Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 05
PADA tengah
hari, tibalah mereka di tepi sebuah sungai! Girang hati mereka karena ternyata
nasehat penolong yang berpantun itu ternyata cocok! Mereka tidak mengenal
daerah itu dan tidak tahu sungai apakah itu, akan tetapi mereka tahu bahwa
mereka sudah berada di daerah yang aman. Mereka harus menyeberangi sungai itu
dan melanjutkan perjalanan ke utara. Akan tetapi, tempat ini sunyi sekali.
Sungai itu mengalir tenang melalui hutan-hutan dan pegunungan.
Sungai itu
adalah Sungai Nu-kiang (Salween) yang bermata air di Gunung Thangla, mengalir
ke selatan memasuki Negara Birma. Tanpa sepengetahuan mereka, dua dara itu
telah tiba di kaki Pegunungan Heng-toan-san. Tentu saja lembah Sungai Nu-kiang
di pegunungan ini amat sunyi sehingga sukarlah bagi mereka untuk mencari perahu
agar dapat menyeberang. Tempat itu jauh sekali dari perkampungan nelayan.
Akan tetapi,
setelah mereka menyusuri sungai sampai jauh, dari jauh nampak sebuah perahu
kecil di pinggir sungai, sebuah perahu kosong! “Di sana ada perahu, adik
Candra!” Syanti Dewi berkata girang sambil menuding ke depan.
Ceng Ceng
juga sudah melihatnya dan gadis ini memegang tangan kakak angkatnya sambil
berkata, “Enci Syanti, karena kita, terutama engkau, adalah orang-orang
pelarian yang sedang dikejar-kejar musuh, maka kurasa sebaiknya mulai saat ini
engkau jangan menggunakan nama Syanti Dewi sebelum kita selamat di kota raja
Kerajaan Ceng.”
Syanti Dewi
mengangguk-angguk. “Engkau benar juga, adikku. Lalu nama apakah yang sebaiknya
kupergunakan?”
“Bagaimana
jika namamu menjadi Sian Cu? She-nya boleh memakai she-ku, yaitu she Lu.”
“Lu Sian Cu?
Nama yang bagus sekali!” Syanti Dewi atau Sian Cu berkata girang.
“Dengan nama
ini, kalau sekali waktu aku lupa dan menyebutmu enci Syanti, biarlah disangka
menyebutmu Sian-ci (kakak Sian). Dan seperti engkau tahu, namaku adalah Lu
Ceng. Kita berdua kini mengaku sebagai gadis dari daerah perbatasan yang lari
mengungsi ke timur.”
“Baiklah,
adik... Ceng. Ah, hampir aku menyebutmu Candra yang bagiku terdengar lebih
manis.”
“Nah, mari
kita dekati perahu itu. Heran sekali, ke mana tukang perahunya?” Mereka
melangkah lagi mendekati perahu dan setelah tiba di dekat tempat di mana perahu
itu tertambat di tepi sungai, tampak seorang laki-laki sedang tidur di atas tanah,
berbantal batu yang dilandasi kedua tangannya. Laki-laki itu tidur nyenyak,
terdengar suara dengkurnya yang keras.
Ceng Ceng
dan Syanti Dewi atau kini lebih baik disebut nama barunya yaitu Sian Cu,
mendekati tukang perahu yang sedang tertidur nyenyak itu dan memandang penuh
perhatian. Dia seorang laki-laki bertubuh sedang, cukup tegap dan tampak kuat
karena agaknya biasa bekerja berat, pakaiannya bersih akan tetapi telah terhias
beberapa tambalan di dekat lutut dan siku, pakaian sederhana seorang petani
atau nelayan, semodel dengan yang dipakai dua orang gadis itu. Sukar ditaksir
usia orang itu. Melihat bentuk mukanya, dia kelihatan masih muda sekali, akan
tetapi kumis dan jenggotnya yang hitam gemuk dan liar tak terpelihara membuat
muka itu kelihatan lebih tua. Model seorang nelayan bodoh yang sederhana dan
biasa hidup keras dan sukar!
Ceng Ceng
menggunakan ujung bajunya yang lebar untuk mengusap keringat dari dahi ke
lehernya. Rambutnya agak awut-awutan dan karena dia tidak memakai caping lagi,
benda itu telah hancur ketika dipakai melawan musuh yang lihai di malam hari
yang lalu itu, mukanya yang putih halus dan cerah itu agak coklat kemerahan
oleh sinar matahari.
“Hei, tukang
perahu...!” Ceng Ceng berseru memanggil laki-laki yang sedang tertidur nyenyak
itu.
Si tukang
perahu tetap tidur mendengkur, sedikit pun tidak bergerak, juga dengkurnya
tidak berubah, tanda bahwa teriakan Ceng Ceng itu sama sekali tidak mengganggu
tidurnya.
“Paman
tukang perahu...!” Ceng Ceng berteriak lebih nyaring lagi.
Sekarang
suara mendekur itu berubah agak perlahan, dan kumis liar di bawah hidung itu
bergerak-gerak lucu, akan tetapi kumis itu diam lagi dan dengkurnya kini
menjadi bertambah keras! Ceng Ceng yang berwatak keras itu mulai jengkel
hatinya.
“Heii,
tukang perahu yang malas! Bangunlah...!” Dia berteriak nyaring dan mengomel,
“Wah celaka, bertemu seorang pemalas seperti kerbau!”
Tukang
perahu itu menggerakkan kedua kakinya, menarik kedua tangan dari bawah kepala,
mulutnya komat-kamit akan tetapi kedua matanya masih terpejam dan terdengar dia
bicara dengan suara ngelindur. “...aduhh... siluman rase... ahhh... siluman
ular...”
Dan dia lalu
membalikkan tubuh, membelakangi dua orang dara itu, tidur mendengkur lagi lebih
keras. Ceng Ceng membanting kaki kanannya, mukanya merah dan matanya terbelalak
marah.
“Kurang
ajar! Babi pemalas! Tidak bangun malah memaki-maki orang!”
“Sabarlah,
Ceng-moi. Dia tidak memaki, dia sedang tidur dan tentu mimpi.”
“Biar pun
sedang mimpi, jelas ia memaki kita. Dia menyebut siluman rase, siluman ular,
bukankah itu memaki namanya? Di dongeng mana pun juga, siluman rase dan siluman
ular selalu menjadi seorang wanita!”
“Tapi jelas
dia tidak sengaja, dia sedang tidur.”
“Kalau dia
sengaja, tentu sudah kupatahkan semua giginya!” Ceng Ceng berkata lagi,
mendongkol sekali. Kakinya mencongkel tanah pasir di depannya dan
beterbanganlah pasir dan tanah mengenai kepala dan leher tukang perahu itu.
Tukang
perahu itu terdengar mengeluh, kemudian tubuhnya bergerak dan dia sudah
terlentang lagi seperti tadi, kedua tangan ditaruh di bawah kepalanya dan dia
sudah tidur lagi mendengkur, hanya bedanya, kalau tadi mulutnya tertutup, kini
bibirnya terbuka sehingga tampak di bawah kumis liar itu deretan giginya yang
putih dan kuat, seolah-olah tukang perahu itu menantang dan memperlihatkan
giginya untuk dipatahkan oleh Ceng Ceng! Ceng Ceng yang sedang marah itu makin
gemas.
“Tukang
perahu yang malas seperti kerbau dan babi!” teriaknya lagi. “Hayo bangun,
atau... kulemparkan kau ke dalam sungai!”
Tukang
perahu itu tetap tidur.
“Enci, mari
kita pakai saja perahu itu!”
“Eh, jangan
Ceng-moi. Tak baik mencuri barang orang lain,” kata Sian Cu.
“Kalau
begitu, biar kulempar mukanya dengan batu supaya si pemalas itu bangun!”
“Sttt,
jangan begitu, Ceng-moi. Kasihan dia, lihat tidurnya begitu nyenyak, siapa tahu
semalam dia tidak tidur! Orang yang terlalu lelah, orang yang terlalu sedih,
tentu dapat tidur seperti pingsan saja. Pula, kita berdua tidak pandai
mengemudikan perahu, tanpa dia, bagaimana kita bisa menyeberang? Siapa tahu,
dia bisa mengantarkan kita sampai ke kota yang berdekatan. Tentu dia lebih
mengenal daerah ini.”
Ceng Ceng
menahan kemarahannya dan kembali dia berteriak, “Tukang perahu malas dan tolol!
Lekas bangun, kita hendak menyewa perahumu!”
Kini tukang
perahu itu menghentikan suara dengkurnya, sepasang matanya bergerak gerak lalu
kelopak matanya terbuka. Dua orang dara itu kaget melihat sepasang mata yang
bersinar tajam sekali, tetapi tukang perahu itu mengejapkan matanya beberapa
kali seperti belum sadar benar.
“Paman,
bangunlah. Kami hendak menyewa perahumu itu!” kata Sian Cu sambil menuding ke
arah perahu. Suaranya lunak dan halus dan memang puteri ini memiliki watak yang
jauh lebih halus dari pada Ceng Ceng yang keras hati dan jujur.
Tukang
perahu itu mengeluh dan bangkit duduk, menggosok-gosok matanya dan ketika dia
menurunkan kedua tangan memandang dua orang gadis itu, tiba-tiba dia melompat
berdiri dengan mata terbelalak, tubuhnya menggigil dan dia menudingkan
telunjuknya kepada Ceng Ceng dan Sian Cu sambil berteriak ketakutan.
“Siluman... ehhh, siluman... jangan ganggu aku...!”
“Monyet
tua...!” Ceng Ceng sudah bergerak hendak memukul, akan tetapi lengannya
dipegang oleh Sian Cu yang tersenyum melihat kemarahan Ceng Ceng. Dengan sabar
dia menghadapi tukang perahu yang masih ketakutan itu.
“Paman,
engkau tenanglah. Kami bukan siluman, melainkan dua orang gadis yang ingin
menyewa perahumu.”
Tukang
perahu itu mengangkat kedua tangannya di depan dada dan mulutnya masih
komat-kamit, terdengar suaranya. “Aduh... selamat... selamat... selamat...,
Tuhan masih melindungi aku...! Maafkan, ji-wi kouwnio (kedua nona), tadinya aku
mengira bahwa ji-wi adalah siluman-siluman yang semalam kudengar suaranya yang
amat mengerikan! Hiihhh...!” Tukang perahu itu menggerakkan kedua pundaknya dan
otomatis Ceng Ceng dan Sian Cu juga bergidik, teringat akan pengalamannya
semalam.
“Engkau
mendengar apakah, paman?” Sian Cu bertanya.
“Semalam...
hiihhh, aku tidak dapat tidur sama sekali. Tadinya aku mengira bahwa aku akan
mati dicekiknya, suara aneh-aneh terdengar dari hutan itu, seolah-olah semua
penghuninya, siluman dan iblis, sedang berpesta pora. Huh, untung aku masih
hidup, aku ingin tidur sampai kenyang. Harap nona berdua jangan menggangguku.”
Tukang perahu itu kembali merebahkan diri, siap untuk melanjutkan tidurnya.
“Eh-ehhh...
jangan tidur lagi, engkau!” Ceng Ceng membentak. “Kami ingin menyewa perahumu!”
Tukang
perahu itu bangkit, akan tetapi tidak berdiri, hanya duduk sambil memandang
kepada Ceng Ceng. “Nona, melihat pakaianmu, engkau tentu seorang gadis dusun
biasa, akan tetapi sikapmu seperti seorang puteri pembesar tinggi saja!”
“Cerewet
kau! Siapa aku, tak perlu kau pedulikan! Kami ingin menyewa perahumu, berapa
pun akan kami bayar!” Dia mengeluarkan dua potong uang perak dari saku bajunya
dan memperlihatkannya kepada si tukang perahu, dengan keyakinan bahwa sinar
perak yang berkilauan itu tentu akan melenyapkan kantuk tukang perahu itu.
Akan tetapi,
betapa menjengkelkan sikap tukang perahu itu yang memandang tak acuh, lalu
berkata, “Aku tidak menyewakan perahuku.” Dan dia sudah hendak merebahkan
dirinya lagi.
“Paman,
tolonglah kami. Kami ingin menyeberang, tolong seberangkan kami dan kami akan
membayar secukupnya kepadamu.”
Tukang
perahu itu memandang Sian Cu, lalu melirik kepada Ceng Ceng yang masih mendelik
marah. “Aku tidak menyewakan perahuku, juga aku tidak butuh uang.”
“Kau manusia
sombong...!” Ceng Ceng berteriak.
Akan tetapi
Sian Cu sudah memegang tangan dara itu dan berkatalah dia dengan suara halus
kepada si tukang perahu, “Paman tukang perahu, kalau begitu, anggaplah kami
tidak menyewa perahumu, hanya minta tolong kepadamu. Aku percaya bahwa paman
tentu akan suka menolong dua orang gadis yang tidak berdaya. Kami melarikan
diri mengungsi dari daerah perang dan kami ingin melanjutkan perjalanan
menyeberang sungai.”
Suara yang
halus dan sopan dari Sian Cu membuat tukang perahu itu kelihatan jadi sungkan
juga. Dengan ogah-ogahan dia bangkit berdiri, menggaruk-garuk kepalanya dan
menguap beberapa kali, lalu memandang ke arah seberang sungai. “Kalian hendak
menyeberang? Mau ke mana menyeberang?”
“Kami hendak
melanjutkan perjalanan, akan tetapi terhalang sungai ini, maka kami hendak
menyeberang,” kata pula Sian Cu mendahului Ceng Ceng yang kelihatannya sudah
tidak sabar menyaksikan sikap si tukang perahu.
“Menyeberang
ke sana dan melanjutkan perjalanan? Aihhh, apakah kalian mencari mati?”
“Apa
katamu?” Ceng Ceng sudah membentak lagi.
“Hemm, kau
galak sekali, nona. Aku bilang bahwa kalian menyeberang ke sana dan melanjutkan
perjalanan mengungsi, berarti kalian mencari mati. Di seberang sana hanya
terdapat hutan-hutan yang liar dan tak terbatas luasnya, gurun-gurun pasir yang
tak bertepi, dan pegunungan yang sukar sekali dilalui manusia selain penuh
dengan binatang-binatang buas dan siluman-siluman jahat! Dan kalian hendak
menyeberang ke sana? Eh-ehh...!” Dia lalu memandang tajam kepada dua orang
gadis itu, pandang mata penuh selidik. “Benar-benarkah... eh... kalian ini
manusia, bukan siluman-siluman?”
“Mulut
busuk!” Ceng Ceng membentak marah, tidak membiarkan Sian Cu mencegahnya lagi
karena dia sudah marah bukan main. “Kalau kami berdua siluman, maka engkau
adalah siluman babi Ti Pat Kai!”
Tukang
perahu itu melongo, kemudian tertawa. “Ha-ha-ha, kau pandai juga membadut,
nona! Masa yang begini dikatakan Ti Pat Kai!” Ti Pat Kai adalah tokoh dalam
cerita See-yu-ki, seorang siluman babi yang terkenal, pelahap, dan mata
keranjang!
“Paman,
harap jangan main-main. Kami berdua sudah melakukan perjalanan jauh yang amat
melelahkan, bahkan semalam kami tidak tidur sebentar pun. Sekarang kami ingin
melanjutkan perjalanan. Terus terang saja, kami berniat pergi ke Kota Raja
Kerajaan Ceng“
“Wahhhh...?
Mimpikah aku? Ataukah benar-benar kalian dua orang gadis dusun ini hendak pergi
ke kota raja? Tahukah kalian berapa jauhnya kota raja itu? Kalian harus melalui
sedikitnya enam propinsi dan ratusan kota! Mengapa kalian dua orang gadis dusun
di perbatasan hendak pergi ke tempat sejauh itu?”
“Kami berdua
hanya ingin menyeberang, dan engkau begini cerewet! Tukang perahu macam apa sih
engkau ini?” Ceng Ceng sudah membentak lagi.
Namun Sian
Cu segera berkata, tidak memberi kesempatan kepada si tukang perahu untuk
menanggapi kegalakan Ceng Ceng, “Kami mempunyai seorang bibi di sana. Paman,
kalau benar di seberang merupakan daerah yang amat berbahaya dan sukar dilalui
maka kami harap kau suka menolong kami dan memberi tahu jalan mana yang harus
kami tempuh agar kami dapat sampai ke kota raja dengan selamat.”
Tukang
perahu itu menggaruk-garuk belakang telinganya. “Terus terang saja, aku sendiri
belum pernah pergi ke kota raja. Akan tetapi menurut keterangan yang kuperoleh,
jalan satu-satunya ke kota raja hanya menggunakan jalan air, menurutkan aliran
Sungai Besar Yang-ce-kiang sampai ke kota besar Wu-han, kemudian melalui jalan
darat ke utara sampai Sungai Huang-ho dan mengambil jalan air lagi menurutkan
aliran Sungai Huang-ho ke timur sampai ke kota besar Cin-an, baru menggunakan
jalan darat ke utara menuju ke kota raja. Akan tetapi letaknya amat jauh dan
kiranya akan menggunakan waktu berbulan!”
Ceng Ceng
sudah mengerutkan alisnya. Turun semangatnya mendengar keterangan yang
membentangkan kesukaran perjalan itu, akan tetapi Sian Cu berkata, “Terima
kasih, paman. Engkau baik sekali dan kami akan menggunakan petunjuk itu untuk
melanjutkan perjalanan. Lalu bagaimana kita dapat mencapai Sungai
Yang-ce-kiang?”
“Dari tempat
ini dapat berperahu mengikuti aliran sungai sampai ke dusun Kiu-teng, dari sana
terdapat jalan menuju ke Sungai Lan-cang (Mekong), menyeberangi Sungai Lan-cang
dan melalui jalan darat ke timur akan mencapai Sungai Yang-ce-kiang.”
“Ah, terima
kasih. Kuharap paman sudi membawa kami ke dusun Kiu-teng.”
“Hemmm...”
“Kami akan
membayar sewanya, berapa saja yang kau minta, paman.”
“Sikapmu
halus dan baik sekali, nona. Siapakah namamu?”
“Namaku Lu
Sian Cu, paman,” jawab Sian Cu sambil menunduk supaya tidak tampak perubahan
air mukanya.
“Baiklah,
Sian Cu. Aku suka mengantarkan engkau ke Kiu-teng yang jaraknya cukup jauh dari
sini, makan waktu hampir sehari semalam. Akan tetapi dia itu siapa namanya?”
Dia menuding kepada Ceng Ceng. Tentu saja Ceng Ceng sudah marah memandang
dengan mata mendelik, akan tetapi dia didahului oleh Sian Cu.
“Dia adalah
adikku, namanya Lu Ceng.”
“Aku hanya
mau menyeberangkanmu ke Kiu-teng, nona Sian Cu, bahkan tanpa dibayar apa pun.
Tetapi dia itu, hemm... Lu Ceng terlalu galak dan sikapnya tak menyenangkan,
maka...”
“Cerewet!
Kalau engkau tidak mau aku pun tidak membutuhkan bantuanmu, manusia sombong!
Kalau aku melemparmu ke dalam sungai dan membawa perahumu, kau mau bisa apa?”
“Ceng-moi,
jangan begitu...!” Sian Cu membujuk adik angkatnya, lalu berkata kepada si
tukang perahu. “Paman, kau maafkan adikku yang masih kekanak-kanakan. Kalau aku
pergi, dia pun harus ada di sampingku. Harap kau suka memaafkan dan membawa
kami berdua ke Kiu-teng.”
Tukang
perahu itu bersungut-sungut. “Baiklah, akan tetapi hanya dengan satu janji.”
“Janji apa?”
Sian Cu bertanya dan Ceng Ceng sudah siap, kalau si tukang perahu minta janji
yang kurang ajar, tentu akan dihantamnya dan dilemparkannya ke sungai!
“Bagimu
engkau tidak usah melakukan sesuatu, tidak usah membayar sesuatu. Akan tetapi
nona Ceng ini, dia harus menurut perintahku, dia harus membantuku kalau aku
perlu bantuannya mendayung perahu atau mengatur layar, dan dia pun harus
menanak nasi, air, atau memanggang ikan untukku setiap kali kukehendaki.”
“Setan...
kau kira aku siapa...?”
“Adik Ceng,
mengapa ribut-ribut? Bukankah permintaannya itu sudah semestinya? Dia mau
menolong kita, apakah sebaliknya kita tidak mau menolong dia hanya dengan
pekerjaan ringan seperti itu?”
Dengan
menggigit bibir saking gemasnya, Ceng Ceng berkata singkat. “Baiklah!”
Tukang
perahu itu tertawa. “Nah, silahkan naik ke perahu. Perahu ini kecil dan tentu
saja kurang enak, jangan nanti kalian menyalahkan aku.” Sambil berkata
demikian, tukang perahu mengambil buntalannya dan menaruhnya di kepala perahu
agar ruangan tengah yang terlindung anyaman bambu itu dapat dipakai oleh kedua
orang gadis itu.
Mereka
memasuki perahu dan meluncurlah perahu itu ke tengah sungai didayung oleh si
tukang perahu yang mulai dengan gayanya yang terang-terangan hendak menghukum
Ceng Ceng yang dianggapnya galak itu. “Ehhh, nona Ceng, kau masaklah air, itu
cereknya, itu batu api, teh di sana... dan beras ada di ujung sana, masak nasi
untuk kita bertiga. Aku akan memancing ikan untuk lauknya.”
Ceng Ceng
mendelik, akan tetapi jawilan jari tangan Syanti Dewi membuat dia tidak
membantah dan dengan bersungut-sungut dia mengerjakan perintah tukang perahu
itu. Awas saja kau, pikirnya geram. Nanti kalau kami tidak membutuhkan lagi
perahumu, akan kutampar mukamu dan kucabuti kumis dan jenggotmu. Biarlah sekarang
dia mengalah. Melakukan pekerjaan yang diperintahkan seorang tukang perahu
miskin yang kurang ajar. Sialan!
Akan tetapi
tukang perahu itu ternyata pandai sekali mengail. Sebentar saja dia telah
mendapatkan dua ekor ikan yang sebesar betis. Dia melontarkan ikan-ikan itu
kepada Ceng Ceng sambil berkata, “Bersihkan ikan-ikan itu, beri bumbu. Garam
dan lain-lain bumbu ada di poci sebelah kiri itu, dekat kakimu, lalu panggang
di atas arang membara. Awas, jangan sampai api menyala, nanti hangus dan tidak
enak!”
Lagakmu,
Ceng Ceng memaki di dalam hatinya. Kau kira aku tidak tahu caranya masak dan
memanggang ikan? Akan tetapi karena dia dan enci-nya membutuhkan perahu itu,
bukan hanya perahu itu akan tetapi tukang perahunya karena mereka berdua tidak
tahu bagaimana caranya mengemudikan perahu, dia menahan kemarahannya dan mulai
melakukan pekerjaan tanpa banyak mengeluarkan suara.
Ceng Ceng
adalah seorang dara yang sejak kecil digembleng ilmu silat oleh kakeknya.
Wataknya keras, pemberani dan di samping ini, juga harus diakui bahwa dia
terlalu dimanja oleh kongkong-nya. Selama tinggal bersama kongkong-nya yang
merupakan seorang guru terhormat, dia diperlakukan dengan hormat oleh semua
orang. Terutama sekali setelah dia menjadi adik angkat Puteri Syanti Dewi, derajatnya
naik dan dia makin dihormati. Tidak pernah ada orang yang berani memandang
rendah kepadanya, karena kedudukannya dan juga karena orang maklum akan
kelihaiannya. Akan tetapi sekarang, dia bukan saja dipandang rendah, bahkan
diperintah oleh si tukang perahu seperti seorang pelayan saja layaknya!
Dapat
dibayangkan betapa mendongkol dan mengkal rasa hatinya sehingga ketika mereka
bertiga makan, hanya si tukang perahu dan Sian Cu yang dapat menikmatinya
sedangkan Ceng Ceng tidak dapat menikmati makanan itu karena hatinya mendongkol
sekali. Sikap tukang perahu itu benar-benar menggemaskan hatinya. Setiap
gerak-geriknya seolah mengejeknya, setiap kata-katanya seakan menyindirnya!
Mulut yang cengar-cengir itu, dengan kumis yang bergerak-gerak, seperti selalu
mentertawakan padanya! Bedebah benar!
Akan tetapi,
melihat sikap Sian Cu yang selalu bersabar, Ceng Ceng dapat menahan
kemarahannya dan ditambah oleh kelelahan tubuhnya karena malam tadi sama sekali
tidak tidur, malam hari itu dia dapat tidur nyenyak bersama Sian Cu. Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali suara tukang perahu itu sudah
berteriak-teriak membangunkan mereka.
“Nona Ceng,
bangun! Sudah siang!” teriaknya. Suaranya nyaring dan bukan hanya Ceng Ceng
yang bangun, juga Sian Cu.
“Siapa
bilang sudah siang?” Ceng Ceng bersungut-sungut ketika melihat bahwa hari masih
pagi sekali, sungguh pun malam memang telah lewat dan sinar matahari mulai
mengusir kegelapan.
“Hanya
seorang pemalas saja yang mengatakan bahwa sekarang belum siang!” kata tukang
perahu. “Aku jelas bukan pemalas karena biasanya pada waktu seperti ini aku
sudah bangun tidur dan memasak air dan bubur untuk sarapan pagi.”
Ceng Ceng
hendak membantah, akan tetapi Sian Cu berbisik, “Kemarin kau memaki dia malas.”
Teringat akan kejadian itu, Ceng Ceng diam saja dan mengerjakan apa yang
diperintahkan tukang perahu itu.
Tiba-tiba
tukang perahu berkata, “Harap kalian tenang, ada kesukaran di depan!”
Dengan kaget
Ceng Ceng dan Sian Cu melihat bahwa di sebelah depan tampak dua buah perahu
hitam yang ditumpangi masing-masing oleh lima orang, di antara mereka tampak
dua orang tosu tua yang bersikap kereng!
“Siapa
mereka? Mau apa?” Ceng Ceng bertanya lirih.
“Sstttt...
harap kalian diam dan serahkan saja kepadaku menghadapi mereka.” Tukang perahu
menjawab dan ketenangan sikapnya membuat dua orang dara itu menjadi heran.
Andai kata
mereka itu adalah bajak-bajak sungai yang banyak mereka dengar, sungguh pun hal
itu menyangsikan karena di antara mereka terdapat dua orang tosu, maka sikap
tukang perahu itu terlampau tenang! Sepantasnya, tukang perahu itu tentu akan
menjadi panik dan ketakutan, tidak seperti saat ini, bersikap seolah-olah penuh
keyakinan dia akan dapat mengatasi keadaan.
Ceng Ceng
memberi tanda dengan kedipan mata kepada Sian Cu, dan puteri ini yang mengerti
bahwa dialah yang mungkin menjadi incaran musuh, segera menyembunyikan diri di
dalam perahu. Sedangkan dia melirik penuh perhatian dan kewaspadaan. Hatinya
berdebar tegang melihat betapa dua buah perahu itu dipalangkan di tengah
sungai, agaknya sengaja menghadang perahu yang ditungganginya.
“Haii,
tukang perahu!” Terdengar suara bentakan dari dua buah perahu itu. “Hendak ke
mana?”
“Kami hendak
ke Kiu-teng!” Terdengar jawaban tukang perahu yang ramah dan tetap gembira.
“Bersama
siapa? Membawa apa?” Kembali terdengar pertanyaan yang kereng dan berwibawa
itu, dan ternyata yang bertanya adalah seorang di antara dua orang tosu yang
duduk di dalam perahu pertama.
Tukang
perahu itu menoleh ke arah Ceng Ceng yang sedang memasak bubur, lalu berkata,
“Bersama isteriku! Kami tidak membawa apa-apa, hendak mencari ikan dan
menjualnya ke Kiu-teng!”
Hampir saja
Ceng Ceng meloncat dan memaki-maki! Dia diaku sebagai isteri si tukang perahu
jahanam itu! Akan tetapi ketika dia menoleh dan sudah siap untuk meloncat, dia
melihat Sian Cu memberi isyarat kepadanya dengan jari tangan di depan mulut
yang menyuruhnya diam, bahkan Sian Cu lalu menyelimuti dirinya dengan tikar
yang berada di dalam perahu. Tentu kakak angkatnya itu hendak menolong si
tukang perahu yang sudah menyatakan bahwa tukang perahu itu hanya bersama
dengan isterinya!
Ketika Ceng
Ceng menengok lagi, tentu saja wajahnya nampak oleh orang-orang di dalam kedua
perahu itu, dan terdengarlah suara ketawa lalu seorang di antara mereka yang
bermata lebar berseru sambil tertawa, “Haiiii, isterimu cantik sekali, tukang
perahu! Boleh aku menyewanya?”
“Perahuku
tidak disewakan!”
“Heh, tolol!
Bukan perahumu, tetapi isterimu yang kusewa! Berapa sewanya semalam?” Terdengar
suara ketawa dari kedua perahu itu.
Dapat
dibayangkan betapa hebat kemarahan di hati Ceng Ceng. Namun melihat bahwa kakak
angkatnya sudah bersembunyi, dia tidak tega mengganggu, lagi pula ia pun ingin
sekali mendengar apa yang menjadi jawaban tukang perahu gila itu.
“Hemm,
berapa kau berani bayar, kawan?”
Benar gila!
Ceng Ceng mengepal tinju dan sudah siap untuk menghajar mereka semua. Kedua
telinganya mengeluarkan bunyi mengiang-ngiang saking marahnya.
“Ha-ha-ha-ha!
Nah, kau terimalah uang panjarnya dahulu, dan kalau kau menolak, ini
tambahnya!” Dari dalam sebuah di antara dua perahu itu melayang benda ke dalam
perahu yang ditumpangi Ceng Ceng dan ternyata sekantung kecil uang tembaga dan
sebatang toya baja yang dilontarkan ke depan kaki tukang perahu itu.
Ceng Ceng
melirik dengan sudut matanya. Jelas bahwa orang-orang kasar itu memberi uang
dan disertai ancaman karena toya itu berarti ancaman kalau permintaan itu
ditolak.
Si tukang
perahu mengambil kantung, membuka untuk melihat isinya yang hanya uang tembaga,
juga dia memegang toya dan melihat-lihat benda itu seperti lagi
menimbang-nimbang. Kemudian dia berkata, “Wah, penawarannya masih jauh
berkurang, sobat! Bagaimana kalau ditambah nyawamu?” Dia lalu melontarkan
kembali kantung uang dan toya.
Ceng Ceng
terkejut. Betapa beraninya si tukang perahu! Dan dia melihat betapa semua orang
di kedua perahu itu merubung dan melihat toya dan kantung uang, seolah-olah ada
sesuatu yang aneh pada kedua benda itu. Terdengar teriakan lirih dari rombongan
itu, “Si Jari Maut!”
Makin heran
lagi hati Ceng Ceng ketika dia melihat dua orang tosu itu bangkit berdiri di
perahu mereka dan seorang di antara keduanya menjura dengan membentuk tanda
jari-jari tangan depan dada sambil berkata. “Harap sudi memaafkan kelakar anak
buah kami dan persilakan lewat disertai salam persahabatan kami!”
Si tukang
perahu hanya tersenyum, lalu menggunakan dayungnya untuk meluncurkan perahunya
lewat di antara kedua perahu yang telah minggir itu, melempar senyum mengejek
ke arah mereka, dan kemudian berkata ke dalam perahu, “Nona Sian Cu, keluarlah,
tidak ada bahaya lagi sekarang.”
Ceng Ceng
langsung membanting panci terisi bubur panas. Dia meloncat bangun dan
menudingkan telunjuknya kepada si tukang perahu. “Keparat, mulutmu busuk
sekali! Berani kau mengatakan aku sebagai isterimu? Phuahh, tidak tahu diri,
tukang perahu jembel busuk!”
Si tukang
perahu mengangkat hidungnya. “Hemm, gadis dusun yang galak! Andai kata benar
kau adalah isteriku, maka engkaulah yang untung dan aku yang rugi besar!”
“Jahanam...!”
Ceng Ceng tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia telah menerjang untuk
menampar pipi orang itu. Biar kurontokkan giginya, pikirnya dengan marah.
“Wuuuttttt...!”
Tamparan
yang dilakukan dengan cepat sekali dan disertai tenaga sinkang yang kuat itu
hanya mengenai angin. Terkejutlah Ceng Ceng karena tidak disangkanya sama
sekali bahwa tukang perahu itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya, dapat
mengelak dari tamparannya. Padahal tamparan itu dilakukan secara tidak terduga
dan cepat sekali sehingga jaranglah ada yang dapat mengelakkan begitu mudah!
Dia menjadi penasaran sekali dan menerjang lagi, kini tidak lagi menampar,
melainkan memukul secara bertubi-tubi dengan kedua tangannya!
“Wuuut-wuuut-wuuut-wuuutt...!”
Semua
pukulannya adalah jurus-jurus pilihan dan disertai tenaga sinkang yang amat
kuat, namun semuanya dapat dielakkan secara mudah oleh si tukang perahu!
“Ceng-moi,
jangan...!” Sian Cu berseru.
“Biar!” Ceng
Ceng membantah dengan marah. “Dia kurang ajar, harus kupukul manusia jahanam
ini!”
“Eh-eh-ehhh,
beginikah engkau membalas budi orang?” Tukang perahu itu tersenyum sambil
mengejek. “Ditolong balasnya memukul? Ini namanya diberi air susu dibalas
dengan air tuba! Benar-benar gadis galak yang tidak mengenal budi!”
“Setan
sungai kau!” Sekarang Ceng Ceng menubruk maju, kakinya menendang dan tangannya
menyusul dengan tusukan jari tangannya ke arah perut tukang perahu.
“Wuuutttttt...
dukkk!” Tubuh Ceng Ceng terhuyung ketika orang itu terpaksa menangkis tusukan
tangannya. Akan tetapi hal itu justru membuat Ceng Ceng makin marah dan dia
menerjang lagi.
“Adik Ceng,
jangan...!”
“Biarlah,
enci. Dia kurang ajar sekali. Dia tentunya manusia busuk!” Dia meloncat dan
mengirim pukulan yang amat berbahaya karena dia telah menggunakan jurus pilihan
dari ilmu silat kongkong-nya.
Pukulan itu
bersiut datang ke arah lambung tukang perahu, akan tetapi tiba-tiba tubuh
tukang perahu bergerak dan ternyata dia telah meloncati lewat bilik perahu ke
bagian belakang perahu!
“Mau lari ke
mana kau!” Ceng Ceng mengejar, juga meloncati bilik itu dan dari atas dia sudah
mencengkeram dengan kedua tangannya.
Tapi si
tukang perahu itu dengan tersenyum-senyum menyelinap ke bawah, menerobos
melalui bilik perahu, dikejar dan memutari tiang layar sambil tertawa-tawa.
Sementara itu, semua pukulan dan tendangan yang dilakukan oleh Ceng Ceng dengan
kemarahan meluap-luap itu sama sekali tidak ada hasilnya!
“Ceng-moi...
tahan dulu...!” Sian Cu sibuk memegang tangan Ceng Ceng dan berusaha menahan
gadis yang marah itu mengamuk.
“Enci,
apakah kau tadi tidak mendengar omongan busuknya? Kalau aku tidak dapat memukul
pecah mulutnya, aku tidak akan puas!” Dia menarik lengannya secara tiba-tiba
sehingga pegangan Sian Cu terlepas dan kembali dia menendang sambil meloncat.
Tendangan terbang yang berbahaya sekali, mengarah tenggorokan si tukang perahu.
“Heiiittt...
tendangan hebat!” Si tukang perahu mengelak sambil memuji dengan suara
mengejek.
“Mampuslah...!”
Ceng Ceng membalikkan tubuhnya saat tendangannya tidak mengenai sasaran, sambil
membalik, tubuhnya maju dan tangannya yang dikepal menghantam dada.
“Eiiiiihhhh...
hebat, wahhh luput! Sayang sekali...!” Kembali si tukang perahu mengejek dan
berhasil mengelak.
Dapat
dibayangkan betapa jengkel hati Ceng Ceng. Perahu bergerak-gerak miring dan dia
sudah menyerang bertubi-tubi, namun tidak berhasil sama sekali. Biar pun kini
dia maklum bahwa tukang perahu itu ternyata lihai, namun kemarahannya membuat
dia tidak mengenal takut. Hatinya tidak akan terasa puas sebelum dia berhasil
merobohkan orang yang dibencinya itu.
“Adik
Ceng... ahhh, jangan! Lihat, perahu sudah miring... kita bisa celaka...!”
Memang benar
teriakan Sian Cu ini. Gerakan-gerakan dua orang yang berkejar-kejaran seperti
tikus dengan kucing ini membuat perahu kehilangan arah dan miring-miring.
“Ha-ha-ha,
biarkanlah, nona Sian Cu. Kalau perahu terbalik, baru nona galak itu tahu rasa.
Kau jangan khawatir, tentu akan kutolong, tapi dia... biar kembung perutnya
terisi penuh air, ha-ha-ha!”
“Jahanam
busuk...!” Ceng Ceng hampir menangis dan kini dia mengeluarkan sepasang
belatinya. “Engkau harus mampus di tanganku!”
“Adik
Ceng...!”
Ceng Ceng
yang sudah ‘mata gelap’ saking marahnya itu menyerang dengan dahsyat sekali,
tidak peduli akan perahu yang miring. Melihat datangnya dua sinar terang yang
menyambarnya, tukang perahu secara tiba-tiba merendahkan tubuh berjongkok dan
tiba-tiba Ceng Ceng merasa kedua tangannya lemas karena secara lihai dan tak
tersangka sama sekali, dari bawah menyambar jari-jari tangan tukang perahu itu
memapaki gerakan tangannya dan pergelangan tangannya telah ditotok sehingga
tangannya yang lumpuh tak mampu lagi memegang sepasang belatinya dan dengan
gerakan kilat, sepasang senjatanya itu telah dibuang ke dalam sungai oleh si
tukang perahu. Sambil tertawa tukang perahu itu meloncat lagi melewati bilik
dan berada di ujung perahu yang lain sambil menyeringai lebar.
“Heh-heh,
kau boleh terjun keluar mengejar pisau-pisau dapur itu!”
Kemarahan
yang memuncak membuat Ceng Ceng tidak sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang
yang memiliki kepandaian yang amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada tingkat
kepandaiannya sendiri. Akan tetapi dia jengkel sekali, merasa terhina dan ingin
dia menangis dan menjerit-jerit! Dia telah dibikin malu, dihina, dibuat tidak
berdaya dan sepasang senjatanya dibuang begitu saja ke dalam sungai!
Tiba-tiba
timbul akalnya untuk membalas dendam! Ia menubruk ke depan, disambarnya dayung,
dua batang dayung dari perahu itu, bukan dipergunakan untuk senjata, tetapi
dayung yang dua buah itu dilemparnya jauh-jauh keluar dari perahu, ke tengah
sungai! Kemudian disambarnya tali layar, direnggutnya sampai putus dan
dibuangnya pula, lalu dirobeknya layar.
“Heiiiii...
jangan...! Wah-wah, celaka... kau benar-benar liar!” Tukang perahu
berteriak-teriak, mengangkat kedua tangannya untuk mencegah dan kelihatan
bingung sekali.
Melihat ini,
terobatlah hati Ceng Ceng yang panas dan sakit, akan tetapi dia belum juga
puas. Dia melihat buntalan si tukang perahu, maka cepat buntalan itu
disambarnya pula.
“Jangan
itu...!” Tukang perahu berteriak dan meloncat dengan kecepatan seperti burung
terbang, melewati bilik dan tangannya diulur untuk merampas buntalan. Akan
tetapi sambil tersenyum mengejek Ceng Ceng sudah melemparkan buntalan itu
sampai jauh ke tengah sungai.
“Byuurrr...!”
“Wah,
celaka...!” Tukang perahu berteriak dan dia pun meloncat ke dalam air mengejar
buntalannya yang dibuang.
“Byuurr...!”
Air muncrat ke atas dan tukang perahu lenyap, menyelam untuk mengejar buntalan
yang sudah tenggelam. Tubuh tukang perahu terseret air yang mengalir cepat.
Ceng Ceng
melongo, mukanya agak pucat. Melihat tukang perahu itu lenyap ditelan air, dia
kaget dan merasa khawatir sekali. Kekhawatiran yang menimbulkan penyesalan.
Jangan-jangan tukang perahu itu akan mati terseret arus yang kencang, pikirnya.
Buntalan itu tentu amat penting baginya. Mungkin segala harta milik tukang
perahu yang miskin itu berada di dalam buntalan, maka tentu saja dia
mati-matian mempertahankan miliknya dan jangan-jangan dia mengorbankan nyawa
dalam mengejar buntalan.
“Ceng-moi...
celaka... perahunya hanyut dan miring...!” Terdengar jerit Sian Cu.
Ceng Ceng
baru tersadar dan dia mendekati enci-nya. Segera dia pun menjadi bingung.
Perahu terseret dan terbawa arus yang kuat sekali dan karena perahu itu
kehilangan kemudi, maka dipermainkan air oleng ke kanan kiri. Ditambah lagi
kepanikan mereka yang berdiri di perahu, menjaga keseimbangan badan ketika
perahu oleng, malah menambah miring perahu. Kedua orang dara itu menjadi makin
bingung!
“Bagaimana,
Ceng-moi? Bagaimana kita harus menahan perahu? Mana dayungnya?” Sian Cu
menjerit-jerit ngeri karena dia tidak pandai renang.
“Dayungnya...?”
Ceng Ceng terkejut.
Dayung, tali
layar, semua telah dibuangnya, bahkan layarnya telah dirobek-robeknya! Dia
tidak mampu menjawab, dan tidak tahu harus berbuat apa untuk menyelamatkan
perahu dan mereka berdua. Karena tidak dapat melakukan sesuatu, Ceng Ceng hanya
merangkul dan melindungi Sian Cu dengan lengannya sambil berpegang erat-erat
pada tiang layar yang terbuat dari bambu itu.
“Jangan
bergerak-gerak, enci. Tenang saja agar perahu hanyut dengan tenang!”
Kedua orang
dara itu tak bergerak dan benar saja, perahu itu tidak lagi miring-miring, akan
tetapi setengahnya telah terendam air dan kini hanyut dengan kecepatan yang
mengerikan. Untung bahwa bagian sungai itu tidak dalam dan tidak ada batu-batu
menonjol sehingga perahu mereka dapat hanyut terus, tidak menabrak batu yang
tentu akan membuat perahu tenggelam. Karena menghadapi bahaya maut yang
mengerikan ini, kedua orang dara itu sudah lupa lagi kepada tukang perahu yang
tadi meloncat ke air.
Perahu
hanyut dengan cepat dan memasuki sebuah dusun yang besar dan ramai. Di tempat
ini banyak sekali perahu berada di sungai dan begitu perahu yang ditumpangi
Ceng Ceng dan Sian Cu datang dengan cepatnya, gegerlah para nelayan di situ.
Perahu-perahu yang berada di tengah dan sedang didayung seenaknya cepat-cepat
didayung minggir.
“Minggir...!
Perahu hanyut...!”
“Celaka...!
Krakkkk...!”
“Braaakkkk!
Krakkkk...!”
Terdengar
teriakan-teriakan dan dua buah perahu yang tidak keburu minggir telah ditabrak
oleh perahu yang hanyut itu sehingga terguling dan tenggelam, berikut perahu
yang ditumpangi Ceng Ceng dan Sian Cu!
“Ceng-moi...!”
Terdengar Sian Cu menjerit sebelum tubuhnya tenggelam.
“Enci
Syanti!” Ceng Ceng juga menjerit.
Biar pun
belum pernah belajar berenang, namun dara itu telah mendengar bagaimana caranya
berenang. Dia lalu menggerak-gerakkan kedua lengannya sambil
menendang-nendangkan kakinya sehingga tubuhnya tidak tenggelam, namun karena
gerakannya ngawur, tubuhnya segera terseret oleh arus deras.
Orang-orang
di situ masih panik dan bingung karena peristiwa itu terjadi secara tiba-tiba
dan tidak terduga-duga, maka tidak ada yang melihat gadis yang hanyut terbawa
air yang kencang itu. Mereka yang tadinya duduk di dalam perahu yang pertama
tertabrak, sebanyak lima orang, sudah berenang dan berusaha membalikkan perahu
mereka. Ada pun perahu kedua yang tenggelam, tidak tampak timbul kembali, juga
penumpangnya, seorang laki-Iaki setengah tua, tidak kelihatan muncul di permukaan
air.
Tiba-tiba
terdengar banyak orang berteriak-teriak keheranan. Siapa tidak akan menjadi
keheranan dan kagum sekali ketika melihat perahu kedua yang tenggelam tadi,
tiba-tiba saja muncul. Seperti bersayap, perahu itu tahu-tahu telah ‘terbang’
di atas permukaan air dan terus mendarat! Di atas perahu itu tampak seorang
laki-laki setengah tua yang berpakaian basah kuyup memegang dayung panjang di
tangan kanan dan mengempit tubuh Syanti Dewi di tangan kiri, berdiri dan
mengatur keseimbangan perahu yang meluncur itu dengan tubuhnya. Setelah perahu
itu mendarat di atas pasir, setelah tadi ‘terbang’ melalui beberapa buah perahu
lainnya, laki-laki itu meloncat dari perahu, terus berjalan pergi dengan cepat
sambil memondong Syanti Dewi atau Sian Cu yang masih pingsan!
Tentu saja
semua orang terheran-heran, apa lagi setelah mereka berusaha mengejar.
Laki-laki itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas! Ramailah orang
membicarakan orang yang aneh itu. Dari keterangan beberapa orang yang mengenal
laki-laki aneh itu, ternyata bahwa laki-laki yang usianya sekitar empat puluh
tahun itu baru dua bulan lebih tiba di Kiu-teng, yaitu dusun di mana terjadi
peristiwa hebat dan aneh itu tadi. Laki-laki itu sering kali duduk di dalam
perahu, termenung, kadang-kadang mengangkut barang dagangan menyeberang atau ke
tempat lain yang tidak begitu jauh.
Orang itu
pendiam, jarang sekali bicara akan tetapi karena pandang matanya dan tutur
bahasanya yang jarang itu selalu manis budi, semua orang suka kepadanya. Dalam
menerima biaya pengangkutan, orang itu pun tidak cerewet sehingga mulai
memperoleh banyak langganan. Anehnya, mereka yang mengenal orang itu, mereka
sering kali melihat orang itu mengajak anak-anak kecil untuk bermain-main,
mengajar mereka berenang, bernyanyi dan bermain-main. Lebih mengherankan lagi,
orang itu hampir selalu menghabiskan uang hasil pekerjaannya untuk menyenangkan
hati anak kecil itu, bahkan beberapa kali dia membelikan pakaian untuk
anak-anak yang miskin.
“Siapa
namanya?” tanya seorang.
“Dia tentu
seorang pendekar sakti yang menyamar!”
“Mungkin dia
seorang dewa! Kalau manusia, mana mampu menerbangkan perahu?”
Orang yang
mengenal laki-laki aneh itu menggelengkan kepalanya. “Itulah anehnya. Dia tidak
pernah mau mengaku siapa namanya, hanya mengatakan bahwa dia she Gak, sehingga
aku pun hanya menyebutnya Gak-twako (kakak Gak). Anehnya, sikapnya biasa dan
sederhana saja. Siapa tahu ternyata dia adalah seorang yang memiliki kesaktian
sehebat itu!” Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya penuh takjub.
Bagi yang
mengenal laki-laki setengah tua itu tentu tidak akan heran menyaksikan
kesaktiannya, karena orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng. Para pembaca
cerita Sepasang Pedang Iblis tentu tidak akan pernah melupakan nama ini! Pada
waktu itu, di dalam cerita Sepasang Pedang Iblis, Gak Bun Beng masih muda,
seorang pemuda yang memiliki kesaktian luar biasa karena pemuda ini telah
banyak mewarisi ilmu silat yang tinggi sekali. Selain ketika masih kanak-kanak
dia menjadi murid seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai, ketika menjelang dewasa
dia secara kebetulan mewarisi ilmu kesaktian peninggalan seorang manusia dewa
yang bernama Koai Lojin. Bukan itu saja, bahkan pernah dia menerima warisan
ilmu dari kakek sakti Bu-tek Siauw-jin datuk Pulau Neraka, dan pernah pula menerima
pendidikan sinkang dari Pendekar Super Sakti!
Di waktu dia
masih muda saja dia telah memiliki kesaktian-kesaktian luar biasa itu, di
antaranya adalah ilmu Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit), Tenaga
Sakti Inti Bumi dari Bu-tek Siauw-jin, gabungan tenaga sinkang Swat-im-sinkang
dan Hui-yang-sinkang dari Pendekar Super Sakti, di samping ilmu silat-ilmu
silat lainnya yang kesemuanya bertingkat tinggi!
Hanya
sayang, pemuda tampan dan gagah perkasa itu malang nasibnya hingga banyak
mengalami kesengsaraan, bahkan pertalian cinta kasihnya dengan Milana, puteri
sulung Pendekar Super Sakti, telah gagal dan putus! Pada akhir cerita Sepasang
Pedang Iblis, pemuda Gak Bun Beng yang mengunjungi Pulau Es berpamit kepada
Pendekar Super Sakti, berpisah dari bekas kekasihnya, Milana, dan lalu pergi
tanpa meninggalkan jejak. Semenjak itu, sampai belasan tahun, namanya tidak
pernah lagi terdengar di dunia kang-ouw.
Gak Bun Beng
menganggap bahwa nasib hidupnya itu sudah sewajarnya. Kalau dia melihat keadaan
riwayatnya, dia bahkan menganggap dirinya masih beruntung karena tidak sampai
terjerumus menjadi seorang penjahat. Ayahnya adalah seorang datuk sesat yang
amat jahat, yang bernama Gak Liat dan dia sendiri dilahirkan di dunia karena
kejahatan ayahnya yang memperkosa seorang pendekar wanita Siauw-lim-pai!
Dia seorang
anak haram, keturunan seorang ayah yang jahat seperti iblis! Mengingat itu
semua, Gak Bun Beng tak pernah menyesali nasibnya dan dia malah menyembunyikan
diri, hidup di antara rakyat miskin sederhana, merantau ke pelbagai tempat dan
diam-diam tentu saja memperdalam ilmu-ilmunya.
Akhirnya,
kurang lebih dua bulan yang lalu, dia tiba di dusun Kiu-teng itu dan hidup
sebagai seorang tukang perahu yang sederhana. Di tempat ini pun, seperti di
lain-lain tempat, dia tidak pernah memperkenalkan namanya kecuali hanya
she-nya, sehingga oleh tukang perahu lain yang mengenalnya, dia hanya dikenal
sebagai Gak-twako, seorang tukang perahu yang hidup sederhana dan pendiam,
penyayang kanak-kanak.
Ketika pada
hari itu Gak Bun Beng sedang melamun sambil duduk menanti pesanan orang yang
akan menyewa perahunya, tiba-tiba perahunya menjadi korban tabrakan perahu yang
hanyut itu hingga terguling dan tenggelam. Bun Beng tidak mempedulikan dirinya
sendiri, pertama-tama yang menarik perhatiannya adalah teriakan-teriakan dua
orang gadis yang ikut tenggelam bersama perahu yang hanyut itu.
Ketika dia
mendengar seorang di antara dua orang gadis itu menyebut nama ‘enci Syanti’,
dia menjadi heran sekali. Nama itu terang bukan nama gadis Han! Tentu saja Bun
Beng bermaksud menolong mereka, akan tetapi dia bukanlah seorang yang amat ahli
dalam ilmu renang, maka dia hanya dapat menolong gadis terdekat. Setelah dia
dapat meraih gadis yang pingsan itu dan mulai tenggelam lagi, Bun Beng
menggunakan kepandaiannya menyelamatkan perahunya.
Dengan
kekuatan yang dahsyat dia menggunakan dayungnya sebagai alat menekan sehingga
perahunya meluncur ke atas sedemikian kuatnya sehingga melampaui perahu lain
dan dapat mendarat di atas pasir. Karena keadaan yang memaksanya itu, tanpa
sengaja dia mengeluarkan kepandaiannya dan barulah dia teringat akan hal ini
setelah perahunya mendarat.
Dia
menyesali kelengahannya dan terpaksa dia harus meninggalkan perahunya dari
tempat itu karena kalau tidak, berarti dia membuka rahasianya yang selama
belasan tahun ini disimpannya rapat-rapat. Hanya satu hal membuat dia kecewa,
yaitu dia tidak dapat menolong gadis kedua yang telah hanyut terbawa arus air
yang amat kuat. Dia tahu bahwa mengejarnya tidak akan ada gunanya dan gadis itu
tentu tewas, kecuali kalau ada pertolongan yang tak tersangka-sangka.
Bun Beng
membawa Syanti Dewi ke dalam kuil tua yang kosong di tengah hutan, di sebelah
timur dusun Kiu-teng dan di lembah Sungai Nu-kiang, merebahkan tubuh yang
pingsan itu di atas lantai, kemudian mengeluarkan air dalam perut dara itu,
mengurut beberapa jalan darah sampai dara itu mengeluh dan siuman.
“Ahhhhh...!”
Syanti Dewi mengeluh dan bergerak, lalu membuka kedua matanya.
Bun Beng
memandang wajah itu dan di sudut hatinya terharu. Dia merasa yakin bahwa gadis
ini tentulah gadis asing yang memiliki kecantikan khas agak mirip dengan
Milana, bekas kekasihnya yang memiliki darah Mancu bangsawan, karena Milana
adalah cucu Kaisar Mancu!
Ketika
Syanti Dewi mendapat kenyataan bahwa dia rebah dalam kamar tua dari tembok yang
sudah retak-retak, di atas lantai yang kotor, kemudian melihat seorang
laki-laki berusia kurang dari empat puluh tahun berjongkok tidak jauh darinya,
dia terkejut dan cepat bangkit duduk. Kenyataan pertama adalah bahwa pakaiannya
basah kuyup, maka teringatlah dia akan peristiwa yang mengerikan itu, ketika
perahu yang hanyut itu tenggelam membawa dia dan Ceng Ceng tenggelam pula.
“Di... di
mana aku? Siapakah paman...?”
Biar pun
ucapannya itu dikeluarkan dalam keadaan bingung dan terkejut, namun jelas
terdengar kehalusan budi bahasa gadis itu.
“Tenanglah,
nona. Engkau telah dapat terbebas dari bahaya tenggelam di sungai dan aku
adalah seorang tukang perahu yang kebetulan melihat engkau tenggelam bersama
perahu hanyut itu,” kata Bun Beng dengan suara halus menghibur.
Tiba-tiba
sepasang mata dara itu terbelalak dan dia bertanya, “Bagaimana dengan Ceng-moi?
Di mana Ceng-moi...?”
“Engkau
maksudkan gadis kedua yang turut terguling dan tenggelam dengan perahu hanyut
itu?” Bun Beng bertanya.
“Benar...
kami berdua di perahu itu... bagaimana dengan Ceng-moi? Di manakah dia...?
Ceng-moi...!” Syanti Dewi menjerit, memanggil nama adik angkatnya penuh
khawatir.
Bun Beng
menggelengkan kepalanya dan menghela napas. “Menyesal sekali bahwa tenagaku terbatas,
aku hanya berhasil menyelamatkanmu, nona. Ada pun nona kedua itu... aku melihat
sendiri dia terseret dan hanyut oleh arus sungai yang amat deras dan kuat...”
Makin
terbelalak sepasang mata itu, dan wajah Syanti Dewi langsung menjadi pucat
sekali. “Paman...! Kau... maksudkan... dia... Ceng-moi...?”
Bun Beng
mengangguk. “Kalau tidak terjadi hal yang luar biasa, aku khawatir sekali bahwa
dia akan tewas. Air itu deras sekali dan amat dalam.”
“Ceng-moi...!”
Syanti Dewi menjerit lalu menangis sesenggukan, menutupi muka dengan kedua
tangannya.
Bun Beng
memandang dengan alis berkerut, akan tetapi dia diam saja karena maklum bahwa
pada saat seperti itu, hanya tangis yang merupakan obat terbaik bagi dara ini.
“Ceng-moi...
aihhh... Candra adikku, bagaimana aku bisa hidup tanpa kau? Bagaimana aku
berani melanjutkan perjalanan tanpa engkau...? Adik Candra... tega benar engkau
meninggalkan aku... hu-hu-huhhhh, lalu aku bagaimana...?”
Mendengar
wanita muda itu menyebut gadis kedua dengan nama Ceng-moi dan juga adik Candra,
Bun Beng merasa heran. Akan tetapi kerut di alisnya mendalam dan tiba-tiba dia
berkata, suaranya penuh nada teguran, “Nona, tidak kusangka bahwa hatimu kejam
dan engkau mementingkan dirimu sendiri saja!”
Mendengar
teguran aneh ini, tentu saja Syanti Dewi terkejut dan merasa amat heran
sehingga sejenak dia lupa akan tangisnya, mengangkat muka yang pucat dan basah
dengan mata merah, memandang tukang perahu itu sambil bertanya dengan suara
tergagap, “Paman... apa... apa maksudnya...? Aku kejam..., terhadap siapa...?”
“Terhadap
siapa lagi kalau bukan terhadap adikmu itu?”
“Paman!”
Syanti Dewi bertanya dengan suara keras karena penasaran. “Apa maksudmu dengan
kata-kata itu? Aku kejam terhadap adik Ceng Ceng?”
Bun Beng
menarik napas panjang. “Ahhh, aku sampai lupa bahwa engkau pun hanya seorang
gadis yang tentu saja takkan berbeda dengan seluruh manusia di dusun ini,
hidupnya penuh dengan keakuan yang selalu mementingkan diri sendiri. Akan
tetapi, coba engkau sadarilah, nona. Engkau menangis dan berduka ini, terus
terang saja, yang engkau tangisi dan dukakan ini karena adikmu itu mungkin
mati, ataukah engkau menangis dan berduka karena engkau ditinggalkan oleh dia
yang kau sandari? Engkau menangisi dia ataukah engkau menangisi dirimu
sendiri?”
Syanti Dewi
terkejut bukan main! Ucapan itu terdengar seperti halilintar menyambar di
tengah hari terik, dan memasuki hatinya seperti setetes air dingin sekali di
waktu panas. Sejenak dia melongo dan tercengang, hanya dapat memandang orang
itu tanpa mampu berkata-kata, dan otomatis tangisnya pun berhenti!
Bun Beng
lalu membuat api unggun tanpa berkata-kata, lalu keluar dari dalam kamar kuil
tua dan berkata dari luar kamar, “Sekarang yang terpenting menjaga jangan
sampai engkau jatuh sakit. Tanggalkanlah semua pakaianmu dan lemparkan keluar
agar dapat kujemur sampai kering. Sementara menanti pakaian kering, kau
duduklah di dekat api unggun. Dan engkau tidak perlu khawatir, nona. Di tempat
ini tidak orang lain kecuali kita berdua, dan aku akan menjaga di luar kuil.”
Teguran atas
tangisnya tadi masih menghujam di ulu hatinya, masih berkesan dalam sekali di
hatinya, maka seperti dalam mimpi, dengan mata masih tertuju ke arah pintu dari
mana laki-laki itu tadi keluar, tanpa ragu-ragu Syanti Dewi menanggalkan semua
pakaiannya satu demi satu, lalu menggulung semua pakaian itu dan melempar
keluar pintu.
Hanya tampak
sebagian lengan tangan menyambar gulungan pakaian itu, lalu lenyap. Syanti Dewi
duduk mendekati api unggun, menutupi dadanya dengan rambutnya yang dilepas
kuncirnya. Dia duduk termenung, terheran-heran memikirkan laki-laki aneh yang
ucapannya menusuk hatinya dengan tepat sekali, membuat tangisnya terhenti
seketika karena dia kini malu sendiri kalau harus menangis, karena tak dapat
dibantahnya bahwa tangisnya tadi terutama sekali karena merasa khawatir dan iba
kepada dirinya sendiri, bukan kepada Ceng Ceng! Dia menangis karena
ditinggalkan.
Karena DIA
yang ditinggalkan, karena DIA kehilangan kawan baik, karena DIA kini menghadapi
masa depan di istana kerajaan asing seorang diri saja! Kini dia termenung dan
merasa heran tiada habisnya karena sedikit ucapan itu menggugah kesadarannya,
membuat dia melihat kepalsuan dalam liku-liku kehidupan manusia. Apakah semua
tangis yang dikucurkan, semua perkabungan jika ada kematian kesemuanya itu
seperti tangisnya tadi juga, semua itu palsu, belaka dan yang menangis itu
sesungguhnya hanya menangisi dirinya sendiri saja, bukan menangis demi yang
mati?
Bun Beng
memeras pakaian gadis itu sampai hampir kering sehingga dijemur sebentar saja
pakaian itu sudah kering betul. Pakaian itu digulungnya dan dari luar kamar
kuil itu dia berkata, “Nona, pakaianmu sudah kering semua. Terimalah dan segera
pakai kembali pakaianmu!” Gulungan pakaian itu dia lemparkan ke dalam dan
kembali hanya sebagian lengannya saja yang tampak.
Syanti Dewi
merasa bersyukur dan berterima kasih sekali. Cepat dia mengenakan kembali
pakaiannya. Di dalam hatinya dia bersyukur kepada Thian bahwa setelah
kehilangan Ceng Ceng, kini dia bertemu dengan orang yang demikian baik budinya,
seorang laki-laki yang bukan hanya telah menyelamatkan nyawanya, akan tetapi
juga yang secara aneh telah menyadarkan batinnya dan kini bersikap demikian
sopan kepadanya!
“Aku sudah
berpakaian, paman. Harap suka masuk agar kita dapat bicara,” katanya.
Bun Beng
melangkah masuk, dan kembali mereka duduk saling berhadapan di atas lantai.
Tanpa malu-malu Syanti Dewi kini menatap laki-laki itu dan terkejutlah dia
karena baru sekarang tampak olehnya bahwa orang yang berada di depannya jelas
bukanlah seorang tukang perahu biasa! Sinar mata laki-laki itu demikian tajam
dan berwibawa, namun mengandung kehalusan pandang mata yang penuh kasih sayang
dan iba hati.
Wajah itu
sangat tampan dan kulitnya halus, kumis dan jenggotnya terpelihara. Seluruh
tubuhnya membayangkan perawatan dan kebersihan, bahkan kuku-kuku jari tangannya
pun terawat seperti tangan seorang sastrawan, pakaiannya sederhana namun bersih
pula. Bukan seorang tukang perahu biasa, agaknya seorang sastrawan yang
menyamar sebagai rakyat jelata! Di lain pihak, Bun Beng yang memperhatikan
wajah gadis itu juga dapat menduga bahwa gadis ini selain asing karena nama dan
bentuk mukanya, juga tentu seorang gadis terpelajar tinggi.
“Nona
siapakah?” Bun Beng bertanya singkat.
“Namaku Lu
Sian Cu. Boleh aku mengetahui namamu, paman?”
“Sebut saja
aku paman Gak. Akan tetapi kuharap engkau tidak merahasiakan namamu karena aku
telah mendengar gadis kedua itu meneriakkan namamu, yaitu Syanti.”
Syanti Dewi
tercengang dan maklum bahwa tiada gunanya untuk membohong kepada orang yang
jelas beriktikad baik terhadap dirinya itu. “Memang Lu Sian Cu adalah nama
baruku, paman. Nama yang kupakai dalam perjalanan bersama adikku itu. Nama
asliku adalah Syanti Dewi...” Dara itu berhenti untuk melihat reaksi pada wajah
laki-laki itu. Namanya adalah nama puteri Kerajaan Bhutan, tentu laki-laki itu
akan menjadi terkejut mendengarnya.
Namun tidak
ada reaksi apa-apa pada wajah laki-laki itu, dan memang Bun Beng tidak pernah
mendengar nama ini. Selama belasan tahun dia tidak mau mencampuri urusan dunia,
tidak pula memperhatikan segala peristiwa yang terjadi mengenai pemerintah dan
kerajaan mana pun juga!
“Engkau dari
suku bangsa apakah, nona?”
Kini tahulah
Syanti Dewi bahwa laki-laki ini memang tidak mengenal namanya sama sekali! Hal
ini agak mengherankan hatinya, karena daerah ini belum jauh dari Bhutan. Memang
namanya yang tidak dikenal orang, ataukah laki-laki ini yang bodoh?
“Aku
berbangsa Bhutan...!”
“Ahhh... dan
engkau bersama adikmu datang dari Bhutan berdua saja? Hendak ke manakah dan
mengapa kalian hanya pergi berdua? Kuharap kau suka menceritakan semua kepadaku
agar aku menjadi jelas ke mana aku selanjutnya harus mengantarmu.”
Bukan main
girang dan lega rasa hati Syanti Dewi. Benar-benar dia telah ditemukan oleh
Thian dengan orang ini yang demikian baik hati! Maka dia lalu bangkit berdiri
dan menjura dengan hormat kepada Bun Beng, yang kemudian dibalas oleh laki-laki
itu dengan semestinya.
“Paman, aku
menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, dan lebih banyak terima
kasih lagi bahwa paman akan sudi melanjutkan pertolongan paman itu untuk
mengantar aku sampai ke tempat tujuan. Akan tetapi, hal itu berarti bahwa aku
akan membuat paman repot sekali!”
“Ah, tidak
ada kerepotan apa-apa, nona. Dan aku pun bukan menolong, tetapi sudah
sewajarnyalah kalau aku menolong seorang gadis muda yang kini hanya melakukan
perjalanan seorang diri saja.”
“Tapi
perjalananku amat jauh, paman.”
“Hemm,
sejauh manakah?”
“Sampai ke
kota raja Kerajaan Ceng.”
“Hehhh...?”
Bun Beng menjadi kaget, juga sama sekali tidak menyangkanya bahwa gadis ini
berniat pergi ke kota raja! Akan tetapi dia menduga bahwa tentu ada urusan yang
luar biasa pentingnya, maka segera dia berkata, “Memang jauh sekali ke sana,
akan tetapi kalau memang perlu, aku bersedia mengantarmu ke sana, nona.”
Kebaikan
yang dianggapnya berlebihan ini membuat Syanti Dewi meragu. “Akan tetapi,
paman... kabarnya perjalanan ke sana harus menghabiskan waktu berbulan,
bagaimana paman dapat meninggalkan keluarga paman...?”
Bun Beng
tersenyum dan Syanti Dewi makin kagum. Laki-laki ini tampan dan gagah, juga
giginya yang tampak sekilas itu terawat baik, tidak seperti gigi sebagian besar
tukang perahu atau orang-orang dusun yang dijumpainya.
“Jangan
khawatir, nona. Aku hidup seorang diri di dunia ini, tiada handai taulan, tiada
sanak keluarga, tiada rumah tangga. Tetapi, karena perjalanan itu jauh sekali,
maka aku tadi mengatakan bahwa kalau perlu, baru aku bersedia mengantarmu. Maka
harus dilihat keperluannya dulu. Kalau saja engkau mau menceritakan semua
riwayatmu kepadaku, mengapa engkau hendak ke kota raja, dan bagaimana engkau
dan adikmu itu sampai terbawa perahu hanyut. Kalau kuanggap memang sepatutnya
engkau ke kota raja, tentu akan kuantar.”
Kembali sang
puteri menatap wajah Bun Beng sampai beberapa lama, seolah-olah hendak
menyelidiki keadaan hati orang itu, kemudian dia berkata, “Paman Gak, terus
terang saja kukatakan bahwa riwayatku merupakan rahasia besar yang menyangkut
negara, bahkan menyangkut juga mati hidupku. Sekali aku keliru menceritakannya
kepada orang yang tidak dapat dipercaya, celakalah aku.”
“Aku tidak
perlu membujuk agar engkau mau mempercayaiku, nona. Hanya saja, untuk
mengantarmu ke tempat yang demikian jauhnya, aku harus memperoleh kepastian
dulu akan alasannya.”
“Aku sudah
percaya kepadamu, paman Gak. Kalau engkau bukan orang yang dapat dipercaya,
agaknya aku telah mati atau mungkin bernasib lebih buruk lagi. Baiklah, aku
akan menceritakan semua keadaanku. Pertama-tama, aku adalah Puteri Syanti Dewi,
puteri dari Raja Bhutan.”
Puteri itu
berhenti, hendak melihat reaksi wajah orang itu. Namun, tidak ada reaksi
apa-apa, seolah-olah orang she Gak itu menganggap seorang puteri raja sama saja
dengan seorang gadis dusun anak petani atau nelayan! Hal ini sedikit banyak
mendatangkan kekecewaan di dalam hati Syanti Dewi, dan dia cepat melanjutkan, “Dan
aku adalah calon mantu Kaisar Ceng!”
Akan tetapi,
Bun Beng tidak kelihatan kaget, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan
memandang tajam, seolah-olah hendak menjenguk isi hati dara itu. Syanti Dewi
menghela napas. Dia kecele kalau ingin melihat wajah orang itu berubah kaget.
Agaknya urusan yang menyangkut nama segala raja di raja tidak menggetarkan
sedikit pun juga di hati orang itu.
“Rombongan
utusan kaisar telah menjemputku di Bhutan, Gak-sioksiok (paman Gak) dan dalam
rombongan yang dikawal oleh lima ratus orang pasukan Bhutan itu aku ditemani
oleh Ceng-moi.”
“Adikmu yang
bernama Candra itu?”
“Dia hanya
adik angkat, nama aslinya adalah Lu Ceng, dan nama barunya Candra Dewi, jadi
keadaannya berbalik dengan diriku. Dia seorang gadis Han yang memiliki ilmu
silat yang lihai sekali.”
Bun Beng
mengangguk-angguk, hatinya senang juga mendengar seorang puteri raja mau
mengangkat saudara dengan seorang gadis biasa, hal yang membuktikan bahwa
puteri yang ditolongnya ini adalah seorang wanita yang berbudi baik!
Syanti Dewi
lalu menceritakan semua pengalamannya, semenjak berangkat dari istana Bhutan
sampai mereka diserbu pasukan musuh yang amat besar jumlahnya. Diceritakannya
betapa dia bersama Ceng Ceng, dikawal oleh kakek gadis itu, terpaksa menyamar
dan melarikan diri karena gelagatnya tidak baik. Betapa kakek itu tewas dalam
membelanya dan kemudian dia bersama adik angkatnya itu melarikan diri berdua,
mengalami segala kesengsaraan sampai akhirnya terbawa perahu yang hanyut, dan
dia tertolong oleh paman Gak itu.
“Demikianlah,
paman. Sungguh tidak saya sangka bahwa kalau demikian buruk nasib Ceng-moi.
Kasihan sekali dia... demi keselamatanku, dia dan kakeknya sampai harus
mengorbankan nyawa.”
“Hemmm, kita
belum yakin benar bahwa nona Ceng itu akan tewas. Akan tetapi, tukang perahu
yang membawa kalian itu sungguh menarik. Benarkah bahwa dia itu memiliki
kepandaian yang hebat?”
“Dia memang
lihai sekali. Hal ini baru kami ketahui setelah adik Ceng marah-marah dan
menyerangnya. Ternyata ia memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada
kepandaian Ceng-moi yang sudah amat lihai itu. Dan baru saya dapat menduga
bahwa para pencegat dalam dua buah perahu itu tentulah jeri terhadap dia, entah
mengapa, bahkan ada yang membisikkan nama julukan Si Jari Maut.”
Bun Beng
mengangguk-angguk. Tidak disangkanya bahwa dia akan bertemu dengan urusan
sebesar ini! Yang ditolongnya adalah puteri Raja Bhutan, calon mantu kaisar!
Dan ternyata di daerah barat terjadi pemberontakan yang besar pula. Dia tidak
ingin terseret ke dalam urusan apa pun juga, tetapi setelah secara kebetulan
dia menolong puteri ini, tidak mungkin pula dia membiarkannya saja pergi
seorang diri yang tentu merupakan hal yang amat berbahaya sekali.
“Ketika
engkau masih bersama nona Ceng, ke manakah tujuan kalian melarikan diri?”
“Kami hanya
mentaati pesan kakek dari Ceng-moi, yaitu disuruh melarikan diri ke kota raja
Kerajaan Ceng dan menemui seorang puteri kaisar di sana.”
“Puteri
kaisar?” Bun Beng memandang dengan jantung berdebar tegang.
“Ya, namanya
Puteri Milana...”
Bun Beng
menelan seruan kagetnya, tetapi dia tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang
menjadi merah. Perubahan pada wajah ini tampak pula oleh Syanti Dewi yang cepat
bertanya, “Ada apakah, paman?”
“Tidak...
tak ada apa-apa,” jawab Bun Beng yang segera bangkit berdiri dan termenung
sejenak. Kemudian dia berkata, “Sebelum kita berangkat ke kota raja yang jauh
itu, mari kita mencoba untuk mencari adikmu itu. Siapa tahu dia dapat
menyelamatkan diri...”
Keduanya
lalu menyusuri Sungai Nu-kiang, namun sampai puluhan li jauhnya, mereka tidak
melihat ada tanda-tanda bahwa Ceng Ceng mendarat, akan tetapi juga tidak ada
melihat mayat gadis itu. Akhirnya, terpaksa Bun Beng mengajak dara itu
menghentikan usaha mereka mencari Ceng Ceng dan mulailah dia mengantarkan dara
itu ke kota raja, sebuah perjalanan yang amat jauh sekali dan akan memakan
waktu berbulan.
***************
"Kau
tidak boleh melakukan hal seperti itu, Bu-te! Engkau bisa disangka hendak
berbuat kurang patut!"
Mendengar
teguran kakaknya itu, Kian Bu tersenyum lebar, “Ahhh, Lee-ko. Peduli apa dengan
persangkaan kosong? Buktinya yang penting, dan engkau tentu tahu betul bahwa
aku sama sekali tidak ingin melakukan sesuatu yang kurang patut! Aku hanya
ingin berkenalan dan mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan seorang gadis
cantik. Apa salahnya itu?”
Mau tidak
mau Kian Lee tertawa. Memang adiknya ini bengal sekali dan bagi yang tidak
mengenalnya betul, tentu perbuatannya akan dianggap sebagai perbuatan kurang
ajar dan melanggar susila.
Seminggu
yang lalu, adiknya itu sudah mempraktekkan kebengalannya. Ketika melihat sebuah
joli digotong angin nakal menyingkapkan tirai memperlihatkan bahwa yang berada
di dalam joli itu duduk seorang gadis cantik, tanpa ragu-ragu sama sekali Kian
Bu mengejar joli, membuka tirai dan berseru girang, “Haiii, nona Liem...!
Engkau hendak ke manakah?”
Tentu saja
empat orang penggotong joli mengira bahwa pemuda tampan itu memang kenalan atau
anggota keluarga si nona cantik yang mereka gotong, dan baru mereka tahu bukan
demikian halnya ketika terdengar nona itu menjawab dengan nada heran dan marah,
“Siapa kau? Aku tidak mengenalmu!”
“Eh, ehh,
Liem-siocia. Masa lupa lagi kepadaku? Aku Suma...”
“Aku tidak
kenal orang she Suma. Dan aku bukan she Liem, aku she Kiem!” nona itu membentak
pula, sedangkan tukang joli terpaksa berhenti dan memberi kesempatan kepada
muda-mudi itu untuk bercakap-cakap.
Suma Kian Bu
pura-pura kaget. “Aihhh... maaf, maafkanlah aku, Kiem-siocia. Kau mirip benar
dengan Liem-siocia yang... cantik. Kalau begitu perkenalkanlah, aku... Suma
Kian Bu...”
“Tukang
joli, hayo jalan terus!” Nona itu berkata marah dan menutupkan tirai joli.
Ketika joli
itu sudah berjalan jauh, Suma Kian Bu hanya tertawa-tawa mendengarkan teguran
kakaknya. “Salah-salah kau bisa disangka jai-hwa-cat, penjahat tukang perkosa
wanita!” Suma Kian Lee mengakhiri tegurannya.
Sekarang
baru sepekan kemudian, sudah kumat pula penyakit Suma Kian Bu dan pemuda ini
menyatakan hendak ‘belajar kenal’ dengan seorang puteri yang naik joli. Melihat
betapa joli itu tertutup rapat tanda bahwa penumpangnya adalah seorang wanita
muda yang tidak mau memperlihatkan diri, Kian Lee mencegah adiknya.
“Biarlah,
kalau begitu besok pagi aku akan mencegat dia di depan kelenteng,” kata Kian
Bu. “Aku penasaran kalau belum melihatnya. Menurut pemilik warung dekat
kelenteng, sudah beberapa hari ini nona itu setiap pagi pergi ke kelenteng dan
kabarnya cantik sekali.”
“Huhh, mata
keranjang kau!” Kian Lee berkata. “Biarlah besok kau keluar sendiri, aku tidak
sudi melihat kau berbuat ceriwis terhadap wanita!”
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, kakak beradik dari Pulau Es ini mulai dengan
perantauan mereka. Dengan perahu mereka meninggalkan Pulau Es dan berkat
petunjuk peta yang dibuat oleh Pendekar Super Sakti, ayah mereka, kali ini
tanpa banyak kesulitan mereka dapat mencapai daratan besar. Mereka lalu mulai
melakukan perjalanan yang amat jauh itu, menuju ke kota raja untuk menemui
kakak mereka, yaltu Puteri Milana. Akan tetapi karena baru kali itu mereka
merantau, mereka tidak tergesa-gesa dan di setiap tempat yang menyenangkan
hati, mereka berhenti sampai dua tiga hari. Bekal mereka cukup banyak sehingga
mereka tidak khawatir kehabisan bekal uang untuk biaya makan dan penginapan.
Tidak dapat
terlalu disalahkan kalau dua orang pemuda itu terpesona menyaksikan tamasya
alam yang amat indah, yang tidak dapat mereka lihat di Pulau Es, melihat kota-kota
besar dan dusun-dusun yang ramai, apa lagi terpesona melihat gadis-gadis cantik
yang selama hidup belum pernah mereka lihat. Hanya bedanya, kalau Kian Lee
tetap bersikap tenang-tenang saja, adalah Kian Bu yang seperti cacing kepanasan
dan setiap kali bertemu gadis cantik, ingin sekali dia berkenalan! Dorongan
hasrat yang wajar saja, sama sekali tidak terkandung nafsu birahi atau
keinginan yang tidak patut!
Mereka
terpaksa bermalam satu malam lagi di rumah penginapan di kota itu karena Kian
Bu yang rewel tidak mau melanjutkan perjalanannya sebelum sempat ‘berkenalan’
dengan nona dalam joli yang setiap pagi pergi ke kelenteng, dengan menggunakan
‘siasatnya’ yang hanya dapat diciptakan otak seorang pemuda yang memang
memiliki watak urakan (ugal-ugalan) tapi tidak kurang ajar.
Besoknya,
pagi-pagi sekali Kian Bu sudah menanti di tepi jalan, dekat kelenteng. Dia
tinggalkan kakaknya yang masih tidur di atas pembaringan dalam kamar
penginapan. Jantungnya berdebar tegang dan sebentar-sebentar dia tersenyum
membayangkan betapa dia akan dapat berhadapan dengan gadis cantik dalam joli
dan dapat bercakap-cakap! Siapa tahu, kalau awak sedang untung, dia akan
mendapatkan tanggapan baik dan akan dapat bersahabat, sungguh pun dia hanya
ingin melihat kata-kata ramah dan senyum manis ditujukan kepadanya, lain tidak!
Jantungnya
berdebar makin tegang ketika dia melihat joli yang dinanti-nantikannya dari
jauh. Tidak salah lagi, tentu dia, pikirnya. Tidak ada joli lain yang digotong
menuju ke kelenteng!
“Hendak ke
mana, lopek?” tanyanya kepada penggotong joli terdekat.
Penggotong
joli itu melirik tanpa menoleh dan menjawab singkat, “Ke kelenteng.”
Kian Bu
kemudian menghampiri joil dan berteriaklah dia dengan suara girang sambil
tangannya menyingkap tirai. “Haiii, kiranya nona Thio... hahhhh...?!” Matanya
terbelalak ketika melihat bahwa yang berada di dalam joli itu ternyata adalah
Suma Kian Lee, kakaknya sendiri!
Joli
dihentikan, Kian Lee meloncat keluar dan tertawa, mentertawakan adiknya yang
membanting-banting kaki dan bersungut-sungut karena empat orang penggotong joli
sudah tertawa, demikian pula beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu di
tepi jalan.
“Lee-ko,
engkau sungguh terlalu...!” Kian Bu berkata, akan tetapi dia tidak membantah
ketika tangannya ditarik oleh kakaknya, diajak kembali ke penginapan untuk
mengambil buntalan mereka.
“Bu-te,
kalau tidak begitu engkau tidak akan bertobat. Kau tidak boleh melakukan hal
itu, karena biar pun aku yakin bahwa engkau tidak berniat kurang ajar, namun
engkau membuat seorang gadis merasa malu dan terhina. Salah-salah engkau akan
terlibat dalam perkelahian, padahal ayah sudah berpesan keras-keras bahwa kita
tidak boleh mencari gara-gara di dalam perjalanan!”
“Sudahlah,
sudahlah, aku memang bersalah besar!”
“Engkau
tidak salah besar, Bu-te, akan tetapi engkau terlalu jahil dan kenakalanmu itu
dapat mengakibatkan urusan besar. Engkau suka mengganggu gadis, padahal engkau
tidak tahu dia siapa, anak siapa, dan engkau mendatangkan rasa terhina dan malu
kepadanya. Padahal semua itu kau lakukan hanya untuk main-main, bukan karena
memang engkau sungguh tertarik dan suka kepadanya.”
“Kalau
begitu, andai kata aku tertarik benar-benar kepada seorang gadis, aku boleh...
ehhh, belajar kenal dengannya?”
“Tentu saja
boleh, asal caranya tidak kurang ajar dan sewajarnya. Bukan dengan cara urakan
menegur orang di jalan pura-pura kenal macam yang kau lakukan itu!”
Wajah tampan
dari Kian Bu berseri gembira, lenyap sudah kemengkalan hatinya karena penipuan
kakaknya tadi. Memang demikianlah watak Kian Bu. Lincah, kocak, nakal, periang,
mudah marah dan mudah tertawa lagi. “Bagus! Kalau begitu aku akan mencari akal
lain yang lebih baik.“ Dia melihat kakaknya melotot dan cepat menyambung,
“yaitu kalau aku sudah tertarik benar-benar kepada seorang gadis.”
“Kau memang
mata keranjang dan nakal!” Kakaknya mengomel.
“Ehh,
Lee-ko, apakah kau tidak tertarik dan suka melihat gadis cantik? Mereka itu
begitu cantik, begitu manis. Suaranya begitu halus merdu, lirikan dan
senyumannya semanis madu, gerak-geriknya amat menyenangkan. Aku tidak percaya
kalau tidak suka pula menyaksikan seorang gadis cantik.”
“Biar pun
suka, akan tetapi tidak boleh diutarakan secara kasar seperti kelakuanmu.”
“Horeee!
Jadi kau pun suka, koko? Bagus, kalau begitu bukan aku sendiri yang suka
melihat gadis cantik! Ehhh, engkau lebih suka yang bagaimana, koko? Aku suka
gadis yang lincah, yang kocak pandang matanya, yang murah senyumnya, yang
pandai bergaul, seperti lagak seekor burung murai yang tak pernah diam dan
selalu berkicau meriah dan merdu.”
Di dalam
hatinya, Kian Lee merasa tidak senang dan malu harus bicara tentang wanita,
akan tetapi hanya untuk melawan dan mencela adiknya, dia menjawab juga, “Sama
sekali tidak seperti engkau, aku lebih suka kepada seorang dara yang sopan
santun, pendiam, dan menyembuyikan keramahan di balik kesopanan dan
kesusilaan.”
“Wah-wah-wah,
kalau begitu engkau lebih baik memilih sebuah patung saja, Lee-ko! Ha-ha-ha!”
“Sudahlah,
mari kita melanjutkan perjalanan. Aku muak mendengar obrolanmu tentang wanita.”
Demikianlah,
kakak beradik yang wataknya berbeda seperti bumi dengan langit ini tidak pernah
rukun di dalam perjalanan, dalam arti kata, rukun dalam sifat mereka. Mereka
selalu tidak sependapat mengenai cara hidup, apa lagi kalau ada hubungannya
dengan pergaulan dan wanita. Mereka hanya rukun dan saling membela mati-matian
kalau ada urusan yang langsung mengenai diri mereka. Kian Lee amat mencinta dan
membela adiknya, mendahulukan keperluan adiknya dari pada keperluannya sendiri.
Sebaliknya Kian Bu amat mencinta kakaknya dan amat patuh, sungguh pun pada
lahirnya dia suka membantah, dan diam-diam dia kagum dan berterima kasih atas
segala kebaikan yang dilimpahkan kakaknya kepadanya.
Watak Suma
Kian Bu di samping keriangan dan kelincahannya, juga amat romantis. Dia
menikmati keindahan alam dengan cara terbuka, dengan wajah berseri, mata
bercahaya dan mulut tiada hentinya mengeluarkan puji-pujian, mengagumi
bunga-bunga yang indah, suka akan makanan enak, suka mendengarkan nyanyian
merdu, suka akan pakaian-pakaian indah, suka mempersolek diri, suka
bernyanyi-nyanyi dan tentu saja suka sekali melihat dara cantik!
Sungguh
merupakan kebalikan dari sifat Suma Kian Lee yang pendiam, tidak suka bicara
kalau tidak penting, biar pun suka mengagumi keindahan, namun rasa sukanya itu
dipendam dalam batin saja, berpakaian sederhana tidak mengutamakan keindahan
melainkan yang enak dipakai, mengutamakan kesusilaan dan sopan-santun yang
bukan paksaan melainkan timbul dari watak aslinya yang menghargai orang lain.
Betapa pun
juga, perangai Kian Bu yang riang gembira itu kadang-kadang menular kepadanya
sehingga kalau selagi senang hatinya mendengar Kian Bu bernyanyi-nyanyi, dia
ikut pula bersenandung sungguh pun tidak bernyanyi dengan nyaring mengeluarkan
semua kegembiraan hatinya melalui nyanyian seperti adiknya itu. Apa lagi sikap
adiknya yang amat suka akan wanita cantik, kadang-kadang membuatnya termenung
dan dia harus mengakui diam-diam bahwa tidak ada kecantikan bunga dan keindahan
alam yang melebihi wajah seorang dara, tidak ada suara merdu yang melebihi
suara seorang dara!
Pada suatu
hari, ketika mereka tiba di sebuah dusun dan karena kemalaman mereka bermalam
di sebuah penginapan kecil dan sedang duduk di serambi sambil minum arak
hangat, tiba-tiba mereka melihat sebuah kereta yang dikawal oleh rombongan
piauwsu berhenti di depan rumah penginapan itu. Kepala pengawal mendekati
kereta dan menyingkap tirai, sedangkan pembantu-pembantunya menahan kuda yang
berbusa mulutnya. Agaknya empat ekor kuda itu sudah bekerja berat, lari melalui
jarak jauh sehari itu.
Tiba-tiba
ujung kaki Kian Bu menyentuh betis kakaknya sebagai isyarat. Kian Lee
mengangkat mata melirik adiknya dan menoleh ketika melihat adiknya memandang ke
arah kereta. Pintu kereta terbuka, tirai disingkapkan dan turunlah seorang
gadis berusia kurang lebih enam belas tahun, cantik jelita seperti seorang
bidadari turun dari kahyangan. Gerak-geriknya begitu halus gemulai ketika dia
turun dari kereta dibantu oleh seorang wanita setengah tua dan seorang
laki-laki setengah tua yang agaknya adalah ayah bundanya.
Sejenak dara
itu berdiri di serambi depan ketika ayahnya bicara dengan pengurus penginapan
minta disediakan kamar bagi mereka, kemudian bersama ayah bundanya dara itu
memasuki penginapan dan lenyap di dalam kamar. Sibuklah para piauwsu menurunkan
barang-barang, dan kereta kemudian ditarik ke sebelah belakang rumah penginapan
itu. Jika dihitung dengan kusirnya, semua terdapat sebelas orang piauwsu yang
kelihatannya tangkas dan kuat.
Melihat dara
tadi menunduk saja, sedikit pun tak pernah melirik kepada mereka, melihat sikap
yang amat sopan santun dari gadis itu, padahal ia mengharapkan kerlingan dan
senyum, Kian Bu merasa kecewa dan tidak puas. Akan tetapi ketika dia memandang
kakaknya, dia melihat kakaknya itu termenung, mukanya agak merah dan kedua
tangan kakaknya mempermainkan cawan arak yang telah kosong, agaknya kakaknya
itu lagi termenung-menung.
Kian Bu
tersenyum. Baru sekarang dia melihat kakaknya termenung setelah melihat seorang
dara! Maka segera dia menangkap tangan kakaknya sambil berkata, “Lee-ko,
bagaimana?”
Kian Lee
mengangkat muka memandang. Melihat sinar mata adiknya yang jelas-jelas
menggodanya, mukanya menjadi semakin merah, “Bagaimana apanya?” Dia justru
balik bertanya, setengah membentak.
Kian Bu
menggerakkan kepalanya ke arah belakang rumah penginapan. “Dia tadi, hebat
bukan?”
Kian Lee
tidak menjawab segera, melainkan menunduk dan berkata lirih, “Hebat atau tidak,
ada sangkut paut apa dengan kita? Jangan kau memikirkan yang bukan-bukan!”
“Ahhh,
tidak. Bagiku sih, dia seperti patung hidup! Melirik sedikit pun tidak,
tersenyum sedikit pun tidak, bicara sepatah kata pun tidak!”
“Itu
tandanya dia seorang dara terpelajar, sopan dan menjaga harga diri
tinggi-tinggi, bukan seorang perempuan genit!”
“Hi-hik, aku
tahu bahwa dara model inilah yang akan menarik hatimu, koko. Mengapa tidak
mengajak dia berkenalan? Eh, secara sopan maksudku?”
Kian Lee
memandang adiknya dengan mata melotot. “Mau apa kau? Jangan main gila kau,
Bu-te!”
“Ah, tidak.
Aku hanya mengatakan bahwa kalau engkau tertarik kepada dara itu, apa salahnya
kalau kau berkenalan dengan dia? Hanya berkenalan, apa sih buruknya? Kalau
tidak berkenalan, bagaimana bisa mengerti cocok atau tidak?”
“Aku bukan
laki-laki mata keranjang yang suka mengganggu gadis yang tidak kukenal.”
“Siapa
bilang mengganggu? Aihh, koko, engkau benar-benar selalu berprasangka buruk dan
tidak percaya kepada adikmu ini. Dan engkau ini selalu hendak berpura-pura, dan
bersikap palsu.”
“Hemm, apa
lagi ini maksudnya? Jangan kau kurang ajar kepadaku!”
“Koko merasa
suka kepada seseorang, akan tetapi pada lahirnya pura-pura dingin, bukankah ini
pura-pura namanya? Hati ingin berkenalan, akan tetapi mulut bicara lain,
bukankah itu palsu?”
“Kian Bu,
engkau masih kanak-kanak, akan tetapi lidahmu tajam. Hati-hati kau, kalau kau
bicara seperti itu dengan orang lain, tentu engkau akan mudah sekali menanam
permusuhan. Memang kuakui bahwa sikap dan keadaan dara tadi menimbulkan kagum
di dalam hatiku, akan tetapi apa yang harus kulakukan? Aku bukanlah seorang
laki-laki mata keranjang dan kurang ajar seperti engkau!”
“Bagus...!”
Kian Bu meloncat bangun dan merangkul kakaknya. “Lee-ko, aku hanya ingin
mendengar pengakuanmu bahwa kau tertarik kepadanya. Kita bukanlah orang-orang
rendah yang suka melakukan hal-hal tidak patut, akan tetapi tanpa siasat, mana
mungkin kau berkenalan dengan dara itu? Aku sudah mempunyai suatu rencana,
kalau siasat ini dilakukan, engkau tentu akan berkenalan dengan dia dan bahkan
dipandang tinggi dan hormat!” Pemuda tanggung ini lalu berbisik-bisik di dekat
telinga kakaknya.
Wajah Suma
Kian Lee yang tampan sebentar merah sebentar pucat, dia menggeleng-geleng
kepala, akan tetapi akhirnya dia berkata lirih, “Berbahaya sekali siasatmu yang
nakal itu, Bu-te!”
“Alaaaa...
kau maksudkan piauwsu-piauwsu itu? Serahkan padaku, beres. Dan aku pun bukan
ingin memperpanjang pertempuran dengan mereka. Aku hanya menjadi penculik, kau
lalu muncul. Habis perkara. Yang penting, dia akan berhutang budi kepadamu dan
tentu saja menjadi kenalan. Tidak ada apa-apa yang jahat, bukan?”
“Akan
tetapi, kalau kau melukai seorang pun...”
“Koko,
engkau anggap aku ini orang macam apa? Aku bukan penculik tulen, bukan pula
perampok, mau apa aku melukai orang? Percayalah kepadaku, kelak engkau akan
berterima kasih kepadaku kalau sudah menjadi sahabatnya, koko!”
Terpaksa
Kian Lee tersenyum dan dengan gerakan gemas seperti hendak menampar kepala
adiknya. Kian Bu meloncat menjauh, lalu tertawa-tawa dan tak lama kemudian
kedua orang kakak beradik ini pun sudah memasuki kamar mereka dan tidur.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee telah dibangunkan oleh Kian Bu.
Seperti biasa setiap pagi, mereka duduk bersila dan bersiulian sebentar,
latihan yang sudah menjadi kebiasaan sehingga sekali saja tidak melakukannya
terasa kurang enak. Kemudian mereka mandi dan membayar biaya penyewaan kamar
lalu berangkat, akan tetapi setibanya di luar dusun, mereka berhenti.
Setelah
matahari menumpahkan cahayanya di permukaan bumi, tampak oleh mereka yang
dinanti-nanti sejak tadi, yaitu kereta berkuda empat yang dikawal oleh sepuluh
orang piauwsu dan seorang kusir. Mereka membiarkan rombongan itu lewat,
kemudian mereka membayangi dari jauh.
Biar pun
rombongan itu terdiri dari kereta ditarik kuda dan dikawal oleh sepuluh orang
piauwsu berkuda, namun tidaklah sukar bagi dua orang muda itu membayangi
mereka. Kakak beradik ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kesaktian yang
tinggi dan ilmu berlari mereka luar biasa.
Rombongan
memasuki sebuah hutan. “Saudara-saudara, hati-hati dan waspadalah, di depan
adalah hutan yang cukup besar!” berkata kepala piauwsu yang bermuka merah.
Sepuluh orang itu lalu melarikan kuda mereka mengurung kereta, tiga di depan,
tiga di belakang, dan masing-masing dua di kanan kiri.
Tiba-tiba
para piauwsu itu terkejut sekali ketika melihat sesosok bayangan orang meloncat
turun dari atas pohon besar, langsung menimpa atap kereta dan terdengar kain
robek disusul jerit nona yang berada di dalam kereta, lalu tampak pula bayangan
itu meloncat turun dari kereta sambil memondong tubuh nona itu yang
menjerit-jerit dan meronta ronta.
“Tolong...!
Penculik...! Tolong Bi Hwa...!” Nyonya dan suaminya tergopoh-gopoh keluar dari
kereta yang sudah dihentikan oleh kusir, menangis dan berteriak-teriak.
Para piauwsu
sudah cepat bergerak. Enam orang melakukan pengejaran kepada Suma Kian Bu yang
berlari cepat memondong tubuh dara itu sedangkan yang empat orang lagi tetap
menjaga kereta.
“Kejar!
Tangkap penjahat...!” Teriak kepala piauwsu yang memimpin teman-temannya
mengejar. Tetapi mereka segera terpaksa turun dari kuda dan melanjutkan
pengejaran dengan berlari ketika melihat penculik itu membawa dara itu
menyusup-nyusup ke dalam semak-semak tebal.
“Lepaskan
aku...! Lepaskan...!” Bi Hwa, dara itu meronta sambil memukul-mukul ke arah
dada muka dan kepala Suma Kian Bu.
Akan tetapi
pemuda itu hanya tersenyum saja. “Tenanglah sayang, diamlah manis... aku takkan
mengganggumu...!”
Namun Bi Hwa
masih meronta-ronta. Meremang seluruh bulu badannya melihat dirinya dipondong
dan dibawa lari dengan begitu hati-hati oleh pemuda yang amat tampan ini. Di
dalam hatinya yang dilanda kaget dan takut, timbul keheranan mengapa pemuda
yang masih amat muda dan amat tampan ini menjadi penjahat!
Tiba-tiba
muncul seorang pemuda lain yang menghadang di depan sambil membentak,
“Penculik, lepaskan dia!”
Suma Kian Bu
yang melihat kakaknya sudah muncul, pura-pura membentak marah, “Engkau
pendekar, jangan mencampuri urusanku!”
Suma Kian
Lee menerjang ke depan, dan beberapa lamanya kakak beradik itu pukul-memukul,
akhirnya sebuah pukulan mengenai kepala Suma Kian Bu yang terhuyung dan roboh.
Tentu Bi Hwa ikut pula terbanting kalau saja tidak cepat ditahan oleh Suma Kian
Lee. Sejenak Bi Hwa berdiri dengan muka pucat memandang kepada Suma Kian Lee
yang telah menolongnya, kemudian menoleh dan memandang Suma Kian Bu yang rebah
miring dengan muka pucat seperti telah menjadi mayat!
Kian Lee
diam-diam menyesalkan siasat adiknya ini karena jelas tampak betapa gadis itu
kaget dan takut. Dia menanti ucapan terima kasih dan sudah bersiap untuk segera
mengantarkan dara itu kembali ke kereta dan orang tuanya. Akan tetapi,
terjadilah hal yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh kakak beradik itu.
Si dara
jelita yang menoleh dan memandang Kian Bu tiba-tiba terisak, kemudian lari...
menghampiri Kian Bu, berlutut di dekat tubuh pemuda ini.
“Aihhh,
kau... kau telah membunuhnya...! Kau telah membunuhnya...!” Dia menuding ke
arah Kian Lee, kemudian mengangkat kepala Kian Bu, memangkunya dan
mengusap-usap kepalanya seperti hendak mencari bagian mana dari kepala itu yang
pecah dan membuat pemuda ini tewas. “Aduh kasihan sekali engkau...,” bisik Bi
Hwa.
Kian Lee
berdiri dengan muka pucat. Dan Kian Bu lupa akan permainan sandiwaranya, dia
begitu terheran-heran sehingga lupa bahwa dia telah ‘mati’. Dia membuka matanya
dan memandang dengan melongo.
“Syukur, kau
belum mati... ahhh, aku girang sekali... di manakah yang terluka ?” Bi Hwa
bertanya.
Kian Bu
menggeleng kepala dan menuding ke arah Kian Lee. “Kau... kau harus cepat
menghaturkan terima kasih kepadanya. Dialah penolongmu “
“Dia kejam,
memukulmu sampai hampir mati!” Bi Hwa membantah.
“Tapi aku
adalah penculikmu, dialah yang menolongmu... lekas kau hampiri dia...,” Kian Bu
makin bingung dan merenggutkan dirinya yang masih dipeluk dara itu.
Pada saat
itu terdengar bentakan. “Penculik busuk, hendak lari ke mana kau?” Dan
muncullah enam orang piauwsu dengan pedang atau golok di tangan masing-masing.
Melihat ini,
Kian Lee meloncat dan berkata, “Bu-te, pergi... !”
Terbirit-birit
Kian Bu lalu meloncat dan melarikan diri mengejar kakaknya. Sampai jauh sekali
mereka berlari, dan terengah-engah mereka berhenti di dalam hutan kecil yang
terpisah jauh dari hutan di mana mereka tadi main sandiwara itu.
Tentu saja
mereka terengah-engah, bukan karena telah lari cepat dan jauh, melainkan karena
sejak tadi hati mereka penuh ketegangan ketika bersandiwara yang kemudian
ternyata gagal total itu! Si gadis manis bukan berterima kasih kepada Kian Lee
yang ‘menolongnya’ melainkan justru menaruh iba kepada Kian Bu ‘si penculik’!
Benar-benar merupakan kebalikan dari apa yang mereka inginkan, dan hampir saja
rahasia mereka terbuka ketika para piauwsu itu datang.
“Kau...!”
Kian Lee menggerakkan tangan hampir menampar muka adiknya, akan tetapi
ditahannya dan dia menarik napas panjang.
“Lee-ko,
jangan salahkan aku! Dialah yang salah, gadis tidak tahu terima kasih itu,
gadis tidak mengenal budi itu!”
“Diam!
Jangan memaki dia! Justeru perbuatannya tadi menambah tingkatnya dalam
pandanganku! Dia adalah seorang yang berbudi mulia, mendahulukan rasa iba
hatinya terhadap orang yang tertindas. Karena melihat kau kupukul dan mengira
engkau tewas, maka dia melupakan semua urusan pribadinya dan menjatuhkan rasa
iba hatinya kepadamu. Bukankah itu menandakan bahwa dia seorang yang baik
budi?”
Suma Kian Bu
kian melongo. Kakaknya ini malah lebih aneh dari pada gadis tadi. Dia
menggerakkan pundaknya dan diam-diam berjanji dalam dirinya untuk berhati-hati,
agar lain kali jangan mengecewakan hati kakaknya.
“Siasatku
tadi memang kurang sempurna, koko. Mestinya, begitu terpukul, aku pura-pura
kalah dan melarikan diri, bukan pura-pura terpukul mati. Kalau aku kalah dan
lari, tentu perhatiannya tertuju kepadamu.”
“Sudahlah,
salah kita sendiri. Kita bermain sandiwara, bertindak palsu dengan tujuan
mempermainkan kepercayan hati seorang gadis, maka cara yang tidak baik itu
tentu saja mendatangkan hasil tidak baik pula.”
“Aihhh,
koko, jangan begitu. Aku telah bersungguh-sungguh membantumu, dan engkau belum
pernah membantuku.”
“Hemm, aku
memang telah hutang budi kepadamu. Baik, akan kubalas seperti yang kau lakukan
kepadaku, hanya hasilnya terserah engkau yang menanggung jawab semua.”
“Tentu saja.
Akan tetapi siasatnya harus diperbaiki. Setelah engkau kuserang, engkau
pura-pura kalah dan meninggalkan gadis itu untuk berterima kasih kepadaku.”
“Hemmmm...”
Kian Lee hanya menggumam mengkal.
Saat yang
dijanjikan oleh Kian Lee kepada adiknya itu tiba ketika perjalanan mereka sudah
tiba di pegunungan yang menjadi tapal batas Propinsi Hopei. Perjalanan naik
turun gunung dan melalui hutan-hutan besar, hanya jarang saja mereka menjumpai
pedusunan atau kota. Pada suatu hari, selagi mereka berjalan perlahan di bawah
pohon-pohon yang rindang yang amat sejuk karena terlindung dari sinar matahari,
mereka bertemu dengan serombongan orang yang terdiri dari dua buah kereta dan
dua losin piauwsu. Rombongan yang cukup besar dan kereta itu merupakan kereta
mewah, kudanya pun besar-besar sehingga mudah saja diduga bahwa penumpangnya
tentulah sebangsa bangsawan atau hartawan.
“Nah, besar
kemungkinan di dalamnya ada gadisnya, koko,” bisik Kian Bu.
Kakaknya
cemberut. “Apakah di dalam kepalamu itu isinya hanya bayangan gadis-gadis
cantik?” bentaknya.
“Alaaaaaa...,
koko. Kalau kau begini terus, sampai kapan kau hendak membalas budi?”
“Wah, kau
memang sangat cerewet dan selalu ingat kalau mengutangkan sesuatu!” cela
kakaknya.
“Dan kau
terlalu sabar kalau disuruh membayar hutang!” Adiknya menggoda sehingga Kian
Lee kewalahan.
“Kau lihat
sendiri, dua buah kereta itu tertutup, mana kita bisa tahu apakah di dalamnya
ada gadisnya atau tidak?”
“Ha-ha-ha,
apa sih sukarnya untuk mengetahui hal itu?” Tangan Kian Bu bergerak dan tampak
oleh Kian Lee sinar-sinar hitam kecil menyambar ke depan.
Adiknya
telah menggunakan tanah liat untuk menyambit ke arah kuda yang menarik kereta.
Terdengar ringkik keras dan empat ekor kuda yang terkena timpukan tanah liat
tepat di bawah telinganya itu meringkik dan meronta berdiri di atas kedua kaki
belakang. Tentu saja kusirnya cepat membentak dan menarik kendali. Rombongan
terhenti dan semua piauwsu bertanya sehingga ributlah keadaan di situ.
Dua buah
kereta itu tersingkap dari dalam. Ada kepala-kepala orang menjenguk dan
bertanya apa yang terjadi dan mengapa ada ribut-ribut di luar, bahkan
orang-orang yang menumpang dalam kereta yang kudanya meringkik itu menjadi agak
panik karena keretanya bergoyang-goyang. Kesempatan itu digunakan oleh Kian Bu
untuk mengintai dan betapa girangnya ketika melihat bahwa di kereta kedua,
kereta yang besar dan mewah, terdapat tiga orang penumpang yaitu seorang
laki-laki tua yang pakaiannya mewah tanda hartawan, usianya kurang lebih empat
puluh tahun, seorang wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan
seorang gadis cantik manis yang berusia paling banyak sembilan belas tahun!
Seorang gadis cantik dan bajunya merah, manis sekali! Juga Kian Lee melihat ini
dan diam-diam dia memuji kecerdikan adiknya.
Bocah itu
ada saja akalnya! Akan tetapi sekali ini ‘tugasnya’ lebih berat dari pada yang
dilakukan adiknya sebulan yang lalu. Jumlah pengawal ada dua losin orang, dan
di antara mereka banyak yang membawa busur, juga sikap mereka lebih gagah dari
pada sepuluh orang dahulu itu. Akan tetapi apa boleh buat, kalau dia belum
‘membayar hutang’, adiknya tentu akan rewel terus. Dia hanya akan menjaga agar
adiknya jangan bertindak lebih jauh dari sekedar belajar kenal dengan gadis
itu!
“Baiklah,
kini aku akan membayar hutangku. Kau tunggu di luar hutan ini di sebelah kiri
sana,” katanya tanpa banyak cakap lagi.
Kian Bu
memegang tangan kakaknya. “Terima kasih, koko!”
Kian Lee
merenggut tangannya. “Pergilah!”
Kian Bu tertawa
dan meloncat pergi dengan girang sekali. Mau tidak mau, Kian Lee menggeleng
kepala dan menarik napas panjang melihat adiknya berloncatan seperti anak kecil
berlari sambil berjingkrakan itu. Adiknya itu benar-benar seperti anak kecil,
akan tetapi begitu besar hasratnya untuk berkenalan dengan gadis-gadis cantik!
Dia cepat
berlari mengejar rombongan yang sudah bergerak lagi itu. Sebentar saja dia
sudah dapat menyusul. Kian Lee tidak mau menimbulkan keributan seperti yang
biasa dilakukan adiknya, maka dia sengaja mendahului rombongan lalu berdiri di
tengah jalan sambil mengangkat tangan. “Harap cu-wi berhenti dulu!”
Melihat ada
seorang pemuda berkelebat cepat sekali kemudian berdiri menghadang di tengah
jalan, dua kereta lalu dihentikan dan dua losin piauwsu itu cepat menjaga
kereta. Pemimpinnya, yaitu seorang piauwsu tua yang berjenggot putih, bersama
belasan orang pembantunya menghadapi Kian Lee.
“Kau
siapakah dan mau apa menahan rombongan kami?” bentak si jenggot putih.
Akan tetapi
Kian Lee tidak mau melayaninya, melainkan melangkah lebar ke arah kereta kedua.
Dia segera dikurung, akan tetapi dia berjalan terus menuju ke kereta sambil
berkata, “Aku mau bicara dengan mereka! Yang berada di dalam kereta!”
Melihat
pemuda tampan ini berpakaian pantas dan tidak membawa senjata, sikapnya seperti
seorang pemuda terpelajar, maka para piauwsu ragu-ragu untuk menurunkan tangan
besi, dan kereta itu disingkap dari dalam, muncul wajah tiga orang itu.
Kian Lee
yang melihat jelas bahwa di dalamnya memang terdapat seorang gadis cantik
berbaju merah, segera berkata, “Aku hanya mau mengajak pergi dia itu!” berkata
demikian tubuhnya meloncat cepat sekali ke depan, dan tahu-tahu semua orang
melihat dia sudah melesat pergi dan lari memondong tubuh gadis berbaju merah yang
berteriak teriak. “Tolong... toloooonggg...!”
Beberapa
orang piauwsu memasang anak panah pada busurnya.
“Hati-hati,
jangan salah sasaran. Arahkan kepada kakinya!”
Belasan
batang anak panah melesat mengejar Kian Lee, akan tetapi dengan
meloncat-loncat, pemuda itu dengan mudah menghindarkan kakinya dari sambaran
anak panah dan mempercepat larinya. Biar pun para piauwsu melakukan pengejaran
secepatnya, namun sebentar saja Kian Lee sudah lenyap dari depan mereka.
“Lepaskan
aku...! Tolonggg...!”
“Diamlah,
aku hanya menculikmu!” Kian Lee menahan kata-katanya karena hampir saja dia
bilang ‘Sebentar lagi kau akan tertolong!’
Karena
cepatnya dia berlari, tak lama kemudian dia sudah keluar dari hutan itu dan
tiba-tiba Kian Bu meloncat keluar menghadang. “Heiiii, perampok! Penculik!
Lekas lepaskan gadis manis ini kalau kau tidak ingin kupukul mampus!”
Keduanya
segera bertanding menurut rencana dan Kian Lee yang terdesak segera melepaskan
gadis itu, menerima beberapa kali pukulan lalu melarikan diri dari situ dengan
cepatnya. Dari jauh dia menyelinap dan mengintai ke arah dua orang itu. Dia
kagum melihat betapa gadis itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Kian Bu
sambil menangis.
“Saya
menghaturkan banyak terima kasih kepada kongcu yang telah menyelamatkan nyawa
saya...,” kata gadis itu dengan suara merdu.
Kian Bu
tersenyum. “Ah, tidak mengapa, nona. Urusan kecil saja itu. Tak perlu berterima
kasih. Saya sudah merasa girang kalau nona sudi menjadi sabahat saya.”
Gadis itu
kemudian bangkit berdiri karena tangannya ditarik oleh Kian Bu. Dari tempat
sembunyinya jelas tampak oleh Kian Lee betapa gadis itu tersenyum manis sekali
dan matanya mengerling tajam ke arah Kian Bu, dan sikapnya amat memikat. “Tentu
saja, kongcu. Engkau adalah penolongku, apa pun yang kongcu kehendaki dariku,
tentu akan kulakukan untuk membalas budi...”
Kalau saja
yang menerima kata-kata ini bukan seorang pemuda tanggung yang masih hijau
seperti Kian Bu, tentu dapat menangkap arti di balik kata-kata memikat ini.
Akan tetapi dasar dia masih mentah, Kian Bu hanya tersenyum girang dan berkata,
“Terima kasih, aku girang sekali dapat berkenalan denganmu, apa lagi bisa
menjadi sahabatmu. Nona, namaku adalah Suma Kian Bu, dan nona siapakah?”
“Namaku...?”
Gadis itu terlihat malu-malu dan mengerling tajam disertai senyum simpul.
“Aku... Cia Hong Ciauw...”
“Namamu
manis sekali, seperti orangnya,” kata Kian Bu.
Ucapan yang
keluar dari mulut Kian Bu ini sebenarnya hanyalah ucapan jujur saja dan bukan
merupakan sanjungan atau bujuk rayu, melainkan diucapkan karena memang
sesungguhnya dia menganggap nama itu manis dan orangnya pun manis! Akan tetapi,
wajah gadis itu menjadi merah sekali, malah lebih merah dari bajunya,
tersenyumlah dia dengan penuh daya pikat, matanya mengerling, dan dari lehernya
keluar suara seperti seekor kucing dibelai.
“Ihiiikk...
kongcu bisa saja memuji orang, membikin aku malu saja...” Dan tiba-tiba gadis
itu merangkul dan menyembunyikan mukanya di dada Kian Bu.
“Lhoh...!
Ehhh...! Bagaimana ini...? Wah, jangan...!” Kian Bu menjadi bingung, tubuhnya
menjadi kaku dan meremang semua, seolah-olah ada ribuan ekor ulat yang merubung
tubuhnya.
Dan pada
saat itulah muncul kakek dari dalam kereta bersama para piauwsu.
“Hong
Ciauw...!” Kakek itu membentak marah.
Gadis itu
lalu melepaskan rangkulannya, terkejut dan mundur, akan tetapi masih sempat
melempar senyum dan kerling manis ke arah Kian Bu, lalu berkata, “Dia ini
adalah in-kong (tuan penolong) Suma Kian Bu. Kalau tidak ditolongnya, tentu aku
tadi sudah mati di tangan penculik kejam...”
Melihat
kakek itu melotot marah, Kian Bu tahu bahwa keadaan tak menguntungkannya. Ayah
itu tentu marah melihat anaknya merangkul seorang pemuda!
“Eh, maaf...
aku... eh, aku hanya menolong puterimu tanpa pamrih sesuatu...”
“Puteri
siapa? Dia adalah bini mudaku!” bentak kakek itu.
Sepasang
mata Kian Bu makin lama makin lebar sampai menjadi bulat dan tidak dapat lebih
lebar lagi, mulutnya juga terbuka sampai lama. Untung di tempat itu tidak
banyak lalat! Akhirnya, tanpa mengeluarkan suara bah atau buh, dia membalikkan
kedua kakinya dan lari lintang pukang seperti dikejar hantu! Tentu saja para
piauwsu yang melihat ini menjadi terheran-heran, apa lagi mendapat cerita
nyonya muda itu bahwa pemuda tadi telah menolongnya dari tangan penculik yang
amat lihai tadi. Benar-benar seorang pemuda yang aneh, pikir mereka, aneh dan
berilmu amat tinggi karena dengan beberapa loncatan saja, bayangan pemuda itu
melesat dan lenyap.
Kian Bu
berlari terus dengan cepat, merasa seolah-olah gadis manis itu mengejarnya,
hendak merangkulnya, hendak menciumnya. Dia bergidik berkali-kali, menggerakkan
kedua pundak dan tengkuknya terasa dingin dan ngeri, larinya makin cepat
seolah-olah setan gadis itu berada dekat sekali di belakangnya.
“Ha-ha-ha-ha!”
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dan mendengar suara ketawa ini tahulah Kian
Bu bahwa memang ada orang di belakangnya, bukan setan bukan pula siluman,
melainkan kakaknya sendiri. Maka dia kemudian berhenti dan terengah-engah
memandang wajah kakaknya yang tertawa-tawa dengan gelinya. Baru sekarang dia
melihat kakaknya tertawa demikian enak sampai memegang perutnya.
“Ha-ha-ha-ha...!
Dia bini mudanya... ha-ha-ha-ha, dan kau dirangkulnya, ha-ha-ha-ha...!” Kian
Lee yang tidak biasa tertawa-tawa seperti itu, kini tidak dapat menahan
kegelian hatinya.
“Koko,
kau... kejam!” Kian Bu membentak dan suara tertawa terhenti.
Dengan mulut
masih tersenyum lebar menahan geli hatinya, Kian Lee berkata, “Nah, kau rasakan
sekarang, Bu-te. Tidak benarkah kata-kataku bahwa cara yang tidak baik hanya
akan menghasilkan ketidak baikan pula? Karena pertolonganmu tadi hanya
sandiwara dan pura-pura belaka, hanya palsu, maka hasilnya hanya menimbulkan
cemburu seorang suami yang melihat bini mudanya bermain gila dengan orang
lain.”
“Huh! Sialan
perempuan itu...!” Kian Bu membanting kaki dengan gemas. “Aku tidak akan
melakukan hal itu lagi! Tidak lagi!”
“Sudahlah,
Bu-te, sekali waktu ada gunanya juga pelajaran pahit seperti ini bagi kita.
Nah, marilah sekarang kita cepat mengejar mereka dan membayangi dari jauh.”
“Hehh...?”
Kian Bu memandang kakaknya dengan mata lebar. “Perlu apa membayangi? Aku tidak
butuh berkenalan dengan perempuan itu!”
“Sekarang
bukan urusan berkenalan dengan wanita, Bu-te. Ketahuilah, ketika tadi aku
melarikan diri dan mengintai, aku melihat berkelebatnya tiga orang tosu dan aku
segera membayangi mereka. Aku sempat menangkap percakapan mereka yang
menyatakan bahwa mereka akan turun tangan terhadap rombongan itu malam ini di
kuil tua.”
“Eh, siapa
mereka itu?”
“Aku tidak
tahu, akan tetapi melihat gerakan-gerakan mereka, kalau benar mereka turun
tangan mengganggu, para piauwsu itu bukanlah tandingan mereka. Maka kita harus
membayangi dan kalau perlu menolong mereka, Bu-te. Sekali ini bukan menolong
pura-pura, bukan main sandiwara, melainkan main betul-betulan karena ada pihak
yang terancam bahaya.”
“Baik, koko.
Akan tetapi kuharap ada penculik sungguhan yang melarikan perempuan itu dan
jangan harap aku akan menolong dia. Agaknya orang seperti dia itu memang selalu
mengharapkan dibawa pergi penculik!” Kian Bu mengomel.
“Hushh,
jangan sentimen, Bu-te! Dia patut dimaafkan karena memang sukarlah mencari
seorang penolong pemuda istimewa seperti engkau.”
“Wah, kau
tiada habisnya mengejekku, koko!” Suma Kian Bu mengomel dengan suara merengek.
“Awas, kalau lain kali engkau yang kecelik, aku pun akan mentertawakanmu juga!”
Dua orang
kakak beradik itu menggunakan ilmu berlari cepat, tetapi karena rombongan itu
dibalapkan semenjak mengalami gangguan kakak beradik itu, maka setelah hampir
malam baru mereka dapat menyusul rombongan itu yang telah berhenti di dalam
sebuah kuil tua di luar hutan. Kuil ini adalah kuil Buddha yang sudah amat tua,
sebagian besar bangunan itu sudah runtuh dan agaknya dibuat sebagai tempat
perhentian oleh para pendeta Buddha di jaman dahulu ketika mereka mulai dengan
penyebaran Agama Buddha sampai ke pelosok-pelosok dunia. Kini kuil kuno dan
rusak itu tentu saja tidak dipergunakan lagi oleh para pendeta dan hanya
dipergunakan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dan lewat di tempat itu
untuk sekedar beristirahat atau kadang-kadang juga bermalam.
Agaknya
rombongan yang dilindungi oleh dua losin piauwsu itu memang sudah merencanakan
untuk bermalam di tempat itu dan merasa aman karena ada dua losin piauwsu yang
mengawal. Akan tetapi, peristiwa penculikan nyonya muda di siang hari tadi,
yang dilakukan oleh seorang pemuda dan entah bagaimana nasib nyonya muda itu
kalau tidak ditolong oleh seorang pemuda lain, membuat para piauwsu bersikap
waspada, hati-hati dan juga agak cemas. Baru ada seorang perampok saja yang
turun tangan, penjahat itu sudah berhasil menculik wanita di hadapan hidung
mereka tanpa mereka dapat menangkapnya!
Setelah
hartawan itu dan dua orang isterinya turun dari kereta, menempati ruangan kuil
yang sudah dibersihkan dan dihangatkan dengan api unggun, duduk di dekat api di
atas tikar, para piauwsu yang berjaga-jaga tentu saja membicarakan peristiwa
siang tadi. Juga di antara hartawan dan dua orang isterinya terjadi percakapan
mengenai peristiwa itu. Terutama si hartawan yang mengomel tak kunjung henti.
“Baru
sejenak saja jauh dari sampingku, engkau sudah main gila dengan laki-laki
lain,” kata si hartawan kepada bini mudanya.
“Sudah
berapa puluh kali kau mengatakan hal itu!” jawab si bini muda dengan berani.
“Sampai bosan aku mendengarnya! Engkau tidak terancam bahaya maut, maka bicara
sih mudah! Aku yang terancam bahaya maut oleh penculik yang ganas dan kejam
sekali itu, setelah ditolong orang, tentu saja aku amat senang dan berterima
kasih. Dia masih amat muda, sepatutnya menjadi adikku, kalau aku menyatakan
terima kasihku dengan merangkulnya, apakah itu merupakan kejahatan besar?”
“Kalau aku
tidak keburu muncul, entah macam apa lagi bentuk terima kasihmu itu, kau
perempuan rendah...!”
“Sudahlah,
sudahlah...!” Isteri pertama mencela. “Di tengah perjalanan ini, di tempat
berbahaya dan di mana bahaya sewaktu-waktu masih selalu mengancam kita, mengapa
ribut-ribut mengenai urusan yang telah lewat? Terdengar para piauwsu pun hanya
akan menimbulkan rasa malu.”
Setelah
ketiga orang itu dengan bersungut-sungut tidur di dekat api dan tidak lagi
ribut mulut, para piauwsu yang berjaga-jaga lalu membicarakan peristiwa siang
tadi sambil berbisik-bislk. Di antara mereka, Can Si Hok si kepala piauwsu
sendiri, juga ikut bercakap-cakap.
“Nasib kita
masih baik sehingga ada saja muncul seorang penolong hingga penculikan itu
dapat digagalkan,” kata seorang di antara mereka.
“Penculik
itu mempunyai kepandaian yang hebat sekali. Keroyokan anak panah itu dapat
dielakkannya semua tanpa menoleh, padahal dia sedang memondong orang dan sedang
berlari. Sayang.dia keburu lari sehingga kita tidak sempat mencoba sampai di
mana kepandaian ilmu silatnya. Kelihatannya masih muda sekali.”
“Akan
tetapi, jelas bahwa kepandaian penolong itu pun lebih hebat,” bantah yang lain.
“Buktinya dapat menolong dan mengusir si penculik. Penolong itu pun masih amat
muda. Dari cara dia melarikan diri, jelas bahwa ginkang-nya pun amat luar
biasa, seperti terbang saja.”
Can Si Hok,
si kepala pengawal yang berjenggot putih menarik napas panjang dan berkata,
“Kawan-kawan, malam ini harap kalian waspada dan lebih baik kalau tidak seorang
pun di antara kita tertidur. Penjagaan di luar kuil harus dilakukan dengan
ketat, perondaan di sekitar kuil dilakukan dengan bergiliran. Aku khawatir akan
terjadi lagi hal yang tak kita inginkan. Munculnya dua orang tadi, baik si
penculik mau pun si penolong, merupakan hal yang amat luar biasa. Selama ini
belum pernah pula mendengar di dunia kang-ouw muncul dua jago muda yang
sedemikian lihainya. Baiknya, kalau yang seorang jahat, yang seorang baik dan
suka menolong. Mudah-mudahan tugas kita sekali ini tidak akan gagal.”
Penjagaan
diperketat dan Can Si Hok sendiri ikut melakukan perondaan. Kelihatannya aman
dan tidak terjadi sesuatu di tempat yang amat sunyi itu. Benarkah demikian?
Sesungguhnya tidaklah demikian, karena tidak jauh dari kuil itu terjadi hal-hal
yang tentu akan menggegerkan para piauwsu kalau saja mereka mengetahuinya.
Tiga sosok
bayangan yang gerakannya gesit bukan main, bagaikan setan-setan saja layaknya,
bergerak di antara pohon-pohon mendekati kuil. Setelah dekat dengan kuil mereka
mengintai dari balik pohon besar ke arah empat orang penjaga yang menjaga di
pojok kuil.
“Kita bunuh
saja mereka berempat itu, lalu menyerbu ke dalam,” berbisik seorang di antara
mereka.
“Biarlah
pinto yang menyelinap ke dalam mencari benda itu, kalian berdua bikin ribut di
luar untuk memancing perhatian semua piauwsu. Yang agak lumayan kepandaiannya
hanyalah Can-piauwsu itu saja, yang lain-lainnya tidak perlu dikhawatirkan.”
“Baik, akan
tetapi bagaimana dengan hartawan itu?” tanya tosu yang ada tahi lalat besar di
dagu kanannya, “Dan kedua orang wanita itu?”
“Bereskan
saja mereka, hartawan itu adalah seorang yang pelit!” kata tosu kedua.
“Ah, wanita
muda itu sayang kalau dibunuh. Dia manis,” kata si tahi lalat.
“Hushhhh...
jangan ribut-ribut, kita bergerak sekarang dan... heiii... hujankah...?”
Memang ada
air menyiram mereka dari atas pohon besar itu. Tadinya mereka mengira bahwa
hujan turun tanpa tersangka-sangka, akan tetapi hidung ketiga orang tosu itu
kembang kempis. Mereka meraba-raba air hujan yang menimpa kepala, dan kemudian
mendekatkan jari ke depan hidung.
“Mengapa
baunya begini?”
“Seperti air
kencing!”
Dan ‘hujan’
pun berhenti yang berarti memang tidak hujan sama sekali, melainkan ada orang
mengencingi mereka dari atas pohon itu.
“Keparat!”
Mereka memaki dan secepat kilat tubuh mereka sudah mencelat ke atas, ke dalam
pohon. Mereka berlompatan dan mencari-cari, akan tetapi tidak ada seorang pun
di pohon itu! Terpaksa mereka turun lagi dan berbisik-bisik penuh ketegangan.
“Apa yang terjadi?”
“Tentu hanya
seekor monyet, siapa lagi?”
“Akan
tetapi, biar pun monyet, bagaimana bisa bergerak secepat itu seperti pandai
menghilang saja?”
“Kita harus
bekerja cepat,” kata tosu bertahi lalat. “Sudah dikabarkan orang bahwa
kelenteng kuno ini menjadi tempat keramat. Yang dapat menggoda kita seperti
tadi tentu hanya setan saja!”
Ketiganya
menjadi tegang. Mereka percaya bahwa setanlah yang menggoda mereka, karena
kalau manusia atau binatang, tak mungkin dapat lari dari mereka sedemikian
cepatnya. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, tak mungkin
dapat dipermainkan, dan kalau yang berada di atas pohon tadi manusia atau
binatang sudah pasti mereka akan dapat menangkapnya.
“Marilah
kita mulai bergerak,” kata tosu pertama. “Ji-sute (adik seperguruan kedua), kau
menyelinap dari kanan, dan kau sam-sute, kau dari kiri. Setelah kalian
menyergap keempat orang itu, pinto akan masuk melalui pintu samping yang
kelihatan dari sini itu dan selanjutnya kalian harus dapat memancing mereka
semua keluar agar leluasa pinto bergerak ke dalam.”
“Baik,
suheng,” kata kedua orang tosu itu yang segera berpencar ke kiri dan ke kanan.
“Heiii...
aduhhh!” Tak lama kemudian terdengar tosu yang berlari ke kiri terjungkal dan
menahan teriakan makiannya.
Mereka berkumpul,
kini di tempat tosu itu jatuh.
“Mengapa
kau, sam-sute?”
“Tersandung
batu! Sialan!”
“Engkau?
Dapat tersandung batu? Sungguh aneh.”
“Entahlah,
batu itu seperti ada tangannya memegang dan menjegal kakiku. Eh, mana batu
jahanam itu?” Dia meraba-raba dan tidak menemukan batu itu. “Aneh sekali, batu
itu besar sekali ketika aku menyandungnya, mengapa sekarang menghilang?”
“Ah, sungguh
heran, sekali mengapa mendadak engkau menjadi penakut dan gugup sehingga jatuh
sendiri, sam-sute. Apakah cerita tentang setan membuat kau penakut?” cela tosu
tertua.
“Biarlah
empat orang itu kubereskan sendiri, nanti sam-sute menyusul kalau aku sudah
memancing mereka keluar,” kata orang kedua yang segera meloncat ke depan dengan
sigap. Dua orang temannya melihat dia meloncat ke atas, akan tetapi betapa
kaget rasa hati mereka karena tidak melihat temannya itu turun lagi,
seolah-olah menghilang begitu saja!
Tosu tertua
dan sam-sute-nya yang tadi tersandung batu ajaib itu lantas terbelalak
memandang. “Eh, ke mana dia?” tanya sute-nya. “Mana ji-suheng?”
Tosu tertua
juga bingung karena sute-nya itu benar-benar lenyap tak menimbulkan bekas.
“Ji-sute...!” bisiknya memanggil.
Tiba-tiba
terdengar jawaban agak jauh di belakang mereka, akan tetapi bukan jawaban
panggilan itu melainkan suara “ceekkk... ceekkk...” seperti orang yang lehernya
dicekik! Cepat mereka berdua melompat dan lari ke arah suara itu dan dapat
dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika melihat saudara yang dicari-cari
itu sedang ‘menggantung’ diri di sebuah dahan, tubuhnya berkelojotan, lehernya
mengeluarkan suara tercekik dan dia digantung dengan sabuknya sendiri sehingga
celananya merosot turun terkumpul di kaki dan karena tosu bertahi lalat itu
sudah ‘biasa’ tidak memakai pakaian dalam, tentu saja dia menjadi telanjang
bulat di tubuh bagian bawahnya, menimbulkan penglihatan yang lucu sekali!
Kedua orang
tosu itu cepat meloncat dan melepaskan sabuk itu dari dahan pohon dan membawa
turun saudara mereka yang sudah melotot matanya, terjulur lidahnya dan kebiruan
mukanya itu! Mereka segera menjadi sibuk, yang seorang menggosok-gosok leher
bekas terjirat itu, kemudian yang kedua membenarkan celana dan mengikatkan lagi
sabuknya pada pinggang.
Setelah
siuman, tosu ketiga bertanya, “Ji-suheng, mengapa begitu pendek pikiranmu?
Mengapa kau hendak membunuh diri dan mengapa pula membunuh diri saja menanti
saat seperti ini? Aihh, ji-suheng, kalau kau mati dengan membunuh diri, nyawamu
akan melayang ke neraka siksaan!”
“Bunuh diri
hidungmu itu!” Si tahi lalat memaki dan bangkit duduk, menggosok-gosok lehernya
dan menggoyang-goyangkan kepalanya. “Iblis yang melakukan ini!”
“Ji-sute,
coba ceritakan, apakah yang terjadi tadi?” Tanya tosu tertua setelah dia tadi
meloncat ke atas pohon menyelidiki, akan tetapi juga tidak menemukan orang di
situ.
Tosu bertahi
lalat menghela napas lalu bergidik. “Kalian melihat sendiri aku meloncat.
Tahu-tahu rambutku ditangkap orang dari atas dan sebelum aku sempat berteriak,
jalan darah di leher ditotok membuat aku tak dapat bersuara, dan aku lalu...
digantung di dahan itu.”
“Tidak
mungkin!” Tosu pertama membantah.
“Mungkin
saja!” Tosu ketiga mencela.
“Buktinya
dia sudah tergantung di sana, kecuali kalau dia menggantung diri sendiri.
Ji-suheng, berterus teranglah, apakah kau benar-benar tidak mencoba membunuh
diri? Jangan putus asa, biarlah wanita di kuil itu untukmu, aku tanggung ini!”
“Sam-sute,
sekali lagi kau bicara tentang bunuh diri, lehermu yang akan kucekik!” Si tahi
lalat berkata marah dan mendongkol.
“Ji-sute,
pinto sukar untuk percaya. Walau pun andai kata benar ada orang menangkap
rambutmu dari atas dan menotok jalan darahmu di leher sehingga engkau tidak
dapat berteriak, akan tetapi kedua tangan masih bebas. Dengan itu kau dapat...”
“Kalau
diceritakan memang aneh, suheng, maka tadi kukatakan bahwa setan sajalah yang
dapat melakukan itu. Aku sudah melawan tentu saja, dan tangan kiriku ini sudah
menampar lambungnya, bahkan aku yakin benar tangan kananku sudah menotok jalan
darahnya di pinggang. Akan tetapi aku seolah-olah menampar dan menotok tubuh...
mayat saja. Begitu dingin dan sama sekali tidak ada hasilnya, hihhh...!” Dia
bergidik dan kedua orang saudaranya ikut merasa ngeri.
“Aihhh...
benar-benarkah ada setan di sini...?” Tosu pertama berkata sambil menoleh ke
kanan kiri, sedangkan tosu ketiga menggosok-gosok tengkuknya yang terasa tebal.
Tiba-tiba si
tahi lalat berkata, “Ahh, bukan, suheng. Teringat aku sekarang! Bukan setan
karena aku mendengar dia tertawa, disusul suara yang terdengar jelas akan
tetapi agak jauh.”
“Suara
bagaimana?”
“Suara
seorang laki-laki berkata: ‘Koko, dia telanjang, ha-ha-ha’, begitulah, sekarang
aku teringat benar tentu ada dua orang di pohon itu yang mempermainkan aku.”
Tosu pertama
mengelus jenggotnya. “Hemm... setan atau manusia, jelas bahwa mereka itu lihai
sekali dan agaknya hendak merintangi tindakan kita. Bodoh sekali kalau kita
berlaku nekat. Biarlah kita anggap saja kita gagal malam ini, dan kita
tangguhkan dulu sampai besok. Kita harus membawa bantuan kalau begini, siapa
tahu diam-diam ada orang pandai yang melindungi rombongan itu.”
Dua orang
adiknya mengangguk dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Beberapa kali si
tahi lalat menoleh ke belakang, dia masih merasa ngeri kalau mengenangkan peristiwa
tadi.
Tentu saja
mudah diduga bahwa yang melakukan gangguan itu adalah Kian Lee dan Kian Bu. Dan
mudah pula diduga bahwa yang mengencingi kepala tiga orang tosu itu dan
menyamar sebagai batu lalu menjegal kaki adalah Kian Bu. Sedangkan yang menggantung
si tahi lalat adalah Kian Lee, dibantu oleh adiknya yang melepaskan sabuk dan
membuat tali gantungan di dahan.
Setelah tiga
orang tosu itu pergi, Kian Lee yang telah turun ke bawah bersama adiknya,
berkata, “Ingat, Bu-te. Ayah sudah berpesan agar kita tidak menanam permusuhan
dengan siapa pun. Urusan antara tosu-tosu itu dengan rombongan hartawan adalah
urusan mereka yang sama sekali kita tidak ketahui sebab-sebabnya. Kita tidak
boleh membantu satu pihak, hanya saja kita harus turun tangan kalau ada pihak
yang akan melakukan kejahatan.”
Kian Bu
menggangguk. “Si tahi lalat suka kepada perempuan itu. Kalau dia menculik si
perempuan itu, aku tidak akan mencegahnya.”
“Hushh!
Menculik sungguh-sungguh merupakan kejahatan yang harus kita cegah. Kita lihat saja
besok, agaknya mereka hendak merampas sesuatu dari rombongan itu.”
“Bagaimana
kalau besok terjadi pertempuran, koko?”
“Kita lihat
saja dari jauh. Pertempuran di antara mereka tidak ada sangkut pautnya dengan
kita. Tentu saja kita tidak dapat membantu siapa pun, dan kita tidak dapat pula
mencegah pertempuran yang adil. Hanya kalau melihat ketidak adilan, baru kita
harus turun tangan seperti yang dipesankan ayah.”
“Wah, sukar,
Lee-ko!”
“Apanya yang
sukar?”
“Tentang
keadilan itu, atau lebih tepat ketidak adilan itu. Bagaimana menentukannya mana
yang adil dan mana yang tidak? Yang tidak adil bagimu belum tentu tidak adil
bagiku dan sebaliknya, demikian pula dengan orang lain!”
“Hemmm,
Bu-te, seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, yang mengabdi untuk kebenaran
dan keadilan harus waspada akan kebenaran dan keadilan itu. Kebenaran dan
keadilan yang didasari kepentingan diri pribadi tentu saja palsu! Akan tetapi,
mudah saja melihat kenyataan akan penindasan dan kejahatan yang dilakukan
orang, dan itulah ketidak adilan. Kalau kau belum mengerti benar, maka harus
belajar, adikku. Yang terpenting, seperti pesan ayah, harus diingat dan
diketahui bahwa segala sesuatu untuk perbuatan yang dilakukan demi kepentingan diri
pribadi, demi keuntungan lahir batin diri pribadi, tidak benar kalau
dipertahankan sebagai kebenaran atau keadilan.“
“Wah-wah,
kuliahmu membikin aku pusing, koko. Kita sama lihat sajalah besok kalau
benar-benar terjadi. Tentu ramai!”
Dua orang
kakak beradik itu lalu memilih sebatang pohon besar yang enak dipakai tidur,
yang tidak ada semut-semutnya tentu saja dan mereka tidur di dalam selimut
daun-daun pohon itu sampai pagi. Kalau rombongan piauwsu itu sama sekali tak
ada yang tidur semenit pun, maka dua orang kakak beradik itu tidur dengan
nyenyaknya.
Mereka tidak
khawatir jatuh karena tubuh dan syaraf mereka yang sudah terlatih sejak kecil
itu akan selalu siap menjaga segala macam bahaya yang mengancam tubuh mereka.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment