sehat, kemudian tanpa pamit mereka lalu
pergi meninggalkan tempat itu.
Para piauwsu
lalu menolong teman-teman mereka yang terluka sedangkan pimpinan rombongan itu,
piauwsu berjenggot putih menjura kepada Kian Lee dan Kian Bu sambil berkata,
“Berkat pertolongan ji-wi taihiap maka kami masih dapat selamat dan...,”
tiba-tiba dia menghentikan kata-kata dan terbelalak ketika melihat kedua orang
pemuda itu saling pandang, mengangguk dan tiba-tiba saja melesat dan lenyap
dari depannya! Yang terdengar dari jauh hanya suara melengking tinggi, seperti
suara burung rajawali yang sedang berkejaran.
“Bukan
main...!” Piauwsu itu menggeleng kepala dan melongo. “Sepasang pemuda itu...
seperti... sepasang rajawali sakti saja...! Sayang mereka tidak memperkenalkan
diri...!”
Memang
selama hidupnya berkelana di dunia kang-ouw, belum pernah piauwsu ini
menyaksikan kepandaian dua orang pemuda semuda itu, dua orang pemuda yang
tingkat ilmunya tidak lumrah manusia dan ketika pergi seperti terbang, seperti
sepasang rajawali sakti saja!
Tiada
habisnya mereka membicarakan kedua orang pemuda itu yang pada kemunculan
pertama sudah aneh, seorang menjadi penculik dan seorang menjadi penolong,
kemudian penculik dan penolong itu bekerja sama mengusir orang-orang
Pek-lian-kauw secara mengherankan sekali. Tak salah lagi, tentu mereka itu
bersaudara melihat wajah mereka yang mirip, dan tentu soal penculikan tadi
hanya main-main saja, permainan dua orang pemuda aneh yang tidak lumrah
manusia.
Cerita itu
menjalar cepat dari mulut ke mulut sehingga mulai hari itu, terkenallah julukan
Sepasang Rajawali Sakti untuk dua orang pemuda yang sama sekali tidak terkenal
di dunia kang-ouw. Bukan hanya dari pihak piauwsu itu saja yang memperluas
cerita itu, juga dari pihak Pek-lian-kauw sendiri segera mengakui bahwa memang
di dunia kang-ouw muncul dua orang pemuda yang aneh dan yang patut disebut
Sepasang Rajawali Sakti karena ilmu kepandaian mereka yang amat tinggi.....
***************
Tidak baik
kalau terlalu lama kita meninggalkan Lu Ceng atau Ceng Ceng, dara remaja cantik
jelita dan lincah jenaka yang sejak permulaan cerita ini sudah banyak mengalami
hal-hal yang amat hebat itu. Seperti diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng
yang juga mempunyai nama baru setelah diangkat adik oleh puteri Bhutan, yaitu
Candra Dewi, hanyut di dalam perahu tanpa kemudi bersama kakak angkatnya,
Puteri Syanti Dewi yang dalam penyamarannya karena dikejar-kejar kaum
pemberontak juga mempunyai nama baru, yaitu Lu Sian Cu.
Seperti
telah diceritakan, Syanti Dewi dan Ceng Ceng terlempar ke air sungai yang dalam
dan deras arusnya, ketika perahu yang tanpa kemudi karena ditinggalkan tukang
perahu itu menabrak perahu-perahu lain dan terguling. Syanti Dewi dapat
tertolong oleh seorang laki-laki gagah perkasa yang bukan lain adalah Gak Bun
Beng, akan tetapi keduanya tidak berhasil mencari Ceng Ceng dengan jalan
menyusuri tepi Sungai Nu-kiang. Namun tidak ditemukan jejak Ceng Ceng dan
dengan hati berat terpaksa Syanti Dewi bersama penolongnya itu meninggalkan
sungai itu dan menganggap bahwa Ceng Ceng tentu sudah tenggelam dan tewas.
Benarkah
Ceng Ceng tewas tenggelam di dasar Sungai Nu-kiang di barat itu?
Tidak, Ceng
Ceng tidak tewas dan pada saat Syanti Dewi dan Gak Bun Beng menyusuri tepi
Sungai Nu-kiang itu, dia sudah menggeletak jauh dari tepi sungai, di dalam
sebuah hutan yang amat sunyi dan liar, menggeletak pingsan dengan muka masih
kebiruan, akan tetapi perutnya telah kempis tidak penuh air dan napasnya sudah
berjalan dengan halus dan kuat. Krisis telah lewat dan dara itu telah selamat
dari cengkeraman maut melalui air Sungai Nu-kiang.
Ceng Ceng
mulai siuman dan menggerak-gerakkan pelupuk mata, atau lebih tepat lagi, bola
mata yang masih tertutup pelupuk itu mulai bergerak, kemudian pelupuk matanya
terbuka perlahan, makin lama makin lebar sehingga matanya seperti sepasang
matahari baru muncul dari permukaan laut di timur. Mendadak, mata itu terbuka
serentak dengan lebar, kepalanya menoleh ke kanan kiri, lalu ke pinggir
tubuhnya.
Mengapa dia
rebah terlentang di bawah pohon-pohon besar, di atas rumput kering, di dekatnya
ada api unggun yang mendatangkan hawa hangat? Saat menengok ke kanan, dia
melihat seorang pemuda sedang duduk di tepi sungai kecil di dalam hutan itu,
duduk membelakanginya dan memegang tangkai pancing, sedang tangan kirinya
memegang sebuah paha ayam hutan yang sudah dipanggang, dan di dekatnya tampak
kayu yang masih terbakar mengepulkan asap dan di antara api membara itu masih
terdapat sisa ayam hutan.
Ceng Ceng tidak
bergerak, memandang seperti dalam mimpi. Siapa pemuda itu? Dan dia... mengapa
berada di tempat ini? Tiba-tiba dia menahan seruannya karena teringat. Bukankah
dia bersama kakaknya Syanti Dewi terlempar ke dalam sungai dan hanyut? Teringat
akan ini, teringat akan kakaknya yang hanyut, serentak Ceng Ceng melompat
bangun.
“Iihhh...!”
Dia menjerit kecil dan cepat-cepat dia merobohkan diri ‘mendekam’ lagi di atas
tanah, kedua tangannya sibuk menutupkan jubah lebar yang kedodoran dan tadi
terbuka ketika dia meloncat bangun. Baru sekarang dia melihat dan memperhatikan
keadaan tubuhnya dan rasa malu membuat seluruh tubuhnya, mungkin saja dari akar
rambut sampai akar kuku jari kaki, menjadi kemerahan.
Siapa yang
tidak akan malu setengah mati mendapat kenyataan bahwa tubuhnya hanya tertutup
oleh jubah lebar itu saja, tanpa apa-apa lagi di sebelah dalamnya? Dia telah
telanjang bulat-bulat betul, hanya terlindung oleh jubah itu. Di mana
pakaiannya? Mengapa dia telanjang bulat? Siapa yang mencopoti pakaiannya tanpa
ijin? Dan jubah ini, siapa yang menutupkan di tubuhnya? Siapa lagi kalau bukan
pemuda itu, pikirnya dan matanya mulai mengeluarkan sinar berapi. Kurang ajar!
Pemuda laknat, berani menelanjangi aku dan memakaikan jubah ini. Pemuda yang
harus mampus!
Ingin dia
menjerit dan menangis, akan tetapi melihat pemuda yang duduk mancing ikan dan
membelakanginya itu diam tak bergerak, dia menjadi ragu-ragu. Dia tidak boleh
sembrono dan lancang, pikirnya. Bagaimana kalau bukan dia yang melakukannya?
“Setan alas
di kali eh, setan kali di alas!” Tiba-tiba pemuda itu mengomel.
Kalau Ceng
Ceng tidak sedang marah besar sekali, tentu dia akan tertawa geli melihat
pemuda itu mengangkat pancingnya dan melihat ada tahi tersangkut di mata kail
itu! Agaknya tahi monyet atau binatang lain, akan tetapi bentuknya seperti
kotoran manusia dan cukup menjijikkan!
Dengan
gerakan gemas pemuda itu menyabet-nyabetkan kailnya di air sampai kotoran itu
lenyap, lalu mengangkat mata kailnya yang sudah kehilangan umpan, mengambil
lagi daging bakar, sebagian kecil dicuwil untuk dipakai umpan, sebagian lagi
dijejalkan mulutnya. Melihat betapa pemuda itu kembali mengambil paha ayam dan
menggigitnya, timbul air liur di mulut Ceng Ceng karena baru terasa olehnya
betapa lapar perutnya.
Pemuda itu
lalu menancapkan gagang pancingnya di tanah, lalu bangkit berdiri dan membalik.
Agaknya kini barulah dia melihat Ceng Ceng! Melihat gadis itu sudah siuman,
mendeprok di bawah dengan tangan sibuk menutupi tubuhnya dengan jubah kedodoran
yang kancingnya banyak yang sudah rusak sehingga tidak dapat dikancingkan itu,
dia tersenyum mengejek! Senyum yang bagi Ceng Ceng amat menggemaskan, senyum
yang lebih tepat disebut menyeringai dan sengaja mengejek, malah matanya
melirak-lirik seperti orang menggoda, tangan kiri memegang paha ayam diacungkan
ke atas, dicium dengan cuping hidung kembang kempis.
“Hemmm...
sedap dan gurihnya...!” lalu dia menoleh kepada Ceng Ceng sambil berkata, “Wah,
lama benar engkau tidur! Keenakan mimpi, ya? Kau membikin aku repot bukan main,
yaaaa... repot bukan main, lahir batin. Untung engkau tidak mati di sungai, dan
untung aku mempunyai jubah cadangan, walau pun sudah agak tua akan tetapi cukup
untuk menyelimutimu.”
Mendengar
ini, kontan keras Ceng Ceng jadi naik darah! Betapa tidak kalau kata-kata
pemuda itu jelas membuktikan bahwa pemuda inilah yang telah mencopoti semua
pakaiannya, kemudian mengenakan jubah itu pada tubuhnya! Sialan! Dia meloncat
bangun, kedua tangan dikepal dan siap untuk menyerang, akan tetapi agak kaku
karena tangan kanannya tertutup oleh tangan baju yang terlalu panjang itu dan
telapak kakinya terasa nyeri dan juga geli karena kakinya telanjang dan
batu-batu di tempat itu agak runcing.
Akan tetapi
hanya beberapa detik saja dia memasang kuda-kuda yang kaku itu karena dia
melihat pemuda itu sudah menaruh telunjuknya di depan hidung sambil berkata,
“Cih, tidak tahu malu, ya? Lihat jubah itu kedodoran!”
Tentu saja
Ceng Ceng sudah cepat menggunakan kedua tangannya untuk menutupi depan jubahnya
dan dia tidak berani lagi maju menyerang karena begitu dia menyerang, tentu
jubah itu akan terlepas, terbuka dan... akan tampaklah semua bagian depan dari
tubuhnya. Dia membanting-banting kakinya, akan tetapi segera menjerit dan
mengaduh karena kakinya menimpa batu runcing. Ingin dia menjerit, ingin dia
menangis dan dengan mata terbelalak penuh kemarahan dia memandang wajah pemuda
itu.
Pemuda itu
lalu enak-enak duduk lagi di tepi sungai, membelakangi Ceng Ceng dan sambil
melanjutkan makan ayam panggang dia mencurahkan perhatiannya kepada pancingnya,
seolah-olah Ceng Ceng tidak ada di belakangnya atau bahkan seolah-olah di dunia
ini tidak ada seorang manusia lain kecuali dia dan pancingnya!
Ceng Ceng
makin panas perutnya. Dia memutar otaknya dan teringat akan cerita tentang
jai-hwa-cat, yaitu penjahat berkepandaian tinggi yang kerjanya hanya menculik
dan memperkosa seorang gadis lalu membunuhnya. Dia bergidik. Kiranya pemuda itu
seorang penjahat jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)! Dia terjatuh ke dalam
tangan seorang penjahat keji.
Diam-diam
selagi pemuda itu membelakanginya, dia meraba-raba tubuhnya, memeriksa dan
merasakan keadaan tubuhnya. Hatinya lega karena dia merasa yakin bahwa dia
belum ternoda. Akan tetapi berapa lama lagi? Dan dia sudah ditelanjangi oleh
pemuda itu, jari-jari tangan pemuda itu telah menggerayangi tubuhnya ketika
menanggalkan semua pakaiannya, bahkan sepatunya, kemudian mengganti dengan
jubah itu! Pemuda kurang ajar! Pemuda yang harus mampus!
Makin
dipikir, makin dikenang, makin panas rasa perutnya. Dia lalu merobek pinggiran
jubah itu sehingga merupakan tali yang cukup panjang, kemudian selain
menggunakan sebagian tali untuk ikat pinggang, juga dia mengikat lubang-lubang
kancing jubah itu sehingga tidak ada bahaya terbuka lagi kalau kedua tangannya
digerakkan. Setelah itu lalu digulungnya lengan bajunya sampai ke siku agar
tidak menghalangi gerakannya oleh karena dia sudah mengambil keputusan pasti
untuk menghajar jai-hwa-cat itu! Menghajarnya sampai mati!
Setelah
selesai persiapannya, dia lalu melangkah perlahan dan seluruh urat syaraf di
tubuhnya menegang. Dia sudah memasang kuda-kuda dan kedua tangannya sudah
terkepal di pinggang, siap untuk menerjang dan memukul. Dia harus menyerang
dengan jurus apa? Bagian mana yang harus dipukulnya dan sebaiknya memukul
dengan tangan terbuka atau terkepal?
Dia
mempertimbangkan, memilih-milih bagian mana yang paling ‘lunak’ dan yang paling
tepat. Karena dia yakin bahwa pemuda itu tentu pandai, maka dia harus dapat
berhasil menyerang secara ‘tek-sek’, yaitu satu kali ‘tek’ (suara pukulan)
hasilnya ‘sek’ (mati), atau sekali pukul mati! Tengkuknya yang sebagian
tertutup rambut yang hitam lebat dan dikuncir tebal itu? Ah, kuncir itu terlalu
tebal dan ini bisa menahan pukulannya.
Punggungnya?
Pemuda itu memakai baju dengan berlapis jubah tebal, ini pun tidak
menguntungkan kalau dia memukul punggung, apa lagi menotok karena totokannya
bisa terhalang oleh tebalnya pakaian. Kepalanya! Ya, ubun-ubun kepalanya itu.
Biar pun pemuda itu rambutnya hitam dan tebal, akan tetapi kiranya rambut itu
tidak cukup kuat untuk melindungi ubun-ubun yang lemah.
Sekali pukul
ubun-ubunnya, pasti beres! Apa lagi kalau dia mengerahkan sinkang-nya,
menggunakan jari tangan terbuka mencengkeram, tentu jari-jari tangannya akan
menancap di ubun-ubun itu. Crottt, dan otaknya akan muncrat keluar! Ceng Ceng
bergidik ngeri juga. Belum pernah dia melakukan hal sekejam itu. Membayangkan
otak kepala manusia berlepotan di jari tangannya, dia sudah mau muntah.
Ah, ditotok
saja jalan darah di lehernya. Totokannya biasanya jitu dan sekali totok tentu
pemuda itu akan tak berdaya lagi, kalau sudah begitu, terserah nanti bagaimana
dia akan membunuhnya. Tangannya sudah dibuka jarinya, kedua jari telunjuk dan
jari tengah tangan kanan sudah menegang sedangkan tiga jari lainnya ditekuk,
siap untuk melakukan totokan yang jitu selagi pemuda itu tekun memperhatikan
pancingnya.
“Apakah
sebelum membunuhku, kau tidak lebih dulu menanyakan di mana kusimpan pakaianmu?
Kalau aku mati dan kau tidak dapat menemukan pakaianmu, apakah kau akan
melakukan perjalanan seperti itu?”
Ucapan
pemuda itu membuat dia lemas! Lemas dan jengkel. Jari tangan yang sudah
menegang menjadi lemas kembali.
“Jai-hwa-cat!
Manusia cabul! Mata keranjang! Laki-laki tak tahu malu! Ceriwis dan muka
tebal!”
Pemuda itu
menoleh, tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi yang kuat dan putih
bersih, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri. “Hayo, apa lagi? Kalau masih
ada, keluarkan semua, kalau perlu boleh melihat kamus mencari kata-kata makian.
Tidak baik menyimpan penasaran.”
Bagaikan api
disiram bensin, kemarahan Ceng Ceng makin berkobar, telunjuknya menuding.
“Kau... kau... babi celeng monyet anjing kerbau! Kau manusia iblis, setan,
siluman eh, apa lagi... eh, keparat jahanam! Hayo kembalikan pakaianku, kalau
tidak...”
“Kalau tidak
mengapa sih?”
“Kalau
tidak... akan kuhancurkan kepalamu, kurobek dadamu, kukeluarkan isi perutmu,
kupotong lehermu, kaki dan tanganmu...!”
“Heh-heh,
memangnya aku ayam? Terlalu kejam bagi seorang dara secantik engkau!”
Karena
kata-kata dan sikap pemuda itu mengejeknya, Ceng Ceng tidak dapat menahan
kemarahan hatinya lagi, “Kembalikan pakaianku!”
“Nanti dulu!
Kalau kau minta dengan cara kurang ajar seperti itu, jangan harap aku akan
mengembalikannya!”
“Apa? Harus
bagaimana aku minta?”
“Yahhh,
dengan kata-kata yang sopan dan manis, namanya saja orang minta-minta.”
“Aku bukan
pengemis!”
“Akan tetapi
engkau minta sesuatu, harus yang sopan dan manis.”
“Manis
hidungmu! Mampuslah!”
Ceng Ceng
sudah tak dapat lagi menahan lebih lama. Dia menyerang dengan dahsyat,
menggunakan dua tangannya memukul meski pun kakinya berjingkrak karena
telanjang.
“Hehhhh...
waaahhh... luput!”
“Haaiiiiiitttt...!”
Tubuh Ceng Ceng sudah menerjang maju, kakinya menendang menyusul hantamannya
mengarah dada.
“Wuuuussss...!”
“Hampir
saja... tapi luput!”
“Hyaaatttttt...!”
Kemarahan membuat Ceng Ceng menyerang sehebatnya, kini tangan kirinya
mencengkeram ke mata lawan, disusul tangan kanannya menyodok lambung. Pukulan
yang berbahaya sekali.
“Bagus sekali,
sayang gagal...!”
Bertubi-tubi
Ceng Ceng menyerang, mengeluarkan jurus-jurus paling ampuh yang pernah
dipelajarinya, terus mengejar ke mana pun pemuda itu loncat mengelak, namun tak
pernah serangannya berhasil. Gerakan pemuda itu luar biasa gesitnya. Dan
tiba-tiba Ceng Ceng mengaduh-aduh, lalu menghentikan serangannya dan pergi dari
tempat yang penuh batu kerikil runcing itu ke tempat tadi. Kiranya pemuda itu
mengelak sambil memancing gadis itu mengejarnya ke tempat yang penuh dengan
batu kerikil runcing. Tentu saja kaki Ceng Ceng menjadi korban.
Semenjak
kecil, dara itu tidak pernah mempergunakan kakinya bertelanjang menginjak
sesuatu, tentu saja telapak kakinya menjadi amat halus, kulitnya tipis dan
perasa sekali. Tanpa sepatu, kakinya itu merupakan bagian tubuh yang lemah
sekali.
Kini dia
memandang pemuda itu dengan mata terbelalak. Lagak dan kata-kata pemuda itu,
caranya mengelak dan mengejeknya saat semua serangannya gagal, mengingatkan dia
akan seseorang.
Melihat dara
itu tidak menyerangnya lagi, pemuda itu berkata seperti kepada diri sendiri,
“Melihat orang yang mengamuk masih mending, asal jangan melihat orang menangis.
Menyebalkan!” Tiba-tiba tubuhnya lenyap begitu saja dan Ceng Ceng melongo.
Kiranya
pemuda itu adalah iblis! Hanya iblis saja yang pandai menghilang seperti itu.
Akan tetapi, dia belum pernah bertemu dengan iblis, dan menurut dongeng, iblis
hanya muncul di waktu malam. Sekarang, masih siang begini iblis macam apa
muncul dalam ujud seorang pemuda tampan?
“Nih,
pakaianmu!”
Tiba-tiba
terdengar suara dari atas dan ketika Ceng Ceng memandang ke atas, kiranya
pemuda itu nongkrong di atas dahan pohon dan sedang mengeluarkan pakaiannya
dari bungkusan, kemudian melemparkan pakaiannya kepadanya.
Ceng Ceng
menerima gulungan pakaiannya itu, lengkap pakaian dalam dan luar, dan
sepatunya, akan tetapi pakaian petani yang dipakai menyamar, yang dipakai di
luar pakaiannya sendiri, tidak ada. Dia tidak pula memperhatikan hal ini,
bahkan kini pakaian itu hanya dipegangnya saja dengan kedua tangannya karena
dia memandang pemuda itu yang meloncat turun dengan gerakan yang membuat dia
kaget dan kagum.
Pantas saja
seperti menghilang, kiranya pemuda itu memiliki gerakan yang luar biasa ringan
dan cepatnya. Akan tetapi, bukan itu yang membuat dia bengong dan seperti orang
terpesona, tetapi buntalan yang dibawa turun oleh pemuda itu. Teringat benar
bahwa dia pernah melihat buntalan itu, bahkan pernah melemparkannya ke dalam
sungai. Melemparkan buntalan! Dari perahu!
“Heiiiii...!”
Tiba-tiba karena teringat dia menjerit sambil menudingkan telunjuknya ke arah
pemuda itu.
Tepat pada
saat itu, sambil memegang buntalan pemuda itu sedang berjongkok untuk memeriksa
apakah pancingannya mengena. Ketika ditunjuk dan mendadak gadis itu menjerit,
dia kaget sampai terloncat.
“Wah, kau
ini gadis aneh. Ada apa lagi hingga kau menjerit-jerit seperti melihat setan?”
dia mengomel.
“Bukan
melihat setan, melainkan melihat engkau! Engkau tukang perahu keparat itu!
Benar, matamu, senyummu...”
“Bagus dan
menarik, ya?”
“Menarik
hidungmu! Hayo mengaku! Kaulah yang menyamar sebagai tukang perahu itu, bukan?”
“Kalau tidak
mengaku, mengapa?”
“Mengaku
atau tidak, tetap saja aku sekarang mengenalmu. Buntalan itu! Aku sudah
membuangnya ke dalam sungai dan kau meloncat mengejar dan menyelam.”
“Kau memang
gadis liar dan galak!”
“Dan kau...
kau meninggalkan perahu, membuat perahu hanyut dan terguling. Dan enci-ku...,
ehhh, enci-ku... dia tentu celaka...!”
“Hemmm,
semua gara-gara engkau juga! Mengapa engkau begitu jahat dan kejam, membuang
buntalan orang? Sepatutnya engkau yang harus mati tenggelam, bukan kakakmu yang
baik hati dan manis budi dan cantik jelita itu.”
“Tidak,
justru engkaulah yang meninggalkan perahu sampai perahu hanyut!” Ceng Ceng
membantah, marah.
“Jika kau tidak
begitu kejam membuang buntalanku, apakah aku meninggalkan perahu? Kau saja yang
tak mengenal budi orang!” Pemuda itu mengomel lalu mengambil sebuah topi caping
lebar dari buntalan besar dan mengebut-ngebutkannya.
Melihat
caping itu, Ceng Ceng semakin kaget dan memandang dengan matanya yang indah itu
terbelalak lebar. “Heiii...!”
“Ihhhh!”
Pemuda itu mencela, terperanjat. “Apa engkau sudah gila, menjerit-jerit tidak
karuan?”
“Capingmu
itu! Kau adalah orang yang dulu mengganggu ketika sang... eh, kakakku hendak
mandi!”
Pemuda itu
menoleh, tersenyum mengejek dan berkata, “Benarkah?”
“Ternyata
kau memang kurang ajar, agaknya sejak dahulu engkau membayangi kami, ya?”
“Kalau kau
yang minta aku pergi ketika itu, aku tentu tidak sudi. Akan tetapi Sang Puteri
Syanti Dewi, dia begitu cantik, begitu halus, sayang, gara-gara kenakalanmu dia
sampai lenyap!”
“Gara-gara
kekurang ajaranmu!” Ceng Ceng membantah.
“Gara-gara
engkau!”
“Engkau!”
“Hemmm,
engkau ini hanya seorang dayang pelayan, besar lagak amat!” pemuda itu
mengejek.
Sepasang
mata yang sudah terbelalak itu mengeluarkan sinar berapi. “Apa katamu? Dayang
pelayan? Keparat bermulut lancang dan busuk!”
Ceng Ceng
melepaskan gulungan pakaiannya. Saking marahnya dia sudah menerjang lagi dengan
pengerahan tenaga sekuatnya dan mengeluarkan jurus yang paling ampuh. Akan
tetapi, dengan gerakan yang aneh dan sigap, pemuda itu berhasil menangkap kedua
pergelangan tangannya dan dia meronta-ronta namun tidak bisa melepaskan kedua
tangannya yang terpegang.
Ceng Ceng
marah sekali, kakinya menendang-nendang namun selalu dapat ditangkis oleh kaki
pemuda itu. Betapa pun juga, memegang seorang dara yang liar seperti itu sama
dengan memegang seekor harimau betina, salah-salah bisa terkena cakarnya. Maka
pemuda itu berkata sungguh-sungguh, “Gadis liar! Kalau kau tak menghentikan
kegalakanmu, terpaksa aku akan menghukummu dengan ciuman-ciuman di mulutmu!”
Diancam
pukulan atau maut, agaknya Ceng Ceng takkan merasa takut. Akan tetapi diancam
ciuman, hal yang sama sekali belum pernah dialaminya biar dalam mimpi sekali
pun, meremang seluruh bulu di tubuhnya, dan otomatis dia menghentikan gerakan
tubuhnya. Melihat ini, pemuda itu tertawa dan sekali mendorong, tubuh Ceng Ceng
terlempar dan terbanting ke atas tanah.
“Huhh, biar
belajar ilmu silat lagi sampai kau menjadi nenek-nenek keriput, tak mungkin
engkau dapat melawanku.” Pemuda itu mengejek dengan nada suara sombong sekali.
Ceng Ceng
yang terduduk di atas tanah itu tak bergerak, hati dan pikirannya terasa sakit
bukan main. Pemuda ini seorang pemuda yang tampan dan berkepandaian begitu
tinggi, dan kini dia dapat menduga-duga bahwa dia yang terseret arus sungai
tentu telah ditolong oleh pemuda ini, tentu dalam keadaan hampir mati dan basah
kuyup. Pemuda aneh ini, yang tampan dan gagah, tentu telah mengeluarkan air
dari perutnya dan oleh karena pakaiannya basah kuyup, tentu telah menanggalkan
pakaian itu, memakaikan jubahnya kepadanya. Dan pakaiannya itu, sampai
sepatu-sepatunya, dijemur sampai kering, mungkin setelah dicuci dulu karena
terkena lumpur.
Dan ketika
menanggalkan semua pakaiannya, pemuda itu jelas tidak melakukan sesuatu yang
melanggar susila, kalau demikian halnya, tidak akan begini keadaannya. Pemuda
yang aneh, tampan, gagah, kurang ajar akan tetapi juga baik sekali. Justeru
kebaikan pemuda itulah yang membuat hatinya menjadi makin sakit, karena betapa
pun baik dan tampan serta gagahnya, pemuda itu kini ternyata tidak
menghargainya, menghinanya, memandang rendah mengatakannya pelayan dan biar
sampai menjadi nenak-nenek keriput takkan mampu melawannya. Dan pemuda itu
sudah dua kali mengalahkannya.
Dia jengkel
sekali, marah sekali. Melawan dengan tenaga, tidak mampu, bahkan kalah jauh
sekali. Melawan dengan maki-makian, ternyata pemuda itu pun pandai sekali
bicara, bahkan setiap kata-katanya menusuk perasaan! Dia kalah segala-galanya!
Perasaan ini
membuat dia terasa begitu nelangsa, teringat dia akan kakeknya, karena kalau
ada kakeknya, tentu tidak ada manusia berani bersikap begini kurang ajar
kepadanya. Selama hidupnya, ketika kakeknya masih ada, dia belum pernah
mengalami penghinaan seperti ini. Juga kalau ada Syanti Dewi yang biar pun
halus dan lemah namun amat berwibawa itu, agaknya dia ada yang membela.
Sekarang, dia seorang diri dan dihina orang tanpa mampu melawan sedikit pun.
Teringat
akan ini, biar pun pada dasarnya Ceng Ceng bukan seorang dara yang cengeng,
bahkan amat keras hati dan pantang menangis karena iba diri, kini tak dapat
menahan tangisnya dan dia menundukkan muka, menutupi kedua matanya yang
mengalirkan air mata.
Siapakah
pemuda tampan yang amat lihai itu? Dia ini bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, pemuda ini semenjak meninggalkan
ibunya di puncak Bukit Angsa di lembah Huang-ho, telah banyak mengalami hal
yang hebat-hebat. Selama dua tahun dia menjadi murid Sai-cu Lo-mo dan
memperoleh ilmu kepandaian yang amat tinggi, kemudian petualangannya sebagai Si
Jari Maut dengan menggunakan nama Gak Bun Beng untuk merusak nama musuh
pembunuh ayahnya yang sudah meninggal itu dan kemudian setelah dia dikalahkan
oleh Puteri Milana yang membuat dia malu dan penasaran sekali, dia bertemu
dengan Kong To Tek bekas tokoh Pulau Neraka yang telah mewarisi kitab-kitab
peninggalan dua orang Iblis Tua dari Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Koai-ong dan
Bu-tek Siauw-jin.
Karena Kong
To Tek menderita sakit ingatan, tokoh ini yang melihat wajah Tek Hoat mirip
sekali dengan Wan Keng In yang telah meninggal, mengira bahwa dia berhadapan
dengan Wan Keng In dan menyerahkan pusaka-pusaka peninggalan dua orang Iblis
Tua itu kepada Tek Hoat, berikut pedang pusaka Cui-beng-kiam yang ampuh dan
catatan pembuatan obat perampas ingatan yang amat luar biasa. Karena mencobakan
obat perampas ingatan dan obat penawarnya kepada Kong To Tek, maka kakek ini
waras kembali dan melihat dia tertipu, dia hendak membunuh Tek Hoat, namun
kalah dan bahkan dia yang terbunuh oleh Tek Hoat yang telah menjadi lihai
sekali!
Dengan hati
girang Tek Hoat yang telah mewarisi ilmu kepandaian hebat, bahkan masih ada dua
buah kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin yang dianggap
gurunya dan yang belum dilatihnya, pemuda ini lalu pergi hendak pulang ke rumah
ibunya di puncak Bukit Angsa, membawa dua buah kitab dan sebatang pedang.
Kini dia
tidak sudi lagi menyamar dengan nama Gak Bun Beng. Dia telah menjadi seorang
yang berilmu tinggi, dan dia menganggap bahwa di dunia ini tidak akan ada yang
dapat melawannya, maka dia berhak menggunakan namanya sendiri dan hendak
mencari nama besar dengan cara yang akan menimbulkan kegemparan di dunia!
Akan tetapi
alangkah kecewa hatinya sesudah dia tiba di puncak Bukit Angsa, dia mendapatkan
rumah ibunya kosong dan ibunya tidak berada lagi di rumah itu. Bahkan melihat
bekas-bekasnya, agaknya sudah lama ibunya meninggalkan rumah itu tanpa
meninggalkan pesan apa pun dan kepada siapa pun. Tek Hoat menjadi jengkel dan
marah kepada ibunya, lupa bahwa dialah yang telah melanggar janji. Ketika pergi
dahulu, dia berjanji untuk pulang menengok ibunya setiap tahun, akan tetapi dia
telah pergi hampir empat tahun lamanya dan baru ini dia pulang!
Terpaksa dia
pergi meninggalkan Bukit Angsa lagi dengan tujuan mencari ibunya, dan terutama
sekali mencari nama besar di dunia kang-ouw. Pertama-tama dia harus mengunjungi
Bu-tong-pai dan memberi hajaran kepada para tokoh Bu-tong-pai yang telah berani
menghinanya empat tahun yang lalu! Kedua, dia akan mencari Puteri Milana di
kota raja dan akan menantangnya untuk menebus kekalahannya dua tahun yang lalu!
Kemudian dia akan membuat geger dunia kang-ouw dan minta diakui sebagai jagoan
nomor satu, lalu dia akan menantang Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman
Majikan Pulau Es!
Dengan
cita-cita besar itu, pergilah Tek Hoat dari Bukit Angsa. Akan tetapi sebelum
semua cita-citanya terkabul, dia bertemu dengan rombongan Pek-lian-kauw dan dalam
bentrokan kecil antara dia dengan para tokoh Pek-lian-kauw, dia telah
memperlihatkan kepandaiannya yang dahsyat. Para tokoh Pek-lian-kauw tertarik,
lalu membujuknya dan membawa pemuda yang masih hijau ini pergi menghadap
Pangeran Tua, yaitu Pangeran Liong Bin Ong di kota raja!
Pertemuannya
dengan Pangeran Liong Bin Ong membuat terbuka mata pemuda ini bahwa jalan
satu-satunya untuk mencari kedudukan tinggi, juga membuat nama besar dan
melakukan kegemparan di dunia, adalah membantu pangeran ini. Kalau sampai
mereka berhasil merampas tahta kerajaan, tentu dia akan memperoleh pangkat
tinggi dan siapa tahu terdapat kesempatan baginya untuk kelak merampas mahkota
sendiri dan menjadi kaisar! Lamunan muluk-muluk ini membuat Tek Hoat untuk
sementara melupakan urusan pribadinya dan mulailah dia mengabdi kepada Pangeran
Tua yang mengangkatnya menjadi pengawal kepala dan menugaskannya mewakili
pangeran ini mengadakan kontak dengan para pembantu pangeran di luar kota raja.
Ketika
Kaisar Kang Hsi melamar Puteri Syanti Dewi di Bhutan untuk diperisteri adik
tirinya, Pangeran Liong Khi Ong, adik tiri Pangeran Tua, diam-diam Pangeran Tua
ini tidak setuju. Tentu saja dia tidak setuju karena ikatan keluarga itu akan
memperkuat kedudukan kaisar atau kakak tirinya sendiri di dunia barat. Karena
itulah maka diam-diam dia mengusahakan agar pernikahan itu gagal dan dia lalu
mengirim sogokan dan bujukan kepada Raja Muda Tambolon, seorang pemberontak di
daerah Bhutan untuk menghalangi diboyongnya Puteri Syanti Dewi di daratan besar.
Bahkan dia mengutus orang kepercayaannya yang baru, Ang Tek Hoat untuk
menyelidiki ke Bhutan dan membantu usaha penggagalan pernikahan itu.
Demikianlah
singkatnya keadaan Ang Tek Hoat yang muncul di Bhutan sebagai seorang pemuda
yang menyembunyikan mukanya di balik caping lebar ketika Puteri Syanti Dewi
hendak mandi. Kemudian melihat bahwa pasukan Raja Muda Tambolon berhasil, dia
diam-diam membayangi sang puteri bersama Ceng Ceng yang melarikan diri.
Dia pula
yang menyamar sebagai pedagang garam untuk membantu dua orang gadis pelarian
itu lolos, kemudian dia menyamar sebagai tukang perahu. Semua itu dilakukan
agar dia dapat mengamat-amati dua orang gadis itu, dan terutama sekali agar
Puteri Syanti Dewi tidak sampai lolos dan dapat mencapai kota raja. Kalau
saatnya tiba, dia akan ‘menggiring’ sang puteri ini dan dihaturkan kepada
majikannya, kemudian terserah keputusan Pangeran Liong Bin Ong.
Hanya dia
harus mengakui bahwa diam-diam dia tertarik dan terpesona oleh kecantikan dan
sikap halus sang puteri, sehingga diam-diam membayangkan betapa akan gembiranya
kalau dia dapat menduduki pangkat tinggi, kalau mungkin kaisar, dengan seorang
isteri seperti puteri Bhutan ini! Baru sekali ini Tek Hoat merasa tertarik
kepada seorang wanita, dan biasanya dia memandang rendah kaum wanita.
Akan tetapi,
rencananya menjadi berantakan karena kenakalan Ceng Ceng yang melemparkan
buntalannya ke sungai. Padahal buntalan itu berisi pedang Cui-beng-kiam! Tentu
saja dia tidak mau kehilangan pedang itu dan cepat meloncat ke air sehingga
perahu itu hanyut sendiri. Dia melakukan pengejaran sambil berenang secepatnya.
Namun tetap saja tidak dapat mencegah terjadinya tabrakan sehingga perahu itu
terguling.
Cepat dia
meloncat ke darat dan lari di sepanjang tepi sungai dan akhirnya dia melihat
Ceng Ceng dalam keadaan pingsan hanyut di air. Dia segera menolong gadis itu,
namun tidak berhasil menolong Puteri Syanti Dewi, sama sekali dia tidak mimpi
bahwa puteri itu telah ditolong oleh seorang yang namanya akan membuat dia
terkejut seperti melihat mayat hidup, yaitu Gak Bun Beng musuh besarnya,
pembunuh ayahnya yang telah dianggapnya mati itu.
Tek Hoat
yang memiliki watak amat luar biasa, kejam, dingin, tak mengenal sedikit pun
perasaan iba, penuh dendam dan penuh kebencian terhadap manusia umumnya, hanya
mengejar keuntungan diri pribadi saja, betapa pun juga bukanlah seorang yang
mudah hanyut oleh nafsu birahi.
Dia seorang
pemuda yang kuat luar dalam, kuat pula perasaannya yang seperti membeku dingin
sehingga ketika dia menolong Ceng Ceng, mengempiskan perut dara itu yang penuh
air, kemudian menanggalkan pakaian Ceng Ceng karena pakaian itu basah kuyup.
Melihat bentuk tubuh yang sedang mekar dan menggairahkan itu, dia sama sekali
tidak terangsang! Bahkan secara kasar dia menolong Ceng Ceng karena marah,
menganggap gadis ini yang menghancurkan rencananya sehingga dia terpisah dari
Syanti Dewi. Kemudian setelah melihat nyawa Ceng Ceng tertolong, dia mengenakan
jubahnya pada gadis itu dan menangkap ayam, memanggangnya, kemudian dia
memancing ikan. Selanjutnya kita telah mengetahui apa yang terjadi.
Kini,
melihat Ceng Ceng menangis, Tek Hoat mengerutkan alisnya. Hatinya seperti
ditusuk-tusuk atau diremas-remas. Memang ada keanehan pada diri Tek Hoat,
keanehan yang seolah-olah tidak normal, yaitu dia tidak tahan melihat orang
menangis, atau lebih tepat, melihat wanita menangis! Mungkin saja hal ini
timbul dan menjadi wataknya karena di waktu dia masih kecil, sering sekali dia
melihat ibunya menangis sesenggukan dan terisak-isak dengan sedihnya, bahkan
hampir setiap malam dia melihat ibunya menangis seorang diri dan kalau ditanya
kenapa menangis, ia hanya menggeleng kepalanya.
Boleh jadi
Tek Hoat merupakan pemuda keras hati dan dingin yang tiada keduanya di dunia,
apa lagi setelah dia mempelajari ilmu-ilmu mukjijat dari dua Iblis Tua Pulau
Neraka, wataknya menjadi makin tidak lumrah. Namun kesan mendalam karena tangis
ibunya setiap malam itu masih melekat di hatinya sehingga kini, melihat Ceng
Ceng menangis, dia seolah-olah mendengar ibunya menangis dan hatinya seperti
diremas-remas!
“Aihh,
kenapa kau menangis?” tanyanya sambil membalikkan tubuh, duduk menghadapi gadis
itu.
Ditanya
dengan suara yang halus seperti itu, makin menjadi-jadi tangis Ceng Ceng, akan
tetapi segera ditahannya ketika teringat bahwa yang menegurnya adalah pemuda
yang memanaskan dan menjengkelkan hatinya itu.
Dia
mengintai dari celah-celah jari tangannya dan dengan heran dia melihat betapa
pemuda itu amat pucat wajahnya, pandang matanya sayu dan amat berduka, agaknya
menderita sekali melihat dia menangis!
“Sudahlah,
mengapa menangis? Aku tidak akan mengganggumu dan kalau tadi kau tersinggung,
sudahlah kau maafkan aku dan jangan menangis...” Suaranya halus dan lunak,
bahkan agak gemetar!
Hal ini
mengherankan hati Ceng Ceng sehingga otomatis tangisnya berhenti. Teringat dia
akan kata-kata pemuda itu tadi ketika dia menyerangnya, “Melihat orang mengamuk
masih mending, asal jangan melihat orang menangis!”
Agaknya
pemuda ini memiliki ‘kelemahan’, pikirnya. Yaitu tidak tahan melihat orang
menangis! Teringat akan ini, Ceng Ceng lalu menangis lagi sesenggukan!
Diam-diam dia mengintai dari celah-celah jari tangannya, melihat betapa pemuda
itu memejamkan matanya, menggigit bibirnya kemudian berkata dengan lantang,
“Harap kau jangan menangis!”
Akan tetapi
Ceng Ceng menangis terus, memaksa diri menangis sungguh pun kini tidak ada air
matanya yang keluar, karena memang tangisnya tangis buatan, disembunyikan di
balik kedua tangannya. Karena dia tertarik melihat sikap pemuda yang aneh itu
dia lupa akan kemarahan dan kedukaannya, maka tentu saja sukar baginya untuk
benar-benar menangis.
Tek Hoat
makin tersiksa. Suara sesenggukan itu persis suara ibunya di waktu malam.
“Nona, kau maafkan aku dan jangan menangis. Kau lihat aku tidak melakukan
sesuatu kepadamu, bukan? Kalau aku berniat buruk, betapa mudahnya aku
memperkosamu ketika kau pingsan. Akan tetapi aku tidak berniat buruk...”
“Uhuuuu...
huuhhh... huuuu...!” Ceng Ceng memperhebat tangisnya dan dari celah-celah jari
tangannya dia melihat betapa pemuda itu pun makin hebat penderitaannya. “Kau...
kau... telah menanggalkan pakaianku, engkau telah menelanjangi aku, berarti
engkau telah menghinaku uh-hu-huuu...!”
“Nanti dulu,
jangan menangis, nona. Memang benar aku telah menanggalkan semua pakaianmu,
kemudian mengenakan jubahku ini kepadamu. Akan tetapi, kalau tidak begitu,
habis bagaimana? Pakaianmu basah kuyub, engkau terancam bahaya maut dan
satu-satunya cara untuk menolongmu hanya mengeluarkan air dari perutmu,
kemudian mengeringkan pakaianmu. Aku melakukan semua itu hanya untuk
menolongmu, untuk menyelamatkan nyawamu...”
“Uhu-hu-hu,
bohong... huuuu... bagaimana pun juga, kau telah menghinaku dan setelah kau
melihat aku telanjang, bagaimana aku tidak akan malu setengah mati? Bagaimana
aku dapat bertemu pandang denganmu? Uhu-hu-huuu...”
“Kalau begitu
jangan memandang aku...”
Ceng Ceng
menangis makin hebat sampai menggerung-gerung. Dari celah-celah jari tangannya
dia melihat benar betapa pemuda itu menjadi makin gelisah dan bingung, bahkan
kemudian berkata, “Sudahlah, jangan menangis. Sekarang apa yang harus kulakukan
untuk menebus dosa, asal kau jangan menangis...”
“Kau harus
berjanji... tidak, harus bersumpah...!”
“Baiklah,
aku bersumpah. Bersumpah bagaimana?”
“Keluarkan
sapu tanganmu, untuk saksi sumpah.”
Tek Hoat
yang ingin agar dara itu benar-benar menghentikan tangisnya, maka terpaksa dia
mengeluarkan sapu tangannya. Sesungguhnya, pemuda ini bukanlah seorang yang
begitu bodoh. Akan tetapi dia benar-benar tidak tahan mendengar dan melihat
wanita menangis, dan kalau saja bukan Ceng Ceng, tentu dia sudah menggerakkan
tangan membunuhnya. Dia tidak bisa melakukan itu, dia membutuhkan dara ini.
Bukankah dara ini sahabat baik Puteri Syanti Dewi? Dengan perantaraan Ceng Ceng
ini dia masih ada harapan untuk mendapatkan puteri itu, kalau saja puteri itu
masih hidup, dan dia yakin masih karena dia tidak melihat mayatnya.
“Baik,
inilah sapu tanganku,” katanya mengeluarkan sapu tangan, tidak melihat betapa
Ceng Ceng menggosok-gosok keras kedua matanya sehingga menjadi makin merah dan
basah air mata ketika dia menurunkan tangan menyambut sapu tangan itu.
“Taruh
tanganmu di sapu tangan ini dan bersumpahlah!” kata Ceng Ceng mengulurkan sapu
tangan di tangannya. Terpaksa Tek Hoat meletakkan tangannya di atas sapu tangan
yang berada di telapak tangan Ceng Ceng.
“Bersumpahlah
bahwa kau tidak akan menggangguku,” kata dara itu.
“Aku
bersumpah tidak akan mengganggumu,” Tek Hoat mengulang.
“Dan kau
tidak akan memandangku.”
“Hehhh...?
Habis bagaimana? Aku kan punya mata!” pemuda itu membantah.
“Kalau kau
memandangku, aku akan teringat bahwa aku pernah telanjang di depan matamu dan
aku akan mati karena malu.”
“Habis
bagaimana? Apakah kalau bertemu denganmu aku harus memejamkan mata?”
“Terserah,
memejamkan mata atau membalik belakang atau menutupi mata dengan sapu tangan,
pendeknya kau tidak boleh melihat aku!”
“Baiklah...”
Di dalam hatinya Tek Hoat memaki.
“Bersumpahlah
bahwa kau selalu akan menutupi atau memejamkan mata jika bertemu denganku.”
“Aku
berjanji akan selalu menutupi atau memejamkan mataku kalau bertemu.”
“Dan kau
akan selalu menurut kata-kataku, kau akan mengajarkan ilmu silatmu yang tinggi
kepadaku, dan engkau akan mencarikan enci Syanti sampai bertemu, dan engkau
akan...”
“Wah, tidak
jadi saja kalau begitu!” Tek Hoat lantas berseru keras sambil menurunkan
tangannya dari sapu tangan. “Masa aku harus bersumpah begitu banyak? Pula,
tidak mungkin aku mengajarkan ilmu silat, dan tidak mungkin harus menurut
segala kata-katamu.”
Melihat ini
Ceng Ceng maklum bahwa dia sudah terlalu jauh dalam tuntutannya, maka cepat dia
berkata, “Baik, kalau begitu ulangi dua sumpahmu itu saja, bersumpah bahwa
kalau sampai melanggarnya, engkau akan mati muda dan sapu tangannya ini menjadi
saksinya!”
Karena ingin
lekas beres agar dara itu tidak rewel lagi, dia berkata, “Akan tetapi sebagai
imbalannya, kau pun harus bersumpah bahwa kau tidak akan menangis lagi!”
“Baik, aku
bersumpah takkan menangis lagi kalau kau sudah bersumpah.”
Tek Hoat
menarik napas panjang dan meletakkan tangannya di atas sapu tangan lalu
berkata, “Aku...”
“Sebutkan
namamu!”
“Aku... Ang
Tek Hoat, bersumpah bahwa aku tidak akan mengganggumu...”
“Sebutkan
namaku, Lu Ceng!”
“...bahwa
aku tidak akan mengganggu Lu Ceng, dan bahwa aku akan selalu menutupi atau
memejamkan mata kalau bertemu dengan Lu Ceng dan kalau aku melanggar sumpah
ini, biarlah aku mati muda dan sapu tangan ini menjadi saksi!”
Ceng Ceng
girang sekali lalu menyimpan sapu tangan itu di sakunya. “Heiii, kau mau
melanggar sumpah? Hayo pejamkan mata atau, membalik! Aku mau berganti pakaian!”
Tek Hoat
yang terlupa dan membuka mata memandang tadi, cepat-cepat memejamkan mata dan
memutar tubuhnya membalik, diam-diam dia mengutuk diri sendiri mengapa dia mau
bersumpah seperti itu. Akan tetapi, dia sudah terlanjur bersumpah dan memang
dia memerlukan gadis ini untuk dapat bertemu kembali dengan Syanti Dewi dan
melaksanakan cita-citanya terhadap puteri Bhutan itu.
Kalau segala
itu sudah tercapai, membunuh gadis ini apa sih sukarnya? Biarlah sementara ini
dia mengalah dulu. Pula, dia juga merasa kurang enak dan tidak aman kalau harus
melanggar sumpahnya. Siapa tahu, sumpah itu benar-benar manjur dan kalau
dilanggarnya dia akan mati muda! Dia bergidik! Nanti dulu, ya! Dia masih
memiliki banyak cita-cita yang belum terlaksana. Pokoknya hanya terletak pada
sapu tangan itu. Jika kelak dia membunuh gadis ini, atau setidaknya merampas
kembali sapu tangannya, berarti sumpahnya sudah punah karena tidak ada lagi
saksinya!
Dengan hati
gembira Ceng Ceng segera mengganti jubah yang kedodoran itu dengan pakaiannya
sendiri, menyimpan sapu tangan di balik kutangnya, dan sambil berganti pakaian
dia memandang punggung pemuda itu dengan tersenyum. Dia menang! Tak disadarinya
lagi, dia memberes-bereskan pakaian dan rambutnya agar kelihatan patut. Dia
mempersolek diri untuk pemuda itu tanpa disadarinya!
“Aku sudah
selesai!” akhirnya dia berkata, ingin melihat pemuda itu memandangnya dengan
kagum. Setelah mengenakan pakaiannya sendiri, tentu dia akan tampak lebih
cantik!
Akan tetapi
pemuda itu sama sekali tidak menoleh, bahkan melanjutkan memancing ikan dan
tiba-tiba mengangkat tangkai pancingnya dan seekor ikan lele yang gemuk
menggelepar-gelepar.
Ceng Ceng
kecewa, akan tetapi segera teringat. Celaka! Pemuda itu tentu tidak akan
memandangnya! Karena sumpah itu! Perlu apa dia bersolek? Wah, serba berabe
kalau begini. Tetapi dia tahu bahwa pemuda ltu lebih repot lagi karena harus
menghindarkan pandang matanya darinya. Biar tahu rasa dia! Pikiran ini mengusir
kekecewaannya.
“Nona
Ceng...”
“Tak usah
nona-nonaan. Aku biasa disebut Ceng Ceng.”
“Hemm...
Ceng Ceng, apakah kau tidak lapar?” tanya Tek Hoat tanpa menoleh.
“Tentu
saja.”
“Nah, ini
ada sisa ayam panggang...”
“Aku tak
sudi makan sisamu!”
“Kalau,
begitu, ikan ini kau boleh ambil dan bakar.”
Tanpa
menoleh Tek Hoat menyerahkan ikan itu yang diterima oleh Ceng Ceng dan tak lama
kemudian Ceng Ceng sudah memanggang daging ikan yang gemuk dan makan dengan
lahapnya tanpa menawarkannya kepada Tek Hoat.
Hari mulai
gelap, senja telah mendatang.
“Kita harus
pergi mencari majikan...”
“Apa? Siapa
kau maksudkan?”
“Siapa lagi
kalau bukan Puteri Syanti Dewi?”
“Tek Hoat,
kau jangan sembarangan omong, dan aku bukanlah pelayannya. Mengerti?”
Tek Hoat
mengangguk-angguk dan merasa girang. Tidak keliru dia mengalah kepada gadis
liar ini, kiranya sudah diaku sebagai adik angkat. Kalau dia membunuhnya, tentu
sukar baginya untuk berbaik dengan Syanti Dewi.
“Kau
tergila-gila kepada kakakku, ya?”
Tek Hoat
terkejut, akan tetapi hanya mengangguk. Dia masih duduk membelakangi Ceng Ceng.
“Wah, tidak
enak benar begini! Masa aku bicara dengan... pinggul saja?”
Tek Hoat
tersenyum akan tetapi menahan gelak tawanya. “Habis bagaimana? Aku tidak berani
melanggar sumpah.”
“Wah, kau
menghadap ke sini dan memejamkan mata, masa tidak bisa?”
“Lebih tidak
enak lagi buat aku, terus memejamkan mata, masa seperti orang buta.”
“Kalau begitu,
tutup saja dengan sapu tangan.”
“Sapu
tanganku sudah kau bawa.”
Terpaksa
Ceng Ceng memberikan sapu tangannya sendiri yang berbau harum. Tek Hoat
menerimanya, menutupkan sapu tangan itu di depan matanya dan mengikatkan kedua
ujung di belakang kepala, kemudian membalik menghadapi Ceng Ceng. Gadis itu
tersenyum lebar menutupi mulutnya. Lucu sekali, seperti anak kecil
bermain-main!
“Ceng Ceng,
kau mengatakan aku tergila-gila kepada kakakmu? Memang bukan tergila-gila,
melainkan aku... aku jatuh cinta kepadanya.”
“Hemmm,
bagus! Betapa pun juga, engkau bukan pemuda yang buruk rupa dan masih muda
lagi. Dari pada kakakku itu menikah dengan Pangeran Liong Khi Ong yang kabarnya
sudah hampir lima puluh tahun usianya, lebih baik menikah denganmu.”
“Benarkah?”
Tek Hoat bertanya girang.
“Ya. Dan aku
suka membantumu agar enci-ku suka kepadamu, asal saja engkau tidak melanggar
sumpahmu. Kalau kau melanggar, tidak saja engkau tidak dapat berkenalan dengan
enci Syanti Dewi, malah engkau akan mampus di waktu usiamu masih muda. Sayang,
kan?”
Kembali dia
tersenyum dan menutupi mulutnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Tek Hoat
dapat melihatnya dari balik sapu tangan sutera yang tipis itu! Akan tetapi
pemuda ini pun tidak berani memandang langsung, takut akan sumpah.
“Hari telah
malam, tidak mungkin kita mencari enci Syanti. Malam ini gelap tidak ada bulan.
Lalu bagaimana kita akan melewatkan malam?”
“Tak jauh
dari sini, di tepi sungai ini terdapat sebuah kuil tua yang kosong. Kita dapat
bermalam di situ dan tempat itu memang tidak jauh dari Sungai Nu-kiang. Besok
pagi-pagi, kita mencari lagi, mendengar-dengarkan, mungkin ada nelayan yang
tahu bagaimana nasib enci-mu itu.”
Lega hati
Ceng Ceng. “Kalau begitu, mari kita ke kuil.” Dia bangkit berdiri dan pergi.
“Haii,
bagaimana aku bisa berjalan kalau mataku ditutup begini?”
Ceng Ceng
tersenyum. “Bodoh, kalau begitu mengapa tidak dibuka?”
“Kalau
dibuka, mana bisa jalan bersama? Aku tidak mau berjalan dengan mata terpejam,
salah-salah bisa terjatuh ke dalam sungai!”
Ceng Ceng
tertegun dan bingung. “Habis bagaimana?”
“Kecuali
kalau kau sudi menuntun...”
Karena hari
sudah hampir gelap dan hutan itu kelihatannya menakutkan, terpaksa Ceng Ceng
menyambar tangan pemuda itu dan menuntunnya. “Jalan ke mana?” dia bertanya.
“Terus saja
menurutkan aliran sungai ini,” jawab Tek Hoat yang diam-diam merasa geli dan
juga bangga bahwa kini dia dapat membalas. Sesungguhnya dia dapat melihat
melalui sapu tangan tipis itu, akan tetapi biarlah, biar gadis itu tahu rasa,
pikirnya. Betapa pun juga, gadis yang liar dan galak ini ternyata cukup baik,
mau menuntunnya.
Mereka tiba
di kuil kosong. Karena ruangan yang merupakan kamar tertutup hanya sebuah, maka
Ceng Ceng berkata, “Aku tidur di sini dan biar kau tidur di mana sesukamu asal
jangan di kamar ini.” Berkata demikian dia lalu menutupkan daun pintu.
Perbuatan ini sia-sia saja karena biar pintu ditutup, jendela di kamar itu
melongo tanpa daun! Lalu dia membuat api unggun dan tidak mempedulikan lagi
kepada Tek Hoat.
Pemuda ini
luar biasa, pikirnya. Ilmu kepandaiannya amat tinggi dan kalau pemuda ini
berwatak jahat, sukar untuk melawannya. Dan dia... agak aneh rasanya. Mengapa
hatinya tidak enak mendengar pengakuan pemuda itu yang mencinta Syanti Dewi?
Mengapa dia tidak puas? Mengapa dia tadi merasa jantungnya berdebar-debar
ketika tangannya menggandeng tangan Tek Hoat? Seolah-olah ada getaran dari
tangan itu yang menyentuh hatinya, menimbulkan rasa girang yang luar biasa.
Mengapa?
Celaka,
jangan-jangan dia telah jatuh hati seperti yang hanya dikenalnya dalam cerita
dongeng! Itukah cinta? Memang pemuda itu cukup segala-galanya untuk menjatuhkan
hati seorang gadis, memang patut dicinta. Betapa tidak? Tampan, gagah perkasa,
lucu dan pandai mengalah. Biar pun agak kasar, akan tetapi buktinya tidak suka
melakukan pelanggaran susila. Wah, jangan-jangan aku jatuh cinta kepadanya,
bisik Ceng Ceng sebelum tidur.
Menjelang
tengah malam dia terbangun karena mimpi ditelanjangi oleh Tek Hoat!
Ditelanjangi selagi dia sadar dan anehnya, dia diam saja. Setelah kelihatan
pemuda itu hendak merabanya dan hendak memeluknya, barulah dia meronta dan
terbangun! Bulu tengkuknya berdiri. Kalau tadi bukan mimpi, melainkan
sungguh-sungguh terjadi, tentu dia akan membunuh pemuda itu! Atau, kalau dia
kalah, dia akan melawan mati-matian, kalau perlu mempertaruhkan nyawa untuk
membela kehormatannya. Bedebah! Dia memaki pemuda itu akan tetapi segera
teringat bahwa yang dikalahkan pemuda itu hanya dalam mimpi saja! Mungkin
kenyataannya tidak demikian, buktinya Tek Hoat juga tidak melakukan sesuatu
terhadap dirinya.
Tiba-tiba
dia bangkit duduk. Terdengar suling ditiup orang amat merdu dan indahnya. Akan
tetapi hanya lapat-lapat terdengar, agaknya dari jauh. Ceng Ceng membereskan
rambut dan pakaiannya, kemudian meloncat keluar melalui jendela. Biar pun tidak
ada bulan malam itu, namun langit bersih terhias bintang sejuta, cukup memberi
cahaya penerangan di permukaan bumi. Dia melangkah dengan hati-hati,
mencari-cari, akan tetapi ternyata Tek Hoat tidak berada di kuil itu! Ke mana
perginya pemuda itu? Buntalannya pun tidak nampak.
Ceng Ceng
mulai bergidik. Ngeri dia memikirkan bahwa dia ditinggal sendirian saja di kuil
tua itu. Kuil yang biasanya dalam dongeng kalau sudah kosong dan kuno begitu
selalu dihuni oleh siluman-siluman! Cepat dia keluar dari kuil dan mendengar
suara suling lapat-lapat dari depan, dia lalu melangkah maju menuju ke arah
suara itu.
Tak lama
kemudian dia sudah mengintai dari balik pohon, memandang ke arah Tek Hoat yang
berdiri di tepi sungai besar. Sungai Nu-kiang! Kiranya dia telah berada di tepi
sungai itu, di mana anak sungai dari hutan memuntahkan airnya ke situ dan di
tepi sungai tampak Tek Hoat yang tadi meniup suling. Kini pemuda itu sudah
berhenti meniup suling dan menyelipkan kembali sulingnya.
Yang menarik
perhatian Ceng Ceng adalah sebuah perahu besar yang bergerak mendekat pantai di
mana pemuda itu berdiri, sebuah perahu yang indah dan mewah, dan tampak
diterangi lampu-lampu sehingga dia melihat beberapa orang berpakaian tentara
mengiringkan seorang berpangkat tinggi yang mewah pakaiannya ke pinggir perahu.
Ceng Ceng mengintai penuh perhatian dan memasang pendengarannya agar dapat
mendengarkan apa yang akan terjadi. Dia melihat Tek Hoat memberi hormat kepada
pembesar itu dari pantai sambil berkata, “Maafkan, hamba tidak sempat melapor
karena hamba tidak dapat meninggalkan gadis itu sebelum dia tidur.”
“Hemm, Ang
Tek Hoat, ceritakan semua yang terjadi. Kami sudah mendengar akan lenyapnya
puteri itu, akan tetapi belum jelas bagaimana. Apa saja yang telah kau lakukan
selama melakukan tugas yang diperintahkan saudara tua kami Liong Bin Ong?”
“Rombongan
penjemput puteri itu telah berhasil dihancurkan oleh Tambolon, dan puteri itu
bersama pelayannya yang sudah diangkat saudara, berhasil meloloskan diri, akan
tetapi hamba terus membayangi mereka. Bahkan hamba telah berhasil mengajak
mereka naik perahu hamba...”
“Bagus!
Bagaimana puteri itu? Benarkah amat cantik?” tanya pembesar itu.
“Memang
cantik jelita seperti bidadari, dan paduka beruntung sekali...”
“Aahhh,
sayang sekali dia harus dikorbankan demi cita-cita,” orang setengah tua itu
menghela napas. “Akan tetapi, kalau semuanya berhasil dia akan tetap menjadi
selirku! Aku Liong Khi Ong bukanlah orang yang suka menyia-nyiakan waktu... eh,
Tek Hoat, lalu bagaimana? Di mana dia?”
“Harap
paduka sudi memaafkan hamba. Terjadi kecelakaan, perahu bertabrakan dan
terguling. Hamba berhasil menyelamatkan adik angkatnya akan tetapi belum
berhasil menemukan Puteri Syanti Dewi...”
“Hahh? Bodoh!
Habis bagaimana? Celaka, jangan-jangan dia terjatuh ke tangan orang-orangnya
kaisar!”
“Hamba akan
mencarinya sampai dapat besok pagi, kalau andai kata dia terampas oleh orang
lain, hamba akan merampasnya kembali, harap paduka jangan khawatir,” kata Tek
Hoat.
“Hemm, baik.
Apa perlu kau dibantu pasukan?”
“Tidak
perlu, Ong-ya. Hamba lebih leluasa bekerja sendiri. Hamba tanggung akan bisa
menemukan puteri itu, asal dia belum tewas.”
“Bagus, kami
akan menanti saja di kota raja, di sana masih banyak urusan dan kau harus cepat
kembali, banyak tugas menantimu.”
“Baik,
Ong-ya...”
Tiba-tiba
Ceng Ceng yang bengong terlongong itu terkejut karena mendengar suara
berkeresekan di belakangnya. Dia menoleh dan melihat seorang laki-laki
berpakaian hitam, berjenggot panjang berdiri tepat di belakangnya. Dia hampir
berteriak dan membuka mulut.
“Eekkk... eeekkk...!”
Mulutnya telah dibungkam tangan kiri orang tua dan sebelum dia sempat melawan,
pundaknya sudah ditotok dan dia roboh lemas dalam rangkulan orang itu.
“Ssstt,
diam... jangan bergerak... aku bukan musuh melainkan sahabatmu dan sahabat
Puteri Syanti Dewi...” Setelah berkata demikian dan melihat Ceng Ceng
mengangguk, orang itu menotok lagi dan Ceng Ceng terbebas.
Dara ini
terkejut dan heran. Demikian banyaknya orang pandai di sini. Pemuda itu lihai
dan orang ini pun hebat kepandaiannya! Dia memandang sejenak. Orang itu mukanya
membayangkan kegagahan, matanya sipit seperti orang mengantuk, alisnya tebal
dan kepalanya agak botak. Jenggotnya panjang, usianya tentu sudah ada lima
puluh tahun, pakaiannya biasa saja seperti pakaian petani. Melihat orang itu
memperhatikan ke depan, dia pun lalu memandang lagi. Kini tampak betapa pemuda
itu berbisik-bisik di dekat perahu dengan si pembesar tinggi yang ternyata
adalah Pangeran Liong Khi Ong, tunangan Syanti Dewi!
Ceng Ceng
berdebar-debar. Bingung dia dan diam-diam dia memaki-maki Tek Hoat. Kiranya
pemuda itu adalah kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong! Akan tetapi apa artinya
ini semua? Kalau dia kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong, mengapa dia bersikap
begitu aneh, tidak bersama anggota rombongan lainnya yang dipimpin oleh
pengawal kaisar Tan Siong Khi? Mengapa bertindak secara rahasia? Dan apa pula
artinya kata-kata pangeran itu bahwa Syanti Dewi terpaksa harus dikorbankan
demi cita-cita? Ceng Ceng menjadi bingung dan tidak bergerak sama sekali, hanya
melihat betapa Tek Hoat telah pergi dengan cepat menuju ke kuil kembali,
sedangkan perahu mewah itu pun bergerak ke tengah sungai.
“Cepat, mari
pergi dari sini. Kalau dia kembali dan dapat menyusul kita, celaka. Kita berdua
bukanlah lawannya,” bisik laki-laki setengah tua berjenggot panjang itu.
“Hemm,
mengapa aku harus menurut kata-katamu? Siapa tahu bahwa kau lebih jahat lagi
dari pada dia?”
“Nona Lu,
percayalah kepadaku. Mungkin kakekmu Lu Kiong belum pernah menyebut namaku,
akan tetapi aku mengenal baik Lu-lo-enghiong bekas pengawal kaisar. Aku adalah
rekan dari Tan Siong Khi. Aku sudah mendengar bahwa kakekmu gugur, dan aku
hampir mengerti semuanya, kecuali beberapa hal.”
“Apakah yang
terjadi? Siapakah sebenarnya pemuda bernama Ang Tek Hoat itu?”
“Sstt, marilah
kita segera pergi,” kakek itu mendesak.
“Tidak,
sebelum kau menjawab pertanyaanku.”
“Dia seorang
manusia luar biasa, ilmu kepandaiannya sangat tinggi...”
“Aku sudah
tahu!”
“Tapi dia
adalah pengawal Pangeran Liong Bin Ong, pangeran yang merencanakan
pemberontakan. Bahkan pangeran itulah yang mengatur pencegatan rombongan hingga
kakekmu tewas. Pemuda itu tangan kanannya dan Pangeran Liong Khi Ong tadi telah
menyalah gunakan niat baik kaisar yang menjadi kakaknya sendiri. Mereka itu
demi cita-cita pemberontakan tidak segan-segan melakukan kekejian, bila perlu
membunuh Puteri Syanti Dewi dan engkau.”
“Ohhhh...”
“Marilah,
nona. Demi keselamatanmu sendiri dan keselamatan Syanti Dewi.”
Dengan hati
penuh kengerian Ceng Ceng lalu mengikuti laki-laki itu melarikan diri. Dia
percaya penuh karena bukankah dia sudah menyaksikan dan mendengarkan sendiri
pertemuan dan percakapan antara Pangeran Liong Khi Ong dan Ang Tek Hoat?
Kiranya pemuda itu seorang mata-mata pemberontak! Kiranya justru musuh dari
kerajaan kaisar dan kerajaan Bhutan, hendak mencelakakan Syanti Dewi! Bahkan
yang merencanakan pencegatan rombongan yang mengakibatkan terbunuhnya kakeknya,
adalah para pemberontak itu! Dan dia sudah tertarik hatinya oleh Tek Hoat.
“Ahhhh...!”
“Ada apa,
nona Lu?” tanya kakek itu.
“Tidak
apa-apa...” jawab Ceng Ceng karena yang terasa nyeri adalah jauh di dalam lubuk
hatinya, bukan badannya.
Setengah
malam penuh mereka berjalan terus, melalui hutan-hutan dan pegunungan. Dalam
perjalanan ini, kakek tadi menceritakan keadaan kerajaan yang diancam
pemberontakan, dan memperkenalkan dirinya. Dia adalah seorang pengawal kaisar
pula, di bawah Tan Siong Khi dan bernama Souw Kee It. Dia bertugas untuk menyelidiki
secara diam-diam keadaan rombongan itu.
Tentu saja
dia tidak secepat Pendekar Super Sakti yang juga melawat ke Bhutan dan berhasil
menolong Raja Bhutan, akan tetapl sebagai seorang penyelidik yang tahu akan
keadaan negara, dia mempunyai pendengaran dan penciuman yang lebih tajam. Dia
mendapatkan rahasia dari pemberontak yang menaruh tangan-tangan kotor ke dalam
pencegatan itu, maklum bahwa raja liar Tambolon juga digerakkan oleh tangan
kotor dari kota raja sendiri. Dia telah melihat pula sepak terjang Tek Hoat
yang hebat, dan maklumlah dia bahwa dia bukan pula lawan pemuda itu. Maka
ketika memperoleh kesempatan, dia mengajak lari Ceng Ceng.
Mendengar
semua penuturan ini, Ceng Ceng makin terheran-heran dan bingung. Tak
disangkanya bahwa pernikahan Syanti Dewi akan membawa akibat sedemikian hebat
dan peristiwa itu terlibat dengan pemberontakan yang ruwet.
“Bagaimana
dengan enci Syanti Dewi?” tanyanya dengan khawatir.
“Sudah
kuselidiki, nona. Kabarnya puteri itu juga tertolong secara ajaib oleh seorang
nelayan tua yang tidak dikenal siapa sebenarnya. Cara menolongnya amat ajaib
hingga sukar aku mempercayai cerita mereka itu. Tetapi, laki-laki gagah yang
menolongnya itu telah pergi bersama sang puteri. Sekarang yang saya ingin
ketahui adalah, ke manakah rencana nona dan sang puteri tadinya setelah
terpaksa meninggalkan kakek Lu yang gugur?”
“Kakek
meninggalkan pesan agar supaya kami pergi ke kota raja, minta perlindungan dan
bantuan kepada Puteri Milana...”
Souw Kee It
mengangguk-angguk. “Memang tepat sekali pesan kakekmu. Akan tetapi beliau tidak
tahu akan perubahan di kota raja. Kalau engkau dan Puteri Syanti Dewi sudah
tiba di kota raja dan berada di tangan Puteri Milana, kiranya setan pun tidak
ada yang berani mengganggu. Akan tetapi, justeru perjalanan menuju ke kota raja
itulah yang amat sukar dan berbahaya. Kaki tangan mereka sudah disebar di
mana-mana untuk menangkap kalian berdua.”
“Ouhhh,
habis bagaimana?”
“Harap nona
jangan khawatir. Aku juga mempunyai teman-teman, dan nanti akan kita atur
bagaimana membawa nona pergi ke timur dengan selamat. Akan tetapi, kurasa tidak
tepat kalau nona pergi ke kota raja sebelum bertemu dengan Puteri Syanti Dewi.
Kalau kita berhasil sampai ke timur, lebih baik kalau nona untuk sementara
berlindung di benteng yang dikuasai Jenderal Kao Liang di tapal batas utara ibu
kota.”
Hati Ceng
Ceng agak lega mendengar bahwa Syanti Dewi juga tidak tewas dan telah tertolong
orang pandai, sungguh pun dia bingung memikirkan mengapa begitu banyak orang
pandai muncul? Siapakah penolong Syanti Dewi dan ke mana perginya kakak
angkatnya itu?
Dua hari
kemudian, tibalah mereka di sebuah dusun dan di sini terdapat pasukan kaisar
yang masih setia kepada kaisar. Souw Kee It lalu mendandani Ceng Ceng sebagai
seorang prla, lengkap dengan kumis palsu sehingga andai kata Tek Hoat sendiri
bertemu dengannya kiranya akan sulitlah untuk mengenalnya, demikian pendapat
Ceng Ceng ketika dia memperhatikan wajahnya sendiri di depan cermin. Setelah
membawa bekal secukupnya, Souw Kee It bersama Ceng Ceng lalu menunggang
kuda-kuda pilihan, melanjutkan perjalanan mereka ke timur.
***************
Kita
tinggalkan dulu Ceng Ceng dengan pengawal kaisar Souw Kee It yang melakukan
perjalanan amat jauh ke timur, dan mari kita mengikuti perjalanan Puteri Syanti
Dewi.
Secara
kebetulan dan aneh sekali, Puteri Syanti Dewi tertolong oleh Pendekar Sakti Gak
Bun Beng. Pendekar ini sudah mengenyampingkan urusan dunia, hidup tenteram di
antara rakyat kecil, kadang-kadang menjadi petani, atau kadang-kadang bercampur
dengan para nelayan, selalu memilih tinggal di dusun-dusun yang dianggapnya
tidak akan terjadi hal yang penting.
Sungguh di
luar dugaannya bahwa hari itu dia terlibat dalam urusan yang amat besar, bukan
hanya menyangkut urusan diri pribadi seorang gadis cantik, melainkan diri
seorang puteri Raja Bhutan, bahkan menyangkut urusan kerajaan!
Gak Bun Beng
yang usianya sudah mendekati empat puluh tahun itu melakukan perjalanan dengan
hati kadang-kadang berdebar keras. Benarkah yang dilakukannya ini, mengantarkan
Syanti Dewi ke kota raja? Benarkah kalau kini dia akan menjumpai Milana?
Sesungguhnya tidak benar dan amat berbahaya, bagai orang hendak membuka balutan
luka yang amat parah. Akan tetapi apa dayanya?
Tidak
mungkin dia membiarkan Syanti Dewi begitu saja setelah dia mengetahui siapa
adanya gadis ini. Calon mantu kaisar! Dan terancam bahaya karena dikejar-kejar
oleh mereka yang hendak menggagalkan perkawinan itu. Apa boleh buat, demi gadis
ini, dan terutama demi kesejahteraan negara, kerajaan kaisar dan Bhutan, dia
harus berani menanggung semua itu, harus berani menghadapi resiko perjumpaannya
dengan Puteri Milana!
Perjalanan
yang amat jauh itu dilakukan dengan sangat hati-hati oleh Gak Bun Beng yang
menjaga agar jangan sampai terjadi keributan di perjalanan. Dia sudah muak akan
keributan dan permusuhan yang banyak dibuat oleh manusia-manusia yang mengaku
berkepandaian. Untuk menjaga agar perjalanan dapat dilalui dengan aman, dia
lalu menyamar sebagai seorang perantau yang baru pulang dari perantauannya ke
Tibet, dan Syanti Dewi diakuinya sebagai anaknya. Agar tidak dicurigai orang,
dia mengaku bahwa ibu Syanti Dewi seorang wanita Tibet dan memang Syanti Dewi
selain pandai dalam bahasanya sendiri, yaitu Bahasa Bhutan, juga pandai
berbahasa Tibet dan Bahasa Han.
Berpekan-pekan
telah lewat tanpa ada peristiwa penting yang mengganggu perjalanan Gak Bun Beng
dan Syanti Dewi. Pada suatu hari, ketika sedang berjalan melalui jalan raya
kasar di lereng pegunungan, mereka berpapasan dengan serombongan pasukan yang
terdiri dari kurang lebih seratus orang. Pasukan ini kelihatan letih dan banyak
yang terluka. Sekali pandang saja Gak Bun Beng dapat melihat bahwa mereka
adalah Bangsa Han yang bercampur dengan orang-orang Mongol.
Agaknya
pasukan yang hanya tinggal sisanya dari suatu pertempuran yang merugikan pihak
mereka. Diam-diam Gak Bun Beng terkejut. Apakah kini sudah timbul perang lagi?
Ataukah hanya sisa-sisa pemberontak ataukah pemberontak baru yang sedang
ditindas oleh pasukan pemerintah? Dia tahu bahwa pemberontak Mongol yang amat
hebat, yang dipimpin oleh Pangeran Galdan telah dihancurkan oleh pasukan Kaisar
Kang Hsi, bahkan kabarnya Galdan sendiri telah dibinasakan. Apakah sekarang
Bangsa Mongol memberontak lagi, bergabung dengan orang Han yang masih merasa
penasaran akan penjajahan Bangsa Mancu?
Karena
dilihatnya masih banyak rombongan-rombongan pasukan campuran itu lewat, Gak Bun
Beng hendak menghindarkan keributan, maka dia mengajak Syanti Dewi untuk
melalui jalan hutan. Untung bahwa rombongan pertama yang lewat tadi terlalu
lelah dan sudah terlalu tertekan batinnya untuk melakukan sesuatu. Mereka hanya
memandang tajam kepada Syanti Dewi, bahkan ada pula yang menyeringai, dan ada
yang mengeluarkan kata-kata tak senonoh akan tetapi hanya sambil lalu.
Tetapi dasar
mereka harus mengalami keributan. Saat melalui jalan sunyi, menyelinap-nyelinap
di hutan tidak jauh dari jalan raya itu, mereka bertemu dengan rombongan lain
yang hanya terdiri dari belasan orang, tetapi rombongan ini semua duduk
melepaskan lelah. Mereka terdiri dari tujuh orang Han dan delapan orang Mongol
dan ada seorang Han dan empat orang Mongol sedang minum arak, agaknya untuk
menghibur hati yang penasaran karena kekalahan mereka. Melihat bahwa rombongan ini
hanya lima belas orang, timbul niat di hati Gak Bun Beng untuk bertanya, maka
dia mengajak Syanti Dewi untuk mendekat.
Orang-orang
itu memandang kepadanya dengan curiga, tapi ada yang tersenyum lebar ketika
melihat Syanti Dewi yang biar pun berpakaian sederhana seperti gadis dusun,
namun kecantikannya masih menonjol.
“Maaf,
laote,” kata Gak Bun Beng kepada seorang Han yang duduk bersandar pohon, sambil
menekuk lutut duduk pula dekat orang itu, diikuti juga oleh Syanti Dewi di
belakangnya, “bolehkah kami bertanya mengapa banyak pasukan yang mundur dan
banyak yang terluka? Apa yang telah terjadi? Kami ayah dan anak dari Tibet
hendak ke Se-cuan, akan tetapi kami khawatir melihat cu-wi terluka, seolah-olah
ada perang di sana.”
Orang yang
mukanya dilindungi brewok itu memandang pada Gak Bun Beng, kemudian melirik ke
arah Syanti Dewi. “Lebih baik kalian kembali ke barat.”
“Ya, kembali
saja bersama kami! Biar kami yang melindungi kalian!” teriak orang Han yang
sedang minum arak bersama empat orang Mongol tadi.
“Kami
mempunyai urusan penting sekali di timur, sobat,” kata Gak Bun Beng. “Apakah
yang terjadi di sana? Dan siapakah cu-wi?”
“Apakah
tidak tahu bahwa kami adalah pendekar-pendekar sejati, patriot-patriot?”
Tiba-tiba orang berewok itu menjawab marah.
Gak Bun Beng
menggangguk-angguk. “Ahhh, kiranya laote dan cu-wi sekalian adalah
pejuang-pejuang yang menentang penjajah, benarkah? Lalu, apa yang terjadi?”
Dipuji
demikian, si brewok agak sabar, lalu menarik napas panjang. “Si keparat
Jenderal Kao Liang itu! Anjing penjilat kaki Mancu dia! Begitu dia datang
meronda di bagian barat dan memimpin sendiri pasukan pembersihan, kita dipukul
hancur!”
“Paman,
kembalilah saja ke barat, dan sebelum anakmu itu diperebutkan anjing-anjing
Mancu, lebih baik diberikan kepadaku!” Orang Han yang minum arak, usianya
kurang lebih tiga puluh tahun itu berkata.
Gak Bun Beng
menahan kesabarannya. “Apakah tentara pemerintah itu juga melakukan perbuatan
jahat?”
“Siapa
bilang tidak? Merampok, membunuh, menculik dan memperkosa! Dari pada diperkosa
oleh anjing-anjing Mancu, para penghianat dan penjilat, lebih baik diberikan
kepada kami agar menghibur kami para patriot. Dengan demikian, kau dan anakmu
itu ikut berjasa untuk tanah air dan bangsa!” kata pula orang itu.
“Akur!
Jumlah kita hanya lima belas orang, masih bisa dibagi rata. Marilah, manis, kau
layanilah aku!” kata seorang Han yang lain yang berkumis panjang melintang.
Bun Beng
bangkit berdiri sambil tersenyum. “Kami tahu penderitaan dan perjuangan kalian,
sobat-sobat. Akan tetapi anakku ini adalah pembantuku yang utama, seolah olah
tangan kananku sendiri, bagaimana bisa kuberikan kepada orang lain? Mana
mungkin aku memberikan tangan kananku?”
“Ahhh, dasar
kau pelit! Apakah kau hendak peluki anakmu sendiri? Tidak tahu malu! Masa
menolong dan meringankan penderitaan kaum pendekar dan pahlawan sedikit saja
tidak mau?” Mereka semua sudah bangkit berdiri dari mengurung.
Syanti Dewi
terkejut dan mukanya berubah pucat, kedua tangannya sudah dikepal untuk membela
diri. Dan tidak hanya takut, tetapi juga amat marah mendengar omongan yang
kotor itu.
Akan tetapi
Gak Bun Beng tetap tenang dan sabar. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan
berkata, “Bukan aku pelit, akan tetapi sungguh mati, kalau kalian memaksa
hendak mengambil anakku, sama saja dengan kalian memaksa mengambil tangan
kananku. Sebelum kalian mengambil anakku, biarlah kuberikan saja kedua
tanganku. Hidup tanpa tangan kanan kepalang tanggung. Nah, siapa mau lebih dulu
membuntungi kedua tanganku?” dia mengacungkan kedua tangannya ke atas.
“Ha-ha-ha-ha!
Orang ini sinting, tetapi anaknya cantik manis sekali! Biarlah aku penuhi
permintaannya!” Teriak orang muda Han yang mabok itu sambil menghunus goloknya
yang sudah berkarat karena darah orang dalam pertempuran.
“Baiklah,
mari kau buntungi tangan kiriku lebih dulu!” Bun Beng lalu memberikan tangan
kirinya.
Golok itu
menyambar kuat sekali ke arah tangan kiri Gak Bun Beng yang diacungkan ke atas.
Tangan itu tidak mengelak, malah memapaki golok.
“Krekkkk!”
Golok itu patah-patah dan pemiliknya memandang gagang goloknya dengan mata
terbelalak!
“Sayang,
golokmu itu sudah berkarat dan rapuh!” Gak Bun Beng berkata dengan suara biasa.
“Siapa lagi yang mempunyai senjata lebih tajam untuk membuntungi tanganku?”
“Biar kulakukan
itu!” Bentak seorang Han lainnya sambil meloncat maju, pedangnya menyambar
tangan kanan Gak Bun Beng. Kembali pendekar sakti ini tidak mengelak, melainkan
memapaki pedang itu dengan tangannya.
“Krak...
krakkk!”
“Hayaaaa...!”
Si pemilik pedang terbelalak memandang gagang pedangnya yang hanya tinggal
pendek saja itu karena pedangnya sendiri sudah patah-patah.
Melihat ini,
tiga belas orang lain serentak maju dengan senjata mereka yang bermacam-macam,
ada tombak, golok, pedang dan toya. Gak Bun Beng membiarkan mereka mencabut
semua senjata, kemudian dia meloncat ke depan dan menerima semua serangan
dengan kedua tangan dan juga kakinya sambil mengerahkan sinkang-nya. Terdengar
suara krak-krek-krak-krek disusul oleh teriakan si pemilik senjata dan dalam
sekejap mata saja semua senjata milik dari lima belas orang itu sudah
patah-patah semuanya.
“Ilmu
siluman!” terdengar seorang di antara mereka berteriak dan larilah mereka
lintang pukang ketakutan, meninggalkan segala perbekalan yang tadi mereka taruh
di atas tanah.
Gak Bun Beng
menghela napas, kemudian menyambar guci arak yang ditinggal di situ, menenggak
isinya sampai habis. Dilemparkannya guci kosong dan diusapnya mulut yang basah
itu dengan ujung lengan bajunya. Dia kelihatan tidak senang sekali. Memang dia
tidak senang karena terpaksa dia harus memperlihatkan kepandaiannya lagi
setelah secara terpaksa dia mengeluarkan kepandaian itu ketika menyelamatkan
Syanti Dewi.
“Gak-siok
siok....” Syanti Dewi tahu-tahu sudah berada di sampingnya dan menyentuh lengan
pendekar itu karena dia pun dapat merasakan betapa pendekar itu kelihatan tidak
tenang, bahkan seperti orang berduka. “Engkau banyak repot karena aku saja...”
Gak Bun Beng
menoleh dan melihat wajah yang cantik dan agung itu menyuram. Dia tersenyum dan
mengelus kepala Syanti Dewi. Bukan main halusnya perasaan anak ini, pikirnya
terharu. “Tidak apa-apa, Dewi. Aku pun tadi hanya menakut-nakuti mereka saja.
Marilah kita melanjutkan perjalanan.”
“Akan tetapi
di timur ada perang dan pertempuran, sioksiok.”
“Bukan perang,
hanya pasukan pemerintah mengadakan pembersihan terhadap sisa-sisa gerombolan
pemberontak seperti mereka tadi.”
“Tetapi,
mendengar omongan mereka tadi, mereka bukanlah pemberontak, melainkan
patriot-patriot yang berjuang untuk mengusir penjajah dari tanah air mereka.”
Puteri itu membantah. Biar pun hanya seorang wanita, tapi sebagai puteri raja
tentu saja dia telah banyak membaca kitab-kitab sejarah dan ketata negaraan
sehingga pengetahuannya agak luas dibandingkan wanita-wanita terpelajar biasa.
Gak Bun Beng
menghela napas panjang. Ucapan puteri ini menyentuh perasaannya, perasaan muak
terhadap ulah tingkah manusia dalam hidup ini, maka dengan suara bersemangat,
di luar kesadarannya dia berkata, “Manusia di dunia ini siapakah yang tidak
akan membenarkan dirinya sendiri? Pemerintah Mancu menganggap mereka
pemberontak karena mereka melawan pemerintah yang syah dan menganggap diri
sendiri sebagai penolong rakyat, sebaliknya mereka itu menganggap pemerintah
sebagai penjajah laknat dan menganggap diri sendiri sebagai patriot. Namun
keduanya tetap sama saja, tetap saja melakukan kekerasan dan kekejaman dengan
dalih kebenaran masing-masing. Padahal, apa sih bedanya manusia? Dari kaisar,
jenderal, pedagang, petani, si jembel sekali pun, hanya dibedakan oleh pakaian
dan embel-embel di luar badan. Coba kumpulkan mereka semua, telanjangi mereka
semua dalam sebuah kandang, apa bedanya mereka dengan sekumpulan domba atau
kuda? Manusia hanyalah mahluk biasa yang mempunyai kelebihan, inilah yang
merusak hidup!”
Syanti Dewi
mendengarkan dan memandang wajah pendekar itu dengan mata terbelalak. Baru satu
kali ini selama hidupnya dia mendengarkan pandangan orang tentang manusia
seperti itu. Ada artinya yang mendalam, ada kesungguhan dan kebenarannya, akan
tetapi juga lucu sekali. Kalau dibayangkan betapa seluruh manusia di dunia ini
tidak berpakaian, tidak dihias segala benda-benda yang hanya menjadi pemisah
dan penentu dari tingkat masing-masing, alangkah lucunya dan memang sukar
membedakan mana raja mana jembel mana kaya mana miskin! Dia sendiri pun tadinya
seorang istana dan memakai pakaian puteri. Sekarang? Setelah berpakaian gadis
petani seperti itu, siapa percaya bahwa dia seorang puteri? Apa lagi kalau
harus telanjang bersama seluruh manusia lain!
“Kau... kau
hebat, paman!” katanya lirih.
Gak Bun Beng
sadar lagi dan memegang tangan Syanti Dewi. “Kau... kau semuda ini, sudah dapat
menangkap arti kata-kataku tadi?”
Syanti Dewi
mengangguk, lalu mengangkat mukanya memandang wajah yang masih tampan dan gagah
itu. Gak Bun Beng dulunya memang seorang pemuda yang tampan, dan gagah. Matanya
mengeluarkan cahaya tajam, mulutnya terhias kumis kecil yang terpelihara rapi,
demikian juga jenggotnya yang pendek saja. Pakaiannya sederhana, pakaian petani
atau nelayan, namun bersih dan kuku-kuku tangannya terpelihara baik, giginya
terawat.
“Paman Gak,
di manakah adanya keluargamu?”
Gak Bun Beng
terbelalak dan mengerutkan alisnya. “Apa? Keluarga?”
“Ya, isteri
dan anakmu...”
“Ahhh,
marilah kita cepat melanjutkan perjalanan ini, aku khawatir mereka datang lagi
mengganggu.” Dia lalu memegang tangan Syanti Dewi dan diajaknya dara itu pergi
meninggalkan tempat itu.
Sampai lama
mereka berjalan menyusup-nyusup hutan karena Gak Bun Beng tak ingin terganggu
lagi oleh gerombolan pemberontak atau pejuang yang melarikan diri karena
diobrak-abrik oleh pasukan pemerintah yang kabarnya tadi dipimpin oleh Jenderal
Kao Liang yang ditakuti. Beberapa kali Syanti Dewi menengok dan memandang tajam
wajah pendekar itu, namun Gak Bun Beng berjalan terus tanpa mengeluarkan
kata-kata.
Akhirnya
Syanti Dewi tidak dapat menahan hatinya. “Paman Gak, di manakah isteri dan
anak-anakmu?”
Sesungguhnya
pertanyaan ini sejak tadi bergema di telinga Gak Bun Beng dan dia sengaja
mengalihkan perhatian dan mengharapkan gadis itu lupa akan pertanyaannya yang
terngiang-ngiang di telinga hatinya. Maka mendengar pengulangan pertanyaan ini,
dia menahan napas sejenak untuk menekan perasaannya, baru dia menjawab tenang saja.
“Tidak ada.”
“Ehhh...?”
Syanti Dewi terkejut.
“Aku tidak
pernah mempunyai isteri atau anak, tidak mempunyai saudara, tidak ada orang tua
lagi, aku sebatang kara di dunia,” kembali jawaban yang keluar dari mulut
pendekar itu terdengar datar, seolah-olah seorang nelayan membicarakan jalan
atau pancingnya, biasa saja.
“Tapi...
tapi tidak mungkin itu, paman Gak!”
“Apa
maksudmu, tidak mungkin? Mengapa harus tidak mungkin?”
“Seorang
seperti paman ini... ehhh, tidak mungkin tidak menikah! Paman, apakah tidak ada
wanita di dunia ini yang mencintamu?”
Tanpa
menengok Gak Bun Beng menggeleng kepala dan matanya memandang jauh ke depan.
“Hemm,
mustahil! Dan apakah paman tidak ada mencinta seorang pun wanita di dunia ini?”
Gak Bun Beng
tersenyum ketika menoleh dan melihat wajah puteri ini diliputi penasaran besar,
bahkan seperti orang marah! “Dewi, engkau kenapa? Aku tak pernah memikirkan hal
itu dan hidupku sudah cukup bahagia.”
“Tidak masuk
akal! Seorang pria seperti paman!”
“Hemm, hanya
seperti aku ini, apa sih bedanya dengan orang lain?”
“Tidak sama
sekali, jauh sekali bedanya! Pangeran-pangeran di Bhutan, bahkan orang
berpangkat jauh di bawah pangeran dan orang berharta, mereka itu sedikitnya
punya tiga atau empat orang isteri! Padahal dibandingkan dengan paman, mereka
itu tidak ada sekuku hitam paman!”
“Aihhh,
Dewi. Aku seorang tua yang miskin, tidak memiliki apa-apa, mana ada ingatan
yang bukan-bukan?” Gak Bun Beng berkata untuk menghibur diri karena percakapan
ini tanpa disengaja oleh puteri itu telah menusuk-nusuk perasaannya,
mengingatkan dia kepada Milana.
“Jangan
paman berkata demikian. Siapa bilang paman sudah tua? Usia paman tidak akan
lebih dari empat puluh tahun! Dan pangeran yang namanya Liong Khi Ong itu, yang
akan mengawiniku, kabarnya malah berusia lima puluh tahun, dan aku berani
bertaruh potong rambut bahwa dibandingkan dengan paman, dia itu bukan apa-apa!”
Gak Bun Beng
berhenti melangkah dan memegang kedua tangan Syanti Dewi. “Dewi, kuminta
kepadamu, janganlah kau membicarakan urusan diriku. Aku minta ini dengan
sangat, ya? Banyak hal yang pahit getir telah berlalu, dan pembicaraanmu hanya
akan menggali segala kepahitan yang telah lewat itu saja.” Ucapan ini keluar
dengan suara agak gemetar.
Syanti Dewi
mengangkat muka memandang dan melihat wajah penolongnya ini diliputi awan
kedukaan, hatinya terharu dan dua titik air mata menetes seperti dua butir
mutiara di atas kedua pipinya.
“Eh? Kau...
menangis?”
“Aku kasihan
kepadamu, paman Gak.”
Gak Bun Beng
tersenyum dan menggunakan telunjuknya menghapus dua butir mutiara itu. “Kau
anak yang aneh! Kau memperlakukan aku seolah-olah aku ini seorang yang jauh
lebih muda dari pada engkau. Sudahlah, jangan membicarakan tentang diriku,
tidak ada harganya dibicarakan. Sekarang aku ingin bicara tentang dirimu.
Mengapa engkau malah membicarakan pribadi calon suamimu seperti itu? Agaknya
engkau tidak suka kepadanya?”
“Hemm, tentu
saja,” jawab Syanti Dewi ketika mereka melangkah lagi. “Siapa orangnya yang
suka dikawinkan dengan seorang kakek yang belum pernah dilihatnya selama
hidupnya? Dia seorang pangeran, dan kulihat pangeran-pangeran di Bhutan
hanyalah orang-orang yang berlomba mengejar kesenangan, tenggelam dalam
kemewahan dan aku berani bertaruh bahwa Pangeran Liong Khi Ong itu tentu sudah
mempunyai isteri sedikltnya selosin orang, apa lagi usianya sudah lima puluh
tahun. Aku tentu sudah gila kalau aku mengatakan suka kepadanya, paman Gak.”
Gak Bun Beng
tersenyum geli. Bukan main anak ini! Pandangannya selalu tepat sekali,
membayangkan pengetahuan luas dan pertimbangan yang masak, kata-katanya tepat mengenai
sasaran dan perasaannya amat halus bukan main.
“Dewi, kalau
kau memang tidak suka, kenapa kau mau?”
“Paman, masa
paman tak mengerti? Aku hanya bertugas di dalam perkawinan ini untuk menjadi
paku utama dalam singgasana ayah.”
“Ehhh...?”
“Aku kawin
bukan karena cinta, melainkan kawin politik. Agar kedudukannya di Bhutan
menjadi kuat, apa lagi dalam menghadapi pemberontakan Bangsa Mongol dan Tlbet
yang dipimpin oleh Tambolon, ayah mengorbankan aku untuk menjadi mantu kaisarmu
di sana!” Kedua pipi itu menjadi merah karena penasaran dan matanya yang indah
bersinar-sinar.
Gak Bun Beng
mengangguk-angguk. “Kau kan bisa menolak?”
“Aih, paman.
Apa dayaku sebagai seorang puteri raja? Kalau aku menolak, andai kata aku bisa
menolak, kemudian terjadi sesuatu yang bisa merobohkan kerajaan, bukankah
namaku akan dicatat di dalam sejarah sebagai seorang anak yang paling durhaka
terhadap orang tua, sebagai seorang puteri yang tidak dapat menjaga negaranya?
Ahh, kalau saja aku hanya seorang gadis petani biasa, tentu tidak ada yang usil
mulut!”
Gak Bun Beng
maklum akan hal ini dan dia menghela napas panjang, merasa kasihan sekali
kepada gadis ini, dan dia lalu teringat pula akan nasib Milana yang juga
menikah karena dipaksa oleh kaisar! “Akan tetapi, sekarang engkau telah bebas,
bukan? Engkau telah menjadi seorang gadis petani, bukan?”
“Apa
gunanya? Tak mungkin aku menjadi begini terus. Setelah paman menyerahkan aku ke
istana nanti, apa dayaku selain menurut dan menerima pernikahan itu dengan mata
meram dan perasaan mati?”
“Kalau aku
tidak menyerahkan engkau ke istana, bagaimana?”
Sepasang
mata itu terbelalak. “Benarkah itu, paman? Tetapi, tidak diserahkan pun aku
tidak berdaya. Mana mungkin aku dapat hidup sendiri di dunia ini? Aku sudah
terbiasa hidup keenakan di istana. Aihh, kalau saja ada adik Ceng Ceng... tentu
dia akan dapat mencarikan akal.”
“Tenanglah,
Dewi. Aku akan membawamu ke kota raja, namun aku menjamin bahwa tidak ada
seorang iblis pun akan dapat memaksamu menikah dengan siapa pun yang tidak kau
suka. Aku tidak akan membiarkan itu, Dewi.”
Syanti Dewi
memegang tangan kanan Gak Bun Beng yang terkepal itu erat-erat, membawa kepalan
tangan itu ke depan hidungnya dan menciuminya sambil terisak. Di dalam diri
penolongnya itu dia tidak hanya menemukan seorang penolong, akan tetapi juga
seorang kawan baik, seorang yang menjadi pengganti ayah bundanya, seorang
pelindung dan pembela yang dia percaya sepenuh hatinya, seorang yang
menimbulkan kasih sayang di hatinya.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment