Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 08
Pada suatu
pagi, Ceng Ceng dan pengawal Souw telah tiba di sebuah dusun di dekat tapal
batas utara. “Kita sudah memasuki wilayah kekuasaan Jenderal Kao,” kata kata
pegawal itu. “Oleh karena itu, boleh dikatakan kita tiba di daerah aman dan kau
boleh menanggalkan penyamaranmu.”
Ceng Ceng
merasa girang sekali. Dia merasa kurang leluasa dalam penyamarannya itu. Dibuangnya
‘kumis’ yang menarik perhatian para wanita di sepanjang perjalanan itu, dan
diubahnya pakaiannya sehingga kini dia berubah menjadi seorang dara remaja yang
cantik dan gagah, dengan kepala dilindungi sebuah caping lebar.
“Karena
perjalanan ke utara, ke benteng di mana Jenderal Kao Liang berada merupakan
perjalanan yang cukup sukar dan melelahkan, melalui daerah tandus, maka
sebaiknya klta mengganti kuda di dusun ini.”
“Apakah di
sini engkau juga mempunyai kawan-kawan, Souw-lopek?”
“Tidak, akan
tetapi dusun ini terkenal sebagai tempat pusat perdagangan kuda. Banyak kuda
Mongol yang baik dijual di dusun ini, dan kita hanya menukarkan kuda kita yang
sudah lelah dengan menambah sedikit uang.”
Benar saja,
setelah mereka memasuki dusun itu, di tengah-tengah dusun terdapat sebuah pasar
kuda yang amat besar dan luas dan terdapat ratusan ekor kuda diperjual belikan
di tempat ini.
“Kau bawa
kuda kita ke bagian sana, bagian penjualan, dan aku akan memilih kuda-kuda baru
di sebelah sini. Kalau aku yang menjual, karena aku laki-laki, harganya akan
kurang tinggi.”
“Eh, mengapa
begitu, Lopek (paman tua)?” tanya Ceng Ceng terheran.
Souw Kee It
tersenyum. “Karena, biasanya para pencuri kuda adalah kaum pria. Jarang ada
wanita, biar wanita kang-ouw sekali pun, mau mencuri kuda.”
“Wah, jadi
kalau yang menjual disangka pencuri kuda, kudanya lalu ditawar murah-murahan?
Mengapa ada orang yang mau membeli kuda curian?”
“Hemm, kau
masih belum tahu akan ketamakan manusia di dunia ini, Nona. Curian atau bukan,
asal mendatangkan keuntungan besar, tentu diterima dengan tangan terbuka.
Sudahlah, kau yang menjual ke sana, berikan kalau ditawar kurang leblh dua
ratus tail untuk dua ekor ini, kemudian kau bawa uangnya ke sini untuk membeli
dua ekor kuda baru. Aku yang memilih, karena kalau tidak pandai memilih, bisa
ditipu mentah-mentah oleh para pedagang kuda yang amat licik dan cerdik itu.
Kuda sakit dibilang sehat, kuda tua dibilang muda.”
Ceng Ceng
mengangguk, lalu menuntun dua ekor kuda itu menuju ke seberang di mana terdapat
banyak tengkulak kuda sedang memeriksa kuda yang akan dijual. Begitu tiba di
tempat itu, beberapa orang pedagang kuda sudah berlarian datang menyambut Ceng
Ceng.
“Nona,
kudamu sudah amat lelah, memang sepatutnya dijual segera!” kata seorang di
antara mereka.
“Agaknya
sudah melakukan perjalanan yang amat jauh, lihat tapal kakinya menipis dan urat
pahanya menggembung!” kata orang kedua.
“Kalau tidak
cepat dipelihara baik-baik bisa terkena penyakit,” kata orang ketiga.
Ceng Ceng
membiarkan para tengkulak kuda itu ribut-ribut menurunkan nilai dua ekor
kudanya. Kalau saja dia belum mendengarkan penjelasan Souw Kee It tentang siasat
para pedagang kuda, tentu dia akan marah atau setidaknya akan merasa bimbang
dan kecewa. Akan tetapi, sekarang dia hanya tersenyum, lalu berkata dengan
lantang, “Kalian boleh menjelek-jelekkan dua ekor kudaku ini sesuka hati dan
seenak perutmu, akan tetapi kalau tidak dua ratus tail, dua ekor kuda ini tidak
akan kujual!”
“Ha-ha-ha,
pintar sekali!” Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan memuji, perlahan saja
namun cukup terdengar oleh Ceng Ceng, karena orang yang memuji itu berada dekat
di tempat itu. Dia melirik dan melihat dua orang pemuda remaja yang berwajah
tampan, berdiri memandangnya penuh kagum. Kekaguman yang tidak disembunyikan.
Terutama sekali pemuda kedua yang agaknya sedikit lebih muda, yang wajahnya
berseri gembira.
Melihat Ceng
Ceng melirik ke arahnya, pemuda ini lalu menggerakkan kepalanya sedikit
sehingga kuncir rambutnya yang tebal itu bergerak melilit lehernya sendiri.
Pemuda yang tercekik dan terlilit lehernya oleh rambutnya sendiri membuat
gerakan seperti orang mendelik dan lidahnya terjulur, sambil berkata dengan
nada mengejek kepada para pedagang kuda itu. “Hekkk... hekkk... mau mencekik
malah tercekik... mampus..., kena batunya sekarang...”
“Bu-te,
jangan kurang ajar...!” Pemuda pertama yang agak lebih tua dan yang sikapnya
pendiam menegur dengan suara lirih.
Senang hati
Ceng Ceng. Dia tidak menganggap pemuda itu kurang ajar karena dia tahu bahwa
pemuda itu mengejek para pedagang kuda. Timbullah rasa persahabatan dalam
hatinya dan dia menoleh kepada mereka, lalu tersenyum kecil, kemudian
menghadapi para pedagang kuda.
“Bagaimana,
apakah kalian mau membeli kudaku yang kelelahan, buruk, berpenyakitan ini? Dua
ekor untuk dua ratus tail, tidak kurang sedikit pun juga!”
Para
pedagang itu saling pandang, menggaruk-garuk kepala. Memang perkiraan Souw Kee
It tadi sudah tepat. Dua ratus tail untuk dua ekor kuda pilihan itu tidaklah
mahal, akan tetapi juga tidak terlalu murah. Memang harga ‘pasaran’. Melihat
sikap nona muda itu demikian tegas, dan jelas tidak mungkin untuk dikelabui
dengan aksi-aksi palsu, mereka tidak banyak bicara lagi lalu menghitung dua
ratus tail perak, diserahkan kepada Ceng Ceng yang membungkusnya dengan kain
lebar yang sudah disiapkan oleh Kee It sebelumnya. Kemudian dia meninggalkan
tempat setelah melirik lagi kepada dua orang pemuda tadi.
“Lee-ko dia
hebat sekali! Mari kita berkenalan...”
“Hushh,
jangan kurang ajar di tempat umum begini. Kau bisa dimaki orang, Bu-te...”
“Tapi, dia
tentu seorang gadis kang-ouw, dan tentu suka berkenalan. Apa sih jahatnya orang
berkenalan?”
Dua orang
muda itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Seperti kita
ketahui, kakak beradik ini setelah menyelamatkan rombongan hartawan yang
diganggu oleh para tosu Pek-lian-kauw, melanjutkan perjalanan menuju ke kota
raja dan pada hari itu berhenti di dusun untuk membeli kuda.
Melihat
adiknya nekat hendak mengikuti dara cantik jelita yang menjual kuda tadi,
terpaksa Kian Lee mendampingi karena dia tidak ingin melihat adiknya membuat
ribut di tempat ramai itu. Tiba-tiba Kian Lee memegang tangan adiknya, lalu
dengan gerakan mukanya dia menunjuk ke depan.
Kian Bu juga
sudah melihat seorang laki-laki kurus yang berada di belakang gadis itu. Jelas
tampak oleh keduanya bahwa laki-laki itu tentulah seorang pencopet yang sedang
mengincar buntalan uang yang berada di tangan kiri gadis itu.
Tiba-tiba,
di tempat yang agak sepi, di tempat perbatasan antara bagian penjualan dan
bagian pembelian kuda-kuda di pasar itu, laki-laki kurus tadi bergerak cepat
sekali, tangannya meraba buntalan. Tampak pisau berkilau dan agaknya pencopet
itu bukan ingin merebut semua buntalan melainkan hendak merobek buntalan dan
mengambil uang dari dalamnya.
“Plakk...!
Krekk...! Aduhhh...!” laki-laki itu memegangi lengannya yang patah tulangnya,
sedangkan pisaunya terlempar entah ke mana.
Kiranya
begitu ada gerakan orang, Ceng Ceng sudah menggerakkan tangan kanannya sambil
memutar tubuh, dan sekali dia menampar, pergelangan tangan laki-laki kurus yang
memegang pisau itu menjadi patah tulangnya.
“Ampunkan
saya... anak-anak saya kelaparan...” Orang itu berkata dengan muka pucat dan
tubuh gemetar ketakutan karena kalau sampai semua orang turun tangan, dia akan
menjadi mayat di tempat itu.
Ceng Ceng
mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke depan orang itu.
“Ambillah dan pergilah!”
Pencopet itu
mengambil uang perak dengan tangan kiri, lalu mengangguk dan cepat menyelinap
pergi. Melihat ini, Kian Lee dan Kiam Bu terbelalak kagum.
“Wah,
kiranya seorang yang lihai!” Kian Bu hampir bersorak karena baru sekali ini dia
melihat seorang dara cantik jelita yang memiliki kepandaian tinggi seperti itu.
“Dia tentu
seorang pendekar wanita dunia kang-ouw seperti yang sering diceritakan oleh
Ibu, maka lebih baik kita jangan mengganggunya,” kata Kian Lee yang merasa
kagum sekali.
Kian Bu
bersungut-sungut kecewa. Apa lagi ketika melihat ada seorang laki-laki gagah
setengah tua yang menghampiri gadis itu, kemudian mereka membeli dua ekor kuda,
Kian Bu tidak berani melanjutkan niatnya menghampiri.
“Hemm, aku
masih merasa penasaran, Lee-ko. Apa sih salahnya kalau aku hanya ingin
berkenalan?”
“Adikku,
harus kuakui bahwa engkau tidak bersalah. Akan tetapi, sejak kecil kita hidup
di tempat terasing dari pergaulan umum, maka tentu saja kita berdua merasa
bebas. Ketahuilah bahwa kehidupan umum di daerah daratan ini tidaklah bebas
sama sekali, kehidupan manusia sudah dibelenggu dan diikat oleh segala macam
peraturan, di antara peraturan-peraturan itu ialah bahwa menegur seorang wanita
yang bukan keluarga dan bukan kenalannya merupakan perbuatan yang kurang ajar!”
“Aneh dan
tidak adil! Kalau tidak lebih dulu menegur, mana bisa kenal? Pula apa sih
jeleknya kalau hanya menegur untuk berkenalan saja? Nona itu tadi pun bercakap
cakap dengan para pembeli kuda, padahal mereka pun belum saling mengenal.”
“Itu lain
lagi namanya, kan ada keperluannya, jual beli kuda?”
“Wah, serba
salah! Peraturan yang licik sekali. Baik buruknya kan tergantung dari niat yang
terkandung di dalam perbuatan, bukan si perbuatan itu sendiri. Seorang pria
menegur seorang wanita untuk berkenalan, masa tidak boleh? Peraturan macam apa
itu?”
“Itu namanya
peraturan kesusilaan, Adikku. Dan masih banyak lagi aturan-aturan antara pria
dan wanita, apa lagi kalau kita sudah tiba di kota raja, sama sekali tidak
boleh dilanggarnya.”
“Hemm,
daratan begini luas akan tetapi seperti penjara saja!”
“Memang,
kita manusia hidup seperti dalam penjara, dikurung dan dibelenggu oleh segala
macam peraturan dan hukum. Akan tetapi, semua itu sudah menjadi kebiasaan umum,
kalau dilanggar, kau akan dianggap liar dan kurang ajar, tidak tahu kesopanan
dan lain sebagainya sehingga engkau akan dianggap jahat dan dimusuhi.”
“Konyol!”
Kian Bu makin tidak puas dan makin penasaran.
Memang
pemuda itu belum mau mengerti akan semua kebiasaan di dunia ‘sopan’ ini. Hidup
di Pulau Es tentu saja merasa bebas, tidak terikat oleh peraturan apa pun
karena mereka hanya hidup bersama ayah dan ibunya, sedangkan pertemuan yang
kadang kala dengan para nelayan yang menjelajah di pulau-pulau agak jauh dari
Pulau Es, juga merupakan pertemuan dengan orang-orang sederhana yang hidup
wajar dan polos, tidak banyak terikat oleh segala macam peraturan.
Kini darah
mudanya yang menuntut sehingga timbul daya tarik terhadap kaum wanita, tetapi
menghadapi penghalang yang besar sekali dan dirasakannya amat mengganggu
kebebasannya. Berbeda dengan Kian Lee yang sungguh pun keadaan hidupnya di
Pulas Es tiada bedanya dengan Kian Bu, namun pemuda ini memperhatikan semua
yang diceritakan tentang dunia ramai oleh ibunya, bahkan suka membaca-baca
kitab tentang sejarah dan kehidupan di dunia ramai. Oleh karena itu biar pun
dia baru sekali ini turun ke daratan besar, namun segala peraturan tidaklah
terlalu mengejutkan hatinya dan dapat dihadapinya dengan tenang dan sabar.
Maka, Kian
Bu hanya dapat memandang saja ketika melihat gadis yang mengagumkan hatinya itu
meloncat ke atas kuda bersama kakek itu, lalu keduanya membalapkan kuda keluar
dari dusun itu. Hatinya ingin sekali menegur, bertanya dan berkenalan, tetapi
dia memaksa diri diam saja, hanya memandang dan makin tertarik hatinya ketika
melihat betapa dara itu mengerling ke arah mereka sambil tersenyum manis!
“Siapakah
mereka...?” Souw Kee It bertanya setelah mereka keluar dari dusun.
“Hi-hik-hik,
pemuda-pemuda yang lucu.” Ceng Ceng lalu menceritakan pertemuannya dengan dua
orang muda itu ketika dia menjual kuda.
“Hemm,
mereka mencurigakan. Nona, kita harus berhati-hati.”
“Kau sendiri
mengatakan bahwa ini daerah aman, Lopek.”
“Benar,
memang tadinya kuanggap demikian. Akan tetapi di dalam pasar kuda tadi, aku
melihat banyak mata yang memandang kepadaku secara sembunyi. Hal seperti itu
sudah terlalu sering kualami sehingga aku dapat merasakannya. Juga, kalau aku
tidak salah, aku melihat wajah seorang kakek yang menyelinap di antara banyak
orang, padahal kalau aku tidak salah ingat, itu adalah wajah seorang tosu
Pek-lian-kauw. Dan kabarnya Pek-lian-kauw juga sudah memasukkan tangan-tangan
kotor ke dalam usaha pemberontakan ini.”
“Ihhh...!”
Ceng Ceng menjadi kaget mendengar ini.
“Keadaan
menjadi berbahaya kalau begini, Nona.” Souw Kee It mengerutkan alisnya dan
menahan kudanya agar dia dapat menerangkan lebih jelas lagi. “Kalau sampai di
dusun itu terdapat orang-orangnya pemberontak tanpa diketahui oleh Jenderal
Kao, maka hal itu hanya berarti bahwa kaki tangan pemberontak sudah menyelundup
ke utara. Mungkin saja di antara para pembantu Kao-goanswe sendiri ada yang
sudah terpengaruh. Dan ini berbahaya bagi pertahanan di utara.”
“Habis, apa
yang kini hendak kau lakukan, Lopek?” Ceng Ceng bertanya, khawatir juga
mendengar suara orang tua itu yang amat serius.
Tiba-tiba
kakek itu memandang ke depan dan matanya terbelalak, kemudian berkata, “Tenang,
tidak usah khawatir, akan tetapi siap menghadapi mereka itu. Kurasa mereka
bukan orang-orang yang mengandung niat baik...”
Ceng Ceng
juga memandang ke depan dan tampaklah olehnya dua orang tosu dan dua orang
laki-laki yang dikenalnya sebagai dua di antara para pembeli kuda tadi telah
menghadang di depan. Kuda tunggangan empat orang itu ditambatkan pada pohon tak
jauh dari situ dan jelaslah bahwa keempat orang ini memang sengaja menunggu dan
menghadang mereka di tempat ini!
“Lopek,
hajar saja mereka!” Ceng Ceng berteriak dengan gemas dan kedua tangannya sudah
meraba sepasang pisau belati yang diselipkan di pinggangnya.
Memang
mereka sudah bersiap sedia dan Souw Kee It telah memberikan dua batang pisau
itu sebagaimana yang dipilihnya sendiri ketika pengawal itu menawarkan senjata
apa yang paling digemarinya.
“Kau hadapi
dua orang mata-mata yang menyamar sebagai pedagang kuda itu, dan biarlah aku
yang menghadapi dua orang tosu Pek-lian-kauw itu,” bisik Souw Kee It.
Ceng Ceng
mengangguk. Dengan tenang keduanya turun dari atas kuda, menambatkan kuda
mereka di pohon lalu menghampiri empat orang yang mengawasi gerak-gerik mereka
tanpa berkata-kata itu. Biar pun dia merasa amat gemas dan marah, namun Ceng
Ceng tidak berani sembrono turun tangan, melainkan membiarkan pengawal itu yang
bicara.
“Jiwi-totiang
(bapak pendeta berdua) agaknya mempunyai keperluan denganku maka sengaja
menanti di sini. Ada keperluan apakah?” Souw Kee It lantas bertanya sambil
menghadapi kedua orang tosu itu.
Dua orang
tosu itu tidak menjawab, melainkan membuat gerakan membuka jubah depan mereka,
yang menutupi jubah di dalam dan tampaklah lukisan teratai putih di depan dada
mereka. Tentu saja Souw Kee It sudah tahu sebelumnya bahwa dua orang tosu itu
adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw, akan tetapi dia berpura-pura kaget dan tidak
mengerti.
“Kalau tidak
salah, ji-wi adalah tosu dari Pek-lian-kauw. Ada keperluan apakah dengan kami
paman dan keponakan?”
“Souw Kee
It, tidak perlu kau berpura-pura lagi!” Tiba-tiba seorang di antara mereka,
tosu yang ada tahi lalatnya di dagu, berkata mengejek. “Dan tidak perlu lagi
mengaku dia ini keponakanmu. Ketika dia masih menjadi pemuda berkumis, memang
kami ragu-ragu. Souw Kee It, dan kau Nona! Hayo katakan di mana adanya Puteri
Syanti Dewi!”
Souw Kee It
terkejut juga. Demikian hebat gerakan para pemberontak ini sehingga
mata-matanya tersebar ke mana-mana, bahkan perjalanannya bersama Ceng Ceng,
penyamaran dara itu pun diketahui belaka oleh tosu-tosu ini. Yang tidak mereka
ketahui, seperti yang dia sendiri pun belum mengetahui, adalah di mana adanya
Putri Syanti Dewi. Hal ini melegakan hatinya, juga melegakan hati Ceng Ceng,
karena berarti bahwa Syanti Dewi belum terjatuh ke tangan kaum pemberontak.
“Pemberontak
hina dina!” bentak Souw Kee It dan tanpa banyak cakap lagi pengawal ini sudah
meloncat ke depan, menerjang sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi
segulungan sinar terang.
Dua orang
tosu Pek-lian-kauw itu juga sudah mencabut pedang masing-masing dan menangkis
sambil membalas dengan serangan dahsyat. Namun, mudah saja serangan mereka
ditangkis oleh Souw Kee It dan melihat gerakan-gerakan mereka, hati pengawal
kawakan ini menjadi lega karena dia yakin akan dapat mengatasi mereka.
Dia
mengkhawatirkan Ceng Ceng yang juga sudah membentak nyaring dan menerjang maju,
yang langsung disambut oleh dua orang pedagang kuda palsu itu dengan golok
mereka. Terdengar suara nyaring berdencing berkali-kali ketika dua orang
pedagang kuda palsu itu sibuk menangkis sinar terang dari sepasang belati di
tangan Ceng Ceng yang menyambar-nyambar ganas ke arah mereka!
Tersenyumlah
Souw Kee It menyaksikan sepak terjang dara dari Bhutan itu. Hebat dan lincah,
sehingga dia maklum bahwa dia tidak perlu mengkhawatirkan Ceng Ceng. Hal ini
membuat dia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menghadapi dua orang
tosu dari Pek-lian-kauw.
“Nona Lu,
mari cepat robohkan mereka!” bentaknya karena pengawal ini maklum bahwa para
kaki tangan pemberontak ini mempunyai banyak kawan dan kalau mereka datang
mengeroyok, keadaan akan menjadi berbahaya.
“Baik,
Lopek!” Ceng Ceng memang tadinya ingin mempermainkan dua orang lawannya, kini
mendengar seruan itu dia lalu memperhebat permainan sepasang pisau belatinya
sehingga dua orang itu terdesak hebat!
Souw Kee It
juga telah mengerahkan tenaga mengeluarkan kepandaiannya. Pedangnya
bergulung-gulung sinarnya, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada dua
orang pengeroyoknya yang main mundur terus. Terdengar bentakan keras dua kali
dari mulut pengawal itu dan robohlah dua orang tosu itu, roboh untuk tidak
bangun kembali karena dada mereka tertembus pedang!
“Haiiitttttt...!”
Ceng Ceng yang merasa penasaran memekik. Pisaunya menyambar dan berhasil merobek
pipi kanan seorang lawan yang berteriak-teriak kesakitan.
“Aku mencari
bantuan...!” Seorang di antara mereka berteriak dan lari meninggalkan kawannya
yang robek pipinya.
“Lari ke
mana?” Ceng Ceng membentak, tangan kirinya bergerak dan pisau belati yang kiri
meluncur ke depan, mengejar lawan yang lari itu.
“Augghhh...!”
Orang itu roboh dan pisau belati hanya tampak gagangnya saja menancap di
punggungnya.
Orang kedua
yang terluka pipinya menjadi nekat, akan tetapi kaki kiri Ceng Ceng telah
menendang tepat mengenai pergelangan tangannya sehingga golok yang dipegangnya
terlepas dan sebelum dia sempat mengelak, pisau belati Ceng Ceng sudah
bersarang di dadanya, membuat dia roboh terjengkang dan tewas tak lama
kemudian.
Ceng Ceng
mencabut dua batang pisaunya, membersihkan senjata itu di pakaian korbannya
sambil mendengarkan pesan Souw Kee It, “Nona, sudah jelas bahwa pihak
pemberontak telah mengetahui keadaan kita. Hal ini membuktikan bahwa kaki
tangan pemberontak telah menguasai pula daerah ini dan mungkin sekali sudah ada
mata-mata yang menyelinap ke dalam pasukan penjaga tapal batas. Hal ini
berbahaya sekali. Jenderal Kao adalah seorang panglima yang amat setia, akan
tetapi kalau dia dikelilingi pemberontak tanpa diketahuinya, amatlah berbahaya.
Sekali pertahanan di tapal batas ini bobol, bahaya utara akan membanjir ke
selatan dan merupakan ancaman besar.”
“Jika
begitu, kita cepat menghadap Jenderal Kao untuk menceritakan keadaan, Lopek.”
Souw Kee It
menggelengkan kepala. “Kita harus membagi tugas. Di benteng terdekat sebelah
barat sana yang bertugas sebagai seorang komandan seorang sahabatku. Aku akan
pergi ke sana untuk cepat memperingatkan sahabatku itu agar dia dapat
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sedangkan engkau, Nona, harap kau
lanjutkan perjalanan ini ke utara. Karena lebih tiga puluh li lagi dari sini,
engkau akan tiba di benteng di mana kau dapat menghadap Jenderal Kao sendiri
dan kau ceritakan segala yang kau telah ketahui dan dengar dari aku mengenai
keadaan di ibu kota.”
Ceng Ceng
mengangguk. “Baik, Lopek.”
Souw Kee It
mengeluarkan sebuah benda dan memberikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata,
“Kau bawalah tek-pai ini sebagai pelindung kalau terjadi sesuatu. Aku sendiri
tidak memerlukannya karena Panglima Kim yang akan kuhubungi adalah wakil dari
Jenderal Kao dan adalah bekas sahabatku ketika kami bersama bertugas di kota
raja. Kalau kau menghadapi kesukaran dari pihak pasukan, tek-pai ini tentu akan
menyelamatkanmu.”
Ceng Ceng
menerima benda itu yang ternyata adalah sebuah tek-pai, yaitu sepotong bambu
yang merupakan sebuah tanda bahwa pemegangnya telah diberi kuasa oleh pihak
atasan. Biasanya, jika kaisar memberi kekuasaan kepada seseorang ponggawa untuk
melakukan suatu pekerjaan penting, ponggawa ini diberi sebuah tek-pai. Akan
tetapi tek-pai yang diserahkan oleh Souw Kee It kepada Ceng Ceng adalah tanda
kuasa yang diberikan oleh Puteri Milana.
“Berangkatlah,
Nona dan hati-hatilah di jalan. Kurasa tidak akan ada gangguan lagi seperti
tadi setelah Nona berada di dekat benteng pasukan Jenderal Kao.”
Mereka lalu
berpisah dan Ceng Ceng lalu membalapkan kudanya menuju ke utara. Ada pun Souw
Kee It sendiri juga lalu meloncat ke atas kudanya, memutar kudanya menuju ke
kiri di mana dia tahu ada markas dari pasukan yang dipimpin oleh wakil dari
Jenderal Kao, yaitu Panglima Kim. Pencegatan oleh tosu Pek-lian-kauw tadi
terjadi di daerah kekuasaan pasukan Panglima Kim, maka dia perlu sekali harus
cepat memberi tahu bekas sahabatnya itu agar dapat mengadakan operasi
pembersihan karena dia yakin bahwa tentu daerah ini telah kemasukan kaki tangan
pemberontak.
Memang
daerah yang merupakan front kedua ini dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao
Liang, yaitu Panglima Kim Bouw Sin yang dahulu pernah menjadi pengawal kaisar,
rekan dari Souw Kee It. Panglima Kim Bouw Sin yang berusia lima puluh tahun ini
bertubuh kecil tinggi, bermata tajam dan dia merupakan seorang yang ahli dalam
ilmu perang, selain ahli pula dalam ilmu silat.
Dahulunya
dia hanya seorang guru silat yang karena kepandaiannya yang tinggi maka banyak
putera bangsawan menjadi muridnya di kota raja. Akhirnya dia diangkat menjadi
pengawal dan memang orang she Kim ini amat rajin dan pandai pula mengambil hati
bekas-bekas muridnya yang banyak terdapat di antara para pangeran sehingga
akhirnya dia terus naik pangkat sampai menjadi wakil Jenderal Kao Liang dan
mengepalai puluhan ribu prajurit di tapal batas utara.
Akan tetapi,
kenaikan demi kenaikan yang membawanya ke tempat yang lebih tinggi dan mulia,
kedudukan demi kedudukan yang telah dicapainya itu sama sekali tidak pernah
memadamkan api cita-cita yang selalu berkobar di dalam dada Kim Bouw Sin. Tidak
pernah membuat dia merasa puas dan cukup. Cita-cita atau ambisinya terus
meningkat dan kedudukan wakil panglima komandan perbatasan masih jauh dari pada
memuaskan hatinya yang penuh ambisi, karena di sana, jauh di tinggi, masih
tampak kedudukan panglima, kedudukan menteri-menteri, perdana menteri, panglima
tertinggi dan kaisar sendiri!
Ambisi ini
yang lalu menyeretnya untuk diam-diam bersekutu dengan Pangeran Liong Bin Ong
dan biar pun secara terang-terangan dia menjadi wakil panglima di perbatasan
utara, namun gelap-gelapan dia adalah pemimpin pemberontak, kepercayaan Liong
Bin Ong yang sudah siap melakukan gerakan besar di utara!
Seperti
halnya Kim Bouw Sin, seperti pula dapat kita lihat dalam penghidupan manusia
sehari-hari, betapa kita ini dicengkeram, dibuai dan dipermainkan oleh
cita-cita, oleh ambisi.
Cita-cita
dan ambisi adalah masa depan sehingga kita hidup seperti dalam mimpi, hidup
dituntun oleh masa depan sehingga kita menjadi seperti buta akan masa kini,
saat ini, tidak dapat melihat segala keindahan dan kebahagiaan saat ini karena
mata kita selalu kita tujukan ke depan dan ke atas! Kita selalu mementingkan
tujuan, sehingga terjadilah kepalsuan-kepalsuan dalam cara atau tindakan karena
semua itu dituntun dan diatur demi mencapai tujuan!
Karena
mementingkan tujuan, maka timbullah perb碌atan-perbuatan
yang palsu, karena yang penting bukanlah caranya lagi, melainkan tujuannya.
Timbullah anggapan palsu bahwa tujuan menghalalkan secara cara! Maka terjadilah
segala kepalsuan yang dapat kita lihat sehari-hari di dalam kehidupan kita.
Betapa demi
tujuan mendapatkan keuntungan, kita tak segan-segan untuk mencapainya dengan
cara apa pun, dengan judi, dengan korupsi, dengan menyuap, dengan penipuan
dagang, dengan penyelundupan, dan banyak lagi macamnya. Semua itu kita lakukan
demi untuk satu tujuan, yaitu mencari keuntungan! Lebih hebat lagi adalah, demi
tujuan mencapai kemenangan, kita manusia saling bunuh-membunuh dalam perang,
bahkan tidak segan-segan memakai nama Tuhan, negara, bangsa dan lain-lain yang
hanya merupakan suatu cara palsu untuk mencapai tujuan, yaitu kemenangan tadi!
Umumnya kita
menganggap bahwa cita-cita atau ambisi mendatangkan kemajuan! Jika tidak
bercita-cita, tak ada kemajuan, demikian kita berkata dan anggapan atau
pendapat ini telah berakar di dalam hati dan pikiran. Akan tetapi kalau kita
mau membuka mata dan mempelajarinya, benarkah demikian? Benarkah ambisi
mendatangkan kemajuan?
Kalau kita
ukur kemajuan dengan lembaran uang, mungkin ada benarnya, yaitu bahwa ambisi
mendatangkan uang! Akan tetapi, apakah itu suatu kemajuan? Apakah itu dapat
dikatakan maju kalau menjadi kaya-raya karena korupsi, karena dagang gelap,
karena penipuan dan lain-lain? Apa artinya kaya-raya kalau batinnya miskin?
Dapatkah kekayaan mendatangkan kebahagiaan? Tanya saja kepada para hartawan dan
semua akan menjawab pertanyaan itu dengan geleng kepala!
Yang penting
adalah sekarang ini! Saat ini! Tindakan ini! Cara ini! Bukan tujuannya, bukan
cita-citanya! Kalau caranya atau tindakannya benar, tujuannya pun benar! Biar
pun tujuannya benar, kalau caranya tidak benar, tujuannya pun menjadi tidak
benar! Dari pada membiarkan pikiran melamun dan membayangkan tujuan atau
cita-cita atau ambisi di masa depan, hal-hal yang belum ada dan hanya merupakan
khayal belaka, marilah kita tujukan seluruh perhatian kita kepada saat ini,
saat demi saat sehingga apa yang kita lakukan, apa yang kita ucapkan, semua
kita lakukan dengan kesadaran sepenuhnya, dengan perhatian sepenuhnya, sehingga
kita dapat menghayati hidup ini saat demi saat! Dengan demikian akan timbul
kewaspadaan, kita dapat melihat yang palsu sebagai palsu dalam diri kita
sendiri dan di luar diri kita.
Souw Kee It
sama sekali tidak pernah mengira bahwa bekas sahabat dan rekannya itu kini
telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong Bin Ong. Dia datang dan
menghadap bekas temannya yang telah menjadi wakil panglima perbatasan itu. Akan
tetapi begitu dia menceritakan tentang pencegatan dua orang tosu Pek-llan-kauw
dan dua orang kaki tangan pemberontak lain yang berhasil dibunuhnya, seketika
dia disergap, dikeroyok dan akhirnya, dalam perlawanan mati-matian, pengawal
kaisar yang gagah perkasa ini tewas di depan kaki Panglima Kim Bouw Sin!
Souw Kee It
telah menceritakan betapa pengawal itu bersama adik angkat Puteri Syanti Dewi
telah tiba di utara dan bahkan telah mengetahui bahwa di utara terdapat kaki
tangan pemberontak! Dan sekarang gadis itu telah menuju ke markas Jenderal Kao!
Hal ini tentu saja menggegerkan hati Kim Bouw Sin dan kawan-kawannya. Maka
setelah menyingkirkan mayat pengawal Souw Kee It, Panglima Kim Bouw Sin segera
memanggil semua sekutunya untuk mengadakan perundingan kilat!
Yang hadir
dalam perundingan itu selain Panglima Kim Bouw Sin sendiri, juga dua orang
utusan Pangeran Liong Bin Ong yang menjadi penghubung, dan tiga orang kepala
suku Mongol yang memusuhi pemerintah. Memang Kim Bouw Sin amat cerdik. Untuk
memperkuat kedudukannya dan memperkuat barisan kalau kelak tiba masanya bahwa
pasukannya harus digerakkan ke selatan, diam-diam dia telah mengadakan
persekutuan dengan suku-suku liar di luar tembok besar dan telah mengadakan
kontak dengan tiga orang kepala suku Mongol itu.
“Rahasia telah terbuka, mungkin
sekarang Jenderal Kao telah mendengar dari gadis itu,” demikian antara lain
Panglima Kim berkata kepada lima orang itu. “Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu
terlalu sembrono, turun tangan tanpa melihat keadaan lawan lebih dulu. Selain
mereka gagal, juga tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Jenderal Kao.”
“Bagi Pangeran Liong, hal itu tidak
membahayakan,” kata seorang di antara tiga orang utusan Pengeran Liong Bin Ong,
“karena kabar pemberontakan itu hanya merupakan desas-desus yang tidak ada
buktinya. Akan tetapi tidaklah demikian dengan kedudukan ciangkun (panglima) di
sini. Jenderal Kao terkenal keras, dan sebagai bawahannya Ciangkun tentu dapat
dia perlakukan sesuka hatinya.”
“Itulah yang memusingkan kepalaku!”
Panglima Kim menghantam meja di depannya. “Kecuali kalau dia dapat disingkirkan
lebih dulu, lebih pagi dari pada rencana semula! Tetapi, pasukannya belum dapat
kita kuasai seluruhnya sehingga hal itu tentu amat sukar dilakukan.”
“Bukankah Jenderal Kao gemar sekali
melakukan penyelidikan dan perondaan sendiri, hanya dikawal oleh tiga belas
orang pengawalnya yang terkenal?” berkata seorang di antara utusan Pangeran
Liong. “Bagaimana kalau digunakan akal untuk memancingnya keluar bersama para
pengawalnya itu dan kita sergap dia?”
Kim Bouw Sin
mengangguk. “Memang ada rencana itu, tetapi kalau ketahuan bahwa dia tewas,
tentu akan timbul kegemparan dan mungkin pasukan yang setia kepadanya akan
menimbulkan keributan. Kecuali kalau pasukannya sudah dapat kita kuasai atau...
kalau dapat melenyapkannya tanpa menimbulkan jejak...”
Tiba-tiba
seorang kepala suku Mongol yang kumisnya panjang bergantungan dari kanan kiri
mulai menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan semua orang yang hadir.
“Dapat sekarang!” Teriaknya sehingga semua orang memandangnya penuh perhatian.
“Sumur maut! Tempat itu pasti dapat kita pergunakan untuk memancing dan
menjebak Jenderal Kao!”
Enam orang
itu segera bicara berbisik-bisik mengatur rencana, mereka menggunakan siasat
keji untuk membunuh Jenderal Kao tanpa diketahui orang dan menimbulkan kesan
bahwa jenderal itu terbunuh oleh suku bangsa liar yang memusuhi pemerintah.
Panglima Kim Bouw Sin kelihatan girang bukan main, wajahnya berseri gembira,
dalam hatinya dia merasa betapa dia dan sekutunya melalukan sesuatu yang cerdik
dan yang benar!
Demikianlah
keadaan batin orang yang telah diracuni oleh cita-cita. Demi tercapainya
cita-cita itu, segala cara dianggapnya baik dan benar belaka. Yang baik dan
yang benar hanya diukur dari keuntungan bagi diri pribadi. Yang menguntungkan
diri sendiri, lahir mau pun batin, maka sudah baik dan benarlah itu! Dengan
pedoman hidup seperti ini di antara kita semua, herankah kita kalau dunia ini
selalu kacau dan ribut, kekerasan, permusuhan dan peperangan terjadi di seluruh
dunia?
***************
“Berhenti!” Tiba-tiba bermunculan
prajurit-prajurit yang agaknya tadi bersembunyi di balik batu-batu gunung dan
lebih dari dua puluh orang prajurit sudah mengepung Ceng Ceng yang cepat
menahan kudanya.
Diam-diam
Ceng Ceng menjadi kagum melihat sikap mereka yang galak dan berbaris rapi.
Mudah diduga bahwa prajurit-prajurit ini merupakan anggota pasukan pilihan yang
kuat. Akan tetapi di samping kekagumannya, dia pun merasa penasaran. Dia
seorang wanita, tetapi pasukan ini memperlihatkan sikap demikian keras dan kaku.
Wataknya yang nakal membuat dia ingin sekali menggoda para prajurit Jenderal
Kao ini.
“Heiiii, kenapa kalian menyuruh aku
berhenti?” teriaknya.
Seorang di
antara mereka, komandannya yang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan
tubuhnya tinggi besar dan tegap, melangkah maju dan berkata, suaranya nyaring,
“Nona, kau sudah melanggar wilayah penjagaan kami. Kau tidak boleh terus dan
harus kembali.”
Ceng Ceng
tersenyum. “Aihhh, tanah, pasir dan gunung ini bukan kalian yang bikin, mengapa
hendak melarang orang lewat? Bagaimana kalau aku tidak mau kembali dan hendak
terus?”
“Terpaksa kau harus kami tangkap dan
akan kami hadapkan kepada atasan kami untuk diperiksa.”
“Begitu mudah?” Ceng Geng tersenyum
mengejek. “Coba tangkap aku kalau bisa!”
Para
prajurit itu saling pandang, ada yang merasa penasaran dan marah menyaksikan
lagak dara remaja itu, ada pula yang tersenyum geli, akan tetapi tidak ada
seorang pun berani bergerak karena mereka menanti perintah komadan mereka.
“Nona, jangan bergurau. Kembalilah saja,
atau turun dari kuda untuk kami hadapkan kepada atasan kami,” kata komandan
tinggi besar itu dengan wajah sungguh-sungguh.
“Dan aku tidak bergurau, melainkan
menantang kalian semua untuk menangkap aku kalau bisa!”
Merahlah
wajah komandan itu. Dia merasa dipermainkan oleh anak perempuan ini di depan
anak buahnya. “Tangkap dia!” teriaknya memberi aba-aba.
Setelah
terdengar aba-aba ini, barulah para prajurit bergerak, mengulur tangan dan
seolah-olah hendak berlomba menangkap atau menjamah tubuh dara remaja yang
cantik manis dan menggemaskan hati itu!
Ceng Ceng
tertawa, kakinya bergerak dan tubuhnya sudah mencelat dan melayang melalui atas
kepala mereka. Bagaikan seekor burung saja gadis ini meloncat dari atas kudanya
melalui kepala para prajurit dan turun ke atas tanah di luar kepungan sambil
tertawa-tawa.
Ceng Ceng
menggapai kepada para prajurit yang kini membalikkan tubuh memandang kepadanya
dengan mata terbelalak. “Mari, mari! Siapa yang merasa ada kepandaian, boleh
maju! Atau kalau kalian tidak tahu malu, boleh mengeroyok aku!”
Tentu saja
para prajurit menjadi marah dan serentak bergerak maju, akan tetapi tiba-tiba
komandan tinggi besar itu berteriak, “Tahan!”
Serentak
para prajurit menghentikan gerakan mereka dan berdiri tegak menanti perintah
komandan mereka. Akan tetapi komandan itu melambaikan tangannya memberi isyarat
agar mereka mundur, kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Ceng Ceng.
Sejenak dia memandang dara itu penuh perhatian dan kecurigaan, kemudian dia
berkata, “Nona, sebetulnya siapakah engkau, ada keperluan apa datang ke tempat
ini dan mengapa menantang kami?”
Ceng Ceng
yang sudah kumat nakalnya dan memang sengaja hendak mempermainkan orang,
tersenyum dan berkata, “Soal nama dan keperluan nanti saja. Sekarang karena aku
dilarang melanjutkan perjalanan, aku tantang siapa saja di antara kalian. Kalau
aku kalah, aku akan kembali tanpa banyak cerewet lagi, akan tetapi kalau aku
menang, kalian harus membolehkan aku melanjutkan perjalananku...”
Komandan itu
menggeleng-gelengkan kepala. “Peraturan di sini tidak boleh diubah oleh siapa
pun juga, Nona. Siapa yang melanggar akan berhadapan dengan kami.”
“Aku tidak mau tunduk akan peraturan
itu!”
“Kalau begitu terpaksa Nona akan
kutangkap.”
“Cobalah!”
Akan tetapi
kembali komandan itu ragu-ragu. “Aku adalah seorang laki-laki sejati yang tidak
suka memukul wanita. Akan tetapi harap Nona ketahui bahwa kami telah
berbulan-bulan bertugas di sini dan jauh dari wanita, maka jangan katakan aku
kurang ajar kalau tangan-tanganku menjadi gatal.”
Para
prajurit tertawa mendengar kelakar komandan mereka ini, dan wajah Ceng Ceng
menjadi merah sekali. Akan tetapi karena dia pun tahu bahwa komandan itu bukan
bermaksud untuk kurang ajar melainkan bicara sejujurnya, dia pun mejawab,
“Tidak usah banyak sungkan, Ciangkun. Mari perlihatkan kepandaianmu.”
“Heiiiiitttt!” Komandan itu yang juga
memiliki ilmu silat cukup tangguh sudah bergerak maju, menubruk dengan kedua
lengannya dipentang lebar.
“Yaahhh!” Dengan lincahnya Ceng Ceng
mengelak dan tubuhnya yang kecil ramping itu lolos dari bawah lengan kanan
komandan itu, tidak lupa untuk menggerakkan tangan kiri menampar belakang
pundak kanan.
“Plakkk!”
Tubuh
komandan itu terhuyung-huyung dan wajahnya kelihatan kaget bukan main. Tak
disangkanya bahwa tubrukannya itu tidak hanya dapat dielakkan, malah dia kena
ditampar, tamparan main-mainan saja karena kalau dara itu menghendaki, tamparan
itu tentu dapat diubah menjadi pukulan yang berbahaya. Tahulah dia bahwa gadis
ini memang berilmu tinggi sehinga dia berani berlagak seperti itu. Maka dia
tidak menjadi sungkan-sungkan lagi dan sambil berteriak keras kini mulailah dia
menyerang, bukan sekedar untuk mengalahkan.
Ceng Ceng
yang memang hanya ingin mempermainkan, menggunakan ginkang-nya dan dengan amat
lincah dia selalu dapat mengelak dari semua serangan lawan tanpa membalas
karena dia memang tidak berniat untuk bermusuhan. Kemudian, ketika komandan itu
menyerangnya dengan dahsyat, menggunakan lengan kanan untuk memukul ke arah
lambung dan tangan kirinya mencengkeram pundak, Ceng Ceng mengelak dengan
loncatan ke kanan sambil menggerakkan kepalanya.
“Plak! Plak!”
Komadan itu
terkejut dan cepat meloncat mundur sambil terhuyung-huyung karena tadi dua
helai kuncir dara itu dengan tepat telah menyambar dan mengenai leher dan
dadanya. Melihat ini, para prajurit sudah bergerak maju hendak menolong dan
membantu komandan mereka, akan tetapi tiba-tiba Ceng Ceng meloncat jauh ke
belakang sambil berseru keras, “Tahan...!”
Komandan itu
sudah mencabut pedangnya dan memandang dengan mata terbelalak marah. Ceng Ceng
cepat menjura kepadanya dan berkata, “Harap Ciangkun maafkan. Sebetulnya saya
hanya main-main saja. Saya hendak menghadap Jenderal Kao Liang, harap Ciangkun
mengantar saya kepadanya.”
Komandan itu
mengerutkan alis. Tentu saja dia menjadi makin curiga. Gadis ini adalah seorang
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kedatangannya demikian mencurigakan dan
sekarang menyatakan ingin bertemu dengan Jenderal Kao Liang, tentu saja dia
menjadi curiga sekali.
“Nona, terpaksa kami hanya bisa
menghadapkan engkau sebagai seorang tangkapan.”
Ceng Ceng
tersenyum, lalu merogoh saku mengeluarkan tek-pai yang diterimanya dari
Pengawal Souw Kee It, menyodorkan tek-pai itu ke depan perwira komandan itu
sambil berkata, “Apakah engkau masih mencurigai aku?”
Komandan itu
segera memandang tek-pai, bambu kuasa itu dan setelah membaca dan mengenal
tulisan di atas tek-pai, melihat cap kebesaran Puteri Milana sendiri, cepat dia
menjatuhkan diri berlutut. Para prajuritnya terkejut dan biar pun mereka belum
mengerti jelas, mereka pun cepat meniru perbuatan komandan mereka, berlutut.
“Harap Nona maafkan kami yang tidak
mengenal Nona,” kata komandan itu.
“Aihhh, tidak apa-apa, Ciangkun.
Salahku sendiri karena memang aku yang ingin main-main dengan pasukanmu yang
begini perkasa. Nah, sekarang engkau antarkanlah aku menghadap Jenderal Kao
Liang.”
“Baik, Nona.”
Komandan itu
meninggalkan perintah kepada anak buahnya, dan dia sendiri kemudian
mengantarkan Ceng Ceng memasuki benteng besar di mana terdapat penjagaan yang
ketat dan mengagumkan hati Ceng Ceng. Dia maklum betapa akan sukarnya memasuki
benteng yang terjaga kuat ini apa bila tidak diantarkan oleh komandan itu.
Jenderal Kao
Liang yang gagah perkasa itu menerima kedatangan Ceng Ceng dengan ramah, apa
lagi ketika Ceng Ceng memperlihatkan tek-pai (bambu tanda kuasa) dari Puteri
Milana dan menceritakan bahwa dia mewakili Perwira Pengawal Souw Kee It.
“Aihhh, sungguh patut dipuji seorang
wanita muda seperti Nona mau menempuh segala kesukaran untuk membantu negara.
Nona amat gagah perkasa! Silakan duduk di ruang dalam dan ceritakan semua tugas
Nona datang menjumpai kami,” kata jenderal itu yang mengajak Ceng Ceng duduk di
ruangan dalam.
Setelah
minum teh yang disuguhkan, Ceng Ceng mulai dengan penuturannya. “Souw-ciangkun
sekarang pergi ke benteng di barat sana untuk melaporkan bahwa daerah ini telah
kemasukan kaki tangan pemberontak. Kami berdua telah dicegat oleh dua orang
tosu Pek-lian-kauw dan kaki tangannya. Menurut Souw-ciangkun, pemberontak yang
sekarang sedang berusaha untuk menghimpun kekuatannya tidak hanya bergerak di
barat, melainkan agaknya juga sudah mulai mengulur tangan kotor mereka di
daerah perbatasan ini.”
Jenderal Kao
Liang tertawa sambil mengangkat cawan arak dan minum arak dengan lahapnya. Dia
kuat sekali minum dan tidak pernah menjadi mabuk. “Ha-ha-ha-ha, harap tenangkan
hatimu, Nona. Pemberontak-pemberontak itu hanya besar mulut saja, akan tetapi
tidak ada artinya. Bahkan baru-baru ini aku sendiri sudah melakukan pemeriksaan
ke barat, memimpin operasi pembersihan membasmi para pemberontak yang berani
mengganggu perbatasan barat. Kalau ada pemberontak yang berani muncul di daerah
ini, tentu akan kusapu sampai bersih!”
Kembali dia
tertawa bangga, lalu melanjutkan. “Sayang bahwa para penjahat itu berhasil
mencegat rombongan Puteri Bhutan sehingga sang puteri kabarnya lenyap. Akan
tetapi, Kerajaan Bhutan tentu mau bekerja sama dengan kami untuk membasmi
pemberontak di sana yang sebetulnya hanya merupakan segerombolan orang liar dan
biadab, di bawah pimpinan penjahat besar Tambolon.”
“Agaknya Tai-ciangkun belum tahu jelas
akan keadaan yang lebih parah dan berbahaya dari pada yang Tai-ciangkun kira.”
Ceng Ceng berkata, “Hendaknya diketahui bahwa saya adalah Lu Ceng, atau Candra
Dewi, saudara angkat dengan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, dan saya pula yang
menjadi pengawal pribadinya ketika diboyong ke kota raja.”
“Ehhh...?!” Jenderal itu terkejut juga
dan kini memandang kepada Ceng Ceng penuh perhatian.
Ceng Ceng
lalu menceritakan semua pengalamannya bersama Syanti Dewi yang kini entah
berada di mana, akan tetapi yang menurut kabar diselamatkan oleh seorang
nelayan dan pasti belum terjatuh ke tangan pemberontak. Kemudian dia
menceritakan pula pertemuannya dengan Ang Tek Hoat yang menjadi orang
kepercayaan Pangeran Liong si pemberontak, menceritakan pula percakapan yang
didengarnya antara Ang Tek Hoat dan Pangeran Liong Khi Ong.
Mendengar
semua itu, barulah Jenderal Kao tidak memandang ringan lagi, bahkan dia
menggebrak meja. “Celaka! Kiranya di kota raja sendiri telah penuh dengan
manusia-manusia khianat! Kalau begitu, aku sendiri harus ke kota raja untuk
memperingatkan kaisar dan berunding secara langsung dengan Puteri Milana yang
bijaksana. Ahhh, pengkhianat-pengkhianat yang tak mengenal budi itu harus
dibasmi secepat mungkin sebelum gerakan mereka menjadi besar!”
Pada saat
itu pula seorang pengawal melangkah masuk dan memberi hormat kepada Jenderal
Kao sambil berkata, “Kim-ciangkun datang dan mohon menghadap!”
“Ah, dia datang? Suruh cepat masuk!”
kata jenderal itu.
Ketika
Panglima Kim Bouw Sin memasuki ruangan itu dan memberi hormat kepada Jenderal
Kao, Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Panglima Kim adalah seorang laki-laki
berusia kira-kira empat puluh tahun, mukanya pucat dan matanya sipit sekali.
Karena dia tahu bahwa panglima ini adalah sahabat baik Souw Kee It, maka begitu
panglima itu duduk dia bertanya, “Kim-ciangkun, bukankah Souw-lopek sudah
bertemu denganmu?”
Kim Bouw Sin
memandang dara itu lalu tertawa. “Tentu Nona adalah Nona Lu Ceng dari Bhutan
seperti yang diceritakan oleh Souw-sicu. Memang dia telah bertemu denganku,
Nona. Bahkan kini dia membantu menjadi penunjuk jalan bagi pasukan yang
kukirimkan untuk melakukan pembersihan ke dusun tempat jual kuda itu.”
“Hemmm, Kim-ciangkun! Mengapa urusan
besar seperti itu kau serahkan saja kepada bawahanmu dan tidak kau pimpin
sendiri? Kita harus segera mengadakan pembersihan, jangan sampai kaki tangan
pemberontak memperlebar sayapnya di daerah ini!” Jenderal Kao menegur
bawahannya.
Kim Bouw Sin
cepat menghadapi atasannya itu dan berkata, “Memang sebenarnya harus saya
sendiri yang memimpin operasi pembersihan itu. Akan tetapi, ada hal lain yang
lebih penting lagi dan yang harus saya laporkan sendiri kepada Goanswe.”
“Hemm... berita apakah yang begitu
penting?”
“Para peyelidik kami mendapat
keterangan bahwa pada hari besok, para kepala suku mengadakan pertemuan dan
perundingan tidak jauh dari sini dan mereka itu akan menerima kujungan seorang
kaki tangan pemberontak yang tentu akan melakukan pembujukan kepada para kepala
suku untuk bersekutu dengan pihak pemberontak.”
Wajah
Jenderal Kao berubah merah sekali dan dia menggebrak meja. “Bagaimana bisa ada
kejadian seperti ini? Selama ini para kepala suku itu baik dengan kita!”
Dengan sikap
agak ketakutan Kim-ciangkun berkata, “Akan tetapi, pihak pemberontak itu tentu
telah berhasil membujuk mereka yang mata duitan dengan menyerahkan
hadiah-hadiah. Kalau Goanswe mengijinkan, saya akan melakukan penyelidikan
sendiri ke tempat itu.”
“Tidak! Hal ini terlalu penting
sehingga harus aku sendiri yang melakukan penyelidikan. Di mana tempat itu?”
“Di sekitar sumur maut di tengah
padang pasir.”
“Hemmm, di tempat terpencil dan
mengerikan itu?” Jenderal Kao membelai jenggotnya, “Baik, biarlah aku akan
menyelidikinya sendiri.”
“Kalau begitu baik sekali. Saya akan
menyusul ke selatan, memimpin sendiri operasi pembersihan di dusun pasar kuda,”
kata Kim Bouw Sin yang segera pamit dan keluar meninggalkan tempat itu.
Jenderal Kao
lalu menyuruh seorang pengawal mengantar Ceng Ceng ke sebuah kamar tamu agar
dara itu dapat beristirahat sambil menanti kembalinya Souw Kee It, karena dia
sendiri sibuk mempersiapkan tiga belas orang pengawalnya dan mengatur rencana
untuk menyelidiki sumur maut yang dijadikan tempat pertemuan para kepala suku
itu.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Jenderal Kao telah berangkat meninggalkan
benteng itu. Seperti biasanya tiap kali dia mengadakan perondaan atau
penyelidikan, dia hanya dikawal oleh tiga belas orang pengawalnya yang gagah
perkasa dan setia.
Derap kaki
kuda di luar itu membangunkan Ceng Ceng dari tidurnya. Dia membuka pintu kamar
dan bertanya kepada pelayan, mendapat keterangan bahwa Jenderal Kao telah
berangkat. Ceng Ceng lalu mandi, bertukar pakaian lalu keluar dari bangunan itu
melihat-lihat. Tetapi baru saja dia keluar, tampak olehnya seorang laki-laki
berpakaian perwira menengah berjalan dengan amat cepatnya sambil menengok ke
kanan kiri.
Jelas nampak
olehnya betapa orang itu seperti tergesa-gesa dan hati-hati sehingga timbullah
kecurigaan hatinya. Apa lagi orang itu agaknya baru saja meninggalkan tempat di
mana dia menginap, padahal dia sejak kemarin tidak pernah bertemu dengan orang
itu, seolah-olah orang itu telah bersembunyi di situ.
Ketika
melihat orang berpakaian perwira itu memasuki sebuah pondok, Ceng Ceng cepat
menggunakan kepandaiannya untuk meloncat ke atas genteng dan tak lama kemudian
dia sudah mengintai dan mendengarkan dari atas. Perwira itu telah bertemu
dengan seorang perwira lain dan biar pun percakapan mereka hanya singkat saja,
namun cukuplah bagi Ceng Ceng mengetahui siapa adanya mereka.
“Cepat kau pergi melaporkan
Kim-ciangkun bahwa dia telah berangkat,” kata perwira yang dibayanginya tadi.
“Baik, dan kau mempersiapkan semua
teman agar mengendalikan semua pasukan di sini,” kata orang kedua.
“Ya, setelah itu aku akan menyusul
mereka untuk melihat apakah semua telah berjalan sesuai rencana. Sebaliknya,
sebelum engkau berangkat kepada Kim-ciangkun, engkau yang menghubungi
teman-teman di sini. Jangan lupa gadis itu, harus secepatnya dibikin tidak
berdaya. Aku akan berangkat sekarang, khawatir kalau-kalau terjadi perubahan
dan kegagalan di sana.”
Selanjutnya
mereka berbisik-bisik dan Ceng Ceng cepat meloncat turun, menyelinap di depan
pondok itu dan bersembunyi di tempat yang masih gelap. Percakapan yang
didengarnya itu cukup baginya dan amat mengejutkan. Jelas bahwa kedua orang itu
tentulah mata-mata pemberontak yang menyelinap dan berhasil menjadi
perwira-perwira di situ, atau juga perwira-perwira yang telah dibujuk oleh
pihak pemberontak. Yang amat mengejutkan hatinya adalah disebutnya
Kim-ciangkun!
Agaknya
Kim-ciangkun juga sekutu mereka! Jantungnya berdebar tegang. Dia teringat akan
Souw Kee It yang belum juga muncul setelah pengawal itu pergi mengunjungi
Kim-ciangkun. Kecurigaan besar timbul di dalam hatinya. Dia khawatir bahwa
telah terjadi sesuatu yang tidak baik menimpa diri pegawal itu. Akan tetapi
Ceng Ceng maklum bahwa dia menghadapi orang yang memiliki pasukan besar, yang
tidak mungkin dapat dilawannya begitu saja. Jalan satu-satunya adalah cepat
melapor kepada Jenderal Kao yang telah pergi.
Dan orang
berpakaian perwira itu agaknya akan menyusul rombongan Jenderal Kao untuk
melihat apakah rencana mereka berjalan lancar. Ceng Ceng segera mengambil
keputusan dan melihat perwira itu berkelebat ke luar, cepat dia membayangi dari
jauh.
Perwira itu
keluar dari benteng, naik kuda dan membalap ke arah utara! Ceng Ceng terpaksa
menggunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi sebentar saja sudah tertinggal jauh
dan akhirnya perwira berkuda yang dibayanginya itu lenyap. Untung baginya bahwa
jejak tapak kaki kuda yang dikejarnya dapat dilihat jelas maka dia dapat terus
melakukan pengejaran ke utara dengan melihat tapak kaki kuda perwira itu.
Sementara
itu, Jenderal Kao Liang dan tiga belas orang pengawalnya telah sampai di daerah
sumur maut. Dengan teliti jenderal itu bersama para pengawalnya memeriksa
keadaan di sekitar itu, namun yang tampak hanyalah padang pasir yang luas,
tidak kelihatan ada seorang pun manusia. Sumur maut yang berada di
tengah-tengah padang pasir itu pun sunyi saja, hanya tampak dari jauh sebagai
suatu lubang yang dikelilingi batu-batu besar yang berserakan. Tidak ada suara
apa-apa, tidak ada gerakan apa-apa.
Jenderal Kao
telah memecah pasukan pengawalnya menjadi empat untuk memeriksa di empat
jurusan, namun mereka semua kembali dengan tangan hampa, karena memang tidak
ada seorang pun manusia di sekitar daerah yang amat sunyi itu. Setelah menanti
sampai lama namun tidak juga ada datang kepala-kepala suku seperti yang
dikabarkan akan mengadakan pertemuan rahasia di situ, Jenderal Kao mulai
menjadi penasaran dan curiga. Apakah berita itu hanya berita bohong belaka?
“Mari coba kita periksa sumur itu!”
Akhirnya dia berkata dan bergeraklah rombongan ini mendekati sumur.
Tiba-tiba
terdengar teriakan nyaring disusul suara derap kaki kuda. “Jangan mendekati
sumur itu...!”
Semua orang
terkejut dan menengok. Kiranya Ceng Ceng yang datang menunggang kuda dengan
cepat sekali dan dara itu yang tadi berteriak. Dara ini telah berhasil mengejar
perwira berkuda ketika perwira itu turun dari kudanya setelah tiba dekat daerah
sumur maut. Selagi perwira itu mengintai dari jauh, Ceng Ceng menyergapnya.
Perwira itu berusaha melawan, namun dia bukanlah lawan dara perkasa dari Bhutan
ini, dan dengan mudah Ceng Ceng berhasil merobohkannya.
Karena
perwira itu tetap membungkam ketika Ceng Ceng berusaha membongkar rahasianya,
akhirnya Ceng Ceng menotoknya lumpuh lalu menggunakan kuda perwira itu untuk
membalap dan menyusul Jenderal Kao. Melihat keadaan yang amat sunyi di situ,
dan melihat Jenderal Kao dan anak buahnya bergerak mendekati sumur, Ceng Ceng
menjadi curiga dan khawatir, maka dia lalu berteriak memperingatkan jenderal
itu.
Ketika
Jenderal Kao Liang dan anak buahnya terkejut dan menengok, tepat pada saat itu
mereka melihat anak panah berapi meluncur ke atas langit dari empat jurusan dan
terdengar suara keras. Batu-batu di sekitar sumur maut itu terpental dan dari
bawahnya berlompatan ke luar belasan orang, kemudian meluncurlah
senjata-senjata rahasia dari tangan mereka, seperti hujan menyerang kepada
Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya!
Mereka
terkejut, namun sebagai orang-orang gagah yang sudah biasa menghadapi bahaya,
mereka cepat mengelak dan mencabut senjata masing-masing. Sementara itu, Ceng
Ceng yang masih membalapkan kudanya, tiba-tiba berteriak kaget, kudanya
terjungkal roboh karena perut kuda itu telah robek dan tiba-tiba saja muncul
seorang kakek yang tadinya bersembunyi di bawah pasir. Kakek kurus yang
berjenggot pendek dan kuncir rambutnya melibat leher.
Dengan amat
cekatan Ceng Ceng meloncat turun sewaktu kudanya terjungkal, akan tetapi
tiba-tiba dia sudah diserang oleh kakek itu dengan pukulan-pukulan kedua tangan
terbuka yang mendatangkan angin bersiutan, tanda bahwa kedua tangan kakek itu
mengandung tenaga sinkang yang amat kuat! Ceng Ceng berteriak marah, mengelak
dan sudah mencabut keluar sepasang pisau belatinya, membalas dengan
serangan-serangan dahsyat.
Jenderal Kao
dan anak buahnya juga sudah menghadapi serbuan lima belas orang yang tadi
bersembunyi di dalam pasir di bawah batu-batu besar. Mereka itu adalah
orang-orang yang berkepandaian tinggi yang sengaja didatangkan dari selatan
untuk membunuh Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya. Namun, jenderal
yang gagah perkasa itu berteriak-terlak seperti seekor singa, mengamuk dengan
hebat bersama tiga belas orang pengawalnya yang setia sehingga lima belas orang
pembunuh bayaran itu menjadi kewalahan, bahkan terdesak hebat. Dua orang sudah
roboh oleh pedang dan hantaman tangan jenderal perkasa itu.
Akan tetapi,
tiba-tiba dari empat penjuru tampak pasukan datang berkuda. Biar pun jumlah
mereka tidak banyak, namun setelah berkumpul, tidak kurang dari seratus orang
anak buah suku bangsa liar mengepung tempat itu dan langsung menyerbu dan
mengeroyok Jenderal Kao Liang dan anak buahnya!
Ceng Ceng
menjadi terkejut bukan main. Kalau tadi dia merasa agak lega melihat betapa
para penjahat hanya berjumlah belasan orang dan Jenderal Kao bersama anak
buahnya adalah orang-orang pandai, sehingga tidak khawatir akan kalah, kini
melihat datangnya seratus orang liar itu dia menjadi khawatir sekali. Kakek
yang mendesaknya juga ternyata amat lihai.
“Haiiiiittttt...!” Ceng Ceng berteriak
nyaring, kedua pisaunya menyambar dari kanan kiri, menyilang dengan gerakan
berkelebat cepat seperti sambaran kilat.
Menghadapi
serangan dahsyat dan bertubi-tubi ini, kakek itu lalu melompat mundur dan
kesempatan ini digunakan oleh Ceng Ceng untuk lari menghampiri rombongan
Jenderal Kao Liang.
Melihat
gadis ini, Jenderal Kao tertawa, “Ha-ha-ha, kau hebat sekali, Nona! Benar-benar
aku merasa kagum dan andai kata kita gagal membasmi mereka ini, melihat Nona
yang begini gagah perkasa, benar-benar merupakan penglihatan terakhir yang akan
menjadi bekal menyenangkan ke alam baka!”
Diam-diam
Ceng Ceng kagum sekali.
“Hyaaaattt...! Ceppp...! Desss...!”
Dua orang
Mongol roboh oleh pisau dan tendangan kakinya. Setelah merobohkan dua orang
itu, sambil mengelak dan menangkis hujan golok dan tombak, Ceng Ceng masih
sempat menjawab, “Kao-ciangkun, pembantumu itu, Kim-ciangkun, telah
memberontak. Agaknya dia yang mengatur semua ini. Engkau dijebak....”
“Prakkk! Desss!” Dua orang pengeroyok
roboh dengan kepala pecah dan leher hampir putus terkena hantaman tangan kiri
Jenderal Kao dan sambaran pedangnya.
“Hemmm, sudah kuduga! Keparat tak
mengenal budi, pengkhianat hina itu! Mari kita basmi anjing-anjing ini, Nona.
Baru kita cari dan hancurkan kepala manusia she Kim yang keparat itu!”
Kedua orang
itu mengamuk, juga tiga belas orang pengawal setia. Akan tetapi, pihak musuh
terlampau banyak. Biar pun mereka berhasil merobohkan puluhan orang musuh,
namun akhirnya, seorang demi seorang roboh dan tewaslah tiga belas orang
pengawal Jenderal Kao yang gagah perkasa dan setia itu. Hanya tinggal jenderal
itu bersama Ceng Ceng yang masih terus melakukan perlawanan gigih, bahu-membahu
dan saling melindungi. Mereka berdua pun sudah mengalami luka-luka dan pakaian
mereka sudah berlepotan darah, darah para pengeroyok yang mereka tewaskan dan
darah mereka sendiri.
Sepasang
mata jenderal itu melotot lebar, penuh keganasan, akan tetapi mulutnya
tersenyum setiap kali dia melirik ke arah Ceng Ceng. “Engkau hebat... wah,
engkau hebat...! Hanya tinggal kita berdua yang masih hidup. Mari kita
berlomba, siapa yang lebih banyak merobohkan lawan. Ha-ha-ha!”
Sambil
tertawa-tawa jenderal itu memutar-mutar pedangnya dengan dahsyat sedangkan Ceng
Ceng yang sudah lelah sekali itu pun menggerakkan kedua pisaunya untuk
melindungi tubuhnya dan untuk mencari sasaran pada tubuh para pengeroyoknya
yang masih bersisa tiga puluh orang lebih. Ternyata bahwa dalam perang kecil
yang tidak seimbang ini, Ceng Ceng bersama Jenderal Kao dan tiga belas orang
pengawalnya ini telah berhasil merobohkan tujuh puluh orang lebih!
Namun, kedua
orang tua dan muda yang gagah perkasa itu sudah terlalu lelah dan terlalu
banyak kehilangan darah yang keluar dari luka-luka mereka. Biar pun jenderal
itu masih tertawa-tawa membesarkan hati Ceng Ceng, namun gerakannya sudah lemah
dan serbuan hebat dari kakek tua yang melawan Ceng Ceng tadi, dibantu oleh
empat orang yang cukup lihai, membuat tangkisan pedang Jenderal Kao kurang kuat
dan pedangnya terpental, terlepas dari tangannya.
Pada saat
itu terdengarlah suara melengking panjang dan nyaring sekali, seperti suara
burung rajawali atau garuda yang sedang marah, datangnya dari arah selatan.
Namun Ceng Ceng tak sempat memperhatikan suara melengking nyaring itu karena
dia terkejut bukan main melihat Jenderal Kao terguling roboh di dekat Sumur
Maut. Sebelum jenderal itu dapat bangkit kembali, dua orang menubruknya dan
mengangkat tubuh jenderal itu, kemudian dilemparkan ke arah Sumur Maut yang
siap untuk mencaplok apa saja yang memasukinya!
“Heiiiiittt...!”
Ceng Ceng
menyambitkan dua batang pisaunya dan tepat sekali dua batang pisau itu menancap
ke dalam lambung dua orang yang mengangkat tubuh Jenderal Kao, mereka roboh,
akan tetapi tubuh jenderal itu sudah terlempar ke arah sumur!
Ceng Ceng
berteriak keras. Tubuhnya mencelat ke depan mendahului tubuh Jenderal Kao, lalu
kakinya menendang dan tubuh jenderal yang tinggi besar itu berhasil dapat
ditendangnya sehingga terpental keluar dari mulut sumur. Akan tetapi, hasil
yang menyelamatkan nyawa Jenderal Kao ini ditebus dengan pengorbanan diri Ceng
Ceng sendiri. Karena menendang tubuh berat dalam keadaan masih meloncat, tubuh
dara perkasa itu terjengkang dan tepat terjatuh masuk ke dalam mulut Sumur Maut
yang terbuka lebar, gelap dan mengerikan!
“Nona Ceng Ceng...!” Jenderal Kao
menjerit. Akan tetapi sia-sia saja, tubuh dara itu telah lenyap dan tidak
terdengar apa-apa lagi dari dalam sumur.
“Keparat, kalian telah membunuhnya!
Jahanam busuk, kalian harus mampus semua!”
Jenderal itu
dengan suara serak karena menahan keperihan dan keharuan hatinya melihat Ceng
Ceng yang menolongnya menjadi korban terjeblos ke dalam Sumur Maut, berteriak
bagaikan seekor singa terluka, kemudian dengan kedua tangan kosong dia mengamuk
seperti seekor naga marah. Hatinya terasa sakit bukan main. Dia merasa amat
kagum melihat kegagahan Ceng Ceng, kekaguman yang menimbulkan rasa kasih kepada
dara remaja itu.
Tiada yang
dapat menimbulkan kekaguman pada hati jenderal yang keras ini kecuali
kegagahan, dan apa yang diperlihatkan oleh Ceng Ceng benar-benar menimbulkan
kesan mendalam di hati jenderal ini. Sekarang, dia melihat dara itu tewas,
terjeblos ke dalam Sumur Maut dan hal ini terjadi karena gadis itu
menyelamatkannya.
Tentu saja
hal ini selain mendatangkan keharuan, juga membuat dia merasa sakit hati
sekali, maka mengamuklah dia dengan nekat tanpa mempedulikan keselamatan
dirinya sendiri! Pada saat itu, Kao Liang bukan lagi seorang jenderal yang
selalu menggunakan siasat dalam perang, tetapi seorang pria yang sakit hati
melihat orang yang dikagumi dan disayangnya seperti anak sendiri, tewas di
depan matanya!
Biar pun
tubuhnya sudah luka-luka, namun dengan kedua tangan kosong jenderal ini
mengamuk dan robohlah berturut-turut enam orang pengeroyok terdekat. Akan
tetapi, kini kakek lihai dan bebarapa orang temannya yang juga memiliki
kepandaian tinggi mengurungnya dan mendesaknya dengan serangan senjata mereka
secara bertubi-tubi sehingga Jenderal Kao terdesak hebat. Dalam belasan jurus
saja panglima yang perkasa ini telah menderita luka-luka baru lagi. Dia sedikit
pun tidak mengeluh, bahkan berteriak-teriak penuh kemarahan dan siap untuk
mengadu nyawa.
Suara
melengking nyaring terdengar dan keadaan menjadi kacau ketika tiba-tiba semua
orang yang mengepung dan mendesak Jenderal Kao terlempar ke kanan kiri seperti
disambar petir. Para pengeroyok terkejut melihat munculnya seorang pria
setengah tua yang bercaping lebar, lalu menggunakan capingnya itu untuk
mengamuk dan siapa pun yang terdekat pasti langsung roboh oleh tamparan
capingnya itu! Senjata-senjata tajam beterbangan terlepas dari pegangan
pemiliknya disusul robohnya para pengeroyok.
Melihat
tiba-tiba muncul seorang yang demikian lihainya, maklumlah para kaki tangan
pemberontak bahwa usaha mereka membunuh Jenderal Kao telah gagal. Timbul rasa
gentar di hati mereka. Tanpa dikomando lagi, larilah sisa pemberontak itu
meninggalkan gelanggang di mana berserakan teman-teman mereka yang menjadi
korban amukan Ceng Ceng, Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya, dan
yang terakhir laki-laki bercaping lebar itu.
Orang itu
bukan lain adalah Gak Bun Beng, pendekar yang sakti. Bersama Puteri Syanti
Dewi, Gak Bun Beng tiba di tempat itu dan segera turun tangan menolong ketika
melihat Jenderal Kao dikeroyok banyak orang dalam keadaan terluka. Tidak lama
kemudian, Syanti Dewi muncul pula dan wajah puteri itu membayangkan kengerian
menyaksikan banyak orang yang tewas dan terluka. Tempat itu bergelimang darah
dan penuh dengan suara rintihan mereka yang terluka dan belum tewas.
Ketika
melihat siapa yang telah menolongnya, Jenderal Kao menjadi girang dan cepat
menghampiri Gak Bu Beng. “Aha, kiranya kalian pula yang muncul dan
menyelamatkan aku dari ancaman maut! Bukankah engkau ini sahabat Gak Bun Beng
yang pernah aku jumpai di barat?”
Gak Bun Beng
menjura dan berkata, “Benar, Kao-taigoanswe, saya adalah Gak Bun Beng yang
datang bersama anak saya dan secara kebetulan dapat membantu goanswe menghadapi
para pemberontak itu.”
“Terima kasih... terima kasih, engkau
memang gagah perkasa...” Tiba-tiba jenderal itu menghentikan kata-katanya,
mendekati sumur dan melongok-longok ke dalam sumur, menarik napas panjang dan
menggeleng-geleng kepala.
“Aihhhh... sungguh sangat kasihan...
menyesal bahwa engkau tidak datang lebih pagi, Gak-enghiong (orang gagah she
Gak). Sayang, dia seorang gadis yang luar biasa, gagah perkasa dan berbudi,
penuh keberanian, muda, cantik dan pandai, terpaksa harus mengalami nasib
begini mengerikan...” Dengan kepalan tangannya, jenderal itu mengusap dua butir
air mata dari bawah matanya!
Bun Beng
mengerutkan alisnya. “Apakah maksudmu, Taigoanswe? Siapakah yang kau bicarakan
itu?”
“Engkau tidak tahu dan tentu tidak
mengenalnya. Dia seorang dara perkasa dari barat, dari Bhutan...”
Tiba-tiba
Syanti Dewi meloncat ke depan jenderal itu dan dengan suara penuh wibawa dia
bertanya, “Siapa dia? Siapa dara itu? Cepat katakan padaku!”
Jenderal Kao
memandang heran. Sejak pertemuan pertama dahulu dia sudah merasa heran mengapa
anak dari orang she Gak ini demikian cantik dan halus, demikian agung sikapnya,
dan jelas pula bukan orang Han. Kini, menyaksikan sikapnya ketika bertanya,
mengingatkan dia akan sikap puteri-puteri istana saja! Namun, karena tidak enak
terhadap Gak Bun Beng, dia menjawab juga.
“Nona itu bernama Lu Ceng...”
Syanti Dewi
menjerit, matanya terbelalak memandang ke Sumur Maut itu. “Lu Ceng...? Candra
Dewi...? Dan... dia... dia... di manakah dia...?”
Jenderal Kao
semakin kaget. Dengan mata masih menatap wajah Syanti Dewi penuh selidik, dia
menjawab, “Untuk menolongku, dia telah mengorbankan dirinya dan terjatuh ke
dalam sumur maut ini.”
Kembali
Syanti Dewi menjerit dan sekali ini dia menjatuhkan diri berlutut di dekat sumur
maut sambil menangis tersedu-sedu. Bun Beng juga terkejut karena dia telah
mengenal nama Lu Ceng atau Candra Dewi dari Puteri Bhutan ini. Akan tetapi
Jenderal Kao yang menjadi terkejut dan terheran-heran. Sambil menghadapi Bun
Beng dia bertanya, “Gak-enghiong, apakah artinya ini?”
“Nona Lu Ceng adalah saudara angkat
dari Puteri Syanti Dewi, dan terus terang saja, Tai-goanswe, yang menyamar
sebagai anakku ini adalah Sang Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang
dikejar-kejar pemberontak.”
“Ahhh...!” Jenderal Kao terkejut bukan
main.
Tentu saja
dia sudah mendengar pula akan nama Syanti Dewi, puteri raja Bhutan yang akan
dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong dan yang hilang di dalam perjalanan
saat diboyong. Kiranya puteri ini masih dalam keadaan selamat, tertolong oleh
pendekar yang bernama Gak Bun Beng ini.
“Kao-goanswe, sudah lamakah nona itu
terjerumus ke dalam sumur?” Gak Bun Beng bertanya setelah sejenak memandang ke
arah sumur itu.
“Baru saja,” jawab jenderal itu dengan
suara serak karena dia menjadi makin terharu setelah melihat Puteri Bhutan itu
menangisi kematian Ceng Ceng.
“Kalau begitu, biar saya mencoba untuk
mencarinya!” Gak Bun Beng cepat lari mencari tali yang banyak terdapat di
antara para korban suku Bangsa Mongol. Mereka itu sudah biasa membawa tali
untuk keperluan di dalam perantauan mereka. Gak Bun Beng lalu menyambung-nyambung
tali itu dan kembali lagi ke dekat sumur di mana Jenderal Kao menantinya dengan
heran.
“Gak-enghiong, apa yang akan kau
lakukan?” tanyanya.
“Saya hendak mencarinya di dalam
sumur, harap Goanswe suka memegangi tambang ini agar dapat menolong saya kalau
di bawah sana terdapat bahaya.”
“Aihh, harap Gak-enghiong jangan
melakukan ini!” Jenderal itu berseru kaget. “Sumur ini terkenal sebagai sumur
maut dan siapa saja, apa saja yang masuk ke dalamnya, tidak pernah keluar
lagi.”
“Betapa pun berbahayanya, saya akan
mencoba untuk mencarinya dan setidaknya memeriksa di sebelah dalam. Siapa tahu
kalau-kalau nona Lu masih dapat ditolong.”
“Paman... Paman Gak... benarkah
saudaraku Candra Dewi masih dapat ditolong?”
“Mudah-mudahan saja.”
“Tapi... tapi Paman sendiri?
Jangan-jangan akan terancam bahaya di bawah sana...” puteri itu bergidik ngeri.
“Kalau berbahaya... harap jangan turun ke sana...” Dia bangkit, menghampiri Gak
Bun Beng dan memegang tangan pendekar itu.
Gak Bun Beng
tersenyum. “Tenangkanlah hatimu, Dewi. Di sini terdapat Kao-goanswe yang akan
memegangi ujung tali. Andai kata aku terancam bahaya, pasti masih dapat
ditolong.”
Akhirnya
jenderal itu dan Syanti Dewi tidak membantah lagi, melainkan memandang dengan
mata terbelalak dan jantung berdebar penuh ketegangan ketika mereka melihat
betapa Gak Bun Beng mulai menuruni sumur yang kelihatan menganga hitam dan
tidak dapat dilihat dasarnya itu. Jenderal Kao memegangi ujung tali dengan
kuat, mengulur tali sedikit demi sedikit ketika Bun Beng sudah mulai menuruni
sumur. Sebentar saja, dua orang itu tidak lagi melihat bayangan Bun Beng yang
lenyap ditelan kegelapan yang hitam pekat di dalam sumur itu.
Syanti Dewi
berlutut di tepi mulut sumur sambil memandang. Dua tangannya dirangkap di depan
dada karena diam-diam dia berdoa demi keselamatan pendekar sakti itu dan demi
tertolongnya Ceng Ceng.
“Aahhhhh...!” Tiba-tiba Jenderal Kao
berseru kaget.
Wajahnya
berubah dan cepat-cepat dia menarik tambang itu dengan kedua tangannya
secepatnya. Tadi ketika dia mengulur tambang sampai hampir habis, tiba-tiba
tambang itu menegang dan terasa berat, tidak bergerak lagi! Syanti Dewi
memandang terbelalak dan pucat mukanya.
Biar pun
sudah terluka, jenderal itu masih kuat sekali sehingga sebentar saja dia sudah
dapat menarik keluar tubuh Gak Bun Beng dari dalam sumur, tubuh yang tergantung
pada ujung tambang yang mengikat pinggangnya. Dan ternyata pendekar itu telah
pingsan dengan muka pucat dan kulit muka serta leher dan kedua tangannya agak
kehitaman!
“Paman...!” Syanti Dewi hendak
menubruk tubuh pingsan yang kini direbahkan di atas tanah itu, akan tetapi
Jenderal Kao cepat mencegahnya.
“Harap paduka mundur. Dia keracunan,
biar kucoba menyadarkannya!”
Mendengar
ini, Syanti Dewi yang gelisah sekali itu hanya dapat memandang dengan air mata
bercucuran, sedangkan Jenderal Kao yang berpengalaman itu lalu menempelkan
kedua telapak tangan di dada dan perut Gak Bun Beng, mengerahkan sinkang-nya
membantu pendekar itu untuk dapat bernapas lagi dan mengusir hawa beracun dari
dalam dadanya. Akhirnya Bun Beng dapat bernapas kembali dan mengeluh, lalu
bangkit dan duduk, memegangi kepalanya yang terasa pening. Ketika dia membuka
mata dan melihat Syanti Dewi menangis, dia berkata,
“Tenanglah, Dewi. Aku tidak apa-apa.”
Kemudian kepada Jenderal Kao dia berkata, “Di bawah sana gelap sama sekali, dan
dalamnya sukar diukur. Selagi masih tergantung, tiba-tiba ada tercium bau yang
aneh dan napasku menjadi sesak, lalu tidak ingat apa-apa lagi.”
Jenderal itu
mengangguk-angguk. “Itu tentulah gas yang keluar dari dalam bumi. Sudah
jelaslah nasib nona Lu... kasihan dia...”
“Dia... dia... telah mati...” Syanti
Dewi menangis lalu berlutut di tepi sumur.
Sejenak
mereka bertiga memandang ke dalam sumur dan seperti mengheningkan cipta.
Barulah mereka sadar ketika terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan
dari benteng di bawah pimpinan seorang perwira yang setia terhadap Jedecal Kao.
Perwira itu bernapas lega melihat atasannya selamat, kemudian menceritakan
betapa wakil Panglima Kim telah melarikan diri begitu mendengar akan kegagalan
rencananya. Juga dia melaporkan bahwa Pengawal Souw Kee It yang tadinya datang
bersama Ceng Ceng ternyata telah dibunuh oleh Panglima Kim sendiri yang
memimpin pemberontakan.
Jenderal Kao
mengepal tinjunya. “Tak kusangka! Akan tetapi, aku bersumpah untuk menangkap
dan menghukum jahanam she Kim itu!”
Dia
mendendam hebat karena menganggap bahwa kematian Ceng Ceng adalah gara-gara
pengkhianatan Kim Bouw Sin. Bahaya yang mengancam dirinya sendiri, yang hampir
menewaskannya, tidak teringat lagi olehnya karena sebagai seorang panglima yang
telah puluhan tahun berkecimpung di dalam ketenteraan, ancaman maut baginya
merupakan hal yang biasa saja. Akan tetapi kematian Ceng Ceng, hal itu sukar
untuk dapat dilupakan oleh jenderal perkasa ini.....
***************
Jenderal Kao
lalu mengajak Gak Bun Beng dan Puteri Syanti Dewi yang diliputi kedukaan itu ke
bentengnya untuk diajak berunding. Bagaimanakah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi
dapat datang di sumur maut dan berhasil menyelamatkan Jenderal Kao sungguh pun
mereka agak terlambat sehingga tidak dapat menyelamatkan Ceng Ceng? Untuk
mengetahui hal ini, sebaiknya kita mundur dulu untuk mengikuti perjalanan dan pengalaman
mereka yang hebat-hebat sampai mereka tiba di sumur maut itu.
Seperti kita
ketahui, Gak Bun Beng melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi dengan susah
payah, meninggalkan kota raja menuju ke timur karena pendekar sakti itu jatuh
sakit keras setelah jantungnya terguncang hebat dalam perjumpaannya dengan
Puteri Milana, kekasihnya yang kini telah menjadi isteri orang lain.
Perjalanan
ke utara itu bukan main sukarnya bagi Syanti Dewi. Gak Bun Beng benar-benar
terserang penyakit yang payah. Sakit luar dalam! Sakit badan karena mengalami
pukulan-pukulan dahsyat dari Siang Lo-mo, iblis kembar yang amat lihai itu, dan
sakit hatinya karena perjumpaannya dengan Milana membuat hati yang terluka itu
pecah kembali!
Semua ini
masih ditambah lagi oleh keharuan dan kegelisahan hatinya menyaksikan sikap
Syanti Dewi kepadanya. Sikap seorang wanita muda yang membuat dia amat khawatir
karena melihat gejala-gejala yang mencemaskan hatinya bahwa Puteri Bhutan itu
telah jatuh cinta kepadanya! Hal ini membuat penyakit dalam di hatinya makin
parah dan otomatis membuat dia makin berhutang budi kepada puteri itu karena
makin parah sakitnya, makin tekun dan penuh ketelitian lagi sang puteri merawat
dan menjaganya.
Luka yang
diderita Bun Beng cukup parah, dan selama ini tidak diobati sama sekali, maka
tentu saja keadaannya menjadi bertambah parah dan lemah. Andai kata hatinya
tidak terluka sehebat itu, tentu dengan kepandaiannya yang tinggi, pendekar ini
mampu mengobati luka dalam akibat pukulan sepasang iblis itu. Akan tetapi,
keadaan hatinya membuat dia seolah-olah tidak peduli lagi akan penderitaan
tubuhnya. Andai kata tidak ada Syanti Dewi, sudah tentu ia tidak mau
melanjutkan perjalanan, dan akan menyerah kepada nasib dan bersembunyi di dalam
hutan.
“Dewi, kau banyak mengalami
kesengsaraan... aku membuat kau menjadi sengsara saja...”
“Paman, jangan berkata demikian.”
“Betapa pun juga, aku harus dapat
membawamu menghadap Jenderal Kao Liang, baru akan tenang rasa hatiku akan
tetapi... ahhh, kesehatanku makin memburuk, padahal perjalanan ini tidak boleh
ditunda-tunda...”
“Jangan khawatir, Paman. Aku akan
merawatmu...”
Akan tetapi
keadaan Bun Beng makin memburuk sehingga pada suatu hari dia tidak kuat
berjalan lagi! Pendekar ini maklum bahwa kalau sampai dia mati sebelum bertemu
dengan Jenderal Kao Liang, keselamatan Syanti Dewi akan terancam karena dia
harus hidup tanpa pengawal.
“Dewi, kau buatlah alat penyeret dari
bambu... kita harus melanjutkan perjalanan...”
“Aduh, Paman... sakitmu semakin hari semakin
bertambah parah, bagaimana kita dapat melanjutkan perjalanan? Marilah kita
beristirahat dulu di hutan ini, biar aku yang merawat sampai Paman sembuh baru
kita melanjutkan perjalanan ini.”
“Tidak! Harus dilanjutkan sampai tiba
di benteng Jenderal Kao! Setelah tiba di sana, tentu aku akan mendapat
perawatan dan pengobatan. Sebelum tiba di sana, bagaimana hatiku dapat
tenteram?”
Sesungguhnya,
Bun Beng ingin segera tiba di benteng Jenderal Kao adalah karena dia
mengkhawatirkan keadaan Syanti Dewi, sama sekali bukan karena ingin memperoleh
pengobatan. Terpaksa Syanti Dewi tidak berani membantah dan gadis ini lalu
membuat alat penyeret dan melanjutkan perjalanan sambil menyeret tubuh pendekar
itu yang rebah telentang di atas anyaman bambu yang menjadi alat penyeret itu.
Dapat
dibayangkan betapa sukarnya dara itu melakukan perjalanan seperti ini. Padahal
mereka melalui gunung-gunung dan daerah-daerah tandus, melalui jalan yang amat
sukar. Seorang puteri raja yang biasanya hidup mewah dan segala dilayani, segala
tersedia, sekarang harus melakukan perjalanan sambil menyeret orang sakit
seperti itu, mencari makan di tengah jalan tandus dan merawat orang sakit.
Dapat dibayangkan, betapa hebat penderitaannya.
Namun Syanti
Dewi tidak pernah mengeluh dan selalu mendahulukan kepentingan Bun Beng dari
pada kebutuhan dirinya sendiri. Dia kurang makan, kurang tidur, kelelahan
sampai tubuhnya menjadi kurus dan wajahnya agak pucat, kedua telapak tangannya
yang memegang bambu seretan menjadi tebal dan kulit mata kakinya lecet-lecet!
Pada suatu
hari, pagi-pagi sekali Syanti Dewi sudah menyeret tubuh Bun Beng keluar dari
sebuah hutan di mana semalam mereka bermalam di bawah pohon besar, dan kini
dara itu mendaki daerah pegunungan yang penuh batu karang sehingga pagi-pagi sudah
berpeluh. Tanah pegunungan penuh batu itu jelas kelihatan tandus, pohon dan
tetumbuhan tidak dapat hidup subur, apa lagi pada waktu itu telah tiba musim
kering sehingga rumput-rumput pun menguning kering dan kehausan.
Ketika
Syanti Dewi menuruni sebuah puncak batu karang dan tiba di sebuah tikungan,
tampaklah olehnya di depan, sebuah dataran dan dari jauh kelihatan gerakan
beberapa orang yang sedang bertempur.
“Paman Gak, ada orang bertempur di
depan sana!” dara itu berkata sambil berhenti.
“Hadapkan aku ke sana, Dewi.” Bun Beng
berkata lirih.
Syanti Dewi
memutar alat penyeret itu sehingga Bun Beng dapat melihat ke depan. Setelah
memandang sebentar, pendekar sakti yang sedang sakit itu berkata, “Jalan saja
terus dan jangan pedulikan mereka, Dewi. Biar pun si kecil itu dikeroyok tiga,
dia tidak akan kalah.”
Syanti Dewi
melanjutkan perjalanannya, matanya memandang ke arah orang-orang yang bertempur
dan merasa heran sekali. Yang bertanding adalah empat orang dan merupakan
pertempuran berat sebelah dan tidak adil karena seorang di antara mereka, seorang
kanak-kanak, dikeroyok oleh tiga orang dewasa! Panas juga hati Syanti Dewi
menyaksikan betapa seorang anak kecil yang melihat tingginya tentu tidak akan
lebih dari dua belas tahun usianya, yang hanya membawa sebatang ranting,
dikeroyok oleh tiga orang tua yang gerakannya lihai bukan main. Akan tetapi
anehnya, anak kecil itu sama sekali tidak kewalahan, bahkan dengan gerakan
rantingnya yang amat cepat, yang dimainkan seperti sebatang pedang, anak itu
berhasil mendesak tiga orang pengeroyoknya!
Karena Gak
Bun Beng sudah menyuruhnya agar tidak mempedulikan mereka, maka ketika tiba di
dataran itu, Syanti Dewi terus berjalan sambil menyeret tubuh pedekar yang
sedang sakit itu, sama sekali tidak mengeluarkan suara dan bahkan tidak
menengok ke arah empat orang yang bertempur itu.
Akan tetapi,
ketika tiga orang lihai yang sedang mengeroyok anak kecil itu melihat Bun Beng
dan Syanti Dewi, mereka mengeluarkan seruan girang, meloncat ke belakang
menjauhi anak kecil yang mereka keroyok, lalu lari menghampiri Syanti Dewi dan
menjatuhkan diri berlutut di depan dara itu sambil mengangkat kedua tangan
memberi hormat. Tentu saja Syanti Dewi menjadi terkejut dan heran melihat ini,
bingung karena tidak tahu apa artinya semua itu. Otomatis dia berhenti.
“Dewi, hadapkan aku kepada mereka.”
Bun Beng berkata lirih dan Syanti Dewi lalu memutar bambu penyeretnya sehingga
pendekar itu rebah terlentang menghadapi tiga orang yang masih berlutut.
“Harap Lociapwe (orang tua yang gagah)
sudi memaafkan kami bertiga yang tidak mengadakan penyambutan karena tidak tahu
akan keadaan Locianpwe.” Seorang di antara mereka yang berkumis tebal, berkata
dengan sikap dan suara amat menghormat.
Bun Beng
mengerutkan alisnya. Dia mengerti bahwa orang-orang ini tentulah ‘salah alamat’
dan mengira dia seorang lain. Akan tetapi sebelum dia menjawab, dengan sekali
gerakan kaki saja ‘anak kecil’ itu sudah meloncat dekat dan sekarang tampaklah
oleh Syanti Dewi kenyataan yang sudah dilihat oleh Bun Beng dari jauh tadi
bahwa ‘anak kecil’ itu sebetulnya bukanlah anak-anak lagi, melainkan seorang
tua yang bertubuh kecll dan wajahnya kekanak-kanakan pula!
“Hei, kalian tiga orang Pek-san-pai
(Perkumpulan Pegunungan Putih) yang pengecut! Hayo lanjutkan pertandingan kita,
ataukah kalian hendak mengajukan orang mau mampus ini sebagai jago? Kalau benar
demikian, hayo cepat maju dan lawanlah aku!”
Melihat
orang tua bertubuh kanak-kanak yang bersifat sombong ini, Gak Bun Beng
mengurungkan niatnya untuk mengaku bahwa tiga orang itu salah mengenai orang.
Dia kini diam saja dan mendengarkan sambil melihat keadaan.
Tiga orang
itu cepat menoleh dan berkata kepada si kecil, “Engkau orang tua adalah jago
undangan Hek-san-pai (Perkumpulan Pegunugan Hitam), akan tetapi hari ini
bukanlah saatnya kita bertanding. Engkau mendesak kami, sungguh ini melanggar
peraturan! Saat hari pertandingan adalah besok, di Jembatan Angkasa, akan
tetapi mengapa kau mendesak kami?”
“Ha-ha-ha-ha, katakan saja bahwa
kalian takut! Pertandingan diadakan sekarang atau besok apa bedanya? Kalau
kalian takut, lekas suruh ketua kalian maju, boleh juga kalau mengeroyok aku!”
Tiga orang
itu kelihatan marah, tetapi juga tampak bahwa mereka itu memang merasa jeri
menghadapi si kecil yang amat lihai itu, maka mereka kini memandang kepada Bun
Beng dengan sinar mata penuh harapan. Melihat ini, Bun Beng dengan susah payah
bangkit duduk di atas anyaman bambu itu, memandang kepada si kecil dan berkata,
“Kalau aku boleh bertanya, benarkah sudah dijanjikan bahwa saat pertandingan
adalah besok pagi di Jembatan Angkasa?”
Melihat
sinar mata Bun Beng yang sangat tajam dan suaranya yang penuh wibawa, si kecil
itu kelihatan menjadi ragu-ragu dan menjawab, “Benar, memang saatnya besok di
Jembatan Angkasa, akan tetapi kalau sama beraninya, sekarang pun, di tempat ini
pun kita dapat mengadu ilmu, mengukur kegagahan!” Sambil berkata demikian,
orang tua yang seperti anak-anak itu memutar ranting di antara jari-jari
tangannya sehingga lenyaplah ranting itu, berubah menjadi segulungan sinar
hijau.
“Sobat,” Gak Bun Beng berkata dengan
suara halus, akan tetapi sikapnya serius dan pandang matanya berwibawa,
“seorang yang gagah perkasa tidak akan memamerkan kegagahannya, seorang yang
mengerti tidak menonjolkan pengertiannya. Akan tetapi engkau terlalu
mengandalkan kepandaianmu sehingga tidak lagi memandang kepada orang lain.
Seorang yang jantan akan selalu memegang janji yang dihargainya lebih dari
nyawa, tetapi engkau agaknya lebih suka melanggar janji antara dua partai.
Kegagahan seseorang bukan diukur dari keberaniannya berkelahi, sebab
sesungguhnya keberanian berkelahi yang nekat dan konyol hanyalah membuktikan
bahwa dia dihantui rasa takut dan khawatir. Takut kalah, khawatir dianggap
tidak gagah, khawatir tidak akan dipuji, khawatir tidak akan memperoleh nama
besar, dan sebagainya lagi. Sobat yang baik, apakah engkau yang menurut
percakapan tadi adalah seorang jago undangan dari Hek-san-pai, ingin disebut
seorang yang nekat dan hanya berani karena merasa lebih kuat, dan seorang yang
suka melanggar janji?”
Wajah si
kecil itu sebentar pucat dan sebentar merah. Ranting yang di tangan kanannya
menggigil, tangan kirinya yang kecil dikepal-kepal, matanya berapi dan
sesungguhnya dia marah sekali. Tetapi karena apa yang diucapkan orang sakit itu
tidak dapat dibantah kebenarannya, sampai lama dia tidak mampu menjawab.
Akhirnya dia membanting ranting di atas tanah, diinjaknya dan dia meludah di
tanah, lalu berkata,
“Orang berpenyakitan! Aku menunggu
kedatanganmu di atas Jembatan Angkasa besok. Hendak kulihat apakah kepandaianmu
juga selihai mulutmu. Huhhh!” Dia membalikkan tubuhnya dan dengan beberapa kali
loncatan saja si kecil itu sudah lenyap dari tempat itu.
Gak Bun Beng
menarik napas panjang dan diam-diam merasa menyesal sekali karena kata-katanya
yang dimaksudkan untuk menyadarkan orang bertubuh kecil itu, ternyata hanya
mampu mengurungkan niat orang kecil itu untuk memaksa tiga orang lawannya
berkelahi, akan tetapi bahkan mendatangkan rasa dendam di hati si orang kecil.
Dia memandang kepada tiga orang yang masih berlutut di depannya, lalu bertanya,
“Harap sam-wi (saudara bertiga) sudi menjelaskan, apakah sebenarnya yang telah
terjadi di sini?”
Syanti Dewi
merasa lega juga melihat bahwa pamannya berhasil mengusir orang kecil tadi
tanpa pertandingan, maka dia pun kemudian duduk di atas tanah dekat pamannya,
mendengarkan penuturan orang berkumis tebal yang ternyata adalah suheng (kakak
seperguruan) dari dua orang lainnya.
Di
pegunungan itu tinggal dua orang kakak dan adik seperguruan yang berkepandaian
tinggi. Namun karena guru mereka menurunkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan
dengan bakat masing-masing, timbullah rasa iri hati di dalam hati
masing-masing, mengira bahwa guru mereka lebih sayang kepada saudara
seperguruannya. Perasaan iri hati dan bersaing ini terus tumbuh dengan subur
dan setelah guru mereka meninggal dunia, kedua orang kakak beradik ini
berpisah.
Akhirnya si
suheng (kakak seperguruan) tinggal di Hek-san (Gunung Hitam) sedangkan si sute
(adik seperguruan) tinggal di Pek-san (Gunung Putih). Hek-san dan Pek-san
sebetulnya masih di satu daerah pegunungan, hanya berbeda puncak yang berwarna
hitam dan putih. Hek-san berwarna hitam karena batu karang hitam yang keras
memenuhi puncak itu, sedangkan Pek-san berwarna putih karena puncaknya banyak
mengandung batu kapur. Kedua orang lihai ini akhirnya menerima murid-murid dan
berdirilah dua buah perkumpulan yang dinamakan menurut nama puncak
masing-masing yaitu Hek-san-pai dan Pek-san-pai.
Persaingan
atau permusuhan secara diam-diam itu berlangsung terus dan akhirnya meledak
menjadi permusuhan terbuka karena mereka yang kini mempunyai banyak anggota itu
membutuhkan air untuk keperluan sehari-hari dan terutama sekali untuk keperluan
sawah ladang mereka. Padahal air yang amat dibutuhkan itu hanya terdapat di bawah
Jembatan Angkasa yang merupakan sumber yang tidak pernah kering. Terjadilah
bentrokan-bentrokan kecil memperebutkan air, yang kemudian makin lama menjadi
makin hebat sehingga kakak dan adik seperguruan itu sendiri turun tangan
sendiri bertanding di atas jembatan gantung, disaksikan oleh para murid mereka!
Betapa pun
juga, kedua orang ini masih ingat akan sumpah mereka di depan mendiang guru
mereka bahwa mereka dilarang keras untuk saling membunuh, maka dalam
pertandingan ini mereka berdua menjaga agar jangan sampai lawan yang masih
saudara seperguruan sendiri itu tewas! Akhirnya, sang sute kalah dan menderita
luka-luka. Karena dia tidak dibunuh, maka dia menaruh dendam dan menantang
untuk bertanding lagi setahun kemudian.
Demikianlah,
permusuhan yang aneh ini berlangsung terus sampai dua tiga keturunan mereka.
Setiap tahun diadakan pertandingan di antara mereka, jago melawan jago untuk
menentukan siapa yang unggul. Mereka yang menang dianggap menguasai mata air di
bawah Jembatan Angkasa dan menentukan pembagian air untuk keperluan mereka
sampai ada keputusan tahun depan dalam pertandingan mendatang!
“Dan hari pertandingan untuk tahun ini
jatuh pada hari besok, Locianpwe,” si kumis tebal mengakhiri ceritanya. “Telah
bertahun-tahun lamanya, karena ingin sekali mencapai kemenangan, kedua belah
pihak tidak puas dengan jago golongan sendiri dan mulailah mendatangkan jago
dari luar kalangan sendiri. Pada tahun ini, pihak Hek-san-pai telah
mendatangkan jago orang yang bertubuh kecil tadi, yang berjuluk Sin-kiam
Lo-thong (Anak Tua Pedang Sakti). Baru menggunakan ranting saja, kami bertiga
murid-murid kepala Pek-san-pai tak dapat menandinginya, apa lagi kalau dia
menggunakan pedang!”
“Hemm, lalu mengapa kalian yang tidak
mengenalku begitu berjumpa telah memberi hormat berlebihan?”
“Biar pun belum pernah bertemu, kami
tahu bahwa Locianpwe tentulah Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Tangan Sakti) dari
puncak Ci-lan-kok (Lembah Bunga Cilan). Ketua atau guru kami telah mengundang
Locianpwe, maka begitu Locianpwe muncul kami telah mengenal Locianpwe yang
tahun ini diundang oleh suhu (guru) sebagai jagoan kami.”
Bun Beng
tersenyum. Kiranya orang-orang ini telah salah menduganya sebagai seorang tokoh
yang bernama Sin-ciang Yok-kwi dan yang dicalonkan sebagai jago pihak Pek-san-pai.
Dia tidak ingin mencampuri urusan ini, akan tetapi karena melihat bahwa orang
kecil tadi memang lihai dan tentu pihak Pek-san-pai akan kalah, dia ingin
melihat perkembangan lebih jauh. Pula, timbul niat di hatinya untuk
mengusahakan perdamaian di antara perkumpulan yang masih bersaudara itu.
“Aku bukan Sin-ciang Yok-kwi, akan
tetapi aku kebetulan lewat dan biarlah aku akan menonton besok. Kalau Yok-kwi
yang kalian tunggu ternyata tidak muncul, aku akan mengusahakan agar tidak ada
pertumpahan darah.”
Tiga orang
itu girang sekali. Biar pun mulut mereka tidak mengatakan sesuatu namun pandang
mata mereka saling bertemu dan saling maklum. Bagi mereka, tidak salah lagi
bahwa tentu orang sakti ini adalah Sin-ciang Yok-kwi! Ciri-cirinya sama! Biar
pun mereka belum pernah jumpa dengan kakek setan obat itu, namun kabarnya
Yok-kwi adalah seorang yang berpenyakitan dan yang sama sekali tidak pernah mau
mengakui namanya sendiri, tidak mau mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi!
Tentu saja
mereka tidak pernah dapat melihat Yok-kwi, karena kabarnya kakek yang tinggal
sebagai pertapa di puncak Ci-lan-kok itu wataknya aneh luar biasa. Orang-orang
sakit yang datang kepadanya, pasti sembuh. Akan tetapi orang waras yang berani
datang, tentu akan dihajarnya sampai menjadi sakit! Karena itu tidak ada orang
waras yang suka atau berani naik ke puncak Ci-lan-kok.
Bun Beng tak
membantah ketika bersama Syanti Dewi dia diajak pergi ke puncak Pek-san-pai di
mana dia disambut dengan segala kehormatan oleh ketua Pek-san-pai sendiri,
seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi besar dan
gagah.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketua Pek-san-pai mengajak rombongannya,
juga Bun Beng dan Syanti Dewi, pergi ke Jembatan Angkasa. Empat orang anggota
Pek-san-pai memanggul alat penyeret bambu di mana Bun Beng rebah diikuti oleh
Syanti Dewi.
Jembatan
Angkasa itu adalah bangunan batu karang hitam kuat yang menyambung satu tepi
jurang dengan tepi yang lain, bentuknya seperti jembatan gantung! Jembatan
buatan alam ini memang ajaib dan patut dinamakan Jembatan Angkasa karena orang
yang melalui jembatan ini berada di tempat tinggi seperti terbang saja melalui
tangga awan. Dan tepat di kolong jembatan batu ini terdapatlah sumber atau mata
air yang dijadikan perebutan dan bahan pertentangan. Kini semua pihak telah
berkumpul, pihak Hek-san-pai di ujung kiri Jembatan Angkasa dan pihak
Pek-san-pai di ujung kanan. Seperti biasa pada setiap pertemuan pertandingan
itu, sebelum masing-masing jago kedua belah pihak maju bertanding, terlebih
dahulu dua orang ketua masing-masing perkumpulan maju dan bertemu di atas
jembatan.
Ketua
Pek-san-pai sudah mendaki jembatan dan disambut oleh ketua pihak Hek-san-pai
yang masih terhitung suheng-nya sendiri. Keduanya bertemu, mengangkat tangan
memberi hormat dan ketua Pek-san-pai berkata, “Apakah tahun ini Suheng sebagai
ketua Hek-san-pai tetap tidak mau mengalah dan hendak menguasai mata air?”
Ketua
Hek-san-pai yang mukanya seperti seekor orang hutan dan hidungnya pesek,
tersenyum mengejek. “Tentu saja, Sute. Memang selamanya kami dari Hek-san-pai
yang seharusnya menguasai mata air itu.”
“Hemm, kalau begitu, Suheng menantang
untuk diadakan pertandingan?”
“Tentu saja! Kami sudah mempunyai jago
kami, yaitu Sin-kiam Lo-thong!”
“Dan kami juga sudah mengundang jago
kami, Sin-ciang Yok-kwi!”
Sin-kiam
Lo-thong yang berdiri di ujung kiri jembatan sudah tertawa-tawa dan meraba-raba
gagang pedangnya. Sementara itu, Syanti Dewi mendengarkan penjelasan seorang
anggota Pek-san-pai tentang sebab permusuhan itu, tentang sumber mata air dan
tentang aturan jalannya pertandingan yang ada pantangannya, yaitu tidak boleh
membunuh lawan dan siapa yang roboh dianggap kalah dan kekalahan ini harus
diterima oleh pihak partai yang menjagoi yang kalah itu.
“Pamanku itu bukanlah Sin-ciang
Yok-kwi,” kata Syanti Dewi karena dia khawatir sekali melihat Bun Beng yang
sedang sakit itu hendak disuruh bertanding.
Pemuda
Pek-san-pai itu hanya tersenyum. “Tentu saja bukan...” katanya karena dia pun
sudah mendengar bahwa Sin-ciang Yok-kwi tidak pernah mau mengaku sebagai
Sin-ciang Yok-kwi. “Akan tetapi tanpa bantuan locianpwe itu, pihak kami tentu
akan kalah lagi. Sudah lima tahun berturut-turut pihak kami kalah selalu karena
Hek-san-pai pandai mencari jago-jago yang lihai. Bahkan tahun ini, jagonya yang
berdiri di sana itu amat lihai.” Pemuda itu menuding ke arah Sin-kiam Lo-thong
yang tampak dari situ seperti seorang anak kecil yang berdiri di atas batu.
Oleh karena
merasa tidak ada gunanya bersikeras menyangkal, akhirnya Syanti Dewi bertanya,
“Di manakah tempat bertapa Sin-ciang Yok-kwi?”
Pemuda itu
memandang kepadanya sambil tersenyum, seolah-olah dia menganggap dara ini
main-main, akan tetapi dia tidak berani untuk tidak menjawab, maka dia lalu
menunjuk ke arah sebuah puncak lain yang tidak berapa jauh dari Jembatan
Angkasa itu. “Di puncak sana itulah tempat pertapaan tabib dewa itu.”
“Benarkah bahwa dia pandai mengobati
segala macam penyakit?”
Pemuda itu
mengangguk. “Sepanjang pendengaranku, belum pernah ada orang sakit yang tidak
dapat disembuhkannya.”
Percakapan
itu terpaksa dihentikan karena Syanti Dewi melihat betapa Gak Bun Beng, dengan
langkah-langkah lemah dan terhuyung-huyung, sudah naik ke atas Jembatan
Angkasa.
“Paman...!” Serunya lirih dan dia
meninggalkan pemuda Pek-san-pai itu lari ke jembatan batu.
Gak Bun Beng
berhenti, menengok dan memberi isyarat kepada Syanti Dewi agar tidak ikut naik.
Dara itu tidak berani membantah, berdiri di kaki jembatan sambil memandang ke
atas, mukanya pucat sekali dan pandang matanya penuh kekhawatiran.
Gak Bun Beng
menghampiri dua orang ketua yang saling berdebat di atas Jembatan Angkasa itu.
Melihat orang yang menderita sakit ini telah maju, Sin-kiam Lo-thong juga
berlari-lari mendatangi dari ujung jembatan yang lain.
“Ha-ha-ha-ha, engkau yang disebut
Sin-ciang Yok-kwi? Majulah kalau memang engkau dijadikan jago oleh Pek-san-pai,
melawan aku Sin-kiam Lo-thong jago dari Hek-san-pai!” Kakek bertubuh kanak-kanak
itu menantang.
Bun Beng
sudah tiba di atas jembatan, berdiri tegak dan mengatur pernapasannya, kemudian
berkata dengan suara halus namun kata-katanya mengejutkan semua orang, terutama
ketua Pek-san-pai, “Cu-wi sekalian, memang aku datang dan melihat urusan ini
timbul keinginan hatiku untuk mencampurinya. Akan tetapi, aku sama sekali tidak
mewakili Pek-san-pai, tidak mewakili atau membantu kedua pihak, karena aku
adalah pihak ketiga yang membutuhkan tempat dan sumber air ini!”
“Apa katamu...?” ketua Hek-san-pai
membentak dengan mata melotot.
“Locianpwe... apa... apa artinya
ini...?” Ketua Pek-san-pai juga bertanya heran.
“Keparat! Manusia berpenyakitan hampir
mampus ini ternyata pengacau! Baik kubasmi dia!” Sin-kiam Lo-thong berteriak
marah dan untuk memperlihatkan kelihaiannya dan mencari jasa, dia sudah
mencabut pedangnya dan menyerang Gak Bun Beng dengan tusukan kilat!
“Hmm...” Pendekar ini menggeram. Biar
pun tubuhnya terasa lemah dan sebelah dalam dadanya nyeri, namun sekali dia
mengerahkan sinkang, dia dapat mengelak cepat dan tangan kirinya menampar ke
arah sinar pedang yang berkelebat.
“Krekkkk! Aughhhh...!”
Pedang itu
kena dihantam tangan miring Gak Bun Beng dan patah menjadi dua potong, bahkan
sebuah tusukan jari tangan kanan yang cepat mengenai jalan darah di pundak
Sin-kiam Lo-thong, membuat kakek bertubuh kecil itu terjengkang dan roboh tak
dapat bangun kembali karena sudah tertotok lumpuh!
“Bawa dia pergi...!” Bun Beng berseru
ke arah anak buah Hek-san-pai yang cepat lari mendatangi, dan dua orang itu
lalu menggotong pergi Sin-kiam Lo-thong yang masih lumpuh kaki tangannya.
Dua orang
ketua itu saling pandang, kemudian mereka menghadapi Gak Bun Beng dengan alis
berkerut. “Sebetulnya, apa kehendakmu?” ketua Hek-san-pai yang melihat jagonya
roboh itu bertanya.
“Locianpwe, bukankah Locianpwe
mewakili kami sehingga kini pihak Pek-san-pai yang menang?” tanya ketua
Pek-san-pai penuh harap.
Gak Bun Beng
memandang mereka dengan mulut tersenyum mengejek. “Aku tidak mewakili
siapa-siapa. Sejak tadi sudah kukatakan bahwa aku mewakili diriku sendiri untuk
memperebutkan tempat ini berikut sumber airnya.”
“Ahhh! Tetapi tempat ini adalah
warisan dari nenek moyang kami kedua perkumpulan! Kami kakak beradik
seperguruan saja yang berhak atas tempat ini!” bantah ketua Pek-san-pai yang
merasa kecewa sekali.
Bun Beng
memperlebar senyumnya. “Kakak beradik seperguruan macam apa kalian ini? Kalau
kalian sudah memperebutkan tempat ini dan setiap tahun bertanding, biarlah aku
juga memperebutkannya. Akan tetapi alangkah curangnya kalau untuk kepentingan
sendiri harus mengundang jagoan-jagoan bayaran. Hayo, kalian kakak beradik yang
membutuhkan tempat ini majulah bersama melawan aku. Kalau kalian kalah, tempat
ini menjadi milikku dan untuk keperluan air, kalian boleh membeli atau menyewa
dariku. Kalau aku yang kalah, nah, tempat ini menjadi milik kalian berdua,
keperluan air kedua pihak tentu dapat dicukupi tanpa adanya permusuhan dan
perebutan.”
Kedua orang
saudara seperguruan yang sudah beberapa keturunan menjadi musuh karena air itu
kini saling pandang. Mereka menjadi ragu-ragu dan penasaran. Urusan jembatan
dan air adalah urusan dalam antara mereka sendiri, dan kini muncul orang luar
yang hendak merampas tempat itu dan memaksakan diri untuk masuk ke dalam
perebutan turun-temurun itu!
“Apakah kalian ini telah menjadi
orang-orang yang demikian pengecut, beraninya hanya ribut antara saudara
sendiri dan takut untuk menentang orang luar?” Bun Beng berkata lagi, nadanya
amat menghina sehingga wajah kedua orang ketua itu menjadi merah.
“Siapa takut? Kami hanya menghormatimu
karena nama besarmu sebagai Sin-ciang Yok-kwi...,” kata ketua Peksan-pai.
“Aku bukan Yok-kwi (Setan Obat) atau
setan apa pun. Aku adalah Gak Bun Beng seorang perantau yang ingin memiliki
jembatan dan sumber air ini. Kalau kalian takut, sudah saja kalian bayar sewa
tahunan kepadaku untuk menggunakan air di sini. Kalau berani, majulah!”
“Keparat, tempat ini akan kami
pertahankan dengan nyawa!” bentak ketua Hek-san-pai.
“Bagus, kalau begitu majulah kamu
berdua. Tetapi, kalian harus ingat akan pertaruhan dan janjinya. Kalau aku
menang, kalian menjadi penyewa tempat ini dan membayar kepadaku. Kalau aku yang
kalah, kalian harus berdamai dan tidak lagi memperebutkan tempat ini,
memakainya sebagai milik bersama.”
Dua orang
ketua itu telah menjadi marah sekali. Dari kanan kiri mereka maju menyerang Bun
Beng. Pendekar ini diam-diam merasa gembira karena siasatnya berhasil baik.
Maka dia juga bergerak dan menangkis tanpa mengerahkan tenaganya karena tadi
begitu dia mengerahkan sinkang ketika menghadapi Sin-kiam Lo-thong, dadanya
terasa makin nyeri. Biar pun kini dia tidak mengerahkan sinkang-nya, akan
tetapi karena dia harus mengelak ke sana ke mari dan menangkisi pukulan-pukulan
kedua orang ketua yang juga memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi itu, lama
kelamaan Bun Beng merasa betapa kepalanya pening.
Akhirnya,
pukulan ketua Hek-san-pai mengenai dadanya sedangkan pukulan ketua Pek-san-pai
mengenai punggungnya. Bagi tubuh Bun Beng yang sudah memiliki daya tahan dan
kekebalan luar biasa, pukulan-pukulan itu tidak berbahaya, namun cukup kuat
untuk membuat kepalanya yang sudah pening menjadi makin pening, pandang matanya
gelap dan robohlah dia dalam keadaan pingsan!
“Kalian manusia-manusia berhati
kejam...!” Tiba-tiba Syanti Dewi berlari naik ke atas jembatan menudingkan
telunjuknya ke arah muka kedua orang ketua itu dengan marah. “Butakah mata
kalian?”
Kedua orang
ketua itu terheran-heran. Tadinya mereka siap menghadapi dara ini karena mereka
menyangka bahwa dara itu akan menuntut balas atas kekalahan Gak Bun Beng. Kini
mereka saling pandang dan bingung.
“Sudah jelas bahwa paman Gak sengaja
hendak memaksa kalian agar berdamai dan menghentikan permusuhan ini, permusuhan
bersifat kanak-kanak yang memalukan! Paman Gak sengaja mengalah dan
mengorbankan dirinya agar kalian menang dan bisa berdamai. Kalau tidak, apakah
kiranya kalian berdua akan dapat menang menghadapi dia? Tidak kalian lihat tadi
betapa dalam segebrakan saja dia mampu mengalahkan Sin-kiam Lo-thong? Buta!
Kalian buta dan tidak mengenal budi!” Setelah berkata demikian, Syanti Dewi
lalu berlutut dekat Gak Bun Beng.
Dua orang
ketua itu terbelalak seperti disambar petir rasanya. Baru sekarang mereka
mengerti. Mereka pun otomatis berlutut dekat tubuh Bun Beng yang masih pingsan.
“Maafkan kami, Nona. Biarlah kami
menolong dan merawat locianpwe ini...,” kata ketua Pek-san-pai.
“Kami memang bodoh dan locianpwe ini
telah memberi pelajaran hebat kepada kami dengan mengorbankan diri. Maafkan
kami, Nona. Kami akan berusaha merawat dan mengobatinya.”
Syanti Dewi
bangkit berdiri. “Apakah di antara kalian terdapat ahli pengobatan yang
pandai?”
Dua orang ketua
itu saling pandang, kemudian menggeleng kepala.
“Kalau begitu, tolong bawa paman Gak
ke rumah, aku akan pergi menemui Sin-ciang Yok-kwi di Ci-lan-kok.”
Kembali
kedua orang ketua itu tertegun. “Jadi... benarkah locianpwe ini bukan Sin-ciang
Yok-kwi?”
“Kalian memang bodoh dan buta karena
permusuhan picik ini. Dia adalah paman Gak Bun Beng yang sedang sakit dan
kebetulan lewat di tempat ini. Aku mau pergi mencari Yok-kwi!”
Syanti Dewi
sudah hendak lari ketika dua orang ketua itu berseru.
“Tahan dulu, Nona!”
“Ada apa lagi?”
“Sebaiknya kalau Gak-locianpwe ini
dibawa saja ke puncak Ci-lan-kok menghadap dan mohon bantuan Sin-ciang Yok-kwi.
Kalau Nona pergi ke sana mengundangnya, tentu beliau tidak mau, bahkan amat
berbahaya bagi keselamatanmu.”
“Tidak! Paman Gak sedang menderita dan
sakit berat, mana mungkin dibawa naik puncak? Aku akan mencarinya, menemuinya
dan memintanya turun puncak mengobati paman Gak. Kalian rawat paman Gak
baik-baik!” Tanpa menanti jawaban lagi Syanti Dewi lari meninggalkan jembatan
itu, dia tidak mempedulikan peringatan dan cegahan kedua orang ketua itu.
Setelah
mengadakan permufakatan, akhirnya Gak Bun Beng yang pingsan itu digotong ke
tempat tinggal ketua Pek-san-pai dan selanjutnya kedua orang ketua yang masih
terhitung kakak beradik seperguruan itu bersama-sama merawat Bun Beng dan
nampak rukun sekali. Melihat ini, otomatis para anak murid atau anak buah
mereka menjadi girang dan tanpa diperintah mereka itu pun menjadi rukun,
berkelompok dan bercakap-cakap seperti sahabat-sahabat lama baru saling
berjumpa lagi.
Di puncak
lembah Ci-lan-kok terdapat sebuah kuil tua yang sudah rusak. Kuil ini ratusan
tahun yang lalu dihuni oleh para tosu yang bertapa di tempat itu, dan sekarang
telah kosong tidak dipergunakan lagi. Akan tetapi semenjak beberapa tahun yang
lalu, kuil yang dikabarkan orang berhantu itu mendapatkan seorang penghuni baru
yang amat aneh.
Seorang
kakek bertongkat yang menderita sakit, tidak perah kelihatan sehat, akan tetapi
hebatnya, kakek berpenyakitan ini memiliki kepandaian yang amat tinggi dalam
ilmu pengobatan. Mula-mula yang diobatinya adalah anak-anak penggembala kerbau
yang sampai di lereng Ci-lan-kok, kemudian beberapa orang penebang kayu dan
pemburu yang terluka. Lama kelamaan banyak orang sakit yang datang kepadanya.
Memang hebat kepandaian kakek ini. Hampir tidak ada penyakit yang tak dapat
disembuhkannya dan cara mengobatinya juga amat aneh.
Memang
sebagian besar dari mereka yang datang minta obat kepadanya, diberi obat ramuan
daun, bunga, buah dan akar-akaran. Akan tetapi ada kalanya dia menyuruh orang
makan tanah, ada yang diludahi, ada yang ditampar pundak atau dadanya, ada yang
ditotok, ada pula yang dipukul kepalanya dengan tongkat sampai benjol. Tetapi
apa pun yang diberikan oleh tangannya atau dilakukan dengan tangannya, orang
yang sakit menjadi sembuh kembali! Inilah sebabnya, biar pun dia tidak pernah
menyebutkan namanya, dia segera memperoleh julukan Sin-ciang Yok-kwi (Setan
Obat Bertangan Sakti). Sikap dan wataknya memang aneh seperti setan, tapi
tangannya dianggap sakti.
Dia disebut
setan karena memang aneh wataknya. Orang yang menderita sakit, kalau menghadap
kepadanya, tentu diobatinya biar pun secara luar biasa dan kadang-kadang
menyakitkan hati. Akan tetapi orang waras yang berani menghadapinya sekedar
ingin melihat dan mengenalnya, tentu akan diamuknya, menjadi korban pukulan
tongkatnya sehingga orang yang waras itu akan lari lintang-pukang dengan kepala
benjol-benjol dan tubuh sakit-sakit! Dan ternyata bahwa ilmu silat kakek itu
juga hebat, karena banyak di antara mereka yang dihajar itu sendiri orang-orang
yang berkepandaian tinggi, namun yang sama sekali tidak berdaya menghadapi
hajaran tongkat kakek berpenyakitan itu!
Pada hari
itu, seperti biasa, Sin-ciang Yok-kwi duduk bersandar pada dinding di luar
kuil, di bawah sebatang pohon besar yang tumbuh di depan kuil. Kakek ini duduk
bersandar dengan mata masih mengantuk, memegang tongkatnya yang gagangnya
bengkok dan yang dipakai menopang dagunya. Kelihatannya dia masih mengantuk dan
lemas sekali, bahkan kadang-kadang terdengar dia mengeluh dan merintih seperti
orang yang menderita penyakit berat. Kedua kakinya tidak bersepatu dan
pakaiannya yang cukup bersih itu amat sederhana. Melihat wajahnya yang sudah
penuh keriput, agaknya kakek ini tentu sudah ada enam puluh tahun usianya.
Matahari
telah naik tinggi ketika dari lereng puncak Ci-lan-kok muncul belasan orang.
Melihat keadaan mereka, jelas tampak bahwa mereka adalah orang-orang yang
menderita sakit. Ada yang terhuyung-huyung, ada yang dipapah, ada yang digotong
dan ada yang mengerang dan terengah-engah. Ketika mereka melihat kakek yang
mereka harapkan akan dapat menyembuhkan penderitaan mereka itu berada di luar
kuil, mereka berhenti.
Biar pun
mereka itu mengandung harapan untuk disembuhkan, namun nama kakek yang tersohor
aneh dan galak ini membuat mereka takut dan seolah-olah ingin orang lain
menghadap lebih dulu. Seperti serombongan orang yang menderita sakit gigi antri
di depan kamar periksa dokter gigi! Ingin diobati namun ngeri membayangkan cara
pengobatan yang menyiksa.
Seorang di
antara mereka, yang masih berusia muda, mengangkat dadanya lalu dengan langkah
lebar menghampiri kakek itu, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan
Sin-ciang Yok-kwi yang masih memejamkan mata bersandar dinding butut.
“Locianpwe, saya mohon pertolongan
Locianpwe untuk menyembuhkan penderitaan saya, sesak di dada dan lambung
kiri...” Orang muda itu berkata sambil berlutut.
Perlahan-lahan
mata itu terbuka, memandang tak acuh kepada pemuda yang berlutut di depannya.
“Huh, kau habis berkelahi?” tiba-tiba bibir kakek itu bergerak dan pertanyaan
penuh celaan ini membuat pemuda itu menundukkan mukanya.
“Benar, Locianpwe, akan tetapi saya
tidak bersalah, saya...”
“Sudah berkelahi berarti bersalah!
Kalau sudah berani berkelahi, terluka, tanggung saja sendiri!”
“Harap Locianpwe mengasihi saya...
dada ini terasa sakit bukan main kalau bernapas...”
“Sudahlah! Engkau memang kurang
mendapat pukulan!” Tiba-tiba tangan kiri kakek itu meraih ke depan, ujung
kuncir rambut pemuda itu yang menggantung di depan telah dipegangnya dan
ditariknya hingga kepala pemuda itu tertarik, tubuhnya membungkuk, lalu tongkat
itu bergerak memukul punggung si pemuda.
“Dukkkk...! Uakkhh...!” Pemuda itu
muntahkan darah dan roboh menelungkup di depan kaki Yok-kwi. Matanya terbelalak
dan mukanya menjadi merah. Dia marah sekali dan cepat dia bangkit duduk lalu
meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.
“Locianpwe...! Aihhh... dadaku...
sudah tidak terasa sakit lagi...!”
Pemuda itu
berloncat-loncatan dengan girangnya biar pun bibirnya masih berlepotan darah.
“Pergilah!” Kakek itu mengangkat
tongkatnya hendak memukul dan pemuda itu lari dari tempat itu sambil
tertawa-tawa girang.
Mereka yang
menyaksikan cara pengobatan itu menjadi makin ngeri sehingga diam-diam mereka
yang merasa bahwa penyakitnya tidak berat, segera meninggalkan tempat itu,
menuruni puncak tidak berani berobat!
Kini yang
berlutut di depan kakek itu adalah sepasang suami isteri. Usia mereka tiga
puluh tahun lebih, si suami bertubuh gendut dan tiada hentinya mengusap
keringat yang membasahi dahi dan lehernya, sedangkan isterinya yang cantik dan
bertubuh montok cemberut karena suami itu kelihatannya jeri dan agaknya dipaksa
menghadap Yok-kwi.
Dengan
tarikan-tarikan tangannya, isteri itu terus mendesak agar si suami cepat bicara
kepada Yok-kwi. Tapi suami itu kelihatan ketakutan dan sukar mengeluarkan
kata-kata, keringatnya makin banyak. Maka terjadilah tarik-menarik tangan
antara mereka di depan kakek yang sudah melenggut lagi itu. Akhirnya, setelah
isteri itu mencubit lengan sang suami sekerasnya, si gendut itu berteriak
kesakitan dan Yok-kwi membuka matanya memandang.
“Ada apa kalian ini?” tegurnya.
Laki-laki
gemuk itu terkejut dan makin ketakutan, memberi hormat dengan memukul-mukulkan
dahi ke atas tanah sambil berkata, “Mohon maaf, Locianpwe... saya... ehhh,
kami... mohon obat kepada Locianpwe... agar kami berdua... dapat dikurniai
anak...”
Sejenak
kakek itu memandang kepada mereka bergantian, lalu bertanya kepada wanita itu,
“Benarkah engkau ingin mempunyai anak?”
Dengan muka
berubah merah sekali dan tanpa berani mengangkat mukanya, wanita itu menjawab
lirih, “Benar... Locianpwe...”
Kakek itu
memukulkan tongkatnya ke atas tanah di dekat si suami, membuat si gendut ini
terkejut dan ketakutan. “Kalau ingin mempunyai anak kau harus tidur dengan
laki-laki lain!”
Jawaban ini
tentu saja mengejutkan suami isteri itu, dan menggelikan hati semua orang,
namun tidak ada yang berani tertawa. Suami yang gendut itu membentur-benturkan
dahinya di atas tanah, lalu berkata gagap, “Akan tetapi... Locianpwe, ini...
ini adalah...”
“Pergi! Lekas! Atau kuketuk kepala
kalian dengan tongkat ini!” bentak kakek itu marah-marah.
Si isteri
lalu memegang tangan suaminya dan menariknya pergi dari situ. “Hayo cepat
pergi...” bisiknya.
Suami gendut
itu menurut, dan pergilah mereka, suara mereka masih terdengar karena mereka
agaknya mulai cek-cok. “Kini kau tergesa-gesa hendak mencari pria lain, ya?”
terdengar si suami mengomel.
“Cih! Kau yang tak becus!” isterinya
membantah.
“Awas kau kalau tidur dengan laki-laki
lain...!”
“Sshhhh, manusia tak tahu malu!
Didengar orang, tahu tidak?”
Orang-orang
yang berada di situ tersenyum geli juga mendengar percekcokan suami isteri itu
dan diam-diam merasa heran akan sikap kakek yang sudah melenggut pula itu.
Tentu saja mereka tidak tahu bahwa dua kali pengobatan itu sudah membuktikan
kelihaian Yok-kwi. Pemuda tadi telah disembuhkannya dengan cara pukulan sinkang
yang sekaligus mengusir bahaya dari dalam tubuh si pemuda dan memunahkan akibat
dari pukulan yang membuat pemuda itu mengalami cidera di dalam tubuhnya.
Ada pun
kata-katanya kepada suami isteri itu memang atas dasar kenyataan bahwa menurut
penglihatannya yang tidak ngawur, melainkan menurut perhitungan dan pengalaman,
suami yang gendut itu memang tidak dapat memberikan benih keturunan kepada
isterinya.
Jawaban itu
mungkin terdengar tidak sopan dan bahkan agak kurang ajar, dan memang
demikianlah watak aneh dari Yok-kwi, namun sebenarnya memang tepat, karena
wanita yang bertubuh sehat dan montok itu pasti dapat memperoleh keturunan
kalau tidur dengan pria lain yang normal, tidak seperti suaminya!
Setelah
beberapa orang yang sakit diobati oleh Yok-kwi dengan cara-caranya yang
istimewa, akhirnya tampak sepasang suami isteri berlutut menghadap kakek itu.
Si suami yang bertubuh tinggi besar dan biar pun usianya sudah lima puluh tahun
namun mukanya terpelihara bersih, pakaiannya pun rapi, berwajah pucat dan
datang ke tempat itu dipapah oleh isterinya yang baru berusia tiga puluhan
tahun, cantik dan bersikap genit penuh daya pikat.
“Locianpwe, mohon sudi mengobati suami
saya yang menderita sakit sudah berbulan-bulan,” berkata si isteri sambil
berlutut.
Kakek itu
memandang laki-laki pucat itu sampai beberapa lama, kemudian mengerling ke arah
si isteri lalu membentak, “Apa kau ingin membunuh suamimu?”
Isteri itu
terkejut bukan main, demikian pula suaminya. “Apa... apa maksud Locianpwe?”
isteri itu bertanya dengan gagap, sedangkan si suami memandang isterinya dengan
alis berkerut.
“Kalau kau tidak ingin membunuh
suamimu, tinggalkan dia kalau malam. Harus pindah kamar sampai tiga bulan
lamanya!” Tiba-tiba tangan kanan kakek itu menyambar sebutir batu, melemparkan
batu kecil ke atas pohon dan jatuhlah seekor burung, mati karena kepalanya
disambar batu. “Masak ini dengan arak, tim yang empuk lalu makan habis. Setiap
hari harus makan burung seperti ini dengan arak, sampai sebulan. Nah, kalian
pergilah!”
Suami isteri
itu tidak banyak cakap lagi, menerima bangkai burung dan menghaturkan terima
kasih, cepat pergi dari tempat itu dengan muka merah. Di antara sisa mereka
yang hendak berobat, ada yang tersenyum geli. Mereka pun berpikir, itulah
resikonya seorang laki-laki tua mempunyai isteri muda sekali.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment