Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 07
"Bangun...!
Gak-sioksiok...
bangunlah...!"
Gak Bun Beng
membuka matanya.
“Paman,
lihat, ada pasukan tentara datang...!”
Gak Bun Beng
mengeluh dan merasa kasihan sekali kepada dara itu. Baru saja mereka
beristirahat di dalam rumah kosong yang rusak itu. Setelah membuat api unggun
dan menyelimuti tubuh Syanti Dewi yang tidur di atas rumput kering, dia sendiri
lalu duduk bersandar dinding rusak di dekat pintu, menjaga sambil beristirahat,
dan dia pun tertidur saking lelahnya. Baru saja tidur, belum ada sejam karena
dia pun belum pulas benar, sudah ada orang yang mengganggu. Dia bangkit dan
berdiri, menggosok-gosok kedua matanya dan memandang keluar.
“Heiiiiii...!
Yang berada di dalam rumah kosong! Hayo kalian semua keluar!” terdengar
teriakan seorang di antara para prajurit yang memegang obor.
Obor itu
besar sekali dan amat terang. Di atas sebuah tandu pikulan duduklah seorang
panglima yang berpakaian lengkap dan gagah, pakaian perang, sikapnya gagah
sekali mengingatkan Gak Bun Beng akan tokoh Kwan Kong di dalam cerita Sam Kok,
seorang panglima perang yang jarang bertemu tanding saking gagah perkasanya.
“Tenanglah,
Dewi, mari kau ikut aku keluar,” kata Gak Bun Beng dan dia menggandeng tangan
dara itu, diajaknya keluar menghadap panglima itu.
“Suruh pergi
mereka semua! Jika mereka ternyata tidak menyembunyikan pemberontak, sudahlah,
jangan ganggu penduduk di sekitar sini! Tetapi cari di rumah-rumah kosong, di
goa-goa dan basmi semua pelarian pemberontak, barulah daerah ini akan aman.
Kalian jangan terlalu malas, bekerja kepalang tanggung. Satu kali mengeluarkan
tenaga hasilnya harus dapat dirasakan selama satu tahun! Tidak setiap hari
mengalami gangguan terus!”
Beberapa
orang panglima dan perwira yang mendengar perintah ini membungkuk-bungkuk dan
mereka kelihatannya takut sekali pada panglima gagah perkasa ini. Tiba-tiba
panglima gagah perkasa ini memandang ke arah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi. Gak
Bun Beng terkejut. Pandang mata itu menunjukkan bahwa jelas pembesar militer
ini benar-benar bukan orang sembarangan, akan tetapi ia balas memandang dengan
sikap tenang.
Pembesar itu
memberi isyarat dengan tangan dan seorang perajurlt menggapai kepada mereka
sambil berkata, “Heii, kalian berdua majulah menghadap tai-goanswe!”
Gak Bun Beng
menarik tangan Syanti Dewi lalu menghadap pembesar itu dan menjura dengan
dalam-dalam, tetapi tidak berlutut karena dia ingin menguji watak pembesar ini.
“Hei,
berlutut kalian!” bentak seorang perajurlt.
“Biarkan
mereka!” kata Jenderal besar (tai-goanswe) itu, melambaikan tangan kepada Gak
Bun Beng memberi isyarat agar mereka berdua maju. Sekali lagi pandang mata
Jenderal itu memandang tajam penuh selidik, kemudian bertanya kepada Syanti
Dewi dengan suara membentak dan tiba-tiba, “Kau, wanita muda, katakan siapa
namanya laki-laki ini?”
Tentu saja
Syanti Dewi terkejut bukan main karena biasanya, dalam setiap urusan selalu Gak
Bun Beng yang maju ke depan dan Gak Bun Beng yang melayani semua tanya jawab.
Sekali ini, secara tiba-tiba jenderal yang kelihatan galak seperti seekor singa
itu menanya kepadanya. Saking kagetnya, dia menjawab tanpa dapat dipikir lebih
dulu secara otomatis, “Namanya adalah Gak Bun Beng!”
Jenderal ini
mengerutkan alisnya yang tebal, mengingat-ingat, kemudian dia meloncat turun
menghadapi Gak Bun Beng. Tepat dugaan pendekar sakti ini, cara jenderal itu
meloncat menunjukkan pula kemahiran ilmu silat tinggi, biar pun tubuhnya tegap
tinggi besar namun gerakannya ringan sekali dan ketika kedua kakinya menginjak
tanah, tidak mengeluarkan bunyi apa-apa seperti kaki kucing meloncat saja.
“Kau Si Jari
Maut?” tiba-tiba jenderal itu membentak.
Gak Bun Beng
melepaskan tangan Syanti Dewi dan menyuruh dara itu minggir. Syanti Dewi
sendiri juga kaget sekali, apa lagi mendengar nama Si Jari Maut. Mengapa pula
penolongnya itu disangka Si Jari Maut? Bukankah Si Jari Maut adalah tukang
perahu itu?
Gak Bun Beng
juga merasa heran dan dia menggeleng kepala. “Bukan, tai-goanswe. Saya tidak
punya nama lain kecuali yang dikatakan tadi.”
“Siapa dia?”
Jenderal itu menuding ke arah Syanti Dewi.
“Dia anak
saya.”
“Hemm,
wajahnya bukan wajah wanita Han. Jangan membohong kau!”
“Memang anak
saya ini berdarah campuran, tai-goanswe. Ibunya adalah seorang Tibet.”
Jenderal ini
meraba jenggotnya. “Hem... kau dari mana hendak ke mana?”
“Saya dari
Tibet di mana selama belasan tahun saya merantau dan menikah di sana, sekarang
hendak pergi ke Se-cuan.”
“Kau bukan
Jari Maut?”
“Bukan,
tai-goanswe.”
“Tapi kau
tentu bisa ilmu silat, bukan?”
Sukarlah
bagi Gak Bun Beng untuk mendusta terhadap jenderal yang bermata tajam ini.
Tentu saja bagi seorang ahli, dapat melihat bahwa dia seorang yang ‘berisi’,
maka dia bersenyum dan menjawab, “Sedikit-sedikit saya pernah mempelajari.”
“Nah, coba
kau hadapi seranganku ini, ingin aku lihat sampai di mana kepandaianmu!”
Tiba-tiba
saja jenderal itu menerjang maju. Gerakannya cepat bukan main, sama sekali
tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar tegap itu, apa lagi dengan memakai
pakaian perang yang cukup berat. Selain cepat, juga pukulan kepalan tangannya
didahului angin yang menyambar dahsyat, hawa yang mengandung rasa panas ke arah
dada Gak Bun Beng.
Pendekar
sakti ini maklum bahwa sang jenderal sudah dapat melihat bahwa dia memiliki kepandaian
dan agaknya dia hendak menguji karena curiga, maka dia pun tidak mau
berpura-pura lagi karena toh akan sia-sia saja dan akan ketahuan oleh jenderal
yang cerdik itu, maka ia pun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya
sebagian saja, cukup untuk menandingi tenaga sinkang penyerangnya.
“Dukkk!”
Jenderal itu
berseru kaget ketika pukulannya tertangkis dan lengannya terpental. Dia dapat
memukul lagi dan tahulah Gak Bun Beng bahwa pukulannya tadi ternyata hanya
menggunakan tenaga setengahnya karena jenderal itu belum tahu sampai di mana
kekuatannya. Kini jenderal itu menghantam lagi, sekali ini dengan tenaga penuh,
tenaga yang melebihi kekuatan seekor kerbau jantan mengamuk!
“Dess...!”
Kembali pukulan tertangkis dan jenderal itu terhuyung ke belakang.
“Coba
pergunakan jari mautmu!” Bentak sang Jenderal dan kini dia menerjang lagi.
Kaki
tangannya bergerak dan sekaligus Gak Bun Beng menghadapi serangan pukulan,
tamparan, totokan dan tendangan sebanyak delapan kali berturut-turut. Maklumlah
dia bahwa jenderal ini benar-benar pandai, agaknya sengaja mendesaknya dengan
jurus luar biasa itu untuk memancing dia agar dia, kalau memang mempunyai,
mengeluarkan llmunya yang paling hebat, yang diharapkan akan membuka rahasia
Jari Maut.
Tentu saja
kalau Gak Bun Beng menghendaki, dengan apa saja, dia sekali turun tangan akan
mampu membunuh lawannya ini. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau, bahkan dia
menangkis dan sengaja memperlambat gerakannya sehingga dua pukulan mengenai
bahu dan dadanya.
“Bukk!
Dess...!”
Gak Bun Beng
terhuyung ke belakang sambil bereru, “Maaf, tai-goanswe, saya tidak kuat
bertahan!”
“Ha-ha-ha!”
Jenderal itu tertawa bergelak, berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang.
Perutnya sampai bergoyang-goyang ketika dia tertawa sambil mendongak ke
angkasa. “Ha-ha-ha, engkau terang bukanlah Si Jari Maut, sungguh pun engkau
pandai sekali merendah. Sobat, aku Kao Liang kagum sekali kepadamu!”
Terkejutiah
hati Gak Bun Beng mendengar nama ini. Kiranya inilah jenderal yang amat
ditakuti oleh para pelarian tadi. Pantas saja! Memang seorang jenderal yang
hebat! Untung jenderal ini agaknya tak pernah atau jarang sekali muncul di kota
raja sehingga tidak mengenalnya. Pula, andai kata pernah, tentu sudah sejak
mendengar namanya tadi pembesar itu lain sikapnya.
“Ah, kiranya
Kao-taigoanswe...! Saya pernah mendengar nama besar tai-goanawe dari para
pemberontak yang lari terbirit-birit ke barat.”
“Ha-ha-ha,
dan aku tadinya mencurigaimu sebagai anggota pemberontak. Tak mungkin. Apa lagi
dengan anakmu ini. Nah, kalian berdua hendak ke Se-cuan? Silakan, kalau di
jalan bertemu kesukaran, katakan bahwa engkau adalah sahabat Kao Liang, tentu
akan dapat menolong!”
Gak Bun Beng
menjura, menghaturkan terima kasih lalu mengajak Syanti Dewi pergi dari situ
cepat-cepat, biar pun malam itu cukup gelap karena bintang di langit terhalang
sedikit awan.
Gak Bun Beng
mengajak Syanti Dewi berhenti di bawah sebatang pohon besar di dekat padang
rumput. Tidak mungkin melanjutkan perjalanan melintasi padang rumput yang
demikian rimbun, takut kalau-kalau ada ularnya atau binatang lain. Melihat
lampu-lampu di sebelah kiri, mereka lalu bangkit lagi dan menuju ke tempat itu.
Kiranya itu adalah sebuah dusun yang lumayan besar. Akan tetapi karena dusun
itu baru saja mengalami pemeriksaan dan pembersihan, semua penduduk masih
merasa takut dan pintu rumah ditutup rapat-rapat.
Beberapa
kali Gak Bun Beng mengetuk pintu, dan mendengar suara bisik-bisik di dalam,
namun tidak pernah ada yang menjawabnya. Bahkan ketika mereka melihat sebuah
rumah penginapan dan mengetuk pintunya, tak ada pelayan yang membukanya.
Barulah setelah Syanti Dewi yang bersuara minta dibukakan pintu, daun pintu
terbuka oleh seorang pelayan yang memandang mereka penuh curiga.
“Kenapa
kalian ini malam-malam menggedor-gedor pintu rumah orang?” tanyanya dengan hati
lega akan tetapi juga jengkel ketika melihat bahwa yang datang hanyalah seorang
laki-laki setengah tua dan seorang dara remaja yang keduanya berpakaian seperti
orang dusun.
“Hemm,
bukankah ini rumah penginapan untuk umum?” Gak Bun Beng bertanya sabar.
“Benar, akan
tetapi apakah kau tidak bisa mengerti akan keadaan? Dunia sedang mau kiamat
begini mencari kamar waktu tengah malam! Untung aku berani membuka pintu, kalau
tidak siapa lagi yang berani dan kalian takkan bisa mendapatkan tempat di rumah
mana pun juga.”
“Maaf kalau
kami mengganggu dan mengagetkan, biarlah besok sebagai penambah uang sewa kamar
kami beri juga uang kaget,” kata pula Gak Bun Beng.
Mendengar
bahwa dia akan menerima uang kaget sebagai hadiah, pelayan itu menjadi lebih
ramah. “Baru siang tadi dusun kami digerebek dan diperiksa, diawut-awut, banyak
yang ditangkap dituduh teman pemberontak. Tentu saja seluruh dusun ini masih
dalam suasana panik dan takut.”
Gak Bun Beng
mengangguk-angguk dan akhirnya mereka memperoleh sebuah kamar dengan dua buah
tempat tidur. Tadinya Gak Bun Beng hendak menyewa dua kamar, akan tetapi di
depan pelayan itu Syanti Dewi berkata, “Ayah, mengapa harus dua kamar? Satu
saja cukuplah asal ada dua tempat tidur. Apa lagi, aku takut tidur sendiri
dalam kamar!”
Malam itu
keduanya dapat tidur nyenyak setelah bercakap-cakap sebentar tentang Jenderal
Kao Liang. “Dialah seorang jantan sejati,” kata Gak Bun Beng kagum. “Negara
memang membutuhkan orang-orang seperti dia itulah! Aku berani bertaruh apa saja
bahwa orang seperti dia tentu setia kepada negara, tidak mabok kedudukan, tidak
sudi menjilat dan tidak suka pula menekan bawahan. Ilmu kepandaiannya boleh
juga.”
“Aku juga
sudah khawatir, paman. Dia kelihatannya begitu kuat dan lihai. Akan tetapi
ternyata kau tidak apa-apa! Dia memang mengerikan, seperti seekor singa!”
“Jarang kini
terdapat orang seperti dia,” berkata pula Gak Bun Beng. “Orang pemberani macam
dia tentu tidak berhati kejam. Hanya orang penakutlah yang berhati kejam karena
kekejaman lahir dari rasa takut. Dan dia tidak pula penjilat, karena hanya
orang yang suka menindas bawahannya sajalah yang suka menjilat atasannya. Dia
memang jantan sejati dan aku benar-benar kagum!”
Sementara
itu, di perkemahannya, Jenderal Kao Liang juga berkata kepada seorang perwira
kepercayaannya. “Orang yang bernama Gak Bun Beng tadi memang hebat! Aku percaya
bahwa dia tentulah seorang kang-ouw yang berilmu tinggi, dan yang memakai nama
Gak Bun Beng Si Jari Maut tentulah seorang penjahat yang memang sengaja hendak
merusak namanya.”
Memang
tepatlah kata-kata Jenderal Kao Liang ini. Yang merusak dan menggunakan nama
Gak Bun Beng Si Jari Maut bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Jenderal ini sudah
mendengar akan sepak terjang Si Jari Maut, akan tetapi dia mendengar bahwa
penjahat kejam itu adalah seorang pemuda, maka dia tadi percaya bahwa Gak Bun
Beng yang ditemuinya itu bukanlah Si Jari Maut. Tentu saja dia tidak tahu bahwa
ketika menangkis serangannya tadi, Gak Bun Beng baru mengerahkan sedikit bagian
saja dari tenaganya, dan sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa Gak Bun Beng
adalah seorang pendekar sakti murid dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es,
Bu-tek Siauw-jin, dan memiliki ilmu-ilmu kesaktian tingkat tinggi yang amat
hebat!
Pada
keesokan harinya, setelah mandi pagi Gak Bun Beng berkata kepada Syanti Dewi,
“Dewi, kita harus menyamar dalam perjalanan selanjutnya. Aku sudah kapok kalau
sampai terjadi seperti malam tadi. Pula, menurut pelayan, di sebelah sananya
padang rumput itu terdapat perkemahan pasukan. Ingin sekali aku melakukan
penyelidikan, dan mengetahui apakah gerangan yang terjadi sehingga seorang
jenderal yang berpangkat tinggi itu sampai datang ke tempat ini dan melakukan
perondaan sendiri, memimpin pasukan sendiri melakukan pembersihan.”
“Paman,
bukankah Jenderal Kao telah menjamin...”
“Ah, aku
tidak mau berkedok nama jenderal, Dewi. Kita melakukan perjalanan sendiri
menggunakan akal sendiri untuk menyelamatkan diri. Bagaimana kalau kita
menyamar sebagai ayah dan anak penjual silat?”
“Tapi ilmu
silatku masih rendah, paman.”
“Habis apa
kiranya yang menjadi keahlianmu?”
“Aku agak
pandai menari...”
“Nah, itu
dia! Kita dapat menyamar sebagai penjual obat dan engkau menari, aku yang
mengiringi dengan meniup suling.”
Syanti Dewi
tertawa dan cahaya matahari menjadi cerah bagi Gak Bun Beng. Tawa gadis yang
halus itu sungguh-sungguh mendatangkan kesegaran dalam perasaannya.
Bertahun-tahun dia hidup membeku, dan baru sekarang dia merasakan kehangatan
peri kemanusiaan.
“Menari
hanya diiringi dengan suling saja? Dan lagunya? Apakah kau mengenal lagu
Bhutan, paman?”
“Tentu saja
tidak. Akan tetapi cukup asal melagukan. Apa lagi kita adalah penjual obat,
bukan ahli tari sungguh pun aku yakin bahwa engkau tentu merupakan seorang ahli
tari yang luar blasa. Nah, sekarang kita harus berbelanja ke dusun ini
menyiapkan segala keperluan penyamaran kita. Untukku sebatang suling dan sebuah
caping lebar, dan untukmu, apa kebutuhanmu dalam penyamaranmu, Dewi?”
“Sebagai
penari keliling, cukup dengan sehelai selendang panjang saja, selendang dari
sutera berwarna merah.”
Setelah
menemukan dan membeli kebutuhan mereka itu, Gak Bun Beng lalu mengajak Syanti
Dewi melanjutkan perjalanan meninggalkan dusun itu dan melintasi padang rumput.
Di sepanjang perjalanan Syanti Dewi menyanyikan beberapa lagu Tibet yang
dikenalnya. Dengan sulingnya Gak Bun Beng mempelajari lagu-lagu itu dengan
penuh kagum dan keharuan karena dara itu ternyata amat pandai bernyanyi dan
mempunyai suara yang amat merdu dan halus.
Ketika
mereka sudah melewati padang rumput, Gak Bun Beng berhenti dan meminta kepada
Syanti Dewi agar supaya menari. “Kita harus berlatih dulu agar cocok antara
suling dan gerakan tarianmu,” katanya.
Dia duduk di
bawah pohon dan mulai meniup sulingnya, menirukan lagu yang pernah dinyanyikan
dara itu, dan Syanti Dewi mulai menari, menggerakkan tubuhnya seperti seekor
kupu-kupu beterbangan di atas kelompok bunga, dan ketika selendangnya yang
merah itu digerak-gecakkan, selendang itu membentuk lengkung-lengkuk merah yang
amat indah dan berubah-ubah. Kadang-kadang seperti seekor naga merah terbang,
kadang-kadang seperti seekor kupu-kupu, lalu seperti huruf-huruf yang hanya
tampak sekilas pandang saja karena sudah berubah lagi bentuknya. Bukan main!
Gak Bun Beng
terpesona dan lupa diri, seolah-olah dia sedang berada di kahyangan menyaksikan
tarian seorang bidadari. Di dalam setiap gerakan tubuh dara itu, dari ujung
jari tangan sampai ke anak rambut yang terjurai di depan dahi, semua begitu
hidup, mengandung warna tertentu dan merupakan nyanyian tertentu, indah penuh
rahasia seperti sajak-sajak keramat, meriah dan riang gembira seperti sinar
matahari pagi di musim semi!
Setelah
Syanti Dewi menghentikan tariannya sambil tertawa, Gak Bun Beng baru sadar. Dia
menurunkan sulingnya pula, masih terlongong dan termenung, seolah-olah orang
baru terbangun dari suatu mimpi yang amat indah.
“Paman Gak!”
Syanti Dewi memanggil ketika melihat pendekar itu duduk termenung, seolah-olah
ada sesuatu yang mengganggunya.
“Heh...?
Ehh...!” Gak Bun Beng langsung menyeka peluh yang tanpa diketahuinya telah
memenuhi dahi dan lehernya, kemudian dia memandang Syanti Dewi dengan sinar
mata lembut dan penuh kasih sayang. “Dewi, bukan main kau...! Bukan main...!”
Dan tak dapat ditahan lagi, dia mengatupkan bibir dan dua titik air mata
menetes ke atas pipinya.
Syanti Dewi
menubruknya. “Paman, ada apakah? Paman... paman menangis?” Ucapan ini
dikeluarkan penuh ketidak percayaan. Rasanya mustahil bagi Syanti Dewi melihat
seorang pria yang demikian gagah perkasa, jantan keras bagaikan baja, lembut
dan budiman seperti kapas, yang dihormati, kagumi, dan sayang dapat meruntuhkan
air mata walau pun hanya dua butir!
Gak Bun Beng
tidak mampu menjawab dan memejamkan mata ketika merasa betapa Syanti Dewi
menyeka dua butir air mata itu dengan ujung selendangnya. Terbayanglah wajah
Milana, teringatlah dia akan semua kenikmatan dan kebahagiaan ketika berkasih
sayang dengan wanita itu.
Kehadiran
Syanti Dewi dalam hidupnya membuat luka lama di dalam hatinya merekah kembali
dan dia menjadi sangat rindu kepada Milana, sangat rindu pada belaian kasih
sayang wanita. Padahal selama ini, dia telah berhasil menundukkan semua itu,
telah membuat hatinya mengeras seperti baja. Namun segala keindahan yang
dilihatnya di dalam diri Syanti Dewi, segala kelembutannya, mendobrak seluruh
pertahanannya dan menjadi jebol!
“Paman kau
kenapakah? Mengapa paman berduka?” Kemudian Syanti Dewi bertanya dengan suara
penuh kedukaan dan kecemasan.
Gak Bun Beng
membuka mata, lalu memaksa diri tersenyum dan membuka capingnya. Dia mengipasi
muka dan lehernya dengan caping, bukan untuk mengusir hawa panas, melainkan
dengan harapan angin dari kipasan caping itu akan mengusir keharuan yang
mencekik lehernya. Sukar dia mengeluarkan suara, karena itu dia hanya
menggeleng kepala sambil tersenyum.
“Paman, kau
tadi kelihatan demikian berduka, sampai menangis! Padahal tadinya tidak
apa-apa. Setelah aku menari, paman lalu berduka dan terharu. Tentu ada
sebabnya, paman. Demikian tegakah paman membiarkan aku dipermainkan kesangsian?
Tidak sudikah paman mempercayaiku dan menceritakan apa yang mendukakan hatimu?”
Gak Bun Beng
menggerakkan tangan dan mengelus rambut kepala gadis itu. Gerakan ini meruntuhkan
hati Syanti Dewi dan otomatis dia kemudian menjatuhkan kepalanya bersandar pada
dada pendekar itu. Dia merasa begitu aman, begitu tenteram dan begitu bahagia,
seolah-olah dada yang bidang itu melindunginya dari segala mala petaka yang
akan datang mengancamnya, melindunginya dari segala kedukaan dan mendatangkan
kebahagiaan yang dia tidak mengerti.
Gak Bun Beng
pun menerima perbuatan gadis ini dengan perasaan wajar, seolah-olah sudah
semestinya demikian dan untuk beberapa saat dia tetap mengelus rambut kepala
yang panjang, hitam dan halus itu. Kemudian dia teringat betapa janggalnya
keadaan mereka, maka perlahan dia mendorong kepala gadis itu dari atas dadanya.
Mereka duduk
berhadapan dan berkatalah Gak Bun Beng, “Syanti Dewi, kaulah satu-satunya manusia
yang berhak mengetahui segala mengenai diriku.”
“Terima
kasih, paman. Aku yakin bahwa memang engkau akan menceritakan kepadaku, karena
kiranya tidak ada lagi manusia yang demikian mulia seperti engkau, paman.”
Gak Bun Beng
memegang tangan dara itu, akan tetapi ketika dia merasa ada getaran kemesraan
yang luar biasa keluar dari tangan dara itu, dia cepat melepaskannya kembali
dan menghela napas, membuang pandang matanya ke tanah, lalu menunduk. “Dewi,
engkau terlalu tinggi memandang diriku. Aku hanyalah seorang tua yang bodoh,
yang canggung dan lemah.”
“Sebenarnya
bukan aku yang memandang terlalu tinggi, melainkan engkau yang selalu
merendahkan diri, dan itulah satu di antara sifat-sifat paman yang kukagumi.
Sekarang ceritakan, paman, mengapa paman tadi menangis ketika melihat aku
menari?”
“Syanti
Dewi, karena kau mengingatkan aku akan seorang lain...”
“Seorang
wanita?”
Gak Bun Beng
mengangguk.
“Wanita yang
paman cinta?”
Kembali Gak
Bun Beng mengangguk.
“Dan dia pun
mencinta paman?”
Untuk ketiga
kalinya Gak Bun Beng mengangguk.
Syanti Dewi
menunduk, dia kelihatan berduka sekali. Sampai lama keduanya diam saja,
kemudian terdengar dara itu bertanya, suaranya gemetar menahan isak, “Paman
Gak, sudah lamakah dia meninggal?”
Gak Bun Beng
mengerutkan alis, lalu mengerti bahwa dara ini menyangka kekasihnya itu sudah
meninggal. “Sampai sekarang dia masih hidup, Dewi.”
Muka dara
itu menjadi pucat sekali, kemudian merah dan dia meloncat bangkit berdiri dan
suaranya nyaring penuh rasa penasaran dan kemarahan, “Kalau begitu dia telah
meninggalkan paman, sungguh kejam sekali!”
Gak Bun Beng
cepat menggelengkan kepalanya. “Bukan! Bukan dia, melainkan akulah yang
meninggalkan dia...”
Wajah yang
tadinya merah menyala itu menjadi pucat, kedua tangannya yang dikepal terbuka
dan tubuh yang menegang itu menjadi lemas. “Ouhhh...!” Syanti Dewi mengeluh dan
duduk kembali di depan pendekar itu.
Syanti Dewi
melihat Gak Bun Beng pendekar pujaannya itu duduk termenung, wajahnya pucat
sekali. Alisnya yang tebal berkerut, dan di permukaan wajah itu seperti
terbayang kenyerian yang sukar dilukiskan. Melihat wajah pendekar itu seperti
ini, Syanti Dewi tak dapat menahan tangisnya. Dia lalu terisak dan memegang
kedua tangan pendekar itu, mengguncang-guncangnya sambil bertanya di antara
isaknya. “Akan tetapi... mengapa, paman? Mengapa...? Mengapa...?” Suaranya
bercampur isak dan dia membiarkan air matanya berderai menuruni pipinya.
Melihat
keadaan dara ini, Gak Bun Beng merenggutkan kedua tangannya. Ia takut pada
dirinya sendiri karena seluruh tubuhnya, seluruh hati dan perasaannya,
seakan-akan mendorongnya untuk memeluk dan mendekap dara itu penuh cinta kasih.
Dia melawan hasrat ini dan karenanya dia merenggutkan kedua tangan dari
pegangan dara itu, lalu menutupkan kedua tangannya ke mukanya sambil menahan
air matanya dengan jari-jari tangannya. Sampai lama mereka tidak berkata-kata,
yang terdengar hanya suara isak Syanti Dewi dan tarikan napas panjang Gak Bun
Beng.
Setelah
Syanti Dewi agak mereda dan berhasil menekan perasaan harunya dan ibanya, dia
mengangkat muka yang basah dan merah, memandang punggung kedua tangan yang
menutupi muka pendekar itu, bertanya, “Paman, saya yakin pasti ada sebab-sebab
yang memaksa paman meninggalkannya. Sudah pasti ada, dan maukah paman
menceritakan kepadaku?”
Mendengar
suara gadis itu telah tenang kembali biar pun masih gemetar, Gak Bun Beng yang
juga telah berhasil meredakan gelora hatinya, menurunkan kedua tangannya dan
tampaklah wajahnya yang pucat dan muram. “Syanti Dewi, sudah kukatakan bahwa
aku akan menceritakannya kepadamu. Memang ada sebabnya, dan sebab itu adalah
karena aku bodoh dan serba canggung! Begitu banyak aku melihat perkawinan
gagal, cinta kasih berantakan setelah terjadi perkawinan, kemesraan lenyap
terganti cemburu, kekecewaan dan kemarahan yang berakhir dengan kebencian dan
dendam, sehingga aku menjadi muak dan ngeri. Aku menjadi takut kalau-kalau dia
pun akan menderita apa bila kasih di antara kita yang murni itu akan menjadi
palsu dan kotor setelah kita menikah. Aku tidak tega membiarkan dia kelak
menderita, karena itu, aku mundur... tidak tahu bahwa aku membawa pergi racun
yang menggerogoti dan merusak hidupku hari demi hari. Dengan kekuatan batin aku
bisa menundukkan semua itu, membuat hatiku keras dan melupakan segala.” Dia
menarik napas panjang dan menengadah, memandang ke langit seolah-olah hendak
mengadukan nasibnya kepada Thian.
“Jadi...
itukah sebabnya, paman, seorang pendekar besar kemudian mengasingkan dan
menyembunyikan diri di antara orang-orang biasa, menjauhkan diri dari segala
urusan dan kesenangan duniawi?”
Gak Bun Beng
mengangguk.
“Dan selama
itu paman tidak lagi tertarik kepada wanita yang mana pun?”
“Hemmm...
sebelum mengenal dia, aku belum pernah mencintai orang lain, sesudah itu pun
aku tidak ada minat dan waktu... aku malah muak dan tidak percaya akan cinta
kasih antara pria dan wanita yang kesemuanya kuanggap palsu belaka! Aku tidak
percaya lagi akan kata-kata cinta yang pada hakekatnya hanyalah penonjolan
keinginan pribadi untuk mencari kesenangan dan kepuasan hati sendiri. Akan
tetapi sikapku karena patah hati itu ternyata keliru dan baru aku sadar bahwa
memang ada cinta kasih yang murni, yang tanpa pamrih yaitu setelah aku bertemu
denganmu, Dewi. Setelah aku berjumpa denganmu, setelah aku bergaul beberapa
lamanya denganmu, kau mengingatkan aku kepada dia...”
“Aduh, paman
Gak... sungguh kasihan kau! Kalau begitu, mengapa kita tidak pergi saja mencari
dia? Di mana kekasihmu itu? Sekarang belum terlambat untuk menyambung kembali
pertalian kasih sayang yang secara paksa paman putuskan itu! Marilah, aku akan
menceritakan kepadanya betapa paman adalah seorang jantan yang hebat, seorang
pria yang budiman, yang sampai saat ini pun tidak pernah melupakan dia, tidak
pernah mengurangi cinta kasihnya yang mendalam dan murni!”
Gak Bun Beng
menggeleng kepala. “Dia... dia telah menikah dengan orang lain, Dewi...”
“Ihhhh...!”
Mata yang indah itu terbelalak memandang Bun Beng. “Mana mungkin...? Bukankah
dia mencintamu, paman?”
“Dia tidak
berdaya, kehendak orang tuanya.” Tiba-tiba Gak Bun Beng teringat bahwa dia
telah berlarut-larut. Melihat wajah dara itu yang biasanya seperti matahari
pagi kini menjadi muram, pucat dan layu, dia hampir memukul kepalanya sendiri.
Tiba-tiba
dia memegang tangan dara itu, ditariknya berdiri dan sambil tersenyum dia
berkata, “Aahhh, apa yang telah kita lakukan ini? Kita mendongeng tentang
cerita-cerita duka, menggali pendaman-pendaman busuk! Padahal dunia ini begini
indah, matahari begitu terang! Hapuskan air matamu itu, Dewi! Engkau masih muda
belia, muda remaja. Lihat, masa depanmu seperti sinar matahari itu, cerah dan
terang! Perlu apa hidup yang sekali ini di dunia harus berkeluh kesah dan
berduka cita! Air mata darah sekali pun tidak akan dapat membangkitkan kembali
yang telah mati! Ha-ha-ha, aku bodoh dan canggung! Mari, Dewi, kita lanjutkan
perjalanan. Lihat di sana itu, genteng-gentengnya masih baru, tentu itu
merupakan bangunan baru, dan kalau tidak salah, itulah markas pasukan yang akan
kita selidiki.”
Melihat
perubahan sikap pendekar itu, Syanti Dewi yang berperasaan tajam halus dan
memang cerdik itu maklum jika pendekar itu selain hendak mengubur kembali
kenangan yang menyedihkan, juga tak ingin menyeretnya berlarut-larut ke dalam
awan kedukaan. Dia semakin kagum dan bersyukur, maka dia pun membantu agar
pendekar itu tidak kecewa. Dia menghapus semua keharuannya dan mulai tampaklah
senyum di bibir dara itu dan matanya mulai bercahaya ketika dia memandang wajah
Gak Bun Beng.
“Baik,
paman. Marilah, akan tetapi harap paman menjagaku baik-baik karena aku masih
ngeri kalau teringat akan kekasaran prajurit-prajurit itu.”
“Jangan
khawatir. Betapa pun juga, andai kata terjadi apa-apa yang tak dapat kucegah,
kita masih mempunyai jimat berupa nama jenderal itu, bukan? Cuma satu hal yang
harus kau jaga. Jangan kau menari seindah tadi!”
“Eh,
mengapa, paman?”
“Mana
mungkin ada penari dusun dapat menari seindah tarian bidadari seperti tadi?!
Jangan, gerakkan selendangmu biasa saja, agak perkasarlah gerakan kaki
tanganmu.”
Syanti Dewi
tertawa. Sedap perasaan Gak Bun Beng mendengar suara ketawa ini dan buyarlah
semua awan mendung. “Perintahmu ini jauh lebih sukar dari pada perintah
memperbaiki atau memperhalus tarian, paman. Memperkasar tarian? Betapa
sukarnya, akan tetapi biarlah kucoba asal paman membantu dengan suara
sulingmu.”
“Membantu
bagaimana?”
“Jangan
terlalu merdu! Bikin agak sumbang begitulah, jadi aku akan tetap teringat untuk
membikin gerakannya kaku.”
Keduanya
tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke sekelompok bangunan di depan
sambil bergandengan tangan. Sekali ini Gak Bun Beng tidak ragu-ragu lagi untuk
menggenggam tangan yang kecil halus itu. Mereka bergandengan sebagai dua orang
sahabat, sebagai ayah dan anak, bukanlah sebagai sepasang kekasih!
Markas itu
adalah markas pasukan penjaga tapal batas. Biasanya mereka bermalas-malasan,
akan tetapi semenjak Jenderal Kao Liang datang beberapa hari yang lalu, mereka
tidak berani bermalas-malasan lagi dan penjagaan dilakukan dengan tertib. Juga
tidak ada yang berani berkeliaran mengganggu dusun-dusun terdekat karena
Jenderal Kao Liang terkenal sebagai seorang pembesar yang keras dan
kedatangannya otomatis membuat para komandan pasukan di tempat itu juga menjadi
tegas dan keras terhadap bawahannya.
Banyak juga
orang preman, penduduk dusun yang keluar masuk pintu gerbang benteng, ada yang
mengantar kayu bakar, sayur-sayuran dan lain-lain. Gak Bun Beng berjalan tenang
bersama Syanti Dewi dan sambil berjalan dia meniup sulingnya. Ketika mereka
tiba di depan pintu gerbang, empat orang penjaga menghadang mereka dan seorang
di antaranya menghardik, “Berhenti! Siapa kalian dan mengapa engkau meniup-niup
suling di tempat ini? Tak tahukah bahwa di sini adalah markas pasukan?”
“Maaf, kami
memang rombongan tari, maka sudah menjadi kebiasaan saya jika berjalan meniup
suling agar tidak lekas lelah. Jadi di sini adalah markas pasukan pemerintah?
Kebetulan sekali! Kami sedang menuju ke timur dan karena kami ingin mendengar
secara resmi bagaimana keadaan di sana, maka kami ingin memperoleh keterangan
dari komandan kalian. Untuk itu, kami bersedia menghibur kalian dengan
tari-tarian dan memberi obat luka yang manjur.”
Para penjaga
itu saling pandang dan mereka berkali-kali memandang wajah Syanti Dewi yang
amat cantik biar pun sederhana pakaiannya itu. “Kau tunggu sebentar, aku akan
melapor kepada komandan!” kata seorang di antara mereka penuh gairah.
Gak Bun Beng
mengangguk dan duduk di sudut sambil meniup sulingnya, sengaja dia mainkan
sulingnya sebaik mungkin untuk menarik perhatian. Sedangkan Syanti Dewi
menunduk saja karena dia merasa ‘ngeri’ melihat pandang mata para penjaga itu
yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat!
Tak lama
kemudian muncullah si penjaga tadi mengiringkan seorang perwira gendut pendek
yang mukanya bulat dan terlihat lucu. Perwira itu adalah komandan sementara di
markas itu karena panglimanya sedang pergi mengikuti Jenderal Kao Liang yang
sedang memimpin pasukan beroperasi di daerah barat. Perwira itu sebetulnya
seorang yang sabar dan baik, akan tetapi begitu melihat bahwa yang disebut
rombongan tari itu terdapat seorang gadis yang demikian denok, kontan saja
sikapnya menjadi berubah dari biasanya.
Dia memasang
aksi seolah-olah dialah komandan terbesar, dialah panglima tertinggi atau
bahkan kaisar sendiri! Sambil bertolak pinggang dia memandang kepada Gak Bun
Beng yang sudah berdiri dan menjura di depannya. Pandang matanya tajam menyapu
pendekar itu dan dara di sebelahnya, seolah-olah dia sama sekali tidak acuh
akan kecantikan dara itu dan hanya menjalankan tugasnya sebagai ‘komandan’
betul-betul, lalu dia membentak dengan suara nyaring, “Siapa kau dan dari mana
hendak ke mana?”
Gak Bun Beng
yang sudah berpengalaman dan pandai membaca sikap dan isi hati orang, tersenyum
geli karena maklum bahwa kegagahan perwira ini adalah dibuat-buat untuk menarik
perhatian Syanti Dewi, tentunya dengan maksud agar dara itu kagum melihat
seorang ‘komandan sungguhan’! Ingin sekali dia melihat akan bagaimana wajah
badut ini kalau dia tahu bahwa gadis dusun yang cantik dan dipasangi aksi itu
adalah Puteri Bhutan yang akan menjadi mantu kaisar! Bisa dibayangkan bahwa si
gendut pendek ini tentu akan bertiarap di depan kaki Syanti Dewi,
menyusup-nyusup seperti ular di antara rumput dan minta-minta ampun!
“Maafkan
kami berdua, tai-ciangkun!” berkata Gak Bun Beng yang makin geli hatinya
melihat betapa ketika mendengar sebutan tai-ciangkun perwira itu langsung saja
melembungkan dadanya dan mengempiskan perutnya, akan tetapi karena tidak dapat
menahan lama-lama, segera dadanya mengempis dan perutnya mengembung kembali
seperti biasanya. Dicobanya lagi beberapa kali, namun makin lama makin tak kuat
sampai napasnya senin kemis dan akhirnya dia membiarkan saja perutnya gendut
bergantung dan dadanya mengempis.
“Saya
bernama Gak Bun Beng dan dia adalah anakku bernama Dewi, ibunya seorang Tibet.
Kami hendak pergi ke timur, akan tetapi di sepanjang jalan saya melihat pasukan
pemberontak yang melarikan diri dan kabar selentingan bahwa di timur geger
karena perang. Hal ini sangat menggelisahkan kami karena kabar yang kami terima
tidak jelas. Maka kami ingin memperoleh keterangan yang resmi dan jelas dari
tai-ciangkun agar hati kami lega untuk melanjutkan perjalan ke timur yang amat
jauh itu. Untuk kebaikan tai-ciangkun, sebelumnya kami menghaturkan terima
kasih dan untuk membalas budi, kami akan mengadakan pertunjukan tari-tarian dan
membagi obat luka yang mujarab untuk tai-ciangkun.”
Perwira
gendut itu menggerak-gerakkan alisnya seperti orang yang berpikir keras. Memang
dia berpikir, akan tetapi alis tipis yang digerak-gerakkan itu termasuk aksinya
agar kelihatan sebagai panglima ahli siasat yang pandai. Lagi-lagi, matanya
yang agak bulat dan kecil melirik ke arah Syanti Dewi. Lirikan cepat tidak
kentara akan tetapi tentu saja tidak terlepas dari pandang mata Gak Bun Beng.
“Dewi...
hemmm...” Perwira itu menggumam, agaknya tertarik oleh nama itu dan sama sekali
tidak memperhatikan nama lakl-laki bercaping itu.
“Bagaimana,
tai-ciangkun?” Gak Bun Beng bertanya ketika melihat perwira itu seperti mimpi
menyebut nama Dewi.
“Ohhh... ya,
kami pikir dulu. Eh, engkau kelihatan begini tabah menghadapi pasukan, seperti
sudah biasa. Engkau bukan mata-mata pemberontak, bukan?”
Gak Bun Beng
tersenyum. Pertanyaan ini saja sudah membuktikan betapa tololnya perwira ini
dan dengan seorang perwira seperti ini menjadi komandan markas, tidak akan
heran kalau mata-mata dapat menyelundup masuk.
“Tentu saja
bukan, tai-ciangkun. Kalau mata-mata musuh, masa kami mencari penyakit datang
ke sini? Saya memang sudah biasa dengan pasukan, apa lagi pasukan pemerintah
sendiri, karena belasan tahun yang lalu saya pun pernah menjadi prajurit dalam
pasukan istimewa yang dipimpin oleh Puteri Nirahai sendiri.”
“Ohhh...!”
Seruan ini terdengar dari banyak mulut para prajurit yang sudah mengerumuni
tempat itu. Pasukan istimewa dari Puteri Nirahai memang terkenal sekali.
Mendengar
ini, perwira gendut itu berseri wajahnya. “Nah, apa kataku tadi! Tepat sekali,
bukan? Sudah kulihat bahwa engkau adalah seorang yang biasa dengan pasukan.
Kiranya masih bekas rekan sendiri, ha-ha! Kalau begitu, tentu saja kalian kami
sambut dengan kedua tangan terbuka. Selamat datang dan marilah masuk. Mari
silakan, nona... eh, nona Dewi. Indah sekali nama puterimu, saudara Gak!”
Syanti Dewi
menjura dengan hormat sedang Gak Bun Beng tersenyum girang ketika keduanya
diiringkan oleh sang perwira gendut sendiri memasuki pintu gerbang markas itu.
Hari telah mulai gelap karena tadi mereka berangkat dari dusun setelah
berbelanja sampai sudah lewat tengah hari, dan tadi mereka agak lama berhenti
bercakap-cakap sehingga menjelang senja mereka baru tiba di depan markas itu.
“Sebaiknya
tari-tarian dilakukan pada waktu malam hari, di dekat api unggun, barulah
tampak lebih indah dan meriah,” kata Gak Bun Beng.
“Baik, dan
memang sebaiknya demikian agar semua anak buah dapat ikut menonton karena sudah
bebas tugas,” berkata perwira itu yang mulai kelihatan kebaikan hatinya seperti
biasa.
“Sekarang
kalau kau tidak berkeberatan, ciangkun, harap suka menceritakan kepadaku
tentang keadaan di kota raja. Saya ingin membawa anak saya ke kota raja, akan
tetapi tentu saja hati saya tidak akan tenteram sebelum tahu bagaimana keadaan
di sana.”
Perwira itu
menggelengkan kepalanya. “Sebetulnya, perjalanan ke sana dari sini sudah tidak
akan terganggu oleh para pemberontak lagi karena belum lama ini telah dilakukan
operasi pembersihan besar-besaran. Akan tetapi, tentu saja kau harus
berhati-hati terhadap perampok dan orang jahat, saudara Gak.”
“Harap
ciangkun tidak usah khawatir. Kalau hanya menghadapi para perampok, kiranya
saya tidaklah percuma menjadi bekas anak buah Puteri Nirahai. Tetapi,
bagaimanakah keadaan kerajaan sendiri? Mengapa banyak timbul pemberontakan?
Kalau sekiranya memang perlu, biar pun sekarang sudah mulai tua, aku akan
menghadap panglima di kota raja untuk menjadi prajurit lagi, membela
pemerintah.”
Perwira itu
menggeleng-geleng kepala. “Memang kurang baik keadaannya. Karena itulah
Jenderal Kao Liang sendiri sibuk ke sana ke mari, mengadakan pengontrolan dan
perondaan sendiri, hanya dengan beberapa orang pembantu dan pengawalnya. Tentu
kau tahu, setelah sri baginda menjelang tua, biar pun tahta kerajaan sudah
ditentukan akan jatuh kepada Putera Mahkota Yung Ceng, tetap saja timbul
perebutan. Kabarnya banyak pangeran yang diam-diam melakukan pemberontakan
secara rahasia sehingga sukar diketahui mana yang setia kepada kerajaan dan
yang mana yang memberontak. Apa lagi akhir-akhir ini keadaan dibikin ramai dan
ribut lagi dengan adanya pertalian jodoh antara Puteri Kerajaan Bhutan dan
seorang pangeran.”
Perwira itu
agaknya senang bercerita, apa lagi melihat Syanti Dewi mendengarkan dengan
penuh perhatian sehingga mata yang indah itu jarang berkedip, pandangannya
seolah-olah bergantung kepada bibirnya yang sedang bercerita, bibir yang tebal
dan membiru karena terlalu banyak menghisap tembakau.
Disebutnya
Puteri Bhutan itu mengejutkan hati Gak Bun Beng dan karena dia ingin agar
perhatian perwira itu beralih dari wajah Syanti Dewi yang tentu saja lebih
kaget lagi, dia cepat berkata, “Mengapa pertalian jodoh saja dapat menimbulkan
ramai dan keributan, ciangkun?”
“Sebetulnya
pernikahan itu sendiri tidak akan menimbulkan ribut, bahkan merupakan peristiwa
yang menggembirakan. Kabarnya Puteri Bhutan itu cantik bukan main, seperti
bidadari...”
“Hemm, saya
pun sudah mendengar, bahkan melebihi bidadari,” kata Gak Bun Beng secara
kelakar untuk sekedar melenyapkan kekagetan Syanti Dewi. Dara itu menoleh
kepada ‘ayahnya’ dan tersenyum.
“Akan tetapi
di balik pernikahan itu tersembunyi maksud-maksud tertentu dari kedua pihak.
Pihak Bhutan tentu saja suka berbesan dengan kaisar kita, sebab ingin mendapat
perlindungan dari para pemberontak Tibet dan Mongol pimpinan Raja Muda
Tambolon. Sebaliknya, pihak kaisar juga ingin menaklukkan negara itu secara
halus melalui ikatan kekeluargaan tanpa perang. Namun maksud kaisar ini
mendapatkan tentangan dari banyak pangeran dengan bermacam-macam dalih, akan
tetapi saya kira dasarnya hanyalah karena tidak ingin melihat kedudukan kaisar
makin kuat dengan adanya banyak negara lain yang bersekutu! Maka kabarnya
terjadi bermacam-macam usaha untuk menggagalkan pernikahan itu, bahkan kabarnya
rombongan penjemput puteri yang dipimpin Panglima Tan Siong Khi telah diserbu,
dan puteri itu sendiri kabarnya lenyap ditawan pemberontak. Inilah sebabnya
mengapa Jenderal Kao Liang mengamuk dan menumpas para pemberontak di
perbatasan. Celakanya, ada kabar angin bahwa usaha itu sudah diatur dari kota
raja sendiri, oleh para pangeran yang secara rahasia memberontak.”
Kaget bukan
main hati Gak Bun Beng mendengar ini. Kiranya segala kekacauan itu bersumber
kepada perebutan kekuasaan di istana! Bagaimana dengan Milana?
“Lalu
bagaimana pula kabarnya sikap pangeran yang akan dikawinkan dengan Puteri
Bhutan?”
“Pangeran
Liong Khi Ong? Hemmm, tidak ada berita tentang dia, kelihatannya tenang-tenang
saja, bahkan belum lama ini dia pun ikut rombongan Jenderal Kao Liang meninjau
ke barat, akan tetapi lalu terpisah dan berpesiar menggunakan perahu melalui
sungai dikawal oleh pasukannya sendiri. Masih untung Puteri Bhutan yang seperti
bidadari itu tidak jadi menikah dengan pangeran itu!”
“Mengapa
demikian? Bukankah enak menikah dengan pangeran yang kedudukannya tinggi?”
Tiba-tiba Syanti Dewi bertanya, tidak dapat menahan hatinya lagi karena yang
dibicarakan itu sesungguhnya adalah dirinya sendiri.
Perwira
gendut memandang dan tersenyum menyeringai, senang hatinya mendengar dara itu
bertanya, “Menarik sekali ceritaku, ya?”
“Ceritamu
menarik dan hebat, tai-ciangkun,” jawab Syanti Dewi.
“Biar pun
andai kata engkau sendiri, nona, akan sengsara kalau menjadi isteri Pangeran
Liong Khi Ong.” Perwira itu berkata sambil mengurut kumisnya yang tebal.
“Pangeran itu terkenal sebagai seorang mata keranjang. Selain selirnya sangat
banyak, juga setiap malam dia harus berganti teman baru. Maka, andai kata
puteri itu pun menjadi isterinya, dalam beberapa hari saja tentu dia akan
disia-siakan begitu saja!”
“Ahhh...!”
Tentu saja berita ini membuat Syanti Dewi terkejut dan marah.
“Ceritamu
menarik sekali, ciangkun, terima kasih atas segala keterangannya. Dengan
ceritamu itu, saya malah ingin sekali segera tiba di kota raja untuk
mendaftarkan masuk prajurit lagi. Sekarang, hari sudah malam, mari kita mulai
dengan pertunjukan sebagai upah kebaikan ciangkun. Dan sebungkus obat ini
adalah obat yang amat manjur buat luka-luka, saya haturkan kepada ciangkun.”
“Terima
kasih, terima kasih.” Perwira itu menerima bungkusan obat, lalu mengantarkan
mereka keluar. Api unggun dipasang di pelataran yang luas itu, dan para
prajurit sudah berkumpul untuk menonton.
Gak Bun Beng
mengeluarkan sulingnya dan Syanti Dewi mengeluarkan selendang. Suling kemudian
ditiup, makin malam makin mengalun nyaring dan kemudian mulailah Syanti Dewi
menari dengan selendang merahnya. Gak Bun Beng meniup suling sambil duduk dan
matanya mengikuti gerakan Syanti Dewi, juga siap waspada melindungi dara itu,
sedangkan Syanti Dewi menari di dalam api unggun, membuat selendang itu tampak
seperti api bernyala dan wajah yang cantik itu kemerahan, amat cantik
jelitanya.
Ketika
melihat betapa dara itu tenggelam ke dalam tariannya dan menari dengan amat
indah, Gak Bun Beng cepat mengangkat sedikit jari penutup lubang sulingnya
sehingga suara sulingnya menjadi sumbang. Syanti Dewi terkejut mendengar suara
ini, teringat dan menengok ke arah Gak Bun Beng sambil tersenyum, lalu tangan
kanannya digerakkan secara kaku, sungguh pun tangan kirinya masih bergerak
halus dan lemas sekali. Makin sumbang suara suling, makin kaku gerakan Syanti
Dewi dan tak lama kemudian suara suling itu bunyinya seperti suling ular!
Tari-tarian dara itu pun makin kacau, akan tetapi karena hatinya geli, dia
tersenyum-senyum dan senyumnya inilah yang menyelimuti semua kejanggalan itu!
Seluruh penonton terpesona oleh senyumnya!
Setelah suara
suling berhenti dan Syanti Dewi juga menghentikan tariannya, terdengar tepuk
sorak riuh rendah diselingi permintaan agar dara itu melanjutkan
tari-tariannya. Gak Bun Beng maklum bahwa kalau dituruti para prajurit yang
sudah lama tinggal di asrama dan rata-rata ‘haus wanita’ itu keadaannya akan
menjadi runyam, apa lagi kalau Syanti Dewi secara tak sadar begitu banyak
mengobral senyumnya.
Selain itu,
si perwira gendut bisa saja nanti menuntut yang bukan-bukan. Keterangan yang
resmi dan jelas tentang keadaan di kota raja sudah didapat, dan itulah memang
sasaran utamanya. Setelah berhasil, perlu apa tinggal lebih lama lagi di tempat
ini? Bagi dia tidak apa-apa, akan tetapi bagi Syanti Dewi amat berbahaya. Juga
dia yakin kalau Jenderal Kao Liang tiba, tentu jenderal itu akan marah dan
mungkin akan menghukum si perwira gendut yang melalaikan tugas dan
bersenang-senang.
“Saudara
sekalian,” mendadak dia bangkit berdiri dan menghampiri Syanti Dewi yang masih
menerima sorak sorai itu sambil tersenyum dan membungkuk-bungkuk.
Suara
berisik berhenti dan semua orang hendak mendengarkan kata-kata ayah dara yang
penuh pesona itu. “Saudara-saudara sekalian, kami masih memiliki pertunjukan
yang menarik lagi, yaitu tarian bersama antara anakku dan aku sendiri, akan
tetapi harap Saudara sekalian suka duduk dan jangan berdiri agar yang berada di
belakang dapat menonton pula dengan senang.”
Semua orang
tertawa dan mulailah mereka duduk di atas tanah dengan hati senang karena
jarang terdapat hiburan seperti ini. Setelah melihat semua orang duduk, Gak Bun
Beng lalu meniup sulingnya sambil menggerakkan kedua kaki seperti orang menari.
Hal ini mengherankan Syanti Dewi. Dia tahu bahwa ‘ayahnya’ ini mempunyai suatu
niat tertentu, akan tetapi tidak tahu niat apa. Dia pun membantu dan mulai
menari lagi dengan indahnya.
Tiba-tiba
Gak Bun Beng berbisik sambil menghentikan sebentar tiupan sulingnya, “Kau nanti
naik ke punggungku!” lalu kembali menyuling, mengejapkan mata ke pada Syanti
Dewi agar mendekati dan mengikutinya. Gak Bun Beng melangkah makin ke pinggir,
kemudian secara tiba-tiba dia berbisik, “Hayo sekarang!”
Syanti Dewi
yang cerdik mengerti bahwa pendekar itu tentu akan membawanya lari tanpa
menimbulkan pertempuran, maka cepat dia meloncat ke punggung pendekar itu. Gak
Bun Beng mengeluarkan suara melengking nyaring sekali, tangan kirinya menahan
tubuh Syanti Dewi yang digendongnya di belakang punggung, tangan kanan memegang
suling dan tubuhnya sudah melesat seperti terbang saja melalui kepala
orang-orang yang duduk itu!
Semua orang
lalu bersorak, mengira bahwa ayah dan anak itu masih memperlihatkan pertunjukan
yang memang amat hebat dan menarik. Akan tetapi ketika kedua orang itu lenyap
ditelan kegelapan malam dan keadaan sunyi kembali, terdengar mereka
ribut-ribut.
“Ke mana
mereka?”
“Mereka
menghilang!”
“Wah, tentu
telah lari!”
“Mengapa
lari?”
“Mata-mata!
Mereka tentu mata-mata!”
Perwira
gendut itu memerintahkan semua anak buahnya untuk mencari dan mengejar, namun
sia-sia belaka karena Gak Bun Beng dan Syanti Dewi telah pergi jauh sekali jauh
dari markas itu dan sudah berjalan sambil tertawa-tawa.
“Paman,
mengapa kau harus mempergunakan akal untuk lari? Bukankah perwira itu baik
sekali dan kita tidak akan terganggu?”
“Hemmm,
belum tentu. Kalau hanya aku sendiri, pasti tidak ada gangguan. Akan tetapi ada
engkau, Dewi!”
Syanti Dewi
mengerti dan dia menghela napas panjang. “Sungguh tidak enak menjadi wanita...”
“Heh...?”
“Apa lagi
kalau masih muda...”
“Hemm...”
“Dan cantik
pula. Selalu menghadapi gangguan pria.”
“Tidak semua
pria, Dewi.”
“Tentu saja,
paman. Pria seperti paman tidak akan mengganggu wanita, akan tetapi ada berapa
gelintir orang seperti paman di dunia ini? Justeru itulah celakanya, pria
seperti paman tidak pernah mengganggu, dan yang mengganggu hanyalah laki-laki
ceriwis macam tikus yang menjemukan saja!”
Gak Bun Beng
tertawa karena kini dia melihat segi-segi lain yang mengagumkan hatinya dalam
diri gadis ini. Kalau tiba saatnya, gadis ini dapat pula bersikap jenaka dan
lucu, sungguh pun tidak selincah Milana misalnya. Dia terkejut, dan mengepal
tinjunya. Mengapa dia jadi teringat kepada Milana dan membanding-bandingkan
dengan dara ini?
“Paman,
kalau hanya ingin mendengar berita tentang kota raja, bertanya biasa pun bisa.
Mengapa paman harus menggunakan siasat penyamaran kemudian melarikan diri?”
“Ah, tidak
mudah, Dewi. Bertanya kepada orang biasa, tentu tidak tahu jelas. Bertanya
kepada mereka secara biasa, tentu menimbulkan kecurigaan dan selain tidak akan
memperoleh penuturan jelas, mungkin malah ditangkap dengan tuduhan mata-mata
yang melakukan penyelidikan.”
“Setelah
mendengar penuturan itu, aku makin tidak suka pergi ke kota raja, paman.”
“Hem, aku
mengerti. Akan tetapi kita harus ke sana lebih dulu, harus melihat sendiri
keadaannya. Bagaimana kalau si gendut tadi hanya membual saja?”
“Akan tetapi
aku tidak sudi menjadi isteri pangeran itu!” kata Syanti Dewi dengan tarikan
muka jijik dan mengkal hatinya.
“Habis
bagaimana?”
“Terserah
kepada paman saja, ke mana pun juga, selama hidupku. Aku suka menjadi apa saja,
murid, anak, keponakan, pelayan, atau... ah, apa saja terserah paman.”
“Hemm...
hemm...” Gak Bun Beng mengelus jenggotnya yang pendek.
“Kalau paman
keberatan, aku akan kembali ke Bhutan saja!”
Gak Bun Beng
menengok dan tersenyum melihat betapa kini gadis itu pun bisa memperlihatkan
sikap merajuk dan manja seperti biasanya kaum wanita.
“Kita ke
kota raja dulu dan nanti kita lihat bagaimana perkembangannya, Dewi.”
Berangkatlah
mereka melanjutkan perjalanan menuju ke timur. Di sepanjang perjalanan mulailah
Gak Bun Beng memberi pelajaran ilmu silat tinggi kepada Syanti Dewi.
“Coba kau
mainkan jurus-jurus pilihan dari gurumu, perwira Bhutan murid kakek adik
angkatmu itu.”
“Baik dan
aku mengharapkan petunjuk dan bimbingan paman.” Puteri itu lalu bergerak dan
bersilat, memilih jurus-jurus yang dianggapnya paling ampuh.
Kadang-kadang
Gak Bun Beng memandang penuh perhatian, menyuruhnya berhenti tiba-tiba dan
memperbaiki jurus itu, dan demikianlah, perlahan-lahan dia mengajarkan
dasar-dasar ilmu silat tinggi, dimasukkan dalam jurus-jurus yang telah dikenal
oleh puteri itu. Maka, dengan adanya pelajaran silat ini yang selalu dilatih
setiap kali ada kesempatan, perjalanan jauh itu tidaklah terasa melelahkan, apa
lagi memang ada daya tarik luar biasa yang mempesonakan hati masing-masing dari
teman seperjalanan itu.
Diam-diam Gak
Bun Beng membayangkan dengan hati khawatir apa yang telah terjadi di kerajaan.
Cerita dari perwira gendut itu hanya menggambarkan keadaan luarnya saja, namun
tidak menceritakan dengan jelas apa yang telah terjadi dan siapakah di antara
para pangeran yang merencanakan pemberontakan, siapa pula yang bersekutu dengan
orang-orang Mongol dan Tibet. Hal ini menggelisahkan hatinya, terutama kalau
dia teringat bahwa kini Milana tinggal di kota raja.
Dia sudah
mendengar berita bahwa Milana telah menikah. Walau pun tidak disengaja, berita
ini menghancurkan dan sekaligus mendinginkan hatinya. Dia tahu bahwa Milana
sangat mencintainya, dan tentu pernikahan itu atas desakan ayah dara itu,
Pendekar Super Sakti. Oleh sebab itu dia menerima nasib dan memang dialah yang meninggalkan
kekasihnya itu. Akan tetapi, kini mendengar tentang pergolakan di kota raja,
timbullah kekhawatirannya tentang diri kekasihnya itu.....
********************
Sebetulnya,
apakah yang sedang terjadi di istana Kaisar Kang Hsi? Agar lebih jelas, sebaiknya
secara singkat kita mempelajari keadaannya. Telah ditetapkan bahwa yang menjadi
Pangeran Mahkota adalah Pangeran Yung Ceng, yaitu seorang pangeran dari
permaisuri yang amat dikasihi kaisar. Tentu saja masih banyak para pangeran
yang lahir dari selir-selir kaisar, tetapi yang dicalonkan hanya Pangeran Yung
Ceng seorang.
Kaisar masih
mempunyai dua orang adik tiri, yaitu dua orang pangeran yang lahir dari selir
ayahnya, yaitu Pangeran Liong Bin Ong dan Pangeran Liong Khi Ong. Dua orang
pangeran tua inilah yang tidak setuju akan pengangkatan Pangeran Yung Ceng
sebagai pangeran mahkota karena mereka sudah tahu bahwa kelak mereka tidak akan
dapat mempermainkan pangeran ini yang tidak suka kepada kedua pamannya itu.
Maka diam-diam dua orang pangeran tua ini merencanakan pemberontakan secara
rahasia dan menghasut para pangeran lainnya.
Suatu hari,
seorang pangeran dari selir, yang sebaya dengan Pangeran Yung Ceng, bernama
Pangeran Yung Hwa, setelah mendengar akan kecantikan Puteri Bhutan lalu
mengajukan permohonan kepada ayahanda kaisar agar dapat menikah dengan puteri
terkenal itu. Kaisar merasa senang dan setuju dengan keinginan hati Pangeran
Yung Hwa ini.
Tetapi
seorang menteri setia, yaitu perdana menteri, yang sekaligus menjadi penasehat
kaisar, membisikkan kaisar bahwa kurang tepat kalau putera kaisar dijodohkan
dengan puteri sebuah negeri sekecil Bhutan! Pangeran Yung Hwa lebih patut
dijodohkan dengan puteri kerajaan yang lebih besar lagi sehingga kehormatan
kaisar tidak menurun.
Ada pun
Puteri Bhutan itu, untuk bisa menarik Bhutan negara kecil itu sebagai keluarga,
sebaiknya dilamar untuk dinikahkan dengan Pangeran Liong Khi Ong yang walau pun
sudah berusia lima puluh tahun, namun masih ‘perjaka’ dalam arti kata belum
memiliki isteri sah melainkan hanya berpuluh-puluh selir saja.
Perdana
menteri mengemukakan hal ini menurut perhitungannya yang bijaksana. Dia sendiri
tidak tahu akan pemberontakan rahasia yang diusahakan oleh Pangeran Liong Bin
Ong dan Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi dia tahu bahwa dua pangeran tua itu
diam-diam tidak menyukai pangeran mahkota, maka pemberian ‘hadiah’ ini
bertujuan pula untuk melunakkan hati Liong Khi Ong!
Kaisar yang
mendapat keterangan panjang lebar ini mengangguk-anggukkan kepalanya dan memuji
akan kecerdikan perdana menterinya, maka dia lalu menolak permintaan Yung Hwa
dengan alasan bahwa Yung Hwa akan dinikahkan dengan seorang Puteri Birma yang
lebih cantik dan lebih hebat lagi. Ada pun Puteri Bhutan lalu dipinang untuk
Pangeran Liong Khi Ong!
Justeru
kesempatan ini digunakan secara licin oleh dua orang pangeran pemberontak itu
untuk menggagalkan semua rencana, hanya dengan niat agar Bhutan malah menjadi
musuh Pemerintah Ceng dan kelak mudah saja mereka ajak bersekutu untuk melawan
pemerintah kakak mereka atau keponakan mereka sendiri.
Betapa pun
kedua orang pangeran itu merahasiakannya, namun tetap saja terasa oleh semua
orang suasana panas, suasana tidak enak yang meliputi istana. Apa lagi ketika
dikabarkan bahwa Pangeran Yung Hwa yang ‘patah hati’ itu lolos meninggalkan
istana tanpa pamit!
Dan
dikabarkan bahwa ada bentrok yang mulai terasa di antara perdana menteri dan
kedua orang pangeran tua. Suasana panas ini tidak langsung ditimbulkan oleh
mereka yang bersangkutan, melainkan oleh kaki tangan masing-masing dan mulailah
terjadi pelotot-mempelototi, sindir-menyindir antara pengawal masing-masing apa
bila bertemu di jalan raya di kota raja. Bahkan telah terjadi beberapa kali
bentrokan bersenjata, sungguh pun hanya kecil-kecilan dan secara bersembunyi.
Puteri
Milana yang juga merasakan suasana panas ini sesungguhnya sudah tidak lagi
tinggal di istana, melainkan tinggal di gedung suaminya yang menjadi perwira
tinggi dan pengawal istana. Dari suaminya, yang biar pun hubungan mereka
seperti saudara saja namun masih bersikap baik kepadanya, dia mendengar tentang
keadaan di istana.
Dengan hati
khawatir Milana mulai sering mengunjungi istana untuk mendengar-dengar dan
melakukan penyelidikan. Jiwa patriotnya tersentuh dan agaknya sifat
kepahlawanan ibunya menurun kepadanya. Dia menghadap kaisar yang menjadi
kakeknya itu, dengan terus terang menyatakan kekhawatirannya soal desas-desus
bahwa ada persekutuan pemberontak mengancam pemerintah.
Kakeknya
menertawakan cucunya ini, tetapi tidak melarang ketika Milana membentuk sebuah
pasukan pengawal khusus yang dipimpinnya sendiri untuk menyelidik dan untuk
membasmi pemberontak yang berani mengacau kota raja! Pendeknya dia mencontoh
ibunya, Puteri Nirahai, untuk menjaga keselamatan kota dan semua keluarga
kaisar!
Dengan
adanya pasukan istimewa inilah maka keadaan kota raja mulai agak tenang dan
keselamatan penghuninya terjamin. Dua orang pangeran tua itu lebih
berhati-hati, tidak berani melakukan tindakan terlalu menyolok karena mereka
pun maklum betapa lihainya cucu keponakan mereka, Puteri Milana.
***************
Demikianlah
sedikit gambaran keadaan kota raja, dan sudahlah sepatutnya kalau Gak Bun Beng
merasa gelisah karena memang dia sedang menuju ke tempat yang amat gawat, yang
setiap saat dapat meletus menjadi perang pemberontakan yang dahsyat. Namun,
tujuan yang utama Gak Bun Beng bukanlah untuk menyelidiki kota raja atau untuk
melihat keselamatan Milana, melainkan untuk mengantar Syanti Dewi. Andai kata
tidak ada Puteri Bhutan ini yang ditolongnya, kiranya mendengar apa pun tentang
kota raja dan istana, tidak akan menggerakkan hatinya untuk mengunjungi tempat
itu.
Di sepanjang
perjalanan, semakin dekat dengan kota raja semakin tampaklah suasana
pertentangan. Bahkan di antara rakyat sendiri, ada yang pro dan ada yang anti
kepada kaisar dan putera mahkota. Hal ini lumrah karena rakyat, betapa pun juga
menyadari bahwa pemerintah yang sekarang adalah pemerintah penjajah yang
bagaimana pun tidak bisa mendapatkan dukungan sepenuhnya dari lubuk hati
mereka.
Syanti Dewi
memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silat. Gak Bun Beng tak tanggung-tanggung
mengajarkan rahasia-rahasia ilmu silat tinggi, bahkan dia telah mengoperkan
hawa sinkang gabungan Swat-im-sinkang (Tenaga Inti Salju) dan Hui-yang-sinkang
(Tenaga Inti Api) yang amat mukjijat dari dalam tubuhnya ke dalam tubuh dara
itu.
Sampai
pingsan Syanti Dewi menerima tenaga dahsyat ini, dan bagi Gak Bun Beng sendiri,
pengoperan tenaga sinkang ini membuat dia selama tiga hari tiga malam harus
berdiam diri mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya. Dengan
memiliki dasar tenaga sinkang gabungan ini, biar pun ilmu silat yang dimainkan
oleh Syanti Dewi masih sama dengan beberapa bulan yang lalu, akan tetapi
kelihaiannya naik menjadi sepuluh kali lipat! Juga, biar pun dalam waktu
singkat itu dia hanya menerima jurus-jurus baru yang tidak lebih dari belasan
macam saja banyaknya, namun jurus-jurus ini sudah cukup untuk dipergunakan
melindungi diri dari ancaman lawan yang amat kuat pun!
Mereka sudah
menyeberangi Sungai Huang-ho dan tiba di kota Ban-jun di sebelah barat kota
raja. Hari sudah siang ketika mereka memasuki kota itu dan karena kota raja
sudah dekat dan mereka telah melakukan perjalanan yang melelahkan sekali, Gak
Bun Beng mencari sebuah rumah penginapan.
Akan tetapi
baru saja mereka sampai di jalan perempatan, mendadak terdengar suara
hiruk-pikuk dan tampak dari jauh mendatangi sebuah kereta yang ditarik oleh dua
ekor kuda besar dan dikusiri oleh seorang yang berpakaian tentara dan yang
memegang golok. Dari simpangan yang lain tampak belasan orang yang juga
berpakaian tentara, dipimpin oleh seorang perwira dan mereka ini membalapkan
kuda mengejar kereta itu! Kemudian betapa kagetnya hati Gak Bun Beng dan Syanti
Dewi ketika melihat anak panah berapi menyambar ke arah kereta dan dalam
sekejap saja kereta itu terbakar!
“Ohhh...!”
Syanti Dewi berseru, seruannya kabur di dalam seruan-seruan semua orang yang
melihat peristiwa itu dan yang segera lari cerai berai bersembunyi di
balik-balik rumah penduduk.
“Kita harus
menolong penumpang...!” kata pula puteri ini.
Gak Bun Beng
memegang tangan dara itu, mencegahnya bertindak lancang. Dia masih tidak tahu
siapa penumpang kereta, siapa pula yang mengejar dan melepaskan anak panah
berapi itu. Sementara itu, perwira yang memimpin belasan orang prajurit sudah
tiba di situ. Kusir kereta itu bangkit berdiri dan berusaha melawan dengan
goloknya, akan tetapi karena di belakangnya ada api berkobar, dan gerakan
perwira itu tangkas sekali, ketika kuda perwira itu loncat mendekat dan pedang
perwira itu menyambar, robohlah kusir itu dari atas kereta, terjungkal di atas
tanah jalan sedangkan dua ekor kuda yang panik karena ‘dikejar’ api di belakang
mereka itu, terus membalap sambil meringkik-ringkik.
Kini Gak Bun
Beng tidak dapat tinggal diam lagi. Apa dan siapa pun yang bermusuhan, kusir
itu tewas dan penumpang kereta terancam maut. Dia harus menolongnya dulu dan
baru kemudian mendengar urusannya. Bagaikan kilat tubuhnya melesat berkelebat
dan angin menyambar dan pendekar itu telah lenyap. Syanti Dewi kagum bukan
main, akan tetapi juga khawatir ketika melihat bayangan Gak Bun Beng melesat ke
dalam kereta yang terbakar. Akan tetapi hatinya lega ketika melihat pendekar
itu melesat ke luar lagi memondong seorang pemuda yang terluka ringan di
pahanya.
“Keparat,
berani engkau mencampuri urusan kami?” Perwira itu bersama belasan orang
prajuritnya sudah menerjang maju kepada Gak Bun Beng yang menurunkan pemuda itu
di tepi jalan dekat Syanti Dewi.
“Hemmm, kalian
terlalu kejam!” Gak Bun Beng berkata lalu menerjang ke depan karena dia tidak
ingin pemuda itu diserang. “Dewi, lindungi dia!” katanya dan begitu perwira itu
sudah dekat, dia menyambut pedang yang menusuknya dengan sentilan jari
tangannya.
“Tringg... krekkk!”
Pedang itu patah menjadi dua!
Gak Bun Beng
lalu berkelebat di antara mereka, dan ke mana pun dia berkelebat, tentu senjata
seorang prajurit penunggang kuda patah atau terlempar. Dua orang prajurit
menghampiri pemuda yang terluka itu dengan golok terangkat, akan tetapi Syanti
Dewi yang sudah siap dengan dua buah batu sebesar kepalan tangannya,
menggerakkan tangan kanan dua kali. Terdengar teriakan mengaduh dan dua batang
golok terlepas dari tangan yang disambar batu itu.
“Mundur...!
Pergi...!” Perwira itu memberi aba-aba. Pasukan kecilnya yang telah ‘dilucuti’
senjatanya itu tidak menanti perintah kedua, terus membalikkan kuda dan
terjadilah lomba balap kuda yang ramai, meninggalkan debu mengebul tinggi.
Gak Bun Beng
menarik napas panjang. Hatinya lega bahwa urusan itu bisa diselesaikan
sedemikian mudahnya. Namun betapa kagetnya ketika dia menoleh ke tempat Syanti
Dewi berada, dia hanya melihat dara ini saja sedangkan pemuda yang terluka
ringan dan hampir mati terbakar dalam kereta tadi tidak tampak lagi. Cepat dia
menghampiri Syanti Dewi.
“Apa yang
terjadi? Mana dia?”
“Dia telah
pergi, paman. Dia hanya menanyakan nama paman, kemudian mengatakan bahwa dia
berterima kasih sekali, bahwa selama hidupnya dia tidak akan melupakan budi
paman.”
“Dalam keadaan
terluka itu dia pergi?”
Syanti Dewi
mengangguk. “Dia tidak mau ditahan, agaknya tergesa-gesa sekali. Dan dia hanya
menyatakan bahwa namanya adalah Yung Hwa.”
“Hemm...
sungguh aneh sekali. Mari kita pergi dari kota ini, Syanti Dewi, aku tidak mau
menjadi perhatian orang.”
Memang pada
saat itu orang-orang sudah mulai berkumpul dan menghampirinya sambil
membicarakan kegagahannya saat menolong penumpang kereta dan melawan belasan
orang pasukan tadi. Akan tetapi sebelum ada yang sempat bertanya, Gak Bun Beng
sudah menggandeng tangan Syanti Dewi dan cepat-cepat meninggalkan kota itu,
tidak menengok ketika mendengar ada orang-orang menegur dan memanggilnya
menyuruh berhenti. Tentu saja orang-orang itu hanya melongo, dan laki-laki
perkasa itu tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang memang selalu
bersikap dan berwatak aneh.
Peristiwa
itu menambah dorongan bagi Gak Bun Beng dan Syanti Dewi untuk cepat menuju ke
kota raja. Mereka dapat menduga bahwa tentu bentrokan yang terjadi itu ada
hubungannya dengan kerusuhan di kota raja. Sama sekali Gak Bun Beng tidak
menyangka bahwa yang ditolongnya itu adalah salah seorang putera kaisar
sendiri! Dia adalah Pangeran Yung Hwa, adik Pangeran Mahkota Yung Ceng.
Pangeran
Yung Hwa itulah tadi yang tergila-gila mendengar kecantikan Syanti Dewi dan
ingin menikah dengan puteri itu. Tentu saja Gak Bun Beng dan Syanti Dewi tidak
tahu sama sekali akan urusan itu, juga bagi pangeran muda yang tampan itu, sama
sekali tidak pernah mimpi bahwa puteri yang membuatnya tergila-gila itu pernah
berdiri di depannya, bahkan sudah menolongnya dengan merobohkan dua
penyerangnya dengan sambitan batu, pernah dia bercakap-cakap dengan puteri itu!
Tentu saja
dia hanya mengira bahwa wanita muda yang menolongnya itu hanyalah seorang dara
kang-ouw yang lihai saja. Juga dia masih terlalu muda untuk mendengar nama Gak
Bun Beng yang hanya dikenal oleh golongan yang lebih tua karena selama belasan
tahun ini nama Gak Bun Beng tidak pernah disebut-sebut orang lagi, apa lagi
memang orangnya telah menghilang tanpa meninggalkan jejak.
Dengan cepat
Gak Bun Beng melanjutkan perjalanan karena dia ingin cepat-cepat melihat
keadaan kota raja. Apa lagi ketika di sepanjang jalan setelah makin dekat kota
raja dia melihat banyaknya pasukan-pasukan kecil yang hilir mudik dan kelihatan
sibuk sekali.
Kelihatannya
memang amat gawat keadaannya. Di sepanjang jalan dia terus mencari keterangan,
tapi para penduduk juga hanya mengetahui sedikit sekali tentang keadaan
sedalam-dalamnya dari kota raja yang diliputi penuh rahasia itu, hanya
mengatakan bahwa di sekitar kota raja muncul banyak orang-orang aneh dan lihai,
seolah-olah semua tokoh kang-ouw dan para datuk kaum sesat muncul dari tempat
pertapaan mereka, semua orang sakti turun dari pegunungan dan semua iblis
keluar dari neraka!
Dan bahwa
sekarang sering sekali tampak perondaan pasukan tentara dari kota raja dan
banyak terjadi pertempuran, bahkan antara pasukan dengan pasukan lain sehingga
membingungkan dan mendatangkan rasa takut kepada rakyat jelata.
Beberapa
hari kemudian, tibalah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi di depan pintu gerbang kota
raja sebelah barat. Di depan pintu gerbang ini, Gak Bun Beng berhenti dan
termenung dengan muka berubah pucat. Terbayanglah olehnya semua pengalamannya
belasan tahun yang lalu dan jantungnya berdebar tegang ketika teringat bahwa di
dalam lingkungan tembok kota raja inilah adanya wanita yang pernah dan masih
dicintanya. Puteri Milana!
Pintu
gerbang itu terbuka lebar dan terjaga oleh sepasukan penjaga yang bersenjata
lengkap dan yang memandangi orang-orang yang lalu lalang dengan sinar mata
tajam penuh selidik. Kalau ada orang yang kelihatan mencurigakan, tentu akan
dipanggil dan diperiksa.
Akan tetapi
keadaan Gak Bun Beng dan Syanti Dewi sama sekali tidak mencurigakan. Wajah Gak
Bun Beng bukanlah wajah yang menyeramkan, bahkan seperti seorang petani biasa
saja yang tampan, sedangkan biar pun wajah Syanti Dewi mempunyai kecantikan
yang khas, namun kecantikannya yang mirip kecantikan wanita Mancu ini malah
menyelamatkannya dari kecurigaan para penjaga. Apa lagi karena kulit mukanya
sudah agak gelap terbakar sinar matahari selama berpekan-pekan, dia mirip
seorang gadis dusun biasa saja sungguh pun amat manisnya.
“Paman,
hayo, kita masuk. Mengapa paman berdiri saja di sini?” Syanti Dewi menegur dan
menarik tangan pendekar itu.
“Ahh...
eh... benar kau... mari...” kata Gak Bun Beng, suaranya agak parau dan gemetar.
“Paman,
engkau kenapakah? Mukamu pucat sekali seperti orang sakit.”
“Sakit?
Siapa...? Aku sakit? Ah, tidak...!” jawab Gak Bun Beng, namun kedua kakinya
tersaruk-saruk seolah-olah tubuhnya menjadi lemah kehabisan tenaga.
“Agaknya kau
sedang masuk angin, paman. Biar kubawakan buntalan itu.” Syanti Dewi mengambil
buntalan dari tangan Gak Bun Beng dan memandang pamannya itu penuh
kekhawatiran.
Ternyata Gak
Bun Beng memang sedang menderita tekanan batin yang hebat. Tidak hanya dia
teringat akan segala peristiwa belasan tahun lalu, yang mendatangkan rasa duka,
terharu, dan khawatir, akan tetapi kemudian dia teringat bahwa mereka telah
tiba di tempat tujuan! Ini berarti bahwa dia akan segera berpisah dari Syanti
Dewi.
Kenyataan
ini merupakan palu godam yang menghantam perasaan hatinya dan lebih parah lagi
karena dia mendapat kenyataan betapa berat rasa hatinya untuk berpisah dari
samping gadis ini! Kesadaran akan hal inilah yang benar-benar menghimpit
hatinya. Mengapa jadi demikian? Mengapa dia menjadi berat berpisah dari samping
gadis ini?
Biar pun
Syanti Dewi sudah mengatakan akan suka ikut selamanya dengan dia, namun dia
bukanlah seorang laki-laki yang mempergunakan kelemahan seorang gadis untuk
menyenangkan diri sendiri. Tidak! Apa akan jadinya dengan Syanti Dewi, puteri
Raja Bhutan, gadis bangsawan tinggi yang biasa hidup mulia itu apa bila ikut
dengan dia? Menjadi seorang perantau yang tidak menentu makan, pakaian dan
rumahnya? Tidak! Tidak! Tentu, saja dia tidak bisa menceritakan kepada Syanti
Dewi bahwa bayangan perpisahan itulah yang amat memberatkan hatinya, yang
memukul batinnya, di samping bayangan pertemuannya dengan Milana!
Mereka
melewati pintu gerbang dengan aman. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan
serombongan pasukan masuk melalui pintu gerbang itu. Syanti Dewi masih memandang
pamannya yang menunduk saja.
“Lakukan
pengawasan ketat dan jangan lupa, kalau dua iblis itu berani muncul di sini,
cepat laporkan padaku!”
Suara
bisikan yang tidak terdengar oleh orang lain karena diucapkan perlahan dan dari
jarak jauh itu masih dapat ditangkap oleh pendengaran Gak Bun Beng, dan ada
sesuatu dalam suara itu yang membuatnya terkejut dan cepat dia menoleh ke kiri.
Seketika mukanya menjadi semakin pucat bagaikan mayat, matanya terbelalak dan
mulutnya ternganga, kedua tangan dikepal dan dia tak bergerak seperti arca.
Matanya
memandang seperti orang yang hilang ingatan kepada seorang wanita cantik jelita
dan gagah perkasa yang menunggang kuda besar dan berada di depan pasukan
berkuda itu dan wanita inilah yang tadi bicara kepada perwira di sampingnya.
Wanita itu usianya kurang lebih tiga puluh tujuh tahun, tubuhnya masih padat
dan tinggi semampai, menunggang kuda dengan tegak. Tubuhnya tertutup mantel
putih, rambutnya disanggul tinggi-tinggi dan yang membuat Gak Bun Beng hampir
pingsan adalah wajah yang cantik itu kelihatan begitu kurus, begitu muram
kehilangan cahayanya yang dahulu selalu berpancar dari wajah Milana!
Hatinya
menjerit. “Milana...!” akan tetapi mulutnya tidak mengeluarkan suara apa-apa.
Syanti Dewi
terkejut bukan main. Dia cepat menengok dan dia pun melihat wanita yang
menunggang kuda itu. Segera rombongan itu lewat dan lenyap. Dia menoleh kembali
kepada pamannya yang keadaannya masih payah. Kini Gak Bun Beng menggigit bibir
bawahnya, alisnya berkerut dan bibirnya berbisik-bisik tanpa suara.
“Paman...!
Ada apakah...? Paman...!”
Gak Bun Beng
terhuyung dan cepat tangannya ditangkap oleh Syanti Dewi, kemudian dia menuntun
pendekar itu ke pinggir jalan, terus diajaknya berjalan ke tempat yang sunyi.
Tak jauh dari situ tampaklah huruf-huruf besar yang menyatakan bahwa di situ
terdapat sebuah rumah penginapan.
“Paman, kita
beristirahat di penginapan itu, ya?”
Gak Bun Beng
hanya mengangguk dan memejamkan matanya. Syanti Dewi berkhawatir sekali. Dengan
hati-hati dia menuntun Gak Bun Beng ke rumah penginapan itu dan minta
disediakan sebuah kamar. Melihat gadis itu menuntun laki-laki yang kelihatannya
menderita sakit, pelayan cepat menyediakan kamar dan Syanti Dewi segera
menuntun Gak Bun Beng memasuki kamar.
Gak Bun Beng
melempar tubuhnya ke atas pembaringan dan rebah telentang dengan muka tetap
pucat. Dia menderita pukulan batin yang amat hebat. Bermacam-macam perasaan
mengaduk hatinya, terutama sekali perasaan terharu melihat betapa Milana kini
telah berubah menjadi sekurus dan sepucat itu.
“Aku
menyiksanya... aku menyiksa batinnya... ahhh, aku menyiksanya...,” demikian
jerit hati Gak Bun Beng dan dia memejamkan matanya.
Syanti Dewi
duduk di pinggir pembaringan dan dipegangnya dahi pendekar itu. Panas! “Aih,
kau panas sekali, paman. Kau sakit! Kau demam...”
Gak Bun Beng
membuka matanya, memandang Syanti Dewi sekejap, kemudian segera memejamkannya
kembali. Dia menggeleng kepala dan berkata lemah, “Tidak apa-apa, Dewi...
sebentar juga sembuh... tidak apa-apa...”
“Paman,
ahhh, paman, aku khawatir sekali. Kau tadi begitu pucat seperti mayat setelah
melihat wanita itu! Siapakah wanita cantik dan gagah yang menunggang kuda itu
tadi, paman?”
“Milana...
dialah Milana...!” Ketika mengucapkan nama ini, seakan-akan hatinya menjerit
memanggil nama kekasihnya. “Milana...!”
Mendengar
nama ini, Syanti Dewi terkejut. “Sang Puteri Milana...?”
Gak Bun Beng
mengangguk lagi dan memejamkan matanya.
Syanti Dewi
mengulang nama itu dan memandang penolongnya penuh selidik, lalu dia mengangguk-angguk.
Digenggamnya tangan pendekar itu ketika dia berkata, “Maafkan kelancanganku,
ya, paman? Diakah wanita yang yang paman cinta? Sang Puteri Milana itu?”
Sejenak Gak
Bun Beng tak menjawab, bibirnya menggigil, matanya terpejam, kemudian dia mengangguk.
“Aihhhhh...!”
Syanti Dewi tertegun, sama sekali tidak menduga bahwa penolongnya ini mempunyai
hubungan cinta kasih dengan cucu kaisar sendiri!
Diam-diam
dia mengakui bahwa memang patutlah kalau penolongnya ini mencinta wanita itu,
karena memang wanita tadi itu hebat. Begitu cantik, begitu gagah dan begitu
agung! Akan tetapi, mengapa wanita itu tidak menahan kepergian pendekar ini?
Apakah cinta kasih wanita itu kurang mendalam? Kasihan pendekar ini, sampai
sekarang masih menderita hebat karena cinta kasihnya terputus!
“Kalau
begitu, antarkan aku kepadanya, paman. Atau aku mencari sendiri, aku akan
menghadapnya dan akan kutegur dia, akan kukatakan betapa dia telah membuat
hidupmu sengsara, betapa dia telah berlaku kejam terhadapmu, betapa dia sepatutnya
harus...”
“Hush...!
Jangan berkata begitu, Dewi. Akulah yang meninggalkannya. Cintaku padanya
sedemikian mendalam sehingga aku tidak mau karena menikah denganku dia akan
sengsara. Lihat, dia begitu agung, seorang puteri Istana! Cucu kaisar dan puteri
Majikan Pulau Es, seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Super Sakti!
Sedangkan aku... ah, riwayatku hanya memalukan untuk dibicarakan, seorang
rendah, miskin dan...”
“Dan
semulia-mulianya orang, yang tak dapat melihat ini tentu matanya buta!” Syanti
Dewi melanjutkan.
“Tidak,
Syanti Dewi. Kau tidak mengerti. Aku rela memutuskan hubungan kami, dan aku
rela menderita kalau dia berbahagia. Karena itu, aku pun tak pernah menampakkan
diri. Sekarang karena terpaksa aku berada di sini dan... dan melihat dia...
ahh, Dewi, apakah kau tidak melihat bagaimana wajahnya tadi?”
“Cantik dan
agung, paman. Tetapi... hemm, memang kurus dan pucat, agak murung...”
“Dia
menderita, Dewi. Aku mengenal benar wajahnya. Dia menderita, dan semua itu
karena aku... ohhh...” Gak Bun Beng memejamkan mata erat-erat, mulutnya
terkancing.
“Paman...!
Paman...!” Syanti Dewi menjerit dan karena jeritannya itu pelayan tadi berlari
masuk. Melihat betapa orang yang dipanggil ‘paman’ oleh gadis itu pingsan dan
kaku ia pun ikut menjadi bingung sekali.
“Lekas...
ohhh, lekas panggilkan tabib...!” Syanti Dewi memohon dan pelayan itu lalu lari
keluar untuk memanggil ahli pengobatan yang kebetulan toko obatnya tidak begitu
jauh dari situ.
Syanti Dewi
sendiri cepat membuka baju Gak Bun Beng, lalu dia meletakkan telapak tangannya
di dada pendekar itu dan mati-matian mengerahkan sinkang yang diajarkan oleh
Gak Bun Beng. Napasnya sendiri sampai terengah-engah, wajahnya pucat, akan
tetapi dia nekat terus menyalurkan sinkang.
Akhirnya Gak
Bun Beng sadar. Cepat dia menangkap tangan Syanti Dewi dan berkata, “Anak
bodoh...! Lekas kau bersila dan atur napasmu baik-baik!”
Syanti Dewi
girang sekali melihat penolongnya sudah siuman, maka dia menurut dan bersila.
Sekarang Gak Bun Beng yang membantunya dengan menempelkan telapak tangannya ke
punggung dara itu. Syanti Dewi sehat dan pulih kembali tenaganya, akan tetapi
keadaan Gak Bun Beng makin lemah.
“Ahhh,
gejolak batin yang belasan tahun kutekan, dalam hari ini terbebas dari tekanan
sehingga seolah-olah api dalam sekam, kini menyala, atau seperti air dibendung,
kini pecah bendungannya. Mana aku kuat menahan? Tapi jangan khawatir, Dewi, aku
sudah sadar sekarang, hanya tinggal lemas. Tubuhku lemah sekali dan perlu
beristirahat agak lama. Kita tunda saja pergi menghadap dia...”
“Menghadap
Puteri Milana? Tak perlu kau terlalu banyak memikirkan urusanku, paman. Kalau
kau menghendaki menghadap kapan saja pun boleh. Kalau tidak pun, aku juga tidak
ingin masuk istana. Yang paling perlu kau harus berobat sampai sembuh.”
Pelayan
datang bersama sinshe ahli obat. Setelah memeriksa nadi dan mendengarkan dada,
sinshe tua itu mengangguk-angguk. “Orang muda, jangan terlalu banyak pikiran.
Memang sedang masanya dunia kacau dan ribut-ribut, akan tetapi bukan kita
sendiri yang merasakannya, melainkan orang sedunia. Perlu apa gelisah dan
berduka? Tenang dan bergembiralah dan tanpa obat pun kau akan sembuh. Akan
tetapi perlu kuberi obat untuk menjaga jantungmu.”
Setelah
membuat resep dan menerima uang biaya dari Syanti Dewi, sinshe itu lalu pergi
dan si pelayan cepat membelikan obat dari resep itu. Sambil memasak obat di
dalam kamar, Syanti Dewi memperhatikan dan menjaga Gak Bun Beng yang masih
rebah telentang.
“Sinshe itu
memang pandai...” kata Gak Bun Beng. “Sungguh pun dugaannya keliru, namun sifat
penderitaanku dia tahu semua. Dan dia menyebutku orang muda, betapa lucunya!”
Biar pun
suara Gak Bun Beng masih gemetar dan lemah, membuat Syanti Dewi terharu dan
khawatir, namun teringat akan nasehat sinshe tadi Syanti Dewi berkata dengan
tertawa dan suaranya gembira, “Hi-hik, paman. Apanya yang lucu? Memang kau
masih muda, malah engkau masih... perjaka lagi, hi-hi-hik!”
Gak Bun Beng
coba untuk tersenyum. “Bagaimana kau tahu?” Memang sesungguhnya, Gak Bun Beng
yang sudah berusia empat puluh tahun itu masih perjaka, belum pernah dia mengadakan
hubungan badani dengan wanita!
“Tentu saja
tahu! Bukankah engkau tak pernah kawin? Itu berarti masih perjaka!”
Gak Bun Beng
tak menjawab. Dia terharu sekali karena dia tahu bahwa sebetulnya hati dara itu
gelisah memikirkan bagaimana nanti kalau dia ditinggal di istana, memikirkan
sakitnya. Namun gadis itu sengaja memaksa diri bergembira dan mengajak
berkelakar agar dia lekas sembuh. Betapa luhur budi dara ini!
Dengan penuh
ketekunan Syanti Dewi merawat Gak Bun Beng, memberinya minum obat, bahkan menyuapi
Gak Bun Beng ketika makan bubur, tetap tak membolehkan pendekar itu bangkit dan
makan sendiri. Akhirnya, dengan hati diliputi penuh keharuan, Gak Bun Beng
tertidur nyenyak.
Sore
harinya, melihat Gak Bun Beng masih tidur terus, hati Syanti Dewi menjadi tidak
enak. Bagaimana kalau terus tidur dan tidak akan bangun kembali? Membayangkan
pendekar itu ‘mati’ Syanti Dewi menjadi panik. Kacau hatinya, maka dia lalu
bertanya kepada pelayan dan menuju ke rumah obat menemui sinshe tadi,
memberitahukan bahwa obat telah diminumkan dan menanyakan mengapa setelah minum
obat lalu tertidur terus sejak tadi sampai sekarang.
“Bagus,
bagus...!” Sinshe itu mengangguk-angguk. “Jangan ganggu dia. Makin banyak tidur
makin baik. Dia gelisah dan berduka. Tidur, istirahat, dan bergembira adalah
obat yang paling mujarab.”
Legalah hati
Syanti Dewi dan dengan hati dan langkah ringan dia kembali ke rumah penginapan.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat keributan terjadi di rumah
penginapan itu. Dua orang kakek yang aneh sekali telah berada di ruangan depan
penginapan dan berhadapan dengan lima orang pelayan. Karena mereka itu
ribut-ribut tepat di depan pintu kamar Gak Bun Beng, maka Syanti Dewi jadi
terhalang tak dapat masuk dan dia menjadi khawatir sekali.
Sejenak dia
memandang dengan penuh keheranan dan kengerian. Kedua orang kakek itu memang
luar biasa sekali. Wajah keduanya persis sehingga mudah diduga tentu mereka
adalah orang-orang kembar. Akan tetapi pakaian mereka berbeda jauh, seperti
bumi dengan langit. Yang seorang bermuka merah, tubuhnya hanya tertutup oleh
sebuah celana pendek sehingga dari pinggang ke atas dan dari paha ke bawah sama
sekali telanjang, memakai sepatu pun tidak!
Adapun kakek
yang kedua, mukanya putih, pakaiannya lengkap, terlalu lengkap malah, karena di
luar pakaiannya dia memakai mantel bulu tebal, seolah-olah dia selalu merasa
dingin sedangkan yang seorang seolah-olah kegerahan terus! Dua kakek ini lagi
marah-marah.
“Kami juga
mampu bayar, mengapa kami tidak boleh memakai kamar ini?” bentak yang bermantel
bulu.
“Maaf, loya.
Kamar ini sudah ada tamunya, bahkan kini sedang sakit. Harap ji-wi suka memakai
kamar yang berada di dalam atau di belakang.”
“Tidak! Kami
memerlukan kamar paling depan! Hayo suruh si sakit itu keluar dan pindah ke
belakang. Kami berani bayar tiga kali lipat!”
“Tapi,
loya...”
“Heh-heh,
kamu minta mampus?” Tiba-tiba yang setengah telanjang itu membentak sambil
terkekeh, tangannya menepuk meja di sebelahnya dan... permukaan meja itu
menjadi hangus seperti dibakar!
Para pelayan
terkejut sekali dan tidak berani bicara lagi, sedangkan Syanti Dewi yang
menyaksikan demonstrasi tadi juga terkejut. Mengertilah dia bahwa kakek
setengah telanjang itu memiliki sinkang yang amat hebat sehingga mampu membakar
meja! Dia lalu menyelinap dari samping, mendorong daun jendela kamar Gak Bun
Beng.
Akan tetapi
dia melihat pendekar itu sudah bangkit dan duduk, dan ketika melihat Syanti
Dewi, dia berkata, “Biarlah kubereskan urusan di luar.”
“Jangan,
paman... mereka... mereka lihai sekali...”
Tentu saja
kata-kata ini hanya disambut dengan senyum saja oleh Gak Bun Beng dan dia lalu
turun dari pembaringan, terhuyung dan membuka pintu kamarnya. Melihat dua orang
kakek itu menghadapi lima orang pelayan yang ketakutan, Gak Bun Beng lalu
mengerutkan alisnya dan berkata, “Andai kata ji-wi sedang sakit dan aku yang
sehat, tentu dengan senang hati aku mengalah dan memberikan kamar ini untuk
ji-wi. Akan tetapi karena keadaan kita sebaliknya, sungguh tidak patut kalau
ji-wi hendak memaksa para pelayan. Harap saja ji-wi suka memandang aku yang
sedang sakit dan bersedia untuk mengambil kamar di dalam saja.”
“Heh-heh-heh-heh,
apa kau juga ingin mampus?” Kembali kakek setengah telanjang berkata dan dia
menggunakan telapak tangannya mendorong meja tadi dan... seketika keempat kaki
meja itu amblas ke dalam lantai yang keras, seolah-olah lantai itu terbuat dari
agar-agar saja!
Melihat ini
Gak Bun Beng mengerutkan alisnya. “Hemm, kau memang hebat, akan tetapi berwatak
buruk sekali!”
Gak Bun Beng
melangkah maju dan sekali kakinya dihempaskan ke lantai, meja yang kakinya
amblas tadi mencelat ke atas sampai ada setengah meter dari lantai!
Dua orang
kakek itu terkejut sekali, saling pandang, kemudian menghadapi Gak Bun Beng.
“Bagus, engkau merupakan lawan yang boleh juga! Kau menantang kami, ya?”
Serta merta
kakek bermantel tebal itu menghantam ke depan dengan telapak tangan kanan.
Mendengar sambaran angin ini dan merasakan betapa ada hawa yang amat dingin
datang menyambarnya, Gak Bun Beng terkejut dan maklumlah dia bahwa kakek ini
adalah seorang ahli Im-kang, maka dia pun cepat menyambut dengan telapak tangan
kiri.
“Plakkk!”
Pada saat
itu kakek setengah telanjang juga sudah menghantam dengan telapak tangan
terbuka pula, dan Gak Bun Beng merasa betapa hawa yang menyambarnya amatlah
panasnya. Maka dia pun menyambut dengan tangan kanannya.
“Plakk!”
Dua orang
kakek ini terkejut dan berseru, “Aughhh...!” dan muka mereka menjadi pucat.
Tentu saja
kedua orang kakek itu tidak mengenal siapa yang mereka serang. Kakek kembar ini
pernah kita jumpai, yaitu ketika mereka bersama kawan-kawannya yang semua
berjumlah dua puluh orang menyerbu ke Pulau Es dan dapat dihalau pergi oleh
Pendekar Super Sakti, dua orang isteri dan dua orang puteranya. Si muka putih
yang selalu bermantel itu adalah Pak-thian Lo-mo sedangkan si muka merah yang
setengah telanjang itu adalah Lam-thian Lo-mo.
Kedua kakek
kembar ini memang memiliki keistimewaan masing-masing. Kalau si baju tebal itu
seorang ahli tnaga sakti Im-kang yang selalu kedinginan adalah si setengah
telanjang itu seorang ahli Yang-kang yang selalu kepanasan. Akan tetapi, sekali
ini mereka bertemu dengan Gak Bun Beng, seorang ahli dalam tenaga sinkang Inti
Salju dan Inti Api, maka dengan sendirinya dia berani menghadapi pukulan panas
dengan hawa yang lebih panas sedangkan pukulan dingin dia hadapi dengan hawa
yang lebih dingin lagi!
“Ouhhhh...!”
Kedua orang kakek itu mengerahkan tenaganya karena Pak-thian Lo-mo si ahli
Im-kang mulai menggigil kedinginan sedangkan Lam-thian Lomo si ahli Yang-kang
mulai berpeluh kepanasan.
Untung bagi
mereka bahwa Gak Bun Beng tidak mempunyai niat membunuh orang, dan lebih untung
lagi bahwa pendekar sakti itu sedang sakit, maka pengerahan tenaga ini membuat
Gak Bun Beng terbatuk-batuk dan muntah darah! Kesempatan ini digunakan oleh
kakek kembar itu untuk segera menarik tangan masing-masing, kemudian melihat
lawannya muntah darah, mereka berdua menyerang lagi dengan hebatnya!
Gak Bun Beng
menggerakkan kedua tangannya. Biar pun dia menggoyang-goyangkan kepala untuk
mengusir kepeningan kepalanya dan mengusir kunang-kunang yang tampak ribuan di
depan matanya, dia masih bisa menangkis setiap pukulan yang datang dengan
cepatnya sehingga kedua kakek itu merasa amat terheran-heran dan terkejut bukan
main! Belum pernah mereka menghadapi lawan yang sehebat dan setangguh ini
setelah Pendekar Super Sakti!
Tentu saja mereka
menjadi penasaran dan kini mereka mengeluarkan senjata mereka, yaitu sabuk baja
yang berupa pecut. Terdengarlah bunyi meledak-ledak ketika kedua kakek itu
menggerakkan senjata mereka menyerang Gak Bun Beng.
Pendekar ini
berusaha mengelak, bahkan menangkis dengan lengannya yang penuh dengan hawa
sinkang. Namun karena pandang matanya berkunang dan dia terhuyung-huyung, ada
beberapa pukulan yang mengenai tubuhnya sehingga dia terluka cukup berat.
Pada saat
itu Syanti Dewi telah meloncat masuk ke dalam kamar, menyambar buntalan dari
meja dan melihat betapa Gak Bun Beng dikeroyok dan terhuyung-huyung, dia lalu
menjerit.
Pada saat
itu, terdengarlah derap banyak kaki kuda dan sesosok bayangan menyambar masuk
disertai bentakan nyaring seorang wanita. “Sepasang iblis laknat, kalian berani
mengacau kota raja?”
“Sing-sing...!”
Dua sinar terang menyambar ke arah dua orang kakek itu.
“Trang-trang...!”
Dua batang
pisau terbang itu dapat disampok pecut baja, namun kedua kakek itu terkejut
ketika tangan mereka terasa tergetar, tanda bahwa dua batang pisau terbang itu
diluncurkan oleh orang yang memiliki tenaga hebat. Wanita yang bukan lain
adalah Puteri Milana ini sudah membentak lagi dan sinar-sinar halus menyambar,
kini serangan jarum-jarum halus menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh
bagian depan dari kedua orang kakek kembar.
“Hayaaaa...!”
Dua orang kakek itu berteriak dan dengan cepat mereka memutar pecut untuk
melindungi tubuh sambil meloncat keluar dari rumah penginapan di mana mereka
disambut oleh sepasukan pengawal yang cukup lihai.
Sementara
itu, ketika Milana melihat orang yang tadi dikeroyok oleh dua kakek kembar itu
terhuyung dan dipapah oleh seorang gadis cantik, dia cepat membalikkan tubuhnya
mengejar kedua kakek kembar yang sudah merobohkan dua orang pengawal. Dengan
pedangnya yang berkilauan Milana menerjang dan kedua orang kakek itu terpaksa
harus mengerahkan kepandaian mereka karena wanita ini benar-benar amat lihai,
apa lagi dibantu oleh banyak sekali pengawal yang mengurung mereka.
“Paman,
kau... terluka...” Syanti Dewi memeluk tubuh yang terhuyung itu.
“Dewi...
cepat... cepat bawa aku pergi... jangan sampai dia melihatku...!”
Syanti Dewi
tadi telah melihat kedatangan Milana dan dia kagum meyaksikan kehebatan puteri
itu. Setelah dekat dan melihat wajah Milana terkena sinar penerangan, barulah
dia melihat betapa cantiknya puteri itu, walau pun wajah itu begitu pucat,
begitu dingin dan muram seperti kehilangan cahayanya. Kini mendengar ucapan Gak
Bun Beng, dia menjadi bingung. Mengapa penolongnya ini selalu hendak
menghindarkan diri dari kekasihnya?
“Dewi,
cepat... aku tak tahan lagi...” Bun Beng berbisik. “Ke sana... melalui
jendela...”
Syanti Dewi
tidak berani membantah dan memapah penolongnya itu memasuki kamar dan
membantunya keluar melalui jendela. Ketika mereka lewat di samping rumah mereka
melihat betapa pertempuran masih berlangsung dengan hebat sungguh pun kedua
orang kakek itu terkepung dan terdesak oleh pedang Milana. Akan tetapi pada saat
itu Milana kebetulan melirik ke arah Gak Bun Beng yang juga sedang memandang ke
arah pertempuran.
“Gak-twako...!”
Seruan lirih ini terdengar di antara suara beradunya senjata dan teriakan
orang-orang.
Akan tetapi
Gak Bun Beng mengenal suara Milana, maka cepat dia memondong tubuh Syanti Dewi
dan melesat pergi dengan kecepatan kilat, tidak mempedulikan bahwa tenaganya
sudah hampir habis. Dia berlari terus, meloncati tembok pintu gerbang, akan
tetapi ketika dia sudah meloncat turun ke tempat gelap, dia terguling dan roboh
pingsan di tempat gelap itu!
“Paman...!
Paman...!” Syanti Dewi berbisik-bisik dekat telinga pendekar itu, akan tetapi
Gak Bun Beng tidak bergerak.
Sementara
itu, Milana yang terkejut bukan main melihat orang yang tadi dikeroyok dua
orang kakek dan agaknya terluka itu lewat di samping rumah bersama seorang
gadis cantik, karena dia mengenal wajah Gak Bun Beng! Agaknya tidak mungkin
salah lagi. Di antara selaksa wajah orang laki-laki, dia akan mengenal wajah
Gak Bun Beng, pria yang penah dicintanya dan masih dicintanya itu. Biar pun
laki-laki setengah tua itu berkumis dan berjenggot, akan tetapi dia tidak
pangling melihat mulutnya, hidungnya, terutama mata dan pandang matanya.
Karena
perhatiannya tertarik, apa lagi karena meninggalkan gelanggang pertempuran
untuk berusaha mengejar Gak Bun Beng, kedua orang kakek kembar itu tidak
terdesak lagi dan sambil berseru keras mereka lalu meloncat dan melarikan diri
pula.
“Mereka
lari!”
“Kejar...!”
Barulah
Milana sadar ketika mendengar teriakan-teriakan ini. Cepat dia memerintahkan
para pengawal untuk mengejar dua orang kakek itu, juga dia memerintahkan
sebagian pasukan lagi untuk cepat mencari orang yang bersama dengan gadis
cantik yang tadi dikeroyok oleh dua orang kakek. Dari keterangan pelayan dia
mendengar betapa laki-laki itu datang ke losmen dalam keadaan sakit dan dirawat
oleh gadis yang agaknya adalah keponakan laki-laki itu.
Milana
termenung mendengar keterangan pelayan. Melihat wajahnya, apa lagi melihat
kenyataannya bahwa dalam keadaan sakit masih mampu menahan pengeroyokan dua
orang kakek lihai, jelas bahwa orang tadi tentulah Gak Bun Beng. Akan tetapi
kalau benar dia, mengapa lari darinya? Mengapa tidak menemuinya? Dan sakit
apakah? Ke mana perginya? Bimbanglah hati Milana dan dia sendiri membantu
pencarian itu. Bukan mencari sepasang kakek kembar, melainkan mencari Gak Bun
Beng. Baginya kakek kembar itu bukan hal penting, hanya merupakan orang-orang
dari golongan sesat yang mencurigakan saja.
Semalam
suntuk dia dan pasukannya mencari dan akhirnya, menjelang pagi keesokan
harinya, terpaksa dia pulang dengan hati parah, penuh kebimbangan dan
penyesalan. Dia telah melihat kekasihnya, akan tetapi belum ada ketentuan juga.
Bagaimana
dengan keadaan Syanti Dewi dan Gak Bun Beng yang karena terlampau banyak
mempergunakan tenaga, apa lagi karena sudah terluka dalam pertempuran melawan
Siang Lo-mo, yaitu kakek kembar itu? Dapat dibayangkan betapa bingungnya rasa
hati Syanti Dewi. Dia mengerahkan tenaganya, memondong tubuh Gak Bun Beng untuk
dibawa pergi dari pintu gerbang utara itu. Akan tetapi sebelum dia melangkah
jauh, dia mendengar suara hiruk-pikuk dan melihat serombongan pasukan
berlari-lari mendatangi.
Tentu saja
dia terkejut melihat obor-obor di tangan para prajurit itu. Dilihatnya bahwa di
bawah pintu gerbang itu terdapat sebuah sungai dengan jembatannya, maka cepat
dia membawa tubuh Gak Bun Beng turun ke bawah jembatan. Karena jalannya menurun
dan agak sukar, dia takut kalau memondong tubuh penolongnya bisa tergelincir,
maka terpaksa dia bersusah payah menarik atau menyeret tubuh Gak Bun Beng turun
ke bawah jembatan di mana dia bersembunyi sambil memeluk pundak dan kepala Gak
Bun Beng dengan hati berdebar penuh rasa khawatir dan ketegangan.
Sambil
memangku kepala penolongnya, dia membasahi sapu tangannya dengan air sungai dan
membasuh muka dan kepala pendekar itu, berbisik-bisik memanggil-manggil
namanya. Ketika Gak Bun Beng tetap tidak menjawab, Syanti Dewi terisak dan
mendekap kepala itu, menempelkan pipinya pada muka pendekar itu dan berbisik
dekat telinganya. “Paman Gak... jangan kau mati... jangan tinggalkan aku
sendiri, paman...!”
Akan tetapi
karena takut, dia menahan isaknya sehingga hanya air matanya saja yang
bercucuran, dia menangis tanpa suara. Setelah keadaan sunyi kembali dan pasukan
itu dengan suara hiruk-pikuk telah kembali memasuki pintu gerbang, barulah
Syanti Dewi berani bergerak. Dengan susah payah dia berhasil juga menyeret
tubuh Gak Bun Beng keluar dari bawah jembatan, kemudian memondong tubuh
pendekar itu dan secepat mungkin dia membawa Gak Bun Beng pergi jauh dari
tempat itu.
Sampai dua
hari dua malam Bun Beng pingsan tak sadarkan diri sama sekali, ditangisi oleh
Syanti Dewi di dalam sebuah hutan yang besar dan liar. Berkali-kali Puteri
Bhutan ini memanggil-manggil, mengguncang-guncang tubuh pendekar itu, kemudian
diseling tangisnya terisak-isak sambil menyatakan penyesalan hatinya kepada
Puteri Milana yang dianggapnya kejam!
Pada hari
ketiga, saking lelahnya, Syanti Dewi yang duduk bersandar batang pohon tertidur
atau setengah pingsan. Dia lelah bukan main, lelah, lemas karena lapar dan haus
yang sama sekali tak dihiraukannya, dan mengantuk karena semenjak melarikan
diri bersama Bun Beng dia sama sekali belum tidur. Pagi-pagi tadi, lewat tengah
malam, dia menangis dengan putus harapan. Didekapnya kepala Bun Beng yang
dipangkunya, karena dia menganggap bahwa pendekar itu tentu tidak dapat sadar
kembali. Akhirnya dia tertidur atau setengah pingsan, bersandar pada batang
pohon sambil tetap memangku kepala Gak Bun Beng yang masih belum sadar.
Ketika Bun
Beng siuman dan membuka matanya, pertama-tama yang diingatnya adalah Milana,
maka dia terbelalak melirik ke kanan kiri, takut kalau-kalau Milana berada di
situ. Tiba-tiba dia duduk dan membalik, memandang kepada Syanti Dewi yang masih
pula bersandar pohon, dengan muka pucat dan masih ada bekas air mata. Bun Beng
mengeluh lirih. Dia telah tidur atau pulas dengan kepala di atas pangkuan gadis
itu! Dan mereka telah berada di dalam hutan besar! Padahal, seingatnya, dia
memondong gadis ini berlari secepatnya dari kota raja, melompati benteng pagar
tembok kota raja lalu dia terguling dan tidak ingat apa-apa lagi.
“Dewi...!”
Bun Beng berkata lirih, setengah menduga bahwa tentu Syanti Dewi yang
menyelamatkannya, membawanya sampai ke dalam hutan lebat itu.
Biar pun
hanya lirih saja panggilan ini, Syanti Dewi membuka kedua matanya. Ketika dia
melihat Bun Beng sudah duduk di depannya, memandangnya dengan sepasang mata
yang penuh perasaan haru, dia menggosok-gosok kedua matanya, takut kalau-kalau
dia hanya bermimpi, kemudian, ketika melihat bahwa Bun Beng tetap masih duduk
di depannya, tidak pingsan lagi, bukan main girangnya rasa hati dara ini.
“Paman !
Aihh, paman... syukurlah bahwa paman telah sadar! Ahhh, betapa sengsara dan
takut hatiku selama dua hari dua malam ini melihat paman hanya diam tak pernah
bergerak...”
Bun Beng
memegang kedua tangan dara itu dan memandang tajam. “Apa katamu? Selama dua
hari dua malam aku... aku tak sadarkan diri?”
Syanti Dewi
hanya mengangguk dan baru sekarang terasa oleh dara itu betapa lapar perutnya,
betapa lelah tubuhnya.
“Dan selama
ini engkau... engkau telah memaksa diri melarikan aku ke sini... dan... dan
merawatku...?” Bun Beng menelan ludahnya menahan keharuan hatinya.
Kembali
Syanti Dewi mengangguk. Kemudian berkata lirih, “Aihhh, paman Gak. Bagai mana
aku dapat merawatmu? Aku sudah bingung sekali, hampir putus harapan ketika pagi
tadi melihat engkau seperti... seperti mati. Aku takut sekali...”
Bun Beng
menggenggam kedua tangan yang kecil itu, suaranya gemetar ketika dia berkata,
“Dewi... kau... kau seorang... anak yang baik sekali.”
Hati dara
itu girang bukan main. Setelah Bun Beng siuman, dia tidak mengkhawatirkan
apa-apa lagi, tidak takut apa-apa lagi. “Paman, engkau tentu lapar sekali, dua
hari dua malam tidak makan apa-apa, tidak minum apa-apa. Sekarang aku akan
mencari buah-buahan untukmu.”
Namun Gak
Bun Beng tidak melepaskan tangan dara itu. “Dewi, katakanlah, apakah selama ini
engkau juga pernah makan?”
Syanti Dewi
menunduk dan menggeleng kepala.
“Dan pernah
minum?”
Kembali
Syanti Dewi menggeleng kepala.
Bun Beng
menghela napas. “Luar biasa sekali! Engkau seorang gadis yang luar biasa
sekali. Seorang yang berhati sangat mulia, engkau seorang puteri budiman. Cara
bagai manakah engkau dapat melarikan aku ke tempat ini, Dewi?”
Wajah yang
agak pucat itu sekarang menjadi merah dan Syanti Dewi lalu menceritakan betapa
hampir saja mereka tertangkap oleh sepasukan tentara kalau saja dia tidak cepat
menyeret Bun Beng ke kolong jembatan. Kemudian dia menceritakan betapa dia
membawa lari Bun Beng tanpa tujuan tertentu, pokoknya asal dapat menjauh dari
kota raja, sejauh mungkin.
“Aku hanya
tahu bahwa paman tidak ingin dilihat... orang, maka aku membawa paman menjauh
dari kota raja sedapat mungkin. Akan tetapi aku merasa heran sekali mengapa
paman melarikan diri begitu paman melihat Puteri Milana? Mengapa paman tidak
ingin dia melihat paman? Bahkan aku mendengar pula dia mengenali dan memanggil
paman malam itu. Mengapa, paman?”
Gak Bun Beng
menunduk, menghela napas panjang, lalu menggeleng-geleng kepala. “Aku... aku tidak
kuat menghadapinya... aku... aku... ahhhh, aku hanya seorang laki-laki yang
bodoh.”
Hening
sampai lama. Bun Beng tetap menunduk dan Syanti Dewi mencoba untuk dapat
menyelami perasaan pendekar itu dengan menatap tajam wajah yang sangat muram
itu. Kemudian terdengar Syanti Dewi bertanya, suaranya lirih. “Paman Gak,
sedemikian besarkah cintamu terhadap Puteri Milana?”
Bun Beng tak
menjawab, hanya menarik napas panjang, lalu untuk membelokkan bahan
pembicaraannya. Dia kemudian berkata, “Dewi, kita harus segera kembali ke kota
raja. Aku akan mengantarkanmu sampai ke luar pintu gerbang, dan kau masuk
sendiri serta langsung menghadap Puteri Milana. Ceritakanlah riwayatmu tanpa
menyebut-nyebut namaku, dan aku yakin dia akan suka menolongmu.”
“Aku hanya
mau menghadap dia kalau bersamamu, paman.”
“Ah, engkau
tahu bahwa aku tidak mungkin dapat menemuinya.”
“Kalau
begitu aku pun tidak sudi menghadapnya!” Jawaban Syanti Dewi ini agak keras,
sungguh jauh bedanya dengan sikapnya seperti biasa yang penuh kehalusan, seolah-olah
baru satu kali ini dia marah-marah.
Bun Beng
mengangkat muka memandang. “Mengapa, Dewi? Bukankah engkau jauh-jauh dari
Bhutan dikirim ke kota raja oleh ayahmu untuk menjadi mantu kaisar?”
“Tidak,
tidak! Paman sudah tahu sendiri akan semua akal busuk yang bersembunyi di balik
kepura-puraan perjodohan itu! Aku tidak sudi! Pula, dahulu aku hanya mau karena
ada adik Ceng di sampingku. Sekarang adik Ceng hilang, mungkin tewas, dan
sebagai gantinya adalah paman. Karena itu, tanpa paman, aku tidak sudi harus
pergi sendiri ke istana. Lebih baik aku... mati di sini...”
Bun Beng
memegang tangan dara itu. “Tenanglah, tidak ada yang memaksamu, Dewi. Kalau
begitu, kita harus melanjutkan perjalanan ke utara. Aku mau menemui Jenderal
Kao Liang. Di kota raja sedang terjadi pergolakan dan agaknya dia yang
menguasai banyak pasukan saja yang akan dapat menyelamatkan kota raja dan
sekaligus mewakili aku mengurus urusanmu dengan kaisar. Percayalah, tidak akan
ada yang memaksamu, Dewi. Aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk mencegah siapa
pun yang berani mati memaksamu.”
Wajah yang
jelita itu berseri. “Baik, paman. Ke mana pun paman membawaku pergi, aku akan
suka ikut, asal jangan menyuruh aku pergi seorang diri. Wah, perutku lapar
sekali, tentu paman juga. Biar aku mencari buah-buah...”
Bun Beng
sudah menyambitkan batu kecil yang digenggamnya dan kelinci gemuk yang menyusup
di antara semak-semak itu mati seketika. “Nah, itu ada kelinci gemuk yang
menyerahkan dagingnya, Dewi. Ambillah.”
Tadi Syanti
Dewi terkejut menyaksikan gerakan pendekar itu, akan tetapi mendengar
ucapannya, dia tertawa lalu berlari-lari dan membuka-buka semak-semak itu. Dan
benar saja, di sana ada seekor kelinci gemuk yang telah mati dengan kepala
pecah disambar batu, masih hangat tubuhnya. Sambil tertawa gembira Syanti Dewi
lalu menguliti dan memanggang daging kelinci. Setelah Bun Beng siuman kembali,
terusirlah semua kekhawatiran dan kedukaan dari hati dara ini yang sebaliknya
menjadi riang gembira kembali, sungguh pun tubuhnya masih terasa amat lelah.
Tetapi
ternyata pukulan batin yang diderita oleh Gak Bun Beng dalam pertemuannya
dengan Milana, ditambah dengan luka dalam yang dideritanya ketika dalam keadaan
tidak sehat dia bertanding melawan Siang Lo-mo, dua orang kakek kembar di kota
raja itu, membuat pendekar ini lemah dan sakit. Ditambah lagi kenyataan yang
menusuk hatinya, yang mendatangkan rasa khawatir dan bingung, kenyataan yang
dirahasiakan yaitu sikap Syanti Dewi kepadanya, sikap yang amat baik,
mengandung kasih sayang, sikap yang hanya dapat diperlihatkan seorang wanita
yang jatuh cinta, membuat dia makin menderita batinnya.
Dia
memandang gejala ini sebagai datangnya suatu bahaya yang amat besar, yang amat
mengkhawatirkan bagi kehidupan Syanti Dewi. Walau pun dara ini tidak pernah
menyatakan dengan mulut, biar pun mungkin dara itu sendiri masih belum sadar
akan perasaan hatinya sendiri, akan tetapi Bun Beng sudah dapat menduganya,
melihat dari pandang matanya, gerak-geriknya, suaranya.
Hal ini
menimbulkan rasa nyeri di hatinya. Tidak, betapa pun juga, dia takkan menyeret
dara yang amat berbudi ini ke dalam hidupnya yang serba canggung dan sengsara.
Dia tidak akan mengulangi riwayat penuh duka seperti yang dialaminya dengan
Milana. Memang betapa akan amat mudahnya untuk jatuh cinta kepada seorang dara
seperti Syanti Dewi, seorang dara yang berbudi mulia, halus dan penuh perasaan.
Akan tetapi tidak! Dia bukanlah seorang yang hanya mementingkan kesenangan
dirinya sendiri saja.
Perang yang
terjadi dalam batin Bun Beng menambah luka dalam yang dideritanya dalam
pertandingan berat sebelah ketika melawan kakek kembar dalam keadaan sakit itu.
Karena itu, perjalanan ke utara bersama Syanti Dewi itu dilakukan dengan susah
payah dan lambat, bahkan akhirnya Bun Beng jatuh sakit lagi!
Di dalam
perjalanan ini, di waktu dia terserang sakit, lebih jelas kenyataannya bahwa
yang diduga dan ditakuti Bun Beng adalah benar. Perawatan yang dilakukan Syanti
Dewi terhadap dirinya amat luar biasa, penuh ketelitian, penuh pengorbanan dan
ketekunan. Diam-diam Bun Beng yang menderita sakit itu mengambil keputusan
bahwa kalau dia sudah dapat bertemu dengan Jenderal Kao Liang, dia akan
menyerahkan Syanti Dewi dalam perlindungan jenderal yang dipercayanya itu,
kemudian dia akan pergi untuk selamanya, tidak akan mencampuri dunia ramai
lagi, seperti dahulu sebelum bertemu dengan Syanti Dewi dan terpaksa
mengantarkan dara itu ke kota raja.
***************
Kita
tinggalkan dulu Bun Beng yang sedang menderita sakit dan melakukan perjalanan
dengan amat sukar bersama Syanti Dewi menuju ke perbatasan utara untuk menemui
Jenderal Kao Liang, dan marilah kita mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang secara
kebetulan sekali juga telah melakukan perjalanan ke utara!
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng telah ditolong oleh Tek Hoat dari
bahaya tenggelam, kemudian secara kebetulan dia dapat mendengarkan percakapan
antara pemuda itu dengan Pangeran Liong Khi Ong hingga terbukalah rahasia
pemuda itu sebagai kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong yang merencanakan
pemberontakan.
Masih untung
bagi Ceng Ceng bahwa pada saat yang berbahaya itu, dia keburu dicegah oleh
Pengawal Kaisar Souw Kee It dan diajak pergi melarikan diri. Andai kata dia
tidak bertemu dengan kakek pengawal itu dan terang-terangan menegur Tek Hoat,
tentu pemuda itu tak akan segan-segan untuk membunuhnya agar rahasianya dapat
tertutup.
Dengan
bantuan Souw Kee It, pengawal kawakan yang telah berpengalaman, Ceng Ceng
melakukan perjalanan setelah menyamar sebagai seorang pria tampan yang berkumis
tipis! Bermacam perasaan bercampur aduk di dalam hati dara ini. Pertama-tama
dia merasa gembira bukan main mendengar dari Souw Kee It bahwa Syanti Dewi
telah diselamatkan oleh seorang nelayan.
Dia merasa
bersyukur sekali dan ingin dia bertemu dengan kakak angkatnya itu yang tidak
diketahui ke mana perginya. Akan tetapi di samping kegembiraannya ini terdapat
perasaan duka, kecewa dan marah kalau dia teringat kepada Tek Hoat. Pemuda yang
amat dikaguminya itu, pemuda yang tampan dan memiliki kepandaian demikian
tinggi, ternyata adalah seorang kaki tangan pengkhianat dan pemberontak! Betapa
rendah dan hina!
Dan pemuda
itu dengan terus terang menyatakan bahwa dia mencinta Syanti Dewi! Kalau dulu
di waktu dia mendengar pergakuan ini timbul rasa panas dan agak cemburu di
hatinya, kini sebaliknya malah. Dia merasa panas dan marah, tidak rela bahwa
kakak angkatnya itu dicinta oleh seorang yang demikian rendah! Dia harus
menghalang-halangi ini. Siapa tahu, pemuda yang tampan dan pandai itu akan
dapat bertemu dengan Syanti Dewi dan berhasil merayunya atau memaksanya.
Selama dalam
perjalanan, Souw Kee It menceritakan kepada Ceng Ceng akan keadaan di kota raja
yang kacau karena adanya pertentangan secara diam-diam antara perdana menteri
yang setia kepada kaisar dan dua orang pangeran tua, yaitu Pangeran Liong Khi
Ong dan Liong Bin Ong.
“Mengapa sri
baginda kaisar diam saja? Bukankah jelas bahwa dua orang pangeran itu bermaksud
memberontak?”
Souw Kee It
menarik napas panjang. “Sri baginda kaisar adalah amat bijaksana. Beliau tidak
menghendaki adanya perpecahan dan keributan antara keluarga kerajaan. Hal ini
akan mencemarkan dan melemahkan kedudukan keluarga kaisar dan merendahkan
martabatnya di mata rakyat. Apa lagi karena niat pemberontakan kedua orang
pangeran itu belum ada buktinya, baru merupakan desas-desus belaka. Oleh karena
itulah, maka sri baginda hanya memberi tugas kepada para pengawal yang
dipercaya, dan dipimpin sendiri oleh Puteri Milana, untuk secara diam-diam
membasmi kaki tangan yang berniat memberontak. Jika tidak ada kekuatan dari
luar yang mendorong, tentu niat hati kedua orang pangeran itu akan lenyap
sendiri.”
Ceng Ceng
bersungut-sungut. “Terlalu sabar. Kalau dikasih hati, dua orang pengkhianat itu
makin merajalela.”
“Demikian
pula pendapat perdana menteri, sehingga kini secara berterang, para pengawal
perdana menteri sering bentrok dengan para pengawal kedua orang pangeran itu.
Dan demikian pula pandangan Puteri Milana yang sudah mulai menumpas semua tokoh
jahat yang mencurigakan dan yang ada hubungannya dengan niat pemberontak itu.”
“Akan tetapi
kulihat pemuda yang bernama Tek Hoat itu lihai bukan main! Kalau dia tidak
dapat dibasmi, kelak tentu akan menimbulkan bahaya!” Berkata demikian Ceng Ceng
jadi teringat kepada kakak angkatnya, Syanti Dewi yang dianggapnya terancam
keselamatannya oleh pemuda itu yang telah menyatakan cinta kepada Puteri Bhutan
itu.
Souw Kee It
mengangguk. “Memang aku pun sudah melihat kelihaiannya. Dia adalah tenaga baru
yang belum kami kenal, dan agaknya telah ditugaskan untuk mengacaukan dan
menggagalkan perjodohan yang hendak diikat oleh sri baginda kaisar antara
Puteri Bhutan dan Pangeran Liong Khi Ong.”
“Heran
sekali, mengapa sri baginda mengambil keputusan yang demikian aneh? Puteri
Bhutan adalah seorang dara yang muda remaja, mengapa hendak dijodohkan dengan
pangeran yang sudah tua, mata keranjang dan jahat lagi?” Ceng Ceng teringat
akan percakapan antara Tek Hoat dan pangeran tua di perahu.
“Aihh,
engkau tidak tahu, nona. Demi keselamatan kerajaan, tentu saja sri baginda akan
melakukan apa saja. Taktik pengikatan jodoh antara Puteri Bhutan dan Pangeran
Liong Khi Ong mempunyai dua maksud yang amat penting. Pertama, dengan menarik
Kerajaan Bhutan menjadi keluarga, tentu saja Bhutan dijadikan sebuah perisai
atau benteng pertahanan di barat, juga berarti bertambahnya sebuah negara
keluarga yang bersahabat. Kedua, ikatan jodoh itu dimaksudkan untuk membuktikan
kesabaran dan kebaikan hati kaisar sehingga biar pun ada desas-desus akan
pengkhianatan Pangeran Liong berdua, tetap saja kaisar menganugerahinya dengan
sebuah pernikahan dengan Puteri Bhutan yang terkenal cantik jelita.”
“Hemm,
sungguh aku tidak mengerti mengapa perasaan perorangan diabaikan sama sekali
demi kepentingan kerajaan.”
“Memang
tentu mengherankan bagi seorang yang tidak pernah mendekati urusan kerajaan
seperti engkau, Nona. Akan tetapi aku yang sudah sejak muda berkecimpung di
dekat keluarga kerajaan, seperti juga kakekmu dahulu, tidak merasa heran. Apa
lagi hanya perasaan, bahkan nyawa perorangan tidaklah begitu berarti lagi
dibandingkan dengan kepentingan kerajaan. Dalam urusan pernikahan ini pun yang
hancur hatinya adalah Pangeran Yung Hwa.”
“Pangeran
Yung Hwa? Siapa dia dan mengapa?”
“Dia juga
putera dari sri baginda, seorang pangeran muda remaja, baru berusia dua puluh
tahun. Sesungguhnya, Pangeran Yung Hwa inilah yang ketika mendengar berita
tentang Puteri Syanti Dewi, jatuh cinta dan mohon kepada sri baginda untuk
dilamarkan. Namun, permintaannya ini ditolak karena Puteri Syanti Dewi hendak
dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong.”
“Si tua
bangka!” Ceng Ceng mengomel.
“Dan karena
itu, Pangeran Yung Hwa lolos dari istana.”
“Lolos?”
“Ya, patah
hati dan minggat dari istana. Begitulah orang muda...”
Ceng Ceng
terdiam, dia merasa terharu. Heran juga dia mengapa Pangeran Yung Hwa dapat
jatuh cinta kepada seorang gadis yang belum pernah dilihatnya! Jatuh cinta
hanya karena mendengar berita tentang kecantikan dan segala kebaikan Puteri
Syanti Dewi! Lucu juga, pikirnya.
Perjalanan
dilanjutkan dengan cepat karena mereka berkuda. Oleh karena Ceng Ceng menyamar
sebagai pria berkumis, maka biar pun Tek Hoat yang kehilangan gadis itu sudah
cepat mengerahkan kaki tangan Pangeran Liong Khi Ong untuk mengejar dan mencari,
namun hasilnya sia-sia. Dan di sepanjang perjalanan itu, biar pun ada banyak
mata-mata pemberontak yang melihat mereka, namun tidak ada yang menduga bahwa
‘pemuda ganteng berkumis’ itu adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang
dicari-cari.
Tentu saja
Tek Hoat merasa menyesal bukan main, karena dia menganggap gadis itu merupakan
orang penting sekali untuk dapat menemukan Syanti Dewi yang hilang dan dia
hanya dapat menyumpah-nyumpah.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment