Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 09
Akhirnya
semua orang telah menerima giliran berobat dan yang terakhir sekali seorang
dara cantik jelita berlutut di depan kakek itu. Yok-kwi memandang dengan alis
berkerut kepada Syanti Dewi, kemudian berkata galak, “Kau tidak sakit! Kalau
kau lekas menikah tentu akan terobat rindu di hatimu terhadap pria yang kau
cinta! Hayo pergi, kalau bukan seorang anak perempuan, sudah kupukul kepalamu!”
Syanti Dewi
sudah mendengar akan watak aneh dari kakek ini, bahkan tadi dia telah
menyaksikan cara-cara kakek ini mengobati orang. Biar pun dia merasa gentar
juga, namun demi keselamatan Bun Beng, dia tidak akan mundur dan bahkan dia
telah memperoleh akal untuk mengundang kakek ini agar suka mengobati Gak Bun
Beng. Betapa pun juga, kata-kata kakek itu mengejutkan hatinya dan membuat dia
sejenak termenung dengan muka berubah merah. Dia rindu terhadap pria yang
dicintanya?
“Hayo
pergi...!” Kakek itu membentak dan bangkit berdiri karena dia ingin masuk ke
dalam kuil kembali setelah semua orang itu pergi.
“Maaf,
Locianpwe. Memang saya tidak sakit. Kedatangan saya ini untuk menyaksikan
sendiri kabar yang saya dengar tentang kepandaian Locianpwe yang katanya
setinggi langit. Akan tetapi saya kecewa melihat cara Locianpwe mengobati orang
tadi. Apa lagi melihat keadaan Locianpwe sendiri jelas bukan orang waras dan
menderita sakit hebat, saya makin tidak percaya.”
Yok-kwi
memandang Syanti Dewi dengan alis berkerut dan mata terbelalak penuh kemarahan.
Sebagai orang yang berpengalaman dan tajam penglihatannya, dia sekali pandang
saya sudah mengenal orang. Dia tahu bahwa wanita muda ini bukan orang
sembarangan, gerak-geriknya halus, kata-katanya teratur dan sopan, sikapnya
agung. Jelas bukanlah wanita sembarangan. Namun mengapa ucapannya seolah-olah
sengaja hendak menghina dan merendahkannya?
“Nona, aku
tidak tahu engkau siapa dan apa perlumu datang ke tempat ini. Akan tetapi
ketahuilah, biar pun aku tidak biasa membuat propaganda seperti tukang jual
obat di pasar, aku menantang semua penyakit di dunia ini! Orang yang menderita
penyakit apa pun, selama dia belum mampus, tentu dapat kuobati sampai sembuh!”
Suara kakek itu kereng dan marah sekali karena kelemahannya telah disinggung
oleh Syanti Dewi dan memang inilah tujuan dara yang cerdik itu.
Syanti Dewi
adalah seorang wanita yang sejak kecil dididik dengan kebudayaan tinggi dan
kesopanan dalam istana sehingga otomatis dia memiliki sifat dan sikap yang amat
halus. Akan tetapi di balik ini semua terdapat kecerdikan luar biasa. Maka
melihat sikap dan watak kakek Yok-kwi, dia sudah lantas dapat mengambil sikap
yang tepat agar keinginannya terkabul dan pancingannya berhasil untuk menarik
kakek ini agar pergi mengobati Gak Bun Beng.
“Mungkin
saja ucapan Locianpwe itu benar, tetapi bagaimana saya bisa tahu bahwa
Locianpwe tidak hanya menjual kecap? Buktinya, kalau Locianpwe dapat mengobati
semua penyakit asal orangnya belum mati, mengapa Locianpwe tidak bisa mengobati
diri sendiri yang menderita sakit berat?”
Kakek itu
makin marah. “Bocah lancang mulut! Tentu saja aku tidak bisa mengobati diriku
sendiri. Orang bisa saja melihat kesalahan orang lain dengan amat jelasnya,
akan tetapi melihat kesalahan sendiri tidak mungkin! Orang bisa saja melihat
keburukan dan cacat cela orang lain dengan amat mudah, akan tetapi tidak mungkin
melihat keburukan diri sendiri. Mudah saja untuk menasehati orang lain, akan
tetapi tidak bisa menasehati diri sendiri. Maka, apa salahnya kalau aku mampu
mengobati orang lain akan tetapi tidak mampu mengobati diriku sendiri? Apa
pedulimu dengan itu semua?”
Diam-diam,
biar pun merasa gentar hatinya, Syanti Dewi makin girang karena makin marah
kakek ini, makin mudahlah memancingnya untuk pergi turun puncak mengobati Bun
Beng yang amat dia khawatirkan keselamatannya itu.
Syanti Dewi
sengaja tersenyum mengejek, kemudian berkata, “Locianpwe, harap jangan marah
dulu. Kedatanganku ini memang sengaja hendak melihat kelihaian Locianpwe karena
saya amat tertarik sekali. Keadaan Locianpwe sama benar dengan keadaan pamanku.
Pamanku juga seorang yang amat ahli dalam ilmu pengobatan, tidak ada penyakit
yang tak dapat disembuhkannya, dan saya percaya dia masih lebih pandai dari
pada Locianpwe, sedikitnya tentu tingkatnya lebih tinggi satu dua tingkat! Akan
tetapi celakanya seperti Locianpwe pula, dia juga menderita penyakit yang dia
tidak mampu obati sendiri. Maka saya sengaja datang untuk menantang Locianpwe
mengadu ilmu dengan pamanku itu yang kini berada di rumah ketua Pek-san-pai.”
“Tidak sudi!
Kau hanya memancing agar aku mengobati dia! Huh, setelah kau bersikap kurang
ajar, masih mengharapkan aku menyembuhkan pamanmu? Dia tentu seorang undangan
dari pihak Pek-san-pai untuk menghadapi jagoan Hek-san-pai, bukan? Huh, aku
sudah tahu semua tentang mereka. Pergilah dan biar pamanmu mampus! Aku tidak
sudi mengobatinya!”
Dapat
dibayangkan betapa perih rasa hati Syanti Dewi. Sudah bersusah payah dia
berlagak dan menggunakan muslihat, namun tetap tidak berhasil. Betapa pun juga,
dia tidak putus harapan dan menyembunyikan perasaan hatinya. Kakek yang tadinya
girang melihat dara itu terpukul dan mengharapkan dara itu akan menangis,
menjadi terkejut melihat dara itu kini tersenyum lagi, bahkan berkata nyaring
dengan nada penuh ejekan,
“Locianpwe,
kalau kau takut, katakan saja takut! Pamanku bukanlah orang undangan Pek-san-pai
mau pun Hek-san-pai. Pamanku seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi. Dia
bukan hanya tidak memihak, malah dia berhasil mendamaikan Pek-san-pai dan
Hek-san-pai sehingga mulai sekarang tidak akan ada lagi perang di antara
mereka. Pamanku berhasil mendamaikan dan menginsyafkan mereka. Tetapi melihat
pamanku sakit dan Locianpwe juga sakit dan memiliki keadaan yang sama, maka aku
sengaja datang menantang Locianpwe untuk mengadu kepandaian.”
“Apa...?”
Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas sebongkah batu dan batu itu pecah
berhamburan dan bunga api berpijar. Syanti Dewi terkejut sekali melihat kakek
itu marah-marah. “Pamanmu telah mendamaikan mereka? Celaka tiga belas! Pamanmu
jahat bukan main! Pamanmu dengki dan jahat!”
Biar pun dia
takut, namun mendengar Gak Bun Beng dimaki-maki, Syanti Dewi menjadi marah.
“Harap Locianpwe tidak sembarangan memaki orang! Pamanku adalah seorang
pendekar sakti yang budiman, yang telah mengakurkan kedua belah pihak yang
masih bersaudara seperguruan itu dari permusuhan. Mengapa Locianpwe malah
memakinya jahat dan dengki?”
“Bodoh...!
Bodoh...! Mengapa aku sampai susah payah tinggal di sini, mendekati Hek-san-pai
dan Pek-san-pai kalau tidak ada permusuhan tahunan itu? Permusuhan itu
menimbulkan banyak korban yang terluka, baik yang ringan mau pun yang berat.
Sekarang, pamanmu lancang dan dengki, menghentikan permusuhan dan berarti tidak
akan ada pertempuran lagi. Bukankah itu berarti aku akan kehabisan langganan
orang yang sakit terluka?”
Mengertilah
kini Syanti Dewi dan makin heran dia akan jalan pikiran kakek yang aneh ini.
Pandangan kakek itu benar-benar aneh dan menyeleweng dari umum, tidak lumrah.
Syanti dewi kembali tersenyum. “Memang agaknya pamanku sengaja berbuat
demikian, namun Locianpwe akan dapat berbuat apa? Dalam ilmu pengobatan pun,
Locianpwe akan kalah. Aku berani tanggung bahwa pamanku pasti akan sanggup
menyembuhkan penyakit yang diderita Locianpwe.”
“Omong
kosong!”
“Marilah
kita buktikan saja! Mari, jikalau Locianpwe berani ikut bersama saya, dan coba
Locianpwe mengobati pamanku, kemudian baru pamanku akan mengobati Locianpwe.
Hendak kulihat siapa di antara kalian yang lebih sakti!”
Terbakar
juga hati Yok-kwi oleh sikap dan kata-kata Syanti Dewi. “Baik! Aku pasti akan
datang mengusir penyakitnya, tetapi kalau dia tidak mampu menyembuhkan
penyakitku, dia akan kubunuh dan mungkin kau juga.”
“Boleh, itu
taruhanku!” jawab Syanti Dewi girang dan dara ini berlari cepat turun dari
puncak, diikuti oleh Yok-kwi yang berjalan dibantu tongkatnya.
Ketua
Pek-san-pai dan ketua Hek-san-pai yang masih berada di situ menyambut dengan
heran dan girang, juga kagum melihat bahwa Syanti Dewi benar-benar berhasil
mengajak Yok-kwi turun puncak. Karena nama besar Yok-kwi yang berwatak aneh
itu, semua orang memandang dengan segan dan takut, bahkan mereka tidak berani
marah ketika kakek itu memasuki pondok tanpa membalas penghormatan mereka,
bahkan tak mengacuhkan mereka yang dianggapnya seperti arca saja. Dia langsung
mengikuti Syanti Dewi memasuki ruangan besar di mana tubuh Bun Beng yang
tadinya pingsan itu dibaringkan.
“Paman...!”
Syanti Dewi lari menghampiri pembaringan itu dan Bun Beng yang sudah siuman
mengangkat muka, tersenyum kepada Syanti Dewi.
“Dewi, apa
yang kau lakukan? Ke mana kau pergi...?”
“Aku
mengundang Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Nah, ini dia sudah datang.”
Bun Beng
menengok dan kedua orang sakti itu saling bertemu pandang. Diam-diam Bun Beng
terkejut melihat kakek aneh itu, sebab dia dapat melihat sinar aneh dari wajah
kakek bertongkat itu.
Sebelum Bun
Beng sempat membuka mulutnya, Yok-kwi yang sudah marah sekali dan memandang
rendah kepadanya, sudah melangkah maju dan berkata, “Keponakanmu ini
menyombongkan kepandaianmu dan menantangku untuk menandingimu tentang ilmu
pengobatan. Biarlah kuobati kau lebih dulu, baru kemudian kau mengobati aku,
kalau kau mampu!”
Tanpa
menanti jawaban, Yok-kwi lalu berdiri tegak, matanya terpejam, pernapasannya
seperti terhenti seketika. Kalau Syanti Dewi dan yang lain-lain memandang
heran, adalah Bun Beng yang memandang kagum karena dia maklum bahwa kakek itu
telah mengerahkan seluruh panca inderanya untuk mengumpulkan tenaga murni.
Kemudian, Yok-kwi membuka matanya yang kini mengeluarkan cahaya berkilat, dan
tongkatnya sudah bergerak mengetuk-ngetuk dan menotok-notok seluruh tubuh Bun
Beng, dari ujung kaki sampai ubun-ubun kepala! Tentu saja Syanti Dewi terkejut
dan khawatir, akan tetapi melihat Bun Beng tersenyum saja hatinya menjadi lega.
“Ahhhh...!”
Sin-ciang Yok-kwi tiba-tiba berseru kaget ketika dengan tangan kirinya dia
menekan-nekan dada dan perut Bun Beng.
Yang
mengejutkan hatinya itu adalah karena dia merasa betapa dari dalam pusar orang
yang sakit itu keluar tenaga sakti yang amat kuat, yang kadang-kadang panas
kadang-kadang dingin, namun kedua macam inti tenaga Yang dan Im itu luar biasa
kuatnya. Tahulah dia bahwa dara itu tidak berbohong dan memang orang yang sakit
ini bukanlah seorang manusia biasa, melainkan seorang yang memiliki kesaktian
hebat! Maka dia pun tidak berani main-main lalu memeriksa keadaan Gak Bun Beng
lebih teliti lagi.
Orang-orang
yang melihat cara kakek itu memeriksa orang sakit, biar pun hati mereka gentar
terhadap kakek aneh yang galak itu, namun mereka merasa geli di dalam hati
mereka. Sin-ciang Yok-kwi memang luar biasa. Dia memeriksa tubuh Bun Beng bukan
hanya dengan mengetuk sana-sini dengan tongkatnya, memijat sana-sini dengan
tangannya, juga dia menggunakan hidungnya untuk mencium-cium sana-sini dengan
cuping hidung kembang kempis, malah akhirnya dia menjilat keringat di leher Gak
Bun Beng, lalu menggerak-gerakkan mulut dan matanya terpejam seperti tingkah
seorang yang mencicipi masakan apakah cukup asinnya!
“Aihhh, luka
dalam dadanya memang hebat dan akan mematikan orang yang bertubuh kuat sekali
pun. Akan tetapi dia dapat bertahan, sungguh luar biasa!” Akhirnya dia berkata,
“Bagi dia, luka itu tidak membahayakan, yang lebih hebat adalah keruhnya hati
dan pikiran. Akan tetapi, aku bukan seorang ahli pengobatan yang pandai kalau
tidak mampu menyembuhkan penyakit macam ini saja!” Kakek itu lalu menuliskan
resep yang terdiri dari bahan yang aneh-aneh, sungguh pun tidak sukar untuk
dicari. Di antara banyak daun, buah, bunga dan akar pohon dan tetumbuhan, juga
terdapat arang kayu dan tujuh ekor kutu rambut dalam resep itu!
“Beri dia
minum ini pasti sembuh. Sepekan kemudian aku menanti dia di puncak Ci-lan-kok!”
kata kakek itu lalu pergi dari situ menyeret tongkatnya tanpa mempedulikan
ucapan-ucapan terima kasih dari Syanti Dewi dan dua orang ketua perkumpulan.
Akan tetapi
tentu saja Syanti Dewi tidak mempedulikan sikap kakek aneh itu karena dia sudah
cepat-cepat mempersiapkan obat seperti yang tertulis dalam resep. Dengan
bantuan dua orang ketua Pek-san-pai dan Hek-san-pai, akhirnya dalam hari itu
juga terkumpullah semua bahan resep yang lalu dimasak oleh Syanti Dewi sampai
airnya tinggal semangkuk, lalu setelah dingin diminumkan kepada Gak Bun Beng.
Pendekar itu
masih berada dalam keadaan setengah pingsan, hanya teringat sedikit saja apa
yang terjadi. Akan tetapi setelah minum obat itu, sinar mukanya yang tadinya
pucat kekuningan berubah menjadi agak merah. Dengan penuh ketekunan Syanti
Dewi, dibantu dua orang ketua, merawat dan meminumkan obat menurut resep
Sin-ciang Yok-kwi dan dalam waktu lima hari saja Gak Bun Beng sudah sembuh sama
sekali!
Pada pagi
hari ke enam, ketika pendekar ini terbangun dengan tubuh yang ringan dan
nyaman, masuklah kedua orang ketua Pek-san-pai dan Hek-san-pai, bersama Syanti
Dewi.
“Paman, kau
sudah sembuh...!” Syanti Dewi langsung berseru girang sambil duduk di tepi
pembaringan.
“Hemm,
berkat perawatanmu yang baik, Dewi.”
“Juga berkat
bantuan kedua orang Paman Ketua, Paman Gak.”
“Ahhh, kalau
begitu aku berhutang budi kepada Ji-wi (Kalian berdua),” kata Gak Bun Beng
kepada kedua orang itu sambil mengangkat kedua tangan yang dirapatkan itu di
depan dada.
“Ah,
Taihiap... justru kamilah yang harusnya berterima kasih,” dua orang itu serta
merta menjatuhkan diri berlutut di depan Gak Bun Beng.
Pendekar ini
terkejut dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat bangun
mereka itu. “Jangan begitu, mari duduk dan kita bicara dengan baik,” kata Gak
Bun Beng dan setelah mereka duduk di atas bangku-bangku dalam kamar itu, Bun
Beng berkata lagi. “Syukur bahwa kalian sudah sadar dan dapat hidup rukun
sebagai saudara seperguruan.”
Keduanya
menjura. “Kami telah sadar berkat bantuan Taihiap. Memang selama puluhan tahun
kami berdua hidup sebagai musuh. Sungguh memalukan sekali. Sekarang kami insyaf
dan kami akan berusaha menjadi orang-orang baik.”
Gak Bun Beng
menghela napas panjang. “Ji-wi harus mengerti bahwa kebaikan tidak dapat
diusahakan. Yang penting adalah menginsyafi dan menyadari akan keburukan kita
sehingga semua keburukan itu hilang. Sumber air itu adalah pemberian alam,
untuk siapa saja yang membutuhkan, cukup banyak. Mengapa harus diperebutkan?
Lebih baik diusahakan agar airnya dapat mengalir di tempat-tempat yang
membutuhkannya.”
Dua orang
ketua itu mengangguk-angguk. Akan tetapi, sungguh sayang bahwa mereka itu
kurang memperhatikan sehingga tidak dapat menangkap arti dari kata-kata Gak Bun
Beng yang pertama kali tadi seperti juga manusia pada umumnya tidak pernah
sadar akan keadaan dirinya sendiri seperti apa adanya. Mata ini tidak pernah
dipergunakan untuk memandang keadaan diri sendiri sehingga mengenal diri
pribadi saat demi saat, tetapi dipakai untuk merenung jauh ke depan, memandang,
melihat dan menjangkau hal-hal yang belum menjadi kenyataan.
Dua orang
itu berjanji akan berusaha menjadi orang-orang baik!
Dapatkah
kebaikan itu diusahakan dan dipelajari? Kebaikan barulah sejati kalau menjadi
sifat, seperti harum pada bunga. Kebaikan yang telah berada dalam diri manusia
menuntun semua gerak-gerik perbuatan si manusia itu sehingga segala yang
dilakukan pun tentu baik tanpa disadari lagi bahwa itu adalah kebaikan.
Sebaliknya, kebaikan yang dipelajari, dilatih dan diusahakan, hanyalah akan
menjadi pengetahuan belaka dan kalau pun ada perbuatan yang dianggap baik oleh
orang yang memaksakan kebaikan dalam perbuatannya, maka kebaikan itu hanyalah
menjadi suatu cara untuk mencapai suatu tujuan, dan karenanya menjadi kebaikan
palsu. Seperti kedok belaka.
Kalau kita
melakukan sesuatu yang kita anggap suatu kebaikan, tentu tersembunyi pamrih
tertentu, baik pamrih lahir mau pun batin di balik perbuatan yang kita lakukan
itu. Kebaikan yang diusahakan, yang berpamrih, bukanlah kebaikan namanya,
melainkan palsu, hanya merupakan cara atau jembatan untuk memperoleh yang
dipamrihkan tadi.
Kebaikan
seperti itu serupa dengan seorang anak yang menyapu lantai dengan tekun dan
bersih, namun pekerjaannya itu dilakukan karena dia mengingat bahwa ibunya akan
memujinya, ayahnya tidak akan memarahinya kalau dia menyapu dengan baik.
Baginya yang penting bukanlah menyapu lantai dengan bersih, melainkan ingin
dipuji ibunya dan agar tidak dimarahi ayahnya. Sungguh jauh bedanya dengan
kalau anak itu menyapu lantai dengan bersih karena memang dia cinta akan
pekerjaannya itu, karena dia memang suka melakukan pekerjaan itu tanpa pamrih
apa-apa, bahkan dia tidak ingat lagi bahwa dia melakukan itu!
Kebaikan
adalah suatu sifat. Tidak dapat diusahakan atau dilatih. Yang penting adalah
mengenal diri sendiri, membuka mata memandang keadaan diri sendiri. Kalau kita
ingin menjadi orang baik, hal ini terdorong oleh kenyataan bahwa kita tidak
baik, bukan? Dari pada mengejar kebaikan, lebih baik kita menyadari akan
ketidak baikan kita, akan kekotoran kita. Kesadaran dengan pengertian mendalam
ini akan menghentikan segala ketidak baikan dan kekotoran itu, dan kalau sudah
tidak ada ketidak baikan lagi di dalam diri kita, perlukah kita berusaha
menjadi baik? Kalau sudah tidak ada kekotoran di dalam diri kita, perlukah kita
mencari kebersihan? Tidak perlu lagi, karena baik dan bersih itu sudah menjadi
sifat setelah kejahatan dan kekotoran lenyap.
“Aku hanya
ingat secara samar-samar tentang seorang kakek yang mengobatiku. Dia datang
bersamamu, Dewi. Siapakah dia?” Bun Beng bertanya kepada Syanti Dewi.
“Memang, dia
adalah Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Dialah yang mengobati Paman sampai sembuh.
Akan tetapi dia itu orang gila, wataknya aneh dan mengerikan. Hanya dengan
susah payah dan dengan akal saja aku berhasil mengajak dia ke sini untuk
mengobati Paman.”
“Aihhh,
kalau begitu aku harus mengunjungi kakek itu dan menghaturkan terima kasih
kepadanya.” Bun Beng berkata sambil bangkit berdiri.
“Saya kira
tidak usah, Paman. Jangan-jangan dia malah akan menimbulkan keributan baru!”
Syanti Dewi lalu menceritakan akalnya menantang Sin-ciang Yok-kwi yang akan
‘diadu’ dalam hal kesaktian dengan pamannya, akal yang digunakan untuk
memancing Kakek Setan Obat itu agar mau mengobati Bun Beng.
Mendengar
penuturan Puteri Bhutan itu, hati Bun Beng jadi terharu sekali. Puteri yang
berwatak halus itu sampai rela memaksa diri menjadi seorang pembohong dan
penipu besar hanya karena ingin menolongnya! Kemudian dia memegang tangan
puteri itu dan berkata, “Jangan khawatir, kita tetap harus pergi ke Ci-lan-kok.
Ji-wi, kami akan pergi sekarang. Mari, Dewi!”
Kedua orang
ketua itu tidak dapat mencegah dan mereka bersama anak buah mereka hanya
memandang dengan khawatir ketika melihat dua orang itu mendaki puncak
Ci-lan-kok untuk menemui Sin-ciang Yok-kwi yang mereka takuti. Di tengah
perjalanan menuju ke puncak itu, Syanti Dewi berkata, “Paman, perlukah kita
menjumpainya? Aku telah membohonginya dan mengatakan bahwa Paman adalah seorang
ahli pengobatan pula. Tentu dia akan marah-marah dan aku takut kalau-kalau hal
ini akan menimbulkan sesuatu yang tidak menyenangkan, Paman.”
“Tenanglah,
Dewi. Aku memang bukan seorang ahli pengobatan, namun aku melihat sesuatu
ketika dia memeriksaku. Samar-samar aku masih ingat bahwa tubuh kakek itu
mengeluarkan hawa beracun yang amat berbahaya. Kalau benar demikian, aku harus
menolongnya.”
Syanti Dewi
terkejut. “Begitukah? Ahhh, kalau demikian, memang seharusnya Paman
menolongnya!”
Gak Bun Beng
menghentikan langkahnya dan memandang dara itu penuh kagum. Makin lama dia
mengenal Puteri Bhutan ini, makin kagumlah hatinya, makin menonjol dan tampak
olehnya sifat-sifat baik dara ini, makin jelas pula tampak olehnya kasih sayang
bersinar keluar dari dalam hati dara itu melalui sinar matanya dan senyumnya,
dalam kata-katanya. Dan makin gelisahlah dia!
“Syanti
Dewi, engkau baik sekali. Selama ini... ahhh, takkan terlupakan selama hidupku,
kau sudah bersusah payah untukku, merawatku, membawaku lari dari kota raja
melalui perjalanan yang sukar, membawa aku yang sedang sakit, kemudian
mempertaruhkan nyawa memancing seorang aneh seperti Sin-ciang Yok-kwi untuk
mengobatiku...”
“Sshhhh...,
cukuplah, Paman. Di antara kita, kalau mau bicara tentang kebaikan, takkan ada
habisnya karena siapakah yang menyelamatkan nyawaku, siapa yang selama ini
kugantungi harapanku, yang menjadi pelindungku, menjadi pembelaku? Apa yang
telah kulakukan untuk Paman tidak ada artinya sama sekali dan memang sudah
seharusnya. Kita hanya berdua, kalau kita tidak saling bantu, habis bagaimana?
Pula... yang penting sekarang ini, asal Paman sudah sembuh kembali, aku sudah
merasa girang bukan main. Soal-soal lain tidak perlu dibicarakan lagi, Paman.”
Mereka
saling pandang. Dua pasang mata bertemu pandang dan saling bertaut sampai lama.
Akhirnya Gak Bun Beng perlahan-lahan membuang muka, memejamkan mata seolah-olah
tidak tahan dia melihat sinar mata penuh kasih yang ditujukan kepadanya dari
sepasang mata yang bening indah itu! Aku harus menjauhkan diri darinya, harus
dan secepat mungkin, demikian suara hatinya. Kalau dilanjutkan begini,
berbahayalah aku! Akan tetapi Milana pun telah menjadi isteri orang lain, tentu
saja tidak berhak mencampuri urusannya!
“Kau kenapa,
Paman?” Syanti Dewi mendekat dan memegang tangan Bun Beng karena merasa
khawatir sekali melihat Bun Beng memejamkan mata dan mengerutkan kening.
Bun Beng
membuka matanya kembali, mata yang agak basah. “Tidak apa-apa, Dewi, mari kita
lanjutkan perjalanan kita menemui Sin-ciang Yok-kwi.”
Ketika
mereka tiba di depan kuil kuno, ternyata Sin-ciang Yok-kwi sudah menanti di
depan kuil, duduk di atas batu besar dan memandang kepada Bun Beng dengan penuh
perhatian. Gak Bun Beng cepat menghampiri dan bersama Syanti Dewi dia menjura
kepada kakek itu.
“Ha-ha-ha,
bocah nakal! Apa kau masih tidak percaya akan kemampuanku mengobati? Sekarang
pamanmu telah sembuh, bukan?”
“Terima
kasih atas pertolongan Locianpwe. Sebenarnya sejak dahulu pun saya tidak pernah
meragukan kepandaian Locianpwe,” jawab Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha,
memang kau nakal dan kau sengaja memancingku. Heiiii, Gak Bun Beng! Apakah kau
datang untuk memperlihatkan kepandaianmu? Apakah benar kau pandai mengobati?”
Melihat
sikap yang kasar dan terbuka dari kakek itu, Gak Bun Beng tersenyum dan sambil
memandang wajah kakek itu dia berkata, “Sin-ciang Yok-kwi, terus terang saja
bahwa keponakanku ini berbohong kepadamu. Aku bukan ahli pengobatan, dan aku
berterima kasih kepadamu bahwa kau telah menyembuhkan penyakitku. Akan tetapi,
ketika engkau memeriksaku, aku mendapat kenyataan bahwa ada hawa beracun keluar
dari dadamu. Kalau engkau memang tidak keberatan, aku suka untuk mengeluarkan
hawa beracun dari tubuhmu.”
Kakek itu
kelihatan terkejut, kemudian membuka kancing bajunya di depan dada. “Nah, kau
boleh memeriksa!”
Bun Beng
melangkah dekat, menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan ke dada kakek
itu. Terkejutlah dia! Benar-benar terdapat hawa mukjijat dalam dada kakek itu
yang sangat kuat dan aneh, yang tak dapat dikendalikan oleh kakek itu sehingga
menjadi penyakit yang hebat.
“Tidak
salah!” serunya. “Ada hawa beracun yang kuat di dalam tubuhmu, Sin-ciang
Yok-kwi. Tetapi karena bukan tabib, aku tidak tahu mengapa bisa demikian dan
mengapa pula sampai berlarut-larut kau diamkan saja!”
“Engkau
hebat,” Yok-kwi berkata. “Biar pun engkau tidak tahu akan ilmu pengobatan,
namun dengan rabaan tangan yang penuh dengan sinkang engkau sudah dapat
mengetahui keadaanku yang tak kuketahui sendiri! Sekarang mengertilah aku.
Dahulu, karena terlampau ingin menguasai ilmu pengobatan terhadap segala macam
racun, aku sengaja menelan bermacam-macam racun, dan lalu kuobati sendiri.
Semua obatku bisa menolong memunahkan racun itu, akan tetapi agaknya hawa racun
dan obat yang memunahkannya telah berkumpul sedikit demi sedikit dalam tubuhku
tanpa kurasakan sehingga kini tidak dapat kukeluarkan lagi. Kalau aku
mengerahkan kekuatan sinkang, tentu perlindungan di tubuhku kurang kuat dan
hawa itu akan membunuhku. Untung selama ini aku tidak bertanding melawan musuh
kuat, karena pengerahan sinkang yang kuat tentu akan membunuhku sendiri.
Hemm... kau sudah menemukan penyakitku, biar pun tidak ada obatnya, aku tidak
akan penasaran lagi andai kata penyakit ini akan mencabut nyawaku.”
“Tidak,
Sin-ciang Yok-kwi. Hawa itu masih dapat diusir dari dalam tubuhmu. Aku akan
membantumu.”
“Tapi... hal
itu membutuhkan tenaga yang amat kuat...”
“Akan
kucoba. Duduklah bersila dan marilah kita mulai. Dengan kekuatan kita berdua,
mustahil hawa itu tidak akan dapat terusir keluar.”
Sejenak
kakek itu menatap wajah Bun Beng, kemudian bertanya, “Gak Bun Beng, aku tidak
pernah mendengar namamu sebagai seorang tokoh besar. Dari partai manakah
engkau?”
Gak Bun Beng
tersenyum den menggeleng kepala. “Bukan dari partai mana pun juga. Apa sih
bedanya itu? Mari, silakan.”
Sin-ciang
Yok-kwi lalu melempar tongkatnya ke samping dan duduk bersila di atas tanah. Bun
Beng juga segera duduk bersila di depan kakek itu, meluruskan kedua lengannya
ke depan sehingga kedua tangannya menempel pada dada kakek itu. Syanti Dewi
hanya menonton dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Dia mengharapkan
pendekar sakti itu akan mampu menyembuhkan kakek itu, akan tetapi di samping
ini dia juga khawatir karena biar pun ilmu silatnya sendiri belum tinggi akan
tetapi dia pernah mendengar betapa menyembuhkan orang dengan menggunakan
sinkang itu sangat melelahkan. Dia khawatir kalau-kalau Gak Bun Beng yang baru
saja sembuh akan kehabisan tenaga dan jatuh sakit lagi.
Sin-ciang
Yok-kwi terkejut bukan main ketika dia merasa betapa dari kedua tangan Bun Beng
keluar hawa yang amat panas, mula-mula hanya hangat akan tetapi makin lama
makin panas menyerap ke dalam dadanya. Dia mengikutinya, juga dengan pengerahan
sinkang-nya, membuat tubuhnya menjadi panas sampai mengepulkan uap! Hawa panas
yang masuk dari kedua telapak tangan Bun Beng itu amat kuatnya, terasa bergerak
berputaran di dalam dadanya, hampir tak tertahankan panasnya sampai kakek ini
mengeluarkan keringat dan napasnya mulai terengah-engah.
Bun Beng
melihat ini, maka dia lalu mengurangi tenaga Hwi-yang Sinkang (Hawa Sakti Inti
Api) sehingga rasa panas yang menyerang Yok-kwi mulai berkurang dan makin lama
makin dingin, akan tetapi tidak berhenti menjadi normal karena terus menjadi
makin dingin sampai luar biasa sekali.
Kembali
Yok-kwi terkejut dan kagum. Dia sendiri adalah seorang ahli tenaga dalam dan
memiliki sinkang yang kuat. Akan tetapi menghadapi hawa dingin yang keluar dari
sepasang telapak tangan orang itu, dia tidak mampu mengikutinya terus dan
tubuhnya segera menggigil kedinginan. Dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng telah
mengganti tenaga Hwi-yang Sinkang tadi menjadi Swat-im Sinkang (Hawa Sakti Inti
Salju)! Dua tenaga sinkang yang bertentangan dan yang hanya dimiliki oleh
penghuni Pulau Es.
Syanti Dewi
memandang dengan bingung dan heran, juga khawatir! Dia tidak tahu apa yang
telah dan sedang terjadi. Dia hanya melihat betapa kakek yang sakti itu tadinya
menjadi merah mukanya, mengeluarkan banyak keringat dan tubuhnya beruap,
napasnya agak terengah-engah, akan tetapi sekarang keadaannya berubah, mukanya
menjadi pucat dan agak kebiruan, tubuhnya menggigil dan napasnya makin terengah-engah!
Dengan
kekuatan sinkang-nya yang hebat, perlahan-lahan Bun Beng mendorong keluar hawa
mukjijat yang mengeram di dalam dada dan perut kakek itu dan mulailah tampak
uap hitam membubung keluar dari mulut, hidung dan tubuh atas kakek itu! Gak Bun
Beng maklum bahwa kalau dia melanjutkan pengerahan Swat-im Sinkang, kakek itu
tentu tidak akan dapat bertahan, maka melihat betapa hawa beracun itu sudah
mulai keluar, dia merubah lagi pengerahan sinkang-nya dan kini dia mengerahkan
Tenaga Sakti Inti Bumi yang halus dan lunak namun menyembunyikan kekuatan yang
dahsyat pula.
Uap
menghitam yang membubung keluar itu semakin menipis, kemudian kakek itu
mengeluarkan keluhan panjang dan tubuhnya terguling roboh, tepat pada saat Bun
Beng lebih dulu menarik kembali tenaganya. Pendekar ini cepat memejamkan
matanya, mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya yang diperas keluar
dari tubuhnya yang masih lemah tadi.
Syanti Dewi
memandang dengan hati gelisah. Dia melihat Yok-kwi terguling roboh dan tidak
bangun kembali, sedangkan Gak Bun Beng masih duduk bersila dengan muka pucat.
Dan kakek kecil pendek yang tadi menyerang dengan lemparan senjata rahasia
hingga merobohkan Yok-kwi telah berdiri di belakang Gak Bun Beng. Sambil
mulutnya menyeringai, Sin-kiam Lo-thong, bekas jagoan panggilan pihak
Hek-san-pai, sekarang mencabut pedangnya dan menghampiri Gak Bun Beng!
Munculnya
kakek bertubuh kanak-kanak ini memang mengejutkan dan tidak disangka-sangka.
Tadi ketika Gak Bun Beng dan Yok-kwi keduanya sedang mencurahkan seluruh
perhatian kepada pengobatan itu, kakek ini muncul dan langsung saja menyerang
Yok-kwi dengan jarum merah. Oleh karena tidak menyangka dan terkena jarum tepat
pada lehernya, kakek itu langsung roboh terguling dan pingsan, sedangkan Gak
Bun Beng yang sedang mengerahkan Tenaga Inti Bumi secara tiba-tiba mengalami
kekagetan dan menarik kembali tenaganya secara serentak, membuat tubuhnya yang
masih lemah itu mengalami goncangan hebat sehingga dia terpaksa harus
menghimpun hawa murni, kalau tidak jantungnya bisa pecah!
Sin-kiam
Lo-thong tersenyum girang. Dia menganggap bahwa Yok-kwi tentu telah tewas
karena lehernya sudah kemasukan jarum merahnya, sedangkan sebagai seorang ahli
dia maklum akan keadaan Gak Bun Beng, maka dengan cepat dia sudah menghampiri
pendekar itu dengan pedang terhunus.
“Manusia
keji...!” Syanti Dewi menjerit dan cepat dia menyambar batu sebesar kepala,
menyambitkan batu itu sekuat tenaganya ke arah Sin-kiam Lo-thong yang sudah
berada dekat sekali di belakang Gak Bun Beng.
Sin-kiam
Lo-thong mengangkat lengan kirinya menangkis batu yang menyambarnya itu.
“Prakkk!”
Batu itu hancur berkeping-keping dan Sin-kiam Lo-thong sudah menggerakkan
tangan kanannya, pedangnya membacok ke arah leher Gak Bun Beng.
“Ohhh...
jangan...!” Syanti Dewi menjerit dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.
“Singgg...!”
Pedang di
tangan Sin-kiam Lo-thong berkelebat menjadi sinar terang yang menyambar ke arah
leher Gak Bun Beng. Syanti Dewi memejamkan mata membayangkan betapa leher
pendekar itu akan terbabat putus!
“Takkk!
Aughhh...!”
Mendengar
pekik ini, Syanti Dewi membuka matanya. Dia terbelalak keheranan namun juga
kegirangan melihat bahwa Gak Bun Beng masih tetap saja duduk seperti tadi,
bersila dan lehernya masih utuh! Sebaliknya, Sin-kiam Lo-thong terlempar ke
belakang, pedangnya terlepas dari pegangan dan kini kakek bertubuh kanak-kanak
itu merangkak hendak bangun dengan muka pucat dan ketakutan.
Kiranya
seluruh tubuh Gak Bun Beng pada saat itu masih terlindung hawa sinkang Inti
Bumi sehingga ketika pedang itu menyambar tengkuk, otomatis tenaga sakti itu
melindungi dan tidak hanya membuat pedang itu tidak melukai tengkuk, bahkan
reaksi dari tenaga sakti itu membuat pedang terlempar dari tangan Lo-thong dan
kakek itu sendiri terpukul hawa mukjijat itu dan terlempar ke belakang!
Betapa
kagetnya ketika Lo-thong melihat bahwa kini Yok-kwi telah bangun dan sedang
menghampirinya dengan mata melotot penuh kemarahan. Disangkanya Yok-kwi telah
tewas. Tidak mungkin orang yang sudah ditembusi jarum merah lehernya masih
dapat hidup! Dan memang Yok-kwi juga masih tertolong oleh hawa sinkang yang
dikerahkan Gak Bun Beng ketika mengobatinya tadi.
Hawa sinkang
yang amat kuat itu sedang berputar-putar di seluruh tubuhnya, maka ketika jarum
merah menyambar dan mengenai lehernya, otomatis hawa sinkang itu melindunginya,
membuat lehernya kebal sehingga jarum merah itu tidak terus masuk, melainkan
hanya menancap setengahnya saja. Jadi Yok-kwi tadi pingsan bukan karena jarum
merah, melainkan karena ditariknya Tenaga Inti Bumi oleh Bun Beng secara
tiba-tiba. Perubahan mendadak itulah yang membuat dia pingsan. Akan tetapi dia
pingsan hanya sebentar. Ketika siuman dan mencabut jarum dari lehernya, dia
melihat Lo-thong terlempar dan kini dia menghampiri kakek kecil itu dengan
penuh kemarahan.
Sin-kiam
Lo-thong meloncat dan hendak melarikan diri, akan tetapi Yok-kwi membentak,
“Pemberontak hina, hendak lari ke mana kau?”
Tangannya
bergerak dan jarum merah itu menyambar. Lo-thong lalu memekik nyaring, roboh
dan berkelojotan karena jarumnya sendiri telah menembus ke dalam kepalanya
melalui tengkuk!
“Paman...!”
Syanti Dewi menghampiri Bun Beng dan berlutut, mukanya masih pucat akan tetapi
bibirnya tersenyum tanda girang.
Bun Beng
membuka kedua matanya, tersenyum kepada Syanti Dewi, kemudian berdiri dan
menengok. Alisnya berkerut ketika dia melihat Lo-thong berkelojotan dalam
sekarat.
“Yok-kwi,
kenapa engkau membunuhnya?”
“Dia layak
dibunuh dua kali!” jawab kakek itu.
“Kenapa?”
“Pertama,
dia tadi hendak membunuh kita berdua. Kedua kalinya, dia adalah seorang anggota
pemberontak laknat, kaki tangan Pek-lian-kauw.”
“Hemm...!”
Gak Bun Beng tidak berkata apa-apa lagi, melainkan memandang kepada tubuh kecil
yang sudah tidak bergerak lagi itu sambil menarik napas panjang.
Yok-kwi
menghampirinya dan menjura. “Gak-taihiap, selain amat berterima kasih bahwa
engkau telah dapat menyembuhkanku, juga aku merasa amat kagum akan kesaktian
Taihiap. Jika sekiranya kakimu buntung sebelah, tentu engkau inilah yang patut
menjadi Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Tocu dari Pulau Es yang
terkenal.”
Gak Bun Beng
tersenyum. “Beliau adalah guruku.”
Kakek itu
terbelalak, lalu tertawa dan kembali menjura dengan hormat. “Ha-ha-ha-ha,
kiranya begitu? Ah, maafkan aku yang tidak mengenal Gunung Thai-san menjulang
di depan mata! Sungguh beruntung sekali aku dapat berjumpa dan bersahabat
dengan seorang murid Pendekar Super Sakti. Gak-taihiap, namaku adalah Kwan
Siok, nama yang puluhan tahun kusembunyikan sehingga orang menyebutku Yok-kwi.
Dan aku datang ke sini bukan hanya untuk mengasingkan diri dan menguji
kepandaian dengan mendekati dua perkumpulan yang saling bermusuhan, akan tetapi
juga diam-diam aku memperhatikan keadaan para pemberontak yang mulai meluaskan
pengaruhnya di perbatasan ini. Diam-diam aku membantu untuk membalas budi
kepada Puteri Milana...”
Tiba-tiba
dia menghentikan kata-katanya ketika melihat Bun Beng memandangnya dengan mata
bersinar-sinar kaget. Akan tetapi ketika Bun Beng merasa betapa jari-jari
tangan Syanti Dewi mencengkeram lengannya, dia dapat menenangkan hatinya.
Sambil tersenyum dia berkata, “Budi apakah yang kau terima dari puteri yang
gagah perkasa dan terkenal itu?”
Yok-kwi
menjura lagi. “Maaf, tentu Taihiap mengenal baik Puteri Milana. Bukankah dia
itu puteri dari Pendekar Super Sakti? Sebagai murid pendekar itu maka kau...”
“Tentu saja,
dia terhitung sumoi-ku sendiri. Nah, katakanlah, budi apa yang kau terima
darinya?”
“Ketika aku
dikepung oleh musuh-musuhku, yaitu para tokoh Pek-lian-kauw yang sudah puluhan
tahun menjadi musuhku, dalam keadaan terdesak dan terancam bahaya maut Puteri
Milana lewat dan menolongku. Sekarang, kota raja sedang ribut dengan adanya
pertentangan antara para pengeran, dan adanya usaha-usaha pemberontakan.
Melihat Sang Puteri itu sibuk menangani sendiri untuk mengamankan kota raja,
diam-diam aku membantu dengan mengamat-amati keadaan di sini.”
Gak Bun Beng
mengangguk-angguk. “Aihhh, kiranya engkau juga seorang yang berjiwa patriot,
Kwan Lo-enghiong (Orang Tua Gagah she Kwan).”
“Gak-taihiap,
jangan menyebutku enghiong. Karena orang sudah memberiku nama Yok-kwi, biarlah
kupakai terus nama itu. Kalau aku boleh mengetahui, mengapa Taihiap dan Nona
ini sampai tiba di tempat sejauh ini?”
“Kami hendak
pergi menjumpai Jenderal Kao Liang, untuk menceritakan keadaan di kota raja.
Dan Nona ini...” Gak Bun Beng ragu-ragu.
Yok-kwi
tertawa. “Ha-ha-ha, dia tentu saja adalah Sang Puteri dari Bhutan!”
Syanti Dewi
mengeluarkan seruan tertahan dan Bun Beng memandang tajam penuh kecurigaan
kepada kakek itu. “Yok-kwi, bagaimana kau bisa tahu?”
“Mudah saja,
Taihiap. Aku sudah mendengar akan Puteri Bhutan yang lenyap di tengah
perjalanan dan kabar terakhir bahwa mungkin puteri itu tertolong oleh seorang
sakti ketika hanyut di sungai. Sekarang, melihat Taihiap muncul di sini hendak
menjumpai Jenderal Kao yang setia, bersama seorang dara yang sikap dan
wibawanya seperti puteri, juga yang jelas adalah seorang dara berkebangsaan
tanah barat, mudah saja menduga-duga.”
“Kau memang
cerdik sekali, Yok-kwi. Memang benar, dia adalah Puteri Syanti Dewi dari
Bhutan.”
Yok-kwi
menjura kepada Syanti Dewi. “Harap Paduka sudi memaafkan segala kekurang ajaran
saya.”
Syanti Dewi
menghampiri Yok-kwi dan memegang tangan kakek itu. “Aihhh, Locianpwe terlalu
merendah. Sayalah yang harus minta maaf karena telah berani mempermainkan
Locianpwe.”
Yok-kwi
tertawa bergelak sambil meraba jenggotnya, “Mempermainkan saya? Ha-ha-ha, kalau
tidak ada Paduka, agaknya aku Si Tua Bangka masih tetap menjadi orang yang
berpenyakitan.”
“Akan tetapi
Paman Gak juga tentu belum sembuh.”
Mereka
tertawa gembira karena mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang segolongan.
“Kami akan
segera melanjutkan perjalanan kami ke benteng Jenderal Kao di utara,” kata Bun
Beng.
“Tidak jauh
lagi, Taihiap. Dari sini ke utara, lewat bukit di depan itu lalu membelok ke
timur. Saya masih akan tetap tinggal di sini dan siap setiap saat untuk
membantu, biar pun sesungguhnya saya sudah muak berurusan dengan dunia ramai
yang penuh kepalsuan.”
Mereka lalu
berpisah, dan Gak Bun Beng yang sudah sembuh sama sekali itu dapat melakukan
perjalanan cepat bersama Syanti Dewi. Akan tetapi, baru saja turun dari puncak
Ci-lan-kok, mereka dihadang oleh orang-orang Hek-san-pai dan Pek-san-pai yang
menyediakan dua ekor kuda untuk mereka. Ketika Bun Beng menceritakan tentang
Sin-kiam Lo-thong, Ketua Hek-san-pai menjadi pucat wajahnya.
“Aahhh...
celaka, siapa tahu bahwa dia seorang pengkhianat? Inilah akibatnya kalau
bermusuhan dengan keluarga sendiri. Dia datang dan menawarkan diri menjadi
jago. Melihat kelihaiannya, saya menerimanya. Ahhh, Taihiap, biarlah yang sudah
dilupakan saja. Semenjak sekarang, kami dari Hek-san-pai dan Pek-san-pai siap
untuk membantu pemerintah menghadapi pemberontak setiap saat kami diperlukan.”
Gak Bun Beng
dan Syanti Dewi berpisah dari mereka, melanjutkan perjalanan dengan menunggang
kuda. Akan tetapi karena tidak mengenal jalan di daerah yang sunyi itu, mereka
salah jalan dan tanpa disengaja keduanya malah tiba di daerah sumur maut di
mana Gak Bun Beng berhasil menolong dan menyelamatkan Jenderal Kao Liang dari
pengeroyokan para pemberontak.
Demikianlah,
seperti telah diceritakan di bagian depan, Gak Bun Beng dan Syanti Dewi muncul
di tempat itu, agak terlambat sehingga biar pun pendekar sakti itu berhasil
menolong Jenderal Kao, namun dia tidak berhasil menyelamatkan Ceng Ceng yang
terlempar ke dalam sumur maut. Biar pun kemudian pendekar itu mencoba untuk menyelidiki
dengan turun ke sumur melalui tambang, sia-sia belaka bahkan hampir saja dia
celaka kena diserang gas beracun di dalam sumur.
Maka dengan
penuh duka, terutama sekali Syanti Dewi yang masih menangis, Jenderal Kao
mengajak mereka berdua pergi ke bentengnya. Setelah tiba di dalam benteng,
pertama-tama Jenderal Kao memerintahkan pasukannya untuk menyerbu benteng
pembantunya, yaitu panglima Kim Bouw Sin dan menangkap Panglima itu.
Gak Bun Beng
mengkhawatirkan bahwa akan terjadi perang saudara antara pasukan pemerintah
sendiri dan hal ini akan merugikan sekali. Maka dia lalu berkata kepada
Jenderal Kao, “Jika Goanswe tidak berkeberatan, ijinkan saya untuk pergi
menyelundup ke benteng itu dan menangkap Panglima Kim si pemberontak itu. Kalau
dia dan kaki tangannya sudah ditangkap dan dilumpuhkan, tentu pasukannya yang
tidak tahu apa-apa itu akan menyerah. Tenaga pasukan itu masih amat dibutuhkan,
bukan? Perang terbuka antara saudara sendiri hanya akan melemahkan kedudukan
pertahanan di perbatasan ini.”
Kao Liang
memandang dengan wajah berseri. “Tepat sekali. Aku memang sudah punya rencana
demikian, hanya tidak berani minta bantuanmu karena engkau bukan anak buah
kami, Taihiap. Dan untuk menyuruh orang lain, kiranya tidak ada di antara anak
buahku yang memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi sehingga diharapkan akan
berhasil menangkap pengkhianat itu tanpa menimbulkan perang saudara. Kalau Gak-taihiap
bersedia, kita akan bersama menangkapnya, dan biarlah pasukanku hanya mengurung
saja.”
Jenderal Kao
dan Bun Beng lalu mengatur rencana siasat mereka untuk menangkap Kim Bouw Sin
dan kaki tangannya tanpa menimbulkan perang saudara. Sementara itu Syanti Dewi
dipersilakan untuk mengaso dan tinggal di dalam sebuah kamar serta dilayani
dengan hormat, dianggap sebagai seorang tamu agung.
***************
Bagaimanakah
keadaan Ceng Ceng? Benarkah seperti dugaan Jenderal Kao, Gak Bun Beng dan Syanti
Dewi bahwa dara perkasa itu tewas di dalam sumur yang mengandung gas beracun
dan sukar diukur dalamnya itu? Untuk mengetahui keadaan Ceng Ceng, sebaiknya
kita mengikuti semua pengalamannya.
Dara perkasa
itu terkejut bukan main dan merasa ngeri ketika dia menyelamatkan Jenderal Kao
Liang dengan menendang tubuh pembesar itu sehingga terpental keluar dari lubang
sumur, dia sendiri terdorong dan terjerumus ke dalam lubang tanpa dapat dicegah
lagi! Dia merasa ngeri dan ketika tubuhnya melewati bagian yang ada gasnya, dia
tak dapat bernapas dan pingsan. Kalau saja dia lebih lama berada di bagian itu,
tentu dia akan tewas oleh gas beracun.
Akan tetapi,
ternyata bahwa gas itu keluar dari dinding sumur, bukan dari dasar sumur, maka
setelah tubuhnya yang melayang ke bawah itu melewati sumber gas, di sebelah
bawah tidak ada gas beracun ini dan dia selamat, biar pun masih dalam keadaan
pingsan dan masih terus melayang ke bawah, ke dalam sumur yang seperti tidak
ada dasarnya itu.
Dalam
keadaan pingsan meluncur ke bawah, tentu tubuhnya akan hancur lebur kalau
terbanting ke dasar sumur itu. Akan tetapi, tidak jauh dari dasar sumur yang
merupakan lantai batu keras, tiba-tiba tubuh Ceng Ceng terhenti dan tertahan
oleh sesuatu. Kiranya dia telah ditangkap oleh seekor ular besar! Ular ini
besarnya melebihi paha seorang dewasa dan panjangnya lima meter lebih!
Dengan
ekornya, ular itu telah ‘menangkap’ tubuh Ceng Ceng, membelit pinggang dara itu
dengan ekornya sehingga Ceng Ceng tidak sampai terbanting mati di dasar sumur.
Memang sudah menjadi kebiasaan ular besar ini untuk menangkap binatang apa saja
yang kebetulan jatuh dari atas, yang kemudian menjadi mangsanya. Kini,
memperoleh korban seorang manusia, ular itu mulai mendekatkan kepalanya kepada
Ceng Ceng, dan tubuhnya melingkari batu dinding yang menonjol. Matanya
berkilat-kilat, lidahnya keluar masuk dan agaknya dia sudah mengilar sekali
melihat calon mangsanya.
Tiba-tiba
terdengar suara mendesis tajam dari bawah, suara mendesis yang membuat ular itu
tampak terkejut dan menoleh ke bawah. Kembali terdengar suara mendesis-desis
penuh kemarahan dari mulut seorang nenek yang duduk mendeprok di atas lantai
sumur itu. Mula-mula ular besar itu meragu, akan tetapi kemudian dengan
perlahan dia merayap turun setelah menggigit punggung baju Ceng Ceng yang masih
pingsan, membawa gadis ini turun menghampiri nenek yang duduk di bawah itu.
Setelah tiba
di depannya, nenek itu berkata, “Lepaskan dia!”
Ular itu
melepaskan gigitannya sehingga tubuh Ceng Ceng menggeletak di atas lantai batu,
kemudian mengangkat kepalanya dan mendesis-desis seperti ragu-ragu.
“Pergi...!”
Nenek itu menjerit lagi, tangan kirinya diangkat ke atas dan seperti seekor
anjing jinak yang dibentak majikannya, ular besar itu mengeluarkan suara
berkokok lalu merayap pergi, naik lagi ke atas.
Ceng Ceng
mengeluh, membuka matanya dan cepat meloncat bangun, berdiri dan siap
menghadapi segala kemungkinan. Cahaya dari atas mendatangkan penerangan yang
cukup dan ketika dia menengok ke atas, dia seperti melihat benda bulat yang
bercahaya di dalam tempat gelap ini. Kemudian ia teringat dan tahu bahwa benda
bulat bercahaya itu adalah mulut sumur yang demikian tingginya seperti sebuah
matahari yang aneh.
Matanya
mulai terbiasa dengan keadaan remang-remang itu dan dia menggigil teringat
betapa tubuhnya terjatuh dari tempat yang sedemikian tingginya. Akan tetapi
mengapa dia tidak mati? Mengapa tubuhnya tidak hancur, bahkan luka pun tidak,
hanya terasa agak sakit di pinggangnya? Mendadak ia meloncat mundur ketika
melihat gerakan di depannya. Ketika dia memandang, hampir dia menjerit saking
ngerinya. Tadi dia tidak melihat apa-apa karena memang tempat itu agak gelap
dan di lantai dasar sumur itu yang kelihatan hanya warna hitam belaka. Kini
baru terlihat olehnya bahwa di depannya, duduk di atas lantai, terdapat seorang
manusia yang keadaannya amat aneh dan mengerikan!
Ceng Ceng
mengerahkan kekuatan pandang matanya agar dapat melihat lebih jelas lagi.
Jantungnya berdebar penuh ketegangan karena ia tidak tahu apakah makhluk yang
berada di depannya ini. Manusia ataukah setan? Muka yang amat pucat dan kurus,
hanya tengkorak terbungkus kulit, rambutnya panjang riap-riapan, tubuhnya kurus
kering terbungkus kain lapuk, kedua kakinya ditekuk di bawah dan kini dia
memandang kepada Ceng Ceng dengan sepasang mata yang berkilauan dalam gelap
seperti mata kucing dan mulut yang tak bergigi lagi itu menyeringai aneh, amat
mengerikan hati Ceng Ceng, apa lagi ketika dia melihat betapa nenek itu
merangkak mendekatinya dengan menggunakan kedua siku lengannya, mengesot karena
kedua kaki itu ternyata lumpuh. Makhluk ini lebih menyerupai binatang aneh atau
setan dari pada seorang manusia.
“Heh-heh-heh,
kau cantik, cantik dan muda...!” Nenek itu berkata, suaranya melengking tinggi
mengejutkan hati dan Ceng Ceng merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan
terasa dingin.
“Kau...
siapakah...?” Walau pun tergagap, akhirnya dara itu dapat juga mengeluarkan
suara melalui kerongkongannya yang terasa kering. “Dan... bagaimanakah aku
dapat... selamat tiba di sini...?” Dia memandang ke atas, ke arah ‘matahari’
yang tinggi itu dan bergidik. Tidak mungkin manusia dapat hidup setelah
terjatuh dari tempat setinggi itu, pikirnya.
“Heh-heh,
kalau tidak ada Siauw-liong (Naga Kecil) itu, tubuhmu tentu sudah hancur di
lantai batu ini, heh-heh!” Nenek itu berkata sambil menudingkan telunjuk
kirinya ke atas.
Ceng Ceng
memandang ke arah yang ditunjuk dan hampir dia menjerit. Otomatis dia meloncat
ke belakang ketika dia melihat ular besar yang tadinya tak tampak olehnya itu,
melingkar di dinding sumur dan memandang ke bawah dengan mata berkilat-kilat.
Seekor ular yang besar dan panjang sekali, yang disebut Naga Kecil oleh nenek
itu! Bagaimana ular besar itu dapat menolongnya? Pinggangnya terasa sakit,
tentu pernah dililit oleh tubuh ular itu. Ceng Ceng bergidik ngeri.
“Dan
sekarang engkau tentu sudah aman di dalam perutnya kalau saja tidak ada Ban-tok
Mo-li, heh-heh-heh!”
“Ban-tok
Mo-li...?” Ceng Ceng bertanya heran. Dia memang tidak pernah mendengar nama
julukan Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun).
“Ya, Ban-tok
Mo-li Ciang Si, aku sendiri, heh-heh. Ular Siauw-liong itu menyambarmu ketika
tubuhmu melayang turun, sebelum dia mengirimmu ke dalam perutnya, aku telah
mencegahnya.”
Sekarang
mengertilah Ceng Ceng apa yang telah terjadi dengan dirinya. Betapa pun
menjijikkan dan menakutkan keadaannya, dia menduga bahwa nenek yang bernama
Ban-tok Mo-li ini tentulah seorang yang memiliki kepandaian amat hebat dan tadi
telah menolongnya, maka dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu.
“Banyak terima
kasih teecu haturkan kepada Locianpwe yang telah menolong teecu dari
cengkeraman maut.”
“He-he-heh-heh,
aku senang menolongmu, aku senang bertemu denganmu. Siapakah namamu?”
“Nama teecu
(murid) adalah Lu Ceng.”
“Engkau
dapat tiba di sini dengan selamat, ini namanya jodoh! Lu Ceng, mari pergi ke
tempat tinggalku. Kau lihat, aku tidak bisa jalan. Maukah engkau menggendongku
kalau memang benar kau berterima kasih kepadaku?”
Ceng Ceng
bergidik, akan tetapi dia menekan perasaannya dan mengangguk. Namun ketika dia
hendak membungkuk untuk mengangkat tubuh nenek yang kedua kakinya lumpuh itu,
tiba-tiba secepat kilat tubuh itu melesat ke atas dan tahu-tahu telah berada di
punggungnya! Dia terkejut bukan main menyaksikan kelincahan luar biasa ini.
“Heh-heh,
kau gendonglah aku lewat terowongan itu.” Nenek itu menuding ke depan.
Ceng Ceng
lalu menggendong nenek itu melalui terowongan yang gelap sekali. Kalau tak ada
nenek itu yang memberi petunjuk, tentu dia akan menabrak dinding. Untungnya
nenek itu sudah hafal benar akan jalan terowongan gelap ini. Dia selalu
mengingatkan Ceng Ceng, membelok ke kiri, ke kanan, merendahkan tubuh agar
tidak terbentur kepalanya dan sebagainya. Setelah melalui terowongan yang
berliku-liku dan gelap itu sepanjang ratusan meter, akhirnya tampak cahaya
terang dan keluarlah Ceng Ceng dari terowongan, memasuki sebuah goa yang
menghadapi jurang amat curamnya.
“Heh-heh-heh-heh,
di goa sinilah aku tinggal,” kata nenek itu, masih tetap duduk di atas punggung
Ceng Ceng.
Dara ini
melangkah ke depan, ke pinggir jurang di depan goa, menengok ke bawah dan
bergidik ngeri. Jurang itu selain curam tak mungkin dituruni, juga tidak nampak
dasarnya karena terhalang oleh uap halimun saking dalamnya! Menengok ke kanan
kiri goa, juga merupakan dinding batu yang curam dan tegak lurus, licin dan
tidak mungkin dijadikan jalan untuk meninggalkan tempat itu. Dia benar-benar
telah terjebak ke dalam tempat yang benar-benar terputus hubungannya dengan
dunia ramai!
“Heh-heh-heh,
kau mencari jalan keluar? Tidak mungkin, Lu Ceng. Aku sendiri sudah dua puluh
tahun lebih berada di sini, tidak menemukan jalan keluar. Jalan satu-satunya
hanyalah melalui mulut sumur itu, dan tidak mungkin ada manusia dapat naik
melalui jalan itu karena dinding sumur itu banyak mengeluarkan gas beracun. Dan
menuruni tebing-tebing jurang di sini, sama saja dengan membunuh diri. Engkau
sudah berjodoh denganku untuk menemaniku selama hidupmu di tempat ini, anak manis.”
“Tidak!
Tidak mungkin...!” Ceng Ceng menjerit. “Harap Locianpwe turun, teecu hendak
mencari jalan keluar.”
Melihat dara
itu hendak menurunkannya, tiba-tiba nenek itu berkata, “Tidak, aku tidak mau
turun lagi selamanya dari punggungmu, heh-heh-heh!”
Ceng Ceng
menjadi terkejut sekali, terkejut dan marah. Kedua tangannya sudah hendak
bergerak menangkap tubuh nenek itu dan memaksanya turun, akan tetapi tiba-tiba
dia merasa betapa jari-jari tangan nenek itu menyentuh ubun-ubun kepalanya.
“Jangan
bergerak! Kalau bergerak, kepalamu akan kuhancurkan!” bentak nenek itu,
suaranya mendesis-desis seperti ular marah. “Aku sudah terlalu lama hidup tanpa
kaki, merayap seperti ular. Aku ingin hidup wajar, ingin melihat dunia ramai
dan tak mungkin kulakukan tanpa kaki. Sekarang aku sudah mendapatkan kedua
kaki, kakimu, dan aku tidak akan melepaskannya lagi!”
“Locianpwe...
gila...!” Ceng Ceng berseru, matanya terbelalak. Ngeri dia membayangkan bahwa
untuk selamanya nenek itu tidak mau turun dari punggungnya!
“Heh-heh,
aku ahli racun yang nomor satu di dunia ini. Ingat, julukanku adalah Ban-tok
(Selaksa Racun), dan memang aku mengenal selaksa racun yang terdapat di dunia
ini. Aku bisa menggunakan ilmuku untuk menanam tubuhku ini di punggungmu,
melekat untuk selamanya dan kedua kakimu menjadi pengganti kedua kakiku yang
lumpuh, ha-ha-ha!”
Bukan main
ngeri dan jijiknya rasa hati Ceng Ceng. Dia telah diselamatkan oleh seorang
nenek gila, seorang nenek yang berwatak seperti iblis. Kiranya masih lebih baik
mati dari pada harus hidup seperti itu, selamanya menggendong nenek ini, siang
malam, di waktu dia makan, di waktu tidur, mandi dan lain-lain. Selamanya! Mana
mungkin? Lebih baik mati!
Dia sendiri
tidak takut mati, akan tetapi agaknya nenek tua renta ini masih sayang akan
hidupnya, masih suka hidup. Dara itu tersenyum dan dengan langkah seenaknya dia
mendekati tebing jurang, kemudian berkata, “Baiklah, Locianpwe. Kalau begitu
mari kita mampus bersama!”
“Heiii...!
Apa... apa maksudmu...?” Nenek itu menjerit sambil memandang ke bawah, ke dalam
jurang yang tertutup kabut tebal itu.
“Locianpwe
lebih suka hidup, akan tetapi aku lebih suka mati. Kita meloncat ke bawah,
mungkin di bawah sana terdapat air yang akan menelan dan membuat kita mati
tenggelam, mungkin juga batu-batu runcing tajam seperti pedang yang akan
menerima tubuh kita sampai hancur berkeping-keping, atau batu keras yang
menerima tubuh kita sampai gepeng. Mari kita mampus bersama!”
“Heiii, jangan...!
Apa kau gila...? Dua puluh tahun aku bersusah-payah mempertahankan hidupku,
masa sekarang akan kau akhiri begitu saja. Biarkan aku turun...!”
Akan tetapi
kini Ceng Ceng menggunakan kedua tangannya memegang erat-erat dua kaki yang
lumpuh itu. “Tidak, aku tidak akan menurunkanmu, aku akan mengajakmu mampus
bersama, untuk menjadi temanku pergi ke neraka menerima siksaan di sana!”
“Lepaskan...
aihhh... aku tidak mau mati... belum mau mati...!” Kini nenek itu merengek dan
hampir menangis.
Ceng Ceng
tersenyum geli. Biar pun dia telah terjebak ke tempat mengerikan itu, namun
pada saat itu dia lupa akan kesengsaraannya dan dia gembira dapat mempermainkan
nenek yang seperti iblis ini.
“Aku hanya
mau menurunkan Locianpwe dan tidak akan meloncat ke bawah kalau Locianpwe suka
berjanji untuk mengangkat murid kepada teecu dan menurunkan semua ilmu
kepandaian Locianpwe kepada teecu.”
“Baik, aku
berjanji... lekas mundur jauhi tebing ini... hihhh...!”
Ceng Ceng
melompat mundur, melepaskan kedua kaki nenek itu dan Ban-tok Mo-li meloncat
turun. Mereka berhadapan dan kembali Ceng Ceng merasa ngeri dan jijik, akan
tetapi juga kasihan menyaksikan nenek itu menelungkup seperti seekor kadal.
“Kau... kau
bocah nakal dan cerdik, hi-hik! Kau memang pantas menjadi muridku, Lu Ceng. Aku
memang membutuhkan teman di sini, dan kalau kau menjadi muridku, berarti kita
tidak akan saling berpisah pula, Nah, mulai saat ini kau menjadi muridku.”
Karena tidak
ada pilihan lain dan agaknya dia harus pula mengandalkan kepandaian nenek ini
untuk dapat keluar, selain itu juga dia ingin memperdalam ilmunya agar dia
kelak dapat mencari sendiri jalan keluar kalau nenek itu tidak mau membantunya,
Ceng Ceng lalu menjatuhkan diri berlutut sambil berkata, “Teecu Lu Ceng
menghaturkan terima kasih kepada Subo (Ibu Guru).”
“Heh-heh-heh,
engkau tidak tahu betapa beruntungnya kau hari ini, Lu Ceng. Engkau tak tahu
siapakah Ban-tok Mo-li Ciang Si yang kau angkat menjadi guru ini. Aku sendiri
mungkin tidak terkenal, akan tetapi suheng-ku adalah seorang di antara
tokoh-tokoh nomor satu dari Pulau Neraka. Suheng-ku Bu-tek Siauw-jin (Manusia
Hina Tanpa Tanding) adalah seorang tokoh Pulau Neraka yang suka merantau dan
dari Suheng itu aku memperoleh banyak ilmu mukjijat. Hi-hik, kau beruntung
sekali.”
Mulai hari
itu Ceng Ceng berdiam di tempat terasing ini bersama gurunya dan di dalam
penyelidikannya, tempat itu benar-benar terputus dari dunia luar. Untung bahwa
di dalam terowongan terdapat sumber air yang terus menetes dari dinding batu,
dan untuk menyambung hidup, selama puluhan tahun gurunya hanya makan daun-daun
dari tanaman yang merambat di tepi jurang di luar goa, jamur-jamur yang banyak
tumbuh di dalam terowongan, ribuan macam banyaknya, dan akar-akar tumbuhan yang
terpendam di dalam tanah di goa dan di luar goa.
Akan tetapi
Ceng Ceng tidak mau meniru gurunya yang kadang-kadang makan cacing dan binatang
dalam tanah lainnya. Dia merasa jijik dan karena dia tidak lumpuh seperti
gurunya, akhirnya dia berhasil juga menyambit jatuh burung-burung yang kebetulan
terbang di tempat tinggi itu.
Setelah
berhari-hari tinggal dengan Ban-tok Mo-li Ciang Si, dia mendengar penuturan
gurunya. Ceng Ceng memperoleh kenyataan bahwa gurunya itu memang memiliki ilmu
kepandaian yang amat hebat.
Tidak saja
ilmu silatnya luar biasa, akan tetapi terutama sekali gurunya adalah seorang
ahli besar dalam soal racun. Berkat latihannya yang tekun selama beberapa puluh
tahun, gurunya telah menguasai semua racun. Seluruh tubuh gurunya mengandung
racun yang dapat digunakan untuk membunuh lawan. Dari tamparan tangannya,
sampai jari kukunya, sabetan rambutnya, gigitan mulut yang tak bergigi lagi,
sampai ludahnya mengandung racun yang cukup berbahaya dan dapat membunuh lawan!
Biar pun
pada waktu itu dia belum melihat kemungkinan untuk dapat bebas dari neraka itu,
namun Ceng Ceng tidak putus asa dan tidak mau membenamkan dirinya dalam
kedukaan atau keputus asaan yang menggelisahkan. Dia tetap gembira, merasa
yakin bahwa pada suatu saat kalau ilmu kepandaiannya sudah tinggi, dia pasti
akan dapat keluar dari tempat itu. Pikiran inilah yang membuatnya tetap gembira
dan bahkan membuatnya makin tekun mempelajari ilmu dari nenek luar biasa itu.
Pada suatu
hari, kurang lebih sebulan semenjak Ceng Ceng berada di tempat itu, sehabis
latihan pagi, Ceng Ceng memberanikan dirinya bertanya kepada gurunya, “Subo,
bagaimanakah Subo sampai dapat berada di tempat ini, dan bagaimana pula Subo
yang berilmu tinggi sampai dapat menderita penyakit lumpuh kedua kaki Subo?”
Pada saat itu,
Ban-tok Mo-li Ciang Si sedang menggelung rambutnya. Semenjak Ceng Ceng berada
di situ, melihat kebersihan muridnya yang setiap hari mandi dan mencuci
pakaian, dia terbawa oleh kebiasaan ini dan mulailah dia mau mengurus tubuh dan
pakaiannya. Pakaiannya kini bersih, dicucikan oleh muridnya dan rambutnya pun
bersih dan disanggul, tidak seperti biasanya terurai dan kotor, membuatnya
kelihatan seperti kuntilanak. Mendengar pertanyaan muridnya itu, mukanya yang
pucat menjadi merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar marah.
“Kalau yang
mengajukan pertanyaan itu orang lain, tentu akan kubunuh seketika juga karena
pertanyaan itu mengingatkan aku akan hal-hal yang tidak menyenangkan. Akan
tetapi karena kau adalah muridku, sebaiknya kau tahu karena hanya engkaulah
yang kuharapkan kelak akan dapat membalaskan penderitaanku ini kepada mereka
itu.”
“Mereka
siapakah, Subo? Dan apa yang mereka lakukan kepadamu?”
“Ahhh...”
Nenek itu menarik napas panjang. “Mungkin hari ini atau besok mereka akan
datang ke sini untuk menagih janji, mengambil kitab catatanku tentang racun...”
Ceng Ceng
cepat menekan jantungnya yang berdebar-debar keras penuh ketegangan. Mereka
akan datang ke tempat itu? Hal ini membuktikan bahwa terdapat jalan untuk
memasuki tempat ini dan berarti ada pula jalan keluarnya!
Biar pun dia
tidak mengatakan sesuatu, gurunya dapat menduga jalan pikirannya dan gurunya
berkata, “Percuma saja, Lu Ceng. Sudah hampir dua puluh tahun aku berada di
sini dan apakah kau kira aku selama itu tidak berusaha menemukan jalan keluar
itu? Akan tetapi aku tidak berhasil. Jalan rahasia itu hanyalah diketahui oleh
mereka berdua, karena memang tempat ini adalah milik mereka, dulu adalah tempat
pertapaan mereka.”
“Siapakah
mereka?”
“Mereka
adalah dua orang iblis berwajah manusia yang terkenal dengan julukan Siang
Lo-mo (Sepasang Iblis Tua), dua orang kembar yang amat jahat.”
“Mengapa
mereka menganiaya Subo?”
Nenek itu
kembali menarik napas panjang. “Dua puluh tahun yang lalu mereka bertemu
denganku dan hanya setelah mereka maju mengeroyok saja aku terpaksa harus
kalah. Mengetahui bahwa aku memiliki ilmu yang tinggi tentang racun, mereka
memaksaku untuk membuatkan kitab cacatan tentang selaksa racun. Tentu aku tidak
sudi, biar pun mereka memaksaku. Akan tetapi, mereka berdua amat keji, dengan
marah mereka lalu menghancurkan tulang-tulang kedua kakiku.”
“Aihhh...!”
Ceng Ceng menjerit ngeri.
“Kemudian
mereka membawa aku yang pingsan ke dalam tempat ini. Ketika aku sadar, mereka
mengancam akan datang membunuhku jika aku tak mau memenuhi permintaan mereka.
Aku tetap menolak dan hingga kini mereka belum juga membunuhku. Karena sudah
tahu bahwa tidak dapat keluar dari sini, aku memperdalam ilmuku tentang racun
dan aku bersiap untuk membunuh mereka. Paling akhir mereka mengancam bahwa
mereka akan datang untuk yang terakhir, kalau aku tidak memberikan catatan
racun, mereka tentu benar-benar akan membunuhku. Hari yang dijanjikan itu
adalah hari ini atau besok pagi. Akan tetapi, aku sudah siap menghadapi mereka
dan mereka akan mampus, hi-hi-hi...!”
“Maksud
Subo, Subo hendak melawan dan akan dapat mengalahkan mereka?”
“Tidak,
kalau melawan terang-terangan, tak mungkin dapat menangkan dua tua bangka
kembar itu. Akan tetapi sudah bertahun-tahun aku merencanakan akal, mari kau
lihat saja dan bantu aku membuat persiapan!”
Ceng Ceng
mengikuti subo-nya memasuki goa dan sesampainya di mulut terowongan yang berada
di sebelah dalam goa, nenek itu kemudian berhenti dan mengeluarkan bunyi
mendesis-desis dan diseling suara melengking.
“Subo
memanggil Siauw-liong (Naga Kecil)?” bertanya Ceng Ceng yang sudah pernah
mendengar subo-nya memanggil ular besar itu. Selama sebulan di tempat itu baru
pagi hari ini dia merasakan ketegangan hebat setelah mendengar bahwa tempat itu
akan kedatangan musuh yang lihai, bukan hanya tegang karena musuh itu melainkan
karena harapannya bahwa dia akan dapat menemukan jalan keluar yang dirahasiakan
oleh sepasang kakek iblis itu.
Tak lama
kemudian, terdengar suara mendesis-desis dan muncullah ular besar yang merayap
dari dalam terowongan. Nenek itu juga merayap dekat, lalu memegang leher dan
perut ular dengan kedua tangan. Dengan gerakan tiba-tiba dia melemparkan ular
itu ke atas, ke arah batu menonjol di atas goa. Ular itu menggunakan ekornya
melibat batu dan berdiam di situ tak berani bergerak lagi, melingkari batu.
Setelah
melihat ular itu di tempat seperti yang dikehendakinya, Ban-tok Mo-li tertawa,
kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya, membuka bungkusan
yang ternyata berisi bubuk berwarna hitam. Ditaburkannya bubuk itu di sepanjang
jalan terowongan di mulut goa sebelah dalam. Tidak ada tampak bekasnya, namun
lantai yang ditaburi bubuk sambil mengesot mundur itu, mulai dari mulut
terowongan sampai ke dalam sejauh tiga meter lebih telah terlapis dengan bubuk
hitam.
“Ha-ha-ha,
nanti kau akan melihat mereka bergelimpangan, Lu Ceng.” Nenek itu tertawa
sambil mengantongi lagi kertas pembungkus racun hitam tadi.
“Apakah Subo
pasti akan berhasil?” Ceng Ceng bertanya ragu, mengingat akan cerita gurunya
betapa lihai kedua orang kakek itu.
“Hi-hi-hik,
tentu saja! Racun itu tidak tampak sama sekali, tetapi sekali menyentuhnya,
biar memakai sepatu sekali pun, yang menginjaknya akan roboh dan tewas. Andai
kata kakek kembar iblis busuk itu mampu melewatinya, tentu Siauw-liong yang
girang melihat kedatangan korban akan menyerang mereka. Serangan ini tentu akan
membuat mereka meloncat mundur lagi dan mau tidak mau akan menginjak racun
hitam. Heh-heh-heh!”
“Kalau gagal
bagaimana, Subo?”
“Hemm,
gagal? Aku sudah siap dengan jarum-jarumku yang akan kusebar dari sebelah luar
goa. Dan engkau selama ini sudah berlatih melempar jarum beracun dan pasir
beracun, kau bantu aku menyerang dari samping kiri.”
“Baik,
Subo.”
“Nah, kita
siap sekarang.”
Nenek itu
lalu mengesot ke sebelah kanan mulut goa, bersembunyi di balik batu besar. Ceng
Ceng juga melompat ke samping kiri mulut goa, bersiap dengan pasir dan jarum
merah beracun yang sudah dikantonginya. Jantungnya berdebar tegang. Yang
menjadi perhatian sepenuhnya adalah kemungkinan baginya untuk menemukan jalan
rahasia keluar dari tempat itu! Kalau selama sebulan ini dia kurang giat
mencari jalan keluar adalah karena dia sudah putus harapan untuk dapat
menemukan jalan keluar, karena dia tidak tahu bahwa memang terdapat jalan
rahasia. Kini, setelah mendengar cerita gurunya, timbul semangatnya. Kalau
orang lain mampu keluar masuk tempat ini, mengapa dia tidak?
Menanti
merupakan pekerjaan yang paling melelahkan. Apa lagi dalam suasana di mana
ketegangan mencekam hati seperti pada saat itu. Sejak pagi Ceng Ceng menanti
bersama subo-nya, di kanan kiri mulut goa, bersembunyi sambil mengintai ke
sebelah dalam terowongan yang hitam pekat. Apa lagi dia sebagai manusia yang
dipermainkan pikiran dan khayal pikirannya sendiri, sedangkan ular besar itu
pun mulai kelihatan gelisah akan tetapi tidak berani merayap turun karena takut
sekali kepada nenek itu. Hanya kepalanya saja digoyang-goyang ke kanan kiri,
matanya melirik-lirik dan lidahnya berkali-kali dijulurkan keluar sambil
mengeluarkan suara mendesis-desis. Setiap kali dia mendesis, nenek itu
mendesis-desis keras dan ular itu terdiam.
Ceng Ceng
sudah hampir tidak kuat lagi menahan. Dia adalah seorang dara yang lincah
gembira, mana dia dapat bertahan untuk diam saja seperti arca selama
berjam-jam? Matahari telah naik tinggi dan sudah lebih dari tiga jam mereka
menanti di situ. Akan tetapi baru saja dia hendak membuka mulut mengajak
subo-nya bicara, nenek itu sudah menggerakkan tangan memberi isyarat agar dia
tidak mengeluarkan suara. Ceng Ceng menarik napas panjang dan menundukkan
mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main. Dengan amat jelas
terdengarlah suara orang tertawa, jauh dari sebelah dalam terowongan itu!
“Ha-ha-ha!
Ban-tok Mo-li nenek ular yang buruk! Keluarlah kau..., kami datang menagih
janji! Ha-ha-ha-ha!”
Ceng Ceng
merasa ngeri. Baru suaranya saja sudah membayangkan bahwa orang yang tertawa
itu mempunyai kekejaman luar biasa!
Keadaan
menjadi sunyi sekali dan amat menyeramkan setelah suara tertawa dan kata-kata
itu habis gemanya. Dara itu melirik ke arah subo-nya dan melihat betapa nenek
itu juga tegang, memandang ke dalam goa sambil mengintai dari balik batu besar,
jarum-jarum hitam di kedua tangannya. Ceng Ceng juga mempersiapkan jarum merah
di tangan kanan dan pasir di tangan kiri. Pasir yang digenggamnya itu bukanlah
pasir biasa melainkan pasir yang didapat di lantai goa itu dan yang sudah direndam
dalam racun oleh subo-nya. Dia sendiri sudah menggunakan obat pemunahnya
sehingga tidak berbahaya baginya, namun lawan yang terkena pasir ini, sedikit
saja lecet kulitnya tentu akan terancam bahaya maut karena dari luka itu racun
pasir akan meracuni semua jalan darahnya!
Tiba-tiba
tampak bayangan dua orang di sebelah dalam terowongan. Karena di dalam
terowongan itu memang gelap sekali, maka yang tampak hanya bayangannya saja.
Tetapi dengan jantung berdebar Ceng Ceng merasa pasti bahwa bayangan itu tentulah
sepasang kakek kembar Siang Lo-mo, musuh dari gurunya. Apakah mereka itu akan
menginjak lantai yang beracun? Ataukah akan meloncati tempat itu? Akan tetapi
kini dia mengerti akan siasat gurunya.
Gurunya
mengajak dia bersembunyi, dan hal ini merupakan jebakan dan pancingan. Kalau
tidak kelihatan ada orang di situ, tentu dua orang kakek itu akan berhati-hati
dan akan maju perlahan-lahan, tidak berani sembarangan meloncat begitu saja,
khawatir akan terjebak. Dan karena hati-hatinya, tentu dua orang kakek itu akan
menginjak lantai yang sudah dipasangi racun dan yang tidak nampak sama sekali.
Ceng Ceng
melihat dua orang atau dua bayangan itu bergerak melangkah maju, dan dia
melihat pula betapa Siauw-liong, ular besar itu sudah mulai menjulurkan
kepalanya ke bawah, agaknya dengan air liur membasahi lidahnya binatang itu
sudah siap mencaplok korban yang akan menjadi mangsanya itu.
Setapak demi
setapak dan bayangan orang itu melangkah maju, makin mendekati lantai beracun,
dan makin berdebar pula rasa jantung Ceng Ceng. Mereka itu makin dekat dan
tiba-tiba terdengar jerit melengking. Kedua orang itu roboh tepat di atas
lantai beracun. Mereka roboh begitu kaki mereka menyentuh lantai itu!
Bukan main
ngeri, kagum dan juga girangnya hati Ceng Ceng karena melihat dua orang musuh
tangguh dari gurunya itu dapat dirobohkan sedemikian mudahnya. Dia hendak
meloncat keluar, tetapi mengurungkan niatnya ini ketika dia menoleh ke arah
gurunya. Dia melihat gurunya itu dengan muka pucat dan pandang mata gelisah
memberi isyarat agar tetap bersembunyi. Bahkan gurunya kini siap untuk
melemparkan jarum-jarumnya ke depan!
Selagi Ceng
Ceng terheran-heran dan bingung melihat sikap gurunya, tiba-tiba terdengar
suara dua orang tertawa-tawa dan dari dalam terowongan berkelebatlah dua sosok
bayangan orang. Sambil tertawa-tawa dua orang itu meloncat ke depan, menginjak
punggung dua orang pertama yang masih menelungkup di atas lantai beracun, lalu
dari punggung itu mereka meloncat ke depan dan barulah tampak oleh Ceng Ceng
bahwa yang meloncat hanya satu orang sedangkan orang kedua duduk di atas pundak
orang pertama. Orang pertama yang berada di bawah itu memakai sepatu kulit
tebal dan orang kedua yang duduk di atas pundak orang pertama itu tidak
bersepatu, bahkan tidak berpakaian kecuali hanya sepotong cawat!
Tiba-tiba
ular besar tadi menyerang ke bawah.
“Heh-heh-heh!”
Orang yang tidak berpakaian dan hanya bercawat itu terkekeh. “Masih adakah
permainanmu yang lain lagi, Nenek Buruk?” bentaknya dan kedua tangannya
bergerak cepat.
Dengan jari-jari
tangan kurus panjang disodokkan ke arah kepala ular, jari-jari tangan itu telah
menembus kulit ular seperti pisau-pisau runcing masuk ke dalam kepala dan leher
ular besar itu! Darah muncrat-muncrat dan tubuh ular itu melorot turun, mencoba
untuk membelit dua orang tadi.
Pada saat
itu, Ban-tok Mo-li sudah menggerakkan kedua tangannya bergantian dan
sinar-sinar hitam menyambar ke arah dua orang kakek itu, disusul sinar-sinar
merah dari jarum-jarum Ceng Ceng dan sinar putih dari pasir beracunnya. Namun,
sambil tertawa kakek yang telanjang itu sudah memutar-mutar bangkai ular besar
sehingga semua serangan jarum dan pasir mengenai tubuh ular, membuat ular itu
mati seketika dan tidak berkelojotan lagi. Kakek telanjang membuang bangkai
ular dan melompat turun, kemudian kedua orang kakek itu melompat keluar mulut
goa.
Sekarang
Ceng Ceng dapat memandang dengan jelas. Wajah kedua orang kakek itu bentuknya
sama benar dan jelas bahwa mereka adalah orang kembar. Akan tetapi kesamaan ini
lenyap oleh perbedaan-perbedaan lain yang amat mencolok.
Kakek
pertama memakai pakaian lengkap dan serba baru, dari sepatu kulit sampai baju
bulunya yang amat indah, mukanya pun berwarna pucat putih seperti kapur dan
mukanya serius. Melihat baju mantel bulu dan penutup kepala bulu halus yang
mahal itu pantasnya dia adalah seorang hartawan besar yang mengenakan pakaian
untuk musim salju dan agaknya dia terus merasa kedinginan!
Ada pun
kakek kedua sama sekali tidak memakai pakaian kecuali cawat atau celana pendek
sekali itu, tubuhnya yang kurus itu seperti selalu terasa gerah dan mukanya pun
kemerahan seperti dipanggang! Kakek inilah yang tertawa-tawa dan sikapnya
seperti orang gembira biar pun wajahnya yang merah itu kelihatan menyeramkan
seperti orang mabuk atau orang yang marah.
“Heh-heh-heh-heh,
Ban-tok Mo-li, kau kira kami hanyalah orang-orang bodoh? Untung kami menemukan
dua orang di atas sana dan untung pula ada ular besar. Heh-heh!” kata kakek
bermuka merah.
“Ban-tok
Mo-li, cepat kau berikan kitab catatan racun kepada kami!” Kakek muka putih
menyambung.
Si Muka
Putih ini berjuluk Pak-thian Lo-mo (Iblis Tua Dunia Utara) sedangkan Si Muka
Merah adalah adik kembarnya, berjuluk Lam-thian Lo-mo (Iblis Tua Dunia
Selatan). Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, kedua orang
kakek kembar ini lebih terkenal dengan sebutan Siang Lo-mo (Iblis Tua Kembar)
dan pernah menyerbu ke Pulau Es memusuhi Pendekar Super Sakti, namun dikalahkan
oleh pendekar itu dan kedua orang isterinya yang sakti.
Mereka ini
berasal dari Formosa (Taiwan) dan memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Si
Muka Putih Pak-thian Lo-mo itu memiliki Im-kang yang amat kuat sehingga
tubuhnya kedinginan terus, maka dia selalu memakai pakaian tebal. Sebaliknya,
Si Muka Merah Lam-thian Lo-mo adalah seorang ahli Yang-kang sehingga tubuhnya
yang kurus itu selalu telanjang karena dia merasa gerah terus.
“Aku tidak
akan menyerahkan kitab apa pun kepada kalian dua manusia iblis!” Ban-tok Mo-li
memekik marah, matanya memandang dengan sinar berapi penuh kebencian.
“Kau bosan
hidup!” Pak-thian Lo-mo membentak marah.
“Heh-heh-heh,
siapa takut mampus? Kalian majulah, hendak kulihat siapa di antara kita yang
akan mampus lebih dulu!” nenek itu menantang sambil tertawa mengejek.
“Singgg...!”
Pak-thian Lo-mo sudah melolos sabuknya yang panjang berupa pecut baja yang
mengerikan.
“Eihhh,
Pak-heng (Kakak Pak), perlahan dulu. Jangan mudah dibujuk oleh nenek busuk ini.
Keenakan kalau dia dibunuh begitu saja, ha-ha-ha-ha!” Lam-thian Lo-mo mencegah
kakak kembarnya. “Jika dia berkeras tidak mau memberikan catatan itu memang
sudah selayaknya dia mampus, akan tetapi harus mati perlahan-lahan dan kita
siksa dulu sepuasnya!”
Agaknya
Pak-thian Lo-mo yang amat menginginkan pengetahuan tentang segala jenis racun
itu mengerti akan akal adik kembarnya, maka dia hanya bersungut-sungut sambil
menyimpan kembali senjatanya yang ampuh.
“Ban-tok
Mo-li dengarlah,” kata Lam-thian Lo-mo sambil tertawa. “Telah puluhan tahun
engkau hidup seperti ular, kedua kakimu lumpuh, akan tetapi engkau masih dapat
menggunakan kedua lenganmu untuk mengesot dan merangkak. Sekarang, kalau kau
tidak mau menyerahkan catatan itu, kami akan melumpuhkan kedua lenganmu pula.
Hendak kulihat bagaimana kau akan dapat merayap maju, apakah akan
berlenggak-lenggok seperti ular, ha-ha-ha!”
“Heh-heh-heh,
Lam-thian Lo-mo. Siapa tidak mengetahui kelicikan kalian manusia iblis yang
sudah mau mampus?” nenek itu balas mengejek. “Kalian takut mendekati aku,
karena begitu mendekat, kalian tentu akan mampus, maka kalian menggertak.
Hendak kulihat bagaimana kalian hendak membuntungi atau melumpuhkan kedua
tanganku ini, hi-hi-hik. Majulah!”
Dua orang
kakek itu saling pandang. Memang apa yang diucapkan oleh nenek ini benar.
Mereka berdua maklum betapa nenek ini setelah lumpuh kedua kakinya, selama dua
puluh tahun di dalam goa, memperdalam ilmunya sehingga kini merupakan lawan
yang amat berbahaya, seolah-olah keadaan di sekeliling nenek itu beracun!
“Pak-heng,
memang kau benar. Nenek busuk ini harus dihajar. Disangkanya kita tidak bisa
menghajarnya dari jarak jauh!” kata Si Muka Merah.
“Memang dia
harus dihajar sampai mampus!” jawab Si Muka Putih. “Lam-te, mari kita serang
dia dengan batu dari jauh, baru kita menggunakan senjata.”
Pada saat
itu, Ceng Ceng sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia meloncat ke
depan sambil berseru, “Dua orang kakek berhati kejam!”
“Lu Ceng,
jangan...!” Ban-tok Mo-li berteriak, akan tetapi terlambat sebab dara itu sudah
menyerang kepada dua orang kakek itu dengan pukulan-pukulan tangannya.
“Ha-ha-ha,
Ban-tok Mo-li sudah mempunyai seorang pembantu yang nekat!” Lam-thian Lo-mo
tertawa mengejek ketika dia bersama kakaknya dengan mudahnya mengelak dari
serangan-serangan Ceng Ceng yang marah sekali.
“Sepasang
manusia iblis keji! Kalian telah menyiksa Subo, telah membuat hidup Subo amat
sengsara, dan kalian masih saja mendesak dan mengganggunya!” Ceng Ceng
memaki-maki sambil menyerang lagi dengan ganas. Namun semua serangannya gagal
karena dua orang kakek itu amat mudah mengelaknya tanpa banyak bergerak.
Melihat
betapa Ceng Ceng membelanya mati-matian, nenek itu menjadi tercengang dan
terheran-heran. Tadinya dia adalah seorang pembenci manusia, siapa pun
dibencinya dan dimusuhinya karena dia seperti merasa bukan manusia lagi. Juga
terhadap Ceng Ceng sebetulnya dia benci, hanya karena dia enggan kehilangan
dara itu yang telah datang di tempat itu dan dapat menjadi temannya, bahkan
dapat pula kelak dipaksa untuk mengajaknya keluar, maka dia tidak membunuh Ceng
Ceng bahkan menerimanya sebagai murid.
Akan tetapi
sekarang, melihat betapa dara itu membelanya mati-matian, dengan nekat melawan
dua orang kakek itu, timbul perasaan terharu dan sayang kepada Ceng Ceng, maka
tentu saja dia menjadi amat khawatir melihat betapa Ceng Ceng menyerang dua
orang kakek yang tentu saja sama sekali bukan lawan muridnya itu.
“Lu Ceng
muridku..., jangan...! Kau mundurlah dan biar aku yang menghadapi mereka!”
Nenek itu berteriak-teriak sambil mengesot maju.
Dua orang
kakek kembar itu adalah orang-orang yang cerdik. Sebetulnya mereka tidak ingin
benar membunuh nenek itu karena memang tidak mempunyai permusuhan apa-apa. Yang
penting bagi mereka adalah kepandaian nenek itu tentang racun, dan semua
penyiksaan dan ancaman yang mereka lakukan terhadap Ban-tok Mo-li semata-mata
karena ingin memaksa nenek itu menyerahkan catatan tentang racun. Kalau sampai
mereka membunuh nenek itu tentu karena kecewa dan marah akan kekerasan hati
nenek itu.
Kini mereka
dapat melihat sikap Ban-tok Mo-li, dan mendengar dalam suara nenek itu
terkandung rasa sayang kepada gadis yang menjadi muridnya itu, maka sekaligus
mereka telah dapat menentukan sikap dan akal mereka. Memang ada pertalian batin
yang aneh di antara dua orang kembar ini, kadang-kadang tanpa kata-kata mereka
sudah dapat mengerti isi hati masing-masing.
Lam-thian
Lo-mo tertawa bergelak, lalu tubuhnya bergerak membalas serangan Ceng Ceng.
Dara ini terkejut bukan main menyaksikan serangan yang teramat dahsyat itu.
Lengan telanjang itu menyerangnya dengan berbareng, yang kanan mencengkeram ke
arah ubun-ubun kepalanya, yang kiri mencengkeram ke arah dadanya dengan
jari-jari terbuka.
Dia cepat
meloncat ke belakang sambil menggerakkan kedua tangan menangkis, akan tetapi
tiba-tiba ada hawa dingin menyambar dari arah belakang dan sebelum dia sempat
mengelak, kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh kedua tangan
Pak-thian Lo-mo! Ceng Ceng meronta-ronta, akan tetapi Lam-thian Lomo
tertawa-tawa dan sudah menyambar ke bawah dan di lain saat tubuh dara itu sudah
tergantung dan terlentang seperti seekor rusa ditangkap dan hendak disembelih.
Kedua
tangannya dipegang oleh Pak-thian Lo-mo sedangkan kedua kakinya dipegang oleh
Lam-thian Lo-mo. Ceng Ceng hanya meronta-ronta memaki-maki, akan tetapi tidak
berdaya melepaskan diri dari pegangan dua orang kakek itu. Jika mereka
menghendaki, betapa mudahnya bagi mereka untuk membunuh dara itu.
“Lu
Ceng...!” Ban-tok Mo-li menjerit ketika melihat muridnya tertawan. “Siang
Lo-mo, keparat busuk! Lepaskan muridku!”
“Ha-ha-ha!”
Lam-thian Lo-mo tertawa dan bersama kakak kembarnya dia menghampiri tepi jurang
depan goa. “Ban-tok Mo-li, kau lihatlah dulu muridmu yang cantik jelita dan
muda belia ini terbang ke bawah sana agar tubuhnya hancur lebur di dasar jurang
yang tak tampak dari sini, dengar saja jeritnya yang melengking nanti agar
dapat kau nikmati sebelum kau pun mampus pula di tangan kami. Ha-ha-ha!”
Bersama kakak kembarnya, Lam-thian Lo-mo mengayun-ayun tubuh dara itu dan siap
untuk melepaskan pegangan dan melemparkan tubuh itu ke dalam jurang.
“Tunggu...!
Tahan...! Kalian menghendaki catatan racun? Sudah kubuatkan...!” Nenek itu
menjerit penuh kegelisahan melihat tubuh muridnya sudah hampir dilemparkan ke
jurang.
“Ha-ha-ha-ha,
siapa percaya omonganmu, nenek busuk?” Lam-thian Lo-mo mengejek.
“Bedebah!
Ini kitabnya! Sudah aku siapkan!” Nenek itu merogoh pinggangnya untuk
mengeluarkan sejilid kitab kecil bersampul hitam.
“Bagus!
Berikan itu kepada kami, maka kami akan membebaskan muridmu,” kata pula
Lam-thian Lo-mo, girang bukan main karena isi kitab itu akan membuat mereka
berdua bertambah lihai.
“Lemparkan
dia kepadaku dan aku akan melemparkan kitab ini kepadamu!” nenek itu kini
menahan diri karena melihat betapa musuh amat menginginkan kitab itu.
“Baik, aku
akan melemparkannya kepadamu. Akan tetapi kau juga harus melemparkan kitab itu
kepadaku.” Lam-thian Lo-mo berkata.
“Nanti dulu,
Lam-te!” Pak-thian berkata tenang. “Jangan sampai kita dapat ditipu nenek busuk
itu! Peganglah tangan gadis ini!”
Lam-thian
Lo-mo memegang kedua pergelangan kaki Ceng Ceng dengan tangan kiri sedangkan
tangan kanannya kini menggantikan kakak kembarnya memegangi kedua pergelangan
tangan gadis itu. Kuat sekali kedua tangan kakek kurus bermuka merah ini
sehingga Ceng Ceng merasa betapa kedua kaki tangannya seperti dijepit alat dari
baja dalam genggaman jari-jari tangan kakek itu.
Pak-thian
Lo-mo mengeluarkan sepasang sarung tangan putih, kemudian memakainya. Setelah
itu baru dia berkata, “Nah, sekarang pertukaran boleh dilakukan, Lam-te.”
“Ha-ha-ha,
kau benar cerdik, Pak-heng. Aku sampai lupa bahwa tentu kitab itu penuh dengan
racun berbahaya pula!” Dia memandang nenek itu yang kelihatan marah-marah.
“Ban-tok
Mo-li, lagi-lagi siasatmu tidak berhasil, ha-ha-ha! Hayo lempar kitab itu
kepada Pak-heng dan aku akan melemparkan dara ini kepadamu!”
“Keparat,
iblis busuk!” Nenek itu memaki dan melemparkan kitab hitam kepada Pak-thian
Lo-mo pada saat Lam-thian Lo-mo melemparkan tubuh Ceng Ceng kepadanya.
Tubuh Ceng
Ceng tentu akan terbanting jika saja kedua tangan subo-nya tidak menarik dan
menyangganya agar dara itu duduk di sebelahnya dan segera dapat dilindunginya.
Sementara itu, Pak-thian Lo-mo sudah membalik-balik kitab kecil dan wajahnya
yang serius itu kini berseri melihat catatan racun-racun dengan obat
pemunahnya. Dia mengangguk kepada adik kembarnya dan keduanya lalu melompat
jauh melewati kepala Ceng Ceng dan Ban-tok Mo-li, melompati pula lantai beracun
seperti tadi, yaitu Lam-thian Lo-mo, di atas pundak kakak kembarnya yang
meloncat dan menginjak mayat dua orang tadi sebagai batu loncatan, kemudian
keduanya menghilang di dalam terowongan gelap.
Ceng Ceng
sudah bangkit berdiri hendak mengejar, akan tetapi tangannya dipegang oleh
nenek itu. “Kau mau apa?”
“Subo, aku
hendak membayangi mereka untuk mencari jalan keluar mereka.”
“Sssttt...
percuma. Mereka bergerak cepat sekali dan kalau sampai ketahuan bahwa kau
membayangi mereka, tentu kau akan mereka bunuh.”
Ceng Ceng
mengurungkan niatnya, tetapi diam-diam dia mengingat semua peristiwa tadi,
tentang kemunculan mereka, suara mereka ketika pertama kali datang, agar dia
dapat menyelidiki dan mengira-ngira dari mana kiranya mereka itu datang ke
dalam terowongan. Dia menyangka bahwa sudah pasti di dalam terowongan yang
gelap itu terdapat sebuah pintu rahasia yang menghubungkan tempat itu dengan dunia
luar.
“Jangan
mengharapkan yang bukan-bukan, muridku. Selama betahun-tahun aku telah
menyelidiki seluruh tempat itu, telah memeriksa seluruh terowongan, namun tak
berhasil menemukan. Sekarang lebih baik kau tekun belajar agar dapat menguasai
semua ilmu-ilmuku sehingga kelak kalau mereka berdua datang, kau akan mampu
merobohkan mereka dan memaksa mereka mengantarmu keluar dari sini.”
“Apakah
mereka akan datang lagi setelah berhasil merampas kitab?”
Nenek itu
menyeringai lalu tertawa. “Heh-heh-heh-heh, mereka mengira aku ini orang macam
apa? Sudah kuatur sebelumnya dan biar pun racun yang kuoleskan pada kitab itu
tidak berhasil karena kecerdikan Pak-thian Lo-mo, tetapi aku sengaja membuat
obat ramuan pemunah satu di antara racun yang paling jahat secara keliru. Kalau
mereka kelak mendapat kenyataan itu, apa lagi kalau mereka membutuhkan obat
pemunah, tentu mereka akan turun lagi ke sini! Dan sementara itu, engkau tentu
sudah pandai dan dapat kita bersama membunuh mereka...”
“Membunuh...?”
“Maksudku,
membunuh setelah mereka kita paksa membawa kita keluar.” Nenek itu cepat
menyambung.
Ceng Ceng
boleh jadi cerdik, namun dia tidak mampu melawan kecerdikan nenek itu sehingga
tidak dapat menduga isi hati nenek itu yang sebenarnya. Nenek itu sama sekali
sudah tidak mempunyai keinginan untuk keluar dari tempat itu. Apa gunanya
keluar kalau dia sudah menjadi seorang manusia tak berguna seperti itu? Hanya
akan mendatangkan penghinaan dan rasa malu. Akan tetapi dia ingin melihat
muridnya ini berkepandaian tinggi agar kelak dapat membalaskan sakit hatinya,
dapat membunuh dua orang kakek itu. Soal mereka akan dapat keluar dari tempat
itu atau tidak, sama sekali tidak dipedulikannya.
Ceng Ceng
yang tidak melihat jalan lain lalu menghibur diri dengan belajar secara tekun
sekali sehingga dia memperoleh kemajuan pesat dan perlahan-lahan dia pun mulai
memasukkan sari-sari racun yang terdapat di antara jamur-jamur yang tumbuh di
terowongan dan makin lama dia makin berbahaya karena mulailah dia menjadi
seorang ‘manusia beracun’ seperti ibu gurunya, sehingga setiap tendangan,
setiap pukulan, setiap tamparan atau cengkeraman, mengandung racun hebat.
Bahkan dia mulai melatih ilmu sinkang beracun untuk membuat setiap anggota
tubuhnya, sampai ke ludah-ludahnya mengandung racun yang berbahaya.....
***************
Pertentangan
antara para pangeran yang dipelopori oleh dua Pangeran Tua Liong Bin Ong dan
Liong Khi Ong di satu pihak dan Perdana Menteri Su yang setia kepada Kaisar,
sungguh pun merupakan pertentangan yang tidak terang-terangan, namun telah
mendatangkan keadaan yang panas dan kacau di kota raja. Namun, berkat
ketrampilan dan kegagahan Puteri Milana dan pasukan-pasukan yang dipimpin
olehnya sebagai bantuan terhadap tugas suaminya, yaitu Perwira Pengawal Han Wi
Kong, keadaan di kota raja dapat dibikln tenteram dan aman. Kedua orang
Pangeran Liong tidak berani membuat huru-hara di kota raja karena mereka tahu
bahwa pihak Menteri Su dan Puteri Milana yang tentu saja bekerja sama itu hanya
menanti sampai ditemukan bukti-bukti pemberontakan mereka untuk dapat turun
tangan menentang mereka secara terang-terangan.
Sebagai
adik-adik dari Kaisar, tentu saja kedua orang Pangeran Liong ini mempunyai
pengaruh yang cukup besar. Tanpa adanya bukti penyelewengan mereka, Kaisar
sendiri tidak dapat mengambil tindakan secara begitu saja. Dan mereka cukup
cerdik untuk menghapus semua bekas dan bukti pemberontakan mereka, karena
mereka memiliki pembantu-pembantu yang amat pandai, orang-orang berilmu tinggi
yang mewakili mereka melakukan hubungan dengan luar kota raja.
Pada hari
itu, kota raja kelihatan ramai dan banyak pembesar keluar dari gedung
masing-masing untuk mengunjungi Istana Pangeran Liong Bin Ong yang merayakan
ulang tahunnya yang ke enam puluh! Diadakan perayaan besar-besaran di dalam
istana pangeran tua ini dan tentu saja para bangsawan dan keluarga kerajaan
datang semua memenuhi undangan ini. Bahkan Perdana Menteri Su dan Puteri Milana
sendiri, merasa tidak enak kalau tidak menghadiri pesta itu, di mana mereka
diundang dan termasuk tamu-tamu kehormatan! Bahkan Kaisar sendiri mengirim
hadiah ulang tahun dan mewakilkan kehadirannya dan ucapan selamatnya kepada
Perdana Menteri Su.
Gedung
istana yang besar dan megah itu dipajang meriah dan karena jumlah tamu amat
banyak, maka yang datang terlambat terpaksa dipersilakan duduk di kursi-kursi
yang diatur di luar ruangan depan, yaitu di dalam taman dan di samping kiri
ruangan itu, taman yang sudah dihias dan dirubah menjadi ruangan tamu dengan
penerangan cukup dan terlindung tenda-tenda besar.
Sejak siang
tadi sampai malam, bunyi alat musik tidak pernah berhenti, dan bau arak wangi
sampai dapat tercium oleh penduduk yang berdiri menonton pesta di luar pagar di
tepi jalan raya depan istana pangeran itu. Karena pesta itu diadakan di waktu
malam, maka para tamu datang berbondong-bondong mulai sore dan setelah keadaan
menjadi gelap dan tempat pesta itu diterangi oleh banyak sekali lampu
penerangan, tempat itu telah penuh dengan para tamu. Juga di luar pagar penuh
dengan penduduk yang turut menonton, sebagian besar anak-anak.
Mereka ini
tidak hanya ingin mendengarkan musik dan menonton orang pesta, akan tetapi juga
ingin sekali melihat orang-orang besar dan bangsawan-bangsawan istana yang pada
malam hari itu berkumpul di situ, padahal biasanya amat sukar bagi rakyat untuk
menyaksikan mereka. Mereka memperhatikan para penyambut tamu yang meneriakkan
nama tamu yang terhormat sebagai laporan kepada pihak tuan rumah yang menyambut
di ruangan agar pihak tuan rumah tahu siapa yang telah datang di pintu gerbang
dan mempersiapkan sambutan sesuai dengan kedudukan para tamu terhormat itu.
Sejak tadi,
pihak penyambut tamu di depan tiada hentinya meneriakkan nama-nama para
bangsawan yang datang berbondong, dari pejabat militer yang tentu berkedudukan
panglima sampai kepada pembesar yang merupakan orang-orang penting dalam
pemerintahan. Setiap ada nama bangsawan disebut, orang-orang yang berkerumun di
luar memanjangkan leher untuk melihat bagaimana bentuk orangnya, karena banyak
yang sudah mereka dengar namanya namun belum pernah melihat orangnya.
“Yang
terhormat Perwira Pengawal Han Wi Kong bersama isteri, Yang Mulia Puteri
Milana...!”
Seruan ini
disambut oleh suara gaduh dan bahkan ada suara tepuk tangan di antara para
penonton di luar pagar. Siapakah yang tidak mengenal nama Puteri Milana? Bagi
penghuni kota raja, besar kecil semua mengenal nama ini dan merasa kagum serta
berterima kasih karena puteri inilah yang selalu menentang para pengacau dan
puteri ini yang selalu siap melindungi rakyat apa bila terjadi penindasan dari
pihak pemerintah atau alat pemerintah yang menyalah gunakan kekuasaannya.
“Hidup Yang
Mulia Puteri Milana...!” Terdengar seruan di antara para penonton itu dan
bahkan anak-anak yang berada di situ berebut tempat untuk dapat melihat dengan
lebih jelas wajah Puteri Milana yang mereka kagumi dan hormati itu. Di antara
para penonton ini, terdapat dua orang pemuda yang juga memandang dengan mata
bersinar-sinar dan wajah berseri-seri kepada puteri yang baru saja turun dari
kereta bersama suaminya, seorang perwira yang tampan dan gagah itu.
Perwira itu
adalah Han Wi Kong, seorang pria berusia hampir empat puluh tahun yang bertubuh
sedang, berwajah tampan dan pendiam, berpakaian sebagai seorang perwira
pengawal dengan sebatang pedang tergantung di pinggangnya. Dengan sikap amat menyayang
dan menghormat dia membantu isterinya turun dari kereta. Begitu turun dan
mendengar sambutan rakyat yang menonton, Puteri Milana menoleh keluar dan
mengangkat tangan melambai sambil tersenyum, akan tetapi senyumnya tidak dapat
merubah wajahnya yang agak pucat dan dingin.
Puteri ini
memang cantik jelita. Biar pun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, namun
tubuhnya masih ramping seperti seorang dara belasan tahun. Pakaiannya indah
namun sederhana bahkan rambutnya pun tidak dihias dengan emas permata.
Pakaiannya lebih menyerupai pakaian seorang pendekar wanita yang sering
melakukan perjalanan jauh, ringkas dan sederhana dari pada pakaian seorang
puteri cucu kaisar dan isteri perwira.
Sehelai
mantel berwarna ungu yang lebar menutupi pakaiannya dan menyembunyikan sebatang
pedang yang tergantung di pinggangnya. Warna ungu mantelnya itu cocok sekali
dengan warna pakaiannya yang serba kuning dan dengan tenang dia melangkah di
samping suaminya, mukanya diangkat dan matanya lurus memandang ke depan, sikapnya
tenang sekali padahal semua orang dapat menduga dan dia sendiri tahu bahwa dia
memasuki goa macan!
Pangeran
Liong Bin Ong menyambut Puteri Milana dan suaminya dengan penuh kehormatan dan
dengan wajah berseri dan mulut tersenyum lebar. Lalu setelah mereka saling
memberi hormat seperti yang semestinya karena pangeran itu masih terhitung
paman kakeknya sendiri, Puteri Milana lalu diantar duduk di tempat kehormatan
di mana telah duduk Perdana Menteri Su yang menyambut puteri itu dengan pandang
mata penuh arti dan mulut tersenyum.
Setelah
duduk di kursi yang disediakan untuknya, Milana lalu memandang ke seluruh
ruangan itu penuh perhatian. Dia memperoleh kenyataan bahwa pihak tuan rumah
telah mengatur sedemikian rupa sehingga golongan yang memihak Kaisar berada di
satu kelompok, ada pun para bangsawan yang diragukan kesetiaannya duduk
tersebar mengelilingi kelompok itu. Kini seolah-olah kelompok yang setia kepada
Kaisar telah dikurung! Namun dia bersikap tenang-tenang saja seolah-olah tidak
ada hal yang perlu dirisaukan.
“Wah, Enci
(Kakak) Milana hebat sekali, ya?” Seorang di antara kedua pemuda yang berada di
antara para penonton berkata sambil menyiku lengan pemuda kedua.
“Memang dia
hebat! Mengapa kita tidak menghadap dia, Bu-te?” kata Suma Kian Lee kepada Suma
Kian Bu yang kelihatan girang dan bangga sekali melihat kakaknya.
Dua orang
pemuda Pulau Es itu baru saja tiba di kota raja siang tadi dan sebagai dua
orang pemuda yang belum pernah melihat kota besar dan seindah itu, mereka
menjadi kagum dan berkeliling kota, mengagumi segala keindahan yang amat luar
biasa itu. Akhirnya mereka terbawa oleh arus orang yang menuju ke depan istana
Pangeran Liong Bin Ong yang sedang mengadakan perayaan itu dan mereka ikut pula
menonton.
“Lee-ko, Ibu
telah berpesan kepadaku agar aku pandai-pandai membawa diri di kota raja,
jangan bersikap liar dan tidak sopan, karena hal itu akan memalukan Enci Milana
sebagai seorang puteri istana. Aku tidak berani memanggilnya di tempat ini,
Koko.”
“Kau benar,
Bu-te. Memang tidak pantas, apa lagi pakaian kita sudah kotor begini. Enci
Milana dihormati sedemikian rupa dan dikagumi rakyat, kalau kita menegurnya dan
semua orang mendengar bahwa kita adalah adik-adiknya, tentu akan menimbulkan
keributan dan akan memalukan Enci Milana. Kita menonton saja di sini dan nanti
kalau dia pulang, kita ikuti dan kita menghadap di tempat tinggalnya.”
Kian Bu
mengangguk dan kedua orang muda itu lalu menonton ke dalam, bercampur dengan
anak-anak dan orang-orang lain. Tentu saja perhatian mereka selalu tertuju
kepada Puteri Milana yang tempat duduk kelompoknya agak tinggi sehingga dapat
terlihat dari luar.
Sementara
itu, sambil kadang-kadang mengangkat cawan arak mengajak para tamunya minum,
diam-diam Pangeran Liong Bin Ong tersenyum memandang ke arah kelompok yang
duduk di bagian kehormatan. Mereka yang memusuhiku berada di situ, pikirnya
melamun.
Terutama
sekali Perdana Menteri Su dan Puteri Milana, musuh besar dan penghalang
utamanya. Jika pada saat itu dia mengerahkan kaki tangannya dan berhasil
membunuh mereka, alangkah baiknya! Akan tetapi tentu saja hal itu akan
menimbulkan geger! Sebaiknya digunakan siasat seperti yang telah diaturnya
dengan para pembantunya. Betapa pun hatinya menyesal mengapa dia tidak dapat
membunuh mereka semua itu selagi kesempatan terbuka begini lebar. Sekali dia
mengerahkan para pengawal dan pembantunya, mereka yang kini terkurung itu tentu
tidak akan mampu lolos!
Tiba-tiba
seorang pengawalnya menghampiri pangeran tua ini, memberi hormat dan
menyerahkan sepucuk surat tanpa berkata-kata. Pangeran Liong Bin Ong menerima
surat itu dan memberi isyarat agar pengawalnya mundur, kemudian sambil
tersenyum dibacanya surat kecil itu. Mendadak mukanya berubah agak pucat ketika
dia membaca surat laporan dari kepala pengawal yang sudah disuruhnya melakukan
penjagaan dan penyelidikan. Tulisan pengawalnya itu adalah seperti berikut:
Menurut
hasil penyelidikan, orang-orangnya Puteri Milana sudah menyelinap di antara
para tamu, para penabuh musik dan di antara para penonton. Bahkan pasukan
istimewa Perwira Han Wi Kong melakukan baris pendam mengurung istana ini.
Pangeran
Liong Bin Ong mengusap peluh dengan sapu tangannya. Untung bahwa semua
rencananya membunuh kelompok di tempat kehormatan itu hanya merupakan lamunan
kosong belaka. Kalau dilaksanakan, sebelum hal itu terjadi, tentu dia sudah
ditangkap dan istana itu diserbu!
Bukan main
cerdiknya Puteri Milana dan dia mengerling ke arah puteri itu dan suaminya
dengan sinar mata penuh kebencian. Tentu saja para penjaganya tidak melihat
baris pendam yang telah diatur oleh Han Wi Kong. Tentu para anggota pasukan
istimewa itu telah melakukan pengurungan dengan bersembunyi, hanya siap
sewaktu-waktu untuk menyerbu dan melindungi junjungan mereka!
Pangeran
Liong Bin Ong masih memandang pada Milana dan suaminya dengan penuh kemarahan
dan kebencian. Tetapi karena pada saat itu hidangan sedang dikeluarkan, ia
menahan sabar dan bahkan dengan muka dimanis-maniskan dia berdiri dari
kursinya, menghampiri para tamu terhormat sambil terbongkok-bongkok dan
mempersilakan mereka menikmati hidangan yang dikeluarkan. Mulailah para tamu
makan minum sambil bercakap-cakap dan di bagian para tamu yang kebagian tempat
duduk di dalam taman, tampak Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu ikut pula makan
minum dengan lahapnya di sebuah meja!
Ternyata
Suma Kian Bu tidak dapat menahan keinginan hatinya ketika dia melihat para tamu
mulai makan minum. Bau arak wangi dan masakan yang masih mengepulkan uap,
membuat perutnya yang sudah lapar itu menjadi makin lapar, maka dia menyentuh
lengan kakaknya dan memberi isyarat dengan kepala, kemudian tanpa menanti
jawaban Suma Kian Lee yang mengerutkan alisnya, Suma Kian Bu pergi keluar dari
rombongan para penonton yang memandang orang makan sambil menelan air liur itu.
Kian Bu
mengajak Kian Lee ke bagian yang sunyi, kemudian mereka menggunakan waktu semua
penonton memandang ke dalam, seperti dua ekor burung rajawali mereka meloncati
pagar tembok dan menyusup melalui tempat gelap, akhirnya mereka dapat
menyelinap masuk dan duduk di kursi paling belakang dari rombongan tamu yang
kebagian tempat di taman!
Mereka
bersikap biasa-biasa saja ketika para pelayan datang membawa hidangan dan
mengangguk dengan sikap angkuh seolah-olah mereka juga tamu-tamu kehormatan
ketika para pelayan menaruh hidangan dan memandang hidangan-hidangan dan arak
yang telah diatur di atas meja itu dengan sikap angkuh dan acuh tak acuh,
dengan pandangan yang jelas menyatakan bahwa mereka telah ‘biasa’ dengan
hidangan seperti itu, seperti sikap orang-orang muda bangsawan dan kaya raya.
Akan tetapi
begitu para pelayan itu meninggalkan meja mereka untuk melayani para tamu lain,
Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu segera menyerbu hidangan-hidangan itu dan makan
dengan lahapnya karena memang perut mereka sudah lapar dan selamanya mereka
belum pernah makan hidangan mahal selezat itu.
Sementara
itu, Pangeran Liong Bin Ong sudah memutar otaknya. Rencananya gagal total.
Tadinya dia dan anak buahnya telah merencanakan siasat keji untuk membasmi
musuh-musuhnya. Rencana ini adalah memancing keributan hingga terjadi
pertempuran seolah-olah pihak pemberontak mengacaukan pestanya dan di dalam
kekacauan ini dia akan mengerahkan kaki tangannya yang lihai untuk membunuh
Perdana Menteri Su dan Puteri Milana, sedangkan dia telah merencanakan untuk
membiarkan dirinya ‘diculik’ oleh pengacau.
Hal ini
diatur untuk membuktikan kebersihannya, sehingga selain musuh-musuh yang
diseganinya, Perdana Menteri Su dan Puteri Milana dapat ditewaskan, juga Kaisar
akan kehilangan kecurigaannya terhadap dirinya. Tentu saja yang ‘menculiknya’
adalah kaki tangannya sendiri dan dia akan mencari akal untuk dapat lolos dari
tawanan para penculik, kalau perlu dengan tuntutan penebusan kepada pihak
istana.
Akan tetapi,
siapa kira, Panglima Han Wi Kong, atau lebih tepat lagi Puteri Milana, karena
dia menduga keras bahwa puteri itulah yang mengatur semua ini, agaknya telah
mencium rahasia itu atau juga telah menduga akan terjadinya sesuatu yang tidak
wajar sehingga istana itu dikepung oleh pasukan terpendam sehingga tentu saja
rencananya gagal karena kalau dilanjutkan, tentu saja akan ketahuan bahwa
dialah yang mengatur kekacauan itu.
Sambil
bersungut-sungut Liong Bin Ong memberi isyarat kepada seorang yang berdiri
sebagai penjaga di sudut ruangan. Orang ini sebetulnya adalah kepala
pengawalnya yang sejak tadi terus memandang ke arah majikannya setelah dia
menyuruh seorang pengawal menyerahkan laporan tertulisnya. Melihat kepala
pengawal itu memandang kepadanya, Pangeran Liong Bin Ong lalu mengangkat tangan
kanannya ke atas, dan menekuk semua jari tangannya kecuali jari tengah dan
telunjuk. Ini merupakan isyarat rahasia bahwa dia menghendaki agar ‘siasat
kedua’ dijalankan, karena siasat pertama gagal total. Memang, sebagai seorang
ahli siasat, Pangeran Liong Bin Ong dan anak buahnya sudah mengatur rencana
secara lengkap, yaitu telah merencanakan siasat cadangan untuk merubah rencana
kalau yang pertama gagal.
Rencana ini
akan mempergunakan siasat kedua, tidak lagi untuk membunuh Perdana Menteri Su
dan Puteri Milana. Tak mungkin lagi dilakukan rencana pembunuhan setelah Puteri
Milana dengan cerdiknya mengatur barisan pendam mengurung istana, bahkan
menyelundupkan pengawal-pengawalnya ke dalam para tamu, para penonton bahkan
ahli-ahli musik yang sedang menghibur para tamu.
Akan tetapi
siasat kedua dapat dijalankan, yaitu untuk membuat pihak Puteri Milana malu di
depan para tamu bangsawan, yaitu dengan jalan mengadu kepandaian antara
jago-jago yang telah dipersiapkan oleh Pangeran Liong Bin Ong sebelumnya, dan pihak
tamu kehormatan yang akan ditantang dengan jalan halus.
Kalau sampai
berhasil memancing kemarahan Puteri Milana dan puteri yang perkasa itu turun
tangan sendiri, itulah yang diharapkan karena hal itu berarti bahwa siasat
mereka berhasil. Kalau Sang Puteri maju, maka hanya ada dua kerugian di pihak
Puteri Milana. Kalau Sang Puteri kalah, jelas hal ini yang dikehendaki Pangeran
Liong Bin Ong, apa lagi kalau dalam pertandingan itu Puteri Milana sampai dapat
ditewaskan.
Andai kata
sebaliknya, karena puteri itu memang amat lihai, setidaknya puteri itu telah
merendahkan diri melayani jagoan-jagoan, dan merendahkan derajatnya sebagai
puteri cucu Kaisar dan tentu hal ini akan mudah dijadikan bahan menghasut
Kaisar agar Kaisar yang tua itu membenci cucunya yang dianggap mencemarkan
kehormatan keluarga kerajaan!
Setelah
semua tamu selesai makan, Pangeran Liong Bin Ong diam-diam lalu memberi
isyarat. Tidak lama kemudian, dari rombongan tamu yang berada di dalam taman,
berdirilah dua orang, yang seorang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan
kelihatan kasar dan kuat sekali, sedangkan orang kedua tinggi kurus dengan muka
kuning mata sipit, langkahnya gontai seperti orang lemah.
Kedua orang
ini seperti orang mabuk berjalan menuju ke tempat kehormatan, kemudian menjatuhkan
diri berlutut di atas lantai di tengah ruangan yang memang telah disiapkan
untuk menjadi tempat gelanggang adu kepandaian di mana hanya terdapat meja
besar tempat menyimpan semua hadiah dan sumbangan. Dua orang itu menghadap
kepada Pangeran Liong Bin Ong dan Si Tinggi Kurus yang berkata dengan suara
melengking nyaring sehingga terdengar oleh semua yang hadir, terutama sekali
oleh mereka yang duduk di panggung kehormatan karena kedua orang itu berlutut
menghadap ke situ.
“Mohon
paduka sudi mengampunkan kami berdua. Namun kami berdua menagih janji paduka
untuk menguji kami di depan para tamu yang mulia agar dapat memutuskan apakah
kami patut menjadi pengawal pribadi paduka yang dapat dipercaya.”
Semua orang
tentu saja memandang dan selain merasa heran juga berkhawatir melihat
keberanian dua orang itu mengganggu pesta dan tentu Pangeran Liong Bin Ong akan
marah sekali. Tetapi pangeran itu hanya memandang dengan tersenyum, sedangkan
yang menjadi marah adalah Pangeran Liong Khi Ong yang tadi mendekati kakaknya,
tak lama setelah pengawal mengantar surat. Pangeran Liong Khi Ong bangkit
berdiri dari kursinya dan sambil menudingkan telunjuknya kepada kedua orang itu
dia membentak.
“Manusia-manusia
kurang ajar! Berani kalian mengganggu pesta dengan bicara tentang pekerjaan?”
Pangeran Liong Khi Ong sudah menoleh kepada pengawal untuk memberi perintah
menangkap mereka, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bin Ong memegang lengan
adiknya itu dan berkata nyaring sehingga semua tamu mendengar suaranya,
“Jangan
persalahkan mereka! Memang aku sudah berjanji kepada mereka untuk menguji
mereka dalam pesta ini!” Kemudian Pangeran Liong Bin Ong bangkit berdiri dan
menghadapi para tamu di bagian kehormatan sambil berkata, “Cu-wi sekalian yang
mulia. Di dalam keadaan terancam oleh pengacauan-pengacauan para pemberontak
suku bangsa di luar tapal batas, kita perlu sekali menghimpun tenaga untuk
menjadi pengawal-pengawal dan melindungi kita.”
Puteri
Mllana dan Perdana Menteri Su saling bertukar pandang, dan Puteri Milana
menahan senyum mengejek. Betapa tak tahu malu pangeran tua yang menjadi paman
kakeknya itu. Biar pun belum ada bukti, sudah terang bahwa kedua orang Pangeran
Liong itulah yang mengandalkan semua pemberontak suku bangsa, sekarang masih
berani bicara seperti itu!
“Kedua orang
saudara dari dunia kang-ouw ini sudah mendengar bahwa kami sedang membutuhkan
tenaga pengawal-pengawal yang sakti. Kemarin dulu mereka datang menghadap kami
dan melamar pekerjaan menjadi pengawal pribadi. Karena kami sedang menghadapi
perayaan, maka kami memutuskan untuk menguji mereka pada saat pesta ini,
sekalian untuk memeriahkan suasana pesta. Karena kami mengerti bahwa pada saat
inilah terkumpul semua tokoh gagah perkasa yang tentu akan sudi turun tangan
membantu kami untuk menguji mereka berdua apakah benar mereka memiliki
kepandaian dan patut menjadi pengawal pribadi kami. Yang tinggi besar bermuka
hitam ini adalah Yauw Siu, seorang jagoan dari Pantai Po-hai!”
Si Muka
Hitam bangkit berdiri dan dengan mengerahkan tenaga membuat otot-otot lengan
dan lehernya tampak menggembung. Dia membungkuk dan memberi hormat keempat
penjuru.
“Yang tinggi
kurus bermuka kuning adalah Sun Giam, jagoan dari pegunungan selatan,” kata
pula Pangeran Liong Bin Ong dan Si Tinggi Kurus juga memberi hormat keempat
penjuru.
“Silakan
jika di antara Cu-wi ada yang suka membantu kami untuk menguji kedua orang
calon pengawal ini!” Pangeran Liong Bin Ong menutup kata-katanya lalu duduk
kembali.
Suasana
menjadi sunyi sekali. Biar pun terdengarnya seperti seorang yang minta bantuan
menguji dan sekaligus memeriahkan suasana pesta, namun bagi mereka yang
diam-diam menentang pangeran ini, jelas terasa bahwa pangeran itu mengajukan
dua orang jagoannya untuk menantang! Betapa pun, di antara para tamu kehormatan
tidak ada yang sudi untuk memenuhi tantangan ini, karena mereka tidak sudi
merendahkan diri melawan orang-orang yang dianggapnya rendah itu.
Kesunyian
yang mencekam sekali dan tampak Puteri Milana menahan senyum, girang bahwa
pancingan pangeran tua itu tidak berhasil. Dua orang jagoan yang kini masih
berdiri itu memandang ke sekeliling, dan kelihatan bingung karena tidak ada
yang menyambut tantangan Pangeran Liong Bin Ong.
Timbullah
kesombongan dalam hati Yauw Siu yang mengira bahwa diamnya para tamu ini adalah
karena mereka gentar kepadanya! Maka sambil mengangkat dada dia berkata nyaring
setelah tertawa, “Ha-ha-ha, harap para orang gagah yang hadir di sini tidak
khawatir karena saya Yauw Siu yang berjuluk Hek-bin Tiat-liong (Naga Besar
Bermuka Hitam) tidak perlu membunuh dalam pi-bu (mengadu kepandaian)!”
Tiba-tiba
tampak seorang pembesar bangkit dari kursinya, pembesar ini gemuk dan dia
adalah seorang pembesar sastrawan yang berwenang memeriksa hasil ujian para
calon sastrawan, seorang pembesar yang mata duitan dan tentu saja suka makan
sogokan para calon sastrawan yang mengikuti ujian. Sambil tersenyum pembesar
ini menjura ke arah Pangeran Liong Bin Ong dan berkata, “Harap paduka maafkan saya.
Melihat bahwa tidak ada orang yang suka membantu paduka untuk menguji kedua
orang calon pengawal itu, bagaimana kalau saya mengajukan lima orang pengawal
pribadi saya? Kedua orang itu kelihatan gagah perkasa dan tentu lihai sekali,
maka tidak tahu apakah mereka berani menghadapi lima orang pengawal saya.”
Sebelum
Pangeran Liong Bin Ong menjawab, Yauw Siu si Muka Hitam sudah cepat menjawab,
“Boleh sekali! Silakan lima orang itu maju berbareng dan akan saya tandingi
sendiri, tidak perlu Saudara Sun Giam turun tangan!”
Jawaban ini
memancing suara berisik dari para tamu yang menganggap orang muka hitam itu
sombong sekali. Namun Pangeran Liong Bin Ong melambaikan tangan dan mengangguk
tanda setuju. Pembesar itu lalu menggapai ke belakang, maka muncullah lima
orang pengawalnya yang berpakaian seragam biru, lima orang berusia tiga puluhan
tahun dan kesemuanya bertubuh tegap dan gagah. Setelah menjura dengan penuh
hormat kepada semua yang hadir, lima orang itu melangkah maju menghadapi Yauw
Siu, sedangkan Sun Giam sambil menyeringai sudah mundur dan duduk di atas
lantai di pinggiran.
Yauw Siu
sudah menghadapi lima orang gagah itu sambil tersenyum lebar, kemudian
terdengar dia bertanya, “Sebelum kita mulai, bolehkah saya bertanya Ngo-wi
(Anda Berlima) ini murid-murid dari partai manakah?”
Pertanyaan
itu sungguh terdengar menantang dan tinggi hati, akan tetapi seorang di antara
lima orang pengawal itu menjawab, “Kami adalah murid-murid dari Gak-bukoan
(Perguruan Silat Gak) di Seng-kun.”
“Ahhh!
Ha-ha-ha, jadi Ngo-wi adalah murid-murid dari Gak-kauwsu? Bagus sekali! Aku
sudah mengenal baik guru kalian itu dan tahu bahwa guru kalian mengandalkan
ilmu menghimpun tenaga yang amat kuat di kedua lengannya dan terkenal dengan
Ilmu Pukulan Pek-lek-jiu (Tangan Halilintar), bukan?”
Lima orang
itu mengangguk dan Si Muka Hitam melanjutkan, “Kalau begitu, biarlah kalian
menguji tenagaku dan sebaliknya aku akan menguji apakah benar-benar kalian
telah mempelajari ilmu secara baik-baik dari Gak-kauwsu.” Dia memberi isyarat
kepada Sun Giam dan orang tinggi kurus ini melemparkan segulung tali yang besar
dan kuat kepada temannya.
Yauw Siu
lalu menyerahkan tali itu kepada lima orang pengawal sambil berkata, “Harap
Ngo-wi suka mengikat kedua kaki dan tangan, juga pinggangku, kemudian Ngo-wi di
satu pihak menarik dan aku di lain pihak mempertahankan. Dengan demikian kita
mengadu tenaga satu lawan lima. Bukankah ini menarik sekali dan mengingat akan
hubungan di antara kita, tidak perlu ada yang sampai roboh terluka atau tewas?”
Si Muka Hitam yang sombong itu ternyata pandai bicara dan pandai pula berlagak
hingga menarik perhatian para tamu.
“Bagus! Itu
adil sekali! Hayo kalian cepat lakukan!” dari tempat duduknya, pembesar
sastrawan itu bertepuk tangan gembira. Tentu saja hatinya menjadi lega dan dia
mengharapkan kemenangan lima orang pengawalnya karena pertandingan yang
ditentukan oleh Si Muka Hitam sendiri itu menguntungkan pihaknya.
Lima orang
itu cepat memenuhi permintaan Yauw Siu. Pergelangan kaki, tangan, juga pinggang
Si Muka Hitam itu diikat dengan tali, kemudian mereka berlima memegang ujung
tali di depan Si Muka Hitam. Semua tamu menonton dengan gembira, bahkan di
antara para pembesar itu kini sibuk bertaruh sehingga keadaan menjadi berisik
dan gembira. Dua orang pangeran tua saling pandang dan tersenyum-senyum,
kadang-kadang mereka melirik ke arah Perdana Menteri Su dan Puteri Milana yang
kelihatan masih tenang-tenang saja.
“Siap...!
Tarik...!” Tiba-tiba Yauw Siu berteriak nyaring dan lima orang pengawal itu
telah mengerahkan tenaganya menarik tali yang mengikat tubuh Si Muka Hitam.
Yauw Siu
berdiri dengan tegak, mengerahkan tenaganya sehingga mukanya berubah menjadi
makin hitam. Urat-urat yang tampak di lengan dan leher yang tidak tertutup
pakaian itu menggembung besar, matanya melotot dan betapa pun lima orang
lawannya membetot dan mengerahkan tenaga sekuatnya, tetap saja tubuh Si Tinggi
Besar itu tidak bergoyang sedikit pun!
“Tahan...!”
Yauw Siu memekik keras dan kedua tangannya digerakkan ke belakang.
Dua orang
pengawal yang memegang kedua ujung tali yang mengikat tangannya itu terhuyung
ke depan. Kembali Yauw Siu berseru dan kedua kakinya melangkah mundur, juga
mengakibatkan dua orang pengawal lain terbawa dan terhuyung, kemudian dia
mengeluarkan bentakan keras, tubuhnya meloncat ke belakang dan lima orang itu
jatuh tertelungkup dan terseret!
Tepuk tangan
dan sorak memuji bergemuruh menyambut kemenangan Yauw Siu ini, yang sambil
tertawa-tawa menggunakan jari-jari tangannya yang besar dan kuat untuk
memutus-mutuskan tali yang mengikat kedua kaki, tangan dan pinggangnya. Kembali
demonstrasi tenaga yang amat kuat ini memancing tepuk tangan gemuruh. Yauw Siu
mengangguk dan membungkuk keempat penjuru menerima sambutan dan pujian itu.
Sun Giam
meloncat ke depan dan memberi isyarat kepada temannya untuk mundur. Si Muka
Hitam lalu mundur dan duduk di pinggiran, di atas lantai, sedangkan Sun Giam
sendiri membantu lima orang itu berdiri, menggulung tali dan melemparnya kepada
temannya. Kemudian Sun Giam berkata, ditujukan kepada pembesar sastrawan yang
bersungut-sungut menyaksikan kekalahan lima orang pengawalnya.
“Apakah
Taijin mengijinkan kalau saya menghadapi mereka ini dalam ilmu silat untuk
menguji saya?”
Wajah
pembesar itu berseri. Kini terbuka lagi kesempatan untuk membersihkan dan
menebus kekalahan tadi. Dia tahu bahwa lima orang pengawalnya adalah ahli-ahli
ilmu silat, maka sambil mengangguk dia berkata, “Baik, kami setuju sekali!”
Sun Giam
kini berkata, ditujukan kepada semua hadirin, “Tadi sahabat saya, Yauw Siu,
telah memperlihatkan kekuatan tubuhnya yang dahsyat. Kalau hanya tenaga dua
puluh lima orang biasa saja kiranya dia masih akan mampu menandinginya. Akan
tetapi, dia belum memperlihatkan ilmu silatnya dan karena dia telah
mengeluarkan tenaga, biarlah saya yang akan menghadapi lima orang murid
perguruan Gak-bukoan ini.”
Lalu sambil
menghadapi mereka, Si Muka Kuning ini berkata pula, “Harap Ngo-wi suka
mendemonstrasikan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu yang telah terkenal itu dan
sekaligus maju menyerang saya.”
Lima orang
yang sudah kalah dalam adu tenaga itu, kini mengepung Si Muka Kuning. Kemudian
terdengar seorang di antara mereka mengeluarkan aba-aba, maka serentak
menyeranglah mereka dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin dahsyat.
Akan tetapi, dengan gerakan lemas dan lincah Si Tinggi Kurus itu dapat mengelak
ke sana ke mari sambil menggerakkan kedua tangannya menyampok setiap pukulan
yang tidak sempat dielakkannya.
Tampaklah
pemandangan yang mengagumkan di mana Sun Giam menggunakan kelincahannya
dikeroyok lima orang itu. Jelas tampak oleh mata para ahli yang duduk di situ
bahwa Si Tinggi Kurus ini memang sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya, maka
sengaja hanya mengelak dan menangkis, padahal jelas mudah dilihat betapa
tingkatnya jauh lebih tinggi dari pada para pengeroyoknya.
“Ngo-wi,
awas...!” Tiba-tiba ia berkata halus, lalu kaki tangannya bergerak dengan cepat
sekali dan berturut-turut terdengar kelima orang itu memekik disusul robohnya
tubuh mereka di atas lantai karena totokan jari-jari tangan dan tendangan kaki
Sun Giam.
Kembali
terdengarlah sorak dan tepuk tangan memuji yang disambut oleh Sun Giam dengan
membungkuk ke empat penjuru. Seperti dua orang yang memang sudah biasa
berdemonstrasi dan menjual kepandaian di depan umum, kini Yauw Siu dan Sun Giam
sudah berdiri mengangkat tangan ke atas, memberi kesempatan kepada lima orang
pengawal itu mengundurkan diri dan setelah pujian agak mereda.
Terdengar
Yauw Siu berkata dengan suaranya yang lantang, “Sahabatku Sun Giam telah
memperlihatkan kepandaian. Akan tetapi kami berdua masih belum puas karena apa
yang kami perlihatkan tadi tidak ada harganya dan tentu belum memuaskan hati
junjungan kami Pangeran Liong Bin Ong. Oleh karena itu kami mohon dengan hormat
sudilah kiranya para tokoh besar yang hadir di sini suka turun tangan menguji
kami. Lima orang pengawal tadi, biar pun kepandaiannya cukup hebat, namun masih
jauh di bawah tingkat kami!”
Hening
sampai lama setelah Si Muka Hitam ini bicara. Melihat bahwa tiada sambutan, Sun
Giam membuka mulutnya, “Kami berdua mendengar sebelum memasuki kota raja bahwa
kota raja menjadi pusat orang pandai, menjadi pusat para pengawal berilmu
tinggi. Sungguh kami tidak percaya kalau sekarang tidak ada yang berani
menghadapi kami!”
Ucapan ini
mulai memanaskan hati para tamu yang merasa memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Akan tetapi ketika Han Wi Kong yang mukanya menjadi merah karena marah hendak
bangkit. Puteri Milana, isterinya yang duduk di sampingnya, mencegah dengan
pandangan matanya. Puteri ini masih kelihatan tenang-tenang saja karena dia
sedang memutar otak mencari tahu atau menduga-duga apa gerangan yang
tersembunyi di balik semua ini, yang dia yakin tentu diatur oleh Pangeran Liong
Bin Ong. Dia tidak mau sampai terpancing oleh pangeran yang cerdik itu, maka
dia menyabarkan suaminya yang mulai marah melihat sikap dan mendengar kata-kata
kedua orang jagoan Pangeran Liong Bin Ong itu.
Sebagian
para pengawal yang hadir di tempat itu dalam melaksanakan tugas mengawal para
pembesar militer dan sipil, biar pun merasa marah dan penasaran, namun mereka
ini tidak berani lancang turun tangan di dalam perjamuan orang-orang besar
seperti itu tanpa perintah dari junjungan masing-masing. Sedangkan para
pembesar jarang pula yang berani memerintahkan pengawalnya untuk menghadapi dua
orang jagoan itu.
Mereka yang
memang terpengaruh oleh Pangeran Liong Bin Ong tentu saja tidak suka menentang,
sedangkan mereka yang berpihak Kaisar dan diam-diam tidak suka kepada pangeran
ini, juga tidak berani menyuruh pengawal mereka setelah Sun Giam membuka
mulutnya setengah menantang para pengawal kota raja. Mereka merasa segan juga
untuk menentang pangeran ini secara terang-terangan, mengingat akan pengaruh
dua orang pangeran itu.
Melihat
betapa tidak ada sambutan sama sekali, Yauw Siu dan Sun Giam yang memang sudah
menerima tugas dari Pangeran Liong Bin Ong untuk memanaskan suasana dan untuk
menujukan tantangan kepada Puteri Milana secara halus, lalu saling pandang dan
Yauw Siu bangkit berdiri, menghadap ruangan kehormatan dan berkata lantang,
“Kami berdua belum lama meninggalkan tempat pertapaan, saya meninggalkan pantai
laut dan Sahabat Sun Giam meninggalkan pegunungan. Namun, kami telah mendengar
akan kehebatan ilmu kepandaian para tokoh di kota raja, maka kami sengaja
datang ke kota raja untuk mencari pekerjaan agar kepandaian kami dapat
digunakan demi kepentingan kerajaan! Apakah sekarang tidak ada orang gagah yang
sudi menguji kami? Ataukah benar seperti dugaan Sahabat Sun Giam tadi bahwa
orang-orang di kota raja agak penakut?”
“Manusia
busuk...!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan berkelebatlah bayangan
orang. Tahu-tahu di depan kedua orang jagoan itu telah berdiri seorang
laki-laki berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah, pakaiannya
preman, jenggotnya panjang sekali dan wajahnya angker, mengandung wibawa.
“Di jaman
kekacauan merajalela dan banyak manusia tak berbudi memberontak, muncul kalian
yang bermulut besar! Kalau hanya menghadapi kalian berdua saja, tidak perlu
orang-orang gagah di kota raja turun tangan. Aku Tan Siong Khi, cukuplah
kiranya menghadapi orang-orang macam kalian yang bermulut besar!” Orang ini
memang Tan Siong Khi, pengawal Kaisar yang gagah perkasa, yang telah kita kenal
karena dialah yang memimpin rombongan penjemput Puteri Raja Bhutan!
Namun
sebelum dua orang jagoan itu sempat membuka mulut, tiba-tiba Pangeran Liong Khi
Ong bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya kepada Tan Siong Khi sambil
berkata, “Bukankah engkau Pengawal Tan Siong Khi yang sudah gagal melaksanakan
tugas mengawal Puteri Bhutan sehingga puteri itu telah lenyap tanpa diketahui
ke mana perginya?”
“Keparat!
Berani engkau muncul di sini setelah engkau melakukan dosa dan kelalaian besar
itu? Kebodohan dan kelalaianmu menyebabkan Sang Puteri lenyap tak diketahui
masih hidup atau sudah mati. Dan kau berani malam ini datang ke sini dan
berlagak menjadi jagoan? Kenapa kegagahanmu tidak kau perlihatkan ketika
rombonganmu dihadang musuh? Mengapa Sang Puteri yang kau kawal sampai lenyap
sedangkan kau masih hidup? Aku sendiri akan minta kepada Sri Baginda untuk
menjatuhkan hukuman seberatnya kepadamu!”
Semua tamu
memandang dengan hati tegang. Semua mengenal pula siapa adanya Tan Siong Khi,
seorang pengawal kepercayaan Kaisar, bahkan kini menjadi pembantu dari Puteri
Milana dalam mengamankan kota raja. Mereka semua telah mendengar pula akan
kegagalan pengawal itu menjemput Puteri Bhutan, calon isteri Pangeran Liong Khi
Ong. Maka sepantasnyalah kalau pangeran itu, yang urung menjadi pengantin, yang
kehilangan calon isterinya marah-marah kepada pengawal ini.
“Mengapa kau
berani datang ke sini? Hayo pergi...! Pergi kau...!”
Tan Siong
Khi yang kelihatan tenang itu menoleh ke arah Perdana Menteri Su dan Putri
Milana. Dia melihat kedua orang pembesar itu mengangguk kepadanya dan memberi
isyarat agar supaya dia pergi. Sebetulnya munculnya Tan Siong Khi di tempat itu
adalah karena dia ditugaskan oleh Kaisar untuk mengawal Perdana Menteri Su yang
malam itu juga mewakili Kaisar, berarti dia menjadi pengawal utusan Kaisar.
Akan tetapi, sebagai seorang pengawal setia yang telah berpengalaman dan
berpemandangan luas, di tempat umum itu dia tidak mau membela diri dengan
menyebut nama perdana menteri, karena dia tidak mau menjadi penyebab terjadinya
keributan atau perasaan tidak enak.
Setelah
menerima isyarat, dia kemudian menjura kepada Pangeran Liong Khi Ong dan
berkata, “Baik, hamba dengan langkah lebar meninggalkan tempat pesta melalui
pintu gerbang depan.”
Keadaan
menjadi sunyi sekali setelah pengawal itu pergi. Peristiwa tadi menimbulkan
ketegangan. Tiba-tiba suasana yang sunyi itu dipecahkan oleh suara tertawa dari
Yauw Siu. Dia sudah bangkit berdiri dan berkata, “Sungguh menyesal sekali bahwa
Pengawal Tan Siong Khi tadi kiranya seorang yang telah melakukan dosa dan
kelalaian besar dan sepatutnya dia dihukum. Kalau tidak agaknya dia memiliki
sedikit kepandaian untuk diperlihatkan agar kami berdua dapat diuji. Harap
Cu-wi yang merasa memiliki ilmu kepandaian sudi maju sebagai penggantinya. Kami
maklum bahwa di antara Cu-wi banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
sekali, akan tetapi jangan khawatir bahwa kami akan celaka. Kami takkan
mengecewakan Cu-wi. Selama kami merantau, kami belum pernah dikalahkan orang.
Bahkan kami tadinya merencanakan untuk mencari Pulau Es...”
Tiba-tiba
terdengar bentakan halus namun suara ini menembus semua kegaduhan dan memasuki
telinga Yauw Siu seperti jarum-jarum menusuk. “Mau apa kalian mencari Pulau
Es?”
Yauw Siu
terkejut sekali, cepat menoleh ke arah Puteri Milana yang telah mengajukan
pertanyaan itu. Melihat sepasang mata yang amat tajam itu, diam-diam dia
menjadi gentar juga. Tentu saja Yauw Siu dan Sun Giam maklum siapa adanya
puteri cantik dan agung itu.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment